e-NAFIRI GKY BSD | OKT 2021 | TH18

Page 1


Pembaca Nafiri terkasih, Melalui masa pandemi sejak awal tahun 2020, kita ‘dipaksa’ untuk menghadapi hal yang benarbenar baru. Mulai dari aktivitas sekolah, bekerja, kehidupan keluarga, dan kehidupan sosial diubrak-abrik oleh COVID-19. Dari ingin berteriak “Berapa lama lagi Tuhan?” di Nafiri yang lalu, sekarang kita beranjak ke pertanyaan, “Siapa saya di masa yang sulit ini, Tuhan?” Kita tidak lagi merenung, tapi kita mau bertindak sebagai garam dan terang—yang memang merupakan identitas yang Tuhan berikan kepada kita. “Our Identity in Christ” merupakan tema Nafiri kita pada saat ini. Bagaimana kita melihat identitas diri kita sebagai gambar dan rupa Allah? Artikel “Fokus” kali ini membawa kita mengerti akan hal ini. Identitas seorang anak yang hidup secara intim dengan Tuhan, itulah yang akan kita pelajari dari jejak “Kesaksian” yang ditinggalkan oleh almarhum Pak Wawan yang terkasih. Mata saya berkaca-kaca mengucapkan syukur ketika membaca artikel ini. Wawancara “Thought” dengan Bapak Peter Jacobs akan membawa kita untuk fokus bekerja dengan mengamini Kolose 3: 23: Apa yang kita kerjakan,


kerjakan seperti untuk Tuhan, seperti yang akan pembaca temukan di artikel tersebut. Nafiri kali ini juga akan membawa kita meneropong jauh ke Kota Efesus dalam rubrik “Teropong”, sebuah kota yang kita kenal sebagai kota kaya dan termasyhur di zaman Perjanjian Baru. Apa yang terjadi dengan identitas kota itu? Kenapa kota tersebut seperti hilang tak terdengar saat ini? Beberapa bulan ini, kita juga bersama-sama belajar melayani melalui bakti sosial vaksinasi COVID-19. Melalui artikel “Liputan Khusus”, kita dibawa ke bagaimana persiapan dan detail pelaksanaannya? Apalagi yang bisa kita kerjakan sebagai anak-anak Tuhan di masa pandemi ini? Masih banyak artikel yang membantu kita meresapi makna dari our identity in Christ. Termasuk kisah dua bayi kecil: Jainul dan Devi dari hutan Kalimantan. Terus terang, saya sangat menunggu-nunggu artikel ini selesai ditulis oleh Liany. Selesai membaca artikel “Percikan”, saya tersadarkan kembali akan tanggung jawab kita sebagai anak Tuhan untuk menguasai bumi, seperti yang ditulis di Kejadian 1: 28. Nah, pembaca Nafiri, selamat membaca, selamat belajar, selamat menghidupi identitas kita sebagai anak Tuhan. Salam, Redaksi


Penasihat Pdt Gabriel Kadarusman Gofar Pembina GI Feri Irawan, Hartono Basuki Majelis sub. bid. Literatur Humprey Pemimpin Redaksi Maya Marpaung Wakil Pemimpin Redaksi Pingkan Abigail Palilingan Editor Liany Suwito, Titus Jonathan Proof Reader Sarah Amanda Palilingan, Yati Alfian Creative Design Arina Renata Palilingan, Christina Citrayani, Glory Amadea Juliani Agus, Nerissa, Novita C Handoko Illustrator Ricky Pramudita, Shannon Ariella, Thomdean Fotografer Yahya Soewandono, Tim Dokumentasi GKY BSD Penulis Anton Utomo, Edna C Pattisina, Elasa Noviani, Erwin Tenggono, Hendro Suwito, Lily Ekawati, Liany Suwito, Lislianty Lahmudin, Maya Marpaung, Sarah Amanda Palilingan, Thomdean, Titus Jonathan Kontributor Andreas K Wirawan, Susanti Alamat Redaksi Sub bidang literatur GKY BSD Jl. Nusaloka E8/7 BSD Tangerang Telp/ Fax: 021-5382274 Email: nafiri@gkybsd.org

Kirimkan KRITIK, SARAN, SURAT PEMBACA dan ARTIKEL anda ke alamat redaksi ataupun lewat e-mail di atas


Our Identity in

Christ / GI. Aldi Darmawan Sie


“Apakah manusia itu? Apakah yang membuat manusia dikatakan menjadi manusia?” Pertanyaan klasik dan fundamental ini masih terus digumuli oleh manusia hingga hari ini. Salah satu pendapat populer sains mengatakan manusia adalah produk evolusi yang terus berkembang semenjak permulaan dunia. Sementara itu, seorang filsuf bernama Aristoteles, bahkan pernah berpendapat, “Man is by nature a social animal.” Di tengah dunia masa kini yang giat menyuarakan kebebasan (freedom), salah satu pendapat yang semarak mengatakan manusia adalah makhluk yang bebas (human is a free being). Manusia dikatakan menjadi manusia ketika ia memiliki kebebasan untuk menentukan segala hal apa yang dipandang baik menurut dirinya. Berbagai pendapat ini membuktikan bahwa manusia masih terus bergumul untuk menemukan identitas atau jati dirinya. Menariknya, Alkitab melalui Kejadian 1: 26–27 menyatakan bahwa semenjak permulaan zaman, identitas manusia adalah gambar dan rupa Allah (imago Dei). Manusia adalah makhluk personal dan


relasional yang diciptakan Allah untuk merepresentasikan kehadiran-Nya di dalam dunia. Perjanjian Baru juga menggaungkan ide serupa bahwa manusia adalah gambar (image) Allah (1 Korintus 11: 7; Yakobus 3: 9; Kisah Para Rasul 17: 28). Akan tetapi, di dalam kitab Kejadian juga dicatat bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa. Hal ini membuat manusia tidak mampu dan tidak dimungkinkan menjadi imago Dei secara utuh. Dosa membuat manusia yang seharusnya menjadi gambar dan rupa yang merepresentasi Allah, malah berbalik mengoposisi Allah. Namun demikian, Yesus Kristus hadir ke dalam dunia untuk menyatakan DiriNya sebagai gambar dan rupa Allah yang sejati dan sesuai dengan rancangan mula-mula Allah (the true imago Dei). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Paulus di surat Kolose mengatakan bahwa segala kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Yesus Kristus (Kolose 1: 19). Senada dengan itu, Paulus di surat 2 Korintus 4: 4 juga mengatakan bahwa Yesus adalah gambaran Allah (image of God).


Yesus Kristus sebagai the true imago Dei juga adalah Pribadi yang telah mendamaikan relasi kita dengan Allah. Ini berarti, ketika kita telah didamaikan dan bersatu di dalam Kristus, maka sesungguhnya identitas kita yang rusak sebagai gambar dan rupa Allah, juga turut dipulihkan dan diperbarui di dalam dan melalui gambar Allah yang sejati, yakni Yesus Kristus (Kolose 3: 10). Ide ini juga jelas tertulis di dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang


dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” (Efesus 2: 10). Ini berarti, desain Allah bagi manusia untuk menjadi gambar dan rupa-Nya, dari semula adalah panggilan untuk menyerupai Anak-Nya, Yesus Kristus. Maka, kembali kepada pertanyaan di atas, manusia merupakan gambar dan rupa Allah yang telah diperbarui di dalam dan melalui Kristus. Manusia hanya dapat menjadi imago Dei yang utuh, ketika Ia telah diperdamaikan di dalam dan melalui Kristus sehingga ia dimampukan untuk terus menerus diperbarui menjadi semakin serupa dengan Kristus dari hari ke hari (imago Christi). Sebuah Refleksi Hari ini permasalahan krisis identitas masih menjadi permasalahan global yang tidak imun dialami oleh manusia. Salah satu gejalanya adalah merasa diri kurang berharga. Gejala ini biasanya dikarenakan seseorang mengasosiasikan dirinya dengan kekurangan atau hal yang tidak dimiliki sehingga ia membandingkan diri dengan orang lain. Misalnya, kita merasa diri


kurang berharga karena merasa kurang cantik atau kurang tampan, atau juga karena usia sudah tidak muda dan sering sakit-sakitan. Namun, sesungguhnya identitas kita tidak ditentukan dari kemampuan maupun kondisi lahiriah kita.

Identitas kita yang sejati ditentukan oleh firman Allah yang mengatakan bahwa kita adalah gambar dan rupa Allah, terlepas dari kemampuan dan kondisi lahiriah kita. Maka, kita adalah ciptaan Tuhan yang sangat berharga di mata-Nya. Bukan hanya itu, kita juga adalah imago Christi atau satu-satunya makhluk yang didesain Allah untuk menyerupai Kristus. Menjadi serupa dengan Kristus adalah panggilan sekaligus perjalanan yang harus kita tempuh untuk menghidupi identitas kita yang sesungguhnya sebagai imago Dei. Perjalanan menyerupai Kristus merupakan proses seumur hidup bagi kita yang telah diperdamaikan dengan Allah. Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk menyerupai Kristus adalah belajar taat kepada


Allah. Kristus sebagai the true imago Dei merupakan Pribadi yang taat kepada Allah Bapa dan hidup menurut pimpinan Roh Kudus. Ini berarti, ketaatan kepada Allah merupakan aspek mutlak yang harus ada di dalam langkah demi langkah perjalanan hidup kita untuk meneladani Kristus. Oleh karena itu, kita patut mengapresiasi dan menghargai kehidupan yang telah Tuhan berikan, dengan cara taat di dalam pimpinan Roh Kudus yang menuntun kita untuk dibentuk semakin serupa dengan gambar Anak-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita semua.

Penulis adalah Mahasiswa praktik 1 tahun dari STTAA.


In Memoriam

Hermawan:

Tuhan Itu Baik dan Selalu Tepat Waktu

/ Lily Ekawati


“Saya pengen ketemu Tuhan,” kalimat ini beberapa kali tercetus selama tim Nafiri datang dan berbincang-bincang di rumahnya beberapa waktu lalu. Sudah delapan bulan Pak Hermawan—yang biasa dipanggil Pak Wawan—harus menjalani cuci darah dua kali setiap minggu.


Didampingi keluarganya, dia juga pindah dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain dengan harapan ada solusi untuk mengobati sakitnya, tapi ternyata tidak juga ada terobosan lain selain keharusan untuk menjalani cuci darah. “Saya sudah ga bisa apa-apa, pasrah aja dan hanya bisa minta kesembuhan sama Tuhan … dan menunggu kapan Tuhan ambil saya,” tuturnya lirih. Pada tanggal 22 Juni 2021, Pak Wawan menghadap Penciptanya—Tuhan yang ia percaya sangat dekat dan mendengarkan doa-doanya selama ia menjalani hidupnya. Dia sudah tidak sakit lagi, sehingga cerita yang akan ditulis ini bukan lagi tentang pergumulan dengan sakitnya. Namun, kesaksian-kesaksian iman yang dibagikan oleh Pak Wawan kepada tim Nafiri tentang kehadiran dan kebaikan Tuhan yang mengiringi selama hidupnya. “Saya bersyukur sekali bisa kenal Tuhan. Tuhan itu baik dan selalu tepat waktu,” kata Pak Wawan. Di tengah-tengah cerita tentang sakit berkepanjangan yang ia alami, terselip beberapa cerita pengalaman hidup ketika doa pribadinya didengarkan oleh Tuhan secara ajaib.


“Ada satu hari, ketika anak-anak masih kecil, kami ga punya makanan. Dari pagi sampai malam ga makan apa-apa cuma minum air,” sharing Pak Wawan. “Anak saya terkecil nangis, lapar. Saya tahu ada Tuhan Yesus, tapi waktu itu masih abu-abu.” “Saya masuk kamar mandi, saya nangis. Saya bilang, ‘Tuhan kalau Engkau beneran ada, saya minta makan pada malam ini …. Pokoknya malam ini. Tidak mau besok.’ Saya seperti memaksa Tuhan.” Tanpa ia sangka, saat selesai mandi, ada yang mengetuk pintu di tengah hujan yang sangat deras malam itu. Seorang bapak bernama Pak Herman, berdiri dan bertanya apa ada yang jual ban. Dengan keheranan Wawan teringat siang tadi tetangga depan mengganti empat ban. Jadi ia memberitahu dan Pak Herman pun mendatangi tetangga tersebut. “Gak lama trus bapak itu balik lagi kasih uang saya Rp50 ribu sambil mengucapkan terima kasih.” “Malam itu kami sekeluarga makan sampai kenyang. Saya jadi takut, berarti Tuhan memang ada. Dia bener-bener ada, kita ga perlu teriak, buktinya saya cuma dari kamar mandi Tuhan dengar,” cerita Pak Wawan.


Ada satu momen dimana Pak Wawan setahun sakit dan selama lima bulan tidak bisa makan apa pun selain minum air. Di satu titik—ketika ia sudah tidak tahan lagi—ia berdoa dan meminta Tuhan menjemputnya. “Semalaman saya berdoa minta mati. Kok Tuhan kali ini ga dengar saya. Saya nangis-nangis, minta saya dipanggil malam ini juga. Eh besok paginya bangun, rasanya laper banget dan tiba-tiba saya bisa makan bubur sampai habis tiga mangkok …” tawanya berderai. Pernah ketika sakit tak tertahankan, ia berdoa dan meminta untuk mati saja. Tuhan hadir dalam mimpi …. Dia tersenyum dari atas bukit dan turun menghampiri. “Tuhan diam aja … ga ngomong apa-apa, tapi saya tau itu Tuhan, persis seperti yang di gambar-gambar itu. Saya pernah kecewa karena Tuhan tidak kasih kesembuhan dan biarkan saya sakit, tapi Tuhan tetap baik … selalu baik. Dia selalu dengar doa kita … hanya yang minta mati saja yang “Tuhan itu dekat belum dikasih.” dengan kita. Dia ada. “Tuhan itu Dia selalu dengar dekat dengan doa kita.” kita. Dia ada. Dia


selalu dengar doa kita.” Kalimat ini terucap beberapa kali dalam perbincangan dengan Pak Wawan. “Saya ga pernah minta uang, tapi minta makan beberapa kali dan cepat sekali Tuhan jawabnya. Pernah satu kali, saya lagi ngojek dan saya bilang sama Tuhan saya lapar. Pengen makan ga punya uang … ga ada beras.” “Tiba-tiba ada telepon masuk. Seorang ibu minta tolong saya belikan dua ekor ayam taliwang ke pasar. Saya juga dikasih uang Rp100 ribu dan dia suruh beli beras sekalian buat saya.” “Saya tanya dari mana ia tau saya ga punya beras? Katanya, ‘Firasat saja.’,”ujar Pak Wawan. Pak Wawan tahu itu bukan sesuatu yang kebetulan. Itu adalah Tuhan yang menjawab doa yang ia sampaikan. Demikian juga ketika anak bungsunya ingin kuliah. Pak Wawan merasa tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya lagi. Tapi ketika sang anak meminta uang untuk membeli formulir Rp50 ribu, dia berikan dan dia berdoa mohon supaya Tuhan yang berbelaskasihan. “Saya bersyukur, anak saya akhirnya bisa kuliah dan sekarang sudah semester tujuh;


sebentar lagi lulus. Hanya dengan uang buat beli selembar formulir, lebih dari itu saya ga punya.” “Dia diterima di UPH dan diberikan beasiswa penuh, diberikan tempat tinggal, dan makan sehari tiga kali. Tuhan itu baik. Kuliah biasanya mahal dan butuh ratusan juta …. Anak saya cuma modal Rp50 ribu …. Benar-benar Tuhan mendengar doa kita,” ujarnya penuh syukur. Di ujung wawancara, Pak Wawan mengenang awal ia bergabung di GKY BSD. Hampir sepuluh tahun lalu dia diajak salah satu jemaat GKY BSD untuk ikut beribadah ke gereja daripada hanya nongkrong di pangkalan ojek. Dia akhirnya ikut beribadah. Bahkan akhirnya beribadah secara reguler dan sangat menikmati kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Dia juga merasa diterima sebagai keluarga besar GKY BSD oleh para hamba Tuhan dan jemaat di gereja. “Perhatian GKY BSD luar biasa pada keluarga kami, melebihi saudara


… ga ada saudara yang sebaik saudarasaudara seiman di situ,” kata Pak Wawan menutup pembicaraan.

Selamat jalan Pak Wawan .… Selamat berjumpa dengan Tuhan •


Peter Jacobs:

Pekerjaan Kita Sekarang adalah

Pekerjaan Allah


/Maya Marpaung

Bapak Peter Jacobs selalu dikenal sebagai orang yang sabar dan pemerhati. Direktur Eksekutif dan Kepala Departemen Jasa Perbankan, Perizinan, dan Operasional Tresuri Bank Indonesia; Bapak Peter Jacobs tidak sulit untuk ditemui, dimintai pendapat, dan diajak bertukar pikiran.


Sama halnya ketika beliau berada di lingkungan pelayanan mahasiswa. Bang Peter—begitu saya selalu memanggilnya—tidak terlihat berubah sejak masa saya kuliah. Teringat dulu saya pernah meminta Bang Peter untuk menjadi pendoa syafaat di acara persekutuan mahasiswa. Masih dengan kerendahan hati, kehangatan, dan dengan tangan terbuka membantu apa pun yang ia bisa—termasuk untuk berbagi mengenai kehidupannya pada Nafiri.


Nafiri: Setelah lulus kuliah, Bang Peter langsung bekerja di Bank Indonesia. Apakah berkarir di dunia perbankan merupakan citacita Bang Peter? Peter Jacobs: Saya datang dari keluarga yang sederhana, sehingga salah satu yang mendorong saya dalam bekerja adalah ingin sekolah lebih lanjut. Itu juga yang merupakan motivasi terbesar saya ketika bergabung di Bank Indonesia (BI). Saya tidak begitu mengerti panggilan hidup. Zaman dulu persekutuan belum banyak membukakan hal itu. Yang saya bawa dari hidup [selama] di kampus adalah integritas hidup sebagai murid Kristus. Ketika akhirnya Tuhan izinkan saya, sebagai seorang sarjana hukum yang mestinya memegang peran pendukung di dunia perbankan, memiliki karir, ya itu memang anugerah Tuhan semata.


N: Bang Peter sempat menyinggung soal integritas. Apakah integritas ini didapat dari pengalaman selama kuliah perhukuman atau dari Persekutuan Mahasiswa Kristen? PJ: Oh, itu benar-benar dari persekutuan. Jadi saya masih ingat, pelajaran pertama tentang integritas di persekutuan adalah tentang menyontek. Sebelum masuk persekutuan, saya tahunya nyontek adalah sebuah keniscayaan: Mana mungkin mahasiswa gak nyontek nyontek? Tapi ya saya belajar itu tidak boleh dan akhirnya menjadi terbiasa tidak menyontek. Ketika saya masuk ke dunia kerja, [ketika] ada orang yang mau menyogok, ya saya mudah sekali menolak. Itu tidak benar! Sogokmenyogok mungkin biasa di dunia, tapi itu mencuri! Mana integritas kita sebagai orang yang ditebus? Dan banyak sekali hal-hal di dunia kerja yang berhubungan dengan integritas yang saya ternyata pelajari ketika mengecap persekutuan sewaktu mahasiswa. N: Melihat banyaknya hal-hal salah yang dibuat menjadi sebuah norma di masyarakat, apakah hal ini pernah membuat Bang Peter frustrasi?


PJ: Oh ya, seringkali, dan ini juga yang dialami banyak alumni-alumni Kristen yang masuk ke dunia kerja. Teori-teori yang selama ini kita pelajari ya menjadi tertantang. Awal-awal saya ingin merubah banyak hal, tapi akhirnya saya mengerti bahwa yang harus berubah adalah saya sendiri. Saya harus kokoh dan terus mengacu ke Kolose 3: 23, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Ini menjadi dasar bagaimana saya bekerja dan mengambil berbagai keputusan. N: Bang Peter banyak berbicara tentang pelayanan di tempat kerja, bagaimana pengabaran Injil itu bukan hanya dilakukan di mimbar tetapi terlebih penting dilakukan di tempat kerja. Apakah bisa lebih dipaparkan tentang hal ini? PJ: Ya, tahun 2019 saya ikut Global Workplace Forum yang digagas oleh Laussane Movement dan baru disadarkan bahwa pendeta itu hanya satu persen dari jumlah orang Kristen, selebihnya ya pekerja biasa seperti kita. Jadinya, ya salah kalau Amanat Agung hanya


dilakukan oleh pendeta. Panggilan menjadi pengabar Injil itu tidak hanya jadi hamba Tuhan full time tapi hamba Tuhan di marketplace, ya pekerja-pekerja seperti kita ini. Sekarang bagaimana kita melihat pekerjaan kita sebagai pekerjaan Allah? Kalau kita lihat konteks Kolose 3: 23 dan kita menghabiskan waktu empt puluh persen dari waktu kita di tempat kerja, ya tidak mungkin pekerjaan kita ini tidak kita persembahkan untuk Tuhan. Panggilan untuk bekerja itu adalah panggilan Allah. Kita lihat di Kejadian 1: 26, kita diberikan perintah untuk menguasai bumi. Kata “menguasai seluruh bumi” itu ya termasuk apa yang kita kerjakan sekarang. Para peneliti vaksin, para analis, dan termasuk saya sendiri di perbankan; itu sedang mengerjakan panggilan Allah. Tugas saya di BI adalah memastikan kestabilan ekonomi bangsa ini: Supaya masyarakat bisa hidup sejahtera. Nah, ini adalah panggilan Allah dalam konteks Kejadian 1: 26. Perintah panggilan berlaku terus hingga sekarang. N: Wah, jadi banyak yang salah kaprah dong ya, Bang? Banyak yang memisahkan antara pelayanan dan pekerjaan. Pelayanan


ya di gereja, sedangkan pekerjaan ya soal lain. Bahkan saya sering dengar kalau di pekerjaan, “Ya, inilah real world.” PJ: Itulah. Kita sudah terlalu lama salah kaprah. Lagi-lagi kalau kita baca Kolose 3: 23, itu tuntutan dari Tuhan. Contohnya, kalau saya sedang menandatangani surat perjanjian, mau ambil keputusan, kasih pengarahan di kantor; ya saya selalu berdoa karena semua ini adalah pekerjaan Tuhan. N: Ya kalau begini, kita tidak mungkin mau melakukan pekerjaan yang kebenarannya diragukan ya bang? Misalnya mau nyogok, ya kan akhirnya tidak jadi kalau kita berdoa dulu. PJ: Ya jelas banget. Ingat loh, kita sebagai pekerja Kristen akan selalu dilihat orang. Kenapa kita lakukan hal A, B, dan C. Kalau kita melakukan pekerjaan kita [seolaholah] sebagai Alkitab yang terbuka, maka otomatis mereka akan membaca Alkitab tanpa harus memegang Alkitab. Itu adalah pekabaran Injil di tempat kerja. Dan itu yang seharusnya dilakukan oleh 99 persen orang Kristen di dunia ini. Dan ini bukan


hanya kalau kita menjadi pemimpin di kantor, tapi di semua posisi yang Tuhan tempatkan—itu adalah ladang misi kita. N: Berarti kalau kita merujuk ke Kolose 3: 23, kita harus melakukan pekerjaan kita dengan maksimal. Tidak ada lagi tawar-menawar. PJ: Betul sekali. Kita harus melihat pekerjaan kita sekarang bahwa ini adalah pekerjaan Allah dan itu harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Kita harus melakukan pekerjaan kita sebaik mungkin sehingga memprovokasi pertanyaan: Kenapa? Dan jawabannya adalah: Kristus.

