Anatara Agama dan Kepercayaan: Menguji Praktik Kewargaan Ingenious Paguyuban Ngesti Tunggal

Page 1

seri monografi inklusi sosial dan advokasi kewargaan #4

ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN:

MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU) Laela Safitri Sahroni M.A


Laela Safitri Sahroni M.A lahir di Semarang pada 19 Maret 1994. Ia menyelesaikan studi pascasarjananya di program studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Minat studi yang ia tekuni saat ini mencakup studi minoritas agama di Indonesia, inklusi sosial, serta relasi agama, negara dan masyarakat. Ia pernah terlibat sebagai asisten peneliti untuk program “Advokasi Inklusi Sosial untuk Penghayat Kepercayaan” bersama Satunama dan peneliti dalam proyek akademis Rekognisi Tugas Akhir UGM dengan tema “Meninjau Ulang Religiusitas Leluhur untuk Pengelolaan Kewarganegaraan yang Berkeadilan.”

ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU) Penulis: Laela Safitri Sahroni M.A Tata Letak: Rio Pangestu Foto sampul: Google.com Cetakan 1, Maret 2021 iv + 80 Halaman, 21 x 29.7 cm ISBN Cetak: 978-623-6143-73-5 ISBN Digital: 978-623-6143-72-8 (PDF) Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved

“Buku/ monograf ini diterbitkan oleh The Asia Foundation melalui Program Peduli dengan dukungan dari Kedutaan Besar Australia di Indonesia. Pandangan yang diungkapkan dalam publikasi ini tidak mencerminkan pandangan pemerintah Australia."


Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................... iii ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN:............................................ 1 MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)................................ 1 BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 2

Sebuah Diskusi Teoritis: Governmentality dan Bentuk Kepatuhan..... 4

Ingenious Citizenship dan Resistensi................................................... 6

Spiritualitas Pangestu antara Agama dan Kepercayaan....................... 7

BAB 2. PANGESTU SEBAGAI ORGANISASI SPIRITUAL.............. 9

Sejarah Singkat Pangestu..................................................................... 10

Organisasi Pangestu............................................................................. 18


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

SPIRITUALISME DALAM PANGESTU.......................................... 24

AJARAN SANG GURU SEJATI (PANGESTU) SEBAGAI

‘PENDAMPING’ AGAMA................................................................. 27

BAB 3. PANGESTU DAN PRAKTIK INGENIOUS CITIZENSHIP..... 31

Agama dan Kepercayaan sebagai Bentuk Govermentalitas ............... 33

A. Polarisasi Definisi Agama dan Kepercayaan ................................. 33

B. Pembatasan Akses Adminduk Penghayat Kepercayaan.................. 36

C. Kontrol terhadap Ekspresi Keberagamaan . ................................... 37

D. Kontrol terhadap Organisasi Aliran Kepercayaan dan Aktivitasnya...... 39

E. Advokasi Penghayat Kepercayaan dan Munculnya Ketimpangan Baru........46

Spiritualitas sebagai Ingenious Citizenship......................................... 51

Strategi Ingenious Pangestu untuk Mengembalikan Spiritualitas

ke dalam ‘Naskah’............................................................................... 58

A. Identitas sebagai Organisasi Spiritual............................................. 58

B. Anggota dari Kelompok Aparatur Negara sebagai

Perantara Dialog dengan Pemerintah............................................... 60

C. Status Politik Netral........................................................................ 62

D. Fleksibilitas Organisasi Spiritual dan Dinamika Pencatatannya oleh Pemerintah...................................................... 63

E. Yayasan Andana Warih Sebagai Institusi Formal Pendamping Pangestu..................................................................... 66

BAB 4. PENUTUP..................................................................................... 69 Referensi ................................................................................................... 73

iv


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)


BAB 1. PENDAHULUAN

P

emerintah Indonesia adalah sebuah institusi yang hadir untuk melayani sekaligus mengatur warga negara. “Pemerintah,” sebagaimana sebutannya

memiliki wewenang untuk mengatur warga negara lewat aturan, kebijakan dan definisi-definisi, di semua ranah kehidupan, tak terkecuali yang berkaitan ekspresi keberagamaan. Sebagai contoh, agama di Indonesia sejak masa kolonial telah menjadi alat kontrol politik dengan adanya pembedaan antara ‘agama’ dan ‘adat’ yang digunakan penjajah untuk memecah belah masyarakat (Ma’arif, 2017: 12). Pasca kemerdekaan, kata adat mengalami penyempitan definisi yang bahkan tidak dapat disandingkan dengan agama, namun menjadi sesuatu yang hanya mewakili tradisi lokal, dan tidak memiliki unsur keagamaan samasekali. Setelah mempersempit definisi adat, pemerintah Indonesia yang meneruskan kendali kontrol pemerintah kolonial menempatkan kepercayaan dalam polarisasinya dengan agama, sebagai ganti adat. Hal tersebut dibuktikan


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

dengan penggunaan istilah ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ dalam UUD 1945 sebagai kategori terpisah. Selanjutnya, untuk mengukuhkan pembedaan tersebut, TAP MPR IV/1978 dalam GBHN yang menegaskan pengakuan terhadap lima agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha) sebagai agama resmi yang diakui di Indonesia (Sihombing, Parulian dkk, 2008: 32). Dengan dikeluarkannya TAP MPR di atas, kelompok agama dan kepercayaan di luar agama tersebut mengalami diskriminasi pelayanan hak administratif kewarganegaraan, seperti kepengurusan KTP dan Kartu Keluarga. Di tahun yang sama, kepengurusan kepercayaan yang sebelumnya berada dalam wilayah Departemen Agama dialihkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Direktorat Bina Hayat Kepercayaan) berdasarkan Keppres 40/1978 (Picard dan Madinier, 2011: 15-16). Pengalihan kepengurusan tersebut menjadi tanda bahwa kepercayaan bukanlah bagian dari agama, dan pemerintah tidak memberikan hak yang sama kepada penghayat kepercayaan layaknya pemeluk agama yang diakui. Sebelumnya, pada tahun 1966 saat terjadi pembantaian massal terhadap anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia, penghayat kepercayaan turut menjadi korban sebab dicurigiai telah berafiliasi dengan PKI (Sihombing, Parulian dkk, 2008: 30). Akibatnya, penghayat kepercayaan secara massif terpaksa mendaftarkan diri sebagai peganut salah satu agama legal untuk menyelamatkan diri. Namun pada tahun 2009, pemerintah pusat yang diinisiasi oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengakui dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak sipil penghayat kepercayaan, meskipun mereka masih tidak dapat mencantumkan kepercayaan mereka di kolom agama KTP (Maarif, 2017). Kemudian, pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan Putusan MK No. 97 yang menandai progres dalam pengakuan terhadap status administratif penghayat 3


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

kepercayaan, sekaligus memberi babak baru dalam diskursus politik agama di Indonesia. Dalam keputusan tersebut, MK menjamin kesetaraan antara agama dan kepercayaan, dan pengembalian kolom agama bagi para penghayat. Sejak itu, penghayat bisa mencantumkan status kepercayaan dalam kolom agama KTP mereka, yang kemudian dapat mempermudah proses pendaftaran perkawinan, sekolah, pekerjaan, asuransi dan lain sebagainya. Sayangnya, putusan MK tersebut juga menghasilkan masalah baru. Setelah adanya pengakuan antara agama dan kepercayaan, pemerintah menciptakan beberapa persyarat dan aturan bagi kelompok kepercayaan untuk dapat mendaftarkan diri. Persyaratan tersebut antara lain: membentuk organisasi dan mendaftarkannya kepada Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan YME dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan status majelis/ organisasi kepercayaan. Sebelum mendaftarkan diri, komunitas kepercayaan perlu menyesuaikan diri dengan karakter dasar aliran kepercayaan yang ditentukan oleh pemerintah. Menurut Wigati selaku Kasubdit Kelembagaan Direktorat Kepercayaan, suatu aliran kepercayaan seharusnya menyembah Tuhan YME dan bukan merupakan ajaran animisme, serta ajaran, nama maupun lambang-lambang yang digunakan tidak serupa dengan agama manapun. Syarat dan karakter standar yang ditetapkan menjadi bukti bahwa pemerintah dapat menggunakan berbagai macam alat serta produk hukum untuk mengontrol warga negara, bahkan terkait dengan keyakinan yang harus dianut serta bagaimana selayaknya keyakinan tersbut dapat diakui.

Sebuah Diskusi Teoritis: Governmentality dan Bentuk Kepatuhan

Mengutip Michel Foucault, tulisan ini mendefinisikan governmentality (governmentalitas) sebagai model relasi kekuasaan dimana subjek “bertindak

4


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

dalam ranah tindakan orang lain atau bahkan posisi dimana subjek menentukan ranah yang harus dilalui pihak lain” (Foucault, 2007: xxii). Kemudian dalam kaitannya dengan moral, Foucault juga mendefinisikan governmentalitas sebagai proses “mengarahkan seseorang kepada spesifikasi moral tertentu” (Foucault, 2007: 121). Dengan menerjemahkan subjek kuasa sebagai pemerintah dan berhadapan dengan masyarakat, maka pemerintah di sini memiliki kekuatan untuk mengatur ranah gerak warga negaranya. Lebih lanjut secara epistemologis, Foucault (2009: 108) juga menambahkan bahwa governmentalitas merupakan “pelaksanaan bentuk kekuasaan kompleks yang ditargetkan untuk mengelola populasi oleh ansambel-ansambel sebagai berikut: lembaga, prosedur, analisis dan refleksi, perhitungan dan taktik, yang menggunakan ekonomi politik sebagai dasar pengetahuan dan aparat keamanan sebagai instrumen teknis.” Membaca bagaimana pemerintah Indonesia mengatur ekspresi keberagamaan lewat institusi dan elemen negara, kemudian membuat definisi terbatas atas agama dan kepercayaan, maka tulisan ini berargumen bahwa politik agama di Indonesia merupakan salah satu bentuk govermentalitas pemerintah yang bertujuan untuk mengatur warga agar menjadi populasi yang patuh. Di sisi lain, pola kepatuhan warga negara dalam mengikuti aturan juga dapat dilihat sebagai bentuk ketertundukan atas hegemoni dan kekerasan simbolik yang mendominasi. Merujuk kepada Gramsci, hegemoni tidak selalu terjadi dalam bentuk kekerasan dan paksaan, namun juga dapat diciptakan lewat jalur intelektual, ideologis dan moral. Hegemoni juga dapat merujuk kepada arah kesadaran yang diciptakan oleh sumber dari hegemoni, seperti pemerintah misalnya, untuk menciptakan kesatuan tujuan dan paham politik maupun kultural (Gramsci, 1971: 207, 350). Bourdieu menambahkan, bentuk dominasi berupa persepsi dan ideologi yang digunakan untuk menciptakan tatanan sosial tertentu juga dapat dianalisis sebagai kekerasan simbolik (Bourdieu, Wacquant, 5


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

1992: 167, Rowlands, 2015: 1024). Dalam hal ini, ideologi negara terkait agama dan kepercayaan merupakan bentuk dari dominasi tersebut. Sebagai kelompok terhegemoni, warga negara mengalami sebuah kesadaran kontradiktif yang merupakan campuran antara persetujuan dan apati, serta resistensi dan pengunduran diri (Lears, 1985: 570). Kelompok warga yang kekurangan sumber daya dan kesadaran kritis atas dominasi berakhir menciptakan konsensus semu, bersikap pasif dan menerima praktik dominasi yang terjadi. Namun di sisi lain, layaknya kelompok teropresi atas kekerasan simbolik, beberapa mampu bersikap defensive dan memiliki kemampuan untuk melakukan resistensi (Schubert, 2002: 1097).

Ingenious Citizenship dan Resistensi Kemudian untuk menguji bagaimana govermentalitas pemerintah Indonesia terkait agama dan kepercayaan telah mengubah beberapa warga negara sebagai subjek poilitik menjadi kelompok abjek, penulis menyandingkannya dengan teori ingenious citizenship miliki Charles T. Lee (2016). Menurut Lee (2016: 27), ingenious citizenship berusaha menjelaskan bagaimana “abjek, yang berada di luar ‘naskah’ dan kekurangan status, kekuatan serta sumber daya berusaha mengakses hak-hak yuridis secara penuh serta pengakuan sosial sebagai warga negara, muncul dengan cara-cara kreatif dan original untuk memasukkan kembali diri mereka ke dalam ‘naskah’.” Dalam tulisan ini, ‘naskah’ diinterpretasikan sebagai hasil dari berbagai macam definisi, peraturan dan perundang-undangan terkait dengan agama dan kepercayaan di Indonesia, sekaligus menjadi bentuk dari hegemoni dan kekerasan simbolik negara. Dengan adanya ‘naskah’, kelompok yang tidak sesuai dengan naskah tersebut akan tereksklusi dari pengakuan negara, tidak terlihat, tidak

6


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

memiliki hak penuh kepada akses kewarganegaraan, bahkan statusnya berubah menjadi ‘warga negara tanpa eksistensi’ (nonexistence citizenship). Sebagai proses operasional teori dan keterkaitan antara keduanya, teori governmentality digunakan untuk membantu menunjukkan bahwa kontrol negara sesungguhnya tidak bisa lepas dari peran warga negara yang terus melakukan berbagai macam negosiasi, resistensi serta sikap ingenious di mana warga negara secara aktif dan kreatif mencari celah dari kekosongan kontrol pemerintah. Berbagai macam sikap yang ditunjukkan oleh warga negara tersebut kemudian menjadi pertimbangan pemerintah terhadap proses kontrol, yang mana pemerintah dapat menciptakan aturan dan undang-undang, bahkan menghapus atau merevisi, membuat definisi mengenai agama dan kepercayaan, berdasarkan kebutuhan warga ataupun sebagai konsekuensi dari apa yang terjadi di masyarakat.

Spiritualitas Pangestu antara Agama dan Kepercayaan Terkait dengan diskusi tentang abjek dan kategori warga negara tanpa eksistensi, monograf ini secara khusus membahas sebuah kelompok spiritual bernama Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). Pangestu lahir pada tahun 1949 di kota Solo, melalui wahyu yang diterima oleh Soenarto Mertowardojo dan kemudian diabadikan ajarannya oleh para penerusnya. Tidak seperti kelompok spiritual lain yang bergabung dengan kelompok kepercayaan, Pangestu menolak identitas kepercayaan, kebatinan maupun agama. Meski memiliki sistem ajaran tentang olah rasa, spiritualitas dan batin layaknya komunitas kebatinan/ kepercayaan, Pangestu menegaskan diri bahwa kelompoknya berbeda dengan kepercayaan, dan merupakan sebuah organisasi spiritual atau biasa disebut oleh pengikutnya sebagai sekolah psikologi (Indrakusuma, 1972).

7


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Dengan status sebagai organisasi spiritual, Pangestu menjadi lebih inklusif dan dapat menerima anggota dari berbagai macam latar belakang agama. Identitas organisasi spiritual tersebut dinilai lebih mudah diterima oleh penganut agama daripada identitas sebagai ‘aliran kepercayaan.’ Lebih lanjut, bahasan mengenai praktik spiritualisme dan ajaran-ajaran Pangestu akan dibahas di bagian berikutnya. Selanjutnya, penulis kemudian ingin mengurai mengenai berjalannya praktik kepemerintahan di Indonesia dan kaitannya dengan pengaturan agama dan kepercayaan, serta respon sekelompok warga negara abjek yang berusaha memenuhi hak-hak administratif organisasnya melalui cara-cara unik di luar ruang yang disediakan oleh pemerintah. Untuk mengkaji fenomena tersebut dalam tataran analitis, penulis menggunakan kedua teori tersebut di atas untuk membantu dalam proses elaborasi tulisan. Dalam konteks Pangestu, negara membuat ‘naskah’ agama dan kepercayaan dengan memberikan pengakuan kepada dua kelompok tersebut, berikut memberikan lembaga kementerian yang menanungi. Pangestu yang bukan merupakan agama maupun kepercayaan berada di luar ‘naskah,’ dan mendapati kelompoknya tidak memiliki kesempurnaan hak layaknya warga negara lain. Demi memenuhi hak admnistratif organisasinya, Pangestu kemudian melakukan berbagai upaya keratif dan manuver politis demi menciptakan jalan kepada akses hak yang tidak disediakan pemerintah.

8


BAB 2. PANGESTU SEBAGAI ORGANISASI SPIRITUAL

B

agian ini menjelaskan secara spesifik akar sejarah munculnya Pangestu, profil pendiri, ajaran-ajaran utama, dan pembentukan, sistematika

organisasi serta pemahaman mengenai spiritualisme yang menjadi inti berdirinya organisasi. Paguyuban Ngesti Tunggal merupakan sebuah organisasi spiritual yang sering disalahartikan sebagai organisasi aliran kepercayaan. Namun secara eksplisit Pangestu menegaskan diri bukan sebagai aliran kepercayaan, kebatinan atau agama baru. Sejak awal berdirinya, Pangestu telah merumuskan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga organisasi yang melegitimasi identitas spiritualnya. Bagian ini adalah pengantar sebelum membahas mengenai governmentalitas, definisi agama dan kepercayaan versus identitas spiritual Pangestu, serta bagaimana kemudian latar belakang organisasi, ajaran serta pendiri menjadi faktor utama yang mempengaruhi identifikasi Pangestu sebagai warga negara abjek yang ingenious.


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Sejarah Singkat Pangestu Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) adalah salah satu organisasi spiritual yang berdiri di Solo pada tahun 1949 berdasarkan wahyu yang diterima oleh Soenarto Mertowardojo, atau yang dikenal sebagai Pakde Narto. Pakde Narto dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 10 Besar 1828 (tahun Jawa) atau tanggal 21 April 1899, di desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Masa kecil dan remaja Pakde Narto dipenuhi dengan kesulitan. Semasa kecilnya, ia kerap dititipkan kepada saudara-saudara orang tuanya, seperti layaknya tradisi Jawa jika sebuah keluarga memiliki banyak anak. Meski dititipkan, Pakde Narto tidak diperlakukan seperti layaknya anak kandung, namun justru dipekerjakan seperti pembantu. Banyaknya cobaan hidup membuat Pakde Narto mulai berpikir tentang Tuhan, tentang spiritualitas dan hubungan antar manusia. Selain itu, Pakde Narto merasa ajaran agama Islam yang dipelajarinya lewat ibunya dalam bahasa Arab tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya. Hingga akhirnya, pada tanggal 14 Februari 1932, pukul setengah enam sore setelah melakukan salat daim, sampailah ia pada suatu pengalaman mistis dan menerima wahyu pertama. Pakde Narto menerima sabda ilahi untuk pertama kalinya yang berbunyi:

“Ketahuilah, yang dinamakan Ilmu Sejati ialah petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan yang benar, jalan yang sampai pada asal mula hidup.”

