Ketika Hubungan Lepas Kendali

Page 1

Jeff Olson
KetiK a Hubungan Lepas KendaLi Lolos dari Jerat Kodependensi

EDITOR: David Sper

GAMBAR SAMPUL: Freepik via Freepik

PENERJEMAH: Yoki Wijaya

EDITOR TERJEMAHAN: Catharina Pujianto

PENYELARAS BAHASA: Dwiyanto Fadjaray

PENATA LETAK: Akwilla Saraswati Sukmono

GAMBAR ISI: (hlm.1) Freepik via Freepik.com; (hlm.19) Vecstock via Freepik.com

Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia © LAI 1974

© 2024 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia. Indonesian

1 daftar isi satu Lepas dari Jerat Kodependensi ���������������������������������������� 3 Masalah Kodependensi ���������������������������������������������������� 6 Definisi Kodependensi������������������������������������������������������� 7 Seperti Apa Wujud Kodependensi Itu? ����������������������� 8 Apa yang Mendorong Sikap Kodependen? ������������� 11 Apa yang Salah dengan Kodependensi? ������������������ 14 dua Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik ����������������������� 19 Hidup dengan Cara yang Lebih Baik ������������������������� 35
Series “When
Love Too Much”
Discovery
We

Kodependensi

Jimmy Piersall tumbuh seperti kebanyakan bocah lakilaki di Amerika pada era 1930-an. Ia gemar bermain olahraga favorit Amerika—bisbol. Sepanjang ingatan Jimmy, sang ayah yang mengajarkannya bermain bisbol. Dalam buku Fear Strikes Out , Jimmy menceritakan, “Salah satu kenangan saya yang paling awal . . . adalah berdiri di halaman belakang rumah, menangkap bola karet dan melemparkannya kembali ke ayah saya. Saya belajar menangkap dan melempar bola bahkan sebelum saya mengenal huruf.”

Menurut Jimmy, ia suka bermain tangkap bola dengan ayahnya. Awalnya menyenangkan—sampai kemudian

3
satu Lepas dari Jerat

permainan itu mulai menjadi obsesi. Ayah Jimmy, seorang pria yang keras dan pemarah, memberikan tekanan besar kepada putranya untuk menjadi pemain bisbol liga utama. Sejak duduk di kelas satu, Jimmy mendengar ayahnya berkata, “Ayah tidak mau kamu pikir ini hanya untuk bersenangsenang. Saat kamu dewasa, Ayah ingin kamu menjadi pemukul bola yang tangguh seperti Jimmy Foxx. Dengan begitu kamu akan menjadi kaya.” Sang ayah menanamkan dalam benak Jimmy muda, “Kamu harus belajar seluk-beluk bisbol. Semakin banyak yang kamu pahami, semakin baik.”

Jimmy kemudian bercerita, “Saya bisa tahu apa yang harus dilakukan seorang pemukul dalam situasi apa pun bahkan sebelum saya bisa menulis nama saya.”

Dalam autobiografinya, Jimmy menjelaskan tentang salah

satu kekhawatiran terbesarnya: “Saya tidak tahu apakah saya akan cukup hebat atau cukup baik untuk bermain di liga utama bisbol. Ayah saya menanamkan ide itu di kepala saya, tetapi kemudian itu menjadi ambisi yang bergelora dalam hidup saya. Saya begitu ingin mewujudkannya, sama seperti ia sangat ingin melihat saya melakukannya.”

Ayah Jimmy sering mengingatkannya untuk menghindari cedera yang dapat mengganggu penampilannya. Pada suatu kesempatan ia berkata, “Ingat Nak, kamu menggenggam tongkat pemukul dengan kesepuluh jarimu. Jika ada satu saja jarimu yang rusak, itu bisa menghancurkanmu.” Ketika berusia 17 tahun, lengan Jimmy sempat patah saat bermain football . Ayahnya menangis terisak-isak seperti bayi dan berkata, “Ayah sudah berusaha keras supaya kamu tetap bermain bisbol, tetapi lihat apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri. Sekarang semuanya hancur lebur.”

Kehidupan Jimmy dipenuhi tekanan dan kekhawatiran. Selain mengkhawatirkan apakah ia bisa menjadi pemain bisbol profesional dan menyenangkan ayahnya, ia juga punya kegelisahan lainnya. Ia cemas bagaimana membahagiakan

4 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

ibunya dan memperoleh pendapatan untuk merawat orangtua, istri, serta bayinya. Keresahan ini akhirnya menjadi obsesi yang menguasai hidupnya. Jimmy sangat mudah curiga terhadap siapa pun yang tidak memahami obsesinya, dan mulai mengasingkan mereka yang menghalangi jalannya.

Jimmy akhirnya bermain di liga utama pada tahun 1952, dan ia sangat berprestasi. Namun, obsesi yang terbentuk oleh ekspektasi sang ayah membuat emosinya terpuruk. Pada bulan Juni 1952, ia mengalami tekanan kejiwaan yang sangat parah sehingga kehilangan 7 bulan ingatannya.

Kisah Jimmy Piersall itu adalah masalah yang sebenarnya tidak asing. Istilah kodependensi memang belum ada pada saat itu, tetapi saat ini banyak orang akan memandang sebagian masalah Jimmy tadi sebagai ketergantungan yang berlebihan terhadap pengakuan dari ayahnya. Ia didorong oleh tujuan yang tidak sehat dan mustahil untuk mencoba mengendalikan semua hal yang bisa membuatnya gagal memenuhi harapan sang ayah.

Kodependensi, dalam bentuk apa pun, adalah cara hidup yang menyiksa dan sering kali disalahpahami. Orangorang yang bergumul dengan masalah ini hidup terkurung dalam tekanan dan kecemasan yang memonopoli pikiran dan perasaan mereka. Meski mereka menyadari penderitaan itu, sering kali mereka gagal melihat penyebab utama yang menjadi akar masalahnya.

Meski sebagian besar orang dengan masalah

kodependensi tidak jatuh sampai terpuruk, banyak orang bisa mengenali beberapa atau seluruh pernyataan berikut ini dalam diri mereka:

• Saya terlampau mencemaskan seseorang atau masalah.

• Saya merasa seolah-olah saya harus selalu

mengendalikan semua hal.

• Saya merasa bertanggung jawab ketika orang lain merasa marah atau sedih.

5 Lepas dari Jerat Kodependensi

• Saya mengecilkan atau menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan orang lain.

• Sepertinya saya selalu minta maaf atas sesuatu.

• Saya mengalami kesulitan untuk tidak sependapat dengan orang lain.

• Saya menghindari hal-hal yang saya takuti.

• Saya akan melakukan apa saja untuk menjaga suasana damai.

• Saya cenderung bergantung pada orang lain.

• Saya ingin orang lain menjaga/mengurus hidup saya.

• Saya cenderung menawarkan bantuan meskipun tidak dibutuhkan.

• Saya mencoba memperbaiki masalah orang lain.

• Saya sering merasa dimanfaatkan oleh orang-orang yang saya coba bantu atau senangkan.

Jika Anda mengenali pernyataan-pernyataan di atas pada diri Anda, silakan terus membaca. Meskipun nampaknya sulit, apa yang akan Anda baca ini ditulis dengan keyakinan adanya cara hidup yang lebih baik bagi Anda.

Masalah Kodependensi

Kita tidak dapat mengubah masalah yang tidak kita pahami. Kita harus bisa mengenali apa itu kodependensi, seperti apa wujudnya, dari mana asalnya, dan apa dampaknya terhadap diri kita sendiri dan orang lain.

Istilah kodependensi adalah bahasa profesional yang muncul sekitar akhir 1970-an. Istilah ini digunakan untuk

menggambarkan suatu masalah yang menjangkiti anggota keluarga dari para pecandu zat-zat terlarang. Para tenaga kesehatan yang mencoba membantu orang berhenti menggunakan narkoba dan alkohol menemukan sesuatu yang tidak biasa. Di saat para pecandu berhasil mengatasi

LEPAS KENDALI

6 KETIKA HUBUNGAN

masalahnya, di situ pula sering kali keluarga mereka mulai berantakan. Seolah-olah beberapa anggota keluarga

membutuhkan masalah si pecandu agar mereka dapat

terus mengurus dan menyelamatkan orang yang tidak

dapat mereka kendalikan itu. Meski sebelumnya mereka

membenci si pecandu karena masalahnya, sekarang mereka membencinya karena keadaannya yang sudah membaik.

Kodependensi adalah istilah untuk menggambarkan mereka yang menolak melepaskan diri dari urusan hidup orang lain, sama halnya seperti si pecandu menolak untuk tetap hidup bersih. Seolah-olah seluruh identitas dan tujuan hidup mereka tercakup dalam usaha mereka untuk

menyesuaikan diri dan mengatasi masalah si pecandu.

