Literanying - 'Wisata Kalam'

Page 1

Literanying
Jejak Tulisan ‘Wisata Kalam’

literanying

Jejak Tulisan

‘Wisata Kalam’

Cetakan Pertama, 23 Maret 2022

Tata Bahasa

Aliyanto

Tata Letak & Sampul

Ikhsan S. Hadi

Arsip & Dokumentasi

Riksan Anugrah Hati

Ari Ahmad Riadi

Diterbitkan oleh

Aliansi Di Bawah Pohon

Daftar Isi

9

Beraliansi Dengan Waktu (Deden Wahyudin, Aliansi Di Bawah Pohon)

15

Dari Alam Kepada Kalam

Antara Cinta dan Cuan:

Seperti kepada Alam, demikianlah kesenian

Menjajakan Eksotisme

(Ikhsan S. Hadi, Saung Creative Space)

22

Seonggok Kalim

(Fadli Dzulkarnaen, Majelis Sastra)

23

Menguliti Kalam dalam Kultur Kulit

“Main” Sebagai Semangat Kebaharuan (Aris Hidayat, MAIN Leather)

33 Objek Wih Santuy

(Riksan Anugrah Hati, Traveler) (Aliyanto, Majelis Malaikat)

(Ravi Wibowo, Narpati Coffee)

(Ilmy Joehari Akbar, Psikologist)

Beraliansi dengan waktu

Oleh

Deden Wahyudin

Aliansi Di Bawah Pohon

Aliansi di bawah pohon adalah sebuah Komunitas teroganisir yang bergerak di bidang sosial, budaya, seni, lingkungan, pendidikan dan agama. Berbagai grup dikusi sering di laksanakan bahkan seiring berjalannya waktu ALIANSI DI BAWAH POHON bukan hanya lagi suatu komunitas namun sudah jadi bentuk keluarga.

Mulanya memang kami berangkat dari sebuah kegiatan kemah riang, kemudian tahun tahun berikutnya satu per satu masuklah beberapa komunitas akar rumput. Dari sana, munculah gagasan untuk beraliansi dengan “Di bawah pohon di atas kebijaksanan” sebagai simbol, tentang naungan alam dan menjunjung tinggi kebijaksanan. Tahun ke tahun berganti, beruntunglah para penjaga Aliansi ini telah menghasilkan jejak. Setidaknya selama lima tahun ini, sedikitnya Aliansi telah berdampak, baik itu secara personal maupun komunal.

Sepanjang tahun-tahun itu kami memunculkan beberapa gagasan yang sepertinya sayang jika hanya ditelan bagi pribadi saja. Maka kemudian grup-grup diskusi itu telah menjadi sebuah jejak tulisan yang dipangku dalam sebuah buku bernama “Literanying”.

Literanying ini bermula dari kultur Literasi, bahwa literasi ini bagian kecil dari sebuah ide dan gagasan yang dirasa memberikan dampak cukup besar. mungkin kata “Anying” yang konotasinya kata buruk, ini hanyalah penegasan bahwa literasi kami ini tidaklah begitu tinggi, tidak se-adiluhung dan se-serius itu tulisan ini mungkin hanya hal kecil, wahana bagi siapapun untuk dapat meluapkan ide. Reaksi bertahun-tahun diyakinkan bahwa kita yang teraleniasi, kerdil dan sub-altern ini setidaknya membangun kesadaran

kecil yang luput dari kesadaran besar, riak air yang mencapai radius terjauh, melebar dan meluas, linggis kecil yang menggali perigi bagi siapapun untuk bersuci dan mata air kecil bagi dahaga siapapun yang singgah.

Literasi ini mungkin sekadar atau setidaknya untuk membekukan sejarah dan mengkristalkan ingatan, sebuah jejak ide dan bentuk kongkret, sebuah artefak dari pikiran dan zaman.

Sebagai resensi, sejak awal berdirinya komunitas ini tahun 2017, Aliansi telah menghelat event-event kecil, diantara nya:

1. 10.000 Pohon Buat MT.Cikuray (2016)

Jauh sebelum Komunitas kami lahir, Gunung Cikuray kaya akan pohonan, mulai dari yang masih tergolong muda bahkan mungkin ada yang sudah berusia ratusan tahun. Namun, dewasa ini perluasan lahan untuk kebutuhan pertanian sudah sebegitu kompleksnya. ditambah penanaman penanaman yang dilakukan sebagai program sebelumnya tidak terpantau sebagai perawatannya, kebanyakan penanman hanya sekadar menanam, namun lepas sudah setelahnya. Untuk itu perlu adanya upaya–upaya untuk penyeimbangan.

Maka Aliansi di Bawah Pohon patut rasanya memberikan sumbangsih walaupun kami sadar apa yang kami lakukan jauh dari kata maksimal, tapi setidaknya 10.000 pohon untuk Cikuray merupakan bentuk rasa sykur kami kepada alam semesta. ‘’ Saat kita mengungkapkan rasa sykur kita, kita tidak boleh lupa bahwa penghargaan tertinggi bukanlah pada kata-kata,tetapi bagaimana menerapkanya dalam hidup. ( Jhon f.Kennedy 1917-1963 ).

2. Diagnosa alam liar (2019) BATU LEMPAR

Diagnosa alam liar adalah suatu perkemahan berisi diskusi menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi di alam, baik dikaji dari segi seni budaya, ekonomi, pendidikan, agama dan metafisika. Ada yang mengelitik ketika acara ini diadakan, secara tempat, di Batu Lempar ini yang mana batu lempar secara geogerafis masih satu hamparan dengan Makam Keramat Godog (Prabu Kiansnatang) jadi jangan heran bila dalam pembahasan kali ini sedikit membahas ke ranah metafisika, adanya kehadiran energi lain sangat kentara sepanjang perkemahan.

Aura itu salah satunya terasa dalam sebuah karya seni lukis yang digoreskan oleh (Ikhsan S. Hadi). Dari guratan-guratan kehangatan arang bekas api unggun, guratan yang hidup itu telah menggambarkan aura yang luar bisa dan sangat menguras energi. Perpaduan yang sangat berbahaya, keindahan alam dibalut dengan energi tak kasat mata. Ditambah penuangan pemikiran-pemikiran radikal dari pembicara-pembicara yang banal nan handal,

Bahwa sesungguhnya ke-liar-an sejatinya adalah isi pikiran kita, apabila keliaran pikiran tidak dibatasi oleh norma-norma, maka keseimbangan di seluruh semesta tidak akan ada. Berangkat dari sinilah (Diagnosa Alam Liar), ALIANSI DIBAWAH POHON terpanggil untuk merawat pemikiran-pemikiran liar itu dengan mengadakan program yang tak cuma sekadar kemah ramah, namun kemah yang tak lumrah/ seperti umumnya. Diagnosa Alam Liarlah yang menjadi Proto atau Roll model kegiatan yang berlangsung sampai saat ini.

3. SAPU JAGAT (2019) MT.CIKURAY

Lagi-lagi fenomena yang sedang hangat dimana ‘Naik Gunung’ menjadi eksis dan trend di kalangan anak muda yang dilakukan secara ramai-ramai (komunitas/kelompok) atau solo (perseorangan), maka dari fenomena ini kita tidak bisa menutup mata, pada Gununggunung yang di jadikan pendakian salah satu dampak yang cukup ketara yaitu masalah sampah. Dengan embel-embel pecinta alam melangkah dengan gagah dan outfit yang keren, dan tentunya logistik yang mereka bawa kelak nantinya menjadi cikalbakal timbulnya beberapa serpih-sampah yang ada di gunung

Untuk itu SAPU JAGAT mungkin jadi solusi atas pemeliharaan kesadaran akan sampahsampah yang ada di gunung. Memang tidak semua para pendaki membuang sampah sembarangan, akan tetapi fakta di lapangan sangatlah bertolak belakang dengan merekamereka yang berlabelkan “Pecinta Alam”. Tema SAPU JAGAT sendiri memberi kesan pada saya yang mendalam yang dihasilkan dari karya pemikiran dari Guru saya, ketua Majelis Malaikat, Aliyanto. “Sampah di Gunung adalah masalah tapi yang lebih parah adalah sampah yang menggunung” ujarnya. Pada karya tulisnya, beliau memang tidak di ragukan lagi. Karya tulis dan ujarannya terlalu dan sangat unik, sangking uniknya saya kadang sulit memahami karya beliau.

