Elegi: Guratan Silam untuk Masa Depan

Page 1

Orang-orang beretnis Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Leluhur mereka bermigrasi sejak

ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perdagangan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan. Dilansir dari Kompas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan diaspora etnis

Tionghoa terbanyak. Meskipun begitu, etnis Tionghoa di Indonesia tetap menjadi kelompok minoritas. Menjadi etnis Tionghoa di Indonesia tidaklah mudah. Sejak pemerintah kolonial Belanda

hingga sekarang, etnis Tionghoa mengalami banyak diskriminasi.

Tak bisa dipungkiri, akan selalu ada klasifikasi antara kaum mayoritas dan minoritas di tengah masyarakat yang heterogen.

Keberagaman dalam masyarakat terkadang menjadi peluru akan maraknya tindak kebencian dan kekerasan hasil intoleransi.

Kejadian 1998 yang pecah akibat guncangan politik dan ekonomi

pada akhirnya menyasar pada etnis Tionghoa dalam bentuk perampasan, kekerasan, dan tindak pemerkosaan terhadap perempuan. Ketidakadilan yang terjadi mendorong banyak orang

hebat untuk memperjuangkan hak hidup sesamanya. Salah satu tokohnya adalah Mely G. Tan, yang akan menjadi fokus utama dalam majalah ini. Beliau merupakan seorang perempuan beretnis

Tionghoa yang memperjuangkan hak korban kekerasan, pelecehan, dan pemerkosaan pada perempuan tahun 1998.

2

12-13

Table of Contents

Mengenal Sosok Mely G. Tan

Berjuang melalui Tulisan

Tahukah Kamu?

Keluh Kesah Tahun 1998

Serba Serbi Perjuangan Mely G. Tan

Kondisi Dulu VS Kondisi Sekarang

Sosok Mely G. Tan Di Mata

Generasi Muda

Meneladani Mely G. Tan

Source of Information

2 Prakata
6
3 4 5
7 14 8-9 15 10-11
3

Mely Giok-Lan Tan (陳⽟蘭)

Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 11 Juni 1930

Keluarga:

Ayah/ibu sudah almarhum, anak ke-3 dari 5 bersaudara

Agama: Katolik

Almamater:

Universitas Indonesia

Universitas Cornell, New York

Universitas California, Berkeley

Salah satu sosok pejuang kaum minoritas di Indonesia bernama lengkap Mely Giok-Lan Tan, lahir di Jakarta pada 11 Juni 1930 dengan nama Tan Giok Lan. Beliau merupakan lulusan Fakultas

Sastra Universitas Indonesia dengan Jurusan Sinologi. Kegemarannya dalam bergaul serta mengamati perilaku manusia menjadi salah satu landasan beliau untuk mempelajari Sinologi. Tak puas dengan gelar sarjana, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Cornell (1961) dengan Jurusan Sosiologi dan dilanjutkan dengan meraih gelar doktor di Universitas California, Berkeley (1968).

Setelah menyelesaikan studinya, Mely memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mulai merintis karir dengan menjabat sebagai Sekretaris Umum Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (19751979). Tak hanya itu, beliau juga menjadi panitia pengarah Task Force on Psychosocial Research in Family Planning WHO, Jenewa, Swiss (sejak 1977), dan anggota redaksi Majalah Masyarakat Indonesia dan Majalah Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Sosiolog terkemuka Indonesia ini merasa tak pernah pensiun meski sudah seharusnya pensiun sejak tahun 1997 dari Pusat Penelitian Masyarakat Indonesia (PMB-LIPI) setelah bekerja lebih dari 32 tahun. namanya sangat mencuat dalam peristiwa pemerkosaan 1998.

Pada 22 Oktober 2009, Mely G. Tan menerima penghargaan Nabil Award atas jasanya dalam proses membangun bangsa Indonesia melalui penelitian, penerbitan karya-karya ilmiah, dan aktivitas lain yang memberi pencerahan kepada publik. Penghargaan itu merupakan tanda akan apa yang dilakukan beliau selama puluhan tahun menuai hasil yang berguna dan memuaskan.

