2 minute read

Data Bansos Salah Sasaran

BANSOS (bantuan sosial) ditengarai dapat mengurangi beban masyarakat miskin.

Bantuan sosial baik berupa dana tunai ataupun sembako, biasanya dibagikan kepada rakyat miskin sesuai kriteria. Namun sayang, kini ditemukan banyak kejanggalan. Banyak ditemukan data penerima bansos yang tak sesuai kriteria.

Berdasarkan data Kementrian

Sosial, ditemukan ada sekitar 10.249 data keluarga penerima manfaat bantuan sosial yang tak memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan sosial. Tim Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi), mengungkapkan buruknya sistem pendataan bantuan sosial. Data yang pengisian diisi asal-asalan. Alhasil, banyak petinggi perusahaan atau direksi

Jadwal Sim Keliling

POLRESTA KOTA BOGOR perusahaan yang masuk dalam daftar penerima bantuan.

Semua ini terjadi sebagai akibat dari buruknya koordinasi antar lembaga. Sehingga datadata mudah dimodifikasi. Tak jarang banyak nama pengusaha masuk data penerima masuk daftar penerima dana bansos untuk menyamarkan sejumlah aset yang dimiliki.

Buruknya pendataan rakyat

Hukum Atas

Kasus Arya

KEKECEWAAN keluarga almarhum Arya Saputra, korban pembacokan di Simpang Pomad atas sidang vonis terdakwa ASR alias Tukul, yang dijatuhi hukuman penjara 9 tahun, mendorong mereka untuk meminta audiensi dengan Wali Kota Bogor, Bima

Arya dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Sekali lagi kasus ini memperlihatkan pada kita bahwa dalam sistem kapitalis yang dianut Indonesia, keadilan adalah sesuatu yang relatif. Keadilan bisa ditawar sesuai dengan keinginan setiap orang.

Jika makna keadilan seperti ini, maka akan ada pihak yang dirugikan. Artinya tidak ada keadilan yang sebenarnya.

Untuk kasus Arya diatas, termasuk dalam jinayat. Pembunuhan disengaja maka hukumannya adalah kisas.

Jinayat adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.

Jenis-jenisnya adalah: Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan, Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.

Halimah Sholihah Bogor Utara miskin menunjukkan betapa rendahnya profesionalitas negara dalam masalah rincian data. Hal ini pun menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana pengentasan kemiskinan dilakukan jika data rakyat miskin pun masih simpang siur? Inilah watak sistem demokrasi kapitalisme. Pemimpin yang tercipta hanya melindungi para kapitalis pemiliki modal.

Kepentingan rakyat kecil pun akhirnya terlalaikan. Kepentingan rakyat dianggap beban. Negara pun tak memberikan sanksi tegas pada masalah salah sasaran bantuan sosial. Alhasil, kasus ini selalu terulang. Pemimpin yang ada pun cenderung rakus pada keuntungan materi semata. Padahal sungguh, rakyat adalah amanah. Kepentingan setiap rakyat wajib dipenuhi secara optimal oleh para pemimpin. Inilah kewajiban pemimpin. Mengurusi setiap kepentingan rakyatnya. Sayangnya, sistem yang saat ini dijadikan pijakan, mustahil mewujudkan pemenuhan urusan rakyat. Justru kezaliman yang kian tampak. Kemiskinan makin sistemik. Kita semua membutuhkan sistem yang amanah mengurusi rakyat. Yaitu sistem yang mengintegrasikan aturan agama dalam kepemimpinan umat. Karena hanya dengan sistem amanahlah, rakyat memperoleh keadilan yang merata dan sempurna di setiap pemenuhan kebutuhannya.

Yuke Octavianty Forum Literasi Muslimah Bogor

Anggaran Habis Untuk Rapat, Hak Rakyat Terus Dijerat

BELANJA pemerintah saat ini sedang mendapatkan sorotan. Presiden Jokowi menyatakan bahwa belanja negara kerap dilakukan tidak optimal, utamanya dalam APBD. Jokowi mencontohkan, ada pemerintah daerah (pemda) yang 80% anggarannya habis untuk kegiatan yang tidak konkret, yaitu rapat dan perjalanan dinas.

Sorotan terhadap belanja negara juga datang dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarkan temuan BPKP, terdapat potensi pemborosan belanja daerah hingga 21% dalam pelaksanaan RPJMN 2020—2024.

Kami menemukan adanya potensi pemborosan alokasi belanja daerah sebesar 21 persen dari nilai anggaran yang diuji petik, ujar Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh.

Mirisnya, pembelanjaan anggaran stunting juga bermasalah. Jokowi menyatakan, Sepuluh miliar untuk stunting, dicek. Perjalanan dinas tiga miliar, rapat-rapat tiga miliar, penguatan, pengembangan, apa-apa, bla bla bla, dua miliar. Yang benar-benar untuk beli telur itu hanya dua miliar. Kapan stunting akan selesai kalau caranya seperti ini?

Pernyataan Jokowi dan BPKP menunjukkan buruknya pembelanjaan anggaran di Indonesia. Uang negara dihambur-hamburkan untuk rapat, perjalanan dinas, serta belanja barang yang tidak terkait langsung dengan program pembangunan. Sebaliknya, anggaran yang benar-benar untuk kepentingan rakyat, justru dikerat-kerat sehingga sangat minim. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Banyak anak Indonesia saat ini mengalami stunting karena kekurangan asupan gizi. Anggaran yang seharusnya disalurkan untuk memberi mereka makanan bergizi, seperti daging, telur, ikan, dan susu, justru dihabiskan oleh para aparat untuk rapat. Entah rapat model apa yang sampai menghabiskan dana sebegitu besar. Bisa kita prediksi, yang terjadi di lapangan sebenarnya adalah penggunaan uang negara untuk keperluan pribadi pejabat dan aparat, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Hanya saja, praktik tersebut ditutupi dengan pelaporan yang mencitrakan seolah-olah para pejabat telah bekerja optimal. Berbagai pos pengeluaran di-mark up sehingga angkanya

This article is from: