Jalan Terjal Pembebasan: Cerita Pendamping Anak yang Dilacurkan

Page 1


i


Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) melalui Program Peduli dengan dukungan dari The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Australia di Indonesia. Pandangan yang diungkapkan dalam buku ini tidak mencerminkan pandangan pemerintah Australia.

ii


iii


iv


Tim Penulis: Dewi Astri | Sumarni Jufri | Nina Priyana | Sri Handayani | Ade Jasti | Desy Rahman | Een Suhaeni | Erlan Herlambang | Halima | Iin Indrawati | Ruslan | Susan Agustina | Tukul Bintoro |Usman | Yetti Supriyati Tim Penyunting: Anna Amalia | Tiara Dewiyani | Salfia Rahmawati Disain Sampul dan Isi: Yadi de Wiryo Diterbitkan oleh: Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) Jl. Perintis I, Soragan RT.02, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55184 Telp. (0274) 5306210 E-mail: office@yayasan-samin.org Website:http://yayasan-samin.org Penerbitan ini didukung oleh Program Peduli

MEMBERDAYAKAN YANG TAK BERDAYA CERITA PENDAMPING ANAK YANG DILACURKAN

Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-52439-3-6

v


vi


Kata Pengantar Salah satu persoalan umum di kalangan pekerja sosial atau pendamping masyarakat adalah sulitnya mendokumentasikan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan bersama dengan kelompok-kelompok atau mitra-mitra di lapangan. Kalaupun ada dokumentasi tertulis, pasti sangat kaku dan tidak menarik pihak lain untuk mengetahui lebih dalam. Tradisi mendokumentasikan berbagai pengalaman yang dihadapi kebanyakan berhenti pada narasi tutur atau lisan sehingga sulit untuk disebarluaskan dan bisa menjadi pembelajaran bagi pihak lain. Buku “Jalan Terjal Pembebasan, Cerita Pendamping Anak yang Dilacurkan” ini menjadi salah satu inisiatif yang vii


dilakukan oleh Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) untuk mendokumentasikan pengalaman para pendamping kelompok anak yang sangat jarang diperhatikan oleh banyak pihak. Proses penyusunan dan penulisan buku ini melalui serangkaian workshop untuk menggali pengalaman mereka selama mendampingi Anak yang Dilacurkan di lima wilayah Program Peduli, yaitu di Surabaya, Bandung, Garut, Makassar dan Bandar Lampung. Semoga dengan tulisan pengalaman ini, akan semakin membuka cakrawala berpikir kita bahwa masih ada kelompok anak yang sangat membutuhkan perlindungan dan pemenuhan apa yang menjadi hak-hak mereka. Dan menjadi tantangan bahwa individu ataupun kelompok masyarakat sesungguhnya bisa memberikan kontribusi bagi anakanak yang terpinggirkan, sepanjang ada usaha dan kemauan dari kita semua. Selamat membaca …

viii


Pengantar Editor Edisi penyuntingan yang kami kerjakan dari naskah ini seolah membawa kami menyaksikan setiap kisah yang dituturkan oleh si empunya cerita. Kami seolah diajak untuk ikut merasakan apa yang dirasakan, juga mengalami apa yang dialami selama di lapangan. Ada energi yang turut mengaliri setiap ketikan tangan. Tanpa perlu ikut turun ke lapangan, kami dapat merasai setiap jengkal emosi yang terbangun dari tugas pendampingan yang selama ini telah dijalani. Tulisan Advokasi dari Mantan Praktisi, atau Diari Mantan Mucikari, misalnya. Akan kental sekali ditemui ada memorimemori yang membekas dalam perjalanan pendampingan ix


mereka. Terlebih lagi keduanya pernah mencecap sendiri getir pahit kehidupan di dalamnya. Begitupun dengan tulisan-tulisan lain yang dikisahkan oleh beragam latar. Ada yang berprofesi sebagai kepala dusun, ketua RT, tenaga medis, ibu rumah tangga, guru ngaji, hingga mantan kurir yang dulu sehari-hari pekerjaannya mengantar jemput anak yang dilacurkan untuk dibawa ke klien-klien. Kekuatan cerita tidak sama sekali ada pada setiap pemilihan bahasa yang dilakukan oleh editor. Namun justru dari setiap rasa dan pengalaman yang digoreskan secara lugas dari para pendamping. Beberapa di antaranya masih berupa goresan tangan yang justru menjadi satu bukti otentik bagaimana mereka berjuang di lapangan. Bukan tulisan atau pena yang digunakan, namun pesanpesan disampaikan begitu mendalam. Penyuntingan ini dilakukan dengan penuh pertimbangan, salah satunya untuk menghadirkan pesan dengan bingkai bahasa yang lebih mudah berterima. Tentu sebagaimana bingkai itu sendiri, fungsinya hanya untuk memperindah isi. Tanpa sedikit pun mengurangi cakupan dan esensi. Pada akhirnya, setiap isi, pesan, dan cerita dari buku ini tetaplah milik si empunya: para pendamping AYLA.

x


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................... vii PENGANTAR EDITOR ......................................................... ix Kegelisahan yang Menggerakkan ........................................ 1 Si Kepo dan Tukang Ikut Campur ....................................... 7 Mengasuh Kasih Tanpa Keluh Letih .................................. 15 AYLA dan Anak Perempuanku .................................... 16 Asah, Asih, Asuh AYLA ................................................ 19 Kenanga Meratap Kenangan ........................................ 21 Memikirkan Inovasi, Mencari Solusi .......................... 23 Membangun Kolaborasi ................................................ 25 Menembus Sekat-Sekat Penolakan..................................... 31

xi


Advokasi dari Mantan Praktisi ........................................... 37 Menembus Sang Madam .............................................. 39 Terjebak dalam Candu ................................................... 41 Sadar Menjadi Hal Paling Minimal ............................. 42 Menghuni Area Eks-Lokalisasi ........................................... 45 Pasca Penutupan Lokalisasi .......................................... 47 Merajut Upaya dalam Kebersamaan ........................... 50 Pembelajaran dari Anak-Anak Rentan ....................... 52 Menuai Benih-Benih Kebaikan..................................... 54 Pendampingan Dituduh Penyimpangan .......................... 57 Anak Nongkrong Warem .............................................. 59 Kisah si Anggrek............................................................. 60 Dianggap Perkumpulan Agama yang Menyimpang 62 Memimpin Dusun yang Kompleks .................................... 65 Area Aman Anak ............................................................ 66 Menanamkan Asa pada Bunga .................................... 68 Penolakan Berujung Pengertian ................................... 70 Demi Sebuah Kebermanfaatan ........................................... 73 Pelecehan oleh Guru Ngaji ........................................... 76 Mengupayakan Jalan Terang ........................................ 79 Mengurai Tantangan dengan Penuh Kesabaran ....... 80 xii


Secarik Makna dalam Perbedaan ....................................... 85 Terbatasnya Tempat Aman bagi Anak ........................ 87 Sekat ‘Anak Atas’ dan ‘Anak Bawah’ ........................... 89 Melati yang Tersakiti ...................................................... 93 Mendampingi Sepenuh Hati ........................................ 94 Pendampingan Mantan Kurir AJUDI (Anak Jual Diri) 101 Menjadi Kurir AJUDI (Anak Jual Diri) ..................... 102 Berproses bersama Forum Warga .............................. 104 Mengembalikan Secercah Harapan ........................... 108 Pendampingan dari Guru Ngaji ....................................... 111 Luka Memar Sang Mawar........................................... 112 Mengurai Masalah demi Masalah ............................. 115 Dari Guru Ngaji hingga Jadi Pendamping .............. 119 Perubahan Akan Selalu Ada Selama Ada Upaya.... 122 Diari Mantan Mucikari ....................................................... 125 Mengenang Masa Lalu ................................................ 126 Dari Benci, Jadi Simpati ............................................... 128 Kremil: Menuju Kampung Layak Anak ................... 129 Mencari Keadilan dalam Ketidakberdayaan .................. 133 Dunia yang Tak Adil .................................................... 135 Berproses dan Berprogres ........................................... 137 xiii


Masalah Bersama, Manfaat Bersama ........................ 141 Berbekal Modal SAJUTA (Sabar, Jujur, Tawakal) .......... 143 Beragam Sketsa di Bandung Utara ............................ 144 Tak Semulus yang Diharapkan .................................. 149 Mengupayakan Penyelesaian Bersama..................... 150

xiv


Kegelisahan yang Menggerakkan “Jablay!” “Perek!” “Pelacur!” “Anak haram!” “Anak bram!”

D

eretan serapah yang sering dilontarkan pada anak yang dilacurkan (AYLA) agaknya sudah sedemikian melekat. Pekat. Di usia yang seharusnya sedang ber1


kembang dari segi keterampilan maupun pengetahuan, seolah dimatikan. Stigma merupa momok yang merenggut harapan habis-habisan. Label-label itu membuat mereka tak lagi ada guna namanya. Masih anak-anak, tapi tidak dirangkul dan dituntun sebagaimana mestinya. Tebal sekali garis pemisah antara AYLA dan anak lainnya. Padahal seharusnya diperlakukan sama: sama-sama butuh bimbingan, bukan cacian. AYLA menjadi kelompok kelas entahlah yang keberadaannya dianggap hanya membuat resah. Apa yang sebenarnya diresahkan? Apa yang dianggap ancaman? Moral, katanya. Tapi tidak kataku. Di usianya yang masih dini, mereka masih perlu pengarahan dari yang sudah matang, harusnya. Namun yang terjadi, masyarakat kanan kiri atau yang biasa ada di sekitar eks-lokalisasi enggan mengayomi. Dinas sosial dan pihak-pihak berwenang tidak juga melindungi. Bagiku yang meresahkan bukan AYLA, tapi justru pihak-pihak yang tidak pernah bisa adil dalam memandang fakta. Ego yang utama, merasa benar jadi kiblatnya. Kegelisahan akhirnya menuntunku untuk memulai perjalanan yang aku sendiri masih meraba-raba akan seperti apa. Tepat sejak tahun 2010 aku bergabung dengan Children Crisis Center (CCC) Lampung, yang bagiku adalah sepercik harapan di ladang gersang. Tempat ini menjadi naungan orang-orang nol koma sekian persen yang masih 2


dengan sangat lapang membuka diri pada anak-anak, tanpa syarat tanpa label tanpa embel-embel. Children Crisis Center (CCC) Lampung menjadi tempatku memulai perjalanan mengawal AYLA di Kota Bandar Lampung. Kami melakukan pendekatan dengan Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), utamanya tentu untuk meluruskan pemahaman keliru atas AYLA yang berujung pada perlakuan yang tidak tepat. Bersama dengan Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), kami kemudian melakukan penjangkauan terhadap AYLA di tempat AYLA biasa nongkrong (mangkal) atau menjajakan diri. Kegiatan tersebut juga menjangkau dua wilayah eks-lokalisasi di Bandar Lampung yang ternyata banyak dijumpai anak-anak bekerja, baik di dalam maupun di luar eks-lokalisasi. Dari penjangkauan tersebut, AYLA terjaring lalu kami bawa ke panti. Tidak mudah memang, meyakinkan AYLA untuk bisa perlahan keluar dari situasinya. Banyak faktor yang berpengaruh pada setiap pengambilan keputusan. Mereka bekerja sebagai AYLA untuk membantu ekonomi keluarga, juga untuk mencukupkan segala beban yang harus ditanggung. Dengan bekerja di usia yang masih sangat dini, mereka tumbuh tanpa keterampilan dan tanpa latar belakang pendidikan yang memadai. Padahal keduanya menjadi modal utama untuk bisa berhenti dari pekerjaan menjajakan diri. Dengan memiliki keduanya, mereka berpotensi 3


untuk bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak dengan bekerja maupun membuka usaha. Sanggar mencoba hadir menjawab permasalahan tersebut, meskipun mungkin tidak sepenuhnya bisa menyediakan segala yang ideal. Sanggar hadir sebagai wadah AYLA dalam mengembangkan diri. Sedari awal kami menawarkan kesetaraan. Tentu kami mulai dari pendekatan yang kami gunakan. Kami mendesain sanggar sedemikian rupa agar menjadi ruang-ruang yang hangat bagi AYLA. Di dalamnya kami memastikan AYLA punya hak yang sama sebagaimana anak lainnya dalam berkegiatan, tanpa ada diskriminasi. Di sanggar, mereka bebas berkarya aneka rupa, berdialog, berelasi, serta berkreasi. Ada banyak aktivitas positif yang dihadirkan misalnya diskusi rutin, membuat kerajinan tangan, latihan menari, mengasah kemampuan Bahasa Inggris melalui English Club, serta kursus-kursus lain yang diselenggarakan guna meningkatkan keterampilan dan soft skill anak. Sanggar menjadi tempat yang sangat efektif untuk membaurkan anak AYLA dengan anak lainnya lewat kegiatan bersama. Anak AYLA juga mulai merasakan perubahan sikap orang tua dan masyarakat terhadap mereka. Anakanak merasa diterima oleh masyarakat sekitar dan dilibatkan pada setiap kegiatan. Selanjutnya sedikit demi sedikit, dengan perlahan namun pasti, hak-haknya mulai terpenuhi. 4


Benar saja, melalui metode itu mereka berhasil menyalakan kembali lilin-lilin pengharapan di hatinya yang sempat sempit asa. Itu yang menjadi dasar untuk terus memperjuangkan apa-apa yang masih bisa diupayakan. Beberapa dari mereka ada yang berhasil melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Tak sedikit pula yang kini bekerja di perusahaan, salah satunya perusahaan konsultan. Tentu menjadi kebahagiaan luar biasa bagi kami saat melihat mereka tumbuh menumbuhkan hidup dan yang utama, keluar dari situasi yang sempat menjebaknya dalam luka. Namun permasalahan yang kompleks tidak bisa selesai hanya dari satu sudut. Penyelesaian masalah tidak bisa hanya difokuskan dari sisi AYLA. Di luar itu, kami mengupayakan langkah-langkah komprehensif misalnya dengan turut melibatkan dan melakukan sosialisasi di kalangan komunitas serta SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang berhubungan dengan persoalan AYLA. Kami juga membentuk organisasi di tingkat komunitas yang kami beri nama Komite Pendidikan Masyarakat (KPM) dan mendorong terbentuknya gugus tugas tentang AYLA yang anggotanya terdiri dari SKPD serta lembaga-lembaga di komunitas yang berhubungan dengan isu AYLA dan traficking. Komunikasi dengan pemerintah terus dijalankan mengingat peran vital pemerintah dalam hal kebijakan serta aksi nyata terhadap permasalahan AYLA. Salah satu 5


perubahan akibat hubungan baik tersebut terjadi saat kami berhasil menjalin kerjasama dengan Dinas PP&PA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dalam melakukan kegiatan pencegahan terhadap ibu-ibu muda di wilayah yang baru. Selebihnya, kami terus mencoba membangun kesadaran pemerintah dan masyarakat di sekitar eks-lokalisasi bahwa AYLA harus dilindungi dan ditarik dari situasinya. Rasanya tidak pernah ada yang sempurna. Tentu masih banyak hal-hal yang akan terus disempurnakan. Sambil tetap konsisten mengupayakan langkah-langkah di atas, harapan yang lebih besar tentu ada. Secara pribadi, saya masih ingin ada shelter di Kota Bandar Lampung sebagai rumah aman bagi AYLA yang membutuhkan perlindungan. Sanggar yang sudah ada sebagai basis komunitas juga ingin saya kembangkan agar AYLA punya lebih banyak kegiatan bermanfaat dan lebih sering berbaur dengan anak lainnya disana. Selain itu, saya juga ingin memperluas jaringan KPM agar KPM mampu berkontribusi terhadap AYLA di komunitas dalam hal pemenuhan kebutuhan dan hak-hak AYLA. Semoga.

-Dewi AstriChildren Crisis Center (CCC) Lampung

6


Si Kepo dan Tukang Ikut Campur

A

wal pertemuan saya dengan AYLA menjadi pengalaman baru buat saya secara personal. Ada perasaan sedih yang menyelimuti kala itu. “Inikah mereka, anak-anak cantik korban dari orang-orang yang mengambil keuntungan dengan menjual tubuh mereka?” Terlalu banyak pertanyaan yang terlintas atas apa saja yang baru saja saya saksikan. Benar-benar tak menyangka ada hal-hal yang sedemikian miris melingkupi dunia anak-anak kita di luar sana. Saya masih bertanya-tanya bagaimana ini bisa terjadi dan mengapa orang-orang di sekelilingnya tak tergerak

7


untuk menghentikan praktik ini. AYLA adalah anak Indonesia, mereka punya hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Di usianya yang sekarang, mereka seharusnya sedang mengembangkan diri, menyerap pengetahuan, dan mengasah keterampilan untuk bekalnya nanti. Ah! Lamunan itu cepat saya alihkan. Saya tidak bisa hanya berlarut dalam kesedihan. Saya harus mampu menjadi bagian yang memecahkan masalah ini. Biarkan pertanyaan-pertanyaan di kepala menjadi pemantik untuk saya berkontribusi. Saat itu, saya datangi dan hampiri mereka satu persatu. Saya datang memperkenalkan diri, yang berarti juga meminta izin untuk bisa lebih dekat dan hangat. Pendekatan demi pendekatan pun terus dilakukan hingga anak-anak mulai terbuka. Kami pun bertukar cerita. Lama kelamaan, kepercayaan juga kenyamanan mulai muncul di antara kami. Mereka jadi sering curhat terkait apa-apa saja yang dirasakan dan dialami, mulai dari peristiwa sehari-hari hingga perasaan yang selama ini terpendam. Banyak dari mereka yang merasa kebingungan dengan diri sendiri, merasa gamang, tidak tahu arah tujuan, pergaulan tidak jelas, hidup pun berantakan. Mereka sadar bahwa apa yang selama ini dilakukan adalah keliru, dan berpotensi menghancurkan masa depan. Tapi lagi-lagi, kondisi ini menjadi semacam jebakan, antara kebutuhan dan keinginan.

8


Dari banyak curhat itu saya jadi tahu bahwa beberapa dari mereka terpaksa bekerja sebagai AYLA untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membantu orang tua dan keluarganya. Sebagai korban, mereka tak tahu apa saja konsekuensi yang harus dihadapi juga apa saja yang sudah terenggut atas keputusan dan pilihan hidup itu. Mereka hanya tahu bahwa profesi tersebut merupakan salah satu cara instan yang bisa membawanya mendapatkan materi tanpa harus berproses panjang dalam mengenyam pendidikan dan mengasah keterampilan. Entah hasil hasutan dari kawan-kawan sebayanya yang berprofesi sama, atau karena ada tekanan dari oknum-oknum tertentu, keduanya akhirnya menjadi jalan bagi mereka untuk terjerumus pada pilihan tersebut. Kondisi ekonomi memaksanya untuk berpikir keras bagaimana cara mendapatkan cuan. Orang tua atau lingkungan sekitar pun membiarkannya menanggung beban dan menjalani profesi itu tanpa ada arahan atas alternatif-alternatif lain yang bisa dilakukan dalam bertahan di situasi sulit kehidupan. Dengan membawa Program Peduli, kami mencoba membawa mereka untuk melihat lebih jauh realita kehidupan AYLA dan bagaimana dunia prostitusi bekerja. Kami berikan pemaparan atas resiko, konsekuensi, juga alternatif yang bisa dilakukan untuk tetap bisa survive tanpa harus terjerumus dalam aktivitas tersebut. Mereka harus berani bangkit, berani melawan ketidakberdayaan, berani 9


mengambil pijakan yang lebih layak meskipun berat. Kami tawarkan aneka kegiatan yang sekiranya bisa menambah keterampilan maupun pengetahuan sehingga mereka pun bisa melihat dunia dalam perspektif yang lebih luas. Kami dampingi dan berusaha untuk selalu ada saat mereka membutuhkan. Kami ingin mereka tahu bahwa di dunia ini, masih ada orang-orang yang bisa diandalkan. Tanpa imbalan, tanpa bayaran, tak perlu balasan. Cukuplah eksploitasi mereka terima dari lingkungannya yang terdahulu. Sebisa mungkin kami tanamkan atmosfir positif agar mereka percaya di dunia ini masih ada orang-orang baik yang ingin melihat mereka sukses. Dengan demikian, mereka bisa terus optimis menapaki jalan di depan yang penuh pengharapan. Dalam berkegiatan, mereka cukup antusias dan proaktif melibatkan diri. Melihat keceriaan dan semangat mereka, saya menjadi semakin termotivasi untuk terus bekerja, memperjuangkan hak serta memberikan manfaat yang lebih. Saya membayangkan, mereka bisa memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak lain dalam mendapatkan haknya meraih cita-cita. Selain permasalahan ekonomi, sebagian dari mereka juga merasa peran orang tua tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam memberikan pembinaan dan perlindungan. Mereka bisa keluar rumah sesuka hati tanpa pernah ditanya. Kekalutan pikiran dan beban psikologisnya di10


tanggung sendiri, tiada orang tua peduli. Kedekatan emosional dengan orang tua, atau orang-orang yang lebih tua di sekelilingnya tidak terbangun. Bahkan ada salah satu dari mereka yang oleh ibunya sendiri disebut sebagai pelacur. Tapi apakah setelah itu ibunya lantas mengarahkannya harus seperti apa? Tidak juga. Orang-orang yang seharusnya memberi kasih dan harapan, justru berubah menjadi kebencian. Mereka semacam hilang figur, hilang pegangan. Semakin menjadi-jadi lah mereka cari pelarian. Di fase itu, pengaruh lingkungan sekitar dan pergaulan dengan teman sebaya menjadi sangat penting. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi AYLA karena ajakan teman-temannya sendiri yang memperkenalkannya dengan seorang mucikari. Banyak juga yang akhirnya terjerumus karena mengalami kekerasan seksual oleh orang-orang terdekatnya, lalu dipaksa untuk menjalani profesi tersebut. Cerita-cerita itulah yang menggerakkan kami untuk terlibat dalam ranah advokasi. Masyarakat menganggap kami ini orang yang kepo. Terlebih lagi ada salah seorang anak yang orang tuanya tidak menginginkan kami untuk dekat dan memberikan pengarahan pada anaknya. Kami dianggap terlalu ikut campur mengurusi anak dan keluarga mereka. Kegaduhan itu berujung ancaman jika kami terus terlibat dan melakukan pendekatan. Padahal anaknya sendiri yang meminta dirinya dilindungi agar bisa keluar dari masalahnya. 11


Namun dari itu, saya merasa ada yang perlu dibenahi mulai dari lingkup keluarga sendiri. Pola asuh yang selama ini diterapkan pada anak sepertinya kurang tepat. Orang tua harus bisa membedakan kapan harus memberikan kepercayaan dan kapan harus memberikan pengarahan dan pengawasan pada anak. Proses yang dilakukan kami awali dengan kolaborasi bersama RT/RW setempat untuk duduk bersama membicarakan masalah AYLA. Alhamdulillah RT/ RW sangat merespon dan ingin terlibat dalam melakukan pencegahan agar anak-anak tersebut tidak lagi terjerumus dalam lubang yang sama. Mereka juga kooperatif dalam membantu kami melakukan pendekatan ke keluarga AYLA. Pada tataran keluarga, kami adakan pertemuan rutin dengan mengundang para orang tua dalam pelatihan parenting sekaligus sosialisasi pencegahan AYLA. Pemahaman dan skill parenting menjadi bekal utama dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak. Banyak dari orang tua yang salah mengambil sikap juga tindakan sehingga justru berdampak buruk terhadap tumbuh kembang anak. Kegiatan ini mendapatkan respon positif. Banyak dari orang tua yang akhirnya menyadari bahwa pendekatan serta perlakuan mereka terhadap anak selama ini adalah keliru. Upaya ini sekaligus dimaksudkan untuk membuat masyarakat memahami bahwa anak-anak adalah korban. Kita yang sudah dewasa inilah yang seharusnya bertanggungjawab mengayomi dan menuntun mereka pelan-pelan. Kita juga yang seharusnya menjadi figur yang 12


bisa dicontoh, bukan malah membekaskan trauma-trauma yang begitu melukai masa tumbuh kembang mereka. Biar bagaimanapun, pembiaran, pemaksaan, atau justru kekerasan pada anak dalam bentuk apapun tidak pernah bisa dibenarkan. Suatu hari salah seorang AYLA bercerita tentang bagaimana dia berusaha menyelamatkan temannya yang hampir menjadi korban kekerasan seksual oleh bapak tirinya. Ia merasa ada kekuatan yang menggerakkannya untuk bisa tak hanya menyelamatkan dirinya, tapi juga menyelamatkan rekan-rekannya dari jerat kekerasan anak yang mereka alami. Ini tidak lagi soal dirinya, tapi juga soal anak-anak AYLA pada umumnya yang seharusnya bisa mendapatkan rasa aman dan nyaman yang sama sebagaimana yang didapat anak-anak lainnya. Selain itu, ada juga AYLA yang berhasil mengubah dirinya dengan berusaha sekuat mungkin untuk berani meninggalkan masa lalunya dan membuka lembaran baru. Ia mencoba mencari alternatif yang bisa menghasilkan dan membantunya dalam mencukupi kebutuhan tanpa harus bersentuhan dengan dunia pelacuran lagi. Sekarang, ia berhasil membuka usaha kecil-kecilan di rumahnya sendiri sehingga masyarakat sekitar yang tadinya mencela kini berbalik memuji perubahan yang ia lakukan. Tak hanya memuji, mereka juga dengan bangga menceritakan perubahan baik ini pada masyarakat yang lain sehingga energi positif 13


dan harapan pun secara tidak langsung ditransmisi dari mulut ke mulut. Di titik itu pula lah saya merasa baik tim maupun anak-anak telah berhasil dalam menjalin rasa. Kini kami punya misi yang sama, sama-sama ingin berubah dan mengubah. Kami menyadari bahwa perubahan pola pikir masyarakat butuh proses yang panjang. Selain itu, perlu didukung oleh regulasi pemerintahan sehingga urgensi lebih tampak dan arah kebijakan lebih jelas dalam membela anak. Hal ini tengah kami advokasi untuk dapat masuk ke dalam regulasi pemerintah kota sebab jika peran pemerintah tidak ada, maka tantangannya akan lebih berat. Langkah-langkah yang sudah kami upayakan di atas harus terus-menerus dijalankan hingga suatu saat nanti ada upaya perlindungan anak berbasis partisipasi masyarakat. Kami harap persoalan ini benar-benar dilihat sebagai persoalan bersama sehingga butuh penyelesaian dan aksi bersama-sama.

