Hidden Layers: : Trace of Tradition in Contemporary Painting

Page 1


INTRODUCTION AGUS MEDIANA ‘CUPRUX’ DARMIKA SOLAR I.M. AGUS SAPUTRA KADEK DWI DARMAWAN KUNCIR SATHYA VIKU Curated by Asmudjo J. Irianto

Presented by LANÖ ART PROJECT x ORBITAL DAGO 15 Nov - 10 Dec, 2023 at Orbital Dago Art Gallery

Artworks images are courtesy of the artists. Curatorial text by Asmudjo Jono Irianto. Photography by Agus Muliawan. Supported by Penawar Racun Art Handler. No part of this publication may be reproduced by any mean without prior authorisation from the artists, Lanö Art Project, Orbital Dago and the curator.

Countinuing our course on providing a platform that enables artists to channel their ideas, both related to social issues and art, locally and globally, and most specifically, on the explorations rooting in tradition, as well as bringing audiences closer to this perspective, we come to the Western part of Indonesia and collaborate with Orbital Dago, in the hope we can contirbute to the enriching and development of Indonesian art. The exhibition aims to bring out discussions on what is often concealed as defunct, outdated, ancient, mythical, and anachronistic in contemporary art and culture. Presenting the works of 5 artists who have extracted their explorations from tradition and contemporary roots, the showcase displays their viewpoints of the interrelations between traditional and contemporaneity. The presentation taps into several questions involving displacement, dichotomy, exclusiveness, and stark contrasts that address the affirmation of both - tradition and contemporary - as part of a continuous cultural and artistic development. The works in display are driven by the artists’ intuitive visual language, and their internal and external cosiderations which form each of their own personal thoughts toward issues of values, cultural circumstances, disruptions and transformations tied to questions in the contemporary art and culture, and linked to existence rooted in local traditions. We are very grateful to Orbital Dago in welcoming and collaborating with us to present the exhibition where, foremost, we will be fortunate should the works are appreciated suitably and trigger curiousity from diverse audience on the discourse of post-tradition.

Lanö Art Project


PENGANTAR Melanjutkan perjalanan kami dalam menyediakan wadah yang memungkinkan para seniman untuk menyalurkan gagasan mereka, baik yang berkaitan dengan isu-isu sosial dan seni, secara lokal dan global, dan yang paling khusus, pada eksplorasi yang berakar pada tradisi, serta mendekatkan penonton pada sudut pandang ini, kami bertamu ke Indonesia Bagian Barat dan bekerjasama dengan Orbital Dago, dengan harapan dapat turut memperkaya dan mengembangkan seni rupa Indonesia. Pameran ini bertujuan untuk memunculkan diskusi tentang apa yang sering disembunyikan sebagai sesuatu yang sudah mati, ketinggalan jaman, kuno, mistis, dan anakronistik dalam seni dan budaya kontemporer. Menampilkan karya-karya lima seniman yang galian eksplorasi mereka mengakar pada tradisi dan kontemporer, pameran ini menampilkan sudut pandang mereka mengenai keterkaitan antara tradisional dan kontemporer. Presentasi inimenggarisbawahi beberapa pertanyaan yang melibatkan perpindahan, dikotomi, eksklusivitas, dan kekontrasan yang meliputi penegasan keduanya - tradisi dan kontemporer - sebagai bagian dari perkembangan budaya dan seni yang berkelanjutan. Karya-karya yang dipamerkan didorong oleh bahasa visual intuitif para seniman, dan pertimbangan internal dan eksternal mereka yang membentuk pemikiran pribadi mereka terhadap isu-isu nilai, keadaan budaya, gangguan dan transformasi yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan dalam seni dan budaya kontemporer, dan terhubung dengan keberadaan yang berakar pada tradisi lokal. Kami sangat berterima kasih kepada Orbital Dago yang telah menyambut dan bekerjasama dengan kami untuk menyelenggarakan pameran ini, dimana yang terpenting dari ini adalah adalah kami dapat bersyukur jika halnya karyakarya dalam pameran ini mendapatkan apresiasi sebagaimana patutnya dan memicu rasa keingintahuan dari berbagai kalangan atas pemikiran dalam lingkup postradisi.

Lanö Art Project

CURATORIAL KURATORIAL ASMUDJO J IRIANTO


Hidden Layers:

Trace of tradition in Contemporary Painting

Dalam pameran lima seniman muda Bali, bisa diduga akan membawa dan merepresentasikan ihwal tradisi. Kentalnya pengaruh tradisi dalam keseharian masyarakat modern Bali merupakan keniscayaan dengan berbagai kemungkinan modernitas, baik bentuk penyatuan yang harmonis—saling melengkapi—atau tegangan antara nilai tradisi dan modern. Sebagai seniman yang lulus dari perguruan tinggi seni rupa, para seniman ini cenderung menempatkan karyanya sebagai representasi dan refleksi kritis mengenai persoalan tradisi dalam konteks modernitas, atau sebaliknya bagaimana modernitas memberikan pengaruh pada warisan tradisi. Para seniman dalam pameran ini memiliki dua latar belakang yang sama kuatnya: pertama mengenai nilai-nilai tradisi, dan kedua, pendidikan tinggi seni rupa yang mengutamakan nilai-nilai individual, yang didasari prinsip seni otonom, orisinalitas, identitas personal dan kebaruan. Hal yang mencakup dalam nilainilai tradisi dapat menyangkut sistem kepercayaan, adat istiadat dan manifestasinya dalam kebudayaan material, di antaranya seni rupa tradisi. Karya-karya para seniman dalam pameran merupakan karya-karya personal, yang sesuai dengan paradigma yang mereka pelajari di bangku pendidikan seni rupa. Hal itu dapat kita lihat dari medium, teknik dan karakter personal dari karya-karya yang ditampilkan. Empat seniman, yaitu Kuncir Sathya Viku, Agus Darmika ‘Solar,’ I Made Agus Saputra dan Agus Mediana ‘Cuprux’, berkarya dengan medium seni lukis. Kadek Dwi Darmawan memanfaatkan teknik cetak grafis (linocut). Pembahasan terhadap karya-karya yang dipamerkan dapat ditempatkan dalam perbincangan seni lukis. Karya Kadek pun dapat kita letakkan dalam bingkai seni lukis, dalam kemungkinan painting in the expanded field atau print making in the expanded field, sebab cara presentasi karya-karya Kadek juga melampaui cetak grafis konvensional. Judul “Hidden Layers: Trace of tradition in contemporary painting” menunjukkan bahwa tinjauan terhadap karya-karya dalam pameran ini diletakkan dalam wacana seni lukis kontemporer, dengan persoalan tradisi sebagai konten representasi.

Hidden Layers:

Trace of tradition in Contemporary Painting

The exhibition of five young Balinese artists can be expected to bring and represent traditions. The strong influence of tradition in the daily lives of modern Balinese society is an inevitability of the various possibilities of modernity, whether in the form of harmonious unification— mutual complementarity—or tension between traditional and modern values. As artists who graduated from fine arts universities, these artists tend to place their work as a representation and critical reflection on issues of tradition in the context of modernity, or conversely how modernity has an influence on traditional heritage. The artists in this exhibition have two equally strong backgrounds: firstly, regarding traditional values, and secondly, higher education in fine arts which prioritizes individual values, which are based on the principles of autonomous art, originality, personal identity and novelty. Things that are included in traditional values can involve belief systems, customs and their manifestations in material culture, including traditional visual art. The works of the artists in the exhibition are personal works, which are in accordance with the paradigm they studied in fine arts education. We can see this from the medium, technique and personal character of the works being showcased. Four artists, namely Kuncir Sathya Viku, Agus Darmika ‘Solar,’ I Made Agus Saputra and Agus Mediana ‘Cuprux’, work with the medium of painting. Kadek Dwi Darmawan uses graphic printing technique (linocut). The discussion of the works on display can be placed in a domain of painting. We can also place Kadek’s work in a painting frame, possibly painting in the expanded field or print making in the expanded field, because the way Kadek’s works are presented also goes beyond conventional graphic printing. The title, “Hidden Layers: Traces of tradition in contemporary painting”, shows that the view point of the works in this exhibition is placed within the discourse of contemporary painting, with the issue of tradition as the representational content. Painting is not a specific medium in contemporary art;


