Majalah HIMMAH No. 01/Thn. XXXIV/2002 - Di Bawah Bendera Globalisasi

Page 1

PELINDUNG

Rektor Universitas Islam Indonesia

PEMIMPIN UMUM

Ahmad Im’an Syukri WAKIL PEMIMPIN UMUM

GM Anugerah Perkasa

SEKRETARIS UMUM

Rengga Damayanti

BENDAHARA UMUM Dwi Setyaningrum

PEMIMPIN REDAKSI Febry Arifmawan

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Wakid Qomarudin

SEKRETARIS REDAKSI Sheila Meidi Ariyanie

REDAKTUR PELAKSANA

RR Ilmia A Rahayu, Widiyanto, IB Ilham M REDAKTUR FOTO W. Dani Kusumo, Surya Adi Lesmana FOTOGRAFI

Ujang Priatna, Iwan Nugroho

RANCANG GRAFIS Aris Jatmiko, Nurfajri BN, Taufiek

PENELITIAN & PENGEMBANGAN Jati P, Radityo M, Tri Agung P, M. Syafi’i, Susila R, Aji S,

Huda E, Abdurrahman PUSAT INFORMASI &

Astuty Natalia AT, N Marleta R

Prasetya, Dian Dwi Kurniawati, Wawan W. Saputro, Dwisaptina

Diyan Melasari, Henny Sartika,

Wahyu W, Astutik

assalamu’alaikum

DANIEL Bell, sosiolog kelahiran Manhattan, AS yang terkenal lewat bukunya The End of Ideology pernah mengatakan bahwa budaya kontemporer telah lebih menjadi budaya visual ketimbang sekedar budaya cetak. Oleh karena itu ketika majalah ini sampai di tangan Anda, ada beberapa perubahan visual yang merupakan itikad kami dalam ”penyegaran” dan perbaikan majalah. Kami pun harus meminta maaf karena cukup lama HIMMAH tidak terbit. Namun akhirnya majalah ini sampai juga ke tangan pembaca. Setelah mengalami beberapa kali keterlambatan, ”penyakit rutin” pers mahasiswa yang selalu ingin mencoba profesional.

Majalah ini merupakan edisi perdana kepengurusan baru periode 2001/2002. Di awal periode ini telah banyak kegiatan yang dilakukan oleh HIMMAH. Dimulai pada pertengahan Juli, kami mengadakan kegiatan outbond bersama dengan seluruh LPMF di lingkungan UII. ”Untuk menjalin persaudaraan dan kekompakan sesama komunitas pers di UII,” tutur litbang yang memprakarsai acara ini. Acara sukses dan mendapat tanggapan antusias dari peserta.

Menutup tahun 2001, kami mengadakan serangkaian kegiatan berskala besar. Pertama, Workshop Polling Tingkat Nasional dengan mengambil tema ”Riset Sosial Menuju Penguatan Masyarakat Sipil”, merupakan kerja bareng kami dengan tim Litbang Kompas. Kegiatan yang diselenggarakan pada tanggal 5-7 November 2001 ini bersamaan dengan agenda acara bidang Perusahaan HIMMAH 24,1 yaitu Pesta Buku Nasional, bertempat di hall kampus pusat UII Jalan Cik di Tiro no.1 Yogyakarta. Dan dimeriahkan oleh Lomba Debat Antar SLTA se-DIY. Dua kegiatan yang cukup menguras energi ”anak-anak” HIMMAH. Kerja lembur, menahan kantuk, capek, bahkan sampai ada yang ngambek merupakan dinamika kegiatankegiatan HIMMAH sampai akhir tahun 2001 ini. Memasuki bulan suci Ramadhan, Pusat Informasi dan Data HIMMAH pun ikut menyemarakkannya dengan bedah buku. Acara yang digagas oleh ”anak-anak magang” ini membedah buku The Sufi Path of Knowledge karya Ibnu Al Araby.

Puncak dari serangkaian kegiatan kami selama setengah tahun adalah penerbitan edisi pertama ini dengan segala ”ribut-ribet” yang menyertainya. Kerja lembur non-stop dari ”anak-anak” Rancang Grafis, bahkan sampai ada yang rela tidak pulang kampung untuk mudik lebaran. Hasil kerja keras kolektif yang kemudian melahirkan majalah ini. Alhamdulillah. Selamat membaca.

wassalamu’alaikum

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [IFTITAH REDAKSI]
SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA PERS MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Periode 2001 - 2002 ................................
N.
DATA Ina Rachmawati, Asriani PI,
PERUSAHAAN Muhammad Ashraf J, M. Ali
DP,
Intan
ALAMAT REDAKSI Jl. Cik Di Tiro No.1 Yogyakarta 55223 Telp. (0274)542141 Pesawat 13 Faks. (0274) 563207 email : himmah_media@mailcity.com home page more.at/himmahonline Izin Terbit SK Menpen RI 1094/SK/Ditjen PPG/SIT/1987 ISSN 0216-4272 Percetakan NINDYA GRAFIKA Jl. Anggajaya I 180A, Condong Catur, Yogya karta ..........................
Workshop Polling Tingkat Nasional. Agenda HIMMAH di akhir tahun
Redaksi menerima tulisan dari luar berupa artikel atau opini, diketik dua spasi, maksimal 4 halaman kuarto. Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah esensi tulisan. Naskah yang dimuat akan diberikan imbalan sepantasnya.

ed I s I januar I 2002 I

01/Thn.

LaPoraN uTama [9]

dI BaWaH Bendera GLOBaLIsasI

Pasca ambruknya rezim otoriter, Indonesia masih terseok-seok dihantam krisis. Rakyat kecil semakin kesulitan, globalisasi menghancurkan basis ekonomi rakyat Indonesia. Ada satu kata yaitu lawan. Bukan hanya pada pemerintah, tapi pada kekuatan determinan global. Bagaimana detail kisah kesengsaraan rakyat dan perlawanannya ?

LaCaK [43]

aGresI MILITer dI LadanG VeTeran

Bisnis militer pasca reformasi satu per satu mulai terkuak. Perampasan kebun NV Sekecer Kendal Jawa Tengah adalah bukti kasus pelanggaran Kodam Diponegoro Semarang terhadap hak para veteran dan masyarakat setempat. Para pemilik syah itu hingga kini memperjuangkan haknya.

LaPoraN Khusus [69]

jaLan MenIKunG Para sanTrI

Kaum muda pesantren ternyata memiliki potensi kesadaran kultural terhadap rakyat. Namun pesantren kurang memahami potensi itu harus dikembangkan ke masyarakat. Bagaimana pen jabaran pergulatan santri dalam penguatan masyarakat sipil?

LAYANAN MASYARAKAT

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [DAFTAR ISI]
COVer : arIs jaTMIKO, [Gambar cover dari iklan Coca Cola] LaYOuT : BIdanG ranCanG GraFIs Mr. X dan ILusTrasI : Hendra WIraWan
ABU NAWAS [100] AGAMA ...................................................................... [031] ASSALAMMUALAIKUM ................................................ [003] BISMILLAH ................................................................ [004] BUDAYA [062] IFTITAH REDAKSI [001] DAFTAR ISI ................................................................ [002] DIALoG ..................................................................... [065] EKoNoMI .................................................................. [085] HUKUM [059] IKLAN
[064] INSANIA .................................................................... [090] INTERNASIoNAL ........................................................ [095] KoLoM ...................................................................... [030] KEMAHASISWAAN [006] . .
No.
xxxIv/2002

Pernyataan Sikap Calon Wisudawan ”jangan Peras Kami”

Enam belas calon wisudawan per-27 September 2001 mewakili puluhan rekanrekannya menyatakan keberatan atas ”pemerasan” yang mereka rasakan. Bahwa pengumuman rektor no. 1129/rek/20/ BAAK/VIII/2001 tentang pengumuman wisuda telah memaksa para mahasiswa yang sudah lulus pendadaran tanggal 1 September dan sesudahnya untuk membayar lagi angsuran kesatu. Padahal untuk tugas akhir dan ujian pendadaran, mahasiswa UII diwajibkan membayar di luar pembayaran angsuran. Mahasiswa yang lulus pun masih dikenai iuran uang wisuda, ijazah, transkip nilai, sumbangan perpustakaan dll.

Selain ditujukan pada Rektor UII, pernyataan sikap ini juga mengirimkan tembusan pada Pembantu Rektor II UII, lembaga kemahasiswaan di lingkungan UII, Pengurus Harian Badan Wakaf UII, Ketua Ikatan Alumni UII, seluruh mahasiswa UII, dan pers mahasiswa UII.

Pernyataan sikap yang ditandatangani oleh enam belas calon wisudawan di atas, menuntut adanya klarifikasi atas keputusan rektor sekaligus menghimbau agar tidak menjadikan mahasiswa UII sebagai satu-satunya sumber keuangan bagi keberlangsungan UII yang tercinta. Selain itu juga mengajak para aktivis lembaga kemahasiswaan untuk lebih peduli dan selalu mengkritisi segala kebijakan yang menyangkut kepentingan mahasiswa.

Nama dan alamat keenam belas Penandatangan serta transkip pernyataan sikap tersebut ada pada redaksi.

mahasiswa ke arah stagnasi pemikiran.

Inilah keprihatinan yang menimpa umumnya mahasiswa eksak di Indonesia, khususnya di UII. Sebagai mahasiswa Kimia FMIPA UII, saya merasa sangat bersedih ketika harus menyaksikan realitas ini. Untuk itu saya berharap pada maha siswa eksak untuk mulai merekonstruksi stigma dan pola pikir dalam merespon problematika umat yang terjadi di sekitar kita. Kedua, saya menuntut kepada para dosen-dosen yunior untuk tidak menjadikan kami mahasiswa eksak sebagai korban doktrin logika matematik yang Anda ajar kan, lantaran kelalaian Anda sebagai dosen pengampu mata kuliah. Disadari maupun ti dak, Anda turut bertanggung jawab dengan stagnasi intelektual mahasiswa eksak.

Feris Firdaus

Mahasiswa angk. ’99 Kimia FMIPA UII ’99.

Pers Kehilangan Taring

Pertama kali menginjak UII, ada ke banggaan tersendiri tentang universitas ini. Khususnya ketika saya dikenalkan dengan lembaga pers mahasiswa, baik di tingkat fakultas maupun universitas.

Permasalahan yang dihadapi oleh dunia pers saat ini sangat beragam, diantaranya:

1. Adanya kepentingan terselubung dari para ”big boss” atau kelompok tertentu yang sangat kuat.

2. Krisis kejujuran. Ini terlihat dari pemberitaan yang terkesan menutup-nutupi sebagian fakta.

3. Aktualitas berita, khususnya terdapat dalam pers yang berbentuk majalah terma suk HIMMAH.

Mahasiswa-mahasiswi Eksak Korban doktrin Logika Matematik

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mahasiswa eksak cuek bebek dengan problematika kehidupan umat. Mereka cenderung berpikiran saklek, pragmatis, dan ekslusif. Ini terjadi akibat doktrin eksak yang diberikan oleh ”dosen yunior” yang tidak memahami makna filosofis dari ilmu-ilmu eksak. Para dosen itu mengklaim bahwa ilmu eksak adalah logika matematis. Akibatnya, kebebasan berpikir mahasiswa eksak terpasung. Secara psikologis, logika matematis yang cenderung absolut dan pragmatis telah mengkonstruk pola berpikir

4. Kurang diminati pembaca. Mungkin inilah permasalahan terbesar saat ini.

Seharusnya teman-teman redaksi paham dengan apa yang harus segera dibenahi, apalagi HIMMAH mempunyai background yang mulia ”Forum Iman Ilmu Amal” dan merupakan wadah pers terbesar di UII.

Tuntutan agar HIMMAH menjadi pelo por rekonstruksi dunia pers yang indepen den, jujur, aktual, dan terpercaya sekaligus media yang menarik nan kritis. Saya kira juga menjadi harapan seluruh warga kam pus ”mahal dan megah” ini. Wassalamu’alaikum. wr. wb.

Nanang Faisol Hadi Mahasiswa angk. ’01 FIAI dan Santri PP UII.

Pendataan alumni MuHIBBaH/HIMMaH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Kami LPM HIMMAH UII saat ini sedang melakukan pendataan kembali para alumni MUHIBBAH/HIMMAH dari periode 1967 hingga 2001.

Rencana ke depan kami akan mengadakan reuni keluarga besar MUHIBBAH/ HIMMAH untuk keseluruhan periode. Untuk itu kami mengharapkan para pembaca yang kakak, adik, suami dan istri atau kerabatnya alumni MUHIBBAH/ HIMMAH dapat segera mengirimkan data pribadi dengan alamat terbaru.

Data dapat dikirim ke alamat LPM HIMMAH UII Jl. Cik Di Tiro no. 1 Yogyakarta 55223, fax. (0274) 563207 atau melalui alamat e-mail kami: himmah_ media @mailcity.com. Informasi lebih lanjut dapat Anda akses di web site kami: more.at/himmahonline

Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Pusat Informasi dan Data

LPM HIMMAH UII

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [ASSALAMU’ALAIKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Tafakur,Meretas Hari esok

SETIAP

bayi yang lahir di Indonesia telah menanggung utang sebesar Rp 4 juta. Data terkini dari International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) menyatakan bahwa jumlah utang yang harus ditanggung oleh setiap warga negara membengkak menjadi Rp 7,3 juta. Gali lubang tutup lubang. Begitulah keadaan negara kita yang mengandalkan pembangunan berdasarkan utang. Kondisi demikian diperparah dengan tumpukan korupsi di tubuh pemerintah yang mengkooptasi negara gemah ripah loh jinawi ini.

Kondisi dan situasi yang terpuruk ini menurunkan kredibilitas Indonesia di mata masyarakat dunia dengan julukan negara korup. Sudah begitu, dana utangan dari lembaga donatur dunia untuk pemulihan negara dari sakit kronis krisis justru mengalir begitu saja di atas tanah sarang koruptor. Bagaikan mengairi tanah kering yang tandus oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Data dari Political and Economic Risk Cosultantcy (PERC) akhir Maret 2001 lalu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup di Asia setelah Vietnam. Ali Yafie pernah menyatakan korupsi itu lebih dari sekadar mencuri. Selain mencuri uang rakyat, koruptor juga menipu. Dan perbuatan korupsi tergolong perbuatan amat keji, karena pencuri hanya mencuri barang milik pribadi, sedangkan koruptor mencuri milik rakyat.

Badan Pusat Statistik tahun 1999 lalu mengidentifikasi jumlah rakyat yang jatuh miskin sebanyak 25 juta penduduk. Tahun 2001 jumlah itu membengkak menjadi 38 juta penduduk Indonesia yang berada dalam jurang kemiskinan. Anehnya, kondisi demikian tidak disadari benar oleh rakyat Indonesia. Apa yang dialami oleh petani tebu adalah bukti nyata betapa rakyat tidak memahami mengapa nasib hidupnya tak kunjung berubah, untuk tidak mengatakan semakin buruk, meski sudah memeras keringat saban hari. Manusia yang terlahirkan di bumi pertiwi ini sebagai anak petani seakan harus puas diri dan siap menggantikan profesi turun temurun menjadi petani. Bagaimana tidak, akses pendidikan dan kesehatan mahal sehingga sangat terbatas bagi kaum petani yang jumlahnya justru paling banyak tapi paling lemah status sosialnya: ekonomi, politik, hukum, dan budaya.

Dalam kurun sejarah pembangunan di Indonesia, rakyat lemah itu bukannya diutamakan tapi malah dianaktirikan. Jika mekanisme pasar diterapkan, sudah barang tentu merekalah yang pertama tersingkirkan, karena mekanisme itu tidak bisa mengakomodasi orang kecil yang umumnya lemah, peran negara yang lebih mengutamakan kaum borjuasi dan korporasi internasional menambah kekalahan bangsa tercinta ini. Akhirnya, untuk kesekian kali rakyat terkalahkan dan terlemahkan oleh sistim yang tidak berkeadilan itu. Padahal, Muhammad utusan Allah (Rasulullah) sebagai pemimpin umat sangat memperhatikan orang kecil, orang lemah dan yang dilemahkan (mustadh’afin) Muhammad telah mengajarkan perilaku adil dalam masyarakat Arab. Menurut Asghar Ali Engineer, masa Nabi Muhammad merupakan masa ketika keadilan ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat arab. Sebagai seorang pemimpin, Muhammad bersikap

adil dalam menentukan kebijakan ekonominya, sehingga ekspolitasi dapat dicegah.

Proses pemiskinan juga bertentangan dengan konsep manusia sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Manusia yang diciptakan Allah dengan sebaik-baik ciptaan (ahsanul taqwim), ditugaskan untuk menjaga (tadbir), memelihara (ri’ayah) dan meman-f a atkan apa yang ada di bumi buat kesejahteraan dan kemakmuran makhluk Allah. Dalam menja-lankan misinya itu, manusia diberi petunjuk oleh sang Pencipta.

Pertama, Allah berfirman dalam QS Al Anfal : 165, ”Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi, dan Ia pula yang melebihkan sebagian kamu di atas yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu dengan yang diberikan kepadamu.” Ayat ini menegas-kan bahwa tujuan dijadikannya khalifah tidak lain untuk menguji manusia: akankah lalai mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya?

Kedua, QS Yunus : 14 menerangkan penciptaan khalifah untuk menguji bagaimana dan sejauhmana suatu bangsa berkarya. Dalam konteks ke-Indonesiaan, mampukah para pemimpin bangsa mengemban amanat suci Allah untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkan yang terhampar di bumi pertiwi untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga negaranya? Bukan sebaliknya, mengeruk kekayaan negara dan uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja.

Ketiga, untuk menegakkan supremasi hukum kepada manusia dengan adil dan membasmi hawa nafsu yang hanya menyesatkan manusia dari jalan Allah. QS Shaad : 26 mengindikasikan bahwa suatu negara tidak akan bisa keluar dari krisis jika hukum tidak berdaya membasmi tikus-tikus uang rakyat, jika meja hijau tidak bersih dari mafia peradilan, dan jika hukum memihak orang yang berduit.

Keempat, demokrasi menuntut adanya tanggung jawab sebagaimana firman Allah dalam QS 35:39, ”Barang siapa yang kufur, akibatnya ditanggung sendiri.” Dalam idealita kepemimpinan Islam, sang imam jika hilang wudhunya harus secara legowo mengundurkan diri untuk digantikan dengan orang lain di belakangnya. Begitu pula dengan presiden, gubernur, bupati, camat, kepala desa, dirut perusahaan, dan siapapun yang menjadi pemimpin hendaknya memberi contoh tanggung jawab yang baik.

Kelima, kekayaan sumberdaya alam baik nabati maupun hayati harus disyukuri QS Al A’raf 69. Seorang khalifah harus memelopori dalam mensyukuri karunia Allah yang tak terkira itu dengan mengalokasikan sumber daya pada tempatnya. Hingga akhirnya kemenangan berupa kesejahteraan dan kemakmuran serta ketentraman rakyat tercapai (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Badai krisis senantiasa menyengsarakan masyarakat kecil yang serba kesulitan, jika demokrasi tidak diletakkan dalam kehidupan politik dan sosial-ekonomi yang berkeadilan.

Akhirnya, mari kita menengadahkan tangan, memohon ampun atas dosa-dosa bangsa ini. Untuk itu, sebelum terlambat mari mengaca diri, berinstropeksi, saling mengingatkan, dan berjibaku

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
. . . . . . . . . . . . .
”Seorang mukmin tidak boleh terjerembab ke dalam lubang kesalahan untuk kedua kalinya” (al Hadits)

Bahaya Imajinasi Pesantren Menjadi Modern

Hairus salim Hs 

TUGAS

pesantren yang utama adalah sebagai wadah pendidikan, terutama di bidang keagamaan, bagi kaum muda untuk kehadirannya kelak di masyarakat. Mungkin karena misi utama inilah, maka dalam sejarah awalnya, pesantren didirikan di kawasan yang jauh di pelosok desa. Ia dengan sengaja menjaga jarak dari hingar-bingar politik dan ekonomi kota. Dalam berbagai cerita lama kita ketahui bahwa perjalanan seorang muda ke pesantren yang jauh ini sendiri digam-barkan se bagai suatu perjalanan yang penuh dengan goda dan marabahaya, yang menentukan apakah ia kelak layak menjadi ”pemimpin” di dalam masyarakatnya. rnya. Kesederhanaan, keikhlasan, ketabahan, kerendah-hatian, kemandirian, kemampuan menahan diri, ketekunan ”mencari”, dan berbagai karakter ”sang guru” dan ”pendekar” sejati lainnya men jadi penekanannya yang utama. Pandangan dan karakter hidup sub-kultur ini kadang sekedar per bedaan belaka dengan pandangan dan karakter umum masyarakat sekitar, tetapi tak jarang juga perbedaan ini bersifat pertentangan. Dalam konteks pertentangan ini, pandangan dan karakter hidup sub-kultur pesantren merupakan suatu kritik dan alternatif terhadap kehidupan umum yang dianggap telah tercemar dengan berbagai pamrih duniawinya.

Sekali lagi, tugas pesantren yang utama adalah sebagai lem baga pendidikan agama. Jika pun ada fungsi dan tugas lainnya, ia hanyalah tambahan dan pelengkap, yang sama sekali tidak boleh menggeser dan mengalihkan perhatian dari tugas hakikinya itu. Menjadi pertanyaan apakah tugas utama pesantren ”mendidik calon ulama dan pemimpin” sekarang ini masih tetap yang utama? Pertanyaan ini penting, karena kian hari kian banyak orang yang mengima-jinasikan peran dan fungsi berlebih pesantren, yang melampaui wewenang dan kuasa pesantren, serta akhirnya men gaburkan tugas dan misi utama pesantren. Salah satunya adalah imajinasi ”modern” yang menghinggapi dunia pesantren dalam tiga dekade terakhir ini.

Salah satu resultan dari pengasingan hidup dunia pesantren adalah tampilnya ”gaya hidup” yang unik dan asing. Tetapi belakangan, keunikan dan keasingan ini sering dilecehkan sebagai sikap yang ”kampungan” (celakanya hal ini justru dianggap betul

oleh sebagian besar warga pesantren). Karena itu muncul kebutuhan untuk ”memodernkan” warga pesan-tren. Di sini berbagai aspek yang berkaitan dengan pandangan dan gaya hidup pesantren dipermak untuk menjadi ”modern.” Sudah barang tentu ada manfaat yang bisa dipetik dari keinginan memodernkan dunia pesantren ini, tetapi seperti kita saksikan, ”modernitas” yang ditawarkan lebih banyak bersifat instrumental. Ke adaan ini diperparah oleh pengaruh deras glo-balisasikapitalisme, termasuk ke dalam kehidupan pesantren. Sekarang ini para santri akrab dengan celana jeans, lipstik, fashion model terbaru, dan musik-musik pop paling anyar. Pesantren, mungkin tak lagi sebuah sub-kultur, yang menawarkan alternatif kehidupan.

Ia kini telah juga berada dalam arus utama kehidupan dunia yang terkapitalisasi.

Imajinasi ”modern” lain yang menular ke pesantren adalah ”virus” pembangunan (modernisasi). Misi pesantren yang ”hanya” memberikan pendidikan agama, dianggap tidak cukup memadai, tidak produktif, dan tidak riil. Karena itu, berbondong-bondong orang menawarkan per lunya juga pesantren memberikan pendidikan yang bersifat teknis-teknokratis dalam bidang pertukangan, peternakan, pengairan, pertanian, konseling, dan sebagainya, yang pada intinya mendukung program modernisasi. Pesantren pun dipujapuji mempu-nyai peran dalam modernisasi. Tetapi, kita tahu, upaya ini tidak memberi manfaat yang mendasar. Pertama, karena hal-hal teknis itu telah banyak memalingkan fungsi dan tugas utama pesantren: memberi pendidikan agama. Kedua, karena masalah kemanusiaan di dunia ketiga bukan teru tama terletak pada lemahnya kemampuan-kemampuan teknis, tetapi pada tidak adanya distribusi ekonomi dan politik yang adil.

Dua hal ini, saya kira, yang kini membuat pesantren seperti kehilangan jati dirinya. Mungkin hal ini perlu kita pikirkan bersama-sama.

Penulis adalah Direktur Lembaga Ka jian Islam Transformatif (LKIS) Yogyakarta

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [KOMENTAR]

Student Today, Leader Tomorrow!

Sistem pemerintahan mahasiswa ( student government ) sebagai sumber inspirasi mahasiswa dalam mengusung idealismenya digugat. Hal itu terjadi justru pada era reformasi.

IBARAT lilin, mahasiswa sebagai kaum terpelajar harusnya menerangi gelapnya masa depan bangsa Indonesia. Tapi jangan sampai filosofi ”terbakarnya lilin” terjadi pada pemerintahan mahasiswa. ”Maha siswa sekarang merupakan calon pemimpin esok, bukan student today corupt tomor row,” ungkap DahlanThaib mantan Ketua Dewan Mahasiswa UII 1978-1980, yang kini menjabat sebagai Direktur Magister Hukum UII.

Berbicara mengenai sistem peme rintahan mahasiswa di masa lalu, memang tak dapat dipisahkan dari intervensi pemer intah yang cukup kuat. Terbukti dengan adanya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan K o ordinasi Kampus (BKK) yang langsung diketuai oleh Pem bantu Rektor III. Intervensi itu melarang mahasiswa berpolitik, karena tugas maha siswa m e nuntut ilmu, mahasiswa tidak boleh berdemo, dengan kilah tidak etis.

Meskipun kondisi yang memprihatin kan ini dialami, namun masa berlakunya ti daklah cukup lama. Mahasiswa-mahasiswi kritis yang tergabung dalam pergerakan segera menyingsingkan lengan bajunya, turun ke jalan meneriakkan kata-kata ”ke benaran”. Di lingkungan UII sendiri pada saat itu kehidupan demokrasi memung kinkan untuk tumbuh dan be r ke m bang dengan sehat, karena badan eksekutif dan badan koordinasi masih dikuasai oleh ma hasiswa dengan dibentuknya Koordinator Unit Aktivita (KUA) yang bertugas me ngelola semua kegiatan mahasiswa dalam hal: student needs, student interest dan student welfare.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, sistem student government ber angsur-angsur kehilangan ruhnya. Ia tak lagi dijadikan sumber inspirasi bagi ma hasiswa dalam menggalang idealismenya, melainkan sudah dijadikan alat penyalur kepentingan personel di dalamnya. Ironis nya lagi ketika mahasiswa bergabung

dalam komunitas tersebut, ia mencari apa yang akan ia dapatkan dari tempat itu, bu kan berpikir tentang apa yang seharusnya ia berikan.

Pemerintahan Mahasiswa

Pemerintahan mahasiswa ibarat sebuah negara yang memiliki badan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif sebagai tim pengawas. Yang mana keberadaan mer eka didukung oleh partai-partai pemenang pemilu mahasiswa. Sementara kelompok yang kalah dalam pemilu akan memben tuk jaringan-jaringan oposisi. Biasanya pe r soalan mulai muncul di sini, yakni ketika kedua kelompok ini mulai saling berbenturan dalam hal kebijakan maupun pemikiran sampai kepada masalah yang lebih prinsipil, misalnya ideologi.

Realitas ini diakui oleh Bambang, ak tivis Keluarga Mahasiswa UGM. ”Bahwa KM sering dinilai tidak aspiratif dan ob jektif lagi oleh sebagian mahasiswanya.” Faktanya tidaklah dapat dipungkiri bahwa memang telah terjadi kesalahan dalam tu buh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UGM. Hal ini terjadi lantaran DPM yang bergerak sebagai badan yudikatif belum juga memiliki AD/ART yang jelas.

Lain halnya dengan UGM, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) lebih memandang bahwa DPM mereka telah mengalami kemandulan sistem, seperti dalam mekanisme kerja, regenerasi pengurus baru dan pertanggung jawaban pengurus yang lama. Sayangnya pihak rektoriat tidak bisa berbuat banyak menan g gapi hal itu, meskipun mereka tahu. Karena memang student government menolak adanya intervensi, sekalipun dari pihak rektoriat.

Sementara itu DPM UII yang kini menghadapi krisis legitimasi dari (kons tituen- red.) mahasiswanya, belum juga mampu keluar dari kungkungan sebagai ekses dari kasus korupsi warisan kepe ngurusan periode sebelumnya dan sidang

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [KEMAHASISWAAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . TAUFIEK

istimewa pada permulaan kep engurusan periode ini. Sehingga kontribusi berarti bagi dunia kemahasi s waan masih jauh dari harapan.

Romantisme Kejayaan DPM UII

”Mestinya sekarang kalian itu lebih bersyukur dengan kondisi negara kita yang lebih demokratis, karena dengan begitu memungkinkan kalian untuk memunculkan student government yang benar-benar inde penden dari pengaruh pemerintah,” papar SF Marbun, mantan ketua Umum Dewan Mahasiswa UII tahun 1976-1978 kepada HIMMAH . Beliau juga m e na m bahkan bahwa dulu banyak sekali tantangan yang berasal dari pemerintah serta kelompok-ke lompok kepentingan. Sehingga terkadang, gerakan-gerakan mahasiswa itu tidak murni lagi karena merupakan perpanjangan tangan dari kelompok kekuasaan tertentu.

Meskipun demikian dewan mahasiswa dulu sangatlah solid dan penuh idealisme. ”Jadi jika kini ada mahasiswa yang tidak memiliki idealisme, ibaratnya seperti ayam yang dipotong kepalanya, ia akan bergerak ke segala arah dengan tanpa adanya tujuan yang jelas,” tuturnya menjelaskan. Ideal isme banyak diartikan sebagai perwujudan rasa bertanggung jawab, rasa memiliki dan kejujuran yang selalu dijadikan kontrol moral dalam bertindak. Hal inilah yang nanti akan mendewasakan idealisme ke dalam bentuk profesionalitas.

Sementara itu menurut Darwis, mantan Sekretaris KUA tahun 1978-1980, ”Kami dulu ketika jadi mahasiswa tidak pernah pu nya keinginan untuk mengkorupsi, karena kami sadar bahwa setiap rupiah yang ada merupakan uang seluruh mahasiswa UII saat itu. Bahkan kami juga merasa takut karena hampir tiga bulan sekali (rutin)

dan diakhir periode kami harus memper tanggung jawabkan segala tindakan kami di depan sidang MPM (Majelis Permusya waratan Mahasiswa) yang diikuti oleh seluruh Keluarga Mahasiswa UII.” Dengan mekanisme pertanggungjawaban demikian, dapat dibayangkan betapa berat beban moral yang harus dipikul oleh mahasiswa di tengah kondisi negara yang sedang chaos

Namun meski demikian ketatnya penga turan jumlah pengeluaran dana, lembaga mahasiswa tidak pernah kehilangan etos kerjanya dalam berorganisasi.”Dulu kami sempat mengadakan Kongres Dewan Mahasiswa se-Indonesia,” kenang Erzin Josep mantan Sekretaris Umum LPM Muhibbah.

Mahasiswa UII jaman dulu lebih maju dibandingkan dengan mahasiswa jaman sekarang. Dulu mahasiswa memiliki Radio Unisi yang sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh mahasiswa UII. ”Belakangan kami dengar sahamnya menjadi milik pribadi. Harusnya mahasiswa lewat lembaga ke mahasiswaan memperjuangkan itu agar tetap menjadi milik mahasiswa. Kami masih memiliki bukti sejarah dan saksisaksinya. Bahkan jika perlu, LPJ saya yang dulu akan saya berikan,” ungkap Marbun, Dosen FH UII.

Prospek Student Government

Nampaknya aktivis lembaga kemaha siswaan di lingkungan UII belum mema hami benar hikmah pengalaman sebagai guru paling bijak. Experience is the best teacher. Sejarah emas yang ditorehkan para pendahulu memang terkadang justru mem buat kita terpesona hingga lupa daratan. Kondisi idealnya adalah masa lalu menjadi pijakan dalam meretas masa depan. Mahasiswa seharusnya diberikan kebe

basan dalam beraktivitas mengembangkan imajinasinya dan menularkan ilmunya ke masyarakat. Mahasiswa janganlah dijadikan sebagai sosok menara gading yang hanya dapat dilihat keindahannya dari atas, tanpa pernah berkehendak me rendahkan dirinya ke bawah. Mahasiswa diperkenankan untuk berpolitik, hanya saja politik yang diharapkan adalah politi cal science, bukan political practic seperti partai politik. Dalam berpolitik mahasiswa diharapkan juga dapat memberikan transfer ilmu yang ia peroleh dari kampus.

Di samping itu peranan dosen juga tak kalah pentingnya. Tugas dosen bukan sekedar mentransfer ilmunya, melainkan juga harus mampu menularkan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan bekal bagi mahasiswanya kelak. Namun alangkah sayangnya jika dosen sebagai pendidik tidak mampu melaksanakan kedua misinya itu dengan sempurna.

Menurut Dahlan,”Seseorang yang telah dididik menjadi mahasiswa UII harus memiliki empat hal penting; yakni input: yaitu ketika calon mahasiswa masuk ke UII. Kemudian proses. Proses selama maha siswa menuntut ilmu, dan outputnya yakni ketika ia dapat diterima masyarakat dengan baik. Dan terakhir adalah feedback, yakni dapat memberikan sumbangsih terhadap nama besar UII.”

Satu hal yang tak kalah pentingnya dijadikan pelajaran berharga bagi para mahasiswa adalah, ”Jangan pernah sesekali terjebak pada rutinitas, karena penyakit yang paling menyakitkan adalah kehilan gan daya kreativitas akibat kemacetan berpikir yang stagnan.”

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [KEMAHASISWAAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [MR. X]

di Bawah Bendera Globalisasi

hadapi banyak yang tidak sadar adalah kolonialisme modern. Tak salah rasanya jika Revrisond Baswir dalam salah satu diskusi yang diadakan oleh HIMMAH mengatakan,”Indonesia belum merdeka sampai saat ini.”

Ironis memang, Indonesia dengan segala kebesaran potensi sumber daya alam dan manusianya masih saja tak mampu lepas dari belenggu dominasi kekuatan di luar dirinya. Ihwalnya jelas, deretan pemimpin bangsa itu masih membangun ekonominya bersandar pada utang luar negeri, liberalisasi investasi, pencabutan subsidi, dan pasar bebas. Kalaupun itu memang sebuah keniscayaan dari sebuah perputaran sejarah dunia yang bergerak maju, namun itu juga yang kemudian melahirkan beragam persoalan dan kontradiksi bagi kelangsungan nasib rakyatnya.

INDONESIA

yang pernah dibayangkan oleh Soekarno dulu agaknya berbeda dengan Indonesia sekarang. Soekarno menulis dalam Suluh Indonesia pada tahun 1932, ”Dan imperialisme yang ada di Indonesia itu, sebagai yang telah sering sekali saya terangkan dimana-mana, kini sudahlah menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepalanya. Bukan modal Belanda saja yang kini berpesta di kalangan Rakyat Indonesia dan berdansa di atas bumi Indonesia.” The Founding father ini juga menyebutkan bahwa yang memeras kekayaan bangsa Indonesia bukan hanya modal Belanda.”Suatu imperialisme internasional yang bermilyarmilyar rupiah jumlah dan tenaganya.” Alam pikir Soekarno mengenai imperialisme modern agaknya sampai sekarang pun masih berlaku. Membanjirnya modal perusahaan-perusahaan multinasional, pinjaman-pinjaman dan ”bantuan ekonomi” yang dihimpun oleh konsorsium negara-negara kapitalis merupakan suatu bentuk super modern imperialisme melalui surplus kapital negara-negara kapitalis industri.

Memang susah terlahir sebagai rakyat Indonesia. Sejarah mencatat berlembar-lembar kemalangan yang silih berganti singgah di atas pangkuan bangsa ini. Sejak awal abad ke-17 Indonesia sudah menjadi objek eksploitasi bangsa lain, ketika Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai berdagang di Indonesia. Disusul kemudian dengan mulainya era kolonialisme Belanda. Selama 350 tahun bangsa ini terkungkung dalam penjajahan bangsa asing. Disusul Jepang, walau menjajah hanya seumur jagung, tetap saja menorehkan sejarah kesengsaraan bagi bangsa ini. Akhirnya, 17 Agustus 1945, milestone penting yang menempatkan Indonesia secara de jure merdeka bebas dari belenggu bangsa asing. Namun merdeka dalam arti sebenarnya terlihat masih jauh dari pelupuk mata. Karena penjajahan yang tak disadari kini telah terjadi. Jika dulu yang kita hadapi adalah kolonialisme primitif Belanda, namun yang sekarang kita

Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Segala implikasi yang mengikutinya, mau tak mau tidak bisa ditolak. Tak bisa dipungkiri ideologi dominan dalam lingkungan global sekarang ini adalah kapitalisme. Kapitalisme kini berwajah modern dan berubah bentuk menjadi neo-liberalisme.Indikasinya jelas, jargon utama yang didengungkan pelaku global (negara, sekelompok negara, lembaga-lembaga internasional, maupun swasta global) adalah liberalisasi pasar dunia, yang merupakan ide utama kapitalisme/liberalisme. Akhirnya seperti yang pernah diucapkan Soekarno, imperialisme gaya baru lewat isu neoliberalisme itulah yang kini kian mencemaskan masa depan negara-negara dunia ketiga.

Untuk itu HIMMAH mencoba mengungkap secara menyeluruh lewat laporan utama yang berjudul Di Bawah Bendera Globalisasi, dimulai dengan pengantar aktual apa saja yang terjadi kini dalam tata dunia baru kita dalam Globalisasi Berbuah Simalakama. Diikuti dengan pemetaan salah satu implikasi buruk neo-liberalisme bagi entitas masyarakat paling bawah Indonesia; yaitu petani lewat tulisan Petani dalam Lingkaran Neo-Liberalisme. Sebagai pijakan akar realitas yang memarginalkan rakyat, maka kami sajikan paparan korban kebijakan pemerintah yang menuruti hasrat IMF demi sebuah pemulihan ekonomi yang ternyata masih terbantahkan dengan nasib jutaan petani tebu Indonesia, khususnya di pulau Jawa dalam laporan Manis Tebu Tak Semanis Nasib Petaninya. Serta dilengkapi dengan nasib pabrik-pabrik gula dalam laporan Dan Pabrik Gula Pun Bertumbangan. Untuk menghindari tendensi dan subjektifitas, kami sajikan galeri wawancara untuk melihat secara nyata apa yang kini terjadi dalam masyarakat.

Bagaimanapun juga tulisan ini sekedar ikhtiar untuk memberi sinyal kewaspadaan terhadap ancaman yang kian dekat dengan urat nadi kehidupan kita tersebut. Karena memang bendera bangsa-bangsa seluruh dunia seakan tak ada lagi, seperti halnya batas-batas antar negara yang semakin kabur. Hingga kita bisa mengatakan bahwa yang menaungi kita saat ini hanyalah satu bendera. Di bawah bendera globalisasi.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . Sheila /

Globalisasi Berbuah simalakama

Dalam sebuah sandiwara dibalik layar sekalipun, negara ketiga tetaplah menjadi wayang. Diam, dikontrol dan tidak bisa melawan.

PETANI tebu di desa Panggungrejo, Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa tahun silam belum memahami mengapa penghasilan mereka dari berkebun tebu masih terus merugi. Umumnya petani itu beranggapan bahwa harga gula adalah takdir Tuhan. ”Biaya pupuk sekian, mengairi tebu sekian, harga bibit sekian, tebu akan berbobot sekian. Maka dapat duit sejumlah sekian,” tutur Ihsan, salah seorang petani tebu desa Panggungrejo kepada HIMMAH. ”Tapi harga kem u dian tidak diperhitungkan. Kebanyakan bobot melampaui target, tapi harga jatuh. Kenapa? Harga tidak diper hitungkan karena harga adalah takdir,” tambahnya.

Belakangan petani tebu akhirnya sadar bahwa harga gula di negeri Indonesia-nya yang tercinta ini jatuh karena kebijakan pemerintah yang kurang bersahabat dengan kelangsungan mata pencaharian mereka. ”Mereka kemudian tahu yang menjatuhkan harga gula ini bukan Tuhan, namun karena importir-importir,” lanjut Ihsan.

Importir gula mengeruk keuntungan dalam bilangan angka yang sangat besar. Karena kebijakan pemerintah menetapkan bea masuk impor gula diturunkan sampai 25 persen. Bahkan pada awal krisis, perten gahan 1998, bea masuk gula impor dicabut sampai dengan nol persen. Akibatnya bisa ditebak, gula impor membanjiri pasaran dalam negeri. Harga gula jatuh bebas. Apa sebenarnya yang mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang meru gikan rakyatnya sendiri tersebut?

Jika dirunut dari awal, sejak Indonesia tertimpa krisis, medio 1998 silam adalah awal dari keterpaksaan pemerintah dalam m e nga m bil kebijakan-kebijakan yang kurang populis di mata rakyatnya. Sejak penandatanganan Letter of Intent (LoI) ber sama Dana Moneter Internasional (IMF), beragam item persyaratan harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemerintah. Seb agai imbalannya kucuran pinjaman utang pun mengalir ke kas negara yang nyaris bangkrut.

Salah satu point nota kesepakatan (LoI) yang berimbas besar pada para petani tebu adalah pencabutan perlindungan harga komoditas pertanian. Seperti beras, gula, kedelai, dan lain-lain. Terlihat bahwa ke bijakan-kebijakan yang disyaratkan oleh

IMF merupakan pintu gerbang dalam pelaksanaan aturan-aturan World Trade Organization (WTO).

Jika dipulangkan kembali kepada peme rintah Indonesia untuk merunut persoalan tersebut, terlihat bahwa ada kesamaan dalam beberapa era dengan penguasa yang berlainan di Indonesia. Dalam membangun kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Megawati, Abdurrahman Wahid, bahkan di era BJ Habibie dan Soeharto, para penguasa ini dinilai mengembik pada IMF. Dengan kata lain, masih membangun perekonomian negara bersandar pada utang luar negeri, liberalisasi investasi, pencabutan subsidi, dan pasar bebas. Akibatnya bisa dilihat, pemerintah seakan tak kuasa menolak intervensi lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank (Bank Dunia). Pada hal sudah menjadi rahasia umum, jika di belakangnya ada kepentingan kaum neoliberalis maupun kepentingan perusahaanperusahaan raksasa negara-negara barat (Multi National Corporation/MNC).

”Harga yang harus dibayar, menurut saya terlampau besar. Waktu itu pertumbu han ekonomi tinggi, dan kemakmuran yang lebih baik. Tapi harga yang harus dibayar adalah kebebasan kita,” kata Rizal Malik, Direktur Oxfam, sebuah LSM yang banyak

mencermati masalah globalisasi. Artinya negara-negara dunia ketiga tak bisa lepas dari hegemoni kekuasaan imperialisme asing. Dalam tata ekonomi dunia yang terbentuk sampai saat ini, masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam hubungan antara negara-negara maju dan negara-neg ara berkembang atau miskin. Upaya uluran tangan dari negara maju pada satu sisi disambut baik oleh negara miskin, namun di sisi yang lain telah mengarahkan negara yang dibantunya pada posisi sulit.

Institusi finansial terpenting yang dipe runtukkan bagi masyarakat internasional adalah Bank Dunia dan IMF. Keduanya didirikan pada saat Konferensi Keuangan Internasional PBB yang diselenggarakan pada tahun 1944 di Bretton Woods, sebuah kota peristirahatan di New Hampshire, AS.

Didukung oleh tata ekonomi interna sional pasca Perang Dunia II. Bank Dunia dan IMF telah menjadi institusi masyarakat terpenting yang mempengaruhi perkemba ngan ekonomi global. IMF mempriori taskan pemberian pinjaman pada negaranegara dalam jangka waktu pendek untuk menyeimbangkan neraca defisit pembaya ran. Dan sebagai gantinya, seperti yang dikatakan Bruce Rich dalam bukunya yang

10[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
multi National Company. Bisnisnya menggurita di negara dunia ketiga.
Sheila / . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

berjudul Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development, IMF meminta kebijakan ekonomi makro yang sangat kaku, yang diukur berdasarkan kebijakan negara pengutang, agar memotong pen geluaran anggaran belanja internal dan meningkatkan ekspornya.

Sejak tahun 1980-an, IMF mengambil peran penting dalam pengaturan dan pem buatan ulang jadwal utang internasional antara negara-negara berkembang dan bank-bank swasta internasional.

juga harus menekan negara-negara yang berutang itu agar senantiasa mengurangi anggaran belanja domestik dan meningkat kan ekspornya. Dampak dari kebijakan tersebut adalah, orang-orang miskin di banyak negara menjadi semakin merana: gajinya turun, serta pelayanan pemerintah terhadap persoalan kesehatan dan pendidi kan sangat menyedihkan. Di negara-negara seperti Filipina dan Brasil, orang-orang miskin terpaksa menjelma menjadi pasukan penjarah dan perusak hutan yang dengan menyedihkan mengais-ais tanah hutan

memiliki pusat dan pinggir. Pusatnya adalah pemilik modal, pinggirnya adalah pengguna modal. Aturan mainnya diran cang sesuai dengan kepentingan pusat. Oleh kampiun pialang valas ini dikatakan bahwa pusatnya adalah New York dan London karena merupakan tempat pasar uang internasional, atau di Washington, Frankfurt, dan Tokyo sebagai tempat untuk menentukan pasokan uang dunia.

Paduan antara kekuatan modal dan industrialisasi yang demikian besar me mungkinkan negara maju terus menumpuk kapital. Ditunjang oleh pengembangan teknologi tinggi menyebabkan industri di negara-negara maju terutama Amerika Serikat mengalami over produksi atau over supply. Pasar di dalam negeri mereka semakin jenuh dalam menampung produk sinya sendiri, baik hasil industri maupun komoditas pertanian. Satu-satunya jalan adalah melempar produk itu ke pasaran negara-negara berkembang.

Lokal versus Global Persaingan yang tidak seimbang

Bank Dunia memberikan pinjaman sekitar US$ 24 miliar per tahun pada lebih dari seratus negara-negara berkembang untuk mendukung program dan proyek pembangunan ekonomi yang kesemuanya itu membutuhkan lebih dari US$ 70 miliar per tahun. Pertemuan tahunan dua institusi keuangan raksasa (IMF dan Bank Dunia) dipastikan selalu menarik perhatian elite keuangan di seluruh dunia. Seperti pada tahun 1993 pertemuan seperti itu dihadiri para menteri keuangan dan presiden bank sentral dari 176 negara yang menjadi anggota Bank Dunia dan IMF, ditambah perwakilan dari bank swasta komersial terkemuka dan dari investment bank firm.

Tema utama yang menjadi bahan pemiki ran dalam pertemuan tahunan di tahun 1980-an adalah krisis utang di negara dunia ketiga. Tanggapan yang diberikan negaranegara industri yang dipimpin Amerika Serikat adalah bahwa Bank Dunia dan IMF hendaknya meminjamkan uang lebih banyak lagi pada negara-negara pengutang terbesar, seperti Brazil dan Mexico. Mereka

untuk sekedar bertahan hidup.

Tujuan utama negara-negara kreditor adalah menghindari pengampunan utangutang besar, yaitu dengan cara menekan negara-negara miskin agar menyetor devisa nya demi melayani utang-utang itu. Semua kejadian tersebut menciptakan dampak sosial yang pelik, termasuk di Indonesia.

Sistem tata ekonomi dunia yang kini di dominasi oleh kapitalisme global semakin memperlihatkan sisi-sisi gelap yang ditim bulkannya sendiri. Sebagaimana pendapat Frederich Engels 150 tahun silam, sistem kapitalisme global mengubah tanah, buruh, dan modal menjadi komoditas. Ketika sistem itu berekspansi, fungsi ekonomi mendominasi kehidupan manusia dimana pun berada. Ia merasuk ke dalam wilayah yang sebelumnya dipandang bukan wilayah ekonomi, seperti kebudayaan, politik, dan berbagai profesi termasuk petani.

George Soros dalam bukunya The Crisis of Global Capitalism (Open Society Endangered), menuliskan bahwa kapitalis me global kendati bersifat nonter itorial

Ancaman lain dari liberalisasi ekonomi dalam frame kapitalisme global ini adalah semakin establish- nya Multi National Corporation (MNC), yang kian kuat me nancapkan kuku-kuku bisnisnya di negaranegara berkembang di luar negara induk tempatnya berasal. MNC kini memang telah menjadi simbol kekuasaan bangsa maju dan negara industri. Semenjak akhir abad lalu, pergerakannya menjadi kian leluasa, menyusul berbagai macam de regulasi investasi di negara-negara dunia ketiga yang terjebak lilitan utang seperti halnya Indonesia. Sekitar 100 MNC men guasai 60 persen pasar dunia. Memang tak bisa disalahkan semuanya kepada liberalisasi perdagangan, karena ekonomi negara-negara berkembang terkadang me mang belum memiliki pra-kondisi yang memadai untuk membuka ekonominya, tetapi dipaksa untuk bertindak demikian, sehingga peningkatan kemiskinan justru kian menjadi-jadi.

Untuk melempangkan jalan pemasaran itu, para pemilik modal yang ikut menjadi donor bagi lembaga-lembaga finansial internasional seperti Bank Dunia dan IMF, dengan cerdik menetapkan aturan-aturan yang menguntungkan mereka. Seperti peraturan liberalisasi perdagangan yang terangkum dalam regulasi WTO.

WTO sendiri dibentuk pada tanggal 14 April 1994 usai pertemuan kelanjutan Putaran Uruguay di Marrakesh, Maroko. Pertemuan itu menghasilkan deklarasi yang memuat prinsip-prinsip WTO, yang pada intinya batas-batas negara dalam arti eko nomi tidak ada lagi. Barang dan jasa dapat bebas ke luar masuk antar negara. Ditun jang dengan kemajuan teknologi informasi

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 11 [LAPORAN UTAMA]
Indra / h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

dan komunikasi, dunia seolah tanpa batas. Inilah yang kemudian disebut sebagai era kesejagatan atau globalisasi.

Dengan adanya liberalisme akan me ngurangi hambatan aliran perdagangan dan modal sehingga memungkinkan terjadinya ekspansi cepat dalam interaksi ekonomi in ternasional antar negara. Dan menciptakan hubungan interdependensi antar negara maju dan dependensi (k e tergant u ngan) antara negara maju dan negara berkem bang. Indonesia selama ini juga sedang mengalami situasi ketergantungan.

Dependensi muncul jika ekonomi nasional sebuah negara (negara berkem bang) mempunyai ketergantungan yang tinggi dan dipengaruhi oleh pelaku atau peristiwa yang terjadi di negara lain (negara maju). Tetapi sebaliknya, dalam hubungan ini pihak negara maju tidak mempunyai ketergantungan apapun dan tidak dipe ngaruhi oleh pelaku atau peristiwa di neg ara berkembang tersebut. Jadi dependensi adalah hubungan asimetrik.

Dalam artian politik, negara yang de penden tunduk kepada manajemen negara, tempatnya bergantung. Hal inilah yang sering dikeluhkan oleh negara berkembang sebagai tidak adil, karena struktur hubun gan semacam ini mempunyai arti bahwa keputusan-keputusan manajemen yang dibuat oleh negara maju merefleksikan minat, keinginan, dan tujuan pihaknya sendiri bukan pihak negara berkembang. Akibatnya dependensi sering dilihat seba gai pelestarian ketergantungan. Dependensi ini meliputi berbagai sektor diantaranya perdagangan, investasi, moneter, bantuan luar negeri, dan teknologi. Sebagai contoh: puncak ambrolnya harga beras domestik tahun 2000 lalu. Faktor dari dalam neg eri yang menyebabkan masalah tersebut diantaranya diakibatkan oleh panen raya di dalam negeri, serta ketidakmampuan Badan Urusan Logistik (Bulog) menyerap panenan. Lebih dari itu, kebijakan IMF yang memberi imbas negatif karena kon disi ekonomi dalam negeri yang sedang sakit parah.

Dalam LoI yang dibuat IMF dalam butir 86 ditentukan tarif beras Rp 430 per kilogram hingga Agustus 2000. Ketentuan ini berdampak pada membanjirnya beras impor masuk ke Indonesia. Walaupun harga beras itu menurut ketentuan WTO sangat baik, tetapi bisa ”membunuh” jutaan petani kita. Sedangkan Jepang pun terpaksa me langgar ketentuan WTO demi melindungi petaninya dari serbuan beras impor.

Ironis memang, fenomena yang berkem bang belakangan ini dengan jelas menun jukkan bahwa kepentingan negara-negara berkembang lebih banyak dirugikan. Di

masa mendatang pergerakan modal milik kaum industrialis dan negara-negara ber kembang dikhawatirkan akan kian menjadijadi. Ruang dan kesempatan berkembang bagi potensi kekuatan ekonomi rakyat negara-negara miskin akan semakin sirna. Kendati selalu didengung-dengungkan dengan slogan liberalisasi perdagangan, kenyataan menunjukkan ruang gerak eko nomi rakyat terbatasi menjadi amat terasa. Sebagai contoh di Indonesia, bagaimana nasib petani tebu yang tidak kalah mer ananya dibandingkan dengan rekan-rekan nya petani padi. Bagaimana tidak, setelah adanya tekanan IMF untuk menghilangkan tarif bea masuk gula pasir dan beras sebesar nol persen. Akibatnya, pada tahun 1998 harga gula lokal tidak mampu bersaing dengan harga di tingkat internasional yang tentunya jauh lebih murah. Kebijakan yang terlanjur disepakati dalam Letter of Intent ini diperkirakan akan mematikan sekitar 2,1 juta petani tebu di Indonesia. Walau pun kini tarif bea masuk sudah dinaikkan menjadi 60%, namun itu masih jauh dari harapan petani.

Ian Goldin menyatakan bahwa dalam ketentuan WTO ada beberapa ketentuan yang menyangkut tahun pengurangan sub sidi kepada petani sebesar 20 persen, pengurangan subsidi ekspor sebesar 36 persen, dan membuka tiga persen pasar domestik untuk impor komoditas perta nian. Akhirnya terjadi kerugian ekonomis sebesar US$ 1,9 miliar yang diperkirakan akan diderita Indonesia setiap tahun mulai tahun 2000 dan seterusnya. Ini merupakan akibat dari liberalisasi perdagangan inter nasional berdasarkan ketentuan Putaran Uruguay—yang membawahi WTO. Angka yang sangat besar tentunya.

Wajar kiranya jika beragam kerugian yang diterima tersebut melecut negaranegara berkembang mulai sadar akan permainan kapitalisme global dengan isu liberalisasi ini. Tahun 1999 ketika KTT Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) diselenggarakan di Seattle (AS) diwarnai dengan aksi protes. Jumlah demonstran mencapai 40.000 orang. Akibat kerasnya aksi mereka, KTT ditunda.

Berikutnya di tahun 2000, tak kurang dari sembilan pertemuan yang membahas globalisasi dan liberalisasi perdagangan, selalu diganggu oleh demonstran. Mulai dari pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos (Swiss), pertemuan IMF dan Bank Dunia di Washington (AS), sampai KTT Uni Eropa di Nice (Prancis). Jumlah aktivis antiglobalisasi yang datang dari seluruh penjuru dunia itu berkisar dari 1.000 orang hingga 50.000 orang.

Bentrok mulai biasa terjadi, termasuk penyerangan atas simbol-simbol perusa

haan multinasional berskala global sep erti McDonald’s. Tahun 2001 sekurangnya telah terjadi tiga kali aksi serupa. Pertama di Zurich (Swiss), lantas di Quebec (Kanada) sewaktu KTT Amerika, dan termutakhir di G o thenburg (Swedia) saat KTT Uni Eropa.

Paling akhir saat penyelenggaraan KTT Kelompok Delapan (G8) yang terdiri dari delapan negara industri maju: AS, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Kanada, Jepang, dan Rusia-di Genoa (Italia) pada tanggal 20-22 Juli 2001 tak luput dari sasaran demonstrasi. Massa demonstran diperki rakan mencapai 100.000 orang.

Peristiwa tergulingnya pemerintahan Argentina di bawah Presiden Fernando de la Rua oleh aksi massa anti program pengencangan ikat pinggang ala IMF di Argentina pada 22 Desember 2001 lalu,

jelas dapat memicu mencuatnya perlawa nan yang semakin keras terhadap jalan neoliberal yang sedang dijajakan IMF.

Segala bentuk perlawanan itu sangat mungkin di masa mendatang semakin membesar layaknya bola salju. Apakah ini merupakan sebuah keniscayaan dari era globalisasi yang melarutkan semua bangsa di dunia di dalamnya? Sulit untuk dijawab, kecuali jika tata ekonomi politik dunia mendatang lebih berkeadilan dan manu siawi tanpa ada dominasi serta eksploitasi antara satu bangsa terhadap banyak bangsa lainnya. Termasuk yang kini disadari oleh petani tebu Desa Panggungrejo, Jawa Timur, serta jutaan petani tebu di belahan dunia lainnya.

12[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
KFC Simbol kekuatan waralaba Indra
/ h mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Petani dalam Lingkaran neo-Liberalisme

MENYAKSIKAN berkembangnya global i sasi di Indonesia membuat cemas. Bukan saja disebabkan kerusakan ekologi akibat pendekatan eksploitatif dan destruktif dalam pemanfaatan alam. Lebih dari itu, industrialisasi yang revolutif mem buat rakyat miskin semakin dipinggirkan. Dalam pemikiran Darwin, beberapa dekade kemudian, rakyat miskin yang menempati sebagian besar tanah air ini akan segera hilang. Namun apakah bumi kita ini sebuah hutan yang diatur oleh hukum rimba?

Petani merupakan salah satu bagian dari negara yang terancam oleh angin neo-liberalisme. Untuk lepas dari itu perlu tata dunia yang berkeadilan.

Realitas mengatakan apa yang disebut dengan materialisme historis oleh Karl Marx sudah berbicara begitu lama. Developmen talisme begitu diagung-agungkan oleh para birokrat, mensejahterakan rakyat bukanlah tujuan. Tapi bagaimana membuat kebijakan yang mengabsolutkan kekuasaan. Bahwa yang disebut dengan kekuasaan bukanlah suara rakyat, tapi adalah siapa yang bisa memenuhi kebutuhan birokrat. ”Kekuatan dan uang adalah penentu politik dunia,” kata Gery Van Klinken, Editor Indonesia Inside menuturkan kepada HIMMAH.

Sebuah ideologi pembangunan yang sedang bergerak lambat tapi pasti, neo-lib eralisme, membuat satu rangkaian perjala nan yang panjang dan tingkat keberhasilan tinggi. Kesuksesan dalam mengakumu lasikan modal pada kaum kapitalis yang segelintir, dan terkonsentrasi di negara-

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1
[LAPORAN UTAMA]
Surya
/ h I mmah
Panen Tebu. Tak selalu untung
. . . . . . . .

negara maju. Dan kesuksesan yang lain adalah pemiskinan negara-negara ketiga.

Neo-liberalisme merupakan satu perkem bangan baru dari liberalisme ortodoks, yang disebut dengan liberalisme yang ‘lebih ma nusiawi’. Negara-negara penganut filsafat politik-ekonomi ini menginginkan adanya jaminan bagi individu dalam mengejar ke pentingan ekonominya. Doktrin ortodoks Smith dalam Wealth of Nation menyatakan bahwa kesejahteraan akan tercapai jika negara tidak melakukan campur tangan apapun dalam ekonomi. Lebih manusiawi disini mengacu pada keharusan negara menjadi necessary good, yang harus aktif dalam memberikan dukungan terhadap kehidupan ekonomi.