4

Riwayat Pekerjaan

1959 - 1961

1962

1963 - 1997

1968 - 1997 1997 - 2001

Belajar di Cornell University

Mengajar di Falkutas Ekonomi Unika Atma Jaya

Tugas belajar dari LIPI di University of California, Berkeley

Menjadi peneliti (sejak tahun 1985 menjadi

Ahli Peneliti Utama PMB LIPI)

Menjadi dosen di Program Kajian Wanita, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas

Indonesia

S1 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan D3

Polwan PTIK

Seskoal, ALRI

Ketua Lembaga Penelitian, Unika Atma Jaya

Dosen Program Pascasarjana UI, Kajian

Ilmu Kepolisian

Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan Mobility and Assimilation: The Chinese in the United States Ethnicity and Fertility in Indonesia Hubungan mayoritas-minoritas dalam masyarakat majemuk The Chinese of Sukabumi: A Study of Social and Cultural Accommodation
- tidak diketahui
2001
5

Tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa

pernah terjadi jauh sebelum peristiwa 1998. VOC sempat merasa tersaingi dalam bidang ekonomi oleh etnis Tionghoa di Indonesia.

Pada tahun 1740, terjadi peristiwa Geger Pecinan, pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC di Batavia, yang diperkirakan merenggut 10.000 korban jiwa beretnis Tionghoa.

Selanjutnya, VOC melakukan praktik adu domba antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa dengan menyebarkan kisah provokatif. Cerita yang dibuat VOC ini diteruskan lintas generasi sehingga kebencian terhadap etnis Tionghoa berlangsung lama.

Dilakukan pembantaian oleh VOC terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, tepatnya di Batavia (sekarang Jakarta). Diperkirakan terdapat 10.000 korban jiwa dari kejadian ini. Etnis Tionghoa yang selamat kemudian melarikan diri, salah satunya ke Jawa.

KEBENCIAN ETNIS JAWA

TERHADAP ETNIS TIONGHOA MULAI MENCUAT

Cerita yang dibuat oleh VOC untuk

mengadu domba etnis Jawa dan etnis Tionghoa diturunkan lintas generasi. Oleh karena itu, selalu ada pandangan-pandangan tidak baik terhadap etnis Tionghoa.

PERISTIWA 1998

JAWA DAN ETNIS TIONGHOA BERSATU)

Etnis Tionghoa dan etnis Jawa

mempunyai kebencian terhadap VOC. Didasari hal tersebut, keduanya bersatu dan melakukan perlawanan kepada VOC. Pusatnya terjadi di Semarang dan Lasem yang dimenangkan oleh VOC. Kemenangan VOC saat itu dimanfaatkan untuk melakukan praktik adu domba antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa.

Pecahnya kebencian terhadap etnis Tionghoa dilakukan dalam bentuk penjarahan, kekerasan, hingga pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa..

6
PERISTIWA GEGER PACINAN (1740)

Peristiwa 1998 pecah didasari oleh masalah politik dan ekonomi. Namun, siapa sangka jika aksi demonstrasi ini pada akhirnya menargetkan etnis Tionghoa sebagai korban

dari kemarahan masyarakat. Kebencian masyarakat terhadap etnis Tionghoa yang tertahan turut diekspresikan ketika peristiwa 1998 terjadi. Adanya kesenjangan ekonomi antara bumiputra dan etnis Tionghoa diyakini sebagai

salah satu hal yang melatarbelakangi tindak penyerangan terhadap etnis Tionghoa. Terjadi pula penjarahan yang menyasar toko-toko di Glodok dengan etnis Tionghoa sebagai pemiliknya. Selain penjarahan, terjadi pula kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Korban kekerasan seksual pada saat kerusuhan 1998 banyak dialami oleh perempuan etnis Tionghoa. Beberapa korbannya mengaku diperkosa secara massal oleh sekelompok orang tak dikenal. Menurut Tim Relawan, diduga terdapat sekurangnya 152 korban kasus pemerkosaan dengan 20 diantaranya meninggal dunia dan menurut Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), diduga terdapat sekitar 85 orang korban kekerasan seksual dan 52 diantaranya adalah korban pemerkosaan (VOA Indonesia, 2022). Data tersebut masih mungkin bertambah karena ada korban

pemerkosaan yang dipublikasikan sebagai berikut:

