Pandu pajak agustus 2013

Page 1


JAKSEL MENYAPA

“Asbabun Nuzul”

P

asca diterbitkannya PP 46 berbagai kontra langsung muncul. Banyak tanggapan hingga kritik mengiringi terbitnya PP tersebut. Anggapan miring bahwa tidak ada keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dalam penetapan kebijakan PP 46 terus menggelayuti. Intinya hampir semua tanggapan, kritik dan masukan disuarakan hanya untuk kontra terhadap terbitnya PP ini. Semua tanggapan memang tak salah diajukan ketika kita membahas sebuah kebijakan. Tentunya kritik dan masukan terhadap terbitnya suatu kebijakan pun bukanlah hal yang masygul untuk diucapkan di negara yang penuh demokrasi. Tak ada yang salah dan benar dalam kritik maupun tanggapan tersebut. Namun yang perlu dipertanyakan apakah benar cara kita menyikapi terbitnya PP 46 dengan sedramatisir sekarang dan penuh keragu-raguan? Inilah pertanyaan pokok yang harus kita cermati. Menerawang lebih jauh, tak seharusnya kita selalu memberikan kritik berlebihan terhadap terbitnya suatu kebijakan. Akan lebih bijak lagi jika kita mau melihat "Asbabun Nuzul" yang mendasari kebijakan tersebut diterapkan. Dalam kaitannya dengan PP 46, banyak dugaan bahwa PP ini adalah rancangan bom waktu yang dibuat tanpa memikirkan efek kepada wajib pajak, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun sesungguhnya jawaban itu keliru. Sebagai sebuah bangsa yang sangat mengandalkan unsur pajak dalam pembiayaannya sudah sewajarnya kita semua menyadari bahwa beban penerimaan pajak itu harus dibebankan secara rata. Pada sisi ini, Asbabun Nuzul PP 46 lebih ditegaskan sebagai tonggak keadilan horizontal dengan mengenakan pajak yang tidak pandang bulu terhadap semua sektor usaha. Kalau dicermati dalam PP 46 tak hanya mencakup UMKM yang dipajaki, PP 46 pun berlaku bagi perusahaan-perusahaan lainnya dan inilah bukti Asbabun Nuzul tadi. Sebuah filosofi penerbitan PP 46 pun tak lepas dari keterkaitan Asbabun Nuzul pembelajaran. Pembelajaran dimaknai dalam PP 46 dengan memberikan sebuah kesimpelan dalam penerapan PP 46 yang hanya mengenal satu tarif, satu cara, dan satu persen dalam pengenaannya. Ini merupakan kesederhanaan di tengah banyaknya pihak yang sering mengeluhkan sistem teknis perpajakan yang rumit, kaku dan flesibel. Melihat kondisi ini, Pandu Pajak edisi kali ini akan memfokuskan pembahasan terhadap PP 46. Pembahasan secara detail terkait PP ini akan dijelaskan dengan gamblang di kolom Pandu Utama. Lewat tulisan berjudul "Rasa Keadilan dan Asa Kemandirian", Pandu Pajak mengajak pembaca menyikapi terbitnya PP ini secara lebih netral. Pandu Pajak akan

memberikan pandangan tentang baik dan buruknya PP ini dan bagaimana sudut pandang kita dalam menepis anggapan PP ini tak pro kepada UMKM. Selain itu, tepisan anggapan PP 46 yang tidak pro rakyat pun semakin disuarakan oleh Nasril Bahar, anggota Komisi VI DPR RI, yang secara langsung komisinya diamanahi untuk mengurusi UMKM. Beliau memberikan pandangan bahwa peletakan dasar PP 46 sebenarnya merupakan insentif bagi pelaku usaha. Buah pikiran lengkap beliau dapat dinikmati pada kolom Opini. Selain itu, anggapan PP 46 yang tidak pro rakyat semakin dipertegas di kolom sumbang suara. Suhastin, Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Kanwil DJP Jakarta Selatan menyuarakan bahwa penerapan PP 46 sesungguhnya tidak perlu ditanggapi dengan nada pesimis atau teriakan penolakan. Lewat tulisannya "PP 46, Bukan Barang Baru", beliau membagi pendapatnya bahwa penerapan PP tersebut bukanlah hal yang aneh dan mencolok. Untuk lebih menyadarkan pembaca akan penerapan PP 46,seperti biasa Pandu Pajak pun tak sungkan memberikan informasi pengetahuan bagaimana sesungguhnya sisi teknis perpajakan PP 46. Semuanya dapat pembaca nikmati di kolom Edu Pajak. Pada sisi terakhir tetap akan ada hasil jepretan para cameraman anyar. Jika biasanya jepretan yang dipajang merupakan hasil karya para cameraman Kanwil DJP Jakarta Selatan, kali ini giliran cameraman Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Selatan yang beraksi Tema foto yang diusung masih seputar aktivitas kelas pajak e-spt yang tengah digalakkan di tiap-tiap KPP. Tak lupa juga di penghujung bulan yang penuh dengan keberkahan ini, kami segenap keluarga besar Kanwil DJP Jakarta Selatan mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriyah, Mohon Maaf Lahir dan Batin". Semoga kita semua kembali fitri dan terbebas dari dosa. Amin. Mari bersama-sama kita dukung kebijakan PP 46. Tak boleh mengeluh atau merasa tak adil. Ini semua demi bangsa, demi kemakmuran negeri. • (Dedy Antropov) www.kanwiljaksel.pajak.go.id Kanwil DJP Jakarta Selatan @djpjaksel Redaksi menerima tulisan Saudara, baik opini, artikel maupun pendapat. Silakan mengirimkan ke pandupajak@gmail.com