Seni lukis bukanlah medium specificity dalam seni rupa kontemporer; artinya bukan medium yang menjadi paradigma dan utama dalam seni rupa kontemporer. Medium lukis menjadi salah satu medium dalam pluralitas medium dalam seni rupa kontemporer. Hal ini berbeda dengan era seni rupa modern yang menempatkan seni lukis sebagai medium-specificitynya. Dengan demikian, aspek ontologi dan seni lukis menjadi sangat penting dalam seni lukis modern. Juga, upaya pencarian esensi seni lukis menjadi tugas para pelukis seni modern, melalui dialektika perubahan gaya seni lukis, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah seni rupa modern Barat. Sebagai akibatnya medan seni lukis menjadi medan kontestasi yang sempit, dengan para seniman arus utama yang disokong oleh para kritikus dan sejarawan seni, yang di mana fokus perhatiannya adalah terobosan dan kebaruan gagasan dalam seni lukis modern. Seni lukis kontemporer adalah medan yang terbuka— bahkan bisa dikatakan egaliter—sebab tidak sibuk mencari ontologi seni lukis. Dengan demikian, segala gaya, genre, teknik, representasi dan kemungkinan presentasinya (konvensional maupun expanded) tampil dalam seni lukis kontemporer. Apapun kemungkinan seni lukis diperbolehkan. Situasi ini memperkaya kemungkinan dan keragaman seni lukis kontemporer pada satu sisi, namun pada sisi lain juga menyulitkan penetapan parameter kualitas, kritik dan apresiasi nya. Apa yang telah diuraikan mengenai seni lukis kontemporer merefleksikan apa yang dikatakan oleh Arthur Danto, bahwa seni rupa kontemporer berada dalam situasi pasca-sejarah, “art was no longer possible in term of progressive historical narrative. The narrative had come to an end… It liberated artists from the task of making more history.” It liberated artists from having follow the correct historical line.”1 Apa yang diutarakan Danto mengenai pasca-sejarah, juga bersisian dengan ujarannya yang paling masyur, yaitu seni rupa kontemporer berada dalam era the end of art. Ujaran Danto tersebut tidak diartikan sebagai berakhirnya

meaning it is not a medium that is the main and paradigm in contemporary art. The medium of painting is one medium in the plurality of mediums in contemporary art. This is different from the era of modern art which places painting as its medium-specificity. Thus, aspects of ontology and painting become very important in modern painting. Also, the search for the essence of painting is the task of modern art painters, through the dialectic of changes in painting styles, as shown in the history of Western modern art. As a result, the field of painting became a narrow field of contestation, with mainstream artists supported by critics and art historians, whose focus of attention was breakthroughs and new ideas in modern painting. Contemporary painting is an open field—one could even say egalitarian—because it is not busy looking for an ontology of painting. Thus, all styles, genres, techniques, representations and presentation possibilities (conventional and expanded) appear in contemporary painting. Any artistic possibility of painting is permitted. This situation enriches the possibilities and diversity of contemporary painting on the one hand, but on the other hand it also makes it difficult to determine parameters for quality, criticism and appreciation. What has been described regarding contemporary painting reflects what Arthur Danto said, that contemporary art is in a post-historical situation, “art was no longer possible in term of progressive historical narrative. The narrative had come to an end… It liberated artists from the task of making more history.” It liberated artists from having follow the correct historical line.” 1 What Danto said about post-history also coincides with his most famous statement, namely that contemporary art is in the era of the end of art. Danto’s words are not meant to be interpreted as the end of art, but rather the end of the linear progress aspect of history to reach the final point, as is the principle of modern art. Contemporary painters are in a “free” situation, not in a historical line. They


seni, melainkan berakhirnya aspek progres linear sejarah untuk sampai titik akhir, sebagaimana prinsip seni rupa modern. Para pelukis kontemporer berada dalam situasi “bebas”, tidak berada dalam garis sejarah. Mereka dalam situasi yang disebut oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari, sebagai rhizome (rimpang), yaitu situasi non-hierarkis dan non-linear. Dalam pengertian rimpang, maka praktik seni rupa dan seniman merupakan elemen-elemen yang saling terpaut yang dapat tumbuh dan menyebar dalam berbagai arah, tanpa ada titik pusat dan struktur yang ditentukan sebelumnya. Pada pameran ini, karya-karya, seniman, metode, dan gagasannya adalah refleksi pengaruh yang beragam sesuai mekanisme rimpang. Sejarah seni rupa modern Indonesia berbeda dengan sejarah seni rupa modern Barat, kendati tentu dipengaruhi. Seni rupa modern Indonesia, tidak memiliki narasi besar (grand-narrative) berkenaan dengan garis dan konstruksi sejarahnya. Bisa dikatakan, sejak awalnya seni rupa modern Indonesia tidak dibangun melalui semangat otonomi dengan progres linear menuju titik akhir. Seniman modern dan/atau kontemporer Indonesia terbiasa dengan ketiadaan narasi sejarah, teori dan wacana seni rupa. Dalam seni rupa kontemporer pengaruh dan gagasan dapat datang dari manapun. Ketiadaan narasi besar, menyebabkan apa yang digagas oleh seniman umumnya merupakan narasi kecil (micro narrative)—kendati yang direpresentasikan bisa saja persoalan penting dan besar. Disebut narasi kecil karena berangkat dari onto-genesis dan sosio-genesis senimannya. Hal ini tampak dari gagasan dan karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini—bisa jadi juga berlaku dalam pameran-pameran seni rupa lain. Dari lima seniman yang tampil dalam pameran ini, empat lulusan pendidikan tinggi seni rupa, yaitu Agus, Solar dan Cuprux dari jalur fine art, dan Kuncir dari jalur desain grafis. Kadek tidak mengenyam pendidikan tinggi seni rupa. Konfigurasi seniman ini menunjukkan bahwa menjadi seniman tidak mensyaratkan pendidikan formal seni rupa. Kuncir dan Kadek terjun ke medan seni dan menjadi

are in a situation that Gilles Deleuze and Felix Guattari call a rhizome, namely a non-hierarchical and non-linear situation. In the rhizome sense, fine art practices and artists are interrelated elements that can grow and spread in various directions, without any central point or predetermined structure. In this exhibition, the works, artists, methods and ideas are a reflection of various influences according to the rhizome mechanism. The history of modern Indonesian art is different from the history of Western modern art, although it is certainly influenced. Indonesian modern art does not have a grand narrative regarding its historical lines and construction. It could be said that, from the beginning, Indonesian modern art was not built through a spirit of autonomy with a linear progression towards the end point. Indonesian modern and/ or contemporary artists are accustomed to the absence of historical narratives, theories and discourse on fine arts. In contemporary art, influences and ideas can come from anywhere. The absence of a big narrative means that what artists think of is generally a small narrative (micro narrative)—even though what is represented could be an important and big issue. It is called a small narrative because it starts from the onto-genesis and socio-genesis of the artist. This can be seen from the ideas and works displayed in this exhibition—it could also be true in other art exhibitions. Of the five artists in this exhibition, four are graduates of higher education in fine arts, namely Agus, Solar and Cuprux from the fine art study, and Kuncir from the graphic design study. Kadek did not enroll in a higher education in fine arts. This artist configuration shows that being an artist does not require formal education in fine arts. Kuncir and Kadek set foot in the art world and became artists through the influence and networking with other young artists who graduated from fine arts higher education. This is also shown by the large number of self-taught artists who are interact with artists who graduated from higher education in fine arts. The success of self-taught artists in gaining