Ada pula seorang saksi yang mengaku telah melihat sekumpulan massa yang mencegat mobil dan memaksa 2 orang gadis turun dari mobil untuk diperkosa. Dua gadis tersebut dilucuti pakaiannya dan diperkosa beramai-ramai. Mereka melawan dan pada akhirnya berhasil kabur dibantu oleh saksi untuk dibawa ke tempat aman. Selama perjalanan, saksi melihat korbankorban lain yang tergeletak di jalan dengan wajah tertutup koran (IdnTimes, 2022).

https://www.youtube.com/watch?v=-LrwvkAj3Gc

Dewi (23, nama samaran), diperkosa bergantian oleh 23 orang di dalam taksi yang melaju selama 9 jam mengelilingi Jakarta. Setelah diperkosa, Dewi diturunkan di pinggir jalan dan diminta untuk tutup mulut (CNN Indonesia, 2016). Melalui artikel lain yang diterbitkan oleh BCC Indonesia, diketahui bahwa Dewi adalah seorang penyintas kekerasan seksual yang juga mendampingi korban pemerkosaan pada saat itu.

Dilaporkan terdapat 2 korban pemerkosaan yang mengakhiri hidup karena menganggap dirinya adalah aib keluarga. Selain itu, trauma yang dihasilkan juga mendorong beberapa korban untuk melarikan diri ke luar negeri. Salah satu korban pemerkosaan 1998 yang dikenal namanya adalah Ita Martadinata Haryono. Ita adalah seorang aktivis yang tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dalam hal pendampingan etnis Tionghoa yang mengalami pemerkosaan tahun 1998. Beliau tewas terbunuh beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Amerika Serikat untuk memberikan kesaksian kepada Kongres Amerika Serikat terkait pemerkosaan 1998. Meninggalnya Ita Martadinata menyebabkan tidak ada lagi saksi yang dapat memberikan keterangan kepada PBB dan laporan juga tidak dapat ditindaklanjuti karena saat itu negara tidak mengakui adanya kejadian pemerkosaan massal tahun 1998 di Indonesia.

7

Korban kekerasan terhadap

perempuan etnis Tionghoa pada peristiwa 1998 membutuhkan uluran

tangan dari masyarakat. Mely G. Tan

merasa dirinya perlu berkontribusi dalam memperjuangkan hak korban

kekerasan saat itu. Beliau kemudian

bergabung dalam Masyarakat AntiKekerasan terhadap Perempuan dan secara aktif menyuarakan

kepeduliannya terhadap nasib

perempuan etnis Tionghoa melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya. Ketika fakta-fakta ditemukan, Mely G. Tan

beserta sejumlah aktivis lainnya

mendatangi B.J. Habibie di istana negara dan meminta pertanggungjawaban negara terhadap kekerasan seksual dan ketidakadilan yang terjadi. Salah satu hasil dari perjuangan beliau adalah terbentuknya

Komisi Nasional Perempuan yang memiliki kewenangan melindungi hakhak kaum perempuan.

Penutupan fakta sejarah menyebabkan banyak rakyat yang tidak tahu akan sejarah negaranya sendiri hingga peristiwa serupa kerap terulang. Pengakuan dari pemerintah diharapkan dapat mencegah peristiwa yang sama terjadi lagi di Indonesia. Tak hanya itu, permintaan maaf kepada korban-korban dari peristiwa 1998 membawa keadilan bagi para korban dan menjadi tanda jika nilai kemanusiaan berhasil diperjuangkan oleh Mely G. Tan.

Pemerintah pada akhirnya juga mengakui

adanya kekerasan yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa saat peristiwa 1998. Tentu saja hal ini merupakan perubahan yang besar bagi negara Indonesia karena pada peristiwa-peristiwa sebelumnya tidak ada pengakuan dari negara akan kesalahan yang terjadi karena dianggap merupakan sebuah aib yang harus ditutupi.

https://www.youtube.com/watch?v=2HO3YDrqW64

8

Perjuangan yang dilakukan Mely G. Tan menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk dihormati dan mendapatkan keadilan. Apa yang dilakukan Mely selaras dengan ajaran Gereja Katolik yang tertuang dalam Rerum Novarum artikel nomor 17, "Di pihak lain, majikan yang kaya jangan memperlakukan para buruhnya sebagai budak-budaknya, melainkan harus menghormati mereka sebagai manusia yang martabat pribadinya sederajat dengan dia, bahkan menjadi sangat luhur karena panggilan Kristiani mereka." Artikel ini mengajarkan kita

untuk saling menghormati satu dengan yang lain, sama seperti keinginan Mely terhadap hak-hak korban peristiwa 1998.

