Ketika Ibu Rumah Tangga Menonton Televisi

Page 1


Ketika Ibu Rumah Tangga Membaca Televisi

Pengantar: Lukas S. Ispandriarno Penulis: Josep J. Darmawan, Lusi Margiyani, Mario Antonius Birowo, Masduki, MC Ninik Sri Rejeki, Moch. Faried Cahyana, Y. Bambang Wiratmojo, Muzayin Nazaruddin, Yudi Perbawaningsih, Yossy Suparyo P D. Danarka Sasangka Darmanto


2 PENGANTAR

K

I

R

T

M

T

P Josep J. Darmawan, Mario Antonius Birowo, MC Ninik Sri Rejeki, Y. Bambang Wiratmojo Yudi Perbawaningsih, Y. Bambang Wiratmojo, Lusi Margiyani, Masduki, Moch Faried Cahyono, Muzayin Nazaruddin, Yossy Suparyo P : D. Danarka Sasangka dan Darmanto T L : Cahyo Purnomo Edi D S : Jr. Wahyu Cetakan I, Januari 2010 D Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta Jl. Kemakmuran No. 2 Jogjakarta 55222 atas dukungan Yayasan TIFA Website MPM : www.pedulimedia.or.id Email : mpm_jogja@yahoo.com D Ikreasi Publishing Jogjakarta, Joho RT 03 Jambi dan Banguntapan Bantul Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang D atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Dicetak oleh Ikreasi Isi di luar tanggung jawab Percertakan ISBN 9799798388


DAFTAR ISI

P L S

5 M T

S

G

K

B

9

BAGIAN I KAjIAN TeoReTIK nLiterasi Media: Idealisasi Penguatan Publik atas Media nUrgensi Literasi Media pada Pertelevisian Indonesia nLiterasi Media dan Tayangan Televisi dalam Lingkup Kajian Makro-Mikro

17 44 59

BAGIAN II PeNGALAMAN TeRBAIK BeST PRACTICeS nK I L M M T nPengalaman Ibu-ibu Babarsari Membaca Televisi nIbu-ibu Rumah Tangga di Terban Membaca Televisi nIbu-Ibu PKK Muja-Muju Membaca Televisi nBebaskan Anak dari Jerat Sihir Kotak Ajaib: P T I T

97 113 131

BAGIAN III eVALUASI KeGIATAN LITeRASI MeDIA TeLeVISI nE P P L M Pada Kaum Ibu Di Perkotaan nT F nEpilog: Dari “Masyarakat” ke “Massa Rakyat” Peduli Media (Catatan Untuk Kiprah MPM dan Literasi Media) nBiodata Penulis

157

189 201


4 PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 5

P

Lukas S. Ispandriarno

APAKAH ALASAN mengajak para ibu rumah tangga menjadi peserta pelatihan melek media (media literacy)? Apakah karena mereka merupakan kelompok yang paling mudah dibujuk-rayu televisi? Apakah karena para ibu tumah tangga dinilai sebagai pecandu (heavy viewer) sinetron? Ataukah, karena kedudukan mereka sebagai kaum perempuan yang kerap ditempatkan sebagai objek pendulang keuntungan bisnis industri media? Perempuan memang seringkali menjadi korban media, dalam hal ini televisi. Dalam program sinetron, sosok perempuan senantiasa diposisikan secara stereotype, misalnya, mereka sering digambarkan sebagai tokoh yang berkarakter galak, suka membentak, dan suka memukul. Pada saat lain, mereka dilukiskan sebagai sosok yang mudah menangis. Marjinalisasi perempuan pun tampak dalam iklan, seperti dilukiskan Kasiyan di bukunya yang berjudul Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan (2008) Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dipilih dengan pertimbangan utama karena


6 PENGANTAR

mereka memiliki apa yang disebut sebagai kepedulian. Mengikuti pendapat Giligan (dalam Magnis-Suseno, 2005), kepedulian pada orang lain adalah unsur-unsur moral khas perempuan. Kepedulian ini secara konkret berdasarkan empati, kebaikan hati atau belas kasihan. Pandangan Giligan merupakan kritik kepada Kohlberg, yang memakai tolok ukur kemajuan moral sebagai pencapaian sikap moral yang berorientasi pada prinsip abstrak keadilan dan menempatkan kepedulian sebagai tahap sementara yang perlu dilengkapi dengan wawasan keadilan yang berprinsip. Berbeda dengan kepedulian, konsepsi (etika) keadilan menggendong sejumlah kata kunci seperti ”hak”, ”kewajiban”, ”kontrak”, fairness, ”ketimbalbalikan”, dan”otonomi”. Etika kepedulian (ethics of care) bersifat kontekstual dan situasional, serta berfokus pada orang konkret dan kebutuhannya. Orang dilihat dalam rangka suatu hubungan personal dan sosial, dengan hubungan-hubungan kesalingtergantungan dan keterlibatan emosional (Magnis-Suseno, 2005: 238). Lebih lanjut dikatakan MagnisSuseno bahwa sikap-sikap yang ditegaskan adalah peduli pada sesama, empati, hubungan konkret antar-orang daripada sistemsistem peraturan. Orang dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah konteks sosial tertentu dan bukan sebagai sebatang kara, people standing alone. Filoso i itulah yang mendasari Masyarakat Peduli Media MPM untuk memilih para ibu di sejumlah kampung di Yogyakarta sebagai sejawat dalam pelatihan melek media ini. Di tengah kesibukan mereka sebagai ibu rumah tangga dan anggota masyarakat, mereka masih peduli terhadap kegiatan ini. Meski mereka seringkali direpotkan oleh anak-anak yang juga menjadi korban media. Para ibu tentu peduli kepada sesama kaum perempuan. Merekalah kelompok yang potensial dan strategis dalam menyiasati pengaruh keperkasaan industri media. Dengan pelatihan ini diharapkan pengetahuan mereka semakin bertambah sehingga dapat bersama masyarakat sipil (civil society) lain menggerakkan habitus baru, menonton televisi dengan kritis. Guna memperluas cakupan gerakan habitus baru dalam menonton televisi secara kritis tersebut, MPM berupaya menyajikan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 7

berbagai pelajaran berharga yang diperoleh dari kegiatan literasi media pada paruh kedua tahun 2009 dalam bentuk buku agar mudah diakses oleh banyak pihak. Untuk memperluas pengetahuan, buku ini tidak hanya memuat hal-hal yang diperoleh di lapangan, tetapi juga dari artikel yang sifatnya teoritis. Penerbitan buku ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian program kegiatan literasi media televisi bagi para ibu rumah tangga yang diselenggarakan oleh Masyarakat Peduli Media (MPM) dengan dukungan dana dari Yayasan Tifa. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam kegiatan ini berupa ucapan terima kasih. Penghargaan tersebut kami sampaikan kepada: Para ibu rumah tangga di Dusun Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak dan Dusun Salam, Wukirsari, Cangkringan, Dusun Gatak II Tamantirto, Kampung Tambakbayan, Babarsari, Muja-muju, Umbulharjo, dan Terban, Yogyakarta. Terimakasih atas kesediaan dan kerelaan ibuibu meluangkan waktu untuk terlibat belajar bersama MPM. Tanpa kesediaan mereka, buku ini tidak akan terwujud. Pihak Pemerintah Desa/Kelurahan, Dusun, RW, RT di wilayah Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, wilayah Salam, Wukirsari, Cangkringan, dan Tambakbayan, Babarsari; ketiganya di Kabupaten Sleman; Pemerintahan Desa Tamantirto, Bantul; Kelurahan Terban dan Muja Muju Kota Yogyakarta. Fasilitasi yang diberikan dalam bentuk izin dan dukungan moral lainnya telah memungkinkan kegiatan literasi media dapat berjalan lancar. Peserta Penyusunan Tools Literasi Media, antara lain Zein Mufarrih Muktaf (UMY), Sahrul Aksa (STPMD �APMD�), Herlita Jayadianti (ECCD-RC), I Gusti Ngurah Putra (UGM dan KIPD DIY), Cicilia Maharani (Yayasan Kampung Halaman), Yossy Suparyo (CRI), Atinna Risqiana (Yayasan Kampung Halaman), Mario Anton Birowo (UAJY), Muzayin Nazaruddin (UII), Istu Gutari (Ibu Rumah Tangga, jurnalis RRI), C. Asri Budiningsih (KTP, FIP UNY), Wardiyah (Majelis Dikdasmen PWA Aisiyah DIY), Arif Wibawa (UPN), Lusi Margiyani (LSPPA), Anastasia Onik Kartikasari (Humas Wanita Katolik RI DPD DIY), Moch. Faried Cahyono (Dewan Pendiri MPM), dan Yossy Suparyo (CRI).


8 PENGANTAR

Fasilitator dan narasumber Penyusunan Tools Literasi Media, yaitu Dan Satriana (Bandung), Bobi Guntarto (Yayasan Pengembangan Media Anak, Jakarta), Bekti Nugroho (Dewan Pers), dan Satria Arismunandar (Trans TV); serta fasilitator TOT Mukhotib MD. Para fasilitator yang berasal dari lima Perguruan Tinggi mitra, yaitu Asih Apriliani, Hamim Thohari, Ponang Limpad, Ceacilia Novi, Unigani, Johan Nasruddin Firdaus, Ruben Panieon, Mariana Syari Pertiwi, Andika Ananda, G. Agung Bayu Kurniawan, Jetrani Reza Dias, Bertha Simin, Anastasia Catur Emma Febriatiningsih, Sinta Dewi Mustikawati, Dominus Tomy Waskito, Willibordus Tatag Hastungkoro, Erny Mardhani, Meiliana Mahera Maharani, Ahmad Sa iaji dan Ricky Riadi Iskandar Para penulis artikel, lay outer (Wahyu), pelaksana produksi (Saiful Bakhtiar), dan distributor buku ini, yang dengan talenta masing-masing telah memberikan sumbangan besar bagi terdokumentasikannya kegiatan literasi media televisi bagi Ibu-ibu dalam bentuk buku. Tim kerja yang menjadi tulang punggung MPM, tetapi tidak sempat terlibat langsung dalam penulisan buku ini, yaitu Budhi Hermanto dan Widodo Iman Kurniadi. Ketekunan dan kegigihan keduanya dalam mengejar-ngejar anggota Tim yang lain membuat semua program kegiatan literasi media televisi yang diselenggarakan oleh MPM bisa selesai tepat pada waktunya. Penghargaan yang tinggi juga kami sampaikan kepada Yayasan Tifa yang telah memberikan kepercayaan kepada MPM dalam bentuk dukungan dana. Dukungan itu memungkinkan MPM dapat menyelenggarakan kegiatan literasi media telelvisi bagi ibu-ibu rumah tangga berbasis PKK. Semoga kerjasama seperti ini dapat terus berlangsung sehingga program yang telah dirintis dapat berkelanjutan. Kami menyadari bahwa penebitan buku ini masih memiliki sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, kami senantiasa membuka diri untuk menerima kritik dan saran demi perbaikan. Kami berharap, pada saatnya nanti, buku ini dapat dicetak ulang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 9

L S

M G

T

K B

S )

D. Danarka Sasangka

SELAMA SATU dekade terakhir, literasi media tampaknya telah menjadi gerakan kultural yang kian populer di negeri ini. Sebagai sebuah gerakan kultural, keberadaan literasi media bisa juga dibaca sebagai antitesis dari berbagai usaha reaktif berbasis pendekatan struktural yang kerap dipakai dan diwacanakan setiap kali negeri ini dihadapkan pada ceceran persoalan akibat disfungsi media. Kalau kita lacak, dasar pendekatan struktural sendiri adalah paradigma klasik dalam kajian komunikasi massa yang menempatkan media dan khalayak dalam oposisi biner dengan relasi kuasa yang secara diametral memiliki perbedaan sangat tajam. Media ditempatkan secara diametral sebagai pihak aktif yang begitu berkuasa dan sebaliknya khalayak sebagai pihak yang lemah dan pasif. Pengandaian tentang khalayak yang lemah dan harus dilindungi inilah yang hampir selalu direproduksi sebagai argumentasi untuk melegitimasi munculnya sejumlah regulasi represif yang dianggap akan mampu menertibkan media massa. Dalam


10 LITERASI MEDIA SEBAGAI SEBUAH GERAKAN KULTURAL

kenyataannya, pengandaian ini tidak cukup produktif menjawab kompleksitas persoalan terkait dengan disfungsi media. Paranoia yang terlalu besar terhadap kekuatan media justru lebih sering berakhir pada bentuk-bentuk otoritarianisme yang berimplikasi pada tertutupnya kemungkinan terwujudnya relasi ideal antara media dan khalayak. Sebaliknya pendekatan kultural sendiri membangun basis argumentasinya dari pengandaian bahwa publik adalah khalayak ludic yang secara dinamis dan kreatif akan selalu melibatkan kompetensi dan referensi kultural mereka ketika mencerna konstruksi realitas yang ditawarkan media tersebut. Dengan demikian makna di balik teks media dalam pendekatan kultural ini bukanlah makna tunggal yang sudah selesai, tetapi akan selalu bersifat polisemik. (Chris Barker, 1999:110). Sejalan dengan gagasan tentang khalayak aktif ini, secara sederhana Stuart Hall pernah membuat tiga kategori kemungkinan resepsi publik atas televisi yang merepresentasikan sifat ludic di atas (1981). Pertama, resepsi yang bersifat dominant-hegemonic, yaitu ketika publik cenderung mengikuti dan mengamini begitu saja konstruksi yang ditawarkan media. Kedua, resepsi yang bersifat negosiated yang terjadi manakala publik bersifat skeptis terhadap tawaran konstruksi media. Sedangkan yang ketiga adalah oppositional yang terjadi ketika publik memberikan penolakan atau bahkan perlawanan terhadap konstruksi atas realitas yang ditampilkan media. Terkait dengan tiga kategori resepsi yang disodorkan Hall di atas, dengan demikian dapat dikatakan bahwa potensi kultural yang dimiliki oleh publik ketika dihadapkan pada realitas disfungsi media pada dasarnya terletak pada kemungkinan untuk melakukan negosiasi, penolakan atau bahkan perlawanan terhadap tampilan konstruksi yang ditawarkan media. Walaupun demikian, kreativitas dan kekhasan proses resepsi publik atas tampilan konstruksi media sangatlah tergantung dan dipengaruhi oleh kekhasan preferensi nilai yang dimiliki oleh tiap orang Seperti yang digambarkan oleh Dieter Baacke de initif tidak nya potensi publik dalam melakukan negosiasi maupun perlawanan atau sebaliknya mengamini konstruksi disfungsional media pada


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 11

dasarnya akan ditentukan tinggi rendahnya media consciousness (kesadaran bermedia) sebagai bagian dari preferensi kultural yang mereka miliki. (1996:112-124) Secara umum, kesadaran bermedia dalam gagasan Baacke di atas mencakup dua wilayah besar. Masing-masing adalah kesadaran di tingkat etis-analitis dan kesadaran di tingkat teknis-prosedural. Kesadaran etis-analitis sendiri terkait erat dengan kemampuan publik untuk mengevaluasi secara kritis kelayakan sebuah konstruksi wacana yang ditawarkan media dengan mendasarkan pada nilai-nilai normatif yang berlaku serta pertimbangan-pertimbangan social cost bene it atas implikasi sosial yang secara potensial akan muncul sebagai akibat dari konstruksi tersebut. Sedangkan kesadaran teknis-prosedural sendiri menyangkut pengetahuan publik atas hak dan tanggung jawab mereka maupun media sendiri dalam menciptakan atmosfer kehidupan bermedia yang sehat. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan tentang prosedur teknis yang secara legal dibenarkan dan dapat ditempuh ketika terjadi kon lik kepentingan dengan media Dua wilayah kesadaran inilah barangkali yang cukup relevan untuk diaktivasi dan diberdayakan melalui gerakan literasi media dalam konteks realitas bermedia kontemporer terutama untuk mengaktualkan sifat ludic khalayak. Berangkat dari optimisme yang sama atas potensi kultural publik sebagai khalayak yang secara ludic mencerna kontruksi realitas media serta orientasi untuk memberdayakan kesadaran bermedia, gerakan literasi media yang difasilitasi oleh MPM (Masyarakat Peduli Media) dan beberapa perguruan tinggi di DIY (UAJY, UII, UMY, UPN, dan STPMD) ini diselenggarakan bagi para ibu rumah tangga. Optimisme tersebut secara khusus telah mendapatkan landasan empirisnya. Dari hasil-hassil evaluasi sederhana yang dilakukan melalui rangkaian pre-tes sebelum pelatihan literasi media dilaksanakan, potensi ludic seperti tersebut diatas terepresentasikan dari tingkat pemahaman para ibu rumah tangga di daerah dampingan dalam mengidenti ikasi realitas media sebagai realitas rekaan Usaha fasilitasi ini tentu saja diproyeksikan sebagai usaha untuk mengajak para ibu rumah tangga agar terus menerus menempatkan


12 LITERASI MEDIA SEBAGAI SEBUAH GERAKAN KULTURAL

konstruksi realitas media bukan sebagai sebuah konstruksi yang telah selesai, tetapi merupakan sebuah konstruksi terbuka yang harus senantiasa dikritisi dan diuji kebenarannya sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Ibu rumah tangga dalam hal ini menjadi sasaran utama usaha fasilitasi tersebut dengan memertimbangkan dua aspek utama. Pertama, pemilihan ibu rumah tangga sendiri setidaknya dapat dibaca sebagai usaha untuk menggarisbawahi keprihatinan terhadap kecenderungan media massa dewasa ini dalam memantapkan bentuk-bentuk symbolic annihilisation terhadap kaum perempuan melalui konstruksi yang sarat dengan nuansa seksisme. Kedua, tanpa mengkerutkan peran para ibu rumah tangga sematamata sebagai peran domestic, pemilihan terhadap ibu rumah tangga sebagai sasaran utama terkait dengan posisi strategis mereka dalam “menularkan” kesadaran media kepada keluarganya terutama anakanak. Dalam hal ini, barangkali adagium “mendidik ibu-ibu sama artinya mendidik dua generasi sekaligus” cukup tepat dipakai untuk menggambarkan alasan kedua ini. Terkait dengan penyelenggaraan usaha fasilitasi tersebut, buku ini disusun sebagai eksposisi pengalaman yang mungkin bisa dibagikan untuk memerkaya gerakan literasi media sejenis di masa yang akan datang. Secara umum terdapat tiga bagian besar dalam buku ini. Pada bagian pertama yang ditujukan sebagai perlintasan dan pendasaran teoretik tentang idealisasi gerakan literasi media terdapat tiga tulisan. Tulisan pertama bertajuk Literasi Media: Idealisasi Penguatan Publik atas Media oleh Josep J. Darmawan mencoba mengajak pembaca untuk menempatkan literasi media sebagai gerakan yang menawarkan resolusi agar publik mampu membebaskan diri dari kooptasi media yang beroperasi secara hegemonik. Melanjutkan gagasan yang dikemukakan dalam tulisan sebelumnya, tulisan kedua bertajuk Urgensi Media Literacy pada Pertelevisian Indonesia oleh Y. Bambang Wiratmojo mencoba menyodorkan sejumlah fakta bagaimana televisi sebagai sebuah industri kebudayaan yang menghamba pada rating menjalankan proses produksinya melalui budaya “kejar tayang” atau budaya instant yang mengabaikan estetika seni serta norma kehidupan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 13

bermasyarakat. Sekali lagi urgensi literasi media mendapatkan landasan empirisnya. Sementara itu, pada tulisan ketiga yang bertajuk Literasi Media dan tayangan Televisi dalam Lingkup Kajian MakroMikro, Ninik Sri Rejeki menekankan perlunya pengayaan perspektif yang mencakup pendekatan makro-mikro dalam kurikulum edukasi media. Masing-masing adalah kajian budaya dan ekonomi politik media. Sedangkan pada bagian kedua buku ini, terdiri dari lima tulisan yang masing-masing merupakan eksposisi best practises penyelenggaraan pendampingan literasi media bagi ibu-ibu rumah tangga di lima lokasi. Kelima lokasi tersebut adalah Babarsari yang difasilitasi oleh Tim Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Muja-Muju, Timoho yang difasilitasi oleh Tim STPMD �AMPD�, Terban yang difasilitasi oleh Tim dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Lodadi dan Wukirsari, Cangkringan yang difasilitasi oleh Tim Universitas Islam Indonesia, dan Tamantirto yang difasilitasi oleh Tim dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam eksposisi yang mengemuka dalam kelima laporan best practises ini, tergambar keragaman latar sosio kultural para ibu rumah tangga yang akhirnya akan memengaruhi bagaimana mereka mencerna konstruksi realitas yang ditawarkan oleh berbagai stasiun televisi. Meskipun demikian, jelas terbaca di dalam laporan tersebut bahwa para ibu telah memiliki basis skeptisme yang menjadi embrio dari sikap kritis terhadap konstruksi realitas media. Hal ini sekaligus menegaskan keberadaan publik sebagai khalayak yang ludic seperti yang digagaskan oleh kalangan kulturalis. Pada bagian ini pula dikemukakan tantangan yang harus dihadapi oleh para fasilitator pada setiap tahap penyelenggaraan pendampingan literasi media di lima lokasi di atas. Terkait dengan penyelenggaraan pendampingan literasi media tersebut, salah satu bagian yang juga dilakukan adalah melakukan evaluasi atas efektivitas program ini. Evaluasi dilakukan melalui survei kepada para ibu rumah tangga yang menjadi partisipan pendampingan. Hasil survei inilah yang kemudian dianalisis dan dirangkum oleh Yudi Perbawaningsih dalam tulisan berjudul Efektivitas Program Pelatihan Media Literacy pada Kaum Ibu di


14 LITERASI MEDIA SEBAGAI SEBUAH GERAKAN KULTURAL

Perkotaan. Temuan menarik dari survei tersebut adalah bahwa program literasi media ini hanya efektif untuk membentuk atau mengubah kognisi seseorang tetapi tidak pada sikap atau perilaku. Dalam anรกlisis sang penulis, hal ini dapat terjadi barangkali karena target peserta adalah orang-orang dewasa yang cenderung sudah memiliki pola pikir, sikap atau perilaku yang permanen. Demikian tiga bagian besar dari buku ini yang disusun sebagai eksposisi atas pengalaman pendampingan literasi media di kalangan ibu rumah tangga di daerah perkotaan. Tentu saja eksposisi pengalaman ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan memerkaya khasanah tentang usaha mewujudkan media citizenry yang lebih mencerdaskan.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 15

BAGIAN I

K

T


16 PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 17

L

M P

I

M

P

Josep J. Darmawan

Prolog MeDIa MaSSa modern adalah fenomena yang penuh dengan hiruk pikuk aktivitas produksi informasi secara masif yang sangat ditentukan oleh penggunaan inovasi lanjut teknologi komunikasi dan informasi. Kuantitas informasi yang dihasilkan sedemikian besar sehingga memanjakan publik yang seolah-olah difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan tentang kondisi lingkungannya. Dari satu sisi, media diakui telah mewujudkan fungsinya bagi kepentingan publik. Namun dari sisi lain, limpahan produk media justru dinilai potensial untuk menyesatkan publik. Penyesatan ini barangkali bukan sebagai motif yang disengaja oleh media. Tetapi cara kerjanya amat menggiring publik ke tubir tersebut, lebih lagi ketika terjadi kekurangakuratan atau bahkan kekeliruan menafsirkan makna muatan media yang kesemuanya berupa produk simbolik. Masalah menjadi muncul ketika media terlalu diyakini sebagai agen perubahan dimana produk-produknya diterima, ditindaklanjuti dan dirujuk


18 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

secara taken-for-granted. Kondisi inilah yang kerap menyulut perselisihan antara pemahaman atas realitas sosial (yang langsung menjadi pengalaman dan dirasakan melalui keseharian) dengan realitas media (yang fragmented, virtual, dan hanya ada di media). Keberlangsungan kehidupan publik yang memiliki nilai-nilai orisinil-otentik kemudian menjadi pertaruhan dengan semakin dominannya media dan menurunnya daya publik dalam menyikapinya. Literasi media muncul sebagai gerakan untuk mengundang resolusi atas keadaan tersebut. Publik diandaikan memiliki kesadaran dan kemampuan dalam mengendalikan penggunaan media bagi kehidupannya, untuk tak lagi bergantung dan hanya mengandalkan perubahan melalui upaya media, atau pada segenap peraturan yang dibuat untuk mengawal kerja media. Visi ini diandaikan dapat memberdayakan publik dalam mengarahkan kehidupannya ke arah yang lebih ‘sehat’ dan tidak semata-mata dikondisikan lewat hegemoni media. Gagasan literasi media (di Indonesia) boleh dikatakan baru merebak dalam dekade 2000an, meski sebenarnya sudah menjadi wacana global sejak dekade 80-an. Hal ini karena sejak dekade 2000an itu pula hiruk pikuk media telah mengisi kesibukan kehidupan publik Indonesia sebagai ekses dari implementasi visi kebebasan yang diperjuangkan melalui reformasi. Meski semangat literasi media merupakan concern yang diintrodusir secara global, ia perlu dipahami secara kontekstual. Ini sebagai upaya untuk mendaratkan pengertiannya dan mendekatkan urgensinya secara aktual sesuai kondisi dan karakter yang menandai perkembangan sosio-kultural publik sebagai pihak yang diperjuangkan dalam gagasan itu. Ekses Demokratisasi Reformasi adalah periode yang patut ditempatkan sebagai titik berangkat untuk mengenali wajah media massa di Indonesia pada masa kini. Sebagaimana telah banyak diketahui, reformasi dinilai sebagai fase yang mengantarkan perubahan multiaspek di Indonesia. Setelah mengalami tekanan hegemonik yang intens dalam masa pemerintahan rezim Orde Baru, peristiwa perpindahan kekuasaan dari Soeharto kepada Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dapat


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 19

disebut sebagai titik permulaan bagi proses pembaharuan (politik) Indonesia. Peristiwa ini merupakan ekses yang muncul setelah pada tahun 1997 Indonesia mengalami serangan krisis moneter yang menjatuhkan kemampuan perekonomian sedemikian rupa sehingga memunculkan gejolak-gejolak secara tajam. Secara umum, pergolakan yang menandai terjadinya reformasi dapat dikatakan merupakan akumulasi dari situasi ketidakpuasan, ketidaknyamanan dan kejenuhan yang kompleks atas praktek ekonomi-politik pengelolaan negara, relasi antar kekuatan-kekuatan sosial-politik, dan partisipasi publik dalam kehidupan bernegara. Sistem yang cenderung sentralistik-otoritarian dituding sebagai sebab dari semua persoalan kerusakan, kebuntuan, kegagalan yang muncul dan meningkat di semua aspek kehidupan. Ruang gerak publik terbatas, dimana peluang dan kanal artikulasi tidak memperoleh fasilitasi yang memadai. Media massa sebagai satu institusi sosial mengalami keterbatasan dalam mewujudkan fungsi dan perannya secara ideal sebagai medium informasi yang memadai, baik bagi publik maupun darinya. Pemerintahan yang sangat dominan telah melakukan pengawasan dan pengendalian yang sangat ketat kepada media untuk menjalankan fungsi dan perannya supaya asosiatif dengan kepentingan penguasa. Beberapa praktek yang mengendalikan kinerja media pada masa itu antara lain: 1. Semua media haruslah bersifat nasional dimana proses produksi media dipusatkan di ibukota (bahkan peraturan pertelevisian, yang pada awalnya membolehkan stasiun TV swasta bersiaran dari daerah, kemudian diubah dan mengharuskannya bersiaran dari Jakarta sebagai pusat, dan dengan demikian menjadi nasional); 2. Media hanya diperbolehkan melakukan pemberitaan yang positif mengenai pemerintah. Kritik tetap boleh dilakukan, namun kritik haruslah disampaikan secara “konstruktif�; 3. Diterapkannya sensor yang ketat terhadap isi media, terutama untuk produk produk ilm dan televisi

4. Adanya pembredelan yang diterapkan pada media-media


20 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

yang mencoba melakukan fungsi kritik terhadap kebijakan pemerintah; 5. “Budaya telepon� yang dialami redaksi media dari unsur pemerintahan untuk menghalangi disebarkannya berita sensitif mengenai kebijakan pemerintah; 6. Pemberian izin pengelolaan media-media besar, khususnya televisi swasta, yang tampak sekali hanya diberikan kepada kroni rezim; 7. topik-topik pemberitaan yang umumnya bersifat seremonial. Pengendalian terhadap media semacam ini telah menempatkan rezim pemerintah dalam posisi yang sangat kuat atas wacana publik. Ini mengakibatkan informasi yang terkait dengan kepentingan publik tentang kondisi negara dan pemerintahan telah disaring sedemikian rupa dari yang sesungguhnya nyata. Maka ketika terjadi efek domino dari kegawatan ekonomi di Asia pada tahun 1997, misalnya, publik secara tiba-tiba disadarkan betapa kekuatan ekonomi Indonesia yang dibangun Orde Baru ternyata tidak tangguh untuk menghadapi ancaman ekonomi global. Penginformasian yang sebelumnya selalu disampaikan tentang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi segera menjadi paradoks dan bahkan ironi yang mengundang reaksi dan kesan sebagai suatu bentuk ketidakbenaran yang menyesatkan. Meski fungsi dan perannya diakui telah mengalami pemandulan secara sistematik, tetapi suka tak suka media turut dilihat sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terciptanya falsi ikasi tersebut Demokrasi dan demokratisasi adalah spirit nilai yang hendak dimenangkan melalui rangkaian peristiwa-peristiwa reformasi yang terjadi. Konsep-konsep seperti kesetaraan, transparansi, kebebasan, kedaulatan rakyat, good governance, menjadi terminologi impresif yang di dalamnya terlekatkan harapan terciptanya perbaikan keadaan Indonesia. Semua pengandaian dari adanya perubahan yang sedang dimenangkan pada saat itu hanya mengarah pada hasil bahwa keadaan di Indonesia akan menjadi lebih baik. Media yang bebas, kebebasan media ataupun kebebasan bermedia merupakan satu ekoran yang sentral dan penting dalam issue tersebut.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 21

Idealisme tentang media massa adalah pengandaian yang dinormati kan pada fungsi dan perannya untuk mewujudkan negara dan masyarakat yang kuat. Media diinginkan untuk menjadi watch dog atas praktek pemerintah dan jalannya pemerintahan. Pada kesempatan yang sama media mestilah mengungkap aspirasi publik berkenaan dengan bene it loss yang dialami sebagai impak dari berbagai kebijakan dalam pengelolaan negara. Media haruslah bekerja dengan prinsip-prinsip imparsialitas-obyektif, faktualitas dan aktualitas sebagai etos utama dalam kinerjanya. Dan diatas semua itu, media diangankan ada di posisi sentral dalam usaha mewujudkan perbaikan, pemberdayaan dan penguatan sosial, ekonomi, politik, hukum dan terutama kultural. Namun, idealisasi terhadap fungsi dan peran media massa semacam itu harus diakui sebagai sesuatu hal yang benar-benar baru akan diwujudkan dengan reformasi sebagai kendaraannya. Segera setelah perpindahan tampuk kekuasaan pada Mei 1998, situasi Indonesia ditandai oleh meluasnya eforia; bak kuda lepas dari kekangnya. Keadaan yang berubah drastis membuat kelompokkelompok dan kekuatan-kekuatan di masyarakat yang sebelumnya teredam seperti berebut muncul untuk menjadi pengaruh, pengarah maupun penentu tentang bagaimana demokrasi dan demokratisasi mestinya dipraktekkan. Kebebasan, mimpi yang diidamkan, cenderung benar-benar diwujudkan secara lugas, apa adanya dan semaunya. Sesuatu yang tak sesuai dengan kemauan rakyat, entah itu rakyat dalam arti luas maupun sempit, cenderung langsung mendapatkan respon yang reaktif. Media banyak menjadi sasaran dari maksud-maksud tersebut, entah menjadi alat yang dipaksa untuk menyuarakan aspirasi rakyat dengan cara mendudukinya, ataupun pengelolanya sendiri sibuk memuati medianya dengan beritaberita yang padat issue, terutama soal politik. Fase pasca peristiwa reformasi adalah masa kritikal dengan adanya tarik menarik kepentingan di antara kekuatan-kekuatan sosial-politik-kemasyarakatan di Indonesia. Manakala demokrasi dan demokratisasi harus dikatakan sebagai pengalaman baru untuk diwujudkan secara baik dan utuh friksi dan kon lik di antara kekuatan tersebut mengisi fenomena yang tak terhindarkan se-


22 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

bagai pengalaman harian masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun tak langsung. Kesemuanya itu mengisi muatanmuatan informasi di media yang kemudian menjadi terbuka, bebas dan mudah ditemukan. Di sisi lain, masyarakat umum seperti segera dibawa masuk ke dalam fenomena information lood yang sesungguhnya dengan banyaknya tema-tema baru yang dipublikasikan; tema-tema yang kritis, sensitif dan alternatif. Fase kritikal tersebut menciptakan arena dimana kerja dan kinerja media dalam mewujudkan fungsi dan perannya ternyata tak hanya mengundang kontribusi dari para pelaku dan pemerhati media. Masyarakat, melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya turut serta mengembangkan penafsiran dan penyikapan untuk diakomodasi sebagai bagian dari praktek kebebasan media dan kebebasan bermedia. Disinilah terjadi gesekan-gesekan ataupun kompromi-kompromi yang secara tak langsung turut mewarnai wajah media massa Indonesia hingga dewasa ini. Urgensi Kebutuhan Media yang bebas, kebebasan media dan kebebasan bermedia diyakini sebagai atmos ir prasyarat yang tepat untuk memungkinkan media menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Dalam perkembangan waktu jauh setelah reformasi, kebebasan yang diandaikan tersebut setidaknya telah mewujud dalam banyaknya bentuk publisitas yang beredar di ruang publik melalui beragam format media. Beragamnya materi dan muatan informasi itu tak hanya sebagai produk dari sumber-sumber yang legal, namun juga banyak yang datang dari sumber-sumber tak legal. Demikian juga entah yang dihasilkan dari proses kerja otentik dan orisinil, maupun merupakan reproduksi, translasi atau bahkan imitasi dari yang telah dibuat sebelumnya. Kesemuanya itu merupakan hal yang sangat dimungkinkan terjadi mengingat Indonesia dan reformasinya berlangsung di dalam suatu konstelasi global yang telah intens berada dalam era pasca industri. Sebenarnya fenomena information lood telah mulai dialami Indonesia pada dekade 80-an ketika DBS (direct broadcasting system) menjadi alat popular yang memungkinkan penggunanya


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 23

memperoleh informasi-informasi alternatif secara cepat dan langsung dari sumber-sumber di luar negeri. Namun inovasi-inovasi dalam teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi yang pesat pada dekade an dapat dilihat sebagai pemicu yang signi ikan dari digunakannya informasi global sebagai inspirasi, motivasi dan desakan-desakan dilakukannya perbaikan di Indonesia. Setelah reformasi, konstelasi global yang memfasilitasi terciptanya kapitalisasi dan memungkinkan lahirnya kekuatan-kekuatan kapital baru yang terjun sebagai pemain/pelaku/pengisi baru sehingga meramaikan bisnis media, telah mendorong penggelontoran informasi secara masif ke ruang publik. Industri (media) secara cepat dan pasti telah menjadi alasan dari menguatnya fenomena tersebut. Membanjirnya informasi di satu sisi memberi andil positif bagi pengkayaan wacana publik atas berbagai persoalan sekitar. Dari yang semula terbatas, publik kemudian memiliki banyak pilihan dan alternatif untuk menggunakan ketersediaan informasi yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga, dari yang dulunya cenderung hanya mendapatkan informasi dengan perspektif yang terbatas, publik kemudian dapat menggunakan sekaligus beberapa sumber yang berbeda untuk memperoleh gambaran lebih jelas atas sesuatu hal. Ketersediaan informasi yang variatif dan baru tentu sangat diharapkan dapat menguatkan dinamika kehidupan publik menjadi lebih berkembang, meningkat, dan dewasa. Namun ketersediaan informasi yang masif patut dicermati dan dikritisi dengan seksama. Alih-alih membangun yang baik, informasi yang banyak dan beragam dapat berakibat sebaliknya. Kebingungan barangkali merupakan respon psikologis yang paling sederhana ketika harus menentukan pilihan manakah dari informasi tersebut yang dapat diandalkan. Tetapi kebingungan dapat segera memasti menjadi satu keputusan ketika secara intens media menyodorkan rekomendasinya melalui repetisi dan persebaran info yang luas dan sistematik. Kecuali seseorang memiliki prinsip sikap dan pertimbangan yang tegas atau kritis, penggunaan rekomendasi yang tanpa ilter itu sangat berpotensi untuk membawa ke arah yang salah. Fenomena ini menjadi kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan ketika seolah-olah ‘yang lebih banyak adalah


24 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

yang benar’ menjadi kiblat common sense publik; sehingga, sesuatu yang banyak disampaikan di media, ramainya unsur publik yang bereaksi, dan pendapat umum yang terbentuk karenanya, menjadi kondisi yang menentukan ‘itulah yang terjadi’ atau ‘penyikapan yang sepatutnya diwujudkan’. Pencermatan terhadap media secara lebih intens diperlukan karena bekerjanya dua kepentingan secara simultan yang senantiasa menjadi paradoks, yakni kepentingan idealistik tentang fungsi dan peran media bagi publik serta kepentingan kapital yang menjadi basis operasi media. Kedua hal tersebut boleh jadi dapat bekerja sama secara harmonis, saling mengisi dan menguatkan. Tetapi kepentingan pertama hanya bisa terwujud jika media bekerja secara independen, non-partisan, imparsial-obyektif. Sedangkan kepentingan kedua justru mengikat semua orientasi produk media untuk berkiblat pada satu tujuan keuntungan inansial Semua informasi di ruang publik memang telah disiapkan sedemikian rupa untuk layak dikonsumsi. Kelayakan tersebut setidaknya mengandung pengertian bahwa substansi informasinya baru, bermanfaat, dan menarik bagi publik. Namun, orientasi kelayakan dimaksud telah juga menjadi alasan untuk membuat semua hal yang diinformasikan dikemas dengan baik (lihat Darmawan, 2007). Ini menimbulkan akibat bahwa semua hal yang ada di media seolah-olah adalah baik dan layak dikonsumsi publik. Sesuatu issue (terutama yang dilekatkan dengan kepentingan publik) adalah peluang untuk menggiring supaya sesuatu media dikonsumsi publik sehingga media tersebut akan memperoleh untung. Semakin sensasional suatu issue, semakin besar peluang media tersebut dikonsumsi. Silogisme sederhana ini akan berlanjut dengan: semakin besar institusi media, semakin permisif ia dengan tujuan keuntungan inansial Semakin banyak pemain media, semakin kompetitif persaingannya, dan semakin dependen mereka dengan tujuan tersebut semata-mata untuk menjaga survivalitasnya. Inilah yang menyebabkan asumsi tentang media yang bebas, kebebasan media dan kebebasan bermedia sebagaimana yang diangankan melalui reformasi tidak bisa dipahami bekerja dan terwujud dalam ruang kosong, untuk diterima secara naïf seolah-olah secara


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 25

alami ia menjalankan misi mulia yang pasti menimbulkan ekses publik ke kehidupan yang lebih baik. Tidak dengan maksud untuk tidak mempercayai media, namun harapan supaya media dapat memberdayakan publik (empowerment) semestinya dikawal dalam penerapannya sehingga tidak justru menciptakan ketakberdayaan (disempowerment) (lihat Heskin, 1991:68). Hal ini karena sekalipun kepentingan idealistik dapat lebih dimenangkan oleh suatu institusi media dalam kinerjanya, maupun telah banyak instrumen hukum pengatur media yang menjaga operasinya, namun terdapat persoalan laten yang tetap menempatkan produk media sebagai permasalahan krusial untuk senantiasa dicermati oleh publik. Berita, barangkali telah luas diyakini merupakan fakta yang disampaikan kepada publik sebagaimana yang terjadi. Sebagai produk utama, dan karena umumnya sebagai alasan suatu institusi media didirikan, berita menempati posisi vital bagi eksistensi media yang bersangkutan di ruang publik. Terhadapnya pula publik mengandaikan dapat memperoleh banyak hal: pengertian, pengenalan, pemahaman, pembelajaran tentang kehidupan sekitar. Berita, telah sedemikian rupa diyakini dan diterima sebagai pembukti dari apa yang terjadi. Tetapi pandangan bahwa berita adalah dan berisi kenyataannya itu sendiri patut untuk mendapat pelurusan. Terdapat sekian banyak hasil pengamatan yang mencoba memperbaiki asumsi umum terhadap berita. Molotch dan Lester (dalam Miller dan Williams, 1993:127), misalnya, mengatakan bahwa berita bukanlah gambaran dari dunia yang sebenarnya, tetapi lebih merupakan produk dari tindakan-tindakan mereka yang memiliki kekuasaan untuk menentukan pengalaman pihak lain. Sementara belasan tahun sebelumnya Golding dan Elliot (1979:21) telah memperingatkan bahwa media menyodorkan kenyataan semu melalui pemalsuan dari kenyataan obyektif dimana dengan cara kerja tertentu pemalsuan tersebut menjadi natural karena image dan penafsiran -atas yang diberitakan atau diinformasikan- diciptakan, dibentuk, dan dibina oleh kelompok ekonomi politik yang sedang berkuasa. Pandangan yang lebih gamblang dan lugas tentang mengapa publik patut waspada terhadap berita, dan dengan demikian media, dapat ditemukan dari pemikir komunikasi Universitas Glasgow Inggris


26 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

(1980:3) yang mengatakan bahwa berita bukan sekedar merupakan rangkaian fakta atau realitas di luar, tetapi merupakan hasil budaya dimana pelaporan dan pemaparannya tentang dunia dihasilkan mengikuti rangka interpretasi khusus. Berita, dengan demikian, adalah produk yang tidak alami, bukan yang sebenarnya terjadi. Berita dihasilkan dari suatu cara kerja yang menggunakan tafsiran atas suatu peristiwa yang diwartakan. Media (pewarta) adalah pihak yang melakukan interpretasi atas keterangan yang diperoleh dari sumber berita (lihat Hall, 1981). Ketika sumber berita itu sendiri sebenarnya telah melakukan penafsiran dari rangkaia peristiwa yang terjadi, maka segala apa yang ditemukan publik,melalui media sesungguhnya diterima sebagai hasil dari penafsiran yang bertingkat-tingkat. Karenanya, berita adalah ‘potret’, yang diabadikan menurut angle dan perspektif si ‘pemotret’. Semua teks berita, baik visual maupun tulisan, tidak terhindar dari cara dan hasil kerja tersebut, entah sekedar menyampaikan terjadinya suatu peristiwa atau –bahkan- memuatinya dengan opini. Manakala berita sebagai produk paling sentral dari semua alasan idealistik keberadaan media ternyata beroperasi secara berlawanan dengan idealisasi yang dilekatkan kepadanya, kita bisa berpikir bahwa produk media lainnya (non berita) jauh lebih bermasalah untuk menjadi referensi tentang kenyataan. Perhatian yang lebih besar terhadap efek (buruk) yang ditimbulkan dari kerja media bukan lah merupakan hal yang diskriminatif dan mengabaikan sumbangan baiknya. Sebaliknya, hal itu justru patut menjadi keharusan yang penting untuk senantiasa dikembangkan dari waktu ke waktu secara individual maupun komunal. Ini tak berlebihan mengingat media telah sedemikian rupa mengisi ruang publik kita (Golding, Murdock dan Schlesinger, 1986:120), melalui penyediaan sumber referensi, sehingga semestinya ia pun bertanggungjawab atas arah wawasan dan dinamika kehidupan yang terbentuk. Berbagai resolusi yang selama ini telah dimunculkan berkenaan dengan harapan supaya asumsi idealistik bagi publik untuk memperoleh pengertian, pengenalan, pemahaman dan pembelajaran persoalan dapat dipenuhi media, telah banyak dibebankan kepada media. Tetapi dengan melilhat cara kerja media


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 27

seperti yang dipaparkan di atas, resolusi tersebut menjadi perlu untuk kemudian diambilalih dan diupayakan oleh publik. Publik lah yang patut melengkapi dan memberdayakan diri sendiri untuk dapat secara bijak menyikapi media dan produknya secara lebih proporsional (lebih jauh dapat dilihat di artikel 111, CML). Basis Pengertian Efek yang ditimbulkan dari media adalah permasalahan yang menjadi basis gagasan perlunya publik memiliki keberdayaan atas media (literasi). Efek media menjadi permasalahan karena muatan media mampu menjadi stimuli atau pengaruh yang menggerakkan penerimanya melakukan sesuatu baik yang merupakan identi ikasi reproduksi, maupun imitasi dari yang disampaikan di media. Efek mewujud dalam bentuk sikap, tindakan, perilaku setelah seseorang berinteraksi dengan media, baik sebagai hasil dari proses pertimbangan yang hati-hati maupun yang sifatnya emosionalreaktif. Ketika wujud efek termanifestasikan dalam kehidupan publik, hal itu akan segera mengundang respon karena efek yang ‘diintrodusir’ media umumya selalu akan vis-Ă -vis dengan tatanan sosio-kultural yang sudah berlaku dalam kehidupan publik. Efek yang baik kemudian merupakan suatu pengakuan bahwa wujudnya harmonis dengan yang sudah berlaku. Sebaliknya, akan dikatakan buruk jika bertentangan atau deviatif. Tetapi kecuali benar-benar ekstrim dan secara faktual-empirik berakibat pada kerugian publik, kategori baik atau buruk itu sendiri bernilai relatif dan subyektif. Efek media memang merupakan permasalahan yang kompleks. Sejauh ini berbagai studi yang secara khusus mengamati efek media belum dapat dikatakan secara meyakinkan memberi bukti adanya pengaruh langsung kepada publik penggunanya (lihat Barker dan Petley, 2001). Beberapa temuan sejauh ini cenderung hanya menyodorkan sinyalemen bahwa perilaku deviatif seseorang dilakukan salah satunya dengan menggunakan apa yang disampaikan di media sebagai inspirasi. Asumsi efek yang kuat dari media melalui paradigma linier komunikasi massa, seperti yang disampaikan dalam teori jarum suntik, tetap tak dapat mengklaim adanya pengaruh langsung tersebut ketika secara empirik publik


28 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

membangun kehidupannya dengan menggunakan sekian banyak sumber referensi dan inspirasi. Ini berarti bahwa sesuatu sikap, tindakan atau perilaku muncul sebagai manifestasi dari sebab yang multi-faktor, baik yang sifatnya langsung maupun tak langsung. Tetapi di tengah kompleksitas tersebut efek media perlu spesi ik untuk disadari karena dari antara sekian banyak kemungkinan yang dapat menjadi sebab terciptanya sikap, tindakan dan perilaku, ‘realitas media’ adalah satu faktor yang paling bermasalah. Realitas ini dibentuk dengan cara penyampaian informasi secara berulang, luas dan masif melalui kerjasama antara penggunaan teknologi dan kekuasaan media dalam menentukan apa yang penting dan perlu untuk disebarluaskan. Teknologisasi bukan hanya berkenaan dengan perangkat keras. Sementara, sesuatu yang sedang ‘in’ di media akan menyodorkan kecenderungan sebagai permasalahan yang seolaholah sungguh menjadi bagian dari pengalaman publik secara konkrit dan langsung. Mengenai teknologisasi, setidaknya Ong (1982:82) pernah menyampaikan bahwa technologies are not mere exterior aids but also interior transformations of consciousness, and never more than when they a ect the word Contoh sederhana tentang realitas media ini setidaknya dapat ditemukan melalui penggunaan kata ‘yang’ sebagai awalan kalimat dalam bahasa Indonesia; kebiasaan yang salah menurut EYD tetapi mulai muncul dan banyak dipakai setelah reformasi hingga saat ini. Realitas media menjadi persoalan karena muatan media sesungguhnya merupakan materi simbolik, yang senantiasa mensyaratkan diberlakukannya tafsir supaya secara tepat dipahami setelah diperoleh maknanya yang relevan untuk kemudian disikapi secara bijak dan proporsional sesuai dengan pengalaman langsung dan riil dalam kehidupan publik. Realitas media itu bermasalah karena publik sesungguhnya tidak akan pernah bisa memperoleh kejelasan proses sosial secara utuh, aspek yang sangat penting untuk memahami hakikat masalah dari suatu peristiwa yang diwarta-informasikan (lebih jauh lihat Darmawan, 2007). Literasi media merupakan gerakan membangun kesadaran dan kemampuan publik untuk mengendalikan penggunaan media dalam memenuhi kebutuhannya. Kesadaran dan kemampuan itu


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 29

bukan berkenaan dengan keputusan memilih media, melainkan dengan materi yang dimuat dalam media. Gerakan ini diintrodusir oleh negara-negara maju seperti negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang telah mengalami kompleksitas wujud efek dalam kehidupan masyarakatnya sebagai hasil dari interaksi yang intens dengan media, informasi dan teknologi lanjut. Berbagai peristiwa yang secara langsung merugikan kepentingan publik telah menjadi salah satu alasan dikampanyekannya gerakan ini secara intens. Bahkan, materi literasi media telah menjadi bagian kurikulum pendidikan di Amerika (lihat Frau-Meigs dan Torrent, 2009). Meski persoalan efek itu sendiri senantiasa mengundang polemik dan perdebatan panjang, terutama untuk tidak dilihat sebagai hasil dari relasi kausal yang tunggal, gerakan literasi media telah luas diterima sebagai resolusi penting untuk menjadi salah satu cara mengawal kehidupan publik modern. Dalam kacamata konsep masyarakat sipil, literasi media merupakan jawaban dan kebutuhan yang tepat untuk menggerakan dinamika kehidupan publik yang berbasiskan nilai-nilai kultural. Literasi media, oleh karenanya, dipandang sebagai jalan keluar dalam membangun ruang kebebasan kultural publik, cara untuk menyikapi dominasi/ hegemoni kultural yang diin iltrasikan oleh media Pengupayaan untuk publik dapat berdaya di hadapan media merupakan perspektif yang dapat dianggap sebangun dengan konsep “audiens aktif� dalam komunikasi massa. Katz dan Lazarsfeld perumus teori Uses and Grati ication adalah tokoh pertama yang melalui penelitiannya menemukan simpul pengertian baru tentang audiens sehingga menjadi inspirasi dimunculkannya istilah audiens aktif tersebut. Audiens dilihat sebagai kumpulan individu yang melakukan aktivitas memilih, memaknai dan menggunakan informasi sesuai kebutuhannya; individu merupakan elemen kunci dalam transformasi dan inkorporasi informasi ke dalam pola-pola tindakan dan kepercayaan dalam kehidupannya sehari-hari (lebih jauh lihat Silverstone,1994). Perpektif tersebut juga menjadi wacana yang muncul dari temuan beberapa penelitian lain (liahat misalnya Palmer, 1986; Morley, 1992). Meskipun demikian publik yang berdaya tidak dapat dikerang-


30 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

kakan sepenuhnya dalam perspektif audiens aktif tersebut. Bahwa publik tak selamanya diam menerima, tetapi kreatif melakukan penafsiran dan pemaknaan atas informasi yang diterima dari media, merupakan hakekat perspektif yang mengakui harkat kemanusiaan yang dilahirkan dalam perbedaan. Akan tetapi konsep aktif yang dilekatkan kepada audiens menganduk pengertian yang problematik, terutama ketika preferensi kultural yang menjadi pilar interpretasi dipenuhi dengan wujud-wujud reproduksi budaya dominan. Penerapan asumsi audiens aktif masih harus mendapat kejelasan dari sisi berlakunya proses dan mekanisme sosial yang secar otentik membuka ruang keaktifan bagi seseorang dalam melahirkan pemaknaan yang berbeda (Silverstone, 1994). Maka yang lebih mendasar dalam kontek ini adalah adanya pengakuan bahwa publik bukan lagi semata-mata objek dalam komunikasi (media) patut menjadi semangat utama untuk mengembangkan literasi media, di mana penerapan atas “audiens aktif” kemudian harus dilakukan secara hati-hati dan konstekstual. Ini sekaligus menandakan bahwa rentang perspektif tentang publik yang aktif dan pasif sampai sekarang senantiasa masih aktual dan cukup absurb. Literasi media, sebagai terminologi yang muncul di era penggunaan tekologi elektronik dalam aktivitas media, awalnya memiliki pengertian yang beragam. Sebagai istilah yang cukup baru, ia juga kadang dimengerti sebagai salah satu varian literasi menurut tema persoalannya, seperti yang telah banyak dikenali dalam literasi ‘klasik’ membaca dan menulis, literasi komputer, dll. Usaha memperjelas lingkup pengertian literasi media telah dimulai sejak awal dekade 80-an melalui rumusan yang diintrodusir oleh UNESCO. Namun melalui satu konferensi di Amerika Serikat pada tahun 1992 yang khusus mendiskusikan persoalan ini, dihasilkan satu rumusan de inisi literasi media yang secara umum berlaku hingga saat ini Pengertian literasi media dirumuskan sebagai kemampuan “untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan ke dalam beragam bentuk” (Livingstone, 2003). Dibandingkan dengan literasi dalam tema-tema persoalan yang telah dikenali sebelumnya, literasi media memiliki karakteristik yang khusus. Pertama, literasi media muncul di tengah peradaban yang


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 31

ditandai dengan penggunaan teknologi lanjutan secara masif dalam komunikasi dan informasi; fase dimana publik telah familiar dengan urusan yang berbasiskan digitalisasi, konvergensi, multimedia dan semacamnya (lihat European Commission, 2007). Kedua, literasi yang dimaksud dalam konteks ini, sekalipun basisnya adalah pengembangan kemampuan, berfokus pada substansi dan muatan (simbolik) informasi, bukan pada keterampilan teknis (Livingstone, 2003). Ketiga, literasi media bersifat multi-dimensional (lihat Potter, 2001). Melihat pada karakteristik tersebut, literasi media patut dipahami sebagai kerucut kompleksitas persoalan yang muncul dari masyarakat yang telah melampaui era industri, masyarakat yang telah intens dengan aktivitas dan interaksi berbasiskan media dan informasi –tak hanya dalam format cetak, audio, dan audiovisual, tapi terutama yang telah terkonvergensi. Selain itu, literasi media juga mensyaratkan pondasi berupa kemauan aktif untuk melakukan bacaan atas media dengan senantiasa melibatkan bacaan atas kultur serta pengenalan teks dan teknologi yang memediasi komunikasi, dimana hal itu perlu senantiasa didasarkan pada kontingensi sejarah dan kultural dari relasi media dengan kognisi dan proses pengetahuan sosial yang menginterpretasikannya (lihat lebih jauh di Livingstone). Oleh sebab itu, mindset dan implementasi literasi media mestilah ditempatkan dalam –dan telah lebih dulu difasilitasi dengan- basis sosio-kultural yang kuat sebagaimana tipikal masyarakat pascaindustri. Media, informasi dan teknologi dengan demikian mestilah telah menjadi kebutuhan primer bagi publik untuk mulai mengembangkan literasi media. Intensitas terpaan media dan informasi yang tinggi akan cukup menjadi alasan bahwa literasi media perlu menjadi isu penting bagi publik. Ini karena tingginya intensitas publik yang terpapar materi simbolik berpeluang mengalami distorsi realitas akibat kekuatan media dalam merekayasa produknya. Produksi simbol yang telah sangat dependen dengan teknologi, baik sebagai alat maupun basis kreativitasnya, membuat makna simbol yang polisemik sangat berpotensi menjadi semakin kompleks. Teks dan konteks lantas menjadi kontingensi yang mutlak perlu untuk mensinergikan interpretasi dan pemahaman hingga lebih utuh.


