Keberadaan pers mahasiswa menjadi salah satu media alternatif di tengah gempuran pemberitaan media arus utama. Pembaca, kami sadar menjadi pers mahasiswa bukan hal yang mudah. Namun, kami tetap berusaha memberikan perspektif berbeda dari pemberitaan yang ada di seputar kampus “santun” ini.
Ialah perguruan tinggi sebagai bukti konkret keseriusan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan alinea keempat dalam Pembukaan UUD 1945. Keberadaan institusi pendidikan semestinya menjadi ruang aman bagi siapapun untuk belajar dan mengembangkan bakat dalam diri. Untuk mendukung hal itu, institusi pendidikan tentu sudah selayaknya menyediakan fasilitas dan membentuk ekosistem yang menjamin keberlangsungan kultur pendidikan.
Sejak lengsernya status Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta pada Mei 2021 lalu, beberapa aspek penting pendukung sistem akademik kampus disoroti. Sesuai Tridarma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran; penelitian; dan pengabdian masyarakat, bisa tidak terkonstruksi apabila institusinya sendiri
acuh mengobservasi dan membenahi. Dimulai dengan terbitnya Permenag Nomor 5494 Tahun 2019; gonjang-ganjing Satgas KS di kampus; upaya reparasi kebutuhan fisik; hingga kabar pembukaan lahan baru masih menjadi pertanyaan besar yang akan kami bahas di majalah Lajur edisi VII ini.
Dalam ikrar “Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah: Bertanah air satu tanah air tanpa penindasan. Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah: berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah: berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.” Memang benar tidak hanya kampus yang berperan namun juga tanggungjawab seluruh mahasiswa sebagai tokoh utama ruang institusi.
Seluruh karya yang tertuang dalam majalah ini adalah wujud ekspresi mahasiswa sebagai saksi dua tahun UIN bertransformasi. Kami ingin berbagi fakta, bukan hanya asumsi belaka. Kami bersua dalam pena untuk ungkap cerita tersembunyi di dalamnya. Kami hanya ingin berekspresi, bukan untuk direpresi. Selamat membaca golden project kami, “UIN SURAKARTA UNTOLD STORY”.
Salam Pers Mahasiswa!
Redaksi
1 LAJUR | Edisi VII 2022
S.Ag., M.Pd. Penasihat: Prof. Dr. KH. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag. Pembina: Ahmad Saifuddin, M.Psi. Pemimpin Umum: Denies Verawaty Sekretaris: Seehaturrohmah, Nia Zahrotun Bendahara: Lisya Permatasari, Syafira Riyan Litbang: Aqila Ahya, Elsa Lailatul, Vanessa Agustin SDM: Izza Aprilliani Dwi Hanifah Jaringan Kerja: Hamzah Syaifulloh Perusahaan: Ghifari Ramandika, Sayyidah Marhamah Pemimpin Redaksi: Alfida Nur Cholisah Redaktur Pelaksana Majalah: Devi Mutiara Hati Redaktur Pelaksana Buletin: M. Hermawan Redaktur Pelaksana Media Online: Nurul Fatimah Layouter & Ilustrator: Yuliana Hanung Editor: Ahmad Miftahudin Thohari, Denies Verawaty, Nafa Shahamah, Aqila Ahya Reporter: Nuri Sakholifah, Atik Ermawati, Nafa Shahamah, Pratika Avi, Salsabil Muti, Muhammad Hafidh, Lutfiana Aprilia, Yunda Hidayati, Kukuh Satrya Perdana, Khofifah, Fayzah, Fakhirotuz Zahro NS, Sahnata, Maulida Fotografer: Risa Laelatun Nisa, Design Cover:
SRD Alamat
Gedung Student Center lt. 2 UIN
Diterbitkan oleh: Lembaga Pers Mahasiswa Locus Pelindung: Dr. H. Mudhofir,
Dani Haidar
Redaksi:
Raden Mas Said Surakarta
Salam Redaksi
Kata Pengantar
“Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri”, begitulah perkataan orang bijak. Setiap sesuatu mengalami perubahan, baik cepat maupun lambat. Termasuk perguruan tinggi, salah satunya UIN Raden Mas Said Surakarta. Mei 2021 lalu, Institut Agama Islam Negeri Surakarta bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Proses transformasi tersebut dibarengi dengan berbagai pembangunan infrastruktur di beberapa aspek. Dinamika kampus juga menjadi semakin kompleks sebagai konsekuensi dari transformasi tersebut.
Terdapat beberapa permasalahan yang masih perlu direspons dengan baik. Selain kelengkapan fasilitas dan pembangunan infrastruktur, permasalahan terkait kebutuhan lahan untuk pembangunan dan pemekaran kampus baru. Sebagai perguruan tinggi yang sudah menyandang status universitas, UIN Raden Mas Said membutuhkan lahan baru untuk dibangun kampus baru yang berisikan fakultas dan program studi baru. Pembukaan fakultas dan program studi baru ini kemudian berdampak pada munculnya kebutuhan terhadap dosen baru yang selaras dengan program studi tersebut.
Permasalahan iklim perguruan tinggi juga hendaknya tak luput dari perhatian
setiap komponen perguruan tinggi. Sebagai universitas, maka UIN Raden Mas Said Surakarta dapat menerima mahasiswa yang lebih banyak. Banyaknya mahasiswa ini mengharuskan jaminan keamanan dan kenyamanan para mahasiswa selama proses belajar di UIN Raden Mas Said Surakarta. Setiap permasalahan yang mengganggu keamanan dan kenyamanan tersebut seharusnya menjadi perhatian besar dan jika ada maka dapat diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah soal pelecehan dan kekerasan seksual.
Berbagai permasalahan tersebut telah dikupas LPM Locus di dalam majalah edisi ini. Selain pembahasan terhadap berbagai permasalahan tersebut, dalam edisi ini juga menghadirkan berbagai karya mahasiswa, seperti opini, cerpen, dan puisi. Sebagai pembina, saya menyambut denganbanggaatasterbitnyamajalahLajur edisi VII 2022 ini. Majalah ini sebagai bukti kinerja mahasiswa yang tergabung di dalam LPM Locus. Selain itu, juga sebagai bukti bahwa pers mahasiswa masih memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap permasalahan yang terjadi sehingga turut serta untuk mengupasnya. Akhir kata, semogabermanfaat.SalamPersMahasiswa!
2 LAJUR | Edisi VII 2022
Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog (Pembina Lembaga Pers Mahasiswa Locus)
Di Balik Bilik Nama Baik
Empat bulan lalu, aku dan beberapa rekanku yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa melakukan peliputan atas kasus penganiayaan di kampus. Memang kasus ini menjadi kasus yang cukup pelik bagi LPM yang baru beranjak berjalan ini. Namun, LPM LOCUS juga mendapat banyak tuntutan dari publik untuk turut memberitakan perihal penganiayaan yang jelas mencoreng nama baik kampus santun ini.
Sebelumnya, di meja Redaksi LPM Locus, kami mendengar kabar bahwa seorang mahasiswa bernama Salman di Unit Kegiatan Mahasiswa sedang menjadi buronan massa. Saat itu, belum jelas apa yang terjadi.
Sore hari di akhir bulan Agustus itu, kampus diblokade ratusan orang berpakaian serba hitam. Akses utama gerbang kampus pun sejak sore itu ditutup. Beberapa mahasiswa yang ingin pulang terpakasa harus menunggu sampai gerbang itu kembali dibuka. Ratusan massa itu kemudian berhasil membuat tiga satpam kampus yang sedang berjaga kewalahan, alhasil gerbang terbuka. Mereka masuk diiringi lantunan teriakan lagu yang kerap terdengar saat menonton pertandingan sepak bola. Bergegas, aku dan tim menyiapkan record dan mendokumentasikan kejadian.
Barisan terdepan dari mereka membawa spanduk putih bertuliskan “No Justice, No Peace”. Meski hari semakin gelap, tulisan itu terlihat cukup jelas membentang.
Sontak terdengar terikan massa menyebut nama Menwa, “Menwa Bajingan, Menwa Bajingan!!”
Beberapa mahasiswa masih berada di area lapangan utama, mereka ditanya letak sekre Menwa oleh massa aksi.
“Mba, tau di mana sekre Menwa?” tanya salah satu pria dengan masker dan penutup kepala serba hitam.
“Oh enggak tau, Mas. Kita masih Maba di sini,” ucap mahasiswi yang didatangi.
Ratusan massa itu ternyata mengincar sekre Menwa. Padahal, sekre sudah dikosongkan sejak sore. Beberapa kawan yang tinggal di Gedung Student Center pun memilih untuk tidak ikut campur atas kejadian ini.
Kedatangan massa aksi saat itu tidak membuahkan apa-apa, incaran mereka tidak bisa ditemukan malam itu. Kemudian mereka membubarkan diri pulang dengan tangan kosong.
Dari berbagai fakta di lapangan dan data yang kami dapatkan, kasus ini memang
3 LAJUR | Edisi VII 2022
Editorial
mengarah pada penganiayaan seorang korban berinisial AF yang dilakukan oleh Salman, Zulfan, dan Zailani.
Esoknya, aku dan tim memutuskan untuk terus membuntuti kasus ini. Dari informasi yang didapatkan tim redaksi, korban AF saat itu sedang dirawat untuk diambil visumnya di RS UNS. Malam itu juga kami memutuskan mendatangi korban, setelah sampai di lokasi ternyata AF sudah pulang sejak pukul 3 sore. Demi mendapatkan keterangan dari korban, kami pun mencari tahu lokasi rumahnya.
Jaraknya tidak jauh dari kampus, rumah sederhana di perkampungan daerah Keraton Kartasura itu terlihat sepi.
“Assalamualaikum, kulo nuwun.”
“Waalaikumussalam, monggo,” salam kami dibalas seorang wanita paruh baya dengan daster batik yang dikenakannya.
Setelah kami tanya, ternyata wanita itu adalah ibu dari AF. Selang beberapa waktu kami berbincang, datanglah perempuan dengan nampan yang berisikan dua gelas teh disuguhkan kepada kami. Perempuan itu bernama Sika, tetanngga yang menganggap AF sudah seperti anaknya sendiri.
Keluarga korban tidak terima anaknya diperlakukan tidak semestinya, apalagi sampai harus minum air WC. Kemarahan ini kemudian berujung pada meja hukum. AF melaporkan tindakan yang dialaminya ke polisi.
Kami pun melanjutkan peliputan menuju Polsek Kartasura, tempat di mana AF sedang di-BAP. Karena tidak bisa menemui AF, kami menunggu di ruang tunggu hingga malam semakin larut. Kira-kira pukul sepuluh malam, saat itu perempuan sebaya dengan kami keluar dari ruangan ditemani seorang wanita paruh baya dengan jaket tebal di badannya. Kami pun mendatanginya.
Raut wajah perempuan itu terlihat lelah, matanya sayu, tubuhnya tidak lagi bersemangat. Jelas saja, tiga jam mereka di-BAP, dan perlakuan polisi yang menyudutkan seolah cukup menguras sisa tenaga yang mereka mereka miliki malam
itu. Melihat kondisi Yara dan ibunya yang sudah kelelahan itu, kami memutuskan untuk menunda wawancara dengan mereka. Setelah bertukar nomor ponsel, merekapun pulang berboncengan dengan sepeda motornya.
Yara Hampir Tidak Percaya dengan Siapapun, Kasusnya Senyap Tanpa Keadilan
Setelah beberapa kali melakukan pendekatan dengan Yara, akhirnya kami menemukan waktu yang pas untuk ngobrol secara langsung. Malam itu, aku dan tim bertemu Yara di salah satu restoran cepat saji di Solo. Malam itu ia bersama ibunya, yang tempo hari juga mengantarnya ke Polsek.
Ibunya bercerita, Yara adalah anak sulungnya, sejak kecil ia sering dibully oleh teman-teman kelasnya. Hal itu yang menyebabkan ia tidak memiliki teman baik di sekolah. Bahkan saat ada acara ulang tahun salah satu temannya, hanya Yara yang tidak diundang. Teman-temannya selalu mengolok-olok dan menjahilinya. Hal itu terjadi hingga Yara beranjak SMP.
Tahun 2022 ini merupakan tahun terberat bagi Yara, sang ibu bercerita mengenai kasus AF yang kemudian menyeret nama anaknya itu. Ia menyampaikan andai saat itu ia bisa bertemu dengan AF, ia beranggapan apa yang diterima AF itu adalah balasan dari Tuhan atas apa yang dilakukan kepada anaknya empat tahun lalu.
“Okelah saat ini posisinya sebagai korban penganiayaan. Tapi kalau hati nuranimu itu peka, kamu mengalami hal itu sebenarnya karena efek dari kurang ajarnya kamu,” ungkapnya berangan-angan seolah ia bertemu dengan AF.
Yara pun akhirnya mau membuka luka lamanya. Kejadian kelam empat tahun lalu yang ia alami itu sudah lama ia pendam sendiri. Namun, karena kasus yang diterima AF itu membuatnya harus membuka luka lamanya kembali, menceritakannya kepada polisi dan juga kami, reporter Locus. Dengan penuh kehati-hatian, kami menanyakan kronologi kejadian yang dialaminya.
4 LAJUR | Edisi VII 2022
Yara kemudian membuka ceritanya, ia merekam dengan jelas dalam ingatannya tentang peristiwa di hari itu. Ia menceritakan runtutan kejadiannya, nampaknya hal itu membuatnya sangat terpukul. Yara bercerita dengan tatapan kerap kali mengarah ke arah bawah dan kanan atas. Sesekali ia menarik napas panjang di tengah-tengah ceritanya. Ia hampir tidak percaya dengan siapapun, karena kasus empat tahun yang lalu itu tidak satupun yang percaya kepadanya. Ia merasa sudah menemui jalan buntu di hadapannya.
Yara sempat berencana akan melaporkan kasusnya ke kepolisian, tapi tidak ada satupun bukti atau jejak digital yang dimilikinya. Semua arsip hilang karena ia ganti ponsel. Yara juga sudah berusaha menghubungi LBH, tapi keterangan darinya hanya bisa untuk meringankan hukuman pelaku penganiayaan. Bukan untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya.
Satu bulan setelahnya, aku dan tim Locus menemui Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Islam (LKBHI) kampus. Mereka meragukan kisah yang disampaikan Yara, berdalih cerita yang disampaikan Yara berbeda-beda. Namun, setelah kami konfirmasi, tidak ada perbedaan antara yang diceritakan Yara dengan kami dan apa yang disampaikannya kepada dosen maupun salah satu anggota LKBHI.
Salah satu anggota LKBHI pun memberi kami wejangan. Ia menyarankan agar kami tidak mudah percaya dengan apa yang disampaikan korban, karena yang berhak menentukan trauma pasien hanya para ahli psikolog. Bukan semata dari penuturan penyintas. Hal ini sempat membuat kami bimbang sekaligus bingung. Lembaga bantuan hukum yang semestinya mendukung para penyintas untuk berani bersuara malah meragukan perspektif penyintas.
Sebelumnya, Yara juga sempat menceritakan hal ini kepada Unit Layanan Terpadu (ULT) sebagai satgas kasus kekerasan seksual di dalam kampus, tapi tetap saja tidak ada upaya perlindungan bagi korban. Mereka semua berdalih bahwa penyintas tidak secara langsung
melaporkan kasusnya kepada LKBHI. Padahal, salah satu anggotanya sudah mengetahui kejadian yang dialaminya tapi tetap tidak ada upaya perlindungan hukum atau sekadar meyakinkan penyintas bahwa ia bisa mendapat perlindungan.
Salam dari Burung Gagak! Nantikan berita kami di laman lpmlocus.com!
5 LAJUR | Edisi VII 2022
Daftar Isi
Salam Redaksi
Suara Pembaca
Suara Pembaca
Opini: Menilik 2 Tahun IAIN Beralih Status Universitas 07
Fokus Locus
UIN Minim Kapasitas Satgas Kekerasan Seksual Kampus 10
Opsi Lembaga Kemasyarakatan, Dedikasi Payung Korban KS?
Litbang Infografis: Waspada Kekerasan Seksual di Kampus!
Pojok Ragam: Pijar Semesta Resolusi Polusi Sampah
Halo Locus, terus bersuara ya. Jangan mau jadi humas kampus, xixixi. Pricia Natha
Perbaikan fasilitas, dan maksimalkan pelayanan publik. Berikan perhatian lebih untuk UKM yang ada di UIN. Johandi Ahmad Fauzan (FIT)
Tetap semangat menyuarakan suara yg tidak terdengar. Dan semoga selalu sabar menghadapi kata-kata kurang mengenakan yg ditujukan ke kalian. Tidak ada ruginya mengungkap kebenaran.
Saran untuk kampus, parkiran diperbaiki, wifi nya dibuat lebih lancar soalnya kadang lemot. Eka Nofitasari (Tadris Bahasa Indonesia)
Pliz, jangan mengatasnamakan Nama Baik Kampus untuk menutupi pelaku-pelaku kekerasan seksual. Kita ini bisa jadi caloncalon korban berikutnya. Ngerasa gak nyaman bgt di kampus yang santun tapi masih banyak berkeliaran predator seksual. Pricia Nantha (HPI)
6 LAJUR | Edisi VII 2022
1.
......................................................
2.
3.
4.
................................................................
5.
............... 15 iii.
iv.
8.
9.
10.
........................................................ 35 11. Tips
..................................... 37 12. Fotografi ............................................................... 38 13. Feature:
39 14. Resensi
....... 41 15. Resensi
...................... 45 16.
47 17. Teka-Teki
................................................... 48 18. Cerpen: 1.
49 2.
................................ 52 19.
...................................................................... 54
01
Kata Pengantar 02
Editorial: Di Balik Bilik Nama Baik ................ 03
Daftar Isi
06
06 6.
7.
10 i.
ii.
Serba Serbi KKN Kerso Darma 2022 20
Satu Tahun Alih Status, Begini Kabar UIN Raden Mas Said Surakarta........... 23
27
31
Opini Opini: Mahasiswa, Kampus dan Perpustakaan
and Trik: Tips Manajemen Waktu: Kuliah Dan Organisasi
Rusun Gedung Student Center
Buku: Manusia Tanpa Sekolah
Film: Penyalin Cahaya
Puisi: Aku Harus ke Mana?
Silang
KETIKA KAMI BERSUARA
Dua Sudut Pandang
Komik
Opini
Menilik 2 Tahun IAIN Beralih Status Universitas
Universitas merupakan pintu gerbang terakhir untuk para mahasiswa sebelum bersaing di dunia kehidupan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, mahasiswa dituntut untuk selalu memantapkan niat, prinsip dan kemampuannya agar dapat bersaing di era kehidupan yang semakin mengglobalisasi ini. Dalam realisasinya di dunia perkuliahan, mahasiswa membutuhkan fasilitas kampus yang memadai sehingga proses menuntut ilmu, dan segala aktivitas belajar lainnya dapat berjalan dengan baik.
Namun, sayang seribu sayang mahasiswa di UIN Surakarta banyak yang merasa tidak ada revitalisasi signifikan yang dilakukan oleh kampus setelah dua tahun beralih status Universitas. Parkir motor sempit, jalan yang berlubang karena paving mulai tanggal, plafon kelas bocor berlumut, masjid overcapacity, hingga banjir di lingkungan di dalam lingkungan kampus. Singkat kata, masalah fasilitas lagi-lagi menjadi PR besar bagi yang harus segera diselesaikan. Namun, sampai saat ini masih saja belum banyak perubahan baik dalam segi perbaikan maupun penambahan fasilitas.
Setiap tahunnya kampus menerima lebih banyak mahasiswa dari tahun sebelumnya. Terdaftar dalam Panitia Pusat SPAN-UM PTKIN kuota total penerimaan mahasiswa baru tahun 2022 ini sebesar 172.985 orang. Dengan jumlah sebanyak itu satu masalah besar yang timbul adalah banyak mahasiswa mengeluh tentang kurangnya lahan parkir. Pasalnya kita bisa menyaksikan jalan kampus yang selalu dijadikan area parkir oleh para mahasiswa. Selain itu, juga ada beberapa area parkiran mahasiswa yang tidak rata dan berlubang cukup dalam. Sehingga ketika musim hujan tiba banyak air yang menggenang dan membahayakan.
