Suluh Edisi 3- 8 Desember

Page 1

Terbit Senin dan K amis

Edisi 3 - 8 Desember 2014

Hak Asasi PENANGGUNG JAWAB Erwin Razak, S.IP REDAKSI Syamsudin, S.Pd, MA AT. Erik Triadi, S.IP ALAMAT REDAKSI Jl. Cendrawasih No. 2 Mejing Lor - Desa Ambarketawang Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta Telp : 0274-9543879 e-mail : sekret@rumahsuluh.org website : rumahsuluh.org

A

pa yang terlintas dalam benak ketika menyaksikan suatu kampanye politik, kampanye dalam rangka pemilihan umum (dan atau pemilukada), yang mengangkat issue tentang sekolah (pendidikan) gratis dan pengobatan (kesehatan) gratis? Ada dua pertanyaan yang perlu kita ajukan terhadap fenomena tersebut, yakni: Pertama, apa yang ada di dalam pikiran para kandidat, atau tim yang bekerja untuk pemenangan, ketika menawarkan atau menjanjikan program tersebut? Apakah mereka berpikir bahwa pendidikan dan kesehatan, adalah sesuatu yang memang tidak semestinya diperoleh warga Negara, sehingga mereka menjanjikan bahwa kalau mereka terpilih maka mereka akan mampu menyelenggarakan atau mengadakan program tersebut?

Apakah ini berarti bahwa alpanya program pendidikan dan kesehatan dalam sebuah pemerintahan, adalah hal yang benar dan wajar, dan sebaliknya, adanya program tersebut merupakan hal yang di luar kewajaran dan istimewa? Lantas apa kewajiban pemerintah(an)? Apakah suatu pemerintah(an) memiliki kebebasan pada dirinya untuk melakukan apa yang

mau dilakukan, dan tidak melakukan apa yang tidak ingin dilakukan? Kedua, apa yang dipikirkan oleh masyarakat luas, publik, ketika mendengar program tersebut? Apakah publik menganggap hal tersebut merupakan suatu kewajaran dalam proses pemilu? Apakah program tersebut dianggap sebagai sesuatu yang benar, dan kandidat yang

1


SULUH

mengusung program tersebut merupakan kandidat yang baik? Apa yang ada di dalam benak publik berkait dengan kewajiban Negara? Apakah penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan bukan merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pemerintah, siapapun pemimpinnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya hendak mempersoalkan hubungan antara warga (baik sebagai pribadi-pribadi, ataupun sebagai suatu komunitas) dan Negara, dan demikian sebaliknya. Rakyat tentu saja bukan konsumen, dan sebaliknya Negara bukan penjaja komoditas. Kalau ditanyakan siapakah pemilik kedaulatan, maka sangat jelas kemana kita harus menunjuk. Kita boleh berandai-andai, jika saja pada hari H pemilu tidak ada satu warga pun yang datang ke TPS: apa yang akan terjadi? Apakah Negara, dalam hal ini pemerintah, akan berjalan dengan begitu saja, tanpa memperdulikan keberadaan rakyat? Atau, jika pada hari ini, seluruh rakyat turun ke jalan, meminta pertanggungjawaban Negara terhadap apa yang menjadi kewajibannya sebagaimana yang termuat dalam konstitusi: apa yang akan terjadi? Posisi rakyat dengan demikian adalah suatu posisi yang menjadi dasar dari kehadiran dan keberadaan Negara. Artinya, Negara tidak hadir untuk dirinya

2 edisi 3 8 Desember 2014

sendiri. Dalam konteks Indonesia, Negara jelas memiliki kewajiban atau Negara pada dasarnya memiliki tujuan, yakni: melindungi, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan dan menjadi bagian dari perdamaian dunia. Negara dengan demikian memikul suatu kewajiban, yakni tugas yang memungkinkan setiap warga dan seluruh warga mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, baik sebagai manusia atau sebagai suatu komunitas. Dalam kerangka yang lebih luas dan mendalam, kita juga dapat mempersoalkan posisi individu warga Negara sebagai seorang manusia. Apakah kedudukan sebagai manusia tidak mempunyai makna politik, yakni suatu makna yang oleh karena kehadiran dan keberadaannya telah memunculkan suatu hak mendasar, atau hak asasi, dan persis di seberangnya mewajibkan Negara untuk memenuhi atau memastikan setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak dasarnya sebagai manusia. Dari mana hak tersebut? Hak yang dimaksud adalah hak yang melekat pada setiap manusia. Hak ini adalah hak dasar yang tidak ada satu kekuatan pun boleh mengambilnya, atau mengurangi kadarnya. Satu-satunya pembatas hak asasi seseorang adalah hak orang lain. Yakni bahwa pemenuhan atau upaya memenuhi hak seseorang tidak menjadi dasar


