Majalah HIMMAH No. 02/Thn. XXXIV/2002 - Antara Kuasa dan Kemuliaan

Page 1

SUSUNAN PENGURUS

LEMBAGA PERS MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Periode 2001 - 2002

PELINDUNG

Rektor Universitas Islam Indonesia PEMIMPIN UMUM

Ahmad Im’an Syukri WAKIL PEMIMPIN UMUM GM Anugerah Perkasa SEKRETARIS UMUM Rengga Damayanti BENDAHARA UMUM Dwi Setyaningrum PEMIMPIN REDAKSI Febry Arifmawan WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Wakid Qomarudin SEKRETARIS REDAKSI Diana Aprianti REDAKTUR PELAKSANA

Ilmia A Rahayu, Widiyanto, IB Ilham Malik REDAKTUR FOTO W. Dani Kusumo, Surya Adi Lesmana STAF REDAKSI Sarfah Fahrisalam, Doni Wijayanto, Ambar I.S.D, Mochammad Solikhan FOTOGRAFI

Ujang Priatna, Iwan Nugroho, Sheila Meidi Ariyanie, Indra Yudhitya, Novan Prima Putra RANCANG GRAFIS

Aris Jatmiko, Akhmad Makhali, Fajardini H.I.R, Husni Dwi Nugroho M. Taufiekurakhman

PENELITIAN & PENGEMBANGAN

Tri Agung P, M. Syafi’i, Susila Rahmi, Radityo M, Mulianne, Sigit Pranoto PUSAT INFORMASI & DATA

Ina Rachmawati, Asriani P.I, Diyan Melasari

PERUSAHAAN

Muhammad Ashraf J, M. Ali Prasetya, Dian Dwi Kurniawati, Wawan W. Saputro, Dwisaptina DP, Henny Sartika,

assalamu’alaikum

KeKuatan pers kini sangat layak untuk diperhitungkan. Seiring dengan logika demokrasi yang menjadi kata ampuh dalam pergulatan ruang publik dengan mas ing-masing perannya, pers makin menjadi sorotan. Pasca reformasi, pers Indonesia mengalami kebangkitan. tapi internal media massa sendiri pun permasalahannya kian kompleks. Mulai dari persoalan modal hingga sumber daya manusia. Beranjak dari pemikiran itu maka pada 29-31 Maret lalu kami menyelenggarakan Workshop tingkat nasional Manajemen Perusahaan Pers di Gedung amal Insani, Yogyakarta. Di luar persoalan manajemen bisnis pers, masih banyak problem lain, sebut misal penghormatan terhadap kebebasan pers. Penghormatan yang dulu selalu diteriakkan ke telinga pemerintah. Kini, masyarakat pun diminta untuk tahu tentang salah satu prinsip demokrasi itu. Sulit mengharap bentuk ideal ruang berpendapat. ada ban yak hal yang belum dimiliki oleh bangsa kita misal: kedewasaan dalam menerima kritik, percaya pada realitas yang benar-benar ada di depan matanya. apalagi bagi negeri dalam fase transisi demokrasi ini.

Pekerjaan yang tidak mudah bagi pers untuk memahamkan kompleksitas transisi demokrasi bangsa ini. apalagi memberi kontribusi pemikiran kemana semua kom ponen bangsa ini harus mengurai benang kusut persoalan yang makin tak berujung pangkal. HIMMAH pun dengan segala keterbatasannya ikut mengkerutkan dahi dengan situasi ini. ”apa sebenarnya yang tengah terjadi di dalam bangsa ini?” apakah segala carut marut ini merupakan proses alamiah menuju titik equlibrium menuju bangsa yang beradab, damai, dan tidak terus berkelahi? entahlah sidang pembaca. Konflik tak henti-hentinya terus terjadi. Elite di Jakarta sampai grass root di daerah. Benar jika kita mengibaratkan kondisi ini dengan pepatah Kiswa hili-afrika,”Ketika gajah bertarung, rumputlah yang terinjak-injak.” Bisa saja kelak terjadi frustasi sosial. Kami dengan segenap kepolosan pemikiran, mencoba ikut nimbrung mengintip lanskap persoalan Indonesia yang terus bergerak dalam

wassalamu’alaikum

Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers. Jalan menuju profesionalisme Indra Yudhitya / HIMMAH Redaksi menerima tulisan dari luar berupa artikel atau opini, diketik dua spasi, maksimal 4 halaman kuarto. Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah esensi tulisan. Naskah yang dimuat akan diberikan imbalan sepantasnya.
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
................................
Sony Satrio, Astutik, Tri Widodo, Adi Setiawan, Debby Silvia, Nurul Khotimah ALAMAT REDAKSI Jl. Cik Di Tiro No.1 Yogyakarta 55223 Telp. (0274)542141 Pesawat 13 Faks. (0274) 563207 home page http://more.at/himmahonline e-mail himmah_media@mailcity.com Izin Terbit SK Menpen RI 1094/SK/Ditjen PPG/SIT/1987 ISSN 0216-4272 Percetakan NINDYA GRAFIKA Jl. Anggajaya I 180A, Condong Catur, Yogya karta (0274) 884126 [IFTITAH REDAKSI]

LAPorAN utAMA [9]

Status keistimewaan DIY ramai diperbincangkan. Tuntutan untuk mengikuti pola pikir rasion alitas politik modern mulai didengungkan. Di sisi lain tradisi lokal yang lekat dengan eksistensi kekuasaan Keraton Yogyakarta masih tetap kukuh keberadaannya. Bagaimana tarik ulur antara dua arus besar ini terjadi?

LACAK [43]

TAMBANG UANG DI LERENG MERAPI

Penambangan pasir di Gunung Merapi semakin marak. Bisnis yang menggiurkan ini mengundang mesin-mesin pengeruk, sekaligus para pemodalnya untuk berdatangan. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya pun semakin mengerikan. Banyak pihak yang ”bermain” di dalam penam

LAPorAN KHusus [73]

MENITI HARAPAN, GERAKAN PEREMPUAN

Gerakan perempuan semakin menguat. Tapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dengan sendirinya bisa ditekan. Begitu juga kekerasan simbolik, budaya, dan ideologi patriarki yang mengukuhkannya. Bagaimana sebenarnya pemetaan gerakan perempuan dan persoalan yang melingkupinya?

ABU NAWAS

BUDAYA [066]

IFTITAH ReDAKSI [001]

DAFTAR ISI

[002]

DIALoG

[069]

eKoNoMI

[089]

HUKUM [063]

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT [068]

INSANIA

[094]

INTeRNASIoNAL

[099] KoLoM

[030]

KeMAHASISWAAN [006]

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [DAFTAR ISI] EDISI JULI 2002 II COVER : M. TAUFIEKURAKHMAN LAYOUT : BIDANG RANCANG GRAFIS MR. X dan ILUSTRASI : HENDRA WIRAWAN
[104] AGAMA ...................................................................... [031] ASSALAMMUALAIKUM ................................................ [003] BISMILLAH ................................................................ [004]
................................................................
.....................................................................
..................................................................
....................................................................
........................................................
......................................................................
. .

Tawaran Informasi

Melalui rubrik ini saya ingin berbagi in formasi yang mungkin dapat membantu dan bermanfaat bagi para pembaca semua. Kita tahu bahwa krisis ekonomi telah membuat biaya pendidikan melambung tinggi. Kita harus jeli memanfaatkan peluang terutama dalam hal beasiswa. Saya mempunyai ban yak informasi tentang beasiswa dari dalam maupun luar negeri (SD-SMu, D1-D3, S1S3, Politeknik, dan beasiswa untuk pene litian), dilengkapi dengan alamat website di internet, nomor telepon, faksimil serta syarat-syarat yang lengkap dan batas waktu penerimaan serta penutupan beasiswa terse but. ada juga buku cara berwiraswasta yang mudah, program penambahan tinggi badan serta masih banyak lagi informasi lain yang sangat bermanfaat bagi kita semua.

Insya a llah informasi yang kami berikan bisa dikatakan valid atau sah karena kami peroleh dengan susah payah serta bersumber dari ”gudang informasi” alamat/yayasan beasiswa tersebut. Saya sudah membuktikannya dan alhamdulillah berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. a pabila ada yang berminat silakan hubungi alamat kami dan sertakan per angko balasan secukupnya.

hidup yang sehat dan lain-lain. Dalam rangka mendukung kegiatan-kegiatan LSM/KSM di tengah-tengah masayarakat tersebut diperlukan suatu dukungan dana dan bantuan teknis agar manfaat yang diperoleh dari kegiatan sosial-ekonomi yang dilakukannya terus dapat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Dan kita patut bersyukur saat ini banyak sekali berbagai bantuan dari lembaga-lembaga internasional yang mengalir deras di In donesia guna membantu mengentaskan kemiskinan, kekurangan gizi, pendidikan, produksi pangan, hukum, penegakan HaM, dan lainnya. Bantuan-bantuan dengan misi sosial dari lembaga-lembaga internasioanl ini tidak lagi disalurkan dan dititipkan pada tangan-tangan pemerintah seperti za man dulu melainkan langsung disalurkan kepada LSM/KSM maupun perwakilanperwakilannya di Indonesia, sehingga kemungkinan adanya perbuatan curang (kebocoran/korupsi) dari pihak atas dapat dikesampingkan sedikit.

Bantuan Dana Hibah Bagi LSM dan Modal Lunak Bagi Masyarakat

Di Indonesia maupun di negara lain di seluruh dunia fungsi dan keberadaan LSM/ KSM itu sangat diakui, yang penting legal dan terdaftar serta berbadan hukum, bere tika moral dan bertanggungjawab. Kiprah LSM/KSM atau nGO (non Governmental Organization) turut menentukan diplomasi atau hubungan politik, diplomasi antara pemerintah dibanyak negara dan termasuk masalah kepentingan masyarakat luas dan bukan kepentingan orang per orang atau individu. LSM/KSM hadir untuk membela keadaan dan kebenaran untuk kepentin gan rakyat, bangsa dan negara dari segi perekonomian, politik, keuangan, hukum, HaM, pelestarian ekosistem lingkungan

Di antara lembaga-lembaga internasio nal yang terlibat aktif dalam memberikan bantuan bagi LSM/KSM atau masyarakat umum yaitu NEO SECTION, CARE, CWS, CUSO, JAPAN FOUNDATION, ASIA FOUNDATION, MCC, OXFAM, NOVIB, MAFC, NMPC dan lain-lain. Paket bantuannya berupa Dana Hibah bagi kalangan LSM/KSM lokal yang memiliki proyek lapangan/kegiatan, Bantuan Bea siswa Cuma-Cuma dari jenjang SD - S3, DIPLOMa, POLIteKnIK, bagi siswa/ siswi, mahasiswa/i, karyawan dan guru, Bantuan Buku-Buku dari berbagai disiplin ilmu secara cuma-cuma serta Bantuan Mo dal Lunak dan Bunga dan Jaminan sebagai modal kerja dan usaha bagi masyarakat umum. untuk itu bagi kalangan aktivis/ pengurus LSM/KSM dan anda sekalian yang membutuhkan paket bantuan tersebut silahkan menghubungi kami melalui surat dengan melampirkan tiga perangko kilat untuk balasan dengan senag hati surat yang masuk akan segera kami kami tanggapi.

Andi Syamsudin Ashar Lembaga Intan persada Corp Jl. Lanto DG. Pasewang No. 1 Kab. Bulukumba Prov. Sul-Sel. Po. Box 81 IPC Bulukumba 92511

Pendataan Alumni MUHIBBAH/HIMMAH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Kami LPM HIMM a H u II saat ini sedang melakukan pendataan kembali para alumni MuHIBBaH/HIMMaH dari periode 1967 hingga 2001.

Rencana ke depan kami akan mengadakan reuni keluarga besar MuHIBBaH/ HIMMaH untuk keseluruhan periode. un tuk itu kami mengharapkan para pembaca yang kakak, adik, suami dan istri atau kera batnya alumni M u HIBB a H/HIMM a H dapat segera mengirimkan data pribadi dengan alamat terbaru.

Data dapat dikirim ke alamat LPM HIMMAH UII Jl. Cik Di Tiro no. 1 Yo gyakarta 55223, fax. (0274) 563207 atau melalui alamat e-mail kami: himmah_me dia @mailcity.com. Informasi lebih lanjut dapat anda akses di web site kami: more. at/himmahonline

a tas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Pusat Informasi dan Data LPM HIMMAH UII

Sugianto Suryo Prayogo Jl. Pulau Aru No.11A Sanglah, Denpasar, Bali. 80114
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ASSALAMU’ALAIKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kemandirian untuk Mendukung dan Meluruskan

aPa arti kemerdekaan RI yang ke 57 bagi rakyat? negeri yang konon kaya akan sumber daya alam ini kini terjerat utang mencapai ribuan triliun rupiah. aset-aset penting negara dilelang murah oleh BPP n. Kemiskinan merajalela, bahkan mencapai angka 36 juta angkatan kerja penduduk Indonesia. Pengangguran berjubel, diantaranya jutaan sarjana yang lontang-lantung men unggu lowongan pekerjaan. Belum lagi tambahan jumlah tKI dan tKW yang dipulangkan dari negeri jiran. Sementara lapangan kerja menciut. Kriminalitas pun menjadi-jadi. Sudah begitu elite politik tak henti-hentinya berakrobat untuk kepentingan sempit primordialisme kelompoknya.

Kejadian-kejadian demikian bukan mustahil membuat frus tasi sosial. Masyarakat yang sudah menderita krisis sejak lima tahun lalu terpaksa masih harus dibebani dengan kado kesedihan ulang tahun kemerdekaan tersebut. Rakyat mendambakan sosok pemimpin seperti Bung Hatta. tapi tidak mendapatkannya. Se orang pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip, dan kritis. Mempunyai komitmen kenegaraan yang sangat tinggi. Dengan lapang dada berani mengundurkan diri sebagai bentuk protes untuk kemaslahatan negaranya.

Rakyat kemudian bertanya: inikah kelemahan demokrasi perwakilan ala Indonesia? elite politik menggunakan amanat perwakilan rakyat bukan tulus untuk kepentingan rakyat, tapi lebih untuk mempertahankan kekuasaan, harta, tahta. Mereka umum nya merasa perlu dekat dengan masyarakat pemilihnya saat-saat pemilihan umum, dimana suara pemilih sangat menentukan nasib mereka. Setelah dilantik menjadi birokarat, mereka lupa dengan janji-janji mengabdi buat kesejahteraan rakyat.

Perilaku demikian, berbahaya bagi umat manusia belahan negara manapun juga. Oleh karenanya nabi Muhammad SaW berdoa, ”Ya allah, barang siapa yang menjadi pemimpin umatku dalam bidang apapun lalu ia menyusahkan mereka, maka balaslah perbuatannya itu. Dan barang siapa yang menjadi pemimpin umatku dalam bidang apapun lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka juga balaslah perbuatannya tersebut.” Dalam kesempatan yang berbeda, nabi bersabda, ”Setiap orang yang oleh allah diberi kekuasaan memimpin rakyat, namun pada waktu meninggal dunia dia adalah orang yang menipu rakyatnya, maka allah akan meng haramkannya masuk ke dalam surga.”

Sepeninggal n abi, ketika a bu Bakar terpilih dan dibaiat menjadi khalifah secara langsung di hadapan jutaan mata kaum muslimin, abu Bakar berkata, ”Hadirin semua telah memilihku. Jika Anda sekalian mendapatiku (berbuat) baik, maka bantulah aku. Dan jika anda sekalian mendapatiku selain (kebaikan) itu, maka luruskanlah aku.”

Dalam terminologi modern, ucapan khalifah pertama di atas sejalan dengan konsep civil society. Dawam Raharjo mengilustra sikan civil society sebagai ruang partisipasi masyarakat dalam per kumpulan-perkumpulan suka rela (voluntary associations), media massa, perkumpulan profesi, serikat buruh tani, atau perkumpulanperkumpulan keagamaan yang sering juga disebut organisasi massa. Rakyat yang terlibat langsung dalam pemilu untuk memilih siapa yang duduk memerintah negeri ini memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung dan meluruskan setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Inilah maksud kedaulatan di tangan rakyat.

Dalam kurun sejarah RI, partisipasi rakyat secara sukarela untuk mengontrol kekuasaan belum terlembagakan dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa rakyat belum memiliki cukup ke madirian. Padahal konstelasi politik nasional, jika diamati, seakan tak menyisakan harapan untuk bergantung kepada segelintir para aparatur negara. tapi, bukankah beban untuk keluar dari krisis ini harus dipikul bersama oleh semua komponen bangsa? Jika kita konsisten dengan pertanyaan itu, membebankan tanggung jawab sepenuhnya pemulihan ekonomi, supremasi hukum, budaya politik santun kepada segelintir penduduk bangsa ini yang dipercaya duduk di kursi pemerintahan adalah tindakan yang kurang gentle

Saat memilih siapa yang duduk di kursi pemerintahan, sebe narnya saat itu juga lahir tanggung jawab untuk mengontrol jangan sampai amanat yang kita percayakan disalahgunakan. Sebagai konsekuensi logis, kemandirian masyarakat mutlak ditingkatkan. tanpa itu masyarakat Indonesia yang jumlahnya mencapai dua ratus juta lebih tak akan berdaya menghadapi kekuasaan negara. Sebagai langkah awal, rakyat harus menyadari arti penting pen didikan. Rakyat juga hendaknya mempertahankan dan mening katkan perekonomian mereka, sudah bukan zamannya mengharap fasilitas dari pemerintah.

Diskursus civil society dalam negeri sering disepadankan dengan masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang digambarkan n urcholis Madjid sebagai masyarakat yang mandiri beradab (civilized), yang menyadari akan hak dan kewajibannya serta per anannya. Inilah konsepsi masyarakat yang diidealkan nabi. Bukan masyarakat yang pasif, acuh tak acuh ketika melihat aparatur negara melakukan korupsi, dan atau jenis penyimpangan lainnya.

Dari rahim tatanan masyarakat demikian itulah kita, bangsa Indonesia, berharap lahirnya pemimpin bangsa yang memiliki integritas moral, komitmen kebangsaan, kredibilitas tinggi. Dan ditopang dengan kemandirian masyarakat yang siap mendukung serta meluruskan jalannya pemerintahan.

Wakid Qomaruddin

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . .

KEADILAN SOSIAL VERSUS ORANG-ORANG BERHATI AYAM

Mulyadi J. Amalik

aDa nasihat tua yang selalu diucapkan oleh orang tua untuk mengingatkan anak-anaknya agar tegar dalam sikap hidup yang lurus. nasihat itu berbunyi: ”Boleh kau makan berlauk kepala ayam, tetapi jangan kau tanamkan sikap hidup berhati ayam!” Pada umumnya, orangtua selalu belajar dari pengalaman dan kaya akan cerita-cerita yang bersifat perumpamaan. anak-anak yang men ganut tradisi rantau akan memahami nasihat orang tua itu sebagai tesis kehidupan. Pengalaman sehari-hari si anak akan menjadi antitesisnya. Lalu, sintesisnya ialah saat si anak bertanya-jawab dengan realitas dan berproses secara dialektis dengan kebenarankenyataan.

tan Malaka merupakan salah satu contoh tokoh yang berhasil memadukan filsafat rantau ala Minang dengan tradisi berpikir Hegelian. Berdasarkan falsafah ”apa yang baik dari rantau ialah guru bagi alam”, tan Malaka pun menemukan Indonesia pasca kemerdekaan sedang diambang tercabik-cabik karena banyak ”orang-orang berhati ayam” di medan perjuangan kebangsaan. Di daerah rantaunya, di manca negara, tan Malaka menemukan orang-orang yang sedang memikirkan kemerdekaan dunia pasca nasionalisme. namun ironisnya, tan Malaka adalah salah satu aktor yang terlibas sendiri oleh perubahan-perubahan progresif yang ia tawarkan. Boleh dikata, hampir semua Bapak Republik ini men galami nasib serupa dengan tan Malaka. Selalu saja, tokoh-tokoh Republik yang ingin (berpikiran) maju bersama demokrasi-yangberkeadilan-sosial tersingkir oleh ”orang-orang berhati ayam” yang datang dari kalangan mereka sendiri. Kenyataan ini bagaikan teka-teki kebangsaan yang selalu tak terjawab sehingga setiap generasi zaman selalu mengalami kebimbangan memilih referensi perjuangan yang akurat.

Saat ini pun, bangsa Indonesia sedang mengalami masa yang lebih sulit dibanding zaman Bapak Republik karena ”orang-orang berhati ayam” itu sudah berada di segala sektor dalam berbagai raut muka. Bahkan, tidak hanya ada dan menumpang pamrih di balik baju strategis yang disebut revolusi atau reformasi, tetapi ada dan selalu berkokok seperti ayam di sekeliling lingkungan kita.

nah, tebak dan carilah di sekitarmu! Bila tidak tertangkap, mungkin ”orang-orang berhati ayam” itu sedang menyelusup ke dalam diri kita sendiri, sedang kita tak selalu menyadarinya.

Pada suatu pagi, seorang kakek bercengkrama akrab dengan ayam-ayam peliharaannya. Ia selalu ditemani cucunya. Setiap memulai percakapan, sang kakek selalu mengatakan: ”Boleh kau makan berlauk kepala ayam, tetapi jangan kau tanamkan sikap hidup berhati ayam!”

Hingga sang kakek wafat dan sang cucu telah berusia Sekolah Menengah, petuah itu belum juga terjawab. Sang cucu pun tentu tak bisa melupakan petuah kakeknya itu begitu saja. apalagi, ia harus memberi ayam-ayam itu makanan dan minuman setiap pagi atau sore.

tibalah pada suatu hari, saat sang cucu melemparkan makanan kepada ayam-ayam peninggalan kakeknya itu. Setiap makanan itu terlempar dan menyebar ke tanah, semua ayam baik yang jago, betina, maupun anak-anaknya berebutan mematuknya. Dan, setiap itu pula, ayam jago menjadi beringas dan mencoba mengusir atau memburu ayam-ayam yang lain, walaupun ayam-ayam itu sesung guhnya adalah istri atau anak-anaknya sendiri.

Sementara itu, sesama anak-anak ayam itu terjadi pula sal ing usir, saling buru, saling cakar, dan saling patuk untuk mem perebutkan makanan yang ada di depan mereka, walaupun makanan itu juga ada dan tersebar di tempat lain di sekitar mereka. Biasanya, setelah berhasil mengusir saingannya, ayam-ayam yang menang itu tidak juga menghabiskan makanan yang ada di depannya karena motivasinya hanyalah: tak mau berbagi (serakah) dan tak suka yang lain berbahagia (iri atau dengki).

Begitulah, sang cucu pun mulai mengerti makna harfiah ”orang-orang berhati ayam” dan ikhwal hilangnya keadilan-sosial. Sekarang, sang cucu sedang berpikir, bagaimana bila ”orang-orang berhati ayam” itu sedang berada di medan juang kemanusiaan atau sedang memimpin bangsa ini. nah, mari kita pikirkan bersama untuk membantu sang cucu itu.

adalah

Pasca Sarjana

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [KOMENTAR]
***
Penulis
Mahasiswa
Jurusan Sosiologi-Studi Pembangunan UGM
 . . . . . . . . . .

Wajah Kampus

Rindu Terang Perubahan

JuM’at 8 Februari 2002, kerumunan massa menggeliat, di depan kampus Fisipol UGM. Seketika pagi mengabarkan kecaman. Kata-kata membuncah, mer ebak amukan. Sekitar 150-an mahasiswa mendesak masuk dalam barikade barisan polisi anti huru-hara. terjadilah aksi dor ong-mend o rong, polisi dengan tameng fiberglass-nya, memukul mahasiswa den gan tongkat rotan. Rupanya, di sana telah terjadi demonstrasi, menentang kedatangan Perdana Menteri Australia, John Howard yang berkunjung ke Yogyakarta, termasuk ke uGM.

Konon, kekerasan sudah lumrah di neg eri ini, juga berdemonstrasi, demi cita-cita adiluhung yang dibawa oleh sebagian besar komunitas gerakan mahasiswa. Itulah seke lumit gambaran kecil, yaitu represi yang dialami mahasiswa pergerakan–demikian sebutannya. tak terkecuali di kampus lain, di kota yang lain pula.

Willy aditya (20) namanya, bertubuh tambun, berambut ikal. Ia adalah koor dinator umum Forum Mahasiswa Nasional (FMN) yang ikut andil be r demonstrasi menyambut kedatangan John Howard. ”Saya tidak kena pukul, sehingga banyak wartawan yang men a nyakan juga, kok anda tidak kena?” papar Willy. ”Karena peran pemimpin sangat penting maka saya diamankan. Kami ada tim pengaman, untuk kepentingan politik, keorganisasian,” tutur mahasiswa berdarah Batak-Padang ini. Buntut dari unjuk rasa tersebut membawa nya mendapat kecaman dari rektor univer sitasnya yang ketika itu dijabat Prof Dr Ichlasul amal.

Mungkin, situasi yang sama juga dialami oleh mahasiswa yang lain. arie Sujito misalnya, mantan Presidium Dewan Mahasiswa (Dema) u GM 1994-1996, sudah sering mendapatkan perilaku yang tak wajar dari aparatur militer. ”Sampai yang namanya bentrokan dengan tentara, saya biasa mengalaminya yang justru itu sengaja diundang oleh pihak rektorat,” ujarnya kepada HIMMAH, ketika ditemui di tempat kerjanya.

Sekarang, terang saja, situasi sudah tidak sama lagi, diskusi menjamur bak cendawan di musim penghujan. Maha siswa mengarahkan roda keranda negeri ke hilir demokrasi, liberalisasi politik di setiap ranah kehidupan. Secara pasti, mereka mulai melakukan penyadaran dari tekanan-tekanan yang dirasakan dulu, sek edar membuka kotak pandora untuk tidak terulang lagi oleh pemerintahan baru pasca Soeharto.

tapi apa nyana, pesta kebebasan itu hanya berlangsung temporer saja, repro duksi penekanan masih menjadi tradisi kaum birokrat dan pemilik modal. terbukti dengan adanya larangan bagi mahasiswa untuk berdemonstrasi di dalam kampus, mereka menganggap demonstrasi hanya punya implikasi yang negatif terhadap pembelajaran pendidikan di ruang kuliah. Mereka mengancam para anak didiknya untuk tidak ikut dalam pergerakan yang berada di luar struktur kegiatan kemahasiswaan atau biasa dikenal dengan sebutan

elemen ekstra kampus. ”Mahasiswa takut pada pilihan karena semakin tertekan terus oleh pragmatisme dan teralienasi dalam konteks sosialnya,” ujar arie.

Realitasnya, di negeri kita, Indonesia, sebuah nama demokrasi seperti barang suci yang susah disentuh, apalagi dibawa dalam jejak pikiran maupun tindakan. negara merasa berdosa jika menelurkan keterbukaan pada ruang publik untuk berpi kir kritis atau menggagas bersama menuju keberadilan dan perubahan. ”Ya, kekuasaan itu memang selalu begitu saat mengalami kemapanan, ia akan terus-menerus mela kukan pressure, karena proses kemapanan itu kan sering kali dipakai pemerintah un tuk bermain,” tutur arie, sosok yang cukup dikenal oleh aktivis pergerakan. Menurut nya, negara dapat memberikan ruang audensi politik untuk bebas berekspresi maupun berdemonstrasi, jika negara meng alami delegitimasi kekuasaan. ”terbukti, pada era reformasi banyak kekacauan, ini karena negara mengalami ketidakpastian,”

Bergelut hidup di kampus, kebebasan masih dipasung. Ada ketakutan terhadap kebebasan berpendapat. Karena menjadi ancaman bagi kepentingan ekonomi perguruan tinggi? Aktivis kampus. Sering mendapat tekanan dari universitas dan negara GM Anugerah / HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [KEMAHASISWAAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

tandasnya pada HIMMAH

Kalau digeneralisir, represifitas itu sendiri dapat berbentuk regulasi yang berupa kebijakan akademis di dalam kam pus, dan bisa juga berafiliasi dengan stigma di dalam ruang kuliah. terkadang, para dosen mahasiswanya sendiri yang menjadi instrumen pengendali, malahan kadang mencap mahasiswa pergerakan yang bu kan-bukan, di luar rasionalitas. ”Kami sudah biasa mendapat sindiran berlebihan oleh dosen ketika jam kuliah berlangsung,” tutur Arif, aktivis FMN, mahasiswa Fisipol uGM.

Perubahan Represifitas

10 Desember 2000, Suasana belum menyiratkan malam benar. Sekelompok orang dengan membawa senjata tajam masuk ke rumah yang be r penghuninya masih tidur-tiduran di dalam kamar penye kat. ada gambar close-up Che Guevera di sana, ada sindiran demokrasi untuk negeri Indonesia. tiba-tiba suara gaduh bersandar di dinding-dinding kamar, mencekam. Sekelompok orang itu meluluhlantakkan semua barang milik penghuninya, termasuk gambar Che muda yang tersenyum. Entah dari mana datangnya orang-orang tersebut. Merusak dalam rumah kontrakan yang pen ghuninya mahasiswa uGM yang menjadi aktivis FMN cabang Yogyakarta. Rumah yang terletak dekat Universitas Janabadra, Jalan Tentara Rakyat Pelajar itu sebagai kantor sekretariatnya. ”Kami semua lari ketakutan, tak terhitung jumlah teror-teror dari mereka,” kenang Willy. ”Saat itu lagi merebak isu anti komunis, di saat pemer intahan Gus Dur,” sambungnya.

a danya pergeseran bentuk-bentuk penekanan terhadap pergerakan mah asiswa di dalam lingkaran kampus dari yang sifatnya koersif pengendalian se cara otoriter dengan corong barisannya aparatur militer, ke pola hegemonik yang lebih lembut dan tak kasat mata, telah menerbitkan keterkungkungan alir demo krasi, dan bila ditarik dalam tataran sosi ologis berimplikasi pada hilangnya nilai humanisme. ”Secara kualitatif berbeda, tetapi watak represif itu sama,” terang arie, yang kini dosen Fisipol UGM. Lebih lanjut dia menjelaskan, kecenderungan sekarang, pemerintah saat ini lebih menekankan pada kekuatan sipil dengan memberikan keleluasaan peran pada sipil tapi mewakili negara, ”Misalnya saja ada gerakan anti komunis untuk men g hambat kelompok yang dianggap berseberangan.”

Fenomena yang menggejala sekarang ini, represifitas itu bermetamorfosis dengan berdirinya sebuah kampus yang otonom,

pendidikan yang hanya mengarah pada kepentingan modal. tentunya, mengikuti perkembangan zaman yang sudah meng global sifatnya, karena kalau tidak demi kian, kampus hanya menjadi kuda troya yang kehilangan spirit dan kemegahannya. Kampus masa kini, menjadi koridor garis merah kepentingan para kapitalis.

”Sekarang kampus dimobilisasi ke arah komersialisasi, baik negeri atau swasta. Yaitu dengan adanya otonomi kampus,” terang arie, melihat arah perkembangan kampus di Indonesia. Menurutnya, otonomi kampus sekarang bukan pada pengem bangan akademik namun dikomersialkan, kemudian diubah bentuk marketisasi Dia mencontohkan di u GM, tempat institusinya sekarang, bahwa mahasiswa kalau protes terus dianggap oleh kampus akan mengganggu. ”Ini dilakukan untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan kampus, menyelamatkan para investor, makanya wajar kalau pada pemilihan rek tor mahasiswa tidak diberikan ruang untuk memilih,” tandasnya.

Pilihan selalu menjadi dilematis bagi mahasiswa, apalagi jika pilihan itu me nyangkut keterbatasan, apakah akan mengejar ”dirinya” sebagai mahasiswa, yang nantinya berjumpa dengan realitas kampus, dengan pengkultusan untuk cepat selesai dan cepat mendapatkan pekerjaan. ataukah masuk ke dalam komunitas per gerakan, dengan seluruh pengorbanan harapan yang ingin merefleksikan kam pus sebagai miniatur negara demokratis, bebas nilai dari mainstream yang dibentuk globalisasi, kapitalisasi di seluruh ruang keadaan. ”ancaman itu sering terjadi, teru tama ancaman DO (Drop Out) yang dikenai oleh Willy, bahkan tiga kali melalui surat peringatan sampai ke rumah orang tua,” ujar arif, menggambarkan sosok ketuanya, Willy aditya. ”akhirnya terjadi diskrimi nasi antar mahasiswa yang tidak kritis den gan mereka yang kritis dalam hal fasilitas kampus. Dan mendapat ancaman serta teror walau secara halus,” imbuhnya.

Kasus serupa terjadi di u niversitas Indonesia (uI). Dhoho ali Sastro, Lucky Lontoh, Fezan Gustano Razak, dan ketiga rekannya sempat me n dapat hukuman berupa larangan mengikuti kegiatan per kuliahan antara enam bulan hingga setahun. Skorsing tersebut d ijatuhkan Rektor uI terhadap keenam mahasiswanya tersebut pada 16 november 2000, karena mereka adalah sebagian pelaku demo yang menolak kenaikan dana kualitas pendidikan.

Profit Oriented dalam Kampus Secara pasti, langkah menuju pe r-

dagangan dalam dunia pendidikan, mene mukan tempatnya untuk berepr o duksi. tidak saja di kampus, namun di setiap institusi formal yang ada di Indonesia. Kampus sebagai cermin pendidikan nasio nal, tidak lebih dari ajang permainan para pemilik modal, hanya memberikan rumah bagi mahasiswa yang mampu secara eko nominya. ”aku pikir bicara kapitalisasi pendidikan itu suatu yang wajar, karena sekarang rezimnya kapitalis, negaranya kapitalis. apa itu nggak wajar?” kata Willy yang sehari-harinya adalah mahasiswa program ekstensi Filsafat UGM. Menuru tnya, posisi mahasiswa baru sebatas po sisi yang sifatnya pressure, karena ada hal yang determinan yang dinamakan modal, ”Dalam yayasan itu, ada posisi pengusaha di sana.”

Korelasinya dengan represifitas di kampus, pemilik modal tidak ingin kepen tingannya terdesak oleh ancaman kritis mahasiswa, sehingga dibuatlah sistem akademik yang lebih menekankan pada pencapaian hasil dibandingkan proses, entah itu proses menuju kedewasaan ber pikir mahasiswanya, atau mencari bentuk kampus yang ideal untuk bertransformasi wacana demokrasi. Maka tidak heran, jika represifitas itu berbuah pengasingan aktivi tas mahasiswa terhadap realitas sosialnya, dengan cara mengatur kurikulum yang merekonstruksi mahasiswa untuk cepat selesai kulaih. ”Represifitas sekarang lebih sistematis dengan m e numpang m e lalui kapitalisme, mahasiswa dikonstruksi untuk ada jarak, dibuat jauh dari ruang lingkun gan,” kata arie. ”akibatnya memang tidak punya ruang dan waktu untuk berpikir kritis, sehingga apatis terhadap lingkungan sekitar,” lanjut dosen muda yang juga aktif di Institute for Research and Empowerment (IRe).

Mungkin mahasiswa belum menyadari, kampusnya menjadi arena persaingan pemegang hak milik. atau belum sadar betul akan bahaya kapitalisme yang sudah menjalar kemana pun juga, ruang yang bisa menguntungkan pemilik modal. ”apolitis, mahasiswa kita ini, nggak ada sekarang orang yang kritis,” tegas Willy, mencermati jalan pikiran mahasiswa di sekitarnya.

Malam semakin larut. Sekitar pukul 22.30-an, Willy sudah harus pamit pergi untuk urusan lain. Pandang matanya tajam seakan menyiratkan garis hidup dia, selama menjalani kuliah di Jogja, dan sampai sekarang. Rerintik kecil rambut di garis tepi wajahnya dibiarkan tak terurus, mungkin juga hidupnya. ”Sekarang saya harus siap mengorbankan separuh waktu saya, tidak hanya kuliah tapi juga berorganisasi dengan

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [KEMAHASISWAAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [MR. X]

Antara Kuasa dan Kemuliaan

KeKuaSaan dan kemuliaan pada awalnya boleh jadi merupakan dua wilayah yang berlainan. Kekuasaan adalah terminologi politik, sedan gkan kemuliaan bisa dimasukkan ke dalam terminologi kultural. Domain utama kekuasaan adalah praktik-praktik politik, sedangkan kemuliaan mung kin umumnya diterima sebagai semacam opus spirituale yang tercermin langsung dalam perilaku. Kalau kekuasaan dihasilkan dari relasi-relasi so sial, kemulian hanya mungkin diraih melalui pengolahan ruhani secara indi vidual. ekstrem negatif kekuasaan adalah pemanfaatan sumber-sumber daya koersif untuk menghabisi lawan, sedangkan kemuliaan pada titik ekstremnya bisa melahirkan ketaklidan buta para pengikut. Kalau kekuasaan bisa men jadi tirani, kemuliaan berpotensi menghasilkan dogma. apa yang terjadi jika kekuasaan dan kemuliaan itu berada dalam satu genggaman tangan? DI. Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki tipologi sosial yang unik. ada entitas bernama Keraton ngayogyakarta Had iningrat di sana. Keberadaan keraton dianggap sebagai simbol dan sumber kemuliaan yang sakral masyarakat Yogyakarta. Sultan sebagai raja keraton bergelar khalifatullah yang berhak mengatur seluruh kehidupan masyarakat. Dengan bekal tanah warisan yang luasnya lebih dari 40.000 hektar, sultan dapat berbuat banyak. Disamping itu, keistimewaan DIY ditafsirkan salah satunya sebagai pemberian hak kepada sultan untuk menjabat gubernur. Maka lengkap sudah kekuasaan sultan secara politis maupun ekonomis. Pagelaran ritualitas budaya, diakui maupun tidak, juga menstimulus reproduksi mitos di tengah kehidupan rakyat. Mitos bahwa sultan memiliki kekuatan magis pun, di zaman modern ini, masih kental mewarnai alam pikir rakyat. Kuasa sultan dalam bidang politik, ekonomi plus hidupnya mitos dan semaraknya ritualitas budaya itulah yang mengokohkan eksistensi kekuasaan sekaligus kemuliaan sultan di benak rakyat. Keadaan demikian itulah yang mendorong HIMMAH untuk menya jikan laporan utama dengan tema Lingkar Kuasa Keraton Jogja. Pada bagian awal akan dipaparkan gambaran menyeluruh eksistensi kekuasaan Keraton ngayogyakarta Hadinigrat. Bagian kedua akan mengulas reproduksi hege moni melalui aset ekonomi dan politik lewat tema Mengharap Demokrasi, Menyemai Benih Tirani. Deskripsi birokrasi feodal di DIY dan bagaimana singgasana politik dibangun mengawali tulisan ini. Diikuti pemaparan asetaset ekonomi serta bagaimana kekuasaan direproduksi. Bagian ketiga lewat tema Dualisme dalam Budaya Keraton berusaha memaparkan budaya feodal dan implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. untuk melengkapi bahas an, bagian keempat akan mencoba memaparkan bagaimana mereposisi peran sultan. Bertolak dari Rancangan undang undang Keistimewaan DIY dan kondisi sosiologis masyarakat DIY, bahasan ini menyajikan gagasan para akademisi tentang idealita pemerintahan DIY ke depan. Sebagai pendukung, HIMMAH juga menampilkan petikan wawancara dengan tokoh ahli, peta dan data luas tanah sultan, serta data perusahaan milik keluarga sultan. Bagaimanapun juga laporan utama ini sekedar ikhtiar untuk membangun kesadaran kritis hidup bermasyarakat dan bernegara. agar ungkapan Lord acton, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, tidak ter jadi di bumi kota pelajar ini. Bahwa tidak ada yang sempurna di jagad dunia ini. untuk itu kritik sosial diperlukan agar kekuasaan dibatasi dan dibagi, demi membangun tatanan masyarakat yang lebih berkeadilan.

Ujang Priatna HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . .

Lingkar Kuasa Keraton Jogja

RuM a H -rumah sangat sederhana dalam Dalem Kaneman itu seperti tak lapuk ditelan zaman. Bentuk bangunannya yang masih asli menjadi saksi eksistensi budaya asli masyarakat Yogyakarta. Inter aksi antar masyarakat dikemas dalam sopan santun, saling menghargai, saling tolong menolong. Lingkungan masyarakat seperti itulah yang membuat nyaman warga Dalem Kaneman, meskipun tinggal di rumah ala kadarnya. Berukuran kurang lebih 6 x 4 meter, tanpa sertifikat hak milik atas tanah beserta bangunannya.

Heris (30-an tahun), salah satu warga Dalem Kaneman mengaku bahwa keluar ganya sudah mendiami rumah pemberian Sultan Hamengku Buwono (HB) IX lebih dari 40 tahun. ”Rumah ini dulu disuruh menempati almarhum ayah kami sewaktu beliau menjadi abdi dalem. Jadi statusnya magersari (hak guna red.),” ungkap Heris. Karena itulah, ”Kami tidak diperkenankan membangun atau menambah bangunan di atas tanah magersari ini,” ungkap Heris sambil mengganti popok bayinya.

Kondisi demikian tidak saja dialami oleh Heris beserta keluarganya. tetang ganya yang berdiam di atas tanah magersari juga mengalami hal yang sama. Jumlahnya mencapai lebih dari 30 puluhan keluarga. namun demikian sampai saat ini mereka umumnya rela meninggalkan kediamannya yang telah dihuni secara turun temurun jika sultan menghendaki. ”Kalau kita sih ikhlas. Ini memang bukan milik kami. Mau gimana lagi kalau ngarso Dalem (sebutan bagi sultan–red) menghendaki,” tutur adik Heris mengakui eksistensi kekuasaan sultan.

Pengakuan akan eksistensi kekuasaan sultan juga terlihat dengan jelas kala pernikahan putri pertama Sultan HB X ber langsung. Ketika arak-arakan kirab pengan tin mengelilingi benteng keraton–sepanjang lima kilo meter, ribuan warga Yogyakarta berdesak-desakan di bawah terik matahari ingin menyaksikan pernikahan putri ra janya. ada yang datang dari Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Kulonprogo, bahkan tidak sedikit yang dari luar DIY.