Maka ALIANSI DI BAWAH POHON menghaturkan SAPU JAGAT agar kita saling mengingatkan kembali dalam bentuk kebaikan tanpa memandang kita ini siapa dan dari mana, karna sejatinya manusia ialah yang bermanfaat bagi sesama mahluk hidup termasuk Alam. “ Setiap saat semesta (jagat raya) berbisik padamu “ (Denise Linn)

4. ARAH MATA ANGIN

Arah mata angin, Secara luas bisa diartikan sebagai petunjuk yang menyegarkan / petunjuk yang jelas. Menelisik dari definisi tersebut, Arah sangatlah penting bagi bekal kehidupan apa jadinya sebuah kapal yang besar tanpa kompas dan peta di tangan Nahkodanya, bahkan pada zaman sekarang berguru suatu ilmu tanpa seorang guru dan sanad yang jelas, maka arah kehidupan akan dipastikan kacau tatanannya. Delapan penjuru adalah kemanapun jangkauan, kemanapun bergerak dan kemungkinan kemungkinan.

Mata angin ini adalah kecerdasan yang menyejukan. Secara lurus pada tujuan kemanapun arah itu, haruslah kecerdasan itu menjadi sumber bagi kehidupan dimanapun dan kemanapun berada. Perpaduan yang hampir kita abaikan pada zaman ini adalah kecerdasan yang menyejukan, kecerdasan yang tajam namun tidak menusuk, melukai dan menyakiti orang, kecerdasan yang sangat terarah secara positif supaya tatanan kehidupan kembali lagi selaras. ‘’Semoga semua mahluk hidup berbahagia’’ ( ustd. Akhir zaman)

Rambut leluhur, berlangsung di Tegal Munding atau sekarang bernama Buffalo Hill, membahas tentang Rambut dari berbagai sudut pandang. Dipantik oleh Ari Ahmad Riadi, Owner dari Dapur Rambut, seorang Chapster yang bertahun telah terjun dan malang-melintang di dunia Barbershop dan Pangkas Rambut.

Ia menjelaskan bahwa Rambut tidak terlepas dari identitas, eksistensi, serta representasi diri. Termasuk tentang budaya yang berkait pada rambut (style, warna dan karakter rambut).

Ari juga menjelaskan tentang kaitan alam dan tubuh melalui rambut, “Rambut Leluhur” adalah juga bentuk ekspresi, mewakili fenomena-fenomena yang ada, semisal Hutan yang “Gundul” (Hutan yang tidak ada tumbuhannya), sungai sebagai rambut leluhur (rambut bumi, sumber peradaban) asal-muasal “Ci” dalam penamaan tempat (Toponimi).

Penggunaan kata gundul sendiri, merujuk kepada alam sebagai entitas sejatinya manusia.

Lahir juga pandangan lain tentang fakta biologis; bahwa sehelai rambut mewakili gen seorang manusia. Kemudian bagaimana gaya rambut itu bisa memengaruhi karakter dan sifat secara psikologis.

Dari sudut pandang saya sebagai ahlul Mitos, Rambut leluhur sangat eklusif keadaannya, katakanlah dalam ritual paling sakral (misal; tradisi potong rambut gimbal Dieng, Aqiqah dalam Islam, Gundulnya para Bikshu dalam agama Budha). Sampai ilmu guna-guna (pelet), atau hal mistik lainnya di kultur kita pun rambut andil bagian di dalamnya.

Pada Ilmu mistik misalnya, anda dengan sangat mudah bisa menaklukan seseorang haya dengan rambutnya. Jika melibatkan suatu keyakinan dam tradisi Islam, Rambut sebagai bentuk syukur dalam Aqiqah bahkan diganti dengan beberapa gram emas. Artifak rambut leluhur yang pernah ada di bumi kita ini, yang masih terjaga, rambut leluhur yang sangat istimewa, rambut Sayyidina Muhamad S.A.W.

Saya tidak akan membahas wisata kalam secara subjektif, hanya secara luas saja, lebih ke permukaan, karena rekan-rekan yang lain mungkin lebih tajam dalam pembahasan wisata kalam. WISATA KALAM, runtut dari kata wisata yg artinya liburan atau kalau populernya healing (penyembuhan) menimbulkan pertanyaan, berarti disini ada sesuatu yang mesti di obati atau di perbaiki, baik secara dohir (material) maupun bathin (immaterial). Tatanan wisata pada tingkatan lokal mencakup beberapa aspek yang sangat erat kaitan nya, dengan pemerintah, warga lokal (akamsi) serta broker-broker yang bermain. Ketika suatu titik wilayah dijadikan tempat wisata, maka disana terjadi suatu geliat perekonomian dan tentunya pungutan-pungutan yang dikelola oleh “akamsi” maka disinilah peran pemerintah harus hadir untuk mengelola secara baik, karena di beberapa tempat wisata yang saya kunjungi, kita dituntut untuk membayar dalih fasilitas jalan dan lain-lain namun justru jauh dari kata layak. Tentu nya ini jadi PR bersama.

6. WISATA KALAM

Sementara Kalam, bentuk penyajian atas pembacaan lingkungan secara luas, termasuk Aliansi Di bawah Pohon dalam Literanying. Maka dari waktu ke waktu, peradabaan di bumi ini sangat di pengaruhi oleh kalam-kalam yang terpatri dari setiap peralihan zaman. Kita juga tidak boleh melupakan bentuk lain dari lawan ‘Kalam’ yaitu ‘Ucapan’ (Qawul).

Bila kebudayaan Yunani yang menganggap

“Ucapan menguap, dan tulisan abadi” , maka ini artinya dua sudut pandang yang berlawanan, karna bagi saya justru sebaliknya, ucapanlah yang abadi, tajamnya ucapan bahkan bisa merubah suatu kelompok atau perorangan ke arah kemajuan atau bahkan kemusnahan.

Wisata Kalam yang mulanya menjawab segudang permasalahan dalam wisata (khususnya berwisata pada alam), kemudian meluas ke arah sosial dan komunal (ekstern) mengerucut ke arah kesadaran personal (intern) yang Substansial.

Sampailah pada ujung, Wisata Kalam kini menjadikan aspek kebutuhan untuk menunjang kemajuan-kemajuan ALIANSI DI BAWAH POHON secara khususnya dan umumnya bagi peserta yang terlibat.

Saya menggaris bawahi bahwa ketika kita berwisata, agaknya kita mamapu lebih menerima, menyerap dan berbaur dengan semesta agar kita bisa membawa Hikmah yang baik, Aamiin,

“Ketika aku menghitung kruni yang aku terima , seluruh hidupku berubah ‘’ (Wille Nelson. 1933)

Sekapur Sirih

Untuk lima tahun ALIANSI DI BAWAH POHON ini, semoga bisa terus memegang teguh kebijaksanaan, semakin berdaya dan berdampak.

Terimakasih kepada para Sesepuh ALIANSI DI BAWAH POHON (Aliance’s Elders), penjaga ALIANSI (Aliance’s Keepers), Partner dan pihakpihak yang mendukung sehingga Wisata Kalam dapat berlangsung dengan baik.

Dari Wisata Alam

Menuju Wisata Kalam

Oleh

Ikhsan S. Hadi

Saung Creative Space. Dilema sepertinya menjadi kata yang tepat untuk mewakili perasaan hari-hari ini. Bagaimana tidak? pilihan secara kodrati memang selalu disuguhkan. Maka selayaknya Jean-Paul Sartre yang terkenal dengan cetusan eksistensialisnya itu menganggap bahwa manusia dengan kebebasan yang dimilikinya bisa menentukan hakikat bahkan mungkin takdirnya sendiri-sendiri, wajarlah jika si Sartre itu sangat anti prinsip determinisme. Daulat itu memang semestinya sudah ada sejak lahir. Maka daulat memilih tentu ada pada setiap diri. Sartre lupa bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita pilih, bahwasannya ada kedaulatan sejati yang mendahului sebelum kita. Bisakah kita memilih untuk dilahirkan?, bahwasannya Ada hal-hal di luar kehendak rencana manusia. Lainnya, seumpama cuaca, kita sudah tak lagi mampu membaca cuaca berdasar gejala dan fenomena. Meskipun demikian cuaca tetap masih bisa direkayasa. Namun, tidak seperti para pendahulu kita, ketika nelayan bergelut di laut, maka rasi bintanglah kompas terluas mereka atau para petani kepada tanaman, mereka selalu paham kapan waktu yang ranum untuk

mengolah bumi. Kiranya demikianlah bagaimana pembacaan leluhur kita terhadap alam itu selalu bijak, juga tanpa mendahului Daulat Sang Maha, mereka berdaulat dengan penuh kesadaran atas pilihannya. Lantas, bagaimanakah dengan hari ini?

