Arsitektur: Teriakan dan Ekspresi Seorang Jiwa - THS

Page 1

ARsitektur:

teriakan dan ekspresi bisu seorang jiwa.


Melalui keseimbangan, ekspresi tersampaikan

2


3

Dalam diam, Ia berbisik. Dalam diam, Ia berbicara. Dalam diam, Ia dipahami


4


daftar isi

5

pengantar daftar isi

7

kata pengantar

8

tentang penulis

10

latar belakang arsitektur

13

ucapan terimakasih

14

i. sketsa manifesto arsitektur pribadi

16

Ii. essay manifesto arsitektur pribadi

20

iii. memahami definisi arsitektur

24

iv. Proyek rumah tinggal

30

v. esai japanness in architecture

38

Vi. Refleksi

44

daftar pustaka

50


6

kata pengantar


7

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karna atas berkat dan penyertaan-Nya, saya dapat menyelesaikan buku “arsitektur: teriakan dan ekspresi bisu seorang jiwa�, dengan baik. Terima kasih juga kepada bapak realrich sjarief selaku dosen, dan kepada kak bangkit mandela, kak rifandi s nugroho selaku asisten dosen, atas bimbingannya guna memenuhi tugas ujian akhir semester, berupa buku ini. Melalui buku ini, saya berharap dapat menjelaskan mengenai manifesto arsitektur menurut saya, seperti apa arsitektur yang menggambarkan diri saya, bagaimana arsitektur menjadi sumber ekspresi bagi diri saya. Akhir kata, saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini. Namun saya berharap, agar buku ini dapat berguna dan bermanfaat bagi mahasiswa dan instansi yang membutuhkannya.


8

tentang penulis

p

e

r

t

a

n

y

a

a

n


9

j

a

w

a

b

a

n


10

tentang penulis T. Hanna Sanjaya, 21 Oktober 1996. Memulai seni sejak Ia dapat memegang pensil dan crayon. Lomba menggambar pertamanya, adalah ketika Ia berusia 3 tahun, pada perayaan 17 Agustus di komplek perumahannya. Tidak menyangka memenangkan juara ke-2, kedua orang tuanya terus mendukung dan melatihnya dengan keras. Satu momen yang amat Ia syukuri adalah, Ia terus berlatih 2 - 5 jam sehari hanya untuk menggambar, menarik garis lurus, maupun lingkaran. Kelas 4 SD, Ia berhenti berlatih mewarnai dan menggambar untuk perlombaan, melainkan berlatih menggambar anime, membuat komik, mengungkapkan seluruh permasalahan, ide, perasaan ke dalam sebuah cerita. Dari situ Ia mengenal akan konsep, dan proporsisi badan, bangunan, bentuk. SMP 1, Ia mulai tertarik dengan digital painting, disana Ia sadar, gambar tangannya tidak menentukan sebaik apa gambar digitalnya. Sulit, dan hampir menyerah. SMP 2, Ia dikenalkan dengan cat minyak, menggambar pemandangan. Dari situ Ia belajar membuat ciri khas warnanya sendiri. Kembali kepada digital painting, Ia mencoba menerapkan apa yang Ia pelajari di melukis, dan tanpa sadar menggambar melalui digital painting tidak sesulit dahulu. Sedari kecil yang Ia pikirkan adalah ingin karyanya dikenang oleh orang banyak, ingin karyanya berbicara, ingin karyanya dapat mewakili berjuta - juta umat, dan sedikit banyak menyadarkan orang banyak akan indahnya kehidupan yang harus dijaga oleh manusia. Ia hobi membaca, tetapi tidak membaca pelajaran. Novel - novel maupun buku filsafat, psikologi, antropologi, serta puisi. Ia senang melihat rima, senang melihat konsep dan beradu pendapat, tetapi kembali lagi, gadis yang teramat introvert ini tidak mampu menyampaikan pendapatnya. Hanya melalui karyanya, Ia dapat berekspresi, berteriak, dan mengungkapkan banyak pendapat.’ Menurutnya hidup ini misteri, Ia adalah misteri. Ia adalah ombak, langit dan selalu merasa kehilangan. Tetapi ketika membuat sebuah karya seni, Ia merasa semua jawaban yang Ia cari, seluruh puzzle yang Ia tata di dalam hidupnya, menjadi lengkap. Ia tidak menyukai arsitektur pada awalnya. Ia menganggap arsitektur terlalu kaku, penuh dengan garis - garis yang teratur, dan tidak memberikan kebebasan. Hingga Ia menjadi salah satu perwakilan konteks.org untuk mengikuti seminar World Architecture Festival di Singapura. Disanalah Ia mulai mendalami tentang arsitektur.


11

latar belakang arsitektur Saya mengenal arsitektur, ketika pertama kali melangkahkan kaki sebagai mahasiswa baru di UPH. Sebelumnya, pengetahuan saya mengenai arsitektur adalah kosong. Saya terus menerus memenuhi pikiran saya dengan seni, karena berharap dapat mempelajari seni murni. Saya terus menerus menyusun rencana agar dapat mempelajari seni murni lebih dalam, hingga mengambil jurusan bahasa ketika saya SMA. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya mengambil seni murni sebagai sebuah hobi, dan melanjutkan kuliah di UPH Arsitektur. Tidak satu, 2 kali Ia saya ingin mundur dari dunia arsitektur. Tetapi ketika saya mempelajari “Teori Sejarah Dasar Arsitektur�, disanalah saya mengerti bahwa arsitektur adalah bagian dari seni. Arsitektur tanpa seni, adalah kosong. Disana saya mengerti bahwa sama seperti seni, arsitektur dapat berbicara, melalui material, bentuk, fungsi, struktur. Disanalah saya semakin tertarik dengan begitu abstraknya dunia arsitektur.


