Snt22082013

Page 14

ANTAI Surga adalah satu dari sekian banyak bukti tak terbantahkan tentang potret keindahan garis pantai yang dimiliki NTB. Namun, di balik potensi wisatanya yang sangat menjanjikan itu, pantai ini juga menyajikan sebuah cerita tragis. Kisah tentang hilangnya kedaulatan masyarakat atas tanahnya sendiri. Nama pantai Surga mungkin tak asing ditelinga kita. Patut berbangga rasanya, wisata pantai di ujung selatan wilayah Kabupaten Lombok Timur, atau tepatnya di desa Ekas Buana Kecamatan Jerowaru ini menjadi salah satu tujuan wisata primadona oleh turis mancanegara. Tetapi, betapa sedihnya, keindahan yang kita agung-agungkan itu tak bisa kita nikmati potensinya. Wilayah itu telah menjadi milik bangsa lain. Berikut kami sajikan penulisannya. Sekitar jam satu siang di hari Minggu, ketika media ini berangkat menuju pantai Surga yang namanya cukup tersohor itu. Mengambil start dari pantai Pink, yang juga menjadi buah bibir penikmat wisata dalam daerah, luar daerah hingga luar negeri saat ini. Panas terasa begitu menyengat, maklum saja wilayah Selatan ini terkenal dengan terik panasnya yang menusuk hingga menembus lapisanlapisan kulit. Infrastruktur jalan yang sangat tak bersahabat masih menjadi kenda-

JALAN-JALAN

Halaman 14

la, belum lagi siraman debu yang menambah keruh udara sepanjang perjalanan. Mungkin sekitar satu jam durasi menyusuri jalan dari pantai Pink ke pantai Surga, mengikuti arah pertigaan tepatnya di kantor desa Pemongkong. Jika mengambil start dari pusat kota Lombok Timur di Selong, lama perjalanan rasanya tak kurang dari dua jam. Jalanan sebagian memang beraspal menembus Ekas Buana yang juga terkenal dengan hasil budidaya lobsternya ini. Dengan pemandangan pebukitan yang gersang, yang ada hanya batang dan ranting pepohonan serta tanaman kering sepanjang rute menuju lokasi. Jarak antarrumah pendudukpun sangat jarang, berjejer berselang hingga ratusan meter untuk menemukan kembali rumah penduduk lainnya. Letak pantai Surga berdempetan dengan dengan Pantai Planet yang keindahannya tak kalah memikat. Tak ada penunjuk arah sebenarnya menuju lokasi, jika merasa asing dengan jalurnya, alternatifnya adalah bertanya di penduduk-penduduk setempat. Namun aroma daerah wisata sudah mulai nampak, dengan banyaknya tempat-tempat peristirahatan dan tempat makan bagi para tamu yang berwisata kedaerah ini. Di Ekas Buana ada pertigaan khusus penanda masuk ke pantai Surga, jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Kita akan kembali menapaki jalur jalan

Pantai Surga tanah dari jalan aspal. Perjalanan ini membuat kita seolah sedang menuju ke perasingan dengan suasana dan pemandangan yang menyelimuti wilayah itu. Namun tak perlu khawatir, karena lalu lalang tamu yang datang sebenarnya sudah mulai banyak, apalagi di hari Minggu atau hari-hari libur besar lainnya. Sampai di perbatasan memasuki bibir pantai, petugas jasa parkir sudah siap menunggu. Tarif yang dipungut juga sangat tinggi seukuran NTB. Satu motor dikenakan Rp 5000, dan kendaraan besar kelipatan dari itu. Maklum saja, petugas parkir sudah sangat peka akan tingginya jumlah kunjungan karena keindahan panti Surga. Maklum, sebagian besar pengunjungnya adalah bule. Dari lokasi parkir,