Para tenaga kesehatan tidak lagi membatasi istilah

kodependensi untuk anggota keluarga dari seseorang yang kecanduan narkoba. Mereka sekarang menerapkan istilah itu kepada kelompok orang yang lebih luas. Saat ini, istilah

kodependensi digunakan untuk mereka yang bergumul dengan masalah ketergantungan dan kendali yang berlebihan— sekalipun mereka tidak sedang menjalin hubungan dengan seseorang yang bermasalah atau kurang sehat.

Definisi Kodependensi

Mari kita coba mendefinisikan masalah ini sedemikian rupa supaya ada landasan untuk memahami sejumlah dampak rohani yang penting. Kodependensi adalah ketergantungan yang berlebihan pada orang lain. Namun, masalah ini sulit dikenali karena mereka yang terlalu bergantung itu tidak

hanya dikendalikan oleh orang lain. Ironisnya, mereka juga berusaha mengendalikan orang-orang yang mengendalikan mereka.

Fokus hidup seorang yang kodependen dapat mencakup banyak orang—pasangan, mantan pasangan, pacar, orangtua, anak remaja putra atau putri, teman, atau anggota keluarga.

7 Lepas dari Jerat Kodependensi

Orang-orang lain ini mungkin lemah, penakut, dan kurang percaya diri, atau mereka mungkin terlalu percaya diri, merasa diri benar, dan sombong. Beberapa orang

kodependen menjalin relasi dengan orang lain yang memiliki kecanduan serius terhadap minuman keras atau judi. Ada pula yang menjalin hubungan dengan pasangan yang suka berselingkuh. Yang lainnya lagi hidup bersama seseorang dengan watak yang sulit ditebak.

Seperti yang dibahas sebelumnya, beberapa orang kodependen mungkin terlalu bergantung pada orang yang sebenarnya tidak berperilaku buruk ataupun sulit dikendalikan. Misalnya, seorang istri berusaha memaksa suaminya di rumah saja hanya karena ia merasa terancam oleh minat si suami dalam kegiatan yang tidak melibatkan dirinya. Sebenarnya minat si suami tidak keterlaluan atau keluar jalur. Masalahnya adalah si istri yang terlalu bergantung dan merasa sangat tidak aman sehingga ia merasa harus memiliki si suami hanya untuk dirinya sendiri. Kodependensi adalah soal tingkatan. Sampai batas tertentu, kita semua dikendalikan oleh tindakan dan pendapat orang lain. Dalam tingkatan tertentu, kita semua juga mencoba mengendalikan orang lain. Namun, mengendalikan dan dikendalikan oleh orang lain menjadi ciri mereka yang kodependen. Mereka melekat kepada orangorang yang berusaha mereka selamatkan, urus, senangkan, atau intimidasi karena mereka terlalu bergantung pada orang-orang tersebut.

Seperti Apa Wujud Kodependensi Itu?

Orang-orang kodependen mempunyai banyak cara untuk mencoba mengatur orang lain dan permasalahan mereka.

Si Pengurus

Ini bukan perawat yang dibutuhkan oleh orang yang tidak

8 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

berdaya karena keterbatasan fisiknya. Ini juga bukan penolong orang yang lemah (1 TESALONIKA 5:14). Jika ada

teman yang jatuh sakit dan Anda melakukan berbagai hal baginya atau menjaga anak-anaknya, itu bukan contoh pengurus yang dimaksudkan di sini. Para pengurus adalah mereka yang berupaya melakukan untuk orang lain apa yang bisa dan seharusnya orang itu perbuat untuk dirinya sendiri. Para pengurus memperkirakan terlalu jauh apa yang

dibutuhkan orang lain agar mereka bisa membantunya. Mereka berusaha menjadi pahlawan dan begitu bersemangat menyelesaikan masalah yang ada. Mereka merasa

bertanggung jawab untuk mengubah suasana hati orang lain. Mereka menawarkan nasihat yang tidak diinginkan kepada anggota keluarga, atau mengingatkan mereka tentang apa yang perlu dilakukan. Mereka memantau asupan makanan atau alkohol pasangannya. Sepertinya mereka sendiri yang membutuhkan masalah yang perlu diselesaikan agar mereka merasa dibutuhkan dan memegang kendali.

Si Penyelamat

Ini bukan seorang pemberani yang mengambil risiko demi menolong orang lain dalam keadaan darurat. Orang ini justru berusaha meluputkan orang lain dari konsekuensi pilihannya yang buruk. Para penyelamat justru melanggengkan dan tidak mengonfrontasi masalah yang dibuat oleh orang lain. Mereka menutup-nutupi kesalahan yang jelas-jelas dilakukan orang lain. Sebagai contoh, seorang penyelamat rela mengambil pekerjaan tambahan ketimbang menegur anggota keluarganya yang terus-terusan memakai uang yang seharusnya digunakan membayar tagihan dan menghabiskannya untuk narkoba dan berjudi. Mereka akan mengerjakan PR untuk seorang remaja yang cerdas tetapi malas. Mereka akan menyaring panggilan telepon yang tidak diinginkan bagi anggota keluarganya. Mereka akan menutup-

9 Lepas dari Jerat Kodependensi

nutupi kecanduan seksual atau berjudi dari pasangannya. Mereka “melindungi” dan “membela” orang lain dengan mencari pembenaran atas perilakunya yang tidak pantas.

Mereka membereskan kekacauan yang dibuat oleh anak-anak mereka yang sudah dewasa tetapi tidak bertanggung jawab.

Mereka memegang kendali dengan membereskan kekacauan dan mengecilkan keseriusan suatu masalah.

Si Penyenang

Ini bukan orang yang berusaha mempedulikan kebutuhan dan perasaan orang lain yang sesungguhnya. Sebaliknya, para penyenang ini berusaha melakukan sesuatu atau menjadi pribadi yang mereka pikir orang lain inginkan dari mereka. Mereka sibuk membuat orang lain bahagia dan berupaya tidak mengecewakan orang tersebut. Para penyenang sangat mudah setuju dengan orang lain demi menghindari pertikaian. Mereka tunduk secara berlebihan dan menuruti apa saja kemauan orang lain. Mereka memakai topeng yang berbeda-beda, tergantung siapa yang mereka hadapi. Mereka berusaha keras memenuhi standar orang lain, bahkan yang tidak realistis sekalipun. Mereka berusaha memegang kendali dengan siap melakukan atau mengatakan apa saja yang dapat diterima atau didengar oleh orang lain.

Si Korban Tak Berdaya

Setiap orang punya kelemahan, tetapi mereka yang berperan sebagai korban tak berdaya ini dengan sengaja memilih untuk menjadi lemah. Tidak hanya ingin dibantu, mereka juga ingin diurus oleh orang lain. Berbeda dengan si pengurus, para korban tak berdaya ini membutuhkan orang lain untuk mengurus mereka. Mereka mengirimkan pesan yang tersamar tetapi lantang, “Aku terlalu lemah untuk menghadapi hidup. Aku butuh keterlibatan dan kerja sama orang lain untuk bisa bertahan.” Para korban tak berdaya

10 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

memanipulasi orang lain untuk merasa kasihan pada diri mereka. Mereka menekan keluarga dan teman mereka untuk

memahami dan memaklumi ketidakmampuan mereka

menjalani hidup. Dengan menuntut orang lain untuk terusmenerus berada di sekitar mereka, si korban tak berdaya ini menyerap perhatian seperti karet busa kering. Mereka mengendalikan orang lain melalui kelemahan.

Si Pengancam

Keluarga dan gereja butuh pemimpin yang kuat, tetapi bukan pemimpin yang gemar mengancam dan sewenangwenang atas orang lain (1 PETRUS 5:3). Namun, itulah yang dilakukan para pengancam. Mereka membereskan urusan— tetapi dengan cara mereka sendiri. Banyak dari mereka suka memaksa, bahkan tanpa perlu meninggikan suara. Mereka menampilkan kesan bahwa mereka tahu segalanya. Mereka menggunakan pengetahuan untuk memegang kendali. Mereka bisa bersikap ramah dan bersahabat, selama orang lain sepakat dengan mereka. Namun, ketika ditentang, mereka pun berubah menjadi kejam. Beberapa pengancam bahkan menyerang orang-orang yang berani menentang mereka lewat perkataan maupun perbuatan mereka. Akan tetapi, di balik tampilan luarnya yang keras, terdapat hati yang takut kehilangan kendali dan ditinggalkan oleh orangorang yang mereka ancam.

Apa yang Mendorong Sikap Kodependen?