Selain itu, bagi mahasiswa yang mengikuti UKM dan menghuni Gedung
Student Center meski sudah dilakukan perbaikan dalam gedung yang biasa digunakan mahasiswa menyalurkan minat di luar aktivitas akademik. Akan tetapi, masih terdapat kendala besar yang sering menjadi masalah warga SC, yakni tatkala harus mengadakan sebuah acara mereka kerap kali kesulitan mendapat tempat yang memadai.
Bahkan, sulit pula sebatas meminjam ruang kelas untuk dijadikan tempat berlangsungnya kegiata. Kendala izin yang sulit yang hanya dibolehkan memakai ruang kelas pada hari perkuliahan, tidak untuk di akhir pekan. Padahal jam kuliah mahasiswa sendiri dilangsungkan mulai Hari SeninSabtu. Sehingga tak sedikit dari mereka yang memilih keluar kampus dengan menyewa villa atau tempat publik lain.
7 LAJUR | Edisi VII 2022
Oleh Nuri Sakholifah
Nasib Miris Masjid UIN Pucangan
Ketika mahasiswa akan melaksanakan sholat Jum'at, mereka sampai harus mengelar sajadahnya di gazebo dan jalanan di sekitar masjid. Pun, serambi masjid yang biasanya digunakan mahasiswa sekedar bersinggah ketika jeda waktu perkuliahan juga terlihat sesak ketika waktu shalat dzuhur tiba.
Kamar mandi masjid dengan jamban yang minim jumlah, bahkan beberapa ada yang tidak normal, sekaligus dengan pintu kamar mandi yang juga sudah rusak, tidak bisa dikunci, menjadikan ironi tersendiri bagi kualitas tempat ibadah di tempat pendidikan sekelas UIN. Apalagi saat malam hari, nyaris tidak ada penerangan di area tempat wudhu sekitar kamar mandi.
Di gedung Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan Gedung Pendidikan Terpadu (GPT) misalnya, banyak juga mahasiswa yang mengeluh tentang kecilnya mushola yang ada. Sehingga banyak dari mereka yang terpaksa melaksanakan sholat di masjid sekitar terdekat.
Padahal dalam Islam, masjid menjadi tempat yang cukup vital keberadaannya. Fungsi masjid tentu tidak hanya digunakan untuk tempat beribadah saja, tetapi juga sebagai central kegiatan bermanfaat lainnya. Demi mewujudkan fungsi tersebut, mahasiswa UIN Surakarta berharap pihak kampus dapat memperluas sekaligus menyejahterakan keberadaan masjid kampus. Selain itu mahasiswa juga dapat menggunakannya sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan produktif lainnya.
Ironi Fasilitas Kampus
Pelaksanaan wisuda yang ancap kali diselengggarakan di jalan utama masuk kampus alias depan gedung rektorat justru menyebabkan ketidakleluasaan bagi aktivitas mahasiswa, termasuk bagi sanak keluarga para wisudawan-wisudawati yang hadir. Padahal, saat acara wisuda berlangsung banyak keluarga dan sanak saudara atau teman-teman mahasiswa yang datang ikut merayakan seremonial wisuda tersebut. Oleh karenanya, sudah seharusnya
kampus mempunyai gedung khusus untuk pelaksanaan prosesi wisuda.
Selanjutnya mengenai transportasi kampus seperti bus misalnya, yang tidak ada pembaruan dan tidak layak beroperasi. Itu juga harus ditindaklanjuti.
Banyak dari mahasiswa yang juga menyesalkan karena kurangnya tempat duduk, tempat sampah, kran air, pintu kamar mandi rusak, dan kurangnya AC di setiap kelas. Hingga beberapa dosen dan mahasiswa mengeluh kepanasan ketika proses pembelajaran berlangsung. Bahkan, di PPG dan GPT sekalipum mahasiswa kerap kali kekurangan LCD maupun kabel HDMI. Bayangkan saja, sudah naik ke lantai tiga, badan terasa capek, gerah, tapi setibanya di ruang kelas malah terasa panas karena tidak adanya AC, bahkan sekadar kipas angin sekalipun. Bukankah hal itu dapat mengganggu efektivitas proses kegiatan belajar mengajar?
Dengan demikian artinya fasilitas kampus di UIN Surakarta bisa dikatakan belum memenuhi kebutuhan mahasiswanya. Pertambahan jumlah mahasiswa mestinya juga diimbangi dengan pertambahan jumlah fasilitas. Jumlah mahasiswa yang besar nyatanya tidak sebanding dengan fasilitas yang disediakan. Mahasiswa tentu sangat berharap, pihak kampus segera mengupayakan untuk meninjau, memperbaiki dan memenuhi perlengkapan gedung-gedung kampus. Sebab fasilitas sangat menunjang kegiatan akademik maupun non-akademik para mahasiswa. Sehingga penting untuk merawat, melakukan pengecekan rutin dan memperbaiki fasilitas. Adanya fasilitas yang memadai diharapkan dapat mendukung pembelajaran yang kondusif.
Mengingat fasilitas kampus yang memadai dapat menunjang kegiatan mahasiswa baik secara akademik maupun non-akademik. Adanya fasilitas yang memadai akan membuat mahasiswa dapat belajar dengan nyaman. Sehingga diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk lebih produktif. Selain itu, adanya fasilitas yang memadai dapat mendorong mahasiswa mengembangkan kemampuan
8 LAJUR | Edisi VII 2022
yang sudah mereka punya. Contohnya, fasilitas gedung olahraga, mahasiswa yang memiliki hobi dalam hal olahraga bisa lebih mengasah keterampilannya dengan memanfaatkan gedung tersebut menjadi tempat latihan.
Adapun hubungan fasilitas dengan kegiatan mahasiswa baik secara akademik maupun non-akademik, yaitu semakin lengkap fasilitas yang disediakan kampus maka semakin produktif pula mahasiswanya. Nyatanya banyak mahasiswa yang memiliki bakat lebih, namun terhalang dengan kurang memadainya fasilitas yang disediakan kampus. Mahasiswa yang produktif baik dalam hal akademik maupun non-akademik tentunya dapat memberikan nama harum untuk kampus sendiri.
Sebagian besar mahasiswa berasumsi sebaiknya fasilitas yang dirasa perlu dibuat oleh kampus yaitu, auditorium yang besar.
Karena auditorium dapat digunakan untuk berbagai kegiatan mulai dari seminar sampai kegiatan-kegiatan kampus lainnya yang pastinya seru dan menyenangkan. Contohnya, seperti wisuda.
Sedangkan fasilitas dalam jangka pendek yang perlu dibuat kampus yaitu memperluas masjid. Atau, membangun masjid baru. Sebab sedikit miris rasanya melihat banyak mahasiswa yang melaksanakan Shalat Jum'at di gazebo dan di jalanan sekitar masjid. Mengingat kampus ini berstatus Universitas Islam, maka tak lepas dari pentingnya keberadaan dan kemakmuran masjid. Sebagai argumentasi, begitu pentingnya masjid bagi umat Islam sehingga masjid menjadi hal yang pertama dibina oleh Nabi Saw., ketika hijrah ke Madinah bersama sahabatnya (masjid Quba).
9 LAJUR | Edisi VII 2022
Fokus Locus
UIN Minim Kapasitas Satgas Kekerasan Seksual
Kampus
Penulis :
Izza, Elsa, Vanessa, Lisya, Fayza, Muti
Unit Layanan Terpadu 2 tahun belakang mulai digalakkan, terciptanya ruang aman masih menjadi pergumulan bangsa hingga kini. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, Komnas Perempuan mencatat 338.496 aduan terkait kasus kekerasan seksual. Dalam kurun satu dekade terakhir (20102020), angka kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami peningkatan yang signifikan, mulai dari 105.103 kasus pada tahun 2010 hingga mencapai 299.911 kasus pada tahun 2020 dengan rata-rata kenaikan 19,6% per tahunnya. Kekerasan seksual terjadi dimanapun, tak terkecuali dalam lembaga pendidikan. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021, Komnas Perempuan mencatat perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021.
Regulasi yang mengikat lembaga pendidikan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menjadi krusial. Kementerian Agama melalui Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) mengeluarkan SK Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Regulasi ini mengkategorikan kekerasan seksual ke dalam beberapa
bentuk serta dorongan untuk membuat ULT pencegahan kekerasan seksual di kampus. Regulasi ini kemudian diikuti oleh SK Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta No 1002 Tahun 2020 sebagai upaya tindak lanjut dari SK Dirjen Pendis. Dalam regulasi ini, turut diatur detail pembentukan ULT Pencegahan Penanganan KS di Kampus UIN Raden Mas Said Surakarta.
Pada tahun 2020, Kemendikbud Ristek menyelenggarakan survei di 29 kota pada 79 kampus. Salah satu poin yang paling mengejutkan adalah terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata demi menjaga nama baik kampus. Setahun berselang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini diapresiasi sekaligus dikritik oleh berbagai macam pihak. Namun, regulasi ini menjadi langkah awal yang baik demi menciptakan ruang pendidikan yang aman dan nyaman serta terbebas dari kekerasan terutama kekerasan seksual.
Tahun ini, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akhirnya disahkan. Regulasi ini juga yang menjadi aturan payung dari seluruh regulasi
10 LAJUR | Edisi VII 2022
pencegahan pelecehan seksual, termasuk di dalamnya pada lingkup perguruan tinggi. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 menyusul pada bulan Oktober, berisi 20 pasal yang mengatur definisi, bentuk, hingga penindakan kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan disahkan pada akhir. PMA turut menjadikan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai salah satu dasar hukumnya.
Akan tetapi respon mahasiswa terkait dengan regulasi pencegahan KS terbukti masih minim. Dalam survei yang dilakukan oleh Litbang LOCUS yang bertajuk “Nama Baik Untuk Siapa”, sebanyak 45% dari 213 responden menyatakan tidak tahu terkait keberadaan Kepdirjen No. 5459 Tahun 2019. Respon yang begitu rendah juga ditunjukan pada SK Rektor No 1002, dimana 56% dari 213 responden menyatakan tidak mengetahui keberadaan keputusan rektor tersebut. Responden turut diminta untuk menilai efektifitas regulasi tersebut dan sebanyak 80 responden (37,6 %) menyatakan belum berjalan baik serta lebih dari separuh responden menyatakan keraguannya, yakni 124 responden (58,25).
PMA yang baru juga menuai pro dan kontra. Isu inklusivitas seperti biasa menjadi sorotan. Pasal 1 Ayat 1 seyogyanya menjadikan PMA untuk semua satuan pendidikan keagamaan secara definitif. Para murid dari berbagai sekolah keagamaan di luar Islam pun juga berhak mendapatkan keadilan dan kesetaraan perlakuan dan perlindungan Negara dari kekerasan dan kejahatan seksual. “Kemenag, sesuai namanya dan komitmennya, juga tidak boleh diskriminatif dengan hanya menyebutkan satuan pendidikan Islam seperti Madrasah dan Pesantren, dengan tidak menyebutkan satuan pendidikan keagamaan lainnya,” ujar Hidayat Nur Wahid selaku Anggota DPR-RI Komisi VIII yang antara lain membidangi urusan agama sebagaimana dikutip dari mpr.go.id.
Kebingungan lain juga muncul dari kalangan pemerhati isu gender dan KS terkait tidak adanya pasal yang secara
spesifik mengatur tentang ULT dalam PMA. Salah satunya adalah Elizabeth Yulianti Raharjo, salah seorang lawyer SPEKHAM Solo. Ia menggarisbawahi dasar dari pembentukan ULT adalah SK Rektor yang ditujukan untuk semua mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan, dan juga lingkup akademisi. “Masalahnya ada pada SK Rektor cenderung menyalin dari Dirjen PI, berbeda halnya dengan PMA. Ini akan menjadi kebingungan terkait apakah mereka harus mengacu pada SK Rektor atau PMA,” ujarnya. Untuk itu, sinkronisasi perlu dilakukan tanpa mengurangi hal-hal baik yang ada di SK Rektor meskipun belum ada di PMA. “Jangan sampai ULT dihapus atau tidak berjalan karena tidak diatur dalam PMA,” pungkasnya.
Dalam PMA 73 Tahun 2022, Pasal 6 Ayat 4 dijelaskan terkait tata kelola, pencegahan kegiatan perguruan terhadap tata kelola, penyusunan standar, penyediaan sarana dan prasarana, dan kerja sama dengan instansi. Akan tetapi tidak ada pasal khusus yang mengatur pembuatan Satgas KS secara spesifik sebagaimana dalam Permendikbud 30. “(Dampaknya) akan ada pada keberhasilan penanganan pencegahan kekerasan seksual, mungkin jalannya yang seharusnya berlari jadi agak lambat atau kurang responsif (karena tidak diatur secara jelas),” tegasnya.
Diskursus terkait “regulasi dua kaki” juga muncul ke publik. Bagi universitas yang telah membuka program studi umum maka dalam praktik pencegahan pelecehan seksual akan merujuk kepada Permendikbud No 30 Tahun 2021. Hal ini diamini oleh Abdullah Tri Wahyudi selaku ketua LKBHI UIN Raden Mas Said Surakarta. “Hal ini disebabkan oleh proses perijinan prodi umum tidak datang dari Kemenag melainkan dari Kemendikbud. Akan tetapi, sepanjang tidak ada kaitannya, (Permendikbud 30) tidak bisa menjangkau ke PTKIN yang berada di bawah Kemenag,” tegasnya.
Sayangnya, asas dua kaki ini tidak bertaring di luar prodi umum. Mekanisme kontrol pembentukan ULT yang tegas
11 LAJUR | Edisi VII 2022
sebagaimana dalam Pasal 54 – 56
Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang pemantauan dan evaluasi kinerja Satgas yang sudah cukup baik tidak bisa diterapkan di PTKIN. Misalnya, pemberian sanksi administratif kepada perguruan tinggi yang tidak membuat ULT dalam jangka waktu satu tahun sejak diluncurkan regulasi ini dan menteri yang memiliki kewenangan untuk melakukan inspeksi mendadak kala terjadi kasus pelecehan khusus di kampus.
Sebagaimana saat peluncuran Permendikbud, bahasan konsen korban masih menjadi perdebatan yang alot. Berbeda dari Permendikbud yang menjelaskan secara detail bagaimana persetujuan korban dianggap tidak sah sebagaimana dalam Pasal 5 Ayat 3, PMA dalam Pasal 5 hanya menjelaskan bentuk-bentuk pelecehan seksual tanpa menjelaskan lagi terkait konsen korban.
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said sebelumnya telah mendirikan layanan pendidikan yang mencegah dan menangani kekerasan seksual. Unit Layanan Terpadu merupakan layanan pengaduan kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik untuk mahasiswa atau pegawainya yang telah berjalan sejak bulan Juli 2022. Selain untuk tempat pengaduan, petugas dari ULT menginformasikan terdapat beberapa layanan lainnya antara lain advokasi (kode etik jika korban ingin tindak lanjut hukum), layanan kesehatan (jika korban mengalami luka fisik), konselor (layanan konseling untuk mental korban).
Terlepas dari kekurangan dalam prosesnya ULT menjadi salah satu komponen penanganan pelecehan seksual yang paling krusial. “ULT ini sudah ditunggu-tunggu, sebelumnya kan sudah ada SK Rektor tentang penanganan dan pencegahan KS,” pungkas Abdullah.
Pencegahan
PMA No. 73 Tahun 2022 Pasal 6 ayat (1) berisi pencegahan kekerasan seksual oleh satuan pendidikan, meliputi sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, dan kegiatan lainnya
sesuai kebutuhan. “Selama kita belum ada pendanaan untuk melakukan event besar (sosialisasi/seminar),” jelas Rahma, petugas ULT. Sehingga sejauh ini, ULT hanya melakukan upaya kecil agar dikenali oleh warga kampus dengan sosialisasi dari mulut ke mulut. Hal ini dilakukan saat tim ULT, yang berprofesi dosen, sedang mengajar di kelas menyelipkan masalah pelecehan seksual agar mahasiswa/i tidak merasa awam. Selain itu tim ULT berharap pembimbing ukm atau ormawa dapat mengarahkan anak didiknya untuk mengadakan seminar mengenai pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual. “Dema di FEBI dan kemarin ketuanya waktu mbak Rani itu, mengadakan pencegahan pelecehan atau kekerasan seksual yang ada di kampus dan itu memang tim ULT yg diundang untuk menjadi narasumber,” imbuh Rahma.
ULT telah membuat akun instagram @ ultuinrmsaid untuk mengedukasi tentang pelecehan seksual. Namun, pembentukan tim media ULT sedang dalam proses sehingga feeds baru dirancang. ULT juga telah memberikan pembelajaran melalui pembagian buku saku mengenai pelecehan seksual. Buku saku ini telah dibagikan saat PBAK 2022 kepada sebagian mahasiswa baru. “Kita juga menyebarkan stiker yang lebih mudah untuk dibaca karena tidak berlembar-lembar,” tambah Rahma. ULT memang berencana bekerja sama dengan PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) untuk mengadakan sosialisasi, seminar, atau workshop tentang gender yang pesertanya mahasiswa.
Penanganan
Dalam PMA No. 73 Tahun 2022 Pasal 8 ayat (2), bentuk penanganan kekerasan seksual meliputi pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. ULT menerima laporan melalui hotline yang sudah disebarkan melalui banner dan pamflet dan sudah terpasang di lobby setiap Fakultas. Pelaporan dari korban, baik perempuan maupun laki-laki, dapat dilakukan di tempat yang korban inginkan dimana korban merasa nyaman. Identitas korban yang telah melapor akan dilindungi
12 LAJUR | Edisi VII 2022
dengan baik oleh ULT. Dalam assessment ini, ULT berusaha untuk mengecek bagaimana kondisi korban. Jika dibutuhkan, korban bisa diberikan pendamping untuk penjagaan. “Kalau memang korban memerlukan kita juga menghubungi orang terdekatnya agar dia bisa mengawal,” tutur Rahma. ULT sendiri tidak menjadi pendamping secara langsung karena biasanya korban yang sedang sensitif, membutuhkan perhatian lebih, lebih memilih orang terdekatnya.
Penindaklanjutan dari kasus, seluruhnya adalah kuasa korban seperti memberi peringatan agar tidak ada korban lain atau pemberian sanksi untuk pelaku, “itu juga kita kembalikan ke korban,” papar Rahma. Dalam assessment selanjutnya, misal korban menginginkan pelaku mendapat sanksi. Maka ULT akan membantu korban dengan mengumpulkan beberapa bukti atas kasusnya untuk diajukan ke kode etik sehingga dapat dibawa ke ranah hukum.
Lalu, terdapat assessment korban dan assessment pelaku yang akan dipanggil oleh ULT jika sudah terdapat bukti. Mereka dihadirkan untuk dimediasi, tetapi dalam tempat dan waktu yang berbeda. Hal ini karena dikhawatirkan jika keduanya dipertemukan dalam satu forum, dapat membahayakan korban, misal adanya ancaman dari pelaku. Jika korban hanya ingin berdamai dengan diri sendiri, maka ULT akan membantu layanan kesehatan dan konseling untuk korban.
Dalam prosesnya, pihak ULT mengklaim bahwa tidak akan memaksa korban dalam prosesnya. “Kita akan menuruti keinginan korban, misal korban ingin melaporkan kasus pelecehan seksual karena hanya tidak ingin yang lain mengalami hal serupa lalu korban tidak ingin ditindaklanjuti, ataupun korban tidak memerlukan konseling atau advokasi lanjutan ya sudah,” timpal Rahma. Peran ULT ditegaskan sekali lagi sebagai corong penerima aduan sedang seluruh proses di dalamnya diserahkan kepada korban sepenuhnya.
Dalam melakukan kerja-kerja advokasi, ULT juga bekerja sama dengan LKBHI dan lembaga-lembaga hukum.
“Untuk persoalan hukum kan tidak cukup untuk ditangani unit ULT dan yang bisa memutuskan juga kan pihak hukum,” ujar Lulu, selaku pengurus ULT.