Menurut penuturan Kusumo selaku pemberi ceramah pepadangan mengenai profil Soenarto, setelah menerima Sabda tersebut, Pakde Narto seketika terkejut dan bertanya kepada asal suara “Siapa gerangan yang menyampaikan sabda

10


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

tadi?” kemudian turun kembali sabda yang selanjutnya dalam kurun waktu yang sama yang berbunyi: “Aku Suksma Sejati yang menghidupi alam semesta, bertakhta di semua sifat hidup.” “Aku Utusan Tuhan yang Abadi, yang menjadi Pemimpin, Penuntun, Gurumu yang Sejati ialah Guru Dunia. Aku datang untuk melimpahkan anugerah Tuhan kepadamu berupa pepadang dan tuntunan. Terimalah dengan menengadah ke atas, menengadah yang berarti tunduk, sujud di hadapan-Ku.” “Ketahuilah siswa-Ku, bahwa semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan semesta alam, letak sesembahan yang sejati ialah Sumber Hidup, yang akan kembali kepada-Nya. Sejatinya hidup itu satu, yang abadi keadannya dan meliputi semua alam sesisinya.”

Pasca turunnya wahyu yang kedua, Pakde Narto masih tetap merasa belum pantas untuk mendapatkan sabda dari Sang Guru Sejati dalam keadaan yang masih kotor secara batiniah. Beliau mengalami kekhawatiran spiritual yang membuatnya merenung dan memohon kembali kepada Sang Guru Sejati untuk disucikan dari kotornya dunia dan diberikan kekuatan untuk menerima sabda selanjutnya, maka, tidak lama berselang, turunlah sabda yang berbunyi: “Mengertilah engkau siswa-Ku! Bahwa yang membawa ukuran dan timbangan itu Aku, oleh karena itu: Janganlah kecil hatimu jika tidak ada yang percaya kepadamu, janganlah sakit hati jika ada yang menertawakan dan meremehkan dirimu, janganlah waswas dan cemas jika ada yang memfitnah dirimu. Aku melindungi dan menuntun sampai dalam kesejahteraan, semua umat yang berjalan di jalan

11


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

rahayu, yang bernaung di bawah lindungan pengadilan-ku. Aku tidak akan menegakan mereka yang mewakili karya-Ku.” “Pepadang ialah sabda wejangan-Ku sebarluaskanlah dan berikanlah kepada siapa saja, laki-laki, perempuan, tua muda, dengan tidak membeda-bedakan jenis bangsa dan derajat yang memerlukan pepadang serta tuntunan-Ku. Akan tetapi ingat, jangan sekali-kali disertai paksaan dan pamrih apapun.” “Kewajiban yang luhur dan suci itu, laksanakanlah dengan keikhlasan, kesabaran dan pengorbanan. Barangsiapa mau mewakili karya-Ku, yaitu menyebarluaskan sabda-Ku, ialah sabda Tuhan dengan syaratsyarat yang kuterangkan tadi, akan menerima anugerah Tuhan. Siswa-Ku! Nantikanlah sementara waktu, engkau Kuberi pembantu yang akan Kutunjuk untuk mencatat semua sabda-ku, yaitu: 1. Hardjoprakoso, 2. Soemodihardjo. Calon siswa tersebut juga kuutus untuk menyebarluaskan pepadang sabda Tuhan yang Kubawa. Sekalikali janganlah kecil dan was-was hatimu! Engkau bertiga akan menyangga karya yang agung, kelak banyak yang akan membantumu. “Sinar ajaran-Ku akan memancar meliputi dunia. Sekian dahulu perintah-ku.”

Beberapa bulan setelah menerima sabda tersebut, tepatnya pada tanggal 27 Mei 1932, R.T. Hardjoprakoso bersama dengan R. Trihadono Soemodihardjo sebagai dua orang yang tersebut dalam sabda datang menemui R. Soenarto. Sejak saat itulah, mereka menerima wajangan dan ajaran Sang Guru Sejati yang kemudian dituliskan dalam pustaka Sasangka Jati sampai Januari 1933. Baik Hardjoprakoso maupun Soemodihardjo secara aktif mengadakan perkumpulan sebulan sekali pada malam bulan purnama untuk mendengarkan ceramah ajaran

12


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Pakde Narto. Lambat laun, dengan pengaruh Hardjoprakoso sebagai Bupati Anom Mangkunegaran VII dan kebaikan budi Pakde Narto, semakin banyak siswa yang berdatangan untuk ikut mendengarkan ajaran tersebut. Proses mendengarkan ceramah ajaran Sang Guru Sejati ini kemudian disebut sebagai olah rasa (bowo raos), dan terus menerus menjadi inti dari aktivitas Pangestu hingga saat ini. Lalu pada suatu proses olah rasa tertanggal 20 Mei 1949, sebuah sabda lain turun dan memerintah agar para siswa Sang Guru Sejati dihimpun dalam suatu perkumpulan. Turunnya sabda inilah yang menginisiasi berdirinya Pangestu sebagai sebuah organisasi spiritual. Namun, meski berstatus sebagai organisasi spiritual, Pangestu memiliki pola ajaran layaknya penghayat kepercayaan dan kebatinan pada umumnya. Ajaran Pangestu terpusat pada olah batin dan spiritualisme, yang dilakukan melalui refleksi ajaran Sang Guru Sejati melalui beberapa praktik. Berikut beberapa ajaran pokok yang menjadi inti dari Pangestu: 1. Kewajiban Delapan Perkara (Hasta Sila) yang terdiri dari dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila dalam Pangestu adalah Sadar, Percaya dan Iman Tri Sila di sini menekankan pada proses relasi manusia dengan Yang Maha Esa melalui tiga tingkatan, yaitu dimulai dari proses ‘sadar’ akan kewajiban bakti kepada Tuhan. ‘Sadar’ tersebut dapat menuntun manusia ke dalam watak yang bijak, yang mampu membedakan hal yang benar dan yang salah, yang nyata dan tidak nyata. Berikutnya, tingkatan ‘percaya’ dan ‘iman’ merupakan simbol ikatan batin yang kuat yang mengalirkan tuntunan, perlindungan dan pertolongan kasih dari Tuhan bagi manusia. Tanpa keduanya, manusia ibarat memutuskan ikatan batin dengan Tuhan yang sejatinya merupakan asal dari cipta manusia. Sedangkan Panca Sila sendiri mewakili sifat-sifat baik yang harus tertanam dalam diri setiap manusia, yaitu Rela, Narima, Jujur, Sabar dan Budiluhur.

13


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

2. Panca Dharma Bakti (Jalan Rahayu) sebagai tahapan pelatihan agar mampu melaksanakan Hasta Sila. Ringkasan pokok-pokok Jalan Rahayu adalah sebagai berikut: a. Memahami dan menghayati intisari makna dan rumusan hukum perjanjian Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya yang merupakan landasan kepercayaan dan kebulatan tekad yang diperjuangkan. b. Berbakti kepada Tuhan dan Utusan-Nya yang diteguhkan melalui Panembah yaitu menyembah kepada Tuhan secara teratur sebagai kewajiban manusia. c. Budi darma, yaitu mewujudkan belas kasih kepada sesama umat, dengan memberikan kebaikan, membantu kesulitan dan meringankan baik melalui bantun tenaga, materi maupun doa. d. Mengendalikan nafsu-nafsu yang cenderung kepada kejahatan dan lain sebagainya, agar tidak mengganggu pelaksanaan kewajiban yang dijalankan. e. Berbudi luhur, sebagai bekal untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki

3. Panca Pantangan (Paliwara) merupakan larangan yang tidak boleh dilanggar. Pantangan Tuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam lima larangan besar, yaitu: a. Jangan menyembah selain Allah b. Berhati-hatilah dengan nafsu syahwat c. Jangan makan atau minum yang memudahkan rusaknya jasmani d. Taatilah undang-undang negara dan peraturannya e. Jangan bertengkar

14


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Melihat dari pokok ajaran seperti yang tersebut di atas, Pangestu sejatinya juga memiliki sistem hukum mengikat berisi perintah dan larangan, layaknya agama-agama. Meskipun dalam klaimnya, ajaran tersebut dimaksudkan hanya sebagai sarana olah spiritual, namun dalam prakteknya tidak jauh berbeda dengan aturan agama yang tidak hanya mengatur aspek rohani, namun juga aspek eksternal seperti relasi sosial dan kemasyarakatan. Seperti penuturan Clifford Geertz, (1983: 427), pola pikir orang Jawa cenderung menunjukkan ambiguitas dimana mereka pada umumnya menganggap bahwa meskipun pengalaman mistik merupakan perasaan yang berada di luar kehidupan duniawi dan memisahkan diri dari dunia empiris, namun pengalaman mistik sejatinya juga membawa kepada hal-hal yang bisa digunakan di dunia. Karena itulah, meski tujuan awal berdirinya Pangestu hanya terbatas pada pengayaan spiritual, namun Pangestu tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari urusan-urusan duniawi. Selain daripada ajaran yang tersebut di atas, ajarang Sang Guru Sejati mengenai penciptaan alam semesta dan kaitannya dengan konsep pemurnian batin manusia yang disebut sebagai Gumelaring Dumadi dan Tri Purusa juga menjadi ajaran penting lain dalam Pangestu. Menurut kitab Gumelaring Dumadi yang terangkum dalam Sasangka Jati, penciptaan alam semesta berasal dari empat unsur kehidupan, yaitu air, tanah, api, dan suasana (udara). Keempat unsur tersebutlah yang juga membentuk penciptaan manusia. Ajaran Gumelaring Dumadi ini sejatinya tidak bisa dipisahkan dari Tri Purusa (Konsep Ketuhanan), sebab ajaran tersebut juga menjelaskan unsur lain yang melengkapi penciptaan manusia. Dalam ajaran Pangestu, Dzat Tuhan memiliki tiga sifat dalam satu unsur, yaitu: a. Suksma Kawekas (Tuhan Yang Sejati) atau dalam Bahasa Arabnya disebut Allah Ta’ala. Suksma Kawekas adalah Tuhan sekalian alam, Sembahan yang Sejati, Sumber Hidup. 15


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

b. Suksma Sejati (Pemimpin Sejati/Guru Sejati/Penuntun Sejati) yang merupakan Utusan Tuhan. Pangestu memahami bahwa dalam setiap diri utusan Tuhan seperti Muhammad, Isa Almasih, Musa, dan lain sebagainya memiliki satu jiwa bernama ‘suksma sejati.’ Sejatinya, yang diutus Tuhan ke bumi untuk membimbing umat manusia bukanlah raga Muhammad, Isa ataupun Musa, namun “jiwa/suksma sejati yang berasal dari Allah Ta’ala, Suksma Kawekas. Karenanya, meski raga utusan tersebut telah tiada, ‘suksma sejati’ tetap abadi. Berangkat dari kepercayaan tersebut, Pangestu meyakini jika ‘suksma sejati’ yang abadi tidak hilang, namun dapat termanifestasi dalam diri manusia-manusia spesial yang dipilih Tuhan menjadi perantara untuk menuntun manusia kepada kebajikan. Suksma Sejati adalah yang menghidupi, Utusan Tuhan yang abadi tidak berwujud dan menjadi Panutan, Penuntun dan Guru yang Sejati. Cukup berbeda dengan pemahaman rasul dalam agama monoteistik yang cenderung memiliki kepercayaan eksklusif, dimana kekuatan supranatural tersebut hanya dimiliki oleh manusia terpilih yang tunggal, Pangestu tidak memiliki eksklusifitas tersebut. c. Roh Suci (Manusia sejati), adalah jiwa manusia yang sejati. Sejatinya,manusia dan seluruh makhluk memiliki percikan cahaya Tuhan yang disebut roh suci. Roh suci tersebut harus selalu dijaga kesuciannya untuk dapat kembali diterima di sisi Tuhan jika tiba saatnya. Karenanya, Pangestu mengajarkan warganya untuk selalu berolah rasa, memperbaiki tindak laku, membersihkan hati dan mempersiapkan diri sepenuhnya untuk kembali kepada Suksma Kawekas. Sebab sejatinya, manusia dengan roh suci merupakan sinar Tuhan dan akan kembali kepadanya. Konsep ini serupa dengan banyak ajaran kepercayaan/kebatinan mengenai manunggaling kawulo gusti.

16


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Untuk menjelaskan relasi antara ketiga sifat tersebut, Pangestu mengibaratkannya dengan samudra. Samudra yang tenang dan tidak bergelombang diibaratkan sebagai Suksma Kawekas. Samudra yang bergelombang diibaratkan sebagai Suksma Sejati, sedangkan buih dari samudra yang terpercik adalah Roh Suci. Wujud Roh Suci kecil dan terbatas bila dibandingkan dengan Suksma Sejati dan Suksma Kawekas, namun sama-sama suci. Terbatasnya Roh Suci menimbulkan adanya individualitas pribadi yang terbatas pula, dan perasaan terpisah dari sumbernya sebab roh suci tersebut telah diberi busana berupa empat unsur yang sudah disebutkan sebelumnya. Untuk melengkapi keutamaan manusia agar dapat berjalan di jalan sejati dan kembali kepada Suksma Kawekas, Tuhan menurunkan Suksma Sejati kepada manusia untuk menjadi penuntun. Namun, penciptaan manusia sendiri sudah istimewa sebab Tuhan tidak hanya memberikan Roh Suci-nya, namun Tri Purusa secara penuh telah ada dalam diri manusia. Ketika manusia tercpita, ia dilengkapi dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (Suksma Kawekas), diberi Penuntun (Suksma Sejati) dan memiliki percikan Tuhan dalam dirinya (Roh Suci). Karena itulah, jika manusia dan semua makhluk di dunia ini diciptakan dari Roh Suci, Suksma Kawekas dan Suksma Sejati menjadi kunci yang menandai keistimewaan manusia. Konsep penciptaan yang sangat antroposentrik ini serupa dengan keistimewaan penciptaan manusia dalam Islam, dimana manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena diberkati dengan nafsu akal, salah satu unsur yang membedakannya dengan hewan dan malaikat. Manusia memiliki otoritas untuk memilih jalan spiritualnya, yang sedikit banyak diadopsi oleh Soenarto ke dalam Pangestu sebagai seorang muslim. Dalam ajaran Pangestu, Tuhan tetap disebut yang Maha Tunggal, dan manusia dilarang menyekutukan Tuhan dengan menyembah selain-Nya. Karena itulah, konsep syahadat atau kredo dalam Islam dan Kristen yang menyatakan 17


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

kesaksian dan panembahan Kepada Tuhan Yang Esa adalah benar adanya. Pangestu merelasikan Tri Purusa (Suksma Kawekas-Suksma Sejati-Roh Suci) sebagai Allah Ta’ala-Nur (Roh) Rasul-Muhammad dan Allah Bapa-Allah PutraRoh Kudus. Meski konsep Ketuhanan dalam Pangestu sangat monoteis, namun tidak menghalangi bagi pemeluk Hindu dan Budha untuk dapat menjadi anggota Pangestu. Salah seorang anggota Pangestu beragama Hindu, Supriyadi (49) menyatakan bahwasanya konsep penyembahan Dewa-Dewa dalam agama Hindu tidak berarti menyekutukan Tuhan. Dalam agamanya, Tuhan tetap Maha Esa. Keberadaan Dewa dan Dewi bukanlah menjadi objek utama penyembahan, melainkan hanya sebagai perantara bagi manusia untuk berdoa kepada Tuhan.14 Terkait pula dengan konsep Tri Purusa yang cenderung mirip dengan Trinitas, anggota muslim Pangestu pada akhirnya memilih untuk menegosiasikan ajaran agamanya dengan ajaran Pangestu. Mereka menganggap bahwa Tri Purusa pada dasarnya tidak menyalahi konsep tauhid dalam Islam, sebab dzat disembah merupakan satu kesatuan dzat Allah Ta’ala, dan bukan merupakan tiga unsur yang terpisah.

Organisasi Pangestu Sejak awal didirikannya pada tanggal 20 Mei 1949 hingga saat ini, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) merupakan organisasi sebagaimana organisasi-organisasi lain pada umumnya. Bersifat terbuka untuk umum serta dikelola dengan cara-cara sebagaimana lazimnya pengelolaan organisai biasa. Pangestu memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta peraturan organisasi. Pangestu juga memiliki kepengurusan organisasi dari tingkat pusat, cabang dan ranting di seluruh Indonesia. Kegiatan-kegiatan organisasi juga diselenggarakan secara terbuka. Untuk terus mengontrol

18


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

kegiatan keorganisasian, setiap lima tahun sekali, Kongres Nasional Pangestu diadakan. Tercatat sejak tahun 1961-2015, sudah sebanyak tujuh kali kongres diselenggarakan. Pangestu pada dasarnya merupakan kancah pendidikan dan pengolahan jiwa agar para anggotanya memiliki jiwa yang sehat dan kuat serta berbudi luhur. Di lingkungan Pangestu, setiap anggota melaksanakan proses pembelajaran dan pelatihan untuk memiliki watak-watak utama serta senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan melaksanakan petunjuk dan perintah serta menjauhi larangan-Nya, untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki yaitu ketentraman dan kedamaian hati dalam kehidupan sehari-hari serta mencapai kebahagiaan abadi di hadiran Tuhan. Seperti yang tercantum dalam AD/ART Pangestu tahun 1949, Pangestu menegaskan posisinya bukan sebagai agama dan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru serta bukan bagian dari aliran kepercayaan dan kebatinan. Pangestu berasaskan Pancasila, dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia serta bersifat: kejiwaan, mandiri dan tidak membeda-bedakan golongan, ras, derajat, agama dan kepercayaan. Pangestu juga tidak berpolitik praktis dan tergabung dalam kelompok politik manapun. Terkait dengan fakta bahwa Pangestu tidak ingin disebut sebagai agama, aliran kepercayaan atau kebatinan, Dr. R. Marsaid Soesilo Sastrodihardjo, Ketua Cabang Pangestu Surabaya menegaskan hal tersebut dalam sebuah tulisan di Dwidja Wara, Tahun IV, No. 7 yang tertulis sebagai berikut, “...bahwa dari pelajaran Paguyuban Ngesti Tunggal yang tersimpan dalam buku Sasangka Djati terdapat pokokpokok pemikiran yang demikian: a. Bukan rahasia, bukan misteri, bukan ilmu klenik, bahkan tersedia bagi setiap umat manusia yang membutuhkannya.

