Majalah SUARA USU

Page 1

Edisi III/XVII/Desember 2012

Rp 10.000

www.suarausu.co



Sampul: Gio Ovanny Pratama

mejuah-juah

Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Harry Yassir Elhadidy Siregar Sekretaris Umum: Kartini Zalukhu Bendahara Umum: Andika Bakti Pemimpin Redaksi: M Januar Sekretaris Redaksi: Rida Helfrida Pasaribu Redaktur Pelaksana: Febrian Koordinator Online: Muslim Ramli Redaktur: Debora Blandina Sinambela, Hadissa Primanda Redaktur Foto: Ridha Annisa Sebayang Redaktur Artistik: Viki Aprilita Redaktur Online: Ipak Ayu H Nurcaya Reporter: Apriani Novitasari, Aulia Adam, Cristine Falentina Simamora, Mezbah Simanjuntak Fotografer: Sofiari Ananda Desainer Grafis: Icha Decory, Audira Ainindya, Gio Ovanny Pratama Ilustrator: Audira Ainindya, Aulia Adam Pemimpin Perusahaan: Ade Fitriani Sekretaris Perusahaan: Bania Cahya Dewi Manajer Iklan dan Promosi: Sandra Cattelya Manajer Produksi dan Sirkulasi: Baina Dwi Bestari Desainer Grafis Perusahaan: Maya Anggraini S Staf Perusahaan: Ferdiansyah, Ika Ayuni, Lilis Suryani Kepala Litbang: Malinda Sari Sembiring Sekretaris Litbang: Ratih Damara Barus Koordinator Riset: Izzah Dienilah Saragih Koordinator Kepustakaan: Sri Handayani Tampubolon Koordinator Pengembang­an SDM: Febri Hardiansyah Pohan Staf Litbang: Guster C P Sihombing, Renti Rosmalis, Fachruni Adlia, Hendro H Siboro Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 Percetakan: Asco Jaya (Isi di luar tanggung jawab percetakan)

HADIR KEMBALI! Salam Pers Mahasiswa!

S

etelah majalah edisi reborn yang kami garap tahun lalu mendapat respon positif dari pembaca, maka kami hadir kembali sebagai wujud konsistensi dan niat memberikan informasi kepada pembaca sekalian. Meski ditengah padatnya agenda keorganisasian, majalah ini tetap kami kemas lebih komprehensif. Majalah ini menjadi produk ke enam setelah lima produk tabloid kami hadirkan sepanjang tahun 2012. Sebagai produk tutup tahun, kami menghadirkan Laporan Utama tentang Pemilihan Umum Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 pada 7 Maret mendatang. Sebagai agenda penting lima tahunan, tentu kita harap Pilgubsu 2013 tak sekadar pesta demokrasi tanpa esensi. Diharapkan lahir sosok pemimpin yang kenal dan mengabdi sepenuh hati bagi Sumut. Cerita tentang gubernur-gubernur yang tercatat punya perestasi kami kemas sebagai ‘cermin’ buat kita dan lima calon yang siap tarung. Lima pasang calon sudah pasang ancang-ancang dengan tebar janji dan adu slogan. Kita perlu mengenal setiap calon dari latar belakang dan visi yang mereka usung. Semoga kita tak salah pilih. Jenuh dengan sajian berat berbau politik, rasanya cocok kalau kami mengajak jalan-jalan ke Taman Nasional Gunung Lauser. Sebuah hutan hujan yang dinobatkan sebagai warisan dunia. Didalamnya tersimpan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah beragam satwa endemik. Tak hanya itu, ternyata ada zona-zona yang punya ciri khas sendiri. Tertarik? Silakan baca di rublik Jelajah Pembaca jangan sampai melewatkan rubrik Apresiasi. Kami meng­angkat cerita sekelompok pemain opera Batak yang berjuang demi pelestarian budaya. Ada juga rubrik Lentera yang mengangkat rumah singgah bagi anak-anak pengidap kanker. Jangan pula lewatkan cerita Ratna Sarumpaet, aktivis mashur yang giat memperjuangkan mengenai hak asasi manusia lewat sejumlah karyanya. Sesungguhnya masih banyak rubrik lain yang tak kalah menarik. Semoga pembaca tetap setia dengan produk SUARA USU lainnya. Sampai jumpa di produk-produk kami lainnya. Akhir kata selamat membaca!

MAJALAH SUARA USU I 3


konten

8

56

4 I MAJALAH SUARA USU

46


konten

mejuah-juah konten lepas laporan utama figur esai foto lentera jelajah ulas apresiasi rehat cogito kaleidoskop

3 4 6 8 32 40 46 56 64 66 76 78 80

32 66

80

MAJALAH SUARA USU I 5


lepas

Sumut Butuh Perubahan!

Belakangan, jalanan jadi sumpek. Baliho-baliho besar, tempelan poster-poster di tembok memajang wajah-wajah yang akan beradu pada pertandingan lima tahunan. Wajahwajah itu akan merebutkan satu kursi untuk jadi Sumatera Utara (Sumut) 1. Mereka akan memimpin provinsi ini periode 2013-2018. Ancang-ancang perkenalan diri sudah dilakukan jauh hari. Awal-awal, diperkirakan ada belasan nama calon bakal maju. Jumlah ini menyusut. Alasannya tidak dikasih partai, ada juga tidak kedapatan partai pendukung hingga jadi wakil gubernur pun tak jadi soal. Kini sudah lima pasang nama daftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut. Mereka adalah Gatot Pujo ­ Nugroho, calon incumbent. Kemudian ada Bupati Serdang Bedagai Amri Tambunan, Mantan Direktur Utama Bank Sumut Gus Irawan Pasaribu dan Anggota DPR RI Chairuman Harahap. Tak ketinggalan, Effendi Simbolon anggota DPR RI yang jauhjauh datang dari Banjarmasin. Masyarakat jangan berharap banyak. Drama pemilu nanti diramal-

6 I MAJALAH SUARA USU

kan tak akan seseru di Jakarta. Tidak ada sosok calon alternatif di tengah kejenuhan masyarakat Sumut. Figur para calon tidak punya warna dalam menyampaikan visi-misi mereka. Tidak konkrit dan kebaruan. Padahal visi-misi adalah faktor penting masyarakat untuk memilih. Jika visi-misi kabur, lalu apa yang masyarkat jadi landasan untuk memilih? Siapapun yang terpilih nanti harus sadar potensi yang Sumut punya. Bisa dibilang daerah sebagai pintu gerbang Indonesia ini, punya segala macam sumber daya alam. Tengok sumber minyak bumi di daerah Pang­ kalan Brandan. Belum lagi Danau Toba yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Lalu, panas

Belum lagi masalah pengangguran, kualitas pendidikan dan pemerataan kemajuan daerah. Malah, salah satu lembaga non pemerintah anti korupsi menyiarkan Sumut adalah provinsi ketiga paling tinggi dalam kasus korupsi.

Sumatera Utara (Sumut) punya sumber daya berlimpah ruah. Sisi lain, hasil survei bilang Sumut peringkat ketiga tertinggi kasus korupsi. Daerah ini butuh pemimpin berkualitas bukan popularitas.

geotermal yang Sumut punya dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Belum lagi pertanian dan perkebunan yang ada. Dari sektor pertanian dan perkebunan. Hingga kini Sumut masih jadi primadona. Letak geografis Sumut yang strategis tentu juga punya peran besar untuk mendorong kemajuan Sumut. Jangan lupakan juga kekayaan budaya. Sumut adalah miniatur Indonesia. Di sini segala golongan, etnis maupun agama bercampur baur. Meskipun ada konflik horizontal terjadi, tidak terus berdampak besar dan cepat diredam. Namun sampai saat ini potensi yang Sumut punya belum dimanfaatkan maksimal. Tengok saja kondisi jalan di daerah Aek Latong, Tapanuli Selatan. Tiap hari raya lebaran daerah ini selalu jadi sorotan. Jangankan saat hujan turun, panas terik pun kondisi jalan ini rusak parah. Padahal, jalan ini adalah jalur penghubung penting di Sumatera. Kebudayaan Sumut juga semakin terlupakan. Tentu masih terekam di ingatan kepala, ketika Malaysia mengklaim tor-tor dan gondang sambilan. Belum lagi maslah pengangguran, kualitas pendidikan dan pemerataan kemajuan daerah. Malah, salah satu lembaga non pemerintah anti korupsi menyiarkan Sumut adalah provinsi ketiga paling tinggi dalam kasus korupsi. Para calon harus sadar. Anggaran pemilu ini tidak sedikit, nominalnya sampai Rp 436 miliar. Dan ini bersumber dari dana masyarakat. Para calon harus maju dengan niat melakukan perubahan dan perbaikan demi Sumut. Bukan hanya karena dorongan partai atau lobi-lobi belaka. Ingat, masyarakat sudah jenuh de­ngan kondisi ini.



laporan utama

Secercah Cerita

Tentang Orang-orang Nomor Satu Sumatera Utara Oleh : Febrian Foto: Ridha Annisa Sebayang

Pandai mencontoh yang sudah, seperti itulah kata yang tepat untuk siapa yang menjadi orang nomor satu Sumatera Utara nanti. Agar selalu pegang nilai-nilai yang ditanamkan pendahulu.

P

ada 1988, dua bulan sebelum resmi ditunjuk seba­ gai Gubernur Sumatera Utara (Sumut), rumah dinas Raja Inal Siregar yang saat itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer III Siliwangi di Bandung selalu kedatangan beberapa akademisi Institut Teknologi Bandung. Saat itu, Raja Inal mesti banyak membekali diri untuk mengisi posisi Gubernur Sumut yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto. Pada pertemuan-pertemuan di rumah dinas Raja Inal inilah konsep Marsipature Hutana Be dimatangkan. Marsipature Hutana Be berasal dari bahasa Batak Angkola yang berarti memperbaiki kampung sendiri. Yuriandi Siregar, Putra Raja Inal yang saat itu masih duduk di bangku SMA mengatakan, konsep Marsipature Hutana Be sebe­n­ar­ nya ada diterapkan di beberapa provinsi karena memba­ ngun desa adalah termasuk visi Presiden Soeharto. “Kala itu saat saya masih SMA di Bandung, sering ayah saya belajar lagi bersama dengan akademisi-akademisi universitas di Bandung untuk belajar dan merancang konsep untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Pastinya dengan latar belakang dunia militer, Raja Inal harus banyak belajar lagi tentang dunia sipil,” terang Yuri kala dijumpai di Jalan DI Panjaitan No 180 Medan, kediaman Raja Inal selama di Medan dulu. Yuri mengatakan kala itu, pemilihan gubenur belum

8 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama

MAJALAH SUARA USU I 9


laporan utama seperti sekarang, masih penunjukkan langsung oleh presiden. Menduduki kursi Gubernur Sumut Raja Inal begitu kental dengan Marsipature Hutana Be selama sepuluh tahun ia menjabat pada 1988-1998. Yuri bercerita Raja Inal sejak kecil sudah terbiasa hidup berpindah tempat hingga ke desa-desa lantaran saat itu Indonesia pada era mempertahankan kemerdekaan yang warnai peristiwa agresi militer oleh Belanda. Karena itulah Raja Inal paham dengan kebutuhan hidup di desa. Agar benar-benar dapat melihat kondisi Sumut, Yuri membeberkan bahwa ayahnya punya tingkat perjalanan yang cukup tinggi. Raja Inal sering turun ke berbagai daerah di Sumut untuk melihat dan mengontrol kinerja pejabat daerah tingkat kabupaten. Tingkat perjalanan yang tinggi ini menurut Yuri berdampak kepada bagusnya lalu lintas di setiap daerah. “Biasanya kan begitu. Kalau gubernur turun ke jalan pasti jalan-jalan diperbaiki,” ujarnya sambil tertawa. Kemudian Yuri menyebutkan pembangunan Yayasan Pendidikan Marsipature Hutana Be (YPmhb) contoh wujud membangun kampung. YPmhb merupakan sebuah yayasan yang mengasuh SMA N 2 Plus YPmhb Sipirok yang didirikan pada tahun 1995. Raja Inal terinspirasi dari Rektor ITB kala itu yang melihat kondisi lulusan Tapanuli Selatan yang jumlahnya semakin berkurang untuk masuk ke perguruan tinggi ternama. Seingat Yuri, ayahnya dulu turut memberikan subsidi bagi 24 anak yang punya prestasi bagus dengan dana pribadinya. Begitulah semangat Marsipature Hutana Be terlihat tatkala Raja Inal yang turut serta atas nama gubernur, menginspirasi perantau untuk ikut mengembangkan SMA N 2 Plus YPmhb. “Sekarang sekolah ini telah tergolong Sekolah Nasional Berstandar Internasional,” katanya. Didirikannya SMA N 2 Plus YPmhb turut memotivasi mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia ke5 Faisal Tanjung untuk mendirikan SMA

10 I MAJALAH SUARA USU

Negeri 1 (Plus) Matauli Pandan, Tapanuli tengah. Memiliki konsep yang hampir sama dengan SMA N 2 Plus YPmhb , SMA 1 (Plus) Matauli juga dibawahi Yayasan Matauli (Maju Tapian Nauli) yang juga turut didalangi mantan ketua DPR Akbar Tanjung. Di tempat terpisah, Pakar Sosiologi Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera (UMSU) Utara Shohibul Anshor Siregar juga berujar makna dari semboyan yang disingkat Martabe lebih kepada proses demokratisasi masyarakat yang berpeluang mengamalkan nilai-nilai luhur yang mendorong sinergi untuk membangun daerah masingmasing. “Raja Inal menyadari banyak masyarakat Sumatera Utara yang merantau ke berbagai daerah, dan tak sedikit yang berhasil di rantaunya. Hal ini lah yang digalakkan oleh Raja Inal agar mereka yang berhasil di rantau itu ikut berkontribusi membangun daerah asalnya,” kata Begitulah gambaran semangat Marsipature Hutana Be yang dilakukan oleh Raja Inal. Shohibul menambahkan dengan Martabe, Raja Inal menyama­ kan membangun kampung sendiri itu dengan ibadah. Di mana dengan kontribusi membangun daerah pastinya ia ikut membantu keluarga-keluarga yang ada di kampung halaman. Muhammad Tok Wan Haria, seorang wartawan senior, tidak hanya melihat Raja Inal dengan semangat Martabe. “Gubernur yang cukup perhatian de­ ngan sejarah,” itulah kata pertama yang keluar dari Muhammad TWH kala dita­ nyai tentang Raja Inal. Ia mengingat saat memberi masukan kepada Raja Inal untuk mengoreksi urutan 12 Gubernur Sumut sebelum dirinya. Dengan menggelar pertemuan saat itu dengan gubernur, Muhammad TWH menjelaskan dengan beberapa bukti tertulis yang ia miliki bahwa Gubernur Sumut yang pertama bukanlah Ferdinand Lumban (FL) Tobing, tapi adalah Sutan Muhammad Amin Nasution. Sebagai pemerhati sejarah khususnya Sumut, Muhammad TWH saat

Nama mantan Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim diabadikan menjadi nama jalan.


laporan utama

“

Gubernur Marah Halim termasuk penggila bola, dia selalu mengatakan biarlah kalah dalam pertandingan lain asalkan jangan kalah main sepakbola.

“

Halim Panggabean

MAJALAH SUARA USU I 11


laporan utama

12 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama meningkat karena adanya turnamen Marah Halim Cup. “Gubernur Marah Halim termasuk penggila bola, dia selalu mengatakan, biarlah kalah dalam pertandingan lain asalkan jangan kalah main sepakbola,” ucap Halim menirukan ucapan gubernur yang dekat dengan ayahnya itu. Tujuan utama Marah Halim menye­ lenggarakan ajang ini adalah merangsang pesepakbola Sumut untuk dapat berprestasi di tingkat interasional. Saat itu hampir di setiap penyelenggaraan PSMS selalu ikut serta. Marah Halim begitu mempercaya­ kan segala hal mengenai penyelenggaraan kepada Kamaruddin yang juga menjabat Ketua Harian Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumut (1967). “Misalnya sekian dana dianggarkan untuk Marah Halim Cup, itu dana seratus persen dipercayakan kepada ayah saya. Dan ayah saya yang paham dengan pelaksanaan teknis bebas berkreasi agar even terselenggara dengan baik,” papar Halim. Halim masih teringat saat melihat ayahnya sepulang kediaman Gubernur Marah Halim dengan raut yang sa­ngat ceria. Saat itu, di suatu final Marah Halim Cup yang salah satu finalisnya adalah PSMS Medan, Marah Halim sa­ngat takjub dan memberi pujian kepada Kamaruddin Panggabean sebagai ketua pelaksana turnamen di mana penonton begitu membludak hampir mendekati bibir lapangan Stadion Teladan. “Saya yang ikut menonton pertanding­an tersebut kala itu melihat, panitia membentangkan tikar pelastik agar penonton yang tak kebagian tempat duduk dapat menikmati pertandingan,” jelas Halim. Adanya Turnamen Marah Halim Cup yang telah bertaraf internasional tak membuat Gubernur Marah Halim puas. Untuk memancing bakat-bakat olahraga Sumut, kembali memercayakan kepada Kamaruddin, Marah Halim Cup juga diadakan untuk kelas antarkabupaten di Sumut. Bedanya dengan Marah Halim Cup Internasional yang hanya mempertandingkan sepak-

Bayangkanlah, Medan ditunjuk menjadi tuan rumah selanjutnya saat PON ke II berlangsung di Jakarta pada tahun 1951. Waktu dua tahun untuk persiapan cukup singkat waktu itu.

itu mengatakan kepada Raja Inal akan pentingnya untuk meluruskan sejarah agar masyarakat tidak keliru. Sesekali memejamkan mata untuk mengingat, Muhammad TWH bercerita Sutan Muhammad Amin Nasution dilantik oleh Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan pada 14 April 1947 di Pematang Siantar. Sejak saat itu, Sumatera telah menjadi tiga provinsi. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Sementara itu F L Tobing di waktu yang bersamaan menjabat sebagai Gubernur Militer dari sebelumnya menjabat sebagai Residen Tapanuli. “Karena waktu yang bersamaan itulah makanya terjadi kekeliruan fakta sejarah, maka saya meminta Raja Inal untuk mengoreksi susunan gubernur-gubernur Sumatera Utara yang fotonya berjejer di kantor gubernur itu,” katanya. Sejak pelurusan urutan tersebut, Raja Inal menyerukan agar diterbitkan buku yang ditulis oleh Muhammad TWH yang berjudul Mengenal Gubernur Sumatera Utara 1947-1998. Berbekal hubungan dekat dengan Raja Inal ini, Muhammad TWH yang juga pemerhati sejarah mendapat sokongan dari sang gubernur untuk menerbitkan buku-buku sejarah. *** Selasa (13/11) di Stadion Mini USU, Ketua Umum Persatuan Sepakbola Putra Buana Halim Panggabean tengah memperhatikan timnya beruji coba melawan tim UKM Sepakbola USU. Sembari itu, ia bercerita kepada saya tatkala ia masih berusia remaja, saat ayahnya, Kamaruddin Panggabean, mendapat kepercayaan dari Gubernur Marah Halim Harahap untuk menjadi ketua panitia turnamen Marah Halim Cup. Yaitu turnamen sepakbola yang mempertandingkan tim-tim yang berasal dari mancanegara. Ia mengatakan sejak tahun 1974 turnamen ini terdaftar sebagai turnamen resmi federasi sepakbola dunia FIFA. Halim yang juga mantan pengurus PSMS Medan mengatakan tingkat kepopuleran sepakbola Sumut mulai

Muhammad TWH

MAJALAH SUARA USU I 13


laporan utama bola, Marah Halim Cup antarkabupaten mempertandingkan beberapa cabang olahraga seperti bola Voli, badminton, atletik, dan lain-lain layaknya sebuah penyelenggaraan pekan olahraga. Halim yang juga pemain sepakbola saat itu merasa gairah masyarakat Sumut untuk olahraga sangat tinggi lantaran adanya wadah yang disediakan seperti turnamen ini. “Output-nya agar saat ada penyelenggaraan seperti PON (Pekan Olahraga Nasional -red) atlet-atlet telah ada yang akan dikirim karena sudah dipantau secara berkala,” kata Halim. Ia mengenang almarhum ayah­ nya, Kamaruddin Panggabean, yang dulu rajin ke daerah-daerah untuk memantau atlet-atlet di turnamen Marah Halim Cup antarkabupaten. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat terhadap olahraga diakui Halim karena peran besar Gubernur Marah Halim yang selalu beri dukung­ an penuh. “Tapi sekarang sudah tak ada lagi turnamen sehebat itu bahkan di Indonesia, padahal saya tahu betul bagaimana susahnya memperjuangkan terlaksananya Marah Halim Cup dulu,” ujar Halim. Ia mengatakan sangat mengagumi sosok Marah Halim yang tak ada ganti­ nya hingga sekarang. Secara keseluruhan Halim mengatakan Marah Halim adalah sosok yang dekat dengan masyarakat, tegas, dan paham kebutuhan masyarakat Sumatera utara. Muhammad TWH mengatakan Marah Halim tak hanya membuat hal yang besar untuk persepakbolaan Sumut di mana selain dekat dengan olahragawan, ia juga gemar bergaul dengan seniman. Pembangunan Studio Film Sunggal merupakan wujud keserius­an Marah Halim memfasilitasi para seniman film. Dana pembangun­ an saat itu dikutip dari pajak nonton selama tahun 1975-1977. Muhammad TWH menceritakan saat itu, hadirnya Studio Film Sunggal turut memberi dampak lahirnya praktisi-praktisi perfilman Sumut. Ia sangat menyayangkan tak sanggupnya pemerin­tahan sekarang untuk mem-

