94 utk online

Page 1

EDISI

94

XVIII/OKTOBER 2013

Rp 3000 ISSN 1410-7384

SUARAUSU.CO PODJOK SUMATERA UTARA SELAMAT TINGGAL POLONIA LAPORAN KHUSUS CERITA DARI BILIK TANJUNG GUSTA


2 suara kita lepas

Pema USU, Hidup Segan Mati Enggan

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

suara redaksi

Redaksi

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

WAWANCARA MAGANG

Dua orang calon anggota magang diwawancarai oleh anggota Pers Mahasiswa SUARA USU pada wawancara calon anggota magang Pers Mahasiswa SUARA USU periode II tahun 2013, Minggu (15/9). Sebanyak 83 mahasiswa baru dari berbagai fakultas mendaftar sebagai calon anggota magang.

Salam Jurnalistik! Tak terasa sudah memasuki tabloid yang ke empat dalam tahun ini. SUARA USU tak bosannya men­ yuguhkan sajian seputar berita hangat di sekitar kampus maupun di Sumatera Utara yang dikupas secara perspektif mahasiswa. Ber­ bagai masukan di edisi lalu kami realisasikan di edisi tabloid 94 ini. Semoga pembaruan dan perbaikan diedisi kali ini dapat meningkatkan kenyamanan para pembaca dalam mengambil informasi yang kami sajikan. Pada edisi 94 ini, kami meng­ angkat Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang baru saja diterapkan pada mahasiswa angkatan 2013 pada rubrik Laporan Utama. Awal mula penerapan UKT hingga tata cara dan peraturannya menuai banyak kontroversi di kalangan maha­ siswa. UKT sendiri dinilai tak se­ suai dengan tujuan awal menuju ‘kampus berkeadilan’. Kurangnya sosialisasi dan informasi lengkap soal UKT menjadi kendala utama dalam penerapan UKT. Cerita calon mahasiswa yang tak jadi kuliah di USU dengan alasan tak mampu

suara sumbang

bayar akibat biaya UKT yang ke­ luar tak sesuai juga dikisahkan dalam rubrik ini. Untuk rubrik Laporan Khusus, simak kondisi para narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakat­ an Tanjung Gusta, Medan pasca kisruh di awal Juli silam. Tidak di­ perlakukannya secara manusiawi dan tak ada fasilitas yang memadai membuat para napi memberontak menuntut hak mereka. Apa saja se­ benarnya kegiatan sehari-hari yang dilakukan para napi di LP Tanjung Gusta ini? Sila baca di halaman 14 dan 15. Sudah 1 tahun 9 bulan, Peme­ rintahan Mahasiswa (Pema) USU 2011 sudah menjabat. Tak adanya alat tulis kantor dan anggota yang sudah tak lengkap lagi menjadi ala­ san Pema USU tak segera lakukan kongres demi tergantinya pengu­ rus yang baru. Pema Fakultas yang tergabung dengan nama Pema Sekawasan terus mendesak mem­ bentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilihan Raya tanpa adanya kongres. Pembantu Rektor III juga mengaku tak bisa ikut cam­ pur dalam masalah ini. Ada juga kisah tentang minimnya maha­

siswa yang mengikuti Pengabdian masyarakat dan alasan-alasan di­ lakukannya Pengabdian masyara­ kat. Simak juga tentang USU yang mengeluarkan surat edaran diha­ puskannya tradisi inaugurasi yang sudah ada di fakultas sejak dulu. Semua informasi tersebut kami rangkum dalam rubrik Ragam. Ada juga sosok Anggi Hayani­ Harahap, mahasiswi Fakultas Ke­ dokteran Gigi 2009 yang ternya­ ta juga lihai menilik peluang wirausaha. Anggi memiliki ide menarik untuk mengganti phantom (gigi palsu) dengan boneka gigi sebagai alat peraga dalam penyuluh­an yang tersaji dalam rubrik Profil. Ada juga cerita ten­ tang sanggul marata, rangkaian dedaunan segar yang diletak­ kan di bagian kepala. Tradisi ini dipakai oleh orang Batak, mini­ mal yang sudah memiliki cucu. Simak kisah lengkapnya di Potret Budaya di halaman 18. Sekian salam hangat dari re­ daksi SUARA USU. Semoga berba­ gai informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat dan membawa perubahan positif bagi kita semua. Selamat membaca! (Redaksi)

suara pembaca

Almamater 2012

AULIA ADAM | SUARA USU

B

elakangan sekelompok yang menyebutkan dirinya Peme­ rintahan Mahasiswa (Pema) Sekawasan tengah disibukkan dengan satu rancangan besar untuk satu perhelatan akbar tahunan yang seharusnya dilaksanakan sembilan bulan yang lalu. Ialah Pemilihan Raya (Pemira) USU. Tidak hanya mengganti koordinator yang baru, berkali pema sekawasan telah mendatangi Pembantu Rektor (PR) III un­ tuk melakukan audiensi persoal pergan­ tian Pema USU. Pema sekawasan seperti tak ingin menunda lagi, Pema USU sudah seharusnya berganti yang baru. Di lain pihak, yang menyatakan (masih) anggota aktif Pema USU tetap bersikukuh untuk melaksanakan diadakannya kong­ res. Kongres pembahasan Tata Laksana Ormawa (TLO) serta Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) di­ rasa penting untuk kepengurusan selan­ jutnya. Hanya dirasa, hanya bicara, bahkan koordinasi internal saja sudah tidak ada. Kalau sudah begini kita seakan di­ ingatkan kembali pada kejadian Pema USU periode sebelum ini. Sebelum adanya kepengurusan Pema USU 2011, vacum of power Pema USU beberapa bulan setelah kepengurusan sebelumnya juga terjadi. Sama masalahnya, masa jabatan sudah melewati batas pada TLO dan tidak ada gaung untuk mengakhiri kepengurusan sebagaimana mestinya. Akhirnya, pema sekawasan kala itu juga yang bertindak membentuk KPU. Mari kita lihat kembali akar perma­ salahan Pema USU. Dalam TLO, pasal 18 mengenai Ketentuan Khusus, pada ayat 2 dijelaskan bahwa presiden dan wakilnya tidak diperkenankan meninggalkan tugas maksimal 30 hari tanpa alasan yang jelas. Sejak Agustus lalu, Presiden Mahasiswa (Presma) USU sendiri seakan lari dari berbagai masalah ini, Sampai PR III yang mengeluhkan tak bisa meng­hubungi Sang Presiden. Sedangkan sang wakil presiden sudah dahulu menanggalkan kepenguru­ san karena wisuda. Pun, lima dari menteri dalam kabinetnya. Mereka melenggang dengan topi toga kebanggaan dan melupakan satu amanah yang masih dipikul di pundaknya. Pikulan di pundak para pejabat kampus yang telah pergi inilah yang sekarang menjadi beban untuk segera di lepaskan. Satu periode kepengurusan tentu bu­ kan hanya pahit kenangan yang ingin dikenang. Pembelajaran yang seharusnya diwariskan. Bagaimana ke depan riwayat Pema USU seharusnya menjadi tanggung jawab baru bagi insan berpikir di USU dari semua lini. Pema Sekawasan telah mulai merapat­ kan barisan. Mereka tidak akan melaku­ kan serangan untuk yang sudah menjem­ put sendiri kesudahan. Tinggal yang masih segan untuk menyelesaikan keberlang­ sungan. Tidak ada lagi yang harus disele­ saikan oleh kepengurusan Pema USU yang lalu. Semua telah jelas pada koridor yang menyimpang. Pembenahan kembali dari akar yang harus menjadi rancangan.

Polisi diteror penembak tak dikenal Aduh Pak! Cemana ni, pihak keamanan aja udah tak aman, cemana kami? Pemerintah canangkan mobil murah di Indonesia Kalau semua orang pakai mobil, siapa yang mau kasih makan anak tukang becak?

Jaket almamater stambuk 2012 apa kabar? Mengapa lama sekali. Apa itu proyek khayalan belaka atau memang hak mahasiswa. Cristian Surbakti Fakultas Ilmu Budaya 2011

Loker Perpustakaan

Loker tas di perpustakaan harusnya ditambah. Banyak mahasiswa yang tak bisa masuk garagara loker penuh. Harus antri. Padahal Per­ pustakaan USU besar dan koleksi bukunya juga lengkap. Komputernya juga perlu diservis. Zuzra Hariati Fakultas Pertanian 2011


SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

kata kita

suara kita 3 ­

Pro Kontra Tolak Ajang Kontes Kecantikan Mizratul Aini Fakultas Keperawatan 2011

Kita mayoritas muslim, di dunia semuanya sarat akan maksiat. Penolakan meru­ pakan salah satu cara untuk mengaspirasikan suara atas ketidaksetujuan umat Islam. Kontes itu sama sekali tidak menguntungkan.

S

etiap kontes kecantik­ an dilaksanakan baik di dalam dan luar nege­ ri, banyak organisasi kemasyarakatan (or­ mas) yang menggelar aksi pe­ nolakan terhadap ajang terse­ but. Bagaimana mahasiswa USU menanggapi hal ini? (Wenty Tambunan)

Stop berpikir negatif, tidak ada gunanya. Buat ormas yang melakukan demonstrasi, mari merenung dan mendukung satu sama lain. Melalui ajang terse­ but semoga Indonesia semakin baik dan dikenal di mata dunia.

Arum Nur Indah Sari Fakultas Ekonomi 2009

Fitri Melia Tambunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2010

Setuju ada ormas melakukan pe­ nolakan. Karena sangat bertentang­ an dengan budaya Indonesia yang mayoritas muslim. Seharusnya kaum muslim juga ikut menolak. Tetapi kita menyuarakan pendapat terkait ajang tersebut. Tidak per­ nah ada sejarahnya di kontes ke­ cantikan yang gendut menjadi pe­ menang. Murni Indonesia hanya ajang maksiat atau mengumbarkan aurat, itu berarti budaya barat me­ liberalisasikan budaya Indonesia.

Ormas yang berdemo itu ibarat brand handphone canggih yang selalu gitu aja tapi gak mau berinovasi. Seharus­ nya ormas realistis, ini globalisasi. Ajang kecantikan memang ada dam­ pak negatif dan positifnya. Negatifnya banyak tayangan yang seharusnya ti­ dak ditampilkan gak dikomen, giliran yang menonjolkan kekayaan Indone­ sia dari segi kebudayaan, makanan, dan kekayaan alam ada saja pihak yang menolak.

Daniel Sofian Siahaan Fakultas Pertanian 2012

Secara tidak langsung ormas melakukan tindakan demonstrasi mem­ buat negara nya sendiri jelek di mata Internasional padahal kontes kecantikan bukan kecantikan luar yang utama tapi lebih kecantikan dari dalam. Mengapa ormas terlalu sibuk mengurus sesuatu yang eng­ gak perlu mereka urus, mungkin ormas berpikir bahwa kecantikan Yohanes Nataleo Aritonang jasmani adalah ajang untuk menjual tubuh wanita saja tapi mereka Fakultas Ilmu Budaya sendiri tidak tau apa makna tertentu yang ada dalam kegiatan terse­ 2012 but, cara berdemo adalah cara yang berlebihan. FOTO-FOTO: WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

konten suara kita laporan utama opini dialog ragam

2 4 8 9 10

galeri foto podjok sumut laporan khusus mozaik potret budaya

12 13 14 16 18

riset resensi iklan momentum profil

19 20 21 23 24

DESAIN SAMPUL: AUDIRA AININDYA

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Debora Blandina Sinambela Sekretaris Umum: Sri Handayani Tampubolon Bendahara Umum: Pebri Hardiansyah Pohan Pemimpin Redaksi: Ipak Ayu H Nurcaya Sekretaris Redaksi: Audira Ainindya Redaktur Pelaksana: Hadissa Primanda Koordinator Online: Aulia Adam Redaktur: Apriani Novitasari, Cristine Falentina Simamora, Mezbah Simanjuntak Redaktur Foto: Rida Helfrida Pasaribu, Sofiari Ananda Redaktur Artistik: Gio Ovanny Pratama Reporter: Elfiyanti Zega, Erista Marito O Siregar, Lazuardi Pratama, Rati Handayani, Ridho Nopriansyah, Sri Wahyuni Fatmawati P Fotografer: Andika Syahputra, Wenty Tambunan Desainer Grafis: Audira Ainindya, Yanti Nuraya Situmorang Ilustrator: Yanti Nuraya Situmorang, Wenty Tambunan Pemimpin Perusahaan: Baina Dwi Bestari Manajer Iklan dan Promosi: Maya Anggraini S Manajer Produksi dan Sirkulasi: Ferdiansyah Desainer Grafis Perusahaan: Siti Alifa Sukmaradia Staf Perusahaan: Sonya Citra Brastica, Abdillah Menri Munthe, Yayu Yohana Kepala Litbang: Izzah Dienillah Saragih Sekretaris Litbang: Malinda Sari Sembiring Koordinator Riset: Fredick BE Ginting Koordinator Kepustakaan: Renti Rosmalis Koordinator Pengembang­an SDM: Guster CP Sihombing Staf PSDM: Riska Aulia Sibuea Staf Riset: Mutia Aisa Rahmi Staf Kepustakaan: Shella Rafiqah Ully

Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia

ISSN: No. 1410-7384 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara 20155 E-mail: suarausu_persma@yahoo.com Situs: suarausu.co Percetakan: PT Medan Media Grafika (Isi di luar tanggung jawab percetakan) Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Peristiwa (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Profil (FC) Rp 1500/mm kolom Informasi Pemasangan Iklan dan Berlanggan­an, Hubungi: 085373932285, 085270772526 Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email: suarausutabloid@ymail.com


4 laporan utama

Uang Kuliah Timpang

SUARA USU, EDISI 94, oktober 2013

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

DEMO UKT

Front Mahasiswa Sumatera Utara (FROM-SU) melakukan aksi unjuk rasa menolak uang kuliah tunggal, November 2012 lalu.

Teori Pengantar UKT Koordinator Liputan: Fredick B E Ginting Reporter: Lazuardi Pratama, Yanti Nuraya S, dan Fredick BE Ginting

Niatnya meringankan beban mahasiswa terhadap biaya pendidikan. Pemerintah me­ ngeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 bernama UKT. Fredick B E Ginting

P

uluhan civitas akademika kam­ pus dari berbagai fakultas tengah ber­ kumpul di ruang Indonesia, Malaysia, Thailand Gathering Together (IMT-GT), Biro Pusat Administrasi, Sab­ tu (23/3). Mereka diundang untuk mendengarkan sosia­ lisasi dari Prof Armansyah terkait isu yang berkembang saat itu, Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pada pertemuan tersebut, PR II Prof Armansyah Ginting menyampaikan tiga kesim­ pulan yang ia bawa dari per­ temuan bersama PR II per­ guruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia yang berlang­ sung di Denpasar, Bali (21/3). Pertama, PR II se-Indonesia tidak menandatangani surat pernyataan yang diminta Di­ rektorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) karena

aturan UKT belum jelas. Ke­ dua, PR II PTN se-Indonesia meminta kepada Majelis Rek­ tor Perguruan Tinggi Negeri (MR PTN) untuk bicarakan kembali dengan Dikti. Tera­ khir, apabila UKT dijalankan atau peraturan menteri (per­ men) keluar, “Kita exercise angka lagi, kita harus hormati asas-asas keadilan,” tambah­ nya. Sebelumnya, Dirjen Dikti telah mengeluarkan surat edaran bernomor 97/E/ KU/2013 mengenai UKT. Melalui surat itu, Dirjen Dikti meminta perguruan tinggi menghapus uang pangkal bagi mahasiswa baru (maba) program S1 Reguler mulai Tahun Akademik 2013-2014 dan menetapkan juga melak­ sanakan tarif UKT bagi mere­ ka. “Terus terang, kami (PR II se-Indonesia–red) sedih,” kata Prof Armansyah. Hal terse­ but disebabkan Dirjen Dikti belum memberikan aturan dan petunjuk yang jelas. Se­ mentara PTN sudah diminta menetapkan tarif UKT. “Ke­ napa bicara dulu, baru nyusun petunjuknya,” tambahnya. Petunjuk yang dimaksud adalah rumus mencari besar­ an UKT yang akan diterap­ kan. Anggota Senat Akademik

Iskandar Zulkarnain saat itu mengatakan, “Dalam hitungan UKT akan terjadi kenaikan, siapa yang rela SPP (Sumbang­ an Pembinaan Pendidikan –red) naik meskipun SPP USU yang termurah.” Pembantu Dekan II Fakultas Ekonomi (FE) Arifin lubis menjelaskan sebagian besar pengolahan UKT adalah

Sebenarnya UKT penuh itu juga berkeadil­an. Pada saat seseorang meng­isi data dengan maksimal, maka dia capai pembayaran SPP penuh Bisru Hafi milik universitas. Sementara, fakultas hanya diberi peran untuk mengumpulkan hasil perhitungan unit cost dari tiap departemen. Kemudian

fakultas menyerahkan unit cost kepada universitas un­ tuk diolah menjadi uang ku­ liah yang dibayar mahasiswa per semester. “Fakultas tidak meng­urusi UKT, cuma mem­ beri kuliah,” ucap Arifin. Contohnya, ia memapar­ kan unit cost Departemen Ekonomi Pembangunan ter­ diri dari beberapa poin, yaitu honor dosen dan pegawai, bi­ aya perlengkapan kuliah sep­ erti spidol, serta biaya gedung. Poin tersebut sama di setiap departemen di FE. Namun, se­ tiap departemen punya biaya masing-masing yang membe­ dakannya dari departemen lain. Perbedaan biaya ada pada unit cost. Departemen Akun­ tansi lebih mahal daripada Departemen Manajemen, karena Departemen Akun­ tansi punya lebih banyak mata kuliah dibanding Departemen Manajemen. Menurut Arifin, biaya tersebut tidak mahal karena disesuaikan dengan fasilitas. “Ini semua enggak ada yang sampai delapan juta,” ujarnya sambil menunjukkan kertas daftar unit cost FE. Ia mengatakan yang mengolah data unit cost menjadi UKT dan memasukkan ke dalam rumus dilakukan tim Badan

Pusat Administrasi (BPA). “Ada aturannya, supaya ma­ sukkan rumus itu, orang biro,” jelasnya. Dalam rentang tiga bulan pasca keluarnya surat eda­ ran UKT. Pemerintah menge­ luarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 55 ta­ hun 2013 tentang biaya kuliah tunggal (BKT) dan UKT pada 23 Mei lalu. Pada dasarnya, Permen­ dikbud merupakan turunan dari Pasal 88 Ayat 5 UndangUndang (UU) Nomor 12 Ta­ hun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Permendikbud meme­ rintah PTN untuk menetapkan sistem UKT. Dasar penyusun­ an UKT adalah Pasal 88 Ayat 3-4 UU No 12 Tahun 2012. Salah satu poin pentingnya yaitu biaya yang ditanggung mahasiswa harus sesuai de­ ngan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua, atau pi­ hak yang membiayainya. Sebagai respon, USU kem­ bali melakukan sosialisi akhir Mei lalu. Prof Armansyah menjelaskan proses perhi­tu­ ngan UKT didasarkan pada tiga poin utama, yaitu stan­ darisasi nasional, jenis prog­ ram studi (prodi), dan indeks kemahalan wilayah.