Meski wujud kodependensi bisa berbeda-beda, motivasi

pendorongnya serupa. Jika orang-orang kodependen diteliti dengan cermat, kita bisa melihat bahwa ketakutan, kepercayaan yang salah tempat, serta contoh yang buruk

mendorong mereka untuk berusaha mengendalikan dan rela dikendalikan oleh orang lain.

11 Lepas dari Jerat Kodependensi

Didorong oleh Ketakutan

Kita semua takut akan sesuatu. Namun, orang-orang kodependen dicengkeram rasa tidak aman yang amat besar. Sebagian besar pola pikir dan hubungan mereka

didorong oleh ketakutan akan penolakan, kemarahan, atau tiadanya pengakuan. Mereka dihantui ketakutan terusmenerus bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi jika mereka kehilangan kendali atas keadaan yang ada.

Raja Saul, raja pertama Israel, didorong oleh rasa takut. Setelah ditegur oleh Nabi Samuel karena membiarkan para prajuritnya melanggar perintah Allah, Saul akhirnya mengakui, “Aku takut kepada rakyat, karena itu aku mengabulkan permintaan mereka” (1 SAMUEL 15:24).

Orang-orang kodependen dikendalikan oleh ketakutan yang serupa. Beberapa khawatir tentang apa yang mungkin orang lain lakukan atau pikirkan jika mereka gagal. Yang

lain khawatir tentang kehilangan yang bisa diderita jika mereka tidak lagi dibutuhkan. Contohnya, seorang ibu terus menutupi perilaku tak bertanggung jawab putranya yang sudah dewasa karena ia takut orang lain akan mencap dirinya sebagai orangtua yang buruk. Ibu yang lain takut tidak dicintai anak-anaknya apabila mereka tidak lagi membutuhkannya untuk mengatur kehidupan mereka. Seorang pria begitu takut istrinya marah sehingga ia tidak mau mengambil risiko mengonfrontasi sang istri soal perilaku borosnya yang tidak terkendali.

Didorong oleh Kepercayaan yang Salah Tempat

Kita semua saling membutuhkan dan bergantung pada orang lain. Wajar jika sebagai anggota keluarga, kita ingin dicintai dan diterima. Sesama teman juga saling bergantung. Namun, orang dengan masalah kodependensi membutuhkan dan bergantung pada orang lain secara

12 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

berlebihan . Sesuatu yang penting hilang dalam diri orangorang yang kodependen, dan mereka bergantung pada orang

lain untuk mengisi kekosongan tersebut.

Lea, kakak perempuan Rahel dan istri pertama Yakub, adalah seorang perempuan yang kelihatannya

teramat membutuhkan kasih sayang suaminya. Sejak awal pernikahan yang dirancang dengan tipu daya, Yakub sudah menunjukkan bahwa ia lebih mencintai Rahel daripada

Lea (KEJADIAN 29:30). Menjadi yang kedua di mata Yakub sungguh menghancurkan hati Lea. Namun, tampaknya Lea berpikir bahwa jika ia melahirkan anak bagi Yakub, maka akhirnya sang suami akan mencintainya. Setelah melahirkan yang pertama dari enam putranya bagi Yakub, Lea membuat pernyataan yang diucapkan juga oleh banyak istri kodependen, “Sekarang tentulah aku akan dicintai oleh suamiku” (AY.32). Kemudian setelah putra ketiganya lahir, ia berkata, “Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya” (AY.34). Hasratnya untuk mendapatkan cinta Yakub memang wajar, tetapi tampaknya hal itu telah menjadi satu-satunya fokus dan tujuan hidup Lea.

Orang-orang kodependen menjadikan orang lain begitu penting sehingga kebahagiaan dan kepuasan hidup mereka yang tertinggi sepenuhnya bergantung pada cinta, penerimaan, dan kehadiran orang lain. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bahagia kecuali orang lain menerima mereka, memberikan perhatian lebih kepada mereka, lebih membutuhkan mereka, atau menjadi apa yang orang lain itu inginkan. Seorang perempuan, misalnya, begitu ingin agar keluarganya yang berantakan menjadi dekat sehingga ia berupaya mati-matian membuat mereka menghabiskan waktu bersama. Perempuan lain berusaha habis-habisan untuk menyenangkan ibunya yang sekarat demi mendapatkan penerimaan dari sang ibu.

13 Lepas dari Jerat Kodependensi

Didorong oleh Contoh yang Buruk

Perbuatan berdosa satu generasi bisa diwariskan kepada generasi berikutnya lewat kelakuan orangtua. Sebagai contoh, Alkitab menceritakan kisah sedih mengenai semua raja Israel yang menolak dinasti Daud dan mengikuti kelakuan berdosa pendahulu mereka (1 RAJA-RAJA 22:53-54).

Banyak orang kodependen tumbuh besar dengan melihat ibu atau ayah yang berlebihan dalam usaha mereka menyenangkan atau mengurus orang lain. Mereka mungkin tumbuh bersama salah satu orangtua yang memiliki masalah kecanduan yang buruk, sementara orangtua satu lagi sibuk berdalih atau berpura-pura menutupi masalah yang ada. Yang lain mungkin mempunyai orangtua yang menangani rasa tidak aman mereka dengan berperan menjadi korban yang tak berdaya atau justru suka mengancam. Hampir setiap hari, mereka melihat pola-pola hubungan kodependen, yang perlahan-lahan tertanam juga dalam diri mereka.

Kodependensi adalah perilaku yang dipelajari. Namun, akan tiba saatnya kita semua harus bertanggung jawab atas cara yang kita pilih untuk menjalani hidup. Anak-anak tidak punya kendali atas contoh kelakuan yang diberikan orangtua, tetapi mereka harus bertanggung jawab ketika memilih untuk mengikuti atau menolak contoh itu.

Apa yang Salah dengan Kodependensi?

Ada banyak yang salah dengan kodependensi! Kodependensi tidak bermanfaat, membawa lebih banyak masalah, dan melanggar prinsip kasih. Kodependensi juga merupakan tanda dari masalah yang tidak disadari.

Kodependensi Tidak Bermanfaat

Tidak peduli betapa hebatnya strategi orang kodependen, mereka tidak dapat sepenuhnya mengendalikan apa pun

14 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

atau siapa pun. Hidup akan terus berubah dan tidak jarang mengecewakan. Teman dan orang-orang terkasih mungkin akan patuh untuk sejenak, tetapi pada akhirnya mereka menolak dan tidak suka dikendalikan. Ketika orang kodependen meningkatkan upaya mereka, mereka justru

semakin dikendalikan oleh orang atau masalah yang mereka coba ubah. Ini pun menjadi lingkaran setan yang melelahkan.

Kodependensi Membawa Lebih Banyak Masalah

Jauh di lubuk hati, orang-orang kodependen menyadari bahwa terlepas dari upaya mereka yang begitu rupa, alihalih membaik, hidup justru menjadi lebih buruk. Berikut ini adalah sejumlah masalah besar yang diakibatkan oleh kodependensi:

Kebencian. Sering kali dalam hati orang-orang yang terlihat baik dan penurut tersimpan kebencian yang membara. Mereka kelihatannya selalu setuju dan patuh, tetapi pada akhirnya mereka membenci orang-orang yang coba mereka urus, selamatkan, dan senangkan. Misalnya, seorang istri mengeluh, “Setelah semua yang kulakukan untuk membahagiakan suamiku, tetap saja ia selingkuh.”

Seorang ayah mengakui, “Saya telah melakukan banyak hal untuk putraku. Saya menyelamatkannya dari begitu banyak kesulitan. Tetapi ia tidak mau berhubungan denganku kecuali jika membutuhkan sesuatu.”

Marta, yang bisa jadi terlalu bergantung pada orang lain, adalah contoh dalam Perjanjian Baru tentang seseorang yang merasa sakit hati karena sepertinya tidak seorang pun memperhatikan atau menghargai kerja kerasnya. Saudarinya, Maria, mendapatkan seluruh perhatian Yesus, padahal Marta yang membuka rumahnya bagi Yesus dan mengerjakan semua urusan untuk menjamu-Nya (LUKAS 10:38-42).

Orang dengan masalah kodependensi dapat memahami perasaan sakit hati Marta. Mungkin ada anggota keluarga

15 Lepas dari Jerat Kodependensi

yang tidak menghargai pengorbanan mereka. Teman-teman tidak mendengarkan saran mereka atau memberi persetujuan serta perhatian kepada mereka. Orang lain tidak memahami kebutuhan atau kelemahan mereka. Akhirnya, mereka merasa marah, dimanfaatkan, dan disalahpahami.