12

terimakasih


13

kepada kedua orang tua saya dan keluarga, yang selalu mensupport saya dan mempercayai saya dalam mengambil pelajaran “my architecture grammar�, sebagai mata kuliah pilihan, demi masa depan saya. kepada bapak realrich sjarief, kak bangkit mandela, dan rifandi s nugroho yang memberikan saya begitu banyak ilmu. kepada teman - teman, dan sahabat seperjuangan, yang menemani saya bergadang sampai subuh. kepada para pembaca, semoga buku ini menambah wawasan.


1 14


15

sketsa manifesto arsitektur pribadi


16

ARSITEKTUR MENURUT SAYA: draft

final Scanned by CamScanner


17

Keseimbangan Antara Seni, Matematika dan Filsafat Kehidupan Ketertarikan saya dalam dunia arsitektur dimulai ketika saya mengenal ‘konsep desain’. Konsep, menjadi salah 1 bagian paling menarik dalam proses kerja arsitektur.Dimana konsep dibangun dari berbagai hasil pemikiran, hingga menjadi sebuah kesatuan yang seimbang. Menurut saya, kata kunci yang paling tepat untuk membangun sebuah konsep adalah ‘keseimbangan’, karena konsep seharusnya mencari garis axis di antara seni, matematika dan filsafat kehidupan. Keseimbangan ini dapat dilihat dan dirasakan dari bagaimana cara sebuah arsitektur berkomunikasi dengan penggunanya. Berbeda dengan seni (lukisan, musik dan menari),dimana penonton hanya bisa melihat/mendengar dan memahami. Dalam arsitektur, “penonton� dapat mengambil bagian di dalamnya, bukan hanya melihat/mendengar, tetapi juga melakukan kegiatan di dalamnya. Menurut saya, keseimbangan konsep antara seni, matematika dan filsafat kehidupan ini seharusnya dapat dikomunikasikan tidak hanya melalui ruang, tetapi melalui struktur dan material yang terukur. Sehingga arsitektur dapat dikomunikasikan dengan baik kepada para penggunanya. Pentingnya sebuah keseimbangan antara seni, matematika dan filsafat kehidupan,telah saya pahami sedari saya kecil. Dunia seni, telah menjadi salah 1 bagian dalam kehidupan saya sedari saya berumur 2 tahun, dimana emosi dan perasaan dapat disampaikan tanpa adanya komunikasi secara langsung. Tidak lama setelah itu saya mengenal matematika, dimana berbagai rasio, perhitungan, fakta dan data dapat dilampirkan untuk meyakinkan seseorang akan sebuah pendapat. Dari kedua hal ini, saya mengenal prinsip hidup, dimana seseorang dapat termotivasi untuk bekerja keras karena terdapat sebuah passion yang telah melekat di dalam dirinya. Dalam arsitektur, saya menemukan titik axis. Dimana seni adalah emosi, dan matematika adalah logika, dan filsafat kehidupan yang menjadi prinsip hidup, juga idealisme seorang individu untuk terus berjuang. Ketika semua itu menjadi 1, saya menemukankeseimbangan. Dalam keseimbangan inilah, sebuah konsep dapat dikomunikasikan dengan baik, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat dilihat, dirasakan dan dipahami dengan baik oleh user . Arsitektur adalah keseimbangan, tidak ada yang berlebihan dan berkekurangan.


2 18


19

essay manifesto arsitektur pribadi


20

pandangan saya tentang arsitektur


21 KESEIMBANGAN ANTARA SENI, MATEMATIKA DAN FILSAFAT KEHIDUPAN Keseimbangan, itulah kata pertama yang terlintas di dalam pikiran saya, ketika saya mendengar kata ‘arsitektur’. Konsep sebagai bagian paling penting dalam merancang dan mendesain sebuang ruang arsitektur, menjadi titik utama berdirinya keseimbangan tersebut. Bagi saya, keseimbangan antara seni, matematika dan filsafat kehidupan inilah yang menjadikan sebuah arsitektur menarik. Seni sebagai cara seorang user memahami sebuah arsitektur, melalui panca indra user yang terlibat di dalamnya. Matematika sebagai bagian dari detail dalam arsitektur, dimana sebuah arsitektur yang baik harus terukur sehingga arsitektur tersebut tidak membahayakan user. Lalu filsafat sebagai bagian dari buah pemikiran dalam sebuah konsep arsitektur. Ketiga hal inilah yang menurut saya amat penting di dalam sebuah arsitektur.

KEBUTUHAN DUNIA Menurut saya, arsitektur yang baik, akan dapat menjawab kebutuhan dunia. Arsitektur dengan konsep yang matang, dan dengan tujuan yang baik, akan dapat menjadikan dunia lebih nyaman dan aman. Maka dari itu, arsitektur akan terus mengikuti perkembangan jaman, menyesuaikan diri sesuai kebutuhan dunia. Bagi saya, arsitektur menjawab keseimbangan dunia, dimana dalam ilmu arsitektur tidak hanya mempelajari seni, struktur, tetapi berpengaruh juga terhadap psikologi, politik, ekonomi, dsb. Maka dari itu bagi saya, seorang arsitek yang berhasil adalah ketika Ia dapat menjawab kebutuhan melalui konsep yang matang, seimbang antara rasa, ideologi, dan ergonometri (seni, filsafat dan matematika).