Uang Kuliah Timpang

SUARA USU, EDISI 94, oktober 2013 Bak menerangkan teori pengantar tentang UKT, dalam bahan konferensi pers yang di­ luncurkan Kemdikbud dijelas­ kan UKT merupakan hasil dari nilai BKT dikurang Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BKT dihitung dengan cara mengalikan tiga poin dengan BKT basis yang dihitung dari data yang ada di PTN. BKT basis itu bernilai Rp 5,08 juta. Indeks prodi dihasil­ kan dari perhitungan data dari PTN berkaitan dengan perhi­ tungan biaya operasional yang harus dikeluarkan mahasiswa selama mengikuti pendidikan sesuai prodi. Indeks mutu perguruan tinggi dicari dengan jalan membandingkan data riil bi­ aya operasional prodi dari berbagai PTN. Indeks tertinggi dimiliki Institut Teknologi Bandung dengan nilai 1,5. Se­ mentara Universitas Indone­ sia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor bernilai1,2. USU bersama den­ gan PTN lainnya mendapat ni­ lai indeks 1. Indeks kemahalan wilayah ditentukan berdasarkan posisi wilayah PTN bersangkut­an. Berturut-turut nilai indeks PTN di wilayah 1, 2, dan 3 adalah 1, 1,1, dan 1,3. USU sendiri berada di wilayah 1. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Bisru Hafi me­ ngatakan dengan adanya UKT akan mengefektifkan pem­ bayaran biaya akademik yang dilakukan mahasiswa. “Kalau mahasiswa lama harus bayar DKA (Dana Kelengkapan Aka­ demik –red) di awal,” kata Bis­ ru. Sementara bagi maba yang dikenakan sistem UKT tidak akan membayar biaya apapun selain UKT yang terdiri dari uang gedung, SPP, uang prak­ tikum, uang Satuan Kredit Se­ mester (SKS), dan uang wisu­ da dikumpulkan menjadi UKT. Pemerintah berharap dengan sistem ini, pengelolaan dan pengendalian lebih mudah di­ lakukan. BOPTN adalah dana rutin yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu mengurangi biaya pendidikan tinggi yang harus dikeluarkan maha­ siswa. Contoh alokasi BOPTN 2013 yang dirilis Kemdikbud USU memperoleh sekitar Rp 47 miliar rupiah. Sebagai perbandingan UI mendapat sekitar Rp 226 mili­ar dan Uni­ versitas Jenderal Soedirman mendapat sekitar Rp 16 miliar rupiah. UKT Penuh dan UKT Berkeadilan Perbedaan penerapan sistem UKT dengan sistem sebelumnya terletak pada ada­ nya pengisian form yang harus dilakukan oleh calon maha­ siswa untuk mendapatkan

besaran biaya akademik yang harus ditanggung. Dalam form itu diberi pilihan apakah akan membayar UKT penuh atau UKT berkeadilan. UKT penuh adalah biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh seorang mahasiswa un­ tuk kuliah 1 (satu) semester, tergantung pada prodi di mana mahasiswa tersebut kuliah. Nilai UKT penuh ini dihitung berdasarkan Unit Cost atau akuntansi biaya hasil dari pen­ jumlahan semua biaya yang dibutuhkan mahasiswa sesuai dengan prodi masing-masing dibagi dengan masa studi se­ lama menempuh perkuliahan (8 semester). UKT berkeadilan adalah uang kuliah yang dihitung melalui sistem online UKT dengan mempertimbangkan faktor kemampuan ekonomi orang tua atau pihak yang membiayai kuliah mahasiswa bersangkutan. Sementara itu, Bisru ber­ pendapat meski dibedakan menjadi UKT penuh dan berkeadilan, keduanya sama saja. “Sebenarnya UKT penuh itu juga berkeadilan. Pada saat seseorang mengisi data de­ ngan maksimal, maka dia ca­ pai pembayaran SPP penuh,” ujarnya. Dari lampiran Permendik­ bud Nomor 55 Tahun 2013, UKT setiap prodi dibagi men­ jadi tujuh kelompok. Nominal terkecil terdapat dalam ke­ lompok I dengan UKT Rp 500 ribu. Maba dituntut melakukan pengisian data dengan jujur. Staf ahli PR II Aulia Ishak men­ gatakan masalah UKT yang ia

terima di antaranya karena ke­ salahan maba sendiri. Seperti maba yang tidak mendiskusi­ kan dulu dengan orang tuanya perihal UKT. Hal ini diamini oleh Bisru. “Ada yang enggan buat dia dalam kondisi kurang mampu. Menyangkut prestise kali. Kalau memang mampu ya langsung diisi di UKT penuh,” tandasnya. Aulia Ishak mengatakan bila maba merasa tidak adil, salah mengisi, atau orang tua­nya meminta keringanan dapat mengajukan permo­ honan. Tapi, permohonan atau permintaan itu tidak serta merta diterima. Nanti, kasus maba akan ditinjau langsung ke lapangan oleh tim penin­ jau. “Enggak semua juga, yang mencurigakan. Ambil sampel 3 atau 4, karena enggak mung­ kin juga semuanya satu-satu,” ujar Aulia. Kasus yang mencurigakan seperti rumah keluarga maba disebutkan kecil namun tidak sesuai dengan Pajak Bumi dan Bangunannya atau orang tuanya Pegawai Negeri Sipil tapi mengisi UKT berkeadilan yang paling kecil. “Atau bisa menurut laporan orang lain,” tambahnya. Tindakan yang akan dilaku­ kan USU jika terbukti ada pe­ nipuan dalam pengisian data yaitu digugurkan statusnya se­ bagai mahasiswa. “Kalau satu kolom yang berbeda, masuk UKT penuh, kalau dua-tiga ko­ lom dikeluarkan,” tegas Aulia. Pertimbangan USU me­ ngubah biaya UKT maba yang bermasalah adalah kelengkap­ an administrasi si maba, ke­

laporan utama 5 mudian adanya surat permo­ honan dari maba atau orang tuanya, terakhir peninjauan oleh USU langsung ke lapa­ ngan. Aulia menyampaikan USU berencana memanggil setiap maba yang membayar UKT terkecil. “Tapi masih diren­ canakan sistemnya,” katanya. Ia mengatakan biaya UKT terbesar adalah Rp 6,2 juta di Fakultas Kedokteran, dan ter­ kecil adalah Rp 500 ribu di se­ luruh prodi.

Sempat Menolak Bisru Hafi mengatakan aturan UKT merupakan ke­ wajiban bagi setiap perguruan tinggi yang notabene berada langsung di bawah Dirjen Dikti Kemdikbud. “Kebijakan pemerintah harus dilak­ sanakan. Perguruan tinggi ti­ dak boleh buat aturan sen­diri,” sebutnya. Bisru mengungkapkan se­ belumnya USU sempat meno­ lak UKT diberlakukan karena aturan penghitungan yang belum jelas dari pemerintah. Namun, setelah pembahasan panjang antara pemerintah dan PTN se-Indonesia terbitlah Per­ mendikbud Nomor 55 Tahun 2013. “Awalnya kita menolak, tapi karena kebijakan pemer­ intah ya harus. Apa mau kita bilang. Perguruan tinggi yang punya pemerintah,” lanjutnya. Bentuk penolakan yang dilakukan USU dengan mengi­ rimkan surat yang memper­ tanyakan hal-hal terkait UKT beberapa bulan yang lalu. Dalam sosialisasi Maret silam, Prof Armansyah mengatakan, “Wujudnya (penolakan UKT

–red) minta penjelasan ke Dikti tentang UKT dan minta penundaan”. Tapi Bisru tetap yakin bahwa USU adalah perguruan tinggi pro-rakyat. “Dengan Un­ syiah saja, kita lebih murah. Apalagi dengan yang ada di Jawa sana,” ucap Bisru. Sebagai PTN yang berada langsung di bawah Kemen­ dikbud, menurut Bisru peng­ awasan dilakukan terhadap setiap pelaksanaan kebijakan dan program di USU, terma­ suk UKT. “Bukan hanya Dikti yang melakukan pengawasan. Secara internal aja ada diawasi di USU. Audit internal yang me­ ng­awasi, MWA (Majelis Wali Amanat –red) yang mengesah­ kan,” katanya. Sementara itu badanbadan pemerintah yang turut melakukan pengawasan di­ antaranya Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, serta dari Inspektorat Jen­ deral Kemendikbud. Bisru me­ ngatakan bentuk pengawasan dapat berupa laporan sosiali­ sasi hingga implementasi ke­ bijakan. “Sejauh ini belum diminta (laporan pelaksanaan UKT –red). Secara tertulis belum. Tapi kalau diminta gak ma­ salah karena itu memang ba­ gian dari monitoring dan peng­ awasan,” ungkap Bisru. Terkait pelaksanaan UKT di tahun-tahun mendatang, Bisru mengatakan tidak tahu dan itu adalah keputusan pemerin­ tah. “Kebijakan pemerintah bukan ranah kita untuk meng­ kaji. Terlalu jauh kita ke sana,” ujarnya.

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

SOSIALISASI UKT

Sosialisasi UKT | Pembantu Rektor (PR) II Armansyah Ginting mensosialisasikan uang kuliah tunggal, Mei lalu di Auditorium USU.


Uang Kuliah Timpang

6 laporan utama

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Mempertanyakan

Uang Kuliah Tunggal Timpang Koordinator Liputan: Rati Handayani Reporter: Apriani Novitasari, Erista Marito O Siregar, Ridho Nopriansyah dan Rati Handayani Sejumlah calon mahasiswa baru memasuki tempat pelaporan mahasiswa yang lulus melalui jalur SBMPTN di Pendopo USU, Sabtu (27/7). Sebanyak 3010 peserta lulus di USU melalui jalur SBMPTN di tahun ajaran 2013/2014. Rati Handayani

M

uammar Abi­ din mendata­ ngi Layan­an Pengadaan Secara Elek­ tronik (LPSE) sekaligus kantor Helpdesk di lantai empat Biro Pusat Akademik, Jum­at 13 September. Ia ingin melapor­ kan kesalahannya dalam men­ gisi data Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Saya salah mengisi data pendapat­an orang tua,” tambahnya. Ia merasa uang kuliahnya lebih mahal. Di sana, ia bertemu salah seorang pegawai Helpdesk UKT dan di­ minta membuat surat laporan ke fakultas. Mahasiswa baru (Maba)

PELAPORAN MABA

Program Studi (Prodi) Ilmu Kehutanan Fakultas Perta­ nian ini bilang saat pengisian ia menulis pendapatan orang tuanya per bulan Rp 3 juta, padahal pendapatan ayah­nya sebagai petani hanya Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan ibu­ nya hanya ibu rumah tangga. Ia punya dua orang adik. Satu orang di sekolah dasar dan satu lagi di sekolah menengah pertama. Muammar mengaku yang meng­isi data UKT secara online bukan dia tapi paman­ nya karena saat itu ia berada di rumah pamannya. Sebelum diterima di Ilmu Kehutanan Fakultas Perta­ nian, Muammar tidak tahu UKT. Ia tahu UKT ketika pe­ laporan. Sebelumnya, ia kira pembayaran uang kuliah ma­ sih sama dengan sistem lama yaitu membayar Dana Keleng­ kapan Akademik (DKA) dan pembayaran SPP yang sama tiap mahasiswa, sehingga uang kuliah bisa dijangkau ekonomi keluarga­nya. Saat pengisian data UKT ia tak mengkonfir­ masi data yang diisikan den­ gan orang tuanya.

Sekarang ia harus mem­ bayar UKT Rp 2,1 juta per semester dan ayahnya me­ mintanya mengurus penu­ runan nilai UKT-nya. Menu­ rutnya, UKT tidak lebih baik dari sistem pembayaran uang kuliah lama, “Dengan adanya UKT ini, uang kuliah justru se­ makin mahal, men­ding kayak dulu,” katanya. Begitu pun dengan Yahya Kurnia, maba Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sos­ ial dan Politik (FISIP). Ia baru tahu UKT ketika pelaporan berkas setelah dijelaskan se­ niornya. Saat itu pula, ia tahu ada dua macam UKT yakni UKT penuh dan berkeadilan. Merasa syarat-syarat UKT berkeadilan terlalu banyak dan merepotkan seperti ha­ rus ada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), ia memilih UKT penuh berharap mekanisme pengi­ sian form UKT lebih sederha­ na. Penghasilan orang tua Rp 1-3 juta per bulan, tak punya mobil, punya satu sepeda mo­ tor, satu rumah, satu kulkas, dan tak berlangganan PDAM. Akhirnya ia membayar UKT

sebesar Rp 3,7 juta per semes­ ter. Awalnya, ia urung kuliah mengingat penghasil­an orang tuanya, namun ia tetap melan­ jutkan kuliah. “Mau tak mau,” ujarnya. Cerita lain datang dari maba Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Fahmi Adlyansyah Idris. Fahmi meng­ isi data UKT berkeadil­an. Dari empat bersaudara baru ia yang kuliah. Tak memiliki mobil, punya dua sepeda mo­ tor, dan penghasilan orang tua sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Rp 5 juta per bu­ lan. UKT-nya sebesar Rp 3,8 juta per semester. Melihat UKT-nya, Fahmi sempat ragu melanjutkan ku­ liah di USU dan memutuskan berdiskusi dengan orang tuan­ ya karena harus segera mem­ bayar UKT sebelum mengikuti tes kesehatan. Mengetahui UKT yang cu­ kup mahal di USU, ibunya me­ minta Fahmi untuk mening­ galkan USU dan mengg­anggap universitas swasta seperti Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) lebih

murah apalagi bisa dicicil. Pupus sudah keinginannya kuliah di Etnomusikologi. Kini, Fahmi kuliah di UMSU. Di sana, setahun ia bayar uang kuliah Rp 3,7 juta dan bisa dicicil lima kali dalam setahun. Namun, di awal ia membayarkan Dana Kelengkapan Akademik Rp 5 juta. “Lebih mahal kuliah di negeri dari swasta,” keluhnya. Bila kuliah di USU ia ha­rus membayar Rp 7,6 juta per ta­ hun. Apalagi tak ada pemberi­ tahuan boleh dicicil atau tidak. “Jelas orang tua saya tidak mampu,” tambahnya. Cerita UKT tanpa masalah dirasakan Rendi Annur, maba Prodi Teknik Mesin Fakultas Teknik. Ia tak mengalami kesusahan dalam pengisian karena telah membaca petun­ juk yang dibagikan sebelum pengisian. Rendi merasa UKT yang dibayar Rp 3,1 juta per semester sudah sebanding dengan pendapatan kedua orang tuannya sebagai PNS walaupun ia punya dua sauda­ ra yang juga tengah kuliah. “Harapan saya, memang tidak ada lagi pembayaran lain di