l a k o L t a k a r a y Mas r i k g n i s pun Ter SEJAK dikuasainya lahan pantai Surga oleh investor dari Australia beberapa tahun silam, praktis tak banyak yang bisa diperbuat masyarakat sekitar di wilayah ini. Bahkan sekedar untuk berjualan memanfaatkan kehadiran para pengunjungpun tak diperbolehkan oleh penguasanya.Alhasil, masyarakat lokal hanya bisa menjadi penonton tanpa bisa berbuat apa-apa. Herudin, salah satu warga Ekas Buana kepada Suara NTB mengatakan, masyarakat sekitar sebenarnya sangat gerah dengan kebijakan yang diterapkan oleh investor dari Australia ini. Ia sebut saja sebagai pemilik dan penguasa pantai Surga. Betapa tidak, berkembangnya potensi wisata disana sangat ingin dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuka

lapak kecil sekedar untuk menjual kebutuhan pengunjung. Tetapi nampaknya hajat itu tak bisa kesampaian lantaran pemilik pantai Surga tak memperbolehkan dengan alasan akan menggangu wisatawan. “Padahal Kepala Desa kami sendiri sudah melakukan komunikasi dengan orangAustraliaini,tapitidakdigubrissampaisekarang.Tetap saja masyarakat tidak diberikan kewenangan untuk berjualan, taruh saja pada saat-saat hari libur kan lumayan untuk penghasilan walaupun kecil,” katanya menjelaskan. Bahkan Herudin membenarkan tidak diberikannya izin kepada masyarakat sekitar untuk masuk dan menikmati pantainya, dengan alasan kekhawatiran seperti yang dikemukakan sebelumnya. Disini masyarakat baginya terpasung. Diperkirakan lahan yang dibeli oleh investorAustralia ini jumlahnya mencapai puluhan hektar. Persis luas itu pula yang dikuasai

sepenuhnya. Diperkirakan harga tanah dibelinya dulu sekitar Rp 50 juta untuk satu hektarnya mengingat masa-masa lalu tak terlalu sulit untuk membujuk masyarakat menjual tanahnya. Dan saat ini disebutnyakelengkapankepemilikantanahsudah atas nama satu, tak lagi sesuai dengan luasan tanah yang dimiliki masing-masing masyarakat sebelumnya. Atas kondisi ini juga, masyarakat dan jajaran aparatur daerah setempat sudah membangun komunikasi dengan pemerintah daerah Lombok Timur, agar masyarakat sekitar pantai Surga bisa memanfaatkan peluang wisata itu untuk berusaha. Tetapi respon yang diterima hampir sama, bahkan tak ada tanggapan hingga saat ini. “Mau bagaimana lagi, orang Australia yang punya sekarang. Masyarakat hanya bisa mengembangkan apa yang bisa dilakukan, salah satunya pembudidayaan lobster,” demikian Herudin. (bul)

sekurangnya jarak 50 meter masuk menuju pantai. Sepanjang jarak ini, tak ada air laut yang kelihatan seperti pantaipantai lain pada umumnya. Karena pemandangan juga terhalang pohon dan tanaman-tanaman liar tinggi. Namun alangkah menakjubkan, ketika mata sudah benar-benar berhadapan dengan pantai terkenal akan hijau dan biru airnya ini. Apalagi deburan dan gulungan ombaknya seperti berima. Ketinggian ombak di pantai Surga ini bahkan telihat mencapai dua sampai tiga meter. Sehingga tak jarang tempat ini menjadi lokasi paling vaforit para wisatawan bermain selancaran. Ada yang paling unik di pantai Surga ini, yakni bukit dan tebingnya yang mirip penyu, lengkap dengan kepala dan punggung, terlihat sangat unik. Berpasir putih dan kekuning-kuningan tanpa ada sampah yang mengotori. Sangat pantas oleh pengunjung pantai ini disebut-sebut sebagai surganya pantai karena keindahannya. Pantai Surga, menurut pengakuan salah satu petugas

