MULTI GENERASI
definisi rumah komunal keluarga





Rumah Multi Generasi : Definisi Rumah Komunal Keluarga
Penulis:
Joko Adianto
Rossa Turpuk Gabe
2023
130 hlm.; 14.8 x 21 cm
©Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit
Cetakan 2023
Diterbitkan pertama kali oleh
Yayasan Ruang Nalar Habitat
Jalan Ciliwung 1, Cililitan, Kramat Jati
Jakarta Timur, 1360
Tel. +62 811 838 929
E-mail: runah@recehpol.com
Yayasan Ruang Nalar Habitat, 2023

RUMAH MULTI GENERASI
definisi rumah komunal keluarga


KONTRIBUTOR
penanggung jawab
Joko Adianto
Rossa Turpuk Gabe
penulis
Agrie Yasfindo
Amanda Nisa Pradipta
Annissa Ul Jannah
Desti Ayu Setia Hidayati
Pratami Fadillah
desain
grafis & diagram
Amanda Nisa Pradipta
Annissa Ul Jannah
tata letak & desain sampul
Agrie Yasfindo
Desti Ayu Setia Hidayati
penyelia aksara
Rossa Turpuk Gabe
Adinda Christina
Pratami Fadillah
Penyusunan buku ini didanai oleh
Direktorat Inovasi dan Science Techno Park melalui
Program Pendanaan Inovasi Skema P2 Tahun Anggaran 2023



Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk terbitnya buku “Rumah Multi
Generasi: Rumah Bagi Semua Generasi” sebagai hasil dari penelusuran bersama para peserta mata kuliah Studio Perumahan dan Permukiman Perkotaan 1 semester gasal tahun akademik 2022/ 2023 di Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia (DA-FTUI).
Penelusuran tersebut mengetengahkan masalah kepemilikan rumah dan tipe rumah yang paling memungkinkan bagi generasi Y dan Z di perkotaan. Kegagalan program pemenuhan kebutuhan rumah bagi kedua generasi ini berpotensi memunculkan beragam masalah sosial yang masif, mengingat kedua kelompok sosial ini telah menjadi populasi dominan perkotaan di Indonesia.
Pengetahuan dan pemahaman ini, tidak hanya bertujuan untuk memenuhi standar kompetensi minimum peserta program magister semata, namun juga merekam percakapan akademik skala mikro yang berharap memberi kontribusi pada perbaikan kebijakan dan program penyediaan perumahan bagi warga negara di Indonesia.
Walau buku ini berisi penelusuran melalui percakapan akademik, artikulasi yang termaktub mudah dipahami pembaca awam sehingga mudah dipahami dan tidak terbatas bagi kalangan cendekia di pendidikan tinggi. Tata visual yang atraktif namun komunikatif seyogyanya mampu memicu minat pembaca untuk menikmati proses penelusuran dan informasi yang termuat didalamnya.
Akhir kata, selamat menikmati dan semoga bermanfaat.
Salam, Jakarta, Desember 2022

Joko Adianto, Ph.D
Pengampu mata kuliah Studio Perumahan dan Permukiman Perkotaan 1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia
kata pengantar
joko adianto, ph.d
Pengampu mata kuliah Studio Perumahan dan Permukiman Perkotaan 1
Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Dalam dekade ini, isu pemanfaatan bertambahnya jumlah penduduk usia produktif kerap terkumandang untuk meningkatkan kemakmuran negara Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif ini, menurut BPS (2021), memiliki umur berkisar 25-45 tahun (dikenal dengan generasi Y dan Z) dan mendominasi jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2045. Walau memiliki potensi besar untuk kemajuan bangsa, besarnya jumlah populasi ini memunculkan beragam potensi masalah, salah satunya penyediaan rumah ayak huni yang terjangkau.
Rumah adalah hak dasar sekaligus mimpi setiap warga negara untuk dapat hidup aman, nyaman, dan sejahtera. Namun dengan kondisi pasar rumah yang kian tidak terjangkau, terutama bagi generasi Y dan Z yang baru dan akan masuk ke dalam pasar tenaga kerja, hak dasar dan mimpi tersebut kian sulit terpenuhi. Selain harga yang kian tak terjangkau, perubahan gaya hidup dan cara pandang kelompok sosial ini pun berbeda dengan sebelumnya, sehingga kerap tidak sesuai dengan rancangan yang tersedia di pasar rumah.
Mata kuliah ini mengajak peserta untuk menelusuri secara kritis tipe rumah layak huni dan terjangkau, yang tertuang dalam rancangan skematik alternatif untuk memenuhi hak dasar dan mimpi generasi Y dan Z di kemudian hari. Selain itu, luaran berpotensi untuk memperkaya percakapan akademik mengenai tipe rumah layak huni yang terjangkau sesuai dengan konteks Indonesia, dan menilik ulang kebijakan perumahan secara umum di Indonesia.
Penelusuran ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian. Pada bagian pertama berisi penelusuran masalah kepemilikan rumah bagi kelompok generasi Y dan Z di perkotaan serta preferensi merumah. Penelusuran ini melalui penulisan bibliografi beranotasi setiap minggu secara individual yang didiskusikan bersama antar peserta guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman bersama mengenai masalah. Pengetahuan dan pemahaman bersama tersebut menjadi dasar kerangka kerja teoritis untuk mengetahui preferensi merumah 2 (dua) kelompok sosial ini melalui penerapan metode kuantitatif dan menyusun alat pengambilan data primer berupa kuesioner daring. Kuesioner daring tersebut disebarluaskan melalui beragam akun media sosial kepada rekan sebaya generasi Y dan Z dengan metode bola salju.

kata pengantar

Adapun kuesioner tersebut terdiri dari 3 (tiga) bagian. Bagian pertama mencakup karakteristik sosio-demografi, seperti jenis kelamin, umur, tipe pekerjaan, jumlah pendapatan per bulan, status perkawinan, lokasi dan status kepemilikan tempat tinggal sekarang yang disajikan dengan pertanyaan terbuka. Bagian kedua berisi preferensi merumah yang terkait lokasi, kondisi lingkungan, tata dan kriteria ruangan dalam rumah, serta jenis pengeluaran untuk rumah, berdasarkan norma merumah yang dicetuskan oleh Morris dan Winter (1976). Bagian ini menyajikan pertanyaan tertutup dengan skala Likert 5 poin (1 untuk sangat tidak setuju hingga 5 untuk sangat setuju) untuk mengetahui persepsi responden mengenai prioritas pentingnya komponen norma merumah yang ditanyakan. Sementara bagian ketiga berisi pertanyaan terbuka mengenai alasan sulitnya memiliki rumah serta memilih antara tipe rumah komunal (co-housing) yang dihuni bersama orang bukan keluarga serta rumah generasi jamak (multigenerational housing-RGJ) yang dihuni bersama anggota keluarga.
Hasil pengumpulan data primer tersebut diolah melalui poststratification weights, diuji tingkat validasi dan reliabilitas lalu dianalisis secara deskriptif dengan uji tabulasi silang dan regresi untuk mengetahui pengaruh karakteristik sosio-demografi kedua kelompok sosial ini terhadap preferensi merumah. Hasil bagian ini menunjukan bahwa tipe rumah RGJ yang dapat bertambah luas bertahap secara horizontal maupun vertikal, sebagai pilihan paling mungkin dihuni saat ini. Sayangnya, tipe rumah ini tidak terakui dalam kebijakan dan program pemerintah baik pusat maupun daerah yang masih menyederhanakan hubungan sebuah rumah untuk sebuah keluarga.
kata pengantar
joko adianto, ph.d
Sementara bagian kedua menjelaskan penelusuran rancangan skematik RGJ. Setiap peserta menerjemahkan hasil analisis dan menyajikan sebuah rancangan skematik yang berisi modul dasar rumah dengan skenario pertumbuhannya seiring dengan perkembangan daur hidup dan kebutuhan anggota keluarga. Rancangan tersebut diuji dengan 2 (dua) tahap. Pada tahap pertama, aristek profesional memberi memberikan kritik konstruktif kepada setiap peserta yang mempresentasikan rancangan skematiknya.
Sementara pada tahap kedua, seluruh peserta menyusun kuesioner daring bersama yang berisi seluruh rancangan skematik dan disebarluaskan melalui beragam akun media sosial kepada rekan sebaya generasi Y dan Z dengan metode bola salju. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan tertutup dengan skala Likert 5 poin (1 untuk sangat tidak setuju hingga 5 untuk sangat setuju). Hasil pengumpulan data primer yang diperoleh, sebagaimana tahap pertama, diolah melalui post-stratification weights, diuji tingkat validasi dan reliabilitas lalu dianalisis secara deskriptif dengan uji tabulasi silang guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai preferensi merumah tipe RGJ yang dapat berkembang bagi generasi Y dan Z di perkotaan. Untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai preferensi merumah generasi Y dan Z di perkotaan, para peserta melakukan analisis deskriptif dan sintesis dari hasil uji 2 (dua) tahap tersebut.
Hasil penelusuran ini berpeluang untuk memperkaya tipe rumah di perkotaan Indonesia yang masih sangat terbatas, yakni tipe berdasarkan kepemilikan (sewa atau milik) dan arah pengembangan (tapak atau susun). Tipe RGJ merupakan alternatif keduanya yakni kepemilikan bersama dengan pengembangan gabungan antara tapak secara horizontal dan susun secara vertikal. Hasil ini berpeluang memberi kontribusi pada percakapan akademik dan praktik di kemudian hari untuk mengembangkan tipe rumah yang mampu memenuhi kebutuhan dan preferensi merumah generasi Y dan Z.

kata pengantar

Selain itu, penelusuran ini merupakan sebuah eksperimen memperoleh pengetahuan dan pemahaman bersama mengenai masalah dan preferensi merumah generasi Y dan Z untuk mengidentikasi dan mengebangan rancangan skematik tipe RGJ yang belum terakui dalam khazanah perumahan di Indonesia. Rangkaian proses mencakup pembuatan bibliografi beranotasi yang didiskusikan secara kritis, pengumpulan dan olah data primer dengan metode yang tepat untuk mengembangkan rancangan skematik RGJ dengan skenario pertumbuhan sesuai kebutuhan dan daur hidup anggota keluarga. Eksperimen ini berusaha untuk memperkaya perspektif rancangan rumah yang tepat, bukan hanya dari diri perancang saja, tetapi juga calon penghuni melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Walau demikian, hasil penelusuran ini masih memiliki keterbatasan sehingga membutuhkan kritik konstruktif dan membuka peluang beragam bagi kajian serupa yang bermanfaat untuk memperkaya tipe rumah di perkotaan Indonesia. Rancangan skematik menggunakan luasan tapak relatif luas yang sulit untuk diperoleh di wilayah perkotaan. Mengembangkan rancangan skematik RGJ dengan skenario pertumbuhannya di atas tanah dengan luas tanah terbatas perlu dilakukan karena dapat menjadi model rumah yang realistis di wilayah perkotaan, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Olah rancangan skematik RGJ dengan skenario pertumbuhannya sebagai unit rumah susun tentunya patut menjadi salah satu alternatif, mengingat rumah susun telah menjadi tipe rumah yang mampu menyediakan hunian banyak di luas tanah terbatas. Selain itu, cara memperoleh pengetahuan dan pemahaman bersama di kemudian hari dapat disempurnakan dengan cara yang lebih beragam untuk memperkaya kemungkinan munculnya beragam alternatif tipe rumah dan rancangannya yang sesuai kebutuhan dan preferensi merumah calon penghuninya.
xiii
BAGIAN 1

01Kota Millennial:
dari Millennial dan (Bukan Hanya)
untuk Millennial
Oleh : Annissa Ul Jannah
Membaca buku yang berjudul The Millennial City: Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy rasanya seperti melihat pantulan diri dari sebuah cermin besar. Meskipun subjek pembahasannya adalah para milenial Kanada dan Amerika Utara, rasa-rasanya apa yang disampaikan dalam buku ini begitu serupa dengan apa yang dialami di sini, negeri yang berjarak hampir 15 ribu kilometer (Indonesia Jarak,2022) dari tempat riset dalam buku ini dilaksanakan.
Buku ini membahas mengenai milenial dengan karakter spesialnya: generasi paling berpendidikan (Vinodrai et al., 2018, p. 287), melek teknologi informasi (Filion & Grant, 2018, p. 16), dan dinilai memiliki kepekaan akan keadilan sosial yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya yaitu generasi boomers dan X (Mallach, 2018, p. 281), lalu berusaha merumuskan konsep transformasi perkotaan baru yang relevan untuk generasi ini.
Milenial mungkin tidak memiliki nasib seberuntung generasi pendahulunya, tetapi di antara mereka ada yang mendapatkan dukungan/bantuan finansial orang tuanya. Bantuan finansial ini menyebabkan beberapa milenial memiliki akses pendidikan yang lebih baik – berlanjut pada pekerjaan yang layak dengan gaji yang tinggi. Mereka juga biasanya diberikan bantuan oleh orang tuanya untuk membeli rumah, dengan harapan mereka memperoleh hunian yang layak sesuai preferensi mereka meskipun tak jarang hal ini malah menyebabkan mereka lebih banyak berhutang untuk mendapatkan hunian yang tentunya lebih mahal lagi.
Lalu bagaimana dengan nasib para milenial yang menerima sedikit bahkan tidak sama sekali bantuan finansial dari orang tuanya? Tentunya mereka harus bekerja lebih keras lagi dan mencari akal untuk memenuhi kebutuhannya. Beruntung, generasi ini adalah generasi di mana teknologi informasi telah merambah ke seluruh bagian kehidupan bahkan berhasil mengubah tatanan perekonomian dan pasar kerja.
Muncul jenis pekerjaan kreatif dan pekerjaan lainnya yang tidak terikat secara permanen seperti pekerjaan basis proyek, pekerja kontrak dan pekerja lepas, inilah gig-economy.
Tidak kita pungkiri bahwa milenial telah membawa warna baru dengan merebaknya gig-economy melalui kekuatan teknologi atau platform sharing economy yang menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi para milenial menikmati fleksibilitas dalam bekerja, tetapi di sisi lain harus berhadapan dengan resiko finansial yang besar. Dalam sistem ekonomi ini, mereka tidak memiliki keamanan keuangan (financial security) yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk rencana hidup jangka panjang seperti memiliki rumah dan berkeluarga (Vinodrai, 2018, p. 30).
Memilih hunian bagi milenial, entah itu menyewa apartemen atau membeli rumah, adalah momok penyelarasan antara preferensi dengan pilihan yang ada. Preferensi hunian milenial yang identik dengan mudahnya akses transportasi dan lingkungan urban yang ramah akan pejalan kaki untuk mendukung mobilitas tingginya menjadi sulit untuk direalisasikan dengan kenyataan kondisi keuangan mereka pada umumnya dalam generasi milenial sendiri pun ada kesenjangan ekonomi berupa pendapatan (income) yang sangat antara mereka yang berpendidikan tinggi dengan yang berpendidikan rendah.
Hunian tipe ini pastilah ada di tengah kota dengan harga yang tidak murah. Padahal, ketika kita berbicara mengenai kota, semestinya kedua hal ini menjadi hal yang sangat wajar untuk dirasakan oleh semua orang. Lagi-lagi, hanya sebagian milenial yang beruntung saja yang mampu mendapatkannya.
Saat ini untuk menciptakan transformasi perkotaan perlu berbagai strategi pendekatan baik dari segi perumahan/hunian (housing), transportasi dan ruang hijau. Tugas besar kita adalah membangun cukup
hunian untuk mengakomodasi kebutuhan dasar generasi ini pada khususnya, dan juga semua generasi yang ada di dalamnya, tentunya hunian yang dapat mereka jangkau. Selain itu, tugas lainnya adalah menciptakan sistem transportasi yang multi-modality bagi setiap insan kota dan mengusahakan kota yang ramah pejalan kaki (walkable). Ruang hijau pada area perkotaan pun bukan lagi hanya sekedar menempatkan tanaman tertentu pada sebuah lahan atau membuat taman-taman. Namun, ruang hijau yang diharapkan adalah ruang hijau yang dapat menyeimbangkan, menghubungkan tiap elemen kota - lingkung bangun dan alami, juga manusia - mempertemukan mereka dari kelompok sosial demografi satu dengan yang lainnya, bahkan menggairahkan perputaran ekonomi di dalamnya.
Membangun kota untuk milenial, sejatinya berarti membangun kota demi generasi yang akan datang. Dengan segala karakter unik, baik kelebihan dan kekurangannya, sesungguhnya inilah wajah masa depan kita yang harus kita hadapi. Sudah saatnya para perancang kota maupun para pembuat kebijakan publik menjadikan generasi millennial menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam usaha mentransformasi perkotaan yang ada di negeri ini ke arah yang lebih baik.
“Sudah saatnya para perancang kota maupun para pembuat kebijakan publik menjadikan generasi millennial menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam usaha mentransformasi perkotaan yang ada di negeri ini ke arah yang lebih baik”
diagram sintesis
The Millennial City Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy

Filion, P., & Grant, J. L. (2018). The Impact of Generational Change on Cities. In M. Moos, D. Pfeiffer, & T. Vinodrai (Penyunt.), Millennial City: Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy (p. 16). Routledge.
Indonesia Jarak. (2022). Jarak Antara Amerika Serikat dan Indonesia. Diambil kembali dari Indonesia Jarak: http:// indonesia.distanceworld.com/cc/US-ID
Mallach, A. (2018). What Does the March of the Millennials Mean for the Future American City? Dalam M. Moos, D. Pfeiffer, & T. Vinodrai (Penyunt.), The Millennial City: Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy (p. 281). Routledge. Moos, M. (2018). Generationing Housing: The role of intergenerational wealth transfer in young adults’ housing outcomes. In M. Moos, D. Pfeiffer, & T. Vinodrai (Penyunt.), The Millennials City: Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning Theory (pp. 109-124). Routledge. Vinodrai, T. (2018). Millennials and the Innovation Economy of Cities. In M. Moos, D. Pfeiffer, & T. Vinodrai, The Millennial City: Trends, Implication, and Prospects for Urban Planning and Policy (p. 30). Routledge. Vinodrai, T., Moos, M., & Pfeiffer, D. (2018). (Millennial) Cities of Tomorrow. In T. Vinodrai, M. Moos, & D. Pfeiffer (Penyunt.), The Millennial City: Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy (p. 287). Routledge.

