EDISI III - SEPTEMBER EDISI 1 - 17 JUNI2015 2015
EDITORIAL
Masih Ada Cara Lain
“Hai dek!” “Ini dek!” “Itu dek!” Kerinduan akan teriakan itu, akhirnya tersalurkan sudah. Tepatnya dua minggu lalu Kampus Biru kembali memulai ritual penerimaan anggota keluarga baru. Ya, anggota keluarga baru, walau tak saling kenal namun toh tetap berlindung di balik payung 'Kabah' bersama. Sebagaimana seharusnya menyambut anggota keluarga baru, seluruh elemen di 'rumah' ini dibuat sibuk dengan eksekusi-eksekusi pengharapan atas mimpi-mimpi almamater di hari yang akan datang. Caranya pun beragam, sebagian besar mulai berubah haluan dari cara konvensional, namun masih ada yang percaya bahwa bentakan akan membentuk mental. Namun kembali pada Anda, pembaca. Karena 8+1 dan 5+4 pun hasilnya sama-sama sembilan. Namun masih ada 2+7 dan 6+3 bukan? Maka dari itu, kami pun mencoba menceritakan bagaimana cara kampus lain menerima adik barunya. Terlepas dari opsi lain yang coba kami ceritakan, di edisi tiga ini kami pun coba merangkum kegiatan Ta'aruf yang sebetulnya sudah tersedia di kanal online kami. Untuk itu kami ucapkan selamat membaca, dan selamat membentuk kader terbaik demi almamater juga peradaban.
NEW MESSAGE
Muhammad R. Iskandar Pemimpin Redaksi
Diaroma Ospek, Pengenalan Kampus di Balut Perploncoan Orientasi studi dan pengenalan kampus, yang sering disingkat menjadi ospek menjadi hajatan rutin, nyaris disetiap universitas kala peserta didik baru berdatangan. Berbagai bentuk kegiatan yang diselenggarakan bertujuan demi mengenalkan lingkungan kampus terhadap mahasiswa baru. Dari tataran universitas menukik hingga fakultas dan jurusan mempunyai cara yang beda. ‘Hingar bingar’ ospek selalu saja mendapat penilaian sebelah mata alias negatif, alasannya memang logis, perploncoan sering kali menjadi bumbu yang terlampau ‘pedas’ bagi pesertanya dalam rangkain kegiatan ospek. Meski memang, tak semua universitas menyambut mabanya dengan hal demikian, cara-cara elegan kini dipilih untuk menyambut sang siswa menjadi mahasiswa. Ospek dalam benak masyarakat Indonesia, selalu diindentikan dengan perploncoan dan senioritas. Stigma ini bukan tanpa musabab, lihat saja pada tahun 2013 silam, praja kampus IPDN Sulawesi Utara bernama Jonoly Untayanadi, meninggal dunia seusai mengikuti ospek pada Jumat, 25 Januari 2013. Diduga korban tewas karena mengalami
tindak kekerasan saat mengikuti ospek oleh seniornya. Kegiatan ospek yang berbentuk perploncoan di dunia bermula dari Universitas Cambridge, Inggris. Berawal dari mayoritas mahasiswanya yang keturunan bangsawan, dan merasa diri memiliki strata sosial yang tinggi serta terhormat, mereka bertindak liar tanpa mengindahkan peraturan. Karenanya, pihak universitas mengadakan perombakan besar, yaitu mewajibkan setiap mahasiswa baru, melewati tahap ospek yang sifatnya perploncoan. Tujuannya sebagai pembelajaran bagi mereka agar tidak bertingkah liar dan patuh pada peraturan. Ospek masuk ke Indonesia pertama kali ada sejak Zaman Kolonial, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Pada masa itu mahasiswa yang baru masuk harus menjadi anak buah senior. Hal ini berlanjut di masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Kedokteran di tahun 1927-1942. Di masa ini kegiatan menjadi lebih formal meski bersifat sukarela. Proses ini dimaksudkan untuk mendewasakan mahasiswa baru tersebut. Setelah era 50-an, kegiatan ini dibuat wajib, dan terus berkembang hingga saat ini.