FOKUS PADA SATU HAL
YANG DIKEJAR
Saudara-saudara, aku tidak menganggap bahwa aku telah menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang kulakukan: aku melupakan apa yang di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku. Aku terus maju kepada tujuan untuk mendapat hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Yesus Kristus.
Filipi 3:13-14 (AYT)
Baru-baru ini, iklan dari sebuah produsen mobil menggambarkan etos kerja mereka dengan mengatakan bahwa perusahaan tersebut berfokus pada “pengejaran kesempurnaan.” Pengejaran adalah kata yang menarik. Kata tersebut mengandung gairah, komitmen, dan kegigihan. Kita mungkin melakukan hobi kita karena iseng, mencoba
aktivitas baru karena ingin tahu, atau mempelajari sesuatu yang baru karena sedang trendi, tetapi apa yang kita kejar menunjukkan apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Itu ibarat . . .
• Atlet yang mengejar rekor dalam cabang olahraga yang ia tekuni dengan segala sumber daya yang dimilikinya, seperti Henry Aaron yang memecahkan rekor home run milik Babe Ruth.
• Ilmuwan peneliti yang tiada jemu melakukan percobaan jangka panjang demi mengejar terciptanya obat untuk menyembuhkan jenis kanker tertentu.
• Pembela hukum yang harus mempertaruhkan nyawa demi mengejar tercapainya kesetaraan dan perlakuan yang adil bagi pihak-pihak yang terpinggirkan.
Dengan pemahaman tersebut, sebuah pengejaran jelas berbeda dari kegiatan iseng atau coba-coba. Pengejaran adalah sesuatu yang membutuhkan fokus, energi, dan tingkat pengabdian yang tidak didapatkan atau layak diterima oleh hal-hal lain dalam hidup. Namun, bisa jadi kita juga mengejar hal-hal yang lebih remeh, bahkan yang tidak pantas. Kita bisa saja:
• Mengejar sebuah hubungan di luar kewajaran atau yang sebenarnya tidak diinginkan pihak yang dikejar
• Mengejar suatu karier hanya karena itu membawa ketenaran, kekayaan, atau kemasyhuran
• Mengejar persetujuan dan penerimaan dari orang lain, sekalipun persetujuan mereka sebenarnya tidak terlalu penting
Suatu pengejaran bisa jadi begitu luar biasa dalam gagasan dan tujuannya yang ideal. Namun, sebaliknya, pengejaran juga dapat dicemari oleh motivasi yang salah atau target yang tidak patut dikejar.
Jadi, sebagai pengikut Kristus, apa yang patut kita kejar? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa apa yang kita kejar itu layak mendapatkan energi dan investasi perasaan sebesar itu?
Mungkin tempat yang baik untuk memulainya adalah dengan mendengarkan ucapan salah seorang pengejar paling gigih dan bersemangat di dalam Alkitab: Paulus.
Hati yang Siap Mengejar
Ketika Robert F. Kennedy (RFK) mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat pada tahun 1968, ia kerap mengutip pernyataan yang konon diucapkan oleh George Bernard Shaw:
Ada orang yang memandang segala sesuatu apa adanya dan bertanya, mengapa begitu? Saya memimpikan hal-hal yang belum ada dan bertanya, mengapa tidak?
Hasilnya, RFK melihat segala sesuatu apa adanya—dan juga apa yang dapat terjadi pada hal-hal tersebut, bahkan bagaimana seharusnya hal-hal tersebut nantinya. Kennedy mencermati masalah kemiskinan yang diderita masyarakat kulit hitam di kawasan selatan AS. Ia merasa iba melihat anak-anak yang kelaparan dan penyakitan di tempattempat termiskin dalam negara yang disebut paling kaya di muka bumi. Kesedihan itu diperdalam ketika ia melihat
banyaknya nyawa pemuda kulit hitam yang terenggut dalam perang Vietnam, yang sebagian besar terjadi karena mereka tidak memiliki jalan keluar lain dari kemiskinan dan keputusasaan. Ia marah melihat eksploitasi pekerja migran di bagian barat AS, dan mengupayakan keadilan dalam hal upah, beban, dan hak kerja mereka. Ia digelisahkan oleh kondisi hidup penduduk asli Amerika yang tidak manusiawi di pemukiman mereka, dengan para pemuda yang terjerumus dalam kecanduan minuman keras dan keputusasaan. Kennedy membangun kampanyenya dengan mengusung dukungan kepada “rakyat kecil”. Kampanye itu menjadi sebuah upaya mengejar keadilan bagi pihakpihak yang bergumul, terlupakan, dan terpinggirkan.