-Sumarni JufriYayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) Makassar

14


Mengasuh Kasih Tanpa Keluh Letih

E

nam tahun sudah saya menggeluti dunia kesehatan. Tepatnya pada tahun 2002 lalu ketika saya bergabung dengan Yayasan Hotline Surabaya. Saya bekerja sebagai tenaga medis di klinik perempuan yang baru didirikan oleh yayasan. Klinik tersebut berada di antara dua lokalisasi di daerah Tambak Asri dan Bangunsari. Klinik dibangun di sana karena banyak Wanita Pekerja Seks (WPS) tidak bisa mengakses layanan kesehatan reproduksinya. Tak hanya itu, mereka juga minim informasi terkait kesehatan reproduksi, Penyakit Menular Seksual (PMS), dan HIV/AIDS karena minimnya interaksi dengan tenaga medis. Harapan15


nya, klinik yang berlokasi di delat lokalisasi mampu menumbuhkan kesadaran sejak dini dan upaya pencegahan terkait penyakit-penyakit yang berpotensi muncul dalam aktivitas seksual yang intens. Selama enam tahun itu pula saya belajar banyak dari Wanita Pekerja Seks (WPS) tentang bagaimana mereka menghidupi hidup secara lebih jauh. Saya mendapati bahwa ternyata profesi dan kegiatan prostitusi itu telah dilakukan secara turun temurun. Dahulunya, orang tua mereka merupakan pekerja seks hingga menurun ke mereka. Kini, anak-anak mereka pun juga dibiarkan menjadi Wanita Pekerja Seks (WPS). Informasi ini membuat saya gusar, namun sekaligus tertarik untuk mengenal lebih dalam bagaimana anak-anak ini bisa terjerumus ke dunia malam.

AYLA dan Anak Perempuanku Saat itu saya belum menikah sehingga bisa melihat perspektif dari sisi perempuan lajang. Pada tahun 2004 saya menikah dan kami langsung dikaruniai anak perempuan. Pengalaman yang saya rasakan tentu berbeda mengingat kemudian posisi saya berubah dari yang sebelumnya lajang kini menjadi seorang ibu yang memiliki anak perempuan. Memandang AYLA dari sudut pandang berbeda-beda itu justru semakin membuat saya berempati. Bagaimana tidak, saya memiliki anak perempuan yang suatu saat nanti akan 16


seusia mereka. Tentu banyak kekhawatiran bermunculan melihat betapa pahitnya dunia yang mereka kecap. Namun sebisa mungkin kekhawatiran tersebut saya transformasikan sebagai tekad untuk mendidiknya sekuat tenaga. Ayla menjadi anak-anak yang memberi saya banyak pelajaran hidup. Dari mereka saya jadi paham bagaimana seharusnya memperlakukan anak-anak seusianya. Baik anak perempuan saya maupun AYLA, saya tekadkan sebisa mungkin untuk bisa memberikan upaya terbaik saya dalam mendampingi tumbuh kembang mereka. Keduanya tak ada bedanya, sudah saya anggap anak-anak saya sendiri. Seiring berjalannya waktu, pernikahan saya pun tidak bertahan lama. Di tahun ketiga pernikahan, saya dan suami memutuskan untuk berpisah rumah. Anak ikut saya sehingga harus terpisah dari ayahnya. Namun saya tetap berusaha menjalin komunikasi dengan mantan suami, demi anak. Saya tetap jaga agar anak saya memiliki hak atas kasih sayang ayahnya. Saya berpikiran bahwa bagaimanapun orang tua memiliki masalah, jangan sampai anak yang menjadi korban. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan luka mendalam bagi anak atas perceraian yang harus saya alami. Dari AYLA saya belajar betapa pertikaian hingga perceraian orang tua seringkali menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan hal-hal di luar kendali. Mereka seperti terabaikan hingga mencari dunianya sendiri. 17


Sebagai pendamping, banyak cerita dari AYLA yang saya dapatkan termasuk bagaimana mereka akhirnya bisa menjadi seorang AYLA. Salah satunya dipicu oleh permasalahan keluarga atau perceraian kedua orang tua, sebagaimana yang kini juga mungkin dirasakan oleh anak saya. Anak-anak yang broken home tersebut selain kehilangan kasih sayang, juga kehilangan figur. Terutama saat kedua orang tuanya makin sibuk dengan dunianya masingmasing pasca perpisahan. Melihat anak perempuan saya seperti menatap anak-anak yang barangkali dalam hal broken home bernasib sama. Tapi justru mereka menjadi penyemangat saya untuk memulai perubahan dari diri sendiri, yaitu dengan menerapkan pendidikan dan pola asuh yang tepat bagi anak. Saya juga berusaha untuk selalu memastikan bahwa kebutuhan perhatian dan kasih sayang pada mereka tetap terpenuhi tak berkurang suatu apapun. Seiring tumbuh dan berkembangnya anak perempuan saya, banyak pertanyaan yang ia lontarkan terutama ketika saya tinggal di shelter bersama AYLA. Dari kedekatan saya, lambat laun ia paham bahwa AYLA merupakan anak-anak di bawah umur yang kerap mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis. Padanya saya ceritakan -dengan bahasa sederhana tentunya- bagaimana mereka di usianya harus menghadapi cobaan hidup yang berat. Padahal mereka dan anak perempuan saya tak ada bedanya. Dari kisah-kisah mereka pula saya tanamkan sejak dini bahwa semua 18


manusia sama, apapun latar belakang dan kehidupan yang dijalani. Beruntung saya menjadi saksi atas perjuangan hidup yang dialami oleh anak-anak yang saya dampingi. Mereka mengajarkan saya bagaimana seharusnya mendidik anak (terutama perempuan) agar melek dengan kemungkinankemungkinan terburuk yang dapat mengancam keselamatan dan masa depannya. Dengan demikian, anak bisa lebih aware sedari dini untuk hati-hati dalam bertindak atau berelasi. Dari AYLA pula saya juga belajar bagaimana seharusnya bersikap agar anak saya kelak tidak bernasib sama. Itulah sebabnya saya begitu menikmati kebersamaan dengan anak-anak yang saya dampingi. Mendampingi mereka sudah sama rasanya dengan mendampingi anak saya sendiri.

Asah, Asih, Asuh AYLA Menurut saya, pekerjaan menjadi pendamping anak tidak banyak diminati oleh kebanyakan orang. Tapi saya bangga menjalani ini semua meskipun banyak rintangan dan halangan yang harus dengan berani dihadapi. Saya meyakini bahwa tidak ada anak yang mau terlahir dalam kondisi yang bermasalah. Kalau boleh memilih, anak tentu ingin terlahir dari keluarga yang harmonis dan saling menyayangi. Setiap anak punya ekspresi juga cara yang berbedabeda dalam menghadapi beban hidup tersebut, 19


bagaimanapun kehidupan yang dijalani. Dengan keunikan karakter yang dimiliki, tentu pendekatan serta perlakuan yang diaplikasikan ke anak tidak bisa disamakan antara yang satu dengan yang lainnya. Pada yang demikian, saya belajar menjadi teman juga pendengar yang baik untuk kemudian bisa memahami tindakan yang tepat pada mereka. Hal itu membuat saya cukup dekat dengan anakanak. Bahkan setelah sekian lama tidak bertemu, banyak anak yang masih tetap berkomunikasi memberikan kabar baik yang menyenangkan, maupun sebaliknya. Saya merasa menjadi bagian dari mereka dan saya merasa mereka adalah keluarga saya. Saya tidak memiliki siapa-siapa di Surabaya. Hadirnya mereka membuat hidup saya lebih berwarna. Dari sekitar 300 anak yang pernah saya dampingi, sampai sekarang mereka masih suka berkomunikasi baik lewat sosial media maupun langsung datang ke shelter. Banyak juga orang tua yang sampai sekarang menjadi saudara dan saling menjaga tali silaturahim. Ada orang tua yang kalau kebunnya panen, saya langsung dibawakan berkarung-karung hasil panen. Atau kalau mereka ada hajatan, saya selalu diminta datang. Sekarang sudah banyak orang tua yang berubah cara pandangnya terhadap anaknya. Saya sangat bahagia jika ada cinta, kasih sayang, dan komunikasi yang baik antara anak dan orang tua.

20


Kenanga Meratap Kenangan Ada salah seorang AYLA yang begitu dekat dengan saya bernama Kenanga (nama samaran). Tekanan dari sekitar membuatnya memilih untuk tinggal di kos. Hanya sesekali ia pulang, itupun untuk memberikan biaya hidup pada adik dan neneknya. Menjadi pekerja seks online yang dijalaninya tentu tidak mudah. Ada laki-laki yang suka menyakitinya, bahkan terkadang ada pula yang mengambil uangnya. Namun di luar itu semua, ada sesosok laki-laki dewasa yang mendekat dan akhirnya membuat komitmen untuk berpacaran. Selama sekian bulan bersama, sang pacar masih tidak tahu profesi yang dijalaninya. Hingga suatu hari, sang pacar mengecek aktivitasnya di media sosial dan menemukan fakta bahwa kekasihnya adalah pekerja seks online. Beruntungnya, saat itu sang pacar masih mau menerimanya dengan syarat mereka membuat komitmen baru. Komitmen itu mengharuskan Kenanga berhenti bekerja dan memulai hidup baru tanpa om-om. Situasinya tentu berat karena dengan begitu ia akan kehilangan pemasukan. Padahal kebutuhan hidup dan tanggung jawab menghidupi keluarga terus berjalan. Sedang selama ini semua tanggungan tersebut berhasil dipenuhi justru dari hasil kerjanya itu. Dengan berbagai pertimbangan, Kenanga memilih untuk membuat komitmen dengan pacarnya dan meninggalkan kehidupan kelamnya. Keduanya pun akhirnya tetap bertahan untuk menjalin hubungan bersama. 21


Waktu tiba-tiba terhenti saat tiba pada satu permasalahan yang lebih kompleks. Kenanga hamil tanpa diketahui siapa ayahnya. Hal itu tentu membuat sang pacar murka. Pacar pun menerka-nerka bahwa Kenanga masih melanjutkan pekerjaannya secara diam-diam. Padahal tidak, Kenanga sudah menjalani komitmen untuk sepenuhnya berhenti demi setia kasihnya pada sang kekasih. Namun seperti tertimpa bertubi-tubi lara, seolah ia tak dibiarkan bahagia barang sebentar saja. Kekasih yang mau menerima diri beserta masa lalunya apa adanya pun memutuskan untuk tak melanjutkan hubungan. Ia ditinggalkan begitu saja dengan kandungan di perut, seorang diri. Namun sesungguhnya ia tak pernah sendiri. Ada kami yang selalu siap menemani. Shelter adalah rumahnya, ia bisa pulang kapan saja. Orang-orang di dalamnya adalah keluarga, sebab keluarga tak selalu dari darah yang sama. Atas kesamaan rasa, kami saling menjaga. Kenanga akhirnya datang ke shelter dan menceritakan semuanya. Saya sangat bersyukur saat tau ia datang dengan penuh kesadaran. Alih-alih melakukan hal di luar kendali, ia masih melihat shelter sebagai ‘rumah’ yang aman baginya untuk bersandar. Ia pun kemudian saya ajak untuk memetakan permasalahan dan melihatnya secara lebih netral. Bersama-sama kami mulai susun rencana, mencari pilihanpilihan terbaik, sambil tetap meyakinkannya bahwa selama proses berjalan, ia akan terus mendapatkan pendampingan menghadapi segala bentuk konsekuensi1. 22


Sejak saat itu, kondisi psikisnya perlahan berangsur membaik. Kini ia sudah lebih semangat untuk menata hidupnya lagi. Ia mulai menerima kehamilannya, mencari tahu segala seluk beluk kehamilan, dan menjaga kesehatan sebaik mungkin. Ia juga tergerak untuk mengurus ijazah sekolah agar lebih mudah dalam mendaftar sekolah lanjutan atau mencari pekerjaan alternatif. Rencananya, Kenanga ingin mengikuti kursus salon kecantikan atau rias manten agar setelah melahirkan nanti ia mampu menghidupi diri dan bayinya. Dalam kondisi tersebut, tak pernah absen kami libatkan dia dalam berbagai kegiatan bersama anak-anak lain. Kami ingin aktivitas tersebut bisa memberinya keceriaan dan harapan. Meski tentu berupa aktivitas ringan dengan tetap mempertimbangkan kesehatan Kenanga maupun si bayi. Hal itu dilakukan agar ia tetap percaya bahwa ada lingkungan yang tetap menerima dan mendukung bagaimanapun keadaannya.

Memikirkan Inovasi, Mencari Solusi Memang menjadi berat ketika AYLA yang didampingi sudah memiliki anak. Secara ekonomi, anak tentu saja akan terbebani dengan tuntutan dan tanggungjawab baru. Menanggung tanggungjawab sedemikian besar di usia yang masih dini tanpa bekal keterampilan tentu akan membuatnya semakin tertatih berjalan. Apalagi saat tahu tidak ada 23


alternatif pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang selain menjadi AYLA. Beruntung masih ada dari mereka yang tetap berjuang serta memiliki tekad kuat untuk berubah. Beberapa dari mereka kini beralih profesi menjadi penjaga toko, penjaga warnet, atau bekerja di laundry. Namun pada yang memutuskan untuk kembali ke arah sana, tentu hal yang di luar kendali. Saya tidak bisa memaksakan keinginan saya sebab pada akhirnya mereka lah yang memiliki sepenuhnya hidup mereka. Hanya jika mereka datang lagi dengan masalah yang sama, saya tetap akan membantunya dengan membuat kesepakatan bersama. Mengasuh memang harus penuh asih yang mengalir tiada henti. Sambil terus memikirkan inovasi yang sekiranya bisa menjadi solusi permasalahan tersebut, kami mulai merenovasi shelter yang digunakan sebagai sanggar kreatifitas anak. Harapannya tentu untuk memunculkan harapan, memberi bekal hidup dan keterampilan agar mampu mendapatkan penghidupan alternatif. Selain itu juga untuk mengembalikan rasa percaya diri anak dengan cara terus dilatih dan diasah untuk membaur bersama orang-orang yang tinggal di sekitar shelter. Pada praktik di lapangan, saya selalu berusaha menciptakan bonding dengan AYLA sebelum memaparkan program. Ketika berinteraksi dengan anak-anak, saya berusaha menjadi teman sekaligus pendengar yang baik buat mereka. Melalui curhat, candaan, atau obrolan ringan, saya 24


berusaha menciptakan ruang yang hangat agar mereka merasa diterima dengan tulus. Barangkali perasaan nyaman atas ketulusan itu adalah hal yang langka didapatnya, mengingat sudah terlalu banyak orang yang mengecam dan mengutuki. Terlalu banyak pula orang yang mendekat hanya untuk kepuasan sesaat. Kepercayaan lalu menjadi hal yang langka. Tapi justru rasa nyaman dan percaya itulah yang pertama sekali saya upayakan ada dan tumbuh dalam diri mereka atas keberadaan saya dan tim. Setelah anakanak ini nyaman dan dan bisa berbagi cerita, baru saya berikan informasi terkait pengembangan diri. Di antaranya berupa pemahaman atas konsep diri, kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, narkoba, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), aborsi tidak aman, dan jika anak sudah aktif secara seksual biasanya juga saya berikan informasi terkait penggunaan kondom yang benar. Informasi saya berikan secara bertahap mengingat masalah-masalah yang dimiliki anak juga sangat kompleks. Ketika anak-anak menyampaikan masalah mereka, saya selalu berikan pilihan-pilihan solusi sehingga mereka bisa punya hak juga untuk mengambil keputusan.

Membangun Kolaborasi Ketika saya mendampingi anak, maka otomatis saya juga harus berhadapan dengan orang tua mereka. Dan proses mengubah paradigma orang tua tentang pengasuhan anak adalah proses yang panjang. Orang tua mendapat pendidikan dari orang tua mereka terdahulu, dan ini 25


diturunkan pada bagaimana mereka mendidik anak. Jadi ketika orang tua mendapatkan kekerasan, pengalaman ini akan mereka bawa dan lakukan pada anak mereka. Selain itu, paradigma bahwa istri atau anak perempuan ujungujungnya nanti hanya 3M (macak, masak, manak)2 dan kendali kuasa ada di laki-laki juga turut berkontribusi. Memutus mata rantai pola asuh yang kurang tepat itu cukup menjadi PR tersendiri bagi saya juga tim. Maka, pendekatan terhadap orang tua dan keluarga memang menjadi prioritas untuk diupayakan sebab mereka adalah orang-orang terdekat yang cukup berpengaruh dalam setiap pengambilan keputusan AYLA. Namun bukan berarti bisa menggeser hal yang lain yang juga tak kalah penting untuk diedukasi, yaitu lingkungan tempat anak tinggal. Lingkungan menjelma menjadi ekosistem yang menyumbang label serta stigma yang semakin memperburuk keadaan. Minimnya informasi yang masyarakat ketahui tentang masalah remaja serta rendahnya tingkat kepedulian warga jika ada kasus entah itu KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau perkosaan, juga menjadi poin yang perlu dipahami. Pada program peduli tahun ini, Yayasan Hotline Surabaya berusaha mensinergikan kegiatan dengan DPSA, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, serta Dinas Pendidikan untuk saling melengkapi kegiatan yang mereka punya. Dengan DPSA kita berkolaborasi untuk kegiatan yang 26


bertema Kampung Pendidikan Kampung’e Arek Surabaya (KPKAS). Ada setidaknya lima kategori lomba di DPSA yang diadakan dengan tujuan untuk lebih menggali kepedulian masyarakat pada isu anak, di antaranya lomba kampung aman, kampung pendidikan, kampung kesehatan, kampung asuh, serta kampung inovatif dan kreatif. Saat ini, Yayasan Hotline Surabaya tengah berupaya merangkul orang-orang yang mempunyai kepedulian yang sama. Kami datang ke kelurahan dan mengajak kerjasama Bu Lurah serta orang-orang yang berpengaruh untuk mengadakan kegiatan bersama dengan melibatkan masyarakat. Bersama Dinas Sosial, kami bekerja sama dengan pekerja sosial terkait penanganan anak dan rujukan. Bersama Dinas Kesehatan Kota Surabaya, kami membuat kesepakatan terkait penanganan masalah anak berbasis sekolah agar beberapa puskesmas yang dekat dengan wilayah sekolah yang kami dampingi bisa ramah anak. Bersama Dinas Pendidikan, saat ini Yayasan Hotline Surabaya juga sudah memiliki sekolah bernama RISMA (Rintisan Sekolah Mandiri) untuk anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus. Pengurus sekolah ini sangat mendukung program. Bahkan Kepala Sekolahnya siap menampung anak-anak yang kurang beruntung. Selain pelajaran yang harus diperoleh anak-anak, kami berikan keterampilan dengan harapan kalau anak tidak bisa melanjutkan sekolah, mereka sudah ada bekal untuk memenuhi 27


kebutuhan ekonomi. Satu minggu sekali keterampilan itu diberikan. Saat ini anak-anak sedang berproses untuk membuat pola dari bahan tanah liat. Setiap hari sabtu anak-anak juga diajak berdiskusi terkait persoalan remaja. Dengan sepuluh sekolah yang juga memiliki cara pandang sama, Yayasan Hotline Surabaya bekerjasama untuk penanganan AYLA, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), dan penyalahgunaan obat-obatan atau narkoba. Anak-anak yang kami anggap memerlukan bantuan dilatih selama tiga hari terkait hal tersebut. Kami juga mengadakan pertemuan dengan para guru untuk mengupgrade pengetahuan mereka tentang perlindungan anak. Sekolah-sekolah yang sudah mengenal Yayasan Hotline Surabaya juga langsung berkonsultasi jika ada masalah-masalah yang tidak sanggup mereka hadapi. Yayasan Hotline Surabaya juga menerima rujukan dari lembaga lain maupun dari kepolisian. Saya berbahagia dengan kehidupan saya sekarang. Suami mendukung aktifitas, teman-teman kantor sudah seperti keluarga sendiri. Pekerjaan rumah terbesar saya sekarang adalah bagaimana caranya mengubah stigma yang dilekatkan pada anak yang kami dampingi. Masyarakat menyebut mereka anak nakal serta mengucilkan mereka karena dianggap bisa menulari anak-anak lain yang tinggal di lingkungan itu. Namun tidak bagi saya. Tidak akan pernah. Itu yang akan terus saya perjuangkan. AYLA sama 28


saja seperti anak perempuan saya, juga anak-anak lain pada umumnya. Dari AYLA saya sadar, bahwa hidup itu bukan untuk mencapai apa yang saya inginkan, tapi bagaimana saya berguna untuk membantu sesama perempuan.

-Nina PriyanaYayasan Hotline Surabaya Footnote: 1

2

Ketika proses editing berlangsung, dikabarkan bahwa bayi yang dikandung si anak meninggal jelang proses persalinan. Saat ini anak sedang dalam tahap pemulihan, baik fisik maupun psikis. Ia juga sudah mulai membuka diri lagi untuk bekerja dan beraktifitas. berdandan, memasak, melahirkan

29


30


Menembus Sekat-Sekat Penolakan

T

idak banyak yang saya tahu, apalagi lakukan, berkaitan dengan anak-anak yang dilacurkan. Terlintas di pikiran bahwa di luar sana ada anak-anak yang bekerja menjajakan diri saja tidak ada. Kalaupun ada sebersit saja, itupun saya pikir mungkin hanya sepersekian orang. Namun pikiran itu terpatahkan sejak saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada banyak sekali anak yang terlibat, terjerumus, atau dalam kondisi di bawah tekanan terpaksa berada dalam lingkaran itu. Saya terus mempertanyakan kemana figur-figur dewasa yang seharusnya bertanggungjawab untuk menuntun dan memberikan wawasan. Beruntung 31


saya bergabung di SEMAK, sebab pengalaman ini benarbenar membuka mata saya tentang realita di luaran sana yang tidak banyak orang sadari. Perjalanan bersama AYLA saya mulai sejak bergabung dengan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) yang berbasis di kampung halaman saya sendiri, Garut. Bersama tim, saya melakukan pendampingan dengan terlebih dahulu mencari tahu dan mendata informasi tentang keberadaan AYLA. Biasanya data ini didapat dari proses penjangkauan yang dilakukan di setiap RW, warem (warung remang-remang), serta tempat nongkrong anak. Dari data tersebut, kami melanjutkan dengan pendekatan terhadap AYLA dan keluarganya. Tentu proses yang panjang untuk bisa sampai pada fase diterima. Banyak dari mereka yang melakukan penolakan. Hal itu semakin mempersulit upaya memberikan pengertian tentang apa saja resiko dan konsekuensi yang harus dihadapi sebagai AYLA. Penolakan tersebut sebenarnya cukup beralasan mengingat profesi mereka mendekatkannya pada uang dan kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan sendiri. Sedangkan apa yang kami tawarkan tidak menjanjikan apa-apa yang berkaitan dengan materialitas, selain penghidupan yang layak dan jauh lebih baik daripada yang sekarang. Dengan beragam alasan, mereka seringkali menghindar ketika dihubungi, tidak ada di rumah ketika dilakukan home visit, serta tidak pernah menghadiri undangan acara ketika 32


dilakukan kegiatan di sanggar. Tak bosan kami ulangi lagi dan lagi segala bentuk upaya pendekatan tersebut. Berulang kali kami mendekati, memberi pengertian, serta melakukan home visit dibantu ibu-ibu kader Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), meski berulang kali pula ditolak. Tak hanya AYLA yang sulit didekati, orang tua pun kerap jadi penghambat. Tidak banyak orang tua yang mau peduli dengan apa yang dialami AYLA, sepanjang uang terus mengalir. Tidak peduli bagaimana nasib anak ke depannya, yang penting bisa untuk mengisi perut hari ini. Miris memang ketika orang tua kandung sudah tak memiliki empati bahkan kepada darah dagingnya sendiri. Namun itulah realita yang terjadi. Dan hal itu yang semakin menambah deretan tantangan yang dihadapi saat hendak membantu AYLA keluar dari lingkarannya. Beruntungnya, kami cukup didukung oleh pihak RT, RW, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ada di wilayah tersebut. Jaringan ini menjadi bekal kami dalam melakukan pendekatan lebih lanjut pada AYLA dan keluarganya. Secara formal, kami juga telah meminta izin kepada aparat setempat sehingga kegiatan kami diketahui oleh pihak-pihak terkait. Harapannya tentu agar pihak-pihak yang terlibat maupun dilibatkan merasa aman dan yakin. Setidaknya upaya-upaya tersebut turut membuat AYLA maupun keluarga berangsur menerima kehadiran kami dan sedikit demi sedikit mau berbagi. 33


AYLA yang tadinya amat tertutup, akhirnya berangsur membuka diri. Melalui obrolan ringan hingga cerita yang mendalam dilakoni dengan intensi yang semakin hangat. Tak sedikit dari mereka mengeluhkan sering dihinggapi perasaan tidak layak hidup karena merasa tidak suci lagi, atau juga karena sering dipandang sebelah mata oleh lingkungan. Tak bisa dipungkiri, label yang melekat dari masyarakat memang sebegitu kentalnya. Banyak dari mereka harus menanggung sakit hati atau mendapat tekanan sana sini akibat profesi yang dijalaninya itu. Kami harus terus memberikan pengertian bahwa mereka itu layak hidup dan beraktivitas sebagaimana anak-anak pada umumnya. Tak ada yang lebih menguatkan daripada harapan. Maka kami terus aliri harapan-harapan itu agar anak-anak bisa belajar membuka diri dan semakin percaya diri sehingga mampu membuktikan bahwa mereka memang bisa lebih baik. Biar bagaimanapun juga, mereka lah yang kelak akan menjalani dan membawa hidupnya akan kemana. Tanpa dorongan dan arahan, mereka akan berpikir bahwa bertahan di lingkungan lama menjadi satu-satunya cara. Bisa jadi mereka akan semakin terjerumus ke hal-hal yang tak disadari berbahaya untuk masa depannya akibat minim pandangan dan wawasan. Di titik itulah diperlukan figur-figur dewasa yang bisa menuntun dan mengarahkan anak satu demi satu hingga pemahaman individu tersebut berubah menjadi kesadaran 34


kolektif. Biasanya, anak-anak yang sudah mendapatkan pengarahan akan secara tidak langsung mentransfer pengetahuan tersebut kepada teman-teman sebaya dan sesamanya. AYLA yang belum mendapat pendampingan akan mendapatkan informasi dari anak dampingan tentang keberadaan kami serta informasi kegiatan di sanggar. Dengan demikian, anak-anak tertarik dan mau berkegiatan bersama. Ada banyak aktivitas yang ditawarkan di sanggar utamanya untuk mengembangkan potensi. Selain mengasah keterampilan, juga untuk mengurangi waktu bermain di lingkungan lama yang tidak supportif untuk pengembangan diri. Bersama mereka, kami berikan keterampilan komputer, keterampilan menjahit, pelatihan tata rias, pelatihan kesehatan dan reproduksi, juga berkreasi membuat majalah ilalang. Tidak hanya itu, kami juga bereksplorasi bersama membuat film dokumenter. Bersama mereka, kami membuat film dokumenter tentang korban AYLA. Film tersebut sudah diputar dalam forum anak kabupaten dan ditonton oleh Bupati. Sebagai komitmen Bupati, kami sedang mengadakan lokakarya bersama dinas dan Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait (SKPD) di kabupaten, untuk mewujudkan Garut sebagai Kota Layak Anak. Keberhasilan kami rasakan ketika dukungan dari pihak-pihak terkait mulai berdatangan, juga ketika mereka mulai mengerti dan mau bergabung dalam program. 35


Dengan mau berbaur bersama anak-anak lain di sanggar, maka korban AYLA jadi berkesempatan untuk saling bertukar cerita dan pengalaman. Dengan begitu, mereka juga bisa belajar dari satu sama lain. Sekarang mereka merasa nyaman dengan kami baik ketika berada di lingkungan sanggar ataupun berkegiatan di luar sanggar. Mungkin bukan sesuatu yang sempurna, tapi utamanya tentu untuk memberikan potret lain kehidupan bahwa ada banyak di luar sana yang masih bisa dikembangkan. Dunia terlalu luas untuk menyerah pada keadaan.

