

Tak Pernah Ku Sendiri

Renungan untuk Menemani
Pelayanan Anda Merawat Sesama


Tak Pernah Ku Sendiri
Renungan untuk Menemani
Pelayanan Anda Merawat Sesama
Diadaptasi dari Ambushed By Grace: Help & Hope on the Caregiving Journey oleh Shelly Beach (© 2008) dan It Is Well with My Soul oleh Shelly Beach (© 2012). Digunakan seizin Discovery House. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Penerjemah:
Debora Malem Ate, Ika Susana Taniel, Martha Trifosa, Shelina Gautama, Suliani Simon Hartono, Triyanto Fadjaray, Wahyu Sri Redjeki, Widya Setyaningrum, Yudy Himawan
Editor:
Dwiyanto Fadjaray, Monica Dwi Chresnayani
Desain halaman: Mary Tham
Desain sampul: Mary Tham
Penata letak: Mary Chang
Foto sampul: shutterstock.com
Kutipan ayat diambil dari teks
Alkitab Terjemahan Baru Indonesia ©LAI 1974
© 2021 Our Daily Bread Ministries
Dicetak di Indonesia
Cetakan pertama tahun 2021
Pengantar
Mengasuh anak berkebutuhan khusus, mengurus orang lanjut usia, atau merawat seseorang yang sakit berkepanjangan adalah salah satu tanggung jawab tersulit yang dapat diemban seseorang. Banyak yang diharapkan dari Anda, termasuk kemampuan untuk memainkan berbagai peran: orangtua, perawat, konselor, pencari nafkah, dan penolong. Anda diharapkan untuk memainkan peran ini setiap saat. Anda pun diharapkan untuk mengorbankan diri sendiri dan semua yang Anda miliki—waktu Anda, hobi Anda, keluarga Anda, impian Anda, dan kebahagiaan Anda—untuk orang lain.
Yang membuatnya lebih sulit adalah kenyataan bahwa sering kali, perawatan ini bukanlah sesuatu yang dapat kita siapkan atau rencanakan. Kita bisa dikejutkan oleh betapa stres, melelahkan, dan frustrasinya melakukan semua itu.
Ketika Anda menghabiskan sebagian besar hari Anda memberi—dan tidak pernah menerima—kemungkinan besar Anda merasa lelah fisik, mental, dan emosional.
Lebih dari itu, Anda mungkin merasa terjebak dalam peran tersebut, karena menyadari bahwa Anda tidak dapat melepaskan diri sampai orang yang Anda rawat benar-benar sembuh atau telah meninggal dunia. Hal ini dapat membuat Anda kesal, terutama ketika orang lain tampaknya tidak mau mengorbankan waktu mereka— tetapi menuntut Anda menyerahkan waktu Anda.
Sepertinya tidak ada yang memahami bahwa Anda juga dapat menderita seperti orang yang Anda perhatikan.
Meski demikian, jauh di lubuk hati, Anda mungkin ingin melakukannya dengan cara yang berbeda. Banyak
orang yang merawat sesamanya, dalam kesadaran bahwa mereka tidak dapat melepaskan tanggung jawab itu, berusaha melihat situasi mereka dari perspektif yang lebih luas. Di tengah kesibukan sehari-hari, mereka bertanya: Dari mana saya dapat menerima lebih banyak kekuatan?
Bagaimana saya bisa terus memiliki belas kasih dan kesabaran di saat saya merasa sangat lelah? Adakah cara lain untuk melihat peran saya dalam merawat sesama?
Itulah beberapa pertanyaan yang ingin kami selidiki dalam buku ini, yang telah dirancang dengan
mempertimbangkan kesibukan Anda sehari-hari. Setiap “bab” dibuat pendek, dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi Anda—pemikiran yang menggugah, wawasan baru untuk direnungkan, atau saran praktis tentang berbagai aspek dalam pengasuhan dan perawatan. Setiap tulisan juga dilengkapi dengan ayat Alkitab, doa, dan pokok pikiran, sehingga Anda dapat membaca materi ini sebagai buku atau renungan.
Di sela-sela itu, kami menyertakan beberapa kesaksian dari sesama pengasuh dan perawat yang mengemban peran dan menempuh jalan serupa sambil terus berusaha memiliki pikiran dan hati Kristus. Sebagai penutup, kita akan melihat teladan Kristus, Sang Pelayan Agung.
Pada akhirnya, kami berharap materi ini akan menolong Anda melihat peran perawatan dari sudut pandang baru—bukan hanya sebagai tugas, tetapi sebagai perjalanan. (Dalam buku ini, istilah “perawat” tidak mengacu hanya kepada tenaga kesehatan profesional, melainkan orang yang menerima tanggung jawab untuk mengurus, menjaga, atau memelihara kelangsungan hidup orang lain yang berkebutuhan khusus, lanjut usia, menderita sakit keras atau berkepanjangan –ed.)
Merawat orang lain memang adalah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Namun, ini adalah perjalanan yang dapat Anda tempuh bersama Allah, dengan keyakinan penuh bahwa Dia berjalan mendampingi Anda sepanjang waktu. Ini adalah perjalanan yang dapat menumbuhkan hubungan Anda dengan Allah, mengubah diri Anda, dan mengubah hubungan Anda dengan orang lain. Seiring perjalanan bersama-Nya, Anda akan menemukan kekuatan dan kesegaran dalam kebenaran dan janji-janji-Nya. Anda akan menemukan aliran air hidup yang akan memuaskan dahaga Anda, menyehatkan pikiran dan tubuh Anda, dan menghibur jiwa Anda.
Dalam perjalanan ini, Anda juga akan menyadari bahwa Anda bukanlah tawanan dari keadaan Anda. Anda tidak terikat oleh kewajiban, melainkan telah dimerdekakan untuk melayani. Allah telah memanggil Anda untuk menempuh perjalanan yang penuh tantangan dan perubahan. Itulah mengapa bab-bab dalam buku ini berfokus pada tiga pihak yang berkaitkan dengan Anda sebagai perawat: Allah, diri Anda sendiri, dan orang lain. Perhatikan bahwa “orang lain” berada di tempat terakhir!
Kami berdoa agar saat Anda membaca buku ini, Allah akan memberi Anda kekuatan, keberanian, dan keterbukaan untuk mempertimbangkan cara-cara baru untuk menjalani peran pengasuhan dan perawatan yang Anda emban, agar Anda semakin bertumbuh dalam perjalanan Anda bersama Allah, menjadi murid Yesus Kristus yang lebih tangguh dan setia, sembari terus belajar mengasihi dan mempedulikan sesama, seperti yang diteladankan oleh Dia sendiri.
Our Daily Bread Ministries


I. BERJALAN BERSAMA ALLAH
Merawat sesama memungkinkan Anda untuk melihat isi hati Allah yang penuh kasih dan kepedulian, serta kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan-Nya.
Perjumpaan ilahi
Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. Yesaya 40:31
Panggilan merawat orang lain merupakan sebuah panggilan pengorbanan. Kita diharapkan untuk sepenuhnya mengedepankan orang lain dan mengabaikan kepentingan diri sendiri, rela mendedikasikan hidup untuk merawat pasangan atau orang sakit, orangtua berusia lanjut, atau anak berkebutuhan khusus. Kita dipanggil untuk memberi, memberi, dan memberi. Jika ada orang yang berkata bahwa pada akhirnya kita akan mendapatkan keuntungan dari pengalaman itu, kita mungkin akan menepisnya. “Mana ada keuntungan yang didapat dari merawat orang lain?” begitu mungkin keluhan kita.
Namun, pikirkan kemungkinan ini: merawat orang lain merupakan perjumpaan ilahi dengan Allah.
Bagaimana bisa? Pikirkanlah dua hal ini. Pertama, saat kita terus beradaptasi dengan peran kita
merawat orang lain, kita didesak untuk mengevaluasi nilai-nilai dan perasaan kita, serta apa saja yang perlu diprioritaskan, dengan berusaha menyeimbangkan kebutuhan pribadi kita dengan kebutuhan orang-orang yang kita rawat. Dalam prosesnya, kita akan mengenal lebih dalam diri kita, hubungan kita dengan Allah, dan Allah sendiri.
Beban yang kita pikul dari merawat orang lain dapat membuat kita menanggalkan hal-hal yang tidak penting, sehingga kita bisa melihat motivasi, keinginan, agenda, dan prioritas kita yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, pengalaman itu dapat menunjukkan kepada kita bagaimana sesungguhnya hidup menyerupai Kristus— mengesampingkan kepentingan diri dan sepenuh hati mencurahkan seluruh hidup untuk orang lain, sama seperti yang Dia lakukan.
Kedua, ketika kita menghadapi perasaan frustrasi, kesal, marah, dan tidak berdaya yang
bertumpuk-tumpuk dan membuat kita kewalahan, kita akan belajar berpaling kepada Allah agar memperoleh kekuatan untuk terus berjalan. Tentu saja, ada saat-saat ketika kita merasa beban kita
terlalu berat hingga berseru kepada Allah saja terasa sulit. Ada pula saat-saat ketika kita merasa ingin menyerah saja dan meninggalkan semuanya.
Namun, justru di saat-saat seperti itulah, ketika kita berada di titik terlemah, kita berjumpa secara intim dan pribadi dengan Allah. Rasul Paulus mengalami sendiri kebenaran itu, dengan berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Dalam bagian lain dari
Alkitab, Tuhan menggambarkan bagaimana sang gembala dengan penuh sukacita membopong dombanya yang hilang dan kembali ke rumah (Lukas 15:3-6). Betapa menenangkannya gambaran itu! Bayangkan diri Anda dibopong oleh Allah, Gembala yang penuh
kasih itu, saat Anda berada di titik terlemah, dan dibawa pulang dalam dekapan kasih-Nya.
Tidak heran, Nabi Yesaya dapat menulis tentang kekuatan yang ditemukannya di dalam Allah:
Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. (Yesaya 40:31)
YaTuhan, Kau berjanji bahwa kasih karunia-Mu cukup bagiku, karena justru dalam kelemahankulah, kuasa-Mu menjadi sempurna. Beri aku keyakinan untuk terus menemukan kekuatan di dalam-Mu, karena aku tahu Kau sanggup menggendongku di saat-saat terlemahku. Perbaruilah pandanganku agar aku melihat peranku sekarang sebagai perawat sesamaku ini sebagai perjumpaan ilahi denganMu. Berilah aku pengertian baru tentang anugerah-Mu.
Merawat sesama adalah perjumpaan ilahi dengan Allah.
Mencerminkan Kristus
Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur
oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Kolose 3:17
Apakah Anda merasa telah gagal dalam merawat orang lain?
Mungkin orang yang sedang Anda rawat mengeluh bahwa Anda tidak memenuhi kebutuhannya secara memadai. Mungkin kerabat dan teman mengkritik perawatan yang Anda berikan. Mungkin mereka merasa Anda perlu berusaha lebih keras menyeimbangkan peran Anda sebagai perawat dengan prioritas lain yang juga menuntut perhatian Anda, seperti menjadi orangtua, anak, pasangan, atau karyawan.
Jika Anda merasa telah gagal, kuatkanlah hati Anda. Allah tidak memandang perawatan sebagaimana orang lain memandangnya. Dia tidak menilai pelayanan Anda berdasarkan seberapa baiknya Anda memenuhi kebutuhan orang yang Anda rawat, atau seberapa efisiennya Anda melaksanakan peran dan tanggung jawab Anda. Allah hanya berminat pada satu hal: sebaik apa kita
mencerminkan Kristus. Perintah di Kolose 3:17, “lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus,” juga berlaku bagi pelayanan perawatan, seperti juga bagi bentuk-bentuk pelayanan Kristen lainnya.
Pelayanan perawatan adalah suatu panggilan mulia untuk menjadi semakin serupa dengan gambar Kristus. Kita diberikan kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan komitmen kita untuk mempedulikan orang lain seperti yang dilakukan Yesus, mengasihi sesama ciptaan Allah, dan menunjukkan kuasa penebusan Kristus. Melalui tindakan, sikap, dan perkataan kita, kita akan mencerminkan bagaimana Allah melimpahkan kasih karunia dan belas kasihan-Nya sembari kita belajar menjadi saluran rahmat, penyelamatan, dan kasih Yesus.
Tentu saja ini tidak mudah. Untuk mengasihi seperti yang Kristus lakukan, kita harus menyisihkan waktu, pekerjaan, komitmen pribadi, kawan-kawan,
dan bahkan kesehatan kita sendiri. Kita diminta melepaskan keinginan kita untuk diperlakukan secara adil, lalu mempersembahkan diri kita sendiri dengan tunduk kepada kerinduan Allah untuk membentuk kita menjadi serupa
dengan karakter Anak-Nya, Yesus Kristus. Kita harus rela sekaligus siap untuk menyelidiki hati kita dan mengarahkan terang firman Allah kepada diri kita, perkataan kita, tindakan kita, dan motivasi kita.
Jadi, jangan biarkan dunia— atau bahkan diri kita sendiri— untuk menilai mutu perawatan Anda berdasarkan tingkat pelayanan yang Anda berikan.
Berfokuslah pada hati Anda, tindakan Anda, perkataan Anda, dan pikiran Anda untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hanya itu yang Allah lihat.
Ya Bapa, ajarlah aku untuk melihat tanggung jawabku lebih dari sekadar memberikan pelayanan perawatan, dan memahami bahwa Engkau telah memanggilku untuk melihat isi hati-Mu sendiri. Ajarlah aku untuk melihat sesamaku dengan mata-Mu, untuk mempedulikan mereka dengan tangan-Mu, dan mengasihi mereka dengan hati-Mu. Karena Engkau mengasihi setiap orang—aku, orang yang kurawat, dan semua orang yang ada di sekitarku. Tunjukkanlah kepadaku bagaimana aku dapat menjadi saluran rahmat dan kasih karuniaMu kepada mereka.
Pelayanan perawatan adalah perjalanan untuk melihat hati Yesus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya.
Sumber kekuatan yang selalu tersedia
Biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang. Yesaya 54:10
Pada suatu saat dalam
perjalanan kita merawat sesama, kita bisa merasa energi kita habis terkuras. Kita merasa begitu lelah, dan bisa jadi ingin menyerah saja. Kekuatan fisik dan emosi kita terbatas, tetapi tugas kita seakan tiada habisnya.
Untuk terus bertahan, banyak dari kita akan mencari kekuatan dari berbagai sumber. Kita mungkin bisa dikuatkan melalui apresiasi dari orang yang kita rawat, pujian dari keluarga dan kawan, rasa tanggung jawab dalam diri, atau berkat yang datang dari pelayanan orang lain, khotbah, dan renungan firman Tuhan.
Sekalipun sangat berharga, semua sumber kekuatan tadi takkan pernah cukup. Hanya Allah yang benar-benar dapat menopang kita dalam perjalanan perawatan yang kita tempuh. Dialah satu-satunya sumber kekuatan yang takkan pernah habis. Kasih setia-Nya bagi kita takkan berakhir (Yesaya 54:10), dan hanya dari hubungan yang erat
dengan-Nya kita dapat menerima kekuatan untuk merawat orang lain, seperti yang dilakukan-Nya.
Ketika Anda merasa terkuras, ingatlah bahwa Allah rindu mengenal Anda dari dekat, untuk mendengar kebutuhan dan kekhawatiran Anda. Dia ingin Anda meminta kekuatan dari-Nya, dan Dia ingin mendengarkan Anda. Dia sangat senang ketika Anda terus mengandalkan-Nya dan mencurahkan isi hati Anda kepada-Nya.
Mungkin Anda merasa sulit meluangkan waktu bersama-Nya secara teratur. Jangan salahkan diri Anda sendiri jika Anda tidak dapat meluangkan waktu sebanyak yang Anda rasa perlu.
Dalam buku Different Dream
Parenting, Jolene Philo mendorong orangtua dari anak berkebutuhan khusus untuk meyakini bahwa Allah akan menciptakan kesempatan bagi mereka untuk mencari-Nya, dan mengizinkan-
Nya menggugah kreativitas mereka agar menemukan waktu untuk berdoa dan membaca firman-Nya.
“Dia bukanlah Allah yang hitung-hitungan,” kata Jolene mengenai Allah. “Dia tidak bersaing dengan anak Anda. Dia menugaskan Anda untuk mengasuh anak Anda, sepasti
Dia memanggil Anda kepada hubungan dengan-Nya. Jadi, Anda dapat yakin bahwa Dia akan menyediakan jalan bagi Anda untuk memelihara hubungan Anda dengan-Nya dan juga dengan anak Anda . . . Anda dapat percaya bahwa Dia akan menciptakan
Ya Bapa, tumbuhkanlah di dalam batinku keinginan untuk mengenal Engkau dengan lebih dalam dan intim. Kiranya kehausanku bagi-Mu bertambah kuat setiap hari, dan aku semakin belajar apa artinya hidup dalam komunikasi yang erat dengan Engkau ketika aku berdoa kepadaMu di sepanjang hari-hariku.
Cara-cara kreatif untuk meluangkan waktu bersama Allah
• Mendengarkan bacaan Alkitab versi audio, renungan saat teduh, atau khotbah pada waktu berkendara atau melakukan pekerjaan sehari-hari.
• Baca edisi Alkitab yang dicetak besar di tengah tugas Anda.
• Hafalkan ayat-ayat Alkitab di pagi hari, dan ucapkan berulang kali di sepanjang hari.
• Baca renungan saat teduh secara daring atau melalui ponsel Anda ketika Anda sedang naik kendaraan umum.
Sumber: Different Dream Parenting kesempatan-kesempatan tersebut karena Dia telah berketetapan untuk membangun hubungan yang erat dengan Anda.”
Terimalah kekuatan yang takkan habis dari sumbernya: Allah.
Kasihi Allah lebih dahulu
Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair. Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu.
Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau. —Mazmur 63:2-4
Kita semua tahu bahwa pengasuhan dan perawatan adalah pelayanan kasih. Namun, adakalanya kita melakukannya bukan dengan kasih.
Bagaimana kita dapat mengasihi orang yang kita rawat dengan sepenuh hati ketika hubungan kita dengannya diwarnai ketegangan?
Bagaimana kita dapat mengasihi orang lain tanpa pamrih, ketika kita sendiri merasa marah, frustrasi, dan letih?
Mari perhatikan apa yang Yesus katakan tentang kasih. Dia berkata, inilah hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Kemudian hukum
yang kedua: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).
Perintah “kasih ganda” itu adalah dasar seluruh perjalanan kita dalam mengasuh dan merawat sesama. Urutan kedua perintah tersebut mengindikasikan bahwa kasih kita kepada sesama haruslah mengalir alami dari kasih kita kepada Allah. Hanya dengan menyerahkan diri kepada Allah yang penuh kasih kita akan dapat melayani, mengasihi, mengampuni, dan merawat serta mengasuh orang lain.
Apa artinya mengasihi Allah? Itu berarti mengenal-Nya, menyembah dan memuji Dia, mendahulukan Allah dalam segala hal yang kita lakukan,
mendambakan kehadiranNya di dalam hidup kita, dan menaati perintah-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, itu berarti meluangkan waktu dalam firman Allah dan dalam doa; menjadikanNya prioritas utama dan pusat kehidupan kita; menyerahkan keinginan, angan-angan, dan hasrat kita kepada-Nya; dan menuruti perintah-perintah-Nya.
Raja Daud, yang disebut Allah sebagai “seorang yang berkenan di hati-Nya”, menggambarkan kasihnya kepada Allah sebagai kehausan akan hadirat-Nya. Kasih setia Allah, tulisnya, “lebih baik dari pada hidup”, karena kasih itu memuaskannya lebih dari “lemak dan sumsum” (Mazmur 63:2-6).
Jadi, biarkanlah kasih Allah menguasai hati Anda, dan memenuhi jiwa Anda, serta mempesona Anda sedemikian rupa sehingga emosi, pikiran, dan tindakan Anda dikuasai olehnya. Ketika itu terjadi, Anda akan mengenakan sifat Kristus oleh kuasa Roh Kudus, dan Anda rela mencurahkan hidup Anda dalam pelayanan kepada sesama.
Kasih Anda kepada-Nya akan membentuk cara Anda melihat anak-anak-Nya—baik yang menyenangkan maupun yang menyulitkan Anda.
Ketika Anda belajar mengasihi Allah, Anda akan menjadi pribadi yang Allah kehendaki: sepenuhnya mengasihi orang yang dipercayakan Allah untuk Anda rawat, dan menjadi pengasuh atau perawat seperti yang benar-benar dikehendaki-Nya.
Tuhan Yesus, terkadang
aku bergumul untuk mengasihi orang yang aku rawat. Namun, sekarang aku tahu, Engkau adalah Allah yang penuh kasih setia, dan Engkau ingin aku mengasihi-Mu. Hari ini, kumohon, penuhilah aku dengan kasih bagi-Mu. Kuasailah aku dengan kerinduan atas kehadiran-Mu di dalam hatiku, karena aku tahu dari kasih kepadaMu akan mengalir kasih kepada sesamaku.
Bagaimana kita dapat belajar mengasihi orang lain? Dengan belajar mengasihi Allah terlebih dahulu.
Bertanyalah kepada Allah!
Jadilah heran dan tercengang-cengang, sebab Aku melakukan suatu pekerjaan dalam zamanmu yang tidak akan kamu percayai, jika diceritakan.
Habakuk 1:5
Ketika ibunya mengalami gegar otak karena jatuh, Grace dan keluarganya terus bertanya kepada Allah, “Mengapa Kau biarkan ini terjadi? Mengapa Kau tidak campur tangan?”
Adakalanya hidup ini memang tidak masuk akal. Rasanya sulit mempercayai kebaikan Allah ketika orang yang kita kasihi menderita penyakit kronis. Mengapa Dia tidak menyembuhkannya? Mengapa kita dibebani tanggung jawab untuk merawatnya sementara orang lain tidak peduli? Mengapa kita dibebani jauh melebihi apa yang sanggup kita tanggung? Mengapa Allah membiarkan kita menderita?
Banyak dari kita tidak berani menanyakan semua itu dengan lantang karena kita diajar untuk tidak menanyai Allah. Kita dinasihati untuk menahan kejengkelan kita, mempercayai kedaulatan-Nya, dan tidak meragukan-Nya, sebab sikap itu sama dengan menantang otoritas Allah.
Namun, pikirkanlah ini: Allah kita yang besar sanggup menerima semua pertanyaan tersebut! Ia tidak pernah terkejut maupun terhina dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Sikap menantang otoritas
Allah, yang membuat Dia seolah bertanggung jawab kepada kita, berbeda dari keinginan mencari jawaban dari Allah dengan rendah hati dan berkata, “Ya Tuhan, aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa ini terjadi?
Tunjukkanlah bagaimana aku dapat tetap percaya kepada-Mu.”
Perbedaannya ada pada sikap hati kita di balik pertanyaan tersebut: Allah menerima pertanyaanpertanyaan sulit dan berat yang kita tanyakan dengan rendah hati.
Alkitab mencatat adanya orang-orang yang menanyai Allah dalam kesulitan mereka. Setelah dihantam krisis yang silih berganti, Ayub tidak ragu bertanya kepada Allah, “Hai Penjagaku, rugikah Engkau karena dosaku? Mengapa Kaupakai aku sebagai sasaran
panah-Mu? Begitu beratkah aku membebani diri-Mu? Tidak dapatkah Engkau mengampuni dosaku? Tidak mungkinkah Engkau menghapuskan salahku?” (Ayub 7:20-21 BIS).
Nabi Habakuk juga menanyai Allah atas ketidakadilan yang ia lihat di sekitarnya. “Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?” (Habakuk 1:13).
Yang penting dari pertanyaanpertanyaan tulus yang mereka ajukan adalah bahwa semua itu menuntun mereka kembali kepada Allah, bukan menjauhkan mereka dari-Nya. Grace mengatakan bahwa pertanyaannya yang jujur membawanya lebih dekat kepada Allah dan memberinya pengertian yang lebih dalam akan apa artinya mempercayai Dia sekalipun segala sesuatu tidak masuk akal baginya.
Ketika kita membawa seluruh pergumulan kita kepada Allah dengan jujur dan rendah hati, hubungan kita dengan Dia pun terbangun. Kita akan belajar untuk
mempercayai dan memahami bahwa meskipun kita tidak memperoleh jawaban yang kita cari, kita memperoleh kepastian bahwa Dia memegang kendali penuh atas situasi yang kita alami, dan Dia akan menyelesaikannya menurut waktu dan cara-Nya. Di atas segalanya, kita akan memperoleh penghiburan dari kehadiran-Nya, karena kita tahu bahwa Dia senantiasa menyertai kita dalam perjalanan kita merawat dan mengasuh sesama.
Tuhan, terima kasih atas kasih sayang dan kesabaran-Mu terhadapku, dan mengizinkanku untuk menanyakan pertanyaanpertanyaan sulit kepada-Mu. Ajar aku untuk menerima jawaban-Mu meskipun aku tidak sepenuhnya mengerti, dan ketika jawaban itu tidak sesuai dengan pemahamanku. Tolonglah aku untuk bertumbuh semakin dekat dengan-Mu dengan belajar semakin mempercayai-Mu dari hari ke hari.
Jangan takut menanyai Allah; Dia sanggup menerima semua pertanyaan Anda.
Saat tidak ada jawaban
Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, k arena Ia telah berbuat baik kepadaku. —Mazmur 13:6
Ingatkah Anda pada cerita tentang Yusuf? Sulit melihat bahwa segala sesuatu yang dialami anak laki-laki kesayangan Yakub tersebut sebagai kebaikan yang didatangkan Allah, setidaknya pada waktu itu terjadi.
Ketika diculik oleh saudarasaudaranya sendiri dan dijual sebagai budak, Yusuf direnggut dari kebebasan, reputasi, dan kenyamanannya. Lalu ia dituduh memperkosa dan dipenjara.
Siapa pun yang berada dalam posisi Yusuf akan merasa sangat sulit untuk berpegang kepada janjijanji Allah. Wajar saja apabila ia bertanya kepada Allah, “Mengapa semua ini terjadi?”
Namun, jawabannya baru datang bertahun-tahun kemudian, ketika Yusuf melihat bagaimana Allah memakainya untuk membebaskan orang-orang Israel dari kelaparan (Kejadian 45:4-7).
Meskipun Allah menerima pertanyaan-pertanyaan jujur kita, kita perlu siap untuk kemungkinan bahwa kita tidak akan memperoleh jawaban yang kita cari. Hati kita mungkin gelisah menantikan jawaban yang dapat kita pahami, tetapi sesungguhnya pemahaman kita terbatas, karena kita manusia dan bukan Allah. Satu-satunya harapan kita adalah kepercayaan kepada Allah yang berdaulat atas segala sesuatu untuk memakai pergumulan tersebut—termasuk penderitaan-penderitaan kita— untuk kebaikan kita.
Orang-orang beriman dalam Alkitab, seperti Yusuf dan Daud, pernah mengalami suatu masa ketika mereka mempertanyakan Allah atas keadaan sulit yang mereka alami. Namun, mereka semua sampai pada sikap yang sama: tunduk kepada kebaikan dan kedaulatan Allah yang utama
karena itulah satu-satunya jawaban yang ada. Itulah sebabnya Daud dapat tetap memuji Tuhan di tengah persoalannya (Mazmur 13:6).
Kebenaran ini sungguh nyata pada masa kini seperti juga pada masa Alkitab. Philana Lai pernah meragukan kasih Allah setelah doa-doanya memohon pertolongan dan kesembuhan untuk orangtuanya yang sakit tidak juga dijawab. Ia merawat ayahnya yang sudah pikun dan menderita stroke, serta ibunya yang mengalami gagal ginjal. Namun, meskipun ia terus bertanya, Philana mulai menemukan bahwa ia sanggup menerima tidak adanya jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
“Ini adalah perjalanan iman,” katanya. “Terkadang saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, tetapi saya terus datang kepada Allah. Saya mengatakan, ‘Tuhan, aku tidak sanggup, tetapi Engkau sanggup.’ Saya belajar untuk percaya kepada kedaulatan dan kuasa-Nya, dan meyakini bahwa Dia mengetahui dan mengerti seluruh keadaan saya.”
Apakah Anda bergumul untuk mempercayai-Nya hari ini? Apakah Anda takut mempercayakan orang yang Anda kasihi maupun keadaan yang tidak dapat Anda kendalikan kepada Tuhan? Ketahuilah bahwa pergumulan Anda juga pernah digumulkan oleh Yusuf dan Daud. Kiranya Anda pun rindu memberikan respons seperti yang mereka berikan—dengan iman dan ketaatan untuk mempercayai Allah yang berdaulat dan penuh kasih.
Bapa di surga, Engkau tahu bahwa aku bergumul untuk memahami mengapa Engkau tidak menghentikan penderitaanku. Tolonglah aku untuk tunduk kepada kehendakMu, dalam kesadaran bahwa kebaikan-Mu menggenapi keadilan dan tujuan bagi hal-hal yang masih sulit untuk kumengerti. Ajarlah aku mengerti bahwa Engkau sajalah sumber kebenaran dan keadilan. Tolong aku untuk mempercayaiMu, bahkan di saat aku tidak dapat merasakan kehadiran-Mu.
Biarlah iman Anda didasarkan pada sifat Allah yang dapat dipercaya.
Tidak ada yang terlalu kecil
Kamu akan menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan.
Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu. —Yesaya 66:12-13
Pernahkah kita merasa enggan mendoakan hal-hal kecil karena kita menganggap Allah hanya sibuk mengurusi hal-hal besar?
Padahal, menurut Alkitab, Allah peduli bahkan pada hal-hal kecil sekalipun. Di antara hukumhukum yang Allah tetapkan lewat
Musa dalam kitab Keluaran terdapat hal-hal mendetail tentang gigi ganti gigi, kerugian akibat kebakaran, batas-batas tanah, pakaian yang hilang, dan utang yang tidak dibayar. Tuhan Yesus juga mengingatkan kita bahwa, “Rambut kepalamupun terhitung semuanya” (Matius 10:30).
Allah peduli pada hal-hal kecil dalam hidup Anda. Anda bebas datang kepada-Nya dan mengungkapkan kekhawatiran Anda, seberapapun kecil dan tidak berartinya hal itu. Dia
senang mendengarkan doa-doa Anda, bahkan yang paling remeh sekalipun.
Kapan pun Anda merasa lelah, frustrasi, terkuras, atau kesepian, pejamkanlah mata
Anda dan ingatlah bahwa Allah mendengar. Bicaralah dengan-Nya, berserulah memanggil nama-Nya, dan curahkan semua unek-unek
Anda kepada-Nya. Mintalah Dia menenangkan jiwa Anda dan membukakan mata serta hati Anda agar dapat merasakan hadiratNya. Lalu, tunggulah Dia datang, dengan sabar dan penuh harap.
Raja Daud tidak segan-segan datang kepada Allah setiap kali ia merasa takut atau kecewa. Bahkan ketika merasa ditinggalkan, Daud tidak ragu menanyai Allah: Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus?
Berapa lama lagi Kausembunyikan
wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh
kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?
(Mazmur 13:2-3)
“Mazmur ratapan” seperti itu mengungkapkan ketakutan kita yang terdalam dan kesungguhan permohonan kita kepada Allah agar kita dilindungi, diselamatkan, dan memperoleh jawaban atas pergumulan kita. Mazmur itu menunjukkan bahwa kita bebas menyatakan kepedihan dan rasa duka kita kepada Allah.
Kita tidak pernah diminta menyangkali kepedihan yang kita alami. Dalam ratapan, kita bebas mengungkapkan kesedihan dan permohonan kita untuk memperoleh kelegaan. Allah adalah satu-satunya tempat yang aman untuk mengakui kepedihan, dosa, atau amarah kita, karena kita tahu bahwa semua curahan hati kita didengar oleh Allah yang penuh belas kasihan.
Allah peduli kepada penderitaan kita. Dia rindu kita datang kepada-Nya dengan membawa kekecewaan dan hati yang hancur. Dia mendengar jeritan hati kita yang terdalam, dan Dia akan mengirimkan harapan, pertolongan, dan pemulihan, sama seperti seorang ibu menghibur dan menenangkan anaknya:
Kamu akan menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan.
Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu.
(Yesaya 66:12-13)
Ya Tuhan,
terima kasih karena Engkau adalah Allah yang penuh kasih, yang tidak hanya sabar mendengarkan tangisan dan keluh kesahku, tetapi juga sabar mendengarkan hal-hal kecil dalam hidupku. Terima kasih, Engkau sudah menjadi Gembalaku.
Bawalah segala persoalan hidup Anda kepada Allah.
Dia selalu mendengarkan Anda.
Menemukan sukacita sejati
Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. 1 Tesalonika 5:16-18
Sebagai orang Kristen, kita sering diingatkan untuk tetap bersukacita di tengah pencobaan. Kita diharapkan untuk merasa baik-baik saja—dan tetap tersenyum—ketika hidup terasa menyakitkan.
Namun, mari kita jujur. Tentu sulit untuk merasa senang atas beban yang Anda tanggung sebagai seseorang yang merawat orang lain. Saat Anda merasa sudah habis-habisan, terkuras oleh kesibukan Anda, dan frustrasi karena banyaknya tuntutan di sekeliling Anda, tentu sulit bahkan untuk tersenyum, apalagi untuk merasakan sukacita.
Namun, itu semua bukanlah arti sukacita. Sukacita bukanlah perasaan gembira yang palsu, atau menampilkan senyum keberanian pada wajah Anda yang lelah dan berkata semuanya baik-baik saja.
Sukacita berarti mempercayai Allah dan rencana-Nya yang agung dan mulia, karena tahu bahwa itu
semua melampaui pemikiran kita. Sukacita berarti yakin teguh bahwa Allah masih memegang kendali. Sukacita adalah kepastian bahwa setelah melakukan segala yang kita bisa, kita dapat mempercayakan hasilnya kepada kedaulatan Allah.
Keyakinan semacam itu tidak tercipta dari kekuatan kita sendiri, melainkan hasil dari pilihan yang kita ambil. Dalam perjalanan kita merawat orang lain, kita perlu memilih untuk bersukacita.
Namun, bagaimana kita dapat melakukannya? Bagaimana kita dapat memilih sukacita yang mengalir dengan leluasa ke dalam dan melalui hidup kita?
Dengan tinggal di dalam Kristus. Dengan terus melekat kepada Yesus setiap hari dalam hubungan yang erat dan intim dengan-Nya. 1 Tesalonika 5:16-18 memberikan nasihat praktis: “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab
itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”
Dengan berfokus pada diri, sifat, karya, dan janji-janji Tuhan
Yesus, kita dapat mengalami kuasaNya dan memandang hidup ini menurut pandangan-Nya. Seiring waktu, fokus itu akan mengubah pola pikir dan perspektif kita terhadap pencobaan (Yakobus 1:2-4), dan kita akan memahami bahwa hasil akhirnya akan jauh lebih mulia daripada apa pun yang kita derita saat ini.
Sebagaimana yang tertulis dalam 1 Petrus 1:6-9, kita akan mampu bersukacita karena iman kita telah teruji, karena kita tahu bahwa semuanya akan membawa puji-pujian, kemuliaan, dan kehormatan pada hari Yesus
Kristus menyatakan diri-Nya: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.”
Bapa di surga, terkadang aku mengharapkan sukacita sebagai sebuah perasaan. Tolonglah aku untuk melihatnya sebagai sebuah pilihan. Hari ini, aku memilih bersukacita di tengah keadaanku. Engkau telah memilih dan menebusku, memahkotaiku dengan kasih sayang dan rahmat, dan hatiku melimpah dengan sukacita karena kasih-Mu yang besar kepadaku, kepada orangorang yang kukasihi, dan kepada dunia yang telah dirusak dosa ini.
Cara bersukacita
• Tetap dekat dengan Yesus di dalam doa.
• Memperhatikan hal-hal yang mendorong kita untuk memuji Allah.
• Ber syukur atas berkatberkat-Nya.
• Berfokus pada diri Yesus: segala sifat, karya, dan janji-Nya.
Sukacita adalah pilihan, bukan perasaan.
Buah pencobaan
Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. Yakobus 1:2-4
Kita telah melihat bahwa sukacita
adalah sebuah pilihan, bukan perasaan, dan bagaimana kita dapat membuat pilihan ini dengan tinggal di dalam Kristus, menghabiskan waktu bersama firman Tuhan, dan memusatkan perhatian pada kebaikan dan janji-janji-Nya. Cara lain untuk memilih bersukacita adalah dengan memegang teguh kebenaran penting tentang adanya berkat rohani yang setimpal dengan pencobaan dan penderitaan yang kita alami dalam hidup ini.
Yakobus 1:2-4 berkata, “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu
menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”
Demikian pula Roma 5:3-4 berkata, “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”
Baik Yakobus maupun Paulus menekankan fakta bahwa pencobaan dan ujian adalah sarana untuk mencapai tujuan utama dari karya penebusan Allah: keserupaan kita dengan gambar Anak-Nya, Yesus Kristus. Melalui ujian yang sulit itulah hidup kita menghasilkan buah Roh—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23).
Keteguhan kita dalam mempercayai janji kematangan
rohani itulah yang akan mengubah sikap kita terhadap ujian dan pencobaan hidup. Kita tidak akan lagi melihat semua itu sebagai sesuatu yang harus dihindari sama sekali, melainkan sesuatu yang dapat kita tanggung, karena kita tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk kebaikan kita (Roma 8:28). Perhatikan bahwa janji ini diberikan setelah hadirnya gambaran yang terus terang tentang penderitaan di dunia, termasuk “keluhan” (Roma 8:2223) yang sangat dimengerti oleh Allah Roh Kudus.
Seiring berjalannya waktu, memahami tujuan dan hasil dari ujian dan pencobaan hidup akan memampukan kita untuk memiliki sikap seperti seorang olahragawan yang bersemangat dalam latihan. Walaupun tahu itu menyakitkan dan melelahkan, ia tetap bersemangat karena menyadari bahwa latihan akan membuatnya
siap untuk bertanding hingga akhir—dan meraih medali yang didambakannya.
Janji itulah yang menggerakkan Paulus untuk menuliskan kesimpulan yang menguatkan iman ini: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).
Ya Allah, adakalanya aku tidak merasakan sukacita. Kadang-kadang aku merasa begitu lelah. Namun, aku tahu aku dapat mempercayai firman-Mu dan mempercayai-Mu. Aku tahu Engkau memiliki rencana dan tujuan yang mulia, bahkan untuk beban yang kutanggung saat ini. Bagaimanapun perasaanku, aku memilih untuk mempercayai-Mu.
Untuk dapat bersukacita, peganglah kebenaran ini: Allah sedang memurnikan kita melalui ujian hidup kita.