Neo-liberalisme ternyata juga sudah menjawab kritik sosialisme tentang filsa fat individualisme dengan doktrin public ownership of basic utilities, (kepemilikan publik atas kebutuhan primer) dan bersikap kompromis terhadap sistem private prop erty (aset swasta). Yang lebih membuat orang lebih simpatik terhadap ideologi ekonomi ini karena beberapa golongan neo-liberalis seperti OH Taylor mengamini terhadap kolektivisme dalam semua per soalan. Ia menyatakan oligarki merupakan penyakit Amerika saat ini dan politik eko nomi individualistis tidak akan mencukupi material rakyat dan usaha mencari laba. Neo-liberalis yang humaniskah?

Kenyataannya tidak. Setidaknya di Indonesia. Program terdekat yang akan dirasakan oleh rakyat adalah globalisasi ekonomi. Implementasinya sangat kontra diktif dengan doktrin neo-liberal. Neo-lib eral di sini adalah satu gerakan politik-eko nomi dan kultur. Kesepakatan-kesepakatan AFTA adalah entry point yang akan dimulai tahun 2002 ini. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah langkah besar dan menakutkan bagi rakyat kecil. Ia adalah persetujuan yang telah ditetapkan untuk globalisasi perdagangan. Mekanisme ini yang kemudian meruntuhkan batas-batas distribusi barang, uang dan manusia di dunia.

Akibatnya bagi rakyat Indonesia lebih merugikan. Dalam teori globalisasi kerja sama ini akan saling menguntungkan. Akan tetapi hal ini terjadi jika latar belakang yang dimiliki masing-masing rakyat se tara. Namun dengan keadaan bangsa yang mengenaskan, maka keuntungan akan tetap mengalir ke negara-negara induk, yang mengkolonialisasi negara ketiga.

Neo-liberalisme tidak mungkin tidak disadari pemerintahan. Sektor pertanian menjadi agenda yang kesekian setelah pemulihan kredibilitas bank-bank dan perusahaan-perusahaan yang lebih banyak

membebani pemerintah dengan utang.

Betapa Indonesia banyak tertinggal oleh negara-negara yang berbasis industri tapi gencar melakukan proteksi terhadap bahan pangan mereka. Di Amerika Serikat mis alnya, para petani mempunyai wakil yang cukup banyak dalam state legislatures (leg islatif). Di Swedia dan Norwegia, petani punya wakil dalam perumusan kebijakan. Di Prancis, petani mampu mengimbangi golongan lainnya dalam parlemen, dan di Polandia, Stanislaw Mikolajczyc menjadi tokoh politik yang mewakili suara petani dengan lantang.

”Dependensi sangat cocok meng gambarkan Indonesia, meskipun itu sim plifistik,” kata Dr. Arief Budiman kepada HIMMAH. Menurutnya, Associated De pendent Development (teori dependensia) dari Cardoso sangat mewakili. Ia menga takan lebih jauh bahwa Indonesia mungkin bisa mengembangkan ekonominya. Akan

berbasis pertanian berusaha berkoperasi dengan negara-negara kapitalis, tetap tidak akan bisa mengembangkan perekonomian dan bersaing dengan negara yang menspe sialisasikan diri pada industri.

Seperti juga pernah dikatakan Engels, hal ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama kenaikan pendapatan tidak akan mening katkan konsumsi barang-barang pertanian, hal ini sesuai dengan kategorisasi barangbarang pertanian dalam barang tidak elastis. Sebaliknya ini akan meningkatkan konsum si barang-barang industri, karena ia adalah barang elastis. Akibatnya impor barangbarang industri di negara pinggiran akan meningkat, sedang ekspor tetap. Dan tentu saja hal ini akan meningkatkan pendapatan negara-negara berbasis industri.

Sebab yang kedua adalah negara-negara industri selalu melakukan proteksi terhadap barang-barang pertanian mereka. Proteksi ini terutama dalam tingginya import tax

tetapi perkembangan ini sangat dependen terhadap kekuatan luar negeri, terutama utang. Inilah yang membatasi perkem bangan ekonomi Indonesia.

Sedang perkembangan neo-liberalisme dan kapitalisme di Indonesia mungkin lebih menapaki teori yang dikatakan Baran. Yaitu sebuah negara pinggiran yang tersentuh oleh kapitalisme, menderita penyakit kreti nisme, ia tidak mampu mengembangkan dirinya. Sangat berbeda dengan perkem bangan kapitalisme di negara pusat.

Sejalan dengan itu, realitas kehidupan pertanian Indonesia persis seperti dikatakan Raul Prebish, seorang penganut dependency theory. Bahwa bagaimanapun negara yang

(pajak impor). Hal ini menyebabkan nega ra-negara berbasis pertanian harus menge luarkan dana besar, dan akibatnya ekspor turun dan pendapatan juga menurun.

Yang terakhir adalah negara-negara berbasis industri akan mempunyai perkem bangan yang cepat untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian. Penemuan-penemuan baru dari perkembangan teknologi mem buat impor barang-barang pertanian mereka akan berkurang.

Dari sinilah kemudian muncul teori bahwa peningkatan pendapatan baik di negara maju dan negara-negara dunia ketiga akan terus meningkatkan ekspor ba rang-barang industri di negara maju. Oleh

1[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
menatap Kebun Tebu. Masihkah ada masa depan Surya
/ h I
mmah
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

karena itu kemakmuran hanya akan bisa dinikmati oleh negara-negara maju, tidak di negara-negara dunia ketiga.

Petani Tebu, Akibat Pemiskinan Dalam realitas, meski tidak kesemua teori Baran seperti disebut di muka, menjadi kenyataan, tetapi indikasi men gatakan ada karakteristik yang sama antara perkembangan di negara-negara maju dan negara-negara dunia ketiga. Kenyataan bahkan menunjukkan perkembangan yang luar biasa dari teori itu. Tidak saja dalam memproduksi barang-barang industri, tapi bahkan negara-negara dunia ketiga ini juga

sebagian besar kebutuhan pangan bangsa, dipenuhi melalui impor. Arief Budiman mengatakan bahwa ketika Indonesia belum bisa membuat satu kebijakan agraria yang jelas, politik luar negeri yang menghormati rakyat, maka kehidupan petani mungkin tidak akan berubah. ”Ya mereka akan tetap seperti ini,” kata kakak kandung Soe Hok Gie ini.

Kehidupan petani tebu bisa digam barkan bak keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ia bersaing dengan harga gula impor yang notabene berkualitas tinggi dan harga yang lebih rendah. Akibat pajak yang rendah. Ketika petani akan

pembicaraan hangat di negara-negara ASEAN, tujuannya adalah untuk mening katkan daya saing ekonomi kawasan terse but. Indonesia mengambil bagian dalam AFTA ( ASEAN Free Trade Area ), yang kemudian diputuskan pada tahun 1992. Se cara bersama-sama negara-negara ASEAN ingin membuat kawasannya menarik bagi investasi internasional. Kawasan ASEAN ingin ditawarkan sebagai suatu tempat produksi (production platform) yang ber daya saing tinggi.

Konsep ini berawal dari keinginan negara-negara dunia ketiga untuk mem buat kawasan ini menjanjikan bagi iklim investasi internasional. Hal ini sesuai dengan teori modernisme Harrod-Domar, bahwa faktor pemicu pesatnya ekonomi adalah investasi dan saving (tabungan). Caranya adalah menjadikan ASEAN men jadi wilayah perdagangan bebas, yaitu di mana perdagangan dalam (intra) kawasan tidak mengalami hambatan apa pun. Tidak akan ada proteksi terhadap produk apa pun maupun produsen, semuanya berjalan mengikuti mekanisme pasar. Pajak impor hanya sekitar 5 persen. Sedangkan untuk barang-barang dengan kandungan lokal sebesar 40 persen akan mendapat pajak impor sampai nol persen.

Namun banyak kalangan mengatakan bahwa pertanian tidak akan bisa hidup jika harus bersaing dengan hasil pertanian luar negeri. Jangankan menghadapi globalisasi perdagangan di Asia Tenggara, persaingan dengan kompetitor dalam negeri saja mem buat miris orang yang menyaksikan.

tidak bisa menghasilkan barang-barang pertanian sendiri. Tidak saja barang-ba rang berbau teknologi, tapi gula misalnya, di Indonesia hampir 50 persen adalah impor. ”Memang nggak mungkin barang pertanian dipr o duksi seluruhnya,” kata Arief menanggapi perkembangan sektor pertanian di Indonesia.

”Yang penting kalau pertanian itu strat egis, ia harus lebih kuat dari yang tidak strategis,” tambah Arief. Dosen University of Melbourne ini mencontohkan dengan impor bahan-bahan makanan yang lemah dibandingkan mengekspor pertanian untuk input industri, seperti karet dan kelapa sawit. Indonesia kelihatannya masih pada sektor makanan, sehingga industri substi tusi impor lemah sekali. Indonesia tidak akan hancur dalam persaingan industri. ”Tapi sangat dependent dan berkembang sangat lambat,” ungkapnya.

Sebagai negara agraris, pemerintah seharusnya merasa sedikit malu, sebab

menjual dengan harga rendah, maka yang dihadapi bukan saja kerugian 500 rupiahan, namun resiko gulung tikar ada di depan mata. Petani dibebani dengan harga pupuk yang mahal.

Perkembangan industri gula di In donesia yang semakin tidak menentu, yang disebabkan harga gula yang rendah, mengakibatkan tidak adanya minat bagi petani untuk mengusahakan lahan mereka untuk ditanami tebu. Kebijakan proteksi yang rendah terhadap industri gula dan kurangnya pemberdayaan terhadap petani dan pengusaha gula dalam bentuk uang dan training manajemen membuat banyak pabrik gula harus tutup.

Hal yang paling mengancam kehidupan petani gula, sekali lagi, adalah globalisasi. Dalam beberapa tahun mendatang, petani tebu dan juga pengusaha industri gula sepertinya tidak akan mendapatkan durian runtuh. Sejak 1990, konsep free trade area (area perdagangan bebas) sudah menjadi

Namun Hafidh Asrom, seorang pengu saha mebel Asrom Yogyakarta yang sangat sukses mengatakan bahwa globalisasi adalah satu peluang besar bagi bangsa In donesia dan ia harus tetap dijalankan. Bahkan dikatakannya bahwa Kadin pun menyatakan globalisasi, terutama AFTA, merupakan ”obat mujarab” bagi krisis eko nomi. ”Yang mengatakan krisis itu pemer intah, pengusaha tidak pernah merasakan krisis,” jelas Asrom pada sebuah seminar AFTA yang diadakan di Yogyakarta.

Ini sudah terbukti dengan preferensi pengusaha untuk lebih mengimpor gula daripada membeli produksi dalam negeri. Menanggapi itu, Arief mengatakan bahwa pertanian ini akan tetap hidup , ia akan tetap berjalan sedikit demi sedikit, namun tetap tertinggal jauh dari negara industri.

”Ini yang disebut dengan International division of labor,” kata Arief.

Ia juga menambahkan bahwa dalam negara miskin seperti Indonesia, agrikultur memang masih diperlukan karena dinamik sesungguhnya dari negara-negara kapital adalah industri dan negara-negara ekonomi

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [LAPORAN UTAMA]
Distribusi Gula. Dikacaukan ulah importir nakal Surya
/ h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

yang teknologinya tinggi, monopolinya be sar. ”Jadi sukar melawan,” tambah Arief. Namun dengan sulitnya petani tebu melawan arus globalisasi, apakah pemerin tah tetap harus membiarkan dan berang gapan bahwa invisible hands yang akan meluruskan segalanya? Apakah pemerintah harus mengibarkan bendera laissez faire nya Adam Smith?

Pemerintah Harus Protektif ”Megawati sangat bergantung pada Amerika, Ia adalah mitra finansialnya,” kata Gerry menanggapi kebijakan pemerintahan Megawati. Ia menambahkan seharusnya

gula ke Indonesia sebagai gula ilegal. Se lain itu, bea dan cukai supaya memperketat pemeriksaan impor gula, sesuai standar pemeriksaan yang berlaku di seluruh Indo nesia. Stop izin impor Pemerintah diminta jangan lagi memberikan izin impor gula, dengan fasilitas tarif bebas bea masuk rendah dengan dalih apapun.

Jika gula impor banyak masuk dengan harga murah yang dirugikan bukan saja petani tebu, tapi pedagang gula terkena dampak negatifnya. Masuknya gula impor yang mendapatkan fasilitas tarif bea masuk rendah maupun dengan memanipulasi do kumen, akan merusak sistem perdagangan

kalangan petani. Ia mungkin bukan berben tuk satu ideologi agrarianisme yang akan merumuskan kebijakan-kebijakan politik dan kehidupan sosial. Namun ia harus lebih memberikan kontribusi pemikiran terutama dalam melawan kepentingan-kepentingan neo-liberalis yang akan menggilas kehi dupan mereka.

Gerakan ini sebenarnya sudah mulai muncul. Oleh Gerry Van Klinken disebut dengan gerakan embrionik, karena belum memiliki visi yang jelas. Ia berawal dari gerakan anti imperialis, yang melangkah pertama kali adalah kaum Islam funda mentalis. Namun ini tidak akan berkem

Megawati bisa mencari jalan tengah agar di samping bisa menjaga hubungan baik dengan negara-negara maju, ia juga harus menomorsatukan kepentingan rakyat.

Mengenai petani gula, banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk melindungi industri gula di Indonesia, dan tidak hanya itu, tapi juga kehidupan petani tebu yang semakin memprihatinkan. Satu, adalah menaikkan tarif bea masuk impor gula. Selain itu, bea dan cukai supaya memperketat pemeriksaan impor gula. Maraknya impor gula ilegal misalnya, selama ini susah untuk dideteksi, juga semakin menyusahkan kehidupan industri gula dalam negeri. Hal lain yang sejalan adalah pemerintah seharusnya juga tidak lagi memberikan izin impor gula, dengan fasilitas tarif bebas bea masuk rendah den gan dalih apapun.

Sedang industri pengguna bahan baku gula supaya mengutamakan beli gula produksi dalam negeri. Jika impor gula terpaksa dilakukan, hendaknya hanya, untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dalam negeri dan dilakukan pada saat tidak musim giling. Ia mengingatkan, Asosiasi Pedagang Gula Indonesia (APGI), untuk mencermati impor gula, apalagi masuknya

gula di dalam negeri. Karena itu, upaya APGI bekerja sama dengan Bulog guna melakukan pendekatan dengan instansi terkait, dalam menawarkan solusi untuk mengendalikan impor gula perlu segera direalisir. Adanya kesepakatan antara Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)

Selain dalam bentuk penentuan ceilling price (harga atas) dan floor price (harga dasar) untuk gula, pemerintah juga harus turun tangan untuk menghimbau para pen gusaha dan masyarakat tentunya agar tetap memihak petani dalam negeri. Dan pemi hakan ini diwujudkan dalam pemilihan bahan pokok makanan mereka. Himbauan ini juga harus lebih dipertegas, dan harus dimulai dengan kebijakan di lingkungan elite. Jangan para elite ini menghimbau penggunaan bahan dalam negeri, tapi mere ka sendiri mengkonsumsi barang pertanian produk luar negeri. Mubadzir

Gerakan Agrarian Interest

Hal yang belum pernah dicoba para petani adalah terjun langsung dalam me kanisme pembuatan kebijakan. Paling tidak ikut menyumbang pendapat. Harus ada sebuah spirit agrarian yang hidup di

bang sekedar pada area agama, tapi lebih dari itu berdasar sejumlah masalah yang menunjukan mereka anti imperialis. Agen da ini masih disuarakan sendiri-sendiri. Dan belum ada upaya untuk membentuk satu koalisi. ”Belum jelas, belum ada yang mengatakan, satu, dua, tiga, empat,” kata Gerry.

Gerry juga menyatakan bahwa kekuatan imperialisme Amerika sebenarnya sudah mulai senja. Gerry menanyakan dan cukup yakin bilamana suatu saat negara-negara maju seperti Amerika bisa dibujuk untuk sedikit membuka diri dan bersikap kom promis terhadap dunia ketiga. Ia menga takan betapa legitimasi, pengakuan dari dunia ketiga terhadap eksistensi Amerika sudah mulai hilang. ”Ia sudah kehilangan rasa percaya diri,” kata Gerry.

Meskipun ada pemikiran bahwa kapi talisme akan melemah ketika ia mencapai titik jenuh, namun kapankah penantian itu akan berakhir?

1[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
aktivitas Industri Gula. Terancam oleh neo-liberalisme Surya h I mmah Surya / h I mmah
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Manis Tebu tak semanis nasib Petaninya

lahan tebu di Jawa Tengah. ”Di akhir-akhir tahun ini sangat menyedihkan, masalah petani banyak,” tutur Musyafa, seorang petani tebu di daerah Kudus. Sorot mata petani tebu yang tajam, dipadu sepenggal senyum yang tersisa, menyiratkan bahwa mereka selalu ada. Sebuah mountase hitam dari para petani tebu yang kini sedang meratapi nasibnya sendiri.

Manis sari tebu ternyata tak semanis nasib petaninya. Sedang menunggu jadi nostalgia.

SABIT itu tertancap pasrah pada seba tang tebu yang tersisa dari perkebunan usai musim panen. Sabit memang tak kuasa untuk berucap, namun kesan yang bercerita dari sekeliling onggokan tebu itu seakan ikut menyimpulkan buramnya masa depan petani yang memelihara tanaman tersebut. Keadaan itu tergambar dalam sebuah bingkai foto, pada pameran foto karya Eddy Hasby, 14 Mei 2001 di Jakarta. Pemandangan yang tersisa dari hasil jepretan fotografer itu nampaknya tak jauh dengan nasib petani tebu di kawasan Pundong, Bantul, Yo g y a karta, daerah pinggiran Klaten ataupun di sepanjang jalan KudusPati. Manis sari tebu ternyata tak semanis nasib petaninya. Tengok saja di beberapa

Nasib yang Tak Berubah Sejarah tak pernah berubah. Mungkin ungkapan itulah yang selalu disandang oleh orang-orang yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indo-nesia (APTRI) ini. Sejak dulu hingga kini, bahkan mungkin sampai esok, nasibnya belum pernah berubah. Nur Khabsin seorang petani tebu asal Kudus menyatakan secara tegas hal itu. ”Walau sudah ada organisasinya, tapi kita selalu merasa dipinggirkan,” tegas petani yang juga Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Nasional APTRI ini. Tak hanya itu, bea masuk nol persen terhadap gula impor oleh pemerintah, oleh Khabsin dianggap sebagai tamparan yang cukup telak terhadap petani. Itu adalah seri lanjutan dari pemerintah setelah beberapa waktu lalu petani dicekik dengan keharusan menjual hasil gulanya ke Bulog. Itu terjadi sebelum 1998. Karena ekspor-impor saat itu memang satu pintu lewat Bulog. Dan harganya ditentukan tidak dengan harga pasar. ”Kita harus patuh dengan harga yang ditetapkan Bulog,” kata Khabsin.

Dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang membebaskan bea masuk nol persen untuk gula impor, membuat persaingan penjualan gula lokal dengan gula impor sangat ketat. Hingga justru mematikan pasaran gula lokal. Itulah sebabnya petani

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [LAPORAN UTAMA]
Surya / h mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . .

tebu menjadi enggan lagi menanam tebu. Karena penyebab utamanya adalah hasil yang didapat saat menanam tebu tak lagi sesuai dengan ongkos yang dikeluarkan.

Petani sebenarnya tak mengharamkan impor gula. Tapi tentu saja harus tepat waktu. ”Jangan mendatangkan gula waktu musim giling atau musim panen,” tegas Khabsin lagi. ”Selain itu juga jangan melebihi kebutuhan,” tambahnya. Jumlah kotor gula impor yang masuk ke Indonesia, tak pernah terhitung dengan pasti. Karena banyak pula gula selundupan yang tak terdeteksi. Khabsin mengistilahkan itu dengan gula spanyolan. Atau separuh nyolong. Ijinnya seumpama seribu. Maka tak jarang sampai dua ribu yang didatang kan. Penyebabnya karena pelabuhanpelabuhan kita sangat terbuka. Agar adil, Khabsin menginginkan agar harga gula yang dipatok harus di atas produksi. Ada semacam harga pengaman agar jika harga jatuh, pemerintah siap membeli gula itu.

Kegelisahan serta keresahan semacam itu selalu petani sampaikan melalui wakilnya di asosiasi. Tempat mereka berkomunikasi dengan para konglomerat. Dan petani yang selalu memasokkan tebunya di PG Rendeng Kudus ini juga menuturkan bahwa harapan itu tentu saja bukan sekedar harapan. Kalau masalah gula impor itu tak bisa diatasi pemerintah, mau jadi apa petani tebu sekarang. Petani mau kerja lainnya tidak bisa. ”Malah bisa loyo dulu sebelum bekerja,” ujarnya pasrah. Yang saat ini baru bisa dipaksakan hanyalah menekan sewa tanah yang lebih murah dari yang menyew a -kan tanah. Itulah usaha yang bisa meringan-kan petani. ”Lain dari itu tidak,” kata Musyafa, petani tebu dari Kudus.

Tapi, ada pula kendala lain yang dihadapi petani tebu. Dalam musim tanam ada istilah tepat waktu, tepat pupuk, dan tepat bibit. Sudah tiga musim tebu ini petani tebu terhambat oleh masalah tidak tepat waktu. Itu berimbas pada berkurangnya produksi. Ditambah lagi ongkos tenaga kerja yang naik, tapi tak diimbangi dengan randemen (jumlah hasil sari gula yang didapat dari batang tebu) yang jelek. Menambah keterpurukan yang semakin tak bisa dihindari oleh petani.

Menurut Musyafa, seorang petani tebu di daerah Kudus, masalah randemen petani sangat kesulitan mengejarnya. Ada bebera-pa faktor penyebabnya. Diantaranya adalah faktor BSM atau bersih, segar, dan manis. Jadi masalah kesejahteraan untuk tahun ini lebih menurun karena ongkosnya lebih banyak. Bibit semakin mahal dan sulit dicari. Selain itu juga tak adanya subsidi pupuk sejak tahun 1996. Kalaupun

ada, subsidi pupuk itu baru datang setelah masa panen berlalu. ”Sehingga mubadzir saja kedata-ngan pupuk-pupuk itu,”ujar Musyafa.

Bahkan fasilitas kredit dari pemerintah tak sesuai dengan harapan para petani tebu. Usulan total kredit 1,2 trilyun yang dikabulkan hanya 365 milyar atau sepertiganya. Untuk menggarap lahan tebu jumlah itu belum maksimal. Sehingga berdampak pada produktivitas tanaman. Ujungujungnya menghasilkan gula yang tidak baik. Ironis-nya, total dana kredit itu belum juga cair sampai saat ini. Karena dana itu dikucurkan lewat bank. Pemerintah hanya sebatas fasilitator. Berbeda dengan dulu di mana Bank Indonesia sebagai wakil pemerintah memberikannya secara langsung kepada petani.

Wajar saja jika kondisi pentas kepedihan yang tak pernah berakhir itu menyulut sebuah gertakan untuk tidak menanam tebu lagi oleh petani. Tapi, toh akhirnya petani terbentur juga oleh realitas bahwa tebu

ini. ”Semoga musim tebang tahun depan, manis rasa tebu tak sepahit tahun ini,” ujar salah satu dari mereka. Layaklah jika mereka berharap seperti itu. Tentu juga tak berlebihan. Selama ini, disadari atau tidak, tak pernah ada yang peduli dengan cucuran keringat yang mengalir dari tubuh petanipetani itu sepanjang siang.

Di Departemen Tenaga Kerja, petani tebu tetap saja tercatat sebagai petani. Otot yang alot, sorot mata yang menantang serta canda di kala bekerja, hanyalah detail tak penting yang tak akan dapat menjelaskan bagaimana rasanya membanting tulang. Tak bisa dipungkiri, mungkin seketika itu juga mereka bisa berubah menjadi pahlawan. Pahlawan bagi pabrik gula yang kekurangan tebu atau malah menjadi pahlawan bagi kita semua yang setiap hari mengkonsumsi gula.

Nur Khabsin, Musyafa, dan beberapa petani tebu serta karyawan pabrik gula yang telah tutup yang berhasil ditemui HIMMAH, hanyalah contoh kecil dari

adalah satu-satunya sumber hidup mereka. Gertakan hanya tinggal gertakan. Tapi kenyataanya, mereka tetap saja menanam tebu. Tentu saja dengan keterpaksaan.

Seperti juga pagi menjelang siang kala itu. Di sebuah lahan tebu di kawasan Gebang, Sukodono, Sragen, Jawa Tengah. Di penghujung musim kemarau awal musim hujan, Oktober 2001. Beberapa petani tebu mengayunkan sabit untuk terakhir kalinya di tahun itu. Memangkas bibit tebu yang akan ditanam untuk panen tebu tahun depan. Ada satu harapan yang terbersit dari wajah-wajah dengan tubuh penuh peluh

ambruknya industri gula lokal. Mereka adalah miniatur dari petani tebu seIndonesia korban ketidakbijakan pemerintah yang didikte IMF. Sama saja dengan pembunuhan secara perlahan-lahan jika pemerintah masih saja mengabaikan nasib mereka. ”Karena hanya dari tebu kami bisa bertahan hidup,” ujar seorang petani tebu mengekspresikan kepasrahannya.

Ketika semua mata menyaksikan pame-ran foto Eddy Hasby bertajuk Sugar

Cane Blues di galeri itu, petani tebu dan juga pabrik gula tiba-tiba membuat siapa saja siuman dari ketidaksadaran panjang.

1[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Impor Gula mentah. Beredar di pasaran dalam negeri Surya / h mmah
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

dan Pabrik Gula Pun Bertumbangan

menyediakan tebu tidak tergantung dari petani saja. Misal dengan menanam tebu di tanah-tanah rakyat yang disewa serta mendatangkan tebu bebas, yaitu tebu yang didatangkan dari daerah lain. Namun tebu yang ditanam sendiri ini juga mengalami kesulitan dalam hal sewa tanah, sekarang ini sewa tanah ini sudah menjadi permasa lahan tersendiri dimana lahan yang mereka sewa semakin sempit. Yang kemudian memaksa PG Madukismo sampai mencari lahan sewa di Sleman, Magelang, dan Purworejo. Walaupun berjarak jauh asalkan masih terjangkau oleh biaya pokok angkutan akan mereka usahakan.

LORI itu berkarat dan terbengkalai tak terawat di atas rel kereta yang sudah dimakan waktu. Sisa-sisa tebu yang telah mengering tampak berserakan di bawah alat timbangan. Beberapa pegawai masih tampak lalu lalang memperbaiki mesin pabrik. Mesin-mesin yang kusam itu diperbaiki sebagai persiapan menyambut musim giling yang mulai tiba setiap bulan Mei. Begitulah pemandangan yang terlihat di Pabrik Gula (PG) Rendeng, Kudus, Jawa Tengah.

Kusamnya mesin-mesin itu tak jauh berbeda dengan suramnya masa depan pabrik-pabrik gula. Akibat melaratnya petani tebu, pabrik gula pun terancam bangkrut atau minimal berhenti berproduksi untuk sementara waktu. Muasalnya jelas karena berhentinya pasokan tebu dari petani. Padahal bahan baku gula diambil dari sana. ”Banyak petani yang tidak tertarik lagi menanam tebu,”tutur Mantrah Suryo Ariwibowo, kepala bagian keuangan Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta yang ditemui oleh HIMMAH di kantornya. ”Bahan baku pabrik berkurang karena produksi gula Madukismo itu ditentukan

dari tebu peta-ni,”lanjutnya.

Wajar kiranya jika petani enggan atau bahkan berhenti menanam tebu. Dengan dibebaskannya bea masuk gula impor sampai dengan nol persen pada 1998, tak ayal ikut mengguncang harga gula pasaran lokal. Akibatnya petani harus berpikir dua kali untuk menanam tebu. Jangan-jangan setelah tebu mereka jadi gula, hasilnya tidak bisa menutupi biaya yang telah mereka keluarkan. Biaya produksi itu meliputi ongkos tanam, biaya pemeliharaan, sampai dengan uang untuk membeli pupuk.

Madukismo bisa dijadikan salah satu contoh pabrik gula yang masih mampu bertahan, namun tetap terkena imbas dari kebijakan pemerintah ini. Pabrik ini diresmi kan pada awal era kemerdekaan dan didiri-kan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kini mereka harus memutar otak agar tidak terus merugi. ”Kami coba lakukan efisiensi dan meningkatkan kapasitas produksi,”kata Mantrah. Namun untuk kapasitas produksi pun tidak bisa ditingkatkan lagi, karena petani sudah enggan untuk menanam tebu.

Walaupun memang Madukismo bisa

Efisiensi yang PG Madukismo lakukan pun tak bisa maksimal, karena tidak semua sektor bisa diefisiensikan. Contoh untuk sektor gaji pegawai atau biaya pegawai, tak mungkin diterapkan efisiensi. ”Bagaimana kita melakukan pengurangan gaji pegawai, karena itu sudah merupakan hak yang melekat pada karyawan, sehingga tidak bisa kita kurangi,” kata Mantrah.

Nasib yang dialami oleh PG Gondang Baru, Klaten pun tak jauh berbeda. Pabrik yang terletak di pinggir ruas jalan utama Yogyakarta-Solo ini tingkat produktivitasnya juga menurun. ”Prospek ke depan masih suram,” tutur salah seorang kepala bagian produksi PG Gondang Baru Klaten yang enggan disebut namanya kepada HIMMAH.

Bisa dibayangkan jika pabrik-pabrik gula terutama yang berada di pulau Jawa ini bertumbangan satu per satu, maka setidak-nya negara pun akan merugi. Pabrik gula merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Banyak yang sudah berdiri sejak jaman Belanda. Tidak hanya pihak pabrik gula saja yang mengkhawatirkan ancaman semacam itu, pihak petani pun sebenarnya ikut cemas. Seperti yang tersirat dari penuturan Madiyo Wardoyo, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Wilayah Kerja PG Madukismo,”Setelah pabrik gula gulung tikar aset negara banyak yang mubazir dan kemudian akan menambah pengangguran delapan juta orang.” Suatu jumlah yang tidak bisa dipandang enteng,

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1
Nasib merana akibat pencabutan bea masuk impor dan ulah importir nakal tidak saja dirasakan petani tebu. Pabrik gula pun mendapat getahnya. Satu per satu mulai menutup usahanya.
Lori pengangkut tebu. Jika tebu kurang, tak berjalan Surya
h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . [LAPORAN UTAMA]

mengingat semakin bertumpuknya angka pengangguran bang-sa ini terutama setelah terkena krisis. Sebagai gambaran masyarakat gula yang terlibat dan bekerja di PT Perkebunan Nusantara (PT PN) XI Jatim antara lain jumlah karyawan sebanyak 400.000 orang, pekerja tebangan mencapai satu juta orang, sektor angkutan m e nampung 150.000 pekerja. Sedang

tidak efisien dan tidak memperbaiki diri dalam hal kapasitas pabrik secara alami dia akan mati. Sehingga matinya pabrik gula tidak semata persoalan berkurangnya tebu yang digiling, namun juga karena berku-rangnya lahan. Jika mau menyewa tanah pun harganya sudah semakin relatif mahal.

Tercatat paling tidak sudah ada lima

Pakis Baru yang terletak daerah Tayu, tepatnya di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di Pati daerah yang berjulukan bumi mina tani terdapat dua pabrik gula. Selain Pakis masih ada pabrik gula yang lain, yakni PG Trangkil. Yang pertama untuk sementara berhenti berproduksi, sementara yang kedua masih terus berproduksi. Pakis Baru semula dimiliki oleh Badan Pimpinan Rumpun Diponegoro (Bapipundip) ini juga nyaris

Surya / h mmah keterlibatan petani, pekerja kebun beserta keluarganya diperkirakan mencapai tujuh juta orang, ditambah 950.000 orang dari kelompok sektor informal.

Artinya, walau tidak terlibat langsung bekerja di kebun atau pabrik tetapi aktivitasnya menunjang pekerja kebun maupun PG. Masyarakat sekitar pabrik jika musim giling tebu tiba akan banyak mendapat tambahan penghasilan dengan menjual kebutuhan sehari-hari kepada pegawai pabrik gula. ”Jadi kalau pabrik gula itu hancur atau tutup akibatnya multi kompleks. Tidak hanya menyangkut petani tapi semua juga,” tambah Madiyo Wardoyo. Jumlah PG di Jatim saja sudah mempekerjakan sekitar 9,5 juta orang, belum termasuk PG di Jateng dan Jabar.

Dalam sejarah tercatat bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah yang pertama kali merintis pembangunan pabrik gula. Karena iklim dan tanah yang cocok di Jawa, maka pabrik-pabrik buatan Belanda itu terpusat di Jawa. Belakangan seiring dengan padatnya pertumbuhan penduduk di Jawa, akhirnya lahan untuk menanam tebu pun ikut menyempit. Karena mungkin terlalu banyaknya PG sedangkan lahan mulai sulit, maka secara alami PG-PG yang

pabrik gula besar yang benar-benar gulung tikar dalam arti berhenti berproduksi untuk selama-lamanya. Termasuk dalam deretan monumen pabrik gula itu antara lain PG Ceperbaru Klaten, PG Colomadu Karanganyar, PG Cepiring Kendal, PG Kalibagor Banyumas, dan PG Banjaratnam Brebes.

PG Ceperbaru bahkan telah menutup usahanya sejak tahun 1997. Menurut beberapa karyawan lama yang ditemui HIMMAH menyatakan bahwa PG yang terletak di pinggiran Klaten ini tutup karena kurangnya pasokan bahan baku. ”Masalahnya juga sama yaitu kekurangan tebu untuk diolah menjadi gula,” tutur Sugeng salah seorang karyawan lama PG tersebut. Dengan kurangnya suplai tebu dari petani maka produktivitas pabrik menjadi tidak efisien. Bisa dibayangkan jika mesin pabrik yang dirancang untuk berproduksi dalam kapasitas besar, namun suplai tebu sebagai bahan mentah yang akan diolah menjadi gula sangat sedikit. Akibatnya terjadi inefisiensi yang berujung pada tingginya ongkos produksi dan tidak sesuai dengan banyaknya jumlah target produk gula yang dihasilkan. Selanjutnya bisa ditebak, pabrik pun bangkrut.

Nasib lebih mujur dialami oleh PG

tutup dengan alasan yang tak jauh beda dengan PG Ceperbaru. Untung saja nafas PG ini masih belum putus benar setelah tahun 1998 lalu, kepemilikannya dibeli oleh swasta yakni PT Laju Perdana Indah (PT LPI). ”Pabrik ini dulu juga merugi karena petani di sekitar sini sudah mulai enggan menanam tebu,”tutur Shodiq salah seorang petugas keamanan PG Pakis Baru menuturkannya kepada HIMMAH.

Sedangkan pihak manajemen baru PG Pakis Baru enggan berkomentar banyak tentang rencana selanjutnya. Alasannya kebijakan yang pasti hanya diketahui oleh orang-orang pusat PT. LPI, sedangkan mereka yang bertugas di Pati hanya sebagai pelaksana saja. Namun sumber HIMMAH di PG Pakis Baru memberikan sedikit bayangan tentang apa saja yang mereka hadapi saat ini dan rencana operasional yang mungkin akan dilaksanakan. Mereka melihat bahwa untuk meningkatkan efisiensi, pabrik ini perlu menekan biaya tetap. Paling besar adalah pos pengeluaran untuk tenaga kerja. Sehingga arah yang ingin mereka capai nanti adalah otomatisasi dalam proses produksi yang tidak terlalu

20[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
PG Ceper Baru, Klaten. Tinggal kenangan musim Giling PG madukismo. Masih bertahan
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

banyak memerlukan tenaga kerja. Pengalaman menunjukkan bahwa pabrik gula di Indonesia terutama yang ada di Jawa dalam proses produksinya sangat banyak melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada satu sisi yakni aspek sosial itu sangat baik karena menyerap tenaga kerja disekitarnya. Tapi pada sisi bisnis itu kurang menguntungkan yang menjadikan pabrik-pabrik gula

mengancam untuk tidak menjual gulanya di pasaran sampai harga menjadi normal. Ini dilakukan oleh petani tebu yang berada di wilayah Kediri. Dengan harga gula di pasaran yang hanya mencapai Rp 3.100 per kg, menurun dari sebelumnya yang mencapai Rp 3.600 per kg. Dengan harga tersebut, jika dika l -kulasi berdasarkan bahan mentah, para petani menderita kerugian sebesar Rp 2.500 per kwintal tebu. Padahal pada pelelangan gula pada sekitar

tingkat petani maupun pabrik gula, tata niaga, hingga perubahan etos kerja dan paradigma di kalangan para pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah.

Faktor terakhir inilah yang sangat penting. Pemerintah harus punya keberanian yang besar untuk membela nasib petani tebu dalam negeri. Bisa dibayangkan jika petani tebu enggan menanam tebu dan diikuti kurangnya pasokan bahan baku untuk pabrik gula akan semakin mening-

umumnya kurang efisien. Inilah yang mungkin akan dilakukan oleh PG Pakis Baru nantinya. Pihak manajemen pabrik itu baru masih melihat ada celah peluang untuk mengais laba dari industri pergulaan nasional yang tak pernah putus dirundung banyak cobaan ini.

Jika musim panen tebu tiba, pabrik gula akan mengolah tebu mentah itu menjadi gula dengan menggilingnya. Selama empat bulan mesin-mesin itu bekerja terus-menerus, setelah delapan bulan istirahat. Namun walaupun istirahat mesin penggiling tebu dan pengolah gula itu pun tetap harus dirawat. Artinya walaupun tidak berproduk-si, pabrik tetap mengeluarkan biaya perawa-tan mesin yang tidak sedikit jumlahnya. Biaya ini biasa disebut dengan biaya tetap.

Beberapa hal mengakibatkan harga gula di pasaran lokal menjadi jatuh. Faktor utama tentu kebijakan pemerintah yang mencabut dan belakangan mengurangi bea masuk yang kemudian mendorong banyaknya gula importir membanjiri pasaran. Pusing dengan situasi yang dihadapi seperti ini, akhirnya ada beberapa pabrik yang mulai

minggu kedua bulan Agustus 2001 lalu, petani tebu Kediri yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) PTPN X akan melelang gula sebanyak 11.700 ton. Sehingga mereka pun membatalkan penjualan gulanya sampai harga kembali normal. Pemicunya tak lain dan tak bukan adalah gula impor. APTR PTPN X mendapatkan data adanya 200 peti kemas gula asal India milik PT Arta Guna Sentosa Surabaya yang disimpan di gudang Indah Jasa Suwastika. Ditambah lagi dengan 14 ribu ton gula asal Brasil milik PT Cheil Samsung Indonesia. Serta satu truk tronton gula asal Thailand yang disimpan PT Adibuana Pasuruan. Wajar jika harga gula menjadi jatuh bebas.

Persoalan gula nasional memang tidak sederhana, karena permasalahannya berbelit dan sukar mengurai simpul penye le-saiannya. Solusinya haruslah dengan pendekatan yang sistematis dan tidak parsial. Penanganan tidak bisa hanya di tingkat petani, tata niaga, atau budi daya saja. Tetapi mulai dari soal perkreditan, budidaya, efisiensi, dan produktivitas di

katkan ketergantungan terhadap gula impor. Padahal Indonesia tercatat menempati urutan ke-delapan konsumen gula terbesar di dunia dan negara pengimpor gula terbesar kedua di dunia setelah Rusia. Ini menunjukkan Indonesia merupakan pasar gula yang relatif besar dan potensial. Anehnya, pasar gula domestik yang besar dan potensial ini tidak diarahkan untuk membangkitkan dan menumbuhkan industri gula dalam negeri, padahal Indonesia berpotensi mengembangkan industri gula yang efisien.

Selain itu, pasar gula dunia tidak stabil. Dalam situasi pasar gula normal atau mengalami kelangkaan pasokan, harga gula dunia akan tinggi. Jika terjadi keadaan seperti itu, biaya impor gula akan mem-beratkan perekonomian karena memerlukan devisa dalam jumlah besar.

Apa mau dikata, jika kekuatan kapitalis negara besar terus mendikte Indonesia. Kapitalisme sebagai salah satu interplay perkembangan peradaban mo-dern sulit diharapkan belas kasihannya. Seperti yang telah dikatakan para pemikir post-

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 21 [LAPORAN UTAMA]
PG Pakis Baru, Pati. Nyaris bangkrut, diambil alih swasta Surya / h I mmah Surya / h mmah
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

“Pengurangan bea masuk berpengaruh bagi petani”

Pengalaman Anda maupun petani yang lain untuk subsidi pupuk itu memang ada?

Dulu ada, antara tahun 1985 sampai 1996. Setelah itu tidak ada.

Kalau yang Anda rasakan sendiri dengan adanya subsidi pupuk itu membantu?

Saya rasa ada, tapi kalau masalah itu tidak tepat waktu sehingga tidak bisa menjangkau produksi tanaman.

Maksudnya tidak tepat waktu?

Waktunya sudah lewat, pupuknya baru datang. Pada musimmusim ini juga begitu, saya itu sampai pusing karena pupuk tidak kunjung datang. Berhubung tidak tepat waktu menjadi mubadzir

Bantuan apa yang sebenarnya dibutuhkan petani?

Ya subsidi.

Mengapa petani masih menanam tebu?

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya suara petani dalam mensikapi keadaan yang makin menghimpit mereka akibat diturunkannya bea masuk impor gula, Widiyanto dan M Solikhan dari HIMMAH melakukan wawancara dengan Musyafa’ salah seorang petani tebu di daerah Kudus, Jawa Tengah. Berikut petikannya:

Banyak kendala yang dihadapi petani, sekarang Bagaiamana keadaan tingkat kesejahteraan petani?

Di akhir-akhir tahun ini sangat menyedihkan, masalah petani banyak. Di antara kendala petani dalam musim tanam ada istilah tepat waktu, tepat pupuk, dan tepat bibit. Sudah tiga musim tebu ini petani tebu masalah saprodi-nya itu tidak tepat waktu. Jadi seperti pupuk, bibit itu banyak kendalanya sehingga tidak tepat waktu. Sehingga kendala lain yang muncul produksinya berkurang karena tidak tepat waktu.

Kesejahteraan selama ini yang dirasakan itu justru naik atau malah turun dibandingkan dengan yang dulu?

Malah menurun, masalahnya dari tenaga kerja tambah naik ongkosnya, terus dari randemen tahun ini terlalu jelek. Masalah randemen petani mau mengejar itu sulit, karena ada beberapa faktor, ada faktor kotor, akar, dan tanah itu. Kalau dulu disebut dengan BSM atau bersih, segar, dan manis. Jadi masalah kesejahteraan untuk tahun ini lebih menurun karena ongkosnya lebih banyak. Bibit semakin mahal dan semakin sulit dicari.

Itu masalah bibit yang bisa diakali, tetapi masalah pupuk yang mahal dan sulit dicari itu bagaimana?

Pupuk untuk waktu sekarang ini sebenarnya masih mudah. Pupuk itu kan ada jatah dari PG.

Petani mau kerja lainnya tidak bisa. Kalau seumur saya ini mau mencoba yang lain, sebelum hasil tenaganya sudah habis. Mau bekerja yang lain belum sampai jadi sudah loyo. Kalau kita hanya bisa menekan yang menyewakan tanah agar sewanya lebih murah. Hanya dari sisi sewa tanah itu yang ditekan semurah-murah mungkin.

Bisa tidak ditekan semurah mungkin?

Kalau di daerah lain seperti Pati bisa, tapi kalau di Kudus tidak bisa. Kondisinya rata tapi setelah adanya gula impor terasa sekali.

Berapa bea masuk ideal menurut petani agar harga gula menjadi tidak

terlalu merugikan petani? 60-an %.

Di pasaran sekarang ramai masalah gula impor, itu jelas berpengaruh terhadap harga gula lokal menurut Anda?

Terasa sekali itu pengaruhnya dan dirasakan oleh petani. Kita sudah punya wakil di asosiasi dan punya perjanjian-perjanjian dengan konglomerat, boleh mendatangkan gula dari luar sebatas kebutuhan nasional itu berapa, gula yang dihasilkan dari beberapa pabrik itu berapa. Kita dengar malah mendatangkan berapa ribu ton yang kemudian melebihi. Boleh saja mendatangkan gula dari luar tetapi jangan melebihi kebutuhan. Jangan mendatangkan gula waktu musim giling atau musim panen. Boleh mendatangkan kalau sehabis musim tersebut. Harapan petani begitu.

22[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
”Boleh mendatangkan gula dari luar sebatas kebutuhan nasional. Jangan mendatangkan gula waktu musim giling atau musim panen”
Widiyanto / h mmah . . . . . . . . . . . . . . . .

Mantrah suryo ariwibowo, Kepala Keuangan PG Madukismo

“Pabrik gula kekurangan bahan baku”

Pabrik gula tak urung terkena juga imbas dari pengurangan bea masuk impor gula. Akibat harga yang tak menguntungkan, petani enggan menanam tebu sehingga pabrik gula menjadi kekurangan pasokan bahan baku gula tersebut dan terancam berhenti berproduksi. Berikut penuturan salah satu pengelola Pabrik Gula Madukismo Mantrah Suryo Ariwibowo kepada Surya Adi Lesmana dari HIMMAH.

Bagaimana hubungan antara petani tebu dengan pabrik gula?

Petani tebu disini meminjam untuk segala pembiayaan menanam tebu, kemudian nanti setelah tebu itu digiling bagi hasilnya 65% untuk petani 35% untuk kita (PG Madukismo-red). Tebu petani ini bisa diambil dalam bentuk gula tapi waktu mengambil harus melunasi dulu hutang-hutangnya, bisa juga dititipkan kita untuk dijualkan, petani tinggal menerima hasilnya.

Perkembangan kesejahteraan petani berkaitan dengan harga yang ditetapkan pabrik ?

Kesejahteraan petani sendiri tidak terlepas dari porsi-porsi yang diberikan oleh pemerintah, misalnya saat ini pemerintah memberikan kebebasan bea masuk terhadap para importir gula, ini kan juga berpengaruh terhadap pendapatan petani tebu juga, jadi tidak semata-mata kesejahteraan petani tebu tersebut hanya tergantung pada pabrik gula, disini pabrik hanya sebagai pihak pelaksana yang bekerja sama dengan petani. Kita memberikan harga kepada petani sesuai dengan berapa kita bisa menjual, dan harga ini sangat dipengaruhi oleh pasar, dimana pasar gula internasional sangat berpengaruh terhadap pasar gula lokal

Pengaruh bea masuk nol persen dulu, terhadap harga gula?

Pengaruhnya besar sekali, pertama banyak petani yang tidak tertarik lagi untuk menanam tebu karena hasilnya tidak memberikan harapan yang lebih baik, jangan-jangan setelah nanti jadi gula hasilnya tidak bisa menutup biaya yang telah keluar, sehingga dampak dari hal tersebut bahan baku pabrik menjadi berkurang karena produksi gula Madukismo itu ditentukan dari tebu petani, tebu sendiri, dan tebu bebas tebu bebas ini didatangkan dari luar daerah. Dari tebu sendiri ini juga mengalami kesulitan dalam hal sewa tanah, sekarang ini sewa tanah ini sudah menjadi permasalahan tersendiri dimana lahan yang kita sewa semakin sempit walaupun demikian tapi kita bisa cari di daerah yang masih bisa kita sewa seperti Sleman, Magelang, Purworejo. Sejauh masih bisa dijangkau oleh biaya pokok angkutan.

Himbauan terhadap kebijakan pemerintah ?

Dari kami sendiri juga berharap kepada pemerintah untuk meninjau kembali perihal peraturan tersebut karena ini tidak hanya menyangkut pabrik gula, akan tetapi juga menyangkut petani. Selain itu pabrik gula juga akan rugi karena bahan baku kurang, biaya tetap masih tinggi dan sekarang banyak pabrik gula yang merugi. Petani tebu sendiri jika mau menanam tebu juga kurang memberikan perawatan yang intensif karena biaya yang tinggi itu tadi sementara penghasilannya tidak jelas.

Bagaimana pengaruhnya terhadap hasil tebu tadi?

Akibatnya karena perawatannya tidak begitu intensif mengakibatkan pendapatan gulanya atau randeman -nya itu rendah. Dengan demikian akan berpengaruh terhadap harga pokok. Otomatis jika produktivitasnya turun harga pokoknya naik. Karena unsur biaya tetapnya tidak berubah, mau produksi 10 atau 100 biaya tetapnya tidak berubah. Makin tinggi produksinya, harga tetap per satuan pasti akan turun. Oleh karena itu akibat dari peraturan pemerintah itu dampaknya sangat luas sekali. Semua terkena.

Usaha-usaha yang telah dilakukan pihak PG untuk menutup kerugian itu?

Kami coba lakukan efisiensi, meningkatkan kapasitas produksi. Kalau tebu yang masuk itu kurang, otomatis kita tidak bisa meningkatkan kapasitas produksi. Jadi satu-satunya jalan harus efisiensi. Cuma tidak semua sektor itu bisa diadakan efisiensi. Contoh untuk sektor gaji pegawai atau biaya pegawai, tak mungkin kita adakan efisiensi. Bagaimana kita melakukan pengurangan gaji pegawai, karena itu sudah merupakan hak yang melekat pada karyawan, sehingga tidak bisa kita kurangi.

Kalau bulan-bulan ini kegiatan pabrik apa?

Siklusnya itu empat bulan giling, delapan bulan untuk service Mesinnya dibongkar, dibersihkan, yang rusak-rusak kita ganti. Karena nanti mulai bulan Mei kita kerja terus 24 jam tiap hari, selama empat bulan. Itulah yang saya katakan dengan biaya tetap itu, tidak produksipun tetap jalan.

Bagaimana kira-kira prospek industri gula ke depan?

Kalau saya ditanya sebagai orang PG tentu tetap harus optimis. Tetapi dengan adanya perbaikan-perbaikan tentunya. Baik dari internal sendiri maupun dari peraturan-peraturan pemerintah yang ada. Sebab itu saling terkait. Kalau dari pihak pemerintah tidak membantu dalam suatu perlindungan, tidak terlalu proteksi, cukup yang wajar-wajar saja. Jangan terus peraturannya itu berdampak pada kelangsungan hidup para petani tebu. Kalau itu bisa dilaksanakan oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan atau peraturan yang sangat baik dan bisa memberikan keuntungan pada para petani tebu, saya yakin masa depan gula masih bisa dipertahankan. Di Jawa ini karena mungkin terlalu banyaknya PG sedangkan lahan mulai sulit. Maka secara alami PG-PG yang tidak efisien tidak memperbaiki diri dalam hal kapasitas pabrik secara alami dia akan mati. Matinya karena persoalan berkurangnya tebu yang digiling, karena berkurangnya lahan.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 2 [LAPORAN UTAMA]
Yogyakarta :
”Pemerintah dengan kebijakankebijakan atau peraturan yang sangat baik dan bisa memberikan keuntungan pada para petani tebu, saya yakin masa depan gula masih bisa dipertahankan”
 . . . . . . . . . . . . . . . .

“IMF melindungi negara produsen gula yang juga donaturnya”

Indonesia bagaikan negara yang tidak berdaya dihadapan negaranegara maju, pemerintah tak kuasa melindungi petani tebu yang makin terpuruk dengan dicabutnya bea masuk impor gula sampai dengan 0% pada tahun 1998. Kesepakatan yang dibuat bersama IMF akhirnya menempatkan petani tebu dalam posisi yang sulit. Berikut penuturan Nur Khabsin, Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) kepada Widiyanto, Surya Adi Lesmana, dan M Solikhan dari HIMMAH di Kudus, Jawa Tengah.

Bagaimana tingkat kesejahteraan petani tebu setelah masuknya gula impor dengan bea masuk yang sangat rendah?

Semakin terpuruk. Kita menuntut bea masuk itu minimal 65% itupun sudah kompromi, karena WTO sendiri masih toleransi sampai 110% hingga tahun 2003. Usulan Indonesia sekarang gula masuk dalam daftar highly sensitive list (daftar komoditas sangat sensitif-red) atau jalur merah. Itu diterima, namun bea masuknya tetap 25%. Inilah yang sangat merugikan petani. Kita minta sidang WTO yang masih mentolerir 110% sampai 2003 dan berangsurangsur turun sampai tahun 2020 menjadi 5%, itu kita pegang teguh. Tetapi nampaknya negara-negara produsen gula tidak mau karena dia katakanlah produksinya sangat banyak sehingga over produksi dan harus dibuang ke negara-negara yang membutuhkan seperti Indonesia. Sekarang yang masuk gula Brasil tanpa bea masuk, karena ijinnya itu untuk diproses kembali. Itu gula mentah atau raw sugar yang ijinnya lewat BKPM. Dia memperoleh ijin 500 ribu ton raw sugar untuk diolah kembali di Lampung, tetapi setelah kita telusuri ternyata pabriknya tidak ada. Kemarin kita sudah menangkap dua kapal dari Brasil yang berlabuh di pelabuhan Cilegon, Merak, Banten membawa gula mentah.

Itu yang merusak harga pasaran gula lokal?

Benar, PT-nya itu namanya Yosilindo. Sekarang kita sedang membuntuti terus, proses hukumnya bagaimana? Kita sudah titipkan masalah ini ke komisi III masalah pertanian perkebunan dan komisi V yang membidangi impor. Kemarin waktu demonstrasi itu didampingi komisi V, kami cek dua kapal yang masuk itu, kita tangkap dan membolehkan gula mentah itu diturunkan, tapi gudangnya disegel. DPR yang menyegel bersama polisi, tapi kita buntuti terus apakah sampai sekarang masih benar-benar disegel atau sudah masuk pasaran. Soalnya kasus-kasus seperti ini sangat bisa untuk dijadikan komoditas. Kita sudah tahu DPR kita seperti itu. Seandainya tidak kita buntuti bisa saja mereka (anggota DPR-red) disuap. Kemarin pas demonstrasi itu Pak Arum dan Pak Wahid (Ketua Umum APTRI Jawa Timur dan Ketua Umum APTRI nasional-red) mau disuap sama importir ini supaya jangan demo-demo lagi. Mereka ditawari semula satu milyar, naik dua milyar, sampai 20 milyar.

Oknumnya?

Ya PT Yosilindo ini. Milik Gunawan. Kalau bisa Anda lacak saja. Tapi saya ingatkan bahwa sangat mungkin kalau kita pressure dia sangat takut, sangat mungkin ini menjadi uang. Dan kita tidak

mau itu. Pada intinya bahwa gula impor harus sesuai dengan kebutuhan saja. Indonesia ini kebutuhannya kurang lebih tiga juta ton per tahun, tapi hanya mampu memproduksi 1,5 juta ton setahun, masih kurang separuh jadi harus impor. Impor itu hanya sejumlah itu, tidak boleh lebih. Dan prosedur impor, bea masuk dan lain-lain harus dipenuhi.

Ternyata yang masuk berapa?

Lebih dari 1,5 juta ton itu. Kita mentolerir gula dengan bea masuk 0% itu masuk Aceh dan Irian Jaya karena disana sangat bergejolak sehingga harganya tinggi. Walau bea masuk 0% sekilo gula itu mencapai lima ribu rupiah. Tapi pada kenyataannya ada sebagian yang masuk ke Jawa dengan fasilitas 0%.

Kebijakan bea masuk gula impor 0% itu mulanya pada masa Memperindag Rahardi Ramelan, dasarnya apa waktu itu?

Dia memang ditekan oleh IMF. IMF bilang Indonesia ini negara miskin masih butuh gula dan masih butuh hutang, tidak usah macam-macam intinya begitu. Giliran kita nglurug (mendatangired) ke IMF, IMF bilang pemerintah you sendiri yang mematok bea masuk 0%. Saling lempar-melempar begitu. Tapi kita tahu bahwa itu tekanan dari IMF. Tapi kalau komitmennya sama dengan kesepakatan WTO 110%, seharusnya berani menetapkan segitu sekurang-kurangnya mendekati 110%. Tapi tidak berani. Yang

”IMF bilang Indonesia ini negara miskin masih butuh gula dan masih butuh hutang, tidak usah macam-macam.”

sekarang ini 25%.

Kalau menurut petani sendiri yang ideal berapa?

Kita mentolerir sekurang-kurangnya 65%. Karena harga lagi bagus. Tapi 65% itupun kalau harga rendah, petani-petani rugi. Jadi kalau dihitung-hitung biaya produksi kita ini berkisar antara Rp 2600-3000 untuk menjadi satu kg gula. Maka logikanya gula itu harganya di atas Rp 3000. Dan itu saya kira tidak membebani rakyat Indonesia. Konsumsi per orang per tahun itu delapan sampai sepuluh kilogram gula. Itu bagi yang butuh, yang sakit (diabetesred) kan tidak. Sangat sedikit dibanding beras. Kalau gula mahal sedikit tidak menjadi soal, justru yang banyak menggunakan adalah perusahaan makanan dan minuman, seperti pabrik Coca Cola, pabrik roti dsb. Kadang mereka-mereka ini tidak mengerti kondisi petani, harusnya mereka jangan jor-joran mengimpor dan disinyalir yang mereka impor itu juga dijual di pasaran. Itu yang kita tidak mau.

Dulu pernah menuntut IMF untuk menaikkan bea masuk itu, tapi kemudian IMF melempar tanggung jawab kepada pemerintah, berarti IMF ada kepentingan sendiri?

Kepentingan IMF jelas sebagai negara donor. Negara donor itu

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . .

ada yang mempunyai pabrik gula seperti Jepang, Kanada, Belanda, Australia. Mereka memproduksi gula dan mereka over produksi. Mereka untuk mencukupi kebutuhan nasional mereka masih lebih, daripada gula mereka rusak, mendingan dibanting harganya diekspor daripada harus membuang gula di laut. Kalau tidak, akan membubuk. Makanya berapapun mereka jual ke negara luar seperti Indonesia, mereka tetap akan untung. Karena cost produksinya terpenuhi dan kebanyakan petani disana disubsidi. Seperti Jepang itu disubsidi dan ironisnya mereka memproteksi produksinya, memproteksi petaninya dengan bea masuk yang tinggi. Jepang itu mencapai 400% untuk bea masuk impornya. Negara-negara Eropa antara 100-200%. Nah, Indonesia ini artinya dijadikan sapi perahan kalau seperti itu. Impor boleh. Hutang juga hutang. Tapi sebaiknya bea masuk kurang lebih sama dengan negara lain. Ini kan sudah hancur-hancuran namanya. Sementara mereka sebagai negara produsen memproteksi dirinya sendiri dengan bea masuk yang tinggi, sementara kita ini ditekan. Ditolong tapi di-pentung juga. Jadi kepentingan IMF itu jelas, yaitu melindungi negara-negara produsen gula yang notabene donatur IMF seperti Jepang dll.

Pemerintah tidak bisa semacam kompromi begitu, waktu tahun 1998 itu?

Pemerintah tidak berani. Sekarang usulan pemerintah di sidang ASEAN bahwa gula itu harus masuk dalam daftar highly sensitive list itu sama saja bohong karena bea masuknya tetap 25%, kalau masuk jalur merah seharusnya bea masuk harus ditinggikan.

Perkembangan terakhir masalah peraturan itu bagaimana?