14 I MAJALAH SUARA USU

pertahankan keberadaan Studio Film Sunggal dari penguasaan pihak swasta. “Hanya ada satu kamera yang tersisa sebagai kenangan kejayaan Studio Film Sunggal dulu. Dan kamera itu sudah kita serahkan ke museum daerah Sumut,” ucap Muhammad TWH. Muhammad TWH yang juga cukup dekat dengan Marah Halim meng­ atakan, sosok Marah Halim mempunyai pembawaan yang keras dan terkesan seram. Namun dengan pembawaan seperti itu, kata Muhammad TWH tak menghalangi Marah Halim dekat ­de­ng­­a­n banyak orang. “Dia walaupun keras, tapi tetap bersahabat dan enak diajak bercandaan. Bahkan saat kami main tenis sama-sama ia tak jarang mendapat ejekan bercandaan dari kawan-kawannya, tapi tetap saja suasana dapat ia bawa santai,” terang TWH. Shohibul Anshor juga melihat dari segi infrastruktur pada zaman Marah Halim cukup efektif dengan kebutuh­ an masyarakat Sumut yang mayoritas hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Shohibul menjelaskan kala itu Marah Halim paham betul dengan baik­nya infrastruktur seperti sarana lalu lintas akan memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mendistribusikan hasil-hasil bumi. “Marah Halim sangat menyertai keinginan rakyat Sumatera utara,” ucapnya. Di salah satu situs media online nasional, Shohibul Anshor pernah menulis artikel berjudul Gubsu Ideal dan Merakyat, bahwa ia mengapresiasi empat nama yang pernah menjabat Gubernur Sumut. Abdul Hakim, Marah Halim Harahap, Edwad Waldemar Pahala Tambunan dan Raja Inal Siregar. Ada lagi EWP Tambunan. Shohibul mengatakan mengenai banyak yang sinis dengan cara gubernur yang satu ini yang mengembalikan setiap anggaran yang tidak habis digunakannya. Sangat berbeda dengan tradisi pe­merintahan yang menghabiskan anggaran de­ngan berbagai kegiatan yang tak masuk akal direstui bersama oleh eksekutif, le­ gislatif dan yudikatif dan juga seluruh komponen penegakan hukum yang

ada. “Semua tahu kegiatan menghabiskan anggaran menjelang akhir tahun anggaran itu hanya modus pencurian uang negara, tetapi malah tetap saja disenangi,” ujar Shohibul saat membagi cerita di ruangan kerjanya di UMSU, Kamis (8/11). Selain itu, Shohibul menjelaskan dengan visi membentuk pemerintahan yang bersih, EWP Tambunan sering melaksanakan sidak ke lapangan secara mendadak. Untuk memantau pekerjaan aparatur-aparatur yang ada di bawahnya. “Karena sering turun ke jalan ini lah ia dikenal oleh masyarakat. Ia juga dikenal ramah dan tegas,” kata Shohibul. Kemudian satu lagi ketokohan


laporan utama

Gedung Lama Kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro No 30, Medan

dimiliki AWP Tambunan adalah sebagai sosok pemimpin yang menyadarkan persatuan dan kesatuan dengan rasa pluralitas yang tinggi. Ia tak pilih kasih dengan suku dan agama yang komplet di Sumut. Shohibul mencontohkan saat EWP Tambunan membuka salah satu musabaqah tilawatil qur’an (MTQ). Ia yang pemeluk agama Kristen tak terken­ dala melafazkan ayat suci Al quran dan menyerukan betapa tingginya kesucian kitab Umat Islam tersebut. Muhammad TWH menambahkan, EWP Tambunan adalah orang yang sangat disiplin yang acap membuat bawahannya kalang kabut. Dimaksud-

kan Muhammad TWH adalah jika EWP Tambunan menjalani suatu agenda, ia akan hadir di waktu yang sesuai dijadwalkan. “Kebiasaan orang kita kan, to­ leransi terhadap keterlambatan, apalagi itu pejabat. Nah untuk EWP Tambunan hal itu tidak ada. Janji jam 7 ya jam segitu dia hadir di lokasi, kalang kabut lah,” ujarnya. Satu nama lagi adalah gubernur ketiga Sumut, Abdul Hakim. Shohibul dan Muhammad TWH sama-sama melihat dari sisi keberhasilan Abdul Hakim mengadakan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke III di Sumut pada 1953 . Muhammad TWH dalam sebuah buku

berjudul Prestasi Atlet Sumut menuliskan tentang kondisi Medan yang tak memiliki stadion yang baik untuk menyelenggarakan ajang sekelas PON. “Bayangkanlah, Medan ditunjuk menjadi tuan rumah selanjutnya saat PON ke II berlangsung di Jakarta pada tahun 1951. Waktu dua tahun untuk persiapan cukup singkat waktu itu,” terang Muhammad TWH. Sebagai tempat utama penyelenggaraan dibangunlah saat itu Stadion Teladan yang peletakkan batu pertama dilakukan pada 17 Agustus 1952 oleh Abdul Hakim. Biaya pembangunan stadion yang cukup megah menelan Rp 7 juta termasuk biaya penyelenggaraan PON ke III, sudah cukup besar kala itu. Dana yang begitu besar untuk penyelenggaraan PON diperoleh dari berbagai usaha seperti mengadakan pasar malam di Lapangan Merdeka Medan, mengadakan pertunjukkan gala primer unggulan di bioskopbioskop di Medan, serta berbagai kegiatan di samping bantuan pemerintah. Abdul Hakim berprinsip tidak akan bergantung dengan dana dari pemerintah pusat. Maka ia selain dari usaha tadi ia mengajak partisipasi 17 kabupaten untuk memberi bantuan. Begitulah sedikitnya gambaran menganai hal baik yang pernah ditoreh­kan oleh beberapa mantan Gubernur Sumut yang mendapat acungan jempol dari masyarakat. Namun Muhammad TWH menyatakan semua Gubernur Sumut­­­ punya sisi dan gaya tersendiri. “Semua sudah berjuang untuk masyarakat. Relatif juga sebenarnya jika kita melihat baik dan buruknya,” katanya. Pun demikian bagi Shohibul Anshor. Ia berani mengemukakan empat nama lantaran punya keberhasilan yang cukup menonjol yang mengharumkan nama Sumatera Utara dan disukai masyarakat. Terakhir, Shohibul berharap agar gubernur yang akan dipilih pada Maret Tahun depan dapat berkaca de­ngan apa yang pernah dilakukan gubernur-gubernur selanjutnya.

MAJALAH SUARA USU I 15


laporan utama utama - riset laporan

Menanti Gubernur

yang Berintegritas “The Strength of a nation derives from the integrity of the home�– Confucius Oleh : Izzah Dienillah Saragih

K

ekuatan sebuah bangsa, meminjam istilah dari Confucius, seorang filsuf Cina berasal dari integritas di dalam diri bangsa itu sendiri. Integritas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Integritas merujuk pada konsistensi antara tindakan seseorang dengan nilai dan prinsip yang ia anut. Pun secara etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebersihan seseorang, termasuklah di dalamnya bersih dari tindakan tak terpuji macam suap dan korupsi. Seiring dimulainya persiapan pesta demokrasi Sumatera Utara (Sumut) dalam pemilihan orang nomor satunya periode 2013-2018 mendatang,

Bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) SUARA USU ingin merekam pendapat mahasiswa USU mengenai pemimpin ideal Sumut yang harusnya melanjutkan estafet pemerintahan Sumut nantinya, serta tugas-tugas yang harus segera dikerjakannya. Hasil pengumpulan jajak pendapat mahasiswa USU dari tanggal 14-21 November lalu kepada 500 orang mahasiswa USU menunjukkan, integritas menjadi faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih Gubernur Sumut (Gubsu). Sebanyak 70% responden sepakat bahwa Gubsu terpilih harus memiliki integritas untuk memimpin Sumut lima tahun ke depan. Integritas, menyebabkan pemimpin akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat yang ia pimpin. Kepercayaan dari masyarakat akan memudahkan Gubsu untuk

menjalankan tiap kebijakan di Sumut nantinya. Jika sudah punya integritas, 9% responden menyatakan faktor selanjutnya adalah rekam jejak dari si calon gubernur, bisa dari pengalamannya, prestasi yang pernah dicapai, di mana ia pernah berkiprah, dan sebagainya. Bila rekam jejaknya calon gubernur buruk, seperti pernah terindikasi korupsi atau dianggap gagal memimpin, tentu menimbulkan paradigma buruk pula bagi masyarakat. Faktor lainnya adalah intelektualitas, yakni kecerdasan menyangkut pemahaman dan pengertian terhadap suatu hal dianggap dibutuhkan di dalam diri calon gubernur. Sebanyak 9% responden sepakat dengan hal ini. Intelektualitas di sini tidak hanya menyangkut tingkat pendidikan saja, tapi juga pemahamannya memandang

Metode jajak pendapat:

G. 2%

%

9%

F. 2%

C.

1%

a. Integritas b. Rekam jejak c. Intelektualitas d. Usia e. Program kerja yang ditawarkan f. Lainnya g. Tidak tahu

7 E.

16 I MAJALAH SUARA USU

1. Faktor apakah yang paling penting bagi Anda dalam memilih Gubernur Sumatera Utara?

D.

Sampel diambil secara acak melibatkan 500 mahasiswa USU dengan mempertimbangkan proporsionalitas di tiap fakultas. Responden berasal dari angkatan 2007-2012. Penyebaran kuisioner dilakukan dari 14-21 November 2012. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan sampling error 5%, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pendapat mahasiswa USU. (Litbang)

B. 9% A. 70%


laporan utama utama - riset laporan suatu permasalahan termasuk permasalahan Sumut. Lalu, sebanyak 7% responden menyatakan program kerja yang ditawarkan juga menjadi faktor penting untuk memilih Gubsu. Tak mungkin memilih seorang pemimpin, tanpa tahu visi dan misi yang ia tawarkan. Visi dan misi tersebut pun harus jelas dan nyata mampu membawa Sumut menjadi lebih baik. Hanya 1% responden yang menyatakan usia merupakan­ faktor penting dalam memilih gubsu. Jika diinterpretasikan, tak masalah apakah calon Gubsu­ tersebut berasal dari tokoh muda dan baru ataupun telah berumur dan dikenal masyarakat, asalkan sosok tersebut memiliki integritas untuk memimpin Sumut. Menilik latar belakang profesi, sejarah menyebutkan 17 Gubsu yang pernah menjabat, mayoritas berlatar belakang militer. Namun untuk gubernur masa datang, hasil riset menunjukkan profesi dari calon gubernur tak begitu diperhitungkan. Hal ini terlihat dari persentase pilihan yang tak jauh berbeda dari berbagai opsi. Sebanyak 22% responden ber­ anggapan pejabat pemerintahan adalah latar belakang profesi paling ideal untuk memimpin Sumut. Lalu, 21% memilih mereka yang berprofesi sebagai pengusaha untuk jadi

gubernur. Sementara itu, hanya 16% responden yang memilih profesi militer, diikuti 13% responden yang menyatakan gubernur haruslah punya latar agamais. Hanya 9% yang meng­ inginkan gubernur nantinya adalah seorang politisi.

Setumpuk Masalah Menanti

Berakhirnya masa jabatan gubernur terdahulu, bukan berarti berakhir pula segala permasalahan yang ada. Tak pelak, masalah-masalah tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi me­ reka yang akan melanjutkannya. Saat ini, 36% mahasiswa sepakat bahwa masalah korupsi dan suap adalah masalah utama yang harus segera dibenahi Gubsu terpilih nanti. Masih segar dalam ingatan bagaimana ketika Gubsu terdahulu, Syamsul Arifin ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi. Dalam audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Ke­­u­a­ng­an per semester II tahun 2011 pun Sumut menempati peringkat provinsi ketiga di Indonesia yang merugikan negara, dengan 334 kasus dan penyimpangan uang sebesar Rp 515,5 miliar. Dari data yang dihimpun dari Pengadilan Negeri Medan, di salah satu media online Medan 24 November lalu, jumlah penanganan korupsi yang diusut pada 2011 hanya 47 ka-

2. Menurut Anda, latar belakang profesi apa yang ideal untuk memimpin Sumatera Utara? A 16% a. Militer b. Pengusaha c. Pejabat pemerintahan d. Agamais e. Politisi f. Lainnya g. Tidak tahu

B 21% C 22% D 13% E 15% F 9% G 4%

sus. Namun, jumlahnya meningkat hingga mencapai 88 kasus korupsi per November 2012. Hal-hal tersebut menunjukkan betapa korupsi menjadi salah satu masalah yang amat penting untuk diatasi. Selain itu, buruknya infrastruktur, terutama kondisi jalan raya maupun jalan lintas antar provinsi juga harus mendapat perhatian menurut 23% res­ponden. Menurut data Badan Pusat Statistik Sumut tahun 2010, kondisi jalan Sumut yang tergolong baik hanya 17.428,141 kilometer atau 60,37% dari total 28.866,124 kilometer jalan yang ada. Sementara, jalan yang rusak dan rusak berat di Sumut mencapai 10.552,743 km atau sekitar 36,55%. Kemudian, 15% responden me­ ngatakan lapangan pekerjaan di Sumut harus lebih diperluas lagi, dan 16% mengatakan birokrasi Sumut perlu diperbaiki agar tidak berbelitbelit lagi. Masalah lainnya adalah biaya kesehatan yang mahal sebanyak 4% , dan harga bahan pokok yang mahal sebanyak 2%. Kembali lagi, diperlukan gubernur yang berintegritas untuk segera membenahi permasalahan-permasalahan di atas. Pertanyaannya adalah, apa­kah Pemilihan Gubsu Maret 2013 akan melahirkan Gubsu yang berintegritas seperti yang diharapkan?

3. Menurut Anda, apa masalah utama yang harus segera dibenahi di Sumut?

A

23%

B

C

2%

a. Infrastruktur yang tidak memadai b. Lapangan pekerjaan sempit D c. Harga bahan pokok yang mahal d. Birokrasi berbelit-belit E 4% e. Biaya kesehatan dan obat-obatan F mahal f. Korupsi dan suap G 3% g. Lainnya H 1% h. Tidak tahu

15%

16%

36%

ILUSTRASI-ILUSTRASI: AUDIRA AININDYA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 17


laporan utama laporan utama

Tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013. RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

SIAP TARUNG MENUJU sUMUT SATU Oleh : Debora Blandina Sinambela dan Muslim Ramli

18 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama laporan utama laporan utama Mengurai masalah di Sumut tak akan ada habisnya, namun bukan berarti angkat tangan tanda pasrah. Para calon sudah mulai cari strategi, berlomba menawarkan jalan keluar. Semoga tak ­sekadar janji.

S

inar matahari membuat minyak dan keringat tubuhnya menyatu, mengeluarkan aroma yang dominan bensin. Badan, rambut dan celananya menghitam. Menjelang sore, Ia masih sibuk mengutak-atik di kolong bus. Tua Nasution namanya. Ia supir bus Antar Lintas Sumatera (ALS) trayek Medan­-Jakarta. Sudah menjadi kewajiban dua kali seminggu harus memperbaiki bus bernomor 171 yang ia kemudikan. Dalam seminggu, ia harus pulang pergi Jakarta dua kali, via Toba. Beberapa bagian bus dipisah dari badan seperti roda, aki dan beberapa bagian lain. Seharian sudah bus diperbaiki dan bagian rusak diganti. Permasalahan busnya paling sering di ban dan bumper bus. Ia juga harus meng­elas tangga yang patah dan memperbaiki badan bus yang terbentur batu besar. Paling sering bus menghantam batu-batu besar di jalur Tarutung-Sipi­rok, Sumatera Utara. Menurut Tua, jalur sepanjang 15 kilometer ini paling ba­nyak lubangnya. “Jalannya macam paret-lah,” ujar Tua. Kondisi jalan di jalur ini rusak parah. Memasuki daerah Aek Latong, jalan masih tanah merah dan berbatu. Apalagi kalau kondisi hujan, jalanan bisa sa­ngat licin. Kondisi jalan dengan tanjakan yang kemiringannya mencapai 50-60 derajat menjadi jalur paling berbahaya.

Tua mengatakan di daerah ini pa­ ling sering mobil mogok dan terguling. Sekitar satu tahun lalu satu bus ALS tergelincir dan menabrak mobil dibelakangnya hingga bus kandas di telaga dekat jalan. “Kalau mau lewat tanjakan itu, banyak penumpang yang minta turun jalan kaki, lalu naik lagi kalau sudah lewat tanjakan,” ujar Tua. Seingatnya, sudah tiga kali jalur ini dipindah. Namun karena setiap jalur baru hanya sekadar diratakan dengan buldoser tanpa diaspal menyebabkan jalur ini amblas terus. Sementara jalur ini kerap dilalui kendaraan berat seperti mobil pembawa kayu, bus dan truck. “Waktu mendiang Raja Inal, jalan ini sempat bagus. Sekarang udah dua Gubernur, jalannya gini-gini aja,” kata tua. Filiyanti Bangun, peneliti sistem transportasi dan tata ruang asal Sumut menanggapi kondisi Aek Latong, kata­ nya struktur tanah di sana memang rentan longsor. Namun bukan berarti tak bisa diperbaiki. Menurutnya perlu campur tangan pemerintah pusat dan Balai Besar Jalan Provinsi. “Tak hanya di sana, jalan menuju Tanah Karo juga butuh perhatian,” kata Filianti. Berdasarkan catatan Dinas Bina Marga Sumut hingga akhir 2011, terdata sebanyak 2.749 kilometer jalan

provinsi. 1.213 kilometer dari jalan tersebut kondisinya baik. Sementara ada sekitar 673 kilometer jalan provinsi di Sumatra Utara atau 30% dari total jalan provinsi dalam dalam kondisi rusak ringan mau pun berat. 369 kilometer dalam keadaan rusak ringan dan 304 kilometer dalam kondisi rusak berat. Filiyanti mengakui buruknya kondisi infrastruktur Sumut. Jika ia bandingkan dengan provinsi tetangga seperti Aceh, Padang dan Pelembang, kondisinya jauh berbeda. Ia menilai sistem yang diterapkan selama ini salah dilihat dari kualitas dan pengawasan pembangunan infrastruktur. Selain itu, perbaikan pun tak dilakukan merata. “Selama ini, pemerintah sering melakukan pengaspalan namun tidak ada kemajuan yang berarti karena teknik pengaspalan yang dilakukan salah. Berdasarkan penelitiannya, bahan yang digunakan untuk mengaspal tidak ada campuran zat yang mengikat air. Alhasil, belum tiga bulan diperbaiki, jalan sudah rusak lagi,” ujar Filiyanti. Ia mengatakan, pengaspalan bukan karena tebalnya dikatakan baik, namun kualitas bahan dan campuran yang digunakan. Kalau pengaspalan yang terlalu tebal pun bisa mengancam keselamatan pengguna jalan. Misalnya teknik tambal sulam yang selama ini

