Suluh edisi 6 (18 Desember 2014)

Page 1

Terbit Senin Senin dan K amis T

Edisi 6 - 18 Desember 2014

Murid PENANGGUNG JAWAB Erwin Razak, S.IP REDAKSI Syamsudin, S.Pd, MA AT. Erik Triadi, S.IP ALAMAT REDAKSI Jl. Cendrawasih No. 2 Mejing Lor - Desa Ambarketawang Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Telp : 0274-9543879 e-mail : sekret@rumahsuluh.org website : rumahsuluh.org

M

ereka yang pergi mengikuti suatu program pendidikan di sekolah, atau institusi pendidikan lainnya, tentu saja punya maksud. Pertanyaan mendasar yang layak untuk diajukan adalah apakah sang murid punya hak untuk memiliki maksud tersendiri, yakni maksud yang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga, komunitas atau suatu bangsa? Pertanyaan dapat kita pertajam: apakah sang murid punya hak untuk membatalkan posisinya, dengan bebas memilih untuk tidak menjadi murid? Sebagian kita tentu mengerti bahwa seorang murid, tidak memiliki hak (sepenuhnya) untuk mengambil suatu pilihan: melanjutkan statusnya sebagai murid, atau berhenti. Bahkan, alam pikiran kita mengatakan bahwa setiap anak harus pergi ke sekolah. Negara dalam hal ini mengemban suatu kewajiban untuk memastikan setiap anak pergi ke sekolah. Tidak ada alasan yang dapat diperkenankan yang dapat membenarkan anak-anak tidak pergi ke sekolah. Kalaupun ada alasan biaya, maka Negara punya kewajiban konstitusional untuk mengatasi masalah tersebut, sedemikian sehingga sang anak dapat pergi ke sekolah, dan mendapatkan posisinya

“Pengetahuan sejati memberi kedudukan moral dan kekuatan moral� (Mahatma Gandhi)

1


SULUH

sebagai murid. Apa maknanya? Bahwa posisi anak sebagai murid, sesungguhnya adalah posisi yang tidak ternegosiasikan. Adalah suatu ketetapan, bahwa dalam perspektif Negara adalah garis konstitusi. Dengan posisi yang demikian, maka murid sesungguhnya adalah pihak yang “pasif� – menerima posisinya sebagai murid. Sebagai pihak yang pasif, maka dengan sendirinya membawa implikasi adanya pihak yang aktif – di luar sang murid. Apakah logika ini dapat diterima? Dalam kerangka pembelajaran di kelas, siapakah pihak yang mengemban tugas sebagai pihak yang aktif? Kalau di lihat dari susunan bangku di dalam kelas, maka sangat jelas, bahwa pihak yang aktif ada di depan kelas, dan para murid adalah pihak yang pasif, yang akan menerima apa yang “diberikan� pada mereka. Lantas yang menjadi pertanyaan: siapakah yang sesungguhnya menjadi pusat pembelajaran? Murid atau pihak lain? Atau guru? Mengapa kita perlu mempersoalkan masalah ini? Pengetahuan mengenai pihak yang menjadi pusat pembelajaran menjadi sangat penting, karena hal tersebut akan sangat menentukan pilihan metodologi pembelajaran dan berbagai

2 edisi 6 18 Desember 2014

asumsi yang melatarbelakanginya. Kalau dilihat dari susunan bangku di dalam kelas, sangat jelas bahwa yang menjadi pusat adalah guru, bukan murid. Oleh sebab itulah, sang murid yang secara implisit (atau eksplisit) punya kewajiban mendengar atau bahkan mengerti sang guru. Maka murid yang terbaik dihadapan sang guru tidak lain dari murid yang bisa menjawab pertanyaan guru (baca: pertanyaan yang disusun oleh guru).

Apakah dengan demikian, sang guru punya kewajiban untuk mengerti sang murid? Atau apakah sang guru dengan sendirinya memberikan perhatian yang memadai kepada para muridnya? Kepada siapa guru memberikan perhatian? Atau kepada siapa sekolah memberikan perhatian? Kalau dibaca kalender persekolahan, maka sebetulnya ada beberapa momentum yang memperlihatkan perhatian guru kepada murid (baca:


