Tabloid mahasiswa suara usu #95

Page 1

EDISI

95

XVIII/NOVEMBER 2013

Rp 3000 ISSN 1410-7384

SUARAUSU.CO

POTRET BUDAYA RENTAK SEMBILAN BUAH BERGESERNYA KEBUDAYAAN

LAPORAN KHUSUS AYAM KAMPUS BUKAN PSK BIASA


2 suara kita lepas

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

suara redaksi

USU Tak Serius

Urus Kampus II Redaksi

DISKUSI LINGKUNGAN

Suasana diskusi panitia dan peserta Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional Salam Ulos bersama aktivis lingkungan Annette Horschmann di Parapat, Kamis (14/11). Salam Ulos merupakan pelatihan yang diadakan SUARA USU dan mengundang pers mahasiswa seluruh Indonesia sebagai peserta. WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Salam Jurnalistik!

S

eiring memasuki penghujung tahun 2013, SUARA USU kembali menghadirkan tabloid edisi 95 seba­ gai penutup rangkaian produk tabloid edisi satu tahun ini. Proses pengerjaan edisi ini juga diselingi dengan terselenggaranya Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) Salam Ulos 2013 yang merupakan perhelatan akbar tahunan SUARA USU. Meski kepengurusan SUARA USU periode ini segera berakhir, namun sema­ ngat serta komitmen untuk selalu memberikan yang terbaik pada pembaca tak akan pernah ada kata akhir. Ada rubrik istimewa yang kami hadirkan pada pembaca sebagai halaman persembahan tabloid edi­ si 95. Wajah-wajah awak SUARA USU kami tampilkan. Dari tangan dingin anggota inilah beragam kegi­ atan dan produk-produk dihasil­ kan. Mari mengenal anggota SUARA USU lebih dekat di rubrik Halaman

suara sumbang

Persembahan. Soal akreditasi sebuah instansi pendidikan tinggi di Indonesia ternyata membawa dampak yang besar bagi mahasiswa yang bernaung di bawahnya. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tim peninjau menerima borang dari setiap instansi. Selanjutnya BAN-PT akan memproses dan memberikan hasil penilaiannya kepada instansi tersebut. Diberikan hak gugatan apabila instansi tersebut merasa keberatan dengan hasil yang dikeluarkan BAN-PT. Proses lengkap serta esensi dan ragam cerita tentang akreditasi kami hadirkan lengkap di rubrik laporan utama. Era digitalisasi yang kini menjadi tren telah dimanfaatkan berbagai bidang. Salah satunya usaha dan bisnis. Mirisnya usaha perdagangan diri pun mulai mengguna­ kan jasa internet ini. Berbagai media sosial yang dimanfaatkan para ayam kampus untuk menawarkan jasanya. Bagaimana tren baru ini mereka manfaatkan untuk meraup

untung yang sebesar-besarnya? Simak kisah mereka dalam rubrik Laporan Khusus. Tari Rentak Sembilan yang mulanya berasal dari Ronggeng Melayu kini mengalami pergeseran budaya. Ia memiliki nilai filosofis gerakan yaitu mencerminkan budaya masyarakat melayu yang kental akan nilai keislaman. Cerita selengkapnya kami kupas dalam rubrik Potret Budaya. Pada rubrik Profil, kami meng­ ajak pembaca untuk mengenal sosok Linda Elida, seorang dosen Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Linda salah satu aktivis sosial yang konsen dalam bidang pengabdian masyarakat. Sekian pengantar dari redak­ si SUARA USU. Terimakasih kami ucapkan pada pembaca yang setia dari edisi awal tahun hingga akhir ini. Sampai jumpa kembali dengan tabloid SUARA USU tdi edisi tahun depan dengan tampilan yang lebih menarik. Selamat membaca! (Redaksi)

suara pembaca

Halte Bus Kampus

YANTI NURAYA s | SUARA USU

U

niversity for Industry. Tengah digaungkan sebagai slogan atas cerminan Kampus USU. Agar tak sebatas kalimat simbol, USU berupaya mewujudkan proses pembangunan Kampus II Kwala Bekala. Sejarahnya, tanah di atas luas tiga ratus hektar tersebut telah resmi menjadi milik USU sejak 12 tahun lalu bekas Hak Guna Usaha (HGU) Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Dibandingkan Kampus USU Padang Bulan Kampus II USU Kwala Bekala tiga kali lipat lebih luas. Tujuh tahun bukan waktu yang bisa dimanfaatkan Tim Ahli Pembangunan Kampus II USU Kwala Bekala yang dibentuk sejak 2005 lalu untuk menyelesaikan pembangunannya. Bahkan sampai saat ini meski telah dijanjikan 2020 akan siap dipakai tak satupun tampak sebuah bangunan siap pakai. Hanya satu yang baru diresmikan tahun 2010 yakni sebuah pendopo oleh Rektor Prof Syahril Pasaribu. Selain pendopo, sebenarnya beberapa ba­ ngunan telah hampir jadi. Antara lain ada asrama putri dan putra, kantor pertemuan, bengkel bus kampus yang semuanya kini dalam kondisi memperihatinkan tidak terurus. Selain tembok yang mulai rapuh, pecahan kaca dan kondisi ruang yang sangat kotor memperjelas ketiadaan pihak pemeliharaan yang baik. Untuk dana Kampus II USU Kwala Bekala ini bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tahun 2006 lalu, awal Tim Ahli Pembangunan Kampus II USU Kwala Bekala bekerja, mereka menganggarkan jumlah yang cukup fantastis yakni Rp 3 triliun. Karena pembangunan yang katanya bertahap nyatanya tersendat. Persoal dana kerap dikeluhkan para penjaga Kampus II USU Kwala Bekala. Seringnya mogok pendanaan yang akan digunakan untuk pemeliharaan mengakibatkan kondisi buruk pada bangunan yang telah ada sekarang. Teramat disayangkan melihat pengaturan keuangan yang tidak stabil. Sumber dana jelas bukan berasal dari kantong pribadi USU atau pejabat yang bisa dimainkan kapan saja. Menggunakan APBD atau APBN berarti menggunakan uang rakyat. Pertanggungjawabannya tentu akan berat, melenceng sedikit dari koridor penggunaan anggaran-anggaran ini akan fatal akibatnya. USU instasi pendidikan tinggi yang cukup besar namanya dan diperhitungkan di negeri ini. Alangkah baiknya selain Tim Ahli Pembangunan Kampus II USU Kwala Bekala dibentuk juga Tim Khusus Pengawasan pembangunan Kampus II USU. Padahal konsep yang ditawarkan Kampus II USU Kwala Bekala ini cukup menarik. Dari prinsip perencanaan telah dirumuskan kampus yang humanis, nyaman dan aman, menye­ nangkan, ramah pejalan kaki, hemat energi, sehat, ramah lingkungan, serta mencerminkan University for Industry. Masih ada tujuh tahun sisa waktu yang dijanjikan untuk menyelesaikan pembangunan di Kampus II USU Kwala Bekala tersebut. Timeline pembangunan kiranya harus segera dirumuskan agar perencanaan wajah baru kampus USU ini bukan isapan jempol belaka.

USU rapikan drainase dan trotoar Jangan fokus ‘dandan’ muka aja dong! isinya juga! Ujian nasional tahun depan diundur karena pemilu Lae... lae... yang memang enggak jagonya Indonesia buat agenda

Harusnya halte bus kampus ada atap dan tempat duduknya sehingga mahasiswa tidak kehujanan dan kepanasan menunggu bus seperti saat sekarang. Bus yang ada pun tak cukup hanya tiga untuk ribuan mahasiswa Elan Silvia Sari Fakultas Pertanian 2012

Fasilitas di Lab FMIPA Alat laboratorium (Lab) di FMIPA banyak yang rusak sehingga kadang lab hanya mencatat seperti kuliah tanpa praktek. Begitu pun dengan wastafel yang tak ada air dan rusak sehingga mahasiswa yang lab harus ke musala untuk membersihkan alat lab. Redondo Lijuandi Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam 2012


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

kata kita

suara kita 3 ­

Apatisnya Mahasiswa Berdemonstrasi

H

ampir setiap demonstrasi menuntut suatu kebijakan dilakukan mahasiswa. Namun, tak semua mahasiswa ikut andil dalam demonstrasi tersebut. Padahal, mahasiswa mempunyai hak

independen sehingga dapat mengungkapkan aspirasi dan suaranya didengar oleh petinggi negara demi membela rakyat. Lalu bagaimana tanggapan mahasiswa mengenai sikap apatis terhadap demonstrasi ini? (Yanti Nuraya S)

Karbina Yunita Banurea Fakultas Ilmu Budaya 2012

Frans Frienddly Pardosi Fakultas Ekonomi 2011 Demonstrasi mahasiswa tidak terlalu bagus menurut saya, karena dapat menggangu orang lain dan bersifat kekerasan. Sebaiknya mahasiswa tidak boleh terpengaruh dengan mahasiswa yang lain dengan ikut-ikutan demonstrasi tapi tidak tahu apa yang mau dituntut. Mahasiswa harus berpikir positif dan dewasa serta memikirkan sebab akibat yang terjadi jika melakukan aksi.

DESAIN SAMPUL: YANTI NURAYA S

Menurut saya demonstrasi itu perlu dilakukan karena melalui demonstrasi itulah masalah yang selama ini tertutup-tutupi jadi terbuka. Supaya orang yang mau dituntut itu tahu kesalahannya. Tapi saya tidak setuju dengan demonstrasi yang melakukan aksi kekerasan sampai-sampai merusak fasilitas umum. Apa salahnya kita kalau demonstrasi tidak melakukan kekerasan, kan lebih baik, damai. Malah masalah yang dituntut bisa diterima kalau demonstrasi secara baik-baik.

David Adrian Gultom Fakultas Kedokteran 2013 Terkadang sifat mahasiswa yang masih labil masih terbawa oleh faktor emosi sehingga demo pun hanya menghabisi waktu. Banyak yang harus dilakukan oleh mahasiswa selain ikut-ikut­ an demonstrasi. Saya salah satu orang yang apatis terhadap demonstrasi, karena saya merasa sia-sia dan tidak ada juga perubahan pada akhirnya. Ditambah dengan urusan kuliah yang sibuk jadi enggak ada waktu untuk demo-demoan.

Indah Simanjuntak Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2012

Meiana Siska Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2013

Mahasiswa yang apatis terhadap demonstrasi biasanya merasa unjuk rasa itu anar­ kis, sehingga masyarakat menganggap mahasiswa yang melakukan demonstrasi hanya memunculkan kerusuhan. Sebagian besar orang tua melarang anaknya ikut demonstrasi, sehingga menimbulkan kea­ patisan. Namun, menurut saya mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi karena sistem pemerintahan yang salah.

Demonstrasi perlu dilakukan sebagai penyalur aspirasi dan pemikiran mahasiswa. Namun terkadang aksi demonstrasi itu dilakukan berlebihan dan tidak sesuai dengan peraturan. Aksi demonstrasi bukannya bertambah baik akan tetapi malah semakin buruk karena para aksi melakukan kekerasan bahkan merusak sarana umum. Kalau mau demonstrasi, demonstrasi baik-baik kan bisa.

FOTO-FOTO: YANTI NURAYA S | SUARA USU

konten suara kita laporan utama opini dialog ragam

2 4 8 9 10

galeri foto podjok sumut laporan khusus mozaik potret budaya

12 13 14 16 18

riset resensi iklan momentum profil

19 20 21 23 24

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Debora Blandina Sinambela Sekretaris Umum: Sri Handayani Tampubolon Bendahara Umum: Pebri Hardiansyah Pohan Pemimpin Redaksi: Ipak Ayu H Nurcaya Sekretaris Redaksi: Audira Ainindya Redaktur Pelaksana: Hadissa Primanda Koordinator Online: Aulia Adam Redaktur: Apriani Novitasari, Mezbah Simanjuntak Redaktur Foto: Rida Helfrida Pasaribu, Sofiari Ananda Redaktur Artistik: Gio Ovanny Pratama Reporter: Elfiyanti Zega, Erista Marito O Siregar, Lazuardi Pratama, Rati Handayani, Ridho Nopriansyah, Sri Wahyuni Fatmawati P, Hasnatul Dina, Zikri Fadhilah Fotografer: Andika Syahputra, Wenty Tambunan Desainer Grafis: Audira Ainindya, Yanti Nuraya Ilustrator: Yanti Nuraya, Wenty Tambunan Pemimpin Perusahaan: Baina Dwi Bestari Manajer Iklan dan Promosi: Maya Anggraini S Manajer Produksi dan Sirkulasi: Ferdiansyah Desainer Grafis Perusahaan: Siti Alifa Sukmaradia Staf Perusahaan: Yayu Yohana Kepala Litbang: Izzah Dienillah Saragih Sekretaris Litbang: Malinda Sari Sembiring Koordinator Riset: Fredick BE Ginting Koordinator Kepustakaan: Renti Rosmalis Koordinator Pengembang­an SDM: Guster CP Sihombing Staf Riset: Mutia Aisa Rahmi Staf Kepustakaan: Shella Rafiqah Ully Staf PSDM: Riska Aulia Sibuea

Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia

ISSN: No. 1410-7384 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 E-mail: suarausu_persma@yahoo.com Situs: suarausu.co Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan) Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Peristiwa (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom Informasi Pemasangan Iklan dan Berlanggan­an, Hubungi: 085373932285, 085270772526 Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email: suarausutabloid@ymail.com


4 laporan utama Akreditasi, Antara Stagnasi dan Urgensi SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Rapor Akreditas di USU Sudah 61 tahun USU berdiri. Sejak diakreditasi tahun 1996, USU selalu dapat nilai B. Butuh usaha lebih keras lagi agar mencapai nilai sempurna.