KOMUNIKASI KEPADA DUNIA Arsitektur adalah cara berkomunikasi kepada dunia melalui karya arsitek itu sendiri. Komunikasi kepada dunia dilakukan oleh seorang arsitek melalui konsep yang matang. Konsep yang matang dapat dilihat dari keseimbangan antara seni, matematika dan filsafat. Konsep dalam arsitektur, dapat dirasakan oleh user melalui panca indera. Konsep dalam arsitektur, juga dapat dilihat oleh user melalui struktur, material, detail yang terukur. Konsep dalam arsitektur, dapat dipahami oleh user ketika user telah masuk dan menjadi bagian di dalamnya. Singkat kata, dalam pandangan saya, arsitektur adalah cara berkomunikasi secara tidak langsung kepada dunia, untuk menjawab kebutuhan dunia, melalui konsep yang seimbang antara rasa, ideologi dan ergonometri.


3 22


23

memahami definisi arsitektur


24

memahami definisi arsitektur “Greater awareness of what architecture is about is vital if we are to develop environments that mean something to us all. We need to understand how we have arrived at today and that means that we need to see today within the context and perspective of the past.” (Conway and Roenisch, 2005).1 Seperti adanya pribahasa ‘tak kenal maka tak sayang’, penting bagi seorang arsitek untuk benar - benar memahami arsitektur luar dan dalam. Selain agar tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan di masa lampau, juga untuk menambah pengetahuan seorang arsitek dalam mendesain dan merancang bangunan.

Definisi Arsitektur “This is the only way we can begin to understand them, and the importance of first-hand experience cannot be overestimated. No photograph, film or video can reproduce the sense of form, space, light and shade, solidity and weight that is gained from a personal visit.” (Conway and Roenisch, 2005).2 Mempelajari definisi arsitektur, tidak sekedar mengapresiasi sebuah karya arsitektur, tetapi juga memahami. Pemahaman arsitektur yang berbeda - beda dan terus berkembang, menjadi salah satu faktor utama akan pentingnya mempelajari sejarah arsitektur dan memahaminya, bukan sekedar mengapresiasinya. Apresiasi pada arsitektur berbeda dengan memahami arsitektur. Dimana ketika seorang pribadi mengapresiasi sebuah arsitektur, Ia menghargai karya arsitektur tersebut. Namun, ketika seorang pribadi memahami arsitektur, Ia mencoba merasakan karya arsitektur tersebut. Karna pada dasarnya, untuk memahami arsitektur berdasarkan sejarahnya, adalah untuk memberi arti dan kehidupan kepada arsitektur itu tersendiri, dengan mengerti arsitektur dari luar dalam. Memahami sejarah arsitektur, berarti memahami jenis - jenis arsitektur, tipe bangunan, juga karakteristik arsitektur, perbedaan bangunan dan arsitektur, juga perbedaan mengenai arsitektur tanpa arsitek dan arsitektur dengan arsitek. “Architecture Without Architects attempts to break down our narrow concepts of the art of building by introducing the unfamiliar world of nonpedigreed architecture. It is so little known that we don’t even have a name for it. For want of a generic label, we shall call it vernacular, anonymous, spontaneous, indigenous, rural, as the case may be.” (Rudofsky, 1964).3

1 2 3

Conway, H. and Roenisch, R. (2005). Understanding Architecture. Abingdon, United Kingdom: Routledge, p.46. Sjarief, R. (2017). The Foundation.

Rudofsky, B. (1964). Architecture Without Architects. New York, United States of America: Doubleday & Company, Inc., p.2.


25 Arsitektur sudah menjadi salah satu bagian diri manusia dan masyarakat, sejak beribu - ribu tahun yang lalu. Manusia, sebagai makhluk yang terus beradaptasi, selalu belajar dari pengalaman dan masa lalu untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik. Dalam arsitektur, pada awalnya bangunan dibangun untuk memenuhi kebutuhan pokok; tempat tinggal, tempat untuk beristirahat, tempat untuk melakukan kegiatan sehari - hari menurut adat istiadat dan kepercayaan. Bangunan yang didesain oleh seorang individu tanpa memiliki ilmu mengenai seni bangunan, menyebabkan fungsi bangunan pada masa lampau menjadi faktor dominan, dan pertimbangan estetika tidak terlalu terlihat. “Vernacular architecture does not go through fashion cycles. It is nearly immutable, indeed, unimprovable, since it serves its purpose to perfection. As a rule, origin of indigenous building forms and construction methods is lost in distant past.” (Rudofsky, 1964).4 “Deconstruction is a term that he introduced in of grammatology, deconstruction clearly presents in opposition to the concepts of construction, structure, structuralism” (Sjarief, 2017).5

Istilah arsitektur vernakular dalam Buku Bernard Rudofsky, digambarkan sebagai karya arsitektur tanpa nama. Istilah ini digunakan untuk mengkategorikan metode dekonstruksi yang menggunakan material lokal sebagai bahan utama bangunan, untuk memenuhi kebutuhan lokal. Dalam buku Architecture Without Architect, dapat dipelajari bahwa arsitektur vernakular cenderung berubah dari waktu ke waktu, menyesuaikan dengan konteks, budaya, sejarah, dan kepercayaan dalam lingkungan yang ada.­ Pada akhirnya, hasil karya arsitektur vernakular hanya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di jaman tersebut, karena cara membangunnya terikat dengan alam dan identik dengan kebiasaan hidup etnik suatu kelompok masyarakat. Meskipun terdapat definisi dari arsitektur vernakular, arsitektur masyarakat, dan ilmu arsitektur semakin berkembang, tetapi sekarang arsitektur belum terdefinisikan.