Pengejaran tersebut tidak hanya menjadi ciri kampanye RFK, tetapi juga tampaknya menjadi ciri dirinya sendiri. Meski dibesarkan dalam kemewahan, Kennedy dapat ikut merasakan penderitaan seorang anak yang terluka dan kelaparan, dan membayangkan salah satu anaknya sendiri mengalami hal yang sama. Ini membuatnya berempati pada mereka yang menderita. Pengejaran yang digerakkan oleh empati sungguh memberi dampak yang dahsyat.
Meski jauh dari sempurna dan mempunyai banyak kelemahan, Robert Kennedy memiliki hati yang gigih mengejar. Ia mengejar kemajuan, peningkatan, dan perubahan dengan tidak kenal lelah—bahkan ada yang mengatakan dengan tidak kenal ampun.
Dengan cara yang jauh berbeda, hati yang gigih mengejar juga menjadi ciri hidup Rasul Paulus. Pernyataanpernyataannya mengenai pekerjaannya memberitakan Injil sarat dengan ciri-ciri pengejaran yang tak kenal lelah.
Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah. (Kisah Para Rasul 20:24)
Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempattempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain. (Roma 15:20)
Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia. (1 Korintus 1:17)
Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil. (1 Korintus 9:16)
“Celakalah aku!” Ini berseberangan dengan pernyataan celaka yang diucapkan Nabi Yesaya. Yesaya menyatakan dirinya celaka karena memiliki bibir yang tidak layak berbicara tentang Allah (Yesaya 6:5). Sebaliknya, Paulus menyatakan dirinya celaka jika ia tidak berbicara tentang Injil Kristus! Sejak perjumpaan-Nya dengan Tuhan Yesus di jalan menuju Damsyik (Kisah Para Rasul 9:1-18), hati Saulus dari Tarsus telah diubahkan. Dalam perjalanannya untuk menganiaya dan menjebloskan para pengikut Kristus ke dalam penjara, Farisi muda itu berjumpa dengan Yesus sendiri dan diubahkan untuk selamanya. Sebagai rasul,
Paulus memiliki satu fokus yang sangat jelas, yaitu rindu melihat Injil menjangkau sampai ke ujung dunia.
Namun, sebelum peristiwa di jalan menuju Damsyik itu, hatinya yang gigih mengejar pernah melenceng, salah arah, dan salah tujuan. Seperti Kennedy, pengejarannya itu tak kenal ampun. Di kemudian hari, Paulus mengaku betapa kelirunya mengejar hal-hal yang salah dengan penuh semangat. Ia pun menceritakan kisah tentang pengejarannya yang salah arah itu kepada sahabat-sahabatnya di Filipi.
Ketika Pengejaran Itu Salah Arah
Seberapa jujur Anda tentang kisah hidup Anda? Dengan kata lain, seberapa jujur Anda dalam menampilkan diri
Anda sendiri? Apakah Anda menggambarkan diri sebagai seseorang yang:
Selalu mengajukan pertanyaan yang bijaksana?
Selalu dapat mengatasi setiap situasi?
Selalu menjadi pahlawan dalam setiap kisah yang
Anda ceritakan?
Salah satu tokoh yang menarik sekaligus kontroversial pada paruh pertama abad ke-20 adalah T. E. Lawrence, yang lebih dikenal dengan nama alias Lawrence dari Arabia. Sebagai perwira Inggris yang ditugaskan ke wilayah Arab pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia I, Lawrence terlibat dalam pemberontakan Arab melawan penguasa Ottoman.
Lawrence sedikit banyak telah berperan melahirkan dunia peradaban Arab modern seperti yang kita kenal sekarang ini. Hal ini tentu bukan pencapaian yang remeh.
Namun, para ahli dan sejarawan yang mempelajari memoar Lawrence, Seven Pillars of Wisdom, telah menemukan lusinan catatan yang dibesar-besarkan oleh Lawrence untuk mengangkat citra dirinya. Dalam beberapa hal, hanya Lawrence sendiri yang benar-benar tahu batas antara fakta dan fiksi di dalam kisahnya.
