



Datangnya kaset di akhir tahun 1960-an sebagai media pengganti piringan hitam
telah menciptakan perkembangan yang cukup signifikan dalam sistem produksi musik Indonesia.
Sejak awal tahun 1980-an, profesi
dalam produksi musik sudah mulai
dibagi secara terstruktur sesuai dengan
perannya masing-masing, Beberapa label
rekaman juga turut memisahkan musisi
dan penyanyi sesuai dengan genre musik
yang dibawakannya agar proses promosi
dan pemasaran lagunya semakin efisien.
Tak hanya itu, era 80-an juga merupakan masa dimana kaset sedang mencapai puncak kejayaannya. Berbagai kaset berisi lagu populer melesat bagai meteor; terjual hingga ratusan ribu, bahkan jutaan keping! Untuk lebih jelasnya, kita simak di halaman selanjutnya, yuk!
INILAH SOSOK-SOSOK YANG
BERPERAN PENTING DALAM DUNIA PRODUKSI MUSIK!
Producer
SongWriter
Composer Arranger
Penanggung jawab keseluruhan proses produksi musik
MusicDirector
SoundEngineer Musician Vocalist
Konsultan artistik & pengarah rekaman musik
Pengatur sistem audio; termasuk mixing & mastering
Selama era 80-an, pra-produksi musik diawali dengan pengajuan rancangan lagu. Di tahap ini, song writer atau komposer akan mengajukan rancangan atau materi dari lagu-lagu ciptaannya ke produser.
Setelah lagu diajukan, music director akan mengadakan sebuah ‘workshop kecil’ bersama arranger untuk menentukan komposisi, lirik, dan aransemen yang sesuai. Hal ini diberlakukan dengan tujuan agar lagu yang sedang digarap dapat mengikuti tren yang sedang populer.
Setelah mengantongi konsep lagu, produser akan mencari atau melakukan audisi demi menyeleksi musisi; termasuk vokalis, grup, atau band, yang range vokal atau karakternya cocok untuk menginterpretasikan konsep lagu tersebut.
Musisi yang telah terpilih kemudian akan melakukan take di studio rekaman secara analog menggunakan kaset pita dan reel-to-reel tape. Tahap rekaman ini harus dilakukan secara live dalam waktu yang bersamaan, karena pada masa itu belum ada teknologi tracking yang memungkinkan untuk take rekaman per instrumen.
Jika dalam proses rekaman terjadi satu kesalahan saja, maka pita harus dibakar dan rekaman musik harus diulang dari awal!
Setelah produksi selesai, sound engineer (yang juga dibantu oleh arranger) akan masuk ke tahap pascaproduksi. Pada tahap inilah dilakukan mixing, sebuah proses dimana volume dan kualitas suara masing-masing alat musik dan vokal yang telah direkam akan diatur dan digabungkan menggunakan mixer dan equalizer.
Tahapan kelima ini dilakukan agar suara dari vokal dan musik yang telah direkam dapat terdengar harmonis dan seimbang.
Setelah mixing, maka tahap selanjutnya ada mastering, yakni tahapan dimana efek (seperti echo, reverb, atau chorus) ditambahkan guna menyempurnakan kualitas suara hasil mixing dengan menggunakan compressor dan limiter.
Tujuan dilakukannya mastering adalah untuk mengetahui kekurangan hasil mixing serta memastikan jika lagu sudah mampu terdengar dengan baik dan mulus di berbagai perangkat audio.
Setelah keenam tahapan sebelumnya selesai, hasil mastering kemudian dicetak ke dalam kaset dan didistribusikan ke label-label rekaman dengan ‘harga grosir’. Kaset yang telah dibeli oleh label rekaman kemudian dipromosikan (dapat melalui radio, televisi, sebaran poster, atau konser) serta dijual kembali dengan ‘harga khusus’ kepada pengecer dan toko-toko musik.