“Architecture is [...undefined yet...], because defining architecture by limiting it is only one stance to understand it. But it is not finished definition.” (Sjarief, 2017).5

Hal ini disebabkan oleh pemahaman arsitektur yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Hingga pada akhirnya banyak filsuf dan arsitek yang ‘berlomba lomba’ untuk menyampaikan pendapatnya, demi mengemukakan definisi arsitektur yang paling relevan.

4 5

Rudofsky, B. (1964). Architecture Without Architects. New York, United States of America: Doubleday & Company, Inc., p.1. Sjarief, R. (2017). Of Grammatology.


26 Historiography

Pendekatan sejarah arsitektur, dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu secara praktis, sejarah, dan aesthetis. Historiography, sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana perubahan interpretasi arsitektur seiring berkembangnya jaman. Dalam pendekatan historiography, penting untuk mempelajari sejarah arsitektur, sehingga mengerti akan perbedaan arsitektur dan bangunan, jenis - jenis arsitektur, arsitektural terminologi, dsb. “Another aspect of architectural terminology concerns the way in which architects and architectural critics discuss architecture in books. When we hear people discussing buildings that have ‘movement’, that have ‘masculine’ or ‘feminine’ characteristics, buildings that are ‘sick’ and buildings that ‘speak’, we may wonder if we do indeed speak the same language. Buildings that have movement may mean that they are suffering from subsidence, or are crumbling away, but when architects and architectural writers talk about a building having movement, they could mean something quite different.” (Conway and Roenisch, 2005).6 Dalam sejarah arsitektur, perkembangan arsitektur, yang merujuk pada definisi arsitektur, membawa para arsitek dan filsuf kepada diskusi kritis akan arsitektural terminologi, sebagai bahasa dari arsitektur. Hal ini membawa para kritikus kepada arti dari arsitektur dan metaphora. Sejarah arsitektur inilah yang membawa para kritikus arsitektur, filsuf, kepada pertanyaan akan ‘bagaimana’ ‘kenapa’ ‘apa relasinya terhadap waktu dan ruang’. Hingga pada akhirnya arsitek dapat memahami sebuah karya arsitektur, juga dapat menciptakan karya - karya arsitektur yang dapat menjawab permasalahan di dunia dengan baik, tanpa melakukan kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau. “Understanding history helps us to understand our development; it empowers us to work for a better future and prevents us from passively accepting what we find unacceptable, wheter as ther users of architecture, as architects or as architectural critics. Architecture affects everyone and so we all need to take responsibility for it, but we can only do so when we understand about it.” (Conway and Roenisch, 2005).7

Conway, H. and Roenisch, R. (2005). Understanding Architecture. Abingdon, United Kingdom: Routledge, p.4.

6

Conway, H. and Roenisch, R. (2005). Understanding Architecture. Abingdon, United Kingdom: Routledge, p.38

7


27


4 28


29

proyek rumah tinggal


final

30

abstraksi 3d

abstraksi 2d


maket

31


denah

32


33


draft

34


35


5 36


37

esai japanness in architecture


38

esai japanness in architecture Antiseden, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah hal ihwal yang terjadi dahulu (terutama tentang riwayat hidup atau masa lampau seseorang). Dalam arsitektur, antiseden sendiri merupakan suatu pengalaman dalam ruang yang tektual. Buku Japanness in Architecture, membahas 4 antiseden yang dianggap layak oleh Arata Isozaki (seorang arsitek Jepang), untuk menjelaskan tahapan - tahapan dan karakteristik dari arsitektur Jepang. Ise Jingu, gerbang selatan Todai-Ji, Katsura Villa dan perkembangan arsitektur modern di Jepang pada abad ke20, sebagai 4 anteseden Isozaki, mengajak dan mengajarkan pembaca untuk memahami arsitektur tidak hanya melalui estetika atau kecantikan fisik, tetapi melalui pengalaman dalam ruang atau filosofi arsitektur tersebut. 1

Dalam 7 halaman pertama, Arata Isozaki, yang selalu tertarik dalam sejarah arsitektur dunia, menjelaskan mengenai dasar dari esai 28 halaman Japanness in Architecture. Kuartet esai yang dikumpulkan adalah buku yang membahas 4 peristiwa yang berbeda dari pengalaman karir arsitektur Isozaki. Dari hal ini, kita dapat belajar mengenai sejarah dan karakteristik arsitektur Jepang yang terjadi pada abad ke 7, 12, 17 dan 20. Isozaki berharap melalui bukunya, pembaca akan merasakan setiap esensi keyakinan saya bahwa wacana arsitektural menuntut agar kita memandang bangunan sebagai sesuatu yang tidak biasa dan tidak hanya sebagai objek yang tidak aktif. Dalam arti ini mungkin setara dengan menggenggam bangunan sebagai ruang tekstual. Dengan tidak mempertimbangkan pertimbangan bangunan, tapi juga membahas teks-teks yang ditulis tentang mereka, sehingga mengubah pendirian menjadi logam, saya yakin kita dapat merekonstruksi masalah yang masing-masing bangunan awalnya diinternalisasi.2 Ise, Chogen, dan Katsura, dijelaskan oleh Isozaki melalui 3 antiseden sesuai dengan Ise Jingu, Gerbang Selatan Todai-ji, dan Katsura Imperial Detached Villa. Selain itu, terdapat antiseden perkembangan arsitektur modern di Jepang abad ke-20, yang didesain oleh Frank Lloyd Wright. Buku Japanness in Architecture, yang merupakan esai Isozaki digunakan oleh Beliau sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi dan pandangan Beliau akan pengaruh arsitektur modern Barat pada zaman 1930-an terhadap arsitektur Jepang, juga menjabarkan serta menginterpretasikan esensi arsitektur dan kebudayaan Jepang pada arsitektur modern. Menurut saya, buku ini merupakan hasil kumpulan sinkronik dan diakronik Arata 1 2