Namun, LKBHI menyanggah adanya kerja sama dengan ULT, “belum, kita juga ga tau kalau ada ULT sebelumnya,” jawab Abdullah, salah satu anggota LKBHI. Pembentukan ULT ini telah ditunggu sejak turunnya SK Rektor pada tahun 2020. Menurut Abdullah, penanganan kekerasan seksual membutuhkan banyak pihak untuk membantu korban, seperti bantuan psikologis, fisik, ataupun hukum. Dalam ranah hukum sendiri, LKBHI yang kemungkinan melakukan pelayanannya.
“Sebenarnya sebelum ada ULT, LKBHI ini sudah banyak melakukan penanganan dan pencegahan (kekerasan seksual), seminarseminar, kita (LKBHI) jadi narasumber,” jelas Abdullah. LKBHI telah menangani belasan kasus kekerasan seksual sejak 2020 hingga 2022. Pelaporan yang diterima biasanya rujukan dari dosen yang diberitahu oleh mahasiswanya mengenai kasusnya.
“Mulai dari konsultasi sampai pada ke kebutuhan dia,” ujar Abdullah menjelaskan mengenai cara penanganan kasus kekerasan seksual selain membantu dalam hukumnya. Ranah bantuan selain hukum, LKBHI bekerja sama dengan meminta bantuan lembagalembaga layanan se-Solo Raya. “Kalau dari dua pihak (korban dan lembaga eksternal) sudah mau, ya nanti kita rujuk ke sana,” imbuh Abdullah. Korban akan diberikan pilihan, bagaimana tindak lanjut terhadap pelaporan tersebut. Apakah akan dibawa ke ranah hukum pidana atau perdata, atau hanya sekedar untuk bercerita.
Menurut standar operasional prosedur milik LKBHI, pengaduan atau pelaporan korban disampaikan kepada advokat atau pengurus LKBHI. Laporan ini akan dilayani LKBHI tanpa adanya diskriminasi dan biaya. Pelapor akan diarahkan oleh LKBHI untuk mengisi formulir pengaduan. Setelah mengisi formulir, LKBHI akan menganalisis kasusnya ini bagaimana. Lalu, LKBHI akan memberikan konsultasi hukum atau merujukkan ke lembaga layanan
13 LAJUR | Edisi VII 2022
jika dibutuhkan. “Psikologis, kita rujuk ke psikolog atau psikiater. Kalau fisik kita rujuk ke rs atau klinik atau puskesmas,” papar Abdullah.
Kritik Kinerja ULT
Literasi mengenai pelecehan seksual melalui duta pelecehan seksual menurut Rektor UIN Surakarta sangat mendesal, “sangat urgent, jadi saya katakan sangat urgent untuk mengefektifkan undangundang yang di Permendikbud,” ujar Mudofir, Rektor UIN RMS. Urgent disini menurut Bapak Rektor sebagai pencegahan. Jika demikian, mengapa pembentukan ULT ini tidaklah cakap? ULT juga diperlukan untuk penecegahan dengan mengadakan sosialisasi besarbesaran. Rahma mengatakan “kita belum ada pendanaan untuk melakukan event besar, kita sosialisasinya dari mulut ke mulut saja,” ucapnya.
4 bulan lepas didirikannya ULT, sudah ada 30 pengurus di dalamnya terdiri dosen, mahasiswa, dan staff akademik. Namun diantara 30 pengurus yang ada, representasi mahasiswa hanya terdiri dari 5 orang dari seluruh fakultas yang ada. “Mahasiswa tidak kita ambil dari satu fakultas aja. Mereka akan menjadi vocal point agar ULT ini juga semakin terkenal dikalangan mahasiswa,” ujar Rahma. Hal ini tentu berbanding tebalik dengan komitmen representasi yang adil diantara ketiga kelompok guna terciptanya ruang aman di kampus.
Metode yang hanya mengandalkan hotline milik ULT juga dinilai banyak pihak tidak akan efektif menginngat trauma dan beban yang harus ditanggung korban. Dalam proses penyebaran hotline, komitmen penguatan korban masih rendah sehingga banyak korban yang masih tidak mau melapor. Hal ini masih dibarengi dengan belum adanya pendanaan untuk menyelengggarakan sosialiasasi secara menyeluruh dan mempraktikan metode jemput bola. Hal ini dilatarbelakangi oleh minimnya dukungan finansial kampus terhadap ULT.
Fokus Locus
Opsi Lembaga Kemasyarakatan, Dedikasi Payung Korban KS?
SWAG, Komunitas KS (dalam Kampus)
SWAG (Studi Wawasan Advokasi Gender) lahir karena adanya keresahan mengenai tempat pengaduan kasus pelecehan seksual di kampus. “Kita bingung kalo ada pelecehan seksual kita harus lapor kemana. Akhirnya kami mencoba mencari ke PSGA dan DEMA U tapi kami merasa mereka belum bisa mewakili,” ujar Nina salah satu pendiri SWAG. Komunitas SWAG merupakan sebuah komunitas bebas (tidak memiliki keterikatan) yang didirikan sejak tanggal 14 September 2021 oleh anggota DEMA FAB yang tergabung dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan (PP) DEMA FAB.
Pada awal berdirinya, SAG hanya ditujukan kepada mahasiswa dan mahasiswi yang berada di Fakultas Adab dan Bahasa (FAB) karena merupakan salah satu program di dalam DEMA FAB. SAG menambah anggota dari fakultas lain setelah kuota bagi mahasiswa FAB terpenuhi. Untuk info pendaftaran SAG disebarkan melalui melalui instagram milik SWAG (tapikan SWAG ada setelah adanya SAG).
Komunitas pengaduan pelecehan seksual ini merupakan sebuah rencana tingkat lanjut dari adanya program SAG (Sekolah Advokasi Gender) yang dibuat oleh Kementrian PP DEMA FAB. Adanya keresahan mengenai penanganan kasus
pelecehan seksual di lingkungan kampus menjadi alasan Kementrian PP DEMA FAB membuat SAG (Sekolah Advokasi Gender). Penanganan kasus pelecehan seksual berbeda dengan penanganan kasus kejahatan lainnya. “Seperti yang kita tau penanganan kasus pelecehan seksual tidak bisa disamakan dengan kasus biasa kan. Jadi kalo melapor ke DEMA, dewan etik, dan sebagainya, kita tidak tau mereka itu tau tidak bagaimana penangannya. Akhirnya kita membuat Sekolah Advokasi Gender,” ujar Nina. SAG dibentuk sebagai langkah awal menciptakan ruang aman yang sesuai untuk pelaporan kasus pelecehan seksual di kampus. Ada 3 sesi yang dilakukan SAG (Sekolah Advokasi Gender), antara lain adalah sesi pengetahuan dan wawasan, sesi bersama psikiater, serta yang terakhir adalah sesi bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Sesi pengetahuan dan wawasan pada Sekolah Advokasi Gender milik Kementrian PP DEMA FAB memberikan edukasi mengenai macam-macam kasus pelecehan seksual serta klasifikasi mengenai hal-hal yang dapat dianggap sebagai pelecehan seksual. Pada sesi pertama SAG lebih memfokuskan mengenai pengetahuan dasar yang berkaitan dengan kasus pelecehan seksual. Sesi kedua SAG tentang isu-isu terkini mengenai jenis pelecehan
15 LAJUR | Edisi VII 2022
seksual yang marak terjadi terutama pada masa pandemi, salah satunya adalah Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO). Sesi ini dilakukan dengan bantuan dari seorang psikiater bernama Kalis Mardiasih. Sesi terakhir yang dilakukan bersama dengan salah satu pemilik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yaitu Mami Sugi memberikan edukasi mengenai alur pelaporan kasus pelecehan seksual secara hukum serta penenangan mental bagi korban pelecehan seksual.
Sebagai komunitas yang tidak terikat, SWAG menjadi tempat aduan kasus pelecehan seksual bagi mahasiswa dan mahasiswi kampus maupun masyarakat luar sekitar kampus. SWAG tidak hanya sekedar menerima laporan tetapi juga mendampingi laporan kasus pelecehan seksual yang masuk hingga akhir. Sudah cukup banyak laporan kasus pelecehan seksual yang diterima oleh SWAG dan laporan tersebut tidak hanya berasal dari perempuan saja “Ada yang cowok juga. Waktu SAG itu ada beberapa peserta laki-laki, alasan mereka ikut karena beberapa dari mereka adalah penyintas,” ujar Nina.
SWAG memiliki 2 jenis penanganan kasus pelecehan seksual melalui jalur hukum (jika korban ingin didampingi hingga ke jalur hukum) karena SWAG dapat menjadi tempat aduan bagi civitas akademi maupun masyarakat luar kampus. Untuk penanganan kasus di dalam kampus, SWAG menempuh jalur hukum dengan melakukan pengaduan atau meminta pemberian sanksi kepada pelaku melalui dewan etik kampus. Namun karena dewan etik merupakan bagian dari universitas dan SWAG tidak memiliki landasan hukum, maka dalam penanganannya SWAG dibantu oleh DEMA FAB yang lebih berwenang. Adapun untuk penanganan kasus di luar kampus, SWAG bekerjasama sama dengan Mami Sugi sebagai penyedia Lembaga Bantuan Hukum (LBH). “Mami sugi adalah seorang aktivis perempuan yang banyak bantu kasus-kasus pelecehan lewat jalur hukum dan beliau gak minta bayaran,” ujar Nina.
Studi Wawasan Advokasi Gender menyediakan tempat pengaduan bagi para korban kasus pelecehan seksual. Pelaporan
kasus pelecehan seksual dapat dikirimkan pada hotline yang ada di bio akun instagram milik SWAG (@s.w.a.g.community_). Adapun untuk penanganan kasusnya, semuanya diserahkan kepada korban apakah korban ingin menyelesaikan hingga ke jalur hukum atau tidak.
SWAG memiliki kegiatan sosialisasi diantaranya dengan penyebaran edukasi melalui akun instagram. Akan tetapi menurut Nina sosialisasi melalui instagram belum cukup karena orang-orang malas membuka akun instagram. Jadi sosialisasi yang dilakukan SWAG dengan cara mengadakan SAG penyebaran melalui kelas-kelas.
Duta Anti Pelecehan Seksual
DEMA U ikut mengambil peran dalam penanganan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta dengan membentuk duta Anti Pelecehan Seksual yang salah satu tugasnya adalah memberikan sosialisasi mengenai kasus pelecehan seksual. Program duta ini mulai dibentuk pada tahun 2021 yang mana duta ini tidak spesifik berfokus pada kasus pelecehan seksual melainkan mencakup dua hal lainnya yaitu moderasi beragama dan juga anti terorisme. Program duta anti pelecehan seksual baru mulai aktif setelah 6 bulan periode DEMA yang pada saat itu menjabat sudah berlangsung menjalankan jabatannya.
Adanya pembentukan duta bukan benar-benar bertujuan sebagai duta anti pelecehan seksual melainkan hanya sebagai mahasiswa penggerak. "Jadi siklus pengaduan kasus pelecehan seksual itu nanti ke DEMA, kami hanya sebagai penggerak," ujar Miftah salah satu dari duta anti pelecehan seksual. Peran duta Anti Pelecehan Seksual di lingkungan kampus pun hanya sebagai pihak yang mengamati, bukan sebagai pihak yang melakukan advokasi. Duta anti pelecehan seksual hanya menjadi kaki tangan dari DEMA dalam menerima laporan atau mengamati kasus pelecehan seksual yang ada di lingkungan kampus.
Dalam menjalankan tugasnya duta anti pelecehan seksual tidak memiliki sistem
16 LAJUR | Edisi VII 2022
kerja yang sistematis atau tersusun karena sosialisasi hanya dilakukan secara pribadi pada lingkungan kelasnya atau pun temanteman sekitarnya. Selain itu juga tidak ada kontrol secara sistematis yang dilakukan oleh DEMA U karena semuanya diserahkan kepada masing-masing personal. Selain itu para duta anti pelecahan seksual ini juga masih belum pernah mengadakan sosialisasi secara luring karena adanya program duta anti kekerasan seksual ini juga bersamaan dengan pandemi yang ada di Indonesia, sehingga beberapa aktivitas yang dilakukan hanya secara online.
Selama masa jabatan duta anti pelecehan seksual periode 2021 dari dua duta yang kami wawancarai belum pernah ada laporan mengenai kasus pelecehan seksual secara fisik sehingga mereka tidak dapat menjelaskan lebih rinci tentang bagaimana kasus penangan pelecehan seksual duta anti pelecehan seksual tersebut mendapatkan aduan atau pun melihat secara langsung kasus pelecehan seksual. Namun pernah terdapat satu kasus pelecehan seksual secara verbal yang disaksikan langsung oleh salah satu duta anti pelecehan seksual "Mungkin pernah ada ya, contohnya omongan-omongan yang melebihi batas gitu semacam catcalling-catcalling," ujar Dzul salah satu duta anti pelecehan seksual. Dzul sebagai salah satu duta anti pelecehan seksual mengambil langkah awal dengan cara memberikan teguran. Dan jika catcalling yang dilakukan sudah terlalu melewati batas makan selanjutnya kasus pelecehan seksual secara verbal tersebut akan dibawa ke DEMA untuk ditindaklanjuti.
Keefektifitasan dari duta ini dipengaruhi dari cara kerjanya. “Mereka benar benar mengedukasi ditanya atau nggak, mereka bener bener kontrol ditanya atau nggak, dan mereka benar-benar bisa menjalankan program itu atau nggak,” timpal Nina, anggota komunitas SWAG.
Selain adanya duta Anti Pelecehan Seksual sebagai mahasiswa penggerak di kampus, pencegahan dapat dilakukan dalam integrasi nilai-nilai HAM dan gender di mata kuliah dasar umum untuk mahasiswa. Dengan adanya mata kuliah ini, “mereka
(mahasiswa) akan tau haknya. Apa hak-hak korban, terutama hak kekerasan seksual gitu. dia berhak untuk melapor, dia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum, dia berhak dijaga kerahasiaannya,” tambah Abdullah.
Kenyataannya, terkadang orang-orang tidak mengetahui tindakan bagaimana yang dihitung sebagai pelecehan. “Kemarin ada juga kasus pelakunya itu gak sadar kalau yang dia lakukan itu pelecehan. Jadi, bagaimana dong kita mengadvokasi kalau dia sendiri gak sadar,” ucap Nina menjelaskan salah satu contoh kasus tanpa menyebutkan identitas pelaku. Kabar baiknya, pelaku segera diedukasi oleh SWAG dan langsung meminta maaf kepada korban karena rasa bersalahnya.
Tidak hanya pencegahan terhadap adanya tindakan kekerasan seksual, menciptakan ruang aman juga sangat penting. FAB melakukan pakta integritas yang diakomodir oleh LP2M. “Pakta kemaren itu tujuannya untuk mendorong atmosfer yang aman bagi semuanya termasuk perempuan dan teman-teman disabilitas,” jelas Shabrina, salah satu dosen FAB. Namun, apakah pakta ini hanya difokuskan dalam FAB saja? Lantas bagaimana dengan teman-teman fakultas lain yang belum merasa terdapat ruang aman untuk mereka?
17 LAJUR | Edisi VII 2022
Fokus Locus
PUKAPS, Komunitas KS (luar Kampus)
PUKAPS dilatarbelakangi oleh keresahan perempuan mengenai kekerasan yang dialaminya dan merupakan bentuk perealisasian gagasan seputar gerakan kolektif dan feminis. PUKAPS berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan mitigasi risiko pada para korban kekerasan seksual yang melapor, sebagai wujud langkah advokasi yang hingga kini masih jarang di Solo Raya. Visi dan misi PUKAPS dapat menjadi support bagi sesama perempuan lintas nasional maupun internasional. Sehingga PUKAPS tidak hanya sebatas komunitas yang berbicara perihal kekerasan seksual saja, tetapi berbicara perihal semua hal yang berhubungan dengan perempuan.
Mengacu pada UU TPKS di Permendikbud, terdapat sembilan jenis kekerasan seksual yang mencakup kekerasan verbal dan nonverbal. Sementara indikator kekerasan seksual menurut PUKAPS ialah ketika seorang perempuan merasa risih atau tidak nyaman dengan perlakuan orang lain baik secara verbal maupun sensual. Bentuk kekerasan seksual sangatlah bermacam, salah satu contohnya ialah Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO) berupa pemaksaan penyebaran video bagian-bagian yang tidak senonoh. Pelaku
KBGO biasanya memiliki berbagai macam serangan manipulatif untuk melakukan strategi bejatnya.
“Misalnya kamu punya pacar terus kamu dipaksa untuk PAP (bagian) yang gak kamu sukai, dengan rasa seksual dan serangan-serangan manipulasi yang dilakukan oleh pelaku, itu banyak banget, pelaku tuh cerdas untuk melakukan itu, strategi bejatnya tuh banyak,” jelas Dean.
Prosedur operasional standar pengaduan yang ada di PUKAPS mengacu pada Jakarta Feminist yang sudah melewati proses standarisasi. Mekanisme pengaduannya melalui form yang ada di instagram atau kebanyakan melapor melalui DM instagram. Ketika pelaporan sudah masuk dan sampai pada tahap investigasi, maka korban yang melapor bisa memilih antara pendampingan litigasi atau nonlitigasi.
Menurut PUKAPS, pemulihan korban kekerasan seksual harus dimulai dari diri korban itu sendiri, korban harus bisa berdamai dan menang melawan diri sendiri. Meskipun demikian tetap harus ada proses pendekatan dan pendampingan dari pihak eksternal, tetapi jangan sampai pendampingan tersebut membuat ketergantungan korban
18 LAJUR | Edisi VII 2022
terhadap pendampingnya. Macam-macam pendampingan yang dilakukan PUKAPS salah satunya ialah pendampingan ke rumah korban dengan menghadirkan sesi konsultasi.
TIndak lanjut dari PUKAPS mengenai kasus terlapor bergantung penuh pada keinginan pelapor, sehingga tidak melulu berkesinambungan dengan hukum dan pidana, tetapi ada juga yang hanya butuh tempat cerita dan konsultasi perihal kekerasan seksual yang dialaminya. Sementara untuk jumlah kasus yang telah ditangani bersifat rahasia karena masuk ke dalam kode etik kegunaan akuntansi. Kurang lebihnya terdapat minimal dua kasus yang dilaporkan perbulannya. Usia pelapor biasanya relatif muda kisaran 18-31 tahun.
Ketika korban dirasa membutuhkan pendampingan di PUKAPS mengahadirkan konsultasi dengan mendapatkan surat rekomendasi. Namun PUKAPS sendiri mengaris bawahi korban jangan tergantungan dengan pendamping karena bisa mempersulit jalanya navigasi.
“jika bergantung terlalu rama, itu semakin mengandalkan banget dengan pendamping, malah jadi kaya terlalu mengandalkan pendamping, itu membuat tidak ada keberanian, jadinya ketergantungan,” jelas Dian.
Proses navigasi dengan cara mendatangi rumah memastikan kondisi korban. Biasanya PUKAPS melakukan controling dengan cara mengajak bicara setiap hari. Pendapingan harus siap secara materil, psikologis dan pengertian. Menurut Dian menjadi pendamping juga membutuhkan pelatihan.
Pendidikan seksual anak di bangun di sekolahan yang bisa di mulai ketika sudah lahir. Melalui pola parenting mengajarkan anak tentang penjelasan ke anak di bagian tubuh mana yang boleh di pegang atau tidak.
Fokus Locus
Serba Serbi
KKN Kerso Darma 2022
Oleh : Devi, Nafa, Yunda, Luthfi, Wawan
Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kerso Darma UIN Surakarta kembali dilaksanakan secara luring setelah dua tahun terakhir dilakukan secara daring. KKN kali ini terbagi atas tiga kabupaten penempatan di antaranya, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Boyolali. Program tahunan tersebut dilaksanakan selama sebulan, dimulai sejak 29 Juni— 30 Juli 2022 lalu. Sejalan dengan tujuan diadakannya KKN, agar nantinya calon sarjana agar dapat memahami kompleksitas permasalahan yang langsung dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, agar dapat memperluas wawasan pemikiran belajar menanggulangi permasalahan secara praktis dan terpadu. Namun, selama pelaksanaan kegiatan di lapangan, banyak mahasiswa/i yang mengalami berbagai kendala dari mulai awal pemberangkatan hingga masa akhir pengabdian.