Meski menyimpan kebencian, orang-orang kodependen tetap merasa takut dan masih bergantung pada orang lain secara berlebihan, sehingga mereka terus melakukan atau

meminta lebih banyak lagi—hanya untuk memperoleh hasil yang sama mengecewakannya. Kemarahan yang bertumpuktumpuk akhirnya berujung pada keluh-kesah, sikap menarik diri, emosi yang meledak, atau ungkapan kepahitan dengan cara yang halus. Banyak yang menyembunyikan sakit hati mereka selama bertahun-tahun, bahkan dari diri mereka sendiri. Misalnya, seorang istri membutuhkan waktu delapan tahun sebelum menyadari dan memahami betapa marah

dirinya karena membiarkan sang suami memaksakan kehendak atas dirinya. Orang kodependen lain berusaha menyimpan rasa frustrasi mereka untuk sementara waktu, dengan sesekali memarahi anggota keluarga dan teman mereka yang tidak bersalah.

Stres. Merisaukan apa yang dipikirkan atau dibutuhkan orang lain dan berusaha menjadi segala-galanya bagi mereka akan menciptakan tingkat stres yang tidak sehat. Sebagai contoh, seorang anak yang berusaha keras untuk menjaga kebahagiaan dan kebersamaan sebuah keluarga yang retak akan menanggung akibat yang sangat besar. Usaha menyenangkan orang membawa kepada pencarian tanpa akhir untuk tahu apa yang diinginkan orang lain. Stres pun bertumpuk karena apa yang nampaknya bisa menyenangkan di satu hari ternyata tidak lagi berhasil di hari berikutnya.

Depresi dan Kecanduan. Beberapa orang akhirnya menyadari bahwa upaya mereka untuk mengubah orang lain dan melindungi diri mereka sendiri itu tidak berhasil.

16 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

Mereka pun bertanya pada diri sendiri, “Jadi, apa gunanya?” sebelum akhirnya menyerah. Mereka yang tidak dapat lagi

menoleransi atau melindungi diri dari pahitnya kehidupan akan beralih kepada alkohol, petualangan seksual, belanja, hiburan, atau menyibukkan diri sebagai bentuk pelarian. Namun, pada akhirnya mereka selalu diperbudak oleh apa pun yang mereka gunakan untuk melarikan diri dan mengendalikan kepedihan hidup yang mereka alami.

Komplikasi Kesehatan. Banyak tenaga kesehatan meyakini bahwa ketika seseorang memendam banyak masalah di dalam hatinya, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, atau terlampau khawatir, orang itu sebenarnya berisiko mengalami beragam masalah kesehatan, yang beberapa di antaranya berpotensi mengancam nyawa.

Kodependensi Melanggar Prinsip Kasih

Mengasihi orang lain berarti mempedulikan mereka dan mengupayakan yang terbaik bagi mereka. Dilihat dari sudut mana pun, melepaskan orang lain dari perilaku mereka yang tidak bertanggung jawab bukanlah sikap terbaik bagi mereka (AMSAL 19:19). Sikap seperti itu justru mengizinkan mereka untuk terus hidup sembrono dalam dosa. Hal yang sama juga berlaku dalam hal mengurus orang lain. Perbuatan tersebut melanggar prinsip kasih karena membuat orang tidak

bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan menghalanginya bertumbuh dewasa. Memanipulasi dan memaksa orang lain untuk melakukan apa yang Anda kehendaki juga melanggar prinsip kasih.

Eli, imam besar Israel pada masa hakim-hakim, menggambarkan perilaku melanggar prinsip kasih ini. Kedua putranya menyimpan untuk diri mereka bagian daging

terbaik dari hewan yang dipersembahkan. Mereka juga bersetubuh dengan para perempuan yang bertugas di Kemah Suci. Eli mengetahui dosa anak-anaknya, tetapi ia tidak

17 Lepas dari Jerat Kodependensi

memarahi mereka. Allah berfirman mengenai Eli: “Anakanaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!” (1 SAMUEL 3:13). Jika saja Eli menunjukkan kasih yang tegas dan mencopot kedua putranya dari posisi mereka, ia mungkin bisa menyadarkan dan mengubah hidup mereka.

Namun, ia malah gagal mengasihi mereka dengan benar dengan tidak melakukan apa pun.

Kodependensi adalah Tanda dari Masalah yang Tidak Disadari

Kodependensi berakar dari permasalahan yang sering kali tidak terlihat dan terkubur jauh dalam lubuk hati manusia. Meski dihadapkan pada banyak kesulitan hidup yang

besar, orang-orang kodependen menambah beban hidup mereka dengan masalah lain yang lebih besar, yakni tekad untuk mengelola hidup mereka terpisah dari Allah . Alih-alih menginginkan dan mempercayai Allah, mereka bertekad untuk mengelola hidup dan melindungi diri melalui caracara kodependen yang mereka andalkan.

Meski sering luput dari perhatian, banyak orang

kodependen mengandalkan kekuatan mereka sendiri karena mereka sudah berhenti berharap pada Allah. Mereka mungkin mempercayai-Nya untuk memperoleh hidup yang kekal, tetapi meragukan kesanggupan-Nya untuk mengatasi ketakutan dan kekecewaan yang dialami sehari-hari. Banyak yang tidak mempercayai Allah lagi karena mereka yakin

Dia sudah gagal melindungi dan memelihara mereka di masa lalu. Mereka meyakini bahwa rasa sakit dan kekecewaan mereka membenarkan tindakan mereka untuk mengandalkan kekuatan sendiri dalam menghadapi masalah hidup.

18 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

dua Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

Kodependensi adalah jalan yang pernah dilalui oleh sebagian besar dari kita. Di satu waktu, kebanyakan dari kita pernah berada dalam hubungan yang

membuat kita terlalu membutuhkan orang lain dan lebih percaya pada strategi kodependen kita daripada Allah. Belajar lebih mempercayai Allah daripada kodependensi adalah seperti melompat dari kapal yang mulai tenggelam di tengah badai yang mengamuk. Allah memanggil kita untuk meninggalkan kapal tersebut dan mempercayai Dia untuk menyelamatkan kita. Namun, kita gagal mendengar suara-Nya, entah karena terlalu sibuk menambal kebocoran dan menjaga kapal kita tetap bertahan, atau kita menunggu

19

datangnya pilihan yang lebih baik. Sebagian dari kita bahkan sudah turun ke dek bawah, pasrah terhadap kenyataan

bahwa kita akan tenggelam bersama kapal itu.

Bahkan saat mendengar panggilan-Nya, kita raguragu. Kapal kita yang bocor mungkin tenggelam lebih

cepat daripada Titanic , tetapi kita enggan untuk melompat. Anginnya kencang dan ombaknya tinggi. Siapa juga yang

tahu apa yang tersembunyi di bawah permukaan air? Allah memang berjanji untuk selalu menyertai kita, tetapi kita masih ragu. Mempercayai Dia tampaknya sama tidak masuk akalnya seperti berenang bersama hiu yang lapar. Kita lebih

suka mengambil risiko dan menunggu kedatangan orang lain yang rasanya lebih bisa diandalkan. Sementara itu, kapal yang tenggelam dan upaya untuk menambalnya nampak

lebih masuk akal, jadi kita tetap bertahan dalam kapal.

Kabar baiknya adalah Allah kita sabar dan gigih. Meski

kita terus meragukan-Nya dan mengandalkan strategi

kodependen kita, Dia tetap memanggil kita untuk percaya kepada-Nya. Bagian selanjutnya dari buklet ini akan

menjelaskan tentang jalan menuju pilihan yang jauh lebih

baik daripada kodependensi. Jalan kepada cara hidup yang lebih baik itu mungkin berbeda-beda bagi setiap orang, tetapi pada intinya, kita perlu: (1) mengakui kebenaran dan (2) bergumul melewati proses yang dibutuhkan untuk mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Dia yang menjadikan kita milik-Nya.

Mengakui Kebenaran

Allah rindu kita mempercayai-Nya lebih dari sekadar untuk keselamatan kita. Namun, proses ini menuntut kita untuk

melihat hidup dan diri kita sendiri dengan kejujuran yang sering kali kita hindari. Kita suka berpura-pura bahwa hidup kita tidak buruk-buruk amat. Yang lebih parah, kita berpurapura mempercayai Allah, padahal sebenarnya kita lebih

20 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

mempercayai orang lain dan strategi kodependensi kita.

Tak seorang pun dari kita akan menemukan cara yang

lebih baik dengan berpura-pura bahwa hidup ini lebih baik

dari kenyataan yang ada, atau bahwa kita sudah menjadi diri kita yang seharusnya. Hanya ketika kita jujur mengakui

kebenaran—tentang (1) kepedihan dan kekecewaan kita, (2) cara dan maksud kodependensi kita, (3) strategi kodependensi kita yang gagal, (4) luka yang kita sebabkan pada diri sendiri dan orang lain, dan (5) niat kita untuk hidup tanpa mengandalkan Allah—barulah Roh kebenaran akan menolong kita menemukan jalan yang lebih baik.