http://www.kbbi.web.id, diakses 10 Juli 2017 Isozaki, Arata. 2006. Japan-ness in Architecture. Michigan: MIT Press.


39 Isozaki sepanjang karirnya di dunia arsitektur. Pada buku ini, dijabarkan bahwa Katsura seperti yang ada saat ini terdiri dari paviliun yang tersebar di seluruh taman bergaya jalannya. Bahkan foto udara pun tidak bisa memberikan tampilan yang bagus. Satu-satunya cara untuk memahami keseluruhan adalah mengalaminya dengan mengembara melalui gedung dan lahan. Salah satu ciri khas taman berjalan Jepang (yang akan saya sebut sebagai “kebun tur�) adalah bahwa kita menganggap kebun sebagai kumpulan gambar fragmen yang diterima di berbagai tempat yang ditunjuk - pandangan kita berubah berkali-kali. Dalam dunia arsitektur modern, momen utama dalam pendekatan ini adalah fotografi Katsura karya Yasuhiro lshimoto yang pada awalnya diterbitkan dengan esai saya. Isozaki juga menjelaskan Villa Katsura (disingkat Katsura) sebagai ruang yang tekstual, dimana bahasa visual dan verbal saling berselang-seling. Hal ini dikarenakan villa tersebut yang secara sekilas bergaya arsitektur tradisional Jepang, akan tetapi, melalui foto-foto Yasuhiro Ishimoto pada interior villavilla tersebut, memiliki karakteristik yang lebih “modern� (pintu geser dan partisi-partisi pada paviliun membentuk komposisi seperti gaya Mondarin pada foto Ishimoto). Dan juga karena menurut Isozaki villa ini tidak bisa dirasakan pengalaman sesungguhnya tanpa berkunjung langsung dan berjalan di tamantaman antara paviliun, karena foto tampak atas juga tidak sepenuhnya bisa menangkap keseluruhan kompleks villa. Dan karena pencampuran tradisi serta sensori inilah yang menunjukkan salah satu identitas arsitektur Jepang menurut Isozaki. Ise-A Mimicry atau Reenactment of Origin, ditulis pada tahun 1995, sebagai teks untuk teks pelengkap foto - foto Ishimoto pada kesempatan relokasi Ise yang ke 63.[2] Ise dalam konteks sistem pembaharuan kawasan ini, dianggap unik oleh Isozaki karena struktur - strukturnya yang tidak lepas dari sikap modernis arsitektur Katsura, tetapi harus melepas konsep arsitektur Barat untuk memahami Ise. Melalui hal ini, Isozaki bertekad untuk memperhatikan lokasi Kuil Ise sebagai konstruksi sementara yang mewujudkan rimal yang terjadi setiap dua puluh tahun. Hal ini dikarenakan setiap elemen dari Ise, menjadikan arsitektur Ise ini penting. Pada abad ke-12 sebagian besar komponen kompleks Todai-ji dibakar karena gangguan sipil dan perang pada saat itu. Imam yang bernama Chogen dipercayakan dengan mengarahkan rekonstruksi kuil. Sejak saat itu, banyak arsitek tertarik untuk merekonstruksi kompleks Todai-ji secara imajiner. Di saat itu, merupakan momen transisi di mana kekuasaan berpindah dari aristokrasi ke kelas samurai. Dalam