seniman dipengaruhi dan memiliki jejaring dengan para seniman muda lulusan pendidikan tinggi seni rupa. Hal ini juga ditunjukkan oleh banyaknya seniman otodidak yang bercampur baur dengan para seniman lulusan pendidikan tinggi seni rupa. Keberhasilan para seniman otodidak mendapatkan rekognisi dalam medan seni bergantung pada kemampuan berjejaring dan membina hubungan dengan agen-agen dalam medan seni—sebagaimana prinsip rimpang. Kembali pada pembicaraan lukisan, dalam pameran ini seni lukis menjadi medium dominan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam prinsip rimpang, medium lukis yang paling mudah menyebar dan meluas ke berbagai arah. Seni lukis adalah medium yang paling berhasil karena terkonstruksikan sejarah, teori dan wacananya, dan menjadi warisan seni rupa modern Barat. Kendati saat ini, dalam seni rupa kontemporer tidak ada ketentuan medium, dan seniman dapat menggunakan medium dan material apapun, seni lukis tetap menjadi medium yang paling populer dan mudah diterima keberadaannya sebagai karya seni, bahkan oleh publik awam. Popularitas dan aspek egaliter seni lukis memberikan aspek negatif dan positif. Kebebasan seni lukis kontemporer, membuka kemungkinan bagi para pelukis untuk menerapkan beragam kemungkinan gaya—dari gaya dan genre yang telah ada—,memperluasnya, mencampurkan dan mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Namun, kebebasan juga menjadi jebakan untuk sekadar memilih sesuai dengan rasa suka, tanpa sikap kritis dan pemahaman terhadap pilihan gaya. Prinsip rimpang mengandaikan adanya jalur-jalur jejaring dan hubungan untuk setiap pilihan gaya, genre dan narasi seni lukis. Salah satu keuntungan bagi para seniman yang berpameran ini adalah jalur pada tradisi Bali, baik budaya, adat istiadat maupun seni rupa tradisinya Ada beberapa jalur yang memberikan pengaruh pada para seniman yang tampil dalam pameran ini. Pertama

recognition in the art field depends on their ability to network and build relationships with agents in the arts field —as per the rhizome principle. Returning to the discussion of paintings, painting is the dominant medium in this exhibition. This shows that in the rhizome principle, the painting medium is the easiest to spread and expand in various directions. Painting is the most successful medium because it is constructed from history, theory and discourse, and is a legacy of Western modern art. Even though currently, in contemporary art there are no defined mediums, and artists can use any medium and materials, painting remains the most popular medium and is easily accepted as a work of art, even by the general public. The popularity and egalitarian aspect of painting provides both negative and positive aspects. The freedom of contemporary painting opens up the possibility for painters to apply a variety of stylistic possibilities—from existing styles and genres—, expand them, mix and look for new possibilities. However, freedom also becomes a trap to simply choose according to one’s tastes, without a critical attitude and understanding of style choices. The rhizome principle assumes the existence of network paths and relationships for every choice of style, genre and narrative of painting. One of the advantages for the artists exhibiting is the avenue to Balinese traditions, including culture, customs and traditional visual art. There are several passages that have influenced the artists featured in this exhibition. The first is the fine arts higher education route, which directs artists as autonomous figures, prioritizing individual expression. In contemporary art, which is plural and prioritizes critical representation, it is difficult to achieve complete artistic autonomy—that is, art solely for art’s sake. Contemporary artists, with all their freedom, are actually in a heteronomy situation, wherein that art practice is influenced by other interests; for example narration/representation of problems, or placing


adalah jalur pendidikan tinggi seni rupa, yang mengarahkan seniman sebagai figur otonom, yang mengutamakan ekspresi individual. Dalam seni rupa kontemporer yang plural dan mementingkan representasi kritis, maka otonomi seni yang sepenuhnya sulit terjadi—yaitu seni sematamata untuk kepentingan seni. Para seniman kontemporer, dengan segala kebebasannya justru berada dalam situasi heteronomi, yaitu praktik seni yang dipengaruhi oleh kepentingan lain; misalnya narasi/representasi persoalan, atau meletakkan praktik seni sebagai profesi. Dalam hal pameran ini, maka jalur pengaruh dan persoalan tradisi adalah aspek heteronomi yang penting dalam karya-karya yang dipamerkan. Jalur utama, yaitu seni lukis kontemporer yang plural tentu menjadi bagian paling penting. Pluralisme seni lukis kontemporer, mendorong para pelukis untuk menunjukkan kebedaan yang menjadi identitas personal karyanya—sebagaimana tampak dalam pameran ini. Modernitas Bali kental dipengaruhi oleh adat istiadat yang menjadi identitas kultural Bali. Pariwisata yang menjadi kekuatan ekonomi dan salah satu pilar pembentuk modernitas Bali juga bersandar pada identitas kulturalnya. Pertemuan antara pranata modern dan nilai-nilai tradisi bisa menjadi harmoni dan kekuatan modernitas yang berbeda, yaitu modernitas yang juga dipengaruhi dan diisi oleh kearifan tradisi. Tentu saja, pertemuan antara nilai-nilai modern dan tradisi tidak selalu dapat berjalan mulus dan harmonis, kerap terjadi tegangan antara keduanya, atau menekan salah satunya. Mudah diduga dalam pergerakan kapitalisme global, maka nilai-nilai tradisi yang kerap terkalahkan. Karya-karya kelima seniman dalam pameran ini merefleksikan kedua kemungkinan tersebut. Sebagai seniman individual, maka jalur seniman otonom menjadi kekuatan dan privilege kelima seniman yang berpameran ini. Mereka bebas dari pakem seni rupa tradisi. Namun, mereka juga dapat memanfaatkan sumber dan persoalan tradisi di Bali. Dari lima seniman yang berpameran, dua di antaranya, Kuncir dan Kadek menampilkan karya-karya dengan visual yang kental dengan

art practice as a profession. In the case of this exhibition, lines of influence and issues of tradition are important aspects of heteronomy in the works on display. The main line, specifically, the plurality of contemporary painting is certainly the most important part. The pluralism of contemporary painting encourages painters to show the differences that form the personal identity of their work—as seen in this exhibition. Balinese modernity is strongly influenced by the customs that form Bali’s cultural identity. Tourism, which is an economic force and one of the pillars of Bali’s modernity, also relies on its cultural identity. The meeting between modern institutions and traditional values can create harmony and a different strength of modernity, in which modernity that is also influenced by and infused with traditional wisdom. Of course, the meeting between modern values and tradition cannot always run smoothly and harmoniously, there is often tension between the two, or pressure on one of them. It is easy to predict that in the movement of global capitalism, traditional values are often subjegated. The works of the five artists in this exhibition reflect both possibilities. As individual artists, the autonomous artist path is the strength and privilege of the five artists exhibiting. They are free from the standards of traditional art. However, they can also take advantage of traditional sources and issues in Bali. Of the five artists exhibiting, two of them, Kuncir and Kadek, displayed works with visuals that are strong in traditional style. Meanwhile, the other two, Cuprux and Agus Saputra, displayed works that are strong in the Western style. Cuprux’s works have a formal abstract nuance, while Agus Saputra’s works use a realist style mixed with the Batuan style. Darmika Solar’s works fall between these two tendencies, with a stylistic traditional atmosphere but also a realist-perspective impression and psychedelic colors. Even though they bring traditional issues and styles, the works of these five artists look very different. The works