ABDI MASYARAKAT

Dua mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi melakukan penambalan gigi pada pasien co-ass mereka. Ini merupakan salah satu bentuk pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh FKG. SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Koordinator Liputan: Sri Wahyuni Fatmawati P Reporter: Aulia Adam, Mutia Aisa Rahmi, dan Sri Wahyuni Fatmawati P Sri Wahyuni Fatmawati P

T

iga tahun lalu, tepatnya 20 Agustus 2010. Erniyati, Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Keperawatan (FKep) menerima kabar dari pihak Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) menge­ nai akreditas Program Studi (Prodi) DIII Keperawatan. Lagi, untuk kedua kalinya DIII Keperawatan mendapatkan akreditas C. Kala itu, Erni binggung. Pasalnya, akreditas C akan berpengaruh pada mahasiswanya. Kebinggungan Erny terjawab, sejak saat itu mahasiswa DIII yang melamar kerja di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selalu ditolak dengan alasan tak menerima pelamar lulusan prodi berakreditasi C. Untuk itu Erni menyarankan mahasiswanya membawa nama universitas yang berakreditasi B serta mengirimkan borang peng­ ajuan penilaian akreditas prodi DIII agar mahasiswa tak sulit mencari kerja. “Namun sampai sekarang masih belum terealisasi, kasihan juga mahasiswa-mahasiswa itu,” tambahnya. Bila dirunut, alasan Prodi DIII Keperawatan mendapat akreditas C lebih dari satu yai-

tu kurangnya tenaga pengajar, rendahnya minat penelitian serta pengabdian masyarakat yang dilakukan para dosen. FKep mempunyai 25 tenaga pengajar, ditambah dua dosen muda dan lima dosen honorer yang baru bergabung. Menurut Erny, dengan lima prodi yakni DIII Keperawatan, Diploma IV (D-IV), Bidan Pendidik, Strata 1 (S1) Ilmu Kepe­ rawatan, Pasca Sarjana (S2) Ilmu Keperawatan dan profesi Ners di FKep, jumlah tenaga pengajar tersebut masih jauh dari kata cukup. Erny acap kali mengajukan penambahan tenaga pengajar tapi masih dua yang terealisasi. “Kurang kuantitas juga kualitas, harusnya lebih disesuaikan lagi di mana me­ reka (tenaga pengajar -red) ditempatkan,” katanya. Saat ini wewenang pengadaan tenaga pengajar bukan berasal dari fakultas, sehingga penanganannya jadi sedikit susah. Ia menambahkan penelitian dan pengabdian pada masyarakat menjadi salah satu dalang yang harus mendapat perhatian lebih. Sebenarnya, hal ini tergantung minat dosen untuk melakukannya. Meskipun tergolong rendah, bila dimotivasi terus dengan melakukan se­minar dan pe­ ningkatan kualitas diri dosen yang sering diadakan FKep

diharapkan dosen tidak lagi mengalami kesulitan. Selain itu, proses dan birokrasinya juga akan dipermudah. DIII Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) mungkin lebih beruntung dibanding DIII Keperawatan. Sebab, DIII Bahasa Inggris mendapatkan akreditasi B pada 7 Febuari tahun ini. Ketua Jurusan DIII Bahasa Inggris Matius C A Sembiring me­ngatakan 36 tenaga pengajar sudah cukup meskipun berbagi dengan Departemen S1 Sastra Inggris. Namun, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang minim masih menjadi masalah di prodi ini. “Tapi sekarang sudah

Selama masih ada di antara kalian yang duduknya di lantai karena kekurangan kursi berarti sarana dan prasarana kita memang masih sangat harus diperhatikan Prof Zulkifli Nasution

diimbau selalu agar dosen melakukan keduanya meskipun sering terkendala masalah pengadaan dana untuk melakukannya,” ujar Matius. Lain cerita dengan Ketua Jurusan Departemen S1 Sastra Arab FIB Pujiati. Ia me­ ngatakan Sastra Arab menga­ lami penurunan jumlah tenaga pengajar. Pada 2009 lalu, ia mengajukan borang penilaian akreditasi Sastra Arab dengan memiliki 27 tenaga pengajar, namun hingga saat ini Sastra Arab hanya memiliki 14 tenaga pengajar. 13 tenaga pengajar lainnya sudah meninggal dunia dalam rentang waktu 2009-2013. Cukup memang, namun pas-pasan. Ia harap, ke depannya jumlah tenaga pengajar ini masih akan terus bertambah. Selain itu, kurangnya sarana dan prasarana juga menjadi sorotan di Sastra Arab yakni ruang kelas dan kursi tak memadai, penggunaan proyektor serta alat-alat laboratorium (lab) bahasa tidak maksimal. “Proyektor saja penggunaannya harus bergilir dengan departemen lain di FIB,” keluh Puji. Di Sastra Arab, penelitian dan pengabdian pada masyarakat banyak dilakukan, sumber pendanaannya pun beragam. Mulai dari Direktorat Jenderal Pendidikan dan

Perguruan Tinggi (Ditjen Dikti), universitas, hibah hingga swadaya. Sayangnya, pengadaan dana dari Ditjen Dikti dan universitas sedikit sulit terkait birokrasi yang berbelit dan tingginya standarisasi penerima dana penelitian dan peng­abdian masyarakat menjadi alasannya. Tahun 2009 lalu Sastra Arab berhasil mendapat akreditas A, namun S1 Sastra Arab sudah harus mulai berbenah dan mempersiapkan diri untuk pengajuan kembali borang, pasalnya Maret tahun depan akreditasinya akan habis. Dalam pemenuh­ an borang nanti, diperlukan pencatatan ulang semua dokumen dan perbaikan semua administrasi. *** Pada Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 21 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan akreditasi adalah kegiatan penilaian program dan/atau sa­ tuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Masa akreditasi berlaku selama lima tahun, saat akreditasi mendekati masa tenggat, pihak instansi terkait harus mengajukan kembali borang akreditasinya kepada


Akreditasi, Antara Stagnasi dan Urgensi SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013 BAN-PT yang kemudian akan mengi­rimkan assessor atau tim pe­ninjau untuk meninjau langsung instansi yang bersangkutan. Borang adalah formulir berisi poin-poin dan pernyataan mengenai instansi yang kemudian menjadi bahan acuan untuk tiap assesor dalam meninjau. Assessor biasanya berasal dari perguruan tinggi di Indonesia yang terpilih melalui seleksi di BAN-PT. Dalam Satuan Standar Pendidikan ada beberapa hal yang menjadi poin-poin penilai­an akreditasi meliputi standar isi kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi kelulusan, pendidikan dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan satuan pendidikan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Di USU sendiri ada bebera­ pa hal yang menjadi sorotan utama mulai dari tenaga peng­ ajar, sarana dan prasarana, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Berdasarkan data yang didapat dari Bagian Pendidikan Biro Rektor USU sampai saat ini dari 151 prodi dan departemen di USU meliputi D-IV, DIII, S1, S2 dan S3, hanya ada 111 yang terakreditasi. Sekitar 40 prodi dan departemen lainnya tidak terakreditasi kecuali D-IV. Rata-rata adalah departemen S2 sebanyak 15 prodi dan S3 sebanyak 14 prodi. Hampir semua disebabkan prodi dan departemen tersebut masih tergolong baru, sehingga masih dalam proses pengajuan akreditasi kepada BAN-PT. Ada 111 prodi dan departemen yang terakreditasi, 18 prodi yang mendapat A, 75 prodi mendapat B, dan sisanya

TAKTERPAKAI

18 prodi mendapat C. Jumlah 18 prodi yang mendapat A jauh dari standarisasi yang diajukan BAN-PT untuk sebuah institusi/perguruan tinggi. Sebuah institusi/perguruan tinggi harusnya memiliki minimal 25 persen prodi dari jumlah keseluruhan yang mendapatkan A. Seharusnya ada sekitar 37 prodi yang mendapat A.

*** Prof Zulkifli Nasution, ­Pembantu Rektor I bercerita mengenai hal-hal yang ber­ka­ i­­t­an dengan penilaian akreditasi, tenaga pengajar salah satunya. Prof Zul bilang USU memiliki kendala dengan tenaga pendidik. Contohnya, dosen mata kuliah Kimia yang mengajar di Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, kemudian mengajar di Teknik Kimia Fakultas Teknik (FT), hal tersebut tidak dipertimbangkan BAN-PT. “BAN-PT maunya dosen tetapnya ya satu-satu, kalau begitu dihitung honorer, padahal dia dosen tetap USU,” sahutnya. Namun apa daya, USU tak mempunyai kuasa dalam peng­ adaan tenaga pendidik. Peng­ adaan tenaga pendidik oleh Ditjen Dikti berbeda dengan standarisasi BAN-PT. “Mereka dua lembaga yang berbeda, tidak ada intervensi satu sama lain, jadi keduanya juga memiliki kriteria yang berbeda. Jadi ya mau bagaimana lagi,” tambah Prof Zul. Namun, ia sepakat dengan pertimbangan yang diajukan BAN-PT. Terkait sarana dan prasarana USU yang belum maksimal, Prof Zul mengaku sudah mengupayakannya setiap ta-

hun, namun memang sampai sekarang masih belum benarbenar selesai dan masih akan terus berlanjut. Hal tersebut masuk dalam anggaran rumah tangga USU setiap tahunnya, prioritasnya tetap masih diutamakan. “Selama masih ada di antara kalian yang duduknya di lantai karena kekurang­ an kursi berarti sarana dan prasarana kita memang masih sangat harus diperhatikan,” katanya. Ia menjelaskan peningkat­ an kualitas tenaga pengajar agar pelaksanaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat sering dilakukan secara rutin. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pendanaan dari Ditjen Dikti yang memang harus melalui serangkaian prasyarat yang sudah ditetapkan. Setiap dosen harus memiliki kualitas. Pun dengan perbaikan sumber daya manusia, pe­ ningkatan jumlah dan kualitas penelitian, kuliah kerja nyata (KKN) yang terintegrasi dosen, serta mengikutsertakan mahasiswa dalam penelitian menjadi fokus USU ke depannya dalam meningkatkan akreditasi prodi dan universitas. Masih ada tahun ke depannya untuk USU berbenah memperbaiki kualitas. Prof Zulkifli bilang USU selalu berusaha memperbaikinya secara bertahap. *** Enam bulan sebelum masa akreditasi habis, universitas, prodi/departemen harus mulai me­ngirimkan borang reakreditasi kepada BAN-PT. Selanjutnya, BANPT akan memeriksa borang,

laporan utama 5

PEBRI HARDIANSYAH POHAN | SUARA USU

PINDAHKAN KURSI

Beberapa mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) duduk di kursi kuliah yang dibawa dari kelas ke parkiran sepeda motor FIB, Kamis (24/10). Hal ini dilakukan karena sedikitnya kursi di halaman FIB

lalu mengirimkan assesor untuk melakukan visitasi kepada instansi terkait. Setelah visitasi, BAN-PT akan mengi­ rimkan hasilnya. Untuk prodi dan departemen di USU yang ingin melakukan reakreditasi, biasanya akan diperiksa dulu oleh tim assesor USU. Tim ini adalah tim peninjau setiap borang yang akan dikirimkan ke BAN-PT, dinaungi langsung oleh PR I. Isinya sekitar sepuluh dosen yang memang telah lulus jadi assessor dalam tes yang dibuat BANPT. Hal ini disampaikan Prof Muhammad Zarlis, Dekan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Fasil­ kom-TI) sekaligus satu dari sepuluh orang tersebut. Pertama kali Zarlis menjadi assessor BAN-PT pada Januari 2008 lalu dan berlanjut sampai sekarang. Menurutnya, proses akreditasi memakan waktu enam bulan. Namun jumlah assessor BAN-

Kondisi ruang O.204 Gedung O Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang hanya memilki 16 kursi, Kamis (24/10). Selain ruangan ini ada dua ruangan serupa di Gedung O yang masih belum bisa dipakai karena kekurangan kursi PEBRI HARDIANSYAH POHAN | SUARA USU

PT yang tidak cukup banyak untuk meninjau seluruh universitas dan institusi pendidikan di USU, terkadang waktunya akan lebih lama. Senada, PD I FT M Turmuzi mengatakan sebelum diperiksa oleh tim assessor universitas, FT sendiri membuat tim akreditasi di tiap prodinya, diketuai langsung oleh PD I. Sejak dua bulan lalu, Prodi Teknik Kimia telah melakukan persiapan borang mengingat Maret 2014 masa akreditasinya sudah habis. Menurut PD I FE Fahmi Natigor Nasution, mengingat assessor setiap prodi yang berbeda-beda, maka beda juga selera dan pertimba­ ngannya, “Saya bilang kamar mandi FE ini bagus belum tentu menurut mereka, jadi sudahlah,” jelasnya. Erny juga pernah menjadi assessor sejak 2008. Menurutnya, sebelum pergi meninjau suatu institusi. Mereka yang lulus seleksi menjadi assesor sudah di-briefing dulu. “Kami punya kode etik juga sebagai assessor. Jadi nilainya tidak main-main,” ungkapnya. Kode etik tersebut yakni tidak boleh menggunakan subjektif saat menilai dan tidak boleh menerima dan meminta apa pun yang berhubungan dengan penilaian. Hasil penilaian akreditasi pun bisa dibatalkan bila ada yang mengajukan komplain atau banding. Banding ini dapat disampaikan oleh siapa saja, civitas akademika universitas maupun masyarakat biasa. Seperti Prodi S1 Ilmu Kedokteran seperti dikatakan Prof Zulkifli, sudah mendapat hasil akreditasi B saat Juni lalu, namun menyatakan banding karena menurut mereka hasil itu tak sesuai. Sampai saat ini, Ilmu Kedokteran sedang menunggu hasil banding yang mereka ajukan. Sampai kapan hasil banding tersebut keluar tak diketahui, karena itu semua tergantung BAN-PT.


6 laporan utama

Akreditasi, Stagnasi dan Urgensi UangAntara Kuliah Timpang SUARA SUARAUSU, USU,EDISI EDISI95, 94,NOVEMBER OKTOBER 2013 2013

Setiap program studi (prodi) dan perguruan tinggi dicap dengan label bernama akreditasi. Penyedia kerja tinggal pilih, mana yang punya label terbaik. AULIA ADAM | SUARA USU

Tiket Emas Itu Bernama Akreditasi Koordinator Liputan: Lazuardi Pratama Reporter : Sri Handayani Tampubolon, Hasnatul Dina, Rati Handayani, dan Lazuardi Pratama