Jadi, bagaimana Anda akan menulis kisah hidup Anda sendiri? Ketika Paulus menceritakan kisahnya kepada jemaat di Filipi, hal itu disampaikannya dengan terus terang dan jujur sehingga terdengar sangat menggetarkan.
Ia berbicara tentang hidupnya dahulu yang mengejar halhal tertentu dengan segenap kekuatannya, karena mengira semua itu akan membuatnya dibenarkan di hadapan Allah:
Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli; tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.
Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. (Filipi 3:4-7)
Tidak semua hal di atas pada dasarnya buruk, tetapi tidak ada dari semua itu yang membawa Paulus kepada hubungan dengan Allah. Seperti katanya, hal-hal itu bisa membuatnya “percaya pada hal-hal lahiriah”. Namun, halhal lahiriah bukanlah solusi, melainkan masalah. Pada bab sebelumnya kita telah membahas kenyataan bahwa dunia kuno lebih mementingkan komunitas daripada individu.
Karena itu, membawa kehormatan bagi masyarakat itu adalah hal yang penting, dan ada dua jenis kehormatan:
Kehormatan yang dilekatkan, yaitu kehormatan yang diterima dan diberikan berdasarkan hubungannya dengan orang lain;
Kehormatan yang diraih, yaitu kehormatan yang diberikan dan diterima karena pencapaian pribadi
Di mana letak kepercayaan diri Paulus? Dua hal yang memberinya kehormatan dan yang juga memungkinkannya membawa kehormatan bagi komunitasnya adalah sebagai berikut:
Keberadaannya sebagai keturunan Yahudi. Dalam hal ini, Paulus mengandalkan garis keturunannya sebagai bagian dari umat pilihan Allah. Di ayat 5, ia menyebutkan segala sesuatu yang menandai dirinya sebagai keturunan Abraham secara etnis, termasuk sunat—ciri keyahudian yang bersifat lahiriah—serta identitas kebangsaannya (Israel) dan kesukuannya (Benyamin). Semua itu menjadikannya “orang Ibrani asli” atau tulen. Ini merujuk kepada kemurnian darah Yahudi pada dirinya yang mutlak dan tak terbantahkan. Bagi banyak dari kita (khususnya di dunia Barat), kemurnian etnis seperti itu tidaklah penting. Namun, tidak demikian halnya bagi orang Yahudi kuno.
Setiap kali membaca daftar silsilah di dalam Alkitab, Anda tidak sekadar melihat bagian Alkitab yang membosankan untuk dibaca. Anda melihat tingginya penghargaan orang Yahudi atas kemurnian darah mereka. Tidak heran bahwa Matius, kitab yang paling Yahudi dari semua kitab Injil, dibuka dengan daftar silsilah Yesus. Daftar itu menjawab
semua pertanyaan tentang latar belakang keyahudian Yesus, juga segala persoalan tentang asal-usul-Nya dalam garis keturunan Raja Daud.
Bagi Paulus, semua ini membawa kehormatan baginya— kehormatan yang lekat pada dirinya sebagai keturunan Abraham dan orang Ibrani asli. Ia tidak melakukan apa pun untuk memperoleh kehormatan itu; itu melekat padanya oleh kelahiran dan pertumbuhannya sebagai orang Yahudi.
Kegigihannya dalam beragama. Di sini kita melihat penyimpangan hati Paulus ketika ia masih disebut Saulus dari Tarsus. Ia mencapai status dan kedudukan terhormat dalam masyarakat lewat apa yang ia lihat pada waktu itu sebagai tiga pencapaian, yang tertulis dalam ayat 5-6:
“Terhadap pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi”
“Tentang kegiatan aku penganiaya jemaat”
“Tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat”
Setiap hal ini menuntut komitmen yang teguh, energi yang besar, dan pengejaran yang gigih. Di satu sisi, Paulus menuruti hukum Taurat dan berusaha membangun kebenaran diri lewat hal itu. Di sisi lain, ia ingin meraih kehormatan dengan cara menganiaya orang percaya. Ia melihat pemenjaraan dan pembunuhan orang-orang yang mengaku percaya kepada Kristus sebagai cara memperoleh kehormatan diri—bahkan membawa kehormatan bagi bangsa Israel. Meski kita melihat tindakannya terhadap para pengikut Kristus itu keji dan jahat, komunitas Yahudi melihat Saulus dari Tarsus sebagai pembela iman yang sejati.
