Tabloid SUARA USU Edisi 91

Page 1

EDISI

91

LAPORAN KHUSUS LEMBARAN DILEMATIS PSMS MEDAN

PODJOK SUMATERA UTARA TAMAN BUDAYA SUMATERA UTARA RUMAH SENIMAN YANG TERLUPAKAN

XVIII/MARET 2013

Rp 3000 ISSN 1410-7384

SUARAUSU.CO


2 suara kita lepas

vv

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

suara redaksi

Jurnal Ilmiah

Syarat “Lelah” Tamat dari USU Redaksi

A

gustus 2012 menjadi awal pelaksanaan dari kebijakan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen dikti) tentang jurnal ilmiah yang diwajibkan bagi tamatan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Pun demikian di USU, yang penerapannya tahun lalu terpusat di rektorat. Namun tahun ini, rektorat memberikan wewenang utuh kepada tiap fakultas untuk membuat kebijakan pengelolaan jurnal ilmiah mahasiswanya. Alih-alih memberikan kemudahan pada mahasiswa, ternyata kebijakan ini malah menuai kebingungan di ranah pengelolanya. Misal, banyak fakultas yang belum memahami jika seharusnya anggaran untuk jurnal ilmiah ini dimasukkan pada Rancangan Kerja Awal Tahun (RKAT). Tengok saja di Fakultas Keperawatan (FKep). Ada sekitar 50 jurnal ilmiah mahasiswa yang seharusnya sudah diterbitkan se­ bagai syarat mendapatkan ijazah lulus sarjana. Alasan tim pengelola yang terdiri dari tiga editor dan seorang operator ini adalah, tidak adanya dana upah dan fasilitas. Sama halnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Dana pengelolaan jurnal ilmiah seakan menjadi kerikil tajam program ini. Pasalnya RKAT yang di­­cairkan dari rektorat tahun ini hanya setengah dari Rp 7 miliar yang mereka anggarkan. Sontak FIB pun akan menjerit jika benar tak ada dana khusus yang diberikan lagi untuk pengelolaan jurnal ilmiah mahasiswa mereka. Selain permasalahan dana dan fasilitas, baik tim pengelola maupun mahasiswa ba­nyak yang tidak memahami jelas aturan pembuatan jurnal ilmiah. Maka akibat buruk dari sistem otonom jurnal ilmiah ini adalah perbedaan kebijakan yang diberikan fakultas pada mahasiswanya. Ada yang membuat jurnal ilmiah ini sebagai syarat sidang meja hijau, ada yang memilihnya sebagai syarat wisuda, ada pula yang hanya menjadikannya sebagai syarat pengambilan ijazah. Jadi alangkah lebih baiknya sebelum wewenang penuh diberikan pada tiap fakultas, rektorat juga membuat kebijakan terpusat tentang jurnal ilmiah ini. Lebih penting, rektorat seharusnya memperjelas bagaimana dana dan fasilitas yang akan dipenuhi baik untuk fakultas maupun tim pengelola yang ada di tiapnya. Panjang perjalanan terpublikasinya jurnal ilmiah ini hendaknya juga menjadi evaluasi. Ada dosen pembimbing seharusnya bisa rangkap sebagai editor atau penanggung jawab jurnal. Tak perlu panitia khusus lagi dan anggaran untuk tiap-tiap panitia tersebut. Ada akun pribadi mahasiswa yang dinaungi web USU. Dengan demikian mahasiswa dapat memanfaatkannya untuk mempublikasikan sendiri jurnal mereka. Tak perlu menunggu hingga terpenuhinya kuota yang dibuat per fakultas hanya untuk menaikan jurnal tersebut sekaligus. Seba­ iknya, ia bisa langsung dibaca khalayak ­yang waktunya tak terpaut jauh dengan waktu selesainya pembuatan jurnal tersebut. Intinya, baik rektorat maupun dekanat hendaknya bergegas menetapkan koridor yang jelas tentang sistem jurnal ilmiah ini, agar memudahkan mahasiswa dalam menye­ lesaikan masa studinya. Mumpung masih awal tahun.

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

RAPAT HARIAN

Suasana rapat harian di sekretariat SUARA USU Rabu (27/2). Rapat perdana yang diikuti oleh anggota magang SUARA USU.

Salam Jurnalistik!

S

etelah absen beberapa bulan, tabloid SUARA USU hadir kembali. Hadirnya tabloid edisi perdana tahun ini dihiasi dengan berbagai pembaruan pada tabloid. Perwajahan dan tampilan tabloid kami upayakan lebih segar dan soft. Semoga dengan pembaruan yang kami tampilkan bisa membuat pembaca semakin nyaman untuk membaca semua informasi yang kami sajikan. Pada edisi 91 ini, kami menilik sistem keamanan di kampus pada rubrik Laporan Utama. Meskipun berbagai cara keamanan telah diterapkan pihak keamanan kampus, mulai dengan menerapkan sistem patroli, penempatan satuan peng­amanan (satpam) di berbagai tempat di USU, ternyata belum mampu menjaga keamanan kampus. Berbagai tindak pencurian sering terjadi, bebasnya akses masyarakat luar untuk ke­

suara sumbang

luar masuk kampus membuat ketertiban kampus serasa tak terjaga. Berbagai permasalahan serta solusi keamanan dan keter­tiban kami sajikan pada rubrik ini. Untuk rubrik Laporan Khusus, simak cerita mengenai dualisme PSMS Medan. Dualisme yang mendera klub kebanggaan masyarakat Kota Medan ini berdampak pada kehidupan pemain. Ada isu penunggakan gaji hingga delapan bulan pada pemain dan pelatih, sedangkan kebutuhan sehari-hari harus mereka penuhi. Apa saja sebenarnya dampak yang terjadi dari dualisme ini? Silahkan tengok halaman 14 dan 15. Sudah setahun lebih program USU ASRI berjalan, apa saja yang telah dicapai dan bagaimana realisasi nyatanya? Teranyar, peng­ adaan bus kampus salah satu program USU ASRI yang mulai terasa manfaatnya bagi mahasiswa, pa­tut ditunggu gebrakan selanjutnya untuk bus kampus ini. Ada juga pembahasan me­ ngenai sistem Uang Kuliah Tung-

gal (UKT), di mana kita akan membayar uang kuliah sekali setahun, besarannya pun akan selalu berubah-ubah tergantung kebutuhan universitas yang dibagi dengan jumlah mahasiswa. Penerapan UKT ini masih menuai pro kontra sebab sosialisasi dan sistemnya masih belum jelas. Semua informasi tersebut kami rangkum di rubrik Ragam. Ada juga cerita keberadaan minak pengalun yang bisa menyem­buhkan berbagai luka, nyeri dan pegal. Konon, minyak khas yang dimiliki suku Batak Karo ini tak boleh dilangkahi sebab jika dilangkahi akan menghilangkan khasiatnya. Baca info selengkapnya di rubrik Potret Budaya. Halaman terakhir, kami hadirkan kisah hidup Rektor USU Prof Syahril Pasaribu sebagai Profil. Sekian pengantar dari redaksi SUARA USU. Semoga berbagai sajian kami bermanfaat dan membawa perubahan bagi kita semua. Selamat membaca! (Redaksi)

suara pembaca

Perbaikan Parkiran Baru FIB Saya kecewa dengan perbaikan parkiran mahasiswa Fakutas Ilmu Budaya (FIB) yang baru. Parkiran yang dulu kan masih layak, kenapa biaya perbaikan parkiran itu tidak dialihkan ke perbaikan pagar FIB, pagar kami itu masih pagar kawat duri, miris sekali . Noni Hotni Ida Hutagalung Fakultas Ilmu Budaya 2012

Ketiadaan Kantin FKM AULIA ADAM | SUARA USU

Harga naik hingga 300%, Indonesia impor bawang. Bah, katanya negara agraris, kok impor-impor pulak? Anas terbukti korupsi hambalang Jadi kapan ke Monasnya om?

Ketiadaan kantin di kampus saya itu cukup meresahkan dan mengecewakan. Apalagi kalau istirahatnya singkat, bingung mau makan ke mana. Kalau jauh takut telat masuk, jadinya tidak efisien. Biar bagaimanapun kantin itu pen­ting. Maria Liliana Fakultas Kesehatan Masyarakat 2012


SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

kata kita

suara kita 3 ­

Pro Kontra

Ragam Kuota Penerimaan Mahasiswa PTN

T

ahun 2013 ini terdapat ragam komposisi kuota mahasiswa yang akan diterima Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sesuai jalur masuknya masing-masing. Untuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan tinggi Negeri (SNMPTN) yang merupakan rekomendasi sekolah asal, mendapat jatah 50 persen. Sementara 30 per­ sen untuk Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan 20 persen untuk ujian mandiri PTN itu sendiri. Bagaimana tanggapan mahasiswa mengenai keberagaman tersebut? (Sri Handayani Tampubolon)

DESAIN SAMPUL: GIO OVANNY PRATAMA

AULIA ADAM | SUARA USU

Wendra Kurniansyah Fakultas Farmasi 2010

Kita harus berbaik sangka dengan ketetapan lebih banyak jumlah SNMPTN undang­ an. Namun, melihat kondisi setiap tahun jumlah murid yang ingin masuk PTN meningkat, tentunya akan kecil peluangnya. Peluang melalui jalur masuk mandiri tetap ada, satu sisi bagus karena dananya bisa digunakan untuk pembangunan. Tetapi sa­ yangnya tidak semua ekonomi orang tua murid sanggup untuk membiayainya.

Cindy Natasya Castella Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2010 Lebih bagus tahun-tahun sebelumnya. Banyaknya peluang jalur tertulis akan memperlihatkan keseriusan calon mahasiswa. Selain itu, adapun jalur undangan tapi tidak semua informasinya merata bahkan ada sekolah yang tidak mendapatkan undangan. Sekolah juga akan bertambah tugasnya untuk mendaftarkan para muridnya lewat online, apalagi tidak semua sekolah peduli akan hal ini dan otomatis merugikan para muridnya.

Gany Suadmajaya Fakultas Hukum 2010 Melalui SNMPTN Undangan yang lebih banyak maka siswa akan termotivasi lebih untuk belajar untuk memperbaiki nilai agar bisa masuk ke PTN yang mereka inginkan. Namun, harus meningkatan pengawasan dan transparansi untuk menghindari kecurangan di sekolah.

Ina Rahmi Diwasya Fakultas Ekonomi 2012 Ketetapan ini cukup baik. Jalur SNMPTN undangan lebih banyak dibandingkan jalur tertulis. Sekolah lebih berperan untuk mengawasi segala aktivitas para muridnya. Dengan demikian para murid akan meningkatkan cara belajar mereka untuk bisa mendapat nilai bagus di sekolah, karena akan mempengaruhi PTN yang mereka ­inginkan.

Ali Nopiah Fakultas Ilmu Budaya 2008

Menurut saya lebih banyak peluang dari SNMPTN melalui jalur undangan lebih meng­ untungkan, karena akan memberikan kesempatan siswa-siswa dari daerah. Walaupun tahun sebelumnya sudah ada jalur undangan, tidak semua siswa kelas tiga yang mendapat kesempatan mendaftar. SNMPTN memberi banyak kesempatan bagi siswa yang berprestasi di sekolah dan tidak ada biaya pendaftaran.

konten suara kita laporan utama opini dialog ragam

2 4 8 9 10

galeri foto podjok sumut laporan khusus mozaik potret budaya

12 13 14 16 18

riset resensi iklan peristiwa profil

19 20 21 23 24

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Debora Blandina Sinambela Sekretaris Umum: Sri Handayani Tampubolon Bendahara Umum: Pebri Hardiansyah Pohan Pemimpin Redaksi: Ipak Ayu H Nurcaya Sekretaris Redaksi: Audira Ainindya Redaktur Pelaksana: Hadissa Primanda Koordinator Online: Aulia Adam Redaktur: Apriani Novitasari, Cristine Falentina Simamora, Mezbah Simanjuntak Redaktur Foto: Rida Helfrida Pasaribu, Sofiari Ananda Redaktur Artistik: Gio Ovanny Pratama Reporter: Elfianti Zega, Erista Marito O Siregar, Lazuardi Pratama, Rati Handayani, Ridho Nopriansyah, Riska Aulia Sibuea, Sri Wahyuni Fatmawati P Fotografer: Andika Syahputra, Wenty Tambunan Desainer Grafis: Icha Decory, Audira Ainindya, Yanti Nuraya S Ilustrator: Yanti Nuraya S, Wenty Tambunan Pemimpin Perusahaan: Baina Dwi Bestari Manajer Iklan dan Promosi: Maya Anggraini S Manajer Produksi dan Sirkulasi: Ferdiansyah Desainer Grafis Perusahaan: Siti Alifa Sukmaradhia Staf Perusahaan: Amalia Wiliani, Sonya Citra Brastica Kepala Litbang: Izzah Dienilah Saragih Sekretaris Litbang: Malinda Sari Sembiring Koordinator Riset: Fachruni Adlia Koordinator Kepustakaan: Renti Rosmalis Koordinator Pengembang­an SDM: Guster CP Sihombing Staf Litbang: Hendro H Siboro, Fredick Broven Ekayanta Ginting, Yogi Pranata Ginting Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia

ISSN: No. 1410-7384 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 E-mail: suarausu_persma@yahoo.com Situs: suarausu.co Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan) Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Peristiwa (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom Informasi Pemasangan Iklan dan Berlanggan­an, Hubungi: 085373932285, 085270772526 Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email suarausutabloid@ymail.com


4 laporan utama

Realitas ‘Gembok’ USU SUARA USU, EDISI 91, MaRET 2013

Potret Wajah Keamanan USU

Koordinator Liputan : Cristine Falentina Simamora Reporter : Debora Blandina Sinambela, Fredick Broven Ekayanta Ginting, Rati Handayani dan Cristine Falentina Simamora

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

PINTU MASUK

Kendaraan keluar masuk Pintu 1 USU pada malam hari, Kamis (14/3). Tidak ada aturan pemeriksaan identitas pada pintu-pintu masuk USU.

