Gambar sekelompok anak SD tengah menyatukan tangan memikat di mata saya. Sepadan dengan judulnya, Pendidikan Nilai-nilai Antikorupsi. Buku yang ditujukan untuk siswa SD kelas 5 itu menggelitik rasa ingin tahu saya lantaran tim yang mengerjakannya didominasi oleh guru-guru dari agama tertentu. Hanya satu nama dari sekolah Islam. Secara umum, buku ini dikontribusi oleh sebuah yayasan nonIslam.
Bila parameternya soal kejujuran dan antikorupsi, tidak masalah sebenarnya siapa saja yang mengerjakan isi buku untuk anak-anak SD itu. Kalau kemudian ada bias-bias yang bisa mengurangi kekentalan ekspresi simbol kalangan mayoritas, ini konsekuensi. Bagaimana bisa imbang wong satu guru penulis dikelilingi puluhan koleganya yang berbeda agama tapi beratap di satu yayasan?
Sebagaimana umumnya proyek pengadaan, siapa saja bisa masuk untuk ikut. Dalam konteks ini, yayasan tersebut yang terpilih memenangi untuk mengerjakan proyek buku bagi siswa SD. Di sini faktor agama tidak relevan dikaitkan dengan para komisioner KPK. Betapa tidak, nama-nama yang ada setahu saya semuanya Muslim. Kalaupun ada celah yang memenangkan (atas pertimbangan objektif) pastilah ada di tingkat level menengah di KPK. Di periode awal KPK, terbitanterbitan soal antikorupsi setahu saya masif dikerjakan ormas Islam. Tidak berarti di periode sekarang kalangan Islam seakan ditinggalkan. Sementara kita, kalangan Muslim, lebih baik mengevaluasi diri. Mengapa untuk pendidikan nilai antikorupsi sampai harus pihak minoritas yang proaktif membuat atau menghasilkan karya lebih baik? Menyebut mereka lebih baik tentu perlu pembuktian. Adanya kesamaan keagamaan yayasan itu dengan level menengah pejabat di KPK yang berwenang pihak mana yang layak diserahi proyek, kita abaikan dulu. Harus diakui, penanaman antikorupsi di tubuh umat Islam masihlah pas-pasan. Entah mengapa, syariat yang dimiliki tidak sebanding dengan pelaksanaan oleh umat. Bukti nyata, banyak pejabat didakwa atau disangka korupsi adalah dari pemeluk Islam. Karena mayoritas, mayoritas pulalah pelaku korupsi dari kalangan umat. Ini
bicara kuantitas. Soal nominal nanti dulu. Skandal BLBI melibatkan kalangan etnis tertentu umumnya. Meski tampak belasan orang saja namun uang negara yang dirampok jauh berlipat dari korupsi yang diperbuat anasir pemeluk Islam. Ini bukan untuk membandingkan soal kejahatan. Sama-sama jahat tapi kita harus objektif melihat fakta yang ada. Sebagai mayoritas, wibawa orang Islam—suka ataupun tidak—akan tergerusi lantaran perilaku korupsi. Bukan hanya soal mencuri uang jutaan, tapi juga korupsi dalam arti luas. Waktu, curi-curi di lampu merah, dan pelbagai bentuk ketidakdisiplinan, umat Islam banyak melakukannya. Sudah, akui saja sebelum menuding umat lain juga berlaku sama. Ya, kredibilitas kita bicara soal nilai sepertinya terkikis. Ini problem internal kita, selaku mayoritas. Karena ketidakkredibelan itulah kita sampai haru ‘meminta’ atau ‘mempersilakan’ umat lain untuk menuliskan pengajaran nilai yang bagi kita sudah tidak asing lagi. Metode sebaik apa pun sebenarnya akan berujung gagal bila tidak dijalankan. Termasuk isi buku ajar siswa SD. Terkait soal internal ini, akhirnya pihak di luar memanfaatkan kelemahan ini. Jadilah kita disetir dan dikendalikan. Seolah untuk bicara topik tertentu ada yang lebih pantas di luar kalangan mayoritas. (diambil dari yusufmaulana.com)
Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013
1