langgam tradisi. Sementara dua lainnya, Cuprux dan Agus Saputra menampilkan karya-karya yang kental dengan gaya Barat. Karya-karya Cuprux bernuansa abstrak formal, sedangkan karya Agus Saputra menggunakan gaya realis yang dicampur dengan gaya Batuan. Karya-karya Darmika Solar berada di antara dua kecenderungan yang tersebut, terasa atmosfer gaya tradisi pada penggayaan (stylistic) namun juga kesan realis-perspektif dan warna-warna psychedelic. Kendati membawa persoalan dan gaya tradisi, karyakarya kelima seniman ini tampak sangat berbeda. Karyakarya dalam pameran ini tidak mudah dibaca narasi, metafor dan maknanya. Seringkali persoalan yang disampaikan menjadi tersembunyi. Karya-karya seni rupa kontemporer selalu bersifat contingent, artinya “bergantung pada faktor lain”, tidak tetap dan pasti maknanya. Contingent juga berarti karya seni bergantung konteks, gagasan seniman dan interpretasi. Pertama, karya-karya para seniman dalam pameran ini adalah seni lukis—dan seni cetak grafis untuk karya Kadek. Kedua, karya-karya mereka bicara mengenai persoalan dan/atau langgam seni rupa tradisi. Perkara tradisi adalah aboutness yang terkandung di dalam karyakarya mereka, mejadi hal yang tersembunyi. Perkara kedua ini merupakan perkara penting yang justru sulit ditangkap dan bersifat contingent, bergantung pada penjelasan seniman dan/atau kurator. Dalam pameran ini Kuncir menampilkan karya diptych, berjudul “Before the Water Gets Too High L/R” (2023). Karya ini diilhami gaya rerajahan Bali—sebagaimana karyakarya Kuncir dengan salama ini—dengan tambahan dua frame ukiran kayu, di bagian ujung kiri dan kanan karya diptych. Seperti juga rerajahan yang memiliki makna simbolik tersembunyi—yang hanya dipahami oleh para Balian (dukun)—demikian pula karya Kuncir, tidak mudah ditangkap maknanya. Tampak dua kanvas dalam karya Kuncir menampilkan figur-figur aneh—mungkin dari mitologi Bali dan khasanah visual rerajahan—tumpang tindih dan bertumpuk. Menurut Kuncir, gambaran tersebut

in this exhibition are not easy to read for their narratives, metaphors and meanings. Often the issues raised in the works become hidden. Works of contemporary art are always contingent, meaning they “depend on other factors”, and their meaning is not fixed and certain. Contingent also means that a work of art depends on context, the artist’s ideas and interpretation. First, the works of the artists in this exhibition are painting—and graphic printing for Kadek’s work. Second, their works talk about issues and/or styles of traditional art. The thing about tradition is the aboutness contained in their works, it becomes something hidden. This second matter is an important matter which is difficult to capture and is contingent, depending on the explanation of the artist and/or curator. In this exhibition Kuncir displays a diptych work, entitled “Before the Water Gets Too High L/R” (2023). This work is inspired by the Balinese rerajahan style—a characteristic in Kuncir’s works—with the addition of two wooden carved frames, on the left and right ends of the diptych. Just as rerajahan has a hidden symbolic meaning— which only Balian (Balinese shaman) would understand—so does Kuncir’s work, whose meaning is not easy to grasp. Two canvases in Kuncir’s work appear to show strange figures—perhaps from Balinese mythology and the visual richness of rerajahan—overlapping and stacked. According to Kuncir, this image represents the chaotic conditions of this era, namely the era of Kaliyuda (destruction). Everything binary appears together, good and bad, seen-unseen, tradition-modern. The carved and open wooden frames are only on the left and right sides, not on the top and bottom, showing that the boundaries of tradition and customs are now open and threatened by the penetration of modern values. However, the wide and open frame also shows that tradition can stretch and adapt flexibly to modernity. This represents the ideal hope for a hybrid form of culture in Bali that is harmonious between traditional wisdom and positive modern values.


merepresentasikan kondisi kacau-balau zaman ini, yaitu zaman Kaliyuda (kehancuran). Segala yang biner muncul bersamaan, baik dan buruk, skala-niskala, tradisi-modern. Frame kayu berukir dan terawang hanya di sisi kiri dan kanan, tidak di atas dan bawah, menunjukkan bahwa batas-batas tradisi, adatistiadat saat ini sudah terbuka, dan terancam oleh penetrasi nilai-nilai modern. Namun frame yang lebar dan terawang juga menunjukkan tradisi dapat melar, dan menyesuaikan secara luwes dengan modernitas. Hal ini merepresentasikan harapan ideal mengenai bentuk hibrida kultur di Bali yang harmonis antara kearifan tradisi dan nilai-nilai kemodernan yang positif. Karya Kadek, “The Curious Case of the Secrets of Time” (2023), belakangan yang menjadi identitas karyanya adalah susunan bentuk cut-out mahluk-mahluk hibrida— penggabungan antar alami dan buatan manusia, tampak ganjil—yang merupakan metafor “kawin silang antar budaya, tradisi, nilai, pengetahuan dan segala hal lainnya.” Hal ini juga berkaitan dengan falsafah tradisi Hindu-Bali mengenai sekala dan niskala, mengenai yang terlihat dan tidak terlihat, salah-benar, baik-buruk, dunia kecil-dunia besar, yaitu hal-hal biner dalam hidup—sebagaimana yang juga direpresentasikan dalam karya Kuncir. Yang menarik, menurut Kadek, soal-soal oposisi biner harus dilihat dari konteksnya. Soal salah-benar, misalnya, tidak bisa dilihat secara kaku dan ajeg, sebab bisa bergantung pada konteks, sudut pandang dan nilai-nilai yang berbeda. Itu sebabnya “gambaran” mahluk-mahluk hibrida dalam karya Kadek “melepaskan” diri dari bidang gambar (dalam bentuk cut-out), menjadi subjek yang dapat bergerak ke segala arah. Para mahluk hibrida tersebut tampak dapat menyesuaikan jarak antar mereka, namun tetap dalam susunan yang harmonis, termasuk dengan keluasan dan keterbatasan dinding tempatnya hadir. Karya Solar Darmika, “Holly Water #1” (2023),

In Kadek’s work, “The Curious Case of the Secrets of Time” (2023), recently became the identity of his work is an arrangement of cut-out shapes of hybrid creatures—a combination of natural and man-made, seemingly strange— which is a metaphor for “ interbreeding between cultures, traditions, values, knowledge and everything else.” This is also related to the philosophy of the Hindu-Balinese tradition regarding sekala and niskala, regarding the visible and invisible, wrong and right, good and bad, small world-big world, namely binary things in life —as is also represented in Kuncir’s work. What is interesting, according to Kadek, is that binary opposition issues must be seen from their context. The question of right and wrong, for example, cannot be seen in a rigid and constant manner, because it can depend on different contexts, points of view and values. That is why the “images” of hybrid creatures in Kadek’s work “release” themselves from the picture plane (in the form of cut-outs), becoming subjects that can move in all directions. These hybrid creatures seem to be able to adjust the distance between them, but remain in a harmonious arrangement, including the breadth and limitations of the walls where they are present. Solar Darmika’s works, “Holly Water #1” (2023), and “Holly Water #2” (2023) clearly represent the importance of water in Balinese culture. Solar stated that the HinduBalinese religious view is basically the Religion of Water (tirta). Tirta means holy water, water that washes away all indecency and returns something to its purity. Placing water as a sacred substance is an encouragement for humans to preserve water by protecting the environment. The importance of water as a source of life is visible in Solar’s paintings. Water is central in his paintings: flowing from stone statues, small pools of water appear, emitting flames, a picture of two opposing substances. Moreover, present in his paintings are various plants with vibrant psychedelic