Lazuardi Pratama

S

adifa berangkat menuju Gedung Pusat Jasa Ketenagakerjaan (PJK) USU Selasa, 26 Maret lalu. Ia dan teman-temannya yang lain hendak ikut jobfair Tunggal, mengadu nasib melamar pekerjaan. Namun sayang, dua bulan berlalu menunggu pengumuman. Ia kalah di tahap administrasi karena akreditasi program studi (prodi) S1 Ilmu Komputer Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Fasilkom-TI) adalah B. Padahal, persyaratan umum yang dipasang PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk S1 minimal berakreditasi A. Sedangkan untuk D-III, akreditasi minimalnya adalah B untuk perguruan tinggi negeri dan A untuk perguruan tinggi swasta. Sama ceritanya dengan Taufik Akbar Pulungan, alumnus D-III Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sejak tahun 2009, ia giat melamar ke berbagai instansi, seper­ ti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Nasional Indo-

nesia (BNI) dan banyak bank lainnya, hasilnya nihil. Tidak hanya bank, ia ikut tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2008, tapi gagal. Setelah diwisuda Februari 2009, awalnya dia bekerja menjadi tim kampanye salah satu calon legislatif pemilihan umum (pemilu) 2009 sampai Mei tahun itu. Setelah itu, ia coba kuliah lagi dengan mengambil S1 Administrasi Negara FISIP USU dan selesai tahun 2011. Menurutnya, prospek pekerjaan lulusan S1 lebih besar daripada D-III. Taufik bilang dari sekian banyak lowongan kerja di ins­ tansi yang pernah ia lamar, hampir semua menetapkan akreditasi sebagai salah satu syarat kelulusan. Di antaranya memasang akreditasi minimal C dan masih berlaku, serta ada juga yang B. Namun, karena saat itu akreditasi Administrasi Perpajakan C dan kadaluarsa, maka Taufik gagal ke tahap selanjutnya. Beberapa kali gagal, Taufik ikhlas. Menurutnya, kegagalannya dalam melamar pekerjaan berarti belum rejeki. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh pilihannya dulu sewaktu memilih kuliah

di Administrasi Perpajakan. “Kalau sudah tahu ya, milih menghindar.” Alih-alih menganggur, Taufik kini bekerja sebagai fotografer lepas. Bersama temannya, ia menyediakan jasa foto seperti foto prawedding dan foto resepsi pernikahan. Namun, Taufik masih punya keinginan untuk bekerja tetap. Jadi untuk tahun ini ia mencoba lagi tes CPNS. Berdasarkan data Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT), Ilmu Komputer masih punya akreditasi B dan telah kadaluarsa pada bulan Mei lalu. Poltak Sihom­ bing, Ketua Departemen Ilmu Komputer pada awal Oktober lalu memaparkan pihaknya telah memperpanjang masa akreditasinya sampai tahun 2018. Implementasinya, 4 sampai 6 Oktober lalu, assesor BAN-PT telah mengadakan visitasi. Tinggal menunggu pengumuman di akhir tahun nanti setelah dirapat-plenokan oleh BAN-PT. “Kita sudah mengikuti semua standar yang ditentukan BAN-PT. Sampai saat ini kita optimis akan mendapatkan akredi-

tasi A,” sambut Poltak. (www. suarausu.co) Safida pun tak menyalahkan prodinya. Sejak menjadi mahasiswa tahun 2008 lalu, Safida sadar kalau Prodi Ilmu Komputer belum punya banyak alumnus. Padahal, itu yang menjadi salah satu syarat akreditasi. Namun menurutnya, akreditasi tidak seharusnya menjadi patokan apakah alumnus tersebut kompeten atau tidak. Prestasi dan rapor bagus mahasiswa selama kuliah juga mestinya jadi bahan pertimbangan. “Karena akreditasi, masyarakat juga percaya terhadap kualitas suatu kampus.” Sementara itu, Pembantu Rektor I Prof Zulkifli Nasution pun mengatakan demikian. Ia bilang, akreditasi sebagai salah satu syarat melamar kerja adalah hak dan urusan instansi terkait yang menerima pekerja. Sedangkan perguruan tinggi, sebagai penghasil sumber daya manusia harus selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikannya. “Karena universitas menghasilkan produk manusia dan hasilnya nanti jika mahasiswanya lulus maka diperlukan ketahanan

jiwa dan fisik untuk bekerja sama.” PT KAI Divisi Regional I Sumatera Utara melalui Asisten Sumber Daya Manusia Saul Sinaga mengaku menggunakan akreditasi sebagai syarat rekrutmen sumber daya manusia perusahaan tempat ia bekerja. Menurutnya, jika dilihat berdasarkan pandangan umum akreditasi memperlihatkan kualitas mutu pelamar. Ia bilang, akreditasi ins­ titusi berhubungan dengan fasilitas dan pengajar institusi tersebut. “Jika akreditasi suatu universitas A, tentu pengajar dan fasilitas yang dimiliki bagus dan berimbas pada mahasiswanya dalam belajar,” jelasnya. Selain itu, Saul bilang untuk mendapatkan universitas yang berkua­ litas dan berakreditasi baik diperlukan persaingan yang ketat dan yang tidak bisa bersaing mendapatkan universitas yang berkualitas akan tersisih dan masuk universitas level bawah. Mahasiswa Kecewa Prodi Administrasi Perpajakan FISIP sejak September tahun ini berhasil mendapat-


Akreditasi, Stagnasi dan Urgensi UangAntara Kuliah Timpang SUARA SUARAUSU, USU,EDISI EDISI95, 94,NOVEMBER OKTOBER 2013 2013

kan akreditasi C, setelah sebelumnya kadaluarsa sejak tahun 2008. Mahasiswanya sangat kecewa, tidak banyak yang menyadari kalau Administrasi Perpajakan terakreditasi C setelah masuk kuliah. Salah satunya Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Prodi Administrasi Perpajakan (IMPROSAJA) Angga Prianta Sembiring mengaku sangat kecewa pada pengelolaan prodi ini oleh dekanat dan rektorat. Bagaimana tidak, Prodi Administrasi Perpajakan tak punya dosen tetap, hanya dosen tamu. “Kalau dia (dosen tamu—red) masuk ya masuk, kadang kita masuk malam.” Rektorat menurut Angga tidak berupaya untuk mencarikan dosen untuk tenaga pengajar mereka. Angga mengeluh, Administrasi Perpajakan hanya punya pelajar, namun tak punya pengajar. “Kalau memang rektor enggak bisa cari dosen, biar kami!” sahut Angga tegas. Tak ada dosen tetap,

Angga mengaku sering mengundang orang dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mengajar mahasiswa Administrasi Perpajakan. Ketua Departemen Administrasi Perpajakan Alwi Hasyim Batubara membenarkan keluhan yang disampaikan Angga. Dari visitasi yang dilakukan tim assessor BAN-PT Prodi Administrasi Perpajakan Juli lalu, terdapat tiga rekomendasi agar bisa meningkatkan akreditasi. Pertama, ikatan alumni yang belum sah oleh dekanat, kemudian perlu adanya dosen tetap, terakhir sarana penunjang seperti laboratorium. Alwi bilang, Prodi Administrasi Perpajakan telah berupaya agar ketiga rekomendasi tersebut terlaksana. Kendalanya, pihak rektorat tidak membuka formasi penerimaan dosen tetap untuk mengajar di Administrasi Perpajakan. Alwi menyayangkan tindakan rektorat tersebut. Menurutnya, pihaknya dapat membantu perekrutan den-

gan memberi tahu sumbersumber dosen yang dapat mengajar di Administrasi Perpajakan. “Kalau memang ditawarkan untuk coba cari, ya kita cari ke universitas lain,“ katanya. “Kalau memang ada dari biro rektor dibuka kesempatan.” Selain tenaga pengajar, Angga mengeluh tidak layaknya sarana dan prasarana yang dimiliki Administrasi Perpajakan. Hanya punya satu laboratorium komputer, itupun dari sepuluh komputer yang tersedia hanya dua sampai lima komputer yang dapat dioperasikan. Mengenai hal tersebut, Angga mengaku sudah mengajukan protes kepada Dekanat FISIP Oktober lalu. Dekanat merespon, akan dilaksanakan reakreditasi dalam enam bulan ke depan. Angga menegaskan, rektorat mestinya ambil kebijakan dengan segera. Kalau tidak, IMPROSAJA mengancam akan mengambil sikap, pertama-tama melakukan audiensi, bila tak mendapat respon positif, Angga menandaskan IMPROSAJA akan melakukan aksi unjuk rasa. “Kalau memang pajak ini begini-begini saja, bubarkan saja!” seru Angga. “Sekalipun kami harus belajar di bawah pohon yang penting ada pengajarnya. Sudah sampai kek gitu-kek gitu kami ngomong,” kata Angga. Alwi mengaku sarana yang Administrasi Perpajakan miliki belum mencukupi. Ia mengatakan sudah mengajukan permohonan sarana

laporan utama 7 penunjang pada dekanat, namun sampai sekarang belum terpenuhi. Padahal, setiap tahun mahasiswa Administrasi Perpajakan terus bertambah. Prof Zulkifli mengatakan benar Prodi Administrasi Perpajakan tak punya dosen tetap. Ia bilang, itu terjadi karena tidak adanya formasi penerimaan dosen tetap, untuk menjadi dosen tetap, tidak ada yang berminat melamar karena gajinya sedikit. Prof Zulkifli mengaku membayar dosen honorer agar jadi tenaga pengajar di sana. “Kami dibodohi, kami masuk kemari, kami gantung harapan yang tinggi, setelah masuk kemari, kami dengar dari alumni kami tidak bisa melamar kerja karena akreditasi,” ujar Angga kembali. Padahal menurutnya, USU sebagai perguruan tinggi negeri harusnya malu karena memiliki Prodi Administrasi Perpajakan yang terakreditasi C. Sedangkan, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dengan Prodi Manajemen Pajaknya sudah terakreditasi B. Guru Besar USU Prof Subhilhar mengatakan memang sangat sulit menentukan standar mutu pendidikan di Indonesia karena setiap wilayah, baik di daerah tertinggal maupun daerah maju memiliki keberagaman. “B disini apa sama dengan B yang ada di pelosok-pelosok?” kata Prof Subhilhar. “Saya juga assessor, dalam beberapa kali pertemuan saya bilang akreditasi itu hanya accredited (terakreditasi—red) dan nonaccredited (tidak terakredita-

RISET LAPORAN UTAMA Berikut ini adalah jumlah peringkat akreditasi dari semua fakultas di USU, termasuk 14 fakultas dan pascasarjana. Data ini termasuk jenjang D-III, D-IV, S1, S2, S3, Sp1, dan Profesi dari 151 program studi yang ada di USU. Data diperoleh dari Bagian Akademik Biro Pusat Administrasi USU dan data yang digunakan adalah data per September 2013. (Litbang)

Berikut adalah tabel jumlah peringkat akreditasi dari semua fakultas di USU berdasarkan jenjang.

si-red), sehingga tidak ada A, B, C lagi.” Ia mengatakan tidak setuju terhadap instansi yang menerapkan akreditasi sebagai acuan rekrutmen pegawainya. Prof Subhilhar bilang, instansi yang membuka lowongan kerja mestinya membuka seleksi tanpa memandang syarat akreditasi seseorang. Walaupun, akan sangat repot bagi instansi menyeleksi banyak pelamar tanpa saringan tahap administrasi seperti akreditasi dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). “Kan ada orang yang sangat pintar, tapi tidak bisa sekolah di program studi yang A,” kata Prof Subhilhar. “Itu yang mungkin agak sulit, agak menghambat pekerjaan bagi penyeleksi, tapi kalau kita ingin mendapatkan anak-anak bangsa yang lebih bagus, lebih berpotensi, enggak ada salahnya kita coba.” Untuk ke depannya, ada beberapa hal yang patut dibenahi untuk meningkatkan akreditasi USU dan prodi di dalamnya. Seperti universitas mesti mendukung peningkatan kualitas, memperbanyak kerjasama dengan pihak lain, meningkatkan kualitas pengajar, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dokumentasi dan pendataan kegiatan yang dilakukan prodi juga harus dicatat dengan rapi. Anggaran untuk prodi melaksanakan kegiatan-kegiatannya cukup. “Kalau itu terjadi,” katanya, “Mau siapapun yang datang akan dilihat program studi itu berkualitas,” sambungnya.


8 opini

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

S UA R A US

U

Maju Tak Gentar Membela yang Bayar

YANT I

S

NURA YA S |

Jamson Hasintongan Tampubolon Fakultas Pertanian 2011

ewaktu SD dulu, guru SD saya mengajarkan lagu-lagu perjuangan semasa perang Indonesia dengan penjajah dan pasca perang. Mulai dari Sepuluh November, Maju Tak Gentar, dan lain-lain. Tidak beda jauh saat SMP dan SMA. Lagu-lagu perjuangan itu membuat semangat dan kesantun­ an kita menjadi punya tujuan dan terarah. Namun, ada yang menarik saat menjadi mahasiswa. Tidak ada yang keren dari kata “mahasiswa” kalau secara emplisit artinya siswa yang besar. Di bangku kuliah tidak lagi terlihat teknik belajar mengajar satu arah, namun bervariasi. Ada dua arah, berarah-arah, dan tidak punya arah. Kenapa begini? Pola pikir mahasiswa masa kini yang pragmatis menginginkan semuanya instan sehingga setiap elemen kampus terkena virusnya. Saya teringat ketika Alm. Abdurrahman Wahid menyuarakan keinginannya untuk bangsa namun tidak disetujui para wakil rakyat lalu beliau berkata Maju Tak Gentar, Membela yang Bayar. Semboyan ini ramai diperbincangkan pada masanya, belakangan ada juga yang memberikan semboyan ini untuk para lawyer. Namun, pengacara berbeda dengan mahasiswa. Wajar jika seorang lawyer membela kliennya, karena itu adalah profesi­ nya. Bagaimana dengan ‘mahasiswa’? Saya ingin mengkajinya. Pertama,di era 1998 mahasiswa penuh dengan semangat perjuangan yang gigih bersama-sama membangun, bahu membahu, dan satu tekad satu tujuan yaitu reformasi. Memasuki masa milenium tahun 2000, cita-cita mahasiswa yang dua tahun sebelumnya menumbang-

kan rezim orde baru tidak menunjukkan titik terang atau titik hitam namun menunjukkan warna abu-abu. Menga­ pa tidak, enam poin tuntutan reformasi sampai saat ini terlaksana setengahsetengah. Penegakan supremasi hukum, memang sudah ditegakkan namun “penegaknya” perlu ditegakkan. Pemberantasan KKN, sudah diberantas namun sarat kepentingan. Pengadilan Soeharto dan kroninya, batal sebab Soeharto almarhum, namun kroninya di­diamkan. Amandemen konstitusi sudah diamandemen, namun pelaksanaan teknisnya sarat kepentingan. Yang saya akui sudah terlaksana 70 persen hanya pencabutan dwi fungsi TNI/Polri dan otonomi daerah seluasluasnya. Kedua, Demokrasi Birokrasi dijadikan sebagai salah satu solusi untuk reformasi “Sarat Kepentingan”. Jika mahasiswa era 1998 bersatu melawan kebijakan pemerintah yang “anarki” dan “KKN” maka saat ini mahasiswa sudah terbagi dalam gugusan kotakkotak. Unjuk rasa dan demonstrasi lebih teroraganisir bak perang melawan musuh negara. Bedanya tidak memakai alutsista (alat perang canggih ). Tidak ada yang istimewa dari kejadian ini, akan tetapi yang aneh banyak. Kita lihat bahwa ada unjuk rasa untuk menurunkan salah seorang pejabat tertentu yang diduga bermasalah. Sungguh ironi ketika unjuk rasa membawa “pesan sponsor”, tujuan kelompok tertentu, dan merusak fasilitas umum. Jika fasilitas umum dirusak saat unjuk rasa maka “kontraktor” akan tertawa dan menyiapkan master plan pengelolaan fasilitas umum. Misalkan lampu lalu lintas, anggaran lagi

SURAT DAN PENDAPAT Jalan Universitas No. 32 B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara suarausutabloid@ymail.com

087868869549

Pers Mahasiswa SUARA USU

@SUARAUSU

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.

