KELEGAAN bagi
PERTOLONGAN ALKITABIAH
PERTOLONGAN ALKITABIAH
UNTUK MENJAGA
UNTUK MENJAGA
KESEHATAN MENTAL
KESEHATAN MENTAL
KOMPILASI SERI TERANG ILAHI
KOMPILASI SERI TERANG ILAHI

bagi KELEGAAN
Kompilasi Seri Terang Ilahi
PERTOLONGAN YANG TEPAT WAKTU (Tim Jackson)
KALA TIDAK TAHU HARUS BERKATA APA (Roy Clark)
KEKUATAN DALAM KELEMAHAN (Dan Schaeffer)
Diterjemahkan dari Discovery Series: When Help Is Needed When You Don’t Know What To Say The Strength of Weakness
Penerjemah: Helena Simatupang, Yoki Wijaya, Yudy Himawan
Editor Terjemahan: Monica Dwi Chresnayani, Rosi L. Simamora
Penyelaras Bahasa: Dwiyanto Fadjaray
Penata Letak & Desain Sampul: Mary Chang, Felix Xu
Foto Sampul: Shutterstock
Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974
© 2021 Our Daily Bread Ministries
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan oleh PT Duta Harapan Dunia
Dicetak di Indonesia
KATA PENGANTAR
Ketika masa-masa penuh tekanan dan stres mendesak kita untuk mencari
pertolongan, ke mana kita akan pergi?
Bagaimana juga kita dapat menghibur seseorang yang sedang terluka dengan perkataan dan kehadiran kita? Adakalanya kita sendiri bergumul dengan kelemahan-kelemahan diri kita. Mungkinkah kelemahan tersebut justru menjadi wadah bagi Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya dalam hidup kita?
Wawasan para penulis dan hikmat alkitabiah yang disajikan dalam kompilasi Seri Terang Ilahi Kelegaan bagi Jiwa ini akan menolong pembaca untuk memahami pentingnya mengenali diri, menjaga kesehatan mental,
dan melayani sesama yang sedang menderita. Materi ini juga akan menguatkan para pemberi pertolongan,
seperti hamba Tuhan, konselor, atau mentor, dalam menekuni panggilan mereka sebagai saluran belas kasihan Allah untuk menghibur umat-Nya.
— SATU —
Pertolongan yang Tepat Waktu
Pandangan Alkitabiah tentang Konseling
Tim Jackson
— DUA
Kala Tidak Tahu Harus Berkata Apa
Menghibur Seseorang yang Tengah Menderita
Roy Clark
— TIGA —
Kekuatan dalam Kelemahan
Kuasa Allah Saat Kita di Titik Terendah
Dan Schaeffer

PERTOLONGAN YANG TEPAT WAKTU
PERTOLONGAN YANG TEPAT WAKTU
PANDANGAN ALKITABIAH TENTANG KONSELING
Ruth, wanita menarik berusia 35 tahun, menikah dengan laki-laki yang tampaknya tidak mempunyai kekurangan berarti. Selama 15 tahun perkawinan mereka,
Pete jarang marah, tidak pernah memukul istri, selalu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan ayah yang baik. Namun, Ruth merasa jemu. Ia merasa kehilangan semangat. Terabaikan. Tidak dimengerti. “Pete sama sekali tidak tahu siapa diriku. Ia jarang memperhatikan aku, apa yang kukenakan, parfum yang kupakai, atau bagaimana perasaanku. Ia tidak pernah bertanya apa yang kukerjakan seharian.”
Ruth dan Pete sama-sama orang Kristen. Mereka tahu Allah membenci perceraian (MALEAKHI 2:16), tetapi untuk pertama kali dalam hidupnya, Ruth mempertanyakan berapa lama Allah mengharapkan ia menanggung
kejemuan hubungan mereka. Ia merasa tak sanggup lagi meneruskan perkawinan mereka.
Ini bukan pertama kali Ruth merasa jemu. Di masa lalu, jika rasa bosan muncul, Ruth mengingatkan diri tentang komitmen yang telah dibuatnya untuk mengasihi, menghormati, dan mendampingi suaminya “dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kita.” Ia akan bertekad memegang teguh komitmennya dan berupaya lebih keras lagi. Ia menyibukkan diri dengan berbagai tugas ibu rumah tangga dan menjadi ibu kedua anaknya yang masih balita.
Namun, begitu anak-anak bersekolah, ia mempunyai banyak waktu luang sehingga semakin kesepian. Jadi Ruth bekerja paruh-waktu sebagai sekretaris. Atasannya, Bill, seorang laki-laki yang peka dan senang mengobrol dengan Ruth. Bill mendengarkan dengan penuh perhatian, memancing dengan pertanyaan-pertanyaan. Kadangkadang saat ia mengajak Ruth keluar makan siang, mereka tertawa dan mengobrol tentang hal-hal yang Ruth dambakan dapat ia ceritakan kepada Pete.
Ketika berada di tempat kerja, Ruth merasa sangat hidup sekaligus rentan. Laki-laki yang peka ini membuat dirinya kembali merasa istimewa, penting, dan dihargai. Ia bahkan berkhayal menikah dengan Bill, dan ini membuatnya waswas. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya sedang terseret ke dalam perselingkuhan. Sebagian dirinya meyakini ia tidak bakal berselingkuh. Namun,
dampak perselingkuhan rasanya tidak sebanding dengan vitalitas yang ia rasakan ketika bersama Bill. Yang jelas ia
merasa dirinya lebih bersemangat sekarang dibandingkan selama sekian tahun ini. Dan ia tidak ingin ini berakhir.
Bagaimana jika Ruth kawan Anda, dan ia menceritakan pergumulannya? Apa reaksi Anda?
Seandainya Ruth bukan menceritakan tentang kejenuhan pernikahannya dan godaan untuk berselingkuh, melainkan tentang:
• gangguan makan
• kecanduan seks
• ledakan amarah yang tidak terkendali
• kecanduan narkoba atau alkohol
• depresi yang melemahkan
• ketakutan yang melumpuhkan
• kegiatan yang bersifat obsesif/kompulsif
• kesepian
• kecanduan kerja
• gila belanja
Apakah Anda cenderung akan menganggap masalah
Ruth sebagai masalah rohani atau psikologis? Apakah Anda akan memintanya menghubungi pendeta atau konselor? Apakah pendeta Anda punya waktu untuk menemuinya? Apakah Anda mengharapkan konselor akan berbicara mengenai kenyataan dosa dan kebutuhan untuk bertobat serta taat kepada Allah?
Lebih penting lagi, seandainya Yesus masih ada di dunia saat ini, apakah menurut Anda, Dia akan
menasihati Ruth agar menemui konselor untuk mendapat bantuan menghadapi pergumulannya? Atau apakah
Dia menganggap “industri konseling” tidak dapat memenuhi kebutuhan sejati seorang manusia, dan malah mengalihkan perhatian mereka dari kesetiaan murni
kepada Allah? (2 KORINTUS 11:2-3).
Apakah Konseling Sebuah Pilihan?
Ada alasan mengapa pertanyaan itu perlu dijawab dengan hati-hati. Konon, ada lebih
dari 250 metode pendekatan konseling. Setiap metode mengklaim berhasil memahami persoalan manusia. Semuanya mengembangkan model tentang bagaimana seseorang seharusnya berfungsi, apa yang salah, dan bagaimana mengintervensi ketika masalah menjadi tidak terkendali.
Pengaruh berbagai teori tersebut terhadap konseling Kristen telah menciptakan perdebatan dalam gereja. Jemaat berbeda pendapat tentang apakah kita membutuhkan lebih dari Alkitab, doa, dan iman kepada
Kristus untuk menangani masalah-masalah kita. Ada beragam pendapat tentang arti dari istilah “Kristus saja cukup”. Apakah pemeliharaan dan belas kasihNya mencakup pengobatan, dukungan kelompok, dan pemahaman tentang sejarah keluarga, temperamen, serta motivasi yang tersembunyi jauh di lubuk hati?
Kita tahu orang bijak mencari pertolongan ketika menghadapi masalah hidup. Kitab Amsal mendorong kita mencari penasihat yang baik, sambil tetap berhatihati menghindari penasihat yang tidak baik. Amsal 11:14 menyatakan, “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah
bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.” Amsal 12:15 berkata, “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.” Dan Amsal 20:5 menambahkan, “Rancangan [tujuan, motivasi, dan rencana] di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbanya.”
Amsal juga menyatakan kepada kita bahwa nasihat yang baik bisa datang dari berbagai sumber, beberapa di antaranya dari kawan. Amsal 27:9 (BIS) menyatakan, “Sebagaimana minyak harum dan wangi-wangian menyenangkan hati, demikian juga kebaikan kawan menyegarkan jiwa.”
Namun, ada benarnya juga bahwa meski dapat membantu, nasihat juga bisa berbahaya. Mazmur 1 menyatakan, “Berbahagialah orang yang tidak mengikuti nasihat orang jahat” (AY.1 BIS). Selalu saja ada konselor/ penasihat yang menyatakan kepada orang-orang apa yang mereka ingin dengar, dan bukan apa yang perlu mereka dengar.
Bagaimana dengan Konselor Sekuler?
Alkitab memperingatkan tentang nasihat yang bertentangan dengan tujuan Allah, tetapi Kitab Suci tidak menolak segala yang alami, sosial, atau sekuler. Kitab Amsal menyatakan bahwa suara hikmat dapat terdengar di jalan-jalan, dan tempat-tempat umum (AMSAL 1:20-22). Salomo mengajarkan pembacanya bukan saja menjadi murid firman Allah, tetapi juga untuk menyimak suara alam dan perilaku manusia dengan saksama.
Para guru bimbingan konseling (BK) melakukan tugas mereka dengan baik dengan mendorong anak-anak muda menyiapkan masa depan dan mencegah mereka terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas. Banyak siswa telah ditolong oleh guru BK yang terampil dalam membimbing siswa untuk berpikir dan merenungkan nilai, keyakinan, dan motivasi mereka sendiri.
Tenaga medis juga turut memberikan sumbangsihnya dalam memberikan layanan yang dapat membantu mengatasi masalah rohani. Seorang wanita pernah datang ke tempat praktik saya, mengeluhkan pergumulannya yang berat dengan depresi. Kondisi tersebut membuatnya kehilangan semangat hidup sehingga ia tidak dapat
berfungsi di rumah dan mengurus ketiga anaknya
yang masih berusia prasekolah.
Pikiran untuk bunuh
diri menghantuinya
selama ia melakukan
Kitab Suci tidak menolak segala yang alami, sosial, atau sekuler.
kegiatan sehari-hari. Ia baru saja menjalani 3 minggu perawatan di rumah sakit jiwa dan melaporkan bahwa terapi psikologi yang dijalaninya tidak banyak menolong.
Suaminya sangat frustrasi menghadapinya, dan tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Setelah berbincang-bincang cukup lama dengannya, yang kelihatannya juga sama sekali tidak membantu, saya bertanya kapan ia terakhir kali melakukan cek kesehatan.
Ketika sedang membahas tentang masalah kesehatan, ia menyebut bagaimana dirinya merasa seolah-olah “sudah gila.” Ia sering mendadak merasa kepanasan, lalu berubah menjadi sangat kedinginan beberapa menit kemudian. Siklus haidnya tidak teratur.
Semua gejalanya mirip wanita dalam masa menopause.
Namun, itu tidak mungkin, karena ia baru berusia 34 tahun. Ketika saya bertanya kapan ibunya mengalami menopause, ia menjawab, umur 32 tahun. Dan neneknya?
Awal 30-an. Namun, karena ia masih muda dan tidak kelihatan seperti wanita yang sudah mengalami menopause, semua dokter yang ditemuinya menganggap hal itu tidak mungkin.
Ia lantas berkonsultasi dengan ginekolog lain, yang kemudian melakukan beberapa tes khusus, dan
menemukan bahwa ternyata tingkat hormon estrogennya setara dengan milik wanita berusia 80-an! Segera sesudah ia memulai terapi hormon estrogen, depresinya hilang.
Semua konsultasi hanya akan membuatnya frustrasi karena ia tidak dapat mengendalikan respons tubuhnya.
TIGA
Mengapa Beberapa Masalah Sulit Diatasi?
Seperti yang baru saja kita lihat, beberapa
masalah diperumit oleh faktor medis, yang jika tidak terdeteksi dapat menimbulkan frustrasi dan rasa bersalah yang tidak perlu.
Demikian juga banyak masalah fisik dan emosional berakar pada masalah psikis yang tidak kelihatan dan sering kali tidak terdeteksi. Berbagai masalah seperti gangguan makan, kecanduan alkohol dan narkoba, depresi, kecemasan kronis, pelecehan seksual, dan gangguan kepribadian ganda sendiri sudah sangat menyakitkan, sehingga menyembunyikan masalah-masalah lain yang menjadi pemicunya.
Kecanduan alkohol memang menyakitkan, tetapi tidak semenyakitkan ingatan atau ketakutan yang coba dihilangkan pencandunya. Kecanduan sulit diobati karena kelihatannya dapat mengurangi kesakitan yang dirasakan oleh penggunanya. Begitu juga dengan masalah ketagihan makanan dan kecanduan seks. Kebiasaankebiasaan tersebut sukar ditinggalkan, karena membuat penggunanya lupa pada rasa sakitnya, meskipun hanya untuk sementara. Rasa puas dan kesenangan instan untuk sementara waktu menghilangkan rasa kecewa, penolakan,
dan kecemasan mendalam.
Fakta bahwa kita “merasa tidak keruan di pagi hari”
hanya membuat kita lebih rentan untuk kembali kepada kebiasaan buruk, demi mendapatkan momen penghilang rasa sakit berikutnya. Siklusnya berulang terus, dan kita semakin tenggelam. Semakin dituruti, semakin besar kepuasan yang dituntut oleh nafsu kita.
Namun, ada alasan lebih mendalam yang menyebabkan masalah-masalah tersebut sulit diatasi. Menurut Alkitab, ketika kita memilih menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri, ketika kita mencoba mengenyahkan kepedihan hati kita dengan alkohol, makanan, atau hubungan seks terlarang, sebenarnya kita sedang menggantikan tempat Allah dalam hidup kita. Dan semua itu membuat masalah hidup yang menyakitkan jadi semakin rumit.
Alih-alih percaya bahwa Dialah sumber kehidupan dan segala yang kita rindukan, kita menyembah altar alkohol, makanan, atau seks. Alih-alih percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Pribadi yang dapat memuaskan kita, kita menyembah berhala berbentuk obsesi kita, berhala yang sampai taraf tertentu berada di bawah kendali kita sendiri.
Sering kali kita tidak sadar apa yang sedang terjadi. Kita terus kecanduan karena hati kita pandai menyangkal.
Lebih mudah menyembunyikan masalah kita daripada menghadapinya. Sering kita berkata: “Aku bisa berhenti kapan saja aku mau. Aku tidak perlu minta bantuan. Aku memang sudah mengambil pilihan yang buruk, tetapi aku bisa mengendalikannya. Aku tidak perlu membicarakannya.
Toh aku tidak menyakiti siapa-siapa, kecuali diri sendiri. Aku tidak sungguh-sungguh bermasalah. Banyak orang keadaannya lebih parah daripada aku. Aku baik-baik saja, kok . Lagi pula, tidak ada juga yang bakal menolong aku sekarang. Aku tidak perlu bicara dengan pendeta. Aku tidak butuh konselor. Aku hanya butuh waktu untuk memperbaiki diri. Aku akan berubah. Tunggu dan lihat saja nanti.”
Penyangkalan diri. Menipu diri sendiri. Kebohongan. Yeremia paham mengapa beberapa masalah sangat sulit diatasi ketika ia berkata, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (YEREMIA 17:9).
Pemikiran kita dapat menjadi sedemikian keliru dan gelap sehingga kita memilih melakukan hal-hal yang kita tahu salah, tetapi merasa tidak berkuasa mengubahnya (ROMA 7:7-25). Atas menjadi bawah, dan bawah menjadi atas. Seperti itulah keadaan Ruth. Ia di ambang memilih sesuatu yang ia tahu salah (perselingkuhan), tetapi yang saat itu, dirasa mampu membuatnya lebih bersemangat dibandingkan apa pun yang Tuhan tawarkan. Merasa nyaman dengan cara apa pun, telah menggantikan pengejarannya akan Allah.
Ruth sedang berpaling dari kebenaran sederhana tetapi mengubahkan hidup, bahwa Yesus adalah jalan, kebenaran, dan hidup (YOHANES 14:6). Amsal 14:12 sedang berlaku dalam hidupnya: “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” Kedekatan emosi yang
sedang dinikmatinya dengan Bill terasa lebih memberinya semangat hidup, dibandingkan perasaan bosan ketika bersama suaminya.
Kita semua pernah mengalaminya. Kita kehilangan arah, mengira Timur adalah Barat, Utara adalah Selatan.
Kita semua pernah memilih jalan keluar yang membuat masalah kita semakin buruk. Kita bergumul dengan diri sendiri, dengan Allah, dan dengan orang-orang lain, dengan cara yang mengakibatkan kita merasa hancur, takut, sangat terluka, dan kalah.
Di saat-saat seperti itulah kita membutuhkan pertolongan dari kawan bijak yang dengan lembut, tetapi berani, membantu kita melihat bagaimana kita menanggapi perasaan kecewa dan takut yang kita alami. Di masa sulit seperti itulah—ketika iman kita lemah, ketika
kita sulit melihat jalan di depan, ketika kita tidak melihat cahaya di ujung jalan, dan ketika kita merasa
hidup tidak ada gunanya
lagi atau tidak ada alasan untuk terus melangkah—
kita membutuhkan nasihat bijak dari seseorang yang dapat lebih objektif daripada diri kita saat itu.
Kita semua pernah memilih jalan keluar yang membuat masalah kita bertambah buruk.
Di masa-masa sulit seperti itulah kita perlu berhenti berusaha sendiri. Kita perlu membuka hati kita yang hancur untuk menerima pertolongan Allah dan orang
lain. Kita membutuhkan hati seperti yang dimaksudkan
Yesus, ketika Dia berkata, “Siapa mempunyai telinga untuk
mendengar, hendaklah ia mendengar!” (MARKUS 4:9).
Nasihat Seperti Apakah yang Kita
Perlukan?
Baik kita sedang mencari bimbingan dari pendeta, kawan, orangtua, atau tenaga profesional, kita dihadapkan dengan pertanyaan lain: bagaimana kita tahu bimbingan yang kita peroleh tersebut dapat dipercaya?
Jika menyangkut masalah hati dan relasi, Alkitab haruslah menjadi pedoman untuk mengenali nasihat yang baik, yaitu pikiran Allah, yang mengungkapkan pemikiran dan hati-Nya. Alkitab menolong kita untuk menanyakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah nasihat tersebut menolong saya menghadapi kebenaran, ataukah hanya membantu saya mempercayai apa yang ingin saya percayai?
Apakah nasihat yang saya peroleh membantu saya bersikap realistis mengenai kesulitan dan kesempatan hidup? Apakah nasihat tersebut membantu saya untuk lebih jujur menghadapi keinginan pribadi saya yang membuat frustrasi, kekecewaan yang menyakitkan, dan pergumulan tersembunyi? Ataukah nasihat itu justru membuat saya mengabaikan kebenaran mengenai apa
yang sesungguhnya terjadi dan membantu saya untuk mempercayai apa yang ingin saya yakini?