1. Mengakui kebenaran tentang kepedihan dan kekecewaan kita. Rasa sakit adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, kepedihan emosional dalam hidup kita bisa terasa begitu dalam, hingga perlahan-lahan menjauhkan kita dari Allah, dan kita pun berusaha melindungi diri sendiri serta menjalani hidup yang menduakan Allah. Tingkat kepedihan seperti itu dialami oleh mereka yang besar dalam keluarga yang kaku, penuh kemarahan, dan hampir tanpa kasih sayang sama sekali. Hal ini dialami oleh mereka yang teraniaya di bawah orangtua yang lalai, guru sekolah yang pemarah, tetangga yang jahat, atau pengasuh anak yang kejam. Hal ini juga biasa terjadi pada mereka yang terabaikan atau yang pernah kehilangan anggota keluarga maupun teman dekat.

Jika hati Anda pernah terluka parah, dan kita semua pernah mengalaminya, menghadapi kepedihan dan akibatnya terhadap diri Anda mungkin tidak masuk akal, sama seperti menggosokkan garam ke luka terbuka. Anda lebih ingin melupakan komentar pedas dari orangtua yang suka mengkritik atau tidak lagi mengingat sakitnya ditinggalkan oleh seseorang yang Anda sayangi. Anda bahkan mungkin menyalahkan diri sendiri atas apa yang orang lain lakukan terhadap Anda. Namun, jika Anda terus

21 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

menyangkal kepedihan yang mendalam itu, bisa jadi Anda justru akan dikuasai olehnya. Bahkan jika dalam waktu yang cukup lama Anda tidak pernah mengakui rasa sakit itu dan melihatnya dari sudut pandang Allah, Anda bisa tergoda untuk mempercayai kebohongan Iblis yang menyatakan

bahwa Allah itu tidak baik dan tidak bisa dipercaya.

2. Mengakui kebenaran tentang cara dan maksud kodependensi kita. Kita harus bersedia meminta Allah

menolong kita mengenali dan mengakui cara-cara tertentu yang kita gunakan dalam berelasi dengan orang lain di saat kita takut dan terlalu menggantungkan diri pada mereka

(MAZMUR 139:23-24). Kejujuran menuntut kita mengakui bahwa maksud di balik upaya kita untuk menyenangkan, menyelamatkan, atau mengurus orang lain tidaklah

sesederhana yang kita bayangkan (AMSAL 16:2).

Beberapa orang mungkin salah paham dengan mengira bahwa Alkitab menganjurkan kodependensi. Sebagai contoh, Yesus menasihati kita untuk berbuat lebih jauh dari yang diharapkan atas kita (MATIUS 5:41). Rasul Paulus mengatakan bahwa kita perlu memperhatikan kepentingan orang lain (FILIPI 2:4). Namun, perbedaan antara apa yang Alkitab katakan dan apa yang dilakukan orang kodependen terletak pada maksud . Saat jujur melihat hati kita, upaya kita menyenangkan atau mengurus orang lain mungkin tidak selalu dimaksudkan untuk kepentingan orang lain.

Dengan berat hati, kita perlu mengakui bahwa maksud utama di balik tindakan kita yang terus-menerus menuruti orang lain, sambil berusaha mengendalikan mereka, sesungguhnya adalah demi melindungi diri kita sendiri . Kita mungkin pernah mengalami rasa sakit dan kehilangan yang begitu dahsyat hingga kita bersumpah tidak akan pernah membiarkan diri kita terluka lagi. Contohnya, banyak di antara kita melindungi diri dengan tidak meminta macammacam supaya orang lain tidak menjadi kesal terhadap kita.

22 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

Kita pikir, jika kita hanya mengurus orang lain, memberikan apa saja yang mereka inginkan, atau menutup-nutupi masalah mereka, mereka tidak akan marah atau pergi

meninggalkan kita. Ada pula yang melindungi diri mereka dengan mengendalikan apa yang orang lain pikirkan dan lakukan. Mereka membayangkan bahwa mereka tidak akan ditelantarkan selama orang lain berada di bawah kendali mereka, baik secara halus maupun terang-terangan.

Tujuan lain dari kodependensi adalah untuk memperoleh pengakuan dan perhatian. Tanpa dua hal itu, orang kodependen merasa hidup ini tidak berarti lagi. Mereka menjadi ketagihan akan pengakuan dan perhatian orang lain, seperti halnya seseorang yang kecanduan narkoba. Oleh karenanya, kita harus mengakui kenyataan bahwa sering kali kita berupaya menyenangkan orang lain atau sengaja bersikap lemah supaya terus mendapatkan perhatian.

Banyak orang kodependen begitu dikendalikan oleh

masa lalu yang menyakitkan sehingga mereka tanpa sadar terdorong untuk memperbaikinya. Mereka mengira bahwa

seandainya saja mereka dapat mengulang kembali kepedihan yang timbul dari hubungan sebelumnya, mereka dapat memperbaiki apa yang salah. Malangnya, mereka percaya bahwa kali ini mereka dapat membuat seorang pemarah

kembali menyayangi mereka, atau seorang pecandu alkohol berhenti minum. Seorang wanita, contohnya, tumbuh dewasa dengan mengurus ayahnya yang mudah terpuruk ketika

berhadapan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Di kemudian hari, ia pun kemudian menikah dengan pria yang memiliki sifat persis ayahnya, dan berpikir bahwa ia bisa mengubah suaminya serta memperoleh apa yang tidak pernah diterimanya dari sang ayah. Namun kenyataannya, justru wanita itu yang harus bersikap lebih kuat dan terusmenerus memanjakan perasaan suaminya, persis seperti yang pernah ia lakukan terhadap ayahnya.

23 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

3. Mengakui kebenaran tentang kegagalan kodependensi. Mungkin kita mengira kodependensi membuat kita merasa bahagia dan aman, tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Kodependensi tidak akan pernah membuat kita benarbenar aman. Pengakuan dan perhatian yang kita terima belum tentu bertahan lama. Masa lalu kita pun tidak sertamerta membaik. Hidup secara kodependen itu ibarat usaha menampung air dalam wadah bocor yang retak dan penuh lubang (YEREMIA 2:13).

4. Mengakui kebenaran tentang luka yang kita sebabkan pada diri kita sendiri dan orang lain. Meski orang lain telah begitu dalam menyakiti kita, penting untuk mengakui bahwa kepedihan yang ditimbulkan oleh strategi kodependen terhadap diri kita sendiri sering kali melebihi penderitaan yang telah kita alami akibat perbuatan orang lain.

Usaha untuk menyenangkan dan mengurus orang lain justru membawa diri kita kepada pergulatan yang lebih

besar dengan stres, depresi, dan rasa bersalah. Ketakutan yang dibiarkan mengendalikan kita dapat membuat kita rentan terhadap berbagai masalah kesehatan. Berusaha

menyenangkan orang lain dan bersikap tidak berdaya, atau sebaliknya serba mandiri, justru menyebabkan lebih banyak stres, ketidakjujuran, dan ketegangan dalam hubungan kita.

Salah satu kenyataan yang paling sulit diakui adalah

bahwa sering kali kita sendirilah yang menjerumuskan diri kita ke dalam kepahitan. Misalnya, kita mungkin merasa

jengkel karena orang lain tidak tahu apa yang kita butuhkan, tetapi kita sendiri tidak memberi tahu mereka tentang kebutuhan itu. Terkadang kita meminta orang lain untuk

meneruskan rencana mereka, tetapi sebenarnya kita tidak

suka ketika mereka melakukannya.

Tanpa sadar orang kodependen juga dapat melukai orang lain. Mereka berusaha terlalu keras untuk menghindari

luka yang lebih dalam pada diri sendiri, sampai-sampai

24 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

tidak menyadari bagaimana mereka telah melukai orang lain. Mereka tergesa-gesa menyelamatkan orang lain, tetapi tindakan itu justru meniadakan konsekuensi yang sering kali diperlukan bagi terjadinya perubahan. Dengan berbuat terlalu banyak bagi orang lain, mereka menghambat orang itu bertumbuh dewasa. Banyak yang memendam kebutuhan mereka sendiri sehingga orang lain tidak berkesempatan untuk menolong mereka. Ada pula yang menimbulkan ketakutan pada diri orang lain lewat ancaman mereka.