Pembina: Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan • Pengarah: Kepala Bidang P2Humas • Dewan Redaksi: Kasi Penyuluhan, Kasi Pelayanan, Kasi Humas • Redaktur Berita: Dedy Antropov, Aris Hidayat Kurniawan, • Redaktur Foto: Eko Cahyo Putranto, Mahyudin • Tim Layout: Firmania Ayu Ambari • Sekretariat: Fera Fanda • Alamat Redaksi: Bidang P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Selatan Gedung Utama KPDJP Lantai 24 Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42 Jakarta Selatan 12190 • email: pandupajak@gmail.com.


OPINI

PP 46/2013, Insentif Bagi Pelaku Usaha Oleh: Nasril Bahar (Anggota Komis VI DPR RI)

P

emerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 (PP 46) baru saja memberlakukan pajak sebesar satu persen bagi sektor usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Penerapan tersebut akan didasarkan pada peredaran usaha (omset) tidak seperti biasanya yang diterapkan kepada Penghasilan Kena Pajak (PKP) wajib pajak. Penerapan kebijakan ini bagi saya tidak akan menyulitkan UMKM. Banyak anggapan yang menilai bahwa penerapan PP 46 akan memberatkan beban wajib pajak UMKM, padahal sebenarnya dengan terbitnya PP 46 pelaku UMKM seharusnya merasa diuntungkan. Pelaksanaan PP 46 adalah gambaran bagaimana usaha pemerintah membantu sektor UMKM tumbuh menjadi sektor formal sehingga lebih mapan dan sejahtera dalam usahanya. Tujuan mulia ini pun menepis isu bahwa penerapan PP 46 sarat dengan isu peningkatan revenue negara yang kurang optimal dari pajak. Memang

PANDU PAJAK

unsur pendapatan negara selalu mendapat porsi dalam pengkajian penerapan kebijakan ini, akan tetapi tujuan utamanya tetap mendukung UMKM tumbuh menjadi sektor usaha yang mampu berkontribusi juga bagi perekonomian tidak seperti selama ini yang lebih banyak bergelut di industri dasar dan gampang tergerus oleh kondisi perekonomian. Kita bersama mengetahui bahwa UMKM selama ini masih bergelut dengan akses keuangan dan akses pasar. Kedua akses tersebut kerap menjadi penyakit laten akibat kesalahan legal prosedur pada saat pengajuan modal ke lembaga keuangan. Atas dasar ini inisiatif menjadikan UMKM sebagai sektor formal merupakan langkah brilian dalam meretas sedikit demi sedikit permasalahan tersebut. Kita juga mengetahui bahwa banyak UMKM yang kandas usahanya akibat struktur permodalan dan gagal memperoleh pasar. Permasalahan ini mengakibatkan banyak UMKM kita cenderung dibina oleh pihak asing dan mematikan potensi pelaku UMKM lokal. Misalnya seperti UMKM yang ada di Jepara dan Bali. Di daerah tersebut memang UMKM berkembang cukup pesat namun pesatnya perkembangan tersebut diotaki oleh pihak asing. Pihak asing yang memiliki modal dan akses pasar di negara asalnya bergabung dengan pengusaha lokal yang hanya bermodal skill. Lewat simbiosis ini memang sektor UMKM menjadi berkembang namun akhirnya kembali yang menikmati tidak seutuhnya pengusaha lokal. Jadi tidak seharusnya kita menyalahkan penerapan tarif pajak 1 % lewat PP 46. Kita seharusnya mendukung dan UMKM pun juga harus patuh dengan