Tempat Tinggal Peserta
“Kelompokku kayanya ngga ditolak cuma sempet mau diundur karena pihak penerima (Mojolaban Sukoharjo) ada kepala desa yang nggak tau kalau KKN itu mau nginep,” Kata Ilham salah satu peserta KKN Kerso Darma.
Program tahunan yang diikuti oleh seluruh mahasiswa semester 6 dan terbagi
dalam 150 kelompok. Menurut keterangan dari beberapa peserta yang Tim Locus berhasil interview pada dua hari sebelum pemberangkatan KKN, peserta sudah diberikan pembekalan yang dihadiri dari perwakilan setiap kelompok. Pembekalan tersebut diadakan pada tanggal 25—26 Juni. Akan tetapi, menurut peserta KKN semua persiapan yang dilakukan dinilai kurang matang karena pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat atau LP2M tidak turut melakukan survei ke lokasi tempat tinggal mahasiswa UIN selama KKN 30 hari. Selain itu, LP2M hanya melakukan audiens dengan Camat dan tidak berkomunikasi secara rinci tentang kesiapan tempat tinggal dengan para kepala desa. Akibatnya, beberapa kelompok harus mencari tempat tinggal mandiri dengan bantuan warga sekitar beserta perangkat desa satu hari sebelum pelepasan KKN.
Selain fasilitas tempat, peserta KKN juga bertanya-tanya mengenai pendanaan program kerja mereka selama mengabdi di desa. Ketika pembekalan KKN, diketahui tidak ada bantuan dana selama menjalani kuliah kerja nyata tersebut. Belakangan kami mendapati pengakuan dari peserta, mayoritas mereka patungan sebesar lima ratus ribu setiap anak untuk makan dan melaksanakan proker yang mereka rencanakan.
20 LAJUR | Edisi VII 2022
“Oke mungkin ada dari kelompok lain yang iuran enggak sampe lima ratus ribu ya, tapi juga masih ada kebutuhan pribadi kayak bensin,kuota,dan printilan lainnya. Dan uang segitu bagi kebanyakan mahasiswa apalagi banyak yang dari kalangan menegah ke bawah, ya susah, Mbak,” imbuh Rika, mahasiswa angkatan tahun 2019.
Berbeda dengan Sinta, mahasiswi Fakultas Ekonomi Bisnis, mereka menghabiskan dua juta rupiah selama dirinya menetap di desa yang terletak di Kabupaten Karanganyar itu.
“ kalo aku sendiri total pengeluaran waktu KKN kemaren dua juta, Mbak, selain iuran aku juga nyiapin buat keperluan aku pribadi seperti beli peralatan kebersihan, beli makan kalo lagi pengen jajan, pulsa hp juga sama bensin belum buat ngasih uang kontrakan (tempat tinggal selama KKN) karena kita kan udah make selama sebulan itu buat tanda terima kasih aja, Mbak,” ucap Sinta.
Sumber Pendanaan KKN
Menurut Usman, selaku Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum biaya KKN kampus UIN Raden Mas Said bersumber dari Uang Kuliah Tunggal mahasiswa. “Nah, kebutuhan seperti yang diambilkan dari UKT itu untuk apa? Misalnya untuk seragam, honorer DPL, honorer wira-wirinya, naik bis, ngundang para lurah itu kan butuh transportasi,” jelasnya.
Lanjut Usman, jika nominal uang yang diambil untuk KKN setiap mahasiswa berbeda, tergantung tingkat UKT yang dimiliki. Namun, untuk pembagian biaya terhitung rata, termasuk bagi mahasiswa pengguna beasiswa seperti KIP-K. Biaya ini bisa digunakan untuk setiap keperluan, seperti seragam, honorer, dan transportasi. Beliau lalu menjelaskan jika dalam pelaksanan program kerja KKN membutuhkan dana besar, mahasiswa bisa mencari bantuan dana sendiri dengan mencari sponsorship dengan membuat proposal. Dengan demikian, tidak ada bantuan dana dari pihak kampus melainkan yang berasal dari UKT mahasiwa.
“Tidak boleh meminta bantuan ke DPL. SK-nya ada. Ke dosen-dosen UIN juga. Di
luar itu, silakan meminta rekomendasi dari rektor, dekan, rekomendasi tanda tangan, itu boleh saja,” tegas Usman.
“Biaya total yang dibutuhkan, langsung digelontorkan ke LPMM. Nanti LPMM yang mengatur semua biaya yang dibutuhkan dalam KKN,” lanjutnya.
Mari kita telisik PERMENAG No 55 Tahun 2014 Tentang Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Pada Perguruan Tinggi Negeri dalam BAB III pasal 20. Mengenai sumber pendanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dilakukan secara berkelanjutan maka pendanaan tersebut dapat bersumber dari; a) anggaran kementrian Agama; b) Lembaga Pemerintah Lain; c) Pemerintah daerah; d) Badan Usaha Milik Negara/Daerah; e) dunia usaha; f) bantuan negara; g) organisasi kemasyarakatan.
Program kerja yang dilakukan mahasiswa/i selama masa pengabdian, banyak proker mereka yang muncul dari ide spontanitas, tanpa adanya rancangan matang, seperti mengadakan sosialisasi kebersihan kesehatan, kajian akbar, dan ikut berpartisipasi dalam membangun desa.
Terlepas dari pertanyaan bantuan dana KKN, peserta menyayangkan mekanisme kerja dosen pembimbing lapangan (DPL) dan panitia LP2M UIN. Pasalnya, buku panduan baru dibagikan setelah hari kedua penarikan peserta dari desa-desa. Sementara, output yang akan diminta untuk dipublikasikan dari sebulan mengabdi di masyarakat adalah berbentuk jurnal dari masing-masing peserta.
“Waktu sosialisai kita cuma dapet kaos sama MMT yang tulisan e KKN Kerso Dharma di desa-desa itu, Mbak, dan dapet buku panduan pun diberikan H+2 atau H+7 gitu setelah pulang dari KKN,” terang Evi, mahasiswi Bimbingan Konseling Islam UIN Surakarta.
Peran DPL pada beberapa kelompok KKN dirasa kurang. Hal ini menurut peserta KKN, disebabkan oleh absennya DPL di lokasi pengabdian dan hanya dating satu kali ke lokasi. Padahal, fungsi DPL saat itu sangatlah penting. Absennya DPL pada akhirnya
21 LAJUR | Edisi VII 2022
membuat banyak mahsiswa merasa kurang paham akan bagaimana seharusnya mereka lakukan di tengah-tengah menemukan kendala saat melaksanakan proker atau dalam menyusun laporan KKN mereka.
Terdapat 150 dosen pendamping lapangan yang dimuat dalam keputusan Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta No. 934 Tahun 2022. Mereka bertugas dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan kuliah kerja nyata dan seluruh pembiayaan yang ditimbulkan dibebankan kepada DIPA UIN Raden Mas Said Surakarta Tahun Anggaran 2022 sebagai belanja perjalanan dinas dalam kota. Diketahui transport dosen pembimbing lapangan dianggarkan Rp. 250.000/orang.
Jaminan Keamanan Saat KKN
Hidup berada di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan baru bisa dibiang tak mudah. Tak lepas dari rasa waspada dalam menjaga keamanan diri sendiri barang pribadi hingga kenyamanan hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Menghindari segala tindakan diskriminasi, intimidasi, dan mengedepankan tata krama menjadi poin penting dan wajib dijaga bersama. Lalu, bagaimana dengan penjaminan keamanan peserta KKN kampus UIN Surakarta selama melaksanakan program tersebut?
Kesaksian Septi, peserta KKN beberapa bulan lalu, pihak desa sendiri yang mewadahi jika terjadi segala bentuk pelanggaran baik dari mahasiswa maupun masyarakat sekitar tempat mereka tinggal yang apabila melakukan pelanggaran terhadap peserta KKN.
“Kalo dari kampus itu waktu pembekalan tidak ada penjelasan rinci mengenai jaminan keamanan dari pihak kampus, tapi dikelompokku misal ada satu kejadian yang menurut kita “menganggu” entah dari kita atau luar pasti bakal diomongin di grup WhatsApp dulu baru menghubungi DPL untuk penanganan lebih lanjut. Dan Alhamdulillah-nya selama kkn kemarin kita aman,” ungkap Septi.
Ditanyai mengenai jaminan kampus terhadap peserta KKN, Wakil Rektor Bagian Kemahasiswaan, Prof.H. Syamsul Bakri, M.Ag.,
mengatakan bahwa kampus akan melindungi dan tetap mendampingi mahasiswa yang sedang melakukan program kuliah kerja nyata.
“Kami tetap akan mengawasi melalui pemantauan pihak penyelenggara KKN yaitu LP2M karena segala kegiatan berada dibawah arahan LP2M,” jelas Prof. Syamsul Bakri
Sampai pada hari penarikan peserta KKN Kerso Dharma pihak panitia diketahui mengirimkan bus penjemputan bagi para peserta. Namun, lagi-lagi fasilitas yang ada tidak bisa mengangkut seluruh peserta yang ada karena bus penjemputan tersebut berukuran sedang dan di setiap kecamatan hanya ada satu bus. Tidak mungkin jika seluruh peserta dapat menggunakan fasilitas itu disebabkan jumlah peserta yang lebih banyak dibanding tempat duduknya. Dari peserta yang Tim Locus wawancarai mengaku mereka mengetahui ada bus jemputan dari kampus saat hari terakhir di desa, sedangkan sudah jauh-jauh hari mereka sudah mempersiapkan sendiri dengan menyewa atau memanfaatkan teman yang dijemput orang tuanya dengan mobil sehingga menurut mereka bus penjemputan tidak efektif.
Pandangan Usman, beliau menganggap kejadian ini adalah sebuah kesalahan yang bisa dievaluasi untuk ke depannya, ia angkat bicara soal kinerja LP2M yang tidak mengenakkan.
“Secara teori memang gampang, tapi itu memang butuh waktu. Jadi, menurut saya, LP2M sudah sangat bagus mengurus izinnya. Jadi jangan semata-mata menyalahkan LP2M. Karena mengurus izin ratusan desa itu tidak mudah. Dengan anggota staff yang terbatas,” ujarnya.
Dalam beberapa waktu terakhir sebelum tulisan ini kami publish, tim LPM Locus sudah berusaha menghubungi lagi ketua LP2M Dr. Zainul Abas, S.Ag., M.Ag., untuk mendapatkan pencerahan terkait polemik KKN tahun ini. Dari tim penyelenggara KKN kampus UIN Raden Mas Said Surakarta, LP2M pihaknya belum bisa ditemui.
22 LAJUR | Edisi VII 2022
Fokus Locus
Satu Tahun Alih Status, Begini Kabar UIN Raden Mas Said Surakarta
Tahun 2021 IAIN Surakarta resmi bertransformasi menjadi UIN Raden Mas Said Surakarta, hal ini berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2021 yang rilis pada 21 Mei 2021. Hingga saat ini terhitung sudah satu tahun lebih dan tentu banyak perubahan yang terjadi mulai dari adanya beberapa program studi baru hingga dibangunnya beberapa gedung baru guna menunjang proses perkuliahan. Terlebih pada tahun ajaran akademik 2022/2023 perkuliahan mulai dilakukan secara luring sesuai dengan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Perkuliahan Tatap Muka dan Sistem Kerja Pegawai UIN Raden Mas Said Surakarta.
Dua program studi baru yang resmi berdiri setelah perubahan menjadi UIN adalah pertama, Ilmu Perpustakaan dari Fakultas Adab dan Bahasa. Pengajuan prodi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak masih Institut Agama Islam Negeri Surakarta (IAIN) tetapi proses lolosnya baru di sahkan ketika kampus sudah peralihan nama menjadi UIN Raden Mas Said Surakarta tepatnya resmi didirikan pada tahun 2022. Kedua, Tadris Matematika dari Fakultas Ilmu Tarbiyah. Berbeda dengan prodi ilmu perpustakaan yang baru berdiri pada tahun 2022, prodi ini sudah ada pada tahun ajaran 2021 walaupun sempat mengalami beberapa
kendala pada akhirnya prodi ini tetap berdiri dan menampung 25 mahasiswa pada tahun pertamanya.
Semakin bertambahnya mahasiswa terlebih dengan berdirinya dua prodi baru nyatanya tidak selaras dengan kondisi fasilitas kampus yang ada. Padahal sudah menjadi hak mahasiswa untuk mendapatkan fasilitas kampus yang nyaman dan dapat mendukung proses perkuliahan karena mereka telah menunaikan kewajibannya membayar UKT. Sebab, UKT mahasiswa yang telah dibayarkan akan dialokasikan 60% untuk fakultas dan pascasarjana, sementara sisanya dialokasikan untuk rektorat. Kurangnya fasilitas kampus seperti parkiran yang kerap kali penuh, ac di beberapa ruang kelas mati, kondisi kursi yang sudah rusak, wifi kampus yang lamban, dan cat tembok mulai mengelupas. Di salah satu ruangan gedung laboratorium bahkan terdapat tembok yang jebol karena bahan dinding yang digunakan masih menggunakan galvalum yang tidak sekokoh tembok pada gedung-gedung yang lain. Selain sarana prasarana, jalanan di sekeliling kampus juga masih banyak yang rusak dan berlubang.
“Di depan FAB kalau hujan itu selokannya mampet, airnya tidak bisa mengalir. Sebelah utara perpus parkirannya berlubang semua. Airnya menciprati orang-orang. Samping masjid juga kalau hujan becek.” Ungkap Faiz,
23 LAJUR | Edisi VII 2022
Oleh : Avi, Seeha, Risa, Satrya, Hamzah, Ghifari, Maulida
mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.
Rupanya, kerusakan juga terjadi di dalam gedung graha yang kerap digunakan oleh mahasiswa dari berbagai Fakultas. Pada saat tim LOCUS melakukan peliputan, ditemukan adanya lantai berlubang yang cukup besar dan terletak di tengah ruangan. Mengingat penggunaan gedung graha yang relatif sering dipakai, seharusnya pihak kampus segera menindaklanjuti kerusakan tersebut.
Fasilitas
Setiap Fakultas
Beberapa bulan terakhir, sepanjang jalan di belakang gedung laboratorium telah mendapat perbaikan berupa pengaspalan jalan sampai jalan belakang gedung FIT, namun sayangnya pengaspalan jalan tidak menyeluruh ke segala penjuru kampus.“Ada perbaikan jalan di kampus, namun hanya sebagian kecil. Kerusakan jalan di kampus itu menurutku udah 60%. Yang rapih hanya bagian lapangan dan sekelilingnya saja. Dan pembaruan di belakang laboratorium itu,” tutur Bilal mahasiswa FEBI.
Sudut belakang gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah (FIT) yang digunakan sebagai tempat pembuangan akhir sampah yang ada di kampus juga terlihat kumuh dan kurang terawat. Beberapa bahan bangunan sisa renovasi tergeletak begitu saja di depan dinding pembatas kampus.
Perkuliahan luring ini juga berdampak pada penggunaan lahan parkir. Semakin banyak mahasiswa yang datang ke kampus terutama yang mengendarai kendaraan pribadi, membuat kebutuhan lahan parkir semakin besar. Hal ini dikeluhkan para mahasiswa yang membawa sepeda motor. Mudhofir Rektor UIN Raden Mas Said menjelaskan, hal itu disebabkan oleh jumlah mahasiswa yang terus bertambah sedangkan yang lulus tidak serentak.
“Kalo parkiran itu hampir semua kampus tidak memenuhi ya karena jumlah mahasiswa terus bertambah sementara yang lulus tidak serentak tetapi soal parkir ini sedang digarap proyek gedung parkir itu nanti lantai 3 untuk mengurangi yang sudah ada ini,” imbuhnya.
Perihal penanganan fasilitas, itu sudah tanggungjawab setiap Fakultas. Bersumber
dari dana UKT sebesar 60% bergantung pada jumlah mahasiswa di setiap Fakultasnya. Semakin besar jumlah mahasiswa di suatu Fakultas, maka dana yang diperoleh juga semakin besar.
Wakil Rektor Bagian Administrasi Dr. M. Usman, S.Ag,. M.Ag. menyampaikan, perihal fasilitas di setiap Fakultas sudah dianggarkan oleh Fakultas masing-masing. Pengadaan AC dan LCD Proyektor pun tengah digarap secara bertahap, kendati terkait hal tersebut pihak Fakultas masih menemui kendala terkait anggaran dana yang dimilikinya.
“Karena hampir 2 tahun tidak dipakai, banyak yang rusak begitu juga AC-nya. Akhirnya anggaran yang semula mau dibelikan baru, dipakai untuk memperbaiki yang rusak.” Ujar Usman.
Pembangunan Gedung Baru
Selatan kampus utama UIN Raden Mas Said tengah berjalan dua proyek pembangunan gedung. Proyek pertama adalah pembangunan gedung perkuliahan dan kedua gedung parkiran. Kedua gedung ini akan dibangun setinggi 3 lantai dan ditargetkan selesai akhir Desember.
Gedung perkuliahan dipimpin oleh CV Kintan Mahardhika. Calon gedung perkuliahan ini berdiri di atas tanah seluas 80x23,5 meter persegi. Pihak kampus berencana membangun ruang kelas dan ruang teater di dalamnya. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menggelontorkan dana sebesar 36 Miliar untuk pengadaan infrastruktur UIN Raden Mas Said Surakarta. Untuk keperluan membangun gedung perkuliahan ini, anggaran dana yang digunakan sebesar 26 Miliar.
24 LAJUR | Edisi VII 2022
“Kita mendapat bantuan dari SBSN totalnya 36 Milyar. 26 Miliar itu fisiknya saja, 3 Milyar untuk mabellernya termasuk meja dan kursi, peralatan kantor, komputer, video walt, dan mini teater. Di dalamnya ada ruang teater yang seperti tribun dengan kapasitas sekitar 250-300 orang. Masih ada sisa anggarannya akan dipakai untuk optimalisasi membangun jalan di depannya,” jelas Usman. Terkait dengan lahan parkir, Mudhofir mengaku bahwa fasilitas parkir memang sangat kurang. Beliau berencana untuk membangun gedung parkir tiga lantai untuk mengatasi hal tersebut.
“Menurut pemerintah, parkir itu bukan skala prioritas. Kalo kita minta anggaran itu yang diprioritaskan adalah gedung pendidikan, ruang kelas. Jadi parkir itu kita biayai dengan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), maka kita bangun yang susun tiga. Sekali pun masih kurang, yang penting UIN Raden Mas Said ini ingin membenahi parkir biar nyaman untuk semuanya,” ucap Mudhofir.
Selaras dengan yang disampaikan Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta, kini tengah berjalan proyek kedua, gedung parkir yang dipegang oleh CV Hadiward. Proyek ini memiliki luas tanah 40 x 16 meter persegi. Diperkirakan gedung parkir ini dapat menampung 700-800 motor. Sumber pendanaannya berasal dari PNBP senilai 8 Milyar. Pengerjaan proyek sudah dimulai sejak 19 september 2022 dan ditargetkan akan selesai pada 17 Desember 2022.
Usman menambahkan rencananya, tahun 2023 nanti kampus akan membeli tanah di Boyolali. Alasannya di Boyolali dianggap sudah paling tepat karena dekat dengan pintu exit tol dan bukan lahan hijau. Tanah tersebut disiapkan untuk pembangunan gedung fakultas-fakultas umum. Rencana ini menyusul dengan diperolehnya izin prodiprodi umum seperti Teknik Lingkungan dan Teknik Pangan. Selain itu juga sedang diusulkan beberapa prodi Saintek (Sains dan Teknologi). Jadi, 2024 ada rencana pembangunan gedung lagi.
Dua Program Studi Baru Program studi ilmu perpustakaan Fakultas Adab dan Bahasa, meskipun prodi ini baru tetapi minat mahasiswa terhadap jurusan ini tinggi terdapat 2 kelas dengan total seluruh mahasiswanya 78 orang angkatan 2022/2023. Kelas yang digunakan oleh prodi baru ini yaitu gedung fakultas adab dan bahasa, lab, dan gedung E. Gelar yang akan diterima nanti ketika lulus di prodi ilmu perpustakaan yaitu S.Hum (Sarjana Humaniora).