40

kejatuhan alam ini, seseorang tidak bisa membedakan teman dari musuh, juga tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Menurut Isozaki, Chogen membangun sebagian besar rekonstruksinya pada zaman itu, dengan budaya dan kondisi lingkungan yang “memanas� adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Proyek - proyek Chogen mempersonifikasikan contoh langka dari fenomena di jepang, dengan mengambil skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena “tidak nyata� dalam semua aspek - secara politis, ekonomis, teknologis, dan estetis. Isozaki percaya bahwa, kekuatan imajinatif mendorong proyek ini, mengatasi semua rintangan. Dalam karyanya, kekuatan konstruktif yang luar biasa didasarkan pada kekuatan imajinasi yang tak tertandingi ini. Itu adalah peristiwa yang khas pada momen revolusioner. Dalam pandangan Isozaki, interpretasi Wright dalam karya Tenshin Okakura, yaitu Book of Tea, adalah sebuah kesalahanpahaman atau miss communication. Isozaki melihat bahwa Wright mengartikan sebuah ruang sebagai sebuah objek, bukan memahami filosofinya. Dalam bukunya, dilampirkan bahwa Wright tertarik pada konsep ruang kosong, dari bentuk teko. Dimana kekosongan dibentuk oleh dinding dan atap, dan fungsi dari suatu teko terletak pada ruang kosong di teko tersebut. Wright menginterpretasikan ontologi terhadap kekosongan dengan cara mendesain ruangan internal. Selain itu, ketika Wright diminta untuk mendesain Imperial Hotel di Tokyo. Menurut Isozaki, secara fisik arsitektur Wright terlihat bercitra Jepang, tetapi tidak di mata orang Jepang. Terdapat berbagai kekurangan estetika dan penataan ruang yang di desain oleh Wright. Wright menggunakan elemen yang berlebihan pada penataan ruangnya. Menurut Isozaki, pada dasarnya bangunan tersebut diciptakan oleh teknologi barat, dengan material barat, dengan cara pandang arsitek barat, sehingga filosofi dan citra Jepang sulit terpancarkan. Saya pun setuju dengan sebagian pendapat dari Isozaki. Dimana setiap bagian ruang, elemen, detail dalam arsitektur itu penting dan berkesinambungan. Saya berpendapat dimana arsitektur adalah sarana ekspresi, bukan sekedar objek, tetapi juga untuk menyampaikan pendapat, pemikiran juga bisa memperlihatkan karakter dan psikologi seorang arsitek. Tidak mudah, bagi seorang arsitek Barat untuk mendesain arsitek Jepang, karena lingkungan dan budaya yang Ia pelajari sedari kecil berasal dari Barat. Seluruh pemikiran, perasaan, kepercayaan, kebudayaan dan karakter sesuai dengan lingkungan Barat.


41

Tetapi bila mempelajarinya lebih dalam lagi, mungkin dapat menjadi sebuah karya arsitektur yang sangat menarik. Saya juga setuju dimana setiap karya arsitektur mempunyai filosofinya masing - masing, maka dari itu saya berpendapat bahwa penting bagi seseorang untuk mempelajari dasar budaya, sejarah dan tradisi suatu negara/kota/wilayah untuk membangun arsitektur yang sesuai dengan citra wilayah tersebut.


6 42


43

refleksi


refleksi

44

Berdasarkan seluruh ilmu yang saya dapat selama kelas Architecture Grammar, saya menyimpulkan bahwa, “Apa yang saya pelajari, apa yang saya rasakan, karakter saya dan apa yang menjadi dasar dari saya tumbuh dan berkembang, mempengaruhi gaya arsitektur saya.” Hal ini dapat dilihat dari bagaimana setiap warna yang saya pilih, menggambarkan diri saya. Titik, garis, bentuk yang saya buat didasarkan oleh pemikiran saya akan pengalaman dan apa yang saya pelajari (sinkronik dan diakronik).

“Greater awareness of what architecture is about is vital if we are to develop environments that mean something to us all. We need to understand how we have arrived at today and that means that we need to see today within the context and perspective of the past.” (Conway and Roenisch, 2005).

Seperti adanya pribahasa ‘tak kenal maka tak sayang’, penting bagi seorang arsitek untuk benar - benar memahami arsitektur luar dan dalam. Selain agar tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan di masa lampau, juga untuk menambah pengetahuan seorang arsitek dalam mendesain dan merancang bangunan. Memperluas ilmu dalam konteks arsitektur memang tidak cepat untuk dipelajari. Tujuan utama mempelajari arsitektur adalah untuk dapat mengerti bagaimana cara berpikir menuju desain yang baik. Namun, ada banyak cara untuk dapat mempelajarinya. Salah satunya adalah dengan studi preseden – mempelajari arsitektur berdasarkan objek yang sudah ada, atau pernah terjadi. Cara ini yang menjadi fokus pembelajaran kami di dalam kelas My Architecture Grammar, yaitu memperluas kosa kata arsitektural melalui diskusi dan pembahasan mengenai bangunan ataupun tokoh yang berperan penting dalam perkembangan dunia arsitektur. Kelas Architecture Grammar terbagi menjadi enam bahasan utama dengan sumber bacaan masing-masing sesuai topik; Architecture without Architect, Strange Details, Japan-ness in Architecture, Norman Foster, Tragsysteme dan Material Imagination. Buku - buku, yang menjadi sumber quiz dan referensi buku “Arsitektur: Teriakan dan Ekspresi Seorang Jiwa” ini, menjadi kerangka berpikir saya sebagai seorang mahasiswa, yang belum mempunyai banyak pengalaman di dunia arsitektur. Understanding Architecture - didefinisikan bahwa arsitektur untuk dinikmati bersama. Arsitektur