Ketika prosesi Jumenengan Agung Raja Ngayogyakarta Hadiningrat HB X,

diperkirakan sejuta orang tumplek bleg di sepanjang jalur yang akan dilewati kirab ngarso Dalem yang duduk di dalam kereta Kyai Garuda Yekso. tangan-tangan me nyembah atau melambai-lambai, ngalap berkah dari Kanjeng Sultan yang diyakini kemanfaatannya oleh kawula alit (rakyat kecil–red)

Peristiwa demikian itu menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan sultan masih sangat kuat melekat dalam benak warga. Warga Yogyakarta, terutama mereka yang berada di pedesaan, masih menganggap HB X sebagai raja dan mereka adalah kawu lanya. tampaknya di antara mereka inilah yang pada pemilu 1999 nglurug ke DPRD menuntut penobatan langsung wakil guber nur tanpa proses pemilihan sebagaimana layaknya di pemerintahan demokratis.

Mengakar pada Sejarah

Fakta di atas terjadi terkait dengan fak tor sejarah masyarakat Yogyakarta yang memiliki tradisi kerajaan. Kasultanan Yogyakarta yang sekarang dikenal dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

berdiri pada tanggal 13 Februari 1755, pada saat ditandatanganinya perjanjian Gianti. Perjanjian Gianti yang juga disebut Palihan nagari, membagi kerajaan Mataram men jadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta di bawah pimpinan Paku Buwono III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I.

G. Moedjanto menulis bahwa dalam budaya Mataram, rakyat (penduduk) dike nal sebagai kawula dalem (hamba raja). ”Mereka adalah manusia milik raja, sep erti kuda, gajah, burung perkutut dan seba gainya,” tulis Moedjanto–ahli sejarah Jawa. Raja Mataram dikatakan wenang wisesa ing sanagari (berkuasa di seluruh negeri). Selu ruh daerah kekuasaan berada di tangannya, karena negara adalah miliknya. Ini persis seperti pernyataan Louis XIV dari Perancis: L’etat c’est moi (negara adalah saya). Maka dapat dimaklumi kalau milik kerajaan juga milik pribadi sang raja.

tetapi dalam kenyataannya para raja Mataram tidak konsekuen menjalankan kepemimpinan, kekuasaan dan kewajiban nya secara berimbang. Mereka lebih ber

Luas tanah milik sultan tak dibatasi. Secara politis, ia berkuasa dengan legitimasi hukum yang dibuat. Ritualitas budaya berpotensi mengingatkan orang akan kuasa sang raja. Inikah praktik modern absolut isme kekuasaan raja dalam tradisi kerajaan Mataram? Keraton Yogyakarta. Menjadi pusat kekuasaan dan kemuliaan Ujang Priatna HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

pegang pada kekuasaannya yang absolut daripada kewajibannya yang mulia bagi sesama. Hampir semua raja pernah berbuat hal yang sewenang-wenang. Demikian tulis Moedjanto dalam Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Mataram sering disebut sebagai kera jaan feodal. Masyarakat feodal adalah masyarakat yang tersusun berdasarkan kepemilikan tanah luas. Sistem feodal adalah sistem kemasyarakatan berdasar kan pemilikan tanah. Sistem ini berlanjut pada Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. namun sistem kerajaan yang feodal itu kini tidak lagi sesuai dengan alam demokrasi.

memilih, menyetujui dan mendukung pemimpinnya. Sehingga pemimpin ber kepentingan memikirkan rakyatnya. Kemu dian ada batasan waktu masa jabatannya,” tutur ni’matul Huda kepada HIMMAH di kantornya, Magister Hukum universitas Islam Indonesia.

Lebih lanjut ni’matul Huda mengung kapkan bahaya sistem pemerintahan feodal. ”Implikasi negatif dari sistem pemerintahan yang feodalistik adalah tersumbatnya kran demokrasi. Pengaruh ewuh pakewuh san gat kental, sehingga menghambat kontrol terhadap adanya penyimpangan-penyim pangan yang dilakukan sultan sebagai penguasa. Ironisnya sekarang ini kontrol tersebut hanya berlaku pada sekup wakil gubernur saja, tapi untuk gubernur ada keengganan untuk menggugat ada apa

.

nyatakan diri bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sta tus daerah istimewa, sejak itu pula peme rintahan DIY menyesuaikan dengan aturan pemerintahan RI. Secara kultural rakyat mengakui eksistensi kekuasaan sultan. Dan secara struktural, sultan diangkat sebagai Gubernur DIY oleh pemerintah pusat. Se bagai gubernur, sultan tidak lagi berkuasa mutlak. Sekarang telah ada DPRD yang berfungsi sebagai pengawas sekaligus part ner dalam membuat kebijakan menjalankan pemerintahan.

namun demikian, model pemerintahan dengan sparing partner ala sistem demo krasi tersebut tidak akan berjalan dengan baik bila masyarakat masih menghendaki feodalisme keraton. ”Idealnya dalam sebuah pemerintahan, rakyatlah yang

tidaknya penyimpangan tersebut.”

Selain itu, Dosen Fakultas Hukum UII ini juga melihat adanya semacam belenggu terhadap kebebasan pers lokal. ”Dulu sewaktu ada debat publik mengenai keisti mewaan DIY, kami mengirim artikel di salah satu media cetak lokal. Lalu tulisan itu ditanggapi oleh PJ. Suwarno yang menjadi staf ahlinya sultan. Kemudian kami tang gapi balik. namun terakhir tulisan kami tidak dimuat, yang dimuat malah tulisannya PJ. Suwarno,” keluh Huda terhadap pro porsi pemuatan yang tidak seimbang.

Sementara itu Prof PJ. Suwarno ketika diwawancarai di kantornya malah balik bertanya: apa sebenarnya arti demokrasi? ”apa sekedar pemimpinnya dipilih oleh rakyat mayoritas atau ada unsur-unsur lain.

. . . . . . .

. . .

. .

Misalnya dalam pelaksanaan pemerintahan. apakah pemerintah mendengarkan rakyat atau tidak, ini kan termasuk unsur-unsur demokrasi juga,” tutur ahli sejarah yang asli warga Yogyakarta ini. Mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur itu tidak dari rakyat itu hanya faktor demokrasi yang kecil sekali. ”Kalau mengenai pemilihan itu tidak dari rakyat banyak, ya baiklah itu dilaksanakan karena ada tradisi. Sekarang masalahnya setelah itu jadi, apakah dia (sultan) sewenang-wenang atau mengikuti juga aturan-aturan demokratis?” ungkap PJ. Suwarno menyanggah.

Berdasarkan penelusuran reporter HIMMAH diketahui bahwa mayoritas warga Yogyakarta masih menghendaki sultan sebagai gubernur. Yanto, misalnya, warga asli Yogyakarta menyatakan, ”Ka lau warga Jogja itu dipimpin bukan dari sultan, rasanya akan ganjil.” Pendapat ini diamini oleh warga Yogyakarta lainnya. ”Orang Jogja itu tidak rela diperintah kalau dawuh-nya (perintah –red) bukan dari raja. Jadi, kalau mau daerah ini tetap aman, se baiknya pemimpin keraton dijadikan pucuk pimpinan pemerintahan,” ungkap Herman (59), pedagang burung di pasar ngasem. Hal senada juga diungkapkan ny. trisno (50), ny amiyati–pemilik warung nasi Bu Kudho, dan Kasiran (41) yang setiap harinya berjualan mi ayam di Plengkung Yudonegaran seperti dikutip SKH Kedaula tan Rakyat.

Pengakuan warga Yogyakarta di atas menunjukkan kuatnya legitimasi rakyat atas duduknya sultan sebagai gubernur, meskipun tanpa melalui proses pemilihan. Dengan kata lain, jika proses pemilihan digelar, dapat dipastikan sultan akan men dapat dukungan mayoritas. Proses pemi lihan inilah yang nampaknya diharapkan dapat dilangsungkan di DIY oleh sebagian akademisi, sehingga proses demokratisasi dapat dilangsungkan. Dan proses demi kian itu penting bagi pendidikan politik masyarakat.

n amun perlu digarisbawahi bahwa demokrasi tidak bisa dipaksakan. ”Per soalannya memang, realitas politik masih sangat mempertahankan sultan,” tegas Imawan Wahyudi, Ketua Fraksi Amanat nasional DPRD tk.I DIY. Hal itu terjadi lantaran sultan menguasai aset-aset ekono mi, politik maupun budaya. Sampai saat ini, tanah sultan (Sultan Ground–SG) yang sudah diukur Badan Pertanahan nasional (BPn) berjumlah lebih dari 39.300.770 meter persegi. Sultan juga memiliki hotel ambarukmo dan Pabrik Gula Madukismo.

Masyarakat Yogyakarta. Kepatuhan budaya di bawah naungan keraton Iwan Nugroho / HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
.
. . . . . . . . . . .

(Lihat peta tanah dan perusahaan milik keluarga sultan)

Dalam tinjauan politik, Imawan Wahy udi melihat bahwa riil politik itu memang ekonomi sebetulnya. ”Saya setuju riil politik di DIY itu memang sultan sebetul nya,” katanya meyakinkan. Itulah mengapa setiap pemilihan umum berlangsung, sultan selalu menjadi komoditas politik yang meng giurkan bagi perolehan suara dari masyarakat Yogyakarta. ”Dalam pemilu

kepentingan sosial.

a dapun ritual-ritual budaya selain untuk kepentingan pelestarian, juga mengi ngatkan orang pada ketundukan, kepatuhan kawula (rakyat) kepada gusti pangeran (raja/sultan). ”Saya sering ke desa-desa dan saya merasakan hal itu. Kalau orang sudah bicara kasultanan, ya itu diterima se utuhnya,” ungkap Imawan Wahyudi ketika ditemui di kantornya–DPRD DIY. Oleh karena itu Prof. Kodiran menyarankan agar

alam pikirannya diselimuti oleh mitos. ”Jika masyarakat ingin maju, maka harus berpijak pada realitas,” demikian tulis Kuntowijoyo, budayawan yang tinggal di Yogyakarta. PJ Suwarno yang juga asli Yogyakarta, berbeda pendapat. ”Mitos yang dipercaya masyarakat itu tetap hidup sejak HB IX. Tetapi kemerdekaan, kalau Anda baca sejarah perjuangan, Jogja paling maju dan dipilih presiden untuk mengungsi, se lama Jakarta diduduki oleh Belanda.”

tahun 1999 misalnya. PDI Perjuangan dan Partai Golkar menjadikan keraton sebagai komoditas politik,” ulas Ridaya La Ode n gkowe, aktivis Institut Development Economic Analysis (IDea) Yogyakarta. Ia memberi contoh bagaimana Golkar memperjuangkan mati-matian sultan se bagai presiden. Padahal sudah ada wacana dominan di tingkat pusat bahwa calon presiden dari Golkar itu Habibie atau akbar tandjung.

Dalam sejarah, Mataram juga sering disebut sebagai kerajaan feodal. Masya rakat feodal adalah masyarakat yang tersusun berdasarkan pemilikan tanah luas. Semua tanah adalah milik raja. G. Moedjanto menulis, kalau raja tak mau kehilangan seluruh tanah miliknya, ia harus mau membagi-bagi tanahnya itu dengan orang lain, yang dapat diperintah dalam ikatan feodal (dengan kontrak feodal). Dalam pengamatan Ridaya La Ode ng kowe, sultan ground yang demikian luas itu dijadikan instrumen untuk mengukuhkan eksistensi kekuasaan kraton. Yaitu dengan cara membagi sebagian tanahnya untuk

ada pemisahan antara budaya yang dikomo diti untuk memproduksi kekuasaan dengan budaya sebagai jati diri masyarakat.

Hingga kini masyarakat Yogyakarta masih kental dengan mitos-mitos. tiupan angin kencang waktu perhelatan pernika han GKR Pembayun diyakini masyarakat Yogyakarta sebagai tanda kedatangan Ratu Roro Kidul dari Laut Selatan dan penguasa Merapi untuk menyaksikan pernikahan pu tri raja Mataram. tiga hari menjelang acara puncak perkawinan, kata Hadiwinoto, Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri yang mengatakan bahwa para arwah leluhurnya sudah datang, dan duduk di tengah-tengah Bangsal Kencana. Mitos gaib seperti ini dapat melahirkan interprestasi yang bera gam. Bagi masyarakat awam, mitos itu semakin menguatkan keyakinannya terha dap eksistensi kekuasaan yang mulia sang raja. Bagi kaum terpelajar, mitos itu dapat dilihat sebagai instrumen budaya untuk menguatkan legitimasi kekuasaan kultural sang raja.

Kuntowijoyo pernah menulis kalau masyarakat akan sulit berkembang jika

namun demikian, penguasaan aset-aset ekonomi, politik maupun budaya tersebut meniscayakan rasa ewuh pakewuh (sung kan), rasa segan, rasa tunduk asor terhadap raja, rasa takut tidak berkah, rasa berdosa kalau tidak melakukan perintah sultan. Gelar raja Mataram menjadi ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrakhman Sayidiman Panoto gomo Kalifatullah”. Dari gelar itu tampak kekua saan raja mencakup urusan pemerintahan, militer, dan agama. Dengan gelar kha lifatullah, demikian tulis Moedjanto, raja Mataram mengaku dirinya adalah wakil nabi. Sehingga kalau ada rakyat yang tidak menjalankan perintahnya, maka ia berdosa. Jika ada rakyat yang tidak mengin dahkan palilah Dalem, maka hidupnya tidak berkah. Warga Dalem Kaneman dan warga Yogyakarta lainnya juga akan merasa sungkan terhadap sultan, karena status tanah dimana mereka tinggal magersari, tanah milik sultan. Begitu juga dengan para mahasiswa yang mayoritasnya pendatang. ”Mereka yang pendatang harus memahami keunikan kota Yogyakarta,” begitu tulis koran lokal menghimbau.

Padahal setiap tahunnya, puluhan ribu calon pelajar maupun mahasiswa berda tangan ke DIY. Besarnya jumlah pendatang itu tidak diketahui secara pasti oleh Badan Pusat Statistik. Banyaknya kaum terpelajar yang berdomisili di DIY–terutama di per kotaan–berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat. Jika dipetakan, soal jaba tan gubernur misalnya, masyarakat kota bisa memahami kehendak demokratisasi dalam pemilihan jabatan publik tersebut. Sementara masyarakat pedesaan belum bisa menerima proses pemilihan tersebut. Perde batan aspirasi antara dua mainstream inilah yang meramaikan pembahasan Rancangan u ndang- u ndang Keistimew a an Daerah Istimewa Yogyakarta.

DIY tidak mau ketinggalan dengan nangro aceh Darussalam maupun propinsi Irian Jaya. Sultan HB X yang pada tahun 2003 nanti habis masa jabatannya setelah dua periode pemerintahan bersemangat memperjuangkan uu Keistimewaan DIY.

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Tetap patuh dalam kesederhanaan Surya Adi Lesmana HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

u ntuk kepentingan ini Sri Sultan HB X mengeluarkan surat perintah nomor 188.2/1174 untuk membentuk tiga kel ompok pakar, praktisi politik, dan tokoh masyarakat. Kelompok pertama bertugas memberikan arahan dalam perumusan Ruu tentang keistimewaan DIY. Kelom pok kedua bertugas mempersiapkan bahan pengkajian dan perumusan Ruu tentang keistimewaan DIY dan menyusun draf akademik Ruu itu. Dan kelompok ketiga bertugas melakukan lobi jalur politik dan mengkondisikan pembahasan R uu itu berjalan lancar. untuk mengegolkan Ruu tersebut hingga pembahasan di DPR RI diambilkan dana Rp 5,9 milyar dari aPBD DIY.

Dari bursa Ruu Keistimewaan DIY, tampaknya Sri Sultan HB X tidak meng hendaki model pemerintahan ala kerajaan Inggris. Di mana raja duduk sebagai penguasa kultural sementara untuk urusan politik diserahkan pada perdana menteri yang terpilih. Dari jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang dilontarkan masyarakat kepada Ngarso Dalem HB X yang ter muat di SKH Kedaulatan Rakyat terdapat beberapa kekhawatiran. Pertama, demo kratisasi p emilihan gubernur dan wakil gubernur dapat memecah belah kerukunan masy a rakat. ”Misa l nya pada pemilihan gubernur nanti saya diminta maju lagi, juga Mas Joyo (GBPH Joyokusumo), Mas Hadi (GBPH Hadiwinoto) atau Mas Prabu (GBPH Prabukusumo) disuruh maju, maka saya khawatir saya dan saudara-saudara saya akan mengkondisikan masyarakat Jogja untuk jadi pendukung masing-mas ing calon,” ungkap Sri Sultan HB X. Lebih lanjut ia memaparkan, ”Saya tidak mau rakyat terlibat dalam konflik seperti itu. Karena kalau rakyat terlibat dalam model dukung mendukung seperti itu, nanti bisa rusak,” tukasnya. Kedua, rakyat tidak bisa menerima proses pemilihan tersebut dan marah. Hal ini terjadi dalam pemilihan wakil gubernur yang lalu. akhirnya rakyat yang jadi korban.

Ketiga, jika tanah mengikuti aturan pemerintah pusat, di mana letak keistime waan DIY? Dan bagaimana dengan nasib keraton mendatang? ”Kalau Sultan Ground (SG) menjadi tanahnya Pemda, lantas kera ton membiayai dirinya sendiri dari mana? tetapi kalau misalnya tanah itu masuk Pemda, kemudian setiap tahun Pemda memberikan subsidi kepada keraton, ma salahnya jadi lain,” tutur sultan.

Warga Yogyakarta sudah mulai sadar dan berani menuntut. Lantunan lagu tuntu tan warga masyarakat terhadap hak milik

atas tanah mulai terdengar didendangkan di beberapa daerah Yogyakarta. Warga Cangkring misalnya, menuntut hak atas tanah nenek moyang mereka yang sampai saat ini masih dianggap sebagai tanah kagungan ngarso Dalem Sultan. Padahal mereka punya sejarah atas tanah tersebut yang diceritakan secara turun temurun. Bahkan, mereka dapat menunjukkan buktibukti sejarah bahwa dulu nenek moyang mereka telah mendiami tanah yang selama ini masih diklaim sebagai tanah SG. Ke inginan warga agar tanahnya mendapat jaminan itulah yang menggerakkan mereka melakukan aksi demo.

”apa yang kami lakukan ini tidak lain hanya menuntut adanya jaminan atas tanah kami,” ungkap Anton–ketua panitia sertifi kasi tanah warga–ketika ditemui HIM MAH di kediamannya. Soalnya beberapa tahun terakhir, Pemerintah DIY memberi kan persetujuan penggunaan tanah di sepan jang pantai selatan kepada investor. Pt Indocore yang mengelola kolam perikanan telah dioperasikan di samping barat tanah warga tersebut. ”Warga khawatir janganjangan nanti tanah warga diambil alih begitu saja oleh pemerintah atas nama SG.

.

Cangkring di atas tidak segera diantisipasi, bukan mustahil konflik Keraton Surakarta dan Warga Balurwati terjadi di DIY. apal agi GBPH Hadiwinoto selaku pengageng Panitikismo berencana menaikkan nominal penanggalan (uang sewa tanah agar rakyat dekat sama Keraton/Sultan). Yaitu dari Rp 100 per meter persegi pertahun menjadi Rp 4.000 per meter persegi per tahun untuk tanah di lokasi strategis yang luasnya antara 0 - 50 meter persegi. Sedangkan tanah di perkampungan menjadi Rp 2.500 per meter persegi per tahun yang luasnya tidak lebih dari 50 meter persegi.

”Ini rencananya akan diuji-cobakan di daerah terban dan sampai sekarang belum berjalan. tapi nanti akan dimusyawarahkan bersama para kepala Rukun Warga yang bersangkutan. Kalau keberatan atau gimana akan dirubah lagi,” ungkap Suwarni, bagian keuangan Panitikismo mewanti-wanti. Panitikismo adalah organisasi di bawah parentah Sultan yang bertugas seperti Badan Pertanahan nasional, tapi khusus untuk tanah SG.

Riak-riak kecil tanda kesadaran masya rakat berubah, seiring intensitas interaksi dengan kaum terpelajar. Karena memang

Kalau itu yang terjadi, kami kan dirugikan,” tandas anton.

Hingga berita ini ditulis, tuntutan warga desa Cangkring tersebut belum terpenuhi.

”Sampai saat ini keinginan untuk me nyelesaikan itu ada. Sebenarnya warga itu ada perasaan menangis dalam hati. tapi daya dari warga itu apa?” tanya a nton seakan kehabisan cara untuk memper juangkan jaminan atas tanah warga.

Jika tuntutan warga semisal Dusun

bernegara merupakan bagian dari proses rasionalisasi. Bagi Max Weber misalnya, rasionalisasi adalah rangkaian sistematik operasi rasionalitas pada konteks sosial dan kebudayaan. Keraton Yogyakarta pun seharusnya mulai menyesuaikan dirinya.

Perkawinan Agung. Pengakuan akan eksistensi kekuasaan sultan Safir Makki
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . .
Wakid

Mengharap Demokrasi, Menyemai Benih Tirani

. . . . .

Itulah gambaran secara umum yang ditemui reporter HIMMAH ketika ingin mencari data dan konfirmasi soal Keistime waan Yogyakarta. Di kantor Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono yang terus dihubungi selama dua bulan tidak memberikan jawaban, sama halnya dengan Raden Hadiwinoto, adik Sri Sultan. Pemda Yogyakarta bagian perundang-undangan tidak mau diwawancarai, dan tidak berani menunjukan R uu usulan eksekutif. Di beberapa instansi lain juga mengalami hal serupa. Bahkan, beberapa politikus dan akademisi angkat tangan. ”Ini hal yang san gat sensitif, saya tidak berani berkomentar,” kata salah satu pengamat politik yang ting gal di Jakarta.

aMI tidak bisa mengatakan apaapa,” jawab Raden Laksamana, Pimpinan Bagian Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan nasional (BP n ) Pusat, menjawab pe r tanyaan tentang usulan Keppres Keist i mewaan Yogyakarta. Persoalan ini sangat rumit dan berat, sehingga secara pribadi pun ia menolak berkomentar. Keterangan lain dari Lutfi Nasution mengatakan sudah ada pembahasan di BPn. Bahkan sebelumnya secara informal, R. agus Riyanto, sekre taris dari Kepala BPn, Maria SW. Sumard jono, mengatakan bahwa usulan Keppres tersebut pernah mampir ke BPn, yang selanjutnya sudah dilemparkan ke Sekre taris negara. Kesimpangsiuran informasi ini mengindikasikan ketidakberanian BPn Pusat dalam mengekspos kasus tanahtanah Keraton Yogyakarta. Bahkan setelah reporter HIMMAH menunggu beberapa jam, Maria SW. Soemardjono, yang berasal dari Fakultas Hukum UGM ini akhirnya menolak memberi komentar.

. . . . . . . . .

Dalam sebuah filosofi tentang ke kuasaan, kekuasaan selalu berwajah ganda, mempesona dan menakutkan. Pemerintahan despotik, dimana masyarakat bukan sebagai orang-orang yang bebas ada dalam ke kuasaan Kasultanan dan Pakualaman.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa ini terjadi bukan saja pada birokrasi di Yogyakarta, juga pusat, dan bahkan pen gamat politik yang kritis terhadap pemerin tahan yang represif sekalipun.

Pengamat politik yang ditemui HIMMAH yang tidak ingin disebut namanya mengatakan secara pribadi ia menyebut pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sebagai monarki absolut, karena kepala pemerintahan menjabat sepanjang masa, tidak ada mekanisme impeachment dan akuntabilitas publik.

Kekhawatiran akan terjadinya otori tarianisme dalam pemerintahan di Yogya karta bukan tanpa alasan. Karena sejarah sudah menulis kekuatan politik dapat mem beli pejabat dan birokrasi untuk melang gengkan kekuasaan. apalagi jika kekuasaan politik, ekonomi dan kultur ini diberikan secara legal tanpa ada kompensasi, dan per syaratan, seperti halnya pada pemerintahan kerajaan.

Ketiga kekuatan yang mungkin akan dipersembahkan kepada sultan dan paku alam tersebut tercermin dari Rancangan u ndang- u ndang (R uu ) Keistimewaan Yogyakarta.

Ruu ini sangat kuat. Ia dibuat bukan

Sebuah kekuasaan seperti kata Thomas Aquinas menolak hukum yang tidak dilegitimasi secara rasional. Penciptaan manusia itu dikehendaki sang Pencipta, manusia tidak memilih menjadi raja, atau rakyat jelata. Ujang Priatna HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . .
/

oleh praktisi amatir di kancah politik, namun oleh akademisi-akademisi senior Yogyakarta. Diantaranya Prof. Sudikno, Prof. afan Gaffar, Dr. Purwo Santoso, Dr. Warsito, dan Prof. PJ. Suwarno.

namun, yang lahir bukan sebuah gam baran mengenai demokrasi modern yang menjamin persamaan kedudukan, namun sebaliknya. Ruu ini memberikan kursi gubernur kepada sultan, wakil gubernur pada a dipati Pakualam, dan penerapan hukum adat pada tanah-tanah sultan. tanpa ada batasan waktu jabatan.

Sekarang sultan sebagai sosok raja dan gubernur bisa dikatakan menentram kan. Sultan, meskipun berasal dari Partai Golkar, sempat memimpin aksi reformasi bulan Mei 1998 lalu. Ia juga menggunakan tanah-tanahnya sebagai fungsi sosial, uni versitas Gadjah Mada (uGM) contohnya. PJ. Suwarno mengatakan itu sebagai salah satu komitmen keraton terhadap kaum terpelajar. ”Itu diberikan begitu saja oleh HB IX, silahkan pakai sudah,” kata PJ Suwarno.

Muncullah spekulasi korelasi positif dengan ketidakvokalan kaum akademisi dan politikus dalam mengkritisi sultan, dan dukungan kuat terhadap Ruu Keistime

ekonomi Kesultanan dan Pakualaman ini selalu mendapat tantangan oleh kelompok massa yang kemudian menduduki dewan.

Sementara itu Camat Gondokusuman yang pernah menjabat lurah di Keraton ngayogyakarta Hadiningrat selama tiga tahun menceritakan adanya pertemuanpertemuan yang diadakan oleh pejabatpejabat pemerintahan di Yogyakarta. Ini dilaksanakan secara periodik. Sebagian besar adalah pejabat-pejabat desa tingkat kabupaten. ”ada, saya tahu. tapi saya tidak pernah ikut.”

Camat Gondokusuman yang ditemui HIMMAH di kantornya ini mengatakan bahwa pertemuan-pertemuan ini biasanya dilakukan oleh abdi-abdi sultan. abdi di sini bukan abdi dalem, namun pejabat pemerintahan desa. Ia juga menambahkan biasanya bukan berasal dari Kodya Yogya karta, namun desa-desa di kabupaten seperti Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kulon Progo. Pertemuan ini adalah pertemu an silaturahmi. namun ia selanjutnya tidak menyebut adanya upaya penggalangan massa.

seorang ayah yang selalu mempunyai pernyataan yang benar. ngadisah, Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta mengatakan budaya ini sangat kuat. Pada hal Yogyakarta belum menerapkan Ruu. ”apalagi kalau sudah kembali ke kultur lama,” kata ngadisah khawatir.

Dalam Ruu yang diajukan ke DPRD, indikasi potensi otoritarianisme tidak dapat dimentahkan. Ini terlihat dari pasal 17 ayat 1 bahwa gubernur adalah Sultan Yogyakarta dan wakil gubernur adalah adipati Pakua lam. artinya Ruu ini menutup kemungki nan akses bagi rakyat di luar keraton, dan bahkan keluarga keraton lain untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur.

Sementara itu demokrasi yang selalu disebut sultan secara normatif menjamin akan diberikannya hak kepada rakyat yang tidak bisa diberikan oleh Ruu yang tidak demokratis. Dalam hal politik, hak partisi pasi adalah penting.

Kemudian, jabatan ini merupakan otoritas sultan dan adipati, maka bisa di pastikan bahwa mereka akan menjabat se lama seumur hidup. tidak ada pembatasan waktu. Legislatif punya otoritas dalam pengkontrolan, namun hanya sebatas hak angket dan hak mengajukan pernyataan pendapat. tidak ada mekanisme impeach ment. Ini tentunya melangkahi rasionalitas politik.

Sementara di daerah lain masa jaba tan lima tahun ini berlaku maksimal dua kali, artinya seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya bisa menjabat selama sepuluh tahun. Kenapa harus ada pembatasan? Dalam demokrasi modern, pembatasan kekuasaan merupakan syarat yang harus ada.

Banyak pertanyaan yang tidak terja wab. Bagaimana menjawab kemungkinan adanya pertarungan dalam tubuh keraton, mengenai kedudukan raja yang mungkin memicu perebutan kekuasaan. Budayabudaya patrilineal Jawa sangat kaku. Ketu runan Sultan HB X semuanya perempuan, harus diutamakan yang mana antara garis keturunan horisontal atau vertikal? apa kah ada jaminan perebutan tahta ini tidak meminggirkan kepentingan rakyat.

waan Yogyakarta tersebut.

”Ya memang tidak perlu ada yang dikritik,” bantah PJ. Suwarno menanggapi. HM Sudarno, anggota fraksi Golkar DPRD Yogyakarta juga menolak adanya kepasifan dewan. Sedang Imawan Wahyudi menga takan bahwa kekritisan dan keberanian dalam mengkritisi kekuasaan politik dan

tidak ada pembedaan bagi birokrasi, un tuk bertindak sebagai abdi pimpinan adat yaitu sultan dan adipati dengan pelayan masy a rakat. Kriteria spesifik mengenai birokrat-birokrat Yogyakarta adalah mereka mempunyai pimpinan pemerintahan yang sekaligus raja mereka. Padahal dalam sebuah pemerintahan adat, raja dianggap

Dalam pasal yang sama, disebutkan bahwa persyaratan kepala daerah yang ada dalam uu Otonomi Daerah tahun 1999 tetap berlaku. apakah ada jaminan Sultan dan Pakualam akan selalu memenuhi persya ratan tersebut? Lalu bukankah kapabilitas dari setiap calon juga tidak punya ukuran yang kaku, bisa sangat lentur.

Selain itu dalam Ruu tidak ada regulasi yang menyebut bagaimana mekanisme jika Sultan dan Pakualam berhalangan semen

Birokrasi Feodal, Singgasana Politik Pemerintahan Yogyakarta patriarkhis, Budaya Keraton. Mulai bersentuhan dengan rasionalitas modern
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
W Dani K / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

tara atau berhalangan tetap. Riswanda Imawan, pengamat politik dari uGM juga mengkhawatirkan tidak ada jaminan bahwa kedua calon selamanya bisa bekerjasama.

Dalam sebuah konsepsi kekuasaan yang ditulis Machiavelli, seorang raja yang harus terus diakui sebagai pemegang tertinggi kekuasaan, harus memenuhi keinginan rakyat, jika ingin kekuasaannya dipandang sah. Pengakuan eksistensi bagaimanapun akan terus mengalami penurunan, tiba saat dimana raja tidak bisa memenuhi keinginan rakyat. Karena kekuasaan intrinsik bersifat instabil, ia bergantung pada pribadi raja, sedang tidak ada jaminan bagi setiap ketu runan raja untuk mengalami kenaikan terus menerus dalam level moralitas.

untuk itu seperti kata Machiavelli lagi, agar raja dapat mencapai tujuan-tujuannya, maka raja harus m e ngamankan kekua saannya. Baginya yang benar adalah yang melayani kelanggengan kekuasaan. Filosofi ini disadari betul. ”Selama ini belum pernah ada impeachment terhadap gubernur dan wakil gubernur,” kata PJ. Suwarno. Realitas historis ini menggambarkan keberhasilan sultan dan adipati Pakualam dalam menga mankan kedudukan politik di Yogyakarta.

Kewenangan kharismatik, tradisional, dan rasional tidak boleh dijadikan satu dalam satu orang, dan juga dilegalkan dengan undang-undang. Jika itu ada secara kebetulan maka tidak menjadi masalah. namun dalam Ruu Keistimewaan DIY, kemungkinan ini akan direalisasikan.

Bagaimana dengan dengung demokrasi yang diorasikan keras-keras? ”Pilwagub (pemilihan wakil gubernur) kemarin sebenarnya sudah menunjukan separuhseparuh. Keistimewaannya Pakualaman kita hargai tapi proses demokratisasi yang sesuai dengan uu, kita jalankan,” kata Imawan Wahyudi. Pemilihan wakil gu bernur telah mengalami perubahan tahun 2001 lalu, bahwa tidak perlu dari Pakualam, namun dari keluarga Pakualaman.

Prosesi evolusif dari dem o kratisasi yang menjadi agenda anggota dewan ini tampa k nya tidak akan terealisasi. Dari Ruu tersebut, tergambar sebuah pemer intahan yang feodalistik, bahwa ada monopoli kedudukan yang strategis, dan vital, dan sangat menentukan nasib rakyat Yogyakarta, oleh dua keluarga.

n amun HM. Sudarno mengatakan bahwa pemerintahan feodalistik pun bu kan masalah jika rakyat menghendaki. Dan diungkapkannya pula bahwa sampai sekarang masyarakat Yogyakarta masih menginginkan sultan menjadi gubernur. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaim ana DPRD mengetahui bahwa sebagian

besar rakyat menginginkan itu? apakah ada proses yang bebas, dan mencerdaskan dalam penyaringan aspirasi?

Bahkan, tambahnya, jika DPRD mende sak untuk menghilangkan pernyataan ini, berarti akan menghilangkan keistimewaan Yogyakarta. Mengenai kursi wakil guber nur dimana tidak ada uu yang mengatur mengenai siapa yang mendudukinya, yaitu

dalam setiap fit and proper test, dilakukan sebagai formalitas. asalkan calon tunggal gubernur dan wakil gubernur memiliki persyaratan minimal menurut pasal 33, maka secara aklamasi akan diterima. Ini menguntungkan partai dimana nantinya pasangan calon tunggal menjabat.

keturuna n nya, DPRD sudah memutus kannya.”Kami mendesak kepada DPR RI untuk segera diputuskan,” tegasnya namun seperti dikatakan oleh Yauri Gautama Putra, aktivis dari Parliament Watch (Parwi), ia heran kenapa anggota DPRD bersikeras untuk menggolkan mono poli kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh keluarga Kasultanan dan Pa kualaman, sedangkan partai politik sudah melakukan prosesi politik dengan banyak dana yang dikeluarkan, dan pendidikan politik yang panjang. Padahal posisi terse but merupakan posisi yang strategis dalam sebuah kekuasaan politik.

Dalam uu Otonomi Daerah no. 22 tahun 1999 terdapat ketentuan dua fraksi atau lebih dapat secara bersama-sama mengajukan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah. Ini sangat menguntungkan. artinya kader partai mem punyai kesempatan untuk punya tambahan kursi kuat dalam sistem politik.

n amun dengan adanya R uu terse but, maka tidak ada kompetisi sempurna menurut uu no 22 tahun 1999. artinya persyaratan kapabilitas yang biasa diseleksi

Menurut PJ. Suwarno, letak keisti mewaan Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari tiga hal. Pertama, mengenai kepe milikan tanah yang harus diatur melalui hukum adat. Kedua, mengenai gubernur dan wakil gubernur yang dipegang oleh sultan dan adipati Pakualam, dan budaya Yogyakarta yang akan dikembangkan men jadi budaya Indonesia. ”Itu perumusan asli keistimewaan Jogja,” kata dosen Sanata Dharma Yogyakarta yang enggan disebut penasehat Sri Sultan HB X ini.

Kepemilikan tanah oleh Kasultanan dan Pakualaman adalah permasalahan yang cukup menjadi sorotan selain dari jabatan politik. HIMMAH berhasil mendapatkan data tanah Kasultanan dan Pakualaman yang sekarang sedang dipetakan oleh BPn Yogyakarta. Menurut sumber HIMMAH di BPn, banyak masalah yang melingkupi permasalahan pemetaan di lapangan. teru tama dengan pemerintah desa. Sumber ini juga menambahkan bahwa birokrasi di BPn juga merasa heran kenapa undangu ndang Pokok a graria ( uu Pa ) mati ketika berhadapan dengan tanah keraton. namun pertanyaan-pertanyaan ini tidak

Warga Ndalem Keraton. Nasibnya ditentukan oleh dua keluarga
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
W Dani K / HIMMAH

dimungkinkan untuk muncul ke permu kaan. ”Saking luasnya, sampai baru 60 persen dipetakan tanah Kasultanan sudah mencapai 40.000 hektar,” katanya.

namun pernyataan resmi BPn menolak adanya permasalahan di lapangan, teru tama adanya sengketa. Meskipun begitu, reportase yang dilakukan HIMMAH juga menemukan permasalahan, misalnya yang terjadi di Desa Cangkring, Bantul. Warga desa mempunyai bukti kepemilikan tanah, namun pemerintahan desa yang didukung oleh Gusti Hadiwinoto mengklaim bukti yang berbeda yang menunjukkan Keraton Yogyakarta sebagai pemilik.

PJ. Suwarno bersikeras bahwa tanahtanah di Yogyakarta memang milik Kasulta nan dan Pakualaman, dan harus tetap menjadi milik keraton. uuPa tahun 1960 tidak bisa menyentuh tanah Sultan. uuPa demi kepentingan umum membatasi luas kepemilikan tanah. Karena itu ada batasan maksimal bagi kepemilikan tanah. tujuan nya adalah adanya distribusi yang adil bagi rakyat tanpa memandang status. Bahkan disebutkan pula adanya jaminan bagi rakyat tidak mampu.

Kemudian tahun 1984 pernah keluar Keppres yang menyatakan uuPa berlaku sepenuhnya di Yogyakarta. n amun ini tidak mampu mengubah perlakuan khusus terhadap tanah-tanah keraton. tanah-tanah swapraja yang luasnya melebihi batas mak simal yang seharusnya sudah diserahkan ke pem e rintah daerah masih di bawah pengaturan Keraton Yogyakarta sampai sekarang.

Imawan Wahyudi mengakui, ”Salah satu letak kekuasaan sultan dan pakualam itu pada tanah.” Dia menambahkan dulu ke tika HB IX masih duduk, tanah Kasultanan pernah akan mengakomodir berlakunya uuPa tahun 1960. namun kemudian macet akibat meninggal, dan sejak itu pembic araan mengenai itu tidak ada.

” a pakah akan membahayakan de mokrasi?” tanya HIMMAH. Menjawab pertanyaan ini Imawan dengan cara yang lebih kompromis, bahwa harus ada cara bagaimana kekuasaan yang besar dan aset kekayaan yang besar yang tergabung menjadi satu dalam diri sultan bisa di orientasikan kepada pemberdayaan mas yarakat.

Imawan menambahkan bahwa se bagaimana besar kekuasaan itu menjadi tidak masalah ketika masyarakat menjadi diuntungkan. ”Kita tidak bisa melakukan kontrol di luar persoalan-persoalan ke wenangan yang diberikan oleh uu.”

Memang, selama ini tanah-tanah Ka sultanan dan Pakualaman itu tidak saja d i gunakan untuk kepentingan keraton, namun juga untuk kepentingan sosial. Hampir setiap kantor pemerintahan dari sebuah desa kecil di Cangkring sampai DPRD I Yogyakata menempati tanah keraton. Ini berlaku di seluruh wilayah Yogyakarta. tanah u GM dulunya juga merupakan tanah keraton. Demikian juga tanah yang kini dibangun universitas Wi dya Mataram, Jogja Expo Centre, dan Hotel ambarukmo.

Dalam pengaturannya, keraton juga tidak memungut pajak terhadap rakyat

yang menggunakan tanah atau bangunan. Kalaupun ada jumlahnya sangat kecil. Ini diketahui dari reportase HIMMAH di perumahan yang ditempati oleh penduduk. Beberapa mengaku tidak membayar, dan ada pembayaran seribu rupiah. Hanya untuk administrasi saja.

a set-aset ekonomi ini yang dikha watirkan oleh Lembaga Swadaya Mas yarakat (LSM) semacam Parwi, Institute Development economic analysis (IDea) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Forum LSM me rupakan salah satu sumber reproduksi hegemoni.

Ditambah dengan budaya balas budi yang masih mendarah daging di dalam masyarakat Yogyakarta. Sehingga adanya fungsi sosial dari tanah dan aset ekonomi Kesultanan dan Pakualaman ini meng akibatkan tidak ada kekritisan terhadap kekuasaan Kasultanan dan Pakualaman. Fenomena ini tentunya menggelisahkan. Karena tidak hanya dilakukan pada per sonal, namun dilakukan pada institusi pemerintahan propinsi sampai desa, sebagai institusi pemerintahan terkecil.

Ruu ini tidak melindungi kepentin gan pokok rakyat, hak ekonomi, politik dan sosial. Pemerintahan ini tidak dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk men g gunakan k e bebasannya untuk me nentukan nasib sendiri yaitu untuk hidup di bawah hukum yang dipilih sendiri, tidak dapat memberi kan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral, tidak menjamin perkembangan manusia, dan tidak dapat membantu perkembangan ting kat persamaan politik yang relatif tinggi, memperbesar kemungkinan penindasan terhadap hak rakyat.

namun sampai sekarang rakyat Yog yakarta tidak menyadari potensi-potensi otoritarianisme kekuasaan, jika regulasi yang diskriminatif diterapkan. Sebuah koran lokal yang menghimpun pendapat-pendapat akar rumput mendapati kepatuhan yang kuat, namun juga disertai ketidaktahuan mengenai pribadi Sultan dan Pakualam, prosesi pemerintahan di Yogyakarta, bah kan tidak mengetahui mengapa Yogyakarta disebut istimewa.

apakah kewajiban sultan sebagai raja hanya untuk mensejahterakan rakyat saja? Bagaimana dengan pendidikan, pening katan derajat dan martabat? Jika benar ”tahta untuk Rakyat” (maklumat Sri Sultan HB IX), kenapa tahta tidak diserahkan saja kepada rakyat? Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, seperti halnya konsep universal dalam demokrasi.

Surya Adi Lesmana / HIMMAH Kirab Larung sesaji. Kecintaan budaya dan penghormatan pada tradisi
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]

Dualisme dalam Budaya Keraton

.

.

kesempatan, baik gagasan, pembicaraan, maupun perilaku,” ungkap Irwan.

