MATAMEDIA VOL. 1 NOMOR 3

Page 1

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009

Membangun Masyakarat Kritis Bermedia


Pendampingan Masyarakat Melek Media oleh Tim UII Jogjakarta.


PENDA PA

MATAMEDIA edisi ke-3 ini menurunkan beragam tulisan dalam payung tema “pemantauan siaran televisi”. Setidaknya ada dua alasan mengapa tema itu diangkat. Pertama, kegiatan literasi bagi kalangan ibu-ibu telah dirampungkan. Asumsinya, setelah mengikuti pelatihan, diharapkan ibu-ibu dapat semakin kritis terhadap media (tv) sehingga tidak lagi menjadi penonton pasif, tetapi juga mampu melakukan pemantauan atas siaran televisi. Kedua, pemantauan merupakan langkah konkret untuk meningkatkan daya tawar ma­ syarakat terhadap industri te­ levisi. Berdasarkan data hasil pemantauan, masyarakat dapat mengadukan industri penyiaran yang mengabaikan kualitas. Aktivitas pemantauan diharapkan pula dapat menjadi proses peningkatan kesadaran kritis secara terus menerus di kalangan

penonton televisi. Jika kegiatan pemantauan dapat dilakukan secara terpadu dengan berbagai pihak yang terkait seperti KPI/ KPID, organisasi masyarakat sipil (OMS), orang tua, pendidikan, tokoh masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan niscaya hal itu dapat menjadi proses pembelajaran yang efektif dan masif. Secara kelembagaan, kegiat­ an pemantauan sebenarnya dapat dilakukan secara bersama di bawah koordinasi KPI/KPID. Namun, familiaritas masyarakat terhadap lembaga independen tersebut ternyata masih sangat rendah. Sebagian besar ibu rumah tangga yang ikut pelatihan literasi media oleh MPM dengan lima perguruan tinggi mitra ter­ nyata belum mengenal KPI/KPID. Dengan demikian dibutuhkan kerja keras dari pihak komisioner KPI/KPID untuk memerkenalkan institusinya agar lebih dike-

VOL I, NOMOR 02, DESEMBER 2009

Foto cover diunduh dari http://perempuannya.files.wordpress.com/2008/11/pict02623.jpg

| 3

nal masyarakat akar rumput. Jika masyarakat luas sudah mengenal baik KPI/KPID niscaya mereka akan dapat memanfaatkannya secara lebih baik. Selain beragam tulisan tentang pemantauan, edisi ini juga menurunkan laporan pelaksanaan kegiaan literasi media yang ditangani oleh Tim UII, Tulisan ini terpaksa turun tidak berbarengan dengan laporan dari empat tim lainnya, sematamata karena keterbatasan ruang yang tersedia. Telah menjadi kebiasaan MATAMEDIA, dalam setiap penerbitan, selain laporan utama, juga dimuat tips-tips tertentu yang terkait dengan menonton televisi. Kali ini kami menyuguhkan tips mengenal kriteria tayangan untuk anak-anak dan foto ekslusif Ibu Rita Jumirah yang kritis terhadap tayangan televisi. Semoga bermanfaat, dan selamat membaca. r

PENANGGUNG JAWAB Lukas S. Ispandrianto PEMIMPIN REDAKSI Darmanto WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Masduki REDAKTUR PELAKSANA/ EDITOR Saiful Bachtiar ANGGOTA REDAKSI Pendamping Kelompok UMY; Asih Apriliani, Ponang Limbad, Hamim Thohari, Ceacilia Novi. Pendamping Kelompok APMD; Unigani, Johan Nasruddin Fir­ daus, Ruben Panieon, Maria­na Syari Pertiwi. Pendamping Kelompok UPN; Andika Ananda, Agung Bayu Kurniawan, Jetrani Reza Dias, Bertha Simin;

