Majalah HIMMAH No. 03/Thn. XXXV/2003 - Balada Utang Kita

Page 1

PELINDUNG

Rektor Universitas Islam Indonesia

PEMIMPIN UMUM

Ahmad Im’an Syukri

WAKIL PEMIMPIN UMUM GM Anugerah Perkasa

SEKRETARIS UMUM

Rengga Damayanti

BENDAHARA UMUM

Dwi Setya Ningrum

PEMIMPIN REDAKSI

Febry Arifmawan

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

Wakid Qomarudin

SEKRETARIS REDAKSI

Diana Aprianti

REDAKTUR PELAKSANA

Ilmia A. Rahayu, Widiyanto, IB Ilham Malik AG

REDAKTUR FOTO Surya Adi Lesmana STAF REDAKSI

Sarfah Fahrisalam, Atfas Ferry, Ambar I.S.D, Mochammad Solikhan FOTOGRAFI

Ujang Priatna, Iwan Nugroho, Sheila Meidi Ariyanie, Indra Yudhitya, Aminur Sobah

RANCANG GRAFIS

Aris Jatmiko, Akhmad Makhali, Fajardini H.I.R, Husni Dwi Nugroho Pandu Lazuardy, Ponco Tristiyono, M. Taufiekurakhman

PENELITIAN & PENGEMBANGAN

Tri Agung P, M. Syafi’i, Susila Rahmi, Radityo M, Mulianne, Sigit Pranoto

PUSAT INFORMASI & DATA

Ina Rachmawati, Asriani P.I, Diyan Melasari

PERUSAHAAN

Muhammad Ashraf J, M. Ali Prasetya, Dian Dwi Kurniawati, Wawan W. Saputro, Dwisaptina

Sartika,

assalamu’alaikum

Majalah yang ada di tangan anda ini adalah terbitan terakhir kami untuk periode kepengurusan 2001-2003. Terbit di tengah keprihatinan warga dunia. Invasi amerika Serikat dan Inggris ke Irak menandai peta dunia yang semakin buram. Perdamaian, kata suci dari para agamawan, aktivis anti perang, tokoh intelektual dari semua dunia, dan demonstrasi tak menyurutkan perang. Perang tak berarti ikut menyurutkan pembuatan majalah HIMMAH justru perang yang tak kalah seru dialami redaksi, yaitu melawan deadline yang terpaksa dilanggar beberapa kali. Di sela-sela kesibukan pembuatan majalah ini, ada beberapa diskusi ringan yang cukup bermanfaat buat awak HIMMAH. Pada tanggal 17 November 2002 lalu kami kedatangan tamu istimewa. Ulil abshar abdalla, Koordinator jaringan Islam liberal (jIl) berhasil kami ”culik” setelah yang bersangkutan mengisi se buah acara di Yogyakarta. Kebetulan kedatangan Ketua lakpesdam NU di base camp HIMMAH di bilangan Cik Di Tiro itu sehari sebelum tulisannya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam muncul di harian Kompas dan menggegerkan, serta berbuntut fatwa mati dari beberapa ulama.

Sebelum Ulil, kami kedatangan tamu yang tak kalah istimewanya. Yaitu Prof. Miriam Coronel Ferrer dari University of Philippines, pada 18 Oktober 2002. Ia banyak bicara soal transisi demokrasi di Filipina yang banyak kesamaan dengan Indonesia. Direktur Third World Studies Center ini bertutur banyak tentang per bedaan birokrasi di Indonesia, tentang attitude, keterbukaan pemerintah. Diskusi ini penting sebab kita tahu bahwa biang persoalan negeri kita salah satunya tentu dari birokrasi kita yang sangat koruptif. Kedatangan kedua intelektual ini memberikan tambahan wacana yang berarti bagi seluruh awak HIMMAH.

Terakhir, selain tambahan wacana, kami juga beruntung dapat menghadirkan dua maestro fotografi Indonesia dalam waktu bersamaan. Yakni Oscar Motuloh, kurator Galeri Foto jurnalistik antara, dan Eddy hasbi, fotografer harian Kompas Dari keduanya, kawan-kawan bidang fotografi dan rancang grafis banyak mendapat kritik membangun soal foto-foto HIMMAH, dan tata letak, serta disain majalah. Sebuah kesempatan langka. hasilnya bisa anda lihat sekarang. Last but not the least. Selamat membaca.

wassalamu’alaikum

Redaksi menerima tulisan dari luar berupa artikel atau opini, diketik dua spasi,

4 halaman kuarto. Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah esensi tulisan. Naskah yang dimuat akan diberikan imbalan sepantasnya.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA PERS MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Periode 2001 - 2003 ................................
DP, Henny
Sony Satrio, Astutik, Adi Setiawan, Debby Silvia, Nurul Khotimah ALAMAT REDAKSI Jl. Cik Di Tiro No.1 Yogyakarta 55223 Telp. (0274)542141 Pesawat 13 Faks. (0274) 563207 home page http://more.at/himmahonline e-mail himmah_media@mailcity.com Izin Terbit SK Menpen RI 1094/SK/Ditjen PPG/SIT/1987 ISSN 0216-4272 Percetakan NINDYA GRAFIKA Jl. Anggajaya I 180A, Condong Catur, Yogya karta (0274) 884126 .......................... [IFTITAH REDAKSI]
maksimal
Miriam Coronel Ulil Abshar Abdalla M. Ali Prasetya / HIMMAH M. Ali Prasetya HIMMAH

LAporAn UtAMA [9]

bAlADA uTAng KITA

Seperti laiknya lagu balada yang melantunkan kisah sedih, begitu pula dengan nasib utang In donesia. Kebocoran dan salah sasaran utang kita menimpakan beban berat buat bangsa. Bagaimana sejarah utang, kisah proyek utang luar negeri yang gagal, dan masa depan penyelesaian utang diku pas di Laporan Utama ini.

LACAk [43]

TEh PAgIlARAn bERARomA PEnInDASAn

Perkebunan teh PT. Pagilaran ternyata memendam bara konflik antara perusahaan dengan buruhnya. Perusahaan yang dikelola oleh Fakultas Pertanian UGM itu kini dilanda gelombang tuntutan dari warga Pagilaran, terutama yang merasa dirugikan. Bagaimana rentetan peristiwa dan duduk perkaranya? HIMMAH merangkainya dalam LACAK.

Urbanisasi selalu menyisakan banyak persoalan. Terutama buat kota-kota besar yang menjadi gantungan mimpi dari banyak orang daerah. Ketika keberuntungan tak kunjung teraih, mereka pun mulai hinggap di tanah-tanah tak bertuan, seperti di bantaran sungai, salah satunya adalah di Kali (sungai) Code. Bagaimana kisah Kali Code dengan kehidupan kampungnya yang khas potret kaum urban dari generasi ke generasi. Bagaimana pula kabar Code, sepeninggal Romo Mangun?

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 2 [DAFTAR ISI]
CoVER : m. TAuFIEKuRAKhmAn lAYouT : bIDAng RAnCAng gRAFIS mR. X dan IluSTRASI : hEnDRA WIRAWAn ABU NAWAS [104] AGAMA ...................................................................... [031] ASSALAMMUALAIKUM ................................................ [003] BISMILLAH ................................................................ [004] BUDAYA [066] IFTITAH ReDAKSI [001] DAFTAR ISI ................................................................ [002] DIALoG ..................................................................... [069] eKoNoMI .................................................................. [089] HUKUM [063] IKLAN LAYANAN MASYARAKAT [068] INSANIA .................................................................... [094] INTeRNASIoNAL ........................................................ [099] KoLoM ...................................................................... [030] KeMAHASISWAAN [006] . . EDISI APRI l 2003 III LAporAn kHUsUs [73] CoDE, RIWAYATmu KInI...

Surat Protes RAWCC

assalamu’ alaikum Wr. Wb.

Berkaitan dengan l aporan Khusus Majalah himmah edisi 02/Thn.XXXIV/juli

2002 tentang Gerakan Perempuan di Yog yakarta, Rifka annisa WCC menilai sangat positif. Namun ada hal yang sedikit meng ganggu berkaitan dengan penggambaran reporter HIMMAH tentang Rifka annisa WCC (hal.77-78)

Rifka annisa menilai ada hal-hal yang tidak relevan dan judgment (menilai) dalam laporan tentang profil Rifka Annisa WCC. Akan lebih baik apabila profil suatu lem baga digambarkan dengan memaparkan aktifitas-aktivitas yang dilakukan (seperti penggambaran profil Tjut Njak Dhien) dari pada memaparkan bangunan atau gedung berikut perabotan-perabotannya, lebihlebih menilai yang berarti memasukkan opini reporter dalam liputan.

Demikian surat protes kami, atas per hatiannya dihaturkan terima kasih.

Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.

Nur Hasyim

Koord. Divisi Humas Rifka Annisa Women Crisis Centre

Jl. Jambon IV/69, Jatimulyo Yogyakarta 55241

Redaksi telah melakukan klarifikasi secara tertulis pada Rifka Annisa WCC. Pemuatan surat protes ini adalah bagian dari mekan isme hak jawab dari nara sumber yang merasa dirugikan.

mohon DermawanPartisipasi

Assalamu’ alaikum Wr. Wb.

Dengan ini saya atas nama kepala Madrasah Ibtidaiyah YaPPI Cipawon II, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Pur balingga, jawa Tengah mohon bantuan kepada para dermawan di seluruh tanah air untuk menyumbangkan buku, uang maupun peralatan sekolah guna menun jang kegiatan belajar-mengajar di sekolah kami. adapun bantuan dapat dikirimkan melalui rekening BRI No: 33-22-3316 atas nama Sakijan, a.Ma.

Sedangkan bantuan berupa buku atau pun peralatan sekolah dapat dikirimkan langsung ke alamat sekolah kami: MI YaPPI Cipawon II RT 06 RW 01 Cipawon, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbal ingga, jawa Tengah 53382.

a tas kesediaan dan kerelaan para dermawan kami sampaikan ucapan terima kasih dan atas dimuatnya surat ini kami do’akan kepada allah SWT semoga ma jalah HIMMAH tetap jaya dan dicintai ummat. amin.

Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.

Sakijan, A.Ma Yayasan Pendidikan dan Penyiaran Islam (YAPPI), Cipawon II, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah 53382

berlangganan hImmAh

Dengan ini saya beritahukan bahwa pada tahun 1979 dan 1980, saya pernah berlangganan Majalah MUHIBBAH.

Dan untuk selanjutnya saya ingin ber langganan kembali. Oleh karena itu saya mohon konfirmasi berapa harga langganan untuk bulanan, triwulan, enam bulan dan tahunan dan uang berlangganan apakah boleh dikirimkan melalui pos wesel.

Demikian surat dari saya dan saya mo hon surat balasannya, dikirimkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

M. Hairudin, SE Jl. Yos Sudarso No. 24 RT. 009 RW. 03 (Be lakang Mess Propinsi Kalimantan Timur) Balikpapan 76111

lowongan Kerja

Sungguh ironis, jumlah penggang guran di Indonesia per 28 januari 2002 sudah sekitar 50 juta jiwa, dan lowongan pekerjaan semakin sulit. apa yang diharap rakyat sekarang amatlah sulit, sebab pemer intah lupa memikirkan keadaan kehidupan rakyatnya.

Maka kami menawarkan kepada masyarakat luas suatu lowongan peker jaan, tanpa memandang pendidikan, suku, ras, agama, jenis kelamin. asalkan berusia 16 tahun keatas. Bagi anda yang berminat, silahkan menghubungi kami dengan mela mpirkan prangko balasan.

ANDI MASNIATI

CONSULTANT MUHAIMIN DEPT.

Jl. Seikaya No. 15 RT. 02 RW. 02 Kel. Caile Kab. BULUKUMBA PO BOX.87 MD/BULUKUMBA 92511

Pendataan Alumni muhIbbAh/hImmAh

Assalamualaikum Wr. Wb.

Kami l PM h IMM ah UII saat ini sedang melakukan pendataan kembali para alumni MUhIBBah/hIMMah dari periode 1967 hingga 2001.

Rencana ke depan kami akan mengadakan reuni keluarga besar MUhIBBah/ hIMMah untuk keseluruhan periode. Un tuk itu kami mengharapkan para pembaca yang kakak, adik, suami dan istri atau kera batnya alumni MU h IBB ah / h IMM ah dapat segera mengirimkan data pribadi dengan alamat terbaru.

Data dapat dikirim ke alamat l PM hIMMah UII jl. Cik Di Tiro no. 1 Yo gyakarta 55223, fax. (0274) 563207 atau melalui alamat e-mail kami: himmah_me dia @mailcity.com. Informasi lebih lanjut dapat anda akses di web site kami: more. at/himmahonline

a tas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Pusat Informasi dan Data LPM HIMMAH UII

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [ASSALAMU’ALAIKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

mEnCARI RobInhooD

DI SARAng KoRuPToR

MaSIh

terbayang jelas di ingatan bangsa Indonesia bagaimana raja-raja pribumi dulu tunduk pada kompeni, Belanda. Tiga abad lebih bangsa ini dijajah Belanda. Pada kurun waktu itu, tak sedikit raja-raja daerah yang memeras keringat rakyatnya demi kelangsungan jabatan kekuasaan–pemberian kompeni. Semakin pandai raja menyenangkan hati kompeni, semakin besar jaminan untuk tetap menjabat menjadi raja. Mereka tak segan-segan me naikkan upeti yang harus dibayarkan rakyat demi kepentingan eksistensi jabatan. Rakyat, kepada siapa raja seharusnya mengabdi malah dikorbankan.

atas pertimbangan realitas demikian, saat rakyat Indonesia mengumandangkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pendiri negara ini (founding fathers) meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Seraya memformulasikan konstitusi negara berdasarkan demokrasi Pancasila. Dengan tegas disebutkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Ketegasan tersebut menyiratkan pesan agar siapa saja yang memerintah negeri ini mengabdikan dirinya pada rakyat, bukan pada negara ataupun instansi lain–termasuk pada lembaga donatur bilateral maupun multilateral.

Pasca kemerdekaan, rezim Orde Baru telah menyimpang dari konstitusi negara. Pembangunan negeri ini tidak lagi bertumpu dari dana dalam negeri, melainkan mengandalkan bantuan utang dari donatur asing, baik bilateral maupun multilateral. Semenjak itu memang pertumbuhan ekonomi meningkat pesat. Soeharto pun mendapat sebutan bapak pembangunan. Dan Indonesia sempat digolongkan sebagai kandidat macan asia. Belakangan, utamanya pasca Soeharto dilengserkan dari jabatan Presiden RI, bangsa ini menjadi tahu bahwa pembangunan yang selama ini dibanggakan terbukti rapuh.

Pada saat negeri ini diterjang badai krisis moneter, Soeharto justru mengundang IMF. Sejarahpun ke mudian menyaksikan utang yang menjadi tanggungan pemerintah melonjak tajam aki bat rekomendasi dari IMF. Besarnya utang tersebut jika dihitung menjadikan setiap rakyat negeri ini menanggung utang lebih dari 7 juta rupiah. Dampaknya, pemerintah terpasung kepentingan di balik utang daripada mengabdikan diri pada rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat mulai tergadaikan dengan kepentingankepentingan di balik utang.

Pemerintah kita sekarang tampaknya juga tak mau bersusah payah dengan segera keluar dari jeratan utang. Kebijakan dalam bidang ekonomi misalnya, dinilai banyak pengamat sangat mini malis–jauh dari upaya merebut kembali kendali perekonomian dari tangan-tangan kreditor pemberi utang. Dengan mengingat sejarah seperti penulis uraikan di atas, sikap pemerintah seperti menjual aset

strategis negara–PT. Indosat, kurangnya political will menghapus KKN, dan banyaknya kasus penyelundupan, seperti diberitakan media massa belakangan ini, dapat dipahami sebagai bentuk pengga daian kepentingan rakyat untuk kepentingan para kreditur negara. Dengan mengambil kebijakan tersebut, memang pemerintah tanpa bersusah payah dapat menutup defisit anggaran dengan meminta tambahan modal dari forum CGI. Toh yang menanggung beban juga bukan presiden yang berkuasa saat ini, tapi presiden setelahnya. Selain itu, kepentingan pribadi dan partai-partai terkorup dalam pengamatan Kwik Gian Giek, malah diuntungkan. Dengan logika seperti itu, sejarah raja pribumi mengabdi pada kompeni Belanda menemukan relevansinya kembali.

Dalam situasi dan kondisi demikian, saat ini peran Kevin Costner dalam film Robinhood benar-benar dibutuhkan. Sosok yang mampu menggugah kesadaran rakyat yang tertindas dan menggerakkan mereka untuk memperbaiki keadaan, mengem balikan kedaulatan di tangan rakyat. Peran Robinhood ini dapat dimainkan oleh siapa saja. Mahasiswa yang mengklaim sebagai agent of chance dapat menjadi pelopor. Dengan dukungan segenap civitas akademika, para intelektual, dan tokoh masyarakat, merupa kan suatu keniscayaan kedaulatan rakyat dalam arti sesungguhnya dapat dikembalikan.

Pertanyaannya adalah benarkah mahasiswa sekarang mau dan mampu memerankan peran Robinhood? Dalam ajaran Islam, hubbul wathoni minal iman (cinta–dengan memperjuangkan kedaulatan negara itu bagian dari keimanan). jadi tidak saja mahasiswa yang dituntut, tapi siapa saja yang peduli terhadap nasib bangsanya.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 
. . . . . . . . . . . . .

PEmIlu TRAnSFoRmATIF

SEjUMlah

gagasan ideal tentang pemilu mengalami deteorisasi dan anomalie ketika diletakkan dalam konteks Indonesia. Di zaman Orde Baru pemilu tidak mencerminkan sebuah proses elektoral (kompetisi dan partisipasi) yang otentik dan bermakna, kecuali hanya sebagai alat mobilisasi dan justifikasi kekuasaan rezim Soeharto.

Pasca Orde Baru, Pemilu 1999 ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Memang proses pemilu 1999 lebih demok ratis ketimbang pemilu-pemilu di zaman Orde Baru. Tetapi pasca pemilu hingga sekarang ternyata tidak membuahkan demokrasi yang lebih baik dan kokoh. Masyarakat justru berhadapan dengan oligarki elite yang korup, saling berebut dan berbagi kekuasaan, tidak responsif dan tidak akuntabel. Masyarakat juga trauma den gan janji-janji kosong yang diobral para politisi ketika kampanye pemilu 1999. Dan, seruan ”Golput” dan ”Boikot Pemilu” dari para aktivis prodemokrasi sebagai bentuk sikap skeptis mereka cukup beralasan.

Salah satu penyebab anomalie pemilu selama ini adalah keti adaan visi dan misi bersama, untuk apa pemilu digelar. Undangundang memang telah menggariskan bahwa visi-misi pemilu adalah untuk mengawal pergantian kekuasaan dan mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Tetapi visi-misi itu hanya bersifat normatif di atas kertas. Secara empirik, antara partai politik dan rakyat sebagai konstituen mempunyai logika yang berbeda dalam memandang pemilu. logika utama partai adalah menggunakan pemilu untuk memobilisasi dukungan rakyat sekaligus untuk me raih kekuasaan dan kekayaan. Bagi politisi kelas teri, partai dan pemilu adalah ”lowongan kerja”, tempat mereka mencari kerja dan sarana mobilitas sosial.

Rakyat, sebagai obyek pemilu, mempunyai logika yang be ragam. ada yang menilai bahwa pemilu sebagai proses untuk membangun pemerintahan yang demokratis. Pada level yang lebih rendah, ada yang menganggap pemilu sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi dan tuntutan rakyat melalui partai. Tetapi banyak elemen rakyat Indonesia yang memperlakukan pemilu sebagai ”ajang pesta” secara kolosal, misalnya sebagai ajang untuk berlomba mobilisasi massa maupun keras-kerasan suara knalpot, memperoleh atribut-atribut partai secara gratis, menerima sembako atau sekadar uang bensin. Ketika pemilu usai, pesta pun berakhir. Rakyat akhirnya merana dan tertipu oleh kelakukan politisi setelah mereka memperoleh kekuasaan dan kekayaan.

Secara teoretis partisipasi politik rakyat sebenarnya jauh lebih penting ketimbang kompetisi antar politisi dalam pemilu. Tetapi sayangnya partisipasi politik hanya menempatkan rakyat sebagai obyek yang ambil bagian atau menggunakan hak pilihnya, bukan dalam konteks sebagai subyek yang menentukan. Para analis politik selalu menyuarakan bahwa proses pemilu akan membuahkan hasil yang baik bila partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya bersifat rasional-otonom, dengan referensi integritas kandidat dan kualitas program partai. argumen ini sangat lemah dan tidak rel evan dengan konteks anomalie pemilu di Indonesia, karena menilai partisipasi hanya sebagai urusan individual dan mikro. Indonesia sekarang tentu tidak hanya butuh partisipasi rakyat dalam bentuk hak pilih secara individual, tetapi partisipasi kolektif rakyat untuk mendobrak kekuasaan yang oligarkhis dan korup.

Karena itu saya mengedepankan sejumlah argumen penting menuju pemilu transformatif. Pertama, menggeser wacana pemilu yang berpusat pada partai kepada wacana yang berpusat pada masyarakat. analisis politik harus digeser dari sistem dan prosedur pemilu, kalkulasi peta kekuatan partai dan prediksi perolehan suara dalam pemilu, menuju pemetaan problem dan potensi kekuatan partisipasi masyarakat. Saya sangat yakin bahwa analisis politik konvensional yang berpusat pada partai hanya akan memberi man faat kepada partai, misalnya analisis itu akan digunakan sebagai referensi partai untuk mengatur strategi pemenangan dan mobilisasi massa. Sebaliknya analisis politik yang berpusat pada masyarakat akan mempunyai kontribusi terhadap penguatan masyarakat dalam pemilu. Seruan-seruan yang memperkuat partisipasi politik harus diperkeras untuk melawan logika-logika kekuasaan yang dikede pankan partai, serta memaksa partai lebih sensitif dan mempunyai komitmen pada suara rakyat.

Kedua, mengeraskan suara-suara kritis rakyat biasa (ordinary people) untuk menolak kehadiran politisi (calon pemimpin) yang selama ini terbukti tidak punya visi, korup, dan berdosa. Rakyat Indonesia tidak boleh silau dan terpesona pada para politisi kon dang yang hanya mengandalkan kebesaran nama atau kemampuan simbolik tetapi tidak becus, tidak punya visi, apalagi telah terbukti berdosa. Rakyat Indonesia harus berani dan kritis menentukan pemimpin yang transformatif, visioner, bersih dan berani men gambil risiko.

Ketiga, membuat pemilu 2004 bukan sekadar ajang kompetisi politisi dan mobilisasi massa, melainkan sebagai arena baru untuk ”kontrak sosial” antara partai dan rakyat konstituen. Ruang-ruang publik harus diperluas dan diisi dengan wacana tentang visi Indone sia baru jangka panjang dan suara-suara kritis masyarakat terhadap partai maupun pemerintahan. Kampanye pemilu, misalnya, jangan sampai hanya menjadi ajang ”obral janji” politisi tetapi harus menjadi langkah awal kontrak sosial jangka panjang antara partai dengan konstituen. Kontrak sosial digunakan untuk membangun visi bersama, memastikan agenda perubahan, menguji kapasitas dan integritas partai, menuntut tanggungjawab dan konsistensi partai, memastikan traktat dan hukuman-hukuman yang harus diterima oleh partai yang tidak akuntabel, serta memastikan hakhak masyarakat untuk menghukum pejabat publik yang berdosa. Masyarakat jangan sampai memberikan mandat kepada politisi atau partai tertentu jika proses dan substansi kontrak sosial tersebut belum tercapai.

Keempat, memperkuat gerakan sosial masyarakat sipil (civil society) sebagai basis partisipasi politik rakyat dan basis kontrak sosial antara partai dengan konstituen. Gerakan sosial bisa diawali dengan menggalang koalisi masyarakat sipil (NGO, kampus, pers, mahasiswa, dan lain-lain) untuk mewujudkan pemilu transformatif. Koalisi bisa digunakan sebagai basis untuk pemantauan pemilu, pendidikan rakyat, perluasan ruang-ruang publik, penolakan ter hadap politisi bermasalah, mengeraskan suara-suara kritis rakyat, memperkuat partisipasi rakyat, dan lain-lain. Tantangan utama koalisi masyarakat sipil ini adalah membuat gerakan sosial lebih massif, bukan hanya mencakup elemen-elemen kelas menengah kota melainkan juga harus mampu menggandeng rakyat biasa yang hidup di desa.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [KOMENTAR]
. . . . . . . . . . . . . . .

malas meneliti Sempit Wawasan

Budaya kecendekiawanan masih sulit untuk menjadi kebiasaan bangsa kita. Pun demikian dengan minat meneliti di dalam dunia kemahasiswaan. Banyak hal yang menjadi penyebab persoalan itu.

RUaNGaN

itu berukuran sempit dan sederhana. Cukup lama HIMMAH mencarinya, karena terletak paling pojok, jauh dari jangkauan pandangan mata. hanya satu-dua mahasiswa yang mengetik di depan komputer. Di sebelahnya terpajang tropi penghargaan di atas rak buku yang cukup padat. Begitulah kantor sekretariat Kelompok Penelitian Mahasiswa Univer sitas Muhammadiyah Yogyakarta (KPM UMY).

Wajar kiranya jika kantor kelompok penelitian mahasiswa kebanyakan sepi karena aktivitas penelitian di kalangan mahasiswa terbilang rendah. ” a nimo penelitian mahasiswa masih sangat minim,” kata Wuri, Ketua KPM UMY. ”Padahal sudah ada jaminan alokasi dana dari universitas untuk penelitian dan sudah terpublikasikan,” lanjut Wuri.

Pemandangan di KPM UMY itu bisa dibilang mewakili kondisi lembaga-lem baga serupa di perguruan tinggi lain yang ada di Yogyakarta, seperti di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Islam Indonesia (UII).

”Bagai menegakkan benang basah,” demikian kata pepatah. Ternyata begitu pula yang dialami kelompok penelitian mahasiswa ini. ”Kita sempat jatuh bangun ketika memperjuangkannya karena dulu masih informal,” kenang anis, koordinator kelompok penelitian di UNY ini kepada HIMMAH

Di UNY seperti yang dituturkan oleh a nis, pihak universitas memang mem berikan dukungan dengan kegiatan-kegia tan yang sifatnya ilmiah. Dukungan itu bisa berupa kebijakan dan dukungan finansial. hal ini dibenarkan oleh pihak Pembantu Rektor III (PR III) UNY yang membawahi bidang kemahasiswaan. Dukungan ini di realisasikan berupa beasiswa untuk yang berprestasi dan disediakannya pembimbing yang proaktif membantu permasalahan di kelompok penelitian milik mahasiswa.

Sehingga, mereka dapat produktif dalam berkarya.

Dengan statusnya yang resmi tentu fasilitas yang dibutuhkan lebih mudah disediakan oleh kampus. Tapi tidak semua kelompok penelitian mahasiswa bisa bersta tus formal atau terlembaga secara resmi seperti KPM UMY. Misalnya di UGM, kelompok peneliti mahasiswanya baru saja berhasil dilembagakan. ”Kita harus m e nunggu SK rektor, SK itu untuk di jadikan semacam lembaga,” kata Bambang, Koordinator Kelompok Studi Mahasiswa UGM (KSM UGM) sebelum organisasinya dilembagakan secara formal.

”Kita ada uji kelayakan dua tahun ha rus memenuhi standarisasi, waktu tersebut untuk berkarya, kalau tidak bisa, maka akan gagal katanya,” ujar Bambang yang men u turkan keinginan agar KPM-nya bisa mengejar prestasi di bidang peneli

tian. ajang untuk menguji prestasi dalam penelitian di dunia kemahasiswaan yang terkenal sampai sekarang adalah lewat lomba Karya Tulis Ilmiah (lKTI).

Kendala dan Kreatifitas

Persoalannya untuk menorehkan pres tasi dalam penelitian membutuhkan banyak faktor pendukung. Bukan sebatas pada bentuk formal dan informal kelompok peneliti mahasiswa. Walaupun kasus tiap universitas berlainan, umumnya persoalan klasik dana dan minat mahasiswa yang rendah untuk meneliti menjadi kendala.

Di sisi lain terkait juga dengan ke bijakan kampus, meliputi dukungan moral yang berpengaruh pada terciptanya iklim kecendekiawanan. Pihak universitas pun seharu s nya memberi stimulus, akses informasi, serta transparansi mekanisme guna melakukan aktivitas yang bersifat ilmiah. ”Tidak ada pengkaderan ataupun

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [KEMAHASISWAAN]
penelitian di Laboratorium. Baru sebatas untuk skripsi Ujang Priatna HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . .

pembinaan yang baik dan intensif terhadap mahasiswa yang mau ikut lomba pene litian,” keluh Bambang. ”Rata-rata yang mengambil penelitian hanya mahasiswa yang mau Tugas akhir,” lanjutnya. ”Den gan fasilitas pun belum cukup tanpa ada bimbingan,” imbuh Teguh, Ketua Kelom pok Studi Farmasi UII (KSUFI). artinya memang dukungan moral dan finansial dari universitas akan mendorong peningkatan kegiatan penelitian mahasiswa, sekaligus budaya riset di dalam kampus.

Menanggapi seputar permasalahan tersebut Ir. Bachnas, M.Sc, PR III UII mengatakan, ”jangan kita selalu menya lahkan kebijakan kampus dan mengkam binghitamkan, sementara kita bersembunyi di belakangnya tanpa melakukan apapun.” Bachnas juga menambahkan bahwa UII sudah mengumumkan prosedur pengajuan proposal penelitian dan publikasi kegiatan bagi mahasiswa yang berminat, lewat PD III di tiap fakultas. Tapi ternyata masih sedikit yang berminat dan kurang greget, padahal seharusnya mahasiswa sendiri yang punya inisiatif. ”jangan minta digiring terus,” kata Bachnas kepada HIMMAH di ruang kerjanya.

Konstruksi Paradigma Pendidikan Menengok realitas yang memprihatin kan dengan sedikitnya animo mahasiswa dalam riset ilmiah, yang berimbas luas pada miskinnya budaya meneliti merupakan ciri mendasar akan cacatnya sistem pendidikan

yang dibangun. Pengembangan kurikulum riset merupakan pondasi utama yang harus dibangun.

Wajarlah ketika mahasiswa serta merta mengerutkan dahi ketika mendengar kata penelitian, image yang terpatri dalam benak mereka bahwa penelitian adalah hal yang rumit, kaku, berpikir berat, membutuhkan tingkat intelegensi yang tinggi. ”adanya kelompok penelitian seperti bumerang, bukannya menimbulkan ketertarikan, mahasiswa malah fobia,” kata anis, Ketua KPM di UNY. ”Kuliah saja sibuk apalagi untuk meneliti, mereka malah lebih suka kegiatan yang sifatnya fun dan rekreatif,” lanjutnya.

atmosfer yang dibentuk kampus me mang penting untuk mendorong minat meneliti sekaligus membentuk budaya riset bagi mahasiswa. Selama ini meneliti hanya sebatas pada pemenuhan target untuk mencapai gelar kesarjanaan, lewat skripsi. Bahkan dalam penyusunan skripsi pun bukan hal yang aneh sering terdengar keluhan mahasiswa dalam pemahaman terhadap metodologi penelitian. Dengan fakta ini seharusnya mahasiswa menggugah kesadarannya, melakukan pengembanganpengembangan individual bukan hanya secara institusional. Bisa dengan meli batkan diri dalam organisasi yang bersifat independen. Tentu akan lebih baik jika perguruan tinggi yang memfasilitasinya.

Namun persoalannya tidak seseder hana itu. Karena format perguruan tinggi

di tanah air umumnya tidak didisain se bagai research university. ”Kampus tidak bisa menciptakan mahasiswa-mahasiswa peneliti di dalamnya karena memang terdisain secara konsep bukan diciptakan sebagai wadah penelitian,” kata Dr. Irwan a bdullah, koordinator peneliti di Pusat Studi Kependudukan UGM. ”Definisi universitas Indonesia umumnya, di jogja khususnya, adalah teaching university ,” tandas Irwan.

akibatnya kunci dari universitas dilihat pada perolehan gelar, kehadiran kuliah, absensi, cepat selesai, dan masuk dunia kerja. akhirnya indikator dari keberhasilan mahasiswa ditonjolkan dengan perolehan IP, nilai akademis menjadi tujuan paling utama. Budaya pragmatisme pun meram bati mahasiswa, apalagi pada minat peneli tian sebagai aktivitas di luar kuliah. ”Saya punya tesis bahwa rendahnya animo ma hasiswa meneliti merefleksikan kepedulian sosialnya yang rendah, lebih suka kepada isu-isu besar politik, demonstrasi, namun sedikit yang minat ke isu-isu kemiskinan, kaum marjinal,” tandas Dr. Irwan abdullah. Bermula dari format pendidikan lama yang berimbas pada rendahnya animo pene litian mahasiswa. Untuk itu dibutuhkan perombakan secara fundamental di dalam nya mahasiswa tidak hanya termangu oleh mitos kebenaran teks yang diajarkan namun punya daya kritis. Dengan tingginya komitmen pengembangan keilmuan tidak mustahil indonesia kini keluar dari status

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [KEMAHASISWAAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [MR. X] HENDRA WIRAWAN

balada utang Kita

Pa D a mulanya orang-orang Eropa (Belanda) datang ke Indonesia un tuk berdagang, mencari rempah-rempah kemudian menjualnya. lambat laun, sikap serakah mengajak mereka untuk tidak puas dengan sekedar berdagang. Sejarah pun memberi kesaksian, mereka melakukan segala upaya–mulai dari membodohi pen guasa setempat, mengadu domba, mengim ing-imingi uang–untuk menguasai wilayah kita yang memang menghasilkan rempahrempah melimpah. Buah ketidaksadaran kita akan ancaman tersebut, sekitar 350 tahun kita dijajah oleh bangsa lain. dalam kurun waktu itu rakyat dipaksa kerja, membayar upeti, menjadi budak di negeri sendiri.

Kini, meskipun negeri ini telah dinyata kan merdeka, rakyat masih memendam rasa khawatir: benarkah kita telah merdeka? Utang kita sekarang sudah mencapai 150 miliar dollar amerika. Untuk membayar

bunga dan cicilannya saja, pemerintah kesulitan. anggaran pendidikan, kesehatan, dan anggaran pembangunan lainnya terpak sa disunat, dikorbankan untuk membayar utang. Kita, rakyat, tidak jelas untuk apa saja pemerintah meminjam utang yang demikian besar itu. Yang jelas kebocoran utang diperkirakan 20 persen, banyak bantuan utang salah sasaran. Utang kita juga mengikat, membuat kita tidak lagi merdeka atas kebijakan untuk dan di negeri sendiri. apakah yang demikian itu bukan penjajahan?

Sebagaimana dagang, utang memang ”netral”. Tapi perlu diketahui utang kita tidak bebas dari kepentingan. artinya, ke tika kita meminjam utang, sebenarnya kita telah mengurangi kemandirian. Semakin banyak berutang berarti semakin kita ter gantung pada siapa yang memberi pinja man. Bahkan untuk ”menolak panggilan utang” pemerintah keberatan. Padahal jelas

utang kita tidak lagi efektif untuk pemban gunan negeri ini.

Sekedar contoh akibat proyek utang luar negeri, warga waduk Kedung Ombo terjebak konflik, dilaporkan dalam Meng gantung Harapan Orang Kedung Ombo Utang luar negeri berupa program ser ing tidak menye n tuh sasaran, reportoar dari lapangan soal proyek itu dirangkum dalam Kemiskinan itu Tak Kunjung Terentaskan. Skema kerugian yang kita derita ditampilkan di Horor Utang Luar Negeri lantas mengapa pemerintah kita tetap saja menambah utang akan dipaparkan dalam Pemerintah Bertindak, Rakyat Menang gung Beban

Rangkaian laporan tersebut, jika dia mati tak jauh beda dengan narasi sebuah balada. Sebait cerita rakyat yang meng harukan. Balada tentang utang kita. Rakyat tak tahu utang itu untuk apa, tapi menang gung akibatnya.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [LAPORAN UTAMA]
M. Ali Prasetya / HIMMAH

menolak Panggilan utang

Utang adalah pekerjaan paling mudah. Enak di muka, menjerat di belakang hari. Begitu juga dengan utang luar negeri di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Melanggengkan ketergantungan.

COPET

Garong Indonesia, demikian singkatan baru buat CGI yang diteriak kan oleh sekitar 300-an pengunjuk rasa di Yogyakarta, 20 januari 2003 lalu. De monstras i yang menyambut pertemuan Consultative Group for Indonesia di Ge dung agung Yogyakarta itu sendiri sempat diwarnai bentrokan antara para pengunjuk rasa dengan aparat lokal. Copet Garong Indonesia? Ya, demikian sikap yang ditu turkan oleh beberapa peserta aksi.

Tentu saja ada alasan yang argumen tatif dari peserta aksi yang dimotori oleh beberapa elemen gerakan mahasiswa Yog yakarta untuk mengeluarkan akronim yang terdengar sarkastis itu. CGI sendiri mem punyai sejarah panjang, berkaitan dengan kritik atas sejarah terjadinya krisis utang yang membelit Indonesia.

Pada mulanya adalah Inter Govern mental Group on Indonesia (IGGI) yang didirikan pada 1967. Oleh Soeharto karena dianggap terlalu banyak ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Indonesia, IGGI dibubarkan pada 1992. Sebagai gantinya, terbentuklah CGI yang merupakan kon sorsium negara negara pendonor bilateral, maupun lembaga keuangan internasional multilateral. Utang CGI yang berasal dari donor bilateral datang dari amerika Serikat, Belanda, jepang, Inggris, Perancis, jerman, a ustralia, Kanada, dan Italia (negaranegara G-7). Sedangkan utang CGI yang mengucur dari donor multilateral datang dari Bank Dunia, Dana Moneter Interna sional (IMF), Bank Pembangunan asia (aDB), dan UNDP.

Negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional inilah yang mem berikan pinjaman dana setiap tahun kepada Indonesia. Dimulai sejak tahun 1967, utang Indonesia mempunyai catatan panjang. Utamanya sejak pergantian rezim dari Orde lama ke Orde Baru di bawah Soeharto yang terkenal dengan proyek developmen tal state -nya. ”Yang menciptakan utang

itu adalah rezim Orba. Yang pada awalnya dianggap salah satu jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan,” kata Prof.Dr. Didik j. Rachbini, ekonom Institute Develop ment of Economic and Finance (INDEF) kepada HIMMAH. Didik sendiri pernah menulis buku Resiko Pembangunan yang Dibimbing Utang. Pergantian pemerinta han tidak banyak berarti dalam kebijakan utang luar negeri. Karena utang yang dibuat pem e rintah lama ditandatangani untuk pengembalian dalam jangka panjang. Dari satu pemerintah ke pemerintah yang lain saling melanjutkan. Begitu juga dengan era pemerintahan Megawati- h amzah h az. a lternatif pendanaan pembiayaan pembangunan dengan utang luar negeri tetap menjadi pilihan utama. Wawancara yang dilakukan HIMMAH dengan Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangu nan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menun jukkan hal tersebut. ”Dana pinjaman luar negeri memberikan peluang yang lebih besar pada negara untuk melakukan lebih banyak investasi di dalam negeri,” tulis h eriyadi, h umas Bappenas menjawab wawancara tertulis dari HIMMAH

Dalam sistem ekonomi makro sebuah negara, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan diambil dari tabungan domestik. jika tabun gan domestik tak cukup, pilihannya adalah mengurangi tingkat investasi yang berarti kehilangan peluang untuk memperbesar kapasitas ekonomi nasional. Oleh sebab itu ditolehlah alternatif utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan sehingga investasi di dalam negeri tak terganggu.

”Utang itu sesuatu yang netral, jangan dikira utang itu sesuatu yang jelek, sepan jang itu kita manfaatkan sesuai dengan peruntukan dan kemampuan kita,” papar

Drs. Edy Suandi hamid, M.Ec, dosen ju rusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi UII.

Sejarah Utang Luar Negeri Istilah bantuan asing–bahasa halus utang luar negeri–pertama kali muncul sete lah Perang Dunia II, pada 1940-an. amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dunia II mempunyai pemikiran untuk memberikan bantuan kepada sekutunya, negara-negara Eropa Barat yang porak-poranda akibat perang. Bantuan ini bisa diartikan sebagai salah satu bentuk solidaritas. lewat ide Marshall, menteri luar negeri a merika Serikat ketika itu, lahirlah Marshall Plan. Pada waktu itulah didirikan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang merupakan cikal bakal la hirnya Bank Dunia ”jadi ada IBRD yang khusus didirikan untuk membantu negaranegar a Eropa Barat untuk membangun negara mereka kembali,” papar Poppy S. Winanti, staf pengajar jurusan Ilmu hubun gan Internasional, Fisipol UGM. ”Nah, ini awal dari munculnya istilah bantuan asing,” lanjut Poppy dalam diskusi soal sejarah kemunculan utang luar negeri yang diselenggarakan oleh HIMMAH

Konstelasi politik pun berubah, ditandai dengan adanya Perang Dingin antara blok barat dengan blok timur, begitu juga den gan munculnya negara-negara yang baru merdeka (new born countries). Keberhasi lan bantuan asing dalam merekonstruksi negara-negara Eropa Barat ini ingin di ulangi lagi oleh amerika Serikat pada ne gara-negara dunia ketiga. Dengan strategi top down model, dimana semua hal yang berkaitan dengan bantuan dana ditentukan oleh negara pemberi. Penekanan model ini adalah mendorong pembangunan di negara berkembang dengan penyediaan infras truktur dan bantuan teknis. Pertumbuhan ekonomi didorong setinggi-tingginya.

0[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

” a rgumen yang mendasari strategi ini adalah teori-teori modernisasi,” kata Poppy. Teori modernisasi sendiri kental mendasari ide-ide soal pembangunan di negara-negara dunia ketiga.

Motivasi politik sangat erat mengikuti periode awal sejarah bantuan asing ini. Bantuan asing dijadikan instrumen politik bagi negara adikuasa yang sedang gencargencarnya berebut pengaruh dalam perang dingin. ”CGI itu terbentuk tahun 1967 den gan nama IGGI, itu kan kepentingan politik negara-negara barat, mereka ingin menarik Indonesia tidak ke blok timur lagi, tapi ke blok barat,” ujar Edy Suandi hamid.

Bantuan asing kepada negara dunia ketiga inipun sukses, seperti halnya ke berhasilan Eropa Barat dengan program Marshall Plan. Walaupun demikian muncul kritik tajam seiring dengan meningkatnya kesenjangan di dalam negara-negara pen gutang.

Strategi top down model dengan kele mahan-kelemahan yang mengikutinya direvisi oleh negara-negara maju, terutama a merika Serikat dengan memunculkan strategi egalitarian bottom up yang ingin

mengkombinasikan antara pertumbuhan dan kesetaraan dengan jalan mengurangi kemiskinan supaya berkontribusi terhadap pembangunan dan bukan menjadi beban bagi proses pembangunan. Orientasinya adalah pemenuhan kebutuhan dasar dan pengentasan kemiskinan (poverty oriented). Munculnya model ini dilatarbelakangi oleh kegagalan amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Pelajaran berharga buat amerika Serikat ketika di awal Perang Vietnam, dukungannya kepada elite politik Vietnam Selatan tanpa mempertimbangkan kebutu han atau kepentingan masyarakat di sana. akhirnya ini memberikan ”pencerahan” bagi amerika Serikat ketika mereka ingin memberikan bantuan kepada negara-negara lain, mereka mulai memikirkan bagaimana memasukkan atau mempe r timbangkan kemauan dari masyarakat banyak.

Meski sudah ada revisi terhadap model egalitarian bottom up, namun tetap muncul kelemahan baru. Kritik yang muncul adalah meningkatnya ketergantungan negara dunia ketiga kepada negara maju. hal itu dipicu oleh banyaknya penyelewengan dana. alih-

alih mengentaskan kemiskinan tapi yang terjadi utang itu dikorupsi oleh pihak-pihak yang dipercaya untuk mengelolanya. Be gitu juga dengan banyaknya ”salah sasaran” pada program-program bantuan asing. Ke gagalan proyek dan inefisiensi utang luar negeri banyak terjadi dimana-mana. Kasus inilah yang secara besar-besaran menimpa Indonesia. Tanpa menafikan pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan yang berhasil dilakukan, tak kalah banyaknya temuantemuan kegagalan proyek yang menggu nakan utang luar negeri ini. ambil contoh jaring Pengaman Sosial (jPS). Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan pada tahun 2000 menunjukkan probabilitas orang miskin dan orang kaya dalam memperoleh bantuan jPS cenderung sama. Penelitian oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) terhadap proyek utang Bank Dunia dalam bentuk Nusa Tenggara Agriculture Area Development Program (NTaa DP) dan Sulawesi Agriculture Area Development Program ( S aa DP) menunjukkan hasil yang mengenaskan. Warga Desa Kembang

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
Demonstrasi Menentang pertemuan CGI di Yogyakarta. Kritik atas kebijakan utang luar negeri Indra Yudhitya
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . .

Kerang, Nusa Tenggara dan Mopu, Su lawesi tak mengira hasil jerih payah kerja sehari-hari mereka sesungguhnya hanya habis dipakai membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Warga kedua desa itu tengah terbelit utang kepada Unit Pengelola Kegiatan/Keuangan Desa (UPKD), karena menerima dana pinjaman. Kepada rakyat miskin di sana, Bank Dunia dan Pemer intah Indonesia menjanjikan peningkatan pendapatan, perbaikan k e sehatan, dan pendidikan. Tapi faktanya dengan dana itu kemiskinan tetap melilit, utang semakin bertumpuk.

Penelitian–yang kemudian oleh ICW dibukukan dalam Utang yang Memiskinkan– mengungkapkan Bank Dunia sebagai pemberi utang berdalih bahwa misi bantuan tak tercapai karena adanya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, administrasi yang buruk, korupsi yang merajalela, serta kualitas pelaksana la pangan yang rendah. Tuduhan itu benar adanya, namun penyimpangan yang terjadi tak bisa lepas dari konsepsi yang digunakan Bank Dunia dalam mengukur tingkat keber hasilan proyek hanya dari pengembalian pinjaman ( repayment ) sebagai indikator kesuksesan proyek. akhirnya rakyat miskin pun ikut terjebak dalam lingkaran utang yang tak berujung pangkal.

Proyek-proyek pembangunan infra struktur seperti Waduk Kedung Ombo pun menyisakan masalah yang pelik. Sampai kini proyek yang dibangun dengan nama jeratun Seluna ini masih dihantui tuntutan masyarakat yang dulu digusur. Seperti halnya proyek-proyek sejenis yang didanai utang dari Bank Dunia di negara-negara lain pun meninggalkan persoalan serupa. hal itu diamini oleh Dr. Nasikun, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM). ”Secara internasional kasus waduk yang dibuat oleh Bank Dunia itu yang bermasalah banyak sekali,” kata Nasikun yang juga menjadi mediator persoalan Kedung Ombo kepada HIMMAH. ”laporan rahasia Bank Dunia sendiri mengakui ada kegagalan dari pro gram Kedung Ombo,” lanjut Nasikun. hasil studi ICW dan Pusat Studi Ke pendudukan dan Kebijakan itu hanya sedikit di antara banyak kajian sejenis yang menunjukkan inefisiensi proyek-proyek yang didanai utang luar negeri. Salah sasaran, dikorupsi, dan yang paling me ngerikan menambah akumulasi jumlah total utang Indonesia. Data International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) menunjukkan bahwa total utang luar negeri Indonesia telah mencapai 150 miliar dollar aS. jumlah yang fantastis.

Penguatan Mekanisme Pasar Kelemahan model egalitarian bottom up seperti yang terjadi pada model-model sebelumnya, melahirkan strategi baru. Strategi itu adalah penguatan mekanisme pasar. Salah satu peristiwa penting yang melatarbelakangi strategi ini adalah ter pilihnya Margaret Tatcher di Inggris, dan Ronald Reagan di amerika Serikat. Kedua orang itu adalah pemimpin yang sangat

dalam rangka pemulihan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) mensyaratkan penandatanganan nota kesepakatan (loI) yang disebut sebagai program pemulihan ekonomi. Pada prinsipnya, point point LoI berisi ide-ide liberalisasi ekonomi yang menjadi bagian ideologi kapitalisme. Sebut saja, pengurangan subsidi, pencabu tan proteksi perdagangan, dan seterusnya. apa yang terjadi? Petani tebu dan beras

pro pasar. ”Ide dasarnya dari negara maju yang sudah biasa dengan free competition. Filosofi yang demikian juga ingin dijadikan ideologinya negara-negara berkembang,” demikian pendapat Drs. Edy Suandi hamid, M.Ec kepada HIMMAH.

Sekali lagi strategi penguatan mekanis me pasar ini pun mendapat kritik tajam, baik itu dari para pemikir di negara-ne gara barat sendiri, maupun pemikir dari negara-negara berkembang. Periode ini ditandai pula dengan munculnya arus besar neo-liberalisme yang merupakan wacana tanding atas kelompok pemikiran liberal reformis. Campur tangan negara terhadap pasar diharamkan, biarkan pasar mengatur mekanismenya sendiri. akan ada tangantangan ajaib ( the invisible hands ) yang bekerja secara alami.

Utang luar negeri yang dikucurkan oleh negara maju, terutama amerika Serikat mensyaratkan masuknya ide-ide liber alisasi itu sebagai prosedur agar negaranegara berkembang mendapat pinjaman dana. Contoh yang paling dekat Indonesia. Menjelang kejatuhan Soeharto dimana In donesia membuat kontrak utang luar negeri

bergelimpangan meratapi jatuhnya harga oleh serbuan gula dan beras impor dari luar negeri akibat pencabutan proteksi terhadap komoditas bahan makanan pokok ini. artinya, resep pemulihan ekonomi yang diberikan oleh IMF tidak banyak meringan kan kebangkrutan Indonesia akibat han taman krisis moneter pada 1998. Kedaula tan ekonomi politik negara pengutang pun terancam. lewat aturan-aturan dalam Pro gram Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Project), IMF banyak menge kang kebijakan negara pengutang.

Bahkan utang Indonesia bertambah karena pada November 1997, di bawah kebijakan IMF, Pemerintah Indonesia ter bebani utang dalam negeri dengan menang gung biaya rekapitalisasi perbankan.

Tak heran, jika Majelis Pe r musya waratan Rakyat (MPR) lewat GB h N menginstruksikan pada pemerintah untuk memutus kontrak dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada November 2003. Walaupun demikian, utang luar negeri Indonesia yang sudah terlanjur berjibun agaknya belum akan berhenti. Pasalnya meski telah putus kontrak dengan IMF, kita tetap membuat utang baru dengan CGI.

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Menolak Lembaga Donor Multilateral. Sulitnya melepas ketergantungan Indra Yudhitya
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri masih sangat besar. ”Dia (negara maju- red. ) punya tujuan karena dengan free competition pasar mereka menjadi luas, ketergantungan menjadi semakin tinggi,” tegas Edy Suandi hamid.

Dengan pasar yang semakin luas itu bisa ditebak bagaimana negara maju se makin mudah memasarkan produk industri dan pertaniannya yang sudah jenuh (over supply) di dalam negerinya sendiri. ”Seh ingga mereka pengusaha-pengusaha asing itu, mendapatkan untung besar tidak lewat bisnis, tapi lewat utang itu,” timpal Didik j . Rachbini. ”Sehingga produk-produk yang sudah kadaluwarsa, sudah dibuang di negara-negara lain, lalu disarangkan ke negara-negara berkembang kemudian itu menjadi uang,” lanjutnya.

Dalam perspektif strukturalis, tata ekonomi dunia yang timpang ikut melang gengkan krisis utang di negara dunia ketiga termasuk Indonesia. logika neo liberalisme

lian pokok dan bunga pinjaman berkembang lebih cepat daripada pendapatan ekspor, maka ketergantungan pada pinjaman luar negeri sulit dikurangi,” papar heriyadi. Oleh karena itu pinjaman luar negeri menu rut Bappenas harus dikurangi secara berta hap. Itikad baik dari pemerintah yang jika benar adanya, akan menumbuhkan setitik harapan bagi rakyat.

Alternatif Model Pembangunan

Walaupun secara teoritis utang ditem patkan sebagai sesuatu yang netral, pen galaman empiris Indonesia menunjukkan banyak implikasi negatif yang dituai. Muncul kemudian pemikiran-pemikiran mencari alternatif di luar utang luar negeri. Mungkinkah sebuah bangsa membangun kemandirian di tengah tata ekonomi dunia yang semakin terintegrasi secara luas dalam sistem kapitalisme global?

”Kemandirian mempunyai arti meng

jika negara-negara terbelakang (terutama negara agraris) ingin maju haruslah melaku kan industrialisasi. Untuk mewujudkannya perlu uluran tangan berupa modal dari negara-negara maju Rostow menyebutnya faktor eksternal. Maksud utang luar neg eri salah satunya adalah sebagai modal pembangunan. Munculah kemudian istilah kapitalisme negara induk dan kapitalisme negara pinggiran.

Yang terjadi kemudian kapitalisme negara pinggiran ini tidak mengalami kemajuan. justru negara-negara yang ter belakang dikuasai oleh kepentingan modal asing dan agen-agennya di negara tersebut, serta oleh kepentingan kaum pedagang dan tuan tanah. Sehingga munculah teori ketergantungan yang menjadi antitesis dari teori modernisasi. Salah seorang tokohnya adalah andre Gunder Frank, lewat bukunya Capitalism and Underdevelopment in Latin America, terbit pada 1967. Teori ketergan tungan menganjurkan pemutusan hubu ngan dengan kapitalisme dunia, dan mulai mengarahkan dirinya pada pembangunan yang mandiri.

Namun dengan munculnya negaranegara industri baru seperti jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, maka teori ketergantungan sedikit terbantahkan. Im manuel Wallerstein dengan teori sistem dunia-nya menambal kelemahan teori ketergantungan, bahwa kapitalisme global selalu memberikan peluang bagi negaranegara yang ada untuk naik atau turun ke las, artinya hubungan dalam tata ekonomi dunia tidak selalu merugikan negara dunia terbelakang.

sebagai turunan dari kapitalisme yang di paksakan bagi belahan dunia di luar negaranegara maju terbukti tidak selalu berhasil.

Sisi buruk utang selain melanggengkan ketergantungan, juga membelit negaranegara pengutang. Keduanya dikarenakan salah sasaran dari program yang dibuat ditambah lagi dengan penyelewengan serta korupsi dalam pelaksanaannya. ”Utang itu menjadi jelek kalau di luar kemampuan kita untuk membayar, kemudian utang itu dis alahgunakan,” tutur Edy Suandi hamid Bappenas sendiri sadar akan sisi buruk utang kita itu. ”jika kewajiban pengemba

gantungkan sustainibilitas pada kemam puan dan keberdayaan diri sendiri,” tutur heriyadi. ”Perekonomian yang self sustain ing lebih baik daripada yang bergantung pada perekonomian lain,” lanjutnya.

Di dalam diskursus ekonomi politik maupun multidisiplin tentang pemba ngunan, pemikiran soal model pembangu nan alternatif terus bergulir, seiring dengan krisis utang yang melanda banyak negara, terutama negara dunia ketiga.

arif Budiman dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga menulis teori modernisasi yang mendasari konsepsi pembangunan di awal abad menganjurkan

Terakhir, model pembangunan alter natif masih terus berlanjut, suatu penyem purnaan melahirkan tantangan baru. jeremy Rifkin misal, mencetuskan ide politik biosfer, antitesis terhadap politik geografis atau geopolitik yang mendasarkan diri pada kemandirian masing-masing negara supaya bisa bersaing dengan yang lainnya, dengan diselubungi konsep lama ekonomi persai ngan bebas. Konsep politik biosfer tidak didasarkan pada kebangsaan secara terpi sah-pisah, tetapi pada bumi sebagai sebuah kesatuan. Sedikit utopis memang, namun itulah salah satu harapan yang humanis.

3[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
Unjuk rasa Menolak Utang Luar negeri. Reaksi atas krisis yang menghimpit
M. Ali Prasetya / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/
[LAPORAN UTAMA]

horor utang luar negeri

DaMPaK

utang luar negeri Indonesia sungguh mengerikan. Bantuan berupa utang dari IMF misalnya, mengharuskan pemerintah Indonesia melaksanakan program penyesuaian struktural (Struk tural Adjustment Program). Studi dampak program penyesuaian struktural IMF (loIIMF) terhadap kondisi sosial ekonomi dan lingkungan hidup di Indonesia telah dilakukan Walhi. Berikut ringkasan hasil studinya tahun 2001.