02 Housing Transformation
Oleh : Agrie Yasfindo
Perumahan setiap masyarakat di dunia memiliki kekhasan sejarah, baik itu terletak di gurun Afrika Utara, di hutan hujan tropis Amerika Selatan, di stepa Asia, atau di kota-kota abad pertengahan Eropa. Kekhasan ini merupakan fungsi dari keragaman konteks budaya, dan inilah yang membantu menentukan bagaimana suatu masyarakat tertentu membentuk, memproduksi, dan menggunakan bentukbentuk yang dibangun di mana masyarakatnya tinggal.
Pendekatan lintas budaya ini mengeksplorasi interaksi antara manusia dan lingkungannya, dalam hal mengidentifikasi karakteristik budaya yang mempengaruhi pembentukan lingkungan, dan cara lingkungan mempengaruhi orang/ masyarakat. Tak hanya budaya, dalam perkembangan atau pembentukan lingkungan ini juga dipengaruhi oleh ideologi, dimana ideologi masyarakat pada saat itu yang masih bersifat individual, dan perkembangan ini juga dipengaruhi oleh lifestyle dimana pada saat itu masyarakat Inggris lebih suka tinggal di daerah pinggir kota/perkampungan, karena untuk menghindari polusi cukup parah dari kota yang saat itu sangat berkembang pesat dalam hal industri (revolusi industri).
Hal ini juga menciptakan dualisme pada masyarakat, yaitu individualis dan sosialis. Dimana masyarakat individualis percaya bahwa masyarakat dibentuk oleh individu dan makna yang diberikan oleh tindakan individu tersebut, sedangkan masyarakat sosialis berpendapat bahwa masyarakat didorong oleh struktur yang menyeluruh dari luar (bantuan dari luar) dan juga interaksi dari individu di dalamnya. Untuk mengatasi dualisme individu dan masyarakat, Giddens (1993) mengkonseptualisasikannya kembali sebagai dualitas agensi dan struktur, yang berarti dualitas struktur adalah struktur sosial yang dibentuk oleh agensi manusia dan tetap berada di puncak seperti struktur pemerintahan, Giddens membuat perbedaan
antara struktur, sebagai aturan dan sumber daya sistem sosial, dan sistem (masyarakat itu sendiri), yang terdiri dari hubungan yang direproduksi antara aktor yang terletak dalam ruang dan waktu. Dan struktur adalah media dan hasil dari tindakan manusia. Pada dasarnya, struktur sosial tidak memiliki keberadaan yang independen, tetapi direproduksi atau ditransformasikan oleh aktor-aktor yang memiliki aturan dan sumber daya sebagai penghambat atau pemampu (Franklin, 2006).
“By the duality of structure I mean that social structure is both constituted by human agency and yet is at the same time the very medium of this constitution” (Franklin, 2006, p. 15).
Setelah masalah dualisme pada masyarakat ini selesai, munculah institusi dan organisasi yang bergerak di bidang konstruksi dan perumahan, yang akan menghasilkan dua tipe housing yaitu public sector housing (rumah bersubsidi) dan private sector housing (rumah untuk semua orang yang mampu) yang lebih mementingkan keuntungan. Tak hanya itu, pemerintah juga melestarikan bangunan monumental, bangunan bersejarah dengan menerapkan adaptif reuse yaitu merekonstruksi bangunan tersebut dengan menerapkanya untuk fungsi yang baru, dan masih banyak lagi transformasi jenis atau tipe rumah, perumahan yang ditargetkan berdasarkan orang atau generasinya, seperti the ecovillage, urban village, cohousing, smart home, the loft, dan masih banyak lagi. Pengelompokan tersebut berdasarkan tingkat ekonomi dan tingkat kebutuhan penggunanya, lalu bagaimana dengan generasi milenial yang memiliki tingkat ekonomi rendah dengan biaya hidup yang tinggi, atau para gelandangan yang tidak memiliki penghasilan atau rumah, tetapi mereka juga termasuk masyarakat dan masih tinggal di kota.
Jadi bagaimana perkembangan perumahan yang akan ada di masa depan? Apakah lebih banyak perumahan yang elit ataukah rumah-rumah yang bersubsidi untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, atau akan banyak gelandangan yang tidak memiliki rumah?
Kita tidak tahu bagaimana yang akan terjadi di masa depan, tetapi kita bisa mengantisipasinya dengan kerjasama antara masyarakat atau generasi saat ini, pemerintah, dan pengembang, untuk lebih memperhatikan dan mengendalikan perkembangan kotanya (perumahan), dan bagaimana agar kota tersebut lebih baik kedepannya.
“Perkembangan jenis ruang hidup atau perumahan mungkin timbul dari perubahan dan prioritas dari kelembagaan, seperti bentuk pemerintahan baru, pembalikan komitmen terhadap pertumbuhan ekonomi, kontrol pemerintah atas pembangunan dan desain, dan regulasi yang lebih besar atas setiap orang. Lalu bagaimana perkembangan perumahan yang akan ada di masa depan? Kita tidak tahu bagaimana yang akan terjadi di masa depan, tetapi kita bisa mengantisipasinya dengan kerjasama antara masyarakat atau generasi saat ini, pemerintah, dan pengembang, untuk lebih memperhatikan dan mengendalikan perkembangan kotanya (perumahan)”
Franklin, B. (2006). Housing transformations: Shaping the space of twenty-first century living. Routledge.
DIAGRAM SINTESIS
Housing transformations: Shaping the space of twenty-first century living

03
Missing Middle Housing
Oleh : Pratami Fadillah
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2020
dari berita resmi statistik No. 07/01/Th. XXIV, 21 Januari 2021, salah satunya tercatat bahwa mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Z yang lahir pada tahun 1997 – 2012 dan generasi milenial yang lahir pada tahun 1981 –1996. Proporsi generasi Z sebanyak 27,94% dari total populasi dan generasi milenial sebanyak 25,87%. Kedua generasi ini berada dalam usia produktif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa (BPS, 2021).
Setelah esai pertama membahas tentang style berumah generasi milenial, kemudian esai kedua tentang transformasi merumah di abad 21 yang bisa disebut masanya milenial, maka di esai ketiga ini penulis akan membahas tentang middle housing sesuai yang disampaikan pada referensi ketiga yang diberikan. Sulit juga menemukan sebutan yang sesuai dengan keadaan di Indonesia.

Generasi milenial dan Z memiliki housing preferences yang berada di pusat kota yang mudah dijangkau dengan berjalan kaki dan terdapat public transit (Moos, 2018, p. 20).
Pilihan-pilihan akan rumah tersebut berlanjut menjadi perkiraan housing demand dan kebijakan perencanaan untuk memunculkan housing supply (Moos, 2018, p. 184). Akan tetapi semua itu dilihat kembali dari keterjangkauan yang dimiliki dari generasi tersebut untuk membeli rumah (Moos, 2018, p. 9).
Menurut Franklin (2006) keterjangkauan ini adalah masalah yang serius bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan rata-rata. Berapa jenis rumah yang bertransformasi dalam buku karya Bridget Franklin (2006) yang berjudul Housing Transformation, Shaping the space of twenty-first century living, yaitu:
These are on different scales, are often targeted at different kinds of people, and include a fairly extensive and diverse list: the urban village; the millennium community; the sustainable urban

neighbourhood; the televillage; the ecovillage; the retirement community; the gated community; the home zone; the loft; the live/work unit; the lifetime home; the smart home; assisted living; extra care housing; very sheltered housing; the foyer; supported accommodation; starter homes; affordable homes; key worker housing; the ‘space box’; cohousing; eco homes; earth sheltered housing; the autonomous house; and the low impact development (and this list is not exhaustive)… (Franklin, 2006, p. 4).
Perumahan bersubsidi merupakan solusi untuk krisis keterjangkauan pembelian perumahan (Parolek, 2020). Akan tetapi dibutuhkan subsidi besar-besaran dari pemerintah, sehingga ini merupakan sesuatu yang tidak realistis saat housing demand akan perumahan subsidi meningkat (Parolek, 2020). Sehingga didapatkan solusi baru yaitu middle house untuk masyarakat middle-income. Middle housing dibuat terjangkau dengan desain. Sebagai pendukung untuk rumah generasi milenial
maka lokasi harus walkable sehingga mudah menjangkau public space. Untuk mengurangi biaya, luasan rumah haruslah kecil dan tidak menggunakan lahan yang tidak perlu seperti garasi, di sini diharapkan penghuni dapat menggunakan public transportation. Hal ini disebutkan oleh Daniel Parolek (2020) dalam bukunya yang berjudul Missing Middle Housing: Thinking Big and Building Small to Respond to Today’s Housing Crisis sebagai berikut:
… 3. Eliminating or reducing the cost of building garages. (For example, a small two-car garage is 625 sq. ft. At $75 per sq. ft., the cost for building this garage is almost $47,000.This additional cost can easily be the difference between a household being able to afford to buy or rent a unit or not); and 4. Providing an option for households to live without a car, and thus eliminating the cost of car ownership. … (Parolek, 2020).
Middle housing ini ditinggali oleh single family dari generasi milenial yang baru menikah atau baru memiliki satu anak, maksimal jumlah unit adalah sembilan belas unit yang berada di maksimal 4 lantai. Harga yang ditawarkan middle housing ini beragam yang berada di lokasi area transisi. Seperti sebutannya, middle housing berada di antara subsidized housing dengan market-rate mid-to-high-rise housing
Parolek (2020) sudah sangat detail dalam membuat perencanaan pemrograman, yaitu diawali dengan tahap pendekatan perencanaan zonasi dan terkait kebijakan pemerintah, kemudian tahap perkenalan ke masyarakat lewat percakapan tentang identifikasi kebutuhan masyarakat akan rumah, dan tahap terakhir peluncuran middle housing itu sendiri.
Semua pasti jalannya tidak semulus yang diinginkan. Disebutkan oleh penulis beberapa halangan yang akan muncul dari middle housing ini. Salah satunya yang menarik dan kemarin menjadi diskusi di kelompok peminatan kami adalah oposisi dari komunitas atau lingkungan. Masalah oposisi terdiri dari selain masalah sosial dan ada juga masalah ekonomi. Masalah sosial berasal dari internal middle housing adalah privasi antar penghuni, sedangkan masalah eksternalnya adalah tetangga dari market-rate mid-to-high-rise housing yang merasa terganggu akan jumlah kepadatan penghuni middle-housing dan kebisingan yang ditimbulkan ditambah dengan kesenjangan sosial. Dari segi ekonomi adalah keadaan dari penghuni middle housing yang dapat menaikkan harga properti dan tanah - yang menjadi nilai tambah sisi positif, akan tetapi juga bisa dapat menurunkan harganya properti apabila kondisi atau keadaan dalam middle housing ini kurang baik - yang menjadi nilai sisi negatif.
Kehadiran middle housing di pusat kota apakah Indonesia sudah siap?
Kerjasama yang baik antara user, developer, dan pemerintah dalam mewujudkan middle housing sangat diperlukan.
Moos, M., Pfeiffer, D., & Vinodrai, T. (2018). The Millennial City Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy. Routledge.
Franklin, B. (2006). Housing Transformation: Shaping the space of twenty-first century living. Routledge.
Parolek, D. (2020). Missing Middle Housing: Thinking Big and Building Small to Respond to Today’s Housing Crisis. Island Press.
Jayani, D.H. (2021, May 24). Proporsi Populasi Generasi Z dan Milenial Terbesar di Indonesia. Katadata Media Network. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/24/proporsi-populasigenerasi-z-dan-milenial-terbesar-di-indonesia
DIAGRAM SINTESIS

Missing Middle Housing Thinking Big and Building Small to Respond to Today’s Housing Crisis