Wawancara selesai, kami berdoa bersama, dan saya tertegun. Saya merefleksikan kehidupan pekerjaan saya sendiri, panggilan Tuhan di dunia pekerjaan saya. Kembali saya berdoa, “Inilah aku Tuhan, ajar aku tiaptiap waktu untuk dapat melakukan pekerjaanku seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Biarkan hidupku menjadi Alkitab yang terbuka untuk dapat dibaca rekan-rekanku di kantor. Amin.”•


~Biodata Nama : Peter Jacobs Istri : Rina D. Rumapea Jacobs Anak : Rianda, Yosia, Yohana Jacobs PENDIDIKAN: • S1 Hukum, Universitas Indonesia (1988) • S2 Master of Policy Analysis, Universitas Saitama Jepang (1996) • S3 Hukum, Universitas Padjajaran (2013) • S2 MA in Leadership, Theology, and Society, Regent College Canada (masih berlangsung) PENGALAMAN KERJA: • 2011–2013 Deputy Head Economist of Bank Indonesia Singapore • 2013–2015 Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia • 2015–2016 Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara • 2017–2018 Kepala Unit Khusus Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 • 2019–saat ini Direktur Eksekutif – Kepala Dept Jasa Perbankan, Perizinan, dan Operasional Tresuri BI GEREJA: Gereja Injili Indonesia Semanggi PELAYANAN: • Badan Pengurus Nasional (BPN) Perkantas • Papua Ministry • Marketplace Ministry (2018-2021, 2021-2024)


TAMAN KETAWA

Markus 17

Setelah mengakhiri khotbahnya pada Minggu pagi itu, Pdt. Agus berkata kepada para jemaat, “Minggu depan saya akan berkhotbah dengan tema ‘Kebohongan di Akhir Zaman’. Sebelumnya, saya minta Bapak dan Ibu untuk membaca terlebih dahulu bahan renungan sebagai persiapan untuk mendengarkan khotbah saya minggu depan, yaitu dari Markus 17.” Minggu depannya, ketika Pdt. Agus naik ke mimbar dan bertanya, “Nah, siapa yang sudah membaca Markus 17? Tolong angkat tangan …?” Hampir semua jemaat mengangkat tangannya. “Ternyata tepat sekali hari ini saya berkhotbah tentang kebohongan ya .... Tidak ada itu Markus 17 ...,” kata Pdt. Agus sambil tersenyum.


Nama Hewan

Adam sedang sibuk memberikan namanama untuk hewan yang ia temui di Taman Firdaus. “Nah ... itu, lihat. Yang di sana itu aku namakan ‘gajah’.” “Kenapa namanya ‘gajah’?” tanya Hawa. “Ya … karena itu kelihatan seperti gajah! Gimana sih kamu?!” jawab Adam.

Wisata Danau Galilea Tagor yang baru pertama kalinya ikut rombongan wisata ke Tanah Suci, akhirnya tiba di tepi Danau Galilea—tempat dimana Tuhan pernah berjalan di atas air. Tagor berpikir, “Kayaknya perlu juga aku ikut naik kapal berkeliling danau ini.“ Akan tetapi dia segera mengurungkan niatnya ketika mendengar bahwa ada tambahan biaya US$200 bila ingin ikut tur naik kapal. Ketika Tagor kembali ke hotel, dia menggerutu ke teman turis di sebelahnya, “Bah! Camana itu US$200 hanya untuk naik kapal sebentar saja? Pantas saja Tuhan memilih berjalan!” (dari berbagai sumber)


/ Hendro Suwito

Di tempat inilah saya bisa mewujudkan harapan, doa, kerinduan, dan tanda cinta kasih yang paling dalam kepada Tuhan saya.

Ciputra (1931 – 2019)


Pernyataan ini diungkapkan pengusaha properti terkemuka Ciputra pada saat acara peresmian patung “Yesus Memberkati” di Kota Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 2007. Patung setinggi tiga puluh meter itu berdiri di atas sebuah bukit kecil. Yesus Kristus digambarkan seolah sedang melayang di udara dengan kedua lengannya terentang ke depan memberkati masyarakat di ibu kota Sulawesi Utara itu. Ciputra—yang sering dipanggil Pak Ci— berharap orang-orang yang melihat patung itu, selain mengagumi sebagai karya seni, akan kembali mengingat cinta kasih Tuhan Yesus kepada umat manusia.


Kota Manado dekat di hati Ciputra karena pada masa remaja—walaupun selalu akrab dengan kemiskinan—dia masih bisa bersekolah di SMA Don Bosco. Ciputra—lahir di kota kecil Parigi di Sulawesi Tengah—akhirnya bisa meraih gelar insinyur di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan pada awal 1960, dia merintis karir pada bidang properti di Jakarta. Karya-karyanya sangat fenomenal, antara lain: Taman Impian Jaya Ancol (bekerja sama dengan Pemda DKI saat dipimpin Gubernur Ali Sadikin) dan bersama sejumlah pengusaha lain membangun perumahan Pondok Indah, Bintaro Jaya, Bumi Serpong Damai (fase awal pembangunan), Citra Raya, dan masih banyak lagi. Ciputra selalu mendorong tumbuhnya semangat kewirausahaan di kalangan generasi muda. Melalui Universitas Ciputra dan perusahaan-perusahaan dalam kelompok bisnisnya, dia menekankan tiga kiat untuk meraih keberhasilan: yaitu Integritas, profesionalisme, dan entrepreneurship.


Integritas diibaratkan sebagai spiritual quotient yang merefleksikan nilai-nilai luhur yang harus melandasi perjuangan seseorang, termasuk di bidang bisnis. Dengan integritas yang kuat, kita akan bisa ‘walk the talk’, merealisasikan apa yang sudah kita janjikan. “Janji adalah hutang yang harus ditepati,” kata Pak Ci. Sedangkan profesionalisme diibaratkan intelligence quotient, dan entrepreneurship sebagai emotional quotient. Ciputra dikenal sebagai seorang pecinta seni, khususnya seni rupa dan patung. Salah satu pelukis favoritnya adalah Hendra Gunawan yang lukisannya sangat ekspresif dan hidup warna-warninya. Sejumlah lukisan Hendra diolah jadi seni patung dan menghiasi perumahan-perumahan yang dia bangun. Pak Ci makin intensif mengembangkan aktivitas spiritualnya setelah anak-anak dan para profesional didikannya meneruskan pengelolaan perusahaan-perusahaan dalam kelompok bisnisnya. (Disarikan dari beberapa publikasi)


Istri saya selalu mengingatkan bahwa Tuhan telah memilih kami sebagai saluran berkat. Dia juga tidak keberatan gaji yang kami peroleh hanya ‘numpang lewat’. Sejak itu hidup saya lebih rileks. Saya lebih bersyukur. Ajaibnya, dengan gaji yang sedikit itu, saya tidak pernah kekurangan. Bahkan sekarang berkat itu melimpah luar biasa. Puji Tuhan.

Andy F. Noya (seperti dituturkan pada Nafiri dan dipublikasikan pada edisi Desember 2011)


Andy Flores Noya memiliki karir panjang di bidang jurnalistik, seperti di koran Media Indonesia dan Metro TV. Namanya dikenal luas setelah dia menggawangi acara talk show Kick Andy yang mengangkat tokoh-tokoh yang sangat inspiratif dalam membantu masyarakat, walaupun namanya mungkin tidak dikenal secara luas secara nasional. Melalui gerakan-gerakan kepedulian yang dia kembangkan bersama rekanrekannya, Andy terus berjuang untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang masih terbelenggu oleh kemiskinan dan keterpurukan.


GadGeT: Tool or Your MasTer? Sumber: Seminar Zoom yang dibawakan oleh Ibu Charlotte Priatna, 14 Februari 2021, “The City Tower Church”.


Dalam pemikiran, kita pasti tahu bahwa gadget itu adalah alat. Namun, kenyataannya kita malah diperalat. Gadget telah menguasai kita. Coba pikirkan jika Anda kehilangan handphone, pasti kewalahan. Pentingnya gadget dalam dunia masa kini memang tak dapat dipungkiri. Namun, apa yang terjadi saat ini? Sekarang ini kita melihat bahwa anakanak sedang ‘diasuh’ oleh games. Mungkin, penggambaran lewat Mazmur 23 berikut ini cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi akhir-akhir ini:

Games adalah gembalaku Tak kan kengangguran aku Remote control adalah ‘tongkat’-ku Sekalipun aku berjalan dalam lembah online Aku tidak takut, sebab Wi-Fi besertaku.


Siapa yang membentuk perilaku anak? Sekarang ini anak-anak generasi Alpha lahir di dunia ‘kaca’. Mereka sangat canggih—sedari usia balita sudah mahir bermain gadget. Penting untuk berkaca kembali melalui beberapa pertanyaanpertanyaan ini: • Siapa yang lebih dulu mengajarkan mereka: orang tua atau smartphone? • Siapa yang lebih mereka percayai: orang tua atau Google? • Siapa yang lebih menyenangkan: orang tua atau games? • Siapa yang lebih sering menemani mereka: orang tua atau gadget?


Dr. Tim Elmore, pendiri Growing Leaders, mendefinisikan Generasi Digital (Generasi Y) sebagai kalangan muda yang mementingkan “I” (saya, aku, diri sendiri), lahir setelah tahun 1990; dan tumbuh dengan iPod, iPhone, iPad, serta internet. Bukankah hal itu menunjukkan bahwa anak-anak sudah ‘kecanduan’ gadget? Kecanduan? Apa yang menjadi ilah di zaman ini? “I” (saya) dan gadget. Siapa yang disenangkan saat kita memakai gadget? “I”, saya. Firman Tuhan menggambarkan keadaan manusia pada akhir zaman (2 Timotius 3: 1–4), bahwa mereka akan memiliki kerusakan relasi dengan: 1. Diri sendiri: mencintai diri, membual, menyombongkan diri, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak berpikir panjang, berlagak tahu. 2. Orang lain: memfitnah, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, suka berkhianat. 3. Orang tua: berontak kepada orang tua, tidak tahu berterima kasih. 4. Tuhan: menjadi hamba uang, tidak


memedulikan agama, tidak suka yang baik, lebih menuruti hawa nafsu ketimbang menuruti Allah. Gadget dapat menyebabkan kecanduan atau addiction. Berawal dari kenikmatan, lalu terpikat, terjerat, dan kemudian terikat. Sama halnya dengan seorang perokok yang tidak bisa melepaskan diri dari rokok. Penyebab kecanduan tersebut antara lain adalah: • Tidak adanya keintiman dalam keluarga atau dengan orang lain. • Kesepian, trauma relasi, dan luka batin. Sehingga melarikan diri dari rasa bosan dan berusaha menyibukkan diri. • Kepribadian yang lemah. Kurangnya rasa percaya diri, keterampilan dan talenta tidak diaktualisasi, pengaruh lingkungan sosial yang buruk.


Dampak dan Solusi Dampak dari kecanduan ini pastinya berpotensi menimbulkan masalah, seperti: • Perkembangan fisik: Mempengaruhi kesehatan. • Perkembangan emosi: sifat yang menutup diri, mudah tersinggung, depresi, dapat ‘meledak’ sewaktu-waktu. • Perkembangan sosial: cenderung menyendiri, egois, menarik diri. • Perubahan kebiasaan: perubahan pola hidup, menggunakan kata-kata buruk. • Prestasi menurun, hutang menumpuk. Lalu jika dampak tersebut telah terjadi, hal apakah yang dapat dilakukan oleh orang tua? Kita bisa kembali lagi kepada apa yang menjadi kebutuhan tiap anak. Apa saja yang sebenarnya mereka butuhkan? Pertama, yaitu 3P: Penerimaan, Penghargaan, Pengakuan. Lalu penting juga jika mereka berada di dalam komunitas yang membangun. Ditambah lagi, perlu adanya kegiatan di mana anak-anak bisa mengembangkan diri dan talenta masingmasing.