5. Mengakui kebenaran tentang masalah kita yang sebenarnya, yaitu niat untuk hidup tanpa mengandalkan Allah. Ancaman paling serius terhadap kesejahteraan kita bukanlah masa lalu kita yang menyakitkan. Bukan pula rasa takut dan rasa tidak aman kita. Bukan pasangan, teman, atau orangtua yang tidak mau berubah untuk menjadi seperti yang kita inginkan. Bukan pula kurangnya kita berdoa atau membaca Alkitab. Jika ingin mematahkan pola kodependensi, kita perlu mengakui dengan jujur bahwa masalah kita yang sebenarnya adalah kecenderungan kita menjalani hidup tanpa Allah. Dalam keinginan kita yang wajar untuk hidup terbebas dari rasa sakit dan kesulitan, kita melindungi diri sendiri dan mengandalkan orang lain, dan bukan Allah, untuk memberi kita kepuasan dan kebahagiaan.

Kodependensi bukan hanya akibat dari rasa takut, ketergantungan yang besar, dan kurangnya teladan yang baik—semua dinamika yang berlangsung dalam hubunganhubungan kita yang terdahulu. Kodependensi terjadi ketika kita menggantikan Allah dan berusaha mengambil alih kendali atas hidup kita.

Oleh karena itu, jalan keluar dari kodependensi haruslah mengandung pengakuan atas masalah kita yang sebenarnya. Agar kita menempuh jalan yang lebih baik, kita tidak hanya perlu mengakui kepedihan kita dan tindakan kita yang

telah melukai diri sendiri dan orang lain dengan strategi

25 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

kodependen kita. Kita juga perlu melihat bagaimana selama ini kita telah berusaha menjalani kehidupan tanpa mengandalkan Allah. Memang ini pengakuan yang

menyakitkan, tetapi dengan itu kita diajak untuk bergumul melalui proses yang menuntun kita ke arah yang lebih baik.

Bergumul Melalui Proses

Melepaskan ketergantungan dan upaya kita untuk mengendalikan situasi memang tidak mudah. Hal itu tidak terjadi dalam sekejap. Pada dasarnya kita tidak ingin membuka diri untuk mengalami pergumulan yang sebenarnya kita perlukan agar dapat lepas dari kesesatan gaya hidup dan cara pandang tentang Allah yang sudah sangat berakar dalam hati kita.

Kita harus mengizinkan waktu untuk menancapkan pemahaman baru dalam diri kita. Saat kita dengan sungguhsungguh mempertanyakan dan mempertimbangkan semua keputusasaan, keraguan, dan kekecewaan kita, perlahan kita akan mulai memahami pola pikir Allah. Meski sebagian besar pergumulan itu kita jalani sendiri bersama Allah, penting juga bagi kita untuk melibatkan beberapa teman dekat, rohaniwan yang bijaksana, atau konselor yang berwawasan luas. Prosesnya akan selalu lebih bermanfaat jika melibatkan orang-orang yang peduli kepada kita (GALATIA 6:2).

Bergumul dengan Keputusasaan Kita. Adakalanya Allah menarik perhatian kita dengan mengizinkan kita merasakan belas kasihan yang pedih. Salah satu bentuk belas kasihan itu adalah keputusasaan yang dirasakan untuk sementara waktu ketika strategi kodependen kita gagal. Ketika kita tidak dapat lagi menyangkal bahwa cara kita mengatur kehidupan telah gagal dan justru memperburuk keadaan, kita perlahanlahan kehilangan harapan terhadap cara-cara lama yang kita gunakan. Ketika kodependensi kita tidak lagi bekerja, kita mungkin merasa bingung dan tidak berdaya. Namun, kabar

26 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

baiknya adalah bahwa pergumulan sulit yang kita timbulkan sendiri—oleh karena relasi yang dilandasi rasa takut dan ketergantungan berlebihan—sesungguhnya memberi kita ruang untuk mengalami pengharapan yang lebih kuat.

Allah sungguh-sungguh ingin kita memasuki kegelapan dan kepedihan akibat keputusasaan yang kita timbulkan sendiri. Itulah sebabnya Dia mengungkapkan kekecewaan terhadap anak-anak-Nya yang berusaha mengandalkan berhala mereka: “Oleh perjalananmu yang jauh engkau sudah letih lesu, tetapi engkau tidak berkata: ‘Tidak ada harapan!’ Engkau mendapat kekuatan yang baru, dan sebab itu engkau tidak menjadi lemah” (YESAYA 57:10). Dengan kata lain, ketika usaha mereka mencari lebih banyak berhala itu berakhir sia-sia, Allah ingin mereka jujur mengakui, “Tidak ada harapan lagi!” Dia ingin mereka mengalami keputusasaan dan menghentikan pengejaran mereka yang bodoh. Namun, yang terjadi adalah mereka justru bersikukuh dan terus mencari lebih banyak berhala.

Keputusasaan bisa memberi kita hikmah. Jika kita

memperhatikannya, keputusasaan bisa menyingkapkan apa yang sebenarnya selama ini kita kejar mati-matian. Kita dapat melihat dengan jelas apa yang selama ini kita kejar dengan susah payah dan yang tanpanya kita pikir hidup tidak lagi berarti, yakni pengakuan dan penerimaan orang lain. Keputusasaan yang disebabkan diri sendiri akan menyingkapkan apa berhala yang kita kejar selama ini.

Bergumul dengan keputusasaan juga dapat menolong kita berhenti mencondongkan hati kita kepada berhala.

Menghadapi kenyataan yang membuat putus asa itu dapat menggelisahkan kita hingga kita ingin menyingkirkan semua berhala tadi. Rasa sakit akibat keputusasaan dapat

mendesak kita untuk tidak lagi mempercayai diri sendiri dalam mengelola hidup ini dan melepaskan kekerasan hati kita yang ingin mengendalikan segala sesuatu. Keputusasaan

27 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

bisa terasa begitu menyiksa sampai-sampai kita didesak untuk serius mempertimbangkan cara lain untuk hidup, dan ini tidak hanya sekadar perubahan yang membuat kita merasa lebih baik untuk sementara waktu. Di tengah pergulatan dengan rasa putus asa tersebut, kita dapat mulai melihat

kehidupan ini lebih dari sekadar upaya kodependen kita demi meraih penghargaan dan perhatian orang lain.

Kepedihan akibat keputusasaan dapat membuat kita lebih

rela menantikan apa yang Allah ingin kita rindukan, yaitu pertumbuhan karakter dan kepekaan dalam mendengar panggilan-Nya atas hidup kita. Memang, keadaan atau

hubungan kita belum tentu akan menjadi lebih baik. Kita tidak dapat menjamin orang lain akan berurusan dengan dosanya sendiri, dan mereka bisa saja marah lalu pergi

meninggalkan kita. Orang yang kita sayangi bisa jadi akan terus membuat pilihan yang merusak hidupnya. Hubungan kita dengan mereka bisa saja berakhir tragis. Keluarga

mungkin semakin jauh terpisah. Meski hati kita tetap pedih, kita bisa mulai mengalami pengharapan yang lebih besar, yaitu bahwa Allah masih bekerja di dalam diri kita (FILIPI 1:6) dan memanggil kita demi tujuan hidup yang lebih besar dari diri kita sendiri (2 KORINTUS 5:15). Kita mungkin tidak memahami semuanya, tetapi kita dapat semakin berharap bahwa Dia sedang mengubahkan kita dengan cara-cara yang akan membawa orang lain kepada-Nya.

Dengan memegang pengharapan bahwa kita dapat menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus, kita semakin diyakinkan untuk meninggalkan segala berhala yang pernah kita andalkan dan tidak lagi berputus asa atas hidup ini.

Meski kita tidak dapat menanggung dosa orang lain seperti yang Yesus lakukan, kita dapat berusaha mengikuti teladan-Nya. Yesus tidak hidup untuk melindungi diriNya sendiri. Dia tidak dikendalikan oleh pengakuan orang lain. Dia juga tidak mencoba untuk mengambil alih kendali

28 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

atas hidup orang-orang yang Dia kasihi. Sebaliknya, Dia mempercayakan diri-Nya kepada Bapa-Nya—bahkan taat sampai mati. Ketika merenungkan cara-Nya mempercayai Sang Bapa, dan berfokus pada dampak dari cara hidupNya, kita akan mulai menemukan terang dalam kegelapan kita. Nasihat Rasul Paulus yang tidak lazim untuk “bermegah juga dalam kesengsaraan kita” menjadi lebih masuk akal. Menderita dalam keputusasaan yang pedih, sambil mengarahkan pandangan kita kepada Bapa di surga, pada akhirnya akan menuntun kita kepada pengharapan yang “tidak mengecewakan” (ROMA 5:3-5).

Bergumul dengan Keraguan. Meski sering tidak disadari, setiap orang dengan masalah kodependensi memiliki keraguan yang serius terhadap Allah jauh di lubuk hati mereka. Kita meragukan kasih dan kebaikan-Nya karena kita sudah begitu terluka. Entah kita percaya Dialah yang menyebabkan kepedihan itu atau sekadar mengizinkannya terjadi, fakta bahwa Dia sebenarnya bisa berbuat sesuatu untuk mencegahnya membuat kita sulit mempercayai-Nya.