Calon gubernur petahana, Gatot Pujo Nugroho dalam acara Pameran Lingkungan hidup di Pendopo UU, (5/10) SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 19


laporan utama laporan utama dilakukan pemerintahan provinsi maupun kota selalu menyebabkan jalan yang ditambal lebih tinggi. “Tidak heran banyak kecelakaan karena buruknya overlay,” kata Filiyanti. Selain itu perlu kerjasama dengan dinas perairan untuk masalah drainase karena aspal sangat rentan dengan air. *** Dua minggu sudah Rasianna Purba Siboro memanen cabai miliknya. Rasianna adalah petani yang tinggal di Saribu Dolok, Simalungun. Di lahan seluas 10 rante atau hampir setengah hektar, ia tanam 4.250 batang cabe. Selain cabai ia juga menggunakan sistem tumpang sari dengan jagung, sayuran dan kopi. Setelah di petik, ia segera menjual ke pasar. Rasianna terkejut, cabainya hanya dihargai Rp 3 ribu per kilonya. Selain itu harga sayurannya pun jatuh. Namun mau tak mau ia harus tetap menjual hasil panennya. Rasianna menghitung kembali total modal yang sudah ia habiskan. Totalnya mencapai Rp 4 juta rupiah. Dari hasil penjualan, setengah dari modal pun belum tertutupi. Rasianna rugi. “Sekarang cabe tak ada harga, harusnya minimal 10 ribu per kilo biar ada untung,” kata Rasianna. Ia juga mengeluhkan mahalnya pupuk. Ia memang pernah dengar ada

pupuk subsidi dari pemerintah. Sekalipun ia tak pernah mendapat pupuk subsidi pemerintah. Selama ini me­reka memakai pupuk non subsidi yang harganya jauh labih mahal. Menyiasati mahalnya pupuk kimia, mereka mencampur dengan pupuk organik. Selain membeli pupuk, mereka juga harus membeli obat-obatan lain untuk melawan hama hingga menunjang pertumbuhan tanaman. Menurut Ketua Umum Serikat Pe­ tani Indonesia periode 2007-2012 Henry Saragih, jatuhnya harga produk pertanian di pasar karena kurangnya proteksi dalam negeri. Dalam arti pemerintah tidak mengontrol hasil pertanian impor dari negara lain sehingga hasil pertanian dalam negeri tak laku dipasaran. Misalnya masuknya jagung dari India dengan harga murah merusak harga di pasaran. Sama halnya dengan sayuran dan jeruk dari Australia. “Pemerintah menyamakan perlakukan terhadap hasil pertanian dan barang elektronik. Padahal petani kita sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan negeri tanpa harus impor,” ujar Henry. Kondisi lain yang dihadapi petani saat ini juga semakin sempitnya lahan pertanian rakyat akibat semakin ba­nyak lahan yang diambil alih perusahaan

Gus Center, Pos pemenangan Gus Irawan Pasaribu

20 I MAJALAH SUARA USU

perkebunan. Pemerintah memilih menyerahkan lahan kepada perusahaan perkebunan dan diserahkan lagi ke perusahaan asing untuk dikelola. Henry menilai seharusnya kepada keluarga yang menggantungkan hidupnya pada pertanian lah didistribusikan lahan tersebut. “Mereka punya kemampuan mengolah lahan. Seharusnya perusahaan mengambil porsi untuk pengolahan. Misalnya perkebunan sawit dan karet. Masyarakat bisa mengelola pertaniannya. Namun untuk mengubahnya menjadi minyak dan produk lain itu baru di tangani perusahaan,” papar Henry. *** Gus Irawan Pasaribu adalah seorang ekonom dan coorporate paruh baya yang pernah menjadi direktur utama (Dirut) sebuah bank swasta selama tiga periode. Suatu hari di tahun 2009, de­ngan keseriusan yang lebih dari biasa­nya, di tengah periode ketiganya sebagai direktur bank, Gus dan enam saudaranya mengadakan diskusi keluarga. Tujuh bersaudara ini memang memiliki latar belakang orang peme­ rintahan. Di antaranya yang pernah

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU


laporan utama laporan utama tergabung dalam kabinet saat Pre­ siden Abdurrahman Wahid menjabat yaitu Bomer Pasaribu sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Saat itu mereka prihatin dengan kondisi Sumut dan potensi yang kurang dioptimalkan. Dengan kompetensi dan potensi yang mereka miliki, sepakat membuat Sumut lebih baik. Keputusan diskusi, Gus dipersiapkan menjadi Walikota Medan. Sementara abangnya yang keempat Shahrul M Pasaribu dipersiapkan menjadi Bupati Tapanuli Selatan. Namun Gus tak mau meninggalkan begitu saja posisi sebagai dirut di bank. Ia baru saja memperpanjang kepemimpinanya dan merasa bertanggung jawab sampai akhir periode. Disepakatilah setelah habis periode ketiga, Gus tak lanjut lagi dan ia disiapkan mengikuti pemilihan kepala daerah Sumut. “Saya adalah personifikasi dari tujuh bersaudara. Ada kekuatan keluarga yang mendukung,” ujar Gus. Harapan tujuh bersaudara ini terwujud 16 November lalu di kantor KPU Sumut. Gus dan wakilnya Soekirman dihantar pengurus partai, tokoh masyarakat dan simpatisan mendaftar sebagai calon Gubernur Sumut. Ada 23 partai mendukung mereka. Gus yakin bisa membawa sumut sejahtera, se­perti yang dikatakan dalama visi dan misinya.

Beda lagi dengan Effendi Simbolon. Sehari-hari Effendi dikenal sebagai anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan wakil ketua komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang fokus pada bidang permasalahan energi, riset, teknologi dan lingkungan hidup. Keputusan Effendi diusung menjadi calon Gubernur Sumut didampingi Djumiran Abdi. Berdasarkan rapat internal bersama ketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, 8 November silam di Jakarta. “Ibu Mega minta mengusung kader untuk Sumut 1,” kata Panda Nababan, Ketua PDIP Sumut. Pasangan ini juga didukung Partai Peduli rakyat Nasional (PPRN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) Nama Effendi memang nama yang tidak disangka muncul karena keinginan partai lebih mengutama­ kan kader yang maju, maka ia pun di pilih. Nama Effendi memang lebih terkenal di pusat ketimbang di Sumut. Effendi lahir dan besar di Banjarmasin. Ini pula yang membuat Effendi me­ngatakan ia belum terlalu kenal Sumut keseluruhan. Namun ini tak menciutkan semangat Effendi bertarung di Pilkada Sumut. “Saya lahir dan besar di sana. Hari ini lah kesempatan saya untuk berbuat sesuatu bagi tanah nenek moyang,” kata Effendi. Effendi dan Chairuman Harahap

Chairuman saat temu ramah bersama seluruh tim pemenangannya di Hotel Polonia Medan, Jumat(30/11) DEBORA BLANDINA SINAMBELA | SUARA USU

punya kesamaan, yaitu sama-sama sedang menjabat wakil rakyat di Senayan. Chairuman berstatus anggota komisi II dari sebelumnya komisi VI DPR. Ia punya latar belakang pendidikan hukum. Puluhan tahun ia mendalami dan berkecimpung di dunia kejaksaan, dari kejaksaan Sumut hingga menjadi pejabat teras di Kejaksaan Agung. Dari pengalaman selama ini, ia mengaku sering bersinggungan dengan problema masyarakat. Ayahnya Sutan Mangarahon Harahap adalah seorang pejuang di Tapa­ nuli Selatan yang kerap dicari-cari NICA karena jiwa nasionalismenya. Sutan ke­ rap keluar masuk desa untuk membuka isolasi masyarakat dari keterbelakangan melalui pembangunan. Dalam menjalankan tugas ini, Chairuman dibawabawa. Ayahnya menjadi sosok yang menginternalisasikan nasionalisme dan kerakyatan kepada Chairuman. Dari pengalaman itu, Chairuman menyimpulkan bahwa sesuai dengan wasiat ayahnya, panggilan tugas di kejaksaan, pemerintah, maka muncul niat berjuang membangun rakyat. “Ini keinginan kita sejak dulu untuk membuat bangsa maju, itulah cita-cita politik kita,” ujar Chairuman. Setelah melalui dinamika politik, ia pun diusung Golkar menjadi Gubernur didampingi Fadly Nurzal dari Partai Persatuan Pembangunan. Sang petahana, Gatot Pujo Nugroho turut ambil bagian dalam pilkada ini. Gatot yang kini menjabat Gubernur Sumut dicalonkan karena dianggap sebagai kader terbaik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sehingga perlu diberi kesempatan untuk menyelesaikan visi dan misinya dalam membangun Sumut. Ia dipilih melalui Musyawarah Kerja Nasional PKS Maret lalu. Selain itu, karena selama ini ia berada dalam sistem pemerintahan, Gatot dinilai sudah punya jaringan dan modal yang cukup dalam menjalankan pemerintahan. Tengku Erry Nuradi dari Golkar yang juga tengah menjabat Bupati Serdang Berdagai dipercaya menjadi pendampingnya.

MAJALAH SUARA USU I 21


laporan utama laporan utama

Pasangan Amri Tambunan dan RE Nainggolan saat mendaftaran diri ke Komisi Pemilihan Umum, Jumat (16/11). RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

Satu pasaangan lagi adalah Amri Tambunan dengan Rustam Effendi Nainggolan. Hingga sekarang Amri masih tercatat sebagai Bupati Deli Serdang. Sementara RE Nainggolan mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut. Sebagai orang yang berada dilingkungan birokrasi dan pemerintahan, Amri juga dinilai punya modal cukup. Hal inilah yang membuat Ketua Umum Partai Demokrat memilih Amri maju jadi Sumut satu. “Jika dipilih dan dipercaya oleh rakyat, saya siap memimpin Sumut,” ujarnya. *** Secara garis besar kelima calon ini punya visi untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Sumut. Mereka pun sudah mulai merancang prioritas dan desain mencapai visi dan misi yang akan di lakukan jika terpilih nanti. Gus Irawan misalnya, ia menilai hal utama adalah perbaikan birokrasi harus bersih. “Saat ini korupsi di Sumut peringkat tiga, itu prestasi yang memalukan,” kata Gus. Ia mencontohnya dalam bidang pertanian. Katanya, pemerintah memberikan subsidi pupuk untuk membantu petani. “Fakta di lapangan membuktikan tak semua petani mendapat pupuk

22 I MAJALAH SUARA USU

bersubsidi karena ulah sebagian aparat pemerintahan yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi,” kata Gus. Gus membandingkan dengan kondisi di provinsi lain. Ia bilang dibanding­ kan dengan jalan provinsi tetangga seperti di Aceh, Sumatera Selatan dan Riau, jalan di Sumut kalah jauh. “Jalan di Riau, Sumatera Selatan dan Aceh juga jalan negara. Tapi kenapa bisa bagus? Padahal kita sama-sama di Indonesia kok. Apa salahnya? Ya kualitas. Ada kebocoran dana luar biasa,” ujar Gus. Untuk memperbaiki kondisi ini menurut Gus dibutuhkan pemimpin yang punya kekuatan menumbuhkan budaya baru dengan sistem terstruktur dan terukur. Effendi dan Chairuman juga menyadari parahnya infrastruktur terutama jalan. Mereka juga merasa infrastruktur terabaikan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Effendi mengatakan akan melakukan pembangunan infrastruktur serta sarana dan prasarana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Saat ditemui, Effendi menolak memaparkan visi yang akan dibawa de­ ngan alasan belum masa kampanye. Ia hanya mengatakan akan fokus tiga hal;

buruh, petani dan nelayan. “Saya akan benahi tiga sektor itu, kita kan peduli wong cilik,” kata Effendi. Ia juga me­ nyinggung mengembalikan kedaulatan rakyat, namun ia tak menjelaskan kedaulatan seperti apa. Sementara Chairuman punya konsep pembangunan dari desa. Ia meyakini bahwa pembangunan harus dimulai dari masyarakat desa. Ia melihat sebagian besar masyarakat Sumut hidup di desa, bahkan kalau dilihat skala nasional pun 85 persen masyarakat tinggal di desa. Masyarakat desa lah yang ha­rusnya dilibatkan untuk mengomunikasikan ide-ide ke arah percepatan pembangunan. Ia pun sudah merancang akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 600 miliar untuk pembangunan desa. Dengan asumsi setiap desa nantinya mendapat Rp 100 juta untuk digunakan masyarakat dalam rangka pembangunan desa. Chairuman bilang tiap desa tentu punya kondisi yang berbeda, menurutnya perlu ada penanganan yang berbeda. “Membangun desa berarti membangun mereka memiliki ekonomi yang layak,” katanya. Tak hanya itu, dengan kelayakan


laporan utama laporan utama ekonomi yang dimiliki desa, maka bisa menjaga ketahanan nasional. Chairuman mencontohkan ketika di Orde Baru terjadi krisis, maka desa lah yang mampu bertahan karena tak bergantung pada perekonomian global. Perekonomian menyebar dan tak terpusat di satu wilayah saja sehingga tidak mudah dipatahkan. Meski punya tujuan yang sama untuk memajukan masyarakat, Rustam Efendi Simbolon. Nainggolan menilai sumber daya manusialah yang harus diperbaiki terlebih dahulu. Untuk memanfatkan segala potensi yang dimiliki Sumut dibutuhkan orang yang mampu mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas ini tentu ditempuh dengan pendidikan. Masyarakat harus diberikan kesempatan mengecap pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. “Untuk mengembangkan Sumatera Utara ada prioritas yang harus disesuaikan dengan sumber daya manusia dan ketersediaan dana,” ujar Rustam. SUARA USU sudah berusaha untuk menemui Gatot Pujo Nugroho mena­ nyai visi dan misinya. HIngga hari ini, Senin (3/12) dia belum bisa dihubungi. *** Tahun 2013 adalah momen bagi Sumut melakukan lompatan. Sejumlah peluang Sumut muncul di tahun ini, misalnya pengoperasian Bandara Internasional Kuala Namu, kepemilikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan proyek Sei Mangke. Bandara dengan taraf Internasional akan menghidupkan arus investasi ke Sumut. De­ ngan memiliki Inalum seutuhnya maka keuntungan yang dapat sepenuhnya menjadi pemasukan Sumut. Sementara Proyek Sei Mangke merupakan kawasan ekonomi khusus. Kapasitas kawasan ini bisa menampung ratusan triliun investasi. Sejak di buka tahun ini, sudah puluhan triliun investasi yang masuk di kawasan tersebut. Menurut Gus, kalau ada uang triliunan berputar di suatu wilayah bisa menggerakakan ekonomi.

”Dengan bergeraknya ekonomi maka secara tidak langsung ekonomi kerakyatan juga ikut tergerak. Bagaimanapun sebuah negara berpotensi maju jika banyak enterpreuneur. Perlu adanya kerjasama pemerintah, pengusaha, bank dan perguruan tinggi untuk menciptakan enterprenuer.” Chairuman juga melihat peluang ini. Tak hanya bandara, namun pelabuhan laut pun tak kalah menjanjikan. Siapapun pemimpin Sumut nanti harus bisa memanfaatkan Selat Malaka sebagai lalu lintas ekonomi dunia. Menurutnya perlu dibangun pelabuhan di pantai barat dan labuhan bilik. Ia juga mengkritisi tidak

jelinya pemerintah mengembangkan Sei Mangke. Belakangan banyak perusahaan yang mengancam menarik investasi karena sulitnya masalah perizinan. Gus tambahkan peran pemerintah sebagai inisiator mendesain perguruan tinggi membuat kurikulum yang sesuai kebutuhan lapangan. Kemudian pe­ ngusaha berpengalaman berbagi ilmu dengan pengusaha pemula dan mahasiswa, bank bisa membantu pemodalan. “Kita sudah tertinggal. Saya ingatkan generasi muda, 2013 adalah momentum untuk bangkit dan melakukan loncatan besar,” kata Gus.

MAJALAH SUARA USU I 23


laporan utama laporan utama

Aksi Mahasiswa rentan ditunggangi partai politik.

24 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama laporan utama

Independensi Mahasiswa dalam Payung Partai Politik Oleh: Hadissa Primanda & Ipak Ayu H Nurcaya Foto: Ridha Annisa Sebayang

Idealnya, mahasiswa harus independen pergera­ kannya dalam tataran politik. Namun justru, mahasiswa adalah sasaran empuk bagi partai politik seba­gai perpanjangan ta­ngannya. Kembali lagi, independensi adalah dari segi pemikiran, terlepas dari siapa yang memayungi.

O

rganisasi mahasiswa pertama di Indonesia yang menjadi backbone dan ber-culture keterbukaan. Begitulah sepenggal keterangan di kolom “tentang” dari laman facebook Liga Mahasiswa NasDem, sebuah organisasi politik khusus mahasiswa. Saat dibuka lebih lanjut, dijelaskanlah, kenapa Liga Mahasiswa NasDem ini harus ada, misi yang ingin dijalankan, serta sejarah singkatnya. Liga Mahasiswa NasDem punya moto Belajar, Berpartai, dan Berbakti kepada partai induknya, Partai NasDem. Organisasi ini memang baru dibentuk tahun lalu. Umurnya masih muda, tak jauh beda dengan induknya. Hingga saat ini, sudah 1784 orang yang menyukai laman tersebut. Meskipun tak ada data pasti apakah keseluruhannya memang bagian dari organisasi tersebut atau hanya sekadar ikut-ikutan. Di Sumatera Utara (Sumut) sendiri, Liga Mahasiswa NasDem juga sudah punya rombongan mahasiswa. Solvia Karina Tarigan salah satunya. Ia adalah

Ketua Liga Mahasiswa NasDem untuk wilayah Sumatera Utara. Awalnya, ia di­ajak temannya untuk bergabung de­ngan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Nasional Demokrat (NasDem), tahun 2009 lalu. Kala itu, ia tengah menjalani tahun keduanya sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Ia bergabung dan berkecimpung di Bidang Kesenian dan Kebudayaan Ormas NasDem. Ormas NasDem ini, punya dua organisasi sayap, yaitu Gerakan Pemuda (Garda) dan Gerakan Pemuda Wanita (Garnita). Ormas NasDem pula lah sebenarnya yang menjadi cikal bakal dibentuknya Partai NasDem pada 26 Juli 2011 lalu. Partai ini adalah wadah bagi ormas untuk bisa menyalurkan aspirasi politiknya, mengingat ormas punya gerak terbatas untuk bicara masalah politik. Partai ini kemudian juga membentuk organisasi sayap yakni Liga Mahasiswa NasDem dan Badan Advokasi Hukum, yang dideklarasikan 9 November 2011 lalu. Untuk Sumut sendiri, baru dideklarasikan pada 4 Maret tahun

MAJALAH SUARA USU I 25


laporan utama laporan utama

ini di Medan. Semua anggotanya otomatis menjadi anggota partai juga. Mengingat kemunculannya sebagai gebrakan baru sebuah partai politik, Liga Mahasiswa NasDem juga kerahkan tenaga untuk mengadakan konsolidasi kepada mahasiswa. Mereka pun turun langsung ke kampus-kampus untuk menghimpun kader. Ia bilang saat ini sudah tercatat sekitar 758 anggota, dan masih dalam proses pengumpulan. Meskipun diakui Karin, kadang mereka kesulitan untuk melakukan audiensi dengan pihak kampus mengingat adanya larangan gerakan politik di kampus. Kegiatannya lebih banyak meng­ ikuti kegiatan dari partai. Segala sesu­ atunya juga dikoordinasikan dengan bagian pusat. “Sebagai sayap partai, otomatis juga mendukung segala keputusan partai,” ujar Karin. Meskipun begitu, keanggotaan Liga Mahasiswa NasDem tidak lah bersifat memaksa. Setelah masa bakti lima tahun, mereka diberikan kebebasan untuk memilih, apakah akan tetap meneruskan kegiatan politik dengan Partai NasDem, atau pindah haluan ke partai lain. Karin tak memungkiri, bisa jadi selama bergabung, muncul perbedaan ideologi dengan apa yang sudah diberikan semula. Namun, dikatakan Karin, kemungkinannya kecil. “Saat mereka telah dibesarkan oleh partai

26 I MAJALAH SUARA USU

ini, sepantasnya lah mereka juga tetap mengabdi,” paparnya. Sebelum Liga Mahasiswa NasDem muncul, sesungguhnya telah menjamur organisasi kemahasiswaan yang sering dikaitkan dengan parpol. Bisa jadi karena ideologi dan ajarannya yang mirip, ataupun latar belakang sejarahnya. Sebut saja Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini cukup tua umurnya, karena merupakan generasi awal munculnya organisasi kemahasiswaan pascakemerdekaan. Ia dibentuk pada 22 Maret 1954 sebagai leburan dari tiga organisasi yaitu Gera­ kan Mahasiswa Marhaenis, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia. Mere­ ka mengusung ideologi yang sama dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yakni marhaenisme. Dari catatan sejarahnya, sejak awal terbentuk GMNI sudah menyatakan tidak ingin menjadi bagian afiliasi dari PNI. Namun dalam perkembangannya, sikap independensi ini luntur karena pimpinan GMNI yang dalam aktivitasnya mengintegrasikan dirinya dengan PNI. Akhirnya, tahun 1959 GMNI menjadi underbow dari PNI dan dilegalisasikan dalam struktur formal partai. Gejolak Gerakan 30 September 1965 berdampak pada kelangsungan GMNI. Terjadi perpecahan dalam kubu GMNI, sehingga muncul kesadaran baru

dari para awak GMNI untuk bergerak pada kekuatannya sendiri. Alhasil, pada Kongres V GMNI di Salatiga, Jawa Tengah pada tahun 1969, GMNI memutuskan untuk tidak menjadi bagian afiliasi dari partai politik manapun, dan mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang bebas, meskipun punya ideologi yang sama dengan PNI. Namun demikian, hubungan kerabat PNI dan GMNI masih terasa hingga saat ini. Sadrak Pasaribu, Ketua GMNI Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Kota Medan tak menampik hal tersebut. Ia kenal GMNI tahun 2006, saat menjadi mahasiswa baru di Universitas HKBP Nommensen. Ada banyak organisasi yang diperkenalkan padanya saat itu, namun ia menjatuhkan pilihan pada GMNI. Selain tertarik dengan ideologi­ nya, ini dipengaruhi juga oleh latar belakang keluarganya. Opung-nya aktif di GMNI. Sadrak pun paham betul cerita sejarah GMNI tempo dulu. “Memang GMNI dulunya ibarat laboratorium pengaderan untuk keanggotan PNI,” paparnya. Tapi saat ini, dijelaskan Sadrak, GMNI benar-benar sudah hidup ­dengan jalurnya sendiri, seperti yang dicita-citakan semula. Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan murni kegiatan organisasi, seperti advokasi terhadap masyarakat ataupun sejumlah aksi yang mungkin dibutuhkan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Pun kaderisasi yang dilakukan internal GMNI, juga demi kepentingan organisasi, bukan tangan panjang parpol seperti yang dilakukan dulu. Namun Sadrak tak memungkiri banyak dari alumni mereka yang tetap meneruskan kariernya di bidang politik, misalnya bergabung dengan partai. Karena tak lagi terhubung dengan partai mana pun, mayoritas alumni GMNI tak bertumpu pada satu partai. Kebanyakan dari mereka ambil bagian dengan partai-partai nasionalis, seperti Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), ataupun Partai Demokrat.


