
2 minute read
Jangan Stigma Guru Dan Sekolah Penggerak
ADALAH Doni Koesoema
A, dalam tulisannya di media mainstream berjudul “Penggerak Elitis” berkicau tentang Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Tulisannya menggelinding “menggilas” semangat entitas Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Kalau kita baca dari narasi Doni Koesoema, nampak Ia melakukan penghakiman pada upaya transformasi pendidikan.
Bila narasinya terasa menghakimi pemerintah, biasa dalam sebuah dinamika dan regulasi pendidikan.
Namun, bila narasinya terasa menstigma dan menghakimi entitas Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak, tentu jadi tak elok. Akan menyakiti person guru dan kepala sekolah.
Doni termasuk praktisi dan pakar pendidikan karakter.
Narasinya agak menjauh dari spirit pendidikan karakter.
Doni menuliskan “Sebenarnya, status Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak itu tidak menambahkan satu pun kualitas tambahan dari guru dan sekolah yang terpilih” . Ini sebuah ungkapan yang jauh dari benar, ini sangat subjektif dan melawan sejumlah fakta.
Seorang Guru Pengerak, Caca Danuwijaya dari SMAN 3 Kota Sukabumi dan Budi Setia Baskara dari SMAN 5 Kota Sukabumi, justru merasakan ada sejumlah manfaat dan kesempatan Ia berada dalam entitas Guru Penggerak yang transformatif. Ia merasa diupgrade dan merasa ikut kuliah lagi.
Bahkan Ia pun mengatakan ada sisi-sisi integritas, keterampilan dan penguatkan karakter dalam giat diklat Guru Penggerak. Artinya tidak hanya giat yang formalistik berlalu begitu saja. Caca dan Budi adalah Guru Penggerak yang merasakan langsung, manfaat program Guru Penggerak.
Doni pun sembrono mengatakan Sekolah Penggerak tidak menambah kualitas bagi sekolah. Faktanya sejumlah sekolah pinggiran dan agak terisolir, setelah mengikuti program Sekolah Penggerak, menjadi lebih transformatif. Sekolah dan gurunya menjadi lebih percaya diri. Sebaliknya ada sejumlah sekolah pavorit yang tidak lolos program Sekolah Penggerak malah merasa “tertampar” karena kalah sama sekolah pinggiran. Tidak jaminan kepala sekolah kota dan sekolah besar lolos Sekolah Penggerak.
Doni mengatakan “Kebijakan Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak harus segera dievaluasi” . Ya, kalau dievaluasi memang perlu semua hal perlu dievaluasi. Evaluasi, refleksi dan diambil tindak yang lebih baik demi guru Indonesia adalah baik dan perlu.
Namun ketika Doni mengatakan “Penggerak elitis seperti ini (Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak) sangat jauh dari spirit gotong royong yang seharusnya menjadi jiwa bagi cita-cita pencerdasan bangsa” Ungkapan nampak benar padahal menyesatkan.
Mengapa Saya katakan menyesatkan? Ungkapan bijak mengatakan untuk sebuah perubahan terbaik harus selalu ada pelopor, pionir, barisan terdepan dan “pasukan khusus” yang akan berdampak pada keseluruhan. Ekor mengikuti kepala, harus ada entitas terdepan yang memulai.
Guru Penggerak, Sekolah Penggerak adalah “mesin penggerak” bagi pendidikan Indonesia. Lokomotif itu penting dan utama, saat semua gerbong belum punya mesin sendiri. Pasukan baris berbaris yang terlatih pun ada elite komandannya. Program Guru Penggerak, Sekolah Penggerak _setidaknya_ telah melahirkan gairah baru, sengatan dan spirit baru bagi dunia pendidikan kita. Zona nyaman perlu dicubit dengan menginjeksikan virus perubahan. Guru dan sekolahan dibuat terjaga, tersentil dengan Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Spirit Profil Pelajar Pancasila, pembelajaran berdiferensiasi, penggunaan teknologi dan aplikasi yang dibutuhkan dunia sekolahan, sangat terasa. Setidaknya hal ini adalah sebuah upaya transformasi, adaptasi dan akselerasi dalam dimensi pendidikan kita yang tertinggal dari bangsa lain.
JALUR KHUSUS: Tampak pengedara motor melintas di jalur keluar masuk truk tambang yang penuh polusi.