Tabloid SUARA USU Edisi 102

Page 1

EDISI

102

XX/APRIL 2015

Rp 3000 ISSN 1410-7384

SUARAUSU.CO

Mempertanyakan Mempertanyakan Publikasi Jurnal Ilmiah Publikasi Ilmiah

USU USU

PODJOK SUMUT SIMIN SIMBOL KEBERSAMAAN ORANG BATAK

RISET APA KABAR PEMA USU?


2 suara kita

A Redaksi

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

lepas Penanganan Tanggung-tanggungTerhadap Fakultas Bontot

wal Desember lalu, Rumah Sakit (RS) USU melakukan soft opening sebelum izin operasional 2014 berakhir. Kemudian manajemen RS USU mela-yangkan permohonan izin operasional tetap kepada Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan. Namun, RS USU belum lengkapi semua prasyarat. Pertama, surat keputusan (SK) penetapan klasifikasi kelas C oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) yang belum di ‘tangan’. Kedua, surat izin praktik (SIP) dokter spesialis, dari minimal tujuh dokter spesialis RS USU baru punya dua. Terakhir, surat ketetapan sebagai Unit Pelayanan Teknis Pemerintah yang baru dikeluarkan oleh USU. Padahal Prof Chairul Yoel, Direktur Utama katakan harusnya SIP dokter spesialis RS USU sudah rampung karena merupakan rumah sakit jejaring RS

suara redaksi Salam jurnalistik!

Setelah terbit edisi perdana, SUARA USU hadir untuk kali ke-dua di tahun ini. Kami sempurnakan tiap edisinya untuk Anda. Publikasi jurnal ilmiah di USU jadi topik menarik untuk dibahas di Laporan Utama mengingat target USU mencapai akreditasi tertinggi di 2019 dan publikasi jurnal ilmiah punya peranan di dalamnya. Rendahnya jumlah publikasi bukan hanya dari kualitas penelitian tapi juga dari civitas akademik yang enggan melaporkan publikasi yang dilakukan. Sisakan waktu sebentar untuk bahas salah satu aspek pencapaian akreditasi USU ini! Mengenal Cinta Kupu? Satu-satunya komunitas lupus di Medan dan Sumatera Utara untuk orang dengan lupus (odapus). Berdiri dengan niat

Umum H Adam Malik. Dinkes Kota Medan bilang baru berlaku kalau RS USU sudah menjadi RSP. Padahal, dalam undang-undang (UU) Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 37 Ayat 2 mengatakan SIP dokter atau dokter gigi diberikan paling banyak tiga tempat. Jika mengikuti apa yang dikatakan oleh Dinkes Kota Medan, masalah baru muncul lagi. RS USU masih mengantongi klasifikasi kelas C dan butuh minimal klasifikasi kelas B untuk menjadi rumah sakit pendidikan (RSP). Padahal RS USU beroperasi saja belum. Dana operasionalnya jelas saja belum. Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2/V/PB/2013 dan Nomor 38 Tahun 2013 Tentang RS Perguruan Tinggi Negeri menjadikan dana yang diberikan kepada RS USU hanya boleh digunakan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian bukan pelayanan. Alangkah harus jelinya USU memilah-milahnya.

Bagaimanapun ada baiknya USU dan pemerintah kota mengingat kembali untuk apa RS USU ini dibangun pertama kalinya. Sebagai tempat pendidikan, penelitian dan pelayanan mahasiswa USU khususnya program studi keseha-tan. Ada baiknya USU dan pemerintah kota berpikir bersama-sama bagaimana menyelesaikan permasalahan ini. Tidak seperti saling melempar tanggung jawan dan pasrah dengan keadaan. Ada baiknya menjadikan RS perguruan tinggi negeri lain yang sudah sukses sebagai panutan dan pembelajaran dalam menyiapkan RS USU. Hingga bulan ini, sudah lebih tiga tahun sejak seharusnya RS USU dapat beroperasi. Rasa-rasanya kita semua— pemerintah, universitas, dan civitas akademik— menginginkan hal yang sama, RS USU mulai beroperasi dan menjadi kebanggaan USU.

menjadi teman berbagi dan menolong odapus serta mengedukasi masyarakat umum mengenai bahayanya penyakit ini. SUARA USU hadirkan perjuangan mereka di Laporan Khusus. Rubrik Ragam hadir dengan isu terhangat di kampus. Setelah berakhirnya masa jabatan Prof SyahrilPasaribu kini digantikan oleh pejabat rektor. Pemilihan rektornya? Masih ancang-ancang. Lain cerita Rumah Sakit USU yang tak kunjung beroperasi karena terkendala izin operasional tetap dan dana operasional. Kongres mahasiswa untuk membahas tata laksana ormawa (TLO) diambil alih oleh majelis permusyawaratan mahasiswa universitas (MPMU), perkembangannya masih jauh sekali. Gedung Balai Kota Lama Medan mengisi halaman Podjok Sumut. Bangunan kota tua ini masih berdiri kokoh meskipun sudah di bangun sejak 1918. Kini, bangunan bersejarah ini diali-

hfungsikan menjadi bagian hotel yang dibangun tepat di belakangnya. Jangan lewatkan. Kami kupas budaya Batak yaitu simin. Simin merupakan tugu yang dibangun dengan tujuan menjadi rumah peristirahatan terakhir keluarga yang sudah meninggal. Namun, tak semua orang bisa dimasukkan ke sana. Simin juga digambarkan sebagai kebersamaan orang batak. Terakhir, kami kenalkan Desi Trynanda Ginting, mahasiswa Ilmu Komunikasi USU 2011 yang memilih Tari Melayu untuk kenalkan Sumatera Utara. Tutup tabloid edisi ini dengan sempatkan membacanya di Pro�il! Sekian pengantar dari Redaksi SUARA USU. Semoga bermanfaat dan membawa perubahan untuk kampus USU. Sampai ketemu dan selamat membaca! (Redaksi)

suara pembaca Geng Motor Banyak geng motor masuk USU malam hari. Kampus sebagai tempat pendidikan harusnya aman, agar civitas akademik USU merasa aman. Satuan pengamanan (satpam) harus waspada terhadap kelompok mencurigakan yang masuk ke USU. M Imanuddin Kandias SaraanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013

Jadwal Kuliah FKM

Jadwal kuliah suka diganti tibatiba karena dosen mengajar di waktu yang sama untuk kelas lain. Harusnya diperhatikan supaya jadwalnya tidak berbenturan. Inrika Rainisah Saragih Fakultas Kesehatan Masyarakat

suara sumbang USU Punya Pejabat Rektor Baik-baik hingga ada yang definitif ya, Pak!

Ralat

Ahlli Hukum Tata Negara dalam Main Story I Laporan Utama adalah Kasman Siburian. Byline dalam tulisan KKNPPM Cerita Baru Tri Dharma Perguruan Tinggi ke-Tiga rubrik Ragam adalah Shella Rafiqah Ully. Foto ke-empat Rubrik Kata Kita Tabloid Edisi 101 adalah Eka Putra Setiawan, Fakultas Ilmu budaya (FIB) 2013 dan foto kelima adalah Fadillah Eka Prayogi, FIB 2011.

konten

TEMU RAMAH 2015 | Suasana Temu Ramah Pers Mahasiswa SUARA USU 2015, Minggu (21/3). Temu ramah merupakan acara tahunan yang diselenggarakan sebagai ajang silaturahmi dan memperkenalkan kepengurusan yang baru kepada alumni SUARA USU. AMANDA HIDAYAT | SUARA USU

suara kita laporan utama opini dialog ragam galeri foto podjok sumut laporan khusus mozaik potret budaya riset resensi iklan momentum profil

2-3 4-7 8 9 10-11 12 13 14-15 16-17 18 19 20 21-22 23 24


SUARA USU, EDISI 102, april 2015 ­

­

kata kita

suara kita 3

Pro Kontra

Pengemis dan Pengamen Masuk Kampus

T

ak hanya pedagang kaki lima (PKL) saja yang ada di USU, pengemis dan pengamen pun banyak beredar. Di kantin, di taman, di sekitar gedung perpustakaan, pinggir jalan hingga di gedung-gedung kampus sering kali mereka dijumpai. Bahkan sepertinya, USU sudah dijadikan lahan sumber mata pencaharian bagi pengemis dan pengamen. Bila bicara soal aturan, tak ada yang melarang ‘kegiatan’ mereka karena USU tak pernah keluarkan pelarangan keduanya. Beda hal dengan pelarangan PKL. Lantas, apa komentar mahasiswa tentang hal ini? DESAIN DAN ILUSTRASISAMPUL: YANTI NURAYA SITUMORANG

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Wakil Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Lazuardi Pratama Sekretaris Umum: Shella Rafiqah Ully Bendahara Umum: Rati Handayani Pemimpin Redaksi: Sri Wahyuni Fatmawati P Sekretaris Redaksi: Yanti Nuraya Situmorang Redaktur Pelaksana: Erista Marito Oktavia Siregar Koordinator Online: Tantry Ika Adriati Redaktur Cetak: Febri Rahmania Arman Maulana Manurung Redaktur Foto: Wenty Tambunan Redaktur Artistik: Anggun Dwi Nursitha Redaktur Online: Yulien Lovenny Ester Gultom Reporter: Dewi Annisa Putri, Nurhanifah Fotografer: Ananda Fakhreza Lubis Desainer Grafis: Yanti Nuraya Situmorang Ilustrator: Yulien Lovenny Ester Gultom, Arman Maulana Manurung Pemimpin Perusahaan: Ika Putri Agustini Saragih Manajer Iklan dan Promosi: Amelia Ramadhani Manajer Produksi dan Sirkulasi: Indra P Nasution Kepala Litbang: Fredick Broven Ekayanta Ginting Sekretaris Litbang: Mutia Aisa Rahmi Koordinator Pengembang­an SDM: Amanda Hidayat Koordinator Kepustakaan: Sofiah Koordinator Riset: Santi Herlina

Staf Ahli: Tikwan Raya Siregar, Liston Aqurat Damanik, Eka Dalanta, Firdha Yuni Gustia, Richka Hapriyani, Bania Cahya Dewi

ISSN: No. 1410-7384 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 E-mail: suarausu_persma@yahoo.com Situs: www.suarausu.co Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan) Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Momentum (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom Informasi Pemasangan Iklan dan Berlanggan­an, Hubungi: 085762303896, 085763407464 Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email suarausutabloid@ymail.com

Teks dan foto: Febri Rahmania

Abdul Saikum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2013

Pengamen dan pengemis itu kan minta uang sama mahasiswa, masa minta ke mahasiswa yang notabene masih dikasih orang tua. Menurut saya, satpam (satuan pengamanan) harus menertibkan pengemis dan pengamen yang masuk wilayah kampus. Karena ada-nya mereka sangat mengganggu pemandangan, apalagi yang di pinggir-pinggir jalan.

Septika Anggi Fakultas Kesehatan Masyarakat 2014 Harusnya ada peraturan dari pihak kampus yang melarang pengemis dan pengamen bero-perasi di kampus. Karena kampus harusnya jadi tempat yang kondusif untuk berkegiatan terutama belajar. Kalau bebas masuk ya enggak kondusif. Mengganggu ketertiban, misalnya pas lagi makan atau belajar di kampus tibatiba datang pengamen ribut, datang pengemis minta-minta.

Muhammad Habibie Almy Fakultas Psikologi 2011 Mereka berkeliaran di wilayah kampus sebenarnya enggak mengganggu. Jadi ganggu kalau mereka masuk ke tempattempat penting. Misal, masuk kelas dan masuk musala, saya pikir satpam harus perhatikan hal ini. Kalau soal mereka minta-minta, atau ngamen, ya biarkan saja selama tidak ada gangguan berarti.

Erwin M Napitupulu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2012 Harusnya mereka enggak ada di kampus, apalagi pengemis dan pengamen yang anak-anak kecil. Tapi ya gimana, bukan salah mereka juga mereka mengemis atau ngamen. Selama enggak mengganggu, saya pikir nggak apa-apa. Kalau di undang-undang kan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Kenyataannya enggak dipedulikan pemerintah, masa kita mahasiswa ikutikutan enggak peduli.

ILUSTRASI : YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU

Junita Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi 2010 Bagaimanapun harus ada peraturan, supaya mereka enggak bebas saja masuk ke wilayah kampus. Seperti kantin perpustakaan misalnya, kegiatan mereka tuh sudah kayak terorganisir. Kalau bisa dibuat peraturan seperti di Jakarta, dilarang kasih duit ke pengemis dan pengamen. Karena semakin dibiarkan, semakin dikasih, semakin mereka marajalela. Pengamen dan pengemis yang datang ituitu saja setiap hari, sudah jadi profesi.


4

Laporan utama

Mempertanyakan Publikasi Jurnal Ilmiah USU SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Meneliti Tak Meneliti, Publikasi Jurnal Sepi

JURNAL USU | Halaman website Jurnal USU yang berisi jurnal ilmiah dari tiap departemen dan fakultas di USU, Minggu (5/4). Jurnal USU merupakan media publikasi penelitian milik USU, namun hingga sekarang belum terakreditasi. SRI WAHYUNI FATMAWATI P | SUARA USU

Koordinator Liputan: Amanda Hidayat Reporter: Erista Marito Oktavia Siregar, Lazuardi Pratama, Shella Rafiqah Ully, dan Amanda Hidayat Amanda Hidayat

Jarang tak jarang meneliti, sama hampanya kalau belum publikasi.

P

ublikasi adalah tahap terakhir dalam menulis karya tulis ilmiah sebuah penelitian. Sebelum mempublikasikan karyanya, peneliti harus mampu menyuarakan pengetahuannya, memecahkan masalah dengan membaca keadaan sekitar, menggambarkan masalah dari pelbagai sudut pandang lantas menuangkannya dalam bentuk tulisan. Menyusun karya ilmiah yang berbobot tentu butuh waktu, tenaga, pikiran dan �isik yang ekstra. Misalnya, membaca sebanyak mungkin literatur terkait dengan penulisan karya tulis ilmiah. Ini dilakukan agar tulisan yang dihasilkan memiliki kupasan yang komperehensif dan mendalam. Hal lain yang

harus diperhatikan penulis adalah aksesibilitas karya tulisnya. Hal ini dijelaskan Harmein Nasution, Kepala Lembaga Penelitian (LP) USU, Sabtu (4/4) lalu di Gedung LP USU. *** Adalah Rahayu Lubis, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU bercerita saat ia kuliah strata tiga (S-3) di Kuala Lumpur, Malaysia 2012 lalu. Kala itu ia sedang bercengkerama dengan salah seorang teman. Rahayu mengingat-ingat percakapan dengan temannya itu. Kira-kira begini: “Indonesia enggak pernah meneliti tentang kanker ya?” teman Rahayu bertanya padanya. “Pernah,” jawab Rahayu. “Lho, kok enggak ada publikasinya?” tanya temannya lagi. “Oh, Indonesia itu sering meneliti, tentang kanker juga banyak, tapi jarang publikasi saja,” jawab Rahayu. Itu cerita sebelum Rahayu berhasil publikasikan karya ilmiahnya dua kali di salah

satu jurnal internasional milik Amerika Serikat; Preventive Medicine Journal Elsevier. Awalnya karena tuntutan studi, karya ilmiah Rahayu berhasil diterbitkan. Tak seperti perguruan tinggi di Indonesia yang minim publikasi, ia temui sebaliknya di sana. Rahayu menuturkan betapa pentingnya publikasi karya ilmiah. Menurutnya, publikasi juga membantu eksistensi sebuah negara di dunia internasional. Menurutnya, penelitian yang dilakukan di Indonesia cukup banyak. Berkaca dari data yang dihimpun Lembaga Penelitian (LP) USU, staf pengajar USU melakukan 882 penelitian sepanjang 2014. “Kalau tidak dipublikasi mana mungkin orang bisa tahu,” ujar Rahayu. Karena itu juga, Rahayu mengatakan Malaysia unggul dalam publikasi dibanding Indonesia. “Malaysia itu diare saja dipublikasi.” kata Rahayu. Rahayu ceritakan proses publikasi karya ilmiahnya

pada jurnal internasional tersebut. Kala itu ada empat orang yang bertindak sebagai asesor tulisannya. Sempat beberapa kali dikembalikan untuk diperbaiki. Bahkan, sempat tulisannya ditolak di sebuah publikasi suatu negara. Namun, ia tak putus asa dan terus perbaiki kualitas tulisannya. Sampai akhirnya, tulisannya diterima. Setelah diterima, Rahayu tinggal selesaikan pembayarannya. “Bisa dua hingga tiga juta rupiah,” terangnya. Lanjut, ia mengkritisi publikasi di USU, khususnya di FKM. “Masih sangat minim,” katanya. Menurut Rahayu, ini sebab tidak adanya kemauan dari diri sendiri untuk menulis. Padahal penelitian oleh staf pengajar FKM dari data LP sebanyak dua puluh satu penelitian sepanjang 2014. Selain itu, kendala lain adalah pembiayaan. Ia tak pungkiri, tak jarang rekannya sesama dosen mengeluhkan masalah dana. “Kadang teman saya bilang, ngapain publikasi, sudah nulisnya capek bayar lagi,”

ujar Rahayu menirukan. Rahayu berharap, semangat menulis harus ditumbukan ke semua orang. Bukan hanya dosen, tapi mahasiswa juga. Kalau menulis jadi kewajiban, menurut Rahayu bisa menjadi solusi sehingga FKM atau USU bahkan Indonesia bisa banyak publikasinya. Karena ia pun tak pungkiri, awal ia publikasi adalah karena tuntutan saat menempuh pendidikan. Kalau biaya menurutnya tak jadi kendala bila seorang peneliti memang ingin karyanya dapat diakses dan dipercaya. Apalagi kalau publikasinya di jurnal terakreditasi. Ditambahkan Rahayu, adanya surat edaran dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) kepada rektor/ketua/ direktur perguruan tinggi negeri/perguruan tinggi swasta (PTN/PTS) di seluruh Indonesia. Bahwa bagi lulusan setelah Agustus 2012, publikasi makalah jadi syarat kelulusan. Di mana untuk program


Mempertanyakan Publikasi Jurnal Ilmiah USU SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015 S-1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Untuk program S-2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional terutama yang terakreditasi Dikti, dan untuk program S-3 harus ada makalah yang sudah diterima terbit di jurnal internasional. Ia berharap hal tersebut bisa menumbuhkan niat menulis hingga akhirnya menulis menjadi kebutuhan, bukan tuntutan studi saja meskipun awalnya begitu. “Menulis itu harus dibiasakan, kalau tidak bisa ya harus diwajibkan,” katanya Ia bercerita susahnya menulis sebuah karya, “bisa sampai bertahun-tahun,” tambahnya. Rahayu katakan proses yang lama adalah saat tulisan dikembalikan ke si pengirim, kemudian diperbaiki, dikembalikan lagi dan diperbaiki lagi, berulangulang. “Kalau sudah paham dan pernah menulis, sebenarnya untuk menulis lagi sudah mudah. Banyakin latihan dan baca referensi saja,” katanya. Bila Rahayu terkendala biaya, maka Salmiah, Ketua Program Studi (Prodi) Agribisnis Fakultas Pertanian punya cerita berbeda. Barubaru ini ia dapat tawaran mempublikasikan hasil penilitiannya di Jurnal Agribisnis Indonesia ke luaran Departemen Agribisnis Fakultas Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia sendiri belum bisa sanggupi tawaran tersebut sebab terkendala waktu. Menurutnya, waktu juga yang sebabkan civitas akademik USU jarang lakukan penelitian, apa lagi sampai publikasi yang tentu prosesnya cukup memakan waktu. “Terkendala waktu,” ulangnya. Menyangkut publikasi jurnal, Salmiah jelaskan prodi Agribisnis miliki sebuah jurnal ilmiah, namun belum terakreditasi Dikti.

laporan utama

5

PLANG NAMA | Plang nama Gedung Lembaga Penelitian (LP) di USU, Minggu (5/4). LP merupakan lembaga di USU yang mengurusi penelitian dan mendata publikasi penelitian yang dilakukan civitas akademik USU.

SRI WAHYUNI FATMAWATI P | SUARA USU

“Cuma sebatas punya ISSN (International Standard Serial Number -red) saja,” terangnya. Jurnal ilmiah ini diberi nama Cerres. Gaungnya hanya sebatas prodi dan dosen Agribisnis, sesekali dibeli mahasiswa yang butuh referensi kala mengerjakan tugas akhir. Cerres pertama kali diterbitkan tahun 2011 dan konsisten terbit dua kali pertahun sampai saat ini. “Edisi terakhir Oktober 2014 dan akan kembali terbit April tahun ini,” paparnya. Kontennya yakni tesis dan hasil penelitian mandiri atau hibah yang dilakukan dosen. Ia bilang Cerres tidak menampung hasil penelitian mahasiswa S-1 sebab jumlah mahasiswanya yang banyak. “Untuk mereka kita uploadkan ke e-journal Agribisnis USU.” Salmiah tak terlalu masalahkan Cerres yang belum terakreditasi. Pun ia tahu ini berpengaruh pada akreditasi prodi. Namun, dengan keberadaan Cerres sekarang ia rasa sudah cukup

SRI WAHYUNI FATMAWATI P | SUARA USU

SKRIPSI| Skripsi mahasiswa strata 1 (S-1) sebagai prasyarat tugas akhir di tiap perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta, Sabtu (4/4). Skripsi merupakan bentuk penelitian yang dilakukan namun belum dipublikasikan.

dulu. Paling tidak saat ini prodinya sudah punya wadah untuk publikasi, meskipun kualitasnya belum sampai ke tahap nasional. Karena menurutnya, bagaimanapun penelitian yang dilakukan tak akan berguna jika tak dipublikasikan. *** Tak jauh beda dengan Agribisnis, di tingkat fakultas ada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang memberikan kesempatan publikasi untuk tiap skripsi mahasiswanya. Sarana publikasi ini dimiiki setiap departemen di FMIPA. Sudah lima tahun umurnya sejak dibuat 2010 lalu dengan nama Saintia. Tapi sarana publikasi ini juga belum terakreditasi. Mengapa? Sutarman, Dekan FMIPA menjawab tidak ada biaya. Fakultas perlu menggelontorkan banyak duit untuk mengelola jurnal yang terakreditasi. Tidak dalam waktu dekat ini. “Mungkin dekan selanjutnya,” ujar Sutarman diiringi tawa. Berbeda dengan sarana publikasinya, FMIPA malah menunjukkan tajinya di kancah nasional. Jumlah penelitian dari tiap bidang keilmuan di FMIPA berasal dari penelitian staf pengajar FMIPA. Penelitian-penelitian yang selesai tersebut diterbitkan ke jurnal ilmiah milik asosiasi masing-masing bidang ilmu yang cakupannya nasional. Misalnya, penelitian-penelitian tentang Matematika diterbitkan ke Indonesian Mathematical Society (IndoMS) dan Kimia diterbitkan ke Himpunan Kimia Indonesia (HKI). Sutarman bilang,

Departemen Biologi jumlah penelitiannya merupakan terbanyak dari tahun ke tahun. Melebihi bidang lain seperti Matematika dan Kimia. Fisika yang paling sedikit. “Mungkin karena Fisika sulit, penelitiannya mahal.” Dalam beberapa hal, Sutarman sepakat dengan Rahayu, bahwa bukan sedikitnya penelitian yang membuat publikasi minim. Bukan pula biaya. Ia juga benarkan pernyataan Salmiah bahwa terkadang waktu memang jadi kendala. Hindun Pasaribu, Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Kealumnian (BKK) ini menjawab cepat pertanyaan SUARA USU ihwal antusiasme mahasiswa melakukan penelitian. “Kamu lihat saja,” katanya sambil menunjukkan data yang dimiliki BKK tentang jumlah karya ilmiah mahasiswa. Tercantum tahun 2013 ada 900 karya ilmiah mahasiswa lewat berbagai jalur, di antaranya jalur mahasiswa berprestasi (Mawapres), Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNas), atau jalur swasta seperti lomba karya ilmiah lain. Sementara tahun lalu ada peningkatan: 1014 karya ilmiah. Khusus ke Dirjen Dikti, tercatat 268 karya ilmiah yang dimasukkan di tahun 2014. Untuk tahun ini, BKK menargetkan 500 karya ilmiah ke Dikti. Namun meningkatnya kuantitas ini ternyata tak bisa dibanggakan. Menurut Hindun, harusnya bisa lebih banyak karena tahun lalu adalah tahun perdana diberlakukannya proposal

karya ilmiah sebagai syarat mendapat beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA). Untuk tahun ini, BKK menggenjot kuantitas penelitian mahasiswa dengan menaikkan target penerima beasiswa PPA sebanyak 1100 mahasiswa. Sementara itu USU sendiri tidak punya sarana publikasi karya ilmiah mahasiswa. Hindun bilang belum terpikir untuk membuat sarana seperti itu. Alasannya praktis: peminat dari mahasiswa sangat sedikit. “Yang dapat dana (dana penelitian – red) saja enggak antusias,” katanya. Harmein punya pandangan sendiri terkait penelitian berujung publikasi jurnal ilmia di USU. Ia tak pungkiri antusiasme civitas akademik publikasi penelitian di USU tak bisa dikatakan besar. Namun, memang meningkat dari tahun ketahun. “Jadi kalau dari 882 total penelitian dalam satu tahun itu tidak juga bisa dikatakan sedikit, meski bisa lebih dari itu,” katanya. Banyak pun penelitian yang dilakukan, tetap saja publikasi yang dilakukan tak terdata oleh USU. Sebenarnya LP sudah mewajibkan peneliti agar melaporkan apabila melakukan publikasi karya ilmiah. Tak sampai hitungan lima persen dari keseluruhan yang melaporkan publikasinya. Apalagi, Jurnal USU juga belum terakreditasi, banyak peneliti yang memilih publikasi di luar USU. “Susah nge-datanya,” sahutnya.


6 laporan utama Mempertanyakan Publikasi Jurnal Ilmiah SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Belum akreditasi, Pak.

Kenapa ini enggak diterbitkan secara nasional?

ILUSTRASI : ARMAN MAULANA MANURUNG | SUARA USU

Nasib Publikasi Jurnal Ilmiah di USU

Koordinator Liputan: Amelia Ramadhani Reporter: Fredick Broven Ekayanta Ginting, Yanti Nuraya Situmorang, Anggun Dwi Nursitha, dan Amelia Ramadhani. Amelia Ramadhani

Jika sudah punya nama, kualitas takkan diragukan lagi. Nama itulah yang tak dimiliki USU hingga akhirnya dipertanyakan.

P

enelitian ilmiah akademisi USU sudah tersebar di mana-mana, blog pribadi, jurnal ilmiah online, maupun jurnal ilmiah yang dicetak. Banyak juga yang mengisi jurnal ilmiah di universitas lain, dalam atau luar negeri. Namun jarang yang mempublikasikan di jurnal tingkat universitas, jurnal USU. Alasannya, tak terakreditasi. Prof Zulkifli Nasution, Wakil Rektor (WR) I berkomentar panjang lebar tentang publikasi yang ia dan rekannya lakukan. Ia merupakan salah satu akademisi USU yang rajin publikasikan karyanya di universitas lain. Ia menulis setidaknya satu penelitian setiap tahun bahkan dua. “Ini karya saya yang dimuat di salah satu universitas di Singapura,” ujarnya. Lebih dari tiga ribu klik jumlahnya, kirakira sebanyak itu pulalah ia dijadikan referensi. Prof Zulkifli bercerita publikasi penelitian akademisi USU tak difasilitasi universitas. Peneliti boleh lakukan publikasi di mana saja mereka mau. “Kita sediakan LP (lembaga penelitian –red) untuk pembimbing saat meneliti,” ujarnya. Banyak hal yang disayangkan olehnya

melihat hasil penelitian yang ada. Kesulitan biaya penelitian membuat hasilnya tak begitu baik. Pun, belum semua orang paham pentingnya melakukan penelitian dan dipublikasikan.“Meneliti kalau mau naik pangkat saja.” Syahron Lubis, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) benarkan perihal publikasi secara mandiri. Setiap tahun ia lakukan satu hingga dua penelitian dan publikasi sendiri di jurnal cetak atau jurnal online dalam atau luar negeri. Pun ia tak pernah publikasi di jurnal milik FIB atau USU. Kebanyakan, ia publikasi di jurnal ilmiah universitas luar, Universitas Negeri Malang contohnya. “Makin jauh publikasi makin bagus sebenarnya,” tambah Syahron. Selain itu jurnal ilmiah tingkat fakultas sudah tak ada lagi karena tak ada pengasuh. Sedangkan jurnal ilmiah tingkat universitas masih belum terakreditasi. Syahron tak kesulitan biaya penelitian maupun publikasi. Setiap tahun ia dapatkan biaya penelitian dari Direktorat Jenderal (DiTjen) Pendidikan Tinggi (Dikti). Ia dapatkan Rp42,5 juta pada 2013 silam dan untuk penelitian yang akan dilakukannya pada 2015 dan 2016 mendapat dana sebesar Rp100 juta. Publikasi di jurnal internasional membutuhkan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan publikasi di dalam negeri. “Butuh 300 dolar di Kanada dan 2 hingga 3 juta di dalam negeri,” jelasnya. Berdasarkan peraturan

Ditjen Dikti, proses akreditasi jurnal ilmiah dilihat dari intensitas penerbitan karya. Syaratnya, jurnal ilmiah yang terakreditasi harus terbit dua kali dalam satu tahun dan minimal lima artikel tiap terbit. Prof Zulkifli sampaikan biasanya akademisi USU melakukan penelitian sebagai syarat pengajuan kenaikan pangkat. Prof Zulkifli apresiasi akademisi USU yang melakukan publikasi karya di luar USU. Selama ia mencantumkan dirinya sebagai akademisi USU akan berdampak baik untuk promosi USU. Meskipun publikasi secara mandiri diperbolehkan, akademisi USU yang melakukannya kerap tak melaporkan ke USU hingga bisa didata untuk keperluan pengajuan akreditasi universitas. Himsar Ambarita, anggota Tim Penyusun Rencana Strategis (Renstra) 2015-2019 USU sampaikan dalam Renstra USU terdapat target berupa peningkatan jumlah penelitian dan publikasi di jurnal nasional terakreditasi dan internasional bereputasi. Cita-cita USU lima tahun ke depan. Dipaparkan USU harus membuat kebijakan sendiri sehingga mendorong peningkatan jumlah publikasi. USU juga harus melakukan penguatan kelembagaan sehingga dapat memfasilitasi dan membiayai perolehan paten dan hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Himsar coba tawarkan beberapa solusi nyata. Pertama, USU harus

membentuk tim khusus yang fokus mengurusi jurnal ilmiah di USU, mulai pembuatan hingga publikasi. Ini perlu agar ada yang memantau jurnal ilmiah di USU secara khusus. Pun, ia sarankan pemberian penghargaan untuk penelitian terbaik yang dipublikasi di Jurnal USU, peringkatnya disusun oleh tim tersebut. Sepuluh juta rupiah diberikan untuk penelitian terbaik pertama dan tujuh juta rupiah untuk terbaik dua. Penghargaan dimaksudkan agar akademisi USU lebih tertarik melakukan penelitian hingga publikasi jurnal ilmiah di USU. Kedua, perlu adanya evaluasi jurnal ilmiah yang sudah dipublikasi USU untuk perbaikan publikasi jurnal ilmiah ke depannya. Terakhir, ia sarankan agar USU mendaftarkan Jurnal USU ke Scopus, badan

yang menginventariskan jurnal ilmiah di seluruh dunia untuk memperingkat sebuah universitas di internasional. Ternyata Fakultas Keperawatan (FKep) sudah lakukan lebih dahulu. Departemen sediakan sepuluh juta rupiah untuk satu kali penelitian. Namun karena kurangnya sumber daya manusia dan minimnya staf pengajar mengakibatkan dosen jarang melakukan penelitian. Menurut Dekan FKep, Dedi Ardinata, masalah yang dihadapi dalam publikasi jurnal ilmiah di FKep adalah melakukan penelitian secara mandiri. Meneliti secara mandiri bukan solusi yang baik untuk meningkatkan jumlah publikasi hasil karya ilmiah. “Kalau sendiri-sendiri sampai berjenggot pun tak akan bisa,” tambahnya. Solusi yang baik menurutnya adalah

| Poin penelitian yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) USU 2015-2019 dalam rangka peningkatan akreditasi universitas. Sampai saat ini USU belum ditempatkan dalam kategori penelitian mandiri sebab budaya meneliti yang masih rendah. BUDAYA MENULIS

FOTO : YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU


Mempertanyakan Publikasi Jurnal Ilmiah laporan utama 7 SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015 Syarat Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah Memiliki ISSN; elektronik (e-ISSN) dan atau cetak (p-ISSN).

Mencantumkan etika publikasi (publication ethics statement).

| Tampilan jurnal online Fakultas Teknik Universitas Andalas, Minggu (5/4). Jurnal online Fakultas Teknik Universitas Andalas sudah mendapat akreditasi nasional dan menerbitkan minimal enam artikel per tahun. TERAKREDITASI NASIONAL

Bersifat ilmiah.

FOTO : YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU

membentuk kerja sama dengan universitas lain. Misalkan lima universitas bergabung dalam satu grup penelitian. Masingmasing mengirimkan seorang penguji barulah diterbitkan di universitas masing-masing. Cara ini akan menaikkan nama dari universitas yang bergabung. Namun perlu komitmen yang teguh dari masingmasing universitas yang tergabung. Ia bercerita, sulit untuk mewujudkan sebuah jurnal ilmiah yang mendapatkan akreditasi nasional. Jurnal online FKep, Rufaidah, contohnya. Tak kunjung dapatkan akreditasi, menjadikan akademisi FKep lebih memilih publikasi di luar. Dedi sampaikan standar jurnal tiap kali terbit adalah jurnal dicetak sekitar dua hingga tiga ratus eksemplar. “Dari mana dananya?” sambungnya. Apalagi, jumlah eksemplar tiap kali diterbitkan ditentukan oleh DiTjen Dikti. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) sama sekali tak ada anggaran khusus untuk mendorong akademisinya melakukan penelitian. Hanya mengandalkan LP sebagai sarana penelitian. Sutarman, Dekan FMIPA, bilang Saintia, jurnal ilmiah online FIMPA diisi dengan hasil penelitian mahasiswa berupa skripsi atau tugas akhir. Sehingga kualitas artikel yang dimuat pun jauh dari standar akreditasi Ditjen Dikti. Ditambah kurangnya pendanaan, fasilitas, dan sumber daya manusia membuat

Saintia tak berkembang. Apalagi dosen di FMIPA tergabung dengan asosiasi dosen se-Indonesia dan melakukan penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah asosiasi tersebut. “Entah kapan Saintia ini terakreditasi,” keluhnya. *** Universitas Andalas (Unand) miliki kebijakan khusus untuk tingkatkan minat meneliti mahasiswa juga dosen. Seluruh mahasiswa program beasiswa pendidikan bagi mahasiswa berprestasi (bidikmisi) diwajibkan untuk melakukan penelitian yang disebut dengan program kreativitas mahasiswa (PKM). Setiap mahasiswa yang lulus seleksi akan dibiayai dan difasilitasi pembimbing oleh fakultas. Mahasiswa S-2 dan S3 diwajibkan melakukan penelitian setiap tahun. Kemudian mahasiswa wajib mempublikasikan artikelnya di jurnal ilmiah fakultas masing-masing atau di luar universitas. Sebelum kelulusan mahasiswa harus menyerahkan bukti publikasi. “Itu syarat kelulusannya,” kata Febrin Annas, Wakil Rektor I Unand. Universitas juga berikan biaya untuk penelitian dosen sebesar Rp6 juta untuk satu penelitian setiap tahunnya. Kemudian jika karya ilmiahnya terbit di jurnal ilmiah internasional maka Unand memberikan sepuluh juta rupiah sebagai penghargaan. Tingginya minat meneliti sangat berpengaruh terhadap publikasi jurnal secara nasional. “Fakultas

Teknik Unand mampu menerbitkan enam artikel setiap tiga bulan sekali,” tuturnya. Jurnal ilmiah di mereka sudah mendapat akreditasi nasional. Dengan sedemikian hal yang dipersiapkan Unand, ternyata berdampak pada mahasiswanya. Afifah Septika Nefri. Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unand 2013 mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh fakultas. Ia cerita ada empat tim dari temanteman sekampusnya yang mendapat biaya penelitian yang ditangung oleh universitas. Icha jelaskan proses penelitian akan dibimbing langsung oleh beberapa dosen. Dalam melakukan penelitian, universitas memberikan anggaran sebanyak Rp11 juta untuk satu penelitian. Sedangkan dari fakultas memberi Rp150 ribu sebagai ganti uang mencetak proposal kepada setiap peneliti. Untuk publikasi, artikel mahasiswa akan dimuat di jurnal ilmiah online FKM, j u r n a l . f k m . u n a n d . a c . i d . Sedangkan untuk jurnal ilmiah dalam bentuk cetak dicetak di pers mahasiswa FKM. Tapi FKM lebih fokus publikasi online daripada dalam bentuk cetak. “Lumayan update, dua kali terbit dalam satu tahun,” ujar Icha. Menurut Icha, partisipasi mahasiswa masih kurang. Hanya mahasiswa yang melanjutkan S-2 atau yang mengambill gelar profesor saja yang meneliti. “Mungkin kurang sosialisasi,” sahutnya.

Telah terbit paling sedikit 2 tahun terhitung mulai pengajuan akreditasi.

Paling sedikit 2 kali dalam setahun.

Jumlah minimal 5 artikel per penerbitan, kecuali jika berbentuk buku.

Tercantum dalam lembaga pengindeks nasional.

Masa Berlaku A. Berlaku lima tahun untuk terbitan berkala. B. Ditjen Dikti dapat mencabut atau menurunkan predikat akreditasi apabila terjadi ketidaksesuaian dengan pedoman akreditasi terbitan berkala ilmiah.

C. Wajib mencantumkan tanggal penetapan dan tanggal akhir masa berlaku akreditasi di laman dan atau halaman muka terbitan berkala ilmiah. Sumber: Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. (Litbang)


8 opini

SUARA USU, EDISI 102 APRIL 2015

Kebijakan di Ujung Tanduk Mujahid Widian Saragih Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2011

P

emerintahan JokowiJusuf Kalla mengeluarkan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Naik sebesar Rp500 per 29 Maret 2015 untuk jenis premium dan solar. Ini bukan yang pertama, terhitung sudah empat kali harga BBM naik turun sejak presiden baru berganti. Rajinnya pemerintah merevisi harga BBM merupakan imbas dari pemangkasan subsidi BBM. Pemerintah memangkas subsidi BBM pada 2015 sebesar Rp195 triliun atau 70,6 persen dari dana pagu Rp276 triliun di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Alokasi belanja di rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2015 menjadi Rp81 triliun. Alokasi dan subsidi difungsikan untuk mendukung p e m b i a y a a n perusahaan negara, lembaga pemerintahan dan pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis alias menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai kemampuan negara. Subsidi energi yang sedianya disalurkan melalui perusahaan atau lembaga untuk menyediakan

dan mendistribusikan BBM sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat. Dengan dipangkasnya subsidi, pemerintah seakan-akan lepas tangan atas kewajibannya menyediakan dana untuk memenuhi hajat hidup masyarakat Indonesia. Diperburuk dengan diberlakukannya revisi peraturan menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 39 Tahun 2014

ILUSTRASI : YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM

SURAT DAN PENDAPAT Jalan Universitas No 32B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara suarausutabloid@ymail.com suarausuonline@ymail.com Pers Mahasiswa SUARA USU

@SUARAUSU

087867237360 @SUARAUSU

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksimal 3500-7000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.

Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM. Sebelum direvisi, Pasal 2 Ayat 2 menyatakan bahwa penetapan harga solar berdasarkan rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar rupiah terhadap dolar menyesuaikan dengan �luktuasi harga minyak dunia. Setelah direvisi berubah menjadi penetapan harga yang sebelumnya tiap sebulan sekali menjadi sekali dua minggu. Pemerintah menilai revisi ini merupakan upaya untuk membantu masyarakat dengan menggunakan logika fleksibilitas bahwa jika harga BBM turun maka harga barang dan jasa juga turun, pun sebaliknya. Dasar revisi permen tidak terlepas dari naik turunnya harga minyak dunia. Tak masuk apabila pemerintah memberlakukan revisi permen sementara harga minyak dunia justru sedang turun. Ini terbukti meskipun tren harga minyak dunia sempat mencapai titik terendah dalam enam tahun terakhir, yakni sekitar 45 US$ per barrel pada Januari, tetapi kembali naik ke kisaran 50 US$ per barrel. Ini membuktikan harga minyak dunia sangat tidak stabil sehingga mekanisme penetapan harga BBM sangat digantungkan pada mekanisme pasar dalam rentang waktu yang sangat singkat. Imbasnya, tentu saja kena masyarakat. Pemerintah—Jokowi dan kawankawan—harusnya jeli dalam melihat potensi BBM sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui mengingat perannya sangat vital dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tak adanya konsistensi dalam menetapkan harga BBM tentu dapat memicu keresahan di kalangan masyarakat. Harus diakui masyarakat Indonesia ‘kaget’ dengan sistem penetapan harga BBM yang �luktuatif. Tentu saja ini berpengaruh pada harga barang dan jasa, terlebih tarif angkutan umum, atau BBM kendaraan. Fluktuasi harga BBM berdampak pada in�lasi di daerahdaerah Indonesia hingga menyentuh 6,38 persen per Maret 2015.

FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI

Saya coba menilai dengan objektif. Skema perubahan penetapan harga BBM merupakan indikasi semakin derasnya arus liberalisasi yang masuk ke dalam sendi-sendi perekonomian di negara ini. Dengan dalih �leksibilitas dan mengikuti perkembangan global, hal ini sama saja dengan menyeburkan diri ke dalam skema pasar bebas. Kenyataan ini tentu sangat bertolak belakang dengan amanat Undang-undang dasar 1945 Pasal 33 yang menjelaskan bahwa sumber daya alam yang vital dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Begitulah kira-kira bunyi ayatnya. Komitmen Jokowi dan kawankawan di awal pemerintahan cukup dipertanyakan. Penetapan Nawacita yang diklaim sebagai interpretasi Trisakti Sukarno sebagai visi dan arah pembangunan negara lima tahun ke depan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Berdikari di bidang ekonomi yang digadang-gadang sebagai bentuk jawaban bangsa Indonesia atas tantangan ekonomi global sepertinya hanya menjadi lip service belaka. Mari berdoa, semoga kebijakan ini tak benar-benar menjadikan Indonesia di ujung tanduk.


SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

TALENTA BINTANG:

dialog 9

Desain Masa Depan USU

T

ahun 2014 silam Wakil Rektor IV membentuk gugus tugas, terdiri atas tim analisis dan tim perumus untuk menyusun rencana strategis (Renstra) USU lima tahun ke depan. Renstra dan rencana jangka panjang (RJP) melahirkan tata nilai USU yang baru; TALENTA BINTANG. TALENTA (Tropical Science and Medicine, Agroindustry, Local Wisdom,

Energy [sustainable], Natural Resources [biodiversity, forest, marine, mine, tourism], Technology [appropriate) dan Arts [ethnic]) menjadi visi USU dan BINTANG (Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bingkai kebhinekaan, Inovatif yang berintegritas, Tangguh dan arif) menjadi pedoman seluruh civitas akademik untuk mewujudkan visi yang ada. Semua ini terangkum dalam rangka

perwujudan statuta USU yang baru, yang menelurkan moto baru. Menjadi perguruan tinggi yang memiliki keunggulan akademik sebagai barometer kemajuan ilmu pengetahuan yang mampu bersaing dalam tataran dunia global. Simak wawancara reporter SUARA USU Febri Rahmania dengan Prof Irmawati selaku Ketua Tim Penyusun Renstra 2015-2039 dan RJP USU 2015-2019.