Sejumlah calon mahasiswa baru memasuki tempat pelaporan mahasiswa yang lulus melalui jalur SBMPTN di Pendopo USU, Sabtu (27/7). Saat pelaporan, mahasiswa baru diberi inforamsi tentang daftar nilai uang kuliah tunggal tiap fakultas. ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU


Uang Kuliah Timpang

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013 Tabel: Jumlah Daya Tampung dan Mahasiswa yang Mendaftar di USU Jalur SPMPD 2013

kampus ini termasuk perleng­ kapan lab,” katanya. Lain lagi dengan Hasbi Au­ lia Siregar maba Prodi Akun­ tansi Fakultas Ekonomi. Hasbi tak percaya UKT yang dibayar hanya Rp 500 ribu per semes­ ter. “Padahal ekonomi ke­ luarga saya mapan,” sebutnya. Ia heran, sebab saat mengisi UKT ia menulis pendapatan orang tua Rp 15 juta per bulan. Punya satu mobil, satu sepeda motor, dan rumah. Karena itu, ia tak menyangka mendapat UKT paling rendah. Ia memilih UKT berkeadilan, sebab tak paham beda UKT penuh dan berkeadilan. Orang tuanya cu­ riga ada kesalahan pada per­ angkat lunak penghitung UKT. Orang tuanya lantas me­ nyuruh Hasbi untuk men­ gurus kembali UKT-nya, karena merasa tak layak membayar Rp 500 ribu per semester. “Harusnya lebih,” Hasbi menirukan ayahnya. Saat pendaftaran ulang, Hasbi mena­nyakan perkara tersebut ke petugas. Namun, petugas tersebut malah menyarankan Hasbi untuk diam. “Bersyu­ kur sajalah dapat segitu,” ujar petugasnya kala itu. Merasa tak berhak dengan UKT tersebut. Rencananya, Hasbi akan melapor ke bagian keuangan untuk menentukan UKT yang seharusnya ia bayar berdasarkan kemampuan eko­ nomi orang tuanya. Menanggapi permasalah­ an UKT yang dirasa tak se­

Polling Laput

banding dengan pendapatan orang tua, Staf Ahli Pembantu Rektor II Aulia Ishak bilang pihaknya akan melakukan evaluasi. Evaluasi akan di­ lakukan tiap semester. “Jika merasa keberatan deng­an UKT yang dibayar, silahkan mahasiswa baru melapor pada pihak fakultas kemudian nanti akan diverifikasi lagi,” ujarnya. Pelaporan ke fakultas akan dibuka Oktober men­ datang. Jadi, semester depan nilai UKT yang dibayar bisa berbeda. Aulia tak menampik waktu singkat dari kemente­ rian untuk menerapkan UKT sehingga ke depannya perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaannya. Ia bi­ lang tak ada aturan UKT bisa dicicil dari Dirjen Dikti. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Bisru Hafi bilang sejauh ini tak ada laporan dari calon mahasiswa yang tidak kuliah di USU karena UKT. “Jika menduga-duga akan sulit karena beda dengan kenyata­ an. Namun ada indikasi kare­ na biaya kuliah, lulus di prodi pilihan kedua atau mungkin lulus di seleksi lain,” jelasnya. Cerita di Helpdesk Bisru menyampaikan Helpdesk UKT sebagai pusat bantuan dibentuk melihat ba­ nyaknya maba yang bingung saat pelaporan dan orang tua yang protes tentang nilai UKT. “UKT adalah program baru, wajar jika dibentuk Helpdesk

UKT,” tambahnya. Baihaqi Siregar, Ketua Helpdesk UKT sekaligus Ketua LPSE beranggota empat orang. Tiga orang berasal dari LPSE yakni Mukhlis, M.Yusrizal dan Jefri fauzul, dan Joko Susilo dari bagian keuangan bertu­ gas menjawab setiap telepon yang masuk. Helpdesk mulai beroperasi 22 Juli hingga 28 Agustus kecuali Minggu dan li­ bur, mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Layanan yang diberikan Helpdesk meliputi reset password, reset data dan input data ke uktdatareg.usu.ac.id tapi Helpdesk tak bisa mengu­rangi besaran UKT. Jefri Fauzul­, pegawai Helpdesk UKT pun membenarkan hal itu. Data penelepon dan pe­ ngunjung Helpdesk tak bisa diberikan Baihaqi atau Jefri. “Kami (Helpdesk UKT -red) tak punya data berapa jumlah maba yang menelepon“. Ratarata ada seratus mahasiswa yang menelepon. “Kalikan saja empat, begitulah jumlah ratarata dalam sehari,” jelas Jefri. Jefri bilang Helpdesk UKT hanya dibekali telepon geng­ gam sederhana untuk melaku­ kan tugas. “Enggak canggih. Cuma telepon jadul Flexi itu. Jika dilihat panggilan di handphone itu sekarang, oto­ matis sudah terhapus sendiri,” ujarnya. Masalah yang banyak ditanyakan penelepon yakni teknis peng­isian data UKT. “Padahal petunjuk pengisian sudah ada di website USU dan bisa di-download. Juga sudah dibagikan saat pelaporan,” tambahnya. Sebenarnya, maba atau orang tua yang protes UKT tak boleh langsung datang ke Helpdesk, namun masih ada yang datang. Perihal jumlah

Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013, daftar Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di USU ter­ dapat pada nomor 87. Daftar tersebut menampilkan USU terdiri dari 61 program studi (prodi) yang berasal dari 14 fakultas, baik dalam jenjang S1 (Strata 1) dan D3 (Diploma 3). Setiap prodi memiliki besaran nilai BKT masing-masing. Idem ditto dengan besaran nilai UKT-nya, namun terbagi menjadi tujuh kelompok. (Litbang)

Berikut adalah daftar BKT di USU mulai tertinggi hingga terendah: 1: FF, FK, FKep, FKG, FKM 2: FP (Agroekoteknologi, Ilmu Teknologi Pangan, Keteknikan Pertanian), FT 3: FMIPA (Biologi, Fisika, Kimia, Metrologi dan Instrumentasi, Tenik Informatika), FP (Kehutanan, Manajemen Sumber Daya Perairan, Peternakan) 4: Fasilkom-TI, FE, FH, FIB, FISIP, FMIPA (Matematika, Statistika), FP (Agribisnis), FPsi

laporan utama 7 yang datang tak bisa dipasti­ kan karena tak ada catatan. Jika dihitung-hitung, maba program D-III yang paling banyak mendatangi Helpdesk dibandingkan maba jalur lain. Kebanyakan dari maba D-III salah mengambil UKT. Ketua Front Mahasiswa Nasional Thariq Tsaqib me­ ngatakan masalah UKT bukan hanya masalah teknis. Ada masalah fundamental yakni pemerintah perlahan melepas tanggung jawab di bidang pen­ didikan. “Kuota kategori satu dan dua UKT juga dibatasi. Se­ jak awal kita melihat adanya komersiali­sasi pendidikan,” ujarnya. Jika dibandingkan dengan uang kuliah lama, uang kuliah dengan sistem UKT naik 30 hingga 100 persen. Terkait masalah teknis penerapan UKT, Thariq me­ minta transparansi agar tak ada penggelapan. Selain itu peran Helpdesk pun harusnya pro­ porsional. “Sesuai de­ngan kem­ auan mahasiswa,” tambahnya. Setelah UKT ini diterapkan, Thariq meminta agar pemung­ utan liar benar-benar tidak ada. Mutsyuhito Sholin Dosen Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan (Unimed) yang juga pengamat pendidik­an menilai, adanya UKT bagus untuk menata manajemen keuangan universitas. “Jelas berapa proyeksi pendanaan

mahasiswa dan pengutipan bisa ditiadakan,” katanya. “Mutu biasanya sama dengan harga,” tambahnya. Artinya semakin tinggi harga yang dibayarkan hen­ daknya semakin baik mutu universitas. Mutsyuhito menjelaskan UKT di Unimed sendiri, un­ tuk fakultas non eksak yakni Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi, Fakultas Bahasa dan Seni, Fakultas Ilmu Keolah­ ragaan dan Fakultas Ilmu So­ sial masing-masing terdiri atas lima kategori. Masing-masing membayar per semester Rp 500 ribu untuk kategori satu, kategori dua Rp 800 ribu, ka­ tegori tiga Rp 1,2 juta, kategori empat Rp 1,3 juta dan kategori lima Rp 1,6 juta. Dengan adanya UKT, seharusnya proses belajar mengajar dan kebutuhan sarana prasarana menjadi perhatian utama. “Jika ma­ hasiswa sudah bayar UKT mahal, mahasiswa juga bisa nuntut,” tambahnya. Sisi negatif UKT pun diakui Mutsyuhito. “Mungkin mahasiswa merasa tak sang­ gup,” ungkapnya. Karenanya analisis data harus kuat dan benar sehingga tidak ada ke­ salahan dalam proyeksi pen­ danaan. Ia menyadari par­ tisipasi masyarakat untuk membayar pendidikan juga masih rendah.

Tabel: Jumlah Daya Tampung dan Mahasiswa yang Mendaftar Ulang di USU Jalur SBMPTN 2013

Dan berikut adalah 10 besaran nilai UKT tertinggi di USU, dihitung dari rata-rata besaran nilai ketujuh kelompok UKT:


8 opini

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Adil Arifin Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENOLAK PERANG DAN INTERVENSI MILITER UNTUK SURIAH

P

MEZBAH SIMANJUNTAK | SUARA USU

residen Barack Obama a­khirnya memutuskan un­ tuk menunda kemungkinan aksi militer Suriah, yang disam­but baik dan didu­ kung Kongres Amerika Serikat. Sedang­ kan 60 persen masyarakat Amerika juga menolak penyerangan atas Suriah. Sebelumnya suara-suara penolakan juga telah banyak disuarakan, Rusia dan China sebagai anggota tetap De­ wan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah dari awal menolak. Opsi serangan militer menguat setelah adanya laporan dari tim in­ speksi senjata kimia PBB yang me­ nyatakan adanya penggunaan Gas Sarin dalam serangan 21 Agus­ tus lalu di dis­ trik Ghouta, Damaskus, Suri­ ah, yang menewas­ kan lebih kurang 1400 orang jiwa, ter­ masuk 400 anakanak. Di lain pihak, wakil menteri luar negeri Rusia Sergei, ­mengatakan laporan investigasi PBB itu bias, sepi­ hak dan dipoliti­sasi. Hasilnya tiga dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Inggris dan Prancis) setuju akan serangan militer Suriah, semen­ tara dua anggota lainnya (Rusia dan China) menolak. Kerusuhan sosial politik di Suriah sudah berlangsung 2,5 tahun, telah me­

makan korban jiwa lebih dari 100 ribu orang, dan sekitar 2 juta orang menjadi pengungsi. Sehingga bila serangan mi­ liter Suriah benar dilaksanakan, maka konflik akan semakin keras, korban semakin bertambah dan diperkirakan 7 juta orang akan menjadi pengungsi. Kita sangat prihatin dan simpati ter­ hadap konflik yang terus berkepanja­ ngan tersebut. Tidak mengherankan Amerika Seri­ kat (AS) sangat ngotot untuk melaku­ kan serangan militer atas Suriah, kare­ na bukan hal baru bagi AS melakukan intervensi militer ke negara lain tanpa persetujuan PBB. Setidaknya ada 10 aksi intervensi militer AS ke negara lain yang seba­ gian dilakukan

YANTI NURAYA S | SUARA USU

tanpa persetujuan PBB. Apakah AS ingin menunjukkan kekuatan dan kehebatannya, meng­ klaim secara tak langsung dialah yang paling kuat di antara negara-negara di dunia ini? Dan itu bisa jadi benar adan­ ya, karena walaupun ada yang meno­ lak aksi intervensi militer AS tersebut,

SURAT DAN PENDAPAT Jalan Universitas No. 32 B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara suarausutabloid@ymail.com

087868869549

Pers Mahasiswa SUARA USU

@SUARAUSU

Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksi­ mal 5000-6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.

seperti Rusia dan China, tetapi tidak ada satupun yang berani melawan kekua­ tan militer AS secara terang-terangan. Faktanya aksi intervensi militer AS ti­ dak dapat menye­lesaikan persoalan sosial politik di negara-negara tersebut. Kita dapat melihat bagaimana di Af­ ganistan dan Irak, hingga saat ini masih banyak korban jiwa berjatuhan akibat konflik sekterian dalam negerinya, dan AS sendiri telah banyak korban tentara dan habis dana untuk itu, apa mereka tidak mengambil pelajaran darinya? Karena persoalan di suatu negara akan lebih baik diselesaikan secara arif dan damai oleh seluruh masyarakat tanpa intervensi dari pihak luar, apalagi inter­ vensi yang bersifat militer. Intervensi militer memang dibe­ narkan oleh Piagam PBB Pasal 42, dan tentunya boleh dilakukan atas reko­ mendasi PBB. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan Pasal 40 dan 41, yaitu memanggil pi­ hak-pihak yang bertikai dan memutus­ kan seluruh atau sebagian hubungan dengan negara tersebut. Sayangnya tahapan-tahapan itu sering diabaikan oleh AS, dan malahan AS tetap bisa melakukan serangan militer walaupun tanpa restu PBB. Namun, intervensi yang dimaksud tentunya bukan yang bersifat negatif, seperti memberi persenjataaan baik untuk pihak manapun, apalagi melaku­ kan serangan militer ke Suriah. Tetapi bersifat positif, seperti bantuan-ban­ tuan kemanusiaan. Dunia juga bisa me­ nerima dan menerapkan usulan yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada forum G-20, ia meng­ ajukan tiga formula yang harus dilaku­ kan komunitas global. Pertama, segera diakhirinya konflik bersenjata di mana dua pihak menahan diri. Kedua, pengerahan bantuan ke­ manusiaan internasional untuk mem­ bantu rakyat Suriah dan mereka yang mengungsi. Ketiga, segera mengambil langkah solusi politik, dengan meng­ hindarkan solusi militer. Singkatnya, peperangan merupa­ kan suatu peristiwa yang memberikan kesan negatif pada negara dan ma­ syarakat. Bila perang terjadi, banyak nyawa manusia melayang, bahkan orang-orang tak berdosa pun terkor­ bankan, anak-anak, para wanita dan orang tua tidak bisa luput dari dampak perang. Sedangkan bagi yang selamat, ada juga yang mengalami penyiksaan,

atau kecacatan tubuh. Kesedihan dan kehilangan juga dirasakan bagi mere­ ka yang kehilangan anggota keluarga­ nya. Peperangan juga selalu memus­ nahkan harta benda, menghancurkan bangun­an-bangunan, sekolah, jalan raya, dan segala infratruktur masyara­ kat. Bahkan alam dan lingkungan pun menjadi rusak dan tercemar. Terlebih lagi bila peperangan itu menggunakan senjata kimia dan biologi, maka keru­ sakan dan dampaknya akan semakin parah. Bagi negara yang mengalami peperangan, kedaulatannya akan runtuh, pondasi sosial, ekonomi dan politiknya hancur. Nyawa rakyat akan banyak yang tewas, cacat, sakit, dan mengungsi. Pada akhirnya kondisi ke­ hidupan tidak layak lagi dan tidak se­ suai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memang ada suatu hal yang para­ doks dengan pola hubungan interna­ sional secara global. Padahal pasca perang dunia kedua, negara-negara di dunia sepakat untuk menghapuskan penjajahan, dan bahwa setiap bangsa berhak mendapatkan kedaulatannya. Akan tetapi walau dengan adanya PBB, serta dengan banyaknya perjan­ jian dan konstitusi internasio­nal, pepe­ rangan di atas dunia ini belum juga diminimalisir apalagi terhapuskan. Mungkin juga komunitas dunia dapat mengusulkan serta memaksakan un­ tuk mengevaluasi sistem keamanan dunia dan opsi penambahan anggota tetap pada DK PBB, apa dunia dapat terus meletakkan keamanan dunia ini pada hak veto kelima anggota tetap DK PBB? Apalagi AS sendiri telah membuktikan bahwa Ia dapat bertin­ dak walupun tanpa restu PBB. Akhirnya, kedamaianlah yang harus kita utamakan dan terapkan daripada peperangan. Jangan karena nafsu kekuasaan serta arogansi, kita mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga menghalalkan dan membi­ arkan terjadinya pembunuhan dan pembantaian terhadap manusia lain­ nya. Apalagi sejarah membuktikan, se­ tiap peperangan pada akhirnya dapat diakhiri di meja dialog. Karena apabila AS dibiarkan dengan keangkuhannya, bukan mustahil perang-perang lain­ nya akan menyusul. Apakah selanjut­ nya Iran, atau Korea Utara?


Biodata

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

dialog 9

Dinar dan Dirham Koin yang Tak Berubah Nilainya

P

enggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat tukar dan transaksi mulai dilirik banyak kalangan. Sifatnya yang universal dan bernilai sama di mana saja membuatnya dinilai bisa menjadi solusi krisis ekonomi dunia. Tak hanya umat Muslim, penggunanya juga berasal dari kalangan non-Muslim

SUMBER: ISTIMEWA

Biodata Nama: Ir Zaim Saidi, MPA

Tempat dan Tanggal Lahir: Parakan, Temanggung 21 November 1962

Pendidikan: S-1 Teknologi Pangan dan Gizi IPB (1986), S-2 Public Affairs Sidney University, (1997). Belajar muamalah di Dallas College (2006). Pekerjaan: Direktur Wakala Induk Nusantara, Pendiri dan Pembina JAWARA (Jaringan Wi­ rausaha dan Pengguna Dinar Dirham Nusantara), Peneliti Senior di PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center).

