Edisi 195

Page 15

15

Edisi No. 195/Tahun XXVII

TELUSUR

Maros dan Lukisan Bersejarah Manusia Zaman Lampau Oleh Abdul Hamid

I

ndonesia, tepatnya Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menyimpan maha karya lukisan manusia zaman lampau. Ada dua jenis lukisan yang ditemukan, yakni lukisan stensil tangan dan lukisan karakter, seperti ikan, babi rusa, manusia, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa seni, khususnya seni lukis, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari leluhur bangsa Indonesia. Kabupaten Maros terletak sejauh 41,6 km dari Kota Makassar. Perjalanan tersebut setara dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam dengan kendaraan. Lukisan-lukisan tersebut bisa ditemukan di Leang Timpuseng, Leang Burung, dan Leang Pattae. Leang merupakan istilah Bugis untuk menyebut goa. Selain ketiga goa tersebut, masih banyak lagi goa lain yang menyimpan kekayaaan sejarah masa lampau. Leang Timpuseng sendiri bisa dikunjungi dengan berjalan kaki menyusuri jalan beraspal sejauh tiga kilometer dari Taman Wisata Prasejarah Leang-leang. Setelah menelusuri jalan beraspal tersebut, pengunjung juga harus melewati jalan setapak sekitar 50 meter yang sisi kiri dan kanannya terdapat hamparan sawah. Jalan setapak tersebut penuh dengan kotoran sapi. Sesampainya di Leang Timpuseng,

lelah pengunjung terbayar dengan keindahan lukisan stensil tangan di dinding goa tersebut. Goa ini berada di dalam dinding karst. Menurut Dr. Maxime Aubert, dari Universitas Griffith di Queensland, Australia, lukisan tersebut diperkirakan sudah berusia 39.900 tahun. Di samping seni stensil tangan tertua tersebut, juga terdapat lukisan babi rusa yang berusia 35.400 tahun. Lukisan babi ini juga merupakan lukisan karakter tertua di dunia. Selain itu juga masih banyak terdapat lukisan purba dengan berbagai bentuk dan usia yang berbeda-beda. Menurut Arkeolog dari Balai Penelitian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Dewi Susanti, mengatakan bahwa bahan yang digunakan untuk membuat lukisan ini adalah hematit, yakni bijih besi yang berwarna kehitam-hitaman. Hematit ditemukan bersamaan dengan alat serut dan batu inti melalui penggalian lapisan tanah. “Cara melukis gambar tangan atau cap tangan tersebut ada dua macam. Pertama, dengan menempelkan tangannya pada dinding, lalu menyemprotkan hematit dengan menggunakan mulut. Dan, ada yang mencelupkan tangan lalu menempelkannya pada dinding-dinding goa,” jelas Dewi, Kamis (13/10) Di Leang Burung, hematit ditemukan pada 1972 oleh I.C. Glover. Warna merah pada lukisan goa prasejarah di dinding goa tersebut, menurut Glover, memang menggunakan hematit. Pecahan hematit yang ditemukan adalah pecahan yang mirip

batu merah yang terlihat memiliki goresan. Pecahan hematit ini seperti telah dimanfaatkan untuk menulis oleh manusia purba. Sementara itu, pada 1950, di Leang Pattae, Van Hekeren juga menemukan hematit. Selain hematit, Hekeren juga menemukan alat baru, seperti alat serpih, mata panah, dan kapak genggam jenis Sumatera. Kapak genggam itu kuat dugaan digunakan sebagai alat untuk menghancurkan hematit. Hal ini dikarenakan, pada beberapa bagiannya, tampak warna kemerahan. Lahab, salah seorang penjaga Taman Prasejarah Leang-leang, menjelaskan bahwa penggunaan hematit pada lukisan-lukisan di dinding-dinding goa di Kabupaten Maros menjadi bagian yang sangat erat adat budaya masyarakat Sulsel. Masyarakat Toraja juga menggunakan hematit sebagai bahan pewarna untuk perabot-perabot di dalam rumah adat mereka. Selain itu, masyarakat Bugis juga memiliki adat tersendiri saat penduduk

Lukisan Bersejarah: Salah satu lukisan stensil tangan yang ditemukan di Leang Pettakere, Taman Prasejarah Leangleang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Manusia zaman lampau menggunakan bahan hematit pada lukisan bersejarah tersebut, Jum’at (14/10). f/ Hamid

menempati rumah baru. Mereka harus mengikuti upaca Mabedda Bola, yakni upacara memberikan bedak pada rumah. Mabedda Bola merupakan salah satu upacara dari rangkaian upacara adat Menre Bola Baru. Pemberian bedak ini dilakukan dengan cara membautkan cap telapak tangan warna putih pada dinding-dinding rumah, terutama tiang-tiang. “Hal ini seperti cap tangan yang ada di dinding hampir di setiap goa yang ada di Sulsel,” imbuh Lahab.

