Pontianak Post

Page 14

opini

14 Editorial Kenaikan Harga Elpiji 12 Kg PERTAMINA mengusulkan kenaikan harga elpiji 12 kilogram (kg) sebesar 36,2 persen mulai Maret 2013 kepada pemerintah. Harga jual elpiji 12 kg direncanakan naik dari sebelumnya Rp 5.850 menjadi Rp 7.966,7 per kg atau naik Rp 2.116,7 per kg. Kenaikan harga itu diklaim Pertamina akan mengurangi kerugian dari bisnis elpiji 12 kg sebesar Rp 1,1 triliun atau menjadi tinggal Rp 3,9 triliun. Kenaikan harga elpiji 12 kg diyakini tidak akan memengaruhi masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha kecil karena penggunanya berpenghasilan menengah ke atas. Untuk konsumen berpenghasilan rendah dan usaha kecil, sudah disediakan elpiji bersubsidi 3 kg. Pertamina kali terakhir menaikkan harga elpiji 12 kg pada Oktober 2009 sebesar Rp 100 per kg dari sebelumnya Rp 5.750 menjadi Rp 5.850 per kg. Padahal, biaya produksi elpiji terus mengalami kenaikan dari sebelumnya pada 2009 hanya sekitar Rp 7.000 menjadi Rp 10.064 per kg. Dengan biaya produksi saat ini Rp 10.064 per kg dan harga jual ke agen hanya Rp 4.912 per kg, ada selisih Rp 5.152 per kg yang mesti ditanggung Pertamina. Namun, hitung-hitungan bisnis itu tidak klop dengan hitung-hitungan pemerintah yang acuannya sama sekali berbeda dengan yang digunakan Pertamina. Melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pemerintah menilai rencana kenaikan tersebut tidak tepat jika dilakukan saat ini. Kondisi masyarakat tidak memungkinkan untuk menanggung beban naiknya harga elpiji 12 Kg. ”Waktunya tidak tepat,” tegas Hatta. Lantas, kapan waktu yang tepat? Sejauh ini belum ada penegasan dari pemerintah. Dengan tidak segera memberikan solusi kepada Pertamina atas dampak yang ditanggung dengan menahan harga elpiji 12 kg, pemerintah terlihat gamang. Apabila hal itu dibiarkan berlarut-larut, bukan hanya Pertamina, konsumen juga dirugikan. Seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir, harga elpiji 12 kg di beberapa daerah naik. Selain itu, di beberapa daerah terjadi kelangkaan. Apa pun pertimbangannya, baik inflasi maupun politik, sebaiknya ditegaskan saja, tidak setuju harga dinaikkan dengan sebuah alasan dan tindakan yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika memang tidak setuju, pemerintah bisa secara tegas dan resmi menolak rencana Pertamina untuk menaikkan harga elpiji. Setelah itu dilakukan penyelesaian politis, administratif, dan keuangan dengan Pertamina. Secara politis, pemerintah bisa memilih opsi menjadikan elpiji 12 kg barang subsidi. Namun, pilihan tersebut pasti mengundang gelombang gugatan. Opsi administratif dan keuangan bisa jadi paling tepat. Yakni, pemerintah bersedia mengurangi setoran dividen Pertamina ke pemerintah. Ini pilihan masuk akal. Sebab, keputusan menaikkan harga elpiji 12 kg pada dasarnya murni aksi korporasi karena merupakan barang nonsubsidi lantaran memang tidak terkait APBN. Persetujuan pemerintah semestinya hanya terkait dengan momentum dan pemerintah harus siap menanggung dampaknya. Tahun depan terjadi pemilihan umum. Hal ini membuat tidak ada waktu yang tepat untuk kebijakan tak populis. Pertimbangan politis pasti lebih dikedepankan daripada inti masalah, yakni ada produk nonsubsidi yang diintervensi. Jika demikian adanya, bisa dipastikan, kalau tidak terjadi tahun ini, kenaikan harga elpiji 12 kg tidak akan terjadi juga tahun depan. (*)