Pada sektor publik menunjukkan ang garan negara tidak dapat menjadi stimulus pemulihan ekonomi, karena terlalu bias terhadap sektor perbankan dan pembaya ran hutang luar negeri. Komitmen negara dan alokasi anggaran terhadap sektor ling

Pada sektor perkebunan, makin tinggi nya ancaman konversi hutan alam menjadi kebun sawit. Sampai juni 2001, areal hutan yang telah dikonversi menjadi industri besar swasta kelapa sawit telah mencapai 2,7 juta hektar atau sekitar 80 persen dari areal kebun sawit swasta besar. Ekspansi kebun sawit itu justru semakin intensif pada saat krisis ekonomi, dan telah men capai 2,2 juta hektar atau hampir 90 persen dari total pertambahan kebun sawit secara keseluruhan.

Terakhir, hasil investigasi di Kaliman tan Timur dan Riau menunjukkan bahwa penebangan liar dan perdagangan kayu haram ke luar negeri terstimulasi sejak IMF memaksakan paket penyesuaian

dihimpit mahalnya biaya produksi dan murahnya harga jual panenan.

akibat lebih lanjut, para pemuda malas bekerja di sektor pertanian karena struktur ekonomi yang memiskinkan mereka. Pada hal di luar itu, lapangan pekerjaan semakin menciut. Karena besar pasak daripada tiang, maka kemiskinan pun akan ber tambah yang pada gilirannya mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB). jika PDB berkurang sementara utang bertambah, maka ancaman kebangkrutan ekonomi karena tidak mampu membayar utang bisa menjadi kenyataan. Inilah fakta yang ter jadi di tanah air sebagai dampak program penyesuaian struktural IMF.

Selain berupa program, utang luar neg eri juga berbentuk proyek. Dampak proyek pembangunan bendungan Waduk Kedung ombo adalah sebuah contoh. Ditinjau dari sisi manfaat (benefit), waduk yang didesain mampu menampung air sekitar 700 juta m3, mengairi lebih dari 60 ribu hektar lahan pertanian dan memasok air bersih untuk sebagian warga kota Semarang sampai sekarang belum pernah tercapai. Data akhir januari menunjukkan volume air kurang dari 400 juta m3, sehingga tidak mencukupi kebutuhan air bagi petani serta penduduk di Kabupaten Grobogan, Demak, Kudus, dan Pati. akibatnya, nasib areal pertanian mau pun kebutuhan air minum di daerah-daerah tersebut sepanjang tahun 2003 masih tanda tanya besar. Bisa jadi kejadian di tahun 2002 yang mengakibatkan sekitar 300.000 petani mengundurkan jadwal musim tanam hingga 30 hari terulang kembali di masa yang akan datang.

kungan hidup dan konservasi energi menu run hampir 50 persen secara riil. akibatnya ancaman degradasi dan penurunan kualitas lingkungan hidup dan energi menjadi se makin nyata dan dapat membawa dampak buruk bagi masyarakat luas.

Pada sektor kehutanan menunjukkan kecenderungan peningkatan penebangan liar sebesar 16,4 juta m3 pada tahun 1998 dan 20,2 juta m3 pada tahun 1999. Implikasi nya adalah tingginya momentum dan kecenderungan makin tingginya peneba ngan kayu (resmi dan liar) tidak akan serta merta dapat ditanggulangi dengan member lakukan ke m bali ketentuan mengenai pelarangan ekspor kayu gelondongan, seperti pada September 2001 lalu.

struktural tersebut. Penebangan liar dan penyelundupan kayu tersebut dilakukan secara sadar oleh para aktor yang terlibat, seperti pengusaha kayu, aparat keamanan, sipil dan militer, aparat bea cukai dan dinas kehutanan. Di Kaltim, total volume dan ni lai perdagangan kayu ilegal selama 9 tahun (1992-2001) mencapai 453 ribu m3

Di luar studi itu, penyesuaian struktural IMF untuk mendorong liberalisasi pasar juga berdampak pada anjloknya harga gula dan beras dalam negeri. Petani, mayoritas mata pencaharian pe n duduk Indonesia, semakin terpukul dengan penyesuaian struktural IMF lai n nya: penghapusan subsidi pupuk, BBM, dan TDl. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, para petani yang memproduksi makanan sehari-hari kita,

Ditinjau dari sisi ongkos (cost), Waduk Kedung Ombo sampai saat ini menyisakan konflik antar warga. Korban materi, trauma psikologis, lingkungan hidup dan ongkos sosial lainnya akan dipaparkan secara khusus di halaman lain.

Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah contoh lain. hasil liputan HIMMAH menyimpulkan P2KP tidak menyentuh masyarakat yang benarbenar miskin. Tujuan proyek untuk mengen taskan kemiskinan pun gagal. Ini berangkat dari kesalahan pandang terhadap apa yang dibutuhkan si miskin. P2KP yakin bahwa sebab kemiskinan adalah kurangnya modal (dana). Padahal kenyataannya, si miskin justru tak berani atau tak bisa meminjam uang dari P2KP, karena takut tak mampu mengembalikan.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Iwan
Nugroho / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Keluar dari Jeratan utang

SEPERTI

orang sedang sakau, bangsa In donesia tak bisa katakan: Go to hell with your aid! Diakui atau tidak, utang luar negeri kita sudah menjadi semacam zat adiktif–ketagihan bila tidak mengkon sumsinya. Praktek penggunaan–program dan proyek– utang luar negeri banyak yang justru kontraproduktif dengan pemulihan dan pembangunan perekonomian bangsa. Ta nah air kita sekarang terjerat utang. lantas, bisakah bangsa Indonesia keluar dari jeratan utang?

Selama ini pemerintah membayar utang dengan meminta penjadwalan ulang ( rescheduling ), pembayaran utang, dan meminta tambahan utang. Kebijakan yang diambil pemerintah ini terbukti jauh dari berhasil, dan menuai banyak kritik. pe merintah bahkan dianggap telah mengabdi pada donatur-donatur bilateral dan multi lateral, bukan pada rakyat. Ini bisa dilihat dari sekian banyak kebijakan yang justru merugikan rakyat. Di antaranya kebijakan penghapusan tarif impor beras, gula, pen jualan BUMN strategis, bantuan likuiditas bank-bank bermasalah.

Dalam diskusi perumusan skenario ”Indonesia Bangkit” dipaparkan bahwa s e sungguhnya bangsa Indonesia bisa keluar dari jeratan utang. Yaitu dengan me ningkatkan penerimaan dan menghemat pengeluaran aPBN.

Dari sisi penerimaan, sampai saat ini pemerintah memiliki sejumlah pos uang yang jarang dilaporkan kepada DPR dan ma syarakat. Diantaranya pos uang di rekening 69–eks rekening 16. akumulasi uang pada rekening ini berasal dari selisih harga riil minyak bumi dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam aPBN setiap tahunnya (windfall profit). Pos uang lainnya adalah akumulasi sisa anggaran tahunan. Tahun 2003 diperkirakan akumulasi sisa anggaran tahunan saldonya mencapai Rp 18 triliun. Rekening dana investasi juga pos uang, yang berasal dari selisih tingkat bunga pinjaman luar negeri yang berbunga murah dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada bank maupun BUMN. Tahun 2003 rekening dana investasi diperkirakan sebe sar Rp 7 triliun dan rekening 69 mencapai Rp 12 triliun.

Selain itu pemerintah dapat mening katkan penerimaan sektoral, penerimaan minyak dan gas serta tambahan dari vital isasi pajak. lihat tabel.

Dari sisi pengeluaran, pemerintah da pat berhemat dengan rescheduling utang domestik dan pengurangan subsidi BBM. jika skenario yang dirumuskan oleh Dr. Rizal Ramli, Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Prof. Didik j. Rachbini, Prof. Dr. Didin Damanhuri, Dr. Umar juoro, Dr. Revrisond Baswir, Dr. a R. Karseno, Ichsanuddin Noorsy, Dr. Dradjad Wibowo, Dr. aditia wan Chandra, Dr. Bambang Brojonegoro, arif arryman, Sunarsip, Elvyn G. Ma sassya, Bonnie Setiawan dan para pakar serta ekonom lainnya tersebut diindahkan pemerintah, maka pasca IMF, Indonesia justru dapat keluar dari jeratan utang den gan modal potensial sampai 2005 sebesar Rp 534 triliun.

Fakta adanya penc u rian pasir, ikan, satwa langka, minyak yang diselundup kan, penggelapan uang pajak mendukung pencapaian skenario ”Indonesia Bangkit”. Fakta demikian membuktikan bahwa se benarnya bangsa Indonesia kaya utang dan tidak bisa mengoptimalkan sumber daya ekonomi yang dimilikinya. Indikator lainnya, semester 1 tahun 2002 persetujuan investasi asing anjlok hingga 42 persen, dan investasi domestik anjlok sebesar 70 persen. h al ini sekaligus menunjukkan bahwa mengikuti perintah IMF tak terkait dengan p e nin g katan investasi–bahkan yang terjadi malah sebaliknya. Dengan hitung-hitungan itu, tak ada alasan bagi pemerintah untuk menambah utang yang

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . .

menggantung harapan orang Kedung ombo

Kedung Ombo merupakan potret tragis proyek raksasa utang luar negeri Indonesia. Per soalan ganti rugi yang tak tuntas. Belakang hari menyisakan perbedaan pandangan antar warganya. Bahkan tak tertutup kemungkinan memercikkan bara konflik.

KaMPUNG Kedung Pring di Desa Ke dung Rejo, Boyolali, jawa Tengah, kini seperti perumahan di kawasan pede saan. Suatu pemandangan langka. Semua bangunan rumah di kanan kiri jalan tam pak baru, bak perumahan sederhana yang baru selesai dibangun. Bentuknya serupa: berdinding kayu, beralaskan tanah dengan empat tiang penyangga di tengah, khas rumah joglo. Kabarnya perumahan itu pemberian pemerintah sebagai ganti rugi bagi warga korban proyek pembangunan

waduk Kedung Ombo. ”Bangunan rumah yang kami tempati senilai 25 juta ini ban tuan pemerintah. Berbeda dengan gubernur sebelumnya, Pak Mardiyanto baik kepada kami,” ungkap joko mewakili bapaknya yang akrab dipanggil Mbah jenggot.

Warga Kedung Pring tidak tahu, apakah bangunan petak rumah itu ganti rugi dari dana proyek waduk Kedung Ombo atau dari dana Dinas Kimpraswil (Permukiman dan Prasarana Wilayah) j awa Tengah. Sampai saat ini mereka beranggapan bahwa

perum a han itu sebagai ganti rugi dari pemerintah. Padahal sebelum masuk ke kampung Kedung Pring jelas terpampang tulisan: proyek dinas Kimpraswil. Bukan mustahil perumahan itu sebenarnya alokasi dana yang harus disalurkan dari dinas Kim praswil. Dana pemerintah hasil utangan luar negeri. Bukan dari dana proyek waduk Kedung Ombo yang juga utang pemerintah dari Bank Dunia.

Dalam sejarah pembangunan waduk Kedung Ombo, Kedung Pring tepatnya di

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Ujang Priatna / HIMMAH . . . .

Desa Kedung Rejo adalah salah satu kam pung korban pembangunan. Selain Kedung Rejo tercatat 37 desa di 7 kecamatan dalam 3 kabupaten. Mereka belum mendapatkan ganti rugi yang adil. a da yang sudah mengeyam ganti rugi dari pemerintah, ada juga yang belum menerimanya. Sebagian bahkan menolaknya. Kelompok h. Muzak kir (71) menolak ganti rugi karena jauh dari keadilan. ”Dulu saya ikut perang kemer dekaan, tapi ganti rugi pemerintah hanya Rp 300 per meter2. Untuk beli gereh (ikan asin-red.) saja nggak cukup, makanya kami tidak menerimanya,” tuturnya kecewa.

Konflik Horisontal Semula, masyarakat korban waduk Kedung Ombo tergabung dalam Paguyuban Warga Kedung Ombo (PWKO). Paguyu ban ini terbentuk untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang dirampas negara. Tanah beserta tanamannya, rumah, mata pe n caharian dirampas paksa. Menurut penuturan Muzakkir, proses ganti rugi kala itu hanya dilakukan sepihak oleh pemer intah tanpa melibatkan masyarakat untuk musyawarah. Tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dan polisi semakin menambah permasa lahan yang dihadapi masyarakat. ”Kami dipaksa untuk menandatangani surat ganti rugi tersebut. apabila tidak mau menanda tangani, maka kami akan dicap sebagai PKI,”

hal ini menambah luka bagi masyarakat. Bukan saja hak yang dirampas, tapi pelabe lan sebagai PKI merupakan penyerupaan atas kehalalan aparat keamanan untuk menindak tegas apa yang dilakukan warga korban. Saat menjadi presiden, bahkan Soeharto mengatakan bahwa daerah Ke dung Ombo adalah basis PKI. Kala itu, pemerintah juga tak segan membubuhkan tanda ET (Eks Tapol) pada KTP penduduk sebagai upaya untuk menekan warga–uta manya penduduk yang bersuara lantang kepada pemerintah.

Namun karena perjuangan selama berta hun-tahun tak kunjung mendapatkan hasil, PWKO pun retak. Darsono yang menjadi Ketua PWKO menginginkan peremajaan kepengurusan. Namun dalam pertemuan, warga justru menghendaki Darsono men jadi ketua lagi. ”Saya adakan peremajaan itu kan sebenarnya saya keberatan untuk menjabat ketua lagi,” aku Darsono. Ke mudian secara aklamasi ditetapkan ketua baru. Semenjak itu benih keretakan mulai tumbuh, dan akhirnya sekarang tiap kelom pok memperjuangkan nasib kelompoknya masing-masing.

Perbedaan hasil menuntut ganti rugi

yang diterima warga korban waduk, menis cayakan rasa ketidakadilan. Konflik yang semula dua dimensi antara pemerintah dan rakyat korban, kini berubah menjadi tiga dimensi: antar warga korban dan pemerin tah. Melihat konflik horizontal antar warga tersebut seakan pemerintah tinggal diam. Padahal konflik itu muncul akibat kebija kan pemerintah dalam menangani tuntutan ganti rugi PWKO. Sampai laporan ini ditu lis, pemerintah daerah jawa Tengah tidak memberikan jawaban lisan maupun tertulis atas pertanyaan HIMMAH.

Untung atau Buntung?

Waduk Kedung Ombo telah meng habiskan dana sekitar Rp 83,5 miliar (tahun 1988). jumlah keseluruhan biaya pembangunan termasuk anggaran untuk pembebasan tanah, bangunan rumah, dan tanaman karangkitri milik warga korban tampaknya jauh lebih besar dari angga ran resmi. harian Kompas menyebutkan sebesar Rp 280 miliar, harian Wawasan menyebutkan Rp 200 miliar. ”Perbedaan jumlah dana keseluruhan disebabkan adanya kesimpangsiuran berita, manipulasi harga ganti rugi dan ketertutupan pihak proyek dalam hal informasi yang ber hubungan dengan dana,” demikian tulis Stanley dalam buku Seputar Kedung Ombo, diterbitkan tahun 1994.

Pemerintah berharap pembangunan waduk Kedung Ombo dapat memberikan perspektif ekonomi yang lebih cerah ke pada penduduk yang akan dipindahkan dari calon daerah genangan waduk. Sekarang kita dapat melihat, harapan pemerintah itu tinggal harapan. Penduduk yang dipindah kan dari genangan air merasa menjadi tumbal, korban genangan waduk. Bukan nya perspektif ekonomi yang lebih cerah, melainkan kesengsaraan hidup semenjak dipindahkan dengan paksa dari daerah genangan waduk. ”Kami sudah tersiksa selama bertahun-tahun!” demikian tutur salah seorang tokoh masyarakat Desa Ke musu kepada HIMMAH.

Penduduk yang terpaksa pindah dari daerah genangan justru tidak banyak meng enyam keuntungan ekonomis. Sampai saat ini mereka masih berjuang menuntut ganti rugi yang tidak setimpal. ”Kami meng inginkan ganti rugi atas tanah yang dulu kami tempati,” ujar joko. Dalam pikiran warga Kedung Pring ini, ganti rugi yang diberikan pemerintah hanya sebatas pada bangunan, belum mencakup tanah yang dulu mereka diami. atas nama warga joko mengatakan, ”Kalau tanah nggak diganti rugi, kami akan kembali turun ke daerah sabuk hijau waduk dan bangunan ini di

bongkar.” Bahkan diantara warga korban ada yang ingin menjebol bangunan penyang ga waduk.

Mendengar ancaman itu, penduduk yang mengenyam manfaat ekonomis dari waduk Kedung Ombo bersuara lantang, ”Kami siap menjaga waduk dari siapa saja yang akan merusak.” Adanya konflik ini tak terlepas dari kepentingan ekonomis akibat dibangunnya waduk Kedung Ombo. Pendu duk yang mengenyam aliran listrik, air sawah dan minum sebagai manfaat adanya waduk tentu tak mau diusik. Meskipun belakangan waduk tak mampu mengairi sawah mereka. Sebaliknya, warga korban genangan air waduk belum mendapatkan ganti rugi yang setimpal.

Dalam situasi demikian, kalau peme rintah tidak segera bertindak, konflik tersebut merupakan bom waktu yang siap meledak. Untuk itu Dr. Nasikun–mediator diantara masyarakat Kedung Ombo–me nyarankan dibentuknya suatu otorita pengelolaan Kedung Ombo. ”artinya, ma syarakat korban Waduk Kedung Ombo itu minimal dilibatkan dalam institusi–dalam bahasa yang saya pakai–Otorita Penge lolaan Kedung Ombo. j adi disamping negara dan bisnis, masyarakat korban juga dilibatkan dalam pengelolaan,” papar sosi olog UGM ini kepada HIMMAH

Waduk Kedung Ombo adalah contoh kecil dari dampak proyek bantuan utang luar negeri.Bank Dunia sebagai penyu plai yang turut memprakarsai proyek itu, seakan tidak mau tahu dengan polemik yang ditimbu l kan. Sikap inilah yang memperkuat adanya banyak kepentingan di balik bantuan asing itu. Yang pasti, ne gara-negara kreditor penyuplai dana Bank Dunia berhasil mengekspor mesin-mesin berat dan tenaga ahli serta materil untuk pembangunan waduk.

Kurangnya kepekaan pemerintah dan sikap memaksakan kehendak dalam pelaksanaan pembangunan waduk berbuah polemik yang tak kunjung teratasi. lezat nya dana pembangunan yang sebagian berasal dari utang luar negeri, membutakan mata hati pemerintah. Bagi warga korban waduk Kedung Ombo, kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah sebagai pengayom rakyat tak kunjung datang. Yang datang justru segantang persoalan.

Saran seperti diungkapkan Nasikun di atas, tampaknya perlu dipikirkan, kemu dian diwujudkan agar segumpal harapan warganya tidak menjadi kenangan yang memil u kan dari tepi genangan waduk Kedung Ombo.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kemiskinan itu

Tak Kunjung Terentaskan

Program pengentasan kemiski nan pemerintah belum punya strategi yang tepat. Banyak pro gram, namun kesemuanya tidak terintegrasi secara baik.

MENjElaNG

pukul 12 siang, pasar Ngawu, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, sudah mulai lengang. hanya beberapa orang pedagang yang masih bercengkerama. Sumirah (48) salah satun ya, ia duduk di atas selembar koran bekas. ada beberapa ikat daun singkong, daun pepaya, dan daun bayam, serta beberapa kotak anyaman bambu berisi bawang me rah, cabe, juga bumbu-bumbuan. Namun, semua dagangan itu bukan miliknya. ”Semua hasil utang dari teman-teman pedagang lain,” Sumirah mulai bercerita dalam Bahasa jawa.

”Bukankah ibu sudah diberikan pin jaman dari P2KP?” tanya HIMMAH

”Uang itu untuk membayar utang-utang saya,” jawabnya sambil mengusap peluh di sekitar keningnya. Rp 500 ribu itu dia

habiskan dalam waktu tidak lebih dari sem inggu. Bukannya untuk membeli sayuran yang akan ia jual kembali, Sumirah malah menggunakan uang itu untuk membayar utang-utangnya di beberapa tempat. Un tuk membayar hutang P2KP, ia pun harus berhutang lagi dari pedagang sayuran lain. Namun, ia mengaku bahwa P2KP masih bermanfaat.

Tidak hanya Sumirah, setiap masyar akat yang menerima dana P2KP yang ditemui HIMMAH mengaku merasa terbantu. Saginem (49) misalnya, ia men dapatkan pinjaman sebesar satu juta rupiah. Utang itu ia gunakan untuk membeli barang dagangan, soto dan minuman yang ia jual di warung kecil berukuran dua puluh meter persegi, di pinggir pasar Ngawu. Setiap bulan ia harus mengembalikan pinjaman

20[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Ujang
Priatna / HIMMAH
. . . . . . . .

sebesar Rp 98.500. Sedangkan Teresia Suratinem (64), warga desa Terban malah menggunakan pinjamannya sebesar satu juta rupiah untuk merenovasi rumah.

P2KP

hutang yang diperoleh Sumirah dan Saginem berasal dari Program Pengen tasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). P2KP merupakan salah satu program untuk penanggulangan kemiskinan yang berasal dari kucuran utang luar negeri pemerintah. P2KP adalah salah satu diantara puluhan program lain seperti IDT (Inpres Desa Tert inggal), PPK (Program Pengembangan Ke camatan), jPS (jaringan Pengaman Sosial), Raskin (Beras Miskin), dan sebagainya. Pendekatan yang dipergunakan adalah pen dekatan pemberdayaan dan pembangunan berkelanjutan.

Dalam buku panduan P2KP, tujuantujuan disebutkan dengan jelas. ”Penye diaan dana pinjaman untuk pengembangan usaha produktif dan pembukaan lapangan kerja baru, penyediaan dana hibah untuk pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan, peningkatan kemampuan perorangan dan keluarga miskin melalui upaya bersama berlandaskan kemitraan yang mampu menumbuhkan usaha-usaha baru yang bersifat produktif dengan ber basis pada usaha kelompok, penyiapan, pengembangan dan kemampuan kelemba gaan masyarakat di tingkat kelurahan untuk dapat mengkoordinasikan dan member dayakan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan dan pencegahan menurunnya kualitas lingkungan melalui upaya perbaikan prasarana dan sarana dasar lingkungan.”

Sedang dana yang dikucurkan besarnya bervariasi dari Rp 100 juta sampai Rp 1,25 milyar ini, langsung diberikan ke masyar akat desa melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan masyarakat yang tergabung dalam KSM akan mendapatkan pinjaman dengan beban bunga 1,5 persen setiap tahunnya. jika terjadi tunggakan maka akan ditambah 2 persen dari utang yang tertunda pinjamannya. ”Setiap orang maksimal meminjam 5 juta,” aku Sag inem.

Implementasi P2KP

jika dikomparasikan antara idealitas pemerintah, maka realitas yang dihadapi Saginem, Sumirah, dan Teresia Suratinem jauh panggang dari api. Dislokasi peng gunaan hutang ini terjadi pada setiap peminjam.

Menurut heryanto (38), Kepala Desa Ngawu, ini terjadi pada banyak warganya.

Meskipun tingkat pengembalian cukup tinggi, namun semunya penurunan kesen jangan (disparitas) antara penduduk kaya dan penduduk miskin, tidak bisa disangkal. Bahkan semakin hari, kegagalan proyek ini terjadi pada banyak peminjam. jika dilihat dari indikator perumahan, maka proyek P2KP bisa dikatakan efek tif. Di Desa Ngawu, tidak akan ditemui gubug reot seperti perkampungan kumuh di perkotaan. Sebagian besar perumahan penduduk sudah menggunakan batu-bata bersemen, dengan lantai porselin. jalanan sudah diaspal, jaringan listrik sudah ter pasang, kabel telepon melintang di atas perumahan penduduk, ”Kalau cuma makan sehari tiga kali, warga kami tidak ada yang kekurangan,” ungkap heryanto. Namun ia mengaku bahwa setiap tahunnya, minimal ada dua ratus lima puluh keluarga yang miskin.

Penggunaan pendekatan fisik untuk mengukur keberhasilan proyek adalah prematur. Sebagian besar perumahan itu hasil dari utang. Dan indikator ini menjadi tidak relevan melihat kasus Sumirah yang tidak memperoleh manfaat dari uang itu. Bahkan semakin hari mendekati pemba yaran, semakin ia merasa dikejar-kejar. Dan untuk membayar utangnya di P2KP, ia harus berutang pula. Itu ia lakukan setiap bulannya.

Keadaan ekonomi yang semakin buruk ini diperparah dengan keengganan peme rintah menurunkan tingkat suku bunga. Bunga yang harus dibayarkan masyarakat sebesar 1,5 persen, dengan prosentase dua persen dari tunggakan jika peminjam me nunda pembayaran. Saginem dan Sumirah sama-sama mengeluh besarnya bunga yang harus ia bayarkan. Mereka tetap tidak bisa menabung, karena ia juga harus membayar pajak, listrik, air, dan sekolah anak-ana knya. ”Bunga ini sangat besar, bagaimana kalau diturunkan saja?” tanya Saginem.

”Tidak bisa,” tolak Kuncoro, Ketua BKM Terban. ”Ini kan ditentukan langsung dari P2KP Pusat,” sambungnya. Kuncoro mengatakan bahwa bunga ini berlaku sama secara nasional, tanpa membedakan latar belakang daerah miskin itu. Penjelasannya menurut Yahman, Ketua BKM Ngawu, bahwa pemerintah menginginkan agar ada bunga minimal yang ditetapkan.

Masyarakat Miskin Tak Tersentuh

Namun, benarkah hibah pemerintah yang berasal dari utang luar negeri ini tepat sasaran? Ternyata tetap masyarakat yang benar-benar miskin tidak menjadi prioritas pengentasan kemiskinan. Menurut Yahman, bunga dan sanksi pembayaran membuat

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Warga pedesaan. Program pengentasan kemiskinan sering salah sasaran masyarakat miskin berpotensi memacet kan pengembalikan hutang dan bahkan mengakibatkan pembengkakan hutang pada masyarakat miskin.

Masyarakat yang tidak mempunyai penghasilan tetap, seperti buruh tani, petani kecil atau peternak, juga bernasib sama. Petani dan buruh tani mendapatkan panen setiap enam bulan sekali, begitu juga pe ternak. Maka angsuran bulanan tidak akan bisa dilakukan.

Implikasinya, P2KP hanya jatuh pada kelas menengah dan pengusaha-pengusaha besar. Ini diakui oleh salah seorang pen gurus Desa Terban. Mereka punya potensi untuk mengembalikan hutang tepat waktu. Semakin mereka mempunyai kemampuan ekonomi yang besar, semakin mereka men dapatkan kemudahan akses untuk menda patkan pinjaman dengan jumlah yang juga semakin besar.

Dalam aturan peminjaman dana P2KP, ada ketentuan sepertiga anggota kelompok peminjam boleh tidak punya pekerjaan tetap atau berasal dari golongan miskin. Namun dengan aturan bunga dan pinjaman ditang gung bersama, menyulitkan dua pertiga anggota lain yang akan menanggung bunga pinjaman. Walhasil, tetap saja masyarakat miskin sulit mengakses P2KP.

Implikasi Pengelolaan P2KP

Kegagalan P2KP sudah tampak dari metode penyalurannya. Pengentasan kemiskinan hanya dilakukan dengan sek edar pemberian modal, tanpa transformasi mekanisme pemanfaatan modal tersebut. Bahkan tidak ada pelatihan dan pengem

bangan ketrampilan masyarakat. Pemer intah sudah angkat tangan dan menitikber atkan pada besaran suntikan hibah belaka.

”Materi apa yang akan diberikan?” tukas Kuncoro menimpali ketidakinginan memberikan pelatihan manajemen. Berb agai alasan semacam kerumitan perumusan materi, kesulitan menangani beragamnya pemahaman masyarakat, ketidaksabaran, ketidakinginan melakukan kesalahan apli katif, ketakutan akan ketidakefektifan, dan sebagainya, membuat pelatihan manajemen secara langsung ke basis masyarakat belum pernah dijadikan prioritas.

jikalau ada akademisi yang diterjunkan, maka mereka hanya menyentuh elite-elite desa dan pengurus BKM. Ini ditambah den gan kinerja Fasilitator Kelompok (Faskel) yang memberikan bimbingan kepada BKM, dinilai tidak memberikan bimbingan secara layak. Kuncoro mengadu bahwa selama dua tahun ini, Faskel datang hanya untuk meminta laporan.

Kegagalan lain dari P2KP adalah dalam membangun mekanisme ekonomi masyara kat yang mandiri. Tidak ada proses peren canaan program yang mampu merubah pola produksi dan pemasaran masyarakat yang sebagian besar masih mendatangkan produk dari luar desa, menjadi pemenuhan kebutuhan sendiri atau bahkan mampu mensuplai ke daerah lain.

Dalam pengelolaan keuangan, pelatihan yang hanya diberikan kepada perangkat BKM menunjukan bahwa pola-pola birokratis hanya menghasilkan pengelo laan akuntansi yang sesuai, manajemen keu a ngan dan manajemen personalia

yang efisien. Semuanya dilakukan untuk menjamin kepentingan pemerintah dalam hal pertanggungjawaban atas kebijakan di tingkat formalitas.

hasil implementasi utang berupa bukti fisik lebih berhasil daripada pengembangan kelembagaan masyarakat yang kuat. Meski pun akses transportasi sudah terjamin, tidak mungkin dijadikan ukuran mati efektifitas dan efisiensi. Di Desa Ngawu, pembuatan jalan tidak melibatkan partisipasi masya rakat desa, hanya mendatangkan kontraktor dari institusi lain. Itu pun tidak menjamin akan ada investasi yang terus bertambah, dan menjamin perekonomian desa itu se makin tinggi. Malah membutuhkan biaya yang besar dengan perawatannya, dan membesarnya barang-barang yang didatang kan, konsumerisme dan pemiskinan. jalan di Ngawu bahkan dijadikan indikator oleh masyarakat tidak adanya korupsi dalam pengelolaan P2KP. ”Saya membayar bunga dan pengembalian utang untuk membangun jalan, pengelolaannya bersih,” tukas Sag inem dengan yakin.

Pengelolaan P2KP di tingkat masyarakat juga sangat memprihatinkan, morat-marit di sana sini. akhirnya prestasi ekonomi masyarakat semakin menurun, kemampuan dalam pengangsuran utang di Ngawu, membawa beban yang sama dengan me numpuknya utang ke pihak lain. Masyar akat terbelit dengan lembaga pengutang lain, yang mungkin lebih menyengsarakan mereka. Di Terban, tunggakan mencapai 94 juta, dari 240 juta piutang. Ini menunjukan beban berat kepada masyarakat.

Ketidakmampuan pengangsuran meru pakan persoalan serius, yang jika ditelu suri bukanlah persoalan ekonomi an sich, dan lembaga-lembaga kemitraan ini tidak mampu mengatasi. Mereka bertanggung jawab dalam mengelola pinjaman, namun dengan biaya yang mahal, kondisi ekonomi mereka semakin menurun.

Pengembangan usaha oleh masyarakat miskin mentranformasi sebagian kecil dari mereka menuju kelas menengah baru. Keberhasilan sebagian besar juga dialami oleh pengusaha-pengusaha kelas menengah yang muncul sebagai orang kaya. Namun, kegagalan tetap menimpa sebagian besar masy a rakat yang miskin, dan semakin dimiskinkan.

h ujan bantuan-bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin bukan mengen taskan kemiskinan, namun menumbuhkan disparitas kemakmuran yang semakin kronis. Orang yang sejak awal miskin tetap sulit mengembalikan pinjaman. ”apalagi mengembangkan usaha,” keluh Sumirah.

Ilmia A. Rahayu

22[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Ujang
Priatna / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kita melanggar hAm”

Salah seorang ekonom Indonesia yang selalu kritis dengan kebijakan pemerintah soal utang luar negeri adalah Prof. Dr. Didik J. Rachbini. Ekonom INDEF ini bahkan mengatakan bahwa utang yang dilakukan pemerintah Orde Baru telah melanggar HAM karena hak hak anggaran pendidikan, kesehatan, dan perumahan buat masyarakat bawah dikuras habis untuk membayar utang. Berikut penuturan Didik kepada Wakid Qomarudin dan Iwan Nugroho dari HIMMAH di Jakarta beberapa waktu lalu.

Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap utang luar negeri dari rezim ke rezim?

Yang menciptakan utang itu adalah rezim Orba yang pada awalnya saya anggap salah satu jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan. Karena pada waktu dilakukan transaksi utang-utang untuk pengentasan kemiskinan dan lain lain. Tetapi pada pertengahan (rezim Orba), utang itu kemudian dijadikan obyek untuk korupsi bagi birokrat asing, birokrat dalam negeri. Dan proyek-proyek itu proyek asing yang memanfaatkan utang untuk memperkaya bisnisnya terutama pengusaha dari negara donor yang men-dapatkan manfaat sekitar 70 persen dari proyek-proyek utang itu yang dimark up atau digelembungkan hingga bunganya 49 persen, mark up 51 persen sama dengan bunga 100 persen dan inilah rentenir yang paling hebat di dunia. jadi pada waktu Orba transaksi utang itu berubah dari pola untuk kemiskinan menjadi pola untuk korupsi. jadi seperti rentenir yang luar biasa. Nah inilah yang membuat kita terpuruk oleh utang. Zaman habibie itu cuma melanjutkan saja belum ada solusi karena pemerintahan relatif pendek. Kalau Gus Dur itu kan zamannya pendek, dia hanya melanjutkan saja utangutang itu. Setiap tahun menerima utang begitu saja. Megawati ini juga begitu, melanjutkan saja. Tapi utang-utangnya diperkecil. Tapi itu tidak menyelesaikan apa-apa karena pembayaran bunga dan pokoknya tetap lebih besar.

Bilamana kebijakan itu dikaitkan dengan demokrasi ekonomi? Kalau dikaitkan dengan demokrasi dalam disiplin besarnya, maka demokrasi ekonomi dalam utang itu tidak ada. Karena apa? Karena syarat dari utang itu adalah demokrasi dan transparansi sehingga utang itu bisa dikontrol oleh publik (DPR) sehingga betul-betul manfaatnya buat rakyat itu sangat besar. Tetapi tidak, karena apa? Karena instrumen-instrumen demokrasi itu tidak berfungsi dan kontrol itu tidak ada sehingga ribuan proyek dalam waktu 30 tahun itu memang betul-betul merupakan obyek untuk korupsi dengan cara-cara mark up sehingga kita berjibun dengan utang. Kita kaya hutan, laut, dan segala macam tapi berjibun dengan utang.

Bagaimana bila utang luar negeri Indonesia itu dikaitkan dengan tata hubungan internasional?

IMF itu datang pada waktu krisis. Dia banyak menginjeksi modal pada waktu kita mengalami krisis likuiditas. Itu tidak terlibat seperti Bank Dunia pada waktu proyek-proyek. Pada awalnya utang itu polanya sebagai bagian dari tanggung jawab moral dari negara maju untuk mengalirkan kesejahteraannya 40-20 persen dari

GDP untuk negara berkembang. Nah itu sudah berubah menjadi pola-pola eksploitasi, dimana pengusaha-pengusaha dari proyek itu menghisap darah negara berkembang lewat utang itu. Semua dari proyek-proyek itu ya: suplainya dari mereka, bahan baku dari mereka, kontraktor dari mereka, konsultan dari mereka semua. dengan harga super mark up itu sama dengan menghisap darah negara berkembang. Sehingga mereka–pengusaha-pengusaha asing–itu mendapatkan untung besar tidak lewat bisnis, tapi lewat utang itu. Sehingga produk-produknya sudah kadaluwarsa, sudah dibuang di negara-negara lain, lalu disarangkan ke negara-negara berkembang, kemudian itu menjadi uang. Nah, mereka enak tidak berkorupsi di negaranya karena tidak ada aturan ketat korupsi di Indonesia.

Bagaimana dengan kritik terhadap utang luar negeri terkait dengan perdebatan epistemik ekonomi politik antara dua kubu: pro pasar dan sentralistik. Adakah ide alternatif di luar mainstream pemikiran tersebut?

Utang itu sebenarnya sesuatu yang netral. Seperti kita utang ke bank, kan boleh itu pengusaha warung Tegal utang ke bank asal tidak ada eksploitasi di situ. Tetapi dalam utang ini dalam konteks implementasinya itu–ke dalam format semuanya itu–mengalami super eksploitasi, karena proyek dijalankan dengan cara sembrono dan melakukan satu pemanfaatan dana-dana itu untuk memperkaya diri bagi pengusaha-pengusaha luar. Kalau kesepakatan Indonesia dengan IMF, yang tertuang dalam Letter of Intens (loI), itu sebenarnya kita yang mengundang. Tapi di dalamnya itu ditunggangi kepentingan-kepentingan amerika, karena IMF itu departemen keuangan atau bank sentral amerika yang kedua. jadi prakteknya tidak netral, terhadap loI-nya tidak netral. Maksud saya tata utangnya itu netral kayak birokrasi itu netral. Tapi kalau anda ngomong birokrasi kan kesannya negatif. jadi utang itu menjadi tidak netral karena ditunggangi berbagai kepentingan, itu yang saya maksud.

Lantas sejauh mana proyek-proyek utang luar negeri itu efektif dalam pembangunan perekonomian? Utang itu ada dua. Pertama utang privat (pribadi). Itu sama dengan ibu-ibu di pasar pinjam ke bank. Nah, utang jenis ini merupakan utang yang menjadi tanggung jawab pribadi dan yang melakukan kontrol, apakah utang itu baik atau tidak, bermanfaat atau tidak, itu pribadi. Nah kalau kemudian ia lalai membayar utang itu, resikonya akan diterima individu yang berutang itu sendiri. Sehingga ia selalu akan mengontrol jumlah utang, bunganya, keuntungan dan seterusnya berdasarkan kebaikan pasar. Itulah yang disebut utang pribadi atau swasta, yang tidak perlu kontrol negara.

Yang kedua adalah utang publik, utang negara atau masyarakat, dimana orang-orang yang terlibat dalam transaksi utang itu tidak menanggung resiko dari apa yang ia lakukan. Karena itu syaratsyarat dari utang publik–utang negara–itu harus ada kontrol yang kuat, itu syarat. Kalau syarat itu tidak dipenuhi, utang itu akan

23[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
”utang
. . . . . . . . . . . . .

dimanfaatkan oleh birokrat-birokrat penguasa-penguasa untuk kepentingan-kepentingan diri dan kroninya. Itulah yang terjadi selama 30 tahun, dimana utang itu tidak dikontrol dengan memadai, sehingga DPR itu hanya menyetujui saja, jadi stempel karet. Inilah yang saya kira mengapa kita terjerumus dalam utang.

Seberapa jauh taraf krisis utang yang terjadi di Indonesia? Sudah krisis betul, sudah melanggar haM. Sudah melanggar harkat asasi manusia karena hak-hak anggaran pendidikan, kesehatan, anggaran rumah untuk masyarakat bawah itu dikuras habis untuk membayar utang. Kita setiap tahun membayar 6-7 miliar, paling kita dapat setengah miliar. Itu berarti sebuah penyiksaan terhadap kemanusiaan. Tujuannya bagus, tapi akhirnya menjadi sebuah praktek-praktek rentenir skala global. Utang negara kita itu tujuannya untuk (menyejahterakan-red.) rakyat, tapi ke-nyataannya mencekik rakyat sekarang. Menganggarkan dana yang dikuras untuk luar negeri daripada untuk rakyat. Berapa yang untuk rakyat, berapa yang dikuras untuk luar negeri, kan 6 miliar. apa itu pro rakyat? Bodoh namanya itu. jadi kalau pemerintah bilang utang itu untuk rakyat, bull shit namanya. Utang itu mencekik rakyat, karena yang untuk rakyat cuma dua koma sekian miliar, yang dicekik dari rakyat itu 6 miliar.

Lantas jika kita mau keluar dari jeratan utang dengan mengatakan ”go to your hell with your aid”, bagaimana mekanisme realistisnya?

Kalau kamu sakit jantung lantas bilang go to hell with your jantung matilah kamu. Makanya kita sekarang mengelola utang dengan baik-baik, bisa apa nggak. Ternyata pemerintah tidak melakukan dan tidak mampu, tidak bisa. Maka utang terus. anggaran untuk pendidikan nggak ada, anggaran kesehatan berkurang dan akan seterusnya. Bila demikian berarti ada penyedotan darah aPBN ke luar negara terus.

Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat?

Protes kepada lembaga-lembaga asing, mereka melakukan korupsi di sini. Minta pertanggungjawaban. Kemudian yang bertanggung jawab itu teknokrat Orba, itu masih ngantor di gedung keuangan. Minta pada pemerintah sekarang untuk memperjuangkan rakyat, jangan memperjuangkan kepentingan sendiri. Kalau kita utang itu kan harusnya lebih bagus, peringatan kita preventif: ini merupakan kesalahan sistematis dari kedua belah pihak. Utang ini adalah politik harus ditangkis. Orang-orang yang duduk di DPR itu tidak pantas duduk di DPR, itu diusir.

Bagaimana melepaskan negara dari ketergantungan utang? Ini sudah terlalu berat masalahnya, saya tidak punya pikiran yang cepat menyelesaikan utang. Tanyakan saja pada pemerintah.

”Paradigma lama, Pembangunan hanya urusan Pemerintah”

Selain permasalahan ekonomi politik, ternya banyak proyek dengan dana utang luar negeri menyisakan persoalan sosiologis. Contohnya pembangunan Waduk Kedung Ombo yang masih dihantui tuntutan masyarakat yang tergusur dan belum selesai hingga kini. Malah ditambah dengan fragmentasi yang timbul di antara masyarakat Kedung Ombo yang tergabung dalam paguyuban paguyuban. Untuk itulah HIMMAH mewawancarai Dr. Nasikun, sosiolog UGM yang kebetulan menjadi mediator di antara masyarakat Kedung Ombo. Berikut petikan wawancara dengannya yang ditemui oleh Febry Arifmawan dan Wakid Qomarudin dari HIMMAH

Menurut Anda yang sudah berpengalaman sebagai mediator di sana, secara sosial ekonomi antara keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan lebih banyak yang mana? Saya nggak sampai mengamati detail ya. Kalau untuk pertanian di bawah sana ya jelas sangat banyak yang diuntungkan. Kalau bicara Kedung Ombo kita nggak bisa bicara cuma lokasi tempat waduk itu dibuat, ketika kita bicara dampaknya, dampaknya termasuk yang di bawah sana. Dampaknya buat ekonomi jawa Tengah saya tidak pernah punya akses pada hitungan-hitungan itu. Pemda jawa Tengah pun mungkin tidak punya hitungan itu. Tapi kalau kita lihat dari stakeholders memang ada yang diuntungkan, ada yang dirugikan. Yang menjadi konsen saya kan sebenarnya membuat yang diuntungkan dan dirugikan itu berbicara satu sama lain. Pemerintah mungkin termasuk yang diuntungkan secara tidak langsung. Apa yang saya lakukan memediasi konflik Kedung Ombo lebih banyak ke situ. Kalau untuk orang yang ada di sana di lokasi Kedung Ombo tentu saja termasuk yang dirugikan karena untungnya ke bawah sana. Kemudian kalau ke atas itu artinya ya ke ekonomi pemerintah seperti lewat pajak, listrik sudah masuk, perikanan yang dikembangkan oleh swasta juga. Cuma berapa

pajaknya, berapa pemasukkannya pada pemerintah saya tidak punya kontrol karena itu bukan yang menjadi konsen keterlibatan saya. Tapi jelas ada ya keuntungan yang diterima oleh swasta. Tapi yang dirugikan itu adalah mereka yang tanahnya diambil. Yang dalam perspektif masyarakat itu belum selesai sampai sekarang. Dalam perspektif pemerintah daerah dan pemerintah pusat itu sudah selesai karena pengadilan sudah memutuskan bahwa ganti rugi sudah dipenuhi. Kalau masih ada yang menolak ganti rugi itu, itu dianggap bukan persoalannya pemda. Pemda selalu mengatakan secara hukum sudah selesai, tapi secara sosiologis belum selesai. jadi kalau ada yang belum menerima itu persoalan sosiologis. Itu bahasa Pemda.

Kita tahu di Kedung Ombo banyak terjadi pergesekan antara warga yang tergabung dalam paguyuban, bagaimana perkem bangan terakhir?

Dari sekian kelompok yang dulu pernah satu paguyuban itu sekarang akhirnya sesudah sekian lama mereka memperjuangkan dan akhirnya gagal lalu macam-macam respon mereka. ada yang menganggap menggantungkan bantuan pada mediasi dari lSM itu

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Dr. nasikun:
. . . . . . . . . . .

tidak membawa pada tujuan mereka sehingga kemudian seperti kelompoknya Pak Dharsono mengambil lobi sendiri lalu sekarang memperoleh konsesi berupa relokasi, walaupun juga belum selesai. Kemudian ada kelompok lain. a da kesan yang berkembang sekarang di berbagai kelompok masyarakat timbul kesulitan untuk bersatu. apalagi ketika mereka menggunakan media hukum itu hampir sudah tertutup. akibatnya mereka menggunakan cara masing-masing. ada kelompok baru, lSM-nya juga baru, mereka masih berkeinginan menggunakan pola yang lama. lawan yang dihadapi dulu sangat sederhana: Pemda di back up oleh tentara, lalu mereka diback up oleh jaringan lSM nasional bahkan internasional. agendanya tunggal, tapi sekarang macammacam. Mereka nggak bisa mengabaikan kenyataan bahwa yang harus mereka hadapi juga adalah masyarakat di bawah sana yang sudah 10 tahun lewat mendapat keuntungan lewat jaringan irigasi. Waktu Paris (Paris Riyanto, Ketua FPRK- red. ) mau menjebol tanggul, menjebol dam, mereka siap untuk menyerbu ke atas. jadi sekarang persoalannya rumit, karena seperti yang saya mediasi di Kompak itu namanya, itu juga mereka masih punya kesulitan untuk mengadaptasikan pola perjuangan mereka ke dalam konteks baru dengan adanya aktor-aktor yang berseberangan satu sama lain. Misalnya susah mereka membayangkan bahwa program pem-berdayaan yang saya mediasi itu untuk dibayangkan sebagai program kolektif.

Bagaimana untuk merunut pembiayaan dana Waduk Kedung Ombo?

ada dua yang paling besar yaitu bantuan Bank Dunia dan bantuan salah satu lembaga bantuan di jepang. jepang selama ini kan selalu konsen pada bantuan-bantuannya untuk infrastruktur seperti listrik karena mereka bisa anda bayangkan kalau mereka bantu, mereka mau investasi untuk industri-industri yang membutuhkan energi. jadi bantuan jepang nanti arahnya ke situ kira-kira. Bantuan Bank Dunia ya bervariasi.

Sebenarnya bisnis Bank Dunia itu perputaran uang, mereka sendiri punya persoalan bagaimana menjual, kalau anda baca itu bantuan lembaga donor. Pertama ada akses kapital yang ada pada tangan lembaga-lembaga perbankan internasional. Dengan kata lain ada dagangan yang harus dijual. Dagangan yang tidak langsung ya nanti ketika misalnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi karena investasi yang terjadi karena multiplier effect swastanisasi itu tadi. Yang paling tidak langsung barangkali kemampuan daya beli yang harus dinaikkan untuk bisa membeli produk-produk mereka. Kalau yang direct impact saya tidak begitu paham. Semua bantuan sekian persen harus diwujudkan dalam bentuk peralatan teknis seperti traktor. Itu bahkan tidak bisa dipakai lagi. Ketika misalnya pemerintah membangun dam lagi traktor itu nggak boleh dipakai lagi. harus beli traktor baru untuk proyek yang baru. Prinsipnya sekian persen dari bantuan itu harus kembali ke sana.

Selama ini sudah ada yang mengaudit? Belum ada. Itu yang mestinya juga harus dimainkan oleh komunitas atau paguyubannya Kedung Ombo. Tapi belum mampulah mereka.

Kalau kita lihat banyak proyek bantuan asing yang gagal, menurut Anda sebagai sosiolog adakah yang salah dari para digma kita?

Menurut saya sumbernya pertama datang dari karakter mana jemen pembangunan yang diselenggarakan pemerintah kita sangat centralized dulu. Yang namanya program-program besar seperti Kedung Ombo itu milik negara. Gampangnya urusannya negara,

paling paling rakyat cuma dimintai ijin untuk pengalihannya. Tapi kan selalu dikatakan demi pembangunan lalu tanah dialihkan dari milik perorangan. Tidak ada apa namanya manajemen yang jelas, tawar menawarnya juga tidak jelas, apalagi kemudian intervensi pemerintah menggunakan lembaga kekerasan yaitu tentara. Per soalannya mulainya dari situ. Dari paradigma lama yang mengang gap bahwa pembangunan itu urusannya pemerintah. Kalau sejak dulu pendekatannya itu urusan bersama antara tiga aktor yaitu negara, masyarakat sipil, dan bisnis saya kira akan berbeda.

Faktor faktor apa saja yang mendorong terjadinya kegagalan pada proyek proyek bantuan asing kalau Anda melihatnya dari kacamata Anda sebagai seorang sosiolog?

Mungkin faktor pemerintah yang tidak terbuka waktu itu. Pemerintah mengandaikan bahwa pembangunan waduk itu hanya persoalan ekonomi. Sehingga Orde Baru menyisihkan faktor politik, dimensi politik, dimensi sosial, dimensi humanity menjadi nomor dua. Pendek kata yang pokok adalah kalkulasi ekonomi.

Bagaimana pemerintah yang sekarang?

Pemerintah yang sekarang belum punya konsep, dan tidak begitu peduli.Tidak ada peraturan yang jelas dalam penanganannya. Sekarang ada kesan yang keras ditanggapi dulu. Kalau dulu yang keras ditangkapi dulu, sekarang yang keras ditanggapi dulu. Tapi ini ada bahayanya, kalau nanti siapa yang suaranya keras ditanggapi

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
Dr. nasikun. Manajemen pembangunan sangat centralized Ujang Priatna / HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . .

badan Perencanaan Pembangunan nasional: ”Pinjaman luar negeri harus Dikurangi”

Pemerintah mengatakan punya itikad baik untuk segera keluar dari jeratan utang. Namun ke bijakan dalam bidang perekonomian yang dikeluarkan pemerintahan Megawati justru dinilai oleh banyak kalangan bertolak belakang dengan itikad itu. Untuk mengklarifikasi kebijakan tersebut, berikut HIMMAH nukilkan petikan wawancara tertulis dengan heriyadi, Public Relation Officer Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 13 Februari 2003 lalu.

Masih perlukah pinjaman luar negeri?

Pinjaman luar negeri sebagai salah satu alternatif sumber pem biayaan pembangunan memiliki berbagai konsekuensi dan pra kondisi serta tujuan-tujuan lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihannya. Di samping itu, pencapaian hasil guna dan daya guna program/proyek pembangunan, khususnya yang didanai dari pinja man luar negeri, memerlukan penanganan yang lebih seksama.

Dalam kerangka ekonomi makro, pembiayaan pembangunan nasional dapat dibiayai dari tabungan domestik atau pinjaman. apabila tabungan domestik tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan, maka pilihan pertama yang dapat dilakukan adalah mengurangi tingkat investasi itu sendiri. Pilihan ini dapat berarti kehilangan sebagian peluang untuk memperbesar kapasitas na sional guna kelangsungan pembangunan, memenangkan kom petisi global maupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Pilihan lainnya adalah mengundang penanaman modal asing untuk tetap memperoleh tingkat investasi yang direncanakan agar peluang-peluang tersebut masih dapat diperoleh. Namun besarnya investasi modal asing sangat tergantung pada situasi politik, ekono mi, kepastian hukum dan sebagainya. Pengalaman pada umumnya menunjukan bahwa upaya ini tidak dapat menutup semua kebutuhan investasi khususnya investasi untuk pelayanan publik

Beberapa kalangan melihat bahwa dana pinjaman luar negeri memberikan peluang yang lebih besar pada negara untuk melaku kan lebih banyak investasi di dalam negeri. Dengan demikian akan lebih leluasa menggunakan tabungan dalam rangka melakukan in vestasinya. Pertumbuhan ekonomi dapat dicapai secara optimal jika pendapatan ekspor mampu berkembang dengan cepat dan mampu menyediakan valuta asing yang cukup. Namun demikian, jika kewajiban pengembalian pokok dan bunga pinjaman berkembang lebih cepat daripada pendapatan ekspor, maka ketergantungan pada pinjaman luar negeri sulit dikurangi.

Dengan demikian harus ada jaminan bahwa kebijakan peng gunaan pinjaman luar negeri dalam upaya memenuhi kebutuhan investasi telah mempertimbangkan kerangka ekonomi makro yang paling menguntungkan mengingat adanya keterkaitan antar berbagai pilihan dan berbagai konsekuensi yang menyertainya. Kondisi-kondisi agar dapat diperolehnya manfaat yang sebesarbesarnya dari kebijakan penggunaan pinjaman luar negeri perlu ditekankan dan mengikat semua pihak untuk mematuhinya.

Pinjaman luar negeri harus dikurangi secara bertahap dan pe manfaatannya harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi produktif melalui mekanisme dan prosedur yang transparan dan accountable, serta mengutamakan prinsip efektif efisien. Berdasarkan pengala man selama ini dalam mengelola pinjaman luar negeri, penggunaan pinjaman luar negeri masih perlu dioptimalkan dan diefektifkan mengingat banyak kasus pengunaan pinjaman tidak memenuhi sasaran pembangunan, terjadinya banyak kasus korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dan kasus kebocoran dana yang dilaporkan masyarakat, sehingga pada akhirnya nilai pinjaman tidak sebanding dengan hasil investasi yang diharapkan.

Efektifkah pelaksanaan pinjaman luar negeri?

Garis Besar haluan Negara (GBhN) 1999 – 2004 telah memberikan arahan pokok bahwa pertama, kebijakan fiskal perlu dikembangkan dengan memperhatikan transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi, dan efektivitas, untuk menambah penerimaan negara serta men gurangi ketergantungan dana dari luar negeri; kedua, penggunaan pinjaman luar negeri diarahkan bagi kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien dengan mekanisme dan prosedur peminjaman luar negeri yang disetujui oleh DPRdan diatur dengan Undang-undang; dan ketiga, ang garan Pendapatan dan Belanja Negara (aPBN) perlu disehatkan dengan mengurangi defisit anggaran melalui disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
. . . . . . .

keuangan negara.

Namun demikian dalam pelaksanaan dan pengelolaan pem biayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri dihadapkan pada beberapa persoalan yang cukup besar, yakni pertama, kebijakan pinjaman luar negeri selama ini sering dilakukan secara ad hoc yang mengakibatkan dominasi kepentingan yang bersifat jangka pendek. hal ini menyebabkan ketidak-konsistenan dengan strategi jangka panjangnya.

Kedua, lemahnya posisi tawar menawar (bargaining position) pemerintah dengan pihak donor yang dicerminkan dengan rendah nya kandungan lokal dan kesempatan yang tidak sama bagi pihak dalam negeri untuk melaksanakan proyek pembangunan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri.

Ketiga, kurang jelasnya peran dan fungsi lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pinjaman luar negeri, ter masuk hubungan antara lembaga legislatif dengan eksekutif serta hubungan antara eksekutif sebagai penyelenggara pinjaman luar negeri dengan pihak donor. Persetujuan DPR bagi upaya pemerintah untuk memperoleh pinjaman luar negeri harus dipertegas. Pen guatan kerangka kelembagaan melalui undang undang ini sangat penting untuk mendorong terciptanya transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam penyelenggaraannya.

Keempat, kurang efektifnya pemanfaatan pinjaman luar negeri pemerintah dan besarnya jumlah pinjaman.

Kelima, kecenderungan meningkatnya pinjaman luar negeri berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Keenam, kurang optimalnya pengelolaan pinjaman luar negeri berkaitan dengan manajemen pinjaman luar negeri sejak proses hingga pengendaliannya masih belum optimal.

Ketujuh, lemahnya penegakan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan pinjaman luar negeri. Masih banyak ditemukan penyalahgunaan pinjaman luar negeri sekalipun telah dilakukan penyempurnaan terhadap mekanisme pengelolaan pinjaman luar negeri, sehingga tidak dapat memenuhi sasaran pembangunan yang diharapkan.