Ini seperti kata orang, teroris bagi satu pihak adalah pejuang kebebasan bagi pihak lain. Meski ia seorang penjahat bagi komunitas Kristen, Paulus adalah pahlawan di mata orangorang yang beribadah di Bait Allah dan sinagoge.
Tragisnya, tak peduli betapa pun baiknya ia diterima oleh bangsanya sendiri, pengejaran Saulus muda yang salah arah itu hanya menghasilkan hati yang makin mengeras. Kisah
Para Rasul 9:1 menggambarkan kekerasan hatinya ketika dikatakan, “Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan.”
Setelah berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus, Paulus baru menyadari bahwa segala sesuatu yang telah ia lakukan untuk meraih kehormatan itu lebih tepat dianggap sebagai aib. Kita mengingat kembali perjumpaan Paulus dengan Yesus di jalan menuju Damsyik (Kisah Para Rasul 9).
Ketika Saulus dari Tarsus meminta suara di dalam cahaya itu untuk memperkenalkan diri, ia mendengar jawaban, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” (ay.5).
Dengan menganiaya jemaat, sesungguhnya Paulus sedang menganiaya Kristus yang telah mati baginya. Dialah Anak Allah yang sesungguhnya dikejar oleh Saulus dari Tarsus sepanjang hidupnya. Perkataan Paulus kepada jemaat Filipi memperlihatkan bahwa upayanya mengejar kehormatan adalah contoh tragis dari semangat yang melenceng. Namun, semua itu berubah setelah peristiwa di jalan menuju Damsyik. Setelah berjumpa dengan Tuhan Yesus, Paulus mengerti bahwa hal-hal yang pernah ia kejar itu tidak menghasilkan relasi dengan Allah yang sangat didambakannya. Jadi, apa kesimpulan Paulus?
Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. (Filipi 3:7)
Di dalam Kristus, Saulus/Paulus menemukan apa yang selama ini ia kejar. Alangkah dahsyatnya perubahan yang terjadi di dalam hati, hidup, dan nilai-nilai yang Paulus miliki! Pengejaran yang dahulu salah arah dan sering kali membawa kehancuran sekarang membawa kehormatan lebih dari sekadar untuk komunitasnya. Pengejaran yang baru ini akan membawa kehormatan bagi Allah sendiri.
Ketika Pengejaran Membuahkan Hasil
Ada sebuah pengingat berharga yang terselip di dalam kitab-kitab nabi Perjanjian Lama. Yeremia, nabi yang suka meratap, memiliki banyak pesan yang gelap dan nubuat untuk disampaikan kepada umat Allah: peringatan bencana dan pembuangan, serta peringatan tentang hukuman atas pemberontakan.
Namun, di tengah peringatan dan nubuatnya, Yeremia menyampaikan pernyataan yang luar biasa tentang pengejaran—dan apa (atau siapa) yang sebenarnya patut dikejar:
Beginilah firman Tuhan : “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah Tuhan yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di
bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman
Tuhan.” (Yeremia 9:23-24)
Yeremia rindu agar kita mengejar kekayaan abadi yang kita dapatkan dengan mengenal Sang Pencipta alam semesta—suatu pengejaran yang digambarkan oleh mendiang J. I. Packer dalam buku klasiknya, Knowing God. Seperti telah kita lihat, banyak yang kita kejar sebenarnya baik, bermanfaat, dan produktif. Yeremia ingin menegaskan bahwa tidak ada pengejaran yang sepenting mengejar Allah. Itulah yang ditemukan Paulus di jalan menuju Damsyik. Ia menemukan bahwa mengejar pencapaian agamawi, kemurnian ritual, dan ketaatan pada hukum Taurat justru membuatnya kehilangan hal yang paling berarti. Ia bisa saja mengejar semua itu tanpa benar-benar mengenal Allah yang didambakan hatinya. Kini, Yesus yang dianiaya Saulus menjadi Yesus yang dikejar Paulus dengan penuh semangat. Ini sebuah pergeseran dahsyat dalam proses berpikir sang rasul, yang mengatur ulang segala pemikiran, prioritas, dan nilai hidupnya.
Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan. Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku serupa dengan Dia dalam
kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati. (Filipi 3:8-11)
Bagi Paulus, seluruh waktu yang telah dihabiskannya dengan mengejar kesalehan dalam agama Yahudi kini digantikan oleh pengejaran akan hubungan dengan Kristus. Perhatikan kerinduan Paulus berikut ini:
• Mengenal Kristus
• Memperoleh Kristus
• Berada di dalam Kristus
• Memiliki kebenaran yang berasal dari Kristus
Ia kemudian menutup perenungan-perenungan tersebut dengan menggali lebih dalam arti pengejaran yang terutama, yaitu mengenal Kristus (dan melalui-Nya, mengenal Bapa). Kata-katanya yang penuh semangat dan bercampur misteri mengungkapkan bahwa yang dicarinya bukanlah pengenalan yang dangkal terhadap Kristus, melainkan kerinduan untuk mengalami di dalam hidupnya kedalaman dari seluruh karya Kristus baginya. Ini sesuatu yang radikal! The Bible Knowledge Commentary memberikan gambaran yang baik tentang apa yang sedang Paulus kejar dan tidak kejar:
Paulus juga rindu untuk mengambil bagian dalam persekutuan dengan penderitaan Kristus supaya ia menjadi sama dengan Dia dalam kematian-Nya (Filipi 3:10). Penderitaan-penderitaan ini bukanlah penderitaanpenderitaan Kristus di kayu salib yang menggantikan manusia. Paulus tahu hal itu tidak bisa dialami siapa pun selain Kristus. Namun, ia berhasrat untuk ikut dengan
Kristus, karena ia adalah kepunyaan-Nya, yang menderita demi kebenaran (bandingkan 1:29). Allah memakai Ananias untuk memberi tahu Paulus bahwa itulah yang akan ia lakukan sebagai hamba Kristus (Kisah Para Rasul 9:16). Sang rasul sungguh-sungguh menderita bagi Kristus karena ia mewakili Dia dengan begitu terbuka dan setia (bandingkan Roma 8:36; 2 Korintus 4:10).
Harus saya akui bahwa upaya Paulus dalam mengejar Kristus—bahkan sampai ikut menderita bersama-Nya— sungguh menggetarkan hati. Saya dipaksa untuk memeriksa pengejaran saya sendiri akan Sang Juruselamat dan sejauh mana saya benar-benar ingin mengambil bagian dalam penderitaan-Nya. Namun, sekali lagi, Paulus benar-benar seorang yang gigih, dan menjadi pengingat yang luar biasa tentang apa yang terjadi ketika seseorang benar-benar ingin mengenal Tuhan dengan seluruh keberadaannya. Dwight Lyman Moody (1837–99), penginjil terkenal pada akhir abad ke-19, terkenal dengan ucapannya, “Dunia belum pernah melihat apa yang sanggup Allah lakukan dengan seseorang yang sepenuhnya mengabdikan diri kepada-Nya.” Saya jadi berpikir, setidaknya sampai tingkat tertentu, ketika kita melihat komitmen Rasul Paulus yang total, tanpa henti, dan mutlak—pribadi yang dipakai Allah untuk “mengacaukan seluruh dunia” (Kisah Para Rasul 17:6)—kita mungkin sudah melihat betapa dahsyatnya Allah sanggup bekerja dalam hidup seseorang yang benarbenar dipersembahkan kepada-Nya demi tujuan-Nya.
Pengejaran ini sungguh berbuah lebat, karena orang diubahkan secara mendasar—bukan hanya dalam cara mereka berpikir dan merasa, tetapi juga bagaimana mereka
menghidupi hati Kristus. Inilah buah dari pengenalan akan Dia, dan ini menempatkan dengan indah tantangan
Yeremia ke dalam konteks Perjanjian Baru yang dapat kita rindukan juga. Dengarkan pengamatan dari mendiang
Warren Wiersbe dalam Bible Exposition Commentary:
Ketika Paulus menjadi orang Kristen, itu bukanlah akhir, melainkan permulaan baginya. Pengalamannya bersama
Kristus begitu luar biasa sehingga itu mengubahkan hidupnya. Pengalaman itu pun terus berlanjut dalam tahun-tahun berikutnya. Itu adalah pengalaman pribadi
Paulus (“Yang kukehendaki ialah mengenal Dia”) dengan melangkah bersama Kristus, berdoa, menaati kehendakNya, dan berusaha memuliakan nama-Nya. Ketika dahulu ia hidup di bawah hukum Taurat, Paulus hanya memiliki seperangkat aturan. Namun, sekarang ia memiliki Sahabat, Tuan, dan Pendamping yang setia!