04 Commons
Kesamaan (commons) timbul dari adanya keprihatinan terhadap masalah-masalah terkait sumber daya yang terbatas, pertumbuhan populasi dan bentuk-bentuk kemiskinan material yang ditimbulkan (Kirwan et al., 2016, p. 1). Kesamaan dapat diartikulasikan dalam bentuk ruang, resources, ingatan atau berbentuk sharing dan kehidupan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (Kirwan et al., 2016, p. 2). Oleh karena itu, kesamaan dijadikan sebagai spatio-temporal dan bentuk cara hidup seseorang untuk membangun hidup bersama tanpa privasi dan individualis. Eco-community adalah sebuah cara penyelesaian masalah dalam membangun environment commons dengan menciptakan kehidupan yang kolaboratif, kolektif, dan komunal (Kirwan et al., 2016, p. 50). Melalui adanya eco-community diharapkan dapat membangun kesamaan tidak hanya dalam suatu interaksi dan tindakan bersama saja tetapi juga dapat mewujudkan hunian layak untuk milik bersama. Namun, apakah melalui ecocommunity dapat memenuhi hunian yang layak bagi masyarakat?
Eco-community sangat berkaitan dengan membangun dan menjalani kehidupan bersama baik berbagi sumber daya, objek, ruang, keterampilan, dan kepedulian hingga sikap saling mendukung, berinteraksi, dan bertindak antar sesama (Kirwan et al., 2016, p. 32). Membangun kebersamaan di eco-community dapat dilihat secara fisik berupa ruang yang diciptakan untuk bertinggal dan berkumpul maupun berkegiatan sosial yang mereka lakukan (Kirwan et al., 2016, p. 31) demi terbentuknya pengalaman kehidupan bersama. Dalam menciptakan ruang-ruang eco-community, diperlukan perencanaan matang terkait bentuk dan fungsi ruang di lingkungan tersebut. Mereka menganggap bahwa proses dalam membangun harus berprinsip pada ekologi dan beretika untuk menghasilkan bangunan yang beridentitas eco-community (Kirwan et al., 2016, p. 36).
Liftin (2014) dalam buku Kirwan, Dawney, & Brigstock (2016) menyatakan bahwa lingkaran menjadi salah satu bentuk yang baik untuk eco-community dalam membentuk ruang komunal, ini mendorong interaksi dan komunikasi antar masyarakat di komunitas tersebut. Sedangkan untuk teknik dalam membangun, teknik pendekatan secara eksplisit Kirwan et al. (2016) menjadi pilihan bagi mereka. Menurut Syefang (2009) dalam buku Kirwan et al., (2016) melalui pendekatan ini, pembangunan akan lebih terjangkau dengan menggunakan bahan-bahan alami dan biaya yang dikeluarkan lebih murah karena proses konstruksi pembangunan melibatkan banyak orang di lingkungan eco-community. Sehingga masyarakat diberi kemudahan dalam memperoleh huniannya dan menghasilkan pemahaman serta landasan kebersamaan yang baru antar sesama (Kirwan et al., 2016, p. 37).
Dalam buku Kirwan et al., (2016) menegaskan bahwa selama proses pembangunan, masyarakat eco-community cukup berani dalam mengambil sebuah resiko. Mereka tidak mengikuti standar aturan yang berlaku dari negaranya. Meskipun tanah yang dimiliki bersama, bukan berarti menjadi kebebasan bagi mereka untuk tidak mengikuti aturan yang berlaku (Kirwan et al., 2016, p. 45). Namun akibat dari masalah yang belum ada solusinya dan anggaran yang terbatas, mereka berani untuk mengambil resiko dan membuat aturan berdasarkan prinsip pemahaman mereka yang dianggap tidak memberikan dampak terhadap alam. Oleh karena itu, mereka secara kolektif bertanggung jawab untuk memenuhi target perencanaan dan menciptakan ruang yang inovatif dan inventif melalui pembangunan tersebut (Kirwan et al., 2016, pp. 45-46). Kita dapat melihat pembangunan di eco-community menghasilkan rumah yang berukuran kecil berupa kamar tidur saja (Jarvis, 2011, as citied in Kirwan et al., 2016, p. 40).
Ukuran rumah tersebut, dipengaruhi oleh resource dan energi yang digunakan dalam konstruksi (Salomon, 2006, as citied in Kirwan et al., 2016, p. 40), sehingga dianggap lebih ekologis dan tidak berdampak besar terhadap lingkungan. Sedangkan ruang penunjang bagi masyarakat disediakan berupa ruang bersama yang terdiri dari ruang komunal, toilet, kebun, dan lainnya.
Namun dibalik itu semua, terbentuknya sebuah eco-community memicu timbulnya permasalahan. Pertama, eco-community dapat menciptakan komunitas yang beragam dan saling terpisah dengan komunitas lain, sehingga menimbulkan keterbatasan (Kirwan et al., 2016, p. 47). Eraranta et al. (2009) dalam Kirwan et al. (2016) menyatakan keterbatasan dalam eco-community banyak terbentuk dari lingkungan keluarga karena memungkinkan sikap interpersonal antar kelompok komunitas, yang menyebabkan keterasingan. Keterasingan menciptakan perbedaan antara komunitas secara permanen dan menjadikan masyarakat saling berjauhan. Kedua, dalam membangun eco-living di komunitas ini, maka dibutuhkan negosiasi, kompromi dan perhatian yang cermat dalam setiap penyelesaian masalah (Kirwan et al., 2016, p. 49). Contohnya tentang ruang privasi yang dirasa kurang memadai bagi masyarakat eco-community. Mereka dalam memperoleh keputusan bersama membutuhkan proses negosiasi dengan waktu yang cukup lama, sehingga menyebabkan proses pembangunan di eco-community terhambat.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa eco-community adalah salah satu pilihan commons dalam memperoleh hunian layak, namun belum tentu menjadi pilihan yang tepat. Hal ini disebabkan karena ecocommunity kurang memberikan kenyamanan secara personal bagi pelaku di dalamnya. Salah satunya berkaitan dengan ruang privasi yang hanya menyediakan sebuah kamar tidur saja.
Sebagian besar eco-community banyak menyediakan ruang bersama dibandingkan ruang yang memberikan ketenangan bagi masyarakat (Kirwan et al., 2016, p. 50). Penulis setuju dengan pernyataan Litfin (2014) dalam buku Kirwan et al. (2016) bahwa kita masih membutuhkan sebuah ruang privasi sebagai ruang keseimbangan antara kesendirian dan interaksi dengan yang lain, sehingga ini menjadi bahan yang harus dipertimbangan dalam sebuah rumah. Selain itu, membangun sebuah rumah yang layak harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh institusi. Eco-community memiliki solusi yang baik dalam upaya menyediakan hunian yang layak, namun mereka kurang memikirkan dampak yang akan terjadi. Prinsip aturan yang mereka buat belum menjadi landasan yang tepat dalam kondisi tertentu. Oleh karena itu, menurut penulis membangun commons dalam memperoleh hunian yang layak dapat dilakukan melalui konsep community housing atau co-housing. Cohousing dapat memberikan ruang privasi sesuai kebutuhan penghuninya secara efisien melalui rumah yang berukuran kecil serta tetap dapat mendorong aktivitas komunal (Meltzer, 1999, as citied in Kirwan et al., 2016, p. 51). Kita dapat mengadopsi strategi spasial dari eco-community untuk menciptakan ruang yang mendorong interaksi dan komunikasi, sedangkan kesamaan dalam memperoleh sebuah hunian yang layak dapat diciptakan melalui co-housing.
“Eco-community adalah salah satu konsep dalam membangun environment commons yang juga dapat mewujudkan hunian layak bagi masyarakat dengan cara menciptakan kehidupan yang kolaboratif, kolektif, dan komunal di sebuah komunitas”
Diagram Sintesis
Space, Power and the Commons : The Struggle for Alternative Futures

Kirwan, S., Dawney, L., & Brigstock, J. (2016). Space, Power and the Commons : The Struggle for Alternative Futures. Abingdon, Oxon: Routledge.
The CohousingHandbook

The Cohousing Handbook: Buillding A Place for Community merupakan panduan memiliki rumah melalui komunitas yang disusun oleh Chris Scotthanson dan Kelly Scotthanson, diterbitkan oleh New Society Publisher di Kanada pada tahun 2004. Pustaka ini menjelaskan definisi dan filosofi cohousing dimana inti dari keberhasilan sebuah proyek penyediaan rumah dalam bentuk cohousing terletak di tangan para anggota komunitasnya. Selain itu, Scotthanson (2004) juga menjelaskan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh komunitas atau inisiator gerakan cohousing untuk mewujudkan cohousing, mulai tahap awal pembentukan kelompok komunitas, proses pengembangan yang melibatkan para profesional sebagai advisor dan fasilitator, desain proses mulai dari mencari lahan yang disepakati bersama hingga menyusun desain prototype serta perhitungan pendanaan, proses pengajuan perijinan, proses pembangunan, hingga akhirnya selesai terbangun dan siap dihuni secara bersama sebagai sebuah komunitas.
Munculnya gerakan cohousing diawali oleh negara Denmark di tahun 1960-an, dimana adanya kebutuhan dari para keluarga muda dengan kondisi suami-istri bekerja, sedangkan mereka membutuhkan tempat pengasuhan anak yang lebih baik dan dekat dengan lingkungan tempat tinggal. Selain itu, adanya kebutuhan untuk mencari cara mempersiapkan makan malam di saat waktu mereka tidak tersedia karena adanya tuntutan pekerjaan (Scotthanson & Scotthanson, 2004, p. 2), sehingga merasa perlu mendapatkan bantuan dari orang lain yang dapat dipercaya di lingkungan mereka. Dari sini kemudian mulai berkembang perumahan berbasis komunitas atau community housing yang sering disebut sebagai cohousing. Cohousing adalah sebuah cara untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas di atas sebuah lahan yang dimiliki secara bersama (Scotthanson & Scotthanson, 2004).
Dikaitkan dengan isu kesenjangan dalam kemampuan daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal, yang menjadi keresahan bersama sebagian besar masyarakat di dunia, bahkan di negara-negara maju seperti Denmark, Kanada, dan Amerika Serikat, tentunya perlu ada alternatif cara ‘merumah’ yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Kenaikan harga properti, baik yang masih berupa tanah maupun dalam bentuk bangunan, merupakan suatu hal yang pasti terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Dalam ‘merumah’ dengan status milik ataupun sewa, hilangnya nilai kebersamaan yang dirasakan oleh para penghuni dan adanya kebutuhan akan bersosialisasi yang lebih intim antar-individu, membuat masyarakat kemudian melirik alternatif ‘merumah’ dalam sebuah komunitas.
Komunitas dapat tercipta melalui sistem penyediaan perumahan yang sudah ada sekarang, dalam sebuah klaster perumahan atau lingkungan tinggal apartemen. Namun individualitas para penghuni dalam klaster atau unit-unit apartemen serta jadwal kesibukan yang beragam, membuat pembentukan komunitas ini menjadi suatu hal yang sifatnya pasif dan kondisional. Interaksi dan ketergantungan jarang dapat terbentuk apabila tidak terjalin komunikasi antar-individu. Hal ini yang membedakan antara sistem cohousing dengan perkumpulan para penghuni dalam sebuah klaster perumahan atau lingkungan tinggal apartemen biasa.
“Cohousing
merupakan konsep kepemilikan rumah bersama berbasis komunitas, yang dapat menjadi salah satu alternatif solusi terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tinggal layak huni bagi masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia.”
Cohousing hadir menjawab isu kesenjangan dalam kemampuan daya beli rumah dan lahan, serta menjawab keinginan atau mimpi untuk hidup dalam sebuah sistem komunitas yang interaktif, ‘guyub’ dan saling gotong royong dalam menjalani kehidupan, tanpa kehilangan hak atau kepemilikan aset pribadi. Prinsip dari cohousing adalah menyeimbangkan kepemilikan rumah sebagai milik privat yang menjadi aset individu, dan kepemilikan bangunan bersama serta lahan bersama yang dimanfaatkan untuk menyediakan ruang interaksi para anggota dalam komunitas tersebut. Cohousing sendiri biasanya diminati oleh para keluarga muda, orang tua tunggal, pasangan pensiunan, ataupun para lajang yang memiliki keinginan untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan terhubung dengan individu lainnya. Meskipun mengusung konsep yang baik bagi pengembangan komunitas, tantangan utama dari sistem cohousing adalah kerumitan pembentukan kelompok komunitas di tahap awal. Para calon anggota komunitas perlu memiliki kesepahaman dan kesepakatan sebelum memutuskan untuk bersama-sama membangun perumahan secara cohousing Kesepakatan terhadap tipologi, desain dan kebutuhan ruang perlu diperjelas di awal untuk menghindari konflik saat proses konstruksi dilaksanakan. Tipologi desain cohousing sendiri pada umumnya terdiri dari beberapa unit rumah privat, dikatakan dalam buku ini sekitar 12 hingga 36 unit rumah (Scotthanson & Scotthanson, 2004), dan rumah bersama yang berisikan fasilitas atau fungsi ruang yang dapat digunakan bersama, seperti dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang olah raga, dan lain sebagainya, dengan mengedepankan prinsip desain yang ramah pejalan kaki untuk menciptakan interaksi yang maksimal antar penghuni. Ruang dan fasilitas bersama ini dibiayai secara komunitas dan dimiliki oleh seluruh anggota komunitas, termasuk juga lahan tempat perumahan ini dibangun.
Sementara itu, dalam mengadaptasi konsep cohousing ini di Indonesia, untuk saat ini masih terdapat kekhawatiran akan adanya penolakan dari sistem birokrasi dan perizinan. Konsep kepemilikan bersama ini belum diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan untuk tipe struktur rumah tapak. Meskipun demikian, fenomena yang ada di masyarakat, rumah yang ditinggali oleh lebih dari satu keluarga, atau multi-generasi sebenarnya dapat dikatakan merupakan bagian dari cohousing, dan sangat sering ditemui di Indonesia. Fenomena semacam ini biasanya ditemukan pada tatanan sosial yang lebih organik berbentuk kampung, meskipun juga dapat ditemui di rumah-rumah yang lebih besar atau mewah di kompleks atau lahan pribadi. Jika sebuah rumah multi-generasi memenuhi standar kecukupan luas minimal untuk menampung sejumlah anggota keluarga di dalamnya, sehingga tercipta kondisi yang secara fisik nyaman di dalam rumah tersebut dan dapat dikatakan layak huni, maka tidak ada salahnya alternatif rumah ini dijadikan tipologi baru yang dapat menjawab isu kesulitan berumah tinggal tadi. Namun, untuk menjadikannya milik bersama, sebaiknya perlu dilakukan kajian lebih lanjut terutama pada sisi regulasi yang mungkin dapat diadaptasi dari kebijakan dari negara lain terkait proses pengaturannya, dan diusulkan bentuk penyesuaiannya menjadi sebuah kebijakan nasional atau regional.
Kirwan, S., Dawney, L., & Brigstocke, J. (2016). Space, Power and the Commons: The struggle for alternative futures. Routledge. Scoothanson, C., & Scotthanson, K. (2004). The Cohousing Handbook: Building A Place For Community. New Society Publishers.
Diagram Sintesis

Place For Community
The Cohousing Handbook: Building A
Scoothanson, C., & Scotthanson, K. (2004).
06 LIVING CLOSER Tinggal lebih dekat berbagi dalam rumah masa depan

Pustaka yang berjudul Living Closer: a new way of sharing in the house of tomorrow, merupakan master tesis yang disusun oleh Deniz Atakan, pada tahun 2019 di Eindhoven University of Technology. Melalui pustaka ini, penulis dikenalkan dengan pendekatan desain melalui riset dengan metode studi literatur dan studi kasus.

Dalam pustaka sebelumnya, konsep dari cohousing telah diperkenalkan sebagai sebuah cara hidup bersama dalam lingkungan tempat tinggal yang lahannya dimiliki bersama, dan diprakarsai oleh sekelompok grup atau komunitas, dengan setiap tahapan prosesnya mulai dari pencarian lahan, perencanaan, hingga pembangunan dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama dalam kelompok tersebut (Scotthanson & Scotthanson, 2004). Kunci dari keberhasilan cohousing menurut pasangan Scotthanson adalah kekompakan anggota dalam komunitasnya, untuk itu perlu dijaga komunikasi dan rasa kepedulian dalam kelompok tersebut sehingga tercipta keberlangsungan dari cohousing itu sendiri.
Adapun pada pustaka kali ini, dengan concern serupa terhadap permasalahan yang seringkali dihadapi oleh komunitas dalam cohousing, di antaranya berubahnya nilai-nilai kebersamaan, pertumbuhan keluarga, perubahan gaya hidup dan kebutuhan, pergantian anggota, perbedaan pendapat, dan yang terpenting berkurangnya interaksi sosial antar-penghuni dalam komunitas tersebut, dapat berakibat pada keberlangsungan dari cohousing (Atakan, 2019). Atakan juga memberikan deskripsi yang membedakan cohousing dengan co-living atau tinggal bersama, dimana bahwa co-living adalah definisi umum untuk menggambarkan kehidupan bersama dua orang atau lebih yang tidak memiliki hubungan apapun, dengan berbagi akomodasi tempat tinggal yang biasanya disediakan oleh agen atau pihak ketiga, jika penulis dapat memberikan contoh mungkin sama dengan konsep tinggal bersama dalam kos-kosan atau gimmick cohousing yang diklaim oleh agen sewa unit hunian kamar dalam sebuah rumah tinggal.
Semangat dari cohousing adalah membangun bersama sebuah komunitas, sebelum memutuskan untuk tinggal bersama dalam satu lingkungan hunian. Cohousing merupakan salah satu jawaban dari isu-isu perumahan, di antaranya pertumbuhan penduduk yang tinggi, ruang dan lahan yang semakin berkurang di perkotaan, tingginya kebutuhan perumahan, dan kecenderungan kehidupan anti-sosial yang dijalani oleh masyarakat jaman sekarang yang mengakibatkan kebutuhan interaksi sosial (Atakan, 2019) menjadi semakin penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik seseorang. Meskipun demikian, seringkali pemahaman akan cohousing yang belum familiar di masyarakat umum, kerap dikaitkan dengan hunian yang diperuntukan bagi masyarakat kelas bawah atau miskin.
Di sini penulis melihat Atakan berusaha melakukan improvement untuk menaikkan value dari konsep cohousing yang sudah ada sebelumnya dengan menggabungkan karakteristik desain dari cohousing dan flexible housing. Atakan menyatakan konsep desain cohousing memisahkan antara privat dan common place, dengan gradien atau ruang transisi di antaranya. Karakter desain umumnya ruang bersama diletakkan di area lantai bawah, berada di tengah-tengah, dan dikelilingi area privat. Biasanya ruang bersama memiliki fungsi seperti dapur, ruang makan, ruang laundry, area parkir dan taman, sedangkan ruang transisi biasanya berbentuk area sirkulasi yang dapat digunakan secara kolektif. Cohousing dihuni oleh berbagai jenis rumah tangga dan untuk memaksimalkan interaksi, penataan ruang secara vertikal juga dimanfaatkan untuk memperbesar akses visual antara para penghuni di tiap lantainya melalui peletakan zona sirkulasi di area tengah. Beberapa studi kasus yang disebutkan dalam master tesis ini antara lain, LT Josai Shared House (Nishikawa, Masao, 2014), Capitol Hill Urban Cohousing (schemata workshop, 2013), dan R50 Cohousing (Heide & von Beckerath, ifau und Jesko Fezer, 2013).
Tinggal lebih dekat merupakan sebuah konsep untuk menciptakan lingkungan baru dimana penghuni dapat memaknai kebersamaan, konsep berbagi, berkumpul, dan tumbuh bersama dengan komunitasnya, dalam lingkungan rumah yang memiliki ruang bertumbuh secara fleksibel dan adaptif terhadap segala kemungkinan pertumbuhan dan perubahan para penghuninya di masa depan.
Sementara itu, karakter desain dari flexible housing yang disebutkan oleh Atakan dalam tesisnya, menekankan pada aspek teknologi dari bangunan itu sendiri yang dimanfaatkan untuk mengakomodir perubahan-perubahan sosial dalam bangunan, di antaranya adalah penggunaan modular grid struktur dengan dinding atau sekat yang fleksibel, ruang yang dapat disesuaikan atau adjust sesuai kebutuhan, orientasi sirkular dengan pusat kegiatan bersama di tengah, sistem fasad modular yang memudahkan untuk bongkar pasang, dan struktur permanen (core) memaksimalkan pengembangan ruang secara tiga dimensi. Studi kasus mengenai konsep flexible housing dalam tesis ini adalah Next 21 (Osaka Gas Company, 1994), Wohnanlage Genter Strasse (Otto Steidle and Partners, 1972), dan Überbauung Hellmutstrasse (ADP Architecture and Planning, 1991).
Atakan memadukan kedua karakteristik desain cohousing dan flexible housing untuk menghasilkan sebuah konsep desain yang diharapkan dapat memaksimalkan interaksi dan menciptakan fungsi ruang yang dapat berkembang sesuai kebutuhan penghuninya. Modul 6 x 6 dibuat sebagai framework struktur dasar dari desain bangunan, kemudian area sirkulasi menggunakan lebar 2 meter diletakkan di area tengah menghadap ke arah courtyard (L shape)
Desain area privat dibuat dalam berbagai tipologi unit apartemen yang dapat diubah luasannya, menyesuaikan dengan jumlah anggota keluarga dalam komunitas. Atakan memberikan slack space atau ruangan yang fleksibel pada setiap lantai yang difungsikan sebagai ruang kolektif berbentuk taman (unit garden). Slack space ini dapat digunakan bersama namun menjadi bagian dari area privat penghuni di lantai tersebut. Di saat ada perubahan kebutuhan, slack space dapat dimanfaatkan oleh penghuni di unit privat untuk melakukan ekspansi ruang, dengan persetujuan dari anggota komunitas lainnya dalam satu lantai. Selain menggunakan slack space, penghuni unit privat juga dapat melakukan ekspansi menggunakan kantilever. Atakan menyatakan adanya slack space ini memberikan gradien atau transisi dalam hierarki ruang privat ke ruang bersama. Slack space yang terhubung langsung dengan area sirkulasi juga memungkinkan terbentuknya koneksi visual yang maksimal antara penghuni di tiap lantai. Material kaca/transparan di railing tangga sirkulasi dan bukaan jendela kaca besar atau pintu geser kaca membuat batas antara privat dan publik menjadi lebih samar, menjadi kunci terciptanya interaksi visual, meskipun demikian penghuni dapat mengatur tingkat privasi yang diinginkan dengan penambahan material penutup bukaan seperti blind atau gorden apabila dibutuhkan privasi lebih tertutup. Pendekatan desain ini cukup menarik, karena memungkinkan berbagai karakter penghuni dapat melakukan perubahan dan beradaptasi dengan pola hidup bersama dalam cohousing, tanpa mengurangi esensi dari konsep berbagi dalam komunitas itu dengan tetap meletakan ruang dengan fungsi bersama di lantai dasar.
Atakan, D. (2019). Living closer: a new way of sharing in the house of tomorrow. Master Thesis. Eindhoven University of Technology. Scoothanson, C., & Scotthanson, K. (2004). The Cohousing Handbook: Building A Place For Community. New Society Publishers.
Diagram Sintesis
Living closer: a new way of sharing in the house of tomorrow.

