Buletin Interaksi PPI Jepang - Oktober 2011

Page 15

In Japan Saya Tak Rela Jadi Buta Huruf! Isti Winayu Mengingat kembali ketika pertama kali

Lalu, apakah saya menyerah begitu saja? Tidak,

menginjakkan kaki di Jepang, rasanya begitu

tentu saja tidak. Cerita seru saya justru bermula

jauh jarak antara diri saya yang dulu dengan

dari kebutahurufan dan kebisuan saya saat itu.

yang ada sekarang ini. Begitu banyak perubahan

Ketika sadar bahwa saya hanya akan setahun

yang saya alami dalam tataran positif yang

berada di Jepang, yang terpikir hanyalah

membuat saya bersyukur telah memberanikan

bagaimana memanfaatkan waktu tersebut sebaik-

diri datang dan belajar di Negeri Sakura ini.

baiknya. Telaah saja baik-baik, saya sudah dibiayai

Salah satunya ketika ingat betapa dulu saya tidak

datang ke Jepang, diberi jatah hidup bulanan yang

bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Jepang.

tidak besar tapi cukup untuk hidup, dan diberi

Saat tiba di Jepang, pernahkah terlintas di

kemudahan akses berbagai informasi. Rasanya

benak kita bahwa seketika kita berubah menjadi

percuma kalau tidak bisa mengenal dan menikmati

buta huruf dan seperti orang yang tak tahu apa-

kehidupan di Jepang yang terkenal aman dan

apa? Lalu ke mana raibnya kepercayaan diri

memiliki tempat-tempat wisata yang juga menarik.

bahwa kita cukup berilmu setelah sekian belas

Namun, ketika melihat sekeliling yang semua

atau bahkan sekian puluh tahun duduk di bangku

berisikan kanji dan bahasa yang makin didengar

sekolah? Tenang, tidak ada yang salah dengan

makin asing bagi saya, saya mulai gamang dengan

hal itu. Hampir semua orang yang memulai

kemampuan saya.

bahasa Jepang-nya dari nol pasti merasakan hal yang sama saat tiba di sini.

“Masyaallah, saya jadi buta huruf!” itulah pekikan kaget saya saat setelah sekian menit

Beberapa tahun lalu, saya datang ke Jepang

menatap kosong papan pengumuman di Saga

dengan status mahasiswa program pertukaran

Daigaku kala itu. Tak ada satupun kanji yang saya

pelajar. Saat itu dengan sangat percaya diri saya

kenali dan bahkan membaca hiragana saja saya

berkata, “Iya, saya bisa bahasa Jepang kok.”

butuh waktu bermenit-menit. Saat itu, saya tinggal

Namun, begitu saya berinteraksi dengan orang

di Saga sebuah kota kecil di mana penduduknya

Jepang, bahkan di hari pertama kedatangan saya

jarang berbahasa Inggris. Selain semua info ditulis

pun saya langsung terduduk lemas dan

dalam kanji dan kana, percakapan sehari-hari pun

mengakui saya tidak tahu apapun tentang

terjadi dengan Bahasa Jepang dengan dialek Saga

bahasa ini. Saya memang bisa memperkenalkan

yang kental. Rasa-rasanya seperti jadi buta huruf

diri dan aisatsu (sapaan) tetapi itu tidaklah cukup.

sekaligus bisu padahal banyak hal yang ingin saya

Saya hanya pendengar pasif, bukan pembicara

ketahui. Saya tak ubahnya seperti kepompong

aktif sehingga tak ada komunikasi yang terjadi

yang tidak tahu dunia luar. “I am completely in the

seusai perkenalan dengan orang Jepang.

middle of nowhere,” batin saya saat itu.

Interaksi

15


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.