Ketika Yesus berkata, “Di dunia kalian akan menderita” (YOHANES 16:33 BIS), Dia sedang memberi kita pandangan realistis tentang dunia sekarang ini. Dia berbicara dari pengalaman pribadi-Nya. Dia dikenal sebagai “seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan” (YESAYA 53:3). Dia tahu seperti apa rasanya tidak dipahami orang yang dikasihi-Nya (YOHANES 1:11). Dia mengalami penolakan dari keluarga dan kawan terdekatNya. Dia dikhianati, dibenci, dan ditinggalkan. Dia dilecehkan secara verbal dan fisik.
Namun, komitmen terhadap kebenaran yang sama, yang menyebabkan Yesus merasa dan menghadapi kedukaan hidup itulah yang membuat pandangan-Nya tetap tertuju kepada kebenaran yang lebih besar dan kemerdekaan surgawi. Dia menunjukkan kepada kita, bahwa apa yang kita imani sangat penting, dengan berkata, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (YOHANES 8:31-32).
Kebenaran Kristus berakar pada Allah. Yesus mengajar dalam tradisi Perjanjian Lama, yang mengatakan bahwa “Permulaan hikmat adalah takut akan T uhan” (AMSAL 9:10), dan “Takut akan T uhan adalah permulaan pengetahuan” (AMSAL 1:7).
Konseling yang buruk tidak dimulai dengan Allah, melainkan dengan manusia. Konseling tersebut mengajar
orang untuk percaya bahwa kita menciptakan realitas kita sendiri, dan bahwa kita dapat menjadi apa pun yang kita inginkan. Kalaupun konseling yang buruk mengenali Allah dan kuasa iman, konseling tersebut sering mengajar orang untuk percaya bahwa Allah akan memberi orang percaya apa pun yang mereka minta dan imani.
Sebaliknya, konseling yang baik menolong kita menghadapi kekecewaan kita dalam hidup yang sulit. Konseling ini menolong kita menghadapi kekecewaan terhadap diri sendiri. Kita dibantu untuk menyadari bahwa sering kali kita tidak dapat membuat hidup berjalan dengan baik bagi kita, ataupun melindungi kita dari kesengsaraan. Konseling yang baik menolong kita menghadapi kekecewaan-kekecewaan kita terhadap Allah yang tidak memberi kita segala yang kita minta (2 KORINTUS 12:7-10; YAKOBUS 4:3).
Konseling yang baik menyatakan kepada kita bahwa kebenaran adalah pedang bermata dua (IBRANI 4:12).
Terkadang konseling yang baik menjadi balsam penyembuh yang menenangkan jiwa kita yang lelah, dan di waktu lain menusuk dalam-dalam dan membuat kita sangat terluka. Kebenaran akan membebaskan kita, tetapi sebelumnya kebenaran akan membuat kita sakit, sedemikian rupa sehingga sentuhan penyembuhan Tabib Agung menjadi satu-satunya obat.
Raja Daud adalah contoh orang yang mengalami sentuhan penyembuhan Allah setelah ia dihadapkan dengan kebenaran yang ia hindari. 2 Samuel 12:1-14
menggambarkan bagaimana Nabi Natan diutus Allah untuk mengonfrontasi dan menasihati Raja Daud tentang perselingkuhannya dengan Batsyeba dan pembunuhan keji suaminya. Natan memasang jerat bagi Daud dengan mengisahkan cerita mengenai seorang kaya dan seorang miskin. Si kaya, menurut Natan, mempunyai sangat banyak domba. Si miskin hanya memiliki seekor anak domba betina kecil, yang makan dari piringnya dan minum dari pialanya. Namun, meski anak domba itu “seperti seorang anak perempuan” bagi si miskin, si kaya mengambilnya, memasaknya, dan menghidangkannya bagi tamunya.
Karena Raja Daud dulunya penggembala, Natan tahu
Daud akan mendengarkan kisahnya dengan saksama.
Ketika Natan selesai bercerita, Daud marah besar dan menuntut keadilan.
Natan kemudian menangkap Daud dalam jeratnya, dan
Daud mendengar kata-kata mengerikan itu, “Engkaulah orang itu!” Daud hancur karena kejahatannya terungkap.
Ia telah mencoba menutupi kejahatannya, tetapi tidak ada yang bisa disembunyikan dari Allah. Daud tertangkap basah dan tidak ada tempat bersembunyi. Dengan menyesal, ia mengakui dosanya dan menjadi orang yang dikenal sebagai “seorang yang berkenan di hati [Allah]”
(KISAH PARA RASUL 13:22).
Natan konselor yang bijak. Ia memakai kebenaran dengan efektif untuk mengusik Daud dan mengungkapkan dosanya kepadanya. Hanya setelah itulah Daud dapat mengalami lagi hati Allah yang hangat dan mengasihi,
dengan kasih abadi yang tidak pernah melepaskan kita. Kebenaran membebaskan kita dengan menolong kita menjadi orang berani yang tidak pernah berpura-pura.
Apakah nasihat itu menangani masalah hati
saya atau sekadar fokus kepada perilaku saya?
Allah memprioritaskan menangani akar masalah, supaya buah yang nyata dalam hidup kita juga dapat menyenangkan hati-Nya.
Meski banyak bercerita tentang tindakan, Alkitab sejatinya banyak berbicara tentang hati. Alkitab selalu memperhatikan motivasi yang tersembunyi dan keyakinan yang mendasarinya. Kedua hal inilah yang membentuk perilaku dan sikap kita terhadap berbagai masalah. Amsal 20:5 berbunyi, “Rancangan [tujuan, motivasi, dan rencana] di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbanya.”
Nasihat yang baik terus-menerus bertanya, “Mengapa?”
Mengapa saya ingin mengakhiri perkawinan ini, meninggalkan pekerjaan ini, mengadopsi bayi, berganti konselor, atau pindah ke gereja lain? Mengapa? Apakah saya lari dari masalah-masalah saya? Apakah saya mengasihi, atau ingin membalas dendam? Apakah saya menghadapi dosa-dosa saya, atau menutup-nutupinya?
Mengapa saya demikian mengkritik istri, anak, dan atasan saya? Apakah kasih saya kepada mereka yang menyebabkan saya hilang kendali, ataukah saya menyalahkan orang lain supaya kesalahan saya sendiri
tidak diperhatikan? Apa motivasi yang tersembunyi itu? Apa keyakinan yang mendasarinya?
Yesus menunjukkan, nasihat yang baik bukan hanya menangani perilaku, tetapi juga masalah hati. Kepada kalangan beragama di zaman-Nya, Dia berkata, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih” (MATIUS 23:25-26). Allah tentu ingin tahu bagaimana kita bertindak.
Namun, Dia jauh lebih berminat pada alasan kita melakukan apa yang kita lakukan, daripada sekadar apa yang kita lakukan. Dalam 1 Korintus 13:1-3, Rasul Paulus sangat jelas menyatakan bahwa kita dapat melakukan
banyak hal indah dengan alasan-alasan yang salah. Satusatunya motivasi yang berlaku saat kita melakukan sesuatu adalah kasih. Apa pun yang dilakukan tanpa
tujuan kasih, tidak berharga di mata Allah. Penulis Amsal menyatakan, “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati” (AMSAL 16:2). “Kui adalah untuk melebur perak dan perapian untuk melebur emas, tetapi Tuhanlah yang menguji hati” (AMSAL 17:3).
Penulis kitab Ibrani menunjukkan bahwa nasihat berdasarkan firman Allah menusuk amat dalam hingga mengungkapkan kenyataan hati manusia yang terdalam,
untuk menghakimi dan menyelidiki “pertimbangan dan pikiran hati kita. Dan tidak ada suatu makhlukpun
yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (IBRANI 4:1213). Penting sekali kita memperhatikan motivasi, karena sama seperti tindakan, motivasi menjadi objek evaluasi
Allah ketika kita berdiri di hadapan-Nya (1 KORINTUS 4:5).
Apakah nasihatnya seimbang atau timpang dalam menilai maksud hati saya?
Konseling berbahaya jika memperlakukan kita sebagai orang yang hatinya penuh motivasi yang seluruhnya baik atau sepenuhnya jahat. Konseling jadi berbahaya
jika membuat kita merasa seolah-olah tidak ada satu pun pikiran atau emosi kita yang nyata. Konseling juga
berbahaya jika memperlakukan kita sebagai orang baik yang telah mengalami terlalu banyak hal buruk.
Seorang konselor perlu membantu kita melihat perbedaan antara keinginan yang diberikan Allah dan usaha bodoh kita sendiri untuk memuaskan keinginankeinginan tersebut. Konseling yang baik harus menolong kita mengenali mana keinginan yang bermartabat, yang mencerminkan diri kita yang diciptakan segambar dengan rupa Allah, dan mana yang merupakan strategi buruk yang mencerminkan kejatuhan kita ke dalam dosa.
Mengenai martabat, Alkitab menyatakan bahwa tidak ada yang namanya manusia belaka. Kita semua diciptakan
serupa dengan Pencipta kita (KEJADIAN 1:26-27). Kita semua hidup menurut gambar dan rupa Allah yang mengasihi dan dikasihi di surga.
Meski masih banyak hal mengenai Allah Tritunggal yang tidak kita pahami, kita tahu dalam hubungan
Tritunggal, ada kasih abadi, saling menghormati, dan kerja sama. Karena kita diciptakan serupa dengan Allah
Tritunggal, kita semua memiliki kebutuhan besar untuk menjalin relasi. Kita ingin mengasihi dan dikasihi orang lain. Kita ingin mengenal dan dikenal, menerima dan diterima, menghormati dan dihormati, memberi dan menerima, memperhatikan dan diperhatikan. Kita diciptakan untuk semua ini. Kerinduan untuk memperoleh semua itu bukanlah hal yang salah.
Namun, hubungan surgawi yang hanya sekejap dinikmati oleh leluhur kita, manusia pertama, telah hilang. Gambar dan rupa Allah dalam setiap manusia telah ternoda dan rusak oleh konsekuensi dosa yang
terjadi ketika manusia jatuh ke dalam dosa di Taman Eden (KEJADIAN 3). Itu sebabnya, semua yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari adalah keadaan terpelintir dan terputar balik yang sangat jauh berbeda dari apa yang semula Allah rencanakan bagi kita untuk kita nikmati.
Dalam diri kita, ada rasa haus luar biasa akan keintiman yang dipulihkan. Dan rasa haus tersebut menuntut dipuaskan saat ini juga.
Ketika orang-orang atau keadaan tidak bekerja sama dan memberikan apa yang kita inginkan, kita menjadi
sangat marah sampai ingin membunuh (YAKOBUS 4:1-3).
Kita tidak mau menghadapi fakta mengerikan bahwa kita
berada di luar Taman Eden, dan kerinduan kita takkan pernah terpuaskan sampai kelak di surga. Karena tidak mau menunggu terlalu lama, kita mencari cara-cara palsu untuk meredakan dahaga kita atau menghancurkannya.
Kita berharap dengan begitu rasa sakit karena kerinduan yang tidak terpenuhi tersebut dapat reda.
Gabungan harga diri dan kebejatan inilah yang
membuat banyak masalah sangat sulit diatasi. Keinginan yang mendorong pecandu alkohol tidak semuanya buruk.
Dorongan obsesi homoseksual tidak seluruhnya salah.
Suami atau istri, seperti Ruth, yang merasa lebih bergairah dan terpuaskan dalam hubungan perselingkuhan tidak sepenuhnya jahat dalam hal apa yang mereka rindukan.
Masalahnya adalah, dengan keyakinan yang salah dan strategi yang bodoh, keinginan yang benar dipelintir hingga menjadi sesuatu yang membingungkan dan campur aduk. Akhirnya kita merasa bersalah atas keinginan yang diberikan Allah, kemudian merasionalisasikan dan membela strategi kita yang buruk saat berupaya menangani rasa sakit yang kita alami.
Nasihat yang baik akan membantu kita melihat perbedaan antara keinginan yang diberikan Allah dan strategi berdosa kita sendiri demi memuaskan keinginan-keinginan itu. Konseling pada tingkat ini akan mengungkapkan perlawanan kita yang keras kepala dan mendalam terhadap kebenaran. Konseling tersebut juga
tidak akan menganggap kita lebih baik daripada fakta yang ada, dan tidak akan memperlakukan kita lebih buruk
daripada keadaan sebenarnya. Namun, penting bagi kita untuk menyadari, bahwa strategi kita yang tersembunyi dan keyakinan yang mendasarinya dapat menjadi sangat jahat.
Kita tidak boleh melupakan apa yang dikatakan dosa kita mengenai kondisi hati kita sendiri. Satu-satunya cara kita dapat menyambut kabar baik Injil dengan penuh gairah dan rasa syukur, adalah ketika kita tertohok oleh kabar mengerikan tentang betapa buruk keadaan kita.
Hanya dengan demikianlah kita dapat menyadari betapa kita membutuhkan penebusan Kristus atas dosa-dosa kita.
Hanya jika kita menyadari ketidakberdayaan kita, kita dapat melihat betapa besar kebutuhan kita akan karuniaNya, belas kasih-Nya, dan pengampunan-Nya.
Apakah tujuan nasihat itu untuk membuat saya sehat atau membuat saya kudus?
Kerinduan untuk menjadi utuh dan sehat adalah keinginan yang sah-sah saja dimiliki oleh setiap pribadi. Yohanes, penulis Perjanjian Baru, berkata, “Aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja. Sebab aku sangat bersukacita, ketika beberapa saudara datang dan memberi kesaksian tentang hidupmu dalam kebenaran, sebab memang engkau hidup dalam kebenaran. Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar
dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran” (3 YOHANES 1:2-4).
Doa Yohanes untuk keutuhan dan kesehatan jiwa raga mencerminkan kerinduan yang sah dan berdasarkan kasih. Meski demikian, doanya tidak mencerminkan apa yang akan Tuhan perbuat bagi kita semua dalam hidup sekarang ini. Meski Alkitab memandang kesehatan yang baik dan kemakmuran materi sebagai berkat dari Allah, Alkitab juga menyatakan bahwa Allah tidak memberi Paulus kesehatan yang prima, meski ia mendoakannya dengan sungguh-sungguh (2 KORINTUS 12:7-10). Sebaliknya Allah memberi Paulus damai sejahtera untuk hidup dengan “kelemahannya” dan berkata, “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 KORINTUS 12:9).
Banyak pengajaran tentang “keutuhan” serta
“kesehatan dan kekayaan” mengandung unsur kebenaran, tetapi tidak memberi penekanan cukup untuk pengharapan akan surga. Alkitab mengajarkan, di dunia yang sudah rusak ini ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada yang sehat dan ada yang sakit. Ada yang panjang umur dan ada yang mati muda. Namun, di luar semua perbedaan dan hal-hal yang tampaknya tidak adil, ada pengharapan dan janji keutuhan serta kelengkapan yang dijanjikan Allah di kehidupan yang akan datang.
Penulis Mazmur 73 kesulitan menerima kebenaran tentang keutuhan masa depan. Ia tidak dapat memahami bagaimana Allah yang baik dapat membiarkan sebagian
orang makmur, tetapi yang lain tidak. Ia bahkan sampai cemburu kepada mereka yang jahat, karena katanya, “Mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain” (AY.5). Si penulis mengakui kekecewaannya terhadap Allah. Ia mengakui rasa frustrasi dan kebingungannya karena tidak dapat membuat Allah menjawab doa-doanya. Namun, kemudian ia masuk ke bait Allah, dan tiba-tiba melihat hidup dalam sudut pandang kekekalan. Tiba-tiba ia melihat mereka yang sehat, kaya, dan fasik dengan cepat menuju keadaan sebaliknya yang menghancurkan. Kemudian, dengan memandang hari penghakiman, pemazmur berseru kepada Allahnya:
“Aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan. Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya. Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa; Kaubinasakan semua orang, yang berzinah dengan meninggalkan Engkau. Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan A ll A h, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya” (MAZMUR 73:22-28).
Dengan kesalehan seperti itu, ketergantungan kepada Allah pun meningkat. Ketergantungan pada kemampuan sendiri untuk memahami segalanya dan menjalani kehidupan dengan cara kita sendiri akan berkurang. Ketegangan dalam diri kita pun akhirnya mulai mengendur. Kita akan semakin menikmati Allah dan firman-Nya. Kenikmatan hidup pun bertumbuh sejalan dengan semakin dalamnya kenikmatan yang kita rasakan akan Allah yang hidup, “yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1 TIMOTIUS 6:17), dan yang menyediakan jauh lebih banyak hal lagi menanti kita.
Raja Daud adalah contoh kesalehan itu. Sebagai orang yang berkenan di hati Allah, semasa hidup ia merasakan kekayaan dan kemiskinan, sehat dan sakit, hubungan dekat dengan orang lain tetapi juga pengkhianatan. Ia tahu sekali bagaimana rasanya hidup makmur. Namun, melihat betapa fananya berkat jasmani itu, ia menulis, “Di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa” (MAZMUR 16:11). Hanya di hadirat Allah kita yang Mahabesar kita akhirnya dapat sepenuhnya menikmati segala sesuatu yang dirancang untuk kita nikmati. Itulah surga!
Apakah nasihat yang diberikan mendorong saya mengambil sikap melindungi diri sendiri atau cenderung mengorbankan hubungan yang penuh kasih?
Meski kita patut berhati-hati dan berhikmat dalam menjalin hubungan, beberapa konselor terlalu mendorong klien untuk fokus kepada luka-luka masa lalu.
Untuk menghindari bahaya lebih lanjut, konselor tersebut mengajar kita agar mengandalkan dan melindungi diri sendiri. Mereka berkata, “Jadilah diri sendiri!”
“Sekarang giliran Anda memperoleh apa yang Anda kehendaki.” “Jangan pernah lagi mengizinkan orang lain memanfaatkan Anda.” Mengandalkan diri sendiri menjadi kunci agar tidak dimanfaatkan atau dilecehkan orang lain. Konseling jenis ini mengembangkan sikap tidak mau bergantung yang keras kepala dalam diri seseorang.
Alih-alih menjadi orang yang lembut, berbela rasa, dan penuh kasih, orang-orang yang diberi nasihat seperti itu cenderung menjadi keras, arogan, dan suka mengatur.
Nasihat yang baik harus menolong kita menghadapi kenyataan, bahwa ketika Allah memanggil kita untuk mengasihi sesama, dan membuka diri kepada bahaya hubungan yang saling bergantung, Dia tahu bahwa Dia sedang meminta kita mengambil risiko. Namun, ketika orang lain menolak kasih kita atau menolak menoleransi kegagalan kita, Allah juga menawarkan diri-Nya menjadi tempat aman, yang menyediakan segala kebutuhan, dan menjadi harapan kita.
Tawaran Allah jauh lebih baik daripada yang disadari oleh kebanyakan kita. Dialah satu-satunya Pribadi di seluruh alam semesta yang kasih-Nya selalu dapat kita yakini. Dialah Pribadi yang paling mengenal kita dan
segala kekurangan kita, tetapi tetap menjadi yang paling mengasihi kita.
Sikap melindungi diri sendiri adalah kebalikan dari jenis iman dan kasih yang telah Allah tetapkan bagi kita.
Dia meminta kita membuktikan iman kita kepada-Nya dengan secara sukarela hidup, bukan saja bagi kepentingan diri sendiri, melainkan juga bagi kepentingan sesama.