Kedelapan, pinjaman luar negeri sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan masih diperlukan mengingat keter batasan kapasitas penerimaan dari sumber-sumber domestik.

Dalam pelaksanaan bantuan luar negeri, khususnya hibah, seringkali dilihat sebagai adanya repatriasi surplus, yakni sep erti yang disebutkan sebagai transfer modal utang luar negeri ke negara donor atau pemberi hibah. Dalam kerjasama hibah ini, pemberi hibah memberikan bantuan kepada pemerintah dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut biasanya mempertimbangkan kepentingan pemberi hibah, antara lain dengan mensyaratkan agar menggunakan barang/jasa yang berasal dari negara pemberi hibah. Pemberi hibah melihat bahwa Aid is not free goods, sehingga yang diberikan kepada pemerintah dalam rangka pembangunannya dapat pula memberikan manfaat bagi pemberi hibah sendiri.

Pembiayaan yang tinggi dalam pemanfaatan jasa konsultasi ini dicerminkan dengan masih berperannya tenaga-tenaga ahli internasional dalam pelaksanaan proyek-proyek pinjaman/hibah luar negeri. Keadaaan ini berkaitan dengan kondisi jasa konsultasi nasional sendiri yang dianggap oleh para negara donor belum mem punyai kualifikasi yang memadai. Peran jasa konsultasi nasional memang masih belum berperan secara maksimal yang disebabkan masih adanya kendala antara lain persyaratan yang menyulitkan jasa konsultasi nasional untuk berperan aktif dalam pelaksanaan proyek proyek pinjaman/hibah luar negeri. Dengan demikian diper lukan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas jasa konsultasi nasional guna dapat berperan dan bersaing dengan jasa

konsultasi internasional terutama untuk menghadapi era ekonomi global. Dengan berperannya dan diakuinya reputasi dan kemam puan jasa konsultasi nasional, diharapakan dapat memperkecil terjadinya repatriasi surplus.

Dapatkah dicapai kemandirian? Kemandirian mempunyai arti menggantungkan sustainabilitas pada kemampuan dan keberdayaan diri sendiri. Perekonomian yang self sustaining lebih baik daripada yang bergantung pada perekonomian lain. Cita-cita mandiri adalah keinginan menjadi ekonomi Indonesia suatu magnit ekonomi yang kuat di mana ekonomi-ekonomi lain berinteraksi dan berbisnis dengan on our terms, bukan on their terms.

Suatu strategi keluar dari ketergantungan utang luar negeri, khususnya pada IMF yang hanya murni berperspektif teknis fiskal, moneter, dan psikologi pasar, tanpa adanya upaya penataan ulang ekonomi makro Indonesia yang berwawasan kemandirian akan kecil kesempatannya untuk berhasil secara sustainable. alasan utama mengapa ekonomi Indonesia senantiasa rentan untuk ter gantung pada kekuatan ekonomi asing adalah karena struktur ekonominya masih lemah. Oleh karena itu pendekatan kompre hensif terhadap exit strategy tersebut mencakup (1) penataan ulang struktur ekonomi makro yang berwawasan kemandirian, (2) strategi fiskal, (3) strategi moneter, dan (4) strategi pengendalian psikologi pasar.

Salah satu upaya penataan ulang ekonomi makro adalah melalui koreksi struktur harga. Kelemahan ekonomi makro yang merusak nasionalisme ekonomi (terutama kebersamaan, keberdayaan, dan kemandirian ekonomi) disebabkan oleh tebalnya komponen subsidi dalam harga-harga barang dan jasa di masyarakat. Indikator keteba lan subsidi itu sangat sederhana. Pendapatan per kapita Indonesia menurut harga nominal adalah sekitar USD 500, tetapi menurut daya beli paritasnya ternyata mencapai sekitar USD 2.500. hal ini menunjukan betapa harga-harga barang dan jasa di masyarakat pada umumnya jauh sekali dari cerminan niali ekonomis yang sebenarnya. Secara umum harga-harga itu hanya mencerminkan seperlima saja dari nilai ekonomis sebenarnya.

jika struktur harga yang distortif itu ditata ulang, maka teoritis pendapatan per kapita yang sekarang hanya USD 500 itu akan bergerak naik mendekati USD 2.500. bersamaan dengan itu PDB yang sekarang sekitar Rp 1.700 triliun akan bergerak mendekati Rp 8.500 triliun yang berarti ukuran ekonomi Indonesia membesar menuju lima kali lipat. Dengan membesarnya perekonomian itu, maka ekonomi Indonesia menjadi selft sustaining dan semakin bergulir menjadi magnit ekonomi yang kuat bargaining position nya.

Dari sisi fiskal, Indonesia sudah siap untuk keluar dari Program IMF pada akhir tahun 2003, karena sesuai dengan target Propenas defisit APBN pada tahun 2004 sudah harus nol. Target ini akan terpenuhi jika defisit APBN 2003 sebesar sekitar 1,3% PDB.

Di sisi moneter, yang paling penting untuk dicermati selama Program IMF adalah perkembangan saldo cadangan devisa neto. Pada akhir tahun 1999 saldo itu adalah sekitar USD 18 miliar dan sekarang sudah menjadi sekitar USD 21 miliar. hal ini menunjukan bahwa selama tiga tahun itu (1999 sampai dengan 2002) ekonomi Indonesia mampu memperbesar cadangan devisa nettonya dengan kekuatannya sendiri. Fakta ini mendukung konklusi bahwa sebet ulnya dari perpektif moneter Indonesia sudah siap untuk keluar dari Program IMF.

Permasalahan jika Indonesia keluar dari Program IMF barang kali adalah kesiapan psikologi pasar. Oleh karena itu perlu secara khusus mengembangkan kepercayaan pasar bahwa ekonomi Indo

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

utang luar negeri, Pilihan Rasional?

ISU yang menarik, bahkan mungkin terpopuler, berkaitan dengan krisis ekono mi di Indonesia adalah jeratan utang luar negeri Indonesia. Krisis berkepanjangan ini menyebabkan hampir seluruh utang luar negeri menjadi beban pemerintah.

Dengan kata lain, pelunasan utang luar negeri itu pun menjadi beban seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak? Imp likasinya, alokasi untuk aktivitas riil dari pembangunan akan berkurang. Mungkin ada sanggahan bahwa pengalihan beban pelunasan utang swasta kepada pemerintah bersifat sementara, perusahaan-perusahaan besar harus men g angsur dan melunasi kewajibannya tersebut pada pemerintah.

Dengan dalih bahwa perusahaan berada pada ambang kebangkrutan, atau memang sudah ditutup dan pemilik lama meng gunakan nama perusahaan baru untuk usaha barunya, pemerintah tidak ada daya untuk mendesak perusahaan tersebut melunasi kewajibannya pada pemerintah. jalur hu kum pun sulit diharapkan keefektifannya. ”Money talks!” teriak banyak orang pada saat pihak pengadilan malah membebaskan pengusaha-pengusaha yang mangkir atas pelunasan utangnya.

Bicara tentang utang luar negeri, kemu dian muncul pertanyaan teoritis: ”Bagaim ana posisi ’variabel utang luar negeri’ dalam analisis ekonomi makro?”. Di dalam buku-buku teks ekonomi makro, utang luar negeri memang merupakan pilihan rasional bagi suatu negara yang memiliki neraca pembayaran yang buruk. Yaitu pada saat tingkat ekspor riil dan arus investasi as ing ke negara tersebut cenderung rendah (bahkan mungkin negatif). Untuk menjaga keseimbangan ekonomi eksternal, maka aliran uang yang masuk harus didatang kan dari utang atau pinjaman luar negeri. Perilaku negara dalam meminjam pinja man luar negeri pun dianalogikan dengan perilaku sektor swasta atau rumah tangga dalam meminjam pinjaman bank. artinya, keefektifan utang luar negeri diukur dari nilai produktivitas penggunaannya. apabila penggunaannya dapat dipertanggungja wabkan dan nilai produktivitasnya tinggi, tidak akan melahi r kan persoalan pelik

bagi negara peminjam, bahkan merupakan modal yang efektif untuk melangsungkan pembangunan.

Persoalannya adalah pertama, faktorfaktor yang terlibat di dalam persoalan utang luar negeri, bukan persoalan ekonomi semata, tetapi melibatkan persoalan politik. Misalnya, negara atau lembaga-lembaga kreditur tidak lagi hanya mensyaratkan kredibilitas ekonomi di dalam persetujuan peminjaman modalnya pada negara debitur, tetapi pasti mensyaratkan faktor-faktor poli tik, seperti, penegakan hak asasi manusia, demokratisasi politik. Berhembus kritikan keras terhadap negara-negara atau lembagalembaga kreditur tersebut atas penjajahan mereka terhadap kedaulatan ekonomi dan politik dari negara-negara debitur lewat aturan yang mereka buat untuk dilaksana kan oleh negara pengutang. Masyarakat secara jelas dapat men g identifikasikan karena di setiap kasus negara debitur, perilaku mereka sama. IMF misalnya selalu membawa apa yang mereka sebut Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjust ment Program) dengan nama-nama paket yang berbeda di setiap negara. apabila kita mempelajari kasus-kasus yang terjadi di

negara-negara amerika latin, maka apa yang diusulkan IMF di negara-negara itu, sama dengan apa yang diusulkan IMF ke Indonesia.

Kedua, ’imbalan’ yang diterima oleh negara debitur sangatlah tidak signifikan apabila dibandingkan dengan negara atau lembaga kreditur. jelas bahwa negara deb itur harus tetap melunasi utang pokok dan bunganya, apabila terlambat, denda akan tetap dikenakan. Kemudahan biasanya diberikan hanya untuk lamanya waktu pembayaran, tetapi tentunya implikas inya adalah bunga yang harus dibayarkan jauh lebih besar secara akumulatif (teori bunga peminjaman mengatakan bahwa makin lama waktu pembayaran, makin besar jumlah bunga yang harus dibayar si peminjam). Sementara, negara kreditur tidak hanya menerima keuntungan finansial melalui pembayaran bunga, tetapi keuntun gan lainnya. Misalnya, setiap perjanjian kredit ditandatangani antar negara, maka penandatanganan tersebut pasti diiringi dengan perjanjian hubungan dagang, di mana negara debitur harus meningkatkan arus impor produk-produk negara kreditur. apalagi umumnya, ketergantungan impor

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Poppy Ismalina, S.E., m.Ec.Dev
Iwan Nugroho
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
protes atas kebijakan pemerintah. Utang luar negeri mensyaratkan faktor politik

negara debitur lebih tinggi terhadap ne gara kreditur, dibandingkan sebaliknya. Belum lagi keuntungan non ekonomi, yaitu kredibilitas negara kreditur di mata dunia internasional: bahwa menjadi negara penyelamat karena memberikan pinjaman kepada negara yang hampir ambruk pereko nomiannya. Padahal apabila kita hitung aliran uang yang masuk ke negara kreditur atas pembayaran utang pokok dan bunga (ditambah denda, apalagi) dari negara debitur dan aliran produk-produk ekspor negara kreditur ke negara debitur, maka jumlahnya akan berlipat-lipat lebih besar dibandingkan aliran uang pinjaman itu sendiri ke negara debitur.

Terakhir , ketidakkonsistenan negara dan lembaga-lembaga kreditur atas syarat dan kondisi negara debitur. Pada saat negara atau lembaga-lembaga kreditur mensyaratkan tidak hanya faktor-faktor ekonomi, tetapi juga faktor-faktor politik, tampak jelas ketidakkonsistenan yang dimi liki negara atau lembaga-lembaga tersebut. Misalnya, satu sisi, mereka mensyaratkan tegaknya demokratisasi dan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain, mereka seolaholah menutup mata dari penyelewenganpenyelewengan, berupa korupsi, yang pasti dilakukan oleh pemerintah negara-negara debitur atas pinjaman yang diberikan. Bank Dunia, misalnya, mustahil apabila lembaga internasional ini tidak mengetahui praktek korupsi Pemerintah Indonesia di masa Orde Baru atas pinjaman Bank Dunia. Tetapi mulai pertengahan 80-an, lembaga ini tidak pernah melepaskan komitmennya untuk memberikan pinjaman pada Pemerintah Indonesia. jelas, nilai produktivitas pinja man menjadi kecil karena memang utang luar negri bukan digunakan untuk proyekproyek pe m bang u nan. Negara-negara kreditur, seperti jepang, amerika Serikat, ataupun Inggris, juga memiliki catatan tentang praktek-praktek korupsi di Indo nesia, tetapi sampai pada krisis ekonomi berlangsung, negara-negara tersebut tetap memberikan pinjaman pada Indonesia. Dan, kita sama sekali tidak mendapatkan potongan atau pemutihan atas pinjamanpinjaman yang sarat akan praktek-praktek korupsi tersebut!

Paling tidak ada tiga hal tersebut di atas yang membuat kita harus memaling kan muka dari alternatif utang luar negeri untuk membiayai pembangunan kita, atau untuk menjaga keseimbangan eksternal perekonomian kita. lantas apa alternatif nya? Pertama, kalau kita mau konsisten dengan alur pemikiran Neo-klasik yang tertuang dalam buku-buku teks ekonomi makro, maka kita harus usahakan bahwa

neraca transaksi berjalan haruslah sen antiasa positif. Meningkatkan daya saing produk kita di pasar internasional adalah satu-satunya yang harus kita lakukan. Banyak sekali keluhan dari para pengusaha kecil dan menengah tentang informasi pasar internasional: bagaimana para pengusaha tersebut menjangkau pasar internasional atau apa yang dibutuhkan oleh pasar inter nasional. Pemerintah sudah saatnya untuk tidak memalingkan muka dari potensi ek spor yang dimiliki oleh produk-produk dari usaha kecil dan menengah. Upaya setengah hati dari pemerintah terhadap peningkatan kinerja usaha kecil dan menengah juga menjadi penyebab mengapa pangsa pasar kita di dunia internasional sangat lambat perluasannya.

Kedua, apabila kita ingin berhenti ber pijak dari pemikiran mainstream econom ics, atau Neoklasik, sebenarnya terbuka pe luang lebar untuk mengembangkan sebuah model pembangunan alternatif. Tanpa harus menafikkan fenomena globalisasi, kita ha rus mulai berpikir untuk membangun dari, oleh, untuk, dan secara lokal. Think locally, act locally. Di beberapa kawasan negara maju, seperti di Inggris atau di Kanada, terdapat suatu daerah yang telah mencoba untuk melepaskan diri dari ketergantungan pembangunan daerahnya dari fenomena globalisasi. Mereka membangun apa yang disebut lETS (Local Exchange Trading System). Mereka memiliki sistem mata uang lokal, yang hanya berlaku di kawasannya sendiri untuk tukar menukar barang atau jasa yang dibutuhkan di kawasan mereka. latar belakang dibangunnya sistem terse but adalah pada saat masyarakat setempat tidak dapat berbuat apa-apa karena daya beli mereka yang sangat rendah akibat inflasi nasional yang tinggi sementara ketersediaan produk-produk lokal masih cukup banyak. Terjadi kelimpahan produk tetapi tidak terbeli dengan sistem harga yang berlaku secara nasional, karena harga begitu tinggi akibat inflasi nasional yang cukup tinggi. akhirnya masyarakat tersebut berinisiatif untuk melakukan transaksi di antara mereka, para pemilik produk dengan menggunakan ’alat transaksi’ yang mereka ciptakan sendiri. Tanpa mengganggu ban gunan sistem ekonomi nasional, produk melimpah yang ada di kawasan tersebut akhirnya terjualbelikan secara produktif, bahkan ’uang lokal’ yang didapat dari hasil transaksi tersebut dapat dipakai untuk usaha produksi dengan menggunakan produkproduk lokal. harga lokal pun ditetapkan berbeda dengan harga nasional. Sistem keuangan lokal tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk disesuaikan

pula dengan sistem keuangan nasional. apabila transaksi dilakukan di luar daerah, maka tentu konsekuensinya mereka harus menukar uang lokal dengan uang nasional. Memang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem lokal tersebut dengan sistem nasional, tetapi di dalam jangka pendek, hasil yang bisa dirasakan adalah masyarakat setempat tidak tergantung apa yang terjadi di dalam perekonomian na sional untuk dapat memenuhi kebutuhan ekon o minya. a palagi dengan apa yang terjadi di dalam sistem ekonomi global.

Sistem lokal ini tidak hanya dapat dib erlakukan di dalam aktivitas ekonomi riil, tetapi juga untuk sektor perbankan. Bankbank lokal dapat memberlakukan tingkat suku bunga lokal yang berbeda dengan tingkat suku bunga nasional. apabila sis tem ini disosialisasikan pada masyarakat, dan masyarakat sendiri yang menikmati kemudahan untuk meminjam dan tingginya suku bunga atas tabungan mereka maka pemberlakuan sistem suku bunga lokal tidak akan mendatangkan kerugian. Selisih tingkat suku bunga lokal dan nasional tidak harus dibayar oleh pemerintah daerah se tempat apabila masyarakat secara serempak dapat meningkatkan tingkat tabungannya sehin g ga nilai yang ditabungkan dapat menjadi dua atau tiga kali lipat dari nilai yang akan dipinjamkan. Pihak-pihak yang akan mengawasi prinsip kehati-hatian per bankan harus juga berasal dari unsur-unsur masyarakat sehingga kecil kemungkinan terjadinya penyelewengan kewenangan di sektor perbankan.

Memang harus banyak eksperimen atau penelitian yang dilakukan untuk pelaksanaan sistem lokal tersebut. Namun demikian, wilayah-wilayah di Indone sia sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan ke arah sana karena telah dilaksanakannya otonomi daerah. Bantul, adalah sebuah daerah yang telah memban gun secara perlahan-lahan sistem lokal tersebut. Mulai dari harga gabah lokal yang berbeda dengan harga gabah nasional sam pai pada kebijakan-kebijakan pada Bank Pasar Bantul.

Target utama dari pengembangan sistem lokal ini adalah kemandirian perekonomian lokal yang tidak tergantung pada situasi perekonomian nasional ataupun perekono mian dunia. Rakyat yang selalu menduduki posisi marjinal di dalam perekonomian dunia maupun nasional, akan menda patkan posisi yang signifikan di dalam perekonomian lokal. Dan yang jelas, rakyat harus tetap dapat melangsungkan aktivitas ekonominya dan mendapatkan manfaat darinya meski per e k o nomian nasional

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pertanyaan untuk Penanda Agama

SEBUah bus PO. Primadona jurusan Palu-luwuk, sore itu 18 Oktober 2001, dicegat massa muslim. Setiap penumpang dirazia Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya. Bila ditemukan penumpang beragama Kristen, sontak massa akan memban tainya hingga tewas. Sementara di Tabalu Kecamatan Poso Pesisir, Tarima menjadi korban gara-gara KTP yang menunjuk kan identitas agama-nya. Mobil hardTop miliknya dibakar dan penumpangnya tidak diketahui nasibnya.

KTP dengan identitas agama seakan berubah fungsi menjadi ”surat pencabut nyawa”. Warga kampung Mahardika yang identik dengan agama Kristen harus mati jika memasuki kampung Batu Merah yang identik dengan agama Islam. Sebaliknya warga kampung Batu Merah harus mati jika memasuki kampung Mahardika.

Rupanya identitas agama, yang ter cantum pada KTP ini bagi warga yang berseteru antar umat beragama, sudah

3[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [AGAMA]
Urgensitas pencantuman kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dipertanyakan. Jika sekedar untuk kelengkapan admin istratif, mengapa justru sering menjadi pembatas keberadaan seseorang dalam struktur sosial-bu daya masyarakat?
Iwan
Nugroho / HIMMAH . . . . . . . . . . . . .

cukup untuk mendapatkan keamanan bagi mereka yang terikat oleh keyakinan yang sama. Dan siksaan bagi mereka yang ber lainan keyakinan. Seolah agama pada KTP tersebut sebuah identitas pembatas sosial seseorang dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

lain lagi dengan kisah pemeluk Kong hucu dan warga agama minoritas lainnya. ada yang merasa didiskriminasikan perihal pencantuman agama di KTP. Surat Edaran Mendagri No. 477/4054 tahun 1978 menge nai tata cara pengisian kolom agama di KTP dan tanda khusus bagi warga Tionghoa adalah sumbernya. Surat itu menyirat kan kesan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh pemerintah. Sehingga pelayanan hak-hak sipil bagi warga di luar lima agama tersebut sering terabaikan.

Sebetulnya surat edaran ini sudah di cabut dengan Keppres No.6 tahun 2000 pada tanggal 31 Maret 2000 lalu. Namun karena belum ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), warga agama minoritas sulit untuk mendapatkan pelayanan.

atas dua fakta di atas, urgensitas pen cantuman kolom agama pada KTP pun dipertanyakan. Dimana identitas agama pada KTP tidak berhenti untuk kelengkapan administratif, tapi sudah meluas menjadi semacam pembatas keberadaan seseorang dalam struktur sosial-budaya masyarakat. Begitupun dengan fakta diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas di atas menunjukkan bahwa negara kurang mampu memfasilitasi kebebasan beragama rak yatnya. Seolah warga dikondisikan untuk berlaku hipokrit terhadap keyakinannya. artinya, peristiwa-peristiwa diskriminasi akibat pencantuman identitas agama pada KTP menggambarkan bagaimana negara ikut serta di dalam hak-hak pilihan agama masyarakatnya.

Karena itu dari sejumlah tokoh banyak yang mendesak pemerintah menghapus pencantuman agama dalam KTP. Wakil Ketua PWNU j awa Timur, Nurudin a Rahman Sh dalam debat publik hubungan agama dan negara seperti yang dimuat dalam Hidayatllah.com menyebutkan bahwa pencantuman kolom agama pada KTP sudah tidak perlu lagi, karena penga kuan agama bukan hak pemerintah. Musa asy’arie dalam wawancara dengan HIMMAH juga setuju dengan penghapusan ko lom agama pada KTP. Menurutnya pemer intah sebaiknya menghapus pencantuman agama di KTP, karena prosesi keagamaan tidak harus dicantumkan.

Secara konsep agama itu merupakan hubungan privacy antara manusia dengan

Tuhannya. Meskipun demikian, perlu di mengerti bahwa penghapusan kolom agama pada KTP berarti aturan-aturan administrasi juga akan ikut berubah.

”jadi, kalau dalam hubungan organisasi sosial keagamaan ya pemerintah memang harus mengatur. Tapi pencantuman kolom agama pada KTP perlu ditanyakan apa alasannya. Nanti kalau ada sweeping , malah bahaya kan?” tandas Musa asy’arie, dosen pasca sarjana IaIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sementara menurut Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, pencantu man agama sebatas identitas pada KTP masih diperlukan. ”Identitas dalam artian tanda pengenal yang diperlukan dalam pelaksanaan perkawinan, penguburan dan lainnya,” ungkap Yusdani dari PSI UII.

Namun, melihat keberadaan aturanaturan hukum di Indonesia, penghapusan kolom agama sulit untuk dilaksanakan. Menteri Kehakiman dan haM, Yusril Izha Mahendara dalam temu wicara di los an geles tanggal 20 Oktober 2001menyebut kan adanya perbedaaan agama–dalam segi hukum–menyebabkan pemerintah harus mengklasifikasikannya di KTP, sehubungan dengan perkawinan, warisan, dan pengu buran. Singkatnya, penghapusan agama dari KTP masih sulit dilakukan karena masih banyak hal-hal teknis yang belum memungkinkan. Diantaranya, pelaksanaan hukum di Indonesia banyak diberatkan oleh perbedaan-perbedaan agama.

Dalam kondisi demikian, pencantuman agama pada KTP seharusnya tidak dija dikan alat kepentingan tertentu. artinya, pe n cantuman agama pada KTP jangan dijadikan alat ”pembeda” masyarakat demi k e pentingan politik yang menimbulkan tindakan diskriminatif bahkan anarkis.

Kebebasan berbicara, mengemukan pendapat dan kebebasan beragama adalah di antara hak-hak asasi manusia yang sarat dalam politik negara demokrasi. Namun dalam hal ini, hak kebebasan beragama dan memiliki kepercayaan adalah hak yang san gat fundamental. Karena tak seorang atau institusi pun yang dapat memaksa orang untuk mempunyai agama dan kepercayaan tertentu yang berbeda dengan kehendaknya. Begitu juga dengan penguasa dan negara. artinya, tak seorang pun yang dapat dihu kum atau dipidana dengan cara dan bentuk apa saja karena ia memilih agama atau ke percayaan yang berlainan, bahkan memilih untuk tidak beragama sama sekali.

”Orang bebas memilih agama, dalam Islam pun tidak ada paksaan, menjadi kafir, atau mau murtad sekalipun juga boleh,” tegas Musa asy’arie kepada HIMMAH.

a rtinya, negara yang demokratis harus mengakui dan menerima bahwa agama seseorang adalah urusan pribadi. Dimana pemerintah tidak dapat memaksa warganya untuk menganut agama dan kepercayaan tertentu. Demikian juga, kalaupun ada suatu negara yang karena alasan tradisi dan sejarah menetapkan agama tertentu menjadi agama negara, bukan berarti warga yang mempunyai agama dan keyakinan yang berbeda dari agama negara tersebut harus diperlakukan di luar tanggung jawab pemerintah.

jadi, identitas agama seharusnya dibawa sebagai identitas diri tetapi tidak digunakan sebagai pengukuran dan pe m batas ses eorang. Identitas tidak memaksakan warga untuk berlaku hipokrit terhadap agama atau norma-norma tertentu yang ditetapkan negara atau pengelom-pokan-pengelompo kan pada kategori-kategori tertentu. Kedua, identitas tidak memaksakan warga untuk hipokrit terhadap agama atau norma-norma tertentu yang ditetapkan negara. Tepatnya identitas agama pada KTP tidak dijadi kan alat untuk sebuah kepentingan yang berdampak merugikan bagi yang lainnya. Yaitu lebih melihat kepada kualitas tujuan sosial yang dibangun tanpa melihat status agama. jadi lebih pada pembangunan ma nusia agama.

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa mem bentuk ikatan kemasyarakatan yang ideal sebagai cita-cita berbangsa dan bernegara tidak cukup dengan agama saja, tapi diper lukan rasa ashabiyah (perasaan kedekatan). jadi meskipun identitas agama dihapus, tidak menutup kemungkinan terjadinya ketegangan baik antar negara dan rakyat, maupun rakyat dengan rakyat, perihal tidak dimilikinya perasaan k e terikatan berbangsa.

Sementara abdurrahman Wahid ber pendapat–masih dalam tulisan Agama dan Negara–bahwa kerangka yang baik untuk dikembangkan saat ini adalah menduduk kan agama dan Pancasila pada sebuah pola hubungan yang jelas dan fungsional. Selama ini Pancasila hanya dilihat sebagai pengatur lalu lintas hubungan antar agama belaka, agar tidak timbul pertentangan he bat antara para pemeluk berbagai agama. Namun yang terjadi bisa jadi malah se baliknya: pencantuman agama pada KTP menyebabkan pertumpahan darah. agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke manusiaan, perdamaian, keselamatan bisa ternodai karena formulasi pola hubungan nya dengan negara.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 32 [AGAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

memerangi Kekeringan dengan Teknologi

Tak lama lagi, masyarakat Gunung Kidul DIY yang telah akrab dengan kekeringan akan dapat bernafas dengan lega. Sebab kini, sedang dibuat teknologi penanggulan kekeringan.

MENYEBUT

Gunung Kidul tak pelak selalu terbayang kekeringan tahunan bertepatan dengan musim kemarau. Bukan rahasia lagi jika masyarakat Gunung Kidul yang memiliki hewan ternak, mengor bankan apa saja agar ternak mereka tetap hidup.

Tak hanya itu, menurut Darmaningtyas dalam buku Pulung Gantung, penderitaan masyarakat Gunung Kidul yang diakibatkan oleh kemarau, adalah salah satu penyebab jumlah peristiwa terjadinya pulung gantung (gantung diri) cukup tinggi. Mereka lelah dan bosan dengan bencana kekeringan yang setiap tahun selalu terjadi.

j umlah telaga yang biasanya digu nakan oleh masyarakat sebagai sumber air di Kabupaten Gunung Kidul adalah 109 telaga. jika telaga itu kering, maka 57.000 warga Gunung Kidul sudah dipastikan akan mengalami krisis air. Pemerintah Pusat memang pernah memberikan bantuan pada masyarakat Gunung Kidul berupa penyedia an mesin-mesin penghisap air dari dalam tanah. jumlah dana yang dikeluarkan Rp 5 miliar. Tujuannya jelas, agar air yang pada dasarnya melimpah namun berada di dalam tanah, dapat terangkat dan dinikmati oleh masyarakat. Namun, keberadaan mesin air

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 33
[SAINTEK]
. . . .
Aminur Sobah HIMMAH

itu pun ternyata tidak dapat mengurangi penderitaan mereka.

Mengatasi Kekeringan akibat perubahan lingkungan hidup yang ada di bumi, kini musim sudah tidak jelas lagi. Di Indonesia, misalnya, musim hujan dan musim kemarau yang biasanya bergantian tiap enam bulan sekali, sudah tidak tepat waktu lagi. Musim kemarau yang kadang terlalu lama, membuat masyarakat yang mengandalkan air dari air sumur merasa cemas akibat kekuran gan air.

Gunung Kidul adalah daerah yang selalu kering. a kibat adanya topografi kawasan yang unik, air yang sebenarnya melimpah tidak dapat dinikmati masyarakat secara langsung. Di sana, air yang melim pah sepanjang tahun itu mengalir di dalam tanah berupa sungai bawah tanah. Dan ini berlangsung sepanjang tahun. Entah musim kemarau atau musim penghujan. akibatnya, masyarakat Gunung Kidul harus bersusah payah mengambil langsung air yang berada di dalam bukit, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

jika musim hujan, permukaan sungai bawah tanah tersebut relatif mendekati permukaan tanah. jika begitu, maka beban masyarakat sedikit berkurang. Namun saat musim kemarau, maka beban berat itu harus mereka tanggung. Gara-gara kesulitan air setiap tahun, ada ungkapan yang cukup menarik di sana yaitu: sapi makan sapi artinya, demi membeli air minum untuk diri mereka sendiri bersama ternak, masyar akat harus menjual ternak yang lain.

Setelah sekian lama masyarakat Gu nung Kidul mengeluhkan persoalan ini, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi sejak beberapa waktu yang lalu turun tan gan. Masyarakat diberi pompa air, sehingga air bawah tanah tersebut tak perlu diangkut secara manual lagi, tapi cukup disedot den gan pompa. Tapi akibat kapasitas pompa itu rendah kebutuhan warga pun belum bisa tercukupi.

akhirnya, Pemerintah jerman memberi kan bantuan teknologi untuk menanggu langi masalah ini. Pertama-tama, dilaku kanlah penelitian untuk mengetahui tekno

logi seperti apa yang paling sesuai untuk mengangkat air yang ada di bawah tanah. Sebagai catatan, dasar sungai bawah tanah tersebut berada pada kedalaman 136 meter dari permukaan tanah.

lalu, setelah survei lapangan, penelitian geologi, hidrolik, geoteknik dan lingkungan hidup dilakukan, serta penelitian pelengkap lainnya selesai, mulailah dirancang teknolo gi yang sesuai dengan kondisi Gunung Kidul.

Teknologi tersebut ternyata adalah bendungan bawah tanah. jadi, air sungai yang ada di bawah tanah tersebut diben dung agar airnya dapat melimpah. a ir buangannya dijadikan penggerak turbin sehingga turbin tersebut dapat menyalakan pompa yang berfungsi mengangkat air ke permukaan, ke bendungan penampungan yang tepat berada di atas aliran air sungai bawah tanah tersebut. ”Tebalnya sekitar 14 meter,” jelas Ir. luqman, Dosen Teknik lingkungan UII yang turut dalam studi pen anggulangan kekeringan ini, menjelaskan mengenai bendungan air tersebut.

Teknologi ini tidak mudah diterapkan. Sebab, selain tanah yang rawan bergerak dan belum diketahui seberapa besar tekanan yang dapat ditanggungnya, juga diharapkan teknologi ini sekali pasang langsung bisa digunakan tanpa ada perbaikan yang ber langsung secara besar-besaran. ”Sehingga, uji coba pengeboran pertama diusahakan mendekati jarak ideal,” tambahnya. jarak ideal yang ia maksud adalah jarak titik bor yang berada di atas permukaan tanah dengan titik bor yang berada di sungai bawah tanah tersebut tidak boleh lebih dari

3[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [SAINTEK]
Menimba Airtanah dari sumur. Ketersediaannya sering tak pasti Ujang Priatna / HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

empat meter.

Saat ini pengeboran telah selesai dilak sanakan. Namun, pengeboran ini hanya un tuk menentukan teknologi bor apa saja yang akan digunakan dalam proyek. ”Sebab, lapisan yang akan ditembus lebih kurang setebal 136 meter. Dan itu batu semua,” ungkap anggota Tim Studi lingkungan h idup dalam proyek Gunung Kidul ini kepada HIMMAH

Belakangan debit air sungai yang men galir sangat besar. Berdasarkan hasil peng hitungan sementara, besarnya lebih dari 9 meter kubik per detik. jumlah ini terhitung sebagai debit yang besar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Gunung Kidul. Tapi hal ini terjadi karena kondisi di hulu proyek masih hijau dan terlindung dari pembangunan bangunan yang dapat menutup daerah tangkapan air.

Menurut Dr. a gus Maryono, Dosen Teknik Sipil UGM yang turut terlibat dalam proyek ini, pada dasarnya Pemerintah j erman hanya membantu dalam tataran teknis menemukan teknologi apa yang layak dilakukan. ”Pelaksanaan pemasan gan teknologi dan perawatannya, mereka serahkan pada kita,” ujarnya.

Menurutnya, teknologi yang akan dit erapkan dalam proyek ini adalah teknologi yang relatif baru. ”jadi sayang, kalau kita tidak mendapatkan ilmu dari proyek ini,” ujarnya sambil menekankan bahwa perma salahan masyarakat Gunung Kidul tentu harus dipecahkan pula. ”Itulah sebabnya, proyek ini juga sedang diusulkan untuk menjadi laboratorium,” lanjutnya.

jauh sebelum proyek ini dilaksanakan, jepang pernah melakukan pembendungan

air bawah tanah. hanya saja, yang diben dung bukanlah sungai bawah tanah. Namun membendung laju air hujan yang meresap ke dalam tanah dan melaju menuju pantai. Teknologi ini diterapkan di daerah lereng gunung yang tidak lagi memiliki hutan yang dapat menahan laju air tanah tersebut.

Pelaksanaan proyek Gunung Kidul ini, dibayangi oleh kesulitan. Pembendungan air bawah tanah yang jelas berbeda perilaku airnya dibandingkan dengan bendungan air permukaan dan tidak mendukungnya kondisi di lapangan menyebabkan ide untuk membendung air bawah tanah ini hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan. Namun, seperti yang diutarakan oleh agus, hal ini harus tetap dicoba, dengan alasan, saat ini hanya teknologi pembendungan air bawah tanah inilah yang paling realistis. ”jika kita mengganti proyek ini dengan proyek pipan isasi yaitu dengan menyuplai Gunung Kidul dengan air dari daerah lain melalui pipa, kita dihadapi masalah dana dan belum adanya sumber air melimpah sebagai sumber air pipa,” ungkapnya. lagi pula, ungkapnya, hibah Pemerintah jerman ini berupa hibah pencarian teknologi untuk mengangkat air bawah tanah ke permukaan.

Menurut agus, sebenarnya beberapa pihak termasuk dirinya sendiri, kurang sepakat dengan pembendungan air secara langsung. Ia malah mengajukan usul agar bendungan ini berupa bendungan bertahap. artinya, terdapat banyak pembendung air di daerah aliran air bawah tanah yang secara bertahap elevasinya semakin tinggi.

Menurut agus, jika hal ini dilakukan, maka stalagtid dan stalagnid yang berada di dalam gua tempat sungai bawah tanah ini

mengalir, dapat terjaga. Selain itu, potensi dapat tertekannya tanah yang melingkupi sungai bawah tanah akan kecil. ”Ini usulan kita dari Indonesia, keputusannya tetap berada pada mereka (Pemerintah jerman),” ungkapnya.

Pengelolaan sumber daya air adalah sebuah pengelolaan yang berkesinambungan antar satu tindakan atau kebijakan dengan yang lainnya. Setelah pembangunan pembendung air selesai dilakukan, harus ada pihak yang menjaga lingkungan hidup yang ada di kawasan sekitar lokasi pem bendungan air bawah tanah dan di bagian green area (daerah hijau) yang berada di hulu aliran sungai bawah tanah yang dijadikan sebagai daerah tangkapan air hujan tadi. Sebab, dengan menjaga kedua area tadi, suplai air untuk bendungan akan dapat terjaga. Namun sayangnya, hibah ini tidak sampai ke hal tersebut.

Saat ini, pengaruh lingkungan yang ada di sekitar Gunung Kidul terhadap jumlah debit sungai bawah tanah belum diketahui dengan pasti. Tim perencana dan pelaksana masih terus menerus melakukan penelitian terkait dengan hal tersebut. Sep erti pengaruh hujan di sekitar bendungan dengan debit sungai bawah tanah, belum diketahui. Untuk mengetahui hal itu, tim ini memasang sejumlah alat pengukur debit curah hujan dan debit sungai bawah tanah. ”hal ini dilakukan untuk membandingkan besaran pengaruh hujan,” jelas a gus Maryono. Penelitian tersebut menjadi penting sebab solusi yang komprehensif biasanya melibatkan pendekatan ekologis, kembali ke alam.

[SAINTEK]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Tetap Pelik dengan Kode Etik

Iklan di media massa kerapkali menuai protes. Ketika sensor semakin longgar, peran pentingnya diambil Kode Etik Periklanan. Tarik ulur antara kreativitas dan ukuran kepantasan dari masyarakat.

MaSIh segar dalam ingatan kita, iklan kondom yang dibintangi budayawan Indonesia, h arry Rusli disomasi akhir 2002. Iklan masyarakat ini menghimbau pemakaian kondom saat berhubungan seks dengan maksud tidak tertular virus hIV. Namun sayang, iklan ini justru memberi kesan bahwa seks bebas itu aman asalkan menggunakan kondom. Tak pelak lagi, be berapa kelompok masyarakat memprotes iklan itu. Di antaranya Majelis Mujahidin Indonesia dan Masyarakat Anti Pornografi. Mereka memprotes mengapa Kelompok anti Stop aIDS tidak mengkampanyekan untuk menjauhi seks bebas, tetapi malah menganjurkan menggunakan kondom saat berhubungan seks padahal kondom tidak menjamin seseorang bebas virus hIV.

Beberapa stasiun televisi pun meng hentikan tayangannya. Peristiwa ini dapat menggambarkan bagaimana iklan dapat mempengaruhi sikap khalayak sebagai penikmat informasi. Iklan kondom yang dibintangi oleh harry Rusli itu hanyalah salah satu cerminan kontroversial bagai mana etika periklanan masih menjadi problematika dengan tingkat penerimaan masyarakat mengenai hal-hal yang di anggap tabu. Tayangan iklan kondom itu adalah satu contoh diantara kasus-kasus protes masyarakat terhadap iklan di media massa.

Yang menjadi persoalan adalah ketika sebuah iklan menjadi kontroversi perde batan yang mengemuka antara pembuat iklan dengan masyarakat yang memprotes adalah interpretasi dari iklan tersebut. Pada satu sisi pembuat iklan menyatakan

iklannya tidak melanggar norma-norma di dalam masyarakat. Di sisi lain masyarakat menganggap iklan yang diprotesnya me langgar kepatutan umum.

Bicara soal iklan tentu sangat pelik di samping melibatkan dua disiplin ilmu yaitu komunikasi dan pemasaran, juga karena melibatkan banyak pihak, meliputi: pema sang iklan, perusahaan periklanan yang menjadi pencipta dan pembuat pesan iklan, dan media sebagai pihak yang menye barluaskan pesan iklan, terakhir masyarakat yang akan melihat iklan tersebut.

”Iklan itu bagian kreativitas, jadi tidak

perlu regulasi, yang ada hanya kode etik,” papar lukas luwarso, Direktur Eksekutif Dewan Pers. ”Iklan itu seni dan harus mempertimbangkan pasar, juga harus me menuhi selera pasar yang ada,” jelasnya lebih lanjut. Menurut lukas yang meng atur adalah masyarakat sendiri. jika media massa berlebihan tentu akan diprotes atau bahkan ditinggal konsumennya.

Tak bisa disangkal, iklan merupakan sumber kehidupan media, bahkan ada kecenderungan mengalahkan tujuan jur nalisme itu sendiri. Ini diakui oleh Yonni Setiabrata, Marketing Service Manager, PT. Indosiar Visual Mandiri yang ditemui

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [MEDIA]
Iklan Luar ruangan. Antara kreativitas dan kode etik Iwan Nugroho
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . .

Wawan W. Saputro dan Sigit Pranoto dari HIMMAH di pameran a dExpo, jogja Expo Centre, Oktober 2002. ”Sum ber pendapatan kami adalah dari iklan itu sendiri,” tukas Yonni.Namun bila suatu media sampai mengurangi ruang dan durasi berita atau acara yang lainnya maka media tersebut bisa ditinggalkan pembaca atau pemirsanya sehingga diharapkan adanya keseimbangan antara iklan dan media itu sendiri. Semakin bagus acara yang dikemas suatu media semakin banyak dan mahal iklan yang diperoleh.

Tersingkirnya Adab Periklanan

Walaupun iklan sangat berpengaruh ter hadap kelangsungan hidup media, namun hendaknya tetap ada kriteria suatu iklan yang layak ditayangkan. lebih tepat lagi bukan batasan, tetapi apa yang seharus nya tidak ditampilkan dalam iklan. ”Iklan yang baik hendaknya tidak menampilkan pornografi, sadisme, eksploitasi terhadap anak-anak dan wanita, serta tidak bert entangan dengan nilai-nilai kultural yang ada di masyarakat misalnya kepercayaan,” ujar lukas yang diwawancarai oleh Widi yanto dari HIMMAH di kantornya. hal itu menurut lukas dapat mengakibatkan dekadensi moral yang dapat memperburuk keadaan bangsa ini.

h al senada juga disampaikan oleh Yonni dari Indosiar. ”Kami tidak akan pernah menayangkan iklan-iklan yang berbau isu SARA, perpecahan, pornografi, dan sebagainya. Seperti halnya iklan ’Islam warna-warni’ kemarin, walaupun stasiun lain mau menayangkan tapi kami tidak,” tutur Yonni. Islam warna-warni merupakan sebuah iklan layanan masyarakat yang diproduksi oleh Komunitas Utan Kayu dan juga kena protes dari Majelis Mujahidin Indonesia.

Kode Etik Periklanan

Rentannya perselisihan antara iklan dengan kepentingan masyarakat banyak, oleh karena itu dibutuhkan aturan main. Pada satu sisi kreatifitas pembuat iklan tetap jalan, di sisi lain kehidupan masyar akat tak terusik akibat iklan. Sulitnya kedua pihak terkadang mempunyai interpretasi terhadap kelayakan iklan.

Khusus untuk iklan di televisi dan radio diatur dalam UU Penyiaran yang baru disyahkan oleh DPR, Bab IV tentang Pelaksanaan Siaran. Dalam pasal 41 dise butkan bahwa iklan dibagi dua kategori, yakni iklan niaga dan iklan layanan mas yarakat. Khusus iklan niaga dalam pasal 42 disebutkan bahwa materi siaran iklan niaga yang disiarkan televisi harus mem

peroleh tanda lulus sensor dari lembaga Sensor Film.

Masyarakat periklanan sebenarnya mempunyai kode etik sendiri. Namanya Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Per iklanan Indonesia (KPI). KPI merupakan suatu lembaga independen non-pemerintah yang dibentuk oleh dan dari Masyarakat Periklanan Indonesia. anggota-anggotanya adalah para asosiasi usaha dan profesi, baik sebagai pengiklan, perusahaan periklanan, media periklanan, maupun usaha dan pro fesi penunjang industri periklanan. Kode etik yang telah dibuat KPI itu mengatur berbagai hal yang harus diperhatikan oleh pelaku periklanan, entah itu media cetak, radio, televisi, bioskop, hingga media luar ruang. Sehingga peran pengawasan dalam iklan lebih banyak diemban oleh KPI, se dangkan Dewan Pers lebih mengurusi pada isi produk jurnalistik media massa.

Disinilah fungsi media sebagai penyen sor. Maksudnya, media sebagai pembentuk opini publik yang menyebarluaskan iklan sebaiknya mengerti betul Tata Krama dan Tata Cara Periklanan di Indonesia sehingga iklan yang kurang layak tidak ditayangkan. jadi, dalam hal ini diperlukan ketegasan untuk memutuskan iklan mana yang layak ditayangkan dan tidak.

Selain itu, peran masyarakat juga dibutuhkan sebagai kontrol media teru tama dalam era kebebasan sekarang ini. Sekarang ini banyak masyarakat yang menggugat terhadap iklan di media massa. ”Itu berarti menunjukkan masyarakat sudah mulai sadar dan mengerti mana yang salah dan mana yang benar, serta menunjukkan betapa penting media massa bagi pembelajaran masyarakat itu sendiri,” ungkap Yonni. Namun hal itu bukan berarti masyarakat wajib diikutsertakan duduk dalam komisi periklanan tetapi sebaiknya juga mendengarkan pendapat masyarakat sebagai bahan masukan.

Di sisi lain kreativitas pembuat iklan pun harus tetap terjaga. ”Kita seharusnya memberi kepercayaan kepada pihak iklan, media, perusahaan iklan untuk mengem bangkan kreativitas karena saya takut kreativitasnya akan macet. Kalau sudah ada dampak terhadap masyarakat baru di sensor,” kata lukas. jadi menurut lukas iklan janganlah buru-buru disensor dulu. Karena yang terjadi kemudian ukuran sen sor adalah ukuran dari orang-orang yang duduk di lembaga sensor, bukan publik.

Negara kita terdiri dari berbagai suku, agama dan budaya yang berbeda-beda se hingga diharapkan tidak ada keberpihakan terhadap salah satunya. Begitupun dalam

periklanan, namun, perlu diingat bahwa bangsa kita menganut adab ketimuran se hingga kita tidak bisa seenaknya membuat iklan yang bertentangan dengan sopan san tun. ”Prinsipnya dalam sistem terbuka ini ada tarik ulur antara kreativitas periklanan dan respon masyarakat. jadi pinter-pin ternya sajalah,” kata lukas.

Sanksi Pelanggaran jika terjadi pelanggaran terhadap kode etik sampai batas-batas tertentu ada sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya. Pem berian sanksi terhadap pelanggaran itu telah diatur dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. Tahapannya mulai dari peringatan, perintah pencabutan atau penghentian iklan, sampai rekomendasi sanksi. jika diperlukan bisa diteruskan lagi dengan pengenaan pasal-pasal hukum baik secara perdata maupun pidana. Yang terkait mencakup hukum Perdata, lebih ke arah hak konsumen. hukum Pidana jika terkait dengan penipuan oleh produsen. ada lagi Undang-Undang Pokok Pers, sampai Un dang-Undang Kesehatan.

”Di dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia kita jelas sudah ada rambu-rambu yang normatif dan positif,” kata Djarot Soediroprono, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Yogyakarta. ”jadi setiap pelanggaran harus diberi sanksi,” lanjut Djarot.Selain itu juga berlaku hukum masyarakat. Produk terse but bisa saja diacuhkan masyarakat karena dianggap merusak moral bangsa.

Di era informasi ini, para jurnalis dan pemilik media kembali teruji oleh per tanyaan, sampai berapa jauh kepentingan bisnis dapat menutupi kepentingan orang banyak? Mereka yang terjun dalam bisnis media massa dan telah membaca bagaim ana cara menjual ruang atau waktunya, hendaknya dapat bertindak lebih bijaksana, berhati-hati dan lebih mengutamakan per juangan hati nurani, kejujuran, kebebasan dan kebenaran.

Publik pun harus semakin kritis terha dap iklan. Bukan hanya pada iklan yang berbau pornografi. Lebih jauh lagi sep erti yang dikatakan Daniel Bell, sosiolog amerika, bahwa iklan telah memainkan satu peran yang lebih subtil dari sekedar merangsang keinginan massa. Kini iklan bukan hanya menstimulasi munculnya pelbagai bentuk keinginan baru yang semula tidak dikenal, bahkan mengajari masyarakat tentang hidup yang ”lebih baik” melalui konsumsi! jangan-jangan ini yang harusnya lebih diwaspadai.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [MEDIA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kekerasan Polisi meninggalkan luka

Oknum polisi seringkali melakukan tindak kekerasan. Membawa luka fisik dan kejiwaan buat korbannya. Penyimpangan yang menjadi kewajaran. Perlu pembenahan sistem rekruit men untuk menghilangkan sisa-sisa kultur militer.

langsung oleh polisi di sebuah hotel di Yogyakarta ketika sedang melakukan pen curian motor bersama teman-temannya itu bercerita pengalamannya saat pertama kali ditangkap, dia sudah ditodong sama pistol dengan perlakuan yang kasar. ”Ketika di sel saya diancam mau dibakar,” katanya.

KEKER a S a N bisa jadi sudah merupakan hal yang lumrah dan wajar dilakukan oleh polisi. Mau bukti? lihat saja acara-acara kriminalitas yang makin marak di televisi swasta, misal: Buser, Sergap atau Patroli. Di sela-sela proses pengungkapan kasus kriminal hampir selalu diselingi aksi-aksi ”pemberian hukuman penda huluan” oleh polisi. Emosi pemirsa tentu saja tergerak melihat tayangan-tayangan itu, bisa kasihan, bisa juga geram untuk ikut menimpali agar para pelaku kejahatan semakin jera. Sudah jadi rahasia umum jika kekerasan tidak selesai di proses penang kapan, tapi masih berlanjut ketika berada di tahanan.

Coba simak kesaksian sebut saja Cahyo (14) kepada HIMMAH (nama-nama terpi dana berikutnya dalam tulisan ini juga bukan nama sebenarnya). Narapidana peng huni lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta yang dulu ditahan atas dakwaan pemerkosaan anak di bawah umur ini men gaku sering dipukul dan disuruh onani di

depan aparat yang menginterogasinya. Tak hanya itu. ”Saya di Polsek dipukul di perut oleh polisi dan dihantam pas ditanya, pada hal saya langsung ngaku,” imbuh Cahyo.

Yono (26), laki-laki yang terlibat kasus narkoba punya cerita lain, ”Saya di Poltabes ditanya sambil dipukul selama 1 jam, dan waktu baru ditangkap langsung dipukuli pakai pentungan polisi. Kaki awalnya dijatuhi, terus dipukul pakai shock breaker.” Yono ternyata juga pernah dilempar oleh aparat penegak hukum dari ketinggian kurang lebih dua meter. Kalau Yono pernah merasakan pukulan dengan shockbreaker maka Gondo (19), tersangka pelaku kasus pembunuhan pernah dipukul pakai rotan dan kayu kotak. ”Sekitar setengah jam dipukul dan sambil ditanya. Walau sudah ngaku masih dipukul. Pukulan ada yang ditambah di sel,” ujar Dono yang didakwa atas tindakan pembunuhan seorang lakilaki. Kemudian seseorang menghias wa jahnya dengan lipstik merah.

Narni (23), perempuan yang ditangkap

Dalam sejarah peradaban manusia hukuman yang diperlakukan terhadap pelaku kejahatan terus berubah menjadi lebih manusiawi. Michael Foucault, filosof kenamaan asal Prancis dengan buku leg endarisnya yang berjudul Discipline and Punish mencatat perubahan pada hukuman dari penyiksaan di muka umum yang terjadi sebelum tahun 1800-an ke peraturan ketat di penjara-penjara (dan dimana-mana) pada 1830-an. Perilaku sehari-hari berada di ba wah pengawasan ketat lewat terbentuknya aparat kepolisian. Tubuh sebagai sasaran utama balas dendam negara ma u pun kerajaan tampaknya semakin melenyap. Penayangan di muka umum beralih pada peradilan dan vonis. Penderitaan badaniah tidak lagi merupakan bentuk penghukuman. Muncul kemudian sistem peradilan yang lebih beradab. hukuman pasti akan mengi kuti kejahatan, tapi tidak lagi lewat penyik saan di depan umum, dan datanglah sistem penjara sebagai pembentukan moral. apa yang dialami Cahyo, Yono, Gondo, dan Narni belumlah seberapa jika diban dingkan dengan apa yang dialami Damiens, sang Pembunuh Raja Prancis. hukuman yang diterimanya pada 2 Maret 1757 sangat mengerikan. Ia dibakar dengan belerang, dagingnya dicincang dengan penjepit, lukanya dipoles cairan mendidih, dan anggota badannya ditarik oleh empat ekor kuda, dihantami, dan disiksa. Semuanya dilakukan di depan umum! Tentu saja apa yang dialami Cahyo, Yono, Gondo, dan Narni tidak kontekstual dibandingkan den gan Damiens. abad ke-17 ketika Damiens dihukum, belum ada sistem peradilan, se dangkan abad dimana ke-empat narapidana di Yogyakarta itu disiksa sudah mengenal sistem peradilan modern. M e nariknya, walau sudah mengenal peradilan, mengapa

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [PSIKOLOGI]
Indra Yudhitya
/ HIMMAH
korban represi polisi. Belum lepas benar dari doktrin militer
. . . . . . . . . . . . . . . . .

Cahyo, Yono, Gondo, dan Narni masih mengalami penyiksaan?

Bukan cerita yang luar biasa mendengar kasus-kasus kekerasan oleh oknum polisi. Tentu saja apa yang dilakukan oleh oknum polisi berakibat buruk. Buruk buat citra polisi maupun masyarakat. Mengomentari kasus yang dialami Cahyo, Dr. Koentjoro, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gad jah Mada kepada HIMMAH mengatakan, ”hal tersebut sudah menjadi pelanggaran yang berbahaya bagi kejiwaannya yang pada saat itu masih berstatus tersangka.” Dosen yang biasa mengajar psikologi sosial ini menambahkan,”apalagi Cahyo merupa kan anak yang masih dalam perkembangan dan pertumbuhan selain itu, meski masih anak-anak, Cahyo telah memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang kemudian dapat merusak kejiwaannya ke depan.”

Koentjoro menegaskan bahwa polisi sebenarnya tidak berhak untuk melakukan tindak kekerasan yang melampaui batas kewenangannya. a pakah metodologi interogasi yang dilakukan oleh aparat pen egak hukum memang memuat unsur-unsur kekerasan seperti itu? ”Kekerasan sebagai shock therapy sangat bagus, karena terka dang ada psikopat yang susah mengaku, sehingga kekerasan tersebut bisa wajar atau tidak, toh polisi sudah punya prosedur baku,” tutur Koentjoro berkomentar soal metodologi interogasi dalam kepolisian.

”Namun polisi tidak berhak untuk memberikan hukuman. h aknya hanya sebagai penginterogasi atau pencari infor masi kebenaran sebanyak-banyaknya,” kata Koentjoro. ”hanya pengadilan yang berhak memberikan hukuman pada seseorang yang memang telah jelas menjadi terpidana,” lanjutnya.

Menanggapi hal itu Drs. arif Nurcahyo, Sesdis Dinas Psikologi Polda DIY kepada HIMMAH mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh polisi terhadap tersangka dalam batas-batas tertentu masih wajar. ”Kita hanya menggali motivasi dia saja (tersangka pelaku kejahatan-red. ),” kata arif. ”Dan motivasi itu sangat berguna bagi hakim dalam menentukan rentang waktu sebagai punishment (hukuman-red.). akan kena hukuman maksimal atau minimal biasanya pakai itu,” paparnya lagi. ada banyak hal yang mampu memicu polisi bertindak di luar kontrol nilai dan norma positif. Salah satunya adalah halhal yang sifatnya kasuistik, sangat situ asional. ”Kalau itu menjadi kebiasaan, itu nggak benar, nggak etis,” kata arief. ”lain barangkali kalau polisi menghadapi orang yang sama. Dia menemukan tersangka yang sama yang baru keluar dari lP, secara manusia tiba-tiba dia (polisi-red.) muncul

untuk mengambil tindakan tertentu,” ujar arief. ”Terus apalagi dari rumah dia habis bertengkar dengan istrinya,” sambungnya mencontohkan.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban maka terhadap polisi yang terbukti mela kukan tindakan sewenang-wenang dalam menjalankan tugas akan ditindak. Tindakan tersebut dapat berupa mutasi tempat atau mutasi jabatan. Dengan catatan pengaduan pelanggaran anggota kepolisian harus didukung oleh bukti-bukti sebagai fakta hukum. Berdasarkan informasi yang dida pat HIMMAH hanya Yono yang pernah d i tangkap dua kali, sedangkan Cahyo, Gondo, dan Narni belum pernah ditang kap sebelumnya. Walau pernah ditangkap sebelumnya, Yono mengaku merasa takut waktu proses penangkapan. ”Saya merasa sakit hati atas perlakuan saat penangka pan,” ujar Gondo. Walaupun demikian ia mengaku menyesal atas perbuatannya. Cahyo dan Narni pun mengiyakan memiliki beberapa perasaan yang sama saat proses penangkapan dan awal penyelidikan. Sama dengan yang dirasakan oleh Yono dan Gondo.