lagi akan digelontorkan. Lebih parah dari hal ini adalah ketika demonstran membawa pesan sponsor, yang dirugikan bukan hanya anggaran namun masyarakat. Ketiga, saat demonstran tidak satu komando, tidak satu tujuan dan berbeda sponsor. Pihak yang paling dirugikan adalah orang-orang (mahasiswa) yang hanya ikut-ikutan, tidak tahu menahu, dan tidak tahu tujuan. Karena akan terjadi cekcok antar demonstran sedangkan sponsor hanya tertawa dan menikmatinya. Ketika mahasiswa berdemonstrasi murni pemikiran sendiri dan untuk kemajuan bangsa dengan demonstran mahasiswa yang sarat kepentingan individu dan kelompok. Keempat, pemuda atau mahasiswa yang kelak akan menjadi pemimpin masa depan sudah dicuri start oleh organisasi-organisasi politik namun bukan organisasi pemuda atau mahasiswa melainkan organisasi partai untuk menempatkan kadernya. Secara hierarki ini tindakan preventif sebagai langkah awal kaderisasi, namun tujuannya dinodai dengan tindakan yang bersifat provokasi bahkan membelokkan paradigma mahasiswa. Jika bukan tindakan provokasi, seharusnya partai politik merger dengan organisasi mahasiswa yang memiliki ideologi jelas dan terarah. Namun karena takut kedoknya terbongkar, berdalih sebagai organisasi sayap yang kepentingannyapun musiman. Dari empat ulasan di atas, mahasiswa terbagi menjadi dua kubu, kubu mahasiswa yang pragmatis, secara harfiah kubu ini tidak terorganisir, dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang ti­dak bertanggung jawab. Hanya memanfaatkan keadaan tertentu demi kepentingan

kelompoknya. Kelompok inilah yang menjadi perasuk sukma mahasiswa yang memegang teguh komitmen, idealisme, dan prinsip yang kuat. Kubu mahasiswa yang prinsipil, umumnya mahasiswa jenis ini tidak terikat kontrak dengan organisasi lain, AD/ART-nya jelas, ideologinya jelas, visi/misi jelas, dan mayoritas bertujuan memperjuangkan rakyat walau kadang kala ada beberapa yang sarat kepentingan. Di organisasi ini pemilih­ an fungsionarisnya jelas dan terarah, kalau di tipe mahasiswa di atas tidak. Pemilihan fungsionarisnya berdasarkan kedekatan, kekerabatan, dan materi yang diempunya. Anggota hanya bertugas mengikuti perintah. Sedangkan mahasiswa yang prinsipil dengan segenap jajarannya memiliki dasar pemikiran dan tujuan bersama. Inilah ironi bangsa yang ke depan akan kita perbaiki. Walau semakin banyak mahasiswa yang memiliki pikiran pragmatis, tidak menutup kemungkinan ada perubahan dan perbaikan kearah yang lebih sempurna, tidak sarat kepentingan, dan tidak bersponsor. Mahasiswa se­ bagai penggerak roda suatu bangsa, dituntut untuk memberikan kritik dan saran yang berbobot, terarah, dan berprinsip. Sudah saatnya demokrasi dan kemerdekaan bangsa diisi semangat juang bersama dan tidak terprovokasi oleh materi dan isapan jempol belaka. Saatnya Lagu Ciptaan C Simanjuntak tidak di plesetkan lagi, tetaplah Maju Tak Gentar Membela yang Benar. Jika hal ini terlaksana cepat atau lambat provokator pemuda akan pensiun dan kita bebas namun terarah. IKLAN


Biodata

­

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

dialog 9

Sistem Jaminan Sosial Nasional

Aturan Baru Jaminan Sosial Indonesia Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan jaminan seluruh warga negara Indonesia dalam hal kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiunan dan kematian yang telah dimuat dalam Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2004. Saat ini SJSN te­ ngah dalam masa sosialisasi dan segera diterapkan tahun depan. Lalu sejauh ini sudah dikenalkah SJSN? Apa kelebihan dan kelemahan sistem ini melihat kondisi Indo-

nesia saat ini? Berikut adalah wawancara reporter SUARA USU, Rati Handayani dengan Dosen Departemen Administrasi Kebijakan dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Juanita, Sabtu (2/11) lalu.

DOKUMENTASI PRIBADI

Biodata Nama: Dr. Juanita, S.E, M.Kes

Tempat dan Tanggal Lahir: Malang, 23 Desember 1962 Pendidikan: S-1 Fakultas Ekonomi USU (1981-1987) S-2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair (19951998) S-3 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM (2005-2011)

Pekerjaan: Dosen Departemen Admi­ nistrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM USU

Kapan SJSN akan dilaksanakan dan siapa pelaksananya?

Apa perbedaan SJSN de­ ngan jaminan yang ada di Indonesia sebelumnya?

Apa beda sasaran pelaksanaan jangka panjang dan jangka pendek dalam SJSN? Fasilitas apa yang diberikan BPJS? Bagaimana sistem pembayaran preminya dalam SJSN?

Konsultan Advokasi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok Kota Medan dengan LSM Pusaka Indonesia

Sejauh ini, apa kendala dalam penerapan SJSN dan BPJS?

Konsultan Advokasi Pemprov Sumatera Utara

Apa kelebihan dan kelemah­an SJSN dilihat dari kondisi Indonesia saat ini?

Konsultan Advokasi Kawasan Tanpa Rokok Serdang Bedagai

Bagaimana cara mengatasi over utilities?

Ada pelaksanaan jangka pendek dimulai pada 1 Januari 2014, sedangkan jangka panjang akan dimulai 1 Juli 2015. Pelaksananya adalah leburan dari empat badan asuransi yaitu PT. Asuransi Kesehatan (Askes), PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) , PT Tabungan Pensiun (Taspen), dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) yang dibentuk menjadi satu badan baru bernama Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) dan akan diresmikan 31 Desember mendatang. BPJS ini nantinya juga akan terbagi menjadi dua yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Perbedaan pertama adalah cakupan jaminan yang diberikan. Sebelumnya satu jamin­ an dikelola oleh satu badan sedang SJSN memberikan beberapa jaminan yang dikelola oleh satu badan yakni BPJS. Selain itu, peserta SJSN nantinya adalah seluruh rakyat Indonesia sedang sebelumnya yang menjadi peserta suatu jaminan hanya pegawai negeri dan tenaga kerja yang perusahaannya terdaftar dalam Jamsostek.

Pelaksanaan jangka pendek hanya ditujukan untuk jaminan kesehatan de­ngan memindahkan peserta yang dulu berada di PT Askes, PT Jamsostek, PT ASABRI­, dan PT Taspen menjadi peserta SJSN. Sedangkan, pelaksanaan jangka panjang akan mengikutsertakan masyarakat dengan sektor kerja informal (seluruh warga negara Indonesia) dengan empat jaminan sosial lain yang mulai diterapkan. Fasilitas yang diberikan dalam jaminan kesehatan yakni pelayanan kesehatan dasar. Untuk jaminan hari tua, kecelakaan kerja, pensiun, dan kematian belum ada penjelasan yang detail.

Peserta yang menjadi sasaran pelaksanaan jangka pendek tetap membayar premi de­ ngan pemotongan gaji atau dibayar oleh perusahaan tempatnya bekerja. Sedangkan untuk masyarakat tidak mampu mendapat Jaminan Kesehatan atau Jaminan Persalin­ an yang ditanggung pemerintah. Bagi pekerja bidang nonformal yang mampu, belum ada aturan jelas mengenai pembayaran premi dan bagaimana sistem pembayarannya.

Banyak masyarakat yang belum mengenal sistem ini karena belum ada peraturan pemerintah yang mengatur SJSN dan BPJS sehingga menimbulkan ba­nyak persepsi atas penafsiran undang-undangnya. Begitu pula dengan kesiapan daerah. Contohnya Jaminan Kesehatan akan mulai dilaksanakan, namun rumah sakit seba­ gai fasilitas kesehatannya masih mempertanyakan sistem klaimnya, pembayaran hingga syarat rumah sakit untuk dikontrak BPJS sebagai penyedia fasilitas kesehatan. Sejauh ini juga tak ada ketentuan siapa yang memonitor sistem ini jika berjalan nanti. Sistem ini menganut sistem subsidi silang dimana orang sakit atau tidak sakit akan tetap membayar premi. Begitu pun orang kaya yang tetap membayar premi atau orang miskin yang dibayarkan preminya oleh pemerintah, sehingga semua orang dapat menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Sedangkan kelemahannya yaitu masyarakat jadi tak takut lagi sakit dan tak lagi mementingkan aspek promotif (promosi) dan preventif (pencegahan) karena ada jaminan ini. Kondisi ini berhubungan dengan prilaku petugas kesehatan yang ada di Indonesia yang melakukan over utilities (kelebihan pemakaian alat kesehatan) dalam menangani pasien.

Pertama pola pikir masyarakat harus diubah sehingga promotif dan preventif dipandang le­bih baik daripada kuIKLAN ratif. Untuk over utilities yang ada di negeri ini, harusnya puskesmas se­bagai gate ­ keeper benar-benar menjalankan perannya untuk menyaring mana yang harus dirujuk dan tidak. Selain itu, pemerintah pun harus membuat aturan yang ke­ tat tentang re­ gulasi rujukan, rujukan persalin­ an, rawat inap, dan lain-lain.


10 ragam

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Gerak Lambat Kampus Kedua USU

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

TAK TERAWAT

Kondisi pintu masuk kampus kedua USU di Kwala Bekala, Selasa (5/11). Kampus ini memiliki luas lahan tiga ratus hektare

Sudah lebih dari 12 tahun hak kepemilikan tanah di Kwala Bekala dimi­ liki USU. Tujuh tahun sudah proses pembangunan dilakukan untuk mengha­ dirkan kampus kedua USU ini. Namun, perkembangan pembangunan di lahan tersebut belum sesuai dengan usia kepemilikannya. Mutia Aisa Rahmi dan Yayu Yohana

D

i gapura sederhana berwarna hijau dan kuning muda itu tertulis Universitas Sumatera Utara. Ia­ lah pintu masuk menuju kampus kedua USU di daerah Kwala Bekala, 15 kilometer dari kampus USU Padang Bulan. Gapura itu tampak tak terawat,

warna catnya telah kusam, sementara rumput-rumput liar tumbuh di kedua sisi gapura. Ada lubang-lubang di berbagai sisi. Kaca jendela pos keamanan di dua sisi gapura sudah tak ada lagi. Entah karena belum dipa­ sang atau telah pecah. Masuk ke dalam, tidak ada jalanan beraspal termasuk di dalam wilayah kampus. Hanya jalan setapak yang licin dengan genangan air. Ada dua buah jembatan. Satu di dalam kampus, satu lagi di luar. Terbuat dari kayu, berlubang di sana sini, juga dihiasi rumput liar. Rapuh. Di kawasan kampus sendiri telah ada beberapa bangunan yang berdiri. Ada pendopo, kantor pertemuan, asrama putra dan putri, serta bengkel bus kampus yang terletak di depan asrama. Kondisinya sama memprihatinkannya dengan yang lain. Dilengkapi dengan rumput liar dan kaca

bangunan yang bolong-bolong. Majahari tinggal di kawasan kampus Kwala Bekala. Sejak 2004, ia ditugaskan untuk menjaga dan memelihara lahan di kawasan kampus, bersama beberapa orang lain. Ia bilang memang sudah terlalu lama tak terlihat proses pembangunan di sana, beberapa fasilitas yang telah dibangun juga seperti tak terperhatikan. Tak hanya kurangnya perhatian dari pihak USU, Majahari juga menyayangkan dana pemeliharaan lahan yang juga sering mogok. Lahan seluas 300 hektare itu telah menjadi hak USU sejak tahun 2000 silam. Akhir 2005, dibentuk Tim Ahli Pembangunan Kampus II USU Kwala Bekala. Azwar Helmi ditugaskan menjadi sekretaris tim ahli tersebut. Ia bercerita, tim ini menangani tahap-tahap awal proses pembangunan, mulai dari

Apa Kabar Fasilitas Olahraga USU? Shella Rafiqah Ully

Plang bertuliskan Lapangan Softball Rimbawan USU itu tampak kusam dan berkarat. Untuk masuk ke dalam harus melewati jalanan tanah berbatu. Jalanan tersebut penuh rumput yang tak terurus. Dari balik pagar pembatas lapangan terlihat rumput yang mulai meninggi. Bebe­rapa tribun bangku penonton juga ditumbuhi rumput yang menu-

tupi tempat untuk duduk. Sebagian sudut salah satu tribun runtuh. Cat dinding ruangan tempat loker tampak terkikis dan kaca jendela salah satu ruangan rusak. Tak hanya itu, pagi dan siang hari ruangan tersebut malah menjadi tempat kumpul dan istirahat para pekerja USU. Padahal, USU adalah satu-satunya institusi di kota Medan yang memiliki lapangan sofbol. Lapangan ini kerap kali digunakan oleh klub sofbol yang ada di Medan untuk latihan.

pengukuran tanah, pembuatan peta tematik, perencanaan komponenkomponen kampus, serta berbagai tahap perencanaan dasar lainnya. Setelah disusun, kemudian diajukan dan disetujui pihak rektorat dan pihak-pihak lain yang terkait tahun 2006. “Setelah itu tahap pembangun­ an pun dimulai,” paparnya. Azwar mengungkapkan, pembangunan lahan ini memang masih bersifat sementara. Bangunan yang telah dibangun belum merupakan hasil akhir dari bentuk bangunan yang direncanakan, karena tidak bisa dilakukan langsung secara keseluruh­an. Proses pembangunan seperti ini diterapkan untuk menghindari kekosongan lahan yang terlalu lama. “Karena lahan tersebut memang harus diolah,” ujarnya. Ia bilang akan melanjutkan pembangunan secepatnya. Saat ini te­ ngah dilakukan tahap awal proses pembangunan, mulai dari pengukuran tanah dan sungai, pemetaan bangunan yang sudah dibangun dan yang akan dibangun. Diperkirakan dalam waktu dekat, proses ini akan selesai dan selanjutnya dilakukan presentase hasil perencanaan. Jika disetujui, pembangunan segera dilanjutkan. Ditambahkan Azwar, untuk melanjutkan proses pembangunan juga tak mudah, karena banyak ta­hapan yang harus dilewati. Ditambah lagi pembangunan kampus ini juga tak memiliki timeline. Disinggung masalah dana, Azwar enggan menjelaskan. Kampus II USU Kwala Bekala sendiri punya lahan tiga kali lipat lebih luas dari kampus USU Padang Bulan, hingga dirancang dengan konsep yang berbeda. Akan ada zona-zona di dalamnya, yaitu zona akademik, zona hutan pendidikan, zona laboratorium, zona pembi­bitan kelapa sawit, dan beberapa zona lainnya. Zona-zona ini akan mencerminkan University for Industry yang selama ini menjadi moto USU. Azwar menjelaskan pembentuk­ an zona-zona ini bisa menjadi salah satu cara pemerataan fasilitas bagi setiap fakultas. Pasalnya, zona-zona ini nantinya akan digunakan oleh seluruh mahasiswa USU, dari fakultas manapun sesuai kebutuhan. “Ya, bisa diharapkanlah terjadi pemerataan fasilitas,” ujar Azwar.

USU punya banyak sarana dan prasarana yang bisa dimanfaatkan mahasiswa. Hanya saja, kondisinya tak sama rata di setiap tempat. Kurang sosialisasi, juga kurang diminati.