Atakan, Deniz. (2019).
SINTESIS
Generasi milenial dan Z merupakan generasi yang memiliki karakteristik cukup unik. Mereka berada dalam sebuah tatanan masyarakat yang dikendalikan oleh sistem kapitalisme yang kuat dan kemajuan teknologi yang menguasai segala aspek kehidupan manusia. Bekerja secara formal bukan satu-satunya sumber penghasilan bagi mereka. Tren gigeconomy dan sharing economy menjadi pengaruh dalam karakteristik finansial mereka, juga adanya dukungan dari orang tua melalui multigenerational wealth transfer. Namun, tidak semuanya memiliki previlege tersebut. Bagi mereka yang tidak mendapat dukungan finansial dari orang tua, lalu bagaimana generasi ini dapat memiliki akses ke pasar perumahan?
Selain finansial, karakteristik sosial generasi ini dipengaruhi oleh gaya hidup dan juga prinsip hidup. Generasi ini memiliki empati dan jiwa sosial yang besar. Mereka menyukai berada dalam lingkungan komunitas dan berkegiatan bersama. Hubungan generasi ini dengan keluarga, khususnya orang tua juga lebih dekat, dibandingkan generasi sebelumnya. Melihat kedua karakteristik tersebut, secara finansial dan sosial kehidupan, tentunya mereka memiliki preferensi masing-masing dalam memaknai kepemilikan rumah tinggal. Di sinilah akar masalah keterjangkauan rumah bagi generasi ini berasal. Bukan karena kurangnya pasokan jumlah rumah di pasar perumahan, namun ketidaksesuaian pasokan yang hanya menyediakan pilihan rumah tipe tapak dan tipe susun bagi satu keluarga, dengan kebutuhan rumah generasi ini yang dipengaruhi oleh preferensi dan gaya hidup mereka.

Oleh karena itu, sebagai pendukung hasil sintesis pustaka ini dan untuk memahami secara lebih dalam mengenai gaya hidup dan preferensi generasi tersebut, penulis menyusun pendekatan melalui survei terhadap generasi milenilal dan Z secara langsung.

PUSTAKA
Atakan, D. (2019). Living closer: a new way of sharing in the house of tomorrow. Master Thesis. Eindhoven University of Technology. Franklin, B. (2006). Housing Transformation, Shaping the space of twenty-first centur living. Routledge & Francis Group.
Kirwan, S., Dawney, L., & Brigstock, J. (2016). Space, Power and the Commons : The Struggle for Alternative Futures. Routledge. Moos, M., Pfeiffer, D., & Vinodrai, T. (2018). The Millennial City Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy. Routledge.
Parolek, D. (2020). Missing Middle Housing Thinking Big and Building Small to Respond to Today’s Housing Crisis. Island Press. Scotthanson, C., & Scotthanson, K. (2004). The Cohousing Handbook: Building A Place For Community. New Society Publishers.

pustaka
survei
BPS. (2021). Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020. www.bps.go.id; Creswell, John W. (2007). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Sage Publications; Jansen, S. J. T., Coolen, H. C. C. H., Goetgeluk, R. W. (2011). The Measurement and Analysis of Housing Preference and Choice. Dodrecht: Springer; Kaur, S. (2017). Review Article: Sample Size Determination (For Descriptive Studies) in International Journal of Current Research Vol. 9, Issue, 03, pp.48365-48367.
merancangSurveI
PENENTUAN SAMPEL

Jumlah sampel:
Sampel yang dibutuhkan 385 partisipan berdasarkan jumlah populasi milenial di Indonesia sebanyak 69,9 juta jiwa (BPS, 2020)
dihitung dengan rumus N = P(100%-P)/(SE)² dan SE = MRE/1.96 (Kaur, 2017) didukung dengan perhitungan sample size calculator
Penyebaran survei:
kuesioner dengan efek Snowball Sampling (Creswell, 2007) menggunakan aplikasi google form online yang disebarkan kepada jejaring tim peneliti.
PERUMUSAN PERTANYAAN
Socio economic demographic
pertanyaan terkait data demografi responden berupa usia, jenis kelamin, kota domisili, pendidikan, status perkawinan; serta kondisi sosio-ekonomi mereka seperti jenis pekerjaan, jumlah pendapatan per bulan, dan jumlah tanggungan.
Lifestyle - Life Value
pertanyaan terkait Life Value berupa pandangan responden terhadap Hedonism, Self-direction, Universalism, Security; sementara Lifestyle seperti hobi dan kebutuhan ruangnya, intensitas dan durasi bepergian.
Housing preference
Dwelling Features:
• Tipe Hunian
• Ruang yang dibutuhkan
• Jumlah ruang

• Tipe Struktur Bangunan
Environment
Features:
• Lokasi rumah
• Kedekatan lokasi dengan: kantor, sekolah, fasilitas lain
Economic
Features:
• Harga Rumah yang mampu dijangkau
• Status kepemilikan rumah
HASILS U R V E I
Survei dilakukan selama 2 pekan, dengan total perolehan data sebanyak 805 responden. Berdasarkan hasil seleksi dan klasifikasi data, penulis membuat 2 (dua) kategori pengelompokkan untuk perbandingan, yaitu Individu Berstatus Kawin (396 responden) dan Individu Berstatus Lajang (380 responden).

Dari 396 responden berstatus kawin, memiliki rumah menjadi penting karena termasuk dalam kebutuhan primer (24,5%) bagi mereka, selain itu rumah juga sebagai aset dan investasi (19,5%) yang dapat diwariskan. Mereka juga beranggapan rumah memberikan ketenangan batin sebagai home (16,4%) dan menjadi tempat bagi keluarga (15,9%) berkumpul.

Dari 396 responden berstatus kawin, sebagian memiliki preferensi terhadap ruang yang luas dan terbuka (26,0%) dalam melakukan kegiatan hobinya. Selanjutnya diikuti dengan ruang yang tenang (21,2%), dan ruang yang privasi atau tertutup (6,6%). Kebanyakan mereka tidak memiliki kebutuhan ruang khusus untuk mengerjakan hobinya (28,3%).
makna rumah

Dari 380 responden berstatus lajang, memiliki rumah menjadi penting karena termasuk dalam kebutuhan primer (26%) bagi mereka, selain itu rumah juga sebagai aset dan investasi (18%) sekaligus berfungsi untuk memberikan ketenangan batin sebagai home (18%). Memiliki rumah juga menunjukan kemandirian (8%) seseorang bagi para lajang.
l a j a n g

Dari 380 responden berstatus lajang, dalam melakukan hobinya di rumah, mereka membutuhkan ruangan yang tenang (22%), memiliki privasi atau tertutup (15%), namun juga beberapa menyukai ruang yang luas dan terbuka (15%). Sementara itu, sebagian lainnya tidak membutuhkan ruangan khusus untuk melakukan hobinya (19%).

Dari 396 responden berstatus kawin, hanya 13,1% menyatakan sudah memiliki rumah, sisanya menyatakan mengalami kesulitan memiliki rumah, dengan alasan terbanyak disebabkan oleh faktor ekonomi sebanyak 67,2% yang paling dominan, alasan lain seperti sedang merencanakan membeli rumah sebesar 10,9%, dan alasan lokasi yang tidak sesuai preferensi sebesar 8,8%.
mengapa memiliki rumah sulit bagi millennial dan Z? kawin

Dari 396 responden berstatus kawin, hanya 13,1% menyatakan sudah memiliki rumah, sisanya menyatakan mengalami kesulitan memiliki rumah, dengan alasan terbanyak disebabkan oleh faktor ekonomi sebanyak 67,2% yang paling dominan, alasan lain seperti sedang merencanakan membeli rumah sebesar 10,9%, dan alasan lokasi yang tidak sesuai preferensi sebesar 8,8%.
l a j a n g
KESIMPULAN

Penyebab kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tinggal bagi Milenial dan Gen Z, berdasarkan analisis data, secara signifikan mayoritas disebabkan oleh faktor ekonomi, preferensi lokasi, dan alasan lain yang berkaitan dengan gaya hidup dan preferensi mereka.
Berdasarkan analisis kebutuhan ruang, terdapat perbedaan preferensi karakteristik ruang yang disukai oleh individu berstatus kawin dan lajang. Bagi yang sudah kawin, ruang luas dan terbuka atau open space lebih disukai, sedangkan individu lajang menyukai ruangan yang lebih tertutup dan privasi seperti kamar untuk melakukan aktivitas di rumah.
Dalam memaknai pentingnya rumah tinggal, selain sebagai sebuah kebutuhan primer bagi mereka, generasi ini juga berpikir rumah merupakan aset investasi yang bisa diwariskan, dan tempat yang memberikan ketenangan (home), serta sebagai sarana berkumpul dengan keluarganya.
BAGIAN
2
Proses desain
multi generation housing


Community housing atau co-housing merupakan bentuk solusi tempat tinggal dengan penggunaan lahan secara efisien dibersamai dengan isu pengelolaan lingkungan, serta menciptakan komunitas yang sehat dan bersemangat dalam keberlanjutan masa depan perumahan. Hal yang terpenting dalam co-housing adalah membentuk komitmen grup yang akan menghuni rumah tersebut.
Berdasarkan hasil survei kuesioner “Preferensi Rumah Bagi Generasi Muda”, responden bersedia tinggal dalam satu rumah jika bersama dengan anggota keluarga. Konsep rumah tinggal bersama anggota keluarga ini berikutnya akan disebut multi-generation housing. Rumah multigenerasi adalah rumah tangga yang terdiri dari dua atau lebih generasi dewasa yang hidup bersama di bawah satu atap.
Tinggal di rumah multigenerasi tampaknya memberi banyak keuntungan. Hal utama yaitu keuntungan finansial, karena dengan metode patungan dalam membeli atau membangun rumah maka akan lebih terjangkau. Keuntungan lain adalah didapatkannya kebersamaan, keamanan, kenyamanan dan ketenangan Efisiensi lahan juga menjadi kelebihan rumah multigenerasi ini. Privasi dapat terjaga karena tinggal dengan anggota keluarga. Ruang bersama atau ruang komunal menjadi prioritas rumah multigenerasi, untuk tempat berkumpul anggota keluarga.
Open space merupakan salah satu ciri dari rumah multigenerasi, pemanfaatannya dapat digunakan untuk ruang berkumpul bersama anggota keluarga. Rumah multigenerasi ini seiiring bertambahnya jumlah anggota keluarga maka bentuknya pun akan bertransformasi dan tumbuh. Misalnya diawali dengan 2 massa bangunan, kemudian bertambah menjadi 4 massa bangunan dan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan keluarga tersebut.
A DESAIN




Interpretasi Awal
Berdasarkan hasil sintesis pustaka dan kesimpulan hasil survei responden, dari data yang diperoleh menyatakan bahwa generasi millenial mayoritas lebih menyukai adanya ruang privasi dan ruang terbuka. Rumah yang diajukan untuk multigerasi salah satunya millenial diharapakan dapat secara fleksibel menyesuaikan kebutuhan bagi penghuninya, sehingga perubahan yang terjadi lebih leluasa. Penyediaan dan penataan ruang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang terjadi seiring pertumbuhan keluarga. Terdapat skenario perubahan yang ditampikan pada setiap desain dengan kebutuhan ruang dasar yang disediakan yaitu carport, ruang bersama, kamar tidur dan ruang-ruang pendukung sebagai area servis dan transisi.
desain

1
SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda

SKENARIO 2
Rumah bagi pasangan muda dan orang tua

Lantai 2
Desain ini direncanakan dalam bentuk rumah tapak dan dapat dikembangkan menjadi 2 lantai dengan menggunakan modul 3m x 3m. Penataan ruang secara sederhana dengan memanfaatkan lahan secara efisien.

Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
Alih fungsi sebagian taman dan penambahan jumlah kamar tidur di lantai atas
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna
desain 1

1
SKENARIO 3
Rumah bagi suami-istri, anak dan kakek-nenek

2
Penataan ruang disetiap skenario perubahan dibagi menjadi dua area. Area depan direncanakan untuk layout out ruang bersama tanpa sekat yang memberikan kesan ruang menjadi luas, berdekatan langsung dengan teras dan taman. Sedangkan area belakang disediakan untuk ruang privat dengan pertimbangan lebih terkesan nyaman dan tenang - minim kebisingan. Serta tersedia dapur dan ruang transisi yang dapat digunakan untuk penyediaan tangga.