Apa saja yang bisa dilakukan oleh kita sebagai orang tua? • Seimbangkan kegiatan fisik dan kegiatan secara daring. • Tidak memasukkan game perang atau game yang bersifat destruktif. • Transparan. • Substitusi, bukan eliminasi. • Menjalankan fungsi anggota keluarga sesuai dengan peran masing-masing. • Membangun kebiasaan baru yang positif. • Memiliki lingkungan baru. Marilah masing-masing dari kita merenungkan: Bagaimanakah kualitas hidup kita selama ini? Adakah allah yang kita sembah? Apakah itu Anda sendiri? Firman Tuhan mengingatkan melalui perintah pada Perjanjian Lama, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20: 3). Kiranya intisari dari seminar parenting


ini bisa menjadi momen dimana kita berkaca terhadap diri dan keluarga kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Amsal 22: 15, “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya.” Kiranya ayat ini menjadi pengingat bagi kita semua. *Disarikan oleh Lislianty Lahmudin


Bakti Sosial Vaksinasi Covid-19 GKY BSD /Maya Marpaung


“Kita harus berperan aktif dalam kesejahteraan bangsa.” Ini adalah katakata yang berulang kali didengungkan dalam rapat persiapan baksos (bakti sosial) vaksinasi Covid-19 di gereja kita: GKY BSD. Gagasan awal majunya GKY BSD sebagai salah satu penyelenggara vaksinasi di Kota Tangerang Selatan datang dari beberapa simpatisan GKY BSD pada awal Juni 2021. Persiapan awal dilakukan dengan rapat bersama antara Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan, GKY BSD, dan GKI Serpong. Vaksinasi yang semula hanya diadakan di fasilitas-fasilitas kesehatan pemerintah dan


swasta tertentu—seperti di rumah sakit— tidak cukup cepat untuk memenuhi target pemerintah daerah maupun pusat. Pada bulan Juni, pencapaian vaksinasi di Tangsel masih dibawah dua puluh persen dari target daerah. Masyarakat harus tolong menolong dalam mempercepat program vaksinasi dan GKY BSD adalah salah satu anggota masyarakat itu. Persiapan yang singkat tentu tidaklah mudah. Sinode GKY yang telah terlebih dahulu dipercaya untuk menjadi salah satu sentra vaksinasi di Jakarta sangat membantu dalam koordinasi di lapangan. Bagaimana mengatur individu yang akan divaksin seperti: proses dan sistem pendaftaran, alur vaksinasi, hingga pemasukan data masyarakat penerima vaksin? Tentu hal ini harus dipersiapkan dengan matang. Pembentukan cluster penularan baru untuk Covid-19 sangat mungkin terjadi di sentra vaksin. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa calon penerima vaksin terbebas dari infeksi virus, misalnya sebagai orang tanpa gejala (OTG). “Memang ini menjadi salah satu kesulitan kami dalam merekrut relawan. Beberapa pemuda tidak mendapat izin dari orang tua


untuk bergabung sebagai relawan dan ini sangatlah dipahami,” cerita Asido Tindaon, wakil ketua panitia Baksos Vaksinasi GKY BSD. “Kita juga mengingat bahwa di bulan Juni ini, sudah terjadi outbreak varian Delta di India yang menelan banyak korban jiwa. Bisa dibayangkan betapa waswasnya semua tim panitia. Di bulan Juli, kita mengalami gelombang kedua dari penularan Covid-19 yang didominasi oleh varian Delta tersebut.” Namun, karena seluruh panitia dan tim hamba Tuhan yakin bahwa hal ini adalah perintah Tuhan, mereka semua percaya bahwa Tuhan akan menolong dan memampukan. Tim doa dibentuk untuk mendukung persiapan dan pelaksanaan


vaksinasi di gereja kita dan dipimpin langsung oleh Mushi Gabriel Goh. Tim doa yang dibagi menjadi empat shift mendoakan acara ini terus-menerus. “Memang ini semua karena dukungan doa jemaat. Kami tidak merasa was-was, malah kami semangat dan sukacita dapat membantu masyarakat mendapatkan vaksinasi untuk menekan tingkat kasus parah dan kematian di negara kita,” tambah Asido. Masyarakat sekitar GKY BSD juga mendapatkan berkat dari pelaksanaan vaksinasi ini. Pak Adi, ketua RW-06 yang berlokasi di belakang gereja, sangat semangat membantu dalam persiapan dan pelaksanaan acara. Mulai dari meminjamkan kursi, pendaftaran warga yang akan divaksin, hingga mengatur warga pada hari-H pelaksanaan. Sungguh


mengharukan, karena inilah salah satu fungsi gereja di tengah masyarakat: Menjadi garam dan terang di kehidupan mereka sehari-hari. Banyak kesaksian dari penerima vaksin yang menikmati pelayanan GKY BSD. Misalnya Ibu Natalie Soriton yang bermukim di Bintaro, “Dear Dear teman-teman di GKY BSD .... Terima kasih banyak, anak-


anakku bisa vaksin tadi siang di gereja. Bagus banget pengaturannya… salut!” Bahkan ada salah seorang peserta yang meminta rekening gereja ingin memberikan persembahan syukurnya setelah mereka mendapatkan layanan vaksinasi di GKY BSD yang dianggapnya sangat baik dan berkesan. Ketika ditanyakan ke panitia, apakah hal paling sulit yang dihadapi saat persiapan dan pelaksanaan vaksinasi ini, Asido langsung menjawab, “Data!” Dari awal memang gereja kita sangat akomodatif dalam menerima pendaftaran. Pendaftaran bisa lewat pesan singkat, link, dan lainlain karena kita ingin sebanyak mungkin masyarakat bisa divaksin. Namun, pada pelaksanaan tahap pertama vaksinasi tanggal 5–9 Juli 2021, masalah data ini cukup membuat sakit kepala tim pendaftaran dan IT. Tetapi, luar biasanya, walaupun sampai kepala senutsenut, para relawan dengan sepenuh hati mengerjakan bagian masing-masing. Ada yang hingga bergadang dan rumahnya berantakan dengan kertas pendaftaran untuk merapikan data pendaftaran. Luar


biasa komitmen dan dukungan para anggota panitia dan relawan. Puji Tuhan akhirnya proses vaksinasi yang dilakukan oleh GKY BSD dalam dua gelombang dapat berjalan dengan lancar dan menjadi berkat bagi masyarakat. Satu lagu pujian yang teringat dari pelayanan ini adalah PPK 201. Ku bersukacita bekerja bagi Raja atas s’gala raja. Hatiku penuh sukacita damai, s’bab bekerja bagi Dia. Ku mau persembahkan s’mua, bekerja bagi Raja. Ada sukacita damai, s’bab bekerja bagi-Nya.


(Jainul yang kami temukan dipelihara di sebuah desa, credit pic: @COP)

Memandang Sisi Lain Kehidupan yang Terlupakan

/ Liany Suwito

Jainul mungkin tak menyangka, hanya selang beberapa bulan saja setelah lahir, dia sudah harus terpisah dari ibunya. Jainul diasuh oleh ibu dan keluarga yang jauh berbeda dari keluarganya yang asli. Begitu juga dengan Devi yang baru berumur tiga tahun. Dia ‘diculik’ dari rumahnya dan diperjualbelikan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Beruntung, dalam perjalanan hidupnya yang masih rentan, Jainul dan Devi akhirnya sempat ditemukan dan ditolong oleh teman-teman saya.


Mereka sekarang sedang berada dalam perawatan intensif di Pusat Rehabilitasi Orangutan di Berau, Kalimantan Timur, yang dikelola oleh Centre for Orangutan Protection (COP) atau Pusat Perlindungan Orangutan. Ya, Jainul dan Devi adalah dua anak orangutan yang sedang kami rawat dan fasilitasi agar nantinya siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Mereka adalah korban dari kasuskasus kepemilikan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi. Bulan Agustus lalu, saya menyempatkan diri untuk masuk lagi tke pusat rehabilitasi di pedalaman Berau dan berjumpa dengan Jainul, Devi, dan dua puluh orangutan lainnya yang sedang direhabilitasi di sana. Tim lapangan kami mendampingi dan melatih mereka agar pada saatnya dapat hidup secara mandiri lagi di alam liar. Jainul yang masih sangat kecil menangis meringkuk setiap kali kami tinggal setelah memberinya susu dan makan. Dia tak lagi memiliki induk yang seharusnya bisa menenangkan dirinya. Jainul dan Devi adalah orangutan Kalimantan, satu dari tiga spesies orangutan yang ada saat ini: yaitu orangutan tapanuli, orangutan sumatera, dan orangutan kalimantan. Ketiga spesies ini ada dalam status critically endangered atau terancam punah.


Kondisi ini sama dengan satwa-satwa dilindungi lainnya di Indonesia seperti: harimau sumatera, gajah sumatera, badak, kukang jawa, trenggiling, burung elang, dan masih banyak lagi. Indonesia adalah negara yang punya kekayaan alam flora dan fauna luar biasa. Indonesia dengan belasan ribu pulaunya, memiliki kekayaan alam peringkat ketiga tertinggi di dunia. Kekayaan alam laut dan hutan hujan tropis Indonesia menjadi satu-satunya tempat di bumi di mana badak, orangutan, gajah, beruang, dan harimau dapat ditemukan tinggal di hutan yang sama (Mongabay, 2016). Indonesia hanya berada di bawah Colombia di peringkat kedua dan Brazil di peringkat pertama. Ironisnya, Indonesia juga cukup dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat ancaman kepunahan spesies yang sangat tinggi. Perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi berkontribusi sangat signifikan terhadap punahnya banyak spesies.


Etika Lingkungan

Relasi antara manusia dengan lingkungan menjadi satu hal yang seringkali terlupakan dalam kehidupan. Tak banyak teori yang membahas keterkaitan dan hubungan saling ketergantungan antara manusia dengan alam— yang biasanya dikaitkan dengan etika lingkungan. Namun, sebenarnya hingga saat ini ada beberapa teori yang sangat penting dan menarik untuk dibahas. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Namun, antroposentrisme sayangnya erat dikaitkan dengan pemahaman keliru para pemeluk agama, termasuk agama Kristen yang menganggap bahwa manusia adalah segala-galanya dan menjadi pusat dari alam semesta. Pemahaman ini menganggap bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan hanya untuk manusia dan makhluk lainnya itu hanyalah pemanis serta pemuas kebutuhan yang bebas untuk dipergunakan dan dieksploitasi.


Melihat banyaknya manusia yang belum cukup bijaksana dalam mengaplikasikan pandangan tersebut dan besarnya dampak negatif yang dapat ditimbulkan bagi lingkungan, maka muncullah sebuah argumen baru. Arne Naess seorang filsuf Norwegia menemukan teori deep ecology atau yang biasa disebut juga dengan ekosentrisme dan lebih dikenal dengan ecosophy. Eco berarti ‘rumah tangga’ dan sophy adalah ‘kearifan’. Maka ecosophy dapat diartikan sebagai kearifan dalam mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas (Keraf, 2010). Di sini, manusia diharapkan dapat hidup selaras— hidup menyatu dengan alam. Karena pada kenyataannya manusia tidak dapat hidup terlepas dari alam. Semakin sehat dan lestari alam, maka tentunya kehidupan manusia pun akan lebih sejahtera. Begitu juga sebaliknya, bila manusia dengan egois hanya memanfaatkan alam untuk kepentingannya sendiri, maka alam tak mungkin bertahan lama. Kepunahan terus terjadi dan akibatnya manusia juga yang akan merasakan dampak kerusakannya.

Memelihara Satwa untuk Kepentingan Pribadi Etika lingkungan juga erat kaitannya dalam bagaimana cara kita memperlakukan makhluk hidup lainnya.


Tak dapat dipungkiri di masa pandemi ini semakin banyak orang yang memelihara satwa liar dengan julukan penghobi atau kolektor satwa. Padahal satwa liar sejatinya masing-masing memiliki peranan penting bagi habitatnya. Tapi manusia berusaha memuaskan diri mereka dengan memiliki—secara ilegal—satwa-satwa langka, tanpa tahu esensi dari kehidupan spesies itu sendiri. Kebanyakan primata, seperti anak monyet ekor panjang yang sering dijual di pasar-pasar satwa serta anak orangutan yang dijual secara sembunyi-sembunyi, diambil secara paksa dari induknya di alam. Padahal, induk monyet dan orangutan tidak akan pernah melepaskan anak mereka begitu saja. Itu sebabnya, induk monyet dan orangutan biasanya dibunuh agar anakanaknya dapat diambil untuk diperjualbelikan. Terlepas dari sedikit atau banyaknya populasi satwa-satwa ini, masihkah kita memiliki etika dalam hidup?

(Orangutan bernama Aman yang diselamatkan dari kepemilikan illegal, credit pic @COP)


Mungkin sesederhana bagaimana kita bisa hidup sesuai kebutuhan kita dan bukan keinginan kita. Dan menyadari bahwa tidak semua keinginan itu baik dan perlu untuk dipenuhi. Tak hanya satwa liar, satwa domestik seperti anjing dan kucing pun dengan populasinya yang begitu banyak di jalanan dan penampungan, kita seringkali masih membeli dari penangkarpenangkar anjing dan kucing ras. Padahal, cukup banyak kasus dimana para breeder menangkar dan memperlakukan satwa dengan cara yang tidak etis.

Memilih Produk dan Prioritas Hidup

Sejak kecil saya selalu diajarkan untuk hidup sederhana. Ini kadang berbenturan dengan apa yang saya jumpai di luar. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang semakin beragam. Umumnya semakin tinggi tingkat ekonomi atau pendapatan seseorang, maka juga akan semakin tinggi tingkat pengeluarannya dan juga ada kecenderungan munculnya standar-standar dunia yang baru. Ketidakpuasan menjadi tolak ukur akan standar baru. Ketidakpuasan akan wajah yang pucat menjadi standar untuk menciptakan pemerah pipi dan bibir. Lipstik dan teman-temannya pun diciptakan untuk ‘menutupi kekurangan’. Memiliki wajah mulus dan cantik pun menjadi keinginan dan kebutuhan.