laporan utama laporan utama Sadrak pun mengaku tak pernah mendapat surat atau permintaan untuk menjadi kader anggotanya dari partaipartai politik. Hubungan dengan partai politik dibangun oleh hubungan personal alumni itu sendiri. “Biasanya karena adanya jaringan atau kedekat­an pribadi dengan partai tersebut,” paparnya. Soetarto sebagai contoh. Ia adalah mantan Ketua DPC GMNI Kota Medan 1990-1992. Kini, selain menjadi dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Darma Agung, ia juga dipercaya menjadi Wakil Sekretariat Internal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) PDI-P. Dulu, saat masih menjadi aktivis GMNI ia mulai tertarik untuk ikut berpartisipasi di kancah politik. Saat telah menjadi alumni, ia pilih PDI-P sebagai lahan berpolitiknya. Ia bilang, selain sudah mendalami ideologi yang diusung PDI-P karena senada dengan ideologi GMNI, paham ideologi tersebut memang sesuai dengan hati nuraninya. Lebih lanjut Soetarto jabarkan me­ ngenai empat organisasi sayap PDI-P. Ada Banteng Muda Indonesia (BMI) yang sudah terdapat di 26 kabupaten dan kota di Sumut. Lalu ada Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) yang punya cakupan lebih luas, mencakup 56 kabupaten dan

kota di Sumut. Organisasi ini bertujuan menggalang para aktivis sipil untuk bergabung dengan PDI-P. Untuk menaungi mereka yang muslim, juga ada Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Terakhir, ada Taruna Merah Putih sebagai organisasi kepemudaan. Keempat organisasi tidak punya hubungan strukural secara langsung dengan partai, namun menjadi bagian afiliasi dengan partai secara struktur otonom, dan tercantum dalam Anggar­an Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Hubungan yang dijalin PDI-P dengan keempat sayapnya ini adalah konsultatif-koordinasi, artinya otonomi yang diberikan kepada masing-masing organisasi harus tetap dikonsultasikan dan diketahui oleh partai. Sama seperti Partai NasDem, seluruh anggota organisasi ini juga merupakan anggota PDI-P. “Setiap anggota sayap partai merupakan cara kaderisasi partai PDI-P. Meski mereka diberi otonom untuk mengatur organisasinya, mereka harus patuh ­dengan segala aturan, ideologi maupun kebijakan dari PDI-P,” paparnya. Dalam organisasi Taruna Merah Putih, lahir pula Satuan Mahasiswa (Satma) Taruna Merah Putih, sebagai organisasi kemahasiswaan PDI-P. Satma

ini dibentuk untuk mengakomodir aspirasi mahasiswa. Namun, Satma Taruna Merah Putih ini adalah anak bawang PDI-P. Karena, tak semua kewajiban yang dilakukan anggota organisasi harus dipenuhi anggota satma. Misalnya saja, anggota Satma Taruna Merah Putih belum tentu anggota PDI-P, seperti dijelaskan dijelaskan Muhammad Iqbal, Sekretaris Komisariat Satuan Mahasiswa Taruna Merah Putih. Tidak pula ada paksaan yang mengharuskan mereka bergabung dengan PDI-P. Jika telah selesai dengan Satma Merah Putih, mereka pun diberi kebebasan untuk ikut partai mana pun, tak harus PDI-P. Bahkan, jelang Pemilihan Gubernur Sumut (Pilgubsu) tahun depan, mereka tak harus memilih pasa­ ngan Effendi MS Simbolon dan Djumiran Abdi yang diusung PDI-P, meskipun ikut dalam proses kampanyenya. “Kami tetap diberi otonom dari pusat, dibebaskan memilih yang sesuai hati nurani,” kata Iqbal. Ia menambahkan, mereka pun berkesempatan untuk protes terhadap kebijakan pusat jika ada yang dirasa tidak pro mahasiswa. Cerita dari Partai Golkar hampir serupa. Diceritakan Daudsyah, Wakil Ketua Bidang Kerja Gerakan Ormas DPD Sumut,

Dialog interaktif antara Bakal Calon Gubernur dengan mahasiswa di Auditorium Unimed, Sabtu (1/9).

MAJALAH SUARA USU I 27


laporan utama laporan utama ada cukup banyak organisasi dalam partainya. Ada ormas dalam Partai Golkar seperti Masyarakat Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), dan lain-lain. Ada pula organisasi yang didirikan oleh Partai Golkar seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Ulama, Hidayah, dan Himpunan Wanita Karya (HWK). Sementara untuk sayap partai ada Angkatan Muda Golkar dan Angkatan Perempuan Golkar. Namun Daud tak menjelaskan lebih rinci seperti apa organisasi-organisasi tersebut. Yang jelas organisasi-organisasi tersebut bertujuan untuk berhimpun, saling tukar informasi bagi kepentingan masyarakat, sesuai bidangnya masingmasing. Senada dengan organisasi di PDI-P, organisasi di Partai Golkar ini juga tak punya hubungan struktural dan diberikan otonomnya sendiri. “Seluruhnya diharapkan dapat membangun bersama,” ujar Daud. Untuk AMPI yang bergerak di bidang kepemudaan, juga terdapat Satma AMPI untuk menghimpun mahasiswa. Iswanda Nandarambe, Ketua AMPI Medan bilang mereka bukan termasuk sayap, tapi memang kumpulan yang didirikan oleh Partai Golkar sendiri. Meskipun tak punya hubungan struktural, mereka tetap mendukung segala kebijakan yang dari Partai Golkar. “Aspirasi tetap ke Golkar,” katanya. Namun tidak demikian halnya dengan­ Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang merupakan kombinasi nasionalisme dan agama Islam ini sama sekali tak punya organisasi sayap ataupun ormas. Mereka hanya organisasi politik, dengan anggota dari berbagai kalangan, termasuk di dalamnya mahasiswa. Muhammad Hafez, Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PKS Sumut mengungkapkan tak ada pengklasifikasian dari anggota PKS, semuanya murni sebagai kader PKS. Mereka punya pertemuan rutin bernama Halaqah atau kelompok belajar, biasanya sekali seminggu. Pada pertemuan ini, semua anggota wajib hadir, entah dia baru bergabung atau

28 I MAJALAH SUARA USU

sudah menjadi pe­ngurus partai. Waktu dan tempatnya disesuaikan deng­an kelompoknya ma­sing-masing. Kajian mereka bersifat global, mulai dari pemahaman mengenai akidah, hadis, fikih, dan pengetahuan Islam lainnya hingga isu-isu nasional. Hafez cerita, saking telah berkembangnya kelompok Halaqah PKS ini, saat ia mengenyam pendidikan di Mesir, ia tetap melakukan rutinitas tersebut bersama anggota lain yang juga berada di Mesir. “Dari situ pula PKS dapat mengontrol setiap anggotanya,” kata Hafez.

Meskipun tak punya organisasi khusus mahasiswa seperti parpol lain, Hafez memaparkan bahwa justru mahasiswa adalah motor penggerak dari PKS. Dari 16 ribu anggota PKS, bisa dibilang 85% adalah mahasiswa. Memang pada awalnya, sebelum menjadi organisasi politik, PKS berasal darikelompok kajian-kajian kampus. Ia menambahkan, secara personal, anggota PKS yang masih mahasiswa juga aktif di kampus, seperti di kerohanian Islam (rohis), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau pemerintahan mahasiswa, Kelompok Aksi Mahasiswa


laporan utama laporan utama Muslim Islam (KAMMI), dan Unit Ke­ giatan Mahasiswa Islam (UKMI). Tidak diperbolehkannya ada gera­ kan politik di kampus membuat peng­ aderan PKS tidak dilakukan secara terang-terangan dalam merekrut anggota. Hafez mengatakan, anggota PKS yang aktif di kampus biasanya tetap rutin mempelajari kajian-kajian Islam sehingga punya semangat memperbaiki negara sekaligus menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. “Biasanya, dilakukan komunikasi secara personal dengan mereka yang punya semangat untuk mempelajari agama dan ingin belajar berpartai,” ungkap Hafez. Hafez juga bilang, semangat se­ perti ini biasanya hanya ditemui dari mahasiswa. “Jika mahasiswa sudah punya kritikan terhadap sesuatu, gerakangerakan atau manuver-manuver yang diberikan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,” paparnya. Meskipun begitu, ia setuju dilarangnya gerakan politik di kampus. Ia bilang, mahasiswa berhak punya pilihan-pilihan politik, namun tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai mahasiswa. Jika gerai politik dibuka di kampus, bisa dipastikan banyak mahasiswa yang fokusnya malah teralihkan dengan kegiatan partai yang mereka geluti, hingga kegiatan akademiknya terbengkalai. “Bayangkan kalau nanti ada 30 parpol punya cabang di kampus, kampus hanya akan jadi kepentingan parpol, bukan tempat menimba ilmu,” paparnya. Namun ia menambahkan, mahasiswa tidak boleh dibatasi geraknya. Keinginan berpolitik yang tumbuh adalah sesuatu yang alami. Hanya saja pe­nyalurannya bisa dilakukan pada forum-forum di luar kam- pus. “Semangat berpolitik mahasiswa itu tidak boleh dikebiri,” ujarnya. *** Di kantor komi­sariat PDI-P Jalan Hayam Wuruk terlihat beberapa orang sibuk mengepak kalender dan kartu nama yang bergambar-

kan pasangan Effendi-Djumiran. Barang tersebut akan dibagikan dalam rangka promosi ­Effendi-Djumiran sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Sumut. Soetarto dari PDI-P bilang, saat ini pasangan dari partainya telah melakukan roadshow ke 33 kabupaten di Sumut. Memang, untuk kampanye kali ini mereka lebih fokus pada kerakyatan. “Diharapkan dengan roadshow ini masyarakat jadi tahu dan kenal sosok Effendi dan pastinya agar dipilih nanti,” kata Soetarto. Tapi mereka tak lupa mencuri perhatian mahasiswa untuk meraup suara. Urusan ini telah diserahkan sepenuhnya kepada Satma Taruna Merah Putih. Iqbal mengaku telah mengadakan rapat de­ ngan seluruh anggota satma se-Sumut. Selain melakukan persuasi secara personal, mereka juga berencana membuat satu forum untuk mengumpulkan seluruh pema dari berbagai universitas dan aktivis organisasi-organisasi mahasiswa untuk mengadakan sosialisasi tentang pasangan Effendi-Djumiran. Partai Golkar juga telah melakukan konsolidasi serupa. Dijelaskan Daud, konsolidasi telah dilakukan dari mulai tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan. Baik internal maupun eksternal ke suluruh masyarakat. Meskipun begitu, ini masih langkah pertama dari rangkaian kampanye yang mereka lakukan. Satma AMPI sendiri juga belum menentukan strateginya. Mereka baru akan rapat dalam waktu dekat. “Pasti­nya meyakinkan mahasiwa agar memilih Chairuman-Fadly,” pungkasnya. PKS juga telah siapkan segudang rencana untuk kampanye kali ini. Meskipun

sosok Gatot Pujo Nugroho yang diusung PKS cukup tersohor di kalangan masyarakat, seiring dengan kiprahnya sebagai Pelaksana Tugas Gubsu tahun ini, tak lantas menyebabkan sosialisasi mereka kendur. Sebagai lahan basah partainya, mahasiswa akan jadi prioritas utama PKS dalam mencari dukungan untuk Gatot, yang baru saja diangkat jadi Gubsu. Hafez menjelaskan mereka akan melakukan komunikasi dengan mahasiswa dengan cara-cara yang bermartabat dan menunjukkan perhatian kepada kampus, seperti kunjungankunjungan ke kampus, mengadakan dialog dengan mahasiswa, pembinaanpembinaan dan sebagainya. Selain itu, ada pula program dalam bentuk SMS bertajuk Gatot Menjawab. Ini berupa program konsultasi di mana lewat SMS tersebut Gatot akan menjawab pertanyaan-pertanyaan khas mahasiswa. Bisa berupa masalah ilmu pengetahuan, curhat, atau pun masalah-masalah Islami. Program ini sudah berjalan, dan akan terus diperluaskan jaringannya. “Semoga melalui program tersebut dapat menjadi bukti perhatian seorang gubernur kepada remaja,” ujar Hafez. Hafez berharap pada Pilgubsu tahun ini, hendaknya mahasiswa dapat menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya, dan menjatuhkan pilihan dengan tepat. Sebisanya jangan ada yang memilih golput. “Mahasiswa harus dapat membaca dan merespon kondisi yang ada dengan intelektualitasnya,” terang Hafez.

MAJALAH SUARA USU I 29


laporan utama utama - opini laporan

Disfungsi Demokrasi Muhammad Iqbal Damanik Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU DOKUMENTASI PRIBADI

Siklus demokrasi Indonesia pasca reformasi sudah berjalan tiga kali putaran. Tiga kali pergantian presiden dan anggota dewan, bersamaan dengan itu tak terhitung lagi jumlah pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang berlangsung di seluruh daerah di Indonesia.

30 I MAJALAH SUARA USU

P

roses pemilihan di tiap daerah yang berbeda waktu penyelenggaraannya membuat media sepertinya tidak pernah memiliki jeda memberitakan perhelatan pergantian kepala daerah. Pemilihan terakhir yang masih hangat dibicarakan bahkan memunculkan fenomena dan euforia tersendiri yaitu pemilihan gubernur DKI Jakarta, kemudian yang menanti ke depannya pemilihan gubernur Jawa Barat dan gubernur Sumatera Utara. Fenomena estafet pemilihan kepala daerah ini memunculkan gejala masif di seluruh daerah, yakni munculnya industri politik demokrasi. Istilah membeli kapal politik, politik dagang sapi, hasil survei politik, elektabilitas politik, selalu memenuhi kosakata perhelatan pemilihan di tiap daerah. Setiap kali pemilihan kepala daerah/ kota digelar di tiap daerah, industri politik demokrasi mulai bergeliat. Kapital yang dikeluarkan industri musiman ini bahkan bisa mengalahkan kapital seluruh industri riil atau finansial di Indonesia. Mulai dari melibatkan usaha spanduk dan kaos sablon, pembagian sembako, pembagian uang ratusan ribu untuk tiap

warga yang dikunjungi. Selain itu ada juga berbentuk iklan politik di media cetak dan elektronik, sampai konsultasi politik, jual beli partai politik atau jual beli KTP agar dapat turut serta sebagai kontestan pemilu. Keseluruhan industri politik demokrasi ini tentunya melibatkan berbagai perusahaan atau perorangan terbuka yang sahamnya dipegang kaum cukong, anggota parlemen, pemerintah dan ormas-ormas. Bisa dikatakan industri politik demokrasi adalah industri yang paling berkembang di Indonesia, sekaligus menjanjikan dan membangkrutkan. Jika ada industri yang paling gila dengan tingkat loyalitas dan pengkhianatan dengan porsi yang sama besar, dan setiap pelakunya memiliki kerelaan yang sangat tinggi dalam perjudian, tidak lain dan tidak bukan adalah industri politik demokrasi. Karena dalam setiap perhelatan pemilihan seseorang yang masih menyandang status bakal calon harus mengeluarkan banyak modal untuk sosialisasi sampai mendapatkan kepastian dirinya akan naik status menjadi calon. Seluruh proses ini sejatinya hanya berlangsung pada


laporan utama laporan utama laporan utama - opini

Peran dan Fungsi Pemilih Sesungguhnya

Kekuasaan yang diperebutkan hanya menjadi milik kepentingan kelas yang menguasai keseluruhan proses demokrasi, dan hal itu hanya berlaku untuk orang-orang yang mempunyai kekuasaan secara nyata yaitu kalangan pemegang saham yang menggerakkan kapital politik. Seperti yang dikemukakan Walter Lippman, keadaan di mana demokrasi berfungsi dengan baik selalu terdapat kelas masyarakat. Pertama, kelas masyarakat yang memegang peran aktif dalam menjalankan hubunganhubungan umum. Mereka adalah kelas para ahli. Mereka yang meng­ analisa, melaksanakan, mengambil keputusan dan menjalankan segala hal di bidang politik, ekonomi dan sistem ideologi. Mereka secara presentasi hanya sedikit. Kedua, orang lain adalah mayor­itas besar dari populasi, mere­ kalah yang ditahbiskan Lippman se­bagai kawanan pandir. Kabana in Adela massa yang bodoh yang tidak dapat dibiarkan memutuskan segala sesuatunya sehingga harus selalu digiring agar dapat menentukan pilihan yang tepat. Inilah yang sebenarnya sedang terjadi dalam industri politik demokrasi Indonesia. Keseluruhan proses penjaringan bakal calon hingga menjadi calon dilaksanakan oleh para elite partai politik hanya dengan melihat kemampuan kapital yang dimiliki oleh para peminatnya semata. Rakyat dalam posisi ini hanya menerima apa yang terjadi. Di balik keadaan seperti itu tentunya ada logika bahwa publik terlalu bodoh untuk memahami sesuatu. Jika mereka mencoba untuk mengatur urusannya sendiri, maka hanya akan mendatangkan masalah. Kabana pandir (Rakyat)

yang menurut Lippman berfungsi sebagai pemirsa dalam perhelatan demokrasi, bukan sebagai pemain. Rakyat hanya diizinkan untuk meminjamkan kekuatannya kepada salah satu calonyang telah ditetapkan oleh para pemilik kapal politik. Dengan kata lain, rakyat hanya digunakan untuk mengikrarkan kami ingin anda menjadi pemimpin kami atau kami menginginkan anda menjadi pemimpin kami. Itulah sesungguhnya yang disebut pemilu. Kemudian setelah rakyat meminjamkan kekuatannya pada salah satu calon yang disediakan, rakyat dipersilakan untuk mundur dan kembali menjadi penonton. Kondisi ini adalah proses mengabsenkan masyarakat dari proses demokrasi. Jika defenisi demokrasi adalah pemerintah dari rakyat oleh rakyat yang seluruh prosesnya melibatkan rakyat, maka yang hari ini terjadi adalah oligarki dari persengkongkolan antara partai politik dan para pemilik modal yang menggerak industri politik demokrasi. Rakyat hanya menunggu foto siapa yang mereka layak mereka pajang sebagai kelayakan untuk kita pilih. Lalu kemudian rakyat menunggu rasionalisasi korupsi yang akan terjadi setelah pesta usai. Setelahnya rakyat kembali pada rutinitas panggung bosan demokrasi. Inilah sebuah ironi demokrasi yang hanya menghasilkan perputaran uang semata tanpa memperbaiki kondisi negara sedikitpun. Suatu saat jika terjadi revolusi rakyat, kekuatan itu mungkin dapat meletakkan kita pada tampuk kekuasaan, mungkin juga tidak, dimana kita hanya akan bekerja untuk orangorang yang mempunyai kekuasaan yaitu kalangan pemilik modal dan partai politik. Akhirnya prinsip-prinsip demokrasi, seperti keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, tingkat persamaan, kebebasan atau kemerdekaan dan penghormatan terhadap supremasi hukum dengan sendirinya telah dikebiri oleh demokrasi itu sendiri.

Dengan kata lain, rakyat hanya digunakan untuk mengikrarkan kami ingin Anda menjadi pemimpin kami atau kami menginginkan Anda menjadi pemimpin kami. Itulah sesungguhnya yang disebut pemilu.

tingkat segelintir elite pemilik kapital yang mengesampingkan rakyat yang sejatinya sebagai penentu legitimasi para calon mendapatkan jabatannya.

MAJALAH SUARA USU I 31


laporan figur utama

Ratna Sarumpaet

Sang Presiden

Rakyat Kecil Oleh: M Januar

Ia akan terus membela mereka yang terpinggirkan sampai kematian menjemput. Ia berteriak lewat karya-karya.