-Sri HandayaniSolidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) Garut

36


Advokasi dari Mantan Praktisi

T

umbuh sebagai mantan AYLA menyisakan peng alaman yang cukup traumatik. Terlalu banyak cerita pahit yang terjadi di masa lampau saat usia masih belia, yang tentu bukan hal mudah untuk dilewati. Tapi tidak, tidak lantas membuat saya berhenti berangan. Saya memutuskan untuk meninggalkan itu semua, dan maju menuju apa yang banyak orang bilang ketidakpastian. Ya, melepaskan sumber penghasilan memang berat. Tapi menanggung segala bentuk tekanan dan kesakitan di masa itu juga tidak kalah berat. Maka jika kini saya menjadi pendamping AYLA, saya bisa merasakan betul bagaimana kerasnya 37


hidup mereka. Sisa-sisa peristiwa yang masih terkenang di kepala memberitahukan banyak hal tentang apa-apa saja yang mungkin juga mereka alami. Namun justru dengan bayang-bayang itu semakin bulat lah tekad saya untuk membantu mereka lepas dan merdeka seperti saya saat ini. Sejak bergabung dengan Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Bandung, saya semakin aktif dengan aktivitas yang berkaitan dengan advokasi dan pendampingan anak-anak. Bersama KAP, saya mencari spot-spot sekaligus melakukan pemetaan daerah mana saja yang akan menjadi target penjangkauan. Terutama juga memetakan daerah mana saja yang akan jadi area yang sangat sulit dijangkau. Saya melakukan observasi lapangan ke tempat-tempat yang menjadi target. Saya bertanya-tanya kepada orangorang sekitar, dari tukang dagang, orang nongkrong, preman setempat, sampai polisi-polisi yang ditugaskan di daerah tersebut. Menurut saya, saya akan cepat mendapatkan informasi dari masyarakat yang sehari-hari ada di daerah tersebut. Benar saja, saya mendapatkan informasi justru dari preman sekitar bahwa di daerah Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) banyak anak-anak muda yang nongkrong. Area yang sering diisi kajian-kajian dan aktivitas keagamaan justru berdekatan dengan kegiatan lokalisasi. Namun itulah seninya saat di lapangan. Kita mendapatkan informasi dari tempat yang tak pernah terduga sebelumnya.

38


Akhirnya saya penuhi rasa penasaran dengan berjalan ke sana, seolah ingin membuktikan sendiri kebenarannya. Saya pun melakukan penjangkauan di PUSDAI. Sambil nongkrong, saya mencari informasi seraya melakukan pendataan selama beberapa minggu. Hal itu menuntun pertemuan saya dengan seorang preman yang bisa saya ajak bicara lebih jauh.

Menembus Sang Madam Relasi dari preman ke preman tersebut membawa saya pada pertemuan dengan seseorang yang mereka sebut “Madam Monster”. Beberapa kali saya temui, Madam Monster sangat cuek dan acuh, dia bilang dia sibuk mencari uang. ‘Sulit juga menembus orang ini ya’, batinku. Namun semacam orang yang bebal, saya tetap lakukan pendekatan berulang-ulang. Selama kedatangan yang berulang, saya melihat banyak anak di bawah umur yang menghampiri beliau dan memberikan uang. Singkatnya, Madam Monster ini menjelma menjadi “ibu” yang dituakan dan dipercaya mengurus anak-anak. Madam lah yang mencarikan klien karaoke untuk anak, mencarikan lahan parkir untuk anak bekerja, serta meminta uang pada pedagang. Pokoknya, setiap hari anak-anak yang dia bina harus menghasilkan uang. Lama sudah saya dekati, akhirnya luluh juga. Saya jelaskan sedikit demi sedikit tujuan kedatangan saya ke 39


tempat tersebut. Madam Monster pun mulai mau memperkenalkan saya pada anak-anak yang dia urus, mulai dari koordinator hingga konco-konconya. Ia juga membiarkan saya mengetahui aktifitas anak. Ah! Akhirnya ketemu kuncinya. Meskipun awalnya sulit, namun akhirnya saya bisa memberikan pengertian kepada Madam Monster mengenai program yang akan saya lakukan. Minggu ke minggu akhirnya terjalin kedekatan saya dengan anak-anak tersebut. Saya coba jelaskan dengan bahasa yang sesederhana mungkin dengan bahasa-bahasa mereka, juga memakai analogi-analogi yang sekiranya mudah dipahami. Sulit memang pada awalnya untuk menjelaskan dan membujuk koordinator-koordinator anak ini untuk percaya pada saya. Selama satu bulan saya terus mengajak koordinatornya untuk bertemu dan bicara, karena saya berpikir, jika saya mendapatkan pimpinannya, maka akan lebih mudah untuk saya masuk ke anak-anak yang lain. Benar saja, selama dua bulan saya sudah mulai bisa bertemu anak-anak yang menjadi target penjangkauan program. Sepanjang pendekatan, saya mencoba membangun kepercayaan anak terhadap saya dan program. Ternyata banyak sekali anak yang dapat saya jangkau. Saya bersyukur karena mereka mulai menaruh rasa nyaman pada saya. Saya pikir itu poin pentingnya, sebab dengan rasa nyaman semua bisa mengalir tanpa beban. 40


Terjebak dalam Candu Saya menggali aktifitas anak-anak, juga segala macam cerita yang mereka alami. Dalam pendekatan tersebut, saya dapati bahwa jeratan mereka tidak hanya rantai prostitusi, tapi juga narkotika. Menjadi sangat sulit saat kondisi permasalahannya berlapis. Dua hal itu sama-sama candu: prostitusi dan narkotika. PR-nya tentu bagaimana melepaskan anak dari narkotika dan mengajak anak untuk sadar dan peduli terhadap kesehatannya, baik kesehatan psikis maupun mental. Tentu yang tak kalah penting lainnya adalah kesadaran dan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi dan kesehatan tubuh akibat konsumsi psikotropika. Tak berhenti pada jeratan prostitusi dan psikotropika, dampaknya anak-anak ini jadi dikucilkan dari sekolah, teman-teman sebaya, tetangga, pengurus PUSDAI, sampai dengan keluarga sendiri. Ada beberapa anak yang bahkan sampai dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap perilakunya sulit untuk diperbaiki. Mereka tidak diberikan ruang untuk berubah secara perlahan. Sedang lingkungan sekitarnya penuh dengan tekanan dan penghakiman, juga tuntutan-tuntutan. Di antara AYLA pun memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang orang tuanya memang menyuruh anak bekerja mencari uang dengan menjadi AYLA untuk membantu orangtua. Ada yang takut karena menghadapi 41


ancaman fisik dari Madam Monster. Olehnya, anak perempuan disuruh menemani preman, om-om atau tante-tante arisan. Anak laki-laki diminta memberikan kesenangan untuk orang dewasa, baik itu laki-laki atau perempuan. Anak-anak yang dilacurkan ini mau tidak mau harus melakukan itu semua untuk kebutuhan dirinya, juga karena tuntutan dari Madam Monster. Dalam kurun waktu tiga bulan pendekatan, saya mendapatkan dampingan yang sesuai kategori program. Saya pun mulai memberikan kegiatan-kegiatan kecil. Saya menemukan banyak potensi-potensi yang mereka miliki. Banyak juga harapan besar yang mereka inginkan untuk bisa lepas dari situasi sulit mereka di bawah aturan Madam Monster. Hal itulah yang sekaligus menjadi motivasi saya. Selama pendampingan, saya bangkitkan kepercayaan dirinya, gali bersama segala potensi yang mereka miliki, sambil terus mengingatkan mereka pada keluarga serta orangorang tercinta yang berharga dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, mereka akan sedikit banyak tahu bahwa masih ada harapan dan cinta yang mengelilinginya.

Sadar Menjadi Hal Paling Minimal Saat ini, sedikit demi sedikit anak sudah mulai bisa keluar situasinya. Anak-anak sudah mulai bisa berekpresi sesuka hati tanpa harus terbebani oleh madam yang selalu memaksa mereka untuk bekerja dan setor uang. Anak-anak 42


sudah mulai menunjukkan sikap positif, mengikuti kegiatan positif, dan mulai menyadari pentingnya mawas diri. Selain itu, anak-anak juga sudah mulai terbuka dengan saya untuk mau bercerita dari mulai masalah keluarga sampai dengan aktifitas seksualnya. Tapi ada yang aneh memang. Hubungan saya dengan Madam Monster kini jadi tidak baik, meskipun juga tidak terlampau buruk. Dia masih berusaha mempengaruhi anak-anak untuk mengubah pandangan terhadap saya, hingga menggunakan ancaman. Namun ancaman tersebut justru semakin membuat saya lebih bersemangat mendampingi anak. Semakin dia berusaha mengembalikan anak-anak ke situasi sebelumnya, saya semakin ingin melepaskan dan menjauhkan anak-anak dari beliau. Namun selain Madam, masih ada pihak lain yang juga menjadi fokus kami, yaitu pemerintah daerah. Menjadi tantangan tersendiri bagi saya saat harus meyakinkan pemerintah kecamatan untuk membuka mata bahwa ada anak-anak yang butuh uluran tangan ini. Beruntungnya, saya mendapat dukungan dari forum peduli anak yang membantu menghubungi pihak kecamatan agar mau turun langsung ke lapangan menemui preman-preman dan anakanak dampingan. Dengan begitu, mereka akan bisa melihat sebuah realita atas anak-anak yang selama ini tidak disadari, atau tidak dipedulikan.

43


Kini setidaknya, hal yang paling minimal, anak-anak menyadari bahwa keadaan mereka ini buruk. Itu yang paling penting: sadar, menyadari. Sebab jika itu tidak ada, maka tak akan ada keresahan yang membuat mereka ingin keluar. Semua yang terjadi dan dijalani seolah baik-baik saja, atau sah-sah saja. Tak ada hasrat untuk berubah. Dengan bekal kesadaran itu, mereka bisa saling mendukung satu sama lain untuk keluar dari situasi ini. Mereka saling mengingatkan untuk menjaga kesehatan, berhenti menggunakan narkotika, menolak ajakan temannya untuk bersenang-senang, menolak ajakan preman-preman untuk minum, dan menyibukkan diri dengan berkegiatan yang positif. Saya selalu percaya pada proses. Dalam setiap kesempatan, saya mencoba mentransfer itu pada anak-anak yang saya temui dan terlibat dalam program ini. Saya coba menjelaskan tentang proses menuju perubahan dan membantu mereka untuk menjalani prosesnya. Tapi mengajarkan proses memang butuh proses, sebagaimana halnya proses itu sendiri. Tak pernah bisa instan.

-Ade JastiKonfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia Bandung

44


Menghuni Area Eks-Lokalisasi “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain”

P

rinsip itu menggerakkan saya untuk tak henti berkarya dan berbuat lebih. Meskipun berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun tidak lantas membuat aktivitas lainnya terhenti. Banyak aktivitas-aktivitas sosial yang saya jalani seperti menjadi guru mengaji, Kader Posyandu, anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat, Kader Jumantik, Bagas Bumil (kader pembantu petugas kesehatan untuk ibu 45


hamil, biasanya yang hamil beresiko tinggi), Ketua Unit Kegiatan Masyarakat Kelurahan Morokrembangan, dan lainnya. Sederet kegiatan itu setidaknya bisa memberikan gambaran betapa saya sangat bersemangat memberikan perhatian lebih pada dunia sosial. Dalam hal ini, kebermanfaatan menjadi kunci dari segala kontribusi yang bisa saya beri. Saya yakin bahwa segala kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali pada diri sendiri. Melalui sedikit cerita, saya ingin mengajak untuk bersama-sama melakukan kebaikan meskipun kebaikan itu hanya sekecil biji kurma. Satu hal yang juga perlu digarisbawahi, bahwa kebaikan itu tidak pernah tebang pilih. Kebaikan ada pada siapa saja dan diberikan ke siapa saja tanpa terkecuali. Termasuk kepada para AYLA, anak-anak yang dilacurkan, yang kini menjadi dampingan saya. Saya meyakini mereka juga berhak mendapat kebaikan yang sama seperti yang didapat manusia lainnya. Tak pernah ada status yang melekat seumur hidup. Mereka punya hak untuk dirangkul dengan pelukan hangat. Penerimaan dan ketulusan menjadi landasan kepercayaan bahwa mereka juga bisa seperti anak-anak pada umumnya. Selain karena saya memang punya motivasi untuk berkegiatan sosial, kebetulan rumah saya juga berada di area eks-lokalisasi. Tepatnya beralamat di daerah Tambak Asri, 46


Surabaya. Tinggal di area eks-lokalisasi tentu memiliki keresahan tersendiri. Semacam ada energi yang membuat kita gelisah ingin melakukan tindakan nyata untuk perubahan yang lebih baik. Tentu saya dan barangkali orang tua lain di sekitar saya pun berpikiran hal yang sama. Kami ingin menciptakan lingkungan yang ramah dan aman bagi tumbuh kembangnya anak-anak kami kelak. Saat ini, daerah tempat tinggal saya termasuk area yang padat baik dari sisi bangunan maupun penduduknya. Warga sekitar kebanyakan bekerja sebagai pekerja pabrik sehingga banyak dari mereka yang harus meninggalkan rumah dan anak-anaknya. Sebagian yang lain biasanya menitipkan anak–anaknya pada orang tua mereka (nenek atau kakek). Sebagian yang lain memilih untuk menggunakan jasa pengasuh. Kondisi ini mau tidak mau menyebabkan anak kehilangan intensitas relasi dan atensi dari kedua orang tuanya. Bahkan tidak jarang, anak biasanya justru lebih dekat dengan pengasuhnya dibanding dengan orangtuanya sendiri. Atau malah mencari kehidupan lain di luar rumah.

Pasca Penutupan Lokalisasi Dulu di sepanjang jalan raya Tambak Asri juga ada banyak warung atau café tempat wanita pekerja seks. Meskipun sekarang sudah ditutup, tetapi masih ada beberapa café musik yang biasa dipakai untuk berpesta miras (minuman keras) sambil berkaraoke. 47


Setelah penutupan lokalisasi, ada beberapa tempat yang justru menjadi rawan, yaitu rumah-rumah kos yang ada di dalam kampung. Kos-kosan dikhawatirkan menjadi tempat prostitusi terselubung. Dengan mulai dibatasinya aktivitas lokalisasi, bisnis tersebut seakan tak kehabisan akal untuk bergeliat mencari ‘area baru’. Kos-kosan memang tidak bisa secara frontal dan terang-terangan menunjukkan aktivitas tersebut. Namun apa-apa yang tidak tampak itu justru membuatnya lebih berbahaya karena semakin tidak bisa dikontrol. Kini di pinggir jalan Tambak Asri kembali bermunculan dan menjamur warung-warung giras atau warung kopi. Warung-warung giras menyediakan fasilitas wifi gratis yang membuat tempat tersebut menjadi tempat tongkrongan favorit anak-anak. Banyak yang kemudian memanfaatkannya (menggunakan internet) untuk bermain game online, judi online, serta membuka situs-situs porno. Hal itu tentu memberi efek buruk bagi perkembangan psikis anak pada umur mereka yang masih labil dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak tersebut akan mempraktekkan apa yang mereka tonton kepada orang lain atau anak-anak lain di sekitar mereka. Inilah salah satunya yang juga menyebabkan kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual pada anak semakin marak terjadi. Ketika anak-anak lepas dari pengawasan orang tua, mereka akan terpengaruh hal-hal di atas. 48


Tempat nongkrong seperti itu tidak menutup kemungkinan menjadikan anak-anak bebas merokok dan memakai narkoba atau bertransaksi narkoba yang kelak dapat membuka jalan menjadi AYLA. Hal inilah yang paling ditakutkan oleh para orang tua. Meskipun mereka juga sadar bahwa kondisi orang tua yang keduanya harus bekerja juga berpengaruh sebab membuat anak menjadi kurang perhatian dan kasih sayang. Tak ayal mereka jadi lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan luar rumah. Mereka lebih nyaman dan merasa mendapat perhatian dari teman sebayanya atau lawan jenis misalnya. Hubungan yang tak ada kontrol tersebut berpeluang untuk bisa membuat mereka dengan bebas berciuman, berpelukan, atau lebih jauh lagi dengan melakukan hubungan seksual. Jika anak sudah aktif secara seksual, maka tidaklah menjadi aneh kalau di kota-kota besar banyak terjadi pernikahan dan perceraian dini sebagai akibat dari kehamilan tidak diinginkan dan direncanakan dengan matang. Belum lagi akan muncul juga permasalahan lainnya di bidang pendidikan. Dengan status sebagai siswa aktif, pihak sekolah biasanya memiliki ketetapan bahwa anak yang hamil akan dikeluarkan dari sekolah. Segala bentuk ‘kegagalan’ atas kelalaian maupun pilihan dan keputusan yang tidak matang dipikirkan tentu bisa 49


berdampak buruk pada kondisi psikis anak. Anak-anak yang menanggung beban tidak pada waktunya atau tidak dalam skema yang sudah dipikirkan baik-baik, akan menjadikan itu sebagai sumber keputusasaan. Hal tersebut turut berkontribusi dalam beberapa kasus anak yang akhirnya memutuskan untuk menjadi AYLA.

Merajut Upaya dalam Kebersamaan Permasalahan yang kompleks tentu membutuhkan penyelesaian yang juga komprehensif dengan melibatkan kerjasama banyak pihak. Biar bagaimanapun, ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua. Ada banyak aspek yang harus dibenahi baik dari segi pola asuh orangtua, kenyamanan dan keamanan lingkungan, ketanggapan dari organisasi masyarakat ataupun instansi terkait seperti kelurahan atau kecamatan, serta pihak sekolah. Saya mulai langkah saya dengan mendaftar sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Saya pikir dengan menerjunkan diri sebagai kader akan membuat saya lebih leluasa untuk beraksi dan berkontribusi. Dengan turun langsung ke lapangan bertemu orang-orang yang bersangkutan, saya merasa celah untuk dialog dan mengurai permasalahan menjadi lebih terbuka lebar. Saya merasa lebih memiliki power untuk berelasi dan berkolaborasi juga dengan pihak-pihak lain yang terkait, dibanding saat saya menjadi warga biasa. 50


Kebetulan juga saat itu sedang dibuka pendaftaran untuk bekerja sukarela sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Pembaharuan ini dilakukan pada tahun 2017 oleh Dinas Pengendalian Penduduk dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) dengan bertempat di Gedung Wanita Kalibokor Surabaya. Pemilihan KPM ini dilakukan melalui tes tulis, wawancara, serta paparan potensi keunggulan dari masing-masing kelurahan yang diwakili, bertempat di Gedung Pemerintah Kota Surabaya. Saya beserta tiga rekan lainnya (Tukul Bintoro, Rianah, Sukiyah) ditetapkan sebagai kader terpilih untuk menjalankan program-program sosial yang salah satunya berkaitan dengan keresahan saya, yaitu permasalahan anak. Dari situlah perjalanan saya untuk bisa dekat dengan anak-anak dimulai. Dengan menjadi kader, saya bisa bertemu dan berinteraksi secara lebih dalam dan intens dengan anak-anak. Meski profesi yang dijalani tampak sama, tapi mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Tentu dengan perjalanan dan pengalaman pahit yang berbeda-beda juga. Saya merasa kesempatan ini sangat berharga. Tidak banyak orang yang memiliki akses untuk bisa mengenal mereka secara lebih jauh. Kebanyakan orangorang hanya melihat dan menjustifikasi apa yang dilakukan dari kejauhan, tanpa menilik ada cerita dan pengalaman apa di balik itu semua. Juga seolah masa bodoh dengan apa yang dialami, apakah mereka butuh bantuan, apakah 51


mereka butuh arahan dari para dewasa yang dianggap lebih matang, atau lebih jauhnya jangan-jangan selama ini mereka sebenarnya butuh kita.

Pembelajaran dari Anak-Anak Rentan Saya belajar dari apa-apa yang sudah mereka jalani dan alami. Misalnya saja ada banyak anak yatim, bapak ibunya sudah meninggal atau meninggalkannya sejak kecil. Ada juga anak yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah, keluarganya hidup pas-pasan, untuk bisa makan saja sulit. Apalagi memikirkan untuk sekolah. Betul memang, jangka panjangnya nanti sekolah akan dapat menaikkan taraf hidupnya. Berbekal pengetahuan dan keterampilan, ia akan mempunyai lebih banyak alternatif pekerjaan di masa depan. Tapi untuk bisa bersekolah juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pasti akan banyak pertimbangan, bagaimana bisa membayar uang sekolah kalau untuk makan saja masih sulit. Pada mereka saya upayakan agar tetap bisa bersekolah dengan mencoba advokasi ke sekolah untuk bisa memberikan keringanan biaya, sembari memaparkan kondisi si anak. Syukurlah dari usaha tersebut, mereka bisa bersekolah bahkan dengan biaya sekolah 0% atau bebas biaya. Langkah kecil memang, tapi semoga bisa berarti baginya kelak. Harapannya dari upaya tersebut tumbuh semangat dan harapan pada mereka agar tak putus asa dalam memperkaya pengetahuan, kemampuan, juga angan-angan untuk terus maju ke arah yang lebih baik. 52


Sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), kami juga bekerja mengurus anak balita dan anak terlantar. Di tempat kami sering terjadi pernikahan siri. Jumlahnya kurang lebih ada 56 pasangan yang menikah siri. Pernikahan itu mau tidak mau menyebabkan balita tidak memiliki akta kelahiran. Ketiadaan akta kelahiran akan menghambat mereka nantinya dalam hal administrasi saat harus mengikuti program-program pemerintah. Selama ini yang kami upayakan adalah mengikutsertakan mereka dalam program Isbat Nikah atau nikah masal agar mereka memiliki surat nikah. Surat tersebut kelak dapat dipergunakan untuk mengurus akta kelahiran anak, kartu keluarga ataupun surat-surat lainnya. Selain itu, ada pula anak terlantar yang kurang diperhatikan oleh orangtuanya karena berbagai alasan, misalnya karena orangtua bekerja, anak yatim-piatu, ataupun orangtua yang bercerai. Anak-anak terlantar tersebut banyak tinggal di luar rumah. Melihat permasalahan tersebut, kami berencana mendirikan sebuah Tempat Penitipan Anak (TPA) dengan para pengasuh yang telah dilatih dan memiliki sertifikat. Harapannya nanti anak-anak yang diasuh bisa mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang baik. Adapun untuk kasus anak yatim-piatu, ada pendampingan agar mereka tetap bisa sekolah dengan cara menguruskan surat keringanan biaya atau bahkan sekolah gratis. Saya berharap anak terlantar bisa berkurang atau tidak ada sama 53


sekali, karena situasi terlantar mendorong anak melakukan tindakan negatif seperti mencuri, putus sekolah ataupun menjual diri. Mengingat daerah kami merupakan daerah eks lokalisasi, kami juga memberikan atensi dan perhatian lebih pada anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus, anakanak yang berhadapan dengan hukum, serta anak jalanan. Ada banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak muda terutama di daerah eks-lokalisasi. Anak usia sekolah dasar sudah berani mengajak teman lawan jenisnya untuk bermain dengan alat vitalnya. Pernah terjadi juga seorang anak perempuan diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri sampai hamil. Kini kasusnya sudah ditangani oleh pihak terkait dan pelaku (ayah korban) berhasil dijebloskan ke penjara. Anak tersebut kemudian dibawa dan dibina oleh Yayasan Hotline Surabaya. Sedangkan bayi hasil perkosaan dirawat oleh keluarga lainnya.