Menanggapi ucapan orang percaya tentang apa yang mereka temukan dalam Kristus, Rasul Paulus menulis:
Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih [kasih Allah bagi kita], ada persekutuan
Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau pujipujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (FILIPI 2:1-4).
Paulus dapat menyerukan demikian tentang hubungan yang benar karena ia tahu Allah sajalah yang menjadi kekuatan, tempat perlindungan, dan upah bagi semua orang yang mengizinkan Dia menuntun mereka masuk ke dalam kasih yang berisiko.
Yesus berkata orang akan tahu bahwa kita orang Kristen, bukan dari seberapa baik kita dapat menjelaskan tentang
teologi kita, melainkan dari seberapa baik kita mengasihi sesama: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (YOHANES 13:34-35).
Belakangan, Yohanes mengatakan bahwa kualitas hubungan kita dengan Allah diukur dari kualitas hubungan kita dengan sesama. Ia menulis, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1 YOHANES 4:20). Hubungan pribadi kita dengan keluarga, teman, dan rekan kerja menjadi kesempatan bagi kita untuk menyatakan kasih kita kepada Allah. Intinya, karena tak seorang pun pernah melihat Allah, kita diberi kehormatan besar menjadi wakil Allah yang nyata untuk menunjukkan kepada orang lain kasih, belas kasihan, dan karunia-Nya lewat cara kita berelasi dengan mereka (1 YOHANES 4:12).
Nasihat yang menekankan pada dampak hubungan terhadap segala sesuatu yang kita lakukan, adalah nasihat yang mencerminkan perhatian Allah terhadap hubungan.
Nasihat yang demikian membantu kita memahami kepedulian yang dibutuhkan untuk mengasihi sesama sebagaimana Allah telah mengasihi kita (YOHANES 15:12;
1 YOHANES 4:11). Nasihat seperti itu juga membantu
kita melihat ketidakberdayaan kita untuk mengasihi
sebagaimana Allah mengasihi, sampai Tuhan sendiri yang mengubah kita dari sikap mementingkan diri sendiri menjadi mementingkan orang lain.
Kita mengasihi dengan benar jika kita tidak lagi egois dalam relasi kita dengan sesama. Mengasihi orang lain
menjadi jauh lebih penting dan jauh lebih utama daripada melindungi diri sendiri dengan cara apa pun. Hal ini
tidak terjadi seketika, tetapi terjadi ketika kita semakin menyadari betapa Allah sangat mengasihi kita dan betapa aman kita di dalam Dia.
LIMA
Kapan Saya Perlu Mencari Pertolongan?
Kebanyakan orang menunggu terlalu
lama untuk meminta pertolongan. Mereka menunggu sampai masalahnya sudah sangat pelik, sehingga nyaris terlambat untuk melakukan sesuatu, selain mengendalikan kerusakannya. Jika Anda menunggu sampai masalah Anda benar-benar memburuk, Anda benar-benar berada di ujung tanduk. Bukan berarti Anda tidak punya kesempatan memperbaiki keadaan, tetapi mengapa harus menunggu sampai Anda dalam keadaan terjepit seperti itu? Jangan menunggu sampai masalah Anda sedemikian kronis atau parah sehingga konseling profesional menjadi pilihan terakhir.
Inilah saat yang tepat untuk mencari pertolongan:
• ketika Anda semakin berkecil hati dan hilang akal memandang hidup.
• ketika Anda merasa sesuatu mengganggu Anda, tetapi tidak yakin apa itu.
• ketika Anda merasa semua orang memusuhi Anda.
• ketika Anda merasa tidak dapat mengendalikan amarah, ketakutan, kekhawatiran, atau sulit tidur.
• ketika Anda terus-menerus mendengar orang menyebut Anda tidak masuk akal, kelewat mengatur,
atau tidak berperasaan.
• ketika Anda berpikir serius tentang bagaimana
Anda dapat keluar dari komitmen suatu hubungan atau pekerjaan.
• ketika Anda bergumul dengan masalah yang akan berdampak besar terhadap diri Anda sendiri dan orang-orang di sekitar Anda.
• ketika Anda tidak dapat mengubah perilaku yang membahayakan diri Anda sendiri dan orang lain.
• ketika Anda diam-diam menyimpan dorongan yang tidak terkendali.
• ketika Anda menyimpan sakit hati yang tidak dapat diselesaikan dengan cara biasa seperti permohonan maaf, mengakui Anda bersalah, dan mencoba berbaikan.
• ketika Anda menyimpan pikiran tidak ingin hidup lagi.
Inilah saatnya Anda harus mencari pertolongan, tidak harus dari konselor profesional, tetapi dapat juga dari keluarga, kawan, tetangga, kelompok kecil, atau pendeta Anda.
Catatan mengenai Pendeta
Apa peran pendeta sebagai konselor?
Kedudukan pendeta sangat sulit. Jemaat mengharapkan pendeta menjadi pengkhotbah yang fasih, hamba Tuhan yang tahu isi Alkitab luar-dalam, pengerja yang dapat diandalkan, dan konselor yang maha-berhikmat.
Masalahnya, tidak seorang pun, betapa pun berbakatnya, dapat melakukan semua itu dengan luar biasa baik. Pendeta adalah penggembala kawanan domba (1 PETRUS 5:2). Ia harus menjadi pendeta sekaligus pengajar bagi jemaatnya, untuk memperlengkapi mereka bagi pengabaran Injil dan peneguhan iman satu dengan yang lain.
Karena keterbatasan waktu pendeta, sesi konseling dengan banyak orang akan menghabiskan seluruh waktu dan energinya. Jadi janganlah mendendam atau marah kepada pendeta Anda jika ia merujuk Anda kepada orang lain yang lebih ahli untuk menolong Anda. Ia mungkin menyadari bahwa kekuatan dan talentanya terletak di bidang lain, bukan konseling pribadi. Atau ia mungkin dapat melakukan konseling tetapi tidak mempunyai waktu untuk sesi konseling baru.
Dalam situasi terbaik, pendeta akan merujuk Anda kepada konselor awam dalam gereja, atau kepada konselor profesional, sambil sesekali mengecek apakah kebutuhan konseling Anda terpenuhi. Yang tidak kalah penting, Anda memastikan pertolongan yang Anda terima sesuai dengan nilai-nilai Alkitab dan iman yang terpusat pada Kristus, serta pengawasan pastoral yang saleh.
Apa peran komunitas Kristen?
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa hanya ada satu sumber bagi pertumbuhan dan pemulihan dalam komunitas Kristen, yang tidak dapat ditemukan di tempat
lain. Ibrani 3:13 berkata agar kita menasihati “seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.” Penulisnya juga menyatakan, “marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuanpertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (IBRANI 10:24-25).
Salah satu tujuan pertemuan komunitas dalam jemaat adalah agar kita memperoleh dukungan, saling menanggung beban, dan menyemangati satu sama lain ketika ada di antara kita yang merasa putus asa. Meski tidak dapat dilakukan dalam kelompok besar atau ibadah
Minggu, hal itu dapat dilaksanakan dalam pertemuan kelompok kecil di rumah-rumah atau pada waktu-waktu lain di luar hari Minggu. Bentuk pertemuan bisa berbedabeda. Namun, dalam kelompok kecil dapat dikembangkan kasih, sikap saling berbagi, menjaga rahasia, pertanggungjawaban, dan sikap saling menyemangati yang dapat menolong orang untuk menghadapi dengan jujur setiap pergumulan hidup sehari-hari dengan cara yang mendatangkan hormat dan kemuliaan bagi Allah dan sukacita dalam hati mereka. Allah menetapkan bahwa sangat penting bagi kita untuk melibatkan diri dalam hubungan yang mendorong
pertumbuhan dan kesejahteraan rohani. Hal itu tampak dalam ayat-ayat yang mengandung kata atau kalimat
“saling/satu akan yang lain/seorang akan yang lain/seorang terhadap yang lain” dalam Perjanjian Baru (ROMA 12:10; 13:8; 15:5,7,14; GALATIA 5:13; EFESUS 4:2,32; KOLOSE 3:13,16; 1 TESALONIKA 4:9,18; 5:11; 1 PETRUS 1:22).
Ketika Konseling Profesional Dibutuhkan, Tanyakan kepada
Diri Anda Pertanyaan-pertanyaan
Berikut Ini
Konseling profesional terkadang diperlukan untuk menangani masalah-masalah kompleks yang tidak mudah teratasi hanya dengan memahami bagaimana kita harus bertumbuh dan mengatasi pergumulan hidup. Konseling intens seperti ini bisa diibaratkan dengan membedah jiwa kita. Seperti tindakan bedah lainnya, Anda harus dapat mempercayai orang yang melakukan pembedahan tersebut. Namun, tidak ada satu pun ahli bedah yang sempurna. Kadangkadang mereka salah diagnosis. Kadang-kadang mereka mengiris terlalu dalam. Tidak ada satu pun tindakan bedah, baik terhadap jiwa maupun tubuh, yang bebas dari risiko salah. Namun, Anda harus bertanggung jawab memilih konselor yang terbaik bagi Anda. Mengajukan beberapa pertanyaan ini pada diri Anda dapat membantu.
1. Apakah konselor bersedia membahas pandangannya tentang proses konseling tersebut dengan Anda?
Jika jawabnya tidak, carilah konselor lain. Konselor yang
tidak bersedia menjawab pertanyaan mengenai nilai yang ia pegang dan cara pendekatan yang digunakan, tidak
layak menerima waktu atau uang Anda. Konselor dengan reputasi bagus harus memberi pernyataan tertulis yang menjelaskan tentang pelatihan mereka dan bagaimana mereka memandang seluruh proses konseling.
Tidak mungkin memisahkan konselor dari konselingnya.
Keduanya tidak terpisahkan. Filosofi konselor mengenai pertumbuhan dan perubahan berasal dari teologi hidup pribadinya. Bagaimana ia memandang dan mendefinisikan masalah dosa? Bagaimana ia menggambarkan proses perubahan?
Jadilah konsumen yang bertanggung jawab.
Bagaimanapun Anda sendirilah yang membayar bantuan profesional tersebut. Menemui konselor atau terapis berlisensi adalah seperti pergi ke dokter untuk masalah fisik. Anda berhak mengetahui secara persis diagnosis masalahnya dan bagaimana prosedur penanganan yang akan dilakukannya. Jangan takut meminta pendapat konselor lain jika Anda tidak yakin dengan apa yang telah diberitahukan kepada Anda.
2. Apa pandangan konselor mengenai masalah tersebut?
Apakah konselor membedakan antara masalah psikologis dan rohani, sehingga ia melihat Tuhan sebagai faktor yang bermanfaat, tetapi tidak mutlak diperlukan, bagi proses perubahannya? Pertanyaan itu berfokus kepada
pandangan konselor mengenai dosa.
Masalah dosa pribadi dan perannya dalam pergumulan
Anda tidak boleh diabaikan dan hanya dianggap sesederhana perilaku nyata: “Ya, berselingkuh memang salah, jadi Anda seharusnya tidak melakukannya.” Perlu ada komitmen untuk menyelidiki lebih dalam tentang motivasi Anda memilih kegiatan yang sedemikian merusak diri. Fungsi dosa Anda perlu diungkapkan.
Apakah konselor itu memberi rekomendasi tidak bermoral? Misalnya, beberapa konselor Kristen merekomendasikan untuk menggunakan video erotis demi meningkatkan aktivitas seks pasangan suami-istri ketika sudah ada pergumulan di area itu. Meski hal itu bisa saja mencapai hasil yang diinginkan (peningkatan kegiatan seksual), proses untuk mencapai hasil tersebut tidak bermoral dan ditentang Allah (MATIUS 5:28). Baik cara maupun tujuan konseling harus mencerminkan pemikiran dan nilai alkitabiah.
3. Apa pandangan konselor tentang proses perubahan?
Tugas utama konselor adalah membuka pintu kehidupan seseorang, dan membantunya melihat baik-buruknya keadaan diri yang sulit dilihat sendiri oleh orang tersebut. Konselingnya sendiri harus bisa membuat orang tersebut gelisah sekaligus tertarik. Menggelisahkan, dalam pengertian dosa tersebut harus diungkapkan sepenuhnya dengan segala keburukannya, sehingga tampak jelas
bahwa itu merupakan kebodohan. Tertarik, dalam arti kebenaran tersebut memiliki kuasa untuk menarik Anda
ke dalam hubungan dengan Allah yang maha pemurah dan penyayang, dan hal itu dapat meningkatkan gairah Anda bagi hidup dan surga.
4. Apakah Anda merasa diperhatikan oleh konselor Anda?
Ada yang konselor yang cocok bagi orang lain tetapi tidak bagi Anda. Hal tersebut wajar dalam setiap hubungan.
Begitu jugalah konseling, sebuah hubungan dengan seseorang yang cukup peduli kepada Anda sehingga mau menyatakan kebenaran dengan cara yang membuat Anda merasa seperti ditelanjangi tetapi sekaligus
sangat dihormati. Jika Anda tidak dapat menghormati konselor tersebut, jika ia tidak mempunyai integritas dalam kehidupan pribadinya, carilah orang lain. Jangan menyerah. Teruslah mencari. Allah akan menuntun Anda kepada konselor yang mumpuni dan dapat menolong Anda.
TUJUH
Kesimpulan Konseling yang
Alkitabiah
Konseling yang alkitabiah mencakup asumsi
dasar berikut:
1. Kita dapat memahami pengalaman manusiawi kita hanya ketika ingat bahwa kita dibuat segambar dan serupa dengan Pencipta dan Penyedia alam semesta. Kita dirancang untuk menemukan pemenuhan dan makna terdalam diri kita dalam hubungan yang bergantung kepada Pencipta kita. Jika kita melupakan kebenaran mendasar tersebut, kita akan kesulitan memahami diri sendiri. Kebenaran mendasar itu memiliki implikasi sangat besar untuk mengatasi keraguan, ketakutan, kekhawatiran, dan kekecewaan kita.
2. Setelah kita mengakui bahwa masalah utamanya adalah dosa kita sendiri, barulah kita dapat dengan jujur menghadapi orang lain yang telah berdosa dan menyakiti kita. Masalahmasalah lain, meski penting dan layak dibahas, bukanlah masalah utamanya. Kita dapat membuat langkah nyata dalam menangani masalah-masalah kita hanya jika
kita mengakui kecenderungan alamiah kita untuk tidak mempercayai Allah. Kita perlu melihat apa yang
terjadi ketika kita menolak mempercayai Dia, dan malah menuntut Dia dan orang-orang lain untuk menolong kita dengan cara kita.
Meletakkan orang atau hal lain ke dalam peran
Penyedia itulah yang menjadi obsesi kejatuhan kita. Hal itulah yang menyebabkan kita melawan diri sendiri, orang lain, bahkan Allah, ketika kita merasa kecewa.
3. Kebutuhan utama kita adalah pengampunan, bukan keutuhan pribadi.
Obsesi terhadap keutuhan pribadi membuat kita fokus kepada apa yang belum kita miliki. Hal itu membuat kita percaya bahwa kita pantas mendapatkan lebih daripada yang sekarang kita miliki. Akibatnya kita cenderung
merasa tidak puas dan frustrasi dengan kehidupan. Kita menuntut kepuasan sekarang juga.
Sesungguhnya, tak seorang pun membutuhkan lebih daripada belas kasihan dan pengampunan Allah. Hanya oleh belas kasihan Allah kita tidak binasa. Hanya berkat Kristus yang menanggung dosa kita dengan mati di atas kayu salib, kita dapat terbebas dari rasa malu dan bersalah yang memisahkan kita dari Pribadi satu-satunya yang dapat melindungi dan memenuhi segala kebutuhan kita dalam hidup ini dan yang akan datang.
Orang yang fokus kepada belas kasihan Allah lebih mengucap syukur, lebih merasa bergairah, lebih merasa
puas, dan lebih mengasihi.
Karena sudah memperoleh
belas kasihan Allah yang
murah hati, mereka merasa tidak mungkin
berbalik dan menyerang orang-orang yang tidak menolong mereka. Karena telah menerima belas
Orang yang fokus kepada belas kasihan Allah lebih mengucap syukur, bergairah, puas, dan mengasihi.
kasihan, mereka tergerak menyatakan belas kasihan dan kebaikan itu kepada orang lain. Beginilah cara hati dipenuhi oleh Roh Kristus dan diberi kekuatan melalui Dia.
4. Untuk dapat mengalami perubahan sejati, kita membutuhkan perubahan hati yang datang dari kehancuran karena dosa kita.
Pertobatan (PERUBAHAN HATI DAN PIKIRAN) jauh lebih
penting daripada memperoleh wawasan. Pertobatan adalah kesediaan untuk melihat bahwa dosa lebih penting daripada penderitaan kita, dan tidak ada apa pun yang lebih penting daripada mengalami pengampunan dan belas kasihan Kristus.
Nasihat Tuhan kepada kita adalah, “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”
(MATIUS 11:28-29).

KALA TIDAK TAHU HARUS BERKATA APA
ROY CLARK
KALA TIDAK TAHU HARUS BERKATA APA
MENGHIBUR SESEORANG YANG TENGAH MENDERITA
Amsal kuno berkata, “Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia berdiam
diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya” (AMSAL 17:28).
Terjemahan yang lebih modern berbunyi, “Seorang bodoh pun akan disangka cerdas dan bijaksana kalau ia berdiam
diri dan menutup mulutnya” (VERSI BIS).
Namun, bagaimana ketika bukan kita yang tengah menghadapi masalah? Bagaimana ketika teman kita
mengalami kesedihan, dan kita ingin sekali menghiburnya dengan kata-kata yang membesarkan hati.
Untuk masa-masa seperti itulah Roy Clark menghimpun dari berbagai pengalaman dan nasihat penggembalaan sepanjang hidupnya untuk membantu kita di momenmomen ketika kita tidak tahu harus berkata apa.
Serba Salah
Ayah saya sangat menyukai kudapan. Salah satu tempat jajan favoritnya pada tahun
1940-an adalah Freddy’s Donuts. Saya sedang pergi bersama beliau pada suatu hari ketika, setelah memilih selusin donat, Ayah masuk ke mobil dan berkata kami harus mampir ke suatu tempat dalam perjalanan pulang. Seorang rekan karyawan di bank tempatnya bekerja meninggal dunia dan kami akan pergi melayat ke rumah duka.
Setelah memarkir mobil, Ayah mematikan mesin dan duduk diam, sepertinya lama sekali, walaupun sebenarnya hanya 3 atau 4 menit. Akhirnya saya bertanya, apakah beliau mau masuk ke rumah duka.
Sambil terisak, Ayah menempelkan kepalanya di kemudi dan berkata, “Aku tidak tahu harus bilang apa.”
Pergi ke rumah duka bukan hal yang mudah bagi
Ayah. Karena Nenek meninggal ketika Ayah masih kecil, barangkali kematian membuatnya teringat pada kasih ibu yang hilang dari hidupnya. Akhirnya, Ayah masuk juga ke rumah duka, tetapi setelah kembali ke mobil, beliau diam seribu bahasa sepanjang perjalanan pulang.
Seperti situasi yang dihadapi ayah saya, dalam hidup ada banyak momen serbasalah dan terkadang
menyakitkan, ketika kita tidak tahu harus berkata apa. Misalnya:
• Seorang teman mendapat kabar kankernya sudah stadium akhir. Kita tahu bahwa kita seharusnya membesuk ke rumah sakit, tetapi kita tidak tahu harus mengatakan apa.
• Sebuah keluarga di gereja terpukul karena putra mereka bunuh diri. Walaupun mereka sudah kembali bergereja, kita menghindar karena tidak yakin bagaimana mendekati mereka.
• Perceraian seseorang sudah final dan Minggu ini untuk pertama kalinya ia kembali ke gereja. Ia berdiri di pojok, bertanya-tanya apakah ada yang akan menyambutnya. Lusinan orang bergegas lewat tanpa menyapa, karena tidak tahu harus berkata apa.
Kasus-kasus ini mengingatkan saya kepada ketiga teman Ayub. Mereka mendengar tentang penderitaan Ayub, lalu datang untuk berkabung bersamanya serta menghiburnya. Mereka tidak berkata-kata selama 7 hari, tetapi ketika akhirnya angkat bicara, menjadi jelaslah bahwa mereka tidak tahu harus berkata apa.
Jika Anda ingin menjadi penghibur yang menolong dan bukannya menyakiti, yang peduli dan bukannya tidak menggubris, Anda perlu merenungkan 6 pasal pertama kisah Ayub. Dari sana kita belajar apa yang hendaknya kita katakan, dan apa yang sebaiknya tidak kita katakan, pada momen-momen ketika perkataan yang membesarkan hati teramat dibutuhkan.
Ayah Teladan
Seandainya ada penghargaan di tanah Us zaman dulu untuk “Ayah Luar Biasa dari
Timur”, pasti Ayub jadi juaranya. Kisah Ayub dibuka dengan pujian-pujian tertinggi, melukiskan seseorang yang berkarakter, berintegritas, dan menjalani kehidupan yang ideal. Secara keuangan ia sangat kaya.
Secara rohani ia hidup bergaul dengan Allah dan teratur mendoakan kesepuluh anaknya.
Seandainya keadaannya selalu seperti itu, Ayub tidak akan membutuhkan penghiburan dari teman-temannya. Namun, kisahnya masih berlanjut. Penulis kisah Ayub menceritakan percakapan yang berlangsung di surga antara Allah dan Iblis. Dan setelah dialog tersebut, kehidupan Ayub tidak pernah sama lagi.
TIGA
Tuduhan Iblis
Ketika membaca pasal pertama Ayub, kita mendengarkan percakapan yang berlangsung
di surga ribuan tahun lalu antara Allah dan Iblis. Dalam dialog supernatural ini, kita belajar banyak tentang Iblis. Dalam Wahyu 12:10, Iblis disebut “pendakwa saudara-saudara kita”, dan itulah persisnya yang sedang Iblis lakukan dalam Ayub 1. Iblis baru saja menjelajahi bumi, mengamati kegagalan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.
Respons Allah? Dia mempersilakan lawan-Nya meneliti kehidupan Ayub dan memberi perhatian khusus kepada karakter Ayub:
Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. (1:8).
Terpojok, Iblis melawan dengan menuduh Allah pilih kasih. Ia berkata, kesetiaan Ayub tidaklah tulus.
Kesetiaan Ayub muncul karena Allah membangun pagar berkat yang melindungi Ayub dan keluarganya. Ayub mempunyai keluarga yang besar, kawanan ternak yang banyak, dan uang melimpah. Siapa yang tidak akan
menyembah Allah yang memberikan semua yang ia impikan? Tantangan Iblis kepada Allah?
“Ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu” (1:11).
Ribuan tahun kemudian, kita membaca kisahnya
tanpa merasa takjub. Mungkin kita telah begitu sering mendengar kisah Ayub sampai-sampai telinga kita
kebal terhadap respons Allah yang mengejutkan. Allah mengizinkan Iblis menyerang kesejahteraan Ayub.
Tentu, Allah menarik batasan dengan melarang musuh mengambil nyawa Ayub. Namun, Iblis diberi toleransi yang luar biasa besar.
Ketika kita membaca tentang badai kesukaran yang Iblis lepaskan ke dalam kehidupan Ayub, ada baiknya
kita mengingat bahwa kita mengetahui sesuatu yang
tidak diketahui Ayub. Ayub tidak tahu apa-apa tentang percakapan surgawi yang berlangsung dalam Ayub 1.
Ayub mengalami ambruknya pagar berkat karena Iblis menantang Allah. Philip Yancey menggambarkan hal ini dalam bukunya, Disappointment With God:
Ada baiknya kita membayangkan kitab Ayub sebagai sandiwara misteri, cerita detektif tentang “siapa pelakunya”. Sebelum sandiwara itu sendiri dimulai, sebagai penonton kita diberi kesempatan mengintip latar belakang ceritanya, seolah-olah kita datang
lebih awal untuk
acara konferensi pers
tempat sutradara
menjelaskan sandiwara
ciptaannya (PASAL
1–2). Ia menceritakan alur ceritanya dan menggambarkan tokohtokoh utamanya, lalu
memberi tahu siapa yang berbuat apa dalam sandiwara tersebut, dan alasannya.
Sesungguhnya, ia
menceritakan semua
Kita sering membuka kitab Ayub untuk berusaha menemukan jawaban pasti bagi persoalan penderitaan manusia, tetapi kita tidak akan menemukannya di sana.
misteri dalam sandiwara itu kecuali satu: Bagaimana
respons tokoh utamanya nanti? Apakah Ayub akan mempercayai Allah atau menyangkal Dia?
Setelah itu, ketika tirai diangkat, di panggung kita melihat para pelakon. Mereka tenggelam dalam adegan dan sama sekali tidak tahu-menahu apa yang telah sutradara beritahukan kepada kita pada acara konferensi pers. Kita sudah tahu “pelaku” di balik semua itu, tetapi sang detektif, yaitu Ayub, tidak mengetahuinya. Ia menghabiskan seluruh waktunya di panggung, berusaha menemukan apa yang telah kita ketahui . . .
Apakah kesalahan yang telah dilakukan Ayub? Tidak ada. Ia adalah contoh manusia terbaik. Bukankah
Allah sendiri menyebut Ayub “saleh dan jujur; takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”? Lalu mengapa Ayub menderita? Bukan sebagai hukuman. Jauh dari itu, Ayub dipilih sebagai pemain utama dalam sebuah kontes besar di langit (ZONDERVAN, 1992, HLM. 163-164).
Kita sering membuka kitab Ayub untuk berusaha mencari jawaban pasti bagi persoalan penderitaan manusia, tetapi kita tidak akan menemukannya di sana. Sebagai gantinya, kita mendapatkan kisah tentang iman yang teguh tak tergoyahkan kepada Allah di tengahtengah angin badai kesusahan yang amat dahsyat.
EMPAT
Iman Ayub Diuji
Telepon berdering kira-kira pukul 10 pada suatu pagi. Jim, putra sulung kami, menelepon dari Indiana. Dengan suara gemetar oleh emosi, ia menggambarkan bagaimana Dave, putra bungsu kami, masuk ke toko yang sedang dirampok. Di sela isak tangisnya, Jim menceritakan detail-detailnya, bahwa Dave tertembak dua kali di masing-masing lengan.
Sekarang ia dirawat di rumah sakit.
Kami pun ngebut ke Indiana. Setiba di rumah sakit, kami menemukan kamar Dave dijaga petugas polisi.
Begitu kami diizinkan masuk, Dave menceritakan kisahnya. Merasakan kecemasannya, kami membacakan Mazmur 91 bersama-sama demi menghibur dan membesarkan hatinya. Namun, ayat 10-11 membuat kami mengambil jeda:
Malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu; sebab malaikatmalaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.
Dave menunjuk luka-lukanya dan bertanya, “Bagaimana dengan luka-luka ini?” Iman kami kepada Allah yang senantiasa berjaga, tengah diuji.
Iman Ayub juga sedang diuji ketika serangkaian kehilangan yang luar biasa menimpanya bertubi-tubi, dan dunianya hancur luluh.
Apa sajakah kehilangan yang diderita Ayub?
Harta Bendanya
Ayub disebut “yang terkaya dari semua orang di sebelah timur” (1:3), dan penulis kitab Ayub menjelaskan mengapa Ayub layak disebut demikian. Pada dunia zaman dulu, kekayaan seseorang ditentukan oleh jumlah kawanan ternaknya. Tidak ada yang memiliki lebih banyak daripada Ayub, yaitu 7.000 domba, 3.000 unta, 1.000 lembu, dan 500 keledai. Pasti Ayub memiliki padang rumput yang sangat luas untuk memberi makan 11.500 ekor hewan tersebut. Namun, kisahnya mengindikasikan semua itu tersapu habis hanya dalam sehari. Para utusan menghadap Ayub dan melapor:
Datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampas [lembu dan keledai] . . . Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga . . . Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya (1:15-17).
Kehilangan yang diderita Ayub mengingatkan saya kepada kejadian ketika para spekulator saham terkaya di Wall Street tersapu habis secara finansial dalam hitungan jam saat Pasar Saham ambruk pada bulan Oktober 1929.
Sebagian bunuh diri dengan cara melompat dari jendela kantor. Para mantan jutawan akhirnya antre untuk mendapatkan jatah roti. Kehidupan semua orang pun berantakan.
Pada zaman kita yang diwarnai merger, alih daya, serta perampingan perusahaan, banyak orang menerima “surat pemutusan hubungan kerja” atau amplop gaji berisi pemberitahuan bahwa mereka telah diberhentikan dari pekerjaan. Dalam kasus-kasus seperti itu, orang percaya yang mengalami dilema-dilema ini dihadapkan dengan ujian yang sangat nyata dalam iman mereka kepada Allah.
Namun, kehilangan kekayaan dan harta benda, bukanlah yang terburuk bagi Ayub.
Anak-Anaknya
Selain kawanan ternaknya yang banyak, Ayub juga mempunyai keluarga yang terdiri dari 10 anak, yaitu 7 putra dan 3 putri. Tampaknya anak-anaknya yang sudah dewasa erat hubungannya, karena mereka secara teratur berkumpul untuk makan bersama. Sebagian orang percaya ketujuh putranya bergilir menjadi tuan rumah perjamuan harian mereka sepanjang minggu (1:4).
Namun, Ayub prihatin kalau-kalau anak-anaknya berbuat dosa terhadap Allah selagi makan bersama. Maka Ayub bangun pagi-pagi untuk mendoakan semua anaknya dan mempersembahkan korban bakaran atas nama mereka (1:5). Ia melayani sebagai imam keluarga.
Pada salah satu perjamuan keluarga itu, terjadilah suatu tragedi dan kesepuluh anak Ayub tewas. Seorang utusan melapor:
Tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati (1:19).
Hati Ayub remuk. Dunianya runtuh. Pertama kekayaannya lenyap, sekarang semua anaknya direnggut darinya.
Beberapa tahun yang lalu, saya menerima telepon dari seorang pemimpin di gereja yang saya gembalakan di Michigan. Saudara perempuan beserta keluarganya mengalami kecelakaan tragis. Pada Rabu malam berhujan itu, saudara perempuannya mengantar ketiga putrinya ke gereja. Ketika berbelok ke tempat parkir, mobil mereka ditabrak. Ketiga putrinya tewas, tetapi sang ibu selamat.
Teman saya diminta menyampaikan kesan-kesan tentang ketiga keponakan perempuannya. Ia bertanya apakah saya bersedia membantu menuliskan apa yang hendak ia sampaikan.
Saya bersama istri menghadiri pemakaman. Seperti Ayub, orangtua yang berkabung ini telah kehilangan semua anak mereka. Ratusan orang menangis. Pada siang itulah saya mulai memahami betapa besarnya kehilangan yang dirasakan Ayub.
Baru-baru ini, pada ibadah Minggu sore, saya kembali
teringat kepada Ayub yang kehilangan anak-anaknya. Kami sedang menyanyikan lagu yang ditulis Beth dan
Matt Redman, berjudul Blessed Be Your Name (Terpujilah Nama-Mu). Lirik yang kami nyanyikan mencerminkan misteri kehilangan seperti itu:
Terpujilah nama-Mu, saat mentari bersinar, dan semuanya pun lancar, terpuji nama-Mu.
Terpujilah nama-Mu, dalam jalan pend’ritaan, dan hidup p’nuh kepedihan, terpuji nama-Mu.
Penulis lagu tersebut pasti telah membaca kisah Ayub sebelum menulis lagunya:
Kau memb’ri dan mengambil, Kau memb’ri dan mengambil,
Hatiku ‘kan berkata, “Tuhan, terpuji nama-Mu.”
Demikianlah respons Ayub yang menakjubkan terhadap kehilangan kesepuluh anaknya. Kita membaca dalam Ayub 1:20-21,
Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya. T uh A n yang memberi, T uh A n yang mengambil, terpujilah nama T uh A n!”
Ketika saya membaca perkataan yang mencerminkan kepercayaan yang nyaris putus asa tersebut, saya harus mengatakan, “Sungguh Ayub orang yang jauh lebih baik dari diriku.” Mengapa? Sejak tahun 1963 hingga 1979, keluarga istri pertama saya bergantian divonis kanker. Saya kehilangan ibu mertua, lalu saudari ipar, disusul ayah mertua, kemudian akhirnya, pada tahun 1979, istri saya meninggal dunia karena kanker. Habislah seluruh keluarganya. Padahal mereka semua Kristen, bahkan pemimpin gereja.
Sama seperti Yesus pergi ke Taman Getsemani untuk berdoa saat bergumul dalam penderitaan batin, saya pun bersujud memohon agar Allah menyingkirkan cawan penderitaan dalam keluarga saya. Namun, mereka semua meninggal. Sejujurnya saya tidak menanggapi dengan iman sebesar iman Ayub. Saya hanya bisa menangis, “Mengapa?” Demikianlah pertanyaan umum yang diajukan oleh mereka yang tengah menderita, dan oleh keluarga mereka juga.
Ketika Ayub lulus ujian-ujian imannya yang pertama kepada Allah, musuh pun memutuskan menaikkan intensitas dengan mendatangkan peristiwa-peristiwa yang lebih parah.
Kesehatannya
Setelah kehilangan harta benda dan anak-anaknya, Ayub menghadapi tantangan iman berikutnya. Kali ini yang diserang adalah kesehatannya. Ini dimulai di hari yang lain, dengan dialog dan dakwaan lain dari Iblis: Lalu jawab Iblis kepada T uh A n: “Kulit ganti kulit!
Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu” (2:4-5).
Tuhan mengizinkan Iblis menjamah kesehatan Ayub, dengan syarat tidak mengambil nyawanya.
Kemudian Iblis pergi dari hadapan T uh A n, lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya. Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu (2:7-8).
David Atkinson menulis tentang serangan termutakhir musuh:
Penyakit adalah ujian baru yang harus dihadapi Ayub. Atas izin Allah, Iblis menimpakan kondisi menjijikkan yang tak tertahankan kepada Ayub. Barah menyakitkan (2:7) mulai dari telapak kaki hingga ke ubun-ubun yang secara beragam digambarkan sebagai sejenis kusta atau penyakit kaki gajah. Ayub menyeret tubuhnya ke
tempat penderita kusta, yakni timbunan abu di luar kota. Di sana ia menggaruk barahnya dengan pecahan
tembikar. Ia yang tadinya kaya sekarang menjadi miskin (The Message of Job, InterVarsity Press, 1991, hlm. 24).
Mungkin seseorang yang Anda kasihi sedang menderita. Mungkin ia tidak diuji dengan kehilangan harta benda atau anak-anak, melainkan kesehatannya.
Barangkali ia baru menjalani pemeriksaan medis dan cemas menantikan hasilnya. Ketika dokter menelepon dan memberi tahu telah menemukan sesuatu, barangkali
ia mengajukan tiga pertanyaan ini:
• Mengapa harus aku?
• Mengapa harus ini?
• Mengapa harus sekarang?
Barangkali teman Anda sedang dirawat karena kanker, tetapi setiap kali terapi kemo atau radiasi dijadwalkan, ia merasa sebagian pertanyaan pemazmur dalam Mazmur 77 ini begitu mengena:
Untuk selamanyakah Tuhan menolak dan tidak kembali
bermurah hati lagi? Sudah lenyapkah untuk seterusnya kasih setia-Nya, telah berakhirkah janji itu berlaku turun-temurun? (AY.8-9).
Teman Anda mempertanyakan karena ia sedang diuji. Itu respons yang wajar, bukan saja bagi mereka yang diuji, melainkan juga bagi orang-orang yang mereka kasihi.
Ujian selanjutnya, yang ditambahkan kepada penderitaan Ayub, sifatnya lebih pribadi.
Pernikahannya
Pasti istri Ayub luar biasa bingung menyaksikan kehilangan demi kehilangan yang bertubi-tubi menimpa keluarga mereka. Padahal, suaminya orang baik-baik dan terhormat. Ayub pendoa yang tekun, pemberi nafkah yang setia, dan pelindung yang baik. Mengapa berbagai tragedi ini menimpa seseorang seperti Ayub?
Michael Horton, dalam bukunya Too Good To Be True, menceritakan kebingungan yang dirasakannya saat menyaksikan penderitaan demi penderitaan menimpa orangtuanya yang saleh. Ia menulis:
Pada usia 78 tahun, James Horton didiagnosis mengidap tumor otak jinak yang harus segera dibedah . . .
Operasinya gagal, dan kami sadar Ayah tidak akan pulih kembali . . . Batu karang keluarga, yaitu ibu saya, terus sibuk di samping tempat tidur Ayah, dengan gugup menepuk bantal Ayah setiap 15 menit sekali . . . Lalu, hanya 2 bulan sebelum kematian Ayah, Ibu terkena stroke parah saat saya mengantar Ibu pulang dari pemakaman saudara perempuannya. Sebelumnya, di acara pemakaman itu, Ibu menyampaikan sambutan yang mengharukan. Wanita yang kuat dan penuh belas kasihan ini, yang telah memberikan hidupnya bagi anak-anak yang kurang beruntung dan lansia yang
ditelantarkan di kota ini, sekarang justru bergantung kepada orang lain . . . Di masa-masa yang gelap itu, saya bertanya-tanya mengapa Allah tega membiarkan mereka mengalami skenario terburuk dalam babak
terakhir hidup mereka . . . Tidakkah orang-orang
yang hidupnya selalu memberi, terutama kepada kaum lansia, seharusnya diberi kemudahan dalam hal bagaimana mereka sendiri meninggalkan kehidupan? (Zondervan, 2006, hlm. 12-13).
Pertanyaan yang sama pasti menghantui istri Ayub juga saat ia berjalan menuju timbunan abu, dan menyaksikan Ayub yang tampak mengenaskan dengan barah menutupi sekujur tubuhnya. Tidak tahan lagi, berkatalah ia: “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9).
Pendeta Inggris terkenal, G. Campbell Morgan, berkata bahwa hanya orang-orang yang pernah mendampingi orang yang mereka kasihi saat menderita, yang dapat sepenuhnya mengerti hati istri Ayub. Demikianlah seruan seseorang yang terikat oleh kasih, kepada ia yang sedang sakit. Katanya, “Aku tidak tahan melihatmu menderita satu hari lagi.”
Saya percaya inilah ujian paling berat yang Ayub hadapi. Musuh menaruh perkataan Iblis yang menantang Allah ke bibir orang yang Ayub kasihi. Alangkah cerdiknya. Para malaikat pasti melongok dari surga sambil menahan napas, menunggu apakah Ayub akhirnya akan menyerah.
Namun, Ayub menjawab istrinya yang menderita sengsara batin itu dengan berkata:
Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau
menerima yang buruk? (2:10).
Mungkin istri Ayub marah terhadap Allah, tetapi perlu kita ingat bahwa Allah sanggup menghadapi amarah kita. Adanya luapan emosi yang jujur antara Ayub dan istrinya semakin menegaskan kebenaran kisah ini. Betul, tokohtokoh Alkitab pun pernah marah kepada Allah, juga terhadap satu sama lain.
Pasti sangat sulit bagi Ayub kehilangan harta benda, keluarga, dan kesehatannya. Awalnya ia menanggapi dengan iman, tetapi kemudian ia putus asa.
Ketika teman kita sedang menderita dan putus asa, apakah yang hendaknya kita perbuat? Apakah sebaiknya yang kita katakan?
LIMA
Menghibur Seseorang yang
Sedang Menderita
Ketika mendengar tentang pergumulan Ayub, ketiga temannya, yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar, pergi mengunjungi Ayub. Saat melihat Ayub di timbunan abu, mereka berpikir pasti Ayub merasa sangat sendirian. Mula-mula teman-temannya melakukan beberapa perbuatan baik (2:12-13). Namun, belakangan dalam kisahnya, Ayub menyebut mereka “penghibur sialan” (16:2). Namun, marilah kita mempelajari beberapa hal positif yang dapat kita petik dari orang-orang ini tentang bagaimana menghibur seseorang yang sedang menderita.
Tawarkan Kehadiran Anda
Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing . . . Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia (2:11).
Teman-teman Ayub harus mengorbankan banyak hal untuk datang mengunjungi Ayub dalam penderitaannya— biaya perjalanan, perubahan jadwal kegiatan, dan
menyediakan waktu untuk mengatur pertemuan mereka bertiga di suatu desa. Semua ini membutuhkan upaya dan biaya. Namun, toh mereka tetap datang mengunjungi Ayub.
Mereka mengingatkan saya pada kisah yang dicatat dalam Markus 2. Kisah tersebut tentang empat orang yang siap membantu seorang teman yang menderita lumpuh. Max Lucado menggambarkan kisah Perjanjian Baru ini dalam bukunya, He Still Moves Stones:
Kakinya menggantung lemas . . . Ia dapat melihat kedua lengannya, tetapi tak dapat merasakannya . . .
Seseorang harus membasuh wajahnya dan memandikannya. Ia tidak mampu membersihkan hidung atau berjalan-jalan . . . “Yang ia butuhkan adalah tubuh yang baru,” kata siapa saja yang cukup waras (Thomas Nelson, 1999, hlm. 108).
Ketika mendengar Yesus kembali ke Kapernaum untuk kunjungan kedua, empat kawan orang lumpuh ini mendatangi orang lumpuh itu dan berkata, “Kami akan membawamu kepada Yesus!” Tidak ada yang menghentikan mereka melaksanakan misi mereka. Strategi mereka? “Jika kami tidak dapat menerobos orang banyak, akan kami buka atap rumahnya untuk menurunkanmu kepada Yesus.” Mereka membawa orang itu kepada Yesus dengan usungan, tetapi ia pulang dengan kaki yang baru, dan dosa-dosanya diampuni. Keputusan Anda untuk mengunjungi teman yang
sedang berduka belum tentu mudah. Namun, ia membutuhkan seseorang yang dekat, yang peduli. Jadi, jika Roh Allah mendorong Anda untuk pergi, Anda harus pergi, meskipun rasanya tidak nyaman bagi Anda.
Teman-teman Ayub merasakan dorongan untuk pergi mengunjungi Ayub, dan mereka menanggapinya.
Duduk Dalam Diam
Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi. Lalu menangislah mereka dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya (2:12-13).
Teman-teman Ayub menunjukkan kesedihan mereka dengan cara yang lazim di Timur Tengah, yaitu menangis, mengoyakkan jubah, dan memerciki debu ke atas kepala. Lalu mereka duduk diam di samping Ayub selama 7 hari 7 malam!
Orang-orang pada abad ke-21 sangat ketagihan akan musik, percakapan, TV, dan radio, sehingga sulit bagi kita untuk membayangkan minggu hening bagi Ayub dan teman-temannya itu. Namun, tidak ada salahnya untuk duduk diam. Ketika menghadapi penderitaan, Anda tidak perlu takut terhadap keheningan. Anda datang bukan
untuk “memberi solusi” atau bersikap seperti pakar teologi. Anda datang hanya untuk mengeskpresikan
kepedulian Anda.
Hadir dalam diam dapat menciptakan ikatan batin
dengan orang yang sedang kemalangan. Banyak orang yang pernah mengalami kepedihan memberi kesaksian bahwa kunjungan yang paling mereka ingat adalah
dari seseorang yang memeluk mereka, duduk diam, lalu pulang dengan hanya mengatakan, “Aku mengasihimu!”
Dalam buku Suffering
Presence, Stanley Hauerwas berbicara dengan indah tentang pelayanan dalam keheningan. Temannya, Bob, sedang berjuang
pulih dari perkabungan karena ibunya bunuh
diri, dan Stanley ngeri berkunjung ke rumah Bob.
Seperti banyak orang lain, Stanley tidak tahu apa yang hendak ia katakan.
Ketika menghadapi penderitaan, Anda tidak perlu takut untuk
diam . . . Hadir dalam diam dapat menciptakan ikatan batin dengan orang yang sedang kemalangan.
Maka sebagai gantinya, Stanley hanya duduk diam bersama Bob.
Setelah diingat-ingat, Hauerwas menjadi yakin bahwa kehadirannyalah yang paling diinginkan dan dibutuhkan temannya. Tidak perlu berupaya menjelaskan psikologi
tragedi bunuh diri. Tidak perlu berspekulasi atau berdebat teologis. Yang penting memilih hadir dalam diam dan menjadi balsam belas kasih bagi hati teman yang terluka. Demikianlah salah satu hal yang dilakukan dengan benar oleh teman-teman Ayub, dan kita pun dapat melakukannya.
Mendengarkan
Sesuai tata krama Timur Tengah, teman-teman Ayub menunggu Ayub yang sedang menderita itu angkat bicara lebih dulu. Setelah satu minggu berlalu dalam hening, akhirnya Ayub mulai berbicara dari hatinya (3:1). Dan mereka mendengarkan.
Pasal 3 mencatat realitas yang tragis: Ayub berharap dirinya mati. Saya senang ini menjadi bagian kisah Ayub. Jika Ayub 1:21 (“ T uhan yang memberi, T uhan yang mengambil, terpujilah nama T uhan!”) adalah ekspresi rohani yang heroik, maka Ayub 3 adalah seruan putus asa yang jujur, yang menyingkapkan sisi manusiawi Ayub.
Dalam pasal ini Ayub lima kali bertanya, “Mengapa?” (3:11,12,16,20). Hati kita maklum karena semua orang yang menderita cenderung bertanya, “Mengapa?”
Seberapa dalamkah keputusasaan Ayub? Cukup serius baginya sampai-sampai ia mengutuki hari kelahirannya sendiri (AY.1). Cukup dalam sampai-sampai ia menginginkan dirinya mati sewaktu lahir (AY.11). Cukup menyakitkan sampai-sampai ia merindukan maut (AY.21).
Setelah semua ekspresi keinginan matinya yang sangat
mendalam, perkataan penutup pada Ayub 3 menyingkapkan perasaan depresi dan marah. Ayub menunjukkan
amarahnya terhadap Allah saat berkata:
Masa depan mereka diselubungi oleh Allah, mereka dikepung olehnya dari segala arah. (AY.23 BIS)
Selama beberapa waktu, teman-teman Ayub mendengarkan keluhan, pertanyaan, dan pernyataan putus asa yang dilontarkan Ayub. Namun sayang, bukannya mendengarkan gejolak hati Ayub, temantemannya malah sibuk menyusun jawaban-jawaban teologis bagi masalah yang dihadapi Ayub.
Pria umumnya dikenal sebagai “pemberi solusi”, dan ketiga teman Ayub bertekad memberi solusi bagi dilema
Ayub. Namun, mereka gagal menangkap masalah hati Ayub. Saya maklum.
Pada awal pernikahan saya, ketika istri saya menggumulkan sesuatu, kami sering tidur larut malam. Terkadang, seperti teman-teman Ayub, dalam hati saya sibuk menyusun daftar ayat yang saya yakin akan membereskan masalah istri saya. Akibatnya, saya malah tidak menyimak
Bukannya mendengarkan
gejolak hati
Ayub, temantemannya malah sibuk menyusun jawaban-jawaban
teologis bagi masalah yang dihadapi Ayub.
perkataan istri saya. Butuh waktu bertahun-tahun baru saya bisa mulai mendengarkan isi hatinya.
Seandainya Anda menemani Ayub dan mendengarkan perkataannya, bagaimana Anda menolongnya? Jika Anda mendengar curahan hatinya yang tertekan, kebingungan, marah, dan takut, apa yang hendak Anda katakan? Apakah Anda akan langsung mendiagnosis dan menganalisis? Atau, setelah mendengar seluruh isi hatinya, apakah Anda akan berkata, “Aku tidak punya jawaban untuk masalah kompleks tentang penderitaan manusia. Namun, aku mau mendengarkan curahan hatimu. Aku sangat peduli kepadamu di masa yang sulit ini. Aku hadir untukmu!”
Mendengarkan curahan hati teman, dan memilih katakata yang tepat dan penuh pertimbangan jauh lebih baik daripada ucapan-ucapan menyindir yang menyerang
Ayub pada pasal 4.
Apa yang Sebaiknya Kita Katakan?
Teman-teman Ayub sudah seminggu menemani. Mereka menangis dan mendengarkan, tetapi gagal menangkap isi hati orang yang tengah menderita dan duduk di tengah timbunan abu. Jiwa-raga Ayub remuk redam. Sekarang ketiga teman yang datang dengan niat baik dan menawarkan penghiburan, malah menjadi contoh tentang apa yang sebaiknya tidak kita katakan atau perbuat.
Jangan Berlagak Menjadi Tuhan
Elifas adalah teman pertama yang berbicara. Ia memulai dengan mengakui bahwa Ayub telah membantu banyak orang dengan nasihat yang baik (4:3-4). Namun, kemudian ia menuduh Ayub tidak mau diajar, dan malah mengecam orang yang sedang menderita itu:
Tetapi sekarang, dirimu yang tertimpa [penderitaan], dan engkau kesal, dirimu terkena, dan engkau terkejut (4:5).
Setelah menegur, Elifas melakukan kesalahan besar dan menjadi orang pertama dari ribuan orang yang melakukan kekeliruan yang sama. Ia berlagak sebagai Tuhan dalam kehidupan Ayub. Dengarkan ucapannya:
Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan
di manakah orang yang jujur dipunahkan? Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga (4:7-8).
Persoalan tentang penderitaan manusia yang begitu kompleks direduksi oleh Elifas dalam kesimpulan yang semena-mena: “Engkau menderita karena engkau telah berbuat dosa.”
Di satu sisi, Elifas benar. Kita hidup dalam dunia yang diatur menurut moral. Pengajaran umum bahwa kita menuai apa yang kita tabur, memang diajarkan dalam Mazmur 1 dan Galatia 6:7, “Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” Namun, di sisi lain, Elifas salah. Elifas keliru menyimpulkan bahwa semua penderitaan dalam hidup adalah akibat dari dosa kita. Elifas berusaha menjejalkan Ayub ke dalam kerangka berpikirnya, dengan menuduh Ayub diam-diam berbuat dosa dalam kehidupan pribadinya.
Dr. A. T. Pierson, yang menulis tentang masalah penderitaan dalam The Bible And Spiritual Life, mengingatkan kita bahwa tidak ada jawaban yang mudah:
• Ada penderitaan yang dialami karena kita hidup di dunia yang rusak oleh dosa.
• Terkadang kesusahan datang karena Allah sedang membangun karakter kita.
• Pergumulan lainnya lagi datang hanya karena kita adalah umat Kristen.
• Seperti duri dalam daging Paulus, terkadang
penderitaan mengajar kita untuk
mengandalkan kuasa Allah.
Sering kali, saat orang tengah menderita, bingung, dan bergumul dengan apa yang telah diajarkan kepada mereka tentang kasih Allah dan tragedi mereka sendiri, kita merasa perlu mengatakan sesuatu. Kita mengira perlu memberikan semacam penjelasan demi mengurangi penderitaan mereka. Padahal kita perlu menahan diri dari upaya menjelaskan sesuatu yang tidak mungkin dijelaskan.
Kita perlu menahan diri dari upaya menjelaskan sesuatu yang tidak mungkin dijelaskan. Ketika kita berusaha memberi jawaban yang hanya mungkin diberikan oleh Allah sendiri, kita sama saja menganggap diri kita Tuhan.
Ketika kita berusaha memberikan jawaban yang hanya mungkin diberikan oleh Allah sendiri, kita sama saja menganggap diri kita Tuhan.
Ada himne lama yang diawali dengan “Andai kita dapat melihat hari esok seperti yang Allah lihat.”
Namun, nyatanya kita tidak bisa. Maka, jawabanjawaban spontan dan mudah, yang kita berikan sebagai upaya membereskan kebingungan mereka yang tengah
menderita, justru semakin menambah penderitaan mereka! Kita harus berhati-hati jangan sampai kita
kebablasan dan menganggap diri kita Tuhan. Hanya Allah kita yang berdaulat dan pengasihlah yang mengetahui alasan-alasan penderitaan seseorang. Dialah satu-satunya yang mengetahui tujuan dan rancangan-Nya.
Orang-orang seperti Elifas ada juga di gereja-gereja abad ke-21. Meski bermaksud baik, mereka banyak dijumpai di rumah-rumah sakit, berlagak sebagai Tuhan dengan menjelaskan kepada orang-orang mengapa mereka mengalami semua kesusahan ini. Mereka mengutip ayat-ayat Kitab Suci dan berusaha menjelaskan hal-hal yang tidak dimengerti kepada para pasien yang tengah terbaring di ranjang penderitaan. Bukankah akan lebih bijaksana jika kita membiarkan Allah saja yang menjadi Allah?
Janganlah bersikap seolah-olah kita mengetahui pikiran Allah tentang alasan penderitaan orang lain. Janganlah menganggap diri kita Tuhan.
Jangan Berbasa-Basi
Kemudian Elifas memberitahukan sebuah kebenaran sederhana kepada Ayub, yaitu bahwa orang yang tidak bersalah, tidak akan menderita. Ia menggambarkan penglihatan yang diperolehnya pada waktu malam, yang membuktikan mengapa Ayub menderita—yaitu karena Ayub telah berbuat dosa.
Suatu perkataan telah disampaikan kepadaku dengan diam-diam dan telingaku menangkap bisikannya, waktu bermenung oleh sebab khayal malam, ketika tidur nyenyak menghinggapi orang. Aku terkejut dan gentar, sehingga tulang-tulangku gemetar. Suatu roh melewati aku, tegaklah bulu romaku . . . suara berbisikbisik kudengar: Mungkinkah seorang manusia benar di hadapan Allah, mungkinkah seseorang tahir di hadapan Penciptanya? (4:12-17).
Ayub, yang telah mengalami serangkaian kehilangan yang sangat menyakitkan, tidak membutuhkan nasihat yang didasarkan pada mimpi dan penglihatan. Ia membutuhkan penghiburan yang konkret, bukan perkataan basa-basi tanpa makna.
Pada tanggal 16 April 2007, di Amerika Serikat terjadi salah satu penembakan massal terburuk sepanjang sejarah. Virginia Tech, sebuah universitas di kota kecil Blacksburg, Virginia, berlokasi di lingkungan yang sangat tenang. Namun, saat kuliah tengah berlangsung di suatu pagi musim semi, mendadak saluran-saluran berita ramai menyiarkan “berita terkini”. Seorang mahasiswa, yang memiliki riwayat masalah emosional, memasuki dua gedung sambil membawa senjata dan memuntahkan serentetan tembakan hingga sebanyak kira-kira 170 kali. Ia menewaskan 32 siswa dan staf pengajar sebelum menembak dirinya sendiri. Aksi kekerasan yang membuat syok ini menghancurkan Senin pagi yang damai, dan
mendatangkan kepedihan dan keterkejutan yang tak terbayangkan.
Para konselor pun diminta membesarkan hati para staf kampus dan komunitas. Banyak orang yang hancur hatinya dan membutuhkan kata-kata penghiburan. Tak ada waktu untuk berbasa-basi atau memberi jawaban dangkal atas pertanyaanpertanyaan mendalam tentang kepedihan, penderitaan, dan kejahatan di dunia.
Teman-teman kita yang sedang menderita tidak membutuhkan basa-basi kita. Motivasi kita mungkin layak dikagumi, tetapi hati yang berkabung tidak tersentuh oleh perkataanperkataan klise.
Teman-teman kita yang tengah menderita juga tidak membutuhkan basa-basi kita. Motivasi kita mungkin layak dikagumi, tetapi hati yang berkabung tidak tersentuh oleh perkataan-perkataan klise seperti: “Allah yang paling tahu,” atau “Sekarang ia pasti sudah lebih bahagia,” atau “Pasti Allah mengambil anakmu karena Allah ingin ia jadi malaikat-Nya,” atau bahkan “Ingatlah, Roma 8:28 berkata Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan.”
Jika Anda benar-benar ingin tahu apa yang sebaiknya Anda katakan kepada orang yang sedang menghadapi
badai, bacalah wawasan yang Ayub sendiri berikan kepada teman-teman yang mengunjunginya.
Pantulkan Pengharapan
Ayub menginginkan alasan untuk berharap. Ia bertanya kepada teman-temannya:
Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup bertahan? (6:11).
Pada titik terendah hidupnya, Ayub memberi kita kiasan yang sangat jelas tentang kebutuhan dalam hatinya ini:
Saudara-saudaraku tidak dapat dipercaya seperti sungai, seperti dasar dari pada sungai yang mengalir lenyap, yang keruh karena air beku, yang di dalamnya salju menjadi cair, yang surut pada musim kemarau, dan menjadi kering di tempatnya apabila kena panas; berkeluk-keluk jalan arusnya, mengalir ke padang tandus, lalu lenyap. Kafilah dari Tema mengamat-amatinya dan rombongan dari Syeba mengharapkannya, tetapi mereka kecewa (6:15-20).
Ayub mengatakan ketiga temannya membuatnya kecewa seperti sungai yang mengering. Setelah sempat tinggal di Timur Tengah, saya dapat membayangkannya. Setiap hari saya dan istri berjalan kaki pagi-pagi sekali, supaya tidak kepanasan. Kami sering melewati sungai yang mengering seperti yang Ayub gambarkan.
Ia membutuhkan perkataan pengharapan yang menyegarkan, tetapi yang didengarnya hanya ucapan sekering padang gurun. Ia mengharapkan air yang menyegarkan, tetapi yang didapat malah kekecewaan.
Pendeta Bill Hybels, dalam bukunya Just Walk Across The Room (Zondervan, 2006, hlm. 162-163), menekankan bahwa orang yang tidak berpengharapan butuh mendengar perkataan pengharapan. Ia menawarkan saran-saran berikut:
• Bagi mereka yang merasa malu karena dosanya, “Kasih karunia dan pengampunan dapat kau alami.”
• Bagi mereka yang terikat oleh kebiasaan yang merusak, “Ketika sang Anak memerdekakanmu, kamu akan sungguh-sungguh merdeka.”
• Bagi yang lemah, “Kekuatan dari Allah sang Pemberi Kekuatan dapat menjadi milikmu ketika kamu memintanya.”