Lantai 1
Penambahan jumlah kamar tidur di lantai atas untuk anak
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna

Lantai 2
SKENARIO 4
Rumah bagi suami-istri, anak (lebih dari 1), dan kakek-nenek
desain 2

1
SKENARIO 2
Rumah bagi pasangan muda dan orang tua. adanya pengembangan area belakang disisi kakan dengan menambahkan ruang untuk gudang dan ruang transisi sebagai tangga akses ke lantai selanjutnya. Area space kecil dibawah tangga dapatdifungsikan untuk tempat penyimpanan
Selanjutnya dilakukan eksplosasi desain bentuk rumah tapak multigenerasi dengan fokus menambahkan fasilitas ruang hijau yang lebih luas. Kebutuhan ruang hijau menjadi salah satu yang diingikan dan dibutuhkan bagi generasi millenial untuk kegiatan bersama dan wadah melakukan aktivitas yang disukai seperti olah raga, berkebun atau lainnya. Oleh karena itu, penulis melakukan perencanaan dengan mengolah tata letak bangunan sedikit kedepan agar area belakang dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau dan pengembangan rumah di masa depan. Untuk panataan ruang dalam diakukan pembagian ruang secara linear di satu sisi sebagai area publik dan servis dan sisi lain untuk area privat.
Legenda
SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda

Lantai 1
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna

2
SKENARIO 3
Rumah bagi suami-istri, anak, dan kakek-nenek. Lantai 2 dimanfaatkan untuk penambahan jumlah kamar tidur untuuk menyuplai kebutuhan pengguna. Dan peneyediaan ruang servis untuk ruang cuci dan jemur.
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna
desain 2

Lantai 1

Lantai 2
Penataan ruang dalam disetiap skenario perubahan dibagi menjadi dua bagian. Bagian sisi kanan direncanakan untuk layout out ruang bersama berbentuk linear tanpa sekat yang memberikan kesan ruang menjadi luas, berdekatan langsung dengan teras dan taman. Sedangkan sisi kiri disediakan untuk ruang privat berupa kamar tidur dan servis berupa kamar mandi. Apabila ada pertumbuhan keluarga ataupun perubahan kebutuhan ruang, maka itu semua dapat dilakukan secara leluasa oleh penghuni dan dapat menambahkan jumlah lantai untuk menyuplai kebutuhan ruang lainnya. Namun tidak dipungkiri, untuk desain ini membutuhkan lahan yang cukup besar dan memanjang untuk menyediakan kebutuhan secara maksimal.
desain 3
Eksplorasi desain berikutnya yaitu penulis mencoba merancang bentuk rumah tapak yang lebih sederhana dalam tatanan ruangan dan fleksibel untuk merubahnya. Penulis mencoba untuk mendesain ruang hijau didalam ruang agar terbentuk ruang terbuka yang saling menyatu - tanpa sekat - sebagai ruang bersama dan merasa seolah-olah dekat dengan alam, yang diharapkan penghuni dapat merasakan kehangatan dan kenyaman. Desain ini dibuat 2 lantai untuk memenuhi kebutuhan penghuni dan menggunakan modul 3.6m x 3.6m berdasarkan perkiraan ukuran furnitur.
SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda
SKENARIO 2
Rumah bagi pasangan muda dan orang tua



Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna

Lantai 1

Lantai 2
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
SKENARIO 3
Rumah bagi suami-istri, anak dan kakek-nenek .
Setiap ruang cukup di perhatikan terkait pencahayaan dan sirkulasi udara melalui desain void yang besar dan bukaan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang Transisi
J. Balkon
K. Gudang
L. Ruang Cuci
M. Ruang Jemur
N. Ruang Serba Guna
Dalam desain ini, pertumbuhan ruang dilakukan banyak di area lantai 2. Penambahan kamar tidur, ruang serbaguna dan ruang keluarga digunakan pada skenario perubahan 2 dan 3 agar keprivasian masing-masing keluarga masih dapat dirasakan, karena tidak dapat dihindari ada kebutuhan tertentu yang mengharuskan digunakan secara mandiri dalam penggunaannya - ketika anak memasuki fase sudah menikah. Namun lantai dasar tetap menjadi center point pertemuan multigenerasi untuk melakukan kegiatan bersama.
FINAL DESAIN

konsep desain
Melalui berbagai proses alternatif yang didesain, penulis memutuskan mengambil konsep rumah tumbuh sebagai landasan dalam perancangan desain rumah multi-generation. Rumah Tumbuh diajukan sebagai konsep untuk membantu dalam menyediakan hunian layak bagi masyarakat. Hunian ini didesain agar pembangunannnya dapat disesuaikan dengan pertumbuhan keluarga dan perubahan kebutuhan ruang bagi penghuninya. Proses membangun rumah ini juga dapat disesuaikan dengan kemampuan dari penghuni rumah apabila ingin dilakukan secara bertahap.
DESAIN A
Desain ini mengambil konsep modul dasar RISHA yaiu 3m x 3 m ,karena dapat dilakukan secara prefabrikasi dan efisien terhadap penggunaan bahan material, sehingga mampu menekan biaya struktur lebih terjangkau dan dapat disesuaikan pilihan strukturnya. Selain itu, pertumbuhan rumah ini didesain secara fleksibel dengan memanfaatkan terlebih dahulu lahan secara optimal melalui bentuk tipologi bangunan landed, lalu dapat dilakukan pertumbuhan menjadi bangunan vertikal, ini semua menyesuaikan dengan kebutuhan ruang bagi penghuni. Proses perancangan desain lebih banyak fokus pada olahan tatanan ruang yang lebih sederhana dengan tetap dapat difungsikan secara optimal, sehingga rumah terkesan lebih compact
Melalui konsep rumah tumbuh ini, diharapkan dapat dikembangkan menjadi salah satu alternatif rumah layak bagi masyarakat. Pembangunan dapat direncanakan sebelumnya untuk dapat mempertimbangkan pengembangan rumah di masa depan seiring dengan pertumbuhan dan perubahan kebutuhan ruang. Sehingga perencanaan yang telah dilakukan dapat dikembangankan secara optimal dengan tetap menjaga kualitas lingkungan setempat tanpa menimbulkan permasalahan. Serta rumah yang diharapkan dapat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Flow Activity dan Kebutuhan Ruang

DESAIN A
zonasi ruang
DESAIN A

Zonasi ruang berdasarkan fungsi dikelompokan menjadi tiga zona yaitu, zona publik, privat dan servis. Zona publik di posisikan pada satu sisi yang berfungsi sebagai ruang bersama (common space), terdiri dari ruang keluarga dan ruang makan, ini semua menjadi center point aktivitas bagi penghuni. Sedangkan ruang privat berupa kamar tidur diposisikan dekat dengan dan bukaan menghadap ke taman, sehingga penghuni masih dapat melihat kearah luar dengan leluasa dan memperoleh pencahayaan alami. Dan untuk zona servis dileatkan dekat dengan zona privat untuk memudahkan akses bagi pengguna khususnya orang tua yang sudah berusia lanjut. Penyediaan zona servis yang terdiri dari dapur dan kamar mandi disetiakan setiap lantai untuk memenuhi kebutuhan keluarga multi-generation.
trANSFORMASI BENTUK

SKENARIO 1
Bentuk geometri sebagai dasar bentuk rumah. Modul yang digunakan yaitu 3m x 3m berlandasarkan pada bangunan RISHA.
SKENARIO 2
Pengembangan rumah dilakukan dengan menambahkan ruang untuk kamar tidur, sehingga di bagian belakang dilakukan aditif.
SKENARIO 3
Kemudia pengembangan dilakukan kembali untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi pengguna - dikala terjadinya pertumbuhan, maka dilakukan penambahan ruang secara aditif di lantai 2.
denah skenario 1
Pada skenario pertama, desain rumah ini memiliki luas tanah 90 m2 dengan luas bangunan 45m2. Rumah ini dapat diajukan untuk pasangan muda yang baru menikah ataupun lajang yang ingin memiliki rumah. Struktur modul yang digunakan yaitu 3m x 3m dengan jumlah lantai 1. Penataan ruang pada desain skenario 1 terdiri dari carport yang dapat digunakan untuk satu mobil, teras depan dan belakang, ruang keluarga dan ruang makan tanpa sekat sebagai common space yang menjadi center point aktivitas keluarga, satu kamar tidur, kamar mandi dan taman sebagai tempat untuk kegiatan bersama ataupun kegiatan yang disukai.

DESAIN A
denah skenario 2
Pada skenario kedua, desain rumah ini memiliki luas tanah 90 m2 dengan luas bangunan 52.2m2. Rumah ini dapat diajukan untuk pasangan muda dengan tinggal bersama orang tuanya. Struktur modul yang digunakan yaitu 3m x 3m dengan jumlah 1 lantai. Penataan ruang pada desain skenario 2 tidak jauh beda dengan skenario 1, namun terjadi pertumbuhan diarea belakang. Sehingga area taman belakang sebagian di dialah fungsikan menjadi kamar tidur untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi penghuni.

DESAIN A
denah skenario 3
Pada skenario ketiga, desain rumah ini memiliki luas tanah 90m2 dengan luas bangunan 105m2. Rumah ini dapat diajukan untuk suami-istri yang sudah memiliki anak dan tinggal bersama dengan orangtuanya. Struktur modul yang digunakan tetap 3m x 3m dengan jumlah 2 lantai. Penataan ruang pada desain skenario 3 mengalami pertumbuhan secara vertikal untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi penghuni. Pertumbuhan vertikal dilakukan karena pemanfaatan lahan pada lantai dasar dianggap sudah optimal, sehingga kebutuhan ruang dikembangkan keatas untuk penyediaan kamar tidur anak yang lebih privasi, area servis berupa mini pantry untuk menunjang kebutuhan apabila anak sudah menikah dan penambahan kamar mandi yang sejajar dengan lantai bawah.


DESAIN A
HASIL REVIU DESAIN
PRAKTISI :
Terkait gaya desain minimalis diharapkan dapat diganti dengan pernyataan desain yang efisien. Posisi tangga masih dapat memungkinkan dekat dengan akses ruang yang dituju tanpa menggangu ruang lain . Perlu diperhatikan terkait masalah penghawaan dibeberapa titik ruangan yang sering menjadi permasalahan klasik pada desain rumah, maka butuh dikaji terkait peletakan servis khususnya dapur dan kamar mandi agar sirkulasi udara mengalir dengan baik. Namun secara keseluruhan desain dianggap cukup compact untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi penghuni, melalui ruangruang yang telah disediakan.
Dwi Hergiawan
IAI Nasional Bidang Regulasi

HASIL PENILAIAN PUBLIK
KUESIONER "MULTI-GENERATIONAL HOUSING"
Tanggapan responden dari hasil penyebaran kuesioner menyatakan bahwa mayoritas mereka menyukai desain ini karena masih ada pertimbangan terkait penyediaan ruang hijau berupa taman di area depan dan belakang, sehingga dapat digunakan untuk aktivitas ataupun pengembangan rumah di masa depan nanti. Penataan ruang dianggap sedeharna dan terkesan luas karena tidak terlalu banyak sekat dinding dan memudahkan apabila akan dilakukan pengembangan.
Namun dibalik itu ada beberapa hal harus dipertimbangkan oleh penulis terkait layout dapur dan kamar mandi yang dirasa masih kurang efisien dalam peletakannya, perlu diperhatikan terkait bukaan dan sirkulasi udara terhadap kedua ruang tersebut. Serta sebagian responden merasa masih perlu menambahkan luasan pada ruang keluarga untuk menunjang aktivitas bagi penghuni. Oleh karena itu, responden menyarankan agar desain ini terus dikaji terkait layout servis khususnya dapur, kamar mandi maupun penyediaan ruang keluarga agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang diharapkan oleh penghuni.
DESAIN A
b DESAIN




Interpretasi

lantai 1

Rumah bagi pasangan muda dengan 1 anak lantai 2

lantai 1
Rumah bagi kakek nenek, pasangan (ayah/ibu) dengan anak yang sudah menikah (anak/menantu)

lantai 1
Berdasarkan hasil sintesis pustaka dan kesimpulan hasil survei responden, diperoleh data generasi milenial lebih menyukai ruang yang luas dan terbuka dengan tetap menjaga privasi, dan generasi ini juga sulit untuk memiliki rumah dikarenakan kondisi ekonomi dan harga rumah yang cukup tinggi, oleh karena itu generasi ini lebih ingin tinggal bersama keluarga daripada tinggal/sewa bersama orang lain. konsep yang digunakan dalam proses desain rumah ini adalah tinggal bersama keluarga, dimana dalam keluarga tersebut terdapat beberapa generasi seperti kakek/nenek dari generasi baby boomer atau sebelumnya, orang tua dari generasi X atau milenial, dan anak dari generasi Z. Oleh karena itu rumah diharapkan dapat beradaptasi dan berkembang sesuai dengan kebutuhan penghuni, seperti penambahan atau pergantian fungsi ruang.

2
desain 1
Pada desain ini menggunakan modul ruang 3x3 m, terdapat 2 kamar di lantai 1 yang digunakan untuk orang tua dan kakek/nenek dan pada lantai 2 terdapat ruang untuk anak yang sudah berusia remaja hingga dewasa, dengan menempatkan ruang akses ke lantai 2 berada di luar, sehigga tidak mengganggu aktivitas orang di lantai 1, dan juga agar tetap menjaga privasi dari masing-masing penghuninya.


2
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Tamu
E. Ruang Keluarga
F. Ruang Makan
G. Kamar Tidur
H. Dapur
I. Kamar Mandi
J. Ruang Transisi
K. Ruang Serba Guna
L. Ruang Bermain
Rumah bagi kakek nenek, pasangan (ayah/ ibu) dengan anak yang sudah menikah (anak/menantu) yang juga memiliki anak (cucu)
desain 2
pada desain ke2 ini masih menggunakan modul ruang 3x3 dengan kamar mandi terpisah dari modul utama, desain ini juga lebih luas daripada desain 1, karena terdapat beberapa ruang yang fungsinya digabungkan, seperti ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan yang digabungkan sehingga terllihat lebih luas, pada desain ini juga terdapat taman yang lebih luas yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan dari kakek nenek yang memiliki karakteristik suka bekerja untuk mengisi waktu luangnya.

Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Tamu
E. Ruang Keluarga
F. Ruang Makan
G. Kamar Tidur
H. Dapur
I. Kamar Mandi
J. Ruang Transisi
K. Ruang Serba Guna
L. Ruang Bermain
M. Gudang
N. Ruang Kerja
O. Balkon

lantai 1


1 lantai 1
2
SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda dan orang tua
SKENARIO 2
Rumah bagi pasangan dengan anak yang sudah remaja dan orang tua

lantai 2

lantai 2
SKENARIO 3
Rumah bagi Kakek Nenek + Ayah Ibu + Anak Menantu + Cucu atau bisa dikatakan sebagai rumah untuk keluarga besar.
FINAL DESAIN

konsep desain
DESAIN B
Konsep rumah tumbuh ini dibuat untuk mengakomodasi pertumbuhan keluarga dan perubahan kebutuhan ruang bagi penghuninya yang dari beberapa generasi. konsep ini juga diambil berdasarkan karaktersitik dari generasi milenial dan z yang mana generasi itu merupakan penghuni yang akan lebih lama tinggal di rumah tersebut dibanding dengan generasi baby boomer atau kakek nenek.
Dari karakteristik generasi milenial dan Z ini lebih suka rumah dengan ruang yang luas dan terdapat ruang hijau, oleh karena itu modul ruang yang digunakan pada desain ini adalah 3,6 X3,6 m untuk memenuhi kebutuhan ruang yang luas, untuk kebutuhan ruang hijau di dalam ruangan juga terdapat innercourt yang juga untuk membantu sirkulasi udara didalam ruangan.
DESAIN B

zonasi ruang

Modul 3,6 x 3,6 m zonasi ruang dikelompokkan berdasarkan fungsi. Ruang privat berupa kamar tidur diletakkan di bagian tengah menghadap taman/innercourt yang berada di bagian depan. Pada lantai 2 bangunan terdapat ruang komunal yang luas dengan void yang mengarah ke taman di lantai 1, Ruang Servis diletakkan di belakang dan diduplikasi ke atas untuk mengelompokan area basah dalam satu shaft. Sementara ruang komunal sebagai ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga diletakan di bagian depan dan ruang penghubung ke lantai 2, diletakkan di belakang untuk memberikan kesan lebih privat bagi penghuni.
trANSFORMASI BENTUK

Bentuk awal dari bangunan terdiri dari 8 blok modul dengan ukuran 3,6 x 3,6 m.
Untuk memaksimalkan fungsi ruang, terjadi pengurangan 1,2 m pada modul bagian kanan, dikarenakan bagian tersebut digunakan sebagai sirkulasi.
Dengan bertambahnya ruang dan ketersediaan lahan dibawah sudah tidak ada, maka pertumbuhan terjadi ke atas atau vertikal.
denah skenario 1
Pada skenario pertama rumah ini ditujukan untuk pasangan muda yang baru menikah, atau bisa juga untuk lajang yang ingin memiliki rumah, pada skenario ini memiliki luas tanah 132 m2 dengan luas bangunan 86,4 m2, desain ini memiliki hanya terdiri dari 1 lantai dan jumlah kamar terdiri dari 2 kamar tidur dengan ukuran 3,6m x 3,6m didalam juga terdapat kamar mandi dengan ukuran 1,5m x 2m, Luas dapur adalah 12,9 m2 dengan ruang makan 8,64 m2, pada bagian depan juga terdapat taman yang berfungsi untuk memberikan udara alami di dalam rumah.

denah skenario 2
Skenario 2 ini adalah pengembangan dari skenario pertama, dimana pasangan muda tersebut dengan 1 anak yang sudah remaja dan kakek nenek, luas bangunan ini adalah 172,8 m2 dan terdiri dari 2 lantai, pada lantai 2 terdapat ruang keluarga yang cukup luas dan juga terdapat void yang mengarah ke taman di lantai 1, pada skenaro ini terdapat 3 kamar tidur dengan ukuran 3,6m x 3,6m, dan juga terdapat 2 kamar mandi yang masing masing luasnya 1,5m x 2m dan 1,2mX1,5m, pada lantai 1 terdapat pengurangan fungsi ruang dari skenario sebelumnya, yaitu ruang makan yang diperkecil dan dijadikan ruang untuk sirkulasi ke lantai 2 atau tangga.

lantai 1 lantai 2
denah skenario 3
Skenario akhir ini pertumbuhan penghuni terdiri dari kakek nenek, suami istri, dan anak yang baru menikah, pertumbuhan ruang terdapat pada penambahan kamar di lantai 2 dengan mengurangi ruang keluarga, dan juga terdapat penambahan dapur mini pada lantai 2 yang digunakan oleh anak yang baru menikah, luas bangunan sama seperti skenario sebelumnya yaitu 172,8 m2 dengan jumlah lantai 2. Jumlah kamar tidur terdiri dari 2 kamar dengan masing masing luas 3,6m x 3,6m pada lantai 1 dan 2, kamar tidur dengan luas yang sama pada lantai 2 dengan masing-masing kamar mandi dengan ukuran 1,2m x 1,5m.

lantai 1 lantai 2
HASIL REVIU DESAIN
PRAKTISI :
Pemilihan luasan tanah apakah umum sebesar ini, karena di beberapa tempat tidak menyediakan kavling tanah seperti itu. Innercourt pada dalam bangunan sangat bagus karena dapat memperbaiki kualitas udara dalam rumah. perlu diperhatikan jarak antar bangunan, karena bangunan berdempetan dengan tetangga dan itu juga terletak pada bagian kamar, yang dapat menyebabkan kelembapan dalam kamar tersebut karena tidak memiliki akses masuk cahaya matahari dan udara. Pada dapur sama dengan kamar seperti terjebak di belakang karena tidak memiliki akses udara dan cahaya langsung.