* Data didapat berdasarkan artikel di internet & buku “Rock ‘n Roll Industri Musik Indonesia” karya Theodore KS
Jangan lupa untuk scan QR code dan mainkan lagu-lagunya!
TakInginSendiri-Dian MadudanRacun-Bill Kerinduan-MeriamBellina JarumNeraka-Nicky
AkuCintaDia-Chrisye BintangKehidupan
NyalakanApi-Nike
IniRindu-Farid
SemutHitamJanganDuakan
DianPiesesha
BillandBrod
Bellina
NickyAstria
:2.000.000kaset
:1.000.000kaset
:500.000kaset
:500.000kaset
:1.000.000kaset
: 200.000kaset
:200.000kaset
:700.000kaset
:400.000kaset
NikeArdila
KehidupanChrisye-NikeArdila
:100.000kaset
FaridHardja-GodBless
DuakanCintaku-IndraLesmana
Pembajakan karya bukanlah hal yang baru di tanah air. Sejak awal tahun 1980-an, dimana kaset pita sedang ‘meledak’ sejadijadinya, Indonesia telah dihadapi dengan masalah pembajakan yang merajalela, terutama pembajakan kaset yang membuat para pencipta lagu semakin menderita. Parah banget, kan?! Yuk langsung kita cari tahu apa saja penyebabnya!
Kehadiran kaset “obral” atau “OB” (kaset berkualitas rendah) dan kasetkaset yang dijual dengan harga murah
seperti “kaset seribu tiga”, dan “kaset seribu lima” di awal tahun 80-an membuat industri musik Indonesia harus berjuang
dalam keadaan setengah pingsan karena
itu semua membuat keuntungan yang
didapat sangatlah minim. Padahal, harga sebuah kaset pada masa itu hanya
sebesar Rp750 s.d. Rp900, lho. Miris, ya!
Meskipun telah diberlakukan undangundang, pembajak tetap terus berulah. Kegiatan bajak-membajak ini tentunya merugikan pemerintah dan perusahaan rekaman yang telah membayar PPN secara resmi. Bahkan, para pembajak sampai ada yang nekat memproduksi label palsu demi membuat kaset bajakannya terlihat seperti kaset asli!
Bisnis pembajakan kaset yang ‘menggiurkan’ karena menghasilkan untung yang besar (hanya kepada pembajaknya saja, ya.) ini memanglah menyeramkan. Bahkan, seorang karyawan dari JK Records pun sampai ikut tergoda.
Diceritakan bahwa karyawan tersebut mengambil sampul kaset Dian Piesesha yang berjudul “Tak Ingin Sendiri” dari kantornya. Ternyata, ia mengambilnya untuk difotokopi dan dipakaikan sebagai sampul kaset bajakan yang akan dijualnya!
Kelakuan nekat masyarakat tanah air tidak sampai di situ saja. Indonesia bahkan sempat diprotes oleh Amerika Serikat karena telah mengedarkan kaset Live Aid dan Band Aid; sebuah pertunjukan khusus yang diikuti oleh para penyanyi asal Barat untuk misi kemanusiaan di tahun 1985.
Padahal, menurut penyelenggaranya, Bob Geldof, kedua pertunjukannya tersebut tidak pernah direkam dalam bentuk audio.
Lebih parahnya lagi, kaset yang berisi hasil membajak rekaman video Live Aid dan Band Aid tersebut telah diedarkan hingga kawasan Timur Tengah tanpa adanya bayaran royalti sepeserpun. Hal ini tentunya mengundang kemarahan
Bob Geldof dan membuatnya sampai mendatangi KBRI London untuk mengajukan protes!
Kasus pembajakan yang terbilang ‘ekstrim’ ini akhirnya membuat dunia internasional geram dan mengeluarkan ancaman pada Indonesia berupa pencabutan fasilitas pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor, yakni GSP (General System of Preference)
Menanggapi banyaknya permasalahan
bajak-membajak, akhirnya pada tahun
1982 Indonesia mengeluarkan RUU
Tentang Bantuan Hukum dan Hak Cipta
yang mewajibkan perusahaan rekaman
membayar honor kepada pencipta lagu
apabila hasil karyanya digunakan dalam bentuk lain.