dan “Holly Water #2” (2023) jelas merepresentasikan pentingnya air dalam kebudayaan Bali. Solar mengutarakan bahwa pandangan agama Hindu-Bali yang pada dasarnya adalah Agama Air (tirta). Tirta berarti air yang suci, air yang membasuh segala kekotoran, dan mengembalikan sesuatu pada kesuciannya. Meletakkan air sebagai subtansi suci, merupakan dorongan agar manusia dapat mempertahankan kelestarian air dengan menjaga lingkungan. Pentingnya air sebagai sumber kehidupan tampak dalam lukisan Solar. Air menjadi pusat dalam lukisannya: Mengalir dari patung batu, tampak genangan-genangan air kecil, mengeluarkan lidah api, gambaran dua substansi yang saling berlawanan. Hadir juga dalam lukisannya adalah aneka tanaman dengan warna-warna psychedelic yang vibrant menampilkan taman yang artifisial, yang juga dilengkapi objek yang ganjil: Fragment tangga pada “Holy Water #1” (2023) dan rubik raksasa pada “Holy Water #2” (2023). Karya Solar merupakan metafor yang cukup kuat dalam modernitas Bali saat ini, di mana tekanan kapital— atas nama kemajuan ekonomi—telah mendesak kearifan tradisi mengenai kemaslahatan sumber air bagi masyarakat. Saat ini sumber-sumber air terancam keberadaan, kelestariannya—dan pemanfaatannya bagi masyarakat kebanyakan—karena pembangunan sarana pariwisata yang masif. Agus Saputra dikenal sebagai seniman yang identitas karyanya merupakan bentuk hibrida antara metode Batuan, Realis dan Surealis. Pada karya “Konstruksi Terburu-buru dengan Pangsit Isi/(Premonition of Stupidity)” (2023) dan “The Battle of Apache Rose Peacock” (2023) tampak penyatuan gaya Batuan, Realis, dan Surealis, disusun menjadi humor bernada pahit. Gaya batuan yang disatukan dengan pendekatan Realis, menjadikan karya Agus tampak tidak tertib perspektif, dan itu menjadi kekuatan kesan Surealis dalam lukisannya. Salah satu lukisannya dalam pameran ini diinspirasi dari karya Salvador Dali, “Soft Construction with Boiled Beans (Premonition of Civil War)” (1936). Agus melihat kondisi distopia di Bali pada hari ini dan ke depan. Ekonomi Bali

colors displaying an artificial garden, which is also equipped with strange objects: fragments of stairs in “Holy Water #1” (2023) and giant cubes in “Holy Water #2” (2023). Solar’s work is a powerful metaphor for Bali’s current modernity, where the pressure of capital—in the name of economic progress—has pushed aside traditional wisdom regarding the benefits of water sources for society. Currently, water sources are threatened with their existence, sustainability— and use by the general public—because of the massive development of tourism facilities Agus Saputra is known as an artist whose work identity is a hybrid form of Batuan, Realist and Surrealist methods. In the paintings, “Rush Construction with Stuffed Dumplings/(Premonition of Stupidity)” (2023) and “The Battle of Apache Rose Peacock” (2023), you can see the unification of Batuan, Realist and Surrealist styles arranged into bitter humor. The Batuan style, combined with a Realist approach, makes Agus’ work appear to have an irregular perspective, and this is the strength of the Surrealist impression in his paintings. The earlier work was inspired by Salvador Dali’s work, “Soft Construction with Boiled Beans (Premonition of Civil War)” (1936). Agus sees dystopian conditions in Bali today and in the future. Bali’s economy seems to be co-opted by tourism. The tourism economy has become a trap for the Balinese people. In this work, Agus talks about the global effects of digital nomads, namely people who can work anywhere online as long as there is an internet connection. Bali can now be said as a global village, which is multi-racial and multi-cultural because there are many foreigners living in Bali, they not only work as digital nomads, but they also open businesses in Bali. Many of them do not pay attention to local culture, and do not have politeness towards native local people. This often creates tension, but according to Agus, it seems that local people are forced to accept this situation as a given condition. In Agus’ work, human figures appear, some


tampaknya terkooptasi oleh pariwisata. Ekonomi pariwisata menjadi jebakan bagi masyarakat Bali. Pada karya ini Agus bicara mengenai efek global dari digital nomad, yaitu orang-orang yang dapat bekerja di mana saja secara online sejauh tersedia saluran internet. Daerah seputaran Bali saat ini bisa dikatakan sebagai global village, yang multiras dan multikultur karena banyaknya orang asing yang tinggal di Bali, mereka tidak saja bekerja sebagai digital nomad, mereka juga membuka usaha di Bali. Banyak di antaranya yang tidak mengindahkan budaya lokal, dan tidak memiliki kesantunan pada masyarakat lokal asli. Hal ini kerap menimbulkan tegangan, namun menurut Agus sepertinya masyarakat lokal terpaksa menerima situasi tersebut sebagai kondisi yang terberi. Dalam karya Agus, tampak sosok-sosok manusia, sebagian berkepala ayam jantan, seolah siap bertarung. Fragmen tangan raksasa yang pangkalnya diselimuti pangsit dan jari-jarinya melepuh, seolah metafor masa depan kearifan tradisi Bali. Karya “The Battle of Apache Rose Peacock” (2023) merepresentasikan persoalan yang sama, melalui penggambaran “pertarungan bebas.” Dalam pameran ini, karya Cuprux secara visual tak segera mengingatkan kita pada atmosfer seni rupa tradisi dan persoalannya. Namun karya ini pun bicara mengenai persoalan tradisi di Bali. Cuprux tampaknya meletakkan persoalan tradisi secara generik, dengan “lawannya,” modernitas. Namun, Cuprux tidak melihat nilai-nilai tradisi sebagai lawan dari nilai-nilai modern, seperti yang dijelaskannya, “Hal ini bukan berarti membenturkan antar modernitas dengan tradisi, untuk mencekal masuknya pengaruh asing atau yang beda bentuknya dari tradisi, melainkan, untuk bergerak dalam pertumbuhan yang dapat mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan dan kemajuan peradaban.” Karya Cuprux dalam pameran ini merefleksikan idealnya mengenai pertemuan harmonis antara yang tradisi dan

with rooster heads, as if ready to fight. Fragments of giant hands whose bases are covered in dumplings and whose fingers are blistered, seem to be a metaphor for the future of Balinese traditional wisdom. The work “The Battle of Apache Rose Peacock” (2023) represents the same issue, through its depiction of “free combat.” In this exhibition, Cuprux’s works visually does not immediately remind us of the atmosphere of traditional art and its issues. However, the works also discuss about the issues of tradition in Bali. Cuprux seems to put the issues of tradition in a generic way, with its “opposite,” modernity. However, Cuprux does not see traditional values as opposed to modern values, as he explains, “This does not mean clashing modernity with tradition, to prevent the entry of foreign influences or those that differ in form from tradition, but rather, to move towards growth, which can bring about harmony in life and the progress of civilization.” Cuprux’s work in this exhibition reflects his ideal of a harmonious meeting between tradition and modernity. Cuprux saw this meeting as a consequence of cultural travel and transformation to arrive at an ideal civilization. Based on this notion, Cuprux’s works, with the titles “Contemplation of Mythology 1” and “Contemplation of Mythology 2”, are works that play with formal aspects in the form of line, shape, color and composition. Cuprux’s approach also shows an emphasis on personal aspects, how he addresses the dualism of influence, between traditional and modern values. He did not provide an answer, perhaps he was not sure what would happen in the future regarding the meeting between tradition and modernity. Cuprux’s works are a personal answer about making art—painting— for him at the moment, as well as a visual-formal parcel for the viewer. It could be that some of these visual packages are actually inspired by visual culture and traditional issues, but have undergone further transformation, so that the original elements are hidden.


yang modern. Cuprux melihat pertemuan tersebut sebagai konsekuensi perjalanan dan transformasi kebudayaan untuk sampai pada peradaban yang ideal. Didasari oleh pemikiran tersebut, karya Cuprux, dengan judul “Kontemplasi Mitologi 1” dan “Kontemplasi Mitologi 2”, merupakan karya yang bermain-main dengan aspek formal berupa garis, bentuk, warna, dan komposisi. Pendekatan Cuprux juga menunjukkan penekanan pada aspek personal, bagaimana dia menyikapi dualisme pengaruh, antara nilai tradisi dan modern. Dia tidak memberikan jawaban, bisa jadi dia pun tidak yakin apa yang akan terjadi ke depan berkenaan pertemuan antara yang tradisi dan yang modern. Karya-karya Cuprux adalah jawaban personal mengenai berkarya seni—melukis—baginya saat ini, sekaligus sebagai parcel visual-formal bagi pemirsa. Bisa jadi beberapa di antara paket visual tersebut sesungguhnya diinspirasi oleh budaya visual dan persoalan tradisi, namun telah mengalami transformasi yang lanjut, sehingga unsur-unsur aslinya tersembunyi. Pada akhirnya, kelima seniman yang berpameran berangkat dari posisinya sebagai seniman otonom, seniman individual yang mencari diferensiasi seni lukis kontemporer—dan seni cetak grafis untuk Kadek. Dalam hal ini mereka adalah para seniman kontemporer. Namun pada saat bersamaan mereka juga mementingkan representasi warisan dan persoalan tradisi Bali. Dalam konteks ini mereka juga bicara mengenai pos-tradisi, yaitu bagaimana modernitas Bali diwarnai dan dipengaruhi oleh tradisi. Tentu berbeda dengan seni rupa tradisi, yang berfungsi untuk ritual dan adat, karenanya memiliki pakem, para seniman dalam pameran ini terbebas dari pakem. Yang sampai pada pemirsa adalah karya personal sebagai gubahan visual dalam seni lukis dan cetak grafis, yang tampilannya sangat berbeda antar setiap karya seniman. Konsekuensinya, persoalan yang mereka sampaikan tidak mudah dibaca, kendati beberapa karya menyediakan tanda-tanda visualnya yang secara semiotik—yang dapat