32 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

Pada masyarakat modern, penafsiran bukan lagi dianggap sebagai produk otonomi-otoritatif, tetapi cenderung lebih diterima sebagai hasil discourse; mekanisme yang dianggap lebih demokratis dan apresiatif. ‘Membaca’ media tidak lagi aktivitas yang sederhana. Dibutuhkan pikiran kritis untuk men-decode informasi yang disampaikannya (lihat Baran, 2008). Membangun kesadaran dan pengendalian publik dalam penggunaan media, karenanya, merupakan upaya mengajak publik untuk memiliki kemampuan supaya secara kontinyu menyikapi dampak informasi yang diterimanya dengan cara melakukan penafsiran secara hati-hati, bertingkat dan komprehensif serta menggunakannya secara bijak terhadap isu yang relevan dengannya. Namun literasi media haruslah dipahami bukan sebagai ajaran, himbauan atau bahkan ajakan untuk menjadi antimedia, membuat stigmatisasi terhadap media, ataupun menciptakan hegemoni penafsiran atas muatan media, melainkan justru untuk lebih apresiatif terhadap media dan menempatkannya di posisi yang tepat dalam kehidupan publik (lihat artikel 380, CML). Oleh sebab dengan apresiasi, publik justru akan lebih berpeluang terlibat secara aktif dalam proses komunikasi bermedia -untuk tidak menjadi voiceless-, terutama untuk lebih berdaya dalam manifestasi hak mengekspresikan diri dan partisipasi kulturalnya.

Idealisasi Penerapan Literasi media perlu diwujudkan melalui perencanaan, mekanisme, struktur dan pemantauan yang jelas. Ketika orientasi gerakan literasi media ini memiliki kesan yang kuat untuk memperbaiki kualitas kultural kehidupan publik, penerapan literasi media diyakini hanya baik dan tepat jika diikatkan dalam suatu proses permanen, reguler dan sinambung. Demikian juga ketika orientasi hasilnya dimaksudkan untuk menjadi kekuatan sosial-kultural yang ekstensif, sasaran sosialisasi literasi media perlu diarahkan mulai pada kelompok komunitas berusia dini. Pendidikan dan sekolah dilihat sebagai entitas dan habitat yang sesuai dengan orientasi tersebut. Tetapi untuk mendukung visi penerapan literasi media


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 33

tersebut, sistem yang dibangun untuk memfasilitasi tujuan dan pelaksanaan pendidikan itu sendiri menjadi kunci penting guna menciptakan simbiosis yang saling menguatkan. Pendidikan dan sekolah merupakan arena yang mendukung karena disana terjadi aktivitas yang terstruktur di dalam proses pembelajarannya. Pengandaiannya, aktivitas tersebut ditandai dengan discourse dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang sesuatu hal, tingkat yang diharapkan lebih dari sekedar pengenalan (tahu). Pemahaman dinilai utama karena dari situ seseorang dipercaya dalam membuat keputusan tindakan atas dasar pengetahuannya. Kontingensi menjadi dasar dari terbentuknya pemahaman tersebut. Berbeda dengan pengenalan, atau tahu, yang umumnya diintrodusir melalui cara imitasi, reproduksi atau kepatuhan. Disourse memfasilitasi pengungkapan dan pertukaran pengalaman, persepsi dan derajat penerimaan subyek-subyek atas realias multi-dimensional yang menjadi bagian langsung dari kehidupannya. Maka sistem yang memfasilitasi pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah mestilah merupakan sistem yang mampu memfasilitasi terciptanya pencapaian-pencapaian tersebut (lihat Kubey, 1998). Sistem yang tertutup, yang hanya menekankan tolok ukurnya pada pengajar/fasilitator, bukanlah sistem yang tepat untuk kebutuhan tersebut. Namun proses pembelajaran yang diwujudkan di sekolah tidak bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaan publik di wilayah domestiknya. Hal ini karena literasi media sendiri tidak cukup tepat dikatakan sebagai materi yang diajarkan. Ketika konsep pengajaran cenderung lebih dimengerti sebagai aktivitas linier, dari pengajar ke yang diajar, keberhasilan dari proses tersebut justru akan banyak melibatkan –dan barangkali mensyaratkan- diberlakukannya instrumen-instrumen penekan lain. Padahal pembelajaran media literasi akan bersifat sangat elastis setidaknya karena dua hal, pertama, literasi media akan banyak berkenaan dengan penafsiran dan pengertian. Kedua, target literasi media adalah terbentuknya kesadaran dan kemampuan diri. Oleh karenanya, pembelajaran literasi media justru akan sangat problematik jika ditempuh melalui ‘instruksi penafsiran’ dan pengawalan secara ketat. Diperlukan pe-


34 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

ran serta keluarga secara aktif sebagai supervisi untuk mendukung munculnya literasi ini karena ia merupakan arena paling dekat dalam implementasi praksisnya. Diperlukan peran serta keluarga secara aktif sebagai supervisi untuk mendukung munculnya literasi ini karena ini merupakan arena paling dekat implementasi praksisnya. Keluarga, sebagai wilayah domestik, merupakan tempat dimana rutinitas yang berisi cara, kebiasaan maupun reason dalam penggunaan media telah terintegrasi dalam pola kultural yang embedded dan terorganisir (lihat Fiske, 1987). Proses pembelajaran perlu diawali dengan mengungkap lebih dulu pengalaman-pengalaman yang dimiliki subyek berkenaan dengan media. Observasi menjadi langkah awal yang penting terutama untuk mengidenti ikasi bagaimana persepsi dan sikap subyek terhadap muatan media dikenali, diterima, atau dikenai, baik yang sifatnya langsung maupun tak langsung. Dari sharing ini fasilitator baru dapat memiliki bahan guna menyusun program membangkitkan kesadaran subyek serta pengertiannya atas muatan media. Karena tolok ukur proses pembelajaran ini tidak dapat diterapkan secara general untuk semua kluster publik, program tersebut mestilah disesuaikan dengan tingkatan kemampuan dan pencapaian subyek yang menjadi sasaran. Hal ini karena discourse yang dibangun untuk mencapai resolusi berupa pengertian secara konstruktif dan sikap apresiatif terhadap media akan senantiasa melibatkan lingkup referensi dan kompleksitas interpretasi yang bertingkat, sesuai dengan strata usia, pendidikan, keluasan interaksi sosial, ataupun kemampuan individunya. Discourse menempati fase proses yang sangat menentukan dalam pembelajaran literasi media. Secara ideal, discourse mensyaratkan kesetaraan antara fasilitator dengan subyek belajar. Namun secara empirik, pembelajaran literasi media sangat membutuhkan seorang fasilitator yang telah memiliki pencerahan lebih dulu berkenaan dengan pengetahuan media dan persoalannya. Discourse yang hendak dijalankan bagaimanapun perlu memiliki kejelasan arah dan koridor sehingga muara tujuannya tercapai, meski tidak berarti menemukan akhir. Ini karena discourse literasi media akan melibatkan pendiskusian pokok masalah secara terstruktur dalam


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 35

aspek-aspek berita, hiburan, fenomena industri media, institusi media, organisasi produksi dari kehidupan media itu sendiri serta pendiskusian issue yang diakibatkan oleh cara kerja media seperti kekerasan pornogra i fantasi dan sebagainya yang membutuhkan kompetensi fasilitator dalam pewacanaannya (lihat misalnya Potter, 2007; Baran, 2008). Walaupun begitu, literasi media tidak mengenal asumsi bahwa seseorang yang lebih paham persoalan media adalah juga seorang yang telah memiliki literasi media. Selaras dengan itu, literasi media juga bukan pengukur untuk menilai benar salahnya penafsiran atas muatan media. Sebagaimana telah disampaikan, literasi media adalah upaya untuk membawa pada kesadaran dan kemampuan pengendalian publik dalam menggunakan media. Pengetahuan saja dapat dikatakan tidak cukup untuk membuat seseorang memiliki literasi. Pengetahuan mempunyai nilai penting tetapi bukan yang terutama dalam konteks ini. Membangun pengertian atas simbolsimbol yang dimuat media serta menyadarinya sebagai konstruksi dan realitas media, yang tidak sama dengan realitas sosial, merupakan pokok yang menjadi fokus dari segenap pengupayaan literasi media. Hal itu menjadi fase krusial karena merupakan basis dari ekspresi dan partisipasi publik. Discourse, dengan demikian, adalah mekanisme untuk menemukan/mempertemukan hakikat pemahaman dari muatan media untuk menjadi basis sikap, tindakan dan perilaku dalam keterlibatannya di kehidupan publik. Mekanisme ini adalah lokus untuk mengungkap interprestasi dan pemaknaan alternatif sebagai hasil negotiated-meaning publik yang dapat berfungsi sebagai kontestasi atas bekerjanya ideologi dominan yang diletakan melalui produk-produk simbolik media (lihat Silverstone, 1994). Pengertian yang diupayakan melalui proses tersebut dibingkai dalam satu pertanyaan besar yakni bagaimana mempertanyakan teks media. Semua yang ditemukan sebagai produk media, yang dimuat dalam media, adalah teks, baik itu dalam bentuk tulisan maupun visual. Sebagai produk simbolik, pemahaman atas teks tidak dapat dilakukan secara eksklusif, melainkan harus dibangun melalui pemahaman interteks. Hal ini karena interteks mem-


36 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

fasilitasi kontingensi sehingga pengertian atas muatan media tersebut dapat menjadi komprehensif-holistik-inklusif. Mengingat pengertian dari produk-produk simbolik secara aksiologis datang dari konvensi, konsensus menjadi satu mekanisme untuk menyepadankan tafsir. Maka ketika konsensus hanya terbentuk melalui interaksi, interelasi, pertukaran sosio-kultural dalam kehidupan publik, keberadaan komunitas menjadi proyeksi utama referensi dan sekaligus manifestasi literasi media. Atas dasar ini bisa dikatakan bahwa keseluruhan bangunan pengertian yang perlu dimiliki publik itu merupakan hasil discourse yang bersifat community based consensus (lihat Hobbs, 1998). Literasi media dengan demikian patut senantiasa dibasiskan pada komunitas dan konsensus secara aktif dan timbal balik. Ini sekaligus menjadi reason mengapa didalam pembelajaran literasi media justru tidak boleh tercipta penafsiran secara instruktif atau rekomendatif dari fasilitator, bangunan pengertian yang disosialisasikan, karena nota bene itu hanya mengulang apa yang sudah dilakukan oleh media. Suatu persoalan cukup krusial dari yang hendak dibangunkan dalam diri publik melalui literasi media adalah kesadaran akan adanya dan berlakunya konstruksi-konstruksi kultural dan sosial yang selama ini menetap dalam cara kerja inteprestasi dan pemaknaan atas berbagai produk simbolik. Negotiated-meaning seperti yang disampaikan Stuart Hall barangkali menghasilkan makna berbeda dari yang diintrodusir melalui media. Namun makna baru tersebut bisa saja berupa pengulangan jika sudut pandang melihat akar masalah tidak berubah secara mendasar. Pengulangan cara penafsiran, meski menghasilkan bahasa berbeda atau bahkan kontradiktif, sejatinya dapat disebut sebagai wujud pelestarian dari asumsi-asumsi yang menjadi ‘syarat-otot’ konstruksi kultural dan socsal kehidupan publik. Hal ini merupakan persoalan yang sungguh laten terutama ketika area praksis literasi media berada di wilayah domistik (keluarga) dimana disitu terjadi kontestasi paling intens dalam praktek pengaturan fungsi dan peran seksual yang telah sedemikian rupa menormalkan asumsi-asumsi stereotip dalam penggunaan media (kontrol, style, pilihan) dan bentukbentuk simbolik yang dimuat dalam media (lihat Silverstone,


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 37

1994). Media telah menjadi alat representasi paling intens pembentukan citra, posisi, karakteristik perempuan, terutama, dalam realitas sosial secara tersubordinasi dari laki-laki. Walaupun jender bukan faktor penentu dasar, namun issue tersebut selalu muncul dalam persoalan tentang media dan lebih problematik karena representasi yang direproduksinya, dibandingkan dengan issue ras atau kelas. Ini karena representasi yang direproduksi tak lebih sebagai konstruksi kultural dan bukan re leksi atas dunia sebenarnya. Oleh karenanya, discourse yang ekstensif tidak selalu berarti menjanjikan munculnya kesadaran baru atas makna simbol dan pengertian yang lebih korektif ketika sistem yang bekerja dalam pengintepretasian tidak digugah untuk mengenali bias realitas, yang diarahkan oleh stereotip-stereotip untuk menaturalisasi, mengedepankan serta menegaskan perbedaan atau ketaksetaraan jender melalui kekuatan-kekuatan sosial dalam kehidupan publik sebagai politik representasi untuk menciptakan marginalisasi (lihat Barker, 1999). Melihat kompleksitas dalam idealisasi pembelajaran literasi media, manifestasi yang diharapkan darinya dengan demikian hanya akan terwujud melalui suatu proses dengan rentang waktu yang panjang. Publik perlu terkondisi dalam suatu situasi yang cukup intens guna terbangunnya pewacanaan dan internalisasi yang didiskusikan. Namun publik berusia dini dipandang sebagai entitas yang lebih potensial menjadi katalisator terwujudnya kesadaran dan penyikapan yang bijak atas media dan muatannya di masa depan, dimana pengertian-pengertian yang nantinya diharapkan mengendap adalah pengertian yang sifatnya mendalam dan organik dengan prinsip-prinsip yang permanen, bukan pengertian yang instan dan sesaat. Ini karena manifestasi dari pembelajaran literasi media diproyeksikan menjadi kekuatan modal sosial yang vital bagi keberlangsungan kehidupan publik sebagai masyarakat sipil yang berdaya, oleh sebab publik memiliki nilai-nilai sosio-kultural-hitorisnya sendiri yang memancang sebagai eksistensi orisinalitasnya yang otentik. Meski senantiasa dinamis karena perkembangan jaman, tetapi penyikapan yang konstruktif dengan kondisi publik adalah sesuatu yang secara bijak perlu dimanifes-


38 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

tasikan. Maka literasi yang dimiliki kemudian dapat secara arif dan proporsional difungsikan sebagai salah satu kontrol atas praktek media karena satu alasan: media secara intensif menggunakan ruang publik. Meskipun tidak diproyeksikan untuk menjadi kekuatan politik, namun advokasi dapat menjadi pilihan ketika resolusi untuk merealisasikan hak ekspresi diri dan hak partisipasi kultural perlu diperjuangkan. Melalui peluang hukum seperti melakukan class action atau keberadaan lembaga pengontrol seperti Komisi Penyiaran upaya tersebut dapat disalurkan. Epilog Dapatlah dikatakan bahwa visi kebebasan yang meletik sejak reformasi adalah sekaligus resiko yang harus dihadapi publik Indonesia dalam bentuk potensi kerusakan melalui melimpahnya informasi yang dihasilkan media. Hal ini semakin kritikal ketika asumsi kebebasan yang dipercayakan kepada media diterima secara patuh dan taken for granted serta tidak dikawal dengan kemampuan publik dalam mewaspadai anasir dan peluang media yang dengan sangat mudah melakukan perekayasaan realitas. Publik yang tidak waspada tentang hal ini dapat segera terjebak untuk memunculkan reaksi secara langsung karena menganggap bahwa kenyataan dari persoalan itu adalah seperti yang disampaikan oleh media; sesuatu yang dikehendaki oleh media dengan segenap kekuatan yang ada di belakangnya. Pada gilirannya, ketidakwaspadaan kolektif semacam itu justru akan menjadi penghalang dan mencederai harapanharapan mulia reformasi yang dengan susah payah diperjuangkan. Sebaliknya, visi kebebasan dalam demokrasi juga tidak pernah mengakui bahwa individu ataupun publik sungguh-sungguh memiliki kebebasan penuh dalam mengekspresikan diri dan partisipasi kulturalnya semau apa yang dipikirkan atau ditiru. Tatanan yang ada akan senantiasa menjadi ilter untuk mempersepsikan ekspresi kebebasan itu, terutama ketika manifestasinya melibatkan ruang publik dan mempengaruhi suasana umum kehidupan publik. Dalam konteks ini, dinamika sosial-kultural bukanlah realitas yang hendak dina ikan Namun ketika aspek aspek tersebut telah memiliki akar historis yang kuat, sesuatu yang kemudian dimunculkan sebagai


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 39

perspektif pembaharuan mestilah dikon irmasi melalui proses discourse untuk mengundang konsensus, dan bukan semata-mata di adopsi begitu saja untuk dinyatakan sebagai modern atau maju. Kiranya literasi media merupakan katarsis untuk mewujudkan penguatan dan kekuatan masyarakat sipil sebagaimana yang diangankan. Tetapi pembelajaran dan proses yang diperlukan untuk membangun literasi media mustilah diwujudkan melalui suatu kerangka kerja secara terstruktur, sistematis, sistemik dan kontinyu yang bersifat jangka panjang atau bahkan ever lasting. Ini karena kemampuan yang diandaikan dalam literasi media bukan bersifat praktis, melainkan kemampuan yang datang dari keterlibatannya dalam discourse yang intens, kompleks dan bertingkat. Sehingga dari proses tersebut pengertian yang dimiliki, kesadaran yang diperoleh, dan juga sikap, tindakan serta perilaku yang diekspresikan dalam partisipasinya konstruktif bagi keberlangsungan kehidupan publik. Jika demikian, maka gagasan ideal tentang masyarakat sipil yang berdaya akan terbentuk.


40 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA

Daftar Pustaka Baran, Stanley J. 2008. Introduction to mass communication: Media literacy, and culture. Fifth Edition. New York: McGraw-Hill. Barker, Martin dan Julian Petley. 2001. Ill effects: The media/violence debate. Second Edition. London: Routledge. Darmawan, Josep Joedhie. 2007. “Mengkaji ulang keniscayaan terhadap berita (televisi)”, dalam Pappilon H. Manurung (ed), Komunikasi dan kekuasaan. Yogykarta: FSK Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (hal 257-282) European Commission. 2007. Study on the current trends and approaches to media literacy in Europe inal report. Diunduh dari http://ec.europa.eu/ avpolicy/media_literacy/docs/studies/study.pdf [22-10-2009] Frau-Meigs, Divina and Jordi Torrent (Eds). .2009. Mapping media education policies in the world: Visions, programmes and challenges. New York: The United Nations-Alliance of Civilizations in co-operation with Grupo Comunicar. Diunduh dari http://unesdoc.unesco.org/ images/0018/001819/181917e.pdf [23-10-2009] Glasgow University Media Group. 1980. More bad news. London: Routledge & Kegan Paul. Golding, Peter and P. Elliott. 1979. Making the news. London: Longman. Golding, Peter, Graham Murdock and Philip Schlesinger. 1986. Communicating politics: Mass communications and the political process. New York: Holmes & Meier. Hall, Stuart. 1981. “The determination of news photographs”, dalam S. Cohen & J. Young (eds), The manufacture of news: Social problems, deviance and the mass media. Revised edition. London: Constable. (hal 226-343) Hoobs, Renee. 1998. “Seven great debates in the media litreracy movement”, dalam Journal of Communication. Vol 48, No 1, hal 16-32. Heskin, Allan David. 1991. The struggle for community. Colorado: West View Press. Kubey, Robert. 1998. “Obstacles in the development of media education in the United States”, dalam Journal of Communication. Vol 48, No 1, hal 58-69. Livingstone, Sonia. 2003. The changing nature and uses of media literacy. London: Media@lse, London School of Economics and Political Science (LSE). Diunduh dari http://www.lse.ac.uk/collections/media@lse/pdf/ Media@lseEWP4_july03.pdf. [6-12-2009] Miller, D. and Williams K. 1993. “Negotiating HIV/AIDS information: Agendas, media strategies and the news”, dalam J. Eldridge (ed), Getting the message: News, truth and power. London: Routledge. (hal 126-142)


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 41 Ong, Walter J. 1982. Orality and literacy: The technologizing of the word. London: Methuen. Potter, W. James. 2001. Media literacy. Second Edition. California: Sage Publications. Center for Media Literacy (CML), http://www.medialit.org (Diakses pada tanggal 24 Juli 2009)


42 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 43

U

P

L

M I

Y. Bambang Wiratmojo

MEDIA TELEVISI merupakan media yang jamak dijumpai pada setiap rumah tangga di Indonesia. Sampai dengan tahun 2007, tercatat populasi pesawat televisi tidak kurang dari 40 juta unit, dengan pemirsa lebih dari 200 juta orang (Dharmanto, 2007). Hal tersebut diperkuat dengan data BPS tahun 2006 yang menyebutkan bahwa 85,86% penduduk Indonesia mempunyai kemampuan mengakses media televisi. Angka tersebut relativ tinggi, dibandingkan dengan aksesibilitas penduduk Indonesia pada media radio yang hanya sebesar 40,26% dan pada media cetak (koran/majalah) sebesar 23,46%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penduduk Indonesia masih menjadikan media televisi sebagai media utama dalam mendapatkan informasi maupun hiburan sehari-hari. Televisi mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena perangkat ini mampu memunculkan efek audio-visual secara prima yang tidak didapatkan pada media komunikasi yang lain. Tentu saja keunggulan tersebut sangat memanjakan pemirsanya, karena segala informasi yang


44 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

tertayang pada layar televisi dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna oleh pemirsa tanpa terlalu mengernyitkan dahinya. Era pertelevisian Indonesia dimulai pada tahun 1961, saat pemerintah Indonesia memutuskan pembangunan proyek media massa televisi kedalam proyek pembangunan Asian Games ke-4 kala itu. Dalam tempo sepuluh bulan mega proyek tersebut dipersiapkan. Tepat 17 Agustus 1962 TVRI menyelenggarakan siaran percobaan dengan acara HUT Proklamasi Indonesia ke-17 dari halaman Istana Merdeka Jakarta dengan pemancar berkekuatan 100 Watt; kemudian dilanjutkan siaran terbatas secara langsung dengan acara pembukaan Asian Games ke-4 dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Dua puluh Oktober 1963 berdasarkan Keppres No. 215/1963 resmi berdiri Yayasan TVRI; hal ini sekaligus mengesahkan TVRI sebagai lembaga berbadan hukum dan berhak untuk menayangkan iklan (www.tvri. co.id). Semenjak itulah lambat tapi pasti siaran televisi menyedot perhatian masyarakat Indonesia yang masih „miskin“ hiburan saat itu. Setelah lebih dari 25 tahun “memonopoli“ pertelevisian di Indonesia, TVRI mendapatkan pesaing dengan bermunculannya stasiun-stasiun televisi swasta diakhir tahun 80an dan awal tahun 90an. Masuknya Indonesia di era stasiun televisi swasta tidak lepas dari sepak terjang bisnis keluarga Cendana dan kroninya pada saat itu. RCTI mengudara secara terestrial di Jakarta tahun 1989; disusul dengan SCTV pada tahun 1990 yang ber-home base di Surabaya pada saat itu; dan TPI pada tahun 1991. Stasiun televisi swasta yang muncul selanjutnya adalah ANTV tahun 1993 ber-home base di Lampung, selanjutnya INDOSIAR di tahun 1995 (Sudibyo, 2004). Sepanjang tahun 2000-2001 lahir dan beroperasi lima stasiun televisi baru, yaitu Metro TV, TV7 (menjadi Trans7 tahun 2006), Lativi (menjadi TVOne tahun 2008), dan GlobalTV. Dari 10 stasiun swasta nasional Metro TV dan TVOne berfokus pada content berita (news), sedangkan yang lain berfokus entertainment dengan positioning “televisi keluarga“. AGBNielsen Indonesia dalam releasenya pada medio Desember 2009 mengatakan bahwa khalayak pemirsa Indonesia masih menjadikan media televisi sebagai media utama untuk mendapatkan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 45

hiburan. Pemirsa televisi Indonesia mengahabiskan 25% waktunya menyaksikan acara hiburan. Alokasi waktu yang digunakan untuk menyaksikan berita hanya 11%, sedangkan acara olah raga hanya 4%. Maka tidaklah mengherankan jika audience share televisi di Indonesia masih “dikuasai” oleh stasiun-stasiun televisi hiburan, seperti RCTI, SCTV, Indosiar, dan TPI; sedangkan news station, seperti TVOne dan Metro TV hanya mendapatkan share pemirsa 3,66% dan 1,92% saja. Tabel 1: Audience Share* No

Station

Audience Share (%)

1

RCTI

17.78

2

SCTV

14.78

3

Trans

10.42

4 5 6 7 8 9 10

IVM TPI Trans7 GlobalTV ANTV TVOne MetroTV

13.24 12.86 8.12 9.5 4.8 3.66 1.92

11

TVRI

0.58

*AGBNielsen Desember 2009

Rating adalah Segalanya Banyaknya stasiun televisi yang menggarap content hiburan keluarga memunculkan program-program acara yang nyaris sama antara satu stasiun televisi dengan yang lain. Jika satu model program pada satu stasiun televisi dianggap sukses meraih jumlah pemirsa (baca ber-rating tinggi), maka model program tersebut akan diproduksi dan ditayangkan oleh stasiun televisi lainnya. Alih-alih ingin mendapatkan tayangan variatif dan menghibur, pemirsa lebih banyak menjumpai tayangan-tayangan monoton dan membosankan. Misalkan tayangan yang disebut reality show; program ini layaknya sebuah laporan “investigasi“ dimana umumnya pada acara tersebut dikisahkan seorang “client“ mempunyai masalah pribadi dengan


46 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

seseorang dan berharap lewat program ini mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut. Umumnya masalah yang diangkat berkaitan dengan percintaan, perselingkuhan, pertikaian keluarga, kehilangan anggota keluarga, hilang kontak dengan kekasih. Sebut saja program, Realigi, Jail, Orang Ketiga The Series, dan Termehek-mehek yang diklaim sukses oleh Trans TV; Cinta Patut Diuji, Pacar Usil Selebritis, Hari yang Aneh, Mati Gaya, dan Piss Man di ANTV; Scary Job, Tamu Tak Terduga, dan Ups Salah di Trans7; Mata-mata, Minta Tolong, Masihkah Kau Mencintaiku? di RCTI; Playboy Kabel, Pacar Pertama, Back Street, Cinta Lokasi (Cinlok), Mak Comblang, Cinta Monyet, Pemberian Misterius, Main Hati, dan Cari Ibu Tiri – Cari Ayah Tiri (Cit Cat) di SCTV; Curhat Dengan Ajasmara di TPI. Bahkan Global TV menciptakan „Trilogi“ reality show, yang diberi judul Seriality atau Serial Reality yang terdiri dari Happynya Bulan Madu, Selibrity dan Kasus, Barang Bekas Selebritis; yang ditayangkan setiap hari Senin sampai Jumat jam 11 siang, selain reality show Bukan Sinetron, Impianku, dan MTV Usil. Setidaknya setiap stasiun televisi mempunyai dua hingga tiga program reality show. Jenis program kedua yang umumnya hampir selalu dipunyai oleh setiap stasiun televisi adalah program live music. Dalam program ini umumnya ditampilkan beberapa group band yang sedang populer, panggungnya di-setting indoor maupun outdoor, panggung didisain interaktiv dan sangat dekat dengan penontonnya, siaran dilakukan secara live sehingga dapat melibatkan interaksi dengan pemirsa di rumah atau dimanapun mereka berada dengan menggunakan media telepon dan internet yang memanfaatkan fasilitas chatting melalui instan messager ataupun Facebook, atau video tele-converence. Sebut saja ada Dahsyat di RCTI, DeRings di Trans TV, Inbox dan Meriah Total (Metal) di SCTV, Mantab di ANTV, Fansbook dan Musik Asik di TPI; I Love You Full Indonesia di Indosiar. Jenis program ketiga yang selalu bisa ditemukan di layar televisi Indonesia adalah Infotainment atau Gossip Show. Setidaknya setiap stasiun televisi mempunyai dua hingga tiga judul acara infotainment setiap harinya. Sebut saja Insert (Informasi Selebriti), Insert Pagi, Insert Sore, dan Insert Investigasi di Trans TV; Obsesi (Obrolan Sekitar Selebriti), Obsesi Weekend dan Genie di Global TV; I-Gosip Pagi, I-Gosip Siang, dan I-Gosip News di Trans7; Plus Minus dan Go


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 47

Show di TPI; Go Spot, Kabar-Kabari, Cek & Ricek, dan Silet di RCTI; Was-Was, Halo Selebiti, Status Selebriti, Hot Shot di SCTV; Espresso dan Espresso Weekend di ANTV; KISS (Kisah Seputar Selebriti) Pagi dan KISS Sore di Indosiar. Bahkan Metro TV dan TVOne yang merupakan news station-pun mempunyai Just Alvin dan Expose yang dikategorikan sebagai acara gosip selebriti. Program Berita Berdasarkan analisis isi yang dilakukan pada Program Acara Televisi pada sepuluh website stasiun televisi Indonesia dalam kurun waktu satu minggu pada bulan Oktober 2009, diketahui bahwa terdapat 743 tayangan berita dalam satu minggu. Kategori tayangan berita adalah program yang paling banyak muncul dalam jenis program yang lain; kategori tersebut meliputi berita hard news, soft news, feutures, maupun dokumenter, namun talk show tidak termasuk dalam kategori ini. Metro TV dan TVOne berkontribusi paling banyak dalam menyajikan tayangan berita, karena dua stasiun tersebut masuk pada kategori news station, masing-masing sebanyak 329 dan 80 tayangan. Umumnya pada setiap stasiun televisi menayangkan dua jenis program berita, yaitu berita umum dan berita kriminal. Berdasarkan analisis KPI (2009) program-program berita kriminal cenderung lebih banyak mengandung unsur-unsur pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) – Standar Program Siaran (SPS), misalkan dalam kategori kaidah jurnalitik, masih banyak pencampuran fakta dan opini sehingga justru mengaburkan fakta berita yang ada. Unsur dramatisasi berita lewat narasi yang berlebihan padahal kasusnya hanya peristiwa sepele, pencopetan misalnya. Sedangkan pada aspek visual tidak jarang kamera wartawan sengaja diarahkan secara frontal pada wajah para tersangka pelaku kejahatan, atau visualisasi pada para korban kecelakaan, pembunuhan, yang berdarah-darah, sehingga menimbulkan kesan menakutkan, jijik, seram pada pemirsanya. Program dan Film Anak Tayangan terbanyak kedua adalah Film dan Program Anak


48 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

yaitu tayangan kategori tersebut meliputi ilm iksi ilm kar tun ilm dokumenter yang khusus disasarkan pada anak anak Trans7 (52), Global TV (51) dan ANTV (50) berkontribusi paling banyak menyajikan tayangan-tayangan tersebut. Trans7 mampu menampilkan program anak yang „sangat Indonesia“ karena secara keseluruhan merupakan produksi anak negeri dan topiknya pun berkisar kebiasaan anak Indonesia sehari-hari yang ditampilkan dalam dokudrama. Sedangkan pada Global TV dan ANTV, program anak didominasi oleh ilm iksi impor dari amerika Jepang dan Korea. Hanya program Sketsa BOLU (Bocah Lucu) (Global TV), Anak Pemberani dan Star Kid Ya Iyalaah! (ANTV) yang merupakan produksi dalam negeri. Program tayangan anak berjenis ilm kartun atau animasi impor merupakan program yang dominan disuguhkan oleh stasiun-stasiun televisi Indonesia. Sekalipun berkisah tentang kehidupan anakanak, namun bila disimak secara seksama banyak sekali unsur kekerasan disuguhkan pada ilm ilm tersebut Umunya latar be lakang cerita ilm ilm tersebut bernuansa persaingan tidak sehat kejahilan, balas dendam, perkelahian dengan penggunaan senjata tajam atau senjata api (KPI, 2009) Sinetron Tayangan terbanyak ketiga adalah Sinema Elektronik atau Sinetron, yang meliputi sinetron serial dalam negeri dan impor. Seluruhnya ada 147 tayangan sinetron; sinetron anak tidak termasuk dalam kategori ini. SCTV adalah stasiun televisi yang paling banyak menampilkan sinetron Indonesia, yaitu 45 tayangan. Sedangkan Indosiar berkontribusi 44 tayangan dalam seminggu baik sinetron Indonesia, Korea maupun Cina. Sepanjang tahun 2009 KPI melayangkan 22 surat teguran (lihat Tabel 3) untuk kasus tayangan sinetron. Kecenderungan teguran yang disampaikan mempermasalahkan unsur kekerasan isik dan verbal: seperti menampar, mencekik, memukul dengan benda keras, menendang, menusuk, mengumpat, dialog yang merendahkan martabat perempuan atau orang cacat. Yang memprihatinkan justru visualisasi kekerasan tersebut banyak muncul pada sine-


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 49

tron-sinetron yang bernuansa religi, seperti Di Balik Jilbab Zaskia, Sakina, Mualaf, Inayah, Muslimah (Indosiar). Film Tayangan terbanyak keempat adalah Film yang meliputi ilm iksi Indonesia maupun impor dan ilm televisi atau FTV Secara ke seluruhan terdapat tayangan ilm ilm anak dan FTV anak tidak termasuk dalam kategori ini TPI menayangkan ilm dalam se minggu yang didominasi oleh tayangan ilm televisi produksi dalam negeri Sedangkan SCTV menayangkan ilm dalam seminggu yang juga didominasi oleh tayangan ilm televisi Indonesia

Infotainment Tayangan terbanyak kelima adalah Infotainment. Walau banyak dikecam bahkan diharamkan secara Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, tayangan infotainment masih cukup mendominasi layar televisi Indonesia. Secara keseluruhan terdapat 120 tayangan dalam seminggu. SCTV paling banyak menampilkan tayangan ini, yaitu 21 tayangan dalam seminggu. SCTV setidaknya mempunyai empat judul infotainment yang masih aktif, dimana dalam satu hari terdapat tiga judul infotainment yang ditayangkan secara bergantian. Sedangkan Trans TV mempunyai satu judul infotainment tetapi ditayangkan dalam tiga segmen waktu: pagi, siang, dan sore. Di penghujung tahun 2009 kasus perseteruan selebriti Luna Maya dan wartawan infotainment cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Tak kurang wartawan senior Indonesia, Bambang Harimurti pun harus berdebat dengan Ilham Bintang, yang merepresentasikan wartawan infotainment, di televisi berkaitan dengan esensi jurnalisme dalam liputan infotainment. Metode peliputan infotainment seringkali dikeluhkan narasumber, wartawan infotainment sering melanggar privacy , tidak mengindahkan hak untuk tidak menjawab, menyiarkan materi siaran tanpa ada kon irmasi atau persetujuan dan memelintir statement dari narasumber. Variety Show Variety Show merupakan tayangan yang lazim ditemui pada


50 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

stasiun televisi hiburan. Rentang kategori tayangan ini cukup beragam diantaranya kuis atau permainan, talk show dengan materi ringan (misal: Bukan 4 Mata, Dorce Show, Makin Malam Makin Murah), sketsa komedi, dan kuliner. Dalam seminggu terdapat total 97 tayangan variety show; Trans TV menampilkan 21 tayangan menempati urutan pertama terbanyak, disusul kemudian Trans7 menampilkan 20 tayangan. Dua stasiun yang tergabung dalam Para Group ini memang banyak menampilkan tayangan variety show sebagai acara unggulan. Kuis Missing Lyric, Ceriwis Pagi Manis, Kuliner: Ala Chef, Extravaganza, merupakan tayangan-tayangan uggulan di Trans TV; sedangkan Trans7 mempunyai variety show unggulan Bukan 4 Mata, Dorce Show dan Opera Van Java. Program acara variety show mendapatkan „hujan“ surat teguran pada tahun 2009 (lihat Tabel 3), setidaknya 32 surat teguran dilayangkan pada para penyelenggara stasiun televisi. Episode “Sumanto, mantan pemakan mayat“ membuat tayangan Empat Mata terhempas dari layar kaca Tran TV karena dianggap menampilan peristiwa sadisme, yang menampilkan seseorang yang memakan kodok hidup-hidup (pada episode tersebut). Walaupun tidak berselang lama Trans TV kembali menampilkan variety show yang sama yang bertajuk Bukan 4 Mata, yang sebetulnya hanyalah imitasi dari acara Empat Mata yang dibalut dengan kata „bukan“. Variety show Curhat Bareng Anjasmara (TPI) juga dihentikan oleh KPI karena banyak menyuguhkan kekerasan verbal; setali tiga uang dengan Makin Malam Makin Mantap (ANTV) yang dihentikan penyiarannya karena dianggap banyak menyajikan dialog yang vulgar dan mengarah pada unsur porno. Reality Show Reality Show merupakan tayangan terbanyak ketujuh di layar televisi Indonesia, yaitu 90 tayangan dalam seminggu. Tayangan ini merupakan genre baru di Indonesia, dan cukup banyak mendapatkan perhatian pemirsa televisi. Trans TV menampilkan 20 tayangan reality show dalam seminggu. AGBNielsen menobatkan Termehekmehek sebagai salah satu tayangan ber-rating tinggi sepanjang tahun 2009. Sedangkan Global TV menampilkan 19 tayangan dalam


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 51

seminggu. Reality show menjadi salah satu acara unggulan bagi stasiun yang tergabung dalam MNC Group ini, dengan program khusus Seriality atau Serial Reality. Reality show adalah acara yang banyak dipertanyakan “realitasnya“ (Reality show yang Bukan Real pada (www.kpi.go.id). Pada penampilannya acara ini pun banyak menyajikan kekerasan verbal maupun isik dan ekploitasi kemiskinan Maka tidak meng herankan jika program acara ini “memanen” 1113 pengaduan pemirsa televisi di tahun 2009. Program Olah Raga Tayangan olah raga merupakan tayangan terbanyak kedelapan di layar televisi Indonesia, yaitu sebanyak 88 tayangan. Trans7 menyajikan 24 tayangan dalam seminggu. Sepak bola (Liga Inggris, Liga Champion) dan olah raga otomotif (Motor GP, Formula 1) merupakan program olah raga unggulan stasiun televisi ini di setiap akhir pekan. Sementara Metro TV menempati posisi kedua terbanyak dalam menampilan tayangan olah raga; bedanya Metro TV umumnya hanya menyajikan berita-berita olah raga bukan dalam bentuk siaran langsung sebuah even olah raga layaknya Trans7. Tayangan sepak bola masih menjadi tontonan yang disukai oleh pemirsa Indonesia di tahun 2009, terutama jika even tersebut melibatkan partisipasi kesebelasan tanah air (AGBNielsen, 2009). Musik Tayangan terbanyak kesembilan di layar kaca Indonesia adalah Musik, sebanyak 71 tayangan dalam seminggu. Seperti dikemukakan pada bagian awal, pentas musik live yang melibatkan partisipasi penonton di pentas maupun pemirsa di rumah melalu teknologi komunikasi yang sedang in di kalangan anak muda, seperti telepon seluler dan internet yang memanfaatkan fasilitas chatting, Facebook, video tele-conference menjadi tren tayangan stasiun-stasiun televisi Indonesia. SCTV menampilkan 16 tayangan musik dalam seminggu dengan Inbox yang ditayangkan pagi hari, dan Metal yang ditayangkan sore hari. Trans7 dan ANTV masingmasing menampilkan 12 tayangan musik dalam seminggu. Trans7


Stasiun TV

Program News

Sport

Infotainmet

Musik

Film

Reality Show

Sinetron

Film/Prog. Anak

Variety Show

RCTI

33

7

19

11

13

15

27

3

5

TransTV

39

0

20

7

22

20

16

0

21

SCTV

73

0

21

16

31

9

45

0

0

INDOSIAR

30

2

14

0

22

0

44

12

15

TPI

38

0

8

4

48

5

0

35

8

Trans7

49

24

18

12

3

7

0

52

20

ANTV

49

19

5

12

0

0

0

50

9

TVOne

80

16

5

1

0

13

0

0

6

MetroTV

329

20

1

3

1

2

0

0

2

GlobalTV

23

0

9

5

2

19

15

51

11

TOTAL

743

88

120

71

142

90

147

203

97

*Bulan Oktober 2009 – pengolahan data program acara pada website stasiun televisi

52 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

Tabel 2: Jenis Tayangan Stasiun Televisi Selama Satu Minggu*


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 53

lebih banyak menampilkan tangga lagu favorit dan pemutaran klip musik, sedangkan ANTV mengkombinasikan pertunjukan live musik dan penampilan tangga lagu unggulan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai institusi monitoring media penyiaran menerima 3085 pengaduan pemirsa mengenai ketidaklayakan materi siar televisi pada tahun 2008. Jumlah tersebut meningkat tajam hingga 8098 pengaduan pada tahun 2009. Jumlah tersebut merupakan pengaduan masyarakat secara individu maupun kelompok kepada KPI lewat e-mail, website, telepon, sms, surat, dan tatap muka langsung. Jumlah tersebut belum termasuk pengaduan-pengaduan yang masuk lewat KPID-KPID di 27 propinsi di Indonesia. Berdasarkan kategori yang ada, diantaranya pengaduan terhadap program reality show terdapat 1113 kasus, program show sebanyak 342 kasus, program infotainment terdapat 163 kasus. Selebihnya, pengaduan ditujukan pada program-program acara lain seperti sinetron, proses perizinan penyiaran, dan sejumlah persoalan kelembagaan. Sepanjang tahun 2009 setidaknya KPI pusat telah melayangkan 128 surat teguran dan himbauan kepada lembaga penyelenggara siaran televisi yang isi acaranya telah melanggar UU No. 3 tahun 2002 Penyiaran serta P3 dan SPS KPI. Sebanyak 99 surat teguran ditujukan pada masing-masing stasiun televisi nasional. Dua puluh delapan surat himbauan disampaikan pada seluruh penyelenggara siaran televisi (secara kolektif), dan satu surat himbauan kepada Departemen Komunikasi dan Informasi. Program acara variety show merupakan program terbanyak yang mendapatkan teguran dan himbauan, yaitu 32 surat teguran/himbauan; disusul dengan sinetron 22 surat teguran/himbauan (www.kpi.go.id). Tayangan Iklan Membahas content televisi, tentu tidak akan lengkap jika tidak membahas iklan yang berseliweran di dalamnya. Belanja iklan Indonesia tahun 2009 menembus angka Rp 48,5 trilyun, meningkat 16 persen dibandingkan tahun 2008, dan peningkat belanja tersebut terlihat pada semua media. Televisi mendapatkan alokasi belanja iklan paling tinggi, yaitu Rp 29 trilyun, sekitar Rp 16 trilyun