Secara fisik bisa kita bayangkan betapa sakit dan menderitanya mereka akibat penyiksaan atau segala tindakan yang men gandung kekerasan itu. Luka fisik relatif lebih mudah disembuhkan daripada luka mental. Perlakuan yang jauh dari manu siawi yang mereka pernah terima berakibat pula pada kondisi psikologis mereka. Untuk menormalkan kembali kondisi psikologis mereka, dengan mengajukan aduan ter lebih dahulu, para tersangka sebenarnya dapat memanfaatkan bantuan dari dinas psikologi kepolisian. ” j asa pelayanan psikologis ada,” kata Drs. arief Nurcahyo memberi info. artinya sasaran dari tugas dinas psikologi pada instansi kepolisian tidak hanya terhadap para polisi tapi juga termasuk para tersangka.

Pengaruh Rekruitmen Polisi

Bicara soal perilaku tentunya tak lepas dari sistem pendidikan buat polisi. Utamanya pada sistem rekrutmen polisi. Melihat historis keberadaan Polri, pemisa han antara Polri dan TNI secara organisasi lewat Tap MPR No. VI dan VII/MPR/2000, membawa pengaruh pada perubahan peran dan fungsi keduanya. Dan bias dalam pem bagian tugas dapat dihindari karena sudah ada spesifikasi pekerjaan yang jelas. Fungsi TNI sebagai penjaga gerbang pertahanan negara menuntut mereka mempunyai sikap dan sifat yang tegas, berani, kuat secara mental maupun fisik. lain halnya den gan Polri yang telah menetapkan dirinya sebagai gerbang keamanan, pengayom

masyarakat dalam menyelenggara keterti ban, ketentraman, dan kenyamanan di ten gah masyarakat sehingga dituntut lentur, lu wes, tidak kaku dalam menjalani tugasnya. ”Masalahnya sekarang polisi berada dalam fase peralihan,” tambah Koentjoro, seraya memberi contoh kasus Trisakti dimana ada indikasi polisi belum siap menjadi sipil karena didikan militeristik.

Oleh karena itu muncul kekhawatiran terhadap sistem rekrutmen dan sistem pendidikan polisi yang belum dapat sepe nuhnya lepas dari budaya TNI. ”Ketika kita masih bergabung dengan TNI, kita memang biasa merekrut bareng terutama untuk jen jang perwira. ada satu sisi yang kemudian kita kenomor berapakan, sekarang menjadi kita utamakan yakni menyangkut kepekaan sosial yang tadinya memang telah dipent ingkan sekarang lebih diprioritaskan dari kacamata psikologi,” jelas arif Nurcahyo seolah mengatakan bahwa kepolisian telah mencoba memodifikasi sistem re krutmennya.

Perihal pola rekrutmen polisi sesuai dengan keterangan a rif Nurcahyo buat calon polisi harus memenuhi kriteria kelayakan lewat pemeriksaan psikologis. Persyaratan psikologis tertentu, polisi harus tahan menghadapi stres, punya kepekaan sosial yang tinggi, memiliki kapasitas kecerdasan tertentu. Prioritas memiliki kepekaan sosial menjadi upaya untuk men cari sosok ideal polisi.

Koentjoro menambahkan bahwa peru bahan pada budaya rekrutmen memerlukan proses penyesuaian diri. Proses penyesuaian diri akan berhasil dan berkualitas apabila dilanjutkan dengan proses pembinaan. Se jak proses rekruitmen ber jalan sesung guhnya pola pembinaan polisi sudah ada. Di luar proses rekruitmen pola pembinaan antara lain berbentuk konseling. Konseling ini walau tidak selalu diketahui dan tidak selalu dimanfaatkan, seperti dikatakan Ses dis Dinas Psikologi hanya satu-dua orang saja yang menggunakan jasa psikologinya. Memang dengan pendekatan itu diharapkan pembentukan kepribadian polisi yang ma tang bisa terwujud sehingga meminimalisir kecenderungan untuk melakukan tindakan represif. arif Nurcahyo menguatkan pen dapat itu. ”Musuh polisi adalah penyakit masyarakat, polisi tidak memusuhi masya rakat, tapi dia memusuhi perilaku-perilaku yang menyimpang di tengah masyarakat,” tegasnya.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [PSIKOLOGI]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

mengelola Sampah, menepis bencana

Sampah adalah masalah klasik kota. Setiap pemerintahan kota selalu saja mengalami kesulitan mengatasinya. Masyarakat ha rus berperan lebih besar untuk mengatasi masalah ini.

PIYUNGaN,

tempat pembuangan sam pah dari wilayah Kota Yogyakarta, Sle man, dan Bantul, masih tetap tak berubah. Masih penuh dengan sampah organik dan non-organik. Itulah sampah hasil konsumsi masyarakat kota, yang tidak mau diganggu oleh kotoran, yang mereka produksi sendiri. Setiap harinya, tak kurang 1600 m3 pada musim kemarau dan 1800 m3 pada musim hujan, jumlah sampah yang ia tampung dan olah kembali ke alam. ”Dan TPa Piyungan memiliki waktu pakai efektif 7 tahun lagi,” ujar Kasam, MT, Ketua jurusan Teknik lingkungan Universitas Islam Indonesia (jTl UII). Itu terhitung mulai 2002.

Kota besar terbentuk, salah satunya, oleh urbanisasi. Sementara urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya akan meng akibatkan timbulnya masalah seperti ke macetan, polusi dan daerah kumuh. Seperti yang diungkapkan oleh hans-Dieter Evers & Rudiger Korff, dalam buku Southeast Asia Urbanism: The Meaning and Power of Social Space.

Sampah adalah salah satu sumber po lusi. Untuk Kota Yogyakarta, ”Produksi sampah pada tahun 2001 kita asumsikan sebesar 1593 m3/hari, namun yang mampu kita angkut hanya 1264 m3/hari saja,”ujar Suroso, Kepala Seksi Pengangkutan Sam pah Kota Yogyakarta.

h al ini terjadi, jelas Suroso, akibat kurangnya sarana dan prasarana yang di miliki oleh pihak DKKP Kota Yogyakarta. ”Bayangkan saja, kita membutuhkan sekitar 40 dumptruck untuk mengangkut sampah-sampah yang ada, namun ternyata kita hanya memiliki 27 dumptruck. Dan yang berfungsi hanya 23 dumptruck ,” jelas lelaki ini sembari menerima telepon diponselnya.

Gagasan yang disampaikan kepada setiap pemerintah kota dimanapun, untuk mengatasi gangguan sampah yang dapat mengganggu kesehatan masyarakatnya ini, telah cukup banyak. jTl UII misalnya,

memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di DIY, agar dalam pengelolaan sampah diperlukan pendekatan sosial kul tural. hal ini sejalan dengan yang pernah ditawarkan oleh hasan Purbo dalam ju rnal Prisma. Ia mengatakan, pendekatan

penanganan lingkungan dengan ilmu dan teknologi saja lebih merupakan penanga nan lingkungan secara mekanistik-deter ministik. apalagi pihak dinas kebersihan memiliki keterbatasan dalam sarana dan prasarana pengelolaan sampah.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 0
[LINGKUNGAN]
M. Ali Prasetya
/
HIMMAH tempat pembuangan sampah. Jika tak terkelola menimbulkan bencana
. . . . . . . . . . . . . . . .

Masalah sampah tidak bisa lagi dipan dang sebelah mata. Kota jakarta dengan TPa Bantargebangnya dan Kota Surabaya dengan TPa Sukolilonya telah memper oleh pelajaran yang cukup berharga ketika pemda melakukan penghentian sementara operasi kedua tempat tersebut. Kedua kota itu menjadi kumuh.

TPa Bantargebang jakarta, kini diserah kan kepada investor, agar para investor tersebut dapat memanfaatkan sampah, yang berjumlah ribuan kubik terlahirkan setiap harinya. Semua itu untuk mengurangi be ban pemerintah kota dalam menanggulangi sampah. Selain menjadi salah satu sumber PaD tentunya.

Pemda jakarta selama ini layak pusing, karena dengan tidak terkelolanya sampah, maka akan dapat mengganggu masyarakat yang ada di sekitar TPa. Sementara, sam pah yang tidak terangkut, menumpuk dan terbuang di sungai-sungai yang melintasi Kota jakarta. akibatnya, seperti yang ter jadi awal tahun 2002 lalu, Kota jakarta menjadi banjir. Walaupun bukan satu-sat unya penyebab banjir, namun sampah yang tidak dibuang pada tempatnya, memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tim bulnya banjir.

Pemda Bantul tidak mau kalah. Walau pun sampah yang ada di TPa Piyungan tidak memberikan kontribusi terhadap kemungkinan banjir, tapi pemda tetap berkeinginan agar sampah-sampah yang ada di Piyungan dapat dimanfaatkan. Maka pada Oktober 2002 dirintislah usaha untuk memanfaatkan sampah tersebut.

Pemda Bantul menghubungi investor dari australia dan jerman. harapannya, sampah-sampah tersebut dapat dijadikan energi pembangkit listrik dan dijadikan pakan ternak. Namun, sampai kini masih belum ada keputusan yang pasti. Manurut

Bupati Bantul dalam harian Kedaulatan Rakyat, ”hal itu sedang dibicarakan secara intensif.”

Usaha yang dilakukan oleh Pemda Bantul untuk memanfaatkan sampah yang ada di Piyungan memang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah juga.

Tapi, mungkin perlu ada gagasan yang lebih agresif dalam menangani sampah. Misalnya saja pengelolaan sampah dengan pemberdayaan masyarakat. Dengan begitu, pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator, bahkan sebagai konsultan saja. Sementara, inisiatif dan pelakunya adalah masyarakat. j adi, masyarakat juga ada andil dan bukan sebagai pihak yang diberi kemanjaan. ”Selama ini peran masyarakat hanyalah berupa buang sampah ke tempat sampah saja. Itu pun belum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat,” keluh Suroso, laki-laki yang lahir di Yogyakarta ini.

Padahal sampah-sampah tersebut bisa diolah sendiri oleh masyarakat, misalnya saja dengan mengolah sampah dengan cara komposting yang cukup menyediakan lu bang pada tanah yang siap timbun atau den gan incenerator yaitu dengan melakukan pembakaran sampah dengan mesin. atau masyarakat berperan dalam memisahkan antara sampah kertas, sampah plastik, sampah mudah membusuk, dan sampah logam. Menurut Kasam, dengan begitu, sampah-sampah tersebut dapat dijual ke pihak-pihak yang membutuhkan. ”Kalau kita menengok pengalaman di Surabaya, dari sampah plastik saja, pendapatan yang bisa diperoleh mencapai tiga juta rupiah perminggunya.”

Tapi, menurut Ibu Mudjito (47), warga jogoyudan, mengelola sendiri itu sangat sulit. Sebab, tidak ada lahan untuk menim bun dan tidak ada dana untuk membeli mesin pembakar sampah. Tapi, saat ini, warga jogoyudan telah membuang sampah di tempat sampah yang mereka sediakan

sendiri. ”Tiga kelompok RT di tempat kami berinisiatif untuk membuat tong sampah yang setiap harinya diangkut oleh truk sampah milik pemerintah,” ujarnya. Tapi, peran mereka dalam pemisahan sampah, diakui oleh Ibu Mudjito, belum dilakukan. Tampaknya, hal itu terjadi akibat masyar akat kurang mengetahui gagasan tersebut.

Berdasarkan catatan DKKP, sampah yang ada di Kota Yogyakarta selalu bertam bah 5 persen setiap tahunnya (lihat tabel). hal ini terjadi sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang tiap tahunnya meningkat rata-rata 1,7 persen. h al ini dibenarkan oleh Trisnowiyono, seorang kuli sampah harian di Tempat Pembuan gan Sementara (TPS) Sampah Wilayah Sagan, Yogyakarta. Bersama lima rekan nya, mereka selalu bekerja membersihkan sampah-sampah tersebut. ”Dalam satu hari, jumlah sampah yang terkumpul di TPS Sagan bisa nyampe 2 truk,” ceritanya. Ini berarti mencapai 20 m3

Penempatan sampah Kota Yogyakarta di TPa Piyungan, Kabupaten Bantul, memang telah menjadi kesepakatan tiga kabupaten yaitu Kab. Sleman, Yogyakarta, dan Bantul. Masing-masing kabupaten tersebut menyumbang sampah 6,63%, 93%, dan 0,04% sampah (Kasam, 2002).

Gangguan yang diakibatkan oleh sa m pah cukup merugikan masyarakat. Terutama gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungannya, gangguan terhadap kesehatan udara, air, tanah, dan gangguan sampah terhadap laju air (jika dibuang di saluran air seperti got atau sun gai). Dan segala kerugian ini akan di derita sendiri oleh masyarakat kota.

Dari tiga macam gangguan sampah ini saja, dampak akibat masing-masing pa rameter sangatlah besar. lihat saja kejadian yang terjadi di jakarta, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta sendiri. Kesehatan tubuh masyarakat terganggu, baik itu akibat udara yang tak sehat, kenyamanan penglihatan yang terganggu, dan yang lebih parahnya lagi, akibat sampah yang menggenangi dan menghambat laju air sungai, nyawa masyarakat manusia dan hewan ternak pun melayang.

Untuk itulah, perlu ada kebijakan peme rintah yang menyentuh lapisan bawah dan bahkan memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat, agar masyarakat juga dapat terlibat dalam pengelolaan sampah. Bahkan dilibatkan dalam penanganan sam pah yang mereka hasilkan sendiri, selama ini. atau sampah itu akan mengendap-en dap mengotori lingkungan kita.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [LINGKUNGAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Dauzan Farook,

Pustakawan Keliling dari Kauman PERPUSTaKaaN

bukan barang istimewa di negeri ini. Tapi bagaimana jika ada perpustakaan yang keliling tanpa memun gut uang sewa dan istimewanya lagi ditulangpunggungi oleh seorang kakek mantan veteran pejuang kemerdekaan? Dauzan Farook, demikian nama lengkap mantan pejuang angkatan ’45 itu. Dilahirkan di Yogyakarta, 77 tahun silam. Kini ia dikenal se bagai pustakawan keliling. Dimulai dari kegemarannya membaca buku, majalah dan berbagai literatur, membuatnya berniat untuk memiliki sebuah perpustakaan. ”Kemudian saya menulis surat ke Pak aR Fakhrudin di Majalah Suara Muhammadiyah,” jelasnya. ”aktivitas ini saya mulai pada tahun 1990, dan berkembang sampai sekarang,” katanya kepada HIMMAH. Setelah suratnya dimuat di Suara Muhammadiyah, simpati mulai berdatangan dari berbagai pihak. ”Banyak yang menyumbangkan majalah, buku kepada saya,” imbuhnya lagi. Semenjak itu, Dauzan yang saat ini dibantu oleh lima orang pegawainya, mengembangkan aktivitas perpustakaan keliling tersebut. ”Namun sampai sekarang, saya belum mengetahui pasti berapa jumlah pelanggan saya,” tuturnya. Cara distribusi majalah dan buku oleh ayah dari delapan orang anak ini tergolong unik. ”Saya proaktif, mendatangi tempat-tempat sep erti kelompok pengajian agama, masjid dan pondokan,” jelasnya. Distribusi juga dilakukan oleh para pegawainya, berkeliling di seputar kota Yogyakarta. ”Pegawai saya mulai mendistribusikan majalah dan buku pada pukul 12.00 hingga pukul 16.00,” katanya. ”habis sholat ashar, saya biasanya bepergian untuk monitoring beberapa pelanggan.”

Perpustakaan ini diberi nama Mabulir. Dauzan menjelaskan, hal tersebut merupakan singkatan. ”Ma itu dari majalah, Bu itu Buku, lir itu bergilir,” terangnya. Yang membuat berbeda dengan perpustakaan lain, perpustakaan yang dikelola pria yang saat ini masih senang bepergian dengan berjalan kaki itu, tidak memakai tenggat waktu secara jelas. ”Kalau orang yang saya pinjamkan buku itu sudah selesai membaca, baru dikembalikan,” jelasnya. ”Setiap buku sudah saya berikan kertas label yang bertuliskan amanat um mat,” ujarnya sambil memberikan contoh buku tersebut. ”jadi saya tekankan di sini adalah buku tersebut harus dimanfaatkan, jangan di-dzolimi,” tegasnya lagi. Faktor usia yang semakin senja, tak bisa terelakkan. Kadang kala hal inilah yang menjadi hambatan, terutama bagi kesehatan. Dauzan Farook pun merasakan hal terse but. ”Mata saya kalau membaca terasa seperti lengket,” ucapnya sambil menunjuk mata sebelah kirinya. ”Syarafnya sudah kena di sini,” imbuhnya lagi.

Sesekali wawancara disela oleh salah seorang pegawainya yang memanggil Dauzan untuk menjawab telepon, atau menjelaskan tugas yang belum dipahami. Memasuki rumahnya yang berfungsi sekaligus perpustakaan tersebut, akan ditemukan ribuan tumpukan buku, majalah dan kumpulan kliping. ”Maaf ya, tempatnya kurang bonafid,” katanya. Setelah itu, HIMMAH diajak ke bagian be lakang rumahnya. ”Ini tempat untuk mendata, memberi label dan menjilid,” jelasnya lagi. ”Silakan melihat-lihat.”

”Saya prihatin dengan kondisi generasi muda sekarang,” tutur Dauzan ketika disinggung tentang alasan mengapa perpustakaan keliling Mabulir dipertahankan hingga saat ini. ”Banyak bacaan yang merusak akhlak mereka,” ungkapnya lagi. Suami dari al

marhumah Siti Sudarina ini mengatakan bahwa ia juga menjalin kerjasama wiraswasta dengan beberapa agen penerbit. Dari sanalah kucuran dana dapat diteguk untuk membiayai perpustakaan Mabulir. ”Selain itu, anak-anak saya juga membantu,” ungkapnya lebih lanjut. Dauzan yang telah beberapa kali masuk ke dalam liputan media massa umum ini juga menjelaskan bahwa baginya, bersyukur adalah salah satu sikap yang ia pegang teguh selama ini. ”Saya mensyukuri sisa-sisa hidup ini,” jawabnya ketika disinggung tentang makna kehidupan. ”Kalau dulu saya ikut merebut kemer dekaan, maka sekarang pun saya ingin mengisi kemerdekaan itu, selain itu saya hanya mencari ridho allah,” ungkapnya bersahaja. Tari, salah seorang pegawainya kemudian melewati ruang tamu, di mana HIMMAH sedang mewawancarai Dauzan Farook. ”Permisi Mbah,” ucapnya ramah, sembari mengangguk kepada HIMMAH, tanda berpamitan. Waktu telah menunjukkan pukul 12. 15 WIB. Matahari sudah beranjak pada paruh siang. Bergulir ke barat, dan selalu menjumpai hawa dan adam keesokan harinya. Seperti seorang manusia yang tak mengenal kata lelah dalam perjalanan nya, walau negara ini sedang terjerembab. Dialah Dauzan Farook, veteran perang yang ingin berbagi secuil pengetahuan melalui perpustakaan keliling, perpustakaan Mabulir.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 2
[SOSOK]
M Ali Prasetya / HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . .

Teh

Penindasan

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [ L A C A K ]] ] ]
Pagilaran Beraroma
M
Ali Prasetya / HIMMAH Di balik kesuksesan mengekspor teh hitam dan teh hijau, PT. Pagilaran ternyata meny impan banyak masalah. Selain konflik kepemilikan lahan, perusahaan di bawah payung Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM ini, dianggap tidak memberikan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak normatif buruhnya, serta tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar yang konon adalah para pemilik kebun. Kesemuanya baru mencuat pada 1999, ketika terjadi pemutusan hubungan kerja sejumlah buruhnya. Padahal PT. Pagilaran telah beroperasi sejak 1964. REPORTER/PENULIS: WIDIYANTO, ILMIA A. RAHAYU, S. FAHRISALAM, SIGIT PRANOTO FOTOGRAFER: M. ALI PRASETYA, INDRA YUDHITYA

MATAHARI tidak bersinar terik pagi itu. Cahayanya tak mampu menembus kabut yang menyelimuti ka wasan Pagilaran. Di lereng Gunung Kamulyan, sebelah utara Gunung Dieng. Sekitar sepuluh pemuda mencegat di tengah jalan. Tak jauh dari pabrik pengolahan teh PT. Pagilaran. Sambil menyodorkan karcis agrowisata, salah seorang mendekati kami. Nendi, namanya. Kami mengerti maksudnya.

”Mau ke tempat mbah Tomo,” kata HIMMAH pada mereka. Spontan langsung ditarik pelan-pelan karcis tersebut. Diurungkan niatnya untuk memungut ’pajak’. ”Oo, silahkan langsung saja,” jawabnya. Mereka pun menyilahkan dengan ramah.

”Tapi, maaf, Mbah Tomo sudah meninggal dunia.”

Kami setengah tidak percaya. Maklum, dua bulan yang lalu, beliau masih segar bugar. Kata Nendi, Soe tomo nama lengkap Mbah Tomo meninggal karena sakit mendadak. Sekitar tiga minggu sebelumnya. Awal Desember 2002.

”Pas lebaran kemarin. Setelah shalat Ied,” ujar Misno (23), anak Soetomo. Almarhum Soetomo, sesepuh seka ligus tokoh Desa Kalisari, Pagilaran, boleh dibilang orang yang pertama kali membongkar kasus ini. Kasus yang sebenarnya telah lama terpendam. Antara PT. Pagilaran dengan warga setempat. Lokasinya meliputi lima desa:

Keteleng, Kalisari, Gondang, Bismo, dan Bawang Kecamatan Blado Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Tanggal 3 November 1999, mulailah perjuangan Soetomo. Dengan kondisi pas-pasan, ia beserta 84 warga lainnya, menggunakan dua bus, mendatangi LBH Semarang. Mengadu. ”Kami mengajukan apakah kasus ini bisa diproses secara hukum atau tidak,” kenang Soetomo sebelum meninggal.

Mereka memprotes tindakan PT. Pagilaran yang mereka nilai sewenang-wenang. Merampas tanah garapan mereka. Luasnya, sekitar 450 hektar dari total 1.113 hektar. Itu terjadi pada tahun 1966. Dasar perampasan adalah surat instruksi pencabutan hak garap oleh pemerintah. Dikeluarkan oleh T. Chandra Brata, BSc, kepala bagian kebun, yang ditujukan kepada Muchlas (81).

Isinya, ”Kepada semua penggarap tanah-tanah bekas garapan orang-orang Gestapu, dengan ini diinstruksikan agar menetapi/ mentaati pengumuman Task Force Siaga Komando Kebun Pagilaran tertanggal 26 April 1966 tentang pencabutan tanah-tanah tersebut dalam keadaan yang bagaimanapun. Barang siapa yang pada saat ini masih belum mentaati instruksi tanggal 26 April 1966, atau masih mengerjakan tanah-tanah Gestok tersebut akan diambil tindakan berdasarkan

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
kantor pt pagilaran di Batang, Jawa tengah. Beroperasi sejak 1964, persoalannya mencuat baru 1999
. . . . . . .
Indra Yudhitya
/ HIMMAH

ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sekian agar menjadikan maklum.”

Dengan surat itu, terjadi pergantian penguasa kebun. Dari petani ke pemerintah. Pemerintah melimpahkan ke Fakultas Pertanian UGM dan membentuk PN. Pagilaran. Petani sendiri nasibnya tak menentu. Ada yang dibuang ke Pulau Buru. Transmigrasi keluar Jawa. Ada juga yang tetap tinggal di lokasi dengan status buruh perkebunan. Kondisinya, menurut Muchlas meski ia adalah orang yang menjalankan instruksi pemerintah sangat jauh dari keadaan semula. Dulu, setiap keluarga mempunyai lahan seluas sekitar dua hektar. Tanaman jagung dan palawija lainnya tumbuh subur. ”Kita hidup makmur,” tutur Soetomo kala itu.

Jauh hari sebelumnya, almarhum Soetomo, Muchlas, maupun para sesepuh warga juga mengalami tindakan serupa. Tiga kali masa penjajahan sekalipun. Belanda, Inggris, dan Jepang datang silih berganti untuk mengua sai. Awalnya sekitar tahun 1840, seorang warga ne gara Inggris, bernama E Blink, membuka lahan untuk perkebunan kopi di Pagilaran. Termasuk pohon kina obat malaria. ”Ia yang pertama kali membuka hutan jadi lahan,” cerita Dirjo. Sedang, ”Masyarakat membuat desa. Dengan kesepakatan tiap kelompok keluarga membuat desa baru,” lanjutnya. Ada empat blok. Yakni, blok Giyanti, Pacidukan, Kwarasan, dan Gamblok.

Hal itu berlangsung lumayan lama. Sekitar 40 tahun. Menurut sejarah kebun yang dikeluarkan PT. Pagila ran, tahun 1880 kebun Pagilaran kemudian dikuasai sebuah maskapai perdagangan Belanda. Dalihnya kepada penduduk adalah untuk disewa. Dalam masa ini, penduduk yang semula berpencar-pencar dijadikan satu lokasi. Di Pacidukan, nama sebelum Pagilaran. ”Belanda yang mengusulkan itu,” tutur Dirjo yang pernah ber transmigrasi ke Sumatera Selatan itu. Akibatnya, sebagian besar waktu penduduk dihabiskan untuk mengolah perkebunan kopi milik perusahaan.

Tahun 1922, menurut sejumlah warga, lantas disewa oleh perusahaan milik Inggris bernama Pemanukan and Tjiasem Land’s atau biasa disingkat P&T Land’s berkan tor di Subang, Jawa Barat. Jangka waktunya lama: 75 tahun. Tapi, menurut PT. Pagilaran yang terjadi antara warga dengan P&T Land’s adalah proses jual beli. Bukan sewa menyewa.

Di sekitar tahun itu pula pabrik pengolahan pernah dibakar. Oleh penguasa baru, P&T Land’s, pabrik lantas dibangun lagi. Ditambah pembangunan emplacement Binorong, Andongsili, Pager Gunung, dan Pagilaran untuk warga sekitar. Tanaman kopi dan kina mereka ganti dengan kebun teh. Tapi, masih ada lahan untuk cocok tanam. Warga pun mempunyai mata pencaharian ganda: bertani dan buruh di perusahaan.

Tahun 1942. Jepang datang. Di tengah semangat Pan Asia-nya, ’saudara tua’ berhasil menaklukkan Belanda di Indonesia. Tanpa syarat. Belanda dipaksa angkat kaki. Begitu pula P&T Land’s di Pagilaran. Jepang tampil sebagai penguasa baru. Tapi, tidak sepenuhnya tanah dikuasainya. Penduduk diberi tanah oleh Jepang untuk dikelola sendiri. Jumlahnya 450 hektar. Mereka menanaminya jagung. Selain untuk kebutuhan sendiri, penduduk juga harus membagi dengan Jepang. Untuk logistik perang. ”Pembagiannya setengah untuk kami,

setengah untuk Jepang,” kenang Soetomo sebelum meninggal. Sisanya: 663 hektar masih digunakan untuk keperluan pabrik. Lahan ini, menurut warga, setelah ditinggal P&T Land’s, dalam keadaan rusak. Warga, oleh Jepang, disuruh untuk merawatnya.

Jepang kemudian mengangkat pimpinan kebun Pagilaran. Yakni, pak Salman. Ia adalah orang yang menyerahkan surat-surat sewa tanah untuk diserahkan kepada Lurah Kromodiwirjo, dan Carik Atmowikarto. Inilah, menurut anggapan warga, sebagai bukti sewa dengan perkebunan yang dikelola Jepang. ’Saudara tua’ sendiri tak bertahan lama di Indonesia. Singkat. Hanya tiga tahun berkuasa. Tak terkecuali di Pagilaran.

Tahun 1945, Jepang mengalami kekalahan di Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 negara kita memproklamirkan diri. Nasionalisasi perkebunan pun dilakukan oleh pemerintahan Soekarno. Jepang lantas tak lagi berkuasa di Pagilaran. Masyarakatlah yang menguasai dengan melanjutkan kehidupan mereka. Bercocok tanam di lahan 450 hektar, pemberian Jepang sebelumnya.

Empat tahun berikut, tepatnya 1949, Belanda melakukan agresi militer terhadap Indonesia untuk ked ua kalinya. Agresi Pertama dilakukan bulan Juli 1947. Agresi itu juga berpengaruh pada kepemilikan kebun Pagilaran. P&T Land’s hendak menguasai perkebunan kembali. Daripada jatuh ke penjajah, menurut warga, aset-aset yang masih ada, kemudian dibakar. Tindakan tersebut, masih menurut warga, ternyata tetap tidak mengurangi niat P&T Land’s untuk menguasai kebun Pagilaran. Akhirnya, perusahaan swasta berbendera Ing gris itu, yang menguasai. Dokumen tanah yang dipegang Lurah Kromodiwirjo, dan Atmowikarto dibakar.

Perusahaan itu menguasai untuk periode kedua hingga 1964. Menurut PT. Pagilaran, dikarenakan hak guna P&T Land’s telah habis. Periode kedua kepengua saan P&T Land’s, tahun 1949 hingga 1964 ini, menurut penuturan warga, perusahaan hanya menguasai 663 hektar. Seperti masa Jepang sebelumnya. Sisanya, dikelola warga. ”Petani harusnya yang mendapat pri oritas menjadi pemilik, karena lebih dari 20 tahun menguasai. Itu menurut aturannya,” tutur Asep dari LBH Semarang.

Tapi, nasib menyatakan lain. Tanggal 23 Mei 1964, kebun lantas dikuasai pemerintah dan diberikan kepada Fakultas Pertanian (Faperta) UGM. Tujuannya, untuk meningkatkan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penelitian, pengembangan, dan pengabdian masyarakat.

Proses peralihan itu ternyata diwarnai aksi intimi dasi dan paksaan terhadap warga. Agar mereka meny erahkan tanah yang dikelolanya. Stigma PKI mereka hembuskan. ”Saya ditangkap dengan tuduhan sebagai mata-mata PKI,” tutur Dirjo. Begitu pula yang dialami almarhum Soetomo. ”Kami hidup di bawah tekanan, teror, supaya menyerahkan tanah yang kami miliki. Kalau menolak, kami di cap Gestok.”

Tahun 1964 pula, lahan yang mereka kelola akhirnya jatuh ke tangan negara yang memberikannya pada Faperta UGM dan dikelola PN. Pagilaran. Luasnya

 [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

bertambah. Dari 663 hektar, peninggalan P&T Land’s, menjadi 883 hektar. Luas dan diperluas hingga 1.113 hektar. Jumlah terakhir berdasar HGU, bertanggal 28 Juni 1983 dan akan berakhir 31 Desember 2008.

Sejak saat itulah warga mengalami trauma ber kepanjangan. Tahun 1965 adalah sejarah pahit bagi petani Pagilaran. Tanah dirampas. ”Tanaman dicabuti semua. Bahkan, banyak di antara mereka tidak kembali dan tidak diketahui nasibnya sampai sekarang,” kenang Dirjo. Tanah berpindah tangan. Beralih ke PN. Pagila ran, perusahaan di bawah naungan Yayasan Pembina Faperta UGM.

”Setelah UGM (PN. Pagilaran-red.) masuk, saya ber harap mereka memperlakukan kami lebih baik. Namun, kondisi kami lebih parah. Lebih baik Belanda dibanding UGM,” aku Wahyu, salah seorang warga Pagilaran yang mengeluh, didukung beberapa petani lain saat ditemui HIMMAH.

Akibatnya, warga pun beralih pekerjaan. Tak ada lagi petani, yang ada adalah buruh. Nasibnya juga tak mu jur. Tunjangannya kian hari semakin memprihatinkan. ”Bayangkan dari beras, kemudian diganti uang. Seka rang tiada tunjangan apa pun. Kita benar-benar diek sploitasi,” kata Muchlas. Padahal sebelumnya, buruh mendapat bayaran besar ditambah tunjangan kain 3,5 meter per tahun. Saat bekerja pada perusahaan sebel

umnya. ”Pokoknya makan kita terjamin,” lanjutnya. Muchlas sendiri terkena PHK pada tahun 1979. Jabatan terakhirnya karyawan bagian keamanan.

Tahun 1985, PT. Pagilaran juga dituduh mengambil alih lahan milik warga Dukuh Kemadang seluas 52 hektar. Indikasinya ada tumpang tindih HGU dengan sertifikat hak milik warga. Kasus tersebut belum selesai hingga sekarang.

Kini, warga Pagilaran hidup miskin. Jangankan punya tanah. Kebun teh yang subur telah dipunyai oleh PT. Pagilaran. Warga berusaha menggugatnya. ”Mereka te lah merampas hak-hak kami.” tegas Soetomo sebelum meninggal dunia. Tentu gugatan warga ini disanggah pihak PT. Pagilaran. ”Kami kan sudah ada HGU (Hak Guna Usaha)-nya,” kilah Sudarmadi, Direktur Utama PT. Pagilaran.

Meski demikian, perjuangan warga tetap jalan terus. Perusahaan lantas menyambutnya dengan memasang papan HGU di areal kebun teh. Tanggal 11 Desember 1999. Tindakan ini, oleh sejumlah warga, dirasa janggal. Sebelumnya, tidak pernah ada. Kenapa baru dilakukan, setelah ada tuntutan warga? Aneh. Sehari kemudian, papan-papan tersebut dicabut oleh warga. Alasannya, papan tersebut dipasang di atas tanah yang diklaim milik warga.

Di samping itu, warga juga mendirikan wadah untuk menampung aspirasi mereka. Namanya, Paguyuban Petani Korban PT. Pagilaran (P2KPP). Pembentukannya difasilitasi oleh LBH Semarang. Lewat organisasi inilah warga melakukan aktivitas yang berkaitan dengan usaha pengembalian tanah. Belakangan, namanya berubah menjadi Paguyuban Masyarakat Gunung Ka mulyan (PMGK)

Kemudian tanggal 17 Januari 2000, warga melan jutkan dengan pematokan sebagian tanah yang diklaim miliknya. Bukan milik perusahaan. Sekitar 1500 petani hadir di sana. Aksi itu disaksikan oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Blado. Terdiri dari: Danramil, Kapolsek, dan Camat Blado.

Tindakan ini direspon oleh PT. Pagilaran dengan mengadukan ke Polres Batang. Dua hari kemudian, tujuh warga dipanggil polisi. Tuduhannya, melakukan pematokan di atas tanah yang bukan miliknya. Namun, ditanggapi warga dengan tidak memenuhi panggilan.

Usaha pengembalian tanah ini dilanjutkan dengan DPRD Kabupaten Batang tanggal 22 Januari 2000. Dengan Kepala Kajari, Ketua PN, Kapolres, Bupati, dan BPN Batang di Markas Polres tanggal 27 Januari 2000.


korban pt. pagilaran. Mendirikan wadah menampung aspirasi
. . . . . . . . . . . . . . .
Indra Yudhitya
/ HIMMAH [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]

Dua minggu berikutnya, warga mendatangi kantor BPN Batang. Tujuannya, untuk klarifikasi dan meminta datadata tentang perkebunan. Jawabannya: BPN Batang menolak dengan alasan harus ada ijin dari BPN Kanwil Jawa Tengah dan pemilik HGU. Setiap pertemuan tidak membawa kemajuan yang berarti. Petani bahkan men gaku ditekan, karena mereka dianggap mengada-ada dan aparat dirasa membela PT. Pagilaran.

Akhirnya, tanggal 8 Mei 2000 mulai dilakukan pengukuran ulang. Pengukuran ini, kata Sudarmadi, mengungkapkan bahwa luasan tanah awal PT. Pagila ran masih sama dengan pada awal pemberian HGU. Ia bahkan meminta petani untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan.

Lamanya proses penanganan kasus membuat petani menjadi tidak sabar. Mereka mulai menggarap tanah yang mereka yakini tanah mereka, pada awal Juli. Ini membuat Kepolisian Batang menangkapi petani pada pertengahan Juli 2001. Mereka dikriminalisasikan. Tindakan itu dilakukan secara semena-mena dengan pengerahan dua truk Dalmas (Pengendalian Massa), sebuah truk TNI, dan tiga mobil patroli polisi. Seperti sudah direncanakan, aparat juga mendatangkan dua buah ambulan. ”Penangkapan hanya dilakukan terha dap pelaku penjarah dan perusakan tanaman teh sesuai dengan prosedur hukum,” tutur Supt. Int. Abdul Cholik, Kapolres Batang saat itu.

Ibarat sebuah penggrebekan massal, polisi meng gedor-gedor pintu rumah warga. Intimidasi dan ancaman dilakukan. Senjata ditodongkan. Dan juga, ”Tiaptiap gang dijaga polisi,” kata Sariani yang suaminya ikut ditangkap. Kejadian itu berlangsung selama tiga hari. Penduduk menjadi trauma. Mereka kemudian men gungsi ke desa-desa lain. Untuk keluar desa, mereka harus melewati jalan setapak di kebun. Jalan tikus, warga menyebutnya.

Tempat yang dituju adalah Kecamatan Bandar. ”Saya sempat mengungsi selama satu setengah bulan. Saya takut,” cerita Tuarni (34), seorang karyawan yang lang sung di PHK tanpa diberikan pesangon karena peristiwa itu. Mereka juga pernah mengadu pada Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, ibu negara waktu itu. Tak ada perkembangan besar.

Bahkan, sebanyak 21 warga tanggal 14 Desember 2000 dihukum tujuh bulan penjara akibat kriminal isasi. Mereka banding. Seminggu kemudian mereka dibebaskan.

Lama tak muncul ke publik, warga kemudian men

gadakan gelar kasus bertajuk ”Masyarakat Pagilaran menuju Lahan Garapan dan Pemukiman” pertengahan Februari 2003. Seminggu kemudian, 4000 warga yang tergabung dalam PMGK, serta Forum Persaudaraan Petani Batang (FPPB), dan berbagai eleman masyarakat di Batang mendatangi kampus UGM untuk minta perny ataan sikapnya atas kasus ini. Tapi, mereka tidak ber hasil bertemu dengan Prof. Sofyan Effendi, Rektor UGM.

 [ L A C A K ]] ] ]
Unjuk rasa di kampus UGM. Tanggapan kurang memuaskan
. . . . . . . . . . . . . . .
Indra Yudhitya / HIMMAH
[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]

Pengusaha Berbaju Kampus

Diberi lahan oleh negara, PT. Pagilaran sekarang tampil eksis. Tumbuh, berkembang bersama dengan penderitaan buruhnya. andalannya, Pagilaran, yang sekarang bermasalah. Tak lain, karena faktor sejarah penguasaannya.

”Sebenarnya Pagilaran itu diberikan pemerintah, dalam nasionalisasi perusahaan dalam negeri,” kata Sudarmadi. Itu terjadi setahun sebelum meletusnya G 30 S/PKI. Tepatnya 23 Mei 1964. Statusnya masih perusahaan milik negara dengan nama Perkebunan Negara (PN) Pagilaran, di mana seluruh kekayaannya milik negara. Sedang, pengelolaannya diserahkan ke Fakultas Pertanian (Faperta) UGM dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Luasnya 1.113,84 hektar. Terletak di tujuh desa di Kecamatan Blado.

Menurut Asep Firdaus dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang selaku pendamping warga, tindakan itu patut dipertanyakan. Karena faktor sejarah penguasaan lahan, tentunya. ”Tahun 1964-1967, pihak PT. Pagilaran menggunakan isu PKI untuk mengambil alih pengua saan dari masyarakat,” katanya. Kemudian dilanjutkan dengan pencabutan hak garap lahan pertanian yang dikuasai masyarakat. Besarnya sekitar 450 hektar.

BANGUNAN bercat kuning itu tampak ramai. Banyak mobil berjajar memenuhi pelataran parkir yang relatif sempit. Tak kalah, sepeda motor pun tertata rapi di dekat ruang penerimaan tamu. Di dekat pintu keluar terdapat pos jaga satpam. Di pagar luar tertera nama kantor itu: PT. Pagilaran. Lokasinya cukup strategis di bilangan Kotabaru, Yogyakarta. Letaknya berada di antara beberapa bangunan klasik arsitektural Belanda tempo dulu. Tapi, kantor itu tidak meniru gaya arsitektur tersebut. Tidak besar dan tidak tinggi pula, ciri bangunan gaya Belanda. Kantor itu hanya satu lantai dan tambun seperti bangunan di Jawa kebanyakan.

Boleh jadi perusahaan di bawah payung Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM itu agak tertutup. Untuk menelpon saja, Anda akan menemui operator otomatis sebelum tersambung dengan bagian yang dituju.

”Terima kasih Anda telah menghubungi PT. Pagila ran, Yogyakarta. Tekan nomor extensi yang Anda tuju, atau tekan 0 untuk menghubungi operator,” bunyi suara gadis operator otomatis itu. Kemudian dilanjutkan versi Bahasa Inggris-nya.

”Kadang, istri saya pun sampai bingung dengan itu,” ujar Sudarmadi, Direktur Utama PT. Pagilaran.

Untuk ukuran ’perusahaan kampus’, PT. Pagilaran ini tergolong perusahaan besar. Lokasi pabriknya tersebar di enam lokasi, meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. (Lihat Profil dan Struktur PT. Pagilaran). Areal kebun teh

”Saya masih punya surat itu. Sudah sangat tua,” tegas Asep. Dengan berbekal surat itu, lanjutnya, telah terjadi perampasan. Legitimasinya tidak ada.

Meski demikian, toh PN. Pagilaran terus meleng gang. Bahkan, per 1 Januari 1974 status perusahaan berubah: dari PN. Pagilaran menjadi PT. Perkebunan Perindustrian Perdagangan dan Konsultasi Pagilaran. Disingkat PT. Pagilaran. Dekan Faperta UGM secara ex officio duduk sebagai ketua dewan komisarisnya. Anggota komisarisnya dari kalangan dosen yang dipilih secara periodik empat tahun sekali. Tugas operasional perusahaan sehari-hari berada di bawah tanggung jawab seorang direktur utama, yang membawahi direktur produksi dan direktur umum. Duduk sebagai direktur utama pertama kali adalah Soedarsono Hadisaputro yang menjabat dari tahun 1964 hingga 1967. Sekarang, sejak tahun 2000, jabatan direktur utama dijabat oleh Sudarmadi.

Seiring dengan berubahnya status, maka pemilik pun berganti. Tidak seratus persen milik negara lagi, tapi milik Yayasan Pembina Faperta UGM. Di samping itu, ”Ada juga sebagian sahamnya dimiliki masyarakat luar UGM,” ungkap Agus Dwiyanto, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pengembangan Usaha UGM seperti dikutip oleh Kompas

Tujuan awal perusahaan ini adalah mengemban misi Tri Dharma perguruan tinggi. Meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. ”Ternyata men urut pemerintah, bisa berjalan dengan baik. Kebunnya makin bertambah luas, dan semakin produktif,” kata Sudarmadi. Sekarang, 75 persen hasilnya untuk ekspor.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
kantor pt. pagilaran di Yogyakarta. Tergolong perusahaan besar
. . . . . . . . . . . . .
Ujang
Priatna / HIMMAH

Sisanya untuk memenuhi pasaran teh lokal.

Bagaimana dengan Laba Perusahaan?

Hary Saksono, Direktur Umum dan Komersial PT. Pagilaran, dalam bedah kasus ’Masyarakat Pagilaran menuju Lahan Garapan dan Pemukiman’ di Yogyakarta pertengahan Februari 2003 yang lalu tidak dapat mem berikan keterangan besarnya nominal. ”Ini bukan rapat umum pemegang saham (RUPS),” katanya. Informasi tersebut sangatlah rahasia. Suara senada juga keluar dari Sudarmadi yang tidak bisa mengatakan nominal laba PT. Pagilaran.

Dari berbagai informasi yang dikumpulkan HIMMAH, laba PT. Pagilaran dalam setahun bisa mencapai mil iaran rupiah. Konon, untuk tahun 2001 saja, besarnya sekitar Rp 2 hingga Rp 3 miliar. Wajar, karena hasilnya kebanyakan diekspor menghasilkan devisa, sedang biaya produksinya menggunakan rupiah. Kita tahu nilai tukar rupiah terhadap dollar pasca krisis justru menguntungkan ekspor komoditas pertanian. Kalkulasi itu muncul karena dalam setahunnya, PT. Pagilaran mampu menghasilkan sekitar 8,5 hingga 12 ton per hektar. Produksi teh hitam maupun teh hijau keseluruhan sebesar 18 ribu ton setahun.

Dari total laba yang didapat, menurut Sudarmadi, sekitar 25 hingga 30 persennya digunakan Faperta UGM dengan terlebih dulu dihimpun oleh Yayasan Pembina. ”Untuk operasional pendidikan, pengajaran, dan peng abdian untuk masyarakat,” aku Sudarmadi yang telah menjabat sebagai direktur utama sejak tahun 2000 ini. Dan juga untuk gaji karyawan, yang menurutnya, mengeluarkan biaya paling besar. Untuk karyawan tetap dan buruh harian yang dibayar setiap hari.

”Khusus bulanan sekarang sudah diberi sesuai upah minimum regional (UMR). Kalau yang harian, kalau tidak bekerja tidak dibayar,” kata Sudarmadi. Pembedaan tersebut yang ditentang keras oleh LBH Semarang, selaku pendamping warga. Dalam pendapat hukumnya, LBH Semarang menyatakan bahwa tindakan PT. Pagi laran bertentangan dengan Peraturan Menteri Tenaga (Permenaker) nomor 6 tahun 1985.

“Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja har ian lepas terhadap pekerjaan yang bersifat rutin, tetap dan berlanjut kecuali terhadap pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus menggunakan pekerja harian lepas.” Lebih lanjut, ”Seorang buruh harian lepas setelah ia bekerja selama 3 bulan, maka ia mendapatkan hak yang sama dengan buruh harian tetap. Baik hak-hak normatif seperti upah, cuti, uang makan dan transport ataupun hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan.”

Sekarang, karyawan PT. Pagilaran berjumlah 3.291 orang. 2.443 orang diantaranya bekerja di unit Pagi laran. Unit Sidoharjo berjumlah 190 orang. Segayung Utara ada 156, Jatilawang 193, Kaliboja 178, dan Sami galuh 88 orang. Sedang, karyawan di Kantor Direksi berjumlah 43 orang.

Sesuai dengan aturan ketenagakerjaan, maka PT. Pagilaran wajib mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jam sostek). Perusahaan telah jauh melampaui jumlah mini mum pekerja yang telah ditetapkan. Minimum 10 orang pekerja. Tapi, data yang diperoleh HIMMAH untuk unit Pagilaran, Batang, hanya 349 buruh yang didaftarkan.

Unit Segayung 28 orang, Kaliboja 36, Sidoharjo 24, dan unit Jatilawang 32 orang. Hanya sekitar 15 persen dari total karyawannya. Itu pun kebanyakan dari karyawan tetapnya. Sisanya, buruh sendiri yang harus menang gung jika terjadi resiko kecelakaan kerja. Bahkan, untuk membeli alat kerja sekalipun.

Dengan kecurangan itu, PT. Pagilaran dapat dipidana kan. Yang berhak adalah Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) Kabupaten Batang dengan rekomendasi dari PT. Jamsostek selaku penyelenggara program. ”Kita tidak punya wewenang mengikat. Karena kita hanya badan penyelenggara. Itu wewenang Depnaker,” kata Heru, Bagian Pemasaran PT. Jamsostek Pekalongan yang membawahi wilayah kerja pabrik unit Pagilaran. PT. Jamsostek sendiri hampir setiap bulan menyurati Depnaker. Sayang, tidak ada respon dari mereka. Sekali lagi, ”Kami hanya sebatas memberi rekomendasi,” kata Heru ketika dihubungi via telepon.

Akankah ’pengusaha berbaju kampus’ ini diadukan ke meja hijau? Tergantung Depnaker jawabnya.

 [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
kecaman untuk pt. pagilaran. Tidak ada respon dari Depnaker
. . . . . . . . . . . . . . . . .
Indra Yudhitya HIMMAH

Potret dari Kaki Kamulyan Hamparan kebun teh yang termasuk permukiman buruh di dalamnya. Jauh dari layak, untuk ukuran tempat tinggal.

SEKILAS pemandangan di Pagilaran tak jauh beda dari Puncak, Bogor yang terkenal itu. Hawa yang sejuk. Hamparan kebun teh yang luas. Atau agrowisata yang indah. Di sana terdapat wisma-wisma peristirahatan, dan juga gedung pertemuan. ”Anda kalau mau, bisa pesan,” kata seorang staf kantor kepada HIMMAH.

”Berapa?”

”Sesuai dengan tarif.”

Obrolan tidak kami lanjutkan. Terbayang akan suasana pilu di Pagilaran maupun di Binorong. Tempat dua komplek permukiman buruh yang kusam. Jauh dari layak. Ukurannya kecil: 4 m x 6 m. Atapnya seng. Berpintu satu. Tembok pun hanya setengah dari tinggi rumah. Selebihnya, ditutup menggunakan kayu yang dicat sesuai dengan warna temboknya. Singkatnya, sangat memprihatinkan.

Di Pagilaran terdapat lebih dari 5.000 orang yang menempati rumah yang mereka biasa sebut emplace ment atau permukiman buruh yang dibuat pabrik. Pa dahal jumlah rumah hanya puluhan. Satu rumah bisa dihuni tiga hingga empat keluarga. Rumah Muchlas, misalnya. Sesepuh warga Pagilaran itu terpaksa menempatinya bersama istri, anak, dan menantu, serta cucunya.

Itu yang tidak mengemuka dalam obrolan kami dengan staf perusahaan. Sudarmadi, Direktur Utama PT. Pagilaran pernah mengatakan, bahwa fasilitas pe rumahan untuk karyawan tersebut sangatlah istimewa. Karena, menurutnya, hal itu berkait dengan kebutuhan pokok manusia. Yakni, rumah.”Walaupun tuntutan itu tidak layak bila dibanding industri tekstil, misal,” katanya.

Warga sendiri sekarang merasa bimbang. Salah

satu sisi mereka menginginkan perbaikan, tapi di sisi lain, rumah yang mereka tempati bukan miliknya. ”Kami serba salah dengan status rumah. Kalau mau merenovasi, bukan hak milik kami. Sedang kalau hujan, air masuk semua,” tutur Misno, penduduk Pagilaran. Padahal mereka telah membayar Rp 1.000 per hari untuk ’ongkos sewa’.

Belum lagi soal penyediaan kamar mandi. Di dua komplek permukiman buruh tersebut, tidak semua warga memilikinya sendiri. Yang ada adalah kamar mandi untuk umum. Di emplacement PT. Pagilaran, terdapat dua atau tiga buah kamar mandi untuk se tiap RT-nya. Sedang, di komplek Binorong, yang terdiri sekitar 14 kepala keluarga (KK), lebih mengenaskan. Kamar mandi yang tersedia hanya satu. Warga harus rela antri untuk mandi.

Masalah air juga demikian. Perusahaan menga lirkan air melalui pipa bawah tanah ke permukiman, wisma-wisma, masjid, dan sarana fisik lainnya yang berada di komplek perkebunan. Tapi, menurut warga, perusahaan dianggap pilih kasih alias diskriminatif. ”Air diperuntukkan bagi tamu wisma, dengan mematikan saluran ke warga,” tutur Misno. Akibatnya, air yang mengalir ke komplek emplacement menjadi macet. Apalagi, lanjutnya, jika musim kemarau tiba. Warga tambah susah. Tindakan itu besar kemungkinan ter jadi, karena secara geografis, letak pabrik dan kantor kebun perusahaan yang lebih tinggi bila dibanding letak emplacement warga.

Emplacement PT. Binorong merupakan bagian terba wah. Terpisah dengan komplek lainnya. Menuju tempat ini harus melalui jalan tak beraspal. Masuk sekitar dua ratus meter dari jalan utama. Bentuk rumahnya mirip dengan emplacement PT. Pagilaran.

Sekitar empat ratus meter dari Binorong menuju ke pabrik, terdapat pos jaga satpam. Pintu masuk-keluar menuju komplek PT. Pagilaran. Hanya itulah satu-sat unya jalan menuju perkebunan. Letak kebun yang be rada di lereng Gunung Kamulyan membuat daerah ini seperti terisolir dengan daerah lain. Setiap pengunjung yang datang selalu ditanya keperluannya. Di tempat ini, polisi dulu pernah melakukan blokade terhadap warga ketika terjadi penangkapan, bulan Juli tahun 2000. Akibatnya, saat itu, warga terpaksa menyusuri jalan tikus di sela-sela kebun teh untuk mengungsi.

Tepat di depan pos jaga, terdapat jalan bercabang. Satu arah menuju emplacement , arah lain menuju wisma, lapangan tenis, maupun pabrik PT. Pagilaran. Jalannya juga tidak beraspal. Hanya tumpukan batu yang tersusun rapi. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sangat dekat. Bahkan ada yang saling berimpitan. Ada yang punya halaman, ada yang tidak. Yang punya, luasnya tak lebih dari sepuluh meter persegi.

Sangat jauh bila dibandingkan dengan wisma peristi

0[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Emplacement. Satu rumah empat kepala keluarga
. . . . . . . . . . . . . . . Indra Yudhitya HIMMAH
 [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
 [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]

Nganggur di Negeri Makmur

galami hal serupa. Di PHK dengan alasan lanjut usia. Ketika hendak minta pesangon, yang memang haknya, ia justru mendapat makian dari pimpinan kebun. ”Sudah beruntung kamu tidak dikeluarkan dari desa ini,” kata Dirjo menirukan. ”Sedih dan miris saya... Rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya untuk meluapkan kekesa lan ini.” Terlihat linangan air mata Martiah mengucur. Nafasnya sedikit tersengal-sengal.

SARIANI (38) berhenti sejenak ketika bercerita. Air matanya keluar perlahan. Ia menangis, menangis, dan terus menangis. Sekitar tiga menit lamanya.

”Saya teringat kejadian itu..,” kata Sariani didamp ingi anak bungsunya. Peristiwa penangkapan suami, dan dua puluh warga lainnya oleh polisi, 11 Juli 2000 yang lalu. ”Saya tidak tahu, apakah suami saya disiksa atau tidak,” lanjutnya khawatir.

Akibat peristiwa itu, ia dan banyak warga sekitar, terpaksa kehilangan pekerjaan. Dikeluarkan dari pe rusahaan dengan alasan yang tidak jelas. Tanpa pesan gon. Sebelumnya, ia kerja sebagai buruh harian lepas bagian sortasi. ”Saya kerja di situ, mulai kelas enam SD. Sekitar tahun 1979,” ujar Sariani polos. Dengan pember hentian sepihak oleh perusahaan, ia hingga sekarang menganggur total. Demikian pula suaminya. Sudah tiga kali berusaha melamar pekerjaan ke PT. Pagilaran, tiga kali pula ia ditolak jajaran direksi. Perusahaan menu tup pintu bagi kehadiran Sariani untuk kembali kerja. ”Padahal saya ini pribumi sini,” kata Sariani.

Demikian pula yang dialami Mismin (41). Dikeluar kan dari perusahaan, meski dari segi usia maupun fisik, ia masih mampu. Sudah 22 tahun ia bekerja untuk PT. Pagilaran. ”Padahal kalau sudah lama bekerja seha rusnya sudah menjadi harian tetap,” protesnya. Tidak hanya itu. Ia juga turut dipenjara. ”Jadi saya nganggur sudah tiga tahun.”