Untuk tenaga pengajar prodi ilmu perpustakaan, baru memiliki 5 dosen. Kedepannya akan ditambah seiring berjalannya waktu karena prodi ini masih baru dan sangat membutuhkan tenaga pengajar keahlian di bidang keahlian perpustakaan dan ahli bidang digital atau IT. Ketua koordinator prodi ilmu perpustakaan merencanakan pengajuan membuka dan merekrut para calon dosen pengajar kepada rektor dengan melihat lulusan yang diutamakan yaitu perpustakan, digital, IT dan satu lagi naskah Jawa. “jadi nggak semua dosen asal ngajar aja tapi dia punya basic, sehingga nanti untuk fokus di pengembangan dosen di perpustakaan ya seperti itu karena nanti semua kan ada mata kuliah umum dan mata kuliah khusus untuk dosen khusus yang memang di bidangnya itu,” terang Sucipto selaku koordinator prodi Ilmu Perpustakaan.
Mata kuliah ilmu perpustakaan mengikuti kurikulum dan aturan pemberlakuan di UIN Raden Mas Said Surakarta, seperti adanya mata kuliah umum, mata kuliah keahlian dari
25 LAJUR | Edisi VII 2022
fakultas dan mata kuliah keprodian yang terdiri pengantar perpustakaan, manajemen perpustakaan, temu kembali pustaka, manajemen perpustakaan, filsafat ilmu umum untuk membekali mahasiswa agar kritis, adalagi tentang perpustakaan digital dan lain sebagainya. Semua mahasiswa akan di terjunkan dan praktek di perpustakaan, diantaranya perpustakaan fakultas dan perpustakaan pusat, perpustakaan wilayah solo ataupun di luar solo bahkan mungkin sampai bisa perpustakaan nasional. Tiga hal penting dalam ilmu ini diantaranya pustakawan profesional, pengembang alat digital dan yang terakhir yaitu ilmu peneliti di bidang ilmu perpustakaan informasi islam.
Kedua, program studi Tadris Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah. Prodi ini di dibuka pada 12 April 2021, meskipun sempat mengalami beberapa kendala seperti adanya keterlambatan di pengesahan pembukaan prodi baru artinya waktu span dan um ptkin prodi tadris matematika belum berdiri secara resmi jadi ketika tahun pertama hanya menerima mahasiswa dari jalur mandiri saja dan kuotanya terbatas hanya satu kelas dengan 25 mahasiswa saja. Namun, pada tahun keduanya peminat prodi Tadris Matematika cukup banyak dan membuka sampai 3 kelas dengan total 90 mahasiswa. Adapun Prodi Tadris Matematika membentuk
visi yaitu menjadi prodi matematika yang unggul dan inovatif dalam bidang pendidikan islam dan sains dalam tingkat nasional.
Mata Kuliah di prodi Tadris Matematika juga sama hal nya dengan prodi-prodi yang lain di Fakultas Ilmu Tarbiyah seperti mata kuliah yang berhubungan dengan ilmu keguruan secara umum, mata kuliah universitas dan ketiga ada mata kuliah matematika sendiri atau keprodian. Matematika di tadris itu terdapat banyak cabang, yaitu : aljabar, geometri, aritmatika, kalkulus dan lain sebagainya. Untuk ruang kelas yang dipakai adalah gedung di fakultas ilmu tarbiyah, gedung D, gedung GPT dan gedung PPG. Dosen pengajar dari prodi tadris matematika terdiri dari 6 orang dosen matematika dan dosen fakultas ilmu tarbiyah. Prodi Tadris Matematika membuka 3 profil atau konsentrasi mahasiswa yang bisa di pilih yaitu guru, pengembang bahan ajar dan yang terakhir peneliti. Semua sudah di bekali di tiap profil Tadris Matematika masing masing. “profil guru matematika sendiri dikembangkan menjadi seorang pembuat bahan ajar matematika berupa buku, lks, atau media pembelajaran yang nantinya itu dia bisa mengembangkan menjadi wirausaha atau bisa juga dia ikut menjadi pegawai di perusahaan-perusahaan tertentu,” jelas Wiwin sekretaris program studi Tadris Matematika.
26 LAJUR | Edisi VII 2022
Litbang Infografis
Waspada Kekerasan Seksual di Kampus!
Oleh : Elsa Lailatul, Aqila Ahya, Vanessa Agustin
Dari 213 responden, sebanyak 11,3% mahasiswa/mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta mengatakan bahwa mereka pernah melihat secara langsung tindakan kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan kampus UIN Raden Mas Said Surakarta.
Berdasarkan data, mahasiswa meyakini bahwa tidak ada tempat aman yang bisa terhindar dari kemungkinan terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual. Dari total 213 responden, “semua tempat” menempati urutan tertinggi sebagai tempat yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual dengan presentase sebanyak 65,3%. Kemudian disusul dengan tempat sepi, tempat tertutup, media sosial, tempat amai, hingga kemungkinan terjadi di semua tempat.
Beberapa responden mengakui bahwa mereka pernah mendapatkan tindakan tidak mengenakan atau yang mengarah pada pelecehan seksual di lingkungan kampus UIN Raden Mas Said Surakarta. Berdasarkan data, plecehan seksual secara verbal menempati urutan tertinggi sebagai salah satu pelecehan atau kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan kampus. Kekerasan seksual secara verbal tersebut biasanya dapat berupa siulan atau catcalling.
Selain itu, beberapa responden juga mengatakan bahwa pelecehan atau kekerasan
27 LAJUR | Edisi VII 2022
seksual tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa saja namun juga dilakukan oleh beberapa dosen. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh dosen (berdasarkan data responden) biasanya berupa godaan di grup Whatsapp.
Unit Layanan Terpadu (ULT) sebagai tempat pengaduan kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang dibentuk oleh kampus belum bisa bekerja secara efektif karena eksistensinya yang masih redup dikalangan mahasiswa. Dari 213 responden hanya 48 orang yang mengetahui adanya ULT sebagai tempat pengaduan kasus kekerasan atau pelecehan seksual di kampus, sedangkan sebanyak 165 responden mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya Unit Layanan Terpadu (ULT) sebagai tempat pengaduan.
Rata-rata responden mengatakan bahwa mereka akan melaporkan ke pihak kampus atau pun pihak berwenang ketika mereka mengetahui atau pun melihat tindak kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Namun berdasarkan data tidak sedikit pula mahasiswa yang memilih untuk mengabaikan atau menghindar karena merasa takut.
Sebanyak 42,3% (90 orang) dari 213 responden mengatakan bahwa kampus UIN Raden Mas Said Surakarta belum mampu menciptakan ruang aman dari kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan kampus. Sedangkan sebanyak 54,5% mengatakan bahwa kampus ‘mungkin’ telah memberikan ruang aman dari kkekerasan serta pelecehan seksual. Dari 213 responden, hanya 3,3% yang mengatakan bahwa kampus sudah berhasil menciptakan ruang aman dari pelecehan serta kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Unit Layanan Terpadu (ULT) memiliki hotline yang dapat dihubungi ketika mahasiswa/mahasiswi mengalami atau pun melihat kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus UIN Raden Mas Said Surakarta. Sayangnya dari 213 responden hanya 26 orang yang mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui adanya hotline pengaduan Unit Layanan Terpadu, sisanya sebanyak 187 orang tidak mengetahui adanya hotline milik Unit Layanan Terpadu yang bisa dihubungi oleh korban yang mengalami pelecehan seksual.
Rata-rata responden meyakini bahwa sangat penting bagi kampus untuk memiliki layanan pelaporan tindakan kekerasan atau pelecehan seksual karena dengan adanya layanan pelaporan mereka meyakini bahwa setidaknya kampus bisa memberikan ruang aman untuk para mahasiswa serta
28 LAJUR | Edisi VII 2022
ruang penanganan yang tepat bagi korban pelecehan atau kekerasan seksual . Namun juga ada responden yang mengatakan bahwa memilki layanan pelaporan saja tidak cukup jika layanan pelaporan tersebut tidak mampu bertindak secara maksimal.
melakukan pelaporan sebagai korban. Dari data dapat diambil kesimpulan jika memang kinerja ULT masih harus dipertanyakan ketika masih banyak mahasiswa/mahasiswi yang bahkan tidak tau bagaimana caranya melapor kepada tempat pengaduan.
Dari banyaknya jenis layanan aduan kasus kekerasan seksual, data dari responden menunjukkan bahwa aduan langsung menempati urutan tertinggi sebagai salah satu jenis layanan yang dianggap efektif oleh mahasiswa/mahasiswi. Media sosial sebagai salah satu platform yang sangat dekat dengan mahasiswa menempati urutan kedua sebagai salah satu jenis layanan aduan yang dianggap efektif, diikuti dengan; hotline, website, serta media lain.
Unit Layanan Terpadu sebagai satusatunya layanan aduan kasus pelecehan atau kekerasan seksual milik kampus hanya mengandalkan hotline dan juga sosial media instagram sebagai layanan aduan. Jika didasarkan pada data maka hotline dan media sosial ini menjadi tidak efektif karena masih banyak mahasiswa/mahasiswi yang tidak mengetahui apa itu ULT serta masih banyak yang tidak tau bahwa ULT memiliki hotline.
Dibuatnya ULT bertujuan sebagai salah satu langkah awal dalam menciptakan ruang aman di lingkungan kampus UIN Raden Mas Said Surakarta. Lingkungan kampus adalah lingkungan yang di dalamnya terdiri dari semua civitas akademik. Oleh karena itu semua memiliki peran dan hak yang sama serta sudah seharusnya memilki keseimbangan representasi untuk turut serta terlibat di dalam unit layanan kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Sebanyak 209 dari 213 responden menyetujui bahwa penting adanya keseimbangan representasi dalam Unit Layanan Terpadu (ULT) antara mahasiswa, dosen, serta karwayan.
Layanan pengaduan kekerasan seksual seperti ULT tentu saja memiliki tahapantahapan pelaporan. Sayangnya dari 213 responden, sebanyak 197 orang tidak mengetahui bagaimana alur pelaporan kepada ULT ketika mahasiswa/mahasiswi melihat kasus pelecehan seksual atau pun ingin
Efektifitas menjadi tujuan utama dari dibentuknya sebuah layanan publik, termasuk layanan aduan kekerasan seksual di kampus UIN Raden Mas Said Surakarta yaitu ULT. Sayangnya dari total 213 responden, sebanyak 78,4% responden mengatakan bahwa layanan atau fasilitas yang diberikan kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi dikampus belum efektif. Hanya 14,6% responden yang mengatakan bahwa layanan aduan kekerasan seksual yang diberikan oleh kampus sudah efektif. Bahkan sisanya yaitu 7% responden mengatakan
29 LAJUR | Edisi VII 2022
bahwa layanan aduan yang diberikan oleh kampus sama sekali tidak efektif.
Ketika terjadi sebuah kasus pelecahan atau kekerasan seksual, adanya upaya “jemput bola” menjadi salah satu hal yang sangat penting. Hal ini pun didukung dengan data yang didapat dari para responden. Sebanyak 94,8% responden menyatakan bahwa sangat penting bagi kampus untuk melakukan upaya “jemput bola” terkait dengan kasus pelecehan atau kekerasan seksual.
Unit Layanan Terpadu (ULT) dirasa sangat perlu meningkatkan efektifitas kinerjanya. Para responden memberikan pendapatnya mengenai bagiamana layanan yang harus diberikan oleh ULT dalam pelaporan kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Beberapa pendapat dari responden mengatakan bahwa ULT harus lebih sering melakukan sosialiasi, hal ini dapat berhubungan dengan data mengenai banyaknya responden yang mengetahui adanya ULT di UIN Raden Mas Said serta alur pelaporan ULT. Dari data dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan yaitu sangat banyak responden yang belum mengetahui adanya ULT dan alur pelaporannya. Jika korban bahkan tidak mengetahui adanya layanan aduan kasus atau kekerasan atau pelecehan seksual, lalu kemana kah korban akan mengadu?
30 LAJUR | Edisi VII 2022
Pojok Ragam
Pijar Semesta Resolusi Polusi Sampah
Penulis : Devi, Atik
Sampah berasal dari sisa kegiatan manusia apapun jenis dan bentuknya. Sampah kerap disepelekan diidentikkan dengan aroma busuk yang selayaknya dibuang. Lebih parahnya lagi masih ada saja orang membuang sampah tidak pada tempatnya atau sengaja menumpuk hingga mencemari udara sekitar. Tabiat apatis seperti ini akan menimbulkan masalah besar apabila dari diri kita sendiri tidak memulai belajar dan lebih aware sama sampah. Apalagi dalam lingkungan kampus, pasti memproduksi sampah dong setiap harinya!
Kalian amati deh gimana kondisi kebersihan lingkungan kampus sekarang? Apalagi saat musim penghujan datang, di sudut kampus tercium aroma tidak sedap karena tumpukan plastik berisi sampah bersampur air hujan. Bagaimana semestinya kampus beserta seluruh bagian didalamnya menyikapi persoalan lingkungan terutama akan sampah hingga memanajemen pembuangan sampah yang setiap hari dihasilkan. Keresahan permasalahan sampah juga dirasakan teman-teman yang tinggal dikosan karena kamarnya sekarang sesak dengan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi namun binggung harus dibuang kemana.
Awal tahun 2022 lahir inisiasi Sampah
pijar kampus dimana kita bisa menukar sampah digantikan dengan uang sampai bisa untuk nabung emas. Eh emang bisa? gimana ya caranya?
Sampah Pijar didirikan oleh DWP (Dharma Wanita) beroperasi sejak Januari tahun ini. Seperti namanya sampah pijar merupakan wadah bagi semua orang tak terkecuali warga kampus atau publik untuk menjual sampah agar mendapat uang. Menukar Sampah Bisa Jadi Emas
Sekertaris Bank Sampah, Ika Feni Setiyaningrum,M.Sc dosen FEBI menjelaskan struktural bank sampah dalam Pijar Semesta UIN Surakarta memiliki dua divisi yakni Organik dan Anorganik. Divisi Anorganik kegiatan berfokus pada pengumpulan dan penukaran sampah yang dilakukan setiap hari Jumat mulai pukul 08.00 – 10.00 WIB tepatnya di sebelah selatan lapangan utama kampus. Divisi organik dipimpin oleh Ibu Usnan,M.E.I dari Dharma Wanita yang akan mengelola pupuk kompos, namun karena terkendala sumber daya dan anggaran rencana tersbut belum terealisasikan. Lalu apakah benar dari mengumpulkan sampah kita bisa menukarnya lewat tabungan emas? melalui penjelasan Bu Feni, alur penukaran sampah itu pertama nasabah datang
31 LAJUR | Edisi VII 2022
membawa sampah yang sudah dipilah menurut jenis sampahnya. Kedua pengurus akan menimbang berat sampah lalu nasabah mendapat uang langsung. Selain uang tunai nasabah sampah mendapat kesempatan menabung uang tersebut untuk diambil kemudian hari. Pengambilan tabungan tadi bisa diwujudkan uang maupun emas di pengadaian syariah mitra kerjasama bank sampah.
“Jadi kita punya mitra mbak yaitu BMT Mazaya kemudian yang kedua pengadaian syariah atau bisa juga uang setoran hasil nuker sampah ditabung di kita (bank sampah), jadi ada banyak opsi buat nyimpen uangnya gitu” jelas Feni.
Apa Saja Jenis Sampah Yang Diterima?
Hampir semua jenis sampah bisa ditukarkan mulai dari sampah rumah tangga sampai barang-barang bekas rumah tangga. Seperti kertas bisa kertas HVS bekas, struk nota pembelian, kertas minyak (duplex), lalu botol-botol bekas, cup plastik bekas es dan plastik kantong warna-warni. Barang-barang bekas juga bisa dijual seperti sepatu, tas, kaca, seng hingga minyak jelantah (minyak bekas penggorangan). Ditanyai mengenai baju-baju bekas bak sampah belum bisa menerima alasannya karena tidak bekerja sama dengan pengepul sampah yang berjenis baju-baju bekas. Setiap jenis sampah mempunyai harganya masingmasing perkilogram, berikut adalah daftar harga sampah sesuai jenisnya.
Bekerja Sama dengan Para Pengepul
Pijar Semesta terdiri dari beberapa relawan yaitu DWP, para dosen, dan juga volunteer dari mahasiswa yang memang tertarik dan peduli dengan isu lingkungan. Wakil direktur divisi organik Usnan,M.E.I. dan direktur divisi Anorganik Dr. Afidah,M. Ag. dan ada mahasiswa yang menjadi volunteer membantu mengkalkulasi penukaran sampah seperti menimbang seluruh sampah yang akan disetorkan ke pengepul.
Bulan Agustus 2022 sampah pijar merekrut Duta Lingkungan dari mahasiswa. Duta lingkungan ini diharapkan bisa menjadi ikon supaya membantu edukasi mahasiswa untuk peduli lingkungan. Duta lingkungan yang terpilih tahun ini adalah Mischel mahasiswa FEBI semester 3 dan Carolin mahasiswa FUD semester 1. Adanya duta lingkungan dari mahasiswa diharapkan dapat membantu dalam publiksi serta persuasi bank sampah kepada mahasiswa UIN Raden mas Said dan masyarakat sekitar. Beberapa waktu lalu saat Solo menggelar festival lingkungan dibulan Oktober, duta lingkungan UIN turut menampilkan mading bertuliskan jenis-jenis sampah. Ditanyai bagaimana keikutsertaan Duta lingkungan untuk kampus, mereka mengaku selama ini publikasi melalui media sosial dan bagaimana nanti kedepannya perlu dipersiapkan lebih secara keanggotaan relawan yang aktif hanya berkisar 4 sampai 5 orang saja.
Sejauh ini pengevakuasi sampah di bank sampah UIN berjalan dengan sistem jual-beli. Sampah yang sudah terkumpul dari nasabah akan dijual ke pengepul. Selama ini bank sampah bekerja sama dengan 3 pengepul wilayah Kartasura.
“Kalau model pengolahan sampah yang profesional itu mereka punya alat pencacah sampah sendiri yang memang daya jualnya lebih tinggi kalau disini, begitu
32 LAJUR | Edisi VII 2022
sampah terkumpul kita panggil pengepul. Dan ternyata tiap pengepul itu punya patokan harga sendiri-sendiri karna ini kan bisnis sampah gitu” ujar Feni sekertaris bank sampah UIN.
Program Baik Tapi Minat Mahasiswa Sulit
Menukar sampah hingga menghasilkan rupiah turut dirasakan oleh masyarakat sekitar kampus yang turut menukarkan sampahnya ke bank sampah UIN. Salah satunya Ibu Retno dari perumahan Ostium Dusun Pucangan yang rajin menyetorkan sampah, menurutnya dengan adanya bank sampah ini membantu beliau dalam memilah sampah dan justru bisa mendapatkan uang. Menurut Feni sekertaris bank sampah, sudah ada beberapa nasabah dari cleaning service kampus dan pelaku UMKM akan tetapi nasabah dari mahasiswa dan dosen sendiri belum begitu banyak yang terlibat. Menaggapi hal ini ia berdalih selama ini memang kurang adanya publikasi dari bank sampah sendiri, “kita terkendala di SDA juga
mbak, dengan adanya duta lingkungan yang kemaren kita pilih dapat membantu agar kedepannya lebih masif sehingga mahasiswa dan dosen lebih tergerak untuk memilah sampah” jelas Feni.
Pijar Semesta berharap agar banyak orang yang berminat tidak hanya sekedar mempublikasikan mengenai Bank Sampah kepada masyarakat sekitar kampus terutama para mahasiswa UIN Surakarta agar ikut serta dalam kegiatan menukar sampah dan menjadi volunteer. Mahasiswa juga diharapkan bisa lebih minat untuk menggerakkan pengelolahan sampah anorganik dengan langkah awal seperti memilah sampah dengan baik. Selain memudahkan dalam proses pengepulan memilah sampah sesuai jenisnya bisa mengurangi penumpukan sampah, membuat sampah-sampah tersebut terbuang di tempat yang seharusnya bisa didaur ulang, dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
33 LAJUR | Edisi VII 2022
34 LAJUR | Edisi VII 2022
PJTD
PJTD
Kegiatan Locus
PJTL 2022 Pelatihan Cerpen Pelatihan Puisi
2022
2022 Rapat Pleno 2022 Dokumentasi
Nobar dan Diskusi Film
Opini
Mahasiswa, Kampus dan Perpustakaan
Oleh Ahmad Miftahudin Thohari
Gambaran ideal mahasiswa (dulu) mungkin adalah dia yang selalu identik dengan buku. Karena identik dengan buku, maka perpustakaan mestinya adalah habitat yang paling banyak dikerumuni mahasiswa. Jika buku adalah jendela dunia, tentu perpustakaan adalah rumahnya. Kita tentu tidak bisa membuka jendela, apabila kita tidak memiliki rumah. Maksud saya, kesediaan buku adalah sangat bergantung pada entitas keberadaan perpustakaan.Tetapi tetap, mahasiswa adalah yang punya kendali atas itu.