In the end, the five artists exhibiting departed from their position as autonomous artists, individual artists seeking differentiation in contemporary painting— and graphic printing for Kadek. In this case they are contemporary artists. However, at the same time they also prioritize the representation of Balinese heritage and traditional issues. Contextually, they also talk about posttradition, namely how Balinese modernity is colored and influenced by tradition. Of course, this is different from traditional visual art, which functions for rituals and customs, which therefore has standards, and where the artists in this exhibition are free from standards. What reaches the viewer is personal work as a visual composition in painting and graphic printing, the appearance of which is very different between each artist’s work. As a consequence, the issues they convey are not easy to read, even though some works provide semiotic visual signs that can direct us to the meaning they want to convey. Finally, what is most important is that the works in this exhibition gain the strength of their identity as works of art because they utilize heritage and traditional issues which are one of the assets for contemporary Balinese artists, even though these “issues” are often hidden traces.

Asmudjo J Irianto

________________________ 1. Arthur C. Danto, 1992, “Beyond the Brillo Box, the Visual Arts in Post-Historical Perspective”, Berkeley, University of California Press, pg. 9.


mengarahkan kita pada makna yang hendak disampaikan. Akhirnya, yang paling penting adalah bahwa karya-karya dalam pameran ini mendapatkan kekuatan identitasnya sebagai karya seni karena memanfaatkan warisan dan persoalan tradisi yang menjadi salah satu modal bagi para seniman kontemporer Bali, kendati “persoalan” tersebut kerap menjadi jejak yang tersembunyi.

Asmudjo J Irianto

________________________ 1. Arthur C. Danto, 1992, “Beyond the Brillo Box, the Visual Arts in Post-Historical Perspective”, Berkeley, University of California Press, hlm. 9.


ARTWORKS KARYA



AGUS MEDIANA ‘CUPRUX’

AGUS MEDIANA ‘CUPRUX’

Kontemplasi Mitologi 1 2023 Mixed media on canvas 100 x 100 cm

Kontemplasi Mitologi 2 2023 Mixed media on canvas 100 x 100 cm IDR 17.000.000




DARMIKA SOLAR

DARMIKA SOLAR

Holy Water 1 2023 Acrylic on canvas 120 x 80 cm

Holy Water 2 2023 Acrylic on canvas 100 x 130 cm




I.M. AGUS SAPUTRA

I.M. AGUS SAPUTRA

Konstruksi Terburu-buru dengan Pangsit Isi (Premonition of Stupidity) 2023 Acrylic on canvas 100 x 100 cm

The Battle of Apache Rose Peacock 2023 Acrylic on canvas 150 x 120 cm




KADEK DWI DARMAWAN

The Curious Case of the Secrets of Time 2023 Collage of linocut prints on fabrics Variable dimensions (12 pcs); 130 x 150 cm (on display)



KUNCIR SATHYA VIKU

Before the Water Gets Too High L/R 2023 Acrylic on canvas and teak wood 90 x 280 cm (diptych)



SHORT BIOS BIO SINGKAT


Utilising abstraction as his visual language to convey his thoughts, Cuprux’s works derive from his observations of things; questioning and comprehending the meaning of objects, processions or behaviours and its relations to one another that pivot around our traditions - in his case, attaching to Balinese tradition. One of many others that, of which he spends the most time observing, where there are also times Cuprux uses microscope to zoom in and to look closer, is ‘Canang’, one of Balinese offerings - use frequently, among others, for daily prayer. Cuprux’s works compel us to peal the layers of macrocosmmicrocosm of the time and space we are in - the traditions we found ourselves in - in order to generate our own senses toward his works and their links to the stories, the chronicles of our own.

AGUS MEDIANA ‘CUPRUX’ (BALI, 1988)

AGUS MEDIANA ‘CUPRUX’ (BALI, 1988)

The artistic exploration from Agus Mediana ‘Cuprux’ shifted from realist to abstract mannerism. This mode is driven by, as individual and in his studio practice, his intensity in acquiring the understanding of his surroundings; defining the essence of things in the everyday.

Education / Pendidikan 2014 2011

Post Graduate of Fine Art, Indonesian Institute of the Arts (ISI) Yogyakarta, majoring in painting Bachelor of Fine Art, Indonesian Institute of the Arts (ISI) Yogyakarta, majoring in painting

Solo Exhibition / Pameran Tunggal 2010

“Puisi Putih Tegallalang”, Mon Décor Gallery, J.A.D (Jakarta Art District), Jakarta, Indonesia

Selected Group Exhibition / Pameran Bersama Tertentu 2023

2022

2021

Eksplorasi kesenian Agus Mediana ‘Cuprux’ bergeser dari tingkah laku realis ke abstrak. Pendekatan ini didorong oleh, sebagai pribadi dan dalam latihan studionya, kedekatannya yang semakin merapat dengan pemahaman tentang lingkungannya; menterjemahkan intisari tentang hal-hal dalam kehidupan seharihari, utamanya terkait tradisi Bali.

2018`

Memanfaatkan abstrak sebagai bahasa visual untuk menyampaikan pemikirannya, karya-karya Cuprux bersumber dari pengamatan yang ia lakukan terhadap berbagai hal; mempertanyakan dan memahami makna objek, prosesi atau perilaku serta hubungannya satu sama lain yang berkisar pada tradisi kita - dalam hal ini, melekat pada tradisi Bali. Salah satu dari sekian banyak benda lain yang paling banyak ia habiskan untuk amati, di mana ada juga saat Cuprux menggunakan mikroskop untuk memperbesar dan melihat lebih dekat, adalah ‘Canang’, salah satu persembahan Bali - yang sering digunakan, antara lain, untuk sembahyang sehari-hari.

2012

2017 2014 2013

2011 2010

2009

Karya-karya Cuprux memaksa kita untuk mengupas lapisan makrokosmos-mikrokosmos dari ruang dan waktu tempat kita berada – tradisi tempat kita berada – untuk menghasilkan pemahaman kita sendiri terhadap karya-karyanya dan kaitannya dengan cerita, serta babad kita sendiri.

“Post Tradition: Contextualising tradition in contemporary art”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “The Growth,” Rumah Arta Derau, Bali, Indonesia “Ubud Print Fair”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “Melting Memory”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “DIS&DAT (Display of Denizens of Art Things): Visual dialouges on art toys”, Sika Gallery, Bali, Indonesia “Art for humanity”, Sanggar Dewata Indonesia, Prime Plaza Hotel, Bali, Indonesia “Edu Art Forum”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia “Prasangka Membawa Nikmat”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Taksu Sketsa”, Sanggar Dewata Indonesia, UPT Galeri ISI Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia “Agitasi Garuda”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Kembar Mayang”, Museum Widayat, Magelang, Indonesia “In Flux”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Love of Diary”, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia “Let’s Fly an Arrow”, Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, Indonesia “Bazaart Art Fair”, Mon Décor Gallery, at The Ritz Carlton, Jakarta, Indonesia “Art Our Lives”, Galery of the Raday Konyveshaz (Budhapest) dan Kis Zinagoga Gallery (Eger), Hungary “Biennale Jogja X: Jogja Jamming Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia “Jogja Art Fair #2: Spacing Contemporary”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

Selected Awards / Penghargaan Tertentu 2010 2009

Finalist for Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) Finalist for “The Power of Dream” Tujuh Bintang Art Award


Conveying his thoughts through paintings and objects, Solar’s works are metaphors for constructed culture(s). His works are a composition of personal experience and attunement of traditional values and norms. Visuals of colours, lines, forms, and compositions express an imagined panoramic view of a landscape with various stimulating attributes that are contrived intuitively through his dialogues with his fragments of experiences, traditions, possibilities, and mediums.

I Made Agus Darmika, atau Solar begitu akrab disapa rekanrekannya, memusatkan karya seninya untuk mengkaji, merekonstruksi, dan menata ketimpangan dalam lanskap sosial kita. Ia memadukan latar belakang tradisionalnya dengan paparan langsung terhadap beragam budaya sebagai komponen dalam karyanya untuk mengevaluasi adaptasi kita terhadap perubahan di lingkungan kita. Menyampaikan pemikirannya melalui lukisan dan media tiga dimensi, karya Solar merupakan metafora budaya yang dikonstruksi. Karya-karyanya merupakan komposisi pengalaman pribadi dan penyelarasan nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Visual warna, garis, bentuk, dan komposisi mengungkapkan gambaran panorama suatu lanskap dengan berbagai atribut yang merangsang dan dirangkai secara intuitif melalui dialogdialognya dengan penggalan-penggalan pengalaman, tradisi, kemungkinan, dan mediumnya.

DARMIKA SOLAR (BALI, 1991)

DARMIKA SOLAR (BALI, 1991)

I Made Agus Darmika, or Solar as he is widely known by his peers, centred his art to examine, reconstruct, and arrange the imbalances in our social landscapes. He interweaves his traditional background with his direct exposures to variety of cultures as components in his works to evaluate our adaptations toward changes in our environments.

Education / Pendidikan 2017

Bachelor of Fine Art, Indonesian Institute of the Arts (ISI) Yogyakarta, majoring in painting

Solo Exhibition / Pameran Tunggal 2019

“I Wish To Have This Conversation With You”, Kedai Kebun Forum Yogyakarta, Indonesia

Selected Group Exhibition / Pameran Bersama Tertentu 2023

“Post Tradition: Contextualising tradition in contemporary art”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “Broken White Project #15: Lingua”, Ace House Gallery, Yogyakarta, Indonesia

2022

“Artina: Wastu/Loka/Kala”, Artina, at Sarinah Building, Jakarta, Indonesia “Melting Memory”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “Biayang”, TAT Art Space, Bali, Indonesia “Beach Club”, Jhub Art Space, Bali, Indonesia

2019

“Adu Domba X”, Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta, Indonesia

2018

“Nandur Srawung #5” at Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia “Mei-Mei Art In Jogja”, Ace House Gallery, Yogyakarta, Indonesia

2017

“Arus Bawah”, Jogja Contemporary Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Partitur”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia “Mini Wall”, Kedai Kebun Forum. Yogyakarta, Indonesia “AC x DC”, Karja Artspace, Bali, Indonesia

2016

“TRIP”, Bentara Budaya Bali, Bali, Indonesia “YOU: CONVERSATION”, Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Indonesia

2015

“Adu Domba #1”, Sangkring Art Project, Yogyakarta, Indonesia “In the Name of the Risk”, Masriadi Art Foundation, Yogyakarta, Indonesia

2014

“FKY: Cut and Remix”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia


His works take focus on issues found in our social environment, which practically in these days cannot be separated from technological advances and foreign cultural influences. Often, Agus interlinks the narratives in his works with ‘historical events’, specially related to art histories in Bali and, in the Western hemisphere, in general. While there is sometimes the presence of monochromatic colouring explorations in his works, Agus’ storytelling is rendered with the compositions of Batuan’s dense and compact landscape, and memedeg / ‘god’s eye perspective’ (a bottom upward perspective without instilling the linear stance) where size is not used to create the illusion of depth/ distance but rather the placement of the objects becomes the determinator – the further from the bottom part of the canvas, the greater the depth/the farther the distance.

I.M. AGUS SAPUTRA (BALI, 1992)

I.M. AGUS SAPUTRA (BALI, 1992)

Tapping into his frame of references, I Made Agus Saputra has placed a great interest in exploring his visual language using Balinese artistic idioms, particularly that of Batuan painting style; embarking on new artistic interpretations of the Batuan style while fusing Western techniques into his painting process and visuals.

Education / Pendidikan 2018

Solo Exhibition / Pameran Tunggal 2022 2020

Karyanya menitikberatkan pada persoalan yang terdapat di lingkungan sosial kita, yang praktis dewasa ini tidak lepas dari kemajuan teknologi dan pengaruh budaya luar. Seringkali, Agus mengaitkan narasi dalam karyanya dengan ‘peristiwa sejarah’, khususnya terkait dengan sejarah seni rupa di Bali dan, di belahan bumi Barat pada umumnya. Selain terkadang ada eksplorasi pewarnaan monokromatik dalam karya-karyanya, Agus merender karyanya dengan komposisi lanskap Batuan yang padat dan menyeluruh, serta memedeg / ‘perspektif mata dewa’ (perspektif dari bawah ke atas tanpa menanamkan sikap linier), di mana ukuran tidak digunakan untuk menciptakan ilusi kedalaman/jarak melainkan penempatan objek yang menjadi penentu – semakin jauh dari bagian bawah kanvas, semakin besar kedalaman/jaraknya. Dengan memecah, membengkokkan, dan memadukan gaya lukisan Batuan, pendekatan Agus terhadap karya-karyanya bisa dibilang membawa masa lalu untuk bergerak maju di masa kini dan sekaligus menciptakan kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

“Post Tradition in Batuan Hybrid Style and Realist: Utopia and Dystopia Representations”, CG Artspace, Jakarta, Indonesia “Once Upon a Time”, CG Artspace, Jakarta, Indonesia

Selected Group Exhibition / Pameran Bersama Tertentu 2023

“Collective Imaginations”, CGartspace, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “Sekala Niskala”, Project Eleven, at Smorgon Gallery, Footscray Arts Community Centre, Melbourne, Australia

2022

“Ubud Print Fair”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “On Connectivity”, Kohesi Initative, Yogyakarta, Indonesia “NEOPITAMAHA: /tradition [in] translation/”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia

2021`

“Small Things, Great Meanings: Offerings”, Apel Watoe Contemporary Art Gallery, Magelang, Indonesia “Post Identity: Bali contemporary art now”, Artsphere, Jakarta, Indonesia “+62361: Unfolding the current ripple”, Puri Art Gallery x Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia

2020

“12”, Sika Gallery, Bali, Indonesia

2019

“Drawings Bali Today”, Sika Gallery, Bali, Indonesia

2018

“ART•BALI 2018 : Beyond the Myths”, AB•BC Building, Bali, Indonesia “Balinese Abstract”, Edwin’s Gallery, Jakarta, Indonesia

2017

“Trade on Trade”, Bentara Budaya Bali, Bali, Indonesia

2016

“Labirin”, Batuan Art Museum, Bali, Indonesia

By breaking, bending, and blending the Batuan painting style, Agus’ approach towards his works can somewhat be cited as bringing into play the past to move forward in the present and at the same time creating possibilities for the future.

Berpegang pada kerangka acuannya, secara utama Agus Saputra mengeksplorasi bahasa visualnya menggunakan idiom artistik Bali, khususnya gaya lukisan Batuan; memulai interpretasi artistik baru dari gaya Batuan sambil memadukan teknik Barat ke dalam proses melukis dan visualnya.

