Orang-orang beretnis Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Leluhur mereka bermigrasi sejak
ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perdagangan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan. Dilansir dari Kompas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan diaspora etnis
Tionghoa terbanyak. Meskipun begitu, etnis Tionghoa di Indonesia tetap menjadi kelompok minoritas. Menjadi etnis Tionghoa di Indonesia tidaklah mudah. Sejak pemerintah kolonial Belanda
hingga sekarang, etnis Tionghoa mengalami banyak diskriminasi.
Tak bisa dipungkiri, akan selalu ada klasifikasi antara kaum mayoritas dan minoritas di tengah masyarakat yang heterogen.
Keberagaman dalam masyarakat terkadang menjadi peluru akan maraknya tindak kebencian dan kekerasan hasil intoleransi.
Kejadian 1998 yang pecah akibat guncangan politik dan ekonomi
pada akhirnya menyasar pada etnis Tionghoa dalam bentuk perampasan, kekerasan, dan tindak pemerkosaan terhadap perempuan. Ketidakadilan yang terjadi mendorong banyak orang
hebat untuk memperjuangkan hak hidup sesamanya. Salah satu tokohnya adalah Mely G. Tan, yang akan menjadi fokus utama dalam majalah ini. Beliau merupakan seorang perempuan beretnis
Tionghoa yang memperjuangkan hak korban kekerasan, pelecehan, dan pemerkosaan pada perempuan tahun 1998.
12-13
Table of Contents
Mengenal Sosok Mely G. Tan
Berjuang melalui Tulisan
Tahukah Kamu?
Keluh Kesah Tahun 1998
Serba Serbi Perjuangan Mely G. Tan
Kondisi Dulu VS Kondisi Sekarang
Sosok Mely G. Tan Di Mata
Generasi Muda
Meneladani Mely G. Tan
Source of Information
Mely Giok-Lan Tan (陳⽟蘭)
Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 11 Juni 1930
Keluarga:
Ayah/ibu sudah almarhum, anak ke-3 dari 5 bersaudara
Agama: Katolik
Almamater:
Universitas Indonesia
Universitas Cornell, New York
Universitas California, Berkeley
Salah satu sosok pejuang kaum minoritas di Indonesia bernama lengkap Mely Giok-Lan Tan, lahir di Jakarta pada 11 Juni 1930 dengan nama Tan Giok Lan. Beliau merupakan lulusan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia dengan Jurusan Sinologi. Kegemarannya dalam bergaul serta mengamati perilaku manusia menjadi salah satu landasan beliau untuk mempelajari Sinologi. Tak puas dengan gelar sarjana, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Cornell (1961) dengan Jurusan Sosiologi dan dilanjutkan dengan meraih gelar doktor di Universitas California, Berkeley (1968).
Setelah menyelesaikan studinya, Mely memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mulai merintis karir dengan menjabat sebagai Sekretaris Umum Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (19751979). Tak hanya itu, beliau juga menjadi panitia pengarah Task Force on Psychosocial Research in Family Planning WHO, Jenewa, Swiss (sejak 1977), dan anggota redaksi Majalah Masyarakat Indonesia dan Majalah Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Sosiolog terkemuka Indonesia ini merasa tak pernah pensiun meski sudah seharusnya pensiun sejak tahun 1997 dari Pusat Penelitian Masyarakat Indonesia (PMB-LIPI) setelah bekerja lebih dari 32 tahun. namanya sangat mencuat dalam peristiwa pemerkosaan 1998.
Pada 22 Oktober 2009, Mely G. Tan menerima penghargaan Nabil Award atas jasanya dalam proses membangun bangsa Indonesia melalui penelitian, penerbitan karya-karya ilmiah, dan aktivitas lain yang memberi pencerahan kepada publik. Penghargaan itu merupakan tanda akan apa yang dilakukan beliau selama puluhan tahun menuai hasil yang berguna dan memuaskan.