Pada akhirnya, Mely dan kawan-kawan

berhasil meminta pemerintah untuk membentuk Komite Nasional Perempuan yang berarti pemerintah bersedia melindungi dan turut memperjuangkan hak-hak perempuan.

Saya selalu beruntung

Secara tidak langsung, beliau juga mengungkapkan kebenaran-kebenaran untuk mencapai keadilan tersebut. Tentunya, kata hati yang timbul dalam diri beliau yang menjadi awal mula pergerakannya untuk menegakkan keadilan. Perilaku beliau mencerminkan ajaran Gereja mengenai hak yang dimiliki setiap manusia dan kebenaran yang patut diselidiki, yakni pada dokumen Pacem In Terris yang mengangkat tentang kedamaian yang patut diperjuangkan dalam dunia ini. Menurut kodratnya, manusia berhak untuk dihargai. Ia berhak atas nama baik, , kebebasan kebebasan untuk yang dipilihnya.

agar tidak

diperjuangkan

hidup dalam

melanggar hak

tuntas hingga

kebenaran akan korban dalam

9

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 merupakan puncak diskriminasi ras dan gender di Indonesia. Masyarakat Indonesia beretnis Tionghoa terutama perempuan menjadi korban pemerkosaan, kekerasan, bahkan terbunuh. Kekerasan seksual yang mereka alami tentu meninggalkan bekas dalam bentuk trauma, baik secara psikologis maupun fisik. Peristiwa kelam ini mendorong sekelompok masyarakat, salah satunya Mely G. Tan, untuk bertindak menuntut keadilan. Dampak perjuangan beliau terasa sampai sekarang, yakni Komnas Perempuan terus memberi naungan melalui berbagai kampanye dan aksi pencarian/pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pemerintah dan masyarakat saat ini berupaya memerangi tindak ketidakadilan terhadap perempuan.

Dengan adanya badan negara yang melindungi kehidupan perempuan Indonesia, perempuan lebih merasa bebas dan aman untuk beraktivitas di tempat umum. Hal ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengkategorikan segala tindakan yang berkaitan dengan kekerasan seksual merupakan tindakan pidana. Berlakunya undang-undang ini tentu akan semakin menimbulkan rasa aman serta dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

Tidak bisa dipungkiri jika kekerasan seksual memang masih terjadi. Meskipun begitu, kenyamanan bagi perempuan untuk menggunakan kendaraan umum seorang diri menandakan adanya situasi aman yang diupayakan oleh negara untuk perempuan saat ini.

10

Sebelumnya, perempuan jarang memilih menggunakan kendaraan umum jika ada opsi transportasi lain karena tingkat kriminalitas pada perempuan, apalagi beretnis Tionghoa, yang terlampau tinggi. Sekarang telah tersedia perlindungan dan keistimewaan yang diberikan kepada perempuan seperti fasilitas bilik khusus perempuan di Transjakarta hingga tersedia bus dan parkiran khusus perempuan. Ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan diskriminasi yang dialami perempuan melahirkan perjuangan untuk membawa keadilan ke dalam kehidupan perempuan secara perlahan tapi pasti.

Diskriminasi kepada perempuan khususnya beretnis Tionghoa sudah mulai berkurang. Mereka sudah bebas beraktivitas selayaknya rakyat Indonesia pada umumnya, tidak ada lagi pembatasan dan larangan baik dalam hal budaya yang berhubungan dengan Tionghoa. Mungkin memang masih ada segelintir orang yang sentimen dengan etnis Tionghoa, tetapi keadaan sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya terutama saat peristiwa 1998. Mereka diperlakukan sama seperti rakyat Indonesia lainnya dan mendapat perlindungan hukum yang sama juga dari negara.