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

penerapan pajak ini. Secara ekonomi pun penerapan pajak ini tidak terlalu memberatkan. Pelaku UMKM cukup membayar 1% saja dari peredaran usahanya yang saya anggap jauh lebih menguntungkan ketimbang mereka memanfaatkan tarif pajak yang berlaku sesuai Undang Undang Pajak Penghasilan yang menggunakan tarif efektif 12,5 %. Ini merupakan insentif yang harus dimanfaatkan UMKM. Kebijakan ini sudah sangat meringankan dan bagus untuk diterapkan agar UMKM juga sadar dalam perannya memberikan kontribusi pada penerimaan negara. Sebagai tambahan juga, penerapan PP 46 turut memberikan kesederhanaan bagi wajib pajak dalam menghitung pajaknya. Gambaran saat ini yang melihat perhitungan pajak dengan anggapan ribet, tidak simple, kaku dan kurang fleksibel mengakibatkan banyak pelaku UMKM kurang tertarik dengan pajak dapat diatasi dengan berlakunya PP 46 yang memberikan kesederhaan dalam sistem perpajakan secara final dan tarifnya yang 1 %. Tentunya juga, Ditjen Pajak pun harus berbenah. Sebisa mungkin harus terus dilakukan sosialisasi kebijakankebijakan terkait UMKM dan kalau bisa diberikan sebuah Kantor Pelayanan Pajak yang khusus untuk pelaku UMKM. Kalau ini ada, pelaku UMKM akan cenderung mudah mendapat akses informasi dan merasa dibantu dalam pembayaran pajaknya.

AGUSTUS 2013

•(pp)

3


PANDU UTAMA

Rasa Keadilan dan

foto repro;wwww.kemenkop

Polemik pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu terus menjadi pembahasan di kalangan akademisi hingga pelaksana lapangan yaitu para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

W

alaupun secara eksplisit UMKM tidak disebutkan secara langsung dalam PP tersebut namun pengatasnamaan wajib pajak yang memiliki peredaran usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 M dalam satu tahun pajak secara tidak langsung menyinggung para pelaku UMKM yang menjadi sasaran utama dalam penerapannya. Atas pelaksanaan peraturan ini, terjadi keresahan bagi para pelaku UMKM. Pelaksanaan peraturan ini dianggap menambah beban bagi pelaku UMKM ditengah kondisi usaha mereka yang masih bisa dikatakan megap-megap akibat keterbatasan modal dan masih harus dibebani lagi dengan pemberlakuan pajak ini. Para pelaku UMKM pun merasa pemerintah seakan-akan memberatkan peran mereka dalam mengembangkan usaha padahal seharusnya

4

mereka sangat mengharapkan peran pemerintah sebagai salah satu unsur pendukung usaha mereka. Pro dan kontra pun terus bersliweran terkait pelaksanaan PP ini. Kalangan ekonom hingga akademisi mengganggap kebijakan ini kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Memang sampai saat ini peran UMKM belum terlalu mencolok dalam hal penyumbang pajak ke negara namun peran mereka sangat kentara terlihat dalam pengentasan pengangguran hingga penyerapan lapangan kerja lewat basis bisnis mereka yang kebanyakan masih menggunakan tenaga manual. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, UMKM telah berhasil menyerap hingga 101 juta penggangguran. Secara ekonomi kita bersama tahu bahwa jika terjadi penerapan beban yang terlalu tinggi kebanyakan perusahaan akan cenderung mengambil

PANDU PAJAK

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

keputusan untuk mengurangi penyerapan biaya yang berasal dari tenaga kerjanya. Misalnya seperti saat Indonesia memasuki era krisis moneter di tahun 98-an. Kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan akibat kenaikan harga dan biaya-biaya lainnya membuat tenaga kerja yang menjadi korban. Tingkat pertumbuhan pengangguran langsung melesat naik pada saat itu. Pertimbangan inilah yang membuat para ekonom merasa kebijakan ini dianggap salah kaprah. Penerapan kebijakan ini berpeluang menghambat kelangsungan usaha banyak UMKM yang masih belum bisa dikatakan berdikari dengan usahanya selama ini. Terhambatnya kelangsungan UMKM ini nantinya akan berdampak munculnya banyak pengangguran yang berAGUSTUS 2013