Menuai Benih-Benih Kebaikan Tak mudah memang, menjadi pendamping bagi anakanak yang terstigma. Kadangkala tak hanya anak-anak, tapi kader-kader pendamping pun juga kena label. Mulai dari dianggap terlalu ikut campur, sampai dianggap mempunyai misi dan kepentingan terselubung. Selain itu, kehadiran kader juga sering dianggap tidak penting dan 54


kurang diperhatikan. Terlebih, baik dari masyarakat tingkat RT, RW, maupun tokoh masyarakat, selalu menganggap Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) memiliki banyak dana untuk operasional program maupun honor kader. Padahal justru permasalahan dana atau anggaran juga menjadi salah satu hambatan. Keterbatasan dana membuat realisasi program juga ikut terbatas. Kesalahpahaman di atas kami coba atasi dengan melakukan dialog baik di tingkat RT, RW, kelurahan, dan kecamatan guna mencapai pemahaman yang sama. Kami juga rutin melakukan sosialisasi sehingga kerja KPM tidak dipandang sebelah mata, Syukur-syukur bisa mengetuk pintu hati mereka untuk turut serta mewujudkan atmosfir yang aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak, tanpa stigma dan tekanan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat juga kami gandeng untuk diajak bekerja bersama membantu anak-anak agar bisa lepas dari lingkaran prostitusi yang sudah lama menjerat mereka. Perlahan tapi pasti, perubahan semakin tampak. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan. Lingkungan sekitar dan pihak-pihak yang kami dekati mulai kooperatif dan mau diajak kerjasama. Dengan adanya pendampingan dari KPM, anak-anak yang tadinya kurang perhatian, merasa jauh lebih diperhatikan dan mereka memiliki kegiatan-kegiatan yang positif. Anakanak yang tadinya putus sekolah karena kendala biaya, akhirnya bisa kembali bersekolah. 55


Semua itu tak lepas dari adanya pelatihan-pelatihan yang membentuk kami para kader menjadi pribadi yang cerdas dan kreatif baik dalam mengelola program maupun melakukan pendekatan interpersonal kepada pihak-pihak terkait. Saya merasa lebih berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar, melakukan perubahan yang lebih baik, khususnya pada anak. KPM kini lebih dihargai dan dipandang oleh masyarakat maupun instansi-instansi pemerintahan seperti kelurahan dan kecamatan. Kalau dulu KPM sempat vakum, saat ini mulai semangat dan bergeliat kembali. Kader-kader kelurahan yang dulu kurang terkoordinasi dengan baik, saat ini bisa kembali aktif dengan melakukan regenerasi membentuk kader-kader yang baru. Beban kelurahan atau kecamatan pun menjadi lebih ringan dalam hal teknis seiring banyaknya KPM yang berkegiatan di lapangan.

-Desy RahmanYayasan Hotline Surabaya

56


Pendampingan Dituduh Penyimpangan

T

ak pernah terpikirkan oleh saya bisa bergelut dan berjuang untuk anak, utamanya anak-anak yang dilacurkan. Sehari-hari, saya hanya seorang ibu rumah tangga yang mengurus suami dan tiga orang anak. Aktivitas sosial paling hanya sebatas menjalankan mandat sebagai Ibu RT (Rukun Tetangga), di samping usaha rias pengantin yang juga jadi usaha sampingan saya. Namun rupanya dari situ saya kemudian ditunjuk sebagai Kader Desa oleh ketua kader dan diminta mengikuti kegiatan di Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD).

57


Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) dibentuk pada tahun 2015 dan beranggotakan 19 orang Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) termasuk saya dan rekan-rekan lainnya. Kami berlokasi di Desa Limbangan Timur Kabupaten Garut. Proses awal kami bergabung karena ditunjuk oleh Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tentang bagaimana kita harus peduli pada anak–anak rentan atau Drop Out. Adalah hal baru bagi saya untuk bisa terjun pada topiktopik permasalahan tersebut. Sebelumnya, saya memang sering terlibat dalam aktivitas sosial seperti kegiatan RT. Namun itupun tak sampai mendetail pada permasalahan anak yang belakangan saya ketahui ternyata sedemikian kompleks. Sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) yang masih awam dengan isu anak rentan, saya mengikuti pelatihan tentang Forum Anak. Saya juga banyak berdiskusi dengan rekan-rekan dari Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) sehingga ada gambaran bagaimana sebenarnya kehidupan anak-anak rentan ini. Setelah mengikuti beberapa pelatihan pun, saya kemudian menjadi kader hingga sekarang. Tugas saya salah satunya untuk mendampingi anak-anak dalam mengikuti pelatihan keterampilan, sekaligus menjadi tutor. Ada banyak anak yang ikut bergabung dan berkegiatan bersama kami mulai dari anak-anak kelompok rentan, anak yang Drop Out, juga anak-anak yang dilacurkan. 58


Anak Nongkrong Warem AYLA (Anak Yang Dilacurkan) kebanyakan berasal dari keluarga ekonomi lemah atau miskin. Ada beragam latar belakang cerita yang membuat mereka akhirnya menjadi AYLA. Beberapa dari mereka mengeluhkan kurangnya perhatian dari orang tua sehingga mereka bebas bergaul hingga hilang kontrol. Di kampung saya ada anak bernama A, dia putus sekolah karena kurang biaya dari orangtua. Ada juga anak yang Drop Out (DO) karena keinginan sendiri. Mereka ingin bekerja untuk menghasilkan uang. Ketika berhenti bekerja, anak tersebut memilih untuk diam di rumah dan kembali menjadi tanggungan orang tua. Padahal orangtuanya tergolong mampu untuk menyekolahkan. Pada kasus yang lain, ada juga anak nongkrong di sekitar rumah. Tidak hanya anak-anak Drop Out, tetapi juga anakanak geng baik laki- laki maupun perempuan yang kerap membuat warga resah. Lokasi tersebut oleh mereka dijadikan tempat minum minuman keras, transaksi obat terlarang, hingga transaksi seks. Anak-anak tersebut tidak menggubris arahan yang diberikan sehingga kami sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) merasa khawatir dengan keadaan tersebut. Di salah satu tempat yang paling rawan yaitu Kampung Weda, ada banyak warung remang-remang atau warem 59


yang dihuni oleh AYLA atau anak rentan. Di situ mereka menjajakan minuman kepada laki-laki hidung belang dan sopir truk. Kami pernah mendatangi tempat tersebut dan mengobrol dengan AYLA untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan di warung itu. Selain menjajakan minuman, mereka juga menjajakan dirinya. Kami membujuk anak-anak tersebut untuk mengikuti pelatihan-pelatihan di sanggar kami. Awalnya sulit memang, mungkin karena malu. Namun setelah melewati banyak tantangan, akhirnya kami berhasil membujuk, meskipun belum semua mau. Setidaknya membuat mereka bisa cerita dan terbuka sudah cukup membuat saya lega. Dalam artian, kepercayaan dari mereka begitu berarti. Itu yang nantinya akan menjadi modal dalam menjalankan program pengembangan diri. Dengan adanya kepercayaan, tekad, serta kemauan, mereka akan bisa maju dan berubah ke arah yang lebih baik.

Kisah si Anggrek Dari pendekatan-pendekatan tersebut, saya bertemu dengan seorang anak perempuan, sebut saja Anggrek. Ia adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya hanyalah pekerja serabutan. Anggrek pernah sekolah di salah satu Sekolah Menengah Pertama, tetapi tidak tamat karena faktor ekonomi. Ia keluar dari sekolah dan memilih untuk bekerja di 60


kota besar sebagai asisten rumah tangga. Karena belum cukup umur, Anggrek sering sekali mendapatkan intimidasi dari majikannya, bahkan pernah mengalami pelecehan seksual hingga akhirnya dipulangkan ke kampungnya. Anggrek pulang sebagai korban pelecehaan seksual oleh majikannya. Hal ini membuatnya depresi. Ia begitu lesu dan sering kehilangan semangat hidup. Orang tuanya sangat acuh dengan kondisinya. Masyarakat sekitar juga tak kurang-kurang melekatkan stigma buruk atas pelecehan yang dialami hingga tersebar kemana-mana. Segala akumulasi pengalaman tersebut menjadikannya anak yang urakan. Anggrek sering mabuk-mabukan, mengkonsumsi pil koplo dan merokok. Bahkan ia sudah berani menjual diri untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Atau mungkin juga hal itu dilakukan sebagai pelarian dari apa-apa yang sudah dialami yang membuatnya depresi. Ia menjalani kehidupan yang mengerikan. Kami sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) melakukan pendekatan pada Anggrek untuk bisa mengetahui secara lebih jauh apa saja kegelisahan dan kekhawatirannya. Dengan membantu memetakan masalah, harapannya kami bisa memberikan pendampingan dengan cara yang tepat. Kami pun mengajaknya untuk ikut bergabung di sanggar, memberikan pengertian bahwa apapun yang terjadi ia akan selalu diterima sebagai keluarga di sini. 61


Kami ajak dia untuk aktif mengikuti pelatihan-pelatihan yang telah disiapkan. Utamanya untuk memperluas wawasan pengetahuannya serta memberikan keterampilan tambahan agar ia dapat mencari profesi alternatif dan meninggalkan profesi yang dijalaninya saat ini. Kini ia tidak lagi bergaul bebas dan lepas kontro. Ia bahkan sudah mulai mengajak teman-temannya untuk bergabung juga di sanggar Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Sekarang Alhamdulillah banyak yang mau ikut bergabung di Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Setelah bergabung selama dua tahun di Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), banyak perubahan yang Anggrek alami. Orientasi dan perencanaan hidupnya mulai tertata dengan baik. Ia juga sudah meninggalkan dunia kelam yang selama ini ia jalani. Ia tak lagi depresi. Hidupnya kini penuh semangat dan harapan baru yang energinya ia sebarkan pada kawan-kawannya. Pelan-pelan, ia pun mulai membuka diri. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menikah, tentu dengan orang yang mau menerima segala kekurangan dan masa lalunya. Sekarang, Anggrek hidup dengan bahagia.

Dianggap Perkumpulan Agama yang Menyimpang Anggrek beserta anak-anak lainnya kami dampingi salah satunya melalui pertemuan seminggu dua kali, yaitu setiap hari Kamis dan Jumat. Pada pertemuan tersebut kami 62


memberikan les komputer, pelatihan menjahit, dan tata rias. Tutornya berasal dari Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan sukarelawan anak. Kegiatan pelatihan rutin bertempat di Sanggar Galihpakuwon tepatnya di daerah Limbangan Timur yang pembangunannya dibiayai dan diresmikan oleh Bupati Garut. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, kami juga mendapatkan bantuan biaya dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Desa untuk kelompok AYLA. Tentu saja hal itu bukan serta merta dengan mudah didapatkan. Sebelumnya-sebelumnya, kami harus bergelut dengan puluhan penolakan dari orang tua anak. Kami juga dianggap tidak penting oleh masyarakat. Lebih buruknya lagi, kami dituduh mengadakan perkumpulan agama yang menyimpang. Barangkali tuduhan itu dilemparkan karena kami sering berkumpul mengadakan pertemuan-pertemuan di sanggar. Mereka yang tidak tahu apa saja yang kita bahas dan kita kerjakan tentu berpikiran yang aneh-aneh. Segala kesalahpahaman itu akhirnya dapat ditepis melalui dialog. Kami mengundang orang tua untuk ke sanggar dan melihat sendiri apa saja yang dilakukan anakanak di sanggar. Hal itu penting untuk meyakinkan mereka bahwa anak-anaknya berada pada lingkungan yang tidak hanya aman, tetapi juga memantik sang anak untuk berkembang dari segi pengetahuan maupun keterampilan. Setelah melihat sendiri aktivitas-aktivitas positif yang 63


dikerjakan di sanggar, akhirnya orang tua tersebut mengizinkan anaknya tetap bergabung dan berpartisipasi dalam aktivitas sanggar. Mereka sekarang juga sangat mendukung aktivitas positif anak-anaknya di sanggar. Selain dengan orang tua, kami juga adakan dialog bersama masyarakat sekitar. Dalam pertemuan itu, kami jelaskan apa dan bagaimana sebenarnya permasalahan anak rentan di sekitar mereka serta apa potensi atau kemungkinan terburuknya kalau hal itu terus menerus dibiarkan. Kami juga paparkan apa saja peran dan upaya yang masih dan telah dilakukan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD. Sampai akhirnya, kami juga ajak masyarakat untuk bisa berkolaborasi sebab permasalahan yang kompleks hanya bisa diselesaikan dengan adanya kerjasama dari banyak pihak. Kini masyarakat akhirnya memahami apa yang kami perjuangkan. Tak sedikit pula dari mereka yang awalnya melawan, kini justru mendukung dengan lantang. Tidak ada yang mudah dalam perjalanan. Selalu ada rintangan meskipun kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun lagi-lagi, tak ada hasil yang mengkhianati usaha. Pada akhirnya semua akan menampakkan hasilnya. Perubahan meski perlahan selalu ada selama kita terus gigih berupaya.

-Een SuhaeniKader Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) Garut

64


Memimpin Dusun yang Kompleks

M

enjadi kepala dusun memang tak mudah sebab permasalahan desa ternyata tidak sesederhana yang nampak. Memimpin satu area dengan masyarakat beragam, terlebih lagi pada masyarakat dengan tingkat permasalahan sosial yang cukup kompleks, tentu menjadi tantangan tersendiri. Dibutuhkan kesabaran dan kemampuan interpersonal dalam menjalin dialog yang tepat dan mengajak kerjasama berbagai pihak. Biar bagaimanapun, segala permasalahan warga tak bisa saya selesaikan seorang diri. Dibutuhkan pula skill organisasi yang mumpuni agar bisa memetakan permasalahan dan mengatur strategi 65


penyelesaian dalam dusun yang saya pimpin. Beruntung saya pernah punya pengalaman berorganisasi yang saya jalani sejak 2016. Saat itu, saya bergabung dan aktif di sebuah organisasi masyarakat yang peduli pada anak dan remaja rentan di Kabupaten Garut bernama Sanggar Karya Muda Remaja. Pengalaman tersebut mengasah kemampuan saya dalam mengelola masalah yang ada di kelompok. Dengan dibekali kemampuan komunikasi interpersonal yang baik, saya juga belajar untuk bisa melakukan pendekatan serta menjalin relasi baik dengan anggota maupun dengan pihak-pihak terkait. Pengalaman tersebut penting rasanya mengingat dusun yang dikelola termasuk kategori sulit. Ada beragam permasalahan sosial yang menunggu untuk dibenahi dan diselesaikan satu persatu.

Area Aman Anak Lingkungan saya tinggal merupakan tempat yang rawan sekali terjadi eksploitasi seksual pada anak. Selain itu, ada banyak kasus Drop Out atau putus sekolah. Ada pula yang berakhir dengan pernikahan dini, pernikahan siri, atau kehamilan yang tak direncanakan. Anak-anak yang lahir setelahnya pun ikut menanggung beban sebab kesulitan mendapatkan akta kelahiran. Hal tersebut tidak terbentuk dari satu sumber permasalahan. Ada beragam faktor yang berpengaruh, misalnya saja kurang tepatnya perlakuan orang tua dalam mendidik anak. Terkadang banyak orang tua yang terlalu mengekang anaknya, atau 66


malah sebaliknya, terlalu membiarkan anaknya tanpa bimbingan dan arahan. Dalam hal ini, banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga melalaikan tugasnya dalam mengawasi tumbuh kembang anak. Dengan adanya kondisi ini, anak menjadi bebas tak terarah, tak jarang juga yang sampai hilang kontrol. Rekan-rekan sebaya dan lingkungannya juga berperan besar dalam membentuk pergaulan. Pada kondisi lingkungan yang tidak sehat, anak bisa melakukan hal-hal tak terduga sampai kelewat batas. Banyak dari mereka yang akhirnya terjerumus ke dunia hitam semakin kelam. Ada yang menjadi anggota geng motor, anak jalanan, pekerja seks komersil, dan lain sebagainya. Tempat-tempat yang menjadi lokasi tongkrongan pun merupa menjadi pusat kegiatan anak dalam melakukan hal-hal yang negatif, mulai dari warsija-warsija (warung sisi jalan) yang selalu menjual minuman beralkohol, alun-alun yang jadi tempat keluar masuk pendatang, bahkan tempat ziarah mereka jadikan sebagai tempat prostitusi dan mabuk-mabukan. Ditambah lagi efek setelahnya, banyak masyarakat yang kemudian melekatkan stigma pada mereka sebagai anak nakal yang selalu membuat onar. Stigma tersebut mewujud dalam perlakuan-perlakuan diskriminasi. Mereka jarang sekali diajak dan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan dusun. Alih-alih dirangkul dan dituntun, anak-anak yang dianggap nakal dan urakan tersebut menjadi seolah semakin dikucilkan dan dipinggirkan. 67


Menanamkan Asa pada Bunga Dari anak-anak tersebut, ada seorang anak bernama (sebut saja) Bunga. Ia berasal dari keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang dikategorikan rendah. Anggota keluarganya juga banyak sehingga beban keluarga yang harus dihidupi pun semakin berat. Padahal bapaknya hanya pekerja serabutan yang hobi sekali ke kolam pemancingan. Seringkali menghabiskan hari-harinya di lokasi pemancingan. Terkadang sampai tidak pulang dan bermalam di pemancingan tanpa memikirkan kondisi keluarga di rumah. Kalaupun pulang juga tidak membawa hasil karena hasil dari pancingannya selalu ia jual kembali untuk membeli umpan ikan. Hal tersebut seringkali memicu percekcokan antara istrinya dengan dirinya. Kondisi kehidupan miskin dan pertikaian orang tua menjadi makanan seharihari bagi Bunga dan saudara-saudaranya. Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, ia cukup bisa merasakan beban itu. Ia merasa memiliki tanggung jawab lebih atas kelanjutan hidup adik-adiknya, meskipun saat ini baru duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Bunga merasa sudah tidak ada keharmonisan dalam keluarganya. Tak ayal, ia jadi sering keluar rumah dan pergi bersama teman-teman sekolahnya. Lama-kelamaan hal itu memberikan rasa nyaman pada dirinya untuk berada di luar rumah atau nongkrong di jalanan. Ia jadi sering sekali bolos sekolah. Padahal Bunga termasuk anak yang cukup 68


pintar. Nilai rapornya selalu masuk 10 besar di kelasnya. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, salah satunya marching band. Namun sayangnya, ia memutuskan untuk berhenti melakukan kegiatan tersebut dan memilh nongkrong bersama teman-temannya. Sampai akhirnya, ia menjadi anggota geng motor yang sering meresahkan warga. Geng motor tersebut sering melakukan balapan liar dan tawuran dengan geng motor lainnya. Bunga sering sekali bertemu dengan geng motor lain dari luar daerah. Selama setahun, Bunga bergaul bersama geng motor tersebut. Karena Bunga jarang pulang kerumah, ia mendapat stigma jelek dan sering dibully oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya dan dianggap perempuan nakal. Bullying tersebut hanya memperparah keadaan dan membuatnya menjadi semakin memprihatinkan. Melihat hal itu, kami dekati Bunga dan mencoba mengajaknya untuk bergabung di shelter bersama anak-anak rentan lainnya. Syukurlah Bunga pun mau menerima ajakan itu. Walaupun hanya sekedar main-main saja, tapi itu menjadi awal yang baik. Lama-kelamaan seiring seringnya Bunga main, kami pun secara perlahan mulai memberikan bimbingan konseling dan masukan untuk Bunga. Ia juga mulai aktif mengikuti workshop dan pelatihan yang diadakan oleh yayasan yang memang bergerak di isu perlindungan hak anak bekerja sama dengan dinas terkait. Sedikit demi 69


sedikit, akhirnya Bunga bisa berubah menjadi lebih baik. Sekarang ia justru menjadi pembimbing bagi anak-anak yang ikut bergabung di Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Pengalaman hidupnya menjadi bekal saat membimbing anak-anak lainnya yang sama rentannya dengan dia di masa lalu.

Penolakan Berujung Pengertian Sebelum berhasil mendekati Bunga dan anak-anak yang lain, tentu banyak tantangan yang harus kami hadapi utamanya dari masyarakat. Kami pernah berada di fase yang tidak dianggap. Diacuhkan atau malah dianggap sebagai orang yang ingin mengambil keuntungan dari pengalaman pahit anak-anak. Menjadi pendamping seolah hanya menjadi orang yang terlalu ikut campur urusan orang lain. Tak berhak intervensi, katanya. Hanya cari sensasi, imbuh yang lainnya. Penolakan demi penolakan kami terima baik dari orang tua maupun dari anak-anak yang menjadi korban Drop Out dan menjadi AYLA. Barangkali ada perasaan tidak percaya, tidak merasa aman, sungkan, atau merasa malu saat harus mengakui keadaan yang sebenarnya. Berbagai cara kami lakukan dalam upaya pendekatan untuk bisa merangkul mereka. Kami memberikan pemahaman kepada orang tua anak juga masyarakat sekitar. Kami juga memberikan pelatihan-pelatihan kepada anak 70


secara rutin setiap minggunya, dengan dibantu oleh tutortutor berpengalaman dan terlatih di bidangnya masingmasing. Syukurlah pendekatan-pendekatan itu kini berujung indah. Masyarakat sudah mulai terbuka dengan program-program kami. Tak jarang juga beberapa di antara mereka mendukung dan mau membantu. Orang tua anak pun sudah mulai mempercayakan anak-anaknya untuk kami arahkan dan kami kembangkan potensinya. Dan yang utamanya, anak-anak juga sudah mulai semangat lagi untuk menata masa depannya. Banyak di antara mereka yang sudah terlatih sehingga bisa mendapatkan pekerjaan alternatif sebagai bekal untuk meninggalkan kehidupan kelamnya. Permasalahan akta kelahiran pun juga sudah menemukan titik terangnya. Kami berkoordinasi dengan pemerintah setempat, ibu-ibu kader, dan pemerintah kabupaten untuk melakukan pembuatan akta lahir. Upaya kami mendapatkan respon positif dari masyarakat. Dengan dukungan penuh dari Kepala Desa, kami pun berhasil mendata warga yang anaknya belum memiliki akta lahir hingga terkumpul 466 anak. Dari jumlah tersebut, 312 anak berhasil dibuatkan aktanya, sisanya terkendala oleh persyaratan-persyaratan yang tidak memadai. Namun terus kami upayakan kelanjutannya. Saya menyadari setiap langkah kecil begitu berarti. Tak henti-hentinya saya bersyukur atas semua proses yang 71


harus dilalui. Tidak mudah memang. Tapi jika dipikul bersama, semua akan terasa ringan. Memang betul, kolaborasi adalah sebuah keniscayaan.

-Erlan HerlambangKepala Dusun

72


Demi Sebuah Kebermanfaatan

D

i usia 42 tahun ini, tak ada yang lebih saya inginkan selain kebermanfaatan. Saya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Lingkungan saya pun sederhana, sekitar hampir 70% penduduknya merupakan warga miskin. Namun dari kesederhanaan tersebut saya merasa mendapatkan kebahagiaan justru dengan berbagi. Saya senang berkegiatan sosial dan membantu sesama. Selama dua tahun, saya aktif di Bank Sampah. Barangkali itu adalah pekerjaan sosial pertama yang saya jalani. Secara pribadi saya merasakan sendiri manfaat dari proyek 73


tersebut, utamanya bagi lingkungan sebab bisa mengubah sampah menjadi berkah. Pengalaman menceburkan diri dalam kegiatan sosial tersebut membuat saya merasa lebih bernilai. Hal itu juga yang membuat ingin terus melibatkan diri dari aktivitas sosial lainnya. Sebagaimana saat ini, saya aktif dalam aktivitas sosial yang berkaitan dengan isu anak. Pilihan untuk menjadi pendamping AYLA (anak yang dilacurkan) dan anak rentan tidak lepas dari pengalaman saya tinggal di lingkungan rumah yang cukup rawan. Di belakang rumah saya ada lapangan yang luasnya sekitar satu hektar dengan suasana hening, gelap, dan rawan bagi anak. Ada banyak orang dewasa maupun anakanak yang melakukan kegiatan seperti transaksi seks, penggunaan narkoba, menghisap lem, dan pergaulan bebas lainnya. Bahkan pernah juga terjadi pembegalan. Di sebelah selatan, ada rumah penduduk yang keadaannya sangat memprihatinkan karena keluarganya tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya. Banyak yang akhirnya memutuskan untuk menikahkan anaknya di usia muda. Biasanya dengan dalih agar beban untuk menafkahi anak beralih ke suaminya kelak sehingga beban hidup orang tua akan dirasa lebih ringan. Namun tidak jarang pula yang terpaksa harus melakukan pernikahan dini karena terjadinya kehamilan yang tak diinginkan. Meskipun ada beberapa pula yang dinikahkan dini sebagai antisipasi sebelum terjadi apa-apa di luar batas. Hal ini 74


sebagaimana yang dialami oleh Putri (nama samaran), juga beberapa anak lainnya di wilayah saya. Saat mendengarkan kisahnya, Putri masih berusia 14 tahun. Pasangannya yang bernama Iwan (nama samaran) pun juga masih di usia belasan. Keduanya sering terlibat dalam pergaulan bebas. Putri sering keluar malam bersama Iwan tanpa ada orang tua yang mengawasi. Bahkan ia juga sudah beberapa kali menginap di rumah Iwan. Atas berbagai pertimbangan, mereka akhirnya dinikahkan. Pada usia pasangan yang masih di bawah umur, pernikahan dini memiliki banyak resiko. Dari segi psikis, tingkat kematangan anak menjadi pertimbangan. Bila menikah di usia yang masih terlalu muda, akan berpotensi terjadi perselisihan yang berujung pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terutama pada pasangan anak yang emosinya masih sama-sama labil. Kematangan psikis juga menjadi isu saat mereka nanti memiliki anak. Ketidaksiapan menjadi seorang ayah dan ibu di usia dini juga akan memunculkan masalah baru, apalagi nantinya akan berinteraksi secara langsung dan intens dengan sang bayi sehingga tumbuh kembang bayi juga perlu menjadi perhatian. Selebihnya, permasalahan ekonomi juga paling sering menimpa pasangan muda yang tidak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk bekerja. Dalam beberapa kasus, ada banyak di antara mereka yang akhirnya memutuskan untuk menjadi AYLA guna memenuhi kebutuhan hidup. 75


Beberapa di antara mereka menjadikan penggunaan narkoba, pembegalan, pergaulan bebas, dll sebagai pelarian dari masalah-masalah yang dihadapi. Meski ada pula sebagian lain yang hanya menjadikannya sebagai hiburan, namun berujung pada ketagihan. Permasalahan anak memang kompleks. Lingkungan yang tidak sehat seperti itu memang berpengaruh, apalagi jika kawan-kawan sebayanya secara agresif terus mengajaknya untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Terlebih lagi apabila orang tua menjadi acuh dan tidak terlalu mempedulikan tumbuh kembang anak. Maka anak akan menjadi semakin bebas dan hilang kontrol. Lingkungan yang tidak sehat, pergaulan bebas, serta didikan orang tua yang tidak tepat dapat menambah deretan penyebab anak terjerumus menjadi AYLA.