Keserasian hidup yang sudah terasa lebih baik membangkitkan adanya perdamaian antar masyarakat. Perdamaian dalam negeri penting dipertahankan karena tanpa perdamaian, negeri ini tidak akan bersatu dan menjadi tidak nyaman untuk ditinggali. Sebuah negara seharusnya mencerminkan kerajaan Allah, yang menciptakan kondisi/suasana yang damai, tentram, masyarakat bersukacita, dan tumbuh dalam kasih sesuai dengan surat Paulus kepada jemaat di Roma (Rm 14:17), "Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan suka cita oleh Roh Kudus." Mely G. Tan juga menjadi sosok penting dalam mengungkapkan kebenaran sampai akhirnya terbentuk sebuah perdamaian. Secara tidak langsung, beliau telah membantu membangun kerajaan Allah di Indonesia.

11

Mely G. Tan merupakan seorang perempuan etnis Tionghoa yang memperjuangkanmerupakankeadilan bagi kaum minoritas seperti dirinya untuk hidup dan tinggal di Indonesia. Bagi beliau, etnis Tionghoa juga bagian dari masyarakat Indonesia yang sah dan berhak mendapatkan kedamaian dan kenyamanan selama tinggal di Indonesia.

Pecahnya kebencian tahun 1998 yang menyasar etnis Tionghoa menumbuhkan rasa belas kasih dalam diri Mely. Meskipun beliau tidak secara langsung terjun ke lapangan untuk membantu korban kekerasan/pemerkosaan pada etnis Tionghoa, beliau menggunakan ilmunya sebagai sosiolog dan sinolog dengan cara menulis.

Tulisan yang beliau ciptakan membuka pikiran pembacanya tentang permasalahan yang sedang terjadi saat itu, yaitu fakta bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa masih sangat kental hingga ditemukan beberapa korban meninggal dunia akibat kekerasan dan pemerkosaan.

Ketangguhan dan kesungguhannya dalam memperjuangkan hak korban memperoleh hasil yang memuaskan. Dengan menanamkan

nilai-nilai hidup universal sesuai dengan

ajaran agamanya: Katolik, beliau berhasil memperjuangkan nilai kebenaran dan kedamaian bagi korban yang ditandai dengan

adanya pengakuan

tragedi kekerasan

kerusuhan 1998

nama Mely G. orang berjasa

pemerintah

Pencari Fakta

Kekerasan terhadap

menjadi tanda yang diinginkan untuk mengung keadilan.

Meskipun

pendidikan

beliau tetap dan kepedulian

kala itu.

kelangsungan

yang beragam.

adanya perpecahan keberagaman.

12

Selain nilai sosial dan agama, tokoh Mely juga memiliki nilai budaya. Fakta bahwa Mely merupakan seorang sinolog menggambarkan bahwa beliau mempelajari kebudayaan Tionghoa secara mendalam sehingga opini yang tertulis dalam karya-karyanya juga berdasarkan riset dan ilmu pengetahuan yang berlandaskan fakta.

Ketangguhan, belas kasih, semangat persatuan, dan kesungguhan yang dimiliki Mely G. Tan membuat beliau mampu menjadi sosok inspiratif bagi pelajar. Sebagai siswa, kami merasa terinspirasi untuk tangguh berjuang dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan diri sebaik mungkin agar kelak dapat menjadi pribadi yang berguna di masyarakat melalui keahlian masing-masing.

Mengasihi sesama sebagai satu kesatuan masyarakat yang dilakukan Mely G. Tan menjadi acuan bagi kami untuk tidak membedakan satu dengan yang lain. Nilainilai yang beliau miliki sama seperti nilainilai SERVIAM yang sedang ditanamkan oleh SMA Santa Ursula Jakarta terhadap murid-muridnya. Kami berharap suatu saat nanti akan tercipta kehidupan bermasyarakat yang paling baik, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai toleransi dengan sikap belas kasih, semangat persatuan, kesungguhan, dan ketangguhan yang sedang ditanamkan kepada penerus bangsa.