Saya kira masih tetap 25%, SK Memperindag tahun 2000. Kalau sekarang ini petani tetap menuntut yang pertama adalah impor itu harus dibatasi sesuai kebutuhan tadi, bea masuknya sekurang-kurangnya 65%, itupun kompromi. Kalau kita menuntut 110% saya kira tidak mungkin walaupun itu adalah kesepakatan WTO. Yang dikabulkan ini cuma 25%. Kesimpulannya bea masuk dan kebutuhan impor harus terkontrol. Dan petani ini dilindungi dalam artian seperti pupuk harus disubsidi. Nah, kita minta supaya seperti negara-negara lain pupuk juga disubsidi. Harganya juga, ada semacam harga penyelamat. Kalau kita istilahkan defensif price.

lapangan, tebu itu di beberapa bagian struktur tanah cocoknya hanya untuk tebu. Jadi mau tidak mau ya ditanami tebu. Dengan keresahan petani seperti itu, tanggapan dari pemerintah sudah memuaskan atau tidak?

Saya kira belum, Memperindag masih bersikeras 25% bahkan nanti akan diturunkan. Nah ini repotnya.

Memperindag sekarang ini?

Rini Soewandhi. Dia kan tidak mengerti, dia tahunya otomotif. Tidak mengerti masalah pertanian. Padahal Memperindag ini impor macam-macam, ada pertanian, perkebunan. Dia pengalamannya

Katakanlah kalau harga dunia jeblok ada harga penyelamat yang dipatok oleh pemerintah. Dengan konsekuensi jika harga pasaran jatuh pemerintah harus membeli seperti harga gabah, ada harga dasarnya.

Kalau petani gabah dapat kredit bagaimana dengan petani tebu ini? Sama. Cuma besarannya itu tidak maksimal. Kita usulkan total kredit itu 1,2 trilyun tapi yang dikabulkan itu cuma 365 milyar atau sepertiganya. Untuk menggarap tebu itu saya kira belum maksimal sehingga berdampak pada produktifitas tanaman itu menjadi jelek sehingga hasilnya gula juga tidak baik.

Ada atau tidak kecenderungan petani untuk enggan menanam tebu? Sebetulnya kalau wacana atau sebuah gertakan memang seperti itu, petani memboikot tidak menanam tebu. Tetapi realitasnya di

cuma otomotif jadi tidak nyambung keluhan-keluhan petani.

Kira-kira berapa jumlah kotor gula impor yang masuk?

Kalau rielnya kita tidak tahu karena gula selundupan itu lebih banyak. Istilahnya itu spanyolan atau separuh nyolong. Ijinnya seumpama seribu, yang datang dua ribu. Dan pelabuhan-pelabuhan kita sangat terbuka. Sulit untuk mendeteksi jumlahnya berapa.

Petani semakin terpuruk sejak bea masuk 0% itu?

Ya, sejak 0% itu. Tapi dulu sebelum 1998 impor-impor itu lewat Bulog atau satu pintu. Petani lebih parah lagi waktu itu, sebelum 1998 sebelum reformasi itu gula dibeli Bulog dibeli sepihak, harganya ditentukan tidak ada harga pasar. Sekarang lumayan, Bulog sudah dibredel sehingga petani bebas menjual gulanya sendiri. Kalau dulu katakanlah dicekik oleh Bulog, harus dijual ke Bulog dengan harga yang ditentukan oleh Bulog.

Artinya dalam sejarah petani tebu ini kelihatannya terpinggirkan terus?

Betul, terpinggirkan terus. Sehingga kita tetap menuntut pemerintah supaya tetap memperhatikan petani terutama soal pembatasan impor yang kedua harga, kalau bisa ada semacam harga pengaman, jika harga jatuh pemerintah siap membeli itu seperti negara-negara lain, jangan dilepas begitu saja.

Berapa harga gula yang aman?

Ya di atas biaya produksi, seperti saya katakan di atas tiga ribu. Kalau tiga ribu itu baru balik modal. Harga itu wajar tidak memberatkan konsumen. Petani untung, rakyat juga tidak terlalu berat. Kalau kita bandingkan harga eceran gula Indonesia termurah yang lain seperti Australia itu lima ribu per kilogram, bahkan Jepang mencapai sepuluh ribu karena bea masuknya tinggi. Negara-negara Eropa kurang lebih sama dengan Australia. Artinya kondisi kita

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 2 [LAPORAN UTAMA]
”Rini Soewandhi. Dia kan tidak mengerti, dia pengalamannya cuma otomotif jadi tidak nyambung keluhankeluhan petani.”
Surya h I mmah
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

rizal Malik, direktur OXFaM :

”Harga yang harus dibayar adalah kebebasan kita”

Negara-negara industri tetap akan unggul di sektor industri dan agraris, menurut Anda bagaimana sektor pertanian di waktu mendatang?

Selama ini kalau kita lihat wacana dalam perdebatan perdagangan internasional, globalisasi, pikirannya itu selalu tidak ada alternatif. Sekarang ini sepertinya yang paling dominan itu pemikiran-pemikiran ekonomi, kebijakan, dan praktek ekonomi berdasarkan set teori tertentu, yang teman-teman saya mengatakan itu neo-liberal.

Tapi sebetulnya kan ini fenomena baru, tidak baru-baru amat, kalau kita lihat dari Adam Smith dalam Wealth of The Nation tahun 1776 itu ada satu gerakan untuk menghilangkan peran negara di dalam mengatur perekonomian. Kemudian ia menjadi dominan pada abad ke-18 dan awal abad ke-20, dan kemudian ada depresi ekonomi tahun tiga puluh. Dan kemudian sesudah itu yang dominan, negara perlu mengatur perekonomian. Saya membaca tulisan dari Susan George, pada tahun ’44 waktu IMF dan World Bank itu didirikan. Pikirannya itu pada tahap progresif, karena berdasar pada kerangka teori John Mayner Keyness yang mengatakan negara perlu peranan, untuk pertumbuhan kapitalisme. Pada waktu itu mengatakan perlu full employment dan untuk full employment itu negara dengan bank sentral itu perlu mengatur perekonomian, dan kemudian krisis tahun ’30 tidak akan terjadi lagi.

Kebijakan perekonomian Indonesia masih elitis. Persoalan agraria belum menjadi concern pemerintah. Ini bukan hanya persoalan posisi pemerintah yang dilematis, di dalam putaran globalisasi. Namun bagaimana pemerintah membuat format pembangunan yang memungkinkan dimasukkannya aspirasi masyarakat bawah, terutama kaum petani.

Pemerintah pada 2003 mengamini dilaksanakannya AFTA, satu awal dari spiral globalisasi, yang akan berlangsung terus, dan ”mengancam” petani. Infrastruktur perekonomian yang koyak, dan perangkat pertanian yang belum cukup kuat untuk bergumul dengan produksi luar negeri, membuat posisi petani semakin limbung.

Negara sebesar Amerika Serikat pun masih membuat proteksi terhadap produk pertanian, Indonesia malah mengimpor pangan dari negara lain. Padahal kita adalah negara agraris. ”Dan petani selama ini tidak terbiasa memperjuangkan kepentingan mereka, ini warisan Orde Baru,” ungkap Rizal Malik, Direktur OXFAM, LSM yang bergerak di pemberdayaan masyarakat. Berikut ini adalah petikan wawancara seputar masa depan negara dan petani di tengah pusaran globalisasi, oleh RR Ilmia A Rahayu dan Widiyanto dari HIMMAH dengan aktivis Ornop yang menyelesaikan gelar masternya di Cornell University, AS ini.

Tapi kemudian tahun 80-an, kita lihat dari perspektif sejarah, tiba-tiba karena perkembangan kapitalisme sendiri, kalau kita baca teori-teori mengenai itu, keuntungan karena sektor produksi, keuntungan kan menurun. Sehingga kapten-kapten kapitalisme ini, atau pengusaha-pengusah pemilik modal besar itu mempengaruhi protect terutama di Amerika dan di Inggris untuk untuk membuat ortodoksi baru, itu yang kita sebut sekarang dengan neoliberal. Misalnya dengan pasar itu segala-galanya, pasar itu yang paling penting. Akan ada tangan tersembunyi yang akan mengatur sehingga kemudian negara tidak perlu mengatur. Tapi kan buktinya itu tidak terjadi. Pasar itu kan sosial konstruksi, berada di dalam satu konteks sosial politik tertentu, jadi bukan sesuatu yang ahistoris. Yang namanya pasar adalah konstruksi sosial yang bisa diciptakan, dibuat berdasar model tertentu untuk kepentingan tertentu atau kepentingan yang lain.

Pertanyaanya kan begini saja, konsentrasi pada sektor-sektor industri, yang menguntungkan sektor-sektor ekspor dan kemudian kita kan dapat foreign exchange dan kemudian bisa dapat untuk bayar utang, sebenarnya niat mereka cuma begitu saja. Tapi mengapa kita tidak mengkonsentrasikan kebijakan pertanian pada sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, misalnya.

Bagaimana menurut Anda kebijakan ekonomi pemerintah mengenai pangan?

Sebetulnya kalau kita lihat pemerintah ini, khususnya jaman Orde Baru, orientasinya yang paling utama ialah pemenuhan kebutuhan pangan, swasembada beras. Dan untuk swasembada beras itu sebetulnya pemerintah melakukan banyak kebijakan, yang antara lain memberikan proteksi terhadap petani, regulasi

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Indra / h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . .

harga, dan sebagainya. Pada saat itu sebetulnya kita dari segi produksi cukup tinggi. Swasembada beras tahun ’84 dan produksi beras selalu lebih tinggi. Dan petani sebetulnya mendapatkan margin yang cukup karena perbedaan antara harga input dan harga jual itu masih ada. Karena sekarang saya kira karena letter of intent dari IMF itu mengatakan kita harus deregulasi pada prinsipnya pangan itu tidak diatur lagi.

Di satu pihak ada hal yang baik karena petani bisa menanam hal yang mereka mau, tapi di lain pihak kemudian petani juga tidak punya perlindungan. Jadi untuk mendapatkan margin yang seperti saya katakan tadi tidak bisa lagi dilakukan karena harga jual, padi misalnya tapi kalau kita berbicara pangan di Indonesia sebenarnya lebih dari padi, jadi kalau kita berbicara kebijakan pangan di Indonesia selalu kita selalu berbicara kebijakan beras sebetulnya kalau kita lihat harga jual farm grade price petani sekarang kadangkadang rendah sekali. Pemerintah sekarang mengatakan, kalau tidak salah Rp 1.300-Rp 1.500 padahal farm grade price yang berlaku sekitar tujuh ratus sampai delapan ratus rupiah per kilo. Jadi petani sebetulnya rugi. Tapi kalau tidak dijual gimana?

Dengan mulai masuknya AFTA, proteksi tadi berkurang, melalui import tax misalnya, sangat kecil. Bagaimana pengaruhnya terhadap petani gula?

Seperti saya bilang tadi saya bukan ahli gula. Tapi saya melihatnya begini, kalau pasar bebas, AFTA, kalau di Amerika Utara NAFTA, dan sebagainya, itu kan berangkat dari asumsiasumsi tertentu. Dan asumsi-sumsi itu antara lain yang pertama bahwa pasar itu efisien. Artinya orang dengan demikian kalau misalnya barangnya tidak laku ya dia berproduksi dengan barang yang laku.

Teori comparative advantage misalnya. Misalnya Indonesia ini efisiennya, produksinya, komoditi tertentu, komoditi pertanian, ya konsentrasi di situ saja. Nanti kita jual barang itu dan kita beli produk manufakturing, misalnya. Itu asumsi-asumsi dari pasar bebas.

Tapi kan dari kenyataannya kan tidak seperti itu. Tidak sesederhana itu. Artinya misalnya industri gula di Indonesia. Ini kan ada sejarah panjang. Saya bukan ekonom. Tapi saya penggemar sejarah ekonomi. Itu ada sejarah panjang. Bahwa produksi gula atau industi gula di Indonesia itu itu awalnya adalah bagian dari apa yang disebut sebagai colonial model production. Jadi sebetulnya dia itu dibuat atau ditumbuhkan untuk memenuhi kebutuhan luar negeri.

Dan pada awalnya industri gula di Indonesia itu diproses dengan pemerintah Belanda itu memberikan fasilitas kredit, memberikan kemudahan, Undang-undang Agraria tahun ’70 dibuat, kemudian perpindahan tanah itu menjadi mudah. Kemudian ada juga peran pemerintah untuk memaksa masyarakat, karena di Indonesia beda dengan di Brazil dan Amerika Selatan. Kalau di Brazil dengan budak, sehingga ada labor (cost) atau ongkos produksi berkaitan dengan buruh itu ditekan karena ada budak. Kalau di Afrika Selatan juga begitu. Jadi ada indencial labor. Seperti ada kuli di perkebunan di Delhi.

Kalau di Indonesia, di Jawa lain karena tanah itu tetap milik petani. Tapi pemerintah kemudian sejak jaman Belanda hingga jaman Orde Baru sebetulnya menggunakan kekuasaannya memaksa petani untuk menanam tebu. Jadi sebetulnya di sisi lain ada cost yang tersembunyi. Oleh karena itu pada saatnya gula di Indonesia kalau pakai argumennya orang-orang neoliberal itu tidak efisien. Tapi kalau kita lihat sejarahnya memang tidak mudah untuk switch (pindah- red ) dari satu proses produksi yang panjang seluruh rangkaiannya menjadi proses produksi yang lain.

Pabrik gula Madukismo dekat rumah saya tidak dengan mudah

jadi pabrik piranti. Karena kemudian memang dibuat dan terikat dalam satu sistem untuk produksi gula. Sekarang kita mengatakan kalau kita kompetisi kita harus lebih efisien. Efisiensi itu kan berarti sebetulnya yang kita lihat kalau komoditi pertanian itu bergantung dari banyak hal. Nggak sederhana misalnya kita mengatakan kalau nggak efisien lalu di-switch ke produksi produksi yang lain. Kalau nggak effisien, kita melakukan efisiensi, pecat aja pegawai, kalau ada lima puluh pabrik tutup aja semua yang di Jawa dan buat yang di luar Jawa.

Tapi beda dengan produksi seperti sepatu. Gula seperti saya katakan punya sejarah panjang dan kemudian jalin-menjalin berkelindan dengan sistem sosial yang ada. Sehingga menutup pabrik gula itu ada implikasi dengan, ada kaitan dengan employment, pekerjaan. Ada hubungan dengan sistem sosial yang berlangsung selama bertahun-tahun, yang itu kalau dalam hitunghitungan ekonomi, efisiensi tidak pernah dihitung. Ya kalau mau

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 2 [LAPORAN UTAMA]
”Misalnya dengan pasar itu segala-galanya, pasar itu yang paling penting. Akan ada tangan tersembunyi yang akan mengatur sehingga kemudian negara tidak perlu mengatur. Tapi kan buktinya itu tidak terjadi. Pasar itu kan sosial konstruksi, berada di dalam satu konteks sosial politik tertentu”
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

ditutup tutup aja. Kalau ada 20 ribu orang tidak punya perkerjaan, ya so what? Kalau 20 ribu orang kehilangan perkerjaan mereka akan dengan mudah mendapatkan perkerjaan lain. Tapi tidak sesederhana itu.

Sehingga saya kira memang ada beberapa komoditi pertanian yang kita anggap penting perlu dilindungi. Ada peran negara untuk mengatur, regulasi gitu. Saya orang yang beranggapan negara perlu mengatur perekonomian. Karena kalau perekonomian kalau diserahkan kepada pengusaha saja akan menyababkan kekacauan seperti sekarang. Yang hanya memikirkan keuntungan sehingga hitung-hitungan seperti tadi. Kehilangan perkerjaan, tercabut dari akarnya, social cost, jadi biaya sosial dengan biaya politik kalau dalam hitungan ekonomi susah dimasukan.

Kalau menurut saya, pertama, asumsi-asumsi dasar pasar bebas itu sendiri, seperti comparative advantage sudah mulai diragukan. Kita lihat Amerika saja, Amerika itu memproteksi industri pertaniannya, Uni Eropa juga begitu. Tapi mereka memaksakan pasar bebas, pada produk-produk, atau pada sektor-sektor yang mereka sudah siap karena mereka pasti menang.

Tapi kalau mau berlaku pasar bebas yang sesungguhnya yang murni, itu termasuk modal, termasuk komoditi, goods and services, termasuk tenaga kerja. Tapi sekarang tenaga kerja Indonesia mau masuk ke Amerika susah, mau masuk Uni Eropa susah. Mereka tidak konsisten, pakai standar ganda. Jadi menurut pendapat saya bukan persoalan kita siap atau tidak pada tahun 2002, tapi juga waktunya kita pertanyakan. Apa pasar bebas itu obat bagi persoalanpersoalan perekonomian kita yang berpihak pada rakyat.

Bagaimana Anda melihat tingkat ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara maju?

Sekarang kita melihat melepaskan ketergantungan pada luar negeri. Indonesia kan cukup luas. Variasi dari geografi, topografi.

Iklim yang memungkinkan variasi dari produk pertanian, dan sebetulnya kalau kita diisolasi dari luar negeri, menurut pendapat saya, sektor pertanian kita yang ditujukan untuk dalam negeri masih tetap menguntungkan.

Bukan hanya beras, bukan hanya padi, tapi kan sekarang orientasinya ekspor. Yang menjadi produk unggulan adalah produk yang bisa menghasilkan devisa. Tapi kenapa kita tidak berpikir lain, kenapa kita tidak berpikir suatu saat kita bisa seperti Malaysia. Seperti negara lain, kita bilang kepada IMF kepada World Bank, kita bilang kita tidak perlu itu. Kita tidak perlu, kita diajarin bagaimana kita mengatur ekonomi. Kita akan berorientasi pada usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang merubah sedikit ketergantungan kita ke luar negeri.

Tapi kita belum pernah coba itu, karena elite politik kita takut. Takutnya yang pertama takut karena akan jadi jelek dan ini kan membuat biaya politik, biaya sosial yang tinggi, seperti yang selalu mereka kemukakan. Tapi saya menduga ada persoalan lain. karena mereka diuntungkan dengan sistem yang sekarang. Dan kalau misalnya kita merubah yang seperti itu, yang diturunkan adalah yang di atas, bukan yang bawah naik. Tapi kalau perekonomian kita jelek, kita harus mengetatkan ikat pinggang beneran, bukan hanya retorika politik, maka turunlah elite politik, ekonomi kita yang akan berkorban. Mereka tidak mau.

Dari yang Anda bicarakan tadi, ada fenomena kapitalisme negara, dimana negara yang menurunkan kebijakan yang menguntungkan negara, birokrasi, dan meng- exclude (mengasingkan) aspirasi extrastate (di luar negara).

Ya. tadi saya mengatakan kita memerlukan negara yang kuat tapi tidak berarti negara yang mengelola segalanya. Tapi saya percaya selalu ada pengaturan ekonomi. Jadi itu ya negara. Tapi negara yang seperti apa yang kita perlukan? Itu persoalan besar. Jadi bukan hanya negara saja. Tapi negara seperti apa? Kalau negara yang saya cita-citakan ya negara yang dipilih secara demokratis, ada legitimasi, ada check and balance, sehingga semua kelompok kepentingan punya akses ke semua pengambilan keputusan, termasuk petani. Tapi jangan hanya petani saja, nanti kita seperti Jepang. Di Jepang itu lobby petani sangat kuat. Sehingga muncul banyak kebijakan-kebijakan yang merugikan banyak orang, yang hanya mementingkan lobby petani. Bukan itu yang kita harapkan.

Kalau dalam dekorasi yang pluralistik semua kepentingan, termasuk kepentingan-kepentingan petani dan buruh harus kita pertimbangkan. Buruh yang juga memproduksi hasil pangan. Kemudian juga kepentingan-kepentingan yang lain Dan di situ, di dalam sistem politik yang terbuka, dan demokratis, semuanya itu bisa dirundingkan dan diambil konsensus.

Nah, kalau persoalannya hanya negara saja, negara bisa seperti di teori-teori yang berkembang, tahun delapan puluhan, corporatist state, mereka memang bisa memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seperti Korea Selatan, seperti Singapura, seperti Indonesia, tapi harga yang harus dibayar, menurut saya terlampau besar. Waktu itu oke, kamu pertumbuhan ekonomi tinggi, dan kemakmuran yang lebih baik. Tapi harga yang harus kamu bayar adalah kebebasan kamu. Tapi kalau negara melakukan kesalahan, seperti negara pada masa Orde Baru, pada akhir Soeharto, misalnya, maka kemudian tidak ada check and balance. Negara saya pikir bukan kapitalisme negara yang seperti itu tapi negara yang punya kewajiban untuk mengatur kebijakan perekonomian yang memungkinkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi bagi seluruh rakyat di Indonesia, menurut pendapat saya.

Undang-Undang Dasar sekarang kan sudah dianggap sebagai sesuatu yang klise. Tapi saya melihat elemen-elemen kebenarannya.

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Indra h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pendiri republik ini sebenarnya sudah memikirkan, bahwa sistem kapitalisme bukan sistem terbaik bagi perekonomian Indonesia. Mereka ingin melepaskan dari ketergantungan, pola sistem perekonomian kolonial yang lama menjadi satu model produksi yang lebih demokratis. Tapi kita memang tidak pernah punya model eksperimen yang berhasil seperti itu. Koperasi yang oleh cita-citanya oleh Hatta sebagai satu institusi sebagai alternatif terhadap kapitalisme misalnya selama ini dikooptasi oleh negara kan? Malah menjadi alat negara bagi pemburuan rente. Bukan menjadi institusi ekonomi yang tumbuh dari rakyat yang dibangun secara demokratis seperti yang dicita-citakan Hatta.

Negara memang perlu mengatur. Karena pemain-pemain yang ada, pemain-pemain ekonomi maupun juga kelompok-kelompok kepentingan, ingin kelompok kepentingannya menjadi dominan. Dan saya kira di dalam proses politik itu wajar. Oleh karena itu kita perlu negara yang kuat, yang seperti saya katakan bukan negara yang mengambil alih semua peranan-peranan masyarakat. Seperti yang saya katakan dengan contoh koperasi tadi. Tapi kalau misalnya, saya percaya kalau masyarakat mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, yang diperlukan oleh kita adalah negara yang bisa mengatur bagaimana usaha-usaha itu terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tapi bukan juga negara yang tidak mau turut campur dan membiarkan swasta mengambil alih semuanya itu, yang kuat tapi akan menang. Saya berfikir kalau kita melihat peran negara, adalah negara yang seperti itu, yang cukup kuat untuk mengatur kepentingan-kepentingan tapi cukup demokratis yang memungkinkan dia dikontrol.

Menurut Anda sudahkah ada mekanisme yang mengkontrol praktek rent seeking (pungutan) dalam proyek pertanian?

Kalau negara yang pro neoliberal itu jawabnya sederhana saja kan. Salah satu sumber dari pemburu rente adalah lisensi dari negara. Kalau begitu negara tidak usah mengatur. Itu saja.

Tapi yang jadi persolannya adalah mengapa itu dimungkinkan? Kita melihat sebetulnya yang terjadi di Indonesia dan di Rusia bukan negara yang bisa dikontrol oleh masyarakat, tapi negara

untuk diberikan kepada politisi, dan ekonomi terlampau penting untuk diberikan kepada para ahli ekonomi.

Jadi masyarakat sipil, ornop, kelompok-kelompok kepentingan seperti buruh dan petani yang memungkinkan untuk mengontrol negara. Jadi jangan dibiarkan negara seperti sekarang contohnya eksekutif dan legislatif. Dulu berat di eksekutif, sekarang legislatif mengatur hal-hal yang kecil-kecil, seharusnya buat undang-undang saja, tidak perlu mengatur presiden sampai yang kecil-kecil. Tapi ya namanya OKB, orang kuasa baru.

Sekarang MPR dan DPR tidak mau memperjuangkan kepentingan masyarakat misalnya melalu peraturan agraria, sudah berapa kali dalam sidang umum MPR, dalam sidang tahunan MPR belum pernah menjadi satu keputusan yang mengikat. Tapi masyarakat tidak punya kemampuan untuk mengontrol MPR. MPR tidak mau membuat udang-undang dengan konsultasi yang luas yang memungkinkan seluruh aspirasi ditampung, kontrak sosial dibangun. Karena mereka mau membuat undang-undang yang sesuai dengan kepentingan sesaat.

seperti mafia, kan begitu. Dan kalau mafia itu beroperasinya dengan menggunakan kekuatan untuk mendapatkan sumber ekonomi. Dan setiap fungsionaris negara melihat tugas mereka itu adalah untuk memaksimumkan manfaat dari kedudukan mereka.

Kalau dulu ini ada hubungannya dengan pola kebudayaan, pola kekuasaan Mataram, saya kira. Kalau Anda dikasih jabatan seperti bupati, anda tidak diberi resources, sumber daya, tapi anda harus mencari makan sendiri. Bagaimana Anda mendapatkan resources, sumber daya, terserah anda bagaimanapun caranya, yang penting anda bayar upeti kepada raja. Jadi pola-pola itu sepertinya masih berlangsung.

Yang penting bagi saya adalah bagaimana menumbuhkan kemampuan masyarakat sipil, untuk mengontrol negara. Seperti halnya pasar, negara tidak boleh dibiarkan sendirian. Kalau neoliberal itu membiarkan pasar berkembang sendiri, tidak usah diatur oleh negara, maupun yang lain. Saya melihat bahwa negara tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Politik terlampau penting

Tapi kita tidak punya mekanisme untuk mengatur mereka saat ini. Nah itu yang saya katakan politik terlalu penting untuk diberikan kepada para politisi. Karena pemikiran mereka terlampau singkat dan sesaat. Bahkan sekarang semua politisi kita berpikir tentang bagaimana tahun 2004. bagaimana mereka menguasai resources sehingga partai mereka siap untuk mengikuti pemilihan umum 2004.

Kalau di Inggris misalnya kaum agrarian punya partai yang kuat sehingga mereka mampu untuk ikut menentukan kebijakan. Lalu kekuatan apa dimiliki kaum agrarian di Indonesia ?

Sekarang kalau kita lihat gerakan-gerakan petani di Indonesia memang sudah mulai tumbuh, misalnya serikat petani merdeka yang tidak dibuat negara, yang dibuat oleh petani sendiri sudah mulai tumbuh. Serikat Petani Sumatra Utara, Serikat Petani Seluruh Indonesia, kemudian juga di Jawa ada gerakan-gerakan petani.

Tapi Anda juga harus melihat kalau Kita lihat dari perbenturan

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 2 [LAPORAN UTAMA]
”Saya melihat bahwa negara tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Politik terlampau penting untuk diberikan kepada politisi, dan ekonomi terlampau penting untuk diberikan kepada para ahli ekonomi”
Indra h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . .

neo Liberalisme, dampak Bagi Indonesia

NEO-liberalisme

pada dasarnya adalah neo-kapitalisme. Dipilih nama liberalisme dan bukan kapitalisme, agar tidak menimbulkan terlalu banyak kontroversi dan antipati. Pandangan itu mulai muncul sejak eliminasi sistem ekonomi model komunis, yang secara simbolis ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin. Eliminasi sistem ekonomi modal komunis itu telah menjadikan kelompok fundamentalis di kalangan kaum liberal-kapitalis menjadi arogan. Ekonomi Pasar adalah pilihan yang dianggap paling benar. Kemudian gagasan ini diaktualisasikan, dalam arti menyerahkan segala-galanya pada mekanisme pasar tanpa ada peran negara sama sekali. Jadi, secara konsep pandangan neoliberalisme pada dasarnya adalah pandangan kapitalistis yang paling konservatif.

Gagasan itu kemudian ditunjang oleh terjadinya kemajuan teknologi, terutama menyangkut bidang komunikasi, ekonomi dan finansial. Kemajuan di bidang komunikasi memungkinkan kontak antar bagian dunia dalam berbagai masalah dalam waktu yang sama. Tetapi, ternyata kontak-kontak itu hanya berlangsung dari satu arah saja, tanpa kesepakatan yang menguntungkan si penerima kontak. Di bidang ekonomi, telah terjadi perubahan dalam struktur perusahaan, pasar, hubungan industrial, serta penanaman modal. Teknologi telah berhasil mengembangkan cara produksi dengan memakai hal-hal yang baru, sehingga bisa meningkatkan produksi. Namun demikian, keuntungan yang didapat dari kenaikan produksi itu tidak dibagi secara adil. Terakhir dalam sistem finansial, kemajuan teknologi itu telah memungkinkan peningkatan nilai dalam arus modal jangka pendek lewat spekulasi di pasar modal. Tetapi, tidak disertai dengan perkembangan di sektor riil, karena hal itu terjadi tanpa kerangka kerja dan aturan yang efektif dan sehingga hasilnya—seperti perjudian—tidak dapat diprediksikan

Kemajuan dan perkembangan itu ternyata tidak mendatangkan kesejahteraan bagi mayoritas umat manusia, bahkan sebaliknya, kemajuan dan perkembangan itu makin meningkatkan ketidakadilan, yang pada giliran berikutnya memperlebar jurang kemiskinan. Makin kecilnya peran negara telah mengakibatkan ekspansi kekuatan kapital tanpa ada kekuatan yang membatasinya, sehingga kapital tidak lagi mempunyai kewajiban dan tanggung jawab politik dan sosial.

Dimana Posisi Indonesia?

Pertanyaannya, di mana Indonesia sekarang ini berada ? Dalam posisinya sekarang ini, dengan memakai istilah yang sudah disebutkan di atas, Indonesia termasuk dalam kategori negara si penerima kontak, yang didikte oleh si pengontak. Termasuk negara yang tidak mendapat bagian dari keuntungan perkembangan perekonomian dunia karena pembagiannya dilakukan secara tidak adil dan karenanya menjadi negara miskin. Sekalipun kita mempunyai kekayaan yang luar biasa—minyak bumi, hutan, emas, ikan dan sebagainya—namun dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia sekarang ini kekayaan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh mayoritas massa rakyat. Selain disebabkan karena keuntungan

itu sudah dikeruk oleh perusahaan trans-nasional (TNCs- red.), juga disebabkan oleh pembagian dari sisa keuntungan itu di dalam negeri dilakukan secara tidak merata, sehingga hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elite saja.

Ketergantungan yang hampir total dari industri Indonesia kepada luar negeri telah mengakibatkan kaum buruh di Indonesia harus tetap menanggung beban, yaitu tetap menerima upah yang kecil. Karena dalam persaingan internasional, yang dikuasai Indonesia hanyalah keunggulan buruh-buruh belaka—modal, bahan baku, mesin-mesin, teknologi, pemasaran, transportasi dikuasai pihak asing. Hanya dengan buruh murah itulah maka produksi Indonesia bisa menjadi kompetitif di pasar dunia. Kekhawatiran bahwa pabrik-pabrik yang sudah dibangun di Indonesia akan dipindah atau direlokasi oleh para pemiliknya—termasuk orang Indonesia sendiri—ke negara lain membuat makin tergencetnya posisi kaum buruh. Di dalam perjuangan untuk memperbaiki nasibnya, di samping majikan mereka juga berhadapan dengan birokrasi pemerintah dan tidak jarang harus berhadapan dengan aparat militer-polisi yang punya kepentingan agar pabrik-pabrik tersebut tidak direlokasi ke negara lain.

Kedua, kita mengabaikan sektor pertanian, dalam arti tidak meletakkan dasar fundamental bagi pembangunan di sektor ini. Tujuannya terlalu simpel: meningkatkan produksi beras dan menekan harga agar tidak menimbulkan gejolak sosial, sehingga akibatnya petani tidak antusias untuk terus berproduksi dan pada gilirannya mengakibatkan rendahnya produksi beras di Indonesia. Akibat ditelantarkannya pembangunan di sektor pertanian maka tingkat produksi Indonesia menjadi sangat rendah dan tidak efisien. Produksi beras kita hanya 24 juta ton, padahal kebutuhan mencapai 28 juta ton. Produksi gula kita hanya 1,5 juta ton, padahal kebutuhan mencapai 2,5 juta ton. Produksi kedelai kita hanya 1,5 juta ton, padahal kebutuhan kita mencapai 3 juta ton. Di bidang pertanian keunggulan kita hanya pada produksi minyak sawit. Dan bagaimana pun juga, kekurangan itu harus kita impor. Di sini kita harus bersaing dengan sesama negara yang sedang berkembang, terutama Thailand, Vietnam, India, dan Malaysia. Hanya saja, karena negara-negara itu sejak awal memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian secara sangat serius. Negara-negara itu melakukan penelitian untuk menemukan bibit-bibit unggul yang baru, memberikan kredit yang murah, memberikan bimbingan yang intensif, memberikan pelayanan pemasaran, bahkan menyediakan dana untuk menyeimbangkan pasar. Karena itu, maka mereka bisa melakukan produksi secara efisien. Artinya, petani di negara-negara tersebut mampu memproduksi hasil pertanian secara murah.

Dalam sektor pertanian ini, Indonesia benar-benar berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi harus melindungi kaum tani dan di sisi lain harus memenuhi kebutuhan masyarakat. Kalau kran impor dibuka bebas, kaum tani di Indonesia bisa hancur. Kalau dikenakan pajak yang tinggi, masyarakat yang akan berteriak-teriak.

0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [KOLOM]
Anggota
Badan Pekerja Pusat Centre for Social Democratic Studies (CSDS) dan
 . . . . . . . . . . . . . . . .

satu Tuhan Banyak agama

berat terucap. Apalah artinya agama? Hidup beragama di tengah k eanekaragaman dan perbedaan yang tak jarang mengundang perpecahan dan merusak kemanusiaan. Bukankah se tiap agama telah memberikan dan men janjikan cinta damai dan kasih kepada setiap umatnya? Memberikan teks yang menjadikan manusia mengenal identitas dirinya. Ataukah sebaliknya mengikuti tuduhan Freud kalau agama hanyalah ilusi buatan manusia yang putus asa menghadapi takdir.

RASANYA

Problem Berbeda Agama ”Perbedaan dan pluralisme agama adalah sebuah fakta. Semua tahu hal itu. Dan seharusnya memang diakui sebagai fakta. Namun kebanyakan orang sulit mengungkapkan pengakuan sejati terhadap pluralisme agama sebagai sebuah fakta,” ungkap Abdul Munir Mulkhan, dosen pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Itulah gambaran manusia yang sering lupa kalau telah bertindak munafik terhadap hidupnya. Meskipun sudah ratusan tahun bangsa Indonesia hidup dalam perbedaan, namun ketegangan dan teater konflik kema nusiaan yang acapkali berdarah masih saja terus terjadi.

Kondisi pluralisme agama yang men datangkan disintegrasi sosial menarik banyak media massa untuk me m p u bli kasikan tulisan seputar pluralisme agama. Diskusi, seminar bahkan sejak tahun

1970-an dialog antar agama bermunculan. Lembaga-lembaga seperti Institut Dialog Antar Iman (DIAN Interfidei) Yogyakarta, Masyarakat Dialog Antar Iman (Madia) Jakarta, Forum Dialog Antar Kita (Forlog) Sulawesi Selatan dan semacamnyapun lahir demi sebuah solusi. Benarkah demikian? Fakta berbicara lewat media massa bahwa semakin berkembangnya kelompok-kelom pok peduli pluralisme seperti yang disebut diatas namun tetap saja terjadi kerusuhan sosial dan korban kemanusiaan semakin bergejolak, berdarah-darah.

Lalu orang bertanya, apalah artinya dia log keagamaan? Bukankah dialog semacam itu masih terbatas pada kalangan elite dan intelektual agama. Munir Mulkhan juga mengakui, bahwa dialog antar pemeluk agama membahas topik-topik aktual yang menyentuh langsung kehidupan belum per nah ada dalam sebuah desa. Tapi itu bukan berarti gagasan berdialog antar agama yang menyebabkan kekacauan umat. ”Peluang dialog jangan dianggap remeh,” tutur Munir Mulkhan menasehati.

Padahal, dialog antar agama bukan han ya milik para pakar yang berdialog dalam satu ruang formal. Rakyat juga memilikinya dan berhak mendapatkannya demi menjaga kelangsungan sebuah tujuan hidup. ”Dialog formal penting dalam menyelesaikan per soalan-persoalan yang baku,” tegas Hary atmoko, dosen pasca sarjana Universitas Indonesia kepada HIMMAH

Paul Riucoeur pernah menawarkan model dialog dalam kategori hermeneutika dengan analogi permainan. Permainan mendorong tumbuhnya kreatifitas dan ini siatif. Karena dalam permainan orang bebas dan tidak terikat oleh norma-norma sosial dan keseriusan sehari-hari. Gagasan-gaga san kreatif dan terobosan-terobosan bisa lahir dari permainan. Relevansinya dalam hubungan antaragama terletak di dalam menciptakan peluang untuk perjumpaanperjumpaan informal, seperti olah raga, teater, musik dan sebagainya. ”Dialog sep erti inilah yang belum kita kembangkan,” ungkap Haryatmoko.

Bagi Haryatmoko, tidak diterimanya pluralisme sangat tergantung dalam ke biasaan dan pergaulan dengan orang-orang seagama, tanpa membuka mata untuk men genal kehidupan agama lain. Kisah nyata Supardi berikut ini adalah contoh tidak diterimanya pluralisme itu. Supardi merasa curiga, was-was dan prasangka buruk lain nya waktu diajak temannya makan di wa rung nasi yang pemiliknya bukan seagama dengannya. ”Mendingan saya nggak makan kalau di warung ini,” ungkap Supardi yang sejak kecil hidup bersama orang-orang yang dikatakan fanatik dalam Islam.

Bila ditelusuri lebih jauh, bagi Kuntowi joyo istilah kerukunan dan toleransi dalam hubungan antaragama telah menimbun si kap apologetis. Dalam buku Muslim Tanpa Masjid , Kuntowijoyo m e ngungkapkan

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [AGAMA]
Perbedaan dan pluralisme agama adalah fakta. Tapi mengapa orang beragama sulit menerima kenyataan ini?
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . Ujang / h I mmah

bahwa pada abad ke-21 diperlukan nama baru untuk hubungan antar umat beragama dengan jalinan kerja sama. Sementara itu, Haryatmoko berpendapat bahwa keruku nan adalah perlu, ”Namun yang terpenting adalah bagaimana selanjutnya keruku nan tersebut terus dikembangkan dalam bentuk kerja sama, baik yang formal dan informal.”

Perbedaan Identik Konflik?

Kondisi pluralisme merupakan suatu keniscayaan, yang pada satu sisi men ciptakan disintegrasi sosial. ”Orang sering mengatakan kalau lawan dari pada kon flik itu tiadanya perbedaan,” ungkap Mulkhan.

Dalam wawancara terpisah Ali Yaser, seorang mubaligh yang juga penulis buku Kristianologi Qur’ani mengungkapkan bahwa perbedaan dan pluralisme agama memerlukan sikap bagaimana setiap orang memperlakukan dan menyikapi perbedaan, bagaimana perbedaan mencurahkan dan memperlakukan semuanya dengan lebih manusiawi. ”Bukan hanya menerima takdir, tapi mampu menerima realitas keagamaan,” ungkap Shimon, nama lain dari Ali Yaser.

setiap orang yang beragama semuanya melangkah menuju kesucian Tuhan. Akan tetapi tidak boleh lupa dengan memberikan penghargaan kepada perbedaan agama yang ada.

Demi sebuah kekuasaan dan hawa naf su, orang sangat gegabah menafsirkan dan mencari kebenaran teks agamanya. Semua menyalahgunakan kekhasan agama, me ngorbankan dan membunuh hak asasi juta an manusia. Kesempatan seperti itulah yang ditunggu orang yang tak mempedulikan agama. Mereka memanfaatkan dengan baik kesempatan itu untuk membuktikan gaga sannya. Mengkambing-hitamkan agama sebagai penyebab semua pertengkaran umat. Dan tidak sedikit dari mereka yang kemudian ragu akan kebenaran agama yang selama ini dipeluknya.

Namun orang bijak dengan prasangka baik (positif thinking) berkata kalau tak ada orang yang menampilkan agama se bagai konflik. Tapi adanya pemahaman agamalah yang memunculkan perbedaan yang semakin fundamental karena agama sendiri berkaitan dengan masalah-masalah fundamental. ”Bukan kemudian agama secara sengaja dijadikan konflik, saya kira

tantangan yang harus dijawab oleh para tokoh agama. ”Kritik ini adalah masalah yang besar dan menjadi tanggungjawab bagi semua tokoh agama. Bukan malah sebaliknya, terbuai dengan kekuasaan yang mematikan hak asasi manusia,” un gkapnya.

Penerimaan pluralisme harus selalu memperhatikan kritik dari luar dan dalam agama sendiri. Karena menurut Mulkhan agama sebagai teks yang ditafsirkan oleh manusia bisa dibawa ke kanan dan ke kiri. Dan sesungguhnya sangat tergantung pada sikap manusia sebagai pemeluk agama dalam menafsirkan teks ajaran.

Menurut Haryatmoko, dalam kehidupan agama, disamping memfokuskan identitas kekhasan agama. Suatu agama juga tetap menghormati identitas agama lain. Segera membongkar ilusi-ilusi yang menghambat dan penyalahgunaan agama yang men janjikan cinta, kasih dan damai.

Tepat kita mengambil contoh Islam seb agai ”rahmatan lil’alamin” yang terkadang disalahartikan bagi umatnya. ”Memahami kata ’rahmatan lil’alamin’ kadang-kadang disalahpahami. Rahmatanlil’alamin artinya orang Islam itu harus bisa memberi manfaat kepada orang lain walaupun beda agama,” ungkap Munir Mulkhan.

Dalam hal ini diperlukan tafsir ulang pada semua agama. Perbedaan agama yang pada satu sisi memperlihatkan tantangan teologis dan pada sisi lain adanya fakta sosial yang harus dijawab. Semuanya ha rus terus dikembangkan dan dibutuhkan tafsir ulang oleh kalangan intelektual dan cendekiawan agama. ”Umat Islam jangan hanya mensucikan fiqh tapi mari kita kem bali kepada yang terutama, Al Qur’an,” kata Shimmon.

”Dalam pluralisme, pembelaan bukan ter hadap orang yang menjadi bagian dan ang gota tertentu tapi lebih bersikap manusiawi. Dosa seseorang bukan menjadi tangung jawab orang lain,” tambah Shimon.

Selain itu, perbedaan merupakan tan tangan yang harus dijawab. Me n jawab tantangan merupakan upaya memurnikan dan mendewasakan agama. Oleh karena itu, Haryatmoko menganalogikan agama dengan kedewasaan. Karena dengan ke dewas a anlah yang mem u da h kan semua orang dalam menerima perbedaan. Bahwa

nggak ada orang seperti itu. Tapi kalau ada pemahaman agama yang kemudian membuat perbedaan-perbedaan di bidang sosial politik menjadi semakin fundamental karena agama berkaitan dengan masalahmasalah yang fundamental,” ungkap Mulkhan lebih lanjut.

Lantas bagaimana tuduhan Marx, Freud terhadap agama? Memang di daerah Eropa kecuali Irlandia, pertentangan jarang ter jadi. Namun bagi Haryatmoko kritik agama tersebut membawa arti yang sangat besar di dalam pemurnian iman. Dan merupakan

Tanpa menyalahkan lembaga-lembaga yang konsen terhadap pluralisme, keg iatan-kegiatan sosialisasi semacam dialog, seminar, talk show media hendaknya terus bergulir. Begitupun tafsir ulang dan kri tik yang harus ditindaklanjuti, sehingga wacana pluralisme bukan hanya menjadi wacana elite masyarakat tetapi membumi dan mendarah daging pada masyarakat secara luas.

Untuk itu Sukidi, seorang intelektual muda Muhammadiyah melihat perlunya strategi yang efektif untuk menyusupkan wacana pluralisme agama ke berbagai elemen dan institusi sosial keagamaan. Akhirnya Kuntowijoyo pun berpesan agar agama jangan menampilkan diri sebagai ideologi alternatif tetapi sebagai alterna tif dari ideologi. Mendapatkan janji suci agama bukan seperti tuduhan orang-orang yang tak peduli agama.

Susila Rahmi, Henny Sartika

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [AGAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dialog pemuka agama. Lahir demi sebuah solusi
W Dani K h I mmah

sawah Hemat air

sawah Hemat air

terlihat jika petani menanam sawah selalu ”boros” air, karena mereka tidak hanya mengairi, namun menggenangi tanaman ini terus-menerus hingga menje lang panen. Kini ada metode sawah hemat air yang ditemukan oleh Prof Dr Ir Nurpili han Bafdal, MSc. Dosen Universitas Padj adjaran (Unpad), Bandung ini menjelaskan bahwa pengelolaan atau sistem manajemen air yang ia temukan sangatlah ringan, yaitu dengan tidak merendam tanah persawa han tetapi cukup membuat tanah tersebut becek, dan padi juga tidak perlu disemai namun langsung saja ditanam. ”Dengan pengaturan semacam ini maka kita akan dapat menghemat penggunaan air sebesar 20 persen hingga 30 persen dari peng gunaan semula,” ujarnya kepada Ilham dan Taufiek dari HIMMAH di Bandung beberapa waktu silam.

SERING

Prof Nur begitu panggilan akrabnya mengatakan bahwa sistem pengelolaan air

yang ia jelaskan dalam pengukuhannya se bagai guru besar Fakultas Pertanian Unpad ini tidaklah terlalu hebat sebab negara lain, seperti Cina, Jepang, dan juga Amerika telah menggunakan cara ini. ”Namun tekniknya lain,” ungkapnya.

Petani di negara-negara itu mengguna kan teknik pembasahan tanah dengan cara disemprot. Letak alat penyemprotnya pun permanen dengan menggunakan mesin. Jika cara ini langsung diadopsi untuk diter apkan di Indonesia, kemungkinannya kecil karena memakan biaya yang sangat besar, setidaknya petani di Indonesia tidak mampu untuk membeli teknologi ini.

Namun masalah sudah seharusnya tidak menjadi penyebab tak terkelolanya air untuk pertanian. Jika petani kita belum mampu untuk membeli teknologi semacam ini maka alternatif lain yaitu dengan men gurangi jumlah air untuk membasahi tanah dan dengan tidak menyemai padi sebelum

tanam. ”Karena hal ini pada dasarnya ti dak perlu bagi padi, ibarat manusia yang hanya membutuhkan makan sehari tiga piring namun dipaksa untuk mengkonsumsi makanan sebanyak satu bakul, ini suatu bentuk pelayanan yang sia-sia,” jelas Prof Nur yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Jawa Barat.

Pemborosan-pemborosan semacam ini sangat merugikan masyarakat lain karena mereka akhirnya kekurangan air bersih atau air yang layak konsumsi. Sebab sebagian besar air yang ada itu tercemar oleh pupuk yang diberikan untuk menyuburkan padi.

Teknik pengelolaan air untuk sawah semacam ini, menurut Prof. Nurpilihan, sangat sulit diterapkan di Indonesia. Karena sudah sejak jaman dahulu cara bersawah selalu identik dengan ”boros” air. Akibat nya, dalam sosialisasi teknik baru ini, pihaknya mengalami kesulitan yang sangat

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [SAINTEK]
Jumlah air bersih semakin berkurang. Salah satu sumber pengurangan itu adalah pertanian. Kini ada metoda baru dalam pengelolaan air untuk pertanian ini, khususnya untuk sawah. Metode macam apakah itu?
. . . . . . . . . . . .
W Dani K / h mmah

berarti. ”Sebab kita harus membongkar mitos, bahwa sawah sebenarnya tidak harus direndam,” tambah wanita kelahiran Banda Aceh ini.

Untuk sementara ini daerah yang sudah menerapkan cara ini baru petani yang ada di Jawa Barat, namun jumlahnya masih belum banyak. ”Itupun melalui usaha meyakinkan yang sangat keras dari kami,” jelasnya diruang kerja.

Sementara itu, Sugeng (73), seorang petani dari daerah Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, mengatakan bahwa sebenarnya perendaman air sawah itu tidak mutlak dilakukan. Mereka (petani daerah Pakem) juga melihat kondisi jumlah air. ”Jika airnya banyak, ya ngerendem. Tapi kalau nggak banyak, nggak usah saja,” ujarnya saat ditemui dipematang sawah yang sedang ia garap, dengan luas hanya setengah hektar itu.

Air selalu menjadi masalah, padahal air adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi siapa saja dan apa saja. Tak jarang, orang rela antri untuk mendapat kan air.

Jumlah air di dunia sangat banyak. Tak kurang dari 1385984,610 km kubik jumlahnya dan jumlah fresh water adalah 35. 029, 210 km kubik. Dari sekian banyak jumlah air tersebut, ada 97 persen yang berupa air laut dan sisanya yang sebesar tiga persen yang berupa air tawar.

Air yang sebanyak tiga persen inilah yang semakin hari menjadi semakin sulit di peroleh karena siklus peredaran air tak lagi lancar. Siklus tersebut yaitu air yang berada di lautan kemudian menguap men jadi cikal bakal hujan yang dibawa oleh angin ke daratan. Kemudian ia mengalami reaksi, semakin berat awan uap air itu maka semakin pelan jalannya.Pada kawasan ter tentu awan inipun berubah menjadi hujan dan inilah yang menjadi sumber air tawar yang ada di daratan.

Saat ini, seperti yang telah disebutkan di atas, berjalan dengan tidak normal lagi. Ketida k normalan keadaan cuaca inilah kemudian yang kini disebut dengan kondisi La Nina yaitu musim hujan panjang dan El Nino yaitu musim kemarau yang berke panjangan pula, yang dapat mempengaruhi jumlah air yang dapat dipergunakan di daratan, terutama untuk pengairan.

Kedua kondisi ini telah cukup lama dikenal masyarakat, setida k nya setelah hampir sepuluh tahunan ini. Namun upaya untuk menghadapi kondisi itu belum ban yak dilakukan.

Untuk gejala El Nino, pada tahun 1980-an beberapa negara di dunia seperti Indonesia, Australia, Afrika, Srilangka, Fil ipina, AS Tengah, Argentina dan Paraguay,

mengalami kondisi semacam ini. Semen tara untuk masalah La Nina pada tahun 1988/1989 negara Indonesia mengalami masalah ini.

Seperti yang telah disebutkan diatas tadi bahwa jumlah air tawar yang hanya berjumlah tiga persen dari total air di dunia ini yang kemudian digunakan oleh seluruh mahluk hidup untuk melangsungkan kehidu pannya. Penggunaan air untuk konsumsi manusia saja cukup banyak, setidaknya seorang manusia menggunakan air sebesar 100 liter per harinya. Jika dikalikan dengan jumlah manusia yang ada di dunia saat ini yang lebih dari lima milyar manusia maka dalam satu harinya air yang digunakan sebesar lima ratus milyar liter per hari. Belum lagi banyaknya air yang digunakan oleh pabrik dan sekian banyak usaha manu sia lainnya, konsumsi hewan dan termasuk pula konsumsi tumbuhan.

Dan ada yang menarik untuk kita amati bahwa ternyata untuk Indonesia yang memiliki lahan persawahan yang cukup banyak ini, setidaknya ada 4,2 juta hektar, mengunakan air sebanyak dua trilyun meter kubik per tahunnya.

Konsumsi ini terhitung sangat besar. Dan ini juga menimbulkan masalah yang sangat pelik. Gara-gara otonomi daerah yang mulai berlaku di Indonesia maka pengelolaan air tumbuh menjadi masalah. Sebagai contoh kasus saja adalah di DIY. Tiga kabupaten di DIY yaitu Kabupaten Sleman, Kodya Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul, ribut-ribut karena masalah air.

Kabupaten Sleman yang kawasannya adalah daerah resapan untuk air hujan yang menjadi sumber air bagi dua kabu paten dibawahnya, yaitu Yogyakarta dan Bantul, kini menuntut bayaran dari dua kabupaten ini.

Hal ini terjadi karena dalam menjaga kawasan resapan air hujan yang berada di sebelah utara kota Yogyakarta sangat sulit. Salah satu sumber dana bagi Sleman adalah pajak bangunan, dengan adanya larangan untuk membangun secara masif di kawasan ini tentu saja berarti tidak ada pajak yang masuk ke kas daerah. Oleh sebab itu maka agar kawasan ini tetap mampu menyerap air hujan dan kas daerah juga tetap terisi maka tak ada tindakan yang layak dilakukan kecuali dengan memajak dua kabupaten didaerah DIY tersebut.

Hal ini terungkap dalam sebuah seminar masalah pengelolaan air yang dilaksanakan pada akhir tahun 2000 lalu dengan pelak sana Jurusan Teknik Ling kungan FTSP UII yang menghadirkan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X. Dalam acara ini banyak mengemuka masalah rasa keadilan tiap daerah. Sleman yang ”berjasa” menjaga

daerah tangkapan air hujan dengan mengor bankan salah satu sumber pendapatannya yaitu pajak pe m bang u nan semestinya dihargai oleh kabupaten Yogyakarta dan Bantul dengan memberikan insentif yang be r fun g si mengisi kas daerah Sleman. ”Namun rasa keadilan itu yang bagaimana, belum ada rumusan yang jelas,” ujar Sri Sultan dalam kesempatan di coffe break acara tersebut.

Masalah pengelolaan air adalah salah satu masalah yang sangat sulit untuk dise lesaikan. Disamping sumber daya yang bangsa Indonesia miliki belum memadai, juga karena masalah air adalah masalah yang dinamis, artinya bahwa air itu selalu berubah-ubah masalahnya.

Jika diatasi dengan satu cara, maka cara ini tidak akan mampu beradaptasi dalam menyelesaikan bentuk masalah lain. Sebagai contoh saja adalah masalah pen gelolaan air yang melintasi kota melalui drainasi perkotaan.

Bentuk konstruksi yang dibuat misalnya saja close channel flow (terbuka) dengan fungsi single purpose (hanya digunakan

Irigasi. Perlu biaya besar untuk satu fungsi saja, misalnya limbah saja atau air hujan saja). Bila menggunakan ukuran drainasi dengan pertimbangan jum lah debit aliran air pada tahun 2000, maka belum tentu ukuran ini akan memadai untuk dipakai pada tahun 2010 dan seterusnya.

Jika dikaitkan pada masalah pengelo laan air yang berkaitan dengan sistem pen gairan untuk pertanian, persoalannya pun semakin pelik saja. Sebab pengelolaan air untuk pertanian adalah sebuah pengelolaan yang menelan biaya yang sangat besar.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [SAINTEK]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . F iek / h I mmah

Seperti yang telah tersebut diatas, men gelola air sebanyak dua trilyun per tahun, membutuhkan biaya puluhan milyar dollar AS. Dari mana dana ini datang jika bukan mengandalkan utang luar negeri.

Selain itu, pengelolaan air untuk per tanian ini juga menimbulkan masalah sosial yang tidak sedikit. Sebagai contoh yang dapat kita ambil adalah dalam pembuatan bendungan Kedungombo yang di mulai 1985 dengan menelan biaya sebesar US$ 156 juta.

Penduduk yang harus dipindahkan un tuk membuat bendungan ini sebanyak 20 ribu jiwa. Mereka dipaksa untuk mengikuti transmigrasi yang oleh Bruce Rich dalam bukunya yang berjudul Menggadaikan Bumi adalah sebuah sistem pemerataan penduduk yang sangat mengerikan dan

ditemui di ruang kerjanya.

Ia juga menjelaskan bahwa khusus untuk Indonesia, kasus di Kedungombo itu adalah kasus yang insidental sifatnya. Arti nya, untuk daerah lain tidak ada letupan dari masyarakat ketika ada pembangunan ben dungan untuk pengairan. ”Sebab, pemerin tah saat itu asal saja membangunnya tanpa pertimbangan matang,” lanjutnya.

Memang benar apa yang diutarakan oleh Bambang ini. Di Sumatera, sepanjang tahun 2000-2001 ada tiga buah bendungan yang diresmikan, yang perencanannya telah dibuat sejak 1980-an. Dan memang tidak ada letupan yang berarti, karena adanya proses pendekatan yang baik.

Bendungan yang dibuat di Sumatera itu salah satunya adalah bendungan Way Seputih, Kabupaten Lampung Tengah yang

parah dari kasus ini tragedinya.

Sebagai contoh adalah pembangunan bendungan dalam tujuan pengelolaan air di India, Amerika, dan sekian negara dunia ketiga lainnya. Sebagian besar di negara tersebut meletup kejadian yang berupa pro tes maupun tuntutan dalam pembangunan bendungan.

Protes yang lahir biasanya dilatar belakangi pada masalah lingkungan yang sangat merugikan susunan ekologi dan kehidupan masyarakat sendiri yang se harusnya bisa merasakan dampak positif dari lingkungan yang terjaga. Sementara tuntutan yang lahir itu rata-rata dilatarbe lakangi pada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dalam menyelesaikan masalah, misalnya saja ganti rugi pembe basan tanah yang sangat tidak layak juga penempatan penduduk asli yang berubah menjadi pengungsi pada daerah yang sangat jauh berbeda dengan daerah asalnya yang ditenggelamkan oleh p e merintah untuk dijadikan bendungan.

Melihat kondisi seperti inilah yang men dorong Prof. Nurpilihan Bafdal, membuat suatu pola pengelolaan air pertanian yang terlihat cukup efektif dalam mengurangi pemborosan dalam penggunaan air.

Ia melihat bahwa, ditengah-tengah ke adaan air yang sangat memprihatinkan, sep erti semakin sulitnya memperoleh air yang baik terutama yang sehat untuk konsumsi, masyarakat pertanian terutama pertanian sawah seolah tidak peduli. Pada sawah yang petani kelola, jumlah air sangat tidak propor sional bahkan terkesan berlebihlebihan. ”Bayangkan saja, ketinggian air untuk membasahi sawah itu sampai 10-20 cm,” ungkapnya Prof Nur.

merusak lingkungan dan psikologis masya rakat, sehingga dalam pembangunan ben dungan itu hingga berfungsinya bendungan itu sejak 1989 sampai sekarang, sangat banyak tuntutan ganti rugi dan protes-pro tes mengingat dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Melihat contoh diatas maka pengelo laan air untuk pertanian bukanlah pengelo laan yang ringan. ”Itulah sebabnya, dalam usaha membangun bendungan untuk segala fungsi terutama untuk mengairi sawah, membutuhkan waktu yang sangat lama. Tujuannya adalah untuk memperkecil dam pak-dampak yang timbul pada masyarakat juga pada lingkungan itu sendiri,” ujar Ir Bambang Sulistiono, MSCE, ahli pengairan dari Universitas Islam Indonesia ketika

direncanakan berfungsi untuk mengairi sawah seluas 70 ribu hektar. Dan masih menurut Bambang, hal ini berjalan lancar mungkin karena dilibatkannya masyarakat sekitar dalam pembuatan, pengelolaan hingga adanya konpensasi yang layak dari pemilik bendungan ke masyarakat yang terkena dampak pembangunan. ”Jika tidak, saya yakin bahwa kejadian Kedungombo juga akan dialami oleh Way Seputih,” ujar dosen yang menyelesaikan gelar masternya di Filipina ini.

Sebenarnya masalah sosial-lingkungan yang terjadi akibat dibangunnya bendungan untuk pengairan sawah bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara didunia lain yang mengalami nasib serupa dengan ka sus Kedungombo, bahkan tak jarang lebih

Di daerah Jawa Barat, DIY dan Jawa Tengah, sebagian besar sawah yang ada, melakukan perendaman sawah semacam ini. Wajar saja jika penggunaan air untuk persawahan di Indonesia dengan luas 4,2 juta hektar itu memakan air sebanyak 2 trilyun meter kubik pertahunnya.