Bachelor of Fine Art, Indonesian Institute of the Arts (ISI) Denpasar, majoring in painting

Selected Awards / Penghargaan Tertentu 2023

Finalist for 13th UOB Painting of the Year (POY) (Indonesia) Award


In his print works, the inherently hand-skill Balinese intuitiveness is driven by Kadek to narrate and navigate between tradition and modernity. His mutagenic visuals are metaphors and symbolisations of our individual and collective interactions with issues that we are faced with. Kadek touch on issues of the daily that is becoming more and more pluralistic and cross-cultural and extracts tensions, disruptions, as well the blending and the balance that come with it. The cross-breed grotesque visuals in Kadek’s works are intended to take us back to dialogues about our daily life and how we negotiate with the values between layers of culture, tradition, locality, globalisation, spirituality, mechanical, mythology, and knowledge.

Tanpa seni pendidikan formal, dengan mandiri Kadek Dwi Darmawan mengeksplor medium seni cetak grafis dan menanamkan keertarikannyaa terhadap komik, animasi, dan monster ke dalam karya visualnya. Dijiwai dengan perspektif hidup lokal – konsolidasi dan harmonisasi Sekala Niskala (yang terlihat dan tidak terlihat; yang konkret dan metafisika, jiwa dan raga), Kadek menaruh perhatian pada atribusi karakteristik dan hubungan kita dengan lingkungan sekitar. Dalam karya cetaknya, intuisi keterampilan tangan Bali didorong oleh Kadek untuk menarasikan dan menavigasi antara tradisi dan modernitas. Visual mutageniknya adalah metafora dan simbolisasi interaksi pribadi dan kolektif kita dengan isu-isu yang kita hadapi. Kadek menyentuh isu-isu keseharian yang semakin pluralistik dan lintas budaya serta memunculkan ketegangan, gangguan, serta pembauran dan keseimbangan yang menyertainya. Visualisasi aneh dari persilangan yang muncul pada karya-karya Kadek dimaksudkan untuk membawa kita kembali pada dialogdialog tentang keseharian dan bagaimana kita bernegosiasi dengan nilai-nilai antar lapisan budaya, tradisi, lokalitas, globalisasi, spiritualitas, mekanik, mitologi, dan pengetahuan.

KADEK DWI DARMAWAN (BALI, 1996)

KADEK DWI DARMAWAN (BALI, 1996)

A self-thought printmaking artist, Kadek Dwi Darmawan imprints his appetite for comics, animations, and monsters into his visual works. Imbued with local perspective of life – the consolidation and the harmonisation of Sekala Niskala (the seen and unseen; the concrete and the metaphysics, the soul and the body), Kadek takes concerns on the attribution of our characteristics and relations with our surroundings.

Education / Pendidikan 2014

SMK 5 (Vocational High School) Denpasar, Bali

Solo Exhibition / Pameran Tunggal 2019

“Impetus”, NON Space, Bali, Indonesia

Selected Group Exhibition / Pameran Bersama Tertentu 2023

“Toreh“, Nonfrasa Gallery, Bali, Indonesia “Cetak”, Purga Art Space, Bali Indonesia “Post Tradition: Contextualising tradition in contemporary art”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “The Growth,” Rumah Arta Derau, Bali, Indonesia

2022

“After Imagination,” at Art Jakarta, with Lanö Art Project, JCC Senayan, Jakarta, Indonesia “Art Jakarta”, with ArtSociates, JCC Senayan, Jakarta, Indonesia “Tarung Grafis”, ArtSociates, Lawangwangi Creative Space, Bandung, Indonesia “Ubud Print Fair”, Lanö Art Project, Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia

2021

“Shades of Belief Print Exhibition”, Deus Temple Ex Machina Gallery, Bali, Indonesia

2020

“23 Countdown: #01 Step by Step”, The Alleway café, Bali, Indonesia “Infused Beats”, the Flock, Bali, Indonesia “Collega Collective”, Loco by Nature Skate Park, Bali, Indonesia

2019

“Pena Hitam Day”, Kebon Dewi Madri, Bali, Indonesia

2018

“Potong Tempel”, Cata O Data, Bali, Indonesia


Bringing into play his satirical wit, Kuncir composes globallocal (glocal) disruptions where forms are enchanted between tradition-modernity. He transmits hybrid shamanistic visuals merging comic impression with rerajahan traits and a touch of pop surrealism. Formulating his works in drawings, paintings and installations, Kuncir narrates forward-looking and evaluations on Balinese surrealism and glocal social issues; often where clashes between modernity-tradition, conservative-liberal, spirituality-profanity, norms-anamolies and so forth take place.

Menanamkan pelatihannya sebagai ilustrator rerajahan (mantra visual) untuk ayahnya - seorang balian (dukun Bali) - dan bayangan ingatan budayanya dengan pengalaman artistiknya di mana ia berkarya dengan mural di jalanan, Kuncir mengeksplorasi garis dan bentuk yang berakar pada bahasa visual Bali. Dengan menampilkan unsur satirnya, Kuncir menyusun perupaan dari benturan global-lokal (glokal) yang bentuknya terikat antara tradisi-modernitas. Karyanya berbicara melalui pernakan visual perdukunan - memadukan kesan komik dengan ciri rerajahan dan sentuhan surealisme pop. Merumuskan karyanya dalam bentuk gambar, lukisan, dan instalasi, Kuncir menceritakan pandangan ke depan dan evaluasi terhadap surealisme Bali dan isu-isu sosial glokal; seringkali dari hal di mana terjadi bentrokan antara modernitas-tradisi, konservatif-liberal, spiritualitas-carut marut, anomali-norma dan lain sebagainya.

KUNCIR SATHYA VIKU (BALI, 1990)

KUNCIR SATHYA VIKU (BALI, 1990)

Infusing his training as a rerajahan (visual mantra) illustrator for his father - a balian (Balinese shaman) - and his cultural memory with his artistic experiences working with murals in the streets, Kuncir explores lines and forms that are rooted in Balinese visual language.

Education / Pendidikan 2013

Bachelor of Design, Indonesian Institute of the Arts (ISI) Denpasar, majoring in visual design communication

Solo Exhibition / Pameran Tunggal 2018

“Dead Stock”, Tamora Gallery, Bali, Indonesia “Spiritual Shit”, Deus Ex Machina Gallery Gallery, Bali, Indonesia

Selected Group Exhibition / Pameran Bersama Tertentu 2023

“ArtJog 2023 - Motif: Lamaran”, ArtJog, Jogya National Museum, Yogyakarta, Indonesia “Post Tradisi: Revisiting and future of Balinese painting”, Mizuma Gallery, Singapore “Sekala Niskala”, Project Eleven, at Footscray Arts Community Centre, Melbourne, Australia

2022

“Berkelanjutan!”, Distrik Seni, at Sarinah Building, Jakarta, Indonesia “Ubud Print Fair”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “Urup”, Uma Seminyak, Bali, Indonesia “NEOPITAMAHA: /tradition [in] translation/”, Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia

2021

“+62361 Unfolding the current ripple”, Puri Art Gallery x Lanö Art Project, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia “Shades of Belief”, Black Hand Gang, at Deus Ex Machina Gallery, Bali, Indonesia “Bali Emerging Artist 2021”, Sika Gallery, Bali, Indonesia

2020

“Rythmic Ceramics”, Setia Ceramics & Arts, at Uma Seminyak, Bali, Indonesia “Raga Rhythm”, Wild Skids, at Titik Dua Ubud, Bali, Indonesia

2019

“Anatomy of Experience”, Uma Seminyak, Bali, Indonesia “Drawing Bali Today”, Sika Gallery, Bali, Indonesia “Sagilik Saguluk”, Tamora Gallery, Bali, Indonesia

2018

“DenPasar 2018”, Cush Cush Gallery, Bali, Indonesia


AGUS MEDIANA ‘CUPRUX’ DARMIKA SOLAR I.M. AGUS SAPUTRA KADEK DWI DARMAWAN KUNCIR SATHYA VIKU Curated by Asmudjo J. Irianto 15 Nov - 10 Dec, 2023 at Orbital Dago Art Gallery Presented by

Supported by

Produced by

CONTACT @orbitaldago +62 812 9452 6253 @lano_art_project +62 887 3021 700



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.