USU punya pintu masuk yang terbuka bagi siapa saja, kapan saja. Tak heran, ia jadi sasaran empuk pencurian dan lahan cari makan. Longgarnya sistem keamanan bisa jadi penyebabnya. Cristine Falentina Simamora

M

inggu sore (3/3), lalu g e­ r o m­ b o l a n sepeda motor melintas dari Jalan Alumni menuju Jalan Universitas. Bunyi knalpot sepeda motor gerombolan itu gaduh menarik perhatian. Tiap sepeda motor menampung dua orang penumpang. Beberapa orang yang dibonceng menggenggam pentungan. Mereka berkendara menuju arah Pendopo. Edi Margono, komandan regu A satuan pengamanan (satpam) USU sedang bertugas saat itu. Edi mendapat informasi dari satpam di Pintu 1 kalau ada sekawanan sepeda motor sedang masuk ke area kampus. Ia langsung menuju pendopo dan memantau keberadaan mereka. Bersama petugas lainnya, ia menyuruh gerombolan itu untuk bubar. Segera, kumpulan itu pergi meninggalkan pendopo. Tidak langsung keluar, mereka terus hilir mudik mengitari kampus USU. Edi mengaku tidak me­

ngetahui apakah sekawanan tersebut bagian dari geng motor atau bukan. Ia menjelaskan selama mereka tidak mengganggu atau merusak di area kampus, ia hanya mengarahkan mereka untuk meninggalkan kampus. “Kalau mereka buat gaduh, baru kami akan bertindak,” ujarnya. Muktar, Kepala Bagian Keamanan dan Ketertiban USU menuturkan geng motor memang kerap kali berkeliaran di wilayah kampus pada malam hari. Mereka beramai-ramai kumpul dan mengganggu orang-orang yang berada di kampus. Hal ini, menimbulkan keresahan bagi warga. “Dua orang dulu masuk ke dalam kampus. Setelah di dalam, mereka hubungi teman-temannya kalau aman,” jelas Muktar. Edi menambahkan mereka masuk dari banyak pintu di USU. Ada yang dari Sumber, Kampung Susuk, Pintu 1 dan lainnya. “Bagaimana lagi, pintu masuk kita banyak dan tidak semuanya dalam penglihatan kita. Kalau kami dapat informasi dari petugas di pos lain baru lah kami lihat ke lapangan,” jelas Edi. Hal ini juga diamini Pembantu Rektor III (PR) Raja Bongsu Hutagalung. Bongsu mengatakan tidak ada yang dapat diubah dari banyaknya pintu di USU. Bongsu mengakui kurang ketatnya penjagaan di tiap pintu masuk. Ini disebabkan jumlah satpam di USU yang patroli masih kurang. Jumlah

mereka akan terus berkurang apalagi jika pihak fakultas juga meminta disediakan petugas keamanan di fakultas. Belum lagi gedung-gedung lain yang butuh penjagaan, seperti Perpustakaan dan Rumah Sakit Pendidikan USU. Muktar menjelaskan, saat ini USU memiliki 108 satpam dan 12 pos penjagaan. Tiap pos dijaga oleh dua sampai tiga satpam. Mereka juga terbagi ke dalam tiga regu. Tiap regu terdiri dari 26 satpam. Regu-regu ini secara bergantian bertugas menjaga pos dan berpatroli. Akibat dari banyaknya pintu di USU juga memiliki dampak pada pedagang kaki lima (PKL) yang dengan mudah menjajakan dagangannya di area kampus. Wahidin, Kepala Subbagian Ketertiban mengatakan, pihak universitas sudah menegaskan kebijakan untuk melarang para PKL berjualan sembarangan di lingkungan kampus kecuali kantin yang sudah diizinkan. Untuk mengatasi hal tersebut pihak keamanan dan ketertiban USU menerapkan patroli satpam di satu waktu ke wilayah yang kerap ditempati PKL untuk berjualan. “Satpam kerap kucing-kucingan dengan mereka. Tidak bisa selalu dipantau karena kapasitas anggota terbatas,” jelasnya. Dani, salah satu PKL yang berjualan di wilayah USU. Dia mengatakan USU adalah tempat berjualan yang cukup menguntungkan baginya. Ia

hanya bisa berharap agar peraturan mengizinkan mereka berjualan di wilayah kampus. “Janganlah kami diusir. Kami cari makan dan juga tidak membuang sampah kami sembarangan,” kata Dani. Lebih lanjut Muktar mengatakan, masalah ketertiban ini memang sulit untuk diatasi. Pasalnya para PKL hanya akan pergi jika petugas keamanan berpatroli dan meminta mereka untuk pergi. Tetapi setelah itu, para PKL datang lagi dan kembali berjualan. Mahasiswa juga kerap meminta PKL agar tetap dibiarkan berjualan di sekitar kampus, karena harga dagangan mereka yang lebih murah dibandingkan kantin kampusnya.

Tak hanya PKL, pengamen, pengemis dan pemulung juga sering datang ke lingkungan kampus. “Selagi tidak membuat keonaran tidak apa-apa. Tapi tetap kita awasi, seandainya mulai meresahkan baru kemudian ditindak,” tambah Wahidin. Ia mengatakan apabila tertangkap membuat keresahan di kampus, pihaknya akan segera menasihati mereka. Begitu juga dengan keberadaan becak di USU. Menurutnya, saat ini tidak terlalu bermasalah terhadap ketertiban di kampus. Pencurian kendaraan ju­ ga menjadi hal lumrah yang sering terjadi di kampus. Tercatat sejak tahun 2011 terjadi

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

TAMAN CINTA

Suasana taman antara Fakultas Hukum dan lapangan bola sebelah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kamis (14/3). Seringkali pada sore hari dijadikan untuk tempat berpacaran.


Realitas ‘Gembok’ USU

laporan utama 5

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

luar,” terangnya.

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

JAJAKAN SUARA

Dua orang pengamen anak mengamen di kantin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jumat (15/3). Pengamen anak dan pengemis anak seringkali datang ketika jam makan siang di kantin.

13 kasus yang dilaporkan dan terdata di keamanan USU. Kemudian data tersebut melonjak lebih dari 400 persen pada tahun 2012 dengan 57 kasus. Dan per 26 Februari 2013 telah terjadi 8 kasus pencurian motor di USU. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik misalnya. Jumat (22/2) lalu Datuk Tajussubki meletakkan sepeda motornya di depan lobi FISIP pukul 14.00 WIB. Saat itu parkiran ramai dan ia sedang terburu-buru. Ia juga tidak sempat menggembok kendaraan. Saat kembali waktu magrib ia tidak lagi menemukan kendaraannya. Petugas keamanan FISIP mengatakan daya tampung parkir di FISIP memang belum mampu memuat semua kendaraan mahasiswa FISIP. Daya tampungnya yang cuma lima ratus unit, tak seban­ding dengan jumlah mahasiswa yang ribuan. Inilah penyebab mahasiswa banyak parkir di luar parkiran. Selain itu juga bermasalah dengan kesadaran mahasiswa masih kurang untuk tertib. “Bahkan rata-rata ada 15 kunci motor yang tertinggal oleh mahasiswa dalam sehari,” ujarnya. Di Fakultas Psikologi (FPsi) kehilangan juga pernah terjadi. Tak hanya sepeda motor, mobil pun pernah lenyap dari parkirannya, sekitar tahun 2011 lalu. Waktu itu petugas sedang ibadah salat Jumat. Pemilik mobil memarkirkan kendaraannya di pelataran parkir. Tak lama berselang seseorang masuk dan membawa pergi mobil tersebut. Mujiono, petugas keamanan di FPsi mengatakan tidak ada bunyi alarm saat itu, sehingga tidak ada yang mencurigai aksi si pencuri tersebut. Dijelaskan Syamsul Tarigan, Pembantu Dekan II Fakultas

Ilmu Budaya (FIB) kebijakan keamanan terutama perparkiran adalah hak otonom fakultas, tanpa adanya campur tangan rektorat. “Namun pihak universitas tetap membantu, seperti penyediaan komando satpam dari rektorat,” ujarnya. Di FIB sendiri tak ada sistem parkir khusus. Siapa saja diperbolehkan parkir, masuk dan keluar. Rudi, penjaga parkir di FIB mengatakan para pengendaranya diharuskan menggunakan gembok. Namun tidak ada sanksi jika sepeda motor tidak digembok. Bahkan, penjaga parkir di FIB juga tidak mengawasi mobil. Tapi FIB punya penjaga malam bertugas keliling serta menjaga di pos. Meskipun punya satu satpam yang disediakan rektorat, Rudi menilai belum maksimal. “Biasanya dia datang ke sini jam 10 pagi, dan jam-jam zuhur gini sudah enggak ada lagi,” pungkasnya. Pengamanan di FISIP juga sama longgarnya FIB. Mahasiswa yang mau parkir bisa langsung masuk dan bila hendak keluar bisa langsung keluar. Di FISIP juga tidak ada kewajiban menggunakan gembok. Satpam FISIP bilang mengatakan hanya 5 persen mahasiswa yang menggunakan gembok. Sementara Fakultas Farmasi (FF) membuat sistem yang sederhana untuk perparkirannya. Selain tempat parkir dikelilingi pagar yang terbuat dari tali tambang, ada peraturan bagi sepeda motor untuk menunjukkan STNK setiap masuk dan keluar parkiran sepeda motor. Untuk mobil juga berlaku. Selain itu, pemasangan kunci ganda juga menjadi salah satu aturan yang diberlakukan. Alhasil, dikatakan PD II FF Suryanto, tak pernah terjadi

kasus kehilangan kendaraan di FF. Maka ia tetap menginstruksikan mahasiswanya untuk mematuhi sistem yang telah dibuat, sebagai bentuk pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan.

Orang-orang yang santai justru yang sering kehilangan Muktar Kalaupun terjadi kehilangan di dalam sistem yang dilakukan, maka mahasiswa boleh melakukan audiensi ataupun pengaduan ke PD III. “Itulah bentuk tanggung jawab kami. Tapi kalau yang keilangan di luar sistem yang kami terapkan, maka fakultas tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab. Misalnya, parkir bukan di tempat parkir, “ paparnya. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) juga belum pernah menerima laporan kehilangan dan parkirannya tergolong aman. Maman, penjaga parkir FKM mengatakan mahasiswa harus menunjukkan kartu tanda mahasiswa (KTM) dan surat tanda naik kendaraan (STNK). Sementara parkiran bagi tamu dan pegawai disediakan sendiri. Jika ia meninggalkan parkiran, dia akan menutup dan menggembok satu-satunya pintu masuk dan keluar parkiran. “Di sekeliling ini tembok udah ditinggikan, di sana juga parit, jadi tidak ada akses ke-

Butuh Sinergi dan Ketegasan Sore itu, empat orang Satpam berjaga di posko Satpam gerbang depan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Satu orang satpam duduk mencatat kendaraan yang masuk dan seorang lagi memeriksa STNK pengendara sepeda motor yang hendak keluar UMSU. Sementara dua satpam lain memerhatikan parkiran. UMSU memiliki lima pintu masuk. Setiap pintu masuk ditempatkan pos-pos pengamanan. Syahrudianto, petugas keamanan di UMSU mengatakan sistem seperti ini sudah berlangsung tujuh tahun. Setiap pengendara boleh masuk UMSU namun, sewaktu keluar mereka harus menunjukkan STNK atau identitas pengendara seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan KTM. Ini berlaku untuk setiap pos pengamanan. Selain itu, setiap pos juga dilengkapi dengan CCTV. Menurut Syahrudianto sistem seperti ini sangat efektif karena terbukti setelah sistem ini tak pernah kehilangan motor. “Yang hilang paling helm aja, itupun jarang,” ujarnya. Perparkiran di UMSU juga dilakukan terpusat. Setiap kendaraan yang masuk dikumpul di halaman depan. Mahasiswa juga tidak diperbolehkan parkir sembarangan. Dengan sistem ini, petugas pun semakin mudah mengawasi setiap kendaraan yang keluar ataupun masuk kawasan UMSU. Pengamanan ini dilakukan selama 24 jam dengan tiga regu dengan total satpam yang ada sekitar 45 orang. Pada malam hari, kelima pintu gerbang digembok oleh petugas. Kegiatan mahasiswa juga dibatasi hingga jam 11 malam. “Jadi kalau malam itu benarbenar tak ada kegiatan kecu-

ali pengamanan oleh satpam,” ujarnya. Sistem pengamanan serupa juga dilakukan di Universitas Negeri Medan (Unimed). Setiap pengendara yang masuk dan keluar harus menunjukkan STNK dan kartu identitas. Pintu masuk Unimed dilengkapi dengan portal keempat gerbangnya. Dua pintu digunakan untuk keluar dan masuk sepeda motor sementara dua pintu lain untuk mobil. Surya Bahri, satpam Unimed bilang, dengan sistem ini lebih mudah menyeleksi kendaraan yang keluar masuk. Setiap portal dijaga oleh petugas dari rektorat yang setiap saat memeriksa STNK pengendara yang akan meninggalkan kampus. Ia mengatakan sudah setahun mereka menerapkan sistem ini. Sejak diterapkan, kasus kehilangan sepeda motor yang paling sering terjadi mulai berkurang. “Kalau dulu bisa tiap minggu ada hilang, sekarang paling sekali sebulan aja. Sistem seperti ini emang menurunkan tapi tak menghilangkan,” ujarnya. Penjagaan juga dilakukan 24 jam. Untuk malamnya, pihak universitas menyediakan satu orang penjaga disetiap gedung. Dan setiap malamnya, kampus akan digembok. Melihat kondisi ini Muktar menuturkan sesungguhnya keamanan itu tercipta dari sinergi dari seluruh civitas akademika kampus itu sendiri. Ia menyebut setiap orang memiliki ke­wajiban bagi diri mereka sendiri untuk berjaga-jaga. Kehilangan sering terjadi akibat kelalaian. Begitu pun jika ada orang atau oknum yang tampak mencurigakan di seputaran kampus, agar segera dilaporkan kepada satpam atau petugas yang ada di USU. “Tingkatkan kewaspadaan, jangan lengah, jangan santaisantai saja. Orang-orang yang santai justru yang sering kehilangan,” imbuh Muktar.

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

PATROLI USU

Salah satu satuan pengamanan (satpam) yang bertugas di Pintu 1 USU mengisi absensi anggota satpam yang bertugas di pos-pos penjagaan, Kamis (14/3). Kegiatan ini dilakukan setiap dua jam sekali perhari.


6 laporan utama

Realitas ‘Gembok’ USU SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

Ringkihnya Keamanan USU Koordinator Liputan: Mezbah Simanjuntak Reporter: Hadissa Primanda, Ridho Nopriansyah, Sri Wahyuni F Pulungan, dan Mezbah Simanjuntak

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

PATROLI USU

Mobil patroli USU sedang melintas di Jalan Prof A Sofyan, depan FISIP USU Kamis, (14/3) lalu. Tak hanya memantau keamanan kampus patroli juga bertujuan mengawasi satuan pengamanan (satpam) yang ada di tiap titik.

Kondisi keamanan USU dulu dan kini tak jauh beda. Namun sesungguhnya, perbaikan sistem harus tetap dilakukan. Mezbah Simanjuntak

S

ekitar tahun 2000an, Wara Sinuhaji adalah Wakil Kepala Keamanan dan Ketertiban USU. Ia merasa kewalahan menjaga keamanan di kampus. Pa­salnya, saat itu muncul euforia di kalangan masyarakat bahwa bisa sebebas-bebasnya melakukan apapun di dalam kampus. Kebetulan saat itu masih dekat dengan pascakrisis moneter tahun 1998, sehingga banyak terjadi pengangguran. Alhasil, kampus diserbu pedagang-pedagang dadakan yang entah darimana datangnya, kemudian membuka lapak hampir di seluruh penjuru kampus. Banyak tenda-tenda yang didirikan, kegiatan yang dilakukan pun di luar dari kontrol, seperti berjudi dan minum tuak. Bahkan preman-preman bebas keluar masuk kampus. Kejadian ini jadi tugas be-

sar untuk Wara. Selama hampir delapan tahun ia berupaya untuk menutup semua lapak itu. Penutupan dilakukan dengan cara pendekatan secara personal agar mereka sendiri yang sadar dan mau pindah. Namun, mengingat kebutuhan mahasiswa, dipusatkanlah kedai-kedai tersebut dalam beberapa titik, seperti Pajak USU dan Warung Netral. Tak hanya itu, saat itu Wara juga kewalahan menghadapi mahasiswa yang aksi. Ia mengatakan, hampir setiap minggu ada saja aksi yang dilakukan mahasiswa, karena saat itu mahasiswa belum sebanyak sekarang. Mayoritas dari mereka masih hidup dalam kelompokkelompok dan masih punya aroma persaingan, mana di antara mereka yang punya kelompok lebih baik. Wara menjelaskan, salah satu penyebab gampangnya orang masuk ke dalam kampus adalah letaknya yang dekat dengan pemukiman masyarakat, sehingga ada terlalu banyak pintu masuk. Konon, sebelum kampus ini ada, daerah ini adalah akses penghubung dari Kampung

Susuk ke Sumber. Selain itu, setelah dijadikan kampus, daerah ini kini jadi daerah perkosan. Karena itulah jalan tembus di Sumber dan Kampung Susuk ada sampai sekarang. “Ini adalah jalan tradisional mereka dari dulu, jadi enggak mungkin ditutup,” ujarnya.