• Bagi yang lesu, “Yesus menjanjikan kelegaan bagi jiwamu.”
• Bagi yang miskin, semangat yang berlimpah.
• Bagi yang kekurangan, pemenuhan kebutuhan tepat pada waktunya.
• Bagi yang berkabung, belasungkawa dan penghiburan.
• Bagi yang sakit dan menjelang kematian, hidup yang kekal dan tubuh baru dalam kehidupan yang akan datang.
Semua itu bukanlah perkataan basa-basi yang kita
lontarkan sebagai jawaban mudah demi meredakan kesedihan orang lain. Ketika pengharapan nyaris hilang, perkataan seperti itu dapat menjadi hadiah tak ternilai bagi si penderita, jikalau disampaikan dengan sikap yang peka di saat yang tepat.
Di tengah dialog yang gelap dan membuat depresi bersama teman-temannya, Ayub menerobos kegelapan yang mengungkungnya dengan kata-katanya sendiri yang penuh pengharapan. Mungkin kita perlu menyampaikan perkataan ini saat kita melayani dengan penuh belas kasihan temanteman yang sedang menderita. Yang Ayub deklarasikan ini adalah pesan pengharapan yang paling efektif:
Aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain (19:25-27).
Demikianlah bacaan Kitab Suci yang layak kita simpan dan andalkan dalam pelayanan kita terhadap orang-orang yang tengah mengalami kesedihan.
Satu lagi ayat Kitab Suci yang dapat membantu ketika orang-orang yang kita kasihi menderita dan mempertanyakan Allah, adalah Matius 11:28. Persoalan hidup, kematian, dan kehilangan dapat mendorong orang mempertanyakan hikmat dan kasih Bapa kita di surga. Namun, Yesus menawarkan undangan ini kepada mereka, yang mungkin dapat Anda sampaikan ketika
waktunya sudah tepat:
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Ketika mereka yang menderita datang ke pelukan
Yesus yang kuat, mereka akan menemukan kelegaan yang telah Allah sediakan melalui salib, masa depan yang terjamin di surga, dan kehidupan bersama Allah dalam perjalanan mereka di bumi. Pertolongan terbesar yang dapat kita berikan kepada teman-teman kita ketika mereka melalui masa-masa sulit adalah menyerahkan mereka ke pelukan Allah kita yang bijaksana dan peduli. Di sanalah pengharapan ditemukan.
Berbicaralah dengan Lemah Lembut
Kepada ketiga penasihatnya, Ayub juga memberitahukan satu hal lagi yang ia butuhkan:
Siapa menahan kasih sayang terhadap sesamanya, melalaikan takut akan Yang Mahakuasa (6:14).
Ayub 6 memberi kita kesempatan untuk memandang ke dalam hati Ayub. Orang yang digambarkan sebagai “yang terkaya dari semua orang di sebelah timur” (1:3) kini dianggap orang yang paling menderita di seluruh negeri. Setelah mendengarkan dakwaan-dakwaan menyakitkan dari teman-temannya, Ayub merindukan perkataan yang lemah lembut tetapi apa adanya, yang berbelas kasih tetapi jujur.
Anda akan kesulitan menemukan kata yang lemah lembut dalam ucapan panjang-lebar ketiga teman Ayub.
Ekspresi paling mendekati kebaikan hati yang dapat saya temukan ada dalam Ayub 4, ketika mereka mengakui bahwa dulu perkataan Ayub telah menopang orang-orang yang tersandung dan bahwa Ayub telah menguatkan lutut yang goyah (AY.3-4).
Namun, Ayub mendambakan lebih dari itu, karena kepedihannya teramat dalam dan kesepian meliputinya seperti kabut pagi hari. Dengarkan dia:
Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, dan kenalan-kenalanku tidak lagi mengenal aku . . . Anak semang dan budak perempuanku menganggap aku . . . orang asing (19:13, 15).
Pantas saja Ayub merindukan kebaikan hati. Intinya ia ingin berkata, “Aku membutuhkan kebaikan hati, bukan perdebatan.”
Saya berduka ketika istri pertama saya meninggal dunia pada tahun 1979. Menjelang kematiannya karena kanker, bulan-bulan terakhir ia habiskan di atas ranjang rumah sakit, di kediaman kami di Indiana. Setiap hari, ada yang datang dari rumah perawatan untuk merawatnya. Teman-teman juga menunjukkan kasih mereka kepada keluarga kami melalui berbagai cara. Mereka mengirimkan makanan, menelepon, dan mengirimkan kartu. Sebagian besar pesan pada kartukartu itu sangat membesarkan hati. Orang-orang yang
pernah berkonsultasi dan ditolong oleh istri saya sebelum ia jatuh sakit, meluangkan waktu untuk menunjukkan
terima kasih mereka. Perkataan mereka lemah lembut dan penuh pengharapan, jenis ucapan yang Ayub rindukan tetapi tidak pernah ia dapatkan dari teman-temannya.
Jadi jika Anda ingin menjadi teman yang peduli, yang menyampaikan perkataan yang lemah lembut kepada seseorang yang sangat membutuhkannya, apa yang dapat Anda katakan? Perkataan yang datang dari hati Anda adalah yang terbaik. Misalnya, beritahukan bagaimana ia sudah menjadi teman yang baik bagi Anda. Ceritakanlah pengalaman kalian yang tak terlupakan. Beri tahu bahwa ia dapat mengandalkan Anda untuk melakukan apa saja yang ia atau keluarganya butuhkan. Katakanlah, “Aku mengasihimu!” Biarlah ia mengetahui bahwa ia dapat menghubungi Anda kapan saja. Ceritakanlah bagaimana ia pernah membantu Anda dalam kehidupan iman Anda. Tunjukkanlah kepedulian Anda.
Ada saatnya mengingat kenangan-kenangan manis dan memberi pengharapan rohani untuk masa depan. Namun, ada juga saatnya berbesar hati dan jujur kepada orang-orang yang tengah menderita.
Berbagilah dengan Jujur
Dalam 6:25, Ayub mengonfrontasi para pendakwanya dan menuntut “kata-kata yang jujur”.
Alangkah kokohnya kata-kata yang jujur! Tetapi apakah maksud celaan dari pihakmu itu?
Ayub ingin tahu, apa yang telah mereka temukan dalam kehidupan Ayub, yang menjadi penyebab penderitaan yang demikian parah. Kapan Ayub pernah berkata dusta?
Ketika orang-orang yang kita kasihi menderita, mungkin mereka serius mempertanyakan apa yang tengah menimpa mereka. Karena tragedi membuat emosi mereka kacau balau, penting sekali kita mendengarkan, peka terhadap perasaan mereka, dan membiarkan mereka memimpin percakapan. Bisa juga kita mencoba menanyakan dengan hati-hati, hal apa saja yang mereka pertanyakan. Apakah mereka menyimpan keraguan dan ketakutan tentang hal yang belum mereka ketahui?
Para pasien yang mengetahui penyakit mereka sudah mencapai stadium akhir mengakui ingin berbicara dengan seseorang tentang kondisi dan perasaan mereka. Mereka menginginkan teman yang akan bertanya tentang rasa takut mereka dan, ya, tentang keadaan mereka yang sebentar lagi akan meninggal. Mintalah agar Allah menunjukkan apakah sebaiknya Anda membawa perbincangan ke tingkat kejujuran yang demikian.
Misalnya, orang yang Anda kasihi sedang mengalami kesedihan akibat perceraian. Anda dapat hadir dengan telinga yang siap mendengarkan dan hati yang berbelas kasih. Namun, Anda juga bisa naik ke level berikutnya. Ayub menyatakan kata-kata yang jujur bisa menyakitkan (6:25). Dan Salomo menulis, “Seorang kawan memukul dengan maksud baik” (AMSAL 27:6). Jadi, perkataan macam
apakah yang bisa dianggap tulus pada bulan-bulan pertama pemulihan setelah perceraian? Perkataan seperti:
• “Sekarang kamu sedang dalam posisi sangat rentan, baik jasmani maupun emosional. Jagalah hati, pikiran, dan tubuhmu.”
• “Mungkin sebaiknya kamu tidak terburu-buru mengambil keputusan soal keuangan atau tempat tinggal.”
• “Kamu perlu siap menghadapi kebingungan dalam kehidupan anak-anakmu ketika mantan pasanganmu mengunjungi mereka.”
Mereka yang sedang dalam situasi menyakitkan membutuhkan perkataan yang jujur dan menolong dari teman sejati. Menghindar dari kebenaran sering menciptakan ketegangan yang tidak perlu.
Saya ingat ketika anak-anak kami masih kecil dan nenek mereka terbaring lemah karena kanker. Kami mengajak mereka menempuh perjalanan jauh untuk mengunjungi nenek. Yang membuat kunjungan itu sangat sulit adalah, tak seorang pun berbicara jujur dan terbuka kepada Nenek tentang penyakitnya serta kematian yang menantinya. Diskusi-diskusi di samping tempat tidur Nenek berkelit dari kebenaran dan hanya ucapan basabasi. Tak seorang pun ingin membicarakan masalah yang paling penting itu.
Namun, di dapur di lantai bawah, percakapan jujur tentang kematian dilakukan dengan bisik-bisik. Putra kami yang ketika itu berusia 7 tahun mendengar ucapan,
“Nenek akan meninggal.”
Dan dalam kepolosan
kanak-kanaknya, ia naik
ke lantai atas ke kamar
tidur neneknya dan berkata, “Kakek bilang, Nenek akan meninggal.”
Allah memakai anak kecil itu untuk menjadi pemberita kebenaran.
Walaupun bukan dengan cara terbaik, kebenaran terungkap.
Air mata mengalir, kami berpelukan, tapi
setidaknya kami dapat
berbicara jujur. Kami telah
Mereka yang sedang dalam situasi menyakitkan membutuhkan perkataan yang jujur dan menolong dari teman sejati.
Menghindar dari kebenaran sering menciptakan ketegangan yang tidak perlu.
memasuki dunia realitas dan bisa menangani persoalan yang ada dengan cara terbuka, mengasihi, dan peka.
Anak-anak dapat dimaklumi ketika dengan tidak sengaja melontarkan kebenaran. Di lain pihak, kita membutuhkan pertolongan Tuhan untuk belajar memberikan perkataan yang jujur untuk membantu
teman-teman kita yang sedang menderita di tengah harihari sulit yang mereka jalani.
TUJUH
Menghadapi Misteri Penderitaan
Hidup ini ditandai oleh peristiwa-peristiwa penderitaan, baik kecil maupun besar.
Sebagian (seperti badai atau gempa bumi), adalah bencana alam yang mempengaruhi seluruh komunitas dengan kehilangan, perkabungan, serta dukacita. Yang lain (seperti Holocaust, pembantaian massal terhadap orang Yahudi) adalah buah kejahatan manusia yang berdampak mendalam terhadap dunia. Lalu ada yang lain lagi, yaitu penderitaan yang sangat pribadi, yang mempengaruhi individu atau sebuah keluarga.
Dalam semua kasus ini, ada satu benang merah, yakni pergumulan untuk memahami penderitaan dan mengapa penderitaan terjadi.
Kalau saja pasal-pasal penutup kitab Ayub memberi jawabannya. Jika Anda membaca kitab Ayub hingga pasal 38, ketika Allah akhirnya berbicara, Anda mengharapkan semacam jawaban pasti atas masalah penderitaan manusia. Namun, sebagai gantinya, kisah Ayub tiba-tiba seperti berbelok. Bukannya memberi jawaban, Allah hanya mengajukan pertanyaan seputar ilmu pengetahuan, yang antara lain meliputi zoologi, astronomi, dan meteorologi.
Ayub berdiri di hadapan Allah yang mahakuasa dalam keheningan kelu. Ia ingin mengetahui “Mengapa?” tetapi
Allah malah menjawab dengan “Siapa.”
Pelajaran bagi Ayub (dan kita) adalah begini:
Jika Allah dapat mengelola alam semesta dengan cara demikian spektakuler, kita dapat mempercayakan misteri-misteri kehidupan yang tak dapat dijelaskan dan membingungkan kepada kasih dan hikmat-Nya.
Bacalah Ayub 38 dan 39
ketika Anda menghadapi misteri penderitaan.
Jika Allah dapat
mengelola alam semesta dengan cara demikian spektakuler, kita dapat mempercayakan misteri-misteri kehidupan yang tak dapat dijelaskan dan membingungkan kepada kasih dan hikmat-Nya.
Dan ketika Anda mendengarkan pertanyaanpertanyaan mereka yang tengah melalui masa-masa sulit, percayalah Allah dapat menjadi Penghibur terbaik.
DELAPAN
Mengulurkan Tangan
Kisah Ayub berakhir dengan ketiga
temannya ditegur Allah, dan Ayub sendiri
dipulihkan dengan menakjubkan. Ayub mendoakan penghibur-penghibur yang telah begitu mengecewakannya. Lalu Allah mengubah keadaan
Ayub dengan memberinya “dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu” (42:10). Sepuluh anak lagi
dilahirkan bagi Ayub dan seruan gembira mereka memenuhi ruang-ruang di perkebunan Ayub. Sungguh akhir yang sangat baik bagi 41 pasal yang penuh dengan kesengsaraan!
Lalu bagaimana akhir kisah Ayub menolong kita
melayani teman yang menderita kehilangan besar? Ayub mendapatkan kembali kawanan ternak dan keluarga baru. Apakah hal itu mengindikasikan bahwa kita dapat menjanjikan akhir yang bahagia bagi semua orang?
Pasal yang hebat tentang iman dalam Ibrani 11 dapat membantu kita menjawab begini: Sebagian “luput dari mata pedang” (AY.34) dan sebagian “dibunuh dengan pedang” (AY.37). Sebagaimana halnya ada misteri dalam penderitaan, ada misteri juga dalam pemulihan.
Kita tidak tahu apa yang akan Tuhan karyakan di masa depan bagi teman atau orang terkasih yang sedang
bergumul tersebut. Namun, kita dapat membesarkan hati mereka dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan dan menggunakan perkataan pengharapan, berbelas kasih, serta jujur.
Jadi ketika seseorang membutuhkan, pergilah kepada mereka yang tengah bergumul. Pergilah dengan yakin. Pergilah dengan telinga yang siap mendengarkan. Dan pergilah dengan didorong oleh janji Yesus:
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (MATIUS 25:35-40).
Ketika Anda mengulurkan tangan kepada orang-
orang yang diliputi kesedihan dengan belas kasih serta kepedulian Kristus, Anda menawarkan kasih-Nya
sendiri. Sesungguhnya, ketika Anda melayani orang yang menghadapi penderitaan, Anda melayani Dia.

KEKUATAN DALAM KELEMAHAN
DAN SCHAEFFER
KEKUATAN DALAM KELEMAHAN
KUASA ALLAH SAAT KITA DI TITIK TERENDAH
Tidak banyak hal di dunia ini memiliki
kekuatan yang sanggup mengubah hidup
kita secara dahsyat. Meski begitu, toko buku juga iklan televisi dan radio sarat dengan
janji semacam itu. Judul-judul seperti Nothing Changes
Until You Do, Think and Grow Rich, The Power of Now, The 48 Laws of Power, dan masih banyak lagi. Hasrat kita untuk meningkatkan kualitas diri sangat besar. Mengapa? Karena kita memiliki segudang kelemahan yang sangat ingin kita ubah menjadi kekuatan.
Pada halaman-halaman berikut, pengarang Dan Schaeffer menantang kita dengan gagasan bahwa jalan menuju kekuatan sejati mungkin ditempuh melalui cara yang tidak kita duga. Dalam kehidupan Kristen, menjadi lemah mungkin menyimpan makna melebihi yang kita kira.
Menerima Kenyataan
Pengarang sekaligus pengusaha Harvey
Mackay bercerita tentang bocah sepuluh tahun
bernama Mark. Meskipun telah kehilangan lengan kirinya dalam kecelakaan lalu lintas, Mark ingin berlatih judo.
Mark memulai latihannya dengan master judo sepuh berkebangsaan Jepang. Semua berjalan lancar. Tiga bulan berlalu, tetapi ia hanya diajari satu jurus. Jadi ia bertanya kepada gurunya. “Ini satu-satunya jurus yang perlu kamu pelajari,” demikian jawaban sang guru. Bingung, tetapi tetap percaya kepada gurunya, Mark terus berlatih dan beberapa bulan kemudian ia mengikuti kejuaraan pertamanya. Mark terkejut ketika memenangi dua pertandingan pertama. Pertandingan ketiga lebih sulit, tetapi lawannya segera menjadi tidak sabar dan maju menyerang. Mark dengan sigap mengeluarkan jurus tunggalnya dan memenangi pertandingan. Ia tiba di babak final, tetapi kali ini lawannya lebih besar, lebih kuat, dan jauh lebih berpengalaman. Mark gugup, dan hal ini terlihat selama pertandingan. Karena prihatin dengan keadaan Mark, wasit memutuskan memberi jeda sejenak. Ia baru saja hendak menghentikan pertandingan yang tampaknya berat sebelah ketika pelatih Mark
menyela, “Biarkan ia lanjut.”
Pertandingan diteruskan, dan lawan Mark membuat kesalahan besar. Seketika itu juga, Mark meluncurkan jurusnya untuk mengunci lawan, memenangi pertandingan, dan keluar sebagai juara. Dalam perjalanan pulang, Mark menelaah semua pertandingan dan jurusnya dengan sang guru, dan akhirnya memberanikan diri bertanya: “Bagaimana mungkin saya menjuarai turnamen hanya dengan satu jurus?”
“Kamu menang karena dua alasan,” jawab si master judo. “Pertama, kamu nyaris menguasai salah satu jurus bantingan paling sulit dalam judo. Kedua, satu-satunya cara menangkal jurus ini adalah jika lawan meraih lengan kirimu.”1
Kelemahan Mark justru menjadi kekuatan terbesarnya. Kita semua memiliki segudang kelemahan yang sangat ingin kita hilangkan. Kita bergumul perihal hubungan.
Kita sadar rumah tangga kita bisa lebih baik. Kita tidak selalu menjadi orangtua yang kita kehendaki. Anak-anak kita agaknya selalu berhasil memancing sifat terburuk kita. Kelemahan kita
kian menjadi-jadi hari lepas hari, dan yang lebih buruk, kita menyaksikan kelemahan ini dalam diri anak-anak kita. Kita merasa kalah dan tak berdaya. Kita sadar
Kita semua memiliki segudang kelemahan yang sangat ingin kita singkirkan.
keadaan bisa lebih baik jika saja kita berubah . . . tetapi kita tidak sanggup melakukannya.
Di dunia kerja, banyak dari kita dengan resah menyadari bahwa kita tidak secakap atau semahir yang kita kira. Orang lain lebih unggul daripada kita.
Bertahun-tahun kita berupaya membendung pikiran kotor dan mengejar kekudusan tanpa kemajuan berarti.
Kita dihantui perasaan bersalah setiap kali bergunjing, tetapi agaknya tidak sanggup berhenti. “Berbohong demi kebaikan” membuat kita
terlihat dan terdengar
lebih baik, dan kita terbiasa melakukannya tanpa pikir panjang.
Kita ingin merasa berani dan kuat.