Pendamping Kelompok UAJY; Anastasia Catur Emma Febriartiningsih, Sinta Dwi Mustikawati, Dominus Tomy Waskito, Willibordus Tatag Hastungkoro. Pendamping Kelompok UII; Erny Mardani, Ahmad Safiaji, Meiliana Mahera Maharani, Ricky Riadi Iskandar TATA ARTISTIK Achmad Soeparno Yanto STAF ADMINISTRASI & DISTRIBUSI Widodo Iman Kurniadi ALAMAT REDAKSI Jl. Kemakmuran No.2 Jogjakarta WEBSITE www. pedulimedia.or.id mpm_jogja@yahoo.com

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


4 |

KampungKita

Membangun Masyarakat

kita tindaklanjuti. Kebanyakan memang keluhan masyakarat terhadap program-program te­ le­visi Jakarta. Hasilnya SMS jika perlu verifika­si lanjut dengan diki­rimkan ke KPI pusat dan jika tayangan terlalu vulgar dan kebangeten langsung KPID DIY tegur. Sementara ada juga SMS yang bersifat masuk­an terhadap abtu, 30 Januari 2010 saya berkesempatan tayangan maka SMS dikirimkan melakukan wawancara dengan ketua Komisi Penyiaran ke televisi yang bersangkutan. Indonesia Daerah (KPID) periode 2007-2010 S. Rahmat M. Meskipun kita sudah melakuArifin terkait tingkat perkembangan melek media di masya­ kan pengawasan, pengeuran, pembinaan bahkan sangsi tetapi rakat Jogjakarta. Berikut petikan wawancaranya. di tingkat masyarakat juga haApa dan bagaimana peran KPID Jogjakarta ? Secara umum fungsi KPID ada tiga, sebagai regulator atau rus ada semacam upaya-upaya pengaturan dimana masuk aspek-aspek kewenangan di bidang kultural untuk mencerdaskan perijinan, kedua sebagai pengawasan isi siaran terhadap radio masyakart untuk menuju ma­ dan televisi, yang ketiga sebagai pembinaan dalam dunia industri syakarat kritis bermedia. Harapan KPID dengan ada­ penyiaran dan terhadap masyarakat. Terkait tayangan televisi, KPID membangun dua strategi, strat- nya kegiatan melalui jalur kulturegis struktural yaitu dengan kewenangan KPID maka KPID berhak al menjadi langkah preventif atau melakukan pembinaan, teguran bahkan sangsi terhadap lembaga pencegahan untuk melindungi penyiaran apa bila ada yang melanggaran aturan. Untuk mengefek- keluarganya dari tayangan-ta­ tifkan hal tersebut KPID telah membuka layanan Short Massage Se­ yangan yang buruk. Untuk jalur rives (SMS) 081227894444 untuk menjaring masukan-masukan dari kultural, paling tidak ada dua masyarakat. Rata-rata perbulan KPID menerima 30 - 50 SMS dan pesan yang sering disampaikan

Jogjakarta

yang Kritis Bermedia

S

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


yaitu membatasi jam menonton tayangan televisi bagi anak-anak dan anggota keluarga lain, kedua bisa memilihkan tayangan yang sehat bagi anak-anaknya. Dua strategi yang telah dijalankan, hasil yang terlihat di level masyarakat? Angka pengaduan mem­ bludak yang bisa dilihat dari dua sisi. Artinya makin banyak tayangan televisi yang makin tidak baik atau melanggar dan kedua semakin banyak masya­ rakat yang peduli. Pada bulan Januari 2010 angka pengaduan meningkat lebih dari 60 pe­ ngaduan yang masuk ke KPID Jogjakarta. Artinya masyaarat makin care terhadap tayang­ an TV. Tapi kalo pada tingkat perubahan perilaku yang kita harapkan seperti pembatasan waktu menonton dan orang tua bisa menemani dan memilihkan tayangan yang baik, KPID belum bisa melihat hal tersebut karena belum adanya penelitian yang menunjukan perubahan dalam sisi ini. Tolak ukurnya lama dan upaya kultural butuh proses dan waktu. Hasil kegiatan melek media melalui strategi kultural, apakah berpengaruh terhadap industri televisi sendiri? Empat TV lokal di Jogja, TVRI, Jogja TV, RB TV dan Adi