Semua aturan sudah disosialisasikan, harusnya mahasiswa bisa lebih menaatinya Wara Sinuhaji

Banyaknya orang yang bisa keluar masuk kampus memang memudahkan jalan bagi niat jahat mereka. Di Fakultas Psikologi (FPsi) misalnya, telah berupaya menerapkan aturan baru setelah terjadi kehilangan sepeda motor pegawai dan

mobil mahasiswanya 2011 silam. Sejak 2012, diberlakukan sistem kartu parkir. Mujiono penjaga parkir FPsi menjelaskan kini ada tiga petugas parkir FPsi, de­ ngan deskripsi tugas yang berbeda. Ada yang bertugas untuk mengatur dan memberi kartu parkir kepada pemakai setiap kendaraan yang masuk ke FPsi, lalu mengatur posisi parkir sepeda motor dan mobil di area parkir dan bertugas menerima kartu parkir kembali di tempat keluar parkir. Pihak fakultas memberi masing-masing seratus kartu parkir untuk seluruh sepeda motor dan mobil. Sementara itu, Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Syamsul Tarigan mengatakantidaksemuakehilang­­ an yang terjadi di FIB melaporkan kehilangannya pada pihak fakultas. Syamsul mengatakan, pihak fakultas siap membantu mahasiswa yang memerlukan surat ke­terangan sebagai saksi untuk membuat laporan ke Kepolisian Resor Kota (polresta) Medan. Ditambahkan Syamsul, kebanyakan mahasiswa yang kehilangan memang eng-

gan melaporkan kehilangan yang mereka alami. “Kebanyakan berpikir mungkin tidak ada gunanya, berhubung kehi­lang­­­an tidak ditanggungjawab­i fakultas,” jelasnya. Pembantu Rektor III Raja Bongsu Hutagalung juga berencana menerapkan pemakaian stiker kepada setiap kendaraan yang masuk kampus. “Setiap kendaraan yang masuk kampus tanpa stiker dilarang masuk,” ungkapnya. Ia bilang, ini akan memudahkan satpam dalam me­ ngawasi keamanan. Namun, Bongsu belum dapat memastikan waktunya, karena masih dalam tahap pembicaraan yang berkaitan dengan anggaran. Pembagian stiker ini nantinya akan diberikan langsung secara otoritas kepada fakultas masing-masing dan tidak dipungut biaya. Wara sesungguhnya setuju dengan adanya sistem uang parkir. Menurutnya, mengeluarkan Rp 500 hingga Rp 1000 bagi mahasiswa harusnya tidaklah susah mengingat kemampuan me­ reka membeli kendaraan. Ia mengatakan, dengan adanya pembayaran uang parkir ini,


Realitas ‘Gembok’ USU SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

ABSENSI

Daftar kehadiran satuan pengamanan (satpam) USU, Kamis (14/3). Secara keseluruhan, USU memiliki 25 anggota satpam yang ditempatkan di tiap pintu masuk USU, rumah rektor dan beberapa fakultas.

akan timbul sense of belonging atau rasa memiliki dari si penjaga parkir, hingga ia akan merasa lebih tanggung jawab dalam menjaga tiap kendaraan yang ada. “Jadi kalau hilang kaca spionnya aja hilang, bisa dituntut,” katanya. Waktu Pajus masih ada, Wara menerapkan sistem ini. Dari uang parkir yang dikutip, 60 persen disimpan untuk jaga-jaga kalau ada

kehilangan kendaraan, dan 40 persen lagi digunakan untuk ke­sejahteraan satpam itu sendiri. Dalam sebulan mereka bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu. Ia juga mengusulkan bahwa dalam pembayaran Dana Kelengkapan Akademik (DKA), dimasukkan pula pembayaran untuk keamanan parkir, bagi seluruh mahasiswa tak ter-

Polling Laput

Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 493 mahasiswa USU. Sampel diambil secara accidental dengan mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Dengan tingkat kepercayaan 96% dan sampling error 4% jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pendapat mahasiswa USU. (Litbang)

kecuali mahasiswa yang tak punya kendaraan. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk menata perparkiran agar lebih memadai. Namun ia menyadari kebijakan ini akan selalu menuai kontroversi. Selalu muncul stigma negatif di kalangan mahasiswa terkait penambahan biaya kuliah. Padahal dijelaskan Wara, penertiban kampus itu membutuhkan dana yang besar. “Harusnya mahasiswa menyadari itu. Ini semua dari mahasiswa untuk mahasiswa juga,” tegasnya. Sementara itu, Kepala Keamanan dan Ketertiban Muktar­ mengatakan tidak ada perubahan pola pengamanan yang berarti untuk saat ini, meskipun maraknya kasus kehilangan yang terjadi di USU. Solusi yang telah dilakukan oleh pihak keamanan adalah dengan menggelar patroli ke­ liling USU dan menutup Pintu 2 dan Pintu 3 pada malam hari. Sedangkan Pintu 1 dan Pintu 4 salah satu gerbangnya ditutup. Penutupan pintu-pintu ini dimaksudkan agar lebih memudahkan satpam dalam mengontrol, lebih memfokuskan orang yang lalu lalang melalui Pintu 1 dan Pintu 4. “Seharusnya petugas keamanan kampus harus lebih diefektifkan. Berhubung kasus kehilangan sepeda motor pa­ ling sering terjadi di fakultas,” tegasnya. Lebih lanjut Bongsu mengungkapkan bahwa harus ada penambahan peng­ amanan jika pembangunan terus berkembang. Untuk itu Bongsu memulai perubahan dari bekerjasama secara menyeluruh. Kerjasama yang dimaksudkan adalah untuk mengajak kerjasama Resimen Mahasiswa (menwa) yang telah dilaksanakan yaitu de­ ngan pemberian handy talky, dilanjutkan dengan kerjasama bersama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) se-USU, fakultas, serta pema untuk saling bersinergi dalam meminimalisir ruang gerak pelaku kejahatan.

laporan utama 7 “Ini dimaksudkan agar dapat memperkecil pencurian, karena tidak mungkin melakukan penutupan pintu-pintu yang ada di USU,” jelasnya. Tak hanya pemberian handy talky, awal 2012 lalu melalui program USU ASRI pihak rektorat sudah menambah beberapa fasilitas untuk keamanan kampus. Fasilitas itu berupa pos utama, CCTV, serta penambahan satu unit mobil dan motor untuk memudahkan patrol. Bus kampus pun sudah mulai dioperasikan Bongsu bilang ini adalah salah satu upaya untuk ketertiban kampus, di mana mahasiswa tidak lagi menggunakan becak. Wara mengatakan, yang tak kalah penting untuk peng­ amanan kampus ini adalah pengoptimalan satuan peng­ amanan. Ia menyayangkan kinerja satpam yang sering dilecehkan dan tidak dianggap, padahal adanya satpam yang patroli dan berjaga-jaga akan menekan dan meng­eliminasi niat-niat orang lain untuk melakukan tindakan kejahatan, dan memper­sempit ruang gerak tindakan kriminal itu sendiri. Hal ini dipahami Bongsu. Ia pun telah melakukan penggantian Komandan Regu (Danru) beberapa waktu yang lalu. Bagi satpam yang memiliki kinerja bagus se­perti bisa menangkap pelaku pencurian, akan diberikan insentif serta sertifikat dan piagam. “Diharapkan satpam yang lain dapat termotivasi dan semakin meningkatkan kinerjanya menjaga keamanan kampus,” paparnya. Kata Muktar, satpam yang ada di USU ada yang direkrut universitas namun ada juga yang direkrut sendiri oleh fakultas. Berhubung fakultas memang punya otonomi untuk ini. Namun, untuk satpam yang direkrut pihak fakultas tidak memiliki koordinasi dengan satpam universitas. Satpam universitas berkoordinasi dengan PR III, sementara satpam

1. Bagaimanakah pendapat Anda tentang sistem keamanan yang sudah di USU? a. Puas b. Cukup Puas c. Tidak Puas 2. Keamanan di USU berkaitan dengan mudahnya akses bagi setiap orang untuk keluar masuk kampus. Setuju atau tidak setujukah Anda dengan pernyataan tersebut? a. Setuju b. Tidak Setuju c. Tidak Tahu

fakultas bertanggung jawab pada pihak dekanat. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan Perpustakaan adalah contoh yang merekrut sendiri satpamnya. Sebenarnya sistem keamanan yang diterapkan Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) pernah dite­ rapkan semasa Wara menjabat sebagai Kepala Keamanan dan Ketertiban. Untuk peng­ amanan dari orang-orang luar yang masuk ke dalam kampus, ia menerapkan penggunaan kartu untuk tiap kendaraan yang masuk ke dalam kampus. Dibangunlah pos penjaganya di Jalan Universitas dan Jalan Tri Dharma. Aturannya, setiap yang masuk akan diberikan kartu, yang akan ditunjukkan saat keluar kampus. Namun upaya ini hanya bertahan selama 6 bulan. Hal ini disebabkan karena dirasa menyulitkan bagi civitas akademika yang bermukim di dalam kampus. Bongsu pun bilang, sistem ini memang sulit untuk dite­ rapkan di USU. Pihak universitas tidak bisa membatasi orang yang keluar masuk kampus, karena banyaknya rumah yang berada di kawasan kampus. Peraturan ini dirasa kaku, terlebih jumlah mahasiswa yang banyak. “Kalau kita buat se­ perti itu yang ada mahasiswa jadi terlambat karena harus mengantre, semua harus dipi­ kirkan,” jelas Bongsu. Ia menegaskan, masalah perpakiran seharusnya ditata dan dikelola sendiri oleh mahasiswa. Penjaga parkir hanya bertugas menjaga kendaraan secara keseluruhan, maka mahasiswa itu sendiri yang harusnya lebih peduli pada keamanan ken­daraannya. “Semua aturan sudah disosialisasikan, ha­rusnya mahasiswa bisa lebih menaatinya,” ujarnya. Jangan memarkir kendaraan sembarangan, menggunakan gembok, ataupun aturan lain yang telah dibuat oleh kampus.

3. Fasilitas apa yang Anda rasa perlu untuk meningkatkan keamanan di USU? a. Membatasi masyarakat yang keluar masuk b. Memeriksa KTP/STNK setiap orang yang keluar masuk USU c. Menambah petugas keamanan d. Lainnya (meningkatkan kualitas petugas keamanan, memasang CCTV, memperbaiki tem pat parkir, melarang PKL masuk kampus)


8 opini

SUARA USU, EDISI 91, mARET 2013

Pesona Sastra dalam Kehidupan Manusia Muhammad Reza Fakultas Ilmu Budaya 2011

P

DOKUMENTASI PRIBADI

esona adalah suatu bentuk keindahan yang mencitrakan energi suatu hal, bentuk, masa, era dan sebagainya. Untuk menimbulkan rasa berupa cinta, kasih, sayang dan kedamaian. Pesona sangatlah penting dalam suatu kehidupan yang ada di dunia ini, termasuk dalam dunia sastra. Dalam pesona tentu hidup jiwajiwa antusias yang menjadikan pesona kian indah. Antusiasme yang ada harus dipupuk sedini dan semaksimal mungkin agar jiwa-jiwa sastra kian merebak mengharumkan. Persoalannya, pesona apa saja yang di­ timbulkan oleh sastra sehingga bermanfaat dalam kehidupan? Sastra, selalu menarik untuk diperbincangkan dan tidak akan ada habisnya. Ini dibuktikan dengan banyaknya kisah dari pujangga–pujangga sastra yang dihormati baik oleh rak­yat maupun penguasa. Perkembangannya bersifat dinamis karena coraknya sesuai de­ngan situasi dan kondisi zaman yang ada pada masanya. Disadari atau tidak, sastra termasuk salah satu penyebab yang memengaruhi corak kehidupan manusia, baik dari pola pikir maupun perbuatan yang dihasilkan manusia. Sastra juga bersifat fair artinya penggunaannya bergantung siapa yang menggunakannya, apakah digunakan untuk kebaikan atau keburukan, itu bergantung kepada sastrawan. Sastra terbentuk dari Bahasa Sansekerta; Susastra. Su artinya indah, baik. Sas artinya aturan, nasihat atau agama. Tra artinya alat. Jadi sastra berarti alat untuk menyampaikan aturan, ajaran, nasihat atau agama dengan menggunakan bahasa yang indah dan baik. Keindahan hasil karya sastra ditentukan oleh isi yang

terkandung dalam karangan atau bahasa yang dipergunakan oleh sang penyair (dalam puisi) atau sang pe­ nulis (dalam prosa dan drama). Pengertian lainnya sebagai berikut, “Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta.” (Semi, 1993:1) Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami sastra berusaha mengajak siapa saja untuk membangkitkan pesona dengan alat bahasa baik lisan maupun tulisan yang indah. Bebe­ rapa pesona yang ditimbulkan dari karya sastra yaitu dapat membawa pembaca terhibur melalui kehidupan yang ditampilkan pengarang. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan. Karya sastra juga dapat memperkaya jiwa atau emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya. Kemudian, karya sastra dapat memperkaya pe­ ngetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya. Ia juga mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran bagi pembacanya. Selain itu karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat dalam waktu tertentu. Banyak manfaat sastra yang bagi satu pembaca berbeda dengan pembaca lainnya. Sehingga pembaca yang menikmati buku yang sama bisa jadi memperoleh pemahaman yang berbeda. Karya sastra mampu memengaruhi, membuat kagum bahkan menghipno-

SURAT DAN PENDAPAT Jalan Universitas No. 32 B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara suarausutabloid@ymail.com

083197363818

Pers Mahasiswa SUARA USU

@SUARAUSU

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.

AUDIRA AININDYA | SUARA USU

tis banyak orang, baik itu puisi, cerpen, komik, novel, dan sebagainya. Bahkan sebagian dari karya sastra tersebut ditokohkan secara nyata dalam bentuk film. Contohnya film Laskar Pelangi yang terinspirasi novel dengan judul serupa karya Andrea Hirata yang sangat laris di pa­saran. Ada juga Ketika Cinta Bertasbih dan Ayat Ayat Cinta, karya Habiburrahman el Shirazy yang juga diangkat menjadi film. Karya sastra lain yang berasal dari luar negeri seperti komik Naruto dan Doraemon yang juga dihadirkan dalam bentuk serial dan film, novel serial Harry Potter karya JK Rowling yang filmya selalu mendapat sambutan luar biasa. Ini semua berawal dari kreativitas dan imajinasi penulis membuat karya sastra.

Banyak lagi karya sastra terkenal lainnya yang turut berkontribusi dan bermanfaat praktis dalam peningkat­ an ekonomi bangsa serta hiburan menyenangkan bagi khalayak. Ini mungkin sudah cukup membuktikan pesona yang dibawa sastra dalam kehidupan manusia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra memiliki peran penting. Dengan sastra membuat manusia lebih hidup dan memaknai kehidupan, semuanya untuk kemaslahatan umat manusia. Di balik itu berbagai bidang ilmu apa pun itu saling berkaitan dan membutuhkan satu sama lain. Untuk itu, mari sama– sama kita kembangkan dan manfaatkan segala ilmu dan kreativitas yang kita punya demi kemajuan bersama. Ayo tunjukkan pesonamu! IKLAN


SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

dialog 9

Redenominasi

Potong Nilai Mata Uang Demi Harga Diri Rupiah

P

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

ada akhir tahun 2010, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan redenominasi untuk mengubah uang kartal Indonesia agar menjadi lebih sederhana, dengan cara mengurangi tiga digit angka nol pada uang kartal Indonesia. Misalnya, Rp 10.000 saat ini akan dijadikan Rp 10 di masa yang akan datang.