Sedangkan Prof. Kodiran, ahli an tropologi Indonesia, mengkhawatirkan pemaknaan simbol budaya secara politis dan kekuasaan. ”Bagi saya sebagai il muwan, jelas tidak bagus, secara politis dan kekuasaan berbahaya. tapi kalau sebatas kekuasaan saja itu terserah mereka,” tutur Kodiran pada HIMMAH . Maksudnya, berbahaya jika kekuasaan didasarkan atas pola pikir mitos, takhayul, bukan dengan rasio yang modern.

aD

a yang aneh pada hajatan pe r nikahan agung putri Raja Keraton n gayo gyakarta Hadiningrat. Hembusan angin kencang menerpa Bangsal Kencana Keraton, tempat pernikahan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun (29) dengan H. nieko Messa Yudha (30). tiupan angin kencang berdurasi sekitar 10 menit itu menegangkan suasana, ratusan undangan tampak miris. ”Itu pertanda gaib bahwa Kanjeng Ratu Kidul berkenan hadir,” ujar istri Sri Sultan Hamengku Buwono X merinding.

Peristiwa ganjil tersebut kerap terjadi pada hajatan pernikahan akbar yang di gelar keraton. tiupan angin kencang yang diyakini warga Yogyakarta sebagai simbol kedatangan penguasa makhluk halus dari Laut Selatan itu, juga terjadi saat Sultan HB IX mengawinkan putri sulungnya, tahun 1969. ”Salah satu ciri yang menonjolkan Yogyakarta, antara lain, suasana mistik seperti itu,” kata Bakdi Soemanto, budaya wan yang kini mengajar di Fakultas Sastra uGM.

Selain hajatan pernikahan agung, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki segudang ritual budaya. Diantaranya adalah

Sekaten, Larung Samudera, dan Gerebeg Mulud. Bagi kaum pendatang di kota pelajar ini, tidak mudah untuk memahami simbol-simbol budaya masy arakat DIY. Hal itu terjadi selain karena berbau mistik yang berhubungan dengan alam gaib, juga karena sinkretisme ritual budaya.

Irwan abdullah dalam Jurnal Huma niora menyimpulkan bahwa makna-makna me n dasar dari simbol kehidupan orang Jawa adalah kemenduaan dalam sistem ide. ”tumpeng, sesajen, dan simbol budaya lainnya sebenarnya menghubungkan ses uatu yang ada dengan yang tiada, yang gaib dengan nyata yang keseluruhan menunjuk pada usaha olah pikir,” tulis Irwan.

Pemaknaan simbol ritual-ritual budaya demikian itu berpengaruh pada bangunan pola pikir masyarakat. Yang selanjutnya terefleksikan dalam tingkah laku keseharian hidup. Dalam ilmu budaya hal ini dipahami bahwa perilaku seseorang itu sangat dipen garuhi oleh ide atau gagasan yang terdapat dalam benak otaknya. Dalam kaca mata Irwan orang Jawa selalu mengambil posisi tengah, pada posisi keseimbangan. ”Ke menduaan terjadi karena usaha menempat kan diri di tengah-tengah di dalam setiap

tampaknya situasi unik kehidupan masyarakat Yogyakarta bertolak dari pola pikir demikian itu menggemaskan kaum akademisi untuk menelitinya. Banyak tulisan telah dipublikasikan. Sebagai buah karya ilmiah, hasil penelitian bisa d i perdebatkan. Berbeda dengan Irwan, Budi Sardjono memulai analisisnya dari teater tradisional ketoprak yang sering menampilkan sejarah keraton. Cerita dalam ketoprak terkadang mirip dongeng atau cerita fiktif. Dalam analisis Budi Sardjono (Basis, 1989), cerita dalam ketoprak ser ing menyimpang (sesuai dengan tuntutan lakon) lalu melenceng jauh dari kenyataan. Maka sulit bagi orang awam membedakan mana yang sejarah dan mana yang cerita fiktif. Walhasil apa yang terkonstruk dalam benak orang yang menyaksikan ketoprak adalah ”kemuliaan” peran sultan dan kera ton dalam sejarah kehidupan.

Dualisme budaya yang demikian itu menurut Heru nugroho sosiolog uGM dapat dilihat sebagai reproduksi hegemoni melalui media ritual budaya. Dengan kata lain budaya tersebut diritualkan untuk mengingatkan masyarakat akan eksistensi kekuasaan keraton. Ketika Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat bertanya ke pada pedagang ngasem: bagaimana kalau gubernur dipilih dari luar kerabat keraton? Kemudian media tersebut menampilkan petikan wawancaranya yang berbunyi, ”Pokoknya ya harus dari kerabat keraton.” Maka sebenarnya media ini, papar Heru nugroho, mengkonstruksi opini masyar akat Yogyakarta bahwa sultan benar masih diakui eksistensinya seraya menampilkan ulasan para tokoh yang mendukungnya.

Melihat realitas demikian, Kodiran

Ritual budaya masih kental mewarnai alam pikir masyarakat Yogyakarta. Bagaimana jika kemenduaan dalam sistem ide termanifestasikan dalam tatanan masyarakat? W K
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
Dani
/ HIMMAH
. . . .
. . . . . . . . . . . . . . . .

menyerukan pentingnya pembedaan bu daya yang dikomoditi untuk mereproduksi kekuasaan dengan budaya sebagai jati diri masyarakat.

Masyarakat yang sudah turun-temurun berada dalam batasan wilayah budaya itu, mengkultuskan individu pada benaknya, mencari seorang pelindung yang bisa mengayomi mereka, sebuah sabda pandita ratu. Mungkin, terlalu naif bila hanya me mandangnya sebagai bentuk eksklusivisme dalam kekuasaan, karena manusia Jawa memilih jalannya dengan bentuk yang sukar dipetakan bahasa modern.

Keraton ngayogyakarta Hadiningrat sebagai peninggalan sejarah merupakan cerminan riil budaya feodal dalam era demokrasi. Menurut Prof. Kodiran, budaya feodal itu tampak dari sikap mental dan ni lai-nilai. ”Orientasinya apa yang dikatakan oleh seorang atasan,” ungkap Kodiran saat ditemui HIMMAH di kantornya. Maka ke tika sang raja menduduki jabatan gubernur,

undang pemerintah pusat.

Saat ini, Sri Sultan Hamengku Bu wono X duduk di singgasana Keraton Nga yogyakarta Hadiningrat. Di sekelilingnya terdapat banyak abdi dalem yang mem bantunya dalam pemerintahan kerajaan. Ritual-ritual budaya ”masyarakat Jogja” seperti Larung sesaji, sekaten dan grebeg bersumber dari sini. Bahkan, menurut Damarjati Supadjar-penasihat spiritual sul tan-keraton bukan sekedar simbol tapi juga sumber kedamaian, ketentraman rakyat Yogyakarta.

Relativitas budaya Sebagian masyarakat Yogyakarta me mahami ritualisme budaya keraton memiliki kenyataan sendiri, yang bisa memberikan mereka berkah dan rasa tentrem ning ati. Kisah hidup seorang abdi dalem bergelar Kanjeng Raden tumenggung (KRt) Man doyo Winoto dapat dijadikan contoh. KRt Mandoyo Winoto bercerita, dia menjadi

Winioto, sebelum menjadi abdi dalem-ta hun 1965, telah bekerja di PDaM dengan gaji Rp 120 ribu ditambah 9 liter minyak dan 12 kg beras tiap bulannya. Dengan menjadi abdi dalem, tiap bulan Sumantri hanya menerima Rp 7.500 Meski demi kian, Suma n tri mengaku jauh merasa lebih tentram. ”Setelah di keraton hati saya tenteram, karena wibawa keraton,” aku Sumantri.

Kisah hidup ala abdi dalem itu sulit dipahami oleh rasionalitas akal manusia. Gaji yang jauh dari standar uMR tersebut membuat banyak peneliti heran: maumaunya abdi dalem melakukan pekerjaan itu. Dalam pandangan mayoritas peneliti, motivasi abdi dalem dalam menjalankan pekerjaannya masih menjadi semacam misteri tak terjawab oleh akal dengan memuaskan.

Emmy Jumartina, penulis skripsi be r judul Penerapan Sistem Kompen sasi terhadap Prestasi Kerja Karyawan di Lingkungan Keraton Yogyakarta adalah diantara peneliti yang mengkhawatirkan merosotnya motivasi kerja abdi dalem jika hanya mengandalkan kompenasi non finansial. ”Kompensasi non finansial yang dominan terhadap prestasi kerja perlu ditinjau kembali, karena penerapan sistem kompensasi harus mengikuti dinamika masyarakat yang terus berkembang,” saran emmy dalam skripsinya.

dikhawatirkan budaya feodal merasuk ke dalam struktur pemerintahan. Dalam ilmu pemerintahan, budaya feodal dapat meman dulkan birokrasi pemerintahan.

Sistem feodal dalam kamus ilmiah populer didefinisikan sebagai sistem ke masyarakatan berdasarkan pemilikan tanah. Dalam sejarah kerajaan, seluruh tanah adalah milik raja dan rakyat hanya berhak atas pengolahan saja. namun sekarang, sejak Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Keraton ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Republik Indonesia, soal kepemilikan tanah diatur dalam undang-

abdi dalem karena ingin mengabdi pada sul tan. Dukungan untuk mengabdi juga datang dari keluarganya yang dulu juga menjadi abdi dalem. KRt Mandoyo Winoto men gaku tidak ada persolan dengan upah yang diterimanya tiap bulan dari kasultanan. ”Semuanya itu ada gajinya, tapi tidak perlu saya utarakan karena kurang cocok. Me mang ini namanya pengabdian, jadi ndak cocok dihitung dengan materi,” ujarnya kepada HIMMAH waktu istirahat siang, di tegol Puro, sebelah utara Kasultanan ngayogyakarta Hadiningrat.

Sumantri-nama asli KRt Mandoyo

Peneliti dari FE UII tersebut tak me ngungkapkan berapa total dana yang harus dikeluarkan untuk para abdi dalem, dan dari mana. e mmy hanya mengungkap bahwa sumber pendapatan keraton itu ada empat: subsidi pemerintah, magersari, Hotel a mbarukmo, dan retribusi wisa tawan. tapi ”usaha-usaha keraton yang berwujud pabrik gula, hotel dan lainnya merupakan usaha pribadi dari Sri Sultan,” tulis mahasiswi manajemen ini. Dengan begitu maka biaya operasional keratontermasuk gaji para abdi dalem-praktis bergantung pada subsidi pemerintah dan perolehan (semacam uang sewa tanah-red.) magersari.

n iels Mulder dalam bukunya Ke pribadian Jawa dan Pembangunan Na sional terbitan 1973 menulis bahwa manusia Jawa tunduk ke masyarakat, se baliknya masyarakat tunduk kepada kekua tan-kekuatan yang lebih tinggi dan halus, yang memuncak ke tuhan. u n g kapan Mulder tersebut seakan menjelaskan rela tivisme budaya-termasuk budaya masyar akat Yogyakarta. Memang, materi bukanlah satu-satunya ukuran ketentraman hidup. akan tetapi bukankah kompensasi yang manusiawi adalah tuntutan keadilan?

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
Surya Adi Lesmana / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . sedekah Laut. Bukan sekedar simbol tapi juga sumber kedamaian

Dendang Lagu

Keistimewaan DIY

Sultan yang juga Gubernur DIY kini berusaha keras mengegolkan RUU keistimewaan propinsinya. Meski draf RUU keistimewaan itu dirancang oleh para tokoh ahli di bidangnya, tetapi banyak menuai kritik tajam. Diantaranya karena dianggap tidak demokratis.

ISu perpecahan dalam tubuh tim perumus Ruu keistimewaan Yogyakarta santer berhembus. Kabarnya, beberapa anggota tim tidak setuju adanya keistimewaan Yo gyakarta yang dititikberatkan pada person, yaitu Sultan. namun apa yang bisa mereka buat? ”Yang memutuskan dari berbagai alternatif itu elit-elit dari tim,” ungkap salah satu anggota tim yang ditemui HIM MAH

Pembentukan tim pun banyak yang mempertanyakan. Kenapa tidak ada rek rutmen terbuka melalui uji kelayakan dan kepatutan? Kenapa rekruitmen sifatnya tertutup, melalui penunjukan oleh Sri Sul tan? namun kenapa rekruitmen terkesan mengandung KKn? ”Beberapa orang of ficer ikut jadi tim,” keluh seorang anggota LSM.

”Proses pengajuan R uu ini kurang lazim, karena justru datang dari luar leg islatif. Ini bisa dijadikan semacam fait accomply dan pressure pihak tertentu kepada legislatif,” ungkap Prof. Ichlasul a mal, mantan Rektor u GM. Biasanya dalam pembentukan Ruu, badan legislatif membentuk panitia ad hoc yang merancang Ruu namun langkah pembentukan tim independen merupakan kemajuan, karena ini merupakan tindakan preventif untuk mencegah Ruu dijadikan komoditas poli tik partai. Yang sekarang menjadi masalah adalah Ruu ini terlihat lebih menjadi ko moditas politik Sultan.

Memang tidak mudah untuk men jabarkan arti keistimewaan Yogyakarta di zaman ini. Bahkan Sultan HB X sendiri terlihat kebingungan sembari menga takan, ”Rumusannya piye (bagaimana), saya malah belum tahu. Hasil rumusan itu nantinya akan dilempar ke publik. Setuju nggak setuju akan jadi lampiran. nanti yang akan mene n tukan bentuk keistimewaan DIY tetap DPR.”

tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta, ada beberapa me kanisme yang bisa dijadikan alteranatif. Beberapa kalangan akademisi yang aktif di LSM menginginkan adanya pemilihan gu bernur dan wakil gubernur secara langsung. Pertama, ia sebagai respon terhadap proses politik yang dianggap lebih demokratis, yang juga dilakukan di berbagai negara. Sebenarnya dalam Ruu yang diusulkan, mekanisme pemilihan langsung ini sudah diterapkan untuk pemilihan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota. namun anehnya ini tidak diber lakukan dalam pemilihan sultan. tentang pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon seharusnya bisa datang dari seluruh golongan masyarakat. tentu saja sultan dan adipati Pakualaman boleh mencalonkan diri. Bahkan keluarga

keraton boleh mengunggulkan lebih dari satu pasangan calon. Dan begitu pula den gan masyarakat yang tidak punya hubun gan darah dengan keraton. Mereka harus berkompetisi dalam mekanisme politik yang jujur, adil dan demokratis.

namun cara pemilihan langsung ter hadap gubernur Yogyakarta ini membuat khawatir beberapa kalangan. Kekhawatiran ini disebabkan adanya kepercayaan dan kesetiaan yang kuat dari rakyat Yogyakarta terhadap sultan dan pakualam, sehingga kemungkinan besar keduanya akan men duduki posisi ini.

untuk mengatasi kemungkinan paling buruk, maka alternatif kedua bisa diterap kan. Pengajuan pasangan calon harus tetap memberikan akses yang sama bagi setiap masyarakat Yogyakarta, namun pemilihan dilakukan oleh anggota DPRD I Yogyakar

Ujang Priatna HIMMAH Perkampungan Warga. Memakai tanah milik Sultan
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

ta. alternatif ini persis dengan uu no 22 tahun 1999. Bahwa pasangan calon boleh diajukan dua fraksi atau lebih.

Landasan pemikirannya adalah bahwa dalam kepemimpinan, gubernur dan wakil gubernur akan tetap dalam kontrol dewan. Karena gubernur dan wakil gubernur dipi lih oleh dewan, maka otoritas untuk mem berhentikan juga ada di tangan dewan.

n gadisah, rektor Institut Ilmu Pe merintahan (IIP) mengatakan bahwa kalau gubernur itu memang perangkat pemerin tah pusat, maka pencalonan dan penetapan nya tidak bisa lepas dari peran pemerintah pusat, harus mendapatkan persetujuan dari presiden. Di samping juga harus dari hasil pemilihan yang demokratis. nah, pemilihan yang demokratis itu bagaimana? Yaitu yang dipilih oleh lembaga yang berwenang untuk itu, lembaga legislatif. ”Jadi sepanjang itu namanya gubernur, maka dia harus mengi kuti ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pemilihan gubernur secara nasional.”

Hal yang juga menjadi keharusan adalah pembatasan kekuasaan. Dalam uu Otonomi Daerah no 22 tahun 1999, pejabat gubernur dan wakil gubernur diberikan

sudah terputus hubungan politiknya dengan konstituen, sehingga lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan belaka.” Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pertentan gan yang berarti dalam pembahasan Ruu. Hampir semua anggota dewan mendukung posisi Sultan dan Adipati Pakualaman. Jan gan-jangan di dalam anggota dewan, masih kuat budaya patrimonial, dan feodalisme.

a da beberapa keuntungan yang di peroleh dewan jika mekanisme ini di terapkan. Pertama, fungsi perwakilan men jadi penuh. Karena selain dewan memiliki hak legislasi (membuat peraturan daerah), hak budgeting dan hak pengawasan ke bijakan pemerintah daerah. tugas dewan dalam memilih gubernur/wakil gubernur juga menjadi ada.

tidak kalah penting bentuk pengawasan yang seharusnya dimiliki oleh dewan, yakni berupa hak mengajukan pernyat aan, meminta keterangan, mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak penyelidikan dan meminta laporan pertanggung jawaban yang wajib dilakukan setiap akhir tahun. Jika anggota dewan menolak laporan pertanggung ja

misalnya memberikan tawaran mengenai pemisahan antara kepala daerah dengan gu bernur. Gubernur misalnya bisa mempunyai jabatan seumur hidup, namun tidak dengan kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan yang nantinya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan daerah harus dipilih melalui mekanisme yang demokratis.

Sebenarnya, Sultan sudah punya sin yal-sinyal positif tentang ini. niat untuk memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berkompetisi menduduki jabatan gubernur dikatakannya kepada PJ. Suwarno. ”Dia menjadi sultan untuk kepentingan rakyat. Dia mengatakan ‘Kalau saya jadi sultan tetapi rakyat sengsara lebih baik tidak usah jadi kepala daerah. Jadi kepala keluarga saja.’ Dia pernah mengatakan begitu.”

Berkaca dari negara-negara yang masih memiliki kerajaan seperti Malaysia, Ing gris, dan Jepang, mereka berhasil mengikuti perkembangan zaman dengan meletakkan rajanya dalam posisi yang istimewa. Yaitu sebagai simbol negara yang tidak dimintai pertanggungjawabannya. adapun urusan pemerintahan, diserahkan pada perdana menteri yang menjalankan sistem pe merintahan secara demokratis. Begitulah cara orang-orang Malaysia, Inggris, dan Jepang menghormati rajanya agar tetap berwibawa. Bagaimana dengan DIY?

Kearifan Lokal

Keistimewaan Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari budaya Yogyakarta yang bersumber pada Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Oleh karena itu tidak rasional ketika ada penolakan terhadap eksistensi keduanya dalam era demokratisasi sekarang. Sebuah lokalitas yang masih memberikan manfaat terhadap kehidupan masyarakat, apalagi setelah ada modernitas dan gerakan-gerakan internasionalisasi yang begitu revolusif. Maka, kearifan lokal tetap harus menjadi pendekatan dalam membentuk rumusan keistimewaan.

batasan maksimal dua kali masa jabatan. a rtinya dua kali lima tahun, sehingga waktu maksimal menjabat hanya sepuluh tahun.

Yang kemudian menjadi masalah adalah apakah ada jaminan adanya rasionalitas politik dalam anggota dewan? Selama ini track record dewan masih sering dipertanya kan. Seperti dikatakan oleh Musj a ffa Maimun, aktivis Parliament Watch Indo nesia (Parwi). ”anggota dewan sekarang

waban, atau menyatakan gubernur/wakil gubernur bersalah dalam suatu kasus maka akan ada kemungkinan pemberhentian. namun dalam Ruu, meskipun nantinya ada mekanisme kontrol tadi, ini tidak akan berpengaruh terhadap posisi gubernur dan wakil gubernur. Karena laporan ini hanya sekedar formalitas belaka.

Lalu bagaimana dengan kedudukan sultan dan adipati Pakualaman?

Seorang pengamat politik dari Jakarta

Profesor Kodiran memberikan tawaran menarik, bahwa ia masih menginginkan penghargaan terhadap budaya, namun tidak menafikan nilai-nilai demokrasi. a rtinya kompromi keduanya harus ada melalui cara-cara yang konstitusional. Yaitu Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman harus tetap diakui eksistensinya. Perawatan kedua institusi ini menjadi tanggungan dari pemerintah daerah. Diberikan tanah dengan keluasan terbatas. Ritual-ritual juga diperbolehkan untuk tetap dilaksanakan, karena itu adalah kepercayaan. ”Budaya itu punya nilai, orang kan boleh punya ke percayaan masing-masing,” kata pengamat budaya yang berasal dari Yogyakarta ini

Pernyataan tak setuju. Protes warga untuk Keraton Yogyakarta
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
Ujang Priatna / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

sembari menambahkan d i perlukannya dikotomi antara budaya sebagai jati diri dengan budaya yang dijadikan komoditas kekuasaan politik.

Karena eksistensi keraton masih di akui, maka sultan juga otomatis punya kedudukan sebagi simbol tradisional. Ia sebagai pemimpin budaya punya semacam hak veto mengenai keputusan mengenai kebijakan yang menyangkut budaya Yog yakarta.

UUPA dan Tanah Keraton

Mengenai tanah sultan (Sultan Ground) dan tanah Pakualaman ( Pak u alaman Ground), ada beberapa regulasi yang se harusnya berlaku. Yang pertama adalah uu no 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa tanah-tanah bekas swapraja sejak berlakunya uu ini kembali menjadi milik negara. Yang jadi kelemahan adalah PP yang disyaratkan dalam pelaksanaan uu tersebut sampai saat ini belum dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Yang kedua adalah lahirnya uu Pa . Dalam uuPa diatur mengenai pengembal ian tanah-tanah swapraja kepada negara. Pengembalian tanah ini disertai dengan ganti rugi yang sesuai, dan dibayarkan oleh pemerintah daerah. Disebutkan bahwa tanah-tanah yang menjadi wewenang dae

rah swapraja atau bekas swapraja dengan sendirinya dihapus dan dikuasai oleh ne gara. Bahwa hak-hak dan wewenang atas bumi, air, dan ruang angkasa dari swapraja yang masih ada pada waktu mulainya un dang-undang ini hapus dan beralih kepada negara.

Kemudian tahun 1984 pernah keluar Keppres yang menyatakan uuPa berlaku sepenuhnya di Yogyakarta.

Di daerah-daerah lain, yang punya sejarah kesultanan dan kerajaan, yang hampir sama dengan Yogyakarta, uuPa sudah dilaksanakan. Di Keraton Kasepu han dan Kaneman Cirebon, tanah-tanah swapraja ini sudah berlaku. Begitu pula di Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran Surakarta.

Di Yogyakarta, uu Pa diberlakukan oleh Kepala a graria setahun setelah berlakunya uuPa di DIY pada tanggal 14 September 1985. Dikatakan dalam undang-undang no 5 tahun 1960, bahwa tanah swapraja dan bekas swapraja dihapus dan beralih menjadi tanah negara. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan uu itu akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. namun sampai sekarang PP tersebut belum juga keluar.

Permasalahan sekarang adalah pada pembuatan Peraturan Pemerintah. Birokrasi

Tanah Hantu untuk Rakyat

Suatu hari di masa penjajahan diperintahkanlah Letnan Kolonel Colin Mackenzie untuk mengadakan penelitian mengenai tanah di daerah swapraja di Jawa. Ternyata semua tanah milik raja. Sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Penelitian itu dilakukan atas perintah thomas Stanford Raffles, yang akan digunakan sebagai dasar dari teori Domein Raffles. Yang pada kesimpulannya Raffles menganggap penguasaan ala feodal ini memiliki persamaan dengan India dan Inggris.

Seperti landasan hukum tanah di Inggris, ternyata tanahtanah yang dikuasai keraton–biasa disebut tanah swapraja, atau Sultan Ground (SG) dan Paku alaman Ground (PaG)– berasal dari konsepsi feodal zaman abad pertengahan. Bila konsepsi tersebut diterjemahkan untuk Yogyakarta, maka tanah adalah milik sultan dan siapapun yang menguasai dan menggunakan tanah ini adalah peminjam. Pernyataan domein seperti itu termuat dalam Rijksblad Yogyakarta, tahun 1918 nomor 16. Pasal satunya menyatakan: ”Sakabehe bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liya mawawa wenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun Ngayogyakarta.” Hal ini dikenal dengan doktrin tenure.

Michael Harwood mengatakan bahwa substansi doktrin ini tidak ada. tetapi teorinya masih tetap ada, biarpun keberadaannya seperti ”hantu”. Pada perkembangannya di Inggris, karena tanah tidak mungkin dimiliki rakyat, sedang

yang masih patrimonial inilah yang me nyebabkan tersendatnya keluarnya PP.

Menurut ni’mah, seharusnya dengan alasan apapun, tidak boleh sebuah institusi memiliki tanah yang begitu luas sehingga memungkinkan adanya penumpukan ke kayaan terhadap dua keluarga.

Di sisi lain, penduduk desa tidak memi liki tanah, sehingga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup.Pem batasan luas tanah dalam uuPa sangat jelas disebutkan. tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimal akan diam bil oleh Pemerintah, dan dibagi-bagikan kepada rakyat. a lasan dibelakang itu adalah bahwa pemilikan tanah sebagai fak tor produksi pertanian akan lebih merata, sehingga pembagian hasil juga akan lebih merata. Jika melihat realitas di Yogyakarta, sebagian besar penduduknya adalah petani, yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerataan di bidang pertanahan ini di harapkan memberikan gairah kerja lebih, dibanding dengan pengerjaan tanah yang bukan milik mereka.

Kita berharap momentum dendang lagu keistimewaan DIY tidak dilewatkan begitu saja oleh keraton untuk menjawab problem masyarakat. u ntuk melihat Yogyakarta tidak hari ini, tapi juga jauh ke depan. abadi dalam kelestarian budaya, demokratis

dalam praktiknya dilakukan juga perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah, maka diperkenal kanlah ajaran mengenai estates tanah tidak dapat dimiliki tetapi ada hal lain yang dapat dijadikan objek pemilikannya, yaitu hak-hak atas pemilikan tanah. Inilah yang disebut estates. Seperti halnya Yogyakarta, di Inggris estates juga dibagi dua: estates of years dan life estates artinya, jangka waktu hak-hak atas kepemilikan tanah ada yang ditetapkan untuk beberapa tahun ada pula yang seumur hidup.

Di Yogyakarta, doktrin yang keberadaannya dikatakan seperti ”hantu” ini tampak jelas. Saat Keraton Yogyakarta minta tanah miliknya untuk disertifikatkan, ternyata tidak bisa diberikan oleh pemerintah. alasannya, keraton dianggap bukan sebagai lembaga yang berbadan hukum. Hingga saat ini, tanah-tanah yang dikuasai oleh Kasultanan Yogyakarta tidak bersertifikat. Padahal dalam hukum sertifikat tanah dipakai sebagai alat pembuktian paling kuat dalam pemilikan tanah.

tenyata Inggris itu mirip Yogyakarta, atau jangan-jangan Yogyakarta yang mirip Inggris. a papun kesimpulannya, ”Konsepsi tanah yang feodal dan pernyataan-pernyataan domein atas tanah itu telah bertentangan dengan jiwa dan dasar hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia.” Demikian tulis Prof Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria. Dan yang lebih penting lagi pasti akan membantu rakyat, bila ada durian runtuh untuk penghuni tanah-tanah hantu.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Ni’matul Huda, S.H, M.Hum: ”Pemerintah Pusat Ewuh dengan Sultan”

Sekretaris Program Magister Hukum Universitas Islam Indonesia ini menyelesaikan program S2 dengan tesis berjudul Status tanah Keraton Pasca Pemberlakuan uu Pa Pengajar Fakultas Hukum yang masih melajang ini berkesimpulan bahwa UUPA tetap tidak bisa masuk DIY. ”Buktinya, kalau orang yang menempati tanah dan bangunan milik Sultan mau mengurus perijinan, harus mendapat izin dari Kasultanan dulu,” ungkap Ni’matul Huda.

Untuk mengulas pandangannya seputar pemerintahan DIY, Widiyanto, Radityo, dan Ilmia dari HIMMAH mewawancarainya. berikut hasil petikan wawancaranya.

adapun kaitannya dengan sistem pemerintahan feodal, itu berarti tidak semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menjadi penguasa di dalam pemerintahan tersebut. Karena sistem feodal itu biasanya mengacu pada keturunan. Sementara kalau sistem demokrasi, itu dipilih oleh rakyatnya. Kalau sistem kerajaan itu tidak bisa, ia sudah punya patokan sendiri yaitu dari keturunan.

Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah pusat dalam pengaturan Sultan Ground (tanah milik keraton)?

Keputusan Presiden yang diisyaratkan PP no 5 tahun 1960 harusnya diterbitkan. Jadi political will dari pemerintah pusat itu masih ewuh dengan Sultan. Secara politik uuPa masih ada kendala untuk masuk ke Jogja. Sekarang sudah zaman reformasi. Harusnya ada proses dimana PP itu lahir mengatur tanah Sultan, membatasi kepemilikan dan lainnya. uuPa sudah berlaku nasional, kok ini belum. Bekas kerajaan lain sudah. Kalau anda baca Ruu-nya DIY kan ngeri. Sultan ground semua akan dikembalikan ke kera ton. Sultan juga bisa membatalkan keputusan-keputusan DPRD yang menyangkut dirinya. Ini kan nggak bener. negara ini sudah republik.

Implikasi negatif dari sistem pemerintahan yang feodalistik?

Demokrasi akan sulit berkembang. Sepanjang yang saya tahu, tradisi ewuh pakewuh itu sangat besar di sini. Sehingga, saya kurang yakin DPRD berani menegur Sultan jika salah. Pemerintahan feodal itu memang tidak selalu buruk. ada hal-hal yang baik. Kalau kita mempelajari beberapa literatur sistem pemerintahan yang ganda seperti di Jepang dan Inggris, sementara ini mengatakan itu sistem pemerintahan yang baik. Karena kerajaan tidak ikut campur dalam pemerintahan, tetapi nilai-nilai budaya mereka yang mengem bangkan. Sehingga masyarakatnya itu tidak tercerabut dari nilai budayanya tetapi dia modern.

uu no 22 tahun 1999 itu sama persisnya dengan uu sebel umnya (uu no 5 tahun 1974). uu yang terbaru itu pun masih status quo. Kalau nggak salah itu supaya tidak menambah konflik. Sementara ini didiamkan dululah DIY. Memang di dalamnya belum ada reformasi, calonnya masih dari Keraton dan Pakualaman. nah, mengapa kemarin ada pemilihan dalam pemilihan wakil gubernur bukan pengangkatan? Itu terjadi karena desakan masyarakat bahwa wakil gubernur harus dipilih. akhirnya DPRD menghendaki jalan tengah: dipilih tapi calonnya tetap dari Pakualaman. Anda setuju dengan sistem pemerintahan feodal?

Oh nggak. Dalam sistem pemerintahan yang baik, gubernur dipilih oleh rakyatnya, disetujui dan didukung rakyatnya kemudian ia juga memikirkan rakyat banyak. Juga ada pembatasan waktu. Sementara kalau Kasultanan ini dalam sejarah sudah ada sebelum Indonesia lahir. Waktu Indonesia lahir, ia menyatakan bergabung. tetapi ternyata bergabungnya itu wilayah-wilayah yang di luar kekuasaan keraton. Pemerintahan keraton ternyata masih memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur dirinya sendiri. Jadi soal tanah misalnya, kalau mau menggunakan, usaha harus minta izin dengan pihak keraton. alasannya karena menyangkut pemilik tanah, bangunan adalah Sri Sultan. Ini terkesan ada pemerintahan di dalam pemerintahan.

Kebebasan pers mendapat represifitas?

nampaknya iya. Ketika terjadi polemik tentang pemilihan Sri Sultan dahulu, saya melihat media Jogja tidak secara penuh melakukan teropongan secara obyektif. Ketika yang disorot itu Sultan, aturan main apakah ia menjabat gubernur itu seumur hidup atau tidak, nampaknya pers condong ke penguasa daerah. Di sini saya masih melihat kalau bicara masalah Sultan, media lokal masih nggak berani bicara bebas seperti di daerah lain.

Sampai kapan sistem pemerintahan yang feodal ini akan berta han?

Saya melihatnya sejauh mana DPRD berani melakukan terobosan-terobosan ke arah yang lebih demokratis. Yang pertama harus digugat adalah aturan mainnya. Kalau aturan mainnya sudah direvisi, bahwa jabatan publik itu diberikan kepada masyarakat, itu mungkin akan lebih bagus. Jadi menurut saya Sultan itu dipo sisikan di atas tidak bermain di wilayah eksekutif tapi justru dia di atasnya. dalam struktur pemerintahan DIY, Sultan berada di luar pemerintahan. Jadi kalau pemerintah membuat kebijakan misalnya, sultan berhak beri advice. Misalnya terjadi konflik di DIY, saya mengamati ternyata Sultan itu sangat efektif. Karena wibawa Sultan masih sangat terlihat.

Dengan semangat reformasi, bagaimana pendapat Anda dengan UU Otonomi Daerah? Ujang Priatna HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
. . . . . . . . . . . . . . .

Prof. Dr. Kodiran, MA: ”Orang Jogja Asli Sulit Ikuti Perkembangan”

Yogyakarta terkenal degan kota pelajar. Di sisi lain feodalisme justru mewarnai pemerintahan DIY. Ada apa di balik ini?

Feodal itu tampak dari sikap mental dan nilai-nilai, orientasinya apa yang dikatakan oleh seorang atasan. Kedua, ada unsur kerabat, kemudian kebersamaan dalam beraktifitas. Secara politik banyak dipengaruhi pemerintah, tapi kalau budaya malah mempengaruhi masyarakat. Jadi banyak orang yang tidak mengikis budaya kera ton, malah mendukung. antara aspek-aspek kultural dan politis tidak sinkron.

Sikap mental itu sulit dirubah, karena sudah sejak lama (budaya feodal) diajarkan, diikuti terus-menerus. nah, orang-orang yang Jogja asli sangat sulit mengikuti perkembangan. Alam pikirannya masih seperti dulu. Jadi sekarang ada sintetisme (perpaduan) antara modernisme dan feodalisme, semacam keadaan yang lama masih ada dan yang baru juga ada. Suatu keadaan yang serba ”semi”, semi modern dan semi feodal. Di satu pihak dia feodal di dalam kekuasaannya, tapi modern dalam kehidupan kesehariannya.

Mengapa terjadi semacam kesenjangan antara keluasan wawasan dan keyakinan bertindak pada masyarakat Yogyakarta?

Guru besar pada Fakultas Sastra UGM ini mengangkat tema “Perkembangan Kebudayaan dan Implikasinya terhadap Perubahan Sosial di Indonesia” pada pidato pengukuhannya, 3 Juni 2000 lalu. Sebagai warga Yogyakarta, ahli antropologi Indonesia ini cukup kritis terhadap budaya masyarakat Yogyakarta. ”Budaya ngalap berkah itu jelas tidak bagus. Secara politik dan kekuasaan ber bahaya,” tukas Prof. Kodiran saat diwawancarai Wakid, Ilmia, Radityo dan Iwan dari HIMMAH di kantornya. Berikutkami sajikan hasil petikan wawancara dengan pria yang 15 Agustus mendatang, genap berusia 63 tahun.

Bagaimana eksistensi kekuasaan Sultan sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa transisi ini?

Kalau dilihat dari aspek budaya, yang jelas kekuasaan kera ton itu sampai sekarang masih ada. Hanya saja lingkupnya sudah berkurang. Sebagian itu dimasukkan ke dalam Indonesia. artinya sebagian wewenangnya itu dimasukkan kedalam kerangka sistem politik Indonesia. Yang jelas, sekarang masih kuat aspek buday anya, karena mempunyai akar yang kuat bagi masyarakat Jawa. Dalam banyak literatur, budaya keraton banyak mewarnai hampir semua aktivitas di Jawa ini. Punya pengaruh yang besar baik dalam alam pikirannya, nilai-nilainya, dan bermacam upacara yang di lakukan. Itu tampaknya masih kuat, buktinya tiap tahun masih ada grebeg, sekaten dan lain-lain. tradisi keraton belum terkikis. Kalau aspek politik ada semacam reduksi, kekuasaan banyak diserahkan ke pemerintah. Meskipun demikian ada otonomi, yaitu dalam kata istimewa yang tertera di sini. Jadi sekarang kekuasaannya sudah mulai terbatas, Ia berkuasa di dalam masyarakatnya sendiri, yaitu masyarakat keraton. tetapi punya kekuasaan di pemerintahan nasional, buktinya ia menjadi gubernur. Jadi ada semacam sikap mendua, artinya di dalam dia kuat dan pada tingkat luar dia sudah menjadi komoditas pemerintah atau republik.

Budaya itu kan menyangkut nilai-nilai. nilai-nilai itu adalah sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Saya kira pemer intah (DIY ) sudah melakukan secara umum ajaran (kebijakan ) dari pusat. Dan masyarakat dalam atau bawah ini masih punya pikiran lama, dukungan mereka cukup kuat juga. ada semacam dualisme. Itulah kelebihan budaya keraton. Kalau pada kalangan Gadjah Mada (akademisi), mereka masih sungkan. Karena dalam sejarah tanahnya masih milik keraton. ada timbal balik: keraton menyerahkan tanahnya seratus hektar dan mungkin ada rasa hutang budi, yah kebaikan mesti dibalas dengan kebaikan.

Sultan adalah seorang yang nasional dan regional, gubernur dan Raja Jogja. Nah pada regional itu masih punya pengaruh yang sangat kuat, bahkan orang-orang muda masih percaya sama mitos. Dalam upacara-upacara itu banyak anak muda yang ngalap (men cari) berkah. Di sana ada krisis kepercayaan dan keyakinan. Ban yak ritus yang masih ramai dikunjungi oleh masyarakat. Sekedar contoh kejadian tiga orang polisi yang mengambil air di Imogiri. Memang jelek bagi saya tapi bagus menurut mereka. Saya sering bilang bahwa itu musyrik. ada akulturasi ajaran, seperti Islam yang bercampur dengan Hindu, namanya kejawen. Misal gamelan ditaruh di masjid. Jadi kenapa masih kuat, karena budaya keraton itu menyentuh aspek-aspek kerohanian.

Apakah berbahaya? Bagi saya sebagai ilmuwan, ya jelas tidak bagus. Secara politis dan kekuasaan berbahaya, tapi kalau sebatas keyakinan saja itu terserah mereka (masyarakat Yogyakarta). Berbahaya karena akan kembali pada yang lama. artinya tidak mengindahkan rasional tapi pada tradisi. Kekuasaan yang tidak memakai rasio yang modern tapi pada takhayul-takhayul itu sangat berbahaya. Karena takhayul itu kan kembali pada hal kepercayaan, tidak bisa dilihat, tapi kalau rasio itu memakai konsep ilmu, teknologi dan sains. Kalau sebatas pribadi itu tidak apa-apa, namun bila dipakai untuk menguasai sesuatu itu berbahaya.

Bagaimana dengan posisi Sultan sebagai gubernur sekaligus raja di keraton?

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
Iwan Nugroho / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . .

Merangkap dua jabatan ini tidak bermasalah, asal punya misi dan visi yang mendukung kebangsaan. tidak pada kerajaan terda hulu bahwa kekuasaan itu mutlak milik dia. Harus demokratis untuk rakyat. Kalau bapaknya dulu (HB IX) sangat bagus. Saya dengar Sultan sekarang orangnya demokrat, tapi ketika ada pembangunan taman Wisata Merapi, itu kata ahli lingkungan, harus dikaji terlebih dahulu. Sultan masih menggunakan pengaruhnya pada masyarakat. Sekarang kita harus menelaah dulu apa yang diucapkan Sultan. Dan, masyarakat tidak dilibatkan pada pembangunan itu. Yang saya kritik adalah tidak ada wadah partisipasi masyarakat, rakyat harus terlibat. Mungkin sultannya sudah berubah, namun mental orang-orang tengahnya yang belum, para aparat dibawahnya. Jogja kalau saya lihat sekarang makin kumuh, makin lusuh, makin banyak kriminal, pelajarnya makin tidak karuan nah, kenapa itu, gubernurnya harus punya inisiatif. Mungkin sudah punya, cuma di tengah ini yang kisruh, seperti di DPRD itu. Jadi ada semacam keegoisan. Saya katakan ada unsur psikologis dalam aspek politik, masih banyak yang mementingkan pribadi dan kelompoknya. ada saling menu tupi, seperti kasus JEC. Hambatannya di tengah-tengah ini.

Yang jadi masalah, kedudukan kekuasaan tidak mencari orang-orang yang mampu secara rasional bisa menjembatani suara bawahan, itu bagaimana?

Kalau kita lihat di u.K atau Belanda, upacara-upacara selalu diadakan. Cuma mereka membedakan kekuasaan pada menterinya dan pada kalangan kerajaan. Dalam pemerintahan, Sultan harus demokratis. nah, bagaimana mereka membangun negara yang tidak feodal padahal budayanya kerajaan. Di Indonesia perilaku (masyarakat) nya belum modern. Masih mempertahankan primordi alisme, patriarkisme, hubungan patron klien. Yang perlu bagi saya pertama pemisahan kekuasaan dari situasinya, kedua perubahan sikap mental orang-orangnya, kan masalahnya disitu. Makanya mesti ada pemisahan budaya yang dikomoditi untuk memproduksi kekuasaan dengan budaya sebagai jati diri masyarakatnya. adapun gerak penyadaran masyarakat dapat dilakukan dengan tiga cara: pengembangan kepribadian, penguatan keimanan, peningkatan kecerdasan, pendidikan.

Sebenarnya kalau kita bicara keistimewaan Jogja ini tidak bisa terlepas dari masyarakat Jogja itu sendiri. Terutama yang masih di desa-desa ya. Mungkin yang dikota sudah campuran dengan pen datang. Tetapi yang masih asli Jogja, mereka menganggap Sultan itu sebagai pusat berkah, menjadi pusat kemakmuran. Itu kalau masyarakat pedesaan. nah, kalau orang kota kan harus demokratis juga dipilih dari rakyat biasa. Tetapi orang-orang Jogja asli terutama yang masih–kalau konservatif ya tidak ya–tetap di Jogja, mereka itu tidak bisa ya diajak berfikir ya bebas begitu. Ya kalau kepala daerah itu bagaimanapun juga harus dari Kasultanan dan Pakuala man. Itu suatu keyakinan bagi mereka.

