Surat Kabar Kampus Ganto edisi 177

Page 21

Cerpen

21

Membus Waktu Oleh Rafdisyam (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia TM 2011)

“Keluar! Keluar dari rumahku!” Rani melempar kepalaku dengan keranjang sampah yang pernah kubeli, bahkan satu-satunya pembelianku di rumah itu. Aku terdiam tak berkutik. Aku tersudut tak berdaya. “Abang jangan kembali lagi. Tinggalkan kami berdua! Hidup butuh makan, Bang!” hardik Rani sambil menggendong satusatunya buah cinta kami. Aku tak tahu monster apa yang ada dalam raga istriku. Tanpa pamit a ku keluar dari rumah sederhana pemberian ayah Rani. Kulangkahkan kaki keluar tanpa membawa apapun. Akhir-akhir ini hidupku semakin krisis. Krisis kasih sayang, krisis percaya diri, krisis ekonomi, dan tengah kekrisisan ini, istriku malah makin menyudutkanku. Panas Matahari terasa beda dari biasanya. Rasanya dekat sekali dengan ubun-ubun. Kerongkongan terasa kerontang. Di dompetku hanya tertinggal sehelai uang dua puluh ribu. Entah bagaimana aku bisa hidup dengan uang segitu. Perjalanan ini seakan begitu absurd. Sedikit demi sedikit melangkah, aku berhenti di sebuah kedai kecil, yang tak jauh dari rumah istriku. Aku duduk di kursi bambu kedai itu. Aku memesan segelas teh es pada pemilik kedai. Lamunanku melayang saat mulai menyeduh teh es yang begitu segar. Ingatanku mulai memasuki mesin waktu. Aku teringat beberapa tahun lalu ketika masih di SMA. Harusnya aku menamatkan sekolah hingga mendapat ijazah SMA. Entah malang apa yang menimpa sehingga aku harus menikahi Rani, teman saat di SMA. Aku tak sengaja menghamilinya. Waktu itu ketika pulang sekolah, tak ada seorang pun di rumahku. Ayah bekerja, sedangkan Ibu tiriku pergi arisan. Keadaan seperti ini membuatku kesepian. Dan entah setan apa yang membuatku nekat mengajak Rani main ke rumahku saat itu. Di rumah inilah akhirnya melakukan perbuatan tak pantas itu. *** Masa-masa SMA begitu suram bagiku. Tak ada tempat untuk mencurahkan keluh kesah. Setiap malam aku hanya ditemani