SULUH

pembenar untuk menghilangkan hak orang lain. Dengan perspektif ini, kita memandang adanya suatu kesalahan yang mendasar, yakni kesalahan dalam menempatkan layanan sosial sebagai komoditas politik, seperti pendidikan dan kesehatan. Layanan dasar adalah hak warga, dan oleh sebab itu, Negara harus menyediakannya: mudah dan mutu. Dapat diakses oleh setiap orang, tanpa terkecuali – dan menghindar dari kemungkinan diskriminasi. Dan berwujud sebagai layanan yang bermutu, bukan layanan rendah, oleh karena sifatnya yang cuma-cuma. Kedua belah pihak harus diubah pemahamannya, agar layanan sosial

tidak lagi menjadi bahan transaksi politik. Pendidikan hak asasi dibutuhkan, agar rakyat melek hak asasinya, dan memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk menagih, manakala Negara lalai, atau tidak menjalankan apa yang seharusnya dijalankan. Negara sendiri, pada khususnya penyelenggara Negara, diharapkan lebih menyadari posisi dan tugasnya, sehingga bekerja dengan penuh kesadaran: sadar posisinya sebagai pelayan rakyat, yang dengan demikian tugas pokoknya adalah memberikan layanan yang sebaik-baiknya pada rakyat. Bagaimana memungkinkan hal ini?

"... jikalau kita ingin menjadi satu bangsa yang kuat, yang sentosa, yang sejahtera, yang besar, yang mulia, yang agung, kita harus mencintai tanah air kita itu. Malahan menganggap tanah air kita itu sebagai amanat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kita. Dan oleh karena tanah air kita itu adalah satu amanat dari Tuhan kepada kita, maka kita sekalian, semuanya berkewajiban untuk mengabdi kepada bangsa, mengabdi kepada tanah air, dan dengan demikian juga mengabdi kepada Khaliq dan semua mahluk, pembuat dan semua hal yang dibuat, yakni Tuhan Yang Maha Esa. ..." (Ir. Soekarno, 23 Desember 1963)

3 edisi 3 8 Desember 2014


SULUH

Warga Pandes Janji Tak Akan Lakukan Politik Uang Warga Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta menggelar perjanjian warga untuk tidak akan melibatkan uang dalam proses politik apapun di dusun tersebut. Perjanjian ini dilakukan dengan menandatangani Perjanjian Warga dalam bentuk banner besar, di Pendopo Pojok Budaya Dusun Pandes, Jum’at (5/12) sore.

Perjanjian Warga ini dilaksanakan dalam rangka menyongsong pemilihan kepala dusun Pandes tanggal 7 Desember dan peringatan Hari Anti Korupsi Internasional 9 Desember mendatang. Erwin Razak, Direktur Rumah Suluh mengatakan gerakan melawan politik uang biasanya hanya menyasar

4 edisi 3 8 Desember 2014

calon atau kandidat dalam pemilihan. Padahal pemilih pun menjadi bagian proses politik uang. “Oleh karena itu gerakan melawan politik uang harus dilakukan pula oleh warga masyarakat yang memilih,” jelas Erwin. Dengan perjanjian ini, warga telah berkomitmen untuk tidak akan melibatkan uang dalam segala proses pemilihan yang terjadi di dusunnya. Mulai dari pemilihan kepala dusun, kepala desa, bupati, presiden dan pemilihan legislatif. “Warga sudah sadar bahwa politik uang akan merusak tata hidup bersama. Selain itu politik uang di tingkatan apapun juga akan membuat korupsi lebih marak,” ujar Erwin. Gerakan yang diinisiasi warga bersama Pusat Studi Desa dan Rumah Suluh ini ingin menjadi embrio yang nantinya dapat menyebar ke dusun, desa, kecamatan bahkan daerah lain. “Gerakan ini menyongsong Hari Anti Korupsi Internasional pada 9 Desember mendatang, karena politik uang salah satu penyebab praktek korupsi,” jelas Erwin Razak. (et)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.