Kepala Bagian Aset Ahmad Khatib tak membantah hal tersebut. Namun, ia bilang selalu ada pemeliharaan setiap bulannya pada lapangan ini. Sejauh ini, Khatib menjelaskan USU sedang membahas kerja sama penge­ lolaan lapangan sofbol bersama Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan akan melakukan renovasi setelah ada kesepakatan bersama KONI. Demikian juga untuk perbaikan jalan berbatu menuju ke lapangan. “Kalau sepanjang itu dipasang batako

nanti pada jualan orang di situ,” pungkasnya. Namun, hal tersebut tampak berbeda dengan sarana olahraga yang dikelola langsung oleh fakultas seperti lapangan olahraga Fakultas Kedokteran (FK). Di dalamnya terdapat empat lapangan yaitu lapangan futsal, basket, voli serta badminton serta sebuah bangunan dua lantai yang digunakan sebagai tribun serta ruang penyimpan


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

peralatan. Tak ada sampah yang tampak di dalam, garis-garis pembatas lapangan pun terlihat jelas. Hampir setiap sore lapa­ ngan tersebut penuh mahasiswa. Al Firman, Anggota Divisi Minat dan Bakat Pemerintahan Mahasiswa (Pema) FK selaku penanggung jawab menjelaskan mereka punya manajemen yang cukup bagus untuk menge­lola lapangan. Lapangan digunakan bergilir sesuai jadwal yang telah ditentukan. “Biasanya Senin sampai Sabtu itu udah ada jadwal setiap stambuknya main,” ungkapnya. Selain mahasiswa FK, mereka

menetapkan harga sewa untuk tiap kali main. Harga sewanya berkisar Rp 30 ribu per jam atau Rp 150 ribu jika akan menyewa seharian. Menurut Al Firman, harga sewa ini yang kemudian menjadi dana untuk perbaikan serta perawatan lapangan dan dana tambahan saat FK mengadakan kompetisi-kompetisi olahraga FK. Rahma Wardani Siregar mengaku tak pernah menggunakan fasilitas olahraga kampus. Mahasiswi Departemen Teknik Arsitektur 2011 ini bilang selain kesibukan jadwal akademik, kurangnya sosialisasi serta keterbukaan penggunaan lapangan menjadi alasan ia tak pernah menggunakan lapangan olahraga yang

tersedia. Ia mengaku tak tahu lapa­ ngan tenis yang disediakan boleh digunakan mahasiswa sepanjang tak ada jadwal dari event tertentu. “Kalau kami lewat yang main nampaknya dosen, jadi nggak tahu kalau bebas pake,” ujarnya. Ratry P Subakti, mahasiswa Fakul­ tas Psikologi 2009 berpendapat antusiasme mahasiswa terbangun oleh minat mahasiswanya. Semuanya kembali lagi pada keputusan sejauh mana keinginan mahasiswa untuk menggunakan fasilitas ini. “Jadi ketika dia mau, pasti aktif untuk usaha nyari informasi, kalau enggak berarti dia memang enggak peduli,” ujarnya. Senada dengan Ratry, Khatib

Episode Baru Pema USU

ragam 11 menjelaskan bahwa penggunaan lapangan kembali lagi pada minat dan kepedulian mahasiswa. “Semuanya bebas dipakai sepanjang tidak terjadwal oleh yang lain,” jelas Khatib. Secara keseluruhan Ahmad Khatib menambahkan hingga 2013 ini USU telah berupaya memperbaiki semua sarana olahraga sesuai dengan standarisasi serta kebutuh­ an mahasiswa. Sejauh ini pemeliharaan yang telah dilakukan sudah jauh lebih baik meskipun tak bisa memperbaikinya secara drastis. “Yang jelas di mata kita semua sarana ini semakin cantik,” pungkasnya.

Pemerintahan Mahasiswa (Pema) Sekawasan berhasil membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memilih mahasiswa nomor satu di USU. Pema USU sebutkan KPU tersebut tak punya ‘legal standing’ untuk tetap dilanjutkan. Audira Ainindya

S

enin (18/11) terjadi keru­ suhan di sekretariat Pema USU. Sekitar 20 mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) mendatangi markas Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU pukul lima sore. Kejadian itu dimonitori oleh Nur Aji Wibowo, mahasiswa FIB yang juga Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) bentukan Pema Sekawasan. Ia ingin kosongkan Pema USU. Landasannya karena berkali-kali ia gagal menemui Presiden Mahasiswa Mitra Nasution. “Jangan pandang saya sebagai Ketua KPU tapi sebagai mahasiswa yang ingin tahu perkembangan Pema USU,” tegas Aji. Ia hilang kesa­ baran karena Pema USU terlalu berlarut-larut dalam melanjutkan KPU. “Kalau KPU ini masih dianggap tak legal juga maka kami anggap Pema USU juga tak legal,” tambahnya. Walaupun tak ada yang terluka atau fasilitas yang rusak, kegaduhan mengundang satuan pengamanan (satpam) USU turun. Suasana semakin ramai karena ratusan orang dari beberapa fakultas datang. Mitra hadir satu setengah jam kemudian. Ia mengajak Aji, Gubernur FIB Benry Sitorus dan Gubernur Fakultas Pertanian (FP) Syafrizal masuk ke sekretariat Pema USU. Di situ Syafrizal dan Benry bertugas sebagai saksi. Keputusannya keluar Rabu (20/11), isinya Mitra bersedia nantinya KPU bermarkas di seketariat Pema USU asal KPU terbentuk dari rekomendasi 14 fakultas. “Tidak ada pengusiran dan tidak ada pengosongan,” kata Mitra. Mitra­ mengatakan tak masalah KPU menggunakan sekretariat Pema USU. Menurutnya, Pema USU sudah berbaik hati membantu soal legalitas.

PRESMA BICARA!

(Tengah) Mitra Akbar Nasution, Presiden Mahasiswa (Presma) USU ketika berada di Kantin belakang sekretariat Pemerintahan Mahasiswa (pema) USU), Selasa (19/11). Mitra berada di Kantin tersebut bersama Bendahara Umum Pema USU, Oki Ferianda (kanan) WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Mitra menyayangkan kegaduhan yang terjadi. Ia khawatir kerusuhan yang lebih besar akan terjadi saat pemira. Disayangkan pula koordinator Pema Sekawasan tak hadir saat kerusuhan terjadi. “Koordinator ‘buang badan’ tandanya dia mengaminkan adanya pergerakan massa ini,” tambah Mitra. Namun, Ganda mengaku bukan dalang dalam pergerakan massa ke sekretariat Pema USU. Pema Sekawasan yang hanya diwakilinya, Gubernur Fakultas Farmasi (FF) Wendra, Gubernur FIB Benry, dan Gubernur Fakultas Psikologi (FPsi) Ichsan sudah mengklarifikasi kega­ duhan tersebut pada Pembantu Rektor (PR) III, Selasa (19/11). Pema Sekawasan meminta kepastian untuk pembentukan KPU dengan SK benarbenar dari Pema Sekawasan dan dike­ tahui oleh Presma. Hal ini mengundang amarah PR III. Untuk kesekian kalinya, Raja Bongsu Hutagalung bosan mencampuri urusan Pema lagi.

Pasalnya, kepastian yang diminta oleh Pema Sekawasan sudah diiyakan Syafrizal Helmi, staf ahlinya. Syafrizal berharap tidak ada pertikaian lagi dan seluruh mahasiswa harus kompak dalam menjalani KPU ini. “Enggak berhak main kosongkan sekret gitu, yang berhak PR V lah,” tegas Bongsu. Untuk itu PR III berencana segera mengumpulkan seluruh pembantu dekan (PD) III tiap fakultas untuk saling mengetahui masalah KPU ini. “Supaya jangan lepas kontrol juga,” tutup Bongsu. Hingga Jumat (22/11) KPU belum berhasil mengumpulkan delegasi dari 14 fakultas. Hanya 8 Fakultas yang bersedia yaitu FIB, FF, Fpsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Keperawatan. Namun KPU sudah membentuk struktur organisasi karena beberapa gubernur fakultas dianggap sudah tak akan memberikan delegasinya. Menu-

rut Aji, jika Pema USU bersikukuh menunggu 14 fakultas hasil rekomendasi dari Pema Fakultas akan terlalu lama. Perihal 6 fakultas yang tak mengirimkan delegasi lewat gubernur bisa melalui PD III atau sistem rekrutmen terbuka. Pemira sendiri ditargetkan KPU diadakan awal Maret 2014. Padahal 1 November lalu, Pema USU, Pema Sekawasan dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa USU sepakat untuk bertemu dengan Syafrizal Helmi. Pema Sekawasan hanya diwakilkan oleh Koordinator Ganda Wijaya dan Wakil Koordinator Benry Sitorus. Hasil dari pertemuan sore hari itu adalah KPU tetap dilanjutkan dengan catatan perwakilan dari 14 fakultas harus terpenuhi serta SK ditandatangani oleh kedua pihak, Pema Sekawasan dan Pema USU. “Dengan SK yang ditandatangani bersama jadi kuat, supaya enggak ada KPU yang lain,” ujar Syafrizal yang juga merupakan Presma USU pertama. Ia me­ngatakan untuk langkah KPU selanjutnya diserahkan oleh ke­ dua pihak.


12 halaman persembahan

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Umum

Redaksi

debo Pimpinan Umum

Pebri Bendahara Umum Ayu - Pemimpin Redaksi

Yani Sekretaris Umum

Audira - Sekretaris Redaksi

Adam - Koordinator Online

Disa Redaktur Pelaksana

Redaktur

Reporter

MEzbah

Apri

Redaktur Foto

Ardi

Elfi Rida

Sofi

Zikri

Fotografer

Gio Redaktur Artistik

Yuni

Erista

Dika

Ridho

Rati Dina

Wenty

Yanti desainer Grafis


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Orang-Orang di Balik Layar SUARA USU Litbang

Izzah - Kepala Litbang Linda - Sekretaris Litbang

Guster Koordinator PSDM

Riska Staff PSDM

Fredick Koordinator Riset

Mutia Staff Riset

Renti Koordinator Kepustakaan

Shela Staff Kepustakaan

Perusahaan

Baina Pemimpin Perusahaan Dian Manajer Sirkulasi dan Produksi MAya Manajer Iklan dan Promosi

Yayu Staff Perusahaan

Alifa Desainer Grafis Perusahaan

halaman persembahan 13

S

UARA USU dipimpin oleh seorang Pemimpin Umum (Pimum), bertanggung jawab atas kinerja seluruh bagian di Pers Mahasiswa SUARA USU. Dibantu Sekretraris Umum dalam hal kesekretariatan, dn Bendahara Umum yang mengatur segala keuangan dan inventaris. Di bawah Umum, ada tiga kepala bagian yaitu Pemimpin Redaksi (Pemred), Kepala Penelitian dan Pengembangan (Kalit), dan Pemimpin Perusahaan (Pimper). Pemred bertanggungjawab atas seluruh pemberitaan, membawahi Sekretaris Redaksi yang mengatur administrasi keredaksian, Redaktur Pelaksana (Redpel) yang bertanggung jawab atas produk cetak, dan Koordinator Online (Kool) yang mengurusi produk online. Redpel dan Kool membawahi Redaktur yang bertugas menyunting berita dan melakukan pengawasan peliputan, Redaktur Artistik (Redart) yang bertanggung jawab atas tata letak produk, dan Redaktur Foto (Redfot) yang menangani pengadaan foto. Redaktur membawahi Reporter, bertugas meliput dan menulis berita, Redart membawahi Desainer Grafis untuk desain produk dan Ilustrator untuk pengadaan ilustrasi, Redfot membawahi Fotografer yang melakukan peliputan foto. Kalit bertanggung jawab terhadap penelitian dan pengembangan (litbang), membawahi Sekretaris Litbang yang mengurus administrasi Litbang. Juga membawahi Koordinator Kepustakaan yang mengurus perngarsipan, database, dan perpustakaan, Koordinator Riset bertugas untuk pengadaan riset dan penelitian untuk produk dan kinerja anggota, serta Koordinator Pengembangan Sumber Daya Manusia, bertanggung jawab atas peningkatan kualitas SDM dan regenerasi. Masing-masing koordinator mempunyai staf untuk membantu kinerja mereka, yaitu Staf Kepustakaan, Staf Riset, dan Staf PSDM. Pimper bertanggung jawab dalam pencarian dana dan pemasaran produk, membawahi Manajer Iklan dan Promosi, bertugas untuk pengadaan iklan dan promosi produk dan Manajer Sirkulasi dan Produksi untuk proses distribusi produk. Keduanya membawahi Staf Perusahaan yang membantu kinerja para manajer, juga Desainer Grafis Perusahaan yang bertanggung jawab atas desain iklan dan kebutuhan desain Perusahaan.