Pelecehan oleh Guru Ngaji Lingkungan yang aman bagi anak tampaknya memang sudah mulai langka. Kita tak bisa mengabaikan tempattempat yang tampaknya aman. Sebab bisa jadi, di dalamnya juga terjadi pelecehan atau tindakan-tindakan di luar batas. Pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak bisa terjadi di mana saja tak mengenal tempat, bahkan tempat sakral sekalipun. Hal itu sebagaimana yang dialami oleh Faris (nama samaran).

76


Faris masih berusia 10 tahun saat kami dengar ceritanya. Setiap sore, ia rajin mengaji dengan diajari oleh seorang ustadz yang juga merupakan guru mengaji di masjid setempat. Sang ustadz tinggal area masjid yang memang dibangunkan kamar-kamar untuk tempat beristirahat para takmir, penjaga masjid, juga guru mengaji yang tidak mempunyai tempat tinggal terdekat. Pada suatu sore, ia pergi mengaji ke masjid, sebagaimana biasanya. Sebagai bagian dari rutinitas hariannya, ia melenggang dengan tenang. Tak ada perasaan ragu atau khawatir akan terjadi sesuatu. Bagaimana ia bisa khawatir, tempat yang akan didatangi ini tempat ibadah, tempatnya orang-orang yang berstereotip baik. Tidak ada aktivitas miras, narkoba, apalagi transaksi macam-macam di sana. Sudah barang tentu masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya masuk dalam kategori tempat yang aman bagi anak. Seharusnya. Namun ternyata tidak demikian faktanya. Di tempat itu, kali pertama Faris mengalami kejadian traumatis yang begitu miris. Masih membekas sekali di ingatannya bagaimana ia diperlakukan oleh sang ustadz. Kejadian tersebut bermula setelah ia selesai mengaji. Ia diajak ikut ke kamar oleh gurunya untuk bermain di kamar guru. Pada awalnya, semua tampak normal. Tak ada yang mencurigakan. Gurauan ustadz kepada muridnya adalah hal yang lumrah. Hal itu biasa dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat bonding di antara keduanya. 77


Namun, semua menjadi lain saat apa yang dilakukan tidak sebagaimana mestinya. Sang ustadz mulai mendekati Faris dan melakukan pelecehan terhadapnya tanpa ada rasa bersalah. Setelah diselidiki, ternyata selain Faris, masih ada beberapa anak lain yang juga menjadi korban dan mengalami hal serupa. Hanya saja, tidak banyak dari mereka yang mau menceritakan hal tersebut. Barangkali menganggapnya tabu, atau malu, atau memang diancam oleh pelaku untuk tidak memberitahukan kepada siapa-siapa. Pada yang demikian, dibutuhkan pendekatan pada anak agar mereka bisa mengungkapkan apa saja pengalaman traumatis yang dialami. Tentunya hal itu akan mempermudah proses penyembuhan traumanya sehingga ia tidak melampiaskannya pada hal-hal yang semakin memperburuk keadaan. Kasus Putri dan Iwan, juga anak-anak lainnya, terjadi akibat pola asuh yang salah dari orang tua. Kurangnya perhatian orang tua juga menjadi salah satu masalah yang akan membuat anak-anak mencari kesenangan di luar rumah. Terkadang, karena sering melihat orang tua bertengkar, maka anak menjadi jenuh dan mencari hiburan di luar rumah hingga akhirnya merasa malas sekolah dan memutuskan untuk berhenti (putus sekolah). Bisa juga disebabkan oleh lingkungan dan atau pergaulan yang tidak sehat.

78


Mengupayakan Jalan Terang Persoalan-persoalan di atas menjadi isu yang serius untuk kami selesaikan. Berbagai permasalahan yang ada terkait anak sangat membutuhkan kerjasama dari banyak pihak, tidak bisa dikerjakan oleh satu pihak dari satu aspek atau satu sudut pandang saja. Dengan diskusi, kita bisa memetakan akar permasalahannya untuk dicarikan solusi bersama. Dari kegelisahan tersebut, lalu dibentuklah Forum Warga Peduli pada tahun 2015 yang secara rutin mengadakan pertemuan di rumah Ibu Sumarni. Forum ini melibatkan banyak pihak, beranggotakan RT, RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan kader pendamping. Secara khusus, forum ini dibentuk untuk membina dan menjaga anak-anak di sekitar, baik anak jalanan, AYLA, maupun anak rentan. Tentu dengan latar belakang banyaknya anak di sekitar wilayah yang bermasalah, hilang arah, rentan, tidak terpenuhi hak-haknya, dan sebetulnya sangat membutuhkan bantuan. Pendampingan dan penyelesaian masalah anak membutuhkan proses panjang yang dilakukan secara kontinyu. Parenting Skill menjadi salah satu yang dilakukan sebagai pondasi karena orang tua merupakan lingkaran terkecil dan paling dekat dengan anak. Sudah saatnya orang tua mulai memahami tentang pola asuh dan hak-hak anak sehingga tindakan dan keputusan yang diambil bisa tepat sasaran dan tidak bertentangan dengan hak-hak anak. Pada program Peduli, sosialisasi orang tua terkait edukasi pola asuh 79


rutin diadakan dan disampaikan langsung oleh Ibu Sumarni. Sosialisasi tentang narkoba dan pergaulan bebas juga penting sehingga anak-anak tahu bahayanya mengkonsumsi dan melakukannya. Pengetahuan itu sekaligus mengajarkan anak-anak untuk bisa memahami resiko serta konsekuensi atas segala tindakan yang dilakukan. Dengan demikian, anak akan lebih peka, berhati-hati, serta tidak ceroboh dalam mengambil keputusan. Kegiatan ini dilaksanakan di Benteng Somba Opu. Banyak anak yang berinisiatif mensosialisasikan dan menyampaikan apa yang didapat pada teman-teman nongkrongnya. Cara ini tentu menjadi inisiatif yang positif sekaligus efektif karena anak akan lebih bisa menyampaikannya dengan bahasa casual yang lebih dipahami oleh sesama teman nongkrong. Lepas dari itu, pelatihan keterampilan untuk anak juga tidak bisa ditinggalkan. Pelatihan ini berguna untuk mengembangkan bakat diri sekaligus menjadi modal untuk mencari alternatif pekerjaan suatu saat nanti. Pelatihan ini meliputi kursus komputer, Bahasa Inggris, membuat coklat atau aksesoris. Kegiatan ini ada dilaksanakan di tempat kursus atau lembaga keterampilan.

Mengurai Tantangan dengan Penuh Kesabaran Menjadi pendamping, terlebih untuk kasus-kasus rawan seperti ini, memang tidak mudah. Harus selalu 80


berhati-hati sebab tentu akan banyak pihak yang merasa terusik. Terutama saat tahu bahwa misi yang dibawa berpotensi mencabut ladang penghasilannya. Apalagi sebagai pendamping, kami seringkali melakukan penanganan kasus tanpa mengenal waktu. Bahkan tengah malam pun harus turun lapangan sehingga mau tidak mau harus melibatkan pihak terkait yang lain. Soal keselamatan, memang tidak bisa luput dari perhatian. Banyak juga anggapan negatif yang muncul dari beberapa orang bahwa kami mau bekerja keras karena mendapatkan kucuran dana yang besar dari program ini. Padahal kami bekerja sukarela. Kegigihan yang kami jalani tulus dari hati, tak mengharap materi. Namun seiring pendekatan yang dilakukan juga sosialisasi yang dijalankan, kami berhasil menepis kesalahpahaman atas anggapan-anggapan tersebut. Komunikasi yang tepat menjadi salah satu kunci keberhasilan ini. Kini, banyak sekali perubahan yang bisa kita lihat pada anak-anak. Mereka mulai memahami apa-apa yang menjadi haknya dalam banyak hal. Mereka juga mulai belajar untuk lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam bertindak sebab hal itu dapat berpengaruh buruk bagi masa depannya nanti. Dari pelatihan-pelatihan yang ada, mereka mendapat banyak pengetahuan serta keterampilan yang setidaknya dapat dijadikan bekal agar nanti bisa mencari pekerjaan alternatif yang lebih baik dan layak. Dengan begitu, mereka akan bisa menjauhi dan meninggalkan dunia kelamnya di 81


masa lalu yang justru penuh dengan masalah maupun tekanan, baik internal maupun eksternal. Perubahan juga tampak dari pergeseran kegiatan yang biasanya diisi halhal negatif, kini mulai bergeser ke arah kegiatan positif. Hal baiknya lagi, mereka tidak sungkan untuk berbagi ilmu yang didapat pada teman-teman nongkrongnya yang tidak ikut bergabung dengan program ini. Mereka menjadi semacam perpanjangan program yang dengan sukarela dan inisiatif sendiri mau mengajak temannya untuk sama-sama menuju kebaikan. Inisiatif seperti ini tentu sangat diperlukan sebab program pasti memiliki keterbatasan jangkauan. Sedangkan kesadaran dari pribadi-pribadi baik tersebut bisa menyebarkan kebaikan bahkan hingga lorong-lorong yang tak terjangkau data sekalipun. Masyarakat sekitar pun sudah mulai menunjukkan perubahannya ke arah yang lebih positif. Mereka tak lagi memandang kami sebelah mata dan berpikiran macammacam. Mereka justru semakin menjaga dan ikut mengawasi anak-anak sekitarnya. Segala program yang kami laksanakan selalu didukung. Terlebih RT, RW, dan Lurah juga merasa terbantu dengan adanya program ini sebab banyak pula warga yang merasakan manfaatnya baik pada anakanak mereka maupun mereka sendiri. Tentu pengalaman ini turut memberikan manfaat yang luar biasa bagi saya. Ilmu dan kemampuan saya bertambah. Dulu saya hanya seorang ibu rumah tangga. Sekarang saya 82


mampu berkarya dan berkontribusi untuk daerah saya sendiri. Saya merasa program ini telah membentuk saya menjadi ibu yang sangat luar biasa karena mampu mendampingi, membina, dan mencegah anak-anak melakukan halhal yang negatif. Saya merasa bernilai, bermanfaat, dan dibutuhkan di masyarakat. Lagi-lagi, kebermanfaatan lah yang selama ini saya cari. Dan saya bahagia bisa berbagi, tentunya berbagi kebaikan selagi saya mampu.

-HalimaYayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM)

83


84


Secarik Makna dalam Perbedaan

W

arna warni memiliki keindahan tersendiri. Ke ragaman dan perbedaan menjadikan hidup lebih berarti. Dengan perbedaan, kita bisa saling mengerti betapa dunia sungguh kaya rupa, juga kaya makna. Satu sama lain saling belajar, saling bertukar, saling berbagi, saling mengasihi. Membayangkannya saja sudah indah sekali jika hidup bisa sebegitu harmonis, saling berdampingan tanpa ada konflik berarti. Jika ada yang kesulitan, dibantu. Jika ada kekeliruan, diingatkan dan diarahkan. Melihat kasus-kasus anak belakangan rasanya miris sekali. Banyak anak yang terjerat kasus narkoba, menjadi 85


begal, ikut tawuran, bahkan dilacurkan di usia yang masih sangat dini. Seharusnya ada figur-figur dewasa yang hadir untuk mengingatkan, mengarahkan, membantu, dan mendampingi. Bukan malah menghakimi seolah paling benar sendiri. Tidak tepat rasanya jika kita selalu menyalahkan sembari abai untuk menyadari siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas semua ini. Anak-anak biar bagaimanapun butuh pengawasan dan pendampingan, tak bisa serta merta dilepas begitu saja. Mereka butuh didikan yang tepat. Di usianya yang masih terlampau muda, mereka belum bisa secara matang menentukan pilihan dan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Masih sangat rentan baginya untuk mengikuti arus lingkungan dan lingkaran pergaulan tanpa bisa jernih memahami setiap konsekuensi dari apa yang dijalani. Beban anak semakin berlapis saat tidak hanya ketiadaan figur, tetapi juga semakin minimnya tempat aman bagi anak. Pada beberapa kasus, banyak anak yang mengalami pelecehan bahkan di tempat-tempat umum. Pelecehan semacam itu tidak hanya berhenti di satu waktu. Pelecehan, terutama yang dialami oleh usia muda, akan terus menyisakan trauma yang tak pernah tuntas. Hidupnya dibayangbayangi ketakutan dan rasa tidak percaya pada orang. Ada pula yang berujung pada kebencian. Rasa benci (dan barangkali juga dendam) itu seringkali menuntunnya pada kegiatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang 86


lain. Kasus begal, narkoba, tawuran, miras, seks bebas, atau juga AYLA seringkali berawal dari perasaan itu. Hal ini sekaligus membuktikan pada kita bahwa selain figur, tempat aman bagi anak juga penting dan signifikan dalam tumbuh kembang anak.

Terbatasnya Tempat Aman bagi Anak Beruntung di wilayah saya ada tempat aman bagi anak bernama Sanggar Pelangi. Filosofinya sama, tempat itu menaungi beragam karakter dan latar belakang tanpa tebang pilih. Di Sanggar Pelangi, anak-anak dapat melakukan kegiatan yang positif seperti membaca, main qosidah, diskusi bersama, dan banyak lagi. Sanggar ini memastikan anak-anak dapat bermain dan belajar bersama tanpa ada perasaan takut maupun khawatir. Memang sudah seharusnya tempat-tempat yang lain pun menerapkan hal yang sama. Namun sayangnya, tempat semacam sanggar ini hanya sepersekian dari lingkungan saya yang secara garis besar sebenarnya tidak cukup aman buat anak. Saya tinggal di tengah kawasan industri dan dekat Pelabuhan Panjang. Tepatnya di belakang PT. Semen Batu Raja. Saya dibesarkan di wilayah eks-lokalisasi yang bernama Pemandangan atau di singkat PMD. Mayoritas warga yang tinggal di sini berprofesi sebagai buruh pelabuhan, buruh bangunan, buruh gudang, dan pedagang. Orang tua seringkali terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga 87


sering acuh tak acuh dengan tumbuh kembang anaknya. Selain itu, kondisi lingkungan sekitar juga tidak cukup kondusif untuk memastikan anak-anak mendapatkan perlakuan dan teladan yang baik. Kehidupan anak-anak di daerah sekitar pelabuhan tersebut sangat memprihatinkan. Kenakalan anak dan remaja seolah semakin marak terjadi. pelabuhan dijadikan tempat anak untuk melakukan pekerjaan yang beresiko fatal, seperti menjadi bajing loncat1. Modus operandinya yaitu ketika mobil pelabuhan yang bermuatan pupuk, gula, bungkil (limbah minyak), dan sebagainya lewat, maka mobil-mobil tersebut akan dinaiki oleh anak dalam posisi berjalan dengan cara melompat secara diam-diam. Setelah berada di dalam bak mobil, anak-anak akan mengambil muatan dan menjatuhkan ke bawah, kemudian melompat turun. Hal itu menimbulkan resiko mulai dari patah kaki hingga tak jarang yang berujung pada kematian. Ada banyak motif anak melakukan aktivitas bajing loncat diantaranya kebutuhan ekonomi dan pangan yang mendesak, pembuktian kekuatan dan kemampuan diantara teman-teman nongkrongnya, atau bahkan ada pula yang iseng melakukannya karena ajakan teman. Tak hanya pelabuhan, rel kereta api di daerah kami juga seringkali dijadikan tempat untuk anak-anak nge-lem dan menggunakan narkoba. Selain menjadi bajing loncat dan mengkonsumsi narkoba, anakanak di sekitar juga sering meminum minuman keras, 88


mencuri kendaraan bermotor, melakukan aksi jambret, mengkonsumsi narkoba, hingga terlibat sebagai korban anak yang dilacurkan (AYLA) dan perdagangan anak. Hal tersebut tentu tak bisa dipisahkan pengaruhnya dari kedekatannya dengan area eks-lokalisasi Pemandangan. Sebenarnya wilayah lokalisasi Pemandangan di Bandar Lampung sudah ditutup pada tahun 1995. Akan tetapi, kegiatan prostitusi di dalamnya masih tetap aktif. Mau tidak mau, anak-anak sedari kecil menjadi terpapar aktivitas tersebut. Banyak juga yang sering bermain ke daerah sana untuk sekadar memuaskan rasa penasaran atau diajak nongkrong kawan-kawan. Gaya hidup dan pergaulan yang bebas di daerah transit pelabuhan, aktivitas terselubung di rel-rel kereta api, ditambah keberadaan eks-lokalisasi membuat area tersebut semakin tidak kondusif dan tidak aman bagi tumbuh kembang anak. Hal ini sudah seharusnya menjadi concern bersama untuk tetap dapat menyediakan tempat aman anak sebagai solusi utamanya bagi anak-anak yang lahir dan tumbuh di area tersebut.

Sekat ‘Anak Atas’ dan ‘Anak Bawah’ Tak hanya faktor lingkungan, pola pengasuhan anak di daerah tersebut juga termasuk buruk. Banyak orang tua yang kurang perhatian pada kondisi dan perkembangan anak. Dampaknya, anak jadi bebas bermain kemana saja 89


sampai larut malam bahkan sampai tidak pulang. Saking acuhnya, orang tua pun tidak mencari mereka meskipun tidak pulang. Selain karena sikap acuh, beberapa kasus juga dipicu oleh adanya hubungan yang tidak harmonis antara ayah dan ibu. Pertengkaran hingga perceraian orang tua menyebabkan anak menjadi broken home sehingga banyak yang akhirnya menghabiskan waktu mereka di luar rumah. Tidak terciptanya ruang yang nyaman bagi anak saat di rumah membuat mereka akhirnya mencari-cari ‘rumah baru’. Tak ayal tempat-tempat nongkrong menjadi lebih sering ditinggali daripada rumah sendiri. Di daerah ini ada sebutan ‘anak atas’ dan ‘anak bawah’. Anak bawah biasanya diasosiasikan dengan anak bram (anak beramai-ramai) yang juga merupakan sebutan bagi AYLA. Mereka seringkali mendapatkan diskriminasi bahkan bully dari kawan-kawan di sekolah maupun di sekitar lingkungan tempat tinggal. Mereka disebut “anak bawah” oleh kawan sebayanya karena tempat tinggal AYLA di daerah bawah. Anak atas sering dilarang oleh orang tua mereka untuk bermain dan bergaul dengan anak bawah, dengan anggapan semua anak bawah tidak baik, misal karena pakaiannya terlalu seksi atau dianggap pergaulan anak nakal. Orang tua anak atas juga seringkali berkata bahwa buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Mereka berpikir anak pekerja seks pasti akan menjadi pekerja seks. Kata-kata menyakitkan ini yang menimbulkan trauma 90


psikis bagi anak dan dapat berpengaruh bagi tumbuh kembangnya. Namun justru semakin dilarang, banyak anak atas yang diam-diam tetap main ke tempat anak bawah dan nongkrong bareng. Dari tempat-tempat nongkrong semacam itu, relasi anak menjadi lebih dekat dengan kawan sebaya atau kawan tongkrongannya. Anak kemudian menjadi lebih nyaman untuk curhat ke kawannya daripada orang tua atau keluarga. Terlebih lagi bila orang tuanya termasuk tipikal yang judgemental atau temperamen. Kondisi tersebut akan membuat anak semakin merasa tidak nyaman terbuka dengan orang tua dan lebih memilih dekat dengan kawannya. Jika lingkungan dan lingkaran pergaulannya tidak tepat, maka justru kedekatan itu berpotensi menjerumuskan anak dalam aktivitas-aktivitas negatif, termasuk akhirnya jadi korban AYLA. Dengan kondisi psikis yang rentan akibat permasalahan di rumah, anak akan lebih mudah tergoda apalagi jika rekan sebayanya sangat agresif dalam mengajak pada keburukan. Misalnya saja ada anak yang diiming-imingi HP bagus milik teman. Dia langsung tertarik dan ingin punya juga. Setelahnya, diketahui bahwa HP bagus itu didapat dengan cara yang dianggap mudah dan instan. Dengan persuasi dari temannya, ia melihat bahwa menjadi AYLA merupakan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Ia bisa membeli apa saja yang ia mau, sebagaimana apa yang juga dilakukan 91


oleh temannya. Dari ketertarikan itu, temannya lalu mengajaknya untuk menemani laki-laki hidung belang atau omom. Dia pikir hanya menemani sehingga kemudian dia iyakan. Namun pada kenyataannya, minumannya diberi obat bius sehingga ia tidak sadarkan diri. Si laki-laki hidung belang pun bisa dengan leluasa melancarkan aksinya. Pengalaman buruk itu tentu sangat membekas. Banyak dari mereka yang akhirnya putus asa dan justru terjebak dalam situasi yang mengharuskannya untuk melanjutkan menjadi AYLA. Ujian hidupnya tak sampai di situ. Setelah menjadi AYLA, mereka pun hamil tanpa diketahui siapa bapaknya. Jika tak tahan menghadapi kenyataan, mereka biasanya akan mencari info bagaimana cara menggugurkan kandungan. Praktik-praktik aborsi dari cara-cara tradisional hingga yang paling sadis dengan batang singkong sekalipun akan dilakukan demi bisa menyembunyikan rasa malu. Meskipun demikian, masih ada beberapa yang memutuskan untuk tetap mempertahankan kelahiran bayinya. Baik dari kasus AYLA maupun kasus lain, ada banyak anak di daerah tersebut yang belum memiliki akta lahir. Membuat akta kelahiran memang gratis, tetapi diperlukan persyaratan yang harus dilengkapi seperti KK (Kartu Keluarga), KTP (Kartu Tanda Penduduk), Surat Nikah, dan Surat Keterangan Kelahiran. Jangankan KK, KTP saja mereka tidak punya, apa lagi surat nikah. Jangankan AYLA, yang 92


bukan AYLA saja orang tua mereka tidak memiliki surat nikah karena menikah siri.

Melati yang Tersakiti Kasus anak bram atau AYLA di daerah tersebut cukup banyak. Salah satunya adalah kisah Melati (nama samaran) yang dilahirkan pada tahun 2000 di Way Lunik, Bandar Lampung. Melati diasuh oleh ayah dan ibu angkatnya karena ibu Melati meninggal dunia saat melahirkan. Melati merupakan anak berkebutuhan khusus sehingga ketika sekolah dasar, ia cukup kesulitan dalam mengikuti pelajaran, tidak seperti kawan-kawannya yang lain. Dengan alasan tersebut, Melati kemudian dianjurkan untuk bersekolah di sekolah luar biasa. Tetapi karena faktor ekonomi, akhirnya Melati dan keluarganya memilih untuk putus sekolah. Pada tahun 2014, Melati mengalami kejadian yang sangat traumatik. Ia diperkosa oleh orang yang menggunakan topeng dari karung beras. Peristiwa itu terjadi ketika semua pemilik rumah sedang tidak ada di rumah, kecuali Melati. Pada saat itu, tangan Melati diikat dan mulutnya dibekap. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan ia pun tak bisa menebak siapa orang di balik topeng yang sedang menyiksanya itu. Tak cukup diperkosa, Melati pun diancam akan dibunuh jika sampai ia menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya, apalagi sampai lapor polisi.

93


Peristiwa itu berlalu demikian menyakitkan. Hari-harinya murung memendam amarah, namun tak terlampiaskan. Tepatnya 5 bulan kemudian di rumah baru, Melati akhirnya menceritakan peristiwa itu pada budhenya. Dari situ, orang tuanya mengetahui kejadian sebenarnya dan segera melakukan pemeriksaan kehamilan. Benar saja, kondisi Melati saat itu sedang hamil. Ketika tahu Melati hamil, seketika itu juga keluarganya segera lapor polisi dan melakukan visum. Melati pun mendapatkan konseling yang diperlukan. Dari hasil penyelidikan, ditemukan orang yang diduga sebagai pelaku. Orang tersebut diperiksa. Namun kasusnya tidak kunjung menemukan penyelesaian hingga Melati melahirkan. Ayah Melati melaporkan kasusnya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berharap mendapatkan pendampingan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun datang ke rumah Melati untuk melakukan wawancara. Dengan didampingi oleh KPAI, keluarga kembali melaporkan terduga pelaku ke polresta dan dilakukan Tes DNA. Namun, hasilnya tidak cocok. Hingga kini, pelaku masih belum juga ditemukan.