Air memang sesuatu yang dibutuhkan oleh siapapun dan dimanapun. Ditengah banyaknya jumlah air itu maka terkesan tak lazim jika mengalami suatu kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air. Namun, pemerintah dan seluruh masyarakat, tak melulu petani, harus berusaha untuk memanfaatkan air sesuai dengan kebu tuhan, tak dipakai sebebas mungkin dan cenderung boros. Boros terhadap sumber daya alam di bumi ini merupakan tindakan yang kurang bijak. Seperti yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, ”Bumi sangat mencukupi untuk memenuhi ke butuhan manusia, tapi sama sekali tidak memadai bagi keserakahan kita.”

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [SAINTEK]
Bendungan. Sering menimbulkan masalah sosial
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . F iek h I mmah . . . . .

SIANG mulai menjelang. Di sebuah sudut bank swasta di Yogyakarta, beberapa mahasiswa nampak mengamati beberapa majalah dan surat kabar yang tersusun rapi. Dari majalah yang mengupas masalah politik sampai tabloid yang menjual perempuan sebagai komoditas. Politik yang dianggap sebagian orang harus mengerutkan kening untuk dipahami memang menjadi konsumsi baru media massa. Namun, setelah mere baknya wacana demokrasi pada masyarakat, politik dianggap sebagai sebagai hal yang membosankan untuk dibicarakan. ”Orang kadang-kadang beli majalah politik pada waktu-waktu tertentu saja,” tutur Agung yang sehari-hari menggelar dagangannya di sana. ”Apalagi waktu Gus Dur ingin mengeluarkan dekrit kemarin, wah biasanya majalah-majalah politik habis diserbu, Mas,” jelasnya lagi.

Ketika ditanya bagaimana pendapatnya tentang majalah-majalah yang mengeksploitasi perempuan dan dikonsumsi oleh sebagian besar generasi muda, ia menjawab,”Saya tidak peduli, siapa saja bisa membaca majalah seperti itu, yang penting dagangan saya laku.”

Hal yang serupa terjadi. Sebut saja Nono, yang berprofesi menjadi pengecer di depan boulevard salah satu universitas di

Kegamangan di Tengah Kebebasan

Menyeruak layaknya tetumbuhan. Media massa justru tampil dengan wajah baru. Terbuka dan tentu, tak lagi ramah.

Yogyakarta. Ia menjelaskan kalau penjualan produk-produk yang mengeksploitasi kaum hawa proses sirkulasinya ke tangan pembaca sangat cepat. ”Biasanya langsung habis kalau sudah datang edisi terbaru-nya,” ungkapnya pada HIMMAH . Ia menuturkan kalau pembelinya pun tidak sebatas orang-orang dewasa lagi. ”Banyak anakanak yang tertarik untuk membaca tabloid dan majalah tersebut,” jelasnya. ”Walaupun mereka sering meminta pada orang lain untuk membelikan, karena masih malu,” imbuhnya lagi.

Apa yang sebenarnya diungkapkan oleh Agung maupun Nono merupakan sebuah realitas. Merebaknya media massa baru menjadi sebuah indikasi bahwa proses demokratisasi di Indonesia baru saja berjalan. Informasi-informasi yang dulunya terpasung oleh sebuah rezim, kini dengan mudah dikonsumsi oleh pembaca. Hal ini pun diakui oleh Sugeng Wiyono, salah seorang wartawan senior di Yogyakarta. Sugeng mengungkapkan bahwa banyak sekali media massa yang bermunculan setelah era reformasi bergulir. ”Namun beberapa bulan setelah itu, banyak juga yang berguguran,” jelasnya pada HIMMAH . Ketika disinggung tentang banyaknya media yang mengabaikan etika dalam setiap pemberitaannya, Sugeng membenarkan hal tersebut. ”Ini yang menjadi masalah di kalangan jurnalis,” keluhnya lagi. Hal yang senada pun dilontarkan oleh Sulaeman Ismail, Wakil Pemimpin Redaksi Bernas, sebuah surat kabar lokal di Yogyakarta. Sulaeman mengeluhkan banyaknya media yang mengabaikan etika jurnalistik sehing-ga bisa mempengaruhi opini para pembacanya. ”Walaupun demikan, masih ada surat kabar yang konsisten untuk memakai etika dalam pemberitaan,”tuturnya. Dijelas-kan oleh Ismail bahwa proporsi pemberitaan media massa sekarang masih banyak dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan kaum elite. ”Apalagi ketika euforia media terjadi, aktivitas penyelenggara negara

selalu menghiasi headline media tersebut,” tambahnya.

Dalam sebuah acara pendidikan jurna-listik yang diselenggarakan oleh HIMMAH pertengahan September lalu, Sumanto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogya-karta menegaskan bahwa permasalahan yang dialami media sekarang adalah terlalu bergantungnya media pada para pakar keilmuan dalam memberikan tawaran solusi ataupun pendapatnya terhadap sebuah permasalahan. ”Sekarang media massa menganut jurnalisme cipratan ludah,” ungkapnya dengan wajah sedikit nyinyir . ”Hingga media massa pun tidak menampilkan sebuah fakta secara mendalam kepada publik,” tambahnya pada HIMMAH. Selain itu juga ia menambahkan bahwa produk-produk media yang mengumbar perempuan tidak diakui sebagai produk jurnalistik. ”Hal itu tidak diakui karena mereka mengabaikan kode etik jurnalistik,” tuturnya.

Wajah Beringas Media

Kekuasaan tanpa nama, tutur Foucult justru lebih beringas dalam mengoyak humanisme individu. Dalam hal ini media pun menjadi sebuah alat yang bisa melakukan perubahan baik dalam struktur berpikir, dinamika psikologis hingga tampilan perilaku. Disinyalir bahwa sebenarnya media pun merupakan alat yang mampu melanggengkan rantai kekerasan yang terjadi, khususnya di republik ini. Pengabaian etika, masih berorientasi pada mekanisme pasar, penganut ideologi oplah, memang menjadi ciri sebagian media sekarang. Media massa yang seharusnya menjadi domain publik, bisa membawa kepentingan masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Tidak melulu menampilkan konflik para elit politik yang semakin hari semakin membuat masyarakat akar rumput cemas. Atau pertikaian horisontal yang semakin banyak mengoyak kemanusiaan individu. Celakanya, bila kekerasan sudah menjadi hal biasa dan sama sekali tidak

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [MEDIA]
HENDRA
WIRAWAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

menyentuh sisi simpati manusia, maka fungsi media pun harus segera digugat. Apalagi sekarang media sedang menikmati alam kebebasan dalam menyatakan pendapat, ini menimbulkan berbagai dampak dalam segi pemberitaan. Termasuk bahasa yang dipilih hingga ideologi yang terpatri dalam setiap media. Bahkan bukan tidak mungkin media bisa berfungsi sebagai media provokatif yang menjebak individu dalam lingkaran kekerasan. Konflikkonflik yang terjadi di lapisan masyarakat bawah, tidak saja disebabkan oleh euforia demokrasi masyarakat sipil. Tapi lambatlaun dipicu oleh wajah baru media massa yang mengha-nyutkan namun hegemonik.

Hadirnya media dalam era transparansi di republik ini telah memancarkan warna baru, setidaknya dari segi informasi. Maraknya surat kabar kuning ( yellow newspaper ) yang mengangkat berbagai informasi tentang seks, mistis dan kejahatan memang tumbuh seperti jamur setelah hujan reda. Fenomena ini pun tidak pelak diakui sebagai bagian dari proses demokratisasi itu sendiri. Namun di balik penyuguhan itu semua, ternyata secara sosiologis pun masyarakat memberikan respon positif dengan adanya produk-produk baru media tersebut. Hal ini dijelaskan Sulaeman Ismail, wartawan senior di Yogyakarta. Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta ini menandaskan bahwa media masih sangat berorientasi pada pasar sehingga kemungkinan tentang kebijakan media menentang keinginan pasar sangat sulit dilakukan. ”Paling-paling hanya menyeimbangkan berita-berita yang selama ini diinginkan pasar,” tandasnya pada HIMMAH. Sulaeman juga menuturkan bahwa masyarakat sekarang pun masih sangat menikmati segala informasi yang mereka terima dengan mudah saat ini. ”Sekarang adalah bagaimana sebuah media bisa berlaku bijak dalam memaparkan berita kepada publik,” ucapnya lagi. Hal senada juga dilontarkan oleh Sugeng Wiyono, manajer litbang Kedaulatan Rakyat, koran lokal di Yogyakarta. Ia memaparkan bahwa dalam menyikapi maraknya media, setiap media dituntut akurat dalam setiap penu-lisan berita. ”Koran kami pun tetap berusaha ke arah sana,” tegasnya lagi.

Media dan Ruang Publik

Kecenderungan redaksional yang bertutur tentang peliknya perbenturan antar elite politik republik ini merupakan salah satu konsumsi gaya baru media massa. Struktur berpikir masyarat dijungkirbalikkan, secara psikologis pun demikian. Kekerasan demi kekerasan ditampilkan secara jelas. Entah itu dimaksudkan sebagai wacana

ideologi tertentu ataupun agar surat kabarnya laku. Walaupun demikian sudah selayaknya media segera sadar bahwa fungsi edukasi pada publik merupakan sebuah keniscayaan.

Proporsi pemberitaan yang masih mengandalkan konflik elite sebagai topik utamanya dijelaskan juga oleh Raihul Fadjri, wartawan majalah TEMPO. Fadjri menjelas-kan bagaimana perkembangan pemberitaan sekarang masih mengangkat perbenturan kaum elite. ”Kita lihat saja, waktu Gus Dur jadi presiden, betapa banyak media massa yang memforsir tenaganya ke sana,” ungkapnya. ”Dan beberapa media menjadi corong dari orang-orang oposan terhadap Gus Dur,” tandasnya lagi. Walaupun demikian Fadjri menyangkal bahwa media massa merupakan bagian dari kekerasan itu sendiri. ”Tidak bisa sesederhana itu kita menyimpulkan media merupakan elemen kekerasan,” katanya datar. Pernyataan ini berbeda dengan yang dikatakan oleh Sulaeman Ismail. ”Media massa bisa saja dikategorikan sebagian elemen dari keke-rasan itu sendiri,” jelasnya.

Hal ini bisa menyebabkan akan hilangnya sebuah ruang publik (publicsphere) bagi masyarakat sebagai konsumen. Kepentingan-kepentingan kelompok yang terpinggirkan akan semakin terpuruk dan lenyap bila media tidak mengakomodasikan aspirasi mereka. Suara mereka seakan ditelan oleh maraknya aktivitas orang-orang berdasi di Senayan. Akhirnya media pun semakin terjerembab dalam lingkaran elitis yang membingungkan publik. Hal ini diungkapkan kembali oleh Fadjri yang juga Ketua AJI Yogyakarta. Ia menegaskan bahwa secara ideal, media massa seharusnya bisa mengakomodir suara kelompok-kelompok bawah. ”Kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan seharusnya bisa diangkat oleh media massa,” tuturnya pada HIMMAH. Namun media massa justru jarang sekali mengangkat hal tersebut. ”Mereka masih disibukkan oleh beritaberita elite,” tandasnya lagi.

Baik Fadjri maupun Sulaeman setuju bahwa setiap media bisa menjadi sebuah ruang publik untuk mengkspresikan penda-pat. Namun terkadang, orientasi bisnis lebih dinomorsatukan. Akibatnya, media hanya-lah sebagai wadah sebagian masyarakat elitis.

Hilangnya ruang publik lambat laun berakibat buruk bagi media itu sendiri. Apalagi kalau media tersebut tidak memiliki akurasi yang baik dalam pemberitaan. Bukan saja media tersebut akan kehilangan pembacanya, namun salah-salah sekelompok massa akan berlaku represif terhadap

media tersebut. Ironis memang. Tentunya media akan terus dituntut bertindak profesional dalam setiap pemberitaan. Demikian yang diungkapkan oleh Sumanto, dalam sebuah diskusi di Yogyakarta. ”Investigasi memang sangat diperlukan dalam akurasi pemberitaan,” jelasnya. ”Apalagi jurnalis harus bisa memaparkan fakta-fakta sosial pada publik,” tandasnya lagi.

Hal yang hampir sama ditegaskan oleh Imam Syafi’i, salah seorang anggota Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Yogyakarta. Imam meng ungkapkan bahwa sebagian besar keadaan masyarakat akar rumput jarang sekali diangkat ke permukaan oleh media massa. Padahal mereka merupakan bagian terbesar di republik ini. ”Mana ada media massa yang peduli terhadap Joko, si anak jalanan,” katanya seraya menunjuk seseorang yang baru melintas di depan kantornya. Kepada HIMMAH Imam menje-laskan bahwa sebenarnya kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu kepada media merupakan salah satu strategi yang dipakai oleh kelompok tersebut. ”Itu merupakan diplomasi politik yang kita pakai,” tandasnya. ”Dan pers dituntut profesional, seimbang dan akurat dalam setiap tulisan,” tambahnya lagi.

Tentu, Imam hanyalah segelintir suara dari jutaan suara yang belum tersentuh oleh media massa. Kebebasan yang diperoleh saat ini dinilai sebagian masyarakat justru memperburuk situasi. Kebebasan yang berbeda dengan harapan-harapan selama ini.Walau demikian, kebebasan yang tak kunjung ramah lebih baik daripada pembungkaman kreativitas manusia. Layaknya sekuntum mawar, menawarkan wewangian di balik tangkai indah yang berduri.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [MEDIA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ujang h I mmah

Kisah Kekerasan tak Berkesudahan

MUNGKIN

Alfred kecil tak pernah be r mi m pi seburuk ini. Rumah mungil, tempat di mana ia tinggal, remukredam. Begitu pun impiannya. Saat ini, bersama mobil mainannya, ia hanya tinggal ber-alaskan tikar ala kadarnya di tenda pe-ngungsian, sebuah tempat sisi timur Yogyakarta.Terkadang ia menyaksikan ibunda bercucuran air mata dalam pelukan hangat sang ayah. Ia makin tak mengerti kenapa ia, orangtuanya dan beberapa keluarga yang lain justru menetap di tempat yang tak pernah dikenal sebelumnya? Yang sering ia lakukan sekarang adalah hanya bermain dengan Robert, Maria dan be-berapa teman sebayanya. Ya, Alfred kecil hanya bisa bermain dan menyaksikan kehidupan yang belum biasa dijalaninya. Orang-orang baru selalu datang silih berganti, entah yang membawa pakaian, makanan atau obat-obatan. Ya, selalu saja ia menemui sosok-sosok baru yang hadir walau sekedar mengelus pipinya yang tembam. Selalu seperti ini. Tak lebih.

Alfred kecil memang korban yang tak pernah tahu tentang ngerinya kekerasan. Ia dan keluarganya hanyalah segelintir korban yang sampai saat ini belum pernah tahu seperti apa nasibnya kelak.

Mungkin kita akan mengamini apa yang telah dilontarkan Walter Benjamin, bahwa setiap kebudayaan selalu ada unsur tribalisme. Memang, ketika alam demokrasi terkuak di republik ini, justru kekerasan sipil semakin merebak. Interpretasi terhadap demokrasi tampil dalam ekspresi berbedabeda ”Terjadi euforia yang berorientasi kekuasaan,” jelas Imam Syafi’i, salah seorang anggota Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Yogyakarta. Imam mengatakan bahwa kekerasan sipil yang merebak akhir-akhir ini merupakan salah satu indikasi kegagalan para pemimpin dalam memberikan pendi-dikan politik bagi masyarakat. ”Dan masya-rakat pun sudah muak dengan militer sebagai salah satu strategi yang dipakai pemerintah Orde Baru,” tuturnya kepada GM Anugerah dan Widiyanto dari HIMMAH.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [PSIKOLOGI]
Panen kekerasan menuai hasilnya. Hilangnya rasio dan nurani manusia?
HENDRA WIRAWAN . . . . . . . . . . . . . .

Tumpahnya Ekspresi Massa

Oase baru telah terkuak di republik ini. Wacana demokrasi bergulir begitu cepat pada dataran masyarakat bawah. Cel a -kanya, demokrasi justru dijadikan tameng dalam melakukan apapun, sesuai dengan keinginan. Radikalisme masyarakat sipil pun merebak. Konflik-konflik yang terjadi saat ini merupakan kekerasan yang bersumber dari kekecewaan yang terkumpul, terkung-kung. Hingga sampai detik ini, ledakan konflik yang dahsyat bermunculan di mana-mana.

Budaya paternalistik yang akrab dengan masyarakat Indonesia adalah senjata ampuh para pemimpin dalam memobilisasi massa. Menurut Imam, para elite politik atau elite kelompok justru menggunakan saat seperti ini untuk menarik simpatisan. ”Masyarakat Indonesia memang sangat paternalistik, hingga mereka ingin mendapatkan rasa aman dari seseorang yang bisa mengayomi mereka,” jelasnya.

Hal yang berbeda disampaikan oleh Dr. Koentjoro, pengamat psikologi sosial UGM. Ia mengatakan bahwa sistem politik yang dibangun di Indonesia justru bukan berdasarkan kharisma yang dimiliki seseorang. ”Misalnya Megawati sekarang, kita harus melihat apakah ia benar-benar besar karena ayahnya atau besar karena dulu (Orde Baru-red) ia selalu mendapat tekanan dari pemerintah,” ungkapnya kepada Sheila Meidi dari HIMMAH. Koentjoro juga mengungkapkan bahwa sekarang d emons-trasi semakin tidak rasional dengan berbagai macam tuntutan.”Seharusnya demonstrasi semacam itu harus distop,” jelasnya. Seperti tumpahan air yang tak terbendung, ekspresi massa mewabah di setiap tempat, akibatnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat tersekat (segmented society).

Dalam buku Escape from Freedom , Erich Fromm menjelaskan bahwa setiap individu setelah lepas dari ikatanikatan primer, seperti keluarga, ia akan berusaha mencari ikatan sekunder sebagai pengganti ikatan yang hilang sebelumnya. Menurutnya, bahwa setiap manusia akan mengalami mekanisme alamiah seperti itu, yang lebih dikenal dengan istilah individuasi. Ia menemukan satu kebebasan baru dalam berekspresi. Namun di balik itu semua, keterasingan, perasaan tidak aman ( unsecure feeling ) justru tumbuh seiring munculnya kebebasan baru. Melihat ke-butuhan-kebutuhan seperti itu, relasi kekuasaan pun muncul sebagai kebutuhan baru.

Relasi Kekuasaan dan Kekerasan

Relasi kekuasaan yang awalnya bermula

dari struktur parlemen, lobi politik, militer telah dijungkirbalikkan, setidaknya menurut Dick Hedbige dalam bukunya Hiding inThe Light (1987). Menurut Hedbige, kekuasaan yang bercokol di masyarakat pasca-modern adalah kekuasaan dengan simbol-simbol. Fetisisme menjadi ideologi baru masyarakat konsumtif. Sekali lagi hal ini menegaskan bahwa sebenarnya dalam masyarakat telah terjalin relasi baru, kenyamanan baru ketika ia menyentuh langsung tubuh, rambut, kulit jelas Foucault. Inilah potret baru kekuasaan, ditambah dengan paternalisme yang menga-kar di jiwa republik ini, publik mengalami dehistorisasi rasionalitas.

Ketika kenyamanan itu terusik, maka psikologi massa pun berontak. Kepatuhan terhadap pemimipin, kultus individu yang begitu kuat menghingar-bingarkan antara logika loyalitas dan nurani. Menurut Dr. Koentjoro, realitas dalam kelompok seperti ini disebut dengan group membership. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang masuk dalam sebuah kelompok maka sangat mudah terprovokasi untuk melakukan hal yang sama sesuai dengan keinginan kelompok tersebut. ”Kita harus juga berbicara tentang group refference,” jelasnya.

Hal lain diungkapkan oleh Sohib, mahasiswa asal Sampit, Kalimantan Tengah, daerah yang sempat menyita perhatian dunia akibat konflik antar etnis. Ia menjelaskan bahwa irasionalitas massa sekarang ini, khususnya konflik-konflik horisontal yang terjadi disebabkan oleh lemahnya kontrol negara. ”Sekarang peran negara semakin lemah dalam menertibkan masyarakat,” ungkapnya pada HIMMAH

Imam Syafi’i yang juga Presiden Komunitas Jampi Stress menjelaskan bahwa sebenarnya kekerasan yang terjadi masya-rakat merupakan diplomasi ma syarakat terhadap penguasa. ”Kalau masalah ideo-logi, tidak dapat ditawar,” tandasnya. Imam juga menegaskan bahwa konflik yang terjadi sebenarnya merupakan hasil akumu-lasi kekecewaan masyarakat terhadap peme-rintah. ”Sehingga kita perlu menegaskan sikap, bahwa kami punya hak atas bangsa ini,” tandasnya lagi.

Militerisasi Sipil: Kekerasan Baru?

“Militerisasi sipil,” itulah yang terjadi di negeri ini. Anarkisme massa siap muncul di setiap momen, kapan dan di mana pun. Indikasi lain, militerisme sipil justru merebak pada partai-partai politik, seperti dilahirkannya satuan-satuan tertentu dalam partai tersebut. Jelas hal tersebut mengindikasikan bahwa masalah kemanusiaan belum menjadi prioritas utama bagi sebagian kelompok masyarakat. Jelas ini adalah upaya untuk melanggengkan sing-

gasana kelompok dan menciptakan kekerasan psikologis kepada publik. ”Saya tidak setuju dengan militerisasi sipil,” ungkap Imam Syafi’i. ”Sekarang para satgas mulai mereposisi perannya, tidak lagi sangar seperti dulu,” jelasnya.

Cara-cara militer digunakan dalam menyelesaikan persoalan sebagai kekecewaan publik terhadap kinerja instrumen hukum selama ini. Hal ini diungkapkan oleh Rusli, salah seorang anggota Laskar Jihad. Rusli mengungkapkan bahwa alatalat penegak hukum sekarang belum bisa berperan dengan baik. ”Bagaimana hukum bisa ditegakkan kalau penegaknya sudah tidak benar,” jelasnya pada HIMMAH Rekannya, Ahmad juga menjelaskan perlunya kembali ke agama. ”Masyarakat harus kembali ke tauhid mereka,” ungkapnya, ”Kalau tidak masyarakat semakin rusuh.” Rusli dan Ahmad setuju untuk melakukan tindakan-tindakan solidaritas ketika ada kelompok dalam masyarakat melakukan kesalahan. ”Sesama muslim itu bersaudara, hingga kalau ada yang salah, ada yang harus mengingatkan,” tandas Rusli lagi.

Liberalisasi politik dewasa ini merupakan tuntutan demokrasi yang menunjang proses politik yang berkeadilan. Demokrasi pun dijalankan sebagai tujuan etis, tanpa kekerasan (ethical ends). Dalam literatur psikologi, ada yang dikenal dengan self as process, dimana setiap individu punya interpretasi berbeda terhadap realitas yang sama. Namun Orde Baru membangun satu konstruksi berpikir homogen; sentralisasi. Setiap masalah diselesaikan dengan pendekatan militer. Dan saat ini pun, militerisme tidak hanya berupa sebuah institusi, namun juga telah mengendap sebagai sebuah kekerasan, walaupun secara implisit. Akibatnya, respon individu terhadap realitas sosial menjadi hampir sama. Penumpahan keletihan yang lahir dari rahim kekecewaan dalam jangka waktu yang panjang, membuat masyarakat yang selama ini termarginalkan melakukan respon yang sama, katarsis sosial. Peluapan emosi, tindakan anarkis, hilangnya empati, menjadi ciri bangsa saat ini. Hingga, tidak saja Alfred kecil yang menjadi korban, namun berapa ribu anak-anak yang menjadi korban luapan irrasionalitas massa. Anakanak yang tergadai masa depannya. Saatnya untuk berpikir jernih, kalau tidak benarlah yang dituturkan Seno Gumira, dalam Iblis tidak Pernah Mati,”Walau seribu nabi telah diturunkan, besar atau kecil, namun hingga hari ini kita masih mencium bau amis pembunuhan.”

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [PSIKOLOGI]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

racun Itu ada di jalan raya

Polusi udara kian meningkat. Bahan timbal dalam bensin membahayakan kesehatan masyarakat. Belum ada perhatian serius tentang masalah ini.

LELAKI

tua itu berdiri di tepi Jalan Cik Di Tiro pukul 06.30 WIB, Yogyakarta, tepatnya di depan boulevard UGM. Ia menunggu kendaraan umum, berdiri di terik sinar matahari. Beberapa menit kemudian tampak bus kota sedang berputar meng e lilingi boulevard . Sebenarnya ia tak sendirian menunggu, ada sekitar 10 hingga 15 orang yang sama-sama berdiri. Ketika bus ber-henti, calon penumpang yang sudah antri lama berhamburan berlari bergegas menuju bus kota, naik berdesakdesakan, sikut sana-sini mencari posisi.

Terasa penumpang sudah naik semua, kondektur memberi aba-aba pada sopir untuk kembali jalan. Walaupun kebagian kursi, pak tua itu tampak duduk berdesakan. sedang yang lain masih banyak berdiri. Ia kemudian tersenyum saat melihat mahasiswa berdiri tidak kebagian tempat duduk. ”Besok, Mas harus berlari lebih cepat,” ujarnya.

Kondisi bus kota Yogyakarta betul-betul tidak nyaman lagi bagi para penggunanya. Jumlahnya sudah tidak cukup lagi untuk mengangkut penumpang yang banyak, kondisi fisik bus kota sudah tidak menarik, kotor, banyak copet, juga kondisi mesin tidak layak pakai dan kurang perawatan.

Mesin tak terawat dapat kita lihat dari asap knalpot yang dikeluarkan bus kota. Sekali sang supir menginjak pedal gas maka seketika itu pula asap bus kota yang penuh dengan bahan-bahan yang tentu saja membahayakan orang yang meng hirupnya, berhamburan keluar melalui knalpot yang sudah sangat dekil berkarat.

Berdasarkan catatan WaLHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) tentang jumlah atau kadar timbal yang ada di kota

Yogyakarta sudah mencapai 0,2 - 1,8 mikrogram per meter kubik. Jumlah yang sangat banyak ini sudah dapat dipastikan akan dapat membahayakan masyarakat, bukan hanya para pengguna jalan yang merasakannya, namun masyarakat yang ada di sekitar jalan kota pun akan terkena imbas juga.

Menurut Ir Bachnas, MSc, salah seorang pakar lalu lintas dari Universitas Islam Indonesia (UII), jumlah timbal (Pb) yang ada di jalan-jalan kota seluruh Indonesia sudah melewati ambang batas kemampuan tubuh manusia. “Terutama, kota-kota yang sudah menjadi kota besar seperti Surabaya, Medan, Jakarta dan kota Yogyakarta sendiri,” papar Bachnas, yang juga dosen tetap di Jurusan Teknik Sipil UII ini.

Polusi yang besar itu menurut Bachnas sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat terutama pengguna jalan jika tidak segera di tangani. Di samping merusak kesehatan, kerugian sosial yang akan ditanggung sangat besar. Besar kerugian sosial dan kerugian kesehatan yang disebabkan oleh polusi asap bus kota di seluruh Indonesia sekitar 850 milyar. Dan itu ditanggung oleh masyarakat pengguna jalan. ”Dan biaya kerugian akibat Pb ini, akan sangat besar,” tambahnya, saat ditemui oleh Intan dari HIMMAH di ruang kerjanya.

Mengenal Timbal

Timbal merupakan unsur kimia berupa logam kelabu kebiruan dan berat. Logam yang kerap salah kaprah disamakan dengan timah ini, tahan terhadap air dan asam karena terlindung oleh lapisan oksida tipis maupun PbSO4. Bila digunakan dengan jumlah yang tidak berlebihan, timbal memiliki banyak faedah, terutama untuk industri yang menghasilkan energi nuklir, bahan kimia dan penyulingan minyak bumi.

Bagi kendaraan, timbal berfungsi untuk merangsang naiknya nilai oktan bahan ba

kar. Dengan semakin tingginya nilai oktan pada suatu kendaraan, maka sistem pembakaran di mesin kendaraan makin baik.

Namun, setelah digunakan untuk mengatrol nilai oktan pada kendaraan, ternyata timbal tidak dapat musnah akibat pembakaran, 25 persennya akan menjadi kerak dalam tank bensin dan sisanya akan wira-wiri sebagai pembuangan dari knalpot. Pembuangan inilah yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

Di Indonesia, timbal yang dicampurkan pada bensin (terutama premium) berbentuk tetra ethyllead (TEL). Setiap bensin mengandung TEL 0,3 gram per-liter untuk menghasilkan angka oktan 88. Besarnya kandungan TEL ini, menghasilkan pem buangan yang melebihi ambang batas kesehatan. Padahal, WHO telah menetapkan ambang batas keberadaan timbal di udara bebas, berkisar pada 0,5-1 mg/meter kubik.

Besarnya timbal yang tidak terkontrol

0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [LINGKUNGAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
asap. Membahayakan kesehatan Pepohonan Kota. Mengurangi polusi Sheila Ujang / h mmah

di udara bebas berdampak buruk pada ling kungan. Pada manusia timbal dapat masuk melalui pernafasan dan kulit. Dalam kon disi normal, manusia yang mengkon-sumsi timbal sebanyak 0,3 mg per hari dapat ber sih dari timbal. Pada angka tersebut, tubuh masih dapat mengeluarkannya. Sebanyak 90 persen timbal dapat keluar melalui ker ingat, air seni dan tinja, sedangkan sisanya akan keluar dengan perlahan.

sebesar 0,6 mg/hari. Lebih dari itu, tubuh akan mengalami keracunan. ”Dan biarpun kita memakai pelindung pernapasan sep erti slayer saat mengendarai motor, timbal itu akan tetap terhirup,” jelas Bachnas, alumnus Universitas Delf, Amsterdam, Belanda ini.

Timbal yang bersarang di dalam tubuh tidak dapat terdeteksi begitu saja. Gejalan ya baru timbul beberapa bulan kemudian. Untuk mengontrol jumlah timbal dalam tubuh, kita dapat mendeteksinya dengan menganalisis air seni dan darah atau men gambil gambar tulang dengan sinar-X. Ge jala manusia yang teracuni timbal biasanya diawali dengan diare be r kepan-jangan, mulas-mulas dan anemia. Bila tetap dibiar kan, timbal akan semakin sulit disekresikan keluar tubuh. Malahan akan menyerang sistem syaraf dan otak manusia.

nya). Namun walau ada obatnya, pengeluaran timbal dalam tubuh, membutuhkan waktu berbulan-bulan. Itu pun dengan syarat, dalam masa penyembuhan udara di sekitar penderita harus bebas dari timbal.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk masalah penurunan tingkat kecerdasan, bahwa jumlah IQ anak Indonesia kini telah turun dalam jumlah jutaan point akibat bahan pencemar tubuh yang berasal dari asap kendaraan ini.

Untuk Jakarta saja, menurut Ahmad Safrudin, aktivis Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, telah terjadi penurunan IQ sebesar satu juta point. ”Dan bukan hanya itu, timbal dalam kadar melebihi ambang batas akan dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan, hipertensi, jantung dan bahkan impotensi,” ujarnya dalam suatu kesempatan.

Walau timbal akan aman di dalam tu buh, namun keberadaannya dapat menjadi racun di batasan tertentu. Bila tubuh terusterusan mengkonsumsi timbal, sementara daya mengeluarkannya tidak memadai, timbal akan menumpuk di dalam tubuh. Se bagai catatan, kemampuan maksimal tubuh manusia menerima kehadiran timbal hanya

Timbal yang terkonsumsi anak-anak akan cepat menyebar di dalam tubuh. Bila sudah menyerang sistem saraf dan otak, tingkat kecerdasannya akan menurun dratis. Selain itu sang anak pun akan sulit berbicara, penurunan penglihatan dan akan mengalami gangguan fungsi moto rik. Sedangkan di tubuh orang dewasa, dampak yang cepat terlihat adalah gejala meningginya tekanan darah (hipertensi), serangan jantung, kanker ginjal, stroke hingga gangguan sistem reproduksi. Baik terhadap anak-anak mau-pun orang de wasa, bila timbal tetap dibiar-kan di dalam tubuh maka kematian yang akan ditemui. Ataupun, walau tetap hidup, manusia yang mengidap timbal dalam jumlah besar, akan mengalami penyakit gangguan otak.

Dalam skala yang tidak besar, timbal masih dapat dikeluarkan dari tubuh dengan bantuan zat sepit, seperti EDTA (asam etile na diaminatetr a asetat atau garam-

Namun siapakah yang peduli dengan masalah ini? Reaksi dunia internasional dalam masalah ini sudah tidak main-main lagi. Indonesia telah di desak melalui Letter of Intent, antara Indonesia dengan IMF, yang tercantum dalam butir ke-50 tahun 1998, bahwa Indonesia harus bebas dari timbal pada awal tahun 2003 nanti.

Mampukah Indonesia mewujudkan kesepakatan itu, agar para penumpang yang berjejal dengan segala bau dan tujuan ini tak juga merasakan kerugian kesehatan? Entahlah, karena sampai saat ini pemerintah belum melakukan apapun berkaitan dengan masalah pencemaran udara akibat lalu lintas yang padat oleh kendaraan yang tak layak guna lagi.

Sampai saat ini, masyarakat masih harus mengalah untuk kesekian kalinya dalam penerimaan public service yang tak layak. Pak tua itu hanya bisa mengeluh, bersabar berdesakan dalam bus kota yang

[LINGKUNGAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
mengisi BBm Belum bebas timbal Fiek
/ h I mmah

djuminem

“srikandi” di sarang napi

pendapatannya untuk mereka.

”Saya merasa iba pada napi yang tidak pernah ditengok ke luarganya. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa saya lakukan hanyalah memberikan perhatian,” ucap Ibu yang beralamat di Perum Dinas LP ini. ”Makanya sering saya bilang sama anakanak (napi-red) supaya tidak ngiri kalau saya memberi perhatian lebih pada dia,” tambahnya.

”Air susu dibalas dengan air tuba” pepatah ini mungkin me wakili apa yang dirasakan Bu Djum. Tidak semua kebaikannya disambut baik oleh para napi itu. Malahan terkadang dirinya difitnah dan diadu domba. Tragis memang, tapi itulah kenyataan nya. Menurut Bu Djum hal hal semacam itu sudah sering ia alami semasa ia bekerja. Bu Djum menghadapinya dengan hati lapang dan diselesaikan dengan musyawarah.

PENJARA

selalu identik dengan sisi kelam penghuninya. Seram, keras, dan tidak bersahabat. Namun tidak demikian dalam pandangan seorang Djuminem. Sipir wanita di Lembaga Pe masyarakatan (LP) Wirogunan, Yogyakarta. LP yang beralamat di Jalan Tamansiswa no.6 ini mungkin memang terkesan menyeram kan bagi banyak orang. Apalagi dengan letaknya yang masih di kawasan pusat kota. Tapi bagi Bu Djum begitulah sapaan akrab nya penjara menampilkan sisi-sisi kemanusiaan dari kehidupan narapidana dalam prosesnya menjalani hukuman.

Seringnya keikutsertaan Bu Djum dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di LP Wirogunan, menjadi awal ketertarikannya pada dunia LP. Apalagi banyak pula saudara Bu Djum yang bekerja disana. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengabdikan dirinya bekerja di LP Wirogunan. Memang tidak mudah bersosialisasi dengan para napi. Diakui oleh Bu Djum yang sudah bekerja se lama 24 tahun ini pada proses awalnya memang sulit. Tapi dengan ketabahan dan kesabaran akhirnya Bu Djum mampu mengatasinya sedikit demi sedikit.

”Yang penting kita sabar dan telaten,” begitu ungkapnya ke pada HIMMAH. Apalagi pada saat itu jumlah sipir wanita di LP Wirogunan hanya 6 orang, itupun termasuk Bu Djum. Ditambah lagi napi pada masa itu masih tampak beringas. Jadi membutuhkan perhatian dan pengawasan yang ekstra ketat. Pekerjaan menjadi sipir penjara wanita memang diatur dengan sistem kerja shift Tapi tidak jarang Bu Djum harus bekerja sehari semalam dalam LP, karena menggantikan tugas temannya yang juga berhalangan hadir ataupun sakit. Sering dalam suatu malam, Bu Djum dengan rela meluangkan waktunya pergi ke LP dikarenakan ada salah satu napi yang sakit parah ataupun kesurupan. Disini selain sebagai sipir, Bu Djum seolah-olah merangkap sebagai Ibu bagi para napi. Merawatnya, mengurusi kebutuhannya sekaligus menjaganya. Kebaikan dan kesabaran inilah yang membuat para napi sering mencurahkan isi hatinya pada Bu Djum, dan ia pun mendengarkan keluh kesahnya dengan sabar. Sering pula Bu Djum memberikan nasehat-nasehat kepada para napi agar nanti sekeluarnya dari penjara dapat menjadi orang yang baik dan berguna. Selain itu, jika ada napi yang membutuhkan barang kebutuhan sehari-hari seperti pasta gigi, sabun,dll dengan ikhlas Bu Djum menyisihkan

”Menghadapi napi itu harus hati-hati. Kalau harus dikerasi, ya kita harus keras,” tuturnya. ”Karena napi itu sifatnya ada yang baik dan ada yang jahat.” Pengalaman inilah yang membuat Bu Djum lebih berhati-hati dalam menghadapi napi. ”Memberi perhatian, boleh asal jangan berlebihan dan tetap waspada,” pesannya.

Masih segar dalam ingatan Bu Djum tragedi berdarah 13 tahun yang lalu, tepatnya hari Minggu 18 September 1988. Waktu itu sua sana LP yang sunyi dikejutkan dengan peristiwa yang mengejutkan. Entah darimana, napi yang berjumlah 10 orang itu mendapatkan senjata dan memaksa sipir untuk mengeluarkan mereka dari LP Wirogunan. Hal ini tentu saja mendapatkan perlawanan dari para sipir itu. Akhirnya bentrokan pun tak dapat terhindarkan, bahkan kesepuluh napi itu berhasil keluar dari LP. Dengan bantuan aparat keamanan, kesepuluh napi itu akhirnya tertangkap. Meski hanya 3 diantaranya yang hidup. Dan dalam tragedi berdarah itu telah gugur Sutrisno, sipir penjara pria yang juga rekan kerja Bu Djum.

”Kejadian itu sungguh mengerikan dan sulit untuk dilupakan,” ucap Bu Djum dengan mata berkaca-kaca. Tidak mudah memang menyaksikan rekan kerjanya yang gugur. Namun Bu Djum men sikapinya sebagai suatu perjuangan demi mempertahankan suatu kebenaran. Untuk mengenang Sutrisno, kini di LP Wirogunan dibangun sebuah tugu untuk mengenang jasanya. Tugu itu dina makan ”Tugu Sutrisno”. Bu Djum berharap kejadian 13 tahun yang lalu tidak akan terjadi lagi.

Meski tragedi berdarah itu masih terbayang di benak Bu Djum, namun itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap bekerja di LP Wirogunan. Terbukti selama 24 tahun Bu Djum bisa bertahan seb agai sipir penjara wanita disana, dan pada tahun 1998 akhirnya Bu Djum diangkat menjadi Staf Registrasi LP Wirogunan. Mengenai pendapatannya, Bu Djum sendiri mengakui belum memadai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi bagaimanapun inilah hidup yang harus dipertahankan. Setelah menikah dengan Kartomo, yang juga bekerja di LP Wirogunan, Bu Djum dikaruniai 3 putra. Bahkan kini telah memiliki seorang cucu.

”Menjadi sipir itu harus pantang menyerah dan tidak takut mati,” ucapnya mantap. Dan ada satu pelajaran berharga yang ia ingat sampai sekarang, bahwa napi perlu bantuan untuk memulai kehidupan barunya setelah keluar nanti. Karena sesungguhnya mereka juga manusia seperti kita yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [SOSOK]
. . . . . . . . . . . . . . . . Sheila /

AGRESI MILITER D I LADANG VETERAN

S ERUAN untuk mencabut dwi fungsi TNI ternyata kurang lengkap. Tuntutan untuk meninggalkan gelanggang politik untuk kembali ke fungsi pertahanan bagi TNI seharusnya disertai dengan larangan partisipasi aktif di sektor-sektor vital kehidupan. Sektor ekonomi, misalnya. Sejak tahun1966, PT Sumurpitu Wringinsari milik Yayasan Rumpun Diponegoro (Yardip) yang bernaung di bawah Kodam IV/ Diponegoro, secara semena-mena menduduki area perkebunan yang pada saat itu tengah dikelola bekas pejuang. Kodam tidak hanya merampas, mereka juga mengusir, menahan dan menelantarkan puluhan bekas pejuang yang ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kini, perkebunan yang saat dikelola bekas pejuang merupakan perkebunan terbaik, kondisinya memprihatinkan. Bahkan PT Sumurpitu yang salah satu pemegang sahamnya adalah alm. Tien Soeharto terancam dilikuidasi karena dianggap menelantarkan lahan. Dan bekas pejuang hanya bisa berharap agar perkebunan tersebut kembali ke tangan mereka.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 
[ L A C A K ]] ] ]

Agresi Militer di Ladang Veteran

swasta milik Belanda, yang telah dibeli pemerintah. Diolah hingga berubah menjadi perkebu-nan yang sukses. Perkebunan yang mampu menam-pung dan memberi lapangan pekerjaan bagi mereka. Bahkan hasilnya diekspor ke luar negeri. Selain itu perkebunan juga mendapatkan dukungan dari Gubernur Jawa Tengah, dan Panglima Kodam VII/Diponegoro (Pangdam) kala itu.

Keberhasilan ini ditindaklanjuti dengan pembent u kan badan hukum NV Seketjer Wringinsari di tahun 1956. Setelah itu dilanjutkan dengan serah terima pengelolaan perkebunan percobaan (poer bedrif) Sekecer kepada NV Seketjer Wringinsari dari pemerintah. Pihak pemerintah sendiri diwakili oleh Residen Soewarno, sedang dari NV Seketjer diwakili oleh R. Hadiatmodjo selaku direktur I didampingi Presiden Komisaris Ronggo.

S AWARNO sudah sangat tua. Matanya tidak bisa melihat jelas dan sulit mengenali wajah orang yang ada di depannya sekalipun. Bahkan ia juga tidak secara jernih mendengar orang berbicara. Seseorang harus berbicara dengan keras agar ia dapat mendengar. Kulitnya pun sudah keriput. Terlihat jelas dari garis wajahnya ia telah memasuki usia senja, sekitar 72-an tahun. Ia sering terkena sakit, seperti halnya orang tua kebanyakan.

Ketika HIMMAH berkunjung, Eddy Sawarno -nama lengkap Sawarno-sedang demam. ”Sudah seminggu ini Bapak sakit,” kata istrinya. Dengan sarung yang ia kelebatkan ke leher, Sawarno terlihat agak memaksakan diri ketika hendak HIMMAH temui.

Namun ingatannya masih saja tajam. Ia mampu mengingat nama-nama orang yang pernah bertemu dengannya dalam perjalanan hidupnya. Dan suaranya masih sangat lantang meneriakkan penggugatannya atas ketidakadilan yng dialaminya puluhan tahun lalu. ”Andaikata kalau saya ini terlibat PKI, apakah rumah saya itu patut juga disita?” tanya Sawarno kepada dirinya sendiri. Seakan ia yakin akan kebenaran jawaban yang ada di dalamnya.

”Saya punya harapan NV harus kembali,” lanjutnya menggambarkan keinginannya yang kuat. Keinginan pengembalian tanah perkebunan seluas 617 ha yang dulu ia kelola beserta 91 bekas pejuang lainnya. Diantaranya Djoko Soejono (73), Soewandarto (73), Ngatmin (73), dan Marijun (75) yang hingga saat ini gigih dalam upaya pengembalian perkebunan yang terletak di daerah Sekecer Kendal itu.

Mereka adalah mantan pejuang kemerdekaan yang tidak ingin kembali ke lapangan kemiliteran. Pendidikan peternakanlah yang mereka pilih. Ada tiga tempat pendidikan, yakni Purwokerto, Sala dan Ungaran. ”Saya mendapat pendidikan di Purwokerto,” tutur Soewandarto, bekas kepala perkebunan. Rata-rata mereka mendapat pendidikan selama tiga bulan, antara November 1952 hingga Februari 1953.

Setelah itu, menempati suatu areal perkebunan yang rusak tak terawat milik NV Internatio, sebuah perusahaan

Menurut Djoko Soejono, sebenarnya pemerintah saat itu sudah menawari kepada para veteran untuk diserahi tanah tersebut secara penuh. ”Dengan catatan diganti dengan pinjaman seharga itu,” tambahnya. Harga yang dipatok pemerintah berkisar antara sejuta hingga RP 1.500.000, mengingat pemerintah membeli dari NV Internatio hanya seharga satu juta rupiah. Akhirnya, NV Seketjer diberikan pinjaman utang sebesar Rp 1.500.000 tanpa tambahan bunga, yang harus dibayar selama 20 tahun dengan 20 kali cicilan.

Utang ini tidak berbentuk uang, namun berupa peralatan, bangunan dan tanaman. Kesemuannya tercatat dalam surat perjanjian utang piutang model A, dan dilakukan di Semarang tanggal 22 Juni 1957. Dengan perhitungan di atas maka sebenarnya pembayaran utang paling lambat adalah pada akhir Desember 1977. Perjanjian ini dituangkan dalam surat Kementrian Dalam Negeri no BK8/4/16 tanggal 6 Maret 1958. Dengan adanya peningkatan hasil perkebuan yang gemilang, maka utang sebesar itu dapat dilunasi dalam jangka waktu singkat dan tertanda lunas tanggal 9 Mei 1961.

Sayang, janji tinggal janji. Pemerintah tidak menyerahkan sepenuhnya kepada pengelola. ”Pemerintah melanggar. Tanah yang pada awalnya yang akan diberikan selamalamanya, setelah angsuran lunas di akte tertulis kepemilikan tanah (sewa- red ) hanya selama 75 tahun,” gugat Djoko Soejono. Mau tidak mau, status tanah ini tetap milik negara. Pengurusan HGU tertunda. Memang, setelah berlaku-nya UUPA tahun 1960, tanah negara boleh dimanfaat-kan setelah memilik hak guna usaha (HGU) terlebih dahulu.Untuk memenuhi ketentuan pemerintah tersebut, maka mulai tahun 1962, NV Seketjer mulai melakukan pengukuran.

Namun, tanggal 8 September 1965, Kepala Inspektorat Perkebunan Jateng yang harus menanda-tangani surat HGU meninggal dunia, sehingga pemberian HGU yang sedianya akan dilakukan pada tanggal 10 September 1965 terpaksa ditunda. Waktu terus bergulir hingga menunjukkan tanggal 30 September 1965. Saat terjadi pemberontakkan terbesar dalam sejarah bangsa kita. Terjadi perebutan kekuasaan. Akibatnya, keadaan ekonomi dan politik Indonesia menjadi tidak stabil. Pemerintah kemudian mengambil tindakan ”penyelamatan” yang ditindak-lanjuti dengan penangkapan personel-personel yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan tersebut. Tidak hanya itu. Aset-aset

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kantor Perkebunan NV seketjer. Sudah diduduki mantan veteran

[ L A C A K ]]

usaha pun tidak luput dari dari rampasan negara lewat militer. ”Belum sempat pengajuan HGU turun, sudah ada pemberontakkan PKI,” kata Djoko sedih. Padahal surat itu sudah ada di depan mata.

Satu setengah bulan kemudian, tepatnya 17 November 1965, Menteri Perkebunan yang kala itu dijabat Frans Seda menginstruksikan untuk menguasai kebun-kebun swasta yang diindikasikan terlibat PKI. Di Jateng dan DIY ada tujuh perusahaan swasta yang dibekukan Pangdam selaku Panglima Penguasa Daerah. (Lihat: Aksi Komandan di Perkebunan). Memang, tuduhan itu tidak hanya dikeluarkan Pangdam saja. Ir Soetadi, Kepala Dinas Perkebunan Jatenglah yang membenarkan adanya aktivitas PKI di sana. Akibatnya, seluruh pegawai dan pengurus perkebunan ditangkap, termasuk bagian umum/ keuangan yang masih membawa kunci-kunci almari yang menyimpan surat-surat penting perusahaan, diantaranya akte pendirian NV Seketjer, akte jual beli dengan NV Internatio, perjanjian model A, ijin perdagangan, surat tanda pembayaran utang di kas negara, ijin perusahaan, surat tanah eigendom/erpah termasuk surat arsip permohonan HGU. Beberapa pengurus perusahaan juga dipaksa untuk menyerah-kan surat-surat penting tersebut kepada pemerintah kabupaten Kendal.

”Fitnah mengatakan tanah itu digunakan PKI. Padahal tidak,” kata Djoko kesal. Ia mengatakan bahwa orangorang yang dikatakan terlibat G 30 S/PKI bahkan akhirnya mendapat surat lulus yang menerangkan mereka tidak terlibat. ”Pemerintah ingin mengambil surat itu dengan tuduhan tersebut,” ungkap Djoko mencurigai adanya interes ekonomi di balik tuduhan keterlibatan pengurus perkebunan. Saat kebun dirampas, para pengurus NV Seketjer sendiri mendekam selama 1,5 tahun dalam gudang pengg-ilingan padi di Kaliwungu Kendal, bersama orangorang yang dituduh PKI se-Kabupaten Kendal.

Watak bisnis militer pun ditunjukkan. Kodam lantas

direktur I PT Sumurpitu. Sejak saat itu perkebunan seakan dalam cengkeraman gurita. Tinggal menunggu kapan akan musnah. Anggapan tersebut tidaklah berlebihan, karena PT Sumurpitu sendiri terkesan mengeksploitasi daripada mengelola.

Perjuangan tak berakhir. Dibalik itu, ternyata semangat penuntutan perkebunan tidak pernah padam dalam diri bekas pejuang yang juga pengelola NV Seketjer Wringinsari. Meski posisi militer di Orde Baru begitu kuat, toh hal itu tak menyurutkan semangat untuk melawan ketidakadilan. Tahun 1982, atas nama pengurus NV Seketjer Wringinsari, Ir Sudjak Praptoadmodjo pernah menanyakan perihal HGU NV Sekejer ke Sumohusodo selaku Kepala Bagian Perijinan Dirjen Perkebunan. ”HGU NV Seketjer Wringinsari sudah keluar. Akan tetapi perlu diketahui bahwa NV Seketjer saat ini telah dikuasai PT Sumurpitu.” Begitu kira-kira jawaban Sumohusodo. ”Namun tetap saja ada tuduhan, Anda terlibat,” kisah Djoko.

Setelah 10 tahun kemudian, perjuangan bekas pejuang itu mulai serius. Pengurus NV Seketjer menghubungi pihakpihak yang terkait, seperti Markas Cabang (Macab) veteran Kendal dan Markas Daerah (Mada) veteran Jateng. Dalam beberapa surat yang dialamatkan kepada ketua Mada LVRI Jateng, Macab kabupaten Kendal, termasuk ke Kodam IV/ Dipone -goro sebelumnya Kodam VII/Diponegoro Sawarno menunjukkan betapa besar harapannya agar perkebunan itu kembali. ”Tahun 1995 saya sudah memperjuangkan. Pada masa Soeharto. Tapi saya pakai nama veteran saja agar mudah,” ungkap Sawarno yang semasa aktif ikut berjuang hingga Banyuwangi. Kemudian, tahun 1998, tahun ketika Soeharto turun karena kuatnya arus reformasi. ”Yang pertama-tama membuat greget, istilah itu ada kemauan memang adanya jaman reformasi ini,” ungkap Slamet Hariyadi, menantu Djoko

aksi Protes Para Veteran. Mendapat bantuan penduduk setempat mendirikan perusahaan untuk mengelola perkebunan yang kosong, karena pengelolanya telah diusir. Agustus 1966, lewat empat orang, Soedalmadi, Hendro Adiputro, Soekir Soemario dan Soegeng, Kodam mendirikan PT Sumurpitu dengan akte notaris RM Soeprapto no 26. Setelah itu, tanggal 10 Juli 1967, pengelolaan perkebunan tersebut diserahkan kepada PT Sumurpitu dari Kodam oleh Komuved Jateng.

”Jadi secara legal formal, kami kuat,” kata Buntarno . .

Soejono yang sekarang menduduki sekretaris II NV Seketjer Wringinsari. Tanggal 11 Maret, didampingi LKBH UII, lima orang perwakilan mantan veteran ini mendatangi Komnas HAM untuk mendapatkan dukungan. ”Komnas HAM punya rekomendasi ke Kodam,”ungkap Amal Ghofur dari LKBH UII. Namun menurut Amal, mereka (Komnas HAM-red) hanya bicara di seputar isu. ”Jawabannya, ya seputar itulah,” timpal Slamet. Dalam surat ini, Komnas HAM mempertimbangkan

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 
. . . . . . . . . . .
] ]
ISTIMEWA ISTIMEWA

bahwa masalah ini ada di lingkungan instansi Angkatan Darat. Oleh karena itu, Komnas HAM berpendapat seandainya pengaduan ini mengandung kebenaran, Kodam harap menanganinya dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku.

Tindakan selanjutnya dilakukan ”pejuang-pejuang” ini adalah melakukan aksi. Aksi ini dilakukan pada tanggal 30 September 1999 oleh puluhan pengurus beserta anak

beberapa orang sudah tidak sabar lagi menduduki perkebunan. Oleh karena itu, pada tanggal 28 Oktober 2000, sekitar 90 orang masuk perkebunan dan melakukan upacara bendera. Setelah tinggal di perkebunan selama dua hari, mereka memberikan surat pemberitahuan kepada Polres, bahwa mereka tetap akan menduduki, tanpa minta ijin siapa saja. ”Wong, kebun ini punya kami sendiri,” kata Slamet.

Hal yang juga tidak kalah penting dilakukan oleh bekas pejuang ini adalah silaturahmi dengan warga setempat yang ternyata mendukung kembalinya mereka. Dan pada beberapa hari kemudian segera dibentuk susunan kepengurusan NV Seketjer yang baru, dengan R. Djoko Soejono sebagai direktur I, dan Sutamadi sebagai Presiden Komisaris. Sempat pula terjadi insiden kecil. Djoko Soejono ditangkap polisi ketika hendak memetik kopi di perkebunan. Ia dituduh melakukan tindak pidana pencurian. Akibatnya, ia ditahan di Polres Kendal selama 10 hari. Antara 14-23 Mei 2001

Selang beberapa bulan kemudian, menurut penuturan Djoko, Macab telah berunding dengan Pangdam, yang hasilnya aset akan dibagi menjadi dua. 250 lembar saham prioriteit dan 250 lembar lagi untuk umum. ”Yang mau dibagi ke kita itu umum saja. Itu pun masih ada klasifikasi lagi. Kita 48%, mereka 52% dari separuh aset,” tutur Djoko. Sebelumnya, Kodam juga pernah menawari Rp 2 milyar kepada pengelola NV Seketjer. ”Itu untuk nurani, karena dulu mereka yang kerjakan,” kata Buntarno ketika dihubungi via telepon. Hasilnya dapat ditebak. ”Saya tolak mentah-mentah. Itu tidak menghargai orang,” kata Djoko geram. cucu mereka di DPRD Jateng dan ditemui oleh wakil ketua dewan, HM Hasbi beserta beberapa anggota dewan lain. Dari beberapa surat kabar dapat diketahui berbagai tanggapan dari institusi terkait. Noor Achmad, misalnya. Ia adalah salah satu anggota dewan dari Fraksi Partai Golkar (FPG) mengatakan bahwa aduan ini akan dibahas tersendiri oleh komisi A yang akan segera dibentuk. Kol. Ristanto dari FTNI/Polri, mengatakan bahwa dalam kasus ini meski yang bersalah adalah Pangdam, hukum harus tetap dilaksanakan. Sedangkan Kapendam IV Diponegoro, Letkol Czi Sugeng Suryanto mengatakan bahwa Kodam secara sah memiliki sejumlah tanah. Ia menyanggah institusi militer mengambil hak atas tanah milik petani Seketjer.

”Kalau petani memang punya bukti, maka Kodam akan menyerahkan kembali tanah-tanah tersebut.” Pangdam IV Diponegoro kala itu, Bibit Waluyo mengatakan menolak telah dituduh mencaplok tanah rakyat dan akan maju ke pengadilan untuk menyelesai-kan ini. Ia mengatakan bahwa Kodam punya bukti yang otentik.

Selain itu, demonstrasi juga dilakukan juga ke DPRD II Kendal, hasilnya akan dibentuk tim yang akan membantu menyelesaikan kasus ini. Amal juga mengatakan bahwa Bupati akan memanggil PT Sumurpitu. ”Namun sampai sekarang kita belum tahu kejelasannya,” kata Amal.

Tanggal 9 Desember 1999 juga melakukan demonstrasi ke Dinas Perkebunan (Disbun) Ungaran. Demo ini menggugat Ir. Soetadi yang pada saat peristiwa G 30S/PKI menjabat Inspektur Perkebunan Jateng. Ialah yang mengeluarkan surat bahwa hampir semua pegawai perkebunan telibat pemberontakkan ini.

Setelah menunggu sekian lama, di tengah ketidakpastian,

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
unjuk rasa Para Veteran. Dari Disbun hingga Komnas HAM
ISTIMEWA . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Menteri

Inspektorat

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [ L A C A K ]] ] ] Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) Jawa Tengah veteran dan BRN veteran veteran dan BRN NV Seketjer Wringinsari dan notaris RM Soeprapto NV Seketjer Wringinsari dan pemerintah NV Seketjer Wringinsari Inspektorat Perkebunan Jateng Menteri Perkebunan Kodam VII/Diponegoro PT Sumurpitu dan notaris RM Soeparto Komuved Jateng dan PT Sumurpitu Dirjen Perkebunan Markas Daerah LVRI Komnas HAM DPRD I Jateng, DPRD II Kendal veteran November Desember Januari April Desember April Juni Mei September 10 September 30 September 17 November 26 November 3 Maret 22 Juli 11 Agustus 10 Juli 16 Maret 29 Maret 11 Maret 30 September 9 Desember 27 April 28 Oktober 14-23 Mei 1  2 1  1  1  1  1 1  2 1  1  1  1  2 1  1  2000 2001 sekitar 60 veteran bekas pejuang kemerdekaan RI diberi pendidikan perhewanan di Sala, Ungaran dan Purwokerto BRN Jateng membeli perkebunan milik NV Internatio Semarang seluas 617 ha penempatan sekaligus awal pengelolaan perkebunan oleh para veteran dengan modal pinjaman Rp 20.000 dari BRN panen perdana pinjaman dapat dikembalikan dari hasil produksi kopi. Tutup buku mengalami keuntungan bersih Rp 500.000 NV Seketjer Wringinsari milik veteran resmi berdiri dengan akte notaris RM Soeprapto No. 54 NV Seketjer Wringinsari menandatangani kredit dari pemerintah sebesar Rp 1.500.000 berupa peralatan pabrik. Jatuh tempo 20 tahun kredit Rp 1.500.000 dapat dilunasi persiapan pengukuran tanah perkebunan untuk pengajuan hak guna usaha (HGU) berdasar UU Agraria Kepala
Perkebunan Jateng, Inspektur Soetiyono, meninggal dunia Ijin HGU tertunda untuk waktu yang tidak dapat ditentukan karena meninggalnya Ka Insp Perkebunan Jateng tersebut meletus G 30 S/PKI
Perkebunan menginstruksikan untuk menguasai kebun-kebun milik swasta yang terlibat PKI Departemen Perkebunan mengeluarkan task force siaga keluar SK Pangdam VII/Diponegoro untuk menguasai perkebunan swasta yang terlibat PKI, termasuk NV Seketjer Wringinsari pembekuan dan penyitaan hak milik NV Seketjer Wringinsari oleh Pangdam selaku Penguasa Perang Daerah pendirian PT Sumurpitu oleh Kodam dengan akte notaris RM Soeprapto No. 26 pengelolaan perkebunan diserahkan ke PT Sumurpitu oleh Kepala Komuved Jateng Ir Sudjak Praptoadmodjo memohon kembali perkebunan NV Seketjer Wringinsari kepada direktorat jenderal perkebunan dibentuk tim penyusunan peninjauan kembali oleh para pemegang saham NV Seketjer Wringinsari pengiriman surat ke Markas Daerah Legiun Veteran RI (LVRI) untuk peninjauan mengadu ke Komisi Nasional (Komnas) HAM mengadu ke DPRD I Jateng demo ke DISBUN demo ke DPRD II Kendal veteran memasuki areal perkebunan Djoko Soejono ditangkap polisi dengan tuduhan tindak pidana pencurian
TahuN PErIsTIWa INsTaNsI yaNG TErKaIT

Aksi Komandan di Perkebunan

mentalnya kurang mantap dan takut hidup di tengah-tengah hutan yang sangat sepi itu, boleh kembali dengan sekaligus bersama kendaraan yang mengantarkan,” tulis Soedjak Praptoatmodjo, Bagian Umum/Keuangan merangkap Sekretaris Direksi, dalam sejarah singkat tentang perkebunan ini di tahun 1980. Tapi berkat kerja keras dan kegigihan para veteran, hanya dalam waktu empat bulan, perkebunan itu menampakkan hasilnya. Tanaman pokok mulai berbunga dan tanda-tanda sukses sepertinya di depan mata. Produksi kopi, coklat, kapuk mulai masuk dan mereka jual. Tutup buku tahun 1953, mereka dapat mengantongi keuntungan bersih Rp 500.000. Hasil jerih payahnya pun tak sia-sia.