19


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

b. Bukan agama, bukan religion, hal ini dijelaskan pada halaman 77 dan berikutnya pada buku Sasangka Djati. c. Bukan ilmu gaib, bukan okultisme, yang memberikan harapan kepada para marsudi akan mendapatkan kekuatan atau kagunan yang ajaib-ajaib. d. Bukan spiritisme, yang mempergunakan kekuatan makhluk yang halus. e. Bukan ilmu sihir, bukan magic, baik putih maupun hitam.” Meski ajaran-ajaran Pangestu banyak menyerupai, dan bahkan dapat dilihat sebagai bagian dari mistisme dan kebatinan Jawa, Pangestu secara tegas menolak disamakan dengan kelompok tersebut. Melihat bagaimana Pangestu menyebut kelompok kebatinan/kepercayaan sebagai praktik mistis, klenik, okultis, spiritis dll menunjukkan bahwa Pangestu masih terperangkap dalam paradigma agama dunia dalam melihat aliran kepercayaan. Selama keterlibatan penulis dalam aktivitas Pangestu, banyak didapatkan ujaran-ujaran yang menyebut aliran kebatinan adalah praktik musyrik karena percaya pada entitas lain selain Tuhan. Selain itu, menurut Pangestu, kebanyakan ajaran kebatinan tidak memilik dasar ajaran, dan proses batin tersebut didapatkan melalui pencarian pribadi. Sedangkan dalam Pangestu, ada ajaran pokok yaitu ajaran Sang Guru Sejati sebagai penuntun dalam proses olah batin. Di sisi lain, meski Pangestu juga menyatakan diri bukan agama, Pangestu masih mengadopsi cara pandang agama yang menganggap bahwa kelompok aliran kepercayaan berada di bawah standar agama dan spiritualisme monoteis. Maka dari itu, kelindan antara identitas kepercayaan, agama dan spiritualisme Pangestu semakin sulit untuk dipisahkan.Selain itu, sebagaimana layaknya organisasi, Pangestu memiliki visi dan misi. Visi Pangestu adalah “terwujudnya Penaburan dan Pemeliharaan Pepadang Ajaran Sang Guru Sejati untuk membangun kepercayaan yang benar bagi semua umat yang percaya dan membutuhkan.” Sedangkan misinya terdiri dari lima hal: 20


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

1. Menghimpun anggota Pangestu, siswa Sang Guru Sejati agar menjadi akrab 2. Berupaya hidup bersatu, damai dan rukun bersama semua golongan, tidak membedakan jenis, bangsa, derajat, agama dan keyakinannya. 3. Meningkatkan fungsi Pangestu sebagai kancah pendidikan dan pengolahan jiwa agar jiwa menjadi sehat, kuat dan mempunyai watak budi luhur. 4. Menjaga kelangsungan dan keberadaan organisasi dengan meningkatkan kualitas pengelolaan organisasi. 5. Memelihara Pepadang Ajaran Sang Guru Sejati dan menyebarluaskannya kepada umat yang percaya dan membutuhkan.

Terkait dengan misi Pangestu yang ingin menghimpun anggota Pangestu secara formal, serta meningkatkan fungsi Pangestu sebagai kancah pendidikan dan pengolahan jiwa, wujud organisasi menjadi penting. Sejak awal, sabda Sang Guru Sejati juga sudah menganjurkan agar siswanya dikemudian hari membentuk perkumpulan. Setelah menimbang kebutuhan, kecocokan dan ketepatan fungsi terkait dengan sabda, visi dan misi Pangestu, maka organisasi Pangestu secara resmi dilembagakan. Untuk dapat melaksanakan visi dan misi tersebut, maka Pangestu juga mengadakan kegiatan pokok yang diselenggarakan oleh cabang serta ranting Pangestu di setiap daerah. Kegiatan tersebut adalah: 1. Penaburan pepadang Penaburan pepadang merupakan proses untuk melakukan ceramah penerangan (ceramah mengenai ajaran Sang Guru Sejati) kepada masyarakat atau individu di luar anggota Pangestu yang tertarik untuk mempelajari ajaran Sang Guru sejati. Ceramah dilakukan selama dua jam delapan kali pertemuan. Setelah mengikuti rangkaian ceramah Penerangan, para peserta

21


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

berhak menentukan sendiri apakah akan terus memperdalam, menghayati dan melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati atau tidak. Apabila peserta berkeinginan untuk memperdalam, maka yang bersangkutan akan dilantik menjadi Anggota Pangestu dalam acara Pelantikan Anggota Baru oleh Cabang Pangestu yang terkait. 2. Pemeliharaan pepadang Berkebalikan dengan penaburan pepadang, kegiatan pemerliharaan pepadang ditujukan kepada para anggota Pangestu untuk meningkatkan penghayatan, kesadaran dan kemampuan dalam melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan Pemeliharaan Pepadang diselenggarakan oleh Cabang Pangestu dalam bentuk pertemuan periodik, yaitu: a. Olah Rasa, pertemuan organisasi dimana dipaparkan dan diuraikan substansi ajaran Sang Guru Sejati oleh pengisi Olah Rasa serta penyampaian kesaksian dan pengalaman dari anggota dalam menghayati dan melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati. Olah Rasa diadakan setiap minggu di masing-masing ranting, dan sebagai pembuka, olah rasa tingkat cabang akan diadakan pada minggu pertama setiap bulan. Terkhusus untuk cabang DIY, Olah Rasa pusat diadakan di gedung Dana Warih sebagai gedung pertemuan utama Pangestu yang terletak di Timoho. Menurut golongan usia, Olah Rasa juga dibagi menjadi Olah Rasa Wanita dan Pemuda dan Olah Rasa Adi Yuswa untuk lansia. Namun pada dasarnya, anggota Pangestu bebas untuk mengikuti olah rasa manapun. Hanya saja, materi dan cara penyampaian menjadi sedikit berbeda dan disesuaikan dengan kategori umur. b. Ajar Pustaka, pertemuan kelompok untuk mendalami bersama ajaran Sang Guru Sejati sebagaimana termaktub dalam buku Sasangka Jati dan

22


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

buku-buku wajib lainnya. Jika Olah Rasa membahas ajaran yang tertulis dalam buku wajib secara luas, Ajar Pustaka membahas secara spesifik topik tertentu dari salah satu buku wajib. c. Anjangsana, yaitu pertemuan antara para anggota Pangestu dari lingkungan Cabang/Koordinator Daerah yang berbeda dalam rangka meningkatkan kerukunan. 3. Pemeliharaan kancah pepadang Pangestu sebagai organisasi diistilahkan sebagai kancah pepadang. Kegiatan Pemeliharaan Kancah Pepadang adalah kegiatan dalam rangka pengurusan organisasi Pangestu, baik di tingkat Pusat, Cabang maupun tingkat Ranting. Kegiatan Pemeliharaan Kancah Pepadang antara lain: a. Kongres Pangestu yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali b. Musyawarah anggota cabang c. Rapat pengurus Pangestu d. Sarasehan Untuk dapat menjadi anggota Pangestu, syarat utama yang harus dilakukan adalah mengikuti Ceramah Penerangan tentang Ajaran Guru Sejati dan Organisasi Pangestu sebanyak dua belas kali. Sedangkan bagi peneliti, disyaratkan untuk mengikuti Ceramah Penerangan sebanyak tujuh kali agar mendapatkan gambaran awal tentang Pangestu hingga tidak mengakibatkan kesalahpahaman dalam penulisan penelitian. Jika kemudian peneliti berkenan menjadi anggota Pangestu, ia dianjurkan untuk melanjutkan ceramah hingga mencapai dua belas kali. Sebagai organisasi, anggota baru wajib mendaftarkan diri dengan form keanggotaan, kemudian melakukan pelantikan dalam Upacara Pelantikan Anggota Baru yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Pangestu setempat.

23


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Sebagai organisasi terbuka dan bukan bagian dari kepercayaan yang bersifat missionaris, Pangestu hanya menerima anggota yang sudah dewasa, paham akan pilihannya dan bukan menjadi anggota atas dasar paksaan. Karena itulah, banyak anggota Pangestu yang memiliki kerabat dekat, anak, ataupun pasangan yang tidak ikut tergabung dalam organisasi Pangestu.

SPIRITUALISME DALAM PANGESTU Sesuai dengan identitasnya sebagai organisasi spiritual, spiritualisme menjadi inti dari segala ajaran serta visi misi organisasi Pangestu. Sabdasabda Sang Guru Sejati (Soenarto) mencakup perkara olah rasa dan jiwa serta kaitannya dengan proses pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui pengenalan diri, pembersihan jiwa dari sifat buruk dan hina dipahami oleh Pangestu sebagai bentuk dari olah spiritualitas. Selain keseluruhan ajaran Sang Guru Sejati, Pangestu juga merumuskan secara khusus beberapa pokok ajarannya yang dinilai merupakan inti dari pemahaman mengenai spiritualisme dalam Pangestu. Pokok ajaran tersebut bernama Candra Jiwa Soenarto. Pada hakekatnya, Candra Jiwa Soenarto adalah ilmu pengetahuan tentang jati diri manusia di pusat hidup imateri. Candra Jiwa tersebut memperkenalkan kesadaran kolektif yang terbatas yang disebut Tripurusa. Sadar kolektif pertama adalah sadar statis, yaitu Suksma Kawekas (dalam konsep agama dapat disebut sebagai Tuhan) sebagai asal mula, sumber, dan tujuan hidup. Kesadaran kedua yaitu kesadaran dinamis diwakili oleh Suksma Sejati (Rasul); yang menghidupi. Kesadaran terakhir merupakan kesadaran terbatas yaitu Roh Suci (manifestasi Suksma Kawekas dalam diri

24


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

manusia); yang dihidupi, adalah manusia yang imateri (ego-rohani). Pusat imateri tersebut terselubungi materi-kasar (jasmani-kasar) sebagai pelindung. Fisik manusia ini dilengkapi dengan angan-angan, nafsu-nafsu, dan perasaan serta pancaindra untuk berkomunikasi. Kesadaran manusia yang bersifat jasmani adalah kesadaran potensial, yang mana dapat diubah menjadi kesadaran imateri (roh suci) melalui jalan introspeksi dan religi. Ketika kesadaran materi manusia terus menerus diolah, prosesnya akan berujung pada leburnya sadar materi dalam sadar imateri menuju roh suci. Peristiwa terakhir inilah tujuan akhir dari evolusi kesadaran manusia, dikenal dengan peristiwa Panunggal/Pamudaran. Seluruh peristiwa tersebut terjadi atas kehendak Suksma Kawekas (Tuhan) dan dilaksanakan oleh utusan-Nya yang abadi yaitu Suksma Sejati (Rasul).1 Penjelasan mengenai Candra Jiwa Soenarto ini ditulis oleh salah seorang anggota Pangestu, yaitu Somantri Hardjoprakoso dalam bentuk disertasi untuk meraih gelar Doktor Psikiatri Rijkuniversiteit, Leiden pada tahun 1956. Judul disertasinya adalah “Indonesisch Mensbeeld als Basis ener Psycho-therapie” Hingga sampai saat ini, disertasi tersebut terus dikaji ulang oleh Budhi Setianto selaku pengurus Pusat Pangestu dan menjadi bahan pokok ajaran dalam olah rasa. Setianto sendiri dalam wawancaranya tertanggal 30 Januari 2019 menyebutkan spiritualisme sebagai Ketuhanan

1

Budhi Setianto Puwowiyoto, Lembar Eksekutif Candra Jiwa Indonesia, Warisan Ilmiah Putra Indonesia (Transcendence to the depth of the heart and beyond),25 Januari 2019, dari disertasi Somantri Hardjoprakoso untuk meraih gelar Doktor Psikiatri Rijkuniversiteit, Leiden dengan judul “Indonesisch Mensbeeld als Basis ener Psycho-therapie,” 1956.

25


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Gambar 1. Skema Penjelasan Candra Jiwa Soenarto (sumber: Modul Ceramah Penerangan Tahap VII, Candra Jiwa Soenarto)

Selain memahami ajaran Sang Guru Sejati sebagai bentuk Ketuhanan, Pangestu kemudian memberikan perbedaan antara ketuhanan spiritualis dan agama. Tidak seperti agama yang terikat dengan ritus formal dan kitab suci. Kusumo, salah seorang Pengurus Pangestu Cabang DIY menjelaskan pengertiannya mengenai spiritualisme dengan mengutip beberapa penulis seperti Ron Caciocoppe dan Nilam Widyarini. Menurutnya, agama formal memiliki orientasi eksternal, seperti pengakuan sosial, kebutuhan akan tempat ibadah, pendidikan dsb, sedangkan spiritualitas mencakup seseorang yang memandang kedalam batinnya, dan oleh karenanya dapat dijangkau oleh semua orang, baik yang religius maupun tidak.

26


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

AJARAN SANG GURU SEJATI (PANGESTU) SEBAGAI ‘PENDAMPING’ AGAMA

Seperti yang telah disebut dalam pembahasan sebelumnya, Pangestu merupakan organisasi spiritual dengan anggota yang berasal dari berbagai macam agama yang diakui secara formal di Indonesia, baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Hal ini memungkinkan sebab sejak awalnya, Pangestu didirikan bukan untuk menjadi agama baru atau mengambil alih kepercayaan beragama yang telah ada, mengingat bahwa Soenarto sebagai pendiri juga merupakan seorang muslim. Pangestu hadir sebagai “fakultas psikologi,” tempat dan sarana bagi olah rasa untuk membentuk pribadi yang lebih baik. Seperti yang tertulis dalam kitab Sasangka Jati bagian Tunggal Sabda (1932), Sonarto menjelaskan posisi ajaran Sang Guru Sejati (Pangestu) di hadapan agama sebagai berikut : “Ketahuilah hai siswa-siswa-Ku, Bahwa kedatangan-Ku ini bukan karena ehndak merusak dan mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lazimnya disebut sebagai agama baru. Aku hanya hendak menunjukkan jalan yang benar dan jalan simpangan, lagipula memperingatkan kepada mereka yang lupa akan kewajiban suci, juga memberi petunjuk tentang pemeliharaan hati dan cipta kepada kamu sekalian yang percaya, demikian pula kepada mereka yang berhasrat mencari petunjuk dan sinar terang daripada-ku, agar supaya dapat bertemu dengan Aku di dalam hati sanubarinya. ……….. Dengarlah hai siswa-Ku,

27


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Adapun pelajaran-Ku ini dapat dimisalkan sebagai obor yang dipakai untuk menerangi tempat yang masih diliputi oleh kegelapan dan membutuhkan sinar cahaya terang daripada-Ku. Sebab itu yang merasa telah mempunyai obor dari petunjuk agama Islam atau agama Kristen, tidak perlu memakai obor-Ku ini. Bagi mereka yang tidak menyukai dan tidak percaya kepada petunjuk-ku ini Ku-peringatkan: segeralah mencari obor atau petunjuk yang tersimpan di dalam kitab-kitab suci Al Qur’an atau Injil, yaitu petunjuk sejahtera yang berasal dari tuntunan agama Islam atau agama Kristen, pilih mana yang memuaskan dan membuat hati menajdi tenang karena keduaduanya merupakan agama yang benar-benar dari Tuhan, sebab itu bila dijalankan dengan percaya dan ditaati dengan sungguh-sungguh, lagipula disertai dengan kecerdasan hati (kesadaran), tentu akan samapi pada Kenyataan yang Sejati.”

Menurut penjelasan Kusumo dalam ceramah penerangan pada 21 April 2019, kehadiran Pangestu tidak dimaksudkan untuk mengganti ajaran agama yang sudah ada, namun dapat menjadi obor bagi beberapa siswa yang kesulitan mendapatkan pencerahan batin dari ajaran agama yang sudah dianut. Seperti halnya yang dialami oleh Soenarto, beberapa orang mengalami kesulitan dalam beragama disebabkan beberapa hal, seperti perbedaan bahasa, kultur di mana agama tersebut muncul dan bagaimana penganut dapat bernegosiasi dengan budaya tersebut, serta beberapa hal lain. Pangestu yang lahir di tanah Jawa, melalui perantara orang Jawa dimaksudkan agar dapat menjadi pintu masuk seseorang dalam perjalanan rohaninya, sebelum lebih lanjut memahami agamanya.