PANDU UTAMA

Asa Kesadaran

potensi mengacaukan kondisi perekonomian Indonesia ke depannya. Pembebanan biaya pajak yang dibebankan kepada peredaran usaha (omset) pun menjadi kendala selanjutnya. Penerapan ini dirasakan sangat menyusahkan melihat usaha UMKM yang sering bermasalah dengan peredaran usahanya. Permasalahan timbul akibat para pelaku UMKM belum menguasai teknis perhitungan perpajakannya yang membutuhkan pembukuan atau pencatatan sebagai dasar dalam menghitung pajaknya. Sebagai usaha yang kebanyakan masih berkutat di lini produksi dasar, UMKM kerap kesulitan dalam menerapkan metode pembukuan atau pencatatan yang menjadi dasar dalam pembayaran pajaknya. Kendala ini bisa jadi diakibatkan sisi pengetahuan

PANDU PAJAK

sumber daya manusia pengelola UMKM yang kurang mendukung, kondisi lingkungan UMKM hingga metode transaksi yang lebih memakai konsep tunai tanpa ada pencatatan hingga rincian transaksi. Padahal PP 46 sangat memperhitungkan unsur peredaran usaha sebagai dasar pemajakannya sementara di sisi para pelaku UMKM sendiri masih kesulitan menerapkannya. Selain itu penerapan kebijakan ini pun dirasa kurang tepat waktu. Kondisi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang baru saja diumumkan tentunya berdampak pada para pelaku UMKM. Tingginya harga bahan baku pasca kenaikan BBM yang sudah memusingkan para pelaku UMKM masih harus ditambah dengan penerapan kebijakan PP 46.

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

Berbagai kekurangan-kekurangan ini menjadi pembahasan yang terus menerus disuarakan oleh pihak - pihak yang kontra akan penerapannya. Pertanyaan mengarah kepada instansi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), apakah masih pantas penerapan kebijakan ini diberlakukan?

Keadilan Horizontal Pertimbangan pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1 % dan bersifat final terhadap UMKM pada dasarnya diawali atas rasa keadilan yang ingin diberikan kepada seluruh wajib pajak. Peran UMKM dirasakan belum terlalu memuaskan jika dibandingkan dengan jumlah pelaku UMKM yang ada di Indonesia. Beban penerimaan masih diarahkan kepada pelaku usaha besar sehingga persentase

AGUSTUS 2013

5


PANDU UTAMA kontribusi pajak UMKM kepada penerimaan negara menjadi timpang. Perumusan PP 46 secara tidak langsung memang menyasar pelaku UMKM untuk turut serta memberikan kontribusi terhadap penerimaan perpajakan. Berdasarkan data yang ada, saat ini UMKM menyumbangkan 61 % dari Produk Domestik Bruto namun kontribusi terhadap pajak baru mencapai 5 % terhadap total seluruh penerimaan negera. Atas dasar ini, kebijakan PP 46 dianggap sebagai cara ampuh pemerintah untuk memaksimalkan peran UMKM dalam menggali potensi perpajakan mereka yang selama ini belum tergali dan peran serta mereka untuk berkontribusi dalam pembangunan. Penggalian potensi pajak pada UMKM inilah yang sebenarnya masuk dalam tahap rancangan potensi yang ingin lebih dikembangkan oleh DJP. Dalam penggalian ini, DJP tetap menggunakan sisi keadilan pada pengenaan pajaknya. Pengenaan tarif 1% terhadap peredaran usaha adalah sisi keadilan yang ditawarkan. Lewat penerapan 1%, awalnya DJP hanya ingin memberikan pembelajaran pada pelaku UMKM untuk turut serta membayar pajak. Unsur 1% dianggap sebagai jumlah yang tidak terlalu signifikan untuk kategori menyadarkan wajib pajak akan kesadaran pembayaran pajaknya. Nilai 1% dianggap sebagai insentif yang diberikan kepada pelaku UMKM dimana jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya pada Pasal 31 E Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Pada pasal tersebut diatur bahwa wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 milyar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 milyar. Lewat penerapan peraturan ini, tarif efektif yang berlaku menjadi 12,5% atas penghasilan sampai dengan 4,8 milyar. Lewat pengenaan 1 % harapan adil bagi para pelaku usaha di Indonesia berusaha diretas. Jika selama ini kontribusi pajak lebih banyak dibebankan