Ya, cuaca telah menyambut kami, hujan turun sejak sore sampai kurang lebih pukul satu dini hari/ Meski direncanakan dari jauh hari dan ditimbang sematang mungkin, komunitas Aliansi di Bawah Pohon telah memprediksi bahwa untuk mengadakan Hajat Milad yang ke-5 tahun ini, tentunya satu atau dua hal akan menjadi fleksibel. Maka agenda komunitas mestilah menyesuaikan dengan teknologi Tuhan, bersyukurlah, karena keberkahan masih dilimpahkan dari langit kepada kami dalam bentuk air hujan. Air sebagai sumber kehidupan rupanya telah menghidupkan susasana kegiatan kami. Hujan di hutan makam keramat Godog (Batu Lempar) yang dulunya masih berupa hutan pinus dengan belukar, deru sungai dengan airnya yang segar dan jernih, kini telah disulap menjadi objek wisata dalam waktu lima tahun sejak terakhir kami

berkunjung ke sini. Perubahan drastis ini menarik saya ke arah kesepakatan setelah berembung dengan rekanrekan tentang tema. Maka, lahirlah tema “Wisata Kalam” dalam benak saya sebagai pledoi dari “Wisata Alam”. Mari kita dasari tema ini dimulai dari Wisata Kalam yang setidaknya bisa dipahami menjadi tiga bagian, yakni; antara kata ‘Wisata’, ‘Kalam’ dan kemudian lebih lanjut dimaknai sebagai ‘Wisata Kalam’ secara utuh.

Pertama, Wisata Kalam secara sempit dimaknai sebagai definisi dari kata itu sendiri, ambil saja dalam KBBI, Wisata (Wi.sa.ta) verba 1 bepergian Bersamasama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya); bertamasya; 2 Piknik. dari definisi tersebutm secara umum wisata tentunya identik dengan tamasya dan piknik. Namun pergeseran makna wisata bagi anak muda hari ini, biasa disebut sebagai “Healing”. ‘Healing ’ sendiri jika diterjemah bermakna ‘pengobatan/

pemulihan’, apa yang mesti dipulihkan?

Apa yang sakit sehingga wisata menjadi bentuk pemulihan?. Istilah kesehatan ini bergeser karena banyak hal, anggap saja sebagai sebuah bentuk luapan

persaan untuk melepas penat setelah

hari-hari padat menjalani aktifitas

sepanjang wktu hari kerja. Maka wisata

adalah sala satu opsi bentuk pemulihan

itu. Apa yang salah dari wisata jika

disebut healing?. Pergeseran makna. Pergeseran makna/penyelewengan

makna ini terjadi karena pengulangan dan kewajaran, sehingga berpindahlah

pemaknaan awal (Konoatif) mejadi wisata yang Denotatif (pemaknaan selanjutnya). Setelah berkembang

menjadi Healing? makna awal malah menjadi hilang, katakanlah misal tujuan utama kita adalah berwisata, liburan atau tamasya, metode yang digunakan adalah berwisata, lalu manfaatnya adalah ‘healing’ . Hematnya: “healing bagian dari wisata namun, Wisata belum tentu/ tidak selalu healing . Dari fenomena istilah healing tersebut,

kemudian saya justru lebih cenderung tertarik kepada dasar makna wisata. Saya lebih menggaris bawahi ‘Wisata’ sebagai ‘bepergianbersama-samauntuk memperluaspengetahuan’ . Inilah yang menjadi dasar dalam Wisata Kalam. Artinya wisata sejatinya semacam Study Tour , kita datang ke suatu tempat dan mempelajari apa yang ada di sana. Saya simpulkan bahwa wisata sebagai sebuah perjalanan menambah pengetahuan. Dalam arti luas, wisata adalah bentuk pembacaan, pembacaan alam/lingkungan. Mungkin mirip seperti proses dari Alam kemudian mengalami dan menjadi pengalaman. Maka berwisata adalah Berproses tentang pembacaan. Pembacaan apa pun itu, yang akhirnya menjadi pengetahuan dan kemudian menjadi ilmu dan ilmu pengetahuan. Wisata akhirnya adalah sebuah Pembacaan, Membaca gejala dan mendiagnosa apa yang kita cerap untuk bisa bermanfaat dikemudian hari.

Kedua, ‘Kalam’ ini yang menjadi berat bagi saya untuk mempertanggung jawabkan tema. Kalam (ka.lam) n : perkataan; kata (terutama bagi Allah). Kalam menjadi tafsir lain daripada kata atau sebuah firman. Namun saya lebih merujuk kepada ‘Kalam’ sebagai serapan dari Qalam (b.Arab) sebagai benda atau alat tulis (pena). Kalam sebagai pena adalah bentuk ejawantah atau keberlanjutan dari wisata sebagai pembacaan. Bentuk kongkret dari pembacaan itu sendiri. Artifak dari pengalaman. Jika ‘Wisata’ masih dalam dimensi pola pengetahuan, maka ‘Kalam’ berada pada tahapan ilmu dan ilmu pengetahuan. Sederhananya

20 21

Kalam bisa menjadi sebuah bentuk media ejawantah, sempitnya sebagai bentuk tulisan luasnya sebagai medium ilmu sekaligus medium ilmu pengetahuan.

Ketiga, ‘Wisata Kalam’ akhirnya adalah tentang ‘Membaca dan Menulis’. Bagaimana kita membaca gelaja dan tanda yang ada di sekitar kita, kemudian dari pembacaan/pencerapan itu menghasilkan pengetahuan dan pengalaman yang diejawantahkan. Kemudian, Kalam menjadi medium pengkongkretan yang membidani lahirnya pembacaan baru dan terus menerus menjadi siklus. Saling berhubungan dan berkaitan. Siklus yang saling menguatkan, tidak menjadi air dalam gelas dogma namun menjadi sungai, lautan bahkan samudera. Demikain Wisata Kalam juga adalah berkunjung ke dimensi pikiran, menikmati hutan permenungan, menjelajahi segala kemungkinan agar bermanfaat suatu saaat.

Berangkat kemudian saya dari latar belakang kesenian yang saya tekuni, dalam kacamata ranah Seni Rupa, saya menganggap bahwa berwisata adalah pembacaan visual apapun yang saya lihat, citra yang saya cerap, imej yang saya imajikan, kesan yang saya simpan. Kemudian terejwantahlah semua itu dalam bentuk lukisan misalnya. Maka cat adalah tinta, kuas adalah pena dan kanvas adalah kertasnya, lukisan adalah medium dan kesenian adalah Kalam saya. Lukisan itu kemudain kelak akan dipamerkan dan dan diapresiasi, penahbisan tiada henti, lahirlah pembacaan baru, lahir tulisan dan kalam baru, terus menerus menjadi siklus yang melingkar dan semoga kalam itu menjadi bentuk yang bermanfaat bagi sesiapun. Wisata Kalam bagi saya akhirnya tentang Bacalah apapun kemudian tulislah dengan apapun.

22 23

Antara Cinta dan Cuan:

Seperti Kepada Alam, Demikianlah Kesenian

Kesenian sepertinya merupakan kebutuhan ke-sekian dan bukan kebutuhan utama, namun tanpa seni hidup bukan lagi tak berwarna, dunia bahkan bisa kehilangan daya serta fitrahnya. Tulisan ini bukan mengeluelukan kesenian, hanya selayang pandang tentang kemiripan fenomena, pandangan personal yang lebih berdasar pada pengalaman empiris. Tentang Alam dan Kesenian. Semoga ini tidak menjadi sebuah keniscayaan. Anggap saja sebagai wahana bertukar pikir.

Antara Cinta dan Cuan. Kemiripankemiripan itu ditenggarai oleh pembahasan kata ‘Pecinta Alam’ yang konotasinya merawat dan mengasihi, justru menjadi ironis ketika banyaknya pecinta alam, namun alam kian menjadi rusak. Banyaknya pecinta alam berbanding lurus dengan banyaknya kerusakan alam. Di Garut misalnya, banyaknya lahan-lahan dibuka untuk memenuhi hasrat tamasya. Sebagian kecil faktor kerusakan ini disinyalir oleh kebutuhan ekonomis, dipacu oleh pemasukan, serta mendongkrak ekonomi mikro. Muncullah dilema antara mengabdikan diri pada bentuk kecintaan atau pada kebutuhan ekonomis. Sederhananya, untuk menikmati alam, kita mesti membayar, para penikmat mesti rela merogoh kocek mereka demi bisa ikut terlibat merusak alam. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang, uang bukan apa-apa tapi apapun

sepertinya bisa diuangkan. Mungkin bagi korporasi, tak ada kata lain selain dagang atau daging. Kenapa orang butuh uang? karena uang memiliki daya untuk meraih apapun. Termasuk kebahagiaan dan alam? Tentusaja!, lihat bagaimana kasus yang terjadi saat ini di Wadas sana, perjuangan terhadap lahan melawan oligarki dan para korporat, juga perusahaan tambang yang menggusur lahan-lahan masyarakat di Konawe kepulauan untuk tambang Nikel sebagai bahan utama kendaraan listrik yang katanya “ramah lingkungan”, ironisnya dalih ramah lingkungan justru merusak lingkungan. Demi keuntungan ekonomis itulah alam di eksploitasi. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang diciptakan untuk meraup keuntungan ini lebih merugikan golongan bawah.