Apa itu Dinar dan Dirham?

Bagaimana nilai tukarnya terhadap rupiah?

Apa saja seri Dinar dan Dirham yang beredar se­ karang ini dan bagaimana dengan pencetakannya? Apa saja kelebihan menggunakan Dinar dan Dirham? Mengapa Dinar dan Dirham tidak bisa dimani­ pulasi?

Lalu bagaimana solusi­ nya untuk masyarakat?

Bagaimana perkemba­ ngan dan pemanfatan Dinar dan Dirham sejauh ini di Indonesia?

Lalu bagaimana pemanfaatannya di dunia internasional? Apa saja kendala dalam pemanfaatan Dinar dan Dirham terutama di Indonesia?

yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Bagaimana sebenarnya keunggulan Dinar dan Dirham ini? Seperti apa pula pemanfatannya terutama di Indonesia? Berikut adalah wawancara reporter SUARA USU Hadissa Primanda, dengan Direktur Wakala Induk Nusantara Zaim Saidi via e-mail 14-24 September lalu.

Dinar adalah koin emas seberat 4,25 gram berkadar 22 karat dan Dirham adalah koin perak sebe­ rat 2,975 gram berkadar 99,5 persen, yang diterbitkan oleh para sultan atau amir kaum muslimin. Keduanya dicetak mengikuti standar yang dikukuhkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Nilai tukar Dinar dan Dirham tidak dilihat dari berapa harganya dalam Rupiah atau uang kertas lainnya, tapi dari daya belinya terhadap barang dan jasa. Jadi, 1 Dinar memiliki daya beli 1-2 ekor kambing dan 1 Dirham setara 1-2 ekor ayam, yang tidak pernah berubah sejak zaman dahulu. Hanya saja, dalam masa transisi, kita masih mengacu juga pada uang kertas ketika masih bere­ dar. Tapi bila dinisbahkan ke Dinar dan Dirham, maka akan berubah-ubah. Setiap saat nilai Dinar dan Dirham dalam rupiah seolah naik, padahal yang ada adalah daya beli rupiah itu yang terusmenerus merosot. Misalnya tahun 2002, 1 Dinar setara Rp 390 ribu, hari ini Rp 2,3 juta, sedangkan 1 Dirham tahun 2000 setara Rp 11 ribu, hari ini setara Rp 70 ribu. Saat ini ada lima seri Dinar dan Dirham, yaitu Pemerintah Kelantan, Kesultanan Sulu, Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Ternate, dan Amirat Indonesia. Secara internasional sekarang ini pencetakan Dinar dan Dirham diatur dan diotorisasi oleh World Islamic Mint (WIM). Jadi kalau ada Dinar dan Dirham yang tidak diotoriasi WIM itu tidak diakui, masyarakat jangan menggunakannya.

Dinar dan Dirham adalah alat tukar yang universal, tidak mengenal batas negara, tidak mengenal nasionalisme, dan tidak mengenal kurs. Satu Dinar atau satu Dirham di Indonesia sama nilainya dengan satu Dinar atau satu Dirham di Cina, Amerika, Eropa, dll. Selain itu, Dinar dan Dirham be­ bas inflasi, tidak bisa dimanipulasi sehingga bebas dari kemungkinan krisis.

Nilai Dinar dan Dirham ada pada zatnya secara intrinsik, ditentukan oleh berat emas dan pe­ raknya, bukan pada suatu angka nominal, sebagaimana yang dibubuhkan pada uang kertas. Jika untuk mencetak 1 Dinar diperlukan 4,25 gram emas, maka untuk 100 Dinar diperlukan 425 gram. Demikian seterusnya, sehingga nilainya tidak dapat dimanipulasi, akan selalu sesuai dengan keadaan dan nilai riilnya. Sementara uang kertas dapat dimanipulasi dengan cara diubah-ubah nilainya. Baik perubahan angka nominalnya, maupun mengubah nilai tukar sesamanya. Bahkan jumlah uang kertas yang dicetak dalam suatu periode waktu dapat mengubah daya beli atau nilai tukarnya. Teknik memanipulasi nilai uang kertas namanya kalibrasi, salah satunya adalah redenominasi dengan cara penghilangan tiga angka nol. Padahal, ini hanya bermakna bahwa mata uang Rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Pilihlah alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi. Artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau International Monetary Founda­ tion (IMF) yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah Dinar dan Dirham, yang kini mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dinar dan Dirham sudah mulai dicetak dan diedarkan kembali di Indonesia sejak 2002. Sebelum­ nya, sampai awal abad ke-20, mata uang emas dan perak digunakan oleh penduduk negeri-negeri yang sekarang disebut Indonesia ini, meski kadar dan beratnya berbeda. Misalnya koin-koin emas dari Kesultanan di Aceh dan Gowa, merupakan koin emas dan perak. Hari ini Dinar dan Dirham digunakan berbagai kalangan masyarakat, khususnya yang tergabung dalam komunitas JAWARA (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dinar Dirham Nusantara). JAWARA tersebar di berbagai kota di Indonesia, seperti di Jabodetabek, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Medan, Tanjungpinang, Batam, Balikpapan, Makasar, dll. Dinar dan Dirham digunakan sebagai alat bayar, khususnya zakat harta moneter dan zakat per­ niagaan; untuk mahar, sedekah, diyat, sebagai alat penentu nilai atau nisab; dan alat tukar dalam transaksi jual beli. Saat ini sudah makin luas dipakai oleh masyarakat tak hanya di Indonesia, tapi juga Malaysia, Si­ ngapura, Afrika Selatan, Spanyol, Inggris, Filipina Selatan, Jerman, Jepang hingga Amerika Serikat. Penggunaannya, seperti telah disebut diatas, sebagai alat untuk membayar zakat, mahar, sedekah, maupun jual beli. Dasar penggunaan Dinar dan Dirham adalah sukarela, karena itu memerlukan pengetahuan dan kesadaran. Maka kendala penerapan Dinar dan Dirham berasal dari diri sendiri, perilaku kita sendiri yang tidak mau keluar dari comfort zone uang kertas.


10 ragam

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Pengabdian Masyarakat USU

Masih Tersandung Dana

Dana masih menjadi alasan terkendalanya pengabdian masyarakat di USU. Beruntung, masih ada mereka yang mau tetap mengabdi meski harus keluarkan duit pribadi. Ridho Nopriansyah

D

essy Wiriani maha­ siswa Fakultas Pertanian (FP) 2011 mendapat pengumum­an propo­sal lomba awal 2013 lalu. Ia dan keempat temannya dari FP dan Fakultas Ekonomi (FE) ajukan pro­ posal tersebut sejak Oktober 2012 dan di­nyatakan menang. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) kucurkan dana Rp 7,5 juta untuk Program Kreati­ vitas Mahasiswa (PKM) yang mereka ikuti. Diban­ding kategori lain, mereka lebih memilih pengabdian masyara­ kat karena merasa mahasiswa jarang melakukannya. “Seru,” ungkap Dessy. Mereka lakukan persiapan akhir berupa cetak modul untuk kegiatan di Desa Sei Limbat, Kecamatan Selesai, Langkat. Namun, dana yang seharus­ nya cair, tak kunjung sampai di tangan. Tak bisa tunggu lama, mereka berlima sepakat untuk menalangi sendiri sebe­ lum akhirnya benar-benar cair. Hingga Jumat (27/9) dana baru dibayar 70 persen. Sei Limbat dipilih karena memiliki potensi kolang-kaling. Dalam sebulan desa itu mampu hasilkan 30 ton. Na­ mun, pemasar­an kolang-kaling dilaku­ kan secara tradisional. Sejak awal, tak ada penolakan dari masyarakat karena konsep yang mereka tawarkan dinilai perlu oleh kelompok tani. Penyuluhan dilakukan Maret 2013 lalu. Materi penyuluhan adalah mem­ perkenalkan komputer dan internet kepada warga dari tiga kelompok tani. Harapannya, kelak pangsa pasar ko­ lang-kaling semakin meluas. Setelah penyuluhan, mereka me­ ninjau sebanyak tiga kali. De­ngan dana pribadi, warga membeli komputer yang terkoneksi internet. Tiap kelom­ pok tani punya blog untuk pemasaran produk. Namun, pemasaran yang di­

lakukan masih belum tinggalkan cara tradisional. “Jual ke tengkulak,” terang Dessy. Laporan pengabdian masyarakat dinilai Dikti dalam sebuah monitoring­ evaluation di Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) USU. Tak menang, mereka pun tak lolos ke tingkat nasional. Lomba selesai, begitu pun program pengabdian masyarakat­ nya. Secara kontrak, tak ada lagi kewa­ jiban memonitor pe­tani di Sei Limbat. Namun, sesekali kelompok tani tetap menghubungi mereka jika perlu ban­ tuan. “Kalau ada waktu, perwakilan kita akan datang,” tutur Dessy.

Terkendala Dana Dana memang masih jadi alasan utama minimnya pengabdian yang dilakukan USU. USU berkali-kali mem­ bangun desa binaan, namun acapkali gagal. Tahun lalu, USU coba membina Desa Percut, Kabupaten Deli Serdang. Termasuk penyuluhan penanaman bakau. Penyuluhan dilaksanakan, tapi wujud desa binaan tak berhasil diban­ gun. “Danalah masalah utama­nya,” jelas Elysa Juliati dosen reviewer di LPPM USU. Mazdalifah, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosi­al dan Ilmu Politik (FISIP) kerap melak­ sanakan pengabdian masyarakat, meskipun tak mengandalkan dana Dikti. Menurutnya, peng­abdian ma­ syarakat memang menjadi kewajiban civitas akademika, terutama dosen. Baginya, yang penting dari peng­ abdian masyarakat adalah konsistensi pengabdian yang dilakukan. Artinya masyarakat yang dibina jadi mandiri. Tak melulu dana besar yang diperlu­ kan. Tapi modal sosial yang kuat, ter­ masuk kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat, baik pendonor dana maupun target pengabdian ma­ syarakat itu sendiri. Tak perlu mem­

bawa nama instansi, bukan mengejar prestise dan kenaik­an pangkat. Memang panggilan jiwa untuk memberdayakan masyarakat. “Menjadi penghubung ma­ syarakat dengan pendonor dana pun termasuk pengabdian masyarakat,” jelasnya. Dessy Wiriani pun merasa perlu bagi mahasiswa terlibat pengabdian

masyarakat. Tidak ada ruginya meng­ aplikasikan ilmu yang diperoleh di kampus ke masyarakat. Mengasah kepekaan dalam menganalisis per­ masalahan, kemudian mencari solusi lewat penyuluhan, melakukan peng­ ajaran, atau menciptakan teknologi tepat guna. “Kita dapat ilmu juga dari masyarakat,” pungkas Dessy.

bentuk aksi mendesak Pemilihan Raya (Pemira) USU. Mengawali tugasnya, Ganda meng­ ajak Pema Sekawasan melakukan au­ diensi kepada Pembantu Rektor (PR) III Raja Bongsu Hutagalung (23/9) lalu. Audiensi itu adalah klimaks dari hasil rapat yang dilakukan Pema Seka­ wasan, terkait tak kunjung diadakan­ nya kongres Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU. Masa periode kepengu­ rusan Pema USU memang telah me­

lebihi waktu, yakni 1 tahun 9 bulan. Lebih 9 bulan dari jatah yang ditetapkan Tata Laksana Ormawa (TLO). Sebelumnya, Pema Sekawasan menyurati Bongsu perihal pernyata­ an sikap terkait berakhirnya masa kepeng­urusan Pema USU dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Univer­ sitas (MPMU). Mereka mendesak PR III segera menyetujui pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Pema Sekawasan sebagai pelaksana­

nya. Audiensi ini dihadiri PR III dan Pema Sekawasan. Tak ada satu pun perwakilan Pema USU. Namun, Bongsu mengaku tak bisa mencampuri urusan pema be­ gitu saja. “Tugas saya hanya mem­ fasilitasi. Transportasi dan akomo­ dasi ke Tambunan sudah pernah saya tawarkan ke pihak Pema USU buat kongres tapi mereka tak mau,” ujarnya. Ia bilang akan segera meng­ ambil keputusan tegas jika Pema

Nasib Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU masih belum jelas. Pema Sekawasan pun ambil inisiatif mendesak diadakannya Pemilihan Raya (Pemira). Sementara Pema USU tetap keukeuh untuk adakan kongres terlebih dahulu

Audira Ainindya Ganda Wijaya ditunjuk sebagai Koordinator Pema Sekawasan 17 September lalu. Gubernur Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam itu menggantikan posisi Gu­ bernur Fakultas Hukum Muham­ mad Akbar Siregar. Katanya, ia tak pernah memberi kabar tiap akan diadakan rapat. Penggantian koordi­ nator pun segera dilakukan sebagai

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

LAPORAN PKM-M

Mahasiswa Fakultas Pertanian 2011 Dessy Wiriani memegang laporan Pekan Kreatifitas Mahasiswa - Pengabdian Masyarakat (PKM-M) yang dibuatnya bersama empat mahasiswa lainnya, Kamis (19/9). PKM yang mereka buat mendapatkan kucuran dana 7,5 Juta dari Diretorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).

( Masih ) Menunggu Akhir Pema USU


SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

USU terus berlama-lama melakukan Pemira. “Langsung saja bentuk KPU, sudah lama kali ini,” tegas Bongsu. Namun, Bongsu berharap KPU tetap dilaksanakan oleh Pema USU.

*** Oki Ferianda saat ini tengah sibuk menyusun ujian komprehensifnya. Meskipun memangku jabatan seba­ gai Bendahara Umum Pema USU ia mengaku tak begitu aktif karena ingin menyelesaikan akademiknya. Ia juga mengaku secara organisasi Pema USU sudah tak sehat. “Banyak anggota yang sudah wisuda, untuk rapat kerja saja kami tak pernah ku­ orum,” sesal Oki. Selain itu, kendala terbesar adalah tak pernah tercetusnya tang­ gal pasti kongres serta tak ada alat tulis kantor (ATK) selama kepengu­ rusan. “Sebenar­nya rencana kongres sudah sejak Februari namun ATK seperti printer dan kertas enggak ada,” tambahnya. Pun Oki sendiri sama sekali be­ lum mempersiapkan laporan per­

tanggungjawabannya (LPJ). “Gimana mau LPJ kalau orangnya enggak ada,” tambahnya. Bila melihat dari periode yang ditentukan, jumlah anggota Pema USU yang tersisa hanya tiga orang: Oki, Sekretaris Jenderal Ahmad Rivai Naibaho dan Presi­den sendiri, Mitra Akbar Nasution. Oki mengaku, tak dikabari jika Pema Sekawasan sudah melakukan audiensi ke PR III. Ia menilai secara etika berorganisasi, Pema USU sudah tak dianggap sama sekali. Oki curiga alasan Pema Sekawasan terkesan buru-buru membentuk KPU yaitu ada­ nya kepenti­ngan pihak tertentu dan ada oknum yang memanfaatkan mo­ men ini. “Kalau Pema Sekawasan ingin membentuk KPU, kami merasa ter­ bantu tapi kami tetap aja mau kongres dulu,” ujarnya. Ahmad Rivai Naibaho juga meng­ aku sudah menyelesaikan draf seper­ ti TLO, Petunjuk Pelaksana (Juklak), Petunjuk Teknis (Juknis) dan materi umum Juli lalu. Dalam kongres nanti, Rivai akan menjelaskan syarat pendaf­ taran presiden yang akan diubah Pema

USU. “Presiden tak boleh independen dan harus berasal dari KAM (Kelom­ pok Aspirasi Mahasiswa, -red) yang su­ dah terdaftar minimal satu semester,” ungkapnya. Dengan begitu Rivai meng­ anggap presiden nanti lebih mengerti struktur organisasi dan sudah berpeng­ alaman berada di kelompok maha­ siswa. “Jika PR III ngasih ada kongres lagi, akhir September kami siap,” tam­ bahnya. Sejalan dengan Oki, ia juga tak setuju dengan gerakan Pema Seka­ wasan untuk membentuk KPU. “Saya jamin rusuh kalau enggak kongres dan KPU mereka yang bentuk,” tegasnya. Menanggapi hal tersebut, Ganda bersikukuh untuk menggelar Pemira USU tanpa kongres dan pembentukan KPU harus melibatkan Pema Seka­ wasan. “Orang yang sudah melanggar undang-undang (TLO -red) tidak pan­ tas menjadi orang yang merubah un­ dang-undang,” katanya. Menurutnya, ada kepentingan lain jika KPU tetap dibentuk oleh Pema USU. Ia sudah tak percaya jika KPU dibentuk oleh Pema

USU. Haris Wijaya, staf ahli PR III meng­atakan Pema USU tak bisa lagi melakukan kongres, karena pada TLO dijelaskan bahwa kongres di­ laksanakan sebelum masa jabatan suatu periode berakhir. “Jangan ja­ dikan ATK sebagai alasan enggak kongres,” ujar Haris. “Kemungkinan terbesar tidak akan kong­res ber­ dasarkan suara terbanyak. Pema Sekawasan mewakili suara tiap fakultas dan mereka suara mayori­ tas,” tambahnya. Sampai saat ini, Presiden Pema USU Mitra Akbar Nasution tak diket­ ahui keberadaannya. Saat dihubungi via telepon, tak ada res­pon. Oki bah­ kan mengaku tak pernah berhubun­ gan lagi dengan Mitra sejak Agustus silam. Walaupun tak pernah lagi rapat khusus soal kongres, Oki sendiri ingin kongres tetap terlaksana. “Itu bagian dari cita-cita kami untuk kongres, jika kongres tak ada maka pengurus tahun depan akan kesuli­ tan,” pungkasnya.