Ketika dikelola para veteran, kebun itu menjadi pilot project perkapukan Jawa Tengah. Setelah dirampas Kodam, kondisinya gersang dan mengenaskan.

“S UNGGUH mengerikan. Sekarang ada yang jualan di pasar, tukang batu, sopir becak pun ada. Padahal waktu itu pegawai hariannya digaji 140 rupiah, sudah mendapat sembako komplet,” kata Laili Purwanti (45), anak pertama Asih Djoko Soejono terharu. Ia bukanlah mengada-ada atau mereka-reka tentang perbandingan kehidupan veteran ketika mengelola perkebunan dengan sekarang. Ia bercerita tentang kejayaan veteran dulu, termasuk ayahnya. Tak hanya Laili yang bertutur demikian. Soewandarto, bekas penjaga keamanan di afdeling Sumurpitu ketika NV Seketjer belum resmi berdiri, sekitar tahun 1953, dan beberapa veteran yang berhasil HIMMAH temui mengatakan hal serupa. ”Enak dulu. Gaji 180 rupiah, dapat beras 15 kilo termasuk kesejahteraan dan pengobatan kalau sakit,” kisahnya.

Perkebunan yang mereka kelola bukanlah semba-rang perkebunan. Sebelum diserahkan oleh pemerin-tah kepada mereka, kondisinya rusak. Tanaman yang ada tertutup alang-alang yang sangat lebat. Bahkan kebun yang terletak 30 km sebelah barat daya kabupaten Kendal itu dihuni rombongan babi hutan, ular berbisa, kera, dan harimau. Pemerintah menyebut-nya dengan perkebunan proef bedrif atau perkebunan percobaan. Memang, kebun itu dibeli pemerintah lewat Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) dari perusahaan swasta Belanda, NV Internatio yang telah lama menelantarkannya, pada Desember 1952. Dibeli seharga satu juta rupiah dengan kondisi yang demikian, seakan menantang nyali sekitar 92 bekas pejuang. ”Mereka yang

Kebun itu sendiri tergolong besar, kurang lebih 617 ha luasnya. Terbagi menjadi lima afdeling, yakni Parakan, Besokor, Sumurpitu, Wringinsari dan Sekecer dengan luas yang berbeda-beda. Yang paling luas adalah afdeling Sumurpitu sebesar 186,7 ha dan terkecil adalah afdeling Parakan. Selanjutnya lihat grafis. Dengan areal produktif lebih dari 95%, perkebunan ini mampu menghasilkan kopi dan coklat yang melimpah ruah. Menurut data yang kami peroleh, coklat tiap tahun menghasilkan 60-80 ton, sedang kopi menghasilkan 70-90 ton per tahun. Bahkan produksinya sempat diekspor ke negara-negara Eropa dan Amerika. Isi kapuk alias klenteng di ekspor ke Jerman, kopi dan coklat ke Amerika. ”Bayangkan sendiri kalau dulu hasilnya itu milyaran,” kenang Soewandarto. Setelah dibentuk badan hukum NV Seketjer Wringinsari, di tahun 1956, perkebunan tersebut semakin berkibar. Kemudian tahun 1957, pemerintah membantu dengan memberi pinjaman kepada mereka sebesar Rp 1,5 juta untuk modal awal perusahaan. Dengan badan hukum sebagai pengelola resmi, kesejahteraan para veteran dan karyawan yang direkrut terus meningkat. Untuk karyawan sendiri pada masa perawatan berjumlah sekitar 200 orang, dan untuk masa panen mencapai 750 hingga 1000 orang. Selain mendapat gaji pokok lebih dari cukup, mereka juga mendapat tunjangan setiap tahunnya. ”Saya mendapat gaji tiga kali lipat tiap tutup buku akhir tahun. Dan pernah dapat sepuluh kali lipat gaji,” kata Eddy Sawarno, pemegang delapan sero NV Seketjer Wringinsari. Hutang pun terlunasi pada 9 Mei 1961, atau 16 tahun sebelum jatuh tempo. Bahkan, di tahun yang sama, dengan keberhasilan dalam memproduksi kapuk berkualitas, perkebunan NV Seketjer meraih peringkat kedua dalam perlombaan kapuk dan juga mendapat piagam Gubernur Mangoennegoro.

Hasil perkebunan oleh NV Seketjer sebagian juga dikeluarkan untuk pelayanan sosial. Dengan mendiri-kan gedung sekolah dasar (SD) dan Taman Siswa di Weleri, poliklinik untuk karyawan, keluarganya dan masyarakat sekitar lengkap dengan peralatannya, membantu pembuatan gedung SD di Sukokranen, Pageruyung, dan pembuatan rumah ibadah.

Kisah manis itu tak berlangsung lama. Tahun 1965, kondisinya berubah 180 derajat. Padahal di permulaan tahun tersebut, perkebunan ini menjadi pilot project perkapukan Jateng. Tak disangka, perkebunan ini termasuk

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Penggilingan Padi. Mampu menampung 1500 tertuduh PKI
. . . . . . . . . . . . . . . .

dalam daftar tujuh aset yang dikuasai Kodam IV/Diponegoro dengan tuduhan terlibat PKI. Oleh Kodam, perkebunan ini dilimpahkan ke PT Sumurpitu, perusahaan yang kelak menelantar-kan, tak hanya bekas pengelolanya, tapi juga lahan perkebunan tersebut.

Pertengahan Juli 2001, atas nama direktur I NV Seketjer Wringinsari, Djoko Soeyono meminta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memblokir permohonan hak guna usaha (HGU) PT Sumurpitu yang belum terbit. Alasannya. mereka (PT Sumurpitu,-red) telah menelantarkan lahan. Amal Ghofur SH dari LKBH, selaku kuasa hukumnya, telah menyampaikan hal itu pada instansi terkait . ”Kita sudah menyampai-kan itu ke BPN, Dinas Perkebunan, dan juga bupati, minta HGU PT Sumurpitu dicabut,” tegasnya.

Kerusakan sebenarnya sudah tampak sejak diambil alih PT Sumurpitu. Tahun 1977, misalnya. Gubernur Jawa Tengah yang pada waktu itu dijabat Soepardjo Roestam, mendadak meninjau lokasi perkebunan yang dalam kondisi parah. Tidak ada pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab di dalam areal perkebunan. Kondisi kantor PT Sumurpitu yang berada di depan rumah Mariun, satu-satunya pengurus NV Seketjer yang masih bertahan di areal perkebunan sejak kejadian 1965 hingga sekarang, hampir roboh tak terawat. Bukti tidak adanya aktifitas kerja di kantor tersebut.

Tidak hanya itu. Perusahaan yang bernaung di bawah Yardip ini, juga dianggap telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) 40 tahun 1996. Tidak mengusahakan pengusahaan perkebunan sendiri, karena mengalihkan pada pihak lain tanpa prosedur yang telah ditentukan, sesuai dengan pasal 12 PP tersebut. Perkebunan ini disewa-sewakan kepada penduduk sekitar. Uang sewanya dibayarkan ke sinder atau penjaga kebun. ”Kalau ingin menanam tumpang sari, harus menyewa tahunan. Per hektar Rp 250.000,” kata Teguh, penduduk Parakan. Mereka kemudian menanamnya dengan tanaman seperti jagung, pohung dan kacang dengan hasil yang sebenarnya tidak sebanding, karena setahun hanya dapat memanen dua kali saja. Sampai sekitar tahun 2000 akhir, ketika salah seorang sinder bernama Tarso datang dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa kebun tidak lagi disewa-sewakan.

Buntarno, direktur I PT Sumurpitu ketika dihubungi lewat telepon, mengatakan jika persewaan kebun kepada masyarakat merupakan bentuk niatan baik perusahaannya kepada masyarakat. Buntarno entah tidak tahu apa lupa bahwa hal tersebut sebenarnya bentuk pelanggaran ketentuan yang ada. Tak salah jika Dinas Perkebunan (Disbun) tingkat I Jawa Tengah, pada 19 Juli 2001 yang lalu, melayangkan surat peringatan I kepada PT Sumurpitu Wringinsari.

Menurut Suroso, kepala sub dinas kelembagaan dan pe ngembangan usaha Disbun tingkat I Jateng, PT Sumurpitu dianggap telah melanggar Tridharma Perkebunan, yakni devisa dan rupiah, tenaga kerja dan pelestarian lingkungan hidup. ”Surat peringatan pertama itu menyangkut penilaian terhadap kela-yakan. Dari segi manajemen, teknik budidaya dan hasil,” katanya. Hingga saat ini, pihak disbun belum melakukan survey lebih lanjut. Koordinasi dengan BPN untuk mengambil sikap atas penyalahgunaan HGU oleh PT Sumurpitu belum juga dilakukan. ”Kami sibuk dengan kepentingan masing-masing,” kata Suroso.

Untuk surat peringatan kedua, lanjutnya, akan dikeluarkan enam bulan setelah surat peringatan pertama diterbitkan.

Tentu berdasarkan per-kembangan PT Sumurpitu sendiri dalam menyikapi surat peringatan pertama. Dari PT Sumurpitu sendiri, sepertinya diam di tempat. Tak ada kemajuan yang dilakukannya selama ini. Masih banyak dijumpai pohon-pohon randu yang ditebang belum saatnya, berserakan di tepi jalan. Tanaman kopi, salah satu komoditi andalan NV Seketjer, rusak karena tidak ada tanaman perdu di atasnya.

Kondisi perkebunan yang dulu ijo royo-royo berubah menjadi hamparan tanah kosong mirip lapangan tembak. Tak salah jika para veteran terketuk hatinya. Melihat kondisi kebun yang demikian, pada Oktober 2000, dengan terpaksa, mereka masuk kembali ke areal perkebunan. Mereka tidak tega melihat perkebunan porak poranda tak terurus. Anehnya, Djoko Soejono pada Mei 2001, ditangkap polisi dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencurian. Ia ditahan selama sepuluh hari. ”Yang punya, malah dituduh mencuri,” ujar Yati (35), orang yang disuruh Djoko untuk ikut mengambil kopi di perkebunan.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [ L A C A K ]] ] ] . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Perkebunan Kapuk. Gersang tak terawat
0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [LENSA]
[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [LENSA]
2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]

Mesin Uang yang Pincang

B ANGUNAN itu tak terlalu besar. Paling-paling luasnya tidak sampai 200 m2. Terdiri dari sebuah ruangan besar yang disekat-sekat dengan papan menjadi enam ruangan kecil dengan sebuah ruang tamu yang sederhana. Di belakangnya terdapat sebuah halaman kecil tanpa penutup. Sekilas kantor itu tak menampakkan sebuah kantor perusahaan perkebunan. Ya, itulah kantor PT Sumurpitu Wringinsari yang berada di bawah kendali Yayasan Rumpun Diponegoro (Yardip), milik Kodam IV/Diponegoro. Perusahaan yang hingga sekarang masih berkelut masalah dengan NV Seketjer Wringinsari, milik para veteran. “PT tidak ada hubungannya dengan NV,” kata Buntarno, direktur I PT Sumurpitu Wringinsari perihal status perusahaannya. Kemudian dengan tegas ia mengatakan bahwa PT bukanlah kelanjutan dari NV karena akte pendiriannya berbeda.

Dalam pendiriannya, PT Sumurpitu mengandung kontroversial. Amal Ghofur SH, kuasa hukum veteran dari

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII, melihat letak kejanggalan terletak pada akte notarisnya. “Saya melihat ketidaksahan PT Sumurpitu adalah latar belakang pendiriannya, dikeluarkan oleh notaris yang sama. Mestinya dalam berita acaranya, pendiriannya itu untuk apa? Itu harus jelas,” ujarnya. Notaris yang dimaksud Amal adalah Raden Mas Soeprapto, yang berkantor di Jl Branjangan 12 Semarang. Akte PT Sumurpitu dikeluarkan baru tahun 1966 dengan nomor 26, sedang akte pendirian nomor 54 milik NV Seketjer Wringinsari sudah 10 tahun sebelumnya. Sedang untuk tujuan PT Sumurpitu Wringinsari tidak tercantum dalam akte pendiriannya. Akte itu sendiri kebanyakan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan direksi, seperti kewenangan direksi dalam mengadakan rapat luar biasa setiap waktu. Perusahaan yang bernama lengkap PT Perkebunan Peng angkutan dan Perindustrian Sumurpitu Wringinsari pertama kali didirikan oleh empat orang. Mereka adalah Soekir Soemarjo, Hendro Adiputra, Soedalmadi, dan Soegeng. Tiga nama pertama menjabat direktur I, II dan III, sedang Soegeng tidak menduduki jabatan pada kepengurusan pertama PT tersebut. Dalam kepemilikan saham atau sero, diterbitkan sebanyak 500 saham yang terbagi menjadi dua, kelompok sero prioriteit atau prioritas dan sero biasa. Tapi hanya saham prioriteit yang dijual. Untuk saham biasa, menurut pasal 4 akte pendiriannya, baru akan dikeluarkan menurut keperluan modal bekerja pada waktu dan dengan syarat-syarat yang dite -tapkan oleh direksi. Untuk harga sebuah saham untuk pertama kalinya sebesar Rp 1.000,-. Nama Raden Ayu Siti Hartinah atau lebih dikenal dengan almarhumah Tien Soeharto duduk sebagai pemegang saham prioriteit dengan 14 sero. Sebelum meninggal dunia, terlebih dahulu ia menyerahkan seluruh sahamnya kepada Yardip. Tepatnya di tahun 1990 ketika almarhum Soegeng Haryanto menjabat sebagai direktur I, sebelum Buntarno menggantikannya pada Mei tahun 2000 yang lalu.

Perkembangan PT Sumurpitu tidaklah semulus NV ketika pertama kali mengelola perkebunan. Pasang surut kondisi keuangan selalu mewarnainya. Di tahun 1990-an, perusahaan ini masih menjadi primadona bagi Kodam IV/Diponegoro. Omzet per tahun mencapai Rp 1,7 miliar dengan produk andalan karet, kopi, teh dan kapuk randu. Total asetnya sendiri, saat itu, ditaksir senilai dua miliar rupiah. Sebuah bisnis Kodam yang terlalu sayang untuk diserahkan kepada orang lain.

Lain dulu, lain sekarang. Mungkin itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi PT Sumurpitu. Di tengah kondisi perekonomian yang kian tak menentu dan gencarnya tuntutan untuk pe -ngembalian tanah perkebunan kepada NV Seketjer Wringinsari, Buntarno serta pengurus Yardip sendiri tak habis pikir. Mereka memilih akan menjualnya

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 
PT Sumurpitu Wringinsari, salah satu badan usaha milik Yayasan Rumpun Diponegoro (Yardip) sepertinya diambang kebangkrutan. Bahkan untuk menghidupi diri sendiri pun susah. Kantor yardip. Tak mampu mensuplai uang ke Kodam
[ L A C A K ]] ] ] . . . . . . . . . . . . . . .

pada pihak yang menginginkan. “Murah kok. Satu meter hanya Rp 5.000,- termasuk tanaman, bangunan, apa saja yang ada di atas tanah itu,” kata sumber HIMMAH di Yardip. Jadi jika dikali dengan 600 hektar total keseluruhan areal yang dikuasai, ditaksir senilai Rp 30 miliar. Sebenarnya pernah ada tawaran dari sebuah perusahaan swasta Jepang untuk membeli hak guna usaha (HGU) PT Sumurpitu Wrininginsari,

PT Rumpun. PT Bapippundip membawahi tiga perusahaan, yaitu Bioskop Atrium yang terletak di Semarang, PG Pakis Baru dan PG Madukismo. Dua diantaranya telah dijual, yakni PG Pakis Baru dan PG Madukismo. Sedang PT Rumpun membawahi tiga anak perusahaan, PT Rumpun Sari Medini, PT Rumpun Sari Antan dan PT Rumpun Sari Kemuning. Ketiganya bergerak di bidang perkebunan. Untuk perusahaan lainnya dapat dilihat dalam tabel badan usaha milik Yardip.

Bisnis militer yang lahir di era orde baru hampir dapat dikatakan seluruhnya terkait dengan ke-kuasaan. Tak terkecuali Yardip dengan badan usaha-badan usahanya. Perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan, misalnya. Dengan status tanah sitaan dari rakyat yang dituduh sebagai anggota ormas terlarang, Yardip berhasil menguasai areal per-kebunan yang tersebar hingga pelosok Jawa Tengah. Selanjutnya lihat tabel.

Entah, dengan sedemikian banyak ladang uang yang dimiliki, toh pengelolaannya tetap amburadul. Buktinya PT Sumurpitu Wriginsari diambang kolaps. Tidak hanya itu. Menurut penuturan sumber HIMMAH di Yardip, saat ini tidak ada perusahaan yang me-nguntungkan. “Tahun 1987 hingga 1997 itu masa kejayaannya. Setelah 1997 itu tidak ada lagi untung,” kata sumber tersebut.

Memang, bila dibandingkan dengan bisnis yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik TNI Angkatan Darat, Yardip tidaklah setara. Diperkirakan aset YKEP hampir senilai dengan perusahaan rokok British American Tobacco (BAT). “Atau, sedikit di bawah United Tractor,” ungkap salah satu pengurus YKEP sebagaimana dikutip Kontan. Yardip sepertinya akan terus menghadapi banyak kendala, meski dengan aset yang tergolong kecil. Tak lain, karena latar belakang pendirian badan usahanya yang kebanyakan dengan perampasan.

tapi karena faktor perkebunan tidak prospektif lantaran rusak serta tuntutan pengembalian tersebut, akhirnya pihak perusahaan Jepang membatalkan diri. “Coba kalau kita tidak bertindak, pasti sudah laku,” tutur Asih Djoko Soejono, orang yang dapat dibilang sebagai pemimpin usaha pengembalian perkebunan NV Seketjer Wringinsari.

Kini, PT Sumurpitu hanya mengandalkan penjualan kapuk dan kopi untuk membayar pajak. Demikian pula perpanjangan HGU di tahun 1997. Perusahaan ini juga tidak kuat menggaji para sinder atau penjaga perkebunan. Mereka memperoleh gaji dengan menyewakan beberapa petak kebun yang dijaganya. Suatu larangan dalam peraturan pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996, karena menyerahkan pengusahaan HGU kepada pihak lain tanpa prosedur yang sah.

Yardip selain memiliki PT Sumurpitu juga memiliki badan usaha yang terhitung lumayan banyak. Sekitar delapan perseroan terbatas. Ada beberapa pe-rusahaan yang masih memiliki anak-anak perusahaan, seperti PT Bapippundip dan

Belakangan, paska disetujuinya UU Yayasan Agustus 2001 silam, bisnis yang berkedok yayasan seperti halnya Yardip bakal mendapat halangan. Menurut UU tersebut, hanya 25% dari modal yayasan yang dapat ditanamkan untuk usaha. Sedang menurut penuturan salah seorang pengurus Yardip, saat ini terdapat kurang lebih 90% saham di tiap badan usaha yang dimiliki Yardip. Masih ada waktu hingga Agustus 2002, saat UU Yayasan resmi berlaku, untuk revitalisasi peran Yardip dan juga yayasan militer lainnya. Atau justru terlikuidasi karena ulahnya? Kita tunggu.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Kantor PT sumurpitu Akan segera dijual
[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [ L A C A K ]] ] ]

Sepenggal Kehidupan dari Bui

S AAT itu hari sangat tenang, pekerja perkebunan masih bekerja seperti hari-hari biasa. Namun di tengah kesunyian perkebunan yang sangat rimbun itu, terdengar deru truk yang kemudian berhenti. Beberapa orang bertubuh tegap turun dari truk dan lekas menuju rumah-rumah penduduk. Swandarto tidak mengenali secara jelas pakaian mereka. Orang-orang asing itu menggeledah rumah, dan tanpa banyak pertanyaan menyeret beberapa laki-laki dewasa yang ada. Mereka dimasukkan ke truk. Mereka ditangkap.

Sementara itu dibelakang perumahan yang sangat berjauhan satu sama lain itu, beberapa orang berlari-lari kecil. Joko Soejono memimpin. Ia membantu pekerja perkebunan untuk mencari jalan keluar agar tidak ikut ditangkap. Mereka melarikan diri secepat mungkin hingga tidak sempat membawa harta sedikitpun.

Swandarto masih mengingat pengalaman pahit itu dengan sangat jelas. Berbeda dengan orang-orang yang ditolong Joko Soejono, ia tidak sempat melarikan diri ketika penangkapan orang-orang yang d i -indikasikan terlibat G30SPKI itu terjadi. Ia ikut terseret dan masuk ke truk dan beberapa saat setelah itu ia sudah dikurung dalam bangunan besar bersama 1500 tahanan yang lain.

Bangunan besar itu adalah sebuah tempat penggilingan padi. Pada waktu padi digiling, debu dan gabah masuk semua. Ketika siang akan sangat panas, sedang kalau hujan turun, airnya masuk. Setiap harinya selalu ada pengambilan para tahanan, yang mau dibunuh.

Sedang untuk makan, para tahanan tidak terlalu banyak berharap. Terkadang mereka diberi, namun lebih banyak mereka berpuasa. Kalau ada salah satu tahanan dikirim makanan oleh keluarganya, maka itu akan menjadi santapan bersama. ”Pernah dapat makan jagung 9 biji mata sehari. Pagi, saya makan 3 biji, siang 3,malam 3,” ungkap Swandarto mence-ritakan pengalaman pahitnya.

Penderitaannya tidak berhenti di sana. Ia juga harus

ditinggalkan istri dan dua anaknya. Sampai sekarang ia tidak bisa bertemu mereka.

Sedang Sawarno tampaknya memiliki nasib yang sedikit mujur. Beberapa waktu sebelum meletus G30SPKI, ia sudah meninggalkan perkebunan.

Nasib Mariun tidak jauh berbeda. Ia adalah salah seorang penjaga keamanan perkebunan. Ia memang tidak ikut tertangkap. Namun nasibnya tidak lebih baik. Sejak perkebunan diambil alih, ia hanya bisa menggadaikan kehidupannya dengan mencangkul sisa-sisa tanah yang tidak digunakan PT Sumurpitu. Kini ia tinggal di rumahnya yang tidak bisa dibilang sederhana. Pendapatannya tidak menentu. Ia mengalami kesulitan mencari penghidupan. ”Cuma jagung sama kacang, lalu ubi, lalu saya jual.”ungkap Mariun.

Ngatmin selama ini bekerja di PT Sumurpitu sebagai penjaga perkebunan. Ketika ditemui ia mengatakan keprihatinan akan nasib teman-temannya. meski ia bekerja di PT Sumurpitu, ia mengatakan bahwa ia menyesal dan kini ia sudah keluar, akibat perselisihan dengan pihak direksi.

Mereka semua yang berbicara mengenai keti-dakadilan ini memang sudah menginjak usia tua. Penderitaan mereka begitu berat dan perjuangan untuk mendapatkan hak pengelolaan tanah sudah lama. Namun tidak tampak rasa penyesalan, ketakutan dan keinginan untuk menyerah. Mereka berkata bahwa perjuangan ini, meski tampak tersendat, namun inilah yang membawa ketenangan hidup mereka.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
 . . . . . . . . . . . . .
mereka bicara Dari kiri: Swandarto, Ngatmin, Joko Soejono dan Mariun

Swandarto:

Dulu tugas jaga di NV seperti apa?

Pas panen kopi, jaga siang malam bergiliran. Keliling kalau ada tanaman yang dirusak itu atau tanaman peneduh sengon. Dulu besarnya dirangkul 2 orang tidak muat. Sekarang habis.

Bagaimana keadaan perkebunan waktu itu?

Bayangkan sendiri kalau hasilnya itu milyaran. Kopi coklat, randu, lada. Dulu diekspor ke Jerman. Sekarang kayak begini. Dulu tanaman itu penuh.

Ketika itu untuk membiayai siapa?

Pegawainya. Tadinya oleh pemerintah untuk percobaan. Dulu saya asalnya pejuang bersenjata. Pembantu tentara disekitar tahun 49. Saya membantu TP. Kalau dapat senjata saya yang menyembunyikan. Kemudian diserahkan ke staf keamanan, terus disuruh ke pendidikan. Pendidikannya macam-macam. Perta-nian, peternakan, pembangunan. Saya bagian peternakan di Purwokerto. Dapat istri sana. Setelah selesai saya ditawari kebun yang terbengkalai, silahkan rawat. Setelah dirawat ternyata berhasil, sukses. Kemudian didirikan NV ini.

Pemberitahuan kalau kebun dirampas Kodam?

Setelah keluar, disini sudah dipegang orang lain. Kemudian saya pulang kampung. Dulu tempat tahanan itu disebut kamp itu saja.

Perjuangan yang telah Anda lakukan selama ini untuk merebut kembali hak Anda?

Yang berjuang itu dua arah, dari khusus orang NV, ada orang NV nuntut sendiri terus ada veteran nuntut sendiri. Mengadakan demo ke balai kota Semarang, tapi sampai sekarang kok nggak ada respon. Terakhir demo ke disbun.

Apakah PT itu kelanjutan dari NV? NV dan PT tidak ada hubungan. Akte pendirian berbeda jadi kita bukan meneruskan NV. Itu tanah negara. PT itu juga tanah negara. NV mengajukan HGU sementara, belum terealisasi berhubung G30S/PKI ’65 dan kedua PT untuk mengelola PT ini minta ijin dulu. Dengan demikian bukan mengambil alih bukan merampas begitu saja dan NV itu dipinjami negara yang pertama 20 ribu dan setengah juta jadi nilainya 1.520.000 tahun ‘56. Sehingga kalau dia memperjuangkan ini kan nggak mungkin harus dilihat sejarahnya. Kalau mengambil alih itu nggak mungkin, itu kan tanah negara.

Kalau menuntut harusnya ke mana?

Akte daripada PT itu No 26 tanggal 11 bulan 6. Antar PT dengan NV itu tidak ada hubungan karena kate pendiriannya berbeda. Kalau NV nuntut PT disini tidak boleh. Nuntutnya sama negara. Itu urusannya negara. Habis itu yang mengelola dari PT dari veteran itu dan minta ijin dari Dirjen. Jadi kita tidak mengambil begitu saja, kita ijin kepada instansi yang terkait atas nama negara.

Hubungan dengan Mada?

Itu begini yang namanya veteran bukan hanya mada, veteran itu ada veteran Tegal, Bumiayu, Jogja, Klaten. Mereka itu merasa karena lay out daripada kebun itu di Kendal. Tapi veteran itu se-Jateng dan DIY, dia itu disana jadi ikut menangani di ujung tombak. Karena menampung para pejuang seolah-olah milik Kendal ya milik veteran seJateng dan DIY.

Adapun kami-kami disini hanya sebagai petugas. Veteran itu dibawah kodam. Kodam itu terdiri dari empat Korem. Korem terdiri dari Kodim. Veteran termasuk dari kodam.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 
”Bayangkan sendiri kalau hasilnya itu milyaran. Dulu diekspor ke Jerman.”
Buntarno: ”Bukan mengambil alih, bukan merampas begitu saja”
[ L A C A K ]] ] ] . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Bukti-bukti yang sudah dikumpulkan apa saja?

Kita sempat melacak, kantor pertanahan di Kendal dan di BPN Jawa Tengah, Berkas itu masih ada enggak, sudah dimusnahkan belum. Permohonan konversi dari HR PAH ke HGU NV. Sampai di sana ada selentingan dulu pernah akan diterbitkan, diserahkan sudah ditulis. Saya tidak tahu konspirasi macam apa sehingga tidak ada di BPN semarang. HR PAH punya. Bendelan berkas yang disimpan itu dibendel semua, itu yang dibawa, disita. Itu tidak ada. Dibakar, dimusnahkan, disita? Kalau disita dimana, kita tidak tahu. Dulu NV pengang HR PAH dan HGU masih diurus. Lalu dinyatakan bubar oleh pengausa perang tapi uniknya tidak dikembalikan.

Di mana ketidaksahan pendirian PT Sumur Pitu?

”Ketidaksahan Sumur Pitu adalah latar belakang pendiriannya, di keluarkan oleh notaris yang sama. Mestinya di berita acaranya, pendiriannya itu karena apa?”

Saya melihat ketidaksahan Sumur Pitu adalah latar belakang pendiriannya, di keluarkan oleh notaris yang sama. Mestinya di berita acaranya, pendiriannya itu karena apa? Itu harus jelas. Apa itu menggantikan NV? Prosedurnya sah apa tidak? Semestinya berdasar SKPPD Diponegoro tentang pembekuan dan UU darurat tentang badan usaha atau pemilik tanah perkebunan usaha dagang ekonomi yang terlibat 30S PKI harap ditertibkan.

Yang kedua tentang pembubaran NV, NV boleh dibubarkan oleh rapat pemegang saham, rapat umum pemegang saham, dari ADAR atau akte pendirian Notaris RM Soeprapto itu. Kalau dia berpatokan pada adanya supersemar, kemudian surat-surat keputusan dari panglima komando, wali kodam untuk mengumpulkan orang-orang yang terlibat dalam 30 S PKI itu kan ada kriteria-kriterianya di undang-undang darurat itu harus mengacu ke sana. Kalau terlibat itu indikasinya apa, ini kan ndak terbukti. Orang banyak dilepaskan, diciduk dan tidak ada upaya dari klien kita atau NV Sekecer untuk membuktikan balik. Dan tidak ada forum apa yang bisa membuktikan itu bagi orang-orang yang dituduh terlibat 30 S PKI itu. Tidak hanya NV Sekecer tapi orang lain juga yang terlanjur dibuang ke pulau buru itu. Tahanan-tahananan itu jika dinyatakan tidak terlibat di

KTP nya sudah clear, bersih jika mau rehabilitasi ke mana? Ndak ada upaya, komisi apa yang bisa menyelesaikan itu. Sementara kalau mau menggunakan litigasi, sistem penegakan hukum kita belum bisa dipercaya sepenuhnya dan yang ketiga penguasaan perkebunan oleh Sumur Pitu atas dasar pemberian HGU

Yang ketiga adalah penguasaan tanah perkebunan oleh PT Sumurpitu atas dasar pemberian HGU oleh BPN I Jateng itu batal demi hukum, karena ditelantarkan. Kedua, tanah peruntukan itu tidak diperuntukan untuk usaha sebelumnya. Kan permohonannya diperuntukan untuk usaha perkebunan, perdagangn PT Sumurpitu. Dan sebagian besar lahan itu terlantar, gundul, pohon penyanggah banyak ditebangi dan tanah itu disewakan, itu tidak boleh.

Bukti kepemilikan NV yang paling kuat apa?

Kalu berbicara tentang bukti, maka kita ada di litigasi. Sebagai antisiapasi saja siap-siapo siap. Bukti yang paling kuat itu pelunasan kredit 1.5 juta kepada BRN. Sudah lunas sebelum waktunya. Tapi bukti bahwa BRN memberikan penguasaan ke NV tidak ada. Dan bukti-bukti yang kita inginkan ada di Notaris itu, dan secepatnya kita mabil. Dan bukti-bukti yang disita itu harusnya kita minta.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
”Berkas yang disimpan itu dibendel semua, itu yang dibawa, disita. Itu tidak ada”
Amal Ghofur:
[ L A C A K ]] ] ]
. . . . . . . . . . . . . . . .

Menggelar Pengadilan di jalanan

”Kuasa yang tidak terkontrol oleh sistem pengontrolan yang efektif, bertendensi semakin lama semakin brutal dan inhuman. Mengakibatkan orang yang dikuasainya berusaha membela diri dengan jalan yang juga melangggar peraturanperaturan sosial, moral dan agama, diantaranya dengan menghakimi diri sendiri (eigenrichting).”

SIANG itu di sebuah tempat lapang seberang jalan sebuah sekolah mene ngah tingkat pertama di Jepara. Terlihat massa yang jumlahnya puluhan orang beramai-ramai mengeroyok seorang bocah be rperawakan kecil kurus. Mereka me ngitarinya tanpa celah, tak ada peluang untuk kabur. Bocah kecil itu menjadi bulan-bulanan massa. Bocah berseragam sekolah itu tertangkap basah ketika akan mencuri sepeda motor di sekolahnya. Tanpa rasa iba, bocah itu menjadi sasaran puku lan massa yang memergokinya. Tak pelak tendangan kaki, pukulan kayu, dan berbagai jurus karate serampangan pun dihunjamkan ke tubuhnya. Tak ada rasa ampun, apalagi belas kasihan. Dari kejauhan seorang lakilaki tua dengan penuh rasa iba berteriak pada massa yang kesetanan dengan meme las. ”Hentikan. Tolong hentikan.” Massa tidak menurunkan frekuensinya, tapi justru bertambah semangat. ”Hajar saja. Bakar saja sekalian!” katanya. Akhirnya, bocah kecil itu tewas mengenaskan. Massa mem bakarnya hidup-hidup. Sedangkan orang tua itu hanya bisa diam terpaku menyak sikan kejadian itu tanpa bisa berbuat apaapa, apalagi menolong si bocah.

Cerita itu merupakan salah satu contoh dari penghakiman massa yang sedang melanda tanah air kita. Ceritanya akan beda, si bocah mungkin akan selamat andai polisi segera datang mengamankan. Ada kemungkinan keselamatan korban terja min, si bocah mungkin masih bisa sekolah lagi, menatap masa depannya. Jika aparat

tanggap, frekuensi main hakim sendiri atau dalam bahasa Belanda disebut eigenricht ing dapat berkurang.

Tentang istilah main hakim sendiri, Su parman Marzuki M.Si, direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII, kurang sepakat. Ia lebih memilih amuk massa dari pada main hakim sendiri. ”Istilah hakim ada di pengadilan yang resmi, benar dan dalam proses hukum yang logis,” katanya. Terlepas dari perdebatan istilah, main hakim sendiri, amuk massa, atau penga dilan jalanan pada intinya sama. Tindakan penganiayaan masyarakat di luar prosedur hukum. ”Tindakan main hakim sendiri, bertentangan dengan hukum yang ada. Dan bagaimana pun tidak dapat dibenar kan,” kata Dr Mudzakir, staf pengajar di fakultas hukum UII. Dalam agama pun dilarang menegakkan kebenaran dengan jalan yang bathil

Penyebab amuk massa, kata Suparman, bermacam-macam. Diantaranya faktor situasional multikrisis seperti sekarang. Sama halnya dengan tindak kriminalitas dan bentuk-bentuk kerawanan sosial lain nya. Amuk massa mengalami kenaikan di masa krisis. Menurut data Kepolisian Republik Indonesia (PolRI), secara keselu ruhan untuk tindak kriminalitas di tanah air pada tahun 1999 berjumlah 40.097 kasus, meningkat menjadi 46.325 kasus di tahun berikutnya. Sedang untuk amuk massa, menurut data Polri, Jakarta m e nempati posisi teratas. Tahun 2000, jumlahnya seki tar 90 kasus dan pada pertengahan tahun

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [HUKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HENDRA WIRAWAN

2001 terjadi kurang lebih 60 kasus. Angka ini mengalami kenaikan tajam pada tahun 2000, dan pasca reformasi 1998 angka ini dari tahun ke tahun terus naik.

Amuk massa hampir semuanya terjadi di akar rumput, sehingga tidak salah apa bila grafiknya meningkat dalam krisis ini, mengingat korelasinya erat antara krisis ekonomi dengan krim i nalitas. ”Orang dalam kondisi susah, di saat ekonomi tidak menentu. Sementara ada segelintir orang yang melakukan tindak kriminal yang ber sentuhan langsung dengan perekonomian,” kata Suparman memberi alasan amuk massa karena faktor situasional.

Ironis memang, seorang pencuri sepeda motor, demi kelangsungan hidupnya, harus mati sia-sia, hukuman yang tidak setimpal dengan apa yang telah ia perbuat. Sedang, di gedung mewah sana, korupsi besarbesaran terjadi hingga milyaran rupiah. Anehnya, sang pejabat tidak harus takut dibunuh seperti bocah itu, malah ia tidak tersentuh hukum. ”Tapi ini bukan faktor pencetus (utama- red ),” lanjut Suparman ketika ditemui HIMMAH di kantornya.

Prof Satjipto Rahardjo, guru besar sosi

(Topo Santoso: 2000). Pertama, karena sikap responsif masyarakat yang berlebi han. Prof. Satjipto menyebutnya sebagai sindrom ”arakan bugil atau main hakim sendiri”, yaitu tindakan warga masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dengan lan g sung menghukum pelaku, seperti bocah kecil itu. Saat itu dan di tempat itu juga, massa bertindak sebagai polisi, jaksa, kemudian sebagai hakim yang memutuskan jenis hukumannya. ”Emosionalitas massa selalu tidak pernah menggunakan akal sehat,” kata Suparman yang juga pengajar sosiologi hukum di Fakultas Hukum UII. Ini merupakan salah satu jalan untuk men jaga ketertiban masyarakat. Massa yang termasuk kelompok ini, memandang bahwa ketertiban tidak harus wewenang institusi formal. Mereka juga berhak mengadakan nya sendiri. Dengan ronda atau sistem kea manan lingkungan (siskamling). Demikian pula jenis hukuman yang harus diberikan.

Kemudian yang kedua, sikap tidak responsif dari masyarakat. Sikap ini me mandang bahwa tugas penjaga ketertiban adalah milik institusi formal. Menjadi tugas kepolisian. Masyarakat tidak mempunyai

menyebutnya sebagai sindrom ”Kitty Ge noves”. Nama korban penyerangan hingga tewas dalam pengeroyokan di New York, yang enggan dilaporkan ke polisi karena tak ada kepercayaan lagi masyarakat terhadap pihak yang berwenang.

Lembaga peradilan kita yang diharap kan menjadi tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan, dipandang sinis. Dan dari sinilah k e busukan-kebusukan itu mulai ditebarkan. Putusan pengadilan dijadikan komoditas pe r dagangan oleh aparat penegak hukum sendiri. Akibatnya, dapat ditebak. Masyarakat tidak percaya lagi kepada institusi yang dipercaya untuk menegakkan hukum. Sebagai kons e ku ensinya, mereka mencari keadilan sesuai dengan pikiran mereka dengan melakukan pengadilan jalanan yang dibuat mereka sendiri, seperti kejadian Kitty Genoves.

”Hal ini terjadi karena mereka tidak percaya lagi kepada aparat penegak hukum yang ada,” demikian kata Budi Santoso, SH. ”Bagaimana mereka percaya setiap pelaku kejahatan yang ditangkap kemudian dibebaskan lagi oleh aparat juga tanpa ada pe r tan g gun g jawaban publik yang jelas sehingga menimbulkan keresahan di ma syarakat,” lanjut mantan direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogya ini.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Dr Mudzakir SH MH. ”Masyarakat sekarang sudah tidak percaya lagi kepada aparat penegak hukum, hal ini dikarena kan aparat tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya secara profesional bahkan dalam putusan hukum yang dibuat, tidak ada per tanggungjawaban kepada publik sehingga yang terjadi adalah kecurigaan terhadap aparat,” demikian katanya. ”Karena itulah aparat penegak hukum yang profesional sangat diperlukan sehingga mereka dapat melaksanakan tugas secara benar dan dapat mewujudkan supremasi hukum,” lanjut staf pengajar hukum pidana di UII ini.

Profesionalisme Aparat

ologi hukum Universitas Diponegoro (Un dip), memandang fenomena amuk massa merupakan fenomena yang luar biasa, par excellent. Menurutnya, bentuk amuk massa atau pengadilan jalanan merupakan bentuk pengadilan yang terlampau bagus. Ini merupakan sebuah eufemisme dari ke tidakmampuan aparat dalam menegakkan hukum. Inilah faktor kedua, ketidakmam puan aparat dalam penegakkan hukum.

Lebih jauh, fenomena amuk massa atau bentuk penyelesaian di luar prosedur hukum dapat dibagi menjadi dua kelompok

hak untuk menjatuhkan eksekusi. Sayang, sekarang ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat memudar. Mereka sudah tidak percaya pada institusi k e tertiban, baik institusi sosial berupa para pemuka masyarakat, guru atau para tokoh agama, maupun istitusi formal kenegaraan macam polisi, jaksa terlebih lembaga peradilan.

”Mereka kehilangan legitimasi di mata masyarakat,” kata Suparman. Ia juga men egaskan bahwa dalam kondisi ini, terdapat akumulasi kekecewaan dalam masyarakat terhadap insitusi ketertiban. Prof Satjipto

Memang, antara aparat penegak hu kum dengan penegakan hukum sendiri mempunyai hubungan erat. ”Lemahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan salah satunya, dari ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam mejalankan tugasnya masing-masing,” demikian papar Budi Sa n toso menguatkan. Padahal ini merupakan pilar utama di bidang law en forcement. Seperti kata Max Weber, bahwa sanksi berlaku efektif bila ada pengawas yang tegas yang berfungsi sebagai tukang kontrol sanksi.

Di samping tidak profesionalnya polisi dalam bertugas, rasionya juga tak seimbang antara jumlah warga negara dengan aparat

0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [HUKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Institusi Pengadilan. Putusan yang tidak adil ikut mendorong main hakim sendiri
Sheila

yang ada. Menurut standar PBB seorang polisi id e alnya mengawasi 300 warga negara, sedangkan di Indonesia menurut data Polri, seorang polisi mengawasi sekitar lebih dari seribu warga. ”Bagaimana mer eka akan bekerja maksimal kalau jumlah aparat yang ada tidak memadai,” komentar Budi Santoso, SH.

Lebih lanjut Dr Mudzakir menegaskan bahwa, polisi yang profesional dalam melaksanakan tugas merupakan hal yang mutlak harus ada di Indonesia. ”Di Belanda polisi sangat profesional dalam menjalank an tugasnya, jaksa juga profesional serta hakimnya juga demikian,” kata Mudzakir membandingkannya dengan Belanda tem pat dimana dia pernah menimba ilmu.

Budaya masyarakat kita dalam pe negakkan hukum juga setali tiga uang. ”Masyarakat kita sedang sakit. Sakit yang tentu ada sebabnya. Dan sekarang ini sedang mewabah. Wabah amuk massa,” papar Suparman. Dengan tingkat kesadaran hukum yang demikian, berakibat semakin meningkatnya pelanggaran hukum. Apa lagi ditunjang tidak profesionalnya para punggawa hukum. Tidak hanya itu. Ada rasa keadilan masyarakat yang terkoyak. ”Bayangkan mencuri hanya dihukum tiga bulan (dan koruptor sekelas Tommy Soe harto hanya 18 bulan-red), bahkan kadang tidak diproses,” lanjutnya. Yang kemudian terjadi adalah penyelesaian permasalahan ala mereka sendiri. Menggunakan cara-cara kekerasan, senada dengan ungkapan Yap Thiam Hien di atas.

Pe m bangunan budaya hukum ma syarakat menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Hal ini dapat ditempuh lewat penyuluhan-penyuluhan hukum. ”Budaya hukum masyarakat me n jadi sangat mendesak untuk dibenahi. Dengan p e nyuluhan hukum yang intensif oleh aparat penegak hukum, maka masyarakat yang berkesadaran hukum akan menjadi kenyataan,” kata Budi Santoso.

Pengadilan sebagai Jalan Dalam konsep politik hukum kita, menyatakan lembaga peradilan mewakili masyarakat untuk melampiaskan kema rahan akibat terganggunya keseimbangan sosial yang terjadi. Pengadilan lah yang menjadi penjaga gawang hak-hak warga negara. ”Lembaga peradilan lah yang di beri hak untuk melakukan penghukuman kepada pelaku kejahatan,” demikian kata Dr Mudzakir. Ini menunjukkan supremasi hukum di negara kita. Sebagai catatan, bahwa untuk penuntutan di pengadilan juga dimonopoli oleh negara melalui ke jaksaan selaku lembaga penuntut. Sedang untuk kasus yang menyangkut pelanggaran

hak asasi manusia (HAM), lewat Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), bukan lewat massa yang brutal. ”Budaya hukum masyarakat harus kita bangun dengan benar sehingga mereka akan mempergunakan lembaga peradilan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah,” kata Budi San toso, S.H.

”Dari klien kami yang menjadi korban penghakiman massa, umumnya mereka menyatakan tidak terima dengan perlakuan seperti ini (dihakimi massa-red), meskipun mereka menyadari bahwa tindakan yang dilakukan oleh keluarganya yang berbuat kriminal, salah. Budaya hukum masyarakat harus kita bangun dengan benar sehingga mereka akan mempergunakan lembaga per adilan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah,” lanjut Budi Santoso.

Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara untuk memperbaiki sistem hukum ysng morat-marit, tidak cukup hanya le wat penyuluhan-penyuluhan hukum pada masyarakat mengingat sudah miringnya penegakkan hukum di negara kita. Para penegak hukum juga perlu diperbaiki. ”General check up,” kata Artidjo Alkostar, salah satu anggota hakim agung. Fit and proper test atau uji kelayakan para hakim agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru jalan awal menuju perbaikan bagi lembaga yudikatif. Prof Daniel S. Lev mengusulkan, untuk memperbaiki sistem hukum kita, pecatlah seluruh hakim yang ada sekarang ini.

Dalam salah satu seminar pemban gunan nasional di Yogyakarta Mahfud menyatakan persoalan supremasi hukum di Indonesia sangat kronis. ”Sangat sulit menegakkan supremasi hukum di negeri ini” paparnya. Sebagai simbol hukum, lembaga Yudikatif tidak mampu melakukan apa-apa. Para broker , koruptor masingmasing memiliki kartu truf dengan para oknum di lembaga itu. Sehingga, Mahfud menawarkan di samping pemecatan seluruh hakim, juga melakukan pemutihan kasuskasus besar pra reformasi. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat akademis.

Akhirnya, bagaimana dengan ma syarakat sendiri? Tentu tidak dapat hanya menyalahkan masyarakat sepenuhnya. Ini merupakan sistem yang saling berkaitan. ”Pemerintah bekerjalah dengan benar. Sekolah-sekolah yang ada itu diperbaiki,” harap Suparman. Baginya transformasi nilai sekarang yang terpenting. Bagaimana institusi pendidikan mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang beradab, bermoral di negara tercinta. Negara yang mengklaim berdasar atas hukum dan keadilan.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [HUKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Larung sesaji untuk negeri

DEBUR ombak di pesisir Parangtritis menghentak kesunyian. Pagi mulai beranjak meninggalkan siang. Pijar mentari yang tak begitu terik kala itu, memayungi iring-iringan rombongan dari Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Yang berjalan di tepian pantai menuju cepuri sebuah tempat untuk bertapa yang terletak di dekat pendopo Parang Kusumo. Sepoi angin yang tertiup dari arah laut, menghamburkan warna-warni bunga yang ditabur oleh beberapa orang yang berjalan di barisan terdepan. Sebagian lagi membawa seperangkat benda-benda prosesi serta sesaji. Dalam suasana khidmat dan juga khusyuk, para abdi dalem itu berkirab menyusuri pasir putih yang menghampar di sepanjang tapak jalan menuju cepuri.

Benda-benda prosesi yang dibawa itu adalah pakaian Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pakaian paduka yang memp u -nyai hajat labuhan itu, terbungkus rapi tertutupi oleh sehelai kain. Lengkap dengan kemben yang dimiliki. Tak hanya itu. Potongan kuku serta rambut miliknya juga disisipkan diantara pernik-pernik aksesoris yang lain.

Tiga hari yang lalu uba rampe itu disiapkan. Dengan sebuah upacara kecil untuk pendahuluan, yang pertama kali dilakukan adalah mempersiapkan gladren atau alat-alat yang kemudian dipakai untuk pembuatan apem makanan tradisional. Dilanjutkan kemudian dengan prosesi sugengan atau selamatan. Dilakukan satu hari sebelum acara labuhan. ”Sebagai tanda bahwa Sri Sultan masih melestarikan budaya dari Sultan Agung Hany o krokusumo,” kata RWS Utomo, seorang abdi dalem kraton kepada Husni , Sigit , dan Fahri dari HIMMAH menjelaskan fungsi dari sugengan itu.

Labuhan yang diselenggarakan ini dinamakan labuhan alit atau kecil. Labuhan ageng atau labuhan besarnya dilaksanakan tiap delapan tahun sekali di Wonogiri. Tak ada alasan untuk meniadakan atau me-nunda. Walau hari itu ada halangan, acara tetap harus terlaksana. Karena ini adalah ritual suci yang juga menyangkut ke-pentingan masyarakat. ”Apapun yang terjadi labuhan tetap harus terlaksana,” ujarnya.

Di lingkungan kraton, labuhan adalah acara sakral, magis, yang sangat kuat sekali nuansa kejawennya. Juga bagi masyarakat di kawasan pantai. Mereka menganggap itu adalah jalur ampuh untuk berharap me-mohon doa. ”Lancar rejeki dan enteng jodoh,” ujar Prasetyo mengungkapkan makna labuhan untuknya.

Lelaki anggota SAR yang setiap tahunnya selalu dipercaya untuk mengantisipasi halhal yang tak diinginkan ini menambahkan tak hanya masyarakat biasa saja yang percaya akan nuansa spiritual itu. Pejabat, artis, sampai dengan buronan kelas kakap menjadikan labuhan sebagai obat mujarab. Dengan beragam permohonan mulai dari mohon agar dinaikkan jabatannya, sampai permintaan agar menang dalam perjudian. Dan itu telah menjadi kelumrahan. Unik memang. Tapi itulah yang terjadi.

Menurut sumber HIMMAH Ibnu Darmoyo, labuhan telah ada sejak Sultan Agung dari Kerajaan Mataram berkuasa. Dan benda-benda yang dilabuh itu menurut kepercayaan mereka sebenarnya diperuntukkan untuk Nyai Roro Kidul. Atau lebih populernya dengan sebutan Ratu Laut Selatan. Dialah penguasa seluruh isi laut.

Dan kepada sosok makhluk halus

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [BUDAYA]
Dari tepi pantai itu permohonan terucap. Agar negeri ini suci kembali dari dosa manusia.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Labuhan. Simbol untuk melepas krisis berkepanjangan Surya
h I mmah

inilah Sendowo Raden Awi serta para kepala Abdi Dalem Putri, menghaturkan titipan dari rajanya sebagai tanda kasih. ”Sekaligus untuk pertalian keluarga,” kata Ibnu Darmoyo yang juga seorang abdi dalem ini menerangkan. Ritualnya memang sakral. hingga masyarakat umum tidak boleh mengikutinya. Hanya sebatas menonton atau meramaikan saja. Yang boleh ikut hanyalah orang-orang yang berkepenti-ngan saja. Dalam hal ini lingkup keluarga kraton.

Pelaksanaannya tiap setahun sekali. ”Bertepatan dengan penobatan Sri Sultan HB X sebagai raja,” tambahnya. Pada saat yang hampir bersamaan, bertempat di Gunung Merapi dan Gunung Lawu dilak-sanakan acara serupa. ”Maksud dan tujuannya sama,” ujar abdi dalem lain yang bernama Suhadi. Masih menurut Suhadi, kedua tempat itu dipilih karena terkait dengan segi historis kerajaan Mataram

Kidul dengan pantai Selatannya, tergambar dari letak geografisnya yang satu garis. Ketiga tempat yang membelah Yogyakarta itu berada di satu lini dengan tugu sebagai simbol makna dan Malioboro si jantung kota. Bukan sebuah kebetulan. Tapi memang sebuah kepercayaan spiritual.

Adalah Damardjati Supadjar yang menyiratkan hal itu. Kepada Sigit dan Fahri dari HIMMAH, dosen Filsafat UGM ini menjelaskan kalau labuhan itu berarti melabuh. Dalam ruang makna dimaksudkan sebagai sebuah media mensucikan alam. ”Kaitannya dengan agama, labuhan ini bertujuan meng-Islamkan budaya,” kata Damardjati menambahkan.

Konon, labuhan telah dimulai sejak Sri Sultan HB I. Sebuah kultur turuntemurun yang memang telah membudaya. Adat yang kini dianggap sebagai sesuatu yang berbau kuno, bukan berarti mudah untuk terping-girkan. Itu justru menjadi

upacara. Abdi inilah yang dipercaya oleh Sultan untuk menjadi imam agar acara berjalan lancar. Sebagai informasi, bahwa tiap tahun yang menjadi pemimpin selalu berganti-ganti. Maksudnya agar di antara mereka para abdi dalem bisa merasakan menjadi utusan bagindanya pada acara ini. Sebuah keagungan, ketika seorang abdi dalem mendapat kepercayaan dari sang raja untuk menunaikan tugas melaksanakan labuhan.

Pada sebuah batu besar yang dianggap keramat, masih di cepuri itu, pemimpin prosesi tampak konsentrasi batin sambil mengucap mantra. Sayup terdengar dalam Bahasa Jawa, sebuah permohonan agar bangsa Indonesia segera dilepaskan dari krisis yang berkepanjangan. Juga kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian bangsa ini yang kini telah berubah menjadi angkara.

Hanya beberapa saat saja upacara yang dilakukan di sini. Selanjutnya, bau kemenyan dan wewangian bunga yang menyengat menusuk hidung, mengiringi acara inti. Melarung uba rampe ke tengah laut. Inilah perwujudan dari sebuah permohonan yang beberapa saat lalu dibacakan mantranya oleh sang pemimpin acara. Sama seperti saat di cepuri, hanya beberapa saat saja, dan uba rampe itu langsung dilabuhkan.

Labuhan yang dilakukan itu, adalah wujud lain untuk melepaskan krisis yang berkepanjangan. Pada prosesi itu juga terdapat sebuah lini. Sebagai simbol media komunikasi antara roh jiwa manusia, makhluk halus serta dunia lain juga dengan Sang Penciptanya.

sampai Demak. ”Karena ada kaitan keturunan sehingga tidak bisa diubah-ubah tempatnya,” katanya. Tak begitu jelas maksud dari apa yang diucapkan Suhadi ini. Tapi, ada kemungkinan karena sampai saat ini mereka masih menyimpan kekhawatiran akan bahaya keganasan Merapi. Merapi yang telah menelan banyak korban nyawa, dianggap sebagai gunung yang sakral dan penuh misteri. Sehingga wajar jika setiap waktu mereka harus sowan ke sana. Agar ketika gunung itu meletus, mereka tetap selamat dari letusan itu.

Mitos tentang hubungan yang dekat antara keraton, Merapi, dan Nyai Roro

peradaban yang dianggap sebagai sesuatu yang dinamis. Sehingga budaya seperti ini justru menyum-bang mozaik bangsa. Labuhan, adalah sebuah budaya yang akan seterusnya berjalan sampai keturunanketurunan Sultan berikutnya. ”Akan bertahan sampai kapan pun,” tegas Ibnu Darmoyo lagi.

Prosesi tak Pernah Mati

Di cepuri, uba rampe yang akan dilabuh itu disemayamkan sejenak. Sekaligus pemendaman beberapa pakaian raja pada sebuah tempat yang telah disediakan. Seorang abdi, tampak memimpin jalannya

Mengutip apa yang dikatakan Damardjati Supadjar yang juga penasehat spiritual Sri Sultan, bahwa labuhan adalah upaya lain mensucikan alam. Artinya saat ini alam memang telah tercemar kesuciannya. Tentu dengan ulah dan dosa manusia. Sehingga labuhan inilah media pensucian itu. Yang tak akan lekang digerus jaman. Dua wajah dari ritual ini: sebuah prosesi sekelompok masyarakat dan peradaban yang tak tertinggalkan, adalah jawaban dari ulah para perusak alam.

Dan labuhan yang dilakukan itu, adalah wujud lain untuk melepaskan krisis yang berkepanjangan di negeri ini. Sebuah prosesi, yang di dalamnya juga terdapat sebuah relasi. Sebagai simbol komunikasi antara roh, jiwa manusia, makhluk halus serta dunia lain juga dengan Sang Penciptanya.

Sepenggal permohonan dari labuhan itu, salah satunya agar Indonesia segera terlepas dari krisis yang teramat panjang. Juga agar negeri ini disucikan kembali dari kekotoran. Kekotoran dosa segelintir

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [BUDAYA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . .
Prosesi di Cepuri. Menyemayamkan barang yang akan dilabuh
Sheila /
[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [ [ [ [[ I K L A N L A Y A N A N M A S Y A R A K A T ] [ IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN oLEH LPM HIMMAH UII 2001-2002 ] foto + grafis | fiek@himmaharchworker]01

”Legislatif dan parpol, harus banyak belajar persoalan public service”

Persoalan politik, sosial, maupun ekonomi, silih berganti menjadi informasi rutin bagi masyarakat kita. Menjadikan hidup seharihari kian terasa berat. Persoalan tersebut yang lebih mendapat porsi besar, baik dalam perhatian media massa maupun persepsi para pengambil kebijakan (pemerintah). Acapkali berbagai hal yang terlihat sepele luput dari perhatian kita. Persoalan buruknya tingkat pelayanan kepada masyarakat (public service) dan kurangnya perhatian dari pihak berwenang menjadi sesuatu yang terlupakan. Begitu pula dengan wakil rakyat yang duduk di legislatif. ”Saya tidak yakin para parpol kita itu tahu masalah ini. Yang dia pikirkan bagaimana supaya parpolnya menang,” tutur Dr. Ir. Laretna T Adishakti, M.Arch, Ketua Jogja Heritage Society. Bagaimana sebenarnya akar masalah seputar public service, maupun dalam lingkup lebih luas masalah sosial perkotaan yang semakin kompleks setelah krisis mengoyak semua sendi-sendi kehidupan masyarakat. Arsitek yang tinggal di Yogyakarta ini menuturkannya secara gamblang kepada Febry Arifmawan, IB Ilham Malik, dan Taufiek dari HIMMAH, di ruang kerjanya. Berikut petikannya.