di villa itu, sebut saja namnya Aladin ternyata sudah dibeli oleh investor dari Australia sejak beberpa tahun lalu. Praktis hak pengelolaan dan hasil-hasilnya tidak diputar kembali di Indonesia, apalagi di Lombok. Tetapi diboyong langsung ke Australia. Tuannya, menurut pengakuan Aladin, hanya datang sekitar sebulan sekali, namun terkadang tinggal untuk beberapa hari. Objek wisata ini sekarang sudah ditata secara khusus. “Tanah semua di sini sudah dibeli kepada masyarakat dan melalui persetujuan pemerintah daerah Lombok Timur dulu, semua yang ada disini dikelola sama bos, tidak boleh ada yang masuk kalau tidak untuk kepentingan menginap dan berkunjung dengan membayar,” terang Aladin polos. Sepengetahuannya, dulunya per are tanah dipantai Surga ini dibeli bossnya seharga Rp 2,5 juta. Namun dalam perkembangannya, karena besarnya potensi wisata di pantai Surga, menurutnya tanah-tanah ini sudah ditawar oleh investor-investor lain dengan penawaran paling

(Suara NTB/bul)

SUARA NTB Kamis, 22 Agustus 2013

kecil Rp 60 juta/are. Demikianlah, Pantai Surga yang indah itu kini telah terjual pada bangsa asing, tak ada yang bisa diharapkan apalagi dinikmati langsung hasil-hasilnya oleh kita, bahkan untuk generasi-generasi selanjutnya. Rasanya tak berarti upaya promosi wisata yang kita lakukan oleh semua pihak selama ini. Seolah melengkapi hilangnya kepemilikan negara ini atas tanah tersebut, sebuah bendera yang terpasang didepan villa justru dikibarkan dengan posisi terbalik dari bendera Indonesia. Warna putih di atas dan merah di bawahnya. Cukup memalukan sebenarnya, apalagi bendera tersebut dipajang persis di depan pemandangan pantai yang disaksikan seluruh wisatawan disana tentunya, terutama wisatawan asing yang menginap di lokasi itu. Mungkin dengan alasan sengaja atau tak disengaja namun menurut pengakuan banyak orang bendera itu memang dipasang seperti itu sejak sebelumnya, walaupun hanya menggunakan tiang bambu. (bul)

Tarif Menginap Rp 2 Miliar Sebulan PANTAI Surga kini telah menjadi pantai primadona yang dimiliki pulau Lombok, meskipun saat ini sudah dikuasai total oleh investor dari Autralia. Tak sembarang orang bisa masuk di pantai ini. Sebab, pemiliknya telah memasang bandrol yang sangat mahal. Tak tanggung – tanggung, biaya menginap di pantai ini mencapai Rp 2 miliar sebulan. “Saat ini sedang ada 16 wisatawan yang sudah menyewa villa ini (menunjuk villa yang tidak begitu mewah, dilengkapi satu kolam renang). Mereka baru masuk untuk bersenang-senang dan berselancar disini, kontraknya hanya sebulan,” terang Aladin. Ia menyebut tamu dari luar negeri sudah banyak yang merencanakan untuk menyewa pantai Surga, tentunya melalui bos-nya yang tak berani dis-

ebutkan identitas lengkapnya. Bosnya ini membangun promosi dan pasar di negaranya untuk menyewakan pantai Surga. Sehingga tamu yang menginap ditempat ini menurutnya tak pernah sepi. Wajar menurutnya, karena tamu khususnya para turis sebenarnya tak membutuh tempat tinggal yang mewah. Namun yang paling disorot, kata Aladin adalah keindahan tempat berwisatanya. Dengan meningkatnya minat penyewaan lokasi ini, menurutnya bos-nya menerapkan kebijakan untuk tidak memberi ruang bebas kepada pengunjung lokal, sehingga tidak mengusik ketentraman para tamu yang menyewa tempat ini. “Makanya kalau ada yang masuk tidak boleh masuk sampai ke taman, khawatirnya turis-turis ini akan terganggu,” demikian Aladin. (bul)

Lokasi Pantai Surga (Suara NTB/ist)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.