FEBRI RAHMANIA | SUARA USU

Biodata:

Apa itu TALENTA?

Nama: Prof Irmawati

Riwayat Pendidikan: - S-1 Psikologi Universitas Indonesia (UI) 1979 - S-2 Psikologi UI 2002 - S-3 Psikologi UI 2007

Jabatan: Dekan Fakultas Psikologi USU 2010-2015

Dan, apa itu BINTANG?

Apakah ini kemudian menjadi semboyan USU?

Lalu, siapa saja yang turut merumuskan cita-cita USU ini? Adakah keterlibatan mahasiswa di dalamnya? Adakah TALENTA BINTANG memiliki kaitan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi?

TALENTA merupakan rancangan masa depan USU sebagai bukti dan indikator tercapainya visi USU. Jadi apa yang terdapat dalam TALENTA adalah apa yang ingin dicapai USU de-ngan target pencapaiannya terjadi pada 2039. Itulah mengapa besar harapan visi ini benar-benar tercapai, sehingga USU memiliki keunggulan di bidang-bidang keilmuan TALENTA dan menjadi barometer kemajuan dalam bidang-bidang tersebut. Artinya, menjadi kekuatan USU.

BINTANG sendiri memiliki arti sebagai nilai utama yang menjadi aturan berperilaku civitas akademik dalam pencapaian visi USU. Bagaimanapun perumusan keunggulan akademik TALENTA dan tata nilai BINTANG disesuaikan dengan kondisi geogra�is, sosial, politik, ekonomi dan budaya Sumatera Utara (Sumut) sebagai lingkungan tempat USU berada. Juga, keberagaman masyarakat Sumut mengharuskan kita menghargai perbedaan dengan semangat kebhinnekaan dan tetap bertakwa pada Tuhan.

Bukan. TALENTA dan BINTANG adalah akronim untuk menggambarkan secara ringkas desain USU di masa depan nanti. Desain yang didapat melalui proses pertimbangan posisi USU terkini dan tantangan pengembangan USU. Ini yang kemudian menjadi cita-cita. Jadi belum dapat disebut sebagai semboyan. Selain tim penyusun yang terdiri daripada perwakilan dosen dan guru besar, hasil pemikiran juga melalui diskusi panjang dengan Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Rektorat, Dewan Guru Besar, dekanat, dosen, tenaga kependidikan, peme-rintahan mahasiswa, mahasiswa, alumni, pemerintah, lembaga swasta dan pakar pendidikan. Semua turut terlibat.

Tentu saja. Sebagai perumusan dari statuta USU, otomatis ia tak lepas dari Tri Dharma sebagai kewajiban perguruan tinggi. Bagaimanapun penerapan TALENTA dan BINTANG tetap digunakan dalam pelaksanaan Tri Dharma itu sendiri. Jadi hubungannya timbal balik.

Apa saja yang harus dilakukan agar cita-cita ini Langkah yang harus dilakukan USU dijabarkan dalam rangkaian progam dan subprogram yang mendukung tiga pilar utama perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, tercapai? dan pengabdian kepada masyarakat. Masalah yang ada coba diselesaikan satu per satu. Bagaimanapun, hal terdekat yang akan dikejar USU adalah kurun waktu lima tahun pertama, yaitu hingga 2019 nanti. Saat itu, USU sudah menjadi universitas nasional terkemuka dengan akreditasi tertinggi dan merintis pengakuan internasional. Lalu, langkah nyata apa yang akan dilakukan USU Langkah nyata yang harus diambil USU sudah terangkum dalam RJP dengan turunannya berupa renstra. Jadi, kalau mau melihat apa yang harus dilakukan secara keseluruhan ke depannya? dapat dilihat di RJP dengan yang terdekat adalah Renstra 2015-2019. Target Renstra 2015-2019 adalah mendapatkan akreditasi nasional tertinggi. USU harus capai rasio ideal antara mahasiswa dengan dosen. Pun, bisa diberikan penghargaan untuk yang melakukan penelitian agar banyak yang tertarik melakukannya dan jumlah penelitian meningkat. IKLAN


10 ragam

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Cerita Tak Kunjung Usai Kongres Pema

Ika Putri Agustini Saragih

Sejak awal Presiden Mahasiswa (Presma) Brilian Amial Rasyid berkeinginan adakan kongres ubah tata laksana ormawa (TLO). Katanya, koordinasi dengan majelis permusyawaratan mahasiswa universitas (MPMU) sudah dilaksanakan. Nyatanya, persiapannya masih jauh sekali.

J

eff ry Wanda, Gubernur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, akhir Februari menerima undangan Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menpolhukam) Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU, isinya ajakan untuk konsolidasi bersama pema fakultas mengenai pelaksanaan Kongres TLO pada Sabtu, 28 Februari. Saat tiba, forum sedang membahas pembentukan panitia kongres dan

tanggal pelaksanaan. Ada yang aneh, katanya. Ia bilang harusnya pelaksanaan kongres dilakukan oleh MPMU sebagai lembaga legislatif, bukan pema sebagai eksekutif. Akhir pembahasan, Jeff ry sarankan agar forum ditunda hingga Sabtu, 4 April, dengan catatan presma atau yang mewakili harus sudah berkomunikasi dengan MPMU. “Terserah mau koordinasi, mau kongsi dua asal disepakati bersama MPMU,” terangnya. Ia bilang sempat terjadi adu pendapat di antara Presiden Mahasiswa (Presma) Brilian Amial Rasyid, Menkopolhukam Aldi Syahputra dan mantan Menteri Komunikasi dan Informasi Fadhlan Yazid mengenai penundaan rapat. Namun forum sudah sepakat. Di lain pihak, Brilian tegaskan bahwa kongres ada di program kerja (progja) Pema USU. Namun, Pema USU

Pejabat Rektor

hanya akan membantu dan mengawal MPMU. Pema USU tak bermaksud mengambil alih kewenangan MPMU. “Kalau kelak MPMU merasa perlu dibantu, Pema USU akan turut serta,” tambahnya. Konteks membantu berupa pemberian masukan pada MPMU dan menyampaikan aspirasi gubernur sekawasan mengenai poin yang perlu diamandemen. Ia bilang tak ada adu pendapat saat rapat koordinasi kemarin, hanya perbedaan persepsi. Namun, sudah disamakan lagi saat itu juga. Selanjutnya, Pema USU mengirimkan surat untuk MPMU yang isinya mendesak agar kongres segera dilaksanakan. Surat tersebut berisi tanda tangan presma dan segenap perwakilan pema fakultas. Ketua MPMU Hadi Mansyur Juhri Peranginangin membenarkan perihal surat tersebut. Hal itu yang kemudian dibahas oleh MPMU. Pun begitu, belum

ada gambaran waktu pelaksanaan kongres. “Baru mulai bahas,’’ tegasnya. Selain itu masih menunggu masukan mengenai poin-poin TLO yang perlu diperbaharui. Brilian bilang kemungkinan kongres akan dilakukan sekitar Juni atau Juli. Ini artinya masa jabatan Brilian akan habis saat kongres berlangsung. Selama menjalankan tugas dengan acuan TLO yang belum direvisi, Brilian bilang memang ada beberapa kesulitan. Seperti letak dan fungsi kedudukan pema di Majelis Wali Amanat, kepengurusan lembaga legislatif dan eksekutif, kejelasan koordinasi USU dengan pema fakultas dan masa jabatan presiden dan gubernur. Katanya, ini mengurangi posisi tawar Pema USU ke himpunan mahasiswa departemen, unit kegiatan mahasiswa hingga rektorat.

‘Selingan’ Menjelang Pemilihan Rektor

Santi Herlina

Tak butuh waktu lama bagi Prof Alvi Syahrin, anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Periode 2009-2015 untuk menjawab secara singkat dan seketika menutup sambungan telepon sore itu, 25 Maret. “Sedang rapat,” katanya. Mereka sedang bahas keabsahan ketua dan sekretarisnya. KISARAN pukul 21.00 WIB rapat selesai, Prof Subhilhar, anggota MWA keluar ruangan dengan tergesa. Ia sempatkan menjawab pertanyaan sedikit. ”Belum bahas P4CR (Panitia Penyelenggara Penjaringan dan Penyaringan Calon Rektor -red), masih bahas perpanjangan MWA,” sahutnya. Pernyataan Prof Subhilhar benar adanya, MWA sedang mempertanyakan keabsahan perpanjangan jabatan anggota MWA beserta ketua dan sekretarisnya. Oleh forum, ditanyakan lagi apakah ketua dan sekretaris bersedia mencalonkan diri lagi. Sang Ketua MWA, Joe�ly J Bahroeny bersedia. Namun Prof Alvi menolak. “Saat masa jabatan dipertanyakan maka artinya jabatan itu bukan milik saya,” ungkapnya. Ia sayangkan mengapa baru sekarang dibahas, padahal MWA berakhir Desember lalu. Akhirnya terpilih Panusunan Pasaribu sebagai sekretaris melalui musyawarah. Sembari memutuskan struktural MWA, MWA harus memikirkan bagaiamana nasib USU ke depan mengingat masa Rektor Prof Syahril tak lama lagi. Tepat di hari terakhir masa jabatan Prof Syahril, MWA adakan rapat dengan tiga agenda, yaitu

pemberhentian rektor, penetapan peraturan tata cara penunjukan pejabat rektor pada masa rektor telah berakhir sementara rektor defenitif belum terpilih, dan penetapan pejabat rektor. Kesemuanya harus selesai dibahas hari itu agar tak terjadi kekosongan kekuasaan. Prof Alvi bilang berdasarkan peraturan, yang dapat ditunjuk sebagai pejabat rektor ialah wakil rektor (WR) dan anggota MWA yang telah menempuh pendidikan S-3 dan tak punya jabatan struktural. Dari WR hanya WR I Prof Zulki�li Nasuiton, WR II Prof Armansyah Ginting, dan WR IV Ningrum Natasya Sirait yang memenuhi syarat. Namun, hanya WR I yang menyatakan bersedia. Sedangkan enam anggota MWA yang memenuhi syarat yaitu Prof Bismar Nasution, Prof Del�i Luthan, Prof Darwin Sitompul, Prof Budiman Ginting, Prof Subhilhar, dan Prof Alvi sendiri. Prof Alvi jelaskan, hanya Prof Subhilhar yang nyatakan bersedia. Prof Subhilhar, yang juga guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik terpilih sebagai pejabat rektor menggantikan Prof Syahril. Terpilih lewat mekanisme voting dengan perolehan sebelas suara, unggul atas Prof Zulki�li Nasution, yang memperoleh tiga suara. “Awalnya dengan cara musyawarah, tapi tak tercapai, akhirnya vote,“ ujar Prof Alvi. Rapat MWA hari itu dihadiri enam belas anggota MWA; empat belas anggota gunakan hak suaranya, satu anggota mendapat surat kuasa, dan satu anggota tidak memilih. Empat anggota yang tidak hadir di antaranya

gubernur dan menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Ditambahkan Prof Chairul Yoel, Ketua Senat Akademik Periode 2014-2015, pejabat rektor terpilih dapat melaksanakan kebijakan dan keadministrasian USU dengan tetap berkoordiasi dan berkonsultasi dengan MWA. Prof Subhilhar hanya menjabat sebagai pejabat rektor hingga rektor de�initif terpilih. Mengenai tanggung jawab baru yang kini dipikulnya, Pejabat Rektor Prof Subhilhar bilang ia akan selesaikan permasalahan di USU agar rektor defenitif cepat terpilih. Ia bilang akan tetap lanjutkan program yang sudah ada. Misal, upaya peningkatan akreditasi USU. ”Programnya ada, tinggal melanjutkan,” tutupnya. Abaidillah Ha�idz, Mahasiswa Fakultas Kedokteran 2010 mengatakan sudah sewajarnya terpilih seorang

pejabat rektor mengingat tanggung jawab tersebut memiliki banyak kewajiban dan banyak hal yang harus dilakukan. “Enggak mungkin terjadi kekosongan, dan pejabat rektor pasti sudah dipertimbangkan dengan baik,” sahutnya. Ha�idz harap pejabat rektor yang sekarang sama paham dan mengertinya mengenai USU seperti rektor pada umumnya. “Pun semoga rektor de�initifnya cepat, biar enggak bermasalah ke depannya,” tambahnya. Prof Alvi bilang selanjutnya MWA akan memilih anggota MWA periode baru. Namun terlebih dahulu harus menyelesaikan penafsiran Peraturan MWA Tahun 2014 Nomor 03 Pasal 8. Untuk pembahasan pembentukan Panitia Penyelenggara Penjaringan dan Penyaringan Calon Rektor (P4CR) USU akan dibahas setelah penafsiran pasal 8 selesai dibahas. IKLAN


SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

RS USU

ragam 11

Tersandung Izin dan Dana Nurhanifah

Sudah lakukan soft opening, namun belum dapat digunakan sepenuhnya. Alasannya, terkendala di surat izin dan pendanaan. SIANG itu, hanya ada beberapa kendaraan terparkir rapi, dan satpam yang berjaga di parkiran Rumah Sakit (RS) USU. Di dalam, ada dua orang pegawai di meja resepsionis. Kemudian datang perempuan setengah baya, bertanya ke ruang mana ia harus pergi untuk dapatkan pengobatan. Resepsionis mengarahkan ke poliklinik. RS USU memang belum beroperasi penuh hingga sekarang, hanya poliklinik yang bisa diakses. “Izin operasional masih sementara dan sudah mati. Masih proses dapatkan izin operasional,” sahut Prof Chairul Yoel, Direktur Utama RS USU. Desember lalu, RS USU laksanakan soft opening beberapa hari sebelum izin operasional sementara-nya berakhir. Kini RS USU sedang melengkapi berkas yang harus diajukan ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Tingkat II Medan perihal surat izin operasional tetap, di antaranya surat keputusan (SK) penetapan kelas oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Ditjen BUK) Kementerian Kesehatan (Kemkes) Indonesia, surat izin praktik (SIP)

dokter spesialis RS USU, dan surat ketetapan sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemerintah. Disampaikan Prof Yoel, permohohan telah dikirim sejak Juni 2014, hanya saja BUK Ditjen Kemkes baru berikan respon pada Februari. Dalam SK penetapan kelas, RS USU peroleh klasifikasi kelas C. Padahal, menjadi Rumah Sakit Pendidikan (RSP) minimal berklasifikasi B. “Sekarang, yang penting buka dulu. Nanti, diajukan lagi untuk dapat B,” sahut Prof Yoel. Usma Polita Nasution, Kepala Dinkes Kota Medan membenarkan pengajuan. Menurutnya, RS USU harus melengkapi sumber daya manusia yang belum mencukupi dan surat ketetapan Unit Pelaksana Teknis Pemerintah. Polita sampaikan SIP dokter belum lengkap. Kini dokter yang memiliki SIP ada dua belas dokter umum dan dua dokter gigi, seorang dokter spesialis anak, dan seorang dokter spesialis anestesi sebagai penunjang medik. Sedangkan yang belum adalah dokter spesialis penyakit dalam, obgyn, bedah, radiologi dan gigi spesialis. “Selain u ntuk i zin o perasional, SIP juga harus dilengkapi untuk penetapan kelas oleh Kemenkes,” sahutnya. Prof Yoel benarkan,

menteri kesehatan sempat mempertanyakan SIP dokter spesialis di RS USU. Menurut Prof Yoel, SIP dokter spesialis di RS USU harusnya sudah lengkap karena RS USU berjejaring dengan RS Umum H Adam Malik untuk pengembangan RSP. Ia bilang, SIP dokter spesialis di rumah sakit utama bisa digunakan untuk rumah sakit jejaring-nya. Pun dengan RS USU. “Ada peraturannya,” cetusnya. Yang dimaksud Prof Yoel adalah Undang-undang (UU) Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 37 Ayat 2 yang mengatakan SIP dokter atau dokter gigi hanya diberikan paling banyak tiga tempat. Polita tak sepakat. Menurutnya SIP dokter spesialis rumah sakit jejaring bisa digunakan saat menjadi RSP. Mengenai surat ketetapan sebagai Unit Pelayanan Teknis, Prof Yoel bilang surat ini dikeluarkan oleh universitas karena nantinya akan menjadi RSP. “SK baru selesai dari USU, akan dikirim beserta berkas lain,” tuturnya, Jumat (3/4). Masih Terkendala Dana Sesuai Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2/V/PB/2013 dan Nomor 38 Tahun 2013 Tentang RS Perguruan Tinggi Negeri

| Rumah Sakit (RS) USU di Jalan Dr Mansyur Nomor 9, Padang Bulan Medan, Minggu (5/4). RS USU sulit beroperasi karena surat izin praktik dokter yang belum memadai. BINGKAI RS USU

FOTO : YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU

mengatakan uang yang didapat dari uang kuliah mahasiswa tak boleh dipakai untuk pelayanan kesehatan termasuk RS. Dampaknya, dana operasional RS USU tak dapat menggunakan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang menjadi uang kuliah tunggal, seperti dikutip dari Laporan Utama Tabloid Pers Mahasiswa Edisi 100 November 2014. Akhir Februari lalu, Prof Armansyah Ginting, Wakil Rektor II mengatakan dana operasional yang dibutuhkan RS USU telah dimasukkan ke draf Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Saat ini draf-nya masih diurus oleh pengadaan dan perencanaan USU. “Kemarin diminta memberikan contoh draf kerja sama pengadaan barang dan jasa,” sahutnya. Saat semua sudah lengkap, draf akan kembali diajukan. Prof Armansyah bilang dana operasional RS USU dalam draf BOPTN belum dipastikan termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasalnya, RS USU berfungsi sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan. Sedangkan pendanaannya dipisah antara pendidikan dan penelitian dengan pelayanan. Ini yang menyulitkan USU akan meletakkan pendanaan dalam kategori yang mana. Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2/V/PB/2013 dan Nomor 38 Tahun 2013 Tentang RS Perguruan Tinggi Negeri menyebutkan pendanaan menjadi tanggung jawab Kemenkes dan Kemendikbud (sekarang Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi). Prof Yoel katakan pengelolaan pendanaan ada di bawah naungan rektorat, “jadi tunggu dari sana (rektorat –red) saja,” jelasnya. Eka Dalanta Putra, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi 2010 merasa kecewa mengetahui permasalah utama mengenai dana RS USU, pasalnya pendanaan tersebut sudah miliki landasan yang jelas “Jangan dibola-bola, harusnya sudah diputuskan,” sahutnya. Menurut Prof Yoel, Bagaimanapun untuk sekarang RS USU harus segera buka, karena bangunan fisik dan peralatan telah lengkap. “Semoga rektorat secepatnya putuskan pendanaan, bagaimanapun harus dibuka


12 galeri foto

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Batu Akik Dipugar Hingga Dikenakan FOTO: YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM

Potongan Batu

Asah Sampai Halus Bang!

Memuliakan Sang Dewa Bathi, Penetral Dunia

Lihat Urat Batu Akik Batu Akik kini jadi tren di kalangan masyarakat. Tak hanya bagi kolektor, masyarakat yang bukan pengumpul pun mengincarnya. Pancaran warna alami dari batu akik membuatnya terlihat mewah. Menilik asalnya, batu akik merupakan batu permata yang bahan dasarnya berupa mineral. Ia terbentuk secara geologi dan jika ingin menjadikannya bernilai jual tinggi ia harus dipoles dan dipugar. Berikut ini adalah proses pemugaran batu akik menjadi ragam aksesoris bernilai jual. (Redaksi)

Masukkan ke dalam Cangkang Cincin

Batu Akik dalam Etalase


SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

podjok sumut 13

D’Heritage:

Alih Fungsi, Agar Sejarah Tetap Lestari Arman Maulana Manurung

Usia renta sama sekali tak melunturkan keanggunan bangunan bersejarah Kota Medan ini. Tak lain, alih fungsi bangunan menjadi faktor utama bangunan ini tetap lestari.

Lukisan | Lantai bawah tanah D’Heritage yang dipakai untuk pameran lukisan, Kamis (2/2). Pihak Hotel Grand Aston yang mengelola D’Heritage memperbolehkan masyarakat umum untuk sekadar melihat-lihat atau menyewa D’Heritage. AMANDA HIDAYAT | SUARA USU

D

’Heritage namanya. Merupakan kafe yang terletak di Jalan Balai Kota Nomor 1, Medan. Dari luar, bangunan terlihat canggung jika dibandingkan dengan bangunanbangunan pencakar langit hasil peradaban modern di sekitarnya. Ini karena kurangnya sentuhan arsitekstur modern pada bangunan tersebut, alias klasik. Sementara itu, di bagian dalam bangunan, suasana kafe terlihat tenang dengan beberapa pengunjung di salah satu sudut ruangan. Bagian kafe tersebut terbagi menjadi tiga ruangan, satu meja dengan empat kursi tersusun rapi dan tersebar di setiap ruangan berkarpet biru tua. Lagulagu gubahan komponis Mozart, Beethoven dan Bach mengalun memenuhi ruangan, menambah kesan klasik. Kesan klasik dari bangunan akan langsung ditangkap para pengguna jalan saat melintas di depannya. Terlebih lagi jika disandingkan dengan bangunan Hotel Grand Aston yang terlihat lebih megah di bagian belakang bangunan, yang asalnya juga dari era sesudahnya. Ikwan Muhammad, salah satu pengunjung kafe mengaku memang sering berkunjung. Ikwan bercerita kalau dirinya mengagumi arsitekstur bangunan kafe. Bangunan yang dibalut cat

ARMAN MAULANA MANURUNG | SUARA USU

berwarna putih dengan banyak jendela serta jam di puncak menaranya itu, mengesankan bangunan-bangunan khas arsitektur Eropa abad dua puluhan. ”Melihatnya berdiri diantara bangunan kota, kita serasa dibawa melintasi waktu dan tempat yang berbeda,” kagum Ikhwan. Ikhwan tak terlalu tahu mengenai sejarah kafe tersebut. Ia hanya tahu sebatas kalau bangunan tersebut pernah dipakai sebagai Gedung Balai Kota Medan. Saat itu Wali Kota Medan yang pertama, yaitu Baron Mackay pernah berkantor di sana pada tahun 1918. Hal tersebut dibenarkan Sekretaris Hubungan Masyarakat Grand Aston CityHall, Cindy Lailani selaku pengelola tempat. Ia jelaskan kalau pihaknya hanya sebatas investor yang mengelola bangunan ini sebagai salah satu bentuk pelestarian bangunan bersejarah hasil kesepakatan dengan Pemerintah Kota Medan. Sejarahnya, bangunan tersebut dibangun tahun 1906 oleh arsitek asal Belanda bernama Hulswit dan Fermont. Bangunannya sendiri baru digunakan dua belas tahun berikutnya sebagai gedung balai kota. Jadi, bangunan ini sebenarnya masih merupakan aset daerah Kota Medan. Berada di persimpangan jalan serta termasuk ke dalam pusat kota, bangunan ini telah menjadi saksi bisu Kota Medan. Menyaksikan Medan tumbuh sejak lama sekali,

Tegak Berdiri | Tampak depan Gedung Balai Kota Lama atau yang sekarang bernama D’Heritage Kamis, (2/4). Kini bangunan itu beralih fungsi menjadi kafe dengan tujuan melestarikan bangunan bersejarah tersebut. sejak jaman penjajahan Jepang. Bahkan lebih jauh lagi, saat Belanda masih di tanah air. Untuk perawatan bangunan, sepenuhnya dilakukan oleh pihak Hotel Grand Aston. Pemugaran dilakukan tanpa mengubah bentuk asli dari bangunan, hal itu meliputi pengecatan, pemasangan tirai, pemasangan wallpaper, serta pergantian lampu dan karpet. Selain itu, saat ini juga ditambahkan foto-foto lama tentang bangunan bersejarah di Kota Medan pada dindingnya. “Itu kita lakukan dua kali setahun,” terang Cindy. Cindy cerita, bangunan tersebut dialihkan pengelolaannya pada pihak Grand Aston sejak 2010 dan dijadikan kafe. Katanya, walaupun eks gedung balai kota ini telah menjadi kafe, tetap saja bagi turis yang ingin melihatlihat diperbolehkan masuk tanpa dikutip biaya. “Tujuan awalnya memang untuk melestarikan gedung ini kan,” tuturnya. Selain dijadikan kafe, bangunan ini juga bisa disewakan sebagai tempat rapat, pameran atau seminar. Misalnya saja, selama 20 Maret hingga 4 April di bagian lantai dasar bangunan diadakan pameran lukisan dari seniman asal kota Medan. Sementara itu, menurut

Hairul, Ketua Pelaksana Harian Badan Warisan Sumatera (BWS) mengatakan alih fungsi bangunanbangunan bersejarah bisa jadi solusi yang positif demi menjaga kelestarian bangunan. Hal tersebut dianggap sah-sah saja karena jika melihat bangunan yang sebelumnya terbengkalai dapat lestari kembali setelah dikelola oleh pengusaha. BWS sendiri merupakan organisasi kemasyarakatan yang sifatnya nirlaba bertujuan untuk melestarikan warisan sejarah berupa bangunan, alam dan budaya. Memang setelah ditinggalkan sebagai gedung balai kota, bangunan ini sempat terbengkalai selama beberapa tahun. Bahkan Hairul mengatakan kalau bangunan ini sempat ingin dibongkar. “Tahun 2005 kalau enggak salah,” tuturnya. Hairul menjelaskan untuk wilayah Asia Tenggara, alih fungsi bangunan bersejarah juga kerap dilakukan di beberapa nagara. “Singapura contohnya,” tandasnya. Kini, bangunan yang telah menyatu dengan bangunan hotel tersebut tetap dapat menarik perhatian masyarakat, meski dengan cara yang berbeda. “Inilah salah satu cara untuk menikmati sejarah, yang penting jas merah,” tutup Ikhwan.


14 laporan khusus

Odapus: Berbagi Peduli Meski Tak Dipedulikan SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Odapus:

Berbagi Peduli Meski Tak Dipedulikan Koordinator Liputan Reporter

Mutia Aisa Rahmi

Berbagi informasi, materi, hingga dukungan sebagai sesama odapus adalah tujuan berdirinya komunitas ini. Meski mampu berdiri secara independen, mereka masih sangat harapkan sokongan pemerintah.

S

ejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), kondisi kesehatan Irawati Nasution memang sangat rentan. Bila beraktivitas dalam intensitas tinggi maka kondisi kesehatannya segera menurun. “Dulu bahkan saya disarankan untuk tidak usah mengikuti upacara bendera karena terlalu sering pingsan,” kenangnya. Apalagi setelah melahirkan anaknya yang ke-tiga pada 2004 silam, kesehatan Ira pun makin buruk. Berbagai diagnosis diberikan dokter yang ia kunjungi, mulai dari demam berdarah, tipus, hingga kelainan darah. “Saya bertanya-tanya, penyakit ini apa?” ujarnya. Puncaknya, Ira pun diinapkan di rumah sakit. Saat itu informasi mengenai penyakit lupus masih sangat minim. Ditambah lagi sulit mengetahui ciri-ciri pasti penyakit lupus membuat penderitanya sering mengalami salah diagnosis hingga perawatan yang tak

Pemaparan tentang lupus oleh Blondina pada Hotel Garuda Plaza.

Seminar Lupus 23 Juni 2012 di

: Mutia Aisa Rahmi : Ika Putri Agustini Saragih, Santi Herlina, Yulien Lovenny Ester Gultom dan Mutia Aisa Rahmi

sesuai. “Ciri-ciri penderita lupus ini beda-beda, ada yang mirip DBD (demam berdarah dengue-red), tipus atau anemia, makanya sering disebut sebagai penyakit seribu wajah,” jelas Ira. Dari hasil diagnosis dokter dan berbagai tes laboratorium yang ia jalani, akhirnya Ira divonis mengidap penyakit lupus. “Sudah stadium akhir,” ujarnya. Diketahui saat itu, lupus sebenarnya telah lama menggerogoti tubuh Ira. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh yang harusnya melindungi malah berbalik menyerang organorgan penting tubuhnya. Ia kemudian memutuskan untuk berobat di Penang, Malaysia. Sebab kala itu pengobatan bagi penderita lupus masih belum memadai di Indonesia, termasuk di Kota Medan. Enam tahun ia menjalani pengobatan di Penang. “ P e n g o b a t a n n y a sangat panjang, mulai dari kemoterapi hingga injeksi pengaktifan sel-sel tulang belakang,” paparnya. Semasa pengobatan, ia mulai mengetahui banyak hal tentang penyakit lupus. Sebelumnya ia tak tahu sama sekali mengenai penyakit ini. Lalu, muncul keinginan Ira untuk membantu orangorang yang juga alami gejala yang sama seperti

Cinta Kupu mengunjungi pasien lupus di Rumah Sakit dan memberi bantuan untuk odapus tidak mampu. Bantuan ini merupakan kerja sama Cinta Kupu dengan masyarakat umum. SUMBER : DOKUMENTASI PRIBADI

dirinya. Pun dokter yang menanganinya menyarankan Ira membuat sebuah komunitas untuk menaungi penderita penyakit lupus. Awalnya, ia sendiri tak mengetahui bagaimana memulai membentuk komunitas untuk penderita lupus, sebab ia tak mengenal orang lain yang mengidap lupus. Hingga pada 2011, usai perawatan di Penang, ia kembali ke Medan dan bertemu Dokter Gino Tann, Ahli Hematologi yang banyak menangani orang dengan lupus (odapus) di Medan. Akhirnya, November 2011, berbekal kontak pasien yang diberikan Dokter Gino Tann, ia menghubungi odapus-odapus lain untuk bertemu. Pada pertemuan pertama, ada delapan puluh odapus yang datang. Kepada mereka Ira mengutarakan niatnya untuk membentuk komunitas penderita lupus yang kemudian diberi nama Cinta Kupu.