Lainnya, karena telah berlakunya konsep Uang Kuliah Tunggal (UKT) di USU. Menurut Bongsu, sesuai konsep UKT, maka tidak dibenarkan lagi ma­ hasiswa dikenakan kutipan biaya di kampus. Inaugurasi sendiri selalu me­ wajibkan mahasiswa baru membayar­ kan sejumlah uang untuk kegiatan tersebut. “Saya tegaskan, inaugurasi tidak diperbolehkan. Kita sudah keluarkan surat larangan, kalau ada yang me­ langgar, itu menjadi tanggung jawab me­reka sepenuhnya, dan bila terjadi apa-apa universitas tidak tanggung jawab,” tegas Bongsu. Pelarangan inaugurasi mendapat tanggapan berbeda dari fakultas. Ter­ bukti, masih adanya fakultas yang tetap melaksanakan. Fakultas Hukum

(FH) misalnya. Panitia PMB FH telah lama membuat konsep inaugurasi, dan telah mengumumkan ke mahasiswa baru saat PMB. Priawan Harmasandi Raharjo, Ke­ tua PMB Reguler FH mengatakan pa­ nitia juga telah menetapkan kutipan per mahasiswa baru sebesar Rp 250 ribu, ikut atau tidak ikut. Menurutnya, walaupun sudah UKT, inaugurasi harus dilakukan pengutipan. “Yang dikonsep di UKT kan biaya yang bersangkutan dengan akademis­ nya saja, kalau inaugurasi itu kegiatan mahasiswa, ya sah-sah saja kalau ada pengutipan, karena fakultas maupun universitas tidak memberikan dana untuk inaugurasi,” jelasnya. Berbeda dengan FH, Fakultas Ke­ sehatan Masyarakat (FKM) dari awal

memang tidak merencanakan adanya inaugurasi. Ini sudah terjadi sejak ta­ hun lalu. Alasannya, jumlah mahasiswa FKM yang banyak sehingga sulit dalam pelaksanaan inaugurasinya. Menanggapi hal tersebut, Marga­ retha Pratiwi Sihombing, mahasiswa FKM 2013 merasa kecewa. “Pengen sih, karena inaugurasi itu seperti penge­ nalan atau pendekatan kita satu sama lain, mengubah mindset kita yang salah tentang jurusan kita, menambah teman dan membuat kita semakin kompak,” jelasnya.

USU menelurkan aturan dihapuskannya inaugurasi. Pihak universitas tak lagi tanggung jawab pada fakultas yang tetap melakukan inaugurasi. Sebuah konsep baru pun dirancang menggantikan yang lama. Erista Marito O Siregar

R

aja Bongsu Hutagalung mengeluarkan surat eda­ ran (SE) kepada Pembantu Dekan III seluruh fakultas Jumat (30/8) lalu. Isinya, pelarangan inaugurasi oleh universi­ tas. SE ini mengubah tradisi inaugurasi yang selama ini ada sebagai akhir rang­ kaian acara Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) fakultas. Pembantu Rektor (PR) III itu meng­ ungkapkan alasan mengapa larang­ an tersebut ditelurkan universitas. A­danya kejadian-kejadian yang tidak diinginkan selama inaugurasi berlang­ sung dan banyaknya mahasiswa baru yang mengadu ke pihak universitas adalah alasannya.

HAPUS INAUGURASI

ragam 11

Tradisi Inaugurasi yang Diganti

Seorang mahasiswa membaca surat edaran peniadaan inaugurasi, Senin (23/9). Surat ini dikeluarkan Pembantu Rektor (PR) III Raja Bongsu Hutagalung setelah melihat pengalamanpengalam­an inaugurasi yang lalu. ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Outbond dan Pendidikan Karakter Meskipun dilarang, Bongsu telah siapkan konsep baru. Outbond adalah salah satu rencana yang menjadi ta­ waran Bongsu. Menurutnya, outbond dapat menjadi kegiatan positif bagi ma­ hasiswa dan diupayakan untuk konsep yang minim biaya. “Kalau di outbond, mahasiswa di­ latih untuk kerja sama sesuai dengan konsep USU bersatu,” ungkapnya. Ia menambahkan, penghematan biaya dimaksudkan karena USU memi­ liki lahan khusus yang dapat dijadikan tempat, ditambah lagi USU mempunyai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang dapat membantu pelaksanaann outbond secara teknis. “Pokoknya itu su­ dah menjadi rencana, dirancang sebisa mungkin untuk nantinya dapat terlak­ sana,” tambah Bongsu. Selain konsep outbond, konsep utama lainnya adalah pendidikan karakter mahasiswa. Menurutnya, karakter baik adalah hal utama yang harus dimiliki seorang mahasiswa. Menurutnya, akan lebih berman­ faat bila ada pemberian pendidikan karakter bagi mahasiswa daripada kegiatan lainnya. “Pelan-pelan kita berikan pendidikan karakter, supaya mempunyai karakter sebagaimana seharusnya mahasiswa,” tutupnya.


12 galeri foto

Padat Pemukiman

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

Kota Medan dari ketinggian

Kendaraan makin macet

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia. Kendati demikian, tak banyak pencakar langit yang menjajah tanahnya. Meski mobil padat merayapi jalanan, dan permukiman memadati seluk-beluknya. Mari sejenak melihat hiruk pikuk kota Ayam Kinantan ini! (Redaksi)

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Masjid Raya dari Hotel Madani

Perempatan Yuki Simpang Raya Gedung Pencakar langit

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU


SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

podjok sumut 13

Selamat Tinggal Polonia

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

GANTI NAMA

Dua orang pengendara sepeda motor melintas di depan Pangkalan Udara Soewondo di Jalan Imam Bonjol, Medan, Rabu (25/9). Bandar Udara (Bandara) Internasional Polonia berubah nama menjadi Pangkalan Udara Soewondo pada Kamis (25/7), seiring dipindahkannya aktivitas penerbangan sipil ke Bandara Internasional Kuala Namu.

Awalnya hanya sebuah hutan belantara, kemudian disulap menjadi perkebunan tembakau. Lalu berubah lagi menjadi Bandar Udara (Bandara) Polonia. Baina Dwi Bestari

B

aron Michalsk tiba di Medan tahun 1863. Ia warga Polandia, se­ belumnya tinggal di Semarang. Baron berniat untuk membuka perkebunan tem­ bakau. Ia kemudian menemui Sultan Deli untuk dapat konsesi perkebun­ an. Tidak sulit, Baron pun me­ngan­ tongi izin dari Sultan. Ia dapat lahan di salah satu daerah di Medan. Baron kemudian menyulap hutan belantara tersebut menjadi perke­ bunan tembakau yang ia namai Polonia. “Berasal dari nama negara asalnya, Polandia,” terang Erond Damanik, Sekretaris Pusat Studi Se­ jarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universi­ tas Negeri Medan. Namun, hanya sebentar Baron mengecap nikmatnya berbisnis tembakau. Tahun 1879, hak kepemi­ likan atas lahan tersebut berpindah tangan ke perusahaan terbesar di

Sumatera Timur waktu itu, NV De Deli Maatschaapij didirikan oleh seorang Belanda Jacob Neinhuys dan dipimpin oleh JT Cremer. Maatschaapij juga mencium peluang bisnis tembakau di Suma­ tera Timur. Jadilah ia bekerja sama dengan pionir penerbangan Belanda yang dikepalai oleh Van Der Hoop untuk melancarkan penerbangan pesawat dari Belanda ke Medan guna mempermudah akses. NV De Deli Maatschaapij menye­ diakan sebidang tanah dari bekas lahan milik Baron yang kini mere­ ka pegang untuk dipakai sebagai lapangan terbang pesawat yang direncanakan. Akhirnya, di tahun 1920 tanah tersebut telah berubah menjadi se­ buah bandara kecil. Yang kemudian mendarat pesawat kecil jenis Fokker untuk pertama kalinya tujuh tahun kemudian. Mereka tetap menamainya Polonia. “Hal ini dilakukan karena mereka mau menghargai penemu pertamanya Baron,” kata Erond. Peluang penerbangan dari Belanda ke Medan secara langsung ini rupanya menarik perhatian para pengusaha dari Belanda. Perusahaan penerbangan Koninklijke Luchtvaaet Maatschappij (KLM) contohnya.

KLM mulai membuka jaringan penerbang­an ke Medan secara berkala. Polonia mulai ada di bawah kuasa pemerintah Hindia Belanda. Mereka mulai membangun Polonia yang kemudian meresmikannya ta­ hun 1928. Sedang perusahaan KLM saat itu sudah punya enam pesawat udara yang beroperasi di Polonia. Tahun 1936, pemerintah Hin­ dia Belanda melakukan perbaikan Polonia untuk pertama kalinya. Lapangan terbang Polonia yang masih berlan­daskan tanah yang di­ keraskan, mereka renovasi menjadi landasan pacu yang baik. Setelah diperbaiki, Polonia se­ makin aktif. Pesawat-pesawat udara berbadan besar mulai mendarat di dalamnya. Berkembang lagi dan mu­ lai bisa didarati oleh pesawat jenis Boeing setahun sesudahnya. Gedung terminal dalam negeri mulai dibangun dalam Polonia dan diresmikan penggunaannya tahun 1981. Akhirnya, kegiatan ekspor dan impor mulai aktif di Medan. *** Abu Zana mengayuh sepedanya siang itu, tahun 1995. Di boncengan sepeda ia bawa kotak kayu dengan berbagai macam minuman dan

makanan ringan. Ini kali pertamanya ia mencoba berjualan di Jalan Imam Bonjol, dekat Bandara Polonia, Medan -Sekarang Pangkalan Udara (Lanud) SoewondoAjo, biasa ia disapa, memilih lapak jualan di pinggiran hutan seberang bandara. Karena kalau terlalu dekat bandara ia takut diusir petugas-petugas bandara yang biasa bertugas dengan sepeda peonix biru mereka. “Waktu itu bandara belum ada pagarnya,” kisahnya. Penghasilan Ajo cukup lumayan kala itu. Karena pengunjung bandara sudah banyak, pesawat juga sudah banyak yang beroperasi. Walau­ pun gedung dalam bandara belum banyak, hanya ada gedung utama yang terletak paling dekat dengan pintu masuk. Tapi lahan-la­han kosong tempat pepohonan sawit tumbuh dimanfaatkan pengunjung untuk melihat pesawat yang bersiap terbang. Makanya bandara selalu ramai dan otomatis angka pembeli dagangannya semakin besar. Tapi sekarang lalu lintas di Jalan Imam Bonjol sudah tidak seaktif dulu. Hanya satu atau dua kenda­ raan yang tampak lewat sesekali. Juli 2013, Polonia dinyatakan resmi berhenti beroperasi. Polonia tidak lagi dikunjungi orang. Aktivitas penerbangan di Su­ matera Utara mulai dipindahkan ke Bandara Internasional Kualanamu di Deli Serdang. Dan entah sejak kapan Ajo tidak ingat pasti, plang nama ‘Polonia’ diganti jadi ‘Lanud Soewondo’. Yang ia tahu, pembeli dagangannya berkurang drastis. Kata Erond, Lanud Soewondo berasal dari nama pelopornya yang datang dari Jawa, Soewondo yang mendirikan lanud di Medan tahun 1950-an. “Otoritas lahan diberikan ke pihak Lanud Soewondo karena memang selayaknya di sebuah dae­ rah harus memiliki satu pangkalan udara,” tambahnya. Tiap tahunnya, keaktifan pener­ bangan di Polonia meningkat dari 15 hingga 20 persen. Lahan seluas 144 hektar dengan 2.900 meter landasan pacu tidak lagi mampu menampung operasi pesawat yang semakin sibuk. Selain itu, keberadaan Polonia yang ada di tengah kota juga menye­ babkan gedung-gedung di Medan dibatasi jumlah tingkatnya. Erond bilang, Polonia saat ini cuma mampu menampung sebelas armada di landasannya. “Jadi ketika landasan penuh, banyak pesawatnya yang mengapung-apung di udara untuk mengantre,” ujarnya. Kini, Polonia tinggal nama. Bah­ kan tempatnya pun sudah dialih­ fungsikan. Selamat tinggal Polonia.


14 laporan khusus

Cerita dari Bilik Tanjung Gusta SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Cerita dari Bilik Tanjung Gusta Lembaga Permasyarakatan (Lapas) merupakan wadah untuk mereka yang terhukum memperbaiki diri. Sesuai dengan fungsinya yaitu membina mereka yang masuk di dalamnya, maka selayaknya lapas memenuhi sarana-sarana yang dapat membantu untuk menjalankan pembinaannya. Rida Helfrida Pasaribu

N

ur baru saja ke­ luar dari Lapas Klas Satu Tan­ jung Gusta Me­ dan usai mene­ mui suaminya Abdulrahman. Ia menuju bangku tunggu untuk pengunjung. Jam menunjukkan pukul 12.10 WIB. Di meja untuk registrasi pe­ngunjung, petugas mem­ bereskan meja hendak istira­ hat, kemudian pengunjung lain yang duduk di bangku tunggu pergi. Nur hendak masuk ke dalam lagi dan menunggu waktu istirahat usai. Ini adalah kali pertama Nur me­ ngunjungi suaminya ke Lapas Tanjung Gusta. Sebelum­nya Abdulrahman ditahan di Lapas Dumai. Ia terlibat ka­ sus pembunuhan. “Abangnya Abi yang sibuk mengurusi kepindahannya agar lebih dekat,” ujar Nur. Ketika masuk berkunjung, ia terkejut dengan keadaan di situ. Ada banyak tenda-tenda yang dibuat di halaman lapas. Ia dan temannya harus me­ nyewa tenda dan tikar sehar­ ga Rp 50 ribu, membentang­ kan tikar tersebut di atas rumput lalu bercerita-cerita. “Kondisi di sekitar seperti di pantai, beberapa pasang­ an suami istri mungkin yah,

saya lihat asyik bercumbu walaupun keadaan ramai,” cerita Nur. “Saya tanya ke Abi memang begitulah adanya,” tambahnya. Ia berharap agar fasilitas­ nya segera lebih baik, seper­ ti tempat berkunjung yang jorok. Nur bahkan pernah ka­ sih uang untuk suaminya beli sikat gigi. “Karena saya lihat giginya agak keku­ningan, dia bilang dia tak pernah si­ kat gigi karena harga pasta gigi di koperasi mahal dan Abi tak mampu membelinya, apalagi dia makin kurus sih,” cerita Nur. Namun suaminya tidak mengeluh. “Yah naman­ ya juga di penjara,” ujar sua­ minya kala itu. Padahal, baru tiga bulan ia dipindahkan ke lapas tersebut usai kerusu­ han yang menimpa Lapas Tanjung Gusta Juli lalu. Ahmad Andreas, nara­ pidana (napi) Lapas Tanjung Gusta yang lain menjelaskan saat dihubungi via telepon, kondisi lapas yang berting­ kat membuat air dan listrik sering tidak jalan. Ia sendiri berada di lantai 3 dan mera­ sakan hal tersebut. Roni, napi lain bercerita waktu kerusu­ han terjadi air dan listrik mati seharian hingga membuat semuanya terkendala. “Keb­ etulan itu adalah puncaknya, biasanya tidak sampai satu harian,” ungkap Roni.

Koordinator Liputan: Rida Helfrida Pasaribu Reporter: Andika Syahputra Hasibuan, Renti Rosmalis, Wenty Tambunan, dan Rida Helfrida Pasaribu

RENOVASI

Sejumlah pekerja merenovasi di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas I ­Medan, Jumat (27/9). Renovasi pasca kebakaran lapas ini sudah berjalan selama tiga bulan dan direncanakan selesai dua bulan lagi.