Stasiun TV

Program

TOTAL

News

Infota inment

Musik

Film

RCTI

2

1

2

0

0

5

0

0

4

1

15

TransTV

1

1

0

2

3

1

0

0

5

0

13

SCTV

0

0

1

1

0

3

0

0

3

2

10

INDOSIAR

0

0

0

3

0

9

0

1

0

0

13

TPI

1

0

0

4

0

0

1

0

6

0

12

Trans7

1

0

0

0

0

0

0

1

5

0

7

ANTV

1

0

0

0

0

1

0

0

5

0

7

TVOne

3

0

0

0

0

0

1

0

0

1

5

MetroTV

4

0

0

0

0

0

0

0

0

2

6

GlobalTV

0

0

1

2

1

3

0

0

4

0

11

TVRI

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

TOTAL

13

2

4

12

4

22

2

2

32

6

99

* (KPI, 2009)

Reality Film/Prog. Variety Sinetron Religi Iklan Show Anak Show

54 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

Tabel 3: Jumlah Surat Himbauan/Teguran Pelanggaran UU Penyiaran*


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 55

pada koran, dan lebih dari Rp 1 trilyun pada majalah dan tabloid. Alokasi waktu tayang iklan di televisi pun naik 5 persen dari tahun 2008. Total durasi iklan yang tertayang di tahun 2009 adalah lebih dari 21.000 jam atau setara dengan 57 jam perhari. Sedangkan total durasi program adalah 202.901 jam selama tahun 2009, ratarata terdapat sekitar 555 jam program per harinya. Sehingga dalam setiap satuan waktu tayang program acara televisi sepuluh persennya adalah tayangan iklan (Kompas, 19 Januari 2010). Sementara sepanjang 2005 – 2008 terdapat 346 kasus pelanggaran iklan yang ditangani oleh Badan Pengawas Periklanan (BPP), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Jika diambil rata-rata terdapat 58 kasus pelanggaran iklan setiap enam bulan. Sedangkan sepanjang bulan Januari – Mei 2009 jumlah pelanggaran meningkat 50 persen, yaitu 43 kasus resmi ditetapkan melanggar Etika Periklanan Indonesia (EPI), 45 kasus masih dalam proses pengkajian. Dari total 88 kasus tersebut, bentuk pelanggaran terbanyak adalah pada penggunaan kata-kata superlatif, dengan total 31 kasus (PPPI, 2009). Pentingnya Media Literacy Masyarakat masih menganggap media televisi adalah media yang mampu memuaskan kebutuhan mereka akan hiburan dan informasi. Sadar atau tidak, tayangan-tayangan televisi sudah mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat menggunakan isi media sebagai salah satu bahan bersosialisasi dengan lingkungannya, dari diskusi kaum terpelajar di kampus yang mendiskusikan panasnya isu politik negara, hingga pergunjingan gossip artis oleh ibu-ibu di perkampungan. Televisi sebagai hiburan merupakan ”nilai” dan bagian dari industri kebudayaan kapitalis. Seturut dengan penyajian tayangan-tayangan yang mampu menimbulkan ”kesenangan dan rasa nyaman” bagi pemirsanya, industri kebudayaan ini berusaha mengkamu lasekan kekerasan kekerasan yang mereka sajikan Hal tersebut muncul pada beberapa tingkatan: pada tingkatan produk (hiburan) yang mampu mempengaruhi pemirsanya untuk konsumtif; dan pada tingkatan struktural dimana industri kebudayaan ini mampu mengontrol fungsi peraturan dan per-


56 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

undangan, dan berusaha mengharmonisasikannya dengan kepentingan sistem kapitalis (Adorno dalam Taylor and Harriss, 71: 2008). Contoh kasus pada diundurnya pemberlakuan ketentutan �televisi berjaringan� yang seharusnya dimulai pada 28 Desember 2009 lalu, dimana setiap stasiun televisi swasta nasional yang sekarang ini ada, harus bersinergi dengan stasiun-stasiun televisi daerah untuk mengelola isi siarannya. Stasiun televisi nasional harus bekerja sama dengan televisi daerah jika menginginkan siarannya bisa ditangkap di daerah setempat. Semangat dasar dari televisi berjaringan adalah terpenuhinya aspek keragaman kepemilikan dan materi acara, serta menumbukan kearifan lokal. Pengunduran pemberlakuan aturan televisi berjaringan ini, merupakan merupakan bentuk ketidakberdayaan pemerintah pada kekuatan konglomarasi media di Indonesia (Tempo Interaktif, 19 November 2009). Alih-alih kekurangan modal untuk membangun infrastruktur televisi berjaringan di daerah dan repotnya memohon persetujuan dengan para pemagang sahamnya, sebetulnya ini merupakan bentuk keangganan stasiun televisi nasional berbagi kue iklan dan kebijakan isi medianya dengan stasiun-stasiun televisi di daerah (Kompas.com, 26 Januari 2010). Memang tidak semua tayangan di layar kaca televisi Indonesia buruk dan harus dibuang, masih ada Laptop Si Unyil (Trans7) yang menggambarkan keceriaan dan kretivitas anak Indonesia, Asal Usul (Trans7) yang mampu memberikan wawasan pada anak-anak tentang dunia lora dan fauna di tanah air program talk show Kick Andi (Metro TV)yang sangat menghibur dan menyajikan kejadiankejadian di balik hard news yang menginspirasi kita semua, dan tentu masih ada yang lain. �Bijak dalam bermedia� adalah kata kunci kemenangan pemirsa dalam menghadapi gempuran kekerasan yang disajikan dalam acara televisi. Kemampuan media literacy sangat dibutuhkan dalam era komunikasi saat ini. Media literacy atau media kemampuan menangkap dan menginterpretasikan pesan yang ditransmisikan oleh media, dan kemampuan menyimpulkan, menganalisa, dan memproduksi pesan bermedia (Namle, 2009). Setidaknya ada delapan hal yang harus kita sadari saat kita bercengkrama dengan media (Pungente, 1989):


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 57

1. Semua media adalah konstruksi. Apa yang ditayangkan media bukanlah representasi dunia yang sesungguhnya. Media memproduksi pesan dengan perencanaan yang seksama dengan mempertimbangan berbagai faktor yang menguntungkan baginya. Media literacy berusaha mendekonstruksi dan melihat realitas di balik itu semua. 2. Media mengkonstruksi realitas. Media bertanggung jawab pada apa yang pemirsa pahami tentang lingkungannya. Sebagian besar pemahaman pemirsa tentang realitas lingkungannya didasarkan pada apa yang mereka lihat dan dengar dari pesanpesan media, yang sebetulnya sudah dirancang sedemikan rupa oleh industri kebudayaan tersebut. 3. Pemirsa menegosiasikan pemahamannya dengan media. Media menyuguhkan hal-hal yang selama ini pemirsa pahami sebagai sebuah realitas, dan kita “menegosiasikan� pemahaman kita seturut dengan kebutuhan kita. Ketika kita sedang gelisah kita mencari hiburan dalam media, kita cenderung mencari informasi-informasi yang meneguhkan pemahaman kita akan sesuatu, yang sebetulnya sudah kita amini. Kita akan cenderung menolak informasi-informasi yang selama ini tidak kita setujui atau tidak sesuai dengan apa yang kita anut. 4. Media mempunyai implikasi komersial. Media literacy berusaha memberikan penyadaran bahwa apa yang disajikan media dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan komersial, bagaimana media meramu isi, teknik produksi, dan distribusi isinya. Sebagian besar produk media adalah untuk kepentingan bisnis yang didasarkan atas pertimbangan untuk meraih keuntungan ekonomi. 5. Isi media mengandung pesan-pesan yang berideologi tertentu. Apa yang diproduksi media pada hakekatnya adalah iklan-iklan yang membujuk kita untuk lebih konsumtif, dan membuat kita tidak kritis. 6. Media mempunyai implikasi sosial dan politik. Media mempunyai pengaruh besar pada kekuasaan politik dan perubahan sosial. Mungkin kita masih ingat bagaimana penderitaan seorang Prita Mulyasari mampu menggerakkan kata hati


58 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

jutaan masyarakat Indonesia yang merasa “senasib-seperjuangan” di dalam sistem hukum Indonesia yang amburadul (Tempo Interaktif, 29 Desember 2009). Atau kita masih bagaimana Metro TV dan TV One berlomba-lomba “memoles” bos-bos mereka yang bertarung pada Musyawarah Nasional Partai GOLKAR VIII 2009. Mereka juga saling menjatuhkan satu sama lain demi memperebut kursi kekuasaan partai berlambang pohon beringin tersebut (Wardhana dalam Koran Tempo, 7 Oktober 2009) 7. Bentuk dan isi media serupa-sebangun. Marshall McLuhan menyatakan bahwa, setiap media mempunyai cirinya sendiri dan memodi ikasi isinya seturut cirinya tersebut Kita akan menjumpai isi pesan media yang sama (ingat adanya kesamaan jenis progran televisi saat ini: infotainment, panggung musik, reality show), tetapi mereka berupaya membuat kesan dan mencari simpati pemirsa dengan berbagai cara sesuai dengan karakteristik media tersebut. 8. Setiap media mempunyai bentuk estetika yang unik. Media televisi mempunyai kekuatan audio-visual yang memudahkan kita mencerna isi informasi, media radio mem-punyai kelebihan mengembangkan imajinasi kita, koran dan majalah mampu mengasah kepekaan emosi dan intelektualas kita. Dengan memahami faktor-faktor diatas setidaknya kita akan lebih bijak dalam mengkonsumsi informasi dari media televisi kita. Selayaknya kita yang sudah melek media juga berusaha memberikan penyadaran tersebut pada orang-orang disekitar kita. Selalu mendapingi anak-anak kita saat menyaksikan acara televisi adalah cara tepat membekali anak-anak kita untuk memenangkan “pertarungan imajinasi” atas media televisi. Walaupun KPI sudah memberikan arahan agar setiap acara televisi menampilkan kategori acara di pojok layar televisi kita (Dewasa, Bimbingan Orang Tua, Segala Usia), namun sering kali ketentuan itu diabaikan oleh penyelenggara siaran televisi, atau mereka lalai menempatkan materi siar yang tidak tepat untuk ditonton anak-anak kita pada jam tayang anak-anak.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 59

Pemahaman melek media juga sudah seharusnya menjadi bagian dalam kurikulum pembelajaran anak dan remaja di sekolah secara resmi di Indonesia, karena pemahaman ini akan menjadi bekal mereka seumur hidup, dimana juga akan mempunyai pengaruh yang sangat pada generasi yang akan datang. Dengan mengenalkan proses produksi media secara sederhana, atau menganalisa pesan tayangan televisi, mengajak mereka memproduksi pesan media; setidaknya memberikan gambaran pemahaman kepada mereka bagaimana seluk-beluk dunia media yang sesungguhnya. Mengajak orang-orang di lingkungan sekitar kita untuk selalu kritis dan mempertanyakan isi dan maksud pesan media, juga merupakan cara yang tepat untuk membuat mereka melek terhadap media. Mendorong mereka untuk berani mengadukan pada KPI atau LSM media watch jika mereka atau orang lain merasa dirugikan oleh isi media, merupakan pembelajaran kritik berani menyatakan hak asasi kita. Langkah-langkah kecil ini niscaya akan membentuk sebuah langkah besar “kesadaran bermedia� di Indonesia. Kesimpulan Kemampuan melek media merupakan kebutuhan krusial pada era komunikasi saat ini, karena setiap saat kita berinteraksi dengan media massa. Media Literacy atau media kemampuan menangkap dan menginterpretasikan pesan yang ditransmisikan oleh media, dan kemampuan menyimpulkan, menganalisa, dan memproduksi pesan bermedia. Dalam berinteraksi dengan media hendaknya kita harus sadar, bahwa: semua media adalah konstruksi, media mengkonstruksi realitas, pemirsa menegosiasikan pemahamannya dengan media, media mempunyai implikasi komersial, isi media mengandung pesan-pesan yang berideologi tertentu, media mempunyai implikasi sosial dan politik, bentuk dan isi media serupa-sebangun, dan setiap media mempunyai bentuk estetika yang unik. Kemampuan melek media hendak juga disebarkan pada orangorang di sekitar kita, baik di rumah, di lingkungan tempat tinggal, juga di lingkungan akademik.


60 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA

Daftar Pustaka AGBNielsen Media Research. anting.pratiwi@ind.ddb.com. Support Data - TV Lokal. 9th December 2009. AGBNielsenMediaResearch(December2009).AGBNielsenNewsLetter.Padahttp:// www.agbnielsen.net/Uploads/Indonesia/AGBNielsenNewsletterDec09-Ind. pdf Last accesse: 15 Januari 2009, 10.51 WIB Dharmato, Bernadus Satriyo (Harian Kompas, 3 Agustus 2007). Perlunya TV Digital di Indonesia Komisi Penyiaran Indonesia. (2009). Reality Show yang Bukan Reality. Pada: http://www.kpi.go.id/?etats=detail&nid=1713. Last accessed: 27 Januari 2010. 13.24 WIB Komisi Penyiaran Indonesia. (2009). Rekap Teguran dan Himbauan 2009. Pada: http://www.kpi.go.id/?etats=detail&nid=1106. Last accessed: 27 Januari 2010. 13.34 WIB Komisi Penyiaran Indonesia (2009). Laporan Tahunan KPI Tahun 2008. Pungunte, John. (1989). Media Literacy Key Concepts. Pada: http://www. media-awareness.ca/english/teachers/media_literacy/key_concept.cfm. Last accessed 29 Januari 2010. 13.27 WIB NAMLE (National Association for Media Literacy Education). (2009). Media Literacy De inision Pada http www namle net media literacy de initions Last accessed Januari WIB

Sudibyo, Agus (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakrta: LKiS

Kompas Nielsen Belanja Iklan Indonesia Tembus Rp Triliun Pada: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/19/13394066/ Nielsen:.Belanja.Iklan.Indonesia.2009.Tembus.Rp.485.Triliun. Last accessed 29 Januari 2010. 09.19 WIB Taylor, Paul A., Harris, Jan Ll. (2008). Critical Theories of Mass Media: Then and Now. Meidenhead Berkshire: McGraw-Hill Education Biro Pusat Statistik (BPS) (2007). Akses Terhadap Media Masa. Pada http:// www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id subyek=27&notab=3514 Januari 2010 13.10 Sejarah TVRI http://www.tvri.co.id/sejarah.php 14 Januari 2010 13.41 PPPI. (2009). BADAN PENGAWAS PERIKLANAN (BPP) PPPI : Pengurus baru periode 2008-2012 & Tren Pelanggaran. Available: http://pppi.or.id/ Pengurus-baru-periode-2008-2012-and-tren-pelanggaran.html. Last accessed 29 Januari 2010. 09.35 WIB Tempo Interakf Televisi Berjaringan Mundur Stasiun Lokal akan Class Action . Pada: http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/19/ brk,20091119-209209,id.html. Last accessed 29 Januari 2010.11.49 WIB


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 61 Kompas. (2010). SCTV Keluhkan TV Berjaringan. Pada: http://oase.kompas. com/read/2010/01/26/23594784/SCTV.Keluhkan.TV.Berjaringan. Last accessed 29 Januari 2010. 11.59 WIB Tempo Interakf. (2009). Prita Mulyasari Divonis Bebas. Available: http://www. tempointeraktif com hg fokus ks id html. Last accessed 29 Januari 2010.

Wardhana, Veven Sp. (2009). Keberpihakan Televisi dan Kepercayaan Publik. Koran Tempo, 07 Oktober 2009 TVRI. (2010). Latar Belakang Berdirinya TVRI. Pada: http://www.tvri.co.id/ sejarah.php. Last accessed 15 Desember 2009. 13.29 WIB


62 PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 63

L T

M D M

L

T

K

MC Ninik Sri Rejeki

Media Literasi dan Arti Pentingnya bagi Masyarakat MEDIA LITERASI dapat dipahami sebagai sebuah konsep yang berbicara tentang cara-cara masyarakat mempertanyakan apa yang ditonton, dicermati, dan dibaca dari media. Dengan demikian masyarakat dapat melakukan konsumsi terhadap isi media secara kritis dan cerdas. Mereka dapat memiliki semacam kepekaan untuk mendeteksi adanya propaganda, kepentingan tertentu, atau bias dalam sebuah tayangan. Kepekaan itu juga mencakup hal-hal yang terkait dengan sejauh mana pengaruh struktural dalam sebuah tayangan, seperti pengaruh kepemilikan media dan pemilik modal dalam pesan-pesannya. Idealnya, media literasi juga mengarahkan masyarakat sebagai pencipta sekaligus produser pesan-pesan media. Artinya bahwa masyarakat dapat memberikan batasan tayangan mana yang pantas disuguhkan dan mana yang tidak, sehingga ada aktivitas transformasi proses-proses konsumsi media ke dalam proses-proses aktif


64 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

dan kritis. Kalau menggunakan terminologi kognitif dalam proses menghayati sesuatu, maka masyarakat perlu mindful dalam mengkonsumsi media. Mindfulness terjadi ketika seseorang dapat memberikan perhatian pada sesuatu dengan menempatkan pada sebuah situasi atau konteks dan dapat mengkritisi dalam banyak perspektif. Kemampuan ini jelas memerlukan adanya media edukasi, dalam bentuk pendidikan nonformal semacam pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat yang dilakukan oleh lembaga independen, perguruan tinggi, atau lembaga swadaya masyarakat. Sebagai contoh yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sebagaimana yang diacu oleh KPI, dalam UU No. 32 tahun 2002, disebutkan bahwa penyiaran Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dengan melandaskan diri pada asas manfaat, adil, dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggungjawab yang bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa serta menumbuhkan industri penyiaran. Demikian pula dengan advokasi media literasi bagi ibuibu rumah tangga yang diselenggarakan oleh Masyarakat Peduli Media bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta (UAJY, UII, UMY, UPN, dan STPMD). Pentingnya media edukasi dalam konteks media literasi dapat dipahami, karena pada tataran yang paling dasar, media literasi merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh media massa yang buruk. Wirodono (2006:140, 143) mengemukakan tiga kategori khalayak yang rentan terhadap pengaruh buruk media, yakni anak-anak, remaja, dan kaum ibu. Pada anak-anak, pengaruh itu terutama terletak pada perkembangan otak, emosi, sosial, dan kemampuan kognitif. Semakin sering anak-anak menonton televisi dengan tema kekerasan akan mendorong anak memiliki persepsi yang sama dengan apa yang mereka tonton. Pengaruh pada anak-anak ini jelas meresahkan orangtua, terutama kaum ibu, seperti yang dirasakan oleh ibu-ibu peserta pendidikan media literasi yang diselenggarakan oleh MPM bekerjasama dengan perguruan tinggi (UAJY) di Wilayah Tambakbayan, Babarsari. Dari catatan fasilitator pendidikan, contoh


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 65

kekhawatiran itu adalah pengaruh tayangan kekerasan pada anakanak yang sering mengambil bentuk yang tidak disadari oleh orangtua, namun berpotensi ditonton oleh anak-anak. Tidak hanya itu, dampak tayangan yang berbau seks dan mistis terhadap anakanak juga menjadi kekhawatiran dari para ibu peserta pendidikan media literasi. Pada remaja, berbagai tayangan sinetron dengan tema remaja cenderung mengeksploitasi kehidupan remaja hanya dari satu sisi. Kedaan ini menyebabkan remaja tidak bisa mampelajari realitas kehidupan yang sesungguhnya (Wirodono, 2006: 144). Sementara itu, pengaruh pada kaum ibu, pengaruh buruk televisi lebih terletak pada kemampuannya dalam membangun perilaku konsumtif para ibu, karena mereka merupakan sasaran potensial untuk iklan yang menjajakan berbagai produk bagi ibu-ibu. Komoditas ini dikemas dalam bentuk tayangan sinetron, infotainment, dan aspek domestik lainnya, seperti kuliner, dan sebagainya (Wirodono, 2006:146). Tidak hanya itu, penting bagi para ibu untuk mengkritisi tayangan televisi yang banyak menampilkan perempuan dalam dominasi cara pandang patriarkhi. Banyak tayangan televisi yang menampilkan perempuan dalam wilayah domestik, sehingga membentuk gambaran bahwa citra perempuan yang baik adalah yang beraktivitas disekitar wilayah domestiknya. Selebihnya adalah tampilan perempuan sebagai sosok yang bersifat biologis, yakni dengan fokus kecantikan wajah, keindahan rambut, tubuh yang seksi dan bahasa tubuh yang sensual. Kalau media massa dibatasi dalam representasi yang berwujud televisi, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa diperlukan media literasi untuk televisi? Wirodono (2006:157) mengemukakan, pentingnya membaca, mengkritisi, menilai, menghakimi, dan memaklumi media televisi Indonesia adalah terkait dengan persoalan ketidakmatangan media tersebut. Ketidakmatangan ini berpotensi mengeksploitasi, membohongi masyarakat dengan tayangan-tayangan yang disajikannya. Ada yang mengatasnamakan selera masyarakat atau permintaan pasar, namun sesungguhnya semua itu dibuat atas selera produsen untuk kepentingan industri media. Sebagai catatan bahwa yang terlibat dalam produksi


66 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

memang tidak hanya terdiri dari televisi sebagai organisasi media, dalam industri banyak elemen yang terlibat, katakan misalnya pihak rumah produksi yang menyediakan program televisi. Untuk tayangan yang bertolak dari kepekaan produsen ini, tengok saja misalnya tayangan di bulan romadhon. Meski tampak sebagai tayangan religius untuk mengisi kesucian bulan tersebut, namun ujung-ujungnya mencerminkan selera produsen yang berkisar pada sinetron-sinetron yang mengumbar kebencian, dendam, perebutan harta waris yang tertangkap dari ungkapan verbal maupun nonverbal dari tokoh-tokohnya yang sesungguhnya tidak layak tayang di bulan suci. Fenomena semacam ini terjadi di hampir seluruh televisi swasta di Indonesia. Ada indikasi keseragaman dalam tayangan mereka. Tayangan yang mengeksploitasi selera rendah khalayak. Bukan tak mustahil hal ini merupakan untuk mempertahankan agar penonton tak mampu mematikan televisinya atau mengganti saluran televisinya. Selain itu, aspek lain yang terlibat adalah iklan. Iklan adalah ibarat darah yang menghidupi stasiun televisi (Wirodono, 2006:89). Acara televisi yang menduduki rating tertinggi tentu saja akan mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari pemasang iklan. Dengan demikian, meskipun sebuah tayangan sama sekali tidak mendidik, namun karena mendatangkan uang yang melimpah dari iklan akan tetap dipertahankan. Persoalan kemudian yang muncul ketika disadari pentingnya media literasi bagi masyarakat adalah bagaimana kita dapat memiliki perspektif yang komprehensif dalam menyoroti tayangan televisi dan memberikan kemampuan media literasi bagi masyarakat. Persoalan ini bisa dijawab dengan mecoba menjelaskannya dalam dua lingkup kajian makro dan mikro untuk menyoroti tayangan televisi. Tayangan Televisi dalam Lingkup Kajian Makro-mikro Kajian makro-mikro yang dimaksud dalam tulisan ini bersumber dari dua teori dalam pemikiran kritisisme kultural, yaitu kajian l\ kultural dan ekonomi politik. Dua teori ini tidak sekedar dipahami sebagai dua teori yang sama-sama berakar dari Marx, namun dipahami pula sebagai teori-teori yang memiliki perbedaan fokus. Kajian kultural berfokus pada budaya, sementara ekonomi politik


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 67

meliputi cakupan fokus pada konteks sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas daripada kajian kultural. Dalam kajian kultural, televisi merupakan bagian dari budaya. Sementara itu, televisipun berperan dalam memproduksi budaya. Oleh karena itu, sorotan terhadap tayangan televisi merupakan bagian dari kajian kultural. Namun demikian dengan fokusnya yang terbatas, analisis dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai kajian mikro, sehingga teori ini mengabaikan konteks makro yang dapat menjelaskan tayangan televisi dalam konteks yang lebih luas. Sementara itu, ekonomi politik memiliki kekuatan dalam menjelaskan isu-isu yang bersifat makro. Selain kekuatan tersebut, ekonomi politik juga berfokus pada proses pembentukan dan pengendalian televisi, serta hubungan antara produksi tayangan televisi dan aspek ekonominya. Kelemahannya, ekonomi politik tidak mampu memberikan penjelasan di tingkat mikro. Dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing, secara ideal, dikemukakan oleh Baran dan Davis (2000:216), bahwa dua teori tersebut sesungguhnya memiliki fokus yang bisa saling melengkapi, sehingga kajian terhadap media dapat dilakukan lebih dalam dan lebih luas, mikro dan makro. Hal ini membawa implikasi bahwa penjelasan di tingkat mikro tentang segala sesuatu yang ditayangkan televisi perlu dikaitkan dengan konteks makronya. Sesuai dengan yang dikemukakan Baran dan Davis (2000:16), kritisisme kultural merupakan suatu bentuk tantangan bagi paradigma efek terbatas. Hal ini karena meskipun sebagian besar peneliti komunikasi massa di Amerika Serikat menemukan gagasan efek terbatas dan temuan-temuan penelitian empirik, namun peneliti di bagian dunia lain kurang mempercayainya. Ada sekelompok teoritisi yang dipengaruhi oleh neomarxisme. Mereka percaya bahwa media memungkinkan para elit dominan untuk memelihara kekuasaannya. Media massa dapat dipandang sebagai arena publik tempat pertarungan budaya terjadi dan tempat bermainnya budaya dominan yang bersifat hegemonik. Oposisi termarjinalisasi dan status quo tampil sebagai satu-satunya yang logis, yaitu cara yang rasional dalam membentuk opini masyarakat. Dalam teori neomarxis, upaya-upaya untuk mengkaji institusi media dan inter-


68 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

pretasi isi media muncul sebagai prioritas utama. Selama tahun 1960-an neomarxis di Inggris mengembangkan sebuah aliran teori sosial yang disebut sebagai British Cultural studies. Fokusnya adalah media massa berikut peranannya dalam menawarkan suatu pandangan dunia hegemonik dan budaya dominan di antara berbagai subkelompok dalam masyarakat. Para peneliti dalam aliran itu bekerja dengan berfokus pada studi-studi resepsi khalayak yang membangun pertanyaan penting tentang kekuasaan potensial dari media dalam tipe-tipe situasi tertentu dan kemampuan para anggota khalayak aktif untuk menolak pengaruh media. Kemudian pada tahun 1970-an, permasalahan tentang kekuatan efek media muncul kembali di Amerika Serikat yang ditumbuhkan oleh ilmuwan humaniora yang tidak dikendalikan oleh perspektif efek terbatas dan tak terdidik dalam metode ilmiah. Beberapa dari ilmuwan ini tertarik pada kritisisme kultural gaya Eropa. Sementara yang lainnya menciptakan aliran kajian budaya asli Amerika. Kritisisme kultural berakar pada teori Marxis. Teori ini dikembangkan oleh Karl Marx pada akhir abad ke-19 pada masa terjadinya perubahan sosial di Eropa. Marx dikenal dengan teori-teori sosial pada masanya Marx mengidenti ikasikan bahwa industrialisasi dan urbanisasi merupakan masalah. Marx berpendapat bahwa perubahan-perubahan itu tidak buruk, namun ia mengutuk para kapitalis yang memperburuk masalah sosial. Hal ini karena para kapitalis memaksimalkan keuntungan personal dengan mengeksploitasi para pekerja. Marx menciptakan tertib sosial baru dalam mana semua klas-klas sosial harus dihapuskan. Para pekerja harus bangkit melawan kaum kapitalis dan menuntut berakhirnya eksploitasi. Mereka harus bersatu untuk menciptakan tertib sosial yang demokratik dan egalitarian. Marx berpendapat bahwa sistem khas hirarkhis merupakan akar dari semua permasalahan sosial. Oleh karena itu harus diakhiri melalui revolusi para pekerja atau proletariat. Marx juga meyakini bahwa kaum elit mendominasi masyarakat melalui kontrol langsung atas sarana produksi. Kaum elit menjaga diri mereka sendiri dalam kekuasaan melalui kontrol yang dilakukan atas budaya atau suprastruktur dari masyarakat. Marx melihat bahwa


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 69

budaya merupakan sesuatu dimana elit dapat memanipulasi untuk menyesatkan orang-orang dan mendorong mereka untuk bertindak berlawanan dengan keinginan mereka sendiri. Bentuk itu disebut Marx sebagai ideologi. Menurut Marx, ideologi beroperasi tak ubahnya obat bius. Orang-orang yang ada dalam pengaruhnya tak mampu melihat proses eksploitasi atas diri mereka. Dalam kasus terburuk, orang-orang itu tertipu yang secara aktual merusak kepentingan mereka sendiri dan melakukan sesuatu yang meningkatkan kekuasaan para elit, sementara kehidupan mereka sendiri menjadi lebih buruk. Marx membuat kesimpulan bahwa harapan satu-satunya bagi perubahan sosial adalah revolusi yang mana massa memperoleh kontrol atas hal yang mendasar, yaitu sarana produksi. Teori neomarxis merupakan inkarnasi dari teori Marxis yang berfokus pada supra struktur (Baran dan Davis, 2000:221). Sebagian besar British Cultural Studies merupakan neomarxis. Hal yang berbeda dengan teori Marxis adalah bahwa fokusnya pada isu-isu suprastruktur ideologi dan budaya, bukan berkenaan dengan sarana produksi. Pentingnya neomarxis melawan suprasrtuktur telah menciptakan suatu divisi fundamental di dalam Marxisme. Para neomarxis berasumsi bahwa perubahan yang bermanfaat dapat dimulai dengan damai dan pembentukan kembali ideologis, tidak dengan revolusi yang keras yang memungkinkan klas pekerja meraih kontrol atas sarana produksi. Beberapa kaum neomarxis mengembangkan kritik budaya untuk mentransformasi secara radikal suprastruktur, sementara kaum neomarxis lainnya menekankan pada modest reforms. Aliran Frankfurt adalah kelompok ilmuwan neomarxis yang bekerja bersama pada tahun 1930-an di Universitas Frankfurt (Baran dan Davis, 2000:223). Dua orang yang terkenal adalah Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Aliran Frankfurt mengkombinasikan teori kritik Marxis dengan hermeneutik. Tulisan-tulisan dari ilmuwan kelompok ini mengidenti ikasi dan memperkenalkan ber bagai bentuk budaya tinggi, seperti musik simfoni, sastra besar, dan seni. Budaya tinggi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki integritasnya sendiri, nilai yang melekat, dan tidak dapat digunakan oleh kaum elit untuk mempertinggi kekuasaan pribadi mereka.


70 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

Horkheimer dan Adorno memiliki pandangan skeptik, bahwa budaya tinggi dapat atau harus dikomunikasikan melalui media massa. Adorno berpendapat bahwa siaran radio tidak dapat memulai untuk memproduksi suara dari orkestra simfoni secara live. Adorno mengklaim bahwa reproduksi media massa atas budaya tinggi adalah inferior dan mengalihkan orang dari pencarian “the real thing�. Aliran Frankfurt mempunyai dampak pada penelitian sosial Amerika karena munculnya Nazi yang mendorong orang Yahudi keluar Eropa dan bermukim di Amerika. Kajian kultural meliputi penyelidikan tentang cara-cara budaya diproduksi melalui suatu pergulatan di antara ideologis. Kelompok ilmuwan yang terkemuka, yaitu British cultural studies dikaitkan dengan Centre dor Contemporary Cultural Studies di University of Birmingham (Littlejohn, 2008:336). Asal-usul tradisi juga ditelusur dengan tulisan-tulisan Richard Hogart dan Raymond William pada tahun 1950-an yang mengkaji tentang klas pekerja Inggris setelah Perang Dunia II. Dalam pada itu saat ini yang terdepan adalah Stuart Hall. Tradisi kajian kultural adalah reformis yang berbeda dalam orientasi. Para ilmuwannya ingin melihat perubahan pada masyarakat Barat, dan mereka memandang para ilmuwan merupakan alat pergulatan sosialis kultural. Mereka percaya bahwa perubahan akan terjadi dalam dua cara, yaitu pertama dengan mengidenti ikasi kontradiksi dalam masyarakat, resolusi tentang apa yang akan membawa perubahan positi, melawan hingga menekan. Kedua, dengan memberikan interpretasi yang akan membantu orang memahami dominasi dan macam-macam perubahan yang diinginkan. Studi tentang komunikasi massa merupakan hal yang sentral. Media dipandang sebagai alat kekuasaan dari ideologi yang dominan. Dalam pada itu media juga dipersepsikan memiliki potensi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu klas, kekuasaan dan dominasi. Media, termasuk televisi merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan institusional yang lebih besar. Budaya dalam kajian kultural memiliki dua pengertian. Pertama, ide-ide bersama yang menjadi sandaran suatu masyarakat atau


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 71

kelompok. Ideologi, atau cara-cara kolektif yang menjadi sarana kelompok memahami pengalamannya. Kedua, praktek-praktek atau cara-cara hidup kelompok yang dilakukan individu secara material dari hari ke hari. Dua hal itu tak dapat dipisahkan. Ideologi kelompok memproduksi dan mereproduksi dalam praktek-prakteknya. Dalam kenyataannya, perhatian umum dari teoritisi adalah kaitan antara tindakan institusi masyarakat, seperti media dan budaya. Praktekpraktek dan ide-ide selalu terjadi bersama di dalam sebuah konteks historis. Littlejohn (2008:337) mencontohkan orang-orang menonton televisi setiap hari. Semua industri televisi adalah produksi budaya karena merupakan sarana menciptakan, mereproduksi, dan merubah budaya. Praktek-praktek konkrit meliputi memproduksi dan mengkonsumsi televisi yang merupakan mekanisme penting dalam memantapkan ideologi. Dalam kajian kultural, proses mendapatkan realitas diperkuat dari banyak sumber yang disebut artikulasi (Littlejohn, 2008:338). Pemahaman yang digunakan bersama tampak nyata karena koneksi, atau artikulasi di antara beberapa sumber veri ikasi artukulasi menyebabkan tidak semua ideologi eksis di dalam pijakan yang setara dalam masyarakat. Teori-teori kultural menyatakan bahwa masyarakat kapitalistik didominasi oleh suatu ideologi elit. Ideologi dominan itu bagi masyarakat perkerja adalah palsu. Hal ini karena ideologi itu tidak mere leksikan kepentingan mereka Ideologi dominan termasuk dalam suatu hegemoni terhadap kelompokkelompok dan kekuasaan. Hegemoni merupakan suatu proses yang mengalir. Hall (Littlejohn, 2008:338) menyebutnya sebagai “sebuah teater pergulatan�. Pertarungan atara ideologi-ideologi yang berlawanan berubah secara tetap. Institusi sosial, seperti pendidikan, agama, dan pemerintah saling terkait dalam mendukung ideologi dominan, dan yang penting adalah kaitan antar infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur mengacu pada sarana produksi, sedangkan suprastruktur mengacu pada institusi kemasyarakatan. Marxis mengemukakan bahwa infrastruktur menentukan suprastruktur. Kajian kultural meyakini bahwa hubungan tersebut akan menjadi kian kompleks, ketika hubungan itu berupaya


72 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

untuk menciptakan saling ketergantungan bersama (mutually interdependent). Namun demikian dalam studinya, kajian kultural cenderung untuk mengabaikan konteks sosial dan politik yang lebih besar dari beroperasinya media. Teori ini berfokus pada cara muatan budaya populer dikonsumsi oleh individu atau kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh teoritisi kajian budaya telah membuat para teoritisi tersebut kian skeptik terhadap kekuasaan para elit dalam memperkenalkan bentuk-bentuk hegemonik dari budaya. Mereka menemukan bahwa rata-rata orang sering menolak menginterpretasikan isi media yang melayani kepentingan elit. Kajian budaya kurang tertarik dalam hal membuat atau mempengaruhi kebijakan, dan penelitian dalam kajian budaya sering tidak memberikan suatu dasar yang jelas untuk mengkritisi status quo. Ekonomi politik mempelajari kontrol elit terhadap institusi ekonomi dan mencoba untuk menunjukkan bagaimana kontrol tersebut mempengaruhi institusi sosial lainnya, termasuk media massa (Murdock dalam Baran dan Davis, 2000:227). Ekonomi politik menerima asumsi Marxis klasik yang berlandas pada dominasi suprastruktur. Ekonomi politik mengkaji sarana produksi dengan melihat institusi ekonomi, dan kemudian berupaya untuk menemukan bahwa institusi tersebut membentuk media sesuai dengan kepentingan dan tujuan institusi. Sebagai contoh, ekonomi politik mengkaji bagaimana ekonomi memaksakan batas atau membiaskan bentuk budaya massa yang diproduksi dan didistribusikan melalu media. Namun ekonomi politik kurang memperhatikan bagaimana budaya massa mempengaruhi kelompok spesi ik atau subkultur. Ekonomi politik lebih memperhatikan pemahaman tentang bagaimana proses-proses produksi dan distribusi isi dipaksakan. Para teoritisi ekonomi politik memiliki pusat perhatian pada tertib sosial yang lebih besar dan kepemilikan media oleh elit. Mereka mengkritisi tumbuhnya privatisasi media di Eropa dan meningkatnya sentralisasi kepemilikan media diseluruh dunia. Mereka juga berpendapat bahwa teoritisi pun perlu secara aktif melaksanakan perubahan sosial, dan melekat dalam karakteristiknya sebagai


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 73

teori kritik, ekonomi politik memberikan pula suatu dasar evaluasi terhadap status quo. Senada dengan paparan di atas, Barret dalam Barret dan Newbold (1995:22), mengemukakan bahwa ekonomi politik sering dikaitkan dengan permasalahan makro, diantaranya adalah tentang kepemilikan dan kontrol media. Ekonomi politik pada umumnya dilihat dalam proses proses konsolidasi diversi ikasi komersi alisasi, dan internasionalisasi. Dalam pada itu Mosco dan Barret dan Newbold (1995:22) memberikan dua de inisi tentang ekonomi politik Pertama, ekonomi politik adalah studi tentang relasi sosial, khusunya relasi kekuasaan, meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi sumberdaya. Kedua, ekonomi politik adalah studi tentang kontrol dan kelangsungan hidup dalam kehidupan sosial Mosco juga mengidenti ikasi tiga gambaran esensial dari ekonomi politik. Pertama, yaitu merupakan studi tentang perubahan sosial dan transformasi historis. Kedua, ekonomi politik memiliki perhatian dalam mengkaji relasi-relasi sosial secara keseluruhan yang merupakan bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Ketiga, ekonomi politik memiliki komitmen pada ilsafat moral yaitu perhatian pada nilai nilai sosial dan prinsip-prinsip moral. Sementara itu Golding dan Murdock (Barret & Newbold, 1995:186) menambahkan gambaran yakni perhatian pada keseimbangan antara perusahaan kapitalis dan intervensi publik. Mosco (1996:25) mengungkapkan bahwa ekonomi politik cenderung untuk memusatkan perhatian pada seperangkat hubungan sosial yang spesi ik yang diorganisasikan seputar kekuasaan atau kemampuan untuk mengontrol orang, proses, dan barang. Hal ini mengarahkan ekonomi politik dalam komunikasi untuk melihat pada pergeseran bentuk kontrol sepanjang produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam pada itu pengertian komunikasi dalam ekonomi politik adalah proses sosial tentang pertukaran yang produknya merupakan tanda atau perwujudan dari suatu relasi sosial. Ekonomi politik berpusat pada bagaimana komunikasi secara sosial dikonstruksi. Mosco (Barret & Newbold, 1995:187) mengungkapkan tiga konsep untuk aplikasi ekonomi politik pada komunikasi. Pertama,


74 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

komodi ikasi yaitu proses menerima barang dan pelayanan yang dinilai dalam manfaatnya, dan mentransformasikan barang dan pelayaran itu ke dalam komoditi yang dinilai untuk apa yang dapat diperoleh di pasar. Kedua, spesialisasi, yaitu proses menguasai batas ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Ketiga, sturkturisasi, yaitu memasukkan ide-ide agensi, proses sosial dan praktek sosial kedalam analisis sturktur. Meski demikian kontribusi yang paling besar dari ekonomi politik pada studi komunikasi adalah analisis institusi media dan konteksnya. Konsep-konsep Mosco relevan untuk meneliti melintasi seluruh jarak aktivitas media, mempunyai potensi untuk mengarah pada suatu model holistik siklus dari produksi (dan konteksnya) hingga penerimaan (dan konteksnya). Konsep-konsep itu memberikan suatu landasan yang dapat dipetakan melalui identi ikasi Golding dan Murdock Barret dalam Barret dan Newbold, 1995:187), yaitu dengan empat proses historis yang merupakan pusat dari ekonomi politik kritik tentang budaya. Proses-proses historis itu adalah pertumbuhan media, perluasan capaian perusahaan komodi ikasi dan perubahan peranan negara dan intervensi pemerintah. Menurut Baran dan Davis (2000:215), terdapat teori-teori interpretif, yaitu teori dengan lingkup kajian mikro (mikroskopik), yang berfokus pada cara individu dan kelompok sosial menggunakan media untuk menciptakan dan membantu perkembangan yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu diacu sebagai teori-teori kajian kultural. Selain itu terdapat teori-teori dalam lingkup kajian makro (makroskopik) yang berfokus pada cara para elit sosial menggunakan kekuasaan yang bersifat ekonomi untuk memperoleh kontrol dan mengeksploitasi institusi media. Teori ini mengungkapkan bahwa kaum elit menggunakan media untuk mempropagandakan budaya hegemonik sebagai sarana untuk menjaga posisi dominan mereka dalam tertib sosial. Teori ini disebut sebagai ekonomi politik. Teori-teori mikroskopik kurang memperhatikan konsekuensi jangka panjang dari media bagi tertib sosial dan lebih memperhatikan pada cara media mempengaruhi kehidupan individu. Teori-teori ini mengabaikan tekanan pada isu-isu yang lebih besar tentang


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 75

tertib sosial dalam mendukung permasalahan yang tercakup dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, teori-teori makroskopik kurang memperhatikan pengembangan penjelasan detil tentang cara individu dipengaruhi oleh media dan lebih memperhatikan pada cara media mempengaruhi tertib sosial secara keseluruhan. Peneliti dalam tataran mikroskopik cenderung untuk memahami apa yang sedang berlangsung di dunia di sekitarnya. Mereka melihat pengalaman kita sehari-hari dan realitas sendiri merupakan konstruksi arti isial Mereka ingin melihat cara media masuk dalam kehidupan rutin sehari-hari tanpa menciptakan kekacauan yang serius. Peneliti dalam tataran makroskopik melihat cara media ikut mempengaruhi arah politik, cara mengelola perekonomian nasional, atau penyediaan layanan sosial. Mereka ingin mengetahui apabila media memasuki atau mengacaukan proses-proses sosial yang beskala besar. Sebagai contoh permasalahan tentang kekacauan yang ditimbulkan oleh media terhadap arah politik nasional. Seperti yang dikemukakan oleh Baran dan Davis (2000:216), idealnya teori-teori makroskopik dan mikroskopik digunakan secara komplementer dalam melakukan kajian media. Artinya eksplanasi di tingkat individual (mikro) perlu dikombinasikan dengan eksplanasi tingkat kemasyarakatan (makro) agar dihasilkan gambaran yang komprehensif dan lengkap tentang media. Media akan dipandang secara holistik dan kontekstual, tidak secara elementer dan parsial, terpisah dari konteksnya. Oleh karena itu kemudian akan diperoleh pemahaman yang lebih lengkap pula dari banyak segi. Kajian media yang berfokus pada penggunaan media untuk menciptakan bentuk-bentuk budaya yang membangun kehidupan sehari-hari akan lebih komprehensif dan lengkap gambarannya jika disertai dengan paparan yang berfokus pada pengusaan kaum elit sosial atas kekuatan ekonomi untuk mengekspolitasi institusi media. Hasilnya adalah pemahaman tentang media dalam pemikiran yang lebih mendasar, yaitu kritisisme kultural yang menentang status quo melalui penayangan manipulasi media dan yang mengkritisi budaya hegemonik. Budaya hegemonik adalah budaya yang ditentukan


76 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

dari atas atau dari luar yang melayani kepentingan-kepentingan dari kaum elit dalam posisi sosial dominan. Implikasi Kajian Makro-mikro dalam Media Literasi untuk Televisi Implikasi dari kajian makro-mikro dalam media literasi untuk televisi adalah bahwa media edukasi yang diberikan kepada masyarakat perlu disusun kurikulumnya dengan mengakomodasi pentingnya memahami media dalam lingkup kajian makro-mikro. Melalui kajian mikro, masyarakat akan memahami cara budaya diproduksi oleh media, khususnya televisi. Sebagai contoh adalah cara produksi budaya yang dilakukan melalui pergulatan antara logika industri dan nonindustri. Pertarungan antara tayangan yang diperlakukan sebagai komoditas demi mengejar keuntungan bagi produsen dan tayangan yang televisi yang mampu mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Kebiasaan-kebiasan atau tata cara hidup yang hemat dan bersahaja berhadapan dengan perilaku konsumtif yang terbentuk melalui tayangan televisi. Masyarakat perlu dilatih untuk memiliki kecerdasan dalam memahami sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan di sekitarnya. Misalnya, dalam memahami apa pengaruhnya bagi anak-anak jika mereka menonton tayangan televisi yang menyajikan kekerasan. Apa akibatnya bagi ibu-ibu jika mereka banyak disuguhi tayangan yang mengajarkan mereka menjadi konsumtif. Masyarakat perlu menyadari bahwa realitas itu merupakan realitas bentukan yang tanpa kita sadari masuk dalam kehidupan kita, sehingga menjadi praktek-praktek atau cara-cara hidup sekelompok orang yang dilakukan individu dalam keseharian. Sebagai contoh adalah budaya instan yang melanda kehidupan kaum muda akibat terpaan tayangan yang menampilkan berbagai tata cara dalam memperoleh popularitas secara instan, misalnya Indonesian Idol, Idola Cilik, dan sebagainya. Ide tersebut kemudian akan menjadi sandaran kaum muda, seolaholah bahwa popuritas itu dapat dicapai dengan cara instan. Dalam konteks ini masyarakat melalui media edukasi diberi pemahaman bahwa selalu ada kaitan antar tindakan dalam institusi masyarakat, antara media dan masyarakat, antara televisi dan target khalayak


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 77

yang dijangkaunya. Ketika masyarakat mengkonsumsi tayangan televisi setiap harinya, maka sesungguhnya apa yang mereka tonton adalah produksi budaya, yang akan menghasilkan ide-ide bersama yang menjadi sandaran suatu masyarakat atau kelompok untuk mengkonstruksi apa yang mereka lakukan. Termasuk budaya instan yang ditiru menjadi sandaran kelompok masyarakat karena konsumsinya terhadap tayangan televisi. Budaya instan adalah upaya memacu produksi secara massa dengan mengacu pada logika industri. Dari sini tampak televisi dan masyarakat telah menjalankan praktek konkrit yang meliputi memproduksi dan mengkonsumsi tayangan televisi. Praktek-praktek tersebut merupakan mekanisme penting dalam memantapkan ideologi kapitalistik. Ideologi ini merupakan ideologi yang dominan yang menghegemoni masyarakat tanpa kekuasaan, seperti anak-anak, kaum ibu, dan kaum remaja. Kelompok inilah yang harus dilindungi dalam konteks media literasi karena sifatnya yang rentan terhadap pengaruh tayangan televisi. Di sini kemudian diperlukan keterlibatan dari institusi sosial, semacam sekolah, institusi berbasis komunitas keagamaan (gereja, masjid, dan sebagainya), dan pemerintah (melalui KPI) untuk saling terkait dalam melakukan media edukasi bagi masyarakat. Melalui pemahaman makroskopik, masyarakat perlu diedukasi tentang cara-cara para elit melakukan kontrol terhadap institusi ekonomi dan pengaruhnya terhadap media massa, termasuk televisi. Dalam konteks ini masyarakat perlu memahami bahwa institusi ekonomi membentuk media sesuai dengan kepentingan dan tujuan institusi. Kepentingan dan tujuan tersebut akan membentuk budaya massa yang didistribusikan melalui televisi. Isu sentral yang perlu diperkenalkan adalah menyangkut kepemilikan dan kontrol atas televisi. Sebagai contoh adalah bagaimana kontrol oleh elit ekonomi atas media telah melahirkan proses komodi ikasi apabila tayangan televisi diperlakukan sebagai komoditas, maka kepadanya akan dilekatkan sebuah nilai yang berlaku di pasar, tayangan apa yang laku dijual. Masyarakat juga perlu memahami bahwa televisi merupakan sarana produksi yang dapat diarahkan sesuai kepentingan elit


78 LITERASI MEDIA DAN TAYANGAN TELEVISI DALAM LINGKUP...

ekonomi pemilik modal. Kepentingan itu misalnya yang terkait dengan kepentingan politik. Sebagai contoh untuk mengekalkan status quo, atau untuk mempertahankan kekuasaan. Tengoklah saja, misalnya pada masa Orde Baru. Televisi menjadi sarana untuk memprogandakan kepentingan elit politik yang memiliki akses atas kepemilikan media untuk mengekalkan kekuasaannya. Keadaan ini sekaligus menunjukkan bahwa dengan kajian makro dapat dilihat instutisi media dikaitkan dengan konteksnya. Menutup tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa lingkup kajian makro-mikro dalam perspektif antropologi adalah upaya untuk melihat tayangan televisi dari banyak segi (multi-faceted), sehingga dengan demikian akan mendapatkan penjelasan holistik, lengkap, mendalam, komprehensif dan kontekstual tentang tayangan televisi. Hal ini penting dalam media edukasi agar masyarakat dapat memiliki kekayaan perspektif dalam menyoroti tayangan televisi. Dengan demikian masyarakat pun dapat memiliki kemampuan media literasi handal untuk media, khususnya televisi.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 79

Daftar Pustaka Baran, Stanley J & Dennis K. Davis, 2000. Mass Communicaton Theory: Foundations, Ferment, and Future. 2nd ed. Wadsworth. Balmont. Barret, Oliver Boyd & Chris Newbold. 1995. Approaches to Media: A Reader. Arnold. London. Grif in e M a First Look at Communication Theory Companies. New York.

rd

ed. McGraw-Hill

Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication. 9th Ed. Thomson Wadsworth. Belmont. Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV-Mu: Teror Media Televisi di Indonesia. Resist Book. Yogyakarta.