13

Hidup sebagai seorang Mely G. Tan bukanlah sesuatu yang mudah, menjadi minoritas diantara mayoritas yang membenci kelompoknya pada saat itu. Mely merupakan sosok yang menjadi saksi penting dari peristiwa kekerasan dan pemerkosaan pada perempuan beretnis Tionghoa tahun 1998. Pernyataan negara pada saat itu juga tidak menguntungkan korban, “Tidak ada saksi berarti tidak ada korban!” bunyinya. Saat itu merupakan masa yang kelam dan traumatis bagi etnis Tionghoa dan tidak mudah bagi mereka untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Keberanian Mely G. Tan untuk bersuara dan memperjuangkan hak sesamanya bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Tidak semua orang memiliki keberanian untuk bertindak seperti Mely G. Tan di tengah tekanan masyarakat mayoritas. Rasa takut akan pandangan orang lain yang membuat kita tidak berani untuk menyuarakan kebenaran, apalagi jika kita merupakan kelompok minoritas. Keberanian inilah yang ditekankan oleh banyak sekolah, khususnya sekolah Katolik dengan mendalami ajaran Gereja. Dalam kitab suci Yesaya 41:10 berbunyi, "Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan."

Sebagai pelajar, kami sering merasa takut untuk bersuara dan berpendapat. Kami merasa terlalu kecil untuk ikut campur dan menyanggah perbuatan/pernyataan orang yang lebih memiliki kuasa, meskipun rasanya perbuatan/pernyataan mereka tidak tepat. Ayat di atas mengajarkan kami untuk berani dan percaya pada Allah karena Allah setia mendampingi dan memberi peneguhan. Kami merasa perlu meneladani sosok Mely G. Tan akan keberanian, ketangguhan, serta kepedulian dalam diri masing-masing. Mungkin bukan memperjuangkan hak korban kekerasan, tetapi dalam hal lain yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat, seperti berani mengambil resiko akan pilihan hidup dan tangguh berjuang dalam memperoleh cita-cita sehingga keahlian yang dimiliki dapat berguna untuk pengembangan diri dan kemakmuran Indonesia.

14

http://kajanglako.com/id-10790-post-melly-g-tan.html

http://lipi.go.id/berita/single/mely-g-tan:-saya-selalu-beruntung/3362

http://lipi.go.id/berita/mely-g-tan-:-guru-kehidupan/5030

https://ahmad.web.id/sites/apa dan siapa tempo/profil/M/20030624-19-M 2.html

https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/29/154500765/sejarah-etnis-tionghoadi-indonesia?page=all

https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/derita-perempuantionghoa-di-pemerkosaan-massal-glodok-pluit?page=all

https://bookshop iseas edu sg/publication/1431

https://www goodreads com/book/show/20443386-the-chinese-of-sukabumi

https://www cnnindonesia com/nasional/20160519124757-20-131898/deretan-kisahmengerikan-pemerkosaan-massal-mei-1998

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44134808

https://www.voaindonesia.com/a/tahun-tragedi-mei-1998-relawan-terusperjuangkan-hak-korban-pemerkosaan-/6574054.html

https://www.arahjuang.com/2021/01/08/perkembangan-rasisme-di-indonesia/ https://surabayapagi.com/read/awal-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-diindonesia

https://komnasperempuan.go.id/sejarah/1998-2001-fase-proses-pembentukan

https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

http://www.dokpenkwi.org/wp-content/uploads/2022/03/eBoook-DG-42-RERUMNOVARUM.pdf

https://karyakepausanindonesia.org/2020/11/11/kerajaan-allah-ada-di-antarakamu/#:~:text=Paulus%20dalam%20suratnya%20kepada%20jemaat,Rm.%2014%3 A17

https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/12/150000279/perang-kuning-latarbelakang-tokoh-jalannya-pertempuran-dan-akhir?page=all

https://www papagiovanni com/sito/images/vita/paceminterris en pdf

http://ajaransosialgerejakatolik blogspot com/2012/03/pacem-in-terrisperdamaian-dunia html

JURNAL

https://jurnal.untidar.ac.id/index.php/komunikasi/article/download/391/351

BUKU

Heuken, Adolf. 2007. Historical sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

VIDEO

https://drive.google.com/file/d/1RdPDsEi3oHKfhmnQAzwkzS9QqYNegR3 /view

15

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Elegi: Guratan Silam untuk Masa Depan by Valeryn Yolanda - Issuu