Melalui Undang Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, pemerintah dengan BI telah menyelesaikan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) khusus terkait Redenominasi. Draf tersebut sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk masuk dalam Program Legalisasi Nasional 2013, seperti dilansir Republika Online (23/1) lalu.

Apa bedanya redenominasi de­ ngan sanering?

Pada redenominasi, nilai mata uang dipotong dan nilai harga barang juga dipotong. Sedangkan sanering, pemotongan nilai mata uang tapi tidak diikuti dengan pemotongan harga barang. Karena inflasi, terlalu banyak uang yang beredar, jadi uang rupiah dipotong untuk menstabilkannya lagi. Jadi redenominasi dan sanering sangat berbeda.

Biodata: Nama: Mikael Budisatrio

Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 28 September 1962

Riwayat Pendidikan: S1 Akuntansi Universitas Gajah Mada 1982-1988 S2 Graduate School of Policy Science (GSPS) Saitama University, Jepang 1994-1996 Jabatan: Kepala Divisi Ekonomi Moneter Bank Indonesia Perwakilan wilayah IX (Aceh dan Sumatera Utara)

Sebenarnya, apa manfaat dan tujuan dari redenominasi ?

Mengapa saat ini adalah waktu yang dipilih untuk melakukan redenominasi ?

Sudah sampai manakah tahap redenominasi saat ini?

Berapa tahun yang dibutuhkan agar redenominasi ini selesai?

Cara seperti apa yang dilakukan untuk menarik uang lama dari masyarakat? Negara apa saja yang pernah menerapkan redenominasi dan bagaimana hasilnya?

Kenapa pemerintah dan BI yakin redenominasi dapat berhasil di Indonesia?

Apa harapan Anda kepada masyarakat mengenai redenominasi?

Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi pemerintah dan BI melakukan redenominasi? Seberapa urgen kebijakan ini dilakukan di Indonesia? Berikut wawancara reporter SUARA USU Pebri Hardiansyah Pohan dengan Kepala Divisi Ekonomi Moneter Bank Indonesia Perwakilan wilayah IX Mikael Budisatrio Jumat (8/3) lalu.

Redenominasi membantu transaksi agar lebih praktis dan menyederhanakan sistem pencatatan laporan keuangan. Hal ini memengaruhi image rupiah di mata internasional. Dengan memangkas tiga angka nol, seolah-olah akan menaikkan nilai tukar mata uang rupiah dengan mata uang luar negeri.

Saat ini hingga beberapa tahun ke depan diperkirakan keadaan ekonomi Indonesia sedang stabil. Walaupun tahun 2008 terjadi krisis ekonomi dan rupiah sempat melemah, itu tidak terlalu berdampak. Kita berharap tidak ada ancaman dunia seperti krisis yang terjadi di Eropa yang akan berdampak sedikit ke Indonesia. Sekarang redenominasi sedang pada tahap konsultasi publik, di mana peme­ rintah sedang mendengarkan masukan dari masyarakat. Kemudian, DPR akan mematangkan UU Redenominasi setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan yang ada di tahap tersebut. Setelah itu, akan disusun program dan tahapan selanjutnya. Belum ditetapkan di UU redenominasi, maka belum diketahui. Namun, biasanya butuh waktu lima tahun ke atas untuk menyelesaikan semuanya. Melihat beberapa negara yang sudah melakukannya. Tapi, kita juga akan lihat perkembangan ekonomi internasional nanti.

Nanti akan ada masa transisi. Pada masa ini akan ada dua mata uang yang beredar, misalnya Rp 20.000 dengan Rp 20, tapi kita sepakati bahwa nilainya sama dan keduanya berlaku. Nanti perlahan-lahan uang lama akan ditarik oleh BI.

Contohnya yang berhasil adalah Turki, karena saat itu, Turki berada pada kondisi ekonomi yang baik. Kepercayaannya secara nasional dan internasional serta persiapannya lebih baik. Tapi ada juga negara yang gagal, seperti Zimbabwe dan Brazil karena saat itu mereka dalam keadaan hyper inflation (inflasi yang tinggi -red). Persiapannya kurang, pemerintah terlalu cepat memaksa menerapkan redenominasi, sehingga komitmen semua pihak yang seharusnya ditaati tidak terjadi dan akhirnya gagal. Justru pemerintah dan BI melihat kondisi perekonomian kita beberapa tahun ke belakang dan ke depan diperkirakan akan tetap pada pertumbuhan yang stabil di atas 6 persen, inflasi menunjukkan train (jalan –red) yang menurunkan rupiah. Walaupun sempat melemah, tapi secara fundamental baik. Harapannya apabila ini diterapkan di kondisi saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah saat yang terbaik sambil memantau kondisi makro dunia. Di tahap awal, masyarakat diharapkan tidak panik dan tidak berpikir bahwa redenominasi ini sama seperti sanering. Tahap konsultasi publik sekarang diharapkan agar masyarakat turut memberi masukkan dan saran terhadap kebijakan ini. Harus semua pihak yang terlibat, semua harus disepakati bersama, tahapannya harus detail, sosialisasinya harus dilakukan dengan baik dan tidak dipaksakan dalam waktu singkat. IKLAN


10 ragam

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

USU ASRI, Jalan Panjang Menuju USU Berkualitas Program USU ASRI kini tengah menempuh perjalanannya. Berbagai perubahan telah hadir di tengah kampus USU. Namun, perjalanan ini masih panjang. Sri Wahyuni Fatmawati P

G

edung kuliah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) itu telah rampung. Kerangka bangunannya telah kokoh berdiri. Warna biru catnya masih mengkilat, kontras dengan bangunan lamanya yang sudah lusuh, dengan cat yang mulai mengelupas. Tampak beberapa pekerja masih mengecat beberapa bagian bangunan. Ada juga yang sibuk mencampurkan pasir dengan semen. Hanya butuh sedikit polesan akhir hingga bangunan itu bisa difungsikan. Pembangunan ini telah berlangsung sejak 2012 lalu. Dijelaskan Manajer USU ASRI, Devin Devriza Harisdani, selain gedung kuliah FIB, ada juga pembangunan laboratorium terpadu, ikon USU, Biro Pusat Akademik (BPA), renovasi rumah jabatan rektor, pemeliharaan beberapa gedung kuliah baru, perbaikan trotoar dan drainase serta pengoperasian bus kampus yang juga telah dilaksanakan. Sekitar Juni 2012, USU mengajukan proposal untuk pembangunan fasilitas, berhubung ada dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Hal itu yang menyebabkan ada program di luar isi proposal awal tahun USU ASRI yang diajukan ke rektor. Pembangunan itu termasuk pengadaan ­ pa­ving block di sepanjang pintu 2 dan 3, pembangunan dua gedung kuliah baru di Fakultas Kedokteran (FK), dan penambahan perbaikan tiga toilet FIB. FIB sendiri masih punya program lanjutan seperti ruang kedap suara Etnomusikologi hingga perbaikan instalasi air yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Pembantu Dekan (PD) II FIB Samsul Tarigan mengaku fasili-

tas kamar mandi yang telah diperbaiki pun belum bisa digunakan hingga perlu perbaikan lebih lanjut. “Udah diperbaiki tapi air enggak ada airnya,” keluhnya. Ahmad Yasir Nasution, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) 2012 mengaku senang dengan pembangunan LIDA di kampusnya, meskipun belum dapat digunakan, mengingat peralatan laboratorium masih akan dipenuhi tahun ini. Yasir berharap ke depannya fakultas juga menyetarakan fasilitas di setiap kelas, misalnya proyektor. “Maunya setiap kelas udah disediakan proyektor, seringnya habis atau rusak, jadi terganggu belajarnya,” ujarnya.

Asupan Dana yang Beragam Pendanaan program USU ASRI berasal dari berbagai sumber. Untuk laboratorium dan gedung kuliah misalnya, dikatakan Pembantu Rektor II Armansyah Ginting seperti dilansir harian Analisa (22/2) lalu, menggunakan Sumbangan Pokok Pendidikan (SPP) dan Dana Kelengkapan Akademik (DKA). Itu merupakan sumber dana utama yang dihimpun untuk pelaksanaan USU ASRI. Apabila fakultas ingin menambah fasilitasnya, namun tidak mampu direalisasikan oleh unit kerja daya masyarakat karena tidak mencukupi, maka kekurangan itu akan disubsidi universitas. Semua hal yang menunjang akademik mahasiswa menggunakan DKA, sisanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bahkan Hibah. “Jadi kami lebih dulu mengusahakan menggunakan uang negara atau bantuan lain, tidak DKA,” sambungnya. Selama 2012 ini, dana APBN digunakan untuk pembangunan gedung kuliah, Stadion Mini, Gedung Olah Raga (GOR), Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP), taman BPA, rumah rektor dan lain-lain. Sementara Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk perbaikan drainase, pengadaan fasilitas keamanan, juga

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

PLANG PENUNJUK

Plang penunjuk Arah Fasilkom-TI Jumat (15/3). Plang penunjuk jalan yang ada di setiap sisi jalan merupakan salah satu program USU ASRI

penanaman Hutan Persaudaraan. Terakhir, ada hibah berasal dari Yayasan Bhakti Tanoto (YBT) untuk pemba­ ngunan gema dan auditorium. Ditambahkan Devin, program-program yang belum selesai tahun ini

akan dimasukkan ke dalam propo­sal USU ASRI 2013, dengan beberapa tambahan program seperti pengelolaan sampah dan pembangunan Unit Pelayanan Mahasiswa. “Masih akan berkelanjutan tahun ini,” katanya.

Menanti Kejelasan UKT Namanya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Intinya penyeragaman uang kuliah yang harus dibayar mahasiswa. Meski begitu, hitung-hitungan UKT ini belum jelas agar mahasiswa dan universitas samasama pas. Izzah Dienillah Saragih Awal Februari lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang isi­nya meminta semua pengelola perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia untuk

memberlakukan UKT serta menghapus uang pangkal sejak tahun ajaran 2013-2014 nanti. Ada dua poin penting dalam pemberlakuan UKT. Pertama, uang pangkal yang biasa dibayarkan di awal kuliah akan dihapus. Kedua, akan diberlakukan Satuan Pembayaran Pendidikan (SPP) tunggal dimana setelahnya tidak ada pungutan di luar biaya SPP tersebut. Penentuan SPP-UKT ini menggunakan prinsip Akuntansi Biaya (unit cost). Ia adalah hasil penjumlahan semua biaya yang dibutuhkan mahasiswa sesuai jurusannya, dibagi masa

studi selama menempuh perkuliahan, yaitu delapan semester dan tambahan maksimal dua semester. Penghitungan besaran itu diserahkan ke fakultas dan program studi masing-masing. “Semua penghitungan mulai dari biaya bangku, dosen, luas bangunan, semua detail yang dibutuhkan,” ujar Pembantu Dekan (PD) II FIB Samsul Tarigan. Ia pun menunjukkan setumpuk tebal rincian penghitungan unit cost FIB, “Wah menghitungnya ini sampai malam-malam,” akunya. Dari penghitungan tersebut, didapatlah angka Rp 6,5-12 juta sebagai jumlah yang dike­ luarkan mahasiswa FIB. Jumlah itu

masih dikurangi dengan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN). Angkanya bervariasi di 10 program studi yang ada di FIB. Fakultas Hukum (FH) juga telah melakukan hitung-hitungan, dan tersebutlah besarannya sebesar Rp 10 juta. “Sudah sejak setahun lalu, fakultas disuruh menghitung ini”, ujar PD II FH, Syafruddin Hasibuan. Meskipun begitu, ditambahkan Syamsul, unit cost ini masih masa transisi dan belum jelas kapan diberlakukannya. Hal itu diamini Pembantu Rek-


SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

tor (PR) II Prof Armansyah Gin­ ting. Meskipun sudah dihitung fakultas, hingga kini UKT belum ada perkembangan, karena belum adanya penjelasan lebih jauh dari Dikti. UKT juga sudah dibahas bersama-sama dengan Majelis Wali Amanat serta Senat Akademik pada Jumat (8/3) lalu. Dalam forum itu, dibahas mengenai hitungan unit cost USU. Berdasarkan prinsip penghitungan unit cost yang ditentukan oleh Dikti, biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa per tahun sebesar Rp 6 juta. Jumlah yang besar jika dibanding dengan SPP normal USU, yaitu Rp 1,5 juta untuk non-eksakta dan Rp 2 juta eksakta per tahunnya. Mujahid Saragih, mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial

(FISIP) 2011 khawatir UKT justru memberatkan mahasiswa, terutama yang kurang mampu. “Kan belum tentu ekonomi mahasiswa sama semua,” ujarnya. Iskandar Zulkarnaen, Staf Ahli Rektor Bidang Humas juga kurang sepakat dengan UKT ini. Ia bilang dengan sistem pembiayaan saat ini, keuangan USU tidak bermasalah. Malah ada sisa yang bisa dialokasikan untuk menambah fasilitas mahasiswa seperti bus kampus. “Jadi untuk apa beralih ke UKT kalau dengan sistem sekarang sudah pas?” tanyanya. Terakhir, USU justru mengirim surat kepada Dikti yang isinya meminta dijelaskan petunjuk teknis UKT. Ia merasa Dikti belum menyadari adanya perbedaan kondisi antara PTN Jawa dan Sumatera, hingga UKT ini tidak bisa disamaratakan. Untuk UKT ini. Tetapi jika Dikti sudah punya lan-

ragam 11

dasan hukum yang kuat, maka mau tak mau USU juga akan memberlakukannya untuk tahun ajaran baru nanti. Namun Simon Simorangkir, mahasiswa Departemen Sastra Cina FIB 2011 justru menilai UKT ini lebih efisien karena pembayaran SPP hanya akan dilakukan sekali, tanpa pembayaran lain. “Mudah-mudah­an nominalnya gak terlalu besar dan tidak ada permainan dihitung-hitungan ataupun korupsi di dalamnya,” harapnya. Ke depannya, pihak rektorat juga akan menyosialisasikan UKT ini kepada mahasiswa. Tujuannya agar mahasiswa tidak khawatir UKT akan menaikkan SPP atau semacamnya.“Tapi

harus diingat bahwa USU tidak berpikiran untuk menaikkan SPP mahasiswa, selama UKT belum jelas, USU akan berjalan seperti biasa,” tegas Iskandar.

AULIA ADAM | SUARA USU

Menelusuri Masalah Pengelolaan Jurnal Ilmiah Penerapan jurnal ilmiah bagi sarjana S1 telah diterapkan di USU sejak pertengahan tahun lalu. Alih-alih aturan yang jelas, pengelolaannya pun masih membingungkan.

Lazuardi Pratama

S

ri Eka Wahyuni ditunjuk sebagai Manajer Keperawatan Klinis, salah satu kelompok jurnal yang ada di Fakultas Keperawatan (FKep). Sesuai dengan surat edaran rektor tertanda tanggal 28 Agustus 2012, ia diamanahkan mengepalai tiga orang editor dan seorang operator untuk tiap-tiap kelompok jurnal yang dibentuk di fakultas. Editor bertugas mengedit jurnal, sementara operator lah yang akan mengunggahnya ke repository USU. Menurut Eka, sapaan akrabnya, di FKep sendiri belum terlalu banyak jurnal yang telah diterbitkan. Hal ini terkendala pemahaman mahasiswa tingkat akhir sendiri belum terlalu mumpuni tentang jurnal ini. “Selain itu di FKep sendiri, setelah sidang mahasiswa harus PKL (praktek kerja lapangan –red) dulu baru bisa dapat ijazah. Jadi waktu untuk membuat jur­nalnya terganggu,” tambah Eka. Hal ini juga dirasakan Emilia Ramadhani, Ketua Jurnal FLOW, di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Kata Emil, mahasiswa fakultas noneksakta cenderung lebih kesulitan dalam membuat jurnal ilmiah. Sementara aturan dalam surat edaran tersebut tidak terlalu jelas mengenai hal ini. *** Terlepas masalah pengerjaannya, dana juga jadi kerikil dalam penerapan aturan ini.