Sebenarnya bagaimana permasalahan umum perkotaan pasca krisis belakangan ini?

Dulu itu sistemnya masih per project, misal dari tata kota atau dari PU ingin merestorasi suatu bangunan, begitu direstorasi kemudian tidak dimanfaatkan untuk apa. Ini ada suatu permasalahan, bahwa disitu ada sesuatu yang kita harus review semuanya. Kita tidak bisa melihat itu hanya dari project saja. Jadi kalau bicara perkotaan yang disebut pengelolaan adalah bagaimana. Selanjutnya itu yang harus dipersiapkan. Sehingga ketika orang bicara mengenai pembangunan fisik, itu juga harus berpikir mengisi fisiknya tadi. Kesenian, event, yang akan mengisi, itupun harus didesain. Jadi bukan hanya mendesain fisiknya saja tapi harus juga bicara mengenai non fisiknya.

Artinya permasalahan perkotaan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis saja?

Pendekatan teknis ada, non teknis ada, apa-apa ada, tapi satu sama lainnya tidak berkesinambungan. Orang menyebutnya inte grated planning-nya tidak ada. Jadi perencanaan yang terkoordinasi dari kesemuanya ini yang tidak ada. Itu yang seharusnya sekarang dipahami. Itu dibangun dan pembangunan itu tidak hanya di level kota, di level propinsi, atau birokrat. Tapi masyarakat juga perlu, terbentuknya forum-forum apakah itu LSM, apakah itu privat sek tor, juga penting. Jadi penyamarataan pandangan, persepsi, punya kerangka atau platform yang sama. Pandangan kita membangun kota itu bagaimana?

Persoalan mendasar di perkotaan yaitu pelayanan masyarakat atau public service sepertinya tidak pernah mendapat perhatian dan

penanganan serius?

Saya lihat itu sebenarnya yang paling lemah. Kita tidak pernah terlayani dengan baik. Kalau saya menyebutnya sebagai suatu bu daya universal. Kita punya budaya lokal tapi juga punya budaya universal yang intinya adalah sebuah budaya untuk melayani itu tadi. Atau public service itu.

Saya lihat jelas masih sangat kurang. Kuncinya satu, katakanlah orang berjalan kaki. Orang berjalan kaki keluar dari rumahnya, naik becak. Tetapi ketika dia tidak bisa naik becak, terus memakai kendaraan umum. Kita punya shelter atau halte? Tidak ada, semua seenaknya sendiri. Terus dia jalan kaki, jalan di trotoar, bisakah dia mendapat tempat berjalan dengan enak? Trotoarnya berlubanglubang tidak karu-karuan. Pejalan kaki yang mau menyeberang, budaya universal kalau misalnya di perempatan itu kalau ada mobil

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [DIALOG]
Fiek / h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . .

mau belok, tapi ada orang mau menyebrang, mobil itu seharusnya sudah harus berhenti. Tapi disini masih terus saja, pejalan kaki yang harus menunggu. Ini sebenarnya adalah sebuah kenyataan yang sangat keliru. Pejalan kaki dimanapun di seluruh dunia adalah orang yang dihargai. Orang makin mengagungkan yang punya kendaraan motor, mobil itu jauh lebih hebat, lebih tinggi. Jadi kita harus kembali pada khittahnya. Kita melihat sedikit demi sedikit, keseharian saja, itu yang harusnya diselesaikan.

Itu menjadi tanggung jawab siapa?

Kita membayar pajak kan? Harusnya itu kembali lagi ke kita. Misalnya pengaturan bus kota. Walaupun itu nanti dikelola oleh swasta, tapi ada suatu yang mengatur. Kita sekarang tidak ada yang mengatur namanya halte tadi. Orang mau berhenti seenaknya sendiri dimana-mana. Saya kira per lu dipikirkan kembali yang paling seder hana saja. Orang mau naik sepeda, apakah kita enak naik sepeda disini? Saya suka naik sepeda, tapi menyeberang dari Tugu saja saya takut. Ada rasa ketaku tan, disitulah sebenarnya tidak ada rasa aman. Ini dari lalu lintas belum yang lain. Mungkin sekarang urusan KTP jauh lebih baik daripada dulu. Urusan SIM mungkin sudah lebih baik karena kita bisa beli. Apakah itu baik?

Sudah ada upaya serius dari pemerintah?

Saya lihat sebenarnya sudah ada upaya, tapi kok saya melihat nya tanggung.

Atau masalah budget atau anggaran?

Ini budaya. Kita harus menuju ke kebudayaan universal. Ketika kita bicara mengenai budaya lokal banyak hal yang terkait dengan etnik kita, seni kita, atau apapun. Itu yang lokal, tapi ada budaya yang universal. Yang disetiap tempat diseluruh dunia ini butuh itu. Itu sudah menjadi kesepakatan dunia. Itu hal-hal yang harus kita akomodasi. Yang sederhana-sederhana sajalah. Ketika kita mau mengurus apa-apa sangat repot, sekarang masih lumayanlah ATM, kita sudah gampang menyimpan uang mengambil uang. Sebuah kemajuan.

Sebenarnya yang bertanggung mengelola kota siapa?

Tergantung manajer kotanya siapa? Kalau memang akhirnya katakanlah walikota sebagai manajer dia harus bertanggungjawab. Atau kalau bupati, dia harus bertanggungjawab dengan kondisinya disini. Dan kita harus mulai memikirkan hal-hal yang tidak tepat, katakanlah sistem perencanaan kota kita itu banyak mengacu ke barat. Padahal kita juga harus melihat apa sebenarnya yang kita butuhkan. Apa yang kita ada apa yang bisa kita kreasikan sendiri. Tidak harus adopsi dari Barat. Misalnya sistem zoning, ada zone perumahan, zone perdagangan dan zone-zone lainnya. Perlu kita tinjau lagi. Sistem zone ini di Amerika pun sudah dikritik habishabisan karena menciptakan kota-kota yang mati. Ketika siang hari untuk pertokoan atau siang hari untuk perkantoran tapi kalau malam hari kosong. Tidak ada orang disitu. Kota Paris yang dulu mau dibangun menjadi zoning oleh Le Corbuzier itu gagal. Itu yang harus kita perhatikan, coba misalnya kalau Malioboro dan belakang-belakangnya itu semua jadi pertokoan, jadi kantor, di zoningkan penduduk disitu kan semakin lama semakin kurang. Mau jadi apa itu?

Artinya lebih baik multifungsi dalam satu area? Ya mungkin multifungsi, tapi kita melihat apa yang tumbuh disitu.

Misalnya Dagen itu dulu pembuat undagi, mengapa itu tidak ditum buhkembangkan lagi? Meskipun nantinya sudah hilang betul nama itu bisa menjadi semangat. Contohnya saja Taman Sari, disitu dulu ada satu bagian dulu tanamannya tanaman pisang. Kenapa sekarang tidak ditumbuhkembangkan tanaman pisang kembali? Meskipun disitu sudah ada rumah-rumah penduduk dan akan menjadi kegiatan yang sangat menarik. Saya pikir kita itu dalam perencanaan kota seringkali melihat ke luar. Kita tidak tahu bagaimana cara melihat ke luar dan dalam. Ketika kita melihat kota sendiri, mestinya kita belajar dari kelokalan yang kita punya dan tidak harus meniru kelokalan di tempat lain. Tapi sekali lagi ada hal-hal universal yang kita perlu tiru. Karena dimanapun akan seperti itu. Memadukan antara yang universal dengan yang lokal itu.

Public service. Belum mendapat perhatian serius

Laretna yang biasa akrab dengan panggilan Mbak Sita. Menamat kan kuliah pada tahun 1982 di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Tahun 1987 mendapat kesempatan tugas belajar di University of Wisconsin-Milwaukee dan Ecole Speciale d’Architecture, Paris, Prancis. Gelar doktornya ia peroleh dari Graduate School of Global Environmental Engineering, Kyoto University, Jepang tahun 1997.Ikut banyak terlibat dalam proyek konservasi budaya. Dan tahun 1998 mendirikan Jogja Heritage Society.

Di luar negeri konsep penataan public service menjadi tema pokok kampanye parpol (partai politik), bagaimana pemahaman kalangan parpol Indonesia baik yang duduk di legislatif maupun pemerintahan Sebenarnya menurut saya letaknya kita harus mendudukkan pada tempatnya bagaimana merancang? Saya melihat dari faktor pendidikan yang kita dapatkan. Terus terang saja itu. Dari segi pen didikan juga kurang, saya tidak yakin para parpol kita itu tahu ma salah ini. Yang dia pikirkan bagaimana supaya parpolnya menang. Itu ada yang bicara menurut saya hanya lip service. Kalau dia bisa berbicara serius itu kelihatan sekali dari misi yang ia bawa. Dan kita tahu siapa orang-orangnya dibalik itu. Seharusnya mereka itu belajar dari banyak pihak, kita tidak akan bisa tahu sendiri bahwa rasanya saya ini masih harus terus belajar. karena masih banyak yang kita tidak tahu. Ketika kita misalnya bicara mengenai kota, kita bicara mengenai kelokalan. Kita bukan orang yang paling tahu disitu, masyarakatnya yang disitu mungkin yang lebih tahu daripada kita. Nah, kita harus belajar dari mereka. Proses belajar bersama ini yang seharusnya ada dimana-mana. Legislatif, parpol harus banyak belajar persoalan public service

Menurut Anda perhatian mereka sebagai wakil rakyat dalam hal pengelolaan pelayanan masyarakat bagaimana?

Saya tidak tahu, kalau ini bias. Saya lihat banyak dikritik itu eksekutif legislatif ke luar negeri studi banding. Itu yang namanya studi banding saya tahu sendiri, kemana-mana naik taksi, kemanamana sudah pakai antar jemput. Kalau memang mau studi banding,

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
[DIALOG]
. . . . . . . . . . . . . . .

pergi ke sana, lihat peta, jalan kaki, lihat semuanya. Baru terasa sekali kalau perlu sewa sepeda. Apakah itu pernah yang namanya legislatif sewa sepeda atau jalan kaki? Putar-putar keliling kota memperhatikan bagaimana sebenarnya public service itu? Nggak akan pernah terjadi. Kadang-kadang pakai bis, pakai taksi, kun jungan ke ini ke itu. Kalau memang studi banding harus grounded, empiris di lapangan rasakan itu. Model membawa peta, jalan, untuk melihat itu tidak terbiasa. Sekarang kita misalnya ke Eropa, begitu kita naik kereta api sampai ke stasiun disitu pasti sudah ada gambar “i titik”. Information, informasi ada disitu lengkap semua. Tinggal bawa barang ke loker kita bisa jalan. Saya pernah dua bulan naik kereta api di Eropa, saya keluar masuk stasiun, kalau mau studi banding disitu. Kita benar-benar jalan dan tahu apa yang terjadi.

Bagaimana agar kota dapat terkelola dengan baik?

Yang pertama wawasan para pengelola itu yang harus luas. Kemudian yang kedua punya kemandirian. Kita itu mau jadi apa? Yogyakarta 100 tahun lagi itu mau jadi apa? Tidak usah 100 tahun, 10 tahun lagi kita mau apa? Kita mau jadi kota baru dalam arti kata kita hilangkan semua yang lama-lama. Atau justru dengan lamalamanya itu kita bisa memberikan suatu image, yang membikin orang tertarik. Kalau dua hal ini sudah terpenuhi pasti kebijakankebijakan yang akan muncul disitu masuk akal dan punya self confidence. Kita tidak harus bikin mall besar di tengah kota, kita bisa saja bikin di luar kota. Kita bisa bikin bangunan lama itu tetap hidup walapun nanti di sekelilingnya ada fasilitas paling modern sekalipun. Memadukan antara lama dan baru tidak masalah. Ban

Bagaimana idealnya studi banding?

Kembali ada laporannya dong. Apa yang dilihat dan dilaporkan ke publik. Dia cerita pada koran kalau perlu. Apa yang dia lakukan disana. Tidak hanya kembali diam-diam saja tidak ada apa-apanya. Nanti kalau ada diskusi cuma cerita saya pernah kesana beginibegini. Dia tidak melihat apa yang menjadi problem-problem yang ada di lapangan betul. Karena yang dia lihat hanya sekilas, sepintas. Dia menjadi orang yang observasinya tidak grounded. Observasinya hanya tanya.

Mengapa perencanaan dan pengelolaan kota umumnya tidak mendapat respon dari masyarakat?

Karena belum diwadahi. Misalnya kalau Jogja sudah punya perencanaan. Pernahkah itu dipamerkan? Itu menjadi suatu proses, dipamerkan, masyarakat boleh melihat, ada public hearing misal nya, kita bisa berbincang mengenai itu. Begitu terus prosesnya. Seharusnya mekanisme sosialisasinya itu ada. Kalau perlu memang itu ada ruangan khusus dimana masyarakat itu bisa mengakses disitu. Sehingga tidak harus ada demo-demo segala. Jadi memang ada ruang yang memang disitu kita bisa berbincang. Cek sajalah apakah di kantor-kantor kita ada untuk memamerkan programprogram pemerintah rencana-rencana mereka dan mengundang masyarakat untuk datang. Masyarakat pun dengan inisiatif bisa datang ke situ.

Bagaimana proses perencanaan dan pengelolaan kota yang baik?

Kalau menurut saya kesinambungan proses bahwa kita mau menggarap serius kota itu harus terus. Kalau ada pemikiran itu terus tiba-tiba ada pertemuan, setelah itu selesai. Tidak ada kes inambungannya. Padahal kita melihat program harus multi years Jogja itu seratus tahun lagi mau apa? Atau ada satu bagian yang memang akan memikirkan terus dan itu merupakan proses yang punya agenda satu tahun, dua tahun itu ada. Bukan agenda proyek, tapi agenda apa yang mau kita lakukan. Kita lihat Australia di dalam Pemdanya sendiri ada yang namanya event organizer-nya.

yak sekali contoh-contoh yang seperti itu. Leuvre di Paris dengan piramidnya. Ini artinya memadukan antara lama dan baru itu tidak keliru. Hanya sekarang kebijakan kita itu mau kemana? Banyak hal ketika kita mau menunjukkan jati diri kita telah dipaksakan, misalnya Pasar Kembang di Ahmad Jazuli itu desain ruko. Tapi disitu ada instruksi supaya jati diri kita adalah joglo. Coba lihat atapnya dibikin joglo semua. Apa ya cocok, ini keanehan yang luar biasa. Karena wawasan yang keliru tadi. Yang namanya aset budaya kota tidak hanya joglo. Saya pernah sudah beberapa tahun yang lalu sosialisasi mengenai konservasi di suatu desa. Karena dia mendengar jati dirinya Jawa Tengah bahwa semua harus dibangun dengan joglo, orang ini pintar. Saya punya bangunan ini dengan atap rumah kampung. Masak hanya karena konservasi rumah saya harus dirubah joglo? Tidak tho? Justru yang atap kampung ini sudah sangat lama sekali. Nah ini lho pemahaman penentu kebijakan juga. Bahwa semua harus joglo. Joglo itu level yang tingkatnya tinggi. Ini ada satu kelemahan ketika kita bicara mengenai heritage (cagar budaya-red.) bicara mengenai wisata budaya, kita bicaranya selalu yang high culture, budaya tingkat tinggi. Kita tidak pernah bicara mengenai yang keseharian. Warung dengan kursinya bambu lincak itu, ini termasuk heritage.

Penting itu?

Penting sekali, disitu adalah tempat untuk berbincang, ngobrol, duduk, jegang (nongkrong-red.). Duduk disitu sambil minum kopi, itu adalah sebuah kehidupn keseharian yang luar biasa. Ini harusnya kita cermati, ada hal-hal yang mungkin sangat positif disitu. Kita lihat di Mingkabau namanya lapau itu tempat mengumpul, disitu tempat untuk public space. Kita sering bicara tentang public space, sebenarnya kita menggunakan warung itu sebagai public space Karena disitulah tempat orang berbincang. Ini bagian yang harus di perhatikan. Kaki lima itu sejak jaman baheula itu ada, kenapa dalam perencanaan kota itu tidak pernah masuk dalam desain kota?

Karena mungkin terlihat sepele?

Ya itu tadi, kita itu melihat maunya diambil yang wah-nya. Sementara yang kita punya itu tidak dilihat. Padahal aset-aset itu

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [DIALOG]
. . . . . . . . . . . . .

sangat luar biasa. Saya ada kerja sama dengan orang Jepang, bikin penelitian disini. Yang mereka daftar pertanyaannya itu sampai ke gotong royong, bagaimana mengangkut sampah untuk kota. Mer eka terheran-heran sekali, karena di kampung itu ada satu sistem yang sangat bagus. Kampung ada orang yang dibayar keliling mengambil. Ini buat mereka adalah sebuah sistem. Kemudian jaga malam, ronda, jimpitan yang di desa pakai beras, itu sebenarnya sebuah sistem dan kalau kita mau merancang sebuah cara untuk kota, kenapa itu tidak lebih dikembangkan? Nah, itu dikembangkan terus dari apa yang kita punya, tidak dibiarkan hilang.

Apa yang menjadi indikator kota sudah terkelola dengan baik? Saya lebih melihat dari orang pejalan kaki. Jadi saya menduduk kan diri sebagai orang yang bisa jalan kaki kemana-mana. Selama

nah semuanya. Menata hutan kota yang baik dan menarik yang bisa memberikan keteduhan kepada masyarakatnya, polusi berkurang, oksigen bertambah. Itu harus dengan persiapan teknologi tinggi. Ada pohon tinggi disini karena ada tiang listrik harus dipotong. Untuk memotongnya saja kita tidak menggunakan orang yang terampil untuk memotong. Asal potong. Kita lihat saja Singapura, mereka itu namanya pohon besar itu caranya motong sudah ada tempat-tempat tertentu untuk dipotong. Bentuk tangkainya terpe lihara dengan baik. Benar-benar harus komprehensif.Kita bicara mengenai hutan kota, orang-orang bicara listrik.

Tentang Jogja, bagaimana pandangan Anda tentang kota ini?

itu bisa terpenuhi dengan baik menurut saya itu sudah memberikan suatu pelayanan pada masyarakat. Tetapi kalau saya lihat di banyak tempat itu masih belum menjadi tempat untuk pejalan kaki. Kota itu bukan untuk turis. Jadi kalau kita bicara mengenai pariwisata, kalau masyarakat sudah happy dengan lingkungannya pasti orang akan datang dengan sendirinya. Misalnya mau merancang kereta api untuk turis jangan dulu. Kita berikan pelayanan untuk kita dulu dong. Turis itu pasti akan ikut apa yang kita lakukan.

Kalau melihat gejala-gejala sekarang ini?

Harus ada reformasi dalam pengelolaan kota. Masing-masing pemerintah daerah ini harus punya kemampuan untuk mengelola kotanya masing-masing. Dan saya pikir akan seharusnya lebih baik., karena dia akan tahu permasalahan di setiap tempat dan lebih tahu aset apa yang dia punya. Kalau dulu masih banyak proyekproyek dari pusat dicangkokkan dari sana. Ada studi-studi yang mengerjakan propinsi. Sekarang justru pemda kota dan kabupaten yang harus inisiatif.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya, misalnya pada kasus pembuangan dan pengolahan limbah Provinsi DIY, dimana terjadi sengketa antar kabupaten?

Ya, apalagi itu. Aspek lingkungan hidup, kita bicara sungai mulai dari atas sumbernya Kali Code saja itu melintasi berapa kabupaten? Ini jelas harus kolaborasi tidak bisa tidak. Kolaborasi itu model membayar juga bisa. Jadi misalnya ketika air itu berasal dari Sleman dan yang menggunakan Yogya dan Bantul jadi harus membayar kepada Sleman. Itu memang sumber daya alam disana. Tapi itupun harus bisa memberikan yang terbaik disini. Dengan tidak menjadikan area reservoar ini untuk kampus misalnya. Bisnis seperti itu harusnya memang menjadi bisnis. That’s bussines. Untuk keuntungan bersama diperhitungkan secara apa kalau bukan uang? Misalnya hutannya di sana digerogoti pencuri-pencuri liar kenapa disini tidak membantu?

Bicara tentang ruang hijau di perkotaan semakin menyempit, bagaimana solusinya?

Kalau kita mau bicara kota dengan hutan kota, kita harus ber pikir teknologi tinggi. Kita berpikir suatu saat itu harus di bawah ta

Karena bidang saya heritage, saya mencoba menggabungkan banyak pihak untuk kaitannya dengan heritage. Kota Jogja itu seb agai heritage. Dan Jogja secara keseluruhan propinsi itu pusaka bu daya dan alam. Kalau bicara taman budaya itu dari Gunung Merapi sampai Pantai Selatan. Untuk itulah kita bikin suatu acara kampa nye. Kita bikin heritage week kita sebenarnya ingin memberikan message kepada pemerintah bahwa itu adalah hal-hal yang harus kita lakukan. Kita bicara Yogyakarta itu kita harus bicara mengenai heritage. Karena disitu kekuatannya, kita bukan penghasil minyak penghasil industri seperti di Surabaya misalnya, Semarang dengan banyak pabrik-pabriknya. Belum pernah kantong-kantong budaya dipetakan. Pernahkah kita punya suatu kalender yang lengkap ketika misalnya kampung ini ada acara apa, disana ada acara apa, gedung ini ada acara apa secara lengkap? Kita punya database? Juga tidak ada. Sebenarnya masyarakat disini sudah butuh mengenai kesenian, haus dengan pameran, haus dengan pertunjukan. Perlu kita fasilitasi dan diakomodasi. Jadi ini memang perlu melihat lebih luas. Kalau kita sudah punya wawasan kita tahu yang akan kita kerjakan. Bagaimana memadukan yang lokal dengan yang universal. Itu harus kita pilah-pilah betul.

Kontradiksi pelestarian warisan budaya dengan pengembangan ekonomi selalu muncul. Bagaimana menurut Anda?

Karena kita memandang pelestariannya tidak dari nilai eko nomi. Itu yang keliru. Kalau yang kita pikirkan upaya melakukan pelestarian justru untuk mendapatkan revenue. Harus mendapatkan reward, kita melestarikan Yogyakarta agar misalnya kehidupan bu daya semakin meningkat. Industri yang kita jual heritage-nya kan? Jogja itu apa? Heritage alam, di sekelilingnya budaya yang kita punya. Yang kita lakukan tadi, bikin forum pelestarian lingkungan budaya Jogja. Dan itu kekuatannya kalau kita mau bikin modern, paling modern sedunia itu tidak masalah. Tapi ada bagian-bagian yang sudah menjadi image-nya tetap terpelihara dengan baik. Bu kannya kita mendatangkan sesuatu yang baru disini dan yang lama dihilangkan. Malah menurut saya Jogja harus centre of excelent karean disini pemikir-pemikir pendidikan tinggi banyak sekali. Justru yang paling barupun harus muncul disini. Cuma bagaimana menempatkan yang lama dan baru ini secara tepat. Ini butuh proses dan kita berdialog. Tidak harus pemerintah, masyarakat bisa lang sung. Termasuk diantara kita menjadi tempat dialog diantara kita sendiri. Anak-anak muda yang mau berpikir mengenai heritage kita ajak. Tapi seperti yang lalu kita juga menyelenggarakan lomba sketsa Jogja 100 tahun lagi. Punya pikiran Jogja itu mau diapakan? Kita harus punya visi yang jauh ke depan.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [DIALOG]
Fiek
/ h mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Santri dulu dipahami sebagai pemudapemudi yang mendalami ilmu agama Islam di pesantren. Seiring dengan perkembangan zaman, santri mengalami perluasan makna hingga bias, susah mengidentifikasi siapa santri dan bukan. Lalu siapakah santri itu?

jalan Menikung Para santri

BERANGKAT

dari sebuah penelitian di Mojokutu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Clifford Geertz pada tahun 50-an beranggapan bahwa santri adalah mereka yang taat beribadah dan memegang teguh ajaran Islam. Sementara itu, Sahal Mahfudz dalam Pesantren Mencari Makna (1999) menyatakan bahwa nahdliyin sebutan bagi warga NU itu santri. Dan NU adalah ”pesantren besarnya”. Dengan definisi tersebut, media massa satu tahun terakhir memberitakan maraknya demonstrasi oleh masyarakat santri dalam mendukung dan menolak Gus Dur yang dianggap ”bapaknya santri” untuk tetap menjadi presiden.

Itulah diantara kerancuan persepsi masyarakat akan santri. Dari yang belajar ilmu agama dan menetap di pesantren, hanya nyantri dengan menghadiri semisal ceramah keagamaan, yang taat beribadah, hingga warga NU mengatakan diri mereka santri.

Namun, tinjauan akan kiprah santri dalam masyarakat jauh lebih penting daripada sekedar memperdebatkan definisi santri. Jumlah santri yang mondok saja kini lebih dari 2.737.805 putra putri. Belum jutaan alumni santri yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia yang berperan dalam pengembangan masyarakat sekitar. Diantaranya jadi modin (sebutan bagi penghulu Islam di Jawa) dan ulama maupun tokoh masyarakat.

Dalam edisi ini, HIMMAH berusaha menggambarkan bagaimana santri ditempa di pesantren, bentuk-bentuk pengembangan masyarakat, serta kiprah alumnus santri dalam masyarakat. Untuk memperkaya sajian ini, kami nukilkan petikan wawancara bersama KH Musta’in (Dekan Fakultas Da’wah IKAHA Jombang) dan Imam Aziz (Direktur LKPSM). Juga diadakan polling kepribadian santri dan pendapat masyarakat akan peranan santri di tiga lokasi Jawa Timur: Tebuireng–Jombang, Lirboyo–Kediri, dan Gontor–Ponorogo.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
Surya
h I mmah

Menantikan Kiprah santri dalam Masyarakat

Harapan masyarakat akan kiprah santri begitu besar. Namun santri pun terbatas dalam memenuhi besarnya harapan itu.

warga yang kini berdomisili di Kediri ini.

Masyarakat sekitar pondok juga kurang setuju bila santri menjadi promotor dalam demonstrasi. 64 persen menyatakan tidak setuju, 9 persen menyatakan tidak tahu, selebihnya absen. Yang diharapkan masyarakat dari santri ternyata belum banyak berubah. Mendidik anak-anak belajar agama sebesar 98 persen, menjadi imam, modin , mengisi pengajian sebesar 78 persen, menjadi motor pembangunan desa juga tinggi, sebesar 89 persen.

Masyarakat umumnya (58 persen) juga merasakan keberadaan santri berpengaruh pada rendahnya angka kriminalitas dan tawuran/bentrokan antar remaja (60 persen). Selain itu, keberadaan santri masih dirasa-kan meningkatkan religiusitas masyarakat (80 persen), kerukunan antar warga (67 persen), meningkatkan ekonomi masyarakat (51 persen), memperluas pengetahuan dan pendidikan masyarakat (67 persen), dan turut menggairahkan pembangunan desa (47 persen).

PROPINSI

santri. Begitulah sebutan buat Jawa Timur yang dikenal sebagai basis massa santri. Sebanyak 725.187 lebih pemuda-pemudi santri menimba ilmu di 2.648 lebih pondok pesantren yang tersebar di hamparan tanah Jawa Timur sampai Madura. Menurut data Departemen Agama RI 2000/2001, Jawa Timur menempati rangking kedua setelah Jawa Barat dalam jumlah banyaknya santri dan pesantren. Uniknya, terdapat 100.796 lebih santri musiman. Sebagaimana dikutip Depag RI, hal ini menandai bahwa masyarakat Jawa Timur memiliki tradisi santri.

Kediri, Jombang dan Ponorogo dikenal warga Jawa Timur sebagai kota santri karena terdapat banyak pesantren. Pondok Pesantren Lirboyo, Tebuireng, dan Gontor adalah tiga contoh diantaranya. Ketiga pondok pesantren itu sudah berumur puluhan tahun dan memiliki banyak cabang pesantren. Tiga pondok itu sekaligus mewakili tiga model pesantren: tradisional ( salafiyah ) sebanyak 7.462 pesantren, campuran sebanyak 3.251 pesantren, modern (khalafiyah) sebanyak 599 pesantren.

Bertolak dari realitas itulah HIMMAH

menjadikan ketiganya sebagai objek peliputan rubrik laporan khusus ini. Angket pendapat masyarakat akan peran santri pun disebar dalam kurun waktu 3 hari (28 – 30/9). Dengan pertimbangan waktu, energi dan biaya, metode kuota sampling menjadi pilihan. Akhirnya, diputuskan pengambilan kuota sampel sebanyak 60 orang dengan pembagian rata untuk tiga lokasi, objek peliputan. Untuk menjaga validitas data, pengisian angket diperkuat dengan wawan-cara langsung.

Berdasarkan polling yang berhasil dihimpun, harapan masyarakat akan kiprah santri sangat tinggi, sebesar 62 persen. Nampaknya, masyarakat kini tidak setuju jika santri hanya belajar saja di pondok dan dilarang bergaul dengan masyarakat. Ini terlihat dari kecilnya prosentase pilihan, hanya 2 persen. Adapun sisanya (36 persen), masyarakat umumnya mengharap muncul-nya formulasi baru bagi peranan santri dalam masyarakat. Ria Heni Pus pitasari (20) misalnya, melihat pentingnya santri ber-sosialisasi langsung dengan masyarakat. ”Tapi dengan satu syarat: santri tahu aturan atau batasan bergaul dan bersosialisasisi dengan masyarakat,” kata

Namun anggapan masyarakat bahwa moralitas (akhlak) dan kualitas pendidikan santri itu pasti baik mulai terkikis. 35 persen menyatakan lebih baik, dan 25 persen menyatakan sebaliknya, dan 11 persen tidak bersedia menjawab. Menurut M Arifin (21), hal itu tergantung pada individu santri. ”Apakah moralitas santri itu lebih baik atau lebih buruk itu tergantung bagaimana si santri sendiri,” ungkap warga Cukir Jom-bang itu. Begitu pula dengan kualitas pendidikan pesantren. 31 persen me-nyatakan lebih baik sedangkan 29 persen lainnya menyatakan sebaliknya. 15 persen menyatakan kualitas pendidikan itu ter-gantung santrinya dan 2 persen responden tidak tahu.

Sejarah Pesantren

Jika ditelusuri dalam sejarah, pesantren sebagaimana banyak diketahui adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Kehadirannya merupakan hasil refleksi kebutuhan pada institusi pendidikan keagamaan yang telah disepakati antara pimpinan (kiai/ulama) pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Di sinilah bentuk

0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Para santri. Diharapkan berperan aktif dalam masyarakat
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Fiek
/ h I mmah

keterikatan antara santri yang belajar di pesantren dengan masyarakat sekitar.

Dalam perkembangannya, bentuk interaksi antara santri dengan masyarakat mengalami pasang surut. Dari yang harmonis hingga konflik. Biasanya akar permasalahan hubungan santri-masyarakat terletak pada fungsi sosial pesantren terhadap masyarakat. Bila pesantren berubah apatis, hanya memikirkan dirinya sendiri, niscaya konflik dengan masyarakat sekitar akan terjadi. Begitu pula sebaliknya, bila pesantren mempunyai andil besar dalam pengembangan masyarakat, maka h u bungan santri dan masyarakat akan harmonis.

Pondok Pesantren Lirboyo

Pondok Pesantren Lirboyo tiap tahun muridnya bertambah. Kini, mempunyai santri 9.000 lebih. ”Jumlah santri Lirboyo semakin banyak karena dianggap ’lebih siap pakai’ di masyarakat,” ungkap Jamaluddin, santri senior Pondok Pesantren Lirboyo. Hubungan dengan masyarakat sekitar juga harmonis. ”Kemarin, santri Lirboyo mem-bantu masyarakat dalam membangun masjid warga RT sini,” kata Ir Talis Ps, salah seorang ketua RT di desa dekat pondok tersebut.

Realitas itu, menunjukkan bahwa santri tidak saja belajar ilmu agama, tetapi juga belajar tentang hidup dalam praktiknya di tengah masyarakat. Kedekatan ini membuat pesantren tidak mengalami kebingungan dalam meneliti dan memahami kehidupan masyarakat, dan pada saatnya merumuskan langkah-langkah terbaik untuk menjawab permasalahan yang sedang timbul.

”Untuk membahas permasalahan ummat, Himpunan Alumni Santri Lirboyo (Himasal) mengembangkan bahtsul masaail (pembahasan masalah) dalam setiap reuni tahunan,” ungkap KH. A. Makhin Thoha, salah seorang Ketua Himasal. Namun dari laporan masalah dan hasil bahtsul masail Musyawarah Nasional ke-1 Himasal, permasalahan yang dibahas terbatas dalam lingkup hukum fiqh –hukum halal-haram. Misalnya pertanyaan dari Himasal Cabang Pasuruan, Jawa Timur: bagaimana hukumnya utang pada uang jam’iyyah?

Atas dasar itulah nampaknya KH. Sahal Mahfudz melekatkan predikat masyarakat fiqh pada santri dan masyarakat di bawah pengaruh kiai dan pesantrennya. Oleh karenanya dalam masyarakat fiqh , kiai menempati posisi penting dalam melegitimasi tindakan-tindakan mereka. Bahkan dengan kerangka ’salah-benar’ menurut hukum Islam itulah yang dijadikan pijakan utama dalam melakukan segala sesuatu.

Dari sini barangkali irrasionalitas massa masya-rakat fiqh dapat ditelusuri lebih jauh.

Pertanyaan semisal mengapa fenomena banyaknya santri yang berdemonstrasi menjelang jatuhnya Gus Dur yang dianggap bagian dari mereka, akan segera terjawab. Bahwa ternyata bukannya tanpa alasan mereka mendukung dan bersikukuh mempertahankan Gus Dur. Karena mereka pun juga membicarakan hal itu dalam kajian bahtsul masail. Seperti yang telah dilakukan oleh Himasal. ”Jadi tidak benar kalau kami menutup diri dari permasalahan bangsa. Dan bahasan-bahasan politik seperti itu juga mengemuka dalam bahtsul masail Himasal beberapa saat lalu,” ungkap KH Makhin yang kini menjadi wakil ketua komisi E DPRD Kediri.

Apa yang dikatakan KH Sahal Mahfudz bahwa pengembangan masyarakat adalah hal baru nampaknya juga kita temui di Lirboyo. Sekitar 30-an santri dikirim ke masyarakat untuk berdakwah lewat pondok-pondok asuhannya. ”Ya memang, pondok ini fokus utamanya li tafaquh fiddiin (untuk mendalami agama). Tapi kita juga tidak menampik undangan masyarakat jika menghendaki bantuan. Misalnya, untuk mengisi pengajian dan khotbah,” tegas

Madrasah Al Huffadh, dan Jam’iyyah. Zamakhsari Dhofier menulis, ”Dalam 30 tahun pertama, tujuan pendidikan Tebuireng ialah untuk mendidik calon ulama. Sekarang ini, tujuan pendidikan Tebuireng sudah diperluas, yaitu untuk mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi ulama intelektual dan intelektual ulama. Sinkronisasi antara iptek dan imtak dalam kehidupan.

Untuk mencapai tujuan itu, diterapkanlah disiplin santri. Diantara disiplin itu adalah bahwa setiap santri mukim harus tinggal dalam lingkungan komplek pesantren dan para santri juga dilarang meninggalkan komplek pesantren antara pukul 20.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi.

Nampaknya disiplin ini menjadi ”duri” kurang harmonisnya hubungan pesantren (santri) dengan masyarakat. ”Masalahnya kiai sekarang kurang dekat dengan masyarakat sih ,” ungkap Chamdan mencari simpul permasalahan. Kiprah santri senior dalam masyarakat sebagai imam, khotib, maupun penceramah, kini tidak lagi mudah ditemui. ”Akhir-akhir ini, tidak ada peran itu terhadap masyarakat. Guru saja diundang warga sini tidak mau datang,” ungkap Hussein, warga Desa Cukir RT 5/10.

Ketika hal itu dikonfirmasikan pada

Jamaluddin pada HIMMAH di ruang tamu Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Pondok Pesantren Tebuireng Kini santri Tebuireng berjumlah 3000 lebih. Tebuireng di bawah asuhan KH Yusuf Hasyim. Pola pendidikannya beragam: Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, SMP, SMU,

KH Iskak, ia menjawab, ”Guru dan santri senior disini memang mempunyai jadwal mengajar sendiri. Jadi kalau tidak bisa datang itu barangkali bertabrakan dengan jadwal pondok,” tuturnya melanjutkan. ”Kalau ada undangan masyarakat, saya datang. Tapi kalau tidak ada undangan bagaimana mau datang,” lanjut KH Iskak.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [LAPORAN KHUSUS]
Pondok modern Gontor. Pioner Pondok khalafiyah Indonesia
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Fiek / h I mmah

Ismail SM dalam Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani melihat signifikansi peran santri dalam pengembangan masyarakat. Kemandirian, kesukarelaan, keswadayaan dan keterkaitan dengan norma dan nilai adalah karakteristik masyarakat madani. Dan itu semua, menurut Ismail tertanam dan terlatih dalam tubuh santri-santri itu.

Apa yang ditulis Ismail di atas bisa terjadi di satu pesantren dan tidak demikian di pesantren lainnya. Permasalahannya adalah, bagaimana santri mau memberikan andilnya dalam masyarakat, manakala ia dilarang berinteraksi dengan masyarakat? Sampai disini, definisi santri haruslah jelas. Jika yang dimaksudkan adalah santri yang dilokalisir dalam pagar pondok saja, maka hampir tidak ada peran pengembangan bagi masyarakat. Jika yang dimaksud adalah santri senior atau alumni pesantren, maka tidak mustahil hal itu terjadi. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan data penyebaran alumni beserta jumlahnya.

”Ya jangan samakan santri dulu dengan sekarang. Santri dulu bisa langsung terjun dan berperan aktif di masyarakat karena mereka umumnya sudah dewasa dan mumpuni. Santri dulu kan nggak mengenal kalender nyantri ,” komentar Musta’in dengan tegas. Dekan Fakultas Da’wah IKAHA ini selanjutnya mengemukakan bahwa santri sekarang kecil-kecil. ”Ya kecil fisik dan ilmunya,” tegas Kiai Iskak mengamini uraian tadi.

Pondok Modern Gontor

Seperti Lirboyo maupun Tebuireng, di Gontor juga terdapat beberapa santri senior yang ditugaskan berdakwah secara intens kepada masyarakat Ponorogo. ”Memang seluruh ustadz santri senior ditugaskan untuk berdakwah ke masyarakat. Tapi rupanya yang paling dikenal luas masyarakat Ponorogo dan sekitarnya itu Pak Edi Kusnanto dan Pak Imam Sukardi,” komentar Nur Tsalis, santri senior pesantren kepada HIMMAH

Selain itu, santri asal Ponorogo juga mengajar TPA/TKA. ”Yang mengurusi TPA itu juga santri pondok. Remaja-remaja masjid biasanya juga dimotori oleh santri sini,” ujar Muhadi (39) Sekretaris Desa Gontor ketika ditemui di kediamannya. Dalam bidang ekonomi, selain menyediakan banyak lapangan kerja seperti tukang cukur, masak, dan bangunan. Juga turut menyumbang dana pembangunan desa. ”Kalau dapat 100, pondok akan bantu 100,” ujar Muhadi menirukan ucapan kiai Gontor.

Sampai saat ini tercatat 162 santri alumni yang menjadi pimpinan pondok di seluruh penjuru Indonesia. ”Ada yang

menjadi pendiri sekaligus pimpinan pondok, ada pula yang hanya menjadi pimpinan,” ucap Akrimul Hakim, sekretaris pengurus pusat IKPM. 199 alumni tercatat sebagai dosen, 42 diantaranya bergelar doktor, 319 orang menjadi pengusaha: 27 orang berada di Jakarta, di Jawa Barat terdapat 64 alumni santri, 98 santri alumni di Jawa Tengah, 38 di Jawa Timur, dan 92 tergabung dalam Yayasan Kamil.

Menurut rencana, santri alumni yang tergabung dalam Yayasan Kamil juga akan membangun Santri Gontor Incorporated ”Ya memang terkesan agak eksklusif. Tapi sebenarnya tidak demikian karena bagaimana mau membantu orang lain kalau diri kita belum membantu diri kita sendiri alias mampu. Dalam perjalanannya, nyatanya kami terbuka,” kata Akrim menyangkal kalau Gontor dibilang egois.

Usaha penggilingan padi misalnya, sangat membantu masyarakat sekitar pondok. ”Kalau waktu panen tiba, di daerah lain para petani kesusahan menjual hasil panennya, di sini petani bisa menjualnya di penggilingan pondok yang juga melayani jual beli hasil panen petani,” ujar salah seorang yang kebetulan menggilingkan padinya. Menariknya, yang mengelola dan mengurusi penggilingan padi itu juga dari santri-santri pondok.

Nampaknya santri kini mulai merasakan benar ketimpangan dan krisis ekonomi. Hal ini mendorong Pusat Informasi Alumni (PIA) Pondok Modern Darussalam Gontor dengan sadar berhimpun dan merapatkan barisan, membagi pengalaman dan info pasar, bersinergi dan berkolusi secara positif, menjadi kekuatan pelopor kebangki-tan ekonomi kaum sarungan

dalam wadah Himpunan Pengusaha Alumni Gontor (HIPAG). Diharapkan, HIPAG, yang dimotori Jhonson (Alumnus 1975/ Ponorogo), dapat menjawab tantangan tersebut.

Sedangkan dalam bidang politik, de ngan prinsip pemersatu ummat, Gontor mengupayakan harmonisasi hubungan antar ormas dan partai Islam. Seminar yang mempertemukan antara Hasyim Muzadi–Ketua PBNU–dengan Din Syamsuddin dari Muhammadiyah adalah contoh konkret upaya itu. ”Tapi waktu pemilu, pengasuh masih menganjurkan santri-santrinya untuk memilih partai Islam,” ujar Muhadi.

Pengembangan pesantren mengarah pada peningkatan mutu pendidikan dengan kurikulum, infrastruktur, dan tenaga pen g ajar yang baik. Tidak hanya itu, sepertinya koperasi-koperasi pesantren juga mulai berkembang, masuk dalam jalur perdagangan masyarakat lokal. Pesantren dituntut menjadi modern tumbuh bersama atau malah mendahului (jaman) ma syarakatnya dan mencermati globalisasi sebagai sebuah tantangan. Dalam pada itu, Hairussalim, Direktur LKIS mengkhawatirkan pesantren lari dari historitasnya, bahkan meninggalkan tugas utamanya sebagai pendidik generasi bangsa.

Di tengah buruknya kualitas pendidikan di tanah air, pesantren yang khas Indonesia bisa menjadi alternatif pendidikan bermutu. Persoalannya adalah bagaimana pesantren bisa memanfaatkan momentum krisis pendidikan bangsa sebagai cermin ”berkaca diri” untuk memformulasikan kemudian me-ngimplementasikan alternatif pendidikan ideal, bukan ”pendidikan rongsokan”.

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Pendidikan Pesantren. Sarat muatan religius
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Fiek / h mmah

Kawah Candradimuka itu Bernama Pesantren

BELUM lagi ayam jantan berkokok, gemercik air dan suara sandal bakiak menghentak keheningan pagi gelap. Tak berapa lama, lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh qori’ berumur belasan tahun itu terdengar merdu, menyen tuh kalbu. Di pagi buta itu, terlihat lalu lalang anak-anak kecil seumuran SD dan pemuda belasan tahun berbondongbondong me-ngambil air wudhu, menuju masjid menu-naikan shalat Subuh. ”Allahu Akbar,” takbir sang imam, pertanda sholat dimulai.

Pukul empat pagi, gambaran suasana santri memulai aktivitasnya dapat disaksikan setiap hari di pondok pesantren, Tebuireng misalnya. Suasana itu sering membuat orang tua tertarik untuk menyekolahkan anaknya ke pesantren. Tujuannya cukup sederhana: agar anak mereka mempe-roleh pendidikan dasar yang diperlukan untuk menjadi ”orang yang baik”.

Analisis Dawam Rahardjo untuk menjelaskan motif orang tua memilih pesantren untuk anak-anak mereka sampai saat ini masih relevan. Bahwa masyarakat kita

tertarik pada pesantren terutama karena pondok merupakan lembaga yang mendukung nilai-nilai agama. Yang di kalangan masyarakat agraris terasa amat dibutuhkan untuk bisa mempertahankan hawa segar masyarakat pedusunan. Sedangkan bagi masyarakat perkotaan, alternatif pendidikan pesantren lebih karena pandangan bahwa pergaulan hidup di kota-kota telah mengalami semacam polusi yang membahayakan anak-anak mereka.

Sementara bagi sebagian orang tua, pesantren diyakini memiliki banyak keunggulan dibanding pendidikan setara lainnya. Data Departemen Agama RI 2000/2001 menunjukkan adanya peningkatan (sebanyak 61,8%) animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di pesantren. Keyakinan itu diperkuat oleh statemen pengamat pendidikan bahwa pesantren adalah tempat dimana trilogi pendidikan dapat dipadukan dengan sempurna. Selain itu, pesantren juga memberikan semacam ’jasa pengurusan dan pendidikan’ anak 24 jam penuh. Bagi sebagian orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, jasa itu dirasa sangat membantu. Tapi juga tidak sedikit

anak yang nyantri berangkat dari keinginan sendiri.

”Aku nyantri di Tebuireng ini atas inisiatifku sendiri kok mas ,” kata Heri Sayono, santri kelas 2 SMU Wahid Hasyim Tebuireng Jombang menyangkal. ”Temantemanku di rumah suka kelahi, juga nawarin cimeng (salah satu jenis narkoba–red). Aku tidak mau seperti itu, makanya waktu lulus SMP Aku milih mondok,” ungkap pemuda asal Semarang itu meneruskan. Lain halnya dengan Yusuf, santri yang kini menjadi ketua Organisasi Pelajar Islam Andalas (OPIA). ”Saya jauh-jauh sekolah ke sini karena saya dengar Tebuireng itu bagus pendidikannya dan ternyata orang tua menyetujui.”

Bagi Heri, nyantri di Tebuireng itu menyenangkan. ”Disiplinnya tidak terlalu ketat seperti di Gontor, lalu banyak teman, dan banyak pilihan belajar,” aku Heri ketika ditemui HIMMAH di pondoknya. Pernyataan itu dibenarkan oleh Yusuf. ”Di sini kita bisa belajar berorganisasi. Lewat OPIA, kita adakan lomba pidato, lomba baca kitab dan khotmil Qur’an. Dari latihan ini kita berani tampil ke masyarakat,” ungkap Yusuf saat organisasinya menyelenggarakan seminar bertemakan kiat-kiat sukses belajar.

Para pengajar Tebuireng selalu menekankan pentingnya latihan praktis dan mendidik para santri agar selain berilmu, juga harus beramal. ”Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah,” demikian bunyi pepatah yang sering dilontarkan. Pola kehidupan santri yang unik itu justru melahirkan sosok pemuda yang mandiri, berakhlak mulia, tahan banting, berani tampil beda, dan sebagainya. ”Wajar saja kalau santri punya kemandirian, ketegaran dalam menjalani hidup, tahan banting, dan memi-liki kepedulian sosial yang tinggi. Mereka kan belum dikatakan santri kalau belum jarbanan (kudisan), sebuah penyakit kulit yang menurut Cak Nur menguji santri untuk mandiri,” kata Emha Ainun Nadjib berke-lakar.

Iso mergo kulino atau bisa kalau dibiasakan . Prinsip ini nampaknya juga dicamkan di dunia pesantren untuk selalu memotivasi para santri dalam menjalankan

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [LAPORAN KHUSUS]
Di tengah belenggu krisis moral, pesantren dengan paduan trilogi pendidikan menjadi alternatif menarik. Sayangnya pendidikan ala pesantren sering dianggap ketinggalan jaman.
Kehidupan Pesantren. Membentuk insan tahan banting dan kuat uji
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Fiek / h mmah

disiplin pondok. Banyaknya aktivitas yang harus diikuti oleh santri, dari pagi buta hingga malam, terkadang membuat santri kecape-kan dan bahkan bosan. Tapi barangkali pembiasaan itulah yang diambil sistem pendidikan pesantren untuk membuang rasa malas dari santri. Namun hal itu bisa bermuara pada sakit atau rasa tidak kerasan, seperti dituturkan oleh Dra. Syamsiyah kepada HIMMAH saat menjenguk anaknya. ”Anak saya kadang mengeluh kecapekan, karena banyaknya aktivitas yang harus diikuti.”

Adapun prinsip ibadah, selalu dituturkan kepada para santri. Bahwa apapun aktifitas yang dilakukan oleh setiap manusia jika diniatkan untuk ibadah maka balasannya adalah pahala. Prinsip inilah yang dapat digunakan untuk melihat keikhlasan sese-orang dalam bekerja.

”Jika seseorang mampu mengatasi hatinya untuk berbuat dengan tujuan beribadah, maka tidak ada yang berat di dunia ini untuk dikerjakan. Bekerja dengan pamrih materi pun tidak akan terdetik dalam hati. Apalagi untuk korupsi, kolusi,” tutur Kiai Iskak yang mengabdikan hidupnya untuk mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng. ”Nah, pesantren diantaranya kan untuk belajar menata hati itu,” sambungnya lagi.

Memang korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak dibenarkan ditinjau dari agama manapun. Aspek moral pun menolak perbuatan yang dianggap sebagai penyebab krisis yang melanda Indonesia ini. Tapi permasalahannya adalah bagaimana agar setiap orang mau meninggalkan dan menjauhi perbuatan kotor itu. Bukankah undang-undang telah dibuat, dan aparat

telah berusaha menegakkannya? Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan seks bebas yang melanda para pemuda-pemudi Indonesia.

”Perbuatan seks bebas dua sejoli mahasiswa dari Bandung awal Oktober lalu entah divideokan atau tidak, diedarkan atau tidak, tetap saja tidak dibenarkan dari segi hukum, adat, norma, moral dan agama,” tulis Handrawan Nadesul di harian Kompas. Tapi mengapa itu terjadi? ”Disinilah arti penting dimasukkannya pendidikan seks di kurikulum nasional. Bukan pendidikan praktik seks, melainkan nilai-nilai yang harus dijaga sebagai orang dewasa yang memiliki kematangan untuk menggunakan ’alat’ itu,” usul Handrawan.

Di pesantren, santri-santri sejak dulu

telah memperoleh materi seperti apa yang diusulkan Handrawan di atas. Tepatnya pada pembahasan bab nikah (perkawinan). Santri-santri sejak awal juga memperoleh pendidikan tauhid, yang mana Tuhan mengetahui segala apa yang diperbuat manusia tanpa kecuali. ”Keyakinan inilah yang dipatrikan dalam sanubari santri,” tutur Kiai Iskak. Harapannya, jika sudah lulus dari pondok, santri bisa membawa dirinya dengan baik di tengah kerasnya pergaulan dan persaingan masyarakat di luar pondoknya.

Jika dikaji lebih dalam akan tahapan bagaimana nilai-nilai itu ditanamkan, terdapat tiga pilar utama untuk memahaminya. Pertama dan utama adalah pilar tauhid atau pengesaan Allah. Materi Aqidah–sebutan populer materi tauhid–ini selalu didapatkan santri di tahun-tahun awal mondok (lihat di bawah). Ibarat sebuah pohon, maka tauhid laksana akarnya. Ia harus kokoh jika tidak ingin pohonnya tumbang di terpa deru angin kehidupan. Dalam bahasa pesantren, tauhid harus terbebaskan dari syirik–menyekutukan Allah.

Kedua adalah ibadah dalam arti luas. Sebagai bentuk konsekuensi tidak adanya Tuhan selain Allah, yang Maha Tahu akan apa yang diperbuat hambaNya, santri digembleng dengan ritualitas beribadah. Titik tekannya adalah pada penyadaran akan arti penting ibadah, sehingga tidak ada bentuk paksaan untuk beribadah. Prinsip terakhir adalah akhlak. Di kalangan nahdliyin–sebutan bagi warga NU– nampaknya akhlak menjadi tolok ukur ibadah sekaligus iman santri. Oleh karena itu, biasanya para kiai menekankan aspek akhlak dalam mengasuh santri-santrinya.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
membaca. Mengikuti perkembangan dan akses informasi
Fiek h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

di Balik Pagar Pesantren

gulirkan istilah subkultur dalam dunia pesantren. Menurut Gus Dur, kaum saru ngan memiliki cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Kriteria itulah yang mendudukkan pesantren sebagai subkultur dalam masyarakat luas.

Jika diamati, budaya santri memang terlihat berbeda (asing) dari masyarakat sekitar. Disiplin santri yang melarang berhubungan dengan masyarakat sekitar semakin mempertegas perbedaan tersebut. Di Gontor, santri dikenai sanksi berat jika ketahuan berhubungan dengan masyarakat sekitar pondok. Adapun aturan disiplin di Tebuireng agak lentur, yakni boleh keluar pondok antara pukul lima pagi hingga delapan malam. Dengan disiplin tersebut, praktis tidak ada interaksi antara santri dan masyarakat. Tak heran, bila santri tidak tahu daerah Ponorogo meskipun sudah tinggal di Gontor selama enam tahun.

Dulu konflik antara santri dengan masyarakat sekitar seringkali terjadi. Sekarang, mungkinkah santri berpartisipasi aktif dalam pengembangan masyarakat?

Maka tidak salah stereotipe ”kaum saru ngan” dilekatkan bagi santri.

”Namun justru perbedaan itulah yang melahirkan titik ketegangan kreatif: saling mempengaruhi dan mewarnai tanpa secara radikal menghilangkan karakter masingmasing,” tulis Abdurrahman Wahid dalam karyanya Pesantren Sebagai Subkultur yang diterbitkan oleh LP3ES. Dalam baha sa Gus Dur, ”Pesantren dengan lingkungan sekelilingnya memiliki watak transformatif gradual yang berjangka panjang.”

WAKTU

itu pukul 11 siang. Terlihat sosok pemuda bertelanjang kaki, berbaju koko, berpeci hitam, sarungan berjalan di atas panasnya aspal jalan. Di belakangnya, 3 pemuda berpenampilan serupa menenteng kitab kuning seolah menyusul, menyusuri jalan menuju pondok pesantren Lirboyo–Kediri, Jawa Timur. Ternyata mereka baru saja selesai belajar, mengikuti sorogan dan hendak pulang ke pemondokan di mana mereka tinggal.

Santri. Demikianlah masyarakat sekitar menyebut pemuda-pemudi yang menimba ilmu agama dan tinggal di pesantren yang luasnya hampir satu desa itu. ”Kalau pakai sarung, pasti santri mas,” begitu anggapan warga Kediri yang tidak susah membeda kan mana santri dan bukan. Sarung adalah busana wajib bagi santri Lirboyo, siang malam. Pergi ngaji pakai sarung, makan pakai sarung, belanja pun pakai sarung.

Pemandangan ini kontras dengan santrisantri Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo Jawa Timur. ”Santri-santri di sini memakai sarung hanya pada waktu sholat. Selebihnya, memakai celana atau training (pakaian olahraga-red),” kata Riyan (15), santri kelas 4 KMI Gontor. Begitu pula hal nya dengan santri-santri Tebuireng–Jom bang. Mereka lebih suka pakai celana untuk keseharian daripada sarung.

Yang menarik dari tiga penampilan santri di atas, ada perbedaan yang mencolok antara santri dan masyarakat sekitar. Santrisantri Gontor lebih menunjukkan citra kelas elite dengan gambaran kemewahan busana yang ia kenakan. Begitu pula yang terjadi di Jombang. Misbah (19), alumnus pondok Tambakberas Jombang, pernah menjadi saksi selama tiga tahun kontrasnya performa santri dengan masyarakat sekitar. Yang menarik lagi, perbedaannya bukan pada segi berpakaian saja. Tapi juga pada tata nilai, tingkah laku, dan tradisi antara masyarakat dan santri.

Dari Subkultur ke Subpolitik

Berangkat dari realitas itu, Abdur rahman Wahid (1974) kemudian meng

Sebaliknya, hasil peliputan HIMMAH menunjukkan bahwa perbedaan itu bisa melahirkan ketegangan konflik. Gambaran demikian terlihat dari hasil percakapan dengan masyarakat sekitar pondok Tebu ireng. ”Pondok ini berkembang dan tumbuh bersama masyarakat. Yang pasti tetangga kanan-kiri pondok ikut terlibat secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan santri, baik tempat, sandang dan pangan. Tapi setelah besar, seakan pondok mau makan sendiri,” kisah Pak Hussein, tokoh masyarakat yang tinggal di sebelah selatan pondok. Keluhan itu juga diutarakan oleh Chamdan (57), dan beberapa warga yang enggan disebut namanya.

Ketegangan itu kerap muncul dari masalah pembagian zakat fitrah, daging qurban, pembebasan tanah sekitar pondok, pemindahan tempat jualan masyarakat, hingga masalah politik–pemilihan partai. ”Sementara anak-anak yang sekolah umum

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [LAPORAN KHUSUS]
Pondok Pesantren Tebuireng. Melahirkan banyak kiai dan tokoh panutan masyarakat.
Fiek h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

ditarikin zakat fitrah lalu dibagikan kembali ke masyarakat, la kok pondok qurban pulu han kambing plus sapi malah nggak mbagi, kecuali tulang-tulangnya,” lanjut Hussein, warga Desa Cukir RT 5/10.

Kisah ”konflik pesantren-masyarakat” itu juga pernah dipaparkan oleh Dawam Rahardjo (1974) dalam Pesantren dan Pembaharuan, terbitan Lembaga Peneli tian, Pendidikan dan penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Tulisan yang men gungkap ”konflik tajam” dalam gaya hidup dan alam pikiran antara sivitas pesantren Gontor dengan masyarakat sekitarnya itu, sempat membikin geram sebagian ”elite Gontor”. ”Gontor bukanlah contoh yang baik untuk sebuah prototype pondok yang bisa berbuat banyak terhadap lingkungan masyarakatnya yang miskin,” demikian ungkap Dawam menyimpulkan.

Barangkali inilah embrio tercabutnya keterikatan masyarakat dengan santri, yang menandai perubahan dari subkultur ke sub politik. Maksudnya, sebagaimana ditulis oleh Ismail SM, pesantren sebagai sub politik diandaikan menjadi kekuatan yang terlibat aktif dalam proses pemandirian dan pemberdayaan masyarakat. ”Ruang yang harus digarap pesantren tak terbatas pada transfer wacana keagamaan, namun juga upaya praksis menumbuhkan komunitaskomunitas mandiri yang berswadaya,” ungkap Ismail dalam Signifikansi Peran Pesantren Dalam Pengembangan Masya rakat Madani.

Kini Telah Berubah

Jarum jam berdetak, bumi terus ber putar menandai jalannya sang waktu. Apa yang diungkap Dawam yang dimuat LP3ES (1974) kini telah berubah. Perubahan itu dirasakan langsung oleh masyarakat setem pat. ”Saya tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya desa ini tanpa pondok. Mungkin desa ini akan mengalami kesulitan besar,” ungkap Muhadi, Sekretaris Desa Gontor. ”Pembangunan desa dibantu 50 persen, ibu-ibu bisa setor jajanan (makanan kecil), lapangan kerja seperti tukang ojek, tukang penatu, tukang cukur dan pekerja bangunan maupun percetakan milik pondok semua dapat diakses oleh masyarakat,” tutur Muhadi merinci bantuan pondok pada masyarakat. Dalam bidang pendidikan, disamping bantuan gedung, anak-anak desa Gontor dan sekitar yang nyantri di sini di perbantukan mengajar di TPA/TKA.