Dengan adanya dua kubu, katakanlah orang desa dan kota tersebut, bagaimana proses RUU Keistimewaan DIY dirumuskan?

Sekarang bagaimana: mau mengikuti mayoritas atau minori tas? Yang mayoritas di desa ini, orang-orang asli Jogja itu. Agar demokratis tentu saja yang diikuti yang mayoritas, tidak bisa yang minoritas. Meskipun yang minoritas banyak yang terpelajar dan sebagainya. tetapi saya yakin, komitmen keraton terhadap kaum terpelajar juga sangat tinggi. anda tahu bahwa seluruh uGM itu dulu sebenarnya tanah milik keraton. Itu diberikan begitu saja oleh HB IX. Silakan saja pakai sudah.

Sebagian pengamat hukum bilang, Sultan yang menjadi gubernur tidak demokratis karena sistem pemilihannya?

tetapi perlu diskusi lagi: apa sebenarnya arti demokrasi? apa sekedar pemimpinnya dipilih oleh rakyat mayoritas atau ada unsurunsur lain. Misalnya dalam pelaksanaan pemerintahan. apakah pemerintah mendengarkan rakyat atau tidak, ini kan termasuk unsur-unsur demokrasi juga. apa pemerintah mempunyai perhatian yang besar terhadap rakyat; apa pemerintah mengurus pelayanan

Setiap kali pembahasan seputar DIY, nama Prof. PJ Suwarno hampir tidak pernah absen. Warga asli Yogyakarta ini, di kalangan akademisi, terkenal sebagai staf ahli Sri Sultan HB X. Dosen se jarah Universitas Sanata Dharma yang menyelesaikan S3 Sejarah UGM pada tahun 1993 ini telah banyak menulis buku tentang pemerintahan daerah, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurutnya keistimewaan DIY itu bukanlah barang mati. ”Kalau nanti rakyat kita maju, dengan sendirinya ya harus dirubah. DIY itu dirubah keistimewaannya dimana begitu,” ungkap PJ Suwarno saat ditemui Wakid dan Ilmia di kantornya. Untuk melengkapi sajian Laporan Utama, berikut kami tampilkan hasil petikan wawancaranya. Bagaimana menurut Anda, RUU Keistimewaan Yogyakarta bisa men jawab tuntutan demokratisasi?
Prof. Dr. PJ. Suwarno, SH: ”Kaum Terpelajar Kadang Keblasuk
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
” Ujang Priatna / HIMMAH . . . . . . . . . . . .

terhadap rakyat. Ini kan unsur-unsur demokrasi yang kadang-ka dang malah dilupakan. Kalau mengenai pemilihan (gubernur dan wakilnya) itu tidak dari rakyat banyak, ya baiklah itu dilaksanakan karena ada tradisi. Sekarang masalahnya setelah itu jadi, apakah dia sewenang-wenang atau mengikuti juga aturan-aturan demok ratis? artinya setelah menjadi kepala daerah Sultan otoriter, atau demokratis. Harus dari situ meninjaunya. Kalau itu demokratis, ya sudah. tentang tidak dipilih itu hanya satu faktor demokrasi yang kecil sekali.

Dengan sistem pemerintahan seperti saat ini, dimana Sultan menjadi pemimpin kultural sekaligus struktural pemerintahan DIY dan men guasai aset-aset baik ekonomi maupun politik yang besar, ada yang mengkhawatirkan menghambat sehatnya pemerintahan?

Itu prasangka atau realita? apa sungguh-sungguh Sultan itu powerful sehingga diktatoris dalam pemerintahan sehari-hari, itu harus diperiksa. Kalau di dalam prakteknya tidak demikian, saya kira tidak usah dicurigai. Kalaupun terjadi toh masih ada DPRD yang diberi kekuasaan bisa menurunkan. tetapi keadaan yang seka rang terjadi, ya banyak tanah sultan itu yang digunakan oleh rakyat dan negara dan tidak dibayar. Saya ada pengalaman hal ini.

Dulu saya diserahi dengan orang-orang di RT di Kodya Jogja. Mereka akan membentuk yayasan RK yang dihapus itu. Sekarang kan jadi RW dan Rt. Lalu pergi menghadap Sultan minta tanah dan rumah untuk tempat rapat dan lain sebagainya. Sultan bilang, ”Pakailah tanah saya di satu desa sebelah. ambil saja disana ada tanah dan rumah. Ya itu gunakan untuk rapat dan lain sebagainya.” Bersama pengurus kami melihat lokasi. ternyata sudah ditempati oleh pemerintah. Itu Departemen P dan K. Mereka itu tidak izin sama sultan. Mengetahui keadaan demikian Sultan malah bilang, ”Wah saya tidak sampai hati untuk meminta kembali. toh itu untuk kepentingan rakyat juga.” Ya semacam itu keadaannya. Sedangkan tanah yang dimiliki Sultan seperti yang ditempati rakyat namanya magersari, itu Sultan tidak menarik sewa. Hanya tanda jasa misalnya satu tahun, hanya sedikit sekali. Jadi kalau keadaannya Sultan semacam itu, apakah itu dinamakan tidak demokratis?

Bagaimana dengan visi sultan ke depan?

Itu yang kita pikirkan besok. Kalau misalnya digantikan (den gan keturunan HB X –red.), lalu diktatoris ya diturunkan lewat DPR. Itu bukan barang mati, artinya selalu bisa dibicarakan. Jadi hukumnya itu hukum rakyat. Jadi nanti kalau misalnya tindakan pemerintah sewenang-wenang, ya rakyat protes. Dan tidak apa-apa diturunkan, lalu diganti yang baik.

Dan itu bisa nggak di luar keluarga sultan?

Mengapa tidak kalau rakyat menghendaki. Sultan pun men gatakan, kalau rakyat menghendaki dari luar keraton ya silahkan saja. tetapi aturannya coba ya sungguh-sungguh melibatkan rakyat. Sebab kalau pendapat segelintir politisi lalu dijadikan undang-un dang, itu juga tidak adil dan tidak demokratis. Itu sebenarnya yang dipikirkan kaum terpelajar. Kadang-kadang ke-blasuk. Mereka kadang-kadang terlalu maju.

Bagaimana deskripsi “Tahta untuk Rakyat” yang dicetuskan HB IX?

Dia menjadi sultan itu untuk kepentingan rakyat. Dia menga

takan, ”Kalau saya jadi sultan tetapi rakyat sengsara lebih baik tidak usah jadi kepala daerah. Jadi kepala keluarga saja.” Dia pernah mengatakan begitu.

Ada statemen ”Masyarakat yang berpijak pada mitos sulit berkem bang”. Pendapat Anda? Sulit berkembang maksudnya bagaimana? Mitos yang dipercaya oleh rakyat itu tetap hidup sejak Hamengku Buwono IX. Tetapi kemerdekaan, kalau Anda membaca sejarah perjuangan, Jogja pa ling maju dan dipilih presiden untuk mengungsi, selama Jakarta diduduki oleh Belanda. nanti Indonesia direbut dari Belanda itu sebenarnya dari Jogja. Dan kemajuan pertama-tama nanti kalau Anda lihat perguruan tinggi yang berdiri pertama juga di Jogja yang didirikan oleh orang Indonesia. Kalau semacam itu lalu dianggap menghambat kemajuan, pengamatannya itu dari mana?

Bapak diantara perumus RUU keistimewaan DIY. Dimana letak keistimewaannya?

Keistimewaannya sebenarnya diusulkan sesuai dengan per aturan perundang-undangan yang sudah ada. Itu uu no. 3 tahun 1950 sudah ada tetapi belum lengkap. tapi dari situ sebenarnya keistimewaan Jogja meliputi (1) kepemilikan tanah sesuai dengan hukum adat; (2) kepala daerah dan wakil kepala daerah itu dari ketu runan sultan dan pakualam; (3) tentang budaya Yogyakarta yang akan dikembangkan menjadi budaya Indonesia. Itu sebenarnya perumusan asli keistimewaan Jogja. Hal itu akan diatur dalam satu Ruu sebagai keistimewaannya. Sebab ada dua panitia, yaitu diketuai oleh Prof. Sudikno dan sekarang diketuai oleh Pak afan Gaffar. Afan Gaffar itu merumuskan ada empat keistimewaan Jogja. Kecuali tiga tadi juga termasuk pendidikan. Mengapa pendidikan kok istimewa ini sebenarnya perlu diskusi juga. Pendidikan itu semua kota sudah hampir sama.

Kebudayaan yang dimaksudkan seperti apa?

Kebudayaan Jogja yang pusatnya dari Keraton. Budaya itu kan berkembang. Pada intinya budaya Jogja seperti tari Jawa dan lainnya. Itu tetapi nanti pengembangannya tidak menutup pengaruh dari luar. Tatapi basisnya itu budaya Jogja.

Bagaimana dengan fenomena budaya patrimonial?

taraf masyarakat Indonesia memang masih seperti itu. Saya kira yang cocok ya patrimonial itu. nanti makin maju makin berubah demokratis. Kalau nanti rakyat kita maju, dengan sendirinya ya harus dirubah. DIY itu diubah keistimewaannya dimana begitu. Ya itu banyak yang bisa dipikirkan. Meskipun sultan itu tetap sultan tetapi kalau masyarakatnya itu sudah sampai ke tingkat rasional pemikirannya bukan patrimonial ya mungkin nanti akan dipisa hkan kepala daerah dengan eksekutif. Saya kira itu tidak masalah. Kita ikuti perkembangan masyarakat. Itu lebih enak. Mendahului pikiran masyarakat kalau dipahami tidak masalah, kalau tidak bagaimana? Kita hancur sendiri. Orang-orang terpelajar itu karena keterpelajarannya bertindak mendahului rakyat. Kalau dipahami ya silahkan saja. tapi kalau tidak ya mundur. Supaya bisa hidup.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . .

Dra. Ngadisah, MA: ”Ini Tahta Milik Negara”

dulu, tetapi era di dalam kehidupan RI yang demokratis. Sehingga ewuh-pakewuh itu harus dihilangkan sedikit demi sedikit. Ini adalah tahta milik negara, sultan juga sebenarnya sultan yang ada di dalam nKRI. Dia kalau terus ewuh-pakewuh begitu, akhirnya kepentingan rakyatnya bisa dilupakan. Ini sangat tergantung pada kebaikan sultan, kalau kebetulan sultannya baik, demokratis seperti sekarang, mungkin ndak jadi masalah. tapi kalau suatu saat dapat sultan yang tidak bisa memahami makna demokrasi, atau memang sultan yang ingin mengembalikan hak-hak tradisi sepenuhnya, termasuk sampai hak politik, maka dikhawatirkan demokrasi itu akan terabaikan. Dan kepentingan rakyat bisa saja tidak akan diperhatikan. Ini bahaya menurut saya.

Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan kelihatan. Pepatah ini mengingatkan kita bahwa manusia sering kali sulit mengetahui kekurangannya. Mengamati pemerintahan DIY dari luar tentunya memberikan pandangan yang berbeda dengan pengamatan dari dalam.

Berikut hasil petikan wawancara Widiyanto, Ilmia, dan Ra dityo dari HIMMAH dengan Dra. Ngadisah, MA., Rektor Institut Ilmu Pemerintahan di rumah dinasnya, Jakarta Selatan.

Birokrasi Yogyakarta patrimonial terkait kultur daerah yang kebetulan gubernur sendiri adalah seorang sultan. Pendapat Anda?

Ya, sekarangpun kita bisa mengamati adanya perilaku yang sangat spesifik dari birokrat-birokrat Yogyakarta dibandingkan di tempat lain. Jadi bau patrimonialisme itu masih nampak dan masih terasa di Yogyakarta. Seperti kita mau ketemu dengan seseorang itu belum tentu bisa sebelum ada perintah dari atasan. Jadi budaya pat rimonial itu memang masih sangat kuat mewarnai budaya birokrasi di Yogyakarta. nah ini saja belum menjadi daerah khusus –dalam pengertian Sultan secara otomatis menjadi gubernur–perilakunya sudah seperti itu. apalagi kalau kemudian sudah kembali ke kultur lama, maka kultur birokrasi yang terbentuk akan sangat menjadi patrimonial lagi. akhirnya ada semacam ekslusivisme birokrasi di sana. Dan ini bertentangan dengan birokrasi yang ideal, dimana ada kesepakatan yang jelas dalam kewenangannya, harus mempu nyai persyaratan-persyaratan yang obyektif yang jelas, kemudian pelayanan siapapun sifatnya personal.

Sultan banyak menguasai aset ekonomi, politik, dan budaya. Bagaimana implikasinya terhadap fungsi-fungsi legislatif?

Itulah fenomena yang menunjukkan peran sebegitu dominan, sehingga bisa mengarah pada pemasungan demokrasi. Check and balance itu tidak akan terjadi, sehingga kecenderungan di kemudian hari adalah katakanlah satu negara yang otoriter. Karena semuanya tunduk pada sultan dan sultan itu tidak bisa dikontrol dalam struktur pemerintahan Jawa lama.

Sekarang ini kan eranya bukan lagi era kesultanan seperti

Draf RUU Keistimewaan DIY menetapkan gubernur adalah sultan yang jumeneng. Pendapat Anda? Kalau gubernur itu memang perangkat pemerintah pusat, maka pen calonan dan penetapannya tidak bisa lepas dari peran pemerintah pusat. Harus mendapatkan persetujuan dari presiden, di samping juga harus dari hasil pemilihan yang demokratis. nah, pemilihan yang demokratis itu bagaimana? Yaitu yang dipilih oleh lembaga yang berwenang untuk itu, lembaga legislatif. Jadi sepanjang itu namanya gubernur, maka dia harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pemilihan gubernur secara nasional.

Lebih dari 40 ribu hektar tanah sultan belum jelas pengaturannya. Pendapat Anda?

Menurut saya kita harus mengikuti peraturan yang berlaku secara nasional, kita sebenarnya masih menganut kepemilikan yang diatur dalam uuPa tahun ’60. Dimana kalau ndak salah itu ada pembatasan-pembatasan kepemilikan. Jadi kalau sultan ingin memiliki lebih, maka ini harus diatur dalam uu juga. Kalau hanya dengan Keppres, kemudian memberikan kewenangan demikian luas yang bertentangan dengan uuPa maka itu tidak bisa dibenarkan. Bahwa memang kita sebagai warga negara mempunyai hak untuk memiliki tanah sepanjang surat-suratnya itu sah. tetapi kan hak kita juga di dalamnya ada bagian dari hak orang lain. Jadi kita tidak bisa juga membiarkan pelanggaran terhadap peraturan yang terus menerus, justru harus ditata lagi menurut saya.

Bagaimana dengan daerah yang menginginkan pola pemerintah adat?

Saya sebenarnya sangat khawatir dengan gejala ini. Karena saya dengar di Propinsi Sulsel itu malahan sudah ada gagasan-gagasan untuk memecah Sulsel menjadi beberapa propinsi berdasarkan kerajaan-kerajaan yang ada di masa lalu. Kalau hanya ingin mengembalikan budaya dan hak-hak tradisinya, bagi saya tidak jadi masalah. tapi kalau sampai terbawa pada upaya-upaya untuk menguasai kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain, atau hegemoni kerajaan, ini akan terjadi konflik yang hebat. Okelah, hakhak tradisi itu dikembalikan sebatas itu kebanggaan kita terhadap bangsa Indonesia. Bukan mengembalikan kita sebagai etnis, sebagai kelompok primordial yang sangat sempit. Kebanggaan tradisi itu baik, itu bisa dilestarikan tetapi dalam pengertian sebagai tradisi bangsa Indonesia, bukan tradisi etnis tertentu.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN UTAMA]
Widiyanto / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . .

ANTARA POLITIK IDENTITAS DAN DEMOKRASI

PERBINCANGAN tentang keistimewaan daerah tentu saja bisa dimulai dari berbagai macam ”entry point” maupun perspektif, namun setidaknya ada dua pusaran perdebatan tentang keistime waan. Pertama, melihat dari sisi proses dalam merumuskan keistimewaan. Pusaran kedua dalam perdebatan keistimewaaan diletakan pada sisi substansi dan implikasi.

tulisan ini tidak berupaya masuk kesemua isu dari perdebatan di atas, akan tetapi memusatkan perhatian pada intisari perdebatan draft Ruu Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sebenarnya menyentuh perbincangan tentang identitas dan demokrasi. Karena bagaimanapun, merumuskan keistimewaan adalah persoalan politik identitas. Konstruksi atas identitas bukan lah dilakukan dalam ruang vakum melainkan selalu berada dalam konteks bekerjanya relasi-relasi kuasa.

ada beberapa hal yang menarik dalam politik identitas ini. Pertama, politik identitas lebih menekankan homogenisasi, kestabi lan, kesatuan dan kekuatan perasaan identitas. Identitas dipikirkan sebagai entitas yang bersifat tetap, stabil dan tidak berubah. Oleh karena itu, identitas merupakan kesinambungan masa lalu dan masa kini. Kesinambungan itu ditampilkan dalam bentuk keinginan untuk mewujudkan masa lampau dalam konteks kekinian. Kedua, identitas dipahami sebagai fenomena primordialis ketika identi tas akan sangat berguna sebagai penerjemah (translation) untuk membedakan sang diri (kita) dengan yang lain (mereka). Seperti yang dikemukan oleh David Brown, identitas akan mereproduksi penanda-penanda tertentu bagi sebuah kelompok sosial yang akan memberi batas dengan kelompok sosial yang lain. Ketiga, identitas juga dipandang berguna secara instrumentalis karena keteguhan identitas akan menyelamatkan sebuah entitas lokal dari cengkra man politik ”penyeragaman” yang dilakukan oleh negara-bangsa atas nama kebudayaan nasional, atau oleh kapitalisme atas nama modernisasi-globalisasi. Karakter dan keunikan lokal ”dibunuh” melalui upaya sentralisasi administrasi-birokrasi serta indoktrinasi nasionalisme negara. Kapitalisme juga merupakan pembunuh iden titas lokal lewat penyeragaman budaya industrial melalui strategi pencitraan yang menggiurkan.

Bekerjanya politik identitas yang melewati ruang dan waktu seringkali menghasilkan sesuatu yang terasa ”aneh” dalam masyar akat modern. Dalam tataran negara-bangsa, ditunjukkan oleh Inggris, sebuah bangsa yang mengenalkan kehidupan parlemen lewat Magna Charta, lebih memilih untuk mempertahankan tradisi Monarki sebagai simbol identitas nasionalnya.

Pertanyaan berikutnya apakah antara identitas dan demokrasi merupakan sesuatu yang bertentangan, komplementer atau mempu nyai ”ranah” masing-masing? Bagaimana hubungan antara identitas dan demokrasi harus dibangun? Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak mudah. Mengapa? Karena teori demokrasi pun masih dalam perdebatan. Seperti perdebatan afan Gaffar dan nanang Pamudji di Harian Kedaulatan Rakyat (Juli 2002), memperlihatkan bahwa demokrasi diletakkan lebih dalam aliran pemikiran yang minimalis. tradisi demokrasi minimalis, walaupun menjadi mainstream di kalangan ilmuwan politik, memiliki sejumlah keterbatasan. Per tama, tradisi minimalis terlalu menekankan pada mekanisme pros

edural serta formalisme dibandingkan dengan substansi demokrasi. Kedua, tradisi minimalis cenderung bersifat elitis, karena melihat demokrasi hanya dari pola partisipasi, Pemilu, partai politik, parlemen dan konstitusi. Ketiga, tradisi minimalis juga ahistoris karena tidak kontekstual dengan kondisi struktur sosial ekonomi dan kebudayaan dimana teori demokrasi itu ingin diterapkan. Oleh karena itu, kelemahan yang paling mendasar dari tradisi minimalis adalah semangat untuk ”menyeragamkan” format demokrasi dalam semua ruang dan waktu dengan indikator-indikator yang bersifat mekanis dan ahistoris. Belajar dari keterbatasan tradisi minimalis inilah diperlukan upaya untuk menemukan tradisi demokrasi yang lebih substantif, participatory dan memahami konteks struktur sosial dan budaya masyarakatnya.

Yogyakarta Bergerak nah, apa keistimewaan Yogyakarta? bagaimana membangun identitas keistimewaan Yogyakarta di tengah kebutuhan demokrasi substantif? Pertama, dalam era multikulturalisme, identitas keis timewaan Yogyakarta seharusnya dibawa sebagai arena pertemuan antara masa lalu dan masa depan. Perkembangan ke arah itu sudah sangat kuat tercermin dari tumbuh suburnya multikulturalisme di Yogyakarta. Dengan demikian, Yogyakarta dapat menjadi sebuah ruang yang terbuka (free public sphere) bagi keanekaragaman kul tural dan identitas seperti budaya Keraton ngayogyakarta Hadinin grat, kultur lokal (Jawa), budaya popular, identitas keagamaan dan kosmopolitan. Dalam konteks ini keraton bisa menjadi payung bagi multikulturalisme ini. Lebih-lebih, keraton sudah mempunyai lan dasan historis karena setiap sultan menyandang gelar panatagama, yang bisa diperluas maknanya menjadi pelindung keanekaragaman budaya. Kedua, keistimewaan DIY seharusnya tercermin pada bagaimana menempatkan keraton dalam format pengaturan politik modern, yang didasarkan prinsip-prinsip demokrasi substantif. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa dilakukan pemisahan antara ranah politik identitas dengan ranah everyday politics, walaupun keduanya tetap dibangun dalam konteks rela sional. Misalnya, dalam tradisi Monarki Konstitusional Inggris, Ratu Inggris dibebaskan dari ”everyday politics” yang terjadi di parlemen maupun luar parlemen. Sehingga, ratu bisa tidak dipan dang sebagai figur partisan, terbebas dari intrik politik serta bisa memusatkan seluruh ”energinya” untuk menjadi simbol pemersatu, sumber identitas nasional dan kesejahteraan sosial. Kehidupan politik sehari-hari dijalankan sepenuhnya oleh perdana menteri dan parlemen. Bahkan di thailand, pada saat krisis politik pemerinta han, pengemban identitas ini bisa mempengaruhi konstelasi politik karena suaranya sangat didengar masyarakatnya. Di DIY, model mirip monarki konstitusional ini bisa diakomodasi dengan beberapa modifikasi. Hal ini pernah dilakukan oleh Sultan HB IX dengan membentuk Badan Pemerintahan Harian yang dipilih, diangkat dan bertanggungjawab pada parlemen. Sedangkan gubernur yang dijabat HB IX bertanggungjawab pada Presiden. Dengan jalan ini, antara identitas dan demokrasi bisa berjalan beriringan.

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM dan Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE).

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [KOLOM] WACANA KEISTIMEWAAN:
. . . . . . . . . . . . . . .

Bila Umat Berselisih Pendapat

KONFLIK anarkis antara umat beragama masih saja terjadi. Konflik antar kampung beda agama meluas ke seluruh Kepulauan Maluku sejak Januari 1999, adalah contoh kecil ”gunung es” konflik sejenis. Konflik keberagamaan ini ditang gapi secara beragam oleh umat. akumu lasi kekecewaan tidak meredanya konflik berkepanjangan tersebut membuat Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (aswaja) menggerakkan massanya untuk ”membantu” melerai pertikaian antar umat beragama. Sekitar 3000 pasukan Laskar Jihad Aswaja dari Yogyakarta diberang katkan ke ambon ibu kota Maluku.

Kasus Maluku memang sangat kom pleks, di sana sudah terdapat laskar sipil yang terlibat konflik. Tempo melaporkan, milisi militer juga ambil bagian dengan merekrut pemuda ambon dilatih di antara nya untuk meledakkan bom. Kepentingan politisi Jakarta ditambah kemun g kinan adanya kepentingan dari luar negeri,

semakin menambah kompleksitas masa lah konflik, yang kental dengan simbol keagamaan. Bom meletus di tempat iba dah, peluru berdesing, korban bersimbah darah.

Setelah melakukan riset teks berita me dia, agus Sudibyo berkesimpulan bahwa media massa ikut andil dalam melarutkan konflik antar umat beragama. ” tabloid cenderung mendramatisir dan melebihlebihkan apa yang terjadi di Maluku den gan menggunakan bahasa yang konotasi daripada bahasa yang bermakna harfiah. Dramatisir inilah yang kemudian menim bul-kan kesan bahwa pemberitahuaan tab loid cenderung bersifat provokatif terhadap pihak-pihak tertentu,” tulis Sudibyo dalam Politik Media dan Pertarungan Wacana Peristiwa runtuhnya World Trade Centre (WTC), 11 September 2001 lalu juga men imbulkan reaksi keagamaan yang mence maskan. Saat Presiden amerika, George W. Bush menuduh Osama Bin Laden sebagai

”teroris” pelaku kebiadaban pengeboman WTC, membuat sebagian warga muslim Indonesia tergerak untuk memberang katkan sukarelawan jihad ke afganistan, mengadakan sweeping atau pembersihan terhadap warga asing sebagai tindakan anti a merika. a ksi demikian membuat para wisatawan tak mau berkunjung ke Indonesia, iklim investasi memburuk, dan masyarakat pun ikut cemas.

Keadaan demikian membuat beritaberita media massa didominasi oleh ”wajah muram” keberagamaan. Disinilah kritik Freud bahwa agama hanyalah ilusi bua tan manusia yang putus asa menghadapi takdir menemukan relevansinya. Bahkan secara vulgar, e rnest Renan menuduh Islam merupakan agama yang menghina ilmu pengetahuan, menolak civil society, menyempitkan pikiran para pemeluknya untuk mengeluarkan ide-ide kritis keberaga maannya.

Wajah muram fenomena keberagamaan di atas membuat ulil abshar abdalla pri hatin. Bersama Komunitas utan Kayu, ulil mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL), 18 Mei 2002 lalu. ”Jaringan ini lahir karena menguatnya Islam Fundamentalis,” ujar Novriantoni, salah satu anggota JIL.

Seperti burung di pagi hari dibiarkan keluar bebas dari sangkarnya mencari makan dan pulang di sore hari dengan ketenangan dengan membawa makanan yang didapatkannya. tak berlebihan bila semangat seperti itulah yang diinginkan JIL. Umat tidak dipaksa untuk menerima pemahaman yang doktrinal kepada agama nya. Kepada HIMMAH ulil menegaskan bahwa tujuan JIL yang menyangkal disebut sebagai sebuah institusi adalah keinginan untuk membuka ruang publik yang luas buat masyarakat untuk mengenal sejumlah penafsiran agama.

”tanpa mengesampingkan ketenangan batin, JIL mendorong kebebasan berpikir dan memilih bagi umat Islam. ekspresi keagamaan dengan nilai-nilai pluralitas, inklusif dan humanisme itulah yang diingin kan JIL,” tutur Ulil waktu ditemui M.

Fenomena keberagamaan bangsa sering mendatangkan kekhawatiran dan ketakutan. Seolah-olah ke damaian yang dijanjikan agama hanya isapan jempol. Belakangan muncul Jaringan Islam Liberal dan Laskar Aswaja. Bagaimana kiprahnya dalam masyarakat? osama Bin Laden Simbol Fundamentalisme Islam?
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [AGAMA]
W Dani K / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . .

Solikhan dan Doni Wijayanto dari HIM MAH di kedai Utan Kayu, Jakarta.

Penanaman maupun pemberian ke bebasan penafsiran agama bagi umat berag ama melahirkan dua pandangan. ada yang mengkhawatirkannya, tapi sebaliknya ada yang melihat kebebasan dalam menafsirkan doktrin agama itu positif. namun bagi ulil keresahan merupakan sebuah kebutuhan dan harus dimiliki dalam mencari kebe naran agama. ”Menginginkan masyarakat untuk tidak resah itu tidak baik. Masyarakat harus dibuat resah dalam arti yang positif. Karena kalau tidak dibuat resah mereka akan dikuasai oleh semacam Islam cool Dan itu tidak baik,” tegas ulil.

Sebagai pendiri JIL, Ulil menyadari bahwa penanaman tradisi yang baru me mang tidak mudah. untuk mencapai tujuan organisasi, JIL memiliki empat agenda: agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita dan agenda kebebasan berekspresi. adapun keempat agenda tersebut digulir melalui forum diskusi, talk show di 15 radio di Indonesia, sindikat media seperti kerjasama dengan Jawa Post beserta jaringan-jaringannya plus website.

Fundamentalisme tidak bisa lepas dari sejarah munculnya istilah itu sebagai respon kalangan agamawan Kristen terha dap pertentangan antara ilmu dan agama. Dalam pengamatan Garaudy, penggunaan istilah fundamentalisme telah meluas. ada pun istilah ”Fundamentalisme Islam” di kalangan Barat mulai populer berbarengan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. ”Kala itu kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great satan, amerika Seri kat,” demikian tulis azumardi azra dalam Fenomena Fundamentalis dalam Islam: Survei Historis dan Doktrinal

Lebih lanjut a zumardi a zra dalam tulisannya tersebut-dengan mengambil kerangka yang diberikan oleh Sosiolog agama Martin e. Marty menyebut empat prinsip gejala Fundamentalisme Islam. Prinsip pertama, fundamentalisme adalah oppositionalism (paham perlawanan). Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan in terpretasinya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan revivalisme. Bagi Kaum fundamental pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Bagi kaum fundamentalis, berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari dok

trin literal kitab suci.

Munculnya gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia seperti gerakan Laskar Jihad misalnya, merupakan prototype dari gerakan pembaharuan Islam. Irfan S aw was, Ketua Lajnah Tahfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia menyebutkan bahwa fundamentalis Islam merupakan identitas tambahan. ”Sama seperti kriteria sebagai kaum fundamental, Laskar Jihad Ahlus sunnah Waljama’ah juga tidak bisa lepas dari tuduhan-tuduhan sebagai gerakan kek erasan, gerakan anti Barat-amerika. Yang tidak bersahabat dengan amerika disebut teroris,” ungkap Irfan kepada HIMMAH

.

liberalis itu bagaimana menafsirkan, lebih mementingkan fungsi daripada bentuk. Oleh karena itu yang disebut liberalis itu mencari pesan-pesan asepsial, pesan substansial dari aspek, fungsi dan sejarah sehinggga mendapatkan nilai yang dapat berfungsi dalam kehidupan yang beragam,” komentar abdul Munir Mulkhan, Dosen IaIn Yogyakarta.

Sementara Salahudin Wahid, salah seorang tokoh nahdlatul ulama melihat JIL sebagai fenomena baru pengemban gan pemikiran Islam. ”JIL menerapkan Al Qur’an sesuai dengan pemahaman mereka. Sehingga ada reaksi macam-macam. tapi

Namun Ja’far Umar Thalib, Pimpinan Laskar aswaja menolak tudingan-tudingan negatif yang dilontarkan kepadanya. ”Pan dangan kami adalah anti kebijakan politik pemerintahan Amerika. Jadi, kami tidak setuju diadakannya sweeping terha-dap warga aS. Kami khawatir itu mengenai sasaran yang bukan pihak yang terlibat langsung,” kata Ja’far, seperti yang dimuat di Tempo

Jika diamati, perbedaan dari ideologi, tujuan, penafsiran dan gerakan inilah letak perdebatan dari dua wacana tersebut. Islam Liberal terlihat lebih kepada usaha pemaha man penafsiran dan wacana keagamaan, se dangkan dalam wacana fundamentalis lebih kepada praktik dan tindakan dan minim penafsiran serta puas dengan tafsirantafsiran pendahulunya yang berbeda wilayah, tempat dan waktunya. ”Sesung guhnya tidak setara kalau Islam Liberal dan Islam Fundamentalis dibandingkan. Karena

bagi saya tidak masalah karena kita bebas berpendapat,” ungkap Gus Wahid kepada HIMMAH namun di balik itu Gus Wahid meminta kebijakan JIL di dalam penye baran dan penyampaian wacana pemikiran itu.

Berbeda dengan Fundamentalis Kristen Protestan terhadap respon keilmuan di Barat, fundamentalisme di negara dunia ketiga muncul sebagai reaksi upaya pem baratan budaya. Bagi Fundamentalis Is lam, di Indonesia khususnya, bisa dilihat sebagai akibat dari banyak hal. Diantaranya akumulasi kekecewaan terhadap politik na sional, kepada politik internasional maupun kepada unsur intern dari kelompok kecil Islam fundamentalis sendiri. Karena baik fundamentalis maupun liberal memiliki keterbatasan yang sama-sama disadari.

akankah perbedaan membawa rahmat atau petaka? Ikhtilafu ummati rahmatun. Itu yang umat harapkan.

solidaritas umat. Berjuang demi tegaknya Ukhuwah Islamiyah W Dani K HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [AGAMA]
. . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . .

Alat Uji Gempa Serba Guna

Guncangan itu pun terasa sampai di lantai II tempat diselenggarakannya rapat dimana Sarwidi ikut di dalamnya. Rapat pada pukul 20.00 WIB itu pun bubar, semuanya turun keluar gedung.

Blitar memang sering terkena gempa bumi, gempa pada bulan Mei 1998 itupun banyak merusakkan bangunan terutama rumah penduduk Blitar. Sarwidi yang baru pulang setelah menyelesaikan studi doktor dari amerika pun tergerak hatinya untuk datang ke lokasi bencana. ”Saya dan beberapa teman ke sana dua hari setelah itu, menggunakan dua mobil,” kenang Sarwidi. ”Blitar waktu itu sedang terjadi kerusuhan akibat isu santet, tapi kita tetap kesana, kita membawa penduduk setempat.” Sarwidi pun mengadakan penelitian lapangan sam bil wawancara dengan pemerintah daerah, aparat, dan penduduk setempat.

Indonesia akrab dengan ben cana alam, termasuk gempa bumi. Perlu alat bantu untuk memahami gejala alam ini. Sarwidi, seorang peneliti dari UII menemukan alat itu.

KABUPATEN Blitar, Jawa Timur, pada bulan Mei 1998 diguncang gempa bumi hebat. Sarwidi, seorang alumnus sekaligus dosen uII, sedang mengikuti ra pat di Kampus Pusat UII Jalan Cik Di Tiro No.1 Yogyakarta. Jarak Yogyakarta dengan Blitar memang sangat jauh. tapi yang na manya gempa bumi seperti tak kenal jarak.

u sai dari Blitar, ”kegemarannya” meneliti daerah yang rusak terguncang gempa masih terus berlanjut. Berturutturut kemudian daerah lain mengikuti jejak Blitar. Puncaknya pada tahun 2000. Gempa susul-menyusul di Pandeglang, Banjarnegara, Sukabumi dan yang paling parah di Banggai, dan Bengkulu. terakhir pada tahun 2001 menyusul gempa ringan di Yogyakarta. Pengalamannya ”berteman” dengan gempa itulah agaknya yang men

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [SAINTEK]
Ujang Priatna / HIMMAH . . . . . . . . .

ginspirasi Sarwidi untuk menciptakan alat uji gempa bumi yang bisa dipakai dengan mudah oleh masyarakat. Selama ini alat gempa yang ada hanya bisa dioperasikan oleh yang memang ahlinya.

Gempa sebagai gejala alam memang perlu diperhatikan karena pengalaman menunjukkan bahwa faktor terbesar ter jadinya tingkat kerusakan pada bangunan adalah gempa. Gempa memang sulit diduga datangnya. Gempa yang datang bisa men gakibatkan kerusakan pada rumah, yang bisa berupa retakan kecil dan bahkan ada pula yang sampai mengakibatkan bangunan

formal secara hukum jika bangunan yang mereka buat tidak memenuhi keamanan dan kenyamanan penghuninya, karena me nyangkut izin pendirian bangunan sampai kekuatannya haruslah sungguh-sungguh diperhitungkan. Sehingga jika tidak sesuai dengan perencanaan di atas kertas, mereka bisa dituntut di pengadilan.

Sedangkan bangunan non teknis, dibuat oleh para tukang yang bukan sebagai ahli. Mereka berbuat sesuatu berdasarkan tradisi turun-temurun bukan berdasarkan perhitungan teknik maupun pengetahuan teknis (engineering knowledge). Misalnya

sadar betul bahwa tradisi turun temurun yang dilakukan oleh para tukang tersebut tidak selalu benar. Sebab seperti yang dikatakan oleh Sarwidi, ”Mereka tidak menggunakan konsep pendekatan akademis seperti rumus-rumus, seminar-seminar, grafik, gambar-gambar, yang bertujuan untuk mengetahui tentang bangunan mana yang tahan gempa dan mana yang tidak tahan gempa,” jelasnya.

untuk itulah, Sarwidi berusaha agar se orang tukang juga dapat memahami secara cepat dengan alat peraga ini. ”alat ini dapat digunakan sebagai alat penghubung ilmu

tersebut roboh. Mayoritas bagian bangunan yang rusak akibat gempa adalah tembok, yang akhirnya banyak membawa korban. Karena tembok yang rusak dapat roboh menimpa penghuni rumah tersebut.

Kerusakan bangunan akibat gempa, sebenarnya terjadi karena kurangnya peren canaan saat mendirikan bangunan. Keban yakan konstruksi bangunan memang tidak mempertimbangkan daya tahan bangunan tersebut terhadap gempa. Sehingga ketika terjadi gempa, rumah pun menjadi rusak, bahkan hancur.

Bila diamati di Indonesia, sebagian be sar bangunan masih jarang yang dibuat se cara teknis. Maksudnya dengan melibatkan perancang atau teknisi dalam pembuatan bangunan, walaupun ada sebagian yang sudah dibuat secara semi teknis.

Dalam bangunan teknis, di sana ada seorang perencana, pelaksana, pengawas dan perawat secara profesional, yang semuanya itu dapat dikenai sanksi legal

saja, apabila kakaknya, orang tuanya, tetangganya, atau semua masyarakat yang ada di sekitarnya membuat bangunan dengan teknik-teknik tradisional, maka ia akan membuat bangunan seperti itu juga. akibatnya, dari tempat satu ke tempat lain bangunan dibuat dengan teknik yang sama. Padahal ada suatu daerah yang berisiko gempa tinggi dan ada yang berisiko gempa rendah. ada daerah yang kecepatan angin nya tinggi, ada yang kecepatan anginnya rendah. ”Ini yang membuat kita sebagai perancang merasa cukup prihatin,” ujar Sarwidi, yang sehari-harinya mengajar di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan uII.

Dengan alasan itu pula, Sarwidi terpang gil untuk menciptakan sebuah alat yang bisa digunakan untuk mengetahui skenario awal runtuhnya struktur bangunan akibat gempa yang menakutkan itu. alat ini lebih dituju kan kepada para tukang karena merekalah yang membuat bangunan tersebut. Sarwidi

akademis yang dirasa selangit itu, dengan tukang yang tidak pernah mengecap ilmu di perguruan tinggi,” jelas Sarwidi yang pernah mem presentasikan alat temuan nya ini di Bali, dalam konferensi ilmuan bangunan se-dunia.

” a lat tersebut belum diberi nama, untuk sementara, sebut saja alat goncang sederhana seri Ia, sebab nanti masih ada pengembangannya lagi,” ujar lelaki yang meraih Ph.D dari Rensselaer Polytechnic Institute, new York, amerika Serikat ini.

Bentuk alat yang menghabiskan dana Rp 4 juta lebih ini sangat sederhana sekali dibanding alat sebelumnya. Memang lebih teliti tapi, selain mahal, besar dan berat, tidak sembarang orang bisa memperguna kannya. Hanya orang akademislah yang bisa menggunakanya. ada juga alat-alat yang lebih sederhana dibanding alat ini yang hanya digerakkan dengan guncangan tangan saja. ”Jadi kita membuat alat yang tengah-tengahnya, yang tidak terlalu mahal

Alat uji Gempa. Mudah dan murah Ir. sarwidi, MsCE, Ph.D. Penemu alat uji bangunan tahan gempa Ujang Priatna HIMMAH Ujang Priatna
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [SAINTEK]
/
/ HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

tapi lebih representatif ,” jelas Sarwidi. alat yang sebagian besar terbuat dari logam ini, berukuran 40 x 40 cm pada bagian atas, dan 40 x 80 cm pada sisi bawahnya. ukuran ini, menurut Sarwidi, masih terlalu besar dan kurang praktis. Misalnya untuk dibawa dengan mobil ke luarga, sulit memasukkannya. Sehingga se dang diusahakan model knock down (lepas pasang). ada yang unik dari alat uji gempa ini, yang mencerminkan kesederhanaannya yaitu bagian penggeraknya menggunakan dinamo yang biasa digunakan pada mesin jahit.

Pengembangan alat ini terus berlanjut. Seperti yang direncanakannya, setelah seri I dapat mencatat goncangan dalam arah maju mundur, dalam seri II Sarwidi ingin mengembangkan alat tersebut yang dapat mencatat guncangan yang bergerak ke kiri dan kanan. untuk seri III akan dikem bangkan lagi agar dapat bergerak arah naik turun. akhirnya pada seri IV diharapkan dapat mengetahui kekuatan struktur bangu nan dalam gerak arah memuntir.

n amun, karena masih dalam tahap penyempurnaan alat seri I, tampaknya alat uji gempa berikutnya masih relatif lama untuk diwujudkan. Walaupun alat tersebut termasuk alat yang sederhana. Karena, seperti yang terjadi pada alat uji gempa seri I ini, ketika alat tersebut bekerja, sering ter jadi strength yang mengakibatkan rodanya

. . . . . . . . . .

terputus, dan bahkan sambungan lasnya ikut patah. untuk itulah, Sarwidi masih ingin meminta bantuan kepada ahli mesin untuk menyempurnakan alat tersebut.

u ntuk pengembangan alat tersebut, Sarwidi mengadakan kerjasama dengan Kementrian Jepang. Walaupun untuk se mentara kerjasama tersebut agak terhenti, karena ada beberapa persoalan birokrasi.

Dan untuk selanjutnya akan diter uskan kembali melalui program yang lain. Program tersebut dipimpin oleh Profesor Watanabe, yang bekerja di Kementerian Jepang. Isi program tersebut antara lain survei ke tukang-tukang dan tempat ter jadinya gempa, pembuatan modul yang mudah dipahami, memperbaiki alat peraga, model bangunan dan sebagainya. Dilanjut kan dengan riset tentang material, yang terdiri dari beberapa tempat Jakarta, Jateng, Jatim, Banten. Sebagai peningkatan SDM diadakan training-training untuk trainers, trainer untuk mandor dan kepala tukang, terdiri dari 180 orang dari beberapa tempat di Jawa. Sebagai kajian teoritis diadakan seminar besar yang menyangkut bencana. Dan yang terakhir, mengadakan kerjasama dengan pemerintah daerah.