Kisah Grace: Bertahan di tengah badai
Setelah menderita cedera otak yang traumatis setelah jatuh, ibunda Grace memerlukan perawatan penuh waktu. Beliau tidak mampu bergerak, makan, atau mandi sendiri, dan hanya dapat berkomunikasi melalui kedipan dan gerak mata dan tangan yang terbatas. Grace, saudara laki-lakinya, dan ayahnya tidak ingin menempatkan beliau di panti perawatan. Namun, mereka harus mengesampingkan segala sesuatu dalam hidup mereka untuk merawat beliau.
Pada awalnya, saya terus bertanya. “Mengapa?” Saya terus bergumul dengan Allah selama tiga tahun, dengan pertanyaanpertanyaan seperti, “Mengapa ini harus terjadi? Mengapa Engkau tidak campur tangan?”
Setiap kali saya melihat seorang ibu berjalan bersama anak perempuannya, saya bertanya kepada Allah, “Mengapa aku tidak bisa mengalaminya juga? Ibu seorang Kristen yang taat dan penuh kasih. Ia mengasihiMu, Tuhan, dan mengasihi keluarganya. Ia juga membesarkan kami untuk takut akan Engkau dan mengenal-Mu. Mengapa sekarang ia menderita?”
Setelah lebih dari tiga tahun, akhirnya saya dengan perlahan mulai menerima keadaan ini. Saya belum menerima jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan saya, tetapi saya tidak mempermasalahkannya lagi. Saya mulai melihat bagaimana Allah selalu menyertai kami selama ini. “Mungkin Dia sedang mengajar kita untuk bergantung kepada-Nya,” kata saya kepada saudara laki-laki dan ayah saya.
Sementara kami terus bergumul dengan peristiwa kecelakaan



yang mengubah hidup kami itu, kami memutuskan untuk tidak menyalahkan Allah atau membiarkan kepahitan menguasai hati kami. Hingga hari ini, kami terus berkata kepada Allah bahwa sekalipun ibu kami tidak sembuh, kami akan tetap menyembah dan menghormati Dia, karena Dia adalah Allah. Dia layak disembah, bukan karena apa yang dapat atau yang telah dilakukan-Nya bagi kami, melainkan karena Dia saja Allah kami.
Perjalanan merawat ibu kami sungguh mempengaruhi seluruh keluarga. Dua tahun lalu, ayah saya harus dua kali dioperasi untuk mengganti katup pada jantungnya. Ayah saya dirawat di rumah sakit selama dua minggu, jadi pada saat itu saya dan saudara laki-laki saya harus merawat kedua orangtua kami.
Adakalanya saya bertanyatanya,”Berapa lama lagi kami harus begini?” Kadang-kadang, saya menyimpan keputusasaan saya dalam hati saja. Saya merasa tidak seorang pun mengerti apa yang saya lalui, dan saya tidak ingin membebani teman-teman dengan
masalah yang sama. Namun, ada saja orang yang diutus Allah untuk menanyakan keadaan saya. Teman-teman anggota kelompok sel di gereja saya telah memberikan banyak dukungan kepada saya.
Ayah juga mengkhawatirkan karier kami. Saya selalu ingin berkarier di industri perjalanan pariwisata, tetapi sekarang, sebisa mungkin saya tidak ke mana-mana. Saya juga harus sering mengambil jatah cuti tidak berbayar demi merawat ibu saya.
Adakalanya saya mengkhawatirkan masa depan saya, tetapi saya lebih ingin menghormati ibu saya. Kami anakanaknya bisa saja mendapatkan pekerjaan dengan imbalan yang lebih baik, tetapi itu mengharuskan kami untuk mengambil jam kerja yang lebih panjang. Kami berdua merasa bahwa kami harus merawat ibu kami selama ia masih bersama kami—bagaimanapun juga, beliau telah merawat kami hingga kami tumbuh dewasa. Kami tidak menyesal melakukannya.
Saya telah menggumulkan masalah ini, dan juga bertanya-

tanya apa yang terjadi jika saya mengesampingkan kepentingan saya. Apa yang terjadi selanjutnya setelah ibu saya tiada? Namun, saya percaya Allah akan memelihara kami, seperti yang selalu dilakukan-Nya. Semua ini adalah perjalanan iman.
Kami sungguh melihat bagaimana Allah memelihara kami dengan berlimpah lewat berbagai cara. Contohnya, biaya perawatan ibu saya disubsidi karena beliau pernah menjadi seorang guru. Kami juga mendapatkan para perawat penuh waktu yang kompeten, penuh belas kasih, dan juga mengasihi Allah. Kami berdoa meminta perawat yang baik, dan Allah menyediakannya melebihi harapan kami. Mereka menyayangi dan memperlakukan ibu kami seperti ibu mereka sendiri, bahkan rela merawat beliau ketika mereka seharusnya sedang tidak bertugas.
Kami juga berterima kasih kepada Allah atas pemulihan kondisi ibu kami. Para dokter sudah mengatakan bahwa beliau tidak akan bisa membaik, tetapi kami melihat pemulihan dalam hal-hal kecil. Kini ia lebih cepat
merespons, dan kemampuan kognitifnya masih kuat. Sekarang ia dapat menggunakan tangan kanannya untuk menunjuk, memberi tanda dengan ibu jari ke atas atau ke bawah, dan meremas tangan saya. Ia dapat mengedip untuk merespons—contohnya, dua kali untuk ya dan satu kali untuk tidak. Ia dapat melihat, mendengar, berpikir, dan memberikan tanggapan. Ia bahkan tersenyum mendengar lelucon-lelucon kami.
Allah juga telah memberikan kepada kami begitu banyak sukacita dan damai sejahtera. Setiap kali pulang ke rumah, kami sangat gembira melihat ibu kami. Merawat beliau memang melelahkan dan menguras tenaga, tetapi kami senang dapat memperhatikannya. Mungkin itu juga yang dirasakan Bapa di surga saat memperhatikan kita.
Ada yang pernah bertanya kepada saya apakah kami pernah berpikir bahwa Allah telah meninggalkan kami. Saya berkata, jika kami berpikir seperti itu, kepahitan akan muncul dalam hati, dan kami pun akan kehilangan iman kepada Allah.



Saya teringat pada apa yang
terjadi ketika Lazarus meninggal (Yohanes 11). Yesus sudah mendengar bahwa ia sakit, tetapi Dia tidak langsung pergi ke Betania. Ketika Dia tiba, Lazarus telah meninggal dunia. Maria dan Marta pasti bertanya kepada Yesus kenapa Dia tidak datang lebih awal, tetapi Yesus berkata bahwa hal itu terjadi untuk menyatakan kemuliaan Allah. Kami pun percaya bahwa semua yang kami alami adalah demi kemuliaan Allah.
Saya telah belajar untuk melihat Allah sebagai sumber pertolongan kami yang pertama dan satusatunya. Setiap kali sesuatu
terjadi, kami akan terlebih dahulu datang kepada-Nya. Tanpa Allah, hidup ini begitu menyedihkan dan tak berpengharapan. Saya boleh datang apa adanya dan berterus terang kepada Allah. Saya bergumul dengan-Nya, dan saya percaya Dia menghargai sikap itu.
Saya juga belajar bahwa berdoa memerlukan keberanian dan iman—keberanian memohon kepada Allah untuk hal-hal yang tidak mungkin, dan iman untuk
mempercayai waktu-Nya. Kami memang berharap ibu kami akan sembuh suatu hari nanti—mungkin selama hidupnya di dunia, tetapi yang pasti di surga. Allah telah berbicara kepada saya melalui Mazmur 71, yang menyatakan bahwa Dialah gunung batu dan perlindungan kami yang selalu dapat kami andalkan.
Engkau yang telah membuat aku mengalami banyak kesusahan dan malapetaka, Engkau akan menghidupkan aku kembali, dan dari samudera raya bumi Engkau akan menaikkan aku kembali. Engkau akan menambah kebesaranku dan akan berpaling menghibur aku. Akupun mau menyanyikan syukur bagi-Mu dengan gambus atas kesetiaan-Mu, ya Allahku, menyanyikan mazmur bagi-Mu dengan kecapi, ya Yang Kudus Israel. (Mazmur 71:20-22)
Akhirnya, saya telah belajar untuk memuji Allah di tengah badai yang melanda. Saya tahu Allah akan menenangkan lautan, hingga pada akhirnya menjadikan segala sesuatu baik adanya.