32 I MAJALAH SUARA USU


laporan figur utama

BERBAGAI SUMBER

MAJALAH SUARA USU I 33


M

arsinah meringkuk gelisah di bale rotan pemakaman dalam sebuah malam cekam. Diselimuti suara lolongan anjing dari kejauhan. Burung hantu yang berkuak di ran­ ting-ranting pohon. Tapi yang paling buat ia takut, sayup-sayup Marsinah mendengar derap sepatu kulit yang mendekatinya. Suara yang mengi­ ngatkan kembali pada masa lalu yang kelam. Derap sepatu semakin dekat. Marsinah semakin meringkuk dalam ketakutan. “Suara-suara itu. Dia datang lagi. Seperti derap kaki seribu serigala menggetar bumi. Mereka datang menghadang kedamaianku. Mereka mengikuti terus,” ucap Marsinah lirih. “Kalau betul maut adalah tempat menemu kedamaian, kenapa aku masih seperti ini? Terhimpit di tengah pertarungan-pertarungan lama. Kenapa pedih dari luka lamaku masih terasa menggerogoti hati dan perasaanku. Kenapa amarah dan kecewaku masih seperti kobaran api?” Derap sepatu semakin mendekat, melangkah-langkah dalam telinga­ nya. Marsinah semakin memeluk kencang kedua lututnya. Marsinah coba melawan. Ia sadar, derap sepatu tadi hanya potongan dari masa lalunya. Ia malah jadi tertawa getir. Mata Marsinah beralih

ke tempat lain dengan tatapan tajam. Ia menatap ke sebuah ruangan yang jauh dari tempatnya meringkuk. Di sana orang-orang sedang mengikuti acara peluncuran buku yang ditulis karena terinspirasi dari kematiannya. “Sebuah buku ditulis atas nama kematianku. Lalu diluncurkan. Lalu kalian semua hadir di sini menunjuk­ an keprihatinan. Keprihatinan apa? Kalau ada yang berhak untuk prihatin di sini, aku. Aku lah perempuan malang itu. Aku Marsinah,” teriak Marsinah dengan tatapan geram kepada orang-orang yang berkumpul di ruangan tadi. Kisah di atas adalah nukilan dari karya monolog berjudul Marsinah Menggugat yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet pada tahun 1997. Ratna terinspirasi tentang Marsinah, buruh berusia 24 tahun yang bekerja di sebuah pabrik daerah Porong, Jawa Timur pada tahun 1993. Setelah melakukan demonstrasi menuntut kesejahteraan karyawan di tempatnya bekerja, Marsinah ditemukan tewas. Sampai sekarang tak diketahui siapa pembunuh Marsinah. Jasadnya, ditemukan di dalam hutan jati, Malang. Hasil otopsi, ia mengalami penyiksaan dan pemerkosaan. Dalam cerita ini, Marsinah bangkit dari kubur. Ia merasa terganggu karena orang-orang berkumpul

BERBAGAI SUMBER

34 I MAJALAH SUARA USU

laporan figur utama

Aku bisa bicara lantang lewat teater sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan.

dalam acara peluncuran buku mengenai kematian tentangnya. Ia menggugat mereka. Bagi Marsinah memperingati kematian dirinya hanyalah sia-sia belaka. “Yang dirampas dari Marsinah adalah simbol kehidupan. Ia diperkosa, rahim ditembak dengan senapan. Buat saya di situlah negara ini menunjukkan dengan sombong bahwa telah lupa dirinya berasal dari rahim perempuan,”ucap Ratna dengan nada tinggi. Ia geram ditutupnya kasus pengusutan kematian Marsinah. Lewat naskah teater yang ditulis tahun 1997 ini, Ratna berteriak kepada pemerintah Indonesia yang sengaja menutup kasus kematian Marsinah. Tiga tahun sebelumnya, tahun 1994, Ratna juga menulis tentang Marsinah dengan judul berbeda, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah. Namun Marsinah Menggugat, karya kedua Ratna membuat nama Ratna dalam dunia teater tidak bisa dipandang sebelah mata. Pementasannya dibatalkan di berbagai daerah karena dituduh makar terhadap negara. “Ini juga yang buat saya sampai sekarang terus diintai,” kata Ratna. Kematian Marsinah buat Ratna mengubah pikiran dalam menggarap karya seni yang ia tulis. Setelah Marsinah,


laporan figur utama

BERBAGAI SUMBER

MAJALAH SUARA USU I 35


laporan figur utama naskah-naskah teater yang ia tulis kemudian bertema permasalah­an hak asasi manusia, perdagangan anak, dan permasalahan sosial lain. Karya-karya naskah teater Ratna yang lain misalnya adalah Terpasung (1995); Pesta Terakhir (1996); Alia, Luka Serambi Mekah (2000); Anakanak Kegelapan (2003); Jamila & Sang Presiden (2006). Tak ada niat dari Ratna terjun ke dunia teater. Awalnya, ia hanya nonton pertunjukan teater yang dipentaskan oleh kelompok teater WS Rendra. Setelah menonton pertunjukan itu, ia tertarik menggeluti dunia teater. Ratna mulai gabung di Bengkel Teater, kelompok teater binaan WS Rendra. Namun ia hanya sepuluh bulan menempah diri di sana. Ia merasa tidak cocok dengan sistem kerjanya. Akhirnya, ia putuskan untuk mendirikan sendiri sanggar teater binaannya. Terbentuklah kelompok teater Satu Merah Panggung di tahun 1974. Awal kelompok teater ini manggung mementaskan karya-karya sastra luar. Seperti, Romeo dan Juliet, Hamlet, Othello dan Antigone. Meskipun baru belajar teater, Ratna sudah menunjukan pemikiran-pemikirannya terhadap ketidakadilan yang terjadi. Antigone, karya ciptaan Jean Anouilh, sastrawan Prancis,misalnya, ia tujukan untuk mengkritisi posisi perempuan di daerah Batak. Sampai saat ini Ratna terus berkarya. Tak hanya menulis naskah teater, ia juga menyutradarai dan memerankan sendiri naskah dramanya. Ratna juga tulis novel. Sudah ada beberapa novel yang ia tulis. Misal, Maluku Kobaran Cintaku. Untuk buat novel ini Ratna harus meneiliti selama dua tahun. Lewat novel ini Ratna ingin menyampaikan pemerintah Indonesia yang menambah keruh konflik agama yang terjadi di Maluku. Novel ini ia juga dedikasikan terutama untuk Munir, aktivis sosial, yang diduga meninggal karena diracun di dalam pesawat dan korban pelanggaran hak asasi manusia

36 I MAJALAH SUARA USU

Salah satu karya Ratna Sarumpaet

lain. Itu lah Ratna, ia tegas menyampaikan gagasan pikiran-pikirannya tanpa takut dikecam orang lain. “Aku bisa bicara lantang lewat teater sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan,” Ratna coba menjelaskan. Karya-karyanya buat ia dapat penghargaan-penghargaan seni. Jamila dan Sang Presiden berhasil meraih penghargaan film internasional, Vesoul International Film Festival, Prancis di tahun 2010. Film ini dapat dua penghargaan sekaligus. Ia juga ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2003-2006. Tak pernah terbesit pun di benaknya tentang penghargaan ini. Ia

bilang, yang semua dilakukan adalah untuk kehidupan dirinya sendiri. *** Mata bulat, tatapannya tajam. Hidung besar bangir. Gaya bicara keras dan tegas. Perangai keras. Saat bicara kalimat yang digunakan seadanya. Ia orang yang kaku. Begitulah perawakan Ratna. Sejak kecil Ratna di keluarga dikenal kritis. Dina Lumban Tobing, sepupu Ratna, saat ini berdomisili di Kota Medan juga bilang ia punya sifat pemimpin. “Kak Ratna itu orang yang cerdas dan kreatif, tapi juga jahil,” kata Dina tertawa kecil. Dina juga sering mendengar


laporan figur utama

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

cerita-cerita dari orang tuanya, Ratna orang yang susah diatur. “Amang tua (orang tua lelaki Ratna – red) sering berdebat dengan Kak Ratna. Dia sering kabur dari rumah. Padahal dia sangat mirip dengan bapaknya,” kenang Dina. Ratna adalah orang Batak yang tumbuh besar di Pulau Jawa. Ia lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, pada 16 Juli tahun 1949. Ratna adalah anak kelima dari sembilan bersaudara.Ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar sampai kelas 6. Namun, ia harus pindah ikut orang tua ke Kaliurang, Yogyakarta. Ayah Ratna, Saladin Sarumpaet, adalah seorang politisi di Partai Indonesia (Partindo). Ayahnya terlibat

gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Akibatnya, pemerintah Indonesia saat itu memutuskan menahannya di Kaliurang. Peristiwa ini yang buat Ratna beserta kakak-kakak dan ibu ikut pindah ke sana. Budaya yang berbeda buat Ratna uring-uringan. “Bayangkan betapa stresnya gue. Tiba-tiba pake bahasa Jawa,” ujar Ratna. Sedangkan ibu Ratna, Yulia Hutabarat, adalah seorang aktivis gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) daerah Sumatera Utara. Ratna mengenal sosok sang ibu sebagai orang berani. Sedikit banyak Ratna terinspirasi kegigihan dari sang ibu

dalam perjalanan hidupnya. “Kedua orang tua saya adalah seorang aktivis. Jarang banget di rumah,” kata Ratna. Ratna melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta. Ia ambil jurusan Teknik Arsitektur. Tapi, tidak selesai. Ia lebih memilih dunia seni sebagai jalan hidup. Sang ayah marah. Dina bilang, “Amang tua ingin Kak Ratna lulus sarjana.” Tapi, Ratna teringat pesan sang ayah. Ratna bilang, “Saya boleh jadi apa saja. Asal yang saya lakukan harus bermanfaat untuk masyarakat.” Ajaran dari keluarganya lah yang jadi prinsip Ratna dalam kehidupan sampai sekarang. Kini Ratna berdomisili di daerah

MAJALAH SUARA USU I 37


laporan figur utama Kampung Melayu Kecil, Jakarta. Suasana rumah terasa asri. Pohon-pohon besar tumbuh di pekarangan rumah dan kebun belakang. Di rumahnya juga lah sanggar seni miliknya berada. *** Belakangan Ratna lebih aktif dalam dunia sosial. Awal tahun 1998, terbit dekrit pelarangan untuk berkumpul bagi lima orang. Ratna tak hiraukan. Ia tetap bertekad untuk kumpulkan massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat di Ancol. Ratna sadar, memperjuangkan demokrasi tidak bisa hanya lewat kesenian. Namun pertemuan ini dike­ tahui aparat. Puluhan truk dan tank mengelilingi Ratna beserta kelompok masyarakat dengan nama SIAGA ini. Ratna tak gentar. Meskipun, ia bersama teman-temannya ditahan aparat. Ia terkena pasal berlapis. Salah satunya dituduh makar. Ratna ditahan selama 70 hari. “Saat itu, aku kaget. Padahal aku harus lanjutkan studi ke luar negeri,” kata Dina. Faisal Basri, cendekiawan dan politisi saat penahanan ini bilang, “kita telah kehilangan seseorang yang mau pasang badan untuk demokrasi.” Penjara tidak buat Ratna bungkam. Setelah Soeharto bersama orde baru runtuh, ia tetap berteriak melawan penindasan. Waktu itu era Megawati Sukarnoputri, Presiden Indonesia yang ketiga, terjadi konflik antara tentara Indonesia dengan Ge­ rakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik sedang panas-panasnya. Sehingga rakyat sipil harus diungsikan. Ratna yang dengar kejadian ini putuskan pergi ke Aceh. Padahal hari itu juga, ia baru tiba di Indonesia dari Tokyo, Jepang. Ia jumpai para pengungsi. Memberi bantuan. Ia berpikir, konflik ini harus diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi. Ia putuskan mengi­ rimkan surat kepada presiden. Usaha tak membuahkan hasil. Aceh dijadikan daerah darurat militer saat itu. Setelah kunjungan dari Aceh, ia

38 I MAJALAH SUARA USU

pahami sesuatu. “Saya sadar betapa jahatnya republik ini terhadap rakyatnya sendiri,” kata Ratna. Ini juga merupakan cikal bakal Ratna menulis novel berjudul Alia, Luka Serambi Mekah. Kecaman dari pihak manapun tak hentikan tindak tanduk Ratna. Justru ia semakin berani. Tahun 2009 ia putuskan untuk jadi Presiden Indonesia. Dina cukup terkejut dengar berita ini. “Ia juga sempat telepon saya beberapa kali tanya pendapat saya. Kak Ratna berencana menggalang suara dari sini,” kata Dina. Namun niat Ratna urung. Dina juga bilang, “Mungkin ia merasa bukan dari kaum muda. Padahal ia adalah sosok yang alternatif. Dia adalah seorang perempuan dan bukan berasal dari Jawa.” Meskipun batal mencalonkan diri jadi presiden, Ratna masih berjuang. Bersama lembaga masyarakat yang ia dirikan, Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), terus berusaha berikan bantuan bagi mereka yang tertindas. RSCC dapatkan Tsunami Award,terpilih sebagai lembaga yang paling aktif dalam berikan bantuan kepada korban tsunami Aceh di tahun 2006. Penghargaan untuk Ratna seba­ gai aktivis sosial juga diperolehnya. Ia diberikan penghargaan dari lembaga HAM di Jepang pada tahun 1998, sebagai wanita yang berani menegakkan HAM dan beberapa penghargaan lainnya. Mungkin Ratna tak pernah jadi Presiden Republik Indonesia. Tapi ia adalah presiden tersendiri bagi masyarakat yang ia bela. Ratna pernah bersumpah. Ia bilang, “Buruh kecil ini, perempuan pemberani dari Nganjuk ini, menggiringku mengabdikan hidupku untuk membela kebenaran apa pun taruhannya. Kalau suatu saat ada kemampuan yang mampu menghentikanku maka itu lah saat kematianku. Itu sumpah!” Ratna berkata tegas. Sumpah yang diucapkan bertolak dari Marsinah.


laporan figur utama

kapanlagi.com

MAJALAH SUARA USU I 39


laporan utama esai foto

Desa Sianjur Mula-mula

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

Kampung di Kaki Bukit Leluhur Oleh : Ridha Annisa Sebayang

40I MAJALAH SUARA USU


Dipercaya sebagai tempat turunnya manusia pertama dari kayangan. Cikal bakal orang Batak. keindah足 an tempat ini buat kita tak ingin beranjak pergi.

H

amparan sawah hijau dikelilingi perbukitan yang juga hijau oleh semak ilalang dan pepohonan pinus. Dari ketinggian ini, kita bisa lihat kelompokkelompok pemukiman penduduk, pertanda desa-desa yang berbeda. Adalah Sianjur Mula-mula salah satu desa tersebut. Desa yang terletak di gugus lingkar Pusuk Buhit ini diyakini sebagai perkampungan pertama orang Batak. Sianjur Mula-mula tepat berada di kaki Pusuk Buhit, sebuah bukit di pinggiran Danau Toba yang dalam masyarakat Batak dipercaya tempat pertama kali orang Batak diturunkan dari langit. Desa ini terletak di Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Sianjur Mula-mula adalah sebuah perkampungan biasa. Rumah-rumah penduduk saling berdekatan membentuk perkampungan. Di antaranya masih banyak rumah adat Batak, rumah Bolon. Ada yang ber-gorga, ukiran khas Batak. Ukiran-ukiran ini menghiasi sekeliling bagian luar Rumah Bolon. Namun ada juga rumah berdiri tanpa ada gorga. Layaknya sebuah desa di pegunungan, masyarakat di sini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Padi dan bawang merah hasil pertanian utama. Di antara celahcelah bukit, banyak air terjun mengalir mengairi ladang dan sawah desa. Terus bermuara ke Danau Toba. Di desa sebelah, Limbong Sagala, terdapat peninggalan Raja Batak. Adalah Batu Hobon, sebuah batu ber-

laporan utama esai foto diameter satu meter dan diyakini terdiri dari tujuh lapis. Batu ini dipercaya memiliki rongga yang cukup luas di dalamnya. Tempat Raja Uti, keturunan Raja Tatea Bulan, menyimpan beragam alat pusaka dan alat musik di dalamnya. Di batu ini, masih sering dijadikan sebagai tempat untuk mencari wahyu dari leluhur. Hingga kini, belum ada orang yang bisa membuka Batu Hobon. Menurut warga sekitar, dulu pernah ada yang mencoba membuka Batu Hobon, tapi tak berhasil. Malahan orang itu terserang semacam penyakit. Hingga kini, tak ada lagi yang berani mencoba membuka batu itu. *** Dari tempat objek wisata Batu Hobon, kita bisa melihat jelas puncak Pusuk Buhit. Di pinggang bukit, berdiri Monumen Batak. Monumen ini baru dibuat pada tahun 1995. Sebelumnya, di Desa Sianjur Mula-mula, telah ada Monumen Batak. Hanya saja tidak memuat seluruh keturunan Guru Tatea Bulan. Di monumen yang di Sianjur Mula-mula terdapat sebuah batu yang dipercaya sebagai rumah Si Raja Batak. Pusuk Buhit sering dijadikan tempat mencari peruntungan dari leluhur. Tak salah jika disebut sebagai tempat wisata ritual. Orang-orang biasanya

meminta wangsit di Puncak Pusuk Buhit atau di Batu Hobon. Tak boleh ketinggalan sirih dan air jeruk purut sebagai sesembahan. Usai melakukan ritual, ada satu ritual terakhir, yaitu pembersihan diri. Pembersihan diri dilakukan di Aek Si Pitu Dai. Dinamakan demikian karena memang air ini memiliki tujuh rasa yang berbeda. Ada tujuh pancuran di sana. Empat di tempat pemandian perempuan, satu di tempat mandi raja, satu untuk tutur anak dan satu lagi untuk tutur menantu laki-laki dan juga tamu. Untuk pemandian perempuan tidak dipisah oleh sekat. Keempatnya berada dalam satu ruang. Rasa dasar dari air ini adalah asam. Tujuh rasa dengan tingkat keasaman yang berbeda. Tujuh pancuran ini bersumber dari satu mata air di Pusuk Buhit. Di sumbernya, rasanya tawar. Tidak hanya yang berada di pancuran umum, air yang dialirkan ke rumah warga pun asam rasanya. Tak ada yang tahu apa sebab asam yang berbeda dari air ini. Beragam keindahan dan peninggalan budaya yang ada di sini sangat berharga. Namun sayang, akses ke tempat ini tidak begitu baik. Jalan-jalan berbatu menanjak menantang untuk sampai ke sana.

Puncak Pusuk Buhit ANDIKA BAKTI | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 41


laporan utama esai foto

Sopo Guru Tatea Bulan. Biasa disebut Monumen Raja Batak

42 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama esai foto

Batu Hobon ANDIKA BAKTI | SUARA USU

Pemandangan dari Monumen Raja Batak MUSLIM RAMLI | SUARA USU

ANDIKA BAKTI | SUARA USU

Tempat pemandian Perempuan di Aek Si Pitu Dai RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 43


laporan utama esai foto

Tempat aliran sumber Aek Si Pitu Dai terkumpul. MUSLIM RAMLI | SUARA USU

44I MAJALAH SUARA USU



laporanlentera utama

Anak penderita kanker di YOAM

Menanti Kesembuhan di Rumah Singgah Oleh : Febrian Foto: Ridha Annisa Sebayang

46 I MAJALAH SUARA USU


laporanlentera utama Mereka tak sesali akan penyakit yang diderita anak-anaknya. Di rumah singgah, mereka jalani hari sembari mengharap anaknya dapat sembuh dan tumbuh menjadi anak yang kelak dapat buat mereka bangga.

Y

ulius, siswa kelas tiga di SMA Pemda I Nias merasakan salah satu kakinya membengkak. Ia bilang ke orang tuanya Telamanua, bahwa ia merasakan sakit akibat pembengkakan itu. Diperiksa di rumah sakit (RS) terdekat dari rumahnya justru tak ada ke­terangan yang jelas. Tulang dan da­ ging Yulius dinyatakan bersih. “Tapi si Yulius ini tak berhenti dia mengerang kesakitan hingga menangis karena rasa sakit,” ujar Telamanua. Karena tak ada penanganan untuk penyakit yang diderita Yulius, Telamanua membawa Anak sulungnya ini berobat ke Jakarta pada Mei 2010. Yulius dibawa ke RS Atma Jaya.

Di sana ia divonis menderita kanker darah atau leukimia. Kakinya di­ operasi untuk menghilangkan bengkak yang membuat Yulius menderita. Namun ternyata belum berhenti di situ. Meski Yulius sudah dioperasi, ia harus rutin untuk menjalani kemoterapi, yaitu terapi kanker yang melibatkan penggunaan zat kimia ataupun obat-obatan yang bertujuan untuk menghilangkan sel-sel kanker dengan cara meracuninya. Tak adanya fasilitas kemoterapi di RS Atma Jaya, Telamanua membawa Yulius ke RS Kanker Dharmais. Seminggu ia di sana juga tak ada hasil. Sebab dokter yang dapat mena­ ngani sedang berada di luar negeri.