80 PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 81

BAGIAN II

Pengalaman Terbaik B P


82 PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 83

K

I L M Membaca Televisi Muzayin Nazaruddin

“Waduh, repot Mbak kalau tiap hari harus mendampingi anak nonton TV. Sebagai ibu rumah tangga banyak kerjaan...� DALAM RANGKAIAN kegiatan literasi media televisi yang diadakan oleh Masyarakat Peduli Media (MPM) bekerjasama dengan lima Perguruan Tinggi di Yogyakarta, Tim Fasilitator Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan pelatihan di dua lokasi. Pertama, di Dusun Lodadi, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Kedua, di Dusun Wukirsari, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Lokasi kedua ini berada di dekat Gunung Merapi yang merupakan wilayah tempat tinggal Mbah Maridjan. Terdapat empat orang fasilitator di dua lokasi tersebut. Fasilitator di Dusun Lodadi adalah erny Mardhani dan achmad Sa iaji sementara fasilitator di Dusun Wukirsari adalah Meiliana Mahera Maharani dan Ricky Riadi Iskandar. Keempat mahasiswa Program Studi Ilmu


84 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

Komunikasi tersebut didampingi oleh seorang dosen pendamping lapangan, yaitu Muzayin Nazaruddin. Tulisan singkat ini berisi beberapa catatan penting hasil pengamatan lapangan selama proses pelatihan. Dalam beberapa hal, catatan lapangan tersebut penulis kaitkan dengan teori-teori literasi media menjadi semacam re leksi teoretik Karena lebih berupa catatan lapangan, tulisan ini mengikuti alur pelatihan itu sendiri secara alamiah. Pertama, penjelasan mengenai lokasi pelatihan, alasan pemilihannya serta pelajaran dari dua lokasi tersebut. Kedua, deskripsi mengenai alur materi, dari pertemuan pertama hingga terakhir. Ketiga, pembahasan lebih jauh mengenai beberapa temuan yang penulis anggap penting ataupun menarik. Keempat, catatan penutup, berisi rekomendasi bagi gerakan literasi media selanjutnya, berangkat dari pengalaman lapangan yang telah diperoleh. Dua Lokasi, Banyak Pengalaman Di lokasi pertama, Dusun Lodadi pelatihan literasi media diselenggarakan di rumah Ibu Yuni, seorang koordinator yang biasa menggerakkan kegiatan kelompok ibu-ibu PKK di tempat tersebut, setiap Sabtu sore, pukul 16.00 – 17.30 WIB. Letak Dusun Lodadi berada di dekat kampus terpadu UII Jalan Kaliurang Km 14,5, tepatnya di depan kampus. Oleh karena itu, kelompok PKK di dusun ini sudah sering mendapatkan pelatihan ataupun penyuluhan dari berbagai pihak, terutama kelompok mahasiswa KKN, tentang berbagai hal. Namun, menurut pengakuan mereka, kegiatan yang membahas media (literasi media) baru pertama kali ini mereka peroleh. Pengakuan ibu-ibu ini menegaskan re leksi atas wacana literasi media yang masih elitis bergaung hanya pada kalangan akademisi, aktivis NGO, dan jurnalis. Literasi media masih berputar di tempat, sebatas wacana akademis, belum menjadi gerakan sosial yang menyentuh masyarakat secara langsung (Nazaruddin, 2008: 75). Lokasi kedua, Dusun Wukirsari, secara sosiologis jauh berbeda dengan lokasi pertama. Dipilihnya dua lokasi yang berbeda secara sosiologis ini dimaksudkan untuk memeroleh pengalaman


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 85

dan data yang variatif. Desa Wukirsari terletak di lereng Merapi, dengan corak masyarakat perdesaan, jumlah penduduk kecil, hidup berkelompok dalam sebuah dusun, antar dusun terpisah oleh areal pertanian, kebun atau hutan. Lokasi ini bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Kampus Terpadu UII. Pelatihan di Dusun Wukirsari diadakan tiap Senin malam, lebih kurang pukul 19.30 – 21.00 WIB. Nah, waktu berangkat dan pulang itulah, Tim Fasilitator senantiasa melalui jalan-jalan gelap tanpa lampu, hanya berpapasan dengan satu dua pengendara lainnya. Kok malam hari? Mengapa tidak sore atau siang saja? Jawabannya sederhana: ibu-ibu peserta hanya bisa pada malam hari, dari pagi hingga sore mereka ada di sawah. Berbeda dengan masyarakat Dusun Lodadi yang terbiasa memeroleh pelatihan atau penyuluhan dari berbagai pihak, masyarakat di Dusun Wukirsari masih jarang memperoleh pelatihan dari pihak luar. Namun, dalam beberapa hal, respon mereka cukup menarik dan cerdas. Dalam hal tanggapan atas materi yang disampaikan, ternyata tidak ada perbedaan yang menyolok antara lokasi pertama dan kedua. Dugaan awal fasilitator bahwa ibu-ibu di Dusun Lodadi akan lebih melek media dibandingkan dengan ibu-ibu di Dusun Wukirsari ternyata tidak terbukti. Beberapa peserta di Dusun Wukirsari ternyata memiliki pengetahuan dan daya kritis yang cukup tinggi, seperti halnya beberapa peserta di Dusun Lodadi. Selama proses pelatihan, mereka sangat membantu menciptakan dinamika, menggerakkan proses berbagi pengetahuan dan pengalaman antar peserta. Jika diamati, beberapa peserta dengan pengetahuan dan daya kritis yang tinggi tersebut mempunyai latar belakang pekerjaan yang bersentuhan dengan wilayah publik, seperti guru atau pegawai di kantor pemerintahan. Jadi, kesimpulan awal yang bisa diambil dari temuan ini, tingkat melek media tidak ditentukan oleh latar belakang tempat tinggal (desa atau kota), tetapi lebih ditentukan latar belakang pekerjaan sehari-hari. Perbedaan antardua lokasi justru terjadi dalam hal antusiasme peserta, di mana peserta di Dusun Wukirsari lebih tinggi dibanding


86 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

peserta di Dusun Lodadi. Bukti sederhana adalah dari jumlah peserta yang hadir. Di Dusun Lodadi, pertemuan pertama dihadiri oleh 18 peserta, pertemuan selanjutnya dihadiri oleh 12 – 15 peserta. Sementara di Dusun Wukirsari jumlah peserta yang hadir selalu lebih dari 15 orang, bahkan rata-rata mencapai 20 orang. Yang lebih menarik, di Dusun Wukirsari terdapat beberapa peserta yang tidak bisa baca tulis, mereka itu adalah golongan usia tua. Ibu-ibu peserta yang lain mengatakan bahwa nenek-nenek tersebut memang selalu mengikuti pertemuan-pertemuan atau pengajian yang ada di kampung, entah paham atau tidak. Yang jelas, dalam tiap materi, beberapa nenek tersebut tampak selalu memperhatikan Fasilitator. Di lokasi ini (Dusun Wukirsari), beberapa peserta biasanya sudah datang ketika Tim Fasilitator tiba. Begitu Tim Fasilitator tiba, salah seorang peserta akan menuju ke masjid kampung. Selang beberapa menit kemudian, terdengar pengumuman melalui “TOA” masjid yang intinya meminta ibu-ibu segera datang karena acara penyuluhan literasi media akan segera dimulai. Mereka menyebut kegiatan ini sebagai “penyuluhan literasi media”, bukan “pelatihan literasi media”, apalagi “workshop literasi media”. Nah lho? Bagi Fasilitator, penyebutan itu tak menjadi soal, minimal untuk sementara. Justru penyebutan dengan istilah “penyuluhan” itu dalam beberapa aspek menunjukkan cara berpikir mereka. Bisa jadi mereka berpikir: kami ‘orang desa’ yang bodoh, tak berpengalaman, akan mendapatkan penyuluhan dari ‘orang kota’, ‘orang kampus’, yang jauh lebih pintar dan berpengalaman. Tersirat rasa inferioritas diri yang sebenarnya jamak ditemui di masyarakat ketika ‘orang kampus’ atau ‘orang LSM’ datang ke masyarakat. Rasa inferioritas diri yang sebenarnya dihasilkan dari wacana pengabdian masyarakat, pendampingan masyarakat, ataupun pembangunan-isme yang terus diusung para akademisi atau aktivis NGO itu sendiri dalam rangka mengukuhkan kuasa-pengetahuan mereka atas masyarakat. Bisa jadi, hingga saat ini, masih ada akademisi atau aktivis NGO ‘gaya lama’, datang ke masyarakat, membayangkan dirinya bagai dewa penyelamat, membantu masyarakat menuju kemodernan.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 87

Sebuah gaya lama yang usang. Sudah bukan masanya lagi memandang masyarakat sebagai objek dalam program-program pengembangan sosial. Masyarakat adalah subjek bagi diri mereka sendiri, orang luar yang datang (akademisi, NGO, atau siapapun) hanya berposisi sebagai ‘fasilitator’, menginisiasi suatu proses, yang kemudian membiarkan proses berlanjut secara mandiri oleh masyarakat tanpa interupsi olehnya (Mikkelsen, 2003: 76-77). Alur Materi dan Tanggapan Peserta Di dua lokasi tersebut, pelatihan literasi media diselenggarakan masing-masing selama 6 kali pertemuan dengan alur materi yang sama. Secara umum, peserta cukup antusias menanggapi materi yang dibahas. Selalu ada peserta yang berkomentar, menanggapi, atau bertanya dalam tiap sesi, dengan jumlah rata-rata lebih dari lima orang dalam tiap sesi. Namun, jika dicermati dari tiap sesi, peserta yang aktif berpendapat sama saja, hanya beberapa orang. Artinya, keaktifan peserta sebenarnya tidak merata antar peserta. Namun, menurut penulis, kondisi ini adalah wajar dan akan selalu dijumpai dalam berbagai pelatihan. Pada pertemuan pertama, setelah perkenalan dan pengantar singkat mengenai kegiatan yang akan dilakukan, Fasilitator mencoba mengungkap motivasi dan harapan ibu-ibu peserta dalam mengikuti kegiatan literasi media ini. Selain itu, pertemuan pertama ini juga diisi diskusi ringan mengenai televisi dan pengisian angket pre-test. Pertemuan kedua membahas mengenai fakta dan iksi dalam tayangan televisi, tujuannya sederhana: ibu-ibu peserta mampu membedakan fakta dan iksi dalam berbagai tayangan televisi mulai dari sinetron, reality show, hingga infotainment. Pembicaraan dalam pertemuan kedua ini meluas, hingga membahas muatan positif dan negatif dari tayangan program televisi, serta membahas tayangantayangan yang disukai dan biasa ditonton anak-anak mereka. Urgensi mendampingi anak-anak menonton televisi dibahas pada pertemuan ketiga. Pada sesi ini, pertama-tama fasilitator menggali pendapat peserta mengenai penting tidaknya mendampingi anak menonton televisi. Jawaban peserta seragam dan meyakinkan:


88 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

penting sekali. Banyak argumen yang mereka kemukakan. Namun, bukan dalam tema itu sesi ini menjadi menarik, pembicaraan justru semakin seru ketika membahas kendala dalam mendampingi anak menonton televisi. Pertemuan keempat membahas kegiatan-kegiatan alternatif selain menonton televisi. Pada sesi ini terungkap banyak sekali kegiatan yang bisa dan biasa dilakukan anak-anak selain menonton televisi. Tujuan materi untuk mengeksplorasi gagasan mengenai kegiatan alternatif dengan mudah tercapai. Pertemuan selanjutnya (kelima) membahas mengenai pengaduan atas tayangan televisi. Pertama-tama Fasilitator menanyakan kepada peserta ke mana mereka harus mengadu jika ada tayangan televisi yang dianggap buruk? Hampir semua peserta menjawab tidak tahu. Kesempatan tersebut digunakan Fasilitator untuk mengenalkan tentang KPI/KPID kepada peserta. Setelah itu, materi berlanjut pada simulasi pengisian form pengaduan yang bisa diambil di KPID. Materi kemudian diakhiri dengan pembahasan bahwa pengaduan bisa dilakukan melalui SMS, di mana isi SMS sama dengan isi form pengaduan yang sebelumnya telah disimulasikan. Pertemuan terakhir adalah review atas keseluruhan pelatihan yang telah berlangsung. Pertama-tama, fasilitator menggunakan metode menonton bersama sebuah ilm kartun Tom Jerry Kemu dian ilm yang sama diputar untuk kedua kalinya tetapi peserta di minta mengidenti ikasi muatan positif dan negatif dari ilm tersebut Catatan peserta mengenai muatan positif dan negatif tersebut dibahas lebih jauh, terutama untuk mereview keseluruhan materi yang telah dibahas sejak pertemuan pertama hingga kelima. Materi kemudian dilanjutkan diskusi bebas mengenai televisi dan dampaknya pada anak-anak, ataupun tentang pengaruh media secara umum. Terakhir, sesi ini ditutup dengan pengisian angket post-test, pamitan dari fasilitator, serta pemberian bingkisan untuk peserta. Motivasi Awal: Tingkat Melek Media Peserta Dalam pertemuan pertama, fasilitator meminta peserta untuk menuliskan motivasi dan harapan mereka dari pelatihan yang akan berlangsung selama enam pertemuan ini. Terdapat bermacam-


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 89

macam motivasi yang kemudian penulis kategorikan menjadi tiga kategori, yaitu motivasi untuk sosialisasi diri, motivasi akan pengetahuan dan pengalaman baru serta motivasi spesi ik mengenai literasi media. a. Sosialisasi Diri Banyak peserta yang menuliskan motivasinya adalah ’kumpulkumpul’. Tampaknya memang menjadi kebutuhan di kalangan ibu-ibu peserta untuk sering mengadakan pertemuan bersama di antara mereka. Sebagai contoh, berikut beberapa catatan peserta mengenai motivasi mereka: ”Ingin lebih mengenal tentang warga sekitar dan nambah pengalaman”, ”Nambah saudara dan pengetahuan, kumpul dengan tetangga”. Sementara, sebuah catatan motivasi bertuliskan ”Bisa memajukan ibu-ibu yang suka di rumah”. Tampaknya, catatan dari Dusun Wukirsari ini ditulis oleh ibu ketua RT setempat. Seorang peserta di Dusun Lodadi dengan jujur menuliskan motivasinya: ”kumpul–kumpul ngilangin stres”. Sementara peserta lainnya menuliskan: ”Kumpul bersama daripada di rumah gak ada kerjaan/ngrumpi...”. Yang menarik, kebutuhan pelarian diri dari rutinitas harian ini ditemukan di kalangan ibu-ibu di Dusun Lodadi, tidak ditemukan di Dusun Wukirsari. Mengapa? Apakah hal ini membuktikan tingkat stres di kalangan masyarakat urban lebih tinggi dibandingkan masyarakat rural (perdesaan)? b. Pengetahuan dan Pengalaman Baru Kategori motivasi ini sudah klise dalam berbagai pelatihan atau workshop, bingung menuliskan apa, atau bingung dengan motivasi mereka sendiri, banyak peserta pelatihan menuliskan: ”Menambah pengetahuan dan pengalaman baru”. Begitu juga dalam pelatihan literasi media yang penulis amati, banyak peserta menuliskan hal-hal klise tersebut, misalnya: ”Ingin nambah wawasan, siapa tahu ada manfaat yang bisa diambil”, ”Supaya tambah pengalaman, biar pengetahuan lebih luas”, ”Ingin tukar pengalaman”, atau ”Ingin mengetahui apa yang akan dibahas dalam pertemuan ini”.


90 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

Masih dalam kategori ini, terdapat dua orang peserta yang menuliskan, ”Ingin tahu misi dan isi dari mahasiswa/mahasiswi UII”. Tampaknya motivasi ini berangkat dari kehati-hatian atas kehadiran pihak luar dalam berbagai pelatihan, penyuluhan, dan sejenisnya. Hal ini bisa dimengerti mengingat catatan motivasi ini dituliskan oleh peserta dari Dusun Lodadi yang sudah terbiasa mendapatkan berbagai pelatihan atau penyuluhan dari berbagai pihak. Bisa jadi, pengalaman dengan berbagai pihak tersebut tidak seluruhnya meninggalkan kesan positif sehingga membuat mereka berhati-hati dengan pelatihan-pelatihan baru yang akan diselenggarakan. c. Motivasi Terkait dengan Literasi Media Kategori motivasi yang ketiga ini menjadi temuan menarik karena peserta menuliskan motivasinya mengarah pada dimensi tertentu dari literasi media. Berikut beberapa catatan motivasi peserta: ”Supaya lebih mengerti bagaimana membimbing anak-anak kita dalam menonton tayangan televisi dan tayangan-tayangan lain” ”Semoga isi dan tayangan televisi semakin baik dan berkualitas. Semoga bisa menambah wawasan bagi ibu-ibu yang suka melihat acara televisi. Acara yang baik kita ambil, acara yang kurang berkenan kita lewatkan” ”Biar tahu manfaat negatif atau positif dari tayangan suatu media, terutama untuk perkembangan anak saya, di mana sekarang ini banyak sekali tayangan-tayangan yang tidak mendidik” ”Supaya menambah pengetahuan tentang media. Supaya dapat mengetahui cara yang baik dalam membimbing anak menonton televisi” ”Supaya sebagai orang tua dapat memberikan pengarahan di rumah kepada anak-anak acara apa saja yang patut ditonton oleh mereka dan menjelaskan manfaat acara yang ditonton tersebut”


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 91

“Agar bisa menjelaskan kepada anak tentang acara di televisi. Supaya selektif dalam memilih acara televisi� Memang, sebelum meminta peserta menuliskan motivasi mereka, fasilitator telah memberikan pengantar mengenai kegiatan yang akan dilakukan dan penjelasan mengenai materimateri yang akan dibahas. Namun, penjelasan awal tersebut benarbenar sekilas. Jadi, begitu mengetahui bahwa kegiatan yang akan dilakukan berkaitan dengan media, khususnya televisi, peserta langsung mengaitkannya dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah mereka peroleh sebelumnya. Motivasi spesi ik terkait literasi media ini menunjukkan tiga hal Pertama, kesadaran bahwa banyak tayangan televisi tidak cukup sehat bagi penonton, khususnya anak-anak, telah terbangun di kalangan masyarakat secara luas. Menguatnya kesadaran di kalangan masyarakat secara luas ini menjadi bukti empiris yang membatalkan dalih para pengelola stasiun televisi bahwa acara-acara yang sering dikritik, semisal sinetron, infotainment, maupun beberapa reality show, tetap mereka tayangkan karena terbukti disukai masyarakat karena ratingnya tinggi (Panjaitan & Iqbal, 2006). Pelatihan ini menawarkan bukti baru bahwa masyarakat telah sadar bahwa banyak tayangan televisi tidak ramah bagi mereka, terlebih bagi anak-anak. Jika ternyata acara-acara tersebut tetap memiliki rating tinggi, tidak berarti tayangan tersebut disukai masyarakat, tetapi ada sebab lain yang belum terjelaskan. Bisa jadi masyarakat tetap menonton tayangan tersebut karena tidak ada alternatif tayangan hiburan yang lebih sehat. Kedua, kesadaran pertama di atas diikuti kesadaran selanjutnya bahwa tayangan-tayangan televisi tersebut mempunyai pengaruh pada penonton, terlebih anak-anak. Ibu-ibu peserta pelatihan menyadari bahwa anak-anak mereka sangat rentan dari pengaruh televisi. Ketiga, motivasi di atas membuktikan bahwa literasi media adalah sebuah garis kontinum, bukan kategori dualis hitam putih (2001: 7-8). Semua orang pada dasarnya melek media, tidak ada orang yang sepenuhnya melek media, tidak ada pula yang


92 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

sepenuhnya tidak melek media. Semakin tinggi literasi media seseorang, semakin banyak makna yang bisa dia gali dari sebuah pesan. Semakin rendah, semakin dangkal makna yang digali dari pesan yang sama. Dengan cara pandang ini, selalu ada ruang untuk perbaikan (improvement), yang menjadi pembenaran mendasar bagi gerakan literasi media. Mendampingi Anak Nonton TV Penting, Tapi.... Pada pertemuan ketiga, materi yang dibahas adalah mendampingi anak menonton televisi. Setelah membuka sesi dengan mereview pertemuan sebelumnya, fasilitator mengajukan sebuah pertanyaan: ”Perlu nggak sih mendampingi anak menonton tv?” Jawaban peserta seragam: perlu. Fasilitator lebih jauh bertanya, ”Jika perlu, mengapa?” Jawaban peserta mulai beragam. Penulis mengelompokkan jawabanjawaban tersebut dalam tiga kategori. Pertama, alasan yang berkaitan dengan pengaruh tayangan televisi terhadap anak. Para peserta, dengan bahasanya masingmasing, rata-rata mengungkapkan bahwa mendampingi anak menonton televisi sangat penting karena tayangan-tayangan televisi sangat berpengaruh pada anak. Berikut beberapa jawaban peserta: ”Memberitahu anak dalam memilih tayangan televisi” ”Memilih tayangan mana yang baik atau tidak baik. Acara-acara apa saja yang pantas dan sebaiknya ditonton anak” “Agar anak bisa mengerti tayangan yang bagus sesuai usia mereka” ”Mengingatkan anak, agar kalau ada adegan yang tidak baik jangan ditirukan. Jangan sampai adegan berbahaya ditirukan anak” ”Kalau ada tayangan yang tidak pantas untuk anak, langsung dipindah channelnya” ”Film orang dewasa tidak cocok dengan psikologis anak”


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 93

Kedua, jawaban yang mengarah pada pentingnya kedekatan ibu dengan anak. Beberapa peserta mengungkapkan bahwa mendampingi anak menonton televisi bisa menjadi media untuk mempererat kedekatan ibu dengan anak. Beberapa peserta menulis: ”Anak bisa sharing dengan orang tua” atau ”Mendekatkan hubungan antara anak dengan orang tua”. Ketiga, jawaban yang berkaitan dengan pengaturan jadwal anak. Dua orang peserta mengungkapkan bahwa mendampingi anak menonton televisi penting agar anak bisa membagi waktu, tidak lupa belajar. Seorang peserta, Ibu Iin, memberikan jawabannya dengan lengkap. Berikut penulis salin utuh jawaban ibu tersebut: ”Memantau anak dalam mengkonsumsi tayangan televisi yang sesuai dengan usia mereka. Pendekatan dengan anak. Sebagai teman, sering jika ada tayangan yang dipertanyakan, ibu bisa memberikan penjelasan atas tayangan televisi yang ditonton” Mencermati jawaban dari para peserta tersebut, jelas sekali mereka menyadari bahwa banyak acara televisi yang tidak cocok dengan anak-anak. Mereka juga menyadari pentingnya kehadiran mereka selaku orang tua pada saat anak mereka menonton televisi, untuk memberikan penjelasan mengenai tayangan-tayangan televisi yang ditonton. Bahkan, seorang ibu, seperti tertulis di atas, mengaku akan langsung memindahkan channel televisi jika tayangan yang ditonton tidak cocok untuk anak mereka. Lepas dari sepakat atau tidak dengan gaya agak ’otoriter’ ibu tersebut, tindakan tersebut menunjukkan kesadaran yang kuat akan dampak buruk tayangan televisi. Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kritis atas tayangan televisi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat. Setelah menggali pendapat para peserta mengenai urgensi mendampingi anak menonton televisi, fasilitator kembali mengajukan pertanyaan, ”Jika memang penting, apakah ibu-ibu sudah terbiasa mendampingi anak menonton televisi?” Beberapa ibu tampak tersenyum simpul, beberapa saling tatap. Mereka menjawab dengan tidak cukup percaya diri: belum. Tepatnya, mereka belum terbiasa mendampingi anak menonton televisi. Dengan rasa penasaran, fasilitator spontan bertanyan, ”Mengapa?”


94 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

Nah, problem nyata mereka terungkap. Secara umum, baik peserta di Lodadi maupun Wukirsari, menyatakan bahwa tidak mungkin kalau setiap hari mereka harus mendampingi anak-anak nonton televisi. Jawaban mereka kompak, “Ya Mbak, mendampingi anak itu penting banget. Tapi, gimana ya…. Susah itu Mbak”. Mereka merinci: pagi hari, saat anak mereka menyempatkan diri nonton kartun sebelum berangkat sekolah, mereka tengah sibuk menyiapkan sarapan, pakaian, dan lainnya. Siang hari, saat anak mereka pulang sekolah, mereka masih di sawah. Nah, malam hari, anak-anak dan mereka sendiri sudah kecapekan, memilih untuk tidur. Nah lho, kapan mendampingi anak nonton televisi? Salah seorang peserta menandaskan pembicaraan dengan sebuah pertanyaan kritis yang merepotkan fasilitator, ”Lha kalau begitu, bagaimana solusinya Mbak?” Tim fasilitator bingung, hanya bisa saling tatap. Untunglah, pada saat-saat genting itu, ada seorang peserta bercerita, kira-kira begini: ”Menurut pengalaman saya, mendampingi anak tidak harus ketika nonton TV. Kalau anak saya biasanya bercerita tentang acara TV yang baru saja dia tonton, seringkali malam hari sebelum tidur. Nah, saat itu saya gunakan untuk ngobrol lebih jauh tentang hal-hal baik dan buruk dari tayangan tersebut”. Solusi cerdas, bisa dicoba kan? Fenomena pertanyaan dan jawaban tidak terduga dari peserta tersebut harus selalu diantisipasi dan disikapi secara tepat oleh fasilitator. Dalam enam sesi pelatihan literasi media di Lodadi dan Wukirsari, lontaran dan pertanyaan tak terduga ini beberapa kali muncul dan cukup mengejutkan fasilitator. Hal tersebut menegaskan salah satu dari delapan prinsip gerakan literasi yang diajukan Nazaruddin (2008: 60). Prinsip tersebut adalah leksibilitas artinya gerakan literasi media harus mampu mengubah-ubah model gerakan atau materi sesuai dengan kondisi sasarannya. Artinya, kita tidak bisa serta merta menganggap bahwa kelompok sasaran yang dipilih terdiri atas orang-orang yang sesuai dengan perkiraan dan ekspektasi kita. Kondisi seseorang sangat dipengaruhi lingkungan ataupun pengalaman masa lalunya. Pengalaman tim fasilitator UII membuktikan bahwa masyarakat di pedesaan tidak kalah cerdas dalam mendiskusikan ataupun menyikapi media dibandingkan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 95

masyarakat perkotaan. Dalam kondisi ini, tidak ada sebuah model baku bagi gerakan literasi media. Kegiatan Alternatif: Banyak Alternatif Pertemuan keempat membahas kegiatan alternatif, bertujuan mengungkap bahwa sebenarnya banyak kegiatan alternatif yang bisa dilakukan untuk mengurangi intensitas menonton televisi. Setelah mereview materi pada pertemuan sebelumnya, fasilitator memulai inti materi dengan meminta peserta menyebut kegiatankegiatan alternatif yang biasa dilakukan peserta dengan anakanak mereka. Berdasarkan masukan peserta, fasilitator membagi kegiatan alternatif tersebut berdasar usia anak-anak, seperti terlihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1 Kegiatan Alternatif No

1

Tingkatan Usia

0

5 tahun

Kegiatan Alternatif Jalan-jalan, mendongeng, bermain, belajar, memberi makan ayam, mencari rumput, TPA, mencuci piring bersama, main ke tempat nenek. Jalan-jalan bersama, bermain, belajar, TPA, membantu orang tua, silaturahmi ke tempat budhe, baca Bobo, main komputer.

2

6

12 tahun

Anak laki-laki: menimba air, panjat pohon, jika libur kadang diajak cari pasir oleh ayahnya, main kuda lumpingan, bercocok tanam. Anak perempuan: mencari rumput bersama, membantu ibu menyapu, bermain sepeda, mencuci piring atau baju, cari walang, setrika, bersih-bersih, masak bareng.

3

13 17 tahun

Kerja bakti, masak, bantu orang tua, kumpulan pemuda, baca majalah, main seruling, mencuci, menyapu, berenang, main bola, menggambar, mencari kayu bakar.


96 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

Jika kita cermati daftar kegiatan alternatif di atas, beberapa diantaranya adalah kegiatan yang sudah sangat biasa, bahkan terkesan klise, misalnya bermain atau belajar. Namun, coba kita cermati beberapa kegiatan berikut ini: mencari rumput, memberi makan ayam, mencari kayu bakar, panjat pohon, menimba air, mencari pasir bersama ayah, mancari walang (belalang), bersepeda, atau main kuda lumpingan. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat kontekstual, langsung mengantarkan imajinasi kita pada alam perdesaan. Jika ditelusuri, jawaban-jawaban yang jujur, tetapi di luar dugaan fasilitator tersebut sebagian besar berasal dari peserta di Wukirsari, yang notabene memang tergolong daerah perdesaan. Di Wukirsari, dengan alam perdesaan yang masih asri, anakanak lebih suka bermain bersama sehabis sekolah. Jadwal mereka nonton televisi biasanya pagi hari sebelum berangkat sekolah serta sore hari sehabis Ashar atau menjelang Maghrib. Secara umum, mereka lebih suka bermain bersama teman-temannya. Sebuah potensi, yang kemudian fasilitator tegaskan, bahwa hal itu harus benar-benar dijaga dan dipertahankan, untuk mengurangi dampak dan ketergatungan pada televisi. Pembahasan mengenai kegiatan alternatif ini mengingatkan salah seorang peserta dengan materi sebelumnya mengenai urgensi mendampingi anak menonton televisi. Peserta tersebut menyatakan, “Anak-anak perlu diarahkan ke kegiatan alternatif selain nonton televisi. Jika orangtua kesulitan untuk mendampingi anak menonton televisi, anak bisa diarahkan ke permainan tradisional atau kegiatan alternatif lainnya sesuai umur mereka�. Lontaran tersebut melengkapi jawaban atas pertanyaan yang terlontar di pertemuan sebelumnya dan belum tuntas terjawab, yaitu pertanyaan tentang bagaimana solusi atas tidak mungkinnya mereka mendampingi anak menonton televisi setiap hari. Pengalaman di atas mengingatkan kita bahwa gerakan literasi media harus berangkat dengan pemahaman mendalam atas sasaran gerakan (Nazaruddin, 2008: 60). Salah satu evaluasi penting atas beberapa gerakan literasi media adalah tidak didasarkan pada pijakan pemahaman yang mendalam atas sasaran gerakan akti itas yang dilakukan hanya didasarkan pada asumsi-asumsi teoretik,


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 97

yang kadangkala tidak tepat dengan kondisi masyarakat Indonesia (Rianto, 2007: 10). Menurut penulis, masuknya materi kegiatan alternatif, berangkat dari kekayaan sosial-budaya masyarakat lokal, adalah salah satu aplikasi dari prinsip pemahaman atas sasaran gerakan ini. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada buku referensi yang menyebut ‘kegiatan alternatif’ sebagai muatan penting dalam gerakan literasi media. Mengadu atas Tayangan Buruk: Bagaimana Caranya? Temuan menarik kembali dijumpai ketika pertemuan kelima berlangsung, membahas tentang mekanisme pengaduan atas tayangan-tayangan televisi. Pada sesi ini, fasilitator secara retoris bertanya: “Perlukah kita mengadu atau melapor jika ada tayangantayangan televisi yang tidak ramah pada anak-anak kita?” Jawaban peserta seragam, seperti dugaan fasilitator: perlu. Fasilitator kembali bertanya: “Lalu, bagaimana caranya?” Nah, atas pertanyaan ini, ibu-ibu peserta tampak ragu, bahkan ada yang tegas mengatakan tidak tahu. Ada pula yang menebak-nebak, menurutnya mengadu ke pemerintah desa, nanti pemerintah desa akan menyampaikan ke kecamatan, lalu ke kabupaten, dan seterusnya hingga ke pemerintah pusat. Tampak jelas bahwa ibu-ibu peserta memang tidak tahu tentang mekanisme pengaduan tayangan televisi, mereka juga belum mengetahui mengenai KPI/KPID. Di Lodadi, ibu-ibu sudah menyadari banyak tayangan televisi yang tidak sehat dan cocok untuk anak-anak. Mereka sadar, banyak tayangan televisi mengajarkan hal-hal negatif pada anak mereka, seperti gaya berpakaian ala anak Jakarta, lagu-lagu yang syairnya tidak cocok untuk anak-anak tetapi sangat dihapal oleh anak-anak, dan banyak dampak negatif lainnya. “Tapi, terus kita bisa apa Mbak? Kalau mau protes ke mana?”, begitu kira-kira keluhan mereka. Kesempatan itu fasilitator gunakan untuk mengenalkan KPI/ KPID kepada ibu-ibu peserta, mulai dari struktur kelembagaannya di pusat dan daerah, fungsi dan tugas, hingga lokasi kantor KPID Yogyakarta. Lebih jauh, fasilitator mengajak peserta melakukan simulasi pengaduan dengan mengisi form pengaduan resmi dari KPID Yogyakarta yang telah fasilitator siapkan sebelum


98 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

penyampaian materi berlangsung. Peserta tampak sangat antusias mengikuti simulasi tersebut. Setelah simulasi selesai, fasilitator melangkah pada pembahasan selanjutnya bahwa ada cara yang simpel dan praktis untuk melakukan pengaduan tayangan televisi ke KPI/KPID, yaitu melalui SMS. Fasilitator menegaskan bahwa pengaduan melalui SMS harus lengkap datanya, seperti halnya data yang diisi dalam form pengaduan. Setelah materi selesai, mereka mengangguk-anggukan kepala, “Ooo, begitu tho caranya!�. Namun, di akhir materi, ada peserta yang berkomentar, “Kita sekarang sudah tahu Mbak bagaimana caranya melakukan pengaduan. Tapi, kayaknya malas ya... Soalnya, kita masih ragu, kira-kira memang akan ditindaklanjuti atau tidak ya? Atau janganjangan cuma formalitas?� Nah, jawaban dari KPI/KPID harus segera turun untuk meyakinkan mereka. Catatan Penutup Kesimpulan ringkas sekaligus klise: banyak pengalaman yang didapat dari pelatihan literasi media, baik di Dusun Lodadi maupun Wukirsari. Biar tidak tampak begitu klise, berikut penulis ringkaskan beberapa simpulan dan re leksi teoretik atas kegiatan literasi media yang telah dilakukan. Pertama, banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa kesadaran kritis masyarakat atas tayangan program televisi semakin meluas. Kedua, kesadaran kritis tersebut perlu ditingkatkan dengan pengetahuan lebih jauh mengenai dunia media, khususnya pertelevisian, misalnya mengenai struktur industri televisi ataupun mekanisme pengaduan atas tayangan televisi. Artinya, gerakan literasi media perlu melihat secara cermat tingkat melek media para pesertanya, lalu menyesuaikan materi yang dibahas sesuai tingkat pengetahuan peserta tersebut. Ketiga, gerakan literasi media harus benar-benar berangkat dari konteks sosialbudaya masyarakat Indonesia. Program ini semakin menunjukkan pola khas gerakan literasi media di Indonesia: berbasis komunitas. Gerakan literasi media berbasis komunitas ini sangat berbeda dengan program-program literasi media di beberapa negara Eropa ataupun Amerika yang berbasis kurikulum sekolah formal.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 99

Sebagai catatan penutup, di akhir pelatihan (sesi keenam) di Dusun Wukirsari, ada seorang ibu bertanya: “Maaf Mas, pertanyaan saya agak tidak sesuai dengan tema. Dalam hal menonton televisi, anak-anak di desa ini masih bisa kita kontrol, apalagi mereka lebih suka bermain bersama dibandingkan nonton televisi. Namun, ada satu hal yang kita khawatirkan, yaitu HP. Akhir-akhir ini, banyak beredar ilm porno melalui HP tahu tahu anak kita sudah menyimpannya di HP, namun kita tidak pernah tahu. Kalau nonton televisi kan kelihatan nah kalau nonton ilm di hp kan tidak kentara bisa sendirian di dalam kamar. Nah kalau masalah itu gimana Mas?� Tim fasilitator bingung, lagi-lagi hanya saling pandang. Atau, bagaimana jika masalah itu diangkat MPM dan Yayasan TIFA menjadi program selanjutnya: literasi media baru, khususnya HP dan internet. Sepertinya menarik.


100 KETIKA IBU-IBU DI LERENG MERAPI MEMBACA TELEVISI

Daftar Pustaka Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Terj. Matheos Nalle. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nazaruddin, Muzayin. 2008. “Televisi Komunitas sebagai Basis Gerakan Literasi Media”. Dalam Muzayin Nazaruddin & Budhi Hermanto (eds.). Televisi Komunitas: Pemberdayaan dan Media Literasi. Jakarta: Ford Foundation. Nazaruddin, Muzayin & Masduki (eds.). 2008. Media, Jurnalisme dan Budaya Populer. Yogyakarta: UII Press. Panjaitan, Erica L. & T.M. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi: Ilusi Sebuah Netralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Potter, W. James. 2001. Media Literacy (Second Edition). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. Rianto, Puji. “Mengembangkan Pendidikan Literasi Media Berbasis Sekolah”. Jurnal IPTEK-KOM, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Wilayah IV Yogyakarta. Volume 9, Nomor 1, Juni 2007.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI101

P

M

I

T

B

Mario Antonius Birowo

Pengantar KEGIATAN PELATIHAN literasi media yang dilaksanakan Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY) di kampung Tambakbayan, Babarsari, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman pada periode Nopember - Desember 2009 merupakan bagian dari proyek sejenis yang dikoordinasikan oleh Masyarakat Peduli Media (MPM) atas dukungan dana dari Yayasan Tifa. Selain UAJY, perguruan tinggi lain yang terlibat dalam kegiatan ini, yaitu Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Sekolah Tinggi Pemerintahan Masyarakat Desa (STPMD) APMD. Penyelenggaraan kegiatan literasi media ini berangkat dari pemahaman bahwa media televisi dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif di masyarakat. Jika dibandingkan, dampak negatif lebih sering mendapat sorotan dibanding segi positif. Kekuatiran atas


102 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

dampak negatif televisi bagi anak-anak sangat dirasakan oleh ibu-ibu peserta pendidikan melek media di wilayah Tambakbayan, Babarsari yang digelar di dua wilayah RW (Rukun Warga). Pada awal kegiatan, fasilitator memunculkan sederet pertanyaan kepada ibu-ibu peserta pelatihan. Mengapa ibu-ibu perlu mengikuti kegiatan ini? Apakah mereka membutuhkan kegiatan literasi media, dan dampak apakah yang diharapkan muncul setelah adanya kegiatan ini? Pertanyaan itu dikemukakan dengan maksud untuk menegaskan betapa pentingnya pendidikan melek media bagi masyarakat, terutama di kalangan ibuibu rumah tangga. Ada beberapa alasan terkait dengan pilihan mengajak ibu-ibu untuk menjadi peserta. Pertama, dalam kultur masyarakat Indonesia ibu adalah pihak yang paling potensial bersentuhan dengan televisi karena mereka lebih banyak di rumah. Kedua, terkait dengan alasan pertama, ibu adalah pihak yang memiliki kedudukan sangat penting dalam proses pendampingan anak-anak di rumah. Ketiga, secara umum, para ibu tidak mengatur waktu dan cara menggunakan televisi bagi anak-anaknya. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa peran ibu sangat penting dalam menentukan penggunaan televisi di keluarga. Mengingat banyak hal menarik yang muncul di lapangan, maka tulisan ini sepenuhnya berfokus pada praktik pelaksanaan pendidikan melek media di wilayah Tambakbayan, Babarsari. Kecuali menyangkut data monogra i wilayah substansi artikel ini seluruh nya bersumber dari lapangan, baik berupa catatan yang dibuat para fasilitator maupun yang langsung diperoleh Penulis selaku pendamping lapangan. Fasilitator dari UAJY terdiri dari empat mahasiswa, yaitu Bertha Simin, Anastasia Catur Emma Febriatiningsih, Sinta Dewi Mustikawati, Dominus Tomy Waskito, Willibordus Tatag Hastungkoro. Proses penyelenggaraan kegiatan pelatihan melek media yang dilakukan tim UAJY terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Sehubungan dengan itu maka isi tulisan ini akan membahas masing-masing tahap secara rinci sehingga dapat diperoleh gambaran tentang bagaimana proses pelatihan berlangsung. Melalui artikel ini pengalaman-pengalaman terbaik (best practices) yang kami peroleh selama melakukan pendampingan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 103

di Tambakbayan, Babarsari diharapkan dapat menjadi pengetahuan atau bahkan acuan pihak lain untuk melakukan kegiatan sejenis. Persiapan Kegiatan literasi media dengan fokus ibu-ibu PKK di lingkungan Tambakbayan ini bermula dari ajakan MPM. Ajakan ini disambut baik oleh UAJY mengingat kegiatan senada sudah lama menjadi perhatian di Program Studi Ilmu Komunikasi. Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan membangun kekuatan masyarakat dalam berhadapan dengan media. Masyarakat yang kuat dapat mendorong peningkatan kualitas isi media. Gerakan ini merupakan jawaban atas kekuasaan pemilik media. Pengamat media melihat bahwa secara nyata pihak media televisi berperan besar dalam menentukan isi siaran. Kritik terhadap isi siaran televisi yang tidak baik sudah sering dilontarkan, tetapi tidak efektif. Keluhan sering dilontarkan di berbagai forum, baik surat pembaca maupun ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)/ Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Selama ini kritik dari masyarakat berlangsung nampak tidak terorganisasi dengan baik, terlepas-lepas satu sama lain sehingga pihak televisi kurang memberi perhatian. Masyarakat perlu melakukan aksi bersama yang bisa memberi dampak lebih terasa. Gerakan masyarakat demikian hanya bisa tercapai jika ada kesadaran dalam penggunaan media (televisi). Namun, daripada melulu berharap ‘kebaikan’ pihak televisi untuk melakukan pembenahan akti is sosial yang peduli media melihat perlunya penguatan masyarakat agar mereka memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisa dan mengatur penggunaan televisi secara efektif dan bijak. Berdasar kesadaran ini, posisi lemah masyarakat harus didobrak dengan gerakan pelatihan literasi media. Pelatihan tersebut mendesak untuk dikerjakan mengingat selama ini pendekatan kebebasan informasi telah diinterpretasi oleh pihak televisi sebagai kesempatan untuk memeroleh keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya isi tayangan televisi sering tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Pro it oriented tersebut membuat televisi menjadi media yang tidak aman bagi masyarakat. Apalagi law enforcement sangat lemah dalam menindak stasiun televisi yang melanggar. Berdasar kondisi tersebut, pengamat media


104 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

kemudian berkesimpulan bahwa perlu dijalankan pendekatan lain, yaitu pendekatan yang di satu sisi bersifat melindungi masyarakat dari dampak negatif televisi dan di sisi lain mendorong penggunaan televisi yang lebih positif oleh masyarakat. Pendekatan ini yang kemudian menjadi dasar bagi kegiatan literasi media oleh MPM dan UAJY serta perguruan tinggi lainnya. Agar kegiatan literasi media berlangsung dengan baik, maka tim melakukan beberapa tahapan persiapan. Tahap pertama berupa penyiapan modul yang akan digunakan. Modul pelatihan sejak awal direncanakan harus sesuai dengan kelompok masyarakat yang akan menjadi peserta pelatihan. Oleh karena itu modul dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat. Pembuat modul merupakan tim yang terdiri dari perwakilan perguruan tinggi, LSM, Dewan Pers, praktisi media dan organisasi masyarakat (dari organisasi perempuan). Target workshop adalah menyusun outline dari materi modul yang kemudian akan dikembangkan oleh tim dari MPM dan lima perguruan tinggi (UAJY, UII, UMY, UPN dan STPMD). Dalam workshop peserta mendapat pengayaan materi melalui diskusi dengan anggota Dewan Pers, praktisi media dan aktivis LSM yang peduli terhadap tayangan televisi. Diskusi berlangsung menarik selama dua hari dan dirasakan manfaatnya sebagai perangsang ide dalam pembuatan materi modul. Rekrutmen Fasilitator Setelah draft modul selesai, tahap kedua adalah melakukan sosialisasi melalui roadshow ke empat perguruan tinggi tersebut di atas. Selain sosialisasi modul, roadshow juga bertujuan menjaring calon fasilitator dari kalangan mahasiswa. UAJY menggelar roadshow pada 26 September 2009 diikuti oleh 25 mahasiswa. Para mahasiswa ini sebelumnya mendaftar sukarela setelah dibuka pendaftaran untuk menjadi fasilitator media literasi. Diskusi menghadirkan narasumber dosen pendamping setempat untuk kegiatan literasi media dan anggota KPID DIY I Gusti Ngurah Putra. Selain membahas konsep literasi media, juga dilakukan pembahasan kasus-kasus terkait yang dilempar oleh peserta maupun narasumber. Dalam kegiatan yang bertajuk workshop itu


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 105

dilakukan pula pemutaran sejumlah potongan acara televisi untuk kemudian didiskusikan guna memberi gambaran konkrit mengenai problem yang dihadapi masyarakat terkait dengan siaran televisi. Diskusi efektif dalam membangun pemahaman bersama tentang media literasi terjadi di antara peserta. Melalui prinsip partisipatif peserta diajak untuk menyelami problema masyarakat dalam konteks terpaan televisi. Sebagian besar peserta bergiliran menyampaikan idenya tentang situasi tayangan televisi di Indonesia. Banyak problem yang berhasil ditemukan, misal soal kekerasan, tampilan seks yang vulgar, konsumtivisme dan tidak logisnya jalan cerita sinetron. Hal ini menunjukkan fenomena bahwa semangat pihak pengelola stasiun televisi lebih kental untuk mengeruk keuntungan dibanding semangat memberi manfaat kepada masyarakat. Tahap ketiga adalah rekrutmen fasilitator. Berdasar ketertarikan peserta terhadap materi literasi media, panitia bisa mencatat peserta-peserta yang akan dilibatkan lebih jauh sebagi fasilitator bagi pelatihan literasi media di kalangan ibu-ibu. Tercatatlah 6 calon yang akan diundang untuk diseleksi. Mereka diundang untuk mengikuti wawancara yang diadakan oleh pihak UAJY dan MPM. Materi wawancara diarahkan untuk melihat motivasi dan ketersediaan waktu si calon. Akhirnya diperoleh 4 orang mahasiswa, yang kebetulan terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan. Empat orang mahasiswa yang terpilih kemudian bersama-sama dengan para mahasiswa dari UII, UPN, UMY, dan STPMD diundang mengikuti workshop intensif selama dua hari yang diselenggarakan oleh MPM di daerah dingin Kaliurang. Materi workshop tersebut untuk membekali mahasiswa mengenai teknik-teknik pelatihan yang akan mereka terapkan dalam pelatihan literasi media yang akan diikuti ibu-ibu. Pelatihan untuk mereka dipimpin oleh Mukhotib MD, seorang trainer berpengalaman yang pernah terlibat dalam berbagai aktivitas LSM di berbagai tempat. Modul pelatihan juga dikupas dan diuji coba dalam workshop tersebut. Lokasi Tahap keempat, Tim UAJY melakukan pendekatan masyarakat. Tim UAJY mendapat lokasi dampingan di sekitar kampusnya, yaitu