Masih dalam surat yang sama, rektor berujar untuk menangggungjawabi pengeluaran dana dalam penerapan jurnal ilmiah di Rancangan Kerja Awal Tahun (RKAT) miliknya. Namun hal tersebut hanya bertahan hingga Desember tahun lalu. Prof Zulkifli Nasution, Pembantu Rektor (PR) I mengamini hal ini. Menurutnya gaji para pengelola jur­ nal telah disetorkan pada Desember lalu. “Mulai tahun 2013, anggaran untuk jurnal ilmiah jadi urusan fakultas,” paparnya. Namun, hal tersebut ternyata tak diketahui oleh pihak dekanat. Sebut saja M Hanan Lubis, Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Menurut Hanan, RKAT fakultasnya untuk tahun ini tidak cukup untuk turut membiayai Jurnal Ilmiah. “Saya memang belum tahu kalau anggaran untuk jurnal ini masuk ke tanggung­ an fakultas. Tapi terus terang, kalau dijadikan RKAT fakultas kami menjerit,” terangnya. Hal serupa juga dirasakan Eka. Ia mengaku belum tahu perihal kepastian dana pengelolaan jurnal ilmiah ini. “Entah masuk ke fakultas atau masih tanggungan rektorat, saya juga kurang ngerti,” kata Eka. Akibatnya pengelolaan jurnal ilmiah di FKep sendiri tengah vakum. Padahal jumlah jurnal yang telah masuk ke pihaknya di atas angka 50, namun masih belum diterbitkan. Sedangkan di FISIP, Emil menjelaskan proses pengunggahan jurnal ilmiah yang menggunakan

ILUSTRASI FOTO: SOFIARI ANANDA | SUARA USU

kuota. Pihaknya tidak akan menerbitkan satu pun jurnal jika belum memenuhi kuota sepuluh jurnal tiap kali menerbitkan. Selain itu, Emil mengaku mengutip iuran Rp 10 ribu untuk biaya administrasi bagi mahasiswa yang mengurus jurnal ilmiah. “Uangnya untuk fotokopi dan lainlain,” papar Emil. Menanggapi hal tersebut, PR II Prof Armansyah Ginting mengatakan kemungkinan fakultas menghadapi masalah dalam hal penerapannya apabila petunjuk pelaksanaan tentang jurnal ilmiah dari bagian akademik belum tersedia. “Saya pikir mereka (fakultas –red) harus bicarakan pe­rencanaan pelaksanaan secara teknis dengan aka­ demik dengan biro perencanan untuk anggarannya,” ungkapnya.

Menurut Eka, rektorat seharusnya punya sistem yang lebih rapi dalam pengelolaan jurnal ini. “Alangkah lebih bagus kalau mahasiswa sendiri yang bisa mengunggah jurnalnya ke repository USU. Dan dosen pembim­bing dijadikan orang yang memberikan masukan untuk memperbaiki jurnal tersebut, semacam editornya lah,” saran Eka. Menurutnya, dengan sistem pengelolaan yang sekarang punya banyak kelemahan, misalnya birokrasi penerbitan yang terlalu panjang. Menanggapi hal ini, Prof Zulkifli tidak sepakat. Menurutnya sistem yang berlaku sekarang sudah cukup baik. Namun ia tidak menampik jika pihaknya tetap berusaha mencari sistem yang paling baik untuk dite­ rapkan ke depannya.


12 galeri foto

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

Berjuang di Sisa Usia

S

aat ini, harusnya mereka menikmati masa tua bersama keluarga, lengkap dengan kasih sayang anak cucu. Namun harapan dan impian mereka turut terbenam seiring usia mereka yang telah senja. Tak ada lagi keluarga, kasih sayang pun hampa. Alhasil, mereka pun mencari kebahagiaan sendiri sebelum bertemu kebahagian abadi dari Yang Maha Kuasa. Panti jompo, mungkin adalah satu-satunya jalan. Mereka pun bertemu dan membentuk keluarga baru, saling membantu dan melengkapi sesama penghuni.(Rida Helfrida Pasaribu)

Mengambil jatah makan siang SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Mengeringkan nasi sisa untuk dijual RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Pengajian bersama Tak mampu untuk be

penghuni Panti Jom

po

rdiri

RIDA HELFRIDA

Pembagian sura

t suara Pemiliha

n umum Guber

nur Sumatera U

RIDA HELFRIDA

WENTY TAMBUNAN

PASARIBU | SU

tara

| SUARA USU

ARA USU

Mengobati tangan

yang luka

PASARIBU | SU

ARA USU RIDA HELFRIDA

PASARIBU | SU

ARA USU


SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

podjok sumut 13

Taman Budaya Sumatera Utara

Rumah Seniman yang Terlupakan

GEDUNG

Gedung Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Rabu (27/2). Gedung ini sering dipakai untuk kegiatan kesenian. RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Ialah pusat berkesenian Sumatera Utara. Lubuk para seniman berkarya. Namun kini nasibnya seperti terombang-ambing. Hadissa Primanda

A

ngkat tanganmu itu, kasih tenaga di sana,” teriak Rahmad, seraya menarik tangan siswa laki-laki di depannya tinggi-tinggi. Setelah itu, ia kembali memeragakan gerakan lanjutan. Dua siswa di belakangnya mengikuti. Kemudian ia berbalik badan, dan menyuruh mereka mengulangi gerakan tersebut. Selesai dengan siswa laki-laki, pria itu beralih ke siswa perempuan yang berdiri di bagian belakang, dan mengajari mereka, persis se­ perti yang dilakukannya pada siswa laki-laki, dengan gerakan berbeda. Rahmad, guru seni budaya para siswa itu lalu menghidupkan musik Sadatolu. Siswa itu pun mengulang lagi semua gerakan yang sudah mereka pelajari dari awal. Jadilah Tandok Nariti itu dipertunjukkan, meskipun bangku penonton di hadapan mereka kosong. Sesekali, ia berteriak ke arah mereka jika gerakan mereka salah atau tidak sesuai tempo. Siswa SMA Muhammadiyah I Medan itu tengah dalam persiapan untuk mengikuti festival tari 23 Maret mendatang. Maka, jam pelajaran seni budaya itu dimanfaatkan Rahmad­ untuk latihan di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). “Tadi izin dari sekolah, karena kepenting­ an lomba ini,” ujarnya. Panggung terbuka yang digunakan Rahmad dan siswanya adalah salah satu bangunan yang terdapat di TBSU. Di bangun­an seluas 8216 meter persegi ini, terdapat ruang latihan seni yang terdiri dari

ruang sanggar tari, ruang pameran, ruangan musik, ruangan seni lukis, dan ruangan teater. Selain itu, ada juga gedung pertunjukan teater atau biasa disebut gedung utama. Sesuai fungsinya sebagai wadah untuk pembinaan dan pengembang­ an kesenian Sumut, TBSU memang dimanfaatkan oleh ragam sanggar yang ada di Medan sebagai tempat latihan. Syamsul Tajri, pegawai Bidang Fungsional TBSU menjelaskan, bagi sanggar yang ingin memanfaatkan TBSU tinggal mengajukan surat permohonan ke pihak TBSU. Berhubung ada banyak sanggar yang antre untuk memanfaatkan TBSU ini untuk latihan, maka di akhir tahun akan diadakan rapat untuk menentukan siapa saja yang dapat menggunakannya selama setahun ke depan. Mereka dapat jatah dua kali seminggu, dan biasanya punya jadwal latihan sore hari. Saat ini, ada sekitar 15-an sanggar yang ambil bagian di sini. Semua sanggar seni yang berkegiatan, sama sekali tidak dipungut bayaran. “Sesuai fungsinya sebagai fasilitas orang yang berkesenian,” kata Syamsul. Tak hanya mereka yang punya ke­giatan rutin, ada juga yang memanfaatkan TBSU ini untuk latihan sementara, seperti Rahmad tadi. Selain karena fasilitas sekolah yang tidak punya panggung luas seper­ti di sini, Rahmad bilang ia mengajak siswanya ke sana sembari membuka wawasan mereka tentang TBSU. Jadi, siswanya tak hanya sekadar latihan, tapi juga dapat pembinaan budaya sehingga mereka bisa termotivasi untuk melestarikan budaya mereka. “Mentalnya juga terasah, enggak canggung dan malu untuk tampil di depan publik,” paparnya. Untuk persiapan lomba ini saja, ia sudah datang dua kali ke sana setiap minggu,

dan akan berlanjut hingga mendekati waktu lomba. Selain untuk latihan, TBSU ini juga acap dijadikan tempat untuk kegiatan pameran, pagelaran, dan peluncuran buku. Akhir 2012 lalu, kata Syamsul, ada Pameran dan Pagelaran Seni SeSumatera sebagai acara akbar yang pernah diadakan. “Tuan rumahnya kita, dan para seniman kumpul di sini,” terang Syamsul. Fasilitas yang ada di sini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Sumut (APBD). Sementara untuk pemenuhan alat kesenian dilakukan secara berkala sesuai kebutuhan. Renovasi pun dilakukan tahun 2011 lalu kepada semua ruangan sanggar, untuk pemeliharaan bangunan. Mereka yang Terabaikan Irwansyah Harahap, seniman sekaligus Dosen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU bilang waktu awal berdiri sekitar 1970-an lalu, TBSU relatif aktif.

Kegiatannya lebih besar, dan kerap mengirimkan kontingen untuk perlombaan nasional bahkan internasional. Kala itu, TBSU berfungsi sebagai ruang-ruang untuk mengekspresikan seni itu sendiri, dan seniman dapat perhatian yang baik. Pemerintah bertanggung jawab penuh pada TBSU. Namun sejak reformasi, dan bergantinya sistem pemerintah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud), kemudian Dinas Kebudayan dan Pariwisata (disbudpar), membuat fungsi TBSU itu tak lagi sama dan membingungkan. “Posisi kebudayaan di pemerintahan seperti dibolak balik,” katanya. Alhasil, kebijakan dari pemerintah pun tak lagi jelas, hingga seniman berjuang sendiri untuk pengembangan kesenian dan budaya. TBSU menjadi sekadar ada, tanpa punya gaung yang lebih besar. Terlebih masalah paling anyar belakangan ini, tentang status TBSU yang akan diambil alih oleh Peme­ rintah Kota (pemko) Medan. Ketidakjelasan ini semakin mempersempit ruang para seniman untuk berkarya. Rahmad sepakat dengan hal ini. Sedari muda, ia kerap beraktivitas di sana. Jika TBSU diambil alih, kemudian dikosongkan untuk direnovasi seperti yang dikatakan pemkot, seniman tidak akan punya tempat untuk berkiprah. Terlebih waktu pemanfaatan TBSU yang lebih luas dibandingkan hanya sekadar di kampus atau di yayasan. Menurutnya, dibanding mempermasalahkan kepemilikan TBSU ini, alangkah lebih baiknya jika pemerintah justru memperhatikan senimannya. “Seharusnya seniman-seniman di sini dirangkul, bukan dibuang,” katanya. Irwansyah mengatakan, ini hanyalah masalah komunikasi antara Pemko Medan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan seniman itu sendiri. Harusnya, semua pihak punya pemahaman yang sama mengenai pengalihan dan pemanfaatannya ke depan. Sementara, Syamsul enggan berkomentar mengenai hal ini, meskipun tak menampik adanya isu mereka akan dipindahkan. “Yang penting kami tetap menjalankan fungsi sebagai wadah pengembang­ an kesenian,” ujarnya.

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

PLANG

Plang yang ada di depan gedung Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Rabu (27/2). Pernah terjadi aksi unjuk rasa menolak alih fungsi lahan TBSU tersebut karena merupakan milik Pemerintah Kota (pemko) Medan.


14 laporan khusus

TUTUP LATIHAN

Lembaran Dilematis PSMS Medan SUARA USU, EDISI 91, mARET 2013

Dua puluh Sembilan pemain tim Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya (PSMS) Liga Super Indonesia (LSI) foto bersama usai latihan, Senin (11/3). PSMS LSI terdiri dari 36 pemain dengan 7 pemain magang dan 3 pemain asing.

Lembaran Dilematis PSMS Medan

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Koordinator liputan: Apriani Novitasari Reporter: Gio Ovanny Pratama, Hendro Hezkiel Siboro, Lazuardi Pratama dan Apriani Novitasari

Adanya dualisme di tubuh Persatuan Sepakbola Medan dan Sekitarnya (PSMS) menimbulkan ragam masalah. Namun sesungguhnya, ia ibarat badai yang menguji PSMS itu sendiri agar menjadi lebih kuat. Apriani Novitasari

B

ulan Oktober tahun lalu Andi Sitepu, pemain Liga Super Indonesia (LSI) mendapat informasi dari seorang temannya, bahwa ada seleksi pemain Persa­ tuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya (PSMS) LSI. Ia pun mengikuti seleksi tersebut, dan harus melewati tiga tahapan seleksi yaitu seleksi kemampuan, seleksi strategi simulasi permainan bersama calon pemain baru, dan terakhir, seleksi campuran bersama pemain senior. Ia pun lulus dan dikontrak manajemen PSMS LSI selama sepuluh bulan. Andi baru dikontrak 11 Januari tahun ini. Ia hanya menggantungkan hidupnya

pada sepak bola, tak ada usaha lain. Sejak kecil hobi­ nya adalah sepak bola. Sebelum terjun menjadi pemain PSMS LSI, kegiatannya sehari-hari bermain sepak bola. Menjadi pemain PSMS adalah impian Andi, dan ia merasa bangga untuk itu. Meskipun kini PSMS tak jelas hidupnya karena dualisme yang terjadi. “Ada kebanggaan karena bisa membela salah satu klub terkenal di Indonesia dan klub kebanggaan Kota Medan,” katanya. Hampir sama dengan Andi, Alamsyah Nasution juga hidup dari sepak bola. Alam adalah satu-satunya pemain yang masih berta­han di PSMS LSI. Ada sekitar 26-30 orang yang membela PSMS LSI musim lalu, tetapi yang bertahan cuma Alam. Selebih­ nya pindah ke PSMS LPI dan ada juga yang pindah ke klub lain, dengan alasan beragam. Beberapa waktu be­la­ka­ ng­­an Alam mengaku gajinya sejak delapan bulan sebe­ lumnya hingga sekarang belum diberi sepenuhnya. Bahkan hingga akhir Februari, gaji bulanan pemain LSI belum cair. Alam, sudah

punya istri dan dua anak. Beruntung, ia masih punya tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan uang tersebut. “Ya, kalau sekadar kebutuhan sehari-hari seperti makanminum alhamdulilah sih cukup,” katanya. Ada juga Donny F Siregar, pemain PSMS dari Liga Primer Indonesia (LPI) yang merasa pendapatannya cukup untuk menafkahi keluarganya, berhubung ia juga pernah bermain di klub-klub lain. Meskipun sering ditunggak, ia juga tak punya pekerjaan lain untuk mendapatkan penghasilan. Baik Alam dan Donny berpendapat, bahwa dualisme PSMS ini sangat merugikan nama PSMS, pemain dan juga pelatih. Donny mengatakan dualisme PSMS ini memuat lebih banyak kerugian daripada keuntungannya. Suimin Dihardja, pelatih PSMS LPI merasa adanya dualisme yang terjadi di tubuh PSMS sangat merugikan banyak pihak. Sebenar­nya, ini pun adalah dampak dari dualisme di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia

(PSSI) sendiri. Padahal kata Suimin, dulu PSMS punya ‘nama’ yang cukup baik, PSMS merupakan salah satu klub yang menjadi pemasok bagi timnas. Namun sejak adanya dualisme PSMS dua tahun lalu, menimbulkan perpecahan dan berdampak pada turunnya kualitas pemain. Inilah yang membuat Suimin kecewa. Kerugian yang paling kentara adalah dalam masalah penggajian. Adanya

dualisme ini menyebabkan klub-klub profesional tak lagi dapat jatah dana Anggaran Pendapat­an Belanja Daerah (APBD). Ketua Umum PSMS LPI ­Benny Harianto Sihotang, membenarkan hal tersebut. Baik PSMS LPI dan LSI mendanai manajemen mereka menggunakan dana pribadi. Dikatakan Benny, keadaan ini berdampak pada pemain PSMS LPI yang belum mendapatkan kontrak, hingga berstatus sebagai pe-

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

JELANG LIGA

Pemain tim Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya (PSMS) Liga Super Indonesia (LSI) melakukan latihan, Senin (11/3). Tiap pemain hanya dikontrak dalam masa sepuluh bulan.