Lebih tragis lagi nasib Martiah (35). Istri Dirjo ini men

Sama halnya dengan Wahyudi. Usianya relatif muda: 28 tahun. Ia pernah bekerja di perusahaan sebagai security, dan resmi keluar tahun 1995. Bukan karena dikeluarkan, namun panggilan moralnya membela kebenaran dan keadilan. Ceritanya, ”Ada kepala bagian (kabag) satpam yang dengan semena-mena memindah seorang pemetik teh yang tengah hamil tujuh bulan, di puncak Kalilandak,” kenang Wahyudi. Ia lantas marah. Tindakannya tersebut menyinggung perasaan kepala bagian (kabag) satpam saat itu. Lantas sang kabag tersebut menegur Wahyudi. Ia dikira punya hubungan darah dengan pemetik teh itu. Padahal tidak. ”Saya merasa tidak dihargai. Lebih baik keluar.” Sekarang, ia masih tinggal bersama orang tuanya di emplacement, Paidi dan Misni. Keduanya buruh perusahaan.

Sariani, Mismin, maupun Martiah adalah pengang guran, korban PHK sepihak. Jumlah warga seperti mereka sekitar 250 orang. Ada juga yang menyebut 419 orang. Perbedaan jumlah ini dikarenakan ada sebagian warga yang telah di PHK besar-besaran tahun 1999 itu awal mencuatnya kasus ini dipekerjakan kembali oleh perusahaan.

Tidak hanya pengangguran korban PHK yang banyak dijumpai di sana. Pemuda usia produktif yang tak bek erja tak kalah banyaknya. Menurut penuturan warga, itu terjadi karena mereka tidak diberi akses oleh pe rusahaan. ”Tidak pernah memberi kesempatan kepada kami,” tutur Misno, anak Sutomo.

Contohnya Nendi. Umur 20-an tahun. Rambutnya tipis cepak. Anting di telinga kirinya. Tutur katanya halus. Ia termasuk pemuda kurang mujur. Tidak punya pekerjaan tetap. Kegiatannya insidental sebagai penarik retribusi agrowisata Pagilaran. Tentu bekerja sama dengan Pemda setempat dan PT. Pagilaran sendiri. Kegiatan itu ia lakukan dengan teman-temannya setiap hari Minggu atau hari libur lainnya. Di luar hari-hari itu, Nendi maupun sesama penarik karcis, tidak punya pekerjaan tetap. Menganggur. Bagi yang tua, pekerjaan nya mencari kayu bakar di hutan sekitar untuk dijual. Dari sana, mereka mampu bertahan hidup. Perusahaan menutup mata. Tidak mau mempekerjakan mereka. ”Kalau tidak kuat, rata-rata merantau ke kota cari kerja. Itu hanya jadi tukang batu. Terus yang perempuannya biasanya jadi ibu rumah tangga,” jelas Misno.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Banyak pengangguran di sekitar pabrik. Perusahaan diam seribu bahasa. Bentuk pengusiran secara halus?
. . . . . . . . . . . . . .
Buruh pabrik pt. pagilaran. Tidak semua dari daerah Pagilaran
Widiyanto / HIMMAH

Terpaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak lain, karena pabrik yang berada di komplek pemukiman mereka, tidak tanggap. Warga memandang perusahaan selama ini, telah bertindak kejam. Di samping juga telah membo hongi mereka. ”Saya masih ingat janji UGM (PT. Pagi laran-red.): Pokoknya rakyat sini minta apa pun kami berikan. Asal bukan pesawat terbang. Dan penduduk sini boleh kerja seumur hidup,” tutur almarhum Sutomo, sesepuh warga, sebelum ia meninggal.

Mereka mencurigai tindak laku perusahaan tersebut untuk mengusir warga secara halus. Indikasinya jelas. Warga sekitar tidak diberi kesempatan. Tapi, malah mengambil buruh dari luar daerah Pagilaran. ”Jadi tidak pernah membuka harapan untuk kerja,” kata Mismin. ”Kemudian kami tidak tahan dan pergi dari desa ini,” tambah Misno.

Bagaimana tanggapan dari perusahaan? ”Itu masa

lah mereka. Kami sendiri kan sudah menampung. Dulu memang pernah ada berita yang menjanjikan siapa pun orang Pagilaran, akan dipekerjakan di PT. Pagilaran. Itu dulu. Saya maklum soalnya untuk membuka pertama itu kan banyak tantangan. Tidak berpikir panjang, mung kin,” kata Sudarmadi, Direktur Utama PT. Pagilaran.

Lebih lanjut, ia mengatakan, jika dulu warga Pagila ran memang bisa direkrut semua. Tapi, sekarang sudah mengalami dua-tiga keturunan. ”Bertambah berapa kali lipat itu?” timpalnya berkilah.

Ibarat, kacang lupa akan kulitnya, PT. Pagilaran telah lupa akan asalnya. Lupa akan jasa warga Pagi laran. Padahal karena merekalah, PT. Pagilaran telah tumbuh menjadi perusahaan besar. ”Semoga yang berjuang bisa berhasil. Karena pengangguran jumlahnya sudah ratusan,” harap Mismin yang juga pengangguran

Habis Manis Kau Peras Keringatku..

Sarkono (38).

LELAKI ini sudah bekerja selama lebih dari 20 tahun. Di bagian pengayakkan pabrik PT. Pagilaran, khususnya bagian mesin. Menurutnya, perkerjaan ini sangat ber esiko. Ia bahkan pernah menyaksikan jari-jari seorang rekan kerjanya masuk ke dalam mesin. Buruh yang urat syarafnya putus itu kemudian dibawa ke klinik. Setelah itu, segera mengundurkan diri. Trauma.

Setiap harinya ia harus bekerja selama tujuh jam. Berangkat jam lima subuh. Istirahat satu jam, antara pukul 8 hingga 9 pagi. Pulang jam dua belas siang.

Upah yang diterimanya Rp 10.500 per hari dan dibayarkan setiap setengah bulan sekali. Terkadang dia harus kerja lembur dengan upah Rp 2.000 per jam. Sedangkan istrinya bekerja sebagai pemetik teh, yang gajinya hanya sekitar Rp 50.000 setiap setengah bulan.

Keluarga Sarkono mempunyai tanggungan ayah Sarkono, yang sudah berhenti kerja dari perkebunan karena sakit, dan dua orang anak. Karena gaji Sarkono dan istri tidak dapat mencukupi kebutuhannya, mereka mencari kayu bakar dan juga berhutang ke koperasi.

Ia mengeluhkan kebutuhan hidupnya yang sangat banyak. Anak pertamanya yang bersekolah di SD mem bayar Rp 3.000 setiap bulannya dan yang bersekolah di TK membutuhkan Rp 1.750. Mereka juga harus membelikan buku-buku yang wajib dibeli. Ayah Sarkono yang sakit-sakitan membutuhkan perawatan. Jika sedang beruntung, maka beberapa hari mereka bisa makan dengan lauk tempe.

Umurnya sudah tidak muda lagi, namun keluarga Sarkono belum juga mempunyai rumah. ”Saya takut kalau saya sudah tidak diperkerjakan lagi, anak kami mau tinggal di mana?” tanya Sarkono dengan mata berkaca-kaca. Sekarang, harapan Sarkono dan is trinya hanyalah kecukupan makan sekeluarga, dan pendidikan yang tinggi bagi anak-anak mereka. ”Agar kehidupan mereka kelak lebih baik daripada saya.

Tutur (34)

Tutur adalah buruh petik lepas yang sudah bekerja di PT Pagilaran sejak tahun 1982. Punya dua orang anak, salah seorang anaknya kelas tiga di SD. Suaminya bekerja di Jakarta. Gaji suaminya yang tidak besar habis, untuk penghidupannya sendiri. ”Saya adalah orang tua tunggal.”

Selama dua puluh tahun, setiap harinya ia berangkat pukul enam pagi untuk memetik pucuk teh dan pulang pukul dua belas siang.

Penghasilannya hanya Rp 354 per kilo, tanpa mengklasifikasikan petikan pucuk teh yang berkualitas atau tidak. Sebelumnya harga petikan per kilo itu sangat rendah, dan baru-baru saja dilakukan setelah ada aksi oleh buruh. Dalam sehari, ia rata-rata mendapat 15 hingga 20 kilogram.

 [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Buruh pemetik teh. Mengeluh kurangnya jaminan kesejahteraan
. . . . . . . . . . . . . .
Indra Yudhitya
/ HIMMAH

Gajinya sebesar Rp 50.000 yang dia terima setiap setengah bulan. ”Itu masih dipotong, Mas,” katanya dalam Bahasa Jawa kental. Dengan gaji sekecil itu, lanjutnya, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Seperti buruh Pagilaran lainnya, ia menutupinya den gan berhutang di koperasi. Selain kebutuhan sehari-hari semisal beras, gula, sabun cuci, minyak tanah, minyak goreng, ia juga harus membeli peralatan pemetik teh, yang harganya sekitar Rp 10.500.

Terpaksa gajinya harus dipotong Rp 5.000 setiap gajian. Ia tidak ada pilihan. Karena ia tidak punya akses ekonomi dan transportasi untuk mencari pinjaman di luar kawasan Pagilaran.

Sanah

Ia seorang single parent. Orang tua tunggal. Al marhum suaminya pernah mendekam di penjara sela ma 5 bulan 20 hari. Setelah dilepaskan, suaminya tidak lagi diperbolehkan bekerja di perkebunan PT Pagilaran, tanpa adanya uang pesangon. Alasannya, absen alias tidak masuk sudah melebihi batasan maksimal.

Sebelumnya keadaan suaminya masih baik-baik saja. Namun beberapa bulan setelah dibebaskan, keadaannya memburuk sampai muntah darah. Bahkan, sempat diinapkan di rumah sakit. Kesembuhan hanya sementara waktu, dan setelah 10 bulan harus kembali ke rumah sakit. Namun, sebelas hari kemudian, suaminya meninggal dunia.

Biaya rumah sakit suaminya menghabiskan Rp 2.264.750. Pengurusan Jamsostek sangat sulit dan berbelit-belit. Perawatan hingga berbulan-bulan itu dibiayainya dari bantuan JPS, dan sisanya dari uang perusahaan. Tetapi ternyata uang perusahaan atas nama bantuan itu harus dia bayar dengan cara mencicil. Upahnya yang hanya sebesar Rp 130.000 dikurangi Rp

75.000 sebagai ganti biaya rumah sakit. Atau sekitar Rp 275.600 per bulan dipotong Rp 150.000.

Sekarang, dengan penghasilan Rp 55.000 setiap setengah bulan sekali, dia harus menghidupi seorang anaknya yang berumur 16 tahun dan bersekolah di SMU. ”Karena itu saya harus berhutang ke koperasi,” katanya lirih.

Tuarni (34)

Nasibnya tak jauh beda dengan leluhurnya. Meski leluhurnya telah meninggal, tidak berarti nasibnya berubah. Sama-sama menderita. Ia sendiri sudah lebih dari 19 tahun bekerja untuk PT. Pagilaran. Akan tetapi, statusnya masih buruh lepas, sehingga tidak punya hak untuk memperoleh program Jamsostek dan hak-hak buruh yang lain.

Jam lima pagi, Tuarni harus bekerja di pabrik. Di bagian penyaringan basah. Ia harus terus berdiri selama bekerja. Lingkungan yang sebenarnya tidak cocok untuk Tuarni. Dikarenakan fisiknya lemah dan juga radang kandungan yang dideritanya. Sudah dua kali jatuh pingsan.

Ia merasa kecewa dengan fasilitas kerja yang san gat minim. ”Tidak ada jaminan keselamatan kerja,” katanya.. Menurut ceritanya, pernah seorang buruh tertabrak kereta, keadaannya parah. Namun tenyata ia tidak dirawat di rumah sakit. Tidak mendapat asur ansi dan Jamsostek. Selain itu buruh tidak diberikan makan atau gaji pengganti makan, hanya diberikan minum teh saja.

Hal ini diperparah dengan Serikat Pekerja (SP) yang dibuat perusahaan dan tidak bisa mewakili kebutuhan buruh. Ia mengeluh bahwa pengurus SP dipilih secara diskriminatif oleh perusahaan. Dan selalu, katanya, mengambil kebijakan tanpa membicarakan dengan buruh.

Namun, di antara penderitaan keluarganya yang datang bertubi-tubi, ia sangat bersyukur bisa menye

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Dari kiri ke kanan: tuarni, sanah, tutur.
. . . . . . . . . .
Indra Yudhitya
/
HIMMAH M. Ali Prasetya HIMMAH M. Ali Prasetya HIMMAH

Mulai kapan bekerja di PT. Pagilaran?

Sekitar tahun 1978 sampai dipecat sebelum 11 Juli 2000. Sudah sekitar 22 tahun. Harian lepas tanpa pengangkatan.

Bagian apa?

Di bagian jaga mesin. Dulu belum ada listrik, pakainya mesin diesel. Kemudian, dipindah ke bagian pengola han.

Bagaimana Anda bisa sampai ditahan?

Menyangkut kasus tanah. Kalau dulu sih saya melihat sendiri lahan itu. Pertanian semua, tanamannya jagung. Saya kelahiran asli sini, orang tua saya tanam jagung sendiri di sini. Setelah itu pertanian ditutup semua sama PT. Pagilaran. Ketika zaman reformasi saya menanam jagung, itu jagungnya masih sebulan atau dua bulan. Mo dal sendiri, tapi belum menikmati sudah ditangkap.

Pernah melamar kerja ke PT. Pagilaran lagi?

Sudah pernah. Katanya, sudah tidak bisa lagi. Ada hambatan dari perusahaan? Banyak hambatan. Pertama, dia tidak penah membuka lowongan pekerjaan. Kedua, perusahaan itu katanya mau mengurangi tenaga kerja. Hasil ekspor berkurang terus, padahal yang sekarang ini, meluap terus.

Harapan Anda terhadap kasus ini? Semoga yang berjuang bisa berhasil. Pengangguran di sini banyak sekali. Di emplacement ada sekitar 150 orang, belum lagi yang ke luar, yang merantau. Itu belum kami data semua. Nganggur total, tidak ada kegiatan apapun. Kalau sini keluarganya banyak, yang kerja cuma satu. Terus rumah ini kan 4x6, sudah empet-empetan. Tidak bisa gerak kemana-mana. Mau ke ladang nggak ada, mau kerja keluar uang transportnya nggak ada. Jadi di sini itu serba sulit. Dan perusahaan pun tidak pernah menarik karyawan dari sini. Tapi, justru

Buat Surat Pencabutan Hak Garap”

Sejak kapan mendampingi masyarakat Pagilaran? Sejak tahun 1999. Korbannya sekitar 5.000 orang dari 1.500 kepala keluarga. Korban lainnya petani yang tidak punya tanah dan tidak jadi buruh. Sebenarnya sumber awal kasus ini adalah hak menguasai. Siapa pun orangnya kalau ia menggarap secara lama, itu mendapat prioritas mendapat hak milik. Dalam kasus Pagilaran, masyarakat lima desa adalah jelas, orang yang membuka hutan, mengelola, dan menanami. Tahun 1956 ada nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, semua manajemen diambil alih negara. Tapi kondisi negara kan tidak dalam situasi yang cukup mampu untuk mengelola untuk perusahaan itu. Kemudian ada kebijakan untuk memberikan kepada Fakultas Pertanian UGM. Tahun 1964-1967, pihak Pagilaran menggunakan isu PKI untuk mengambil alih penguasaan dari masyarakat. Pagilaran membuat surat pencabutan hak garap.

Yang mengeluarkan PT. Pagilaran?

Ya. Saya masih punya (surat pencabutan), sudah sangat tua. Dengan surat itu, tahun 1966-1967 terjadi proses perampasan, kalau menurut kita. Karena legitimasinya tidak ada. Hanya sebuah surat yang mengatakan bahwa tanah itu harus diserahkan. Kalau tidak mau, di PKI-kan. Masyarakat sangat takut. Ada sebagian dibuang ke pu lau Buru. Itu sumber konfliknya, ada proses perampasan

hak tanah petani oleh PT. Pagilaran, itu yang menjadi basis tuntutan.

Apa yang diandalkan LBH sebagai pendamping masyar akat?

Dari sisi teori ada program landreform. Kemudian ada antitesisnya yaitu reklaiming, pengambil-alihan. Karena itu merupakan hak petani. Ketika redistribusi tanah tidak dilakukan maka rakyat punya inisiatif untuk redis tribusi sendiri, yaitu reklaiming. Itu hanya sebagai alat di mana petani bisa mengekspresikan tuntutannya atas tanah. Di samping itu ada positioning yaitu pengambi lalihan. Tapi itu terlalu revolusioner.

Perasaan Anda pertama kali melihat kondisi mereka? Sangat memprihatinkan. Ada satu realitas ketimpangan penguasaan atas tanah. Persepsi mereka terhadap perusahaan: datang pakai sandal, pulang pakai mobil. Ketika pertama saya datang, harga petik teh sekilonya Rp 125. Tanpa ada kontrak kerja, jaminan kesehatan. Kalau dibuatkan perusahaan harus nyicil. Mereka san gat tertindas. Kita saat ini tidak dapat mengharapkan sama sekali pada institusi negara. Kita berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan masyarakat itu benar, proses ini kita bangun, dan suatu saat ada hasil yang kita capai. Hasilnya memang belum tampak.

 [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Mismin, Warga Pagilaran, Bekas Buruh PT. Pagilaran: ”Perusahaan Tidak Membuka Harapan Bekerja”
Asep Yunan Firdaus, SH
Direktur
LBH Semarang, Pendamping Warga Pagilaran:
”Mereka
. . . . . . . . . . . .

Bisa diceritakan sejarah PT. Pagilaran yang telah berdiri selama hampir 40 tahun?

Sebenarnya PT. Pagilaran itu diberikan pemerintah dalam nasionalisasi perusahaan luar negeri. Yang penting kan mengelola, dalam tri darma perguruan tinggi bagi sektor pendidikan. Ini misi pemerintah yang diamanatkan PT. Pagilaran. Ternyata misi itu menurut pemerintah bisa berjalan dengan baik. Kebun yang luasannya makin lama makin bertambah, sementara produksinya makin produktif. Dengan itu lalu timbul kepercayaan pemerintah untuk tambah lagi. Terus ada PIR (Perkebunan Inti Rakyat-red) lokal, teh.

Proses pemberian dari pemerintah ke PT. Pagilaran seperti apa?

Itu kan sejarah detail. Memang kalau mau ditulis secara singkat ya seperti itu. Profilnya juga seperti itu. Dulu kan namanya PN. Pagilaran ke PT. Itu ada, tapi saya tidak hafal. (Sudarmadi lantas menunjuk executive summary yang terletak di atas meja). Tapi yang namanya aturan untuk siapapun kan harus diikuti. Kalau saya, sudah saya anggap mengikuti aturan.

Bagaimana muncul pertentangan dengan masya rakat?

Sebenarnya itu masalah persepsi. Kami kan sudah ada HGU-nya, keputusannya, bahkan terakhir kami sudah melakukan pengukuran kembali tahun 1999. Ternyata masih cocok. Jadi sebenarnya di Pagilaran itu tidak ada petani, yang ada karyawan dengan segenap fasilitasnya itu. Tapi situasi makro yang menyebabkan orang-orang itu menjadi berpikiran agak kebablasan. Sebenarnya menurut sejarah, kata mereka, itu adalah milik nenek moyang. Kalau gitu kami juga bisa mengklaim kalau tanah ini milik Adam dan Hawa. Siapapun bisa meng klaim begitu. Tapi sekarang kan perlu bukti dan kalau sudah mulai bukti, mereka tidak bisa memberikannya. Yang penting adalah pokoke...

Maksud Anda karyawan PT. Pagilaran? Ya. Itu tidak semua. Cuma kelompok tertentu yang terpancing iming-iming. Tapi iming-imingnya itu tidak logis. Jadi nanti kalau sudah jadi kapling-kapling tiap keluarga dapat sekian meter persegi kebun. Sedangkan mereka masih kerja untuk pabrik. Ya tidak masuk akal. Siapapun, ya karena pendidikan, jadi pikirannya nanti saya punya kebun punya pabrik, pendapatannya besar sekali. Tapi itu kita ada HGUnya, semacam kita punya

sertifikat tanah. Mereka tidak bisa menunjukkan itu.

Bagaimana dengan orang yang dipenjara?

Sebenarnya itu sudah logis, karena yang menanganinya adalah polisi. Saya salut pada Kapolres Batang pada waktu itu, Senior Superintendent Abdul Kholik namanya. yang betul-betul berprestasi. Sebab ia tahu bahwa kalau kita tidak hati-hati kita akan terseret pada masalah politis. Jadi waktu itu kami akan bertindak profesional seperti tugas kami. Mereka yang masuk kebun, dan itu bukan kebunnya diambili. Sehingga sudah jelas UU-nya. Cepat sekali prosesnya. Ini diarahkan pada kriminal. Tin dakan kami tidak tegas. Karena kami lebih menekankan aspek pengabdian pada masyarakat, bahkan kami juga sudah tahu ada kelompok orang-orang yang pernah terlibat dalam kelompok itu juga kami beri kesempatan. Dan memang kami masih menerima, kalau mereka mau bekerja kembali. Tapi ada aturan dalam perusahaan yang tidak pernah masuk sekian hari tidak ada laporan itu dianggap mengundurkan diri. Mereka setelah sekian bulan datang menuntut pesangon. Kan tidak mungkin kalau ada aturan seperti itu.

Ada usaha orang-orang tersebut masuk lagi? Ada. Kami pekerjakan kembali. Tapi memang ada pilihan, kalau yang seperti itu, nanti tidak akan diberi apalah, misalnya. Bukan kasihan. Kalau mereka masih memiliki aturan perusahaaan, mereka masih ikut kem bali bekerja, karena itulah hak mereka.

Sudarmadi, Direktur Utama PT. Pagilaran: ”Kami Juga Bisa Mengklaim” sudarmadi. Mereka tidak bisa menunjukkan bukti
0 . . . . . . . . . . . . .
Indra Yudhitya / HIMMAH
[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]

menanti Si Upik di balik Terali besi

UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah terbentuk, tentang bagaimana beracara, jenis tindak pidana dan perangkat hukumannya. Namun, mengapa jumlah terpidana dan korban anak justru meningkat?

MaSIh ingatkah anda beberapa tahun lalu kita sempat dikejutkan dengan berita kasus pencurian dua ekor burung leci oleh seorang bocah kelas 3 SD ber nama andang Pradika Purnama. Sehingga menyebabkan andang harus mendekam selama 52 hari di bui dan bercampur den gan terpidana dewasa lainnya. Yang paling mengherankan lagi setelah menghabiskan masa kurungannya si andang ternyata nekat mencuri sepeda motor dan kembali berakhir di bui. Menjadi seorang ”residivis cilik” adalah julukannya kala itu. Tak dinyana ternyata bui mampu memberikan ”sekolah” yang baik untuk calon penjahat.

Kemudian, sekitar pertengahan bulan September yang lalu kita kembali di hadapkan pada suatu kenyataan tentang kematian yang sangat mengenaskan akibat korban perkelahian pelajar antar SMU di Yogyakarta. Dilanjutkan dengan ulah nakal dua aBG dari Klaten yang nekat ngutil di supermaket karena ingin memakai baju baru di hari lebaran.

a ndang, sekelompok pelajar dari Yogyakarta dan dua aBG dari Klaten ini merupakan segelintir sosok anak-anak yang mewakili fenomena kenakalan maupun kejahatan anak atau yang dikenal dengan istilah juvennile delinquency. Yang berarti masih banyak deretan nama-nama den gan kasus berbeda di belakang mereka. Sebenarnya siapa yang harus disalahkan: mereka sendiri, orangtuanya atau lingkun gan yang salah mendidik mereka menjadi seperti itu ?

Menyalahkan mereka, kemudian meng hukum mereka, sampai kini belum terbukti menyelesaikan masalah. Di Yogyakarta sendiri menurut keterangan Direktorat Serse Polda DIY hingga kini kasus kenaka lan anak semakin hari semakin meningkat grafiknya dengan jenis kejahatan yang beraneka ragam.

lantas bagaimana dengan orang tua

3 [HUKUM]
M Ali Prasetya / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]

di rumah, apakah sudah berfungsi seba gaimana mestinya? apakah hak-hak anak sebagaimana yang digariskan dalam kon vensi hak anak sedunia sudah terpenuhi? hak untuk kelangsungan hidup, sejak dalam kandungan sampai menjadi anak-anak, ke mudian hak tumbuh kembang berkaitan dengan pemenuhan lingkungan yang baik dari segi jasmani, rohani maupun sosial sejak ia tumbuh dan berkembang usianya. hak atas perlindungan, baik hukum mau pun non hukum. hak untuk berpartisipasi, artinya memberikan ruang kepada anak untuk mengekspresikan keinginannya yang seharusnya diberikan oleh orangtu anya justru sering ditinggalkan. ”hal ini disebabkan oleh kesalahan persepsi yang konvensional menganggap anak harus tun duk, taat, patuh, diam dan nurut, kalau tidak kamu bukan anak yang baik, durhaka,” ungkap Dra. MG. Endang Sumiarni, Sh M.hum, pengurus bidang hukum lembaga Perlindungan anak (lPa) Provinsi DIY, sekaligus pengacara praktek pada PKBh Universitas atma jaya Yogyakarta.

Ia juga menambahkan, ”Berdasarkan hasil penelitian di 6 kota besar di Indo nesia, yakni Semarang, Medan, Makasar Ujungpandang, Palembang, Surabaya, dan Kupang. Urutan nomor 1 yang melakukan kekerasan terhadap anak justru orang tua secara fisik, misalnya: dijambak, kepala dibenturkan, ada yang disundut rokok dan sebagainya. Kemudian kekerasan emosio nal: anak diomelin , dicaci-maki. Urutan ke-2 guru di sekolah, inikah ironis dan ka lau dilihat dari sisi hukum sudah termasuk

delik penganiayaan tingkat ringan.”

Sehingga wajar jika pemenuhan keem pat hak yang seharusnya bisa didapatkan di rumah tidak diperolehnya, kemudian anak mencari pelarian ke luar. Dan celakanya lingkungan yang diharapkan mampu mem berikan kontribusi terhadap anak justru membuat anak menjadi salah langkah. Bahkan para orangtua yang berada di parlemen dan pemerintahan saling adu kekuatan dan rebut kekuasaan pun men jadi ”tontonan” yang menarik untuk anak. Pendidikan yang baik di sekolah pun tak mampu menolong si anak jika apa yang dilihatnya ternyata bertolak belakang. Se hingga benar adanya yang dikatakan oleh Basil l.Q.henriques, dalam The Indiscre tions of a Magistrate, bahwasanya kode moral yang ditentukan di rumah tidak boleh bertentangan dengan kode moral yang di tetapkan di sekolah. jika terjadi perbedaan besar serupa itu di antara apa yang diajar kan dengan apa yang dilihatnya, ia tidak akan pernah mengerti apa yang dikatakan benar, ditulis kembali dalam buku Anak dan Wanita dalam Hukum, oleh Sri Widoyati Wiratmo Soekito.

UU Pengadilan Anak

Diilhami oleh peristiwa Gerakan 30 September, yang menyisakan banyak kepedihan terutama bagi keluarga yang ditinggalkan, anak-anak keturunan PKI terus diburu, dicaci kemanapun mereka pergi. Bahkan pendidikan dan penghidupan yang layak diterima oleh anak-anak seusia mereka tidak didapatkan hanya karena

faktor sejarah dan keturunan yang tidak ber pihak pada mereka. ”harus diakui bahwa ada sebagian dari anak-anak kita yang tidak menikmati hak-hak asasi anak,” kata Sri Widoyati Wiratmo Soekito, hakim agung Perempuan Pertama, dan sekaligus pelopor terbentuknya UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak.

Untuk mengantisipasi fenomena ke nakalan anak ini pemerintah Indonesia telah menyediakan seperangkat peraturan pe r undangan No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak, meski hal ini dinilai jauh tertinggal di banding negara-negara lain yang sudah lebih dulu membuat peraturan mengenai kenakalan anak-anak atau re maja. Di amerika Serikat, misalnya, sejak 1 juli 1899 terdapatlah pengadilan anak pertama di amerika. Bagi anak-anak terse but berlaku undang-undang istimewa yang bukan merupakan undang-undang pidana, dan karena itu tidak dimasukkan dalam Kitab Undang-Undang h ukum Pidana. Persidangan anak-anak tidak disebut trial (pemeriksaan pengadilan) tapi hearing (permintaan keterangan). a nak-anak tidak dituduh melakukan kejahatan, tetapi dituduh a delinquent child , anak nakal. Walaupun dinyatakan bersalah, anak tidak dipandang sebagai orang jahat.

Sementara UU No.3 tahun 1997 ten tang pidana dan bagaimana beracara di pengadilan anak tidak sepenuhnya mampu meng-cover hak-hak anak. Karena kita masih saja berkiblat kepada KUhaP (Kitab Undang-Undang h ukum a cara Pidana) yang merupakan warisan kolonial Belanda, seperti dalam pasal 44 yang sama dengan pasal 21 KUhaP yang mana dikatakan bahwa alasan penahanan anak sama dengan orang dewasa, terdapat bukti permulaan yang cukup, adanya kekhawatiran melari kan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya.

Dengan demikian alasan-alasan sub jektif penyidik jauh lebih dikedepankan dibandingkan dengan alasan obyektif seperti keterangan saksi dan lainnya. aki bat penahanan ini justru fatal bagi jiwa si anak, bagaimana tidak saat ini di Indonesia khususnya wilayah jawa baru memiliki satu penjara anak di daerah Kutoarjo dan Tan gerang untuk anak perempuan. Sehingga sementara anak masih harus dicampur den gan orang dewasa dengan fasilitas ruangan selnya saja yang dibedakan.

Di samping itu dalam UU juga dika takan bahwa pemeriksaan kasus anak ini harus cepat, singkat sehingga penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim harus bekerja ekstra cepat untuk mengungkap kasus anak, yang sesungguhnya amatlah ko m pleks perkaranya sehingga harus

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [HUKUM]
HENDRA WIRAWAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

m e libatkan pihak-pihak tertentu seperti psikolog anak, kemudian PK (Pembimb ing Kemasyarakatan) sebagai pihak netral yang memberikan perhatian khusus dalam penyelidikan kasus anak.

Bahkan keluhan juga disampaikan oleh hakim PN Yogya berkait dengan proses pemeriksaan yang cepat, ”Sejauh ini penahanan anak waktunya hanya seten gah dari orang dewasa, dan dalam waktu yang sempit itu harus segera diselesaikan, padahal untuk mengundang saksi dan mencari barang bukti sangatlah sulit, meski demikian kami tetap berusaha semaksimal mungkin,” ujar Sinung hermawan, Sh, hakim anak PN Yogyakarta. Sementara dalam hal penuntutan, jaksa lebih banyak menggunakan pertimbangan subjektifnya karena dasar atau pedoman besarnya tun tutan tidak ada, sebagaimana diungkapkan oleh Ny. h erlina Nur’ a ini,S h ketika ditemui HI M MAH di ruang kerjanya, di Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta. ”Putusan itu terserah hakim dari kami yang penting untuk perkara pidana umum kalau setengah dari putusan hakim sudah sesuai dengan tuntutan kita tidak perlu banding, kecuali penasehat hukum menghendaki demikian, tapi lebih sering menggunakan keyakinan kami saja,” jelasnya.

Di samping itu kekurangan lain men genai peran B a Pa S melalui petugas PK-nya yang mana keterlibatannya dalam perkara anak sangatlah luas sebagaimana termuat dalam undang-undang. Penyelid ikan yang dilakukan oleh PK dari mulai anak masih berstatus tersangka sampai anak berstatus terpidana bahkan setelah menjalani masa pidananya anak pun masih

bisa menjadi klien pemasyarakatan Ba PaS. Penyelidikkan ini dimulai dari latar belakang anak berupa, identitas, orang tua atau wali, latar belakang masalah hukum nya, riwayat hidup anak, pandangan masa depan, tanggapan klien, keadaan keluarga, lingkungan sekitar, dan terakhir tanggapan korban terhadapnya.

Namun penelitian yang komprehensif ini harus dilakukan secara singkat seh ingga PK terkadang harus bekerja di luar jam kerja, seperti diungkap abdul Djalil, Sh, Kepala Seksi Bimbingan Klien anak BaPaS Yogyakarta.”Kita bekerja 24 jam, karena kalau berpatokan pada jam kerja tidak akan cukup dan kita perlu ambil prei (cuti),” paparnya. Ironisnya hasil penye lidikan hanya bersifat saran sehingga tidak mutlak. Sebagaimana diungkap oleh abdul jalil, ”Dalam undang-undang tidak diser takan penguatnya, sehingga penyelidikan kami ini hanya sebatas saran, jadi tidak ada dasar hukum yang menguatkan hasil penyelidikan kami,” ujarjalil. ”Padahal kejahatan yang dilakukan oleh anak tidak semata-mata disebabkan oleh anak, orang tua juga punya andil,” tambahnya. Seh ingga implikasi terhadap anak terpidana terkadang sulit untuk mengelak dari jerat hukum dan otomatis tanggung jawab mut lak ini dibebankan kepada anak.

Upaya Mengentaskan Nasib Anak

Upaya mengentaskan anak ini haruslah dimulai sejak dini dan oleh semua pihak terkait mulai dari lingkungan keluarga terkecil, sampai pada pemerintah negara, seperti menambahkan fasilitas penjara khusus anak, yang saat ini hanya minim

jumlahnya. Di Yogyakarta, misalnya. ”Ma sak apa sih susahnya kalau semua orang Yogyakarta dikumpulkan, bayar seribuseribu, anggota DPR sepuluh ribu untuk bangun penjara anak,” ungkap Endang Sumiarni. ”Bahkan kalau perlu kita harus punya Children Crisis Centre (CCC), yang didesain khusus untuk anak dengan tam annya, bunga-bunga dan banyak mainan juga lukisan bukan sel dan terali besi yang menyeramkan, sayang kita belum sampai ke sana,” imbuhnya.

jika dirunut sebenarnya negaralah yang paling bertanggung jawab atas semua ini, seperti dikatakan, oleh h akim Sinung, ”Dalam UUD kan dikatakan anak itu dipelihara oleh negara, agar tidak terjadi perkara anak ini, negara seharusnya ber tanggung jawab untuk memelihara anak terlantar dan kelangsungan hidup. Ya untuk anak-anak terlantar dan yatim piatu negara menyediakan panti asuhan yang terjangkau kalau perlu gratis untuk anak. Toh anak kan merupakan generasi penerus, bagaimana nasib negara kalau generasinya rusak. Dan paling penting pendidikannya, sehingga kalau anak sudah dibekali pendidikan pasti efeknya tidak begini.”

Dengan demikian pemenuhan hak anak ini tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak saja melainkan semua elemen agar terciptanya kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Sehingga anak yang menjadi pelaku pidana kejahatan akan tereduksi jumlahnya dari hari ke hari.

[HUKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kala Seni merakit Damai

Di sebuah ruangan yang menepi di ujung sebangun rumah. Yang cukup dipenuhi sebuah almari, berisi deretan buku-buku. juga sebaris wayang kertas yang bersandar di pinggir daun pintu, hasil kerajinan jemari tangan anak-anak usia belasan tahun, HIMMAH duduk berbin cang bersama Gembong Sigit Nugrahanto. Seorang pendiri sanggar anak kampung, anak Wayang Indonesia. Wayang? jan gan dulu menganalogikan anak-anak yang ”bermain” ria di penghujung hari sehabis sekolah ini, mahir berdalang laiknya Ki Manteb Sudarshono. Dalang kenamaan asal Solo yang kerap mementaskan pertunjuk kannya di satu stasiun televisi swasta.

Menurut penuturan Sigit, nama ”wa yang” sendiri diambil tak jauh-jauh dari tempat ia berkumpul bersama anak-anak kampung di kost-annya, kampung Mergang san, Yogyakarta. Tempat rumah tinggal Pak Kasman selaku seniman wayang ukir. Dan pastinya sudah diterka ceritanya: sejarah unik berjalan di situ. Bagaimana tidak, sebuah nama ”bermain” yang belum ter cipta, selagi ada tawaran untuk pentas kali pertama di pamerannya Pak Kasman.

”Mbok kamu membuat teaternya anakanak, terus nanti pentas di pameran saya,” kenang Sigit, meniru ucapan Pak Kas man.

”Ya seneng banget, Pas iku kami belum punya nama gitu loh. aku iki nggak mikir, sama sekali buat jenenge (namanya red.) generasi itu, nggak terpikir,” tanggap Sigit saat itu. ”Terus buat jenenge anak Wayang Indonesia. Wayang itu milik kita, bukan Batman. Isenge kaya’ gitu. Ben anak dite koni (ditanyai red.) wayang, ora Batman,” alasan ia menamakan sanggarnya.

Namun, jika mengikuti hasil yang ditoreh dari perjalanan panjangnya. Tam paknya, manusia-manusia yang ikut ber proses mendirikan sanggar ini di sekitar tahun 1998 layak berjubah dalang. Cuma, tentunya dengan jalan yang berbeda. Tak hanya cukup dengan teater, anak-anak kam pung ini juga berkutat dari ekspresi tubuh yang lebih luas. Semisal seni tari dolalak, pantomim, monolog, bahkan ada juga bela jar melatih keahlian bahasa Inggris.

Keahlian wayang tidak harus menjawab menjadi dalang. Membuat wayang dari kertas koran bekas pun lebih dari cukup, ditambah usia anak-anak Wayang yang

masih kelas 3 SD sampai 3 SMP. Bahkan, Seorang Ki Slamet Gundono pun beranjang sana ke pondok anak Wayang untuk mem perkenalkan wayang suket dari ”negeri di awannya”, negeri sanggar lemah Putih, Solo, asuhan Mbah Prapto.

”Sebenarnya kita ini tidak hanya teater. Ya memang menonjolnya anak-anak ke situ,” kata Sigit. ”Teater itu bagian dari medianya,” ungkapnya pada HIMMAH. hasilnya? Tengok saja dokumentasi foto yang bertumpuk di atas salah satu almarinya anak Wayang Indonesia, ada berjibun gambar pentas yang tak terunut dalam ingatan dan kejadian. Dari kam pung ke kampung, jalan ke jalan, galeri ke galeri.

Sesungguhnya, kenangan yang tak terlupakan, mungkin ketika anak-anak yang berkelindan hari dalam damai payung kebersamaan, bisa berlayar ke Dutchland, negeri Belanda sana. Menyapa sesama anak manusia dari berbagai penjuru dunia dalam Festival Mundial, tepatnya di kota Tilburg, 31 Mei-16 juni 2002. Sebelumnya, pulu han anak ini menjajaki panggung Galeri lembaga Indonesia Perancis (lIP), sebagai ajang permulaan ”pentas pamitan”, 21 Mei 2002. Bayangkan saja dua hari berdenyut dengan ekspresi riang tubuh, yang hadir berdesakan hampir ratusan orang.

”lIP waktu itu direkturnya Pascal, anak Wayang itu mentas dua hari. Ternyata ka lau saya hitung hampir 600-an orang. Kan luar biasa,” cerita Sigit bangga. Padahal sebelumnya, Sigit merasa khawatir jikalau pentas yang diusung sanggarnya akan sepi penonton. ”Saya khawatir tidak ada yang menonton,” kenangnya.

jika ditampung dari riak perjalanan nasib personal dan riuh-rendah kondisi Indonesia pra-reformasi. Barangkali anak Wayang Indonesia berakar mula dari sana.

Simaklah cerita Sigit sendiri. Pasca tampuk kuasa Orde Baru jatuh, aktivitas Sigit sepi. lumrah, karena pekerjaannya berhubungan dengan turisme. Ia bersama temannya mendirikan travel untuk turis yang bertandang ke kota jogja. Turis mana yang bakal datang ke negeri yang tiap hari terjadi kerusuhan dan berita kecamuk peperangan. apalagi, Indonesia-Mei 1998, terbentuk guncangan kekerasan maha-rasial di bawah nalar kemanusiaan. Sigit hampir

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [BUDAYA]
Jarang ditemukan seni panggung de ngan kesemua aktornya anak-anak. Apalagi yang memerankan adalah anak-anak kampung. Anak Wayang Indone sia yang berhasil mewujudkannya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

pulang ke kampung halamannya. ”Waktu itu aku sudah banting pulang kampung, daripada di jogja ngapain,” ungkap Sigit.

”Tapi selama itu pun aku udah mainmain sama anak-anak. aku mulai ngobrol sama anak-anak. Di situ kan halamannya luas kan, jadi pulang sekolah (anak-anak) itu sampai sore mainnya di situ. anak-anak diberi kebebasan masuk ke kamarku. Terus apa, corat-coret bukuku, gambar apa saja di buku. Kayak gitu-gitu lah, aku mulai terta rik dari iseng-iseng mereka,” cerita Sigit.

Bermula dari keisengan itulah, perihal begitu sederhana, pengembaraan anak di wilayah kebebasan berpilin menjadi buah kreatif tak terduga. Membuat majalah dinding, menggambar, mengarang hingga membuat kerajinan purbakala yang berba han sisa kertas tak terpakai, semisal wayang kertas tadi.

Di lain tempat, Sigit menemukan seham par peristiwa berbeda. Di perempatan lam pu jalan Raya Taman Siswa, Yogyakarta, banyak anak yang rela memanggang kulitnya dihantam terik matahari. apalagi kalau bukan menadahkan tangan ke setiap pengendara motor saat berhenti kala lampu jalan bertanda merah.

”Biyen kowe tahu ning dalan toh (Dulu kamu pernah diajak di jalanan)?” kata Sigit dalam bahasa jawa kepada anak sanggar nya menanyakan apakah mereka pernah di jalanan. ”Diajak-ajak kan?” lanjutnya.

”Ehm....,” angguk Yadi, salah satu anak Wayang, yang ikut mendengarkan perbincangan HIMMAH. Dari sanalah Sigit mencari akar persoalan yang hadir di kampung anak-anak ini. Baginya, anakanak hanya mengikuti arus sesama teman komunalnya, teman bermainnya. ”aku mulai terus tertarik mencari. Mencari jawa ban-jawaban itu. Oh..ternyata anak yang di jalan itu sebenarnya iseng. Saya pikir orang tua itu masih mampulah ngasih uang. aku melihat anak itu saling mempengaruhi, saling mencoba,” kenangnya di saat kali awal perjumpaan dengan persoalan anakanak kampung.

Maka, jadilah anak Wayang Indonesia seperti sekarang. Perjalanan yang hampir menuai usia lima tahun. Tak disangka me mang. lalu, bagimana kesan orang tua dari anak-anak ini? Sigit hanya bisa mendapati tanggapan yang tidak luar biasa, malahan mesti menunggu sekitar tiga tahun untuk mencerap citra baik dari mereka. ”Dulu itu selama tiga tahun, orang tua tidak tahu anaknya disini. Tahunya ketika anak-anak sudah pentas kemana-mana, apalagi ke Belanda,” tutur Sigit.

anak Wayang, tentu memiliki persepsi sendiri akan zaman yang dibawanya. Sigit dan anak Wayang menyadari hal ini. Di ba lik kegiatan sehari-harinya, anak wayang mengendap ke sesuatu yang hilang di tanah pertiwi ini: perdamaian. ”Banyak orang menganggap anak Wayang Indonesia itu seni dan budaya, ya sebenarnya nggak,” terang Sigit.

”anak Wayang Indonesia itu visinya mengembangkan budaya perdamaian sejak anak,” lanjutnya. Terus ada tiga langkah atau misi, sambung Sigit, yaitu sosialisasi hak anak di tingkat basis, sosialisasi per damaian di tingkat basis, dan bagaimana mendorong masyarakat lebih ramah kepada anak dan remaja.

Teater dan Perdamaian

Bisakah teater mensosialisasikan ni lai-nilai perdamaian? lono lastoro Si matupang, Dosen antropologi Kesenian Universitas Gadjah Mada ini mengatakan kepada HIMMAH bahwa nilai yang diem ban pada sebuah sanggar seni tergantung sumber inspirasi yang digelarnya. Baginya, apapun bentuk seni jika hanya menjadi ko moditas tertentu, terkotak-kotak, akan tidak menyodorkan sesuatu yang relevan dengan zaman. lono menyebutnya, seni yang narsistik. ”Pada taraf tertentu, akhirnya orang-orang di dunia para seni juga merasa risau, seni untuk dirinya sendiri. Seni yang narsistik gitu, hanya ke dalam lagi, ke dalam lagi,” ungkapnya.

Gunawan Maryanto, pelaku Teater Garasi, menyikapinya lebih tajam. Teater yang tidak berkait dengan masyarakatnya, menurutnya, akan mandeg karena tidak konteks dengan perubahan zaman dan kondisi sosial yang melingkupinya. Bagi ia yang terpenting dalam sebuah seni apalagi teater ialah jalinan komunikasi. ”Kegagalan atau keberhasilan teater dilihat dari kemam puan berkomunikasi dengan masyarakat yang dituju. Bagaimana pertemuan dikelola sehingga menghasilkan dialog yang bagus,” jelas Gunawan pada HIMMAH, yang ser ing terlibat pementasan dengan komunitas awam. Dialog yang bagus, ungkapnya, akan membentuk masyarakat sebagai se buah kesetaraan antara pihak-pihak yang berdialog. ”Saya pikir nilai humanisnya ada disana, bagaimana kita menghargai orang lain dan diri kita sendiri juga,” katanya.

Seni bagaimanakah yang mampu ber jalan bersama desiran gejolak api sebuah zaman? Mari menengok ke pedalaman afri ka. lono mencontohkannya pada hasil studi antropolog Victor Turner berkenaan ritual

adat masyarakat afrika. Dalam ritualnya orang-orang afrika, tidak ada pemisahan ajeg antara pelaku dengan peserta ritual, saya atau kamu. Yang hadir adalah proses penyatuan. Berakhir pada estetika dasar, bukan estetika bentuk atau form. Maka, jadilah komunitas yang berakar kebersa maan, masyarakat komuniter.

Bayangannya, jika ini diadopsi ke seni yang kontekstual, yang urban dan pinggiran, tidak lebih sama yang dialami pedalaman afrika sana. Sebuah seni yang mengindahkan letupan keberagaman dalam beda simbol-simbol kultural. lono lebih senang mengistilahkannya dalam ”estetika pasar”, ”perayaan”, ”kerakyatan” atau ”festival” (festiv: pesta). Nah, jika boleh genit menelisik, anak Wayang Indonesia termasuk ikut didalam estetika essensial itu. Menurut lono, seni yang esensial kala menyentuh sesuatu yang dasar: humanisme, tidak mengenal batas-batas. Di sana, ada komunikasi tubuh yang terbuka, identitas yang dirajuti dalam ruang yang plural, kebebasan tanpa cekal otoritarian publik . ”Yang baik adalah sesuatu yang indah. Yang tidak indah itu bukan suatu seni. Itu saya pikir berangkat dari keterkungkungan, keterkotakkan yang sudah terlanjur cukup kuat,” ujar Gunawan. Ia mencontohkan nya pada pertunjukan teater yang harus di gedung, atau dengan penonton yang banyak.

”Berangkat pentas dengan pakaian itu, ya pakaian itu. Ora karu karuan (tidak beraturan red.) akting ora karu karuan, saya nggak peduli,” kata Sigit, yang dalam pementasan hanya terlibat sebatas pembimbing. anak-anak Wayang sendirilah yang mencari sumsum peristiwa dari lingkaran keseharian hidup mereka. Bebas ke jalan kecenderungan pikiran dan keinginan.

”Pokoke pentas. Di jalan pentas, di ru mah pentas, di kampung pentas. Saya tidak peduli, itu konsep saya. jadi ekspresi ide lewat teater. Makanya salam anak Wayang itu salam persahabatan, cinta dan damai,” tegas Sigit.

”Disini menemukan apa?” tanya HIMMAH pada Yadi.

”Dapat kebebasan, kreatifitas gitu. Bisa bebas. Terus dapat pengarahan sama pengetahuan,” ungkap ardi dari generasi pertama anak Wayang, yang kali pertama ikut pada usia 11 tahun. Kebebasan itulah yang mesti dibuka mulai dari benak anakanak selagi belia. Carpe Diem, kiranya ungkapan yang tepat untuk Sigit dan anak Wayang. Raihlah kesempatan...

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [BUDAYA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
IKlAn lAYAnAn mASYARAKAT InI DIPERSEmbAhKAn olEh lPm hImmAh uII

nursyahbani katjasungkana:

”Tuhan itu di gubug-gubug orang miskin.”

Berani tidak populer, konsisten pada prinsip perjuangan, dan tidak selalu hidup berkecukupan, merupakan pilihan berani bagi seorang aktivis dimanapun berada. Tidak banyak yang mau menempuh jalan itu. Salah satu di antara sedikit orang itu adalah Nursyahbani Katjasungkana. Ketika kawan kawan seangkatannya banyak yang menjadi pengacara ia memilih aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga kini. Perempuan dengan segudang kesibukan ini pun melalui masa masa sulit sebelum kiprahnya dalam pentas internasional diakui seperti sekarang. Pengagum Mahatma Gandhi ini banyak mengutarakan pemikiran pemikirannya soal Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan penegakan hukum di tanah air. Berikut petikan wawancara dengannya yang dilakukan oleh Widiyanto dan Fajar Said dari HIMMAH, beberapa jam sebelum keberangkatannya ke negeri Belanda, di kantor Koalisi Perempuan Indonesia, Jakarta.

Bagaimana pendapat Anda tentang kondisi HAM di Indonesia selama ini?

Secara umum sebetulnya membaik ya, kalau dibandingkan dengan masa Orde Baru yang dulu gitu, meskipun setidaknya secara hukum, ada jaminan hukum, karena kita meratifikasi instrumen-instrumen misalnya tentang Torture (penyiksaan), tentang Diskriminasi Rasial, tentang Perlindungan Buruh anak, kita memiliki UU haM, kemudian di dalam konstitusi kita itu sudah memuat prinsip-prinsip haM. Dari segi instrumennya kita sudah cukup memiliki, kecuali memang saya sangat kecewa karena sampai saat ini instrumen yang mendasar dan cukup penting yaitu konvensi tentang hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan konvensi tentang hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya (ECOSOC) sampai sekarang belum diratifikasi oleh pemerintah. Namun demikian, secara institusional nggak ada perubahan sebetulnya. Institusi-institusi yang kita harapkan bisa menegakkan haM, baik itu pengadilan maupun dari segi sumber daya manusianya yang sadar dan sensitif mengenai haM, itu kurang betul. Kita memang ada Komisi Nasional (Komnas) haM, tapi itu juga tidak punya daya implementasi, dia hanya sebagai monitoring, yaitu monitoring pelaksana haM, dan memang dia punya sedikit power untuk melakukan penyelidikan pro justisia. Makanya itu instrumennya ada tapi struktur dan kelembagaan sumber daya manusianya nggak banyak perubahan, padahal dari segi masyarakatnya cukup ada kesadaran.

Bagaimana dengan Megawati sekarang ini, seperti yang kita ketahui, Megawati merupakan bagian dari korban pelanggaran HAM Rezim Orde Baru, tetapi mengapa Megawati tidak mampu mengadilinya. Apakah ini menyangkut sistem politik kita?

Memang pada akhirnya haM itu di tingkat implementasinya sangat tergantung pada sistem politik, dan juga yang memiliki kontribusi yaitu bangsa Indonesia ini cepat lupa terhadap sebuah tragedi, bahkan tragedi yang menimpa dirinya sendiri pun dia lupakan, misalnya Megawati dengan kasus 27 juli-nya, mungkin saja karena Megawati tidak terkena langsung akibatnya, tapi yang langsung

kena secara fisik kan para pendukungnya. Itu kemudian nggak jadi konsen, malahan orang-orang yang dianggap berkontribusi pada terjadinya 27 juli, misalnya seperti Sutiyoso, dia dukung untuk jadi gubernur itu. Nah itu nggak lebih dari bargaining bargaining politik yang dimainkan, terutama untuk mempertahankan kekuasaannya menyongsong 2004.

Berarti tidak ada tindakan yang jelas dari pemerintah untuk menan gani masalah HAM itu sendiri?

Ya nggak ada yang kongkret. Mana pelanggaran seperti Trisakti, Semanggi I dan II. Ya jelas itu merupakan Pelanggaran haM. Kerusuhan Mei, Tanjung Priok nggak ada tindak lanjutnya yang kongkret dan juga pelanggaran akan hak ekonomi yang berkaitan dengan koruptor-koruptor itu kan pelanggaran haM sebetulnya. Orang hanya berpikir atau terfokus pada masalah politik, padahal pelanggaran haM ekonomi rakyat dengan adanya korupsi yang

 [DIALOG]
Widiyanto
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . [HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]

sistematik dan dia biarkan sampai sekarang. Itu juga menurut saya yang menyebabkan kita sangat miskin sekarang ini.

Anda menyoroti peran politik DPR selama ini dalam penentuan kasus pelanggaran HAM?

DPR juga berkontribusi atas langgengnya kultur impunity. Seperti, misalnya, ditujukan pada kasus Semanggi I dan II dan kasus Trisakti. Kata DPR, itu bukan pelanggaran haM. Itu kriminal. Bagaimana ia mengatakan itu kriminal? Cirinya itu meluas dan sistematik. Ciri dari pelanggaran haM yang dilakukan oleh aparat, itu dianggap kriminal. Kemudian seperti ada kecenderungankecenderungan dia bertindak sebagai pengadilan yang menentukan ini kriminal, dan ini bukan.

Berarti lembaga DPR punya andil juga dalam penghambatan?

Ya, menurut saya. Misalnya, TaP MPR yang merekomendasikan agar segera dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dia tidak mengakselerasikan energinya untuk membentuk itu, dan tidak meminta pertanggungjawaban kepada presiden, misalnya, bagaimana masalah penegakan hukum dan lain-lain sebagainya. Seiring isu-isu penting yang menyangkut penegakan hukum dan haM itu dimainkan untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat,

seperti misalnya akbar Tandjung. Menurut etika politiknya dan juga dampaknya pada penumbuhan budaya hukum, yaitu budaya menghormati hukum, semestinya DPR ikut membantu membangun itu semua dengan meminta atau memecat a kbar Tandjung sebagai Ketua DPR kan bisa sebenarnya. Tapi itu malah dijadikan komoditas politik.

Oh ya, bisa diceritakan pengalaman Mbak Nur waktu menjadi relawan tim pencari fakta pada kerusuhan Mei 1998? Ya kalau faktanya begitu terang benderang, sehingga mudah saja dianalisis berdasarkan saksi-saksi yang kita temukan. Bahwa ini memang ada keterlibatan aparat. Oleh karena itu kesimpulan TGPF adalah merekomendasikan agar meminta pertanggungjawaban Kostrad dan Kodam jaya waktu itu Prabowo dan Sjafri (letjen. Prabowo Subianto dan Mayjen. Sjafrie Samsuddin-red). jadi ini kita pakai konsep yang baik by Omission (pembiaran) dan Change of Commando. Komando ada pada dia, padahal waktu itu dia punya posisi untuk mengatasi kerusahan itu, tapi tidak dilakukan. Tapi, yang paling menjengkelkan sebetulnya adalah bahwa ini tim gabungan pencari fakta yang terdiri dari lSM, akademisi, wakil pemerintah, wakil polisi, dan militer juga. Mayoritas menyetujui penemuan-penemuan umum yang ada bahwa kerusuhan ini adalah

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 0 [DIALOG]
Widiyanto / HIMMAH
. . . .

ekskalasi dari ketegangan di tingkat politik dan militer. Tapi wakilwakil dari polisi dan tentara tidak menyetujuinya.

Kendala-kendala yang selama ini dihadapi, sehingga tidak ber hasil?

Nggak adanya tindak lanjut. Karena memang waktu TGPF Mei itu belum ada UU haM, di mana penyelidikan itu kan bukan penyelidikan pro justisia, kan ini baru-baru saja setelah UU haM yang memberikan power untuk melakukan penyelidikan pro justisia. Kalau pemerintah itu mau obyektif, mau menyerahkan berkas berkas TGPF itu ke Komnas haM untuk dibuat dokumen pro justisia sehingga bisa dilanjutkan ke Kejaksaan agung. Tapi itu kan nggak dilakukan. Saya agak berbahagia karena sekarang ini Komnas haM sedang melakukan review terhadap hasil TGPF dan ada kemungkinan untuk diadakan penyelidikan pro justisia.