II. BERJALAN BERSAMA DIRI SENDIRI
Perjalanan merawat sesama memberi Allah kesempatan untuk berkarya dalam hati Anda, agar Dia menolong Anda mengatasi pergumulan dengan perasaan dan permasalahan diri Anda.
Sebuah perubahan diri
Apabila Musa masuk menghadap Tuhan untuk berbicara dengan Dia, ditanggalkannyalah selubung itu sampai ia keluar; dan apabila ia keluar dikatakannyalah kepada orang Israel apa yang diperintahkan kepadanya. Apabila orang Israel melihat muka Musa, . . . kulit muka Musa bercahaya.
—K eluaran 34:34-35
Setiap kali Musa naik ke
Gunung Sinai untuk bertemu dengan Allah, ia kembali sebagai orang yang mengalami perubahan. Wajahnya bersinar begitu terang sehingga orang Israel tidak tahan melihatnya, dan ia harus memakai sebuah selubung. Pertemuan dengan Allah selalu membawa perubahan.
Sama halnya dengan mengasuh dan merawat sesama. Ketika kita melihatnya bukan sebagai sebuah tugas, melainkan sebuah pertemuan dan perjalanan ilahi, hal itu akan mengubah kita dalam hal-hal yang tidak pernah kita duga. Kita mungkin merasa tidak yakin pada apa yang akan atau sudah terjadi, tetapi jika kita bertahan dan terus mempercayai Allah, kita akan melihat perubahan yang dibawa-Nya ke dalam kehidupan kita. Melalui
pengalaman dan proses perawatan yang kita jalani, Allah memberi kita kesempatan untuk berubah seiring dengan perjalanan kita dengan-Nya dan menyaksikan apa yang terus diungkapkan-Nya kepada kita.
Perjalanan itu mungkin juga akan mengungkapkan banyak hal tentang diri kita. Apa yang akan kita lihat? Akankah kita meluapkan kekesalan saat berbeda pendapat dengan orang-orang yang kita kasihi? Akankah kita melihat diri kita sebagai martir yang mengasihani diri sendiri? Akankah kita meminta hak-hak kita dipenuhi dan memusatkan perhatian pada apa yang kita pikir “adil”? Atau, akankah kita menghakimi orang yang kita rawat, dan bersikap sinis terhadap orang-orang yang kita pikir seharusnya berbuat lebih untuk menolong kita?
Semua itu adalah pergumulan yang umum dialami para perawat dan pengasuh. Namun, Allah dapat memakai berbagai pergumulan tersebut untuk mendewasakan kerohanian kita
dengan mengubah kita menjadi pribadi yang dikehendakiNya. Ketika kita belajar untuk bergantung sepenuhnya kepada kuasa-Nya dan menundukkan kehendak kita di bawah kehendakNya, kita akan memiliki sikap yang berbeda terhadap orang yang kita rawat. Kita akan mulai melihatnya sebagaimana Allah melihatnya— pribadi yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa-Nya— dan mulai untuk mengasihinya seperti Yesus mengasihi kita, tanpa pamrih dan rela berkorban.
Jika hati kita terbuka untuk menerima perubahan ini, proses pembelajaran kita untuk peduli dan memberi diri akan membuat kita mengenali apa yang berharga dan bernilai dalam hidup ini.
Kita akan mengetahui apa artinya untuk memegang komitmen kita, dan menerima kesempatan untuk mengasihi seseorang dengan lebih baik. Di atas segalanya, kita akan dapat melihat sendiri bahwa kasih karunia Allah selalu cukup bagi kita (2 Korintus 12:9).
Bapa, terima kasih karena Engkau memberkatiku sembari aku belajar untuk memberi diri dalam proses perawatan dan pengasuhan yang kulakukan. Tolonglah aku agar rela membuka diri untuk diubah oleh kasih karunia-Mu, dan ajarlah aku untuk menyelidiki hati, pikiran, dan motivasiku. Tolonglah aku untuk berserah kepada karya Roh Kudus, supaya aku akan dibentuk sesuai dengan citra Anak-Mu yang penuh kasih dan sempurna. Terima kasih atas kasih-Mu yang tiada batasnya.
Merawat dan mengasuh sesama dapat mengubah kita.
Menjaga fokus kepada Allah
Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup. 1 Yohanes 2:6
Bagaimana perubahan
hidup dalam proses perawatan itu terlihat dalam praktik seharihari? Apa yang dapat kita lakukan dalam rutinitas harian kita untuk tetap tinggal di dalam Kristus dan mengizinkan Allah mengubahkan kita, supaya kita dapat “hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yohanes 2:6)?
Berikut adalah suatu cara untuk mengingat tindakan-tindakan praktis yang dapat Anda terapkan untuk menjaga fokus Anda kepada Allah: prinsip MARIE.
Muliakan Allah. Praktikkan kuasa pujian. Fokuskanlah lidah dan pikiran Anda pada kebaikan Allah, pribadi-Nya, dan segala karya-Nya. Ketika kita mengeluh, sebenarnya kita sedang mengatakan bahwa Allah itu tidak baik dan tidak adil. Ketika kita memuliakan Dia, kita mengakui kedaulatan-Nya sebagai Tuhan dan meyakini bahwa apa pun yang terjadi, kita dapat mempercayai
Dia sebagai Bapa yang baik dan penuh kasih.
Apresiasi orang lain.
Belajarlah untuk melihat berkat yang diberikan Allah lewat kehadiran orang-orang di sekitar Anda setiap hari. Terlalu sering kita memilih untuk melihat hal yang negatif, tetapi mari belajar untuk melihat hal yang positif dengan mengapresiasi orang lain. Minta Allah membuka mata Anda untuk menyadari berkat-berkat-Nya.
Rekatkan kebenaran firman Tuhan. Yang perlu kita jadikan standar bagi pemikiran dan perbuatan kita adalah firman Tuhan—bukan kepribadian, pendapat, pilihan, atau kenyamanan diri sendiri.
Kita harus belajar untuk berpikir, berbicara, berjalan, dan memberikan perawatan secara alkitabiah. Artinya, kita menyerahkan segenap pemikiran, kehendak, dan milik kita kepadaNya. Ini juga bisa berarti bahwa kita rela melepaskan segala sesuatu
yang kita anggap sebagai hak yang seharusnya kita terima.
Interupsi pemikiran dan sikap negatif. Saat memberikan perawatan, sangat mudah bagi kita untuk tergelincir pada pola pikir dan perkataan yang negatif. Kita ingin melampiaskan rasa frustrasi dan kejengkelan dalam diri kita. Kita ingin orang lain mengakui pemikiran dan perasaan kita, dan mengatakan kepada kita, “Memang, orang tersebut tidak seharusnya melakukan hal itu kepadamu.” Akan tetapi, sikap tersebut dapat menjerumuskan kita ke dalam dosa. Kita perlu menarik garis yang jelas antara membagikan informasi penting—seperti sikap ibu Anda yang menolak mengonsumsi obatnya—dan informasi detail yang hanya memancing reaksi negatif. Kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Apa motivasi saya yang sesungguhnya dengan membagikan informasi ini?
Evaluasi motivasi. Mungkin awalnya kita ingin melayani dan merawat orang lain dengan
motivasi yang tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mudah sekali motivasi tersebut berubah dalam prosesnya. Jika kita tidak berhatihati, sifat-sifat buruk seperti keserakahan, mendahulukan diri, mengemis simpati orang lain, mau menang sendiri, dan kesombongan dapat merasuk ke dalam hati kita serta menyimpangkan motivasi kita yang mula-mula.
BapaMahakasih, tegurlah aku apabila aku membiarkan motivasi palsu dan pemikiran yang keliru menguasai hati dan pikiranku. Tolonglah aku untuk mewaspadai setiap bentuk keserakahan, mendahulukan diri, mengemis simpati, mau menang sendiri, dan kesombongan dalam diriku. Kiranya Roh-Mu yang kudus menyinari hatiku dengan terang kebenaran dan membongkar sikapku yang buruk dan tersembunyi dari diriku sendiri. Kumohon, perbaruilah hati dan semangatku kembali.
Orang yang hati dan semangatnya diperbarui akan merawat sesamanya dengan hati dan semangat Allah sendiri.
Bahaya menyimpan kejengkelan
Ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Yakobus 1:19-20
Mungkin salah satu pergumulan
terbesar kita adalah menghadapi
kejengkelan—terhadap orangtua yang terlalu menuntut, terhadap saudara yang enggan membantu, atau terhadap teman-teman yang sepertinya tidak lagi mau mendengarkan keluh kesah kita.
Mengapa kita jengkel? Mungkin kita merasa diminta melakukan sesuatu yang tidak mau dilakukan orang lain. Mungkin juga kita merasa dimanfaatkan. Atau kita merasa melewatkan sesuatu yang seharusnya kita dapatkan. Bisa jadi kejengkelan kita punya akar lebih dalam: kita berpikir seharusnya kita mendapatkan yang lebih baik, tetapi Allah bersikap tidak adil kepada kita.
Semua itu akar pahit yang tersembunyi dari rasa jengkel, dan kita perlu jujur kepada diri kita— dan kepada Allah—sambil menguji
pemikiran dan perasaan kita sendiri. Jika kita dapat menyadari benihbenih kejengkelan dalam hidup kita, kita dapat mencegahnya untuk berakar lebih dalam.
Coba uji pikiran dan perasaan Anda hari ini, dan tanyakan kepada diri sendiri: Apakah saya merasa Allah telah memberi saya lebih dari yang dapat saya tanggung? Apakah saya merasa orang lain seharusnya berterima kasih dan mendukung saya? Bawalah jawaban Anda dalam doa: Allah senang mendengar ungkapan hati Anda yang jujur.
Apakah saya mengemis simpati? Mengemis simpati berarti mencoba membuat orang lain mengakui penderitaan yang mereka jalani demi orang lain. Mereka mencoba menarik perhatian kepada kesusahan mereka, supaya orang lain dapat menyadari malangnya hidup
mereka. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, orang ini hendak menunjukkan bahwa Allah tidak baik dan tidak adil kepadanya.
Apakah saya menolak untuk mengampuni? Kepahitan dan kejengkelan bisa menghalangi hadirnya pengampunan. Bersediakah kita untuk mengakui dosa dan keangkuhan diri kita, dan melepaskan kepahitan dan amarah kita pada salib Yesus? Maukah kita melihat orang-orang yang telah menyakiti kita dengan mata Yesus?
Apakah saya mencoba membenarkan perilaku saya? Berpikir rasional dapat mencegah kita terjebak dalam emosi yang labil atau terseret oleh tuntutan orang lain. Namun, ketika kita selalu mengasihani diri, bisa jadi kita mencoba membenarkan perilaku kita yang keliru, manipulatif, dan egois. Kita mulai meyakini orang lain berutang kepada kita karena pengorbanan yang sudah kita berikan.
Apakah saya mencari-cari alasan? Sejumlah orang yang bertanggung jawab merawat sesamanya memilih untuk menarik
diri dengan situasi yang ada. Mereka tidak lagi peduli pada apa yang terjadi, hanya melakukan seperlunya, dan tidak lagi menaruh kasih dalam tugasnya sehari-hari. Bisa jadi kita beralasan dan mengatakan bahwa kita berhak menarik diri karena Allah telah memberikan beban lebih daripada yang bisa kita tanggung. Sikap menarik diri mungkin adalah senjata Iblis yang paling halus tetapi membahayakan, karena yang diserang adalah hati, semangat, dan komitmen kita untuk mengasihi Allah dan sesama.
Bapa, aku mengaku sering kali aku membuat diriku menjadi pusat segala sesuatu. Kiranya Roh-Mu membongkar kebohongan dalam pola pikirku dan tipu daya yang membuatku merasa sebagai korban dari keadaanku. Ajarlah aku untuk percaya kepada-Mu, dan tolonglah aku rela menyesuaikan pemikiranku dengan firman-Mu, agar aku bertumbuh dalam rasa syukur atas anugerah-Mu.
Kejengkelan sering timbul karena sebenarnya kita berpikir Allah sedang bersikap tidak adil kepada kita.
Mengatasi kejengkelan
Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu. . . . Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. 1 Petrus 2:21-23
Kejengkelan bisa muncul ketika
kita merasa tidak memperoleh keadilan dalam hidup ini. Akan tetapi, mengapa kita sering berharap mendapat lebih dari kehidupan ini—dan juga dari Allah?
Sebenarnya kita semua
bergumul dengan motivasi, hasrat, dan ambisi pribadi. Mungkin kita ingin untuk mencapai impian kita, memperoleh pengakuan, atau diperlakukan secara khusus. Motivasi-motivasi itu sendiri tidak salah, tetapi kita mungkin tidak menyadarinya hingga semua itu disingkapkan dan diuji oleh tekanan yang muncul dari proses merawat dan mengasuh sesama.
Ketika tanggung jawab dan beban untuk merawat orang lain membuat kita merasa sulit untuk mencapai hasrat dan ambisi pribadi ini, kita bisa
mulai merasa sebagai korban. Si korban menyalahkan orang lain atas nasibnya dan merasa layak mendapat yang lebih baik. Mentalitas ini membuahkan kejengkelan dan bisa menimbulkan akar pahit yang mempengaruhi iman dan hubungan dengan Allah.
Bagaimana Anda dapat melepaskan diri dari mentalitas ini?
Belajar menilik hati Anda seperti yang Allah lakukan.
Kebobrokan diri menjadi titik awal bagi Roh Kudus untuk berkarya mengubahkan kita. Belajarlah melihat kehidupan dari perspektif baru yang sesuai firman Tuhan. Alkitab mengajar kita untuk bertanggung jawab atas hidup kita dan berhenti menyalahkan Allah dan orang lain untuk masalah dalam keluarga, pertemanan, dan pekerjaan (Yakobus 1:13-19).
Mempercayai perkataan Alkitab tentang diri Anda.
Jangan menggantungkan identitas
Anda kepada sesuatu yang mudah berubah seperti pendapat orang lain atau pekerjaan Anda. Allah telah menerima kita apa adanya, maka kita tidak perlu membuktikan diri kepada siapa pun juga.
Belajar bersyukur kepada Allah. Bersyukur kepada Allah karena menerima Anda apa adanya; karena menebus Anda supaya Dia dapat mengubah Anda menjadi serupa Anak-Nya; dan karena melimpahkan kasih karunia-Nya kepada Anda. Rasa syukur menolong kita mengalihkan fokus dari diri sendiri kepada orang lain, memampukan kita untuk melayani dengan leluasa, dan tidak lagi berhasrat membuktikan diri kepada orang lain maupun Allah.
Belajar meneruskan kasih karunia. Saat Anda merasa kesal atau marah, pilihlah untuk meneruskan kasih karunia. Ketika orangtua menyalahkan Anda karena gagal melakukan lebih atau seorang saudara tidak menepati janjinya untuk merawat ibu Anda, tanggapilah dengan kata-kata yang baik—atau cukup tersenyum, berdiam diri, dan berdoa kepada
Allah. Seperti Yesus, Anda dapat melepaskan hak Anda untuk membantah atau membalas.
Kita bisa saja mencoba untuk menyembunyikan kejengkelan kita dengan rajin bekerja dan bersikap sabar; mungkin kita berusaha membenarkan kepahitan hati kita dan menyalahkan semua orang atas kesulitan yang kita derita; dan kita bisa mengemis perhatian semua orang dengan berseru: “Adakah yang peduli kepadaku?!”
Atau sebaliknya, kita dapat melepaskan hak-hak kita di bawah salib Yesus, dengan mengingat bahwa panggilan untuk merawat dan mengasuh orang lain adalah perjumpaan ilahi dengan Allah—perjumpaan yang akhirnya mengubah kita dan memulihkan orang lain.
Bapa, mampukanlah aku untuk mengampuni mereka yang sudah menyinggung hatiku, dan tolonglah aku untuk rela tidak mendapatkan dari mereka balasan yang setimpal dengan pengampunan yang kuberikan.
Saat jengkel, belokkan fokus dari diri Anda kepada Allah.
Merasa bersalah: Benar atau keliru?
Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut. Roma 8:1-2
Sebagai pemberi perawatan, kita merasa bertanggung jawab membahagiakan orang yang kita rawat, atau memastikan kebutuhannya terpenuhi—sambil menjaga keseimbangan antara tuntutan dalam keluarga kita sendiri, kehidupan rohani, pekerjaan, dan pergaulan kita. Dengan banyaknya prioritas dan kebutuhan yang menuntut perhatian, kita mungkin gagal mengerjakan beberapa tanggung jawab tersebut.
Kita pun merasa bersalah karena telah mengecewakan orangorang terkasih, atau merasa gagal berperan sebagai orangtua, anak, atau saudara. Kita merasa bersalah ketika kita sepertinya tidak mampu memberikan kualitas perhatian yang mereka butuhkan; ketika kita dituding mendahulukan kebutuhan kita; ketika kita harus mengambil keputusan sulit yang berlawanan dengan harapan orangtua; dan kita meneledorkan hubungan kita dengan pasangan dan anak-anak.
Namun, apa yang Anda rasakan mungkin saja rasa bersalah yang keliru—barangkali pergumulan terbesar yang dihadapi para pemberi perawatan. Apa bedanya?
Rasa bersalah yang benar timbul dari perbuatan yang salah, dan disertai perasaan bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
Perasaan itu datang karena sesuatu yang kita lakukan (atau tidak lakukan). Jika benar-benar berbuat salah, kita harus mengakui dosa kita (1 Yohanes 1:9) dan berusaha memperbaikinya (Matius 18:15-17).
Rasa bersalah yang benar adalah tanda dari Allah bahwa ada yang salah dan perlu diperbaiki.
Di sisi lain, rasa bersalah yang keliru berasal dari tuntutan yang dibebankan orang lain kepada kita.
Tuntutan itu datang dari orang yang kita rawat atau dari keluarga kita—atau bahkan dari kita sendiri.
Tuntutan yang sering kali tidak realistis itu tidak didasarkan pada pilihan benar atau salah, tetapi
didasarkan pada tuntutan atas kita untuk hidup menurut standar orang lain (atau diri kita sendiri).
Rasa bersalah yang keliru tidak berarti kita sudah melakukan suatu kesalahan, melainkan menandakan bahwa kita hanya mencoba untuk memenuhi tuntutan orang lain.
Jika Anda dihantui perasaan bersalah karena gagal mengikuti standar orang lain, ingatlah bahwa Allah bukanlah pribadi yang perfeksionis apalagi kejam. Dia tidak menghendaki kita melakukan sesuatu karena disuruh. Sebaliknya, Dia adalah Bapa penuh kasih yang datang untuk mengenyahkan rasa bersalah dan malu kita supaya kita bisa hidup dengan kemerdekaan.
Ingatlah juga bahwa apa yang dipikirkan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Pada akhirnya, Allah saja satu-satunya standar kesempurnaan yang perlu kita ikuti. Jangan lupa: Dia datang bukan untuk menghakimi kita, melainkan untuk membebaskan kita dari penghakiman.
Dalam pergumulan dengan rasa bersalah, mintalah Allah
menunjukkan kepada Anda kebenaran di balik perasaan Anda. Tanyakanlah kepada-Nya dalam doa dan melalui firman-Nya, bicaralah dengan seseorang yang Anda percayai, dan perhatikan apa yang Allah bukakan. Pernahkah Anda tidak taat kepada Allah atau berdosa terhadap sesama?
Ataukah Anda dibebani oleh beragam tuntutan yang tidak adil?
Biarlah kebenaran firman Allah membebaskan Anda dari rasa bersalah yang keliru, dan mintalah kepada-Nya keberanian untuk menolaknya.
Tuhan,
Engkau tahu perasaan bersalah yang kadang kumiliki saat aku merawat orang lain, dan aku khawatir kalau-kalau aku belum cukup baik dalam pelayananku. Tunjukkanlah kepadaku apakah rasa bersalah ini benar atau keliru. Kiranya RohMu menegurku saat aku berdosa kepada-Mu, dan bebaskanlah aku dari beragam tuntutan yang tidak berasal dari-Mu.
Allah satu-satunya standar kesempurnaan yang perlu kita ikuti.
Mengatasi rasa bersalah yang keliru
Tetapi seorang dari Serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Ia menyentuhkannya kepada mulutku seraya berkata: “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu; maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.” Yesaya 6:6-7
Iblis si penuduh bisa membebani kita dengan perasaan bersalah ketika kita melayani orang lain. Jadi, kita harus belajar mengenali apakah kita mengalami rasa bersalah yang benar karena memang kita berbuat salah, atau rasa bersalah yang keliru, yang datang dari sikap menghakimi diri sendiri atau beban dari tuntutan orang lain.
Ketika perasaan bersalah Anda semakin kuat, bawalah itu kepada Allah dalam doa, bacalah firmanNya, dan jujurlah kepada diri sendiri. Selidiki sungguh-sungguh:
• A pakah perasaan saya berasal dari tindakan atau perilaku yang berdosa?
• A pakah saya sudah melanggar prinsip atau perintah firman Tuhan?
• A pakah saya mencoba memenuhi tuntutan orang lain yang tidak realistis?
• A pakah saya mencoba untuk menjadi sempurna?
• A pakah perasaan ini datang dari sikap menghakimi orang lain atau diri sendiri?
• A pakah saya bergantung pada pekerjaan dan pelayanan untuk diterima oleh orang lain?
• A pakah saya benar-benar percaya bahwa Allah saja segala-galanya bagi saya?
Jika jawaban Anda yang jujur menunjukkan sumber dari rasa bersalah yang benar, Anda perlu mengakuinya, bertobat, dan berusaha memperbaikinya. Namun, jika Anda mendapati bahwa rasa bersalah Anda itu keliru, cobalah membangun batasan-batasan yang dapat melindungi Anda dari beban yang tidak perlu dan pengharapan yang tidak realistis.
Anda bisa mulai dengan menetapkan prioritas yang sehat dan menghormati Allah. Prioritas pertama Anda haruslah kehidupan rohani Anda: carilah Allah lewat doa dan firman-Nya secara teratur, terapkan firman itu, dan tetaplah bersekutu dengan saudara-saudari seiman. Kemudian ambillah waktu bersama keluarga Anda untuk menelusuri prioritas-prioritas lain dan memilah apa yang “harus” dan yang “ingin” dilakukan.
Terakhir, ketika Anda sudah lebih mampu mengenali dan memahami tanggung jawab Anda sebagai pemberi perawatan, Anda akan lebih mampu berfokus pada tugas yang memang bisa Anda
jalankan—dan merelakan serta menyerahkan apa yang tidak bisa Anda penuhi kepada Allah.
Bapa, tolonglah aku untuk tidak menuruti perasaan bersalah yang keliru dan melawannya dengan kebenaran firman-Mu. Ajarlah aku membangun prioritas yang menghormati-Mu dan melepaskan rasa bersalah yang keliru itu di hadapan-Mu, karena aku tahu itu bukan dari-Mu.
Terima kasih karena Engkau sudah memberiku kasih-Mu yang menguatkan dan anugerah untuk hidup dalam kemerdekaan.
Cara melawan rasa bersalah yang keliru:
• Mundur sejenak dan pikirkan nasihat apa yang mungkin Anda berikan kepada seseorang yang berada pada situasi yang sama.
• Ambillah waktu untuk beristirahat.
• Jangan malu untuk meminta bantuan.
• Jangan menghakimi diri sendiri.
• Jangan menuntut kesempurnaan dari diri Anda atau orang lain.
• Jangan merasa bisa mengerjakan segala sesuatu sendiri.
Sumber: Different Dream Parenting
Andalkan Allah untuk hal-hal yang dapat Anda lakukan; serahkan yang tidak dapat Anda lakukan kepada-Nya.
Mengatur peran-peran Anda
Engkau akan menjadi sangat lelah, . . . sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja.
Keluaran 18:18
Musa adalah seorang pemimpin yang peduli. Selain memimpin bangsa
Israel dalam kerohanian, ia juga berusaha menyelesaikan perkara mereka sehari-hari. Dari pagi sampai malam, Musa mengadili berbagai macam masalah dan perselisihan yang membutuhkan penerapan hukum dan perintah Allah (Keluaran 18:13). Ini jelas menyita banyak waktunya dan membuatnya sangat lelah, tetapi bisa jadi Musa meyakini tidak ada orang lain yang bisa melakukan pekerjaannya.
Mertuanya, Yitro, menunjukkan bahwa cara Musa tidak mungkin dipertahankan. “Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini,” katanya kepada sang menantu dengan terus terang. “sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja” (Keluaran 18:18).
Yitro dengan bijaksana menyarankan Musa untuk mendelegasikan kasus-kasus kecil untuk diadili oleh para pemimpin yang dipercayainya, supaya ia menangani kasus-kasus yang lebih sulit saja. Nasihat yang sangat bijaksana!
Salah satu cara menghadapi berbagai tuntutan yang menyebabkan rasa bersalah yang keliru adalah dengan mengenali dan menentukan peran-peran kunci yang Anda mainkan dalam hidup Anda. Ini akan menolong Anda membedakan peran-peran yang diberikan Allah kepada Anda dengan peran-peran yang datang dari tempat lain; antara peran yang hanya Anda sendiri bisa lakukan dan peran yang bisa Anda delegasikan kepada orang lain.
Mulailah dengan membuat daftar peran yang Anda miliki saat ini. Ini bukanlah daftar tugas yang Anda kerjakan, melainkan daftar hubungan yang Anda miliki
dalam hidup Anda. Contohnya, Anda adalah anak Allah, anak dari orangtua Anda, dan mungkin seorang pasangan, seorang ayah atau ibu dari anak Anda, seorang saudara kandung, atau seorang sepupu. Anda adalah teman dekat bagi seseorang, seorang teman biasa untuk yang lain, dan seorang kenalan untuk yang lain lagi.
Pikirkan juga peran-peran yang Anda mainkan di rumah, dalam pekerjaan, di gereja, atau dalam organisasi yang Anda ikuti. Contohnya: Anda mengurus rumah; seorang manajer di tempat kerja; seorang guru sekolah Minggu atau penyambut jemaat di gereja; seorang pembina kaum muda; seorang relawan di suatu yayasan amal; atau seorang anggota pengurus lingkungan di kompleks perumahan Anda.
(Kami menyediakan kolom untuk Anda isi di lembar berikut.)
Anda tidak harus membuat daftar ini dalam satu kesempatan;
pakailah waktu untuk memikirkan apa yang Anda lakukan dan siapa diri Anda di mata orang lain. Saat menuliskannya, berdoalah selalu kepada Allah dan mintalah agar Dia menuntun usaha Anda. Setelah Anda selesai, kita akan membahasnya dan melihat bagaimana kita bisa menerapkan nasihat Yitro.
Tuhan, tolonglah aku untuk jujur terhadap diriku sendiri dan diri-Mu dalam menilai peranperan yang kumainkan dalam hidupku. Tolonglah aku untuk tidak menganggap diriku sebagai seorang yang harus ada di manamana, tetapi tunjukkanlah peranperan yang Engkau kehendaki aku kerjakan, dan peran-peran lain yang perlu aku delegasikan kepada orang lain.
Peran apa saja yang Anda mainkan?
Tuliskan peran-peran Anda dalam tiap kategori. Pikirkanlah dalam konteks tanggung jawab dan hubungan Anda dengan orang lain, dan bukan pada tugas-tugas yang Anda lakukan.
Iman: (contoh: anak Allah)
Keluarga: (contoh: suami, ibu, ayah mertua, anak perempuan, saudara laki-laki)
Teman: (contoh: teman dekat, teman lama, kenalan)
Pekerjaan: (contoh: manajer, pengurus rumah, tenaga penjualan, pengusaha)
Gereja: (contoh: guru sekolah Minggu, pemimpin kelompok kecil, penyambut jemaat, anggota paduan suara)
Organisasi lain: (contoh: relawan di yayasan amal, pengurus lingkungan perumahan, anggota di suatu klub hobi)
Sumber: Different Dream Parenting
Allah memberikan kekuatan bagi kita untuk memenuhi setiap peran yang diberikan-Nya kepada kita.
Membedakan peran-peran Anda
Dengan demikian mereka meringankan pekerjaanmu, dan mereka bersamasama dengan engkau turut menanggungnya. Keluaran 18:22
Dua hal dilakukan Yitro
ketika menasihati
Musa supaya tidak
kelelahan: Pertama, ia menguraikan peran utama Musa, yaitu mewakili bangsa Israel di hadapan Allah dan mengajarkan hukum-Nya kepada mereka (Keluaran 18:19-20). Peran ini hanya dapat dilakukan oleh Musa.
Kemudian, ia menunjukkan
Musa bahwa perannya yang lain sebagai hakim bisa didelegasikan. Musa perlu menunjuk orang-orang untuk mengadili perkara-perkara kecil, sementara ia hanya perlu mengadili perkara-perkara besar.
Kata Yitro, “dengan demikian mereka meringankan pekerjaanmu, dan mereka bersama-sama dengan engkau turut menanggungnya. Jika engkau berbuat demikian dan Allah memerintahkan hal itu kepadamu, maka engkau akan sanggup menahannya, dan seluruh bangsa ini akan pulang dengan puas senang ke tempatnya” (Keluaran 18:22-23).
Dengan membedakan peran yang hanya bisa dilakukan oleh dirinya dengan peran yang bisa dialihkan, Musa dapat menghindari beban yang terlalu besar tanpa melalaikan pelayanan terhadap bangsanya.
Hari ini, bagaimana kita bisa menerapkan hal yang sama? Anda baru saja menuliskan peran-peran Anda saat ini. Lihat kembali daftar itu dan tandai peran-peran yang hanya dapat dilakukan oleh Anda. (Anda bisa menandai daftar Anda pada halaman 48-49, atau menuliskannya pada lembar berikut.)
Misalnya, tidak ada yang dapat menggantikan peran Anda sebagai anak Allah, anak bagi orangtua Anda, istri bagi suami Anda, atau ayah bagi anak Anda. Anda akan melihat bahwa sebagian besar, atau bahkan semua peran itu melibatkan hubungan Anda dengan Allah dan keluarga.
Pikirkanlah baik-baik sebelum
menandai tiap peran. Mungkin Anda akan melihat bahwa beberapa peran itu tidak “unik” bagi Anda sendiri. Meskipun Anda melakukan peran itu dengan baik dan orang lain sangat bergantung pada Anda, itu tidak berarti bahwa Anda satu-satunya orang yang dapat melakukannya. Tanyakan kepada diri Anda sendiri:
• Siapa yang dapat menggantikan saya jika saya tidak ada?
• Akankah peran itu dibiarkan kosong, atau akhirnya akan diisi orang lain?
Peran-peran yang Anda tandai adalah prioritas utama Anda: Allah menciptakan Anda untuk mengisinya dan menempatkan
Anda di dalam hidup orang-orang tersebut. Sementara itu, Anda dapat menyerahkan peran-peran lain kepada orang lain, atau meminta mereka untuk menolong Anda menjalankannya.
Belajar untuk berkata tidak atau meminta pertolongan bisa terasa sulit bagi Anda dan orang yang bergantung pada Anda. Anda mungkin perlu mengesampingkan ego Anda. Namun, Anda perlu mengingatkan diri Anda sendiri dan orang lain bahwa peran-peran
itu bukanlah prioritas utama Anda; Anda mempunyai peran-peran yang lebih penting dari Allah—dan salah satunya sebagai perawat atau pengasuh bagi orang lain.
Pikirkan juga bagaimana Anda dapat ditolong dalam peran-peran yang tidak harus Anda ambil. Misalnya, Anda bisa minta tolong kepada teman, saudara, dan teman segereja untuk belanja kebutuhan rumah, atau untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah. Mereka akan lebih mudah membantu jika Anda menyebutkan secara spesifik hal-hal yang perlu dibantu.
Bapa, kuatkanlah aku untuk setia menjalankan peran-peran yang Engkau berikan kepadaku, dan berikanlah aku keberanian untuk mendelegasikan peran-peran yang tidak perlu kujalankan. Karuniakanlah kepadaku kerendahan hati untuk menyadari bahwa tidak semuanya tergantung pada diriku, dan iman untuk percaya bahwa Engkau akan memelihara orang-orang yang ada di dalam hidupku.
Peran apa yang harus Anda lakukan?
Lihat baik-baik peran-peran yang Anda daftarkan pada halaman 48-49. Tandai atau tulislah mana peran yang hanya bisa dilakukan oleh Anda; mana peran yang bisa dibantu orang lain; dan mana peran yang bisa dialihkan kepada orang lain atau ditunda sementara.
Pikirkanlah baik-baik! Meskipun Anda mengerjakan sejumlah peran dengan baik dan orang lain sangat bergantung pada Anda untuk tugas tersebut, tidak berarti hanya Anda yang bisa melakukannya. Tanyakan kepada diri Anda: Apa yang akan terjadi jika saya tidak ada? Akankah peran itu akhirnya diisi orang lain, atau akan dibiarkan kosong? Dapatkah saya dibantu untuk melakukan peran-peran tersebut?
Peran yang hanya bisa dilakukan oleh saya sendiri:
(contoh: anak Allah, suami, ibu, anak, teman dekat, manajer, pembimbing)
Peran yang dapat dibantu oleh orang lain: (contoh: pengurus rumah, pengusaha, guru sekolah Minggu, pemimpin kelompok kecil)
Peran yang bisa dialihkan kepada orang lain atau ditunda:
(contoh: anggota paduan suara, penyambut jemaat, relawan di yayasan amal, anggota di suatu klub hobi)
Pekerjaan yang diberikan Allah tidak dimaksudkan untuk kita kerjakan sendiri.
Pentingnya merawat diri sendiri
“Marilah kita pergi ke tempat yang sunyi, di mana kita bisa sendirian dan kalian dapat beristirahat sebentar.” Markus 6:31 BIS
Sepanjang pelayanan-Nya, Yesus terus menghadapi
orang-orang yang
meminta pertolongan dan kesembuhan dari-Nya. Ke mana pun Dia pergi, sulit bagi-Nya untuk menghindari kerumunan orang. Bahkan ketika Yesus hendak beristirahat, Dia dicari banyak orang yang ingin mendapatkan jamahan kesembuhan dari-Nya.
Namun, Yesus tidak membiarkan belas kasihan-Nya yang tidak terbatas itu menguras kekuatan fisik-Nya—atau fisik murid-murid-Nya—yang terbatas. Saat melihat bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk makan, Dia berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi ke tempat yang sunyi, di mana kita bisa sendirian dan kalian dapat beristirahat sebentar” (Markus 6:31 BIS).
Yesus tahu murid-murid-Nya masih akan melayani untuk waktu yang lama. Setelah Dia disalibkan, mereka masih harus meneruskan pelayanan-Nya. Karena menyadari
keterbatasan fisik dan emosional mereka, Dia ingin mereka menjaga kondisi mereka sendiri.
Mengasuh atau merawat sesama itu seperti lari maraton, bukan lari jarak pendek. Peran kita sebagai perawat bisa berlangsung bertahun-tahun apabila kita mengurus orangtua yang sudah lanjut usia, atau bahkan seumur hidup jika kita mengasuh anak berkebutuhan khusus. Hari-hari kita mungkin terasa panjang jika rutinitas kita sehari-hari berfokus pada mereka yang membutuhkan perawatan dan perhatian kita terus menerus. Seperti para murid Yesus, kita juga perlu menjaga kondisi diri sendiri.
Pertama, renungkanlah ini: hal terbaik yang dapat Anda berikan dalam mengasuh orang lain adalah kesehatan Anda sendiri. Ketika
Anda merawat diri sendiri dengan baik, Anda akan lebih mampu merawat orang lain.
Karena itu, jangan biarkan
Merawat diri sendiri dengan 8 “Ber”
• Berdoa. Teruslah bersandar kepada Allah, sumber kekuatan yang utama.
• Beristirahat. Ingatlah bahwa ketika Anda beristirahat, Allah masih bekerja dan menyertai orang-orang yang Anda kasihi.
• Berencana. Antisipasi masalah dan skenario yang mungkin terjadi agar Anda lebih siap ketika hal itu benar-benar terjadi.
• Ber main. Lakukanlah hal yang Anda sukai. Bersenang-senang tidak dilarang.
• Berkegiatan fisik. Jagalah stamina dan kesehatan. Berolahraga membuat tubuh Anda mengeluarkan zat bernama endorfin, yang dapat memperbaiki suasana hati Anda dan menolong untuk melawan depresi.
• Berfokus pada penyelesaian masalah. Ketika masalah muncul, berfokuslah untuk menyelesaikannya. Jangan membuang waktu atau tenaga Anda untuk menyalahkan orang lain, karena itu hanya akan membuat Anda lebih jengkel.
• Ber syukur. Temukanlah alasan-alasan untuk terus bersyukur kepada Allah untuk pemeliharaan-Nya, misalnya atas rumah Anda, keluarga Anda, atau pekerjaan Anda. Tumbuhkanlah hati yang penuh ucapan syukur.
• Ber tekun. Jaga kondisi tubuh Anda. Jangan lupa untuk bersyukur kepada Allah atas kesempatan untuk mengasuh dan merawat orang yang Anda kasihi; semua itu adalah momenmomen yang sangat berharga.
diri Anda tumbang karena stres. Belajarlah mengenali batas-batas fisik dan emosional Anda, dan hindari memaksakan diri Anda terlalu jauh. Inilah hal-hal praktis yang dapat Anda lakukan:
• Pastikan cukup beristirahat.
• Perhatikan kebutuhan medis Anda sendiri.
• Jaga pola makan yang sehat dan olahraga yang cukup.
• Ambillah waktu jeda secara rutin, misalnya beberapa jam dalam sehari atau seminggu, untuk melakukan hal-hal yang Anda sukai.
• Jagalah hubungan dengan teman-teman Anda.
• Cobalah bergabung dengan kelompok pendukung yang bisa menyediakan penguatan yang sangat Anda butuhkan.
• Panggillah perawat profesional atau mintalah teman atau saudara untuk mengambil alih perawatan selama beberapa jam setiap minggu.
• Carilah bantuan yang kreatif dari pihak-pihak lain yang dapat mendukung Anda.
Salah satu hal tersulit bagi seorang pemberi perawatan adalah menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan segalanya. Banyak yang terjebak pada pemikiran bahwa hanya kita sendiri yang dapat merawat orang yang kita kasihi. Hal ini bisa membuat orang tersebut semakin menuntut kita untuk mengasuhnya setiap saat.
Kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Jika hanya kita yang bisa mengasuhnya, apa yang akan terjadi kepadanya jika sesuatu terjadi kepada kita?
Dr Helen Ko, seorang pengamat kaum lansia, menganjurkan para pemberi perawatan tidak menetapkan standar yang terlalu tinggi bagi diri sendiri. “Baik itu cukup,” katanya. “Allah tidak mengharapkan kita menjadi pengasuh yang sempurna. Ia hanya mengharapkan kita menjadi pengasuh yang setia.”
Tuhan, ajarlah aku untuk merawat diriku sendiri dan rela menurunkan standar yang kutetapkan bagi diriku sendiri ataupun mengikuti tuntutan orang lain terhadap diriku. Berikanlah aku kreativitas untuk menemukan cara-cara menyegarkan diri dan beristirahat, dan hikmat untuk memelihara tubuhku, yang adalah bait suci-Mu. Biarlah kekuatanMu menopang kesehatan fisik, emosional, mental, dan rohaniku.
Anda adalah persembahan yang hidup, bukan korban yang terbakar habis.