Lembaran Dilematis PSMS Medan SUARA USU, EDISI 91, mARET 2013

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

PENGARAHAN

Wakil manajer Pemain tim Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya (PSMS) Liga Primer Indonesia (LPI) Julius Raja memberikan informasi seputar kejelasan timnya usai latihan, Kamis (28/2). Dualisme yang terjadi membuat pemain PSMS LPI berstatus prakontrak.

main prakontrak. Penundaan pemberian kontrak lebih disebabkan karena belum jelasnya regulasi kompetisi yang diberikan PSSI. “Besaran jumlah prakontrak itu sendiri berbedabeda untuk tiap pemain. Untuk pemain yang mempunyai reputasi nasional diberikan sepuluh persen dari besar­ an kontrak yang dijanjikan,” jelasnya. Hal ini sangat berbeda dengan dulu. Dijelaskan ­ Benny, dulu pemain mendapat kontrak penuh selama satu tahun, sehingga pendapatan yang diperoleh sesuai dengan kontrak yang diberikan manajemen. Sementara sekarang tidak menentu, pemain hanya diberikan prakontrak yang sifatnya tidak mengikat sehingga status pemain menjadi tidak jelas. Agung Prasetyo, adalah salah satu pemain yang bernasib demikian. Ia sudah dua bulan bergabung dengan PSMS LPI, namun belum diberikan kontrak dan masih berstatus pemain prakontrak. Agung baru mendapat Rp 2 juta dengan tambahan uang lelah dari manajemen. Beruntung, ia masih lajang dan tak punya tanggungan. ”Gaji yang udah diterima disyukuri aja,” Sistem gaji PSMS LSI juga mengalami perbedaan dengan tahun lalu. Ketua Umum PSMS LSI Indra Sakti menjelaskan, tahun lalu pemain akan diberikan 25 per­sen dari kontrak pada awal bermain, kemudian 75 per­sen akan dibagikan per bulan. Sementara tahun ini kesepakatan kontrak diawal akan dibagi tiap bulannya,

dengan masa kontrak pemain hanya sepuluh bulan. Menurut Suimin, inti masalah yang terjadi saat ini adalah ketidakmampuan pemimpin dalam pengelolaan klub. Selain masalah gaji, asupan makan pemain juga membuatnya cukup miris. Pasalnya, asupan gizi yang sehari-hari mutlak diperlukan pemain belum mencukupi. Padahal, bermain sepak bola sangat membutuhkan energi yang besar. Hal ini memengaruhi daya tahan dan kualitas stamina pemain. Alam tak membantah kabar yang sempat tersiar bahwa pemain dan pelatih PSMS LSI hanya makan nasi bungkus. Ia pun sepakat de­ ngan asupan gizinya yang tak se­suai dengan kebutuhan di­ rinya sebagai pemain. ”Kalau berita yang keluar di koran ya begitulah adanya,” katanya sambil tersenyum kecil. Suimin menambahkan, kuota pemain yang cukup besar secara otomatis menyebabkan pemain dipaksa untuk terus berlatih dan kualitasnya bukannya semakin baik, malah memburuk. Melihat kondisi pemain sekarang, ia merasa adanya sedikit persaingan yang kurang sehat antara pemain dua­lisme PSMS. Senada dengan Suimin, Indra pun menyadari bahwa dualisme ini membawa segudang kelemahan, seper­ ti banyaknya target-target yang belum tercapai. Namun menurutnya, apabila hal itu dianggap membawa dampak negatif, maka PSMS akan semakin terpuruk. Ia bilang, dualisme se­ sungguhnya juga membawa dampak positif seperti mem-

bangun konsolidasi dan memompa usaha keras bagi PSMS sendiri. Kondisi PSMS saat ini masih lemah. PSMS harus keluar dari kondisi ini dan diberi dukungan. “Ini kekurangan yang menjadi harapan bukan menjadi hambatan,” tegasnya. Indra mengatakan bahwa klubnya PSMS LSI, se­dang melakukan ­ penye­suai­an dalam situasi ini. Seharusnya masyarakat Medan juga melakukan penyesuaian de­ ngan kondisi nyata yang saat ini terjadi. Ia menilai setiap pihak harus bersikap bijak dan tegas dan berusaha me­ ngambil dampak positif dari

“PSMS masih bisa jalan dan hidup seperti sekarang ini, maka itu harus disyukuri,” ujarnya

laporan khusus 15 an Prestasi Keolahragaan, Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Medan A’zam Nasution memaparkan kesalahan lain yang terjadi pada dualisme ini. PSSI membuat dua liga, sehingga berimbas pada PSMS untuk memenuhi kuota pemain. “Jadi jangan disalahkan PSMS-nya,” tegasnya. Selain itu, menurut A’zam pemain PSMS beruntung, karena kuota untuk bermain sepakbola banyak, maka lapangan pekerjaan juga bertambah. Sebaliknya hal itu merugikan masyarakat karena prestasi PSMS yang semakin buruk. Ia tahu kondisi pemain saat kini tidak baik. A’zam merasa pemerintah juga punya tanggung jawab dengan masalah ini. Namun pihak dispora tak bisa berbuat apa pun, karena pengelolaan PSMS sudah tergolong profesional. Pemerintah daerah hanya membina olahraga amatir, karena ada larang­an dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) bahwa pemerintah tidak boleh duduk sebagai pejabat di PSMS. Peran dispora atas nama pemerintahan kota dalam masalah dualisme PSMS adalah mengimbau dan memberi masukan seba­gai pembina, namun tidak bisa mencampuri lebih jauh. A’zam mengatakan ada asumsi masyarakat bahwa pemerintah menggunakan kekuasaan dalam PSMS. Jadi, mencari solusi sendiri itu yang diharapkan. “Ini karena imbas dari PSSI yang karut marut,” pungkas A’zam. Suryanto, salah seorang pendukung PSMS, cukup prihatin melihat dualisme PSMS yang berdampak pada kondisi pemain. Dari sudut pandangnya, ia berpendapat komit-

men PSSI untuk membangun kekuatan timnas tidak tercapai. Buktinya ada dualisme kepemimpinan bahkan liga. “Ini merupakan tanda sepak bola Indonesia belum bisa disebut profesional, semi pun belum bisa karena untuk mengurus hal dasar saja belum mampu,” katanya sambil tersenyum, miris. PSMS adalah bagian dari PSSI, Suryanto mengingin­kan baik pemerintah maupun PSSI harus cepat mengambil sikap, dualisme bukan hanya tak pantas dipertahankan tapi sangat merugikan. Seper­ ti apa pun keadaan PSMS yang terbagi dua saat ini, ia tetap mendukung ke­duaduanya, karena di matanya PSMS adalah satu. “Sangat miris melihat perkembangan PSMS akhir-akhir ini, kita tak punya kebanggaan lagi dibuatnya,” pungkasnya. Nata Simangunsong, Ke­tua Suporter Me­dan Cinta Ayam Kinantan (SMeCK) memaparkan, SMeCK sendiri sudah ba­ nyak melakukan upaya-upaya untuk menyatukan PSMS. Mulai dari upaya persuasif pada kedua manajemen PSMS Me­ dan, aksi turun ke jalan, dan terakhir mimbar terbuka yang diadakan di Pendopo USU sekitar tiga bulan yang lalu. Hal ini mereka lakukan dalam rangka menyuarakan PSMS Medan yang satu. Untuk PSMS sendiri ia mengharapkan agar PSMS Medan fokus untuk pembinaan pemain dan penyelesaian konflik dualisme, serta perbaikan stadion Teladan yang menjadi kandang PSMS Medan. “Untuk dua sampai tiga tahun ini tak perlu juara dulu, pembinaan dan manajemen harus bersatu dulu,” harapnya.

Indra Sakti kejadian ini. Justru menurut Indra, tantangan saat ini adalah nilai jual PSMS yang menurun dan masyarakat masih tidak mau tahu hal itu. Selama ini pihak manajemen yang menanggung semua tuntut­ an yang tidak bisa direalisasikan. “PSMS masih bisa jalan dan hidup seperti sekarang ini, maka itu harus disyukuri,” ujarnya *** Kepala Bidang Peningkat­

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

PEMBAGIAN

(Kiri-kanan) Mess penginapan tim Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya (PSMS) Liga Primer Indonesia (LPI) (kiri) dan PSMS Liga Super Indonesia (LSI) di stadion Teladan, Kebun Bunga jalan Kejaksaan Medan, Selasa (5/3). Mess tersebut merupakan kantor dan tempat peristirahatan PSMS.


16 mozaik

SUARA USU, EDISI 91, Maret 2013

cerpen

Sebuah Harapan Kecil di Bola Bekel

I

a adalah penjerit yang tak bisa menjerit. Ia adalah pemimpi yang berubah jadi pecundang. Saat dunia yang penuh dengan warna hanya terlihat hitam di matanya. Saat itu usianya baru enam tahun dan ia hanya seorang lugu yang ingin mengukir hari dengan senyuman polos. “Bolehkah aku beli bola bekel?” pintanya. “Kau anak lambat, jangan susahkan aku dengan permintaanmu yang bodoh itu,” jerit ibunya. Air mata yang tak terbendung tumpah dan jantung kecil itu berdegup kencang bak dipukul-pukul. “Jangan nangis! Syukur kau masih bisa makan.” “Aku mau bola itu, Mak,” tangisnya. Ibunya seorang yang tak tamat SD, berjualan kopi di depan rumah­ nya dan ayahnya seorang penjual jasa becak. Ia bersekolah, hasil rengekannya setiap malam. Ia melihat senyuman anak-anak seusianya yang membuat ia merasa harus punya senyum itu juga. “Eh, kau ambilkan dulu pisau di atas meja di belakang,” perintah ibunya. Ia kemudian berkeliling dari ruang-ruang kecil itu untuk mencari pisau ada di atas meja. Seorang penjual kopi memiliki banyak meja, meja yang mana? Cari saja, nanti bakal ketemu, pikirnya. Namun ia sama sekali tidak menemukannya. Berjalan ke arah dapur, ditemukannya meja yang punya tiga kaki, yang setiap ia melihatnya terasa pedih di kulit punggungnya bekas hempasan itu. Bapaknya yang jarang pulang, memukulnya keras dengan benda itu karena rengekannya yang ingin pakai seragam dan pergi ke sekolah. Bapaknya, orang yang tak tahu kapan pulang membawa kebahagiaan kepadanya. Keluarganya keluarga yang tak mampu, apalagi mencari kebahagiaan di dalam kesulitan dengan cara yang benar karena terasa terlalu berat. Ia, dulu anak yang ceria tapi karena pukulan dan cacian yang diterimanya maka tak pernah lagi ia tersenyum. Tak ditemukannya benda yang bernama pisau itu, yang ada hanya kulit yang terasa pedih yang dirasakan. “Mak, gak ada. Yang ada termos di atas meja, lalu...” penjelasan yang harus jelas dipikirnya. “Paok kali lah. Kau nyari dimana? Kalo ada kupukul kau ya?” pekik Mak. Mak berjalan dan kembali lagi mengambil benda merah tadi yang

Siti Sara Fakultas Pertanian 2009 sudah berkarat. “Ini ada kan?” sambil menokok kepala yang sering pusing itu. “Tapi Mak, itu bukan pisau.” “Sama aja lah bodoh. Yang pen­ ting bisa buka bungkus kopi ini.” Ya, ia agak berbeda dengan anak-anak lain. Ia kurang nutrisi saat berada dalam kandungan, karena miskin yang tidak bisa diteriakan supaya jauh-jauh dari kehidupan emak dan bapaknya. *** Akhirnya Ia tak tahan lagi. Ia berniat mengambil satu dari kantong tas Randi. Randi kan punya banyak, pikirnya. Ia sangat mengagumi bola bekel, yang sebagian orang itu tidak bermakna. Ia sudah memintanya berkali-kali tapi tak kunjung ia dapatkan. Baginya, bola bekel adalah benda hebat. Ia ingin menjadi bola bekel. Saat dicampakkan dan dilempar, tak pernah menjerit ataupun kesakitan. Ia malah melompat lebih tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari yang mencampakannya. Tapi, ia terlalu takut untuk bisa seperti itu. “Itu kan bola bekel-ku?,” tanya Randi. Ia terkejut. “Kau mencuri ya?” tuduh Randi. “Woi. Mila mencuri bola bekelku,” lanjutnya sambil teriak. Segera orang-orang datang, melihat sinis seolah-olah mereka

mau meludah. Ia menangis, berlari menuju kamar mandi disertai olokolokan temannya. “Mila pencuri.” Bahkan sekarang sekolah juga sumber penderitaan baginya. Katakata ‘pencuri’ bak pisau yang menyayat setiap kulitnya. Ia berangkat dari rumah dengan pakaian sekolah dan berjalan di jalan yang biasa ia tempuh. Setiap langkah dimaknai seperti pertanyaan besar, sampai kapan ia terus seperti ini? Akhirnya ia berbelok ke arah pasar dengan langkah tak bertenaga. Ia melihat seorang anak memegang tangan ibunya dan merengek minta balon warna-warni yang menjulang ke langit. Ibunya tidak menghiraukan anak itu, lalu tangan mereka terlepas. Anak itu berjalan menuju balon-balon yang letaknya tak jauh dari tempat ia berdiri. Anak yang seperti ia, hanya ingin mencari sumber-sumber senyum yang mungkin ada di dalam balon. Saat langkah kecil sempo­ yongan itu berjalan menuju warnawarna indah pada balon, sebuah truk besar mau melewati jalan yang sama. Anak itu, mungkin hanya berpikir dan fokus untuk mendapatkan balon itu hingga tak menghiraukan apapun di sekelilingnya, bahkan tangan ibunya yang sedang sibuk memilih tomat-tomat segar di pinggir jalan itu juga tak dihiraukannya. Ia hanya melihat ke arah anak itu dan ingin sekali mengabulkan harapan anak

itu. Apa yang harus dilakukannya? Pikirnya. Baiklah, ia akan berbuat yang seharusnya. Tubuh kecil yang tak tahu rasanya kebahagiaan itu tergeletak tak berdaya, rasa sakit yang selama ini dirasakannya seolah-olah berkumpul menjadi satu saat itu juga. Anak yang ingin mengambil balon tadi juga bersimbah darah tak jauh darinya yang tak berdaya itu. Tubuh-tubuh kecil yang penuh harapan, yang ingin mencari sekecil senyuman tak bergerak, warna merah yang membasahi aspal jalan itu seperti simbol jeritan anak-anak yang ingin sekali melanjutkan mimpi-mimpi dan mendapatkan harapan-harapan kecil untuk mengukir mimpi-mimpi besar mereka. Seketika pasar menjadi ramai, dan semua orang baru tersadar akan tubuh-tubuh kecil mereka yang jantungnya sudah tak bisa berdegup lagi. Sayatan-sayatan kecil di tubuh kecil Mila dan luka lebam, yang diberikan orang tuanya kepadanya sudah tertutup oleh darah merah yang bersinar di bawah sinar matahari. Seperti ada guratan senyum dalam bibir Mila yang tak bergerak itu, seolah-olah ia berharga karena sudah mau membantu seorang anak mendapatkan harapan kecilnya. Seolah-olah mengatakan bahwa ia sudah berarti, walau hanya untuk harapan kecil seorang anak.