Tidak bertentangan dengan asas retroaktif? asas retroaktif itu memang prinsip di dalam haM dan hukum, bahwa tidak seorang pun boleh dihukum sebelum ada aturan hukum yang berlaku. Tapi di dalam masalah haM itu nggak bisa diberlakukan secara rigid. Kalau kita betul-betul mengakui bahwa universal declaration itu adalah international custommary of law Itulah prinsip dasar yang berlaku terhadap semua angota PBB sehingga pelanggaran-pelanggaran haM sesudah Deklarasi Umum haM itu dideklarasikan pada tahun 1948, itu adalah bisa tercakup. Ya nggak bisa gitu kepada yang sebelumnya, karena Deklarasi Umum haM itu harus kita tempatkan sebagai international custommary of law. Semacam hukum adat haM gitu, yang sudah ada sejak 1948 yang itu nggak perlu diratifkasi, karena prinsipprinsipnya kita sudah setujui dan tanda tangani. Karena itu bukan konvensi, maka dalam teori hukum international, itu tidak mengikat oleh karena itu elaborasinya kan kepada konvensi hak Sipil dan Politik dan konvensi hak Sosial dan Ekonomi. Tapi pada prinsipnya di dalam perkembangan tentang pemikiran haM, Deklarasi Umum itu adalah international custommary of law sehingga nggak ada itu asas retroaktif itu bisa dikesampingkan dengan menggunakan prinsip bahwa declaration itu adalah internasional custommary of law. Yang kedua betul bahwa kita ada dan itu pasal 11 kalau nggak salah dari deklarasi haM itu bahwa seseorang itu tidak boleh dihukum tanpa ada aturan yang sebelumnya mengaturnya, tapi bagi pelanggaran-pelanggaran yang sangat berat itu saya kira tidak diberlakukan mutlak karena itu adalah unsur sistematiknya. Mana ada rezim yang sejak awal sudah punya proyek pelanggaran haM seperti Soeharto dengan melakukan pembunuhan besar-besaran, bagaimana dapat diharapkan pada suatu rezim yang sejak awal bahkan pondasi pendiriannya itu dengan melakukan pelanggaran haM, terus ada peraturan-peraturan yang melindungi haM, bahkan selama ia berkuasa ia pakai UU Subversif yang kita tahu itu melanggar haM, kemudian sekarang setelah terjadi itu kita mau menghormati haM dengan asas retroaktif tidak bisa, karena mesti agak keluar pemikirannya. Memakai Deklarasi Umum haM sebagai pedoman dasar.

Anda salah satu orang yang konsisten dalam garis perjuangan. Ada cerita menarik dan berkesan nggak selama terjun di masyarakat? Sebenarnya nggak ada cerita menarik. Cerita tentang kesedihan dan kekalahan rakyat terus-menerus. Saya ingat betul bahwa orang seperti abdullah Sungkar dulu itu kan proyeknya ali Moertopo. Orang-orang seperti itu diciptakan pemerintah untuk dijadikan umpan bagi pemerintah untuk menumpas mereka, bahwa dalam perkembangannya mereka membangun image sendiri.Yang kecil-kecil tapi korbannya luar biasa banyak, seperti penggusuran

Kedungombo, Borobudur, nggak ada cerita menarik sama sekali.

Dilihat dari efeknya, seperti penggusuran. Apakah bantuan asing itu bisa dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran HAM?

Bisa, termasuk transmigrasi. Masalahnya, di satu konteks sistem politik yang represif tidak ada konsultasi dengan rakyat. Seperti sidang-sidang CGI, diputuskan tanpa mengajak rakyat.

Nursyahbani Katjasungkana menamatkan studinya di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1978. Ada be berapa jabatan yang diembannya sekaligus saat ini. Antara lain sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan, Sekjen Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi, Koordiantor Kerja Bidang Perempuan International NGO Forum on Indonesia (INFID), Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Mengapa Anda masih tetap konsisten dalam perjuangan, tidak memi lih menjadi seorang lawyer di perusahaan, misalnya?

Sebetulnya kalau mau jujur, saya sudah tiba pada saat di mana saya juga harus bisa memenuhi kebutuhan anak-anak saya, keluarga dan mencari uang. Teman-teman seangkatan saya sudah punya kantor, memakai simbol orang-orang sukses seperti Mercy, BMW, baju bermerek. Tapi, kalau menyangkut ukuran-ukuran sukses material seperti itu, mungkin saya dianggap tidak sukses. Kata ayahku, kalau cinta tanah air maka harus berjuang untuk tanah air. Makanya saya lebih menanamkan cinta tanah air. Saya juga akan memulai, tanpa harus meninggalkan perjuangan karena masih banyak perjuangan yang harus diteruskan.

Sebagai seorang lawyer, bisa memberikan komentar hukum tentang kondisi hukum saat ini seperti apa? Di mana banyak terjadi keti dakadilan, banyak koruptor yang bebas?

Sejak awal saya sudah kenal betul ketika bergaul dengan realitas hukum dan realitas masyarakat itu. Bahwa hukum itu tidak bisa menghadirkan keadilan kalau rakyat tidak ikut serta dalam proses penyusunan, proses pengawasan. Bahasa hukum itu bahasa yang kering yang tercerabut dari konteks sosial yang mana ketika diimplementasikan jauh dari realitasnya. Itu yang mesti kita bongkar dan saya kira kajian-kajian masalah itu ada bagian-bagian tersendiri yang disebut critical jurisprudence (hukum kritis).

Mayoritas produk-produk hukum kalau nggak kolonial (untuk kepentingan kolonial) ya produk-produk hukum Orde Baru. Kemudian mau dilaksanakan di era sekarang ini? Tidak pas dan tidak bisa. Bagaimana menegakan hukum, yang mana sistem hukum tersebut di-create untuk menjadi hukum yang represif?

Solusi yang Anda tawarkan? Banyak pakar mengatakan bagaimanapun buruknya suatu hukum, tapi kalau manusianya baik, itu akan baik. arena hukum akhirnya adalah hati nurani dari para pelaksana. Itu hanya pedoman dalam konsep. Yang kedua, harus memperbaiki sistemnya, baik dari segi aturannya maupun dari cara berpikir masyarakatnya. Sekarang ada kecenderungan untuk mengimplementasikan hukum agama, hukum yang lebih sektarian. Kita sudah sepakat untuk tidak akan melaksanakan hukum agama, tapi hukum agama itu penting sebagai sumber perumusan hukum, mau nggak mau karena kita orang beragama tentu dengan sendirinya. Melaksanakan hukum agama lepas dari konteksnya, wajah agama nanti akan sangat kejam. hukum Islam atau hukum agama, baru bisa diterapkan nanti dalam konteks di mana keadilan itu memang ada di masyarakat. Kalau gap antara orang kaya dan orang miskin sudah hilang, dan

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [DIALOG]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

kalau negara sudah betul-betul bisa menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakatnya.

Banyak kalangan berpendapat bahwa Megawati dalam upaya pema juan HAM sangat buruk?

Secara umum saya bilang bagaimana penegakan ha M yang bertanggungjawab Megawati. Sudah jelas mengeluarkan Perpu antiterorisme. Coba kita baca itu, makanya kita tolak. Dia tidak bisa membedakan mana yang antiteror dan mana yang counter terror. Itu sebabnya pendekatannya harus menyeluruh. Teror itu kan kebanyakan karena ketidakadilan, orang merasa tertindas. hampir semuanya karena CGI, IMF, anti amerika. Merasa tidak adil bukan hanya di dalam negeri, tapi global governmental. Yang dia keluarkan itu kan antiterorisme, padahal sebetulnya maksudnya counter terorisme yang berorientasi pada penindakan orang-orang tanpa melihat akarnya. Sebetulnya kalau kita melihat, saya bukan tidak setuju dengan perang melawan terorisme, tapi harus holistik melihatnya, bukan hanya reaksi menghukum orang-orang tanpa memperbaiki relasi, baik itu relasi pemerintah dengan rakyatnya

dan mengeluarkan pendapat. Memang ada hak-hak yang sifatnya instrumental yaitu hak untuk berkumpul dan berpendapat, tetapi ada hak yang kedua-duanya tidak dapat dipisahkan sifatnya, karena konteks Indonesia justru kedua-duanya represif.

Apakah ini juga berkaitan dengan tingkat universalitas, yang kadang orang berfikir dan memperdebatkan tentang tingkat universalitas dan partikularitas?

Menurut saya karena konsep dan formulasinya didominasi dari negara-negara utara, yang memang secara ekonomi lebih maju dan kemudian hak-hak politiknya yang lebih didahulukan. Dalam kenyataan nggak bisa. Misalnya, lapar itu kan berhubungan dengan hak ekonomi. Tapi, bagaimana bisa saya mengatakan saya lapar untuk mendapatkan sepotong roti atau sepotong ubi? Inikan hak politik. Oleh karena itu dua hak itu mesti bersama-sama.

Tentang kesibukan Anda, bagaimana pendapat suami, anak dan keluarga?

maupun relasi pemerintah Indonesia dengan negara lainnya khususnya amerika.

Selama ini mungkin terjadi dikotomi tentang HAM itu sendiri? Dalam perspektif perempuan, seperti halnya bagi kehidupan perempuan, itu ada dikotomi publik dan privat. Sebetulnya dikotomi itu tidak pernah ada dalam kenyataan sebenarnya, mana yang publik dan mana yang privat. Kalau selama ini orang berimajinasi bahwa perempuan di sektor privat yaitu sektor keluarga, sementara lelaki itu di sektor publik, tetapi dalam realitas sosialnya itu tidak ada pembagian yang begitu rigid. Yang saya lihat di kalangan petani, ibu-ibunya juga akan pergi bekerja dan menjual juga hasil pertaniannya, itu kan publik, tidak hanya melulu mengurus anak dan urusan rumah tangga, apalagi dalam krisis sekarang ini, banyak sekali perempuan bekerja, artinya dikotomi publik dan privat maupun yang diabstraksikan lebih luas kepada haM, dikotomi antara hak sipil dan politik dan hak sosial ekonomi, itu politis sifatnya. Karena kepentingan. Kelompok dominan yang mendefinisikan bahwa ini yang lebih penting. Kebetulan kelompok laki-laki yang dominan, di sektor publik, maka terjadilah itu. Padahal itu adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam hak ekonomi dan politik. Kalau buruh misalnya mau memperjuangkan upah, kan dia harus punya hak politik yaitu bersuara, berkumpul

Itulah justru ironi dan kontradiksinya konsep-konsep yang selama ini ada berkaitan dengan dikotomi publik dan privat. Dan ada pembagian kerja yang dirumuskan oleh pasal 31 dan 34 UU Perkawinan yang mengatakan bahwa laki-laki harus memberikan nafkah pada istrinya dan istrinya adalah ibu rumah tangga yang wajib mengurusi rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Sementara realitas sosialnya sudah tidak se-rigid itu. hal ini terjadi benturan nilai yang ditetapkan lewat UU dan disosialisasikan juga lewat ajaran-ajaran agama dengan realitas sosialnya dan itu menempatkan perempuan selalu dalam posisi yang dilematis. Nah mungkin perempuan Indonesia masih diuntungkan, karena ada perempuan lain yang kurang beruntung yang masih mau melakukan pekerjaan di dalam rumah tangga, contohnya pembantu rumah tangga. Tidak ada perlindungan hukum lagi pada mereka, sehingga mengenai upah, kondisi kerja dan lain sebagainya, itu kan suka-suka para majikan. Saya sendiri sangat terbantu dengan adanya asisten yang ada dirumah, karena kalau tidak ya nggak bisa dan betul-betul tidak bisa diharapkan untuk melakukan. Pekerjaan rumah tangga itu penting bagi semua anggota keluarga dan oleh karena itu tidak bisa untuk ditinggalkan. Ke depan mestinya nggak ada lagi pembagianpembagian kerja seperti itu, kalau kita merasa pekerjaan rumah tangga itu penting maka semua anggota keluarga punya bagian masing-masing untuk efisiensinya. Misalnya, kalau anak-anak saya sekarang sudah besar-besar, misalnya nggak ada pembantu lagi nggak apa-apa juga. Tapi ini soal kebiasaan.

Siapa tokoh yag diidolakan atau yang berpengaruh? Saya sangat mengagumi Gandhi. Sejak dulu mungkin Gandhi menjadi idola saya, karena profesinya juga kebetulan pengacara waktu itu dan dia sangat mengagungkan kedamaian. Sebetulnya juga Bung Karno, ajaran-ajaran Bung Karno yang nggak seluruhnya, tapi ada kalimat-kalimat yang sangat menyentuh dan sangat berpengaruh, misalnya,”Tuhan itu di gubug-gubug orang miskin.” artinya kalau kita memperjuangkan hak orang miskin, membantu orang miskin, menolong orang miskin, sebetulnya mengenal Tuhan dan mencintai Tuhan sebagai refleksi dari kecintaan terhadap Tuhan itu sendiri. hal-hal seperti itu banyak terdapat dalam pidatonya Bung Karno.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 2 [DIALOG]
Widiyanto
/ HIMMAH
Bersama Dua Anaknya. Pekerjaan rumah tangga itu penting
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Code, Riwayatmu Kini...

SEjaUh

mata memandang, riuh kayuh permukiman semakin padat saja di sepanjang bantaran Kali (sungai) Code. Gelombang waktu yang menderap para penghuni kampung pinggiran Kota Yogyakarta ini untuk keras bertahan di tengah gejolak modernisme. Code adalah potret kelangsungan hidup masyarakatnya. Memi lin kebersamaan dari pangkal-pangkal persoalan, yang kerap berujung purbasangka dan kekerasan. Sebangun permasalahan yang mesti ditempuh manusia-manusia sungai ini, agar tetap bertahan dan melahirkan generasi yang berpengharapan. Dari sepanjang Kampung Gondo layu hingga ke arah utara Kali Code, HIMMAH men coba memahami geliat kehidupan mereka. Orang-orang yang memiliki setitik keberdayaan dan menjalin sepetak sejarah yang runyam. Riwayat Code ialah lembaran usia senja masyarakat urban yang ingin menemukan kesejahteraan, karena di tempat asalnya hal demikian tak terjawab sudah. Kini keinginan mereka menjadi arus pertanyaan besar bagi persoalan kemanusiaan. Berikut ini reportoar HIMMAH tentang denyut kehidupan Kali Code.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [LAPORAN KHUSUS]
S.Fahrissalam Foto: Sheila Meidi A. &
Indra Yudhitya / HIMMAH

merajut harkat masyarakat Code

TahUN 1984, di sebuah kawasan sudut Kota Yogyakarta yang terletak di pinggir Sungai Code. Masyarakat per kampungan di sana seakan berada di tebing kegetiran. Pasalnya, Pemerintah Kota Yogyakarta merencanakan daerah tepian Sungai Code bebas dari segala permuki man, bangunan dan kehidupan manusia. alasan yang dipakai pemerintah, daerah itu rawan luapan air sungai dan akan diben tangkan green belt atau sabuk hijau. Sebuah wilayah yang akan menjadi Ruang Terbuka hijau (RTh), mendatangkan masyarakat kota untuk berekreasi di dalamnya.

Rencana yang kemudian memanggil seorang budayawan, arsitek, akademisi humanis untuk terjun langsung ke lem bah Code, membina masyarakat di sana agar tetap bertempuh hidup meski tanpa keberdayaan, tak peduli seruan Pemkot Yogyakarta. Dialah Y.B. Mangunwijaya atau biasa disapa Romo Mangun. Nyatanya kala seruan itu semakin gencar menyapu mereka, medio april 1986 Romo Mangun bersama simpatisannya menggelar aksi mogok makan. Mungkin atas jasa besar Romo Mangun, permukiman Code bisa bertahan bahkan kini semakin mengalir dan melebar ke selatan sungai.

”apa yang dilakukan Romo Mangun itu lebih banyak ke ingin membuktikan bahwa sebetulnya mereka (warga Code) itu masih layak untuk tinggal disana,” ungkap Ir. Wiryono Raharjo, M.arch, asisten arsitek Romo Mangun 1985-1987. Pembinaan bagi pembangunan masyarakat dan ling kungan ini, membawa permukiman yang terletak di bawah jembatan Gondolayu mendapatkan penghargaan Agha Khan Award pada 1992. hingga sekarang peng hargaan itu menjadi tolok ukur kajian para arsitek dunia.

Namun perjalanan Code tidak cukup sampai di situ saja. laiknya waktu tanpa kenal henti, begitupun Code. Kehidupan yang mengalir tak sekadar lurus, bersama penghuninya dan sisa sejarah, merangkai lembaran per halaman. Code menapaki waktunya tak begitu jauh dari persoalan pemukiman urban di kota-kota besar dunia umumnya. Terbaca, beban yang harus

dipikul warga Code. Dari kurang terjaganya kesehatan lingkungan, minimnya akses publik, permukiman penduduk di atas batas areal tanah yang wajar. Sampai juga pada akar-akar personal yang susah menggapai ladang pekerjaan, dan ini berakumulasi, menjadi permasalahan bersama.

”Banyak bangunan desa ini yang rapuh walaupun tidak keseluruhannya. Dalam kemasyarakatan di desa ini masih kurang keterbukaan antara warga, di samping itu juga banyak warga yang malas,” ungkap Ridwan, seorang pemuda Kampung Gondo layu salah satu kampung di kawasan Kali Code menanggapi riak persoalan di antara warga kampungnya.

Sekadar itukah? Tentu saja dera keter himpitan lebih dalam lagi. Warga Gon dolayu melalui ketua RT-nya, Darsono, berharap tanah yang kini ditempati bersta tus legal, menjadi hak milik warga. Gon dolayu tak sendirian, hampir di kawasan pinggiran Terban, di tepian sungainya, meminta perihal yang sama. alasan yang digunakan, warga khawatir nyaring peng gusuran terulang lagi. ”Itu minta izin dari keraton. Terban ke sana itu izinnya

ke keraton semua. ada yang dari keraton, ada yang dari pengairan (pemilik lahan Kali Code). Kemungkinan bisa itu nanti,” harap Darsono.

Dinas Tata Kota Yogyakarta pun bergeming saja saat dimintai konfirmasi. ”Soal pindah-memindahkan orang bukan urusan saya,” seperti yang diucapkan kepala dinasnya kepada HIMMAH di ruang kerjanya.

Sungguh. Cerita keterpinggiran bu kan untuk para awak Pemerintah Kota Yogyakarta. Bagi warga Code, menyemai benih kebersamaan itu tak dapat diukur dari kelebihan materi, meski karena ini juga Code berjalan lindap, penuh sangka kata. Tapi, dari waktu lengangnya mereka mencuri harapan bagi jalinan kehidupan komuniter. ( l ihat, Berlayar di Sungai Pengharapan).

lalu langkah kemanakah yang pasti terburainya sejumput harapan? Semuanya masih samar: kampung wisata. Rencana yang kian hangat digagas warga Code, dan semakin menunjukkan hasil berarti. Mau bukti? Setidaknya yang tergambar di perkampungan tepi Code Utara, jetisharjo,

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Pesatnya urbanisasi melahirkan kantong-kantong permukiman di tepian sungai. Nasibnya tak beda jauh, berada di pinggiran juga. Jurang melebar antara harapan dan kenyataan. Masyar akat Code salah satunya. perkampungan Code. Sempat hendak digusur Indra Yudhitya / HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

bukan perihal main-main. Kebutuhan mendesak warga untuk mendapatkan fa silitas air bersih terjawab sudah. Maka dibuatlah ”kuali” pemandian umum, dan warga tak perlu cemas. ”Dari mata air kita tampung kemudian distribusikan ke warga, seperti PDaM persis,” kata Totok Pratopo dari Forum Masyarakat Code Utara.

Usul perkampungan wisata sebenarnya bukan hal yang baru, sudah ada sejak 16 tahun silam, tapi genderangnya nyaring terdengar belakangan hari ini. Walaupun tak sedikit upaya dari warga bagi rencana ini. ”Masyarakatnya siap, lingkungannya harus tertata dari aspek kesehatan, keinda han, rumah, dan seterusnya. Itu pekerjaan yang tidak mudah,” tanggap Totok.

Bukan hal-ihwal mudah memang. Seba gaimana ditaksir banyak pihak, kampung wisata memerlukan kesediaan dari pelbagai kepentingan yang menjalar masuk. ada masyarakat, pemerintah kota, dan mungkin para akademisi yang rela terlibat demi se bentuk pengharapan masyarakat urban Yo gyakarta ini. ”Peran terpentingnya menjadi

perantara antar berbagai pihak yang merasa memiliki kota ini. ada konsen estetis, kom ersial, ideologis, ekonomis dan kebutuhan ruang yang mendesak,” jelas Revianto Budi Santosa, pemerhati arsitektur kota yang juga dosen arsitektur UII.

Tak hanya itu. Perbandingan lurus ke jelasan terselesaikannya ide menyejarah ini mesti tanggap lakunya dari warga sekitar, orang-orang di tepian Kali Code sendiri. (lihat, Mari Nikmati Wisata Kampung).

Mungkin, Sungai Code itu sendiri yang telah menjadi catatan sejarah. jauh mele wati masa usia masyarakat pinggiran sungai ini. Riwayat sungai adalah gejolak hidup yang bersinggungan dengan kelahiran manusia. Tak ada pembatas ajeg, manusia dan sungai merakit perjalanan peradaban dunia. Sungai Code memiliki ruangnya sendiri pada legenda j awa kuno dalam alur panjang pendirian Kerajaan Mataram dan Keraton Yogyakarta. (lihat, Dari Hulu Mengalir ke Moyang Kami).

Menggambarkan Code sama halnya menatap peta dunia akan gelombang besar

perjalanan manusia dari kota ke kota, ne gara ke negara. Sebuah urbanisasi, pengem baraan tak berkesudahan dari anak manusia yang sepi kesejahteraan. Tak hanya di Code, Indonesia umumnya. Di tiap kota dari sebuah negara, yang berpesona menjanjikan layak keuntungan, akan bergan tungan barisan masyarakat pendatang. Tak disadari persis, ihwal modernisme mulai menggantang permukiman-permukiman di sudut kota. Segala kegamangan tampak terasa kala aras pembangunan berwajah ganda, ia memperkaya ”para pembesar” kota, namun memiskinkan masyarakat yang telah akut miskinnya. Dan Code adalah setitik buih dari luas hamparan samudera manusia.

”Urbanisasi akan mengundang orang menggantungkan kehidupan pada pusatpusat kegiatan urban. ada yang bisa mem beli akses dan tidak, sehingga memiliki ketergantungan tinggi kepada penghasilan urban,” kata Revianto.

Bisa ditebak. Muara perihal masalahnya bermula dan berakhir dari lingkaran eko

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN KHUSUS]
kampung Binaan romo Mangun. Tidak sembarang dibangun, demi menjaga lingkungan Sheila Meidi A HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . .

nomi, membelit langkah mereka sampai ”membuang diri” di tepian sungai-sungai kota. Tentu jika ada pilihan yang lebih baik, mereka tidak akan tinggal di sana.

Gejolak urbanisasi mulai 1980-an kini berwujud runyam, tak menjanjikan apaapa. Mungkin sebagian kecil saja yang beruntung, tidak lebih. Roda-roda nasib kah? Melihat pergumulan sebuah negeri ini rasanya bukan. Di banyak kawasan seperti Code, pemerintah kota berlaku tak rasional, menggunakan tindakan kekerasan. Ini cukup terlihat di jakarta, Surabaya dan kota dengan jumlah penduduk besar lainnya.

Masyarakat Code umumnya, belajar merangkai usia dengan bekerja yang tidak begitu mapan. Pekerjaan yang berpangkal ekonomi sektor informal: pedagang kaki lima, penjual ban seperti warga Gondolayu, pedagang keliling, buruh, dan lainnya. Pen gangguran? Tak perlu lama memilahnya. ( l ihat Manusia Manusia Tak Bertuan ). ”Mungkin prediksi urbanisasi dan perkem bangan ekonomi di Indonesia sepuluh tahun masih seperti ini. Mau tidak mau akan hidup di kota yang seperti ini,” ujar Bobi Setiawan, akademisi UGM dari Pusat Studi lingkungan hidup.

”Kita tidak bisa menyalahkan karena sistim makro ekonomi di Indonesia itu belum mendukung, belum berpihak kepada mereka (warga pendatang kota),” tandas Wiryono kepada HIMMAH.

Kawasan permukiman di tepi aliran sungai Code mungkin miniatur ”rumah kaca” Indonesia. Pelbagai sangkan paran (sangkut-paut persoalan) menderas getas

dalam pokok waktu yang masih panjang pada arus sungai kehidupan. Bertumpuk. Gelisah akan benang-benang permasalahan yang semakin kusut.

Masyarakat Code adalah lokalitas kecil yang bertumpu pada akar sejarahnya, sebab mereka begitu susah merangkainya, dan terlalu lama usia berprosesnya. Melahirkan generasi yang beda jauh perkembangan nya. Memahami masa lalu kelindan hidup para orang tua, mereka berupaya keras melanjutkan harapan. Dalam keadaan ini,

bingkai besar kehidupan lebih pada jalinan erat masyarakatnya, meski dirundung gelap persoalan yang tak kunjung terentaskan.

Sebuah perjuangan besar bagi manusia sungai Code. Walaupun saat menginjak usia dewasa, mereka mengenal perjuangan itu sebagai pengorbanan yang dalam.

Tak ada habisnya. Modernisme telah memakan korban kemanusiaan, masyarakat Code salah satunya. Di satu sisi meng angankan pembebasan tanpa syarat dari identitas kota mapan. Tapi bagian lain, harus menggapai sisa-sisa penghasilan dari ruang yang menyisihkan mereka.

”jalanin hidup apa adanya, kalau ada kerja, ya kerja. Begitu saja. Tenaga saya sudah berkurang,” aku hadi, warga Gondo layu.

Zaman berubah, usia Code pun kian merangkak senja, begitu juga masya rakatnya. Pohon kemodernan berbuah ambang konsumerisme, menanggalkan kesederhanaan. Deretan kelahiran manusia di tepian kali Code siap menunggu. Dan ”malang” benar, karena mereka bagian sur vival of the weakness di negeri ini. Padahal di ruang sosial itu harapan tertera. Mengun ci waktu dan melepaskan kegetiran dalam satu kebersamaan, multikulturalisme. Waktu tak ada yang berjarak di sana.

Saat itulah, manusia pasca-modern, pasca-Einstein, berjalan. Ketika pagi da tang orang-orang sibuk bergegas: pebisnis, kaum pekerja, mahasiswa, agamawan. Dan kereta terakhir teruntuk para politikus. Demikian tulis Mangunwijaya semasa hidupnya. Sementara mereka, masyarakat

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
keluarga kampung Code. Jalani hidup apa adanya Anak-Anak Code. Membutuhkan ruang layak bermain Indra Yudhitya / HIMMAH Sheila Meidi
A / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

berlayar di Sungai Pengharapan

Kala U anda menyempatkan waktu sejenak untuk menatap Code di waktu sore, boleh jadi ketika itulah kehidupan masyarakat Code menggelegak. Tak hanya orang yang telah cukup usia, tapi anak-anak pun ikut menjaring suasana perkampun gan di sepanjang lembah Code. aktivitas yang akan mempertemukan orang-orang be r cengkrama sehabis lelah bekerja, di posko keamanan kampung, di tempat pe mandian umum, atau di pinggir sungainya sekalipun.

Menjumpai anak-anak yang berlari liar di tepian sungai. atau di lain tempat, ada juga yang mengisi waktu senggang nya dengan memancing, tentu jika Sungai Code meluap tiba-tiba di musim penghu jan. Memang Sungai Code seakan sudah menyatu dengan orang-orang yang telah lama merawatnya, hingga digantikan anakanak mereka.

Di balik keseharian mereka, pastinya ada gejolak harapan yang tercerap dalam benak masyarakat urban ini. Persoalan

yang menyangkut jalinan kebersamaan antar masyarakat Code atau bias kepentin gan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta terhadap mereka. Darsono selaku ketua RT 01 Kampung ledok Gondolayu, Kelura han Kotabaru, sudah lama menginginkan tanah yang ditempati warganya bersertifikat legal. Darsono harus bertemu dengan Di nas Tata Kota Bagian Perumahan Umum (PU), berharap uluran tangan dari Pem kot Yogyakarta agar tanah warga binaan Romo Mangun ini semasa awal 1980-an dibebaskan. Sehingga tak perlu takut lagi akan cerita penggusuran yang kerap meng hantui mereka sepanjang waktu. Mereka tak ingin kejadian ancaman penggusuran terulang keduakalinya.

”Yang saya tuntut itu kalau bisa disini itu istilahnya punya surat resmi (tanah). jangan sampai dibongkar. jangan sampai terulang pada waktu-waktu kemarin,” ujaranya penuh harap.

Tidak itu saja, kini warga Gondolayu disibukkan dengan pendirian kembali

pondok yang ”dirobohkan” oleh pekerja bangunan jembatan dari Dinas Tata Kota. Pondok yang diperuntukkan bagi kegiatan koperasi dan anak-anak muda ini harus dibangun ulang. Padahal bangunan yang berfungsi sebagai pintu gerbang permuki man Gondolayu ini salah satu buah pening galan Romo Mangun. Usut punya usut, tinggi bangunan ini melebihi badan jemba tan Gondolayu yang sedang mengalami pelebaran. ”Melebihi dinding jembatan kirakira satu meter,” jelas Darsono.

Warga mendapatkan ganti rugi sebesar 2,5 juta dari Pemkot Yogyakarta untuk membangun ulang tapi dengan syarat harus sesuai keinginan dinas tata kota beserta jajaran birokrasinya. ”Boleh didirikan tapi jangan melebihi dinding jembatan ini,” ucap Darsono.

Padahal permukiman ini tak jadi digusur, salah satunya berkat arsitektur perumahannya yang unik dan menjaga kes eimbangan dengan alam lingkungan sungai, sehingga menyedot simpati dari pihak luar.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN KHUSUS]
Dari kesibukan bekerja yang tidak menghasilkan pemenuhan kebutuhan seberapa, masyarakat perkampungan Code mencoba merakit waktu senggangnya. Hidup mereka belum merdeka benar.
Sheila
Meidi A / HIMMAH . . . . . . . . . .

Bayangkan saja, untuk membangun lagi pondok yang tergerus pelebaran jalan itu setidaknya mesti ada yang mengerti benar akan kondisi ekologis tanah beserta ling kup ruang keseluruhan Kota Yogyakarta. Sayangnya pemerintah kota tidak mengin dahkannya.

Revianto Budi Santosa berpendapat bahwa arsitektur rumah di Gondolayu sangat menjaga komposisinya, ”Romo dulu kan cukup menjaga skala, bangunan jangan sampai terlalu berat, hanya boleh di atas ini, dengan konstruksi yang sangat ringan. Ruang-ruang yang akan menjadi efisien karena dipakai berbarengan, komposisi bentuk yang dikendalikan dengan cukup baik,” jelasnya.

Kondisi warga di permukiman Gondo layu ini salah satu contoh dari sekian kam pung yang berdiri di tepian Sungai Code. Di sebelah utara jembatan Gondolayu bagian barat Kali Code juga punya persoalan sama yang dihadapi masyaraka t nya. Mereka meminta tanah yang sudah sekian lama ditempati generasi pendahulunya. Kepas tian yang mesti tercapai sebelum mereka berkembang lebih jauh lagi.

Willi Prasetyo yang semasa mudanya ikut membina pemukiman di sungai Code memaparkan bahwa segala tuntutan dari masyarakat Code menjadi lumrah adanya, karena sudah bagian dari perkembangan masyarakat urban kota. Mereka tidak ingin selamanya hidup dibawah kecema san. ”Itu merupakan perkembangan hidup manusia. Kalau sekarang mereka meminta pada pemerintah disertifikat itu memang

haknya dia,” katanya membela. ”Paling tidak tempat itu aman untuk berkembang,” imbuhnya.

Persoalan Code tak melulu tanah yang belum legal. Umumnya pada perkampun gan yang berdiri di pinggir sungai kota besar, masyarakatnya bermasalah di seputar kesehatan yang tidak terjaga, buruknya sanitasi, sungainya yang kotor. atau dapat juga terjadi pengikisan tanah, sehingga ancaman meluapnya air sungai menunggu waktunya saja. apa yang dibayangkan ini , menyebabkan masyarakatnya terkungkung pada wilayah marjinal, periferal. Ditambah pula kebijakan pemerintah yang meman dang orang-orang sungai itu ”kumuh”. Sebuah pemerintahan kota besar umumnya dihuni para pembesar yang mapan.

”Satu prinsip bahwa sebetulnya lingku ngan yang dikatakan kumuh itu tidak selalu dikatakan negatif, karena dia itu bisa men jadi pendukung proses pertumbuhan ekono mi di Yogyakarta. Bahkan dalam konteks global istilah kumuh itu sudah tidak ada, yang ada permukiman spontan, perumahan spontan,” jelas Wiryono Raharjo.

Kini, permukiman tepi Sungai Code sudah berdiri hampir setua umur sungainya. Dan tak gampang pula jika pejabat Pemkot Yogyakarta menghendaki mereka untuk keluar dari kawasan sungai. Bobi Setiawan, dosen arsitektur UGM lebih setuju jika dirombak ulang soal manajemen tanah kota. ”Kita tidak punya manajemen tanah yang cukup bagus sehingga akses tanah bagi masyarakat miskin itu tidak terjamin selama ini,” katanya.

Para pemukim yang di sana itu, lanjut Bobi, seakan-akan menjarah secara ilegal tapi pemerintah pun belum bisa mem berikan alternatif manajemen tanah atau tempat tinggal bagi mereka. ”Tidak adil juga jika untuk kepentingan lingkungan, perumahan-perumahan di sana pindah,” tegasnya.

Bagaimana dengan keinginan sebagian warga Code yang berencana mendirikan kampung wisata? Mungkin juga perihal ini yang bisa menyelesaikan soal lingkun gan dan perumahan. ”Siapa tahu ke depan ada model-model penataan yang di satu sisi mereka bisa tinggal disana, di sisi lain konservasi sungainya bisa terjadi. Nah ini menyangkut pada treatment treatment yang lebih detail di sepanjang sana kalau memang Code tidak bisa dibebaskan begitu saja,” jelas Bobi.

Tak jauh beda, Wiryono juga berharap ada langkah segera yang harus diambil Pemkot Yogyakarta mengenai persoalan yang dihadapi masyarakat Code sekarang, terutama legalitas tanahnya. ”Konsolidasi tanah, penataan kembali peruntukan lahan, sehingga penataannya itu lebih jelas,” ujarnya. Wiryono beralasan, kalau misal kan kita punya tanah, itu kan kita bisa meng gunakan tanah itu sebagai agunan modal usaha. ”Nah dengan tanah ilegal itu tidak bisa. Kelihatannya pemerintah itu (harus) memperjelas status tanah itu, dengan cara salah satunya konsolidasi lahan.”

Memang, setiap saat perkampungan sepanjang Kali Code ini mengumbar gejolak. Dari akses hukum yang timpang antar masyarakatnya, warga baru yang kadang secara ekonomi menjadi sindiran, bahkan susahnya merangkai satu tema komunalisme antar perkampungan di sepanjang sungai. ”Yah kami juga pernah menawa r kan sungai itu tidak bisa di penggal-penggal. Idealnya satu sungai itu satu manajemen untuk perencanaan, tapi inikan tidak selalu diterima setiap temanteman di selatan,” aku Totok.

”Diberbagai tempat sudah mengindi kasikan kesesakan jumlah penghuni yang terlalu tinggi dibandingkan dengan ruang yang tersedia,” kata Bobi.

Barangkali di setiap pemukiman ban taran sungai kota selalu menyimpan ke gundahan. Waktu lengang yang dihabiskan warga Code kala sore hari, mungkin hanya bagian kecil dari permenungan harapan tak kunjung datang.

Dengar apa kata Romo selagi ia masih hidup seperti yang diingat Revianto. ”Urip koyo sampah yo koe disapu (kalau anda hidup seperti sampah ya akan disapu) , makanya jangan menjadi sampah kota,

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Masyarakat Code. Merakit kebersamaan dengan berkumpul
Indra Yudhitya / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

mari nikmati Wisata Kampung

Ada usul di sepanjang bantaran Code menjadi kampung wisata, terlalu beresikokah?

HIMMAH

beranjangsana di ruangan stasiun radio ”Swara Code Utara, 93,4 FM”. Tak besar memang, hanya berisi satu unit komputer dengan satu mix siaran. Suasana tampak lengang, hanya ada tiga pemuda. Karena memang, senja selalu menandai akhir kesibukan berbenah orangorang di tepi Sungai Code Utara, sehabis seharian beraktifitas, sebelum berangkat malam. Tak peduli hari, dimanapun.

”acaranya belum bisa dijadwalkan,” tutur Bambang, pemuda jetisharjo.

”Biasanya malam itu ramai mas,” jelasnya.

”acara yang banyak request-nya sama anak-anak mudanya apa sih?” tanya HIM MAH

”Biasanya acara tembang-tembang,” terang adek, pemuda berusia 26 tahun.

Stasiun radio yang baru berusia sekitar tiga bulan ini, kini semakin menyemar akkan masyarakat pinggir Sungai Code yang terletak di sebelah utara jembatan Sardjito ini. Tentu, sumbangan dari Forum Masyarakat Code Utara (FMCU), komuni tas warga pinggir Kali Code yang menaungi kampung Blimbing Sari, Terban, Pasira man, Cokrokusuman dan jetisharjo, yang baru menginjak usia hampir 2 tahunan ini. Pembukaan stasiun radionya sendiri sekitar 8 Maret 2003. Usia yang masih muda, juga rencana dari FMCU yang akan melayarkan ide di sepanjang bantaran Sungai Code bernama kampung wisata.

Rencana yang kini mendatangkan ber macam tanggapan, tak hanya dari masyar akat Code sendiri, orang luar pun seakan ikut mendera pertanyaan dan perhatian serius.

Bermula dari kegamangan segelintir masyarakat akan keberadaan hidup tepian sungai kota di tengah arus modernisasi, termasuk di dalamnya arus urbanisasi yang tinggi dan gelisah akan tubir kemiskinan, berembuk menyatukan kesadaran bersama. Mencapai hidup yang nyaring sejahtera dan gegap gembira. ”Barangkali anak cucu kami yang memanfaatkan, menikmati hasilnya, tapi itu harus dimulai,” ujar Totok Pratopo, ketua FMCU kepada HIMMAH, saat berbincang di kediaman rumahnya.

Sebuah gagasan yang ambisius? Mung kin ya, bisa juga tidak. Setidaknya, yang dikatakan Totok dapat menjadi simpul dari berbagai persoalan yang melanda masyara kat pinggiran Sungai Code. ambil kasus pendirian talud di sebelah timur sungai utara Code. Pembangunan talud yang di cetak-biru pemerintah kota ini tanpa men gajak serta masyarakat. Ditambah dengan bahan talud dari meterial keras, tidak ramah lingkungan. ”Dulu memang kita berdebat masalah talud, kita sebetulnya tidak setuju dengan talud seperti itu,” ceritanya. Diskusi sedang ber-jalan, lanjutnya, ini sudah bawa kontraktor. ” jadi kita tidak punya daya tawar,” jelas Totok.

Daya tawar inilah yang mencoba dirangkai para tokoh masyarakat yang pu nya perhatian terhadap lingkungan sekitar. l ama berselang menjawab kesadar-an masyarakat, terbukalah medium mem bangun semacam paguyuban. Termasuk visi pengembangan kampung wisata? Ten tunya itu program jangka panjangnya.

Nah, saat ini Dinas Pariwisata sedang meninjau kampung akan realisasi wisata

nya, sebagai alasan legalitas yang mampu dipahami Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam pengamatan Totok, legalitas inilah yang akan dipakai oleh pemkot berangkat dari hasil studi kelayakan Dinas Pariwisata Yogykarta. ”Perhitungan mereka itu sudah untung-rugi,” terangnya. Kalau pemkot ukurannya harus secepat mungkin, sambungnya, ini memang tidak mungkin. ”Kami memang terus memperdebatkan masalah ini,” tanggap Totok.

Setidaknya, pengembangan gagasan kampung wisata sudah menemui ukuran nyata yang dinikmati masyarakat jetisharjo, bagian dari pangkal hulu Code Utara. Tak terlalu banyak memang. Sedikit demi sede tik. Penyediaan air bersih dari mata air kali Code, pembangunan badan jalan di tepian sungai, tempat mandi komunal, dan tak kalah terlewat ialah rumah bertangga yang lantai atasnya dijadikan ruangan berkumpul selagi malam, membahas selang persoalan setiap kampung bagian FMCU. juga di jadikan tempat ”Swara Code” tadi.

”Keadaan FMCU sangat membantu. Radio, sumbangan lainnya dan sebagainya,” kata Bambang.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN KHUSUS]
Generasi penghuni Code. Akan menikmati hasilnya jika kampung wisata berdiri Indra Yudhitya HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Selagi bersiaran itulah, anak-anak mu danya singgah bermain, ngobrol bareng, atau sekadar menikmati lagu, lantunan dari sekeping hard disk yang tidak kuat menam pung kapasitasnya lagi. ”Komunikasi antar RW, jalan, kumpulnya banyak,” ungkap Bambang kemudian, menggambarkan aktivitas di ruang siaran radio kampung ini. Meskipun kualitas radionya belum bagus benar, namun sejatinya dapat membantu menyalurkan informasi di setiap kampung kepada masyarakat. ”Yah minimal untuk memperluas informasi kegiatan kampung bagi mereka menjadi hiburan tersendiri, anak-anak mudanya. Walaupun sekarang belum ada aktifitas, tetapi infrastukturnya sudah ada disana,” aku Totok beralasan.

Tak berhenti disitu saja, program menuju kampung wisata seakan berjalan mengikuti laju Sungai Code, mengikuti gerak kota jogja pada altar masyarakat urban. Di medio Mei saja, sepanjang badan tepian Kali Code akan diadakan ritualitas adat jawa bernama ”Merti Code”. ”Se benarnya pengertiannya semacam upaya bersih kampung Code, dengan simbolisasi ritual adat. Nanti ada prosesi diarak dulu,” jelas Totok, juga menjabat ketua Rukun Warga (RW) j eti s harjo ini. a tau kalau anda susah membayangkannya, mungkin bisa disebut juga semacam grebegan-nya Keraton Ng a yogyakarta. ” a da aspek seni budayanya juga, pementasan tentang komunitas-komunitas yang ada di kam pung. Yah kita berekspresi ya,” ungkapnya kemudian.

apa kata masyarakat luar menjawab persoalan yang berkembang dalam masya rakat Code masa kini?

Sepokok gagasan kampung wisata adalah idealitas besar yang mesti dijawab bersama setiap kampung di gugusan aliran Kali Code. lebih pada permuaraan masya rakatnya sendiri yang harus cepat tanggap. Willi Prasetyo mengharapkan kesediaan masyarakat sendiri yang mengelola. Entah mungkin di satu wilayah itu terdapat suatu produk kerajinan. ”Bisa dilihat hasil produksinya dan bisa dijual,” harapnya.

Disinilah letak krusial yang harus dipikul masyarakat tepian Sungai Code. j ikapun kampung wisata bergaung di pelosok wilayah dunia, maka garda depan nya adalah kumpulan kampung yang berdiri di pinggir-pinggir Code, tak te r kecuali masyarakatnya. Menurut Totok, ken dala inilah yang coba dipecahkan FMCU. apresiasi masyarakat terhadap paguyuban komunitas kampung ini tak terlalu menjang kau keseluruhan, kadangpula menemui narasi perbedaan antar warganya sendiri. ”Tidak semuanya tokoh masy a rakat,

yang memilih saja umumnya. FMCU itu istilahnya ada RW-RW tapi tidak semua, ada beberapa anak muda yang sedikit saja yang berg a bung,” katanya. Sebenarnya kita menemukan masalah mendasar, lanjut Totok, bahwa ternyata kesadaran untuk melihat kampung wisata ini berpote n si masih sangat sulit.

Muara penyadaran inilah yang tak selalu mudah digenapkan. a dakalanya keganjilan berada di dalam tubuh masyar akat kampung Code. ”jadi memang tidak gampang membuat penyadaran masyarakat, bahkan sampai sekarangpun masih ada yang menganggap kita ini mencari keuntu ngan sendiri, popularitas dan seterusnya,” ungkap Totok.

Berproses menuju jalan lempang kam

tapi ini yang akan dilihat masyarakat Code yang belum sadar sepenuhnya. Bahkan ka laupun kampung wisata telah membentang dari utara hingga selatan kali Code, tak cukup menjawab kegelisahan. Pasalnya, ada ketakutan besar jika pengelolanya para investor luar.

Revianto menekankan bahwa kalau akan menyajikan kehidupan kampung harus ada partisipasi dari masyarakat. ”Bukan kampung lagi kan kalau semuanya didatangkan oleh investor,” tegasnya.

Revi menggambarkan suasana kam pung wisata Code nanti, ”Mengunjungi disini itu berkenalan dengan kehidupan yang nyaman dan akrab tapi sekaligus unik. Bisa lihat ekosistem kehidupan desa, rumahnya yang menara gitu , bisa lihat

pung wisata tampaknya terbentur kultur sosial kampung urban ini, disamping peran Pemkot Yogyakarta terhadap realisasinya. Bobi Setiawan, Direktur PS lh -UGM, lebih memahaminya pada egoisme tiap-tiap individu. ”Karena masing-masing individu egois, lalu yang terjadi pembangunan yang tak beraturan. Kalau sepakat memaham inya secara bersama, kondisi lingkungan menjadi baik,” terangnya. ”lebih diadakan saat ini kualitas lingkungan, termasuk tiada tempat ruang terbuka, sistem sanitasi yang buruk. Biar kualitas kehidupannya mening kat, berkembang. Baru bisa dijadikan suatu objek wisata,” tandasnya.

Merawat lingkungan dan pembenahan penghijauan sungai Code merupakan peker jaan bertahap bagi para pendukung konsep kampung wisata ini. Tak mudah mungkin,

bakar jagungnya, melihat ayam-ayam yang diumbar wae, anak-anak yang bermain.”

Totok menyadari hal demikian. Ber sama pengurus lainnya kini menjadi bahan perbincangan di saat ajang pertemuan. ”In vestor masuk kalau kita punya aturan main yang disiapkan dan sistem yang bagus, kita tidak dirugikan,” tanggapnya.

Simaklah bayangan Totok jika kampung wisata ini sejatinya berdiri, ”jalan-jalan di pinggir sungai tampak bersih, hijau, tapi juga dengan fasilitas lampu yang memadai. Kalau malam hari orang nanti bisa menik mati wedang jahe misalnya, penduduk bisa menjual makanan, tapi di dalamnya itu ada kerajinan kampung.”

Tampaknya waktu yang menjawab semua impian itu.

0[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Arsitektur Code. Bentuk yang estetis menarik untuk dilihat di kampung wisata Sheila Meidi A
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Revianto Budi Santosa: ”Code Belakangan Jeblog, Sepeninggal Romo Mangun”

Fenomena masyarakat urban di pinggiran Kali Code tidak bisa dilepaskan dari konteks persoalan urbanisasi. Kesan kumuh yang kemudian menggelayutinya perlu dihindarkan oleh masyarakatnya. Dua hal yang menjadi tantangan berat di masa depan. Demikian penuturan Ir. Revianto Budi Santosa, M.Arch, Ketua Jurusan Arsitektur UII ini kepada Febry Arifmawan dan M. Taufiekura khman dari HIMMAH menjawab persoalan persoalan Code yang terus mengemuka. Berikut petikannya:

Bagaimana mendudukkan kawasan Code dalam tata kota? Saya kira kita harus menariknya ke wilayah yang lebih luas, ini tantangan urbanisasi pada umumnya. jadi urbanisasi akan men gundang orang yang sangat banyak untuk tertarik ke situ. lalu menggantungkan kehidupan pada pusat-pusat kegiatan urban. Nah di antara yang menggantungkan itu ada yang kuat, bayar hidup di kota. Maksudnya bisa membeli akses, ruang hidup, fasilitas yang cukup layak maksudnya. Tapi ada juga yang tidak. Sehingga mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada penghasilan urban, mendapatkan berkah, tapi berkahnya berskala kecil. Seh ingga tidak memadai, kalau kita menganggap urban itu layanannya semuanya adalah aspek komersial, maka itu akan sulit bagi mereka untuk dapat membeli, mendapatkan akses secara komersial terha dap layanan-layanan perkotaan.

Terus bagaimana kebijakan untuk mereka yang lemah itu? Sehingga di sini adalah bagaimana sikap kota terhadap warganya seperti itu. Apakah kota itu akan mendefinisikan dirinya sebagai yang kere (miskin red.) dilarang masuk. Yang tidak mampu jangan dilarang masuk, dikasih rambu-rambu juga. Tapi realitas sosialnya tidak seperti itu. lalu bagaimana cara kita menghargai mereka yang berpartisipasi pada kehidupan urban. Karena mereka toh tidak hanya nggandul (menggantungkan diri red.), tapi juga memberikan layanan pada kehidupan kota ini. Dijauhkan jaraknya tidak bisa, di pasaran itu akan selalu lebih rendah kalau jauh dari pusat-pusat kegiatan, karena mereka sendiri sumber-sumber kehidupannya terkait erat dengan pusat kegiatan ini. Nah sehingga kemungkinan nya adalah menyediakan layanan permukiman di dekat pusat-pusat kegiatan mereka biasa menggantungkan hidupnya.

Dalam konteks Code bagaimana?

Nah tahap berikutnya adalah gimana cara kita memandang ini. Maksudnya apakah ini kita pandang secara transisional ataukah kita anggap sebagai solusi permanen. Kalau kita memandang bahwa masyarakat urban pas-pasan seperti itu, maka ini lalu Code atau dimanapun itu hanya permukiman-permukiman yang spasial, yang diperuntukkan seperti itu, itu akan menjadi transisi sifatnya. lalu mereka diharapkan orang yang mengadu nasib di kota itu makin baik, makin baik. Dan nanti mereka akan dilayani oleh sistem-sistem yang lebih mapan. Titik kritis Code ada di situ kalau menurut saya. Code itu solusi yang sangat baik kalau itu ditanam secara transisi.

Bagaimana kalau permanen?

Kita tidak akan punya cukup lahan. Ini kan orangnya datang terus kan, jumlahnya kan tidak disitu, kalau permanen, permanen terus akan lembek tanahnya, tidak kuat gampangnya. Tapi ini kalau kita bebaskan sebagai transisional maka ini akan menjadi pemandangan

urban lah. Tapi kalau itu disediakan maka ini akan menjadi masalah besar sekali yah, kalau masuk itu akan dilayani, Setidaknya desa akan tersedot, orangnya akan disitu. Nah katakanlah lalu menjadi solusi permanen kan, tentang diberi dalam artian hak memberi atau hak menyewa dengan subsidi besar-besaran. Dan itu akan menjadi sangat berat bagi kota.

Kalau transisi itu sendiri efeknya bagi kota? Buat kota mereka kan diharapkan bisa menjalani masa transisi disitu dengan cukup baik, sehingga memampukan mereka memiliki kemampuan ekonomi yang cukup baik untuk menjangkau layananlayanan yang lebih mapan. harapannya seperti itu. Tapi justru di titik itulah Code belakangan jeblog karena dulu itu Code bisa beroperasi dengan sukses, karena ada Romo disitu. Romo lah yang menjadi figur bukan hanya menciptakan ruang tapi mengorganisir penggunaan ruang. Tapi sekarang sesudah Romo nggak ada, maka pendatang-pendatang baru bikin rumah permanen di sekitarnya. Kalau itu atas nama pelayanan maka kita kan harus disediakan semuanya seperti itu, bantaran sungai manapun tidak bakalan kuat. Romo dulu kan cukup menjaga skala, bangunan jangan sampai terlalu berat, hanya boleh di atas ini, dengan konstruksi yang san gat ringan. Ruang-ruang yang akan menjadi efisien karena dipakai berbarengan, komposisi bentuk yang dikendalikan dengan baik.

Memang dalam segi ekologis berbahaya bagi mereka itu? Selalu isunya sebenarnya dalam jumlah, Kalau rumah cuma satudua nggak apa-apa. Tapi kalau dua tiga boleh kan itu nanti beratus akan datang, sehingga itu akan menjadi beban ekologis yang sangat besar bagi Code. Yang namanya sungai urban kalau itu ditimpa menjadi jaringan yang terbebani untuk sampah, untuk macammacam kebutuhan sangat gede ya. Banjir juga terjadi. longsor ke marin juga terjadi. Karyawan Santika mati itu (karena) longsor.

Kalau tentang rencana kampung wisata? Begini, kampung wisata justru kadang hanya dipandang sebagai income Income jangka pendek lagi dan itu membahayakan, kalau kita belum bisa menumbuhkan sikap agar wisata ini adalah layanan dan keuntungannya bukan keuntungan jangka pendek tapi jangka panjang. Nah itu yang perlu disiapkan kalau kita mau merencanakan itu sebagai kampung wisata. Dari segi proyek wisatanya sendiri sekarang kan makin beragam sehingga rumah-rumah kampung itu semakin menarik minat, ada segmen-segmen khusus.

Bagaimana mempertemukan investor dan masyarakatnya?

Tentu saja kalau itu diberi regulasi, yang regulasi itu terbatas ke mampuannya. Tapi saya kira ada kesan yang menarik dari Romo, yaitu urip koyo sampah yo koe disapu (hidup seperti sampah anda akan disapu). Makanya jangan menjadi sampah kota gitu kan. Mari kita buat tempat yang cukup bermartabat agar tidak menjadi sampah. Yah kalimatnya sih seperti itu, tapi perjalanannya untuk menjadi ke situ berarti kita harus menjalin tanggung jawab bersama. Saya kira peran estetika membuat Code tidak digusur itu cukup besar, cat rame rame, teman-teman ISI ikut membuatnya sehingga seperti ada legitimasi dari para seniman, bahwa ini berseni juga. Yah mungkin kasusnya dengan mural-mural (lukisan dinding) kota yang sekarang ini. Sehingga menjadi lingkungan yang cukup

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . .

”Lebih Utama Kualitas Hidup Masyarakat Code-nya”

Menurut Bobi B. Setiawan, Direktur Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM, kebutuhan yang krusial bagi masyarakat di tepi sungai, tidak hanya Code, ialah pengelolaan manajemen tanah yang lebih baik. Kepada S. Fahrisalam dan Sigit Pranoto dari HIMMAH ia juga menguraikan soal konsep pengemban gan sungai yang ramah lingkungan dalam perspektif ekologis.

Menurutnya yang paling penting untuk diperhatikan serius adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat Code nya terlebih dulu, baru berpikir ke arah wisata. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat Code dari sisi lingkungannya?

Saya kira begini, lingkungan Code itu merefleksikan konflik yang panjang antara lingkungan dan hubungan pembangunan kota. Di satu sisi, lingkungan alami, Code bagian dari Daerah aliran Sungai (DaS) tentunya ada upaya-upaya konservasi di sepanjang sungai Code hulu sampai hilir, termasuk tanah-tanah di kanan-kirinya. Tetapi di sisi lain kita tidak punya manajemen tanah yang cukup bagus sehingga akses tanah bagi masyarakat miskin itu tidak terjamin selama ini. Terutama di jogja itu, memang tidak dimung kinkan lagi sekarang masyarakat miskin itu bisa dapat akses tanah. Tanah-tanah yang terjangkau secara ekonomi. jalan satu-satunya bagi mereka ya memang tanah-tanah marjinal di sepanjang sungai Code, rel kereta api, kuburan Tionghoa. Sehingga kita melihat persoalan itu secara seimbang tidak hanya aspek lingkungan saja, tapi aspek perumahan, kebutuhan lahan, dan sebagainya. Dengan kata lain para pemukim yang di sana itu seakan-akan menjarah secara ilegal, tapi pemerintah pun belum bisa memberikan alternatif manajemen tanah atau tempat tinggal bagi mereka, kemudian itu menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Kalau di sepanjang sungainya?

Memang ada kan kecenderungan bahwa perumahan-perumahan di sana lalu mempersempit petak sungai, mengurangi proses aliran, dan sebagainya. Saya kira ada kemungkinan treatment treatment desain lingkungan yang sebetulnya bisa menyatukan masyarakat miskin, misalnya tawaran eko hydrolic, bagaimana menata kawasan yang ramah lingkungan.

Selama ini yang terjadi di Code dalam konteks kesehatan lingkun gannya bagaimana?

Persoalan basic yang belum terpecahkan menyangkut sanitasi, drainase, air bersih, dan sebagainya. Di berbagai tempat sudah mengindikasikan kesesakan jumlah penghuni yang terlalu tinggi dibandingkan dengan ruang yang tersedia dan sebagainya. Cuma menarik dalam kasus talud di selatan kan lalu juga terjadi proses perbaikan, kualitas lingkungan dan perumahan di sana harus dikaji lagi, ketersediaan mandi cuci kakus (MCK)-nya cukup ora. Tapi memang beberapa data sudah menyebutkan kualitas air di sumursumur sepanjang sungai di bawah sekali.