Sebagai catatan, Indonesia memang merupakan wilayah rawan gempa, karena terletak pada empat lempeng pelat tek tonik yang menjadikan Indonesia poten sial mengalami bencana alam. Kegiatan gempa bumi yang terjadi di sebagian besar

. . . . . . . . . .

wilayah Indonesia terkonsentrasi pada tapal batas pertemuan antara tiga lempeng kaku yaitu lempeng India-australia, eurasia dan Pasifik.

Lempeng India- a ustralia bergerak relatif sering ke arah timur dan menum buk lempeng benua eurasia yang relatif stabil, sehingga membentuk jalur subduksi ( subduction ) sepanjang 6.500 km yang membentang mulai dari Laut andaman di sebelah barat Sumatra, berbelok di Selat Sunda ke arah Laut Jawa serta menerus ke bagian timur kawasan Indonesia.

Sedangkan tumbukan antara Lempeng Pasifik dengan Lempeng Benua Eurasia terdapat di Indonesia bagian timur yang lempeng-lempengnya dari bagian luar bumi tersebut saling bergerak, bertumbu kan dan bergesekan yang mengakibatkan terakumulasinya energi yang besar. Suatu waktu, energi yang terakumulasi itu akan dilepaskan untuk mencapai keseimbangan baru, dalam bentuk gerakan yang kita kenal sebagai gempa bumi. Gempa di Bengkulu pada tanggal 4 Juni 2000 lalu, diakibatkan pelepasan energi semacam ini. akibatnya memang dahsyat, tapi itu merupakan gejala alam yang akan selalu terjadi. Oleh karena itu manusia perlu mengantisipasinya den gan membuat bangunan tahan gempa. Salah satunya dengan bantuan alat uji gempa bumi temuan Sarwidi ini.

Husni Dwi Nugroho,

[SAINTEK]

Berita Radio, Sayup-sayup Tak Terdengar

Radio sekarang melulu diisi siaran musik. Materi berita informatif masih langka. Fungsi edukatif radio masih kalah dengan porsi hiburannya.

IRa M a musik mengalun merdu, men dendangkan serangkai lagu milik Blue Savana dari balik ruang siar. Sesaat k e mudian, irama musik melemah dan masuklah suara seorang penyiar. ”98,45 FM the station campus community. Hai, hallo akademia Jogja! Senang sekali bisa nemenin kamu di Bahana Persada, bersama saya Boma Ardian.” Jeda sejenak. ”Yang jelas kita bakal jalan bareng sampai jam sembilan nanti. Oke, sekarang ada T-Five buat kamu-kamu semua.” Begitulah suara Boma, penyiar Swaragama FM salah satu radio swasta di Yogyakarta mengajak para pendengarnya terus berdendang. Selesai lagu dari Blue Savana berlanjut dengan alunan T-Five, keduanya grup musik anyar dalam negeri yang konon mulai naik daun. Musik memang tak bisa lepas dari radio.

Sajian musik itu tentu bukan hanya milik Swaragama FM. Bahkan sebagian besar radio swasta di tanah air, keban yakan menempatkan dirinya sebagai media hiburan. Hiburan di sini identik dengan musik. Radio adalah musik, musik adalah radio. Itulah image yang terpatri kuat dalam benak orang.

Sebagai contoh, sebut saja Geronimo FM. Menurut penuturan Sapto Raharjo, salah seorang pendirinya, materi hiburan ini disesuaikan dengan segmen penden gar yang dibidik oleh Geronimo. ”Format Geronimo FM adalah top fourty , yang sasaran pendengarnya usia 15-29 tahun,” ungkapnya kepada HIMMAH. ”Sehingga format informasinya bersifat gurau, di mana porsi musik amat dominan,” tam bah Sapto yang sekarang duduk sebagai Kepala Litbang Geronimo. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa bukan hanya musiknya saja yang disajikan, tetapi juga mengupas informasi yang berkaitan dengan musik, seperti artisnya, perusahaan rekamannya, dan lainnya. Harapannya dapat mengolah

sisi psikologis emosi pendengar radio yang didirikan pada 1969 ini.

tak beda dengan Geronimo, pun demi kian dengan Jogja FM. Dikarenakan target pasar yang dibangunnya untuk kebutuhan kawula muda, maka hiburan menjadi produk terbesar dari program siarannya. ”Jogja radio ini segmen pe n dengarnya adalah anak muda usia 13-25 tahun, se hingga isinya berupa info-info tentang anak muda terutama musik,” tutur Ogam, Manajer Radio Jogja FM.

Memang wajar musik menjadi bahan utama siaran radio yang bersegmen anak muda. Musik sebagai program hiburan yang disajikan, bahkan mulai menggejala di stasiun radio yang bersegmentasi lain. SWA FM, radio yang orientasi siarannya untuk pelaku bisnis juga menyajikan halhal yang sifatnya rekreatif. ”Misi dari SWa adalah menyajikan acara musik berkualitas

sebagai penyemangat dan relaksasi bagi pelaku bisnis,” ujar Rahmi, Kepala Siaran SWA FM. ”Kemudian memberikan wahana informasi tentang perkembangan ekonomi, politik, dan hal-hal yang mempengaruhi perjalanan bisnis,” lanjutnya.

Hal ini tidak jauh beda dengan Radio Retjo Buntung (RB FM), walaupun seg men yang dibangun berbeda, akan tetapi program hiburannya tetap lebih dominan. ”untuk informasi berupa talk show sekitar 25 persen, hiburan sekitar 60 persen dan informasi yang berupa warta lima persen,” tutur a nna selaku Manajer siaran RB FM.

Sisi Edukasi Sebuah Radio

Muatan informatif dalam siaran ra dio memang masih langka, apalagi jika diba n din g kan dengan muatan hiburan nya. Kesan pertama bahwa radio adalah

M Ali Prasetya HIMMAH siaran radio. Lebih banyak menghibur
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [MEDIA]
/
. . . . . . . . . . . . . . . . .

hiburan, ini juga diakui Kecuk Sahance, Pemimpin Unisi FM. ”Kebanyakan radio hanya sebagai media hiburan, bukan media informasi ataupun jurnalisme,” katanya kepada HIMMAH. umumnya pengelola radio swasta mengatakan bahwa muatan informasi bisa d i sisipkan dalam siaran hiburannya. Misal di sela-sela tayangan musik. artinya jika dilihat dari proporsinya, berita tetap kalah banyak dibandingkan musik. Padahal fungsi normatif media massa, idealnya mencakup sisi informatif, edukatif, dan rekreatif.

Bicara tentang fungsi edukatif media massa, termasuk radio, memang sulit. ”Orang mengatakan bahwa ia merasa mendapat pengetahuan, setelah ia mendapat informasi dulu,” kata Drs. ana nadhya abrar, M.e.S, Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Jadi fungsi informatif harus dijalankan dulu oleh radio. ”Yang penting orang mendapat informasi dulu, kemudian tiap orang punya persepsi sendiri. Orang menjadi terdidik atau orang merasa tidak dapat apa-apa itu sangat personal,” lanjut abrar. Lantas dimanakah aspek pember itaan radio? Apakah sudah cukup signifikan untuk memenuhi syarat dalam mendidik masyarakat?

terhadap kritik ini beberapa radio menjawabnya dengan metode be r beda. Geronimo FM, radio yang pada awal ke lahirannya bernama gembel rabi karena dikelola oleh beberapa mahasiswa dan anak SLta ini, berusaha menjalankan fungsi edukasi dengan jalan memperluas wawasan bagi pendengar yang disesuaikan dengan segmentasinya.”Bentuk wawasan ini bisa berupa kebudayaan, sosiologis, musik ataupun hal-hal yang masuk ke bidang ekonomi dan lainnya,” tutur Sapto Raharjo. ”Sehingga setiap on air , kami akan membuat komunikasi tanpa batas,” tambahnya.

Swaragama FM menggunakan cara lain untuk memenuhi kebutuhan informasi kepada pendengarnya. Seperti yang ditutur kan oleh anang Kurniawan, salah seorang pengelolanya, radio ini mempunyai ramuan tersendiri dalam mengemas setiap produk siarannya. ”Bentuk informasi dan berita yang kita garap adalah melalui bahasa jurnalistik,” ungkapnya. Perbedaan cara penyampaian merupakan hal biasa, yang terpenting, sejauh mana radio memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Kendala yang Dialami Radio

Salah satu faktor penyebab proporsi pemberitaan itu lebih kecil daripada hiburannya karena radio-radio yang tum buh dan berkembang saat ini merupakan

radio komersial. ”Kalau radio itu memang diangankan orang untuk mencari uang,” kata abrar. agar mendapat laba tentunya harus dapat menggaet iklan sebanyakbanyaknya. Dari logika sederhana ini jelas dapat diketahui bahwa pemberitaan jauh lebih kecil daripada program hiburan dan iklan.

Radio mempunyai karakter berbeda dengan media yang lainnya. Ishadi SK dalam buku Media Penyiaran menga takan bahwa radio mempunyai kekuatan untuk memilah-milah khalayaknya dalam segmen-segmen kecil, misalnya segmen kelompok umur, keanggotaan keluarga, perolehan pendapatan maupun pendidikan. Dengan segmentasi khalaya k nya yang semakin sempit, merupakan keuntungan buat radio.

Persaingan di kalangan insan penyiaran ini semakin ketat, dengan lahirnya beberapa radio baru yang mulai mengembangkan sayapnya di dunia entertainment terutama setelah bergulirnya era reformasi, di mana kebutuhan masyarakat akan informasi dan hiburan semakin meningkat, sehingga ke hadiran radio-radio baru diharapkan dapat memenuhi kebutuhan keduanya. apalagi radio mempunyai kekuatan sebagai media

”half ears media” artinya mendengarkan radio bisa di-sambi dengan kegiatan lain. Seperti pada saat menghadapi kemacetan lalu lintas, radio merupakan satu-satunya media yang dapat dinikmati.

Di sisi yang lain asumsi masyarakat bahwa radio itu hanya sebagai media hiburan telah melekat sekian lama, sehing ga susah untuk dirubah. tepatnya selama rezim Soeharto bertahta di negeri ini. Dulu hampir semua radio merelai berita dari Radio Republik Indonesia (RRI). ”Berita asalnya selalu dari pemerintah, sehingga pendengar menjadi bosan, akibatnya orang akan menghidupkan radionya, ketika mem butuhkan hiburan,” ujar abrar menjelaskan ikhwal keengganan masyarakat mendengar berita di radio.

Bergulirnya era transparansi ini, te lah memberikan warna baru bagi media massa maupun elektronik termasuk radio berupa kebebasan untuk menyiarkan berita. Dimana ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, kebebasan berberita ini di belenggu dengan hanya boleh merelai RRI. Setiap radio swasta hanya boleh merelai dari RRI, di mana merelai itu pasti dibatasi, jadi orang malas untuk mendengarkan ber ita radio. ”Radio itu berkembang setelah rezim Orde Baru ini runtuh, sehingga radio komersial mengalami kesulitan dalam mencari berita, kecuali radio yang telah mempunyai kemampuan untuk itu. Hal ini

.

jelas mempengaruhi proporsi pemberitaan dalam radio,” jelas abrar, yang juga Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM.

. . . . . . . . . . .

. .

Dengan beragam kendala itu, membuat radio harus berpikir ulang untuk mencari berita. Hal senada diakui oleh Kecuk Sahance dari Unisi FM. Menurutnya dibutuhkan strategi untuk tidak terlalu cepat mengalihkan radio itu menjadi radio jur nalistik. ”Kalau untuk unisi, prosentasenya taruhlah satu jam siaran, 10-20 menit untuk informasi,” tambahnya. Sedangkan bagi Swaragama FM porsi pemberitaannya cukup signifikan dengan porsi berimbang. ”Kita usahakan dalam acara entertainment itu ada hal-hal informatif,” tutur anang Kurniawan. ”tidak hanya sekedar hiburan, tetapi ada sesuatu yang bermanfaat.”

Radio Berita

Satu dari sedikit yang mampu menjadi radio berita adalah Radio 68H. Lebih tepat nya Kantor Berita Radio 68H. Radio yang berkantor di Jalan Utan Kayu No.68H, Jakarta ini, jaringannya mencakup 200 kota, dengan jumlah anggota mencapai 200 stasiun radio tersebar di berbagai daerah. ”tahun 1999 kita melihat ada celah buat jurnalisme radio yang terpuruk, makanya kita bangun jaringan-jaringan di seluruh daerah,” papar Dodi Mawardi, e ditor Kantor Berita Radio 68H kepada Ilmia A Rahayu dan Widiyanto dari HIMMAH. ”Pertimbangannya agar kita, jurnalisme radio, tidak terus ketinggalan dengan me dia-media lain.”

Radio berita sebesar 68H pun meng hadapi banyak kendala. Karena hidup di belantara radio hiburan seperti berjuang sendirian. ”Banyak radio-radio besar yang tidak mau gabung dengan 68H,” tutur Dodi. ”Biasanya radio-radio besar itu radio-radio anak muda, radio yang segmennya bukan berita, produk utamanya entertaintment,” lanjut Dodi lagi. Walaupun sebenarnya ber ita biasanya tidak mengenal segmen. Infor masi dibutuhkan semua lapisan masyarakat. ”terbukti kita melayani ada radio dangdut, radio pop, radio khusus perempuan. tidak bisa kalau berita, segmennya usia 17-25 tahun dan kelompok ekonominya a atau B. Semua orang yang mau dengar berita itu adalah sasaran kita,” kata Dodi. Ini meng ingatkan pada pentingnya muatan berita di dalam radio yang justru malah minim.

Kehadiran radio berita semacam Radio 68H belum disambut hangat oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat masih meng anggap bahwa radio adalah media hiburan. untuk mendapatkan informasi masyarakat lebih suka mengakses dari media lain yang beritanya lebih mendalam dibandingkan

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [MEDIA]
.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Trauma Insan di Negeri Orang

SuaRa

ring bel memecah kesibukan tengah hari di sebuah bangunan tua. tak lama kemudian terlihat bocah-bocah cilik memasuki bilik tempat tidur yang ada di bagian dalam bangunan. ternyata bel tersebut adalah tanda tidur siang bagi anak-anak di situ. aktivitas yang sering dijumpai di panti asuhan, tapi ini beda. Bangunan di Jalan Wonosari km 34,5 Bandung, Playen, Wonosari 30 km sebe lah timur Yogyakarta itu adalah tempat penampungan pengungsi anak-anak dari timor timur (timtim). ”tempat penam pungan ini didiami sekitar 32 anak. terdiri dari 18 orang putra dan 14 orang putri,” tutur Ansel Da Costa, pembina anak-anak pengungsi timtim. anak-anak itu dulunya mengungsi ke atambua, nusa tenggara timur. Ikhwalnya jelas disebabkan oleh perang dan konflik berdarah di Timtim yang kini telah merdeka.

Lokasi ini merupakan salah satu di antara sekian banyak tempat pengungsian yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. entah itu karena bencana alam atau men jadi korban konflik. Internally displaced person (pengungsi dalam negeri) sampai sekarang menjadi masalah serius bagi Indonesia. tidak hanya menyisakan luka fisik, namun juga ”luka psikis”. Justru ”luka psikis” yang perlu diberi perhatian serius

. . . . . . .

karena akan berpengaruh besar dan luas pada kehidupan si penderita. Serta kesu litan penanggulangan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk memulihkannya dibandingkan luka fisik. Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di tempat penampun gan pengungsi di Wonosari.

Drs Mustaqfirin, Dosen Psikologi uGM dan uII kepada HIMMAH menga takan bahwa konflik berdampak pada tim bulnya gejala berupa Post Traumatic Stress Disorders (P t SD) atau gangguan yang terjadi pada seseorang setelah mengalami kejadian yang besar misalnya musibah. ”Luka psikis yang besar, kemungkinan bisa menghambat perkembangan hidup si kor ban terutama korban anak-anak,” ungkap Mustaqfirin. Yang penting untuk diperha tikan adalah dampak kekerasan yang timbul pada penerima derita (penderita) karena ia merupakan korban (victim).

PtSD merupakan respon spontan yang berlebihan akibat dampak pengembangan tingkat kecemasan yang tinggi, yang ditim bulkan oleh stress akibat mengalami peristi wa yang traumatis, misalnya perang, banjir besar, gempa bumi, atau kebakaran.

Dalam kajian psikologi, perang selalu menyisakan imbas yang menyedihkan bagi manusia. Imbas perang ini pernah diteliti oleh Congress Commissioned The National

. . . . . .

Vietnam Veterans Readjustment Study (nVVRS). Mereka meneliti para veteran dan penduduk yang terlibat Perang Viet nam dengan menggunakan metode peng gabungan dampak sosial dan psikologi. Pada liputan pertama mereka mengutarakan bahwa setelah para veteran Vietnam kem bali ke rumah, beberapa bulan atau tahun kemudian muncul penyebab stress yang hebat. Penelitian yang dilaksanakan pada 1984 itu menemukan banyak kasus PtSD dengan prosentase yang tinggi dibanding keadaan biasa. Menurut Keane dalam buku nya Abnormal Psychologi, 15,2 persen dari 3,14 juta laki-laki yang dikirim pada Perang Vietnam mengalami PtSD.

Identifikasi gejala-gejalanya yaitu mengalami kembali atau terbayang ulang peristiwa traumatik yang dialami. Berupa mimpi buruk (reexperiencing the traumatic event), menghindari situasi atau aktivitas yang dapat mengingatkannya kembali pada kejadian traumatis yang dialami, sebagai contoh: tidak mau lagi memakai baju yang dipakai ketika peristiwa trauma itu ter jadi (avoidence). tidak responsif terhadap dunia luar sehingga menjadi kaku, dingin, dan sulit untuk percaya pada orang lain (reduced responsiveness). Menjadi sangat waspada, sulit untuk bergaul dengan orang lain (increased arousal).

Psikologi diharapkan perannya untuk ikut menangani persoalan sosial. Termasuk korban konflik yang tersebar di negeri ini. Pengungsi Timor Timur di Gunung Kidul salah satunya. Surya
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [PSIKOLOGI]
Adi Lesmana / HIMMAH
.

tak semua trauma menyedihkan akibat perang melahirkan peri laku yang men cemaskan dari korban pengungsi. Pada saat-saat tertentu bisa ditemukan sisi-sisi humanis di tempat pengungsian. Di antara nya adalah keramahan dan kesa n tunan yang dipunyai oleh bocah-bocah cilik timtim ini.

Senyum simpul, tatapan yang bertanya tercurahkan dari wajah beberapa anak yang lebih dewasa berumur sekitar 9-10 tahun dengan ramah menyambut kedatangan HIMMAH. Rasa haru semakin tergugah saat beberapa dari mereka menciumi tangan HIMMAH, salah satunya bernama Jannah, siswi kelas satu SD. Wajah ceria, badan

dara. Walaupun demikian adanya, ternyata semangat untuk bertahan dalam menjalani hidup ini seadanya masih membara. ter ekspresikan saat alunan lagu poco-poco itu diperdengarkan menjelang sore hari. Beberapa anak perempuan dan laki-laki pun menari dengan lincah, anggun dan kompak tentunya. Ketika HIMMAH da tang, mereka sedang berlatih untuk mengisi pertunjukan tari pada acara yang diseleng garakan oleh sebuah bank swasta.

Sikap inferiority (rendah diri) samarsamar tampak pada anak-anak itu. Setelah sebelumnya pada awal-awal bulan mereka berada ditempat penampungan tersebut, sikap keakuan dari mereka cukup tinggi

terdengar, keceriaan masih dapat terpancar dari dalam diri, walau mereka berada jauh dari orang tuanya. ada yang orang tuanya sekarang berada di Kupang, seperti orang tuanya adam bocah laki-laki kelas lima SD, bapaknya adalah seorang tentara di timtim.

Menurut Drs. Mustaqfirin solusi yang dapat ditawarkan untuk menangani korban akibat konflik yang kronis adalah pen dekatan partisipatoris yang membutuhkan waktu lama, sebab para penderita PtSD menjadi tidak responsif lagi terhadap dunia luar. trauma telah membangun dinding keterasingan bagi mereka dengan orang sekitarnya. Bagi penderita P t SD, kita bukanlah teman atau pun lawan. Sehingga sulit membantu mereka tanpa ada keper cayaan dan kepedulian dari mereka.

Peran para akademisi terutama yang juga terjun ke ranah praksis sebagai psikolog atau psikiater sangat dibutuhkan. apabila ditilik dari kasus anak-anak pen gungsi timtim tersebut, maka peran Lem baga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat dilatih sebagai konselor yang mempunyai k e ramahan, kehangatan, sehingga bisa menyediakan sarana untuk katarsis. ”Se baiknya biarkan mereka hidup secara wajar karena itu dapat lebih membantu mereka mempercepat melupakan peristiwa-peris tiwa traumatik yang pernah mereka alami,” kata Dra. Sofia Retnowati, M.Si.

segar sehabis mandi dengan bedak yang menghiasi wajah beberapa anak manusia yang mungil, lugu, tanpa dendam, polos, serta jelas tidak bersalah atas apa yang telah terjadi di tanah kelahiran mereka. Selain Jannah ada pula siswi kelas dua SD bernama agustina yang sudah hampir satu tahun tinggal di Wonosari.

Begitu juga dengan rasa kebersamaan. Keterbatasan kamar membuat anak-anak tersebut harus tidur empat sampai lima orang sekamar. Waktu makan merupakan saat-saat yang dinanti. Pembacaan doa bersama mengiringi mereka sebelum dan setelah makan, memberi kesan mendalam pada sebuah kebersamaan. Dengan laukpauk seadanya, toh mereka tetap dapat tersenyum, berlari dan bermain. Kadang rasa pusing, batuk, bahkan demam men erpa mereka, tapi tak banyak harapan bagi mereka untuk dapat merasakan hangatnya kasih sayang orang-tua maupun sanak sau

yang merupakan dampak psikologis dari kerusuhan timtim sebagaimana dituturkan oleh ansel.

agaknya hal itu tak berbeda jauh de ngan penuturan Dra. Sofia Retnowati, M.Si, Dosen Psikologi uGM kepada HIMMAH perihal indikator-indikator PtSD antara lain timbulnya kecemasan, ketakutan, stress, depresi, pesimis, putus asa, mimpi buruk, yang kesemuanya itu tergantung dari seberapa kuat diri individu itu menghadapi masalahtraumatisnya tersebut.

tentu saja mereka pernah bahkan, selalu mengalami kerinduan pada negeri asalnya. Satu hal yang paling tidak bisa mengobati kerinduan itu adalah kegiatan kerajinan tangan yang mereka lakukan. Hasil karya ketrampilan mereka ikut menghiasi kamarkamar tidur mereka, menambah semarak ruang dan memberikan kebanggaan ter sendiri bagi mereka serta menemani mereka dari rasa sepi. Canda dan tawa sesekali

Walau demikian sekali lagi kembali pada komitmen pemerintah dalam men gatasi persoalan ini dapat memberi sum bangsih yang besar, bukan hanya secara material tetapi juga secara psikologis. Rasa kemanusiaan pemerintah memang sedang diuji dengan keberadaan dari para generasi muda pengungsi timor Leste. Sehingga ikatan kekeluargaan dapat terbentuk tidak hanya oleh proses genealogi (hubungan darah) tapi juga internalisasi emosi yang positif.

Republik Demokratik timor Loro Sa’e, telah resmi berpisah dari Indonesia. Dengan ditandai oleh penyerahan kedaulatan negeri di ujung timur Pulau timor itu, dari PBB kepada Presiden Terpilih Xanana Gusmao. Peristiwa bersejarah pada tanggal 26 Mei 2002 tersebut, dihadiri juga oleh Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri. Status baru ini disambut gegap gempita oleh selu ruh rakyat timor Leste. Pawai iring-iringan manusia memenuhi jalanan kota Dili.

Pada saat terpisah, ribuan kilometer dari Kota Dili, dalam benak sekelompok bocah cilik timtim itu, mungkin kemer dekaan negerinya nun jauh di seberang lautan belum terpikirkan oleh mereka. Yang penting bagaimana mereka dapat menjalani

Surya Lesmana HIMMAH Anak-anak Pengungsi timor timur. Jauh dari negeri asal, rindu ingin pulang
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [PSIKOLOGI]
Adi
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Hidup di Tengah

Keterimpitan Kota

Yogyakarta yang mengaku sangat butuh kehadiran ruang hijau karena ia berjalan kaki setiap pergi ke kampusnya.

Menurut Gustina yang juga mahasiswi Ilmu Keperawatan uGM ini, jika tidak ada pohon yang rindang, akan membuat orang tidak betah berjalan kaki. ”Padahal selain berjalan itu sehat, kesenangan orang untuk berjalan kaki akan mengurangi jumlah ken daraan pribadi yang lalu-lalang memadati jalan. Sebab, orang akan cenderung memi lih berjalan kaki, dari pada mengendarai kendaraan mobil atau pun motor,” paparnya kepada HIMMAH

Penuturan Gustina ini mungkin mewak ili pendapat sekian banyak masyarakat Yogy a karta yang merasa tidak nyaman lagi ketika akan bergerak dari satu tempat ke tempat lain di kota ini. Jika jaraknya tak terlalu jauh, misalnya saja tiga ratus hingga empat ratus meter, dan kawasan yang akan dilaluinya relatif terlindung dari sengatan matahari oleh pepohonan, maka orang akan memilih berjalan kaki sambil berolah raga menenangkan pikiran.

Ruang hijau dan ruang publik di perko taan semakin menyempit.

Akibat paradigma pembangunan kota yang salah dan kurangnya peran serta warga kota.

BILA Jakarta punya Lapangan Monas, Semarang terkenal dengan Simpang Lima, maka Yogyakarta memiliki Lembah uGM. tempat-tempat itu biasa digunakan oleh masyarakat kota-kota tersebut untuk bersantai, berolah-raga, sambil meng hirup udara segar yang semakin langka di belantara gedung perkotaan. Selain ruang publik yang sangat dibutuhkan itu, tak ka lah pentingnya adalah ruang hijau berupa taman kota atau hutan kota. Biasanya kedua ruang ini menjadi satu, ruang hijau seka ligus dimanfaatkan sebagai ruang publik. Kedua ruang itulah yang dari hari ke hari kian menyempit.

Sebagai contoh sederhana adalah Yo gyakarta. Ruang hijau di kota pelajar ini, seperti halnya yang terjadi di kota lain, mu lai berkurang. Padahal kota tanpa didamp ingi oleh kawasan yang hijau rindang dan sejuk, akan menjadi kota yang tak ramah lagi bagi para penghuninya.

Kawasan yang rindang di tengah kota, bahkan kalau bisa ada secara merata, sangat vital. ”Sebab hal itu akan membuat masyarakat kota menjadi lebih sehat dan nyaman,” ujar Gustina, salah seorang warga

Sementara itu, menurut Ir. Supriyatno, Direktur Society for Environmental Stud ies and Action (SenSa), sebuah lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta yang concern terhadap masalah lingkungan hidup di perkotaan mengatakan bahwa pemerintah tidak lagi peduli dengan ma salah ini. ”Padahal hutan kota sangatlah di perlukan oleh sebagian besar masyarakat perkotaan,” katanya.

Kebiasaan orang kota yang pergi ke luar kota untuk menikmati alam, adalah kebiasaan yang timbul akibat kota tidak menyediakan fasilitas bagi masyarakat kota tersebut untuk menikmati alam. tentu saja, alam yang dimaksud disini adalah alam di tengah kota atau hutan kota.

”Saya tidak tahu, apa hal yang menye babkan pemerintah kota tidak memper hatikan masalah dan kebutuhan masyarakat ini,” ujar Supriyatno saat ditemui oleh Dita, dari HIMMAH, di ruang kerjanya.

Memang hal ini menimbulkan tanda tanya, hanya pemerintah kotalah yang bisa menjawabnya. Kota Yogyakarta yang terlihat terus menerus memoles penam pilannya dengan bangunan-bangunan baru,

M
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LINGKUNGAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ali Prasetya / HIMMAH Ujang Priatna / HIMMAH

terlihat tidak memperhatikan keberadaan hutan kota.

Menurut Ir. Revianto Budi Santoso, M. a rch, Dosen teknik ar sitektur u II, jumlah lahan hijau yang ada di Yogyakarta sangat tidak memadai, jika dibandingkan dengan kebutuhan. Bahkan menurut Revi anto, jika dibandingkan dengan Jakarta, maka Jakarta masih cukup baik dalam uru san penghijauan kota. ”Walaupun Jakarta itu bukan tipikal kota modern yang baik,” ungkapnya kepada HIMMAH

Yogyakarta, menurutnya, harus segera mengambil sikap yang tegas dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan kota akan ruang hijau. ”Dan ruang hijau itu, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan udara yang sehat, tapi juga sebagai ruang publik,” ujar Revianto yang juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Teknik Arsitektur UII.

Berdasarkan pengamatannya, jumlah ruang hijau secara kuantitatif kurang, begitu pula dengan ruang publik. Sebab tidak ada kesempatan sedikit pun kepada masyarakat untuk berperan serta, juga merawat dan menggunakan ruang publik. akibatnya, makna ruang publik pun men jadi tidak jelas.

Di Indonesia, batasan yang sangat penting semacam ini tidak jelas. akibatnya kepedulian tiap individu ataupun kelompok terhadap ruang hijau dan ruang publik pun ikut berkurang.

Revianto menjelaskan bahwa di Yog yakarta, ruang publik juga tidak ada seja rahnya. Ia membenarkan bahwa alun-alun dan kawasan di dalam keraton yang begitu luas, disebut oleh beberapa pihak sebagai

ruang publik juga. namun ia secara pribadi tidak sepakat dengan hal ini. Karena yang menggunakan ruang itu adalah pihak yang memiliki kaitan dengan keraton. ”Di luar itu, hampir tidak ada,” paparnya.

Hal inilah yang membuatnya tidak setuju jika alun-alun disebut sebagai ruang publik. Selain itu, alun-alun bukanlah ruang yang merupakan hasil usaha publik menuntut atau meminta keraton untuk da pat dijadikan sebagai ruang bersama. tapi ruang ini menjadi ruang bersama akibat keraton yang dengan baik hati menjadi kannya sebagai ruang publik.

akibatnya, masyarakat tidak terbiasa menuntut hak dan bahkan tidak terbiasa bertanggung jawab. Jika saja, masyarakat memang secara bersama-sama menuntut adanya ruang hijau dan akan memanfaatkan ruang hijau itu secara baik, maka disinilah arti ruang publik yang sesungguhnya. Yaitu ruang publik yang lahir dari keinginan publik dan semua orang yang ada di tempat ini memiliki perasaan yang setara, bahkan memiliki hak dan kewajiban yang sama.

tapi, seperti yang dituturkan oleh Re vianto, akibat lahirnya ruang hijau bukan dari keinginan masyarakat, rasa tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh masyarakat itu sendiri, menjadi hampir tidak ada.

Berbeda dengan Revianto, Supriyatno menganggap bahwa ruang hijau yang ada di Yogyakarta masih cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kota. Hanya saja, masalah lalu lintaslah yang sudah tidak memadai. ”Dan hal ini yang mengesankan bahwa ruang hijau yang ada di kota ini

sudah tidak memadai lagi,” jelasnya.

u ntuk itulah, ia mengusulkan, ada kebijakan pemerintah daerah mengenai masalah ini. tapi, ia mengharapkan, kebi jakan ini benar-benar dilaksanakan. Sebab jika tidak terlaksana, kebijakan ini akan menjadi sampah.

Kebijakan yang baik didasari oleh para digma yang tepat. Paradigma ini mencakup falsafah dan konsep dasar yang melandasi penciptaan kota. Kota adalah penemuan manusia untuk mengoptimalkan pertukaran (budaya, barang, persahabatan, pengeta huan) dan meminimalkan perjalanan. Di sinilah peran ruang hijau dan ruang publik menemukan relevansinya.

Semua pihak yang dihubungi oleh HIMMAH mengatakan bahwa masalah ruang hijau dan ruang publik hendaknya juga melibatkan masyarakat, dalam segala hal. Dengan dilibatkannya masyarakat ke dalam persoalan ini, akan terasa peran serta mereka. Sehingga diharapkan akan timbul rasa tanggung jawab di dalam benak kesa daran masyarakat.

Selama ini, masyarakat selalu saja meminta dari pemerintah, termasuk masa lah ruang hijau dan ruang publik. namun, sikap proaktif masyarakat dalam masalah penghijauan kota sangatlah minim. Bahkan, terkesan tidak ada. Padahal, jika sekedar mengharapkan kerja dan usaha pemerintah, maka ruang publik dan ruang hijau akan sangat sulit untuk tersedia sesuai dengan keinginan masyarakat.

Sebagai contoh, Central Park yang ada di amerika Serikat. akibat tidak adanya peran serta masyarakat dalam masalah ukuran kawasan hijau ini, jika orang be rada di Central Park bagian tengah, maka bukan kenyamanan yang diperoleh. tapi sebaliknya, justru rasa tidak aman. Karena taman ini terlalu luas, di sisi lain tidak ada jaminana keamanan yang cukup, maka warga kota itu pun berpikir ulang untuk melewatinya.

u ntuk membenahi ruang perkotaan diperlukan kerja sama antara politisi pen gambil keputusan yang visioner, aktivis sosial di akar rumput, ahli lingkungan yang kritis, dan tentu mengajak masyarakat, sebab memang mereka sendirilah yang akan merasakan manfaatnya. Jika tidak, tampaknya akan sulit untuk mewujudkan ruang publik dan ruang hijau yang kian hari kian menyempit. Jika itu terus terjadi, bisa jadi imbasnya sangat luas, seperti yang ditulis dalam How Cities Will Look in the 21st Century, bahwa kota-kota besar cenderung mengancam keseimbangan eko sistem dunia. Selain menimbulkan bencana terhadap lingkungan, juga memecah belah

Indra Yudhitya / HIMMAH ruang Hijau. Memenuhi kebutuhan udara sehat sekaligus sebagai ruang publik
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LINGKUNGAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Penarik Pajak Rumah Tangga

BeRBeKaL kendang tua dan kumis palsu, seorang lelaki paruh baya bertandang dari rumah ke rumah. Sejumlah lagu terkenal yang diparodikan hingga terdengar kocak di telinga, mengalun le wat suaranya yang masih ”enak” didengar. adalah seorang sosok yang lahir dari kota Klaten, Jawa Tengah. Sujud Sutrisno (49), se orang seniman yang lebih akrab dengan sebutan Sujud Kendang. Bakat seni yang mengalir kuat dalam jiwanya, diwarisi dari orang tuanya yang memiliki gamelan lengkap. Saat menginjak usia sebelas tahun (1964), keadaan perekonomian keluarga yang pas-pasan memaksanya untuk mulai belajar ngendang dari rumah ke rumah setiap usai sekolah, dan mendapat julukan ”Penarik Pajak Rumah tangga” (PPRt).

”Pertama kali tampil, rasanya grogi banget ditonton banyak orang. Saya hampir tak kuasa mengeluarkan suara,” ujarnya dengan tatapan menerawang saat menceritakan pengalaman pertamanya manggung di usia SD.

Ia terus menikmati pekerjaan ini. ”Yang penting halal dan tidak merugikan orang lain,” selorohnya. Banyak sudah pengalaman yang menyertai perjalanan hidupnya. Pada pertengahan 1979, ia ditawari bermain film bersama Rano Karno dalam Pelajaran Cinta. Pernah pula ia mencoba masuk dapur rekaman (1992), hingga kasetnya yang beredar terkena kasus pembajakan tanpa pemberian royalti sepeser pun. Pembajakan kaset ini terjadi ketika Sujud sedang mengadakan konsernya di Jakarta. Kasus yang hingga kini tak juga diusut penyelesaiannya.

Di atas panggung, ia larut bersama nada-nada kendang yang mengalirkan rentetan lirik lagu yang sudah diplesetkannya hingga terdengar kocak dan mengundang tawa penonton. Sebelum berdendang, ia selalu menyebutkan judul lagu dan penciptanya. Biasanya ia membawakan lagu-lagu hits milik Cicha Kuswoyo dan Koes Plus.

Hingga detik ini, tak terpikirkan sama sekali baginya untuk menciptakan lagu sendiri atau menyuarakan lagu-lagu bertema poli tik dan kerakyatan yang menggambarkan realitas sosial. Baginya, sudah bisa membuat pengunjung tertawa, sudah cukup.

”Kalau politik nggak berani,” ujar laki-laki low profile yang juga sering tampil satu panggung dengan Didi nini thowok, Dorce, dan Sapto Raharjo ini. ”Sedangkan untuk membuat lagu sendiri, nggak ada waktu.”

Sederetan penghargaan pun berhasil dikumpulkannya, buah dari penampilannya pada berbagai pertunjukan. antara lain pada Pekan Raya tHR Yogya (1988), Gama Fair (1992), Konser tunggal pada HUT RI Notoyudan (1996), Kendang Tunggal Konvensi di FE UII (1997), Peresmian Benteng Wirosobo (1998), Reuni alumni GMnI Yogya (1998), Jogja Anti Madat (1998), Festival Teater Musim Panas (2000), Festival Kesenian Jogja (2001), Biofair Music Night (2001), USD (2001), dan acara Sketsa TVRI Stasiun Jogja, serta tembang Kenangan Indosiar (2001). Baru-baru ini pula ia diundang untuk tampil pada percobaan studio baru Lativi.

Sampai saat ini, ia berhasil mengoleksi lima buah kendang yang merupakan peninggalan orang-tuanya dan pemberian teman-teman nya dari grup dangdut Yogyakarta, meskipun sebagian kondisi fisik kendang itu sudah lapuk dan tak layak pakai.

Berbicara tentang makna kehidupan, Sujud berprinsip seperti peran dalam drama yang harus dilakoni dengan baik. Maka Sujud pun punya prinsip tersendiri dalam menyikapinya. Baginya, hidup

adalah nrimo. Pasrah pada jalan-nya.

”Pendek kata, hidup itu suatu kenikmatan yang harus dijalani dan disyukuri apa adanya tanpa dibarengi impian yang aneh-aneh,” ucap Sujud sedikit filosofis.

tak heran dibalik aktivitasnya yang biasa bergaul dengan kemewahan, Sujud tak berambisi menumpuk kekayaan. Hal ini ter cermin pada kesehariannya yang dihabiskan di lokasi yang terbilang terlampau sederhana untuk ukuran seorang seniman dengan jam terbang tinggi sepertinya. Padahal, ia termasuk seniman yang cukup dekat dengan golongan atas. Bila Sujud show, beberapa seniman terkenal yang merupakan sahabat dekatnya ikut hadir, seperti Joko Pekik, Harry Rusli, Butet Kertaradjasa, Jaduk Ferianto, dan Agus Kentjrot. Bahkan juga Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Salah satu produk kebudayaan yang nyaris tersingkirkan ini, memang berbeda dengan seniman atau kelompok penyanyi jalanan lainnya. Ia tidak menitikberatkan pada sisi material, selain kepua san. Bermain kendang adalah salah satu ungkapan jiwa terhadap realitas kehidupan yang tersirat.

”Bagi generasi muda, pertahankanlah kebudayaan daerah,” pesannya mengakhiri perbincangan siang itu.

Sujud Kendang
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [SOSOK]
M Ali Prasetya / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . .

Tambang Uang di Lereng Merapi

Penambangan pasir di lereng Gunung Merapi yang masuk wilayah Kabupaten Magelang, kian hari kian marak. Setidaknya ada 16 perusahaan penambangan pasir yang masih beroperasi. Dari perusahaan milik swasta, hingga pondok pesantren ikut ambil bagian. Tak ketinggalan, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setempat pun ikut nambang pasir di gunung teraktif di dunia ini. Itu baru yang terdaftar dalam Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Merapi Indonesia (APPPI). Yang tidak, jumlahnya berlipat-lipat. Dengan menggunakan puluhan back hoe, pengusaha mengeruk keuntungan yang tidak sedikit. Kelestarian lingkungan dikorbankan, padahal wilayah tersebut ter masuk daerah resapan air dan konservasi alam. Bahaya banjir lahar dapat mengancam setiap saat karena kondisinya sudah sedemikian parah. Meski demikian, penambangan sulit dihentikan karena kepentingan uang tentunya.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
REPORTER/PENULIS: WIDIYANTO, ILMIA A. RAHAYU, DONI WIJAYANTO | FOTOGRAFER: SURYA ADI LESMANA, INDRA YUDHITYA [ L A C A K ]] ] ]

SIANG itu, di awal Juli 2002 ini, HIMMAH mendapat undangan pertemuan yang menyangkut masa depan penambangan di Merapi. Yang hadir bukanlah menteri atau bupati, melainkan hanya beberapa warga yang risau akibat penambangan.

”Itu kalau kamu naik ke atas yang dulunya bukit sudah ditambang,” ungkap Darwiji (29) menceritakan ”kunjungannya” ke beberapa daerah di sekitar desanya di lereng Gunung Merapi Magelang.

”Ya, tahu lah. Itu kan yang wilayah Dukun”, kata Giarto (40) menyambut.

”Blongkeng, Sungai Sat dan Sungai Putih, semuanya habis,” tambah Muchrozi (35).

Meski terlihat santai, namun hampir keseluruhan pembicaraan mereka menggambarkan kekhawati ran terhadap kondisi pertambangan di lereng Merapi yang semakin eksploitatif. Mereka berbicara dari awal adanya eksplorasi pasir, pelaksanaan di lapangan, kerusakan lingkungan, dampak terhadap perekonomian ma syarakat, sampai pada perangkat desa yang oportunis

.

dan memanfaatkan warga desa untuk memperkaya diri sendiri. Kekhawatiran itu memang beralasan karena kerusakan lingkungan tidak bisa dipungkiri lagi di daerah ini.