Padahal untuk menciptakan lipstik, produkproduk kecantikan, dan produk konsumtif lainnya banyak yang tidak ramah alam sehingga hutanhutan alami dibabat untuk perkebunan kelapa sawit. Apakah hanya hutan yang rusak? Kebanyakan produk kecantikan sampai saat ini pun masih melakukan animal testing dan tentu tidak sedikit korban yang ditimbulkan. Semua hanya untuk membuat kita merasa puas dengan wajah yang lebih ‘cantik’. Namun, ternyata harapan masih ada, saat ini semakin banyak produsen yang berusaha mengoreksi hal tersebut dan memilih bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan dan bebas dari animal cruelty atau kekejaman terhadap satwa. Berhati-hati dan bijak dalam membeli produk yang kita konsumsi sehari-hari dapat menjadi langkah awal untuk menjadi manusia yang lebih beretika dan hidup selaras dengan alam. Membeli yang Benar-Benar Dibutuhkan Kita diajak untuk terus berdialog dengan diri sendiri dan menjadi pribadi yang lebih peka sebelum mengonsumsi sesuatu.


Apakah setimpal apa yang dikorbankan dengan yang apa yang dihasilkan untuk kita konsumsi? Tentunya kita diharapkan memiliki hikmat yang cukup untuk menilai hal seperti ini. Mari kita mulai dari diri sendiri dan keluarga terdekat. Bukan tidak mungkin bila semakin banyak orang yang mengadopsi pandangan yang lebih sensitif lingkungan, kita—manusia dan makhluk hidup lainnya—akan bisa hidup dengan lebih damai dan lestari. Alangkah indahnya bila manusia yang sudah dimandatkan oleh Tuhan untuk berkuasa atas ciptaan lainnya dapat menjadi penguasa yang benar-benar bertanggung jawab dan bijaksana. Seperti halnya kita selalu mengharapkan memiliki pemimpin yang bijaksana dan dapat memikirkan setiap orang yang ada dalam tanggung jawabnya. Dan mungkin kali ini sebelum kita membeli, menggunakan, atau melakukan sesuatu yang dapat berdampak negatif pada alam dan lingkungan; akan terbersit tatapan Jainul dalam benak kita. Karena kita-kita juga sekarang dia terpaksa harus berjuang bertahan hidup tanpa pelukan ibunya lagi.

“ You cannot get through a single day without

having an impact on the world around you. What you do makes a difference, and you have to decide what kind of difference you want to make ” – Jane Goodall


EFESUS:

Biografi Sebuah Kota


/ Anton Utomo

Ibarat kisah hidup manusia sejak kelahiran sampai kematiannya, demikianlah riwayat Kota Efesus yang membentang sepanjang ribuan tahun dengan beragam tingkah penghuninya. Kota itu kini sudah tiada—meninggalkan reruntuhan yang tetap dikagumi wisatawan dan sejarawan abad dua puluh satu. Kisah apa saja yang diwariskan Kota Efesus? Bagaimana kota yang sangat termasyhur karena keberadaan kuil Dewi Artemis yang supermegah kemudian dapat berubah menjadi salah satu kota Kristen paling penting di masa Paulus dan para bapa gereja? Mari kita menelusuri sudutsudut kota metropolitan yang amat cantik di zamannya ini dan ‘berkenalan’ dengan para penghuninya yang datang dari bermacam etnis, bahasa, seni budaya, dan kepercayaan yang berbeda-beda.


Sejarah Tiga Ribu Tahun Kota Efesus terletak di tepi pantai dimana Sungai Kaystros bermuara di Laut Aegean, Turki bagian barat sekarang. Menurut legenda, kota ini didirikan oleh Androclos, pangeran Ionia, pada abad sebelas sebelum Masehi. Namun, legenda lain menuturkan kisah berbeda: Efesus didirikan oleh bangsa Amazon, suku yang terkenal dengan barisan petarung wanita yang tangguh. Konon, nama “Efesus” diambil dari nama ratu bangsa Amazon ”Ephesia”. Entah kisah mana yang benar, tapi yang pasti, kota pelabuhan itu terus berkembang sebagai kota perdagangan, wisata, dan pemerintahan. Puncaknya,

pada masa Romawi, Efesus telah menjadi kota metropolitan terbesar kedua setelah Roma. Efesus menjadi ibu kota provinsi Asia


dalam Imperium Roma dengan penduduk mendekati 250 ribu jiwa (pada masa itu jumlah tersebut hanya kalah dari penduduk Roma sebagai kota terbesar dan terpadat di dunia). Sejak awal pendiriannya, Kota Efesus didedikasikan bagi Dewi Yunani Artemis (orang Romawi menyebutnya “Diana”), yang bergelar “Sang Pemburu”. Sebuah kuil yang amat megah dengan patung besar sang dewi lambang kesuburan dan kemurnian itu diletakkan di altar tengah yang disucikan. Begitu megahnya kuil tersebut, sehingga termasuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno— bersama dengan piramida Mesir, Taman Gantung Babilonia, dan beberapa lainnya. Puluhan ribu peziarah dari berbagai daerah datang setiap tahun ke kuil ini sambil menikmati keindahan Kota Efesus yang dilengkapi dengan beragam fasilitas dan aktivitas, misalnya seperti: menonton aksi gladiator di stadion yang megah, membeli suvenir dan beragam kebutuhan di Agora (lapangan kota, semacam alun-alun) yang luas, bersantai di tempat-tempat mandi umum, membaca di Perpustakaan Celsus yang memiliki dua belas ribu buku (gulungan kitab), menikmati konser musik


Yunani dan Romawi di gedung teater yang berkapasitas 25 ribu orang, atau sekadar jalan-jalan di jalanan lebar menuju Pelabuhan Efesus yang amat sibuk.

Perpustakaan Celsus

Menjadi Kota Kristen Kota Efesus yang heterogen pada abad pertama juga dihuni banyak orang Yahudi. Mereka inilah yang pada awalnya diinjili oleh para murid Yesus sendiri, di antaranya Yohanes. Kemudian, penginjilan lebih intensif dilakukan oleh Paulus yang


pernah datang bersama Priskila dan Akwila dan sempat tinggal di kota ini selama tiga setengah tahun. Dan karena begitu bersemangatnya Paulus mengabarkan berita keselamatan—tidak hanya kepada orang Yahudi tapi kepada segala bangsa yang tinggal di Efesus—maka atas anugerah Tuhan jumlah orang Kristen terus bertambah dari waktu ke waktu. Tentu saja ada pihak-pihak yang tak suka karena kepentingannya terganggu. Lukas mencatat dengan rinci ‘pergolakan’ yang hampir meledak menjadi kerusuhan besar, seperti yang ditulisnya dalam Kisah Para Rasul 19. Kisahnya bermula saat bisnis suvenir menjadi semakin lesu dari hari ke hari. Penjualan patung-patung kecil Dewi Artemis yang biasanya dibeli untuk dibawa pulang oleh peziarah terus merosot. Demetrius, saudagar perajin perak—yang keahliannya membuat miniatur patung dan Kuil Artemis—mulai menghasut koleganya sesama pebisnis. Di antaranya para pemilik gerai suvenir di Agora, juga perajin patung lainnya. Simak saja potongan pidatonya yang keras,”Paulus telah menyesatkan banyak orang dengan mengatakan, bahwa apa yang dibuat tangan manusia bukanlah dewa!” Kemudian sambungnya, ”Bukan


Reruntuhan kuil Artemis (atas); museum Artemis (kanan)

saja perusahaan kita dalam bahaya, tapi juga Kuil Artemis, dewi besar itu, berada dalam bahaya akan kehilangan artinya. Artemis yang disembah di seluruh Asia dan seluruh dunia beradab akan kehilangan kebesarannya!” Maka meluaplah amarah orang-orang yang mendengarkan hasutan itu, mereka beramai-ramai menyerbu masuk gedung teater dan berteriak keras-keras,”Hidup Artemis! Hidup Artemis dewi orang Efesus!!” Paulus yang tak kenal takut, hendak datang ke gedung teater untuk menjawab mereka, namun ditahan oleh para muridnya.


Bersyukur, Tuhan melindungi Paulus dari amukan massa yang semakin berang. Melalui pejabat kota yang mengenal Paulus, massa dapat ditenangkan dan mereka bersedia membubarkan diri. Tampaknya apa yang dikatakan Demetrius kemudian menjadi kenyataan: Dewi Artemis kehilangan kebesarannya seiring dengan semakin banyaknya warga Efesus yang menerima Kristus sebagai Juru Selamat mereka. Lambat laun Kota Efesus berubah menjadi kota Kristen. Bukan hanya Paulus yang tinggal cukup lama di Efesus, Yohanes juga tercatat menghabiskan masa tua di kota ini selepas dari pembuangan di Pulau Patmos. Kitab Wahyu memang ditulis Yohanes dalam keheningan di Pulau Patmos, namun sebelum menghembuskan napas terakhir, ia menuliskan Injil (Yohanes) di rumahnya yang nyaman di Efesus. Dalam kitab Wahyu pula, Yohanes—oleh inspirasi Roh Kudus—menyapa dan memberi pesan kepada tujuh kota di Asia, di antaranya Efesus dan Smyrna (kini menjadi Kota Izmir, delapan puluh kilometer di utara Efesus). Tak hanya Yohanes, Maria bunda Yesus juga tinggal di Efesus. Walaupun sebagian sejarawan Perjanjian Baru menyatakan bahwa Maria tinggal di Yerusalem sampai


kematiannya, namun sebagian lain percaya Maria tinggal di Efesus, karena sesuai dengan pesan Yesus sendiri yang menitipkan Maria kepada Yohanes saat ia tergantung di kayu salib. Di mana Yohanes tinggal, tentu ada Maria di situ. Maka, tak jauh dari reruntuhan Kota Efesus, kini kita masih mendapati Basilica Santo Yohanes yang didirikan di atas kuburan Yohanes tiga ratus tahun setelah kematiannya. Di dekatnya, ada pula sisa rumah Maria yang dibangun dengan arsitektur batu solid khas Romawi. Kitab Kisah Para Rasul juga menceritakan betapa Paulus begitu mencintai jemaat Efesus, sehingga sebelum berangkat ke Roma ia menyempatkan diri bertemu dengan penatua jemaat Efesus di Kota Miletus, dekat Efesus. Menyadari bahwa ini adalah pertemuan terakhir, Paulus mengajak mereka berlutut dan berdoa


bersama. Para penatua yang juga sangat mencintai Paulus menangis tersedusedu, memeluk Paulus, dan menciumnya berulang-ulang. Kelak, dalam penjara Roma, Paulus menulis surat yang salah satunya kita kenal sebagai Surat Paulus untuk Jemaat di Efesus, dimana salah satu penekanan Paulus adalah agar umat di Efesus senantiasa menjaga kesucian dan kemurnian ‘tubuh Kristus’. Pasang Surut Pekabaran Injil Seperti di kota-kota lain dalam Imperium Roma, perkembangan kekristenan di Efesus juga mengalami banyak tantangan selama tiga ratus tahun pertama. Terkadang, situasi politik yang tenang dan kebijakan pemerintah pusat yang bersahabat membuat perkembangan kekristenan tidak

Constantine I


terhambat. Namun, ada kalanya kaisar yang kejam dan bengis naik takhta dan menjadikan orang-orang Kristen sebagai buruan dan kambing hitam. Masa-masa kelam dan gelap silih berganti dengan kebebasan terbatas untuk beribadah. Penindasan baru berakhir saat Kaisar Konstantin I bertahta sebagai penguasa Roma (tahun 306) dan mendeklarasikan Kristen sebagai agama negara. Legenda “Seven Sleepers” Di masa penindasan yang amat keras, ada suatu kisah menarik yang terus diingat warga Efesus sampai beratus tahun kemudian, bahkan kisah ini menyebar ke hampir semua dunia Kristen—terutama di Timur. Begini kisahnya …. Saat Kaisar Decius berkuasa (249–251), ada tujuh pemuda Kristen yang sering pergi memberitakan Injil kepada kaum papa di Efesus. Atas perintah kaisar, ketujuh pemuda