Banyaknya kelompok atau organisasi yang menyebut dirinya sebagai “Pecinta”. Namun tentu saja cinta itu tidak setulus yang dikira. Di sisi lain, untuk mencintai kita tetap membutuhkan harta agar cinta itu tetap terjaga. Perkara cinta dan cuan tentulah paradoks bukan?. Ini bukan tentang mana yang lebih baik antara mencintai dan mencuankan. Melainkan bagaimana kebijaksanaan dalam menjalankan cinta itu. Bagaimana kita bisa mencintai tanpa mengorbankan apapun. Justru pada dasarnya cinta tidak harus mengorbankan, karena cinta itu tulus maka yang dibutuhkan adalah ketulusan. Jika masih memikirkan kau mencinta karena apa, maka cinta itu tidak lagi murni, Bahkan kata ‘suka-rela’ adalah makna harfiyah; suka dalam artian melakukannya dan rela meluangkan waktu untuknya. Rela inilah legowo dan ikhlas. sebuah bentuk penerimaan. Mari kita intip bagaimana cinta dan cuan berkemelut memengaruhi seni rupa Garut.

25

Seni yang

Menjajakan

Eksotisme

Indische fotos (1917-1942)(1983)

Mari kita bahas tentang sejarah bagaimana “Penjaja eksotisme” itu dimulai. Garut, kota kelahiran saya ini adalah kota kecil penuh sengkarut yang sedaridulunya berjuluk “Pangirutan” (memikat dan memesona). Garut akan tetap demikian adanya dan selalu ‘Kakarut’ (tergores) menjadi memento tebal, keduanya akan selalu membekas di tubuh dan ingatan (Nineung) baik dalam hal buruk maupun hal baik.

Secara geografis, pesona lanskap alam Garut selalu menjadi modal kuat untuk menarik wisatawan. Saya menyebutnya dengan “Menjajakan Eksotisme”. Awalnya adalah keindahaan alam. dan eksotisme itu mulanya berhasil dikemas oleh fotografer perempuan pertama Hindia Belanda, Ia bernama Margarethe Mathilde Weissenborn atau Thilly Weissenborn, pemilik studio fotografi ‘Foto Lux’ (1930) yang berlokasi di apotek milik Denis G. Mulder berlokasi di Societeitstraat 15 (sekarang Jl. A. Yani dekat Bjb). Thilly telah berhasil mengemas lanskap Garut yang Mooi (Molek) ini sebagai promosi wisata yang dimuat dalam panduan wisata Hindia Belanda ‘Come to Java’ terbitan 1922¹. Mungkin saja Charlie Chaplin yang tiba di Stasiun Cibatu tahun 1927 dan 1935 itu, datang karena terpesona oleh jendela mata karya Thilly.

¹ Officiel Toeristenbureau voor Nederlandsch-Indie. (1920). Visit to Java. Batavia: dicetak oleh G. Kolff, Ithaca, New York: Cornell University Library

Gambar 3. Gunung Guntur oleh F.W Junghuhn dalam Seri Atlas tot het werk Java. cetakan C.W Mieling, (1854)

Selain dalam lini fotografi, ranah seni rupa khususnya seni lukis pada masa Hindia Belanda, ikut andil bagian dalam mengemas lanskap kota Garut. Lihat saja bagaimana para doktor botanikus, geologist dan naturalis, Frans Wilhelm Junghuhn yang melukis citra gunung Guntur dalam Seri Atlas tot het werk Java yang dicetak lithografi oleh C.W Mieling (1854) (guru bagi maestro lukis Raden Saleh) atau karya Marianne North “Village of Mat Houses Near Garoet Java” (1876) yang berhasil mengkristalkan denyut kehidupan sosial masyarakat lokal, juga keasrian alam yang molek di Garut pada kanvasnya.

26 27
Gambar 1. Thilly Weissenborn di Station Straat, Garut (1927) Gambar 2. Vastgelegd voor later: Gambar 4. lukisan Marianne North “Village of Mat Houses Near Garoet Java” (1876)

Kemolekan yang dikemas inilah yang kelak akan menjadi wacana dan perdebatan panjang tentang Hindia Molek (Mooi Indië) sebagai sebuah idiom estetik (aliran/gaya seni lukis) dalam seni Modern nantinya.

Meski sedikitnya sulit dilabeli sebagai idiom estetik, menjajakan eksotisme atau menjual estetika Moii Indië ditandai dengan pencitraan “Trimurti”. Yakni hadirnya unsur lanskap pegunungan, sawah dan pepohonan. Dikdik Sayahdikumullah Dosen saya di ITB pernah mengatakan dalam diskusi di Salihara, bahwa Mooi Indië ditandai dengan citra yang cenderung dokumentatif/pendokumentasian (Naturalis), Pemikiran (Realisme) dan komponen alami (Impresionisme)². Lukisan-lukisan lanskap yang manis ini kini telah menjadi kredo, penampilan

hal-hal yang terlalu indah, sementara realitas masyarakat saat itu sedang tidak baik-baik saja. Keniscayaan dan selera Mooi Indië secara tak sadar sudah mengakar, terus menerus terwariskan kepada anak-anak di sekolah (gambar lanskap dengan dua pegunungan dan jalan yang membelah sawah, rumah), kemudian lukisan-lukisan ‘Jelekong’ (pemandangan gunung, sawah dan petani yang panen) yang biasa kita lihat di ruang tamu sebagai penanda status kemapanan, karena dulu biasanya di desa jika rumah punya lukisan berarti rumah orang kaya atau juragan. Demikian gaya ini merambah kepada mental para perupa hari ini di kota tercinta. Kecenderungan inilah yang selalu berkutat dalam percaturan Medan Seni Rupa Garut.

Memang melukis eksotis kurang menjual dan menghasilkan cuan di pasar lokal, namun Jika anda melukis Abstrak kemudian melukis dengan aliran Modern mungkin cukup keren di pasar lokal. Sebaliknya, jika anda membuat karya Modern dan menjualnya di pasar Barat pasti tidak akan terjual, karya anda tidak akan dipertimbangkan. Karena mereka sudah bosan dengan hal itu. Justru Ketika anda menjajakan Eksotisme lokal, ini menjadi hal menarik bagi mereka. Bukankah segala ke-kontemporer-an hari ini adalah tentang ke eksotisan dan ke-lokalan?. Sejatinya dunia Timur tetap akan berkiblat ke Barat dan Barat akan selalu melirik ke Timur. “Satungtung neangan Kulon, Wetan deui wetan deui, oge sabalikna”. Bagi dunia luar eksotisme kita memang menjual. maka banyaklah seniman profan saat ini yang karyannya laku di Medan Seni Global, katakanlah Heri Dono dengan ciri khas instalasi wayang atau Eko Nugroho yang mengangkat isu lokal dalam kemasan

2 Siregar, Gesyada (2021) Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië. di akses 7 juni 2021. web: (https://salihara.org/ kategori/blog/).

mural dan drawing garis tebal khas keseharian. mungkin agak wajar bagi mereka, tetapi bagi kawula muda saat ini anggapan seni sebagai tingkah ganjil, ngasal dan hal itu dianggap kerennya saja tanpa landasan berpikir dan bertindak yang jelas, setidaknya bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Istilah “Estetik” juga ikut terbawam, “Estetik” kini cuma jadi sebutan buat foto-foto ala-ala cantik di sosial media. Tidak lagi berbicara tentang keindahan yang absolut. sementara untuk memahami estetika itu saya harus kunyah selama tiga semester.

Mengejawantahkan kesenian nyaris kepada sekadar berfokus pada kebutuhan ekonomi. Dampaknya adalah kesenian itu tidak akan lagi berkualitas. Kualitas estetik tidak lagi indah jika ditentukan oleh pasar, mengikuti pasar yang fluktuatif sangat embosankan, melelahkan. Lain lagi dengan hal yang progresif dan esensial.

Melihat semua kemolekan ini seumpama mencerap pemandangan lanskap dalam kereta; Indah dan berlalu begitu saja. Demikian percaturan seni rupa Garut hari ini. Mereka membuat kereta tanpa stasiun transit, menjajakan wisatawan dengan dayatarik klasik, sebuah keindahan palsu. Lihat saja maraknya pembangunan sarana wisata alam, namun membelek pegunungan sebagai lahan industri, kotak-kotak sawah desa juga perkebunan dilipat menjadi kotak-kotak komplek perumahan di kota kelam yang dulunya “Pangirutan”3 menjadi kota “Pangeureutan” (sisa potongan). Semua itu berdampak pada percaturan Seni rupa Garut yang terus menjajakan kemolekan tanggung, terkesan

mengawang-ngawang, kurangnya kebanalan dan keliaran kualitas estetik, terlalu utopisnya medan seni ideal, jika ingin mendobrak kemolekan, maka eksplorasi teknik belum cukup, sebab permainan dialektik mesti dicoba pula.