Memang ada banyak sekali nomenklatur motif tatkala orang (mahasiswa) memutuskan masuk kampus. Berkuliah. Mulai dari yang ingin agar kelak bisa menjadi benar-benar “orang” dengan memperoleh tambahan huruf di belakang namanya (gelar), yang ingin sekadar untuk “menghamburkan harta” orangtuanya karena sayang uang sebanyak itu buat apa kalau tidak digunakan untuk hal-hal bermanfaat, juga yang ingin mencari ilmu, yakni orang-orang kecil (wong cilik) yang punya itikad dan tekad bahwa dengan berkuliah akan didapatkannya kehidupan yang lebih baik, sehingga keluarganya juga bisa ikut hidup dengan lebih baik. Dan seterusnya.
Tapi, yang motifnya mencari ilmu? Sepertinya tidak ada. Kalaupun ada mungkin hanya sejumlah sepersepuluh dari sekian banyaknya mahasiswa yang ada. Itupun sebenarnya tidak tepat-tepat amat. Karena kampus ternyata lebih berkonotasi layaknya tempat industri, layaknya pabrik-pabrik di pusat perkotaan. Bukan tempat untuk menimba ilmu. Kampus justru menjelma tempat bisnis yang boleh dikatakan sangat menguntungkan (hanya) bagi kaum-kaum tertentu.
Namun, kita tidak perlu kaget ataupun harus menangis tersedu-sedu menanggapi soal itu. (Biasa saja!). Saya kira memang tidak
ada tempat yang nuansanya tidak seperti layaknya pasar. Segala tempat adalah area untuk dagang, mencari laba, bahkan masjid sekalipun.
Toh, komodifikasi sudah begitu merangsek ke dalam urat nadi perguruan tinggi. Bahkan, mahasiswa adalah komoditas yang paling menguntungkan bagi berlangsungnya bisnis kampus itu sendiri. Tak heran apabila mahasiswa tatkala masuk kampus, ia kemudian kehilangan dirinya. Karena kehadirannya termaknai sebatas (barang) komoditas, oleh karenanya mahasiswa adalah aset berharga untuk pemuas dahaga kapitalisme kampus. Apa sekarang yang tak dikapitalisasi, bahkan terhadap cara kita memilih tidur saja terkapitalisasi. Tidur kita pun sudah menjadi ladang bisnis.
Belum lagi, soal perdagangan gelar, distribusi pasar sarjana yang cukup menguras kocek agar diterima dan eksis di dalamnya, dan hal-hal ironi lainnya menjadi bukti bahwa kampus tak tepat-tepat amat apabila terlalu megalomaniakan sebagai tempat untuk mencari ilmu. Muru'ah ilmu terlalu mulia untuk sekadar ditempatkan di area “kotor” bernama: kampus. Meski tak salah juga kalau misalnya ilmu harus dipaksakan tetap berada di situ. Betapapun tradisi keilmuan, selain hanya sebagai make up jargon MMT, tidaklah menjadi semangat pengarusutamaan (tujuan) kampus. Tujuan kampus hanyalah menghantarkan mahasiswanya supaya “lulus”. Masalah berilmu atau tidak itu bukan urusan kampus.
Kredit skor, akreditasi dan hal-hal prestise lainnyalah yang justru sering berlangsung dan dipentingkan dalam ritme dunia perkampusan, sampai ia (kampus) lupa akan tugas sekaligus tanggung jawabnya memanusiakan manusia (baca: mahasiswa)—
35 LAJUR | Edisi VII 2022
alih-alih memberikannya bekal ilmu. Memang itu penting untuk menunjang rating kampus. Tetapi, bukannya ada yang jauh lebih penting daripada hanya soal itu? Yang jelas, “transaksi” keilmuan yang berlangsung dalam kampus tidak benar-benar terjadi secara ideal, tetapi lebih secara pragmatis. (Ya, karena itu transaksi, maka ya harus pragmatis, dong!)
Apa yang sejatinya didapatkan mahasiswa di setiap kelas mata kuliah yang diikutinya? Pengantar untuk bekal supaya mahasiswa melakukan pengayaan dan pendalaman secara mandiri? Dalam hal ini, sebagian kecil mungkin demikian. Akan tetapi, sebagian besar hanya mendapatkan tugas. Demi apa? Demi nilai bagus. Supaya tidak mengulang kelas. Bisa cepet lulus, kalau bisa (ya) cumlaude sekalian.
Oleh karena itu, saya tekankan di sini, bahwa kalau tujuan(mu) berkuliah adalah mencari ilmu. Itu alasan atau motif yang (mohon maaf) naif. Dan, ujung-ujungnya Anda akan kecele sendiri. Cukuplah motif Anda berkuliah (ngampus) itu adalah untuk mencari pengalaman, syukur-syukur menambah relasi. Karena Anda akan menyadari bahwa di negeri ini (mungkin juga di penjuru sudut dunia) mendapatkan relasi itu jauh lebih utama ketimbang mendapatkan IPK 4.00. Berkuliah di negeri ini, bisa mendapatkan IPK sempurna itu hanyalah efek Anda patuh mengerjakan tugas dosen, dan itu terkadang tidak ada kaitannya dengan kehidupan Anda kelak di dunia nyata.
Tugas-tugas kuliah menjadi mutlak. Dan, mahasiswa mau tidak mau harus taat pada “dogmatisme” itu, kalau tidak ingin dicap pembangkang dan “dimurtadkan” secara paksa. Logikanya: silahkan berbuat semau Anda, asalkan tugas Anda selesai, insyaallah nilai Anda aman. Tapi, silahkan aktif berprestasi di luar pagar kelas, kalau tugas Anda bermasalah (atau malah punya masalah dengan dosen), nilai Anda berarti bermasalah. Tugas adalah ukuran nilai Anda berkuliah, sedangkan kuasanya ada pada dosen. Mahasiswa sebatas domba yang digembalakan, sehingga harus tunduk pada perintah tuannya.
Walhasil, mahasiswa kehilangan lagi perihal grassroot intelektualitasnya sebagai kaum akademisi. Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa serta merta langsung mengatakan
bahwa itu adalah sebab pasifnya mahasiswa. Sebelum bicara soal kepasifan mahasiswa, tentulah yang perlu dibicarakan adalah soal apa yang kampus berikan kepada mahasiswanya, dosen memberikan gradasi insight semacam apa di kelas untuk tiaptiap mata kuliahnya, dan seberapa kreatif dan kompeten ia (dosen) membentuk cuaca keilmuan (intelek) di dalam kelas yang diempuinya? Jangan-jangan pada wilayah ini banyak sekali masalah.
Pada akhirnya, keakraban mahasiswa pada buku tidaklah agar sinar pengetahuan dapat memancar ke arah pikirannya, layaknya orang membuka jendela supaya cahaya dapat menyinari ruangannya yang gelap. Buku yang dicari, dibuka dan dibaca mahasiswa sama sekali bertujuan sebatas supaya ia rampung mengerjakan tugasnya. Kemudian, amanlah nilainya. Mahasiswa tidak benar-benar menggandrungi buku sebagai alat (kunci) untuk membuka jendela pikirannya, akan tetapi lebih diposisikan sebagai alat untuk mendapat nilai bagus dari seorang dosen. Jadinya, sudah menjadi pemandangan umum bahwa mahasiswa yang ke perpustakaan itu niat awalnya bukanlah untuk ilmu, tetapi adalah untuk tugas—alih-alih nilai (angka).
Memang tidak masalah juga, dan itu wajar-wajar saja. Karena toh masing-masing mahasiswa punya motifnya sendiri-sendiri tatkala memutuskan untuk berkuliah. Akan tetapi, apakah sudah menjadi jatahnya bahwa wajah kampus dan mahasiswa harus sedemikian bergeser peran dan fungsinya, termasuk tentang keberadaan perpus?
Saya sebenarnya pesimis, tetapi itu tentu asumsi (pikiran) semacam itu harus segera saya tolak. Ada banyak hal-hal yang sudah tentu harus saya kaji dan pelajari lagi. Jangan sampai asumsi saya tersebut muncul hanya karena gagalnya saya menangkap pesan-pesan tersirat dan minimnya bacaan yang saya konsumsi.
Terakhir, entitas keberadaan perpustakaan saya kira menjadi nyawa bagi kokoh dan megahnya bangunan keilmuan kampus, sehingga keberadaannya mesti lebih diperhatikan ketimbang gazebo maupun taman-taman yang sifatnya artifisial. Juga koleksi buku-buku, soal referensi, tentu juga harus lebih lengkap katalognya dibandingkan dengan jenis kopi di warkop-warkop kampus.
36 LAJUR | Edisi VII 2022
Tips and Trik
Tips Manajemen Waktu: Kuliah Dan Organisasi
Oleh Syafira Riyan Devani
Semakin bertambahnya usia, tanggung jawab yang diemban setiap individu tentunya akan semakin bertambah. Masa mahasiswa merupakan masa transisi dari fase remaja memasuki fase dewasa. Pada masa tersebut, mahasiswa mulai mengeksplorasi identitas diri sehingga ia memiliki tanggung jawab atas kehidupannya, seperti dalam belajar. Selain itu, mengikuti kegiatan organisasi juga merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengembangkan potensi yang ada pada diri mahasiswa. Seiring bertambahnya tanggung jawab tersebut, mahasiswa seringkali “kelabakan” karena tidak bisa membagi waktu antara waktu kuliah/ belajar dan berorganisasi. Oleh karena itu, guna mencegah hal tersebut, mahasiswa perlu mempersiapkan diri secara matang agar dapat tetap berkuliah sembari meningkatkan keterampilan dan pengalamannya. Berikut beberapa tips yang bisa kamu coba agar manajemen waktu kamu lebih sehat, check it out.
1. Membuat Rincian Jadwal Kegiatan
Menyusun rincian jadwal merupakan langkah awal yang dapat kamu lakukan untuk membagi waktu. Dengan menyusun jadwal kegiatan, kamu bisa menghindari bentrok waktu antar kegiatan. Jadwal yang sudah dibuat bisa kamu tulis di sticky notes, buku agenda, ataupun pada aplikasi schedule gratis yang sekarang banyak tersedia.
2. Buat Skala Prioritasmu dengan Menggunakan Metode ABC
Selanjutnya adalah menyusun skala prioritas dengan metode ABC. Setelah sebelumnya kamu membuat rincian jadwal kegiatan, di bagian ini kamu bisa membagi kegiatan mu menjadi tiga kategori, yaitu kategori A (Must do) berupa kegiatan penting dan mendesak, kategori B (Should
do) berisi kegiatan penting namun masih bersifat jangka panjang, dan terakhir kategori C (Nice to do) yaitu berisi kegiatan yang jika diselesaikan awal lebih baik, dan jika tidak juga tidak membawa konsekuensi tertentu. Dengan menerapkan skala prioritas, dijamin jadwal atau pekerjaan kamu akan terorganisasi dengan baik.
3. Disiplin dan Jangan Menunda Pekerjaan
Hayo ngaku siapa yang sering jadi deadliners ? Ayo segera hilangkan kebiasaan kurang baik tersebut kawan. Kebiasaan mengerjakan tugas di waktu “mepet” dengan deadline adalah salah satu “penyakit” mahasiswa yang masih banyak ditemui. Kebiasaan tidak disiplin dan suka menunda pekerjaan ini bisa membuat pekerjaan kalian tidak kunjung selesai atau bahkan membuat kinerja kamu tidak optimal loh!.
4. Jangan Membagi Fokus
Kebiasaan multitasking (melakukan lebih dari satu kegiatan pada waktu bersamaan) tidak selamanya baik loh. Kebiasaan itu bisa membuat pekerjaan mu yang lain jadi kurang maksimal. Jadi, selesaikan kegiatan atau tugas yang paling penting kemudian baru lanjut ke tugas lainnya, supaya tugas-tugas yang kamu kerjakan jadi lebih efektif dan efisien tentunya
5. Take a Rest!
Last, but no least, yaitu istirahat. Setelah lelah dan penat dengan aktivitas kuliah atau organisasi yang dirasa padat, kamu perlu mengistirahatkan tubuh dan otak untuk men- charge energy dan juga mood. Caranya bisa dengan tidur cukup, makan makanan yang sehat, dan berolahraga secara teratur. Dengan begitu, kita bisa menjalankan tugastugas dan kegiatan lain dengan semangat dan happy tentunya.
37 LAJUR | Edisi VII 2022
Fotografi
38 LAJUR | Edisi VII 2022
Rusun Gedung Student Center
Oleh Devi Mutiara Hati
“Tok tok tok wan numpang tidur dilocus,” ucap seorang penghuni sekre sebelah lalu menyibakkan sarungnya bersiap terjaga di alam mimpi.
Gedung student center (SC) sudah tidak asing bagi yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Bangunan yang terdiri dari dua lantai terletak di sebelah selatan Gedung Laboratorium kian ramai ketika sore menjelang malam. Mereka beraktifitas bersama dalam teman satu UKM, tak sedikit juga ada yang saling berbincang antar lain unit.
Kali pertama aku menjajakan kaki ke gedung SC membuatku melongo melihat teman-teman mahasiswa yang tidur beralas kasur ada juga tikar bahkan kardus, baju dan celana yang menggantung di balik pintu, perlengkapan mandi, hingga penampakan kamar mandi yang dulunya nampak seperti sarang setan.
Hampir dua tahun ini aku cukup sering berkegiatan di sana. Sepahamku, kebanyakan hanya laki-laki saja yang tinggal menginap di sekre (kantor/sanggar setiap UKM). Ya ada anak perempuan yang main untuk sekedar rapat rutin lalu pulang saat waktu sudah tengah malam. Menjalin keakraban disana tidak begitu sulit, cukup saling sapa ketika berpapasan bisa juga menyambanggi sekre tiap unit sekedar berkenalan langsung terjalin keakraban. Mungkin karena sama-
sama berlatarbelakang organisasi jadi sedikit menurunkan rasa canggung.
Gedung student center sebagai tempat aktivitas kegiatan UKM beralih fungsi menjadi tempat tinggal kedua bagi mahasiswa. Bahkan fenomena ini sudah ada sejak dulu. Tak ayal, masih banyak “Maba (mahasiswa bangkotan)” yang tetap memilih tinggal di rusun SC. Dulunya gedung UKM terletak di Gedung Enterpreneur yang lokasinya di depan graha, setelah bertambah banyak jenis UKM beserta mahasiswa yang bergabung dipindahlah seperti saat ini.
Menurut Dino awal tahun 2018 gedung SC baru dibangun lapangan voli kemudian berjalannya waktu hingga sampai sekarang sudah ada sekre untuk untuk masingmasing ukm. Lurah Sirat tersebut juga mengatakan sejak ia menjadi mahasiswa baru dan mengikuti kegiatan ukm digedung SC tidak ada pembatasan mengenai jam operasional kampus. “Istilah kata malam hari adalah waktu-waktu untuk produktif di UKM kalo pagi-sore kan produktif di kuliah,” sambungnya.
Rusun SC bak kos-kosan itu selalu ramai dihuni mahasiswa. Mereka ada yang sekadar menjadikan sekre sebagai tempat transit, ada juga yang menjadi penghuni tetap. Kehidupan di rusun ini semakin riuh saat jam-jam malam. Sekitar pukul 11.00-03.00 dini hari, rekan-rekan biasanya berkumpul
39 LAJUR | Edisi VII 2022
Feature
hanya untuk bercuap-cuap, bermain UNO, lempar tebak-tebakan, dan curhatan anakanak broken home.
Berbeda dengan Racana mereka mempunyai peraturan pada tiap anggota bahwa laki-laki dapat selama 24 jam di sanggar sedangkan anggota perempuan dibatasi sampai jam 9. Begitupula dengan UKM lain dengan peraturannya masingmasing. Sidiq Pambudi mengatakan ada beberapa faktor yang menjadi alasan kebanyakan anak UKM tinggal 24 jam di Gedung SC. Sebelum dibangun tembok tertutup dibelakang gedung dimana pojok kampus tersebut langsung bisa mengakses jalan umum dikhawatirkan terjadi pencurian barang-barang didalam SC. Secara di setiap unit ruangan terdapat komputer, printer, alat masak, hingga perlengkapan UKM seperti alat musik dan barang-barang penting lainnya.
Norman mahasiswa tahun 2017 mengaku dirinya lebih memilih tinggal disekre karena ingin berteman dengan banyak orang jika ia berada di kampus daripada di rumah. Tinggal bersama teman-teman di SC justru membawa pengalaman lucu bahkan sialnya mereka justru mendapat pengalaman mistis. Teman-teman yang bercerita di antaranya pernah suatu ketika, saat kamar mandi SC belum direnovasi, sehingga kondisinya kumuh tanpa penerangan. Betapa terkejutnya dia saat hendak memakai kamar mandi untuk membuang hajatnya, ia justru harus menyiram hajat milik orang sebelum dia. Hal itu lantas membuatnya kesal, tapi ketika ditanya apa yang membedakan tinggal di SC dulu dan sekarang. Ia mengaku bahwa orang-orang yang berada di SC sekarang kurang bersosialisasi. Ketika dalam tongkrongan maklum terdapat perbincangan panjang lebar antar teman, sekarang kita lebih semangat untuk saling mengakses media sosial masing-masing.
Awal tahun 2020, ketika itu bulan Maret saat kampus tengah melakukan isolasi karena wabah Covid-19. Seluruh karyawan dan mahasiswa diwajibkan untuk tidak beraktivitas di kampus. Saat itu hanya menyisakan beberapa sejawat seperti Norman, Jelek, Krowak, Lehor, Aziz, Dimas, Faruq, Goni, dan Satrya. Satu hari sebelum
mereka meninggalkan SC ketika pada malam harinya dan baru pertama kali terjadi seumur hidup, mereka melihat kabut putih berjalan di area gedung. Hal ini membuat mereka gigrik karena takut melihat kabut. Mungkin ditambah suasana kampus yang sepi orang-orang sudah pada meninggalkan SC lebih dulu membuat suasana semakin menyeramkan.
Menaggapi jam malam kampus, selaku Koordinator Paguyuban UKM, Sidiq Pambudi mengaku dirinya pernah dimintai pendapat oleh Pak Rudi tentang bagaimana agar mahasiswa UIN bisa tertib meninggalkan kampus tidak lebih dari pukul 9 malam. Memang faktanya aktivitas malam hari di luar gedung SC juga selalu terjadi terlepas dari kegiatan UKM, sayangnya ada fenomena saat malam hari banyak oknum sepasang kekasih justru berduaan di lingkungan kampus.
“ini lain cerita ya, jam malam SC emang enggak pernah ada justru kita malah membangun komunikasi yang baik dengan satpam kampus,” jelasnya.
Fenomena nongkrong di sekitar lapangan utama kampus saat malam hari hingga melakukan aktivitas yang tidak senonoh membuat resah penghuni gedung SC yang notabene menjadi tempat berkegiatan hingga malam hari. Bedanya mereka yang di SC sudah mengakar bahwa tinggal di sana dan berorganisasi adalah tradisi yang sudah melekat. Sehingga sulit menghilangkan adat yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun.
Untuk mengakhiri tulisan seputaran kehidupan rusun SC ini, penulis ingin mengungkapkan selagi membawa ilmu baru, pertemanan yang solid dan pengalaman, tidak perlu membatasi diri dari sosial. Salah-satunya dengan mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa sesuai passion yang ingin dikembangkan. Yang akan membawa masalah hanya jika kita sendiri yang mengingkari kebebasan dan hak yang seharusnya kita dapat sebagai mahasiswa yaitu aktif baik akademik dan nonakademik. Tidak perlu menuruti kata hatimu tapi berjalanlah menuju hal-hal yang membawa kabaikan untuk sekitarmu.