Tawaran alternatif?

Yah kalau menurut saya nggak ada lain selain manajemen tanah yang lebih baik. Bagaimana tanah-tanah di perkotaan itu dikelola lebih baik supaya memberikan akses kemungkinan bagi masyar akat miskin, yang selama ini kalau tidak ada alternatif mereka akan terus menjarah tanah-tanah marjinal, tidak hanya di Code, di Winongo, di Gajah Wong, dan lain sebagainya. Dan prosesnya

akan terus terjadi.

Artinya ini sebuah permasalah global yang mendesak dalam ling kungan yang urban?

Ya iya, itu kan suatu konsekuensi yang harus ditanggung. Ini kan informal sektor dalam bentuk perumahan, sementara sektor formal dan industri tidak terbuka, ya mereka akan lari ke sektor informal ya, sehingga keberadaan rumah-rumah itu akan terus ada. hanya diusir saja toh, eksistensi mereka tetep akan ada. Bagi mereka satu-satunya cara selama ini. Penanganan dalam arti membebaskan daerahnya dari itu ya oke, tapi akan muncul di tempat lain

Kalau memang ada renovasi kembali tapi masyarakat di sana tetap terlibat dan bertahan, bagaimana?

Yang bisa dilakukan adalah proses-proses penampakan lingkungan di satu sisi bisa meningkatkan kualitas lingkungan perumahan mereka, di sisi lain bisa menjaga fungsi sungai. Yang penting adalah juga menjaga fungsi sungainya itu, baik sebagai bagian sistim ekonomi kota atau untuk yang lainnya.

Kalau sekarang layak huni tidak? Yah tidak standar tentunya. jadi artinya mereka tidak ada alternatif permukiman di lain tempat, mungkin bisa diatur, ditata. Taludisasi juga kalau tidak ditangani dengan baik mungkin akan merubah sistim hidrologi sungai, kondisi ekologis sungai. Nah, sekarang ada alternatif talud yang ramah lingkungan, tidak menggunakan semen-semen, tapi pakai bronjong, dengan bahan kayu-kayu tert entu, sehingga disatu sisi fungsi sungainya terjamin, tapi ancaman banjir terhadap permukiman di sekitarnya bisa teratasi. Saya kira ini sudah satu solusi yang optimal. lingkungan perumahan sendiri ditata, bagaimana menciptakan ruang-ruang terbuka, bisa menam pung peresapan air, bisa menjadi tempat bermain anak-anak. Tata desain arsitekturnya mungkin sudah bisa diupayakan. Diatur sistim jaringan drainase, air bersih juga diatur, dan lain sebagainya.

Termasuk rencana Code dijadikan kampung wisata? Saya pernah diundang waktu diskusi itu. Tapi saya bilang pada mereka jangan terlalu ambisius, maksud saya yang lebih penting adalah menyediakan ruang lingkungan kehidupan yang nyaman bagi warga Code itu sendiri. Kalau ada suatu lingkungan yang masyarakatnya lifeable , hidup, bagus, orang akan datang dan melihat. Yang namanya Code itu sing didelok opone, ning kono yo mambu (yang dilihat apanya, yang ada bau red.). Turis mau ke sana dalam situasi lingkungan yang buruk mau lihat apa. Yang lebih utama meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di Code itu sendiri. Kalau mereka hidup, kehidupan ekonomi berkembang, home industry yang bagus di situ, nantikan dengan sendirinya dikunjungi. Sebenarnya masyarakat yang domestik pun itu butuh rekreasi dan waktu-waktu luang, untuk itu harus dipenuhi dulu, jangan lalu belum-belum menjual turis untuk wisatawan dari luar, termasuk untuk jogja sendiri. Dan sangat penting bagi jogja, bagaimana jogja untuk leisure recreation bagi warganya sendiri.

Mungkin tidak lingkungan Code membuka ruang seperti itu? Bisa tapi itu hanya dilakukan kalau itu terbentuk karena keinginan masyarakat itu sendiri. Kita tidak bisa memaksakan, tapi bisa mem bantu dengan membuat desain, tapi kan resource yang memiliki mereka, tanah-tanahnya yang menguasai akhirnya mereka, yang

2[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
. . . . . . . . . . . . . . . .

Dari hulu mengalir ke moyang Kami

meninggalkan ambarketawang.

Diceritakan, dalam pemilihan tem pat membangun Keraton Yogyakarta, Mangkubumi begitu memperhatikan detail lokasi kekuasaannya. Pengejawantahan konsepsi mitos-mitos jawa, ritualitas laku tapa wilayah sang raja, ini diperhitungkan benar. Termasuk pula, perhitungan rasion alitas ancaman banjir terhadap wilayah tempat tinggalnya nanti.

RIaK air menggeliat pada batu-batu sungai, terjal pembatas yang memben tang di deretan batang-batang dinding sungai. Code seakan saksi tua yang ikut mengalir bersama sungainya ke haribaan muara samudera. Diantara himpitan Sungai Gajah Wong di sayap timur dan Sungai Winongo sisi sebelah barat, membelah pu sat Kota Yogyakarta. Membawa tumpukan kesiaan manusia, yang tidak mengindahkan kesucian sungai semesta.

Konon, sehabis kecamuk pertikaian di antara Pemerintah Surakarta, Kerajaan Ma taram, Pakubuwono III, dan Pangeran Man gkubumi, paman tirinya, pusat Kerajaan jawa terbelah dua: Kasunanan Surakarta (Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta hadiningrat. Serat yang termaktub dalam Babad Surokarto atau lazim dinamakan Babad Giyanti, menjadi lembar sejarah tua akan gegap heroisme GPh Mangkubumi menempuh perjuangan penjajahan Be landa hingga sampai pendirian Keraton Yogyakarta.

Kala perjanjian yang bernama Gi anti disetujui, 13 Februari 1755, dimana Pemerintah Belanda sebagai penengahnya, saat itu pula pengembaraan Kasultanan

Pakubuwono dimulai.

Tak ada yang liris mungkin. Tahun 1585 Penembahan Senopati membangun kuasa Kerajaan Mataram. Bersama keturunannya akhirnya terdampar di Surakarta, 1745. Usia yang begitu panjang, juga dalam prosesnya ketika Sultan hamengkubuwono I membangun istananya sendiri.

ambarketawang menjadi pilihan pesang grahan pertama hiruk-pikuk pusat Keraton Yogyakarta, tempat yang ditengarai banyak pihak berada di lereng Gunung Gamping. Gunung yang kini berupa sebuah desa yang tak terjamah dalam ingatan peta, Dusun Delingsari di Kelurahan ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Sebuah wilayah yang setiap bulan Sapar diadakan upacara Bekakak.

lalu dimana posisi Code dalam peran kesejarahan berdirinya Keraton Yogya karta?

Sungai yang kerap menjadi lahan perbincangan para penggagas kemanusiaan ini, dari permulaan jejak langkah Romo Mangun hingga tercetus ide kampung wisata, menjadi bagian tersendiri bagi perkembangan kehidupan anak cucu Kesul tanan Yogyakarta, selepas beranjak pergi

Dalam salah satu dongengnya. Setelah lepas dari Delingsari, hamengkubuwono mencari tempat yang bisa menjauh jarak dari ancaman banjir. Karena semasa Kera jaan Kartasura, tempatnya kerap terkena banjir dari luapan sungai di sekitarnya, musababnya daerah pemegang kepemim pinan ini di bawah permukaan sungai. alas Bering, tempat yang sekarang ber dirinya Keraton Yogyakarta konon ditemu kan oleh Kiai Kintal. Sang Kiai berperan membantu penyelesaian yang usai dari pangkal sejarah panjang Kota Yogyakarta. 7 Oktober 1756, berdiri kesatuan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta. Wilayah yang diapit Sungai Code di timur dan Winongo di barat.

Code yang berhulu di Kali Kuning Merapi, menjadi ukuran aktivitas sang raja karena tepat berada di jantung kota. Menuju ke Sungai Opak untuk bermuara di pantai selatan. Tiga sungai dalam satu wilayah, membawa sejarah peradaban akan laju sebuah zaman. Code menjadi peran sentral di titik usia Kota Yogyakarta. hubungan historis yang sakral, tidak cuma kala pendirian Keraton Yogyakarta. Bagi sebagian masyarakat yang telah menanggal kan usianya di tepian Code, ia memiliki sejarah akan Kota Gede, Pakualaman, dan Krapyak. Kotagede sendiri ialah kota tua di Yogyakarta, yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram.

Dalam sejarahnya, dimana pusat kera jaan berdiri, disitulah mengalir sungai sebagai kebutuhan manusia. Memintal bangun peradaban. Gangga-Suku a rya, a mazon-Suku Maya, Tigris-Baghdad lama.

Di abad modern sungai pun menjadi penanda kebanggaan sebuah kota. Sep erti Sungai Thames yang membelah kota london, tapi Code bukanlah Thames yang

3[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN KHUSUS]
Sejarah mencatat bahwa sungai merupakan sentrum pertumbuhan pusat kota dan peradabannya. Sungai Code pun mencatatkan diri dalam peran perkembangan Yogyakarta. sungai Code. Penunjang kehidupan masyarakat sekitar Indra Yudhitya
/ HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

manusia-manusia Tak bertuan

keriput yang tampak mata ini, seakan ingin ada seseorang yang mendengarkan kisahnya. Cerita semasa ia muda, menikah dengan gadis idamannya, kemudian berse lang setahun memiliki anak. Tapi nyawa menyapa terlalu awal saat usia buah hatinya masih berumur tujuh hari, anaknya mening gal karena jatuh.

” a nak meninggal saya bikin peti sendiri, saya bawa ke makam sendiri. Dari kelua rga saya ndak ada yang datang,” kisahnya. ”Saat itu malam jam satu dini hari, belum ada mobil, belum ada apa-apa. Untung saya kenal dokternya, teman main catur. Saya ambulan kejar sana, lari saya, anak itu masih di boks. Sejak itu sudah menyendiri,” kenang hadi.

Setelah itu ia mulai mengembara, dan sampailah di tepian Code. ”Saya itu kemana aja sudah menempati. Semarang, Surabaya, jakarta, pernah,” ujarnya.

”Istri anda tidak dibawa?” selidik HIMMAH

KOTa Solo pada sebuah waktu. Seorang anak muda berusia sekitar 25 tahun, memberanikan diri mempersunting seorang perempuan, kekasihnya. Di antara kedua orang tuanya tak mendapatkan restu setuju. Merasa tidak ada tempat dalam lingkungan keluarga, akhirnya pasangan ini memutus kan untuk kawin lari. Berdua, mereka mengembara hidup di tengah kebebasan yang menyeruak pada usia muda. anak muda yang sekarang tidak berusia muda lagi, hampir 77 tahun, bernama hadi ini, kini menghabiskan sisa hidupnya di ledok Gondolayu. ledok atau lembah pada sebidang tanah di tepi timur sungai Code. Cekungan yang terletak di bawah tebing jalan Kotabaru dan sisi selatan jembatan Gondolayu. Ia menempati sebuah ”rumah” yang sempit ukurannya. Rumah yang hanya cukup menampung sebatas tubuhnya. Satu rumah atau mungkin disebut satu kamar atau satu ruangan berkaki yang berdiri di tanah berundak, hasil keras dari budayawan dan seorang penggiat kemanusiaan, Yusup Bilyarta Mangunwijaya.

Sayangnya, hadi tidak membawa serta sang istri karena ditinggal pergi. hadi yang sudah terlalu biasa sendiri, yang kerap menyusuri hidupnya di jalanan kota-kota besar: jakarta dan Surabaya adalah tempat yang pernah ia singgahi, bahkan di kota kecil seperti Kebumen, Gombong, Kara nganyar.

”Tahun 1951 saya punya istri, tapi di Solo,” aku hadi, mengawali perbincan gan.

”Namanya?” tanya HIMMAH

”Wah lupa, sudah setengah umur kok, kawinnya kawin lari,” ungkapnya.

ada yang mungkin menarik dari sosok h adi: bersahaja dan ramah pada orang luar yang ingin sekadar melihat-lihat perka m pungan binaan Romo Mangun, atau melakukan penelitian. Termasuk pada HIMMAH saat menyusuri jalan setapak yang melewati samping ”rumahnya”. ”Se belumnya ada mahasiswa beramai-ramai dari Sulawesi berkunjung ke sini. Mereka ngobrol dengan saya,” aku hadi.

Seorang yang semakin tua dan kulit

”Saya kan buka menjahit, begitu dia cekcok, dia ke Semarang, ke tempat ke luarga. Ya , masih muda usianya,” papar hadi.

Namanya Darsono, berusia hampir 53 tahun, berjalan merantau sampai akhirnya tiba di perkampungan buatan Romo Ma ngun kala 1970 karena beban ekonomi yang berat di kampung asalnya, Borobudur Magelang. ”Waktu itu ayah saya sudah meninggal dan adik saya itu masih kecil kecil, dan kakak saya di Sumatera. Saya mondar-mandir, saya bingung. Dari rumah itu tujuan merantau untuk diri sendiri,” cerita Darsono.

lelaki yang berayah asal Borobudur dan ibu asli Pabelan, kini beranak-pinak di tepi kota Yogyakarta. Melahirkan lima anak yang sudah menyemai usia, berkeluarga dan ingin memiliki rumah sendiri. ”Sudah berkeluarga satu, yang tiga perempuan,” ujarnya. ”Ini mau bangun untuk anak saya nomer tiga. Sedikit demi sedikit buka beng kel dan dia berminat bikin rumah sendiri,” lanjut Darsono menceritakan salah seorang anaknya.

anak-anak yang dilahirkan di perkam

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
Hidup yang memiliki sedikit harapan, hingga terdampar di ledok Sungai Code. Mereka melahirkan generasi yang terputus. Ibu dan Anak-anak kampung Code. Potret masyarakat urban yang kurang beruntung Indra Yudhitya
/ HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

pungan sempit pada pinggir-pinggir sungai Code memang tak beda jauh pekerjaannya dengan orang-orang yang melahirkan mereka. Pekerjaan yang butuh tenaga banyak, menguras keringat dan hari yang panjang. Darsono dan istrinya kini sehari hari berjualan mie rebus di sisi barat jalan raya Kotabaru, bersama deretan panjang puluhan kios ban. Kios ban yang pekerja nya banyak dari orang-orang ledok Gon dolayu.

”Kalau sore jam 6, saya keluar jualan nya, tapi ini saya libur. Saya itu kerja keras sampai jam 3, kadang jam 2-an. Kadang kadang pegawai tukang, warga yang mau membutuhkan saya, saya layani. Itu keseharian saya. Ini hari saya libur karena capek,” tutur Darsono pada suatu ketika.

Rasanya tidak ada tempat yang mewah di ruangan Yogyakarta bagi manusiamanusia Sungai Code ini. Sedikit banyak ada yang telah beruntung dari keterputusan hidupnya, memiliki akses luas untuk kesejahteraan keluarganya sampai anak-

cukup untuk membiayai hidupnya dan keluarganya. ”Pemuda sini umumnya putus sekolah,” terang Bambang.

a lih-alih ingin lepas dari lembah kemiskinan yang menghimpit hidup para generasi muda yang tak beruntung ini, mereka berlayar dari kota ke kota. Seperti mengikuti jejak orangtuanya semasa dulu. Disadari atau tidak, hidupnya tetap berada dalam lingkaran itu juga, menjadi manusia yang tak diharapkan oleh sebuah kota yang mapan. Tengok saja di perkampungan Gondolayu, Para pemuda dari sana hanya tinggal puluhan orang, ”Disini itu kalau dikumpulin sebenarnya banyak mas namun pada nggak di sini semua, yang di sini cuman sedikit, paling 30 (orang) kalau di kumpulin semua,” ungkap salah seorang pemudinya, yang sedari lama berbincang dengan HIMMAH sungkan menyebutkan namanya.

”Kalau dalam pekerjaan pemuda di sini banyak nganggur, kendala utamanya dari segi pendidikan yang mayoritas terakhir

bacaan yang bertempat di depan SMU Stella Deuce, Kotabaru. Ia mengaku taman bacaannya paling lengkap sekota Yogyakarta. Ia ingat ucapan Romo Mangun semasa itu bahwa dirinya sudah menolong pemerintah. ” Nolong apa toh Romo?” heran hadi kala itu. ”Yah ini orang ndak bisa baca. Orang-orang yang buta huruf sama seperti orang di bawah sana. Pokoke bantu, kudune (seharusnya) pemerintah iki ngerti,” kata hadi meniru ucapannya Romo Mangun. Kini hadi hanya seorang tukang cat dan buruh bangunan panggil. jika ada seorang yang meminta keahliannya, ia akan datang membantu. Termasuk membuat papan nama.

hidup hadi tanpa beban, mengalir saja menuju senja seperti usianya kini. ”Kalau ada pekerjaan makannya tiga kali, kalau tidak ada dua kali, gitu aja. ada (uang) rokok beli, ndak ada ya ndak beli, gitu aja. jadi saya ndak begitu berat pikirannya. ada uang ya makan, nggak ada ya diam. Udah gitu, kok susah,” papar hadi.

anaknya. Tapi banyak juga yang tetap kalah menyusuri waktu di lorong-lorong pusat Kota Yogyakarta. Bagi hadi, Darsono dan ribuan manusia lain yang terlahir di tepian kali Code ini, terlalu biasa membawa be ban berat kehidupan. Entah kemana ujung nasib baik itu.

Ridwan, pemuda Gondolayu, berujar bahwa dirinya masih pengangguran. Ia yang ditemui HIMMAH saat memahat ukiran kayu untuk bangunan koperasi, men gaku berat untuk pergi dari kampungnya. ”Ya, mondar-mandir sekalian jaga koperasi. Tapi yang jelas, kira-kira kalau pergi keluar untuk merantau itu susah dan berat sama kami sendiri gitu,” ujarnya.

”Banyak masih nganggur mas, lulusan 2001 sih kebanyakan, jadinya belum kerja tapi bantuin bengkel dan cuman ikut-ikutan bengkel di atas,” aku Ridwan.

Sama halnya dengan para pemuda di ke lurahan jetisharjo. Saat duduk berbincang di ”Swara Code FM”, umumnya yang ikut terlibat ialah pengangguran, orang yang tidak mendapatkan tempat aktifitas yang

SD dan SMP. Pekerjaan mereka sebagai penambal ban, penghasilan yang didapat kan dalam sehari sebesar 10 ribu sampai dengan 15 ribu per hari dan makan masih ditanggung oleh orang tua,” jelas ketua pemuda Kampung Gondolayu.

Memang, selepas kepergian Y.B. Ma ngu n wijawa, mungkin Kampung Gon dolayu seakan berjalan sendirian. Tidak seperti saat gejolak 1983 sampai 1986. jejaknya kini tertinggal di deretan rumah masyarakat Gond olayu, cerita orangtua yang mengenal dekat Mangunwijaya dan buku-buku yang kini tersebar di tertentu ne gara, hasil Romo dan murid-muridnya. Tak ada sosok peng-ganti yang begitu dalam menyerap makna kemanusiaan laiknya Mangunwijaya.

”Saya pernah itu dikasih Burung Burung Manyar itu. Sikapnya susah itu, kalau tidak penting nggak dijawab. Banyak bicara kalau sama saya. Kadang-kadang ke atas, ke taman bacaan,” kenang hadi pada seorang Mangunwijaya.

h adi dulu pernah membuka taman

Celakanya, hanya sedikit orang yang seperti hadi di sepanjang bantaran Sungai Code. Tapi sayangnya hadi tidak sezaman yang lain, karena di lain tempat, di lain pihak, ada orangtua yang harus membiayai k e berlangsungan hidup semua anaknya bahkan cucu-cucunya. Atau juga, pagar filosofis kesederhanaan Mangunwijaya sangat dalam diserap oleh sikap hidup hadi.

Sepertinya roda urbanisasi di negeri ini akan terus berputar. Dari desa menuju ke kota, membangun harapan dan bagi keba nyakan akan berakhir di tepian kota.

Air danau makin meninggi/Entah sudah berapa desa tenggelam di sini . Sebaris sajak berjudul Perahu joko Pinurbo, yang ditujukan untuk melepas kepergian Romo Mangun ke alam nirwana, kala ajal men jemputnya pada 8 Februari 1999, seperti nya layak menggambarkan sisa kehidupan masyarakat pinggiran Sungai Code. Bukan desa lagi yang kini tenggelam tapi sisa mimpi masyarakat Code akan kota yang ge merlap. Tidak di danau, mereka tenggelam di hiruk-pikuk Kota Yogyakarta.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] . . . . . . . . . . . . . . . . . . [LAPORAN KHUSUS]
keramba Ikan. Nafkah sambilan Generasi tua. Semangat untuk survive suami dan Istri. Memilin kekeluargaan Sheila Meidi A / HIMMAH Sheila Meidi A / HIMMAH Indra Yudhitya HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Willi Prasetyo: ”Code menjadi Tempat yang baik, Tidak Digusur...”

Bagi yang telah lama mengenal seluk beluk kampung binaan Romo Mangunwijaya, tentu akrab dengan sosok dan peran Willi Prasetyo Sukirohadi, kelahiran 7 November 1945. Pemuda semasa jamannya ini rela berjalan bersama dengan masyarakat urban di pinggiran Sungai Code, membangun pemukiman. Dari obrolannya dengan S. Fahrisalam dan Indra Yudhitya HIMMAH , mengalirlah mengenai konsep Tribina, pertentangan dengan pemerintah kota, beban ia selagi menjabat lurah, sampai pandangan filosofis akan Code masa kini. Meskipun usianya cukup senja, ia masih bicara dengan nada suara keras. Berikut petikannya:

Bagaimana sejarah awal mula permukiman Gondolayu? Wilayah di situ memang rawan banjir dan bukan penduduk se tempat. Kehidupannya itu hitam. Di jembatan Gondolayu itu kan copet, yah..segala rusuh gitu lah. Saya punya inisiatif untuk gimana ya... karena waktu itu saya prihatin, kampung saya itu kedatangan orang-orang yang membuat warga saya menjadi tidak baik. lalu kami mempunyai program Tribina yaitu Bina Manusia, Bina lingkungan dan Bina Usaha, itu sudah saya mulai kira-kira tahun 1975. Tribina lahir dari basis masyarakat. Bina Manusia yang saya tempuh itu adalah manusia-manusia dikembalikan pada agamanya masing-masing supaya moralnya ada. Saya mengajak pendeta, para kiai. Mereka yang liar kami kumpulkan, yang bukan penduduk setelah memenuhi syarat kita berikan KTP. lalu anak-anak yang tidak sekolah kami kursuskan, sampai-sampai kami mendatangkan mobil training unit, didatangkan ke Kampung Terban. Baik pen datang maupun asli, biar pemuda-pemudi itu punya ketrampilan. Kepala Keluarga itu 88 lebih sampai di bawah jembatan itu, saya manusiakan waktu itu. jadi sama beliau (Romo Mangun) itu kita meninjau lingkungan hidup, sudah lengkap. Romo Mangun mem buat bantaran sungai dan rumah dibangun sedemikian rupa.

Bagaimana dengan Bina Usaha? Kakak saya, Bu Nunuk itu, dia yang Bina Usaha. Itu membina manajemen ekonomi keluarga kecil. Kalau pendampingan itu keluarga ekonomi lemah, para gelandangan, tunawisma, pelacur, dan bajingan, itu Bu Nunuk ahlinya.

Bina Manusia meliputi apa saja? lalu Bina Manusia dalam penataran, penyuluhan hukum, kur sus-kursus. Belajar menjadi tukang, pekerjaan becak. lalu sudah dengan surat keterangan lengkap, sehingga kalau memulung ting gal menunjukkan kalau dikira pencuri, tunjukkan saya warganya Pak Willy di RK Terban. lalu saya carikan pekerjaan jadi tukang parkir, tukang pembersih halaman. Saya perhatikan, dan memang saya mintakan kepada mereka, ini tolong diterima. Di toko, ya .. mungkin jadi bersih-bersih, keamanan di jalan Solo yang sudah diberi KTP dari kami. Saya tanggung, sehingga mereka itu memi liki pekerjaan. Nikah massal, setelah menjadi keluarga. Pelacur jadi tidak menjadi pelacur. Dikawinkan, kawinnya bisa punya anak. lalu dia bisa berbelanja cukup, tidak terjerat utang. Itu kan angel (sulit).

Cerita penggusuran itu?

Setelah saya, Romo Mangun, dan penduduk warga garap jadi bagus. Pemerintah kan melihat. Wah kok jadi bagus, kok jadi tidak seperti kemarin. lalu mereka memanipulasi, memanfaatkan, mengklaim.

Kalau ini tanah keraton. Tanah pemerintah lah, itu tanah untuk ini, untuk program ini, itu. Saya sendiri manusia galak toh. Tapi betul, begitu muncul pondasi-pondasi bangunan untuk rumah. langsung malamnya saya mengerahkan massa. Bongkar. Saya dulu juga bert entangan dengan keraton. Saya bilang, dulu tidak pernah dikatakan tanahnya keraton. Tapi sekarang setelah bagus, itu diganti keraton. Saya hanya minta pada keraton kalau memang punya (klaim), hak miliknya mana, petanya mana, gambarnya mana. Kalau memang milik keraton saya nuhun keraton. Setelah bagus, pejabat-pejabat seenaknya bikin rumah, rumahnya pribadi.

Anda melihat kepentingan dari pusat itu seperti apa? Yah.. tidak punya pandangan apa-apa. Dia kan mau invest pribadi. Untuk inilah, itulah, katanya untuk usaha. jadi kami untuk per tokoan, oh ... ndak, kita rakyat kecil, masyarakat kecil. Kelompokkelompok kami ditekan, diberikan pasal kejahatan. Dicari-cari toh Tapi kami tegar saja. Saya hanya melihat, sebetulnya saya mau menghidupkan masyarakat untuk tidak selalu tertekan. Karena memang situasi nasional sudah mulai ada gejala-gejala seperti itu. jadi, masyarakat itu tidak terwakilkan dimana-mana, miskin dimana-mana juga. Waduh ... ini kalau terjadi seperti ini, masyar akat kecil ini mesti dimana-mana akan terjadi.

Melihat Code sekarang seperti apa?

Sekarang saya melihat Code itu lebih maju, tetapi Bina Manusianya amat terlambat. Bina Usahanya berkembang tapi tidak begitu cepat, sehingga terbawa menjadi permasalahan nasional. Seharusnya Bina Usaha itu menerapkan ekonomi rakyat, ekonomi kecil seperti yang dulu kami praktekkan. Bukan yang tinggi-tinggi. Manusianya dididik, usahanya dikembangkan, dibantu. Ketrampilannya diawasi, seperti itu. Istilahnya community development Code sekarang saya pribadi melihat bahwa dimanfaatkan oleh beberapa pemilik modal yang akan menguasai wilayah-wilayah itu. Untuk wisata. Siapa yang mengerjakan wisata itu? Kalau masyarakat yang menjalankan aktivitas wisata, benar. Kalau lokal ini dikerjakan oleh pemilik modal itu nggak bener. Warga pinggir sungai Code diberi keterampilan tentang apa, supaya bisa diproduksi. Terlibat. Tidak dimanfaatkan dan tidak tergusur. Kalau kawasan Code didatangi oleh orang tidak seperti itu (membina lingkungan), hanya untuk bisnis, namanya bukan wisata, tetapi merusak. Sekarang kan udah bagus, dikasih terasering-terasering. harapan saya sebagai orang jogja, Code menjadi tempat yang baik, tidak digusur, manusianya produktif dan di sana bersih, dapat untuk wisata.

Pandangan Anda terhadap masyarakat yang meminta tanah? Kalau sekarang mereka meminta pada pemerintah disertifikat (tanah), itu memang haknya dia. Karena apa? Tanah negara, sebetulnya kalau menurut UU itu dapat dimohon oleh siapa saja, apalagi bagi mereka yang sudah menempati dan memelihara, tidak merusak. Mulai tahun 60-an mereka bergerak mulai mengamankan ini, mengamankan itu. Karena memang perkembangan budaya, ekonomi, kehidupan mereka yang saat ini membutuhkan hak men empati dan mempunyai rumah, papan. Mereka sudah bisa makan dengan baik, berpakaian dengan baik, dan dia memang menuntut papan ataupun rumah yang tenang dan aman. Pemerintah kalau mau menolong, memang harus disertifikat. Paling tidak tempat itu

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . .

Dilema Angkutan umum

Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal angkutan umum belum berjalan optimal. Padahal, transportasi yang baik akan melancarkan aktivitas masyarakat. Apakah akibat paradigma yang sempit?

nya mereka terima. Pertama, ongkos yang terlalu mahal. Kedua, pelayanan yang bu ruk seperti kondisi bus kota yang membuat penumpang tidak nyaman. Ketiga, supir bus yang membawa mobil ugal ugalan.

Berkaitan dengan peremajaan bus kota yang kondisinya selalu menjadi bahan perbincangan masyarakat pengguna, pe ngamat, atau pengemudi kendaraan sendiri, yang sudah sangat tua dan tidak layak layak lagi, Sukardi (35), supir angkutan umum jurusan Terban-Kaliurang me nceritakan bahwa pihak pemilik kendaraan sebenarnya bisa saja mengganti kendaraan yang tidak layak pakai tadi. ”Tapi masalahnya, mobil yang diganti itu mau diapain,” ujarnya pada HIMMAH di Terminal Terban, salah satu terminal angkutan jenis colt di Yogyakarta.

PaGI belum lama berlalu. Tapi, lalu lintas di depan Mirota Kampus sebuah pasar swalayan di Yogyakarta tampak padat. Mobil, motor dan manusia tampak tumplek di situ. Semuanya tampak terburu-buru. j ika ada kendaraan yang lambat maka seketika, ”Tin ..tin..,” klakson pun akan menggema, menambah keriuhan suasana.

Seorang remaja, Dian (19), yang baru saja tiba di Kota Yogyakarta untuk mengikuti SPMB agak kebingungan melihat keadaan tersebut. Ia juga tampak kesal dan pusing. Wajar, karena suasana saat itu, pukul 11.30 WIB. Betul-betul tak menyenangkan.

”Kendaraan disini banyak betul, ya,” ujar gadis yang jika pergi kursus selalu menggunakan angkutan umum ini. lalu ia memandangi suasana di sekitarnya, dan dengan buru-buru ia menunjuk salah satu bus kota yang melaju tepat dihadapannya. Sesaat kemudian, ia pun terbenam dalam lautan kepengapan suasana bus kota.

Pelayanan angkutan umum seperti bus

kota di Yogyakarta memang payah. Kuali tas pelayanan rendah, sementara ongkos yang dibebankan kepada penumpang relatif besar.

Fajar (17), siswa SMU Institut Indone sia Kota Yogyakarta, yang mengaku setiap hari selalu menumpang bus kota, menga takan bahwa ongkos bus sangat mahal bagi mereka. ”Setiap hari, aku ngeluarin Rp. 1200 untuk ongkos,” jelas remaja kelas 2 SMU ini. Tapi, lanjutnya, pelayanan yang ia terima cukup baik.

hal ini bertolak belakang dengan ja waban yang diberikan oleh Muhidin (23), mahasiswa Teknik Geodesi UGM. Ia me ngatakan bahwa ongkos bus kota sangat mahal dan tidak sesuai dengan pelayanan yang ia terima. ”Tapi mau gimana lagi, pemerintah juga tidak mampu untuk memberikan pelayanan yang lebih baik,” sesalnya.

Dari informasi yang dikumpulkan oleh HIMMAH menyebutkan bahwa tiga hal yang disesalkan oleh penumpang bus kota berkaitan dengan pelayanan yang seharus

Ia menjelaskan, sangat sulit menjadikan mobil tua yang kini mereka operasionalkan, sebagai barang bekas tidak terguna. ”lebih baik pemerintah menentukan daerah op erasi baru bagi mobil tua ini,” ungkapnya sembari menghisap dalam-dalam rokok sigaret.

Seperti yang diungkapkan oleh Sukardi, jika ingin mengganti kendaraan, idealnya semua pemilik kendaraan mengganti ken daraannya secara bersamaan. Sehingga, jelasnya, tidak ada kecemburuan sosial. Dan, hal ini yang paling penting, tidak akan ada ongkos yang berbeda untuk kendaraan yang baru dengan kendaraan yang murah. ”Kami sangat berharap, orang-orang yang pinter itu bisa ngebuat peraturan yang mengenakkan pihak pemilik kendaraan dengan penumpang,” harap bapak dari dua orang putra ini.

angkot (angkutan kota) jurusan TerbanKaliurang ini memang tidak dikelola oleh sebuah badan usaha, tapi dikelola secara perorangan, sehingga setiap kebijakan harus disetujui oleh banyak pengusaha angkutan.

Ia mengungkapkan, dalam satu harinya mereka, selaku supir, harus menyetorkan uang sebesar Rp. 50 ribu kepada pemilik.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]
[NASIONAL]
transportasi dan Angkutan Umum. Belum melayani masyarakat dengan baik Sheila Meidi
A / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . .

”Kalau tanpa kernet sih nggak apa-apa, tapi kalau ada kernetnya, segitu itu terlalu tinggi setorannya,” jelasnya. Dan dengan setoran sebesar itu pulalah, Sukardi mem perkirakan, pihak pemilik kendaraan akan sanggup mengganti kendaraan dengan kualitas kendaraan yang lebih baik lagi. hal ini berbeda dengan Kopata (Kope rasi a ngkutan Kota Yogyakarta) yang dikelola oleh satu badan usaha. Sampai menjelang akhir tahun 2002, mereka memi liki mobil sekitar 204 unit. Menurut salah seorang anggota KOPaTa, dari jumlah itu, yang rusak dan sedang di service (per baikan) hanya sekitar 25 unit bus. Karena dalam bentuk badan usaha bersama, setiap kebijakan pemerintah hanya tertuju pada satu badan usaha saja. Sehingga sosialisasi dan perumusan teknis lainnya dapat cepat dilakukan.

Menanggapi anggapan ongkos yang terlalu mahal, Maryono (35), sopir bus jalur empat Yogyakarta, mengatakan bahwa ongkos tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh pihak pemilik kendaraan termasuk pengelolanya, juga tidak ter lalu memberatkan penumpang. Sebab, mereka mengeluarkan banyak uang juga untuk menggaji karyawan dan perbaikan kendaraan. ”asal harga solar tidak naik saja. Kalau naik, ongkos segitu kurang,” jawab warga asli Bantul ini. Sementara itu, ia menceritakan bahwa angkot yang ia kemudikan, dalam satu harinya mampu berjalan 6 putaran. ”Setoran kami Rp. 100 ribu per hari.” Pernyataan Maryono ini di dukung oleh Sukardi, ”Bahkan kalau bisa ongkos naik seratus persen,” selorohnya

sembari menceritakan kesulitan yang mere ka hadapi. Tentang supir yang mengendarai bus dengan ugal ugalan? ”Nggak semua supir seperti itu,” kilah Maryono, laki-laki dengan tato di lengan ini.

Good Urban Governance

Dalam mengatasi lemahnya kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada publik, PBB melalui program pem bangunan PBB (UNDP) menggulirkan isu global yang disebut Good Urban Govern ance yang berarti pemerintahan kota yang baik, yang merencanakan dan mengelola urusan umum dari kotanya sendiri.

Beberapa inisiatif yang diambil oleh PBB untuk memperoleh pemerintahan kota yang baik adalah Local Agenda 21, Healthy Cities Project, Sustainable Cities Programme, Urban Management Programme, Environmental Management System (EMS), dan The Urban Governance Initiative (TUGI).

Pada World Planning Congress di Kuala lumpur, Malaysia, Oktober 2002 dikatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mengacu pada lima prinsip dasar yaitu kesetaraan, efektifitas, efisiensi, pertanggungjawaban, partisipasi, dan keamanan.

Dengan berjalannya pemerintahan kota yang baik, pelayanan publik berupa pelayanan oleh bus kota tidak akan seperti saat ini. asap knalpot yang mengganggu kenyamanan pengguna jalan lainnya seperti sepeda motor, tidak akan ada. Di Malaysia, misalnya, knalpot bus kota diletakkan di atap, sehingga pengendara sepeda motor , pejalan kaki, dan pengendara kendaraan pribadi tidak terganggu oleh asapnya.

Di Yogyakarta? j angan harap itu ada. Sudah asap knalpotnya banyak dan pekat, diarahkan ke pengguna jalan yang ada di belakangnya lagi. Memang betulbetul menunjukkan rendahnya perhatian pemerintah dan pemilik angkot terhadap publik.

Pencemaran udara akibat kendaraan angkot pun terhitung tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa aKl (akademi Kesehatan lingkungan) Depkes DIY, sumbangan bus kota bisa mencapai 20-30 persennya. Sisanya, di sumbang oleh kendaraan selain bus kota (T. Sriningsih dkk, 2001). Padahal, jumlah bus kota tidak sampai 30 persen dari total kendaraan yang ada di Kota Yogyakarta.

Menurut Elly a driani Sinaga, MSc, peneliti dari Pusat Pendidikan dan latihan Perhubungan Darat, dalam sebuah seminar transportasi di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, penyelenggara llaj (lalu lin

tas angkutan jalan) saat ini mengalami masalah internal yang meliputi tingginya biaya operasi angkutan jalan, fasilitas llaj yang tidak memadai, gangguan keamanan, penurunan disiplin penyelenggaraan llaj, kebijakan llaj yang terkotak-kotak, inkonsistensi perencanaan, keterbatasan dana, dan kompetensi SDM kurang tepat. ”Delapan hal inilah yang menyebabkan kualitas pelayanan kepada publik relatif rendah,” jelasnya.

Untuk itulah, saat ini pemerintah di harapkan melakukan intervensi terhadap pelayanan publik seperti angkutan darat di perkotaan, dan dapat menerapkan konsep Transportation Demand Management (TDM). hal ini, seperti yang dituturkan oleh Katsutoshi O h Ta , Professor dari University of Tokyo kepada HIMMAH, beberapa waktu yang lalu. Ia menjelaskan, manajemen lalu lintas yang terintegrasi dengan masalah lainnya, seperti masalah urbanisasi dan perekonomian masyarakat perkotaan, sangatlah diperlukan. Dengan begitu, akan terjadi kesinambungan pelay anan kepada publik. ”Dan publik tidak akan selalu mengeluh,” ungkapnya.

Pelayanan llaj selama ini memang hanya berkutat pada paradigma yang sem pit. Untuk itu, paradigma lama tidak lagi bisa dipakai. harus ada paradigma baru yang dikembangkan. ”Paradigma itu adalah paradigma sosial, politik, dan ekonomi. Tanpa melibatkan itu semua, maka jangan harap llaj di Indonesia akan baik,” jelas Katsutoshi Ohta, yang mengaku terlibat dalam manajemen lalu lintas di Tokyo ini. jadi, masalah lalu lintas yang sangat kompleks ini haruslah menjadi perhatian pemerintah. Namun sayangnya, walaupun telah ada UU No. 22 Tahun 1999 yang menuntut peran pemerintah dalam masalah ini, peran itu tak juga terasa di masyarakat. ”Butuh kerja yang keras lagi,” bela Elly. letak kesalahan manajemen lalu lintas telah dimulai sejak awal perencanaan. Masalah pendanaan, penyediaan fasilitas pendukung, dan dana pemeliharaan, juga analisis masalah lalu lintas tidak disediakan dan diperhatikan. Belum lagi, masalah bu daya korup di zaman Orde Baru yang begitu kuatnya melekat dan menjiwai perilaku pejabat publik.

ada cerita menarik dari Peter, seorang mantan kontraktor jalan Pantura, ”Kalau mau hidup enak, terlibatlah dalam pe nyediaan fasilitas lalu lintas. Dijamin, duit panas masuk kantong,” katanya ke pada HIMMAH. Ia mengaku keluar dari pekerjaan penyediaan fasilitas angkutan darat karena terlalu dibebani oleh peras aan bersalah. Sayang, tidak semua orang

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [NASIONAL]
Bus kota. Kualitas kendaraan rendah.
Iwan Nugroho / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Digusur Sayang, Jadi Persoalan

Menjadi pedagang kaki lima, mendatangkan dilema. Antara upaya mempertahankan hidup atau dianggap mengganggu ketertiban kota.

LaMIYEM melamun, matanya mene rawang Lkosong. Ia sedang menjaga gerobak d a gangannya. Umurnya masih muda, namun wajahnya tak bisa menyem bunyikan kerutan akibat kerasnya hidup yang ia jalani di kota Yogyakarta. ”Semua itu saya lakukan untuk menghidupi ke luarga,” kata lamiyem mulai bercerita.

Dua tahun yang lalu, ia masih tinggal di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Namun kemelaratan mendesak ibu beranak tiga orang ini untuk menjadi urban. Ia men gungkapkan bahwa menjadi PKl adalah pilihan terakhirnya. Satu anaknya masih di bersekolah di SMP, dan dua anaknya sudah lulus SME a , namun juga tidak segera mendapat perkerjaan. ”Terpaksa saya harus kerja, saya nggak milih milih yang penting dapat kerja,” tambahnya lagi.

Bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKl), itulah yang bisa dilakukan untuk menghidupi keluarganya. Maklum tempat tinggalnya yang di Gunung Kidul itu tak mampu menyatakan impiannya, sebuah impian sederhana untuk sekedar hidup layak.

Sudah sejak dari dahulu PKl tumbuh subur di hampir semua kota, terutama ne gara-negara miskin. Umumnya para PKl ini menjajakan dagangannya di trotoar, di pinggir jalan, maupun perempatan jalan. Tempatnya pun ala kadarnya yang penting dagangannya terlihat. Seperti yang terlihat di jalan-jalan utama di Yogyakarta. Barang kali pula tidak sadar, beberapa saat lagi ia mungkin terkena gusur. Terkena program penertiban pemerintah.

Mardianto, seorang PKl yang sehariharinya mangkal di j alan Diponegoro, depan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta menyadari kereotan gerobaknya. Dengan dit e mani istri dan anaknya yang baru berumur setahun, ia sekaligus hidup di tempat kerja mereka, sebuah gerobak yang

menjadi tidak layak disebut rumah. Tampak di sana beberapa alat dapur yang tergeletak di samping gerobaknya yang sudah kusam, menghitam. juga sebuah ruang sempit di dalam gerobak tempat barang dagangan sekaligus sebagai tempat tidurnya se hari-hari berdesak-desakan dengan aneka macam gula, rokok, kerupuk, yang dijual nya. Tak ada kamar mandi.

Pemandangan gerobak Mardiyanto sangat kontras dengan hotel Novotel yang megah di sisinya, gedung-gedung per bankan, shopping mall, dan pertokoan-per tokoan di sekelilingnya. Meski sedemikian ironis kehidupan Mardianto, ia mengaku tak mau pindah dari tempat itu, karena takut kehilangan pelanggan. ”Saya tak mau pindah dari sini karena kalau pindah susah dapat pelanggan, terus pasaran juga masih

dipertanyakan,” ungkapnya sambil menunggui anaknya yang sedang main bola.

Di samping itu ia mengaku sudah ikut paguyuban, yang berkantor di janti. Den gan paguyuban itu dia merasa aman dan terlindungi. ”Saya tinggal di sini selama kurang lebih delapan tahun. Dulu belum menikah jadi saya jualan sendiri, tapi setelah menikah dan anak saya agak besar saya ajak semua. Saya merasa aman ikut paguyuban. Kalau ada apa-apa tinggal lapor ke paguyuban,” ceritanya mantap.

Begitulah gambaran PKl, orang-orang yang terlalaikan oleh pemerintah, karena tak mampu menyediakan lapangan kerja. Padahal jelas dalam UUD 45 pasal 27 negara menjamin hal ini. Setiap warga negara wajib dan berhak mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanu

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [EKONOMI]
Iwan Nugroho / HIMMAH pkL di pasar Beringharjo. Erat dengan persoalan ketertiban kota
. . . . . . . . . . . . . . . . .

pejalan kaki

siaan. Kemudian dalam pasal 33 juga dijelaskan tentang demokrasi ekonomi, bahwa produksi dikerjakan sebagai usaha bersama. Di sini jelas tujuan kemakmuran adalah untuk seluruh rakyat bukan untuk golongan tertentu. Bukan kemakmuran para penguasa, elite politik, dan beberapa gelintir konglomerat.

janji yang indah ini hanya omong ko song belaka, yang begitu nyaring disuara kan saat mereka butuh dukungan rakyat. Setelah itu, habis manis sepah di buang. ”Sebenarnya secara makro me m bantu pemerintah, karena kalau kita kembali ke

UUD 1945 baik yang di amandemen atau belum, peluang kerja itu tanggung jawab pemerintah. Social security itu tanggung jawab pemerintah. Sebenarnya pemerintah saat ini sudah tidak bertanggung jawab ter hadap kesejahteraan masyarakat,” ungkap Tajudin Noor Effendi, sosiolog UGM ke pada HIMMAH di ruang kerjanya kampus Fisipol UGM.

Meski demikian PKl sering dianggap sebagai biangnya kemacetan jalan, meng ganggu kenyamanan kota, rentan kriminal, kumuh, dan mengotori lingkungan.

PKL sebagai Fenomena

Kemunculan pedagang kaki lima bukan

tanpa sebab. PKl umumnya berasal dari masyarakat desa yang melakukan urbani sasi. Karena pencarian kehidupan yang layak tidak ditemui di desa. Menurut riset yang dilakukan United Nation Population Division (UNPD) misalnya menemukan pada 1950 jumlah penduduk yang tinggal di kota mencapai 2,5 miliar, 1975 seban yak 4 miliar dan pada 2000 menjadi 6,3 miliar. Yakni hampir 50 persen dari total keseluruhan penduduk dunia. Persentase ini lebih parah lagi jika dilihat di negara maju sebanyak 1,4 miliar atau 80 persen dari jumlah penduduk negara maju. Dengan ini urbanisasi menjadi fenomena univer sal yang tidak hanya dijumpai di negara berkembang. ”Di negara maju kegiatan ini berjalan dalam skala massif dan cepat,” begitu tulis ahmad Erani Yustika dalam Industrialisasi Pinggiran.

Urbanisasi di negara berkembang terjadi karena keterbatasan lapangan pekerjaan di pedesaan. Sedangkan kalau di negara maju terjadi karena ada kebutuhan industri untuk menyerap tenaga kerja. jadi urbanisasi di Indonesia terjadi bukan karena tarikan sek tor industri-kota. Tapi akibat kemandegan kegiatan sektor pertanian desa dan urban isasi terjadi dalam kondisi tenaga kerja tersebut sangat miskin ketrampilan. hal ini didasari asumsi bahwa kehidupan kota sebagai sentra industri mampu memberikan pekerjaan karena seluruh aktivitas ekonomi di kota selalu diidentikkan dengan proses industrialisasi modern dan menjanjikan.

Keadaan ini membuat akumulasi persoalan sosial ekonomi yang serius di perkotaan dan menjadi sangat dilematis, di satu sisi dia tak bisa kembali ke desa karena tekanan hidup tak memungkinkan lagi bekerja di pertanian, di sisi lain ket rampilan yang minim membuat ia tak bisa masuk ke sektor formal. Pilihan terakhir adalah memilih usaha berdagang di selasela kehidupan kota yang canggih dan modern sebagai PKl. Kegiatan ini lamalama tidak saja survive tapi juga menjadi sebuah komunitas.

hampir di sebagian besar negara ada PKl. Bahkan menjadi suatu daya tarik yang unik sebagai tujuan belanja, bahkan sebagai tujuan wisata seperti MalioboroYogyakarta Indonesia, Naka Okachi dan hara juku di Tokyo jepang, Petch Buri dan Pratunam di Bangkok Thailand, serta Bugis Street, arab Street, Change Street, dan Change Allay di Singapura.

h al ini menunjukkan bahwa PK l sebagai suatu realitas sosial yang mengge jala dan menjadi perjuangan rakyat (class struggle) untuk mempertahankan hidupnya. Dalam buku Sistem Tenaga Kerja Dualis

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 0 [EKONOMI]
pkL yang Menempati trotoar. Mengganggu
Iwan
Nugroho / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

tis: Suatu Kritik Sektor Informal karya jan Breman, penulisnya menemukan fakta em piris bahwa hanya separuh, bahkan kurang dari seluruh penduduk negara berkembang tidak kebagian kerja pada sektor formal. akhirnya mereka mencari alternatif lain yakni terjun ke sektor informal termasuk PK l . Persoalan PK l adalah persoalan makro yang tidak hanya terjadi di sebagian kota–misalnya Malioboro saja. Tajudin memaparkan, ”Menurut hemat saya yang namanya PK l bukan persoalan mudah. Itu persoalan kompleks. Di dalamnya ada persoalan ekonomi. Teori ekonomi mengatakan semakin baik ekonomi Indo nesia, yakni pertumbuhan ekonominya 7-8 persen, dengan sendirinya sektor informal akan mengecil karena orang-orang ini akan diserap ke sektor formal. Tapi kalau pertum buhannya hanya 2-3 persen ya otomatis sektor informal akan muncul.”

Konflik dalam PKL

Keberadaan PKl di kota-kota sering dianggap mengganggu kenyaman dan kein dahan kota. hal ini terlihat karena PKl ser ing menggelar dagangan di tempat-tempat strategis. Dan mengganggu wilayah publik dan sering bertentangan dengan cita-cita pemerintah yang bermimpi memiliki kota yang bersih dan modern. Paradigma ini diilhami oleh paham developmentalisme dengan menerapkan konsep modernisasi yang membius strategi pembangunan. Pembangunan berubah menjadi ”agama sekaligus ideologi”. Pada awal tahun 1980an pengaruhnya semakin jelas terlihat, di sepanjang jalan-jalan utama Yogyakarta dibangun hotel-hotel berbintang pusatpusat perbelanjaan, gedung-gedung per bankan yang mewah. l engkap dengan berbagai macam kampanye yang bertujuan menggalakkan kebersihan dan kemajuan kota. Masyarakat kota harus identik dengan gaya hidup modern, pendidikan tinggi, serta kerja kantoran.

Fenomena ini menggila sehubungan adanya penghargaan terhadap kota yang bersih yakni adipura. Semua harus bersih, rapi dan indah. Sehingga segala sesuatu yang tak cocok harus dihilangkan termasuk penggusuran PKl yang dianggap kumuh, sampah kota.

Kontribusi pendapatan yang bisa diperoleh pemerintah daerah dari PKl se benarnya cukup besar. Namun pemerintah kota lebih tertarik untuk mengurusi sektor ekonomi yang usahanya besar saja, yang sudah tentu menghasilkan profit lebih besar. akhirnya pemerintah berupaya untuk mem perluas pusat-pusat perbelanjaan besar, pabrik-pabrik, dengan upaya penggusuran

lokasi informal. Yang terjadi kemudian adalah kekuatan usahawan yang mendikte pemerintah untuk melapangkan usahanya.

Di samping itu, tuduhan yang paling menakutkan adalah PKl sering dianggap sebagai penyebab munculnya kekacauan kota dan rentan kriminal. j adi upaya pemerintah melalui tindakan-tindakan represif dari aparat kota melalui razia atau operasi ketertiban umum, adalah tindakan yang wajar.

Dari sini kita dapat melihat dua macam kepentingan besar yang bertolak belakang, yakni keinginan rakyat untuk bisa survive di tengah merosotnya kondisi ekonomi di sisi lain pemerintah ingin memiliki kota yang indah, tertib, nyaman.

Kebijakan bagi PKL

”jadi ini soal sekali lagi susah, dan saya mungkin punya pandangan yang mungkin dianggap lain. Ini persoalan cara melihat PKl: kita lihat sebagai aset atau masalah. jika kita melihat sebagai masalah solusinya ya gusur, usir, macam-macam. Tapi kalau kita lihat sebagai aset, maka lalu solusinya bagaimana menata sebagai aset secara baik, belum apa-apa digebukin, jadi apa?” kata jarwo, Direktur Yayasan Cita Mandiri, se buah lSM yang konsen pada masalah PKl di kawasan Malioboro Yogyakarta, kepada HIMMAH di kantor Pusat Studi hak asasi Manusia (Pusham) UII.

Menyikapi hal ini pemerintah Yogya karta telah mengesahkan peraturan tentang PKl aturan ini tertuang dalam Perda No. 26 tahun 2002. Perda tersebut dimaksudkan agar bisa mengontrol keberadaan PKl. ”Ya kontrol selalu ada di antaranya melalui Perda yang sedang dibuat ini,” tegas aida Farida, Kepala Sub Dinas Perdagangan Yogyakarta.

Itikad baik dari pemerintah tersebut boleh dibilang cukup baik, paling tidak telah merespon permasalahan PKl. Namun keberadaan Perda ini perlu dikritisi apa kah aturan mengenai PKl ini perlu diatur dalam Perda atau cukup dengan membuat kesepakatan diantara PKl saja. Mengingat aturan ini tentu akan bersifat formal dan bertentangan dengan watak PKl yang ber sifat informal.

Tajudin menegaskan, ”Menurut hemat saya Perda itu akan menjadi bumerang bagi pemerintah kota. Percaya deh! Sektor informal itu tidak bisa diatur dengan aturan formal. Perda itu sifatnya hukum, formal, dan sanksinya ada. apakah pemerintah kota mau menjatuhkan sanksi terus-menerus? Tidak akan sanggup–cari kerjaan aja,” paparnya seolah gusar. ”Permasalahan PKl itu diserahkan PK l saja. Paradigmanya

harus berubah. Sekarang bukan zamannya lagi pemerintah mengatur masyarakat, tapi persoalan masyarakat ya diatur masyar akat. Kalau ada konflik, buat keributan masukkan aja ke kriminal, ini urusan polisi tidak perlu pemerintah buat perda-perda,” tambahnya.

jarwo pun sepakat dengan ungkapan itu. Ia mengatakan PKl itu bukan bebal, bukan benda mati yang tak berhati. Mereka bisa diajak berembug dengan tulus bukan dikumpulkan rame rame, diberi ceramah, hal ini tidak efektif. Dari sini dapat dilihat bahwa pengambilan kebijakan tidak saja harus rasional dalam konsep, tetapi juga

bisa dipertanggungjawabkan dalam imple mentasinya di lapangan. Secara singkat pemerintah dapat membuat beberapa agenda sebagai berikut. Pertama, kebijakan terhadap PKl harus ditempatkan dalam proporsi yang wajar. Yakni memberi ruang gerak sebagai layaknya sebuah entitas ekonomi. Kedua, mengubah strategi pem bangunan dengan memberi kesempatan yang sama kepada setiap pelaku ekonomi. Dalam hal ini membangun sentra ekonomi baru baik di desa maupun di kota yang memungkinkan PKl melakukan relokasi. Ketiga, memberikan ruang gerak pada PKl untuk mengorganisir diri dalam paguyu ban-paguyubannya. Empat, memberikan pembinaan untuk kemajuan PKl dengan pembinaan yang bersifat substantif bukan teknis. Masalah PKl hendaknya disele saikan secara bersama-sama melalui dialog antara PKl dan stakeholder-nya dengan memberikan kesempatan dan partisipasi

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [EKONOMI]
pkL. Basis ekonomi sektor informal Iwan Nugroho
/
HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

namanya Tjokro

pendid i kan dan ekonomi, yang sangat terpuruk akibat penjajahan. Ia berusaha menyadarkan bangsa Indonesia untuk bangkit merebut kembali hak atas kemer dekaan, membebaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.

h.O.S. Tjokroaminoto berwatak pen diam, keras terhadap diri sendiri dan tidak pernah menyerah karena gertakan lawan. ”Tjokroaminoto adalah contoh pemimpin, bukan penguasa,” nilai h usain h aikal, staf pengajar jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta kepada HIMMAH. a dapun pe r bedaan antara pemimpin d e ngan penguasa menurut h usain, jika pemimpin bersedia untuk menderita, lebih mementingkan kewajiban dan tidak begitu memikirkan tentang hak, sedangkan pengu asa lebih mementingkan hak.

”Beliau memang seorang muslim dan agamawan yang baik, yang menerima didikan Barat disamping didikan agama nya,” demikian menurut Drs. h.a. adaby Darban, Ketua jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM kepada HIMMAH Walaupun merupakan keturunan bangsa wan, namun ia tetap berjiwa merakyat.