28


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Lebih lanjut, beliau juga memberikan gambaran bahwa posisi Pangestu dengan agama adalah layaknya buku pendamping pelajaran atas buku pokok. Atau seperti Al-Qur’an (dalam konteks ini adalah agama) dan kitab tafsir (Pangestu). Karena hadirnya sebagai pendamping, maka sangat memungkinkan bagi pemeluk agama taat sekalipun untuk menjadi anggota Pangestu, bukan hanya yang bagi kesulitan dalam memahami agama. Berdasarkan observasi, ada cukup banyak anggota Pangestu yang merupakan penggiat dan kelompok taat di agama masing-masing. Sebagai contoh adalah Kusumo, selaku pemberi ceramah penerangan yang begitu mendalami ajaran Sang Guru Sejati selalu melakukan solat jamaah lima waktu di masjid dan sedang mempelajari tafsir Al-qur’an. Kemudian Ramelan, Ketua Korda Pangestu Cabang DIY merupakan imam masjid di komplek perumahannya, dan memiliki putri seorang aktivis dakwah kampus. Dari penganut Katholik, Darmastuti yang merupakan Ketua Pangestu Cabang DIY mengaku secara aktif terlibat dalam kegiatan gereja dan menjadi lebih religius setelah menjadi anggota Pangestu. Namun di sisi lain, ada juga beberapa anggota Pangestu yang menjadikan ajaran Sang Guru Sejati sebagai “obor” utama dalam kehidupan spiritualnya. Kelompok tersebut pada dasarnya memiliki keimanan kepada Tuhan YME namun tidak memutuskan untuk memeluk salah satu agama. Salah seorang narasumber dari golongan tersebut menjelaskan bahwasanya pendalaman spiritual dapat dengan mudah ia dapatkan di Pangestu. Baginya yang seorang Jawa, Pangestu yang ajarannya sarat dengan kebijakan-kebijakan Jawa dan dipadukan dengan konsep monoteisme membuatnya semakin yakin bahwa Tuhan adalah Esa, Tuhan adalah dekat dan manusia sesungguhnya dapat menjadi dekat dengan Tuhan jika mau membersihkan jiwanya. Seperti Pakde Narto, Tuntung sudah mengembara mencari pemahaman spiritualisme lewat beberapa agama yang dipelajarinya, yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Namun selama pengembaraan tersebut, belum ada yang secara legowo (ikhlas) dapat diterima oleh hatinya. 29


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Pada akhirnya ketika mengenal Pangestu lewat salah seorang rekan kerja, Tuntung merasa telah menemukan jalan spiritualitas yang selama ini ia cari. Klaim sebagai pendamping agama seperti yang tersebut di atas menunjukkan bahwasanya Pangestu berusaha mendapatkan posisi tersendiri di antara agama dan kepercayaan, tepatnya di dalam third space sebagai “obor” pendamping jalan menuju kedekatan dengan Tuhan, atau juga suplemen batin bagi orangorang yang masih mencari tambahan spiritual di luar agamanya. Dalam upaya mempertahankan diri di dalam third space, Pangestu melakukan mimikri sebagai bagian dari ekspresi ingenious dengan mengadopsi identitas agama dan kepercayaan, yang kemudian diolah sedemikian rupa hingga menjadi identitas independen yaitu spiritualitas Pangestu. Jika ditarik ke dalam konteks kewarganegaraan, Pangestu sebagai kelompok warga dengan identitas organisasi spiritual juga tengah mengusahakan eksistensinya di antara dua kelompok besar yang diakui oleh pemerintah, yaitu agama dan kepercayaan. Berbagai strategi ingenious lain Pangestu dalam menghadapi governmentality pemerintah Indonesia lewat politik agama kemudian akan menjadi pokok pembahasan di dua bab selanjutnya, yaitu di bagian ketiga dari monograf ini.

30


BAB 3. PANGESTU DAN PRAKTIK INGENIOUS CITIZENSHIP

S

ebagai pembahasan utama, bab ini akan menunjukkan bentuk govermentalitas pemerintah Indonesia terkait dengan agama dan kepercayaan melalui

definisi, perundang-undangan dan lembaga kontrol. Sebagaimana telah dibahas secara singkat dalam pendahuluan, pengakuan agama dan kepercayaan membuat organisasi spiritual seperti Pangestu menjadi warga negara abjek yang memiliki keterbatasan dalam mengakses hak kewarganegaraan. Meski begitu, Pangestu berusaha menunjukkan strategi dan taktik untuk mengakses hak kewarganegaraan dengan upaya-upaya di luar jalur yang disediakan oleh pemerintah, sesuai dengan deskripsi Charles T. Lee (2016) atas apa yang disebut sebagai ingenious citizenship. Kata “ingenious” menurut Lee berarti “pintar, orisinal, inventif, dan banyak akal.” Lee menggunakan “ingenious agency” untuk merujuk pada “kapasitas


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

merancang dan menyusun berbagai cara yang berbeda untuk menentukan diri secara politis dengan alat dan sumber daya terbatas agar dapat menghasilkan perubahan di lingkungan sekitar seseorang dan bahkan lingkungan sosial yang lebih besar (Lee, 2016, hal. 9). Sebagai organisasi spiritual, Pangestu tidak terdaftar baik sebagai agama di bawah naungan Kementerian Agama maupun sebagai organisasi kepercayaan/kebatinan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab posisinya yang tidak diterima di kedua kementerian, Pangestu menghadirkan Yayasan terpisah bernama Andana Warih sebagai penyokong kegiatan sosial sekaligus jaminan bagi pengakuan hukum dan mendaftarkannya di Kementerian Hukum dan HAM. Pendirian yayasan tersebut diperlukan sebab hingga pasca Putusan MK, pemerintah Indonesia hanya mengakui adanya agama dan kepercayaan dan tidak memberikan ruang bagi golongan spiritual lain untuk diakomodir dalam kementerian manapun. Jika suatu organisasi spiritual ingin dapat diakomodasi, pemerintah lewat aturan yang diciptakan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME mensyaratkan perubahan organisasi menjadi organisasi kepercayaan. Namun Pangestu tidak memilih jalan tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan visi misi organisasi. Sebaliknya, dengan pelayanan yang terbatas dari pemerintah, Pangestu sebagai warga negara memilih jalan lain lewat pendirian Yayasan Andana Warih dan mendaftarkannya di Kementerian Hukum dan HAM. Dengan pengakuan legal yayasan, Pangestu tetap dapat mengakses hakhak administratif seperti ijin berkumpul, mendirikan bangunan dan lain-lain. Pangestu tidak harus terjebak dalam polarisasi antara agama dan kepercayaan, dan tidak perlu menyesuaikan identitas organisasi dengan salah satu kelompok tersebut untuk dapat terakomodir.

32


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Agama dan Kepercayaan sebagai Bentuk Govermentalitas Mengutip Michel Foucault, tulisan ini mendefinisikan govermentalitas sebagai model relasi kekuasaan dimana subjek “bertindak dalam ranah tindakan orang lain atau bahkan posisi dimana subjek menentukan ranah yang harus dilalui pihak lain” (Foucault, 2007: xxii). Kemudian dalam kaitannya dengan moral, Foucault juga mendefinisikan govermentalitas sebagai proses “mengarahkan seseorang kepada spesifikasi moral tertentu” (Foucault, 2007: 121). Dengan menerjemahkan subjek kuasa sebagai pemerintah dengan masyarakat sebagai vis a vis, maka pemerintah Indonesia di sini memiliki kekuatan untuk mengatur ranah gerak warga negaranya. Lebih lanjut secara epistemologis, Foucault (2009: 108) menambahkan bahwa govermentalitas merupakan pelaksanaan bentuk kekuasaan kompleks yang ditargetkan untuk mengelola populasi oleh ansambel-ansambel berikut: lembaga, prosedur, analisis dan refleksi, perhitungan dan taktik, yang menggunakan ekonomi politik sebagai dasar pengetahuan dan aparat keamanan sebagai instrumen teknis. Membaca bagaimana pemerintah Indonesia mengatur ekspresi keberagamaan lewat institusi dan elemen negara, kemudian membuat definisi terbatas atas agama dan kepercayaan, maka tulisan ini berargumen bahwa politik agama di Indonesia merupakan salah satu bentuk governmentalitas pemerintah dengan tujuan untuk mengatur warga agar menjadi populasi yang patuh.

A. Polarisasi Definisi Agama dan Kepercayaan Merujuk pada apa yang dimaksud dengan govermentalitas seperti yang telah dijelaskan di atas, definisi agama yang diciptakan oleh pemerintah dapat digolongkan sebagai bentuk kontrol terhadap satu dari sekian aspek kehidupan warga negara, yaitu aspek beragama dan berkepercayaan. Kontrol ini dapat dilihat 33


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

sejak sebelum kemerdekaan, lewat tangan pemerintah kolonial yang berusaha memberi batasan antara agama dan adat. Pada saat itu, pemerintah Belanda menerapkan sistem politik belah bambu untuk menekan dan melemahkan pergerakan politis umat muslim, dan di sisi lain memperkuat kelompok adat lewat politik etis (Ma’arif, 2017: 12-13). Karena itulah, penganut agama dibedakan agar kelompok muslim puritan dengan penganut-penganut kepercayaan lokal terpecah belah, dan memperlemah kekuasaan pribumi untuk melawan penjajah. Sejak awal, diskursus agama, adat dan kepercayaan telah digunakan sebagai alat kontol warga Indonesia. Pemerintah tidak hanya mengatur agama lewat lembaga pengontrol, namun juga lewat definisi yang diciptakan dalam rangka memutuskan agama yang diakui dan yang tidak. Seperti halnya definisi minimum agama yang dikeluarkan oleh Depag, kategori “religion” yang dipahami di Indonesia yang berasal dari konsep teologis Kristen telah diambil dan disesuaikan menjadi kata “agama.” Menurut Picard dan Madinier (2011: 3), “agama” di Indonesia adalah gabungan antara konsep dalam bahasa Sansekerta, juga pandangan Kristen tentang apa yang disebut sebagai agama dunia dan pemahaman Islam tentang apa yang mendefinisikan sebuah agama, yaitu: “wahyu ilahiah yang disampaikan kepada seorang Nabi dan dicatat dalam suatu kitab suci, sistem hukum bagi umat yang meyakininya, peribadatan berjamaah, dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Definisi itulah yang kemudian digunakan oleh pemerintah untuk mengubah kepercayaan masyarakat Bali menjadi Agama Hindu Bali (Picard 2011: 117). Menurut Hefner (2011: 72-73), proses “agamaisasi” yang didasarkan dari definisi standar pemerintah atas agama menyebabkan adanya evolusi kompleks suatu kepercayaan yang ditandai dengan rasionalisasi, yaitu formulasi ulang dari korpus-korpus kanonik, institusionalisasi dan sosialisasi efektif. Seperti layaknya agama Hindu sebagai agama dunia, agama Bali pun diwajibkan untuk 34


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

memenuhi standar keagamaan seperti perumusan konsep ketuhanan, kitab suci, serta institualisasi agama dengan hadirnya Parisada Hindu Dharma Indonesia pada 1959 (Picard, 2011: 125). Dengan menerapkan standar bagi agama yang dapat diakui secara legal oleh pemerintah, negara secara tidak langsung menggunakan paradigma agama dunia untuk membaca fenomena religiusitas di Indonesia. Menurut Ma’arif (2016: 30), paradigma agama dunia cenderung mendikte agama yang disebut “benar” dan agama yang “salah,” agama yang “layak” dan “tidak layak.” Meskipun dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2) disebutkan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” Hefner (2014: 31), Atkinson (1987), Picard (2011: 12) menyebut jika pasal tersebut justru dapat digunakan untuk membatasi ekspresi beragama hanya bagi pemeluk “agama” yang diakui oleh Kemenag. Pada tahap ini, negara telah memainkan peran untuk menentukan agama yang layak diakui dan tidak. Sebab itulah, agama kemudian dijadikan alat politik dengan penginfiltrasiannya kedalam ideologi negara sekaligus counter ideology terhadap komunisme (Ma’arif, 2016: 39). Sejak tahun 1952, Departemen Agama melakukan berbagai upaya untuk menentukan definisi legal dari ‘agama.’ Berupa definisi minumum, Depag menyatakan bahwa untuk dapat diakui, agama harus diwahyukan dari Tuhan, memiliki Nabi sebagai penuntun, kitab suci, sistem hukum yang sah untuk para penganutnya, dan mendapat rekognisi serta penganut internasional dan tidak terbatas pada satu etnis adat saja (Mulders 1983: 5; Picard dan Madinier, 2011: 3). Definisi agama tersebut kemudian menjadi dasar dikeluarkannya berbagai macam kebijakan menyangkut aturan pernikahan, penguburan dan pendidikan yang disesuaikan dengan agama masing-masing.

35


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

B. Pembatasan Akses Adminduk Penghayat Kepercayaan Selain melakukan kontrol melalui pembatasan definisi, negara juga mengatur pencatatan administrasi kependudukan penghayat kepercayaan terkait dengan akta kelahiran, pernikahan, kematian, Kartu Keluarga hingga Kartu Tanda Penduduk. Dalam UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) misalnya, dituliskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Meski undangundang tersebut merujuk kepada agama dan kepercayaan secara umum, namun dalam implementasinya, undang-undang masih merujuk kepada agama yang didefinisikan oleh Depag dan tidak memberi ruang bagi pengurusan perkawinan bagi pemeluk penghayat kepercayaan. Undang-undang tersebut kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/ 74054 tanggal 18 November 1978 tentang petunjuk pengisian kolom “agama” pada lampiran SK Mendagri No: 221a/1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil (Subagya, 1981: 276; Sudarto dkk, 2017: 38). Selain perkawinan, penguburan jenazah juga diatur menurut agama masing-masing. Pada 1978, Menteri Agama mengeluarkan surat edaran No. B.VI/11215/978 tanggal 18 Oktober 1978 yang ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia yang menjelaskan bahwa “…dan mengingat pula bahwa masalah-masalah penyebutan agama, perkawinan, sumpah, penguburan jenazah adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam negara RI yang berdasar Pancasila tidak dikenal adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut aliran kepercayaan, dan tidak dikenal pula penyebutan ‘Aliran Kepercayaan’ sebagai ‘agama’ baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain” (Sutanto, 2020: 28).

36


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Dengan kontrol terhadap adminduk, kelompok penghayat kepercayaan terpaksa harus memilih salah satu dari enam agama yang diakui sebagai indetitas keagamaan mereka, setidaknya hingga tahun 2006 saat UU No 23 tentang Administrasi Kependudukan diterbitkan. Melalui undang-undang ini, penghayat kepercayaan akhirnya diberi kebebasan untuk ‘kembali’ kepada identitas kepercayaannya, meski belum secara formal tercatat dalam KTP.

C. Kontrol terhadap Ekspresi Keberagamaan Kembali menelisik sejarah praktik govermentalitas negara lewat politik agama, Samsul Maarif (2017) melihat pencantuman kata “agama” dalam Konstitusi 1945 pasal 29 sebagai awal mula infiltrasi politik agama kepada negara. Namun jika mengacu pada bagaimana negara dan pemerintah memiliki peran untuk “mengatur” warga melalui berbagai aspek –secara khusus agama– dapat dimaknai pula jika negara bukan hanya menjadi alat terlaksananya politik agama, namun juga berperan sebagai subjek yang mengatur. Sebagai contoh, pemerintah menjadikan agama tertentu sebagai agama yang diakui secara administratif dan berhak mendapatkan pelayanan penuh serta membuat Departemen Agama yang secara khusus memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan beragama masyarakatnya. Departemen Agama (Depag) didirikan pada 3 Januari 1946 sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Departemen Agama bertugas untuk mengakomodir dan membagi seksi bagi agama-agama yang diakui di Indonesia, serta mengontrol gerakan politis organisasi-organisasi keagamaan, namun sekarang diperluas menjadi wadah bagi agama-agama “legal” di Indonesia. Di samping dukungan politis, Depag juga memberikan dukungan dana bagi aktivitas keagamaan, seperti dakwah, fasilitas ibadah serta pendidikan agama formal (Bagir dan Hefner 2016: 201).

37


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Di samping Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga semi-resmi ulama Indonesia yang didirikan Soeharto pada 1975 juga memiliki dominasi yang cukup besar dalam proses govermentalitas, meski secara khusus MUI hanya membawahi umat Islam saja. Fatwa yang dikeluarkan MUI dinilai banyak mengintervensi baik dimensi publik maupun privat dari kehidupan beragama (Munawar-Rachman 2010: 26-38). Menurut Bagir dan Hefner (2016: 204), MUI yang pada awalnya didirikan sebagai narahubung antara negara dengan komunitas muslim pada akhirnya menjadikan negara sebagai rekan untuk mengontrol ortodoksi dan keberagamaan Muslim di Indonesia. Sebagai contoh, pada 29 Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan “sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Fatwa tersebut secara masif mempengaruhi proses purifikasi Islam dan menyempitkan definisi keberagaman paham dan kepercayaan di Indonesia (Hefner 2014: 35; Gillespie 2007). Setelahnya, penghakiman dan pendakwaan sesat terhadap Ahmadiyah dan Syiah juga terjadi. Fatwa tersebut mengakibatkan berbagai macam bentuk diskriminasi dan persekusi yang dialami oleh Ahmadiyah dan Syiah. Dalam hal ini, MUI telah keluar jauh dari peran utamanya untuk menjembatani antara negara dan ulama, namun berkontribusi pada praktik diskriminasi hak kewargaan masyarakat. Pemerintah Indonesia, terlepas dari pengaruh dorongan dari kalangan politik agama juga mengatur berbagai aspek kehidupan beragama lewat masuknya nilainilai dan konsiderasi keagamaan dalam beberapa kebijakan nasional, seperti UU Anti Pornografi, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama menyangkut pendirian rumah ibadah, SKB tentang Jemaat Ahmadiyah, UU Administrasi Kependudukan yang sempat mengosongkan kolom agama bagi aliran kepercayaan, judicial review UU Pencegahan Penodaan Agama yang memposisikan enam agama resmi lebih tinggi dari kepercayaan lain, serta

38


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

kebijakan di tingkat daerah seperti perda syariah yang menjamur (Bagir, 2014: 8). Praktik seperti ini sebenarnya sudah dilakukan sejak masa kolonial. Hefner (2014: 27-29) menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda menyumbang pengaruh besar pada bagaimana pemerintah Indonesia di kemudian hari menerapkan konsep “politik agama non-liberal.” Sebab, sejak masa penjajahan, Belanda sudah melakukan pengawasan dan kontrol terhadap aktivitas keagamaan, seperti “mesyaratkan agar guru-guru agama Islam memiliki surat resmi, menekan berbagai kelompok politik Islam, dan mendorong program pengkristenan penduduk non-muslim untuk mengurangi kemungkinan pribumi menentang pemerintah kolonial di bawah panji Islam. Tidak hanya kolonial Belanda, Jepang juga turut serta mengenalkan Kantor Urusan Agama (Shumubu), dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) (Maarif, 2017: 16).