Maka Yulius diboyong ke RS Dr Cipto Mangunkusumo di Jakarta Pusat. Ada enam bulan waktu dihabiskan untuk pengobatan Yulius selama di Jakarta. Adanya sedikit kemajuan kondisi Yulius, Telamanua membawanya balik ke Nias. “Tak berapa lama kembali ke Nias, si Yulius kambuh, kalau dibawa lagi ke Jakarta tak ada lagi biaya karena sudah habis ratusan juta. Jadi saya bawa ke RS Adam Malik Medan saja,” ujar Telamanua. Telamanua hanya berprofesi penjual daging dan juga sebagai petani di Nias. Biaya yang sudah banyak ia keluarkan untuk berobat Yulius dari hartanya yang sudah terjual, bahkan ia juga sudah berutang sana-sini. Sekarang perekonomian keluarga­ nya dipegang istrinya yang masih berjualan. Di RS Adam Malik, Telamanua bersyukur dengan kemudahan yang diberikan dibanding saat Yulius diobati di Jakarta. Di RS Adam Malik, bisa melakukan pembayaran jika sudah akan keluar dari RS. Sementara saat ia di Jakarta jika masuk RS harus bayar terlebih dahulu. Telamanua mengaku tak punya daya lagi untuk biaya pengobatan Yulius. Sementara Yulius harus menjalani pengobatan rutin dalam jangka waktu yang tak tahu hingga.sampai kapan. “Biarpun kami sudah habis-habisan, tapi yang penting adalah kesembuhan anak kami,” ucap Telamanua lagi Bila kondisi Yulius sudah agak membaik, pihak RS akan menyuruh

MAJALAH SUARA USU I 47


laporanlentera utama pulang. Tapi harus tetap kontrol tiap seminggu sekali. Karena jauh dari Nias, Telamanua tentu tak dapat bolak-balik Medan-Nias terlalu sering karena terhalang biaya.“ Saya disarankan teman-teman di rumah sakit untuk tinggal saja di Medan, ada rumah bersama yang disediakan untuk pasien dari jauh,” ucapnya. Maka, Telamanua dan anaknya Yulius memilih belum balik ke Nias. Ia sementara tinggal di rumah singgah yang difasilitasi Yayasan Onkologi Anak Medan (YOAM) yang letaknya tak jauh dari RS Adam Malik. Dengan fasilitas rumah singgah YOAM, Telamanua merasa bebannya sedikit terkurangi.“Di sini kita merasa banyak terbantu. Serasa di rumah sendiri dan gak bayar. Beras pun tak perlu beli. Cuma beli ikan sama sayur saja,” katanya. Nasib yang nyaris sama diceritakan Edward Simatupang. Ia juga te­

ngah mendampingi anaknya Alfared Simatupang yang juga menderita leukimia sejak Juli lalu. Anaknya yang biasa dipanggil Alfa sempat lumpuh sebelum mendapat penanganan di RS Adam Malik. Sebelum terdeteksi mengidap penyakit leukimia, Alfa

Foto anak-anak penderita kanker yang pernah singgah di YOAM

48 I MAJALAH SUARA USU

merasakan badannya panas naik turun. Mukanya memucat, dan lehernya membengkak. Sekujur tubuhnya lembab sehingga membuat Alfa merasa kesakitan. Sekarang setelah enam bulan menjalani perawatan di RS Adam


laporanlentera utama Malik, kondisi Alfa sudah berangsur membaik. Edward bilang, selera makan Alfa juga bagus hingga membuat badannya sudah agak berisi. Jalannya juga tak lagi harus ditopang. Alfa siang itu, Sabtu (1/12) tengah asik main game komputer di Rumah singgah YOAM. Rambut sudah rontok. Kelopak matanya sedikit kehitaman dan tangannya sudah banyak bekas infus. “Karena sering dikemo makanya rambutnya rontok,” ujar Edward. Alfa yang harusnya sudah menduduki bangku SMP mesti menjalani serangkaian pengobatan. Edward mengatakan saat ini Alfa telah melewati minggu ke-17 untuk menjalani kemoterapi. Meski perubahan kondisi Alfa yang cukup mulai membaik, Edward belum mau membawa Alfa pulang ke Samosir, tempat asal mereka. “Sudah bisa sebenarnya Alfa saya bawa pulang dan berobat satu bulan sekali ke Medan, tapi saya masih takut jika ia ngedrop lagi,” ujar Edward. Ketakutan Edward ini lantaran pernah ada pasien sesama penghuni rumah singgah YOAM yang meninggal saat sudah dibawa pulang ke tempat asalnya. Maka Edward memilih tetap mendampingi putra semata wayangnya ini hingga benarbenar pulih total dari penyakit yang ia derita. Edward awalnya sudah tahu adanya YOAM menyediakan rumah singgah bagi pasien yang masih tergolong anak-anak dari sesama pasien di RS Adam Malik. Ia juga mengatakan banyak sekali bantuan yang ia dapati dari YOAM. Terutama mengenai kebutuhan akan darah untuk Alfa. Edward masih ingat saat belum menjadi penghuni rumah singgah YOAM, ia pernah membeli darah sebanyak 14 kantong kepada penyedia yang ia tak mau sebutkan namanya, lima kantong darah merah dan sembilan kantong darah putih. “Yang saya dengar, biaya beli darah ini akan dikembalikan karena kebu-

Amanda Safitri, penderita leukemia, bersama ayahnya di ruang tamu YOAM.

MAJALAH SUARA USU I 49


laporanlentera utama

tuhan darah akan terpenuhi dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas -red) ternyata tidak,� ucapnya. Sekarang bila Edward mendadak harus memenuhi kebutuhan darah untuk Alfa, ia cukup melaporkan kepada relawan Family Suport Group (FSG) yaitu divisi yang menggerakkan YOAM. Edward mengaku ia selalu dapat tanggapan baik dari pihak FSG jika ia meminta bantuan darah. Hari-hari yang dialami orang tua pasien di rumah singgah YOAM hanyalah pasrah. Mereka terpaksa berhenti bekerja demi dampingi anak-anak mereka yang tak dapat dipastikan kapan bisa sembuh. Acap Edward duduk-duduk di beranda samping rumah singgah merenungi nasib anak yang sangat ia cintai. *** Beberapa relawan FSG tengah

50 I MAJALAH SUARA USU

sibuk dengan kegiatan donor darah di Gedung HSBC Sun Plaza di Jalan Zainul Arifin, Medan pada Sabtu (1/12). Kegiatan Donor darah ini bekerja sama dengan Bank HSBC mendatangkan jaringan dari kedua belah pihak, serta publikasi lewat media. Jenny, salah satu relawan FSG menjelaskan aksi penggalang­an darah sudah beberapa kali dilakukan tahun ini. “Anak-anak di rumah singgah sering butuh darah. Rata-rata ada 200 kantong perbulan, makanya kami selalu usahakan kerja sama dengan instansi-instansi, dan pihak swasta juga untuk ikut bantu,â€? kata Jenny. Hari itu, mereka berhasil memperoleh 70 kantong darah. Dikatakan Jenny, darah yang diperoleh dapat dijadikan stok selama tiga minggu ke depan karena rata-rata darah dapat disimpan paling lama hanya tiga minggu. Bila

persediaan ini tak mencukupi hingga penggalangan darah selanjutnya, Jenny dan beberapa relawan lain akan mengusahakan kepada para pendonor tetap. Dari daftar orang yang pernah mendonorkan darahnya, FSG akan coba tawari mereka menjadi pendonor tetap. Banyak juga pendonor tetap itu adalah relawanrelawan FSG juga. Jenny yang termasuk salah satu relawan sejak pertama YOAM berdiri sejak delapan tahun lalu mengatakan awalnya YOAM didirikan karena melihat banyaknya anak-anak yang mengidap kanker. Konsentrasi YOAM lebih kepada anak-anak dari orang tua kurang mampu yang berasal dari luar Kota Medan. Saat itu belum ada yayasan yang menangani kanker anak di Medan. Maka dari itulah beberapa relawan termasuk Jenny mulai gencar untuk meningkatkan


laporanlentera utama

Amin (5), salah seorang anak penderita penyakit Leukimia.

MAJALAH SUARA USU I 51


laporanlentera utama rasa kepedulian terhadap kanker anak. Ketua YOAM Atika Rahmi me­ ngatakan, awalnya kegiatan YOAM hanya sebatas membantu seperti penyaluran darah ataupun memberikan bantuan lewat bimbingan kepada pasien kanker anak. Seiring bertambahnya jumlah relawan dan donatur, maka sejak Juli 2011 lalu didirikanlah rumah singgah untuk dapat ditempati pasien yang berasal dari luar kota. Sejauh ini, Atika mengatakan pasien yang pernah menempati rumah singgah YOAM berasal dari tiga provinsi, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh. Rumah singgah yang berlokasi di Jalan Bunga N’cole Komplek Medan Permai itu terdiri dari tiga kamar, ruang tengah yang cukup lebar terbagi dua. Di sini lah para pasien menghabiskan hari saat jeda dari pengobatan di RS Adam Malik. Di rumah ini difasilitasi ‘fun terapi’ seperti alat-alat menggambar, bahan-bahan bacaan anak-anak dan satu TV. Budi Supriadi, relawan FSG yang setiap hari berada di rumah singgah mengatakan, para pasien diberi kebebasan bermain dengan fasilitas yang ada. Komputer untuk Budi bekerja tak jarang dipakai pasien untuk main game. Sesekali, kata Atika, FSG mendatangkan sukarelawan untuk mendampingi anak-anak belajar sesuai permintaan orang tua pasien. Agar menimbulkan gairah pasien untuk sembuh, FSG pernah juga mengajak pasien jalan-jalan ke tempat-tempat wisata. Edward mengatakan ia pernah ikut dibawa jalan-jalan ke Istana Maimun saat FSG mengajak seluruh pasien berkunjung ke sana. Tak hanya tentang ‘fun terapi’ Edward juga sukup senang dengan kontrol pihak FSG untuk masalah-masalah yang dihadapi pasien rumah singgah. “Masalah yang sering dihadapi pasien itu adalah soal administrasi dari pihak RS. Jika pasien minta bantu

52 | MAJALAH SUARA USU

soal itu, kami (FSG, -red) akan bantu lewat pembina YOAM yang juga dokter di Adam Malik,” imbuh Atika. Atika mengakui untuk biaya peng­obatan, FSG tak dapat membantu. Ia mengatakan, sumbangsih hanya berbentuk fasilitas rumah singgah, bantu carikan darah dan mengayomi pasien-pasien agar tetap punya semangat untuk sembuh. Untuk tahun ini saja ada 15 pasien yang menghuni rumah singgah YOAM semuanya adalah pende­ rita kanker darah. Budi mengatakan telah ada tujuh pasien yang meninggal. Budi yang setiap hari bersama pasien di rumah singgah terkadang terpukul sendiri jika ada pasien yang menemukan ajal akibat penyakit yang ia derita. “Terkadang kita masih sering lihat dia main di sini, enggak tahu ia meninggal karena penyakitnya tak tertangani lagi,” ucap Budi. Kembali tentang FSG, Atika mengatakan relawan-relawan yang tergabung memiliki latar belakang berbeda. Ia berujar, anggotanya tidak hanya berlatar belakang ilmu kese­ hatan saja. Ada juga mereka yang

tergabung adalah praktisi media dan pengusaha. Saat dijumpai di tempat yang sama di Galeri Cinta Jalan Abdullah Lubis Komplek Paragon C3 , Andi Lubis relawan FSG yang juga wartawan foto mengatakan dalam rapat bersama para relawan keterikatan orang-orang yang tergabung di FSG hanya sebatas hubungan moral saja. Maka dari itu, mereka harus gencar untuk publikasi dan menunjukkan peran penting mereka agar dapat meraih dukungan dari berbagai pihak. Atika menambahkan, mereka sering targetkan pihak swasta untuk berdonasi dalam even yang diadakan YOAM. Sejauh ini YOAM berhasil mengajak pihak swasta di setiap acara donor darah yang mereka adakan. Ia berharap hadirnya YOAM dapat lebih banyak lagi membantu derita pasien. Meski belum dapat membantu secara biaya, Atika menilai membantu dari segi moril masih teramat penting. Pertolongan bukan hanya kepada pasien, tapi juga kepada pihak keluarga yang terkadang depresi menghadapi derita anak mereka.

Salah satu aksi donor darah yang diselenggarakan YOAM bekerja sama dengan HSBCC





laporanjelajah utama

Air terjun Sei Lepan

Aliran sungai yang membelah hutan itu menjadi salah satu kekayaan Taman Nasional Gunung Leuser. Aneka jenis makhluk hidup tumbuh dan berkembang di sana. Menciptakan keindahan, serta mengingatkan kita agar hidup bersanding alam.

56 | MAJALAH SUARA USU


laporanjelajah utama

Menyusur Zonasi

Taman Nasional

Gunung Leuser Teks dan Foto: Andika Bakti

MAJALAH SUARA USU I 57


laporanjelajah utama

N

amanya sungai Sei Lepan. Letaknya di bibir Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), sebuah hutan konservasi yang terbentang di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (Sumut). Tepatnya di Desa Mekar Makmur, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat. Sebuah batu terbentang di badan sungai yang bagian atasnya mulus sehingga seolah jalan beraspal. Meski batu masih di dalam aliran sungai, namun tidak berlumut dan tidak licin. Beberapa motif garis dan lingkaran berlubang terjiplak di atasnya. Jernihnya air membuat beberapa hewan air terlihat berkeliaran di atas batu. Sekitar sepuluh meter menuju hilir, terdapat beberapa curam. Ke sanalah air bercurah hingga tercipta sebuah air terjun yang lebar. Di sepanjang aliran sungai, ada 12 air terjun. Orang biasa menyebutnya air terjun Sei Lepan.Dulu, air terjun ini menjadi tempat favorit masyarakat sekitar untuk memancing. Selain tempat yang dianggap paling me­ narik, ikan jurung sebesar betis orang dewasa mudah ditemui di bagian ini. Itulah beberapa alasan me­

ngapa kawasan ini masuk dalam zona pemanfaatan yang ditetapkan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL). Zona pemanfaatan merupakan kawasan Taman Nasional (TN) yang dijadikan ekowisatauntuk memanfaatkan kawasan. Berbeda dengan Bukit Lawang dan Tangkahan yang sudah menjadi ekowisata terkenal di Sumut, Sei Lepan merupakan ekowisata yang sama sekali belum pernah dijangkau wisatawan lokal. “Wisatawan asing pun terakhir datang pada tahun 2009 lalu,” kata Usman, Kepala Lembaga Permata Rimba Damar hitam (LPRD), lembaga mitra lokal ekowisata Sei Lepan. Selama perjalanan mencapai Sei Lepan, tak jarang kita akan berpapasan dengan beberapa hewan seperti orangutan dan berbagai jenis burung berkumpul di satu tempat. Ini karena kondisi hutan masih alami dan jarang mendapat ‘sentuhan’ manusia. Pemandangan tak kalah menarik berada di zona inti yang merupakan hutan primer, wilayah teritori satwa. Serta zona rimba yang merupakan hutan sekunder, wilayah jelajah satwa. Kita bisa menikmati rimbunnya aneka pohon berusia hingga 200

Makam di Zona Religi

Burung merak salah satu satwa di TNGL.

58 | MAJALAH SUARA USU


laporanjelajah utama

tahun. Ada pohon Rasamala dan pohon Raja yang tingginya mencapai50 meter, menembus kanopi hutan. Tak hanya menjadi rumah bagi banyak tumbuhan, hutan hujan juga menjadi markas para satwa. Ada empat spesies yang menjadi fokus utama BBTNGL dalam pengelolaannya, orangutan, badak, harimau, dan gajah. Keempat jenis hewan ini merupakan satwa yang dilindungi. Terdapat beberapa yayasan yang bermitra langsung dengan BBTNGL untuk melindungi satwa yang ada. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL) misalnya, salah satu fungsi yayasan ini adalah mendeteksi Orangutan Sumatera yang saat ini terancam punah akibat hancurnya habitat mereka dalam maraknya

pemburuan liar. “Jumlah Orangutan Sumatera saat ini berjumlah 6.666 ekor, hanya setengah dari jumlah Orangutan Kalimantan.” Jelas Masrizal, Mana­ jer Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser YOSL. Menurutnya orangutan memiliki fungsi penting untuk hutan. Satwa pemakan buah berbiji ini dapat menjelajahi sekitar 20 kilometer perhari dari wilayah teritorinya, berarti biji sisa makananya akan menyebar di hampir semua kawasan hutan sehingga pertumbuhan beberapa jenis pohon akan selalu terjaga. Ada juga Unit Patroli Gajah (UPG) yang dikelola oleh Yayasan Leuser Internasional di Areal 242 Aras Napal Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumut. Empat gajah yang

didatangkan dari Pusat Latihan Gajah Way Kambas Lampung menjadi transportasi utama saat patroli. UPG dibentuk untuk mengamankan kawasan Sekundur yang terbentang diperbatasan Aceh dan Sumut. Sekundur adalah hutan dataran rendah terakhir yang masih cukup luas untuk menyembunyikan beberapa satwa liar yang ada di ekosistem Leuser. Itulah alasan mengapa kawasan tersebut harus dilindungi dari kegiatan ilegal seperti pencurian kayu agar beberapa jenis satwa yang ada tidak terganggu. Tak hanya kawasan yang dilin­ dungi. TNGL di kawasan Sekundur juga punya zona religi. Ada makam. Ada tiga makam dengan ukuran berbeda di sana. Keramik hijau melapisi

MAJALAH SUARA USU I 59


laporanjelajah utama

Orangutan Sumatera

makam dan sekelilingnya, di sekat oleh pagar besi hingga membentuk segitiga, empat bendera merah putih kehijauan tersangkut membentang di atasnya. Lantainya yang dilapisi lumut dan dijatuhi dedaunan terasa licin. Makam paling besar memiliki panjang hampir dua meter, pada nisan terukir Datuk Sultan Abdullah Hud dengan huruf arab gundul. Latif warga sekitar bercerita, sejak tahun 1942 dia bermukim di sini makam tersebut sering didatangi masyarakat untuk berziarah. Ia juga bilang makam tersebut telah ada sejak dia tinggal di daerah ini. “Enggak ada yang tahu makam itu ada sejak kapan, tapi diperkirakan itu ada sejak zaman kesultanan dulu,� Jelasnya. *** Secara histori, proses terbentuknya TNGL sudah dimulai sejak tahun 1920. Saat itu seorang ahli geologi Belanda, F C Van Heurn mendapat izin Pemerintah Belanda untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang di-

60 | MAJALAH SUARA USU

perkirakan banyak terdapat di Aceh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar, sementara pemuka-pemuka adat setempat lebih menginginkan agar Pemerintah Belanda ikut peduli terhadap kawasan hutan. Dari hasil penelitiannya, Van Heurn mendiskusikannya kepada para Datoek dan Oloebalang (para wakil pemuka adat—red) agar mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status Wildlife Sanctuary atau kawasan konservasi. Permintaan ini dilakukan untuk melindungi kawasan dari penebangan di Lembah Alas. Alhasil, Agustus 1928 sebuah proposal sampai kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang mengusulkan kawasan menjadi Suaka Alam di Aceh Barat sekaligus memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang di beberapa bagian di Aceh. Proposal tersebut akhirnya direal-


laporanjelajah utama isasikan pada 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan. Dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan itu menghasilkan Dekla­ rasi Tapaktuan, yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu, Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden Vaardezen. Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934. Sejak saat itulah pelestarian alam digencarkan dengan memberi pidana kepada siapa pun yang melakukan kerusakan hutan. “Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang mem-

perlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”. Begitulah isi salah satu paragraf Deklarasi Tapaktuan. Pada tahun 1934, kembali dibentuk Wildreservaat Goenoeng Leoser atau Suaka Alam Gunung Leuser. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Suaka Alam Aceh Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.Sejak saat

itulah seluruh kawasan Suaka Alam ditanggungjawabi oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka. Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian pada Maret 1980, isinya tentang peresmian lima TN di Indonesia. Gunung Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran, dan Komodo. Luas TNGL ini mencapai 1.094.692 hektar. Setelah resmi menjadi TN, TNGL menyandang dua status berskala global, Cagar Biosferpada 1981yang didefinisikan sebagai kawasan ekosistem dataran atau pesisir oleh Program Manand the Biosphere UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antar manusia dengan alam. Juga sebagai Warisan Dunia oleh World Heritage Committee pada 2004 karena statusnya sebagai hutan hujan tropis seperti TN Kerinci Seblat dan TN Bukit Barisan Selatan. “Karena itu kita membuat sistem zonasi,” papar German. Ia menjelaskan bahwa zona-zona yang ada bukan hanya untuk melindungi, tapi juga memanfaatkannya secara lestari. *** TNGL memang terkenal dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun tak sedikit pula masalah yang dihadapi. Yang paling menonjol terdapat di zona rehabili tasi. Zona ini terdiri dari hutan yang sudah rusak. Data yang diperoleh dari situs resmi BBTNGL, pada tahun 2010 tercatat sekitar 19 ribu hektar per segi kawasan Sei Lepan dan sekitarnya mengalami degradasi terbesar di bagian Sumut. Kerusakan hutan yang terjadi paling banyak disebabkan oleh bekas pengungsi korban konflik Aceh yang

Tanti dan Rio, gajah yang digunakan untuk patroli UPG

MAJALAH SUARA USU I 61


laporanjelajah utama masih bermukim di dalam kawasan dan melakukan perambahan, pembalakan liar serta praktik spekulan tanah dengan melakukan aksi jual beli lahan di kawasan TNGL. Kasus ini sudah terjadi sejak tahun 1999. Awalnya para pengungsi hanya mencari tempat yang aman dari daerah konflik, TNGL tempatnya. Usman sempat menjelaskan bahwa pemerintah sudah tidak tegas sejak awal. “Dulu banyak pos di daerah sini (Sei Lepan—red) yang ada penjaganya. Tapi waktu ada pengungsi datang, ya dibiarin aja,” kata Usman yang juga merupakan warga Kecamatan Sei Lepan. Permasalahan ini memang menjadi isu paling hangat dibeberapa kalangan, khususnya mereka yang memiliki keterkaitan dengan TNGL. Relawan ekowisata, Ari Syandi juga menjelaskan bahwa kasus ini tidak dapat menyalahkan satu pihak saja. Pihak TNGL memang memberi tawaran pada masyarakat untuk

merelokasi lahan mereka, namun Ari menganggap bahwa itu akan merugikan salah satu pihak. “Relokasi belum bisa menjamin seluruh lahan dan tempat tinggal mereka,” katanya. Ia menganggap solusi untuk kasus ini adalah komunikasi yang baik yang dilakukan kedua belah pihak. “Kita turuti apa mau masyarakat. Jika mereka minta alat pancing, kita kasi kailnya aja. Barulah pantauan yang rutin,” usulnya. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 membahas tentang kehutanan menjelaskan bahwa masyarakat punya kewajiban mencegah tindak pidana kehutanan dalam bentuk apa pun. “Pemerintah tidak akan mampu tanpa ada dukungan dari masyarakat,” jelas German. Sistem zonasi yang ada sejak tahun 2010 tidak akan berjalan tanpa ada peran serta masyarakat. Seperti zona tradisional dan zona khusus, kedua zona ini sangat melibatkan masyarakat di dalamnya.