Ira ditunjuk sebagai ketua dengan Evi Andriani sebagai sekretaris. Cinta Kupu sekaligus jadi komunitas odapus pertama dan satusatunya di Sumatera. Evi sendiri sebelumnya didiagnosis mengidap Idiopathic Thombocytopenic Purpura (ITP) yaitu berkurangnya jumlah trombosit darah karena antibodi menyerang dan menghancurkan sel-sel darah merah. Dokter yang menanganinya saat itu mengatakan bahwa kondisi ITP akan cenderung menjadi lupus. Benar saja, pada 2012, Evi pun positif lupus. Keputusan Evi untuk bergabung dan menjadi pengurus di komunitas ini didorong oleh keinginannya untuk berbagi dengan penderita lupus lainnya. Karena menurutnya sangat sulit mendapatkan informasi dan masukan-masukan mengenai penyakit ini. Inilah yang mendorong Evi bersama teman-

temannya yang telah tergabung dalam Cinta Kupu untuk adakan seminar tentang penyakit lupus, sasarannya odapus dan masyarakat umum. “Untuk non-odapus, informasi ini bermanfaat jika ada anggota keluarga yang odapus, mereka paham bagaimana menanganinya,” jelas Evi. Selain seminar, komunitas ini juga sering membagikan paket obat secara cuma-cuma bagi odapus yang kurang mampu. “Obat-obatan untuk penyakit ini sangat mahal, dan tingkat ketergantungan dengan obat ini juga tinggi,” jelas Evi. Obat-obatan yang dibagikan merupakan milik anggota komunitas yang tak lagi memerlukan obat. Tak jarang, uang kas komunitas juga dialokasikan untuk pemberian obat gratis ini. Ada juga pemeriksaan tulang gratis setiap tiga bulan sekali bagi odapus yang bergabung dengan


Odapus: Berbagi Peduli Meski Tak Dipedulikan SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

laporan khusus 15

Foto bersama perwakilan Cinta Kupu dengan semua Pasien Lupus se-Indonesia di acara World Lupus Day Yayasan Lupus Indonesia di Danau Situgunung, Tanah Kita, Sukabumi, 19 Mei 2013. DOKUMENTASI PRIBADI

komunitas, serta potongan harga untuk pembelian obatobat lupus yang merupakan hasil dari kerja sama dengan pihak swasta seperti perusahaan obat-obatan. Tak selesai di situ, kata Evi mereka mulai menggalakkan promosi di internet dan media sosial. Pihaknya juga banyak menerima respon-respon positif dari masyarakat seperti konsultasi tentang lupus dan ingin bergabung dengan komunitas Cinta Kupu. Keluarga Kedua Bagi Odapus Kala itu, akhir tahun 2012, Siti Tamara Harahap demam tinggi. Diagnosis awal menyatakan ia mengidap DBD dan langsung opname. “Waktu itu ada bintikbintik merah di sekujur tubuh,” cerita Siti. Setelah opname, kondisinya tak kunjung membaik. Ia kemudian menjalani tes laboratorium yang akhirnya menunjukkan bahwa ia mengidap lupus. “Udah agak parah waktu itu, karena salah diagnosis, obat yang dikonsumsi jadi merusak ginjal,” terangnya. Siti tak menyangka dirinya positif lupus, saat itu ia masih semester tiga di Jurusan Teknik Sipil USU. Saat opname, salah seorang senior yang datang menjenguk mengenalkan Siti pada Anggi, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) yang juga mengidap lupus. Melalui Anggi yang telah

lebih dulu bergabung dengan komunitas Cinta Kupu, Siti pun berkenalan dengan Irawati, Evi dan anggota lainnya. Setelah bergabung dengan Cinta Kupu, manfaat paling besar yang dirasakan Siti ialah rekomendasi dokter yang memang telah terbiasa berhadapan dengan penyakit lupus. Dengan sesama odapus, ia sering berkonsultasi tentang jenis obat yang cocok untuk dikonsumsi saat mengalami gejala tertentu. “Kadang sering nanya sama kak Evi, kalau misalnya lagi demam atau gimana,” ujarnya. Ira katakan komunitas ini tak hanya meliputi aksi sosial, namun juga kegiatan saling berbagi cerita, pengalaman dan saran-saran dari sesama odapus. Untuk itu, komunitas ini sering mengadakan pertemuanpertemuan ringan bersama anggota komunitas, entah itu sebulan sekali atau dua bulan sekali. “Kalau kumpul-kumpul biasanya yang dari luar kota juga ikut datang,” jelas Ira. Evi memang sering dihubungi odapus lain dari berbagai daerah. Ada yang menanyakan berbagai hal mengenai kondisinya ataupun sekadar berbagi perasaan bersama. Evi bilang, kunci dari kestabilan kesehatan seorang odapus adalah kondisi emosinya. “Karena itu, saya senang jika ada yang curhat sama saya, sekalian membantu

mereka juga,” ungkapnya. Tak hanya berbagi perasaan, Evi maupun Ira juga sering dihubungi keluarga odapus. Mereka menanyai solusi dari kondisi anggota keluarganya yang tengah kritis dan hal apa yang harus mereka lakukan. Karena menurut Ira, dukungan orang terdekat adalah hal mutlak yang diperlukan oleh odapus untuk menghadapi kondisinya. Ia selalu berpegang pada apa yang telah ia alami. “Keluarga dan orang terdekat, itu kekuatan utama odapus untuk mencintai penyakit ini,” ungkapnya. Hal ini juga diamini oleh Evi, ia ingat ketika kondisi kesehatannya sangat tidak stabil. Hubungan yang sedang memburuk dengan orang terdekat membuat Evi depresi berat. Ketika ia berhasil keluar dari kondisi itu, ia merasakan kondisi kesehatannya semakin membaik. “Karena itu, orang terdekat odapus perlu paham dengan kondisi mereka,” ujarnya. Hal ini adalah salah satu alasan Ira dan kawan-kawan untuk mengunjungi penderita lupus yang sedang dirawat. Sekadar untuk memberikan dukungan dan saran bagi odapus dan keluarganya. Masih Tak Pemerintah

Tersentuh

Usmi P Nasution, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan, di sela-sela

kegiatannya mengatakan, pemerintah sebenarnya senang dengan adanya komunitas ini. Pasalnya, komunitas penderita lupus ini dapat mempermudah pemerintah untuk menyalurkan bantuan. Namun, Usmi mengaku pihaknya tak pernah mengetahui adanya komunitas penderita lupus di Kota Medan. Oleh karena itu, pihaknya belum bisa memberikan perhatian khusus kepada komunitas ini. “Kalau dilaporkan kan kita bisa tahu butuhnya apa,” ujar Usmi. Untuk lebih mudah, Usmi menyarankan komunitas untuk m e n d a f t a r k a n diri terlebih dahulu kepada Dinkes Kota Medan, hingga p e m e r i n t a h sendiri lebih mudah untuk m e m b e r i perhatian j u g a

bantuan. ”Biar resmi.” Faktanya, kondisi komunitas ini masih sangat jauh dari perhatian pemerintah. Hingga hari ini mereka tak pernah dapat bantuan sedikit pun. Selama ini komunitas mendapat dana dengan cara mengajukan proposal permohonan dana kepada perusahaan swasta. “Biasanya perusahaan obat yang mau kerja sama sekalian mereka promosi obat yang mereka keluarkan,” jelas Evi. Bukannya tak pernah bantuan diajukan kepada pemerintah Kota Medan. Ira mengatakan pengajuan permohonan bantuan acapkali dilakukan. Namun, permohonan bantuan yang diajukan langsung ditolak, tanpa proses panjang. Pun untuk mendaftarkan komunitas ini secara resmi ke Dinkes Kota Medan membutuhkan tahapan yang tak mudah dan biaya yang cukup banyak. “Lebih baik biaya itu dipakai untuk bakti sosial komunitas saja,” ujar Evi. Ira membandingkan dengan pemerintah Kota Bandung yang langsung menunjuk satu rumah sakit umum sebagai tempat khusus penanganan odapus. Bahkan, pemerintah Kota Bandung juga tak berat mengeluarkan bantuan dana bagi komunitas Cinta Kupu Medan. “Jauh sekali jika dibandingkan, mereka (Komunitas Lupus Kota Bandung –red) dinaungi penuh oleh pemerintahnya,” jelasnya. Di akhir pembicaraan, meski minim perhatian pemerintah, Ira berharap komunitas ini tetap menjadi wadah bagi odapus yang ingin berbagi pengalaman, membuka diri dan menemukan semangat untuk terus hidup; menghadapi lupus.

BICARA|

Irawati menceritakan perihal komunitas Cinta Kupu di depan RS Santa Elisabeth, Kamis (19/3). Ira juga seorang penderita lupus, ia mendirikan komunitas sebagai wujud kepeduliannya terhadap sesama penderita. YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU


16 mozaik cerpen

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Murai Muhamad Wahyudi Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2010

A

ku membolak-balik halaman demi halaman skripsi itu dengan malas. Aku malas melihat mahasiswa tak kompeten seperti ini. Jangankan menguasai materi, aku rasa ia tidak begitu mengerti dengan judul pilihannya. Beginilah cerminan pendidikan di negeri ini, mental domba! Domba lain mengembik di selatan, ke selatanlah mereka. Digiring merumput ke utara, berpencar entah ke manamana. Kami inilah penggembala mereka, walaupun dengan bayaran seadanya. Aku melirik pada si empunya skripsi, yang kini beringsut lemas di bangku-kayu-yang-tak-kunjung-digantisejak-tahun-1988. “Revisi!” ujarku. Tak ketinggalan dengan ketegasan yang aku punya. Lalu aku menceramahinya dengan bosan. Sedemikian rupa. Tampak air mukanya begitu merana. Aku puas, kata-kataku tepat menyasar ke ulu hatinya, pasti akan terngiang dalam mimpinya malam ini. Aku tak peduli, mahasiswa macam ini tak seharusnya kuliah. Masih banyak orang pintar yang harusnya bisa sekolah tinggi namun terbentur biaya. Benar-benar tak bersyukur jika kau kuliah hanya untuk hura-hura dan hore-hore. Apalagi ia sudah semester sebelas di kampus, semester ujung. Jika tidak lulus tahun ini, tentu ia di-drop out. “Baik, Pak, saya akan coba perbaiki,” jawabnya kalem. Aku melengos saja dan mempersilakannya keluar. Perjalanan pulang sore ini begitu muram, kelabu. Aku memesan secangkir kopi dingin di kantin kampus agar metabolisme tubuhku tetap giat bekerja. Setidaknya agar aku tak terlalu mengantuk saat menyetir. Di mobilku terpajang rapi sebuah bingkai foto, foto anak gadisku. Tahun depan ia akan masuk kuliah, dari tahun lalu aku sudah menyuruhnya mengikuti berbagai kursus pelajaran. Semata-mata agar ia tidak tercebur ke dalam kemalasan. Semuanya agar ia masuk kuliah kedokteran seperti ibunya. Ah, begitu aku menyayanginya. Jalanan di kala senja bak selokan tumpat. Semua berjejal berebutan mengisi celah di antara spion, dengan harapan kendaraannya lebih dahulu maju. Aku nyaris mendapatkan celah itu ketika sebuah motor menyelip dan melintang tepat di depan mobilku. Aku berang dan mengeluarkan kepalaku dari jendela. “Hoi! Jangan menghalangi jalan!” pekikku. Di luar dugaan, pengendara motor itu turun dan menghampiriku. Tidak gentar, aku pun turun dan menyiapkan hardikan terkerasku. Aku tertegun setelah melihat lelaki itu melepas helmnya. Ternyata ia mahasiswa bimbinganku

tadi. Matanya merah, seperti penuh dendam. Aku mengumpulkan keberanianku lagi dan bersiap menghardiknya kembali, tapi kerah bajuku keburu ditariknya dengan keras. “Aku enggak peduli lagi, Pak! Aku capek! Tiga semester aku mengerjakan skripsi, tapi aku selalu revisi! Selalu salah tanpa pernah kau berikan solusinya! Selalu kurang bagimu! Aku muak!” semburnya padaku. Aku gemetar, tak menyangka. Lima belas tahun aku menjadi dosen, baru kali ini ada mahasiswa memarahiku, di tengah jalan! Kurang ajar! Aku baru saja bersiap untuk membalasnya ketika luapan emosinya kembali menusuk hatiku, tapi kali ini tepat sasaran. “Apa kau pikir mahasiswa itu domba, Pak?! Apa kau pikir kami harusnya digiring ke kandang untuk berlomba-lomba menggemukkan diri dengan ilmu? Perkuliahan bukan perlombaan! Perkuliahan adalah pengayaan! Mahasiswa bukan gembala, Pak, aku bukan domba,” tuturnya sambil menangis. Aku hanya terdiam. Tak tahu harus apa. Sementara jalanan mulai riuh melihat hubungan dramatis antara dosen dan mahasiswanya ini. Aku ingin mengeluarkan kata-kata tetapi lidahku kelu. Tenggorokanku tercekat seperti

ada segalon minyak terjejal di dalamnya. Pegangannya mengendur. Ia berjalan mundur dengan teratur, menuju motornya dan dengan cepat menghilang di balik punggung mobil, meninggalkanku membatu dengan pakaian kusut. *** Sebelas tahun kemudian “Ayah, Rini pulang,” tutur anakku dengan lembut. Seperti biasa, ia membawa beberapa anak didik tarinya ke rumah. Rumah kami bahkan sudah ia percantik seperti sanggar seni. Sepuluh tahun lalu, ia merengek padaku untuk tidak memaksanya masuk Fakultas Kedokteran. Ia mengaku tidak pandai Biologi maupun Kimia dan lebih tertarik pada seni tari. Aku membiarkannya memilih apa yang ia inginkan. Karena sebelumnya aku telah belajar banyak dari seorang pemuda. Ya, pemuda kurang ajar yang berani menarik-narik kerah bajuku di tengah kemacetan. Sejak saat itu, aku mulai berbenah dan mengubah sikapku kepada mahasiswa. Ah, aku jadi rindu sesuatu. Aku buka laci meja kerjaku berisi timbunan kertas nilai mahasiswa. Pada bagian dasar, aku keluarkan map plastik berwarna merah. Dari dalamnya aku ambil selembar surat kabar terbitan sepuluh tahun lalu. Di sana tampak jelas headline yang kadang masih menusuk hatiku. Diduga Stres Skripsi, Seorang Mahasiswa Meloncat dari Atap Kampus Surat kabar itu kujaga dengan sangat baik, semacam obat mujarab jika aku merasa muak akan pekerjaanku. Aku takkan melupakan kejadian itu, juga suara keras di depan kantorku ke esokan harinya. Aku mengalihkan pandangan ke seberang ruangan. Rini begitu bersemangat mengajar tari yang tak kumengerti pada anakanak polos berseri. Ah, ia kini tampak seperti burung Murai yang berkicau dengan merdu. Ah, betapa aku menyayanginya. ILUSTRASI : YANTI NURAYA SITUMORANG | SUARA USU


SUARA USU, EDISI 102, april 2015

sorot

puisi

Mari Cakap Bahasa Gaul Kota Medan Sri Wahyuni Fatmawati P

“Cemana-nya kau ini? Tadi jadi ko naik kereta ke pajak?”