RAGAM

Belajar ke Negeri Jepang Oleh Poppy Mai Versiska Mahasiswa Kimia UNP

A

wal perjuangan saya menuntut ilmu di Negeri Sakura dimulai 1 Oktober 2016. Saya bisa berada di Jepang setelah lolos seleksi pertukaran pelajar antar-Fakultas Matematika dan Ilmu Penge-tahuan Alam Universitas Negeri Padang dengan Fakultas Teknik Gifu University. Program ini bertema-kan ShorTerm Special Research Project Trainee. Pada program ini, saya melakukan penelitian di Gifu University yang merupakan salah satu kampus terletak di Provinsi Gifu, Jepang. Gifu University terdiri dari 6 fakultas di mana salah satu fakultasnya adalah Fakultas Teknik. Salah satu departemen di Fakultas Teknik tersebut ialah Biomolekular Science di mana saya melakukan penelitian tentang identifikasi molekular bakteri termofilik. 3 Oktober 2016 merupakan hari pertama saya menjalankan aktivitas kampus di Gifu University. Aktivitas pembelajaran, kantor, dan jam kerja di Indonesia sedikit berbeda dengan Jepang yang memulai aktivitas pada setengah sepuluh pagi. Saya beserta mahasiswa Indonesia lainnya berangkat ke kampus menggunakan transportasi umum berupa bus. Menariknya, semua transportasi umum di Negeri Sakura ini memiliki jadwalnya masing-masing dan hanya akan datang dan berangkat pada jadwal yang ditentukan tersebut. Jadi, kita tidak bisa berangkat sesuai dengan keinginan kita seperti halnya di Indonesia. Oleh karenya, di Jepang detik per detik dalam menunggu bus sangatlah berharga sebab jika terlambat beberapa detik saja dari jadwal keberangkatan bus, maka kita

Fot o Ber sama: Anggota Laboratorium Prof. Toyokazu Yoshida, Gifu University, melakukan foto oto Bersama: bersama pada kegiatan Laboratory Trip di Gero City Japan, Jepang, Selasa (25/10). f/doc

harus merelakan waktu 30 menit untuk menunggu bus selanjutnya. Di Gifu University, saya bergabung di Laboratorium Prof. Toyokazu Yoshida yang berada di Lantai 8 Gedung E Fakultas Teknik Gifu University. Laboratorium ini terdiri dari 23 anggota dengan 3 profesor, yaitu Prof. Toyokazu Yoshida, Assoc.Prof. Mitsukura Koichi, dan Assoc.Prof Hiroshi. Kedatangan saya disambut secara resmi dengan acara Welcoming Party oleh seluruh staf dan anggota laboratorium. Setiap hari saya tiba di kampus pukul setengah sepuluh pagi dan pulang pada lima sore, kecuali Selasa dan Rabu. Pada Selasa dan Rabu, saya diberi kesempatan datang ke kampus pukul satu siang karena semua anggota laboratorium mengadakan pertemuan mingguan membicarakan tentang perkembangan penelitian dan membahas suatu jurnal penelitian. Penelitian yang saya lakukan di Gifu

University terasa ringan berkat kecanggihan dan kelengkapan peralatan tersedia. Bantuan dan support luar biasa dari seluruh anggota laboratorium terutama Sayaka Degura (mentor selama di Jepang) turut meringankan penelitian saya. Untuk mengisi libur akhir pekan pertama di negeri orang, maka saya dan mahasiswa Indonesia lainnya mengunjungi berbagai tempat di Gifu di antaranya, Gifu station park, temple, book store, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Dari perjalanan ini, kami mendapatkan banyak hal positif, seperti kebiasaan masyarakat Jepang yang disiplin dan teratur serta bagaimana mereka menjaga kebersihan. Masyarakat Jepang selalu membuang sampah pada tempat yang disediakan dan hanya merokok di area smoking. Kita tidak akan menjumpai orang merokok di bus, kereta, ataupun restoran. Kemudian, libur akhir pekan selanjut-

nya kami berkunjung ke kota sebelah Gifu, yaitu Nagoya. Perjalanan dari Gifu ke Nagoya memakan waktu 20 menit menggunakan kereta api. Kami memilih Nagoya untuk dikunjungi karena di sana terdapat museum edukasi yang terkenal, yakni Nagoya City Science Museum. Museum ini terdiri dari dua bagian, yaitu museum sains teknologi dan planeterium. Di museum sains teknologi yang terdiri dari enam lantai ini, kita bisa melihat berbagai proses sains, seperti proses perambatan gelombang, pembiasan cahaya, dan proses kimia lainnya. Yang paling terkenal di museum ini adalah simulasi tornado yang memakai tiga lantai museum. Sementara, di planeterium, kita bisa melihat berbagai benda angkasa. Namun sangat disayangkan, kami tidak bisa memasukinya karena tiket untuk masuk telah habis. Setalah Nagoya, ibukota Jepang adalah pilihan kami untuk menghabiskan liburan akhir pekan berikutnya. Di ibukota Negeri Sakura ini kami mendatangi Patung Hachiko, Tokyo Tower, dan pusat suvenir Asakusa sambil mengabadikan momen di tempat-tempat tersebut. Selain tempat-tempat tersebut, kami juga mengunjungi pulau buatan Jepang, yaitu Odaiba. Tak lupa pula kami mengabadikan momen bersama Patung Liberty dan Rainbow Bridge. Suasana Odaiba yang cozy dan udara yang sejuk menjadikannya tempat yang cocok untuk berwisata bersama keluarga. Akhir minggu keempat Oktober, penelitian saya lakukan selesai. Artinya, waktu untuk kembali ke Indonesia segera tiba. Selama sebulan berada di negeri empat musim ini, banyak pengalaman dan hal-hal positif yang saya dapatkan. Saya berharap suatu hari nanti bisa kembali ke Jepang untuk menyaksikan dan merasakan keempat musimnya.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Edisi 195 by SKK Ganto - Issuu