Banyak dari kita melihat keraguan sebagai musuh. Kita mencoba membungkam bisikannya dengan berpura-pura menganggap keraguan itu tidak ada. Meski keraguan bisa menjadi musuh iman, kita gagal menyadari bahwa hal itu juga bisa mempunyai sisi positif. Dengan mengambil sudut pandang yang berbeda, kita dapat melihat keraguan sebagai pendukung iman. Jika kita secara jujur bergumul dengannya, keraguan dapat mendorong kita mencari Allah lewat pertanyaan-pertanyaan sulit yang kita ajukan seputar kepedihan dan kekecewaan kita, seperti: “Di mana Engkau, ya Allah?” atau “Mengapa Engkau tidak melindungiku?” atau “Tuhan, mengapa Engkau biarkan begitu banyak kesakitan dan kepedihan dalam hidupku?”

Sebagai contoh, perhatikanlah masa sulit yang dialami Gideon. Hakim-Hakim 6:1-5 memberikan konteks bagi

29 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

pergulatan Gideon dengan keraguan. Israel sedang ditindas hebat di bawah tangan orang Midian karena penyembahan

berhala yang mereka praktikkan. Selama tujuh tahun, orang

Midian dengan kejam menyerbu hasil pertanian orang Israel seperti kawanan belalang. Mereka merusak dan merampok

sebagian besar hasil panen dan membunuh ternak Israel. Mereka menghancurkan semangat bangsa Israel dan membiarkan umat Allah dalam kemiskinan dan kelaparan.

Ketika malaikat Tuhan datang kepada Gideon pada awal musim panen dan berkata, “Tuhan menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani” (AY.12), tanggapan Gideon pada dasarnya adalah, “Ah, yang benar saja.” Simak keraguan dan pergumulannya saat ia berkata: “Jika Tuhan menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? Di manakah segala

perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib yang diceritakan oleh nenek moyang kami kepada kami, ketika mereka berkata:

Bukankah Tuhan telah menuntun kita keluar dari Mesir?

Tetapi sekarang Tuhan membuang kami dan menyerahkan kami ke dalam cengkeraman orang Midian” (AY.13).

Allah tidak menegur Gideon karena bertanya. Allah juga

tidak menyebutkan bahwa penyembahan berhala merekalah yang menyebabkan penindasan itu. Allah mengizinkan

Gideon untuk bergumul dan mencari tahu dengan

membiarkan ia bertanya dengan hati yang jujur. Mengajukan pertanyaan sukar kepada Allah tentang keadaan sulit

tersebut menjadi persiapan bagi Gideon untuk melihat Allah dengan cara yang baru, dan imannya pun bertumbuh.

Dalam pencariannya, Gideon menjadi percaya bahwa Allah bekerja dengan cara-cara yang tidak bisa dilihatnya.

Keraguan dan ketakutan Gideon tidak langsung hilang.

Itulah sebabnya ia meruntuhkan mezbah Baal kepunyaan

ayahnya di waktu malam (AY.27) dan membentangkan

guntingan bulu domba sebelum setuju untuk memimpin

Israel berperang melawan orang Midian (AY.36-40). Akan

30 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

tetapi, ia tidak bisa mengabaikan keyakinan baru yang terbit dalam hatinya, yang menyatakan bahwa Allah hendak melakukan sesuatu yang besar. Meskipun masih bergumul dengan keraguan, Gideon melangkah maju dalam iman untuk melawan musuh.

Saat kita jujur menghadapi keraguan kita sendiri, Allah akan menyatakan kuasa-Nya yang bekerja di tengah keadaan yang sukar. Dia mungkin tidak menampakkan diri-Nya sesering yang kita mau, tetapi Dia melakukan sesuatu yang lebih besar daripada yang kita sadari. Pergumulan kita yang jujur dengan keraguan membuka jalan bagi perjumpaan dengan Allah yang dapat menumbuhkan iman kita kepadaNya. Tuhan berjanji bahwa Dia akan memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia (IBRANI 11:6).

Bagaimana? Kapan? Di mana? Dia tidak memberi tahu kita. Itu adalah bagian dari misteri Allah. Meski demikian, kita harus terus mencari Dia dengan menggumuli pertanyaanpertanyaan sulit tentang kehidupan ini, tanpa terjerumus dalam kepahitan atau menerima begitu saja jawaban yang sederhana atau gampangan.

Pada akhirnya, kebenaran yang jauh lebih mendalam daripada kekecewaan kita yang menyakitkan akan mulai memenuhi hati kita. Kita bisa berserah kepada sudut pandang bahwa Allah sanggup menggunakan apa pun untuk mewujudkan tujuan-Nya yang baik. Iman kita berkembang saat hati kita menemukan kehadiran Allah dalam hidup kita. Kita menemukan bahwa meskipun Allah mengizinkan terjadinya suatu tragedi, Dia sanggup mengubah apa yang dirancangkan untuk kejahatan dan menggunakannya untuk kebaikan. Itulah pesan inspiratif dari kisah Yusuf dalam Perjanjian Lama. Ia dibenci, dikhianati, dan dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya yang iri hati. Namun, Allah menggunakan kejahatan yang menimpa Yusuf untuk menghasilkan kebaikan yang lebih besar (KEJADIAN 50:20).

31 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

Bergumul dengan Kekecewaan. Meski kita sudah bersabar menghadapi keraguan dan keputusasaan, masih

ada pertanyaan yang tersisa—bagaimana kita menghadapi kekecewaan? Syukurlah, pergumulan dengan kekecewaan hidup dan kekecewaan atas dosa kita memberikan peluang

untuk kembali mengarahkan hati kita kepada Allah.

Kekecewaan Hidup. Bukan rahasia lagi bahwa hidup ini sering kali tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Sebagian dari kita telah mengalami begitu banyak kehilangan. Sejumlah relasi di masa lalu tidak lagi berjalan seperti yang kita inginkan, dan relasi kita saat ini tidak jauh lebih baik. Namun, kebanyakan dari kita lebih memilih tetap sibuk dan menganggap kekecewaan ini tidak nyata. Ada yang melarikan diri dari rasa sakit dengan berbagai kecanduan.

Akan tetapi, jujur bergumul dengan kekecewaan adalah cara yang lebih baik. Allah sanggup menggunakan semua kekecewaan kita agar kita menyadari betapa kita menginginkan Dia—Pribadi satu-satunya yang menjadi harapan dan hasrat hati kita.

Kita tidak akan menyadari betapa kita mendambakan Allah kecuali kita dengan jujur menghadapi kekecewaan kita. Hanya dengan menghadapi kekecewaanlah kita dapat bekerja sama dengan Roh Allah. Hanya dengan menghadapi kenyataan hidup, kita akan menemukan bahwa Allah terkadang memimpin anak-anak-Nya melewati padang gurun kehilangan. Di sana, dengan penuh kasih Dia membiarkan kita mengalami kelaparan yang besar, supaya kita menyadari kehampaan hidup ini dan mulai merindukan Dia lebih dari siapa pun atau apa pun (ULANGAN 8:2-3).

Jika kita bertahan dalam kekecewaan untuk sementara waktu, pada akhirnya kita akan menemukan kebenaran lain, yaitu bahwa Allah memperhatikan kita lebih dari yang kita sadari. Kita mungkin tidak merasakan keterlibatan-Nya sesering yang kita inginkan. Adakalanya kita tidak merasakan

32 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

dekapan-Nya yang penuh kasih. Namun, sikap-Nya yang terkesan kurang peduli itu justru membuat kita semakin merindukan-Nya. Tatkala lambat laun kita menyadari bahwa kerinduan kita kepada-Nya adalah hasrat terdalam hati kita, kita berada dalam keadaan yang lebih siap untuk mengenalNya di saat Dia menyatakan kehadiran-Nya.

Kekecewaan masih akan terus dialami sebelum kita tiba di surga. Namun, bergumul dengan kepedihan hidup yang tak terobati dapat sedikit demi sedikit menyingkapkan kerinduan akan Allah yang mulai memenuhi hati kita. Itulah yang Asaf temukan saat bergumul dengan kekecewaan. Ia menulis, “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi” (MAZMUR 73:25). Dengan berserah pada kerinduan akan Allah, kita akan leluasa melawan dorongan hati untuk mengendalikan atau menjauhi rasa sakit.

Kekecewaan atas Kesalahan Diri Sendiri. Bergumul dengan kekecewaan akibat dosa ini tidak berarti bahwa kita hanya berusaha untuk berhenti membuat pilihan yang salah. Jika hanya itu yang dilakukan, kita akan menjadi polisi moral yang bergantung kepada kekuatan diri sendiri. Bergumul dengan kegagalan moral dan rohani kita berarti mengakui ketidakberdayaan kita.