45 adalah mengenai pembuatan ruang dan memori. Arsitektur, mengungkap waktu dalam bentuk rasa, rasa dalam bentuk ruang. Why Architecture Matter - arsitektur merupakan pengingat konstan akan urgensi, esensi, makna, dan nilai dari hal yang nyata. Bangunan bukan hanya benda mati, melainkan sebuah kesempatan untuk berbicara kepada individu dan masyarakat, mereka adalah bagian hidup dunia manusia. Mempelajari definisi arsitektur, tidak sekedar mengapresiasi sebuah karya arsitektur, tetapi juga memahami. Pemahaman arsitektur yang berbeda - beda dan terus berkembang, menjadi salah satu faktor utama akan pentingnya mempelajari sejarah arsitektur dan memahaminya, bukan sekedar mengapresiasinya. Apresiasi pada arsitektur berbeda dengan memahami arsitektur. Dimana ketika seorang pribadi mengapresiasi sebuah arsitektur, Ia menghargai karya arsitektur tersebut. Namun, ketika seorang pribadi memahami arsitektur, Ia mencoba merasakan karya arsitektur tersebut. Karna pada dasarnya, untuk memahami arsitektur berdasarkan sejarahnya, adalah untuk memberi arti dan kehidupan kepada arsitektur itu tersendiri, dengan mengerti arsitektur dari luar dalam. Arsitektur dapat berbicara, melalui pemahaman seorang user akan arsitektur itu sendiri. Dimana seorang user dapat memahami sebuah arsitektur, disitulah arsitektur berbicara. Dalam sejarah arsitektur, perkembangan arsitektur, yang merujuk pada definisi arsitektur, membawa para arsitek dan filsuf kepada diskusi kritis akan arsitektural terminologi, sebagai bahasa dari arsitektur. Hal ini membawa para kritikus kepada arti dari arsitektur dan metaphora. Sejarah arsitektur inilah yang membawa para kritikus arsitektur, filsuf, kepada pertanyaan akan ‘bagaimana’ ‘kenapa’ ‘apa relasinya terhadap waktu dan ruang’. Hingga pada akhirnya arsitek dapat memahami sebuah karya arsitektur, juga dapat menciptakan karya - karya arsitektur yang dapat menjawab permasalahan di dunia dengan baik, tanpa melakukan kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau. Selain itu, berbagai pertanyaan inilah yang membuat seorang arsitek ataupun kurator, berbicara melalui ruang dan waktu yang diciptakan melalui karya arsitektur. Architecture Without Architect - Arsitektur vernakulas, ataupun arsitek tanpa arsitek, dikenal akan tradisi dan kebudayaannya, tanpa ada yang tau siapa arsiteknya maupun pencetusnya. Bernard Rudofsky membahas bagaimana arsitektur vernakular pada masanya kurang diperhatikan, sehingga


46 sifatnya kurang terekspos. Keberadaan arsitektur di dunia sudah ada sejak pertama kali manusia ada di bumi, namun pemikiran ini terabaikan oleh arsitek modern pada masanya. Rudofsky berpendapat bahwa sejarah perkembangan arsitektur dunia hanya berfokus pada kebudayaan terpilih di bumi, diperkuat dengan kehadiran arsitektur vernakular yang sifatnya anonim di sebagian besar masyarakat. Perbedaan antara arsitektur vernakular dengan arsitektur modern adalah kecenderungan pendekatannya dalam beradaptasi dengan kondisi topografi atau konteks di sekitarnya, bagaimana arsitektur vernakular menyesuaikan dengan konteks, kondisi topografi bahkan iklim di tempatnya. Berbeda dengan arsitektur modern yang mengandalkan teknologi untuk mempermudah pembuatannya, seperti pengurugan tanah. Darisini saya dapat melihat bahwa konteks menjadi peran yang sangat penting dalam proses desain arsitektur. Saya berpendapat bahwa seharusnya arsitektur modern juga tidak melupakan tradisi maupun budaya arsitektur tradisional, tidak melupakan dasar, apalagi menyingkirkan kepentingan lingkungan hanya demi kemajuan teknologi. Norman Foster – buku ini membahas mengenai salah satu arsitek yang dianggap memiliki perilaku desain baik, Norman Foster. Buku ini menceritakan bahwa perjalanan karir Foster sebagai arsitek telah berlangsung lama dan melewati berbagai mitra kerja yang memiliki kepribadian yang berbedabeda. Latar belakang antara sinkronik dan diakronik ini, pada akhirnya membentuk filosofi desain Foster sendiri. Foster melihat untuk membuat arsitektur mampu menjalankan fungsi - fungsinya dengan baik, sebuah arsitektur harus memiliki integritas antara elemen pembentuknnya. Selain itu, dalam mendesain Foster juga selalu menempatkan perhatianya pada sirkulasi cahaya, konteks, pemanfatan teknologi, dan pembentukan tipologi. Disini, saya setuju dengan cara berpikir Foster sebagai arsitek modern. Foster melihat arsitektur sebagai suatu objek yang sangat fungsional namun tidak mengabaikan nilai estetikanya. Foster melihat bahwa peran teknologi bukan sebagai acuan dalam mendesain, tetapi sebagai penyempurna desain. Sirkulasi cahaya dan udara juga menjadi sangat penting diterapkan pada arsitektur modern ini, karena semuanya kembali lagi kepada bagaimana bangunan itu didesain dengan metode tanpa mengandalkan teknologi sepenuhnya. Sama seperti pendapat saya sebelumnya, bahwa sebuah arsitektur yang baik harus bersinkronis antara teknologi dan tradisional. Tragsysteme – Buku Heino Engel ini, menegaskan tentang keberagaman dan posibilitas penggunaan struktur yang dapat diterapkan pada arsitektur sesuai kebutuhannya. Engel berargumen