Gua the seven sleepers

itu diancam dan dipaksa menyangkali imannya. Mereka menolak dan melarikan diri ke perbukitan di utara Efesus. Di sana mereka menemukan sebuah gua yang nyaman untuk bersembunyi dan beristirahat. Karena kelelahan, ketujuh pemuda itu tertidur dengan lelap. Ketika mendapati para pemuda tertidur nyenyak, pasukan yang mengejar mereka sontak menutup pintu gua dengan batu-batu besar dengan rapat dan menyegelnya dengan logam berat. Kisahnya belum selesai. Ratusan tahun berlalu, kekristenan telah berubah posisi menjadi agama negara. Pada suatu hari,


tepatnya di tahun 447, saat Theodosius menjadi kaisar Romawi Timur, seorang tuan tanah menemukan gua tempat tujuh pemuda yang disekap hampir dua ratus tahun yang lalu itu. Ia kaget menemukan ada tujuh pemuda tertidur di dalam gua. Ketika para pemuda itu terbangun, giliran mereka yang terkejut saat melihat Kota Efesus kini dipenuhi salib di mana-mana. Rakyat Efesus yang terheran-heran melihat tujuh pemuda kumal dengan uang kuno di kantong mereka, lantas melapor kepada uskup Efesus. Kepada sang uskup, ketujuh pemuda itu kemudian menceritakan mukjizat yang mereka alami. Kisah ini terus beredar ke segala penjuru dunia dengan beragam variasi alur cerita dan tokoh. Uniknya, Kitab Suci Al-Qur’an memuat kisah ini pula dengan versi yang sedikit berbeda. Sebuah gereja yang megah kemudian didirikan di sekitar gua dan sampai kini masih bisa disaksikan para turis yang terus berdatangan—baik dari kalangan Kristen maupun Muslim. Akhir Kemegahan Efesus Sayang sekali, pada tahun 262 bangsa Goth menyerbu Kota Efesus dan sempat merusak banyak bangunan


dan struktur pelabuhan, sehingga sejak saat itu kemegahan Efesus mulai merosot. Pelabuhan Efesus yang menjadi tulang punggung perekonomian Efesus kedalaman airnya semakin dangkal karena sedimentasi, akibatnya kapal-kapal besar mulai enggan merapat ke kota ini. Apalagi sejak Konstantinopel ditetapkan sebagai ibu kota Romawi Timur, jalur perdagangan pun mulai berpindah. Efesus mulai ditinggalkan. Puncaknya adalah ketika gempa bumi besar terjadi pada abad keenam dan ketujuh, pelabuhan dan jalanjalan raya mengalami kerusakan berat. Masih belum cukup, serbuan bangsa Arab kemudian menyebabkan sebagian besar penduduk mengungsi ke tempat yang lebih aman dan membentuk pemukiman atau kota baru. Saat Kerajaan Ottoman (Turki) menguasai Efesus pada abad kelima belas, kondisi kota ini sudah amat parah. Pelabuhan Efesus praktis tak beroperasi lagi. Upaya Ottoman menghidupkan kembali kota itu tampaknya sia-sia. Akhirnya di ujung abad itu, Kota Efesus menjadi kota mati karena ditinggalkan semua penghuninya. Segala kemegahannya terkubur dalam-dalam selama ratusan


tahun. Kini diwariskan adalah puing-puing untuk diteliti para arkeolog dan sejarawan dan dinikmati ribuan wisatawan dari seluruh dunia yang datang setiap hari •

Sumber Bacaan: 1. Kisah Para Rasul 19: 21–40, 20: 17–38. 2. Ephesus, Legends and Facts, Dr. Cemil Toksoz, Apa Ofset Basimevi, Istambul, Turkey, 1972. 3. 7 Keajaiban Dunia Zaman Kuno, Tim Dian Artha, Penerbit Dian Artha, 2006. 4. https://www.history.com/topics/ancient-greece/ ephesus 5. https://www.ephesus.us/ 6. https://www.britannica.com/place/Ephesus 7. https://en.wikipedia.org/wiki/Ephesus 8. https://www.magical-steps.com/ephesus-map.html


/ Elasa Noviani

GI. Alexander Semuel Hermawan

Musik Oke Khotbah Oke


Seiring dengan tema “Bulan Musik” di bulan September, Nafiri (NF) mewawancarai GI. Alex Semuel Hermawan (ASH) untuk rubrik “Shoot Hamba Tuhan” kali ini. Lahir sebagai anak pendeta dan hidup di lingkungan paman dan bibi yang juga pendeta membuat sejak usia dini Alex sudah tertarik untuk menjadi hamba Tuhan. Namun panggilan tersebut baru benar-benar dirasakan ketika dia menginjak bangku SMU. Alex memilih untuk masuk kuliah Sastra Bahasa Inggris terlebih dahulu, baru kemudian dia melanjutkan kuliah di Singapore Bible College (SBC) di bidang musik gereja. Di SBC, Alex dididik menjadi ‘hamba Tuhan musik’, sebuah istilah yang mungkin masih cukup asing di telinga kita.


NF: Boleh diceritakan, apakah yang dipelajari secara spesifik dari kuliah di SBC selama tiga tahun untuk musik gereja? ASH: Secara umum SBC mengajarkan sejarah musik, pelajaran mengenai teori musik, dan tentu saja praktik alat-alat musik, dan lain-lain—sama seperti sekolah musik lainnya. Yang membuat unik adalah karena ada sisi pastoralnya. Kami belajar tentang liturgi gereja, sejarah musik gereja, dan teologi, yang tentu saja tidak diajarkan di sekolah musik biasa. Teologi yang diajarkan terutama untuk menolong kita memilih lagu yang baik dan benar pengajarannya sesuai dengan Alkitab, Kalau Jemaat mendengar khotbah, kadang mereka lupa dalam waktu yang relatif singkat, tetapi kalau ada lagu yang benar-benar mengena di hati, efeknya bisa berhari-hari atau bahkan bermingguminggu masih bisa teringat. Jadi lagu yang dinyanyikan dalam ibadah juga bisa menjadi sarana pengajaran.


Selain itu, orang-orang dengan bakat musik yang kuat dan melayani sebagai pemusik, biasanya mempunyai keinginan sendiri yang cukup unik. Hamba Tuhan pembinanya pun perlu belajar untuk bisa mengerti kemauan mereka supaya bisa mendekati dan mengarahkan pengajaran dengan cara yang bisa diterima. Karena saya belajar musik, dan memang mempunyai minat yang sama dengan para pemusik, saya bisa lebih mudah untuk mendekati dan membangun relasi dengan para pemusik. NF: Apakah sampai saat ini memang hanya berminat untuk menjadi hamba Tuhan Musik? ASH: Tidak juga. Sekarang saya lebih terbuka untuk naik mimbar dan berkhotbah juga. Memang awalnya saya hanya berminat untuk melayani di bidang musik saja. Saya merasa bukan orang yang pandai berbicara, bahkan bisa dibilang saya orang yang takut ngomong, padahal hamba Tuhan full time harus banyak berkhotbah.


Tetapi setelah lulus dari bidang musik SBC, saya praktik tiga tahun di GKI Beringin Semarang sebelum balik lagi ke SBC untuk mengambil M.Div. Pada waktu praktik itu Tuhan menggembleng saya. Akhirnya saya menikmati juga untuk berkhotbah dan belajar bagaimana bertemu dengan orang, walaupun minat dan beban utama saya tetap di bidang musik. Saya juga pernah mempraktikkan cara berkhotbah homiletic, yaitu: Berkhotbah dengan pengkhotbah berakting menjadi tokoh tertentu, untuk memberi variasi penyampaian firman Tuhan kepada jemaat sehingga mudah diingat. Istri saya, GI. Herlina yang juga lulusan SBC mempunyai minat yang sama di bidang musik dan akting. Tetapi Herlina tidak mau berkhotbah di atas mimbar karena merasa bahwa panggilannya bukan ke situ. Saat ini dia lebih banyak men-support saya di belakang layar seperti menerjemahkan lagu-lagu dari English ke bahasa Indonesia. NF: Dari apa yang dipelajari, kalau GI. Alex membandingkan GKY, dengan kaidah-kaidah musik gerejawi, apakah


gereja kita sudah di titik musik gereja yang seharusnya, yaitu sebagai sarana worshiping dan pengajaran yang benar? ASH: Sejauh ini ya selalu diselaraskan dengan kaidah-kaidah musik gereja yang benar. Sebelum saya pegang pun, GKY BSD sudah cukup ketat dan hanya mengambil nyanyian dari KPPK, sehingga sudah oke secara pengajaran. Yang harus diwaspadai mungkin hanya yang kontemporer, misalnya untuk pelayanan di remaja. Anak-anak remaja cenderung memilih lagu yang enak didengar saja, jadi harus diarahkan supaya memilih yang alkitabiah. Sebenarnya SBC tidak mengajarkan semua hal, jadi waktu saya terjun dalam pelayanan, saya harus belajar lagi. NF: Sekarang di GKY BSD menangani pelayanan apa saja? ASH: Saya dipercayakan untuk menjadi pembina Litmus (Liturgi & Musik), pembina Pasutri (Pasangan Suami Istri), dan pembina ibadah khusus. Tugas-tugas di bidang Litmus, adalah


seperti: mengatur liturgi ibadah mingguan, pemilihan lagu, dan ayat-ayat. Penyusunan liturgi disesuaikan dengan tema mingguan yang sudah diberikan oleh Gembala setiap empat bulan sekali. Menyesuaikan lagu dengan tema yang diberikan tidak selalu mudah, sebab kadang ada tema-tema yang susah sekali dicarikan lagu dan ayat-ayat yang cocok. Liturgi khusus seperti Natal, Paskah, HUT Gereja, Minggu Adven, Lent, dan lain-lain juga saya yang menyusun drafnya. Tetapi kemudian saya akan minta beberapa orang (biasanya Mushi Gabriel dan Elvis) untuk cross-check supaya menghindari kesalahan tulisan, dan memberi masukan kalau ada yang perlu diperbaiki. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ibadah khusus adalah seperti peneguhan pengurus, pemberkatan nikah, termasuk perjamuan khusus. Yang paling banyak adalah pemberkatan pernikahan, ada sekitar dua belas events per tahunnya. Selain calon pengantin menerima katekisasi pranikah dengan Gembala dan hamba Tuhan, saya juga secara khusus mengadakan pertemuan pastoral


dengan masing-masing pasangan untuk membicarakan liturgi di acara pemberkatannya. Sebagai pembina Pasutri, saya pribadi ingin berkenalan dengan mereka sekaligus memberi briefing untuk persiapan ibadah pemberkatan. Untuk liturgi pernikahan saya akan memberi kesempatan kepada pasangan untuk memilih lagu-lagunya, tetapi saya tetap harus mengecek dan memfilter terlebih dahulu. Pasangan yang akan menikah umumnya merasa, “Ini adalah hari kami berdua.” Jadi mereka ingin memasukkan lagu ini dan itu, namun kadang-kadang pilihan lagunya tidak selalu tepat untuk dimasukkan ke dalam ibadah. Saya akan memfilter dan mengingatkan bahwa acara pemberkatan adalah tetap dalam konteks ibadah, kalau hanya instrumen mungkin masih bisa dimasukkan. Biasanya untuk lagu yang kurang pas untuk ibadah akan saya sarankan untuk diputar di acara resepsi saja. Persiapan acara pemberkatan atau ibadah khusus yang lain seperti Perjamuan Kudus, dilakukan oleh tim yang sudah


berpengalaman dan sangat setia melayani di bidang ini. Pelayanan yang dilakukan adalah seperti menyiapkan bunga mimbar, menuang anggur ke cawan satu per satu (sebelum pandemi hal ini dilakukan jam lima pagi), pengaturan kursi, dan sebagainya. Untuk pelayanan Pasutri dengan program GKGW (Growing Kids God’s Way) di GKY BSD sudah berjalan dengan baik sebelum saya join. Saat ini kita memakai program KOMPAK (Kolaborasi Pemuridan Keluarga) yang merupakan kerja sama Yayasan Eunike dengan STT SAAT. KOMPAK ini sebenarnya juga menggunakan bahan dari GKGW, hanya lebih padat. Menurut saya bahan-bahan dan program ini sudah cukup utuh dan komprehensif dan selama masih relevan untuk menolong orang tua dan anak, akan tetap dipakai di GKY BSD. NF: Mohon diceritakan suka duka dalam pelayanan yang dijalankan dan bagaimana mengatasinya? ASH: Bagi saya pribadi lebih banyak sukanya daripada dukanya, sebab jemaat