AULIA ADAM | SUARA USU


SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

sorot

Bertutur Pun Melayu Atur

Asalnya konon tak jelas. Mungkin cuma sekadar pengingat, agar orang tua tak salah sebut nama anak yang begitu banyak. Aulia Adam

S

ejak kecil saya dipanggil Ayong oleh keluarga. Ayah, Ibu, adik-adik, Atok-Andong (kakek-nenek -red) dan para sepupu. Terkadang jika bertemu Ayong lain, maka akan ditambahi Adam—nama asli saya— di belakang nama kecil tersebut. Sepemahaman saya, saya diberi gelar itu karena lahir sebagai anak pertama dari Ayah yang bersuku Melayu. Semua anak pertama punya nasib sama. Ayah sendiri adalah anak kedua. Untuk mereka yang lahir di urutan itu diberi julukan Angah sebelum nama aslinya. Dan julukan-julukan itu terus berlanjut se­suai urutannya. Anak ketiga biasa dipanggil Ayang, A­lang atau Acik. Sementara Ateh untuk keempat, Andak untuk kelima, Odo untuk keenam, Atam untuk ketujuh dan Anjang untuk kedelapan. Dan urutannya berhenti di situ. Pasalnya, Ayah hanya punya tujuh saudara kandung. Saya tak pernah punya penasaran lebih pada julukan berurutan tersebut. Mungkin karena terbiasa hidup di lingkungan yang memang terbiasa pula dengan budaya satu ini. Saya juga punya Atok Yong, Atok Ngah, Andong Oteh, Bu Yang, Pak Atam, Kak Andak dan Bu Anjang. Semua keluarga yang punya nama kecil karena urutan lahirnya. Hingga suatu hari salah seorang kawan bertanya, “Kenapa mesti pakai tuturan begitu? Kenapa tidak panggil nama saja?” Pertanyaan sederhana itu menggiring saya pada penelitian kecil-kecilan terhadap budaya ini. Langkah awal, saya cari di Google. Namun tidak ditemukan informasi tentang ini. Mecammacam keyword saya masukan, tapi tetap saja nihil. Lantas saya mendatangi beberapa dosen budaya yang memahami budaya Melayu. Ternyata tak ada yang tahu pasti sejarahnya. Padahal, banyak keluarga di sekitaran rumah saya masih menggu-

si poken

nakan tuturan-tuturan ini di kehidupan sehari-hari. Misalnya Wak Yong Dharma yang punya warung, Wak Ngah Riwi yang punya salon. Meskipun secara silsilah keluarga, garis keturunannya jauh. Akhirnya saya beralih pada narasumber terakhir: yakni keluarga saya sendiri. Ayah bilang ia tak begitu tahu, begitu pula dengan Wak Yong, kakak Ayah. Beruntung, saya dapat sedikit pencerahan dari Atok. Beliau bilang, “Mungkin karena orang zaman dulu punya anak banyak. Jadi dikasih tuturan supaya enggak susah sebut nama.” Dari Atok pula, saya tahu kalau Ayong adalah kata ganti Along yang berasal dari kata ‘long’; singkatan dari Sulong, anak pertama dalam bahasa Melayu. Angah berasal dari kata ‘tengah’, meski anak kedua tak selalu menjadi anak tengah. “Bagi orang dulu, pantang punya anak sikit,” celoteh Atok. Sayang, sisa dari tuturan itu tak Atok ketahui artinya. Dia hanya menambahkan tentang Uncu, yakni julukan bagi anak paling kecil, si bungsu. Sebenarnya tuturan sesuai urutan kelahiran ini juga terdapat di beberapa suku. Sebut saja Jawa dan Karo. Bedanya, baik orang Jawa maupun Karo tak punya julukan sedetil yang orang Melayu punya. Orang Karo misalnya, hanya punya tiga julukan: Tua untuk sulung, Ngah untuk anak urutan te­ngah, dan Uda untuk si bungsu. Sedang orang Jawa akan panggil Pak Le untuk paman yang merupakan abang Ayah atau Ibu dan Pak De untuk adik orang tua mereka. Tapi yang paling mengherankan adalah tidak semua orang Melayu dewasa ini masih bertahan dengan budaya tersebut. Saya punya empat orang teman bersuku serupa, tapi tak satu pun di antara mereka yang punya panggilan kecil seperti saya. Padahal dua di antaranya adalah Ayong, sisanya Uncu. Entah telah tergerus, atau memang orang tua zaman sekarang yang sudah bisa mengingat namanama anaknya. Kalaupun memang sudah tergerus, mungkin program Keluarga berencana lah penyebabnya.

mozaik 17 puisi

Fatamorgana Dunia Muhammad Wicaksono Fakultas Kesehatan Masyarakat 2012

AULIA ADAM | SUARA USU

Dunia, dunia, dunia fana

Frustasi Akan Nilai Agama Tersesat manusia di kampung nista Tergoda manusia di padang harta Terkutuk bak Malin kundang Berdosa bak Sangkuriang

Tiada lagi gerbang kebenaran

Ditenggelamkan dalam sang rimba

Tikus tak tahu malu bertengger di kursi mahkota

Lupa akan kodrat binatang hama Pemakan padi jantung manusia

Lumbung serakah penjerat lidah

Bersembunyi di balik tuxedo mewah Berlagak pahlawan sembah tercipta Akankah hadir sang surya?

Tanya waktu hampa jawabnya

AUDIRA AININDYA | SUARA USU


18 potret budaya

SUARA USU, EDISI 91, maret 2013

Minak Pengalun, Minyak ‘Sakral’ nan Berkhasiat Warisan Suku Karo Ia telah ada ribuan tahun lamanya. Ia berkhasiat, tapi banyak pantangannya. Semakin ke sini, pandangan atas kepercayaan itu jadi berubah.

Baina Dwi Bestari

W

aktu itu Maret 2003. Jehodia Beli tidak ingat pasti tanggalnya. Tepatnya sore hari sekitar pukul 06.00 WITA, anaknya Marco pulang ke rumah. Ia jalan pincang. Sekujur tubuhnya luka-luka. Wajahnya biru. Memar. Ia kecelakaan di jalan, sepeda motor yang dikendarainya melaju terlalu kencang hingga menabrak trotoar jalan. Bocah berumur 13 tahun itu memang baru saja mahir mengendarai sepeda motor. Jehodia menyambut anaknya yang me­ rintih kesakitan. Sedetik kemudian, ia bawa Marco ke rumah sakit di dekat rumahnya di Alor, Nusa Tenggara Timur. Ketika berobat, dokter yang memeriksa Marco menawari Jehodia untuk memakaikan minyak pada luka anaknya. Minyak itu biasa didapat sang dokter dari saudaranya di Batam. Setelah kesepakatan, Jehodia setuju untuk menitip sebotol minyak. Untuk percobaan, dokter memberikan persediaan yang ia miliki. Sampai di rumah, Jehodia mengusapkan minyak itu ke luka anaknya. Keesokan harinya, luka-luka basah itu mengering. Memar di wajahnya pun mulai kempis. Tidak butuh waktu lama untuk sembuh total. Dalam seminggu luka-luka Marco sudah kering dan tidak berbekas. “Cepat kali sembuhnya, saya enggak bawa ke mana-mana lagi,” papar Jehodia. Minyak yang dipakai Jehodia bernama minak pengalun, berasal dari suku Karo. Minak artinya minyak. Sedang pengalun ber­ asal dari bahasa Karo, alun, artinya urut. Maka, pengalun adalah pengurut. Jadi, pada dasarnya minak pengalun adalah minyak yang digunakan untuk urut atau kusuk. Tapi, bukan hanya bisa dipakai untuk urut. Ia juga dipakai untuk mengobati pegal-pegal, lelah, luka gigitan serangga dan luka bakar. Ia dibuat dengan meramu rempahrempah, akar-akaran dan dedaunan segar, dicampur dengan minyak kelapa. Kemudian dimasak selama kurang lebih dua jam sampai semua bahan tersebut tercampur rata. Lalu campuran tadi diperas dan disa­ ring. Semakin segar rempah atau dedaunan yang digunakan, maka khasiatnya dipercaya akan semakin bagus. Adalah Tjonto Kaban salah satu penjual Minak Pengalun. Bersama istrinya Pa­kenta br Ginting, ia melanjutkan usaha dari nenek moyang mereka. Kata Pakenta, dulu minyak ini masih langka. Dibuat sedikit, hanya sesuai pesanan. “Siapa mau minyak, kita minta mangkuknya. Kalau banyak, kita suruh bawa jeriken,” Tapi, sekarang sudah berkembang. Mereka memasarkan minyak ini ke apotekapotek di Kaban Jahe, Pekan Baru, Batam, Jambi, hingga Nusa Tenggara Timur. Per bulannya mencapai 4 ribu botol. Khusus ke

Kabanjahe, dikirim 2 ratus botol per ming­ gu. Harga per botol Rp 12 ribu. Selain di apotek, minak pengalun juga dapat ditemui di tempat-tempat urut tradisional. Herlina Ginting, Sekretaris Departemen Sastra Daerah USU mengaku tak tahu pasti kapan minyak ini muncul. Yang jelas, sejak adanya Suku Karo ada pada abad ke-13 Masehi minyak ini sudah ada. Sampai saat ini, memang belum pernah ada penelitian khusus tentang minak pengalun. Jadi belum dapat diketahui pasti apa perbedaan mendasar dengan minyak urut lain yang dimilikinya. Hanya saja, jika dilihat dari rempah-rempahnya minak pengalun memiliki komposisi yang sangat banyak. “Ketika baru siap dimasak, ia akan tercium seperti bau gulai,” terang Herlina. Selain itu, jika kena pakaian minyak ini tidak akan lengket dan membekas. Hanya ada baunya saja.

Perubahan Tradisi dan Kepercayaan Konon, minyak ini punya beberapa kepercayaan yang jika tidak dipenuhi, khasiatnya akan berkurang. Minyak ini tidak bisa dibuat oleh sembarang orang. Ia bersifat sakral. Harus dibuat oleh orang-orang tertentu yang mempunyai pengetahuan khusus. Karena, bahan-bahan yang akan digunakan diambil dari tengah hutan de­ ngan petunjuk yang dipercaya berasal dari ruh. Bahkan ada mantera tertentu dalam pembuatannya. Jika minyak dibuat oleh sembarang orang, maka khasiatnya akan berkurang. “Dulu dipercaya ada hubungan erat antara manusia dengan alam ruh,” terang Herlina. Selain itu, takaran yang digunakan dan lamanya waktu pemasakan ramuan minyak

tidak boleh berlebih dan terlalu lama dimasak dari waktu yang sudah ditentukan. Lalu, sebelum mengoleskannya, minak pengalun tidak boleh diambil dengan jari telunjuk. Harus menggunakan jari tengah. Ia juga tidak boleh diletakan sembarangan apalagi dilompati. Satu lagi kepercayaan yang dianut masyarakat terdahulu, tidak boleh pelit dalam membagi minyak ini. Jika seseorang mempunyainya dan orang lain meminta, maka ia harus membaginya walaupun sedikit. Kalaupun tidak mau memberi, katakan kalau minyaknya tinggal sedikit. Kalau minyak masih banyak dan ia bilang tidak ada, maka khasiatnya akan berkurang. Tapi, itu cerita dulu. Sekarang, sudah banyak perubahan. Pakenta bilang, tidak butuh keahlian khusus untuk membuatnya. Siapa saja bisa membuat minyak ini. Ia juga bilang, tidak ada pengurangan khasiat. “Supaya enggak bersaing aja itu,” katanya. Kata Pakenta lagi, minyak ini juga fleksibel. Bisa diletakan di mana saja. “Kalau ditaruh di bawah, takutnya tumpah.” Menilai perubahan ini, Herlina katakan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dibuat sebenarnya mengajarkan ketertib­ an dan kesopanan pada masyarakat. Hal itu tercermin dari pengambilan minyak yang harus dilakukan dengan jari tengah atau minyak yang tidak boleh dilompati. Nilai lain yang Herlina ambil adalah kedi­ siplinan. Dapat dilihat dari pembuatan yang harus sesuai dengan takaran dan harus tepat waktu. Ada juga nilai kebersamaan dan saling berbagi yang terkandung dalam kepercayaan bahwa tidak boleh pelit dalam membagi minak pengalun.

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

OBAT ALAMI

Minyak obat tradisional Karo, Laucih. Minyak ini terbuat dari berbagai jenis daun-daun langka, akar-akaran dan rempah dari tanah Karo.


riset 19

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

M

Ingar Bingar Uang Kuliah Tunggal

ulai tahun ajaran 2013/2014, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) memberi perintah kepada Perguruan Tinggi Negara (PTN) seIndonesia untuk menerapkan uang kuliah tunggal (UKT) melalui surat edaran nomor 97/E/KU/2013 beberapa waktu lalu. Beberapa PTN di Pulau Jawa telah menerapkan UKT ini seperti Universitas Airlangga dan Universitas Soedirman. Di USU, sudahkah mahasiswa mengetahui kebijakan ini?