D. Kontrol terhadap Organisasi Aliran Kepercayaan dan Aktivitasnya

Di sisi lain, kontrol terhadap aliran kepercayaan dapat dilihat dari bagaimana pemerintah Orde Baru membuat Tim Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat) sebagai respon terhadap laporan Depag yang menyatakan adanya 260 agama baru dan aliran kebatinan/kepercayaan di Indonesia (Mulders, 1983: 5). Keberadaan Pakem semakin diperkuat dengan kemunculan UndangUndang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia No. 15/1961, pasal 2 ayat (3) yang berbunyi: “Dalam melaksanakan ketentuanketentuan dalam pasal 1, Kejaksaan mempunyai tiga: ....(3) mengawasi aliranaliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.” Dengan Undang-Undang tersebut, Kejaksaan mengambil alih koordinasi atas Pakem yang sebelumnya berada di bawah Depag.

39


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Berdirinya Departemen Agama, inisisasi PAKEM, serta mengetatnya pengawasan terhadap aliran kepercayaan meneguhkan paradigma agama dunia yang dianut oleh pemerintah Indonesia. Sebab, sejak Departemen Agama mulai membuat definisi legal atas ‘agama,’ golongan-golongan agama baru, maupun agama adat –kemudian disebut sebagai aliran kepercayaan– dijadikan sebagai objek misionaris dan dakwah (Sudarto, 2017: 21-22). Golongan tersebut dianggap ‘belum beragama,’ dan harus memeluk salah satu dari agama yang diakui tersebut untuk dapat direkognisi. Jika ada golongan kepercayaan yang dianggap mengancam dan tidak ingin memeluk agama legal, perkumpulan kepercayaan tersebut akan dibubarkan. Salah satu aliran kepercayaan yang pernah dibubarkan oleh Pakem adalah Aliran Kebatinan Perjalanan di Sumedang. Aliran tersebut diduga merupakan jelmaan dari partai yang telah dilarang pemerintah, serta penganutnya merupakan pemeluk Islam yang telah melenceng dari ajaran agamanya. Praktik keagamaan yang melenceng kemudian memicu keresahan umat Islam di Sumedang (Sihombing, Uli Parulian; Fulthoni, AM; dkk, 2008: 31). Pada tahun 1971, secara total terdapat 167 aliran kebatinan/kepercayaan yang dibekukan (Subagya 1981: 250). Melihat alasan tersebut, tampak jelas jika definisi agama yang dipahami pemerintah sangatlah sempit. Aliran kepercayaan pada masa itu dilihat sebagai sempalan agama, atau praktik keagamaan yang melenceng dari agama yang dianggap ‘benar’ di Indonesia, bukan sebagai entitas kepercayaan mandiri. Alasan politis juga tak lepas dari upaya penertiban aliran kepercayaan, sebagaimana aliran kepercayaan selalu dianggap sebagai golongan anti-negara dan pendukung partai oposisi. Menelisik akar sejarah, sejak zaman Orde Baru, kebatinan dan aliran kepercayaan semakin kehilangan tempat di mata negara. Aliran kebatinan dianggap pendukung dari PKI dan golongan komunis-ateis, sebab tidak memiliki konsep ketuhanan yang valid. Ateisme dilarang dan seluruh masyarakat Indonesia 40


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

diwajibkan untuk memeluk agama yang sudah diakui oleh pemerintah. Selain dianggap ateis, kelompok kepercayaan pasca meletusnya Gerakan 30 September 1965 juga menjadi korban pembunuhan massal oleh pemerintah karena disinyalir sebagai bagian dari kaum pemberontak. Untuk dapat mempertahankan diri, penganut kepercayaan secara massal berkonversi kepada agama resmi negara dan menjadi bagian dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) (Sudarto 2017:29). Tepatnya pada tahun 1969, pemerintah memperketat pengawasan kepada aliran dan gerakan yang dapat mengancam eksistensi agama formal lewat dikeluarkannya UU No. 1/PNPS/1965 Jo. UU No. 5/1969 tentang pencegahan dan/atau penodaan agama. Mulanya, PNPS dimaksudkan untuk melindungi ketentraman beragama dan jaminan menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing, namun di satu sisi justru mereduksi hak penghayat kepercayaan untuk berkeyakinan, sebab selalu dibenturkan dengan stigma yang diciptakan pemerintah bahwa kepercayaan adalah bentuk penyelewengan dari sebuah ‘agama.’ Berikut kutipan penjelasan dari pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965: “Dengan kata-kata ‘Di Muka Umum’ dimaksudkan apa yang diartikan dengan kata itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Agamaagama yang dipeluk oleh penduduk di indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Chu (Confusius). Hal ini dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

41


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zoroaster, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha ESA. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Dengan kata-kata “Kegiatan Keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui ole Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.” Dalam penjelasan umum dari PNPS, aliran dan organisasi kebatinan/ kepercayaan dianggap “bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hokum agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliranaliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Sebelumnya pada tahun 1955, kelompok kebtinan telah membentuk sebuah badan koordinasi yang disebut Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang menginisiasi kesetaraan antara agama dan kebatinan. Kelompok kebatinan membentuk badan tersebut sebagai respon terhadap wacana “definisi minimum agama” oleh Depag. Mereka menuntut agar aliran kepercayaan/kebatinan dapat diakui secara resmi di Indonesia, dan merubah definisi kebatinan sebagai “Sumber asas sila

42


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup” (Sudarto, 2017:24). Namun sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil, sebab kebatinan pada akhirnya tidak tercantum dalam PNPS 1965, namun hanya menyertakan Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha sebagai bagian dari “agama” (Picard dan Madinier, 2011) . Sebaliknya, kebatinan atau aliran kepercayaan justru dianggap sebagai ancaman bagi ketertiban umum, jika pada praktiknya melakukan hal-hal yang menyerupai praktik agama tertentu, atau melakukan penafsiran atas agama-agama yang sudah diakui. Akhirnya pada tahun 1970, BKKI bertahan di bawah perlindungan Partai Golongan Karya dan mengganti nama menjadi Badan Kongres Kepercayaan Kejiwaan Kerohanian Kebatinan Indonesia (BK5I). Di tahun yang sama, BK5I menjadi Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK) dan secara formal tergabung dengan Golkar. Lewat pembentukan badan tersebut, terjadi perubahan nama dari “kebatinan” dan “kejawen” menjadi “kejiwaan” atau “kerohanian.” Perubahan nama tersebut juga disertai dengan perubahan definisi aliran kebatinan yang lebih cenderung ‘mirip’ dengan agama, memiliki doktrin-doktrin ajaran dan struktur jemaat, serta meninggalkan unsur-unsur okultis dan magis yang lekat dengan komunitas kejawen/kebatinan sebelumnya (Picard dan Madinier, 2011: 15) . Dalam hal ini pemerintah dengan berbagai upaya pendefinisian agamanya telah berhasil menggiring rakyat untuk mengikuti definisi tersebut, dapat dilihat dari bagaimana SKK akhirnya bernegosiasi dengan standar “agama” untuk dapat diterima oleh pemerintah. Pada akhirnya, aliran kepercayaan mulai mendapat pengakuan lewat TAP MPR No.II/1978 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang secara formal mengakui kesetaraan antara agama dan kepercayaan sebagai ekspresi atas “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa” (Subagya, 2002: 27). Namun

43


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

karena terus mendapatkan tekanan dan penolakan dari komunitas Islam yang menganggap aliran kepercayaan tidak layak untuk disetarakan dengan agama, MPR kemudian membuat spesifikasi bahwa “Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama.” Sejak saat itu, Aliran Kepercayaan tidak lagi diakomodir di bawah Kementerian Agama, namun berpindah ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan dibentuknya direktorat baru bernama Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sekarang berubah menjadi Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Budaya (Sihombing, Uli Parulian; Fulthoni dkk, 2008: 32) Pemerintah dalam hal ini berusaha memberi garis tegas antara agama dan kepercayaan lewat formalisasi pengakomodasiannya yang dilakukan secara terpisah. Meski di tahun tersebut aliran kepercayaan mulai mendapatkan titik terang pengakuan, pemerintah tetap menjalankan upaya govermentalitas-nya melalui aturan lain. Seperti yang telah disebutkan dalam sub-bab sebelumnya, Menteri Agama mengeluarkan SE No. B.VI/11215/978 tanggal 18 Oktober 1978 kepada seluruh gubernur di Indonesia yang menyatakan bahwa “Penguburan adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam negara republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal adanya tatacara penguburan menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula adanya penyebutan “aliran kepercayaan” sebagai agama baik dalam KTP dan lain-lain” (Subagya 1981: 276). SE tersebut menjadi bukti ketimpangan kebijakan pemerintah yang di satu sisi telah mengakui kesetaraan antara agama dan aliran kepercayaan, namun di sisi lain tidak bisa memfasilitasi penguburan menurut aliran kepercayaan karena bukan merupakan “agama.” Selain lembaga resmi negara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut berpengaruh pada pembuatan keputusan terkait pengawasan aliran kepercayaan

44


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

atau gerakan agama baru di Indonesia. Pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah aliran sesat. Tiga tahun setelahnya, Tim Pakem merekomendasikan agar JAI diberi peringatan keras karena dinilai telah melakukan kegiatan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam yang dianut di Indonesia. Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No.3/2008,No. Kep-033/A/JA/6/2008, No 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat (Sihombing, Uli Parulian; Fulthoni dkk, 2008: 36-37). Hal serupa juga terjadi pada kasus Al-qiyadah Al-Islamiyah (Ibid: 38). MUI dan Pakem bergerak beriringan dalam melakukan pengawasan terhadap aliran-aliran seperti ini. Fatwa sesat yang dikeluarkan oleh MUI seringkali diikuti oleh rekomendasi pelarangan aktivitas aliran tertentu dari Pakem. Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara No.2 Tahun 2002, pasal 15 ayat (1) huruf D menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang untuk “mengawasi alirian yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.” Dalam prakteknya, polisi bekerjasama dengan MUI dan Depag dalam pengawasan keagamaan, dan bekerja sama dengan Dinas Budaya dan Pariwisata untuk pengahwasan aliran kepercayaan (Sihombing, Uli Parulian; Fulthoni dkk, 2008: 57). Inilah yang ditegaskan oleh Dhakidae (2003: 559) sebagai salah satu kebijakan entry barrier yang dilakukan oleh pemerintah, yakni melibatkan alat keamanan negara dalam penindakan dugaan penyimpangan atau aliran sesat.

45


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

E. Advokasi Penghayat Kepercayaan dan Munculnya Ketimpangan Baru

Terlepas dari berbagai bentuk diskriminasi pemerintah, upaya-upaya pemulihan hak konstitusional penghayat kepercayaan juga mulai digalakkan. Sejak tahun 2009, Setara Institute mengupayakan judicial review (JR) terhadap UU No. 1/PNPS/1965 meski belum berhasil. Di sisi lain, pihak internal penghayat kepercayaan juga melakukan akomodasi dan penguatan kapasitas organisasi lewat penggabungan BKK dan BKOK menjadi Majelis Luhur Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) secara resmi pada 13 Oktober 2014 (Sudarto, 2017: 71). Sayangnya, MLKI hanya dapat mengakomodasi kelompok yang sudah terorganisir, karena itulah banyak kelompok kepercayaan yang kemudian membentuk organisasi dan mendaftarkan diri kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah naungan Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum melakukan pencatatan terhadap suatu kelompok kepercayaan, Direktorat Kepercayaan akan terlebih dulu melakukan survei terkait sesat atau tidaknya kepercayaan tersebut. Direktorat mensyaratkan beberapa hal, seperti kepastian bahwa kelompok menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan merupakan kelompok klenik-okultis. Kedua, kelompok tersebut tidak boleh memiliki atribut-atribut keagamaan seperti nama ataupun lambang yang merujuk kepada agama tertentu.30 Dalam Laporan Kinerja 2018 Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi (hal: 3), Direktorat menuliskan definisi administratif sebuah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai “pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan YME serta pengalaman budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

46


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Kehadiran MLKI dan Direktorat sebagai lembaga yang menaungi dan memberikan ruang bagi kelompok kepercayaan tentunya membuka jalan bagi pemenuhan hak sipil penghayat. Namun tidak bisa dipungkiri bila di sisi lain, adanya syarat dan ketentuan yang berlaku sedikit banyak menyumbang proses pendefinisian yang terus berlanjut terhadap aliran kepercayaan. Beberapa kelompok yang memakai nama berbahasa Arab atau bercorak Islam, memiliki simbol nama Nabi Muhammad dalam lambang organisasinya diminta untuk merubah sebelum mendaftarkan diri kepada Direktorat.31 Mengingat bagaimana Mulder (2017) mendefinisikan mistisme jawa sebagai “produk pertemuan antara Islam dan peradaban Jawa kuno,” peminjaman istilah dan simbol seperti tersebut sebenarnya tidak mudah untuk dihindari. Tetapi menimbang bagaimana pemerintah masih membatasi gerakan aliran kepercayaan dengan undangundang penodaan agama, negosiasi terhadap syarat dan definisi pemerintah akhirnya menjadi pilihan. Keluar dari definisi Direktorat tentang apa yang sepantasnya disebut aliran kepercayaan, perdebatan internal di dalam diri MLKI juga terjadi terkait dengan golongan kepercayaan. Hingga saat ini, masih ada fragmentasi tiga golongan aliran kepercayaan. Golongan pertama adalah kepercayaan murni yang hanya memeluk kepercayaan dan bukan merupakan bagian dari umat agama. Kelompok kedua adalah kepercayaan campuran yang beragama, namun masih mendalami ajaran kepercayaan tertentu. Kelompok ketiga merupakan kepercayaan campuran, yaitu kelompok yang memiliki anggota keluarga berkepercayaan dan beragama, serta secara umum masih memiliki KTP agama. Di kalangan Direktorat sendiri, kategori ketiga mewakili kelompok spiritual yang tidak terdaftar sebagai organisasi kepercayaan, kebanyakan memiliki anggota umat agama dan menjadikan organisasi spiritualnya sebagai sarana untuk berkumpul saja. Definisi tersebut memang diperlukan dalam ranah administratif guna mempermudah pendataan. Namun secara tidak langsung, lembaga pemerintah

47


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

yang diwakili oleh MLKI dan Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa masih melakukan estafet pendefinisian dan pembatasan kepada aliran kepercayaan, meski di satu sisi, MLKI membantu memulihkan hak kewarganegaraan mereka. Kembali kepada progres kemajuan penerimaan penghayat kepercayaan, Putusan MK No. 97 yang ditetapkan pada tanggal 7 November 2017 patut dicatat sebagai kemajuan besar, sekaligus titik awal perjuangan bagi pemenuhan hak kelompok penghayat. Dalam putusan tersebut ditetapkan bahwasanya aliran kepercayaan dijamin kesetaraan yang sama dengan agama, serta pengosongan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan dihapuskan. Selanjutnya, penghayat dapat mencantumkan kepercayaannya di kolom agama KTP dan mempermudah kepengurusan administrasi seperti pencatatan akta nikah, kelahiran, pendaftaran sekolah dan melamar kerja. Sayangnya, pengakuan pemerintah tidak pernah lepas dari timbulnya definisi dan aturan lain. Pasca Putusan MK, pemerintah lewat Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Menteri Pendidikan dan Budaya mensyaratkan pengorganisasian kelompok kepercayaan untuk dapat diakomodir. Selain syarat kemurnian ajaran yang tidak bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ataupun menyerupai ajaran agama yang telah ada, beberapa syarat administratif juga diajukan oleh Direktorat. Dalam Standar Pelayanan Penerbitan Tanda Inventarisasi Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tertulis beberapa syarat pendaftaran organisasi penghayat kepercayaan yaitu: 1. Surat Permohonan Inventarisasi dari pengurus Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi.

48


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

2. Mengisi formulir A (tentang nama kepercayaan, sifat, dasar ajaran dan tujuan wadah sosial dan sebagainya), A1 (tentang sejarah pendirian, alamat sekretarIat pusat dan penanggung jawab, identitas lambang, A.D. & A.R.T. serta pendaftaran kepada instansi pemerintah tertentu), dan A2 (terkait dengan tata cara ritual dan hari-hari suci) yang telah disediakan oleh Direktorat. 3. Menyerahkan AD/ART. 4. Memiliki ajaran tertulis (sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan dan disediakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi). 5. Susuan pengurus organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME 6. Daftar nominatif anggota. 7. Program kerja organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME. 8. Riwayat sesepuh. 9. Surat Rekomendasi dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia setempat. 10. Surat rekomendasi dari dinas yang membidangi Kebudayaan di tingkat Kabupaten/Kota Setempat. 11. Organisasi yang mendaftar bukan merupakan pecahan dari organisasi yang telah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Banyak dari golongan kelompok kepercayaan pada awalnya hanya merupakan paguyuban kecil tanpa sistem. Mereka meneruskan ajarannya secara turun temurun lewat lisan dan bahkan tidak memiliki ajaran pakem layaknya yang disyaratkan oleh Direktorat. Namun untuk dapat diakomodasi, kelompok tersebut terpaksa merumuskan AD/ART, membuat profil sesepuh dan menuliskan ajaran mereka sesuai format yang telah ditentukan. Pengakuan 49


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

administratif yang mereka butuhkan harus diselaraskan dengan aturan yang diciptakan. Dalam kasus ini, Direktorat Kepercayaan sebagai perwakilan pemeritah kembali menciptakan definisi “tunggal” organisasi aliran kepercayaan lewat syarat-syarat tersebut. Sebagai kesimpulan, tulisan ini menelisik kembali berbagai macam bentuk govermentalitas lewat pendefinisian agama di Indonesia. Pertama, definisi minumun agama bekerja sebagai fondasi dengan memanfaatkan lembagalambaga seperti Departemen Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kejaksaan, bahkan lembaga non-formal seperti MUI sebagai ruang dan sarana pengesahan aturan bergama. Selain itu, berbagai macam undang-undang juga dimunculkan, bahkan pemerintah juga memanfaatkan lembaga keamanan sebagai alat pengontrol terlaksananya undang-udang dan sistem aturan tersebut. Upaya pemerintah yang sedemikian rupa selaras dengan apa yang didefinisikan Foucault (2009: 108) sebagai govermentalitas, yaitu “pelaksanaan bentuk kekuasaan kompleks yang ditargetkan untuk mengelola populasi oleh ansambelansambel berikut: lembaga, prosedur, analisis dan refleksi, perhitungan dan taktik, yang menggunakan ekonomi politik sebagai dasar pengetahuan dan aparat keamanan sebagai instrumen teknis.” Di sisi lain, meski Foucault menyebut warga negara sebagai objek tidak langsung dari govermentalitas, namun ia juga menyatakan jika “populasi (warga negara) juga dapat menjadi objek manipulasi pemerintah; vis-a-vis kepada pemerintah selain sebagai subjek dari kebutuhan dan aspirasi. Populasi terkadang menyadari atas apa yang mereka inginkan, namun juga tidak menyadari atas apa yang sudah dilakukan kepada mereka” (Foucault, 2007: 105). Pernyataan Foucault tersebut membantu menggambarkan kelompok warga negara abjek yang sejatinya ada dalam status yang bertentangan dengan pemerintah, sebab itulah mereka harus berjuang untuk memenuhi hak-hak kewargaan secara kreatif. Dalam beberapa kasus, negara yang mengontol warga juga secara tidak 50


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

langsung membatasi ruang gerak serta mengikis hak-hak prinsipil, dan membuat pemerintah menjadi eksistensi yang bertentangan dengan warga. Namun dalam govermentalitas, kontrol tersebut tidak dilakukan melalui kekuatan hegemonik yang dimiliki subjek tertentu, yang kemudian serta merta menjadikan warga sebagai “objek kontrol langsung.” Kontrol dalam govermentalitas dilakukan melalui infiltrasi ideologi-ideologi yang diyakini pemerintah, salah satunya mengenai definisi agama dan kepercayaan.

