Merawat Ingatan dengan Aksi Kamisan

MERAWAT INGATAN DENGAN AKSI KAMISAN

--- Demi Ibu Pertiwi Menanti Hadirnya Reformasi ---

01

Aksi kamisan adalah aksi yang dibuat oleh para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di indonesia.

Aksi Kamisan ini dilakukan oleh berbagai elemen penggiat HAM sebagai bentuk perjuangan untuk meminta keadilan atas kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kasus yang diangkat pun diantaranya kasus pembunuhan Munir, Marsinah, Kerusuham Mei 1998, dan sederet kasus HAM lainnya.

Aksi ini dilatarbelakangi oleh sikap negara yang mengabaikan kasus pelanggaran HAM. Negara yang terus diam menyikapi permasalahan ini menjadi dorongan keluarga korban dan para aktivis dalam menyuarakan aspirasinya. Walaupun aksinya sudah berlangsung cukup lama, tetapi Aksi Kamisan baru diundang ke Istana sekali saat kepemimpinan Presiden Jokowi. Hal ini menjadi bukti nyata abainya negara terhadap kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Salah satu peserta aksi Maria Katarina Sumarsih (69), menuturkan, "ketika negara ini ‎tidak berdaya untuk menyeret para pelanggar HAM, kekerasan akan terus berulang". Beliau merupakan orang tua dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Atma Jaya, Jakarta yang tewas diterjang peluru tajam dalam tragedi Semanggi 1.

Aksi Kamisan pertama kali digelar pada tahun 2007 dan berlokasi di depan Istana Negara.

Lokasi tersebut dipilih karena istana merupakan representasi atau simbol pusat kekuasaan negara.

02

Walaupun dimulai sebagai aksi yang mayoritas dihadiri keluarga korban, tetapi kini jumlah peserta semakin bertambah karena simpati datang dari masyarakat sipil, khususnya kalangan pemuda.

Dengan banyaknya simpati yang kian datang, menunukkan bahwa masyarakat mulai peka terhadap tragedi yang menimpa keluarga korban dan mereka masih menungu kejelasan atas peristiwa di masa lalu yang merugikan korban dan keluarganya.

Sebagaimana apa yang disampailan oleh oleh Scott (1986), “Resistance of this kind doesn't throw up the manifestos, demonstrations, and pitched battles that normally compel attention, but vital territory is being won and lost here too.”

Aksi Kamisan dapat dikatakan sebagai bentuk momentum untuk merawat ingatan. Menjadi sebuah bukti hidup yang menjadi saksi sisi gelap dari sebuah rezim yang pernah berkuasa di Indonesia. Kisah sejarah yang tidak pernah dituangkan dalam buku sejarah di sekolah, tetapi kisah kelam tersebut menjadi sebuah momen traumatis bagi keluarga korban dan hingga saat ini negara abai dan cenderung acuh menyelesaikannya. Kisah kelam tersebut memang sudah lama terjadi, tetapi ingatannya masih tetap terjaga dan tumbuh bagi keluarga korban dan aktivis HAM lainnya. Oleh karena itu, gelombang aksi kamisan mulai muncul di beberapa daerah di Indonesia.

“Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa” Milan Kundera.

Reformasi sudah melalui jalan panjangnya, kepemimpinan rezim silih berganti. Janji demi janji, tetapi kenyataannya tak pernah terealisasi.

Perjuangan mereka masih tetap sama, menanti hadirnya sebuah keadilan.

Apabila mengutip puisi yang disampaikan oleh Wiji Thukul, "Aku akan tetap ada dan berlipat ganda". Aksi Kamisan ada – dan akan selalu ada – karena sikap negara di masa lalu, dan sampai hari ini juga, Aksi Kamisan masih terus dibohongi oleh negara.

03

Lima belas tahun menanti keadilan.

Aksi Kamisan adalah satu aksi kecil dari banyaknya gerakan masyarakat sipil, keluarga korban, dan aktivis untuk setiap saat terus mengupayakan agar keadilan yang didambakan terwujud.

Mereka hanya ingin mendapatkan kejelasan atas kasus yang menimpa keluarga atau kerabatnya untuk menuntut hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM. Aksi Kamisan adalah refleksi dari orang-orang yang terpinggirkan oleh kekuasaan dan diabaikan oleh negara. Sekalipun ketika mereka telah berada tepat di depan Istana Negara. Menunggu agar ada pintu keseriusan negara sesegera mungkin menyeret para pelaku ke pengadilan, menjatuhkan hukuman yang setimpal, memulihkan hak-hak mereka yang menjadi korban dan mengembalikan mereka yang masih hilang. Namun, pada kenyataannya kehadiran beserta aspirasi mereka tak kunjung digubris oleh Negara.

Payung Hitam menjadi simbol ketidakadilan bagi para korban HAM masa lalu. Menjadi sebuah realitas bahwa negara tidak menunjukkan keseriusan dan komitmennya untuk menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dan cenderung membiarkan permasalahan ini sehingga masyarakat lupa pada persoalan penegakan keadilan HAM di masa lalu.

Hal ini dapat dilihat dari tidak jelasnya aktor intelektual serta pelaku yang diungkapkan ke publik. Selain itu, hukuman yang divonis kepada pelaku pelanggaran HAM juga tidak sebanding dengan pelanggaran yang mereka perbuat kepada para korban. Bahkan, beberapa aktor yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM 98, kini mereka duduk manis di bangku pemerintahan.

Suatu realita yang memprihatinkan di negeri yang mendasarkan hukum sebagai fondasi kenegarannya.

04

Mencari keadilan dalam kebisuan.

Aksi Kamisan sebagai wujud dari aktualisasi nilai perlawanan kolektif.

Baik itu dari keluarga korban, aktivis, atau masyarakat lainnya. Mereka menuntut pengusutan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM serius yang terjadi di masa lalu, dan pada saat yang bersamaan juga salah satu cara untuk membuat publik tetap terawat ingatannya atas sikap represif aparat militer yang melanggar hak-hak sipil dan politik.

Hidup Korban Jangan Diam Lawan!

Cukup memprihatinkan apabila mengingat beratnya perjuangan korban dan keluarga demi menuntut keadilan HAM. Pada kenyataanya, berdiri di seberang istana belum tentu membantu mereka mendapatkan keadilan.

Dengan hadirnya Aksi Kamisan sebagai sebuah perlawanan merupakan salah satu cara merawat ingatan, bahwa kekerasan akan terus terjadi jika keadilan tidak diberikan. Oleh karena itu, keadilan harus tetap diperjuangkan!

Penulis Luthfi Firmansyah Karawang, Jawa Barat 082149023571

05