106 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

Babarsari. Desa ini terletak di Kecamatan Depok, yang berbatasan langsung dengan Berbah di Sebelah Selatan, Kalasan di sebelah Timur, Kota Yogyakarta di sebelah Barat dan Mlati di sebelah Utara. Penduduk Babarsari bisa dikatakan sebagai Indonesia mini mengingat orang dari berbagai belahan Indonesia tinggal di sini. Mereka sebagian merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di wilayah tersebut, seperti: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Proklamasi, Akademi Komunikasi Yogyakarta dan beberapa perguruan lainnya. Tidak pelak lagi kehadiran mereka ikut mewarnai kehidupan masyarakat Babarsari. Sebagian besar penduduk di Babarsari membuka usaha kos-kosan, warung makan, laundry, warnet, mini supermarket dan fotokopi untuk melayani kebutuhan para mahasiswa. Penduduk asli Babarsari tidaklah dominan mengingat daerah ini pada tahun 70-80an masih berupa lahan persawahan. Saat ini situasi di Babarsari sangat padat, hanya sedikit yang tersisa sebagai lahan persawahan. Babarsari memiliki fasilitas yang cukup lengkap, karena selain perguruan tinggi, di wilayah Babarsari juga terdapat Hotel Sahid, Badan Atom Nasional (BATAN), dan Kantor Dinas Perhubungan, rumah sakit, kantor pos, warnet, toko/mini market dan supermarket (Mirota dan Carefour). Sarana transportasi tidak sulit karena jalan Babarsari dilalui angkutan umum. Selain itu, di sebelah Selatan Babarsari dibatasi oleh jalan raya Yogya-Solo yang tidak pernah sepi selama 24 jam. Bandar Udara Adi Sucipto cukup ditempuh kurang dari 10 menit. Situasi Babarsari di atas menggambarkan bahwa wilayah ini merupakan daerah yang sudah berbau perkotaan walau secara administratif terletak di luar kota Yogya. Bahkan secara kasat mata batas wilayah Yogya dan Babarsari tidak nampak lagi. Oleh karena itu tidak mengherankan desa yang terletak di Kecamatan Depok ini dinilai sebagai wilayah yang paling pesat pertumbuhannya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) yang menjadi peserta pelatihan terdiri dari 3 Rukun Warga yang dibagi menjadi


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 107

dua kelompok. Kelompok I berasal dari 2 RW (02 dan 03), sedang kelompok II dari RW 05. Masing-masing kelompok rata-rata diikuti 22 peserta yang bertahan selama masing-masing 5 kali pertemuan. Walau kelompok ibu-ibu yang akan menjadi peserta tinggal di sekitar kampus, tetapi kontak langsung tidak pernah terjadi sebelumnya. Berangkat dari situasi demikian, hal pertama yang dikerjakan tim adalah membangun relasi dengan masyarakat dan tokohnya sehingga mereka terbuka terhadap kegiatan yang ditawarkan. Sikap terbuka dari masyarakat dalam menanggapi tawaran tim UAJY sangat memermudah pelaksanaan pelatihan. Perkenalan awal dijembatani oleh Lukas Ispandriarno, Wakil Dekan III FISIP UAJY. Melalui Ketua RW setempat, tim diperkenalkan ke organisasi lokal para ibu, yaitu PKK. Cara ini dilakukan mengingat PKK merupakan organisasi yang eksis di lokasi tersebut. Kerjasama dengan organisasi masyarakat setempat dalam praktiknya memermudah pelaksanaan kegiatan. Mereka mengetahui sangat baik lingkungan setempat. Melalui PKK, para ibu diorganisir untuk menjadi peserta. Pelaksanaan Tahap kelima, fasilitator mulai fokus pada pelaksanaan pelatihan. Para mahasiswa menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan kegiatan literasi media di lapangan. Secara mandiri mereka menyiapkan materi dan peralatan. Setelah berhasil memeroleh kepastian tentang peserta, tempat dan waktu pelatihan, para fasilitator memersiapkan materi dan peralatan yang akan digunakan. Untuk kelompok I di RW 02 dan 03 Babarsari, berkat bantuan PKK, tim UAJY mendapat bantuan dari Kampus Politeknik Pariwisata “API� yang lokasinya berada di wilayah RW tersebut untuk menggunakan salah satu ruangan kuliah beserta LCD Projector dan screen-nya. Bantuan juga diperoleh dari peserta kelompok II dalam memperoleh tempat, recruitment peserta dan pelaksanaan pelatihan. Dari pengalaman lapangan, para mahasiswa yang menjadi anggota tim merasakan bahwa bagi ibu-ibu, menentukan jadwal merupakan sesuatu yang tidak mudah. Mereka memiliki kesibukan masing-masing, terutama di waktu siang hari. Melihat situasi


108 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

demikian, penentuan jadwal diserahkan ke calon peserta di bawah koordinasi pengurus PKK. Cara ini terbukti lebih baik dibanding pihak luar yang menentukan. Dari hasil diskusi di antara mereka, akhirnya didapat waktu untuk pertemuan pertama adalah pukul 18.30. Untuk pertemuan selanjutnya akan dibicarakan pada saat pertemuan awal itu. Tantangan dalam proses awal ini adalah meyakinkan ke mereka tentang pentingnya kegiatan. Memang muncul kesan bahwa kegiatan pelatihan media literasi bukan berangkat dari kebutuhan mereka mengingat perilaku menonton televisi dipandang sebagai kegiatan rutin harian. Pada tingkatan ini muncul pertanyaan ‘apakah masyarakat berpikir ada problem dalam berhubungan dengan tayangan televisi?’ Jika pertanyaan diajukan sebelum proses pelatihan, maka akan diperoleh kesan bahwa kebutuhan akan kegiatan ini berangkat dari sisi para fasilitator. Namun, berdasar hasil dari proses pelatihan, kita akan menemukan bahwa sebenarnya kebutuhan mengenai kegiatan literasi media ada di diri para peserta, tetapi belum pernah digali secara khusus. Paparan dalam artikel ini akan berfokus pada pelaksanaan kegiatan di satu lokasi, yaitu kelompok I di RW 02 dan 03 Tambakbayan, Babarsari. Hal itu mengingat materi yang sampaikan dan metode yang digunakan relatif sama dengan kelompok II. Demikian pula fasilitatornya sama dengan di kelompok I. Membangun Komitmen Kendala utama dalam melaksanakan pelatihan adalah keterbatasan waktu peserta. Peran peserta sebagai ibu rumah tangga membuat mereka tidak bisa meninggalkan rumah dalam waktu yang lama. Hal ini membuat tim UAJY harus merancang materi pelatihan yang sesuai dengan karakteristik peserta, yaitu pelatihan yang tidak memakan waktu terlalu panjang. Walau inisiatif pelatihan berasal dari pihak luar, tetapi para peserta mau berperan aktif. Dalam konteks ini, komitmen mereka terhadap pelatihan menjadi sangat penting. Untuk membangun komitmen, peserta diminta menentukan sendiri waktu pelatihan sesuai dengan kondisi mereka. Berdasar kesepakatan dengan peserta, pelatihan dilakukan dalam 5 kali


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 109

pertemuan. Setiap pertemuan maksimal 1,5 jam, dimulai dari pukul 18.30 sampai dengan pukul 20.00. pengaturan waktu yang demikian sesuai dengan kondisi peserta sehingga mereka dapat mengikuti seluruh program, terbukti tingkat kehadiran ibu-ibu di atas 90%. Metode Pelatihan secara sengaja disusun dalam situasi yang informal. Kursi-kursi disusun melingkar sehingga peserta dan fasilitator dapat melihat satu sama lain secara jelas. Di antara pesertapun demikian. Posisi melingkar ini secara psikologis membuat mereka dalam posisi yang sama. Mereka juga tidak merasa seperti sedang mengikuti ’pelajaran.’ Selain itu, posisi melingkar lebih membuka kesempatan bagi semua peserta untuk mengekpresikan gagasannya. Hal ini cocok untuk mendukung metode pelatihan yang dialogis. Fasilitator menggunakan materi audio visual untuk membantu pemahaman peserta. Cuplikan-cuplikan adegan dari sinetron, iklan dan ilm sudah disiapkan untuk mendukung tema di setiap pertemuan. Para ibu nampak sekali antusias mengikuti diskusi mengenai tayangan contoh program yang baru saja mereka saksikan secara bersama-sama. Jalannya Pelatihan Pertemuan pertama dibuka dengan perkenalan dari fasilitator dan ungkapan apresiasi atas kesediaan para ibu untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Para peserta kemudian dijelaskan tentang manfaat dan tujuan kegiatan. Selanjutnya fasilitator memberi pengantar tentang konsep-konsep sederhana yang terkait dengan literasi media, seperti jenis-jenis media massa, lama waktu yang dihabiskan bersama televisi, dan isi siaran. Mengenai isi siaran, peserta diajak untuk mendiskusikan bahwa tidak semua tayangan televisi memiliki nilai positif. Penilaian ini disetujui oleh peserta. Bahkan peserta dapat menunjukkan contoh tayangan yang tidak mendidik karena penuh adegan kekerasan, misalnya penamparan terhadap seorang gadis. Diskusi tersebut untuk sementara tidak dibahas tuntas mengingat pertemuan pertama difokuskan untuk pengantar. Fasilitator menggunakan pertemuan tersebut untuk mengenal lebih jauh


110 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

peserta. Peserta kemudian diminta untuk mengisi kuesioner prapelatihan (pretest) yang hasilnya akan dibandingkan dengan hasil pasca-pelatihan (post test). Pada pertemuan kedua, tema yang diambil adalah ‘kekerasan di televisi.’ Pada awal pertemuan, fasilitator mengajak peserta untuk ’pemanasan’ yaitu dengan mengulas balik apa yang dibahas pada pertemuan pertama. Untuk merangsang ingatan, para peserta diberi pertanyaan-pertanyaan tentang materi yang lalu. Melihat para peserta masih belum siap ke materi, fasilitator memberikan ice breaking dengan permainan. Setelah suasana mencair, pelatihan kemudian masuk ke bagian materi. Diskusi tentang kekerasan di dalam tayangan televisi disambut antusias oleh ibu-ibu. Mereka dengan cepat bisa menyebutkan wujud kekerasan, misalnya melalui emosi marah, jengkel, dan penganiayaan. Jawaban-jawaban mereka kemudian dikon irmasi oleh fasilitator dengan contoh kekerasan yang ditayangkan melalui slide show. Tayangan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya berbentuk isik tetapi juga mengambil bentuk ’yang tersembunyi’ yaitu kekerasan verbal. Menanggapi tayangan slide show, beberapa peserta serta merta menunjuk tayangan sinetron yang sering dinilai mengandung adegan kekerasan tersebut. Yang menarik, ada peserta yang menawarkan solusi, jika menyaksikan sinetron, sebaiknya disaring nilai-nilai yang baik saja. ”Diambil hikmahnya saja,” komentar seorang ibu. Sebagai contoh, walau ada sisi kekerasan di sinetron Cinta Fitri, tapi ada nilai penghormatan kepada orang tua seperti yang ditampilkan oleh tokoh Mischa. Untuk mengenali lebih jauh adegan kekerasan, peserta kemudian menyaksikan cuplikan acara Opera van Java. Banyak sekali adegan kekerasan yang bisa disebutkan, antara lain adegan pemukulan yang berulang kali dilakukan oleh salah satu pemain ke pemain lainnya. Dari cuplikan tersebut peserta mengenali bahwa adegan kekerasan bisa muncul pula di dalam acara komedi. Kesimpulan dari pertemuan kedua adalah kekerasan bisa mengambil berbagai bentuk yang sering tidak disadari orang tua sehingga anakanak berpotensi menyaksikannya. Oleh karena itu peserta sebagai ibu rumah tangga diajak untuk waspada agar anak-anak terhindar dari pengaruh adegan kekerasan.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 111

Sebagai kelanjutan tema pertemuan kedua, pertemuan ketiga mengambil tema “Dampak Tayangan Televisi Terhadap Perkembangan Anak.� Pertemuan diawali oleh fasilitator dengan mengulas hasil pertemuan sebelumnya. Hal ini diperlukan mengingat jarak antar pertemuan berbeda satu minggu. Selanjutnya fasilitator mengajak peserta mendiskusikan tema pertemuan ketiga, dimulai dengan pemaparan data yang terkait dengan tayangan televisi di Indonesia. Data ditampilkan agar para peserta bisa memeroleh gambaran yang lebih nyata tentang persoalan yang diangkat pada pertemuan. Secara singkat, data yang ditampilkan ingin menunjukkan bahaya tayangan televisi terhadap anak jika tidak ada kontrol dari orang tua. Data menunjukkan tayangan televisi banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis. Berdasar data yang ditampilkan, ibu ibu diminta untuk mere leksikan dengan pengalaman dan pengetahuannya. Beberapa ibu segera memberi tanggapan. Mereka menyebutkan bahwa televisi, di satu sisi, bisa membuat anak lebih pintar. Namun, di sisi lain anak-anak bisa meniru perilaku buruk, seperti lebih konsumtif. Tanggapan peserta kemudian dibahas bersama dengan bantuan power point. Untuk semakin memperdalam pembahasan, peserta lalu diajak untuk menyaksikan cuplikan-cuplikan video yang menggambarkan adegan kekerasan yang dilakukan anak, seperti perkelahian, memukul ibunya dengan sapu, dan animasi tentang penamparan seorang pemulung. Setelah menyaksikan cuplikan video, peserta diminta membahasnya di dalam kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 peserta. Mereka diminta untuk membuat daftar nilai negatif dan positif dari cuplikan video-video tersebut. Setelah berdiskusi selama 10 menit, masing-masing kelompok menuliskan hasilnya di kertas plano. Peserta lainnya diminta untuk memberi tanggapan atas hasil diskusi kelompok. Salah satu hasil yang bisa dilihat adalah para peserta menilai bahwa kekerasan bisa menghasilkan permusuhan. Dari metode pelatihan di atas, bisa dilihat bahwa fasilitator selalu berusaha membawa peserta untuk menggali pengalamannya sendiri sehingga materi pelatihan menjadi dekat dengan kehidupan mereka. Data yang ditampilkan coba ditarik ke dalam situasi peserta


112 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

dengan mengajak peserta mengekspresikan pengamatan mereka terhadap dampak tayangan televisi terhadap anak. Untuk memperlancar arus diskusi, fasilitator memancingnya dengan materi yang disiapkan lewat power point. Peserta kemudian diminta untuk menambah dampak lainnya. Cara ini dilakukan untuk membangun partisipasi aktif para peserta karena mereka yang nanti menjadi subyek dari gerakan literasi media di keluarga masing-masing. Dalam konteks ini ide-ide peserta digali. Berdasar hasil analisis mereka terhadap dampak tayangan kekerasan di televisi terhadap anak-anak, peserta diminta untuk menunjuk contoh nyata tayangan televisi yang baik untuk anak-anak mereka. Berdasar kacamata mereka, tayangan berikut: Power Ranger, Upin dan Ipin, Dora The Explorer, dan Spongebob cocok bagi anak-anak. Pada tingkatan ini nampak para peserta mempraktikkan langsung kemampuan analisa mereka terhadap tayangan televisi. Berangkat dari problem kemudian mereka berusaha mencari solusi untuk ‘siap’ memilihkan tayangan yang berguna bagi anak-anak mereka. Pada akhir pertemuan ketiga, fasilitator mengusulkan bahwa untuk mengurangi dampak negatif dari tayangan televisi, anak-anak perlu mendapat penyeimbang, seperti membaca buku, bermain dan mengembangkan komunikasi dengan orang tua. Ide yang terakhir ini yang akan dikembangkan dalam pertemuan keempat. Pertemuan keempat mengangkat tema komunikasi efektif. Pertemuan ini dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama berupa ulasan tentang pertemuan sebelumnya di mana fasilitator mengajak peserta melihat bahwa menonton televisi bukan satu-satunya fokus kegiatan anak-anak di rumah. Perlu ada kegiatan lain yang bisa membuat anak-anak teralihkan dari televisi. Berkomunikasi dengan anggota keluarga lain bisa menjadi penyeimbang dan ilter bagi kemung kinan dampak buruk yang dibawa televisi. Jika anak-anak harus menyaksikan televisi, mereka perlu mendapat pendampingan dan pengaturan agar dapat memeroleh lebih banyak manfaat. Dalam kaitan ini tim UAJY menyiapkan materi tentang komunikasi yang baik di keluarga. Fasilitator mengawali diskusi dengan pengantar tentang materi komunikasi dialogis antara anak dan orang tua. Pemberian materi ini


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 113

hanya bersifat perangsang bagi peserta untuk mendiskusikannya lebih lanjut. Guna memberi kesempatan peserta berdiskusi dan berbagi pengalaman, mereka diminta untuk membentuk kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 oang. Kelompok-kelompok tersebut memiliki topik berbeda. Kelompok I membahas kesejajaran dalam komunikasi, Kelompok II membahas labeling dalam komunikasi dengan anak, Kelompok III membahas bahasa tubuh, Kelompok IV membahas berkomunikasi secara terbuka, sedangkan kelompok V membahas bagaimana konsep Aku digunakan dalam berkomunikasi. Seperti pertemuan terdahulu, diskusi mendorong para peserta untuk membagi pengalaman dan pengetahuannya.Waktu yang tersedia untuk diskusi kelompok adalah 15 menit. Setelah itu, masingmasing wakil kelompok memresentasikan hasil diskusi kelompok. Dari proses ini peserta saling bertukar hasil. Karena berangkat dari pengalaman, maka peserta dengan lancar menyampaikan gagasannya. Inilah yang membuat pelatihan berlangsung meriah. Pertemuan kelima merupakan pertemuan yang terakhir dalam pelatihan ini. Isi dari pertemuan ini bersifat mengulas balik pertemuan-pertemuan sebelumnya. Lalu fasilitator mengajak peserta untuk melihat kesimpulan dari hasil pelatihan, yaitu untuk semakin kritis dalam berhadapan dengan tayangan televisi dan semakin rajin melakukan pendampingan terhadap anak saat menyaksikan tayangan televisi. Pada pertemuan ini ada pertanyaan yang menarik dari seorang ibu, �Apakah reality show seperti Termehek-mehek, Take Me Out dan Masihkah Kau Mencintaiku tergolong fakta atau iksi Pertanyaan tersebut kemudian dibahas bersama. Fasilitator menjelaskan bahwa siaran televisi itu merupakan hasil konstruksi. Ada arahan yang digunakan untuk memroduksi acara sejenis sehingga isi ceritanya memiliki kemasan tertentu. Pernyataan ini selaras dengan kajian teoretik tentang mengapa literasi media penting dilakukan. Alasannya antara lain produk televisi merupakan hasil konstruksi pengelola media dan hal ini tidak terlepas dari kepentingan tertentu, misal sifat komersial dari televisi swasta. Pelaku dalam acara-acara televisi sering sudah diatur dalam berakting. Pada kesempatan sesudahnya, seorang ibu menyampaikan


114 PENGALAMAN IBU-IBU BABARSARI MEMBACA

‘uneg-unegnya’ tentang perilaku menonton televisi di keluarganya. Baginya, sulit untuk mengatur anak-anak dalam menonton televisi. Sebagai solusi, ia tidak melarang anak-anak menonton televisi, tetapi ia memberi batasan. Langkah ini diapresiasi oleh fasilitator karena menunjukkan bahwa ada kesadaran untuk mengatur penggunaan televisi. Mengingat akan mengakhiri pelatihan, fasilitator mengajak peserta untuk bermain kuda berbisik guna menguji kecermatan penyampaian pesan dan menjalin kehangatan. Ternyata tidak semua peserta bisa menyampaikan pesan secara cermat. Kalimat yang diucapkan ibu di ujung yang satu berbeda dengan yang diucapkan ibu di ujung lain. Hikmah dari permainan ini, penyampaian pesan secara cermat perlu keahlian khusus, kelihatannya sepele tetapi ternyata tidak mudah. Acara permainan kemudian ditutup dengan sambutan penutup oleh Ketua MPM, Lukas Ispandriarno. Sambutan tersebut menekankan pentingnya dialog untuk membangun komunikasi yang efektif. Setelah sambutan, kepada para peserta dibagikan serti ikat Sebagai kejutan dari latihan peserta yang berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar materi pelatihan mendapat doorprize. Berpikir ke Depan Tahap terakhir dari kegiatan pelatihan ini adalah melihat kembali apa yang sudah dilakukan. Kegiatan evaluasi ini mengundang seluruh failitator dan pendamping dari masing-masing universitas dan akti is LSM yang terlibat dalam pelatihan Semua peserta duduk dalam posisi melingkar. Setelah pengantar dari MPM, kemudian perwakilan dari masing-masing tim membagi pengalaman saat memfasilitasi pelatihan. Mereka mencatat bahwa secara umum para ibu bersemangat mengikuti pelatihan. Terdapat beberapa perubahan tempat karena menyesuaikan situasi di lapangan. Kunci keberhasilan untuk mengikat peserta antara lain ditentukan oleh peran organisasi ibu-ibu setempat, misal PKK atau Dasawisma. Fasilitator, dengan demikian, tidak perlu membuat wadah tersendiri. Cukup menggunakan organisasi yang sudah ada.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 115

Seorang fasilitator menyampaikan ide bahwa kedekatan akan persoalan sehari-hari keluarga perlu dipertimbangkan. Misal, pelatihan media literasi berangkat dari persoalan ‘mengapa semangat belajar anak-anak tidak bagus?’ Persoalan tersebut bisa dilanjutkan dengan pertanyaan ‘apakah televisi menyebabkan konsentrasi anak berkurang?’ Dalam konteks ini, media literasi bisa dikaitkan dengan persoalan ini. Ada persoalan lain yang tertangkap di lapangan, bahwa para orang tua sangat sibuk sehingga sulit mendampingi anak-anak saat menyaksikan televisi. Bagaimana solusinya melalui media literasi? Soal ini perlu dipertimbangkan juga sebagai starting point pelatihan. Kesimpulan Pelatihan literasi media di masyarakat perlu memertimbangkan konsep pendidikan bagi orang dewasa di mana peserta memiliki ruang yang besar untuk menggali pengalaman dan pengetahuannya. Pada dasarnya mereka memiliki potensi untuk mengenali dan memecahkan masalahnya. Dalam konteks ini, pelatihan berfungsi membantu peserta menggali pengetahuan dan pengalaman mereka yang kemudian dijadikan acuan untuk pemberdayaan mereka sendiri. Pertemuan masyarakat dengan tayangan televisi merupakan kenyataan yang sering tidak terhindarkan dalam kehidupan seharihari. Persoalannya, tayangan televisi banyak yang bersifat tidak mendidik karena mengandung aspek kekerasan, seks dan tahayul. Ada kebutuhan untuk melindungi masyarakat dari tayangan televisi tersebut. Selain gerakan untuk mengubah kebijakan pihak pengelola televisi, di tingkat akar rumput masyarakat perlu melakukan gerakan literasi media sehingga mereka mendapat manfaat dari tayangan televisi.

*Terima kasih kepada Sinta, Tomy, Brodus dan Emma atas laporan proses pelatihan yang rinci yang merupakan bahan penting bagi tulisan ini.


116PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI117

I

R M

T

T

D T 1

Darmanto dan Mochamad Faried Cahyono

Pendahuluan UPAYA MENINGKATKAN literasi media televisi di kalangan masyarakat akar rumput (grass root) kini merupakan agenda mendesak untuk dilakukan mengingat tingginya terpaan siaran tv dalam kehidupan kita seharĂ­-hari, terutama terhadap anak-anak dan remaja. Kemampuan literasi sangat diperlukan mengingat kualitas tayangan program televisi rata-rata memang dapat dikatakan buruk. Di sisi lain, masyarakat tidak dapat berharap banyak pada institusĂ­ formal untuk mengawasi dan mengontrol kualitas tayangan program televisi karena adanya berbagai hambatan yang mendasar. Oleh karena itu masyarakat harus secara mandiri melakukan berbagai upaya untuk melindungi diri dari terpaan informasi yang tidak layak. 1 Substansi artikel ini sepenuhnya diambil dari data lapangan, baik berupa catatan yang dibuat Fasilitator dati Tim UPN Yogyakarta maupun yang langsung diperoleh Penulis.


118 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

Mengingat posisi ibu rumah tangga dalam keluarga Indonesia sangat strategis dan mempunyai pengaruh besar, maka upaya peningkatan literasi dapat diawali dari mereka. Asumsinya, kalau setiap ibu rumah tangga memiliki kemampuan literasi media yang bagus maka upaya melindungi anak dan remaja dari pengaruh siaran tv yang tidak baik dapat dilakukan secara mandiri. Kekuasaan ibu yang besar dalam lingkungan rumah tangga sebenarnya dapat dioptimalisasikan untuk menciptakan pola menonton televisi secara sehat, terutama bagi anak-anak dan remaja. Bahkan pihak suami pun pada umumnya banyak yang tunduk pada sikap tegas sang istri jika aturan yang diterapkan memang demi masa depan anak-anak. Namun, kenyataannya selama ini perempuan justru lebih banyak menjadi korban tayangan program televisi. Berbagai hasil riset menunjukkan bahwa jam menonton televisi di kalangan perempuan tergolong tinggi. Tayangan program yang oleh pandangan publik dianggap tidak berkualitas seperti sinetron, infotainment, dan lainnya, ternyata penontonnya yang paling banyak justru dari kalangan perempuan, salah satunya adalah segmen ibu-ibu rumah tangga. Oleh karena itu upaya meningkatkan kemampuan literasi media televisi bagi perempuan, terlebih untuk ibu-ibu rumah tangga merupakan agenda mendesak yang harus diwujudkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, Masyarakat Peduli Media (MPM) sebagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) merasa terpanggil untuk melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan literasi media televisi di kalangan ibu-ibu. Niat baik itu kemudian mendapat dukungan dana dari Yayasan Tifa untuk masa kegiatan selama enam bulan, dari 1 Agustus 2009 sampai dengan 31 Januari 2010. Tahap pertama dari realisasi program tersebut dimulai dengan penyusunan modul yang melibatkan sejumlah kalangan, antara lain 5 (lima) Perguruan Tinggi di DIY yang memiliki Jurusan atau Program Studi Ilmu Komunikasi, pendidik, organisasi kemasyarakatan, OMS, dan ibu rumah tangga. Tahap kedua dilakukan roadshow ke lima Perguruan Tinggi yang menjadi mitra proram, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sekolah Tinggi Pemerintahan dan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD�, Universitas Pembangunan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 119

Nasional (UPN) Yogyakarta, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Kegiatan roadshow dimaksudkan untuk tujuan penyuaraan (sounding), sekaligus mengawali proses seleksi calon trainer. Kegiatan tahap ketiga adalah Training of Trainer (TOT) yang diikuti oleh mahasiswa dari lima Perguruan Tinggi mitra. TOT ini dimaksudkan untuk membekali calon-calon trainer yang akan diterjunkan ke kampung-kampung untuk melatih ibu-ibu meningkatkan kemampuan literasi atau melek media. Mahasiswa yang telah mengikuti TOT memang disiapkan untuk menjadi ujung tombak dari pelaksanaan kegiatan melek media di tingkat akar rumput. Itu sebabnya mereka dipilih dari jurusan/program studi komunikasi dengan asumsi bahwa dari aspek substansi materi tentang televisi mereka sudah cukup memerolehnya dari kampus sehingga dalam TOT lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan/kapasitas melakukan pendampingan atau fasilitator. Setelah kegiatan TOT, tahap berikutnya adalah pelaksanaan fasilitasi melek media di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Untuk mencapai target sasaran itu maka pintu masuknya melalui unit pemerintahan terbawah, yaitu Kelurahan/Desa. Dari Kelurahan/ Desa itu selanjutnya ditentukan wilayah RW yang mau dijadikan lokasi pelatihan. Syarat utama untuk menentukan RW mana yang akan dijadikan lokasi pelatihan adalah masih eksisnya organisasi PKK. Mengapa? Dengan terlatihnya ibu-ibu yang masih aktif di PKK, diharapkan mereka dapat melakukan pengimbasan kepada sesama ibu di lingkungan sekitar, maupun ke anggota keluarga secara terus menerus. Adapun penentuan personal peserta kegiatan melek media sepenuhnya diserahkan kepada Ketua RW dan Ketua PKK maupun tokoh masyarakat setempat. Pelatihan melek media yang diselenggarakan oleh MPM dilangsungkan di lima lokasi. Setiap Perguruan Tinggi mitra mendapatkan jatah satu lokasi dan di setiap lokasi ada dua kelompok yang perlu dilatih. Tim UPN mendapatkan jatah lokasi di wilayah Terban. Tim ini terdiri dari Andika Ananda, Gregorius Agung Bayu, Jetrani Reza Diaz dan Bertha Mintari P.S. Mereka turun ke lapangan antara bulan November-Desember 2009 di bawah dosen pembimbing Arif Wibawa. Setiap kelompok dilakukan lima kali pertemuan dengan


120 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

durasi rata-rata 1,5 jam. Untuk pertemuan pertama ditentukan oleh pihak RW/PKK setempat, tetapi pertemuan selanjutnya merupakan hasil kesepakatan antara peserta dengan fasilitator. Gambaran Umum Lokasi Pelatihan Bagi masyarakat Yogyakarta, nama Terban sudah amat dikenal. Salah satu faktornya adalah letak geogra is wilayah ini yang sangat strategis. Secara administrasi pemerintahan, Terban berada di ujung utara Kota Yogyakarta dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sleman. Daerah ini memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi karena dilewati oleh hampir semua jalur angkutan kota. Posisinya berada di jalur yang menghubungkan antara pusat kota Yogyakarta seperti Stasiun Tugu, Malioboro, dan Keraton dengan Kampus Biru Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), maupun dengan Rumah Sakit Dr. Sardjito dan Panti Rapih. Nama Terban identik dengan sebutan bagi sebuah kampung, tetapi sekaligus merupakan wilayah administratif, yakni Kelurahan Terban. Terban sebagai sebuah kampung letaknya di sebelah barat Jl. Cik Di Tiro sampai di wilayah bantaran Sungai Code dan membujur ke selatan di sepanjang Jalan C. Simanjuntak sampai di Jl. Jenderal Sudirman. Kampung Terban dibagi menjadi Terban Wetan (Timur) dan Terban Kulon (Barat) yang dipisahkan oleh Jalan C. Simanjuntak. Secara sosial ekonomi kondisi Terban Timur lebih beruntung dibanding Barat. Sedangkan sebagai wilayah administratif Kelurahan Terban mencakup juga Kampung Sagan, dan Blimbingsari. Dalam kaitan dengan kegiatan melek media, penentuan lokasi dilakukan berdasarkan unit kelurahan, bukan kampung. Oleh karena kegiatan melek media di Kalurahan Terban dilakukan di dua kampung berbeda, yaitu Terban Barat (RW 06) dan Kampung Sagan (RW 12). Dipilihnya Kelurahan Terban sebagai lokasi pendidikan melek media untuk ibu-ibu berdasarkan sejumlah pertimbangan. Pertama, Terban berada di posisi yang sangat strategis dan bergandengan dengan wilayah kampus UGM. Asumsinya, interaksi masyarakat setempat dengan insan akademika UGM bisa lebih intens dibanding masyarakat lain sehingga daya kritis terhadap media tv pun tentu berbeda.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 121

Kedua, secara sosiologis Terban tergolong unik karena ada sebagian wilayah yang dulu dikenal kumuh (daerah bantaran sungai Code), tetapi bagian yang lain merupakan kawasan elit. Ketiga, ada sejumlah lembaga pendidikan yang cukup dikenal di Yogyakarta berlokasi di Terban seperti SMP 1, SMP 8, SMA 6 maupun SMA 9, Kampus UII. Dengan banyaknya lembaga pendidikan yang ada di situ diasumsikan masyarakat sekitar tidak lepas dari imbas edukatif sehingga memiliki daya kritis tinggi. Keempat, tingkat aksesibilitasnya cukup tinggi. Daerah Terban dilewati tidak hanya hampir semua jenis angkutan umum kota, tetapi juga angkutan desa, sehingga mudah dijangkau oleh para trainer yang semuanya berstatus mahasiswa. Harapan lebih jauh, kalau nanti setelah proyek awal ini selesai kemudian pihak UPN akan melanjutkan program literasi media secara mandiri sebagai bentuk pengabdian masyakarakat di lokasi yang sama (Terban) akan mudah dijangkau. Sekilas Tentang Rw 06 Letak wilayah RW 06 ada di bantaran timur sungai Code yang membelah kota Yogyakarta, tepatnya di sisi utara bawah jembatan Gondolayu (Jl Jenderal Sudirman) atau pojok barat daya Jl. C. Simanjuntak. Jumlah warga di sini ada 163 Kepala Keluarga (KK), dan kebanyakan pendatang dari berbagai tempat. Ada yang dekat dengan kota Yogya seperti Wonosari Gunung Kidul dan Klaten, tetapi ada pula yang datang dari Jawa Barat, Sumatra, dan daerah lain. Warga yang lahir di kampung Terban, tentu saja ada, tetapi kebanyakan orangtua mereka dulunya adalah pendatang. Ketua RW 06 saat ini (2009), Wagija Abdullah adalah seorang pensiunan pegawai negeri, berasal dari Klaten, dan datang ke Yogya pada tahun 1970an. Kebanyakan warga Terban RW 06 bekerja sebagai buruh dan wiraswasta, tetapi ada pula yang menjadi pegawai negeri dan swasta. Wilayah RW 06 tergolong daerah yang memeroleh perhatian dari banyak pihak, terutama sejak dekade 1980-an. Wagija Abdullah mengatakan, aktivitas pendampingan yang dilakukan MPM bekerjasama dengan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) �Veteran� di kampungnya bukan yang pertama dilakukan oleh pihak luar. Sudah berkali-kali mahasiswa dari UGM, UIN, UII, Atmajaya,


122 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

Sanata Dharma melakukan KKN di wilayah RW 06. LSM yang pernah melakukan pelatihan atau pendampingan juga sudah tidak terhitung banyaknya. Menurut Wagija, pihaknya selalu terbuka dengan program yang ditawarkan di kampungnya sejauh untuk kemajuan dan kesejahteraan warga. �Pendidikan melek media ini sangat berguna mengingat banyak warga kami yang kurang peduli terhadap tumbuh kembang anak-anaknya,� kata Wagija Abdullah. Beberapa program Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, juga secara teratur diterima warga RW 06 yang sebagian memang masuk kategori membutuhkan pertolongan. Tentu, warga juga punya kegiatan untuk mengisi waktu luang. Ibu-ibu punya kegiatan arisan setiap bulan. Penyuluhan kesehatan dari Dinas Kesehatan Pemkot sering dilakukan. Acara warga seperti senam jantung, senam lansia dan kegiatan dasawiswa RT serta kegiatan RW relatif teratur dilakukan. Berkat sering berinteraksi dengan pihak luar, maka ibu-ibu di wilayah ini tergolong kritis. Mereka sangat responsif terhadap permasalahan yang dilontarkan oleh trainer. Di wilayah ini pula ada seorang ibu (Bu Rita) yang secara naluriah sudah cukup lama membatasi diri dalam hal menonton televisi. Bu Rita hampir tidak pernah menonton program lain kecuali siaran berita. Sekilas Tentang Rw 12 Letak RW 12 berada di Kampung Sagan yang membentang di sebelah timur Jl. Cik Ditiro, sisi utara Jl. Jenderal Sudirman dan sebelah barat Jl. Profesor Yohanes. sebuah wilayah yang termasuk. Kampung Sagan memiliki sejarah sebagai wilayah elit. Di era Yogyakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Kampung Sagan menjadi lokasi perumahan Menteri, Pejabat Perbankan, dan pejabat tinggi lain. Sampai sekarang kesan sebagai kawasan elit itu masih sangat terasa. Kini, kampung Sagan terbagi menjadi 5 RW, yaitu RW 7 - 12. Wilayah RW 12 merupakan bagian paling selatan dari Kampung Terban, dan berbatasan langsung dengan Jl. Jenderal Sudirman yang merupakan jalur utama dari arah Bandara Adisucipto menuju kota Yogyakarta. Perkampungan RW 12 berada di belakang bangunan Galeria Mall. Hotel Novotel, dan sejumlah kantor lainnya yang ada di pinggir jalan Jenderal Sudirman. Di sebelah utaranya terdapat


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 123

perumahan BRI, Kantor Dinas Pertanian dan Perikanan, serta Lembaga Indonesia Perancis (LIP). Kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah ini rata-rata menengah dan cenderung ke atas, paling tidak jika dilihat dari aspek harga tanah yang sangat tinggi di wilayah ini. Mata pencaharian mereka juga beragam, ada yang pegawai negeri, pegawai BUMN, pegawai swasta, wirausaha, membuka warung, pemilik kos, jasa rias/salon, usaha laundry, dan lainnya. Ketua RW-nya sendiri, Ponimin adalah Pegawai BRI Jl. Cik Ditiro. Kondisi lingkungan sosial yang relatif mapan itu rupanya tidak cukup menarik bagi pihak lembaga luar seperti LSM dan Perguruan Tinggi untuk melakukan berbagai kegiatan ini wilayah ini seperti halnya yang terjadi RW 06 Terban Barat. Akibatnya, kegiatan fasilitasi dari pihak non pemerintah cenderung sedikit. Berbagai kegiatan pembangunan sosial masyarakat yang ada di wilayah RW 12 umumnya merupakan program dari pemerintah seperti Posyandu, PKK, dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Pelaksanaan Pendidikan Pelaksanaan pelatihan melek media di Terban barat mengambil lokasi di Balai RW 06, demikian pula untuk Terban timur di Balai RW 12. Kegiatan pendikan melek media di Terban barat dan Timur masing-masing diikuti oleh 17 orang ibu dengan tingkat kehadiran berbeda-beda selama lima kali pertemuan. Para peserta adalah ibu rumah tangga, ada yang masih memiliki anak-anak (balita sampai 18 tahun), ada yang putra-putrinya sudah dewasa, bahkan ada yang telah memiliki cucu. Peserta di wilayah Terban timur kebanyakan merupakan kader RT/RW di PKK APSARI, Posyandu, dan PAUD. Pilihan ini merupakan keputusan Pengurus RW 12 dengan maksud agar mereka nantinya mampu menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan kepada ibu lainnya. Intensitas ibu-ibu peserta pelatihan dalam menonton televisi ternyata sedikit berbeda antara Terban barat dan timur. Ibu-ibu di Terban barat memiliki intensitas cukup tinggi dalam menonton televisi dibanding mereka yang ada di Terban timur. Hal ini karena sebagian besar peserta pelatihan di RW 12 tidak lagi memiliki


124 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

anak kecil sehingga mereka menonton televisi ketika benar-benar menginginkannya. Namun, baik di Terban barat maupun timur sama-sama belum memiliki aturan dalam menonton tv yang dibuat bersama keluarga. Bahkan muncul pendapat, kalau pun dibuat aturan toh juga sulit ditegakkan terutama di keluarga yang ada pihak ketiga, yaitu kakek/nenek atau anggota keluarga lain. “Kadang kita sudah buat aturan begini, tetapi kalau neneknya sudah duduk di depan tv dan menguasai remote control, ya sudah, tidak bisa apa-apa lagi�, celetuk seorang peserta. Dalam hal kebiasaan menonton, ternyata ada kecenderungan dalam semua keluarga untuk menonton televisi secara bersamasama. Anak dan orangtua biasa menonton bareng-bareng di rumah. Meski demikian acara anak anak seperti ilm kartun kebanyakan ditonton oleh anak-anak. Hanya satu ibu yang mengatakan menyukai ilm kartun

Tahap dan Hasil Kegiatan Pelaksanaan kegiatan pendidikan melek media di Terban barat dan timur mengikuti pola yang telah disepakati sebelumnya. Masing-masing tempat dilakukan sebanyak lima kali tatap muka, dengan durasi 1.30’ – 2 jam untuk setiap kali pertemuan. Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan kapasitas ibu-ibu untuk bersikap kritis dalam menghadapi tayangan program televisi sehingga mampu melindungi anak-anak dari pengaruh yang tidak baik dari media tersebut, serta mengetahui mekanisme pengaduan ke pihak KPI/KPID, melakukan kampanye dan pengorganisasian diri ketika menghadapi tayangan program yang tidak baik. Guna mencapai tujuan tersebut, materi yang disampaikan meliputi lima pokok bahasan, yaitu (1) analisis program televisi, (2) pengaruh televisi terhadap anak, (3) Pola pendampingan dan media alternatif, dan (4) pengaduan, kampanye, dan pengorganisasian. Adapun metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah berbagi pengalaman (sharing), curah pendapat (brainstorming), ceramah, menonton dan diskusi program, dan presentasi kelompok. Dari sejumlah metode yang digunakan ternyata yang paling disukai para peserta dan adalah menonton program kemudian mendiskusikannya secara bersama-sama.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 125

Hari I. Tahap kegiatan pelatihan selalu dimulai dengan perkenalan antara peserta dengan para fasilitator, termasuk memerkenalkan lembaga yang terlibat dalam program ini, dilanjutkan penyampaian maksud dan tujuan diadakannya program pendidikan melek media (tv) untuk ibu-ibu. Pada pertemuan pertama ini disepakati pula tentang jadwal kegiatan selanjutnya dan menyepakati mekanisme yang dijalani bersama. Setelah melakukan kontrak kegiatan kemudian para peserta diminta mengisi quesioner sebagai bentuk pretes. Tahap selanjutnya adalah sharing pengalaman menonton televisi. Kegiatan ini terutama dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara peserta dengan fasilitator. Dari sharing diperoleh data bahwa berbagai jenis acara televisi ternyata sangat dikenal warga dengan baik. Dari televisilah, mereka mendapatkan informasi, hiburan, pengetahuan politik, dan tentu saja gosip seputar selebriti. Melalui sharing ini pula diperoleh data berupa keluhan warga tentang pengaruh negatif tayangan program televisi. Kegelisahan masyarakat tentang banyaknya tayangan program televisi yang tidak baik ternyata sudah masif. Namun, selama ini mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka berharap pemerintah mestinya mengambil tindakan tegas terhadap stasiun televisi guna melindungi masyarakat. Ibu-ibu mengaku tidak tahu bahwa dirinya memiliki hak untuk mengadukan acara program yang tidak baik, bahkan ada perasaan takut kalau melakukan pengaduan nanti malah balik diperkarakan. Ibu-ibu peserta pelatihan juga mengaku belum mengenal KPI/KPID, apalagi memanfaatkannya. Hari II. Melalui pokok bahasan analisis program televisi, peserta diajak untuk dapat membedakan jenis program yang sifatnya faktual jurnalistik dan yang isksional hiburan Dari sini diharapkan peser ta dapat membedakan antara fakta dan iksi pada program televisi bahwa acara di televisi hanyalah arti isial saja Misalnya penonton acara musik, peserta kuis, dan pemain reality show sebagian besar adalah orang bayaran. Kenyataan ini menunjukkan bahwa acara di televisi tidak nyata atau hanya sekedar konstruksi realitas semata. Yang perlu diperhatikan bahwa tayangan-tayangan tersebut tidak sepenuhnya merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Tentu tidak mudah menjelaskan hasil penelitian para pakar soal ini kepada ibu-ibu


126 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

yang latar belakang sosialnya beragam, tetapi dengan berbagai contoh pada akhirnya bisa dimengerti pula. Dalam hal tontonan televisi non berita, para fasilitator berusaha menjelaskan dengan contoh-contoh tentang proses pembuatan sebuah program acara televisi sejak dari perencanaan sampai ditayangkan kepada publik. Melalui diskusi dapat diketahui bahwa acara-acara hiburan seperti Bukan Empat Mata dengan presenter komedian Tukul, Dorce Show, Tawa Sutra, Extravaganza, OKB, Termehek-mehek, dan berbagai sinetron ternyata secara umum lebih banyak ditonton dari pada program faktual. Berdasarkan ungkapan personal mereka terlihat bahwa sebenarnya telah terkandung kesadaran kritis mereka saat menonton televisi. Hal itu tampak dari ungkapan beberapa ibu seperti disajikan dalam kutipan berikut. ”Acara Termehek-mehek itu tenanan apa ora (betulan tidak) ta, Mas?” tanya Ibu Sucipto, 41 tahun. ”Juga Curhat dengan Anjasmara itu apa benar-benar begitu? Masa orang punya aib kok mau saja disebarkan di media massa,” ujar ibu Eko Wati, 37 tahun ”Semua itu rekayasa, kecuali berita,” ujar Ibu Rita Jumirah, 60 tahun, meyakinkan tetangganya. ”Kick Andi itu Inspiratif,” kata ibu Ika Herni, 40 tahun, pemilik salon kampung Terban barat, dan disetujui beberapa ibu yang lain. ”Suami saya suka acaranya Mario Teguh. Ketika dia memberi brie ing pada anak buahnya tentang bagaimana mengelola kepribadian itu bagus” ujar ibu Sri Rahayu, 33 tahun. ”Saya dulu nonton Cinta Fikri. Tapi lama-lama bikin emosi saja, maka ya saya tidak nonton lagi,” ujar Ibu Marluti Sa’ami, 58 tahun. ”Saya takut kalau anak saya ikut-ikutan tidak sopan seperti Sincan,” ujar ibu Suratmi, 38 tahun. Melalui pemutaran contoh-contoh program yang pernah


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 127

ditayangan televisi dan kemudian dilakukan diskusi, muncul beragam pendapat dari para peserta yang kemudian mengerucut pada program yang baik dan yang buruk. Beberapa ibu menyampaikan kekhawatirannya tentang pengaruh iklan. Akibat sering nonton iklan televisi, anak-anak jadi konsumtif. Apa saja yang ditawarkan teve ingin dibelinya. Ini tentu saja merepotkan orangtua. Ibu yang lain menyampaikan pendapatnya bahwa ilm kartun anak anak tidak se lalu baik isinya. Contoh, kartun Sincan mengajarkan perilaku tidak sopan pada anak-anak. Sincan sering menunjukkan kemaluannya pada teman-temannya, sambil bilang, ”Gajah-gajah,”. Sincan juga sering tidak sopan pada wanita. Namun, di antara acara-acara yang buruk, para ibu yakin, ada beberapa acara televisi yang baik. Acara Si Bolang, Kick Andi, Are U Smart than Fifth Grader Global TV, Laptop si Unyil , Jejak Petualangan adalah contoh acara yang baik. Meski demikian, jumlah acara televisi yang baik jauh lebih sedikit dibanding yang buruk. Sinetron-sinetron, kualitasnya buruk, dan hanya mengaduk-aduk emosi. Ibu-ibu berharap agar pihak televisi berpikir tentang masa depan anak-anak dan jangan hanya membuat acara yang asal menyenangkan penonton. Di antara para peserta, Ibu Rita dari RW 06 termasuk paling unik. Sebagai seorang ibu yang anak-anaknya sudah bekerja semua, dan di rumah dia lebih sering sendirian, televisi adalah temannya. Ibu Rita sangat suka menonton berita. ”Selama 10 hari saya mengikuti berita ’Cicak melawan Buaya’. Saya ikut begadang nonton TVOne sampai jam 3 pagi, menyaksikan Kapolri memberikan penjelasan di DPR soal kriminalisasi KPK,” ujarnya bangga. Akan tetapi Ibu Rita belum tahu bahwa tidak semua berita yang ditayangkan berkualitas baik. Ia yakin semua berita baik dan layak ditonton. Semua program berita di televisi Indonesia telah dijelajahinya untuk ditonton. Meskipun menyukai berita, tapi ia menghindari berita kriminal karena membuatnya takut. Hari III. Tahap selanjutnya peserta diajak untuk mendiskusikan pokok bahasan tentang pengaruh televisi terhadap anak. Kami memulai dengan menjelaskan kembali bagaimana proses produksi sebuah program televisi. Kami menggali pemahaman ibu-ibu


