In Japan Saya Tak Rela Jadi Buta Huruf! Isti Winayu Mengingat kembali ketika pertama kali
Lalu, apakah saya menyerah begitu saja? Tidak,
menginjakkan kaki di Jepang, rasanya begitu
tentu saja tidak. Cerita seru saya justru bermula
jauh jarak antara diri saya yang dulu dengan
dari kebutahurufan dan kebisuan saya saat itu.
yang ada sekarang ini. Begitu banyak perubahan
Ketika sadar bahwa saya hanya akan setahun
yang saya alami dalam tataran positif yang
berada di Jepang, yang terpikir hanyalah
membuat saya bersyukur telah memberanikan
bagaimana memanfaatkan waktu tersebut sebaik-
diri datang dan belajar di Negeri Sakura ini.
baiknya. Telaah saja baik-baik, saya sudah dibiayai
Salah satunya ketika ingat betapa dulu saya tidak
datang ke Jepang, diberi jatah hidup bulanan yang
bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Jepang.
tidak besar tapi cukup untuk hidup, dan diberi
Saat tiba di Jepang, pernahkah terlintas di
kemudahan akses berbagai informasi. Rasanya
benak kita bahwa seketika kita berubah menjadi
percuma kalau tidak bisa mengenal dan menikmati
buta huruf dan seperti orang yang tak tahu apa-
kehidupan di Jepang yang terkenal aman dan
apa? Lalu ke mana raibnya kepercayaan diri
memiliki tempat-tempat wisata yang juga menarik.
bahwa kita cukup berilmu setelah sekian belas
Namun, ketika melihat sekeliling yang semua
atau bahkan sekian puluh tahun duduk di bangku
berisikan kanji dan bahasa yang makin didengar
sekolah? Tenang, tidak ada yang salah dengan
makin asing bagi saya, saya mulai gamang dengan
hal itu. Hampir semua orang yang memulai
kemampuan saya.
bahasa Jepang-nya dari nol pasti merasakan hal yang sama saat tiba di sini.
“Masyaallah, saya jadi buta huruf!” itulah pekikan kaget saya saat setelah sekian menit
Beberapa tahun lalu, saya datang ke Jepang
menatap kosong papan pengumuman di Saga
dengan status mahasiswa program pertukaran
Daigaku kala itu. Tak ada satupun kanji yang saya
pelajar. Saat itu dengan sangat percaya diri saya
kenali dan bahkan membaca hiragana saja saya
berkata, “Iya, saya bisa bahasa Jepang kok.”
butuh waktu bermenit-menit. Saat itu, saya tinggal
Namun, begitu saya berinteraksi dengan orang
di Saga sebuah kota kecil di mana penduduknya
Jepang, bahkan di hari pertama kedatangan saya
jarang berbahasa Inggris. Selain semua info ditulis
pun saya langsung terduduk lemas dan
dalam kanji dan kana, percakapan sehari-hari pun
mengakui saya tidak tahu apapun tentang
terjadi dengan Bahasa Jepang dengan dialek Saga
bahasa ini. Saya memang bisa memperkenalkan
yang kental. Rasa-rasanya seperti jadi buta huruf
diri dan aisatsu (sapaan) tetapi itu tidaklah cukup.
sekaligus bisu padahal banyak hal yang ingin saya
Saya hanya pendengar pasif, bukan pembicara
ketahui. Saya tak ubahnya seperti kepompong
aktif sehingga tak ada komunikasi yang terjadi
yang tidak tahu dunia luar. “I am completely in the
seusai perkenalan dengan orang Jepang.
middle of nowhere,” batin saya saat itu.
Interaksi
15