Mendampingi Sepenuh Hati Ada banyak kasus seperti Melati yang mengalami kekerasan seksual di usianya yang masih sangat belia. Tentunya kondisi tersebut sangat memprihatinkan mengingat 94


korbannya masih berada di usia anak. Permasalahan ini menjadi concern kita untuk bisa menyelesaikan permasalahan dan melakukan perubahan. Tentu upaya yang paling tepat adalah dengan mengadakan kerjasama dari banyak pihak sebab masalah hanya bisa diselesaikan dengan lebih ringan jika dipikul dan ditanggung secara bersama-sama. Salah satu upaya untuk menangani kasus anak yaitu dengan dibentuknya Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) pada tahun 2010. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) beranggotakan guru PAUD, RT, RW, Lurah, tokoh masyarakat, ustadz, mucikari, dan perwakilan masyarakat. Kegiatannya berlokasi di Sanggar Pelangi. Pada saat saya bergabung dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) di tahun 2010, posisi saya saat itu adalah seorang guru yang mengajar di PAUD. Kepala sekolah tempat saya mengajar kebetulan merupakan Ketua Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Oleh beliau, saya diajak untuk bergabung di Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Senang rasanya bisa dilibatkan sebagai anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) meskipun selalu dipertanyakan kenapa mau mengurus anak orang lain sementara anak sendiri belum tentu baik. Biar bagaimanapun, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) perlu ada untuk mengatasi masalah anak. Ada juga seorang ustad merangkap RT yang tadinya tidak mendukung, saat ini Alhamdulillah mau menjadi anggota Kader Pemberdayaan 95


Masyarakat (KPM) karena melihat kegiatan kader yang positif. Beliau bahkan mewakafkan tanahnya untuk dibuat PAUD, TPA, dan Sanggar Pelangi. Selama menjadi anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), saya bertugas untuk mendampingi anak-anak di komunitas. Pendampingan menjadi aktivitas pokok mengingat itu yang paling dibutuhkan oleh Melati dan anak-anak lainnya. Dalam pendampingan, mereka akan diberikan pengetahuan tentang hak-hak anak dengan fasilitator dari Children Crisis Center (CCC) dan kawan-kawan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Anak-anak juga mendapatkan beragam pelatihan keterampilan seperti keterampilan menjahit, sablon, membuat mute-mute, salon, tata boga, hingga English Club. Melalui keterampilan, anak akan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif di sanggar. Anak laki-laki dilatih untuk memiliki keterampilan sablon. Anak perempuan dilatih untuk memiliki keterampilan mute-mute, membuat kotak tisue, tempat minuman gelas, tempat permen untuk anak perempuan, serta merangkai bunga kristal. Semua itu dilakukan di Sanggar Pelangi pada tahun 2016 dengan peserta AYLA dan anak-anak masyarakat sekitar eks-lokalisasi. Dengan pelatihan-pelatihan tersebut, mereka akan mampu berkarya, berkreasi, atau mencari pekerjaan alternatif sehingga mampu mandiri dengan pilihan hidup yang lebih baik. Kegiatan outbond juga rutin diadakan sebulan sekali dengan lokasi yang ditunjuk oleh 96


anak-anak sendiri. Saat outbond, kami mengajak anak-anak rekreasi sambil belajar di alam terbuka dan di luar komunitas. Sebagai contoh, outbond pernah dilakukan bersama anak-anak di Way Lunik sehingga kami bisa bermain dengan anak-anak di Panjang Selatan. Kegiatan ini melibatkan AYLA dan anak di eks-lokalisasi yang berada di wilayah Pemandangan dan Pantai Harapan. Outbond ditujukan untuk membentuk bonding antara pendamping dengan AYLA sehingga kepercayaan dan keterbukaan akan semakin di asah satu sama lain. Selain mengadvokasi AYLA, kami juga mengadvokasi pembuatan akta kelahiran bagi anak-anak yang tidak memiliki akta. Hal itu bermanfaat dalam hal pengurusan administrasi di masa mendatang. Tak hanya anak, para orang tua pun mendapatkan pelatihan pola asuh yang baik bagi anak (good parenting) dengan fasilitator dari Save The Children. Orang tua menjadi pondasi awal bagi tumbuh kembang anak sehingga posisinya cukup vital. Banyak kasus AYLA atau kenakalan remaja lainnya yang dipengaruhi oleh adanya pola asuh yang salah. Didikan yang keliru tersebut harus segera dibenahi sebelum tertanam kuat pada anak. Dengan pola asuh yang baik, orang tua akan mampu memperlakukan dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya sehingga mereka tetap punya pegangan dan arahan yang tepat dari figur orang tua. Kegiatan pelatihan good parenting ini dilakukan 97


pada rentang tahun 2015-2017 sebanyak tiga kali di ekslokalisasi yaitu di balai pertemuan umum, di Sanggar Pelangi, dan di rumah salah satu anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Fasilitatornya dari Children Crisis Center (CCC) dan kawan-kawan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Setelah berkali-kali mengupayakan pendekatan dan pelatihan, kini anak-anak mulai menampakkan perkembangannya. Anak sudah merasa nyaman tinggal di dalam rumah karena orang tua sudah lebih bisa mengerti keadaan dengan dibekali pola asuh yang baik. Anak sudah bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi, artinya sudah bisa (meskipun belum sepenuhnya) memperoleh kesamaan hak sebagaimana anak lainnya. Mereka juga sudah minim diskriminasi dan sangat jarang mendapat bully-an dari kawankawannya. Kini anak-anak juga sudah mulai sering menghabiskan waktu untuk hal hal yang positif, seperti membaca buku di sanggar, main marawis, qosidah, bergabung di English Club, belajar tari daerah, dsb. Anak-anak sering menghabiskan waktu untuk kegiatan kegiatan positif karena sudah mendapatkan keterampilan sehingga waktu tidak dihabiskan untuk hal-hal yang negatif lagi. Tidak ada waktu untuk nongkrong dengan kawan yang memberi pengaruh buruk. Mereka jadi lebih menyayangi dan peduli dengan kawan-kawannya karena dalam outbond terdapat permainan untuk saling kenal dan sayang satu sama lain. 98


Mereka juga berani mengeluarkan pendapat dan menghargai pendapat kawan. Rasa kekeluargaan juga kekompakan semakin terbina dengan sendirinya. Tak hanya anak-anak dan sekitar yang mendapatkan manfaatnya, saya pun sebagai pendamping juga belajar banyak dari program ini. Utamanya jadi belajar untuk lebih bisa bersabar, mengerti karakter dari berbagai anak yang berbeda, dan tidak melihat manusia dari tampilan luarnya, misal AYLA yang memakai pakaian seksi dan berbicara yang kurang sopan dengan gaya bahasa mereka. Setelah pendekatan dan pendalaman, mereka sama seperti kita. Sama-sama manusia yang punya masalah, punya hati dan pikiran, punya semangat ingin hidup yang lebih baik dan lebih layak. Kini saya menjadi kawan bagi anak-anak. Sebisa mungkin selalu saya usahakan agar selalu ada waktu untuk mereka ketika dibutuhkan.

-Iin IndrawatiKader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Lampung

Footnote: 1

Tindakan kriminal yang dilakukan dengan cara melompat ke atas kendaraan yang sedang melintas, kemudian mencuri muatan. Tindakan ini dilakukan dengan berbagai macam modus operandi, diantaranya menghalangi atau memperlambat laju kendaraan yang melintas, terutama di tempat-tempat sepi dan di jalan yang rusak atau berlubang.

99


100


Pendampingan Mantan Kurir AJUDI (Anak Jual Diri) “Berantakan! Nakal! Gak punya masa depan!”

P

ersis kata-kata itu yang mungkin bisa menggambarkan hidup saya di masa lalu. Sejak duduk di bangku SMP, saya sudah ikut bergabung di geng anak nakal, ikut tawuran, dan minum-minum. Hingga tamat SMA, saya tidak bisa lepas dari alkohol. Saat itu saya semakin ugal-ugalan. Saya benci keluarga, karena saya merasa dianaktirikan. Saya dibedakan oleh adik-adik dan kakak-kakak saya. 101


Tahun 2010 saya merantau di Kota Bontang, Kalimantan Timur, untuk mencari sesuap nasi dan jati diri. Saya menikah di Kota Bontang dan saya pulang bersama istri ke Kota Makassar. Di Makassar kami dikaruniai dua buah hati. Kami bercerai karena mantan istri saya tidak tahan dengan kelakuan saya yang tiap malam mabuk-mabukan. Selang waktu berganti, saya masih tetap melakoni hidup dengan minum alkohol. Saya tetap tidak peduli dengan anak, lingkungan dan keluarga saya. Satu masa ketika saya sedang mabuk, saya memukul anak saya yang berumur empat tahun. Saya khilaf. Saya tidak sadar.

Menjadi Kurir AJUDI (Anak Jual Diri) Rumah saya terletak di Kelurahan Pattilengkong Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Di sekitar rumah saya mayoritas warga bekerja di pelelangan ikan, karena dekat dengan pelabuhan Potere, tempat keluar masuknya kapal dagang. Pelabuhan Potere adalah tempat bermain anakanak dan remaja kami. Mereka bermain jika waktu libur. Bermain bola, berenang, dan lain-lain. Ada juga yang bekerja sebagai Alber. Alber adalah singkatan dari anak lelang bawa ember. Alber berusia antara 5-10 tahun. Mereka dipekerjakan oleh orang-orang yang berada di pelelangan ikan. Mereka disuruh mengambil air di pantai dengan alat angkut ember. Mereka dibayar dengan ikan. Dan ikan ini mereka jual kembali ke orang-orang yang datang ke pelelangan. 102


Titik rawan tempat tinggal kami yaitu Sapiria, tempat ini pemakaman sekaligus tempat tinggal warga setempat. Sapiria ini dikenal dengan sebutan KAMPUNG NARKOBA. Sapiria berada di Kecamatan Tallo, bersebelahan dengan kecamatan Ujung Tanah tempat kami. Di sinilah anak-anak dan remaja kami mendapatkan barang haram, yaitu sabu-sabu. Di tempat kami banyak salon-salon rias dimana anakanak sering ke salon-salon untuk menjajakan dirinya demi mendapatkan uang. Setelah mereka mendapatkan uang, mereka ke Kampung Sapiria untuk membeli sabu. Pada saat itu, empat tahun lamanya saya mendampingi AJUDI (Anak Jual Diri). Saya menjadi kurir mereka, dan saya senang karena saya mendapatkan upah dari mereka. Ada juga beberapa anak yang melacurkan diri karena kurangnya kasih sayang dari orang tua. Awalnya anak hanya mengikuti temannya yang coba-coba narkoba. Lamalama si anak ketagihan. Anak pun meminta uang kepada orang tuanya, tetapi orang tuanya tidak memberikan karena keadaan ekonomi yang juga pas-pasan. Si anak kemudian bercerita kepada temannya kalau dia sedang butuh uang dan berharap mendapatkan solusi. Temannya menawarkan padanya untuk menjadi pelayan nafsu waria di salon-salon dengan bayaran yang lumayan untuk jajan. Si anak setuju. Ia pun menjalani profesi tersebut selama berbulan-bulan hingga akhirnya ketagihan. Dari pendapatan yang dihasilkannya, ia jadi bisa membeli sabu. Tak hanya sabu, ia pun 103


bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Kesenangan sesaat dan penghasilan instan membuatnya bertahan dalam lingkaran tersebut. Di wilayah kami juga banyak anak di bawah umur yang mengalami pernikahan diri. Adanya pernikahan dini dikarenakan orang tua tidak mengerti hak-hak anak. Orang tua berpikir, jika anak mereka telah dikawinkan, masalah mereka akan terselesaikan. Anaknya tidak akan keluyuran, tidak perlu dijaga, dan tidak perlu dibiayai lagi. Padahal orang tua tidak mengetahui bahwa menikahkah anak mereka di usia dini akan merugikan anak mereka sendiri karena hak-hak anak akan hilang. Selain itu, kondisi psikis anak juga akan jadi rentan. Bahkan pada beberapa kasus sampai terjadi kematian akibat bunuh diri karena mereka belum siap mengandung di usia dini.

Berproses bersama Forum Warga Setelah saya diajak menjadi pendamping untuk bergabung di Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM), semuanya berubah. Dulu saya mendengar banyak cerita yang negatif, sedangkan saya tidak bisa berbuat apaapa. Kini saya bisa bergerak dan berkontribusi dengan aksi nyata bersama rekan-rekan di Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) dengan turun langsung mendampingi AYLA dan anak-anak rentan yang ada di lingkungan saya. 104


Namun, upaya tidak hanya berhenti di situ. Banyaknya masalah-masalah yang terjadi di lingkungan mendorong kami untuk berinisiatif membentuk semacam forum warga. Tepatnya pada bulan Agustus tahun 2016, kami membentuk Forum Warga Kecamatan Ujung Tanah yang anggotanya terdiri dari Ketua RW, Ibu RW, ibu rumah tangga, dan orang tua AYLA. Ada sekitar 25 anggota yang aktif sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Forum warga ini selanjutnya menjadi tempat berkumpulnya warga untuk bermusyawarah, utamanya saat menghadapi kasus-kasus yang ada di masyarakat. Di Forum Warga, kami rutin mengadakan pertemuan sebulan sekali baik berupa musyawarah maupun berkegiatan. Kami aktif mengadakan pelatihan pola asuh anak bagi orang tua agar dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan diri dalam mendidik anak. Dengan begitu, anak akan mendapat perlakuan serta didikan yang tepat untuk tumbuh kembangnya. Kami juga sering mengadakan pelatihan keterampilan seperti membuat kerajinan tangan. Keterampilan ini penting sebagai bekal anak sehingga nantinya mampu bersaing di dunia kerja. Dalam hal pendampingan dan advokasi, sejauh ini kami telah mendampingi beberapa kasus anak yang bermasalah ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA). Kami berhasil mengadvokasi 37 anak kembali ke bangku sekolah. Saat itu, miris sekali rasanya mendengar ada 37 anak yang terancam tidak dapat 105


melanjutkan sekolah karena tidak memiliki biaya. Di antara 37 anak, delapan diantaranya remaja yang ingin melanjutkan ke bangku SMK. 20 diantaranya ingin melanjutkan ke bangku SMP. Dan dari 37 anak, tiga diantaranya merupakan AYLA, lima anak rentan, dan 29 lainnya merupakan anak dari keluarga tidak mampu. Advokasi kami lakukan dengan mendatangi Dinas BPPPA Kota Makassar. Kami menyampaikan bahwa kami mempunyai 37 anak dampingan yang terancam berhenti sekolah. Dari BPPPA kami direkomendasikan ke Dinas Pendidikan kota Makassar. Di Dinas Pendidikan, kami sampaikan lagi paparan kondisi yang sebenarnya tentang bagaimana anak-anak harus berjuang untuk bisa sekolah di tengah segala keterbatasan yang ada. Dinas Pendidikan menyetujui untuk membantu anak-anak bisa bersekolah lagi. Dinas Pendidikan kemudian bersurat ke Kepala Sekolah SMKN 4 Makassar dan SMPN 37 Makassar. Sekolah tersebut menyetujui. Kini mereka dapat bersekolah lagi dengan bebas biaya. Aktivitas ini menjadi yang paling berkesan bagi saya karena dahulu saya tidak peduli sama sekali. Jangankan mengurus anak orang, anak sendiri saya tidak saya urus. Saya tidak tahu bagaimana alurnya kalau ingin mengupayakan anak bisa tetap sekolah meski dengan keterbatasan biaya. Saya dulu sangat pasif dan tidak ada inisiatif. Mungkin juga karena keterbatasan akses dan pengetahuan sehingga tak tahu harus melakukan apa jika hal itu terjadi.

106


Selain mengupayakan untuk lanjut sekolah, kami juga dampingi anak-anak untuk bisa mengikuti ujian kejar paket, setara SD, SMP, SMA. Ada 25 anak dan remaja yang mengikuti ujian paket. Dari 25 anak, 15 remaja adalah AYLA dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Tallo dan Kecamatan Ujung Tanah. 15 AYLA yang akan mengikuti kegiatan paket B atau setara dengan SMP dan dua remaja yang akan mengikuti Paket A dengan setara dengan SD. Mereka juga kami dampingi untuk mengikuti kursus salon di Dinas Sosial sebagai tambahan keterampilan agar lebih bernilai dan berdaya dalam kompetisi pencarian lapangan kerja. Tak hanya perihal pendidikan, kami juga mengupayakan hak-hak anak di bidang kesehatan. Banyak di antara mereka yang mengkonsumsi obat-obatan atau narkotika Tak sedikit di antaranya yang sampai overdosis. Mereka selalu mengeluhkan ketergantungan pada obat-obatan tersebut. Rasanya sulit sekali untuk bisa lepas, katanya. Kami kemudian mengambil langkah untuk mendampingi mereka untuk memeriksakan kesehatan serta menjalani proses rehabilitasi.

Mengembalikan Secercah Harapan Anak-anak dampingan kami tadinya bukanlah siapasiapa. Bahkan mereka dipandang sebelah mata dan terus dicecar dengan label-label ‘anak nakal’. Sekarang mereka berubah. Mereka sudah bersekolah. Mereka sudah berketerampilan. Mereka selalu rutin meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diseleng107


garakan oleh dinas-dinas di Kota Makassar. Baru-baru ini, pada 23 Januari 2018, remaja kami juga diundang oleh pemerintah setempat untuk membuka acara launching Tahapan Pilkada Serentak Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan serta Walikota dan Wakil Walikota Makassar tahun 2018, yakni dengan membawakan tarian dari 4 etnis (Makassar, Mandar, Bugis, dan Toraja). Pendamping dulu juga bukanlah siapa-siapa, bahkan kami tidak dipandang dan dianggap oleh pemerintah setempat. Sekarang pemerintah dan dinas-dinas terkait mulai terbuka dengan kehadiran kami. Adanya tanggapan dinas yang positif membuat pendamping jadi lebih mudah untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah, yaitu lurah, camat, dan dinas-dinas terkait lainnya. Perubahan ini sangat dirasakan karena kami jadi sering dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh dinas-dinas setempat. Setiap langkah dan upaya tersebut saya jalani dengan bahagia. Pada akhirnya perubahan sedikit demi sedikit mulai tampak ke arah yang lebih baik. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari Forum Warga karena dengan begitu saya jadi bisa secara langsung berkontribusi mendampingi anak dan menangani kasus. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari perubahan.

-RuslanYayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM)

108


Pendampingan dari Guru Ngaji

S

aya tinggal di daerah pesisir Pantai Harapan. Di daerah sekitar, kebanyakan kepala keluarga bekerja sebagai nelayan. Hasil tangkapan ikan yang ada biasanya akan dijual langsung oleh istri si nelayan atau dijual di tempat penampungan ikan yang kemudian dipasarkan di masyarakat. Selain nelayan, beberapa yang lain juga bekerja sebagai buruh bangunan, guru, dan pedagang. Di area sekitar terdapat tempat seperti Sanggar Muda Ceria yang aman bagi anak. Tempat ini seringkali digunakan untuk berbagai kegiatan anak-anak ataupun 109


masyarakat, seperti senam, mengaji, melukis, juga tempat untuk berkumpul bila ada kegiatan atau acara di masyarakat. Hanya saja, tempat semacam ini tidak banyak. Dari segi lokasi, daerah saya tinggal termasuk yang sangat rawan bagi perkembangan anak-anak. Daerah ini berdekatan dengan eks-lokalisasi yang merupakan tempat hiburan malam untuk pekerja seks. Lokasi tersebut banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat dan anak-anak, apalagi lokasinya berdekatan dengan rumah penduduk. Akibatnya, banyak anak yang mengikuti gaya hidup mereka, cara berpakaian, maupun tingkah laku. Banyak peristiwa yang sudah terjadi di tempat saya seperti fenomena AYLA, kekerasan fisik atau psikis terhadap anak, aborsi, narkoba, miras, judi, hisap lem, bahkan seks bebas.

Luka Memar Sang Mawar Dari sekian pengalaman hidup yang ada di sekitar saya, kisah Mawar menjadi salah satu peristiwa yang cukup membekas bagi saya. Mawar (nama samaran) lahir dari keluarga yang tidak mampu. Ibunya adalah pedagang keliling, sedangkan ayahnya bekerja sebagai nelayan dan buruh di Pelabuhan Panjang. Kakaknya terkena kasus kenakalan remaja, sering mabuk-mabukan dan menghisap lem sehingga putus sekolah. Kakaknya bahkan pernah bekerja sebagai pencari pelanggan di cafe atau tempat hiburan malam. 110


Mawar duduk di bangku Sekolah Menengah Umum. Dia termasuk anak yang ceria dan senang bergaul. Suatu hari, Mawar bermain dengan teman-temannya selepas pulang sekolah. Ketika itu, ayahnya memanggil dan menyuruhnya untuk pulang. Hal itu terjadi berulang kali. Ketika Mawar sedang bermain di rumah Ros (nama samaran), ayahnya kembali memanggil. Sebenarnya Mawar enggan untuk pulang. Ia merasa tidak nyaman di rumah. Ia butuh teman, butuh tempat yang aman dan nyaman sehingga sering pergi main di rumah temannya. Namun, Ros membujuk Mawar untuk pulang. Ia khawatir Mawar akan menjadi anak durhaka jika membantah dan tidak menuruti keinginan orang tua sebab itu yang selalu diajarkan oleh orang tua Ros. Akhirnya Mawar pulang dengan mimik wajah penuh ketakutan. Melihat raut muka Mawar yang tidak biasanya, Ros mulai bertanya-tanya. Namun sungkan untuk menanyakan langsung padanya sehingga kejanggalan itu hanya dipendamnya dalam hati. Merasa terus dibatasi dalam berinteraksi, Mawar kehilangan sosok kawan juga pendengar. Ia merasa sendirian. Mawar yang periang dan ceria berubah drastis menjadi sangat murung dan pendiam. Ada hal-hal yang tampaknya begitu dirahasiakan dan ditutup rapat-rapat. Ia tampak tertekan. Mungkin juga karena tidak bisa menceritakan dan melampiaskan apa yang dirasakan. Ketiadaan ruang cerita membuat Mawar seringkali menghabiskan waktunya di 111


dunia maya. Ia sering secara tidak langsung meluapkan perasaannya melalui media sosial (facebook). Suatu hari, seorang teman lainnya yang bernama Lili (nama samaran) berinisiatif untuk menanyakan apa yang terjadi dengan Mawar. Ia merasa prihatin atas perubahan drastis yang dialami oleh temannya tersebut. Dengan perasaan yang begitu menyedihkan, Mawar pun akhirnya mau buka suara dan bercerita apa adanya kepada Lili. Ia paparkan betapa selama ini ayahnya melakukan kekerasan seksual ketika ibunya sedang berjualan keliling. Dan buruknya lagi, hal itu sudah berjalan selama 3 tahun. Lili kaget sekali mendengar hal itu. Kini ia paham kenapa Mawar sering ngotot ingin tetap bermain di luar rumah. Ternyata rumahnya bukan tempat yang aman bagi Mawar. Tempatnya pulang merupa seperti neraka. Selama ini Mawar memendam luka dalam begitu lama. Kabar tersebut menyebar cepat di masyarakat, termasuk Ros. Dengan sigap Ros segera memberitahu ibu Mawar tentang kejadian yang dialami anaknya selama bertahun-tahun. Sulit sekali bagi ibunya untuk percaya. Berulang kali Ros meyakinkan tapi tak juga dirasa benar adanya. Akhirnya Ros mengajak Mawar untuk visum di rumah sakit agar mendapatkan bukti yang lebih otentik. Ketika hasilnya keluar dan ditemukan luka pada organ kelaminnya, barulah ibu Mawar percaya. Sementara pelaku 112


(ayah Mawar) masih belum sadar bahwa semua sudah tahu kelakuan bejatnya. Anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) mulai menangani kasus ini dengan cara mendampingi korban ke rumah sakit dan melaporkan pelaku kepada pihak yang berwajib. Korban dan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dibantu oleh beberapa lembaga seperti Children Crisis Center (CCC), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan LSM Bahari Mandiri. Upaya pendampingan tersebut membuahkan hasil. Proses penyidikan berlangsung hingga persidangan. Akhirnya pengadilan memutuskan pelaku diproses dan diputus 20 tahun penjara serta hukuman kebiri. Pasca keputusan pengadilan, pihak Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan Children Crisis Center (CCC) tetap rutin mendampingi Mawar untuk melakukan terapi agar bisa bangkit dari pengalaman traumatiknya. Tim berusaha membangun kembali rasa percaya diri dan memotivasi korban agar tidak larut dalam keterpurukan. Mawar selalu dilibatkan dari banyak pelatihan di Forum Anak guna menyibukkan dirinya dengan kegiatan yang positif. Dengan begitu, harapannya Mawar bisa teralihkan dari pikiran-pikiran negatif yang membuatnya putus asa. Lambat laun semangatnya kembali pulih. Ia tidak lagi merasa minder bermain dengan temannya. Lebih jauh lagi, ia bisa kembali bersekolah dan beraktivitas seperti semula.