Pontianak Post

Pontianak Post

Selasa 12 Maret 2013

Ketika TNI Main Serbu oleh Mahmudi Asyari

DI sela-sela argumentasi mencari pembenaran, saya sangat menghargai pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Marsekal (Purn) Djoko Suyanto, yang menegaskan, “Apa pun alasannya, menyerang Mapolres adalah salah!” Pernyataan itulah yang semestinya keluar dari petinggi TNI sesaat setelah kejadian main serbu itu terjadi. Janganlah mencari-cari pembenaran dengan kejadian sebelumnya. Seharusnya pula ketika ada anggota Polri main tembak, Kapolri mengatakan serupa yang dikatakan Menkopolhukam tersebut. Sekiranya seperti, paling tidak anggapan mengendapkan kasus tidak akan mengemuka. Berkaitan dengan hal itu, melihat latar belakang memang perlu. Akan tetapi, bukan boleh menjadi pembenaran. Sekiranya semua proses hukum bisa menoleh ke belakang, tentu bukan hanya anggota TNI atau Polri yang boleh melakukan anarkis. Masyarakat yang merasa tidak mendapat keadilan pun tentu boleh melakukan hal serupa. Mereka juga berhak merasa tidak puas, terlebih lagi, sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, melaporkan kehilangan kambing ke polisi tidak jarang malah kehilangan sapi. Meskipun kasus lain seperti rebutan lahan sangat bisa menjadi pemicu yang mendompleng kasus penembakan itu. Dalam konteks penegakan hukum, bukan hanya TNI yang boleh merasa tidak puas. Rakyat sudah ke ubun-ubun rasa tidak puasnya. Hanya, jika rakyat berani menyerbu, nanti dibilang teroris. Ketika sudah ada stigma teroris seperti pengikut PKI yang wajib mati. Berkaitan kasus tersebut, mengetahui motif memang perlu, namun bukan untuk menjadi pembenaran sehingga dengannya merasa tidak perlu menghukum para penyerang. Menurut saya, sebagaimana ditegaskan Menkopolhukam,

Ilustrasi : Kekes

apa pun alasannya sudah salah, tinggal dipetakan peran masingmasing. Ikut-ikutan pun harus disanksi berat, karena secara hukum dianggap membiarkan atau membantu terjadinya pelanggaran hukum. Bahkan, sesuai doktrin militer universal di mana seorang komandan bertanggung jawab atas aksi anak buahnya, komandan batalyon atau dandim sekali pun tidak bisa lepas tangan begitu saja, karena aksi melanggar hukum itu tidak lepas dari ketidaksanggupannya mengendalikan anak buahnya. Maka, tepatlah ungkapan Presiden Sukarno di Bandung pada sekitar tahun 1950-an bahwa seorang prajurit tidak pernah salah. Komandanlah yang harus disalahkan, karena ketidakmampuan mengendalikan anak buahnya. Seharusnya, petinggi TNI saat ini, selain mendengar pernyataan Menkopplhukam, harus meniru ketegasan Jenderal (Purn) Riyamizard Riacudu. Jenderal yang terkenal keras terhadap infiltrasi intelijen asing tersebut, sudah beberapa kali memecat anak buahnya yang terlibat bentrok dengan Polisi. Terakhir ketika di Sumatera Utara

sebuah batalyon mengepung kota lantaran berseteru dengan Polisi. Sang jenderal tanpa ragu membekukan batalyon itu. Sehingga, sekiranya dia masih KSAD, barangkali tidak akan ribut dengan Tim Investigasi, karena dia pasti akan dengan cepat bertindak. Sebagaimana dijelaskan pihak Polri di OKU bahwa komandan mereka tidak mengetahui tindakan anak buahnya, menurut saya, bukan serta merta seorang komandan bisa lepas tanggung jawab. Ketika kasus itu terjadi, berarti komandan lalai dalam pengawasan sehingga orangorang itu bisa keluar dari barak secara bersamaan. Pastilah seorang komandan barak tahu, karena rumah komandan biasanya di depan. Itu, jika memang benar-benar tidak membiarkan. Akan tetapi, taruhlah memang tidak tahu ketika bergerak, namun beberapa saat kemudian tahu ada penyerangan sehingga semestinya bisa segera memerintahkan. Dan, menurut penjelasan Dandim di OKU, ada satuan TNI AD dari Kodim dan PM yang berusaha mencegah.

Namun, kenapa terus terjadi pembakaran? Saya yakin bukan pembiaran. Bagaimana mungkin seorang perwira bisa membiarkan hal itu. Akan tetapi, yang sangat dikhawatirkan adalah mereka tidak menghargai komandan. Apabila ini terjadi, tentu sangat berbahaya bagi masyarakat, karena bukan sesuatu yang mustahil jadi sekelompok orang liar. Terkait kemungkinan komandan tidak dihargai, Saurip KD mempunyai penjelasan. Sebagaimana dilontarkan dalam sebuah wawancara di Metro TV lantaran saat ini air tidak mengalir dari atas. Menurutnya, air justru muncrat ke atas. Dengan kata lain, perwira hidup dari usaha anak buahnya yang menurut UUTNI semestinya dicegah. Akan tetapi, mau dicegah bagaimana karena kesejahteraan kurang dan karena mereka harus mencari lahan meskipun UU TNI menegaskan tidak boleh membawa-bawa atribut TNI. Akibatnya, ketika ada masalah komandan sulit bertindak karena ikut hidup dari mereka. Dan, sekiranya bertindak pun pasti tidak didengar. Akibatnya, terjadilah seperti