Kisah
Amanda: Mempercayai kedaulatan Allah
Amanda dan suaminya, Richie, mengasuh anak perempuan mereka yang menderita kerusakan otak dan merawat ibu yang menderita demensia.
Dara terlahir normal.
Namun, ketika berusia 14 bulan, ia terkena herpes ensefalitis, yang membuatnya koma selama beberapa bulan. Ketika pulih, Dara kehilangan semua kemampuannya. Seperti seorang bayi yang baru lahir, ia harus kembali mempelajari semua hal—cara menelan, mengunyah, minum, membalikkan badan, duduk, berjalan, menggunakan tangan, memahami bahasa, dan berbicara.
Penyakit ensefalitis juga menyebabkan kerusakan otak, dan dokter pernah berkata bahwa kemungkinan besar Dara akan
berujung pada kondisi vegetatif. Ketika keadaannya membaik, mereka menyebutnya sebagai “bayi mujizat”.
Dara pun menjalani banyak program dan terapi intervensi. Semua itu telah menolongnya sampai pada kondisinya
sekarang—sebagian besar tubuhnya berfungsi baik, tetapi tidak bisa mandiri. Dara sudah hampir berusia 18 tahun, tetapi masih tidak bisa merawat dirinya sendiri. Ia tidak bisa membaca kata-kata dan kesulitan untuk mengenali angka “1” sampai “10”. Ia ingat arahan gurunya tentang persiapan berkemah, tetapi tidak bisa membereskan perlengkapannya. Ia tahu urut-urutan cara untuk mandi, tetapi tidak bisa membersihkan dirinya sendiri. Ia cukup mampu mengenakan baju sendiri, tetapi

pakaiannya masih sering terbalik. Dara juga masih belum tahu cara mengikat tali sepatu.
Ketika kami di luar rumah, ia selalu berada dalam jarak pandang kami, karena ia bisa saja menghilang. Ia juga sangat kuat, dan kami tidak bisa membawanya ke suatu tempat jika ia tidak mau. Ia suka ke sekolah dan gereja, tetapi sulit membuatnya berangkat tepat waktu setiap hari: waktu adalah hal yang abstrak baginya.
Kami juga menghadapi masalah dengan panca indra Dara. Pada bulan-bulan dan tahun-tahun awal, ia tidak tahan terhadap jenis bunyi terentu, seperti suara kegiatan konstruksi bangunan atau daun pintu kereta yang longgar. Sekarang pun kami menghindari menggunakan alat penghisap debu ketika ia ada di rumah.
Ia bisa merasakan ketika seseorang marah, dan menjadi jengkel ketika kami berdua bertengkar. Kadang-kadang, ketika ia merasakan suasana perdebatan atau konflik, ia akan menunjukkan keberatannya dengan mengamuk.
Ia juga mengamuk jika ia disuruh pergi ke suatu tempat atau
dilarang melakukan hal yang ia sukai. Ia akan menangis, berteriak, memukul kepala dengan kepalan tangannya, atau membanting dirinya ke lantai. Memang sulit menghadapi sikapnya tersebut di rumah, tetapi lebih sulit lagi ketika ia melakukannya di tempat umum. Ketika hal ini terjadi, saya harus belajar untuk bersikap cuek, tetapi terkadang orang-orang sekitar membuat keadaan bertambah parah dengan menonton atau menawarkan bantuan.
Keadaan menjadi semakin berat ketika ibunda Richie datang dan tinggal bersama kami setelah ayah Richie meninggal. Karena penyakit demensia yang dideritanya, lama kelamaan Ibu semakin sulit merawat dirinya sendiri. Awalnya kami mencoba menitipkan beliau di suatu layanan perawatan harian, dan di rumah saya membantunya mandi dan buang air. Namun, setelah ia terjatuh beberapa kali di rumah, kami menyadari bahwa sebenarnya ia membutuhkan perhatian 24 jam sehari.
Saat itulah kami terpikir untuk menaruh Ibu di panti jompo. Sungguh pilihan yang berat.