Pun dengan kondisi ka­ mar ia merasakan pengap dan sumpek. Sebelum terjadi kerusuhan, kamarnya dihuni oleh 15 orang. “Kalo siang sih enggak terasa karena ke­ giatan, waktu malam aja ti­ durnya sempit-sempitan, apa

ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

PASCA KEBAKARAN

Seorang pegawai Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas I Medan melewati pintu masuk Lapas Medan, Jumat (27/9). Lapas ini mengalami kebakaran pada 11 Juli lalu yang disebabkan krisis air dan listrik dalam waktu yang panjang.

adanya saja, namanya juga penjara tidur hanya alas tikar saja”. Sekarang kamarnya di­ huni sembilan orang. “Luma­ yan agak tenang lah sekarang dibanding yang kemarin,” ungkapnya. Mutia Nauly, dosen Fakultas Psikologi USU me­ nilai permasalahan di Lapas Tanjung Gusta adalah ma­ salah yang kompleks. Menu­ rutnya, permasalahan di lapas tersebut yaitu over load, di mana kapasitas lapas sudah melebihi standar yang ada, sementara setiap orang butuh personal space. “Per­ masalahan inilah yang mem­ buat orang stress sehingga menimbulkan kemarahan, sementara manusia memer­ lukan personal space”, jelas Mutia. Ia menambahkan, kon­ disi dasar yang sudah nega­ tif membuat ketidakcocok­ an antar sesama penghuni lapas. Ada pengelompokan antara yang punya dan yang tak punya. Itu menimbulkan keirian tersendiri. Di dalam lapas pun ada strata-strata dan intrik-intrik yang terjadi. Untuk permasalahan ini, dijelaskan Mutia, setiap ma­

nusia terlepas dia napi atau tidak memiliki hak-hak dasar. Seperti mendapatkan air, lis­ trik, dan makanan sebagai sumber kehidupan, ini harus terpenuhi dan juga perlu ke­ adilan. Lapas juga perlu punya program untuk mengurangi kebosanan seperti menga­ dakan kegiatan olahraga. “Orang bosan cenderung frustrasi dan membawa kon­ sekuensi negatif yang dite­ ruskan de­ngan bentuk ke­ kerasan,” jelasnya. Lilik Sujanti, Kepala Lapas Tanjung Gusta mengaku saat ini masih melakukan perbaik­ an pasca hampir tiga bulan kericuhan terjadi. Mereka perlu memperbarui rekapan data yang ikut terbakar. Tem­ pat besukan pun kini masih menggunakan tenda-tenda sederhana. Mereka pun melakukan perbaikan untuk tempat pelayanan keluarga, rumah sakit yang hangus terbakar, pendidikan, dan la­ yanan ibadah. Meskipun baru tiga ­ming­gu menjabat, untuk dua bulan ke depan ia juga punya program tindakan penertiban terhadap peng­


Cerita dari Bilik Tanjung Gusta SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Ditambahkan Sapawi, Ke­ pala Humas Kantor Wilayah (kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (kemenkumham) Sumatera Utara, kapasitas yang berlebihan ini memang mempersulit pembinaan dan pengamanan. Pihaknya pun semaksimal mungkin akan melakukan pembenahan ter­ hadap hak-hak mereka dari segi pembinaan dan lainnya. Ia menuturkan dalam rang­ ka mengatasi permasalahan tersebut diupayakan pemba­ ngunan baru, akan dibuat lem­ baga baru oleh kemenkumham dengan penambahan ruangan, pembangunan baru di wilayah Sumatera Utara yaitu di Lang­ kat dan Humbang Hasundut­ an. “Dilakukan pembenahan keamanan permasyarakatan, karena memang petugas mi­ nim dan binaan lebih banyak,” ujarnya.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

huni lapas dan pendisiplinan kepada karyawan dengan membuat program-program pengembangan. “Kami juga akan men­ gadakan event perkumpul­ an keluarga dalam waktu dekat ini yaitu mengadakan kunjungan edukasi, karena narapidana bukan pangsa pasar melainkan populasi se­ hingga berhak mendapatkan kehidupan, inilah edukasi so­ sialnya,” tambah Lilik. Selain itu, normalisasi ke­ hidupan dalam lapas juga di­ upayakan. Hal ini dilakukan dengan cara mendisiplinkan narapidana sehingga ada kepatuhan untuk keluar ma­ suk blok, menghargai peran petugas, peningkatan mental petugas itu sendiri sehingga ada keteraturan. Karena salah satu penyebab kerusuhan adalah pelayanan petugas ter­ hadap napi yang buruk seperti pungutan liar dan kekerasan hingga kehidupan napi tidak normal dan menimbulkan kerusuhan. “Inilah cara napi menyampaikan komunikasi­ nya,” katanya. Ditambahkan Lilik, petu­ gas diharapkan sopan santun dalam melayani sehingga me­

nimbulkan kepercayaan napi terhadap petugas. Program lain yakni penertiban kehidup­ an, kepatuhan napi, trans­ paransi pengembangan buda­ ya kerja yang melayani. Hal ini bisa terjadi apabila napi patuh dan petugas memberikan figur yang baik, meningkatkan hubungan pelayan dan napi sejajar sehingga tercipta ke­ hidupan tenang, mengadakan perwalian bagi napi sehingga ada ahli komunikasi terhadap petugas atau pelayan. Mengenai kapasitas, Lilik mengaku adanya over penghu­ ni. Daya tampung lapas yang hanya 800 orang, harus dihuni 2098 orang. Untuk mengakali jumlah daya tampung yang ti­ dak sesuai, Lilik mengatakan akan dilakukan pengembang­ an pola perilaku yang sehat, pola pengaturan pasokan air seperti pengaturan jadwal pengaliran air di setiap blok, sehingga tidak ada yang me­ nguasai. “Napi di sini adalah rujukan akhir dari berbagai kabupaten, kami tidak bisa menolak jika ada napi yang akan dititipkan kemari, kasihan kan keluarga jika harus dipindahkan ke luar Sumatera Utara,” ujar Lilik.

Tetap Berkegiatan Meskipun masih menjalani masa kurungan dan terlepas dari kondisi lapas yang mem­ prihatikan, para napi tak han­ ya berdiam diri begitu saja. Me­ reka tetap punya kegiatan yang bermanfaat setiap harinya. Ahmad Andreas misalnya, memilih bidang pertanian. Setiap hari setelah apel pagi, ia ke ladang mengurusi tana­ man sayurnya hingga pukul 12 siang. Setelah itu ia kembali lagi ke kamar. Pukul 1 hingga 5 sore ia bertani lagi, “Begi­ tulah kegiatan kami setiap harinya,” ujar Amad. Kasus narkoba membuat­ nya harus tinggal di lapas tersebut. Sebelumnya ia telah menjalani hukuman dua ta­ hun di Lapas Pemantang Si­ antar, dan sudah sepuluh bu­ lan dipindahkan ke Tanjung Gusta. Ahmad tak tahu pasti kenapa ia dan 19 temannya dipindahkan ke Lapas Tanjung Gusta. Pasca kerusuhan, ada yang dipindahkan lagi ke lapas lain, hanya dia tak tahu karena beda blok. Ahmad cerita, peraturan di dalam menjadi lebih ketat setelah kerusuhan, semua dipantau. “Kalau dulu cuma sekadar aja mereka meman­ tau, tapi sekarang sampai ke­giatan kami bertani pun benar-benar dipantau,” tam­ bah Ahmad. Sebenarnya, dulu ia bekerja di bagian peter­ nakan, namun ternak-ternak­ nya ha­ngus karena kebakaran. Lain cerita dengan Ken (bukan nama sebenarnya), yang sudah dua tahun ia ting­ gal di lapas. Sebelum di Lapas Tanjung Gusta 2011 lalu, Ken adalah seorang mahasiswa universitas swasta di Medan. Ia harus menanggung masa tahanan selama lima tahun enam bulan karena kasus nar­ kotika. Tak seperti napi lain yang

laporan khusus 15 tak berkegiatan dan hanya tidur-tiduran di kamar, Ken memilih menjadi tahanan pendamping (tamping) untuk mengisi kesehariannya dalam kegiatan yang disebut Bim­ bingan Kerja (Bingker). Ken menjelaskan, tamping adalah warga binaan yang telah meng­ ajukan diri untuk bekerja membantu petugas lapas atau produktif menghasilkan se­ buah kerajinan tangan untuk dijual.

Karena narapidana bukan pangsa pasar melainkan populasi sehingga berhak mendapatkan kehidupan, inilah edukasi sosialnya Lilik Sujanti Kegiatan tersebut meliputi bidang kerajinan tangan, ad­ ministrasi, pertanian, peter­ nakan, dan olahraga. Semua kegiatan yang ada di Bingker, didata dan diolah oleh Ken. Biasanya ia bekerja mengolah data hasil produksi, pemasuk­ an, dan kegiatan warga binaan yang bekerja. “Biasanya saya di kantor, di depan komputer. Karena terbakar jadi gak ada kerjaan saya. Data-data juga terbakar,” kata Ken. Untuk menjadi tamping tak sekadar dilihat dari ke­ inginan untuk berkegiatan saja, semuanya diseleksi lagi dan dilihat kelayakannya oleh petugas lapas. Dari 2.387 war­ ga binaan yang ada di lapas hanya sekitar 200 orang yang memilih berkegiatan di lapas. ”Tidak semua warga binaan boleh menjadi tamping,” jelas Ken. Meski rutin bekerja mengo­

lah data, Ken tidak mendapat­ kan gaji atau upah dari yang ia kerjakan.”Tak ada upah untuk saya, karena saya bukan pe­ kerja produktif di sini,” tam­ bahnya. Sama dengan Ken, Eliyanto juga bergabung di Bingker. Ia memilih kerajinan tangan ba­ tok kelapa sebagai kegiatan­ nya. Sebelum kisruh, ia dapat menghasilkan Rp 200-300 ribu per bulan untuk pajak bingker. Biasanya hasil karya yang sudah dijual 15 persen­ nya di­setor sebagai pajak ke Bingker. Tapi ketika kisruh, kerajinan dan alat bahan-ba­ han yang ia pakai sehari-hari hangus terbakar, penghasilan­ nya pun tak menentu bahkan jarang. Sebelumnya karyanya dapat ia pasarkan ke luar, den­ gan pemasok yang datang me­ masarkan, namun sekarang ia hanya mampu jual ke pengun­ jung dan orang-orang yang kebetulan masuk dan tertarik untuk membeli. Ia dan teman-temannya berharap ada perhatian terha­ dap usahanya tersebut. Ia tak enak hati harus dikirim oleh keluarga untuk membeli ke­ butuhan sehari-harinya. “Saya punya tiga orang anak yang sekolah, enggak mungkin jika saya harus minta sama kelu­ arga,” ungkap Eliyanto. Roni yang juga dalam ke­ lompok Bingker ikut cerita, penghasilannya cuma cukup beli makan di kantin jika se­ dang bosan dengan makan­ an lapas dan beli rokok se­ batang, “Yang penting tidak me­nyusahkan keluarga lagi, ungkapnya. Selaku Kepala Lapas Tan­ jung Gusta, Lilik berharap ke depannya masyarakat seki­ tar dapat memahami bahwa lapas adalah bagian dari ma­ syarakat. Sehingga nanti jika me­reka bebas bisa diterima oleh mereka. “Masyarakat juga bertanggung jawab sep­ erti pemberian layanan kes­ ehatan dan pendidikan bagi napi,” tutup Lilik.

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

MUATAN LAPAS

Seorang pengunjung melihat daftar isi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Medan di kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (24/9). Berdasarkan data, seluruh lapas di Sumatera Utara mengalami kelebihan muatan.


16 mozaik

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

cerpen

KUNJUNGAN ORANG BERWAJAH MURUNG Putri Rizki Ardhina Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2010

L

NA

BU AM YT

NT

WE N| SU

AU

AR

SU

angit pagi itu seharusnya bisa merekam semua kejadian ini supaya kalau-kalau lupa aku tahu harus melihat ke arah mana. Tapi itu seharusnya, masalahnya langit bukan proyektor. Sekarang aku harus bertanya kemana jika tak mampu meng­ ingat alasan orang-orang ini datang ke rumahku. Seingatku, aku tidak amnesia tapi kenapa aku tidak tahu alasan mereka datang? Biasanya mereka datang pada hari lebaran. Hari dimana kami saling bermaafan kemudian ha­ rus minta maaf lagi saat akan pulang karena anak mereka yang kecil itu memecahkan toples kue baru punya ibu. Kemudian kami saling bertanya kabar, walaupun kadang aku harus bosan ditanya soal pernikahan. Tapi kenapa orang-orang ini ti­ dak bertanya kabarku? Masuk ke rumah, memeluk ibu lalu menciumku. Semua itu mereka lakukan dengan suara bisikan yang pelan. Ada yang salah sampai aku tak boleh mendengarnya? Kalian bi­ cara apa? Aku hanya ingin tahu moga-moga tidak membicarakan pernikahanku yang belum matang disiapkan itu. Aku ingin sekali melompat ke tengah-tengah mereka untuk mencuri dengar apa yang mereka katakan, seperti yang biasa kulakukan. Tapi, tu­ buhku lemas sekali seperti orang mati rasa. Siapa yang membius tubuhku sampai terasa seperti ini? Aku melihat ke sekeliling, orang-orang tadi memasang wajah tanpa ekspresi. Kemudian satu dengan lainnya saling memeluk, semakin aneh saja rasanya melihat rumah ini seperti panggung drama. Eh, ada yang baru datang lagi. Kakek, lakilaki tua yang pernah sangat gagah itu kini tertatih mendekatiku, dibantu seseorang ia duduk sangat dekat. Dia menangis tersedu dengan cerutu masih menempel di bibirnya. Lucu sekali kakek ini, pada­ hal terakhir kali dialah yang kami tangisi karena tak kunjung sadar dari koma selama 2 bulan. Dan sekarang dia menangis di hadapanku? Kek, aku tidak koma sepertimu untuk apa kau tangisi? Paling-paling nanti aku bisa bergerak lagi. Itupun kalau ada yang mau menjelaskan alasan mereka membuatku mati rasa seperti ini. Kunjungan orang-orang berwajah murung tidak juga berakhir sampai matahari akan ber­ henti tepat di atas kepala. Membuatku semakin gerah karena tak mengerti apa yang terjadi. Aku hanya bisa menyaksikan mereka tanpa bisa bertanya atau marah-marah karena semuanya diam sedari tadi. Ibu juga, ikut-ikutan memasang wajah murung dan tak mau menceritakan apapun padaku. Padahal biasanya harga cabai yang naik pun ia ceritakan sambil ngomel-ngomel. Seorang lelaki berpostur tegap berdiri lama di depan pintu, dan aku tahu jelas siapa itu. Sebai­ knya lelaki itu tidak masuk ke rumah ini dan tidak mendekatiku sedikitpun! Mau apa dia datang kemari? Meminta maaf kepadaku dan keluarga dengan mengatakan bahwa kelakuannya kemarin adalah sebuah kekhilafan? Itu adegan paling klasik yang ada di sinetron, ibuku setiap hari menon­ tonnya dan dia sudah hafal. Sampai kemarin dia kudapati sedang berduaan dengan seorang gadis di dalam ruang kerjanya. Yang kutahu sebelumnya lelaki ini sangat alim bahkan taat. Yang kutahu le­ laki ini tak pernah berbohong bahkan hanya seka­ dar ia sudah sikat gigi atau belum. Dan kejadian itu mematahkan semuanya, mematahkan hara­

panku bahwa lelaki ini adalah lelaki yang akan menjadi suamiku minggu depan. Aku berterima kasih pada Tuhan karena kenyataan itu kulihat tepat seminggu sebelum hari pernikahan datang. Aku ingat betul bagaimana ekspresi terkejutnya ketika mendapatiku sedang memergokinya. Dia berusaha mengejar tapi aku berlari lebih cepat, bahkan lebih cepat dari kenyataan ini. “Maafkan saya, Bu,” lirihnya. Halah, malas sekali aku mendengar ucapanmu. Perlu kau tabur boraks ucapanmu itu biar tidak basi. Sudah muak aku. Ingin rasanya kutarik cerutu kakek lalu ku­ sundutkan ke bibirmu yang berusaha menipu itu. Kau tak tahu sakitnya hatiku. “Dia pikir saya selingkuh, Bu. Padahal perem­ puan di ruangan itu sepupu jauh saya yang baru selesai kuliah di Jerman dan ingin saya tarik ke kantor saya. Dia salah paham sebelum sempat saya jelaskan semuanya,” laki-laki itu lantas menangis di depan ibu. Kejantanannya luruh seketika bersama air mata yang mengalir deras di pipinya. Oh, maafkan aku. Aku telah salah sangka padamu, sekali lagi maafkan aku. Sekarang aku mengerti benar ketulusanmu, sekarang aku berse­ dia menikah denganmu. Tapi bukankah pernika­ han kita masih beberapa hari lagi? Lantas kenapa sudah banyak yang berdatangan ke rumah, ya? Mungkin orang-orang ini ingin membantu ibu mempersiapkan segala sesuatunya. Mas, tataplah aku. Aku sungguh telah memaaf­ kanmu. Harusnya kau tarik tanganku saat itu dan jelaskan semuanya kepadaku, sehingga aku tak perlu berlari sampai-sampai.. Hei! Sampai-sampai apa? Kok aku tidak ingat apa yang terjadi lagi? Jangan-jangan aku amnesia gara-gara benturan di kepalaku ini. Tapi kapan aku dapat benturan ini? Aduh, aku ini amnesia atau gila? Mas mendengarkanku rupanya. Dia menatapku lama, sangat lama. Air matanya tidak berhenti, ku­ tahu ia sangat menyesali perbuatannya waktu itu sampai aku salah paham. Mas, walaupun aku sulit bicara sekarang tapi hatiku telah memaafkanmu. Seseorang berbadan kekar datang lalu mengh­ entikan adegan romantisku dengan Mas. Kutahu ia adik lelaki ibu satu-satunya dan selama ini tinggal paling jauh dari keluarga. Paman Jul namanya. Pa­ man lalu mengajakku pergi dari kerumunan itu. *** Matahari mulai condong melewati kepala, orang-orang tadi lantas beramai-ramai berjalan bersamaku. Ah, begini kan lebih baik. Daripada kalian murung seperti itu lebih baik jalan bera­ mai-ramai seperti ini. Tapi orang-orang berwa­ jah murung itu tak juga tersenyum, sulit sekali sepertinya mengembangkan senyuman di wajah mereka. Paman membaringkanku di atas tanah yang dingin, hawa rumput basah tercium di sekitarnya. Paman pasti diberitahu ibu kalau aku suka rerumpu­ tan, ini bisa menenangkan pikiranku. Dari sini bisa kulihat awan berkejaran di antara birunya langit. Aku benar-benar sedang menikmatinya sampai langit tiba-tiba berubah warna menjadi coklat ke­ hitaman. Kemana perginya langit biru tadi? Tinggal kegelapan disini yang menemaniku kah? Oh, tidak! Aku lupa. Ternyata ini hari pemaka­ manku. Dan orang-orang berwajah murung itu. Pelayat!


SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

sorot

puisi

Suara Orang Batak Orang Batak terkenal dengan volume suaranya yang tinggi serta gaya bicaranya yang keras. Bahkan sebuah penelitian yang mengamini hal tersebut. Guster Sihombing

K

etika memasuki rumah saya, ba­ rangkali Anda tidak akan menemu­ kan seorang pun yang memiliki volume suara rendah. Anda bahkan akan berasumsi keluarga saya sela­ lu bertengkar atau sedang marah. Tapi asumsi Anda tersebut salah. Kenapa? Karena kami orang Batak. Itu adalah jawabannya. Memang ada apa dengan orang Batak? Ba­ yangan yang terlintas dipikiran Anda ketika tahu saya orang Batak adalah saya orang yang pemarah, tidak sopan, kasar, dan selalu emosi. Anda barangkali lebih sering menonton film televisi dengan supir metromininya. Padahal sebenarnya orang Batak, khususnya Batak Toba tak seperti yang Anda bayangkan. Sebuah penelitian fonetik yang dilakukan Prof Robert Sibarani, Guru Besar Antropo­ linguistik Fakultas Ilmu Budaya USU, beserta timnya membuktikan bahwa volume suara orang dengan suku Batak Toba lebih tinggi be­ berapa desibel (dB) daripada orang non-Batak. Satuan untuk mengukur intensitas suara yang berkaitan dengan kekerasan suara. Besarannya sekitar 30-40 dB. Penelitian fonetik meliputi fonetik artiku­ latoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Pada posisi ini, fonetik artikulatoris mengkaji bunyi-bunyi bahasa yang di produksi oleh alatalat ucap. Penelitian ini juga sering disebut fon­ etik organis.

si poken

mozaik 17

Satu desibel berukuran sebuah bisikan yang sangat halus. Pada keadaan normal, manusia biasanya bisa mendengar pada posisi 60-70 dB. Sedang pada frekuensi tertinggi, manusia bisa mendengar pada 120 dB. Itupun dalam waktu yang sangat singkat. Karena apabila lebih dari sepuluh menit, akan terjadi gangguan pada te­ linga Anda. Teriakan manusia bisa mencapai tekanan sebesar 80 dB. Berarti, kalau sedang bernyanyi, sekitar satu oktaf lebih tinggi dari orang nonBatak. “Makanya orang Batak Toba cocok jadi guru atau dosen. Nggak perlu pakai microphone lagi lah,” kata Prof Robert. Orang Batak kebanyakan perlu mengetahui apakah hal yang disampaikan sudah dimengerti oleh lawan bicaranya atau belum. Bahkan supa­ ya lebih jelas, huruf “E” pada lidah kebanyakan orang Batak tidak bisa menyebutkannya dengan “E” lemah. Pasti logat Bataknya terdengar lebih kental. Coba bandingkan dengan orang Jawa. Mereka memiliki “E” lemah dan lengkap dengan kemendokan-nya. Jadi, keliru apabila kalau ada yang me­ ngatakan suara orang Batak selalu tinggi karena letak geografis bahkan historisnya. Katanya dae­ rah Batak cenderung berbukit dan selalu dilalui angin kencang, sehingga membuat orang Batak harus berbicara lebih keras. Buktinya, saya sekarang tinggal di daerah perkotaan, dan ti­ dak berbukit. Tapi tetap saja volume suara saya lebih tinggi dibanding teman-teman saya yang non-Batak. Jadi memang tidak ada pengaruh geografis dan historis dengan volume suara itu. Kalaupun ada orang Batak Toba yang tidak terdengar bersuara dengan keras, ia hanya sedang berusaha terdengar memiliki “E” lemah dan sudah mulai menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karena secara fonetik, volume suaranya sudah lebih tinggi dibanding non-Batak.

Entahlah Vina Sri Wahyuni Fakultas Ilmu Budaya 2012 Benci... Pantaskah itu yang harus kuteriakkan saat ini? Pergi... Apakah itu yang harus kulakukan detik ini? Entah berapa lama kurenungi Bertanya pada hati, seakan bodoh sendiri Memendam tanya yang terus menari-nari Merasuki sukma hingga menembus nadi Apa sebenarnya tujuan dari majelis ini, kawan? Kucoba gantungkan mimpi, namun semua tak pasti Entah berapa lama kutetap bertahan Menitip waktu dalam majelis ini Semua pergi, lari tanpa memberi setitik arti Aahh...sudahlah Hentikan kebohongan ini, OMONG KOSONG KAWAN Biarlah kuberlari, terbang tinggi menjemput mimpi Merajut kembali persepsi Tanpa ada ikatan-ikatan lagi Terlalu lelah mewayangi majelis ini Aku benci Penuh dengan janji-janji basi Tapi, terlanjur sudah aku tergelincir Kejurang organisasi Yang katamu ’’ITU PENTING’’untukku Aaahh... ternyata mengusik akademikku Terbuai sudah aku dalam ayunan organisasi Maaf, aku tak pernah sudi Menjadi mahasiswa abadi

AUDIRA AININDYA | SUARA USU


18 potret budaya

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Sanggul Marata:

Simbol Kebanggaan dalam Rangkaian Dedaunan Debora Blandina Sinambela

S

udah tiga hari tubuh itu terbujur kaku. Keluarga dan handai taulan datang silih berganti melayat. Suasana berkabung terasa ditambah nyanyian rohani berte­ ma kematian mengiringi acara sepanjang malam. Malam itu adalah malam sebelum tubuh Mangara Sinambela dimasukkan ke dalam peti, atau orang Batak bilang mompo. Di bagian kepala, berdiri rangkaian daun-daun segar yang dikenal dengan nama sanggul marata atau sijagaron. Sanggul marata diletak di halang ulu atau arah atas kepala. Sanggul marata terdiri dari macam– macam tumbuhan yang dirangkai sedemikian rupa. Kadir Sibarani, salah seorang tetua adat dari Desa Sibarani Nasampulu Kecamatan Laguboti, Toba Samosir menjelaskan bahwa Sanggul marata boleh didirikan, minimal jika yang meninggal sudah memiliki cucu. “Orang yang meninggal dianggap berhasil jika ia memiliki anak laki-laki dan perempuan serta su­ dah dikaruniai cucu. Ia dianggap udah memenuhi hamoraon (kekayaan), hagabeon (kebesaran) dan hasangapon (kedudukan) yang merupakan cita-cita umum masyarakat Batak semasa hidup,” jelasnya. Keesokan harinya, sebelum penguburan dilaku­ kan acara maralaman, peti dibawa ke halaman rumah. Sanggul marata dijunjung menantu perem­ puan, diikuti semua keturunanan yang kemudian dibawa mengelilingi jenazah sambil manortor. Setelah acara penguburan selesai, tanaman tersebut ikut ditanam di kuburan. Di beberapa wilayah, sanggul dibiarkan mengering di rumah. Untuk padi dan beras dimasak oleh keluarga dan dimakan bersama-sama sebagai wujud syukur atas berjalannya acara. Ada lima macam daun yang digunakan, yaitu hariara (pohon ara), daun baringin (beringin), ompu-ompu (bunga bakung), sanggar (ilalang yang beruas), dan sangge-sangge (serai). Kelima daun ini ditanam dengan menggunakan padi dalam ampang (bakul) bersegi empat yang terbuat dari anyaman bambu. Mangkok berisi beras, kemiri dan telur ayam kampung diletak di atas padi. Semua tumbuhan diartikan sebagai simbol-simbol keberhasilan yang dicapai dan diwariskan kepada keturunannya. “Segala unsur-unsur dalam sanggul marata punya arti tersendiri,” ujarnya. Sejak dulu, hariara dikenal sebagai pohon yang tumbuh di halaman perkampungan Batak dan dijadikan tempat berkumpul. Sehingga hariara bermakna simbol perlindungan. Baringin dikenal sebagai tumbuhan yang kokoh, memiliki banyak cabang serta rimbun sehingga diartikan simbol

kekokohan dan keberhasilan. Sanggar merupakan tumbuhan yang jika diterpa angin akan mengayun naik turun se­ hingga bermakna bahwa kehidupan mempunyai grafik yang turun naik atas terpaan yang datang. Ompu-ompu diartikan bahwa yang meninggal sudah mempunyai anak cucu dan apa yang sudah diperoleh baik diteruskan anak cucunya. Terakhir sangge-sangge artinya yang meninggal mampu menjaga kesehatan dirinya dan keturunannya. Ampang atau bakul yang memiliki empat sisi juga punya arti. Selama hidup, kita akan ditopang oleh empat unsur yaitu partubu (orangtua), boru (perempuan), hula-hula (paman) dan pariban (saudara). Padi dalam ampang bermakna sebagai berkat yang diberikan Tuhan pada seluruh kelu­ arga. Semakin banyak keturunan maka tingkatan ampang akan dibedakan. Kalau cuma punya cucu maka bakulnya hanya satu tingkat, anaknya sudah punya cucu (marnini-marnono) maka ampang-nya dua tingkat, sementara jika cicitnya sudah punya anak (marondohondoh) ampang-nya tiga tingkat. “Hanya dengan melihat sanggul marata, pelayat sudah tahu sampai di mana keturunaan yang ia miliki,” katanya. Beda di Tiap Wilayah

Tak ada yang tahu sejak kapan budaya ini dimulai dalam masyarakat Batak. Kadir meng­a­ takan tak pernah menemukan tulisan soal sanggul marata. Namun ia meyakini budaya ini sudah tumbuh dan berkembang lama dalam masyarakat. Ia sendiri sejak kecil sudah menyaksikan sanggul marata dalam upacara kematian. “Saya tak pernah pelajari dari tulisan, hanya memerhatikan para orang tua dulu sehingga saya bisa merangkai sanggul,” katanya. Sama halnya dengan Murniati Siahaan, perang­ kai sanggul marata di Balige. Ia tahu merangkai sanggul tanpa belajar khusus, hanya memerhati­ kan orang tua yang pernah merangkai. Sewaktu muda, ia sering membantu mencari dedaunan. “Orang tua yang menyusun, orang muda yang

Bagi orang Batak, kekayaan tak melulu dilihat dari harta melimpah. Namun memiliki keturunan banyak merupakan kekayaan dan kebanggaan yang tak ternilai. Kelak ketika mereka meninggal, kebanggaan ini akan disimbolkan dalam mahkota dedaunan.

mencari. Dipilih mana yang paling bagus, supaya terlihat segar. Penataannya menyusun supaya terlihat rapi saja,” ujarnya. Murniati mengatakan dari segi penataan daun, terdapat perbedaan dengan daerah lain. Di dae­ rahnya apabila yang meninggal hanya mempunyai cucu dari pihak perempuan saja, maka daun hari­ ara tidak diikutkan. Sementara jika cucu hanya dari pihak laki-laki tidak dibuat daun baringin. Perbedaan ini diamini oleh Kadir. Beda wilayah, beda pula adat yang diusung. Kembali lagi karena setiap prosesi adat yang dilakukan orang Batak lemah dalam pendokumentasian. Sehingga tak ada acuan yang menjadi dasar pelaksanaan adat. Kebudayaan dipertahankan dan diturunkan lewat ingatan orang tua yang diwaris­ kan kepada anak cucunya. Di sinilah kerap terjadi perdebatan karena lain orang lain pula yang disampaikan. “Lain lubuk, lain ikannya. Lain tempat maka lain pula adatnya. Kalau sudah terjadi perdebatan mana adat yang harus di­ gunakan, maka kita mengikuti adat di tempat acara dibuat. Pada dasarnya hanya ritualnya saja yang berbeda, maknanya tetap sama,” ujar Kadir. Namun tak semua tempat dan tak semua Batak melakukan budaya ini. Sanggul marata dikenal di masyarakat Toba dari daerah Ajibata hingga Dolok Sanggul dan sebagian wilayah Silindung. Hanya saja dalam masyarakat kota, budaya ini jarang dilakukan. Kadir mengatakan masyarakat kota jarang melakukannya karena tak ada acara maralaman di kota. Selain itu beberapa masyarakat menolak melaksanakan ini karena menilai ada unsur animisme di dalamnya. “Be­ berapa bilang ini ada unsur animisme di dalam­ nya. Namun anggapan itu terpatahkan karena kita tidak menyembahnya. Ini hanya simbol saja,” ujarnya.

REPRO DOKUMENTASI PRIBADI | RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU


riset 19

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Birokrasi Milik USU di Mata Mahasiswa Birokrasi adalah alur yang harus dilalui oleh mahasiswa dalam menjalankan sebuah urusan, khususnya yang menyangkut akademik. Beberapa unsur penting yang menyangkut pelayanan birokrasi di kampus adalah berba足 gai aturan yang harus dipatuhi, responsivitas petugas yang terkait, efektivitas waktu, dan sebagainya. Lantas bagaimana tanggapan mahasiswa USU terhadap beberapa layanan birokrasi yang ada di USU?

39,71 Secara umum, bagaimana kinerja petugas/pegawai yang melayani proses birokrasi di USU? - Sangat Ramah 4,93% - Ramah 39,71% - Kurang Ramah 34,78% - Tidak Ramah 20,58%

Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 345 mahasiswa USU stambuk 2008-2012. Responden dipilih secara acak dengan mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Kuesioner disebar pada 12 hingga 20 September 2013. Dengan tingkat kepercayaan 94 persen dan sampling error 6 persen, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa USU. (Litbang)

55,07 Menurut Anda, perlukah adanya peningkatan pelayanan birokrasi di USU saat ini? - Sangat Perlu 55,07% - Perlu 32,17% - Sudah Cukup 5,80% - Tidak Tahu 6,96%

EWA

TIM

R: IS

BE SUM

66,67 Menurut Anda bagaimana birokrasi di USU terhadap pelayanan-pelayanan akademik di bawah ini: a. Pengisian Kartu Rencana Studi - Rumit 33,33% - Mudah 66,67% b.Pengurusan Beasiswa PPA atau BBM - Rumit 24,35% - Mudah 22,61% - Tidak Pernah 53,04% c.Pengurusan Izin Berkegiatan - Rumit 24,35% - Mudah 27,54% - Tidak Pernah 52,75 %

62,90 Salah satu yang menyulitkan proses birokrasi di USU adalah rumitnya peraturan yang ada. Apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan pernyataan ini? - Setuju; 62,90% - Tidak Setuju; 17,10% - Tidak Tahu; 20%


20 resensi

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Saksi Kunci:

Seorang Saksi, Sebuah Kunci Judul: Saksi Kunci Penulis: Metta Dharmasaputra Penerbit: Tempo Tebal: xliv + 446 halaman Terbitan: Cetakan Pertama, 2013

Jujur, melalui Saksi Kunci saya terpukau dengan canggihnya otak-otak manusia Indonesia. Metta melalui liputan investigasinya berhasil mengungkapkan sisi gelap Indonesia secara terang.