kawan-kawan SMA-ku. Minuman keras menafkahi anakku?” kerap kali menjadi pelampiasan. Semenjak “Pak, tolonglah. Percayalah. Saya akan ibuku meninggal, aku tak pernah lagi memperbaiki semuanya. Saya akan mendapatkan kasih sayang orangtua. bertanggung jawab. Meski saat ini saya Ayahku sibuk dengan pekerjaannya sebagai tak punya apa-apa, tapi aku yakin aku dokter spesialis . Sedangkan ibu tiriku akan mampu menafkahi Rani. Saya akan juga tidak peduli denganku. bekerja keras. Saya janji, Pak,” ucapku Beberapa bulan setelah insiden di tersengal-sengal. rumahku bersama Rani, aku mendengar Keluarga Rani yang lain terlihat kasihan kabar bahwa Rani hamil. Sontak aku padaku. Sambil menangis ibu Rani memterkejut. Jantungku terasa berhenti berdetak. bujuk suaminya itu agar memaafkanku. Orang tuanya marah-marah mencari dan Adik Rani juga menangis. Rani pun ikut mendampratku. Kabar ini juga menangis. Malam itu aku terselamatkan. membuatku diberhentikan dari Ayah Rani luluh dan memaafsekolah. kanku. Besoknya kami langAyahku marah besar sung menikah secara semendengar kabar ini. derhana tanpa publikasi. Ketika bertemu aku Memang berat menlangsung ditamparnya. jalani hidup berumah Aku diusir dari rumah. tangga. Banyak rinTak kusangka ayah tega tangan yang kami berbuat seperti ini alami. Aku selalu dipadaku. Kusangka hujat keluarga Rani. dengan musibah yang Aku belum juga bemenimpaku, ayah akan kerja. Aku tak punya lebih peduli dan perhatian keahlian apa-apa. padaku. Tapi kenyataannya Selama ini kami tidak. Dia membuangku. masih menumpang dan Malam itu aku memakan dengan hasil nangis. Terakhir kali aku pencarian ayah menangis ketika keperRani. Ayahnya gian almarhum Ibu. seorang Tapi saat ini aku pedagang Grafis: Edo Febrianto menangis meraungi yang cukup kanasib. ya. Ayah Rani Aku pergi dari lah yang memrumah dengan tas ransel yang pernah belikan rumah untuk tempat kami tinggal. dibelikan ibu. Aku berjalan menyusuri Tapi dia tak pernah baik padaku. Dia jalan-jalan remang di sudut kota. Rasanya masih menyimpan dendam. aku ingin sekali pulang kampung ke rumah Saat ini aku juga tak pernah berhuTante dan Nenek. Tapi aku tak ingin bungan dengan nenek dan tanteku. merepotkan mereka. Aku juga tak ingin Mereka tak tahu apa yang terjadi padaku. mereka tahu tentang keadaanku yang Mereka tak tahu kalau aku telah beristri. seperti ini. Aku tak bisa mengunjungi mereka. Aku Malam, makin larut. Aku belum tahu tak punya uang untuk ke sana. Semua arah dan tujuan. Akhirnya terpikir olehku urusan rumah tangga Rani yang untuk pergi ke rumah Rani. Aku ingin me ng at ur nya, te rm as uk m as al ah bertanggung jawab atas perbuatanku. Tapi keuangan. Rani lah yang menjadi kepala sesampainya di rumah Rani, aku dipukul rumah tangga di keluargaku. Sedangkan ayahnya. aku hanya boneka Rani. “Mau apa kamu ke sini?” *** Ayah Rani masih marah padaku. Aku Aku seperti terombang-ambing di bersimpuh, minta maaf dan memohon samudera yang luas. Bahkan aku tak tahu padanya. Aku katakan padanya, aku akan kemana arah bahteraku ini. Di kedai ini bertanggung jawab. Aku akan menikahi aku hanya bisa mengingat-ingat pahitnya Rani. hidup yang aku jalani. Sesaat terlintas di “Harus. Kamu harus bertanggung jawab! benak ingin kembali memohon pada Tapi kamu bisa apa? Apa kamu sanggup ayahku. Tapi aku tak berani. Beliau

mungkin masih marah padaku. Dan musathil rasanya ayah mau menerimaku kembali. Argggh. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya menjalani hidup ini. Sambil menyeduh teh es ini, aku teringat sesuatu. Aku membuka dompet, di balik saku dompetku terpampang foto yang sudah lusuh. Orang dalam foto masih terlihat jelas. Di dalam terlihat anak kecil yang dipeluk seorang bapak yang masih gagah. Di sampingnya berdiri seorang perempuan yang seusia dengan bapak itu. Seketika air mata menetes perlahan mengikuti arus pipiku. Dahulu kami tidur bersama di ranjang yang sederhana. Sebelum tidur ayah selalu bercerita tentang kancil cerdik yang mencuri timun. Ayah menceritakanya berkali-kali. Tapi aku tak pernah bosan dengan ceritanya, walaupun aku sudah hapal ceritanya. Sebelum aku lelap, biasanya ibu juga menyanyikan nina bobok untukku. Ketika itu kami masih tinggal di kampung. Ayah masih seorang dokter biasa, belum jadi dokter spesialis. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang sangat baik. Kami tinggal di rumah yang sederhana, tapi sangat nyaman. Kami punya pekarangan yang luas di depan dan di belakang rumah. Ibu sangat hobi berkebun. Aku masih ingat bunga kesayanganya. Dulu aku pernah dimarahi Ibu ketika memotong bunga itu. Aku langsung menangis. Ibu berusaha membujukku kembali. Tapi aku masih saja menangis. Aku baru berhenti menangis ketika ibu membelikan mobilmobilan kesukaanku. Kami juga sering memancing bersama. Dulu ayah hobi memancing. Aku, Ayah dan Ibu sering pergi memancing pada hari Minggu. Dan jika aku lapar saat memancing, ibu telah menyediakan roti yang ditaburi meses di atasnya. Ibu sangat tahu kesukaanku. Mengingatnya membuatku meneteskan air mata. Lamunanku terhenti ketika pemilik kedai menegur. Dia melihatku menangis di sudut kursi bambu. “Nak, apapun masalahmu, bersyukurlah. Bersyukur adalah cara paling mudah untuk menyenangkan hati,” katanya saat mulai duduk di sebelahku. “Pak, jika bapak terombang-ambing di lautan luas, tak ada angin, tak membawa apapun, tak tahu arah dan tujuan. Apakah bapak masih bisa bersyukur?” jawabku.