6

kepada pelaku usaha besar, saatnya keadilan itu terbagi rata kepada pelaku UMKM yang belum terlalu berkontribusi bagi penerimaan. Harapan untuk melakukan pengenaan pajak kepada seluruh sektor usaha di Indonesia akan dimulai dengan terbitnya kebijakan PP 46. Kebijakan horizontal adalah tujuan yang ingin dicapai dengan mulai memajaki seluuh wajib pajak tanpa terkecuali jenis sektor usahanya. Presumptive Taxation Method

Penerapan PP 46 pun menawarkan konsep yang lebih sederhana dalam pemungutan pajaknya. Administrasi perpajakan bagi wajib pajak akan lebih mudah dimana pengenaan pajak 1% diberlakukan secara final sehingga membuat kewajiban perpajakan selesai pada saat melunasi pajaknya. Tentunya ini sangat memudahkan wajib pajak. Pengenaan secara final diterapkan

PANDU PAJAK

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

dengan metode perhitungan pajak dengan perkiraan (Presumptive Taxation Method) dalam penentuan besar kecilnya pajak. Pertimbangan menggunakan metode ini dalam PP 46 adalah terkait dengan penciptaan sistem pajak yang lebih sederhana seperti amanah penjelasan PP 46. Kesederhanaan tersebut menunjukkan bahwa PP 46 memiliki keberpihakan kepada pelaku UMKM. Mempertimbangakan jarangnya pelaku UMKM menggunakan pembukuan dan sistem akuntansi yang baik serta ditakutkan akan memberatkan wajib pajak dalam compliance cost -nya pengenaan pajak secara final adalah jawaban terbaik. Selain itu, penerapan pajak secara final seperti sebuah jalan pemulus niat pemerintah untuk memberikan insentif. Bayangkan jika menggunakan tarif umum yang ada dalam UU PPh maka kemungkinan yang terjadi seperti penjelasan diatas (tariff 12,5%). PengAGUSTUS 2013


foto repro;wwww.kemenkop

PANDU UTAMA

enaan secara final memberi peluang untuk memanfaatkan tarif yang jauh lebih kecil yaitu 1 %. Kesulitan-kesulitan teknis dalam perhitungan pajak yang sering dikeluhkan oleh wajib pajka pun terpangkas dengan penerapan PP 46. Jika wajib pajak masih sering kesusahan dengan perhitungaan bruto, netto hingga pembuktian transaksi pendukungnya, lewat penerapan tariff 1 % final kesulitan-kesulitan teknis tersebut dapat diabaikan. Keadilan secara horizontal telah diberikan lewat PP 46, kesederhaan dalam teknis perhitungan perpajakan juga turut disertakan. Ini semua menunjukkan bahwa pemerintah memang memberikan perhatian terhadap wajib pajak terutama UMKM. Kritik boleh saja diberikan terkait pelaksanaan PP 46. Namun, kita pun tak boleh lupa akan niat mulia yang sebenarnya ada di balik

PANDU PAJAK

“

Pertimbangan pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1 % dan bersifat final terhadap UMKM pada dasarnya diawali atas rasa keadilan yang ingin diberikan kepada seluruh wajib pajak

�

penerapan kebijakan ini. Kita harus lebih memandang bahwa penerapan kebijakan ini sebagai sebuah kesungguhan dari pemerintah untuk memberi-kan kesadaran kepada seluruh pelaku usaha tanpa terkecuali besar atau kecilnya usahanya agar membayar pajak. Pembangunan yang sedang dicanangkan, berbagai fasilitas pendidikan dna kesehatan yang selalu menjadi obsesi dari banyak masyarakat hingga

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

berbagai kepentingan bersama lainnya hanya bisa terwujud ketika semua wajib pajak tersadarkan akan kewajiban membayar pajaknya. Penerapan PP 46 adalah pendukung asa kita melihat bangsa ini makmur dan sejahtera. Asa yang dibangun lewat memperkenalkan sistem pemajakan yang memberikan rasa keadilan horizontal sehingga seluruh sektor usaha sadar akan perannya bagi penerimaan pajak. Jika seluruh hasil pembangunan pajak yang menunjang proses kegiatan ekonomi secara langsung dinikmati oleh seluruh pelaku usaha baik kecil dan besar. Namun terasa aneh jika pembagian porsi penerimaan pajak lebih dibebankan pada pelaku usaha besar. Inilah sisi yang ingin disentuh oleh PP 46. Sudah saatnya pelaku UMKM untuk sadar pajak dan tidak hanya sembunyi di balik anggapan mikro, kecil atau menengahnya usaha mereka. •(pp)

AGUSTUS 2013

7


SUMBANG SUARA

PP 46, Bukan Pajak Baru PP 46 Virus pembunuh masal...., 50 juta UKM terancam bangkrut...., dan masih banyak lagi berbagai artikel yang termuat di media terkait kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 (PP 46) Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Gambaran artikel-artikel tersebut menunjukkan symptom negatif yang sangat mengerikan bagi perkembangan dunia usaha mikro, kecil dan menengah.