M

etta Dharmasaputra adalah seorang jur­ nalis investigasi yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998. Ia aktif di majalah Tempo sejak 2001 di berbagai posisi. Namun ia lebih tertarik dan fokus pada isu-isu ekonomi. Salah satu lipu­ tan investigasinya yang bercerita ten­ tang penggelapan pajak, yakni kasus Asian Agri, cukup berhasil menyedot sorotan publik pada 15 Januari 2007. Saat majalah Tempo mengangkatnya sebagai cover story dengan judul ‘Akrobat Pajak?’. Kasus inilah yang menjadi pokok utama Saksi Kunci. Kasus Asian Agri adalah kasus penggelapan pajak yang menyeret nama Sukanto Tanoto, orang terkaya di Indonesia tahun 2006 dan 2008 menurut majalah Forbes Asia. Tak sembarangan, pajak yang digelapkan dinilai hingga Rp 1,3 triliun. Cerita investigasi Metta dimulai ketika sebuah sambungan jarak jauh masuk ke selulernya. Sambungan tersebut dibuat oleh seorang pria yang mengaku kalau abangnya pu­nya data penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan Asian Agri, milik Su­ kanto Tanoto. Belakangan diketahui, si penelepon adalah Agustinus Ferry Sutanto, adik dari Vincentius Amin Sutanto. Vincentius ternyata salah seorang karyawan Sukanto Tanoto yang men­ coba menggelapkan uang Asian Agri sebesar 3,1 juta dolar atau setara Rp 28 miliar saat itu. Sialnya, saat reke­ ning Vincentius baru menerima uang sebesar Rp 200 juta, tindakan krimi­ nalnya ketahuan sang bos besar. Tentu sang bos besar, Sukanto Tanoto, berang. Kelancaran hidup Vincentius terancam. Ia kabur ke Singapura untuk bersembunyi. Se­ lama di persembunyian, ia sungguh stres. Karena sudah memohon peng­ ampunan pada sang bos dan berniat mengembalikan uang yang dicurinya dengan jaminan hidupnya tak digang­ gu. Tapi tawaran itu tidak diindahkan.

Oleh k a ­ renanya, Vincentius m e­ n g a n c a m akan menyebar­ kan data perusahaan selama bertahun-tahun kepada media. Data sebesar sebelas gigabytes itu di­simpannya dalam sebuah hard disc berukuran 12x7 sentimeter. Tentu sang bos kian berang. Jadilah hidup Vincentius tak tenang selama jadi buronan. Ia semakin tak tenang saat tahu anak dan istrinya juga diter­ or. Vincentius sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi ia punya pilihan lain yang justru menjadi titik balik terciptanya buku ini. Ia meghubungi wartawan Tem­ po. Dan wartawan itu ialah Metta ­Dharmasaputra. Petualangan me­reka dimulai. Cerita selanjutnya sungguh di luar dugaan. Perlahan-lahan kasus peng­ gelapan pajak ini berkembang de­ ngan beragam teori kons­pirasi yang membalut. Tak hanya Vincent, hidup Metta juga mulai terancam. Dalam bab VIII, Metta menuliskan bahwa pi­ hak Sukanto Tanoto sampai menye­ wa Pinkerton, jasa layanan konsultasi keamanan dan investigasi terbesar di dunia untuk memata-matai dirinya dan Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo saat itu. Meski ujung cerita buku ini sudah tertebak, jika Anda mengikuti kasus­ nya, ataupun jika Anda sudah mem­ baca beberapa pengantar yang ada di halaman-halaman depan buku ini,

AULIA ADAM | SUARA USU

Aulia Adam

saya kira Saksi Kunci tetap sebuah buku wajib bagi seluruh rakyat In­ donesia bahkan dunia. Selain karena buku ini menceritakan kisah seorang wartawan yang mengungkap peng­ gelapan pajak terbesar di Indonesia, Metta juga telah menjabarkan pada kita semua sebuah sejarah yang ha­ rusnya menjadi catatan tersendiri bagi seluruh rakyat Indonesia. Baiknya buku ini, meski dipenuhi segepok data yang terpaksa dipam­ pangkan karena ini adalah laporan investigasi, Metta merajutnya de­ngan gaya jurnalisme narasi. Sebuah genre jurnalisme yang belakangan pesat berkembang di Indonesia, meski tak semua media menerapkannya. Entah itu Metta atau Tempo selaku penerbitnya, saya kira juga cermat dalam menyusun beberapa pengantar dalam buku ini. Pengantar dari Janet Stelle yang diletakkan sebagai pengan­ tar terakhir, berhasil membantu Metta dalam meningkatkan rasa penasaran pembaca. Pujian Stelle terkait penerap­ an jurnalisme narasi yang digunakan Metta adalah sebuah endorsement ampuh, saya kira. Dan, saya acungkan jempol un­ tuk Metta karena berhasil mene­ rapkan jurnalisme narasi pada karya ­jur­nalisme investigasinya. Pasal­

nya, bukan perkara mudah untuk mene­rapkan jurnalisme narasi oleh seorang wartawan. Tulisan yang benar-benar asyik dibaca membu­ tuhkan peliputan yang panjang dan lebih teliti bila menggunakan genre satu ini. Buku ini juga sempat diperma­ salahkan oleh UGM, almamater Metta,­ perihal kode etik jurnalistik yang dianggap universitas itu dilang­ gar oleh Metta. Dan dengan telak, Metta membela diri melalui Saksi Kunci. Perjalanan panjang menjelajahi 446 lembar buku ini ditutup dengan sebuah catatan penutup tentang pro­ fil Sukanto Tanoto. Entah apa maksud dari satu bab ini, tapi beberapa para­ graf terakhirnya saya nilai punya ten­ densi tertentu yang ditujukan pada Sukanto Tanoto. Sebab, bab tersebut diawali dengan kisah Sukanto Tano­ to meniti kariernya hingga sukses di hari tuanya. Hari tua yang dipilih Sukanto Tanoto untuk hidup lebih damai de­ngan terlibat sebagai der­ mawan yang membantu pendidikan di banyak negara. Namun ditutup dengan paragraf terakhir yang me­ nyatakan kalau ketenangan Sukanto Tanoto terusik karena nyanyian Vin­ centius.


SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

iklan 21


22 iklan

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013


SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

momentum 23

SUARAUSU.CO 17 Juli 2013

Jadwal Wisuda Periode IV Diundur

Jadwal wisuda periode IV yang sedianya jatuh pada 24 Agustus berdasarkan kalender akademik 2012/2013 diundur sampai 2 September. Pengunduran jadwal wisuda ini dikare­ nakan banyaknya agenda pada Agustus lalu, yaitu lebaran, hari ulang tahun Republik Indonesia dan hari ulang tahun universitas. Selain itu, belum rampungnya perbaikan audito­ rium saat itu juga menjdi salah satu alasan lain pengunduran jadwal wisuda. (Shella Rafiqah Ully) 5 September 2013

29 Agustus 2013

PMB USU

Tolak Miss World ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Seorang satuan pengamanan (satpam) mengamankan ma­ hasiswa yang ribut beberapa saat setelah penutupan Peneri­ maan Mahasiswa Baru Fakultas Teknik (FT) 2013 di halaman FT, Sabtu (31/8). Walaupun sempat ricuh, Dekan FT Prof Bustami Syam bersama Pembantu Dekan (PD) III dan bebera­ pa satpam berhasil mengendalikan situasi. 30 Agustus 2013

WENTY TAMBUNAN | SUARA USU

Puluhan perempuan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdemonstrasi menolak penyelenggaran kontes Miss World, di Kantor DPRD Sumut, Kamis (5/9). Sekitar 1500 perem­ puan melibatkan diri dalam aksi damai ini. 17 September 2013

Percepat Pemira USU, Pema Sekawasan Ganti Koordinator

Gubernur Pemerintahan Mahasiswa (Pema) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Ganda Wijaya ter­ pilih sebagai koordinator Pema Sekawasan menggantikan Muhammad Akbar Siregar, berdasarkan rapat pergantian koordinator pada 17 September. Pergantian ini bertujuan untuk mempercepat Pemilihan Raya USU, seiring adanya ka­ bar mengenai pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa se-In­ donesia Oktober mendatang. Pema Sekawasan sendiri telah vakum kurang lebih empat bulan. (Sofiari Ananda)

PR III Keluarkan Surat Edar­an Tiadakan Inaugurasi Pembantu Rektor III Raja Bongsu Hutagalung mengeluar­ kan surat edaran kepada Pembantu Dekan (PD) III se-USU agar ditiadakannya inaugurasi di tiap fakultas yang mereka naungi. Surat bernomor 6730/UN5.1.R3/KMS/2013 dike­ luarkan pada Jumat (30/8). Bongsu mengatakan, pertim­ bangan surat edaran tersebut dikeluarkan setelah melihat pengalaman-pengalaman yang terjadi pada inaugurasi sebe­ lumnya. Dengan adanya surat edaran ini, ia menjelaskan pi­ hak universitas tidak akan bertanggung jawab jika masih ada yang melakukan inaugurasi. Sebagai ganti inaugurasi, Bongsu menyampaikan pihaknya tengah menyiapkan konsep latihan kepemimpinan outdoor yang akan dilakukan dalam waktu dekat. (Rati Handayani) 20 September 2013

USU Kirim Bantuan ke Pengungsi Sinabung

IKLAN

USU mengirimkan sejumlah bantuan ke pengungsi Sinabung di Kabupaten Karo pada 20-21 September. Sekitar 42 maha­ siswa dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka, Korps Mahasiswa Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Kom­ pas), Pers Mahasiswa SUARA USU, Tim Bantuan Medis (TBM) Fakultas Kedokteran, dan Resimen Mahasiswa (Menwa) dikirim langsung ke posko pengungsian. Tim difokuskan un­ tuk siaga dan membantu masyarakat terutama anak-anak di posko pengungsian. Selain itu, tim juga membawa beras, per­ alatan medis dan obat-obatan, masker, pakaian untuk disum­ bangkan. Turut pula Pembantu Rektor (PR) III Bongsu Huta­ galung, PR IV Ningrum Natasya Sirait, dan PR V Yusuf Husni dalam kegiatan ini. (Ridho Nopriansyah)


24 profil

SUARA USU, EDISI 94, OKTOBER 2013

Merasa tak efektif melakukan penyuluhan gigi dengan phantom biasa pada anak-anak. Ia pun menciptakan boneka gigi. Dengan harapan, boneka tak hanya sebagai pajangan. ANDIKA SYAHPUTRA | SUARA USU

Anggi Hayani Harahap

Berinovasi dengan Boneka Gigi Apriani Novitasari

D

ua tahun lalu, sekitar Juni 2011, Anggi Hayani Harahap dengan kedua temannya Fathira Aini dan Hefni Fadilla Rambe mengadakan penyuluhan tentang ke­ sehatan gigi kepada anak-anak Seko­ lah Dasar (SD) Tunas Harapan Islam di Amplas. Mereka menjelaskan ten­ tang bagaimana cara menyikat gigi yang baik, kapan menyikat gigi, dan kenapa gigi bisa berlubang. Namun, berbeda dengan penyuluhan biasa yang menggunakan phantom (gigi palsu), Anggi dan kawan-kawannya menggunakan boneka gigi sebagai alat peraga. Senior Anggi di Fakultas Ke­ dokteran Gigi (FKG) USU pernah melakukan penelitian bahwa phantom biasa kurang efektif dipakai un­ tuk penyuluh­an kepada anak-anak. Pasalnya, bentuk phantom yang biasa digunakan tidak menarik. Kenyata­ annya, anak-anak tidak tertarik men­ dengarkan sesuatu yang menurut mereka membosankan atau biasa saja. “Contoh phantom itu, mereka anggap seperti gigi palsu nenek dan kakek mereka,” ujar Anggi. Karena itulah, ia ingin mengembangkan metode bermain sambil belajar den­ gan sesuatu yang berbeda, unik dan belum pernah dilihat anak-anak. “Lebih ke arah pendekatan psikologi gitu,” tambahnya. Boneka gigi tersebut dibuat sen­ diri oleh Anggi dan kedua temannya. Bahkan sudah dijadikannya bisnis sebelum penyuluhan tersebut. Awal­ nya ia mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari USU, namun tak lolos. Atas saran Nevi Yanti, dosen

pembimbingnya, ia pun menulis pro­ posal Student Entrepreneurship Centre (SEC) tahun 2010. Kabar gembira pun ia terima. Anggi lolos seleksi dan mendapat dana hibah sebesar Rp 8 juta dengan dua kali pembayaran. Pe­ nyuluhan ini merupakan salah satu syarat dari kontes bertema metode penyuluhan terbaru yang diikutinya di Singapura yaitu South East Asia Association for Dental Education (GC SEAADE). Berwirausaha Awal mengecap bangku kuliah di FKG, Anggi tak pernah berpikir untuk menjadi seorang pengusaha, walau­ pun orang tuanya sendiri seorang wirausaha. Mungkin, jiwa wirausaha Anggi merupakan turunan, “Orang tua juga wirausaha, mungkin udah keturunan,” tambahnya. Teman satu tim Anggi, Hefni me­ ngatakan Anggi memang seorang yang selalu mempunyai ide cemer­ lang. Hal ini terbukti dari boneka gigi buatannya yang banyak diapre­ siasi masyarakat. Dulu, saat Anggi menceritakan ide tentang boneka giginya, Hefni sangat mendukung­ nya, walaupun saat itu ia masih bin­ gung dengan bentuknya. “Sempat ber pikir, boneka seperti apa yang Anggi maksud,” ujarnya. Namun, setelah Anggi merumus­ kan desain kasar dari boneka terse­ but, akhirnya Hefni mengerti. Selain boneka gigi, Anggi juga punya ide untuk membuat rumah sakit keli­ ling. “Jadi semua perlengkapan un­ tuk dokter ada di mobil itu dan nanti akan keliling,” ujarnya. Namun, ia me­ ngatakan itu masih terlalu jauh dari ekspektasinya. Ia memulai usahanya setelah

han-bahan pembuat­an boneka yang semakin mahal. Bukan hanya boneka gigi, Anggi juga membuat gantungan kunci dan jok mobil berbentuk gigi, dan lain-lain. Bicara soal omzet yang di dapat, Anggi enggan meyebutkan nominal­ nya. Namun, ia mengaku keuntungan­ nya selama ini selalu ia gunakan untuk memutar modal penjualan boneka gigi. Selain itu, ia juga memilih untuk berinvestasi dan menyimpannya agar kelak dapat digunakan untuk mem­ buka usaha lain. Hefni mengaku konsumen un­ tuk boneka gigi tersebut rata-rata seorang dokter yang akan menggu­ nakan boneka gigi sebagai penyulu­ han. “Jadi masih ada jenjang antara pi­ hak profesi dan non profesi,” akunya. Walaupun begitu, Hefni mengaku wa­ jar, karena harga dari boneka terse­ but yang cukup mahal dan banyak perspektif yang menganggap boneka hanya sebagai pajangan saja. Namun, tak sedikit juga orang tua yang mem­ belikan anaknya boneka gigi. Masih menurut Hefni, ia beren­ cana akan mempromosikan boneka gigi di Libya dan Malaysia. Namun, ini semua belum terlaksana dikarenakan harus melihat pasar di negara terse­ but. Namun, hasil penjualan dan produksi boneka tahun ini berkurang dari tahun lalu dikarenakan ia dan Anggi sedang co-ass dan tak punya banyak waktu untuk melayani kon­ sumen. Anggi mengiyakan hal terse­ but, menurutnya waktu adalah ken­ dalanya. Ia ingin fokus untuk co-ass dan skripsi dulu. Namun, bukan ber­ arti Anggi menutup usahanya. Ia akan tetap berwirausaha. Kedepannya Anggi mengaku akan tetap menjadi wiraswasta. Ia akan menjadi seorang dokter sekaligus menjadi seorang wiraswasta ke de­ pannya. “Tapi karena udah usaha sampai sini, jadi sayang untuk diting­ gal,” ungkapnya. Malah, rencananya ia akan memindahkan pusat penjualan bonekanya ke kota asalnya Jakarta saat lulus nanti.

mendapat dana hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dan SEC, Anggi mulai mem­ produksi boneka giginya pada akhir 2010 lalu. Awalnya, Anggi memperke­ nalkan boneka tersebut pada teman dan dosen di kampusnya. Kemudian, ia membuat sebuah blog dengan sistem pemesanan via online. Bukan hanya itu, ia juga mengikuti pamer­ an-pameran untuk mempromosikan bonekanya. Hal itu tidak dilakukan Anggi sendiri. Ia mempunyai tim ber­ anggotakan Hefni dan Fathira. Anggi merasa se­ dikit kesulitan dalam memproduksi bone­ ka de­ngan cepat apa­ bila ada pemesanan. Nama: Selama ini, Anggi Anggi Hayani Harahap selalu memproduksi bonekanya di Ban­ Tempat, tanggal lahir : dung, karena tidak Jakarta, 23 Juni 1990 ada pabrik pembuat­ an boneka di Medan, Pendidikan: “Makanya butuh SD Muhammadiyah 3 Jakarta waktu yang cukup SMPN 7 Jakarta lama,” ungkapnya. SMAN 31 Jakarta Kendati demiki­ Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi 2009 an, desain dan be­ berapa bahan yang Prestasi: dibutuhkan untuk Juara 2 GC SEAADE 2011 boneka telah disiap­ Juara terinovatif UMM 2011 kan Anggi kemudian dikirim ke Bandung. Harga boneka gigi tersebut berkisar Rp 225 ribu un­ tuk ukur­an besar. Harga ini naik dari tahun pertama ia m e m p ro d u ks i nya yaitu Rp 175 ribu. Menurut Anggi, hal itu disebabkan ba­


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.