Seperti kepada alam, dilema antara cinta dan cuan ini agaknya naif jika berpihak pada satu pilihan saja. Misal, berposes/produksi karya, untuk memperoleh alat-bahan saja, kita mesti merogoh kocek yang tidak murah ditambah dengan prosesnya yang tidak mudah. Berkesenian agaknya memang sebuah pengabdian. Bahkan seni murni tinggallah nama, kemurnian itu tidak lagi nyata, atau tidak lagi memiliki nilai namun lebih ber-“harga”. Kemandegan perkembangan seni di Garut ini selain pada kualitas seni-nya, juga salah satunya adalah karena cuan juga.

28 29

Lalu bagaimana jika kesejahteraan sudah stabil, anggaplah seniman mapan? ya, mungkin berproses akan lebih mudah namun kekurangannya adalah kreatifitas akan menumpul sebab kenyamanan membuat kreatifitas stagnan. Berbeda dengan orang yang serba kekurangan, ia akn mencari cara untuk bisa berproses dengan segala keterbatasan, kreatifitasnya dipicu untuk berpacu dengan keadaannya. Sebab lain selain cuan, kesenian di Garut kurang berkenan karena didorong oleh lesunya perputaran ekonomi pasar seni rupa dengan hanya bergantung pada konsumen, kolektor yang nyaris tidak ada. Kemudian, menunggu dan mencita-citakan karya terjual bagi emerging Artist (seniman pemula) yang ingin setara dengan Establish Artist (seniman professional) tidak terwujud begitu saja, kurang

3

jeli melihat peluang lain yang boleh untuk dicoba, misal menciptakan pasar sendiri, mengadakan program edukatif, mengenalakan keberjarakan seni, bahwa pemasyarakatan seni adalah hal yang penting untuk menopang kecintaan dan minat masyarakat agar mereka paham dan siap menerima karya seni sebagai bagian dari kehidupannya. Kembali menjadi seni yang menyatu dengan spiritualitasnya, menyatu dengan aktifitasnya, seni yang tak terpisahkan dari kesehariannya dan bukan keseharian yang disenikan. Di sini, edukasi seni mesti digarisbawahi.

Maka masyarakat akhirnya akan paham dan mengerti bahwa mencintai seni itu adalah mencintai kehidupan itu sendiri. Seni dan lingkungan juga menjadi satu kesatuan, mengutip W.S. Rendra dalam puisinya

Kunto. (2014). Garut Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang (19421945). Sosiohumaniora. 16. 10.24198/sosiohumaniora. V16i1.5684. Bandung: UNPAD.

“…apakah artinya renda-renda kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan...”

Seni memang menyatu dengan lingkungan (Alam) secara luas. Seseorang pernah berkata kepada saya bahwa “Seni bukan solusi!”. Ya!, memang seni tidak memberikan solusi yang kongkret dan nyata, solusi yang menyelesaikan masalah saat itu juga, tapi ingat, Seni punya daya! untuk memicu sebuah solusi.

semoga tidak terlalu mencintai cuan apalagi mencuankan cinta, Cinta dan Cuan seperti paradoks, berlawanan namun mesti diharmonikan. Harmoni dalam perbedaan adalah tujuan akhir kita, Seperti kepada Alam, demikianlah Kesenian mesti diharmonikan.

30 31
Sofianto, 4 W.S. Rendra: Sajak Sebatang Lisong, dalam film ‘‘Yang Muda Yang Bercinta’’ (1977).

seonggok kalim

Oleh

Fadli Dzulkarnaen

Majelis Sastra

Wisata kalam, terdengar sangat berkerabat bukan? Yaa benar, Wisata Kalam adalah kata yang mungkin sudah lagi tidak asing untuk beberapa orang, namun makna dari

Wisata Kalam ternyata tidak seberkerabat itu. Wisata Kalam membawa saya kepada bagian yang cukup langka ternyata, cukup langka untuk kemudian saya selami. Kita mulai saja yaa, perlahan-lahan, kita selami, maknai, apa yang kemudian menjadi penemuan penemuan baru di dalam kehidupan kita, di dalam semesta pemikiran kita. Jujur keberangkatan saya hadir dalam diskusi ‘Wisata kalam’ itu hanya rasa ingin tahu, dari keingin tahuan itu pula saya mendapatkan pengetahuan pengetahuan baru, hal-hal baru, yang akan berdampak di kehidupan saya kemudian hari, yang akan menjadi sejarah bagaimana dan mengapa saya mengepal laku-lampah yang di dampaki oleh halhal tersebut, dari mulai arti wisata, esensi wisata, hingga problematika wisata.

Benar, benar bahwa kebenaran atas keingin tahuan seharusnya tidak akan menjadikanmu menjadi cukup, tidak ingin tahu, dan merasa tahu. Keingin tahuan itu tetap menjadi keingin tahuan, tetap! Seberapa banyak pun pelaku-pelaku sastra, perupa, hingga ustadz akhir zaman (mang Deden) menyuguhkan arti dan esensi dari ‘Wisata’, saya akan tetap ingin tahu.

Sesudah rasa keingin tahuan itu lahap menyantap sajian yang di suguhkan, saya jadi ingat, bahwa setiap penyantap harus juga berpartisipasi menjadi penyaji. Setelah ‘Wisata’ ada satu kata lagi ‘Kalam’, setelah mendengar kata ‘Kalam’ yang terpintas mungkin ‘kalimat, kata, sastra, atau alat untuk menulis, bahkan alat kemaluan laki-laki menurut KBBI V’ namun sayang, yang saya pikirkan bukan salah satu dari itu, yang saya pikirkan justru penafsiran dari salah satu buah karya Syekh Shonhaji dalam kitab karangannya (Jurumiyah). Tertulis dalam karangan nya di bab ke satu (Bab kalam)

41

kalam menurut Syekh Shonhaji ialah

Sedangkan Kalam atau kalimat adalah susunan dari kata-kata. Itu menurut KBBI. Menurut para Sufi, kalam adalah cerminan hati. Menurut para filsuf, kalam adalah buah pikiran atau gagasan. Lebih jauh lagi, kalam versi langit ialah firman Allah.

Kembali pada kalam menurut Syekh Shonhaji, kalam adalah satuan dari:

1. Lafadz yang saya tafsirkan sebagai wujud

2. Murokab

yang saya tafsirkan sebagai sosial/ keberkaitan

3. Mufid yang saya tafsirkan sebagai bermanfaat

4. Wadho’ yang saya tafsirkan sebagai kesesuaian/pernahan

Dari situ saya berfikir bahwa seluruh yang berada di muka bumi adalah kalam, atau kalim (salah satu dari yang empat), bahwa kemudian waruga diri manusia bisa di katakan lafad/wujud, dan manusia jelas murokab/makhluk sosial, karna keterbatasan dan kekurangan nya manusia adalah makhluk sosial, karna tidak ada manusia yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Lalu manusia di beri keharusan untuk bermanfaat bagi sekitarnya, karna manusia adalah Kholifah fil Ard; pemimpin muka bumi. Paling tidak manusia dapat memimpin keseluruhan bagian-bagian dari dalam tubuh nya, seperti jasad, akal, nafsu, hati dan sebagainya.

Manusia juga di peruntukan atas wadho’/ kesesuaian segalanya, seperti tadi, Manusia adalah Kholifah filard, atas kehendaknya manusia dapat mengatur kesesuaian yang berada di muka bumi. Alhasil kita adalah ‘Seongok Kalim’ yang diberi kesempatan untuk menjadi kalam, saya jadi teringat pada teman saya yang pernah bilang pada saya “ Jangan sombong, kita ini cuma sebongkah pantat yang di beri kesempatan untuk bernyawa”.

Dan mungkin hasil dari berbagai ilmu yang di sajikan di diskusi ‘Wisata Kalam’ dari mulai arti, ma’na, hingga problematika nya saya fikir titik temu nya ada di ‘Kalam’ itu sendri. Manusia itu bisa menjadi kalam, jika tidak ya jangan melucuti perkalaman yang lainnya, seperti pohon, dan manfaat yang diberikan pohon, juga keterkaitan pohon dengan alam, air, udara. Pula tata letak rimba yang harus terus di jaga, di lestarikan, dan di budi dayakan oleh kita selaku Kholifah filard.

menguliti kalam

dalam kulit

Bermula dari latar belakang saya sebagai pengrajin Tas Kulit, saya akan membahas dari sejarah kulit. Bahwa Tak diragukan lagi, pengolahan material kulit hewan adalah buah dari kemutakhiran daya pikir dan kreativitas manusia. Sejak periode paling purbawi sampai kultur paling modern bahkan era kekinian sekarang ini, kulit merupakan material kekal dan bertahan disetiap zaman termasuk dalam perkembangan desain dan fashion.

Beberapa manuskrip sejarah menuliskan tentang pengolahan kulit binatang ini telah berlangsung lama sejak zaman pra-sejarah sebagai metode bertahan hidup dan evolusi adaptasi manusia terhadap penyesuaian iklim ekstrem yang diadaptasikan pada material tempat tinggal dan pakaian.