KPID berhak melakukan pembinaan, teguran bahkan sangsi terhadap lembaga penyiaran apa bila ada yang melanggaran aturan. TV, semunya makin hati-hati. Misalnya kita pernah memang­gil dan menegur sebuah TV lokal yang menayangkan acara pe­ ngobatan alternatif yang di­situ malah ada kecendrungan terkesan mistik baik sisi pembawa acara mau­pun narasumbernya. be­berapa ta­yangan hiburan juga menjadi per­ha­tian. Semisal TV lokal di Jogja se­ring memuter vi­ deo klip campursari yang kadang kala campursaru juga. Mereka sekarang dari sisi berpakaian, adegan-adegan juga menjadi lebih hati-hati. Level nasional harus pelan-pelan karena harus berkoordinasi dengan KPI Pusat. KPID mempunyai acuan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Program Siaran (SPS). Kadang yang me­ nurut masyakart menggangu

belum tentu melanggar bagi KPI karena acuan kerja KPI dan KPID pada SPS. Solusi pun bukan menutup program tetapi menggeser ke jam yang lebih tepat. Apa kendala yang dihadapai KPID? Selain perlu waktu kami juga mengajak semua pihak bekerjasama. Semisal MPM punya kelompok-kelompok binaan bisa turun bersama KPID. Di bebeberapa tempat bahkan warga masih juga bertanya KPI itu apa? Artinya kita harus bekerja lebih keras lagi untuk mensosialisasikan KPI sendiri maupun kesadaran atau kekritisan bermedia di tingkat masyarakat. Alhasil jika masyakarat sudah cerdas, ta­ yangan akan mengikuti. r

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


8 |

L I P U TA N

Mendampingi Anak Menonton

Tv?

Beberapa Catatan Lapangan

Waduh, repot Mbak ka­ lasu tiap hari harus men­ dampingi anak nonton TV. Se­ bagai ibu rumah tangga banyak kerjaan je.....” Begitu kira-kira tanggapan ibu-ibu peserta pelatihan literasi media yang diselenggarakan tim fasilitator UII di Lodadi maupun Cangkringan. Tim fasilitator UII menyelenggarakan pendampingan di dua lokasi. Pertama, di Dusun Lodadi, Desa Umbulmartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman. Di lokasi pertama ini, pelati-

han literasi media diselenggarakan di rumah Ibu Yuni, seorang koordinator yang biasa menggerakkan kegiatan kelom­ pok ibu-ibu PKK di tempat tersebut. Dusun Lodadi dekat dengan kampus terpadu UII, bahkan bisa dikatakan sangat dekat karena tepat berada di depan kampus. Oleh karena itu, kelompok PKK di dusun ini sudah sering mendapatkan pelatihan ataupun penyuluhan dari berbagai pihak, terutama kelompok mahasiswa KKN,

VOL I, NOMOR 03 , DESEMBER 2009

tentang berbagai hal. Namun, yang menarik, menurut pengakuan mereka, kegiatan yang membahas media (literasi me­dia) baru pertama kali ini mereka peroleh. Pelatihan lite­ rasi media di dusun ini dilakukan setiap Sabtu sore, pukul 16.00 – 17.30 WIB, diikuti lebih kurang 12 hingga 18 orang. Lokasi kedua, Dusun Wukirsari, Desa Wukirsari, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, secara sosiologis jauh berbeda dengan lokasi pertama. Hal ini disengaja oleh tim fasilitator UII untuk memperoleh pengalaman dan data yang varia­ tif. Desa Wukirsari terletak di lereng Merapi, dengan corak masyarakat pedesaan, jumlah penduduk kecil, hidup berkelompok dalam sebuah dusun, antar dusun terpisah oleh areal pertanian, kebun atau hutan, bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Kampus Terpadu UII. Yang lebih menarik, pelatihan di dusun ini diadakan tiap