A

rtikel tersebut pun mengiring pendapat masyarakat untuk menolak kebijakan pemerintah dalam PP 46 tersebut. Perihal tarif pajak 1% yang dikenakan secara final bagi pengusaha dengan omset sampai dengan 4,8 milyar menjadi jualan utama dalam penolakan tersebut. Tarif tersebut dianggap sangat membebani para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sehingga pelaku usaha UMKM seakan-akan mendramatisir pemberlakuan pera-turan ini. Benarkan PP 46 menyulitkan bagi pelaku UMKM? Tidak pantaskah penerapan tarif pajak 1% tersebut?

Beban PP 46 Sampai saat ini siapapun tidak bisa menutup mata bahwa kewajiban pem-bayaran pajak yang dibebankan kepada para pengusaha merupakan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Tidak menyenangkan ketika pelaku usaha yang telah bersusah payah mencari laba tetapi dengan mudah saja langsung dipalak lewat pemungutan legal bernama "pajak". Atas dasar ini wajar jika pelaku UMKM ketarketir sejak berlakunya PP 46. Industri mereka yang masih sering dikatakan "hidup segan mati tak mau" dan sering bergelut dengan kesulitan modal sebagai masalah-masalah utama masih harus dibebani lagi dengan kewajiban pajak setelah terbitnya PP 46. Pada sisi ini anggapan PP 46 memberatkan bisa diterima. Pada sisi lain, para pelaku UMKM sering terlihat sangat antusias ketika Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) berinisiatif memberikan bantuan dana milyaran rupiah untuk menyokong permodalan dan pemasaran mereka. Ketika menyuarakan kebijakan ini seakan tidak ada pelaku UMKM yang kontra. Semuanya terangguk setuju dengan kebijakan pendanaan ini bahkan sangat mendukung.

8

PANDU PAJAK

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

Suhastin, Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Kanwil DJP Jakarta Selatan Kedua sisi yang ditampilkan oleh pelaku UMKM ini terlihat seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Saling mengikat dan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Secara eksplisit dalam dunia nyata, kedua sisi ini tak bisa dipisahkan semudah itu. Para pelaku UMKM seharusnya menyadari bahwa atas kebahagian pembagian dana yang diberikan oleh Kemenkop dan UKM tersebut pada dasarnya adalah danadana yang terkumpul dalam wadah APBN. Lantas selanjutnya ditarik ke belakang wadah APBN tersebut diisi kebanyakan dari dana pajak. Inilah titik penting yang belum terlalu pelaku UMKM sadari. Sebagian besar masyarakat tidak tahu pajak bahkan tidak mau tahu tentang pajak karena mengannggapnya sebagai beban. Masyarakat pada umumnya cenderung menghindar dari pajak karena tidak mengetahui perannya. Masyarakat bahkan tak sadar bahwa setiap harinya telah ikut secara langsung menikmati hasil pajak, seperti fasilitas jalan raya dengan aspal mulus, fasilitas kesehatan murah atau yang baru dibahas, dana bantuan yang sering dialirkan kepada UMKM. Semua lupa dan menutup mata atas kenikmatankenikmatan ini. Pandangan lebih diarahkan kepada nilai tarif 1% yang dinilai membebankan. Padahal secara utak atik pembiayaan, nilai uang yang harus dibayarkan dari tarif 1% tersebut tak jauh lebih besar dari beban yang harus mereka tanggung setiap hari atau setiap bulannya atas biaya preman yang mengatasnamakan keamanan sebagai biaya dengan tarif yang tak tentu.