Rekaman artefak kulit masa primitive 1300 SM melihat pemanfaatan kulit binatang bukan lagi sebagai makanan belaka namun juga sebagai suatu produk benda guna keseharian.

Seluruh peradaban manusia memiliki pengolahan dan teknik ekplorasi kulit yang khas, warisan kreatifitas ini bergulir secara turun temurun seperti penyamakan dan pengasapan. Yunani kuno menggunakan sandal sebagai kerajinan

dan pakaian sejak era Hormer (1200 SM).

Prevalensi manufaktur ini tersebar hingga

Mesir Kuno dan mendapat tempat bagi

Firaun. Di abad ke-14 M, hieroglyphs di Mesir kuno menerangkan gambaran pengetahuan tentang bagaimana orang

Mesir kuno membawa sebuah tas rajut

(Pouch) yang yang disebut dengan

“Girdles”, yang mirip seperti sabuk saat ini. Kecintaan kepada kemewahan benda berkilau saat itu digunakan untuk menutupi tas mereka dengan batu mulia sebagai simbol kemapanan.

Lompat ke era Roma, kulit diadopsi sebagai material kerajinan pelindung cover-shirt atau baju jirah perang bagi balatentaranya. Lain hal dengan kebudayaan Barat, di era abad pertengahan, sekitar abad ke16 M, orang-orang mencari sesuatu yang praktis & mudah untuk digunakan di keseharian namun memiliki kualitas dan sustainabilitas yang menjadi cikal bakal lahirnya penggunaan material kulit sebagai cetusan gagasan material.

Sementara Abad ke-17 M ditandai sebagai era ke-emasan kulit selanjutnya yang diikuti dengan pemutakhiran penyamakan dan pembentukan serikat dagang untuk memperkuat kendali kuasa atas teknologi dan bahan. Pengolahan dan penyamakan secara konvensional nabati mengalami pergeseran dan mulai punah perlahan di abad ke-19, ditandai dengan pengolahan kimiawi krommium yang melahirkan kwantitas dan varietas jenis kulit yang berbeda.

Oleh Aliyanto Majelis Malaikat

Saat ini, nyaris 80-90% penyamakan kulit di seluruh dunia mengaplikasikan teknik penyamakan kromium. Bukan hanya sebagai pakaian, era Victoria juga identik dengan penggunaan kulit sebagai sampul dan penjilidan. Namun, sampai saat ini produk pakaian dan tas kulit menjadi kebutuhan baik bagi pria maupun wanita.

Isu pasar material kulit sebagai pakaian dan aksesoris terus mewarisi era dan kultur pendahulunya yang fokus pada hal teknis, keahlian dan tradisi.

Branding yang terus berulang menguatkan peradaban menjadi kebudayaan. Misal;nya karakteristik kulit yang keras dan kasar menggambarkan gaya vintage atau alaala koboy (Aviator Aesthetic Cowboys) di Barat, menandai Era Perang Dunia II.

Bahkan, desainer terkenal hari ini masih berpegang pada kisah dan identitas sejarah kulit sebagai visi merancang dan menginovasi produk kulit masa depan.

Kearifan lokal, dan tradisi yang melekat sebagai trend dan fashion kulit terus dirunut oleh para desainer agar tetap mampu bergulir seiring perkembangan zaman, selaras dengan fleksibilitas material yang ikonik ini.

Ekplorasi penggunaan bahan dan material eksotis (buaya, ular, burung unta, dll) tampil dalam catwalk dan majalah terkenal (High-end) dan menjadi trend fashion yang kuat paten. Meski begitu, melacak eksplorasi mode masa depan tidak mudah, namun akan tetap mendapat tempat bagi budaya Modern terlepas dari gaya hidup dan produk keseharian.

Semua itu sejarah bagaimana

perkembangan kulit bisa sangat kuat sejarah dan karakternya karena kulit tidak terlepas dari perkembangan tulisan dan Kalam, orang dulu menulis tidak pada kertas melainkan pada kulit binatang yang disamak, juga kiab suci pada masanya. bahkan Nabi Adam A.S turun ke Bumi dari Surga tidak membawa apa-apa, Ia hanya membawa kulit tubuhnya.

Dalam dunia mistis, ada benda atau sering disebut azimat/ jimat bernama Hanalam, isim yaitu kulit hewan atau kulit janin Rusa yang ditulis mantra. Atau kulit harimau juga. pokonya yang dianggap sakral dan dianggap memiliki pengaruh terhadap pemiliknya. saya rasa kalam dalam kulit memiliki peran yang panjang seperti sejarahnya yang melekat.

Sementara bagi saya Wisata dan Kalam terkait dengan bagaimana dengan pariwisata dan souvenir, cenderamata, buah tangan atau marchandise. Wisata adalah awal mula adanya oleh-oleh itu, awal sebelum artefak itu. Kalam juga adalah bentuk nyata dari wisata itu sendiri. Katakanlah misalnya di SukaregangGarut, semua bentuk pariwisata itu akan menghasilkan produk (komoditas), begitu juga sebaliknya.

Maka saya selalu tidak akan puas di satu tempat ia akan terus bergerak, termasuk dalam eksplorasi material kulit, lebih jauh lagi, MAIN (brand kulit saya) tidak berhenti hanya di Brand dan produksi produk, ia akan memainkan bentuk-bentuk terunik dan terhalus, pindah dari awalnya wilayah penggunaan persorangan (personal) kepada pengembangan kelompok (komunal), baik dari ranah edukasi maupun secara praktik, saling belajar tentang wawasan dan kemungkinankemungkinan ekspansi material kulit itu atau Ia akan terus menjelajah ke ranah proses sosial, pemberdayaan kolektif kreatif, tindakan, ekspresi dan semangat kekriyaan. Main akhirnya menjadi sebuah spirit kebaharuan.

kata + makna = kalam

Oleh

Aliyanto

Artventure

Dalam kehidupan sekarang ini, semakin banyak orang yang direpotkan dengan berbagai kata, belum lagi pengendapan istilah-istilah atau kata-kata baru dalam ingatan, istilah-istilah baru muncul, dan maknanya seringkali ambigu. Apalagi jika istilah tersebut biasanya berasal dari serapan bahasa asing.

Kata “Kalam” sepertinya cukup sering diucapkan di dengar bahkan sudah tidak asing ditelinga dan kehidupan sehari-hari. Aliansi di bawah pohon, khususnya ikhsan Sopian Hadi mengajukan tema Wisata Kalam. Pertanyaan langsung berseliweran di kepalaku, tentang pentingnya memahami sesuatu kata dalam dimensi kata, bahkan kekuatan kata, dalam sastra juga ada istilah memberikan “ruh” pada kata.

Ini menarik. Kenapa menarik? Apakah seberapa pentingnya kata? dan mana kemenarikan katanya? Mungkin begini, kalau kita ingat-ingat lagi kalimat atau kata yang kita maknai, selalu kata atau kalimat yang belum banyak digunakan. Istilahnya belum tercemar kesan dengan kelompok tertentu. Banyak kata yang sekarang ini mengalami “pemerkosaan”.

Dalam arti melenceng dari kesepakatan awal. Untuk memahami peta mainstream linguistik sebuah terminologi, kita sebenarnya cukup saja melihat substansi dan esensi kata tersebut. Ambil contoh kata “anjing”, Kata anjing ini sering dimaknai dan anggap kata yang jelek. Padahal kata itu tidak bisa berdiri sendiri, kata itu bisa jadi bermakna baik dan buruk tergantung kata awalnya gimana dan akhirnya seperti apa, Ketika itu semua sudah dipahami kita bisa menyimpulkan baik dan buruknya sebuah pesan.

Kata-kata adalah kata. Kata mesti bebas dari beban pengertian. Kata memang tidak sesederhana urusan deretan huruf

atau sekadar ucapan. Kata sudah memiliki tanggung jawab besar menyampaikan makna yang terkandung di dalamnya.

Kalau berbicara perihal Kalam, apakah kalam itu deretan kata menjadi kalimat yang diperindah dan bertaburan substansi? Apakah ‘Kalam’ itu bukan Kata itu sendiri tapi pemaknaan manusia yang membuatnya tumbuh kearah yang lebih baik. Kalau berbicara tentang pemaknaan ini adalah perangkat yang khas yang dimiliki oleh Manusia. Perangkat yang bernama Pemaknaan Inilah yang yang membedakan Manusia dengan Hewan secara jelas. Pemaknaan itu timbul dari informasi yang diserap oleh panca indra kemudian diproses oleh otak dan

dimaknai oleh hati. Pemaknaan itu bisa berevolusi menjadi kreativitas, imajinasi, ilmu pengetahuan bahkan bisa menjelma menjadi cinta itu sendiri. Setiap berdiskusi kami mencoba bermain dengan katakata dan pemaknaan sampai kedalaman substansi dan dimensi substansi. Pola diskusi dan apa yang didiskusikan terhadap pemaknaan, kami terapkan dengan pola “bermain”. Ciri khas “bermain” dalam “permainan” kita bersatu, menyatu dengan realitas dunia luar, tidak ada jarak, hingga pemilihan subjek di sini tidak relevan lagi, subjek melebur menjadi objek, begitu juga sebaliknya, pemain dan orang yang dimainkan tidak lagi Jelas (seorang pemain, bola memang bermain dengan bola, tetapi juga dimainkan oleh

bola: penyair “bermain” dengan katakata, sementara dia “dimainkan” dengan kata-kata, Apresiasi bersifat komprehensif dan mencakup pemikiran, perhitungan, perasaan, intuisi, dan imajinasi. Karena itu, saat bermain, justru saat itulah ia manusia paling serius dan super serius.