Spiritualitas sebagai Ingenious Citizenship Dalam bukunya, Charles T. Lee (2016: 27) menjelaskan apa yang dimaksud dengan “ingenious citizenship” sebagai gambaran dari bagaimana “kelompok abjek yang tersingkirkan dari ‘naskah’ dan memiliki kekurangan status, kekuatan serta sumber daya untuk mengakses hak-hak yuridis paripurna serta pengakuan sosial sebagai warga negara yang normatif, muncul dengan cara-cara asli dan kreatif untuk memasukkan diri mereka kembali kedalam naskah.” Lee di sisi lain juga menyebutnya sebagai “nonexistent citizenship” (kewarganegaraan yang tidak ada) –dimana inklusi, kepemilikan dan kesetaraan serta hak-hak tidak dijamin atau dikodifikasi secara formal. Lee juga menggunakan kata “ingenious” untuk menggambarkan “agensi yang tidak terduga dari abjek.” Menurut penjabaran Lee, abjek merupakan pelaku dari ingenuitas, sebab praktik ingenious citizenship cenderung dilakukan oleh kelompok abjek yang keberadaannya dalam ranah politis tidak diakui oleh negara. Mengaitkan dengan praktik govermentalitas pemerintah yang telah dibahas sebelumnya, telah disebutkan bahwasanya negara berusaha mengatur dan mengontrol warga negaranya lewat aturan, undang-undang tertulis dan implementasinya melalui kebijakan. Aturan negara tersebut penulis terjemahkan sebagai ‘naskah,’ yang kehadirannya berfungsi sebagai alat kontrol negara. Namun karena

51


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

difungsikan sebagai pijakan aturan, naskah tersebut memiliki keterbatasan dan kecenderungan untuk melimitasi. Sebagai contoh, dalam politik pengakuan agama dan kepercayaan, naskah pemerintah hanya mengenal dua definisi yaitu agama dan kepercayaan, khususnya pasca Putusan MK No. 97 dimana kepercayaan mendapatkan pengakuan kesetaraan dengan agama. Akibatnya, kelompok lain diluar agama dan kepercayaan tersingkirkan dari pengakuan, sekaligus terabaikan dari pelayanan administratif oleh pemerintah. Salah satu kelompok yang tersingkirkan dari naskah definisi agama dan kepercayaan adalah Pangestu. Sebagai organisasi spiritual, Pangestu tidak tercatat dalam naskah pemerintah. Ketidaksesuaian identitas Pangestu dengan identitas kewarganegaraan beragama dan berkeyakinan yang diakui pemerintah membuatnya menjadi abjek. Sebelum membahas mengenai Pangestu sebagai warga negara abjek, penting untuk membahas lebih rinci terlebih dahulu mengenai pengertian abjek. Judith Butler, seorang filsuf Amerika dan teoritisi gender mendefinisikan abjek sebagai zona kehidupan sosial padat penduduk yang “tidak dapat dihuni oleh mereka yang tidak dapat menikmati status subjek” (Butler, 1993: 3). Berbeda dengan Lee yang mendefinisikan abjek sebagai sebuah entitas, Butler menganggap abjek sebagai bentuk kehidupan sosial, dimana orang-orang di dalamnya tidak mendapat hak sosial yang paripurna. Engin F. Isin dan Kim Rygel (2007: 181183) juga muncul dengan teori “ruang abjek” untuk menunjukkan kelompok yang tidak dianggap sebagai subjek maupun objek, dan keberadaannya dianggap tidak ada sejauh tidak dapat didengar ataupun dilihat. Secara politis, kelompok abjek cenderung “menderita dari bentuk kemurnian kewarganegaraan yang menuntut mereka untuk menjadi korban bisu, tidak terlihat dan apolitis” (Nyers, 2003: 1073-1074). Meskipun abjek dapat dilihat sebagai sebuah kondisi maupun individu, namun seluruh penjelasan tersebut menekankan bahwsanya

52


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

abjek berada di posisi yang tidak terjamah, tidak terlihat, apolitis dan tidak mendapatkan hak yang sempurna. Warga negara yang abjek secara politis tidak memiliki legalitas dan hak kewarganegaraan, serta keberadaannya tidak tercatat dalam naskah hingga seringkali golongan ini disebut sebagai nonexistent citizen. Dalam kasus Pangestu, bentuk organisasi spiritual tidak tercatat sebagai ekspresi religiusitas yang diakui oleh negara, sebab negara hanya mengakui adanya agama dan aliran kepercayaan/kebatinan. Sebagai lembaga pengatur, negara menghadirkan dua kementerian sebagai rumah besar dan tempat terakomodasinya agama dan kepercayaan, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hadirnya dua lembaga tersebut memang diperlukan untuk mempermudah pelayanan, namun sekaligus melimitasi. Hasilnya, Pangestu yang tidak dapat dilembagakan ke dalam kedua kementerian tersebut menjadi organisasi yang kasat mata di mata pemerintah. Sebagai perbandingan dengan posisi Pangestu sebagai abjek di luar agama dan kepercayaan, penulis menghadirkan beberapa contoh golongan warga negara abjek lain di berbagai ranah. Charles T. Lee (2016: 85-90) menujukkan bagaimana pembantu rumah tangga imigran dari India Barat dan Filipina yang bekerja di Kanada berusaha membangun kehidupan sosial dan rasa kepemilikan dengan menyewa sebuah apartemen bersama pekerja lain. Sebagai pekerja imigran domestik, mereka seringkali tersingkirkan dari kelompok pekerja lain yang bekerja di ranah publik, tidak mendapatkan jaminan hak sebagai dan perlindungan dari lembaga yang menaungi, bahkan tidak dapat bersosialisasi dengan bebas layaknya seorang warga negara. Meski belum mampu mengakses hak sebagaimana pekerja lain, mereka berusaha memenuhi kebutuhan sosial mereka dengan saling berkumpul di hari libur, menikmati eksistensi pribadi yang bermartabat sebagai individu dengan memasak makanan sendiri –bukan

53


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

memakan sisa makanan majikan, dan memenuhi hasrat kepemilikan dengan menyewa sebuah apartemen secara berkelompok. Contoh lain adalah bagaimana pekerja seks komersil (PSK) menjadi objek dari abjektivikasi masyarakat. PSK adalah golongan ‘kotor’ yang tidak pantas hidup di tengah masyarakat, perempuan jalang yang tersingkirkan dari kehidupan sosial. Selain eksistensi PSK sendiri menjadi sebuah abjek, prostitusi menurut Philippa Levine (2003, 191) juga merupakan zona abjek sebab pekerjaan tersebut selalu dilihat lebih rendah daripada pekerjaan pada umumnya, yang memberi hasil namun tidak memberi kehormatan pada pelakunya. Namun meski menjadi abjek, di sisi lain PSK dapat menghasilkan cukup atau bahkan lebih banyak uang untuk dapat bertahan hidup di negara kapitalis. Dengan cukup uang, mereka bisa membeli sebuah ‘kehidupan normal’ bagi anak-anak dan keluarganya (Lee, 2016: 107-108). Tidak jauh berbeda dengan kelompok pekerja seks, trangender selama ini juga masih dianggap sebagai golongan di luar ‘normal’ yang keberadaaanya seringkali diacuhkan dan diasingkan. Dalam standar kewarganegaraan yang heteronormatif, seseorang masih diakui berdasarkan identitas gender secara umum, yaitu laki-laki dan perempuan. Beberapa negara seperti India dan Australia memang telah mengakui keberadaan gender ketiga lewat mandat Mahkamah Konstitusi yang diikuti dengan pencantumannya dalam paspor maupun akta kelahiran dan kartu identitas kewarganegaraan, namun hal serupa masih belum dilakukan di banyak negara. Donita Ganzon, seorang transgender Filipina yang hidup di Amerika Serikat mengubah jenis kelaminnya dari laki-laki ke perempuan untuk mendapatkan kehidupan ‘normal’. Ganzon memang terjebak dalam kategorisasi biner lakilaki-perempuan, dan menginginkan kehidupan heteroseksual seperti layaknya pasangan lain yang memiliki membangun keluarga kecil dan melahirkan anak-

54


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

anak. Namun dengan melakukan operasi transseksual, Ganzon mendapatkan hak untuk menikah di Amerika secara sah, mendapatkan suami seorang lakilaki ‘normal’ dan menikmati kehidupan yang ia impikan. Sebaliknya, jika Ganzon yang secara natural memiliki ketertarikan kepada laki-laki dan tidak melakukan operasi transseksual, dia akan hidup sebagai seorang gay yang tidak dapat mengklaim hak pernikahan seperti yang diharapkannya (Lee, 2016: 150-152). Kesulitan kelompok transgender tidak hanya terbatas pada orientasi seksual yang melawan naskah kategorisasi biner laki-laki dan perempuan, namun juga terkait dengan hal mendasar seperti perubahan nama. Kelompok transgender yang belum mampu melakukan operasi transeksual namun ingin menegaskan identitas barunya (entah sebagai laki-laki atau perempuan baru) memerlukan perubahan nama. Sayangnya, proses pengurusan perubahan nama juga memakan waktu dan biaya yang cukup banyak (Wentling, 2020). Kelompok pengungsi yang berada di daerah perbatasan, zona perang atau kemah pengungsian juga merupakan bagian dari masyarakat abjek dimana mereka dianggap tidak terlihat, bahkan tidak memiliki eksistensi (Hepworth, 2012; Redclift, 2013, Schweitzer, 2017). Menurut Engin F. Isin dan Kim Rygel (2007: 184), ketiadaan eksistensi mereka bukan disebabkan karena mereka secara nyata tidak ada, namun karena kelompok pengungsi tersebut berada di zona abjek. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, abjeksi dapat terjadi baik secara murni terhadap individu maupun karena pengaruh dari zona abjek yang ada. Namun yang dapat digarisbawahai, baik abjeksi yang terjadi kepada individu secara langsung maupun yang berada dalam zona abjek disebabkan karena adanya ‘naskah.’ Dalam konteks prostitusi dan pekerja seks misalnya, ‘naskahneoliberal’ pasar dan dunia kewirausahaan menganjurkan agar pengusaha individu memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan melayani ambisinya (Lee, 2016: 128). Sebaliknya, prostitusi seringkali dianggap sebagai 55


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

sebuah pekerjaaan paksa, dimana pekerjanya merupakan korban kemiskinan yang ‘terpaksa’ memilih menjadi PSK ataupun hanya menjadi mesin uang dan objek dari mucikari. PSK dianggap tidak memiliki kebebasan pribadi, pekerja rendahan dan hina yang ‘menjual’ tubuh demi uang, tidak memiliki kehormatan dan menjadi sampah masyarakat. Meski dalam banyak konteks kelompok PSK tersebut tidak berhasil masuk ke dalam ‘naskah’ kehidupan sosial yang normal dan memiliki kehormatan di mata masyarakat, mereka berusaha meminimalisir abjeksinya dengan cara lain. Pekerja seks di San Francisco misalnya, mencoba mengikuti logika kerja kapitalis dengan mengatur “jadwal kerja regular” layaknya pekerja kantor. Tidak hanya berusaha meminimalisir abjeksi, pekerja seks secara kreatif juga berusaha mengaburkan batasan antara abjek dan normal dengan memakai strategi iklan “menjadi pacar” bagi klien seksnya. Pekerja seks tersebut memposisikan diri bukan sebagai objek seks yang dapat dikontrol oleh klien, namun sebagai subjek kewirausahawan yang dapat mengontrol jenis, syarat dan standar pelayanan yang ditawarkan (Lee, 2016: 129-130). Selanjutnya, daerah perang dan daerah perbatasan merupakan daerah yang berada di luar jangkauan jurisdiksi pemerintah. Akibatnya, pemerintah tidak bias memberi jaminan hak kepada masyarakat yang berada di zona tersebut. Kamp pengungsian juga merupakan tempat dimana identitas dan subjektifitas seseorang menjadi kabur, sebab sebagian besar dari pengungsi tersebut adalah korban perang atau kerusuhan dari negara lain yang berusaha mendapatkan kehidupan normal di negara tujuan. Isin dan Rygel (2007: 197) menyebut kamp sebagai tempat dimana hak-hak subjek ditangguhkan sementara, sebab zona tesebut merupakan daerah transisi antara satu subjek ke subjek lainnya. Individu pengungsi pada awalnya merupakan subjek, dimana di daerah asal mereka mendapat pengakuan penuh sebagai warga negara berikut haknya, namun adanya aturan bahwa kewarganegaraan seseorang perlu didapatkan melalui 56


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

proses resmi, dan larangan memasuki wilayah negara lain kecuali menggunakan passpor serta ijin tinggal membuat pengungsi menjadi kelompok warga negara yang terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai nonexistent citizen. Meski begitu, beberapa kelompok pengungsi telah berhasil membangun agensi dan identitas baru di tengah-tengah zona abjek. Sebagian penghuni kamp Bihari di Bangladesh sebagai contoh mampu mendapatkan passport, kartu identitas palsu hingga pekerjaan di instansi pemerintah dengan memberikan suap kepada polisi dan otoritas lokal (Redclift, 2013: 313). Proses serupa juga dilakukan oleh kelompok nomaden Roma dari Romania yang menjadi pengungsi di Italia pada tahun 2000-an (Sigona, 2015). Meski melewati cara illegal, upaya tersebut dapat dilihat sebagai ‘aksi kewarganegaraan’ (Isin dan Nielsen, 2008) di mana mereka berupaya untuk mengklaim hak di tengah terbatasnya akses. Lebih jauh, upaya untuk meraih kewarganegaraan tidak hanya dilihat dari bagaimana abjek berhasil membangun relasi dengan pemerintah ataupun kemampuan akses terhadap hak layaknya warga negara legal. Sparks (2017) menunjukkan bahwasanya governance (kepemerintahan) dan kewarganegaran dapat juga dimaknai sebagai relasi antar individu dan kolektif dalam ranah informal di dalam ruang abjek. Sebagai contoh adalah kelompok tunawisma yang tinggal di kamp bernama kota Tenda, Seattle. Mereka secara bahumembahu mengelola kota Tenda layaknya sebuah tempat tinggal yang layak dan terstruktur, dengan adanya penjagaan keamanan, kebersihan, keberlanjutan kebutuhan pangan serta aturan yang harus ditaati bersama. Kepemilikan sosial yang tercipta di antara penghuni kamp dan self-governance kolektif tersebut telah menciptakan sebuah kewarganegaraan informal bernama ‘campzenship’ (kewarganegaraan kamp).

57


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Strategi Ingenious Pangestu untuk Mengembalikan Spiritualitas ke dalam ‘Naskah’

A. Identitas sebagai Organisasi Spiritual Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Pangestu merupakan sebuah organisasi spiritual yang menolak definisi agama dan kepercayaan yang seringkali disematkan. Pangestu didirikan pada tanggal 20 Mei 1949 di kota Solo, oleh seorang muslim-Jawa bernama Soenarto Merto wardojo. Pada awalnya, Pangestu hanyalah sebuah paguyuban yang menjadi wadah berkumpulnya siswa Pakde Narto untuk mengasah spiritualisme lebih dalam, dan mengolah jiwa dan pikiran untuk membentuk pribadi yang lebih baik. Karena bersifat kejiwaan dan universal, Pangestu secara terbuka menerima anggota dari berbagai golongan dan latar belakang agama, baik Islam dan Kristen yang menjadi mayoritas pada masa itu, maupun kelompok yang mengaku abangan atau kelompok agama lainnya. Dalam laporan tahun 1972 yang tercatat di majalah Dwija Wara (hal: 13) misalnya, daftar jumlah anggota Katolik pada setiap cabang mencapai 600 orang, meski Pangestu sendiri didirikan oleh seorang muslim. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejak awal Pangestu merupakan perkumpulan yang inklusif. Kemudian sesuai dengan sabda Sang Guru Sejati Soenarto, Pangestu dibentuk layaknya organisasi pada umumnya yang memiliki AD/ART, visi-misi organisasi dan struktur pengurus. Berikut sabda Soenarto yang tertulis dalam Buku Sabda Khusus Peringatan No. 1 alinea 16 yang memerintahkan berdirinya perkumpulan yang menghimpun para siswa: “Kumpulan para siswa-Ku semua ini agar menjadi akrab, himpunlah seperti halnya dengan tata cara perkumpulan yang lazim. Sebagai ketuanya putuskanlah sendiri, siapa kiranya yang pantas dijadikan ketua. Mengenai saudaramu Soenarto, hanya boleh kau anggap sebagai paranpara (penasehat).” 58


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Terlepas dari sabda tersebut, penting bagi Pangestu untuk mendirikan sebuah organisasi untuk dapat menghimpun banyak anggota yang beragam, sebab misi Pangestu adalah menyebarkan pepadang agar dapat membantu umat manusia lebih memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan baik. Karena alasan itulah pula, dibandingkan paguyuban non-struktural, organisasi formal dianggap lebih sesuai bagi Pangestu untuk mendukung ajarannya. Dengan sistem organisasi sebagai dasar, Pangestu dapat mendirikan yayasan penyokong. Di samping itu, meski Pangestu secara konsisten menolak indentitas agama dan kepercayaan, organisasi tersebut tetap berharap untuk dapat mendapatkan fasilitas dan hak yang setara dengan organisasi agama dan kepercayaan pada umumnya. Sebab, menurut Pangestu, pada dasarnya hak berorganisasi merupakan bentuk kemurahan hati yang seharusnya diberikan negara kepada warganya. Menelisik kembali sejarah berdirinya, meskipun Pangestu lahir setelah masa kemerdekaan, kota Solo sebagai tempat didirikannya Pangestu pada tahun tersebut masih berada di bawah kekuasaan Belanda, dan aktivitas perkumpulan yang melibatkan lebih dari lima orang dilarang. Namun secara sukarela, tujuh orang siswa Pakde Narto yaitu Soeratman, Goenawan, Prawirosoeparto, Soeharto, Soedjono, Ngalimi dan Soetardi menawarkan diri untuk menjadi anggota pertama paguyuban Pangestu. Atas dasar pertimbangan sabda dan kebutuhan untuk berorganisasi, ketujuh siswa tersebut kemudian merumuskan susunan pengurus Pangestu yang pertama. Susunan tersebut adalah: Ketua: Goenawan, Penulis: Soetardi, Bendahara: Soeratman, Pembantu Umum: Soedjono, Soeharto, Ngalimin, dan Prawirosoeparto. Sedangkan Soenarto sebagai pendiri mendapatkan jabatan sebagai penasehat. Terbentuknya susunan pengurus kemudian menjadi tanda awal berdirinya organisasi Pangestu. Pemilihan identitas sebagai organisasi spiritual inilah yang kemudian juga memberikan pengaruh bagi pengakuan Pangestu serta fleksibilasnya untuk dapat diterima oleh semua golongan masyarakat.