14 laporan khusus

Ayam Kampus, Bukan PSK Biasa SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Ayam Kampus, Bukan PSK Biasa

ILUSTRASI FOTO | ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Koordinator Liputan: Sofiari Ananda Reporter: Andika Syahputra, Renti Rosmalis, Rida Helfrida Pasaribu, dan Sofiari Ananda Tak mudah berhubungan bahkan menemukan mereka. Hanya untuk orang tertentu dan bekerja tergantung kebutuhan. Mereka mahal. Mereka eksklusif. Sofiari Ananda

Y

g mau booking aq ml. Invite pin aq 24CE****. No hp 08576111***”. Tulis sebuah akun wanita berinisial VA di grup facebook Ayam Kampus Medan. Grup ini dibuat 10 September 2011 dan disukai 483 orang. Tak ada foto profil, hanya beberapa postingan­ dari anggota grup. Grup ini bukan satu-satunya, ada ribuan grup ayam kampus lainnya. Lengkap dengan foto-foto wanita seksi serta komentar-komentar atau postingan berbau seks dan vulgar. Banyak pria yang meninggalkan nomor ponselnya

dengan pesan “yang berminat, call me!” Saya selanjutnya buka profil facebook VA. Ia bermata bulat, kulitnya putih de­ngan hidung yang tak terlalu mancung. Facebook-nya ha­nya memiliki enam teman dan belasan halaman facebook yang ia sukai seperti Cewek Bispak, Tante Girang Medan, dan lain-lain. Saya coba menghubunginya. Telepon dan pesan singkat saya masuk, tapi tak pernah ada jawaban. Saya coba beberapa kali namun hasilnya tetap sama. Saya kirim ia pesan facebook, pun tidak dibalas. Rekan saya yang lain juga mengalami hal serupa. Ia dapat pin BlackBerry Mes-

sanger (BBM) seorang ayam kampus dari temannya. Ia invite dan diterima. Ia coba membuka percakapan de­ ngan menyapa si ayam kampus. Hal tersebut direspon si ayam kampus, kemudian rekan saya memperkenalkan diri dan mengajak bertemu. Namun, si ayam kampus menolak, katanya ia sedang sakit. Keesokan hari, rekan saya kembali menghubungi­ nya namun tak pernah lagi dibalas. Tak sampai di situ, rekan saya kembali mendekat seorang wanita yang di­ kabarkan seorang ayam kampus. Melalui pesan singkat, ia coba langsung menawar. Ia bilang “Bisa pake? Berapa

per malam?” namun tak ada balasan. Kemudian, ia coba lagi ‘merayu’ pakai nomor lain, dengan cara yang lebih halus. Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada balasan. Memang sulit menyentuh ayam kampus, terlebih di masa digital sekarang ini. Mereka seakan punya kode tertentu untuk mengetahui orang yang menghubungi mereka memang langganan atau bukan. Seperti yang pernah dikutip medan.tribunnews.com setahun yang lalu. Ayam kampus berbeda de­ ngan pekerja seks komersial (PSK) lain. Pasalnya, mereka cenderung menutupi pekerjaannya dan hanya menjajakan jasa pada orang tertentu

bahkan itu-itu saja. Alasannya agar keamanan pekerjaan mereka terjaga. Seorang ayam kampus berinisial BG yang mereka wawancarai mengaku memanfaatkan media sosial dalam transaksi jasanya. Ia biasanya memulai pembicaraan menggunakan facebook, BBM, atau Yahoo Messanger (YM). Setelah itu baru terjadi pertemuan. Ia mengatakan kliennya kebanyakan adalah om-om. BG mengakui tidak mudah berkomunikasi dengan para ayam kampus. Semua harus melewati rekomendasi dari teman satu profesi atau orang yang sudah pernah berkencan. “Kami tidak


Ayam Kampus, Bukan PSK Biasa SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

ingin pribadi kami ketahuan atau tersebar di mana-mana, karena itu kami sangat sulit dicari. Orang-orang bilang kami ini PSK highclass,” tegasnya. Melakukan transaksi de­ ngan ayam kampus pun tidak bisa dilakukan dalam satu hari. Klien harus melakukan pendekatan ekstra untuk bisa mengajak kencan. Baru setelah merasa nyaman, transaksi bisa dilakukan. Kesulitan untuk bisa bertemu dan berhubungan ini yang membuat para klien merasa penasaran. “Ketika mereka sudah penasaran maka kami bisa meminta harga mahal, itulah untungnya jika transaksi dilakukan lewat media sosial,” papar BG. Mantan Jurnalis Rahmad Nur Lubis menangkap fakta yang sama. Lima tahun yang lalu, ia pernah melakukan investigasi tentang ayam kampus di Medan dan Batam. Ia mengatakan kecanggihan teknologi membuat ayam kampus menjadi semakin eksklusif. Hanya kalangan dan orang-orang tertentu saja yang bisa tahu dan menyentuh mereka. Patokan tarif dan pemilihan tempat berkencan mereka juga tidak sembarang. Demi bisa dekat dengan ayam kampus, kita harus siap merogoh kantong dalam. “Kalau laki-laki, paling enggak punya mobil dan tampang,” kata Rahmad. Ia memperkirakan nomor-nomor ponsel wanita yang tersebar di jejaring sosial bukanlah ayam kampus tapi PSK biasa. Ayam kampus tak akan mau nomor ponselnya tersebar secara luas. “Semakin terkenal kampusnya, maka semakin eksklusif dan mahal. Ayam kampus lebih mahal dari PSK,” ujarnya. Menurut Ari Widiyanta, dosen Fakultas Psikologi ayam kampus digolongkan salah satu kelompok pelacur ‘elit’ karena status mereka sebagai mahasiswa. Ia menambahkan ayam kampus tetap berusaha menjaga harga di­ rinya dengan cara menutupi identitas atau menyamarkan nama. Ari mengatakan perkembangan teknologi seperti jejaring sosial mampu memudahkan pelanggan ayam kampus. “Cepat dan efisien,” tuturnya. Dosen Teknologi Informasi Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi M Fadly Syahputra menyiratkan sulitnya menindak tegas akun-akun berbau prostitusi di media sosial. Berdasarkan Pasal 27 Ayat 1 Undang Undang (UU) Informasi Tran­ saksi Elektronik (ITE) tentang

laporan khusus 15

YANTI NURAYA S | SUARA USU

Perbuatan yang Dilarang. Setiap orang dengan­ sengaja dan tanpa hak mendistribusi, mentransmisi dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Misal lagi mereka menggunakan kode tertentu dan berhubungan lewat chatting atau pesan. “Siapa yang tahu hubungan satu per satu? Itu yang sulit,” terangnya. Fadly coba membedah Pasal 27 ayat 2 UU ITE yakni setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Fadly mengatakan jika akun-akun ayam kampus atau prostitusi menggunakan nama akun secara implisit, mungkin bisa dikategorikan melanggar susila. Namun faktanya, akun tersebut menggunakan nama akun eksplisit seperti ‘cewek nakal’ atau ‘cewek bandel’. “Ini kan bisnis tersembunyi

bisa dikatakan. Karna samasama gak menunjukkan jati diri,” jelas Fadly. Fadly menambahkan media internet merupakan salah satu perantara yang mampu menjaring banyak pelanggan

Ketika mereka sudah penasaran maka kami bisa meminta harga mahal, itulah untungnya jika transaksi dilakukan lewat media sosial BG

prostitusi, yakni e-commerce. Hal ini membuat prostitusi dipandang sebagai sebuah bisnis. Sebenarnya menurut Fadly, pemerintah bisa saja memblokir situs-situs yang menawarkan jasa prostitusi tersebut. Namun, hal ini sulit dilakukan karena masih terlalu menjamurnya akun prostitusi dan sulitnya menentukan akun itu merupa­kan akun prostitusi atau tidak. Semua karena penggunaan kode atau bahasa tertentu dan pembicaraan dilakukan secara tertutup. “Karena yang enggak online saja masih banyak, yang terang-terangan. Kalau mau dibasmi ya susah lah. Karena ini salah satu profesi paling tua. Dari zaman dulu kali. Yang di internet itu cuma mengikuti perkembangan aja,” tambahnya. Ia mengatakan faktor ini juga lah yang menyebabkan penggunanya sulit untuk diberikan hukuman. Jika dipandang dari disiplin ilmu komunikasi, Iskandar Zulkarnaen, dosen Departemen Ilmu Komu-

nikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik memandang munculnya fenomena seperti ini di tengah perkembangan teknologi adalah suatu kewajaran. Ini merupakan salah satu contoh pemanfaatan teknologi manusia. Namun, bila dilihat dari segi etikanya, fenomenanya tidak etis karena teknologi yang disalahgunakan dan menghasilkan dampak yang buruk. Iskandar mengatakan biaya pemblokiran suatu akun mencapai minimal tiga kali lipat lebih mahal dari biaya produksi akun tersebut. Pemerintah bisa saja habishabisan menggelontorkan biaya untuk ini. Namun hal itu akan menjadi sia-sia jika masyarakat tidak melek media. “Masyarakat juga harus mem-block dirinya sendiri,” tegas Iskandar. Ia juga mengatakan ada­ nya unsur multiinterpretasi menjadi celah hukum dalam undang-undang yang membuat pemilik akun-akun sulit dijerat hukum. Misalnya pemaknaan kata vulgar yang arti dan kadarnya berbedabeda di setiap orang.


16 mozaik

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

SUATU HARI Teguh Bagus Surya Fakultas Pertanian 2010

S

uara azan me­mecah kete­ nangan subuh. Mereka masih terlena dalam mimpinya. Sedangkan aku masih sibuk berkutat dengan mesin ketik , menyelesaikan tugas kuliah. Tak kupedulikan saat Tuhan mulai memanggil hamba-Nya, yang kutahu tugas siap. Terselip di hatiku rasa ingin bertemu sang Khalik. Tapi urung mengingat wajah asisten laboratorium yang sangar seperti malaikat Malik. Suara ketikan menggema di ruang kamar kosku yang kecil. Berpacu dengan suara azan, tidak ingin kalah. Rasa menggebu ingin siap, melalaikan salat. Aku lelah dengan hidup yang seperti ini. “Ah! Salah! Ulang lagi deh! Aishh… Salat dulu lah,” pekikku kala salah mengetik, dan harus diulang lagi. Aku merasa hidupku semakin sesak saja. Di saat seperti itu baru aku memilih untuk salat subuh. *** Merutuk, mengeluh untuk kesekian kalinya. Pagi ini hujan. Sial!! Payung dipinjam teman. Lagi-lagi aku menyalah-

kan keadaan. Mau tak mau, kuterjang hujan pagi itu tanpa payung. Ada satu tembok penghalang yang membatasi antara lingkungan kampus dengan rumah-rumah warga. Tembok tersebut tiap pagi kulalui saat pergi atau pulang kuliah. Berharap setelah melewatinya, aku akan menemukan satu hari yang damai dalam hidupku yang runyam. Tembok dikenal dengan tembok Doraemon. Kecipak… Kecipak… Langkah demi langkah kulalui sambil menggerutu tak jelas. Tak bersyukur berkah pagi hari. Sampai ke kampus dengan kuyup.

*** 13.00 WIB. Untuk kedua kalinya dalam hari ini Tuhan memanggilku untuk bertemu dengan-Nya. Sayang, aku bandel lagi, aku masih berkutat dengan jurnal-jurnal yang menyita 24 jam hari-hariku. Aku berdiri hendak mengambil wudu, mau salat walaupun telat, yang penting salat. Tak sengaja kubaca artikel yang ditempel di dinding musala. Isinya seperti ini: ‘Di saat jurusan-jurusan lain mengadakan berbagai kegiatan dan memfasilitasi mahasiswanya untuk kreatif dan memiliki softskill tinggi, jurusan saya malah masih hanya terus-terusan sibuk dengan kuliah, lab, jurnal, lahan, dan segala tetek bengek kehidupan kampus yang menyita hampir 24 jam waktu saya. Semuanya menuntut multitas­ king yang isinya bisa dibilang “itu-itu saja”. Ah, kuliah tak boleh menghambat prestasi, kuliah tak boleh menghalangi pengembangan diri! Kita harus keluar. Dunia ini besar.’ Tersentak! “Ngena bangetlah isinya… Cak kau lihat dulu ini, Yu,” kataku pada temanku “ Iya, Ra.. Bener banget… Kita pasti punya kesempatan untuk berprestasi. Dunia itu enggak seperti daun kelor.. Menurut pepatah sih gitu…” “ Iya.. ya.. Kapan aku bisa keluar dari kungkung­ an ini,” tanyaku pada diri sendiri. *** Maghrib ini aku salat berjamaah di musala. Saat pulang, pikiranku mengawang. Terlintas banyak hal. “Apa yang kucari sebenarnya?” tanyaku pada ruang hampa “Apa tujuan aku di sini? Apa tujuan aku tercipta? Kenapa hanya tugas, jurnal yang aku kerjakan. Kenapa waktuku hanya untuk hal-hal yang memuakkan? Tugas? Dan tugas lagi. Kenapa hidupku dan waktu yang berharga hanya untuk hal-hal itu? Apa gunanya semua ini?” Aku berta­

SUMBER: ISTIMEWA

cerpen

nya sendiri. Mencari jawaban untuk itu semua. Menelusuri jalan yang kutempuh, lelah mendera. Aku mempercepat langkah menuju ke peraduan. Aku bingung pada siapa aku berkeluh kesah. Seperti gersang. Ada lubang di hati, tapi tidak tahu apa penutupnya. Di balik tembok Doraemon, aku masih mencari satu hari damai dalam hidupku. Mencari kenapa aku harus seperti ini. Merasa hidupku tak berarti. Waktuku terbuang sia-sia. Mau cerita, teman-teman juga merasakan hal yang sama. Mau tidur, tak bisa. Tugas menghantui. Isya tiba. Aku kembali untuk kesekian kalinya bertemu sang khalik. Entah kenapa setiap salat seperti ada yang mengejar. Tugas. Itu dia jawabannya. Tugas membuat aku selalu terburu-buru salat dan mengaji. Aku kembali bertanya, kenapa aku tak bisa menikmati hidup. Kenapa ibadahku selalu saja tergesa-gesa karena tugas. Aku harus mencari jawaban ini semua pada siapa??

*** Hidupku terasa datar, tak senyum, tak bahagia, tak banyak yang bisa dilakukan karena tugas yang menumpuk. Merasa seperti di kerangkeng. Batinku meronta ingin selesai, ingin berakhir, tapi kenapa waktu terkesan berjalan begitu lambat. Musala, entah kenapa aku selalu seperti ini. Mencari ketenangan yang tak pernah kudapat. Tidak. Musala tidak memberiku ketenangan seperti itu. Bisa dibilang, mengurangi sedikit ke­gelisahan di hati saja. Kulihat banyak perempuan duduk melingkar. Sayup-sayup terdengar suara salah satu dari mereka tengah berkata “Hidup ini jika ingin bahagia intinya bersyukur. Bersyukur atas apa yang kita punya. Kita sering kufur nikmat, sering ngedumel gak jelas. Padahal kita gak sadar betapa Tuhan menyayangi tiap hambanhya…” Ya Tuhan, aku semakin melihat diriku di depan mataku. Itu seperti aku. Sesak, ingin nangis. Betapa hidupku tak berarti karena aku sendiri, betapa aku tak bahagia karena memang aku lah yang membuatnya demikian. Aku yang selalu tergesa-gesa karena akulah yang selalu mendewakan tugas. Itu aku! Aku! Banyak sekali nikmat Tuhan yang kusia-siakan. Malam merajai bumi, di balik tembok doraemon aku menelusuri hari. Bersyukur. Itulah yang aku tak punya. Itulah yang sering aku lupakan. Bersyukur. Aku mungkin menemukan satu jawaban dari seribu pertanyaan yang muncul di otak. Sambil berjalan, siluetku pun mulai menghilang di balik tembok Doraemon. Syukur. Satu kata yang sering aku tinggalkan di dalam buku catatan agama zaman aku SD. Satu kata yang sebenarnya bisa membuatku bahagia.