40 LAJUR | Edisi VII 2022
Resensi Buku
Sekolah: “Pendidikan atau Pendiktean”
”Iming-iming pendidikan akan mendongkrak status sosial seseorang nyatanya hanya pepesan kosong. Mitos ini terus diproduksi tiap kali membincangkan pendidikan sebagai upaya mewujudkan perubahan sosial bagi seseorang.”
(*)
Seberapa besar diri dan pikiran kita melimpahkan segala hal tentang citacita masa depan kepada institusi berjenis pendidikan? Jika hidup adalah soal mencari ilmu (pengetahuan), sebatas dalam kotak dunia pendidikan yang sangat administratif dan birokratiskah kita mesti berjibaku, nggetih menimba ilmu (pengetahuan)? Istilah “belajar” misalnya, apakah kemudian harus selalu identik dan dikaitkan hanya dalam bentuk aktivitas (ber)sekolah?
Memang institusi pendidikan memberikan insight yang mungkin tidak bisa kita dapatkan mata air pengetahuannya selain hanya di dalam di area tersebut. Itu pun asalkan ia (institusi pendidikan) berlaku sebagaimana mestinya. Tetapi, seandainya institusi pendidikan menjelma sebagaimana industri pabrik, apa yang kita harapkan darinya?
Iming-iming bahwa dengan berpendidikan, mendapatkan banyak gelar misalnya, akan mampu mendongkrak status
ISBN : 9786022919575
sosial kita. Dengan kata lain, kita menjadi seorang yang terpandang, berbeda dari yang lain (the other), berpenampilan elitis, punya status sosial yang bagus dalam mata masyarakat berkat kita berpendidikan, umpamanya. Sehingga kita tergiring untuk merasa diri superior terhadap liyan. Mohon maaf, apa bedanya kita dengan kelompok penindas, meskipun kita tidak secara sengaja ingin menindas? Cacat cara berpikir semacam itulah yang mestinya segera diluruskan dalam imajinasi institusi pendidikan, kalau memang pendidikan yang diselenggarakan adalah bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Soal ini adalah kritik mental.
41 LAJUR | Edisi VII 2022
Oleh : Ahmad Miftahudin Thohari
Judul Buku : Manusia Tanpa Sekolah Penulis : Ronny K. Pratama Penerbit : Yogyakarta: Bentang, 2022
Omong-omong soal pendidikan, arah tujuan pendidikan itu digelar idealnya adalah guna mendidik manusianya, bukan pada praktik pendiktean manusianya sekadar dicetak untuk menjadi onderdilonderdil dari proyek yang penuh akan nilainilai dehumanisasi. Artinya, pendidikan mesti memposisikan sekaligus menjadikan manusianya sebagai subjek yang “bebas”. Bukan justru sebaliknya. Pendidikan haruslah membebaskan, bukan malah membelenggu akar potensi manusianya. Seandainya, pendidikan tidak menjadikan manusia sebagai seutuhnya manusia, saya berani berkata bahwa itu bukanlah: pendidikan. Dan, saya berani menjamin kurikulum sebagus apapun, apabila cara pandang dunia pendidikan masih saja demikian, pendidikan tidak akan pernah sampai pada tujuan sucinya. Misalnya, guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Itu pula yang menjadi tema-tema penting yang diulas sekaligus dikritik dalam buku Manusia Tanpa Sekolah karangan Ronny K. Pratama. Sebagai perasan akan sarisari pemikiran Toto Rahardjo, ia membawa satu semesta kritik tentang bagaimana sistem sekaligus mekanisme pendidikan negara (Indonesia) yang begitu memprihatinkan, dan tampak ironi. Satu contoh umum, betapa lucunya dunia pendidikan kita, kalau tidak boleh dikatakan dungu adalah bahwa, sekolah-sekolah hanya menjaring, atau mau menerima siswa-siswa yang sudah pintar (berprestasi tinggi), sedangkan mereka yang tidak cukup syarat akan dieliminir. Tidak salah memang. Tetapi, saya kira itu menjadi cacat cara berpikir, bahwa seharusnya sekolah itu mendidik siswa untuk yang tadinya tidak pandai menjadi pandai. Bukan sebatas menerima siswa-siswa yang pandai.
Lebih dari itu, institusi pendidikan bukanlah tempat dimana para siswa harus bersaing untuk mendapatkan ranking satu. Dengan cara menyamaratakan kemampuan para siswa hanya pada satu parameter indeks. Tidak jago matematika bukan berarti dia siswa yang bodoh. Sebaliknya, kejeniusannya dalam bidang fisika tidak lantas menunjukkan dia paling cerdas, apalagi terhormat di sekolahnya. Maka,
lembaga pendidikan sudah semestinya menjadi wadah yang membimbing sekaligus menghantarkan para siswanya untuk berprestasi: menemukan akar bakat alamnya. Bukan kemudian membikin cluster mana siswa yang pandai dan mana yang kurang pandai (bodoh).
Toto Rahardjo dalam Sekolah Alam (SALAM) yang diiniasinya setidaknya ingin memberikan kritik terhadap realitas dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan kita dewasa ini. Toto Raharjo dengan Sekolah Alam (SALAM)-nya menjadi semacam subkultur, sekaligus juga resisten terhadap budaya dari sistem dan mekanisme dunia pendidikan kita di tanah air tercinta. (**)
Bagaimana seharusnya sistem sekaligus mekanisme pendidikan diberlangsungkan demi tumbuh kembangnya potensi manusia? Toto Raharjo, menyebut bahwa dalam konteks proyek pengembangan potensi manusia, apa yang dimaksud sebagai proses pengalaman justru jauh lebih penting untuk diutamakan ketimbang sebatas transfer pengetahuan yang sering dipakai oleh sekolah-sekolah konvensional. Kecenderungan model pendidikan seperti itulah yang acap kali membunuh kesadaran manusia sebagai subjek yang bebas, dan itu kebawa pula tatkala siswa beralih status menjadi mahasiswa. Meskipun tidak secara keseluruhan, tetapi rata-rata mahasiswa, subjek berkesadaran, seakan kehilangan sisi kreatif dan imajinatifnya. Ia hanya menunggu, dan lebih suka didikte ketimbang mengeksplorasinya sendiri.
Parahnya lagi, pada praktiknya dunia pendidikan berlaku sangat administratif dan begitu birokratis. Pada akhirnya, kecenderungan manusia bersekolah bukanlah untuk belajar, tetapi adalah demi mendapatkan ijazah untuk nantinya dapat ia gunakan sebagai pendobrak status sosialnya di masyarakat. Ijazah secara ilusif menjelma kertas sakti yang seolah memiliki daya magis untuk menghantarkan pemiliknya bisa hidup enak. Padahal tidak demikian faktanya. Dan, lucunya, kita baru (telat) sadar bahwa apa yang dibutuhkan sesungguhnya bukanlah
42 LAJUR | Edisi VII 2022
soal lembar ijazah, tetapi lebih pada soft-skill dari masing-masing manusianya. Kita semua boleh dibilang kecelé.
Masalahnya, seberapa sudah institusi pendidikan kita hadir sekaligus memberikan kecukupan fasilitas untuk tumbuh kembang soft-skill masing-masing manusianya (peserta didik)? Sudah seharusnya pemerintah dengan institusi pendidikannya wajib memfasilitasi hak belajar seluruh masyarakatnya tanpa terkecuali. Tetapi, ironisnya, dalam buku Manusia Tanpa Sekolah, menyebutkan: pendidikan di Indonesia justru dikapitalisasi (h, 220). Pertanyaannya kemudian, siapa yang mengkapitalisasi pendidikan di Indonesia,? Duarrr…
(***)
Tentu boleh dikatakan bahwa sesungguhnya ada campur tangan kuasa pemerintah dengan alur ritme pendidikan di negara kita ini tatkala mekanisme pendidikan diberlangsungkan. Pada dasarnya, praktik birokratisasi pendidikan sesungguhnya telah dimulai sejak republik ini berdiri, dan semakin dikukuhkan dengan dan sebagai sistem yang baku, beku dan ketat pada era kepemimpinan Soeharto. Tahu sekolahsekolah Inpres, bukan? Ya, itulah. Pada intinya, praktik birokratisasi tersebut adalah upaya guna memperlemah institusi pendidikan sebagai pihak yang subordinat. Dalam buku ini, disebutkan, bahwa institusi-institusi pendidikan, sekolah misalnya, dalam balik layar narasi-narasi besar pengembangan kualitas dan transformasi perubahan pendidikan yang disuntikkan oleh aparatusaparatus terkait, sesungguhnya menegaskan nihilisme otonomi akar rumput. Apa itu? Ya, contohnya adalah terjadinya pendiktean dalam dunia pendidikan.
Keadaan semacam itu akhirnya memunculkan ambivalensi baru. Yakni, di satu sisi sekolah digadang-gadang agar otonom, namun di lain sisi sekolah ditanggalkan independensinya secara perlahan dan subtil. Bahwa, semua kebijakan atas nama dan untuk nasib sekolah (institusi pendidikan dalam arti luas) direbut oleh aparat-aparat semata-mata adalah demi
perbaikan kualitas. Tapi, pada kenyataannya? Bagaimana kualitas pendidikan kita hari ini, yang secara umum terjadi? Silahkan, dielaborasi sendiri.
Termasuk pula dalam soal jargon pendidikan karakter. Apa yang luput dari pandangan kritis? Dalam buku ini menyebut, “peran dan makna pendidikan karakter telah mengalami politisasi sebagai hasil konvensi yang berkuasa untuk mengkategorikan benar atau salahnya sesuatu.” Maka tak heran, apabila Toto Raharjo memandang bahwa pendidikan karakter yang sedasawarsa belakangan dikampanyekan pemerintah, bahkan perguruan-perguruan tinggi pun juga ikut menyemarakkan, senyata-nyatanya lebih bernuansa: proyek penguasa. Loh, kok proyek penguasa? Karakter itu sesuatu yang kompleks. Mana mungkin bicara soal pendidikan karakter tapi dalam praktiknya ditempatkan hanya sebatas dalam tataran teknis, bahkan syarat akan proyek penguasa. Karakter, kok, (di)dikte!
“Merdeka Belajar” pun tak luput pula dari pengamatan Toto Raharjo. Begini, yang kiranya cukup menggelitik, bagaimana mungkin kita sukses menyelenggarakan konsep “Merdeka Belajar”, kalau belajar (dengan) merdeka saja kita belum benarbenar sukses. Sudahkah kita benar-benar belajar dengan merdeka? Bagi Kiai Tohar (sebutan Toto Raharjo), manusia haruslah merdeka terlebih dahulu. Sebab, kalau manusia terkekang, maka geliatnya sebagai individu (subjek yang bebas) akan menjadi terbatas. Akhirnya, pendidikan kita mabuk karena kebanyakan meneguk jargon-jargon yang terdengar klise di telinga. Kiai Tohar menyamakan jargon “Merdeka Belajar” tersebut sebagaimana jargon “Salam Literasi” yang tak ubahnya terpeleset sebatas sebagai pepesan kosong. Muntah kita lama-lama!
Bahkan, dengan kritisnya, Kiai Tohar berpendapat, bahwa “Merdeka Belajar” begitu legitnya dikomoditaskan. Oleh siapa? Oleh yang berwenang. Sebagaimana barang, jargon tersebut secara sengaja sibuk dikemas sedemikian rupanya untuk kemudian disodorkan ke publik dan dunia persekolahan. Sasarannya jelas, adalah
43 LAJUR | Edisi VII 2022
peserta didik, guru bahkan juga para staf administrasi. Tetapi yang paling kena efek getahnya adalah peserta didik. Dan, yang menarik dalam buku ini dituliskan demikian, “Mari kita simak terlebih dahulu empat pokok di belakang jargon “Merdeka Belajar”. Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti ujian berbasis penugasan dan portofolio. Kedua, Ujian Nasional (UN) dihapus dan diganti Asesmen Kompetensi Minimum serta Survei Karakter. Ketiga, menyederhanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan (RPP). Keempat, aturan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) disederhanakan. Semua butir tersebut sekadar mempersoalkan teknis.”
Lantas Kiai Tohar melihat sekaligus menganalisa lewat pembacaan kritis, mendapati bahwa ia (Merdeka Belajar) sesungguhnya hanya bertujuan mengoreksi pada soal tata cara administratif pemerintahan dalam dunia pendidikan sebelumnya. Maka, tak ayal apabila Kiai Tohar menyebut gagasan “Merdeka Belajar” semata-mata hanyalah reformasi birokrasi, khususnya pada bidang penilaian pembelajaran dan teknis pendaftaran sekolah, bukan soal revolusi “Merdeka Belajar” sebagaimana yang sering dipidatokan, diseminarkan, diorasikan secara kemrutuk dan heroik. Ternyata, tak ada perubahan radikal apapun di situ. Nah, kan, kecele lagi!
Ya, mungkin inilah realitanya, apabila otoritas ilmu pengetahuan yang di sini diwakili oleh institusi pendidikan sebagai ranah yang seharusnya objektif, punya independensi nilai, dan punya nalar kritis nan sehat direnggut oleh aparatus (itu). Sehingga, tatkala otoritas tersebut direnggut, atau dengan kata lain menjalin hubungan mesra dengan kekuasaan, sudah jelas bahwa entitas ilmu pengetahuan tak ubahnya dengan alat penindasan. Ya, institusi pendidikan sesungguhnya adalah alat penindasan itu sendiri!
Logikanya begini, karena mereka berdua menjalin hubungan mesra, maka ketika pemerintah (penguasa) memberikan perhatian lebih (yang melebihi batas nalar etis) kepada pihak institusi pendidikan
(termasuk lembaga keilmuan), tentu bukan tidak mungkin ia (institusi pemerintahan atau penguasa) akan mendapatkan legitimasi kebijakan yang dicetuskannya secara keilmuan dari para akademisi, intelektual, dan para ahli. Dan ketika hal tersebut dilakukan (entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi), maka pada saat itulah terjadi perselingkuhan (praktik zina) antara penguasa dengan institusi pendidikan (perguruan tinggi, misalnya). Alhasil, praktik pendidikan kita tak ubahnya sebuah praktik penindasan.
Kita semua memang harus segera insyaf. []
44 LAJUR | Edisi VII 2022
Resensi Film
Penyalin Cahaya: "Kita cuma punya cerita"
Oleh Sayyidah Marhamah
Sinopsis
Berkedok praduga tak bersalah, publik masih demikian sulit mempercayai cerita korban pelecehan seksual bahkan sekedar untuk memegang prinsip "percaya korban lebih dulu". Benar bahwa cerita dapat dipalsukan, namun bukankah bukti pun sama, baik keberadaan maupun ketiadaannya? Hal inilah yang dialami Sur tokoh utama dalam film Penyalin Cahaya. Pasca mengikuti pesta perayaan kemenangan Teater Matahari, hidup Sur runtuh dalam semalam. Swafoto tak bermoral Sur terunggah dalam feed akun pribadinya, hingga status beasiswanya harus lenyap. Sur pun diusir dari rumah dan terpaksa menumpang di tempat Amin, sahabat sekaligus tukang fotokopi di kampusnya.
Merasa ada hal janggal sedari saat ia tersadar dari sisa pesta semalam, Sur yakin bahwa ia tengah dijebak Thariq rekan satu teater. Tak hanya itu, saat mengganti baju di kamar mandi yang sudah dalam keadaan terbalik, ia yakin dirinya diraba-raba sebelum diantar pulang. Kini hari-hari Sur ia habiskan untuk mengumpulkan bukti-bukti pelecehan yang tengah menimpanya untuk mendapatkan keadilan.
Secercah harapan muncul, Ibunya dan beberapa orang memahami apa
Identitas film
Judul : Penyalin Cahaya
Sutradara : Wregas Bhanuteja
Produser : Adi Ekatama, Ajish Dibyo
Penulis
naskah : Henricus Pria, Wregas Bhanuteja
Pemain : Shenina Syawalita Cinnamon, Lutesha, Chicco Kurniawan, Dea Panendra, Jerome Kurnia, Giulio Parengkuan, Ruth Marini, Lukman Sardi
Genre : Thriller, Drama
Produksi : Rekata Studio, Kaninga Pictures
Rilis : 8 Oktober 2021 (Festival Film Internasional Busan), 13 Januari 2022 (Netflix)
Durasi : 130 menit
45 LAJUR | Edisi VII 2022
yang dirasakannya. Oleh karena itu, Sur dan beberapa korban lain bertekad untuk menunjukkan kebenaran dan keadilan itu ada. Namun bagaimana dengan ayah Sur yang meminta kasus ditutup atas imingiming keluarga pelaku?
Kelebihan
Film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja ini memiliki alur yang menarik. Investigasi Sur menggiring Penyalin Cahaya bergerak ke ranah misteri, di mana penonton dibuat bertanya "siapa" dan "apa". Muncul banyak kejutan sepanjang film berjalan, namun bukan bersifat gimmick belaka. Terlebih, kejutan-kejutan itu memfasilitasi tentang gambaran topeng yang manusia kenakan guna mengikuti tuntutan-tuntutan sosial, juga perihal privilege. Mengingat mayoritas pelaku pelecehan seksual adalah pria, dan bagaimana kultur negeri ini cenderung menguntungkan pria apalagi jika memiliki harta serta kuasa, sehingga dengan gamblang berdalih ‘kenapa hanya mempercayai cerita korban?’
Disisi lain, film ini menyajikan edukasi untuk para penonton agar tak menutup mata, Penyalin Cahaya menggambarkan jika pria bisa juga menjadi korban. Persoalan itu turut disinggung terhubung pada kasus pelecehan seksual, kesehatan mental hingga kesenjangan ekonomi. Film ini begitu kompleks menguras emosi penonton ditambah sinematografi nya yang tidak kalah bagus dengan film-film terbaik dari luar negeri jadi tidak heran jika film ini meraih 12 piala citra tahun 2021.
Kekurangan
Penyajian pesan dalam film yang menyuarakan isu kekerasan seksual ini tidak disampaikan secara gamblang. Pesan itu melalui adegan metafora dan simbolis. Sehingga, penonton perlu berkonsentrasi dan niat yang cukup untuk menyaksikan film ini. setelah menonton sampai adegan terakhir, penonton tidak mengetahui secara jelas resolusi dalam kisah ini.
Saran
Film ini lebih relevan untuk ditonton dengan rentan usia 17 tahun keatas, karena terdapat unsur kekerasan seksual. Penonton menantikan penyelesaian kasus yang menyita perhatian pada keadilan terhadap Sur. Adanya berita bahwasannya penulis sekaligus sutradara dalam film ini dulu pernah menjadi tersangka dalam pelecehan seksual, film ini tetap menarik dan sangat mengedukasi kepada para korban luar sana untuk menyuarakan suara keadilan mereka. Maka dari itu, jangan pernah takut untuk membela keadilan untuk diri sendiri dan orang lain.
46 LAJUR | Edisi VII 2022
Aku Harus ke Mana?
Oleh : Luthfi Aprilia Rosyidah
Gadis hebat
Kau rela jauh dari keluarga Untuk memenuhi impian dan harapan orang rumah
Lara yang dirasa Merapah untuk jauh dari yang tersayang Pergi menuntut ilmu dan pulang membawa bekal bangga untuk orang rumah
Sayangnya, Bajingan-bajingan itu berkeliaran Seperti tak berdosa! Tak mempunyai akal! Merenggut senyuman menjadi rasa trauma
Kau mengeram dalam batin Tak berani mengatakan Tak berani berbicara Takut, kaku, trauma menjadi satu Tak berdaya! Rasa gundah yang bertebaran
Takut tak ada yang percaya Takut dikira tak bisa jaga diri Takut dikira ia merupakan seorang penggoda
Apakah itu sebuah aib untuk dilontarkan? Rasa trauma yang baka Merenggut senyum dan semangat sang gadis, Sudah puaskah kalian para bajingan?
Tak beradab! Banyak orang berpendidikan, tetapi seperti tidak pernah mendapat didikan Memang lucu dunia ini
Tetapi, apa daya Ketika gadis itupun berani berbicara dan meminta keadilan Tak ada satupun yang bisa menolong Ia berada disebuah institusi kampus ternama Mengapa seperti orang yang ditelantarkan?