L I P U TA N Senin malam, lebih kurang pukul 19.30 – 21.00 WIB. Nah, waktu berangkat dan pulang itu­ lah, tim fasilitator akan melalui jalan-jalan gelap tanpa lampu, hanya berpapasan dengan satu dua pengendara lainnya. Kok malam hari? Mengapa tidak sore atau siang saja? Jawabannya sederhana: ibu-ibu peserta hanya bisa pada malam hari, dari pagi hingga sore mereka ada di sawah. Di lokasi ini, beberapa peserta biasanya sudah datang ketika tim fasilitator tiba. Begitu tim fasilitator tiba, salah seorang peserta akan menuju ke masjid kampung. Selang beberapa menit kemudian, akan terdengar pengumuman melalui “TOA” masjid yang intinya

hal, respon-respon mereka cukup menarik dan cerdas. Termasuk lontaran kritis di atas, yang menyatakan bahwa tidak mungkin kalau setiap hari mereka harus mendampingi anak-anak nonton televisi. Jawaban spontan ini muncul, baik dari peserta di Wukirsari maupun Lodadi, ketika materi pelatihan tengah membahas pentingnya mendampingi anak menonton televisi.Jawaban mereka kompak, “Ya Mbak, mendampingi anak itu penting banget.Tapi, gimana ya…. Susah itu Mbak”. Mereka me­ rinci: pagi hari, saat anak mereka menyempatkan diri nonton kartun sebelum berangkat sekolah, mereka tengah sibuk menyiapkan sarapan, pakaian, dan lainnya. Siang hari, saat anak mereka

| 7

pulang sekolah, mereka masih di sawah. Nah, malam hari, anakanak dan mereka sendiri sudah kecapekan, memilih untuk tidur. Nah lho, kapan mendampingi anak nonton televisi? Tim fasilitator bingung, hanya bisa saling tatap. Pada saatsaat genting itu, ada seorang peserta bercerita, kira-kira begini: ”Menurut pengalaman saya, mendampingi anak tidak harus ketika nonton TV. Kalau anak saya biasanya bercerita tentang acara TV yang baru saja dia tonton, seringkali malam hari sebelum tidur. Nah, saat itu saya gunakan untuk ngobrol lebih jauh tentang hal-hal baik dan buruk dari tayangan terse­ but”. Solusi cerdas, bisa dicoba kan?

Di Lodadi, ibu-ibu sudah menyadari banyak tayangan televisi yang tidak sehat dan cocok untuk anak-anak. meminta ibu-ibu segera datang karena acara penyuluhan lite­ rasi media akan segera dimulai. Berbeda dengan masya­ rakat Dusun Lodadi yang terbiasa memperoleh pelatihan atau penyuluhan dari berbagai pihak, masyarakat di Dusun Wukirsari masih jarang memperoleh pelatihan dari pihak luar. Namun, dalam beberapa

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


8 |

L I P U TA N

Televisi me­ ngajarkan hal-hal negatif pada anak. Di Lodadi, ibu-ibu sudah menyadari banyak ta­ yangan televisi yang tidak sehat dan cocok untuk anak-anak. Mereka sadar, banyak tayangan televisi mengajarkan hal-hal negatif pada anak mereka, seperti gaya berpakaian ala anak Jakarta, lagu-lagu yang syairnya tidak cocok untuk anak-anak namun sangat dihapal oleh anak-anak, dan banyak dampak negatif lainnya. “Tapi, terus kita bisa apa Mbak? Kalau mau protes ke mana?”, begitu kira-kira keluhan mereka. Ketika fasilitator menyajikan materi tentang teknik pengaduan tayangan, terutama melalui mekanisme ala KPI/KPID, mereka sangat antusias. Fasilitator menegaskan bahwa ada cara yang simpel dan praktis untuk melakukan pengaduan ta­yangan televisi ke KPI/KPID, yaitu melalui sms. Setelah materi selesai, mereka mengangguk-anggukan kepala, “Ooo, begitu tho caranya!”. Namun, di akhir materi, ada peserta yang berkomentar, “Kita sekarang su­ dah tahu Mbak bagaimana caranya melakukan pen­ gaduan.Tapi, kayaknya malas ya... Soalnya, kita masih ragu, kira-kira memang akan ditindaklanjuti atau tidak ya? Atau jangan-jangan cuma formalitas?” Nah, jawaban dari KPI/KPID harus segera turun untuk meyakinkan mereka. Sementara, di Cangkringan, dengan alam pedesaan yang masih asri, anak-anak lebih