Tidak heran jika sang rasul berkata bahwa segala sesuatu yang telah ia peroleh secara lahiriah tidak lagi bernilai jika dibandingkan dengan pengenalan akan Kristus (baca Filipi 3:4-8). Sungguh ini semangat yang patut dikejar!
Ketika Pengejaran Dilakukan dengan Fokus
Banyak penggemar olahraga mungkin ingat saat pemain bola basket profesional Michael Jordan memutuskan untuk mencoba bermain bisbol—salah satu kegemarannya sejak kecil. Meski ia adalah salah satu pemain terbaik sepanjang masa dalam dunia bola basket yang digelutinya, dan salah seorang atlet terbesar dalam generasinya, Jordan menghadapi kesulitan dalam karier bisbolnya.
Saya merasa itu tidak masuk akal—sampai saya mendengar analisis dari seorang pengamat olahraga bisbol. Ia berkata bahwa apa yang menjadikan Jordan hebat di lapangan basket telah menghambat efektivitasnya di lapangan bisbol, yaitu penglihatan perifernya yang luar biasa. Kemampuan memindai lapangan untuk menemukan rekan satu tim yang berdiri bebas lalu memberikan umpan pamungkas telah menjadi bagian penting permainan Jordan di lapangan basket, tetapi penglihatan perifer seperti itu justru menghalanginya untuk berfokus penuh pada bola bisbol yang dilemparkan kepadanya. Padahal, fokus tersebut mutlak diperlukan jika seorang pemukul ingin memahami putaran bola dan mengenali gaya lemparan bola supaya dapat memukulnya dengan efektif.
Akhirnya, Jordan meninggalkan eksperimen tersebut dan kembali ke liga basket profesional (NBA). Ia sekali lagi menjadi pemain yang luar biasa, bahkan mungkin yang terbaik sepanjang masa. Pada akhirnya, karier bisbol Jordan bisa jadi terhambat karena masalah dengan fokus. Rasul Paulus tidak mengalami masalah seperti itu.
Fokusnya benar-benar tajam sehingga ketika merenungkan kehidupan yang dijalaninya bersama Kristus, yang menggantikan komitmennya dahulu kepada agama Yahudi, ia menulis kepada jemaat Tuhan di Filipi demikian:
Namun, bukan berarti aku telah mendapatkannya atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya supaya aku menangkapnya sebagaimana Kristus Yesus telah menangkap aku. Saudara-saudara, aku tidak menganggap bahwa aku telah menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang kulakukan: aku melupakan apa yang di belakangku
pada Satu Hal yang Dikejar
dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.
Aku terus maju kepada tujuan untuk mendapat hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Yesus Kristus. (Filipi 3:12-14 AYT)
Satu hal. Satu hal yang dikejar. Satu hal yang menjadi fokus. Paulus menyadari bahwa ia belum tiba di tujuan dan masih dalam pengejaran. Satu hal yang dikejarnya adalah kelanjutan dari pengejarannya akan Yesus: “Aku terus maju kepada tujuan untuk mendapat hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Yesus Kristus” (ay.14 AYT).
Pengejaran tersebut—satu hal yang Paulus fokuskan— melibatkan upaya untuk meninggalkan hal-hal di masa lalu (telah dijelaskan dalam ayat 4-7) dan berlari maju kepada tujuan yang ada di depan. Namun, pada akhirnya, itu adalah pengejaran akan Kristus dan hadiah yang menanti. Di sepanjang Kitab Suci kita melihat hal-hal luar biasa terjadi ketika orang mengejar perkara-perkara tentang Allah di atas prioritas hidup mereka sendiri.