Zona tradisional berisikan kekayaan alam yang dimanfatkan oleh masyarakat secara alami. Zona ini tersebar di dua titik di Aceh. Sebuah gua yang di dalamnya terdapat sarang burung walet. Sarangnya yang sudah tidak dihuniakan dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa menghambat pertumbuhan burung walet itu sendiri. Juga zona khusus, kawasan yang secara undang-undang tidak memungkinkan ada di dalam TNGL. Namunkarena tempat tersebut sudah ada sebelumnya, maka diakomodir dengan sebuah kesepakatan. Zona ini terdiri dari perkampungan yang terletak di beberapa titik di Aceh. Keberlangsungan Sumber Daya Alam di kedua zona ini akan ditentukan oleh masyarakat. Yang terakhir adalah zona abuabu. Dikatakan zona abu-abu karena minimnya data yang dimiliki untuk dimasukkan ke dalam tujuh zona lainnya. Siapkah Anda berpelesir di zona ini?

Air terjun II Sei Lepan

62 | MAJALAH SUARA USU



laporan ulas utama

Ketika Cinta Berarti Melepaskan Oleh: Viki Aprilita Foto: Ridha Annisa Sebayang

Bahwa kepercayaan, kesetiaan, ketulusan dan kebebasan tidak menjadi dasar sebuah cinta. Bahwa sepasang suami istri yang tidak memiliki kekuranganpun tidak selalu berujung pada kebahagian. Bahwa diam untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan. 64 | MAJALAH SUARA USU


laporan ulas utama Judul Penulis Penerbit Jumlah Halaman Tahun Terbit Harga

L

: Amba k : Laksmi Pamuntja Utama a ak st Pu ia ed : Gram : 496 halaman : September 2012 : Rp 69.000

aksmi Pamuntjak menghidupkan kembali kisah percintaan Amba, Salwa, dan Bhisma yang merupakan tokoh dalam pewayangan Mahabrata, lewat novel sejarah ini. Bedanya, pada cerita asli­nya, Bhisma memenangkan sayembara untuk menjadi jodoh Amba dari Kerajaan Kasi. Namun ia mengalah karena mengetahui Amba ternyata telah jatuh hati pada Salwa. Sementara pada novel ini, Amba justru jatuh hati pada Bhisma bukan pada Salwa. Sekilas, cerita yang disajikan pada novel ini terlihat seperti cerita cinta biasa. Adalah Amba, seorang gadis yang punya pemikiran berbeda de­ngan orang pada umumnya. Bahkan, ia sempat berdebat dengan adiknya menge­ nai pernikahan. Baginya, pernikahan adalah sebuah bentuk pembudakan, melihat kehidupan ibunya yang sama sekali tidak bahagia, padahal telah menikah dengan bapaknya yang sangat baik dalam banyak hal. Suatu hal yang seharusnya tak terpikirkan seorang gadis di usia 12 tahun. Pemikiran Amba ini cukup menarik, mengingat zaman sekarang, wanita tak lagi selamanya terkungkung dalam bayang-bayang pria, seiring dengan emansipasi wanita yang sudah digadang-gadangkan sejak zaman Kartini. Kisah cinta Amba dimulai saat ia ditunangkan dengan Salwa, dosen Universitas Gadjah Mada. Namun, sosok Salwa yang terlalu protektif dan terkesan berlebihan mencintai­nya membuat Amba risih. Dilematis mulai terasa saat Amba bertemu Bhisma,

seorang dokter di Rumah Sakit Sono Walujo Kediri. Amba bekerja sebagai penerjemah untuk dokter tersebut. Pekerjaan memunculkan riak-riak cinta di hati keduanya, dan Amba menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan saat bersama Salwa. Kekakuan Bisma yang sedikit tertutup dan tidak segamblang Salwa dalam menyatakan perasaannya, justru membuat Amba luluh. Uniknya, kisah cinta itu hanya terjadi selama dua minggu, karena Bhisma harus dipindahtugaskan untuk mengoperasi seseorang yang bahkan tidak ia ketahui identitasnya. Sejak saat itu, mereka terpisah dan saling kehilangan jejak. Namun, pe­ rasaan keduanya tak pernah luntur. Buku ini diawali dengan perjalanan Amba ke Pulau Buru tahun 2006, karena berita kematian Bhisma. Bhisma ternyata telah mempunyai seorang istri bernama Mukaburung, yang berkepribadian aneh. Mengetahui Amba yang sedang memeluk gundukan tanah di mana Bhisma diistirahatkan, ia langsung menusuk Amba bertubi-tubi, karena terbakar api cemburu. Dari pergulatan kedua perempuan inilah, pembaca kemudian digi­ring kembali pada tahun 1965, untuk mengurai satu per satu benang merah dari keseluruhan cerita. Memang, pada bab-bab awal cerita terasa abstrak dan sedikit membingungkan. Muncul banyak pertanyaan saat awal membaca, namun kesimpulannya bisa ditemukan saat menyelesaikan seluruh cerita novel ini. Mengambil dimensi waktu saat riuhnya Gerakan 30 September 1965,

dan cerita-cerita di balik pergolakan tersebut, serta latar yang berpindahpindah dari Kadipura, Yogyakarta, Kediri, hingga Pulau Buru, cerita fiksi ini terasa sangat nyata. Terlebih, bumbu sejarah yang diramu Laksmi serta detail tempat terutama Pulau Buru dalam novel ini juga berdasarkan hasil referensi dan observasi pengarang, hingga tidak asal-asalan. Bisa dibilang, ini pula yang menjadi daya tarik novel ini, di mana ada perpaduan kisah romansa dengan cerita sejarah, sehingga tidak hanya menyajikan nilai estetika tapi juga nilai budaya dan pengenalan sejarah. Akhir yang ditawarkan juga di luar dugaan. Berada di satu persimpangan ke mana hatinya hendak berlabuh, Amba memilih menelusuri jalan lain. Amba malah menikah dengan A­dhalhard, dosennya sendiri. Amba mengambil keputusan ini karena memang tak ada alasan untuk menolak Adhalhard. Dia lah sosok yang menerima Amba apa adanya, termasuk janin yang dikandung Amba, yang tak lain adalah anak Bhisma. Bagian lain yang cukup menyentuh adalah 22 surat Bhisma, yang selama ini ditulisnya bertahun-tahun untuk Amba. Dari surat-surat tersebut masih jelas tergambar rasa cintanya pada Amba yang tak pernah padam. Malangnya, Amba membaca surat tersebut pada saat Bhisma telah tiada. Seandainya surat itu dibaca pada saat yang tepat, mungkin pernikahannya dengan Adhalhard tidak terjadi. Dari surat-surat tersebut juga karakter tiap tokoh akan tergambar. Dari surat-surat yang dilampirkan di buku ini pula, dapat dilihat bahwa kisah cinta segitiga Amba, Salwa, Bhisma terkesan saling melepaskan, romantis namun tidak mengumbar ataupun berlebih­an. Secara keseluruhan, novel ini menarik untuk dibaca. Alurnya yang tidak ribet, dengan diksi yang mudah dimengerti, membuat novel ini bisa dibaca untuk siapa saja apalagi penyuka sejarah.

MAJALAH SUARA USU I 65


laporan utama apresiasi

Penampilan Opera Batak oleh Maestro Opera Batak

‘Skenario’ Teater Rakyat Tano Batak Oleh: Harry Yassir Elhadidy Siregar Foto-foto: Ridha Annisa Sebayang

66 | MAJALAH SUARA USU


laporan utama apresiasi

MAJALAH SUARA USU I 67


laporan utama apresiasi

D

i kampung yang tanahnya sulit ditanami tumbuhan, Desa Sitamiang, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, sekarang Kabupaten Samosir, tersebutlah seorang anak yang menjadi penggembala kerbau. Ialah Tilhang Gultom, anak kelima dari Raja Sarumbosi Gultom. Tilhang bersama dua rekannya, Pipin Butar-butar dan Adat Raja Gultom kerap memainkan alat musik Batak dari rumah ke rumah. Tilhang memainkan hasapi, Pipin peniup serunai dan Raja memetik kecapi rhythm. Saat itu tahun 1925. Tilhang, Pipin dan Raja membentuk grup yang menjadi cikal bakal opera Batak. Komunitas ini berbentuk trio yang diberi nama Tilhang Parhasapi. Artinya, Tilhang Si Pemetik Kecapi. K.K Gari Gultom, paman Tilhang mendukung bakat musik keponakannya. Ia menambah pemain sebanyak dua belas orang. Tawaran bermain musik di daerah lain pun muncul. Seiring perkembangannya, Tilhang tak hanya bermain hasapi dan seruling. Ia mulai meniup serunai dan memainkan garantung, gamelan Batak Toba. Tahun 1927 Tilhang pindah ke Desa Tiga Dolok Kabupaten Simalu­ ngun. Di desa ini ia mulai membangun Grup Opera Batak Serindo (Seni Ragam Indonesia). Anggotanya lima puluh orang. Aktivitas Tilhang didukung oleh Dos Ni Roha, gerakan identitas dan na-

Dia ayah sekaligus guru sepanjang masa.

Zulkaidah

68 | MAJALAH SUARA USU

sionalisme Batak, dan menjadi sponsor utama grup Tilhang. Dalam Jurnal Ilmiah Karya Prof Ahmad Samin Siregar berjudul Opera Batak sebagai Sebuah Pertunjukan Drama, opera yang muncul mulai tahun 1920-an tak lepas dari pengaruh kehadiran sosok seniman besar Tilhang Gultom. Dengan kata lain gerak majunya opera Batak tidak dapat dilepaskan dari Tilhang Gultom. Opera Batak adalah seni pertunjukan masyarakat Toba dengan mementaskan berbagai cerita seperti legenda, mitos, cerita kepahlawanan dan kehidupan sehari-hari. Pertunjukan opera Batak ini juga menggunakan nyanyian rakyat yang diselipkan di tengah pertunjukan sesuai jalan cerita. Nyanyian ini selalu diiringi alat musik Batak seperti tiupan seruling atau sarune, gong, hasapi, dan seperangkat gendang. Nyanyian dan pertunjukan musik di opera Batak inilah yang menjadi daya tarik bagi penontonnya. *** Tilhang bersama Grup Serindo tiba di kampung Simanunggang untuk memainkan opera Batak dan tinggal selama beberapa hari. Di kampung itu pula seorang gadis berusia 18 tahun sedang mengunjungi rumah kakaknya dan melihat para pemain opera Batak yang akan melakukan pementasan. “Cantik-cantik sekali mereka. Seandainya saja aku bisa bergabung dengan mereka,” kata perempuan muda itu dalam hati. Ia mulai mencari tahu tentang kelompok yang buat penasaran. Ia beranikan diri menyampaikan keinginannya kepada Tilhang untuk bergabung bersama punggawa Grup Serindo. Perempuan itu bernama Zulkaidah Harahap. Tilhang mengatakan jika grup mereka tak lagi ada posisi kosong yang harus diisi. Namun keinginan kuat Zulkaidah buat ia bergabung walau hanya berperan membantu-bantu. Selama tiga bulan ia menemani kelompok opera Batak sebagai pembuat makanan di dapur pada siang hari dan menjaga anak-anak pemain pada

lunan Nyanyian dan a n pada musik diselipka ta. setiap jalan ceri n alat Disajikan denga mengasederhana dan kat arti jarkan masyara akna budaya. Inilah m r dasar seni teate tak dari rakyat Tano Ba . Sumatera Utara malam hari. Hingga pada satu malam ia rindu kampung halaman di Tapanuli Selatan. Para pemain sedang pentas dan ia tinggal di rumah. Ia menyanyikan lagu berjudul Ungut-ungut dari Tapanuli Selatan, kampung halamannya. Lagu itu menggambarkan kesedihan dan kerinduan yang sedang ia rasakan. Esok hari, ia dipanggil Tilhang sebelum berangkat ke pentas opera Batak. “Kaunya yang nyanyi tadi malam itu?” tanya Tilhang Gultom. “Iya Opung,” jawab Zulkaidah. “Kalau begitu coba kau nyanyikan dulu di pentas nanti. Lagu apa itu?” tanyanya lagi “Ungut-ungut Opung dari Tapanuli Selatan,” jawab Zulkaidah. Setelah sampai lokasi, ia pun naik ke pentas. Tilhang menginstruksikan agar pemusik menyocokkan suara dengan Zulkaidah. Zulkaidah berusaha keras agar suaranya cocok dengan musik. Sayang, setelah dicoba beberapa kali tetap saja tidak menemukan kecocokan. “Maaf Opung, ada seruling yang bisa saya mainkan,” tanya Zulkaidah. “Eh, bisa juga berseruling kau?” tanya Tilhang lagi “Dikit-dikitlah Opung,” jawabnya. Setelah seruling diberikan, mulailah Zulkaidah memainkannya membawakan lagu. Tak berapa


laporan utama apresiasi lama, berdatanganlah orang-orang menyaksikan penampilan Zulkaidah. Sedikit demi sedikit para pengunjung memberikan sumbangannya. Hingga acara selesai cukup banyak sumbangan yang ia peroleh. Sejak itu Zulkaidah mulai mengikuti berbagai pentas keliling opera Batak. Ia dipersilahkan Tilhang Gultom untuk menyanyikan lagu ungut-ungut disetiap pementasan. Kemampuan musik, khususnya seruling Zulkaidah mendapat dukungan positif dari lingkungannya. Alister Nainggolan yang saat itu masih pemuda juga mulai bergabung dengan Serindo. Kepiawaiannya memainkan musik menjadikannya rival yang mendukung keberhasilan Zulkaidah. “Ito Zulkaidah cukup lihai memainkan musik,” kata Alister. Sejak itu Zulkaidah coba memain­ kan peran lain. Alister tetap membidangi musik, sementara ia mulai melakoni berbagai tokoh, manortor, dan pekerjaan lainnya. Sejak itu Zulkaidah dan Alister menjadi tokoh sentral

dalam Serindo. Mereka mulai pentas keliling dan memasuki kampung ke kampung. Awalnya mereka memasuki kawasan Toba Samosir dilanjutkan ke kabupaten lain di Sumatera Utara. Perlahan mereka mulai keluar provinsi hingga ke Riau dan Sumatera Barat. Zulkaidah dan Alister sama-sama mulai memikul peran penting saat Tilhang harus menghembuskan nafas terakhirnya. “Boru Harahap,” ujar Tilhang. “Iya Opung,” kata Zulkaidah. “Harapanku do ho,” sambung Tilhang. Sang Opung menaruh harapan pada Zulkaidah. “Pos ma dirohamu pos ma dirohaku (Kalau kau yakin akupun yakin),” kata Tilhang. “Anggo tarida ma goarmu tarida magoarku (Kalau namamu termasyur, namaku juga akan termasyur),” pesan Tilhang terakhir kali sebelum ia meninggal. Zulkaidah tak mampu menahan kesedihan sejak ditinggal Tilhang. “Dia

ayah sekaligus guru sepanjang masa,” kata Zulkaidah meneteskan air mata. Hingga Tilhang wafat, warisan Tilhang Gultom tercatat ada 360 lagu, 12 tumba dan 24 judul lakon cerita. Grup Serindo diwariskan kepada Gustava Gultom sampai akhirnya dipimpin Zulkaidah Harahap. *** Zulkaidah memimpin opera Batak sejak dipindahtangankan dari Gustava Gultom. Anggotanya melebihi lima puluh orang. Sebagai pimpinan opera Batak tak jarang ia turun ke lapangan mengurusi masalah-masalah teknis. Pentas keliling opera Batak pimpinan Zulkaidah tetap menggunakan konsep Tilhang. Keliling Sumatera Utara dan sekitarnya guna menyampaikan pembelajaran budaya dan masyarakat Batak. Perjalanan opera Batak ini tak jarang menemui kendala. Misalnya saja saat-saat tak cukup uang untuk membiayai jalannya opera Batak. “Untung para pemain tak banyak menuntut uang,” katanya.

MAJALAH SUARA USU I 69


laporan utama apresiasi Selang beberapa tahun menge­ tuai grup opera Batak, Zulkaidah naik pangkat menjadi toke. “Kalau orang sini bilang bosnya,” kata Alister yang juga sama-sama berjuang dengan Zulkaidah. Masalah keuangan semakin parah saat Zulkaidah menjadi toke. Saat itu mereka sedang berada di Kota Padang Sidempuan. Biaya produksi tak tertutupi, gaji pemain juga belum terbayar. Belum lagi masalah-masalah logistik yang semakin tak terpenuhi. Tak hanya itu, izin operasional mereka tak keluar dari pemerintah setempat. Lama-lama keuangan semakin menipis. Hutang di mana-mana. Penghasilan hari-hari sebelumnya terkuras menutupi segala kekurangan. Sejak kemunculan televisi dan radio, minat masyarakat akan pertunjukan tradisional mulai berkurang. Kenaikan pajak sebesar tiga puluh persen juga menghambat jalannya opera ini. Di saat itu juga Zulkaidah semakin bingung. Ia kalap. Ia meninggalkan hutang dan permasalahannya ke Jakarta. “Saya nggak tahu harus ngapain lagi. Habis semuanya yang saya dapat dari merintis,” ujar Zulkaidah. Air matanya masih saja mengalir. Sejak meninggalnya Tilhang Gultom dan kepergian Zulkaidah, opera Batak yang berada di bawah kelompok Serindo mati total. Hingga beberapa tahun selanjutnya, keberadaan Zulkaidah diketahui Gustava Gultom dan menyuruhnya kembali ke Tiga Dolok. “Bagaimana Boru Harahap? Kau lanjutkan laginya usaha ini?” tanya Gustava di Tiga Dolok. “Nggak lah. Nggak sanggup lagi aku. Nggak ada hartaku lagi,” jawab Zulkaidah. “Kalian gimana? Apakah kalian mau pulang ke kampung masingmasing?” tanya Gustava kepada para anggota yang masih menetap di Tiga Dolok. “Enggak Pak. Di mana Serindo berada di situlah kami,” kata salah seorang dari mereka.

70 | MAJALAH SUARA USU

Salah satu upaya Zulkaidah dalam melestarikan Opera Batak, dimulai dengan melatih anak-anak di sekitar tempat tinggalnya menari

Terenyus hati Zulkaidah. Ia ingat akan kata-kata Tilhang sebelum meninggal dunia. Ada rasa bersalah yang ia simpan ketika menolak untuk tak mengurusi opera Batak lagi. Sejak itu Zulkaidah kembali menghidupkan opera Batak di Tiga Dolok. Alat-alat panggung diambil dan dikumpulkan di satu tempat. Mereka menumpang gedung Koperasi Unit Desa (KUD) Tiga Dolok untuk menyimpan barang-barang. Pementasan kerap dilakukan di dekat KUD. Opera Batak hanya dijalankan ketika ada orang yang ingin latihan atau pertunjukan.Tak ada lagi pentas keliling atau iringan musik di setiap panggungnya.