128 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

mengenai dunia televisi Indonesia saat ini. Pendidikan ibu-ibu yang bukan sarjana tidak menyebabkan mereka kehilangan daya kritis. Hanya saja, informasi tentang fakta di balik produk televisi, sering kurang dipahami secara baik oleh mereka. Oleh karenanya selama ini mereka hanya menduga-duga dan penasaran karena tidak tahu jawaban persisnya. Usai menyegarkan kembali materi pelatihan sebelumnya, pertemuan dilanjutkan sharing pengalaman antara fasilitator dengan peserta tentang pengaruh siaran televisi terhadap anakanak. Cuplikan berbagai program teve membantu peserta untuk membedakan antara jenis tayangan yang aman dan tidak aman bagi anak. Setelah mendiskusikannya bersama. Para ibu menyampaikan bagaimana televisi memberikan pengaruh negatif pada anak-anak. Bagaimana anak Anak suka menirukan adegan-adegan tidak baik yang ada di televisi, seperti perang-perangan, main pukul, membentakbentak orang tua. Ada pula anak yang sering menirukan orangtua yang marah, menirukan tingkah artis dan gaya berpakaiannya yang tidak sopan. Seorang ibu mengatakan bagaimana anaknya menirukan gaya superman dan spiderman Bahkan ilm ilm hantu yang tidak rasional, juga disukai anak-anak. Selain itu, gaya bicara anak-anak Yogya juga berubah seperti gaya bicara orang Jakarta. Anak-anak suka menirukan kata-kata, “Ngapain kamu..,” , “Bego loe..” Gue lagi bete ama Lo...” dan istilah lain yang serupa. Seorang ibu juga mengaku, anaknya suka membantah, berani melehke (balik menyalahkan) ibunya dengan mengutip kata-kata kasar seperti yang dia lihat di teve. Padahal anak itu baru berusia 9 tahun. Ada pula anak yang sering menirukan kata-kata kasar si Enthong tokoh dalam sinetron anak di teve. Yang lebih memrihatinkan para ibu adalah ketika anak-anak menonton teve, mereka bersikap cuek dengan lingkungan sekitar, cenderung pemalas, dan susah diperintah orangtua. “Ada tamu sudah ketuk-ketuk pintu dan uluk salam ya dibiarkan saja, kecuali kalau orang tua sudah marah,” ujar seorang ibu. Akan tetapi selain pengaruh negatif, ibu-ibu di juga mengakui bahwa teve memberikan pengaruh positif pada anak-anak. Anakanak menirukan hal hal positif ketika melihat ilm seperti Si


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 129

Bolang, Anak Pemberani, Laptop si Unyil, Jalan Sesama, dan Citacitaku. Televisi juga membantu anak memperluaskan pengetahuan sehingga anak cepat memahami sesuatu, menumbuhkan sikap kritis. Selain itu, acara seperti “Tolong” menurut beberapa ibu, bisa membantu meningkatkan sikap kedermawanan anak. Beberapa ibu mengungkapkan, daya imajinasi dan kreativitas anak juga berkembang atas dorongan beberapa acara di televisi. Program Indonesia Ideal dan sejenisnya menumbuhkan rasa percaya diri anak. Sementara program investigasi, Metro File meningkatkan kesadaran kritis anak terhadap lingkungan mereka. Para peserta juga diajak untuk mengenali makna kode klasi ikasi acara yang sering muncul di layar televisi, seperti BO (Bimbingan orang tua), SU (Semua Umur), R (Remaja), dan D (Dewasa). Sebagian besar peserta selama ini ternyata tidak menyadari adanya kode tersebut dan tidak pula memerhatikan maknanya. Setelah menjelaskan makna dari kode tersebut, fasilitator mengingatkan bahwa sering kali kode itu dilanggar oleh pihak stasiun televisi karena acara tersebut banyak penonton sehingga kode yang dicantumkan belum tentu akurat. Oleh karena itulah diperlukan kewaspadaan tinggi dari pihak orang tua untuk selalu melindungi anaknya. Pelanggaran itu juga banyak disebabkan karena tidak adanya protes dari pemirsa. Kebanyakan pemirsa Indonesia merasa semua ilm kartun ditujukan untuk anak anak dan itu artinya aman bagi anak. Kenyataannya tidak semua ilm kartun aman bagi anak Karena itu ketika ilm kartun aVaTaR yang di luar negeri peruntukannya bagi remaja, tetapi di Indonesia ditonton oleh anak kecil, tak ada protes sehingga terus saja AVATAR disiarkan untuk semua umur, khususnya anak-anak. Di Terban barat dipertontonkan dua contoh ilm kartun yang baik dan yang buruk untuk anak-anak. Dora The Explorer adalah contoh kartun yang baik karena menampilkan pesan-pesan edukasi yang dan cocok untuk anak-anak. Sementara Shincan, adalah contoh ilm kartun yang kurang layak tonton karena banyak menampilkan contoh buruk. “Aku melu (ikut) nonton sincan itu ya ga suka, karena kelihatannya saru. Sincan itu anak kecil, tapi suka nggodain orangtua. Sincan juga suka mengeluarkan alat kelaminnya sambil bilang ‘gajah-gajah’. La kalo anak saya ikut-ikutan bagaimana?,” ujar


130 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

ibu Supriyadi th yang anaknya lebih tahu noti ier Pada akhir sesi, peserta diajak mengenali kategori tontonan tv bagi anak-anak. Dengan menggunakan sumber majalah Kidia yang diterbitkan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak, Jakarta, peserta dikenalkan adanya kategori �Aman, Hati-hati, dan Bahaya� untuk anak. Informasi seperti ini ternyata sangat mereka butuhkan. Mereka berharap panduan seperti itu juga tersedia untuk program yang bukan hanya anak-anak. Hari IV. Tahap keempat yang dilakukan adalah membahas pola pendampingan anak menonton tv dan media alternatif. Dasar pertimbangannya adalah setelah orang tua mengetahui pengaruh positif dan negatif dari siaran televisi, diharapkan mereka dapat bersikap kritis terhadap tayangan program televisi. Tindakan yang diharapkan adalah melakukan pendampingan ketika anakanak menonton televisi, serta dapat memberikan pilihan alternatif kegiatan bagi anak untuk menyalurkan waktunya. Langkah ini penting untuk dilakukan mengingat situasi yang tidak mudah bagi orang tua untuk melarang anaknya tidak menonton televisi. Guna membahas topik ini, kegiatan di Terban timur peserta diberi tugas kelompok. Kelompok satu membahas tentang pola pendampingan, dan satunya lagi mendiskusikan media alternatif. Hasil diskusi kelompok dipresentasikan di hadapan semua peserta untuk dikritisi dan diperkaya sehingga hasil akhirnya dapat menjadi kesepakatan bersama. Dari diskusi kelompok diketahui, ada banyak kendala yang dihadapi orang tua untuk melakukan pendampingan pada anakanak dalam menonton televisi. Pertama, setiap keluarga belum mempunyai aturan dalam menonton tv. Kedua, tidak mudah untuk menghentikan kebiasaan anak yang sudah terlanjur kecanduan dengan televisi. Ketiga, terbatasnya kemampuan orang tua untuk mengetahui mana program yang aman dan tidak aman bagi anakanak. Keempat, kurangnya informasi yang dapat dijadikan acuan bagi orang tua untuk melakukan pendampingan. Mengingat berbagai keterbatasan, maka upaya pendampingan yang mungkin dapat dilakukan sebagai berikut.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 131

1. Membuat kesepakatan waktu menonton tv dalam keluarga, sehingga ada ketentuan kapan anak-anak boleh dan tidak boleh menonton. 2. Sedapat mungkin akan mendampingi anak-anak sewaktu mereka menonton teve 3. Kalau memungkinkan akan menempatkan pesawat tv di rumah pada tempat yang tidak begitu nyaman sehingga anakanak tidak betah menonton 4. Berusaha mengurangi jam menonton teve, kalau bisa cukup dua jam per hari. 5. Menciptakan kegiatan lain untuk mengalihkan kegiatan menonton tv. 6. Membagikan pengetahuan kepada ibu-ibu lain tentang pentingnya melek media (TV). Kelompok 2, mendiskusikan tentang media dan kegitan alternatif untuk mengurangi nonton teve. Ada beberapa hal yang disepakati. Para ibu akan menyediakan video atau permainan edukatif yang dapat mendorong kreativitas dan meningkatkan kecerdasan anak. Ibu-ibu juga akan menyediakan buku-buku cerita rakyat. Selain itu, anak-anak juga akan diberikan kesibukan berupa kegiatan yang mendidik, tetapi menyenangkan seperti mewarnai, menempel atau menyusun gambar. Acara jalan-jalan dengan anak juga akan dilakukan untuk mengalihkan perhatian anak terhadap televisi. Begitu juga menciptakan kegiatan di tempat ibadah pada sore hari dapat dilakukan sebagai ganti menonton televisi. Alternatif kegiatan lain; mendorong anak membentuk kelompok belajar, memberikan tugas anak berupa pekerjaan membantu orangtua, seperti petik sayur bagi anak perempuan dan menguras kolam buat anak laki-laki Hari V. Tahap terakhir pelatihan digunakan untuk menyampaikan pokok bahasan pengaduan, kampanye, dan pengorganisasian. Hal ini disampaikan dengan dasar permikiran bahwa perubahan tidak cukup dibebankan kepada keluarga, tetapi pihak penyelenggara siaran tv


132 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

pun harus berbenah. Namun, sering kali pihak televisi mau berubah kalau ada tekanan dari publik. Oleh karena itu cara-cara mengadukan tayangan program tv yang tidak baik dan mengampanyekannya kepada masyarakat kuas perlu diperkenalkan kepada peserta. Agar suara masyarakat diperhatikan oleh pihak stasiun televisi maka sebaiknnya pengaduan dan kampanye tersebut tidak dlakukan secara sendiri-sendiri, tetapi berkelompok. Untuk itulah perlunya disampaikan pengetahuan mengenai pengorganisasian diri. Di Terban timur pokok bahasan ini dapat disampaikan secara optimal karena adanya dukungan materi berupa Buku Mengenal KPID DIY yang di dalamnya memuat Standar Program Siaran (SPS) dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3). Peserta sempat diajak memelajari bersama contoh penerapan SPS dan P3 sebagai dasar melakukan pengaduan ke pihak KPID. Pada kesempatan itu pula sempat dilatihkan tentang cara menyampaikan pengaduan melalui SMS agar efektif dan e isien Bentuk kalimat pengaduan yang disepakati sebagai berikut. Menyebutkan Nama Stasiun Tv Yang Bersangkutan, Menyebutkan Waktu Siaran (Tanggal, Bulan, Tahun, Jam), Nama Acara, Jenis Pelanggaran, Dan Identitas Pengirim. SMS pengaduan tersebut dapat dikirim ke KPID DIY melalui nomor: 0812 2789 4444. Selain melalui SMS, pengaduan dapat pula disampaikan melalui faximili atau telelon ke nomor: (0274) 371 444, E-mail: sekretariat@kpiddiy.com, atau datang langsung ke Kantor Sekretariat KPID DIY di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta. Ketika disodori model pengaduan secara tertulis hampir semua peserta menganggapnya ribet atau rumit. Penutup Pada hari terakhir pertemuan, dilakukan post test. Peserta yang hadir diminta untuk mengisi quesionare yang telah disiapkan oleh MPM. Namun, untuk mendapatkan masukan kualitatif, dilakukan pula evaluasi melalui re leksi bersama antara peserta dan fasilitator Berdasarkan hasil evaluasi melalui re leksi bersama diperoleh gambaran bahwa kegiatan semacam ini ternyata sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sebelum mengikuti pelatihan, banyak ibu yang


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 133

masih meraba-raba maksud dan tujuan kegiatan, serta memertanyakan manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Akan tetapi setelah ikut pelatihan, akhirnya mereka mengakui bahwa kegiatan seperti ini sangat penting bagi semua ibu, terutama yang masih mempunyai anak kecil. “ Kalau tahu seperti ini, mereka yang malasmalasan ikut pasti menyesal,� kata Ny. Suherlan. Menurut ibu-ibu kegiatan ini memberikan bermanfaat, antara lain: 1. Menambah pengetahuan mengenai media, terutama tv 2. Meningkatkan kemampuan membedakan program yang baik dan buruk, antara program yang berkualitas dengan tidak. 3. Dapat memilih program tayangan yang bermutu 4. Meningkatkan kemampuan dalam menyikapi tayangan tv yang tidak baik. Sebelum ikut pelatihan mereka sebenarnya juga sudah bisa merasakan program yang baik dan tidak baik. Akan tetapi mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika menghadapi program yang tidak baik, sedangkan sekarang mereka tahu langkah yang harus diperbuat jika menghadapi tayangan program yang buruk. 5. Mendorong kesadaran untuk mengurangi jam menonton televisi 6. Mendorong kesadaran perlunya membuat aturan menonton televisi di dalam keluarga masing-masing 7. Mengetahui cara menempatkan pesawat tv di dalam rumah agar tidak menumbuhkan kecanduan menonton pada anakanak. 8. Mengetahui cara-cara pendampingan anak dalam menonton televisi Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini, peserta berkomitmen untuk membagikan pengetahuan yang didapat dari pelatihan kepada anak-anak, dan anggota keluarga. Bagi keluarga yang di rumah ada pihak ketiga memang tidak dapat menjamin kalau aturan yang akan dibuatnya bisa efektif, tetapi setidaknnya ada komitmen untuk


134 IBU-IBU RUMAH TANGGA DI TERBAN MEMBACA TELEVISI

berubah. Sebagian ibu, terutama peserta yang berasal dari kader RT/RW setempat berjanji untuk menyebarluaskan pengetahuan yang mereka dapatkan dalam pelatihan ini kepada warganya melalui forum yang ada di kampung itu. Di luar hasil fasilitasi yang menggembirakan di Terban barat dan Timur ada satu catatan penting yang perlu dijadikan re lekasi Bahwa ternyata warga masyarakat di tingkat grasroot adalah warga yang cerdas. Mereka kritis terhadap siaran televisi, dan paham bahwa produk televisi sebagian besar berdampak buruk bagi anakanak. Mereka melihat bahwa hanya sedikit tontonan di televisi yang berkualitas. Namun, mereka membutuhkan fasilitasi agar mampu menyampaikan keluhan pada pihak yang berkompeten, dan memerlukan bantuan untuk mendapatkan pengetahuan praktis mengenai cara menilai program yang baik atau buruk. Setelah kegiatan pelatihan usai mereka tidak yakin akan bisa dengan mudah mendapatkan informasi aktual tentang hasil penilaian mengenai berbagai tayangan program di televisi.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 135

I

I M

PKK M T

M

Lusi Margiyani

Pendahuluan Ketika saya masuk di gang RW XI Kampung Muja-muju, menanyakan tempat pertemuan sore itu, beberapa ibu yang sempat saya temui di jalan, menjawab “…O ya sore ini ada penyuluhan tentang TV dan Anak di rumah Bu Yanti…” KATA PENYULUHAN ternyata lebih akrab di telinga ibu-ibu dibandingkan kata diskusi ataupun pendidikan. Kalau ibu-ibu mendengar kata pendidikan ternyata yang terbayang di benak mereka adalah pendidikan formal di sekolah. Istilah literasi media juga masih sangat asing di telinga ibu-ibu rumah tangga di Kampung Muja-Muju. Ketika pada pertemuan pertama ditanya apakah pernah mendengar istilah literasi, ternyata hamper semua mengaku belum tahu dan merasa belum pernah mendengarnya. Memang kalau istilah media, mereka sudah paham dan bisa memberikan contoh macam-macam media. Namun, kalau literasi media atau melek media mereka baru mendengarnya di forum pelatihan ini.


136 IBU-IBU PKK MUJA-MUJU MEMBACA TELEVISI

Pendidikan literasi media atau melek media untuk kelompok masyarakat yang dilakukan oleh Masyarakat Peduli Media (MPM) bekerja sama dengan 5 Perguruan Tinggi di Yogyakarta ini memang relatif baru. Sebuah ide yang bagus dengan melibatkan Perguruan Tinggi untuk menerjunkan mahasiswanya melakukan pendidikan di masyarakat. Bahkan kegiatan semacam ini dapat digunakan sebagai alternatif Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk mahasiswa tingkat akhir, khususnya dari jurusan komunikasi sebagai KKN tematik. Saya mewakili MPM mendampingi tim fasilitator dari mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Pemerintahan dan Masyarakat Desa (STPMD “APMD”) Yogyakarta. Fasilitator terdiri dari 4 orang , Unigani, Johan Nasruddini Firdausi, Ruben Panieon, Mariana Syari Pertiwi dengan dosen pembimbing Sahrul Akhsa. Dua orang dari antara mereka saat pendidikan literasi media ini dilakukan sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di wilayah Kabupaten Bantul, satu orang lagi masih duduk di semester awal. Jadi, hanya satu orang dari 4 fasilitator tersebut yang menggunakan kegiatan pendidikan literasi ini sebagai KKN tematik. Wilayah yang menjadi dampingan dari tim fasilitator STPMD “APMD” adalah di wilayah Kampung Muja-Muju, Kecamatan Timoho, Kota Yogyakarta. Kampung ini berada di bagian timur Kota Yogyakarta yang berbatasan dengan Kecamatan Banguntapan, Bantul. Dibanding wilayah lain di Kota Yogya, kepadatan lalu lintas di Jl. Timoho tidak begitu tinggi meskipun di daerah ini sebenarnya ada kantor Balaikota yang merupakan pusat pemerintahan Kota Yogyakarta, Kantor DPRD Kota dan sejumlah lembaga pemerintah maupun swasta. Beberapa lembaga pendidikan, seperti SMA Negeri 8, SMK Industri, dan SMP Pangudi Luhur I juga berada di wilayah ini. Tingkat aksesibilitas wilayah Timoho cukup tinggi karena dapat dicapai hanya dalam waktu sekitar 15 menit perjalanan kendaraan bermotor dari Bandara Adisucipto. Timoho dipilih sebagai salah satu lokasi untuk penyelenggaraan kegiatan literasi media (TV) untuk ibu-ibu berdasarkan dua pertimbangan utama. Pertama, lokasi kampus STPMD “APMD” berada di wilayah Timoho, sehingga kegiatan ini merupakan salah satunya bentuk pengabdian dari kampus kepada masyarakat di sekitarnya.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 137

Dengan adanya kedekatan lokasi itu diharapkan kegiatan serupa dapat dilakukan secara berkelanjutan oleh pihak STPMD sendiri meskipun proyek pihak MPM telah berakhir Kedua secara geogra is letak Timoho berada di pinggiran Kota Yogya, sehingga penting untuk mengetahui bagaimana kebiasaan ibu-ibu rumah tangga setempat dalam menonton televisi. Peserta yang terlibat dalam kegiatan pendidikan melek media ini adalah kelompok ibu-ibu di RW XI yang terdiri dari perwakilan beberapa Rukun Tangga (RT). Pada awal kunjungan ke pengurus PKK setempat berhasil disepakati mengenai kriteria untuk menjadi peserta pelatihan, yaitu diutamakan ibu-ibu yang mempunyai anak di bawah 15 tahun. Salah satu yang mendasari pertimbangan Kriteria peserta ini karena mereka menghadapi persoalan langsung dengan pendampingan anak berkait dengan menonton TV, serta diharapkan dari mengikuti kegiatan ini, mereka bisa menerapkan secara langsung di rumah. Keseluruhan jumlah peserta sekitar 45 orang yang terbagi dalam 2 kelompok. Kebanyakan mereka adalah ibu rumah tangga meski ada beberapa yang bekerja, dengan rentang usia antara 2550an tahun. Latar belakang pendidikan beragam, rata-rata mereka pernah sekolah setingkat sekolah menengah, tetapi ada beberapa yang diploma atau sarjana Untuk efekti itas diharapkan peserta tetap (tidak berganti-ganti orang) dan mengikuti keseluruhan. Ternyata sampai dengan 5 kali pertemuan, ibu-ibu dapat menepatinya meskipun kadang satu dua orang tidak datang di salah satu pertemuan dikarenakan ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Tahap Persiapan Proses kesiapan di tingkat MPM maupun di pihak fasilitator, perlu ditulis sebagai sebuah lesson learn karena berkait dengan proses belajar. Keterlibatan saya secara formal dalam program ini dimulai dengan menjadi peserta workshop penyusunan modul yang diadakan MPM pada bulan Agustus 2009. Akan tetapi, di luar MPM saya juga terlibat dalam program literasi media tv yang diadakan oleh Early Childhood Care and Development Resource


138 IBU-IBU PKK MUJA-MUJU MEMBACA TELEVISI

Center (ECCD-RC) dengan target grup guru-guru TK di wilayah Yogyakarta dan Jawa Timur. Keterlibatan dalam kegiatan sejenis di dua tempat yang berbeda tentu menambah luas perspektif dan sekaligus kemampuan saya dalam mendampingi fasilitasi yang dilakukan oleh mahasiswa STPMD di Timoho. Para fasilitator yang terlibat dalam pelatihan ini adalah hasil seleksi dari mereka yang mengikuti road show literasi media di kampus STPMD pada bulan September 2009. Fasilitator dan narasumber dalam road show tersebut adalah Zein Mufarrih Muktaf, Sahrul Akhsa, keduanya terlibat dalam proses penyusunan modul yang diadakan MPM bulan Agustus 2009. Sebelum terjun ke lapangan kami (saya dan fasilitator) melakukan diskusi untuk persiapannya. Setelah melakukan koordinasi internal, tim melakukan pendekatan ke pemerintah setempat dan pengurus PKK. Penerimaan pemerintah setempat cukup bagus, bahkan kemudian memberikan kontak person seorang pengurus PKK agar berkoordinasi secara langsung. Sambutan dari masyarakat, dalam hal ini kelompok ibu-ibu di RW XI sangatlah baik, bahkan mereka menyediakan tempat untuk pertemuan dan bersedia mengkoordinasi ibu-ibu dari 3 RT untuk terlibat dalam pendidikan literasi media dan memberikan bantuan teknis pelaksanaan kegiatan. Pelaksanaan di lapangan Pendidikan melek media yang diselenggarakan oleh MPM ini berupa penyampaian serangkaian materi kepada kelompok ibu PKK yang dikemas dalam 5 kali pertemuan. Kesepakatan dengan pengurus PKK mengenai waktu yang memungkinkan untuk pertemuan adalah pada sore hari dengan durasi hanya sekitar 1 jam setiap pertemuan. Oleh karenanya tim fasilitator harus mengemas ulang materi yang akan disampaikan dengan menyesuaikan waktu yang tersedia. Itupun masih harus memperhitungkan untuk menyisihkan waktu pada pertemuan perdana untuk perkenalan, penjelasan program, kelembagaan, dan melakukan pre test, serta pada pertemuan terakhir untuk evaluasi kualitatif, pengisian quesioner post test, dan ucapan terima kasih. Artinya, waktu yang tersedia secara efektif untuk penyampaian materi hanya sekitar 4 jam.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 139

Pada pertemuan koordinasi untuk persiapan pelaksanaan kegiatan di lapangan, kami menyusun materi berdasarkan modul dari MPM kemudian disesuaikan untuk setiap pertemuan sampai dengan pertemuan kelima. Dengan durasi yang hanya 1 jam, kami lebih banyak memodi ikasi modul sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Pada dasarnya semua materi tetap disampaikan, tujuan dan output tetap menjadi target setiap materi, hanya pada aspek tahapan proses memfasilitasi lebih banyak dilakukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi setempat maupun karakteristik peserta pelatihan. Materi pertemuan pertama berupa perkenalan dan penjelasan singkat mengenai kegiatan melek media dan kelembagaan serta penjajagan awal untuk mengetahui sejauh mana tingkat melek media para peserta dan melakukan penjajagan kebutuhan (need assisment). Penjajagan awal dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah disediakan oleh MPM dan berupa pancingan pertanyaan dari fasilitiator kepada peserta sebagai pre test sebelum serangkaian kegiatan melek media dilakukan. Pada acara perkenalan, peserta menuliskan di secarik kertas nama diri dan tayangan yang paling sering ditonton, kemudian ditempelkan di dada. Dari perkenalan dan dilanjutkan tanya jawab banyak terungkap, ternyata tayangan yang paling banyak ditonton ibu-ibu adalah sinetron dan reality show seperti “Termehek-Mehek� (Trans TV). Namun, ada beberapa peserta yang menuliskan berbeda dengan kebanyakan ibu yang lain, yaitu menyukai tayangan talk show “Kick Andy� (Metro TV). Pada pertemuan hari pertama belum kondusif untuk membahas materi utama yang telah disiapkan karena dua alasan. Alasan pertama, acaranya masih berupa perkenalan, penjelasan umum kegiatan literasi, dan pre test. Pada kenyataannya, durasi yang dibutuhkan untuk mengisi quesioner pre test rata-rata 30 menit . Kedua, pada pertemuan pertama semua peserta yang kelak dipecah menjadi dua kelompok itu masih dikumpulkan menjadi satu ruang sehingga tidak efektif untuk menyampaikan materi utama. Pada akhir sesi dilakukan pembagian kelompok menjadi dua, yaitu Grup A dan Grup B meskipun pelaksanaan pelatihannya di tempat dan waktu yang sama. Setelah kelompok berhasil dibentuk selanjutnya dilakukan kesepa-


140 IBU-IBU PKK MUJA-MUJU MEMBACA TELEVISI

katan mengenai waktu dan ketentuan lain yang dapat mendorong berhasilnya kegiatan literasi media. Pada pertemuan kedua barulah bisa masuk ke pembahasan materi. Peserta sudah dipisahkan menjadi dua kelompok besar dan setiap kelompok didampingi oleh dua orang fasilitator. Topik yang diangkat pada pertemuan kedua ini adalah Media Literasi dan Analisa Program. Para peserta sangat antusias untuk mengikuti pembahasan masalah ini. Pertanyaan yang banyak muncul dari peserta adalah tentang tayangan yang layak dan tidak layak ditonton. Selain itu mereka merasa penasaran mengenai tayangan reality show seperti “Termehek-Mehek”, “Realigi”dan “Orang Ketiga”, apakah betul-betul kejadian asli ataukah rekayasa. Untuk membahas materi yang layak dan tidak layak tonton, peserta pelatihan di masingmasing grup dibagi ke dalam kelompok kecil untuk melakukan diskusi. Berdasarkan hasil diskusi kelompok, para peserta berhasil mengidenti ikasi tayangan yang layak dan tidak layak tonton Jenis program yang dianggap memenuhi kriteria layak tonton diantaranya :”Minta Tolong” (RCTI), “Jika Aku Menjadi”(Trans TV), “Negri Impian” (TV One), “Laptop si Unyil” (Trans TV). Adapun alasan yang dikemukakan peserta mengenai kelayakan tonton adalah karena tayangan tersebut mengandung pesan moral, kritik membangun, menambah pengetahuan tapi juga tetap menghibur. Sedangkan tayangan yang tidak layak ditonton, antara lain “Masihkah Kau Mencintaiku” (RCTI), “Curhat” (TPI), “Suami-suami Takut Istri”, “Ronaldowati” (TPI) dan “Jail” (Trans 7). Mereka mengemukakan alasan yang beragam tapi pada intinya karena kurang mendidik dan merendahkan martabat manusia. Pertemuan ketiga dan keempat merupakan pertemuan yang sangat hidup, kemungkinan karena mulai terjalin keakraban antara peserta dan fasilitator serta materi yang dibahas sangat relevan dengan kebutuhan ibu-ibu, yakni mengenai Mendampingi Anak Menonton TV secara Benar. Sebenarnya sejak pertemuan pertama kebutuhan materi berkait dampak media terhadap anak serta cara mendampingi anak menonton TV secara benar, sudah mengemuka. Meski tidak secara runtut dan mendalam, tetapi hampir semua materi yang ada di modul,


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 141

yaitu Tahap Perkembangan Anak, Dampak TV pada Anak, Membuat dan Menerapkan Aturan, Komunikasi yang Efektif dan Kegiatan Alternatif, sempat terbahas. Melalui metode penugasan di kelompok untuk mendiskusikan topik-topik yang dibagikan kemudian dipresentasikan, ternyata efektif untuk menggugah dinamika proses belajar dan mewadahi pendapat dari semua peserta. Begitu juga metode menyimak bersama cuplikan tayangan program TV cukup memancing keaktifan peserta untuk berpendapat atau sekadar menyampaikan pengalamannya. Ketika fasilitator memberikan contoh aturan keluarga mengenai menonton TV yang dikemas dalam bentuk lagu yang disukai atau sudah sangat dikenal anak, para peserta sangat tertarik. Pada akhir pertemuan ke-4 peserta mendapat tugas untuk membuat lagu mengenai aturan keluarga dalam menonton TV untuk dipresentasikan pada pertemuan berikutnya. Ternyata mereka cukup kreatif “menggubah� lagu-lagu dengan menggunakan irama yang sudah akrab di telinga anak misal lagu Bintang Kecil, Bangun Tidur, Kupu-Kupu Yang Lucu ataupun lagu Aku Anak Sehat. Berikut syair lagu yang berhasil diciptakan oleh kelompok Ibu-Ibu PKK di Timoho tentang menonton tv. Kelompok 1

Ketika Anak Menonton TV (dinyanyikan dengan irama lagu Bangun Tidur) Bangun tidur kuterus mandi Tidak langsung menonton TV Kalo anak menonton TV Orang tua harus mendampingi Pengaruh TV buruk sekali Karna itu harus dihindari Didik anak penting skali Agar jadi orang terpuji


142 IBU-IBU PKK MUJA-MUJU MEMBACA TELEVISI

Kelompok 2

Dua Jam Saja (dinyanyikan dengan irama lagu Bangun Tidur) Mari kita menonton TV Yang mendidik anak kita Jangan sampai terlena dengan acaranya Cukup dengan 2 jam saja Kelompok 3

Pesan Untuk Ibu (dinyanyikan dengan nada lagu : Naik-naik ke Puncak Gunung) Hati-hati hai ibu-ibu Jaga anak-anaknya 2X Kalau sedang menonton tv Harus kita dampingi..i..i..i Agar anak tak terpengaruh Hal-hal yang tak berarti Kelompok 4

Diet TV (dinyanyikan dengan irama Lagu Aku Anak Sehat) Aku anak sehat Pilihanku sangat tepat Karena ibuku sangatlah bijak Dalam menonton TV Selalu didampingi Oleh ayah ibu, juga ingat waktu Dua jam saja setiap hari Yang tidak baik jangan ditiru Itulah kata ibu harus kita ikuti Jangan dilanggar agar kita pintar


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 143

Kelompok 5

Memilih Acara (dinyanyikan dengan irama lagu Bintang Kecil) Nonton TV dua jam sehari Orang tua perlu mendampingi Jangan lupa pilih acaranya Yang mendidik agar menjadi baik Kelompok 6

Pesan Ibu (dinyanyikan dengan irama lagu Kupu-kupu yang lucu) Hai anak-anakku Dengarlah kata ibu Boleh menonton TV Asal sesuai umurmu Menonton TV itu Akan merugikanmu Karena engkau lupakan Belajar dan sholatmu Menonton TV juga Bisa merusak mata Maka pakailah peraturannya Topik mengenai media dan dampaknya terhadap anak, ternyata selalu menjadi perbincangan menarik di kalangan orang tua. Kebetulan pada kesempatan yang hampir bersamaan saya berkesempatan untuk memberikan materi serupa dalam forum orang tua di salah satu Play Group & Taman Kayak-kanak yang didirikan sebuah LSM di Yogyakarta bagian selatan. Pesertanya rata-rata sudah memiliki tingkat pemahaman yang cukup bagus mengenai pentingnya melek media. Tingginya kesadaran ini dimungkinkan karena kebanyakan mereka berlatar belakang pendidikan tinggi, pasangan muda & mempunyai fasilitas untuk akses informasi (misal internet, langganan koran/ majalah). Dari diskusi mengenai dampak media tv terhadap anak ini, mereka sangat prihatin dengan banyaknya tayangan program tv


144 IBU-IBU PKK MUJA-MUJU MEMBACA TELEVISI

yang tidak bagus untuk ditonton oleh anak, misalnya tayangan berbau mistis, mengandung kekerasan dan adegan dewasa. Beberapa dampak nyata yang terungkap dalam diskusi diantaranya: setelah melihat tayangan mistis kemudian anak menjadi takut ke kamar mandi sendiri, ada juga anak yang mengucapkan kata-kata seperti misalnya “kurang ajar”, “bajingan” atau kata-kata makian lain yang didapatkan dari meniru tayangan sinetron. Meski dampak tayangan TV terhadap anak yang diungkapkan para orang tua tidak seekstrim akibat tayangan “Smack Down” yang sempat menewaskan beberapa anak beberepa tahun lalu, tetapi para orang tua sangat menyadari perlunya langkah antisipasi untuk mengurangi dampak buruk tayangan TV terhadap anak. Dampak buruk TV tidak hanya terjadi pada anak, tetapi menurut penuturan dari beberapa ibuibu di kelompok kampung Muja-muju, dampaknya juga terlihat di kalangan ibu-ibu. Mereka contohkan, kini banyak ibu yang meniru cara memarahi anak atau suami seperti yang dilihat dalam sinetron. Ibu-ibu peserta kegiatan sangat menyadari bahwa peran orang tua (dan orang dewasa lainnya di dalam rumah) memegang kunci penting dalam mengurangi dampak buruk pengaruh media tv terhadap anak. Kebiasaan anak dalam menonton tv dipengaruhi oleh perilaku orang dewasa dan pendidikan yang diterapkan di rumah. Di kalangan keluarga terdidik seperti yang tergabung dalam forum orang tua anak di Play Group dan Taman Kayak-Kanak ada yang sudah membuat aturan menonton TV di rumah, meskipun tidak secara tertulis. Bahkan ada satu pasangan di forum pertemuan orang tua murid yang berkomitmen, setelah mempunyai anak sengaja tidak ada TV di rumah. Aturan yang diterapkan berupa batasan maksimal menonton TV antara 2-3 jam per hari dan jenis tayangan program apa saja yang diperbolehkan untuk ditonton anak. Sejauh ini, rata-rata aturan bisa berjalan karena beberapa anak diantaranya berada di sekolah fullday, sehingga kesempatan menonton tv dengan sendirinya berkurang dan terawasi. Namur, hambatan penerapan aturan justru seringkali karena kurang kompaknya orang dewasa yang lain (seperti pembantu, kakek/nenek, dan lainnya) yang tidak mematuhi aturan dengan menonton tayangan sembarangan meskipun ada anak-anak. Bahkan yang lebih menggelikan kadang


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 145

orang dewasa tidak malu berebut “remote control� TV dengan anak karena masing-masing ingin menonton acara favoritnya. Kesulitan lain yang dihadapi oleh orang tua adalah terbatasnya kemampuan orang tua untuk menyeleksi tayangan apa yang bagus untuk anak dan tayangan apa yang sebaiknya dihindari. Film kartun yang selama ini identik dengan ilm anak ternyata banyak yang menyajikan adegan kekerasan isik makian dan mengandung percintaan Informasi kajian mengenai media dan anak serta informasi tayangan yang direkomendasi oleh KIDEA ternyata sangat membantu orang tua yang mengikuti kegiatan pelatihan. Kami sempat membagikan foto copy dari KIDEA mengenai daftar acara yang masuk dalam kriteria AMAN, HATI-HATI dan BAHAYA. Banyak orang tua yang terhenyak karena semula mengira bahwa ilm kartun identik dengan ilm anak dan pastilah aman untuk ditonton anak Mengutip data dari Lidia, contoh tayangan anak yang dinilai AMAN antara lain: Surat Sahabat (Trans TV), Bocah Petualang (Trans 7), Laptop si Unyil (Trans 7) dan Koki Cilik (Trans 7). Tayangan Doraemon (RCTI), Scoby Do (Trans 7) dan Spongebob Squarepants (Global TV) ternyata masuk kriteria hati-hati. Sedangakan beberapa acara anak seperti Crayon Sin Chan (RCTI), Tom and Jery yang diputar TPI, Trans 7 dan AN TV ternyata masuk kriteria BAHAYA. Pertemuan kelima merupakan pertemuan terakhir. Pada pertemuan ini dipergunakan untuk membahas tentang cara menyampaikan keluhan/pengaduan dan penjelasan tentang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)/ Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Pada sesi akhir berupa evaluasi yang dilakukan dengan dua cara, yaitu peserta menyampaikan pendapatnya secara lisan dan cara kedua adalah mengisi kuisionair post test yang telah disiapkan oleh MPM. Selain itu peserta juga diminta menuliskan upaya atau perubahan yang sudah dilakukan berkaitan dengan menonton TV. Beberapa peserta mengemukakan bahwa sudah mencoba untuk mengurangi jam menonton ataupun mendampingi anaknya ketika menonton TV, dan menginformasikan ke anak serta anggota keluarga, acara apa yang layak dan tidak layak ditonton. Namun, kebanyakan mereka masih ada kesulitan untuk membuat aturan tertulis dan menerapkan aturan tersebut secara tegas di rumah.


146 IBU-IBU PKK MUJA-MUJU MEMBACA TELEVISI

Hal yang menarik pada diskusi dalam pertemuan kelima ini, Ibu-ibu mulai paham bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan hiburan yang baik, serta mempunyai hak untuk menyampaikan masukan kepada pihak media. Mereka juga mulai tahu beragam cara yang bisa dilakukan untuk memberikan masukan kepada media baik secara langsung ataupun melalui lembaga semacam KPI. Namun masih banyak ibu-ibu yang merasa ragu atau takut untuk menyampaikan keluhan. Salah satu alasan yang terungkap diantaranya karena mereka khawatir akan terjadi kasus seperti Prita Mulyasari. Seperti diketahui, akhir-akhir ini (2009) ramai pemberitaan di media massa mengenai kasus Prita Mulyasari yang menulis email ke teman-temannya mengenai keluhan layanan dari Rumah Sakit Omni International di Tangerang. Tulisan keluhan lewat email itu berbuntut kasus pidana dan perdata yang menjerat Prita Mulyasari. Meskipun berkat banyaknya dukungan dari masyarakat, pada akhirnya Prita bebas dari segala tuntutan hukum, tetapi ibu-ibu tetap merasa khawatir dan hati-hati apabila akan menyampaikan keluhan mengenai tayangan televisi baik kepada pihak stasiun penyiaran, maupun ke KPI/KPID. Penutup: Sebagai catatan penutup, pengalaman melakukan pendidikan melek media di kalangan ibu-ibu ini barulah sebatas pengenalan awal dan membuka wawasan mereka mengenai besarnya pengaruh siaran televisi bagi kehidupan masyarakat. Betatapa pun dilakukan dalam waktu singkat, tetapi kegiatan literasi media yang dilakukan oleh MPM bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta, khususnya dengan STPMD di daerah Timoho, ternyata mampu meningkatkan daya kritis ibu-ibu peserta pelatihan terhadap siaran tv. Apabila kesadaran melek media yang telah tumbuh tersebut didorong untuk diterapkan dalam lingkungan rumah tangga masing-masing, ternyata memang membutuhkan dukungan fasilitasi eksternal berupa penyediaan informasi dan panduan praktis. Kebutuhan informasi yang dimaksud adalah menyangkut rekomendasi dari pihak yang berkompeten mengenai acara mana


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 147

yang layak dan tidak layak ditonton, dan acara mana yang masuk kategori aman, hati-hati dan bahaya untuk ditonton bagi anakanak. Sedangkan yang dimaksud panduan praktis adalah pedoman untuk menilai suatu program tayangan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku. Selain itu dukungan informasi dan panduan praktis, yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah keberlanjutan pendampingan bagi ibu-ibu yang telah tersentuh program pelatihan ini. Guna terus dapat mengembangkan sikap kritis mereka terhadap tayangan program televisi dan menumbuhkan keberanian untuk menyampaikan keluhan kepada pihak stasiun televisi maupun pihak berwenang, seperti KPI/KPID untuk beberapa saat awal mereka masih membutuhkan pendamping. Terlalu dini untuk melepas mereka bertindak mandiri melakukan berbagai upaya melawan kedigdayaan industri televisi.


148PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI149

B K

A

A I

P

j T

T

S

Yossy Suparyo

Televisi itu bagai anak pertama dalam keluarga, seluruh tingkah lakunya selalu menjadi pusat perhatian (Garin Nugroho) Kotak Ajaib itu Bernama Televisi TELEVISI PANTAS menyandang sebutan kotak ajaib. Di televisi, olok-olok bisa membangkitkan tawa. Caci maki berubah menjadi hiburan. Pengamen jalanan bisa menjadi super idol. Semua serba mungkin di televisi. Televisi mampu menyihir pemirsanya bertindak sesuai dengan kemauannya. Sekadar berbagi cerita, beberapa waktu silam, seorang kawan menceritakan perbuatan anak sulungnya masuk ke lemari es. Si anak rupanya “tersihir� dengan iklan permen, yang memvisualkan seorang gadis muda yang masuk ke lemari es karena merasa panas. Alih-alih membeli permen, si anak justru nyaris beku di lemari es.


150 BEBASKAN ANAK DARI SIHIR KOTAK AJAIB......

Anak adalah makhluk peniru paling jenius. Sebagian besar perilaku anak merupakan hasil dari proses imitatif. Anak cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana tayangan yang iktif dan mana yang memang kisah nyata apalagi memilah mana perilaku yang baik atau buruk. Para penganut behavioristik percaya hakikat perilaku manusia adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya. Sikap dan pola perilakunya dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan. Saat ini, tayangan televisi bisa ditonton anak-anak kapan saja dan di mana saja, sehingga pembiasaan dan pengukuhan lingkungan anak dapat dibentuk melalui tayangan televisi. Lalu, sejauh mana dampak tayangan televisi terhadap terhadap perilaku masyarakat, khususnya anak-anak? Bagaimanakah siasat warga menangkal sihir televisi? Adakah mantra yang mampu menangkal kekuatan si kotak ajaib, setelah ia menyelinap masuk ke ruang-ruang keluarga? Nah, dari sinilah cerita kegiatan Literasi media di Dusun II Gatak, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul diletakkan dimulai. Kegiatan ini berlangsung selama enam pekan dari awal November hingga pertengahan Desember 2009. Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta dan Yayasan Tifa Jakarta mensponsori kegiatan ini. Mengapa Harus Perempuan Sebutan Dusun II Gatak lahir pada era 1980an. Akibat pembangunan jalan cincin bagian barat Jogjakarta, Dusun Gatak terbagi menjadi dua. Jalan ini populer dengan nama Ring Road. Daerah ini termasuk wilayah Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Secara teritorial daerah ini masuk wilayah Kabupaten Bantul. Namun, akibat posisi spasial Gatak yang lebih dekat ke Kota Jogjakarta maka mobilitas warga lebih dekat ke kota. Terlebih setelah di dusun ini berdiri sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di Jogjakarta, yaitu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Di Dusun II Gatak, kegiatan warga laki-laki dan perempuan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 151

cenderung terpisah. Ada pembagian kegiatan sosial kemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin. Meskipun masih ada kegiatan yang dilakukan bersama-sama, kelompok laki-laki cenderung membahas persoalan pembangunan sarana dan prasarana, ekonomi produktif, olahraga, dan keamanan. Sementara itu, kelompok perempuan membahas peran-peran domestik dan pengasuhan anak, seperti pengelolaan rumah tangga, pendidikan anak, posyandu, kesehatan balita, dan lainnya. Seperti telah disebutkan pada bagian awal, program literasi media yang diinisiasi MPM Yogyakarta bertujuan untuk mengurangi dampak buruk tayangan televisi terhadap anak. Oleh sebab itu, MPM memilih kelompok sasaran program adalah adalah warga perempuan yang tengah mengasuh anak. Perempuan berperan besar dalam kerja pengasuhan anak dan rumah tangga sehingga pemahaman perempuan atas mutu tayangan televisi akan berpengaruh terhadap pola asuh yang ia terapkan pada anak-anaknya. Kegiatan ini dikelola oleh tim fasilitator yang terdiri dari empat orang, yaitu Asih Aprilianti dan Hamim Thohari dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ponang Limbad dari Universitas Islam Indonesia (UII), dan Caecilia Novi dari Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY). Selama program berlangsung mereka didampingi oleh satu tenaga ahli dari MPM Yogyakarta, yaitu Yossy Suparyo. Sebelum program dilaksanakan, tim MPM melakukan survei dan membangun kerjasama dengan kelompok perempuan di tingkat pedukuhan. Lewat kelompok ini, tim mendapatkan data kelompok perempuan di tingkat dasawisma, termasuk siapa saja anggota kelompok yang memiliki anak berusia 3-12 tahun. Berbekal data tersebut, tim memilih 20 perempuan yang akan terlibat dalam program ini. Dari Masjid, Kesadaran Kritis Terbangun Seluruh pertemuan yang diselenggarakan dalam program literasi media berlangsung di Serambi Masjid Mihtahul Jannah. Masjid ini dibangun di tengah permukiman warga, dengan beberapa fasilitas tambahan yang sering dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan warga. Di bagian depan, ada beberapa mainan anak seperti tangga


152 BEBASKAN ANAK DARI SIHIR KOTAK AJAIB......

bola dunia, papan seluncur, dan ayunan. Setiap sore, halaman masjid dipenuhi anak-anak sebagai arena permainan. Awalnya, pilihan lokasi ini cukup dilematis. Bagaimanapun, masjid merupakan tempat ibadah bagi umat agama Islam. Sementara itu, kegiatan literasi media melibatkan pelbagai elemen warga yang tidak semuanya beragama Islam. Sebagai contoh, salah satu tim fasilitator, Cecelia Novi, beragama non Islam sehingga pemindahan lokasi sempat terpikirkan. Namun, pada akhirnya tim menyesuaikan diri dengan kebiasaan warga menggunakan serambi masjid untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Pilihan di atas justru memberikankan pelajaran berharga bagi seluruh anggota tim. Masjid di Gatak tidak sekadar berfungsi sebagai tempat ibadah, lokasi ini menjadi ruang publik bagi seluruh warga. Banyak kegiatan diselenggarakan di lokasi ini. Meskipun kegiatan literasi di masjid, sebagian besar peserta tidak menggunakan jilbab sebagai penanda mereka berada di tempat ibadah. Kondisi tersebut menandakan keterbukaan warga Dusun Gatak dalam beragama. Novi sendiri tidak begitu risau dengan kondisi ini, meskipun beragama non Islam, dia tinggal di wilayah yang mayoritas beragama Islam. Saat kecil, ia sering bermain di serambi masjid bersama teman-teman sebayanya. Pertemuan pertama berlangsung pada 1 November 2009. Pada pertemuan ini, tim fasilitator MPM melakukan tiga hal, yaitu adalah perkenalan, menjelaskan program, dan membuat kesepakatan belajar. Pada sesi perkenalan, seluruh fasilitator dan peserta saling berkenalan. Agar cepat menghafal nama, tim menuliskan nama mereka pada name tag yang sudah dipersiapkan. Untuk kelompok umur 40 tahun ke atas, warga cenderung memperkenalkan diri mereka dengan nama suaminya, seperti Ibu Supoyo, Ibu Pranoto, Ibu Slamet dan lain sebagainya. Sementara, perempuan yang lebih muda cenderung menggunakan nama diri, seperti Yuyun, Murtiani, Yumaini, Tukidah, Waliyem, dan Parjinem. Setelah perkenalan, Yossy Suparyo, fasilitator pendamping MPM, menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan literasi media. Dia meyakinkan para peserta bahwa keterlibatan dan keterbukaan peserta untuk bertukar pengalaman saat menonton TV menjadi dasar


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 153

penyusunan ilmu literasi di dunia perguruan tinggi. “Kami serombongan ini ingin merepotkan para ibu yang ada di sini. Kami berencana ingin menggali pengalaman Anda menonton televisi. Aneh yah, masa menonton televisi dipelajari....,� ujar Yossy. Setelah itu, Hamim Thohari, mengajak peserta untuk memilih hari dan tanggal pertemuan di pekan-pekan selanjutnya. Hal ini dilakukan agar kegiatan literasi tidak bertabrakan dengan kegiatan warga lainnya. Fasilitator membagikan lembar pre-test pada peserta hingga pertemuan berakhir. Beda Selera, Satu Televisi Sebagian besar peserta hanya memiliki satu pesawat televisi di rumahnya dengan jenis televisi berwarna. Di Gatak, tayangan televisi tak berbayar dapat diakses, baik dikelola lembaga televisi nasional (Indosiar, RCTI, SCTV, GlobalTV, Trans7, TransTV, TVOne, MetroTV, dll) maupun daerah (JogjaTV, RBTV, dan TATV). Lewat pesawat yang sama, ada 3-5 orang anggota keluarga siap memangsa menu tontonan. Seluruh stasiun televisi memiliki acara unggulan pada jam tayang yang sama, biasanya pukul 19.00-21.00, sehingga dianggap sebagai waktu utama (prime time). Dalam literasi media, menggali pengalaman peserta dalam menonton televisi merupakan komponen yang sangat penting. Bagaimana cara mereka bernegosiasi, membangun kompromi, dan menyeleksi tayangan sangat penting dipelajari. Hal itu tampak pada cerita yang disampaikan oleh peserta. Ibu Supoyo suka menonton acara reality show, seperti Jika Aku Menjadi di TRANSTV. Ia menyukai acara ini sebab membuat dirinya larut dalam cerita. Ia bisa merasa sedih, trenyuh, bahagia, geram, saat menontonnya. Bagi dirinya yang telah berusia lebih dari setengah baya dan hidup dengan ekonomi pas-pasan, acara ini memberikan ruang katarsis atas segala permasalahan hidup yang dihadapi. Ia merasa memperoleh kekuatan hidup kembali setelah menonton acara ini. Berbeda dengan Ibu Supoyo, Ibu Slamet memilih pasif dan menyesuaikan dengan selera suaminya atau anaknya. Penentu keputusan ada di suami dan anaknya. Awalnya dia kadang mengeluh