Merapi. Gunung berapi yang tercatat paling aktif di dunia itu terakhir kalinya meletus dahsyat pada 8 Mei 1961. Hingga menghancurkan beberapa desa di bawahnya. Tercatat Kaligesik, Ngori, Brubuan dan Gimbal terpaksa dihapus dari peta daerah Kabupaten Magelang karena terkena longsoran lahar. Total keselu ruhan luasnya mencapai 586,9960 hektar. Warganya ditransmigrasikan lewat program bedhol desa ke Lam pung secara bergelombang.

Sebelum berangkat, mereka dijanjikan oleh Residen Kedu, Muhammad Saleh, bahwa tanahnya akan diberi ganti rugi oleh pemerintah. Enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1967, terbit surat yang menyatakan memberikan wewenang kepada Gubernur Jawa Tengah untuk menguasai tanah-tanah daerah bahaya Merapi. Surat itu berasal dari Direktorat Jenderal Agraria.

Status tanahnya kian tak jelas. Surat penguasaan

Surya Adi Lesmana HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . .

terbit, sedang ganti rugi tak kunjung ada. Hanya tanah yang digunakan Proyek Merapi (Promer) yang diganti. Di luar itu tidak. Akibatnya, banyak warga bekas Desa Gimbal yang pulang dari daerah transmigrasi. Mereka membentuk komunitas baru. Lokasi yang mereka mukimi kemudian diberi nama Sumberrejo.

Tahun 1980 desa yang berada di daerah bahaya Merapi kemudian direhabilitasi oleh Bupati Magelang dengan menjadikan daerah berpemerintahan re smi. Berhubung daerah tersebut terkena proyek SABO Promer, penahan lahar, maka tanah di daerah tersebut mendapat ganti rugi. Untuk lahan pekarangan Rp 700, untuk sawah kelas rendah sebesar Rp 500. Total yang dikeluarkan Promer sekitar Rp 108 juta.

Mulai saat itulah episode penambangan dimulai. Tapi sebatas penambang manual, belum mengenal alat berat atau biasa dikenal back hoe (bego). Mekanisme pembeliannya sangat sederhana. Yakni, para pembeli mendatangi kampung-kampung yang menjual pasir. Begitu cocok langsung diangkut. Belum ada perusahaan yang beroperasi di sana.

Ini berubah pada tahun 1990-an. Tahun ini adalah waktu adanya eksperimen penggunaan bego. Pe nyebabnya adalah permintaan yang begitu besar sejalan dengan pembangunan-pembangunan fisik di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Sejak itu perusahaan-pe rusahaan pertambangan mulai berdatangan di pede saan lereng Merapi.

Berdasarkan data yang diperoleh HIMMAH, sejumlah orang berkuasa selama Orde Baru pernah mengail keuntungan di sini. Antara lain, Forum Komunikasi Putera Puteri ABRI (FKPPI), SOKSI, AMPI, MKGR, Prim kopad hingga penguasa di daerah, seperti Koperasi Kepolisian Daerah (Kopolda). Kesemuanya tak memiliki ijin, karena memang belum ada aturan tentang itu. Baru tahun 1994 muncul peraturan daerah nomor 6 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Propinsi Jateng. Dan daerah sepi itu menjadi sebuah pusat pertambangan yang ramai.

Waktu terus berlalu, hingga arus reformasi digulir kan di anno 1998. Pasca lengsernya Soeharto, para pengusaha tersebut memilih menghentikan operasinya. Muncul para pemodal-pemodal baru dari kalangan swasta.

Meski demikian, ternyata penambangan pasir bukannya menyusut, tapi malah semakin menggila. Bego-bego menjadi andalan para pengusaha untuk mengeruk pasir. Penambang manual yang kebanyakan warga sekitar semakin terdesak. Kecemburuan pun tak terelakkan. ”Yang mengeruk keuntungan besar dari penambangan adalah mereka kaum pengusaha yang kebanyakan dari luar wilayah Magelang. Warga sini hanya dapat akibatnya,” kata Juwari, penambang asal Srumbung yang menambang pasir sejak 1977.

Puncaknya terjadilah pembakaran bego di akhir tahun 1999. ”Waktu itu lokasi penambangan sempit dan kondisi alat berat sangat banyak di sana sehingga menimbulkan persaingan dengan penambangan manual yang memakai cangkul, mereka merasa terd esak dan melakukan pembakaran.” kata Eri (26) dari Perusahan Daerah Aneka Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C (PDAU BGGC) Kabupaten Magelang

memberi komentar.

Peristiwa itu membuat popularitas GORO menan jak. Paguyuban yang didirikan tahun 1995 atas dasar persamaan nasib penambang manual itu semakin mempunyai daya tawar. Dan itu berlangsung hingga sekarang (Lihat Deretan Pengawal Para Pengusaha). Kedudukan GORO saat itu memang belum besar seperti sekarang. ”Kami ada gitu aja,” kata Sungkono, ketua GORO. Tahun 2000 yang lalu paguyuban ini resmi berdiri sebagai badan hukum dengan akta notaris Purwanto, S.H nomor 10, tertanggal 22 Januari 2000.

Dari perusahaan penambangan sendiri, peristiwa pembakaran bego itu membuat mereka m e ngkonsolidasikan diri. Dibentuklah Asosiasi Pengusaha Penambang Pasir Merapi Indonesia (APPPI). Jumlah anggotanya tidak tetap. Sekarang ada 16 perusahaan. Kebanyakan tak punya Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD).

Sarwadi (50), Kepala Dinas Pertambangan Ka bupaten Magelang mengungkapkan bahwa jika dikomparasikan, penambang yang ber-SIPD jumlahnya sangat sedikit, bila dibanding dengan penambang ilegal. ”Kenyataan yang terjadi kalau pemohon mendapatkan rekomendasi dari desa, dia menganggap itu sudah sah, sudah dijadikan pegangan untuk menambang,”

Pembakaran Bego. Puncak kemarahan warga terhadap pengusaha

katanya. Padahal untuk mendapatkan SIPD tergolong sulit. Harus mendapat rekomendasi dari kepala desa, keterangan mengetahui dari kecamatan, persetujuan Promer, Dinas Vulkanologi. Jika areal yang dimaksud termasuk kawasan hutan, harus mendapat ijin dari Perhutani. Baru kemudian dikeluarkan oleh dinas per tambangan.

Sebagai catatan di era otonomi daerah sekarang, berdasar UU nomor 22 tahun 1999, yang mengeluarkan SIPD cukup lewat pemerintah daerah tingkat II, kabupaten atau kotamadya melalui dinas pertamban gan setempat. Sebelumnya, SIPD untuk lahan kurang dari satu hektare saja yang ditangani pemda tingkat

M. Achadi
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

II. Selebihnya merupakan kewenangan pemerintah propinsi.

Kerusakan alam, dampak negatif

Sampai sekarang, Dinas Pertambangan Magelang merasa belum pernah mengeluarkan SIPD. Meski demi kian, banyak perusahaan penambang baru yang sudah menjalankan aktivitasnya. Itu dilandasi inspeksi lapan

desa ini ditanami padi, sebab air masih deras. Tanpa susah payah, sawah itu dialiri air dengan sendirinya,” kata Purnomo, warga Soropadan. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Muchrozi dan Darwiji. ”Kalau dibanding tahun 1980-an, Sungai Putih dan Blongkeng airnya itu sangat deras. Masyarakat kalau mau mengelola ikan di kolam-kolam, air tak perlu ngurus.”

Namun sekarang kondisinya sudah jauh berbeda. Untuk mengurus sawah saja, penduduk harus setiap hari menggali tanah untuk membuat aliran air. Kalau tidak, maka air tidak akan mengalir sampai sawah. Karena susahnya menanam padi ini, sebagian besar penduduk kemudian beralih menanam cabe atau salak pondoh. Karena kedua jenis tanaman ini tidak membutuhkan terlalu banyak air.

Demikian pula bentuk dampak lainnya. Samsiyem, salah seorang pemilik warung makan di tepi jalur penambangan Prebutan mengatakan, hampir setiap rumah-rumah penduduk di pinggir jalan, terancam bahaya. Yang sering terjadi adalah dinding rumah pen duduk yang menjadi retak-retak. Kaca-kaca jendela juga banyak yang pecah terkena lemparan batu yang jatuh dari bak truk.

gan yang jarang dilakukan. Apalagi akan menindak tegas penambang yang melanggar aturan.

Lingkungan rusak parah. Perambahan hutan me rajalela. ”Perambahan areal hutan di wilayah Perhutani ada. Bahkan tarafnya sudah sangat mengkhawatirkan,” kata Suwardi, bagian Humas Perhutani Kabupaten Magelang ketika diwawancarai HIMMAH via telepon.

Di lokasi pertambangan Sungai Putih, seorang peker ja perata pasir yang sedang menunggui suaminya yang mengoperasikan bego, ketika ditanya sampai batas mana penggalian pasir, ia menjawab ”Ya sampai lokasi sana, terus, sampai habis,” katanya sambil menunjuk areal hutan pinus yang sudah berjarak sekitar seratus meteran. Hutan pinus yang merupakan pagar dari Gu nung Merapi, adalah salah satu penyangga longsoran lahar. ”Sehingga berkurangnya luas areal hutan sangat membahayakan,” tambah Suwardi.

Pihak Perhutani sebenarnya telah lama mewantiwanti agar jangan ada penambang yang merambah hutan. Namun ini tidak diindahkan. Suwardi sendiri mengakui bahwa belum ada tindakan yang tegas ke pada para pelanggar. Penegakkan biasanya dilakukan melalui teguran-teguran, dan juga pertemuan-pertemuan yang intensif dengan pemuka desa dan juga koordinasi dengan aparat Pemda lainnya. Masyarakat yang terkena dampak langsung sepertinya tak pernah digubris. Padahal banyak keluhan yang dihadapinya.

Masalah air, misalnya. Menurut penuturan beberapa sumber di sekitar lokasi menunjukkan perbedaan yang mencolok debit air antara sebelum dan sesudah maraknya penambangan.”Dulu sebagian besar lahan di

Juga pada kesehatan masyarakat sekitar. Pertama adalah polusi udara, sehingga menyebabkan sesak nafas dan paru-paru. ”Influensa sering terjadi, tidak saja dalam hitungan hari, bahkan minggu ataupun bulan,” tu turnya. Yang kedua polusi udara ini juga mengakibatkan penyakit mata bagi penduduk. Ia mengatakan bahwa penyakit mata sering sekali diderita oleh penduduk yang disebabkan debu truk yang lalu lalang.

Lantas apa yang dikatakan oleh pemerintah Ka bupaten Magelang sendiri? Masalah hutan dan air, Par di Srihono (42), Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (Pedalda) Kabupaten Magelang, menolak anggapan berkurangnya areal lahan hutan secara masal. ”Hutannya masih sangat luas,” katanya yakin. ”Air masih tetap bagus, air masih tetap ada,” tambahnya menepis kekhawatiran tentang kondisi air.

Kalaupun ada, Pardi menambahkan, keluhan air di kawasan juga bukan akibat dari aktivitas penam bangan. ”Pada saat ini belum nampak efek itu. Karena ketekunan kita di bidang lingkungan hidup,” bantahnya. Keluhan mengenai air, menurutnya, sudah menjadi persoalan klasik. ”Tidak saja di kawasan penamban gan, namun di seluruh daerah di Kabupaten Magelang. Bahkan jika dikomparasikan, maka persoalan air di kawasan Gunung Merapi tidaklah seberapa.”

Ironis apa yang dikatakan Pardi Srihono, mengingat kondisi areal penambangan di Kecamatan Srumbung dan Dukun, Magelang sudah rusak. Bahkan menurut perkembangan terakhir, penambangan sudah meram bah hingga kawasan Sarangan, 10 km sebelah barat Dukun.

Padahal, penambangan pasir sendiri memberikan pemasukan tidak sedikit ke Pemda Magelang. Tahun 1999 saja, mampu menyetor antara Rp 700-Rp 900 juta. Kemudian tahun 2000 naik menjadi Rp 1,2 milyar. Sedang tahun 2001 kemarin, mampu melebihi target. Yakni, sebesar Rp 2,1 milyar.

Sepertinya, Pemda Magelang perlu memikirkan ulang tentang aktivitas penambangan selama ini. Jika

Penambangan. Menghasilkan milyaran rupiah M. Achadi
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

Mau Untung tak Mau Buntung

Para pengusaha penambangan pasir membentuk asosiasi pengusaha. Anggotanya tambal sulam, apalagi pengelolaannya.

DUA perangkat komputer, satu buah pesawat telepon, dan selembar karpet membentang di lantai kantor Asosiasi Pengusaha Penambang Pasir Merapi Indonesia (APPPI). Ruang itu pun tak terlalu luas. Enam kali sepuluh meter. Letaknya berada di sudut belakang Pondok Pesantren Nurul Falah, Tegalrandu. Kecilnya kantor APPPI bukan karena asosiasi pengusaha itu tak punya uang, namun karena organisasi ini masih seumur jagung. Baru terbentuk sekitar tahun 2000. Bahkan akta notaris pun baru diurus sekitar bulan Juni tahun 2002.

”Ini untuk sementara,” kata Musthofa, Sekretaris APPPI. Lebih lanjut, ia mengatakan tidak menutup ke mungkinan kantor APPPI akan pindah ke lain tempat.

Musthofa merupakan sekretaris APPPI sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah yang berada di bawah bimbingan K.H Abdur Rozak, Ketua APPPI. Banyak kalangan berpendapat penunjukkan Abdur Rozak hanya sebagai legitimasi semata.

”Ia tidak tahu apa-apa,” kata sumber HIMMAH di Tegalrandu. Dan ternyata benar. Ia pun mengakui dirinya sendiri. ”Saya tidak tahu menahu apa-apa tentang per tambangan,” kata Pak Kyai, panggilan akrab pemimpin religius itu.

Lantas kemudian, HIMMAH disuruh menghubungi Musthofa karena secara operasional Abdur Rozak menyerahkan kepada santrinya itu. Menurut penuturan Musthofa, latar belakang pendirian organisasi ini untuk mewadahi aspirasi pengusaha yang punya kepentingan besar terhadap pertambangan. Kebijakan-kebijakan seperti penetapan harga pasir di pasaran, retribusi yang akan masuk ke Pemda dan APPPI, pengaturan jumlah alat berat dan operasinya, pemasaran pasir, dan menyelesaikan permasalahan yang timbul di antara pengusaha. Semuanya menjadi otoritas APPPI.

Tapi karena masih hijau, kepengurusannya juga masih mengalami banyak kendala. Fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan APPPI belum berjalan mulus. ”Komitmen dari anggota itu kurang,” katanya singkat. Anggotanya sendiri bongkar pasang sejalan pasang surutnya kondisi anggota asosiasi. Dulu, angggotanya pernah mencapai 22 perusahaan. Tapi perkembangan terakhir total anggotanya menyusut hingga tersisa 16. Pondok pesantren Nurul Falah, milik Abdur Rozak Ketua APPPI sendiri, menghentikan sementara aktivitasnya.

Secara garis besar, keanggotaan APPPI, mulai dari kalangan pesantren, swasta, hingga perusahaan dae

rah, dibagi menjadi tiga kelompok. Untuk kelompok pertama, perusahaan yang memiliki alat berat. Kedua, perusahaan yang memiliki Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) atau lahan. Yang ketiga, perusahaan yang memiliki dua-duanya, baik yang mempunyai alat berat maupun SIPD. Pembagian hasilnya terserah persetujuan perusahaan. Yang jelas, ada sisa 10 persen untuk GORO. Begitu pula untuk APPPI dan Pemda. Besarnya sekitar 30 persen. Sehari semalam pendapatan yang diraih tiap perusahaan bervariasi. Perusda BGGC Kabupaten Mage lang, misalnya. Perusahaan milik Pemda Magelang ini mendapat kurang lebih Rp 2 juta, sedang PT Turap Baja mampu meraup hingga Rp 4,5 juta per hari.

Sementara itu, perusahaan yang terdaftar di APPPI bukannya tanpa masalah. Mereka banyak menuai kekecewaan dari buruh pencoker dan penambang manual. ”Perusahaan itu banyak curangnya. Kalau janji tidak pernah ditepati. Janjinya akan disediakan banyak armada, tapi ternyata armadanya tidak ada,” tutur Juwari, buruh pencoker sekaligus penambang manual. Pendapat tersebut memang beralasan karena armada pengangkut pasir merupakan gantungan hidupnya.

Tapi hal itu disanggah oleh Abdul Qori, dari PT Bang kit. ”Justru yang harusnya mencari armada itu mereka,” katanya. Sanggahan itu tentu mengundang keprihati nan, mengingat aksi pembakaan bego di tahun 1999

Ponpes Nurul Falah. Pengasuhnya hanya sebagai legitimasi semata Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ]
. . . . . . . . . . . . .
/

yang didasari ketidakadilan oleh pengusaha. ”Tanpa APPPI, kita sebenarnya bisa jalan Tapi kok malah tidak menghargai kita?” timpal Juwari.

Begitu pula menyangkut alat berat. Mustofa men gakui bahwa APPPI punya andil besar terhadap diperbo lehkannya penggunaan alat berat. Kebijakan ini, dulunya juga melibatkan GORO. Sekarang tidak. GORO yang dituduh sering menyelundupkan bego ke lokasi penambangan--tentu dengan kompensasi uang--melemparkan nya ke APPPI. Mereka berdalih bahwa kewenangan tersebut sekarang di tangan APPPI. ”Akibatnya jumlah alat berat sulit diatasi,” tutur M. Sholeh, Humas GORO. Padahal sesuai ketentuan, maksimal setiap perusahaan hanya diperkenankan menggunakan tujuh bego. ”Kalau di lapangan itu tidak bisa seratus persen terlaksana. Terlalu sulit. Kompleks,” keluh Musthofa.

Ini sangat dilematis. APPPI sendiri tak kuasa mengatasinya. Di satu sisi banyak pengusaha yang menginginkan penggunaan alat berat. Dengan tingkat efektivitas yang tinggi, maka hasil yang didapat juga ce pat dan berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan dengan

penambangan secara manual. Namun di sisi lain, banyak pengusaha yang menolak. Alasannya penggunaan alat berat membuat harga pasir di pasaran anjlok.

Imbasnya, pada persaingan harga sesama pen gusaha. Padahal masalah penentuan harga merupakan wewenang APPPI. Itu yang disesalkan Abdul Qori, dari PT Bangkit anggota asosiasi. ”Tidak ada peran dari APPPI. Karena mengambil sebagian dari kami, APPPI diharapkan mampu membangun hubungan antar sesama anggota. Setiap kali ada masalah dengan perusahaan. Karena persaingan harga dampaknya sangat luas,” katanya.

Sedang, kaitannya dengan ijin jangan ditanya. Berdasarkan data yang dihimpun HIMMAH, sebagian besar perusahaan penambangan anggota APPPI tidak punya SIPD. Seperti PT Bangkit sendiri. Alasannya baru dalam proses. Hal itu dibenarkan oleh Musthofa. ”Yang masih beroperasi kebanyakan ilegal,” katanya. Meski demikian, sampai saat ini pengusaha tenang-tenang saja. Penambangan jalan terus. Keuntungan tetap ditangguk.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]

Deretan Pengawal Para Pengusaha

PAGUYUBAN ini tergolong unik. Bila dibanding den gan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain di negara kita, GORO merupakan pengecualian. Saat LSM-LSM lain berlomba membuat program untuk mendapat kucuran dana dari lembaga funding internasional, GORO cukup menawarkan jasa keamanan untuk mendapat uang. Penghasilan yang diperoleh pun cukup fantastis. Sepuluh persen dari total pendapatan penambangan. Yang jelas naik turun, tergantung ramai tidaknya penam bangan. ”Bulan ini (Mei) pendapatan kami sekitar Rp 80 juta, karena sekarang orang membangun itu sedikit,” kata Sungkono, Ketua GORO yang ditemui awal Juni 2002. ”Rp 150 juta itu maksimal,” lanjutnya.

Dari sepuluh persen total pendapatan GORO masih harus dibagi lagi. 4 % untuk perbaikan jalan, 2.5 % untuk tim keamanan, 1.5 % untuk dibagi ke 21 desa yang terkena dampak langsung penambangan dan 1 % untuk kas paguyuban. Sisanya 1 % untuk dibagi rata kepada 53 unit pos GORO yang tersebar di sepanjang jalan menuju lokasi penambangan. Menurut penuturan seorang sumber yang keberatan disebut namanya, ke banyakan hasil yang didapat hanya dinikmati kalangan elit GORO. ”Masyarakat yang menjadi anggota GORO hanya mendapat sekian kecil dari jumlah pendapatan,” kata sumber HIMMAH tersebut. Maka tak heran ketika melihat elit GORO kemana-mana menenteng handphone saat anggota GORO yang sebagian besar terdiri dari para pencoker dan penyenggrong bermain gaple sambil menunggu para pelanggan di tiap unit. Pencoker merupakan sebutan bagi buruh yang bertugas mera takan pasir di atas truk, sedang penyenggrong adalah kuli yang menaikkan pasir ke atas truk.

Tapi hal itu dibantah oleh M. Sholeh humas GORO. ”Kita ini kalau dapat uang langsung dibagi ke anggota. Bukan seperti pemerintah,” katanya.

Jika dilihat dari pendapatan, GORO boleh dibilang lebih dari cukup. Dibanding awal pendiriannya, sekitar tahun 1995, GORO juga berkembang pesat. ”Waktu itu kami eksis, namun belum seperti sekarang. Kami ada, gitu aja,” kata Sungkono ketika ditemui di rumahnya yang terbilang wah untuk ukuran masyarakat setempat. Puncak kebangkitannya, menurut Habibullah, salah seorang warga setempat, adalah saat terjadinya pem bakaran back hoe (bego,- alat berat-red.) akhir tahun 1999. Saat itu 13 bego dibakar oleh warga setempat karena dikhawatirkan mengganggu pekerjaan mereka sebagai penambang manual.

Tapi banyak pihak menaruh curiga pada peristiwa tersebut. ”Pembakaran bego itu skenario GORO untuk naik daun,” kata sumber HIMMAH. Habib, panggilan Habibullah, juga punya pendapat senada. ”Ini merupa

kan komoditas agar mereka punya posisi di daerah penambangan,” katanya.

Terlepas dari benar tidaknya pernyataan miring itu, toh GORO tetap berkibar. Anggotanya sekarang mencapai sekitar 4320-an orang. Strukturnya pun terorganisir dengan Sungkono sebagai pemegang komando. Dibawahnya ada ketua I yang membawahi keuangan, ketua II mengurusi bidang sosial, dan ketua III bidang keamanan. Posisi GORO sendiri merupakan

penanggung jawab keamanan di lapangan dari APPPI. ”Kita saling bekerja sama,” papar Musthofa, sekretaris APPPI.

”Kenapa selalu ada tim keamanan?,” tanya Sung kono.

”Karena di lokasi penambangan ini identik dengan kekerasan. Ha..ha..ha..” jawabnya sendiri.

Itulah GORO. Paguyuban dengan dua wajah. Salah satu sisi melindungi para kuli, di sisi lain juga eksis menarik retribusi, dan mengambil keuntungan dari para penambang, juga alat berat. Untuk menaikkan atau menurunkan alat berat, misalnya, pengusaha rela merogoh kocek antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Bahkan untuk bergeser di lokasi penambangan sekalipun. Seperti yang dialami Perusda Bahan Gal ian Golongan C (PDAU BGGC), salah satu perusahaan penambangan milik Pemda Kabupaten Magelang. ”Pernah Perusda geser satu kilo dari lokasinya, ditarik Rp 500 ribu,” kata Ery Setyo Wibowo, Kabag Perlengkapan/ Produksi PDAU BGGC.

Itu merupakan timbal balik dari GORO kepada pen

Untuk melanggengkan kegiatan usaha penambangan, APPPI bekerja sama dengan paguyuban Gotong Royong (GORO) sebagai penanggungjawab keamanan. Kantor Goro. Punya posisi kuat di penambangan Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ]
. . . . . . . . . . . . .

gusaha. GORO menawarkan jasa keamanan, sedang pengusaha membutuhkannya. ”Penambang masih memerlukan GORO karena kalau tidak, kondisi di atas (lokasi penambangan-red.) sangat tidak stabil. Bermain di atas merupakan sesuatu yang berbahaya,” kata Ery ketika ditemui di kantornya.

Dengan kondisi demikian, tentu yang paling di untungkan adalah APPPI dan GORO sendiri. Masyarakat sekitar masih tak beranjak dari malang. Segala upaya

.

telah dilakukan GORO, hanya agar penambangan pasir tetap berlangsung. Termasuk menekan warga yang menuntut dihentikannya penambangan akibat efek yang ditimbulkan oleh penambangan. ”Beberapa minggu yang lalu, rumah saya habis diteror,” kata sum ber HIMMAH di daerah Srumbung yang getol menuntut penutupan penambangan.

Tak hanya itu. Aksi teror pun secara terang-terangan dilakukan ketika warga melakukan demonstrasi di kantor Dinas Pertambangan sekitar bulan Mei yang lalu. Pihak kepolisian maupun pemerintah pun seper tinya menutup mata. Buktinya tidak ada tanda-tanda ketegasan terhadap kasus ini. Atau mereka sendiri ikut terlibat? Yang jelas, menurut sumber HIMMAH, tiap bulan instansi mulai dari tingkat kecamatan hingga kabupaten, mendapat semacam insentif dari GORO. Jumlahnya tetap, berdasar hierarkis pemerintahan dan wilayah. Untuk Muspika, terdiri dari camat, kepala kepolisian sektor, dan koramil Kecamatan Srumbung masing-masing mendapat Rp 800 ribu. Untuk wilayah Salam mendapat Rp 400 ribu. Begitu pula dengan ormas dan pondok pesantren. (Lihat Bila Pungutan untuk Bantuan...).

Dalam bulan Juli dan Agustus ini, GORO akan memperingati hari lahirnya yang ke-7. Sebagai wujud terima kasihnya, akan diselenggarakan rangkaian kegiatan sosial dan acara hiburan yang diperuntukkan bagi anggota dan masyarakat sekitar. Meliputi khitan massal dan pengajian. Direncanakan pula akan digelar pentas wayang dengan mengundang 500 tokoh pent ing di Magelang. ”Ini sifatnya terbuka. Bagi masyarakat pendatang silahkan datang, bagi yang mau,” kata M. Sholeh, humas GORO. ”Inilah wujud kepedulian GORO.

Banyak uang yang masuk ke GORO. Dana yang dikeluar kannya pun tak sedikit. ”Untuk menyejahterakan masyarakat dan anggota pada khususnya,” kata M. Sholeh, humas GORO. Pengeluaran paling besar untuk biaya perbaikan jalan mencapai 4 persen dari 10 persen total pungutan GORO di areal penam bangan. Dengan dana begitu besar, paguyuban itu mampu memperbaiki jalan sepanjang Jurang Jero hingga Prebutan demi kelancaran penambangan. ”Itu harusnya tugas pemerintah daerah,” kata Robert, kawan M. Sholeh.

Secara garis besar, pengeluaran GORO meliputi jaminan sosial anggota paguyuban. Untuk kecelakaan, diganti dengan sejumlah ongkos berobat. Tapi harus kurang dari Rp 50 ribu. Selain itu GORO juga memberikan bantuan kepada anggotanya

yang melahirkan, hingga meninggal. ”Jadi GORO menanggung dari lahir hingga mati,” celoteh M. Sholeh. Ada lagi jenis sumbangan yang dikeluarkan GORO. Sumban gan tetap. Mereka

Personel Goro Penanggungjawab keamanan penambangan
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . .
memberikannya kepada instansi pemerintah dan ormas setiap bulannya. Menurut sumber terpercaya HIMMAH di GORO, instansi itu meliputi Kecamatan Srumbung, Salam hingga Polres Magelang dan Kasi Intel Kejaksaan. Total bantuan yang diberikan pada instansi pemerintah sebesar Rp 6.600.000. Maka jangan heran bila GORO mampu mempertahankan ek sistensinya di penambangan. . . DAFTAR INSENTIF ”GORO” UNTUK ORMAS/PONPES no instansi insentif (Rp)/bulan 1 Ponpes Al Umar Ngargosoko Rp 500.000 2 Ponpes Raudlatul Falah Srumbung Rp 500.000 3 Majelis Taqlim Rp 400.000 4 TPA Al Qur’an Jumoyo Rp 200.000 5 TPA Candi Sari Rp 100.000 6 TPA Sumber Sari Rp 100.000 7 PERSIKAMA Magelang Rp 500.000 8 SD Terpadu (MWC) Ngargosoko Rp 500.000 9 Dana Siswa Anak Yatim (39 anak) Rp 1.125.000 + Indra Yudhitya / HIMMAH

letih

pengungsian

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ] sepucuk
dari
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]

Yang Tersisih dari Penambangan

Keberadaan penambang manual semakin terdesak setelah banyaknya bego yang masuk. dan peralatan tradisional lainnya. Kebanyakan mereka datang dari luar wilayah Srumbung seperti Parakan dan Temanggung. Tinggal di tenda-tenda plastik sederhana untuk tempat bermukim. ”Bahkan diantaranya ada yang sampai berkeluarga dan melahirkan di tenda,” tutur Robert, humas GORO.

Mereka tidak tetap menjadi penambang. Hanya selingan sambil menunggu panen padi di kampung halaman. Meski demikian, masyarakat setempat yang berprofesi sebagai penambang manual pun tidak sedikit. ”Saya memlih menambang manual, karena tidak mau terikat dengan perusahaan,” kata Sumarno, warga Srumbung.

Sebelum banyaknya alat berat di lokasi, penambang manual boleh dibilang sebagai penguasa penamban gan pasir. Tapi setelah datangnya bego, hidup mereka berubah drastis. Dengan bego, para pengusaha secara leluasa mengambil lahan yang semula dikerjakan para penambang manual. Masyarakat sekitar hanya menjadi penonton belasan alat berat menjarah lokasi penambangan milik mereka waktu itu.

Puncaknya meletuslah tragedi pembakaran 13 bego di penghujung tahun 1999. ”Pada waktu itu masyarakat kita belum mau menerima era mekanis. Mereka men gatakan bahwa adanya alat berat ini akan mengganggu kerja mereka sebagai p e na m bang manual. Namun sebenarnya tidak,” kata Sungkono, ketua paguyuban GORO. Era mekanis yang dimaksud Sungkono adalah keberadaan excavator atau alat berat yang secara oto matis mengganti tenaga manusia. Satu excavator setara dengan empat hingga tujuh tenaga orang dewasa.

TRAGIS memang nasib Sudirman. Sudah dua hari pasir hasil galiannya belum juga laku. ”Untuk makan saja terpaksa ngutang dulu di warung sekitar,” kata penambang manual asal Wonosobo ini. Tidur pun di sembarang tempat. Jika tidak mendirikan tenda daru rat, ia numpang di bedeng milik PT Perkasa, salah satu perusahaan penambangan di Srumbung.

”Kalau tidak juga laku?” tanya HIMMAH.

”Ya..terserah yang di Atas,” jawabnya enteng.

Slamet dan Untung, teman sekampung Sudirman, sedikit memiliki keberuntungan. Sudah lima rit pasir hasil galiannya laku sejak seminggu kedatangannya. Pembeli yang datang biasanya menginginkan untung yang berlebih, karena harga pasir dari penambang manual jauh lebih murah bila dibanding dengan harga pasir yang ditetapkan Asosiasi Pengusaha Penambang Pasir Merapi Indonesia (APPPI). Untuk satu colt diesel, pasir dari penambang manual dijual seharga Rp 35 ribu, sedang harga yang ditetapkan APPPI mencapai Rp 70 ribu atau dua kali lipatnya. ”Penambang manual mau minta harga tinggi, tapi banyak yang tidak mau,” kata Slamet.

Penambang manual seperti Sudirman, Slamet, atau Untung mudah kita temui di lokasi penambangan. Jum lahnya ratusan. Ciri-cirinya menggunakan pacul, linggis

Tiga tahun tragedi itu telah lewat. Penambang manual masih tetap ada. Dan nasibnya tak kunjung berubah. Justru sekarang semakin terinjak-injak. Lahan penambangan sudah dikapling oleh perusahaan-pe rusahaan berduit.

Mereka kemudian menggali pasir di lokasi milik perusahaan yang telah diambil dengan bego. Jika tidak, merambah kawasan hutan pinus milik Perhutani. ”Be bas, asalkan tidak merebut lahan milik orang lain. Dan cari tempat yang kosong,” kata Slamet. Ini membuat mereka dicap sebagai penambang liar dan biang keru sakan lingkungan. Apalagi hampir semua penambang manual tidak memiliki SIPD. ”Perlu ketelatenan dan kesabaran dalam menghadapi hal ini,” kata Sarwadi, Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Magelang. Dari pihak pemerintah desa sendiri telah berulang kali menertibkan. ”Saya peringatkan siang, malam mereka masuk,” tutur Budiono, Kepala Desa Ngargosoko.

Stigma sebagai penambang liar yang dialamatkan kepada penambang manual sangatlah berlebihan. Mengingat tidak sedikit perusahaan penambangan yang tidak memiliki SIPD juga. Baru dalam taraf rekomendasi yang dikeluarkan kepala desa, perusahaan-perusahaan yang menggunakan alat berat sekalipun, sudah me nambang duluan.

Surya Adi Lesmana
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ]
 . . . . . . . . . . . . . . .
/ HIMMAH

Sasaran Empuk Kaum Pemodal

menggunakan lahan milik Perhutani,” kata Abdul Qori.

Penambangan di alur sungai Kali Putih kawasan Jurang Jero pun terkesan asal-asalan. Tak me mper hatikan manual penambangan Galian Golongan C yang dikeluarkan Proyek Merapi (Promer) dan Dinas Pengairan. Menurut manual tersebut, area yang diijinkan ditambang dengan penampang melintangi alur sungai adalah hanya badan sungai. Selisihnya dengan SABO, atau bukit sekitar 15 meter. (Lihat Area yang Boleh Ditambang). Sedang realitas di lapangan hanya menyisakan sekitar delapan meter. Ini yang menyebabkan kerusakan lin g kungan sekaligus membahayakan.

BAYANGKAN ucapan Sungkono ini. ”Tiap hari, truk yang masuk itu sekitar 700 hingga 1000 buah. Jadi aktivitas di penambangan itu siang malam.” Memang, selama ini jumlah truk yang masuk tidak secara pasti dapat dikalkulasi. Tergantung musim. Jenis truknya pun bermacam-macam. Mulai dari tronton jumbo, dump, engkel hingga colt diesel. Dengan berat muatan yang berbeda pula.

Banyak alasan mengapa banyak perusahaan melirik penambangan pasir Merapi atau biasa disebut pasir Muntilan. Abdul Qori dari PT Bangkit, misalnya. Ia mengatakan bahwa pasir dari kawasan Merapi cocok untuk pembangunan. ”Lebih irit karena hemat semen,” katanya ketika dihubungi via telpon. ”Oleh karena itu permintaan atas pasir Merapi tinggi.”

Lain halnya dengan Trisno Basuki, dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Kabupaten Magelang. ”Pasir Merapi itu renewable ,” katanya. Maka tak salah apabila para pengusaha mendapatkan keuntungan besar dari penambangan. Itu pula yang jadi masalah, ketika penambangan sudah dalam taraf eksploitatif terhadap alam.

SABO, proyek penahan lahar buatan Jepang pun tak luput dari kerusakan. Proyek berbentuk bendungan itu ternyata diperuntukkan untuk jalan truk untuk mencapai lokasi penambangan. Padahal, tujuan semula bukan demikian. Alur sungai di tepian SABO apalagi. Sudah tak berbentuk alur lagi. Penuh sesak akan penambangan. Sampai-sampai para pengusaha penambangan baru, seperti PT Bangkit pun tak kebagian tempat di alur sungai Kali Putih dan sungai Ngori. ”Kita terpaksa

Untuk kawasan hutan sekitar pun setali tiga uang. Sebenarnya tidak hanya penambang manual yang memilih menambang di tepian hutan, sehingga mereka mendapat predikat penambang liar. Tak jarang perusahaan skala besar pun melakukannya. Mereka menggunakan bego untuk menggerus hutan di sekelilingnya. ”Pemerintah harus tegas dalam menegakkan hukum, karena Merapi merupakan daerah konservasi. Di situ ada banyak kawasan resapan hujan yang mendistribusikan air,” kata Fajar Irawan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta. Dasar hukum yang dijadikan pedoman Fajar adalah UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sementara soal kekurangan air sudah menjadi persoalan serius di kalangan warga sekitar Merapi. Muchrozi, warga Tegalrandu, misalnya. ”Dulu untuk mengairi sawah itu dibiarkan saja, air sudah mengalir sendiri. Bahkan lebih-lebih bisa buat perikanan,” katanya.

Sekarang kondisinya berubah drastis. Jangankan buat memelihara ikan, untuk keperluan pengairan sawah pun perlu kerja keras untuk mendapatkannya. Padahal kawasan Tegalrandu terbilang tidak jauh letaknya dengan Merapi.

Nasib serupa juga dialami Purnomo, penduduk Soropadan. ”Panen saya gagal. Selain airnya kurang, debu akibat truk pengangkut pasir yang tiap hari lewat,” tutur Purnomo yang sedang menanam lombok untuk musim tanam ini. ”Debu itu kan dapat menggagalkan perkawinan serbu sari dan putik. Kalau seperti ini terus, bagaimana saya nanti?” katanya. Memang, bagi warga yang mempunyai sawah di tepi jalan menuju lokasi penambangan, maka ancaman terhadap kegagalan panen sangat besar.

”Ya karena debu, itu,” tutur beberapa warga.

Debu terutama di musim kemarau memang sangat membahayakan. Banyak petani yang gagal panen, banyak juga penduduk sekitar yang terjangkiti pilek, batuk dan belek

Inilah potret penegakan hukum kita. Meski sudah ada aturan, tak jadi jaminan bagi perlindungan lingkungan di lokasi penambangan. Menggerus. Mengancam fungsi hutan sebagai tempat konservasi M. Achadi
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
.
. . . . . . . . . . . . . . .

Di samping efek negatif seperti beberapa keluhan di atas, warga juga ada keuntungan dari maraknya penambangan. Dapat membuka warung hingga bisnis cuci truk. Tapi keuntungan itu tak seberapa bila dibanding efek yang ditimbulkan. ”Berdasarkan penelitian lembaga Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional (P4N) UGM dengan Dinas Pertambangan Propinsi Jawa Tengah, efek terhadap kerusakan dari penambangan pasir Merapi di kawasan Magelang mencapai 34-35 milyar,” kata Sarwadi, Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Magelang.

Sampai sekarang pun tidak ada upaya reklamasi lingkungan. Pihak Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (Pedalda) Magelang hanya melakukan pangamatan dan pengamatan. Koordinasi dan koordinasi. Langkah konkritnya belum tampak. Analisis dampak lingkungan di kawasan Merapi pun belum dibuat. Bahkan kantor Pedalda terkesan tak mengetahui persoalan yang terjadi. ”Kalau kita lihat, kita omongkan, di sana itu kan persoalannya sedemikian besar. Tapi kalau kita turun ke lapangan, kita melihat, mana persoalan? Kabur. Mana sih yang menjadi persoalan?” kata Pardi Srihono, Kepala Kantor Pedalda kabupaten Magelang.

Itulah kenyataan. Dari Dinas Pertambangan juga demikian. Hanya saja serupa tapi tak sama. Mekanisme pengaturan ijin yang tidak jelas. Sampai sekarang Dinas Pertambangan Kabupaten Magelang belum mengeluarkan ijin satu pun. ”Kita baru dalam taraf penertiban SIPD,” kata Sarwadi. Meski merasa belum pernah mengeluarkan SIPD, sebagian perusahaan

Akibat penambangan. Kerusakan lingkungan tak terhindarkan

sudah menambang. Biasanya mereka berdalih masih dalam proses rekomendasi dari kepala desa setempat. Bisa jadi ini pokok permasalahannya. Karena dalam mengajukan SIPD harus memenuhi beberapa ketentuan yang menyangkut perijinan serta sanksi yang harus dipenuhi bila dalam proses penambangan ternyata mengakibatkan kerugian lingkungan. Lingkungan

Sumber: LBH Jogja (data Promer) Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ]
. . . . . . . . . .

Rupiah Mengalir dari Kaki Merapi

Untuk mengambil pasir Merapi tak perlu melewati tahapan yang rumit. Cukup datang, keruk, dan bawa ke pasaran.

”PRIT…Prit..Priiitt,” suara peluit pengatur jalan ter dengar sayup di antara padatnya lalu lintas Jalan Magelang-Jogja. Tepatnya di pertigaan jalan masuk menuju Kecamatan Srumbung. Tak lama berselang, bendera merah diayunkan memberi aba-aba bagi pengemudi truk yang keluar masuk jalan itu.

Sepuluh kilometer dari pertigaan, terdapat lokasi penambangan pasir Merapi terbesar di Jawa Tengah. Di kawasan Jurang Jero, yang masuk wilayah kecamatan Srumbung. Selain itu, lokasi penambangan juga terdapat di Kecamatan Dukun bersebelahan dengan Kecamatan Srumbung.

ribu. Sementara pos Dusun Salam Sari memungut retri busi Rp.1.000 dan GORO Rp.2.000 untuk tiap truk.

Mekanisme pengambilan pasir ketika truk sudah memasuki lokasi penambangan cukup mudah. Sopir tinggal memarkir truknya di pos DO yang menjadi lang ganannya. Kemudian minta nota harga pasir yang diisi sesuai kapasitas truk. Jika truk untuk kalangan buruh penambangan disebut armada milik perusahaan yang ”seatap” dengan pengelola (pemilik SIPD), maka cukup meminta bon kepada penjaga DO. ”Biasanya sehari se malam kurang lebih 30 truk (milik perusahaannya-red.) yang masuk,” kata Budiono, salah seorang penjaga DO PT Turap Baja.”Bahkan kalau ramai bisa mencapai 50 truk,” lanjutnya.

Harga pasir yang dijual di DO beragam. Tergantung jenis armadanya. Harga ditetapkan oleh Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Merapi Indonesia (APPPI). Mulai 15 November 2001, harga untuk armada colt diesel sebesar Rp. 70 ribu, engkel dump Rp. 197 ribu, engkel Rp. 150 ribu , truk diesel Rp. 200 ribu, truk jumbo Rp. 320 ribu dan truk tronton Rp. 224 ribu. Tapi menurut Abdul Qori, dari PT Bangkit, harga yang ditetapkan tiap perusahaan, sekarang, tidak lagi mengacu pada penetapan APPPI. ”Bahkan antar perusahaan itu bisa saling bersaing,” katanya ketika dihubungi via telpon.