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009

suka bermain bersama sehabis sekolah. Jadwal mereka nonton televisi biasanya pagi hari sebelum berangkat sekolah serta sore hari sehabis Ashar atau menjelang Maghrib. Secara umum, mereka lebih suka bermain bersama teman-temannya. Sebuah potensi, yang kemudian fasilitator tegaskan, bahwa hal itu harus benar-benar dijaga dan dipertahankan, untuk mengurangi dampak dan ketergatungan pada televisi. Namun, di akhir pelatihan, ada seorang ibu bertanya: “Maaf Mas, pertanyaan saya agak tidak sesuai dengan tema. Dalam hal menonton televisi, anak-anak di desa ini masih bisa kita kontrol, apalagi mereka lebih suka bermain bersama dibandingkan nonton televisi. Namun, ada satu hal yang kita kha­ watirkan, yaitu HP. Akhir-akhir ini, banyak beredar film porno melalui HP, tahu-tahu anak kita sudah menyimpannya di HP, namun kita tidak pernah tahu. Kalau nonton televisi kan kelihatan, nah kalau nonton film di hp kan tidak kentara, bisa sendirian di dalam kamar. Nah kalau masalah itu gimana Mas?” Tim fasilitator bingung, lagi-lagi hanya saling pandang. Atau, bagaimana jika masalah itu diangkat MPM menjadi program selanjutnya: li­ terasi media baru, khususnya HP dan internet. Sepertinya menarik. r


L I P U TA N

| 9

Tayangan Baik Belum Tentu Ditonton

T

emuan menarik dihasilkan Tim literasi televisi Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta di Dusun II Gatak, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Kegiatan ini difasilitasi oleh Asih Aprilianti, Hamim Thohari, Ponang Limbad, dan Caecilia Novi. Dalam pertemuan dengan para ibu, tim fasilitator menggali pandangan mengenai tayangan yang baik, tayangan yang buruk, dan tayangan yang sering ditonton. Para ibu diminta untuk membuat daftar tayangan yang pernah

ditonton di pelbagai stasiun televisi tak berbayar. Setiap orang menuliskan nama acara dalam kartu meta. Kartu meta warna merah untuk tayangan yang buruk, kartu meta warna hijau untuk tayangan yang baik, dan kartu meta warna orange untuk tayangan yang paling sering ditonton. Lalu, kartu meta tiga warna tersebut dibagikan. Temuan yang unik adalah banyaknya para ibu yang menyebut nama tokoh dibanding nama program. Misalnya, menulis nama tukul

Temuan yang unik adalah banyaknya para ibu yang menyebut nama tokoh dibanding nama program.

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


10 |

L I P U TA N

Oleh karena itu, tayangan yang edukatif juga harus dikemas menjadi suatu tontonan yang menarik.

dibanding nama programnya, yaitu bukan empat mata. Ada juga yang menyebut nama acara sebagai nama pembawa acara, seperti Kick Andy dikira nama dari Andy F Noya. Meskipun ada salah ucap nama program dan aktor, sebagian besar mereka mampu menjelaskan apa isi ta­ yangan yang ia sebutkan. Acara televisi yang termasuk dalam tayangan baik, antara lain acara kesenian tradisional, Serial Anak Si Bolang, Jalan Sesama, Pangkur Jenggleng, Berita, Jejak Petualang. Sebagaian acara hiburan, masuk dalam kelompok tayang­an buruk seperti gosip, berita kriminal, isabela, the master, film luar negeri, dan sinetron. Anehnya, pada kartu orange atau tayang­ an yang sering ditonton justru didominasi oleh tayangan yang

ada di kartu merah atau tayangan buruk, misalnya SuamiSuami Takut Istri, Melati untuk marvel, Opera Van Java, termehek-mehek, gong show, dan lain-lain. Meskipun sedikit, ada juga tayangan baik yang masuk kelompok tayangan yang suka ditonton, seperti serial Si Bolang, Pangkur Jenggleng, dan Berita. Jika melihat kenyataan ter­sebut di atas, kesimpulan sementara adalah tayangan yang baik belum tentu