59


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

B. Anggota dari Kelompok Aparatur Negara sebagai Perantara Dialog dengan Pemerintah

Di samping identitas organisasi spiritual, Pangestu juga memanfaatkan otoritas pengikutnya yang merupakan anggota TNI, POLRI maupun Kejaksaan, seperti Letjen (Pur) I Putu Soekreta Soeranta dan Mayjen (TNI) Hendardji Soepandji, adik dari Hendarman Soepandji mantan Jaksa Agung (9 Mei 2007-24 September 2010) dan Kepala BPN. Bahkan dalam periode 1959-1970, Mayjen Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso2 dengan penuh pertimbangan dipilih untuk menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Pangestu. Di tahun 1966 yang masih dalam masa kepemimpinan Soemantri, saat eksistensi aliran kepercayaan mendapat ancaman dari pemerintah, ia memperkenalkan ajaran Pangestu dihadapan wakil organisasi kebatinan serta Pakem Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan terus memberikan penjelasan dan pengertian kepada berbagai pihak, Pangestu berhasil mengamankan eksistensi organisasinya terlepas dari berbagai macam tuduhan dan ancaman yang ada. Sebelumnya, pada tanggal 31 Juli 1962, utusan Departemen Agama, Ghozali Sulamulhadi melakukan wawancara dengan Ketua Cabang Pangestu Solo, Subroto terkait dengan ajaran Pangestu yang pada mulanya dicurigai sebagai sebuah gerakan agama baru. Setelah melakukan beberapa dialog serta menjelaskan asas dasar ajaran sesuai dengan sabda Sang Guru Sejati, Depag memutuskan bahwa Pangestu bukanlah kelompok sesat yang mengancam kehidupan beragama. Menanggapi keresahan Depag, selain melakukan dialog Pangestu kemudian mengeluarkan surat Keputusan Ketua Pengurus Pusat Pangestu No. Kep/08/V/1978 yang menegaskan dengan Instruksi Ketua Pengurus Pusat Pangestu NO. 4/1964 tanggal 23 Januari 1963 bahwa Pangestu 2

Soemantri Hardjoprakoso merupakan ketua Lembaga Psychoteknik Tentara (LPT) sejak 15 Juni 1950. Beliau juga merupakan penggagas berdirinya fakultas Psikologi Universitas Padjajaran sekaligus ketua Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran pada Agustus 1961. Hingga saat ini, namanya diabadikan sebagai salah satu nama gedung di Fakultas Psikologi UNPAD. http:// psikologi.unpad.ac.id/sejarah-psikologi-unpad/, diakses pada 16/06/2019, 22:35.

60


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

dan ajaran Sang Guru Sejati bukan merupakan sebuah agama baru. Surat keputusan tersebut terus dikeluarkan setiap tahunnya, dan menjadi bahasan pokok dalam Musyawarah Nasional yang diadakan setiap lima tahun sekali.36 Respon Pangestu secara aktif diberikan untuk setiap kebijakan pemerintah terkait dengan aturan agama dan kepercayaan. Setelah mengeluarkan surat putusan untuk menanggapi Departemen Agama, Pangestu kembali memberikan putusannya dengan pernyataan yang sama setelah pemerintah mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/1978 mengenai aliran kepercayaan yang berbunyi: “Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama;” “pembinaan terhadap Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan: agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru.” Selain daripada anggapan sebagai agama, Pakem yang merupakan lembaga pengawas kepercayaan juga terus melakukan pengawasan terhadap Pangestu, khususnya di cabang Jakarta, Bandung dan Semarang. Namun setelah melakukan beberapa kali pemeriksaan ajaran dan AD/ART, Pakem menyatakan bahwa Pangestu bukan merupakan organisasi yang mengancam keutuhan bernegara ataupun memiliki unsur-unsur yang terkait dengan penistaan agama.37 Pangestu menganggap bahwa penegasan statusnya kepada pemerintah sangat penting, sebab dalam salah satu ajaran pokoknya disebutkan bahwa warga Pangestu harus selalu “setia kepada Kalifatullah (Pembesar dan Undang-Undang Negara), sehingga Keputusan Pengurus Pusat tersebut dibuat sebagai bentuk ketaatan organisasi Pangestu kepada negara.38 Alasan ideologis tersebut juga menjadi salah satu pertimbangan bagi Pangestu untuk tidak menunjukkan resistensi secara langsung kepada pemerintah meski mengalami keterbatas akses hak dan pengakuan. Di sisi lain, mereka justru berusaha secara kreatif memanfaatkan ruang-ruang kosong diantara kebijakan yang dapat digunakan untuk menegaskan eksistensinya. Pangestu

61


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

tidak bernegosiasi dengan ‘naskah’ identitas yang diciptakan oleh negara, tapi tidak serta merta menolak secara konfrontatif. Sebagai solusi, Pangestu terus melakukan dialog dan merespon pemerintah tanpa harus meleburkan diri menjadi bagian dari agama maupun kepercayaan.

C. Status Politik Netral Melihat sejarah berdirinya, Pangestu lahir sebelum terbentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia)3 yang mengakomodasi dan menaungi kelompok kebatinan/kepercayaan lain. Namun setelah BKKI berdiri, Pangestu yang sejak awal menolak identitas sebagai aliran kepercayaan tidak turut serta bergabung dengan BKKI. Selain alasan perbedaan identitas organisasi, Pangestu yang memiliki status politik netral menganggap bergabungnya BKKI dengan Sekber Golkar pada tahun 1966 tidak cukup menguntungkan untuk perkembangan organisasi Pangestu ke depannya. Pangestu memilih untuk bersikap netral secara politis sebab ada banyak anggota dan pengurus Pangestu yang merupakan aparatur negara, seperti kelompok Polri, TNI dan Jaksa Agung yang tidak bisa berpartisipasi dalam politik praktis. Keberadaan anggota tersebut sangat penting bagi perkembangan Pangestu, sebab merekalah yang dapat menjadi jembatan dialog dengan negara, seperti yang telah disebut oleh poin di atas. Pada tahun 1966 ketika ketegangan antara pemerintah dengan Partai Komunis Indonesia dan partaipartai simpatisannya semakin bergejolak, beberapa kelompok kebatinan yang bergabung dengan partai yang diduga merupakan simpatisan PKI seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dan lain-lain terpaksa harus memeluk agama-

3

BKKI didirikan pada 21 Agustus 1955, tepatnya pada Kongres Kebatinan Pertama di Semarang, terhitung 6 tahun setelah didirikannya Pangestu

62


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

agama legal agar dapat selamat dari upaya ‘pembersihan’ pemerintah, Pangestu memanfaatkan transparasi politiknya dan berhasil selamat dari tuduhan.

D. Fleksibilitas Organisasi Spiritual dan Dinamika Pencatatannya oleh Pemerintah

Sehubung dengan identitas formal organisasi, Sejak 1980, Direktorat Kepercayaan mulai melakukan pendataan terhadap kelompok kepercayaan dan kebatinan di seluruh Indonesia. Sejak saat itu pula, Pangestu mulai tercatat di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan, lewat Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun belum memiliki Akta/Tanda Inventarisasi. Kemudian pada tahun 2009, Direktorat Kepercayaan melakukan pendataan ulang kepada seluruh organisasi penghayat yang sebelumnya tercatat di Direktorat, namun Pangestu dengan tegas menyatakan dirinya bukan bagian dari penghayat kepercayaan, melainkan hanya sebuah organisasi spiritual. Atas dasar tersebut, Direktorat mengirimkan surat pernyataan bahwa Pangestu bukan bagian dari aliran kepercayaan untuk ditandatangani, namun tidak ada tanggapan. Akhirnya, demi keperluan pendataan, Direktorat mengeluarkan Pangestu dari daftar aliran kepercayaan berdasarkan pernyataan yang diajukan Pangestu pada 2009 lalu. Selanjutnya, di tahun 2010, salah seorang anggota Pangestu mengajukan diri untuk menjadi Pemuka,4 yang dalam Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia No 37 tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Administrasi Kependudukan diberi kewenangan untuk menikahkan warganya. Namun karena tidak mendapatkan persetujuan dari Ketua Pusat Pangestu, dan abstainnya status Pangestu dalam catatan, Direktorat menolak

4

Jabatan setara dengan pemimpin ritual dalam organisasi kepercayaan/kebatinan

63


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

permohonan tersebut. Di sisi lain, dengan ditolaknya pendaftaran pemuka, maka status organisasi spiritual Pangestu dapat terus dipertahankan. Ketika penulis meminta keterangan kepada salah satu pengurus pusat Pangestu, Budhi Setianto Purwowiyoto dan Ketua Pengurus Pangestu Cabang Yogyakarta, Darmastuti, mereka menyatakan bahwa hingga saat ini, Pangestu tidak memiliki akta organisasi baik dari Kemendikbud maupun Kemenkumham, mapupun akta notaris organisasi cabang di setiap daerah juga surat keterangan dari Kesbangpol dan Kejaksaan. Terkhusus untuk organisasi Pangestu cabang DIY, ijin kegiatan organisasi sudah didapatkan dari Polres Yogyakarta dengan nomor No.Pol B/SKEP.13/018/IX/INTERPAM. Hingga saat ini, ijin kepolisian tersebut menjadi satu-satunya asas legal berjalannya kegiatan organisasi Pangestu. Sebab menurut Darmastuti, kelonggaran berorganisasi dapat lebih mudah didapatkan dewasa ini, selama organisasi tersebut tidak menyalahi perundang-undangan, Pancasila, ataupun mejadi sumber konflik. Sebagai pertimbangan lebih lanjut, pencatatan Pangestu secara resmi kepada salah satu kementerian justru ditakutkan dapat merusak visi misi yang selama ini telah dibangun. Selain tidak ingin menyesuaikan identitas dengan standar naskah pemerintah mengenai organisasi agama dan kepercayaan, Pangestu yang merupakan organisasi swadaya tidak ingin mendapatkan saluran dana dari pemerintah, sesuai dengan ajaran Sang Guru Sejati yang menekankan pentingnya pemisahan antara aktivitas spiritual dan kebutuhan duniawi. Pangestu pernah terdaftar di Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga mengeluarkan diri pada tahun 2009. Sejak saat itu, Pangestu tidak lagi terdaftar di kementerian manapun. Padahal jika mengikuti aturan pendaftaran perkumpulan tak berbadan hukum seperti yang tercatat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 pasal 16 tentang Organisasi Kemasyarakatan, pendirian Ormas tidak berbadan hukum memiliki syarat sebagai berikut: 64


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

1. Akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris dan memuat AD/ART 2. Program kerja 3. Susunan pengurus 4. Surat keterangan domisili 5. Nomor pokok wajib pajak 6. Surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan atau tidak dalam perkara keadilan 7. Surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan 8. Surat keterangan terdaftar oleh Kemendagri bagi yang memiliki lingkup nasional 9. Surat keterangan terdaftar oleh Gubernur bagi yang memiliki lingkup provinsi 10. Surat keterangan terdaftar oleh bupati/walikota bagi ormas yang memiliki lingkup kabupaten/kota Sampai saat ini, Pangestu belum memiliki akta pendirian, surat keterangan terdaftar oleh Kemendagri, Kemenag, maupun Kemendikbud. Menurut Ramelan dalam wawancara pada 12 April 2019, pembuatan akta organisasi Pangestu hingga saat ini belum dapat diurus karena berbagai pertimbangan. Salah satunya, pembuatan akta organisasi memungkinkan diteruskannya pendaftaran Pangestu di Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan YME, yang sejak awal dihindari. Pangestu tidak ingin mendapatkan banyak intervensi dari pemerintah, terlebih jika pencatatan tersebut mensyaratkan perubahan identitas organisasi menjadi aliran kepercayaan. Dengan kurangnya pengakuan legal, Pangestu menyiasati dengan memanfaatkan ijin dari Kejaksaan dan Kepolisian daerah untuk dapat terus melakukan aktivitas organisasi seperti olah rasa dan pertemuan mingguan. Selain ijin resmi, Pangestu juga menginisiasi penerimaan dan perlindungan 65


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

sosial dengan membangun hubungan dengan pemuka agama setiap daerah serta masyarakat sekitar. Sebelum membangun gedung Dana Warih misalnya, perwakilan Pangestu akan mengunjungi sesepuh masyarakat, pendeta dan kyai setempat untuk menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan di gedung tersebut, serta latar belakang spiritualitas Pangestu. Pangestu menyadari bahwa masih banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai aliran kepercayaan/kebatinan, dan stigma negatif tentang aliran kepercayaan masih terus ada hinga saat ini. Karena itulah, demi membangun kenyamanan dan keamanan organisasi, penting bagi Pangestu untuk terus memberi penjelasan kepada semua pihak yang terlibat. Gedung Dana Warih sendiri dimanfaatkan tidak hanya oleh anggota Pangestu, namun juga masyarakat sekitar yang memerlukan. Menurut Darmastuti, gedung Dana Warih selama ini juga digunakan untuk upacara 17 Agustus dan perkumpulan warga, gedung pernikahan hingga tempat penyembelihan hewan kurban saat Idul Adha.

E. Yayasan Andana Warih Sebagai Institusi Formal Pendamping Pangestu

Untuk pembangunan gedung Dana Warih dan penggalangan dana serta dukungan sosial, anggota Pangestu bekerjasama membangun Yayasan Andana Warih dengan persetujuan Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor AHU3387.AH.01.02, 2008. Yayasan tersebut menangani ijin pendirian bangunan dan dan mendukung kegiatan sosial yang dilakukan Pangestu. Pangestu menyadari bahwa setelah mengeluarkan diri dari Direktorat Kepercayaan, ada banyak kebutuhan organisasi yang melibatkan ijin hukum tidak bisa diselesaikan. Sebab seperti yang tercantum dalam Staatsblad 1933-84 Pasal 11 point 8, “Perkumpulan yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan

66


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

umum tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata.” Dengan didirikannya Yayasan Andana Warih, Pangestu dapat mengurus ijin pendirian bangunan dan keperluan administratif lain tanpa perlu mengubah identitasnya menjadi organisasi kepercayaan dan memaksakan diri tergabung dalam Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan YME Kemendikbud. Dengan kata lain, yayasan Andana Warih merupakan strategi paling utama Pangestu sebagai kelompok abjek dalam memulihkan hak kewarganegaraannya. Menurut Darmastuti, organisasi Pangestu hadir hanya untuk berkiprah di bidang pengolahan jiwa dan aktivitas spiritual lain, dan Andana Warih menangani kebutuhan ekonomi-sosialnya. Berikut tujuan dan kegiatan pokok dari Yayasan yang telah disahkan AD/ARTnya oleh Kemenkumham pada 01 Agustus 2008 lalu: 1. Mendirikan, memperbaiki, memperbarui, melengkapi dan memelihara bangunan-bangunan, gedung-gedung dan ruangan untuk keperluan kegiatan organisasi Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu). 2. Menerbitkan buku-buku, majalah-majalah dan brosur-brosur mengenai pendidikan dan pelajaran kerohanian dan kejiwaan. Buku pegangan utama Pangestu, yaitu Sasangka Jati serta majalah bulanan Dwija Wara serta bukubuku tambahan lain diterbitkan oleh yayasan ini. 3. Memberikan sumbangan dan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana alam, panti-panti sosial sesuai dengan keperluan dan kemampuan yayasan. 4. Menampung dan menyalurkan sumbangan dan dana dari para anggota organisasi Paguyuban Ngesti Tunggal dan dari masyarakat umum untuk mendukung kegiatan Pangestu dan keperluan lainnya. 5. Melaksanakan usaha lainnya yang sah yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan yayasan

67


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Anggota Yayasan Andana Warih seluruhnya berasal dari warga Pangestu, oleh karenanya, meski memiliki tujuan dan fokus kegiatan yang berbeda, Pangestu dan Andana Warih sejatinya tidak bisa dipisahkan. Sebagai sebuah yayasan mandiri, Pangestu-Andana Warih mendapatkan sumbangan dana dari swadaya pribadi anggotanya. Salah satu donatur utama swadaya tersebut adalah Katering Alfabet, sebuah katering besar di Jakarta milik warga Pangestu bernama Andika yang sekaligus cucu dari Sultan Hamengkubuwono VIII. Selain itu, Universitas Setia Budi Solo yang didirikan oleh Ketua Umum Pangestu, Budi Darmadi juga menjalin kerjasama dengan Pangestu dalam urusan kegiatan sosial. Dengan kerjasama dan sistem seperti ini, Pangestu bersama Andana Warih dapat terus memainkan peran sosial sebagai warga negara, meski di sisi lain identitasnya masih dikesampingkan dari pengakuan negara. Selain daripada menunjukkan bahwasanya governmentalitas pemerintah telah mengeksklusi sejumlah kelompok warga negara, dengan melihat ingenuitas yang dilakukan Pangestu, tulisan ini beranggapan bahwa warga negara sejatinya juga memiliki peran dalam proses kontrol tersebut. Apa yang dilakukan Pangestu dengan terus mempertahankan identitas sebagai organisasi spiritual di tengah masifnya pengakuan kepada agama dan kepercayaan, serta bagaimana mereka dapat bertahan meski tanpa pengakuan resmi, telah menunjukkan celah dimana govermentalitas pemerintah tidak sepenuhnya berhasil. Pangestu berusaha mengimbangi eksklusi negara dengan resistensi taktikal menuju ruang inklusi baru (Wright, 1997: 52). Walaupun dianggap sebagai nonexistent citizen, Pangestu telah menciptakan naskah baru dan ruang iknlusi (Isin, 2009: 381) tersendiri terkait dengan ekpresi keberagamaan masyarakat, yaitu dalam wujud identitas organisasi spiritual.