Jika hanya Ibu yang perlu kami rawat, mungkin kami masih bisa melakukannya. Namun, karena kami juga perlu mengasuh Dara di waktu yang sama, kami harus memilih salah satu dari mereka.
Kami sadar bahwa semakin lama Ibu akan semakin butuh perhatian, tetapi Dara masih perlu terus berkembang. Jika kami tidak melatih Dara sekarang, nantinya ia akan menjadi beban bagi adik perempuannya dan anggota keluarga lainnya. Selama masih ada harapan untuk melatihnya bekerja dan merawat diri sendiri, kami harus terus berusaha.
Pergumulan kami bersifat emosional—merasa bersalah dan tidak berbakti kepada orangtua, apalagi mengetahui sebenarnya Ibu lebih ingin tinggal bersama kami. Kami merasa seperti mengabaikan Ibu, karena Ibu selalu ceria dan masih mampu beraktivitas sekalipun terbatas. Meski begitu, demi alasan praktis, kami tetap menempatkan Ibu di panti jompo agar beliau mendapatkan perhatian yang dibutuhkannya untuk tetap aman.
Sementara itu, terkadang saya sudah tidak tahu harus
berbuat apa lagi dengan Dara. Contohnya ketika kami tidak dapat membuatnya memahami dan menuruti arahan kami. Atau ketika ia terus mengulang-ulang apa yang ia mau dapatkan atau lakukan. Kami juga kesulitan ketika kami harus berangkat tetapi Dara tidak mau mengikuti kami. Kami bergumul untuk terus berbuat baik, sabar, dan pengertian.
Kami percaya bahwa Allah berdaulat, bahwa Dia mengasihi Dara, dan Dia mempunyai rencana yang terbaik bagi Dara. Namun, kami tetap merasa pedih saat melihat Dara berjuang begitu keras hanya untuk melakukan hal-hal sederhana. Atau saat teman-teman sebayanya tidak mau menerimanya dan menganggap ia aneh. Atau saat kami menjadi sasaran tatapan mata orang-orang.
Kami sudah sering bertanya kepada diri kami dan juga kepada Allah. Bagaimana kami dapat terus berpegang pada iman dan pengharapan kami? Apakah Dara tidak disembuhkan karena kami kurang iman? Ataukah karena dosa yang kami perbuat? Apa yang perlu kami lakukan agar Allah

menyembuhkannya? Apakah Allah memakai Dara untuk mengajarkan sesuatu pada kami? Bagaimana kelak masa depannya? Apa yang akan terjadi kepadanya ketika kami sudah tiada?
Sejak awal, kami terus menerus berdoa untuk kesembuhan Dara. Hari-hari berganti menjadi bulan-bulan, dan bulan-bulan berganti menjadi tahun-tahun. Ada saat-saat ketika muncul secercah pengharapan akan terjadinya sesuatu yang besar. Namun, biasanya yang terjadi hanyalah perkembangan Dara yang berjalan sedikit demi sedikit. Jika melihat ke belakang, kami menyadari bahwa ia telah mencapai begitu banyak, melampaui harapan kami.
Saya sering menggunakan cerita-cerita tentang Dara untuk menggambarkan hubungan kami dengan Allah. Misalnya, kami berpikir seperti Dara ketika kami meminta sesuatu kepada Allah. Sambil menunggu jawaban-Nya, kami mengeluh dan khawatir bahwa Dia tidak dapat mendengar kami atau tidak mau menjawab kami. Namun, sebenarnya itu hanya karena kami tidak sanggup
memahami waktu sesuai dengan cara Allah memahaminya.
Demikian juga dengan Dara: satu minggu terasa sangat lama baginya. Karena kami tidak dapat melihat bahaya di balik keinginan kami, dan karena pemahaman kami yang terbatas, kami gagal melihat bahwa jalan Allah sebenarnya lebih baik. Dara telah mengajarkan kami begitu banyak hal.
Kami juga diberkati lewat banyak orang yang Allah kirimkan: orang-orang yang berdoa bersama kami, yang menaruh perhatian dan berusaha memahami kami, dan juga para terapis dan guru-guru yang peduli kepada Dara—baik orang percaya maupun orang yang belum percaya. Kami tahu bahwa Dara disayangi oleh banyak orang.
Allah sudah menunjukkan kepada kami bahwa walaupun perjalanan keluarga kami penuh ketidakpastian dan kesulitan, kami tidak pernah berjalan sendiri. Allah terus membawa kami kepada firman-Nya, yang menyuarakan kebenaran dan damai sejahtera dalam situasi kami. Allah selalu menyertai kami.



Pelajaran yang dipetik Amanda dari pengalaman mengasuh dan merawat sesama
• Percayalah kepada Allah. Apa pun yang terjadi, Allah tetap berdaulat. Ketika Anda merasa tidak berdaya dan kewalahan menghadapi situasi yang ada, ketahuilah bahwa Allah mengendalikan segala hal dan Anda tidak perlu mengkhawatirkan masa depan. Allah sanggup menolong Anda jika Anda mau menerima pertolongan-Nya.
• Berilah per tolongan dengan murah hati. Mungkin orang-orang yang Anda asuh atau rawat sebenarnya tidak ingin bergantung pada orang lain; mungkin mereka malu harus bergantung pada orang lain untuk kebutuhan-kebutuhan pribadi. Karena itu, berilah pertolongan dengan murah hati; suatu hari mungkin saja kita mendapati diri kita pada situasi yang sama.
• Kenalilah batas kemampuan Anda. Sebagai pengasuh dan perawat, kita cenderung memaksakan diri secara fisik dan mental. Kenalilah batas-batas kemampuan Anda, dan jangan ragu untuk mencari dan menerima bantuan, baik secara fisik maupun mental.
• Carilah dukungan. Berbicaralah kepada teman-teman untuk membagikan masalah dan pergumulan Anda, dan untuk mendapatkan sudut pandang yang obyektif tentang perasaan Anda. Carilah teman-teman yang dapat memberi dukungan emosional dan doa, yang mau mendengarkan Anda tanpa menghakimi, dan yang mungkin bisa menolong Anda dalam cara-cara praktis. Jangan mencoba melakukan segala sesuatu sendirian, dan jangan ragu untuk meminta tolong.