Tak pernah ia menghendaki pe rpe cahan bangsa Indonesia atas dasar berbagai macam isme. Tjokroaminoto berpendapat bahwa fanatisme kedaerahan dan politik devide et impera yang disebarluaskan oleh penjajah Belanda harus dihadapi dengan mempersatukan seluruh kekuatan bangsa Indonesia dari segala golongan.

aND a tentu sering menemui jalan protokol di perkotaan yang meng gunakan nama pahlawan bangsa. Semakin tenar biasanya semakin banyak digunakan. Begitu juga dengan h.O.S Tjokroaminoto. Selain nama jalan, bahkan ada universitas yang menggunakan nama Tjokro demikian sebutannya.

Tokoh kelahiran 16 agustus 1883 ini, dalam tulisan di buku-bukunya, bercitacita memajukan bangsanya dalam segala aspek kehidupan, terutama dalam bidang

Perjuangannya dalam organisasi politik dimulai pada tahun 1908 dengan bergabung menjadi anggota aktif dalam Boedi Oetomo, bahkan menjadi ketua di Surabaya. Semakin mantaplah semangat dan cita-citanya, selama keikutsertaannya berjuang melalui organisasi tersebut.

amatlah suram, kondisi umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Rakyat In donesia yang mayoritas beragama Islam telah terbelenggu oleh kolonialisme dan imperialisme. Mereka menjadi jatuh miskin dan melarat. Disamping itu, pemerintah kolonial Belanda berusaha menarik umat Islam untuk meninggalkan agamanya den gan mengajarkan kepada kaum intelektual Indonesia bahwa Islam adalah agama yang

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 2 [RIWAYAT]
Tjokro dikenal sebagai salah seorang tokoh pendiri Sarekat Islam. Pribadi yang menarik untuk dikaji perannya dalam seja rah ke-Indonesiaan.
HENDRA WIRAWAN . . . . . . . . . . . . . . . . .

konservatif, miskin, tidak terpelajar, kolot, dan ketinggalan zaman. Penindasan dan tekanan ini membuat kehidupan umat Islam mengalami kemunduran dan terisolasi dari dunia luar.

Tersentuhlah hati dan pemikiran h.O.S. Tjokroaminoto atas kondisi umat Islam pada saat itu. ”Melihat gerakan Kh Samanhudi di Sarekat Dagang Islam, yaitu dengan melawan monopoli Belanda dan Cina, menggerakkan rakyat untuk dapat terentas dari kemiskinan dan membuat politik terselubung melalui dagang, tim bul keinginan beliau untuk menerjunkan diri ke dalam SDI,” jelas Drs. h a adaby Darban, yang juga mantan Pembantu Rek tor I Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY). Namun keinginannya ditolak oleh Kh. Samanhudi karena ia adalah pegawai kolonial Belanda, sedangkan gerakan SDI adalah melawan kolonial. Dengan melepas kan jabatannya yang sudah cukup tinggi dan keluar dari ambtenaar (pegawai negeri Belanda), ia akhirnya menggabungkan diri dalam Sarekat Dagang Islam yang bertujuan untuk meningkatkan perekono mian dan taraf hidup umat Islam pada tahun 1912. Kem u dian Tjokroaminoto diberi kepercayaan untuk memimpin SDI supaya cepat berkembang. atas anjurannya agar keanggotaan SDI tidak terbatas pada para pedagang saja, SDI dirubah namanya menjadi Sarekat Islam. Perubahan nama ini membuat jangkauan Sarekat Islam menjadi lebih luas menc a kup seluruh golongan masyarakat, baik yang beragama Islam maupun non-Islam.

Puluhan ribu manusia mendatangi Kongres Sarekat Islam pada 26 januari 1913 di Surabaya. Dalam kongres tersebut h .O.S. Tjokroaminoto menyampaikan pemikiran-pemikirannya untuk meraih kemerdekaan bangsa Indonesia kepada segenap peserta kongres. Ia berpidato dengan lantang membakar semangat dan menggugah kesadaran mereka. Tjokroami noto merupakan seorang pemimpin yang berkharisma tinggi dan selalu berpidato dengan m e mukau. ”Menurut a bdullah Baraba’ yang pernah melihat Cokroaminoto berpidato, kehebatannya berpidato disebab kan karena ia adalah bekas dalang yang menguasai suara sehingga menimbulkan kharisma tinggi,” papar husain haikal. Se jak saat itulah nama h.O.S. Tjokroaminoto mulai dikenal sebagai seorang politikus.

Gerak langkah Sarekat Islam pun kemudian dibatasi oleh penguasa kolo nial. Permintaan status badan hukum oleh Sarekat Islam ditolak. Sarekat Islam hanya diakui pada tingkat cabang saja. Meskipun demikian, Tjokroaminoto tak gentar un

tuk membentuk Sentral Sarekat Islam di Surabaya tahun 1915. Sarekat Islam terus berkembang hingga menjadi 80 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, antara lain Sumatra, Sulawesi, Sunda Kecil, Ka limantan, dan lain-lain.

Pemikiran mengenai perlunya Sarekat Islam untuk duduk dalam parlemen dilontar kan h.O.S. Tjokroaminoto di depan Kon gres Sarekat Islam pada 17-24 juni 1916 di Bandung. Ia menginginkan bangsa Indonesia dapat ikut serta dalam urusan p e merintahan di tanah airnya dan juga menginginkan Dewan Perwakilan Rakyat yang demokratis, sebagaimana diajarkan dalam agama Islam. Suaranya mendap atkan dukungan penuh dari seluruh cabang Sarekat Islam. Sarekat Islam pun memutus kan untuk duduk dalam Volksraad, yang selanjutnya berjuang untuk men g ubah Volksraad menjadi parlemen sejati, Dewan Rakyat yang sebenar-benarnya.

”Namun SI mengalami kemunduran pada tahun 1927, sejak ada PNI, karena pada saat itu Islam dimusuhi,” ungkap husain haikal. Kemunduran ini dimulai sejak SI disusupi organisasi komunis.

Sosialisme Islam

Salah satu pemikiran Tjokroaminoto yang menonjol adalah mengenai sosialisme Islam. Telah tertulis pemikirannya pada surat kabar Sarekat Islam dalam Kongres al Islam di Garut pada tahun 1922 dengan judul Apakah Sosialisme dan Sosialisme Be rdasar Islam . Ia juga menulis kitab Islam dan Sosialisme, sebuah kitab yang terkenal dan menjadi perhatian utama kaum muslimin Indonesia.

Menurut Tjokroaminoto, sosialisme berasal dari bahasa l atin yaitu socius , dalam bahasa Belanda adalah makker , dalam bahasa Melayu adalah teman, dalam bahasa jawa adalah konco, dan dalam ba hasa arab adalah sahabat atau asyrat. Pa ham sosialisme berakar pada angan-angan (pikiran) yang nikmat, yaitu angan-angan pertemanan, musyawarah, kekancan. So sialisme mengutamakan paham pertema nan atau persahabatan itu sebagai anasir pengikat dalam pergaulan hidup bersama. Sosialisme menghendaki cara-cara hidup ”satu untuk semua dan semua untuk satu”, yaitu cara hidup yang memikul pertang gungjawaban di atas perbuatan satu sama lain.

Ia berpendapat bahwa sosialisme mempunyai maksud memperbaiki nasib go longan manusia yang termiskin dan terban yak jumlahnya agar mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, dengan cara memerangi sebab-sebab yang

menimbulkan kemiskinan.

Teori ini ada persamaan maksud den gan pencelaan terhadap pergaulan hidup yang semata-mata mengutamakan urusan kebendaan, urusan pengadilan dan juga urusan kepercayaan keagamaan yang ada pada waktu itu. Untuk itu perlu diadakan perubahan secara revolusi, bukan secara perkosaan. Dalam hal ini Tjokroaminoto berpendapat perlunya pembedaan antara paham sosialisme sebagai pelajaran tentang sesuatu pengaturan hidup bersama den gan sosialisme sebagai pergerakan untuk mendapat pengaturan hidup bersama yang tersebut di atas.

Pemikiran tentang sosialisme yang ia sampaikan berbeda dari pemikiran sosialisme yang merupakan bagian dari komunisme. Sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan umat Islam adalah sosialisme yang berdasar kepada asas-asas Islam, yang bertujuan mencari keselamatan dunia dan juga akhirat. Sedangkan sosialisme yang merupakan bagian dari komunisme ber pengertian lain, yaitu tiap-tiap pengaturan tentang urusan harta benda ( economisch stelsel) dimana terdapat 2 tuntutan yaitu penyerahan barang-barang ke tangan peri katan orang hidup bersama (gemeenchap) dan pengaturan mengenai pembagian barang-barang tersebut oleh perikatan orang hidup bersama. Ia mengatakan bahwa komunisme adalah segala peraturan yang sifatnya menyerang milik seseorang dan dilakukan semacam communio bonorum, yaitu barang-barang tersebut hendak dimi liki bersama.

Tjokroaminoto juga berpendapat bahwa pembuatan peraturan dengan cara referendum (tanya secara langsung kepada orang banyak) tanpa mengecualikan suatu kelas atau partai itu lebih mendekati so sialisme daripada cara membuat peraturan dengan perwakilan. Pemerintahan perwa kilan menyebabkan timbulnya rasa tidak sosialistis. hal ini bertentangan dengan permusyawaratan pembuat peraturan pada masa sekarang yaitu permu sya waratanpermusyawaratan orang-orang wakil atau utusan.

Satu hal yang penting dan patut dire nungkan serta diwujudkan oleh bangsa ini untuk saat sekarang adalah salah satu wejangan luhur dari Tjokroaminoto, ”... kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul-betul kepada rakyat, sep erti membela dirimu sendiri, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya. Dan cin tailah kepada kebenaran dalam segala usa hamu, tentu allah akan menolong kamu.”

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 3 [RIWAYAT]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Senja di Tapal batas usia

Lanjut usia (lansia) tak bisa dihindari siapapun. Tidak semua lansia tinggal bersama keluarga. Ada yang mengisi hari-hari tuanya di panti sosial.

PaGI mulai beranjak menuju siang hari.

Puluhan kakek-nenek ikut pula be ranjak dari bilik-bilik ruangan wismanya. Mereka berkumpul di samping sebuah bangunan utama. Dari cara berjalan, rambut yang memutih, dan kulit yang keriput, jelas sekali bahwa mereka adalah para lanjut usia (lansia). lebih jelas lagi dengan membaca tulisan di belakang kaos oblong yang mere ka kenakan. ”PSTW abiyoso Yogyakarta”, begitu tulisan yang tertera. Kaos berwarna kuning dan ada juga yang biru muda itu ternyata seragam khusus buat lansia peng huni panti sosial untuk kegiatan senam pagi tiap hari Rabu dalam sepekan.

”Kalau seperti simbah jompo ini mau berkarya apa, paling-paling salah satu kegiatan rutin adalah senam, selain pen didikan agama, dan ketrampilan,” tutur

Mbah Ramiyem (69) yang pagi itu juga ikut senam.

Mbah Ramiyem merupakan salah seo rang diantara 120 lansia yang menghuni Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) abiy oso, Yogyakarta. Dan tentunya salah satu bagian dari jutaan lansia lain di negeri ini. Seperti diketahui lewat data demografis, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, skema perkembangan penduduk berbentuk sigma. Sebagian besar penduduk berada di lapisan bawah dan lapisan atas, yaitu penduduk dengan usia 60 tahun ke atas dan usia 15 tahun ke bawah. artinya penduduk yang tidak produktif lebih besar membebani usia produktif. akibat kurang produktif kemudian banyak yang bernasib kurang baik, entah karena terlantar, maupun tersisih dari keluarganya.

Negara yang kemudian bertanggung jawab untuk membantu melayani penduduk yang sudah lanjut usia, hal itu tertuang dalam UU No. 4 th 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang jompo yang pada perkembangannya d i sempurnakan dengan UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan lansia. Dalam UU ini yang termasuk lansia adalah mereka yang men capai usia 60 tahun ke atas.

”Yang namanya jompo itu tidak bisa apa-apa. Bisa tidak berdaya fisiknya, bisa tidak berdaya intelektualitasnya, bisa juga tidak berdaya finansialnya,” papar Dr. Wasilah Rochmah, Direktur Klinik lanjut Usia UGM, tentang definisi jompo.

”Keluhan-keluhan pada lanjut usia bisa dibagi menjadi keluhan sehari-hari, keluhan akibat ada perubahan dari proses menua,” tambah Dr. Wasilah kepada HIMMAH di

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [INSANIA]
M Ali
Prasetya
/ HIMMAH . . . . . . . .

kantornya. Semakin bertambahnya lansia dari tahun ke tahun, tentu saja memaksa pemerintah untuk mempunyai dokter ahli, padahal pada 1966 Indonesia hanya memi liki 11 dokter spesialis penyakit dalam, khususnya ahli lanjut usia. ”Sekarang su dah bertambah menjadi 13 atau 14,” tutur dokter spesialis lansia ini. Menjaga seorang lanjut usia dibutuhkan ahli khusus karena sifat dan fisiknya sudah berbeda.

Dengan banyak ketidakberdayaan yang disandangnya, banyak lansia yang kemudian tinggal di panti sosial, orang juga biasa menyebut dengan panti jompo. atas keinginan sendiri maupun atas keinginan keluarganya. Begitulah umumnya latar be lakang lansia penghuni panti-panti jompo. Termasuk salah satunya di PSTW abiyoso Yogyakarta.

Panti yang berdiri sejak 29 april 1978 ini merupakan lembaga resmi Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta sebagai lembaga pelayanan masyarakat ( public service ). Memiliki 21 unit bangunan dengan 12 wisma. Masing-masing wisma ditinggali oleh 10 orang lansia dengan satu pengasuh. Wisma-wisma itu pun mempunyai nama sendiri-sendiri. Umumnya diambil dari bahasa jawa, misalnya: Wisma jolotundo, Wisma Saptopratolo, Wisma Balekambang, Wisma Grojogan Sewu, dan sebagainya. Kata tresna werdha sendiri berarti mencin tai orang tua. Sedangkan abiyoso adalah nama seorang begawan dalam pewayangan, merupakan simbol orang tua yang menjadi suri teladan.

”Konsep pengelolaannya adalah mem berikan pelayanan kepada lanjut usia ter lantar,” kata Dra. Sri astiwi, Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta, yang selain membawahi PSTW abiyoso, juga memimpin PSTW Budi luhur, Bantul. ”Ter lantar dalam kategori miskin, kita memberi pelayanan dalam pangan, sandang, papan, kesehatan,” imbuh Sri a stiwi kepada Aminur Sobah dari HIMMAH

Beragam Kisah Penghuni Panti lansia yang tinggal di PSTW abiyoso datang dari berbagai latar belakang. ada yang masuk ke panti atas kemauannya sendiri, ada yang diantar keluarganya, ada pula yang masuk akibat terlantar. Co n tohnya adalah Mbah Supinah (83), ia masuk panti atas kemauannya sendiri. Nenek ini ketika menemui HIMMAH jalannya tertatih-tatih, tingginya tidak lebih dari 140 cm. Meskipun sudah tampak letih dan lelah tetapi masih juga terlihat lincah. Ia sedikit batuk ketika ditemui di wisma tempat ia tinggal. Nenek berputra satu inipun menuturkan keberadaannya di

panti ini. ”Saya masuk sendiri, sebetulnya tidak boleh. Saya dulu cuma ikut (jadi pembantu). Kemudian saya pisah dengan suami saya,” katanya. ”anak saya di Sura baya jadi angkatan laut,” tambah Mbah Supinah. Sudah lima tahun Mbah Supinah tidak bertemu dengan anaknya, namun la manya waktu tidak menghalanginya untuk terus mencari putra semata wayangnya dari pernikahannya yang pertama. ”Sudah lima tahun kabarnya saya tidak tahu. Saya cari di Surabaya tidak ketemu,” katanya lirih. Meskipun sejak Pemilu 1998 tidak bertemu putranya, ia tidak putus asa.

”Kalau di Yogyakarta nanti kan juga tahu. Banyak kemenakan disini (di Yog yakarta-red.). aku kesini ya bukan tahanan atau terkena perkara. Masuk k e ingi n an sendiri, di sini dijompo saya mau istirahat,” tambah Mbah Supinah. Nenek yang pernika han keduanya dengan seorang bule berasal dari Perancis ini memang sedikit berbeda dari nenek-nenek yang lain di panti ini. Ia tampak lebih muda dari usia sebenarnya, banyaknya kegiatan tidak mengurangi se mangatnya untuk mengukir prestasi meski hanya di lingkungan panti. Ia menceritakan pernah beberapa kali memenangkan per lombaan di Panti abiyoso.

Keadaan lingkungan yang mendukung memang mempengaruhi tingkat emosi dan kesehatan lansia di panti ini. Kebanyakan dari lansia merasa nyaman dengan ling kungan panti yang memang terlihat sangat bersih dan tenang. ”Saya kerasan karena pikirannya nyaman. Tidak ada keinginan untuk pulang atau kemana-mana,” tam bahnya lagi.

latar belakang keberadaan Mbah Supi nah berada di panti ini, karena ia memang sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Namun tidak demikian dengan keberadaan

Mbah Sukirdi (75), pria kelahiran Suryowi jayan, Yogyakarta. Kakek yang sejak juli 2002 berada di panti ini memang tidak bisa dikatakan sendirian, karena ia mempunyai tiga orang putra dan dua orang cucu. Mbah Sukirdi meskipun ia mempunyai putra yang berhasil, namun ia pun terpaksa menjadi gelandangan atau pemulung sampah. ”Saya bisa sampai disini terkena operasi (digarukred.). Kemudian dibawa ke Karanganyar, cabang panti ini, kemudian sama pimpinan di sana diantar ke sini,” katanya mencer itakan muasal keberadaannya di panti. awal mula Mbah Sukirdi menjadi gelandangan memang berangkat dari masalah keluarga. ”Pertama anak saya menikah, nanti kalau didekati tidak diajak ngomong, wong orang tua, tapi nanti kalau ngumpul, menimbul kan kekacauan dalam rumah tangga, jadi kurang enak, dan melihat wajah-wajah ’begitu’ kan terasa,” ceritanya.

Sebagai seorang anak memang sudah sepantasnya merawat orang tuanya ketika mereka sudah mulai senja. Namun terka dang orang lupa akan jasa-jasa yang telah diberikan orang tua kepada anaknya.

Mbah Sukirdi yang pernah bekerja di angkatan laut sejak tahun 1950 sampai 1960 ini menuturkan k e kecewaannya bahwa ia pernah mengirim surat kepada putranya atas saran ibu-ibu di panti na mun tidak mendapatkan balasan. ”Saya kira masih mangkel (marah-red.), soalnya hidupnya masih ngumpul dengan famili,” duganya. Banyaknya kegiatan di panti ini memang sejenak bisa melupakan masa tua para lansia, namun yang perlu diingat adalah mereka sangat mendambakan sekali kasih sayang dari anaknya. Sekecil apapun perhatian yang diberikan anak kepada or angtuanya itupun sudah cukup.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [INSANIA]
M Ali Prasetya / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

”Kalau saya itu bergaul dengan siapa saja. Soalnya semuanya tergantung dari tingkah lakunya,” kata Mbah Sukirdi ketika ditanya rasanya jadi pemulung. ”jadi di sini harus bisa menerima, buat kesehatan dicukupi. Tapi orang namanya manusia kadang-kadang mempunyai keinginan,” imbuhnya. Bagaimanapun perlakuan anak terhadap orang tuanya, tetap saja orang tua masih sayang. ”Kalau ingat anak-anak kecil, ya sering ingat. Tapi saya pikir nanti seandainya saya pulang ke sana ada yang merasa tidak enak,” katanya menuturkan isi hati. ”Saya tidak pernah pulang padahal saudara saya di sini dekat. Malah biasanya saudara yang datang ke sini,” tuturnya dengan nada bahagia.

Kehidupan memang tidak selamanya indah, kadang ada di atas tapi bisa juga berbalik 180 derajat. Seperti yang dialami nenek yang satu ini. Penampilannya rapi, cantik, dan masih kelihatan segar. Dari wajahnya terpancar kecerdasan meskipun tersembunyi sedikit kesedihan. Sejak muda ia memang sudah terbiasa hidup mandiri meskipun masa kecilnya dihabiskan di Mangkunegaran, Solo. Nenek berdarah biru yang biasa dipanggil Eyang Rudolpin ini memang tidak mempunyai anak. Ia tidak pernah menyangka kalau masa tu anya bakal dilalui di panti sosial. ”Di sini sudah 19 bulan, ini wisma yang bayar,” katanya mengawali pembicaraan dengan HIMMAH . Eyang Rudolpin memang salah seorang dari eyang yang mengikuti program subsidi silang. Eyang yang sudah menjanda sejak usia 28 tahun ini memang

pernah merasa kesepian, karena itulah sau dara-saudaranya berniat mengantarnya ke panti jompo. Mereka merasa khawatir jika terjadi apa-apa dengan Eyang Rudolpin, sementara ia hanya tinggal dengan seorang pembantu di rumahnya di Surabaya. ”Saya kalau di keluarga dekat, nggak sreg, yang satu kakak, yang satu ipar perempuan,” kata eyang pensiunan angkatan laut pelayaran asing ini. Pada awal pertama tinggal di panti ia mengaku sempat merasa kesepian dan kehilangan karena terasing dari keluarga. ”Saya mikirnya sampai dua bulan, ya masih stres, habis pensiun itu saya pikir ya sudah,” katanya lagi. ”Pada mulanya memang mer asa sendiri tapi lama-lama nggak juga. Saya kan sehat, jadi kalau mau ke tempat adik di Yogyakarta, diperbolehkan,” katanya.

PSTW abiyoso memang mempunyai dua program. Yakni program klien murni, yang dibiayai oleh aPBD Pemda DIY, dan program subsidi silang untuk lansia yang mampu secara finansial. Dana yang didapat dari pembayaran lansia yang mampu digu nakan untuk membantu lansia yang kurang mampu. ”Dengan klien subsidi silang, jadi yang kuat bisa membantu yang lemah,” kata Sri astiwi. Bedanya jika tinggal di wisma program murni semua kegiatan dari bersih-bersih sampai mengurus dirinya sendiri dilakukan sendiri, tapi berbeda dengan subsidi silang semua kegiatan sudah ada yang melakukannya. Dari mulai bersihbersih sampai mencuci dan m e nyetrika pakaian, hanya makan dan tidur yang di lakukan sendiri. ”Kegiatannya cuma tidur, jadi kadang-kadang ya bingung sendiri

mau ngapain atau main ke wisma-wisma,” kata Eyang Rudolpin yang gemar beraneka ragam bacaan ini. Keakraban antar wisma memang harus terjalin antar program murni dan subsidi silang, tidak ada perbedaan meskipun latar belakang mereka berbeda. ”Kalau hubungan antar teman-teman, ya kita sendiri, paling ke wisma-wisma, kita harus mengakrabkan dengan mereka,” tutur Eyang Rudolpin lagi.

Memang unik dan terkadang meng harukan melihat kehidupan di panti sosial. Di usia senja mereka justru tinggal jauh dari keluarga. Sri astiwi pun mengatakan bahwa pelayanan di panti sosial ini merupa kan alternatif terakhir karena yang paling bagus tetaplah pelayanan dalam keluarga. ” j adi jangka panjangnya memberikan pelayanan untuk kembali ke keluarga,” kata Kepala PSTW Yogyakarta ini.

”Saya disini ini terminal. j adi mau bagaimana sudah tua, ya sampai wak tunya yang kuasa memanggil,” kata Mbah Sukirdi. Dari sikapnya yang riang bisa berdampingan dengan lansia lain, banyak kawan untuk berbincang, namun sisi lain di sudut hatinya masih ada kerinduan untuk melewati hari tuanya di ambang tapal batas usia bersama keluarga, anak, dan cucu. Tapi kini ia menatap senja hari di beranda wis manya dalam keadaan jauh dari keluarga.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [INSANIA]
keseharian seorang Lansia. Yang terbaik tetaplah pelayanan dalam keluarga seorang Diri. Jauh dari keluarga M Ali Prasetya / HIMMAH M
Ali Prasetya / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Agar murid Tak lupa pada Asalnya

Muatan seni dan budaya masih minim dalam kurikulum pendidikan kita. Pertanda tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal?

kurikulum muatan lokal dan berbasis kom petensi. Itulah sebabnya, kini ada Kuri kulum Berbasis Kompetensi (KBK) yaitu kurikulum yang ada di sekolah daerah ter tentu, sedikit berbeda dengan sekolah yang berada di daerah lain. Kompetensi masingmasing daerahlah yang membedakan.

Menurut Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sarjanawiyata, Drs. Pardimin, M.Pd, kurikulum muatan lokal itu memberikan peluang kepada sekolah untuk mengangkat budaya lokal. ”Misalnya antara Yogyakarta dan Sumatera muatan lokalnya pasti bervariasi dan hara pannya setelah budaya-budaya daerah itu dipelajari maka akan dapat memperkokoh atau meningkatkan budaya yang dimiliki,” kata Pardimin.

ERa globalisasi identik dengan era kesejagatan, ketika batas-batas lo kalitas negara-bangsa semakin menipis dalam berbagai hal. Tak bisa dipungkiri lagi konsep dan pemikiran barat dominan dalam arus global, termasuk di dunia pen didikan. ada kecenderungan nilai-nilai lokal mulai tersisih dengan sendirinya. Contoh sederhana adalah pengajaran ba hasa dan budaya daerah di sekolah. ”Dari total 44 jam pelajaran selama seminggu di sekolah, bahasa jawa hanya mendapat 2 jam pelajaran,” kata Slamet hariyadi, guru bahasa jawa di SMP 5 Yogyakarta.

Dari sedikitnya alokasi waktu itu paling tidak terlihat bahwa pelajaran nilai-nilai lokal memang terpinggirkan. Tak jauh beda kiranya dengan daerah-daerah lain di luar jawa, bahkan mungkin bisa lebih meng khawatirkan. Padahal untuk menanamkan

rasa kebanggaan terhadap budaya asli Indonesia diperlukan pendidikan berbasis kultur lokal yang mengangkat pelajaran seni lokal dan bahasa daerah di sekolah khususnya SD dan SlTP.

h al itu sebenarnya sudah disadari oleh pihak yang berwenang di bidang pendidikan. Menurut Drs. h. Rachmadi, Kepala Sub Dinas PlB dan Pendidikan Dasar Yogyakarta, rencananya kurikulum masa depan itu selain memperhatikan kurikulum nasional juga meng-cover ke butuhan daerah. ”jangan sampai terjadi orang Selarong, hidup di Selarong, sekolah di Selarong, tetapi tidak tahu masalah Se larong,” kata Rachmadi, mencontohkan Selarong, sebuah daerah di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Wujudnya kata Rachmadi adalah

Tapi realitas di lapangan tak banyak berubah. Senada dengan Slamet hariyadi, adalah Sri Suhartinah, seorang guru SD Tamansiswa, Yogyakarta yang mengajar bahasa jawa. ”Dalam satu minggu hanya tersedia 80 menit untuk bermacam-macam budaya jawa,” kata Sri Suhartinah. Menu rutnya yang menentukan muatan lokal tersebut dari Depdiknas pusat dan daerah. Pelajaran bahasa daerah sendiri diajarkan dari kelas satu sampai kelas enam SD.

Konsep Pendidikan Budaya Mengajarkan nilai-nilai budaya di bang ku sekolah memang tak semudah membalik telapak tangan. Prof. Suyanto, Ph.D, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ber pendapat bahwa bagaimanapun hebatnya budaya lokal kalau tidak ada manfaatnya tidak akan diperhatikan. ”Budaya itu hasil interaksi dan pikiran seseorang. Dan bicara tentang SD dan SlTP, kita tidak bisa men gajarkan budaya lokal seperti di tingkat atas,” kata Suyanto. ”SD itu masih belum bisa berpikir abstrak karena mereka harus berpikir kongkret. Sehingga harus ada

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [PENDIDIKAN]
pelajaran seni karawitan. Menjaga jati diri bangsa Ujang
Priatna / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . .

sesuatu yang kongkret yang bisa mereka pahami misalnya budaya tolong-meno long,” paparnya.

Pengalaman Sri Suhartinah dalam men gajar anak SD memang menunjukkan per lunya metode yang kreatif agar pemahaman terhadap pelajaran budaya sampai ke benak anak didiknya. Strategi yang diterapkan agar anak-anak tersebut senang dengan bahasa daerahnya sendiri, bisa dilakukan dengan cara metode tanya-jawab. juga me tode ceramah dengan memberikan contohcontoh bahasa yang halus ketika berbicara dengan orang tua dan teman sebaya. Untuk mengenal tradisi budaya daerah, misalnya

daya-budaya yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak khususnya SD dan SlTP ialah budaya dalam pengertian kesenian, seperti kesenian daerah. Kalau budaya dalam arti luas adalah nilai-nilai. Kesenian daerah termasuk bagian dari budaya bangsa sebab budaya bangsa itu bahan pokoknya adalah budaya lokal. Sehingga agar budaya bangsa tetap eksis, budaya lokal harus diperta hankan juga.

Dalam tataran konsep seringkali san gat ideal namun realisasi seperti biasanya sangat sulit. ”Setiap ganti menteri ganti kebijakan, akhirnya yang baik itu hanya pada tataran teori, tapi pada prakteknya

bangkan di luar waktu itu. ”jadi bagaimana caranya guru mendorong dan memotivasi agar murid-muridnya dapat mengembang kan sendiri,” kata Pardimin.

Menurut Dekan FKIP Sarjanawiyata ini, budaya lokal yang masuk dalam kuriku lum nasional idealnya 80 persen adalah kurikulum inti, sedangkan 20 persen adalah untuk muatan lokal. Wajar jika Slamet dan Sri Suhartinah merasa kurang terhadap alokasi jam pelajaran muatan lokal. Dari 44 jam tentu masih kurang jika hanya diberi 2 jam. j ika mengikuti persentase yang diungkapkan Pardimin, minimal alokasi yang didapat buat pelajaran budaya daerah sekitar 8 jam.

”Dari MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran red.) sudah mengajukan penam bahan jam pelajaran. Tapi itu belum dapat respons dari Kakanwil, itu sejak 1998,” kata Slamet hariyadi.

budaya daerah jawa bisa dilakukan dengan mengunjungi museum keraton.

Untuk mendukung efektifitas pengaja ran, Drs. h. Rachmadi mengatakan bahwa alokasi waktu yang proporsional untuk pelajaran budaya lokal tersebut diterapkan dengan sistem master learning, ketuntasan belajar satu tahun. Misalnya jika ada anak sekolah pada semester pertama belum bisa, maka akan terus dibimbing agar pada waktu kenaikan kelas dia telah mampu menguasai pelajaran budaya lokal.

Rachmadi juga mengatakan, bahwa me tode pengajaran untuk muatan lokal adalah dengan teaching menjadi learning. jika teaching itu yang aktif guru, maka learn ing yang aktif siswa. Metode mengajarnya diubah menjadi teaching and learning artinya betul-betul dalam pembelajaran itu guru mengaitkan apa yang telah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bu

atau pelaksanaannya tidak sesuai dengan harapan,” tukas Pardimin. Untuk meng hindari hal itu Pardimin menegaskan per lunya penguatan teori dan konsep dasar kurikulum. Termasuk kurikulum berbasis kompetensi.

Kekhawatiran senada diungkapkan juga oleh Prof. Suyanto Ph.D. Menurut nya keragaman budaya yang merupakan kek a yaan Indonesia seharusnya dapat terakomodir dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun tidak selalu harus terpan cang pada silabus. Nilai-nilai budaya luhur bisa integrated dalam mata pelajaran pada umumnya.

Sedangkan Pardimin beranggapan bahwa masyarakat hendaknya jangan selalu terpaku pada pendidikan di sekolah. Bera papun waktu yang ada untuk tatap muka belum cukup, tetapi yang pokok adalah bagaimana agar para siswa bisa mengem

jika menengok kembali ajaran Ki hajar Dewantara memang pendidikan tidaklah melulu tanggung jawab sekolah. Ia jauhjauh hari telah merumuskan tripusat pen didikan yaitu tanggung jawab keluarga, pemerintah, dan masyarakat. artinya dalam menjaga kelestarian budaya asli bangsa, keluarga dan masyarakat seharusnya ikut berperan. Permasalahannya dengan kondisi krisis, ketika permasalahan ekonomi, politik, sosial, budaya mengemuka secara serentak menyelimuti keseharian keluarga dan masyarakat Indonesia, masihkah bisa berharap pada kesadaran dari keluarga dan masyarakat? Banyak ironi yang kemudian muncul. Ketika bangsa barat sendiri getol mempelajari budaya ketimuran, bangsa Indonesia terlihat kebingungan di tengah pusaran arus global. Tidak ada yang bisa menjamin apakah generasi mendatang masih bisa mengenal dan menghayati bu dayanya sendiri.

”Ternyata sekarang mulai banyak orang asing yang bisa bahasa jawa,” tukas Slamet seraya menceritakan kisah muridnya yang ”terjebak” ketika bertemu turis yang ternyata pandai berbahasa jawa. Padahal sang murid dengan penuh percaya dirinya menyapa memakai bahasa Inggris.

”Saya rasa arus globalisasi itu sulit un tuk dibendung, hanya saja bagaimana kita hidup di tengah-tengah arus global ini tidak kehilangan jati diri,” tandas Suyanto. Yang dikatakan Suyanto dan Slamet hariyadi perlu dijadikan catatan kritis melihat pen didikan Indonesia. Sehingga jangan sampai bangsa Indonesia menjadi lebih malu lagi, jika yang terjadi semua generasi muda kita lupa pada asalnya.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [PENDIDIKAN]
pelajaran Bahasa Daerah. Alokasi waktu masih kurang
Ujang
Priatna
/ HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pengadilan Akhir Penjahat Kemanusiaan

Akibat agresi Amerika Serikat terhadap Irak, diprediksikan oleh PBB akan terjadi ledakan 2 juta pengungsi, 5 ribu orang akan kelaparan, 500 ribu bayi yang lahir akan mengalami hambatan perkembangan akibat radiasi dan polusi.

PEMUSN

aha N ras manusia ini dilakukan atas nama pembebasan. Sebagai negara paling kuat di dunia, amerika Serikat yang mengibarkan ben dera demokrasi telah melakukan inter vensi terhadap kebijakan negara di Bosnia. Ribuan orang mati. akan tetapi ia tidak da pat tersentuh. Partnernya, penjahat perang

. .

yang bertanggungjawab atas pemusnahan etnis Bosnia dan etnis albania itu sedang diadili di Mahkamah Pidana Internasional.

Masyarakat di seluruh penjuru dunia tegang menantikan nasib Slobodan M i losevic.

Mantan Presiden Yugoslavia itu sebenarnya sudah lama disembunyikan oleh negaranya. Desakan amerika Serikat lah yang akan

melakukan embargo akhirnya membuat pemerintah reformis Yugoslavia menang kap Slobodan di rumahnya, di Belgrade. Setelah Irak dan Kuwait, Bosnia, dan afganistan, belakangan amerika Serikat melakukan invasi kembali ke Irak.

Slobodan bukanlah penjahat perang pertama yang diadili di Mahkamah In

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003]  [INTERNASIONAL]
HENDRA WIRAWAN .
.

ternasional. a ugusto Pinochet, mantan Presiden Cile mengalami hal yang sama. Pinochet telah melakukan kejahatan ke manusiaan terhadap warga negara Spanyol di Cile, ia juga melakukan kudeta atas kepemimpinan Presiden Cile yang terpilih secara demokratis, menyiksa ribuan orang dan membunuh 3.000 orang lainnya. Meski pun ia terselamatkan oleh pengampunan, rakyatnya memberikan impunity . Sekali waktu ia terbang ke Inggris, ia langsung ditangkap dan diseret ke pengadilan In ternasional.

International Criminal Court

Menurut jawahir Thontowi Sh, Ph.D, Dekan Fakultas hukum UII, kekuasaan hukum internasional dilihat dari wilayah yurisdiksinya sangatlah luas, bahkan dapat menundukkan hukum dan politik sebuah negara. Dalam kasus Pinocet, meskipun ia dimaafkan di negaranya, atas nama Statuta Roma yang merupakan deklarasi pengakuan perlindungan terhadap haM di dunia, maka ia bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional. ”Sebab, nilai-nilai haM adalah universal,” tegas jawahir.

Mahkamah Pidana Internasional atau yang disebut dengan International Crimi nal Court (ICC) pertama kali dilaksana kan di Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg. Kemudian disusul dengan pembentukan Mahkamah Militer untuk Timur yang berkedudukan di Tokyo, juga Mahkamah Pidana Internasional Ad Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia yang berkedudukan di hague dan Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda yang berkedudukan di arusha. Mahkamah-mah kamah ini bersifat ad hoc (khusus) dan juga temporer bukan permanen. Sehingga jika kasus itu telah terselesaikan, mahkamah dibubarkan dengan sendirinya.

Mahkamah Pidana Internasional me miliki keistimewaan yang membedakan dengan peradilan pada umumnya. Dia man diri, tidak ada badan peradilan yang lebih tinggi atau berada di bawahnya. Dalam ICC tidak dikenal istilah banding, kasasi atau peninjauan kembali dan sebagainya. Sehingga baik korban dan pelaku kejahatan tidak dapat menuntut lebih, melainkan ha rus puas dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat final dan absolut. Dengan demikian pemenuhan keadilan dan rasa kepuasan dari Mahkamah Pidana Internasional barulah dalam arti minimal, yang mencakup salah satu dari kepuasan individu yaitu kelu arga korban atau kepuasan publik, ataupun kepuasan sosial serta kepuasan keyakinan atau religiusitas.

jawahir juga menegaskan bahwa mah kamah pidana internasional juga bersifat komplementer ( complementary instru ment ). Ia hanya bisa diimplementasikan jika negara yang bersangkutan telah merati fikasi hukum internasional dan melakukan penyesuaian pada adaptasi hukum-hukum nasional yang memuat perangkat tentang Mahkamah Pidana Internasional. hal ini tidaklah mudah karena proses ratifikasi ini akan memakan waktu yang lama. Di samp ing itu jika negara melakukan pembiaran terhadap warganya, baik secara individu, kelompok, badan hukum, atau bahkan pemerintah dari negara tersebut kedapatan atau minimal terindikasi telah melakukan pelanggaran terhadap haM, maka pihak internasional dapat segera melakukan tin dakan hukum terhadapnya. Ini sama artinya bahwa negara tersebut telah kehilangan martabatnya di mata dunia internasional, terlebih jika pelaku pelanggaran ini adalah presiden, jenderal, atau sederet orang berkuasa lainnya.

Itulah sebabnya mengapa negara-negara seperti amerika Serikat, Cina, dan Israel, bahkan Indonesia sendiri ternyata dengan keras menolak melakukan ratifikasi Statuta Roma. Di mana banyak terjadi pelanggaran haM yang justru dilakoni oleh pejabatpejabat tinggi pemerintahannya. Bahkan jika amerika terus memerangi Irak, maka bukan amerika saja yang dapat dijatuhi pidana melainkan negara sekutunya sep erti Inggris, australia dan lainnya dapat juga diseret ke Mahkamah Pidana Inter nasional karena ia menganut delik penyer taan, sebagaimana termuat dalam KUhP kita. Meskipun dalam teori kekuasaan struktural, negara-negara tersebut sudah memiliki sumber-sumber kekuasaan yaitu ilmu pengetahuan, keamanan, dan ekonomi yang membuat negara-negara di dunia tidak berani mengambil resiko untuk melakukan perlawanan.

Indonesia vis a vis Timor Timur

Kepuasan itu kemudian dijadikan indi kator bagi konsepsi keadilan masyarakat. Salah satu kasus yang sedang menjadi bola panas masyarakat internasional adalah kasus negara tetangga Indonesia, yaitu Timor-Timur. Negara baru yang merupakan bekas bagian wilayah Indonesia itu sempat dibanjiri ribuan mayat akibat pembunu han besar-besaran pasca jajak pendapat. Sekarang Indonesia sedang menghadapi tuntutan dibawanya oknum-oknum militer dari TNI yang dituduh melakukan keja hatan kemanusiaan ke Mahkamah Pidana Internasional.

Sebabnya, meski Indonesia sudah

mempunyai Undang-undang haM nomor 39 tahun 1999 tentang haM, dan nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan haM di Indonesia, tetap saja prosesnya dianggap tidak memuaskan. hukuman pidana yang dijatuhkan hanya bisa menikam beberapa bawahan militer, sedang para jenderal tetap tidak tersentuh. Tuntutan ini tidak hanya datang dari masyarakat Indonesia, namun negara-negara internasional juga melaku kan tuntutan yang sama.

jawahir yang sedikit pesimis menga mati supremasi hukum di Indonesia, masih memiliki optimisme bahwa jika kasus ini mandeg, maka akan ada kesempatan bagi dilakukannya Pengadilan Pidana ha M Internasional. Namun, peradilan oleh Mahkamah Pidana Internasional sebenarnya menunjukan bahwa hukum di Indonesia dalam kondisi yang lemah, dan ini menurunkan eksistensi negara. j ika tidak ingin kemungkinan ini terjadi, maka Indonesia yang baru saja membuat ratifikasi terhadap UU haM, seharusnya melakukan penghormatan, dengan cara pelaksanaan pengadilan yang transparan, independen, dan konsen terhadap rasa keadilan masya rakat. jika pengabaian dilakukan, maka intervensi Mahkamah Pidana Internasional tidak bisa lagi dicegah.

Prinsip non diskriminatif harus difungsi kan pada semua kasus-kasus pelanggaran haM. jika hak-hak istimewa diberikan kepada presiden, para jenderal dan elite, maka supremasi hukum tidak dapat ditegak kan. hal ini mengancam campur tangan internasional pada permasalahan-perma salahan pelanggaran haM di masa Orde Baru, dan memungkinkan Soeharto serta kroninya yang bisa lolos dari pengadilan Indonesia, bisa saja ditangkap ketika be rada di negara lain dan dimejahijaukan di pengadilan internasional.

Ini memberikan angin segar bagi upayaupaya menyelesaikan pembantaian dan penghilangan ribuan manusia yang terjadi pada kasus-kasus semacam Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer (DOM) aceh, pem bantaian, pemenjaraan tanpa pengadilan dan amputasi hak-hak perdata masyarakat yang diindikasikan antek-antek PKI pasca Gerakan 30 September (Gestapu) tahun 1965, bahkan pembunuhan wartawan Udin. Seperti ditegaskan j awahir, Mahkamah Pidana Internasional selama ini sangat terbuka dan memperhatikan suara-suara korban penindasan haM. Sehingga adanya aduan dari pihak manapun, baik masyarakat yang konsen pada permasalahan haM, apalagi korban yang merasa terlantar, maka akan ada tindakan tegas untuk segera mengejar pelaku.

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 00 [INTERNASIONAL]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Jendela Dunia itu Tak Terbaca

Keberadaan perpustakaan di daerah banyak yang belum layak. Minim fasilitas dan minim pengunjung. Budaya baca tetap menjadi persoalan utama.

lENG a NG Ldan sepi pengunjung.

Begitulah kesan yang dapat ditang kap dari sebuah perpustakaan di j alan Malioboro No. 175, Yogyakarta. Padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 10.30 WIB. j umlah pengunjung yang ada di dalam perpustakaan dapat dihitung dengan jari. Sudah pasti jumlahnya kalah saing dengan pengunjung yang datang ke kawasan Malioboro, yang sekedar bebas bereks-presi di pertokoan dan mall.

Di lantai dua, di ruang yang tidak be gitu luas dan dipenuhi beberapa rak buku

serta surat kabar, lima siswa-siswi tampak serius membaca buku. jam sekolah mereka habiskan di ruangan itu dengan alasan se dang tugas praktek kerja lapangan (PKl).

Eru Nugroho, siswa kelas III SMK PIRI III Yogyakarta yang sedang PKl merasa dapat menambah pengalaman dan wawasan di perpustakaan–meskipun mereka terpatok oleh tugas dari sekolahnya.

bagi masyarakat Yogyakarta sendiri sudah tidak berlaku. Ketetapan ini sesuai dengan Perda Gubernur No. 4 Tahun 2001. Papan nama itu harusnya dirubah menjadi Badan Perpustakaan dan arsip Daerah (BPaD) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

. . . .

Papan nama bertuliskan ”perpustakaan daerah dan perpustakaan nasional” yang terpampang pada perpustakaan ini ternyata

Kepala BPa D, Muhammad Wardi Setyabudi mengungkapkan bahwa historis perpustakaan memang sudah berdiri sekitar tahun 1945. awalnya bernama perpustakaan negara, lantas menjadi perpustakaan daerah tahun 70-an. Di tahun 80-an menjadi per

[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] 0 [PUSTAKA]
Iwan Nugroho
/
HIMMAH

pustakaan wilayah. Sejarah perpustakaan terus bergulir hingga akhirnya menjadi per pustakaan nasional, karena pada waktu itu bertepatan berdiri Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. adapun perwakilan perpustakaan nasional di provinsi namanya perpustakaan nasional provinsi. ”Pada ta hun 2000 melihat masa reformasi dan era otonomi daerah, akhirnya gubernur sesuai dengan dana yang ada mengeluarkan Perda No. 4 itu menjadi BPaD,” ujar Wardi.

Perjalanan sejarah tatanan masyarakat membuktikan bahwa pendidikan –termasuk membaca– merupakan dasar majunya suatu kelompok masyarakat. Tanpa kemampuan membaca, kita tidak akan sampai pada masyarakat informasi. Dalam dokumentasi hak-hak asasi manusia seperti pasal 19 Deklarasi Universal hak asasi Manusia (DU ha M), pasal 19 Kovenan Interna sional hak-hak Sipil dan Politik serta pasal 10 Konvensi hak asasi Manusia Eropa disebutkan bahwa kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan mendapatkan informasi merupakan salah satu tonggak penting untuk sebuah sistem masyarakat yang demokratis.

Dalam Kovenan hak Sipil dan Politik juga tercatat bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan mendapatkan informasi merupakan hak sipil dan politik setiap individu yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. h ak ini biasa disebut dengan non derogable rights. Penerapan hak ini mensyaratkan adanya wacana pub lik yang mementingkan keberadaan ruang publik yang bebas dan memungkinkan setiap warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap informasi-informasi publik–perpustakaan salah satunya.

Namun pergi ke perpustakaan untuk membaca belum membudaya di tanah air. Sudah begitu, kondisi perpustakaan jauh dari nyaman. Ruangan yang sempit memaksa rak-rak buku sesak berhimpitan, buku-buku kurang tertata rapi dan berdebu. Di Perpustakaan DIY misalnya, seonggok tumpukan kliping dari salah satu media massa lokal beberapa tahun lalu tampak rusak, dibiarkan begitu saja oleh para pengelolanya, yang akhirnya sama sekali tak terjamah oleh tangan para pengunjung. Menyaksikan kondisi demikian, ada yang berpendapat perpustakaan itu gudang tem pat menyisihkan buku-buku bekas. jauh dari perlakuan ”buku adalah gudangnya ilmu”.

Banyak pengunjung di kota pelajar ini yang prihatin dengan keadaan perpus takaan daerah. Mengomentari buku-buku yang tampak usang tersebut Bobo bukan nama sebenarnya berpendapat sebaiknya

disumbangkan saja. ” h abis buku-buku di sini rata-rata terbitannya sudah lama,” ungkapnya. Senada dengan pendapat itu, Inggit menyayangkan keterbatasan buku-buku baru yang disediakan pihak perpustakaan. Namun, kegelisahan kedua pengunjung tersebut ditepis Wardi dengan tidak mudahnya menembus prosedur yang ada. Karena selain buku-buku yang ada su dah direkap dan termasuk inventaris pihak perpustakaan, buku tersebut pun dimonitori oleh Badan Pengawas Kepemilikan Pe merintah (BPKP). jadi, urusan sumbang menyumbang buku-buku yang telah usang bukanlah hal yang mudah bagi BPaD.

Sementara di jawa Timur istilah per pustakaan daerah masih berlaku. Persoalan lain tak kalah pelik membelit Perpustakaan Daerah jawa Timur: ratusan buku koleksi perpustakaan hilang akibat tak dikemba likan pengunjung. Tiap bulan hampir 10 buku tidak kembali alias hilang. Kondisi ini menyebabkan koleksi buku di perpustakaan terus menyusut. Padahal untuk menambah koleksi buku baru, perpustakaan daerah masih kesulitan dana.

Realitas ini menggambarkan betapa per masalahan yang menjadi kebutuhan ideal menuju kemajuan masyarakat masih jauh dari harapan. Keberadaan perpustakaan dalam dunia pendidikan sebagai fasilita tor dan motivator bagi masyarakat dalam mencari informasi dan mencerdaskan ke hidupan bangsa, seperti ketidakadaannya.

Karena itu kerja sama perpustakaan dengan dinas pendidikan merupakan langkah tepat untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat akan buku-buku bacaan guna mencerdaskan kehidupan bangsa–sesuai amanah UUD 1945 pasal 28. Maka, sebagai public library di luar negeri disebut state library perpustakaan hendaknya melayani seluruh masyarakat yang ada tanpa mem bedakan status sosial.

lagi-lagi permasalahan dana menjadi salah satu kendala bagi perpustakaan untuk memenuhi tuntutan di atas. Tahun ini aloka si anggaran untuk BPaD DIY jumlahnya Rp 2 milyar. Untuk menggaji 170 pegawai men g habiskan Rp 1,2 milyar. Sisanya, untuk operasional perpustakaan.

Persetujuan eksekutif maupun legisla tif dalam pembahasan alokasi dana bagi perpustakaan, menurut Wardi merupakan tantangan dan hambatan. ” jadi penentu pertama itu ya di DPR. Kalau DPR nggak setuju, ya nggak,” tukasnya.

Dalam laporan Kegiatan Temu Karya Nasional di jakarta, 29 - 31 Maret 2000 lalu, Dr. Yahya a . Muhaimin menga takan, ”Negara-negara yang maju dalam dunia kepustakaannya, akan melahirkan pujangga-pujangga besar.” Pendapat se nada dilontarkan Prof. Dr. Fuad hasan yang menyampaikan makalah Perpustakaan Sebagai Agen Pencerdasan Masyarakat . Bahwa kehadiran perpustakaan di berb agai wilayah adalah mutlak, dan sebagai harapan bahwa perpustakaan menyedi akan buku-buku yang bersifat ”do it your self” dengan tujuan akhir supaya pembaca memperbaiki kebiasaan kerja yang berang sur-angsur lebih efektif dan efisien. Paling tidak, adanya perpustakaan di berbagai

02[HIMMAH Edisi 03/Thn.XXXV/ MEI 2003] [PUSTAKA]
perpustakaan Daerah. Agen pencerdasan masyarakat yang kekurangan dana Iwan Nugroho / HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

wilayah, akan menghasilkan manfaat ganda, yaitu memungkinkan peningkatan income generating

h asan juga menceritakan pengala man-nya mengikuti Forum Vermont yang dihadiri kurang lebih 1.500 orang dari ber bagai bangsa yang dipimpin oleh Michael Gorbachev pada bulan September 1995 di San Fransisco, amerika Serikat. Dari berbagai fakta, pendapat dan argumentasi, forum tersebut menghasilkan keputusan bahwa masyarakat yang ada di masa yang akan datang, ditentukan klasifikasi dan penghidupannya oleh penguasaan ilmu dan teknologi. Perbandingan masyarakat dalam penguasaan teknologi saat ini 20 : 80. Suatu jumlah kesenjangan yang besar. 80 persen masyarakat dunia saat ini masih jauh tert inggal dalam penguasaan teknologi. Solusi dari semua itu hanya dapat diatasi dengan memberikan kesempatan secepatnya bagi masyarakat (yang 80 persen) untuk menge jar ketinggalannya. adapun keberadaan perpustakaan sebagai ujung tombak untuk mengejar ketertinggalan penguasaan te knologi harus dioptimalkan.

Untuk pemerataan kesempatan mem baca bagi masyarakat pada golongan kurang mampu diperlukan jasa pe rpus takaan, sebab perpustakaan mer u pakan salah satu lembaga yang paling mudah yang dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan anggota masyarakat tanpa mem bedakan umur, jenis kelamin, tingkat sosial, agama, tingkat pendidikan, ras atau bangsa yang selalu belajar. ”Makanya kita adalah merupakan public library –perpustakaan umum–melayani seluruh masyarakat yang ada tanpa me m bedakan umur. Baik itu

jenis kelaminnya, pendidikannya, kaya mis kinnya, agama apa, itu tidak kita bedakan. Semua kita layani,” ucap Wardi. Dengan kegiatan membaca, masyarakat pengguna dapat belajar dan memperluas wawasan nya, memperoleh berbagai informasi dan sekaligus menghibur diri.

Dalam persentase produsen informasi di dunia, Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara aSEaN. Indonesia berada di urutan 12 atau 0,012 persen. Perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi, sangat memerlukan saran dan masukan dari peng guna tentang penambahan koleksi, fasilitas pengguna, perilaku petugas dan pelayanan terutama di awal milenium ke-3 yang penuh tuntutan dan peluang untuk lebih meningkatkan diri.

harkrisyati Kamil, Information Man ager The British Council , menyatakan prihatin dengan kondisi perpustakaan Indo nesia. Terutama perpustakaan umum, yang tidak berkembang karena tidak dilibatkan dalam perencanaan anggaran oleh pemer intah serta kurangnya promosi.

h aryati, kepala bagian operasional menepis bila dikatakan perpustakaan kurang promosi. ”Kami berupaya untuk melakukan promosi lewat pameran dan berbagai perlombaan yang kami selenggara kan, ya tentunya kami juga memperbaiki fasilitas yang ada,” tuturnya membela.

ada usulan menambah koleksi buku baru untuk menarik masyarakat datang ke perpustakaan, dengan mewajibkan setiap penerbit buku menyumbangkan terbitan barunya kepada perpustakaan. Menanggapi ide yang cukup menarik untuk mendukung peranan perpustakaan tersebut, Wardi

menegaskan bahwa usulan itu sudah sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1990. Keputusan mengenai hal itu dituangkan dalam UU No. 4 tahun 1990. ”Setiap pener bit, entah itu perorangan ataupun lainnya, asalkan itu dijual atau digunakan untuk umum harus mengirimkan hasil terbitan nya. jika tidak, akibatnya akan terkena hukuman kurungan atau denda,” ungkap Kepala BPaD itu.

Peraturan itu tidak terbatas pada para penerbit buku saja. akan tetapi diberlaku kan untuk seluruh karya cetak maupun rekam. artinya, siapa yang punya pener bitan, perekaman yang ditujukan untuk umum harus menyerahkan satu kepada perpustakaan pusat. Kalau tidak, maka terk ena hukuman penjara selama tiga bulan.

Dalam praktek, Wardi mengakui bahwa peraturan tersebut belum juga efektif. Ironisnya, kebanyakan yang tidak mem pedulikan peraturan itu justru para penerbit negeri (non swasta). Biasanya penerbit swasta khawatir kalau Surat Izin Usaha Penerbitan dan izin dagangnya akan di cabut jika tidak taati peraturan. ”Nah ke lemahannya di situ. Tapi dari swasta pun juga masih ada. Kalau saya perkirakan 30 persen itu belum lapor. Nanti (mereka-red.) kena sanksi hukum itu,” papar Wardi yang pernah menjabat Kepala Perpustakaan Daerah di NTT dan jatim ini.

[PUSTAKA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Disinyalir ada korupsi di tubuh DPMU UII Jangan heran, itu sih biasa, hampir tiap periode terjadi

Pelaksanaan ONDI dan LKID UII tidak maksimal Udah biasa, yang maksimal hanya duitnya

UII sudah bisa key in lewat internet Tapi sayang, jalannya masih seperti kuda bin siput

Lima terpidana kasus pembunuhan dan narkotika dihukum mati Coba koruptor, siapa berani?

Irak diserbu AS karena memiliki senjata pemusnah massal... Indonesia harap hati hati karena juga memiliki senjata pemusnah massal, namanya: koruptor

Amerika dan sekutunya tidak mendengar seruan moral masyarakat dunia mengutuk perang Namanya juga penjahat, mana ada yang bermoral

Kota Baghdad telah diduduki militer Amerika Tenang aja, dalam hitungan tahun Abunawas akan membalas

Inul Daratista mengundang kontroversi gara gara goyang ngebor Jadikan saja menteri Pertambangan

Harga BBM, telepon, dan tarif dasar listrik serentak naik di awal tahun 2003 Yang nggak naik cuman harga diri kita

[ABU NAWAS]
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.