Bagaimana tanggapan serta komentar mereka? Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 475 mahasiswa USU, yang terdiri dari sampel diambil secara accidental dengan mempertimbangkan proporsio足 nalitas di setiap fakultas. Dengan tingkat kepercayaan 96% dan sampling error 4%, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pendapat mahasiswa USU. (Litbang)

78,11 %

44,23 %

31,73 %

57,05 %

2. Jika ya, darimana Anda mengetahuinya? a. Internet (28,91 %) b. Surat Kabar (19,23 %) c. Televisi ( 6,73 %) d. Lainnya: (44,23 %) Teman, Orang Lain, Sosialisasi

1. Apakah Anda mengetahui rencana penerapan uang kuliah tunggal (UKT) di PTN se-Indonesia oleh Dirjen Dikti? a. Ya (21,89 %) b. Tidak (78,11 %)

5. Apa alasan Anda tidak setuju? a. Memberatkan yang kurang mampu (31,73 %) b. Tidak adil (20,66 %) c. Biaya setiap fakultas berbeda ( 18,08 %) d. Biaya jalur masuk berbeda ( 4,80 %) e. Sistem sekarang lebih baik ( 2,21 %) f. Informasi belum jelas ( 16,97 %) g. Tidak menjawab ( 5,54 %)

AULIA ADAM | SUARA USU

36,04 %

4. Apa alasan Anda setuju? a. Lebih sederhana dan praktis b. Adil c. Tidak ada pungutan lain d. Lebih transparan e. Tidak menjawab

3. Setuju atau tidak setujukah Anda jika UKT diterapkan di USU? a. Setuju (41,47 %) b. Tidak setuju (57,05 %) c. Tidak menjawab ( 1,47 %)

(35,03 %) (36,04 %) (11,66 %) (13,20 %) (4,06 %) IKLAN


20 resensi Masih tentang catatan perjalanan. Masih dengan bait-bait motivasi dan filsafat. Buku ini diperuntukkan bagi mereka yang ingin mencari jati diri dan memaknai kehidupan. Audira Ainindya

P

aulo Coelho barangkali adalah penulis spesialis perjalanan. Ini bukan kali pertama ia membuat tulisan yang mengadaptasi catatan perjalanan seseorang. Juga, perjalanannya masih dibumbui de­ ngan kesan religi yang kental. Sebelumnya sudah ada The Alchemist yang juga mengangkat konsep dan tema yang sama. Mengawali kisah bersama lima orang yang akan mengikuti ritual penobatannya, Paulo yang menjadikan namanya sendiri sebagai tokoh utama dalam cerita akan dijanjikan menjadi Guru Ordo RAM. RAM adalah singkatan dari Rigor (ketetapan), Adoration (penyembahan), dan Mercy (welas asih). Bersama istri, guru, seorang murid, pemandu lokal serta utusan persaudaraan besar yang menaungi ordo-ordo rahasia di seluruh dunia persaudaraan yang lebih dikenal dengan nama ‘tradisi’, mereka melakukan ritual di Itatiaia­, jauh di ketinggian puncak Serra do Mar yang termasuk dalam rangkaian pegunungan Agulhas Negras (Jarum Hitam) di Brasil. Bagian dari ritual mengharuskan Paulo menguburkan pedangnya yang lama. Ia sudah memiliki pedang baru sebagai pertanda ia telah menduduki jabatan yang lebih tinggi. Sang Guru akhirnya menobatkan Paulo sebagai Guru Ordo RAM. Ini ditandai dengan penyentuhan oleh pedang milik Sang Guru pada bahu dan dahi Paulo. Akhirnya Paulo ditasbihkan. Ia terkagum-kagum dan tak sabar menggunakan mukjizat-mukjizat yang ia dapatkan setelah penobatan. Sang Guru menasihati agar Paulo tidak membiarkan pedang barunya lama tersimpan supaya tidak berkarat. “Dan saat kau menghunus pe­dangmu, janganlah kau memasukkannya kembali tanpa terlebih dahulu menggunakannya untuk kebaikan, membuka jalan baru, atau menum­ pahkan darah musuh.” Begitu pesan

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

Sang Guru. Konflik muncul saat Sang Guru menggoreskan ujung pedang ke dahi Paulo. Ia bisa merasakan luka tersebut. Ia merasa tak seharusnya ia kesakitan karena ia sudah punya kekuatan. Tiba-tiba Sang Guru menginjak jemari Paulo yang siapsiap menggenggam pedang barunya. Paulo kesakitan dan pedangnya terjatuh. Sang Guru merebut pedang tersebut dan memberikannya pada istri Paulo. Berhubung pedang lamanya sudah ‘kembali’ ke bumi, Paulo berinisiatif untuk mulai pencariannya dari awal lagi. Melalui istrinya, Sang Guru memintanya untuk membuka peta Spanyol dan mencari rute perjalan­ an dari abad pertengahan, dikenal dengan nama Jalan Misterius menuju Santiago untuk berziarah. Tujuannya menemukan pedang yang tepat untuknya. Paulo ditemani seorang pemandu perjalanan yang misterius bernama Petrus. Ia tetap jadi pemain tunggal untuk menemukan pedang­ nya. Melakukan latihan kecepatan, menjalani tes ritual, bahkan ritual menjadi ruh yang berkuasa. Perjalanan spiritual kristiani menuju Santiago de Compostela inilah yang menjadi inti cerita novel. Paulo Coelho bertutur cerita dari Brasil hingga Eropa. Ia berhasil membawa pembaca serasa berada di tempat-tempat yang diceritakannya berkat deskripsi yang sangat apik. Dari Saint-Jean-Pied-de-Port di Prancis hingga katedral Santiago de Compostela di Spanyol dikisahkan secara detail. Novel ini betul-betul mirip catatan perjalanan. Dibandingkan The Alchemist, no­ vel ini terasa lebih berat, terutama bagi mereka yang termasuk pemula dalam membaca buku-buku filsafat. Belum lagi sejarah yang dituturkan dalam buku ini adalah sejarah yang tidak diketahui orang awam dan jarang diperbincangkan terutama di bangku sekolah. Misalnya sejarah pada tahun 1123 tentang pastor Prancis bernama ­Aymeric Picaud yang juga berziarah ke Santiago dan perjalanan menuju Santiago versi orang Prancis yang terpaksa dijelaskan pada catatan kaki agar lebih mengerti. Ditambah penggunaan banyak istilah asing seperti Ordo RAM, Pecadillo (dosa kecil), dan lafal nama-nama tempat dan tokoh yang sulit diingat. Tak jarang kita temui catatan kaki yang cukup pan-

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Menuju Santiago Suci, Demi Sebilah Pedang Judul: The Pilgrimage: Ziarah Penulis: Paulo Coelho Penerjemah: Eko Indrianto Penerbit: PT Gramedia Utama Tahun: 2011 Jumlah Halaman: 264 halaman Harga: Rp 45.000

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

jang agar pembaca lebih paham. The Pilgrimage terinspirasi dari agama Islam yang mewajibkan segenap umatnya mengikuti jejak Nabi Muhammad yang berziarah dari Mekah ke Madinah setidaknya sekali seumur hidup. Dan umat kristiani pada abad pertama yang juga diharapkan menempuh tiga rute perziarahan yang dianggap suci. Jalan pertama menuju Santo Petrus di Roma, jalan kedua di Yerusalem dan jalan ke tiga adalah San Tiago (Santiago). Paulo memilih jalan yang ketiga. Meskipun merupakan catatan perjalanan spiritual kristiani dan ditemukan beberapa ayat dari Injil dalam buku ini, namun buku ini bisa dibaca oleh siapa saja. Karya ini sebenarnya ditulis le­bih dulu ketimbang The Alchemist. Namun, baru pada tahun 2011 novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ceritanya lebih padat berisi

namun tak sesantai membaca The Alchemist. Masih seperti karya Paulo lainnya yang menggabungkan genre motivasi, drama, psikologi dan filsafat menjadi satu novel yang indah. Selalu ada kata-kata mutiara di tiap dialog atau kesimpulan cerita. Salah satunya pada halaman 163, saat Petrus, sang pemandu perjalanan menasihati Paulo. “…Kau punya cara sendiri menjalani kehidupanmu, mengatasi masalahmu, dan mencapai kemenangan. Mengajar berarti mendemonstrasikan bahwa itu semua mungkin. Mempelajari berarti membuat semua itu menjadi mungkin bagi dirimu.” Inti dari novel ini adalah kita akan layak mendapatkan sesuatu jika kita tahu apa yang akan kita lakukan de­ ngan sesuatu itu, layaknya Paulo yang pada akhirnya mendapatkan pedangnya karena memang ia tahu dan layak untuk itu.


SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

iklan 21


22 iklan

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013


momentum 23

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

SUARAUSU.CO 1 Maret 2013

7 Januari 2013

Gubsu Kunjungi Pelatnas Timnas Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Gatot Pujo Nugroho mengunjungi para pemain Tim Nasional (timnas) Indonesia di hari pertama pemusatan pelatihan nasional (pelatnas) yang digelar di Stadion Mini USU, Senin (7/1) pagi. Gubsu langsung menyambangi para pemain dan staf pelatih yang berada di lapangan. Ia berharap dukungan dan antusiasme dari masyarakat Sumatera Utara kepada timnas bisa berdampak positif bagi kesiapan timnas menghadapi Pra Piala Asia 2015 mendatang. (Ferdiansyah)

MPMF Lantik Gubernur FMIPA

Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas (MPMF) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Heru Nurkholis melantik Gubernur FMIPA terpilih Ganda Wijaya-Abdul Rahim, Jumat (1/3) di gedung aula FMIPA. Pengesahan dilakukan dengan pembacaan sumpah jabatan oleh Ganda Wijaya yang dipandu Heru Nurkholis. Ganda memaparkan sejumlah program kerja yang akan ia lakukan dalam periode 2013-2014 ke depan, yaitu pemerintahan mahasiswa (pema) akan fokus mewadahi kegiatan mahasiswa FMIPA dalam bidang keilmuan. (Ridho Nopriansyah) 5 Maret 2013

20 Februari 2013

Mahasiswa Gelar Aksi Tolak Alih Fungsi TBSU Sejumlah mahasiswa USU dari Organisasi Teater ‘O’ yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Penyelamat Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) melakukan aksi menolak alih fungsi TBSU, serta menolak pengosongan TBSU bagi para seniman dan budayawan, Rabu (20/2). Aksi ini diawali dari kantor walikota Medan, gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan dan diakhiri di TBSU. Dalam aksi ini, massa berharap akan ada respon dari pemerintah terlebih Walikota Medan Rahudman yang dalam hal ini bertanggung jawab penuh pada pengosongan TBSU untuk para seniman dan budayawan. (Riska Aulia Sibuea) 9 Maret 2013

Bus Kampus USU

Pemilu FISIP

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Dua mahasiswa memasukkan surat suara Kelompok Aspirasi Mahasiswa (KAM) serta calon gubernur dan wakil gubernur periode 2013/2014 pada Pemilihan Umum (pemilu) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di pelataran parkir FISIP USU, Selasa (5/3). Pemilu ini berujung pada kemenangan KAM Bisnis dengan perolehan 329 suara dari 1.701 total suara. 7 Maret 2013

Pilgubsu Masih Diwarnai Golput SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Bus lintas USU tiba di halte depan Gelanggang Mahasiswa Jalan Universitas pintu satu USU, Kamis (14/3). Bus ini merupakan salah satu bagian proyek USU Asri dan mulai dioperasikan pada tanggal 9 Maret lalu.

Adanya masyarakat yang memilih menjadi golongan putih (golput) masih mewarnai Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013, Kamis (7/3) lalu. Masyarakat tersebut terkendala pada administrasi penduduk seperti tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) sehingga tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Ke depannya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Irham Buana Nasution berharap perbaikan sistem administrasi kependudukan seperti KTP elektronik menjadi solusi untuk mengurangi masyarakat yang tidak memiliki hak suara. “Setelah itu, tinggal menunggu kesadaran dari masyarakat sendiri untuk ikut menentukan siapa yang berhak menjadi gubernur,” ujarnya. (Sonya Citra Bratisca)


24 profil

SUARA USU, EDISI 91, MARET 2013

Prof Syahril Pasaribu

Kilas Langkah Sang Rektor Aktif berorganisasi sejak bangku kuliah hingga menduduki kursi nomor satu USU, sang dokter tak pernah kesampingkan pengabdian pada masyarakat. Ipak Ayu H Nurcaya

R

ambut gondrong dan setelan kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka menjadi gaya khas masa kuliahnya. Kepala kelinci yang sudah mati ia kenakan sebagai kalung favoritnya. Ialah Syahril Pasaribu, mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sumatera Utara (USU) 1971. Siapa sangka, 32 tahun kemudian ia dinobatkan menjadi orang nomor satu di kampus tersebut, dan juga seorang guru besar. Kala itu Prof Syahril berusia lima tahun. Ayahnya meninggal karena terserang kanker paru-paru pada usia 36 tahun. Tak ingin kejadian yang sama terulang pada anggota keluarganya, sang ibu bertekad menyekolahkan anakanaknya di bidang kedokteran. Akhir­nya keinginannya terwujud. Ketiga buah hatinya berhasil menamatkan studi dan meraih gelar sarjana kedokteran. Sempat gagal untuk mendapatkan bangku kuliah di FK USU, tak lantas menyurutkan semangat Prof Syahril untuk kembali mengulang tes. Ia mulai meng­ atur pola belajarnya sendiri di rumah. “Sebenarnya cita-cita saya jadi pelaut,” kenangnya sembari tertawa kecil. Semasa kuliah Prof Syahril tercatat aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FK USU, anggota bagian kesenian. Bahkan, grup vokal yang ia geluti pernah menjuarai lomba vokal group di Malaysia. Prof Syahril hanya butuh tujuh tahun untuk meluluskan kuliahnya. Bersama satu orang kawannya ia berhasil menjadi lulusan pertama di angkatannya kala itu. Usai menyelesaikan kuliahnya, Prof Syahril memutuskan untuk mempelajari jurusan Spesialis Anak di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Namun sebelumnya ia memutuskan membuka lembar

kehidupan baru dengan seorang gadis bernama Linda. Sama-sama berprofesi di bidang kedokteran, keduanya ditempatkan untuk bekerja di salah satu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di daerah Aceh Besar. “Selain mengabdi pada masyarakat di daerah itu saya juga mulai mendalami agama Islam,” katanya. Setelah tiga tahun di Aceh, Prof Syahril melanjutkan studi S2-nya. Ia lulus syarat tes dan mendapatkan beasiswa di Thailand. Dua tahun di sana, ia diminta kedutaan besar Indonesia di Thailand untuk mendirikan sebuah perkumpulan mahasiswa Indonesia yang bersekolah di sana. Tamat dari Thailand ia kembali ke Medan dan meneruskan studi Spesialis Anak sebagai angkatan pertama S3 Kedokteran di USU pada tahun 2004. *** Prof Syahril adalah sosok religius. Ilmu agama ini baru didalaminya saat berada di Aceh. Setiap malam selepas praktik di puskesmas, ia didatangi tokoh agama. Tak dinyana, akhirnya ia tak hanya mempelajari tapi juga mengajari agama dengan berkhotbah di mesjid. Linda mengungkapkan Prof Syahril memang orang yang haus akan ilmu. Jika ada orang lain yang tahu maka ia lebih ingin tahu lagi. Itu tidak berubah sejak dulu. Jiwa kepemimpinannya sudah muncul saat kuliah di Thailand. Ia mengumpulkan seluruh mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana. Kemudian mulai melakukan kegiatan yang menghasilkan uang. “Kami menjual kaos, gantungan kunci dan barangbarang lainnya untuk mahasiswa di sana, bahkan mahasiswa Thailand pun banyak yang berminat,” kenangnya. Tak hanya itu, Linda bilang Prof Syahril bukan pula orang yang pilih kasih dalam memberi. Sering ketika pasien yang kurang mampu datang, ia tetap menerima dengan ramah dan baik tanpa memperhitungkan bayaran yang semestinya. “Iya, saya dulu suka

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Biodata

Nama: Prof Dr dr Syahril Pasaribu DTM & H.MSc (CTM) SpA(K) Tempat, tanggal lahir: Sibolga, 10 Februari 1950 Pendidikan: TK Bhayangkari (1955-1957) Sekolah Rakyat (1957-1963) SMP Negeri 2 Medan (1963-1965) SMA Negeri 1 Medan (1966-1969) S1 Fakultas Kedokteran USU (1971) S2 Mahidol University , Bangkok, Thailand (1988) S3 Fakultas Kedokteran USU (2004) Penghargaan: Medika Award dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 1987.

barang-barang antik seperti keramikkeramik, nanti kadang pasien datang membawanya sebagai bayaran berobat,” kata Prof Syahril. Kini satu tempat tengah menanti

sang rektor. Tahun 2015 ia akan dilantik menjadi Presiden Ikatan Penyakit Tropis Dunia. Ia akan menjadi orang Indonesia pertama yang duduk di sana. IKLAN


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.