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009

menda­patkan tempat dihati pemirsanya. Oleh karena itu, tayangan yang edukatif juga harus dikemas menjadi suatu tontonan yang menarik. Ta­ yangan harus jauh dari kata membosankan. Orang tua pun turut membimbing anaknya untuk memilih tayangan yang sesuai de­ngan umurnya. Serial Si Bolang menjadi contoh yang tepat untuk tayangan yang men­didik mendapat peminat yang banyak pula. r

FOTO


L I P U TA N

| 11

Keprihatinan akan Dampak dan Bahaya Laten Televisi.

P

Bersama anggota PKK, khu足 an Muja Muju, tepatnya Jl. Kusumanegara UH.II/636 susnya ibu-ibu yang memiliki anak berumur 12 tahun keGang. Gerilya RT. 38/RW. XI Jogjakarta bukan sesuatu yang kebawah kami belajar bersama betulan. Kami bertemu dengan mereka untuk satu langkah kecil, untuk mengetahui isi pesan satu langkah yang berpengaruh terhadap masa depan generasi media beserta dampak dari mendatang. Gempuran tayangan televisi yang tidak bisa dibend- ta足yangan media yang ada. Pendam足pingan literasi media ung menjadikan pertemuan ini terjadi. Bersama ibu-ibu kami merupakan sebuah langkah belajar banyak tentang apa itu melek atau literasi media. yang muncul karena keprihatinan terhadap dampak dan bahaya laten media, khususnya ertemuan kami dengan anggota PK kelurah足

Pendampingan literasi media merupakan sebuah langkah yang muncul karena keprihatinan terhadap dampak dan bahaya laten media.

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


12 |

L I P U TA N

televisi. Dengan adanya kegiat­ an ini di harapkan masyarakat, khususnya ibu-ibu mampu lebih baik dalam mendampingi putra putrinya menonton televisi. Pada kegiatan ini, STPMD ”APMD” berkesempatan untuk turut andil dalam pendampingan Literasi Media tersebut. Hal ini merupakan kesempatan yang baik mengingat sesuai dengan jargon pemberdayaan masyarakat, Literasi Media dapat dijadikan ruang praktek bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi STPMD”APMD”, yang dalam hal ini merupakan penggerak untuk mensosialisasikannya secara langsung pada masyarakat.

Kegiatan pendampingan tim STPMD ”APMD” yang dilaksanakan selama lima kali, bersamaan dua kelompok di ibuibu RT 38/RW XI Kelurahan Muja Muju tak terasa sudah berakhir. Hal ini secara pribadi merupakan pengalaman yang tentu saja menjadi kenangan tak terlupakan bagi kami. Pada pertemuan pertama, terkesan peserta sangat antusias dan penuh minat terbukti dengan jumlah kehadiran ibuibu yang cukup banyak, 46

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009

orang. Di tambah dengan hujan di sela-sela pertemuan menambah riuh suasana di sore hari, apalagi karena ruang pertemuan terletak outdoor. Meskipun pada empat pertemuan berikutnya jumlah peserta tidak sebanyak di hari pertama namun tak banyak berpengaruh proses pendampingan secara keseluruhan. Peserta pendampingan sebagian besar adalah para ibu, mulai dari kisaran muda, paruh baya hingga nenek-nenek yang sudah