III. BERJALAN BERSAMA SESAMA
Belajar merawat dan memperhatikan sesama seturut teladan Kristus sanggup mengubah cara Anda berhubungan dengan sesama.
Pertemuan yang mengubahkan
Siapa tahu, barangkali justru untuk saat-saat seperti ini engkau telah dipilih. Ester 4:14 (BIS)
Ketika Yesus meminta minum kepada
seorang perempuan
Samaria di pinggir sumur (Yohanes 4:4-26), Dia bukan ingin dilayani olehnya. Sebaliknya, Dia sedang mengatur terjadinya pertemuan yang akan mengubahkan jalan hidup si perempuan untuk selamanya.
Lewat perkataan dan tindakanNya, Yesus menunjukkan bahwa Dia tahu kisah perempuan itu, berempati terhadapnya, dan peduli kepada hati serta hidupnya. Alhasil, sepulang dari pertemuan tersebut, hidup si perempuan diubahkan selamanya—dan itu terjadi hanya karena Yesus hadir dengan tujuan untuk menulis ulang akhir kisah hidupnya.
Itu pula yang terjadi ketika Yesus menyembuhkan mereka yang lumpuh, menderita kusta, dan buta. Dia hadir bukan hanya untuk memulihkan kondisi fisik mereka. Ketika Yesus memberi makan 5.000 orang, tujuan-Nya bukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka.
Semua pertemuan itu bukanlah sekadar peristiwa pemberian bantuan, melainkan momen-momen pertemuan yang mengubahkan. Ketika Yesus bertemu dan menjawab kebutuhan mereka, saat itulah Dia berkesempatan untuk membagikan belas kasihan, menunjukkan keintiman, dan menyingkapkan siapa diri-Nya serta Allah Bapa yang mengutus-Nya. Momenmomen itu akan membawa kepada penebusan hidup mereka yang telah mengalami kasih dan rahmat Allah, yang telah menyadari keberdosaan mereka, dan memahami kebutuhan mereka untuk diselamatkan oleh-Nya.
Dalam kehadiran-Nya sebagai pelayan manusia, seperti dalam segala hal, Dia juga menjadi penebus hidup mereka.
Mungkin itu juga yang terjadi dalam hidup Anda sekarang.
Dalam peran Anda saat ini, Allah
mungkin sedang memakai Anda untuk menjangkau dan menebus orang lain melalui pertemuan Anda dengan hidup mereka. Penebusan dan perubahan dimulai ketika ada pertemuan, seperti yang terjadi ketika Yesus menjamah hidup si perempuan di pinggir sumur.
Ketika berinteraksi dengan orang-orang yang kita rawat, kita akan mulai melihat bahwa kita semua sama—rapuh, tidak berdaya, dan membutuhkan kasih pengampunan Allah. Ketika mengasuh dan merawat orang lain, kita memasuki hidup mereka dan menolong mereka melihat secara nyata kisah penebusan Allah bagi mereka. Pada prosesnya, hati kita pun akan mengalami jamahan Allah.
Sebagai perawat dan pengasuh, kita sering melihat peran kita sebagai pelaku yang mengerjakan pelayanan bagi mereka yang kita rawat. Namun, itu hanyalah pintu masuk dalam perjalanan iman kita. Ketika kita menyediakan
perawatan bagi sesama, pertemuan yang terjadi akan memberikan ruang bagi kita untuk berbagi keintiman, empati, dan belas kasihan. Pelayanan Anda di garis depan dapat menjadi karya penebusan sejati atas hidup mereka yang Anda rawat.
Ya Bapa, terima kasih untuk kesempatan di hadapanku ini sehingga aku menjadi saluran kasih karunia-Mu bagi hidup orang lain. Engkau telah memberiku sukacita untuk ikut dalam rencana penebusan-Mu; Engkau telah memilihku sebagai mitra-Mu untuk menjamah hidup banyak orang. Tolonglah aku melihat tanggung jawabku sebagai karunia berlimpah yang akan mengubah hidup mereka yang Kau kasihi. Karena itu, anugerahkanlah kasih, hikmat, dan kecukupan yang kubutuhkan setiap hari untuk menunaikan tugas yang ada di hadapanku.
Pertemuan menjadi awal mula karya penebusan Allah.
Meneruskan kasih karunia
Kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa . . . Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah. 1 Petrus 4:8,10
Mungkin Anda pernah menghadapi skenario berikut ini:
Ibu Anda mencakmencak karena Anda tidak akan menemaninya sepanjang malam. Ayah Anda terus mengeluhkan apa yang Anda dan keluarga lakukan baginya. Kakak perempuan
Anda menganggap Anda tidak memberikan perhatian yang cukup untuk Ibu.
Hal ini sering terjadi ketika Anda merasa telah berbuat semaksimal mungkin. Anda telah memberikan batasan yang jelas, menentukan apa yang akan atau tidak akan Anda lakukan, dan menerangkan bagaimana Anda ingin diperlakukan dan dihargai. Namun, tetap saja ada yang berkeras melanggar “aturan” itu dan bersikap tidak rasional. Apa yang dapat Anda lakukan?
Jawabannya: teruskanlah kasih karunia.
Kasih karunia telah kita terima
dari Allah ketika Dia mengutus
Anak-Nya untuk mati bagi kita. Kasih karunia adalah kemurahan dan kebaikan yang tidak layak kita terima. Itu tidak didasarkan pada perkataan atau perbuatan kita.
Kasih karunia menutupi kesalahan masa lalu, melampaui keadaan kita masa kini, dan membawa kita kepada diri yang dikehendaki Allah. Kita diselamatkan karena kasih karunia, “bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” (Efesus 2:8).
Namun, banyak dari kita cenderung menyimpan kasih karunia yang telah kita terima. Kita sulit mengampuni orang lain, seperti hamba yang tidak mau mengampuni dalam perumpamaan di Matius 18:21-35. Kita lebih mudah menghakimi orang lain atas kesalahan mereka, karena lupa bahwa Allah telah menghapuskan kesalahan kita.
Namun, kita bisa menjadi “pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” dengan cara meneruskannya (1 Petrus 4:10).
Kita dapat menutupi kesalahan orang lain, mengampuni, memberkati, dan mengasihi mereka. Kita dapat melepaskan hak-hak kita dan melayani Allah dengan rendah hati, seperti yang
Yesus teladankan. Kita dapat sungguh-sungguh mengasihi orang lain dengan kasih yang “menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8).
Kita dapat melakukannya
karena kita tahu pasti siapa kita di dalam Kristus. Kita dapat memandang salib, tempat kasih karunia terbesar dicurahkan kepada semua manusia, dan menyatakan kepada orang lain, “Aku tahu siapa diriku, maka aku dimampukan untuk melihat engkau seperti yang Allah kehendaki, untuk mengasihi dengan cumacuma dan mengampuni engkau.”
Seperti kita diperdamaikan kepada Allah oleh kasih karuniaNya melalui kematian dan kebangkitan Kristus, kasih karunia juga dapat mendamaikan kita
dengan sesama. Kasih karunia sanggup memulihkan yang terluka dan berkuasa mengubahkan hidup.
Namun, sekalipun perdamaian tidak terjadi dan kasih karunia yang kita teruskan tidak diterima, kita tetap diubahkan olehnya.
Sebagai saluran kasih karunia Allah, kita sendiri mengalami hal yang luar biasa: kemerdekaan dan kedewasaan. Kita mulai melangkah keluar dan melihat sesama seperti Allah melihat mereka. Kita mulai hidup dalam kemerdekaan sejati yang tidak bergantung pada apa pun tindakan, perkataan, dan penerimaan mereka terhadap kita.
Bapa, terima kasih untuk kasih karunia, pengampunan, dan berkat dari-Mu. Jadikanlah aku saluran kasih karunia-Mu dalam hidup sesamaku. Aku rindu meneruskan kasih dan pengampunan-Mu dengan rela. Berikanku hikmat dan pengertian untuk menunjukkan kasih karunia itu lewat perkataan dan perbuatanku sehari-hari.
Dengan cuma-cuma kita menerima kasih karunia, dengan cuma-cuma juga kita meneruskannya.
Alasan kita perlu mengampuni
Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Matius 6:12
Sebagai seorang yang memberikan perawatan, kemungkinan Anda pernah merasa diperlakukan tidak baik atau kurang dihargai.
Mungkin Anda disalahkan oleh saudara atas kondisi ayah Anda dan bersikeras menuntut Anda untuk merawat beliau.
Mungkin suami atau istri Anda mempertanyakan mengapa Anda tidak memberi perhatian lebih kepadanya, padahal Anda sudah kelelahan menjaga anak Anda.
Mungkin orang yang sedang Anda rawat justru memaki Anda atas kesulitan yang dialaminya.
Bagaimana Anda menanggapi kemarahan dan kepahitan yang Anda rasakan? Bagaimana Anda menghadapi perasaan bahwa semua ini sangat tidak adil?
Bagaimana Anda melepaskan kegeraman yang mencengkeram hati Anda—walaupun Anda tahu seharusnya Anda memberikan pengampunan?
Memang semua itu tidak
mudah untuk dilakukan, tetapi
kita perlu mengingat bahwa kita tidak seharusnya meninggikan diri sendiri, sekalipun kita merasa telah memberikan lebih daripada yang diminta orang lain. Mengapa?
Karena pada dasarnya kita semua adalah pendosa yang telah memberontak kepada Allah, dan dirusakkan oleh kepahitan dan kesombongan diri. Hanya karena kasih karunia dan rahmat Allah yang dicurahkan di kayu saliblah kita beroleh pengampunan. Dengan didorong ucapan syukur, sebagai penerima kasih karunia itu, kita patut memberikan pengampunan kepada orang lain.
Yesus menghubungkan hal ini ketika Dia mengajar murid-murid-Nya berdoa untuk pengampunan: “Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:12). Perumpamaan hamba yang
tidak mau mengampuni (Matius 18:21-35) menekankan hal ini: kita mengampuni karena kita sudah terlebih dahulu diampuni.
Mari kita menghayati kebenaran ini—bahwa kita sendiri telah menerima pengampunan dan belas kasihan berlimpah— agar kita dimampukan untuk mengampuni. Pengampunan pun menjadi keputusan yang kita ambil dengan penuh pertimbangan dan kesadaran, sekaligus proses yang kita jalani setiap hari. Sebagaimana kita meneruskan kasih karunia yang telah kita terima dengan cuma-cuma kepada orang lain, kita juga mengampuni mereka sebagaimana kita telah diampuni dengan cuma-cuma.
Seperti apa pengampunan itu dalam kehidupan seharihari? Nanti kita akan melihat beberapa ide yang menolong kita menerapkannya, tetapi pada dasarnya, pengampunan berarti melepaskan hak kita untuk balas menyakiti orang lain. Pengampunan berarti percaya bahwa Allah pasti akan memberikan keadilan.
Pengampunan berarti melepaskan hasrat kita untuk mengendalikan orang yang menyakiti kita, dan melepaskan mereka dari penghakiman kita.
Saat belajar mengampuni, kita akan menemukan bahwa pengampunan itu justru mengubah diri kita. Keputusan kita untuk mengampuni akan membentuk sikap, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita—dan pada akhirnya membentuk hubungan kita dengan Allah.
Bapa, buatlah aku peka terhadap gerakan Roh-Mu dalam hatiku, supaya aku menyadari luka dan deritaku, kepahitan dan kesombonganku, kebencian dan kekerasan hatiku. Ketika hal-hal itu disingkapkan kepadaku, berilah aku kerelaan untuk mengakuinya sebagai dosa dan meninggalkannya. Terima kasih untuk anugerah pengampunan yang Kau limpahkan di hidupku, sehingga aku pun dimampukan untuk mengampuni orang lain.
Kita mengampuni secara berlimpah karena kita sendiri telah diampuni secara berlimpah.
Dasar pengampunan
Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Efesus 4:31-32
Dalam Efesus 4:2232, Rasul Paulus menggambarkan apa artinya menjalani hidup serupa Kristus sebagai anak-anak Allah. Kita dinasihati untuk “menanggalkan manusia lama”, yaitu hidup yang telah dimatikan oleh pengorbanan Kristus, dan “mengenakan manusia baru”. Pemikiran ini memberikan dasar bagi pengampunan yang kita berikan.
Ayat 31-32 memaparkan langkah-langkah menuju pengampunan: “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
Apa bentuknya dalam
kehidupan sehari-hari? Bisa jadi itu berarti kita menjauhi pembicaraan yang memupuk kepahitan dan menolak godaan untuk membalas dendam. Misalnya, Anda perlu berhenti mengkritik saudarasaudara Anda yang tidak mau membantu menjaga ibu Anda, atau menolak dorongan untuk mengurangi perhatian kepada ayah Anda karena beliau tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada kita selama ini. Sebaliknya, kita menunjukkan kebaikan dan kelemahlembutan. Kita saling mengampuni sebagaimana Kristus telah mengampuni kita.
Yang terutama, pengampunan berarti rela menguji dan mengendalikan tindakan dan karakter kita sendiri. Pengampunan berarti belajar melepaskan sikap minta dikasihani, kepahitan, dan kemarahan kita di bawah salib Yesus, supaya kita dapat mengenakan manusia baru dari
Kristus—belas kasihan, kebaikan, kerendahan hati, kesabaran, dan kasih. Pertimbangkanlah dasardasar dari pengampunan:
Belas kasihan, berdasarkan identitas diri kita—ahli waris
Kerajaan surga bersama Kristus— dan bukan dari perlakuan atau anggapan orang terhadap kita. Mengampuni berarti mengikuti perspektif dan karakter Allah. Hati kita pun akan tergerak oleh kepedulian ketika kita memandang orang lain dengan mata Yesus.
Kebaikan dalam perlakuan kita terhadap setiap orang—dan bukan karena kita menyukai mereka. Rasa suka pun dapat bertumbuh.
Kita mulai berbuat baik dengan sukacita, karena dimotivasi oleh kerinduan untuk melayani dengan kasih dan untuk memuliakan Allah.
Kerendahan hati, yang timbul dari ketekunan kita berdoa dan melayani orang lain. Kita rela membiarkan Allah yang bertindak mengubah diri orang lain, dan tidak berusaha memaksakan perubahan itu sendiri. Kita dapat memberi dari kelimpahan yang sudah Allah berikan, bukan karena Dia meminta kita melakukannya.
Kelemahlembutan dalam tutur kata kita, sembari menyampaikan penegasan melalui perilaku dan bahasa tubuh kita.
Kesabaran, ketika kita belajar untuk sungguh-sungguh mendengarkan orang lain dan memberi diri, bahkan ketika hal itu menyakitkan dan mengorbankan sesuatu yang kita miliki.
Kasih, karena melihat diri kita semua sebagai pendosa di bawah salib Kristus, yang sama-sama membutuhkan pengampunanNya. Hanya dengan demikian kita mampu mencurahkan kasih kita dengan leluasa, tanpa mengharapkan balasan apa pun.
Bapa, terima kasih Engkau menunjukkan kepadaku dasardasar pengampunan.Tolonglah aku mengingat bahwa aku tidak dapat mengampuni dengan kekuatanku sendiri; Aku membutuhkanMu untuk mengubah diriku, karakterku, dan hidupku, supaya aku dapat meneruskan belas kasihan dan pengampunan yang telah Engkau tunjukkan kepadaku.
Pengampunan adalah perubahan sekaligus tindakan.
Mempraktikkan pengampunan
Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembuatan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. —Kolose 3:12-14
Pengampunan bukanlah sesuatu yang berlangsung seketika, melainkan suatu proses yang memerlukan waktu. Seperti pakaian, sifat-sifat pengampunan—belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, dan kasih—perlu dikenakan setiap hari, dengan sadar dan sengaja (Kolose 3:12-14). Dari waktu ke waktu, dengan ketekunan, sifat-sifat itu akan menjadi bagian dari diri kita.
Pada akhirnya, pengampunan adalah suatu gaya hidup. Kita memutuskan secara sadar untuk bermurah hati atau bersikap lemah lembut, dan itu tidak tergantung apakah kita menyukai orang tersebut atau tidak. Sebaliknya, bisa jadi setelah kita berbuat baik kepada orang lain, kita mulai menyukai mereka.
Namun, seperti apa keputusan tersebut dalam kehidupan dan rutinitas kita sehari-hari? Langkahlangkah praktis apa yang dapat kita ambil dalam usaha untuk mengampuni? Berikut beberapa hal yang dapat Anda lakukan:
Kejarlah kebebasan. Pengampunan adalah satu-satunya jalan untuk terbebas dari belenggu yang membuat Anda terikat pada orang yang sulit Anda ampuni.
Ingatlah bahwa Anda sudah terlebih dahulu diampuni. Dasar dari pengampunan adalah rasa syukur atas kemurahan Allah yang berlimpah. Ambillah tekad untuk hidup dalam pengakuan dan pertobatan sambil menanggalkan perbuatan dosa, pemikiran duniawi, nafsu egois, dan motivasi yang menyimpang setiap hari.
Relakan hak Anda. Pengampunan berarti merelakan kewajiban orang lain yang belum ditunaikannya kepada Anda—dan tidak pernah mengungkitnya lagi.
Jaga batasan yang Anda buat. Pengampunan tidak berarti meniadakan batasan yang sehat atau membiarkan orang menyalahgunakan maksud baik
Anda. Sebaliknya, Anda bebas mengambil pilihan yang baik dan bertanggung jawab dalam hubungan Anda dengan sesama.
Jangan sangkali rasa sakit
Anda. Pengampunan tidak berarti menyangkali kesalahan yang diperbuat terhadap diri Anda atau membiarkan begitu saja pengalaman yang menyakitkan tersebut. Akuilah rasa sakit dan kepedihan Anda kepada Allah, dan ceritakanlah perasaan Anda kepada-Nya. Bersiaplah untuk merasa sakit selama waktu yang cukup lama, tetapi yakinlah bahwa ketika Anda melihatnya dengan sudut pandang Allah, sudut pandang Anda akan berubah.
Jangan menghakimi. Buatlah pilihan untuk mengampuni
setiap aspek pelanggaran yang Allah singkapkan kepada Anda, dengan menyerahkan masalah penghakiman tersebut kepada-Nya.
Jangan menutup-nutupi. Pengampunan bukanlah usaha untuk mengalihkan konsekuensi dosa. Pengalaman ini mungkin menjadi latihan rohani dari Allah bagi mereka yang telah mengambil pilihan yang salah.
Ingat, pengampunan perlu diterapkan dengan tekun setiap hari supaya menjadi gaya hidup kita sebagai orang percaya.
Bapa terkasih,
berikanlah aku kekuatan untuk mengampuni orang-orang yang telah menyakitiku. Tolonglah aku untuk rela tidak mendapatkan dari mereka balasan yang setimpal dengan pengampunan yang kuberikan. Berikanlah juga pengertian bagiku untuk membuat batas-batas yang sehat dan bertanggung jawab dalam hubunganku dengan mereka.
Pengampunan perlu diterapkan dengan tekun; ketekunan itu akan mengubahkan hidup kita.
Mengapa batasan diperlukan
Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. . . . Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.
Galatia 6:2,5
Sangatlah mudah untuk
terperangkap dalam pemikiran bahwa apa yang kita lakukan selama ini belum cukup. Seperti yang telah kita lihat, hal ini dapat menyebabkan rasa bersalah yang keliru, karena kita merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan orang lain. Bagaimana kita dapat menghindari perangkap ini?
Dengan menetapkan batasan.
Pada prinsipnya, batasan adalah seperangkat aturan dan prinsip yang disepakati dan ditetapkan agar masing-masing pihak tahu jelas apa yang harus dan tidak harus dilakukan, atau suatu garis yang memisahkan tanggung jawab setiap orang. Batasan juga termasuk adanya pengertian tentang konsekuensi dari tindakan dan pilihan masing-masing.
Sebagai contoh, bila anda tinggal di rumah yang sama dengan orang yang Anda rawat, batasan menentukan siapa yang menjadi pemimpin di rumah
tersebut, perilaku apa saja yang dapat dan tidak dapat diterima, dan bagaimana menghormati privasi masing-masing.
Tanpa batasan dalam aspek fisik, emosional, dan relasi, kita akan hidup mengikuti kemauan dan keinginan orang lain. Batasan memberi tahu orang lain seberapa jauh mereka dapat melangkah dan seberapa jauh kita mau melangkah.
Batasan membantu kita untuk memahami hak dan tanggung jawab kita dalam menggunakan waktu, talenta, dan karunia emosi, materi, fisik, serta rohani yang sudah diberikan Allah kepada kita.
Ada dasar alkitabiah dalam menetapkan batasan. Kita dapat melihatnya dalam aturan Allah bagi peran umat manusia dalam alam ciptaan, perilaku yang diharapkan-Nya dari kita, dan ketetapan-Nya atas hubungan antara pemerintah dan warga dalam sebuah negara, pasangan suami-istri dalam pernikahan, antar anggota keluarga, dan
penduduk dalam suatu komunitas.
Batasan membawa berkat dan memberi perlindungan dengan memastikan bahwa kita dapat hidup dalam jalan dan cara yang sudah ditetapkan Allah bagi kita. Dalam Galatia 6:5-7, Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa meskipun kita perlu saling menolong memikul beban, setiap orang juga bertanggung jawab atas tindakannya sendiri: “Bertolongtolonganlah menanggung bebanmu . . . Tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.”
Tentu saja tidak mudah untuk menetapkan batasan yang sehat dan berkenan kepada Allah, khususnya dalam budaya Asia yang menekankan pengabdian kepada orangtua dan komunitas dengan mengorbankan diri sendiri. Banyak dari kita mengambil peran sebagai perawat dengan dibebani tuntutan sosial dan budaya. Banyak dari kita adalah anak-anak yang merasa tidak akan pernah bisa memenuhi harapan orangtua kita.
Karena itu, menetapkan batasan mengharuskan kita untuk berhadapan dengan perasaan tidak aman dan ketakutan masa lalu,
serta tuntutan tradisi yang berasal dari latar belakang budaya kita. Mungkin kita perlu meyakinkan orang-orang yang kita cintai untuk mengubah pola pikir lama, dan belajar menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa melakukan segala sesuatu.
Ingatlah, menetapkan batasan di sekitar keinginan dan tanggung jawab dari Allah adalah sikap yang sehat. Berkata tidak kepada orang lain adalah hal yang wajar, karena bersikap serupa Kristus tidak berarti bahwa kita harus selalu mengikuti kehendak setiap orang.
Bapa, terima kasih untuk batasan-batasan yang melindungiku dalam hidup ini. Berikanlah kepadaku ketajaman ketika menarik batasan yang sehat dalam hubunganku dengan orang yang kukasihi dan kurawat. Ajarlah aku menetapkan batasan yang mendorongku untuk menjadi yang terbaik di dalam-Mu dan yang mendorong orang lain kepada iman yang dimotivasi oleh kasih.
Batasan membawa berkat dan memberi perlindungan.
Menetapkan batasan
Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati. 1 Petrus 3:8
Walaupun bertujuan untuk melindungi, batasan harus
didasarkan pada kasih. Prinsip utamanya haruslah perintah Allah untuk mengasihi
Dia dan sesama, dan berakar pada komitmen untuk mengusahakan yang terbaik bagi orang-orang yang kita kasihi, dengan motivasi hati yang murni (1 Petrus 3:8). Saat Anda membicarakan soal batasan dengan orang yang Anda rawat dan keluarga Anda, ingatlah sejumlah prinsip ini:
Berikan kebebasan. Allah memberi Adam dan Hawa kebebasan untuk memilih—dan tanggung jawab untuk menghadapi konsekuensinya. Anda mungkin perlu menilai apakah orang yang Anda kasihi telah atau sedang kehilangan kapasitasnya untuk membuat keputusan yang sehat bagi dirinya sendiri. Jika pikiran beliau masih tajam, Anda perlu menghormati haknya untuk membuat keputusan tersebut—dan
menerima fakta bahwa ia harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Namun, bila keputusan itu mempengaruhi hidup orang lain, Anda perlu berunding dengannya.
Berunding. Menetapkan batasan tidak berarti membuat aturan yang ketat dan memaksa orang lain mematuhinya. Batasan perlu didiskusikan dan dirundingkan dengan cara yang penuh kasih dan motivasi yang murni. Dengan demikian, kemungkinan besar semua pihak akan mematuhinya secara sukarela.
Sebisa mungkin kumpulkanlah semua fakta (misalnya, saudara laki-laki Anda mungkin sulit untuk ikut menyumbang biaya rumah sakit Ibu karena ia juga sedang merawat ayah mertuanya) dan telusuri semua pilihan yang ada. Cobalah untuk memahami dan menghargai kepentingan, keprihatinan, dan keterbatasan orang lain. Ingatkan mereka bahwa hubungan Anda dengan mereka sama pentingnya dengan peran
Anda sebagai perawat. Menghormati. Berundinglah dengan penuh hormat, kasih, belas kasihan, dan kerendahan hati. Upayakan keharmonisan, tetapi ingatlah bahwa menghormati tidak sama dengan menyerah demi perdamaian. Menghormati berarti berkomitmen kepada kepentingan yang terbaik dari orang lain. Itu berarti mencari titik temu, dan tahu pada bagian mana mereka perlu diberi kebebasan.
Mendengar. Jangan hanya mendengar apa yang diucapkan, tetapi juga yang tidak terucapkan. Ketika orang lain mengungkapkan ketakutan dan kekhawatiran
mereka, cobalah untuk mengulangi dan menyatakan kembali perasaan mereka. Sikap itu menunjukkan bahwa Anda sungguh menyadari kekhawatiran mereka. Tunjukkan empati, bukan sekadar simpati, dan hindari sikap menghakimi.
Cobalah terlebih dahulu untuk mengerti, kemudian untuk dimengerti, dan ujilah motivasi Anda ketika Anda mendengarkan. Apakah Anda melakukannya sambil berpikir untuk menyiapkan jawaban atau sanggahan? Apakah
Anda benar-benar mendengarkan, atau sekadar menunjukkan kesan sedang mendengarkan?
Tentukan harapan dan konsekuensi. Kita mungkin ingin melindungi orang-orang yang kita kasihi dari konsekuensi perbuatan mereka yang salah. Namun, firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa dosa mengakibatkan konsekuensi. Seluruh anggota keluarga bertanggung jawab untuk berpegang pada prinsip dan praktik utama yang sama, dan siap menanggung konsekuensi bila mereka tidak melakukannya.
Bapa,
ajarlah aku untuk mendengarkan dengan sungguh dan berunding dengan bijak saat aku berusaha menetapkan batasan dengan anggota keluargaku. Kiranya aku ingat bahwa batasan tersebut dimaksudkan untuk membangun dan melindungi mereka yang kukasihi, bukan untuk melindungi mereka dari konsekuensi perbuatan mereka. Tolonglah aku melihat batasan sebagai dorongan bagiku untuk berubah dan bertumbuh.
Batasan harus didasarkan pada kasih.
Berhubungan dengan orang lansia
Hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain. 1 Petrus 5:5
Saat merawat orangtua
lanjut usia (lansia) atau orang yang dibesarkan dalam budaya tradisional, Anda mungkin menghadapi tantangan tambahan: meyakinkan beliau bahwa Anda tidak sedang menantang senioritasnya atau bersikap merendahkannya.
Alkitab jelas berkata bahwa kita harus tunduk kepada orangtua dan menghormati orang yang lebih tua (1 Petrus 5:5). Masyarakat Asia juga mengharapkan generasi muda untuk menghormati yang lebih tua.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan ketika tanggung jawab kita atas kesejahteraan orangtua menuntut kita untuk tidak mengindahkan pilihan atau kemauan mereka?
Bagaimana kita dapat merawat mereka sebaik-baiknya, sambil tetap hormat kepada mereka?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa banyak orangtua Asia tidak suka ditentang secara langsung.
Menyampaikan nasihat kita sebagai saran dapat “memberi muka”
kepada orangtua dan menjaga martabatnya saat menuruti nasihat kita. Kita bisa berkata, “Aku sangat senang jika . . .” atau “Bolehkah membantuku dalam . . .”
Daripada membicarakan suatu masalah yang sensitif secara langsung, bisa jadi lebih efektif jika kita mendekati anak kesayangan orangtua kita atau bibi yang dekat dengannya. Untuk hal-hal penting, banyak orangtua Asia lebih suka berbicara melalui saudara kesayangan atau kerabat yang dipercaya. “Almarhum ibu saya terbiasa menasihati saya melalui kakak saya,” kata peneliti kaum lansia, Dr Helen Ko. “Atau sebaliknya, beliau meminta saya untuk menasihati adik saya.”
Anda juga bisa mengungkapkan masalah yang ada. Alih-alih memaksa orangtua untuk pindah ke rumah saudara Anda, rangkai ulang masalah tersebut supaya solusinya dipikirkan oleh semua pihak: “Pekerjaan baruku mengharuskanku bepergian pada
akhir pekan. Menurut kalian, apa yang harus kita lakukan?”
Berkomunikasi dengan orangtua yang sulit diajak bekerja sama memang tidak mudah. Namun, kita bisa dikuatkan oleh kebenaran alkitabiah bahwa menghormati orangtua kita—bagaimanapun sikap mereka—tidak hanya benar, tetapi juga menyenangkan Allah.
Tuhan, terima kasih aku diingatkan untuk mematuhi dan menghormati orangtuaku dan mereka yang lanjut usia. Ajarlah aku untuk terus menghormati dan menghargai mereka di tengah perjalananku mengasuh dan merawat mereka.
6 aspek komunikasi dengan orang lansia
• Bangun kepercayaan. Bangunlah hubungan tidak hanya sebagai pengasuh, tetapi juga anak atau teman, agar terjalin komunikasi yang lebih baik dan efektif untuk jangka panjang.
• Berempati. Coba pahami keadaannya dan tempatkan diri Anda pada posisinya untuk memperoleh sudut pandang yang lain.
• Telusuri. Cari tahu penyebab sebenarnya dari masalah atau kesulitan yang muncul. Misalnya, apakah ia enggan meminum obatnya karena mahal? Atau benar-benar karena sulit menelan?
• Bicarakan. Bahaslah masalah yang sensitif dengannya. Tunjukkan bahwa masukannya berguna untuk kebaikan dirinya sendiri.
• Mendidik. Jelaskan bagaimana solusi yang diberikan akan bermanfaat bagi mereka, misalnya bagaimana obat yang perlu mereka minum itu telah bermanfaat bagi orang lain.
• Menguatkan. Bangun kepercayaan dirinya dengan memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bantulah ia menyadari keberhasilan yang bisa dicapai, dan ingatkan dirinya tentang keberhasilan yang pernah dicapainya pada masa lalu.
Sumber: Counseling Older Adults
Rawatlah dengan belas kasih, bicaralah dengan hormat.
Belajar melepaskan
Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ. Yohanes 14:1-4
Banyak perawat dan pengasuh lansia merasa
bahwa mereka harus
memperlakukan orang yang mereka rawat seperti anakanak. Mereka membuat keputusan
baginya, atau menghentikannya berbuat sesuatu supaya tidak melukai diri sendiri. Itu bisa dimaklumi, karena sejumlah lansia memang membutuhkan perhatian seperti yang diterima anak kecil.
Namun, perlakuan itu juga bisa membuat mereka frustrasi. Ada yang mungkin tersinggung karena kemauan mereka terus diabaikan. Ada pula yang mungkin merasa putus asa, kehilangan kepercayaan diri, dan justru semakin bergantung pada pengasuh mereka.
Mungkin kita perlu bertanya kepada diri sendiri: apakah
orangtua kita yang lansia masih mampu secara mental mengambil keputusan yang masuk akal?
Jika ya, kita perlu mengakui kewenangannya dan menghormati kebebasannya untuk memilih, sekalipun keputusan beliau mungkin membawa konsekuensi yang tidak sesuai dengan harapan. Namun, jika keputusannya berpotensi merugikan orang lain, kita harus berusaha berunding dengannya terlebih dahulu.
Memberikan penghormatan seperti itu tidak saja penting tetapi juga alkitabiah. Alkitab memerintahkan kita untuk menaati orangtua kita dan menghormati orang yang lebih tua (Keluaran 20:12; 1 Petrus 5:5). Alkitab juga menekankan bahwa kita bertanggung jawab atas tindakan
kita masing-masing (Matius 12:3637; Roma 14:12).
Kita perlu belajar untuk rela “melepaskan” orangtua kita dan membiarkannya mengambil keputusan—dan jika mungkin, melakukan beberapa hal sendiri.
Bisa jadi orangtua kita lebih tangguh dari yang kita pikirkan!
Banyak orang tua memiliki daya tahan dan kemandirian yang kuat karena pernah menjalani hidup yang sulit dan berkekurangan.
Anda tidak perlu mendampingi orangtua Anda setiap saat; bisa jadi ia baik-baik saja saat ditinggal sendiri atau bersama orang lain sembari Anda beristirahat.
Tindakan melepaskan yang terakhir—dan rasanya yang tersulit—adalah mengizinkan mereka menempuh perjalanan terakhir menuju kekekalan.
Ada orang tua yang tidak takut mati. Namun, yang mereka khawatirkan adalah keluarga mereka, yang tentu tidak ingin langsung melepasnya pergi.
Apakah kita siap melepaskan mereka dari perawatan kita kepada tangan Allah yang penuh kasih?
Apakah kita siap untuk berkata,
“Jangan mengkhawatirkan kami, Ma/Pa, kami akan baik-baik saja. Sampai jumpa lagi”?
Ketika murid-murid Yesus berduka atas kematian-Nya yang akan datang, Dia mengingatkan mereka bahwa mereka akan dipersatukan kembali di rumah Bapa-Nya (Yohanes 14:1-4).
Belajar melepaskan orangtua kita dapat menantang iman dan perspektif kita tentang kefanaan dan kematian. Kami pasti berduka atas kepergian mereka. Namun, dengan kepastian dari Yesus, biarlah kita dikuatkan oleh kebenaran bahwa kita akan bersama-sama lagi suatu hari nanti.
Bapa,kiranya aku belajar apa artinya melepaskan dan percaya bahwa orang yang kurawat itu telah bersama-Mu, ditopang oleh tangan-Mu yang kuat dan penuh kasih. Ingatkanku, ya Tuhan, bahwa keberadaan mereka yang kekal itu terjamin oleh-Mu, sehingga aku tidak berpaut kepada orangtuaku demi kepentinganku sendiri, melainkan belajar untuk rela melepaskannya kepada-Mu.
Melepaskan membutuhkan cinta sekaligus keberanian.