Sampai saat ini, hubungan santri-ma syarakat memang sangat terbatas. Menurut Muhadi disiplin itu bagus supaya santri tidak terpengaruh budaya yang belum tentu baik dari masyarakat dan teledor dalam belajar serta bahasa Arab-Inggris santri

jalan. ”Tapi jeleknya, santri nggak krasan dan masyarakat kadang sulit memahami kebijakan pondok itu,” ungkap Muhadi kepada HIMMAH di kediamannya (30/9) melanjutkan.

Jika santri dilarang berhubungan de ngan masyarakat, lantas siapa pelaku yang menghubungkan santri dengan masyarakat? Disinilah santri senior –sebutan bagi santri yang telah menamatkan belajar (secara

kan masyarakat sekitar. Bahwa pesantren itu tugas utamanya tafaqquh fiddiin dan nyaris tidak mau tahu dengan keadaan masyarakat sekitar. Tugas pengemban gan masyarakat sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Nah, ketika situasi dan kondisi pemerintahan Indonesia tidak memungki n kan menjalankan peran itu, fungsi sosial pesantren dipertanyakan. Bahwa santri-santri dengan potensi yang

formal) dan mengabdikan diri pada pon dok, baik dengan mengajar maupun terjun langsung ke masyarakat. ”Beberapa guru (baca santri senior–red) intensif ceramah di berbagai desa, sebagian lainnya mengurusi pembangunan masjid bersama masyarakat setempat, menggiatkan remaja masjid juga karang taruna,” ungkap Sekretaris Desa Gontor menjelaskan. Satu pesan kiai yang mengiang di telinga Musaim waktu sila turahmi tahunan pondok, ”Pokoke (prin sipnya) usaha dulu! Nanti kalau dapat 100 ribu, pondok juga membantu 100 ribu.”

Gambaran peran santri dalam ma syarakat seperti inilah yang nampaknya mengilhami Ismail SM mengungkapkan signikansi peran santri dalam pengem bangan masyarakat. Dalam Pendidi k an Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani (2000) Ismail menyimpulkan bahwa kemandirian, kesukarelaan, kes wadayaan dan keterkaitan dengan norma dan nilai adalah karakteristik masyarakat madani. Dan itu semua tertanam dan terla tih dalam tubuh santri.

Tapi persoalannya adalah, tidak semua kiai memahami dan tertuntut mengembang

demikian besar itu juga bertanggung jawab mengembangkan masyarakat.

Tibalah saatnya momentum krisis yang menghunjam bangsa ini dijadikan start es tafet perjuangan santri dalam mengembangkan masyarakat. Islam adalah pembawa rahmat bagi sekalian alam Dan partisipasi aktif dalam pengembangan masyarakat merupakan manifestasi fungsi sosial santri dalam mengemban amanat rahmatan lil ‘alamin.

Tapi, bisakah para santri dan alumnus nya mengemban amanat pengembangan masyarakat? Dulu, waktu belum banyak sekolahan, santri bisa tampil kedepan memimpin pergerakan melawan penjajah. Meminjam istilah Clifford Geertz menjadi cultural broker . Tapi masyarakat telah berubah. Di daerah urban atau pedesaan, peran ulama menyempit seiring dengan adanya dokter, tenaga penyuluh, psikiater, maupun cendekiawan.

Hanya persoalan waktu dan kemauan kiai dan santri untuk turut membantu ma syarakat secara politis dan ekonomi.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
Tidur di masjid. Santri tidak berbaur dan tumbuh bersama masyarakat?
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Fiek h I mmah
. . . . . . .

“Peran santri Mirip dengan Mahasiswa”

kebebasan dalam berorganisasi, ini sifatnya masih belajar. Dan dari situ kemudian mengembangkan hal-hal yang bersifat civic (pemandirian) selama dia menjadi santri. Dia juga punya peranan untuk melakukan counter nonstruktural. Tidak pada penguasa tapi pada kritik moral. Dulu menjelang reformasi, itu ada semacam fatwa fiqh sosial. Itu bisa dilakukan. Fiqh sosial itu kan sebenarnya formulasi baru dari amar ma’ruf nahi munkar . Nah, itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain nasehat. Ya nasehat kepada penguasa, penyelenggara negara. Dan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, tanpa kekerasan.

Bagaimana mendudukkan santri agar memberi kontribusi berarti bagi masyarakat?

Mengapa masyarakat santri ngamuk menjelang Gus Dur leng ser? Berikut kami sajikan petikan wawancara Wakid dan Taufiek dari HIMMAH bersama Imam Aziz, santri alumni Matholi’ul Falah Kajen Pati Jawa Tengah. Kini, selain tercatat menjadi staf pengajar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga menjabat Direk tur Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM) Yogyakarta.

Dalam keadaan krisis seperti saat ini, rakyat tidak bisa berharap banyak pada pemerintah. Muncul wacana rakyat harus belajar mandiri. Bagaimana latar belakang gagasan masyarakat mandiri (civil society) ?

Civil society muncul untuk mem-berikan imbangan kepada negara yang amat kuat, baik untuk pengembangan sendiri di samping juga kritik terhadap pola pengembangan yang berpihak pada modal. Itu muncul begitu saja. Tidak direkayasa. Wacana arus bawah men-jelang lengsernya Soeharto sebenarnya adalah pertanda adanya kekuatan masyarakat yang memang masih banyak diamnya. Ini berbeda dengan people power yang sifatnya struktural.

Tugas siapa pemandirian masyarakat itu?

Secara formal, tugas pemandirian masyarakat itu bisa dilakukan oleh partai politik. Karena partai politik itu punya tugas yang sangat luas. Salah satu diantaranya bagaimana membuat rakyat lebih tahu mengenai hak-haknya, mengenai kewajiban-kewajibannya, termasuk hak-hak dia dalam negara. Tapi karena partai politik sampai sekarang belum berfungsi, maka tugas itu kemudian dibebankan kepada siapa saja yang mempunyai konsen. Apakah itu lembaga-lembaga masyarakat, LSM-LSM dan sebagainya. Tapi formalnya itu tugas partai politik.

Apa yang bisa dimainkan oleh santri dalam mewujudkan masyarakat mandiri?

Kalau kita lihat santri sebagai suatu entitas masyarakat, dia sangat mirip dengan peranan mahasiswa. Artinya dia punya

Sebenarnya kalau kita menuntut seperti itu ya tidak fair . Pertimbangannya dia tidak punya apa-apa. Dia hanya punya semangat, lalu punya nilai-nilai moral tertentu yang dipegang erat olehnya seperti kejujuran, kebenaran, keadilan. Baru nilainilai yang dia punyai, belum punya modal. Kalau sampai dituntut masyarakat untuk mengembangkan di bidang ekonomi misalnya, ya itu menurut saya tidak fair

Ada dua peranan: pertama, lebih pada pembenahan sistem. Itu yang penting, artinya sistem sosial masyarakat. Di bidang ekonomi itu tidak berarti harus membikin koperasi, tapi sistem inilah yang harus dibenahi. Seperti halnya mahasiswa. Mahasiswa juga tidak punya apa-apa. Lain halnya yang sudah di luar kampus, di luar pesantren.

Jadi lebih pada penumbuhan kesadaran. Tidak institusi-institusi langsung. Kalau misalnya masyarakat bersedia atau mau membuat koperasi sendiri, itu sebenarnya lebih pada kesadaran sistemik. Itu yang sebenarnya saya kritik sejak awal. Banyak lembaga-lembaga pengabdian masyarakat baik dalam pesantren maupun luar yang tiba-tiba datang ke masyarakat membuat proyek. Itu menurut saya tidak punya manfaat yang besar, karena sifatnya lokalistik. Kontribusi yang bisa diberikan santri itu lebih pada pembenahan sistem. Misalnya sistem ekonomi, bukan harus langsung membuat koperasi, tapi lebih pada kritik terhadap sistem ekonomi yang sedang berlangsung. Bahwa kemudian setelah itu masyarakat paham kedudukan santri dalam hal ekonomi , namun ternyata kita dalam sistem kapitalistik yang menindas. Ini bentuknya penyadaran. Kalau sudah sadar, baru jika misalnya mereka mau membuat koperasi, atau sistem ekonomi yang lain, santri tidak bisa dituntut langsung seperti itu. Kalau saya lebih cenderung berharap pada santri itu untuk memperbaiki sistem.

Lalu bagaimana mentransfer nilai-nilai dalam pondok kepada masyarakat?

Sebenarnya dalam bidang apapun –ya politik, sosial, ekonomi, nilai-nilai itu bisa ditransformasikan kepada masyarakat dalam bentuk-bentuk misalnya sistem politik yang lebih terbuka. Cara pandang santri mengenai kebenaran, saya kira akan mampu melihat adanya ketidakadilan politik, ketidakadilan ekonomi. Itu tampak.

Nilai-nilai yang sudah terinternalisasi dalam diri santri itu kan akan bisa membuat kritik. Misalnya melalui dakwah dan apa saja.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . . . Fiek h I mmah

Saya lihat beberapa pondok di Jawa Timur itu bisa berbuat banyak hal yang sangat berpengaruh terhadap lingkungannya sendiri-sendiri. Misalnya di pesantren Nurul Jadid, Paiton, yang terletak sangat jauh dari kota. Di sana ada penerbitan yang sangat bagus, yang dikelola oleh santri-santri di situ. Dari segi teknik pencetakan, reportase-nya itu sudah luar biasa. Sebetulnya itu buat santri, tapi bisa diakses juga oleh masyarakat sekitar yang mana mereka tidak punya media. Sebenarnya ada Jawa Pos yang (pe-liputannya–red) lebih pada hal-hal yang umum sekali. Tapi untuk hal-hal yang sifatnya lebih khas mengenai masyarakat kecil–mengenai politik mikro misalnya, mengakses majalah atau terbitan yang dibuat oleh santri akan lebih mengena.

di televisi itu informasi atau disinformasi. Masyarakat itu melihat apa yang ada di televisi saja. Akhirnya mereka ngamuk sama Amin Rais, ngamuk sama orang-orang yang memusuhi Gus Dur. Nampaknya yang ngamuk cuma di Jawa Timur saja?

Siapa bilang yang ngamuk itu hanya di Jawa Timur saja. Kalau mau jujur tidak saja di Jawa Timur, hampir seluruh kantong-kantong santri itu marah. Cuma, liputan itu hanya difokuskan di Jawa Timur. Nah inilah politik informasi. Tidak ada informasi sama sekali mengenai penangkapan-penangkapan, penembakan-penembakan untuk orang-orang yang dianggap mendukung Gus Dur. Itu banyak jumlahnya. Di Banyuwangi, di Pasuruan, di Gresik dan tidak ada satupun koran yang memuat berita itu.

Selain hambatan informasi, kendala lainnya?

Kalau saya lihat kelemahan yang paling menonjol itu pada kelemahan informasi. Kalau yang lain-lainnya, itu saya kira hanya mengikuti saja. Jadi misalnya, efek samping adanya disinformasi, lalu sampai sekarang agak susah orang menerima kenyataan bahwa ini ada SI, ada apa. Kita lihat di Jawa Timur, gambar presiden ya tetap Gus Dur. Tapi sekali lagi saya menggaris-bawahi pernyataan Anda bahwa ini adalah tugas besar. Jadi tidak bisa sepihak. Misalnya saja begini, ”Yang diomongi jangan keras-keras, itu jangan satu pihak saja dong. Yang lainnya juga.” Mari kita semuanya berfikir bahwa tidak ada satupun pihak yang merasa benar, karena pendefinisian kekerasan itu hanya terbatas fisik, tapi kekerasan wacana, kekerasan pernyataan itu tidak pernah dianggap sebagai kekerasan.

Santri dan pesantrennya itu beragam. Bagaimana diklasifikasikan dan tahapan pengembangannya seperti apa?

Civil Society ini tugas besar. Apakah Anda melihat adanya sinergitas gerakan santri?

Kalau definisi santri tadi diperluas, tidak hanya yang belajar saja tapi juga yang alumni, kita bisa lihat misalnya di Jawa Timur, peranan santri sangat besar dan mereka bisa gabung dengan kelompok-kelompok lain. Itu saya kira amat menggembirakan. Misalnya gerakan-gerakan anti kekerasan di Jawa Timur, itu sangat besar sekali. Artinya tanpa keterlibatan mereka (santri), tampaknya untuk menciptakan suasana yang lebih damai itu susah. Kita lihat misalnya dalam banyak forum, itu selalu santri-santri senior atau kiai-kiai muda sangat aktif membangun koalisi baik antar agama maupun koalisi yang sifatnya lebih riil pada masyarakat, atau kelompok-kelompok yang terpinggirkan, serta kerjasama dengan kelompok-kelompok profesional. Itu terbukti sangat bisa diandalkan.

Tapi waktu Gus Dur mau turun dari kursi kepresidenan beberapa waktu lalu, nampaknya bukannya santri bersinergi tapi malah sebaliknya?

Ya itu sudah politik praktis ya. Dalam hal ini ada suatu kelemahan dalam diri kita. Yaitu sistem informasi. Kesenjangan pusat daerah dalam hal informasi itu sangat kuat sekali. Apa yang terjadi di Jakarta itu tidak seluruhnya bisa diakses oleh masyarakat. Mereka hanya bisa lihat melalui televisi. Kita lihat dalam politik informasi, rumus informasi mengatakan adanya informasi berarti sekaligus menandakan adanya dis-informasi. Kita tidak mengerti

Biasanya kiai di tingkat lokal itu sangat penting, karena dia menjadi satu-satunya nara sumber dari informasi apa saja. Bahkan dalam banyak hal misalnya bekal kekuatan birokrasi itu kalah. Tapi biasanya orang me-nyalahartikan peranan kiai seperti ini ke hal-hal yang agak mistik. Padahal hal itu sebenarnya contoh pembahasaan. Bagaimana kiai membahasakan sesuatu bagi orang-orang awam. Mistik-mistik bisa menembus tembok, itu contoh simbolik. Dengan kata lain, itu adalah bahasa tubuh dimana orang harus melakukan pemberdayaan diri dari sesuatu yang sangat rasional tapi tidak adil. Hal ini harus dibaca seperti itu.

Berbeda dengan pembahasaan kiai-kiai yang sudah modern. Misalnya dengan membuat selebaran, majalah dan sebagainya. Dalam hal ini biasanya kita kekurangan cara untuk melihat pesantren. Sehingga kita lalu tambah citra pesantren itu semakin hari semakin tidak rasional. Padahal kalau kita belajar antropologi modern, model Levi Strauss misalnya, orang seprimitif apapun itu punya rasionalitasnya, cuma kita tidak bisa paham saja. Pertanyaannya bukan lalu pesantren itu harus mengubah secara apa maunya kita, tapi kita sendiri juga mau merubah cara pandang terhadap pesantren.

Dalam banyak hal, sesuatu itu harus disampaikan menurut rasio-nalitas mereka, dalam bahasa santri biqodri uqulihim. Jadi tidak semua hal yang dalam text book itu seperti rumus sudah baku, di pesantren akan jadi lain implementasinya. Tinggal bagaimana pengembangan itu dibarengi informasi yang seimbang dan adil.

Apa peranan LSM sendiri melihat kenyataan ini?

Saya kira sinergi. Lebih pada kerja bareng. Banyak kasus dimana pesantren dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat itu bekerja sama. Seperti tadi saya sebutkan di daerah-daerah Jawa Timur. Di sana banyak kasus tanah. Saya kira menjadi tanggung jawab kiai juga, baik untuk kepentingan petani maupun kepentingan

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
”Sebenarnya kalau kita menuntut santri agar memberi kontribusi berarti bagi masyarakat itu ya tidak fair.”
. . . . . . . . . . . . . . . . . . Fiek h I mmah

Kado dari santri alumni

Diantara kaum sarungan terdapat beberapa alumni santri yang melejit ke panggung nasional. Ulil Abshar Abdalla, Nurcholis Madjid, dan Abdurrahman Wahid yang sempat menjadi presiden adalah diantaranya. Bagaimana para santri alumni itu mengorganisasikan diri ketika menjadi mahasiswa?

sama saja dengan organisasi mahasiswa alumni pondok pesantren lainnya. Seperti bakti sosial, silaturahmi, halal bihalal, dan memberi masukan buat pondok,” tutur santri alumni pondok pesantren Krapyak Yogyakarta itu.

Organisasi bentukan alumnus pondok pesantren itu juga difungsikan untuk men jaga nama baik pondok, menjalin hubungan sesama alumni, membantu santri yang baru keluar pondok dan memberi masukan buat kebaikan pondok. ”Ke-beradaan organisasi ini penting, minimal untuk menjaring in formasi dan hubungan antara pondok dan santri,” kata Akrim, pengurus pusat Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM), akhir September 2000 lalu.

kemarin sore’, pemikiran alumni sekaliber Nurcholis Madjid saja belum tentu diang gap.”

Ternyata tidak semua pondok pesantren mempunyai organisasi ikatan alumni. ”Di Padang Panjang sana, kami ada organisasi ikatan alumni. Tapi di Jogja, kami baru berencana membentuk itu,” kata Ferry, santri alumni Ma’had Thawalib yang berdiri sejak tahun 1413 itu. Meski demikian, tidak semua alumni intens beraktifitas di organ isasi ikatan alumninya. Karena merasa pe nat untuk bergabung bersama ’rekan lama’ kemudian mencari alternatif, suasana baru. Baik di organisasi mahasiswa intra mau pun ekstra kampus. Seperti Muhammad Mustafied, alumni pondok pesantren Ali Ma’sum Krapyak misalnya memilih aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan kini ia menjabat Ketua PMII Cabang Sleman Yogyakarta. Sementara itu Luk man Hakim, alumni PM Gontor memilih Lembaga Pers Mahasiswa sebagai tempat beraktifitas. Namanya juga pernah tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Balairung.

MESKIPUN

sudah tamat, tidak serta merta santri putus hubungan dengan pesantrennya. Hubungan santri-pesantren umumnya relatif bagus. Di Yogyakarta misalnya, terdapat puluhan ikatan alumni pondok pesantren. Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta (PANJY), Ikatan Keluarga Besar Alumni Al Amin (IKBAL), Ikatan Mahasiswa Gontor-Yogyakarta (Ikmagonta), Ikatan Madrasah Aliyah Ali Maksum (Kamalia) adalah diantaranya.

Kegiatan mereka relatif sama, sepu tar halal bihalal, buka bersama, diskusi, bhakti sosial dan kegiatan yang bertujuan mem-bantu santri-santri yang baru lulus. ”Kegia-tan kami banyak. Tapi yang rutin itu halal bihalal setelah lebaran, buka puasa bersama, dan membantu santri yang baru lulus dan mencari kuliah,” kata Syaifuddin, santri alumni Pondok Modern Al Amin, Pame-kasan Madura. Kegiatan rutin IKBAL itu juga diungkapkan oleh Solihin, mahasiswa Fakultas Hukum UII yang kini tinggal di Pondok Pesantren (mahasiswa) UII. ”Ke-giatan Kamalia

Menurut Shidqy Alfain, santri alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Jawa Timur, fungsi utama organisasi alumni itu untuk memberikan masukan buat pondok. Masukan itu bisa berupa ide-ide segar dari alumni. ”Karena masih mahasiswa yang belum punya penghasilan sendiri, maka sumbangan pemikiran menjadi kado kami waktu Harlah Nurul Jadid yang ke-52,” kisah Shidqy. Sayangnya, masih menurut Shidqy, ide-ide itu tidak dihiraukan oleh pengasuh pondok pesantren.

Kontribusi pemikiran alumni banyak terlewatkan, karena cara penyampaian kurang berkenan di hati sang kiai, juga pengasuh pondok pesantren merasa apa yang diembannya itu sudah teruji dan berkat pengalaman selama puluhan tahun. Yang lain juga, karena faktor siapa yang me-nyampaikan.

”Kami dianggap sebelah mata. Yang dilihat itu alumni-alumni yang sudah berhasil, kaya, berpengaruh saja,” ungkap Shidqy, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ”Yang dibicarakan malah bagaimana sarana fisik (semisal gedungred ) ini bisa dibangun. Ujung-ujungnya minta bantuan dana,” tambahnya kecewa: mengapa masukan berupa materi jauh diutamakan daripada ide atau pemikiran. Anggapan senada juga disampaikan Roby waktu menjadi ketua Ikmagonta, awal 2000 lalu. ”Jangankan kami yang dianggap ’anak

Kumpulan-kumpulan alumni pesantren ternyata memiliki potensi yang bagus untuk menjadi sarana komunikasi internal santri berkaitan dengan pengembangan pesan tren. Namun, seperti PANJY, IKBAL, dan Ikmagonta hanya seperti peguyuban biasa, biasanya sebagai ajang romantisme. ”Ikatan alumni kami, tidak lebih sekedar forum kangen-kangenan saja, jarang sekali kegiatan-kegiatan diskusi,” tukas Bustanul Arifin, alumni Pesantren Nurul Jadid.

Berdasarkan liputan khusus HIMMAH , ternyata dari sekian banyak or ganisasi alumnus pesantren tersebut tidak terdapat koordinasi. Padahal, koordinasi bagaimana-pun diperlukan untuk mensin ergikan gerakan alumnus pesantren, baik yang aktif dalam organisasi ikatan alumni maupun yang aktif di luar organisasi terse but. Sehingga harapan sebagian masyarakat akan sinergitas gerakan santri, nampaknya belum segera terwujud. Hal demikian itu dibenarkan oleh Syaefudin, Solihin, Roby, maupun Atfas Ferry yang semuanya dari organisasi alumni pondok yang berbeda.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [LAPORAN KHUSUS]
seminar. Sinergitas gerakan santri
Fiek / h mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Keikhlasan di abad 21

Manusia modern seringkali kesusahan memahami makna keikhlasan. Bagaimana santri memahami dan memaknai sikap luhur itu?

peninggalan pendidikan Indonesia.

PAK Iskak sampai saat ini masih mengabdi di Pondok Pesantren Tebu ireng Jombang. Meski masyarakat pondok memanggilnya dengan sebutan kiai, toh dia merasa masih jadi santri yang mendalami ilmu agama. ”Bedanya saya santri senior dan belajar dengan cara mengajar,” ungkap Pak Iskak merendah.

Kamar berukuran 3 x 4 meter dimana ia tinggal dipenuhi dengan rak bermuatan puluhan bahkan ratusan kitab-kitab kuning. Selain mengajar di pondok, Pak Iskak dikenal masyarakat sekitar karena banyak diundang untuk berceramah di forumforum pe-ngajian, yasinan, dan arisan. Lelaki asal Jambon Sidoarjo ini dikenal baik masyarakat dimana ia lahir karena maraknya majlis taklim jama’ahnya mencapai 750-an yang turut ia kelola bersama rekan-rekannya.

Aktifitas penuh pengabdian dalam kesehariannya dijalani dengan penuh keikhlasan. Biaya perjalanan pulang-pergi Jombang-Sidoarjo (55 km) ditanggung sendiri. Bahkan, ”Saya tidak digaji oleh majelis taklim, sedangkan gaji mengajar di pondok tidak cukup kalau untuk dibelikan rokok Dji Sam Soe,” ungkapnya kepada HIMMAH.

Gambaran pengabdian Pak Iskak baik di pesantren maupun masyarakat mudah ditemui di seluruh pondok pesantren. A. Jamaluddin Nawawi, santri Lirboyo Kediri dan H. Nasruddin, Lc dari Gontor adalah contohnya. Nuansa religius yang diciptakan dalam kultur pesantren nampaknya berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter santri.

Jika manusia abad 21 menyaksikan

pengabdian santri apa yang terbayang? Di abad mutakhir ini, segalanya diukur dengan materi. Bekerja diukur dengan besarnya gaji, prestise orang dilihat dari penampilan kasat mata, dan pada saat itulah orang tidak habis pikir dengan apa yang disebut ketulusan, keikhlasan, sepi ing pamrih

Kisah keikhlasan, ketulusan, dan motivasi hidup seorang santri tertanam selalu dalam benaknya. Pengabdian pada kiai dan keluarganya merupakan bagian terpenting dalam menuntut ilmu di pesantren. Dalam Kitab Ta’limul Muta’allim santri diajarkan menghormati anak dan keluarga ustad sama dengan menghormati ustadnya. Dalam pesantren ilmu sangat dihargai sampai pada orang yang diwasilahi, yakni kiai.

Secara historis kelahiran pesantren pararel dengan lahirnya perjuangan masyarakat lokal. Pesantren berada dalam lingkup masyarakat feodal, dimana santri dan kiai memiliki hubungan emosional yang tak terhitung dalam hitungan material. Para kiai biasanya masyarakat pendatang yang membuka lahan pertanian dan turut berinteraksi dengan masyarakat sekitar untuk mengajarkan ilmu agama. Kehidupan pesantren waktu itu bagian dari kekuatan lokal untuk mendongkrak moralitas masyarakat dan melawan kolonialisme. Relasi keluarga pesantren dengan masyarakat cukup erat, sebab kiai menjadi panutan bagi kebijakan masyarakat.

Denys Lombard menyatakan masuknya Islam di Indonesia dapat diterima dengan baik dalam masyarakat karena interaksi dan pola penyebaran agama yang afirmatif terhadap tipologi masyarakat Hindia Belanda. Sehingga kemunculan Wali Songo di Jawa Dwipa dapat dijadikan bukti ekspansi Islam sangat besar. Pesantren secara historis adalah akulturasi tradisi lokal dengan Islam, sehingga pada pe r kembangannya tradisi feodal dalam pesantren sampai sekarang masih eksis. Pada aspek pendidikan, pesantren mengandung makna indigenoes, keaslian pendidikan Indonesia. Ia saksi sejarah,

Ikhlas Tanda Barakah

Barakah dalam kamus bahasa arab berarti ziyadat al khair, tambahan kebaikan. Barakah hanya didapat dengan ketulusan doa. Dalam hal ini kiai hanya sebagai wasilah untuk mendoakan santrinya yang ikhlas mencari ilmu, membersihkan batin.

Banyak cerita santri yang mengabdi pada keluarga kiai sebagai khadam (istilah pembantu dalam tradisi pesantren) yang berbuah keberhasilan. Pengabdian biasanya diperuntukkan bagi santri-santri dari keluarga tidak mampu untuk membiayai pendidikan dan kehidupan primer pemondokan.

Khadam bekerja membantu kesibukan rumah tangga, menyiapkan hidangan para tamu, membersihkan rumah, sampai pada membantu pertanian bagi kiai yang memiliki lahan pertanian atau perkebunan.

Barakah tidak bisa dilihat pada masa mondok. Ia baru bisa dirasakan setelah pulang ke masyarakat. ”Barakah itu dapat dirasakan oleh santri setelah ia pulang, apakah bermanfaat atau tidak,” tutur Miftakhussurur, alumni santri Sido Giri Pasuruan. Masih menurutnya, pintar di pesantren tidak menjamin bisa diamalkan dalam perbuatan pribadinya dan dikem-bangkan pada masyarakat. ”Yang terpenting dalam pesantren adalah akhlak,” tambah-nya.

Membangun akhlak yang baik ternyata menjadi kata kunci dalam pesantren, akhlak pada Allah, yang paling Maha, dan akhlak pada sesama manusia (hablumminallah wa hablumminannas). Ilmu agama seperti fiqh dan tasawuf merupakan jalan untuk mendapatkan kenikmatan iman untuk menjalankan dua fungsi manusia di atas.

Andaikan ruh pesantren itu tertanam dalam sanubari para pemimpin bangsa ini, rame ing pamrih sepi ing gawe tidak akan terjadi. Dengan perbaikan struktur politik pemerintahan dan moralitas pemimpin bangsa, niscaya korupsi dan kedholiman yang merajalela itu dapat diatasi.

0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]
. . . . . . . . . . . . .
Kiai Iskak. Menata hati
Fiek / h mmah . . . . . . . . . . . . .

a. Musta’in syafe’i: “Kiai Tidak Punya Konsep”

terjun ke masyarakat?

Kisi-kisi untuk pengabdian masyarakat itu diberikan lebih banyak dibanding yang belajar di luar pondok. Karena adanya pelatihan kemandirian, moralitas yang tinggi, dan sebagainya. Tapi itu kan belum matang. Baru dasarannya saja. Kalau santri pada zaman dulu kan tidak sekedar dasar, tapi sampai kyai merumahtanggakan santri-santrinya. Sekarang siapa santri yang mau begitu? Wong masyarakat saja masih menggunakan standar formal.

Tapi kondisi masyarakat kini justru membutuhkan peran santri seperti dulu?

Kalau tuntutan itu pasti ada. Tapi bagi siapa? Salah satunya orang pesantren murni yang non akademik. Tapi itu kecil sekali. Kedua, akademisi yang berbasis santri. Itu baru. Tamatan pesantren lalu kuliah S2, S3 di Mesir, Inggris, dll. Itu yang bisa menerjemahkan civil society. Santri dengan definisi seperti inilah yang punya peranan besar terhadap pengembangan masyarakat.

Dulu santri banyak berperan dalam masyarakat, tapi sekarang anggapan santri berada di ”menara gading” pesantren kian santer. Sementara banyak kalangan mengharap santri jadi agen perubahan sosial. Komentar Anda?

Masyarakat masih memandang santri secara grounded: santri yang gede-gede, sukses di masyarakat, dan yang banyak kiprahnya. Tapi perubahan masyarakat sendiri begitu cepat dan mempengaruhi. Dulu pesantren belum banyak saingan. Apalagi tatanan masyarakat Indonesia agraris, dimana paling cocok dipimpin oleh leader yang tradisional, yang nyantreni. Lantas, masyarakat bilang peran santri itu dulu banyak terhadap masyarakat.

Sekarang apa ada pesantren yang mendesain kurikulumnya sendiri? Sehingga santri sekarang tidak sama dengan yang dulu. Wujud santri sekarang hasil desain negara, pesantren hanya sebatas pada muatan tambahan. Jadi susah menarik santri untuk menjadi agen civil society

Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap civil Islam?

Apa yang saya uraikan di atas adalah kritik definisi santri. Kalau ada akademisi S1, S2, S3 yang dulunya santri, masyarakat sulit mengatakan itu produk pesantren. Sarjana agama saja sulit dikatakan santri, IAIN misalnya. Jadi melihat pendidikan sekarang dengan dulu itu ya beda. Kalau dulu seorang santri masih terfokus pada labelnya di pesantren. Yo mesti wae, santri dulu diadu dengan santri sekarang yang ada di pondok bukan kelasnya. Saya ingin mengoreksi itu berkali-kali.

Menurut Anda, idealnya santri itu belajar saja dalam pondok atau juga

Karena ini garapan besar, maka saya tidak menitikberatkan pada personal tapi kolektif. Hari ini peran mereka rata-rata individual. Dulu keterpanggilan untuk terlibat (aktif dalam masyarakat) itu tinggi, tapi kan juga tergantung kondisi masing-masing. Yang menjadi kyai di desa, berkiprah di masyarakat menurut lingkupnya masing-masing. Yang kayak gini itu banyak. Hampir semua tamatan pesantren semua seperti itu. Jarang yang pasif. Tapi itu kecil dalam artian ada segmen lain seperti di tingkat yang lebih atas. Saya sebut saja pesaing di bidang akademik itu sekarang ada. Dulu tidak ada kyai yang jadi dosen. Sekarang mengukur strata keilmuan itu sudah formalistik. Sehingga santri yang membangun komunitasnya sendiri itu tak terhitung. Sepertinya kalah dengan kiprah Masdar Farid, misalnya. Kalau tolak ukurnya Masdar –dalam hal menasionalnya, tetapi apakah model pengembangan masyarakat oleh Masdar ini definitif? Seperti yang manggon (tinggal-red) di daerah-daerah itu. Ini kan bias jadinya.

Seperti Anda uraikan di atas, gerakan kultural santri masih bersifat individual. Jalan untuk mensinergiskan gerakan?

Saya tidak menemukan jalan untuk itu. Taruhlah, kiai itu disatukan visinya. Itu saja tidak bisa. Lantas, yang jadi perekat kiai itu siapa? Susah, karena sistem per-kiai-an di Indonesia individualistis dan berjalan non struktural. Sehingga tidak punya tahapan-tahapan untuk menjadi kiai. Akhirnya ia menjadi kerajaan kerajaan kecil dan kalau digabung, justru akan menjadi risih karena akan mengganggu pamor kekiai-annya sendiri.

Berangkat dari kondisi santri dalam konteks masyarakat Indonesia, bagaimana merekayasa umat menuju masyarakat madani?

Saya kira sulit. Pertama, kalau bicara keagamaan, sampai detik ini kiai masih mendominasi imam agama. Kiai masih diposisikan sebagai pemuka agama. Sementara itu, kiai sendiri nampaknya tidak mempunyai keahlian untuk itu–rekayasa sosial. Bagaimana mendesain atau menggagas masyarakat ke depan, itu kiai tidak punya konsep. Peran kiai sejak tahun 70-an itu sudah marginal. Jadi sudah terfokus pada imam ibadah. Apalagi santrinya.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [LAPORAN KHUSUS]
Otoritas kiai terhadap santri-santrinya masih besar. Berbicara seputar peran santri dalam pengembangan masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari otoritas itu. Berikut petikan wawancara A. Musta’in Syafi’ie, Dekan Fakultas Dakwah Institut Kiai Hasyim Asy’ari (IKAHA) Jombang dengan Nurfajri BN, Taufiek, dan Wakid dari HIMMAH
. . . . . . . . . . . . . . . . Fiek h I mmah

Hasil Polling Kepribadian Santri Kini, Banyak Berubah

menggunakan metode kuota sampling, rencananya HIMMAH menyebar 150 (terealisir 98) angket kuisioner kepada santri-santri Tebuireng (Jombang), Lirboyo (Kediri), dan Gontor (Ponorogo). Ketiga pondok pesantren itu masing-masing merepresentasikan corak pesantren campuran, tradisional (sala fiyah), dan modern (khalafiyah). Namun dalam pelaksanaan (28 – 30/9), ketua bidang akademik santri Lirboyo tidak memberikan izin penyebaran polling tersebut. ”Kalau tidak diizinkan ya sudah. Titik,” kata Jamaluddin–salah seorang pengurus–menirukan alasan pelarangan itu. Sementara itu baik di Tebuireng maupun Gontor, selain bersikap terbuka juga membantu penyebaran angket kuisioner dan apa-apa yang dibutuhkan oleh tamu peneliti. Sikap itu ternyata sejalan dengan hasil temuan polling kepribadian santri.

DENGAN

Jika dalam era ’70-an santri dianggap ekslusif–menutup diri dari kebenaran selain dari kiainya–kini telah berubah. Sebanyak 74 persen santri menyatakan setuju bahwa tidak semua yang diajarkan oleh kiai/ustadz itu benar, maka santri

berhak mengkritisinya. Tingginya prosentase itu seakan mempertegas adanya pergeseran pemahaman santri akan otoritas kebenaran, utamanya santri yang belajar di pondok dengan corak pendidikan modern dan campuran.

Sejalan dengan perubahan itu, sebanyak 53 persen santri melihat bahwa tidak semua yang diajarkan dalam pesantren (selain Al Qur’an dan Hadits) itu benar dan baik bagi masyarakat. Tapi 33 persen menyatakan sebaliknya. Namun para santri (sebanyak 73 persen) dengan tegas menyatakan bahwa mereka juga tertuntut untuk memperdalami ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka sadar, tanpa pengetahuan itu, maka akan susah menjawab tantangan zaman dimana kehidupan masyarakat semakin kom-pleks.

Ajaran Islam ”dimana saja Anda berada, Anda bertanggung jawab terhadap pengelolaan/pelestariannya” telah mendarah daging dalam sanubari pemuda santri. Sebanyak 97 persen santri menyatakan komitmennya dalam mengembangkan masyarakat dimana ia berada. Dan hanya satu persen yang tidak setuju.

Lantas kapan realisasi komitmen itu? 68 responden memulai komitmennya semenjak ia sadar bahwa lingkungan sekitarnya itu merupakan tanggung jawabnya. Dengan kata lain, proses menuntut ilmu tidak melarang santri untuk terjun dan berbaur dengan masyarakat serta turut mewarnainya. Sedangkan 26 persen lainnya berpikiran pengabdian masyarakat itu baru bisa dijalankan setelah tamat/lulus belajar.

Berdasarkan pengakuan responden, sampai saat ini santri percaya diri mampu memberikan pendidikan agama bagi anak-anak, mengisi walimahan, yasinan, pengajian dan pertemuan-pertemuan warga lainnya. Namun dalam sisi politik praktis, santri enggan (lima persen) terjun langsung dalam demonstrasi, misalnya. Lantas santri mana yang turun jalan berdemonstrasi menjelang jatuhnya Presiden Abdurrahman kemarin?

Itulah pelebaran makna santri, dari mereka yang mendalami agama di pondok hingga siapa saja yang mengenakan atribut santri.

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [LAPORAN KHUSUS]
Wakid Qomarudin, Nurfajri BN, Taufiek
. . . . . . . . . . . . . .

ada uang, jabatan Pun datang

politics.

KKN belum tuntas, ekonomi belum sehat, muncul persoalan baru di daerah menyangkut money politics. Sudah sakit, dihajar pula.

REFORMASI setengah hati. Ungkapan itu sangat sepadan dengan buramnya perilaku elite politik daerah. Bisa dibayangkan hanya selang dua tahun setelah palu pengesahan UU No 22 dan UU No 25 1999 tentang otonomi daerah diketuk, praktek menyimpang sudah banyak terjadi. Baru mulai bersih-bersih, menata daerah untuk dikembangkan, penyakit lama sudah muncul, semacam bahaya laten warisan Orde Baru. Dialah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)

Pelan tapi pasti, gejala money politics marak terjadi di tingkat lokal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Fenomena ini sangat mengejutkan, politik uang menjalar sampai tingkat kabupaten dalam pemilihan. Untuk menjadi bupati calon harus menyiapkan ratusan juta, bahkan rekornya sampai hitungan milyar untuk mencari dukungan politik. Fenomena ini muncul pasca 1999 di kala otonomi daerah dihembuskan, tercatat meriahnya pemilihan yang diwarnai dengan money

Menurut pemantauan Parliament Wacth Indonesia DIY (ParWI), praktik politik uang adalah kecenderungan umum yang terjadi di mana-mana. Isu money politics di Yogyakarta, terjadi baik di tingkat I maupun di tingkat II dalam Pilkada Sleman (2000), Kotamadya (2001). Pemilihan Wakil Gubernur Jawa Tengah pun tak luput dari aroma politik uang. Begitu juga di Kabu paten Banjarnegara (2001), Medan, Maka sar, dan Bengkulu. Laporan kasus money politics pun bertambah panjang. Menurut data Indonesian Corruption Wacth (ICW) ternyata terjadi juga di Depok, Jakarta dan tiga daerah lain yaitu Padang, Surabaya, dan Bali (2000). Ternyata money politics banyak melibatkan dewan sebagai lembaga politik yang memilki posisi stratagis itu.

Demonstrasi bermunculan silih ber ganti, tidak jarang aksi-aksi itu bayaran dari calon. Proses pilkada terjadi timpang, di satu sisi legislatif memiliki peran vital dalam otonomi daerah, di sisi lain money politics terjadi di bawah tangan mereka. Seakan DPRD tidak berfungsi sebagai representasi keinginan masyarakat. Di daerah banyak peluang KKN yang dimanfaatkan, mengingat sistem di dewan sendiri yang memberikan celah terjadinya transaksi suara. ”Tatib DPRD itu memberikan peluang KKN,” kata Musyaffa Maimun, Sekjen

PARWI.

Tenyata otonomi daerah memberikan harapan sekaligus ancaman bagi daerah, lemahnya institusi politik dan institusi pemerintahan memberi angin segar bagi tindakan money politics dalam proses legislatif. Sistem Pilkada yang diwakili suara DPRD sebagai representasi masyarakat pemilih, sangat rawan dengan penyim-pangan.

Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, politik uang atau dalam skala yang lebih besar seperti KKN, sudah lama terjadi, begitu pula dengan sejarah bangsa manapun. Ia selalu mengalami perubahan dari rezim ke rezim mengikuti arah konstruk demokrasi. Anehnya, Indonesia mengalami kemunduran sejarah, perubahan ke bela-kang. Setidaknya data Transparency International 2001 menunjukkan bahwa Indonesia telah menduduki peringkat keempat setelah Uganda dalam korupsi. Peringkat juara yang tidak membanggakan.

Akutnya money politics di Indonesia tidak terlepas dari warisan feodalisme rezim Soeharto. Masyarakat dibutakan dengan performa elite yang sok merakyat. Banyak yang dilenakan, di antaranya persoalan korupsi yang seakan-akan bukan kejahatan. ”Orang masih belum berpikir bahwa money politics itu sebuah kejahatan,” tegas Musyaffa.

Tidak Ada Political Will Parlemen

”Bisa dibayangkan bagaimana akan sadar, kalau prosesnya (jabatan dewanred ) saja nggak benar,” keluh Manto, warga Yogyakarta menyoroti wakilnya di DPRD. Peluang ada di mana-mana, selain politik uang, KKN perlahan tapi pasti mulai menggerogoti lembaga perwakilan itu. Pasalnya, money politics dalam Pilkada intensitasnya lebih tinggi terjadi di DPRD, gedung itulah menjadi tempat transaksi suara.

Cornelis Lay, pengamat politik dari UGM dalam salah satu tulisannya pernah menya-takan bahwa pengalihan kekuasaan secara besar-besaran dari pusat ke daerah dalam situasi masih kentalnya budaya KKN bisa berarti terjadinya pengalihan patologi elite pusat ke daerah. Potensi money politics menurutnya tumbuh subur dalam masyarakat tribe (suku) dan sistem extended

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [NASIONAL]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pilkada di Daerah. Demonstrasi bermunculan silih berganti
Sheila /

family (keluarga besar). Tradisi money politics berkembang dalam tradisi sistem feodal. Ditambah lagi determinasi etika politik elite yang mempengaruhi proses politik daerah. Urgensitas pemberdayaan dewan menjadi agenda utama, karena memang faktor pendidikan anggota dewan juga masih minim. Pemberdayaan jalan, tetapi KKN pun juga jalan. Akhirnya, lagilagi rakyat terkalahkan. Karena ternyata pendi-dikan tidak menjamin etika politik, khu-susnya mengenai uang haram itu.

Ternyata masalah bukan hanya timbul dari sistem pemerintahan yang desentralistik atau tingkat pendidikan yang minim. Para pengamat menyatakan perubahan etika politik elite masih jauh, karena budaya dan kesadaran politik masih rendah.

Pada tanggal 27 Agustus 2001

Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menegaskan perlunya dibuat aturan atau perundang-undangan mengenai money politics, karena money politics telah menjalar dalam masyarakat. Hal ini senada dengan pernyataan J. Kristiadi, peneliti CSIS Jakarta tentang perlunya Code of Conduct. Karena ia tidak mudah dijerat dengan perundang-undangan seperti Australia. Kode etik ini menurut

J. Kristiadi mengatur transparansi uang yang diperoleh anggota parlemen wajib diumumkan ke publik melalui media massa. ”Kita tidak punya itu ( code of conduct-red) sehingga kekuasaan parlemen membuat orang bisa apa saja,” paparnya. Jangan lupa, kontrol masyarakat sangat minim, para LSM hanya bisa melakukan public awarness (penyadaran masyarakat), sesekali melakukan pressure, serta menjadi fungsi mediasi antara masya-rakat dan dewan. Namun mereka tidak bisa merubah kebijakan atau penuntasan KKN.

Bagaikan belut, bisa dilihat tapi licin ditangkap. Begitu juga KKN. Rentetan kasus money politics di daerah hampir semua kasus tidak dapat dimejahijaukan karena sulitnya mendapatkan bukti. ”Kita sulit membuktikan terjadinya money politics , (karena- red ) orang melihat bukti bukan proses,” papar Musyaffa. Sulitnya menjerat pelaku money politics di tingkat pusat dan daerah karena minimnya kontrol rakyat dan dewan tidak mewakili keinginan kons-tituennya. Ditambah lagi tidak adanya transparansi dewan mengenai pendapatan per bulannya, sehingga menurut Musyaffa banyak anggota dewan kaya mendadak.

Gagasan pemilu langsung sudah lama

didengungkan. Dr. Andi Alfian Malla rangeng pernah menyatakan pemilih an langsung bagi kepala daerah bisa memperkecil intensitas money politics yang sudah akut ini. Pemilu langsung dapat dilakukan disaat kentalnya politik uang dan itu tidak bertentangan dengan UU No 22 1999 tentang otonomi daerah. Hangatnya wacana otonomi daerah tahun 1999 mengenai kesiapan daerah meliputi legislatif dan eksekutif juga berkembang wacana pemilu distrik. Gagasan Pemilu distrik bermula dari kekhawatiran lemahnya kader partai yang memiliki kemampuan. Karena sangat sulit mengharapkan kader partai yang kapabel untuk menjalankan otonomi daerah dengan tugas yang berat. Persoalan kedua menurut Prof. Dr. Mahfud, terhambatnya d e mo kratisasi lokal. Ia menjelaskan bahwa pemilu dengan sistem proporsional dalam budaya politik masyarakat yang rendah, justru akan menghambat proses demokrasi daerah. Karena pemilih bukan melihat sosok wakilnya di daerah, tapi terpusat di Jakarta. Hal ini menurut Mahfud menyebabkan daerah tidak maju dan ikutikutan KKN.

Walaupun upaya pembenahan sistemik dilakukan tetapi dengan budaya KKN yang

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [NASIONAL]
. . . . . . . . . . . . . .

Bila si Kecil Lebih unggul

SEAKAN bunyi itu menyambut siapa saja yang memasuki kawasan industri kecil tersebut. ”Tek-tek-tek,” suara besi ditempa pengrajin beragam metal (logam) sahutmenyahut sepanjang hari meramaikan dusun Sekarsuli, Berbah, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Bagi warga Sekarsuli, suara yang menghentak telinga itu begitu akrab menemaninya di sela-sela kesibukan mencari nafkah demi memutar roda kehidupan.

Berbeda dengan Kotagede. Meski sama-sama lokusnya ratusan industri kecil, tapi nyaris tak terdengar kegaduhan proses pembuatan kerajinan perak itu. Suasana kota terlihat lebih rapi karena para pengrajin ini telah memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Walau demikian, masing-masing industri di dua tempat ini masih tetap eksis di tengah gelombang ekonomi yang tidak bisa diduga pasang surutnya. Hanya adaptasi dan keluwesan itulah kunci rahasia yang bisa membuat mereka tetap survive

Mubyarto dalam bukunya Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian

Indonesia menyatakan, dalam kunjungan lapangan ke desa-desa di Lombok Tengah dan Lombok Timur, banyak peserta terkejut, ternyata ekonomi rakyat sangat luwes dalam menyikapi krisis ekonomi. Mereka tak berteriak apalagi memprotes, tapi hanya menyesuaikan diri.

Fenomena ini juga senada dengan Analisis ekonomi model akuarium ala Bambang Sudibyo seperti yang pernah ditulis Kompas. ”Perekonomian Indonesia itu seperti akuarium yang rusak kom-po nennya. Airnya keruh, bocor disana-sini dan kadar oksigennya rendah. Hal ini membuat ikan yang besar megap-megap, tapi ikan kecil-kecil itu tetap bisa hidup dan relatif sehat,” katanya.

Kendala umum yang dihadapi dan sering menjadi bumerang penyebab macetnya kelangsungan dunia usaha bisnis adalah masalah pendanaan. Namun yang menghe-rankan, masalah yang dianggap riskan dan sensitif ini tidak dialami oleh para pengu-saha kecil. Penduduk dusun Sekarsuli, adalah bukti nyata. Secara turun temurun mereka lebih dikenal sebagai

pengrajin beragam metal.

Sulastri, salah satu pengrajin kompor mengaku tidak mengalami kesulitan dalam hal pendanaan. ”Para pengrajin di sini biasanya menggunakan modal sendiri, baik dari menjual tanah atau dana tabungan,” jawab Sulastri saat ditemui di kiosnya. Bahkan, umumnya mereka sanggup menyediakan modal sendiri tanpa meminjam.

Untuk memulai usaha kerajinan, penduduk Sukarsuli merasa tidak kesulitan mendapatkan modal usaha. Modal itu biasanya diperoleh dari hasil penjualan kekayaan pribadi. ”Biasanya kami menjual sawah untuk mendapatkan modal usaha. Kami tidak perlu meminjam uang ke bank karena hasil penjualan sawah itu sudah cukup untuk memulai usaha ini,” tutur Sulastri kepada HIMMAH , awal Oktober 2001. Ketika ditanya, apakah dia tidak menyayangkan kalau tanahnya dijual? Dengan enteng ia menjawab,”Wah orang sini tanahnya banyak, jadi nggak masalah.”

Meskipun demikian, usaha yang sudah dirintis selama 15 tahun ini belum menun-

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [EKONOMI]
Industri kecil di era krisis ternyata lebih kuat bertahan dibanding industri besar. Ada yang terus maju, namun ada yang tetap jalan di tempat.
. . . . . . . . . . . . . . . W Dani K / h mmah

jukkan perkembangan yang berarti. Bahkan terdapat kekhawatiran seiring dengan menurunnya omset penghasilan. Kondisi ini dirasakan oleh pengrajin ragam metal utamanya semenjak bahan yang terbuat dari plastik membanjiri pasaran mereka. Selain itu, nampaknya warga Sekarsuli belum mampu mengidentifikasi ancaman industri yang siap melindas kerajinan nenek moyang mereka.

Masalahnya belum ada suatu organisasi yang mendukung (koperasi misalnya-red). Selama ini semua kegiatan dari produksi, distribusi, promosi, sampai penjualannya masih dilakukan sendiri oleh produsen. Biasanya pengrajin beragam metal itu menjual hasil produksinya ke Pasar Bering harjo (pasar di Yogyakarta-red). Sesekali dapat order pesanan. Padahal jenis kerajinan penduduk Sukarsuli itu potensial untuk dikembangkan menjadi komoditi ekspor.

”Kalau disini belum ada koperasi, kalau penyuluhan itu dulu pernah ada, tapi sekarang tidak ada lagi,” ungkap Sulastri memendam tanya. Ketika dikonfirmasikan lebih lanjut pada Dierman Padianto, Kepala Dusun Sekarsuli ia mengungkapkan sebenarnya program pelatihan dan pengembangan ini telah berkali-kali dilakukan. ”Saya belum tahu mengapa selama ini terjadi salah informasi atau ada semacam keeng-ganan dari penduduk untuk bertemu dengan kita,” ungkapnya ketika ditemui HIMMAH di rumahnya. ”Dulu pernah dibentuk sebuah koperasi. Kalau nggak salah koperasi itu bernama Kopinka, tapi saya lupa apa kepanjangannya karena terus terang itu sudah lama sekali, saya masih kecil dan tentu saja belum menjabat kadus disini,” kenangnya.

Koperasi ini memperoleh modal dari Deperindag dan berjalan beberapa waktu, akhirnya ngadat . Beberapa hambatan terjadi, yaitu tidak ada keseragaman

(standar) terhadap kualitas produk yang dihasilkan masing-masing pengrajin kompor. Kualitas ini ditentukan dari kahalusan dan kerapian produk. Persoalan lain, adanya kecemburuan antar pengrajin. Kecemburuan itu berasal dari perbedaan kualitas yang dihasilkan para pengrajin. Bagi pengrajin yang bisa menghasilkan kualitas bagus tidak mau mendapat penghargaan yang sama. Akhirnya koperasi yang berfungsi untuk memperlancar arus transaksi produk kompor dan lain-lainnya itu, hanya dirasa perlu pada saat mereka membutuhkan bahan baku. ”Mereka membeli bahan baku di koperasi tapi jualnya tetap sendiri-sendiri, kami hanya berusaha untuk membina dan tentu saja tidak bisa menekan,” keluh Dirman seakan kehilangan cara.

Untuk program satu tahun kedepan, Kadus Sekarsuli berencana untuk menumbuhkan lagi kesadaran masyarakat tentang pentingnya kerja kelompok dalam unit koperasi. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Shamsu Hadi Ketua Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogya-karta (KP3Y). Menurut Shamsu, pertama kali yang perlu ditanamkan pada masyarakat itu bukanlah kesadaran, tapi lebih karena dorongan untuk pemenuhan kebutuhan. ”Saat ini usaha mereka lancar karena tidak mengalami kesulitan dalam penjualan maupun pemasaran, tapi nanti kalau produk dari plastik atau karet maju, mereka akan tersaingi,” kata Shamsu mengingatkan. Pengrajin-pengrajin ini kebanyakan hanya nrimo saja dengan keadaannya sekarang. Mereka seolah tidak ada keinginan untuk melakukan gerakan perluasan usaha, sehingga perkembangan yang bisa dicapai hanya itu-itu saja. Pola pikir yang masih tradisional ini seakan begitu kuat tertanam hingga kini. Kembali pada greget para pengrajin kompor, koperasi hanya fasilitator

yang membantu kebutuhan barang mentah atau modal. terletak pada jiwa enterpreunership pengrajin.

Cermin Pengelolaan yang Baik

Berbeda dengan para pengrajin kompor, para pengrajin perak yang ada di Kotagede selangkah lebih maju. Para pengrajin ini telah memiliki koperasi yang cukup representatif . Menurut Shamsu, Pendirian KP3Y sendiri diawali oleh para pengrajin perak yang kesulitan dalam hal menyediakan bahan bakunya. ”Maklum, waktu itu negara kita baru saja selesai perang melawan Belanda. Jadi peleburan perak itu masih ditangani oleh pemerintah,” kenangnya. Kemudian para pengrajin bersatu untuk mendapatkan bahan baku perak. Hal inilah yang menjadi embrio berdirinya perak di Kotagede.

Usaha KP3Y ini meliputi kegiatan penga-daan bahan baku perak, promosi dan penjualan hasil produksi, pemasaran dan bantuan cara produksi dan pelatihanpelatihan. Semua ini mendapatkan dana dari pemerintah. Shamsu juga menuturkan kalau KP3Y pernah mendapat kesempatan untuk ikut pameran di Sarinah, yang berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta. ”Untuk program latihan, jika Deperindag mengadakan pelatihan kita sering diikutkan. Misalnya latihan pencampuran perak, mendesain, dan latihan pola manajemen,” tambahnya lagi.

Selain fasilitas, syarat menjadi anggota koperasi sangat mudah, wajar para pengrajin itu berbondong-bondong bergabung menjadi anggota koperasi. ”Asal dia punya perusahaan kerajinan perak, mau membayar simpanan pokok Rp10.000, dan mematuhi aturan KP3Y, maka ia sudah bisa jadi anggota koperasi,” papar ketua KP3Y.

Pada awal berdiri koperasi ini hanya beranggotakan 60 orang saja. Para anggota adalah para pengusaha yang membawahi

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [EKONOMI]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Potret industri kecil. Kurang mendapat fasilitas
Ujang / h I mmah
Iwan Nugroho
/ h mmah

ratusan karyawan yang me n jadi tulang punggung keluarganya. ”Sekarang mereka sudah bisa merasakan manfaat jadi anggota koperasi, makanya banyak yang bilang wah enak ya jadi anggota koperasi,” tambahnya.

Manajemen koperasi KP3Y sudah tertata dengan baik. Pembagian kerja menejerial ini terdiri atas beberapa bagian antara lain bagian keuangan bertugas untuk mencari dana, bagian pemasaran melakukan promosi dan penjualan produk, serta bagian produksi mengurus pelatihan dan pertum-buhan produk.

Badai krisis yang tak kunjung reda membuat KP3Y menggunakan jurus baru dalam menyiasati pola penjualan produknya. Untuk penjualan ke luar negeri dilakukan tanpa ekspor. Caranya menyiapkan orang yang bertugas melayani pesanan di luar negeri sehingga tidak memerlukan dokumen ekspor. Hal ini akan menghemat biaya penjualan karena tidak usah membayar bea keluar pabean. ”Orang-orang kita di luar negeri percaya sama kita, karena kalau di-order kita selalu tepat waktu, kualitas dan kuantitasnya juga baik,” paparnya dengan bangga.

HS Silver 800-925 adalah contoh ang-gota KP3Y yang telah berkembang

menjadi perusahaan besar. ”Mulanya hasil kerajinan dijual dengan membuka toko, hingga pada awal tahun 1954 toko ini berubah menjadi perusahaan. Pada tahun 1975 HS Silver membuka cabang di Bali,” cerita Heti salah satu public relations HS silver kepada HIMMAH . Begitu pula dengan pola mana-jemen yang dipakai juga berkembang dari sistem manual ke komputerisasi sejak awal 1991. Kemudian hal ini dapat meningkatkan manajemen mutu perak yang diproduksi. Buntutnya HS Silver berhak menndapatkan Sertifikat ISO 9000 seri B pada bulan maret 1998 dari PT Sucofindo Jakarta.

Saat ini telah mempekerjakan karyawan sebanyak 65 orang untuk bagian administrasi dan 50 orang karyawan operasional (pengrajin). Kemudian HS juga memiliki mitra berjumlah 100 orang yang tersebar di sekitar Kotagede. ”Pola kerja yang kami terapkan biasanya mitra itu mengambil bahan baku dari HS kemudian mereka menerima pesanan sesuai order HS yang dikerjakan dirumah masing-masing,” ung-kap Heti menjelaskan.

Sistem pemasaran perak HS lebih cenderung ke luar negeri, dari total produksi separuh lebih yaitu 60% nya masuk ekspor. Italia adalah tujuan ekspor terbesar, kemu-

dian diikuti Inggris, Siprus, Amerika dan Jerman. Untuk memperkenalkan produknya HS pernah mengikuti pameran di London tahun 1991, Jakarta expo tahun 1996, dan berbagai tempat di Yogyakarta.

Baru-baru ini HS juga mendapat bantuan dana dari Bank Dunia untuk mengembangkan usahanya. Menurut Heti, ini tak lepas dari kemajuan dan kebesaran HS sebagai perusahaan perak. Kebesaran HS tidak datang sendiri, banyak pihak yang telah membantu baik pemerintah lewat koperasi maupun masyarakat Kotagede sendiri. Merekalah saksi sejarah yang melihat pertumbuhan HS. Oleh karena itu HS tidak akan melupakannya. ”HS sering memberikan bantuan dan sumbangan dana kepada masyarakat sekitarnya. Tapi lebih diutamakan untuk masyarakat Kotagede,” kata Heti, warga Kotagede itu.

Jika HS mempunyai obsesi meningkatkan ekspor produknya keseluruh penjuru dunia, menjadi pusat kunjungan wisatawan asing dan domestik, serta menggunakan mesin berat untuk proses produksi, bagaimana halnya dengan pengrajin metal warga Dusun Sekarsuli? Merona gelisah dengan turunnya omset penghasilan, sambil me ngumpat mengapa pemerintah tak kunjung mengerti keadaan mereka. Atau tertidur

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [EKONOMI]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

Ia yang Terlupakan

Ada tiga tokoh yang biasa disebut triumvirat pendiri bangsa ini, selain Soekarno-Hatta, masih ada Sutan Sjahrir. Namun sejarahnya telah banyak terlupakan.

PEMUDA

itu dilahirkan pada tanggal 5

Maret 1909 di Padang Panjang sebagai Bumiputera dari Hoofd Djaksa Mohammad Rasjad gelar Maharaja Sutan. Dialah Sutan Sjahrir.