Miris! Para oknum yang katanya punya jabatan Itupun hanya formalitas nama Tidur dengan menikmati lembaran uang Soal tugas, ia buta!
47 LAJUR | Edisi VII 2022
Puisi
Teka-Teki Silang
Down
1. tempat yang bisa bernyanyi 2. penghianat cerita laut 3. pendukung shakespeare 4. bisu tapi suka meniru 5. garis yang membelah paris 7. peluru tembak luar angkasa 9. lagu kutukan 10. yang bisa menghilang 13. portal polaris 16. muka ganda abraham lincoln
ISI DAN MENANGKAN HADIAHNYA!!!
Kirim Jawaban Terbaikmu di : Whatsapp 083819310240 (Devi) atau email lpmlocus20@gmail.com, jangan lupa cantumkan identitas diri anda.
Across
6. sifat yang menciptakan langgam monokrom 8. surga buatan di inggris 11. letusan vampir 12. kacang almond penuh emosi 14. tuli namun penghasil sonata 15. simbol sejahtera, ibu dari 82 anak 17. penulis para pelangi 18. petir terbesar di galaksi 19. harapan ditengah ketohoran 20. jugun ianfu
48 LAJUR | Edisi VII 2022
Cerpen
KETIKA KAMI BERSUARA
Oleh Denies Verawaty
Sejenak aku termangu, melihat apa yang ada di hadapanku saat ini. Ruangan yang menjadi tempat kami bertukar pikiran, perasaan, dan makanan hancur berantakan menyerupai rumah yang habis terkena gempa bumi. Lantai yang kami bersihkan setiap hari dari debu-debu, kini dipenuhi dengan kaca pecah, batu-batu kecil, pasir coklat, potongan-potongan kertas, serta buku-buku yang berserakan.
Padahal buku-buku yang tak seberapa itu, kemarin kami rawat di rak khusus yang pintunya terbuat dari kaca. Padahal bukubuku itu kami beli dengan mengumpulkan sisa uang kegiatan, yang berasal dari dana kampus yang tidak seberapa, kas anggota, atau dari hasil berjualan es teh pada kegiatan wisuda atau event-event kampus lainnya. Kadangkala kami mendapat buku itu dari orang-orang yang pernah berkunjung ke sekretariat kami. Selain membawa buku, mereka berbagi ilmu, kadang-kadang kopi, kalau beruntung dapat nasi.
Kubiarkan udara merasuki rongga hidungku menuju dadaku sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk. Kuambil buku yang paling dekat dengan kaki lalu kuletakkan di rak, satusatunya benda yang masih berdiri kokoh di tempatnya. Begitu selanjutnya sampai aku menemukan sebuah foto berukuran 4R.
Ada sekitar 20 orang sedang tersenyum ke arah kamera, mereka berjajar membentuk tiga baris. Baris paling depan terdiri dari lima orang yang bersimpuh, tiga orang diantara mereka memegang bendera. Baris kedua, terdiri dari tujuh orang yang membungkukkan badan ke depan, dan barisan paling belakang mereka berdiri dengan tegapnya.
Aku sangat mengingatnya, foto ini diambil di sebuah rumah yang kami sewa sembilan bulan lalu. Butuh sekitaar dua jam untuk perjalanan dari sekretariat kami menuju tempat itu. Tempat yang akan kami gunakan untuk merumuskan apa saja yang harus kami capai selama setahun ke depan. Saat itu kami begitu optimis akan melewati, dan melaksanakan semua program kerja yang telah kami sepakati bersama-sama.
Aku tersenyum hampa, menyadari bahwa momen-momen itu tinggalah selembar foto. Waktu begitu cepat berlalu, dan aku pesimis bisa mengulang kembali kebersamaan kala itu. Foto yang sudah ada di genggaman kumasukkan ke dalam tas, biar saja kusimpan rapi sebagai kenangkenangan.
Kembali kupandangi sekitar. Dindingdinding yang tadinya berwarna putih bersih dengan tempelan sertifikat, deadline
49 LAJUR | Edisi VII 2022
proker, struktur kepengurusan, jadwal piket, potongan koran, jam dinding, dan papan tulis, berubah menjadi penuh dengan coretan cat semprot berwarna merah dan hitam. Entah berapa orang yang membuat tulisan-tulisan itu, dan seantusias apa mereka semua sampai-sampai dalam satu malam mereka mampu menyelesaikannya. Ada banyak sekali tulisan tapi yang paling kentara adalah “BUBARKAN!” “EKSPLOITASI LEWAT NARASI!”
Aku menelisik ke belakang, berusaha merangkai fragmen-fragmen ingatanku yang mungkin bagi orang lain berusaha dilupakan. Namun, tak akan kubiarkan kenangan itu hilang begitu saja. Selalu ada tempat di sudut memoriku untuknya, karena semua berawal dari sana.
Enam bulan yang lalu. Di sudut perpustakaan kampus, aku bertemu dengan seorang perempuan. Kedua bola matanya yang hitam memancarkan kedukaan, seolah-olah awan gelap di atas langit ikut menutupi wajahnya. Dia memanggil dirinya Arumi.
Tangannya gemetar ketika menceritakan setiap detail kejadian hari itu. Semuanya berjalan begitu cepat, Arumi tidak mampu membela diri dihadapan lelaki tua keparat yang sudah menguasai penuh tubuhnya. Ia juga tidak bisa berteriak karena mulutnya dibekap dengan tangan.
Segala upaya untuk mendapat keadilan telah Arumi perjuangkan. Mulai dari melapor ke delik aduan yang disediakan salah satu organisasi perwakilan mahasiswa, melapor kepada satgas yang telah dibentuk kampus, sampai melapor kepada lembaga bantuan hukum yang ada di kampus. Namun, semua seperti sia-sia, mereka bersikap lamban menangani aduannya.
Banyak pihak mengatakan bahwa bukti yang ia bawa lemah, tidak cukup untuk mengungkap bahwa pelaku melakukan kekerasan seksual kepadanya. Hanya sebuah pesan singkat pada aplikasi WhatsApp, dan cerita dari mulutnya yang itupun bagi beberapa pihak dianggap tidak relevan. Tidak ada bukti visum, tidak ada
cctv, dan tidak ada pendukung lain yang bisa menguatkan ucapannya.
Bahkan beberapa pihak menyuruhnya berhenti, karena bisa saja laporan itu berbalik kepadanya atas dasar pencemaran nama baik. Padahal Arumi hanya ingin satu hal, pelaku mendapat hukuman atas apa yang sudah dilakukannya. Ia juga tidak ingin ada korban-korban lain jika pelaku masih berkeliaran.
Dari matanya turun titik-titik air bersamaan dengan suaranya yang meredup. Perempuan itu mengakhiri ceritanya dengan kalimat, “Masih adakah keadilan untukku? Untuk perempuan yang tidak punya harta guna membayar pengacara, untuk perempuan yang tidak punya kuasa apaapa, untuk perempuan yang biasa saja!”.
Cerita Arumi membawa kami menemui jajaran tertinggi kampus. Sepintas mereka menjawab pertanyaan yang melindungi citra baik kampus. Mereka juga mengecam kami, sebagai organisasi mahasiswa yang masih berada di bawah naungan kampus seharusnya membantu membawa nama baik kampus bukannya malah membuat nama kampus menjadi buruk.
Pemimpin tertinggi itu mengangkat tangannya lalu mengacungkan jarinya tepat di depan mukaku seraya berkata, “Kalau kalian tidak bisa dibina, lebih baik dibinasakan!” begitulah sepenggal kalimat yang aku terima ketika menanyakan bagaimana upaya kampus untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada Arumi.
Kami tidak terlalu serius menanggapi ucapan beliau, dan terus memegang idealis untuk menyuarakan ketidakadilan yang diterima penyintas. Sampai akhirnya berita ini rilis. Seperti yang sudah kami duga bahwa berita ini akan menggemparkan kampus. Selalu ada pendapat yang pro dan kontra dengan adanya kasus ini. Lalu ancamanancaman itu mulai datang bertubi-tubi kepada kami.
Sardi, Pemimpin Redaksi kami mengabarkan bahwa dirinya baru saja diserempet motor saat berjalan dari parkiran
50 LAJUR | Edisi VII 2022
menuju sekretariat kami kemarin sore. Lalu enam anggota kami mendapat pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal yang isinya mengancam kami agar menurunkan berita itu atau para anggota kami akan diganggu hidupnya.
Lalu aku. Aku mendapat surat pemanggilan dari jajaran tinggi kampus untuk menemui pimpinan tertinggi. Sebuah kehormatan, karena beliau selalu mencari alasan saat ingin kami temui, tetapi lewat berita ini akhirnya beliau menyediakan waktunya cukup lama untuk kami.
Bersama Sardi aku menemui Beliau. Dugaanku benar, beliau meminta kami untuk menurunkan berita tersebut. Namun kami menolak.
“Turunkan beritanya, atau kalian yang saya turunkan!” matanya membulat sempurna, wajahnya memerah, dan suaranya meninggi. Aku dan Sardi hanya sedikit terkejut.
“Kami tetap dengan keputusan di awal Pak, maaf kami menolak keinginan Bapak. Jika ada narasi yang merugikan atau memberatkan Bapak, silakan membuat hak jawab atau membalas dengan artikel bantahan. Terima kasih.” Ucapku menatap pimpinan itu tanpa rasa ragu sedikitpun.
Sehari setelah pemanggilan itu kami menikmati waktu luang di rumah masingmasing, karena kebetulan minggu ini jadwal akdemik adalah libur semester, jadi kami menggunakannya untuk istirahat sebentar.
Rumah menjadi tempat yang paling sering dirindukan para perantauan. Kali ini aku menebusnya dengan menemui ibuku, ayahku, adikku, dan abangku. Pagi hari alarmku adalah suara ibu yang tengah bersenandung sambil memasak, atau suara burung piaraan ayahku yang selalu berkicau setiap matahari terbit, atau suara motor abangku yang tengah dipanaskan mesinnya, atau suara tangis adikku yang masih bayi minta susu. Namun pagi ini alarmku bertambah satu yaitu dering ponselku yang nyaring.
Telepon dari Sardi. Segera saja kuterima.
“Ra, sekre kita hancur. Bisa ke sini nggak sekarang?”
Aku bergegas kembali ke kota dimana kampusku berdiri. Sampailah aku di sini di situasi seperti ini.
Suara langkah kaki seseorang menghampiriku, wajahku menoleh. Kudapati Sardi menghentikan langkahnya di sampingku. wajahnya muram seperti orang kehilangan harapan.
Kedua mataku kembali terpusat pada tulisan di dinding. “Sar, anak-anak aman?” aku berbicara dengan nada rendah.
“Aman, semalam tidak ada yang menginap di sini!”
“Syukurlah!” Melegakan bagiku mendengar kawan-kawanku tidak ada yang terluka badannya, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya kami sedang merasakan luka batin, luka mental, dan segala luka yang ada di dalam tubuh kami.
“Kita dapat surat lagi!” Suara Sardi memecah keheningan.
“Surat pemanggilan?”
Dia menggelengkan kepala dan berkata “Bukan…”
Aku membalikkan tubuhku, memandang matanya yang terbuka lebar. “Lalu?” tanyaku.
“Surat Keputusan Pencabutan Izin Organisasi!” katanya lirih, “Kita dibredel Ra!”
Aku menangis dalam senyap seakanakan sekarang ini telah kehilangan semuanya. Selesai.
51 LAJUR | Edisi VII 2022
Cerpen
Dua Sudut Pandang
“Kamu kuliah di mana?”
Pertanyaan sederhana yang bisa membuatmu memilih dua opsi. Tersenyum bangga sembari memperlihatkan almameter, atau tersenyum kecut sebab merasa malu. Nama universitas begitu penting dalam percakapan dengan masyarakat. Orang bisa dengan mudah menempelkan label pada tubuhmu, lagi.
“Di Universitas Camari.”
Kamu selalu tahu seperti apa reaksi orang-orang ketika menyebutkan nama kampusmu. Mereka akan menanyakan ulang di mana tempatnya. Tak jarang mencibir, bahkan meremehkan, yang jelas kamu belum pernah mendapatkan respon yang baik dari teman-teman ketika menyebut nama kampusmu.
Seperti saat ini, lawan bicaramu menahan tawa di sudut bibirnya, lalu berbisikbisik satu dengan yang lain. Stereotip masyarakat memang menyebalkan, menuntut kesempurnaan di setiap inci tubuhmu.Tidak apa, bukankah kejujuran lebih melegakan dibandingkan sebuah kemunafikan? Berkata bila kuliah di mana itu tidak penting. Namun, di dalam hati bersyukur karena tak masuk ke kampus yang sama denganmu.
Suasana di sini semakin membuatmu tidak nyaman, obrolan yang makin ke sini makin tidak ingin kamu dengar. Persoalan fasilitas kampus temanmu yang begitu lengkap dan canggih, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan hal-hal lain yang bisa dibanggakan. Akhirnya kamu berkemas, mengucap pamit pada orang-orang di masa lalu yang berkumpul dalam acara reuni. Acara yang pikirmu bisa lebih menyenangkan, mengenang masa-masa silam saat semua hal
bisa dilewati bersama-sama.
Perjalanan kadang menjadi tempat yang nyaman untuk melamun. Maka banyak orang yang memilih dalam menggunakan kendaraan untuk perjalanan, semata-mata demi kenyamanan diri. Begitu juga dirimu, bus kota mungkin menjadi transportasi ternyaman dan teraman bagi kantongmu. Namun, kali ini mungkin hidupmu kurang beruntung, karena dalam bus kota pun tidak ada tempat duduk yang tersisa untukmu. Tidak apa-apa, berdiri sambil melihat jalanan tidak begitu buruk, batinmu.
Pikiranmu kembali pada pertemuan tadi. Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin maksud yang baik untuk sekadar berbasabasi. Namun bagimu terasa begitu menyiksa, menusuk-nusuk ulu hati. Lalu kamu berpikir kehidupanmu sekarang bertambah berat dengan ekspetasi orang luar yang bahkan tak mengenalmu. Seolah memberikan pil pahit yang sama pada setiap pilihan yang kamu ambil.
Dulu, mamamu bilang, “Kuliah di mana aja itu sama, yang penting cerdas.” Namun, mamamu juga yang bilang, “Anaknya temen Mama ada yang kuliah di Universitas Adiwidia, ada juga yang sampai dapet beasiswa ke luar negeri, loh, Dek!”
Secara tak langsung, mamamu membandingkanmu dengan yang lain. Meski tidak terdengar memaksa, tapi nyatanya rasa sesak itu lebih terasa. Apalagi melihat binar harapan yang mamamu pancarkan melalui mata bulatnya. Interaksimu dengan sang mama pun mulai mengendor. Kamu menjauh, menyelesaikan masalah dengan jarak, yang kamu tahu itu hanya membuat masalah semakin besar.
52 LAJUR | Edisi VII 2022
Oleh: Nafa Shahamah ‘Izzatin Nafsi
Terpaksa merantau pun menjadi masalah berikutnya. Jarak lagi-lagi menjadi alasan untuk menghindar. Kamu bahkan sudah tak ingat lagi kapan terakhir bertukar sapa dengan mamamu sendiri. Rasa takut, malu, sedih, marah, semua bercampur membentuk hati yang semakin mengerdil tiap waktunya.
Ketidakberdayaan diri ketika tak mampu memasuki kampus yang diharapkan menjadi momok terbesar. Hari-harimu menjadi semakin berat dan keluhan mulai menggema dalam benak. Sekali lagi, kamu menyalahkan diri atas penilaian dunia. Padahal kamu sendiri tahu, ini semua bukan sepenuhnya salahmu.
“Pengen pindah kampus, tapi sayang duitnya,” keluhmu lagi. Kali ini di depan sahabatmu, yang satu kampus dan satu nasib.
“Males juga ngulang dari awal. Ospeknya itu, loh.” Laras sama sambatnya denganmu. Tidak ada sesi ceramah ke jalan yang benar jika kamu bersama sahabatmu yang satu ini.
“Pengen pindah ke mana emang?” tanya si polos Ningrum. Selain polos, dia juga lemot. Jadi ketika sesi sambat, hanya Ningrum yang paling cengo. Terkadang kamu dan temantemanmu malas harus mengulang dua kali agar Ningrum paham dan nyambung dengan pembahasan.
Kamu dan Laras kompak menjawab salah satu kampus terkenal di ibukota. Paling wah, paling favorit, si paling-paling pokoknya. Langsung terdengar dengusan dari sahabatmu yang terakhir. Si muka paling jutek yang nyeremin, Diah.
“Idih, sok-sokan mau pindah kampus. Tugas buat hari ini aja belum dikerjain. Gimana mau masuk sana? Dikira anak kuliah lain itu mageran kayak kalian? Nggak, Besti. Mereka lebih ngambis dan pastinya lebih gila dari kalian saat ini.”
Kamu dan Laras hanya nyengir kuda. Angan yang menyelinap dalam pikiran berkat beban dan harapan orang tua selalu menipu daya. Berpikir jika tempat lain lebih baik padahal belum tentu, bisa jadi justru semakin buruk. Lagi, sambat menjadi jalan.
“Kok bisa lebih gila?” Ningrum kembali dengan kepolosan yang mengundang emosi.
Diah saja menjelaskan dengan penuh kesabaran. “Iya, gilalah. Aku diceritain sama temenku kalau dia harus mengerjakan laporan praktik terus. Tidur jam satu malam itu udah yang paling cepet. Pokoknya kuliah, tugas, laprak, kuis, dan lain-lain. Nggak gila dari mana coba?”
“Pantes aku sering liat berita mahasiswa bunuh diri.”
Kamu dan ketiga sahabatmu lantas saling bertukar pandang. Ucapan Ningrum membuatmu termenung sejenak. Benar, kamu tak sepenuhnya tahu apa yang dihadapi orang lain. Sama seperti orang lain yang yang hanya menilai dari permukaannya, kamu juga begitu. Kamu menganggap jika masuk ke kampus favorit itu sebuah anugerah dan hidupnya mudah. Padahal, kalau dipikir sekali lagi, mungkin saja salah. Kamu tidak ada bedanya dengan yang lain, menghakimi sendiri tanpa tahu informasi yang pasti.
“Ehm.” Perhatianmu teralihkan kepada Laras yang menggaruk belakang kepalanya, nampak canggung. “Ya, sama-sama fair, sih. Julukan favorit nggak asal dikasih dan gak gampang buat mempertahankan. Dipandang baik terus juga jadi beban sendiri.”
“Curhat, Sis?” tanya Diah dengan gelak tawa. Bukan sekali dua kali Laras mengeluh perihal kelurganya yang selalu beranggapan bahwa dia gadis baik, alim, penurut, dan nggak neko-neko. Salah satu alasan mengapa dia masuk universitas keagamaan juga karena alasan yang sama. Padahal, keluarganya saja yang tidak tahu kelakuan Laras yang barbar dan senang merokok. Pelampiasan stress, katanya.
“Sialan!” Laras melayangkan pukulan. “Lagi serius juga.”
Kalian tertawa bersamaan. Menertawakan hidup yang katanya sebuah ‘permainan’. Diam-diam, kamu tersenyum miris. Dibalik bercandanya hidup, kamu terkadang lupa caranya bersyukur. Kamu yang terlalu banyak maunya dan hidup seenaknya mengira sudah berada di surga. Melupakan Tuhan dan selalu menuntut kesempurnaan.
Seperti kata orang yang menempelkan satu per satu label padamu. Padahal, kamu bisa melepasnya. Membuang label yang orang berikan ke tempat sampah. Yang seharusnya boleh memberikan label pada tubuhmu adalah dirimu sendiri. Karena hidupmu adalah pilihanmu.
“Ya, udahlah.”
Penerimaan memang yang paling sulit. Apalagi jika itu tentang hal yang tidak kamu sukai. Namun, demi kenyamanan hidup, kamu menerima semuanya. Kenyataan yang kejam, pemikiran orang yang tidak bisa diubah, dan keberadaanmu di sini.
53 LAJUR | Edisi VII 2022
Komik
54 LAJUR | Edisi VII 2022
Oleh : Hamzah Syaifulloh
Oleh: Dani Ahmad Haidar