K

utipan di atas akan sangat sering terdengar kalau sedang berada di Kota Medan. Saat mengucapkan kata cemana akan ada penekanan pada huruf ‘m’ sehingga seperti terucap dua kali. Kata cemana berasal dari kata ‘macam’ dan ‘mana’. Kata ko berasal dari ‘kau’. Selain itu ada lagi kata kek yang berasal dari ‘kayak’, cok dari coba dan lain sebagainya. Ada terjadi perubahan morfologis di dalam kata-kata tersebut. Prof Robert Sibarani, Guru Besar Antropolinguistik USU bilang penggunaan ragam bahasa di atas termasuk dalam bahasa slang, yaitu ragam bahasa tidak resmi yang digunakan suatu kelompok dengan maksud agar kelompok lain tidak mengerti dan sulit mengikuti. Selain bahasa slang, bahasa gaul di Kota Medan juga menggunakan sinonim. Ini berarti suatu daerah atau kelompok tertentu lebih memilih kata lain daripada kata dengan arti yang sebenarnya. Tapi semua kata-kata tersebut ada di dalam kamus, termasuk ragam bahasa baku. Sebut saja pemilihan kata ‘kereta’ untuk sepeda motor, ‘motor’ untuk mobil, ‘pajak’ untuk pasar dan ‘pasar’ untuk jalan raya, serta lainnya. Disampaikan Prof Robert, bahasa slang dan sinonim di Kota Medan berkembang sesuai konteks sosial, budaya, ideologi, dan situasi

si poken

mozaik 17

yang ada. “Itu bahasa gaul, bahasa pergaulan, bahasa keseharian, biasanya digunakan anak muda,” tuturnya. Apalagi dengan ragam etnis yang ada di Kota Medan, bahasa pergaulan yang ada jadinya beragam, karena pada dasarnya bahasa slang dan sinonim tadi digunakan dalam keseharian dan dengan orang-orang terdekat. Prof Robert bilang belum banyak penelitian mengenai ragam bahasa pergaulan yang ada di Kota Medan. “Malah sepertinya belum ada, padahal kalau dipikir-pikir unik juga,” sahutnya. Terlepas dari itu, bahasa gaul di Kota Medan bisa saja terbawa dan menjadi bahasa gaul kota lain di Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan adat budaya, konteks sosial, ideologi yang hampir sama. “Apalagi Medan ibukota provinsi, kota besar, tentu akan diikuti.” Pada dasarnya bahasa slang maupun sinonim ada di mana-mana. Dengan pola pembentukan yang juga sama. Namun, ragam bahasa bagaimana yang akan terbentuk itu tergantung daerahnya masing-masing. Bagaimanapun, bahasa gaul ini akan memaksa semua pendatang—baik dari sekitar Kota Medan atau daerah terjauh—untuk terbiasa dalam penggunaannya, malah mereka (pendatang) akan berbalik jadi penggunanya. Pun, bahasa gaul juga menjadi identitas suatu masyarakat apabila keluar dari daerahnya. Orang Medan tentu tak akan susah dikenali karena ragam bahasanya, selain aksen dan dialek kedaerahan yag dibawanya serta. Meskipun lama kelamaan akan luntur dan tergantikan dengan bahasa pergaulan tempat barunya. Selamat datang di Kota Medan, selamat bercakap-cakap, konkawan!

Surga Kecil

di Balik Tanda Tanya Gito Marnakkok Pardede Fakultas Pertanian 2011 Dia berlari, dua sampai tiga kilometer Membasahi punggung baju bocah kecil Kulit kuning mata cokelat, menunduk sekejap Dia terduduk dan termangu, menikmati sisa-sisa napas Di tanah kering bekas sawah Hanya hamparan lumpur jadi bebatuan Duduk sendiri dengan mata terpejam seakan berpikir Pandangan mengarah ke langit biru Ada awan domba-domba kecil di sana Adakah Tuhan di sana? Menggembalai dombanya? Dimanakah Tuhan? Disanakah? Ibu berkata begitu Di balik awan yang mulai hilang akibat teriknya panas Domba kembali pulang Aku tak temukan Tuhan Dahinya berkerut, tapi tidak menggerutu Dia hanya ingin tahu Jika ibu berkata begitu Kenapa surgaku malah di kaki sang ibu? Apa mereka sepakat membuatnya bingung? Mata masih tak terpejam Hati terus bertanya-tanya Kenapa ada surga di kaki ibu? Jika Tuhan ada di atas Siapa yg ada di surga kaki ibu? Dia menunduk melihat tanah Bertanya, apa yang ada di bawah? Keringatnya jatuh Semoga kalian tenang yang di bawah sana!!

Rekrutmen ISIS

ARMAN MAULANA MANURUNG | SUARA USU


18 potret budaya

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Simin

Simbol Kebersamaan Orang Batak

TUGU|ISimin

Keluarga Ompung Taronggal Togatorop di Desa Sialaman, Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara Sabtu (4/4). Simin dibangun sebagai tempat peristirahatan terakhir anggota keluarga yang sudah meninggal dalam adat Batak yang hingga sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. ERISTA MARITO OKTAVIA SIREGAR | SUARA USU

Erista Marito Oktavia Siregar dan Sri Wahyuni Fatmawati P

Secara filosofis, bangunan miniatur rumah ini tidak diwajibkan di adat Batak Toba. Namun, untuk simbol kebersamaan setelah meninggal dunia, orang Batak Toba bangun simin.

L

ima belas tahun lalu, keluarga Pomparan Ompung Taronggal membangun sebuah bangunan—lebih mirip dengan rumah kecil—di lahan seluas 10x15 meter di depan rumah. Bangunannya mirip rumah bolon—rumah adat Batak Toba— memiliki pintu, halaman, dan gerbang. Orang Batak Toba menyebutnya simin. Eben Siregar, pomparan Ompung Taronggal cerita awal keluarganya membangun simin. Simin dibangun sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi anggota keluarga yang sudah meninggal. Namun, tak semua anggota keluarga dapat dimasukkan ke dalam simin. Anggota keluarga yang bisa masuk ke dalam simin adalah semua anggota keluarga dari laki-laki yang telah memiliki cucu. Artinya, jika orang Batak meninggal dunia sebelum anaknya menikah, ia tidak diperbolehkan masuk simin. “Kalau ditanya kenapa, ya sudah adatnya,” sahut Eben. Eben bilang dalam pembangunannya juga ada adatnya. Pertama, meminta izin kepada dongan tubu (teman semarga). Tujuannya

untuk memberitahukan kepada dongan tubu niat sebuah keluarga untuk membangun simin. Setelah mendapat restu, dilanjutkan meminta izin kepada hula-hula (keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu). Meminta izin kepada keduanya dilakukan bersamaan dalam acara perjamuan makan. Eben cerita, peletakan tempat orang yang sudah meninggal pun tak sembarangan. Ada dua tingkat posisi untuk peletakan. Tingkatan pertama untuk Ompung Taronggal sedangkan tingkat ke-dua untuk keturunannya. Dua tahun setelah simin Ompung Taronggal rampung dibangun, mertua laki-laki Eben meninggal dunia. Dalam adat Batak, meninggalnya mertua Eben disebut dengan sarimatua, artinya meninggal dengan masih ada anak yang belum menikah. Pun, demikian tetap dimasukkan ke dalam simin karena sudah memiliki cucu. Prof Robert Sibarani, Guru Besar Antropolinguistik USU membenarkan bahwa simin memiliki arti dalam membangun kebersamaan orang Batak. Ia cerita, awal mulanya, bangunan yang berisi tulang-tulang (biasanya dipindahkan kalau sudah lama) orang yang sudah meninggal tidak disebut simin. Hanya tugu biasa. Namun, sejak bahan bangunan semen masuk ke Indonesia dan mulai berkembang di Sumatera Utara jadilah orang Batak mula berpikir untuk membangun tugu tersebut dari semen, biar lebih awet. Itulah kenapa akhirnya namanya berubah, dari semen menjadi semin atau simin (bahasa Bataknya semen).

Robert jabarkan sistem peletakan siapa-siapa saja yang berhak dimasukkan ke dalam sebuah simin. Pertama, diletakkan sesuai urutan kesaudaraan dan kedua belum boleh dimasukkan kalau tidak punya cucu. Robert contohkan pamannya. Saat meninggal pamannya belum memiliki cucu, beberapa tahun berselang, anaknya menikah dan memiliki anak. Saat itu, pamannya sudah boleh dimasukkan ke dalam simin. Sistem ini juga yang mengakibatkan kalau seorang anak dalam keluarga tersebut tidak memiliki keturunan maka ia tidak bisa dimasukkan ke dalam simin dan otomatis terhapus dari silsilah keluarga. Selain sang ibu, di dalam simin tidak ada perempuan lain. Anak perempuan akan ikut simin suaminya, bukan simin ayahnya. Itu berarti tiap simin adalah pohon ke-

luarga tiap laki-laki Batak. “Karena Batak memegang sistem patrilineal,” sahutnya. Dalam segi kebersamaan, Robert sepakat. Ia mencontohkan, untuk membangun simin seluruh keluarga besar akan berembuk dan saling urunan dalam menanggung biaya pembangunannya. Meskipun simin yang hendak dibangun bukan milik keluarga intinya. “Di situ letak kebersamaannya. Saling bantu dan jadi momen berkumpul.” Namun, simin tidak ada sangkut pautnya dengan derajat suatu keluarga dalam strata sosial masyarakat. “Kalau masih ada simin, berarti masih bersatu,” sahutnya. Robert bilang simin tidak hanya dimiliki oleh Batak Toba saja. Dulu, setiap suku Batak punya simin masing-masing, namun hanya masyarakat Batak Toba yang masih melakukannya hingga sekarang. IKLAN


riset 19

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

Apa Kabar Pema USU? Kepengurusan Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU Periode 2014-2015 kepemimpinan Brilian Amial Rasyid tinggal beberapa bulan lagi. Lantas, apa saja yang sudah diselesaikan sejauh ini? Apakah mahasiswa sudah merasakan program kerjanya?

1. Apakah Anda pernah atau tidak pernah mendengar tentang Pema USU?

Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 384 mahasiswa USU, di mana sampel diambil secara accidental dengan mempertimbangkan proporsionalitas di tiap fakultas. Kuisioner disebar dalam rentang waktu 14 hingga 18 Maret 2015 dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan sampling error lima persen. Jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat mahasiswa USU. Akhir kata, semoga riset ini dapat menjadi cermin bagi kepengurusan selanjutnya. (Litbang)

2. Apakah Anda tahu atau tidak tahu tentang Presiden Mahasiswa USU?

Tidak Tahu 43,04% Tidak 12% Ya

Tahu

56,96%

88%

3. Apakah Anda pernah atau tidak pernah mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Pema USU?

4. Jika pernah, kegiatan Pema USU apa yang Anda pernah ikuti? Sebutkan.

Pernah 17,48% Tidak 82,52%

Pema USU

Seminar 7,77% Mentoring akbar 2,27% Lomba 3,24% Tidak jawab

86,72%

5. Bagaimana menurut Anda peran Pema USU sejauh ini?

Baik

50,48%

Kurang baik 43,37%

Sangat baik 6,15%

7. Apakah Pema USU berpengaruh dan berkontribusi bagi USU? Sangat berpegaruh 5,83%

6. Apakah Anda merasakan pengaruh adanya pema tahun ini?

Tidak berpengaruh 40,78%

Ya 29,45%

Tidak 70,55%

Berpengaruh

53,39%

8. Menurut Anda apa kekurangan Pema USU periode ini? Sebutkan. Tidak jawab 42,39%

Kurang sosialisasi 29,46% Kurang aktif Keberadaannya 15,53% kurang berpengaruh 2,59%

Program kerjanya tidak jalan 10,03%


20 resensi

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

a y r Ka a n k a at M

r a S a r t s a S

dalamajinasi Im n a t u Bal Judul : Bastian dan Jamur Ajaib Penulis : Ratih Kumala Penerbit : Gramedia Tahun Terbit : 2014 Jumlah Halaman : 124 halaman Harga : Rp44.000 YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU

Yulien Lovenny Ester Gultom

Cerpen yang ia buat selalu bermakna. Kisah tokohnya mampu menerkam sisi kemanusiaan dan mengajak imanjinasi pembaca untuk bermain. Karya Ratih Kumala, selalu ajaib.