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

sorot

puisi

Etnis Tionghoa di Tanah Deli Audira Ainidya

J

ika kita mampir ke daerah Pasar Rame, Jalan Asia, Thamrin atau pusat perbelanjaan di tengah kota Medan, maka kita bisa dengan mudahnya bertemu orang-orang yang biasa saya sebut ‘orang Cina’. Orang Cina yang saya maksud adalah orang-orang keturunan atau memang berasal dari negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang memiliki suku bangsa Tionghoa di Medan. Mereka senang menggunakan bahasa yang secara awam saya simpulkan sebagai bahasa Cina, namun hanya pada saat berinteraksi dengan sesama orang Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa terbagi atas suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, dan Tiochiu. Menariknya, tiap suku-suku Tionghoa ini memiliki bahasa yang berbeda. Dulu, saya sempat belajar bahasa Mandarin, namun ternyata bahasa Mandarin hanya bahasa resmi negara yang digunakan oleh bangsa RRC. Berbeda dengan bahasa yang digunakan orang Tionghoa di Medan. Aksara tetap sama namun pelafalannya berbeda. Di Medan sendiri, suku Hokkien adalah mayoritas. Itu sebabnya bahasa Hokkien yang paling sering digunakan oleh orang Tionghoa di Medan. Bahasa Hokkien memiliki ciri khas fonologis di mana fonem /f/ pada posisi dalam bahasa Mandarin padanannya adalah fonem /h/ dalam bahasa Hokkien. Laoshi (guru) Julina, dosen di Sastra Cina USU menyebutkan orang Tionghoa di Kota Medan lebih menjurus ke negara Taiwan. Karena Bahasa Hokkien digunakan secara luas di Taiwan dan provinsi Fujian (Hokkien), sebelah utara Guangdong (Kengtang) dan di Asia Tenggara. Bahasa Hokkien dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan. Bila etnis Tionghoa di Surabaya yang berbicara dengan bahasa jawa ‘medok’, hal itu berbe-

si poken

mozaik 17

da dengan orang Tionghoa di Medan yang tidak mengikuti logat dari suku mayoritas pribumi yang ada di daerahnya. Orang Tionghoa di Medan jarang terdengar berbicara seperti orang Batak atau orang Melayu sebagai suku mayoritas di Kota Medan. Namun begitu, bahasa Hokkien yang diguna­ kan di Medan tetap memiliki logat tersendiri. Bahasa Hokkien di Indonesia jika dilihat dari logatnya hanya dibagi atas dua yaitu Hokkien Medan dan Hokkien Bagansiapiapi. Hokkien Medan ba­ nyak menggunakan kata-kata dari bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, misalnya: tapi, jamban, sabun (dari Portugis dan juga dipakai di Taiwan), mana, pasat (plesetan dari pasar). Bahasa ini memang hanya sebatas pengucapan tanpa ada penulisannya. Julina menyebutkan bahwa alasan orang Tionghoa Medan lebih senang menggunakan bahasa Hokkien dalam sehari-hari karena kebudayaan Cina yang dianut oleh orang Tionghoa di Medan lebih kental. Menurutnya, dahulu dalam sejarah orang Tionghoa pertama kali datang ke Medan adalah langsung dari negara Cina tanpa ada adaptasi kebudayaan terlebih dahulu. Karena keragaman suku yang ada di Kota Medan banyak, jadi tidak bisa berbaur pada satu jenis suku saja. Orang Tionghoa Medan dijelaskan oleh Laoshi Julina memiliki visi untuk menurunkan bahasa leluhur ke anak cucu. Sehingga di zaman selanjutnya, keturunan dari orang Tionghoa di Medan tidak melupakan bahasa yang digunakan leluhur mereka dan betul-betul mengerti. Dengan begitu orang Tionghoa Medan masih sering mengguna­ kan bahasa Hokkien dalam sehari-hari ketimbang Bahasa Indonesia. Belum lagi, dalam bahasa Hokkien tidak ada fonem /r/ sehingga mereka agak kesulitan saat berbahasa Indonesia dan lebih memilih bahasa Hokkien Medan sebagai bahasa ibu (mother tongue).

Nyanyian Langit Ita A Manik Fakultas Ilmu Budaya 2011

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Suara langit tentang moral bangsa Terdengar dari ujung samudera Datang menyergap, menghantui setiap orang Perubahan tetap memakan korban Sementara, segelintir pecundang tertawa girang Kekuasaan sudah tumbuh menjadi subur Pengkhianatan adalah cermin bangsa Di mana tempatkan diri Banyak orang kehilangan diri Bersikap lembut untuk bertahan hidup

Bisa jadi kita bosan Namun, badai datang tak bosan-bosan Bertahanlah kau dalam badai Badai yang lebih besar menanti giliran untuk datang

AUDIRA AININDYA | SUARA USU


18 potret budaya Ia merupakan contoh dari budaya yang bergeser. Dibakukan dalam sembilan tetarian yang tak boleh dirubah gerakannya. Ia disebut Tari Rentak Sembilan.

SUARA USU, EDISI 95, November 2013

Rentak Sembilan, Buah Bergesernya Kebudayaan

Aulia Adam

S

eorang pria bertubuh gemuk meletakkan akordion di depan perut buncitnya. Ia duduk di sudut ruangan, di atas sebuah bangku yang sengaja disediakan khusus untuknya. “Siap?” dia memberi aba-aba. Pemuda lain yang lebih muda menyahut, “Mainkan, Pak Cik!” Lantas musik dari akordion mulai mengalun. Nada-nadanya membentuk irama lagu Kuala Deli. Tiga pasang pemudapemudi ambil tempat. Tiga remaja perempuan berbaris sebanjar di sebelah kiri, sementara sebelah kanan diisi oleh remaja pria. Mereka menghadap ke arah barat, tempat seorang wanita berpakaian pengantin duduk di pelaminan sendiri. Tangan ketiga pasang remaja itu mulai meliuk-liuk mengikuti irama. Seringnya, gerakan mereka serupa. Si pria meliukan tangan kanan, maka si wanita meliukan tangan kiri. Mereka berenam bergerak simetris mengikuti irama lagu yang bertempo pelan. Selang sekitar empat menit, tempo lagu yang dimainkan berubah cepat. Kali ini alunan akordion dan gendang melayu membentuk irama lagu Tanjung Katung. Gerakan para penari mulai berbeda. Mereka tak lagi simetris. Gerakan wanita seragam dengan wanita saja. Pun serupa dengan yang pria. Arah gerakan mereka membentuk pola 360 derajat. Mereka saling memutari satu sama lain, tapi sedikit pun tak pernah bersentuhan. Filosofis gerakan ini adalah cer­minan dari budaya masyarakat Melayu yang memang kental nilai islami di dalamnya. Pemuda-pemudi yang menari hanya saling menggoda melalui tarian, tanpa saling menyapa dan bersentuhan sesuai ketentuan Islam. Salah seorang dari pemuda itu ialah Marseli. Kala itu tahun 2000, umurnya masih 21 tahun. Ia sudah mena­ri sejak berumur sepuluh tahun. Ia hapal mati sembilan tari wajib Melayu yang malam itu ia dan kawankawannya tarikan. Ke­sembilan

SUMBER: ISTIMEWA

ta­rian itu biasa disebut Tari Rentak Sembilan. “Sebenarnya, rentak sendiri artinya adalah tari. Tapi karena banyak yang tak tahu, makanya disebut Tari Rentak Sembilan,” ungkap Seli. Rentak Sembilan berisi sembilan macam tarian khas melayu. Di antaranya, Tari Ma Inang, Tari Tanjung katung, Tari Piring, Tari Anak Kala, Tari Sri Langkat, Tari Kuala Deli, Tari Panjang Jermal, Tari Japin Melayu, Tari Serampang XII. Keseluruhannya punya musik dan gerak wajib masing-ma­sing yang akan berbeda makna jika tak sama. Misalnya Tari Serampang XII yang memang harus diiringi lagu Pulau Sari.

Berasal dari Ronggeng Melayu Seli sendiri tak tahu asal-muasal tari­an ini, meski sudah menarikan rentak bertahun-tahun. Setiap gera­ kannya harus sama, harus detil. Rozanna Mulyani, seorang ahli budaya yang juga dosen Sastra Daerah Program Studi Melayu USU ini bilang kalau kemungkinan besar Rentak Sembilan berasal dari budaya Ronggeng Melayu. Sebuah budaya yang sematamata berfungsi sebagai hiburan rakyat saat ada kenduri. Ronggeng Melayu merupakan serangkaian acara balas pantun yang disambut tetarian dan nyanyian. “Biasanya dulu tariannya asal saja,” kata Rozanna. Proses ronggeng dimulai dari dua orang telangkai yang saling berbalas pantun. Telangkai sebutan untuk pria dewasa pembawa pantun yang fungsinya serupa dengan pembawa acara. Menurut Rozanna, kedua telangkai biasanya berasal dari kelompok yang sama. Sehingga pantun yang mereka keluarkan akan terdengar kompak. “Meski mereka saling ejek, tapi de­ ngarnya tetap lucu aja. Itulah biasanya

yang buat acara jadi semarak,” ungkap Rozanna. Di dalam Ronggeng Melayu, terdapat pula sekumpulan pemusik yang memainkan alat-alat musik khas Melayu seperti akordion atau gitar dan gendang Melayu. Setelah puas berpantun dan berhasil menyemarakan acara, barulah musik dimulai. “Zaman dulu, ada juga penyanyinya. Biasanya perempuan, biduannya-lah,” tambah Rozanna. “Nyanyiannya biasanya ya nyanyi­ an Kuala Deli, Sri Mersing, Tanjung Katung. Lagu-lagu yang sekarang diputar untuk tari rentak sembilan itu,” kata Rozanna. Dalam nyanyian itu, masyarakat yang hadir bisa ikut menari. Semua­ nya bebas menari dengan gaya masing-masing. Namun, Rozanna mengatakan a­danya pergeseran budaya dari zaman ke zaman, Ronggeng Melayu yang belakangan semakin jarang tampak, mulai berubah. Ia menilai, keseluruh­an lagu dalam Tari Rentak Sembilan telah punya kebakuan gerak di masa kini. Berbeda dengan Ronggeng Melayu di

masa dulu. “Misalnya Tari Serampang XII itu, ya kalau ada coba-coba ganti gerakannya yang bukan Serampang XII lagi namanya,” tambah Rozanna. Kalaupun dimainkan, jumlahnya hanya tiga atau empat tarian saja. Seli juga bilang sudah jarang orang Melayu yang mau pakai Tari Rentak Sembilan secara lengkap. Ia sendiri sekarang sudah menjadi pegawai ne­geri sipil di Departemen Pariwisata dan Budaya di kota Binjai. Meski sempat mengajari anak-anak sekitar rumahnya di sanggar tari yang ia dirikan sejak tahun 2003. Hingga kini, tak ada artikel yang mengupas Tari Rentak Sembilan secara lengkap. Beda halnya dengan Ronggeng Melayu yang juga dikupas dalam sejumlah disertasi doktoral USU, UGM dan UNY. Tari Rentak Sembilan hanya tercantum pada sebuah situs budaya yang khusus membahas budaya Melayu, ­melayuonline.com. Namun artikel berjudul Tari Rentak Sembilan tersebut masih kosong, di sebelahnya ada tulisan dalam pro­ses penulisan.

IKLAN


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

ANTARA PEMA DAN MAHASISWA

I

dealnya, Pemerintah Mahasiswa (Pema) USU adalah se­bagai wadah yang menampung aspirasi, minat, bakat, dan kebutuh­ an seluruh mahasiswa. Pema USU dapat dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan mahasiswa dengan pihak rektorat kampus. Tapi apakah mahasiswa memang meng­ anggap Pema USU demikian? Menilik status Pema USU yang saat ini belum jelas, apakah mahasiswa tahu? Apa pendapat mereka terhadap Pema USU? Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 480 mahasiswa USU, dimana sampel diambil secara accidental de­ ngan mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. De­ngan tingkat kepercayaan 95% dan sampling error 5%, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa USU. (Litbang)

4. Jika tahu, perlu atau tidak pemiihan raya dilaksanakan untuk memilih kepengurusan Pema USU yang baru? a. Sangat Perlu (28,13%) b. Perlu (45,42%) c. Kurang Perlu (9,37 %) d. Tidak Perlu (4,79%) e. Tak Jawab (12,29%)

45,42%

6. Menurut Anda, apa masalah paling mendasar yang terjadi pada Pema USU? (Pilih satu) a. Periodesasi kepengurusan yang tidak jelas (12,6) b. Kurangnya komitmen pengurus Pema USU (14,08%) c. Program kerja tidak jelas (23,33%) d. Masih mengedepankan ego dan kepentingan ma­ sing-masing (13,25%) e. Kurang dekat dengan mahasiswa lainnya (35,33%) f. Tak Jawab (0,66%)

AUDIRA AININDYA | SUARA USU

riset 19

1. Apakah Anda tahu siapa saja pengurus Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU saat ini? a. Tahu (25,83%) b. Tidak Tahu (74,17%)

74,17 % 2. Apakah Anda merasakan kinerja mereka? a. Merasakan (25,42%) b. Tidak Merasakan (74,58%)

74,58 %

3. Apakah Anda mengetahui bahwa masa kepengurus­ an pema USU telah berakhir? a. Tahu (21,46%) b. Tidak Tahu (78,54%)

78,54 %

5. Menurut Anda, seberapa pentingkah Pema USU bagi mahasiswa? a. Sangat Penting (31,04%) b. Penting (57,29) c. Kurang Penting (7,5%) d. Tidak Penting (3,96%) e. Tak Jawab (0,21%)

57,29 %

35,33 %


20 resensi Dunia mencatat pembantaian 19651966 terhadap anggota dan simpatisan PKI sebagai salah satu peristiwa paling biadab dalam sejarah modern. Tapi, di negerinya sendiri, peristiwa itu lenyap dari buku teks sejarah dan diskusi publik. (Ariel Heryanto) Renti Rosmalis

M

enjelang tragedi G30S, konflik Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai politik lain kian memanas. PKI yang merasa di atas angin menekan penduduk yang berlawan­an aliran dengan komunis. Namun, keadaan langsung berbalik saat Pre­siden Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret yang isinya memberikan mandat kepada Mayor Jendral Soeharto untuk memulihkan keamanan. Mulai dari Supersemar yang ditandatangani oleh Soekarno dalam keadaan terdesak inilah pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia. Oleh Soeharto, PKI dinyatakan terlarang mulai 12 Maret 1966. Sehari sebelumnya, PKI masih merupakan partai sah dan terbesar di Indonesia, dan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Tapi, pada tanggal itu, ratusan ribu warga Indonesia sudah terbunuh dengan tuduhan mendukung PKI. Terakhir diduga korban pembantaian ini mencapai tiga juta orang. Memang bukan angka yang pasti, karena ba­nyak juga kepentingan dari penyebutan jumlah korban ini. Buku yang merupakan hasil dari investigasi Tempo ini hadir dengan nuansa yang berbeda dari buku-buku tentang tragedi G30S yang sebelumsebelumnya ada. Jika sebelum­nya buku-buku yang kita temui kebanyakan mengangkat sisi kesalah­an dan bahaya PKI, buku ini justru mengangkat PKI sebagai korban dan menggambarkan tragedi G30S dari sisi pelaku penumpasan orang-orang yang mendukung PKI. Dengan deskripsi yang jelas pada setiap bab nya buku ini menghasilkan kengerian saat membacanya. Bagaimana cara jagal-jagal membunuh orang-orang PKI digambarkan dengan jelas tanpa memperhalus kata-kata­ nya. Membacanya, Anda harus siap terbayang-bayang badan tanpa kepala dibuang ke jurang, atau kepala-kepala tanpa badan berserakan di ladangladang. Karena kebanyakan inilah cara-cara yang digunakan para algojoalgojo ketika menumpas PKI, dengan menebas kepalanya. Dari tiap-tiap bab yang diha­ dirkan dalam buku ini memberikan kisah yang berbeda-beda dari algojoalgojo yang berbeda dan dari daerah yang berbeda pula. Pembunuhan masal tak hanya terjadi di Jawa dan Bali, tapi juga di daerah-daerah lain yang ikut tersulut api pembantaian dari Jawa dan Bali. Bersamaan dengan itu para algojo bermunculan mengatasnamakan dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara. Seorang algojo dari Lumajang, Mochamad Samsi bercerita. Ia men-