Namun, menurut anggota DPR Fraksi
Persatuan Pembangunan, H. Arsul Sani, hal tersebut dirasa masih kurang pantas karena sebenarnya hak cipta tidak dapat
diambil alih dengan alasan apapun.
Berkat pendapat H. Asrul Sani mengenai Rancangan UU tahun 1982, pemerintah kemudian pun merilis SK Menteri Keuangan No. 758, 759, dan 760/ KMK.04/1982 yang mengharuskan setiap kaset yang beredar untuk ditempel stiker “Lunas PPN”.
Setelah beredarnya kaset Live Aid
dan Band Aid yang membuat Indonesia
mendapatkan ancaman penghapusan
GSP, akhirnya isi dari Undang-Undang No.
6 Tahun 1982 dan Undang-Undang No. 7
Tahun 1987 pun diputuskan untuk diubah.
Ancaman pidana bagi para pembajak
dari yang sebelumnya 5 tahun saja
kemudian ditingkatkan menjadi 7
tahun atau didenda paling banyak
100 juta rupiah .
Pada tahun 1987, Menmud Seskab
Moerdiono turut mencoba mengadakan
seminar internasional untuk membahas
intellectual property rights bersama
World Intelectual Property Organization (WIPO), badan khusus PBB yang
mengadministrasikan masalah hak milik intelektual. Seminar ini dihadiri oleh Dirjen
WIPO, Presiden Soeharto, serta beberapa
menteri dari Indonesia.
Melalui Keppres No. 17/1988 tanggal
27 Mei 1988, Presiden Soeharto mengesahkan persetujuan pemberian perlindungan hukum secara timbal balik terhadap Hak Cipta atas rekaman suara antara Indonesia dengan Masyarakat Eropa. Dengan adanya Keppres ini, maka sejak 1 Juni 1988 Indonesia akan bebas dari kaset Barat bajakan.
Terhitung sejak 10 Agustus 1988, semua kaset lagu Barat di Indonesia akan diedarkan secara resmi dengan lisensi atau izin langsung dari induk perusahaan rekamannya
Ketika memasuki periode 1989-1990, mulailah diberlakukan sebuah aturan;
Jika masyarakat Indonesia ingin memutar atau menyanyikan lagu ciptaan seseorang dengan
tujuan komersial, maka mereka diharuskan untuk membayar
royalti kepada penciptanya.*
• Candra Nazarudin Darusman lahir di Bogor, 21 Agustus 1957.
• Keinginan bermusik Candra tumbuh berawal dari gitar kecil yang diberikan kepadanya sewaktu SD.
• Candra merupakan perintis kegiatan Jazz Goes To Campus (JGTC)
• Ketika masih berstatus mahasiswa, pada tahun 1978 Candra mendirikan grup Chaseiro dan berhasil menelurkan 5 album bersama Musica Studios.
• Bersama Erwin Gutawa, Deny T. R., Aminoto Kosin, dan Uce Haryono, Candra membentuk grup Karimata pada tahun 1985 dan tampil dalam ajang North Sea Jazz di Belanda.
• Candra sempat memimpin Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) sejak tahun 1987 hingga 2001.
• Sembari bermusik, Candra juga bekerja sebagai deputi direktur biro di World Intellectual Property Organization (WIPO).
• Lagunya, “Perjumpaan Kita”, dibuat sebagai perwujudan dari rasa semangat untuk memajukan industri musik Indonesia melalui kampanye hak cipta dan kesenian serta PP 56/2021 Tentang Pengumpulan Royalti.
• Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman; album kompilasi karyanya yang ia nyanyikan bersama 16 artis Indonesia, mendapatkan penghargaan sebagai “Album Terbaik-Terbaik” pada AMI Awards 2018.
• Candra adalah pencipta lagu “Recover Together, Recover Stronger”, theme song pertama G20 Indonesia.