Riwayat Pekerjaan
1959 - 1961
1962
1963 - 1997
1968 - 1997 1997 - 2001
Belajar di Cornell University
Mengajar di Falkutas Ekonomi Unika Atma Jaya
Tugas belajar dari LIPI di University of California, Berkeley
Menjadi peneliti (sejak tahun 1985 menjadi
Ahli Peneliti Utama PMB LIPI)
Menjadi dosen di Program Kajian Wanita, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas
Indonesia
S1 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan D3
Polwan PTIK
Seskoal, ALRI
Ketua Lembaga Penelitian, Unika Atma Jaya
Dosen Program Pascasarjana UI, Kajian
Ilmu Kepolisian
Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan
Mobility and Assimilation: The Chinese in the United States Ethnicity and Fertility in Indonesia
Hubungan mayoritas-minoritas dalam masyarakat majemuk
The Chinese of Sukabumi: A Study of Social and Cultural Accommodation
Tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa
pernah terjadi jauh sebelum peristiwa 1998. VOC sempat merasa tersaingi dalam bidang ekonomi oleh etnis Tionghoa di Indonesia.
Pada tahun 1740, terjadi peristiwa Geger Pecinan, pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC di Batavia, yang diperkirakan merenggut 10.000 korban jiwa beretnis Tionghoa.
Selanjutnya, VOC melakukan praktik adu domba antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa dengan menyebarkan kisah provokatif. Cerita yang dibuat VOC ini diteruskan lintas generasi sehingga kebencian terhadap etnis Tionghoa berlangsung lama.
Dilakukan pembantaian oleh VOC terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, tepatnya di Batavia (sekarang Jakarta). Diperkirakan terdapat 10.000 korban jiwa dari kejadian ini. Etnis Tionghoa yang selamat kemudian melarikan diri, salah satunya ke Jawa.
KEBENCIAN ETNIS JAWA
TERHADAP ETNIS TIONGHOA MULAI MENCUAT
Cerita yang dibuat oleh VOC untuk
mengadu domba etnis Jawa dan etnis Tionghoa diturunkan lintas generasi. Oleh karena itu, selalu ada pandangan-pandangan tidak baik terhadap etnis Tionghoa.
PERISTIWA 1998
JAWA DAN ETNIS TIONGHOA BERSATU)
Etnis Tionghoa dan etnis Jawa
mempunyai kebencian terhadap VOC. Didasari hal tersebut, keduanya bersatu dan melakukan perlawanan kepada VOC. Pusatnya terjadi di Semarang dan Lasem yang dimenangkan oleh VOC. Kemenangan VOC saat itu dimanfaatkan untuk melakukan praktik adu domba antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa.
Pecahnya kebencian terhadap etnis Tionghoa dilakukan dalam bentuk penjarahan, kekerasan, hingga pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa..
Peristiwa 1998 pecah didasari oleh masalah politik dan ekonomi. Namun, siapa sangka jika aksi demonstrasi ini pada akhirnya menargetkan etnis Tionghoa sebagai korban
dari kemarahan masyarakat. Kebencian masyarakat terhadap etnis Tionghoa yang tertahan turut diekspresikan ketika peristiwa 1998 terjadi. Adanya kesenjangan ekonomi antara bumiputra dan etnis Tionghoa diyakini sebagai
salah satu hal yang melatarbelakangi tindak penyerangan terhadap etnis Tionghoa. Terjadi pula penjarahan yang menyasar toko-toko di Glodok dengan etnis Tionghoa sebagai pemiliknya. Selain penjarahan, terjadi pula kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Korban kekerasan seksual pada saat kerusuhan 1998 banyak dialami oleh perempuan etnis Tionghoa. Beberapa korbannya mengaku diperkosa secara massal oleh sekelompok orang tak dikenal. Menurut Tim Relawan, diduga terdapat sekurangnya 152 korban kasus pemerkosaan dengan 20 diantaranya meninggal dunia dan menurut Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), diduga terdapat sekitar 85 orang korban kekerasan seksual dan 52 diantaranya adalah korban pemerkosaan (VOA Indonesia, 2022). Data tersebut masih mungkin bertambah karena ada korban
pemerkosaan yang dipublikasikan sebagai berikut:
Ada pula seorang saksi yang mengaku telah melihat sekumpulan massa yang mencegat mobil dan memaksa 2 orang gadis turun dari mobil untuk diperkosa. Dua gadis tersebut dilucuti pakaiannya dan diperkosa beramai-ramai. Mereka melawan dan pada akhirnya berhasil kabur dibantu oleh saksi untuk dibawa ke tempat aman. Selama perjalanan, saksi melihat korbankorban lain yang tergeletak di jalan dengan wajah tertutup koran (IdnTimes, 2022).
https://www.youtube.com/watch?v=-LrwvkAj3Gc
Dewi (23, nama samaran), diperkosa bergantian oleh 23 orang di dalam taksi yang melaju selama 9 jam mengelilingi Jakarta. Setelah diperkosa, Dewi diturunkan di pinggir jalan dan diminta untuk tutup mulut (CNN Indonesia, 2016). Melalui artikel lain yang diterbitkan oleh BCC Indonesia, diketahui bahwa Dewi adalah seorang penyintas kekerasan seksual yang juga mendampingi korban pemerkosaan pada saat itu.