Ada empat jalur lagi, selain melalui pertigaan Srumbung, yang biasa dilalui truk untuk menuju lokasi penambangan. Yakni, jalur Bulu, Krakitan, Prebutan dan Gulon. Khusus untuk jalur Prebutan hanya dilalui truk tronton yang berukuran jumbo.

Untuk mencapai areal lokasi, masing-masing truk harus melalui pos-pos retribusi guna membayar pungutan yang telah ditetapkan. Sepanjang jalan Srumbung, menurut pengamatan HIMMAH, setidaknya ada sekitar lima pos retribusi yang dikelola Pemda Kabupaten Magelang, Pemerintahan Desa Srumbung, dan juga paguyuban buruh penambangan, GORO. Besarnya retribusi bervariasi. Pos milik Pemda memungut retri busi berdasarkan jumlah tonase truk. Untuk colt diesel Rp.3.500, truk tronton Rp.15 ribu, dan truk fuso Rp. 10

Alur armada setelah mendapat nota dari DO, ke mudian adalah menyerahkannya ke operator bego di lapangan untuk kemudian diisi dengan sejumlah pasir yang tertera di nota. Menurut Maryono, salah seorang operator bego PT Mandala, mengatakan bahwa cara pengambilan pasir terlebih dahulu harus disaring den gan alat. ”Untuk mengambil pasir bila sudah mengalami tiga kali penumpukan,” ujarnya. Sehingga pasir yang yang dihasilkan sangat halus. Terpisah dengan bebatuan yang ukurannya relatif lebih besar dan kasar.

Setelah truk selesai diisi, pasir di atas truk kemu dian diratakan oleh tenaga pencoker yang dibawa dari pos-pos tempat mangkalnya. Untuk satu truk biasanya terdiri dari tiga sampai lima orang dengan total bayaran Rp 20 ribu.

Setelah selesai semuanya, truk lantas putar haluan keluar dari lokasi penambangan dan menurunkan tu kang coker di posnya semula. Kemudian didistribusikan ke mana-mana. Menurut penuturan Sungkono, Ketua GORO yang juga bekas penambang manual, penjualan pasir Merapi telah mencapai luar wilayah Jateng dan DIY. ”Sampai wilayah Jawa Timur,” katanya. Tiap hari truk yang melakukan aktivitas tersebut jumlahnya banyak. Itu pun tiada waktu libur. 24 jam non stop.

Menaikkan pasir. Prosedurnya cukup mudah Surya Adi Lesmana / HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . .

”Saat ini Belum Tampak Efek Penambangan” Lingkungan sekitar lokasi penambangan sudah memprihatinkan. Bagaimana tanggapan Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Pedalda) Magelang? Berikut petikan wa wancara HIMMAH dengan Pardi Srihono, Kepala Pedalda Magelang:

Menurut Anda, sejauh mana kerusakan lingkungan di kawasan penambangan Merapi?

Jadi untuk Merapi ini kerusakan lahan bisa dibilang diambilnya lahan pasir di sana, perbaikannya lahan tidak memerlukan manusia. Ketika pasir habis kemudian terjadi hujan di atas gunung. Tumpukan pasir yang ada di puncak turun. Maka kembalilah alam itu. Akan seperti itu dalam setiap periode. Yang tidak kembali dengan sendirinya adalah ketika hutannya dirambah, pohonnya dirusak. Ini yang betul-betul harus ada rehabilitasi. Tapi kalau yang pasirnya, begitu di puncak terjadi hujan, kemudian endapan pasir yang ada di puncaknya turun, maka persoalan sudah teratasi lagi.

Apakah ada perusakan area hutan?

Jika secara perhitungan ada, karena daerah-daerah hutan atau yang dihutankan, dengan ketinggian di atas 600 permukaan air laut memang disediakan lahan untuk tangkapan air hujan, dipadati dengan pohon-pohon hijau. Tapi kalau ditangkap oleh pohon, menjadi sedikit, jelas mengandung efek. Penjarahan lokasi hutan itu mengandung efek. Pada saat ini belum tampak efek yang itu. Karena ketekunan kita di bidang lingkungan hidup, meski sampai saat ini belum sampai hal-hal yang sangat detail.

Jadi perusakannya sampai sekarang masih bisa ditoleransi?

Kita tidak bisa mentolerir. Mentoleransi itu kan dibiarkan, diterima. Kita tidak. Cuma upaya dimaksimalkan, batas upaya maksimal itu baru mampu menjangkau tingkat tertentu. Tidak ada toleransi. Kami memaksimalkan pengendalian. Tapi kalaupun itu masih ada (pengrusakan hutan-red.), itu kan kondisi.

Apakah ada keluhan soal air tanah? Keluhan masalah air itu bukan hanya terjadi di sana. Di daerah manapun ada. Tapi keluhan-keluhan itu bukan ekses atau akibat dari penambangan. Di sana air tersedia banyak

Bagaimana upaya dari Pedalda untuk mengantisipasi atau menanggulangi efek negatif penambangan? Bukan hanya kantor saya, tapi Pemda. Penegakan hukum. Kita berusaha untuk mengawasi, kita berusaha untuk menajamkan aturan-aturan, menindak, melarang perambahan itu, mengkoordinasikan dengan berbagai hal. Apa lagi di sana personil Kabupaten Magelang tidak bisa stand by 24 jam. Sebenarnya kunci pemecahannya satu, kesadaran.

Keluhan tak Terkuburkan

Aktivitas penambangan pasir telah mengakibatkan kerugian yang luar biasa. Berikut keluhan dari sebagian kecil masyarakat yang berhasil dihimpun HIMMAH.

Purnomo, warga Soropadan. ”Musim tanam seperti biasanya. Terancam gagal,” katanya ringan. Dulu, bapak enam anak ini sering menanam padi, tapi karena kekurangan air akhirnya ganti menanam cabe. Ternyata tak jauh beda. Sawahnya yang terletak di tepi jalur penambangan Prebutan, kering kerontang. Bibit cabenya tak tumbuh akibat debu truk angkutan pasir yang lalu lalang. Ia hanya pasrah.

Muchrozi, warga Tegalrandu. Baginya, makin marak penambang justru semakin besar dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Ia berujar bahwa debit air berkurang drastis, bila dibanding sebelum maraknya penambangan. ”Warga dulu dapat beternak

ikan tanpa susah payah mikirin air. Sekarang tidak.” Begitu pula dengan hutan di sekitar penambangan. ”Dulu sangat rimbun, sejuk. Pokoknya damai,” katanya.

Samsiyem, pedagang makanan warga Prebutan. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas penambangan, katanya, adalah ia dapat membuka warung makan. ”Kalau jualan ada yang beli,” tutur Samsiyem. Soal akibat, ia hanya memaklumi. Meski sebenarnya terganggu oleh suara bising truk yang lewat. Demikian pula dengan debu yang dapat menyebabkan batuk, pilek, belek atau infeksi pernafasan. Semua dipandangnya wajar. ”Ah itu sudah biasa. Maklum rumah saya kan di tepi jalan,” ujarnya lirih.

Pardi Srihono, Kepala Pedalda Kabupaten Magelang :
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [ L A C A K ]] ] ]
 . . . . . . . . . .

Sungkono, Ketua GORO: ”Kami Tidak Punya Peran Apa-apa”

Posisi Anda dalam peristiwa pembakaran bego tahun 1999 sebagai apa?

Waktu itu kami eksis, namun belum seperti demikian. Namun kami ada, gitu aja. Belum eksis betul. Waktu itu kami hanya mampu memberikan kesejahteraan pada keanggotaan kami.

Situasi penambangan sekarang jika dibanding sebelum pembakaran?

Marak sekarang. Marak sekali. Kalau dulu hanya ada sekitar 20an sekarang ada 40 lebih excavator

Peran GORO dalam mekanisme pengeluaran ijin penambangan?

Kalau kami tidak punya peran apa-apa.

Bagaimana dengan penambang liar? Ini seharusnya tugas Pemda. Kalau kita stop perma salahannya akan tambah rumit. Sebelum permasalahan ini timbul, sebenarnya Pemda menertibkan ijin. Yang sekiranya layak. Setelah itu kita tertibkan. Di luar SIPD tidak boleh nambang.

Saya dengar untuk menaikkan excavator harus ada rekomendasi dari GORO.. Ya memang begitu. Kalau sekarang bukan cuma dari GORO tapi juga APPPI. Tujuannya apa? Untuk

Budiono,

Mendapat SIPD”

.

membatasi jumlah alat berat. Karena semakin banyak alat berat di sana, semakin besar permasalahan yang akan terjadi. Jumlah armada kan sebenarnya terbatas. Kami membuat peraturan demikian supaya tidak terjadi gejolak di harga. Sedangkan untuk menaikkan harga, sangat sulit.

Tanggapan Anda terhadap pernyataan bahwa GORO seolah-olah pemilik penambangan?

Kalau saya mengatakan tidak benar. Kami ini kan juga paguyuban pekerja saja. Kami hanya mewadahi pekerja yang ada di penambangan.

Bagaimana menurut Anda peran Pemerintah dalam penambangan sendiri?

.

.

Pemerintah tidak tegas. Sebenarnya penambangan ini benar-benar semrawut. Antara yang punya SIPD dengan yang tidak, banyak yang tidak punya SIPD. Saya sebenar nya berharap pada pemerintah untuk bertindak tegas. Tidak pernah ada pejabat Pemda yang melihat lokasi penambangan, memberikan arahan dan sebagainya. Sayangnya begitu. Sebenarnya mereka sering mengada kan rapat internal yang mana mereka ini sebenarnya tidak tahu persis penambangan. Kalau yang tahu persis, sebenarnya adalah kami. Sedang kami ini tidak pernah diajak komunikasi. Padahal keadaannya sudah jauh berbeda. Pemerintah sepertinya trauma (pada pemba

Banyak penambang tak berijin. Hanya berbekal surat rekomendasi dari desa. Berikut tanggapan Budiono, Kepala Desa Ngargosoko, mengenai hal itu.

Anda tercatat di APPPI. Berarti punya usaha penambangan di lokasi?

Saya tidak punya. Saya selaku anggota APPPI adalah usahanya untuk membantu pemerintah. Untuk menerbit kan SIPD yang belum terbit, untuk masalah persaingan harga.

Peran kades dalam penambangan seperti apa? Memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menerbitkan SIPD.

Banyak perusahaaan yang baru memiliki rekomendasi tapi sudah menambang?

Itu salah. Kades itu memberikan rekomendasi bukan untuk menambang, tapi ijin untuk mendapat SIPD. Kebanyakan itu penambang manual. Ada orang sini, tapi paling banyak itu orang luar, Temanggung, Parakan,dan lain-lain.

Selama ini ada keluhan dari masyarakat sekitar tentang dampak penambangan?

Ada sekarang warga mengeluh soal air. Karena pe nambangan di atas itu merusak hutan. Pinus yang besar-besar itu ditebang. Sedang anggapan penambang itu kan sungai.

Keberadaan GORO di penambangan mengundang kontroversi. Berikut kutipan wawancara HIMMAH dengan Sungkono, Ketua GORO, ketika ditemui di rumahnya, Jalan Srumbung Magelang:
Kepala Desa Ngargosoko: ”Saya Memberi Rekomendasi untuk
.
.
. . . . . [ L A C A K ]] ] ] [HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]

Mencari Keadilan Tanpa Hambatan

Banyak masyarakat mengusulkan pembentukkan pemerintahan dan peradilan yang berbasis adat setempat. Alasannya, ketidakadilan dan penegakkan hukum yang prosedural.

KO n O n , pembunuhan t heys Hiyo e luay dikarenakan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat adat Papua. Sebagai ketua adat dalam era otonomi belakangan, sangatlah strategis. Ijin pengu sahaan atau lebih tepatnya eksploitasi hutan pun harus mendapat restu darinya. Ijin yang semasa orde baru cukup dikeluarkan oleh orang Jakarta. Dan, konon pula, pembunu han tersebut bertujuan untuk memperlancar ”pengusahaan” hutan Papua. Demikian pentingkah posisi ketua adat sekarang hingga nyawanya menjadi incaran para penjarah hutan atau potensi daerah lainnya? Banyak faktor memang.

Masa otonomi yang menekankan de sentralisasi kekuasaan seakan mengubah

. . . .

wajah pemerintahan negara kita. Dari yang serba otoriter sentralistik di masa orba menjadi pemerintahan desentralistik yang bernuansa adat. Peralihan itu bukanlah tanpa alasan. Yang jelas faktor ketidakadi lan dalam masyarakat. Ketidakadilan pusat terhadap daerah. Ketidakadilan yang dapat kita lihat dari banyaknya usulan pemben tukan propinsi baru. Bahkan diantaranya terdapat daerah yang secara terang-teran gan ingin memisahkan diri dari negara Kesatuan RI. Seperti, nangroe aceh Darus salam dan Papua sendiri. Sebagai catatan jumlah propinsi di Indonesia sekarang membengkak dari 27 menjadi 30 propinsi. tak menutup kemungkinan jumlah tersebut akan terus bertambah.

Watak sentralistik yang diterapkan Soeharto ditunjukkan dengan menyeragam kan bentuk pemerintahan di level masya rakat terendah sekalipun. Yakni, dengan

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [HUKUM]
. . . .

mengharuskan bentuk pemerintahan desa sebagaimana terdapat di Jawa melalui UU no 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Terjadi Jawanisasi, kata banyak orang. Sistem yang tidak memungkinkan apresiasi adat kebiasaan masyarakat lain nya. Menurut M. Syamsudin, staf pengajar FH UII, UU pemerintahan desa tahun 1979, semangatnya untuk menyeragamkan masya rakat hukum adat agar tunduk pada satu aturan hukum. ”Unifikasi hukum, tetapi dalam pelaksanannya tidak efektif. Ban yak sekali mendistorsi tentang masyarakat hukum adat yang akhirnya tidak efektif,” katanya kepada HIMMAH akibat sistem tersebut, masyarakat Padang tidak lagi menggunakan sistem nagari yang telah dianut puluhan generasi, melainkan sistem pemerintahan desa yang dianggap asing. Begitu pula masyarakat Palembang yang tidak lagi menggunakan sistem marga. Jauh panggang dari api istilah R. Yando Zakaria penulis buku Abih Tandeh terbitan Lembaga Studi dan advokasi Masyarakat (eLSaM).

Jika ditilik dari perjalanan sejarah, keanekaragaman adat tidaklah menghambat kemajuan bangsa ini. Momentum Sumpah Pemuda 1928 adalah titik puncaknya, di mana dalam keputusan konggres pemuda diakui klausul hukum adat sebagai sebuah ideologi kebangsaan yang berfungsi pengikat persatuan bangsa Indonesia. ”Saat itulah terjadi eskalasi hukum adat yang semula dipahami secara sempit (lokalistik), dalam berbagai lingkungan hukum adat (19 lingkungan hukum adat) diangkat dalam skala nasional,” kata M. Syamsudin dalam tulisannya berjudul Sumpah Pemuda, Hu kum Adat, dan Hukum Nasional.

”Dalam perjalanan selanjutnya, sema ngat itu melahirkan uuD 1945 sebagai konst i tusi Indonesia, yang tidak lain merupakan penjelmaan hukum adat dalam bentuk tertulis dan modern,” tambahnya.

Kolonialisme Belanda juga memberi kan warna tersendiri dalam sejarah perkem bangan hukum adat. ”Walaupun hukum adat bangsa Indonesia telah berumur panjang, namun adanya hukum tersebut dan nilainya merupakan hal yang baru disadari,” tulis C. Van Vollenhoven dalam Penemuan Hukum Adat . Hal itu dapat dimaklumi mengingat jauh hari sebelum datangnya kolonial Belanda, dalam negara kita telah dikenal adanya kebiasaan-kebi asaan dalam masyarakat yang dijadikan aturan main bersama. Inilah yang disebut sebagai hukum adat atau adat recht

Menurut Ifdhal Kasim, Direktur ekse kutif eLSaM, sebetulnya hukum adat baru dikenal dalam wacana hukum masa lalu, ketika diangkat oleh Snouck Hurgronje.

”Snouck Hurgronjelah pertama kali mem perkenalkan bahwa struktur pada masya rakat Indonesia memiliki lapisan-lapisan hukum, yaitu hukum agama (Islam) dan hukum yang berdasar pada kebiasaan yang hidup dalam masyarakat,” tutur Ifdhal kepada Doni Wijayanto dari HIMMAH ketika ditemui di kantornya. Istilah hu kum adat atau adat recht pun pertama kali Snouck Hurgronje yang melontarkan.

Meski demikian, tambah Ifdhal Kasim, hukum adat di Indonesia dikembangkan oleh ahli hukum Belanda lainnya, C. van Vollenhoven. ”Karena itu, hukum adat lebih merupakan proyeksi orang Belanda terhadap masyarakat Indonesia. Jadi iden isasi orang Belanda, terhadap karakteristik masyarakat Indonesia,” tuturnya. Dua ahli hukum, Snouck Hugronje dan C. van Vollenhoven-lah yang perannya begitu menonjol bagi perkembangan hukum adat Indonesia. ahli hukum asal Belanda lain nya, utrech, juga memberikan corak lain dalam perkembangan hukum adat. Ia mem promosikan hukum eropa kontinental, yang bersifat liberal individualistis, ke dalam hukum adat Indonesia yang bersifat komu nalistik. ”Sehingga hukum adat masa itu adalah hukum adat yang telah mengalami pengakomodasian,” kata M. Syamsudin.

Kolonial Belanda selain mengenalkan hukum eropa, juga mengenalkan struktur pemerintahan modern ala Belanda. Istilah pemerintahan formal, seperti gouverneur atau residen sering digunakan Belanda, terutama di daerah pesisir pantai, tempat Belanda masuk ke nusantara. Para gouver nour atau para residen mempunyai misi ganda. Selain sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah Belanda di eropa, juga biasanya mempunyai misi mempelajari hukum adat masyarakat setempat. Seperti, van Clootwijk, gubernur pantai Sulawesi yang mencatat hukum adat yang berlaku di istana-istana raja Bone dan raja Gowa.

”Berhubung para pegawai bawahan kompeni memakai dalih hukum adat untuk menutupi pemerasan dan despotis magt , yang dijalankan mereka, menyebabkan perasaan persahabatan terhadap kompeni makin lenyap,” tulis C. van Vollenhoven. Akhirnya, van Clootwijk segera diganti oleh Roelof Blok, yang kemudian meng himpun sejarah pulau Sulawesi.

Pengenalan struktur pemerintahan formal dan pengakomodasian hukum e ropa menyebabkan eksistensi hukum adat menjadi terancam. Banyak pendapat ahli hukum yang memandang bahwa pada saat itu, pengakomodasian hukum eropa ke dalam hukum adat Indonesia, bertujuan membendung pergerakan hukum Islam.

”Saat itu selain hukum adat dalam masya rakat Indonesia, juga berlaku hukum Islam dalam lapangan waris atau hubungan keperdataan,” kata M. Syamsudin, staf pengajar hukum adat FH UII.

Karena begitu dominannya kekua saan Belanda, maka ”misi” mereka boleh dibilang berhasil. Kemudian tak lama berselang, tepatnya pada tahun 1846, Be landa mengeluarkan aturan hukum khusus untuk Hindia Belanda, sebutan Indonesia. Seperti, ketentuan umum perundang-un dangan yang dalam bahasa Belanda disebut Algemene Bepalingen (aB), kitab undangundang hukum perdata atau burgelijk wet boek (BW), kitab undang-undang hukum dagang, hingga Herziene Inland Reglement atau disingkat HIR. Yang terakhir merupa kan bentuk peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil, dan penuntutan perkara kriminal.

Keempat peraturan buatan kolonial Belanda, ironisnya, sampai detik ini masih menjadi pedoman hukum kita, meski terdapat revisi di sana-sini. Maka jangan heran jika ada orang yang bilang, ”Sistem hukum yang kita pakai adalah pening galan kolonial!” toh memang demikian kenyataannya.

e ntah sumbangan atau justru peng rusakan dalam sistem hukum kita, yang dilakukan Belanda lainnya adalah pem bagian wilayah hukum ke dalam ruang hukum publik dan privat. Sistem hukum adat kita, tak mengenalnya. Dalam hu kum adat, pelanggaran terhadap individu baik dalam lapangan pidana atau per data, dianggap pelanggaran terhadap raja yang berkuasa. Sehingga raja atas nama pengayom rakyat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Lain lagi dalam pembagian sistem hu kum ala Belanda. Dalam lapangan hukum pidana, Belanda memperkenalkan sistem penuntutan modern yang mengambil alih peran korban maupun peran raja seperti dalam hukum adat. Pelanggaran terhadap warga merupakan pelanggaran terhadap negara, dan posisi korban diambil alih oleh negara melalui lembaga penuntutan yang dilakukan oleh openbaar ministerie atau penuntut umum.

u ntuk melakukan pun tak semudah yang dibayangkan. u ntuk mengajukan tuntutan harus melalui prosedur hukum acara, yang semasa kolonial diatur dalam HIR, sebelum diperbarui oleh K u H a P tahun 1981. Ketentuan yang tidak dapat ditawar dalam hukum pidana adalah prinsip positivistik dan serba legal formal. Bahwa segala ketentuan dianggap melanggar hu kum, jika diatur dalam aturan perundang-

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [HUKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

undangan.

Demikian pula dalam proses beracara. Seseorang dapat menunggu hingga hitung an bulanan, bahkan tahunan, untuk men dapatkan kepastian hukum. Bagi tersangka atau terdakwa menurut Prof. Dr. a ndi Hamzah dalam Hukum Acara Pidana Indonesia , dapat ditahan selama kurang lebih 400 hari mulai dari penahanan oleh penyidik hingga perpanjangan oleh Ketua Mahkamah agung. Itu belum termasuk penyiksaan yang tak jarang dilakukan aparat dalam penahanan. Sekali lagi, itulah ketentuannya. aturan yang serba mengikat dan serba kaku. a turan yang paradoks dengan sistem adat yang bersumber pada kebiasaan masyarakat.

Sebuah survei yang dilakukan AC nielsen, sebuah lembaga riset independen kenamaan, menemukan hasil yang men cengangkan. Bahwa 62 persen dari 1.700 responden dari lima lokasi, meliputi Jakar ta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra utara dan Sulawesi Selatan, akan menghindari proses peradilan. a lasan nya, prosedur dan biaya yang dikeluarkan terlampau besar. Hasil penelitian lain, 57 persen responden memandang bahwa sistem hukum yang ada sekarang adalah korup, sekitar 51 persen responden menya takan bahwa sistem hukum tidak melind ungi mereka.

a kibatnya, masyarakat cenderung mencari resolusi penyelesaian alternatif yang dapat berbentuk gerakan studi hukum kritis atau pemberian pendidikan hukum kritis untuk lapisan bawah. ”agar masya rakat kecil tidak keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau,” kata Dr. adnan

Buyung nasution dalam sela-sela diskusi di Yogyakarta, akhir Juni lalu.

Materinya pun sangat luas. tidak hanya pendidikan proses peradilan semata, melainkan meliputi proses bagaimana leg islasi itu dibuat. Sehingga masyarakat tahu banyaknya kepentingan yang melingkupi pembuatan perundanga-undangan. Ini berbeda dengan hukum adat masa lam pau. Jika hukum adat, pemecahan konflik masih tergantung pada raja atau pemimpin adat, maka diharapkan dengan pendidikan hukum, masyarakat bawah dapat meme cahkan permasalahannya sendiri tanpa campur tangan negara.

Meski demikian, menurut survei AC nielsen, sekitar 57 persen responden masih mengandalkan ketokohan pemuka adat atau masyarakat dalam penyelesaian masalah. terlebih pada masa otonomi daerah, di mana otoritas negara berkurang, diganti dengan pemerintahan daerah.

”Otonomi daerah memberi peluang besar kepada masyarakat di daerah untuk membangun struktur tersendiri seperti marga, famili struktur pemerintahan desa kembali ke sistem dulu. Memberikan pe luang kepada daerah untuk membuat aturan yang berlaku di daerah tersebut. Dengan adanya otonomi daerah hukum adat lebih dipertimbangkan,” ujar Ifdhal Kasim. Se hingga tak salah jika peran pemimpin adat seperti theys menjadi begitu penting.

Sebaliknya ada kekhawatiran terhadap euforia tersebut. Drs. ngadisah Ma, Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta, misalnya. ”Saya melihat kecenderungan yang meresahkan dalam masyarakat kita terhadap banyaknya keinginan pemben

tukan pemerintahan baru (yang berbasis adat,-red) dalam masyarakat kita. Okelah kalau dasarnya ketidakadilan, tapi juga harus diingat, bahwa harus ada aturan main yang universal. aturan yang harus diterima secara nasional,” katanya kepada Ilmia A Rahayu dari HIMMAH

Masih dilematis memang. tapi, jika mengenang kembali peristiwa Sumpah Pemuda 1928, maka kedudukan adat bukan lah sesempit itu. Yakni, dengan menge depa n kan primordialismenya. Menurut M. Syamsudin, sebenarnya peranan hu kum adat dalam hukum nasional adalah memberikan kontribusi berkaitan dengan asas-asasnya. ”Contohnya UUPA banyak diadopsi dari unsur-unsur budaya kita,” tegasnya.

Pendapat senada juga dilontarkan oleh Puji Astuti, S.H, S.U staf pengajar FH uGM. Menurutnya, hukum adat sebagai dasar dalam membentuk hukum nasional. ”untuk membentuk hukum nasional harus melihat masyarakat yang akan melaksana kannya. Hukum nasional yang tidak sesuai dengan masyarakat, tidak akan efektif,” ka tanya kepada Wawan WS dari HIMMAH. Dengan demikian negara tidak perlu minta maaf karena dinilai telah merusak tatanan adat ketika diwajibkannya penggunaan sistem pemerintahan desa. Permintaan maaf yang dapat kita lihat dalam konsideran uu nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Begini bunyinya, Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati

[HUKUM]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Memegang Adat, Ditinggal Rakyat

SuaSana pagi tak seperti biasanya. Di sebuah bagian dari Provinsi Lampung yang bernama Blambangan, nafas kedaera hannya sangat terasa. tak heran, sebab saat itu sedang ada kegiatan kebudayaan yang disebut dengan cakak pepadun upacara adat yang sering dilaksanakan oleh masya rakat asli Lampung.

Cakak pepadun adalah sebuah upacara adat yang berfungsi untuk menurunkan atau melimpahkan kekuasaan dari orang tua yang selama ini memegang kedudukan sebagai raja, kepada anaknya lelaki yang tertua, untuk meneruskan kekuasaan yang selama ini berjalan.

upacara ini dilaksanakan di rumah sang raja. Rumah Kerukas Safari nama raja itu diselimuti oleh kain berwarna putih dan ramai oleh masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai rakyat sang raja.

Kerukas Safari, selama ini disebut se bagai ”Penyimbang”, yang artinya semua kegiatan rakyat di bawah kekuasaannya. Dalam melakukan kegiatan apapun yang

melibatkan banyak orang, terlebih dahulu harus didialogkan dengannya. Jika tidak, maka kemungkinan besar keluarga yang melaksanakannya akan mendapat teguran, bahkan denda yang tidak terlalu besar, tapi dapat menurunkan harkatnya di mata penduduk lain. Jika ia mengizinkan maka kegiatan itu dapat dilaksanakan, dan begitu pula sebaliknya.

”Tabik pun kuti rompok, raja ram sai ampai lagi haga cakak. Bela temegi pai kuti rompok oui...(Wahai masyarakat, raja kita yang baru ini akan menaiki singgasana, mo hon untuk berdiri),” teriak sang pembawa acara memecahkan kesunyian.

Kemudian, terdengar semakin keras saja suara musik kulintang yang dimainkan oleh Seribu, lelaki tua yang yang memang biasa memainkan alat musik lampung itu.

Suara musik itu mengiringi langkah kaki sang raja baru beserta ratunya, menaiki panggung yang dihiasi oleh kain warna putih. Sementara itu, jalan yang dilalui oleh raja tersebut, dari halaman rumah

hingga ke panggung pun di lapisi oleh kain berwarna putih.

a da yang menarik dalam acara ini, yaitu semua pihak yang menghadiri acara tersebut tidak boleh menggunakan pakaian putih. Juga ada larangan untuk memper dengarkan suara yang mirip dengan suara musik kulintang. Jika ini dilanggar, maka tanpa ampun, dalam acara ini pula, sang pelaku akan didenda, dan disaksikan oleh hadirin lain.

akhirnya, setelah melalui rangkaian acara yang berjalan selama satu minggu, tampuk kekuasaan pun berpindah. Kekuasa an baru pun mulai berjalan.

Begitulah salah satu rangkaian acara cakak pepadun yang biasa dilaksanakan di daerah Lampung, yang diikuti oleh HIM MAH. Pepadun mengandung dua arti. Pe berarti alat, sementara padun bermakna mantap dan diakui. Pepadun menyiratkan arti alat pemantapan dan pengakuan.

Inilah yang kemudian menjadikan orang yang memperoleh gelar kepala adat melalui

Penganugerahan gelar kepala adat di Lampung melalui upacara cakak pepadun, kini mulai ditinggalkan masyarakatnya. Karena sarat dengan hegemoni budaya?
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [BUDAYA]
. . . . . . . . HENDRA WIRAWAN

cakak pepadun , seperti menjadi merasa begitu berkuasa. apa saja yang menurut nya baik, maka baiklah itu. Dan jika ia menganggapnya buruk, maka buruklah itu. Fenomena itu mirip dengan pandangan he gemoni budaya dari Louis althusser, yang berpendapat bahwa manifestasi ideologi hegemonik berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.

”tapi, sekarang sudah tidak seperti itu lagi”, ujar Safrudin, salah seorang penduduk Lampung yang bekerja di kantor pemerin tahan. ”Karena, masyarakat sudah berani menentang apa yang kepala adatnya mau. Lagi pula, tidak semua keputusan kepala adat adalah sebuah kebenaran”, ujarnya saat ditemui di rumah kediamannya.

Kini, seperti yang diungkapkan oleh Safrudin, sejak masa reformasi berkibar, kekuasaan kepala adat untuk melakukan apa saja, semisal menjual tanah adat, memberi hak kepada pihak tertentu tanpa berdialog terlebih dahulu dengan masyar akatnya, semakin berkurang.

Kini, kepala adat sudah kehilangan pamor. Ditambah lagi, dengan semakin beraninya masyarakat untuk menyam paikan apa yang mereka anggap benar dan mana yang mereka anggap tidak benar, kepada siapa pun, apalagi terhadap kepala adatnya.

Berkurangnya kharisma kepala adat di Lampung ini menimbulkan dua hal yaitu semakin menurunnya kecintaan masyar akat terhadap adatnya dan atau hilangnya kebiasaan tidak menerima perbedaan di masyarakat.

Jika kita meninjaunya dari segi terkikis nya rasa cinta pada adat, maka ada banyak sekali kerugian yang dialami. Misalnya

saja, tidak terlaksananya lagi upacaraupacara adat secara khidmat dan beberapa simbol kesukuan yang selama ini sangat dihormati mulai ditinggalkan.

akibatnya, keanekaragaman adat yang selama ini menjadi ciri khas Indonesia, menjadi semakin ditinggalkan. Walaupun di beberapa tempat dan kesempatan, ser ing pula diadakan acara semacam yang ada di masyarakat adat, tapi semua itu hanya bertujuan komersial. Banyak esensi pelaksanaan acara adat yang dilupakan. Semuanya tergantung dari sejauh mana keuntungan dapat diraih.

Sementara itu, jika kita meninjaunya dari segi demokrasi, maka patut diakui bahwa dengan hilangnya cakak pepadun ini, akan memberikan hak yang sebesar-be sarnya kepada masyarakat untuk berbicara apa saja, sekalipun berbeda pendapat den gan kepala adat.

Hal ini membawa keuntungan, yaitu semakin banyaknya usaha yang dilakukan dan dijalankan oleh masyarakat untuk men ingkatkan kesejahteraan mereka dengan berbagai cara. Semuanya tak bergantung lagi kepada keputusan adat, tapi bergantung kepada kebutuhan pasar. Disini terjadilah pergantian kekuasaan tradisional ke ke kuasaan modal.

” tapi, setidaknya kebiasaan kepala adat memutuskan sesuatu tanpa kompromi, menjadi hilang,” ungkap Yudi, pemuda yang kini bekerja sebagai pamong praja Pemda Way Kanan, salah satu kabupaten di Lampung, kepada HIMMAH. Ia meng ungkapkan, sebenarnya yang tidak di setujui lagi oleh masyarakat adalah perilaku kepala adat yang semacam itu. Yang lain nya, semisal upacara adat, ”tidak terlalu menjadi persoalan,” jelasnya. terlebih lagi pada era reformasi

semacam ini. Perilaku kepala adat yang mencerminkan kebiasaan penguasa Orde Baru, harus segera dihilangkan. Karena membatasi ruang gerak masyarakat yang seharusnya bebas dan aktif. Yudi juga mengatakan bahwa, hilangnya upacara adat harus dicegah, namun jangan sampai pelestarian upacara adat menjadi legitimasi sang kepala adat untuk melakukan apa saja sekehendak hatinya. ”Ini yang seharusnya terjadi,” ungkap Yudi yang sehari-harinya aktif di organisasi kepemudaan.

Memang, sebagian besar masyarakat Blambangan umpu yang dihubungi oleh HIMMAH mengatakan bahwa perilaku kepala adat yang terkesan otoriter yang harus dihilangkan. Jika tidak, maka selayak nyalah ia dihilangkan dari sistem yang berlaku di masyarakat setempat.

tidak semua yang dikatakan oleh manusia mengandung kebenaran secara mutlak. Karena kebenaran yang hakiki itu hanya berasal dari langit. termasuk apa yang dikatakan oleh kepala adat yang mengaku turunan para dewa, tidaklah se lalu benar. Bahkan banyak keputusan yang mereka ambil merugikan masyarakat yang selama ini mendukungnya.

akhirnya, walaupun demokrasi harus masuk di dalam masyarakat adat, tapi tam paknya, beberapa keanekaragaman upacara adat yang ada dimana pun di nusantara ini haruslah tetap dijaga. terutama cakak pepa dun yang ada di Lampung, yang merupakan simbol bahwa kekuasaan itu memang harus di dukung oleh rakyat, asalkan penguasa tidak bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat yang menjadi pengikut setia mereka. Kecuali jika kepala adat mau ditinggalkan oleh rakyatnya, dan jadilah ia sebagai raja tanpa kekuasaan.

[BUDAYA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
_ __fiEk ++ | hiMm ah gRA ph i c _dE pt | c’0 2 [ IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPeRSeMBAHKAN oLeH LPM HIMMAH UII 2001-2002 ]

”Isu Gender Penting dalam Tiap Pembahasan Masyarakat

organisasi. terpaksa ada organisasi itu pun agar jurnal perempuan terbit. akhirnya saya masuk organisasi, tapi bidang saya ini tidak jauh dengan dunia akademis. Jurnal perempuan untuk konsumsi akademis, untuk menengah ke bawah. Lalu untuk dokumentasi sekarang lebih banyak dipakai untuk orang yang training, maupun trainer. Saya beruntung sekarang bisa mendapatkan kedua-duanya. analisisnya kuat, kajiannya kuat, tapi terjun ke lapangannya juga sangat kuat.

Bagaimana Anda melihat gerakan feminisme di Indonesia sekarang ini?

Literatur tentang feminisme di Indonesia mulai banyak muncul, tapi media cetak yang mengkhususkan diri pada kajian gender boleh dikata baru bisa dihitung dengan sebelah tangan. Salah satu dan kebetulan yang paling populer adalah Jurnal Perempuan. Berbic ara tentang jurnal yang terbit pertama kali pada bulan Agustus 1996 ini tak bisa lepas dari nama Gadis Arivia, pendirinya. Ilmia Astuti Rahayu, Widiyanto, dan Radityo Muhammad dari HIM MAH berbincang dengan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan ini, tentang banyak hal, terutama perkem bangan ger akan feminisme dan keadilan gender di tanah air. Berikut petikan wawancara dengan ibu dua orang anak ini, di kantornya yang asri, di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan.

Apa motivasi Anda ikut dalam gerakan feminisme yang jarang dilaku kan oleh wanita-wanita Indonesia? Sebetulnya sebuah ”kecelakaan” karena dari awal sebenarnya saya tidak ada ketertarikan untuk masuk organisasi, ketika itu masih jadi staf pengajar. nah, waktu itu saya dikasih kuliah paradigma studi feminisme untuk fakultas sastra. Jadi waktu 1989 tidak ada sumber-sumber, buku-buku feminisme masih jarang. Lalu dikumpulkanlah mahasiswa, didirikan buletin, kemudian dijual oleh kopma. 1997 Ford Foundation tertarik untuk membuat buletin itu jadi jurnal. nah itu awalnya, kemudian supaya dibantu oleh Ford Foundation harus punya wadah organisasi, dibuatlah wadah Yayasan Jurnal Perempuan. Tapi ternyata kegiatannya bertambah dan bertambah, ada jurnal, sampai pembuatan video dokumentasi kaum perempuan.

Selain ”kecelakaan” itu, apakah ada ketertarikan dengan kondisi wanita, terutama di Indonesia?

Memang ada ketertarikan dengan masalah perempuan. Saya dari dulu jalurnya akademis, jadi memang senangnya di jalur itu, mengajar atau menulis. tidak ada ketertarikan untuk terjun ke

Sangat baik sekali kondisinya karena kalau dilihat tahun-tahun 80an, awal pembuatan jurnal perempuan, masih minim sekali. tidak ada gaungnya. tapi setelah tahun 98, begitu reformasi, isu gender menjadi isu yang dibicarakan di mana-mana. Bahkan sekarang mulai masuk mainstream. Jadi saya melihat bagus sekali kerja teman-teman membuat dalam waktu singkat isu gender penting dalam tiap pembahasan masyarakat.

Bagaimana pandangan masyarakat umum terhadap program-pro gram Jurnal Perempuan. Misalnya di daerah-daerah dimana Anda pertama kali terjun, seperti di Papua?

Program radio Jurnal Perempuan dengan tiga sampai empat juta pendengar kalangan menengah ke bawah dan itu barometer sejauh mana mereka gender aware (sadar gender-red.). Kalau melihat surat yang mereka kirim, mereka minta radio-radio daerah agar menyiar kan program-program kita, itu menggembirakan sekali. tema-tema yang kita kemas di radio itu sebetulnya lebih populer dari yang di jurnal. Soal pendidikan. Di daerah-daerah kalau kita lihat sangat apresiatif. Program ini menjadi program yang favorit bagi mereka. Mungkin tidak ada saingan, karena kita mengirim berita setiap minggu dengan deadline yang begitu ketat. Menjadi satu-satunya andalan informasi yang ada di daerah. Dari aceh, Poso, dan Papua itu begitu banyak stasiun radio yang ingin berlangganan program Jurnal Perempuan karena menurut mereka sangat informatif. Dan saya kira itulah terobosan yang baik sekali, bukan hanya untuk informasi-informasi tentang perempuan. Pembuatan program apakah tentang agama, beragama yang plural misalnya, beragama yang justru menyebarkan rasa perdamaian, agama yang merangkul semua pihak. Itu kan program --yang kita buat setiap minggu bisa bermanfaat sekali dengan mereka yang di daerah. Menyebarkan gaung perdamaian, lalu masih banyak hal-hal yang lain, persoalan lingkungan. Itu sangat mendidik masyarakat lapisan menengah ke bawah untuk selalu aware tentang persoalan lingkungan. Jadi kalau menurut saya masih banyak informasi lain yang belum tergarap oleh media. terutama radio ini sangat efektif, murah. Kalau program kita itu, ibu-ibu sambil masak, sambil gendong anak didengerin program radio kita. Karena kita kemasnya agak live dan juga kita selipkan ada entertaint-nya, di samping juga pesannya kuat dan itu membuat mereka menjadi senang dan masuk. Kalau kita ke daerah

Gadis Arivia
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [DIALOG]
” Widiyanto / HIMMAH . . . . . . . . . . . . .

selalu dijumpai para pendengar.

Persoalan-persoalan apa saja yang Anda temui bersama staf Jurnal Perempuan untuk mensosialisasikan isu-isu gender itu? Sampai saat ini positif, waktu kita ke aceh justru saya melihat per empuan di sana itu sangat kuat sekali. Di Papua misalnya, disana angka kematian ibu yang tinggi, angka kematian bayi juga tinggi, persoalan kesehatan dengan penyakit aIDS yang tinggi karena perilaku suami yang suka main dengan perempuan lain dan tidak menjaga kesehatan. Saya wawancarai untuk pengemasan program aIDS di Papua, kebanyakan nara sumber kita itu ibu-ibu yang tertular dari suaminya. ada ibu yang masih muda 22 tahun yang melahirkan bayi terkena AIDS. Jadi hal-hal kayak begitu kita kemas programnya untuk sampai kepada masyarakat bahwa ini akhirnya persoalan hidup mati. Dan juga pergi ke PSK (Pekerja Seks Komer sial-red.) di Papua, mengadvokasi tentang pemakaian kondom dan kesehatan terutama. Hal-hal seperti itu yang perempuan Papua saya surprise mendengar mereka konsen terhadap ini dan benar-benar berjuangnya luar biasa. Menurut saya lebih dari pada mereka yang di Jakarta. Karena keterbatasan dana keterbatasan pengetahuan itu kita baru sekali ke daerah dimana kita dikejar-kejar yang ingin berlangganan jurnal. toko buku, sangat minim sekali, hanya ada satu toko buku di jalan. Informasi juga tidak dibangun di sana, sehingga mereka menurut saya luar biasa sekali. Juga yang di Palu, di aceh, di Makasasar, Menado, ntB, mereka sebenarnya relatif sudah baik. animo kegairahan perempuan daerah itu kita harus angkat topi. Justru mereka yang peranannya lebih besar dari pada kita. Kalau kita semuanya ada, tapi mereka dengan fasilitas yang minim sekali. Budaya dan adat di Papua, misalnya kita pergi ke Wamena itu masih kentara sekali. Laki-laki bergerombol ke kan tor polisi lapor istrinya lari dari rumah kemudian minta ganti dua puluh ekor babi. Hal-hal yang bagi kita di Jakarta sesuatu yang tidak bisa kita pahami, tapi itu terjadi di daerah. Itulah masyarakat kita, perjuangan masih panjang.