68


BAB 4. PENUTUP

A

gama dan kepercayaan merupakan dua ekspresi keberagamaan yang diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini. Dengan disahkannya

Putusan MK No. 97 pada 7 November 2017, alian kepercayaan yang sebelumnya tereksklusi perlahan meraih rekognisi formal dan berhasil memulihkan hakhak kewarganegaraannya. Sayangnya, pembatasan pengakuan bagi agama dan kepercayaan saja juga menyisakan beberapa masalah baru. Kelompokkelompok spiritual di luar agama dan kepercayaan yang belum diakui secara formal harus bernegosiasi dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan eksistensinya. Salah satu dari kelompok spiritual tersebut adalah Pangestu, yang secara eksplisi menolak penyematan identitas agama maupun kepercayaan bagi organisasinya. Merespon putusan MK dan kebijakan terkait dengan aturan agama, Pangestu tidak bernegosiasi secara halus layaknya kelompok spiritual lain yang kemudian memilih untuk melebur sebagai organisasi penghayat, dan


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

tidak pula melakukan resistensi dengan menuntut diberikannya ruang bagi kelompok spiritual. Melainkan, Pangestu berusaha memanfaatkan celah diantara banyaknya aturan, undang-undang dan kebijakan tersebut demi meneguhkan eksistensinya dan dapat terus berorganisasi. Karena tesis ini ingin melihat bagaimana relasi antara pemerintah dan warga negara terbentuk, khususnya terkait dengan adanya politik agama, serta bagaimana kelompok spiritual bernama Pangestu merespon kontrol ekspresi keberagamaan tersebut, maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, bahwa di Indonesia, fenomena pendefinisian agama dan kepercayaan merupakan salah satu bentuk dari governmentalitas pemerintah yang ingin mengatur ekspresi keberagamaan warga negaranya. Relasi kuasa antara pemerintah dengan warga negara terjalin lewat dibentuknya undangundang, limitasi definisi serta implementasinya lewat kebijakan, khususnya yang terkait dengan agama dan kepercayaan. Sebab menurut Foucault (2009: 108), governmentalitas merupakan pelaksanaan bentuk kekuasaan kompleks yang ditargetkan untuk mengelola populasi oleh ansambel-ansambel berikut: lembaga, prosedur, analisis dan refleksi, perhitungan dan taktik, yang menggunakan ekonomi politik sebagai dasar pengetahuan dan aparat keamanan sebagai instrumen teknis. Segala macam alat kontrol pemerintah tersebut merupakan ‘naskah’ yang menjadi gambaran dari warga negara ideal. Dalam prakteknya, kita dapat melihat bagaimana pemerintah mendirikan Departemen Agama sebagai lembaga khusus untuk menaungi agama-agama formal di Indonesia, mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu dengan keutamaan hak, juga menciptakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rumah tersendiri bagi aliran kepercayaan dan adat. Selain memanfaatkan lembaga negara, pemerintah juga mengontrol ekspresi keberagamaan dengan menciptakan definisi minimum agama oleh Depag, yaitu bahwa agama harus diwahyukan dari Tuhan, 70


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

memiliki Nabi sebagai penuntun, kitab suci, sistem hukum yang sah untuk para penganutnya, dan mendapat rekognisi serta penganut internasional. Mengiringi proses rekognisi aliran kepercayaan, pemerintah juga tidak luput memberikan definisi terlebih dahulu bagi kelompok kepercayaan yang ingin diakui. Menurut Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, suatu aliran kepercayaan seharusnya menyembah Tuhan YME dan bukan merupakan ajaran animisme, serta ajaran, nama maupun lambang-lambang yang digunakan tidak serupa dengan agama manapun. Dengan adanya ‘naskah’ tersebut di atas, beberapa kelompok tereksklusi dari status kewarganegaraannya, seperti organisasi spiritual Pangestu. Kelompok abjek seperti Pangestu kemudian harus menggunakan jalan pintas untuk memenuhi hak-hak administratifnya dan mengembalikan status mereka ke dalam ‘naskah.’ Pangestu sebagai warga negara merespon kebijakan pemerintah yang mengeksklusi tersebut bukan melalui negosiasi maupun resistensi, tetapi dengan menunjukkan pola sebagai kelompok ingenious citizen. Bagaimana kemudian ingenuitas Pangestu dalam merespon pemerintah digambarkan akan menjadi temuan kedua dari tulisan ini. Menurut Lee (2016), ingenious citizenship adalah keadaan dimana kelompok abjek yang tersingkirkan dari ‘naskah’ dan memiliki kekurangan status, kekuatan serta sumber daya untuk mengakses hak-hak yuridis yang penuh serta pengakuan sosial sebagai warga negara yang normatif, muncul dengan cara-cara asli dan kreatif untuk memasukkan diri mereka kembali kedalam ‘naskah.’ Dalam konteks governmentalitas pemerintah yang ditunjukkan melalui pendefinisian agama dan kepercayaan, entitas Pangestu sebagai organisasi spiritual merupakan abjek. Sebab organisasi spiritual tidak termasuk kedalam ‘naskah’ negara yang hanya merekognisi dua kelompok tersebut di atas saja. Karena menjadi warga negara abjek, Pangestu mendapatkan beberapa rintangan dalam mengakses beberapa hak administratif, seperti ijin pembangunan gedung pertemuan dan 71


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

pembuatan akta organisasi. Di sisi lain, Pangestu juga tidak dapat tedaftar baik di Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena keterbatasan itu, Pangestu melakukan berbagai upaya cerdik untuk memulihkan haknya. Demi mengantisipasi kecurigaan dan penolakan masyarakat, Pangestu membangun relasi dan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat di setiap daerah, meminta surat ijin beraktivitas kepada Kepolisian sebagai ganti akta organisasi, dan melakukan dialog dengan Kemenag, Bakorpakem serta Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan YME terkait dengan identitas spiritualnya. Mengenai tindak keperdataan, Pangestu mendirikan Yayasan Andana Warih yang terdaftar secara resmi di Kemenkumham sebagai perantara pembuatan ijin mendirikan bangunan dan melakukan aktivitas sosial. Dengan mendirikan yayasan terpisah, Pangestu tidak perlu mengorbankan identitas atau melebur ke dalam kelompok kepercayaan seperti yang dilakukan beberapa organisasi spiritual lainnya. Sikap ingenious Pangestu dapat menjadi gambaran bahwa warga negara sejatinya juga ikut andil dalam proses governmentalitas. Apa yang dilakukan Pangestu dengan terus mempertahankan identitas sebagai organisasi spiritual di tengah masifnya pengakuan kepada agama dan kepercayaan dan mempertahankan eksistensi meski tanpa pengakuan resmi, telah menunjukkan celah dimana governmentalitas negara tidak sepenuhnya berhasil. Bagaimanapun giatnya negara berusaha mengontrol, mengeluarkan berbagai macam perundangundangan dan kebijakan, selalu akan ada celah dimana kelompok warga negara seperti Pangestu untuk memperjuangkan hak-haknya dan menginterpelasi tatanan ‘naskah’ yang sudah ada. Walaupun dianggap sebagai nonexistent citizen, Pangestu di sisi lain telah menciptakan ‘naskah’ definisi tersendiri terkait dengan ekpresi keberagamaan masyarakat, yaitu melalui identitas organisasi spiritual.

72


Referensi

Asad, T. (1993). Genealogies of Religion. Baltimore: John Hopkins University Press. Atkinson, J. M. (1987). Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion. Dalam E. b. Rodgers, Indonesian Religions in Transition (pp. 171-186). Tucson, AZ: University of Arizona Press. Bagir, Z. A. (2014). Memetakan Masalah dan Advokasi untuk Keragaman Agama. Dalam R Hefner, Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama: Sejarah, Teori dan Advokasi (pp. 1-18). Yogyakarta: CRCS. ____ dan Hefner, Robert W. (2016). Christianity and Religious Freedom in Indonesia since 1998. Dalam A. D. Ed: Hertzke, Christianity and Freedom: Contemporary Perspectives Volume 2 (pp. 191-221). New York: Cambridge University Press.


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Bhabha, Homi K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge Bordieu, P. dan Wacquant, L. J. D. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. University of Chicago Press, Ed. 1. Butler, J. (1993). Bodies That Matter, on The Discursive Limits of “Sex”. New York: Roudledge. Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Foucault, M. (2007). Security, Territory, Population. Lectures at the College de France 1977-1978. New York: Palgrave Macmillan. Frenk, J. (2011). Negotiating Identties: Developing Adaptive Strategies in an Ever Changing Social Reality. Lund University. Geertz, C. (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu. Gillespie, P. (2007). Curret Issues in Indonesian Islam: Analysing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalis, and Secularism. Journal of Islamic Studies 18 (2), 202-240. Goffman, E. (1959). Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday Anchor Books. Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks, diedit dan diterjemahkan oleh Hoare, Q. dan Smith, G. N. International Publisher Co; Reprint, 1989. Hefner, R. (1993). Islam, State and Civil Society: ICMI and The Struggle for The Indonesian Middle Class. Indonesia, Vol. 56, 1-36. ____. (2003). Conversion on Christianity: Historical and Atropological Perspective on a Great Transformation. Berkeley: University of California Press. 74


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

____. (2014). Negara Mengelola Keragaman di Indonesia: Kajian mengenai Kebebasan Beragama sejak Masa Kemerdekaan. In R. W.-F. Hefner, Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Sejarah, Teori dan Advokasi (pp. 23-36). Yogyakarta: CRCS. Hepwort, K. (2012). Abject Citizens: Italian ‘Nomad Emergencies’ and the Deportability of Romanian Roma. Citizenship Studies, 16: 3-4 (hal. 431449) Hoesodo, M. (1967). Dwi Windu Pangestu 1949-1965: Sedjarah “Pangestu” (Pagujuban Ngesti Tunggal) sedjak berdirinja pada tahun 1949 sampai tahun 1965, ialah tahun wafatnja R. Soenarto Mertowardojo, paranpara, “Pangestu.” Solo: Pangestu. Hurd, E. S. (2015). Beyond Religious Freedom: The New Global Politics of Religion. Princeton University Press. Indiyanto, A. (2013). Agama Indonesia dalam Angka: Dinamika Demografis berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010. Yogyakarta: Human Printing and Design Graphic. Indrakusuma, J. (1972). Pangestu, Suatu Pandangan Hidup Djawa. Archipel, Vol. 4, 32-45. Isin, Engin F. and Rygiel, Kim. (2007). Abject Spaces: Frontiers, Zones, Camps. In D. o. Masters, The Logics of Biopower and The War on Terror (pp. 181203). New York: Palgrave Macmillan. ____ dan Nielsen, G. M. (2008). Acts of Citizenship. London and New York: Zed Book. ____. (2009). Citizenship in Flux: the Figure of the Activist Citizen. Subjectivity Vol 29, hal. 367-388.

75


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

King, R. (1999). Orientalism and Religion -Postcolonial Theory, India and ‘the Mystic East.’. New York: Routledge. Lears, T. J. J. (1985). The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities. The American Historical Review, Vol. 90 (3), hal. 567-593). Lee, C. T. (2016). Ingenious Citizenship: Recrafting Democracy for Social Change. Durham: Duke University Press. Levine, P. (2003). Prostitution, Race and Politics: Policing Veneral Disease in the British Empire. New York: Routledge. Lucas, A. J. (2000). Mukdi Akbar: The Struggle for Religious Recognition of Mystical Movement in Selayar South Sulawesi. Bijdragen tot de Taal, Vol. 156, No. 3, 561-588. Maarif, S. (2017). Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia. Yogyakarta: CRCS. Mulders, N. (1983). Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan dan Perubahan Kulturil). Jakarta: Gramedia. _____. (2007). Mistisme Jawa. Yogyakarta: LKiS. Noorwahid, I. (2013). Keberadaan Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) di Kota Semarang (Studi Kasus Pangestu Cabang Semarang III). Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Universitas Semarang. Nyers, P. (2003). Abject Cosmopolitanism: the Politics of Protection in the Antideportation Movement. Third World Quarterly, Vol 24, No 6, 1069-1093. Patty, S. (1986). Aliran Kepercayaan a Socio-Religious Movement in Indonesia. Washington State University, Department of Anthropology. Picard, Michel and Madinier, Remy. (2011). The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. In M.

76


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

a. Picard, The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali (p. xi). New York: Routledge. ____ (2011). Introduction: ‘Agama,’ ‘Adat,’ and Pancasila. In e. b. Madinier, The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali (pp. 1-20). London: Routledge. Pramudita, P. (2015). Konstruksi Indentitas dan Dialektika Anggota Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dalam Kehidupan Sehari-hari. Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan S-2 Sosiologi, Universitas Gadjah Mada Profil Paguyuban Ngesti Tunggal, (2009). Jakarta: Pangestu. Redclift, V. (2013). Abject or Agents? Camps, Contests and the Creation of ‘Political Space,’ Citizenship Studies, 17: 3-4, hal. 308-321 Ridha, R., Sukirno, Sudaryatmi. (2017). Pengakuan Perkawinan Masyarakat Penganut Kepercayaan Lokal Agama Djawa Sunda dalam Perspektif Teori Multikulturalisme. Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No. 1. Roger, S. (2004). Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Said, Edward. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books Saputra, P. (2016). Perjuangan Politik Identitas Hangudi Bawanatata Lahir Batin dalam Merebutkan Hak Sipil. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan S-1 Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Schubert, J. D. (2002). Defending Multiculturalism: from Hegemony to Symbolic Violence. American Behavioral Scientist, Vol. 45 (7), hal. 1088-1102. Schweitzer, R. (2017). Integration Against the State: Irregular migrants’ agency between deportation and regularization in the United Kingdom. Journal of Political Studies Association, Vol 37(3), hal. 317-331.

77


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Shihab, A. (2007). Membendung Arus; Merespons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan. Sigona, N. (2015). Campzenship: Reimagining the Camp as a Social and Political Space. Citizenship Studies, 19:1, hal. 1-15 Sihombing, Uli Parulian; Fulthoni, AM; dkk. (2008). Menggugat Bakorpakem: Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta Selatan: The Indonesian Legal Resource Center. Smith, W. (1964). The Meaning and The End of Religion. Chicago: The New American Library of World Literature. Soehadha, M. & Soehardi (2004). Umat Agama dalam Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Humanika, 17(1), Januari, 51-70. Sopater, S. (1987). Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sparks, T. (2017). Citizens without Property: Informality and Political Agency in a Seattle, Eashington Homeless Enchampment. Environment and Planning A, Vol. 49(1), hal. 86-103. Stange, P. (2009). Kejawen Modern: Hakikat dan Penghayatan Sumarah. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. Stuart, H. (1994). Cultural Identity and Diaspora. In P. a. William, Colonial Discourse and Post-colonial Theory: a Reader (pp. 227-237). London: Harvester Wheatsheaf. Subagya, R. (1981). Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Citraloka. ____. (2002). Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

78


ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)

Sudarto. (2017). Seri Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan: Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Sutanto, T. d. (2011). Menuntut Jaminan Konstitusi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Serial Kertas Posisi. Toomey, S. (2015). Identity Negotiation Theory. Sage Encyclopeda of Intercultural Competence, Vol. 1, 418-422. Van der Kroef, J. (1961). New Religious Sects in Java. Far Eastern Survey Vol. 30, No. 2, 18-25. Wentling, T. (2020). Contested Citizenship: Renaming Processes among People of Transgender Experience. Journal of Homosexuality, 67:12, hal. 16531674

79



Articles inside

BAB 4. PENUTUP

4min
pages 73-76

D. Fleksibilitas Organisasi Spiritual dan Dinamika Pencatatannya oleh Pemerintah

3min
pages 67-69

C. Status Politik Netral

1min
page 66

E. Yayasan Andana Warih Sebagai Institusi Formal Pendamping Pangestu

3min
pages 70-72

B. Anggota dari Kelompok Aparatur Negara sebagai Perantara Dialog dengan Pemerintah

2min
pages 64-65

E. Advokasi Penghayat Kepercayaan dan Munculnya Ketimpangan Baru

5min
pages 50-54

Spiritualitas sebagai Ingenious Citizenship

8min
pages 55-61

C. Kontrol terhadap Ekspresi Keberagamaan

2min
pages 41-42

BAB 3. PANGESTU DAN PRAKTIK INGENIOUS CITIZENSHIP

1min
pages 35-36

D. Kontrol terhadap Organisasi Aliran Kepercayaan dan Aktivitasnya

8min
pages 43-49

SPIRITUALISME DALAM PANGESTU

2min
pages 28-30

B. Pembatasan Akses Adminduk Penghayat Kepercayaan

1min
page 40

AJARAN SANG GURU SEJATI (PANGESTU) SEBAGAI ‘PENDAMPING’ AGAMA

4min
pages 31-34
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.