Sjahrir menimba ilmu di Europese Lagere School dan MULO di Medan. Sekolah Menengahnya dihabiskan di AMS Ban dung, kemudian tahun 1929 berangkat ke negeri Belanda untuk belajar ilmu hukum di Leiden. ”Namun ia sekolah tidak sampai lulus karena suara negerinya begitu kuat memanggil jiwanya,” kata PJ Suwarno, ahli sejarah Universitas Sanata Dharma kepada Dian Dwi Kurniawati dari HIMMAH.

Di Belanda Sjahrir mempersunting permaisuri, Maria Duchateau, gadis jelita warga Belanda, walaupun akhirnya harus putus di tengah jalan tanpa memperoleh satu pun keturunan. Tahun 1951 ia ke Kairo dan menikahi Siti Wahjuni Poppy Saleh SH, putri dr. Saleh Manundiningrat dari Solo. Istri kedua inilah yang menemani hingga kematiannya. Dianugerahi dua anak, Krya Arsjah dan Siti Rabijah Parvati.

Pernikahannya disaksikan Rektor Universitas Al Azhar, orang Mesir yang telah menikahkannya dan secara kebetulan juga orang yang menutup peti mati jenazahnya di Zurich (Swiss) 9 April 1966 pukul 07. 31 waktu setempat.

Sjahrir wafat karena serangan stroke dan hipertensi. Sakitnya diperparah karena kekecewaannya terhadap bangsa ini. Menjadi tahanan politik teman sendiri, rezim presiden Soekarno, dan kekecewaannya terhadap bungkamnya kaum terpelajar terhadap politisasi UUD ’45.

Kembali dan Bergerak

Masa belajar di Belanda ternyata sangat berpengaruh pada pandangan-pandangan hidupnya. Di negeri inilah ia belajar tentang sosialisme, pernah bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transport Internasional, bergaul akrab seperjuangan dengan Hatta

dan aktif di Perhimpunan Indonesia.

Sebagai putra bangsa, Sjahrir terpanggil untuk membangunkan semangat kehidupan rakyat Indonesia yang tersungkur. Me ninggalkan kuliah untuk berjuang demi bangsa. Walaupun ia kagum dengan Negeri Belanda yang makmur dan tentram itu.

Sesampainya di tanah air, ia langsung terjun ke dunia politik. Bersama Hatta mendirikan Partai Nasional Indonesia Pendidikan (PNI-Pendidikan), memperjuangkan cita-cita pendidikan ala Barat. Pada tanggal 31 Desember 1931 di Yogyakarta Sjahrir menjadi ketua PNI Pendidikan, yang merupakan partai kader, berdasarkan azas self-help, agar bila pimpinannya ditangkap, partai tidak mati.

Tahun 1933-1934, selain memimpin PNI Pendidikan, juga memimpin Sentral Persa-tuan Buruh Indonesia (SPBI). Beliau menghendaki tatanan masyarakat Indonesia yang bebas dari pengaruh kapitalisme dan imperialisme. Gerakan sjahrir membuat Belanda tergopoh-gopoh menuduhnya mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang secara langsung membahayakan pijakan kaki kolonialisme Belanda di Indonesia.

Melalui Gouverrnemetns Besluit, 16 November 1934, Sjahrir dan Hatta akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul bersama anggota PNI Pendidikan yang lain. Tak berhenti di situ saja, di tahun 1936 ia diasingkan ke Banda Neira, dan baru dibebaskan menjelang pendudukan Jepang, bulan Maret 1942.

Di jaman pendudukan Jepang, tahun 1942-1943, Sjahrir memimpin pergerakan bawah tanah menentang fasisme Jepang bersama-sama para mahasiswa yang ter-gabung dalam persatuan mahasiswa di Jakarta. Dialah yang menyusun dan memim-pin kelompok perlawanan yang beroperasi di seluruh pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Oktober 1945 Sjahrir tampil sebagai ketua Badan Pekerja Komite

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [RIWAYAT]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ISTIMEWA

Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang mempunyai kekuasaan penuh dalam legislatif. Ketika itulah keluar risalah Sjahrir, Perjuangan Kita, yang menegaskan bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan revolusioner, demokratis, dan bukan kaum nasionalis yang telah membiarkan diri mereka digunakan sebagai kaki tangan fasisme Belanda kolonial dan fasisme militer Dai Nippon.

Sjahrir dengan politik diplomasinya mengusahakan Republik Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional. Pada tanggal 1947 dia menghadiri Inter Relation Asian Conference di New Delhi dimana ia menggariskan politik luar negeri Indonesia bebas aktif.

Pasca aksi militer Belanda I, Sjahrir menembus blokade Belanda untuk berangkat ke Luke Success. Di sana ia mewakili bangsa Indonesia membela perjuangan RI di muka mimbar Dewan Keamanan PBB. Sjahrir mendesak PBB membentuk Komisi Jasa Baik untuk menjadi arbitrer antara Belanda dan RI yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Sjahrir juga menuntut agar pasukan Belanda pada hari itu juga ditarik mundur ke garis demarkasi sesuai Perjanjian Linggarjati.

Usaha Sjahrir tidak sia-sia. Diprakarsai Amerika, komisi jasa baik terbentuk pada tanggal 18 September 1947. Beranggotakan Amerika, Belgia dan Australia. Ditambah dengan kunjungan keliling dunia mencari dukungan ke berbagai negara sebelum dan sesudah peristiwa itu.

Sosialisme Kerakyatan Sjahrir Tiga dasa warsa pasca diktum proklamasi dibacakan, Sjahrir memilih garis perjuangan melalui Partai Sosialis (PARAS) yang ia dirikan pada tanggal 20 November 1945, sesuai dengan ideologi politiknya.

”Sjahrir sebenarnya seorang nasionalis, namun setelah melalui banyak perjalanan kehidupan dan pengalaman politik keyakinannya berubah, menjadi condong ke sosialis,” kata PJ Suwarno.

Pada awal Desember 1945 partai ini bergabung dengan PARSI yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin SH dan menjelma sebagai Partai Sosialis dengan Sjahrir selaku ketua umum pertama.

Seperti yang dijelaskan PJ Suwarno, setelah 18 bulan, timbul perpecahan antara Sjahrir dengan Amir Syarifuddin. Amir condong memihak kubu Soviet, menempuh garis Marxis-Leninis-Stalinis. Dan Sjahrir berpendirian bahwa Partai Sosialis harus menempuh garis sosialisme kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif. Sosialisme Sjahrir seperti

yang diakui Romo Mangun bercorak lokal, Sosialisme Indonesia.

Gagasan Sjahrir tentang sosialisme kerakyatan membuat perpecahan antara kubu Sjahrir dan PKI. Pertentangan kelas (Struggle of Class) dalam sosialisme modern menurut Sjahrir tidak terlalu penting. Dalam opum magnum-nya sjahrir membedakan sosialisme dalam dua tahap perkembangan historis, sosialisme tradi sonal dan modern. Pertentangan kelas terjadi pada masa sosialisme tradisional abad 19 di Eropa, saat kapitalisme muda melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap kaum proletar. Dalam perkembangan historis, pertentangan kelas baginya bukan merupakan fakta historis yang berlaku universal, ia hanya berlaku dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Abad 20, sosialisme modern lahir sebagai antitesa kapitalisme semu. Sosialisme Indoensia yang dicita-citakan Sjahrir menurut Romo Mangun adalah integrasi sosialisme dan jiwa nasionalisme negarawan yang tinggi.

Sejak saat itu sosialis pecah, apalagi setelah Musso kembali dari Moskow, Amir semakin dipengaruhi kaum komunis dan akhirnya PKI menikam RI dari belakang dengan mengadakan pemberontakan di Madiun, September 1948. ”Namun, beruntung sebelum pemberontakan itu terjadi Sjahrir telah keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) bulan Februari 1948, dengan Djohan Syahruzah, dan Subadio Sastrosatomo,” ungkap PJ Suwarno lagi.

Usaha Sjahrir dalam mengembangkan cita-cita sosialisme kerakyatannya tidak terbatas dilakukannya di dalam negeri. Di luar negeri dalam merealisasikan cita-citanya itu, ia menjadi salah satu pendiri Konferensi Sosialis Asia yang dibentuk di Rangoon, Burma. Konferensi Sosialis Asia terdiri dari delapan anggota yaitu partai-partai sosialis dari Indonesia, Malaya, Burma, Jepang, Pakistan, Israel, dan Libanon.

Pada tahun 1961 PSI dibubarkan oleh Presiden Sukarno dan pada tanggal 16 Januari 1962 pukul 04.00 WIB, Sjahrir ditangkap dan ditahan di Mess CPM di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, dan baru tanggal 19 Januari 1962 dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Daha, Kebayoran Baru bersama kawannya yang lain.

Hati Sjahrir benar-benar patah dan hancur, ia kecewa bukan karena ditangkap tapi ia kecewa karena sebagian besar kaum terpelajar Indonesia (1960 keatas) bungkam atas pemerkosaan UUD 1945, bungkam atas kecurangan-kecurangan politik, bungkam atas segala ketidakadilan. ”Hal ini me-ngakibatkan Indonesia kian terpuruk

dan terjerembab kubangan lumpur yang dalam,” keluh Suwarno.

Sjahrir berperan besar dalam mendesak dikumandangannya proklamasi RI, 17 Agustus 1945, ketika Jepang hampir kalah dari Sekutu, Jepang memberikan janji akan memerdekakan Hindia Belanda dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dan Sjahrir tidak mempercayainya.

Memang, sejak pertama kali Jepang menginjakkan kaki di bumi Indonesia, Sjahrir sudah tidak percaya kepada Jepang yang fasis. Maka saat Soekarno, Hatta dan Radjiman berangkat ke Saigon, Vietnam tanggal 9 Agustus 1945, untuk berunding dengan Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara, Marsekal Terauchi, Sjahrir memprovokasi Hatta dengan mengatakan riwayat Jepang sudah berakhir, dan telah tiba waktunya untuk kita membuat situasi serevolusioner mungkin dan menjaga agar kaum nasionalis tidak pecah.

Setelah menerima berita Nagasaki dan Hirosima dibom Sekutu, Sjahrir semakin yakin Jepang telah kalah dan Indonesia harus merdeka, apapun konsekuensinya.

Teks proklamasi yang ditulis Sjahrir sebanyak 300 kata, berisikan tentang pernyataan bahwa rakyat Indonesia tidak mau menjadi inventaris yang diserahkan dari pemerintah kolonial yang satu ke pemerintah kolonial yang lain, petang itu tidak jadi dibacakan. ”Soekarno punya pertimbangan dan pandangan sendiri,” ungkap Pak Warno, panggilan akrab Suwarno. Padahal Lambert Giebels pernah berkata bahwa Soekarno bersalah dalam soal romusha.

Setelah berhasil mendesak kemerdekaan RI, Sjahrir menghilang. Namun melalui penelusuran sejarah diketahui bahwa dia berkeliling pulau Jawa untuk melihat semangat rakyat, yang oleh Suwarno disebut sebagai ”Sebuah semangat setelah ribuan nyawa menjadi tumbal.” Khas seorang elite bangsa yang membumi.

Sjahrir adalah tauladan seorang pemuda visioner dan ideologis. Tak heran jika Mochtar Lubis mewajibkan generasi muda membaca biografi Sjahrir yang ditulis Rudolf Mrazek. Sebab, bangsa ini masih menunggu lahirnya Sjahrir-Sjahrir muda yang visioner, yang memiliki dedikasi besar bagi bangsa dan negara tercinta.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [RIWAYAT]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Mengais sampah Menuai amarah

bersekolah. ”Yang penting, sudah mengirim duit ke Solo untuk pendidikan anak-anak saya,” cukup membuatnya bahagia.

Saat adzan subuh berkumandang, Rajinem mulai mengayunkan langkah. Menjelajah daerah Janti, sekeliling IAIN Sunan Kalijaga hingga daerah UGM. Ia biasanya mengambil barang-barang bekas dari tempat di mana ia bekerja, kemudian menjualnya kembali. Rajinem baru beranjak untuk beristirahat dari aktivitas yang melelahkan itu, sebelum adzan magrib menggema.

Penampilan kumal, kotor, tak teratur, dan cap negatif masyarakat merupakan atribut sosial yang disandang oleh para pemulung. Mereka yang bergumul dengan sampah, tak lagi memahami apa arti sanitasi. Yang terpenting, bagaimana mendapatkan uang untuk hidup hari itu.

SIANG

itu, sang surya memuntahkan kegarangannya, membakar wajah kota, seorang nenek tua tengah sibuk mengaisngais isi tong sampah, dengan memikul sebuah karung berukuran besar di atas tubuh tuanya yang kurus. Jemarinya yang keriput dan gemetar perlahan memilahmilah sampah sisa rumah tangga, mencari benda-benda yang masih bisa dimanfaatkan. Dialah Rajinem (70), wanita yang berasal dari Wonogiri .

Rajinem mengaku baru tiga tahun belakangan menjalani profesi tersebut. Sebelumnya, ia bekerja sebagai tukang sapu di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan pembantu rumah tangga. Selain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, penghasilannya yang tak seberapa juga digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya di Solo. Sedangkan sang suami merantau di Jakarta dan bekerja sebagai buruh, yang penghasilan seadanya pun selalu dikirim untuk menghidupi keluarganya. Satu hal yang cukup aneh dari Rajinem, hingga detik ini ia tidak mengerti di mana dan pada tingkat berapa anak-anaknya

Begitulah realitas kehidupan yang dijalaninya setiap hari. Mengakhiri masa tuanya dengan melangkah tak tentu arah, melepas lelah di mana saja, tidur di kolong jembatan atau emperan toko, dan menjalani profesi sebagai pemulung, tentu tak pernah terlintas dalam impian sebelumnya. ”Setiap orang pasti ingin hidup dalam kemewahan dan serba ada,” tuturnya saat ditemui HIMMAH di tengah perjalanannya. ”Tapi, tak perlulah banyak mimpi. Nanti kalau mati dan belum kesampaian, lantas gima-na?”sambungnya dengan mata berkaca-kaca.

Pandangannya terus menerawang hampa sembari menceritakan impiannya untuk melewati masa senjanya dengan dikeloni anak cucu. Melewati masa senja tanpa harus memulung, tanpa harus bercengkerama dengan sampah yang bau dan lingkungan yang sumpek. Namun cepat-cepat ia menyeka bulir airmata yang menetes sambil tersenyum dan berkata, ”Orang kecil seperti kita hanya boleh nrimo terhadap takdir. Impian jangan terlalu muluk. Yang penting cukup untuk hidup sehari, sudah!”

Bagi orang kecil sepertinya, sikap nrimo dan kejujuran merupakan keyakinan terbaik dalam menyikapi hidup yang tak menentu. Dan selama masih diberi kekuatan, ia akan terus berusaha berjuang menghidupi keluarganya. Meskipun hanya sebagai pemulung. ”Usia setua ini, mana ada perusahaan yang mau memberi lowongan,” katanya.

Rajinem adalah potret kejamnya kehidupan bagi seorang pemulung dengan

0[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [INSANIA]
Fiek / h mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

segala atribut sosial yang dibawanya. Baginya, tidak penting siapa yang menjadi Presiden RI beserta para pejabat pembantu nya. ”Yang penting, kami masih bisa hidup. Siapapun pemimpinnya, terserah. Itu urusan mereka,” tandasnya ringan.

Berburu Sampah

Para pemulung biasanya menjelajah kota hingga masuk ke perkampungan dan mengais bak-bak sampah, mencari bendabenda yang masih layak. Selanjutnya, barang yang telah berhasil dikumpulkan seharian, dikelompokkan menurut jenisnya. Kemudian, tiap kelompok ditimbang dan dijual kiloan. Ada kelompok kertas, plastik, aluminium, besi, stainless, serta kelompok tembaga dan kuningan.

Untuk kelompok kertas dibagi-bagi lagi. Kertas hvs Rp 800/kg, kertas buram Rp 300/kg, kertas koran Rp 500/kg, dan kardus Rp 350/kg. Sedangkan kelompok plastik, yang merupakan jenis sampah terbanyak, laku seharga Rp 1800/kg, sedikit lebih mahal karena bahannya lebih lembut. Untuk kelompok aluminium dan besi Rp 500/kg, jenis stainless Rp 2500/kg, serta yang termahal adalah kelompok tembaga dan kuningan yang laku dijual seharga Rp 8000/kg, namun memperolehnya pun tentu lebih sulit.

Tempat penjualan barang-barang bekas yang telah dikelompokkan biasanya di daerah Lempuyangan dan Cebongan, Yogyakarta. Lempuyangan dikenal sebagai tempat penjualan termahal. Harga tukar yang diberikan biasanya lebih tinggi daripada daerah penjualan lainnya. Misalnya, plastik bisa laku terjual seharga Rp 1800/kg bila dijual di Lempuyangan, sedangkan di daerah lain hanya Rp 700/ kg. Selanjutnya, barang-barang tersebut dikirim ke daerah-daerah tertentu. Khusus untuk barang bekas yang terbuat dari aluminium dan besi dikirim ke Boyolali dan Surabaya.

Pekerjaan langka ini, tentu bukan tanpa hambatan berarti. Bila turun hujan lebat, mereka terpaksa berhenti memulung. Hujan juga menyebabkan sampah menjadi basah dan lepek sehingga menyulitkan mereka. Tentu saja, ini mengurangi pendapatan yang akan mereka terima hari itu.

Ada juga pemulung yang berburu sisa sampah rumahtangga dengan mengguna kan jasa sepeda. Sepeda tersebut dikenai sewa Rp 2000 per hari. Misalnya, Ambon (29), pemulung yang berasal dari Jakarta, menggunakan sepeda dalam berburu barang bekas. Laki-laki yang belum beristri dan belum pernah sedikitpun merasakan duduk di bangku pendidikan ini, sebelum berprofesi sebagai pemulung, bekerja sebagai

tukang semir sepatu. Ia mengaku telah terbiasa mencari hidup dari jerih payah sendiri sejak menginjak usia 8 tahun.

Dibanding pemulung lainnya, Ambon memilih keluar menjelajah lebih awal dari teman-temannya sesama pemulung, yaitu sekitar pukul 04.00 WIB. Ini disengaja agar tidak didahului pembersihan kota oleh para tukang sapu. Karena biasanya para tukang sapu itu ikut-ikutan juga mengumpulkan barang bekas.

Menurut Ambon, dari hasil memulung ini ia bisa mendapatkan Rp 11.000 per hari. ”Jangankan berpikir untuk menabung, uang sebesar itu ‘kan hanya cukup untuk makan dua kali sehari dan membayar sewa se-peda,” cetus Ambon.

Ingin Jadi Konglomerat

Sementara, di satu sudut jalan daerah Lempuyangan, nampak seorang pria tengah sibuk membongkar isi karung hasil mulung-nya hari itu dan menge lompokkannya berdasarkan jenisnya. Dialah Rey Benya-min Saragih, pemuda

terkesan lebih rapi untuk ukuran seorang pemulung. Hingga saat ini, menurut Rey, keluarganya tidak mengetahui keberadaannya dan jenis pekerjaan yang digelutinya.

Rey adalah contoh sosok pemulung dengan pola pikir yang unik. Saat orang lain bermimpi hidup dalam nikmatnya gelima-ngan harta, ia malah lebih memilih me-ninggalkan kemewahan yang ditawarkan keluarganya dan berjejal dalam kesumpekan kota. Dengan satu hasrat, ingin meng-hidupkan impiannya dari hasil jerih payah sendiri. Bergerak dalam kemandirian. Sekedar ingin merasakan nikmatnya menjadi orang kecil. Meski konsekuensinya, ia harus tinggal di mana saja, berteduh di celah-celah kota.

”Kehidupan tidak hanya harus dihiasi dengan kemewahan,”selorohnya. ”Banyak sisi kehidupan lain yang harus diperhatikan.”

Rey yang bercita-cita ingin menjadi konglomerat dari hasil kerja kerasnya ini, mengaku cukup menikmati pekerjaan unik tersebut. Meski hanya berhasil mengumpul-

Berburu sampah. Sering mendapat cap buruk dari masyarakat (31) yang baru dua bulan belakangan bekerja sebagai pe-mulung. Sebelumnya, ia bekerja sebagai staf biro perjalanan dan securiti di Jakarta.

Sebenarnya keluarga Rey tidak setuju jika ia pergi merantau ke Jakarta, hingga akhirnya ke Yogyakarta, mengadu untung. Mereka lebih menginginkan Rey meneruskan usaha keluarga. Dibanding pemulung lainnya, Rey, bungsu dari 9 bersaudara, memang satu-satunya pemulung yang berasal dari keluarga berkecukupan. Sekilas, penampilannya pun

kan uang minimal Rp 5000 sehari, ia menyukainya karena sifatnya santai dan tidak terikat. Juga, disini dia lebih bisa merasakan makna dibalik suka-dukanya hidup sehingga membuatnya lebih menghargai kehidupan pemberian Tuhan ini. ”Aku cukup senang dan menikmati apa yang kujalani saat ini, karena kadang muncul rejeki tak terduga. Itu menunjukkan kebesaran Tuhan. Kehidupan manusia bisa saja berubah dalam hitungan detik. Yang penting, kita punya keyakinan yang kuat kearah situ,” tuturnya.

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] 1 [INSANIA]
Fiek
h I mmah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Beda dengan rekan-rekannya sesama pemulung, Rey yang sudah setahun menjalani kehidupannya sebagai pemulung, masih menempatkan ritualitas agama sebagai bagian utama dari aktivitas hidupnya. Sementara, pemulung lainnya mengaku sudah sulit untuk menjalankan ibadah karena kondisi yang terus-menerus kotor. Pemulung yang sempat mengeyam bangku kuliah jurusan hukum di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ini terbilang lain dari pemulung lainnya. Setiap ada waktu senggang, dimanfaatkannya dengan membaca buku-buku filsafat dan psikologi, yang dibeli dari hasil memulung. Banyak petuah kehidupan mengalir dari uraian kata-katanya. ”Untuk sukses, tidak selamanya perlu kuliah,” tuturnya pada Wawan W Saputro dan Sheila Meidi A dari HIMMAH. ”Menciptakan orang pintar atau manusia penyimpan data dan fakta, itu mudah. Tapi menciptakan orang sukses, tidak mudah. Nah, jalan menuju sukses itulah yang harus dicari,” ungkap Rey, pria asal Pematang Siantar, Sumatera.

Bagi Rey, megipmulung hanya sekedar batu loncatan, pengisi waktu agar tidak ber-gantung pada orang lain. Rencananya, di penghujung Desember nanti, ia akan berhenti memulung dan membuka usaha kecil-kecilan dari modal yang berhasil dikumpulkannya.

Di lingkungan kaum pemulung, Rey ibarat seorang psikiater. Ia sering mengajak sesama pemulung untuk sharing tentang masalah yang mereka hadapi. Mengajak mereka untuk tidak cuma meratapi nasib, tapi berusaha untuk mencari solusinya. Rey selalu mengalirkan falsafah hidup yang diyakininya pada teman-temannya. Ia selalu membimbing mereka untuk mensyukuri nikmat apa adanya, namun sambil berpikir bagaimana membuat terobosan baru dalam

hidup yang dijalani.

Rey adalah sosok pemulung yang cukup intelek. Ini tergambar dari sikap dan katakatanya. Dengar apa komentarnya ketika HIMMAH mencoba memancingnya untuk bicara politik. Ia menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi negara saat ini akibat egoisme para elit politik. ”Indo-nesia tidak memerlukan orang yang pintar ngomong, penuh kebohongan, dan janji muluk. Melainkan pemimpin yang bisa mengerti dan berbaur dengan rakyat bawah,” katanya seraya berharap diberikan tempat penampungan dan latihan kerja bagi para pemulung.

Memang sebaiknya ada organisasi yang mengorganisir pemulung, agar orang melihatnya tanpa ada kesan terlalu merendahkan. Keberadaan mereka merupakan suatu realitas sosial yang harus kita tinjau lebih dalam. Sebab, mereka bukanlah orang-orang yang tidak bisa bekerja, tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan dan belum adanya kesempatan kerja untuk mereka.

Kami Bukan Sampah Masyarakat

Pemulung Dilarang Masuk! Tulisan tegas ini sering terpampang pada jalan masuk gang kecil atau perumahan penduduk. Selama ini, sebagian masyarakat masih memandang mereka sebagai penyakit sosial yang mengganggu keindahan kota dan harus segera disingkirkan. Masyarakat melihat kaum pemulung tak lebih dari kelompok penjarah barang, meski sebagian lainnya menganggap keberadaan pemulung bisa membantu menjaga kebersihan kota. Tentu saja, anggapan miring masyarakat tersebut tak mudah dimusnahkan begitu saja. Tapi yang patut diperhatikan semua pihak adalah bagaimana menerima dan memperlakukan mereka sebagai manusia yang juga berhak mengais rezeki untuk

hidup.

Rey menceritakan bagaimana nahasnya nasib temannya, seorang pemulung yang biasa mangkal di daerah Janti, pernah diusir dan dicerca mati-matian gara-gara dikira mau mencuri barang penduduk. Rey mengeluhkan pandangan buruk masyarakat yang menyamakan pemulung sebagai maling. Meski tak terkatakan, namun tersirat dari tatapan sinis mereka. ”Kami bukan pencuri. Tidak semua pemulung itu pen-curi,” sanggah Rey. ”Hendaknya masya -rakat bisa lebih bijaksana memperlakukan kami.”

Keterpurukan nasib orang-orang seperti Rey, perlahan menyeretnya ke lingkungan yang tak lagi ramah. Tuntutan hidup memaksa mereka untuk membiasakan diri hidup dan bergerak diantara sampah yang kotor dan bau, di kolong jembatan, di emperan toko, atau perkampungan yang kotor, kumuh, becek, dan tak teratur.

Sementara itu, pendapatan mereka tak seberapa, paling-paling hanya bisa buat makan sehari dua hari. Beginikah kehidupan modern? Pada saat orang lain asyik meng-hambur-hamburkan materi, sebagian lain-nya sibuk memeras keringat mengumpulkan uang dengan mengais sampah. Potret fenomena ironis inilah bukti lebarnya jurang kesenjangan sosial dalam negeri. Wajar, jika kondisi demikian menghadirkan rasa iri di hati mereka tatkala menyaksikan orang lain hidup dalam kemewahan.

Kini yang masih tersisa, hanyalah kerelaan untuk berteduh di atas tanah bersama gelisah. Mengikuti alur nasib yang telah tergaris. Resah menanti, sampai kapan akhir dari perjalanan panjang penderitaan ini. Meski harapan itu masih menjadi sebuah pertanyaan besar, namun keyakinan yang kuat akan datangnya cahaya terang yang membawa perubahan nasib, masih

2[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [INSANIA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pendidikan Murah Pangkal Pandai

Pasca krisis pendidikan kian mahal. Biaya murah tinggal harapan?

SENJA datang seiring awan kelabu menyelimuti celah bumi. Seorang ibu bernama Wasmi duduk di depan seonggok mesin jahit tua menekuni pekerjaannya, ketika anak gadisnya semata wayang Lina Kindarti pulang dari menuntut ilmu di bangku kelas lima SDN Pujo Kusuman 3, Pojok Beteng Keparakan, Yogyakarta.

Matahari telah masuk ke peraduannya, malam pun tiba. Tak lama kemudian Ju miran, sang ayah datang dari keheningan malam, terlihat kusut, penat dari seharian berjualan bakso. Keluarga kecil itu tampak bahagia, walau serba sederhana, rumah gubuk dihuni tiga orang di Jalan Lowanu UH VI Yogyakarta.

Menjelang makan malam, Wasmi dan Jumiran duduk di kursi kayu, sesekali melihat putrinya yang sedang menulis. Beberapa menit kemudian sang putri, Lina

mulai menghampiri kedua orang tuanya, menyerahkan secarik kertas berwarna hijau yang dilapisi sampul plastik putih. Jumiran dan Wasmi tersenyum simpul, walau sebenarnya jauh dilubuk hati keduanya terasa agak sesak, karena ternyata apa yang telah diberikan anaknya itu adalah kertas BP3.

Rasa sesak dan resah memang sudah menjadi menu rutin waktu menerima kertas BP3 tersebut. ”Sama saja kalau begini. Walau uang SPP sudah tidak ada, tetap saja ada BP3,” tutur Wasmi mengeluhkan uang iuran bulanan anaknya sebesar Rp. 12.500.

Penggalan kisah itu merupakan gam baran riil dari banyaknya kasus sejenis yang melanda mayoritas rakyat Indonesia. Data INFID menyebutkan sebanyak 40 juta penduduk Indonesia (2001) berada dalam jurang kemiskinan. Sudah begitu,

mereka masih terbebani beratnya biaya sarana pendidikan sekolah bagi putra-putri tercinta.

Kian melambungnya biaya sekolah, dari tingkat dasar (SD) sampai tingkat tinggi (universitas), diakibatkan oleh krisis multidimensional yang sedang melanda bangsa ini. Situasi ini membuka peluang pemerintah untuk mengurangi, bahkan merelokasi anggaran pendidikan ke sektor lain. Tidak tertutup kemungkinan, dana yang semestinya mengalir untuk subsidi pendidikan digunakan untuk menalangi pembayaran hutang luar negeri. Hal ini terealisasi dalam RAPBN 2002 yang menunjukkan kewajiban untuk membayar hutang luar negeri Rp 34,7 trilyun dan bunga obligasi guna restrukturisasi perbankan dan subsidi BBM sekitar Rp 61,1 trilyun.

Bila kedua pos itu dijumlahkan, sudah

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [PENDIDIKAN]
. . . . . . . . . .
murid sekolah Dasar. Masih terbebani SPP dan BP3 Fiek
h I mmah

mencapai Rp 95,8 trilyun. Kewajiban ini sungguh jauh lebih besar dari anggaran pembangunan itu sendiri. Sehingga timbul pernyataan, ”sekolah murah masih impian, apalagi sekolah gratis, itu tak mungkin.”

Menurut Suparno, Kepala Sekolah SMPN Sapen, sekolah murah itu relatif. Jika ada yang murah namun fasilitasnya kurang, itu juga kurang layak. ”Sekolah mahal tapi ditunjang dengan fasilitas, sarana dan prasarana lengkap, itu kan berimbang,” katanya. ”Tapi, kalau sekolah negeri itu memang seharusnya dibiayai oleh pe-merintah secara penuh,” ujarnya menam-bahkan.

Suparno juga menyesalkan keputusan pemerintah daerah yang menurunkan subsidi untuk pendidikan hingga 50 persen dari sebelum era reformasi ini. ”Pemotongan hingga setengahnya itu kan luar biasa,” sesalnya. Akibatnya, sekolah pun mencari dana tambahan agar segala aktivitas yang semula dibiayai dari dana subsidi bisa tetap berjalan. Salah satunya dengan iuran BP3 yang memberatkan itu. ”Kami minta pada orang tua murid hingga tujuh belas ribu rupiah,” imbuh Suparno. Mendapatkan pendidikan yang layak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga kebutuhan untuk itu

seharusnya tidak dipersulit. Negara sebagai komando penyelenggara pendidikan, seba gaimana landasan normatifnya dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2, didesak untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan utamanya pembangunan pe-ningkatan kualitas sumber daya manusia.

Pada dasarnya, kemajuan pendidikan bisa kita rasakan jika ditopang oleh tiga faktor, yaitu: political will dari pemerintah, anggaran yang memadai, dan political courage (pelaksanaannya) yang efektif dan sesuai dengan kondisi masyarakat.

Realitas menunjukkan pemerintah memang belum bisa diandalkan untuk dapat memberikan anggaran pendidikan yang memadai karena jeleknya kondisi keuangan negara. Meski demikian, pemerintah harus memiliki komitmen meningkatkan sektor pe n -didikan, setidaknya sampai batas standar UNESCO yaitu 20 persen dari total anggaran pengeluaran negara.

Afrika yang kemampuan ekonominya lebih rendah dari Indonesia, faktanya mampu mengalokasikan anggaran lebih tinggi untuk sektor pendidikan. Sehingga apa yang dikatakan sebagai sekolah murah tidak lagi sekadar diskursus, tapi seharusnya sudah beralih ke dataran konseptual dan aplikasi.

Kini, kita boleh berbahagia karena ada indikasi peningkatan anggaran di sektor pendidikan. Setidaknya pemerintah pusat telah menginstruksikan kepada Pemda untuk membebaskan ongkos sekolah. Hal itu dikemukakan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz kepada aparatur Pemda (khususnya daerah yang kaya) dihadapan alim ulama dan masyarakat Sumatera Utara di Ponpes Al Kautsar, Jl. Pelajar Timur. Ini urgen, mengingat tingkat kualitas masya rakat terdidik di Indonesia sangat rendah,

bahkan terendah di dunia setelah Vietnam. Semua itu terjadi karena masyarakat Indo nesia tidak memiliki dana yang cukup untuk memperoleh pendidikan layak, yang meme-nuhi standar mutu.

Stratifikasi bangsa Indonesia memang mendeskripsikan kesenjangan sosial antara kelompok masyarakat menengah ke atas dengan kelompok masyarakat menengah ke bawah dengan jumlah yang besar. Kesenja-ngan itu dapat disiasati dengan subsidi silang.

Subsidi itu dapat dilakukan dengan pembayaran lebih tinggi dibebankan pada keluarga mampu secara ekonomi, sedangkan murid dari keluarga tidak mampu bisa dibebaskan sama sekali dari segala iuran, pungutan, dan sumbangan pembiayaan pendidikan.

Dapatkah gagasan tersebut diwujudkan di negara yang sedang bangkrut? Semua itu, sekali lagi, tergantung dari sikap pemerintah. Mereka berpihak kemana, apakah berpihak kepada kaum lemah yang harus dikuatkan dengan pendidikan, ataukah kaum kaya yang selalu diberi fasilitas oleh negara.

Jalan panjang menuju perubahan bangsa hendaknya diawali dari tingkat pendidikan masyarakat yang baik. Dan upaya pemerintah menjamin hak anak bangsa dalam mendapatkan pendidikan murah adalah suatu keharusan. Disamping itu, pihak sekolah seperti Suparno tampaknya harus lebih terbuka pada orang tua murid, agar mereka dengan tersenyum, bukan dengan berat hati, mengeluarkan biaya untuk kemajuan anaknya. Bukankah untuk anak bangsa nasib negara ini dipertaruhkan? Lantas, mengapa kita enggan berinvestasi sumber daya manusia pada mereka?

[PENDIDIKAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Belajar dikelas. Fasilitas kurang Iwan Nugroho

Menabur Bom di negeri Orang

Apakah ada satu perasaan untuk memahami hasrat memperjudikan kehidupan dalam suatu peperangan demi prestise dan ekonomi? Pencarian common enemy demi gengsi dan kekuasaan? Invasi berdarah demi sebuah eksistensi?

SELAMA

perjalanan sejarah kebangsaan, manusia telah memunculkan bentuk kejahatan perang yang didominasi oleh ideologi radikal negara-negara kuat. Totalitarianisme Hitler di Jerman dan Stalin di Rusia adalah dua tirani yang menjalankan penjagalan kepala-kepala manusia dengan menggunakan organisasi politik dan militer modern, dan kemajuan teknologi.

Sejarah Amerika adalah satu sejarah negara yang paling banyak menyedot kehidupan. Tidak saja pemban t aian besar-besaran penduduk sipil, namun juga sum-ber-sumber ekonomi. Dalam bahasa Fukuya-ma hal ini disebut perang total, yang memaksa negara-negara demokrasi liberal menggunakan strategi militer seperti yang telah ditulisnya dalam catatan harian dengan tinta darah. ”Tidak bisa dilepaskan dari imperialisme Amerika Serikat terhadap negara-negara dunia ketiga,” komentar Dafri Agus Salim, pengamat politik internasional UGM.

Ia menambahkan, bahwa sejak lama, Amerika Serikat (AS) sering melakukan generalisasi tindakan personal menjadi tindakan negara, yang kemudian menjadi awal dari pembantaian. Bukti-bukti belum dikatakan, tapi serangan sudah begitu luas. Akibatnya, selain korban tewas, pengungsi menggunung, dan menyebabkan radika-

lisme di negara-negara dunia ketiga yang berakibat pada ketidakstabilan politikekonomi.

Tebal buku hitam sudah mencatat pembantaian rakyat sipil di banyak negara oleh AS. Diantaranya adalah pembumihangusan rakyat sipil tak berdosa di Hiroshima dan Nagasaki, sebagai balasan penyerangan Pearl Harbour, pembantaian terhadap Prancis yang mengakibatkan korban rakyat sipil di Vietnam tahun 1949, pembantaian rakyat sipil di Serbia, dukungan AS terhadap Israel yang membantai rakyat sipil di Sabra Satila, penembakan pesawat sipil Iran (400-an orang tewas) karena human error , penghancuran kota Dresden tanpa sebab, dan penunggangan berbagai pergantian rezim dengan korban ratusan ribu nyawa. ”Mereka punya kekuatan besar dan itu didemonstrasikan,” kata Dr.Arief Budiman, Dosen Sosiologi University of Melbourne ketika ditemui HIMMAH.

Perang-perang total yang terjadi di abad 20 terjadi disebabkan oleh kemajuan yang mendasar, seperti revolusi industri, yang menyebabkan adanya teknologi informasi global yang kemudian mempermudah negara imperialis dan kolonialis dalam mengakses informasi rahasia negara lain dan dalam penyebaran doktrin dan ide-ide kapitalisme. Dan tentu, Amerika pengen-

dalinya.

Perang apokaliptik mungkin yang akan terefleksi ketika melihat akumulasi perang Amerika Serikat dibawah George Bush melawan Iran dibawah Saddam Husein, yang berawal dari perang teluk Irak-Iran di bawah Khomaeni, dan IrakKuwait tahun 1990. Dan kemudian disusul dengan embargo terhadap Irak. Dukungan besar Amerika terhadap Israel yang melancarkan gerakan Zionisme sejak 1897, untuk melaku-kan genocide terhadap rakyat Palestina. Serangan Amerika Serikat terhadap Libya, dengan alasan normalisasi situasi politik dan yang terakhir adalah serangan besarbesaran terhadap Afganistan, yang selalu ”salah sasaran”, karena sering mengenai penduduk sipil.

Osamah bin Laden —tersangka tragedi WTC, New York—mungkin adalah satu contoh kecil dari gerakan radikalisme Islam. Fundamentalisme Islam vis-à-vis Amerika, melihat Amerika sebagai satu kekuatan besar yang hegemonik, yang kemudian mengembalikan pada satu nostalgia nilai-nilai masa lampau, jihad, fisikis. “Akibat orang muslim sadar akan posisi yang tertindas,” kata Dafri.

Tidak saja itu, perkembangan teknologi juga memaksa homogenisasi kebudayaan manusia, menghancurkan varietas-varietas

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [INTERNASIONAL]
. . . . . . . . . .
HENDRA
WIRAWAN . . . . . . . . . .

yang merupakan special trait tiap bangsa dan etnik. Bahkan perkembangan terakhir, Henry Kissinger mengatakan bahwa banyak elit Amerika yang berpendapat AS mempu-nyai solusi demokratis yang memadai untuk seluruh masyarakat dunia, apapun sejarah dan budayanya.

Perang dunia ketiga secara fisik mungkin tipis sekali terjadi. Namun perang nilai, yang sudah dimulai sejak dahulu, antara Barat dan Timur, sedang mendapat momentum yang tepat.

Dafri juga menambahkan bahwa hal ini membuat satu gambaran pada masyarakat awam bahwa negara Barat yang diwakili Amerika sedang melakukan penindasan, sehingga mereka harus melawan. ”Namun perang dalam teori konflik, situasinya sudah tercipta demikian,” kata Dafri.

Gerakan Anti Globalisasi

Perang terhadap kapitalisme lama terjadi. Ini akan berkembang menjadi laten, dan dalam bentuk fisik. Bukan saja berasal dari negara-negara dunia ketiga, tapi gerakan anti kapitalisme global ini juga ada di Inggris dan Amerika Serikat. ”Kita harus tetap melakukan penolakan terhadap impe-rialisme, kapitalisme dan neo-nya,” kata Arief menyetujui perlawanan terhadap Amerika.

1 Mei 1999 lalu, 4000 orang menjarah Restoran McDonald’s, money changer , toko ponsel ”bingkisan” hari buruh sedunia di kota London. Sedang di Amerika Serikat 40 ribu orang membuat kekacauan di pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia(WTO).

Bukan saja itu, tahun ini gerakan anti globalisasi massal beraksi lagi di Genoa, saat KTT Kelompok Delapan(G8) berlangsung 20-22 Juli lalu. G8 ini terdiri dari negara-negara terkaya di dunia yaitu Kanada, Jepang, Jerman, Ingris, Italia, Rusia, Pe-rancis dan Amerika Serikat.

Meskipun kemudian G8 ini menjanjikan, dikatakan sebagai tanggapan positif terhadap gerakan anti globalisasi, untuk membuka sepenuhnya pasar ekonomi dunia bagi LDC(least developed countries).

Perencanaan yang mirip Marshal Plan, program senilai 1,3 milyar dollar AS untuk mengurangi HIV/AIDS dan penyakit lain yang melanda negara-negara miskin yang tertuang dalam sebuah pernyataan lima halaman. Namun dilain pihak Protokol Kyoto ternyata akan punya komunike susulan di Rusia tahun 2003 mendatang.

Hal ini menunjukan bahwa tidak ada toleransi terhadap aksi dan tuntutan apapun ketika ia menghambat tujuan Kapitalisme.

Meskipun peredaman tuntutan negaranegara berkembang lebih ditanggapi

dengan mekanisme jangka pendek. Lihat saja George Walker Bush yang mengirim bantuan pangan dan obat-obatan kepada rakyat Afganistan, sedangkan tempat tinggal dan keluarga mereka diluluhlantahkan dengan tanah.

Gerakan anti Amerika juga pernah digemborkan Presiden Cina Jiang Zemin mengenai tata dunia baru untuk melawan hegemoni Amerika, ia mengatakan bahwa negara-negara harus menghapus mentalitas perang dingin dan melenyapkan teori persenjataan superior.

Di Indonesia sendiri gerakan penolakan juga terjadi dalam gelombang demonstrasi dan penolakan terhadap produk-produk lisensi Amerika. Namun Arief menekankan bahwa Indonesia adalah negara demokratis. Dan meski Indonesia melawan, itu juga akan lemah. ”Kita harus lebih menggunakan otak daripada otot,” tambahnya.

Politik Luar Negeri Indonesia

Amerika punya kekuatan ekonomi terbesar dunia, mungkin ia bisa menjadi satu invisible hand yang pernah dikatakan Adam Smith, yang akan mengendalikan pasar. Amerika —meskipun ia adalah

ekonomi bukan saja Indonesia, tetapi Korea Selatan, Thailand dan negara-negara lain yang sedang terkena krisis. Struktur eko-nomi dan keuangan mereka yang kuat membuat pemerintah Indonesia menyerah dengan ditandanganinya Letter of Intent (LoI) untuk obat krisis, kini hutang kita telah mencapai 150 juta US dollar.

Sejarah Indonesia mencatat tidak ada satu kebijakan luar negeri yang tegas terhadap Amerika. Mungkin hanya Soekarno yang mampu mengatakan go to hell America with your aid, Abdurrahman Wahid yang berkeinginan membuka jalur perdagangan dengan Israel, sedang Megawati malah presiden yang pertama kali mengunjungi Amerika setelah mendapat serangan di WTC dan sedang mengadakan persiapan penye-rangan ke Afganistan. Sebuah politik luar negeri yang tidak jelas.

Menurut Arief politik luar negeri Indonesia harus pragmatis. Bangsa Indonesia harus menentang tindakan sewenang-wenang Amerika yang telah menginvasi Haiti, Panama, dan baru-baru ini Afganistan.

Selain itu, perlu ada koalisi yang solid negara-negara dunia ketiga. Jika satu negara menentang Amerika, maka itu hanya akan

pengutang terbesar Persatuan BangsaBangsa (PBB)— akan tetapi ia juga penyumbang terbesarnya, dan pemegang hak veto. Oleh karena itu, langkah Dana Moneter Internasional (IMF) tidak akan mungkin tanpa adanya campur tangan Amerika, terutama ‘turun tangannya’ PBB dalam setiap pergantian pemerintahan banyak negara adalah satu peluang Amerika untuk mencokolkan akar ekonominya.

Lihat saja ketika pergantian Soeharto di Indonesia, penentangan terhadap Soeharto datang dari dua sisi yang berlawanan. IMF, Amerika dan negara-negara besar lainnya yang ingin merubah struktur ekonomi-

menjadi hal sia-sia. ”Yang bisa kita masuki yaitu dengan bermain di opini publik,” ungkap Dafri. Nah , untuk itu jaringan sangat penting. Dan harus merambah ke Organisasi Negara-Negara Penghasil Minyak (OPEC) dengan melakukan diplomasi minyak.

Sedang pemutusan hubungan ekonomi dan politik harus dipertimbangkan kembali, apa itu efektif atau tidak. Harus menggalang kekuatan dengan negara lain. ”Kalau kita berjalan sendiri, maka saya yakin kita akan teralienasi,” ungkap Dafri.

Sepertinya ke depan, Indonesia perlu merumuskan strategi politik internasional

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] . . . . . [INTERNASIONAL]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Fiek
/ h I mmah

dari Buku, Mencari Titik Temu

KRISIS ekonomi yang melanda

Ind o nesia sejak pertengahan tahun 1997, memacu para pakar dari beragam latar belakang disiplin ilmu untuk terus mencari dan menganalisis krisis yang berkepanjangan itu. Dan tak bisa dipungkiri, buku-buku yang ditulis para pakar tentang krisis pun menjadi sebuah trend baru dalam dunia perbukuan nasional. ”Ternyata krisis telah mendorong masyarakat untuk mengetahui apa sebenarnya latar belakang krisis yang menerpa Indonesia, baik dalam ekonomi, sosial, politik dan sebagainya,” tutur Eko Prasetyo, editor penerbit buku Insist Yogyakarta.

Bagaikan jamur di musim hujan, bukubuku tentang krisis memadati pajangan toko-toko buku, hampir di seluruh pelosok kota. Realitas ini menunjukkan betapa respons masyarakat sangat bagus menerima kehadiran ratusan buku-buku krisis itu. ”Fenomena maraknya buku krisis ini berawal dari rasa keingintahuan publik,” tambah Eko.

Keingintahuan publik dan bagaimana cara cepat keluar dari krisis menjadikan masyarakat semakin aktif mengikuti informasi perkembangan ekonomi di dalam maupun luar negeri. Meskipun menurut Eko pengaruh penerbitan buku-buku krisis terhadap masyarakat, secara langsung memang agak sulit. Tapi dilihat dari sisi masyarakat, keinginan untuk membaca buku mendorong mereka untuk kritis. Mereka bisa mengevaluasi, bisa mencoba untuk melihat kembali konsep-konsep pembangunan yang bagus.

Merebaknya buku bertema krisis juga memperkenalkan pemikiran tokoh atau pakar dari berbagai aliran pada para mahasiswa –utamanya mereka yang aktif di pergerakan. Gagasan dan teori pembebasan ala Karl Marx misalnya, banyak mewarnai diskusi-diskusi yang diselenggarakan mahasiswa. Namun yang dikhawatirkan, ketika ada mahasiswa yang menelan mentah-mentah gagasan dan pemikiran para tokoh idolanya. Apalagi jika diikuti

dengan tindakan emo-sional yang biasanya meresahkan masya-rakat.

Krisis multidimensi yang tak kunjung hengkang dari bumi pertiwi menjadikan buku-buku krisis masih terus digandrungi para konsumen pembaca. Krisis Kapitalisme Global dan Keluar dari Krisis adalah contoh dua buku analisis ekonomi Indonesia. Dua diantara ratusan buku krisis yang laku laris dan digemari para konsumen. Buku Krisis Kapitalisme Global yang ditulis George Soros diantara buku yang menjadi trend dan digemari oleh khalayak, me-nyinggung keadaan ekonomi yang saat ini tidak ”waras” dan tidak kokoh. Tujuan utama buku ini bagaimana meyakinkan pembaca dengan menjelaskan secara detail tiga konsep kunci fabilitas, reflektivitas dan masyarakat umum yang berisi kritik atas ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan eko-nomi pada khususnya.

Lebih jauh Soros mencoba menguak borok-borok sistem kapitalisme global yang menurutnya rapuh dan tidak bisa

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [PUSTAKA]
. . . . .
Banyak kajian membahas seluk beluk krisis Indonesia. Menelurkan beragam analisis lewat buku. Buku-buku bertema krisis. Berawal dari rasa keingintahuan publik
Sheila . . . . .

di-pertahankan. Dalam kaitannya dengan Indonesia, Soros juga menguak perselisihan antara Soeharto dengan IMF yang mendorong rupiah terjun bebas. Dari Rp 2.430 per dolar Amerika pada bulan Juli 1997 merosot menjadi Rp 16.000 per dolar Amerika dalam waktu yang sangat pendek.

Saatnya Membela Rakyat Disadari atau tidak, selama ini bangsa Indonesia telah terjangkiti budaya latah. Pemerintahan Soeharto dengan kelebihan yang dimiliki telah meninabobokkan rakyat-nya. Mewariskan hutang dan tanggung-jawab yang sangat berat bagi siapa saja yang menjadi pemimpin negeri ini. Presiden BJ Habibie dengan pendeknya waktu pemerintahan tidak mampu memenuhi harapan rakyat.

Sementara pemerintahan Gus Dur, sebagaimana ditulis A. Tony Prasetiantono dalam bukunya Keluar Dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia, berhasil mendapatkan dukungan internasional dari road show- nya. ”Namun manajemen kabinet tidak terkoordinasi, sehingga para menteri berjalan sendiri-sendiri untuk memperlihatkan kesuksesan sendiri,” tulis pengamat ekonomi UGM ini.

Isu ekonomi kerakyatan di Indonesia mulai meng-gejala pada akhir dekade ’80 sampai ’90-an. Namun seperti yang diuraikan Saiful Arif dalam bukunya Menolak Pembangunanisme bahwa secara historis, awal mula Indonesia merdeka, gagasan ekonomi kerakyatan ini pada dasarnya telah dimunculkan oleh Hatta, sebagai salah seorang founding father Indonesia melalui ekonomi rakyat. Dan setelah melalui perdebatan alot dengan tokoh-tokoh seangkatannya tentang formasi ekonomi Indonesia, gagasan ekonomi kerakyatan pun lahir.

Di mata anak bangsa Indonesia, gagasan ekonomi kerakyatan mengacu pada sila keempat Pancasila. Dengan begitu, definsi ekonomi kerakyatan bisa diklaim mengandung unsur demokrasi di dalamnya. Gagasan ini juga tepat seperti yang diuraikan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dan penjelasannya. Di dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dikatakan bahwa produksi dikerjakan oleh semua untuk semua, di bawah pimpinan dan kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Perekonomian Indonesia lebih mengutamakan kemakmuran rakyat daripada kemakmuran per orang atau kelompok, yang disusun atas dasar demokrasi ekonomi.

Sila keempat dan penjelasan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dapat didefinisikan sebagai suatu sistem perekonomian yang melibatkan dan meletakkan rakyat sebagai

penyeleng-gara perekonomian dan hasilhasil yang diperoleh harus dipersembahkan untuk kesejahteraan rakyat.

Melihat gagasan ekonomi kerakyatan atau demokrasi kerakyatan memang sudah saatnya bagi Indonesia untuk berpihak pada rakyatnya. Kembali mencari dan memperkenalkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan krisis sekaligus menunjukkan identitas dan harga diri sebagai negara yang cinta dan membela rakyat. Meretas Indonesia baru yang sejak dulu mendengungkan demokrasi. Dan bukan sebuah angaan-angan utopis belaka.

”Biarkan Indonesia bersistem kapitalis, tapi bukan kapitalisme yang eksploitatif melainkan kapitalisne rakyat , ” ungkap

hubungkan dengan mereka. Akhirnya, perselisihan pun terjadi dan berujung kritik terhadap IMF yang terlalu banyak meng-ajukan persyaratan dan selalu mencampuri urusan dalam negeri negaranegara yang meminta bantuannya. Adapun masalah struktural baiknya diserahkan kepada negara masing-masing. Tapi Soros me-nyanggah sebaliknya, justru krisis likuiditas sangat berkaitan dengan kegoncangan struktural dan menurutnya tidak dapat diperbaiki hanya dengan meminjamkan uang kepada negara tersebut. Dari Thailand krisis berkembang ke Malaysia, Indonesia, Filipina, Korea Selatan dan negara lainnya.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir pun akhirnya menuduh Soros sebagai biang

Saiful Arif. Di lain pihak, Tony menegaskan pada warga Indonesaia agar jangan hanya mengambil pelajaran dan berdasarkan teori yang disajikan oleh buku buku teks saja tapi juga harus kontekstual dengan psikologi masyarakat.

Soros sendiri menyadari besarnya korupsi era rezim Soeharto sehingga ia bersikukuh menjual sahamnya di Indonesia. Keluarga Soeharto memiliki kepentingan besar dan Soros sendiri tidak ingin di-

keladi krisis. Meskipun Soros kemudian menolak tuduhan itu. Bahkan mengatakan bahwa tuduhan itu tidak berdasar, karena beberapa bulan sebelum krisis terjadi di Malaysia, Soros mengelak menjual mata uang. Ia justru menjadi pembeli ketika mata uang ringgit merosot.

Sebaliknya, Tony meyakini bahwa Soros memang benar-benar membeli rupiah dan mendapatkan gain dalam jumlah besar. Tetapi besarnya jumlah valuta asing yang ia

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [PUSTAKA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HENDRA WIRAWAN

benamkan dalam bisnis ini jelas amat sulit untuk dilacak. Namun data dari New York Stock Exchange (NYSE) menunjukkan bahwa Soros adalah pemain ulung yang keuntungan tahunananya bisa mencapai US$ 1 milyar.

Impian Keluar dari Krisis? Semua menunggu. Ba h kan teoriteori yang termuat dalam buku membuat semua orang melek untuk mematikan kepanikan yang sangat mengecam itu. Namun yang mengecewakan, ratusan buku dan teori yang ditawarkan oleh para pakar belum menghasilkan apa yang sangat ditunggu oleh rakyat: keluar dari krisis multidimensi.

Dalam buku Keluar Dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia Tony menyajikan kelemahan penyebab kepanikan ekonomi Indonesia. Dan ternyata, krisis ekonomi Indonesia yang timbul pada pertengahan 1997-an telah membuka mata dan hati masyarakat Indonesia untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto. Bagi Tony, kehebatan dari Soros dan spekulan maupun ilusi-ilusi yang menjadikan kepanikan ekonomi kuncinya terletak pada fundamental ekonomi. Namun yang menjadi pertanyaan apakah fundamental ekonomi

Indonesia sekarang ini sudah kuat? Ketika Thailand, Filipina dan Malaisyia dilanda krisis, banyak pihak yang mengira Indonsia tidak akan menerima virus krisis karena fundamental ekonomi di Indonesia dianggap lebih baik. Namun faktanya perekonomian Indonesia bukanlah perkecualian dalam mata uang berantai di Asia Tenggara.

Lantas bagaimana dengan legitimasi yang tidak sedikit orang sering menyebutnya sebagai akar krisis. Bagi Tony, modal legitimasi membutuhkan maintenance Harus bisa dirawat dan dimanfaatkan momentumnya. Dan baginya momentum legitimasi tersebut terletak pada investasi asing, domestic support berupa jaminan keamanan dalam negeri dan manajemen kabinet.

Sebagai contoh di era pemerintahan Gus Dur, dia telah melakukan road show ke berbagai negara. Dalam lawatannya menurut Tony, Gus Dur sangat didukung oleh investor asing. Dan hal ini juga masih perlu didukung oleh keamanan. Namun dalam pemerintahan Gus Dur, manajeman kabinet tidak terkoordinasi. Menurutnya para menteri jalan sendiri-sendiri untuk memperlihatkan kesuksesan sendiri. Dalam hal

ini menurut Tony Indoneia membutuhkan menteri dan orang-orang yang mampu lobi internsional atau lebih dikenal dengan lobi IMF. IMF adalah tonggak perjalanan ekonomi, kalau tidak berlebihan begitulah anggapan orang yang latah kepada IMF.

Lebih jauh lagi Tony mengungkapkan bahwa di dalam memberikan suport keamanan, dituntut adanya birokratisasi yang berimbas pada high cost economy padahal selama ini ongkos itu turut mengganggu minat investor asing.

Selanjutnya Tony menguraikan bahwa pada level mikro Indonesia harus mampu bersaing dengan rekan-rekan di ASEAN. Dan yang lebih menarik harapan Tony dalam teori angsa terbangnya (The Flying Geese Theory ) untuk selalu menjaga bagaimana caranya agar angsa itu tidak terbang kemana-mana. Sedang pada level makro, bukan hanya melihat dari kuantitatif, tapi juga harus dilihat dari segi kualitatif struktural fundamental.

Jalan lapang keluar dari krisis memang panjang dan berliku. Banyak pemikiran maupun ide yang dituangkan dalam buku mencoba menunjukkan jalur itu. Mencari titik temu dari berbagai simpul krisis negeri ini. Semoga tidak terhenti dalam tingkatan

[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002]  [PUSTAKA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

AS buru Osama Bin Laden dimanapun berada! Minta bantuan Polri, selebarannya berbunyi: wanted Ibrahim jilid II !

Cukup dengan peledakan WTC membuat dunia khawatir terhadap aksi teroris Kecuali di Indonesia ... bom berkali-kali meledak masih dianggap petasan

Akbar Tandjung sempat lupa nama yayasan yang menerima dana Bulog Rp 40 millyar Penyakit lupa kata orang Jawa karena sering makan brutu (dubur red) ayam. Betul nggak Bang Akbar?

Anggota MPR-DPR RI mulai terbiasa main dorong dan main cekik Suruh ikut Liga Indonesia saja, supaya ada penyalurannya

Tommy Soeharto dipeluk Kapolda Jaya, Sofjan Jacob, sesaat setelah penangkapannya Bentuk terima kasih sutradara kepada aktor utama

Tertangkapnya Tommy Soeharto membuat Kepolisian RI berkali-kali melemparkan senyumnya, merasa tugas besar terselesaikan Lalu Eddy Tansil bertanya dalam hatinya, ”Yaaa Pak Polisi, aku kok dilupain sih”

Walau baru berdiri tahun ini, Uang Tridharma Fak. Kedokteran UII sedikitnya Rp 15 juta Maklum mahal! Kan sedang nabung untuk bangun kampusnya lima tahun lagi

Tahun 2001 marak dengan kecelakaan kereta api. Sepak bola kalahan, tabrakan terus.

Ari Sigit dihukum 2 bulan 22 hari penjara Mau hukuman yang setimpal? Serahkan pada massa!

Hak paten kekayaan alam asli Indonesia makin banyak dimiliki orang luar Asal jangan sampai ”tempe penyet” ikutan kena paten, nanti menyusahkan anak kost

Sejak pisah, tentara dan polisi belakangan sering bentrok Ya maklum lah, seperti suami istri habis cerai

Hasil studi Forum Komunikasi Massa (FKM), 30 persen anggota DPR sering bolos Mungkin perlu mengikuti aturan presensi kuliah 75 persen seperti di UII kali ya?

BBM dan Tarif Dasar Listrik naik lagi Kok seperti SPP di UII sih, mbok ya sekali-kali turun gitu lho.

Selamat tahun baru 2002 Indonesia

100[HIMMAH Edisi 01/Thn.XXXIV/Januari 2002] [ABU NAWAS]
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.