Ini memang sebuah paradoks. Inilah sebabnya mengapa orang lupa makan, tidur, dll. ketika mereka sibuk bermain: Jelas bahwa dalam proses “permainan” seperti itu, yang muncul bukanlah orangnya, isi pesannya, atau bentuk kata itu sendiri, melainkan: kesadaran/ perasaan baru tentang kenyataan.

menyesatkan

diri

‘Alam Liar’ bukan hanya sekedar hutan dan hewan buas. Justru keterasingan dalam lingkungan kota, bisa amat liar dan buas, menimbang sistem yang terjadi di peradaban Urban saat ini. Politik, kebudayaan dan ekonomi yang semakin membabi buta adalah bentuk keliaran lain, membuat orang-orang menjadi asing pada tempatnya.

Keliaran itu akhirnya berada pada alam pikir dan penyikapan manusia itu sendiri. kalau berbicara tentang tersesatnya manusia amat sangat rentan masuk keadan sesat ini. Apalagi manusia mempunyai kekuasaan, jabatan, hawa nafsunya yang menggebu-gebu ini bukan orang yang tersesat lagi tapi orang jenis ini termasuk orang yang menyesatkan dirinya sendiri. Jenis ini manusia yang memelihara seperti sifat sombong karena sifat sombong ini bisa membutakan rasa dan mata hati dan

inilah menjadi penutup rahmat Tuhan.

‘Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka’ (Ali Imran: 159).

Pelatihan pemaknaan terhadap kata lalu dimaknai keseluruh dimensi kehidupan sehari dimaknai, diresapi dan perenungan dari berbagai sudut pandang. adalah metode pembacaan kalam itu sendiri. Secara etimologi Bahasa Arab, alam yang bersumber dari akar “A’lima,-Ya’lamu” bermakna “Mengetahui”. Dari kata ini terbentuk kata alam yang menjadi -tanda atau petunjuk.

Kemudian terbentuk lagi kata “A’lamah” yang bermakna suatu anda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (Ma bihi Ya’lama’la Say’in) dari kata tersebut, dapat diperoleh bahwa alam adalah suatu petunjuk (baik di langit maupun di bumi) menjadi dasar ilmu tentang membaca tanda-tanda dan alam sebagai difraksi dari sifat ketuhanan.

ekstraksi & kontemplasi

Oleh

Ravi Wibowo

Narpati Coffee

Mengekstraksi pemikiran, dan menjadikannya sebagai tulisan, sebagai jejak pemikiran karena kami merasa terus dinamis, hal yang kita amini sekarang belum tentu kita amini, esok lusa atau tahun depan, bisa saja berkembang, bertambah atau bahkan berkurang.

Kami rasa Ikhsan sudah cukup gamblang membuat pengantar. Penalaran pendek akal kami tentang “Kalam” yang dibahas Ikhsan ialah medan atau medium kami berkarya. Industri atau bisnis atau pekerjaan yang kami tekuni, seiring dengan berjalannya waktu, idealisme kami tentang karya makin adaptif-realistik, dalam artian, dengan pegangan “ideal” yang kami aplikasikan pada produk/jasa yang kami tawarkan, sudah tentu berkualitas baik, karena yang baik belum tentu ideal.

Dengan demikian kami harus membuat produk/jasa sebaik mungkin agar pelanggan kami tidak kecewa.

Karena setelah ada pelanggan yang puas dengan produk/jasa yang kita tawarkan, sudah tentu orang tersebut tidak ragu untuk memberikan informasi tentang kita kepada orang lain.

Dalam ilmu marketing atau pemasaran ini disebut dengan Word of Mouth, atau dalam bahasa Indonesia, dapat ditafsir sebagai strategi pemasaran dari mulut ke mulut, meski strategi ini dinilai tradisional, namun dilansir dari situs The Balance, strategi ini masih efektif untuk meningkatkan penjualan.

Dilansir dari situs Listaka, Kopi masih menjadi komoditas nomor dua paling banyak diperdagangkan di dunia setelah minyak mentah.

Manusia di seluruh dunia diprediksi mengkonsumsi sekitar 1,6 miliar cangkir kopi setiap hari. Kopi banyak diproduksi di wilayah

-

Asia Tenggara, Amerika Latin dan

Afrika. Sementara konsumen kopi terbesar berasal dari kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Saat ini 1/3 dari seluruh kopi yang diproduksi di dunia berasal dari Brazil. Tak heran, Brazil menjadi produsen kopi terbesar di dunia. Indonesia menempati posisi keempat.

Ide Specialty kopi, Setelah industri kopi gelombang ketiga dimulai, yang berfokus pada peningkatan kualitas bahan baku, dengan harga yang berbeda dari kopi komersial, Origin atau tempat asalnya pun dijual, misal kopi yang kami produksi ialah, Kopi Cigedug, Gunung Cikuray, Garut. Kebun kami di ketinggian sekitar 15001600 mdpl, ketinggian penanaman pun mempengaruhi karakter kopi. Suhu yang sejuk mengakibatkan perlambatan pematangan buah pada dahan kopi mengakibatkan beras/green bean kopi lebih padat, ini juga berpengaruh terhadap cara roasting dan cara penyeduhan.

Melansir dari situs Barista Hustle, ekstraksi ialah pada saat air dan kopi menyatu, banyak hal yang terjadi, hal yang paling mudah dipahami ialah air melarutkan banyak rasa yang terdapat pada kopi.

Nah itu adalah proses singkat dari ekstraksi pada kopi yang sering kita jumpai di kedai kedai kopi kekinian.

1. Suhu air, kuncinya adalah semakin panas suhunya semakin cepat waktu penyeduhanya, suhu penyeduhan bisa berkisar antara 90-96°C

2. Ukuran gilingan, semakin halus gilingan kopi, semakin banyak area permukaan kopi untuk ekstraksi, contohnya gilingan untuk espresso lebih halus daripada untuk pour over dan setidaknya bisa dibedakan secara rasa, lebih intens espresso.

3. Waktu penyeduhan, setiap metode seduh mempunyai waktu seduhnya

masing-masing seperti pour over v60 dengan gilingan medium bisa

3 menit, dan French press dengan gilingan agak kasar sekitar 5 menit.

4. Agitasi, adalah upaya untuk mengaduk kopi saat penyeduhan, semakin tinggi agitasi semakin pendek durasi penyeduhan. Dilakukan agar distribusi air pada kopi merata.

5. Rasio air terhadap kopi. Perbandingan kopi terhadap air, bila di resep 1:15 berarti 1gr kopi untuk 15 ml air, Untuk pour over biasanya berkisar 1:15-1:18

Memang agak sulit untuk membahas variabel di atas tanpa praktik, mendiskusikan pelbagai perubahan variabel terhadap hasil seduhan, toh tidak ada resep yang absolut, semua kembali terhadap selera masing-masing, ada yang suka intensitas tebal, biasanya menggunakan rasio 1:15 atau agak tipis, ringan boleh di coba pada rasio 1:17 atau 1:18. Ini adalah proses penyeduhan kopi specialty. Ekstraksi kopi bisa kita saksikan dengan mudah di meja bar kedai kopi terdekat, menjadi bagian dari pertunjukan dari barista, skill barista untuk menyeduh mengutak-atik resep seduhannya

bisa jadi nomor dua, yang utama adalah hospitality, menurut kami kopi bagi segmen pasar awam atau yang memang datang hanya untuk ngaso, selera bisa menjadi sugestif, tergantung sugesti atau rekomendasi barista ke si pelanggan dan obrolan ringan tentang kopi yang di sugestikan oleh barista pun bisa berkesan untuk si pelanggan. Toh orang yang sudah paham atau mengerti kopi biasanya, dia sudah tahu apa yang dia mau dan selama itu kopi bakal dia minum selama kopi itu baik. Dan dibandingkan dengan pasar awam, sepertinya masih banyak jumlah pasar awam.

Perjalanan panjang biji kopi mulai dari menjadi biji, lalu kira-kira dibibitkan selama satu tahun, hingga pohon yang mulai produksi sekitar tiga tahun. Mulailah pada proses pasca panen, kita ambil sample saja paling mudah proses full wash atau washed, diakui sebagai rasa asli dari kopi karena memang, rasa dan karakter kopi tidak dipengaruhi oleh daging kopi seperti pada proses lain, misal proses Natural yang dijemur langsung dengan kulitnya atau Honey sama seperti washed tapi tidak direndam dengan air selama 24 jam.