SUMBANG SUARA Rasa Keadilan Beranjak ke masa lalu, dengan melihat sisi historis asas pendirian Koperasi dan UKM terdapat beberapa asas yang selalu dipegang kukuh yaitu asas kekeluargaan dan gotong royong dengan melebarkan sayapnya kepada sektor UMKM yang memiliki asas kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Begitu pun juga dengan asas perpajakan. Pada perpajakan asas penekanan diberikan kepada sisi budgeter/regular, asas keadilan, dan asas pemerataan. Ketiga asas ini menjadi dasar pembentukan sistem perpajakan yang baik dan pantas untuk diterapkan di masyarakat. Lewat kedua perbadingan asas ini, kita bisa menarik sebuah benang merah bahwa pada dasarnya ada kesamaan antara pajak dan UKM yakni keadilan. Asas keadilan diambil karena setiap warga negara Indonesia yang menikmati fasilitas negara seharusnya membayar pajak. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemak-muran rakyat. Jadi secara pemahaman kita semua sudah seharusnya paham akan pentingnya pajak tersebut. Kebijakan PP 46 pun pada dasarnya sama saja dengan pemahaman keadilan yang diterapkan pada asas UMKM dan pajak. PP yang telah dirancang sejak dua setengah tahun yang lalu itu bukan merupakan pajak baru. Kebijakan PP ini pun tetap mempertimbangkan hal yang sama yaitu menjaga prinsip keadilan pada setiap warga negara karena secara bersama kita mengetahui bahwa pemanfaatan atas hasil pajak pun secara adil dapat dirasakan oleh seluruh warga negara lantas mengapa pada sisi pembayaran pajaknya UMKM terkesan masih mendapat porsi yang kurang dibandingkan usaha PANDU PAJAK

besar. Apakah ini adil? PP 46 adalah media sarana pemerintah untuk memberi porsi yang adil tersebut. Dalam dunia usaha yang tumbuh semakin berkembang muncul banyak inovasi dan kreativitas bangsa Indonesia sehingga menghasilkan produk-produk home industri yang bagus-bagus. Akibat perkembangan ini UMKM pun terkerek naik. UMKM mendapat banyak porsi keuntungan saat mengembangkan usahanya selain tentunya tetap mendapat dukungan pemerintah lewat Kemenkop dan UKM. Namun, kemajuan ini tidak dibarengi dengan peran UMKM dalam perKANWIL DJP JAKARTA SELATAN

pajakan. Tercatat atas 56,5 juta UMKM yang terdaftar di Kemenkop dan UKM, tidak kurang dari 10% yang baru memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dari sini terlihat bahwa apabila 90% dari mereka tidak berkontribusi kepada negara dengan membayar pajak sungguh dirasakan tidak adil. Mengapa demikian? Sebagai perbandingan, buruh pabrik dengan gaji diatasi Rp 2 juta saja sudah harus dipotong pajak. Ini artinya para buruh yang dengan penghasilan tersebut saja sudah berkontribusi kepada negara sementara mengapa para pengusaha yang jelas-jelas memiliki peredaran usaha yang berada pada kisaran 4,8 milyar baru dibawah 10% yang membayar pajak. Tidak adil kan? PP 46 adalah jawaban atas ketimpangan tersebut. Melalui PP ini, pemerintah mengharapkan keadilan tersebut bisa didapatkan lewat penerapan tarif 1% final dari peredaran usaha per bulan. Selain unsur keadilan PP 46 pun memberi catatan lain bahwa ada keuntungan tidak langsung yang bisa diperoleh oleh pelaku UMKM. Lewat legalitas pembayaran pajak dan kelengkapan administrasi perpajakannya, pelaku UMKM berpeluang untuk lebih dimudahkan saat pengambilan kredit di bank. Struktur permodalan yang sering menjadi kendala utama pengembangan UMKM sedikit demi sedikit dapat diatasi. Dari sini pelaku UMKM bisa mulai bermimpi tinggi untuk dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri terutama pada saat menyongsong Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Comunity/AEC) di tahun 2015. UMKM bisa memainkan perannya untuk bersaing sebagai wakil Indonesia. Seharusnya inilah inti pembahasan yang dipahami oleh UMKM, bukan buru-buru menolak peran PP 46 tetapi harus menelisik lebih dalam tujuan mulia dari peneran kebijakannya. Semoga dengan berhasilnya penerapan PP 46 kita semua bisa menjadi bangsa yang bangga menggunakan produk negeri sendiri dan pastinya bangga membayar pajak. •(PP)

AGUSTUS 2013

9


EDU PAJAK

Aspek Perpajakan Sesuai Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013

Termasuk jenis Pajak Penghasilan apakah ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013? Pajak Penghasilan yang diatur oleh PP Nomor 46 Tahun 2013 termasuk dalam:

peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak. Peredaran bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya. Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2), bersifatFINAL,

1 % dari jumlah peredaran bruto (omzet)

setoran bulanan dimaksud merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh Pasal 25.

Catatan: Usaha meliputi usaha dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, waruing/ rumah makan, salon, dan usaha lainnya.

Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib PPh Pasal 25.