Dwi Hergiawan
IAI Nasional Bidang Regulasi
HASIL PENILAIAN PUBLIK
KUESIONER "MULTI-GENERATIONAL HOUSING"
Hasil dari penyebaran kuesioner mendapatkan beberapa feedback yang berupa kritikan, saran dan juga masukan. Dari hasil tersebut terdapat beberapa ruang yang lebih disukai responden seperti ruang tamu yang luas dan terdapat bukaan langsung ke innercourt yang dapat memperbaiki kualitas udara dalam ruangan, dan pada kamar yang juga cukup luas sangat bagus terutama untuk pasangan yang sudah menikah, zonasi ruang yang cukup bagus dan menjaga privasi seperti dapur yang diletakan jauh dari ruang tamu, dan potensi pengembangan yang luas sehingga jika terdapat penambahan penghuni atau keluarga lagi pengembangnya sudah jelas.
Dan juga terdapat beberapa hal yang tidak disukai oleh responden seperti terlalu banyak space yang tidak terpakai contohnya lorong yang jika diolah lagi bisa menjadi ruang yang lebih berguna, sirkulasi udara dan penghawaan yang kurang terutama pada kamar dan dapur, dan juga terdapat kamar yang tidak mendapatkan cahaya dan udara langsung dari luar, penempatan kamar mandi yang berada di bagian tengah ruangan, akan lebih baik apabila kamar mandi berada di sisi bangunan, ini bertujuan untuk penempatan ventilasi di dalam kamar mandi. Selain itu, untuk skenario 2 di lantai dua rasanya pantry tidak terlalu dibutuhkan, akan lebih bermanfaat apabila dialih fungsikan sebagai area bermain atau belajar anak.

C DESAIN




INTERPRETASI AWAL
Merancang rumah multi-generasi memiliki tantangan tersendiri karena harus dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan dari generasi yang berbeda. Hasil kuesioner yang didapatkan menunjukkan adanya perbedaan karekteristik ruang yang diinginkan/ dibutuhkan oleh individu lajang dan kawin. Hasil tersebut memberikan gambaran sederhana yaitu status penikahan bahwa diperlukan rumah yang dapat memenuhi perbedaan ini, terutama dalam rumah yang di dalamnya tidak hanya diisi oleh satu generasi.
22% individu lajang mengingikan ruang yang tenang sedangkan bagi 28% individu kawin mereka tidak mempermasalahkan atau tidak memiliki kebutuhan akan karakteristik ruang tertentu. Namun, berdasarkan hasil kuesioner baik individu lajang dan kawin mereka memiliki 3 karakteristik ruang yang paling diinginkan yaitu: ruang yang tenang, luas terbuka dan tidakada kebutuhan khusus dengan perbedaan pada urutan saja.
LANTAI 2


SKENARIO 1: Void
Karakteristik ruang luas dan terbuka diinterpretasi dengan adanya void yang menghubungkan ruang komunal di lantai 1 dengan lantai 2
SKENARIO 2: Green space
Karakteristik ruang luas dan terbuka diinterpretasi dengan menambahkan ruang hijau di lantai 2 sehingga menjadi roof garden
Legenda:
A. Carport
B. Halaman
C. Gudang
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Ruang cuci jemur
J. Roof garden
Desain 1 mencoba menginterpetasikan ketenagan yang diinginkan oleh individu lajang dengan ruang yang terbuka dan luas oleh individu kawin. Organisasi ruang yang linier digunakan untukmemberikan hierarki ruang dari rung komunal/bersama menuju ruang privat. Individu yang tidak berkepentingan memasuki ruang privat/kamar tidak perlu melalui area tersebut.
Desan 2
Desain 2 mencoba mendefinisikan ruang-ruang esensial dalam rumah dalam sebuah modul. Ruang untuk memasak, mandi dan kakus serta ruang untuk tidur merupakan ruang yang dinilai paling penting berdasarkan hasil kuesioner. Ruang-ruang esensial itu dimasukkan dalam sebuah modul
berukuran 3,6 meter x 3,6 meter yang merupakan kelipatan dai 1,2 meter -dimensi dari kebanyakan material konstruksi di pasaran. Fungsi-fungsi pada modul tersebut dapat dipadatkan, dikeluarkan, atau dihilangkan dari modul tersebut untuk menyesuaikan kebutuhan penghuninya.
SKENARIO1: Modifikasi modul

LANTAI 1 LANTAI 2

Pasangan kakek-nenek dan pasangan ayah-ibu menempati lantai 1 dengan 2 modul esensial yang dimodifikasi: menghilangkan fungsi memasak (dapur) dan menjadikan fungsi mandi dan kakus (kamar mandi) untuk bersama. Modul dimodifikasi karena kegiatan memasak dapat dilakukan pada dapur komunal. Pasangan suami-istri yang merupakan anak ayah-ibu menempati lantai 2 dengan modul yang memiliki fungsi lengkap. Sedangkan anak ayah-ibu yang masih lajang dapat menggunakan modul yang hanya memiliki fungsi tidur dan mandi kakus saja.
SKENARIO 2: Menggunanakan slack space

1 LANTAI 2

Penambahan 1 modul lagi yang hanya berfungsi sebagai ruang tidur dengan ukuran sebesar ruang ukuran pada modul. Penambahan modul ini dapat dilakukan apabila terdapat penambahan anggota keluarga baru, misal pasangan suami-istri dari ayah-ibu memiliki anak. Modul baru ini dapat ditambahkan pada slack space yang ada dalam rumah.
Legenda:
A. Carport
B. Halaman
C. Inner court
D. Ruang Keluarga
E. Ruang Makan
F. Kamar Tidur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
Desain 3 merupakan hasil refleksi dari desain-desain sebelumnya. Konsep modul dirasa terlalau dipaksakan seingga ukuran ruang menjadi sangat kaku. Selain itu semakin banyak fungsi dalam modul maka ukuran tiap fungsi ruang menjadi semakin sempit. Desain 3 menggunakan konsep modul, namun modul dibagi menjadi 3 yaitu: modul kamar
Desan 3
tidur, modul ruang servis dan modul bebas. Tiap modul berukuran 3,6 meter x 3,6 meter dan dapat bersifat seperti grid. Modul kamar tidur berfungsi sebagai ruang tidur, modul servis berisi dapur dan kamar mandi, sedangkan modul bebas dapat difungsikan menjadi ruang komunal seperti ruang keluarga atau ruang makan.

SKENARIO 1:
Modul 3x2
Rumah dengan lebar yang lebih panjang dan pintu masuk ada di samping. Akses vertikal ada di luar bangunan bersama dengan area carport dan halaman.

LANTAI 1
LANTAI 2
Legenda:
A. Carport
B. Halaman
C. Ruang Keluarga
E. Kamar Tidur
F. Dapur
G. Kamar Mandi
D. Ruang Makan
SKENARIO 2:
Modul 3x2 full stacked
Pengembangan dari skenario 1 jika di atas carport ditambahkan 1 modul kamar. Akses vertikal seolah-olah berada dalam ruangan.

LANTAI 1 LANTAI 2
SKENARIO 4:
Modul 3x2 reducted
Memberikan gambaran apabila modul 3,6 meter x 3,6 meter direduksi menjadi ruang lain. Pada skenario ini nampak bahwa muka bangunan bisa dibuat mejadi menghadap depan dan tedapat taman depan.
LANTAI 1

LANTAI 2

Legenda:
A. Carport
B. Halaman
C. Ruang Keluarga
D. Ruang Makan
E. Kamar Tidur
F. Dapur
G. Kamar Mandi
H. Teras
I. Balkon
SKENARIO 4: Modul 2x3
Jika skenario-skenario sebelumnya merupakan komposisi modul 3x2 yang emiliki muka yang lebar, maka skenario ini ingin membuat muka bangunan yang lebih ramping dan memangjang ke belakang. Hal ini disebabkan karena pada umumnya kondisi lahan yang ada memanjang ke belakang bukan ke samping. Akses vertikal juga dibuat masuk ke dalam bangunan.
final DESAIN
DESAIN C

KONSEP DESAIN
Visi desain rumah ini ialah menjadi rumah yang siap memenuhi kebutuhan tumbuhnya keluarga hingga menjadi keluarga multigenerasi. Konsep desain yang digunakan adalah Open building dan sistem grid. Konsep open building memungkinkan ruanganruangan dalam rumah tumbuh secara fluid menyesuaikan kebutuhan penghuninya dengan menjaadikan ruang servis yang berhubungan dengan pemipaan air (kebutuhan ruang untuk mandi, cuci, kakus dan memasak) menjadi rigid dan berada dalam satu jalur vertikal.
Desain rumah ini memiliki sistem grid dengan dimensi yang disesuaikan dengan dimensi material di pasaran sehingga efisien secara bahan material konstruksi. Selain itu desain rumah ini memiliki ruang hijau dan void untuk memberikan penghawaan dan pencahayaan yang baik. Void pada bangunan juga dijadikan sebagai koneksi visual dan interaksi sosial antar level bangunan dan penghuninya.
Zonasi ruang


Pada dasarnya desain rumah ini memiliki 3 zonasi ruang, yaitu ruang privat, ruang komunal dan ruang servis. Ruang privat dapat berupa kamar tidur, ruang komunal dapat berupa ruang makan dan ruang keluarga, sedangkan ruang servis merupakan dapur dan kamar mandi. Tiap lantai memiliki 3 zonasi ruang ini, namun bertambah dan berkurangnya disesuaikan dengan kebutuhan penghuni yang merupakan keluarga multi generasi. Hanya ruang servis yang memiliki posisi tetap untuk memudahkan sistem pemipaan dan efesiensi.
Transformasi Bentuk
Konsep open building memungkinkan bentuk atau massa bangunan rumah ini dapat bertahan lama dan tidak memiliki perubahan yang signifikan meskipun dalam perjalannya akan mengalami penyesuaian. Dari awal rumah ini terdiri dari 2 lantai dan hanya mengalami perubahan dengan penambahan massa di sisi kiri dengan penambahan ruang komunal maupun ruang privat.

Skenario 1 Skenario 2
Penambahan ruang komunal dan void
Skenario 3 dan 4
Penambahan ruang privat
Alur kegiatan dan Kebutuhan Ruang

DESAIN C
Skenario 1
Pada skenario ini, rumah masih diisi oleh keluarga inti (nuclear family) yaitu ayah, ibu dan satu anaknya. Rumah terdiri dari 2 lantai yang pada lantai 1 terdapat kamar utama sebagai ruang privat, dapur dan kamar mandi sebagai ruang servis, dan ruang makan/ keluarga sebagai ruang komunal.
Saat pulang ke rumah, penghuni rumah ini bisa memakirkan kendaraan di garasi lalu berjalan masuk melalui teras. Saat membuka pintu masuk, penghuni berada di ruang komunal yaitu ruang makan/keluarga dan
bisa langsung mengakses lantai 2 melalui tangga yang ada di bagian depan rumah. Dari ruang komunal penghuni bisa mengakses ruang servis secaa langsung atau menuju kamar tidur yang besifat privat.
Bagian belakang rumah terdapat halaman belakang untuk membuat sirkulasi udara menjadi lancar. Lantai 2 hanya terdiri dari modul kamar tidur dan servis. Karena penghuni masih merupakan keluarga inti, dapur di lantai 2 bersifat opsional atau hanya difungsikan sebagai pantry.


lantai 1 lantai 2
Skenario 2
Pada skenario ini, sang keluarga sudah memiliki lingkungan sosial yang lebih besar atau merasakan perlunya ruang komunal yang lebih besar. Area garasi atau carport yang luas sebelumnya bisa dikurangi dan diubah menjadi ruang komunalsehingga ruang komunal keluarga ini menjadi lebih luas -ditambahkan ruang makan/keluarga. Lantai 1 dan 2 dihubungkan dengan void untuk memaksimalkan penghawaan dan pencahayaan.
DESAIN C
DESAIN C
Skenario 3
Pada skenario ini, lantai 2 rumah ditambahkan ruang kamar untuk mengakomodasi anggota keluarga baru
yang hadir, baik bertambahnya anak dan atau menantu. Pada skenrio ini dapur
atau pantry di lantai 2 bisa digunakn untuk pasangan keluarga baru sehingga mereka dapat merasakan privasi yang
lebih meskipun berada dalam 1 rumah dengan orang tua/mertua. Kehadiran void tetap menyatukan ruang atas dan bawah sehingga masih bisa terjalin interaksi.

DESAIN C

lantai 1 lantai 2
Skenario 4
Pada skenario ini mensimulasikan apabila terdapat penambahan anggota keluarga baru seperti lahirnya cucu. Ruang keluarga yang merupakan ruang komunal dapat diubah menjadi ruang privat yaitu ruang kamar hnya dengan menambahkan sekat atau pembatas ruang.
HASIL REVIU DESAIN
Praktisi
Konsep open building adalah konsep yang menarik, namun apakah konsep ini diminati khususnya oleh orang Indonesia? Karena pada umumnya orang Indonesia lebih suka sesuatu yang sudah jadi dan tidak perlu banyak perubahan.
Adanya dapur tambahan di lantai dua juga dipertanyakan, apakah benar ia dibutuhkan.
Sudah ada usaha untuk memberikan penghawaan yang baik bagi setiap ruangan seperti kamar tidur, dan kamar mandi.
Dwi Hergiawan IAI Nasional Bidang Regulasi
HASIL PENILAIAN
PUBLIK
KUESIONER "MULTI-GENERATION HOUSING"
11 orang dari 69 (15,9%) responden memilih desain C sebagai desain yang paling disukai. Responden mengapresiasi penghawaan yang baik untuk kamar tidur dan kamar mandi. Ukuran kamar tidur yang cukup besar (3,6 x 3,6 meter ), adanya halaman yang luas baik di depan dan belakang serta void sebagai penghubung lantai atas dan bawah juga disukai oleh responden. Beberapa responden merasa ruang komunal seperti ruang keluarga terlalu sempit sedangkan akan banyak orang atau penghuni yang akan menempati rumah tersebut. Adanya dapur di lantai dua juga malah dianggap merepotkan. Beberapa responden tidak menyukai ruang makan yang berhadapan langsung dengan pintu masuk.