Memang menakutkan untuk mengakui bahwa kita lebih ingin mengandalkan orang lain daripada Allah. Kita merasa rentan saat menyadari bahwa kita telah menjauhkan Allah dan menyakiti orang lain dengan strategi kodependen kita. Namun, pada saat itulah kita dapat berjumpa dengan kemurahan Allah yang luar biasa (ROMA 2:4).

Akan tetapi, dalam ketidakberdayaan itu kita juga harus menyadari kesalahan umum lainnya. Begitu kita mengakui kegagalan kita yang begitu banyak, bisa jadi kita terlalu terfokus untuk menyalahkan diri sendiri sampai-sampai tidak mau menerima pengampunan Allah. Obsesi kita dengan

33 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

keburukan diri sendiri mungkin terasa bagaikan penyesalan yang saleh, tetapi itu bisa jadi adalah upaya kita untuk tetap memegang kendali, lari dari ketidakberdayaan, serta upaya menebus kesalahan diri sendiri. Membenci diri sendiri bisa menjadi penolakan untuk merendahkan diri di hadapan Allah, yang rindu untuk meninggikan kita (YAKOBUS 4:10).

Daripada membenci diri sendiri, alangkah jauh lebih baiknya kita tetap bergantung pada belas kasihan Dia yang sanggup menebus dosa kita. Hanya Yesus yang sepenuhnya menanggung hukuman atas dosa kita. Setelah tiga hari mati, Yesus pun bangkit dari kubur untuk menunjukkan bahwa Dia telah melunasi utang moral kita melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Dengan mati menggantikan kita, Dia menunaikan misi pengampunan dan penyelamatan paling menakjubkan yang pernah ada.

Hanya dengan menyerahkan diri pada kemurahan Allah, kita akan siap menerima pengampunan-Nya. Hanya dengan harga tak terukur yang Kristus bayarkan, kita akan menyadari bahwa ini bukanlah pengampunan yang murahan. Kesengsaraan yang dialami Juruselamat kita di kayu salib menunjukkan betapa Allah membenci dosa yang telah membawa penderitaan dan kegelapan besar ke dalam duniaNya. Benar, Dia membenci dosa kita. Namun, kerinduan-Nya untuk mengampuni kita jauh lebih kuat dari itu.

Kerinduan luar biasa itu juga menjadi inti perumpamaan anak yang hilang di Perjanjian Baru. Si “anak hilang” itu telah melakukan hal yang tak terpikirkan. Ia meninggalkan rumah dan memboroskan warisannya (LUKAS 15:12-13).

Namun, sang ayah merindukan kepulangan putranya. Ketika sang putra akhirnya pulang dalam keadaan tak berdaya dan miskin, ayahnya pun merayakan kepulangannya (AY.20-24).

Perumpamaan anak yang hilang itu menggambarkan hati Allah yang rela mengampuni. Dia tidak mencela dan mengutuk kita ketika kita kembali. Dia justru sedang

34 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

menunggu untuk mengampuni kita dan merayakan kepulangan kita! Dia tidak ingin menghukum kita atas

pemberontakan kita, sebab Yesus sudah menanggung

hukuman kita pada suatu hari yang mengerikan dan tak terlupakan di atas sebuah bukit di luar Yerusalem.

Karena anugerah Allah yang ajaib, orang kodependen dapat terbuka menerima kekecewaan atas kegagalan mereka menjalani hidup ini. Saat kita menyerahkan kekecewaan atas dosa kita sendiri serta menerima kebenaran tentang pengampunan Allah yang menakjubkan dan mengubahkan hidup, kita dapat memuji Allah dengan penuh syukur dan berserah penuh kepada kehidupan lebih baik yang dimungkinkan oleh karena belas kasihan Allah.

Hidup dengan Cara yang Lebih Baik

Kita tidak akan pernah benar-benar terbebas dari

kecenderungan kodependen sampai kita berjumpa dengan

Kristus muka dengan muka. Namun, ketika kita mulai

menyadari kepercayaan kita yang salah tempat, kita dapat

menemukan sesuatu yang lebih baik daripada segala

keraguan, keputusasaan, dan kekecewaan kita. Seiring waktu, kita akan menemukan jalan yang lebih baik—hidup bagi

Allah dan sesama, serta hidup bersama Allah dan sesama.

Saat iman, pengharapan, hasrat, dan penghargaan kita terhadap Allah bertumbuh, kita belajar untuk menikmati

Dia lebih dari siapa pun atau apa pun juga. Dengan penuh sukacita, kita lebih mampu menikmati kehadiran orang lain dalam hidup kita. Namun, kita akan melakukannya dengan

kebebasan baru. Kita akan dimampukan untuk melihat halhal di luar Allah sebagai kesenangan sekunder yang dapat

dinikmati tetapi tidak untuk diandalkan.

Tatkala kita merindukan Allah seperti seekor rusa

merindukan air (MAZMUR 42:2), terutama di tengah peristiwa

kehilangan dan kepedihan, barulah kita menemukan bahwa

35 Jalan Menuju Pilihan yang Lebih Baik

tujuan hidup ini tidak hanya untuk mengejar kesenangan yang bersifat sementara.

Dengan melepaskan kodependensi demi jalan hidup yang lebih baik, kita juga dapat membuka diri untuk menerima sekaligus membagikan kasih. Kita mulai merobohkan

tembok-tembok perlindungan diri dan membiarkan orang lain hadir dalam hidup kita. Alih-alih hanya melakukan sesuatu demi orang lain, kita bisa mengizinkan orang lain melakukan sesuatu untuk kita. Ketimbang melekat pada orang lain secara berlebihan, kita dapat melepas mereka pergi tanpa rasa terpaksa. Kita juga bisa belajar memberi kepada orang lain demi kepentingan mereka. Alih-alih mencoba mengubah orang lain demi kepentingan kita sendiri, kita belajar apa artinya mengajak orang lain berubah demi kebaikan mereka sendiri. Ketimbang selalu memegang kendali, kita belajar bersikap fleksibel dan mempertimbangkan pikiran serta pendapat orang lain. Alih-alih menyelamatkan orang lain, kita bisa mengizinkan mereka bertanggung jawab atas pilihan yang mereka ambil. Daripada selalu menyesuaikan diri demi menyenangkan orang lain, kita dapat dengan berani menyatakan kebutuhan kita dan dengan tegas menolak perilaku yang merusak.

Jika kita melepaskan diri dari ketergantungan yang tidak sehat dan mengubah cara kita berelasi dengan orang lain, akan ada orang-orang yang tidak menyukai perubahan tersebut. Itu terjadi karena kita telah merebut kembali

kuasa yang mereka miliki atas kita. Akan ada orang yang menyerang kita dengan kata-kata atau mencoba membuat kita merasa bersalah. Namun, itu bukan berarti kita harus kembali kepada cara hidup kita yang kodependen. Sebaliknya, inilah waktunya untuk menyampaikan kebenaran dengan penuh kasih (EFESUS 4:15). Inilah saatnya untuk menunjukkan keyakinan kita bahwa hanya Allah yang layak menjadi tumpuan dan pengharapan kita (MAZMUR 56:5).

36 KETIKA HUBUNGAN LEPAS KENDALI

ANDA DAPAT MEMBERI

DAMPAK YANG BERARTI!

Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami.

Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening

a/n YAYASAN ODB INDONESIA

Green Garden 253-300-2510

Daan Mogot Baru 0000-570195

Taman Semanan Indah 118-000-6070-162

Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet.

Yayasan ODB Indonesia

Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui:

WhatsApp: 0878-7878-9978

E-mail: indonesia@odb.org

Dukung kami dengan klik di sini.

Ketika hubungan lepas kendali

lolos dari jerat kodependensi

Bertahun-tahun lalu, istilah kodependensi diasosiasikan dengan anggota keluarga dari para pecandu zat-zat terlarang. Saat ini, istilah tersebut diterapkan lebih luas pada orangorang yang bergumul dengan masalah kendali yang berlebihan, baik mengendalikan sesama atau dikendalikan oleh orang lain. Dalam buklet ini, konselor Jeff Olson akan menolong Anda menemukan kelepasan dari stres dan kecemasan yang menyertai kodependensi, supaya Anda dapat menjalani hidup yang lebih baik bersama Allah dan juga sesama.

Jeff Olson adalah konselor berlisensi yang telah melayani bersama Our Daily Bread Ministries sejak 1992 sebagai penulis dan editor. Jeff aktif menulis untuk Discovery Series, menjalankan praktik konseling paruh waktu, dan menikmati waktu luangnya dengan memancing salmon di Danau Michigan.

dhdindonesia.com

C5043
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.