SULUH

tepatnya kepada beberapa orang murid). Para penerima medali, penerima penghargaan, penerima bea siswa, yang beroleh nilai tertinggi dalam evaluasi akademik, dan lain-lain, adalah mereka yang jelas mendapatkan perhatian dari para guru dan sekolah. Bagaimana dengan yang lain? Apakah juga mendapatkan perhatian yang memadai dari guru dan sekolah? Mereka yang pernah mengenyam bangku sekolah akan dapat menjelaskan dengan gamblang, bahwa kebanyakan murid hanya akan mendapatkan perhatian setidaktidaknya pada beberapa momentum, yakni: (1) peristiwa presensi, atau proses mengecek kehadiran, dan dalam peristiwa tersebut setiap orang akan dipanggil namanya, dan dinyatakan hadir secara administrasi; dan (2) peristiwa pembagian hasil evaluasi, dimana setiap orang juga akan dipanggil untuk menerima hasil evaluasi. Di luar itu, apakah ada peristiwa yang menjadikan murid benarbenar hadir sebagai murid dalam proses pembelajaran? Tentu saja ini merupakan sebuah tantangan yang sangat serius. Kalau sang murid tidak punya hak untuk membatalkan posisinya, maka sudah menjadi kewajiban pihak di luar sang murid untuk menjadikan posisi murid tersebut menjadi posisi yang punya

makna (bagi setiap orang, dan bukan hanya bagi mereka yang mampu beradaptasi dengan metodologi pendidikan yang dikembangkan sang guru atau sekolah). Pertanyaannya, jika pihak yang mempunyai kewajiban dalam kenyataan abai, atau tidak mampu menjalankan kewajibannya secara benar, maka apakah hal ini dapat menjadi dasar bagi sang murid untuk menentukan langkahnya sendiri? Kalau sang murid tidak mendapatkan perhatian yang memadai, yang membuatnya benar-benar merasa menjadi seorang murid, maka yang menjadi pertanyaan, apakah keliru jika sang murid berusaha menemukan sendiri suatu cara untuk mendapatkan perhatian? Mereka yang punya kemampuan akademik, tentu sudah punya cara yang hebat untuk mendapatkan perhatian, dan karena itu, semua perhatian guru dan sekolah kepada mereka. Lantas apakah letak inti soal pada masalah perhatian? Tentu saja kita harus kembali kepada pertanyaan awal, yakni untuk apa sesorang diwajibakan untuk pergi ke sekolah? Kalau sang murid sudah dengan setia (riang ataupun terpaksa) pergi sekolah, maka tugas selanjutnya terletak dipundak semua pihak di luar sang murid, yakni memastikan sang murid mendapatkan apa yang mestinya mereka dapatkan. Mengapa bukan di titik ini semua diskusi berpusat?

3 edisi 6 18 Desember 2014


SULUH

Forum Desa Digital Terbentuk Penerapan e-government di desa sudah mulai menggeliat untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pelayanan kepada masyarakat desa. Hal tersebut terlihat dengan terbentuknya Forum Desa Digital yang diinisiasi Rumah Suluh bersama beberapa desa di DI Yogyakarta. Forum Desa Digital tersebut terbentuk dalam Workshop Pengembangan Desa Digital yang dilaksanakan pada Selasa (16/12) di Pendopo dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul DI Yogyakarta. Menurut Erwin Razak, teknologi informasi kini berkembang sangat pesat. Di sisi lain, pengguna internet di desa juga bertambang banyak. “Kalau kita lihat sekarang di desa sudah sangat banyak warga yang menggunakan handphone, termasuk smartphone. Hanya saja belum digunakan dan tersambung dengan sistem informasi yang ada di desa,” jelas Erwin. Dengan desa digital diharapkan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah desa juga menggunakan teknologi informasi. “Kami berharap electronic government (e-gov) juga diterapkan di desa,” ujar Erwin. Diaplikasikannya e-gov juga akan meningkatkan transparansi dan

4 edisi 6 18 Desember 2014

akuntabilitas pemerintah desa. Warga pun bisa menyampaikan aspirasinya lebih cepat kepada pemerintah desa dengan bantuan website desa. Sulistyo Prihadmadi yang mewakili desa Sriharjo, Kec. Imogiri, Kab. Bantul mengatakan sistem informasi desa berbasis website di desanya memang menjadi fokus. Bahkan di APBDes tahun 2015 telah memasukkan anggaran untuk pembuatan website desa.

“Kami mendukung diterapkan desa digital dan mengharapkan bisa difasilitasi untuk membangun sistem tersebut,” jelas Madi. Sedangkan Siti Fatimah Kepala Desa Sabdodadi mengatakan e-gov di desanya memang belum maksimal. Hanya saja kedepan memang perlu ditingkatkan. “Kami sudah mendapatkan perangkat internet dari kabupaten, hanya saja kurang optimal,” ujarnya.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.