Remaja dalam Karya Sastra Oleh M. Ismail Nasution., S.S., M.A.

Salah satu tahapan perkembangan usia yang seringkali diungkapkan di dalam karya sastra adalah masa remaja. Bahkan, ada jenis karya tertentu yang hanya mengungkapkan lika-liku masa ini; diistilahkan dengan chicklit dan teenlit. Tokoh Aku dan Rani misalnya, sepasang remaja yang menghancurkan masa depannya sendiri dengan melakukan perbuatan melanggar norma. Akan tetapi, si Aku dan Rani sebenarnya tidak mesti harus menerima berbagai perlakuan yang menghancurkan masa depan mereka. Si Aku dan Rani masih memiliki sikap yang terpuji karena mau mempertanggungjawabkan perbuatan itu. Barangkali, remaja yang melakukan abor-

si atau membuang anaknya merupakan akibat dari dorongan rasa takut yang kuat. Memang, seringkali yang dianggap ‘nakal’ itu adalah para remaja, namun tanpa disadari tidak sedikit yang menyebabkan kenakalan remaja itu akibat dari ‘nakal’nya orangtua. Barangkali, hal itu yang hendak disampaikan oleh pengarang dalam karyanya. Di samping itu, cerpen ini menarik, begitu saya mulai membacanya, saya terkejut karena dihadapkan langsung dengan konflik. Kalimat “Keluar! Keluar dari rumahku!” diletakkan pada awal paragraf pertama. Memberikan efek lebih sehingga mengejutkan saya sebagai pembaca. Peristiwa-peristiwa itu di samping bagian penting dari konflik merupakan kejutankejutan yang berfungsi sebagai daya tarik bagi pembaca. Jika alur cerita cerpen “menembus

Edisi No. 177/Tahun XXIII/November-Desember 2013

Waktu” ini diurutkan secara bertahap dan digambarkan dalam kurva maka pada dasarnya konflik tidak berada pada titik puncak dalam kurva melainkan titik awal cerita itu bergerak lalu kemudian menurun sampai cerita itu selesai. Karya sastra meniru berbagai fenomena kehidupan yang muncul dari perkembangan pemikiran manusia di dalamnya. Hal itu pulalah yang mendasari pemikiran bahwa karya sastra bukan hanya sekedar artefak belaka melainkan juga sebuah dokumen sosial zamannya. Karya sastra berfungsi memberikan hiburan (the delightful) dan berguna (the useful). Keduanya berkaitan, azas manfaat lebih didahulukan daripada hiburan karena karya yang berguna serta-merta akan menghadirkan hiburan bagi pembaca. Namun, belum tentu sebaliknya, karya yang menghibur bisa jadi tidak berguna

selain hanya sebagai hiburan semata. Cerpen karya Rafdisyam ini ditutup dengan suatu pernyataan filosofis tentang kehidupan: “Pak, jika bapak terombangambing di lautan luas, tak ada angin, tak membawa apapun, tak tahu arah dan tujuan. Apakah bapak masih bisa bersyukur?”. Jika seandainya bapak pemilik kedai itu menjawab kembali pernyataan si Aku maka jawaban itu tak jauh dari kalimat berikut: “tentu, bersyukur karena masih bernyawa.” Kalimat itu berarti jika seandainya si Aku bisa menembus waktu masa lalu dengan merenungi segala peristiwa yang terjadi pada masa lalunya berarti ia berkemungkinan besar dapat menembus waktu masa depan dengan cara membangkitkan harapannya dengan memikirkan apa yang bisa dilakukannya sebagai manusia.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Surat Kabar Kampus Ganto edisi 177 by SKK Ganto - Issuu