Sembari menjalankan opera Batak, hari-hari Zulkaidah dilalui dengan berjualan kacang di pesta atau menjajakkannnya ke kampung-kampung. Tak jarang juga ia menggembalakan kambing miliknya di ladang sebelah rumahnya. *** Zulkaidah br Harahap Sang Primadona Opera Batak Hidup dengan Lampu Teplok. Judul tulisan itu tertulis besar di sebuah harian lokal Sumatera Utara. Zulkaidah terkejut saat membaca koran lokal itu. Pasalnya ia tak merasa menyuruh menuliskan itu. Alhasil ia banyak didatangi pihak-pihak untuk mewawancarainya baik itu dari


laporan utama apresiasi

pemerintahan maupun non peme­ rintah. Sejak itu ia mulai mendapat tawaran bermain opera Batak kembali. Tahun 1991 Zulkaidah memainkan opera Batak di Jepang dan beberapa tahun setelahnya ia ke Amerika memainkan pentas yang sama. Tak hanya itu, undangan lain datang dari Marsius Sitohang, budayawan Sumatera Utara (sumut) untuk menampilkan budaya Sumut di tujuh negara. Selama satu setengah bulan Zulkaidah keliling negara memainkan opera Batak. Setelah itu Zulkaidah kembali ke Tiga Dolok dan menjadi pelatih opera. ***

Tahun 2008 Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang revitalisasi kebudayaan. Melalui Prof Ahmad Samin Siregar pada saat itu oper­a Batak terpilih menjadi kebudayaan yang perlu direvitalisasi. Sebelumnya ada Hoko kebudayaan asal Nias yang juga perlu direvitalisasi. “Tapi karena opera Batak yang sudah hampir punah, maka ini yang terpilih,” kata Thompson Hutasoit, Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt). Sebelumnya, Thompson berinisiatif untuk membuat sebuah pusat pelatih­ an opera Batak. Ia beserta Prof Mauly Purba memanggil Alister Nainggolan untuk bergabung mengembangkan tradisi Sumut ini. “Ada juga si Zulkaidah br Harahap yang ahli tentang opera Batak,” kata Alister saat mereka melakukan diskusi di Simpang Limun Medan. Dipanggillah Zulkaidah untuk bergabung bersama PLOt. Di PLOt, Zulkaidah dan Alister banyak menurunkan ilmu opera Bataknya ke generasi penerus. Mereka menjadi pelatih opera Batak melalui PLOt tersebut. Hingga tak berapa lama pada tahun 2009, kedua pemain lama opera Batak ini mendapatkan gelar Maestro Opera Batak dari PLOt. Mereka mengunjungi Istana Negara untuk menghadiri undangan presiden dan menerima satu buah pin emas serta sertifikat. Gelar maestro yang mereka terima menghasilkan pemasukan keuangan. Pemerintah memberikan tunjangan sebesar Rp 1.250.000 per bulan yang diterima setiap dua kali setahun. “Walau penghargaannya diterima tahun 2009, tapi kita udah terima gaji dari tahun 2007,” kata Zulkaidah. Beberapa kali Zulkaidah memberikan sumbangan ke PLOt untuk pengembangan opera Batak karena operasional PLOt sendiri masih menggunakan dana pribadi. Hingga berkembangnya PLOt dengan menghasilkan opera Batak, banyak pemain lama yang mulai melamar untuk ikut berkegiatan lagi. Hingga proses yang cukup panjang,

PLOt menghasilkan satu karya opera Batak andalan mereka berjudul Mencari Si Jonaha yang dipentaskan keliling Sumut hingga ke Belanda. Thompson menilai konsep dasar PLOt adalah regenerasi, rekonstruksi, dan inovasi. Regenerasi dilakukan dengan menghadirkan pemain-pemain baru untuk melanjutkan estafet pemain lama opera Batak. “Hingga kini sudah ada sekitar 51 pertunjukan yang dilahirkan PLOt dengan pemain-pemain baru,” katanya. Rekonstruksi, menurut Thompson dilakukan dengan melakukan reka ulang pertunjukan opera Batak zaman dulu dengan menghadirkan para pemain-pemain lama. Dengan itu diharapkan generasi sekarang mengetahui bagaimana opera Batak dulunya. Ketiga, inovasi dengan melakukan penambahan-penambahan di dalam Opera Batak agar tidak kaku dan lebih modern. Dengan itu opera Batak dapat lebih hidup dan bersaing dengan teater-teater lainnya. “Untuk itu kita

Penghargaan yang pernah diperoleh Zulakidah Harahap

MAJALAH SUARA USU I 71


laporan utama apresiasi sudah mulai mengembangkannya di perkuliahan seni tari,” kata Ojax Manalu, Dosen luar biasa mata kuliah Teater Tradisi di Universitas Negeri Medan. Ojax saat itu sibuk mengkonsep opera Mencari Si Jonaha. Bentuk inovasi yang diusung PLOt akan diterapkan pada opera ini. Ia mulai mengkombinasikan alat musik modern dalam pagelaran ini. Cerita yang ingin disampaikan tidak hanya satu budaya Batak saja. “Ini kombinasi dari berbagai etnis Batak agar tidak monoton dan bosan,” katanya. Mencari Si Jonaha sendiri dikemas tidak melulu cerita tentang adat, kebudayaan dan semua hal yang berat-berat. Dalam pagelaran terbesar PLOt ini justru mengangkat cerita yang ringan dan sederhana. Diselipkan nilainilai budaya dalam opera ini. Mencari Si Jonaha berarti mencari si jenaka yang pagelarannya dikemas Ojax dengan santai. Selain itu, pagelaran ini mulai menggunakan banyak properti yang mendukung jalan cerita. Properti ini, menurutnya dipakai agar kesan opera tidak kaku dan terfokus pada jalan cerita saja. Inovasi untuk mengembangkan

opera Batak yang diusung PLOt dalam revitalisasi ini juga disambut baik oleh Andi Hutagalung. Ia adalah seorang sutradara Inovasi untuk mengembangkan opera Batak yang diusung PLOt dalam revitalisasi ini disambut baik oleh Andi Hutagalung. Ia adalah seorang sutradara yang dikenalkan dengan Thompson dan akhirnya mengemas konsep opera Batak melalui film dokumenter. Andi Awalnya ingin membuat sebuah film berkonsep budaya sumut. Ia mencari di internet seni budaya Sumatera Utara yang hampir punah dan keluarlah opera Batak. Ia kemudian mengggali kebudayaan asal Toba ini dan mencari tahu informasi sebanyakbanyaknya. “Waduh, gimana aku mau buat film opera Batak. Nonton saja belum pernah,” keluh Andi dalam hati. Karena keinginannya sudah bulat untuk membuat film opera Batak, maka ia melakukan riset keliling perkampungan di Pulau Samosir untuk mencari data. Saat itu ia bertemu dengan­ salah seorang anak pemain opera Batak zaman dulu. “Kalau mau melihat pertunjukan, bayar lah,” kata bapak itu ditirukan Andi. Akhirnya Andi pulang ke Medan

Diskusi Sepuluh Tahun Revitalisasi Opera Batak di Taman Budaya, Medan, Sabtu,(1/12)

72 | MAJALAH SUARA USU

dengan tangan kosong. Setelah balik ke Medan ia dikenalkan dengan Thompson yang lagi fokus ke pengembangan opera Batak. Setelah kenal dengan Thomson ketertarikannya dengan opera Batak semakin tinggi. Andi semakin memahamai kalau opera Batak dulunya digemari dan mati perlahan karena modernisasi. Ia semakin tertarik untuk mengemas opera ini dalam bentuk film. “Saya ingin membuat model pembelajaran edukasi opera Batak melalui film,” katanya. Dalam film dokumenter opera Batak karya Andi diceritakan bagaimana pelakunya memainkan opera Batak, perjuangan membangun opera batak, dan anak muda yang harus aktif me­ ngenal opera Batak. Tak ketinggalan Zulkaidah menjadi salah satu narasumber dalam film itu. Ia berpesan agar anak muda sekarang lebih perhatian kepada opera Batak. Opera Batak adalah satu jenis kesenian Sumatera Utara yang sangat baik. Segala macam pembelajaran terdapat di dalamnya. Baik itu lakon, tari, musik ataupun vokal. Dalam opera Batak juga anak muda dapat mengenal bagaimana masyarakatanya sendiri. Zulkaidah mengeluhkan sedikitnya anak muda sekarang yang mau tahu tentang opera Batak. “Semuanya sudah terpengaruh TV, handphone, sinetron, dan perkembangan teknologi modern lainnya,” kata Zulkaidah. Untuk itu melalui tunjangan yang diberikan pemerintah, Zulkaidah kerap menyisihkannya untuk pengembangan opera Batak melalui PLOt. Tapi masalah kembali muncul saat uang tunjangan tak diterima dalam tempo beberapa waktu. Awalnya tunjangan diterima dua kali setahun, namun pada tahun 2007 hingga 2009 uang ini diterima Zulkaidah hanya sekali setahun. Pada tahun 2011 ia sudah mengirimkan surat untuk menanyakan hal ini ke Dinas Kebudayaan dan pariswisata (Disbudpar) Sumatera Utara dengan isi tentang pengeluaran uang tersebut. Akhirnya ditanggapi dan pada tahun 2011 dikeluarkan dua kali setahun.



Alister Nainggolan

Harapannya agar ia diberikan satu sanggar opera Batak untuk melestarikan kesenian ini. Dengan adanya sanggar ini, maka siapapun bisa datang untuk belajar dan ia dengan senang hati mengajarkan itu semua. Zulkaidah menambahkan tak perlu ada gaji khusus untuknya mengajar opera Batak itu. Dengan adanya sanggar, maka pesan Tilhang kepadanya akan diteruskannya kepada generasi muda. Zulkaidah berpesan agar generasi muda mengenal tradisi budayanya sendiri. Jangan hanya tahu sinetron saja. Tapi juga mengenal apa itu tor-tor somba, parelek-elek dan sebagainya. Seperti kata Prof Samin di dalam jurnalnya, opera Batak lahir untuk mengenalkan kehidupan masyarakat Sumatera Utara melalui musik, tari, dan lakon. Lantas Zulkaidah bertanya, “Kalian generasi muda ke mana? Jangan kami-kami yang tua saja sibuk-sibuk sendiri melestarikan budaya ini. Sekarang, ini tugas kalian!”.

Kalian generasi muda ke mana? Jangan kamikami yang tua saja sibuk-sibuk sendiri melestarikan budaya ini. Sekarang, ini tugas kalian!

Namun pada tahun 2012 uang itu tak kembali keluar dan Zulkaidah melayangkan surat kembali ke Disbudpar Sumut. Hingga sekarang uang itu tak keluar dan surat juga tak dibalas. “Saya baca di harian KOMPAS katanya tunjangan naik. Tapi, entahlah,” katanya. *** Zulkaidah kini menghabiskan hari tuanya di Tiga Dolok tempat kelahiran opera Batak. Menjalankan nasihat Tilhang Gultom, hingga ini ia masih menjadi pengajar opera Batak jika dipanggil PLOt atau ada kunjungan ke kampung itu guna kelestarian kesenian. Usianya yang sudah tak muda lagi membuatnya tak bisa berbuat banyak. Pernah suatu hari ia terpikir membuat sebuah pagelaran opera Batak. Tapi ia mengeluh dalam hatinya sendiri. “Bagaimana saya mau buat opera Batak, gendang pun tak ada. Hanya ada satu serunai yang saya miliki. Mana bisa mendukung opera Batak ini,” aku Zulkaidah.



laporanrehat utama

AULIA ADAM | SUARA USU

76 | MAJALAH SUARA USU



laporancogito utama

Kurikulum Pendidikan Baru:

Proyek yang Tergesa-gesa M Januar Pemimpin Redaksi SUARA USU

Ganti menteri ganti kurikulum. Namun dalam penerapaanya tak berjalan sesuai konsep. Jangan sampai proyek miliaran ini hanya sekadar formalitas belaka.

78 | MAJALAH SUARA USU

M

ulai tahun ajaran baru pendidikan 2013-2014 nanti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional berencana mengubah kurikulum pendidikan saat ini, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang dipakai sejak 2006, dengan kurikulum baru. Ruh semangat yang ditiupkan dalam kurikulum ini katanya bertujuan menciptakan dunia pendidikan yang siap menjawab tantangan zaman. Siswa didik untuk paham terhadap suatu permasalahan secara menyeluruh. Bukan sekadar menghafal. Soft skill lebih diberikan porsi ketimbang kemampuan di atas kertas. Beban belajar untuk siswa juga dikurangi. Perbedaan kurikulum baru nanti sangat mencolok dengan kurikulum lalu. Misal, jumlah mata pelajaran dikurangi untuk tingkat SD dan SMP. Saat ini, SD yang punya sepuluh mata pelajaran diringkas jadi enam. Tak ada lagi di SD mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kedua mata pelajaran tersebut dilebur kedalam

enam mata pelajaran lain, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Agama, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Kesenian. Lalu untuk tingkat SMP, dipadatkan jadi sepuluh mata pelajaran yang sebelumnya berjumlah dua belas. Peringkasan mata pelajaran ini sebenarnya langkah tepat. Siswa tak perlu lagi bawa tas yang berat isinya hampir sama dengan berat tubuh mereka. Yang lebih paling penting, siswa dididik dengan cara lebih sederhana dengan memahami permasalahan sehari-hari. Budaya menghafal yang selama ini menjangkit dalam metode pendidikan dikikis. Sehingga metode ini buat peserta didik memahami permasalahan secara utuh bukan hanya sekadar hasil. Agar konsep kurikulum ini berjalan baik banyak faktor yang sebenarnya harus disiapkan. Salah satunya, kualitas guru. Sang guru harus memahami permasalahan dari segala ilmu pengetahuan. Pemerintah harus menyiapkan kualitas guru


laporancogito utama

VIKI APRILITA | SUARA USU | BERBAGAI SUMBER

yang kompeten. Untuk menciptakan tenaga pengajar yang berkualitas tidak semudah kedipan mata. Mari kita tilik kondisi sekarang, kesejahteraan guru masih belum merata. Guru yang berstatus pegawai negeri bisa dibilang berkecukupan, bagaimana dengan status honorer? Masih jauh dari kata cukup. Jumlah guru juga sangat terbatas. Untuk daerah-daerah pelosok sekolah masih sering kekurangan tenaga pengajar. Padahal guru merupakan faktor pendukung paling penting agar konsep kurikulum ini berjalan baik. Jika kesejahteraan dan ketersediaan masih bermasalah, bagaimana kurikulum ini mau diterapkan. Sertifikasi guru yang telah ada, juga tak lepas dari masalah. Masih banyak kesalahan sistem dan administrasi di sana-sini. Tersedia waktu tiga tahun yang ada untuk adaptasi dengan kurikulum baru ini. Namun permasalahan dasar dalam dunia pendidikan saat

ini sangat kusut. Selain permasalahan tenaga pengajar, sarana dan pra sarana sekolah masih jadi kendala. Dalam kurikulum ini nanti, selain belajar tatap muka, siswa juga diajak langsung mengamati peristiwa yang telah dipelajari. Bagus memang, tapi sarana dan prasarana pendidikan saat ini masih miris. Jangankan alat praktik, kondisi ruangan kelas di daerah kecil pun buat gigit jari. Tak dipungkiri, kondisi pendidikan di kota-kota besar lebih jauh maju ketimbang di daerah kecil. Melihat tingkat kualitas pendidikan Indonesia dalam lingkup global saat ini masih belum bisa disejajarkan dengan negara maju lain. Dalam hari足 an KOMPAS edisi Sabtu 20 Oktober mencatat posisi Indonesia sejajar dengan negara Ghana, Guatemala dan Malawi. Tingkat putus sekolah juga masih sangat besar di Indonesia. Tercatat sekitar 465.000 siswa putus sekolah untuk pendidikan dasar. Se-

dangkan SMP sekitar 229.000 siswa. Sepertinya pemerintah tidak melihat kondisi yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Selain guru dan fasilitas penunjang banyak hal yang harus dipikirkan para pembuat kebijakan di negeri ini. Buatlah rancangan yang matang dan jangka panjang dalam mengonsep pendidikan. Agar tidak setiap ganti menteri ganti kurikulum. Pemerintah boleh saja merancang kurikulum. Tapi jangan lupakan permasalahan dasar yang harusnya diselesaikan dahulu. Jangan tergesagesa tetapkan suatu kebijakan. Sebab pendidikan bukanlah tempat uji coba kebijakan. Pemerintah harus sadar peran vital pendidikan sebagai pendorong kemajuan negeri ini. Peran pendidikan sangatlah penting untuk siapkan generasi penerus bangsa. Jika kurikulum yang punya peran sebagai garis acuan dalam pendidikan tak jelas, maka wajar tak jelas juga generasi yang dihasilkan.

MAJALAH SUARA USU I 79


laporan utama kaleidoskop

Oleh: Aulia Adam

Bangun ‘Wajah’ Baru USU, Rektor Bentuk USU ASRI Sejak awal tahun ini, Rektor USU Prof Syahril Pasaribu telah membentuk sebuah tim sebagai perpanjangan tangannya dalam menjalankan program kerja non-akademik bidang pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur, sarana dan prasarana. Tim ini mengusung tagline USU ASRI, yang merupakan singkatan dari Academic (Akademis), Sustainability (Sinambung), Relevance (Relevan) dan Intergrated (Integrasi). Program ini sendiri diperkirakan akan selesai 2015 mendatang, seiring dengan berakhirnya masa jabatan rektor periode ini. Saat ini beberapa perombakan telah mulai dilakukan di beberapa titik di USU.

Raja Bongsu Hutagalung, PR III Baru USU Raja Bongsu Hutagalung resmi dilantik menjadi Pembantu Rektor (PR) III oleh Ketua Majelis Wali Amanat (MWA), Joefly Joesoef Bahroeny, Jumat (4/5) lalu di Ruang Senat Akademik Biro Rektor. Bongsu menggantikan PR III sebelumnya, Prof Eddy Marlianto yang dicopot di tengah masa jabatan. Masa jabatan Bongsu ini bersifat periode antarwaktu.

Demonstrasi Kenaikan Harga BBM

Peresmian Fasilkom-TI USU Sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Rektor USU Nomor 2360/UN5.1.R/SK/PRS/2011, Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Fasilkom-TI) resmi menjadi fakultas ke-14 di USU. Keluarnya SK Fasilkom-TI sendiri tertanda sejak 6 September tahun lalu, namun baru melantik Prof Zarlis sebagai Dekan Fasilkom-TI pada Rabu, (6/6) lalu. Bersama Zarlis, turut dilantik Prof Opim Salim, Sawaludin dan Syahril Efendi sebagai masing-masing Pembantu Dekan I, II dan III.

Mahasiswa bergabung bersama elemen masyarakat lain berunjuk rasa tolak usulan pemerintah Indonesia untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dirapatkan oleh DPR RI, Sabtu (31/3). Unjuk rasa ini diikuti mahasiswa hampir di setiap daerah Indonesia. Termasuk mahasiswa USU. Akhirnya, rapat para wakil rakyat di Senayan putuskan untuk menunda pembahasan kenaikan tarif harga BBM. ANDIKA BAKTI | SUARA USU

80 | MAJALAH SUARA USU


laporan utama kaleidoskop

RS USU Tak Kunjung Dibuka

RIDHA ANNISA SEBAYANG | SUARA USU

Rumah Sakit (RS) USU yang sudah rampung sejak Juni 2011 lalu masih belum diresmikan. Peresmiannya telah mengalami beberapa kali pengunduran, termasuk saat diwacanakan akan diresmikan pada puncak Dies Natalis USU ke-60, September lalu, oleh Preseiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Penundaan persemian ini terkait de足 ngan足 jadwal presiden sendiri yang belum memberikan kepastian.

Dekan FE Tutup Usia

Tim HORAS Raih Juara 1 IEMC

Dekan Fakultas Ekonomi (FE) Jhon Tafbu Ritonga tutup usia pada Senin (5/11) lalu pukul 10.40 siang di Rumah Sakit Materna. Ia telah dirawat sejak Jumat (2/11) lantaran menderita komplikasi, di antaranya infeksi paru-paru. Setelah disemayamkan di rumah duka Jalan Tridharma No 4,jenazah langsung dibawa ke Rantau Parapat untuk dikebumikan pada hari yang sama. Jhon Tafbu tutup usia pada umur 55 tahun.

Tim HORAS berhasil meraih juara 1 dalam kompetisi Indonesia Energy Marathon Challenge, kompetisi penciptaan kendaraan ramah lingkungan, (IEMC) 2012 yang diadakan oleh Institut Teknologi Surabaya (ITS), 21-25 November lalu, untuk kategori Urban Gasoline. Sebelumnya, Tim HORAS juga mengikuti ajang Shell Eco-Marathon Asia dalam rangka pembuatan mobil hemat energi Juli lalu di Sepang, Malaysia.

MAJALAH SUARA USU I 81





Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.