GKY BSD adalah jemaat yang baik sekali. Kalau tantangan dan hambatan pasti ada, terutama dalam masa pandemi seperti saat ini. Karena ibadahnya terpaksa live streaming, kita ngga tau apakah jemaat melihat YouTube sambil ngapain. Sambil makan atau main-main, ngga tau. Jadi sedang terus dipikirkan bagaimana supaya orang yang di rumah pun, tetap bersungguh-sungguh. Hambatan lain yang dirasakan di Litmus adalah paduan suara yang jadi betul-betul terhenti kegiatannya, karena tidak bisa bertemu, dan tidak bisa latihan. Latihan dengan Zoom seperti saat ini cukup susah karena harus pas dengerin suara orang lain menyanyi, yang pasti ada delay nya. Suara yang masuk kalau bersamaan, bisa berantakan sekali, jadi benar-benar tidak nyaman. Untuk persiapan padus (paduan suara) remaja, merupakan pergumulan tersendiri. Karena sudah lelah dengan sekolah online, mereka seolah kurang memprioritaskan lagi pelayanan padus. Sehingga ada kekhawatiran, kalaupun ntar sudah bisa bertemu kembali, jangan-jangan sudah


menganggap itu bukan sesuatu yang penting. Dari pandemi ini kita juga menyadari kebutuhan akan orang-orang yang punya keahlian audio engineering, yaitu orang yang bisa mastering, mixing, dan balancing sound system, supaya kedengarannya enak, terutama diperlukan dalam menyatukan paduan suara ketika kita tidak bisa bertemu. Tantangan lain di pelayanan Pasutri, saat ini hanya bisa bertemu virtual melalui Zoom, padahal dulu bisa akrab, bisa bertemu kumpul makan-makan dengan kelompok-kelompok kecil. Jadi walau bahan tersampaikan, tetapi relasi nya yang terasa hilang. Kita semua doakan semoga pandemi segera berlalu dan kita bisa bertemu kembali dengan aman.


BIODATA

Alexander Semuel Hermawan Nama Panggilan

: Alex

Tempat, Tgl. Lahir : Samarinda, 25 Nov 1983


Nama Istri Herlina Kurniawati

10 Agustus 1983

Nama Anak Catherine Hermawan

7 April 2014

Theodore Alexander Hermawan 15 Feb 2017

Riwayat Pendidikan Suami SD

Bina Bakti

1993

SMP

Bina Bakti

1996

SMA

St. Aloysius

1999

Perguruan Tinggi Universitas Kristen Maranatha

2002

Singapore Bible College Church Musik 2006 Singapore Bible College M. Div

2012

Riwayat Pendidikan Istri SD

Petra

1992

SMP

Petra

1995

SMA

Petra

1998

Perguruan Tinggi Universitas Kristen Petra

2001

Singapore Bible College Church Musik 2007


Riwayat Pekerjaan Tenaga Kategorial Musik GKI Beringin

2009–2012

Hamba Tuhan Full Time GKY Green Ville

2015–2018

Hamba Tuhan Full Time GKY BSD

2018–sekarang

Riwayat Pelayanan Pianis Gereja GKIm Gloria

1997

Pengurus Remaja GKIm Gloria

1999

Tenaga Kategorial Musik GKI Beringin

2009–2012

Pembina Litmus dan EWS (English Worship Service) GKY Green Ville

2015–2017


Rekomendasi Buku

“The Magnificent Journey”

178

halaman

Penulis: James Bryan Smith

Penerbit: Literatur Perkantas Jatim

/ Andreas K. Wirawan


Buku Magnificent Journey yang diterjemahkan sebagai Perjalanan yang Menakjubkan ini membagi pembahasan ke dalam dua bagian besar yaitu: “Menghidupi Kerajaan Allah” dan “Menghadirkan Kerajaan Allah”, yang masing-masing berisi empat bab. Penulis tidak menjelaskan perbedaan yang diberikan, mungkin ini adalah kesempatan bagi para pembaca untuk menilai sendiri setelah membaca buku ini.


Dari kedelapan bab yang diberikan, tema-temanya mungkin sangat akrab di telinga kita, seperti soal: berserah diri, bertumbuh dalam anugerah dan pengenalan, mendengarkan Allah, beriman, memiliki pengharapan, kasih yang mengherankan, kasih yang lebih dalam, dan lainnya. Kita sering mendengar semua ini baik melalui ibadah minggu, seminar, dan persekutuan doa. Namun, ada yang lain dan unik dalam buku ini. Dari keseluruhan bab kecuali Bab 1, penulis meminta pembaca untuk melakukan latihan jiwa setelah membaca tiap bab. Latihan tersebut sederhana yaitu: Membaca sebuah perikop dari kitab Injil dengan perlahan. Mencoba merenungkan maknanya dan menggunakan imajinasi untuk melihat apa yang terjadi— membayangkan orang-orang, tempat, pemandangan, aroma, dan suara apa yang muncul dari apa yang dibaca. Sebagai pembaca, tempatkan diri sebagai pengamat cerita. Pusatkan perhatian pada Yesus. Perhatikan apa yang Ia katakan dan lakukan. Catatlah dalam sebuah


jurnal sesuatu yang menurut kita menarik. Contoh: Perikop dari Injil diberikan dengan memberi tema “Merenungkan Pola Yesus” dan dilanjutkan dengan melakukan latihan sesuai tema bab yang diberikan; misalnya latihan mendengar, latihan menghidupinya, dan lainnya. Mungkin kita tidak terbiasa mendengar ajakan penulis untuk membaca Injil secara imajinatif—menggunakan imajinasi. Menggunakan teknik membayangkan secara pribadi dengan risiko dimana imajinasi tiap orang yang mungkin berbeda, dan tentunya subjektif karena latar belakang, lingkungan hidup, pendidikan, serta pengalaman hidup yang pernah dijalani secara unik dan berbeda bagi setiap orang. Kita terbiasa pada ajaran dan bimbingan membaca Alkitab termasuk Injil dengan analisis teks, membandingkan dengan pembahasan dari kitab lainnya. Dalam tiap khotbah dan persekutuan pendeta atau guru Injil, terkadang kita diberikan latar belakang budaya dan kebiasaan saat kitab atau Injil ditulis; kita mencoba mengerti secara kognitif dan berusaha seobjektif mungkin dalam memahami maksud penulis.


Dalam tiap bab diuraikan tema-tema yang ada di Alkitab, dengan menyertakan kisah atau cerita dan pengalaman penulis dengan orang-orang di sekitar ataupun kenalan yang pernah dijumpai, maupun tokoh-tokoh iman dari zaman lampau seperti: John Wesley (1703–1791) pendiri gereja Metodis, Ignasius Loyola (1491– 1556) pendiri Yesuit, Saulus, Agustinus, dan lainya. Penulis merangkai dengan baik sehingga pembaca dapat memahami apa yang ingin ditunjukkan. Porsi kisah atau cerita dari perjalanan hidup seseorang mendominasi hampir tiap bab. Mungkin ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.


Dari beberapa komentar positif dalam halaman awal buku ini, mungkin pendapat Scot McKnight, seorang profesor Perjanjian Baru di Northern Baptist Theological Seminary, Illinois, Amerika Serikat, cukup menarik. Dia berkata, “Para penulis buku formasi pertumbuhan rohani dan para pembina rohani telah bergeser dari disiplin rohani kepada kisah-kisah narasi dan kisahkisah perjalanan rohani." Buku ini bisa menjadi bacaan yang mungkin baru—membuka pemahaman segar ataupun menginspirasikan—dalam mengevaluasi pengalaman kita sebagai umat Allah. Mengingat dan menuliskan apa yang pernah kita alami bersama Tuhan sejak kita menerima Kristus hingga saat ini. Mungkin ini bisa menjadi kesaksian yang dapat menolong orang lain, meneguhkan, ataupun bisa juga sebagai bahan untuk kita mengoreksi respons yang pernah kita nyatakan dalam pengalaman bersama Tuhan.

Selamat membaca, Tuhan memberkati.


“Purpose?“

Pencarian yang Tak Pernah Berhenti

/ Erwin Tenggono


Tiga puluh lima tahun yang lalu, Alm. Bapak Rudy Soetikno—pendiri perusahaan farmasi tempat saya bekerja di Palembang—berkata, “Erwin, kamu ada di perusahaan ini untuk mengabdikan keahlian kamu bagi kesehatan bangsa ini.”

Di kala itu saya baru tamat SMA dan bekerja sebagai petugas gudang di perusahaan beliau. Siapakah saya? Dan apa yang saya mengerti saat itu? Pembicaraan yang singkat tapi berdampak besar pada hidup saya. Alm. Pak Rudy telah memberikan saya sebuah ‘purpose’, dan ternyata begitu banyak orang tidak dapat menemukan ‘purpose’ tersebut. Bagi saya purpose berbicara mengapa saya ada di perusahaan ini? Mengapa saya ada di keluarga ini? Mengapa saya ada di komunitas ini?


Majalah Forbes dan McKinsey Quarterly (2020) melakukan penelitian dari para pemimpin perusahaan mengenai kekuatan purpose dalam sebuah perusahaan. Salah satu yang dimuat di penelitian itu adalah pernyataan Alex Gorsky, CEO Johnson & Johnson, “The most important lesson for me has been the importance of making all of our employees part of something bigger than themselves …. The impact that can have, and the power that has more broadly on our organization, can’t be understated.” Bagaimana seorang pimpinan bisa membuat timnya merasakan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Ini menjadi satu kekuatan yang akan berdampak bagi karyawan dan perusahaan itu sendiri. Saya bersyukur hidup hingga hari ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada. Dan saya sangat yakin lebih banyak kurangnya. Ketidaksempurnaan yang ada tidak membuat saya lelah mencari apa tujuan hidup ini—suatu pencarian yang


tidak mudah. Idealis, ego, dan lingkungan sangat sulit. Semua itu menjadi satu hal yang unik dalam pencarian ini. Di kala saya menulis tulisan ini, saya baru menonton The Call of the Wild yang merupakan satu film yang dibuat dari novel Jack London 1903. Film ini mengisahkan sekelompok anjing penarik kereta untuk mengirimkan surat antarkota di Alaska yang dingin. Ada satu cuplikan kalimat yang disampaikan oleh Perrault, petugas pengantar surat kepada sahabatnya, “We don’t bring mail, we bring life.“ Bagaimana Perrault bisa melihat sukacita orangorang yang menerima surat dari keluarga mereka, orang-orang yang menanti kabar dari sebuah surat yang dapat berisi kabar sukacita ataupun kesedihan di tengah kedinginan dan keheningan Alaska?


Saat ini kita berada di era dunia digital dan pandemi COVID-19 telah berjalan dua tahun. Kita tentunya tidak merasakan lagi sukacita menerima selembar surat dari seseorang yang jauh karena ada teknologi digital. Namun ada satu pertanyaan mendasar. Perrault bisa melihat satu purpose besar dalam hidupnya dan tugasnya sebagai pengantar surat. Adakah itu dalam diri kita ?

Banyak sahabat melihat purpose adalah kekayaan atau keuangan; ada yang melihat purpose adalah bagaimana hidup mereka berarti untuk keluarga mereka. Ada yang melihat jabatan, karir, dan lainnya. Saya tidak memiliki kapasitas untuk menjawab mana yang tepat. Tetapi, saya ingin


mengajak kita merenung: Apakah benar jika kita bicara purpose; kita berbicara diri kita, keluarga kita, atau segala sesuatu mengenai saya dan lingkungan saya? Saya percaya purpose adalah sesuatu yang jauh lebih besar: Bagaimana hidup kita, kehadiran perusahaan kita, diri kita dengan semua talenta kita dapat memberikan pengaruh yang besar pada lingkungan di mana kita berada. Purpose is about others, not me or only us. Bagi kita sebagai orang Kristen Injili dalam rumpun Presbiterian, pasti tahu dengan Katekismus Kecil Westminster (1647) yang dimulai dengan pertanyaan pertama: Apa tujuan umat manusia? Jawabannya: Tujuan utama manusia ialah memuliakan Allah dan bersukacita di dalam Dia untuk selama-lamanya. (1 Korintus 10: 31; Roma 11: 36; Mazmur 73: 25–28.)