Jasmani kita rapuh. Diabetes, gangguan jantung, nyeri punggung, gangguan pencernaan, melemahnya otot saluran kemih, migrain, persendian yang aus, penglihatan yang memburuk, dan banyak lagi gangguan kesehatan lain telah melemahkan kita. Kejiwaan kita semakin rapuh; stres dan kecemasan menyiksa kita. Halhal kecil semakin mengganggu, dan daya tahan kejiwaan kita menurun lebih cepat ketimbang sebelumnya.
Kelemahan membuat kita gentar; kita ingin merasa berani dan kuat. Anggapan umum berkata, kelemahan sama dengan kurangnya kekuatan.
Cara berpikir ini tampak jelas dan masuk akal. Namun, ini keliru. Sudut pandang alkitabiah perihal kelemahan justru bertolak belakang dengan anggapan ini, dan ada
keuntungan yang luar biasa di dalamnya. Bagi orang Kristen, kelemahan tidak sama dengan kurangnya
kekuatan. Bahkan, kita perlu memahami dan menerima kerangka berpikir yang baru: kelemahan kita justru adalah peluang untuk mengalami kuasa Allah!
1 Harvey Mackay, “Weakness can be a great motivator”, Orange County Register, 27/3/2000.
Menyelaraskan Sudut Pandang
Senang dan Rela . . . dalam Apa?
Rasul Paulus menemukan pendekatan yang
jitu, memerdekakan, dan mengubahkan hidup untuk mengalami kuasa ajaib Kristus dalam hidupnya. Kita membacanya dalam suratnya kepada jemaat di Korintus.
Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena
Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.
(2 KORINTUS 12:9-10, PENEKANAN DITAMBAHKAN).
Perhatikan bahwa Paulus tidak hanya berkata dirinya “rela” di dalam kelemahan itu, seolah-olah maksudnya “Saya terima saja kelemahan ini, toh saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Ia mengatakan “senang dan rela.” Bagaimana bisa dirinya (atau siapa pun juga) senang dan rela di dalam
kelemahan? Terlebih lagi, bagaimana mungkin Paulus menegaskan, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat?”
Kelemahan dan kekuatan saling berlawanan. Ini seperti berucap, “Ketika saya kepanasan, maka saya kedinginan” atau “Ketika saya gembira, maka saya sedih.”
Kata Yunani yang sama digunakan dalam Matius 17:5
dan Lukas 3:22. Ketika Yesus dibaptis dan dimuliakan, Allah berfirman dari surga dan bersabda, “Inilah AnakKu yang Kukasihi. Ia menyenangkan hati-Ku” (BIS).
Paulus menegaskan dirinya “senang dan rela” di dalam kelemahannya dengan menggunakan kata yang sama seperti dalam sabda Allah Bapa atas Yesus ketika Dia berfirman bahwa Yesus “menyenangkan” hati-Nya.
Bagaimana Jika . . .
Bagaimana jika jalan menuju kekuatan sejati, yakni kuasa
kebangkitan Kristus dalam hidup kita, tidak diperoleh dengan berupaya lebih keras, melainkan justru dengan berhenti berusaha jadi lebih kuat? Bagaimana jika kuasa
Allah dapat dinyatakan dalam hidup Anda melalui caracara yang tidak pernah Anda bayangkan? Bagaimana jika caranya bukan dengan berupaya sekuat tenaga untuk mengatasi kelemahan Anda? Bagaimana jika caranya justru dengan mengakui semua kelemahan itu dan tidak menghalangi upaya Allah, mengizinkan Dia menyatakan kuasa-Nya melalui semua kelemahan Anda? Bagaimana jika kelemahan-kelemahan Anda adalah sarana yang memang ingin dipakai Allah untuk menyatakan kuasa-Nya?
Sesungguhnya
inilah yang berulang
kali diajarkan Alkitab.
Itulah alasan Allah
tidak menyingkirkan
kelemahan Paulus, dan
mungkin alasan Dia tidak
menghapus kelemahan kita. Meski terdengar
sangat aneh, bermegah
dalam kelemahan adalah
jalan hidup orang Kristen.
Bagaimana jika jalan menuju kekuatan sejati, tidak diperoleh dengan berupaya lebih keras, melainkan justru dengan berhenti berusaha jadi lebih kuat?
Dunia mengajarkan, “Rengkuh kekuatanmu; kalahkan kelemahanmu.” Namun, dalam Alkitab kita diajar untuk merengkuh kelemahan.
Melalui kelemahan, kita mengalami kuasa yang hanya
dapat kita alami lewat cara ini. Kuasa ini bukan berasal dari kita, melainkan bersumber pada kuasa Kristus yang bangkit. Paulus menghendaki jemaat di Korintus
mengalami kuasa Allah sehingga mereka hanya akan dipuaskan oleh kuasa itu dan bukan yang lain.
Para Pahlawan Iman yang Lemah: Kita Tidak
Sendirian!
Mari simak apa yang disampaikan Paulus ketika menulis kepada jemaat di Korintus.
Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak
banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.
Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah (1 KORINTUS 1:26-29).
Banyak umat Allah tidak berasal dari kaum yang kuat dan berkuasa. Meski tidak terdengar seperti pujian, ini justru menyemangati. Ini artinya kita benar-benar membutuhkan kuasa Kristus dalam hidup, untuk menjadi saksi yang efektif dan berdampak bagi-Nya di dunia. Ini berarti kita menjadi bagian dari apa yang lemah tetapi yang telah dipilih Allah. Pada dasarnya, ini artinya kuasa Allah bertolak dari kelemahan kita—bukan kekuatan kita.
Sejumlah murid pertama Yesus tidak berasal dari kalangan atas atau elite agama maupun politik. Kecuali segelintir di antaranya, mereka yang disebutkan menjadi pengikut Kristus atau menerima keselamatan adalah mereka yang datang dari golongan yang tidak disangkasangka—nelayan, orang Zelot, pemungut cukai, pelacur, pezina, dan orang Samaria.
Bukan hanya Paulus yang mengalami kuasa Allah di dalam kelemahannya. Sepanjang Alkitab, kita
menyaksikan orang-orang yang kelemahannya justru dijadikan Allah sebagai sarana untuk menyatakan kuasaNya dan mengerjakan hal-hal yang sangat luar biasa. Yusuf dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya, menjadi hamba Potifar, kemudian menjadi tawanan di penjara Firaun (KEJADIAN 37; 39–41). Rasanya hampir semua orang sepakat itu bukanlah posisi yang menguntungkan.
Daud gembala belia tanpa latar belakang militer, bahkan tubuhnya sangat mungil sehingga baju zirah Saul kebesaran untuknya. Meski begitu, Allah memakai Daud untuk mengalahkan salah satu pahlawan perang terhebat masa itu, Goliat. Simak gambaran mengenai Goliat (1 SAMUEL 17) dan camkanlah, Daud mengalahkannya hanya dengan ketapel dan batu umban!
Daniel dan ketiga kawannya—Sadrakh, Mesakh, dan Abednego— menjadi budak di negeri asing. Mereka berada di bawah kekuasaan raja yang berperangai labil dan egois. Gua yang dipenuhi singa lapar (DANIEL 6) dan perapian yang menyalanyala (DANIEL 3) bukanlah posisi yang berpengaruh maupun berkuasa.
Sepanjang Alkitab, kita menyaksikan orang-orang yang kelemahannya justru dijadikan Allah sebagai sarana untuk menyatakan kuasa-Nya dan mengerjakan halhal yang sangat luar biasa.
Paulus ingin mengalami kuasa Kristus, ingin sepenuhnya menyaksikan dan merasakan karya Allah dalam hidupnya. Ia ingin mengetahui bahwa Allah bekerja melalui kelemahannya untuk menggenapi karya luar biasa bagi kerajaan-Nya, sehingga hanya Allah yang memperoleh pujian dan kemuliaan. Ia bahkan rela melepas permohonannya supaya duri dalam dagingnya disingkirkan, karena “upah”-nya untuk itu adalah mengalami kuasa Kristus.
Seberapa banyak dari kita yang sanggup berucap bahwa kita telah sepenuhnya dan sungguh-sungguh mengalami kuasa Kristus? Banyak dari kita yang kesulitan untuk sekadar memahami maknanya.
Dia Sanggup, Bukan Saya
Jika saya merasa cukup siap mengerjakan sebuah tugas, saya tidak akan bergantung kepada kuasa Kristus untuk menolong saya. Ketika saya tidak merasa lemah, ketika saya tidak menyadari bahwa saya sesungguhnya tidak berdaya, saya tidak mencari kuasa Kristus. Inilah sisi buruk anggapan kita mengenai kekuatan sendiri; anggapan ini dapat menghalangi kuasa Kristus mengalir kepada kita. Saya sanggup membuat rumah tangga saya berhasil; saya sanggup membesarkan anak-anak yang mengasihi Allah; saya sanggup mengerjakan pelayanan dengan efektif; saya sanggup meraih keberhasilan dalam hidup; saya sanggup mengatasi kebobrokan moral saya; saya sanggup menggapai semua cita-cita dalam hidup. Saya sanggup . . .
Selama mengira kita sanggup mengerjakan sesuatu dengan kekuatan sendiri, Allah akan undur diri dan
Mempersiapkan diri untuk mengerjakan tugas itu penting. Bahkan ini menunjukkan bahwa kita bertanggung jawab atas apa yang Allah anugerahkan kepada kita. Meski begitu, tatkala kita hanya mengandalkan persiapan ini, kita tidak menyisakan ruang atau peluang bagi Allah untuk menyatakan kuasa-Nya. Dia meminta kita bersiap sebagai bagian dari sikap mengandalkan diri-Nya.
membiarkan kita mengupayakannya.
Untuk apa orang
cerdas (Paulus termasuk
salah satunya) bermegah
atas kelemahan mereka?
Mereka justru menyoroti
hal-hal yang sangat
ingin kita sembunyikan.
Paulus bermegah
Sebagian besar
kelemahan kita adalah rahasia yang kita simpan rapat-rapat, yang telah diketahui
seluruh dunia.
karena menyadari sesuatu yang perlu kita pelajari, yaitu
kelemahan kita adalah saluran yang acap kali dipakai
Allah untuk menyatakan kuasa-Nya dalam hidup kita.
Sangatlah sukar, bahkan menyakitkan, untuk mengakui
bahwa kita bukan pasangan (atau orangtua atau anak atau rekan kerja atau kawan) yang baik, atau bahwa kemampuan
kita tidak sehebat yang kita yakini. Sebagian besar
kelemahan kita adalah rahasia yang kita simpan rapat-rapat, yang telah diketahui seluruh dunia. Coba pikirkan dalam
hal apa saja kita merasa perlu menunjukkan kekuatan
kita. Hal pertama yang perlu dipelajari (atau diingat) adalah, bahwa kelemahan bukan kegagalan. Kelemahan hanya kelemahan, dan kita semua mempunyainya.
Kita mungkin mengira bisa menutup rapat-rapat kelemahan kita. Namun sesungguhnya, kelemahan akan terungkap dengan cara tidak terduga dan sering kali dapat dikenali dengan mudah oleh orang lain, meskipun kita telah berupaya sekuat tenaga untuk menyembunyikannya.
Ingatlah bahwa kelemahan dan kuasa hadir bersisian dalam hidup Paulus. Hal yang sama juga dialami Tuhan
kita. Kelemahan dan kuasa hadir dalam hidup Yesus secara bersamaan. Bukankah salib adalah contoh terbaik
dari kuasa yang disempurnakan melalui kelemahan?
“Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (FILIPI 2:8).
Yesus mengalami keterbatasan dan kelemahan yang hadir bersama natur-Nya sebagai manusia. Injil mencatat bahwa Dia lapar, haus, lelah, dan mengalami tekanan, penderitaan batin, kesakitan jasmani, dan kelemahan terbesar, yakni kematian.
Mari kita telusuri pernyataan lain Rasul Paulus, yang bertentangan dengan akal sehat dan anggapan umum.
“Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku” (2 KORINTUS 11:30). Ayat ini tidak mudah dimengerti. Apakah Paulus sedang menggunakan hiperbola? Apakah ia menuliskannya hanya supaya pembaca terkesan?
Tujuan Paulus bukan untuk menarik perhatian kepada kekurangannya (atau kerendahan hatinya), melainkan untuk menyorot tempat yang paling menonjolkan kehadiran kuasa Allah. Allah telah mengajar Paulus bahwa kuasa-Nya tampak jelas dalam kelemahannya, dan Paulus ingin mengalami kuasa Allah.
Sebagian besar dari kita tidak keberatan mengakui segelintir kelemahan, karena kelemahan-kelemahan
tersebut tidak mengancam harga diri atau kemandirian kita.
“Saya bukan atlet seperti dulu.”
“Saya sedikit lebih berat ketimbang dulu.”
“Ingatan saya tidak sebaik dulu.”
Pengakuan-pengakuan ini sangat umum dan (nyaris) mudah, biasanya diutarakan sambil tersenyum. Selama kita merasa cukup kuat atau kompeten di bidang lain— biasanya di bidang yang kita anggap lebih penting—kita tidak merasa terancam ketika mengakui kelemahan di bidang yang “umum” ini. Namun, ada dua hal yang perlu kita perhatikan. Di satu sisi, ini hanya sekadar kerelaan untuk mengakui
kelemahan. Berbeda dengan Paulus, yang
berbicara perihal bermegah atasnya. Ia sengaja
membeberkannya di muka umum demi sebuah tujuan, bahkan dengan semacam kebanggaan yang tak lazim. Di sisi lain, kelemahan-kelemahan tersebut umumnya tidak punya hubungan yang kuat dengan jati diri atau harga diri kita.
Sebagian besar dari kita tidak keberatan mengakui
segelintir kelemahan, karena kelemahankelemahan tersebut tidak mengancam harga diri atau kemandirian kita.
Mengapa kita sulit mengakui—terlebih lagi bermegah atas—kelemahan terdalam dan mendasar kita? Bisa jadi karena kita merasa ini mengancam citra diri kita. Sebagian besar dari kita, bahkan mungkin semua, menggunakan citra diri sebagai pelindung ego. Namun, Paulus mengingatkan dalam suratnya kepada jemaat di Roma bahwa hikmat diawali dengan berpikir benar tentang diri sendiri. “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing” (ROMA 12:3). Kita menyembunyikan kelemahan diri sendiri dari orang lain karena berpikir kelemahan ini akan mempengaruhi pandangan orang terhadap kita. Kita ingin menampilkan kesan yang baik, dan kita pikir Allah menghendaki kita merasa kuat karena kita orang Kristen!
Gagasan terakhir tadi adalah buah kesalahpahaman yang jamak terjadi atas ayat tersohor: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan
Penting sekali Paulus menyinggung kasih karunia di Roma 12:3. Hanya melalui kasih karunia Allah, Paulus sanggup memandang dirinya sendiri dan menyemangati orang lain untuk berbuat serupa, dengan cara yang benar. Jika bergantung kepada kekuatan diri sendiri, kita tidak akan sanggup melakukannya.
kepadaku” (FILIPI 4:13). Bagian yang cenderung kita perhatikan adalah “Segala perkara dapat kutanggung”, dan bukannya “di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”. Saya rasa banyak dari kita memiliki sikap “serba bisa”, sehingga perhatian kita tersedot kepada bagian pertama ayat ini dan bingung dengan bagian keduanya. Kita mengira, sebagai orang Kristen, kita harus lebih kuat daripada kebanyakan orang—lagi pula, kita mempunyai Allah di pihak kita, ditambah lagi
dengan Alkitab dan gereja.
Meski begitu, satu-satunya kesempatan Paulus berujar “maka aku kuat” adalah persis setelah ia berucap, “Sebab jika aku lemah.” Barangkali kita tidak merasa lemah, dan mungkin tidak tampak lemah, tetapi justru itulah yang kerap menjadi masalah kita yang terbesar.
Jika kita merasa kuat karena kekuatan sendiri, kita tidak akan menjumpai apa pun ketika berusaha mencari kuasa Allah dalam hidup kita. Tatkala keberhasilan kita dengan mudah dapat dijelaskan dengan merujuk kepada pelatihan, metode, kecakapan, ataupun keadaan kita sendiri, bisa jadi hasilnya mungkin tidak meyakinkan, karena semua itu tidak menyatakan kuasa Allah dengan lantang. Allah tidak sedang menanti kita menjadi lemah.
Allah menanti kita untuk menyadari, mengakui, dan menerima kelemahan kita, kemudian memohon kuasaNya dan menyaksikan Dia bekerja. Ini tidak mudah; ini artinya kita harus melepas sejumlah tabiat lama dan menyerap tabiat baru.
Tatkala sebuah situasi
muncul dalam hidup
kita yang bisa berupa
masalah, tantangan, atau
musibah, kita biasanya menanggapi dengan
cara tertentu. Kita telah
membangun kebiasaan yang mungkin tidak
disadari. Mari tengok
sejumlah respons tersebut.
Sebelum memulai sesuatu
yang berbeda, kita
perlu terlebih dahulu
mempelajari bagaimana mengubah reaksi pertama
kita.
Allah tidak sedang menanti kita menjadi lemah.
Allah menanti kita untuk menyadari, mengakui, dan menerima kelemahan kita, kemudian memohon kuasa-Nya dan menyaksikan Dia bekerja.
Bagaimana respons kita? Sebagian menanggapi
dengan negatif :
Saya menyerah!
Saya tidak siap untuk hal ini.
Saya tidak bakal bertahan melewati ini.
Saya akan hancur gara-gara ini.
Saya bakal gagal!
Ini mustahil!
Saya tidak bisa mengatasi ini.
Saya tidak sanggup melakukan ini.
Sebagian menanggapi dengan positif : Saya sanggup mengatasi ini.
Ini tidak akan mengalahkan saya.
Saya akan menemukan jalan keluar.
Saya yakin akan diri saya.
Saya kuat!
Ini cuma rintangan kecil.
Saya tidak akan gagal!
Saya akan bertahan!
Kita masing-masing memiliki reaksi bawaan saat menghadapi berbagai situasi. Sebagian kita bersikap positif, jenis yang sanggup mengatasi apa pun. Sebagian lagi bersikap negatif, jenis yang merasa tidak sanggup mengatasi apa pun. Sebagian menanggapi berbekal keyakinan atas kemampuan mereka; sebagian lainnya menanggapi dengan sikap skeptis dan ragu. Anehnya, tidak satu pun reaksi tersebut yang benar.
Itu karena reaksi tersebut berfokus kepada diri sendiri, bukan kepada Allah dan apa yang akan dikerjakanNya di tengah situasi ini. Kedua reaksi ini sulit untuk diatasi. Jika Anda terbiasa untuk berhenti, menyerah, membayangkan kegagalan dalam setiap upaya Anda, pandangan Anda akan senantiasa tertuju kepada kelemahan
Anda, dan bukan kuasa-Nya. Ketika Anda terbiasa berpikir positif, meyakini diri sendiri dan kemampuan
Anda meraih keberhasilan, pandangan Anda senantiasa tercurah kepada kekuatan Anda, dan bukan kuasa-Nya.
Dalam kedua situasi ini, kita mencari jawaban atas ujian
atau tantangan tersebut dari diri sendiri. Kita melupakan Allah dan kuasa-Nya yang tersedia bagi kita.
Di saat terlemah kita, Allah sanggup menolong dengan cara yang dahsyat, dan di saat terkuat kita, Dia sanggup mengerjakan yang jauh lebih besar daripada yang sanggup dilakukan oleh kekuatan dan kemampuan manusiawi kita yang terbatas. Bagaimanapun kita mungkin merasa, atau sekuat apa pun kita berupaya, kita sesungguhnya lemah dan tak berdaya di hadapan
Allah yang Mahakuasa. Apa pun reaksi awal kita terhadap kelemahan atau tantangan, jika yang pertama-tama dan terutama bukanlah mencari Dia dan kuasa-Nya, kita perlu berubah.