Dilaporkan terdapat 2 korban pemerkosaan yang mengakhiri hidup karena menganggap dirinya adalah aib keluarga. Selain itu, trauma yang dihasilkan juga mendorong beberapa korban untuk melarikan diri ke luar negeri. Salah satu korban pemerkosaan 1998 yang dikenal namanya adalah Ita Martadinata Haryono. Ita adalah seorang aktivis yang tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dalam hal pendampingan etnis Tionghoa yang mengalami pemerkosaan tahun 1998. Beliau tewas terbunuh beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Amerika Serikat untuk memberikan kesaksian kepada Kongres Amerika Serikat terkait pemerkosaan 1998. Meninggalnya Ita Martadinata menyebabkan tidak ada lagi saksi yang dapat memberikan keterangan kepada PBB dan laporan juga tidak dapat ditindaklanjuti karena saat itu negara tidak mengakui adanya kejadian pemerkosaan massal tahun 1998 di Indonesia.
Korban kekerasan terhadap
perempuan etnis Tionghoa pada peristiwa 1998 membutuhkan uluran
tangan dari masyarakat. Mely G. Tan
merasa dirinya perlu berkontribusi dalam memperjuangkan hak korban
kekerasan saat itu. Beliau kemudian
bergabung dalam Masyarakat AntiKekerasan terhadap Perempuan dan secara aktif menyuarakan
kepeduliannya terhadap nasib
perempuan etnis Tionghoa melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya. Ketika fakta-fakta ditemukan, Mely G. Tan
beserta sejumlah aktivis lainnya
mendatangi B.J. Habibie di istana negara dan meminta pertanggungjawaban negara terhadap kekerasan seksual dan ketidakadilan yang terjadi. Salah satu hasil dari perjuangan beliau adalah terbentuknya
Komisi Nasional Perempuan yang memiliki kewenangan melindungi hakhak kaum perempuan.
Penutupan fakta sejarah menyebabkan banyak rakyat yang tidak tahu akan sejarah negaranya sendiri hingga peristiwa serupa kerap terulang. Pengakuan dari pemerintah diharapkan dapat mencegah peristiwa yang sama terjadi lagi di Indonesia. Tak hanya itu, permintaan maaf kepada korban-korban dari peristiwa 1998 membawa keadilan bagi para korban dan menjadi tanda jika nilai kemanusiaan berhasil diperjuangkan oleh Mely G. Tan.
Pemerintah pada akhirnya juga mengakui
adanya kekerasan yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa saat peristiwa 1998. Tentu saja hal ini merupakan perubahan yang besar bagi negara Indonesia karena pada peristiwa-peristiwa sebelumnya tidak ada pengakuan dari negara akan kesalahan yang terjadi karena dianggap merupakan sebuah aib yang harus ditutupi.
https://www.youtube.com/watch?v=2HO3YDrqW64
Perjuangan yang dilakukan Mely G. Tan menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk dihormati dan mendapatkan keadilan. Apa yang dilakukan Mely selaras dengan ajaran Gereja Katolik yang tertuang dalam Rerum Novarum artikel nomor 17, "Di pihak lain, majikan yang kaya jangan memperlakukan para buruhnya sebagai budak-budaknya, melainkan harus menghormati mereka sebagai manusia yang martabat pribadinya sederajat dengan dia, bahkan menjadi sangat luhur karena panggilan Kristiani mereka." Artikel ini mengajarkan kita
untuk saling menghormati satu dengan yang lain, sama seperti keinginan Mely terhadap hak-hak korban peristiwa 1998.
Pada akhirnya, Mely dan kawan-kawan
berhasil meminta pemerintah untuk membentuk Komite Nasional Perempuan yang berarti pemerintah bersedia melindungi dan turut memperjuangkan hak-hak perempuan.