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Menguak Sisi Lain G30S Judul: Pengakuan Algojo 1965 Penulis: Kurniawan et al. Penerbit: TEMPO Publishing Halaman: 178 halaman Tahun Terbit: 2013

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Seolah ingin mengungkapkan, tak hanya PKI yang salah, pembunuh orangorang PKI yang banyak itu juga melanggar HAM

dengar ada intruksi dari Nahdlatul Ulama (NU) untuk menumpas PKI. Samsi yang kala itu merupakan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sering mengikuti rapatrapat yang dihadiri kiai NU hingga ia diangkat sebagai ujung tombak penumpasan PKI di Lumajang. Pembunuhan pertamanya ia lakukan atas perintah seorang Tentara Angkatan Darat (TNI) yang ia lupa namanya. Pada pembunuhan pertama tersebut ia membunuh terduga PKI de­ngan memukulnya berkali-kali menggunakan rotan hingga mati, setelah dipastikan mati, mayatnya ia buang ke tepi laut agar terseret arus. Se-

jak pembunuhan pertama itu, berturut-turut ia membantai orangorang PKI hingga ia pun lupa sudah berapa banyak nyawa yang ia habisi. Biasanya orang-orang yang akan ia habisi didatangkan entah dari mana menggunakan truk pada malam hari. Orang-orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang ke laut. Ia juga pernah mendengar ada seorang saudagar kaya di Lumajang yang dianggap PKI. Samsi langsung mencegatnya di jembatan. Saat terduga PKI tersebut muncul, langsung saja ia tebas lehernya hingga terpisah dengan badannya. Lalu mayatnya ia lemparkan ke bawah jembatan. Kini 47 tahun telah berlalu sejak tragedi G30S. “Saya tidak pernah menyesal melakukan semua itu,” kata Samsi. Selain Samsi, ada juga Burhan Zainuddin Rusjiman yang dijuluki Burhan Kampak. Kebenciannya terhadap PKI sudah tertanam sejak ia mahasiswa. Saat itu ia pernah memasang poster menuntut dibubarkannya organisasi mahasiswa di bawah PKI. Karena itu ia lantas dikeluarkan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta dikejar-kejar oleh mahasiswa pendukung PKI. Kebenciannya bisa ia lampiaskan saat mendengar MUI menyatakan PKI adalah ateis. Perang terhadap PKI gencar ia lakukan di Yogyakarta. Operasi pembersihan komunis ini kerap ia lakukan bersama tentara. Dengan posisi sebagai staf satu Laskar Ampera Aris Margono dari Kesatu­an Aksi Mahasiswa Indonesia “Saya punya license to kill,” kata Burhan. Bersama sepuluh orang lainnya ia diberi pistol dan pelatihan menembak. Tak hanya kisah dua orang algojo di atas. Kisah dari algojo-algojo lainnya juga banyak diangkat dalam buku ini. Termasuk seorang Anwar Congo, seorang algojo PKI yang berasal dari Medan. Anwar juga berperan dalam film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer yang nampaknya begitu dibanggakan dalam buku ini. Ditulis oleh tim investigasi pembantaian 1965, buku ini bisa memberikan deskripsi yang baik tulisan narasinya. Membacanya kita seolah sedang menyaksikan tragedi G30S. Meski begitu, masih saja ada yang lolos dari penyuntingan. Di berbagai bab banyak sekali ditemukan tanda baca koma yang tertukar dengan tanda tanya. Meski terdiri dari banyak bab yang semuanya berbeda kisah, tak banyak pula pengulangan informasi yang dituliskan. Nampaknya selain mendokumentasikan sejarah, rekonsiliasi juga merupakan tujuan dari buku ini. Rekonsiliasi yang diawali dengan pengakuan jujur dari para pelakunya. Tujuan tersebut bisa dilihat dari isi buku yang semuanya mengangkat dari sisi pelaku pembantaian hingga korban jiwa yang masih diperkirakan mencapai tiga juta orang. Seolah ingin mengungkapkan, tak hanya PKI yang salah, pembunuh orang-orang PKI yang banyak itu juga melanggar HAM. Namun, setelah membacanya kesulitan rekonsiliasi jelas terlihat saat penjagal-penjagal itu merasa apa yang mereka lakukan dulu adalah sebuah tindakan heroik untuk membela negara. Bukan perasaan bersalah.


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

iklan 21


22 iklan

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013


SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

momentum 23

SUARAUSU.CO 27 September 2013

Tema Narkoba, PIKM USU Gandeng BNN

USU bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Pameran Ilmiah dan Kreativitas Mahasiswa (PIKM) dengan tema Meningkatkan Peran Mahasiswa Dalam Mewujudkan Kepemimpinan Masa Depan Tanpa Narkoba pada Jumat (27/9) di Pendopo. Ketua Panitia PIKM USU Oding Affandi mengatakan pemilihan tema PIKM ini karena maraknya penyebaran narkoba ke kalangan akademisi termasuk para intelektual khususnya mahasiswa. Saat ini, mahasiswa bukan hanya menjadi pelaku, tapi juga korban, mahasiswa harus sadar terhadap penyebaran narkoba di kalangan intelektual. (Riska Aulia Sibuea) 24 OKTOBER 2013

Demo UKT

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Marzuki Alie (memegang toa) memberikan nomor ponselnya kepada mahasiswa yang berdemo menuntut kejelasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di biro rektor Kamis (24/10). Marzuki memberikan nomor ponselnya guna ada kepenting足an mahasiswa perihal pendidikan dan politik.

24 Oktober 2013

Dekanat FISIP Siap Fasilitasi Pemilu Baru PIHAK dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU mengatakan bersedia memfasilitasi pemilihan umum baru. Upaya ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas kosongnya pemerintahan mahasiswa FISIP. Pembantu Dekan (PD) III FISIP Edward mengatakan sudah kewajiban dekanat untuk memfasilitasi hal tersebut. Ia mengatakan akan segera memanggil himpunan mahasiswa departemen se-FISIP untuk menanyakan pendapat mereka solusi masalah pema ini dan mendukung keputusan bersama. (Debora Blandina Sinambela) 26 OKTOBER 2013

Peringati Sumpah Pemuda, Sosiologi Turun Ke Desa SEJUMLAH 45 mahasiswa Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) turun ke desa untuk jadi relawan pengajar di Desa Timbang Lawang, Bahorok Kabupaten Langkat, Sabtu (26/10). Kegiatan ini dilakukan dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda Senin (28/10). Sekretaris Unit Pengembangan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (UPP) FISIP sekaligus ketua panitia Linda Elida mengatakan tujuan dasar acara ini ialah untuk membangun karakter anak-anak Indonesia dalam menjunjung tinggi pilar-pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini mengingat mahasiswa sekarang yang dinilainya jarang dekat dengan masyarakat. (Wenti Tambunan)

Salam Ulos 2013

12 November 2013

24 OKTOBER 2013

Ditemui Marzuki Alie, Perwakilan Massa Minta UU-PT Dicabut

PERWAKILAN massa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa meminta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, di ruang pertemuan rektor USU, Kamis (24/10). Ketua Front Mahasiswa Nasional Ranting USU Thariq Tsaqib mengatakan undang-undang tersebut adalah dasar liberalisasi pendidikan di Indonesia dan membuat pemerintah perlahan-lahan melepaskan tanggung jawabnya dalam bidang pendidikan. Namun, Marzuki Alie menolak melakukan hal itu yang menurutnya bukan porsinya. Namun, ia berjanji akan meneruskan tuntutan massa. (Rati Handayani)

GIO OVANNY PRATAMA | SUARA USU

(Empat dari kiri) Andreas Harsono, Jurnalis Senior Researcher pada Human Right Watch memberikan materi teknik narasi kepada peserta Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) Salam Ulos yang berasal dari 13 Pers Mahasiswa seIndonesia di Parapat, Selasa (12/4). Ini merupakan pelaksanaan Salam Ulos ke-6 dan bertema Jurnalisme Narasi Peduli Lingkungan. IKLAN


24 profil

SUARA USU, EDISI 95, NOVEMBER 2013

Linda Elida,

Rida Helfrida Pasaribu

L

inda Elida meminta mahasiswanya yang mengikuti mata kuliah Sosiologi Lingkungan Departemen Sosiologi mengumpulkan tugas berserta satu buah buku. Buku itu ia wajibkan untuk disumbangkan ke perpustakaan yang akan diba­ ngunnya di daerah Percut pada April semester lalu. Ia dapat dana dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan pada Masyarakat. Bersamaan dengan itu ia juga mendirikan komunitas belajar mahasiswa sekaligus relawan mengajar anak-anak di daerah tersebut. Namanya Komunitas Belajar Relawan Ganbare. Kata Linda hal ini agar mahasiswa peka dan peduli pada permasalahan disekitarnya. “Ini hanya bentuk kecil untuk peduli pada masyarakat,” ungkapnya. Sebelum di Percut, Linda telah membuat komunitas Belajar di daerah Sei Mati, Kampung Baru, Bahorok, Bromo, dan Kampung Susuk. Komunitas belajar Relawan Ganbare sendiri melibatkan mahasiswa yang sedang mengikuti mata kuliah yang ia asuh, mahasiswa yang menjadi bimbingan akademiknya, dan bim­ bingan skripsi. Dies natalis Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) ke-30 menjadi awal kerja sama Linda dengan mahasiswa dalam melakukan peng­ abdian masyarakat. Saat itu, Linda mendapat tugas menjadi penanggungjawab bakti sosial dibantu de­ ngan Pemerin­tahan Mahasiswa FISIP dan Presiden Mahasiswa USU. Hampir 80 mahasiswa serta ratusan masyarakat dari Kecamatan Medan Maimun ikut terlibat. Tidak hanya sebatas keikutsertaan dalam bakti sosial, Linda meng­ajak mereka berpikir dan merenung serta merancang sebuah tindak lanjut dalam format pengabdian pada masyarakat. Karena itulah tercetus pemikiran Linda kembali menghidupkan aktivitas di masyarakat dengan melibatkan mahasiswa dengan membuka bimbingan belajar anak usia sekolah tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjut. Linda juga mengajak mahasiswa berdiskusi dengan tema-tema kepedulian dan peran mahasiswa untuk melatih kepekaan dan kete­ rampilan dalam bermasyarakat yang dapat menjadi bekal masa depan. “Pengalaman dan jaringan adalah modal yang sangat penting di sam­ ping pengetahuan ilmu Sosiologi dalam dunia kerja,” jelasnya. Linda mengaku komunitas Ganbare tak mengeluarkan uang untuk proses belajar mengajar. Mahasiswa menggunakan biaya sendiri untuk transportasi. Untuk kegiatan belajar, anak-anak dikenakan biaya Rp 15 ribu per bulan untuk satu anak, dan biayanya dikelola ibu-ibu daerah masing-masing yang dipakai untuk pembayaran listrik dan proses ke­ giatan belajar. Sementara untuk pe­ rayaan-perayaan menggunakan dana pribadi Linda. Terkadang ia juga meminta sumbangan dari dosen-dosen

dan saudaranya. Para sahabat dan kolega di kampus juga tak jarang Linda libatkan dan kadang memaksa mereka untuk membantu. Syahrul Payan mahasiswa Departemen sosiologi 2008 telah dua tahun ikut menjadi relawan Gambare. Awalnya ia diajak dosennya ikut menjadi relawan membantu kegiatan di Ikatan Tunanetra Muslim Indvonesia (ITMI) selama dua hari. Dari ikut kegiatan tersebut, ia tergugah dan termotivasi ikut menjadi relawan mengajar anak-anak di Sei Mati. Sejak menjadi relawan, ia meng­ aku mendapatkan ilmu dan pe­ ngetahuannya bertambah, ia dapat berbaur dengan masyarakat bahkan seperti telah menjadi keluarga. Syahrul berharap ke depannya komunitas relawan lebih besar dan lebih bersemangat lagi. “Dengan membantu meringankan masyarakat walaupun belum maksimal,” ujarnya.

*** Linda memang telah memiliki ketertarikan terhadap aktivitas sosial yang berhubungan dengan masyarakat sejak kecil. Itulah sebabnya ia memilih jurusan Sosiologi, meskipun saat itu hanya diikuti tujuh orang. Dimulai dari keikutsertaannya di Non-Governmental Organization (NGO) tahun 1987 dalam wadah Yayasan KKSP sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli kondisi sosial, ekonomi, politik bangsa Indonesia. KKSP bersama masyarakat di Sei Mati Gang Ak Fajar mendirikan taman kanak kanak. Saat itu, ia melihat adanya kesenjangan dan ketidakadilan di masyarakat sehingga melatarbelakanginya untuk ikut membantu dan sering mengikuti kegiatan pendampingan masyarakat. Dari pengalamannya terjun ke masyarakat, ia belajar konsep pengorganisasian pendam­pingan masyarakat. Tahun 1991, ia resmi menjadi dosen FISIP dan tetap aktif terjun ke masyarakat. Tahun 1994 Linda keluar dari KKSP untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL). Ia hanya fokus pada kuliahnya ketika itu. Tapi, gairah untuk melakukan sesuatu pada masyarakat telah melekat pada di­rinya, ia tak mau hanya berdiam diri. “Saya merasa punya kewajiban selain mengajar juga pengabdian walaupun sebenarnya hanya beberapa persen kewajiban untuk pengabdian” ujar Linda. Pada 1999, ia ikut bergabung mendirikan Yayasan Setara Indonesia bersama sejumlah alumni dan mahasiswa FISIP yang konsentrasi utamanya sebagai pendampingan masyarakat miskin terutama perempuan dan anak anak dari kelompok ekonomi marjinal. Meskipun sibuk dengan berbagai kegiatan kemasyarakatan, Linda tak pernah melupakan tanggung jawabnya untuk mengajar. Walaupun aktivitas yang ia lakukan menyita pikir­ an dan tenaga, ia merasa semuanya mudah dan ringan karena dukungan berbagai pihak.

Sahabat Dekat Pengabdian pada Masyarakat Ia sangat akrab dengan pengabdian masyarakat, namun tak melakukannya sendiri. Ia kerap kali ajak mahasiswa. Berniat menumbuhkan sikap kepedulian pada masyarakat. BIODATA Nama: Dra. Linda Elida, MSi

Tempat, tanggal lahir: Medan, 7 Februari 1967

Pendidikan: SD di Medan ( 1978-1983 ) SMP N 5 Medan ( 1980-1983 ) SMA N 6 Medan ( 1983-1985 ) S1 Sosiologi FISIP USU ( 1985- 1990 ) S2 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) USU ( 2000 ) S3 Universitas Sains Malaysia (sekarang)

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.