di OKU yang meskipun—sebagaimana ditegaskan pihak TNI— komadan dan PM berusaha mencegah, namun pengerusakan tetap berlangsung. Terlepas dari sikap salah yang semestinya tidak perlu diperdebatkan lagi bagi para anggota yang merusak kantor pemerintah, pihak Polri juga harus berintrospeksi atas ulah sejumlah anggotanya yang lebih mementingkan uang ketika akan melayani masyarakat. Dan, menurut saya, apa pun pelanggaran anggota TNI jika masih dalam ranah lalu lintas sangat tidak pantas untuk ditembak. Dalam menangkap pelaku pidana saja—jika acuannya hukum—ada tatacaranya termasuk kapan menembak. Itu pun bukan untuk membunuh. Sehingga, dari segi apa pun alasannya, menembak pelanggar lalu lintas sangat tidak patut dan berlebihan. Terkait hal itu, selain prosesnya terbuka, anggota Polri yang melakukan penembakan harus dihukum berat. Kepada TNI dan Polri, jadikanlah kasus tersebut kasus terakhir. Masingmasing harus merasa berkewajiban menaati hukum agar rakyat merasa mendapatkan teladan.*

Terbit 7 Kali Seminggu. Izin terbit Menteri Penerangan RI No. 028/SK/Menpen/SIUP/A7. Tanggal 3 Februari 1986. Per­setujuan Peru­bahan Nama No: 95A/Ditjend. PPG/K/1998 Tanggal 11­September 1998. Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Jalan Gajah Mada No. 2-4 Pontianak 78121. Kotak Pos 1036. Fax. (0561) 760038/575368. Telepon Redak­si: (0561) 735070.Telepon Iklan/Pema­saran:735071. Hunting (Untuk seluruh bagian) Fax. Iklan 741873/766022. Email: redaksi@pon­tianakpost.com. Penerbit: PT.Akcaya PERTAMA DAN TERUTAMA DI KALIMANTAN BARAT Utama Press Pontianak. Pembina: Eric Samola, SH, Dahlan Iskan. Komisaris Utama: Tabrani Hadi. Direktur: Untung Sukarti. Pemimpin Re­daksi/Penang­gung Jawab: B Salman. Redaktur Pelaksana: Khairul­rahman, Muslim Minhard, Donatus Budiono, Basilius. Sidang Redaksi: Abu Sofian, Surhan Sani, Mela Danisari, Yulfi Asmadi, Andre Januardi, Mursalin, Robert Iskandar, Efprizan. Sekre­taris Redaksi: Silvina. Staf Redaksi: U Ronald, Deny Hamdani, Budianto, Chairunnisya, M Kusdharmadi, Hari Jawa Pos Group Kurniatama, Hendy Irwandi, Pracetak/Artistik: Mochsinin (Koordinator), Grafis: Sigit Prasetyo, Ilustrator: Kessusanto. Fotografer: Timbul Mudjadi, Sando Shafella. Biro Singkawang: Zulkarnaen Fauzi (Jl. Gunung Raya No.15 Telepon (0562) 631912). Biro Sambas: Hari Kurniatama (Jl P Anom Telp (0562) 392683) Biro Sanggau: Sugeng (Jl. Sudirman No. 4 Telp. (0564) 21323). Biro Ketapang: Asri Isnaini, (Jl. Gajahmada No. 172. Telp. (0534) 35514). Kabupaten Pontianak: Hamdan, . Biro Sintang: Sutami. Pema­saran/Sirkulasi: Kiki Fredrik S; Iklan: Dewiyanti.S. Percetakan: Surdi. Devisi Event: Budi Darmawan. Jakarta: Max Yusuf Alkadrie. Harga Lang­ganan per 1 Bulan dalam kota Rp 80.000,- (luar kota tambah ongkos kirim). Tarif iklan: Per mm kolom hitam putih Rp 40.000,- full colour Rp 50.000,- Iklan baris Rp 15.000,- per baris (minimal 2 baris, mak­­si­mal 10 baris) pem­bayaran di muka. Telepon Langganan/Pengaduan: 735071. Iklan: 730251. Perwakilan Jakarta: Jl. Jeruk Purut-Al-Ma’ruf No.4 Pasar Ming­gu, Jakarta Selatan 12560. Telepon: 78840827 Fax. (021) 78840828. Percetakan: PT.Akcaya Pariwara Pontianak. Anggota SPS-SGP ISSN 0215-9767. Isi di luar tanggung jawab percetakan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.