L I P U TA N memiliki cucu. Dan, sebagian besar pula dari mereka membawa serta anak-anaknya yang ratarata berumur 3-5 tahun. Tingkah polah para ibuibu terbilang cukup aktif dan ekpresif. Di balur dengan kepolosan khas ibu-ibu dengan sikap yang apa adanya membuat pendampingan ini semakin menarik. Secara keseluruhan pro­ ses yang sudah dijalankan se­ suai dengan materi yang telah di sampaikan, dapat terlihat bahwa pada awalnya (saat pertemuan) pertama, para ibu tidak hanya sekedar antusias tetapi juga sudah memiliki tingkat pemahaman yang cukup baik dalam membedakan ta­ yangan yang baik dan tidak untuk di tonton oleh anakanaknya. Hal ini memudahkan bagi kami dalam mengkomunikasikan gagasan melek media. Pada evaluasi bersama untuk mengetahui sudah sampai sejauh mana pemahaman para ibu terhadap materi yang telah mereka terima, sebagian besar dari mereka mengungkapkan bahwa para ibu sudah mulai melakukan penerapan de­ ngan mengatur jam menonton dalam keluarga dan mendampingi anak-anaknya secara intens setiap kali menonton TV. Selain itu, memberitahukan juga ke-

| 13

Kegiatan ini di harapkan masyarakat, khususnya ibu-ibu mampu lebih baik dalam mendampingi putra putrinya menonton televisi. kegiatan ini di harapkan masyarakat, khususnya ibu-ibu mampu lebih baik dalam mendampingi putra putrinya menonton televisi.

pada anak-anaknya acara-acara apa saja yang boleh dan tidak boleh ditonton. Meski belum dapat dikatakan berhasil maksimal namun, besar harapan dari tim fasilitator dan warga untuk selanjutnya program literasi media ini dapat terus disosiali­

sasikan kepada masyarakat luas. Tidak hanya untuk pembelajaran bersama melainkan juga sebagai upaya menumbuhkan kesadaran untuk lebih kritis dan cerdas dalam mengantisipasi dampak-dam­ pak yang timbulkan oleh keberadaan media saat ini. r

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009


14 |

PANDUAN

Lindungi Anak dari Tayangan Kekerasan

P

ernahkah anda memperhatikan layar televisi anda dan terpampang huruf A, R, D, BO, D, SU? Sebagai penonton yang cerdas kita perlu tahu apa dan mengapa huruf tersebut muncul. Dalam peraturan KPI nomor 03 tahun 2007 tentang standar program siaran, bagian dua tersebutkan penggolongan program siaran televisi. Berikut penjelasan penggolongan program tayangan televisi. Program siaran dengan Klasifikasi ‘A’ mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1. khusus dibuat dan ditujukan untuk anak; 2. berisikan isi, materi, gaya penceritaan, tampilan yang sesuai dengan dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fisik dan psikis anak; 3. tidak boleh menonjolkan kekerasan (baik perilaku verbal maupun non-verbal) serta menyajikan adegan kekerasan yang mudah ditiru anak-anak; 4. tidak boleh menyajikan adegan yang memperlihatkan perilaku atau situasi membahayakan yang mudah atau mungkin ditiru anak-anak;

5. tidak boleh mengan­dung muatan yang dapat mendorong anak belajar tentang perilaku yang tidak pantas,seperti:berpacaran saat anak-anak, kurang ajar pada orangtua atau guru, memaki orang lain dengan kata-kata kasar; 6. tidak mengandung muatan yang secara berlebihan mendorong anak percaya pada kekuatan paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, atau kontak dengan roh; 7. tidak mengandung adegan yang menakutkan dan mengerikan;

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009

8. harus mengandung nilai-nilai pendidikan, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik dan penumbuhan rasa ingin tahu mengenai lingkungan sekitar; 9. jika program mengan­ dung gambaran tentang nilai-nilai dan perilaku anti-sosial (seperti ta­mak, licik, berbohong), program tersebut harus juga menggambarkan sanksi atau akibat yang jelas dari perilaku tersebut; 10. tidak memuat materi yang mungkin dapat mengganggu perkembang­ an jiwa anak, seperti: perceraian, perselingkuhan, bunuh diri, penggunaan obat bius; 11. tidak menyajikan gaya hidup konsumtif dan hedonistik. r


foto: Ibu Rita Jumirah (Warga Teban Jogjakarta)

“Saya tidak suka menonton reality show, sinetron atau yang aneh-aneh itu mas.. Saya suka menonton berita..�

VOL I, NOMOR 03, DESEMBER 2009



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.