DESAIN C

D DESAIN




Interpretasi
Awal
Berdasarkan hasil sintesis pustaka dan kesimpulan hasil survei responden, diperoleh data kecenderungan generasi milenial menyukai ruang terbuka (open space) dan privasi. Rumah diharapkan dapat beradaptasi dengan kebutuhan penghuni, sehingga layout ruang yang muncul di awal, memuat kebutuhan ruang dasar: kamar tidur, kamar mandi, dan dapur, selanjutnya dilengkapi oleh ruang bersama sebagai ruang interaksi (common room) Skenario perubahan berada di satu sisi bangunan, dimana ruang bersama bersifat fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan kamar tidur tambahan di saat ada penambahan jumlah
desain 1



Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Kamar Tidur
F. Ruang Makan
G. Ruang Kerja
H. Dapur
I. Kamar Mandi
J. Sirkulasi Tangga
K. Elevator / Lift
dan anak, modifikasi menjadi

E. Ruang Tamu/ Keluarga
Desain ini dapat dikembangkan dalam bentuk unit kopel yang dibangun secara vertikal. Tipologi unit rumah dibuat memanjang dengan ukuran modul 45 m2 dengan luas lahan minimal 8x15 m2. Untuk memberikan privasi, area kamar diletakkan saling berseberangan dan dihubungkan oleh ruang tengah, sebagai ruang berkumpul keluarga. Sirkulasi berupa tangga dan selasar di area tengah, untuk menciptakan interaksi antar penghuni unit. Desain ini membutuhkan luas lahan yang besar dan struktur yang membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan rumah tapak.

SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda dan 1 anak.

SKENARIO 2
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, dan 1 orang cucu.
Desain selanjutnya mencoba mengeksplorasi bentuk rumah tapak sebagai rumah multi generasi yang lebih terjangkau. Rumah inti memiliki 2 kamar tidur, dapur, ruang makan, ruang keluarga, area servis kamar mandi dan ruang cuci jemur. Dibangun di atas lahan 7,2x15 m2 dengan luas bangunan inti 38,88m2, konsep innercourt dan pintu masuk dari arah samping melalui taman. Ukuran modul struktur 3,6x3,6 m2. Desain bangunan cukup luas dan pencahayaan serta sirkulasi udara tercipta melalui cross ventilation pada innercourt. Pertumbuhan bangunan mengikuti pertambahan penghuni, namun penulis merasa desain ini masih belum optimal dari segi efisiensi ruang, zona area servis, dan penerapan modul struktur.
Legenda
A. Taman
B. Teras
C. Kamar Tidur
D. Ruang Tamu/ Keluarga
E. Ruang Makan
F. Ruang Cuci Jemur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Tangga Sirkulasi


SKENARIO3
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, anak yang sudah menikah, dan ART. LANTAI 2 LANTAI 1
desain 2

LANTAI 1

LANTAI 1
SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda dan 2 anak.

LANTAI 2
desain
3

LANTAI 2
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Tamu
E. Ruang Keluarga
F. Ruang Makan
G. Kamar Tidur
H. Dapur
I. Kamar Mandi
J. Tangga Sirkulasi
SKENARIO 4
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, anak yang sudah menikah, dan cucu.
Legenda
A. Taman
B. Teras
C. Kamar Tidur
D. Ruang Tamu/ Keluarga
E. Ruang Makan
F. Ruang Cuci Jemur
G. Dapur
H. Kamar Mandi
I. Tangga Sirkulasi
Eksplorasi desain berikutnya, penulis mencoba merancang bentuk rumah tapak yang lebih kompak dan efisien dalam penempatan area servis. Bengunan direncanakan sudah terbangun 2 lantai untuk menampung keluarga kecil inti. Modul ruang 3x3,6 m2. Luas lantai dasar adalah 43,3 m2 di atas lahan seluas 9x15 m2.
Open space di area masuk menghadap ke innercourt, dan menerus ke dalam layout ruang lantai 1 pada area dapur dan ruang keluarga. Skenario awal, kamar utama berada di lantai 1 sedangkan kamar anak di lantai 2 dilengkapi dengan dapur kecil. Skenario 2 dan 3 terjadi penambahan jumlah kamar di lantai 1 dan lantai 2 membuat massa bangunan lebih kompak. Rumah ini masih membutuhkan luas lahan yang besar dan relatif mahal pada konstruksi karena dibangun langsung 2 lantai.
desain 3
SKENARIO 2
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, dan 2 orang anak.

LANTAI 1

LANTAI 1

LANTAI 2
Legenda
A. Carport
B. Taman
C. Teras
D. Ruang Tamu
E. Ruang Keluarga
F. Ruang Makan
G. Kamar Tidur
H. Dapur
I. Kamar Mandi
J. Tangga Sirkulasi

LANTAI 2
SKENARIO 3
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, anak dan menantu, serta cucu atau bisa dikatakan sebagai rumah untuk keluarga besar.
Konsep pengembangan desain tipologi “rumah multi generasi” bagi masyarakat yang mengalami kesulitan memiliki rumah karena alasan ekonomi, maka perlu dipertimbangan optimasi biaya dari desain yang diajukan. Isu lingkungan yang menjadi perhatian bagi generasi milenial dan Z juga menjadi bahan pertimbangan lain untuk mengeksplorasi desain lebih lanjut.
FINAL DESAIN

konsep desain
Konsep rumah tumbuh ini dibuat untuk mengakomodasi pertumbuhan keluarga dan perubahan kebutuhan ruang bagi penghuninya. Desain ini mengambil modul dasar 3x3, sehingga dapat disesuaikan pilihan strukturnya, baik konvensional atau struktur tahan gempa RISHA, sebagai salah satu upaya mitigasi terhadap bencana. Penggunaan struktur RISHA juga mampu menekan biaya struktur karena dilakukan secara prefabrikasi dan efisien terhadap penggunaan bahan material.
DESAIN D
Asumsi ukuran lahan adalah 7x12 (84 m2) sebagai luas ideal untuk diduplikasi dalam bentuk modul tipologi rumah dan lahan. Pertumbuhan rumah didesain ke arah vertikal untuk mengoptimalkan green space dalam lahan. Lahan hijau dapat dimanfaatkan oleh penghuni untuk melakukan kegiatan hobi mereka seperti berkebun atau bercocok tanam (urban farming) untuk memenuhi kebutuhan bahan dapur mereka. Modul yang bertumpuk ke atas juga berfungsi sebagai pembeda area privat dan area bersama (komunal) bagi para penghuninya, dengan void sebagai penghubung, sehingga interaksi di dalam rumah tetap dapat tercipta.
Desain juga memberikan jarak antar bangunan dan batas lahan untuk memaksimalkan sirkulasi udara dan bukaan di semua sisi bangunan sebagai pencahayaan alami. Meskipun terdapat area parkir atau carport, pemilihan material penutup lantai seperti grass block dapat digunakan sebagai solusi penyerapan air muka tanah yang lebih hijau.
Desain ini diharapkan dapat dikembangkan menjadi modul pengembangan public housing dengan konsep RISHA yang memaksimalkan kebutuhan ruang dalam satu lahan tipikal untuk optimasi pertumbuhan penghuninya, sehingga dengan merencanakan pertumbuhan rumah di awal mendesain, pengembangan rumah dapat dijaga kualitasnya agar tidak menimbulkan masalah kumuh yang baru.
Flow Activity dan Kebutuhan Ruang

DESAIN D
zonasi ruang
DESAIN D

Modul 3x3, zonasi ruang dikelompokkan berdasarkan fungsi. Ruang privat berupa kamar tidur diletakkan di bagian depan menghadap taman masuk. Meskipun privat, namun penghuni kamar dapat melihat ke arah luar dengan leluasa. Set back bangunan dan penggunaan vegetasi dimanfaatkan untuk memberikan shading terhadap bangunan. Sedangkan ruang servis diletakkan di belakang dan diduplikasi ke atas untuk mengelompokan area basah dalam satu shaft. Sementara ruang komunal sebagai ruang penerima (entrance) dan ruang penghubung dua lantai, diletakkan di belakang untuk memberikan kesan lebih privat bagi penghuni, namun menghadap langsung ke arah taman, sehingga tetap dapat melihat ke arah luar.
trANSFORMASI BENTUK

SKENARIO 1
Rumah bagi pasangan muda, terdiri dari 1 lantai bangunan dengan luasasn 27/ 84 m2.
SKENARIO 2
Rumah bagi pasangan muda dan orang tua, terdiri dari 2 lantai bangunan dengan luasan 54/84 m2.
SKENARIO 3
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, dan anak. Terdiri dari 2 lantai bangunan dengan luasan 63/84 m2.
denah skenario 1
Penghuni yang merupakan pasangan muda bekerja, pulang ke rumah dan turun dari mobil, kemudian masuk melalui jalan setapak yang mengarah ke teras sebelum masuk ke dalam rumah. Melihat area hijau dapat mengurangi penat yang dihadapi selama bepergian. Selanjutnya, penghuni dapat bersantai sejenak di ruang keluarga, atau langsung membersihkan diri di kamar mandi. Sebelum masuk ke kamar tidur untuk beristirahat, penghuni dapat mengambil air minum di dapur.

DESAIN D
denah skenario 2
Rumah ditinggali oleh pasangan muda yang bekerja dan orang tua yang sudah pensiun. Orang tua memiliki kesenangan menyiapkan makanan bagi keluarga, sementara pasangan muda membutuhkan waktu privasi untuk beristirahat di lantai atas. Interaksi antar generasi tercipta di ruang keluarga lantai bawah dan di dapur saat mereka sarapan pagi atau makan malam. Orang tua yang sudah pensiun dapat menghabiskan waktu dengan melakukan hobi seperti berkebun, memasak, atau sekedar bersantai menonton TV dan sesekali menerima tamu di ruang tamu bawah.

lantai 1 lantai 2
DESAIN
Skenario akhir ini, pertumbuhan penghuni terdiri dari kakek nenek, suami istri, dan cucu. Kakek dan nenek yang merupakan pensiunan beraktivitas di lantai bawah seperti memasak, berkebun, menonton TV, dan menerima tamu. Sementara suami istri dan cucu beristirahat di lantai atas. Saat masih kecil, cucu bisa bermain bersama kakek nenek di lantai bawah sambil menunggu kedua orang tuanya pulang. Saat malam hari, ruang keluarga di atas dapat difungsikan sebagai ruang belajar untuk interaksi orang tua dengan anak, sementara kakek nenek beristirahat di lantai bawah. Jika anak sudah dewasa dan bekerja, ruang keluarga difungsikan sebagai ruang hobi bersama.

lantai 1 lantai 2
HASIL REVIU DESAIN
PRAKTISI :
Sisa tanah di bagian samping bisa jadi ruang yang negatif, karena sisa terlalu kecil, meskipun baik memungkinkan 4 sisi bangunan ada bukaan untuk penghawaan. Pasca pandemic, konsumen lebih peka terhadap isu kesehatan dalam bangunan. Konsep innercourt bisa menjadi alternatif penghawaan sehingga tidak menyisakan ruang negatif yang terlalu sempit.
Sistem RISHA cukup baik dan banyak diterapkan di perumahan.
Ukuran cukup kompak, perlu dikaji peletakan servis di belakang, apakah bisa diakses langsung jika memiliki
ART, jadi tidak perlu melewati ruang tamu.
Dwi Hergiawan
IAI Nasional Bidang Regulasi
HASIL PENILAIAN PUBLIK DESAIN
KUESIONER "MULTI-GENERATIONAL HOUSING"
Responden yang memilih desain ini memiliki preferensi ukuran lahan hijau atau taman yang luas. Selain itu penghawaan dan pencahayaan dari 4 sisi bangunan juga menjadi nilai tambah bagi mereka. Responden juga menyukai adanya ruang keluarga yang luas di lantai atas sebagai ruang interaksi penghuni. Kebutuhan ruang dirasa sudah cukup mewakili dan optimal.

Diantara beberapa masukan terhadap desain, sebagian responden merasa masih perlu menambahkan ruang makan dan kamar tidur di lantai bawah. Ukuran kamar tidur utama 3x3m di lantai bawah juga dirasa kurang besar. Saran juga diberikan pada peletakan kamar mandi dan dapur di lantai bawah. Beberapa responden lebih suka kamar mandi menempel dengan kamar tidur untuk akses yang lebih mudah, dan akses ke ruang jemur dapat dipindahkan ke area dapur.
Desain ini dipilih oleh 14 dari 65 responden (21.5%), dengan perbandingan individu kawin dan lajang sebanyak 5:9 orang. Hal ini menunjukan preferensi terhadap bangunan dengan luas lahan hijau yang lebih besar dan taman di sekeliling bangunan sebagai sirkulasi penghawaan dan pencahayaan, mendukung konsep eco-environment sebagai gaya hidup dan diminati oleh individu yang sudah berkeluarga maupun yang belum menikah.

DESAIN D

E DESAIN




Interpretasi
Awal
Minat tinggal bersama orang lain dalam satu rumah pada hasil survei bernilai rendah, dibandingkan dengan tinggal bersama keluarga. Rumah multigenerasi menjadi konsep desain pilihan kami. Ukuran luas tidak menjadi hal yang diperhitungkan. Karakteristik kebutuhan ruang pada individu lajang dan kawin berbeda. Pada individu lajang sebagian besar menyukai ruang yang tenang, lain halnya dengan individu kawin yang lebih menyukai ruang yang luas dan terbuka. Kebutuhan ruang dengan skala hasil di atas 80% adalah kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Untuk mendapatkan layout ruangan yang dibutuhkan, dimunculkan beberapa skenario pendukung.
desain 1

SKENARIO 1
Rumah bagi kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak.

SKENARIO 2
Rumah bagi kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak-menantu.

SKENARIO 3
Rumah bagi kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu, dan cucu.
Legenda:
A. Taman
B. Teras
C. Ruang Serbaguna
D. Kamar Tidur
E. Dapur
F. Kamar Mandi
G. Balkon
H. Ruang Cuci dan jemur
I. Carport
Desain 1 dengan luas lahan 10 x 20 m diharapkan cukup mengakomodasi hingga 4 generasi dari kakek nenek, ayah ibu, anak menantu, dan cucu. Karakteristik kebutuhan ruang individu lajang dan individu kawin dapat dilihat perbedaannya pada denah di skenario 1 dan skenario 2. Di skenario 2 pada sisi kanan merupakan kamar anak yang telah menikah, sehingga butuh ditambahkan kamar mandi di dalam kamar, diberi akses pintu yang dapat langsung menuju ke luar, teras untuk menerima tamu, dan carport. Pasangan yang kemudian memiliki anak di skenario 3, menuntut kebutuhan ruang akan kamar tidur dan dapur ditambah. Pertimbangan penambahan dapur dikarenakan kebutuhan rumah tangga yang tidak memungkinkan hanya menggunakan satu dapur. Desain 1 ini merupakan rumah induk yang bertumbuh seiring bertambahnya anggota keluarga. Penambahan ruang privat, servis, bahkan commons pada skenario 2 dan 3 semakin mengurangi area hijau yang ada, sehingga hal ini menjadi pelajaran untuk desain selanjutnya.
SKENARIO 1
Rumah bagi kakek-nenek, ayah-ibu,dan anak-menantu.
desain 2
Desain 2 lantai dengan luas lahan 9x12 m menjadi lebih compact dibandingkan dengan desain sebelumnya. Kamar anak diletakan pada lantai 2 dengan tujuan mendapatkan kebutuhan ruang yang tenang. Pada scenario 2 terdapat penambahan ruang privat – kamar tidur cucu, tidak mengurangi area hijau, akan tetapi merubah area commons pada lantai 2.

LANTAI 1

LANTAI 2

LANTAI 1

SKENARIO 2
Rumah bagi kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu, dan cucu
LANTAI 2
Legenda:
A. Taman
B. Teras
C. Ruang Serbaguna D. Kamar Tidur
E. Dapur
F. Kamar Mandi
G. Balkon
H. Ruang Cuci dan jemur
I. Carport
SKENARIO 1
Rumah bagi kakeknenek, ayahibu, dan anak.

Masih mengusung konsep rumah tinggal yang dimulai dari 3 hingga 4 generasi.Desain ini terinspirasi dari arsitek Alejandro Aravena yang membuat rumah setengah jadi, sehingga nantinya penghuni dapat menambah luas bangunan sesuai keinginan dan ketersediaan lahan. Ketika anak telah menikah dan kemudian memiliki anak, mereka dapat membangun sisi kosong kanan. Keberadaan courtyard menjadi pemanis sebagai fungsi penghawaan dan pencahayaan alami.