Proses washed, setelah kopi dipanen, kopi disortir dalam air, kadang ada ceri terlihat matang tetapi dalam air ceri kopi mengapung, setelah ceri mengapung tadi dipisahkan, ceri yang tenggelam digiling menggunakan mesin pulper untuk memisahkan cangkang atau kulit kopi dengan gabah, setelah itu gabah direndam atau difermentasi dalam air bersih sekitar 12-24 jam, keesokan harinya gabah dibilas dengan air bersih dan dijemur sekitar 7-14 hari tergantung pada cuaca. Setelah menjadi gabah kering, gabah di-huller untuk memisahkan beras kopi atau green bean. Itu pun masih perlu disangrai/

di-roasting. Lebih jauh lagi ada sesi resting di setiap tahapan tadi, setelah penjemuran gabah kering sekitar satu bulan sebelum dihuller, satu bulan setelah di-huller sebelum di-roasting, dan sekitar 7-14 hari setelah di-roasting. Setidaknya perlu 3 bulan dalam sekali proses untuk menjadi roast bean.

masing peran pun misal, petani kopi dengan pupuk/nutrisi dan perawatan pada pohon kopi, pada prosesor pun punya SOP nya masing-masing, roaster dengan profiling pada kopi, dan barista menyeduh pun setidaknya ada lima variabel.

Segmen pekerjaan kopi memang banyak, kelas kejuruan di sekolahsekolah kopi pun ada masingmasing, Petani/prosesor, Barista, Roaster, memegang peranannya masing-masing, masih banyak hal yang bisa dibahas dalam masing-

kontemplasi “wisata kelam”

Wisata Kelam, kemah kali ini tidak meninggalkan kesan cukup baik bagi kami, setidaknya bagi kami pribadi. Mungkin beberapa tahun kebelakang suasana Batu Lempar tidak seperti kemarin, yang sekarang telah menjadi destinasi wisata. BL sudah berisi bangunan buatan manusia, warung, serta printilan “tempat wisata” dalam tanda kutip.

Sebelum menjadi destinasi wisata, temanteman Aliansi Di Bawah Pohon terbilang cukup sering mengunjungi BL tanpa ada pernak-pernik wisata (tugu love dengan tangga pijakan, dicantumkan tulisan disewakan) sebenarnya BL sudah cukup menjadi tempat kami “keluar” dari hirukpikuk perkotaan. Cukup lah mungkin bagi kami tenda dan api unggun saja. Kalau pun BL akan dibenahi sebagai camp site, misal mungkin sanitasi harus dibuat dengan baik.

Sekitar h-7 acara pun teman-teman masih berkutat dengan izin kemah, kami pikir semua sudah tertib, karena ya 7 hari tentu cukup untuk mencari penanggung jawab tempat dan meminta izin dan membereskan secara administratif, ternyata tidak, hal yang paling kami hindari adalah miskomunikasi dan kali ini masih berkaitan dengan izin, H-jam saja, kami masih dipertanyakan izin kami. Kami pribadi sudah punya firasat ini akan menjadi acara yang tidak nyaman.

Dan betul kesana kemari, berbagai pihak meminta retribusi. Kalau retribusi satu pintu, tentu sudah bisa selesai pra acara, namun yang terjadi, pasca acara pun kami harus mengalami hal-hal yang tidak mengenakan. Ketidak ramah tamahan. Pelbagai pihak berdatang meminta retribusi bak burung bangkai merecoki bangkai kerbau. Nyolot, melotot, keukeuh, saling menyalahkan. Kami pun sebagai turis merasa bingung.

Terlepas dari personal yang kurang ramah tentu ada baiknya agar kita bijak, misalkan sebagai penyedia jasa tempat wisata tentu harus ada tata kelola yang digantungkan pada dana retribusi yang dipungut secara sukarela dari wisatawan, bukan? Selain objek wisata apalagi yang bisa kita tawarkan selain keramahtamahan atau hospitality.

Keramahtamahan tidak pernah meninggalkan kesan buruk. Dilansir dari situs Jatengprov, Kadin Disparpora kabupaten Batang, menyebutkan bahwa konsep 3A harus diupayakan di objek wisata daerah, diantaranya;

1. Atraksi atau apa yang bisa dilihat dan dilakukan oleh wisatawan di destinasi tersebut. Bisa keindahan alam, budaya masyarakat setempat, peninggalan bangunan bersejarah, serta atraksi buatan seperti sarana permainan dan hiburan.

Ini harus unik dan berbeda. Dengan apa yang kami alami, setelah BL menjadi destinasi wisata meski asrinya sungai dan pohon pinus masih bisa dinikmati di pagi hari, tapi sinar lampu warung pada malam hari yang cukup terang seakan mengejek kami untuk bisa menikmati asrinya hutan pada malam hari.

2. Aksesibilitas, adalah sarana dan infrastruktur untuk menuju destinasi, seperti jalan raya, ketersediaan sarana transportasi, dan rambu-rambu penunjuk jalan. Untuk akses menuju lokasi kemah dalam hutan yang biasanya ditempuh dengan berjalan kaki bagi kami cukup, hanya saja parkiran dan keamanan akan kendaraan yang kami bawa yang kami simpan cukup jauh di lahan yang diperuntukan untuk parkir menurut kami belum ada pihak yang sepenuhnya bertanggung jawab.

Karena memang tiket masuk pun belum sepenuhnya dikelola oleh perangkat setempat. Jadi kami hanya dikenakan biaya parkir kendaraan.

Memang ada halaman rumah warga yang dekat dengan lahan parkir yang bisa untuk menitipkan kendaraan, namun dengan jumlah kendaraan dan waktu akses yang terbatas.

3. Amenitas. fasilitas di luar akomodasi, seperti rumah makan, restoran, toko cinderamata, dan fasilitas umum seperti sarana ibadah, kesehatan, taman, dan lainlain. Sanitasi seadanya, yang bahkan kami ragu untuk menggunakannya. Warungwarung kosong yang ditinggalkan, hanya beberapa yang berisi, warung kosong tersebut hanya menjadi sampah.

Setelah itu tentu kita akan membahas sumber daya manusia yang menyediakan/ mengelola destinasi wisata, walaupun BL diusung sebagai destinasi wisata yang menjajakan alam, tentu akan dikelola oleh SDM sekitar BL, namun bisa menjadi catatan ialah;

Dalam sektor pariwisata, Hospitality memiliki arti sebagai keramah tamahan, kesopanan, keakraban dan juga rasa saling menghormati. Jika dikaitkan dengan

industri pariwisata, dapat diibaratkan bahwa hospitality merupakan roh, jiwa, jantung, dan semangat dari pariwisata itu sendiri. Tanpa adanya hospitality dalam pariwisata, maka seluruh produk yang ditawarkan dalam pariwisata itu sendiri seperti benda mati yang tidak memiliki nilai untuk dijual (S. Pendit, 2017 : 152).

Keramah tamahan selalu meninggalkan kesan yang baik, dari yang kami alami kemarin, sepertinya untuk kembali berkemah di BL perlu berpikir duatiga kali. Idealnya kita sebagai penyedia jasa destinasi wisata untuk bisa mengembangkan setidak untuk diri kita sendiri, pun bila kita menjadi pelancong, berwisatalah dengan benar, sadar diri, agar tercipta kenyamanan, tertib.

Verba Volant, Scripta Manen.

TERIMAKASIH PARA PESERTA

WISATA KALAM

ACEP SETIAWAN NUGRAHA

ABDUL AZIZ

ALAENA SURUROH

ALIT

ALIYANTO

ALWI AWWALUDDIN

ANDRI ADITIA

ARI AHMAD RIADI

ARIS HIDAYAT

DEDEN WAHYUDIN

DADAN WILDAN

ELWID PEBRIAN

FADLI DZULKARNAEN

FAHRUL ROZI

FAUZI SALMAN

FU’ADI

HUSNA HARDIANA

IKHSAN SOPIAN HADI

ILMI JOEHARY AKBAR

ILHAM MUBAROK

IRFAN ARIFUDIN

IWAN

LUCKY FEBRIANSYAH

MELDA HARDIKANISA

MUHAMMAD RIZQI MATOR

MUSTOPA KAMIL

MUHRIM

RADEN ADIPATI

RAVI WIBOWO

REIHAN NURAHARJA

RIFKI AHMAD F

RIZKI AL ZAELANI

RIKSAN ANUGRAH HATI

ROHMAT

SALMA KAVIYA

SITI NABILA NURAVIATI

YUSRIL FAJAR FADILA

THe

ALIANCE KEEPER’S partneship

@Aliansidibawahpohon

Aliansi Di Bawah Pohon

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.