47 bahwa dalam arsitektur sistem struktur bukan hanya sebagai penopang suatu bangunan, tetapi juga sebagai identitas banguan itu sendiri. Terdapat 5 klasifikasi struktur arsitektur, menurut Heino Engel, yaitu Form Active, Vector Active, Section Active, Surface Active dan Highrise. Kelima jenis struktur tersebut memiliki karakter topangan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis bangunan yang akan didesain. Saya setuju, dengan poin penting dalam bacaan ini. Dimana peran struktur arsitektur tidak hanya sebagai penopang tetapi ‘tulang punggung’ bangunan yang tertutup atau terlapisi. Keberagaman struktur mampu dimanfaatkan sebagai pembentuk identitas bangunan itu sendiri tanpa perlu melakukan pengolahan kulit bangunan yang berlebihan.Penerapan struktur yang disampaikan Engel, demi mencapai fungsi dan tujuan bangunan, menjadi suatu sinkronisasi yang menarik bagi saya. The Material Imagination – Buku karya Mattew Mindrup, ini menegaskan tentang pentingnya peran intuisi dalam proses desain arsitektur. Dijelaskan bahwa ketajaman intuisi dapat diperoleh dengan cara yang instan, melalui pendalaman fenomena - fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Dalam arsitektur, pendalaman fenomena seperti ini penting untuk dipelajari, untuk melatih kepekaan seorang arsitek. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai macam pembelajaran yang sifatnya aktif seperti merasakan ruang, menyentuh material, mengamati sambungan, dan lain lain. Semakin banyak kosa kata mengenai material, semakin banyak pengalaman ruang, maka semakin tajam intuisi kita dalam arsitektur. Seperti adanya seorang anak TK, balita yang belajar aktif, melalui 5 indra yang Ia punya. Pembelajaran aktif pun lebih menarik dan tanpa sadar dapat melatih kepekaan alam bawah sadar kita. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Poin penting yang dapat kita kembangkan adalah intuisi. Bagaimana sebagai arsitek harus mampu berimprovisasi dalam arsitektur. Melihat banyak peluang desain pada arsitektur, dengan mencoba membuka pikiran lebih luas dan merubah cara pandang yang sempit. Pengetahuan ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari - hari. Tidak hanya melalui pengalaman tetapi membaca. Selain itu, salah satu pelajaran yang menarik minat saya adalah Gramatology, khususnya Juxtaposition. Menurut saya, disinilah saya melihat lukisan, seni, dan arsitektur menjadi suatu kesinambungan. Dimana juxtaposition serupa dengan konsep aliran surealisme dalam seni lukis. Juxtaposition, penjajaran 2 subjek atau objek yang berbeda, tidak memiliki keterkaitan satu sama lain, namun di satukan dalam 1 frame. Dalam arsitektur sendiri istilah ini muncul sejak tahun


48 1917, ketika surealisme mulai terpisahkan dari aliran dadaisme. Hal ini dapat dilihat dari karya Natalija Subotincic, yang menganalisa ruang konsultasi Sigmund Freud, yang menyatukan berbagai benda aneh sebagai wujud akan inovasi kreatifitas dan pemahaman intellektual oleh Sigmund Freud. “She writes of Freud: “His texts were full of image of spatial constructions described through words. The occasional diagram and drawing he would also include to clarify or represent something specifically within these texts, futher revealed his efforts in this regard.” These texts and images allowed her to easily locate herself ‘within his ideas much like a physical construction or landmark allows one to locate oneself in a space or place” Surealisme dalam KBBI, adalah aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau luar realitas atau kenyataan). Selain itu surealisme pada jamannya, di anggap sebagai suatu ketidaklaziman, suatu seni yang melampaui pikiran dan logika. Karya surealisme seringkali hanya dapat ditafsirkan oleh orang yang menciptakannya, karena pada hakikatnya sulit bagi seorang awam menerjemahkan alur surealisme yang bersifat tidak beraturan dan melompat - lompat. Komposisi arsitektur dalam hal ini didapatkan dengan memanfaatkan perspektif, horizontal, vertikal, refleksi, obstacle, depth, complementaru-colors, dsb. Hal ini pula pernah diterjemahkan oleh Le Corbusier dalam karyanya, pada tahun 1920 dan 1930; The Fallen Angel of Surrealism. Pada masanya, surealisme juga diterapkan oleh FAT Architecture, untuk menanggapi isu yang sedang marak di jaman itu; oedipus complex. “As FAT described it: The house proposes an anti-oedipal idyll, a suburban house prototype that opposes that ubiquitous architectural machine of oedipal repression- the typical family dwelling. This house separates the parents from the child, allowing each to indulge their own particular obsessions. Surealisme berbicara mengenai fantasi yang disampaikan melalui arsitektur. Hal ini diciptakan oleh Dali pada Art Nouveu. Dali menginterpretasikan bahwa Art Noveau adalah sesuatu yang histeris, juga sesuatu fantasi akan istrinya. Proses belajar dalam kelas Architecture Grammar, mengubah cara berpikir saya terhadap arsitektur. Sebagai mahasiswa yang sangat mencintai seni, saya semakin melihat adanya seni yang tidak


49 ternilai dalam arsitektur. Hal ini membuat saya semakin menyukai arsitektur dan semakin tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam


50

daftar pustaka


51

Antoniades, Anthony C. Poetics Of Architecture. 1st ed. Bachelard, Gaston et al. The Poetics Of Space. 1st ed. Cadwell, Michael. Strange Details. 1st ed. Cambridge, Mass.: MIT, 2007. Conway, Hazel, and Rowan Roenisch. Understanding Architecture. 1st ed. London [u.a.]: Routledge, 2006. Engel, Heino. Tragsysteme. 1st ed. Ostfildern-Ruit: Hatje, 1999. Goldberger, Paul. Why Architecture Matters. 1st ed. New Haven, Conn.: Yale University Press, 2011. Piven, Peter, and Bradford Perkins. Architect’s Essentials Of Starting A Design Firm. 1st ed. Hoboken, N.J.: Wiley, 2008. Print.


52

t. hanna sanjaya 00000005193.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.