SKENARIO 2
Rumah bagi kakek-nenek, ayahibu,dan anak-menantu.
SKENARIO 3
Rumah bagi kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu, dan cucu


FINAL DESAIN

konsep desain
SDESAIN E
eiring dengan pembelajaran dari 3 desain sebelumnya, konsep final desain ini mengambil beberapa poin yang muncul. Rumah multigenerasi yang bertumbuh dan fleksibel, dengan ukuran compact ini diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan ruang anggota keluarga generasi milenial saat ini. Tidak lepas dari sikap peduli terhadap lingkungan, desain ini tidak memberikan carport untuk memicu generasi milenial menggunakan transportasi publik. Sisi hijau dengan jarak 1 m berfungsi untuk memiliki banyak bukaan sehingga didapat pencahayaan dan penghawaan alami yang optimal. Letak dapur yang berada pada sisi depan menggunakan konsep dari Samuel et al. (2015) dengan tujuan untuk keamanan dan penjagaan terhadap anak-anak yang sedang bermain di taman karena dapur dianggap sebagai ruang yang sering dikunjungi.
Pertumbuhan rumah berawal dari dua massa, menjadi empat massa, dan pada scenario akhir menjadi 6 massa, dengan modul berukuran 3 x 3 m yang terinspirasi dari ukuran modul RISHA. Ketiga ruang kebutuhan dasar, yaitu kamar tidur, kamar mandi, dan dapur masih menjadi poin penting dalam desain ini. Letak tangga yang berdekatan dengan pintu depan memudahkan akses generasi milenial keluar masuk rumah tanpa mengganggu generasi lain.
DESAIN E
dan Kebutuhan Ruang
Activity

Flow
Zonasi Ruang

Modul 3 x 3 m, zonasi ruang dikelompokkan berdasarkan fungsi. Ruang privat berupa kamar tidur diletakkan di belakang, dengan space jendela yang besar sehingga memiliki pencahayaan dan penghawaan alami yang optimal. Ruang servis diletakkan di depan dan diduplikasi ke atas untuk mengelompokan area basah dalam satu shaft. Sementara ruang komunal sebagai ruang penerima (entrance) dan ruang penghubung dua lantai, diletakkan di depan untuk memudahkan akses generasi milenial yang berada di lantai 2.
trANSFORMASI BENTUK

SKENARIO 1
Rumah bagi individu lajang, terdiri dari 1 lantai bangunan dengan luasan 18/ 80 m2.
SKENARIO 2
Rumah bagi pasangan muda dan orang tua, terdiri dari 1 lantai bangunan dengan luasan 36/80 m2.
SKENARIO 3
Rumah bagi kakek nenek, ayah ibu, dan anak. Terdiri dari 2 lantai bangunan dengan luasan 54/80 m2.
Denah ini didesain seperti bentuk studio apartemen. Walaupun telah disiapkan lahan, pada tahap ini bangunan hanya dibangun setengah karena alasan kebutuhan ruang dan ketersediaan dana. Individu lajang yang bekerja di pusat kota menggunakan transportasi publik untuk kebutuhan perjalanan. Kamar tidur diletakan di belakang untuk mendapatkan kebutuhan ruang yang tenang, diberikan jendela besar untuk pancahayaan dan penghawaan alami yang optimal. Kamar mandi didesain menggunakan glass block untuk pencahayaan alami, dan exhaust fan untuk penghawaan buatan. Letak dapur memiliki tujuan ke masa depan pada skenario berikutnya. Ruang serbaguna merupakan ruang fleksibel pada final desain ini.

DESAIN E
denah skenario 2
Ketika menikah, pasangan muda ini berkeinginan mengajak orang tua untuk tinggal bersama mereka. Penambahan ruang privat - kamar orang tua dan penambahan luasan ruang komunal - ruang serbaguna menjadi pertumbuhan rumah 2x massa bangunan awal. Orang tua telah pensiun dapat melakukan hobi berkebun,dan menjahit di rumah, serta sesekali menerima tamu di ruang teras.

denah skenario 3
Kakek Nenek beraktivitas di lantai 1, cucu dapat beraktifitas baik di lantai 1 dan 2, serta suami istri banyak beraktifitas di lantai 2. Dapur memiliki fungsi tambahan sebagai ruang kontrol nenek atau ibu saat cucu bermain di taman. Saat weekend anak dapat bermain dengan orang tua nya di lantai 2. Banyak jendela di lantai 1 maupun 2 memberikan pencahayaan dan penghawaan alami yang optimal. Taman yang luas dapat digunakan untuk acara kumpul keluarga saat weekend.

lantai 1 lantai 2
HASIL REVIU DESAIN
PRAKTISI
Perlu dikaji letak dapur di depan untuk rumah tapak kurang disukai oleh konsumen. Pengalaman sebagai pengembang, 2x mendesain dapur di depan, konsumen kurang suka. Dapur masih bagian dari servis bagi sebagain besar orang Indonesia, meskipun aktivitas berkumpul ibu-ibu biasanya di dapur. Tidak ada carport ini seni juga, ada desain di Bintaro Cluster Devine yang menempatkan carport komunal. Tapi apakah desain carport jauh dari rumah dengan harga mahal akan laku di Indonesia?
Dwi Hergiawan IAI Nasional Bidang Regulasi
KUESIONER "MULTI-GENERATION HOUSING"
Responden yang memilih desain ini 66,67% nya adalah wanita dengan usia di atas 30 tahun yang memiliki pendapatan di atas 4 juta rupiah, dan 50% sudah menikah.
Responden menilai bahwa desain ini menarik, terlihat sederhana sehingga mudah diadaptasi oleh awam, bentuk yang simetris menjadikannya mudah dikembangkan dan dibentuk, serta menyukainya karena mirip dengan desain kamar apartemen di Jepang. Bagian yang responden sukai adalah halaman yang luas, letak kamar, ventilasi mudah diletakan pada tiap part ruangan, model dan pengaturan tata letak, desain yang ringkas dan terdapat ruangan multifungsi, serta efisiensi dari keseluruhan ruangan.
Di antara beberapa masukan terhadap desain, sebagian responden merasa masih perlu menambahkan carport, serta ruangan masih standar dan bland perlu lebih diperkaya. Responden menyarankan perletakan tangga di luar bangunan.
HASIL PENILAIAN PUBLIK



pilihan DESAIN hasil penilaian publik

Berdasarkan penilaian preferensi desain responden pada kuesioner multigeneration housing, didapatkan hasil dari presentase tinggi ke rendah yaitu desain A 30,8%, desain B 21,5%, desain D 21,5%, desain C 16,9%, dan desain E 9,2%.
Responden menyukai desain A karena desain ini terkesan modern dengan open space di sisi depan dan belakang rumah sehingga mendapatkan penghawaan dan pencahayaan alami yang optimal, serta carport dan luasan menjadi nilai lebih dari desain ini. Desain B dipilih dengan alasan luasan dan pola sirkulasi yang rapi sehingga aman dan cocok untuk kebutuhan orang tua atau lansia. Desain C disukai responden karena kebutuhan ruang dan luasan yang sesuai, serta akses jendela yang dimiliki setiap kamar langsung dapat langsung melihat ke arah greenspace. Sementara desain D dipilih karena desain minimalis dan efisien sehingga mengakomodasi kebutuhan ruang, pencahayaan alami dimiliki setiap ruang, serta taman di sekeliling bangunan menjadi nilai lebih dari desain ini. Selanjutnya, responden memilih desain E karena menyukai pengaturan
tata letak, bentuk simetris sehingga mudah dikembangkan dan dibentuk, serta halaman yang luas dan ruang multifungsi menjadi nilai lebih dari desain ini
Dari total 65 respon, desain A mendapat pilihan terbanyak, hal ini menggambarkan publik lebih menyukai desain modern yang luas dengan penghawaan dan pencahayaan alami optimal, disertai dengan carport yang masih menjadi kebutuhan responden.
Dalam penyajian kuesioner, menurut responden sudah cukup baik, lengkap, dan mengedukasi, hanya saja terdapat beberapa masukan yang dapat menjadi pembelajaran bagi kami ke depannya yaitu menambah pertanyaan jumlah tamu atau keluarga yang berkunjung atau menginap setiap 3 bulan sekali, kuesioner ini terlalu Panjang, dan ada beberapa yang sulit dipahami untuk orang awan yang di luar teknik.





kesimpulan akhir.
Rumah sebagai tempat bernaung merupakan kebutuhan dasar manusia. Ia begitu akrab, namun juga ada begitu banyak narasi untuk mendeskripsikannya. Melalui studi yang dirangkum dalam buku ini, kami mencoba mencari tahu rumah seperti apa yang diinginkan oleh generasi muda Indonesia (generasi milenial dan Z), sembari mencari solusi atas permasalahan perumahan yang ada; seperti harga rumah di kota yang tidak terjangkau dan backlog perumahan.
Buku The Millennial City: Trends, Implications, and Prospects for Urban Planning and Policy dapat memberikan kita gambaran mengenai generasi milenial yang dinilai paling berpendidikan (Vinodrai et al., 2018, p. 287), melek teknologi informasi (Filion & Grant, 2018, p. 16), dan memiliki kepekaan akan keadilan sosial yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya yaitu generasi boomers dan X (Mallach, 2018, p. 281). Buku ini memiliki pesan untuk seluruh pemangku kepentingan, agar dapat merumuskan konsep transformasi perkotaan baru yang relevan untuk generasi ini.
Buku Housing transformations: Shaping the space of twenty-first century living dapat menjadi refleksi untuk kita bahwa tipe rumah selalu bertambah seiring berkembangnya masyarakat. Gaya hidup, perkembangan teknologi, kondisi ekonomi, sosial, budaya mempengaruhi cara kita melihat rumah dan mendefinisikannya. Tipe rumah yang baru atau berbeda akan memberikan wadah fisik bagi perkembangan baru tersebut, yang tidak dapat tertampung dalam tipe rumah sebelumnya atau yang sudah ada. Lalu bagaimana dengan rumah bagi generasi muda saat ini dan yang akan datang, khususnya di Indonesia? Apakah percakapan mengenai hal ini cukup diperbincangkan dan dianggap penting, mengingat tahun 2045 nanti konon kita akan menyambut Indonesia Emas dengan bonus demografi pada kelompok usia produktif?

Ada celah atau gap antara preferensi rumah bagi generasi ini dengan ketersediaan tipe rumah yang ada di pasar perumahan, sehingga membuat generasi muda terjebak di antara kondisi ekonomi dan keinginan memiliki rumah ideal. Parolek dalam bukunya Missing Middle Housing: Thinking Big and Building Small to Respond to Today’s Housing Crisis, menuangkan kegelisahan akan hilangnya sebuah opsi hunian yang disebut middle housing, sebuah tipe rumah pertengahan antara hunian tapak yang luas namun tidak terjangkau, dengan padatnya komplek hunian vertikal berbentuk apartemen yang menjulang tinggi di perkotaan. Padahal, tipe rumah pertengahan ini yang dibutuhkan oleh orang-orang kelas menengah dan dapat melengkapi dinamisnya kehidupan perkotaan.
Sebagai alternatif mencari solusi permasalahan ini, kita dapat mengulik kembali konsep the commons. Kapitalisme membuat kita lupa bahwa kita memiliki kekuatan selain hal yang bersifat materiil yaitu rasa kebersamaan, kasih sayang, kepedulian antara sesama dan rasa senasib sepenanggungan. Sudah saatnya kita menyadari bahwa permasalahan mengenai perumahan bukanlah masalah yang dihadapi individu seorang, melainkan masalah bersama yang harus diselesaikan bersama. Apalagi, bukankah rumah merupakan benda konsumsi bersama atau setidaktidaknya digunakan oleh sebuah keluarga?
Rasa kebersamaan, kasih sayang, kepedulian dan rasa senasib sepenanggungan merupakan rasa yang hadir bagi penghuni sebuah rumah. Rasa itu dapat diciptakan dan dijaga dengan sebuah kesepakatan bersama oleh orangorang dalam sebuah keluarga atau orang-orang tanpa ikatan darah sekalipun. Pada buku The Cohousing Handbook kita dikenalkan dengan konsep cohousing yang merupakan singkatan dari community atau collaborative housing. Buku tersebut menjelaskan bagaimana proses membentuk dan membangun sebuah cohousing.

Cohousing dapat menjadi salah satu alternatif tipe rumah yang dapat menyelesaikan permasalahan kepemilikan rumah dengan menerapkan the commons, rumah sebagai sumber daya bersama.
Ada kalanya sebuah solusi tidak selamanya menjadi solusi. Sebuah solusi dapat saja mendatangkan masalah baru. Begitu juga dengan cohousing. Seiring berjalannya waktu, cohousing mengalami berbagai permasalahan yang menyebabkan umur dari cohousing tidak bertahan lama. Pendekatan perancangan dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalah tersebut. Ini menunjukkan aspek fisik berupa desain dan perancangan memiliki andil dalam keberlanjutan sebuah hunian.
Hasil sudi kami menunjukkan bahwa rumah multi generasi merupakan salah satu tipe rumah yang dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi generasi muda (milenial dan Z). Hidup bersama dalam satu atap, apalagi dengan generasi yang berbeda, merupakan tantangan tersendiri bagi tipe rumah ini. Rumah harus dapat memenuhi kebutuhan ruang tiap individu dan juga dapat menyatukan mereka bersama.
Ruang dengan konsep open space, memiliki sirkulasi udara dan pencahayaan yang baik, area hijau dan juga luasan yang cukup untuk menampung kegiatan bersama, adalah yang paling diminati dan diinginkan. Dengan hasil yang didapatkan, kami berharap studi ini dapat menjadi sebuah formulasi untuk mengetahui rumah muti generasi yang tidak hanya mampu mengakomodir kebutuhan rumah bagi generasi muda kita namun generasi sebelumnya dan yang akan datang. kesimpulan akhir.

rekomendasi & saran.

Kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya generasi muda saat ini, menjadi hambatan utama dalam memiliki rumah tinggal. Jika konsep kepemilikan rumah tinggal tetap didefinisikan sebagai rumah satu keluarga, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tanpa adanya intervensi dari Pemerintah dalam mengendalikan harga beli rumah, tentu akan menjadi masalah yang tidak berujung pada solusi. Sementara itu, dengan kondisi ekonomi negara, bahkan dunia yang tidak kondusif, pasar properti Indonesia yang didominasi oleh pengembang swasta, tidak mungkin menurunkan harga beli rumah untuk memenuhi target penjualan. Perbankan pun memiliki risikonya sendiri dalam perhitungan suku bunga Kredit Perumahan. Meskipun demikian, beberapa gerakan mandiri dari masyarakat yang diinisiasi oleh lembaga non profit atau komunitas di beberapa daerah, justru mampu memberikan solusi terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tinggal, walaupun dalam skala yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk menjawab permasalah perumahan.
Di perkotaan, idealnya hunian vertikal dengan konsep transit oriented development atau TOD merupakan solusi bagi kebutuhan generasi muda, namun hasil studi yang kami lakukan menunjukkan preferensi generasi ini tetap memilih hunian dalam bentuk tapak sebagai rumah ideal bagi mereka. Karena memiliki rumah bagi mereka selain sebagai investasi, merupakan sebuah tempat yang memberikan ketenangan dan perasaan aman dan nyaman. Hal ini yang mungkin tidak dapat ditemui dalam konsep hunian vertikal, khususnya yang berbentuk TOD, yang memang dirancang untuk mengakomodir dinamisnya kehidupan kota. Kehidupan sosial di hunian vertikal juga jarang terjadi, mengingat setiap penghuni memilih mengisolasi dirinya dari dunia luar jika berada dalam unit hunian mereka. Sehingga, rasa kebersamaan, kasih sayang, kepedulian dan rasa senasib sepenanggungan yang dijelaskan sebelumnya, akan sulit dihadirkan di kehidupan perkotaan dengan hunian-hunian vertikalnya.

rekomendasi & saran.
Pemerintah dan pemerhati perumahan mungkin perlu mengkaji kembali tipe rumah yang cocok bagi perkotaan. Konsep kepemilikan rumah satu keluarga, mungkin dapat diangkat dalam diskusi lebih lanjut di bidang perumahan, haruskah konsep kepemilikan dimaknai sedemikian sempit? Rumah multi generasi menurut studi yang telah kami lakukan, dapat menjadi alternatif tipe hunian yang mampu menjawab permasalahan mismatch atau kesenjangan antara pasokan dan permintaan rumah di pasar perumahan untuk hunian di perkotaan. Studi terhadap preferensi dan gaya hidup para generasi muda (milenial dan Z), yang digadang-gadang menjadi pasar properti terbesar di tahun 2030-2045 ini, dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan solusi yang dapat mengatasi kendala terkait kepemilikan rumah tinggal di perkotaan. Rumah multi generasi dengan konsep kepemilikan bersama beberapa kepala keluarga di dalamnya, membantu menjawab backlog kepemilikan rumah sekaligus mengoptimalkan penggunaan lahan permukiman. Jika konsep ini dapat diakomodir dan diakui dalam regulasi nasional, maka mungkin transformasi hunian tapak menjadi middle housing (Parolek, 2020) di wilayah perkotaan khususnya, dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan rumah tinggal bagi sebagian besar warga perkotaan. Pemerintah daerah kemudian dapat mendorong melalui peraturan daerah dan perizinan, sehingga pihak swasta dan masyarakat selanjutnya dapat mengembangkan tipe rumah multi generasi ini sebagai tipe pertengahan, yang dapat menjadi pilihan rumah selain hunian rumah tapak dan vertikal apartemen, sehingga memperkaya tipologi perumahan nasional.