EMPAT
Menyadari
Kuasa Allah
Harry Houdini menjadi tenar karena
sanggup meloloskan diri dari borgol, sel penjara, dan semua perangkap yang dirancang untuk menawan dirinya. Dalam berbagai kesempatan ia sesumbar tidak ada sel tahanan yang sanggup menahannya. Ia tidak pernah gagal. Ia selalu dapat meloloskan diri.
Yah, hampir selalu.
Konon pada suatu kesempatan, Houdini masuk sel tahanan seperti yang biasa dilakukannya. Pihak berwenang menutup pintu sel lalu meninggalkannya. Seorang diri, ia melakukan yang sudah dilakukannya berulang kali sebelumnya: ia menarik logam tipis yang kokoh dari sabuk dan mulai mengotak-atik lubang kunci. Namun, kali ini pintu sel tidak mau membuka.
Kuncinya tidak bergeser. Houdini bekerja dengan tekun, mengerahkan seluruh pengetahuan mengenai kunci dan cara kerjanya. Dua jam kemudian, dengan merasa putus asa dan gagal, ia menyerah. Kuncinya tidak mau bergerak juga. Houdini yang Hebat akhirnya gagal. Mengapa? Apa yang salah?
Si penjaga sebenarnya lupa mengunci pintu sel itu.
Houdini hanya perlu mendorong pintu sel hingga terbuka. Satu-satunya tempat pintu sel itu terkunci
hanyalah di benak Houdini.
Terdengar tidak asing? Pikirkan mereka yang berupaya sekuat tenaga untuk menemukan kuasa Allah dalam hidup mereka. Mereka menyisir cara demi cara untuk mengalami kuasa Allah tetapi tidak pernah berhasil membuka
kunci gerbang yang menyimpan kuasa Allah di baliknya. Akhirnya, dengan putus asa mereka berhenti, mengira kuasa Allah sulit diraih dan hanya dimaksudkan bagi segelintir orang terpilih, atau bagi mereka yang hidup pada zaman dulu, atau hanya dapat dinikmati melalui sejumlah cara yang tak sanggup mereka pahami.
Bukan hal sepele bagi murid Kristus untuk mengakui bahwa mereka tidak mengalami kuasa Allah dalam hidup mereka. Ini bisa dianggap memalukan. Meski begitu, janji akan kuasa jalin-menjalin di seluruh Perjanjian Baru, mengingatkan kita kepada sumber daya yang telah Allah sediakan bagi setiap orang Kristen—satu-satunya sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup berkemenangan.
Banyak anggapan umum mengenai kuasa hanya akan membingungkan kita dalam upaya kita mencari kuasa
Allah. Gagasan manusia perihal kuasa hampir sepenuhnya berkaitan dengan kekuatan jasmani, sumber daya fisik, atau
Janji akan kuasa
jalin-menjalin di seluruh Perjanjian Baru.
perwujudan potensi yang luar biasa. Saat memikirkan tentang kuasa, acap kali yang muncul adalah kuasa yang
digunakan untuk meraih hasrat pribadi, entah berupa perundung yang menggunakan ototnya, guru besar yang mengandalkan pengetahuannya, atau usahawan yang memanfaatkan isi dompetnya.
Karena pikiran kita yang demikian itu, kuasa Allah pun acap kali disalahpahami. Dengan kata lain, kita cenderung memandang kuasa Allah dari kacamata kekuatan jasmani, pengetahuan yang luas, atau sumber daya melimpah yang dimiliki-Nya. Namun, kuasa Allah dinyatakan dalam kesanggupan-Nya menggenapi kehendak-Nya dalam segala situasi, baik yang sedang maupun yang akan terjadi, dengan cara apa pun yang dipilih-Nya demi kemuliaan-Nya. Kuasa Allah berpusat pada kehendak dan kemuliaan-Nya. Kita hanya perlu mengetahui ke mana harus mencari.
Kuasa-Nya mengubahkan. Pada dasarnya, Perjanjian Baru berisi untaian perubahan—perubahan dalam diri manusia dan pada akhirnya, perubahan dalam peradaban. Kekristenan tidak dimulai dari orang-orang berkuasa. Pada tahun-tahun awal terbentuknya gereja, orang Kristen tidak disukai, dianiaya, dan dipandang miring. Meski begitu, 300 tahun kemudian Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. Jika kita tidak menyaksikan kuasa Allah dalam peristiwa tersebut, kita melewatkan salah satu perwujudannya yang paling hebat.
Kuasa Allah yang tercurah deras ke dalam hati manusia sangat mengagumkan untuk disimak.
Saulus dari kaum Farisi yang akhirnya menjadi Rasul
Paulus, adalah kisah perubahan pribadi yang sangat dahsyat. Paulus sendiri dibuat takjub oleh perubahan ini. “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang
penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihaniNya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman. Malah kasih karunia
Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus.”
(1 TIMOTIUS 1:13-14) .
Kuasa-Nya melindungi dan memungkinkan umat-
Nya melakukan hal mustahil. Ingat kisah Daniel? Gua singa bukan satu-satunya tempat yang menyatakan kuasa Allah di tengah kelemahannya. Daniel tidak dilahirkan dengan kemampuan untuk menafsirkan mimpi, tetapi ketika saatnya tiba dan keadaan memanggil, Allah menyatakan kuasa-Nya dengan memberi Daniel kemampuan yang ajaib (DANIEL 2).
Bagaimana Petrus sanggup berjalan di atas air bersama Yesus? Dengan menentang hukum alam, Petrus berjalan di atas air beberapa saat hingga imannya mulai goyah (MATIUS 14:22-33). Setiap rasul Kristus sanggup melakukan mukjizat, yakni perbuatan-perbuatan ajaib, dengan kuasa Kristus dalam diri mereka.
Kebangkitan! Tidak ada pernyataan kuasa yang
lebih besar daripada membangkitkan seseorang yang telah mengembuskan napas terakhir dan dikubur selama
beberapa hari. Mengucapkan selamat jalan kepada orang terkasih, tetapi kemudian menyaksikan mereka
tidak hanya kembali hidup, melainkan kembali kepada kehidupan yang diperbarui dan penuh kemuliaan adalah kuasa yang tak terbayangkan.
Kitab Suci mencatat sejumlah peristiwa orang yang
bangkit dari kematian. Putra dua orang janda (1 RAJA-RAJA 17:17-24; LUKAS 7:11-17), seorang anak perempuan (MARKUS 5:21-43), Lazarus (YOHANES 11:1-44), Eutikhus (KISAH PARA RASUL 20:7-12), sejumlah orang yang tidak diketahui yang bangkit ketika Yesus wafat (MATIUS 27:51-53), dan tentu saja, Yesus sendiri (28:1-10) .
Kuasa Allah dinyatakan lewat berbagai cara. Dia masih bekerja dengan cara yang ajaib; Dia masih mengubah hidup secara luar biasa dan untuk selamanya, dan Dia mempengaruhi berbagai peristiwa untuk mencapai apa yang takkan pernah sanggup kita lakukan dengan kekuatan sendiri. Jadi, mengapa kita tidak menyaksikan dan mengalami kuasa Allah lebih besar lagi dalam hidup ini?
Satu alasan penting adalah bahwa Allah memakai kuasa-Nya demi kita untuk menggenapi kehendak-Nya yang sempurna. Jika boleh jujur, kita tidak selalu terbuka memilih hal ini. Kita tidak dapat memesan kuasa Allah dalam hidup kita layaknya memesan roti lapis di kedai kopi. Pada akhirnya, kuasa Allah adalah cerminan kehendak-Nya. Jadi, mencari kuasa-Nya dalam hidup kita sesungguhnya adalah mencari kehendak-Nya
yang sempurna. Ketika menghadapi rintangan untuk menggenapi kehendak-Nya, kita memohon kepada-Nya untuk turut campur dalam hidup kita dengan cara yang luar biasa. Hanya melalui Kristus kelemahan terbesar kita menjadi jalan bagi pernyataan kuasa Allah yang terdahsyat dalam hidup kita.
Allah telah menyatakan kehendak-Nya bagi kita . Baca 1 Tesalonika 4:3; 5:18; 1 Petrus 2:15.
Menemukan Kuasa Allah
Jika kita hendak mencari kuasa Allah dalam hidup kita, pertama-tama kita perlu memahami mengapa Dia berjanji menganugerahkan kuasa kepada kita dan untuk tujuan apa.
Untuk memuliakan Allah: Sesungguhnya, memuliakan Allah adalah kehendak-Nya bagi setiap manusia yang hidup, dan bagi seluruh ciptaan. Semua yang ada itu diciptakan demi kemuliaan Allah. Setiap aspek lain dari kehendak Allah bersumber dari maksud-Nya yang agung tersebut. “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” (KOLOSE 1:16). Segala sesuatu yang diciptakan Allah, termasuk kita, dimaksudkan untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Perubahan dan kekudusan diri kita: Salah satu hal paling menyedihkan di dunia adalah orang Kristen yang
meyakini dirinya tidak akan pernah berubah. Karena watak dosa dalam diri kita begitu kuat, dibutuhkan kuasa Allah
dalam hidup kita untuk dapat meraih kemenangan. Tidak bisa tidak, ini membutuhkan kuasa kebangkitan Kristus.
Perubahan adalah kehendak Allah bagi kita, maka Dia
akan menyediakan kuasa ini jika kita memintanya (ROMA 8:18-30; 1 KORINTUS 15:35-50; 2 KORINTUS 3:7-18).
Kita tidak dapat menjadi sempurna; dan Dia tidak memanggil kita untuk menjadi sempurna, melainkan
menjadi kudus. Meski begitu, ingatlah bahwa Allah menghendaki kita menjadi serupa diri-Nya—kudus!
Bukankah masuk akal jika Allah menghendaki kuasa-Nya dalam hidup kita memberi kemenangan atas dosa? (LIHAT 1 KORINTUS 10:1-13). Bukankah ini salah satu buah paling luar biasa dan nyata dari kuasa Allah dalam hidup kita? (LIHAT ROMA 6). Tidakkah kita kagum melihat orang-orang
yang selama ini dibuat tak berdaya oleh dosa, dan yang hidupnya secara harfiah dihancurkan oleh dosa, tiba-tiba diubahkan dengan dahsyat menjadi orang-orang kudus?
Dan jika boleh jujur, tidakkah Anda berharap mengalami yang sama?
Kekudusan artinya dipisahkan, dipersiapkan untuk tujuan istimewa. Ini juga berarti tanpa salah atau cela.
Kuasa untuk bersaksi: Yesus berfirman bahwa kita akan menerima kuasa. Bertahun-tahun saya menganggap, Kisah Para Rasul 1:8 seharusnya berbunyi, “Kamu
akan merasa penuh kuasa kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan merasa mudah dan terbiasa menjadi saksi-Ku.” Ketika perasaan berkuasa tak kunjung tiba, saya jadi punya alasan untuk tidak bersaksi. Saya menanti-nantikan perasaan kepastian yang tidak pernah Allah janjikan. Meski begitu, kerap kali di tengah ketidakpastian saya (dan sering kali ini mengagetkan saya), Dia memakai saya untuk membawa jiwa kepadaNya. Kuasa-Nya jelas sedang bekerja.
Iman yang bertumbuh: Iman kepada Allah bertambah kuat ketika kita menyaksikan dengan jelas karya-Nya dalam hidup kita. Terlebih lagi, kita butuh menyaksikan karya yang dinyatakan dengan begitu luar biasa supaya kita mengenalinya sebagai karya-Nya. Allah menghendaki iman kita
kepada-Nya bertumbuh berlipat ganda. Dia sepenuhnya siap untuk menyatakan kuasa-Nya supaya iman kita akan sifat dan kuasa-Nya semakin teguh (EFESUS 4:716; FILIPI 1:3-8; KOLOSE 2:6-7).
Dia sepenuhnya siap untuk menyatakan kuasa-Nya supaya iman kita akan sifat dan kuasaNya semakin teguh.
Kekuatan di kala sulit: Ada saat-saat dalam hidup ketika segala sesuatu tampaknya berjalan tidak sesuai dengan kehendak kita. Semua upaya kita membereskan masalah ternyata gagal, jalan keluar menjauhi kita,
sumber daya tidak tersedia, dan pintu demi pintu tertutup bagi kita. Akhirnya kita menyadari bahwa manusia telah
mengecewakan kita dan hanya campur tangan Allah yang sanggup menolong kita. Kekuatan Allah saja yang sanggup menopang ketika kita tidak lagi sanggup berdiri (MAZMUR 3:6; 41:4; 55:23).
Hidup Daud penuh dengan contoh kekuatan Allah di kala sulit. Selain kekuatan untuk mengalahkan Goliat, Allah memelihara Daud ketika ia melarikan diri dari kejaran Saul dan kemudian dari putranya sendiri, Absalom.
Kesetiaan sampai akhir: Dalam hidup setiap orang, ada saatnya kita tidak lagi yakin sanggup berjalan bersama Kristus. Kita menjadi sangat letih, lesu, dan tidak bersemangat. Kita merasa sia-sia mengharapkan hadirnya perubahan nyata, sehingga tidak sanggup lagi berusaha. Di saat seperti ini kita harus benar-benar tahu, bahwa Allah menghendaki kita setia sampai akhir, dan karenanya, Dia menjanjikan kuasa yang memampukan kita mengakhiri perlombaan hidup kita dengan baik (FILIPI 1:6; 1 TESALONIKA 5:23; YAKOBUS 1:4).
Yakinlah!
Berlawanan dengan apa yang mungkin Anda yakini, sesungguhnya Anda telah mengalami kuasa Allah dalam berbagai cara sepanjang hidup Anda—terlepas Anda percaya kepada Allah atau tidak. Namun, karena Allah menyediakannya bagi kita, tanpa mengirim
pesan tertulis atau meninggalkan pesan suara untuk memberitahukannya, kita kerap tidak menyadari berkatNya ketika hal itu tiba.
Pertama-tama, jika Anda pengikut Kristus, Allah menyatakan kuasa-Nya dalam keselamatan Anda.
Dalam 1 Korintus 1:18-19, Paulus menulis, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Karena ada tertulis: ‘Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.’” Tidak seorang pun diselamatkan karena ia memahami Allah. Kita diselamatkan karena Allah mematahkan pencarian kita yang sia-sia, bahkan perlawanan kita terhadap-Nya, dan menarik kita kepada diri-Nya.
Allah bekerja dengan cara yang penuh kuasa: doa yang dijawab, berkat, memberikan yang teramat kita butuhkan, petunjuk, kesembuhan, atau pengharapan ketika kita putus asa. Kita bersukacita atas apa yang diterima—tetapi kita harus senantiasa mengingat, dari siapakah kita menerima semua itu. Orang Kristen yang jeli bertumbuh menjadi orang Kristen yang bersyukur, dan orang Kristen yang bersyukur bertumbuh menjadi orang Kristen yang lebih jeli lagi, karena mereka telah menyadari betapa intimnya Allah terlibat dalam hidup mereka. Ketika seseorang akhirnya menyadari betapa intimnya Allah terlibat dalam hidup mereka, rasa syukur adalah satu-satunya respons yang pas.
Terimalah kelemahan Anda! Karena justru dalam kelemahan itulah kuasa Allah tampak jelas dalam
hidup Anda. Ingatlah kuasa yang dijanjikan-Nya dalam setiap kelemahan tersebut. Minta kepada-Nya agar Dia menyatakan kuasa-Nya dalam kelemahan Anda, lalu nantikan Dia menyatakan kuasa-Nya. Lakukan sesering mungkin. Jadikan itu kebiasaan. Belajarlah untuk mengandalkan kuasa-Nya. Dan ketika Anda mulai menyaksikan dan mengalaminya—berikanlah kemuliaan bagi nama-Nya.
Ini bukanlah semata gagasan baru; inilah cara hidup yang baru. Semoga Anda dapat memandangnya sebagai kehidupan yang memang Allah ingin Anda jalani—hidup yang bergantung kepada-Nya.
Menerima kelemahan kita. Akhirnya, hal ini menjadi masuk akal.
BIOGRAFI PENULIS
Tim Jackson adalah pendiri dan presiden Still Waters
Counseling & Equipping Ministries, PC, lembaga
konseling yang melayani individu, pasangan, dan keluarga.
Roy Clark pernah menjadi Wakil Direktur untuk Pelayanan Gerejawi di Our Daily Bread Ministries.
Dan Schaeffer adalah penulis peraih penghargaan
yang menggembalakan Shoreline Community Church di Santa Barbara, California, AS.
CATATAN BAGI PEMBACA
Setelah membaca buku ini, silakan menuliskan respons Anda dan mengirimkannya kepada kami.
Untuk informasi selengkapnya tentang buku-buku yang diterbitkan dan didistribusikan oleh
PT Duta Harapan Dunia, silakan menghubungi kami melalui:
E-mail: orders@dhdindonesia.com
Situs web: www.dhdindonesia.com
Tel.: (021) 2902-8955
Fax: (021) 5436-0474
WhatsApp: 0895-202-202-95
TENTANG PENERBIT
PT Duta Harapan Dunia (DHD) adalah anggota keluarga
Our Daily Bread Ministries.
Dalam mendukung misi Our Daily Bread Ministries untuk menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang, kami menyediakan literatur rohani yang dapat menguatkan serta memperlengkapi para pembaca agar semakin mengenal Allah dan memperoleh penghiburan, wawasan, dan penguatan iman melalui firman-Nya.
KELEGAAN bagi JIWA
PERTOLONGAN YANG TEPAT WAKTU
Pandangan Alkitabiah tentang Konseling
Ketika masa-masa penuh tekanan dan stres mendesak Anda untuk mencari pertolongan, ke mana Anda akan pergi, dan bagaimana
Anda dapat mengetahui bahwa pertolongan tersebut memang layak dipercaya? Konselor Tim Jackson menolong Anda untuk menilai diri sendiri lewat serangkaian pertanyaan dan wawasan Kitab Suci supaya Anda bisa tahu kapan, bagaimana, dan di mana konseling yang alkitabiah akan berguna bagi Anda.
KALA TIDAK TAHU HARUS BERKATA APA
Menghibur Seseorang yang Tengah Menderita Bagaimana cara menghibur seseorang yang sedang terluka? Perkataan apa yang dapat menolongnya? Roy Clark menelusuri kisah Ayub dan membagikan hikmat dari firman Tuhan untuk menolong Anda meneruskan kepedulian dan belas kasih Kristus kepada mereka yang menderita. Temukan bagaimana Anda dapat mencerminkan pengharapan dan penguatan Allah melalui kehadiran dan kerelaan Anda untuk mendengarkan mereka.
KEKUATAN DALAM KELEMAHAN
Kuasa Allah Saat Kita di Titik Terendah
Sering kali kita berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi atau menyembunyikan kelemahan-kelemahan kita. Namun, bagaimana jika kelemahan kita justru menjadi wadah bagi Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya dalam hidup kita? Dalam kutipan buku “The Power of Weakness” ini, Dan Schaeffer mendorong kita untuk menerima kelemahan-kelemahan diri dengan rasa cukup dan iman kepada kuasa Allah yang sanggup mengubah kita sepenuhnya menjadi serupa Kristus. dhdindonesia.com