Kita diingatkan pencarian purpose dalam kehidupan ini, tidak dapat lepas dari peran kita untuk berfokus pada peran melibatkan kemuliaan Allah melalui segala apa yang kita miliki, yang kita mampu lakukan. Bukan hanya materi, karir, dan prestasi, tapi dalam semua hal merujuk ke bagaimana kita dapat berkarya untuk kemuliaan Allah dan bersuka di dalamnya. Tanpa iman yang benar, pencarian tujuan hidup bisa berfokus pada diri kita, bahkan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri kita sendiri. Collins dalam risetnya mengemukakan bahwa purpose adalah inti yang menjadi kekuatan utama satu perusahaan dapat sukses dan bertahan ratusan tahun. “The only truly reliable source of stability is a strong inner core and the willingness to change and adapt everything except that core.” - James C. Collins, Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies Bukankah core dalam diri kita jauh lebih besar dari itu, yakni: iman—karya Kristus dan Roh Kudus yang telah Bapa berikan pada kita?


Mari kita terus mencari purpose of our life: Kenapa aku ada? Kenapa aku hidup? Dan teruslah berpegangan pada iman kita dalam pencarian ini. Di kala kita menemukan purpose itu, Tuhan akan memampukan dan menyertai setiap langkah kita sehingga kita dapat terus bersinar dan menjadi terang dan Kristus dimuliakan (Matius 5: 16). Tuhan Yesus memberkati, salam sehat selalu •


/ Maya Marpaung

Charles Wesley:

“Give me the Faith Which can Remove” Karya-karya Charles Wesley sudah sering kita nyanyikan, seperti: “O for a Thousand Tongues to Sing” (KPPK No. 3), “Hark! The Herald Angels Sing” (KPPK No. 91), dan “And can it be That I Should Gain” (KPPK No. 158). Tentu saja masih banyak kidung lainnya karena memang Charles Wesley menulis ribuan kidung dalam rentang lima puluh tahun masa pelayanannya. Kidung pujian “Give me the Faith Which can Remove” mungkin masih asing bagi kita, karena memang belum diterjemahkan di buku-buku kidung pujian berbahasa Indonesia. Saya mendengar kidung ini untuk pertama kalinya di sebuah toko buku dan langsung tersentuh oleh kata-katanya yang indah. Kidung ini dibawakan dalam beberapa melodi, salah satunya adalah yang dibawakan oleh St Michaels Singers di serial album The Hymn Maker: https://www. youtube.com/watch?v=hc35XW3MRM8. Kidung ini merupakan doa orang Kristen dan sangatlah dalam maknanya. Dari bait yang pertama kita diajar untuk meminta agar Tuhan memberikan kita iman yang teguh dan kasih seorang anak yang murni— yang keinginannya adalah membangun Kerajaan Allah.

R EKOMEN DASI L AGU


Lalu di bait kedua, kita diajar untuk memohon dikaruniai kerinduan dan semangat untuk membawa jiwa-jiwa yang sudah berada di pintu neraka sekalipun, agar dapat kembali kepada Tuhan yang menebus mereka dengan darah Kristus.

1. Give me the faith which can remove And sink the mountain to a plain; Give me the childlike praying love, Which longs to build Thy house again; Thy love, let it my heart o’erpow’r, And all my simple soul devour.

2. I want an even strong desire, I want a calmly fervent zeal, To save poor souls out of the fire, To snatch them from the verge of hell, And turn them to a pard’ning God, And quench the brands in Jesus’ blood.

Sebuah sajak yang sangat indah dan dalam maknanya. Baitnya yang ketiga mengajak kita untuk menebus waktu yang masih kita miliki dengan menjalani panggilan hidup untuk mengerjakan satu hal: Menyebarkan kabar keselamatan bagi orang yang belum mengenal Tuhan.

R EKOMEN DASI L AGU


Hati saya bergetar ketika meresapi, “And only breathe to breathe Thy love.” Bagaimana sang penulis merindukan setiap napasnya hanya berisi cinta kasih Tuhan.

3. I would the precious time redeem, And longer live for this alone: To spend and to be spent for them Who have not yet my Savior known; Fully on these my mission prove, And only breathe, to breathe Thy love.

Bait keempat membawa ingatan saya pada kesaksian Pak Eng Boen di edisi Nafiri beberapa waktu lalu ketika Tuhan izinkan dia sembuh dari serangan Covid-19, “Yah, saya (bisa) sembuh, itu berarti Tuhan masih mau pakai saya.” Saudara, mari kita berhenti sejenak untuk ‘meneropong’ hidup kita. Apakah kita sudah mempersembahkan talenta, apa yang kita punya, seluruh esensi hidup kita ke dalam tangan Tuhan? Bait berikutnya semakin kuat ‘mengetuk’ jiwa kita. Tuhan meminta kita agar membuka mata hati kita untuk menyebarkan firman-Nya dan semata-mata mengisinya untuk kemuliaan-Nya. Lagi-lagi kalimat terakhir ditulis dengan sangat indah: Setiap saat hidup kita—bahkan yang paling pribadi—kita pakai untuk mengabarkan karya penebusan Sang Teman untuk kaum pendosa.

R EKOMEN DASI L AGU


4. My talents, gifts, and graces, Lord, Into Thy blessed hands receive; And let me live to preach Thy Word, And let me to Thy glory live; My every sacred moment spend In publishing the sinner’s Friend.

Saudara, bait yang kelima mengajak kita berdoa: Perbesar, kobarkan, dan isi hatiku oh Tuhan, dengan kasih Ilahi sehingga aku dapat—dengan seluruh tenagaku dan dengan penuh semangat—mencintai umatMu. Biarkan aku dapat membawa dombadomba ini ke sisi-Mu, Sang Gembala yang telah mati untuk mereka.

5. Enlarge, inflame, and fill my heart With boundless charity divine, So shall I all my strength exert, And love them with a zeal like Thine, And lead them to Thy open side, The sheep for whom the Shepherd died.

R EKOMEN DASI L AGU


/ Humprey

Regenerasi yang Bijak Tak Selalu Mudah “Ya tutup buku aja sekarang, apa susahnya?” Itu perintah anak seorang pengusaha di Jakarta kepada tim akunting di perusahaan miliknya. Saat itu adalah tanggal 31 Desember pukul 21.00, tiga jam menjelang malam tahun baru. Dan dokumen-dokumen pendukung yang dikirim dari pabrik juga belum sampai ke kantor di Jakarta. Wajarkah? Tim akunting mungkin senyum-senyum bila membayangkan hal ini. Biasanya tim akunting perusahaan go public saja baru bisa tutup pembukuan sekitar satu minggu setelah tanggal akhir bulan, kecuali tidak ada selisih data, sistem oke, dan tidak ada kendala keuangan lainnya. Another story story: “Pokoknya saya mau turun di sini, titik; ga pake lama. Sekarang!” Di mana kejadian ini? Di tengah jalan tol, dimana supir pribadi anak ini diteriaki dan ditendangi. “Apa yang saya mau, kudu dituruti.” Ini cerita nyata seorang konglomerat kepada para karyawannya pada sebuah acara tahunan di kantor tentang anaknya. Dan sang bapak ini melanjutkan, ”Dulu saya pikir saya punya segalanya, saya bisa kasih apa saja untuk anak saya, toh saya mampu. Tapi setelah anak saya umur delapan belas tahunan saya menyesal. Inilah jadinya, semua keinginan anak saya wajib dituruti, sudah tidak bisa dinasihati lagi.”


Memimpin sebuah perusahaan nonstartup, alias perusahaan konvensional atau pabrik tentunya membutuhkan jam terbang bertahun-tahun dan keahlian yang cukup untuk minimal menjaga dan bahkan bila ingin mengembangkan bisnis ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi pertanyaannya, apakah pada saat yang diharapkan, generasi selanjutnya sudah siap untuk meneruskan estafet kepemimpinan perusahaan? Setiap generasi pendahulu, terutama yang telah berjerih payah membangun bisnis, pasti ingin generasi selanjutnya meneruskan dan mengembangkan bisnis yang telah ia rintis agar menjadi lebih baik dan berkembang. Mulai dengan mengirimkan calon generasi penerusnya bersekolah kuliah kuliah di luar negeri, memberikan makanan bergizi, fasilitas mobil, rumah, dan segala sesuatu yang lebih baik yang mungkin pada masa sang generasi pendahulu tidak sanggup atau tidak mampu ia dapatkan. Good idea sih, pemikiran yang baik (sayang anak).


Tapi sekembalinya dari luar negeri, pertanyaannya, jadi apa sang anak ini setelah lulus kuliah? Kembali ke perusahaan papa dan langsung diangkat jadi direktur? Kebanyakan itu yang dilakukan. Namun, menurut perspektif saya—maaf—ini sebenarnya pemikiran yang agak bodoh. Mengapa? Mungkin karena saya sudah terlalu banyak melihat anak-anak yang kembali dari luar negeri, diangkat jadi direktur tanpa pengalaman yang memadai, langsung menekan karyawannya hanya karena ia merasa lebih pintar sebab sudah belajar di luar negeri. Akhirnya, perusahaan biasanya jadi kacau balau dan karyawan bergunjing di belakangnya. Karyawan ‘menghargai’ karena ia ‘anak bos’, bukan karena kemampuannya dalam memimpin perusahaan. Ada pepatah Cina yang berkata, ”Generasi pertama menciptakan, generasi kedua mengembangkan, generasi ketiga menghancurkan.”


Saya rasa pepatah ini lumayan tepat, karena umumnya generasi pertamalah yang berdarah-darah membangun bisnis, generasi kedua biasa lebih menikmati tapi masih mengetahui perjuangan generasi pertama. Tapi generasi ketiga tidak ‘merasakan’ penderitaan tersebut, sehingga cenderung berfoya-foya atau tidak mengerti sulitnya membangun bisnis. Akhirnya bisnis itu akan sulit dipertahankan. Terus terang saya salut dengan teman saya yang notabene adalah anak dari pemilik perusahaan handuk terkenal di Indonesia. Setelah lulus kuliah, dia pun bekerja di pabrik handuk bapaknya. Bapaknya bilang begini, ”Pengen langsung jadi direktur? Mimpi! Lipat handuk dulu sana!” Bertahun-tahun dia berjuang melipat handuk, bahkan menyapu lantai, angkat-angkat barang, dan pekerjaan kasar lainnya. Baru setelah dia belajar, merasakan langsung dan memahami seluk-beluk kehidupan di pabrik, akhirnya dengan kinerjanya yang baik dia memperoleh posisi direktur—bukan sekadar karena dia ‘anak bos’.


Apakah perspektif pengusaha yang memberikan segalanya kepada anak-anaknya, termasuk langsung memberikan posisi tinggi setelah mereka lulus kuliah, itu salah? Menurut saya tidak juga, toh itu pemikiran masing-masing. Namun bagi saya pribadi, sudut pandang itu sering kurang tepat karena fondasi generasi penerus itu masih belum terbangun dengan kuat. Mungkin maksudnya baik, tapi hasil jangka panjangnya tidak akan prima. Yang penulis justru sangat salut dalam mengamati dunia bisnis masa kini adalah cukup banyaknya generasi milenial yang justru berani berjuang dari titik paling bawah dan berhasil mengembangkan perusahaan startup (rintisan). Mereka merintis sendiri dari nol; pasti tidak mudah, bahkan sangat berat dan banyak tantangannya. Namun, berkat kegigihan dan kecerdasan mereka dalam menangkap peluang— seringkali dengan kemampuan menerapkan dukungan teknologi yang canggih—telah menciptakan bisnis-bisnis baru yang sangat fenomenal.


Bagaimana dengan organisasi di gereja? Topik regenerasi pastinya juga menjadi topik hangat setiap datangnya masa untuk memilih kepengurusan yang baru. Bagi para pimpinan gereja, sepatutnya ini menjadi tugas panggilan yang harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh agar di lingkungan gereja pun proses untuk mempersiapkan generasigenerasi penerus dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Seperti ada tertulis di Amsal, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Mudah-mudahan buah pemikiran sederhana ini menjadi inspirasi bagi kita semua yang membaca. Tuhan Yesus memberkati. •••


Terima kasih telah membaca Nafiri Oktober 2021 Sampai jumpa di edisi berikutnya!


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.