Nuh membangun bahtera untuk menghadapi air bah yang akan datang; Abram meninggalkan tanah kelahirannya mengikuti panggilan Allah pergi ke daerah yang tidak ia ketahui; Musa meninggalkan kehidupan yang relatif aman di padang gurun Midian dan kembali ke Mesir untuk menghadapi Firaun; Hana mengambil risiko diolok-olok dan disalah mengerti oleh Imam Eli ketika ia berdoa meminta anak—seorang anak yang akan menjadi nabi Allah bagi Israel;
Elia menghadapi nabi-nabi Baal dalam pertarungan di Gunung Karmel;
Daniel menolak mengompromikan keyakinannya saat berhadapan dengan para raja dan penguasa.
Masih banyak lagi contoh-contoh serupa, dan tidak terbatas hanya dari tokoh-tokoh Alkitab. Wiersbe membagikan sebuah anekdot yang memperjelas hal ini:
Terlalu banyak orang Kristen terlibat terlalu jauh dalam “banyak hal,” padahal rahasia untuk maju adalah dengan memusatkan perhatian pada “satu hal”. Keputusan inilah yang menjadi titik balik dalam hidup Dwight L. Moody.
Sebelum tragedi kebakaran di Chicago pada tahun 1871, Moody terlibat dalam berbagai urusan sekolah Minggu, YMCA, KKR, dan banyak kegiatan lainnya. Namun, setelah peristiwa kebakaran itu, ia memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada penginjilan. “Ini satu hal yang kulakukan!” benar-benar menjadi kenyataan baginya. Alhasil, jutaan orang mendengar Injil yang diberitakannya.
Ini tidak berarti bahwa banyak hal yang lain itu berdosa, jahat, atau salah. Namun, sebagian besar keberhasilan hidup kita bagi Kristus dan pertumbuhan kita di dalam Dia berasal dari kesediaan kita untuk berfokus pada hal-hal yang paling penting—yaitu hal-hal yang mendorong kita melangkah maju di dalam Dia. Inilah fokus dan pengejaran yang diungkapkan dengan baik di dalam Surat Ibrani:
Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi
Fokus pada Satu Hal yang Dikejar
kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju
kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. (Ibrani 12:1-2)
“Mata yang tertuju kepada Yesus.” Itulah pengejaran yang fokus! Himne klasik gubahan Helen Lemmel mengungkapkan dengan indah pengejaran sekaligus fokus yang didambakan Paulus:
Lelah dan kacaukah jiwamu, Serta gelap gulitakah?
Pandanglah t’rang Jurus’lamatmu, Hidupmu ‘kan bahagialah.
Dari maut ke hidup yang kekal, Ikutlah jejak Tuhanmu.
Kuasa dosa takkan kekangmu, Kau dapat mengalahkannya.
Pandanglah, pada Yesus, Pandanglah wajah mulia-Nya, Di dalam terang kemuliaan-Nya, Dunia akan menjadi hampa.
—“Pandanglah Pada Yesus” Kidung Puji-Pujian Kristen No. 174
Pertanyaan untuk Perenungan Pribadi
atau Diskusi Kelompok
1. Apa saja hal-hal yang Anda kejar di dalam hidup ini?
Apakah itu baik atau buruk (atau mungkin netral)? Sejauh mana hal-hal tersebut memberikan kepuasan yang Anda cari?
2. Saat merenungkan hidup Anda sampai saat ini, apa saja hal-hal yang memberi Anda kehormatan yang dilekatkan? Apa saja hal-hal yang memberi Anda kehormatan yang diraih? Di hadapan siapakah kehormatan itu Anda raih?
3. Jika Anda menulis tentang kisah hidup Anda, bagaimana Anda akan menggambarkan diri Anda sendiri? Seberapa nyaman Anda akan jujur untuk mengungkapkan berbagai kekurangan Anda? Adakah saatnya ketika Anda merasa tidak tepat untuk membuka diri tentang hal-hal tersebut?
4. Paulus pernah memandang dirinya sebagai pembela agama Yahudi, tetapi ia memakai pandangan itu sebagai pembenaran untuk menyakiti orang lain. Pernahkah Anda merasa pantas melakukan tindakan yang merugikan orang lain? Apakah alasan Anda bisa dibenarkan, sekalipun tindakan tersebut salah?
5. Apa saja cara yang dapat Anda tempuh untuk lebih fokus dalam mengejar Yesus? Seperti apa bentuknya?