154 BEBASKAN ANAK DARI SIHIR KOTAK AJAIB......

dengan jenis tayangan pilihan suaminya, lama kelamaan dia mampu menyesuaikan diri. Ia sendiri menonton TV sembari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sembari bercengkarama dengan anggota keluarga lainnya. Kadangkala, televisi hanya berfungsi sebagai latar pembicaraan keluarga. Waliyem dan Yumiani terpaksa menonton kartun bersama anaknya yang berusia 8 tahun sembari sarapan. Karena kegiatan sarapan sembari menonton kartun Spongebob, waktu yang dibutuhkan sangat lama. Bagi keduanya, waktu menonton televisi tidak dapat dipastikan, ada waktu kosong mereka menekan tombol remote control. Namun, umumnya mereka menonton televisi pada siang dan sore hari. Mereka membatasi waktu menonton hingga malam hari agar anaknya cepat tidur. Ibu Pranoto suka menonton acara berita karena menyesuaikan diri dengan anak-anaknya yang mulai besar. Tapi, di saat anak dan suaminya pergi, ia memilih acara-acara yang bernuansa curahan hati dan gosip. Ia mengaku suka menonton tayangan anak-anak seperti Si Bolang, Laptop Si Unyil, dan beberapa ilm kartun Dari penjelasan di atas, aktivitas menononton televisi tidak bisa semata-mata dilihat dari dimensi program, yaitu pilihan selera penontonnya terhadap tipe-tipe program favorit. Penonton televisi dalam memutuskan satu atau dua tipe program televisi favoritnya, tidak niscaya merasa mudah. Bisa saja program yang disukai lebih dari satu dan tidak mampu memutuskan mana program yang paling disukai. Menurut Neil Postman, perilaku ini disebut sebagai omnivision, seseorang bisa mengonsumsi segala jenis program televisi sekaligus (Budiman, 2002:99) Sebagian besar peserta mengaku saat menonton televisi, mereka juga melakukan beberapa jenis kegiatan lainnya, seperti makan, mengerjakan tugas-tugas, memasak, membersihkan rumah atau perabot, bermain, tidur siang, menanta barang-barang, mengasuh anak, memperbaiki sesuatu, dan sebagainya. Bahkan, beberapa kegiatan terlihat kontradiksi dengan kegiatan menonton televisi itu sendiri, misalnya membaca buku, mendengarkan radio atau kaset, mengerjakan PR, bahkan tidur. Jadi, menonton televisi bukanlah kegiatan yang soliter, menyendiri, dan terpisah dari kegiatan-kegiatan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 155

lainnya. Menonton televisi merupakan kegiatan sosial yang saling terkait dengan tanggung jawab dan tugas-tugas rutin pengelolaan rumah tangga. Walaupun kegiatan menonton televisi tidak disertai sikap selektif, seleksi jenis tontonan dilakukan. Mekanisme seleksi tidak didasarkan atas faktor selera, melainkan karena program tayangan telah lebih dulu dipilihkan oleh orang lain. Sudah menjadi rahasia umum, antaranggota keluarga berselisih karena memperebutkan remote control. Jadi, menonton televisi pun merupakan kegiatan yang melibatkan relasi sosial, berhubungan dengan hubungan-hubungan kekuasaan tertentu yang menyangkut perbedaan status, usia, dan peran-peran gender. Tayangan Baik Belum Tentu Ditonton Pertemuan ketiga dilaksanakan pada 16 November 2009. Dalam pertemuan ini hadir beberapa peserta baru. Karena itu, fasilitator menyebarkan lembar pre-tes pada peserta yang baru datang. Materi pada pertemuan ini adalah menggali pandangan peserta tentang (1) tayangan yang baik, (2) tayangan yang buruk, dan (3) tayangan yang sering ditonton. Asih maju menjadi fasilitator utama dalam sesi ini. Teknik yang digunakan adalah mengajak peserta untuk membuat daftar tayangan yang pernah ditonton di pelbagai stasiun televisi tak berbayar. Setiap orang menuliskan nama acara dalam kartu meta. Fasilitator menyediakan kartu meta warna merah untuk tayangan yang buruk, kartu meta warna hijau untuk tayangan yang baik, dan kartu meta warna orange untuk tayangan yang paling sering ditonton. Lalu, kartu meta tiga warna tersebut dibagikan kepada setiap peserta. Sebelumnya, fasilitator telah menjelaskan bagaimana cara menulis di kartu-kartu meta pada peserta. Seluruh kartu dikumpulkan berdasarkan warna untuk memudahkan analisis. Pada kegiatan ini, banyak peserta yang menyebut nama tokoh dibanding nama program. Misalnya, peserta menulis nama Tukul dibanding nama programnya, yaitu Bukan Empat Mata. Ada juga yang menyebut nama acara sebagai nama pembawa acara, seperti Kick Andy dikira nama dari Andy F Noya. Meskipun ada salah ucap nama


156 BEBASKAN ANAK DARI SIHIR KOTAK AJAIB......

program dan aktor, sebagian besar peserta mampu menjelaskan apa isi tayangan yang ia sebutkan saat diperiksa ulang oleh fasilitator. Acara televisi yang termasuk dalam tayangan baik, antara lain acara kesenian tradisional, Serial Anak Si Bolang, Jalan Sesama, Pangkur Jenggleng, Berita, dan Jejak Petualang. Sebagian acara hiburan, masuk dalam kelompok tayangan buruk seperti gosip, berita kriminal, Issabela, The Master, ilm luar negeri dan sinetron anehnya pada kartu orange atau tayangan yang sering ditonton justru didominasi oleh tayangan yang ada di kartu merah atau tayangan buruk, misalnya Suami-Suami Takut Istri, Melati untuk Marvel, Opera van Java, Termehek-mehek, Gong Show, dan lain-lain. Meskipun sedikit, ada juga tayangan baik yang masuk kelompok tayangan yang suka ditonton, seperti serial Si Bolang, Pangkur Jenggleng, dan berita. Kesimpulan sementara adalah tayangan yang baik belum tentu mendapatkan tempat dihati pemirsanya. Oleh karena itu, tayangan yang edukatif juga harus dikemas menjadi suatu tontonan yang menarik. Tayangan harus jauh ari kata membosankan. Orang tua pun turut membimbing anaknya untuk memilih tayangan yang sesuai dengan umurnya. Serial Si Bolang menjadi contoh yang tepat untuk tayangan yang mendidik mendapat peminat yang banyak pula. Mencegah Penularan Kekerasan Lewat Televisi Pertemuan 19 November 2009 mendapat apresiasi besar dari warga. Pertemuan ini membahas pengaruh tayangan kekerasan dalam televisi terhadap anak. Fasilitator MPM, Asih Apriliani, mengajak warga terlibat dalam kajian ini dengan menandai unsur-unsur kekerasan yang ada dalam tayangan televisi. Fasilitator mengajak peserta untuk membuat kriteria tayangan yang cenderung mengajarkan kekerasan. Selanjutnya, fasilitator mengelompokkan kekerasan dalam dua kategori, yaitu kekerasan isik dan kekerasan verbal Bentuk perbuatan yang masuk dalam kekerasan isik menurut peserta adalah mencubit mendorong menendang, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan verbal misalnya mengomel, mengumpat, galak, berbohong, dan sebagainya. Fasilitator memutar satu seri dalam serial sinema elektronik (Sinetron) Cinta Fitri. Selanjutnya, peserta menghitung jumlah


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 157

adegan yang cenderung mengarah pada kekerasan, baik kekerasan isik maupun kekerasan verbal Dalam satu seri peserta menemukan adegan kekerasan berjumlah adegan adegan kekerasan isik yang ditemukan, misalnya mendorong, mencubit. Sedangkan adegan kekerasan verbal, misalnya menyebutkan kata-kata tuli, bodoh, sukurin, dan sebagainya. Setelah mengidenti ikasi adegan kekerasan yang terdapat dalam sinetron Cinta Fitri, fasilitator memandu peserta untuk bertukar pengalaman saat menonton televisi. Meraka diajak untuk merekomendasaikan nama acara yang cenderung mengajarkan kekerasan beserta alasannya. Peserta merekomendasikan beberapa acara yang sebaiknya tidak ditonton. Pertama, adalah Opera Van Java. Peserta mengkritik gaya lawak yang diperagakan dalam komedi Opera Van Java banyak berisi ejekan, makian, dan pertunjukan kekerasan diperagakan meskipun menggunakan properti steroform. Menjadikan ejekan dan kekerasan menjadi bahan lawak jelas mengaburkan makna kekerasan itu sendiri sebagai perbuatan yang harus dijauhi. Kedua, Kartun Sinchan dan Tom and Jerry. Pada kartun Sinchan, terdapat ketidaksesuaian perilaku tokoh dengan umur yang ia sandang. Menurut peserta, tidak masuk akal anak berusia lima tahun berani menggoda wanita-wanita cantik. Serial Sinchan lebih tepat sebagai ditonton orang dewasa sebab alur cerita skenario mencerminkan cara pikir orang dewasa. Pada Tom and Jerry, adegan kekerasan diperagakan secara ekstrem. Pendampingan Orangtua Tak dipungkiri, sebagian warga menjadikan televisi teman dekat mereka. Meskipun tidak menjadi hal yang dominan, sebagian besar waktu mereka dijalani bersama televisi. Literasi media tidak bermaksud mengajak warga memusuhi televisi, tapi menyeleksi suguhan di layar televisi agar tidak menjadi alat sosialisasi kekerasan dalam rumah tangga, mistik, dan tampilan kemewahan yang manipulatif. Literasi media mampu membuka cakrawala orangtua untuk mencermati kembali kebiasaan diri mereka dan anak-anaknya saat


158 BEBASKAN ANAK DARI SIHIR KOTAK AJAIB......

menonton televisi. Bimbingan orangtua penting dilakukan saat anak menonton televisi. Sayang, banyak orang tua yang bersikap ambigu, di satu sisi mereka memprotes tayangan televisi yang berdampak buruk pada anak. Di sisi lainnya, banyak di antara mereka yang justru maniak menonton program tersebut. Literasi media dengan sasaran orang dewasa perlu terus dilakukan sebab tidak setiap orang tua melek televisi. Bak pepatah, jangan sampai terjadi orang buta menuntun orang buta. Faktanya, orang dewasa lebih rawan mendapat pengaruh negatif dari televisi. Banyak orang dewasa yang mengira tayangan mereka lihat sungguh-sungguh terjadi, tapi hanya rekaan (atau pembelokkan) yang memang sengaja dibuat demi kepentingan pihak televisi, sponsor dan pihak yang berada di belakang mereka. Di sinilah perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk melakukan pendampingan pada anaknya saat menonton televisi, sedang pengelola stasiun televisi semestinya punya tanggung jawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI159

BAGIAN III

Evaluasi Kegiatan Literasi Media Televisi


160PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI161

e L

P

M P D P

P K

I

Yudi Perbawaningsih

Pendahuluan KEKUATAN MEDIA massa, terutama televisi, dalam memengaruhi perikehidupan manusia tidak terbantahkan sejak dari dulu. Para peneliti efek media telah melahirkan banyak teori terkait dengan efek media. Beberapa teori yang sangat dikenal adalah teori peluru (bullet theory), teori S-R (stimulus-response theory), teori jarum suntik (hypodermic needle theory), uses and grati ication theory, cultivation theory, spiral of silence, media dependency theory dan banyak lagi yang lain. Teori-teori ini pada umumnya menyepakati bahwa efek televisi bagi masyarakat adalah besar. Televisi memiliki kemampuan memengaruhi pikiran, pendapat, keyakinan, pengetahuan, sikap dan bahkan perilaku. Pada era yang lebih ke depan, media bahkan diasumsikan dapat membawa perubahan sosial yang signi ikan Perubahan sosial yang dimaksud bisa bersifat membangun, memperbaiki, memajukan, dan mengembangkan; tetapi bisa juga perubahan yang bersifat negatif


162 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

seperti merusak, memundurkan, mendekonstruksi dan memerlambat. Sayang sekali, banyak orang yang kemudian diikuti oleh kaum peneliti melihat atau menyoroti efek media dari sisi negatifnya, tidak dalam sisi positifnya. Hal ini ditunjukkan atau diindikasikan dengan banyak penelitian dan tulisan yang menggunakan topik “mewaspadai televisi”, “cara sehat menonton televisi”, “taktik jitu menghindari dampak negatif televisi”, “meningkatkan peran keluarga dalam melindungi anak dari dampak negatif tayangan televisi”, dan lain-lain dengan nuansa yang sama. Istilah-istilah ini dapat diasumsikan muncul dari pemikiran yang sama, yakni media berpengaruh buruk atau negatif bagi masyarakat. Pemikiran ini tidak banyak dihindari orang, bahkan sebaliknya, disepakati. Kesepakatan itu kemudian melahirkan berbagai gerakan sebagai bentuk kepedulian masyarakat untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari pengaruh buruk media, dengan cara membangun kemampuan manusia dalam menonton televisi. Lalu muncullah gerakan “satu hari tanpa televisi”, atau pernyataan kampanye “ kurangi jumlah jam menonton televisi.” Gerakan ini tentu didasarkan pada keyakinan bahwa dampak buruk televisi dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah jam menonton televisi atau bahkan tidak menonton televisi. Namun, benarkah keyakinan ini? Benarkah mengurangi jumlah waktu menonton televisi dapat digunakan untuk menghindar dari pengaruh buruk televisi? Dengan kata lain, benarkah jika seseorang sering menonton televisi akan dengan serta merta akan memiliki sikap dan perilaku yang negatif? Orang yang “melek media” atau orang yang memiliki kesadaran bermedia yang tinggi bukanlah diukur atau ditentukan sematamata oleh jumlah jam menonton televisi, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengritisi isi tayang televisi. Jane Tallim seorang Education Specialist dari The Provincial Centre of Excellence for Child and Youth Mental Health Children’s Hospital of Eastern Ontario (www.media-awareness.ca/english/teachers/media_literacy/what_ is_media_literacy.cfm) menjelaskan bahwa kemampuan mengritisi adalah kemampuan untuk selalu menanyakan “apa yang ada di sana dan apa yang tidak ada”, selalu ingin tahu tentang “apa latar belakang isi media diproduksi – motif, uang, nilai-nilai, pemilik media (ownership)” dan sadar bahwa hal-hal tersebut dapat mempengaruhi


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 163

isi media. Kemampuan mengritisi isi media ini adalah ukuran literasi media yang disepakati oleh beberapa lembaga atau institusi peduli media melalui homepage atau of icial webnya. Kemampuan mengritisi atau menganalisis isi media ini disadari banyak ilmuwan atau praktisi media bukan hal yang mudah diciptakan atau dibangun. Elizabeth Thoman, Pendiri dan Presiden Center for Media Literacy pada tahun 1995 menjelaskan setidaknya ada tiga fase menuju tercapainya kemampuan itu. Fase pertama adalah (1) “diet” media: kemampuan mengatur jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengakses media; dan (2) kemampuan membuat pilihan media yang akan diaksesnya. Fase pertama ini menunjukkan bahwa mengurangi jam menonton televisi tidaklah cukup untuk mengurangi paparan negatif tayangan televisi. Fase kedua adalah memiliki kemampuan (skill) menonton secara kritis dengan selalu berusaha ingin tahu kerangka atau frame kepentingan apa sebuah tontonan diproduksi Fase yang ketiga adalah kemampuan mengidenti ikasi “siapa yang memproduksi tontonan, untuk tujuan apa, siapa yang akan diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan siapa yang memutuskan acara tertentu ditayangkan” dan kemampuan untuk menyadari bahwa ada kekuatan ekonomi politik dan sosial yang mengendalikan proses produksi isi media sehingga penonton diarahkan menjadi bagian dari pergerakan ekonomi (www.media-awareness.ca/english/ teachers/media_literacy/what_is_media_literacy.cfm). Gerakan yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat peduli media pada umumnya fokus pada tujuan untuk “diet” media, seperti yang dijelaskan dalam fase satu proses pengembangan literasi media. Pilihan fokus ini realistis karena hal inilah yang sangat mungkin dicapai dalam waktu yang relatif tidak panjang dan program bersifat parsial. Demikian pula dengan program pelatihan yang dilakukan oleh lembaga Masyarakat Peduli Media (MPM). Pada akhir tahun 2009 lembaga ini menyelenggarakan program pelatihan literasi media dengan target peserta adalah ibu-ibu rumah tangga di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Artikel ini merupakan paparan atas hasil proses olah data untuk melihat efektivitas program ini dalam mencapai tujuan fase pertama literasi media. Lembaga ini meyakini bahwa melalui proses


164 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

pelatihan ini ibu-ibu akan memiliki pola perilaku menonton televisi yang sehat, yang dapat mengurangi dampak buruk televisi. Data tentang pola perilaku menonton televsisi diperoleh melalui angket yang diisi oleh 137 orang ibu-ibu peserta pelatihan tersebut, sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Efektivitas program diukur dari adanya perubahan atau perbedaan pola perilaku menonton televisi antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Temuan Data Responden penelitian ini adalah peserta pelatihan kesadaran bermedia (media literacy) yang total berjumlah 161 orang yang terbagi di dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah antara 10 – 30 orang. Kelompok ini tersebar di beberapa wilayah. Terdapat 7 wilayah penelitian, yakni Tambakbayan, Terban, Mujamuju, Peleman, Rukeman, Salam dan Lodadi. Namun, karena ada kesalahan administratif, penetian ini hanya mengolah data responden di 5 wilayah dengan total responden adalah 137 orang. Rincian jumlah peserta pelatihan pada setiap wilayahnya dijelaskan dalam tabel 1. Tabel 1 Wilayah Pelatihan dan Jumlah Peserta (n=137) Wilayah Muja Muju Peleman Rukeman Terban Tambakbayan Total

Jumlah 28 7 28 28 46 137

Persentase 20,4 5,1 20,4 20,4 33,6 100,0

Pada bagian berikut dijelaskan (1) data diri responden; (2) pola menonton televisi, (3) tingkat pengetahuan tentang tayan gan televisi, (4) sikap terhadap tayangan televisi, (5) tindakan terhadap tayangan televisi, dan (6) kesadaran bermedia.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 165

1. Data Diri Responden adalah peserta pelatihan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bermedia (media literacy). Total jumlah responden adalah 137 orang berjenis kelamin perempuan yang sudah menikah atau berkeluarga. Hal ini didasarkan beberapa alasan, yakni: (1) perempuan memiliki peran strategis di dalam keluarga, atau di dalam mendidik anak; (2) perempuan juga memiliki peran yang semakin menonjol di dalam masyarakat. Ditinjau dari tingkat pendidikan, separuh dari total responden (50%) memiliki pendidikan SLTA, terdapat 35% berpendidikan SD dan SMP, dan hanya sedikit yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden berpendidikan relatif rendah. Dari sisi pekerjaan,94 orang (69%) mengaku ibu rumah tangga, selebihnya memiliki pekerjaan yang sangat beragam. Dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi ini menjadi alasan yang cukup penting untuk dilatih supaya memiliki kesadaran bermedia yang tinggi, dengan demikian juga diharapkan, ibu-ibu ini akan menularkan kemampuan bermedia ini kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarga. Selain tingkat pendidikan, status ibu rumah tangga juga merupakan alasan penting. Ibu rumah tangga diasosiasikan memiliki waktu luang yang cukup banyak. Waktu luang ini diasumsikan banyak digunakan untuk menonton televisi bersama dengan anak-anaknya. Berikut adalah paparan data diri responden. Tabel 2 Komposisi Usia Responden (n=137) Usia 17-25 36-55 56-70 Tidak Menjawab Total

Frekuensi 42 78 16 1 137

Persentase 30,7 56,9 11,7 0,7 100,0


166 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

Usia peserta pelatihan seperti ditunjukkan pada tabel 2 berkisar antara umur 17 tahun sampai dengan 70 tahun. Namun, sebagian besar responden berusia di atas 35 tahun. Jika disilangkan dengan jumlah anak, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar peserta pelatihan adalah perempua atau ibu yang rekatif masih belum lanjut usia dengan satu atau beberapa anak di bawah usia 12 tahun. Lihat Tabel 3 berikut. Tabel 3 Jumlah Anak di bawah 12 tahun Didasarkan pada Usia Responden (n=137) Jumlah anak di bawah 12 tahun

Usia responden 17 – 35 36- 55 56 – 70

Total

Tidak Ya, satu orang Dua Orang

3 25 11

30 29 15

5 6 2

38 60 28

Tiga orang

1

2

3

6

Lebih dari tiga orang

2

0

0

2

Total

42

76

16

134

Hal ini menunjukkan bahwa peran ibu-ibu di dalam pelatihan ini memang sangat strategis di dalam proses pendidikan peningkatan kesadaran bermedia pada masyakakat, khususnya pada anakanak. Anak di bawah usia duabelas tahun dinilai belum memiliki kemampuan memadai untuk memroses tayangan televisi. Anakanak dinilai belum mampu membedakan realitas televisi dengan realitas yang sebenarnya. Sementara di sisi lain, realitas televisi sering berisi nilai-nilai yang tidak mudah dipahami anak dan nilainilai yang tidak patut diterima anak. Merujuk pada deskripsi data diri, peserta pelatihan ini sebagian besar adalah ibu rumah tangga berusia menengah, tingkat pendidikan menengah ke bawah, dengan jumlah anak lebih dari satu dan berasal dari keluarga besar dengan kelas ekonomi menengah.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 167

2. Pola Menonton Televisi Bagaimanakah pola menonton televisi para ibu ini? Pola menonton televisi sering dihubungkan dengan karakteristik personalnya dan juga kepemilikan media atau kemudahan mengakses media. Oleh karena itu, perlu dijelaskan dulu tentang kepemilikan media, yang sekaligus dapat digunakan sebagai ukuran kemudahan mengases dan kebiasaan menggunakan media. Merujuk pada data ditemukan fakta bahwa terdapat tiga media yang paling popular atau yang pasti dimiliki oleh peserta pelatihan, yaitu (1) televisi, (2) ponsel dan (3) radio. Hanya tiga orang responden saja yang mengaku tidak memiliki televisi, 7 orang tidak memiliki telepon seluler, dan 9 orang tidak memiliki radio. Tabel 4 Kepemilikan Media (n=137) No

Jenis Media Komunikasi

1 2 3 4 5 6 7 8

Televisi Ponsel Radio CD/DVD Player Komputer Koran Majalah Play Station (PS)

Orang yang tidak memiliki Jumlah Persentase 8 5.8 28 20.4 29 21.2 46 33.6 80 58.4 93 68 115 84 116 85

Tabel 4 menunjukkan dengan jelas bahwa televisi memang merupakan media komunikasi paling popular bagi keluarga. Hanya 5.8 persen reponden yang mengaku tidak memiliki televisi. Itu berarti hampir semua peserta pelatihan memiliki televisi di rumah, bahkan terdapat 22 responden (47.8%) memiliki pesawat TV lebih dari satu buah. Data ini tidak sangat mengejutkan. Pada saat sekarang, televisi bukan lagi barang mewah. Kepemilikannya juga tidak lagi bersifat massal, tetapi cenderung menjadi individual. Masing-masing orang dengan minat menonton acara yang berbeda menuntut memiliki televisi sendiri-sendiri. Hal ini juga tidak mengejutkan jika dilihat di tabel sebelumnya bahwa sebagian


168 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

peserta pelatihan memiliki keluarga yang besar. Di sisi lain, tabel ini juga menunjukkan bahwa ternyata media yang relatif baru seperti handphone atau telepon seluler dan komputer ternyata cukup popular pada kelompok masyarakat ini. Hanya sedikit ibu yang tidak memiliki tiga media ini di rumahnya. Kepemilikan berbagai perangkat media komunikasi ini juga dapat menjadi indikator kelas ekonomi. Seberapa banyak perangkat media komunikasi dimiliki para responden dijelaskan dalam tabel 5 berikut. Tabel 5 Kepemilikan Media Komunikasi (n=137) Tingkat keseringan Rendah Sedang Tinggi Tidak Menjawab Total

Frekuensi 73 52 11 1 137

Persentase 53,3 38 8 0,7 100,0

Dikategorikan tingkat kepemilikan rendah seandainya memiliki perangkat media kurang dari 5 buah. Merujuk tabel 5, lebih dari separuh responden memiliki tingkat kepemilikan media yang relatif rendah, sedangkan tingkat kepemilikan media yang tinggi hanya 8 persen saja. Selain memiliki lebih dari satu buah televisi, beberapa responden juga mengaku memiliki beberapa handphone. Dalam hal ini, televisi menjadi setara dengan handphone, yaitu perangkat teknologi komunikasi yang cenderung bersifat personal. Jika kepemilikian perangkat media dapat diindikasikan sebagai indikator kelas ekonomi maka rata-rata peserta pelatihan ini berlatar belakang ekonomi menengah. Kepemilikan pesawat TV yang tinggi cenderung mendorong kemudahan mengaksesnya. Tabel 6 menunjukkan bahwa hanya ada satu peserta pelatihan yang mengaku tidak pernah menonton televisi. Jika dilihat dari kepemilikan televisi (lihat tabel 4), tidak memiliki bukan berarti tidak menonton televisi. Hampir semua peserta pelatihan adalah penonton TV.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 169 Tabel 6 Tingkat Keseringan Menonton TV jika di rumah (n=137) Tingkat keseringan Selalu Sering Tidak pernah Missing System Total

Frekuensi 73 62 1 1 137

Persentase 53,3 45,3 0,7 0,7 100,0

Apakah ibu-ibu ini adalah penonton TV kelas berat? Sekalipun sering atau selalu menonton TV setiap harinya, sebagian besar (70%) ibu-ibu ini mengaku hanya menonton 1 – 3 jam saja setiap hari. Oleh karena, intensitas menonton para peserta pelatihan ini cenderung rendah. Mereka bukanlah penonton kelas berat yang menghabiskan waktu di depan televisi. Jika dihubungkan dengan kepemilikan media, media lain, misalnya Handphone atau komputer dapat pula mengurangi intensitas menonton TV. Komputer menyajikan beragam informasi yang mungkin lebih menarik dibanding televisi. Demikian juga dengan handphone. Dua perangkat media ini dapat pula menjadi faktor yang membuat ibu-ibu, yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, meluangkan sedikit waktu untuk menonton TV. Untuk tujuan apakah ibu menonton TV? Limapuluh tujuh persen (57%) responden mengaku, tujuan menonton TV adalah mencari berita, sedangkan responden yang mengaku mencari hiburan hanya 30%. Data ini menarik karena menunjukkan bahwa menonton TV bagi ibu-ibu ini adalah untuk memuaskan kebutuhan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa menonton TV adalah aktivitas yang didorong oleh tujuan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Tujuan untuk mencari berita (57%) juga merupakan data penting yang patut disimak. Ibu-ibu pada penelitian ini tidak lagi dijuluki sebagai “penonton kelas berat sinetron televisi�. Hal ini merupakan perubahan yang cukup berarti. Namun demikian, pengakuan ini tidak didukung dengan data tentang acara yang paling sering ditonton. Tabel 7 berikut menunjukkan bahwa acara hiburan yang paling sering ditonton.


170 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

Tabel 7 Acara yang paling sering Ditonton(n=137) Jenis Acara Berita Pengetahuan Hiburan Tidak Menjawab Total

Frekuensi 34 17 85 1 137

Persentase 24,8 13 62 0,09 100,0

Merujuk pada tabel 7, ditemukan data bahwa kecenderungan pola menonton pada ibu-ibu peserta pelatihan kesadaran bermedia adalah penonton TV kelas ringan dan penyuka tayangan hiburan, terutama sinetron. 3. Tingkat Pengetahuan dan Sikap terhadap Tayangan Televisi Pada setiap tontonan di televisi terdapat kode yang dituliskan yaitu A, R, D, SU dan BO. Kode A berarti Anak, R adalah Remaja, D adalah Dewasa, BO adalah Bimbingan Orang Tua dan SU adala Semua Umur. Kode ini merupakan petunjuk bagi penonton tentang target audiens atau sasaran yang dituju oleh suatu Program tertentu. Kode ini diharapkan menjadi panduan bagi penonton untuk memilih acara yang sesuai dengan target audiens dari acara tersebut. Seorang yang memiliki kesadaran bermedia atau penonton televisi yang sehat adalah penonton yang dengan sadar memilih tayangan TV sesuai dengan target audens yang ditetapkan oleh produser atau pelaku media. Apakah ibu-ibu peserta pelatihan ini memiliki kesadaran tentang tayangan TV yang ditontonnya? Penonton dikatakan paham tentang apa yang ditontonnya jika selalu memperhatikan dan mengerti arti kode, serta menggunakannya sebagai pedoman untuk menentukan pilihan tayangan yang akan ditontonnya.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 171

Tabel 8 Perhatian Responden terhadap Makna Klasi ikan a R D SU BOpada Tayangan Program Televisi (n=137) Bentuk Perhatian Selalu memperhatikan Kadang-kadang Tidak memerhatikan Tidak Tahu ada tulisan Tidak menjawab Total

Frekuensi 39 52 19 25 2 137

Persentase 28,5 38,0 13,9 18,2 1,5 100,0

Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat sedikit saja responden (28,5%) yang sangat memperhatikan kode yang muncul pada setiap tayangan televisi. Perhatian yang rendah pada kemunculan kode ini menunjukkan bahwa penonton tidak menganggap penting kode ini untuk mengarahkan perilaku memilih program. Namun demikian, perhatian yang rendah pada kode acara tersebut tidak berarti penonton tidak tahu makna kode. Lebih dari separuh (52%) responden mengetahui makna kode tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa sekali pun penonton tahu tentang makna kode namun mereka tidak menganggap penting kode tersebut dalam hal memilih tayangan TV. Di sisi lain, tingkat perhatian penonton pada apa yang dilihatnya dari televisi juga dapat dilihat dari frekuensi menonton dan penilaian mereka tentang apa yang ditontonnya. Penonton yang memiliki kemampuan menonton televisi yang baik apabila (1) memiliki kemampuan membedakan antara realitas televisi dengan realitas nyata dan (2) memiliki kemampuan menentukan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk dari tayangan televisi yang ditontonnya. Dari data juga ditemukan fakta bahwa hampir semua responden mengaku pernah dan bahkan sering menonton segala jenis acara televisi ini. Bagaimanakah ibu-ibu ini menilai tayangan televisi yang ditontonnya? Tabel 9 berikut ini menunjukkan penilaian ibuibu pada tayangan berita politik, sinetron, infotainment dan berita kriminal.


172 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

Tabel 9 Penilaian Responden terhadap Tayangan Program TV (n=137) Sangat Baik

Baik

Buruk

Sangat Buruk

Total

Berita Politik

7

53

61

9

131

Berita Kriminal

5

60

57

9

131

Infotainment

1

49

68

10

129

Sinetron

4

48

72

8

132

Jenis Tayangan

Tayangan TV ternyata dinilai beragam oleh ibu-ibu. Hampir semua jenis tayangan TV dinilai baik dan buruk secara relative seimbang, sekali pun sedikit ada kecenderungan penilaian buruk ada pada acara infotainment dan sinetron. Banyak ditemukan kasus bahwa sekalipun mereka menilai buruk tayangan TV yang ditontonnya, frekuensi menonton acara tersebut tetap relative tinggi. Banyak penyuka sinetron yang menilai buruk tayangan sinetron TV, atau juga dapat disimpulkan, sekalipun mereka tahu bahwa tontonan TV itu buruk mereka tetap menonton. Kasus semacam ini sangat umum terjadi. Hal seperti ini menunjukkan bahwa secara kognitif mereka mengetahui nilai-nilai buruk tayangan TV tetapi hal ini tidak diikuti dengan perilaku menolak tayangan tersebut. Mereka tetap menonton, bahkan dalam frekuensi yang sering. Secara umum, sikap atau penilaian responden terhadap acara-acara TV cenderung buruk seperti dijelaskan dalam tabel 10. Hanya 26 persen dari total jumlah responden yang menilai tayangan TV itu baik. Tabel 10 Penilaian Responden terhadap Acara TV (n=137) Penilaian

Frekuensi

Persentase

Sangat buruk

13

9,5

Buruk

72

52,6

Baik

35

25,5

Sangat baik

1

,7

Tidak Menjawab

16

11,7

137

100,0

Total


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 173

Data ini menunjukkan bahwa karakteristik individual yang beragam, pola menonton yang juga cenderung berbeda memberi penilaian kesan yang berbeda pula. Kesan yang berbeda ini juga dapat menunjukkan bahwa tidak semua tayangan TV dapat dinilai buruk atau sebaliknya. Nilai baik dan buruk sangat tergantung pada karakteristik individual masing-masing. Hal ini dapat dipengaruhi juga oleh ukuran “baik” atau “buruk” yang berbedabeda pada orang yang berbeda. Baik buruk suatu program bersifat subjektif. Keragaman penilaian terhadap suatu program televisi juga menunjukkan bahwa penonton menggunakan kognisi mereka untuk memahami isi dari televisi. Ini juga berarti bahwa masyarakat atau ibu-ibu ini sudah cukup memiliki kesadaran yang “sehat” tentang apa yang diperolehnya dari televisi. Penonton juga dapat menilai program yang bersifat iksi dan yang nyata seperti tertera dalam tabel 11 berikut. Tabel 11 Acara TV yang Paling Menggambarkan Realitas (n=137) Jenis Acara Berita

Frekuensi

Persentase

114

83,2

Sinetron

2

1,5

Infotainment

7

5,1

Reality Show

11

8,0

Tidak jawab

3

2,2

137

100,0

Total

Kesadaran kognitif di dalam menonton televisi juga ditampakkan dalam jawaban tentang acara TV yang paling menggambarkan realitas. Tayangan berita dinilai ibu-ibu ini sebagai tontonan televisi yang paling menggambarkan realitas (83,2%). Yang cukup mengejutkan adalah bahwa acara yang dilabeli dengan “Reality Show” ternyata dinilai sedikit penonton yang paling menggambarkan realitas (8%). Artinya, penonton sadar bahwa reality show tidak menggambarkan realita, walaupun mungkin, ibu-ibu ini tidak memahami istilah realitas nyata dan realitas televisi. Pada bagian lain, ibu-ibu peserta pelatihan ini juga memiliki penilaian yang berbeda-beda tentang pengaruh


174 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

televisi bagi anak-anak. Namun demikian, sekalipun beragam, ibu-ibu ini cenderung menganggap bahwa televisi berpengaruh buruk bagi anak-anak, seperti yang ditunjukan tabel 12. Jika dikaitkan dengan acara yang “realistis�, penilaian bahwa televisi berpengaruh buruk bagi anak-anak disebabkan oleh jenis acara TV yang sering ditonton anak-anak adalah tontonan yang tidak realistis, seperti sinetron dan infotainment. Hal ini merupakan perwujudan dari kesadaran tentang tontonan televisi. Tabel 12 Pengaruh TV pada Anak-anak (n=137) Jenis Pengaruh Sangat Positif Positif Kurang Positif Negatif Tidak tahu Tidak Menjawab Total

Frekuensi 5 16 74 25 12 5 137

Persentase 3,6 11,7 54,0 18,2 8,8 3,6 100,0

Bahkan jika dikaitkan dengan anak-anak, para ibu ini juga berpendapat bahwa orang-orang dewasa perlu untuk mendidik anak-anak dalam hal menonton televisi. Hampir 60% responden mengatakan bahwa (1) perlu ada pembatasan jumlah jam meonton bagi anak-anak, (2) perlu ada jadual menonton, dan (3) perlu ada pemilihan acara yang layak ditonton anak. Tabel 13 Pendapat Responden tentang Jenis Tindakan untuk mendidik Anak Menonton TV (n = 137) Jenis Pengaruh Perlu ada pembatasan Jumlah Jam Menonton Perlu ada Jadual Menonton Perlu ada Pemilihan Acara layak tonton Perlu ketiganya Tidak Menjawab Total

Frekuensi

Persentase

24

17,5

7 21 81 4 137

5,1 15,3 59,1 2,9 100,0


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 175

Tabel 13 menunjukkan kepedulian secara kognitif pada proses pendidikan anak, terutama dikaitkan dengan pengaruh televisi. Pengaruh televisi yang cenderung negatif mereka sadari harus ditanggapi dengan perlunya mendidik anak menonton TV secara baik dan sehat. Akan tetapi peraturan dalam hal menonton TV seperti “apa yang boleh dan tidak untuk ditonton”, “kapan saat yang tepat untuk menonton” atau “berapa jam seharusnya anak boleh menonton TV” ternyata hanya dimiliki separuh dari responden. Belum semua responden menyadari pentingnya peraturan tersebut. Kesadaran untuk memiliki peraturan keluarga di dalam menonton TV juga tidak memiliki hubungan dengan jumlah anak di bawah usia 12 tahun di dalam keluarga (F=1.434, sig = 0.227). Padahal secara teoritik, pada keluarga ini mestinya pendidikan ditegakkan oleh orang tua atau orang dewasa, termasuk pendidikan dalam menonton televisi, mengingat bahwa menurut mereka pengaruh TV bagi anak cenderung buruk atau negatif. Jadi bagaimanakah ibu-ibu peserta pelatihan ini dalam hal mendidik anak untuk menonton TV secara sehat? Pada saat menonton TV dan tiba-tiba ada tayangan yang dinilai ibu tidak patut dilihat oleh anak, ibu-ibu ini mengaku akan mendiskusikan bersama dengan keluarga atau mematikan atau mengalihkan ke acara lain. Apa yang dilakukan ibu-ibu ini sesuai dengan iklan layanan masyarakat oleh KPI di televisi tentang menonton TV secara sehat. Hal ini berarti bahwa ibu-ibu sudah paham tentang menonton TV secara sehat. Ibu-ibu ini pula yang memiliki peran besar dalam mengusulkan dan menerapkan peraturan dalam hal menonton TV di dalam keluarga. Tabel 14 Tindakan yang dilakukan Responden jika Menonton Tayangan Program Kurang Baik (N=137) Jenis Tindakan Diam saja Mendiskusikan bersama keluarga Mematikan/Mengalihkan ke acara lain Mencatat dan Melaporkan ke KPI/KPID Tidak menjawab Total

Frekuensi 9 31 88 5 4 137

Persentase 6,6 22,6 64,2 3,6 2,9 100,0


176 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

Merujuk pada semua data yang ditampilkan, dapat diambil kesimpulan bahwa ada kecenderungan ibu-ibu melihat acara-acara di televisi Indonesia itu buruk atau negatif, terutama bagi anak-anak. Oleh karenanya, ibu-ibu ini menyadari pentingnya melindungi anak dari pengaruh negatif tontonan televisi dengan cara mendidik anakanak menonton TV secara baik. Menonton TV secara sehat dalam penelitian ini diindikasikan dengan (1) ada pembatasan jumlah jam menonton TV; (2) adanya jadual menonton yang “pas� buat anak, dan (3) menonton acara TV yang memang layak ditonton oleh anak. 4. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan sikap terhadap tontonan TV Jika dikaitkan dengan karakteristik individu dan pola menonton TV, tingkat pemahaman atau kesadaran tentang tayangan TV dan juga sikap terhadap tontonan TV tidak dipengaruhi oleh karakteristik individu dan pola menonton. Ditinjau dari usia, pekerjaan dan tingkat pendidikan, sikap terhadap tontonan TV cenderung sama. Hal ini berarti sikap yang negatif ataupun positif terhadap tontonan TV tidak dipengaruhi oleh usia (r = -.06, sig= .472), pekerjaan (r = .001, sig = 0.993) dan tingkat pendidikan (r = .058, sig = .529). Sikap terhadap tontonan TV ternyata dipengaruhi oleh frekuensi menonton televisi. Semakin sering menonton, semakin positif sikap mereka terhadap tayangan TV (r = .383, sig = .000). Dapat disimpulkan bahwa sikap yang dibentuk oleh penonton TV bukan dipengaruhi oleh karakteristik individual penonton tetapi justru ditentukan oleh frekuensi menonton TV. Frekuensi menonton TV juga tidak ada kaitannya dengan karakteristik individual responden. Hanya faktor usia saja yang sedikit berpengaruh pada tingkat pemahaman kode atau simbol yang sering muncul pada setiap tayangan TV. Pada usia yang lebih muda, tingkat perhatian terhadap kode atau simbol tersebut semakin tinggi (r = -.283, sig = .001) dan tingkat pemahaman yang lebih baik (r = -.381, sig = .000). Merujuk pada olahan data ini dapat disimpulkan bahwa (1) usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah anak di bawah usia 12 tahun di dalam keluarga, kepemilikan media/ kelas ekonomi


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 177

tidak mempengaruhi frekuensi menonton televisi dan sikap atau penilaian tentang tontonan TV; (2) Keragaman penilaian terhadap tontonan TV juga tidak dipengaruhi oleh keragaman karakteristik individual, tetapi ditentukan oleh frekuensi menonton TV; (3) tingkat perhatian dan pemahaman terhadap simbol atau kode pada setiap tayangan TV yang diharapkan menjadi panduan di dalam memilih acara TV hanya dipengarui oleh usia dan frekuensi menonton TV. Yang menjadi penting pada temuan ini adalah bahwa frekuensi menonton ternyata membawa pengaruh yang signi ikan pada hal-hal yang terkait dengan perilaku menonton TV. C. Analisis Data Dan Kesimpulan Saya teringat tagline dari iklan minuman, “apapun makanannya, minumnya teh botol sosro” ketika menemukan data penelitian bahwa karakteristik individual tidak banyak memberi pengaruh pada frekuensi menonton TV dan sikap mereka terhadap apa yang ditontonnya. Merujuk pada data ini, dapat dikatakan bahwa siapapun dan apapun orangnya, semuanya pasti menonton TV dan memiliki sikap yang cenderung sama tentang apa yang ditontonnya. Temuan ini juga membawa saya pada kesimpulan bahwa “teori peluru”, sebuah teori tentang efek media, teori lama yang dianggap sudah usang, kuno dan tidak menarik, ternyata masih sangat relevan digunakan untuk membantu memahami fenomena sekarang. Teori ini menjelaskan bahwa efek media memiliki kekuatan yang hebat untuk mempengaruhi pola pikir seseorang. Teori ini berusaha memberikan penjelasan bahwa siapapun yang menonton televisi, dia pasti terkena dampaknya Siapapun yang sering menonton ilm kekerasan, dia akan memaknai dunia juga penuh kekerasan, dan bahkan menilai kekerasan adalah sesuatu yang natural sehingga menjadi natural pula ketika dia sendiri melakukan kekerasan; atau siapapun yang sering menonton ilm religious dia akan berpikir bahwa orang yang baik adalah orang yang taat beribadah atau orang yang taat beribadah pastilah orang yang baik. Kata “siapapun” ini bermakna “apapun karakteristik individual” asalkan menonton televisi akan tetap terkena dampak dari apa yang ditontonnya. Hal ini mengingatkan pada musibah alam yang terjadi di dunia


178 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

ini. Tsunami Aceh menewaskan lebih dari 100 ribu orang, gempa bumi di DIY mengorbankan 10 ribu orang, yang terakhir gempa bumi di Haiti, sekian puluh ribu orang juga tewas. Siapakah yang menjadi korban? Siapa pun dan apa pun latar belakang karakteristik demogra iknya dapat menjadi korbannya Siapa pun asal pada saat musibah terjadi dia ada di sana. Jadi hanya satu syarat saja yang harus dipenuhi untuk mendapatkan akibatnya. Dari perspektif agama, kekuatan media ini mengingatkan pada hari kiamat. Kalau kiamat tiba, siapa pun pasti mati. Kata “siapapun” berarti mengabaikan karakteristik individual. Semua akan mati. Kepercayaan ini pula yang menjadi bahan penting Majelis Ulama Indonesia untuk melabel haram ilm karena dalam ilm itu kiamat menyisakan banyak orang selamat. Media, alam, dan kiamat dalam tulisan ini saya tuliskan dalam “satu tingkat”, untuk menegaskan bahwa kekuatan media sungguh luar biasa bagi manusia dan mampu menyamakan setiap individu dan pribadi yang khas menjadi sekelompok massa yang memiliki pemikiran dan perilaku yang sama di depan televisi dan tentang televisi. Walau pun teori – teori yang muncul kemudian telah berusaha merevisi dan memperbaiki bahwa media tidak sekuat yang dijelaskan oleh para peneliti sebelumnya, sampai situasi terakhir, di Indonesia, orang tetap meyakini bahwa media memang “powerful”. Keyakinan ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai institusi dan regulasi yang dibentuk berdasarkan adanya kekhawatiran tentang pengaruh media dan oleh karena itu institusi media harus diatur supaya lebih arif terhadap masyarakat penontonnya. Namun bisakah media dan institusi media yang memiliki kekuatan luar biasa itu diatur? Saya meyakini benar, bahwa kekuatan hanya bisa dikalahkan dengan kekuatan pula. Merujuk pada keyakinan ini, kekuatan media dapat dipatahkan dengan kekuatan penontonnya. Kalau merujuk pada hasil penelitian ini, kunci utama atau bahkan satu-satunya faktor yang dapat menciptakan kekuatan besar pada masyarakat untuk melawan pengaruh televisi adalah “tidak menonton televisi”. Itu saja! Tetapi mungkinkah manusia sekarang ini tidak menonton televisi, apalagi tidak mengakses media apa pun dalam hidupnya? Saya meyakini jawabannya, yaitu


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 179

tidak mungkin. Menurut saya yang lebih realistis adalah tidak menonton televisi pada waktu tertentu dan untuk acara tertentu. Oleh karena itu yang perlu diatur dan dikelola adalah kapan saat yang tepat untuk menonton acara yang tepat. Saat yang tepat untuk menonton televisi adalah ketika seseorang sudah lebih dulu menentukan kebutuhan dan tujuan menonton televisi, sedangkan acara apa yang tepat untuk ditonton adalah acara yang dinilai oleh seseorang akan mampu memuaskan kebutuhan, dengan demikian tujuannya tercapai. Dengan kata lain, menonton televisi itu harus didasarkan pada tujuan tertentu yang dikehendaki sebelumnya secara sadar dan memilih tontonan yang akan berguna bagi pencapaian tujuannya itu, dan menonton acara yang sesuai dengan pilihannya itu. Ketika pada saat tertentu seseorang merasa perlu hiburan music pop local yang bermutu – ini artinya, orang tersebut tahu secara jelas dan spesi ik apa yang dibutuhkan dan orang tersebut kemudian membuka katalog, agenda acara televisi bahkan resensi atau tinjauan acara televisi, mencari acara yang dinilai paling sesuai dengan kebutuhannya, maka hanya acara itulah yang kemudian ditontonnya, inilah perilaku menonton yang sehat. Jika tidak ada yang memenuhi harapannya maka dia tidak menonton televisi. Inilah yang lebih realistis yang dapat dilakukan. Kita tidak bisa menuntut orang-orang berperilaku sama untuk menonton A atau tidak menonton B, dengan dasar ukuran “baik” dan “buruk” yang juga sama. Karena faktanya, kita tidak mempunyai ukuran yang sama dan ukuran bersama tentang hal yang baik dan hal yang buruk. Namun kita dapat membantu orang lain menemukan kebutuhan mereka, menolong mereka supaya memiliki kebutuhan yang baik bagi kehidupannya dan kehidupan semua orang dan selanjutnya mengarahkan mereka menemukan acara yang dapat memuaskan kebutuhannya. Dengan kata lain, cara yang paling tepat untuk membangun kesadaran bermedia atau membangun perilaku yang sehat dalam menonton televisi atau berhadapan dengan media adalah dengan membangun akal sehat. Akal sehat inilah kekuatan utama manusia menaklukan kekuatan media. Salah satu tujuan pelatihan “media literacy” saya kira adalah untuk membangun akal sehat masyarakat ketika menonton televisi. Menonton dengan akal


180 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

sehat adalah menonton dengan mengandalkan pola pikir yang rasional. Masyarakat Peduli Media (MPM), sebuah kelompok yang peduli pada pemberdayaan masyarakat terkait dengan pengaruh buruk media, saya kira juga berusaha untuk hal ini. Pelatihan “media literacy” telah diselenggarakan untuk para ibu untuk kepentingan semakin menumbuhkan dan meningkatkan kekuatan berhadapan dengan kekuatan media yang luar biasa itu. MPM percaya dengan melakukan pelatihan ini, masyarakat, terutama kaum ibu, menjadi berdaya berhadapan dengan televisi. Bagaimanakah sejatinya impact atas usaha ini? Merujuk pada paparan data sebelumnya, disebutkan bahwa sebagian besar kaum ibu cenderung menilai “buruk” pada hampir semua jenis tayangan televisi, baik itu berita, infotainment atau pun sinetron. Setelah pelatihan ‘media literacy” yang mereka ikuti, kaum ibu ini cenderung menilai acara televisi menjadi “lebih buruk”. Perubahan ini tidak signi ikan t sig Hal ini berarti program ini tidak dapat mengubah penilaian atau sikap penonton tentang tontonan TV. Namun demikian, program pelatihan ini berhasil untuk meningkatkan perhatian terhadap simbol atau kode A, R, D, BO, SU (t= 3.204, sig=.002) dan pemahamanan tentang kode atau simbol A, R, D, BO, SU sebelum dan sesudah terlibat dalam pelatihan. Tingkat pemahaman tentang makna simbol ini juga lebih baik dibanding sebelum pelatihan (t = 6.406, sig = .000). Hasil olah data ini menunjukkan bahwa program pelatihan ini cenderung lebih efektif mengubah kognisi daripada untuk mengubah sikap atau penilaian seseorang. Sikap cenderung lebih permanen, sekalipun terkena terpaan informasi baru.Sayangnya, penelitian ini tidak berusaha melihat perilaku, apakah penilaian yang buruk tentang tontonan televisi diikuti atau ditindaklanjuti dengan perilaku sehari-hari di dalam keluarga. Namun, saya dapat membuat asumsi bahwa perubahan perilaku tidak akan dengan mudah dapat dibentuk atau diubah dengan pelatihan media literacy. Apalagi jika subjek pelatihan adalah orang-orang dewasa yang cenderung sudah memiliki sikap dan perilaku yang tetap tentang televisi. Saya rasa kemampuan atau kekuatan program ini adalah untuk


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 181

membentuk atau menguatkan kesadaran kognitif atau kesadaran bermedia pada level awal yakni bersedia mengurangi jam atau mengatur jadual menonton dan memilih acara yang paling tepat untuk dirinya. Target peserta adalah anak-anak karena pada usia ini sikap seseorang cenderung belum permanen dan masih dapat dibentuk atau diubah. Sedangkan untuk menciptakan kemampuan analisis dan kemampuan kritis, dibutuhkan metode persuasi yang lebih komprehensif, terus menerus dan berkesinambungan. Tentu upaya mencapai tujuan semacam ini lebih tepat ditujukan pada target peserta yang lebih dewasa, dan tidak perlu membedakan jenis kelamin.