Objek Pajak yang tidak dikenai PPh ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Objek Pajak yang tidak dikenai PPh ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, seperti misalnya: dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek , pemain musik , pembawa acara, dan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP tersebut; b. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2), seperti misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri. c. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

Bagaimana penyetoran dan pelaporan PPh sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013? Penyetoran paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Jika SSP sudah validasi NTPN, Wajib Pajak tidak perlu melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) karena dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai tanggal validasi NTPN. Penyetoran dimaksud dengan mencantumkan kode pada SSP sebagai berikut: Kode Akun Pajak Kode Jenis Setoran

: 411128 : 420

Penghasilan yang dibayar berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final. Hal apa sajakah yang diatur dalam PP No 46 Tahun 2013? Ketentuan Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, merupakan kebijakan Pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Apakah maksud dan tujuan kebijakan Pemerintah terkait dengan pemberlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan PP ini didasari dengan: 1. Maksud: a. untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan; b. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi; c. mengedukasi masyarakat untuk transparansi; d. memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. 2. Tujuan: a. kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan; b. meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat; c. terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Objek Pajak apa saja yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013? Yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh) ini adalah Penghasilan dari USAHA yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan

10

PANDU PAJAK

Catatan: Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender

Siapa yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013? Yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013, adalah: a. Orang Pribadi; b. Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Siapa yang TIDAK dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013? Yang tidak dikenai Pajak Penghasilan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah: a. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum. misalnya: pedagang keliling, pedagang asongan, warung tenda di area kaki lima, dan sejenisnya. b. Badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto (omzet) melebihi Rp4,8 miliar.

• • • •

Catatan: Orang Pribadi atau Badan yang diterangkan di atas wajib melaksanakan ketentuan Perpajakan sesuai dengan UU KUP maupun UU PPh secara umum. Panduan ini hanya bersifat informasi untuk memudahkan pemaha-man masyarakat atas peraturan terkait. Beberapa ketentuan dalam panduan ini dapat berubah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahun pencetakan leaflet 2013. Nomor:PJ.091/PPh/L/002/2013-00

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

AGUSTUS 2013


SOROT LENSA

Dipandu Oleh Narasumber Peserta Kelas Pajak KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu Mempraktikkan Aplikasi e-SPT

Penjelasan Materi Kelas Pajak Oleh Narasumber KPP Pratama Jakarta Setiabudi Dua

Seorang Wajib Pajak Memperhatikan Materi Kelas Pajak KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama

Praktik Langsung Penggunaan e-spt di KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu

PANDU PAJAK

KANWIL DJP JAKARTA SELATAN

AGUSTUS 2013

11


www.kanwiljaksel.pajak.go.id Kanwil DJP Jakarta Selatan @djpjaksel

KPP Madya Jakarta Selatan Jalan Ridwan Rais No. 5A-7, Gambir, Jakarta Pusat 10110, Telp: 021-3447971, 3447972, 3504170. Fax: 021-3447971 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Dua Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga Jalan Raya Pasar Minggu No. 11, Pancoran, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-7993028-7992961, Fax: 021-7994253 • KPP Tebet Jalan Tebet Raya No. 9, Jakarta Selatan, Telp: 021-8296869,8296937, Fax: 021-8296901 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu Gedung Patra Jasa Lantai 1 & 14, Jalan Jend. Gatot Subroto-Jakarta, Telp: 021-52920983, 52921276, Fax: 021-52921274 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua Jalan Ciputat Raya No. 2 Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310, Telp: 021-75818842,75908704, Fax: 021-75818874 •KPP Kebayoran Baru Tiga Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 14 A, Jakarta Selatan 12130, Tel: 021-7245735,7245785, Fax: 021-7246627 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama Jalan Ciledug Raya No. 65, Jakarta Selatan 12250, Telp: 021-5843105-5843109, Fax: 021-5860786 •KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan Jalan Raya Pasar Minggu No. 1, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-79191232 /7949574-5/7990020, Fax: 021-7949575 •KPP Pratama Jakarta Pancoran Jalan T.B. Simatupang Kav. 5 Kebagusan, Jakarta Selatan 12520, Telp: 021-7804462, 7804667, 7804451. Fax: 021-7804862 •KPP Pratama Jakarta Cilandak Jalan T.B. Simatupang Kav. 32, Jakarta Selatan 12560, Telp: 021-78843521-23, Fax: 021-78836258 •KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu Jalan T.B. Simatupang Kav. 39, Jakarta Selatan 12510, Telp: 021-7816131-4 /78842674, Fax: 021-78842440.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.