113


Mengurai Masalah demi Masalah Permasalahan yang dialami Mawar dan anak-anak lainnya menjadi bahan evaluasi bagi kita semua. Ada banyak hal yang harus kita benahi. Hal yang paling mendasar tentu terkait pola asuh atau good parenting. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara pola asuh yang benar menyebabkan banyak hak anak yang tidak terpenuhi dan hal ini berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Banyak anak yang kurang nyaman di dalam rumah untuk berkumpul bersama keluarga karena pengasuhan yang kurang baik, juga karena terjadinya kekerasan pada anak sebagaimana yang dialami oleh Mawar. Bagaimana bisa anak betah di rumah jika apa yang dialami di rumah justru begitu menyakitkan dan menyiksa. Banyak kasus anak yang karena merasa tidak aman dan nyaman di rumah dengan berbagai alasan, akhirnya berontak dan memutuskan untuk keluar dari rumah. Atau minimal, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Banyak kejadian bahwa kenakalan remaja justru dipicu (atau malah diarahkan) oleh keluarga, utamanya orang tua. Pada cerita Dahlia (nama samaran), ia justru dijadikan pekerja seks oleh ayahnya sendiri. Keluarganya termasuk ke dalam kategori miskin sehingga kebutuhan hidupnya sulit terpenuhi. Terlebih lagi ayahnya hanya seorang pekerja serabutan. Suatu hari, ayahnya meminjam uang pada mucikari dengan menjaminkan Dahlia sebagai jaminan. Tuntut114


an itu mau tidak mau memaksa Dahlia untuk bekerja sebagai pekerja seks demi melunasi hutang ayahnya. Selain Dahlia, jejadian yang dialami oleh Bunga (nama samaran), seorang siswi SMU, menjadi refleksi atas permasalahan pola asuh. Dia merasa lebih nyaman berada di luar rumah karena ketidakharmonisan yang ada dalam keluarganya. Akibatnya, B terbawa arus pertemanan. Ia sering terlibat dalam pergaulan bebas sampai melakukan hubungan intim. Lambat laun ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Barulah ia sadar kalau ternyata ia hamil. Itupun baru diketahui ketika usia kehamilan sudah memasuki 5 bulan. Mengetahui kejadian tersebut, orang tuanya mendesak Bunga agar jujur mengakui apa saja yang sudah dilakukan. Akhirnya Bunga mengatakan bahwa ia hamil dengan teman dekatnya. Biasanya kejadian seperti yang dialami oleh B akan berujung pada pernikahan dini. Hal tersebut tentu akan menambah deretan masalah yang seolah tiada habisnya. Pernikahan dini menyisakan beban psikis karena ketidaksiapan anak dalam menjadi istri juga ibu bagi bayinya. Belum lagi jika harus menghadapi pertikaian dengan pasangan akibat belum matangnya tingkat emosionalitas. Pertikaian ini seringkali berujung pada perceraian dini. Korban yang terpuruk karena perceraian juga kerap memilih untuk melacurkan diri. Pilihan ini diambil sebagai pelampiasan akibat keputusasaan, juga sebagai jalan instan untuk memenuhi tuntutan hidup. Beban ekonomi memang 115


menjadi momok pada usia dini yang sebetulnya memang belum waktunya untuk produktif bekerja, namun sudah memiliki tanggungan hidup baik untuk dirinya sendiri juga anaknya. Selain pernikahan dini, persoalan semacam yang B alami pada beberapa kasus juga bisa berujung pada kelahiran tanpa pernikahan. Hal ini yang banyak dialami oleh AYLA yang secara tidak langsung akan membawa pada isu setelahnya yaitu soal identitas. Banyak masyarakat wilayah kami khususnya di eks-lokalisasi tidak memiliki akta kelahiran yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh anak. Ini terjadi karena banyak anak lahir dari hubungan di luar nikah atau dari pekerja seks yang tidak menikah secara tercatat. Pemerintah telah memberikan kebijakan bahwa akta kelahiran boleh mencantumkan nama ibu saja, namun ada juga anak yang dilahirkan oleh pekerja seks yang dititipkan atau diasuh oleh keluarga lain dan dimasukkan dalam Kartu Keluarga mereka. Ini dilakukan dengan surat kesepakatan bermaterai bahwa anak hanya dititipkan. Tidak berhenti di situ, permasalahan seks bebas dan AYLA juga sampai pada isu kesehatan. Di tempat kami ada puskesmas yang melayani masyarakat dan anak-anak. Puskesmas tersebut melayani kesehatan bagi pekerja seks. Setiap satu minggu sekali dilakukan tes VCT pada pekerja seks untuk mengetahui ada tidaknya HIV/AIDS sehingga jika memang ditemukan dapat langsung segera ditangani. Selain untuk para pekerja seks, masyarakat di daerah saya 116


juga sudah memiliki Puskesmas ramah anak sehingga banyak anak yang tidak perlu takut perlu lagi untuk diperiksa kesehatannya. Dari cerita B didapati bahwa kekhawatiran dan kepedulian orang tua baru muncul justru di akhir setelah kejadian. Itupun diiringi dengan amarah dan emosi bertubitubi sembari terus menyalahkan anak. Padahal seharusnya, pengasuhan dan pendidikan yang baik itu dimulai sejak dini. Seharusnya orang tua menjalin kedekatan emosional dengan anak sejak dini sehingga anak merasa nyaman untuk terbuka atas apa saja yang dialami dan dilakukan. Dengan keterbukaan, orang tua akan mampu mengarahkan anak sehingga meminimalisir potensi kejadian-kejadian buruk di luar kendali. Selain itu, menjaga agar anak tetap mendapatkan pendidikan yang memadai sebagaimana mestinya juga penting untuk dilakukan. Dengan pendidikan yang baik, anak akan mampu memahami apa yang mereka lakukan dan apa saja konsekuensi yang akan terjadi apabila itu nekad untuk dilakukan. Jika dididik dengan baik sejak dini, maka kasus B atau kasus-kasus AYLA dengan rentetan konsekuensi seperti di atas tentu akan dapat diminimalisir.

Dari Guru Ngaji hingga Jadi Pendamping Dibutuhkan penyelesaian yang tepat sasaran sehingga permasalahan seperti di atas dapat diatasi dengan tidak ber117


kepanjangan. Awalnya saya juga bingung harus bergerak dengan cara yang bagaimana. Saya sama sekali tidak terbayangkan apa langkah nyata yang harus ditempuh untuk bisa mengatasi permasalahan yang kompleks tersebut. Hingga pada suatu hari di tahun 2016, saya mendapati ada perkumpulan anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat di salah satu rumah anggota. Perkumpulan ini terdiri dari pamong atau RT, tokoh masyarakat, staf kelurahan, serta masyarakat setempat. Mereka tengah membahas berbagai macam kegiatan anak, salah satunya adalah TPA atau Tempat Pengajian Anak. Saya kemudian diajak untuk mengikuti kegiatan Kader Pemberdayaan Masyarakat sebagai guru mengaji. Dengan senang hati saya menerima tawaran tersebut dan saya melakukannya penuh semangat. Saya pikir barangkali ini adalah salah satu jalan saya untuk berkontribusi atas permasalahan anak yakni melalui pendidikan agama. Setelah saya sudah bergabung, saya jadi tahu apa saja yang sudah dilakukan oleh Kader Pemberdayaan Masyarakat sebelumnya. Saya jadi malu karena saya sendiri belum bisa berbuat apa-apa. Selama ini hanya meresahkan dan mengeluhkan kondisi anak di sekiataran, tanpa tahu harus berbuat apa. Namun kini, selama di Kader Pemberdayaan Masyarakat, saya sering terlibat dalam kegiatan sosialisasi dan pelatihan, seperti misalnya pelatihan tentang good parenting (pola asuh) dan hak-hak anak. Hal ini penting agar 118


orang tua memiliki kemampuan yang memadai dalam memadai dalam mendidik anak. Belajar dari kasus-kasus sebelumnya yang sering dipicu oleh kesalahan asuh dan didikan dari orang tua, maka pelatihan ini menjadi salah satu yang memang perlu rutin diadakan. Pelatihan Good Parenting ini sudah dilakukan sebanyak 3 kali pada tahun 2015, 2016, dan 2017. Selain itu, baik orang tua maupun anak juga jadi bisa memahami apa saja hak-hak anak sehingga tidak ada pemaksaan atau perampasan atas suatu yang menjadi hak anak. Mereka juga dibekali dengan sosialisasi Narkoba dan HIV. Dengan sosialisasi atas pengetahuan terkait hal ini, anak akan dapat memahami bagaimana pengaruh obatobatan psikotropika terhadap tubuh dan apa saja dampaknya bagi kesehatan. Anak juga dibekali pengetahuan terkait bahaya seks bebas kaitannya dengan HIV, bagaimana penularannya, dan apa saja dampaknya bagi kesehatan tubuh. Dengan pengetahuan yang mumpuni, anak akan lebih aware terhadap setiap langkah dan keputusan yang diambil sehingga tidak gegabah melakukan sesuatu hanya karena bujukan teman. Setelah menjadi guru di Forum Anak tersebut, saya selalu diundang untuk menghadiri setiap perkumpulan anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat. Sampai kemudian saya ditunjuk sebagai ketua Kader Pemberdayaan Masyarakat dan menjalankan program dengan dibantu dan didukung oleh anggota yang lain. 119


Sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), kami juga dibekali pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kami. Pelatihan itu antara lain terkait dengan paralegal, gender, analisis penganggaran yang responsif terhadap hak anak, serta workshop penulisan untuk organisasi masyarakat. Pelatihan Paralegal ini dilakukan pada tahun 2017 dengan peserta yaitu anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), staf kelurahan, serta Tenaga Kerja Sosial Kemasyarakatan (TKSK). Selain pelatihan, kami juga mengadakan pertemuan rutin antar Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Melalui pertemuan rutin antar kader, kita bisa mendapatkan informasi tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang berada di wilayah yang lain, menjadi wadah bertukar pikiran antar Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) serta mendapatkan berbagai saran dari setiap anggota. Kegiatan ini di laksanakan setiap dua minggu sekali, dan bertempat di salah satu rumah anggota Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Bersama anak-anak dan warga setempat, kami juga rutin mengadakan senam bersama salah satunya untuk membentuk bonding antara kader dengan anak dan masyarakat setempat.

Perubahan Akan Selalu Ada Selama Ada Upaya Seiring dengan program-program pelatihan dan pendampingan yang diupayakan, kini keadaan sudah mulai tampak perubahannya ke arah yang lebih baik. Anakanak sudah lebih nyaman dengan orang tua dan

120


keluarganya di rumah karna orang tua sudah mulai paham dan bisa menerapkan cara pola asuh yang baik. Anak-anak menjadi lebih percaya diri dan tidak takut untuk berkumpul dengan teman yang lain. Tidak ada lagi budaya bullying di forum anak. Anak-anak sudah dapat membedakan mana yang baik untuknya serta yang tidak baik juga bagi dirinya. Kini mereka disibukkan dengan aktivitas-aktivitas di sanggar. Mereka lebih banyak melakukan kegiatan yang positif seperti, senam, marawis, TPA, melukis, keterampilan, Englis Club, drama atau teater. Terkait masalah identitas dan akta kelahiran, sudah ada beberapa anak yang mendapatkan akta kelahiran sehingga nantinya bisa lebih mudah mengurus urusan administrasi, pendataan penduduk, dan lain-lain. Masyarakat juga sudah mulai menunjukkan banyak perubahan. Orang tua sudah dapat menerima kehadiran para kader bahkan mendukung program-program Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) setelah merasakan manfaat positifnya. Selain itu, ada kesepakatan yang dibuat antara warga dengan mucikari yaitu terkait Jam Malam. Salah satu isinya menyatakan bahwa tidak ada lagi anak-anak di sekitar eks-lokalisasi di atas jam sembilan malam. Jika ada yang nekad berada di sekitaran pada jam-jam malam tersebut, maka berhak untuk didekati dan diberitahu baik-baik untuk selanjutnya diarahkan pulang dan meninggalkan area eks-lokalisasi. 121


Dinas dan aparat pemerintah juga terlihat sekali antusiasmenya. Pak Camat dan Pak Lurah sangat mendukung program ini. Dari yang tadinya hanya diam dan tidak ada tanggapan, sekarang sudah mulai ikut berpartisipasi dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Dinas terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga sangat peduli dan membantu program atau kegiatan yang dilakukan terkait pendampingan dan pelatihan. Lebih jauh lagi, perubahan juga dirasakan oleh kami para pendamping. Kami belajar dan jadi bisa lebih menempatkan diri dalam setiap kegiatan di Forum Anak. Dalam artian, kami mampu mengikuti berbagai karakter anak dengan beragam kisah dan latar belakang. Dengan begitu, anak-anak yang sedang mempunyai masalah jadi tidak ragu untuk menceritakan permasalahannya karena telah merasa nyaman untuk curhat dengan pendamping. Kami tak hanya berperan sebagai pendamping, tetapi juga sebagai kawan bagi mereka yang selalu memberikan waktu untuk mendengarkan. Melalui kegiatan ini, saya merasa bersyukur karena kemampuan diri senantiasa diasah dan dikembangkan. Kegiatan ini sekaligus semakin membangkitkan jiwa sosial untuk lebih peduli terhadap hak anak. 122


Utamanya, bisa mengupayakan langkah-langkah nyata sebagai bagian dari perjalanan mengatasi permasalahan anak.

-Susan AgustinaChildren Crisis Center (CCC) Lampung

123


124


Diari Mantan Mucikari

Panas!” kiranya demikian deskripsi pertama yang acapkali terdengar dari kota Surabaya, kota metropolitan di timur Jawa. Selain cuacanya, kota ini pernah ‘panas’ di media karena keputusan walikotanya untuk membongkar kawasan lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Lokalisasi ini tepatnya bermukim di daerah Jarak, Pasar Kembang secara resmi ditutup pada tanggal 18 Juni 2014. Namun, Doly sesungguhnya tidak pernah secara resmi dibuka sebagai lokalisasi, lalu apa yang ditutup ketika sesuatu tidak pernah dibuka? Ketika Doly dimaknai sebagai ruang fisik, maka dengan delik simbolis Doly bisa dikonstruksi sebagai area dan bangunan yang dibongkar dan ditutup. 125


Doly hanya satu dari sekian banyak tempat bermukimnya aktivitas seksual komersial di Surabaya. Secara simbolis, Doly adalah lokalisasi terakhir di Surabaya yang ditutup. Sayangnya lokalisasi pelacuran bukan sekadar properti. Lokalisasi adalah suatu aktivitas dan himpunan proses sosial yang di dalamnya melibatkan manusia dan segala macam bentuk relasinya dalam menjalankan roda perekonomian berbasis transaksi seksual.

Mengenang Masa Lalu Saya lahir dan tumbuh di area lokalisasi Kremil yang secara popularitas tidak semasyhur Doly. Sebelum Doly, Kremil sudah lebih dulu menjadi lokalisasi sasaran yang ditutup oleh Walikota Surabaya sejak tahun 2010. Kremil terletak di daerah Morokrembangan, Surabaya. Lahir dan tumbuh di lingkungan seperti ini mengasah keterampilan saya untuk mengikuti jejak Ibu mengelola salah satu rumah bordil (rumah pelacuran) dan menjadi seorang mucikari. Rumah pelacuran membuat saya belajar bahwa mengedarkan obat-obatan pada pekerja seks dan tamu yang hilir mudik akan lebih menguntungkan, dibanding menjadi pemakai belaka. Ibarat hukum pasar, saya memberikan penawaran paket lengkap bagi permintaan jasa seksual dan kebutuhan rekreasi melalui substansi obat terlarang di rumah bordil. Rasanya itu mata pencaharian paling logis yang kami tawarkan saat itu. 126


Satu pelanggan yang menggunakan jasa pekerja seks di rumah bordil pada masa itu cukup membayar Rp 60.000,Uang tersebut dibagi Rp 20.000,- untuk bordil, dan sisanya untuk pekerja seks yang melayani. Sebagai jaminan keamanan, masing-masing dari mereka harus membayar iuran keamanan pada polisi setempat setiap bulannya, Rp 25.000,- per bulan per mucikari dan Rp 10.000,- per pekerja seks. Banyaknya pelanggan yang hilir mudik, belum lagi hasil dari penjualan narkoba, membuat saya saat itu meraup keuntungan melimpah. Angka yang cukup banyak untuk menghidupi keluarga. Dulu saya punya 14 orang pekerja seks. Sebanyak dua orang main (memasarkan diri via) online. Keduanya menunggu panggilan baru didatangi sebab dua orang itu masih di bawah umur. Caranya dengan nego terlebih dahulu. Kalau sudah deal harga, baru anaknya kami datangkan ke pelanggan. Sedangkan sisanya berada di rumah bordil. Tak hanya itu, dulu saat berusia 23 tahun, saya juga menjadi bandar narkoba. Keuntungannya cukup melimpah untuk menambah pundi-pundi rupiah bagi kebutuhan keluarga. Namun saya sudah berhenti dan meninggalkan itu semua. Saya memilih untuk merintis usaha mandiri cuci motor, sedangkan istri bekerja di sebuah pabrik. Meski tidak semenggiurkan saat menggeluti dunia prostitusi, namun saya menyadari bahwa rezeki yang sedikit tapi bersih, itu lebih menentramkan. Bersih dalam artian tidak dengan cara-cara yang merugikan atau mengeksploitas orang lain. 127


Saya tinggal di wilayah eks-lokalisasi Tambak Asri di Surabaya. Bagian rawan ada di bawah jembatan layang Tol Perak yang banyak dihuni kios kopi. Di sekitar jembatan itu ada sisa lahan sekitar 200 x 25 meter. Di sinilah setiap malam anak-anak komunitas motor nongkrong, serta perilaku seks bebas dan transaksi narkoba. Pernah saya menemukan kondom bekas pakai di lokasi tersebut, lalu saya laporkan ke Pak RT dan Pak RW, hingga dilanjutkan ke Pol PP Kecamatan. Sebagai tindak lanjut, setiap malam ada patroli yang membubarkan anak jika lewat jam sembilan malam. Namun bila Pol PP sudah pergi, mereka akan kembali lagi.

Dari Benci, Jadi Simpati Ketika masih menjadi mucikari, Yayasan Hotline Surabaya adalah salah satu yang paling saya benci. Barangkali itu pula yang dirasakan oleh mucikari-mucikari yang lain. Kami merasa yayasan ini hanya mau merusak bisnis dan penghasilan kami. Lembaga ini menjadi teror karena terus bergerilya melakukan pendekatan ke anak-anak. Mereka seolah sedang berusaha mengalihkan perhatian pekerjapekerja seks di bordil yang juga berarti akan mengurangi sumber pendapatan kami. Hingga suatu hari saya diajak oleh staff Yayasan Hotline Surabaya ke RS Dr.Soetomo. Di sana, saya melihat pasien HIV yang sedang menderita stadium 3, bahkan juga pasien AIDS. Banyak diantara mereka merupakan perempuan 128


miskin yang tak berdaya. Pengalaman tersebut sangat membekas di dalam benak saya. Seolah tak kuat saya membayangkan jika anak-anak saya di rumah bordil menjadi satu dari sekian pasien di sana. Memang betul mereka menjadi ladang emas untuk saya hidup. Tapi saya tak mungkin selamanya mengejar harta. Saya juga punya nurani atas sesama manusia. Tiga bulan setelah itu, saya memutuskan menutup usaha mucikari saya. Sempat bertengkar dengan keluarga ketika penutupan. Tapi saya berusaha meyakinkan berdasarkan apa yang saya lihat di RS Dr.Soetomo. Dari 10 pekerja seks, sebagian saya pulangkan ke daerah asalnya, sisanya ikut mucikari lain.

Kremil: Menuju Kampung Layak Anak Pasca kejadian itu, saya menjadi sangat prihatin dengan daerah saya sendiri. Saya ingin turut memperjuangkan agar tempat itu bisa jadi tempat yang lebih positif, bukan sekedar tempat mesum. Saya merasakan betul betapa kegiatan prostitusi di rumah-rumah bordir tersebut memberi dampak yang signifikan bagi pemuda-pemuda di kampung saya. Para pelaku seks bebas banyak tertular HIV/AIDS, sementara tidak banyak warga yang mau peduli. Enam bulan setelah usaha mucikari saya tutup, saya akhirnya memutuskan untuk bergabung menjadi pendamping. Saya ingin ikut melakukan aksi nyata bagi daerah 129


saya, sekaligus menebus kesalahan saya di masa lalu. Saya akhirnya bergabung dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang dibentuk pada tahun 2014 oleh Lurah Morokrembangan. Anggotanya ada 10 orang kader kelurahan, dan saya saat itu diamanahi tugas sebagai ketuanya. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dibentuk karena pada saat itu banyak kasus kekerasan ibu dan anak sehingga awalnya program KPM diharapkan bisa mengurangi kasus yang ada. Saat saya ditunjuk sebagai Ketua Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) sebenarnya saya bingung karena harus menangani masalah kekerasan ibu dan anak. Sedangkan saya belum pernah mengikuti pelatihannya dan tidak berpengalaman untuk menangani kasus semacam itu. Akhirnya di Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), saya sempat vakum selama satu tahun setengah karena tidak tau harus memulai mengerjakan apa dan dari mana. Ketika mulai berjalan lagi, tinggal tersisa empat orang kader saja yang menjalankan programnya. Kader Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) selalu berjejaring dengan kader-kader lain serta LSM yang ada di wilayah agar Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) tetap ada dan bisa berjalan. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) mulai bangkit dan bergeliat lagi mencoba memetakan permasalahan satu 130


per satu sehingga langkah-langkah yang harus diambil dapat lebih jelas dan terarah. Dari proses itu, kami dapati bahwa selain masalah prostitusi, daerah saya juga menghadapi masalah akta kelahiran anak. Di wilayah kampung saya masih banyak penduduk miskin yang menikah siri dan tidak mencatatkan pernikahannya. Alhasil, anak yang dilahirkan tidak memiliki akta kelahiran. Jumlahnya ada sekitar 8 anak yang tidak berakta kelahiran dari 5 keluarga miskin yang kawin siri. Selain tidak punya akta lahir, anakanak ini juga tidak bersekolah. Saya mencari informasi bagaimana caranya mereka bisa dapatkan akta lahir agar bisa bersekolah. Saya berkoordinasi dengan Kelurahan dan Kecamatan. Akhirnya dinas terkait mau membantu untuk bisa mendapatkan akta lahir dimana orang tua harus mengikuti nikah masal agar bisa mendapatkan buku nikah. Setelah ada buku nikah dan KK (Kartu Keluarga), baru diurus akta lahirnya. Sejauh ini sudah ada 3 keluarga yang mengikuti nikah masal dan ada 5 anak mendapat akta lahir. Saya bahagia menjadi pendamping karena tidak semua orang menginginkan perubahan dan mau memperjuangkan. Pengalaman pahit yang dialami di masa lalu sangat membentuk pemikiran saya saat ini. Justru pengalaman itulah yang menggerakkan saya dan terus memberi asupan energi untuk menebus segala kesalahan dengan mengupayakan kebaikan bagi daerah saya sendiri, tempat dulu 131


saya lahir, tumbuh, dan berlimpah harta hasil eksploitasi orang lain. Cukup lah itu jadi pembelajaran buat saya juga kita semua bahwa semua manusia tak terkecuali itu punya hak yang sama, termasuk anak. Rasanya memang belum banyak dan belum tampak kelihatan dampak dari apa-apa yang kami upayakan. Tapi saya yakin dan percaya, butuh proses panjang untuk menanamkan kebaikan. Butuh proses yang tidak sebentar untuk bisa mengatasi masalah seperti ini sampai ke akarnya. Saya dan tim sudah berusaha dan akan terus berusaha demi lingkungan yang layak anak. Saat ini, saya membentuk ForWaPA (Forum Warga Peduli Anak) Morokrembangan dengan 22 perwakilan berpotensi dari RW. Semoga ke depannya akan ada kader–kader baru yang mau bekerja bersama-sama mewujudkan Kremil sebagai Kampung Layak Anak.

-Tukul BintoroKader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Surabaya

132


Mencari Keadilan dalam Ketidakberdayaan

M

enjadi bagian dari masyarakat membuat saya merasa semacam ada kewajiban untuk turut men-

ciptakan tatanan yang ideal. Meskipun terdengar cukup klise, namun memang ada yang harus diupayakan agar dunia yang kita huni bersama ini menjadi seimbang dan berkeadilan. Sedangkan yang terjadi selama ini, ada banyak kelompok dengan kondisi rentan yang tercerabut hakhaknya. Ketidakberdayaan membuatnya semakin menjadi masyarakat kelas sekian. Dibutuhkan orang-orang yang mau dengan sukarela memberikan tenaga dan pikirannya 133


untuk membenahi sistem sehingga tidak ada lagi ketimpangan dan diskriminasi. Dengan amanah sebagai ketua RT, anggota karang taruna, serta ketua Forum Komunikasi Peduli Anak di Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi, penting rasanya bagi saya ikut memikirkan permasalahan warga agar tetap ekosistem yang aman dan harmonis bisa tetap terjaga. Tentu hal paling pertama yang harus dilakukan adalah dengan memetakan permasalahan yang sedang terjadi di wilayah sekitar. Wilayah Sukajadi merupakan jalur utama transit menuju tempat wisata di Bandung Utara seperti Lembang, Parongpong, Ciumbuleuit dan Dago, sehingga banyak dibangun mall, hotel, tempat karoke dan café. Apalagi wilayah Sukajadi sudah dibangun mall Paris Van Java atau PVJ. Banyak dibangunnya mall, hotel, tempat karaoke, dan tempat hiburan lainnya bukan membawa dampak baik kepada masyarakat sekitar tetapi justru sebaliknya. Gaya hidup masyarakat meningkat, sementara penghasilan warga sekitar jauh di bawah rata-rata. Di samping banyak berdiri tempat hiburan, di Kelurahan Cipedes juga terdapat lahan kosong, masyarakat sekitar menyebutnya lapangan ABRA. Lokasi tersebut sering dipakai oleh masyarakat untuk membuka warung dan bangunan liar. Saat malam tiba, bangunan tersebut 134


kosong tidak ada penghuninya sehingga sering digunakan oleh anak-anak untuk berkumpul dan nongkrong. Tempat tongkrongan semacam ini turut memicu semakin merebaknya geng motor di daerah Sukajadi. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya permasalahan baru seperti tawuran antar geng, pencurian, perampokan, serta pembegalan. Dari data dan informasi yang terhimpun, ternyata masalah kenakalan anak dan remaja cukup menonjol. Dalam hal ini, Kecamatan Sukajadi menjadi daerah yang paling banyak disoroti.