182 EFEKTIFITAS PROGRAM PELATIHAN LITERASI MEDIA...

Daftar Pustaka www.media-awareness.ca/english/teacher/media_literacy.cfm, pada 29 Januari 2010.

diunduh

http://en.wikipedia.org/wiki/Media literacy, diunduh pada 29 Januari 2010. http//ec.europa.eu/avpolicy/media_literacy/index_en.htm, diunduh pada 29 Januari 2010.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI183

T

F

ANDIKA ANANDA, Tim Fasilitator Dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran� Yogyakarta. PERTAMA KALI mendengar kata Terban yang bakal menjadi wilayah dampingan Tim UPN untuk kegiatan literasi media yang diselenggarakan bersama MPM, terbayang olehku tentang preman dan segala asosiasi negatif lainnya. Namun, ketika saya bertanya pada beberapa teman yang pernah bersinggungan dengan masyarakat Terban, pikiran saya segera berubah. Salah seorang kawan mengatakan bahwa masyarakat Terban sudah terbiasa bersinggungan dengan komunitas LSM, mahasiswa KKN dan segala bentuk aktivitas lainnya. Hari pertama ke Terban, bersama kawan satu tim, Jetrani, saya bertemu dengan ketua RT 02. Kami disambut baik, bahkan langsung diberi kontak person yang bisa membantu kami menyelenggarakan kegiatan literasi media di Terban. Hari berikutnya kami menemui Lurah Terban dan ketua RW 05. Sambutan keduanya sangat baik


184 TESTIMONI FASILITATOR

dan menyatakan tidak keberatan wilayahnya dijadikan tempat pelatihan literasi media. Untuk detail setiap pertemuan saya pikir tak perlu banyak diceritakan. Bagi saya melihat antuiasme peserta setiap kali pertemuan menjadi catatan tersendiri yang tidak kalah menarik. Terpikir bahwa antusiasme seharusnya menjadi tolak ukur kualitatif yang lebih penting daripada jumlah. Mungkin hal ini juga perlu menjadi catatan penting bagi MPM. Seberapa perlukah setiap tempat harus dengan kuota 30 orang? Entah apa yang mendasari penentuan kuota 30 orang itu? Bagaimana mungkin bisa memenuhi kuota 30 orang kalau aktivitas peserta begitu beragam. Dengan kata lain, karakter sosiokultural menyangkut pekerjaan, hobi, kebiasaan masyarakat tentu berbedabeda. Terban, Tamantirto, Babarsari dan lainnya perlu ditentukan kuota yang berbeda. Sejauh mana sampling signikan untuk mewakili populasi dan apakah sampling yang mewakili populasi tersebut mencerminkan benar-benar populasi. Ini cukup penting diperhatikan! Jelas perlu pra penelitian lebih mendalam soal ini. Apakah ada jaminan juga 30 orang yang hadir akan benar-benar mengaplikasikan dan menularkan wacana yang sudah didapat? Ataukah waktu ketika mereka datang ke acara pelatihan tak lebih dari karena adanya waktu luang. Salah satu pertanyan yang cukup menggelitik saya, ketka muncul pertanyaan “Lha kalau nggak nonton tivi, ya apalagi hiburan saya mas?”, cukup menohok saya! Saya seperti tidak punya jawaban yang tepat. Sebenarnya itu pertanyaan sepele yang bisa dijawab dengan sangat sepele tentunya. Bisa dijawab sekenanya dengan, “ya, kan bisa bikin kue, jalan-jalan sama keluarga, atau minimal cari channel yang baguslah”. Nampaknya jawaban seperti itu cukup memberi solusi, tapi ada pertanyaan lain yang muncul,. “Teori sih gampang mas, tapi praktiknya?” Selain karena kami yang belum berpengalaman, segala materi yang berusaha kami persiapkan sepertinya masih banyak yang harus ditambal sulam, dirombak di sana-sini. Begitu banyak improvisasi yang kami lakukan. Seperti seorang aktor panggung yang lupa naskah dan tidak ada pembisik di sekitar panggung. Aktor yang bodoh mungkin akan menghentikan permainannya dan keluar dari panggung,. Kami


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 185

aktor yang belum matang dan kami tak mau menjadi aktor bodoh, improvisasi kami lakukan, seperti ketika Ibu Eko, salah satu peserta yang bertanya tentang bagaimana mengatasi anaknya yang begitu hiperaktif. Apa yang bisa saya jawab, untunglah saya mengambil alternatif untuk mendiskusikan ini bersama. Akhirnya Bu Priyo bercerita banyak mengenai psikologi anak diikuti ibu-ibu lain yang mulai bercerita tentang pengalamannya. Singkat kata, masalahpun terjawab. Nampak sederhana, tapi menjadi PR penting bagi kami. Ada pertanyaan yang sebenarnya muncul di pikiran saya sejak lama, ketika workshop di Kaliurang, “kenapa sasaran pelatihan adalah ibu-ibu?”. Terlalu stereotipe ketika berpikir ibu-ibu lebih banyak di rumah, lebih sering menonton tivi, lebih dekat dengan anak dan asumsi yang bagi saya masih terlalu dangkal dan sangat bias gender! Perlu ada hal-hal kasuistik yang dikaji lebih jauh. Di Terban misalnya, ada seorang ayah yang lebih menguasai untuk memindah channel sesuai keinginannya, ada seorang ibu yang lebih sering bekerja daripada menonton televisi, ada seorang ibu yang memiliki anak kelas dua SMA dan lebih memahami tentang tayangan bermutu serta kategorisasi usia tontonan dan masih banyak lagi. Jangan-jangan dari sekian ratus KK warga Terban ada juga suami yang di rumah dan istri bekerja. Tentu masih banyak lagi kemungkinan situasi dan kondisi rumah tangga seseorang. Tentu ini terkait juga dengan metode apa yang paling sesuai, pilihan materi yang sesuai, terkait dengan banyak hal yang begitu kompleks. Perlu juga pemahaman materi yang lebih jauh dan mendalam dari para fasilitator. Tidak hanya terkait dengan wacana-wacana besar tentang bahayanya televisi, kebobrokan media, ambivalensi teknologi. Akan tetapi ada hal-hal kecil, tentang anak Bu Eko yang hiperaktif, Ibu Sri yang janda dengan cucunya yang berusia tiga tahun, Bu Rita yang hanya tahu berita, Bu Priyo yang begitu fasih membicarakan psikologi perkembangan, salah satu warga yang belum fasih baca tulis dan banyak lagi ornamen kecil yang selalu menjadi keceriaan pada tiap pertemuan. Seperti empat pertemuan sebelumnya, pertemuan terakhirpun kami tutup dengan berdo’a dan makan bersama. ”Mas Andika jangan lupa main-main ke sini lagi ya”, Insya Allah Bu”.


186 TESTIMONI FASILITATOR

Ringan sekali kan cerita saya, semoga Bu Rita, Bu Priyo, Bu Eko, Bu Sri Rahayu, Bu Suratjiem dan ibu-ibu yang sempat membacanya. Tapi jangan sambil nonton tivi ya Bu‌.hehehe.

MEILIANA MAHERA MAHARANI, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Angkatan 2007, Tim Fasilitator Dari Universitas Islam Indonesia (UII). SEBAGAI SALAH satu Fasilitator dari program Kegiatan Literasi Media MPM, banyak sekali pelajaran yang saya dapat. Daerah yang menjadi pendampingan saya, yaitu Dusun Wukirsari, Desa Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Pengalaman yang saya dapat mengikuti program literasi media ini, selain tambah teman, juga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bersama ibu-ibu saat pendampingan. Saya juga dapat memberikan informasi kepada ibu saya di rumah agar lebih melek media. Selain dapat berbagi pengalaman, saya juga menjumpai ibu-ibu dengan berbagai karakter. Karena tingkat pendidikan ibu-ibu tidak sama, menjadikan tanggapan mereka mengenai pendampingan ini juga berbeda-beda. Saya dan rekan saya pun harus dapat menyelaraskan bagaimana menyampaikan materi. Fasilitator literasi media harus dapat lebih bijak dan mengerti situasi dan kondisi ibu-ibu yang kita hadapi. Ada ibu-ibu yang kritis, tetapi ada juga yang hanya diam mendengarkan materi dan diskusi. Dalam pendampingan, ada waktu yang disisakan untuk tanya jawab. Di bagian inilah ibu-ibu berkeluh kesah kepada kami mengenai tayangan program televisi yang semakin meracuni bangsa ini dengan memberikan tayangan yang kurang mendidik. Banyak hal yang menyenangkan saat pendampingan. Diantaranya, tambah temen, tambah saudara, tambah ilmu, dapat belajar memahami keadaan orang lain. Nah, dukanya karena terlalu jauhnya tempat pendampingan kami. Untuk sampai ke tempat tersebut, kami harus melewati jalan yang kanan kirinya hutan dan minim penerangan.. Belum lagi ketika hujan turun, hal itu menjadi kendala


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 187

kami jika akan berangkat ke lokasi pendampingan. Menakutkan, tapi kami lalui dengan senang hati. Tanggapan-tanggapan menyenangkan pun kami peroleh dari peserta. Ibu-ibu merasa senang dengan adanya pendampingan mengenai literasi media. Mereka sangat berterimakasih berkat kegiatan ini, mereka dapat lebih melindungi diri dan juga dapat mendampingi anak-anak saat menonton televisi. Rasanya ingin sekali melakukan pendampingan lagi jika ada kesempatan. MPM terima kasih

ASIH APRILIANI, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2006, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) SEBAGAI SEORANG mahasiswa yang bergerak pada bidang ilmu sosial, membuat saya sadar untuk berbagi ilmu dan pengalaman terhadap lingkungan sekitar. Dengan sedikit berbagi, mungkin kita bisa memberi lebih pada masyarakat. Itulah tujuan saya. Keresahan saya kian memuncak ketika melihat “kotak pecandu otak” yang dalam kesehariannya terus menerus meneror manusia dengan tontonan-tontonan yang menawarkan berjuta kesenangan, kebencian, kegelisahan, dan kejahatan. Kotak itu bernama TELEVISI. Dengan berbagai penawaran yang diberikan oleh televisi, masyarakat diharapkan bisa proaktif dan selektif dalam memilih tontonan. Segala upaya telah dilakukan oleh sejumlah lembaga/ forum demi menyuarakan “STOP TELEVISI.” Salah satu forum yang tetap ada untuk menyuarakan suara itu adalah Masyarakat Peduli Media (MPM). Keteguhannya yang ingin menebarkan virus “Literasi Media”, menjadi ketertarikan sendiri buat saya. Dengan pengalaman dan ilmu yang masih sangat minim, saya dengan senang hati menyambut tawaran MPM untuk menjadi Fasilitator dalam kegiatan penyuluhan media televisi. Memang tidak mudah menjadi fasilitator. Kita harus mampu membahasakan pesan yang ingin disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, rasa percaya diri yang tinggi, tidak


188 TESTIMONI FASILITATOR

terkesan mengggurui, dan empati. Dan memang tidak mudah untuk mengajak Ibu-Ibu rumah Tangga agar bersedia berbagi pengalaman dan keluhan seputar bagaimana mereka memerlakukan televisi. Apalagi mereka sudah terbiasa dengan media audio visual yang menawarkan berjuta hiburan. Namun, pengalaman yang menarik telah bersanding bersama saya. Ibu-Ibu RT 03 (RUKEMAN), Pedukuhan II Gatak, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, yang berbagi pengalaman bersama saya, sebagian mengatakan bahwa jika tidak ada televisi, rumah serasa sepi, ada juga yang mengatakan televisi sebagai tempat hiburan agar anak-anak mau makan, anakanak mau belajar, anak-anak tidak keluyuran di luar rumah. Wow... cukup mengejutkan. Begitu dekatnya televisi dengan keseharian ibu-ibu ini. Televisi diperlakukan sebagai makhluk hidup, yang bisa diajak berbicara, berbagi keluh kesah dan pengasuh anak. “Pengasuh anak”, inilah kata yang membuat saya merinding. Bagaimana jadinya bila anak-anak dibiarkan begitu saja bermain seharian dengan televisi? Saya sepakat mengatakan “IT’S TOO DANGER!!!”. Bagaimana kita bisa tenang di saat anak-anak dicekoki informasi yang tidak sesuai dengan umurnya? Bagaimana jika mereka menyaksikan adegan pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, ciuman, persetubuhan, caci maki, bentakan, tuduhan, olokan? Dari sekian pertanyaan inilah yang membuat saya dan rekanrekan Tim lebih berapi-api menjalankan kegiatan literasi media, me non akti kan televisi kemudian mengalihkan perhatian anak anak dari televisi, dan menggantinya dengan media alternatif seperti buku dongeng, edu-games, buku mewarnai, dan lainnya. Salam Literasi Media

ERNY MARDHANI, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Tim Fasilitator Dari Universitas Islam Indonesia (UII). DI BILANG SEBAGAI Fasilitator kayaknya belum pantas, kami biasa menyebut sebagai teman ibu ibu. Ini merupakan pengalaman


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 189

pertama bagiku terjun di masyarakat untuk belajar bersama tentang pemahaman media. Apalagi yang didampingi adalah ibuibu, baik ibu rumah tangga maupun yang bekerja. Selama hampir 2,5 bulan banyak pelajaran yang berharga bagiku. Kita bisa mengenal karakter banyak ibu yang berbeda satu sama lain ketika harus belajar bersama. Ibu ibu di Lodadi sangat kritis sehingga kami terkadang harus menjawab hanya sesuai dengan kemampuan sendiri. Mereka banyak bertanya. Hal itu menjadi tantangan bagi kami untuk bisa menjelaskan maupun memaparkan materi sebaik mungkin, karena banyak ibu yang telah paham tentang media. Kami juga banyak belajar tentang pola hidup keluarga mereka ketika bersinggungan dengan media.Tingkat pemahaman Ibu-Ibu di Lodadi hampir sama, tetapi ada beberapa yang belum paham sehingga kami harus juga banyak memberikan penjelasan kepadan mereka.Terkadang ketika kami menjelaskan tentang tv mereka banyak bertanya yang membuat kami mati gaya dan menjadikan ibu-ibu saling tertawa. Setiap pertemuan di Lodadi kami harus menyiapkan materi yang tingkatnya lebih tinggi dibanding untuk di Cangkringan. Untuk itu dosen pendamping kami selalu membantu dalam penentuan materi agar ibu ibu tertarik dengan materi yang kami sajikan. Dibanding di Lodadi Pengalaman menjadi fasilitator di Cangkringan terasa lebih menantang karena jarak tempuhnya lumayan jauh dan daerahnya masih pelosok. Setiap perjalanan kami ke sana penuh kesan karena selalu hujan. Apalagi suasana malam hari. Sebelum kami sampai di lokasi, Ibu-ibu telah siap di tempat Terkadang kami malu karena keduluan ibu-ibu. Tingkat pemahaman mereka hampir sama, yakni kurang paham masalah menonton tv yang baik. Oleh karena itu penjelasan yang disampaikan pun harus mulai dari dasar. Mereka antusias sekali terhadap penyuluhan tentang tv, walaupun awalnya mereka susah dikendalikan karena terbiasa ngrumpi di antara peserta. Perlu ektra tenaga untuk membuat situasi kondusif. Ibu-ibu di Cangkringan sebagian kritis, sebagian diam saja sehingga kami harus mengelompokannya secara seimbang. Dari setiap pertemuan selalu membawa kesan. Kami lebih kenal banyak ibu dan lebih akrab dengan mereka. Pada pertemuan


190 TESTIMONI FASILITATOR

terakhir kami merasa senang, tetapi juga sedih karena terasa seperti keluarga. Kami terharu ketika ibu ibu menciumi pipi dan saling bertukar telepon untuk berhubungan satu sama lain. Mereka ingin banyak belajar tentang media .walaupun lewat handpone nantinya ibu ibu bisa diskusi dengan saya dan teman teman mengenai media. Harapan mereka, acara sepeprti ini tetap ada untuk memberikan pembelajaran bagi mereka dan keluarga tentang media.

SINTA DWI MUSTIKAWATI, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Tim Fasilitator Dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). SAAT MENGIKUTI workshop literasi media yang diadakan MPM pada bulan September 2009, saya tidak menyangka akan menjadi salah satu fasilitator untuk kegiatan pendampingan literasi media bagi ibu-ibu. Saya mengikuti workshop semata-mata untuk menambah wawasan tentang literasi media. Namun, melihat workshop yang saya ikuti masih belum ‘menjawab’ pertanyaan saya seputar literasi media yang ada di masyarakat, akhirnya saya memutuskan untuk menerima program pelatihan bagi fasilitator yang diadakan oleh MPM. Pada kegiatan Training of Trainer (TOT) bulan Oktober 2009, saya memeroleh tambahan informasi mengenai metode dan teknik dalam kegiatan pendampingan literasi media. Meski pada awalnya buta sama sekali mengenai kegiatan pendampingan, saya belajar sedikit demi sedikit bagaimana cara berbicara yang tepat terutama dengan peserta pendampingan, penyusunan materi pendampingan, hingga hal-hal yang perlu dihindari dalam mendampingi peserta. Informasi yang diberikan pada pelatihan pendampingan sangat berguna pada saat kami terjun ke lapangan, terutama mengenai metode dan teknik pendampingan. Banyak sekali hal yang saya pelajari pada saat mengikuti TOT sangat berguna ketika saya melaksanakan kegiatan pendampingan literasi media bagi ibu-ibu di Babarsari. Menarik untuk mengetahui kondisi riil kebiasaan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 191

menonton televisi serta keluhan-keluhan yang disampaikan para peserta terhadap tayangan televisi yang mereka saksikan. Misalnya pada materi Komunikasi Efektif yang kami sampaikan pada pertemuan ke-4. Ternyata para peserta tidak sadar bahwa selama ini komunikasi yang dilakukan dengan anak-anak mereka (rata-rata anak kecil dan remaja) hanya berlangsung satu arah, sehingga sering terjadi kesalahpahaman. Menarik juga mengetahui bahwa reality show masih dinilai sebagai acara yang menampilkan peristiwa yang benar-benar terjadi. Para peserta tidak mengetahui bahwa sudah ada skenario di balik reality show yang ditayang di televisi. Kegiatan pendampingan literasi media ini sangat membantu masyarakat untuk bersikap kritis dalam menyikapi media yang mereka konsumsi. Setidaknya masyarakat dapat memilih dan memilah tontonan mana yang baik bagi mereka dan keluarga mereka. Menurut saya, kegiatan semacam ini juga akan berguna jika dilaksanakan pada kalangan siswa, seperti siswa SMP atau SMA agar mereka dapat menyadari efek-efek yang timbul atas tayangan televisi yang mereka saksikan.


192PENGANTAR


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI193

D C

R

M U M

P

M

K L

M MPM

Masduki

Pengantar TOKOH PERS dan budayawan Indonesia Goenawan Muhammad menilai terdapat dua nuansa baru dalam pertumbuhan media di Indonesia pasca reformasi 1998, yaitu hadirnya liputan langsung di televisi secara agresif dan dinamika teknologi internet sebagai moda baru dalam tradisi jurnalisme. Kedua hal tersebut juga mewakili potret atmos ir media baru yang menyita hampir seluruh waktu konsumsi media (leisure time) masyarakat Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Kondisi ini dipicu oleh momentum kebebasan pers yang bercirikan: siapapun, media manapun dan kapanpun bebas berbicara dan bereskpresi. Sebuah kondisi kontradiktif dan tidak diperkirakan sebelumnya terjadi di Indonesia (SP, 2010). Persoalan serius muncul: berkembangnya tradisi baru dalam jurnalisme atau produksi karya kreatif media lainnya menuntut profesionalisme, ketrampilan dan disiplin kerja baru. Disiplin tak hanya bermakna waktu dan ritme, tetapi kemampuan mengikuti


194 DARI “MASYARAKAT” KE “MASSA RAKYAT” PEDULI MEDIA...

etika dan norma sosial sehingga suatu produk jurnalisme atau tayangan hiburan bermakna sosial dan edukasi tinggi, tak hanya memberi bene it inansial pembuatnya Faktanya pegiat media komersial khususnya jurnalis televisi belum siap mengikuti tradisi baru berikut konsekuensi komitmen etisnya. Televisi Indonesia hari ini adalah “industri tanpa etika”. Jurnalisme televisi menjadi sajian yang minim tata krama sosial. Ironisnya, mayoritas penonton, konsumen TV hari ini di Indonesia belum beranjak dari passive ke active consumer. Kemerdekaan pers (press freedom) yang bergema sejak 1999 dan isu peningkatan performance media adalah dua agenda penting yang perlu disoroti dan diperjuangkan terus-menerus. Kemerdekaan pers tanpa disokong good performance media tidak akan bermakna bagi publik, tidak mampu mendukung operasional negara yang demokratis. Publikasi riset evaluasi media hingga awal 2010 menunjukkan kondisi media belum sehat, relasi media dan publik tidak imbang Pemerhati media termasuk akti is dari dalam dan luar kampus memiliki peran ganda. Pertama, mengingatkan media dan membantu memberi solusi bagi peningkatan performance media agar perannya lebih konstruktif. Kedua, menjadi mitra publik dalam mengakses, mengkonsumsi media massa secara kritis. Memperluas jangkauan komunitas peduli media dari elit ke massa, dari kota ke desa. Peran tersebut dapat dilakukan secara personal, parsial dan atau institusional, kolektif. Media watch atau lembaga pemantau media di berbagai negara termasuk di Indonesia eksis atas nama ketidakseimbangan peran dan posisi publik media, mengkritisi media dengan tetap menjunjung tinggi etika serta berorientasi pada pelestarian kemerdekaan media. Media watch juga ikut menjaga agar upaya peningkatan performance media tidak justru mengancam kemerdekaan pers atau dimanfaatkan para “pembonceng” untuk memusuhi atau “mematikan” eksistensi media. Liberalisme dan kapitalisasi pengelolaan media membuka peluang gerakan kemerdekaan pers dan pemberdayaan konsumen media “masuk angin” dan masuk “ICU perawatan intensif”. Intinya, media watch merawat kemerdekaan pers, bukan memusuhi pers melalui penyehatan media dan


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 195

pembudayaan konsumsi media secara sehat. Berangkat dari gagasan ideal ini, bagaimana peran dan kontribusi MPM? Tentang Eksistensi MPM Jika huruf atau kata adalah representasi makna, ekspresi ideologi, maka kepanjangan dari MPM mestinya bukan lagi Masyarakat Peduli Media, tetapi “Massa Rakyat” peduli media. Tetapi apalah artinya sebuah kependekan atau kepanjangan? Kata “masyarakat” terasa amat sering dan kering diungkap, menjadi klise karena maknanya bercampur baur, semakin kabur antara makna simbolik dan konotatif. Ketika menyebut kata “Citizen” atau “Public”, cenderung disamakan dengan “People” atau “Society”. Padahal keempat kata itu memiliki makna yang berbeda, meski diartikan serampangan sebagai “masyarakat”. Tulisan ini bukan bermaksud memperdebatkan istilah, tetapi memperjelas makna, karena ia penting ketika kita akan membicarakan posisi sosial dan target group MPM. Pihak penjelas makna itu sudah pasti adalah pegiat MPM sendiri, kemudian para pihak terkait. Menjelang umur 10 tahun, MPM telah bertransformasi dari organ tanpa bentuk ketika didirikan oleh sejumlah pegiat kritisisme media, menjadi lembaga nirlaba yang bekerja untuk pemberdayaan sosial dengan mengambil “basis massa” di provinsi DIY. Tidak banyak yang tahu eksistensi lembaga ini kecuali segelintir akti is pemerhati media, jurnalis, “konstituen” yang pernah diundang MPM. Memang, tidak harus bahwa semua orang mengetahui MPM. Perjuangan MPM sangat penting, jauh lebih penting daripada mengenal MPM: penyehatan budaya konsumsi media dan pembenahan arsitektur regulasi media. MPM bekerja dari hulu ke hilir, dari institusi media, regulator hingga konsumen media. Kiprah MPM, dengan dorongan dan kolaborasi berbagai pihak bertransformasi dari model gerakan yang murni advokasi kebijakan struktural (elitis) menjadi penggalangan kesadaran kolektif (populis) dengan mengadopsi “nilai-nilai” Yogya yang santun. Perpaduan antara spektrum pemikiran akademis dengan spektrum agenda agenda praksis media ditengah atmos ir Yogyakarta yang sarat budaya adiluhung, membuat sosok MPM seperti melakukan


196 DARI “MASYARAKAT” KE “MASSA RAKYAT” PEDULI MEDIA...

“perlawanan” kepada media yang bebal dengan gaya Yogya. Nyaris mirip dengan pepatah populer di Jawa: Ngono ya ngono ning ojo ngono. Istilah yang merujuk budaya politik kaum priyayi Jawa ini diperkenalkan oleh Alm. Prof. Umar Kayam dengan idiom lain tetapi maknanya serupa: ”Nano yo Nano, Ning ojo Nano.” Melalui program literasi media televisi berbasis ibu-ibu rumah tangga pedesaan tahun 2009 ini, MPM menunjukkan pilihan strategi perjuangan di jalur kultural, bukan jalur struktural. MPM dengan pendekatan gerakan yang konstruktif mengkampanyekan agar khalayak tetap menonton televisi, tetap bersahabat dengan media apapun karena pada berbagai momentum, seperti pada titik reformasi tahun 1998, fungsi dan kontribusi historis yang amat strategis telah diperankan media. Hari ini, media ibarat pisau bermata dua, menjadi kawan yang baik untuk membongkar kejahatan sosial struktural dan menjadi lawan yang buruk dalam memahami realitas obyektif. Untuk wajah ganda yang kedua, MPM tegas meminta agar media merubah diri, melakukan koreksi. Ibarat berteriak di gurun pasir, MPM adalah institusi media watch berkelas “cicak”, ditengah hingar bingar “buaya” media. Nyaris tak terdengar, nyaris tak tampak ditelan karut marut media. Dalam akte notaris pendirian, MPM berdiri sejak tanggal 26 Agustus tahun 2001, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Secara utuh, visi MPM adalah : memandang perlu hubungan sejajar, adil dan harmoni antara media pada satu sisi dan masyarakat serta institusi-institusi lainnya pada sisi lain. Hal ini diperlukan agar tidak ada relasi dominasi subordinasi, tidak ada hegemoni antara satu pihak dengan pihak lain. Masyakarat Peduli Media meyakini bahwa tatanan demokrasi di negeri ini akan dapat dibangun dan bertambah kuat apabila relasi antar berbagai institusi dalam masyarakat dibangun berdasarkan prinsip sejajar, adil dan harmoni. Pasal tiga terkait misi MPM disebutkan: adalah menjadi tugas sejarah Masyarakat Peduli Media untuk mengemban sejumlah misi, antara lain melakukan monitoring (melalui riset akademis dan pengamatan sederhana) media massa (baca : pers dan media siaran, termasuk online media) yang hasilnya menjadi bahan untuk berbagai kegiatan Masyarakat Peduli Media sebagai media watch di Indonesia.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 197

Secara historis, menurut penulis, eksistensi MPM melewati empat tahap. Pertama, tahap pendirian yang didorong oleh kebutuhan menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas pemberitaan media oleh Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. Pada tahap ini, MPM masih bersifat program aksi yang sporadis. Kedua, tahap pengembangan yang bercirikan program kerja dan pengelola yang lebih terkonsolidasi. Berbagai kegiatan yang berskala lokal Yogyakarta dilakukan dengan inisiatif, modal dan idealisme personal pengelola. Ketiga, tahap aliansi strategis. Pada tahap ini MPM keluar dari pakem untuk menjadi kawah pengkajian kritis menjadi bagian dari aksi terbuka memprotes kebijakan dan regulasi media lewat aksi publik. Keempat, tahap konsolidasi. Tahap ini MPM melakukan identi ikasi diri dan memperkuat posisi dan di erensi dengan media watch lain. Pengertian media menurut MPM tidak berhenti kepada media komunikasi massa jurnalistik seperti surat kabar, majalah, televisi dan radio akan tetapi juga media ilm buku internet dan media seluler Meluasnya area media ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, teknologi dan ruang-ruang komunikasi sosial. Dalam sebuah riset tentang media dan budaya di Indonesia, pasangan peneliti Krisna Sen dan David T. Hill (2001) menyajikan potret media di Indonesia yang beragam sejak radio sebagai media tertua hingga ilm dan internet Intinya komunikasi termediasi (mediated communications). Namun demikian, kuatnya pengaruh media tertentu khususnya televisi “memaksa” MPM memilih fokus perhatian kepada media ini, sambil tetap mencermati dinamika pada media lainnya. Hal ini tampak dari kiprah MPM dalam delapan tahun sejak kelahirannya. Pengertian “masyarakat” yang merupakan peninggalan rezim lama, sudah semakin terkontaminasi, namun tetap dipergunakan, akan tetapi yang dimaksud bukan masyarakat sebagai unsur dan “mitra kerja pembangunan” ala Orde Baru, tetapi masyarakat yang mengambil oposisi binari, untuk melakukan tindakan penyadaran. Ketika interplay antara kekuatan publik yang menginginkan perubahan menguat berhadapan dengan koalisi kokoh pengambil keputusan (rezim politik) dengan rezim pasar, maka MPM melakukan advokasi, pembelaan kepada publik dari semua tingkatan. Sejak


198 DARI “MASYARAKAT” KE “MASSA RAKYAT” PEDULI MEDIA...

problem empiris menipisnya budaya membaca akibat tergerus waktu menonton televisi, isi siaran, isi berita media cetak yang sarat pelanggaran etika, hingga disharmoni dan destruksi regulasiregulasi baru terkait media dan kebebasan berekspresi yang muncul sepanjang tahun 2002-2010. Ditengah pesimisme terhadap lembaga-lembaga advokasi nirlaba, dua agenda penting selalu memerlukan jawaban media watch termasuk MPM dengan konsep, sikap dan tindakan. Pertama, bagaimana melihat media massa yang terus tumbuh bak jamur di musim hujan, mainstream atau alternatif, digital maupun analog? Kedua, bagaimana seharusnya posisi tiga pihak: government, market, civil society dalam konstelasi kehidupan media? Dalam konteks ini, antarberbagai media watch di kota-kota di Indonesia perlu melakukan aliansi dan merancang disain gerakan bersama sehingga lebih kuat dan solid. Media watch seperti MPM sebagai salah satu “lembaga publik” juga dimintai transparansi, pertanggungjawaban kiprah yang telah dilakukan dari tahun ke tahun. Barangkali, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, penerbitan buku best practices yang merupakan ujung program pemberdayaan literasi televisi ini bentuk pertanggungjawaban dimaksud. Tentang Persoalan Media Memasuki 2010, sangat penting mempertanyakan, sejauhmana rakyat menggunakan media massa sebagai “ruang aspirasi dan ruang kontrol” atas kebijakan publik? Media massa dalam sepuluh tahun terakhir ini sebagai sebuah ruang publik telah terprivatisasi dan makin terprivatisasi pasca regulasi pro-liberalisme. UU Penyiaran 32/2002 yang mengintrodusir publikisasi media masih belum terlaksana dengan baik, bahkan terhambat berbagai intrik politik ekonomi yang melelahkan. Ruang kontrol dan aspirasi yang dijalankan media massa terprivatisasi tidak sepenuhnya bermotivasi pelayanan kepentingan publik tetapi dioperasikan berdasarkan kepentingan pasar (market driven). Penyehatan atas kondisi ekonomi-politik dan pemberdayaan konsumen media ternyata tidak menjadi tujuan signi ikan kebijakan negara terhadap media hari ini. Jikapun ada ,itu tujuan antara, lip service.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 199

Kekhawatiran atas makin berkurangnya ruang publik media massa antara lain dipicu kebijakan baru atas dua pilar media penyiaran: RRI dan TVRI yang akan dikembalikan menjadi media rezim Hal serupa terjadi pada regulasi per ilman yang disahkan tahun 2009, regulasi keterbukaan informasi publik dan sebagainya. Terdapat gejala serius menguatnya kembali ideologi otoriterisme dan melalui serial diskusi publik, MPM bersama komponen LSM lain menyoroti UU ilm baru yang cenderung otoriter Untuk melihat visi regulasi khususnya UU, harus dilihat hubungan-hubungan antara negara, pasar, dan publik. Suatu undang-undang menganut visi otoriter jika ia memperkuat peranan negara (goverment heavy) untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan publik. Sementara itu, jika pasar yang lebih kuat, maka yang akan muncul adalah suatu produk UU libertarianistik. Jika suatu regulasi UU memperkuat posisi civil society, ia dikategorikan telah menjamin kehidupan demokrasi, minimal “diatas kertas�. Kiprah MPM sepanjang tahun 2009 selain advokasi pemberdayaan ke lapis bawah juga melakukan kajian regulasi khususnya regulasi per ilman UU Film tahun ternyata masih menyisakan se mangat otoritarianisme. Antara lain dimuatnya pasal-pasal karet sebagaimana pasal 6 yang sangat multiintepretatif sehingga rentan digunakan oleh pemegang kekuasaan untuk melawan kebebasan berekspresi, dan masih dipertahankannya lembaga sensor. Lembaga sensor ini digunakan untuk mengatur isi ilm yang dalam sistem demokrasi dilarang. Meskipun para anggora LSF sebagian besar nantinya wakil masyarakat, tetapi dalam sistem demokrasi sensor tidak diperbolehkan. Demokrasi mempercayakan sensor pada masyarakat, dan bukannya lembaga otoriter produk negara. Sensor di negara demokrasi dilakukan oleh para pelaku media (dalam hal ini, produser ataupun sutradara) dan masyarakat. Sensor juga dilakukan setelah masa tayang dan bukan sebaliknya Intervensi pemerintah terhadap ilm sebagai media dan industri kreatif ternyata tidak hanya dalam hal isi yang diatur melalui lembaga sensor, tetapi juga dalam perijinan dan standar kompetensi. Di kedua sisi ini, pemerintah berperan terlalu jauh Berkait dengan hal ini ilm diberi banyak kewajiban


200 DARI “MASYARAKAT” KE “MASSA RAKYAT” PEDULI MEDIA...

tetapi justru haknya tidak dijamin. Gejala-gejala krusial lainnya yang ada di televisi dan media cetak dapat dicermati berikut ini. Kemenangan SBY dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dua periode 2004-2014 membuktikan dua hal. Kuatnya pengaruh media above the line (ATL) dalam membentuk citra politisi. Kedua, kemenangan budaya pop dengan televisi sebagai medium sentralnya (politik opera sabun). Budaya pop selalu memerlukan selebriti dengan sejumlah identitas budaya pop yang kebetulan melekat pada SBY : ganteng, cool-man, kekar, bisa menyanyi dan seterusnya. Namun, budaya pop akan selalu musiman TReNDIISMe arti isial Ironisnya pemerintahan SBY “menikmati” pola musiman ini, Pendapat penting tentang televisi yang dikemukakan John H. Macmanus (1994) berikut ini menarik dicermati: Market orientation of modern journalism creating an idiot culture. In this culture we teach our readers and our viewers that the trivial is signi icant That the lurid and the loopy are more important than real news. Market journalism gathers an audiens not to inform it but to sell it to advertisers. Kuatnya tujuan mencari untung dalam produksi jurnalisme menimbulkan budaya idiot pada televisi. Budaya idioit adalah suatu praktek edukasi publik yang mengutamakan hal-hal sepele ketimbang hal serius untuk disikapi. Berita dan reality show yang mengedepankan pesona isik dan mistik lebih utama Contoh konkret adalah maraknya tayangan infotainmen yang memakan hampir 14 jam siaran televisi dalam satu hari. Pemisahan fakta dari opini dalam berita yang dipegang teguh bergeser akibat timbulnya gejala tabloid-ism, gaya penulisan berita yang meniru gaya majalah (magazine-style) menjadi luntur. Maraknya infotainmen juga menggerogoti asas pemberitaan fair dan objektif. Scara kultural, khalayak perlu mengetahui dinamika interaksi pengaruh dalam proses produksi media. Mengacu analisis yang dikembangkan Shoemaker dan Reese (1996), ada empat faktor/ pihak yang berkompetisi mempengaruhi isi media: individu jurnalis, rutinintas ruang redaksi dan nilai-nilainya, pengelola/pemilik,


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 201

pengiklan dan pembaca. Di tengah berbagai persoalan tersebut, saya termasuk yang masih percaya, bahwa media komersial bepeluang memainkan peran positif dan disehatkan selama kontrol publik masih kuat. Media komersial dan media alternatif dapat tumbuh seirama dengan dukungan gerakan dan institusi media watch yang kuat dan program media watch yang fokus. Tentang Media Literacy Media literacy berangkat dari berbagai asumsi tentang media. Pemikiran dan gerakan ini antara lain didorong tiga dari delapan konsep media literacy (Eight Key Concepts for Media Literacy) yang dikembangkan John Pungente, S.J berikut ini: Pertama, eksistensi dan produksi media merupakan olah konstruksi aktor diluar dirinya (all media are construction). The media do not present simple re lections of external reality Rather they present carefully crafted constructions that re lect many decisions and result from many determining factors. Media Literacy works towards deconstructing these constructions, taking them apart to show how they are made. Kedua, intervensi media kepada publik merupakan pembentukan realitas tersendiri yang tidak selalu sama dengan realitas obyektifnya dan sangat dipengaruhi oleh mayoritas sasaran yang ingin dicapainya (the media construct reality). The media are responsible for the majority of the observations and experiences from which we build up our personal understandings of the world and how it works. Much of our view of reality is based on media messages that have been pre-constructed and have attitudes, interpretations and conclusions already built in. The media, to a great extent, give us our sense of reality. Ketiga, isi media bersifat ideologis (media contain ideological and value messages). All media products are advertising, in some sense, in that they proclaim values and ways of life. Explicitly or implicitly, the mainstream media convey ideological messages about such issues as the nature of the good life, the virtue of consumerism, the role of women, the acceptance of authority, and unquestioning patriotism. Media literacy adalah gagasan, strategi dan aksi. Pada level


202 DARI “MASYARAKAT” KE “MASSA RAKYAT” PEDULI MEDIA...

gagasan, media literacy telah menjadi wacana global melakukan pemberdayaan khalayak. Pada level strategi, ia telah diadopsi berbagai lembaga lokal untuk melakukan pengkajian. Pada level, aksi, berbagai model telah dilakukan termasuk yang “khas” dari MPM. MPM menerjemahkan, mengintegrasikan gagasan media literacy yang populis. Upaya MPM bukan tanpa hambatan dan sinisme. Hambatan paling serius muncul dari sikap pesimis bahwa media literacy sebagai gerakan kultural, tidak berdampak langsung dan sistemik terhadap anomali isi media dan kebutaan pengelola media terhadap aspirasi publik. Media literacy bagi MPM sebetulnya bukan prominent standing position, tapi tool dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Sebab yang urgen tidak hanya media literacy tapi information literacy. Dalam bahasa heroik, perlawanan terhadap televisi adalah perlawanan kapitalisme media, melawan kebebalan, melawan lupa diri. Perlawanan ganda: struktural dan kultural. Televisi, media ini hanya pilihan kebetulan sebab MPM dan media watch lainya hari ini justru berada pada lingkungan media konvergen. Digitalisasi media adalah tantangan ke depan bagi peran baru MPM. MPM terlalu dini untuk menjadi model bagi pengembangan gerakan media literacy yang berbasis partisipasi khalayak. Namun, MPM telah membuktikan mengisi ruang kosong gerakan media literacy, menjawab dengan program yang bekerjasama dengan Yayasan Tifa tahun 2009. Selanjutnya publik yang menilai. Mengakhiri 2009 dan mengawali tahun 2010, MPM melakukan evaluasi program terkait media literacy televisi untuk ibu-ibu di kawasan pedesaan. Tiga tantangan terbesar dari program yang bekerjasama dengan Yayasan TIFA, dan perguruan tinggi Komunikasi di Yogyakarta ini: Pertama, bagaimana membangun keberlanjutan agar program yang sudah berjalan menjadi integral dengan rutinitas keluarga di pedesaan. Persoalan keberlanjutan (sustainability) menjadi isu krusial pada setiap NGO/LSM yang masih dependen kepada dukungan eksternal dalam hal dana dan sumber daya manusia. Kedua, perubahan cepat yang melanda spektrum media massa khususnya televisi. Sebagai media yang paling memiliki akses ke ruang-ruang


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 203

keluarga dan pengaruh terbesar dalam membentuk gaya hidup, maka televisi kian agresif berkembang, dari nasional ke lokal, analog ke digital dari statis di dalam rumah ke televisi berformat mobile. Intinya, perkembangan teknologi media menjadi tantangan media watch khususnya MPM untuk melakukan penyesuaian, advokasi. Teknologi media yang pesat semakin memerlukan strategi advokasi dan perlawanan lebih agresif pula. Ketiga, media literacy tidak hanya berhenti pada urusan isi dan bergerak pada arus pembentukan pola konsumsi kritis, tetapi penguatan kepedulian terhadap regulasi yang menentukan isi dan model reaksinya “naik kelas� ke aras aksi protes terbuka, melakukan “pembangkangan� terhadap media dan pemilik yang merusak. Kembali ke judul tulisan ini, MPM ditantang tidak hanya menjalin komunikasi dengan masyarakat, idiom yang abstrak, tetapi membentuk massa rakyat, ini lebih jelas posisi politiknya, lebih radikal. Ini jelas bukan hanya agenda MPM, tetapi agenda semua komponen civil society.


204 DARI “MASYARAKAT” KE “MASSA RAKYAT” PEDULI MEDIA...

Daftar Pustaka Macmanus, John H. 1994, Market Driven Journalism, London: Sage Publications Pungente, S.J. John, From Barry Duncan et al. 1989. Media Literacy Resource Guide, Toronto Canada: Ontario Ministry of Education. Sen, Krishna, David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Penerbit ISAI-Media Lintas Inti Nusantara Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of In luences on Mass Media Content. London:Longman Group Suara Pembaharuan, Edisi 24 Januari 2010


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI205

B

P

LUKAS S. ISPANDRIARNO, MA, PHD, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Program Master pada Ateneo de Manila University, Filipina, dan Institute of Media and Communication Studies, Ilmenau Technical University, GERMANY. Dosen pada Prodi Ilmu Komunikasi UAJY, Dewan Pendiiri dan Ketua Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta. D. DANARKA SASANGKA, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, dan Program Master Studi Media dan Komunikasi Monash University, Australia. Dosen dan Peneliti pada Program Ilmu Komunikasi UAJY. Peneliti dan Analis data di Metan Camaraderie, Institut Penelitian Sosial di Jogjakarta, sejak 2006. Anggota MPM (Masyarakat Peduli Media) pada periode 2002- 2003. Anggota aktif di SEI (Social Empowerment Institute), sebuah organisasi non pro it organization untuk devoted to empower marginalized urban society (1994-1998).


206 BIODATA PENULIS

JOSEP J.DARMAWAN, DRS. MA, alumni Jurusan Komunikasi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Master Of Arts, Universiti Sains Malaysia. Pernjah menjadi Peneliti di Institute for economic and Financial Research ec in Penulis dan editor untuk Jurnal Pasar Modal Indonesia diterbitkan oleh ec in Jakarta Sejak 1992 menjadi Dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY. Anggota MPM (Masyarakat Peduli Media) pada periode 2002-2003. YOSEPH BAMBANG WIRATMOJO, MA, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Univeritas Diponegoro, Semarang dan Institute of Media and Communication Studies, Ilmenau Technical University, GERMANY. Sejak Tahun 2000 menjadi dosen dan Peneliti di Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY. Pernah menjadi Account Executive pada SPECTRA Advertising Agency, Semarang dan Data Collector untuk berbagai kegiatan penelitian. MC NINIK SRI REJEKI, DR, M.SI, alumni Jurusan Komunikasi, FISIPOL UGM, Program S-2 Program Studi Bidang Penyuluhan Pembangunan, IPB, dan S-3 di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Sejak 1992 menjadi dosen dan Peneliti pada Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY. Peneliti Muda pada Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK sekarang PSPK) UGM. Menjabat Pembantu Dekan UU FISIP UAJY (1993-1994 dan 1998-2001), dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi periode 2007-2009. MUZAYIN NAZARUDDIN, SIP, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi UNS, dan kini tengah menempuh S-2 di Kajian Budaya dan Media UGM. Sejak 2006 menjadi Dosen dan Peneliti di Program Studi Ilmu Komunikasi UII. MARIO ANTON BIROWO, Drs. MA, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi UNS dan Anteneo De Manila University, dan kini tengah menempuh S-3 di Cutrin University Australia. Sejak 1993 menjadi Dosen dan Peneliti di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.


KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI 207

DARMANTO, Peneliti Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI), Balitbang, Kementrian Komunikasi dan Informatika. Dosen Luar Biasa/Dosen Tamu di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan (KTP) UNY, Prodi Ilmu Komunikasi UAJY, UMY, Akademi Komunikasi Yogykarta (AKY), dan Sekolah Tinggi Multi Media MMTC. Program Manajer Pelatihan Melek Media MPM (2009-2010). MOCH. FARIED CAHYONO, SE., M.Si, alumni Program S-1 Fakultas ekonomi dan S Program Master Resolusi Kon lik dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM). Pernah menjadi jurnalis Majalah Berita Tempo dan Forum. Sejak 2003 menjadi peneliti di Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan (PSKP) UGM, pernah menjadi Manajer Publikasi CSPS Books di PSKP. Dosen tamu pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. LUSI MARGIYANI, alumni Program S-1 Fakultas sastra UGM, dan S-2 Pendidikan Lingkungan Universitas Negeri Surabaya. Pendiri dan Ketua Pengurus Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) dan ECCD-RC (Early Childrenhood and Development Resource Centre). Konsultan dan Fasilitator freelance untuk isu pendidikan, hak-hak anak, gender, dan pengurangan resiko bencana. YOSSY SUPARYO, alumni Program Ilmu Informasi dan Perpustakaan UIN Yogyakarta, serta Teknik Mesin UNY. Fasilitator PP LAKPESDAM NU (2002-2004), Konsultan Program si tempat yang sama sejak 1998, Pimpinan PSDM Majalah Ekspresi (1999-2001), Staf Manajemen Pengetahuan dengan spesialis teknologi informasi di Combine Resource Institutions (CRI) Yogyakarta. YUDI PERBAWANINGSIH, Ph.D, alumni Program S-1 Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, S-2 Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia, dan S-3 di The Institute of Media and Communication Science, Technical University of Ilmenau, Germany. Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY.


208 BIODATA PENULIS

MASDUKI, M.Si, MA, Wakil Ketua Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, Anggota Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Alumnus Pascasarjana Kajian Jurnalisme, Ateneo De Manila University, Filipina, 2006.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.