S

ebuah karya sastra tentu tak akan lengkap tanpa amanat. Amanat menjadi penting sebab dengannya kita tahu kehendak dan pesan apa yang ingin disampaikan si penulis. Ini yang dilakukan Ratih Kumala. Menyajikan pesan-pesan dalam kumpulan cerita pendek (cerpen) sebagai buku keenamnya, Bastian dan Jamur Ajaib. Sebelumnya, kumpulan cerpen karyanya sudah terbit pada 2006, Larutan Senja. Bedanya, jika Larutan Senja fokus pada kehidupan nyata manusia, Bastian dan Jamur Ajaib menyajikan kisah imajinasi yang malah terkesan ajaib. Namun tetap, sarat akan makna. Mengulas sisi imajinasi tinggi, sifat mistis dan gaib serta sulit dijangkau oleh nalar manusia menjadi pengisi cerita-ceritanya. Sebut saja cerpen Pacar Putri Duyung, kisah cinta anak manusia― Gede―dengan puti duyung. Gede, seorang peselancar profesional, bertemu putri duyung saat berselancar di laut Australia. Rasa penasaran menyebabkan ia teng-

gelam saat hendak memastikan apakah itu memang wanita cantik berekor ikan. Tak mau diombangambingkan ketidakpastian, tangan putri duyung pun coba digenggamnya. Apa daya, ombak menghantamnya dengan keras hingga ia jatuh dan tak sadarkan diri. Setelah diselamatkan dan kesadarannya terkumpul, orang-orang bertanya padanya, bagaimana ia bisa selamat dari seekor hiu putih yang berada tepat di sebelahnya. Batin Gede tak percaya. Ia yakin bola matanya melihat seorang putri berkaki seekor ikan. Makhluk itu indah tak seperti hiu yang punya raut menyeramkan. Gede sampai saat ini masih tetap menanti kehadiran sang putri tapi dengan cara berbeda. Ia bergabung dengan komunitas penyelamat hiu putih. Semua orang heran ia mau menyelamatkan hewan yang hampir membunuhnya. Satu kalimat terlontar, “Saya sudah melihat dari dekat. Mereka adalah makhluk yang cantik.� Kisah absurd lain ialah cerpen Nenek Hijau. Diceritakan seorang nenek berkemben hijau yang merenggut keperjakaan tiap anak laki-laki, caranya dengan menyetubuhi mereka. Konon, para lelaki yang disetubuhi Nenek Hijau tak akan mendapatkan jodoh sebab tak ada perempuan yang akan mau menikahi pria yang tidak perjaka.

Digambarkan dalam cerita ini bahwa hal inilah yang menyebabkan kisah cinta sesama jenis mulai berkembang. Disebabkan para lelaki tak mendapat pasangan dan perempuan perawan tidak memiliki pasangan untuk menikah karena tidak mau menikah dengan lelaki tidak perajaka. Ini berbeda dengan kehidupan zaman sekarang, di mana perempuan yang tak perawan dianggap hina dan kotor serta dikucilkan dari masyarakat. Sedangkan dalam cerpen ini, Ratih memutarbalikkan keadaan, lelaki yang menempati posisi itu. Intinya, kedua insan lelaki atau perempuan harus menjaga dirinya, karena masing-masing individu sangat berharga. Cerita lain punya ide yang lebih sederhana namun tetap memiliki pesan moral. Seperti cerpen Telepon. Ratih ceritakan bagaimana Anggit selalu gembira menerima panggilan telepon. Anggit dan telepon punya ragam cerita tentang Krisna. Melalui telepon ia berjumpa dengan Krisna. Melalui telepon pula ia rela mencuri tiap receh untuk menelepon Krisna. Melalui telepon ia menjalin cinta dengan Krisna secara sembunyi-sembunyi dari kedua orang tuanya dan melalui telepon akhirnya ia menemukan sosok yang kelak menjadi suaminya. Ia selalu menantikan dering telepon setiap hari dan teleponlah yang memberitahunya bahwa Krisna meng-

khianatinya. Masih ada sepuluh kisah lainnya yang juga mampu mengacak imajinasi kita. Keretamu Tak Berhenti Lama, Lelaki di Rumah Seberang, Nonik, Ode untuk Jangkrik, Tulah, Ah Kauw, Rumah Duka, Foto Ibu, Bau Laut, dan cerpen yang menjadi judul buku, Bastian dan Jamur Ajaib. Terletak di halaman belakang sampul buku, pembaca akan menemukan sebuah kalimat. Jamur ini bukan sembarang jamur, jamur ini mampu membuka luka hati siapapun yang memakannya. Buku ini bukan sembarang buku. Buku ini mampu membuka dunia imajinasi yang penuh makna. Kelihatannya Ratih memang sengaja membuat cerita dengan ide sederhana namun sulit ditangkap oleh logika. Pun Ratih tak abai memasukkan pesan-pesan yang sarat dengan nilai sosial dan aturan norma. Buku ini termasuk jenis didaktif: karya sastra dengan isi yang mendidik pembacanya mengenai moral, tatak rama dan agama. Hanya ada satu yang saya sesalkan. Pasalnya sembilan dari tiga belas cerpen yang disajikan sudah pernah dipublikasikan sebelumnya. Coba saja masukkan beberapa judul cerpen yang ada di buku ini ke mesin pencari internet, ratusan hasil telusuran akan ditemukan. Walau begitu, masih ada empat cerpen baru yang ditambahkan oleh Ratih.


SUARA USU, EDISI 102, april 2015

iklan 21


22 iklan

SUARA USU, EDISI 102, april 2015


SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

17 Maret 2015

momentum 23

25 Maret 2015

Brilian Reshuffle Lima Menteri Kabinet Pema USU

Rapat, MWA USU Belum Bahas Pergantian Rektor

Lima orang menteri Pemerintahan Mahasiswa USU di-reshuf�le oleh Presiden Mahasiswa Periode 2014-2015 Brilian Amial Rasyid sejak 8 Maret. Kelimanya ialah menteri dalam negeri (mendagri), menteri komunikasi dan informasi (menkominfo), menteri luar negeri (menlu), menteri pendidikan, penelitian, dan pengembangan (mendiklitbang) serta menteri pengembangan sumber daya manusia (menteri PSDM). Hal ini disampaikan Mendagri Pema USU yang baru, Achmad Fadhlan Yazid, Senin (23/3). Reshuf�le terjadi karena menteri-menteri bersangkutan ada yang mengundurkan diri, sudah tidak aktif lagi, dan wisuda. Mendagri Pema USU sebelumnya Ichsan Syah Lubis di-reshuf�le karena mengundurkan diri dengan alasan fokus menyelesaikan tugas akhir. Abdul Rahman, Menteri Luar Negeri Pema USU yang di-reshuf�le berharap dengan pergantian menteri pema dapat merealisasikan program kerja yang belum terlaksana. (Rati Handayani)

RAPAT Majelis Wali Amanat (MWA) USU pada Minggu, 15 Maret, belum bahas pergantian rektor. Prof Subhilhar, anggota MWA Periode 2009-2015 katakan ini dikarenakan tidak cukupnya waktu pembahasan disebabkan membahas tafsiran mengenai Peraturan MWA USU Nomor 2 Tahun 2014 pasal 8. Sebelumnya, Sekretaris MWA Periode 2009-2015 Prof Alvi Syahrin bilang rapat MWA yang digelar itu akan bahas perihal pergantian rektor sebab masa jabatan Rektor Prof Syahril Pasaribu akan habis pada 31 Maret. Alasan laInnya dikarenakan Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Jenderal Perguruan Tinggi yang mewakili Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan rombongan harus segera balik ke Jakarta. Prof Subhilhar katakan MWA akan menggelar rapat lagi terkait pembahasan pergantian rektor minggu depan. (Rati Handayani)

25 Maret 2015

Konsolidasi Akbar Pema USU

19 Maret 2015

KAP Soroti Pencatatan Piutang dan Kerja Sama USU KANTOR Akuntan Publik (KAP) Drs J Tanzil dan Rekan soroti pencatatan piutang dan kerja sama USU pada laporan keuangan dalam Standar Akutansi Keuangan (SAK) USU 2014, disampaikan oleh Wakil Rektor II Prof Armansyah Ginting, Selasa (17/3). Ia tambahkan, KAP meminta USU mengganti pencatatan piutang USU dari cash basis menjadi sistem accrual basis. Mengenai keuangan, KAP juga mempertanyakan utang Malaysia pada USU terkait kerja sama USU dengan Allianze College of Medical Sciences (ACMS) di bidang pertukaran pelajar. Sementara itu di bidang perencanaan, KAP minta data dari kerja sama USU dengan pihak swasta, pemerintah kota, maupun pemerintah kabupaten. Kini, KAP sudah dalam proses penyelesaian audit laporan keuangan USU. Tanggapan USU atas laporan yang diperiksa KAP akan berpengaruh atas opini laporan keuangan nantinya. (Tantry Ika Adriati)

PRESIDEN Mahasiswa USU Brilian Amial Rasyid (paling kiri) berorasi di hadapan mahasiswa USU, Selasa (24/3). Konsolidasi akbar dilakukan Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU di depan Pendopo bersama pema fakultas dan mahasiswa se-USU bertujuan untuk mengevaluasi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. (Dewi Annisa Putri)

Menari Tarian Daerah

27 Maret 2015

IKLAN

KELOMPOK tari dalam Pagelaran Live Art Performance Of Ethomusicology (L.A.P.E.T) menarikan beberapa jenis tarian daerah dalam acara Ethno’s Grand Stage, Kamis (26/3) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Ethno Grand Stage merupakan acara yang diadakan oleh Departemen Etnomusikologi FIB yang bertujuan menampilkan berbagai kreasi seni secara langsung kepada mahasiswa. (Yulien Lovenny Ester Gultom)


24 profil

SUARA USU, EDISI 102, APRIL 2015

g n i t n i G a d n a n y r T i s e D ri Melayu

a T t a w e L t u alkan Sum

Ken Tantry Ika Adriati

Gadis ini punya cara sendiri kenalkan budaya Sumatera Utara (Sumut). Tari Melayu jadi andalannya.

I

a sedang menari di atas panggung, kakinya menghentak di atas tikar, langkahnya mengikuti entakan gendang. Jemarinya beringsut, senada dengan gerak kaki dan tubuh. Bergerak serentak, cepat, dan lincah. Di akhir, suara tepuk tangan mengakhiri Tari Zapin yang ia bawakan bersama temantemannya. “Lega, bisa tampil maksimal waktu itu,” cerita Desi Trynanda Ginting. Dari banyak acara yang diikuti, hari itu yang paling membekas. Ia senang bisa tampil di hadapan warga Provinsi Yala, Thailand Februari silam. Saat itu Wali Kota Provinsi Yala mengundang beberapa penari untuk menarikan Tari Melayu. Salah satunya Desi dan kawan-kawan. Meski tak paham apa yang diucapkan Wali Kota Yala, ia melihat aura bahagia dari wali kota usai menonton penampilannya. Ia bangga bisa mewakili Sumut. Ia mengingat kali pertama menggeluti dunia tari sejak masuk SMA. Awalnya, ia diajak teman-teman mengikuti kelas tari di sekolahnya. Saat itulah, Desi bertemu Joni, guru menarinya. Ia mulai rutin latihan, beberapa kali mengikuti lomba. Tak lama, saat kelas tiga SMA,

Joni mengajaknya berlatih di Sanggar Sumatera Ethnic. Ia sepakat, sebab ingin dalami Tari Melayu. Di sana, ia diajar menari oleh Joni dan Kairuma Anhar. Mulai Melayu hingga Batak ia tarikan. Hampir tiap hari ia habiskan waktu untuk latihan. “Soalnya dua minggu sekali pasti ada kegiatan,” ujarnya. Tak jarang ia tinggalkan kuliah, bahkan sempat merasakan indeks prestasinya menurun saat semester III. Alhasil, Desi akhirnya fokus kuliah. Ia batasi latihan menjadi seminggu dua kali. Namun, tiga bulan kemudian ia kembali rutin latihan setiap hari. “Aneh rasanya enggak latihan,” ungkapnya. Baginya, menari jadi hobi yang tak dapat dipisahkan. Karenanya, sebisa mungkin ia bagi waktu untuk kuliah dan menari. Memang susah, ia tak pungkiri. Kebiasaan ini menuntutnya untuk tetap sehat. Syukurnya, ia dan teman-teman sanggar mendapatkan vitamin yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh. Dalam menari, ia selalu dapat dukungan dari keluarga dan temantemannya. Bahkan hobi menarinya sudah digali sejak kecil. “Dulu waktu TK (taman kanak-kanak –red) diajak Mama ikut lomba tari,”

BIODATA Nama: Desi Trynanda Ginting Tempat, tanggal lahir: Berastagi, 21 Januari 1994 Pendidikan: SD Letjen Jamin Ginting Berastagi (1999-2005) SMP Negeri 1 Berastagi (2005-2008) SMA Islam Amir Hamzah Medan (2008-2011) Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (2011-sekarang) Penghargaan: Juara I Kreasi Melayu se-Sumatera utara tahun 2011 Juara I Terfavorit Lomba Kebudayaan di Indonesia tahun 2010 Juara III Tari Kreasi Melayu se-Kota Medan tahun 2014 Riwayat Organisasi: Sanggar Sumatera Ethnic SUMBER : DOKUMENTASI PRIBADI

ujarnya. Widya Nurul Putry Ginting, kakak pertama Desi juga rasakan hal sama. Ia melihat bakat menari Desi sejak kecil. “Di rumah dia sering nari-nari sendiri,” ungkapnya sambil tertawa. Widya cerita Desi jarang di rumah dan ada waktu buat keluarga. Sebagian besar waktunya dihabiskan di sanggar, latihan menari. Meski begitu, ia punya tempat tersendiri di hati keluarganya. “Desi itu lucu, kalau enggak ada di rumah aneh rasanya,” sahut Widya. Mengapa Tari Melayu? Ia tersenyum saat ditanyai mengapa memilih fokus pada Tari Melayu. “Menarik, bisa dikreasikan,” jawabnya. Ia bilang, Tari Melayu beda dengan tari daerah Sumut lain yang gerakannya cenderung sama. Karenanya ia leluasa berkreasi dengan gerakan-gerakan Tari Melayu. “Apalagi musiknya cepat, dan ngebeat,” katanya. Pun keunikannya adalah pada posisi tubuh yang harus lentur. Gerakannya cepat, musiknya semangat, dan hentak kaki harus konstan, makanya harus didukung oleh tubuh yang lentur. “Di situ terlihat tantangannya.” Alasan lainnya, memang karena guru tarinya ahli Tari Melayu dan kerap mengajarinya. Disiplin dan rutinitasnya mengikuti latihan tak sia-sia. Usahanya buahkan hasil, ia kerap juarai lomba tari di tingkat provinsi dan nasional. Atas prestasinya, Desi dan teman-temannya sering diundang ke luar negeri untuk menari. Namun, ada yang berbeda. Selepas menyelesaikan pendidikannya, ia ingin bekerja di media, namun tetap melanjutkan hobinya di dunia tari. Selain berkarir di media, ia bercita-cita merekrut anak-anak yang mau belajar tari di sekolah-sekolah dan mengajarnya. Menurutnya, tak banyak wadah untuk menari bagi siswa-siswa. Oleh karena itu, ia ingin berbagi ilmu menarinya dan menanamkan betapa menyenangkannya menari Tari Melayu. IKLAN


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.