Dunia yang Tak Adil Anak menjadi kelompok rentan yang seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dari para dewasa. Perlu perlakuan khusus yang tidak bisa sembarangan mengingat mereka belum cukup matang untuk bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Alih-alih diterima dengan positif, bisa jadi malah membuat mereka semakin berontak jika pendekatannya tidak tepat. Di situ, saya mulai berpikir untuk mencoba memahami solusi yang efektif atas permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak. Tentu ada yang tidak bisa dipecahkan sendiri sehingga butuh bantuan banyak pihak. Pada satu kasus, ada salah seorang anak yang saya temui. Hingga berumur 18 tahun, dia belum juga mempunyai akta lahir dan namanya tidak tercantum di Kartu 135


Keluarga. Ia merupakan korban perceraian dan sejak umur 1 tahun telah ditinggalkan oleh ibunya. Ia diasuh oleh bapaknya dan tinggal di rumah kakek neneknya. Buku nikah orang tuanya disobek oleh ibunya. Surat kelahiran dari bidan pun entah dimana. Saya mencoba menanyakan ijazah sekolah, namun ternyata dia tidak pernah sekolah. Ia mengatakan, “Saya tidak pernah merasakan nikmat punya teman sekolah, indah jalan bareng pada saat mau pergi maupun pulang dari sekolah, dan tidak pernah dimarahi oleh guru apabila tidak mengerjakan PR Matematika”. Banyak anak dengan kasus serupa, tidak mempunyai identitas diri seperti akta kelahiran, KK, dan KTP. Bukan hanya identitas, anak juga merasa tidak betah berada di rumah dengan kondisi keluarga yang retak atau kurang harmonis. Pertikaian hingga perceraian menjadi momok yang terus menghantui justru di tempat yang seharusnya paling aman dan nyaman bagi anak. Dengan begitu, anak jadi lebih memilih untuk pergi keluar rumah dan lebih betah bermain di tempat lain. Tentu dengan resiko bermacam-macam termasuk pengaruh negatif dari lingkaran pertemanan yang tidak tepat. Kegiatan-kegiatan di luar pengawasan tersebut berpotensi menjerumuskan anak pada hal-hal yang kurang baik. Anak mulai kenal narkoba, seks bebas, terlibat tawuran, dan lain-lain. Sikap solidaritas dan saling peduli antar teman yang berlebihan membuat 136


anak lebih menuruti ajakan teman dibanding keluarga. Jika sudah begitu, anak akan mulai mempertanyakan kembali urgensi dari bersekolah dan menempuh pendidikan. Mereka lebih merasa nongkrong bersama teman-teman lebih mengasikkan. Apalagi jika bisa sampai menghasilkan uang, misalnya dengan menjadi pengedar, memalak sesama temannya, menjambret, atau bahkan menjual diri.

Berproses dan Berprogres Awalnya saya sempat putus asa, karena permasalahan anak ini sangatlah sulit diselesaikan. Rasanya terlalu kompleks untuk bisa dicari jalan keluarnya. Saya pun mencoba membagi beban dengan menceritakan semua temuan dan informasi kepada kader PKK yang ada di Kelurahan Cipedes. Dari kader tersebut, saya mendapat informasi bahwa pada tahun 2015 di Kecamatan Sukajadi telah dibentuk Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA). Forum tersebut menangani kasus kenakalan anak dan Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA). Forum Komunikasi Peduli Anak bertugas untuk identifikasi dan mendata situasi ESKA di wilayah Kecamatan Sukajadi. Di forum ini, anak diberikan pelatihan kesehatan reproduksi dan VCT. Forum ini dibentuk dan dibina oleh Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia. Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) merekrut kader PKK tingkat kecamatan dan orang-orang yang peduli terhadap permasalahanan anak. 137


Setelah diberikan penjelasan dan pemaparan langsung oleh kader PKK tersebut, saya mulai tertarik untuk ikut bergabung dengan Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA). Saya yakin Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) sudah lebih paham sehingga lebih kompeten dalam menangani permasalahan kenakalan anak dan anak korban Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA). Pada awalnya, Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) mempunyai anggota sebanyak 20 orang. Tetapi seiring berjalannya waktu dan banyak anggota Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) yang mempunyai kesibukan lain, jumlahnya kini berkurang menjadi tinggal 10 anggota. Karena berkurangnya anggota dan Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) mengundurkan diri, kami mencari sosok pengganti. Pada saat itu, saya ditunjuk menjadi Ketua FKPA sejak 20 Juni 2015. Sejak terbentuk tahun 2015 sampai dengan sekarang, Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) telah melakukan advokasi ke Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah mulai dari SD, SLTP, SLTA yang ada di wilayah Kecamatan Sukajadi. Advokasi tersebut ditujukan untuk memperjuangkan nasib anak-anak yang telah atau terancam putus sekolah karena keterbatasan biaya. Dalam upaya mendapatkan pendidikan yang setara dan mumpuni, kami bekali juga dengan keterampilan-keterampilan pelatihan tata boga, kewirausahaan, fotografi, dll. Pendidikan dan keterampilan yang diasah sedemikian rupa akan menjadi bekal 138


baginya kelak saat melamar pekerjaan atau mendirikan usaha. Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) juga mengadakan kegiatan bersama guna menjalin komunikasi dan bonding antara anak dan pendamping. Kegiatan tersebut antara lain latihan paduan suara, fotografi, tata boga, menulis, dan kewirausahaan. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari Sabtu di rumah anggota forum. Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) juga selalu mengadakan pertemuan bulanan dengan anggota forum guna mengevaluasi kegiatan yang sedang berlangsung dan merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tak hanya pendampingan dari sisi anak, pembekalan untuk orang tua pun kami berikan berupa pelatihan parenting agar orang tua mampu memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan pola asuh yang baik bagi anak. Tentu dengan diawali diskusi bersama dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan orang tua anak dampingan sehingga bisa dipetakan permasalahan anak dari perspektif orang tua. Diskusi tersebut juga ditujukan untuk mendata anak dampingan yang belum mempunyai akta lahir dan identitas lain seperti KTP dan Kartu Keluarga. Data-data yang ada mempermudah tim saat melakukan advokasi ke Disdukcapil untuk menjalin kerjasama dalam penerbitan akta lahir buat anak dampingan.

139


Masalah kesehatan tak terkecuali juga menjadi salah satu fokus utama dalam program. Dalam hal ini, tim melakukan pemaparan terkait keberadaan Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA) kepada Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Melalui penjelasan tersebut, kami sepakat untuk bersama-sama mengupayakan solusi bagi kesehatan anak-anak korban eksploitasi seksual. Dari pertemuan tersebut, kami membuat SOP dan MoU kerjasama dengan puskesmas untuk pemeriksaan VCT dan pelatihan kesehatan reproduksi. Pengetahuan atas reproduksi penting diberikan sejak dini sehingga anak mampu mengukur sejauh mana perilaku mereka berdampak terhadap kesehatan tubuhnya. Kegiatan tersebut kami jalani sambil terus mengupayakan solusi-solusi lainnya. Tim Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) mulai menjalin jejaring dan kerjasama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat kota maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat kecamatan. Tim juga menjalin bekerjasama dengan Dinas Sosial Kota Bandung untuk mengadakan pelatihan dan kursus terpadu bagi anak dampingan Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA), seperti pelatihan tata boga, kegiatan outbound, kursus menyetir, dan pelatihan mencuci motor. Keterampilan tersebut sebagai bekal tambahan atas pelatihan keterampilan yang sudah rutin kami berikan sebelumnya. 140


Masalah Bersama, Manfaat Bersama Keberadaan Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) di wilayah Kecamatan Sukajadi sangat terasa sekali pengaruh dan manfaatnya. Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) telah mengubah pola pikir anak dan pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi. Anak mulai menyadari bahaya narkoba serta pentingnya melakukan VCT. Selain pada anak, perubahan juga terasa oleh anggota forum. Keterampilan dan pengetahuan bertambah, serta mulai tumbuh keberanian untuk berbicara di depan publik dan memaparkan kegiatan Forum Komunikasi Peduli Anak (FKPA) di hadapan lurah, camat, maupun dinas. Dulu, stigma terus dilekatkan pada anak dampingan korban ESKA. Kami sebagai pendamping juga sering dianggap sekedar mencari manfaat dari kegiatan bersama anak. Terlebih lagi saat harus mendatangi kantor kelurahan maupun kantor kecamatan, sering tidak dianggap. Ketika mendatangi orang tua pun juga kami kerap mengalami penolakan. Selain stigma dan penolakan, keterbatasan biaya untuk melaksanakan kegiatan tersebut menjadi hambatan kami yang sangat utama. Saat ini telah terjalin kerjasama dengan pihak kecamatan sehingga kami agak sedikit lega karena kegiatan untuk anak dampingan bisa terselengggara. Namun kami masih kesulitan untuk masalah operasional 141


di lapangan, saya ingin setidaknya ada konsumsi untuk anak ketika berkegiatan. Saya tengah berusaha menggandeng CSR yang ada di wilayah supaya mereka mau mendanai kegiatan kami. Namun secara garis besar, pencapaian tersebut sudah jauh di luar ekspektasi. Perjalanan untuk akhirnya bisa diterima, didukung, bahkan dibantu sungguh merupakan proses panjang yang tak mudah. Saya berpikir penanganan masalah kenakalan anak ini memang haruslah dikerjakan bersama oleh pihak terkait. Semua pihak harus terlibat secara langsung guna mendapatkan hasil yang optimal. Tak ada keakuan lagi dalam kebersamaan. Masalah diselesaikan bersama, manfaat juga dirasakan bersama.

-UsmanKonfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia Bandung

142


Berbekal Modal SAJUTA (Sabar, Jujur, Tawakal)

S

aya hanya ibu rumah tangga biasa tamatan SLTA yang tidak punya pengalaman kerja di perusahaan mana-

pun. Dari dulu sejak menikah di usia 24 tahun, suami melarang saya untuk bekerja dan menginginkan agar saya tinggal di rumah saja sambil mengurus rumah dan mendidik anak-anak. Tapi saya pikir, kalau tidak bekerja sama sekali akan begitu banyak waktu terbuang percuma dan hidup menjadi tidak berguna. Akhirnya saya memutuskan untuk terjun ke dunia sosial yang memang sudah saya geluti sejak masih gadis. Saya pikir, akan lebih bermanfaat 143


kalau waktu, tenaga, dan pikiran saya juga bisa digunakan untuk membantu orang lain. Berangkat dari semua itu, saya termotivasi untuk menjadi kader dasawisma di RT, ketua Posyandu di RW, kader PKK Kecamatan, serta bergabung di Forum Peduli Anak dan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Semua itu saya lakukan dengan senang hati dan penuh tanggung jawab. Kebetulan anak dan suami juga sangat mendukung. Support system terutama dukungan dari keluarga dalam bentuk apapun akan sangat membantu kita untuk bisa bekerja dan mendapatkan hasil yang maksimal dalam berkarya. Tentunya dibutuhkan skill untuk bisa pandai mengatur waktu antara mengurus rumah tangga dan berkegiatan sosial di luar rumah.

Beragam Sketsa di Bandung Utara Saya tinggal di daerah yang berhawa sejuk, nyaman, aman, masyarakatnya ramah, saling tolong-menolong, dan masih kental rasa gotong-royongnya. Tapi bukan berarti tanpa masalah, apalagi sejak banyak berdiri hotel, apartemen, mall, dan cafe dengan berbagai macam pengunjung. Pembangunan yang cukup masif di Bandung Utara menyebabkan hilangnya fasilitas bermain bagi anak, lapangan bermain, lapangan olahraga, dan fasilitas olahraga buat ibuibu. Sekitar 70% warga di wilayah saya hanyalah lulusan Sekolah Dasar. Rata-rata bekerja sebagai buruh bangunan, 144


PNS (pegawai negeri sipil), pedagang, dan ada juga yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali (pengangguran). Bentuk tempat tinggal pun juga beragam. Ada yang berupa bangunan permanen, semi permanen, bahkan ada juga yang tidak layak huni karena kondisi rumah yang kumuh. Di sekitaran sini, terdapat banyak tempat nongkrong anak muda, baik lelaki maupun perempuan. Tempat tersebut sangat rawan terhadap pergaulan bebas, transaksi narkoba, geng motor, dan jenis kejahatan lainnya seperti perkosaan. Lokasi-lokasi lain yang berdekatan dengan terminal, hotel, apartemen, cafe, perbukitan, tempat wisata dan warnet, juga rentan bagi anak untuk menjadi korban ESKA. Perubahan dari rumah pemukiman biasa berubah menjadi tempat wisata yang banyak dikunjungi pendatang atau tamu, membawa pengaruh positif namun sekaligus juga pengaruh negatif. Positifnya, ada kesempatan untuk mengurangi pengangguran bagi yang berpendidikan sebab pembangunan tersebut menyerap tenaga kerja cukup banyak dari warga sekitar. Pembangunan tersebut juga berpotensi menambah aset daerah. Negatifnya, semakin banyak anak-anak muda yang terpapar pergaulan bebas seiring semakin maraknya tempat-tempat yang bisa dijadikan tongkrongan bersama teman-teman. Dari daerahdaerah tersebut, mulai anak perempuan maupun laki-laki yang melakukan transaksi narkoba, seks bebas, hingga menjadi korban ESKA. 145


Hal ini menjadi ancaman serius bagi keamanan dan kenyamanan daerah. Dilihat dari data yang ada, memang sudah banyak terjadi kasus-kasus seperti perkosaan, penusukan, dan pembegalan. Pernah ada orang lewat menggunakan motor lalu motornya dirampas begitu saja oleh pelaku. Perang antar geng juga sampai mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan. Ada juga pelecehan seksual pada anak di bawah umur sampai terjadi kehamilan di luar nikah. Kejadian ini seringkali membuat anak merasa harus menanggung malu sehingga memutuskan untuk aborsi, atau lebih fatalnya lagi hingga bunuh diri. Selain tamu hotel, tamu apartemen, dan wisatawan, ada juga rumah koskosan mahasiswa yang juga rentan terhadap pergaulan bebas. Kawasan ini lebih sulit dikontrol dibanding hotelhotel. Padahal aktivitas di dalamnya bisa jadi jauh lebih banyak, intens, dan beragam. Pada beberapa kasus, ada anak yang mengalami baik kekerasan fisik maupun verbal yang dilakukan oleh keluarga, kerabat, atau bahkan orang tua sendiri. Hal demikian begitu membekas pada batin anak dan membuat anak untuk memilih keluar rumah daripada harus berlama-lama di dalam rumah. Ada kasus dimana anak kemudian lebih senang berada di luar, namun ia juga mengalami pelecehan seksual hingga terjadi kehamilan. Ia dipaksa menikah untuk menutupi aib. Ada juga pemahaman adat di kampung, jika anak perempuan sudah berumur 15 tahun dan belum 146


dinikahkan atau belum ada yg melamar, maka ia akan disebut sebagai perawan tua dan membuat malu orang tua. Adanya tekanan budaya tersebut membuat orang tua berharap (bahkan ada yang memaksa) anaknya untuk cepat menikah walaupun umurnya belum cukup. Hal itu sangat berpengaruh pada nama baik keluarga dan dapat menaikan harga diri orang tua nya di mata umum. Padahal pernikahan dini bukan suatu penyelesaian, melainkan justru dapat menimbulkan masalah yang baru. Anak belum siap secara fisik maupun mental. Pernikahan yang demikian tidak akan bertahan lama dan akhirnya dapat berujung pada perceraian dini. Di wilayah saya, ada seorang anak perempuan yang minggat dari rumah orang tuanya dan hidup di jalanan. Ia mencari kenyamanan dan perhatian yang tidak pernah didapatkan dari orang tuanya. Ia juga ingin membeli HP seperti yang dimiliki teman-temannya. Mengingat keluarganya dari kelompok miskin, maka permintaannya tersebut ditolak oleh orang tuanya sehingga ia merasa demikian kecewa. Ia pun menjadi semakin sering menghabiskan waktu di luar rumah. Di luaran, ia bertemu dengan laki-laki yang situasinya sama dengannya. Ia merasa sama-sama kesepian dan butuh teman. Dari persahabatan sependeritaan, akhirnya mereka memutuskan hidup bersama untuk mengisi kekosongan yang selama ini dirasakan. Mereka pun menjadi pengamen 147


jalanan dan pemulung barang bekas untuk menghasilkan uang yang bisa menopang kebutuhan hidup mereka berdua. Dengan penghasilan yang sangat minim tersebut, mereka merasa gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Maka timbul di pikiran si laki-laki untuk menjual pasangannya tersebut pada laki-laki hidung belang. Di bawah ancaman pasangan laki-lakinya, akhirnya anak perempuan ini terpaksa menuruti keinginannya. Selain kasusnya, ada banyak kasus anak lain tentang bagaimana akhirnya mereka terpaksa atau dipaksa terjun di dunia ESKA. Permasalahan tersebut menimbulkan permasalahan baru terutama saat sang anak melahirkan. Kesehatan anak masih menjadi isu yang terus dibahas. Hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sejak dini seperti perawatan dalam kandungan dan imunisasi lengkap belum bisa didapatkan secara mudah dan merata. Padahal hal itu berpengaruh pada tumbuh kembang anak dan bayinya kelak. Selain itu, banyak dari mereka yang kesulitan dalam pengurusan akta kelahiran si bayi karena tidak adanya persyaratan yang diperlukan. Ada sekitar 592 anak yang belum memiliki akta kelahiran, padahal akta kelahiran adalah syarat utama masuk sekolah. Biaya pembuatan akta lahir mahal bagi warga kurang mampu dan banyak yang tidak memiliki surat pendukung lain seperti: KK, surat nikah, dan ktp. Anak drop out juga menjadi permasalahan di daerah saya. Pada beberapa kasus, anak memutuskan untuk putus 148


sekolah karena tidak adanya biaya. Ada yang memilih berhenti karena ikut-ikut teman yang juga drop out, atau karena merasa lebih asik nongkrong daripada sekolah, atau juga karena hasutan teman-temannya. Faktor bullying dari teman di sekolah juga membuat anak tidak merasa betah berada di sekolah dan memutuskan untuk tidak sekolah lagi. Bullying menyebabkan anak jadi lebih rendah diri dari berbagai aspek, misalnya menganggap pakaian seragam yang dikenakannya tidak layak pakai, tidak punya uang jajan, putus asa karena karena daya tangkap rendah, tidak sepintar teman-teman lainnya, malas berpikir, capek, dan tidak punya semangat sekolah. Belum lagi jika orang tua tidak tamat SD namun mampu bekerja, mereka akan memberikan pandangan pada anak bahwa tidak harus sekolah tinggi untuk bisa bekerja. Asalkan mau mau bekerja keras, pasti bisa dapat lapangan pekerjaan yang layak. Motivasi dan didikan seperti itu semakin membulatkan langkah anak untuk berhenti sekolah. Ia berpikir karena sekolah juga pada akhirnya akan bekerja, maka akan lebih baik kalau dari sekarang memutuskan untuk bekerja ikut bapak sehingga bisa langsung dapat uang.

Tak Semulus yang Diharapkan Seolah melewati medan berbukit yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran, itu pulalah yang selama ini saya 149


rasakan saat menjalankan program. Sulit sekali rasanya bagi kami untuk mendapatkan data dan informasi tentang anak rentan. Terlebih lagi saat Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) ingin mengadakan sosialisasi di suatu daerah. Kami mendatangi tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk bisa bekerjasama mengumpulkan masyarakat. Akan tetapi mereka tidak merespon, malah berdalih bahwa masyarakat tidak akan mau berkumpul hanya untuk mendengarkan hal yang kurang penting tentang cara mengasuh anak. Menurut mereka itu adalah tugas ibu dan tidak perlu diajarkan. Dengan mendampingi anak yang hamil di luar nikah, kami dianggap melindungi orang yang salah. Belum lagi anggapan bahwa kami mencampuri privasi orang. Penolakan itu tidak membuat kami surut atau pun putus asa. Kami tetap berusaha agar isu pola asuh anak bisa sampai pada masyarakat, terutama masyarakat dengan anak rentan. Saya percaya, jika didampingi, anak-anak ini bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik di masa depan. Hanya dengan semangat berbekal modal SAJUTA (Sabar, Jujur, Tawakal), akhirnya itu semua bisa terlewati.

Mengupayakan Penyelesaian Bersama Jika dilihat dari data di atas juga didasarkan pada beberapa survey, permasalahan ESKA cukup banyak ditemukan. Namun dibutuhkan aksi dengan melibatkan banyak pihak untuk dapat menyelesaikan masalah yang kompleks 150


sehingga juga akan lebih ringan dijalankan. Dalam hal ini, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) menjadi salah satu organisasi yang mengkhususkan diri untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial tersebut. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dibentuk di lingkungan masyarakat, pengurusnya adalah masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dan untuk kepentingan masyarakat. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) di daerah kami dibentuk pada bulan Oktober Tahun 2010 di Aula Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Bandung dengan jumlah anggota 30 orang. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dibentuk untuk mengatasi permasalahan ESKA yang masih banyak sekali ditemukan. Dengan melibatkan banyak orang, akan jauh lebih mudah untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebagaimana yang sudah kami lakukan pada masalah akta kelahiran. Dari 592 yang tidak memiliki akta kelahiran, ada sebanyak 200 akta kelahiran yang sudah kami akses. Kami juga sudah mengadvokasi anak yang drop out untuk ikut ujian persamaan yang pelaksanaannya bekerjasama dengan Dinas Pendidikan secara gratis. Ada sekitar 7 anak yang ikut ujian persamaan SD, 5 anak SMP dan 17 anak SLTA. Selain advokasi di atas, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) juga rutin melakukan pertemuan bulanan, pendataan, menyusun rencana kerja, pembagian tugas, per151


temuan dengan anak dampingan per triwulan, pembuatan S.O.P, pendampingan anak, mengadakan kerjasama dengan pihak terkait (kelurahan, kecamatan, Puskesmas, Dinas Sosial, Disdukcapil, Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Tenaga Kerja, perhotelan, pihak sekolah, universitas, pengusaha lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat), pelatihan KHA (Konvensi Hak Anak) yg diadakan oleh KAP, pelatihan advokasi, pelatihan konseling, workshop, pelatihan konselor bagi kader KPM. Semua anak mendapatkan dampingan. Akan tetapi, ada beberapa anak yang masuk kategori urgent yang jadi prioritas, yaitu anak yang hamil di luar nikah, korban perkosaan, korban kekerasan, dan korban pelecehan seksual. Dengan menjalin kerjasama dengan dinas terkait, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) menyelenggarakan berbagai pendidikan dan pelatihan seperti kursus tata rias wajah, tata rias pengantin, tata boga, tata busana, dan potong rambut, baik untuk laki-laki dan perempuan. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) juga mengadakan penyuluhan kesehatan reproduksi bekerjasama dengan puskesmas sebagai penyuluh. Dalam acara tersebut, kami mengulas tentang penyakit yang berpotensi untuk ditimbulkan akibat perilaku seks bebas. Seiring berjalannya waktu, mulai kelihatan perubahan positif pada anak. Dengan aktif mengikuti berbagai kegiat152


an bersama Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), anak menjadi tahu bahaya pergaulan seks bebas secara kesehatan sehingga mau berusaha mengubah jalan hidupnya. Pelatihan dan pembekalan keilmuan yang diberikan oleh Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) juga disambut baik dan digunakan sebagai pegangan agar dapat bersaing dalam mencari lapangan pekerjaan yang layak. Anak pun menjadi lebih optimis dalam menjalani hidup sehingga daya juangnya untuk bisa lepas dari stigma dan menyusun kehidupan baru menjadi lebih tinggi. Tak hanya anak, kader pun merasakan manfaat yang cukup signifikan dari kegiatan-kegiatan pendampingan serta pelatihan. Pengetahuan yang didapatkan mengubah cara pandang dalam diri kader pendamping sehingga mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Seperti halnya pelatihan pola asuh anak, tidak hanya berguna bagi orang tua anak dampingan, tapi juga bermanfaat bagi pendamping untuk diterapkan dalam relasi dengan anakanaknya di rumah. Lebih lanjut lagi, respon pemerintah dan dinas-dinas terkait juga semakin positif seiring dijalankannya program-program. Melihat hasil nyata dan pengaruh positif yang ditebarkan, dinas-dinas yang awalnya tidak peduli dengan kegiatan-kegiatan kader, kini jadi antusias untuk mendukung. Mereka pun bersedia untuk diajak kerjasama dalam berbagai isu anak mulai dari pendidikan, 153


sosial, hingga kesehatan. Dukungan dari banyak pihak sangat berarti karena permasalahan besar tidak bisa diselesaikan seorang diri.

-Yetti SupriyatiKonfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia Bandung (Footnotes) 1

2 3

154

Ketika proses editing berlangsung, dikabarkan bahwa bayi yang dikandung si anak meninggal jelang proses persalinan. Saat ini anak sedang dalam tahap pemulihan, baik fisik maupun psikis. Ia juga sudah mulai membuka diri lagi untuk bekerja dan beraktifitas. berdandan, memasak, melahirkan Tindakan kriminal yang dilakukan dengan cara melompat ke atas kendaraan yang sedang melintas, kemudian mencuri muatan. Tindakan ini dilakukan dengan berbagai macam modus operandi, diantaranya menghalangi atau memperlambat laju kendaraan yang melintas, terutama di tempat-tempat sepi dan di jalan yang rusak atau berlubang.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.