Yesus, teladan pelayanan yang penuh kasih
Ketika Yesus Kristus datang ke dunia, Dia tidak hanya datang sebagai Penebus, tetapi juga sebagai Pelayan. Dia melayani dan menghibur orang-orang yang sakit di dalam penderitaan mereka. Dia menyembuhkan tubuh sekaligus jiwa, dan jamahan-Nya berdampak hingga hidup yang kekal. Apa yang bisa kita pelajari dari Tuhan kita, Sang Teladan utama dalam melayani orang lain?
Dia memperoleh kuasa yang berasal dari pengenalan akan diri-Nya sendiri. Sebagai manusia, sama seperti kita, Yesus juga rentan terhadap kelelahan, keletihan, keputusasaan, dan frustrasi (Markus 6:31).
Ingatlah ketika berada di Taman Getsemani, menjelang kematianNya, Yesus juga merasakan beban tanggung jawab yang besar—dan ingin bebas dari tanggung jawab
itu (Lukas 22:42). Namun, Dia juga tahu bahwa sebagai Putra Allah, tersedia bagi-Nya kuasa Allah yang tiada habisnya (Yohanes 6:35-38). Jadi, Dia memakai kuasa yang berasal dari hubungan-Nya tersebut, dengan hidup dalam persekutuan yang intim dengan Bapa surgawi-Nya melalui pelayanan Roh Kudus. Ini memberi-Nya kesanggupan sekaligus keintiman dengan Allah yang membentuk setiap tindakan, pemikiran, percakapan, dan motivasi pelayanan-Nya.
Kita juga perlu mendasarkan peran dan tugas pelayanan kasih terhadap sesama pada identitas kita sebagai anak-anak Allah.
Kemudian kita boleh memakai kekayaan kuasa-Nya yang tiada tara, dengan percaya bahwa Allah tidak hanya mengerti kebutuhan dan kerinduan kita yang terdalam, tetapi juga selalu siap untuk memenuhi semua itu.



Dia menaruh kepercayaanNya kepada Bapa. Ketika Iblis mencobai-Nya, Yesus menyikapinya dengan keyakinan yang teguh. Dia mampu melakukannya karena Dia mengenal siapa diri-Nya, dan juga sumber kuasa-Nya (Matius 4:1-10).
Ketika Pontius Pilatus menanyaiNya, Yesus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan penuh kuasa—sekali lagi karena Allah Bapa yang Dia percayai (Yohanes 18:33-37).
Kapan pun krisis datang, Yesus tidak panik, memanipulasi keadaan, atau mencoba menimpakan kesalahan kepada yang lain. Sebaliknya, Dia berdiri dengan keyakinan dalam identitas-Nya sebagai Putra Allah dan memperkatakan kebenaran. Banyak dari kita cenderung hidup dalam kepanikan, berbicara dan berperilaku seolah-olah Allah kehilangan kuasa-Nya atas dunia ini. Namun, Yesaya 32:17 mengingatkan kita bahwa kebenaran Allah akan berbuah kedamaian, ketenangan, dan keyakinan yang kekal.
Dia berdoa setiap waktu.
Betapa pun sibuknya Yesus, Dia selalu meluangkan waktu menarik diri dari aktivitas-Nya untuk
berdoa (Markus 1:35; Lukas 6:12).
Dia tahu bahwa tinggal dalam persekutuan dengan Sang Bapa akan menyegarkan roh-Nya dan memberi-Nya kekuatan serta keberanian untuk menghadapi penolakan dalam pelayanan-Nya. Kehidupan doa pribadi Yesus itulah yang menopang pelayananNya di tengah umat.
Di masa pergumulan, perlu bagi kita meluangkan waktu bersama
Allah. Kita perlu sungguh-sungguh bersandar pada kekuatan-Nya dan berseru kepada-Nya untuk
meminta hikmat. Kapan terakhir
kali Anda bersekutu secara pribadi dengan Allah? Kapan terakhir
kali Anda mengambil waktu istirahat yang sangat dibutuhkan tubuh dan jiwa kita—untuk tidur, melihat matahari terbenam, atau mencurahkan segala keluh-kesah Anda kepada Allah?
Di saat yang lain, Dia berdoa bersama sahabatsahabat-Nya. Bagi Yesus, doa bukan hanya saat persekutuan

dengan Bapa, tetapi juga saat keintiman dengan teman-teman terdekat. Dia bisa saja menjadikan doa-Nya sebagai waktu untuk menyendiri, tetapi Dia memilih mengundang orang lain untuk bergabung dengan-Nya (Lukas 11:1-4).
Kita juga membutuhkan persekutuan dan dukungan dari teman-teman serta orang-orang terkasih. Jiwa kita disegarkan ketika mengetahui bahwa mereka memahami pergumulan kita.
Dia secara terbuka bersyukur dan mengembalikan kemuliaan kepada Allah. Setelah sepanjang hari melayani orang banyak, Yesus tidak segera menarik diri dan bersembunyi. Sebaliknya, Dia secara terbuka bersyukur dan memuji Allah, sehingga orangorang menyadari kebaikan dan pemeliharaan Bapa-Nya (Matius 14:19). Yesus melakukan hal yang sama setiap kali Dia menghadapi keraguan, kesulitan, dan kritik. Alih-alih bersungut-sungut atau menyalahkan Allah, Dia mengubah itu semua menjadi kesempatan untuk memuliakan Allah.
Ketika kita berbicara tentang keadaan kita sendiri, kita juga dapat memilih untuk menunjukkan kebenaran dalam percakapan kita dengan orang lain. Alih-alih mengeluh dan bersikap seolah-olah Allah telah menjerumuskan kita, lalu menarik perhatian pada diri
kita sendiri, kita dapat memilih untuk memuliakan Allah dan berbicara tentang keyakinan kita kepada-Nya.
Dia membagi beban pelayanan kepada orang lain. Sekalipun Yesus memiliki kuasa untuk melakukan segala mukjizat, Dia tidak selalu melakukan semuanya sendiri. Terkadang Dia memilih untuk mendelegasikan pekerjaan dan tanggung jawab kepada muridmurid-Nya. Misalnya, ketika memberi makan lima ribu orang, Dia meminta murid-murid-Nya yang membagikan lima roti dan dua ikan—meskipun Dia dapat dengan mudah membuat makanan itu muncul di tangan setiap orang (Markus 6:30-44).
Kita bisa membayangkan bahwa Dia melakukan itu karena para murid perlu belajar sesuatu



dari pengalaman itu—bisa jadi kesempatan untuk terlibat dalam suatu karya mukjizat, sehingga mereka dapat merasakan berkat Allah untuk diri mereka sendiri.
Teman-teman Anda mungkin ingin membantu Anda karena mereka peduli kepada Anda. Jika Anda bersikeras melakukan semuanya sendiri, itu mungkin menunjukkan bahwa Anda tidak menghargai atau mempercayai mereka. Izinkan mereka membantu. Tunjukkan bahwa sebagai sahabat, Anda bersedia menerima bantuan mereka.
Dia berduka atas
kematian orang-orang yang
Dia kasihi dengan sudut pandang kekekalan. Ketika Dia mendengar bahwa Yohanes Pembaptis telah dibunuh, Yesus pergi untuk berduka sendirian (Matius 14:13). Ketika diberi tahu bahwa Lazarus telah mati, Dia berkabung bersama Maria dan Marta, meskipun Dia akan membangkitkan Lazarus dari kematian (Yohanes 11:32-35).
Yesus tahu bagaimana perasaan kita. Dia mengenal kedalaman duka kita dan memahami perasaan
kehilangan serta kepedihan yang kita rasakan ketika kita merawat orang lain. Namun, dukacita kita bukanlah dukacita tanpa pengharapan; kita diberikan sudut pandang dari kekekalan. Kita berduka dengan kesadaran penuh bahwa Allah telah menulis akhir dari seluruh kisah kita—akhir yang menjanjikan penebusan dan masa depan yang melampaui apa yang kita lihat dan alami sekarang.
+62-21 290-289-50
+62 878-7878-9978
indonesia@odb.org santapanrohani.org
Ikuti kami di:
Untuk memberikan donasi silakan scan QRIS di bawah ini:

https://santapanrohani.org/donate/indonesia
Sumber referensi
Shelley Beach. Ambushed By Grace: Help & Hope on the Caregiving Journey. Grand Rapids: Discovery House Publishers, 2008.
Shelley Beach. It Is Well with My Soul. Grand Rapids: Discovery House Publishers, 2012.
Jolene Philo. Different Dream Parenting: A Practical Guide to Raising a Child with Special Needs. Grand Rapids: Discovery House Publishers, 2011.
Helen Ko, Kalyani K. Mehta, dan Ko Soo Meng. Understanding & Counselling Older Persons: A Handbook. Singapore: Armour Publishing, 2006.
Helen Ko. Counselling Older Adults: An Asian Perspective. Singapore: Write Editions, 2012.
Apresiasi
Dr Helen Ko
Amanda Cheung
Grace Koh
Memutih Rambutku
Anugerah Allah di Usia Emas


Usia lanjut tidak harus identik dengan lemah tubuh, kesepian, dan turunnya semangat hidup.
Hamba Tuhan senior, Robert Solomon, memaparkan sudut pandang baru terhadap proses penuaan yang menolong Anda tetap bertumbuh bersama Allah di usia senja.
Buku Kala Memutih Rambutku — Anugerah Allah di Usia Emas tidak hanya diperuntukkan bagi para lansia tetapi juga para pemimpin gereja dan pelayan kaum lansia yang membutuhkan masukan-masukan berguna agar semakin memahami proses penuaan melalui renungan-renungan singkat yang disajikan dengan teks yang nyaman dibaca.


Kunjungi toko online kami: Duta Harapan Dunia orders@dhdindonesia.com 0895-2022-0295 dhdindonesia.com