Apakah tingkat pendidikan wanita-wanita di daerah tidak meng hambat untuk berkomunikasi dengan aktivis-aktivis gerakan femi nisme?

Sama sekali nggak. Kita selalu menganggap demikian. ada seorang aktivis terkemuka di Papua, dan dia hanya lulusan SMa tapi bacaannya sangat luas sekali dan keingintahuannya sangat kentara sekali. Jauh dengan saya mengajar di UI, universitas terbesar yang saya lihat murid-murid saya kalau nggak dipaksa baca, nggak mau baca. Tetapi kalau mereka-mereka itu, apa saja. Jadi menurut saya persoalan akses saja. Kendalanya di sana, tapi menjadi seorang perempuan di daerah terpinggir seperti itu, jauh lebih dari kita. Orang dari Jakarta mengatakan suami saya main perempuan kenapa mesti nangis, mesti sedih. Kalau saya sudah pukul dia kata mereka, jadi menunjukkan betapa mereka itu memang bukan perempuan yang lemah lembut.

Bagaimana sosialisasi dari isu-isu gender ke masyarakat menengah yang ada di daerah, seperti mahasiswa, metode sosialisasinya seperti apa?

Ya di daerah memang persoalannya tidak cukup media, kalau kita kan kerjasama dengan media di daerah cukup erat, tidak hanya yang partner aja. Mereka sangat antusias, tetapi media cetak itu banyak sekali persoalan-persoalan perempuan dianggap bukan suatu isu yang harus diperjuangkan. tetapi untuk mahasiswa di daerah mungkin sama juga mahasiswa yang ada di sini (Jakarta), mereka sangat haus, minta lebih banyak persoalan yang menyangkut isu-isu gender. Jadi kebanyakan juga yang menanyakan, ikut berdiskusi dengan kita adalah mahasiswa-mahasiswa yang antusias. Memang

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
[DIALOG] Ilmia A Rahayu / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . .

kalau dilihat di Jakarta yang masih ikut kuliah saya bisa dikatakan 50-50 persen laki-perempuan. tapi di daerah lebih banyak perempuan yang tertarik, mungkin sekali mereka bisa merasakan kondisi tertekannya daripada laki-laki. Laki-laki di daerah memang sebagai raja.

Adanya otonomi daerah, kerap terjadi kepemimpinan orang-orang adat yang cenderung terpilihnya seorang laki-laki?

Memang persoalannya di daerah dengan adanya otonomi kita menjadi benar-benar khawatir, misalnya kasus di Papua. Kita lihat itu kompleks sekali persoalan perempuan di daerah. Yang menurut saya sangat tidak adil untuk perempuan. Kita wawancara banyak sekali anak-anak perempuan dinomorduakan oleh keluarganya untuk sekolah atau dinomorduakan oleh sekolah. Hal kayak gitu yang membuat kita konsen.

Selama ini ada tidak dari menteri negara pemberdayaan perempuan, tindak lanjut mengenai persoalan perempuan dengan acuan dari gerakan perempuan?

Kita sudah menginginkan perubahan kebijakan negara dalam undang-undang Perkawinan. Lalu untuk pendidikan kita juga sudah berbicara panjang lebar dengan Depdiknas, dan juga menghasilkan jurnal perempuan daerah akan pendidikannya. akan keluar dalam beberapa hari ini. Sudah didiskusikan dengan Depdiknas persoalanpersoalan perspektif gender yang harus masuk dalam kurikulum apa saja, dan yang harus dijadikan policy apa saja.

seorang demokrat, sebagai seseorang yang me m pe r juangkan keadilan.

Seorang feminis bukan hanya perempuan tapi bisa juga laki-laki. Tanggapan Anda tentang feminisme laki-laki seperti apa? Menurut saya itu suatu konsep yang sangat baik sekali. Karena memang definisinya bukan jenis kelamin, tingkat kesadaran pencerahan akan kesetaraan. Jadi kalau dia seorang laki-laki dan punya kesadaran pencerahan kesetaraan itu, dia seorang feminis dan kita tidak bisa diskriminasi dia, karena dia laki-laki. Kita tidak bisa bilang dia tidak berhak menjadi seorang feminis.

Tapi itu kan dibangun dengan frame laki-laki? nggak dong. Kalau misalnya dia seorang feminis berarti dia mengakui ada frame yang bukan laki-laki, itu tahap pertama yang harus dia lalui dulu. artinya yang harus dia maknai dengan dirinya bahwa wacana dominasi itu tidak berlaku. Bahwa ada wacana dominasi yang lain, misalnya yaitu yang berdiri perempuan.

Arief Effendi, ayah Gadis adalah seorang diplomat karir. Gadis dilahirkan di India 8 September 1964. Seperti umumnya anak diplomat, Gadis pun menghabiskan masa kanak-kanak dan dewasanya dengan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Masa balitanya dihabiskan di Ethiopia; SD di Budapest, Hongaria; SMP dan SMA di Virginia, AS. Baru kembali ke tanah air selepas SMA, lalu melanjutkan kuliah di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI). Mendapat beasiswa S-2 di Universitas Sorbonne, Paris, tempat yang sangat berkesan buatnya, karena ia bisa ikut kuliah Jacques Derrida, filosof aliran postmodernisme dari Perancis. Sekarang Gadis sedang mengikuti program S-3 Ilmu Filsafat UI.

Selama ini pernah tidak mengalami persoalan pribadi akan kes etaraan jender, entah itu berupa umpatan dari laki-laki karena tidak semua kaum lelaki setuju akan hal itu, dilihat dari Anda sebagai seorang feminis?

Mungkin saya mulainya bukan dari saya seorang feminis, karena banyak orang yang tidak tahu arti feminisme apa, definisinya apa, sehingga mudah sekali kalau mereka menangkap makna itu malah salah kaprah. Bahwa seorang feminis itu pakai rok mini, tidak menikah, merokok, dan semuanya yang atributif. Sebetulnya salah, sama sekali salah kaprah. Jadi kami mulainya dari seorang feminis itu apa? Seorang feminis adalah seorang yang punya kesadaran feminisme, jadi kalau dia punya kesadaran itu bisa laki-laki, bisa perempuan. Seorang perempuan bisa juga tidak punya kesadaran feminisme kalau menindas kaumnya. Seorang laki-laki malah justru bisa mengangkat dan membela hak-hak perempuan. Biasanya saya akan mulainya dari itu. Seorang feminis itu adalah seorang demokrat, dan kemudian dia juga seorang yang memperjuangkan keadilan. Jadi seorang feminis pun akan tidak dikatakan feminis kalau dia menindas laki-laki. Karena itu dia sudah gugur menjadi

Tanggapan dari laki-laki yang ada di daerah itu seperti apa? Ya memang susah sekali, memang masih sangat sulit, nggak usah di daerah, disinipun waktu saya diundang Male Station Radio itu telepon yang masuk banyak sekali, yang masuk itu bertubi-tubi, kebanyakan persoalan-persoalan atributif. Kalau seorang feminis itu dominasi di rumahnya, sama suaminya, dia tidak memperhatikan anak-anaknya. tidak usah bilang seperti itu, kalau memang begitu berarti dia bukan seorang feminis. Dan saya kira bagus sekali Male Station Radio berani mengangkat persoalan seperti itu. Memang masyarakat kita masih patriarkis, makanya harus masuk dalam kurikulum. Dan saya kira uI sudah bagus sekali menawarkan paradigma studi feminisme. Sehingga dari diskusi mahasiswa kami bisa berharap, karena mahasiswa ini masa depan bangsa kita. Jadi begitu anda bekerja, anda tidak akan melecehkan teman-teman perempuan anda. Begitu anda berumah tangga, anda tidak akan memukul istri Anda. Jadi seperti itu. Saya tidak tahu di universitas lain, kelihatannya harus diperjuangkan.

Kehidupan pribadi Anda sendiri seperti apa, mengenai pembagian peran dengan suami misalnya? Saya kira sih yang penting sekarang dengan dua anak, anisa 7 tahun dan Benyamin 5 tahun. nah itu tentunya kita menganut konsep parenting, artinya suami saya dan saya punya hak yang sama atas anak kita, waktu kecil kita sama-sama, entah itu nyuapin anak, ganti popok anak. Dan karena kita sama-sama kerja, bangun malamnya juga sebisa mungkin dia ikut berpartisipasi. Kalau saya lelah hari ini, untuk malamnya dia harus bangun, kalau anak nangis dan sebagainya. Jadi hal-hal kayak gitu bagi kita yang memudahkan kedua belah pihak, dan suami saya juga enjoy sekali jaga anak, tidak ada persoalan bagi dia. Itu saya kira yang harus terus-menerus ditumbuhkan dalam masyarakat, bahwa anak itu butuh juga bapak dan ibu, anak juga butuh kasih sayang bapaknya.

Apakah ada semacam pekerjaan rumah dalam kehidupan keluarga Anda, ini pekerjaan Anda, ini pekerjaannya suami Anda? Kalau mau jujur, terus terang yang jago masak itu suami saya, jadi nggak ada pembagian peran. Kalau misalnya hari Minggu itu pembantu libur, jadi kita ganti-gantian, minggu ini dia masak, minggu depannya saya yang masak. Dan otomatis kita bangun pagi, karena pembantu libur, kita harus mandiin, kita harus bersama mereka, main, dan sebagainya. Dan itu menjadi pembagian peran juga. Kalau di keluarga saya sih, bahwa suami saya menerima dan pengertian, dan bagi dia itu sudah sewajarnya. Kalau dia punya anak ya dia harus terlibat juga.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [DIALOG]
. . . . . . . . . . . . . . . . .

Suami Anda feminis laki-laki juga ya?

Ha…ha…ha. Dia merasa begitu, misalnya dia sering sekali ngomong sama temen-temennya, karena dia baca di luar negeri itu, setiap tanggal 22 april ada hari dimana mereka yang punya anak perempuan, harus membawa anaknya ke kantor untuk diperkenalkan, ini tempat papa bekerja, papa bekerja disini, papa bekerja ini. Itu tujuannya supaya anak perempuan termotivasi masuk dalam dunia kerja, untuk mengembangkan diri, dan untuk melihat bahwa mereka itu tidak ada batasan dalam meraih cita-cita setinggi apapun. Jadi dia semacam lobi, bahwa kita harus coba bawa anak perempuan kita ke tempat kerja. Ya tidak berhasil sih, karena ”elo apa-apaan sih, ha…ha…ha…itu gara-gara istri elo,” kata teman-temannya. Jadi tidak semudah, itu tapi sudah didialogkan itu sudah bagus.

Hari Kartini juga, itu hari khusus saya sama anisa, untuk siapa itu Kartini, kita sama-sama makan siang, kita berbicara, dia masih 7 tahun dia masih ”Oh...iya...ma, Oh...gitu ma, Oh...ya…ya.” Dan adiknya laki-laki, ”ngapain sih mama sama anisa seharian berdua melulu, Oh…ya ini kan hari Kartini, hari untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.” Jadi kita menyediakan satu hari saja dalam satu tahun dengan anak perempuan kita itu bisa sangat membantu. Dan sehari dalam setahun suami saya dan anak-anak memanjakan ibunya. anak-anak diberitahu suami saya, ”Yang melahirkan kamu itu ibu kamu, oleh karena itu ibu kamu sangat penting, dan karena dia istri saya, dia juga sangat penting bagi saya, jadi saya tidak boleh memukul, saya tidak memaki, saya harus hargai dia.” Dan itu saya kira penting, suami saya berbicara dengan anak kami umur 5 tahun, tidak boleh memukul mama, tidak boleh memukul perempuan, itu yang akan terus dia ingat ketika dia berumah tangga. Harus mulai dari rumah.

Kalau Kementrian Pemberdayaan Perempuan, menurut Anda masih diperlukan tidak?

Saya kira sih masih, masih sangat diperlukan karena persoalan kita itu masih banyak sekali. Jadi kalau tidak ada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan kita menuntut kemana? Kalau sekarang kan kita dengan mudahnya ke Menteri negara Pemberdayaan Perempuan, lakukan sesuatu dong tentang pendidikan antara laki-laki dengan perempuan. SD memang masih berimbang tapi begitu masuk SMP, SMa dan masuk universitas itu kesenjangan perbandingan jumlah antara laki-laki dan perempuan tinggi. Jadi kita bisa mengadu, bisa menuntut ke suatu kantor yang memang itu urusan dia, soal kesehatan dan lain sebagainya. Seandainya nggak ada kantor itu, kita mau menuntut hak kita kemana? apakah kita ke Depkes, bisa saja, tapi Depkes kan bisa saja mengatakan kita nggak khusus menangani itu, kita akan dilempar kesanakemari. Jadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan itu adalah yang menjamin suara-suara kita ini masuk ke dalam kebijakan pemerintah dan kita mengharapkan seperti itu, bahwa dia akan terus berjuang bersama kita.

Bagaimana proporsi wanita di DPR? Masih minim sekali, hanya sembilan persen. Dan itu menjadi persoalan tetapi mungkin kita harus menuntut adanya kuota perempuan di parlemen yang 30 persen tapi harus dibatasi berapa lama, apakah lima tahun kita menuntut kuota, setelah itu kompetisi share tapi kompetisi itu nggak bisa share karena dari stafnya antara laki dan perempuan itu nggak sama, jadi butuh kuota. tapi setelah itu jangan kita mementingkan perempuan. Saya setuju dengan kuota tetapi ada catatan bukan berarti mereka yang perempuan otomatis akan mudah. Memang menjadi perdebatan lebih baik banyak laki-

laki tetapi sadar, ada kesadaran feminisme, atau banyak perempuan tapi nggak sadar. Jadi masih banyak perdebatan, tapi saya kira untuk tahap awal sih ya kuota. Di negara yang maju misalnya di norwegia, parlemennya banyak perempuan, atau seimbang, itu dimulai dari kuota.

Prospek gerakan gender di Indonesia seperti apa? Saya kira sangat maju sekali, kemajuan itu terasa sekali, kita sudah

wawancara, menghimbau lebih dari 300 perempuan di seluruh Indonesia, dan saya melihat mereka itu benar-benar luar biasa sekali. Perempuan di daerah, di tempat terpencil itu luar biasa sekali. Mereka bisa mandiri, survive, mereka bisa cari uang untuk anaknya sekolah, mereka bisa sekaligus ayah dan ibu sebagai anaknya yang ayahnya entah ke mana. Mereka punya kualitas moral yang lebih baik, buktinya mereka ingin sekali anak mereka punya masa depan yang lebih baik. Jadi menurut saya perempuan di daerah itu luar biasa, apalagi perempuan daerah. Saya sendiri nggak bakalan sanggup kalau punya suami yang mukulin saya. Saya kira saya nggak bakalan sanggup menghadapi cobaan-cobaan hidup seperti itu. tapi perempuan daerah itu no problem, yang namanya kerja, jaga anak, bergulat dengan kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan makanan.

Gerakan perempuan itu bisa tidak dipilah berdasarkan ideologi gerakannya? tentunya ada yang ekstrim, ekstrim sejauh mana, sejauh apakah ideologinya ingin membenci laki-laki bisa aja. tetapi saya kira itu tidak banyak orang-orangnya yang ekstrim semacam itu. Itu nggak menggaung di masyarakat. Buktinya kita wawancara mereka lebih konsen akan hak-hak perempuan secara umum. tidak ada yang misalnya memperjuangkan negara lesbianisme, itu belum, itu nggak ada. Dan sangat jarang sekali ditemui. Makanya saya juga heran ketika berdialog dengan anggota DPR, mereka takut perempuan Indonesia akan menjadi perempuan barat. Sebetulnya kalau mereka bicara dengan perempuan Indonesia, tuntutannya jangan dipukulin. Misalnya kalau saya melahirkan, bisa melahirkan di rumah sakit, karena kalau ditolak saya akan melahirkan dimana? Bagaimana anak saya? Bahwa anak saya bisa sekolah, uang ini, uang itu. Ya sebetulnya simpel-simpel banget. Jadi saya nggak melihat bahwa perempuan itu menuntut yang nggak-nggak, suatu saat dia pakai

Ilmia A Rahayu / HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [DIALOG]
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Meniti Harapan Gerakan Perempuan

feminisme di Indonesia mengalami euforia. Setidaknya, untuk Yogyakarta saja, ada sekitar 17 lembaga swa daya masyarakat yang bergerak dalam pembelaan hak dan martabat kaum perempuan. alasannya, kaum perempuan selama ini diabaikan dan sering mengalami pelecehan, untuk itu mereka harus terwadahi dan dikonsolidasi. tapi walaupun jumlah lembaga perempuan semakin banyak, kekerasan bukannya tertekan, malah jumlahnya tetap tak berkurang. Bentuk kekerasannya pun lebih beragam. ada yang berbentuk kekerasan dalam keluarga (terutama dalam hubungan suami istri), ada yang berbentuk pelecehan seksual, ada juga perkosaan, dan kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan di kala pacaran. Memang luar biasa.

Mengapa bisa begitu? apakah karena latar belakang gerakan __yang ingin mendobrak hegemoni laki-laki yang tak sesuai? apakah karena perempuannya sendiri yang tidak mau ikut larut keinginan lembaga perempuan? ataukah karena ideologi lembaga perempuan itu yang tak sesuai dengan budaya perempuan Indonesia?

Dari laporan ini, HIMMAH mencoba untuk menguak semua itu. Ketika semua ini bisa mengetuk jiwa feminisme perem puan, disitulah hendaknya sebuah pergerakan dimulai.

GeRaKan Surya Adi Lesmana
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
/ HIMMAH

Perempuan Bergerak Tanda Tak Adil

BanYaK diskusi digelar baik itu dalam seminar, semiloka maupun workshop yang hampir semuanya berbicara masalah perempuan. Berbagai wacana perempuan berserakan dan buku-buku bertema gender pun bermunculan. Lalu, ada apa sebenarnya dengan perempuan?

Perempuan, ya perempuan. Memang selalu menarik untuk dibicarakan, bahkan kehidupan ini tak berwarna tanpa keha dirannya. Sebagai ibu, ia mampu meng hidupi jutaan umat, untuk memperjuangkan denyut kehidupan agar senantiasa berdetak. Perempuan mampu memberi ketenangan, dengan kasih sayangnya itu membuat kita sanggup untuk berkata ”kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa”. Ini adalah romantisme yang diciptakan masya rakat patriarki yang menghegemoni perem puan agar selalu siap melayani anak dan suaminya.

Meski sederet perjuangan telah dila

koninya, ternyata nasib perempuan sampai sekarang masih terpinggirkan. Perempuan yang sering mengalami k e kerasan, di lecehkan dan terbungkam masih tetap banyak, lebih dari 50 persen. Sementara prosentasenya dalam parlemen, yang berarti juga ikut menentukan kebijakan negara, hanya 9,1 persen.

Lalu dosa besar apa yang dilakukannya sehingga ia harus mengalami penderitaan yang tak berkesudahan. ataukah ini sebuah ketidaksengajaan global yang menjatuhkan vonis agar perempuan selalu hidup dalam dunia patriarki. Dunia yang keras dan penuh budaya maskulin. Kalau demikian, dunia memang butuh keseimbangan.

Sejak dulu hingga kini, bangsa ini be lum mengenal konsep perempuan mandiri. Perempuan tidak pernah merasa memiliki dirinya sendiri secara utuh. Sejak lahir, dia adalah milik orang tuanya, setelah dewasa milik ayahnya, dan ketika menikah dia

Surya Adi Lesmana
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
Kekerasan dan ketidakadilan adalah salah satu hal yang me latarbelakangi lahirnya gerakan perempuan. Gerakan ini, tak hanya diwujudkan dalam masalah sosial saja. Namun juga dalam persoalan ekonomi dan politik. . . . .
/ HIMMAH . . . .

milik suaminya. artinya selalu dependen dengan pengaruh di luar dirinya.

Kekerasan terhadap perempuan ada berbagai macam sudut pandang tentang kekerasan terhadap perempuan yang hal ini dipengaruhi oleh pola pikir dan juga tingkat pemahaman seseorang.

Seperti yang diungkapkan oleh Yani, seorang pembantu rumah tangga yang kini bekerja di Yogyakarta. ”Saya pernah mengalami kekerasan, tapi saya melihat kekerasan ini sebagai bentuk kekerasan ekonomi,” kata Yani. ”Saya dulu kerja di Jakarta nggak dibayar, kita sering diper lakukan sebagai pembantu yang layak disuruh-suruh. tidur pakai tikar pun jadi, kerja 24 jam. Ini kan kekerasan banget, kalau menurut saya, kerja itu harus ada istirahatnya, tempatnya juga yang layak, karena kita kan manusia juga, jadi ya diper lakukan sama, gitu. Saya mau berontak, tapi

kembali ke pekerjaannya semula, yaitu PRt

Berbeda lagi menurut Meling, yang ak tif di Organisasi Pembantu Rumah tangga (OPRata). Ia memberikan contoh lain yang ia anggap sebagai kekerasan terhadap hak-hak perempuan. Ia mengatakan, ”Ka lau kita nggak boleh potong rambut, atau rambut kita harus panjang, itu kekerasan namanya. Soalnya, dia sudah mulai ng atur-ngatur,” ungkapnya saat ditemui oleh Astutik dari HIMMAH.

Menurut trias Setyawati, Ketua Pusat Studi Wanita universitas Islam Indonesia (PSW uII), kekerasan dibagi tiga hal, yakni kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Dari ketiga kekerasan ini, kekerasan psikislah yang paling susah dideteksi. ”Kekerasan fisik dan seksual jelas, karena ada bukti visumnya, tapi kalau psikis, ini sangat su byektif, tergantung orang yang mengalami. Contohnya, digoda. Kalau dia berkenan,

lahirannya, sebagai anggota kelas pekerja atau petani yang tak memiliki tanah, dan akses kekayaan. Semua ini adalah warisan kolonial dan pasca kolonial.

Kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya tercipta karena relasi antara lakilaki dan perempuan saja, tetapi negara pun berperan. Hal ini mengalir dalam kerangka sosial masyarakat yang lebih luas dan be ragam, bahkan oleh institusi sosial politik seperti negara dan komunitas internasionl, semuanya patriarki juga.

Kekerasan terhadap perempuan tentu saja tak terjadi begitu saja, ada banyak hal yang mempengaruhinya. Contohnya adalah budaya patriarki. Paradigma patri arki, semula digunakan Max Weber untuk mengacu bentukan sosial dan politik yang mengagungkan peran dominan ayah, kelu arga inti, luas dan publik, seperti ekonomi. Patriarki merupakan sebuah paradigma yang menganggap laki-laki lebih superior ketimbang perempuan.

Kemudian lebih lanjut, Donny Gahral a dian, salah satu penulis dalam buku Feminis Laki-Laki, memaparkan bahwa ideologi patriarki mem a pankan dirinya lewat tiga hal yakni identitas, dikotomi dan kodrat. Identitas disini adalah pemaknaan perempuan berdasar sudut pandang lakilaki, yang kemudian melahirkan anggapan laki-laki lebih rasional, publik dan masku lin tulisnya.

nggak berani,” tuturnya.

Bekerja menjadi pembantu rumah tang ga, sebenarnya bukan menjadi keinginan nya. Tapi konflik keluarga yang dialaminya, membuat Yani meninggalkan kampung ha lamannya. Ia pergi tanpa tujuan dan akhirn ya terdampar di kota metropolitan yang belum dikenalnya, yaitu Jakarta. Selain kekerasan ekonomi yang dialaminya, dia juga mengalami kekerasan psikis.

Perasaan takut akibat penjarahan dan penganiayaan yang terjadi akibat krisis ekonomi pada medio 1997, akhirnya me maksa dia kembali ke Yogyakarta, dan

ia pengen, maka ini bukan kekerasan, tapi kalau tidak berkenan, berarti kekerasan,” jelasnya.

a da banyak definisi kekerasan dan pendapat mengenai kekerasan terhadap perempuan, seperti yang diungkapkan Julia Cleves Mosse dalam An Introduc tion to Gender and Development, ada tiga lapis kekerasan terhadap perempuan yaitu gender, kelas dan kasta. Menurut dokumen yang di keluarkan oleh African National Conggress (ANC), penindasan tiga lapis ini terletak pada posisi perempuan sebagai anggota suatu bangsa tertindas di tanah ke

Konstruksi sosial dan kultural itu sudah melekat erat di benak masyarakat. anne Lecrec pun menentang persepsi yang demikian. ”aku mengidamkan agar para perempuan menilai apapun dengan cara pandang mereka sendiri, bukan melalui mata laki-laki,” ungkapnya. Dan ini perlu dicamkan bukan hanya oleh mereka yang merasa perempuan, tapi juga laki-laki. Jika tidak, lanjut Gahral, maka akan melahirkan dikotomi yang buntutnya adalah muncul relasi yang bersifat dominasi yang mem posisikan laki-laki lebih superior. Konsep superior ini berkaitan erat dengan konsep kodrat bahwa laki-laki sudah selayaknya menikmati posisi istimewa.

Kaum feminis radikal mendeklarasikan kekerasan terhadap perempuan disebabkan adanya relasi biologis atau unsur-unsur seksual. Mansoer Fakih menulis, feminis radikal menggunakan analisa personal is political , yang kemudian bisa memberi peluang politik bagi perempuan.

Sedangkan bagi trias, feminis radikal sendiri medeni (menakutkan-red.), karena ada kecenderungan menganggap bahwa yang menjadi penyebab itu laki-laki saja. ”Padahal itu tidak benar,” ungkapnya yakin.

Perempuan Di tempat Kerja. Ideologi patriarki menyulut diskriminasi
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . Surya Adi Lesmana / HIMMAH . . . . . . . . . .

Selanjutnya, peran media. Dalam kasus lain terlihat berbagai contoh perempuan yang memberikan gambaran serba negatif tentang perempuan itu sendiri. Seperti televisi yang menayangkan sinetron proble ma rumah tangga , beserta kasus penye lewengan laki-laki terhadap istrinya yang dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah. Dan lagi-lagi tak jarang yang melakukan hal ini berjenis kelamin perempuan. Memang, penyadaran tentang perempuan tidak selalu dimonopoli oleh perempuan, laki-laki juga harus turut mengambil bagian, seperti yang diungkapkan oleh Wakhid Hasyim, aktivis Rifka Annisa Women Crisis Centre (RA WCC), ketika ditemui oleh HIMMAH

Feminis Sebagai Penyeimbang

Bermula dari fenomena kecil yang terurai di atas, ada beberapa orang yang mencoba menguak tabir hitam yang begitu rapat menutup kesewenang-wen a ngan manusia. Mereka datang untuk memper juangkan ketidakadilan dalam relasi kaum adam dan hawa. Mereka sering disebut kaum feminis, meski banyak yang alergi dengan istilah ini.

Pemahaman ini, sesunguhnya memiliki ekses yang luar biasa dalam melanjutkan aksi berikutnya. Feminis lahir karena in gin menyeimbangkan kondisi dunia yang cenderung maskulin, tegas dan keras. Femi nis ingin menghadirkan sisi feminim yang selama ini mendapat proporsi sedikit, yaitu kelembutan, kehalusan dan ketenangan, haruslah dimunculkan, agar dapat mencipta kan dunia yang damai dan harmonis. ”Dan sekali lagi, feminis datang bukan untuk menguasai,” ungkap nurul, mantan aktivis Paguyuban Perempuan el-Shadawi.

Dari pernyataan ini, sudah jelas bahwa feminis tidak mempedulikan apakah yang diperjuangkan laki-laki atau peremuan. ”Yang penting adalah sensitif gender,” tambah nurul lagi.

Jauh sebelum konsep di atas lahir, se benarnya tuhan-pun telah menunjukkan dalam firman-n ya. ”Laki-laki dan per empuan itu sama saja, yang membedakan adalah tingkat ketaqwaannya”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa manusia itu sama. Se hingga, tak ada alasan untuk saling menin das dan merugikan. Dan kata ”sama” disini bukan sama rata, tapi meletakkan derajat dan martabat yang tiada berbeda. Laki-laki dan perempuan jelas memiliki perbedaan yang dicirikan dalam kondisi biologisnya. Oleh karena itu, kerja sama saling me lengkapi dan membantu, merupakan jalan utama dalam menegakkan hubungan.

Ratna Megawangi, penulis buku Mem biarkan Berbeda pun setuju dengan hal ini.

”Menggunakan ukuran kemajuan dan kehe batan perempuan dengan standar maskulin adalah tidak relevan,” tulisnya. namun apa bila situasi dan kondisi mengharuskan per empuan berkiprah di dunia maskulin, maka aktualisasi kualitas feminimnya diharapkan dapat memberikan warna tersendiri bahwa kebersamaan, saling peduli dan memelihara kesatuan, dapat memberi kepuasan hakiki ketimbang semata-mata keberhasilan stan

yang berakar dari paham individualisme itu adalah suatu bentuk kelemahan,” tan dasnya.

Hubungan laki-laki dan perempuan mesti lebih didasarkan pada model fung sional yang saling ”bergantung” secara simultan dengan menghormati naluri kodrati masing-masing individu dengan paradigma inklusif. Rasanya pola pikir Ra Kartini yang keluar lewat surat-suratnya

dar maskulin.

Keharmonisan hidup sering terpasung oleh ketidakjelasan interaksi manusia. Bagi Ratna, tarik menarik diantara dua kutub ”ingin bebas” dan ”ingin tergantung” dalam diri individu, lebih sering membawa konflik baik di luar maupun di dalam diri individu itu sendiri. Berangkat dari kenyataan ini, Ratna mengatakan, ”Melihat kesetaraan yang mengagungkan otonomi individu

pun telah mengungkapkan hal ini. ”akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping seorang laki-laki yang cakap dan mulia, yang saya hormati...Lebih banyak kata saya, daripada yang dapat saya usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri.”

Masihkah kita mengumbar relasi domi nasi, jika beberapa dari kita telah datang dengan ikhlas menawarkan kearifan. Juga

Perempuan Berangkat Kerja. Sering mengalami ketidakadilan Surya Adi Lesmana HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
/
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kaum Perempuan Berkonsolidasi

Perempuan, selama ini di lihat selalu menerima apa adanya. Selalu menutupi tindakan tak etis yang dilakukan oleh lakilaki, baik dalam keluarga maupun di luarnya. Tapi kini, mereka telah berani mengambil posisi untuk tidak selalu berkata setu ju dengan pendapat laki-laki.

SeIRI n G dengan berkembangnya k e sadaran perempuan terhadap ketidak adilan gender yang sering dialaminya, maka satu dekade terakhir mulai muncul or ganisasi yang menghimpun aktivis feminis. Yang kemudian melakukan advokasi buat kaumnya, dengan spesialisasinya masingmasing. ada yang terjun dalam advokasi kekerasan terhadap perempuan. ada juga yang bergelut wilayah kesehatan reproduksi wanita. Begitu juga dengan pendampingan untuk pembantu rumah tangga.

Di Yogyakarta, jumlah organisasi per empuan yang bergerak dalam advokasi ketidakadilan gender, lebih dari 17 organi sasi. Ini menunjukkan bahwa telah ada kes a daran pada diri perempuan untuk be r konsolidasi guna membela hak-hak mereka, tanpa meninggalkan kodratnya sebagai perempuan.

Sementara, kaum perempuan yang mengalami tindak kekerasan juga telah berani menyampaikannya kepada orang lain agar ia mendapatkan perlindungan. Wala u pun, cara yang digunakan oleh mereka untuk menyatakan hal tersebut,

masih menggunakan cara-cara yang ”tidak b e bas”, seperti mengungkapkan semua perasaannya, semua pendapatnya, dengan pihak lain, di luar keluarga ataupun di luar dunia laki-laki. Caranya adalah dengan berbicara dengan sekelompok perempuan yang tersatukan dalam sebuah organisasi yang memperjuangkan posisi perempuan.

Dari sekian banyak lembaga yang bergerak dalam pembelaan terhadap kaum perempuan yang berada di DIY, ada dua lembaga perempuan yang telah cukup ter kenal oleh sebagian besar kaum perempuan, di luar pusat studi wanita. Yaitu Rifka an nisa Women Crisis Center (RAWCC), dan Tjoet Nyak Dhien. Berikut sekilas profil dua LSM yang bergerak di area advokasi perempuan.

Rifka Annisa Womens Crisis Center

Bangunan itu cukup besar untuk uku ran kantor LSM yang aktif di daerah. Se tidaknya memiliki luas sekitar 750 meter persegi. Berlantai dua, dan tentu saja, ban yak ruangan sebagai ruang konsul di sana. Perlengkapan kerja pun tak kalah lengkap,

Indra Yudhitya HIMMAH Iwan Nugroho HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . .
. . . . . . .

seperangkat komputer lengkap, jumlahnya pun tak cuma satu.

Ruang tamu pun terasa cukup me wah. Gambar poster kekerasan terhadap perempuan dan tulisan seruan agar tidak menyakiti dan bertindak yang mengarah ke kekerasan fisik dan bahkan non fisik terhadap perempuan, terpampang di dind ing ruang tamu tersebut.

Rifka annisa, adalah salah satu dari sekian banyak lembaga swadaya masya rakat, yang terbentuk dengan tujuan untuk membela kaum perempuan dari ”kesewenang-wenangan” laki-laki . Walau pun cara mereka melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan memiliki cara yang tak jarang menimbulkan sikap saling kritik antar mereka sendiri, sesama lembaga perempuan.

tapi menurut Wakhid Hasyim, salah satu stafnya, RAWCC berdiri dengan tu juan menjadi tempat bagi kaum perempuan yang telah mengalami tindak kekerasan. Misalnya saja, seorang istri yang menga lami kek e rasan dari suaminya, seorang cewek yang mengalami tindak kekerasan berupa pelecehan seksual dari pacarnya, tempat wanita yang mengalami perkosaan mengadu dan pere m puan yang menga lami masalah pelecehan lainnya. ”Jadi, RAWCC mengambil posisi sebagai tempat perempuan mengadu. Dan seandainya mereka menghendaki perkara tersebut di lanjutkan ke pengadilan, maka kami akan membantunya,” ujarnya, saat ditemui oleh HIMMAH

Setelah sekian tahun berdiri, tepatnya sejak tahun 1994, jumlah pengaduan yang

diterima oleh RAWCC semakin bertambah ( Lihat tabel ). tapi, penambahan jumlah pengadu ini, seperti yang diungkapkan Hasyim, hendaknya jangan ditanggapi den gan kebanggaan. Sebab, ada dua hal yang terjadi. Pertama, RAWCC telah dipercaya oleh sebagian kaum perempuan sebagai tempat mengadukan perkaranya. Kedua, dan ini yang sangat mencemaskan, kekeras an terhadap perempuan semakin bertambah banyak. “tapi, hal yang pertamalah yang mungkin paling mungkin,” ujar alumni mahasiswa IaIn Yogyakarta ini.

Seperti yang telah diungkapkan, bahwa RAWCC berkonsentrasi terhadap kaum perempuan yang telah mengalami tindak kekerasan, maka RAWCC pun memegang teguh janji kepada klien untuk tidak mem buka rahasia yang akan diceritakan terse but. terutama cerita yang disampaikan oleh klien yang telah menikah dan mengalami tindak kekerasan di dalam keluarga. Karena sampai saat ini, dimasyarakat ada pemaha man bahwa membuka aib keluarga adalah tindakan yang tercela, walaupun aib itu berupa kekerasan terhadap perempuan. Misalnya saja, sang istri dipukuli dan di tendangi suami.

tapi, walaupun sangat sulit menye lesaikan kasus kekerasan terhadap pe rempuan, terutama kaum perempuan yang telah berumah tangga, RAWCC akan tetap konsisten untuk membela mereka. ”Perem puan harus mandiri dalam menyelesaikan masalah mereka,” ungkapnya berseman gat.

tak jauh berbeda dengan Rifka annisa, tjoet njak Dien juga bergerak pada wilayah advokasi perempuan korban kekerasan, bedanya tjoet njak Dien lebih memusatkan perhatiannya kepada perempuan Pembantu Rumah tangga (PRt).

Ketika HIMMAH berkunjung ke kantor tjoet njak Dien, terlihat banyak perempuan yang sedang berkumpul disana. Menurut Zainuddin, salah seorang koordi nator di lembaga ini, perempuan-perem puan yang rata-rata muda usia, yang ada di dalam kantornya itu adalah para pekerja rumah tangga yang tjoet njak Dien tam pung karena mereka menolak untuk tetap bekerja di rumah majikannya. alasannya, karena diperlakukan secara tidak manu siawi. Misalnya majikan memerintahkan mereka mengerjakan sesuatu dengan te riak-teriak dan ada juga yang karena gaji yang rendah.

Zainuddin mengatakan bahwa jumlah perempuan yang menjadi PRt sangat banyak. Di antara PRt ini, banyak yang mengalami k e kerasan dari majikannya. ”Bahkan mereka (PRt), lebih memiliki kemungkinan mengalami kekerasan, sebab mereka berada dalam ruang yang privasi, yaitu rumah tangga,” ungkap Zainuddin.

Saat ini, tjoet njak Dien sedang meng usahakan agar ada koalisi antar pembantu rumah tangga di Yogyakarta. Jika ini dapat terwujud, maka organisasi ini adalah organ isasi yang pertama ada di Indonesia yang dibentuk oleh para PRt. ”tapi tampaknya baru dapat berdiri tahun depan,” ungkap Zainuddin.

Memberikan pengertian kepada kaum perempuan yang berprofesi sebagai PRt memang membutuhkan kesabaran. Karena bukan hanya tingkat pengertian mereka yang kurang, tapi juga mereka mengalami hegemoni dari pemilik rumah tersebut. ”Salah-salah, mereka bisa mengalami tin dak kekerasan lagi,” ujarnya.

Selama berdiri, tjoet njak Dien telah banyak memberikan kontribusi berupa peng e tahuan, bahkan bantuan hukum kepada PRt. Hanya saja, bentuk bantuan ini belumlah maksimal, sebagai akibat dari belum lengkapnya personil lembaga. Misalnya saja, ahli hukum atau pengacara, dan psikolog yang bisa sewaktu-waktu membantu tnD melakukan aktivitasnya. ”Sekarang ini, kita sedang mengumpulkan itu semua,” jelas Zainuddin.

Semuanya memang harus dipersiapkan agar lengkap. Jadi, di saat diperlukan tin dakan hukum, untuk melakukan pembelaan terhadap PRt yang mengalami tindakan kekerasan, tidak ada kesulitan lagi. Dan akhirnya, kaum perempuan yang berada di

Ujang Priatna / HIMMAH Wanita Aktif. Mandiri dalam menyelesaikan masalah
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Kemana Perempuan Mengadu

.

sekian jenis kekerasan terhadap perempuan. Dan tentu saja, ada istri-istri semacam istri Sabtu yang juga mengalami nasib yang sama seperti yang ia derita, bahkan mung kin lebih parah dari itu semua.

tapi, istri-istri selain istri Sabtu itu, yang mengalami tindak kekerasan, mung kin lebih merasa terlindungi karena di daerah mereka ada lembaga perempuan semacam RAWCC atau, untuk perempuan yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRt)dengan minta bantuan kepada tjoet njak Dien.

tapi, di daerah tempat istri Sabtu be rada, di daerah Kilosatu, Lampung, lembaga perlindungan terhadap perempuan yang mengalami tindak kekerasan, semacam kedua lembaga tersebut, belumlah ada. Bagaimana ia meminta perlindungan?

naManYa Sabtu (45), memiliki tubuh tinggi, kurus namun tegap, berkulit sawo matang, rambut yang tercukur rapi dan sama saja dengan pria lainnya, memi liki wajah yang selalu sumringah, orangnya mudah bergaul dan senang melucu.

namun, siapa sangka, di balik mudah nya ia bergaul dan pandai melucu, ia juga pandai melakukan kekerasan terhadap istrinya, semisal membentak sembari meme rintahkan istrinya untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Bahkan, dari informasi yang diperoleh HIMMAH dari tetangganya, ia juga tidak segan-segan memasangkan golok tajamnya di leher istrinya yang telah memberi tiga orang putra. tentu jika ia menganggap istrinya itu ngeyel

Keributan yang terjadi dalam rumah tangganya sering terjadi tanpa sebab. Walaupun ketika ditanya ia selalu berkomentar bahwa istrinya itu sering melontarkan kata-kata yang tidak mengerti dengan kondisinya yang sedang lelah. Dan juga,

”Dia sering nggak nurut dengan saya,” ungkap laki-laki yang tinggal dan bekerja di Lampung sebagai tukang kebun.

Suatu alasan yang kurang tepat untuk memasangkan golok dileher sang istri. Bukankah perempuan punya hak untuk ber beda pendapat, walaupun dengan suamin ya? namun semua itu telah ia lakukan. Dan bagaimana mungkin istrinya tidak selalu berkomentar alias ngopeni dari jauh-jauh hari, karena kini Sabtu telah menikah lagi dengan perempuan yang telah janda, tanpa persetujuan istrinya yang pertama itu.

Menurut data yang di keluarkan oleh Rifka annisa, kekerasan terhadap perem puan itu bukan hanya terjadi dalam ruan gan pribadi, seperti dalam keluarga. tapi, kekerasan terhadap perempuan itu juga terjadi dalam ruang publik, seperti pasar dan kampus. ”tapi, data konkritnya belum kita peroleh,” ujar Syarifah, Humas Rifka annisa.

Jadi, kekerasan semacam yang diderita oleh istri Sabtu itu, adalah salah satu dari

Jika menilik ke belakang, kasus yang mencerminkan bentuk arogansi laki-laki dalam pemenuhan kebutuhan mereka dari kaum perempuan punya sejarah panjang. Contoh paling populer adalah kasus per empuan yang dijadikan pelacur pada jaman Jepang, yang kemudian ada yang dibuang ke Pulau Buru. Seperti yang diceritakan oleh Pramoedya a nanta toer dalam bukunya yang berjudul Perempuan dalam Cengkraman Militer , kehidupan mereka disana sangatlah mengenaskan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan tak pernah berhenti untuk dapat dicatat. Kasus Marsinah dan buruh perempuan lainnya juga, menjadi catatan yang cukup merisaukan semua kalangan yang memiliki perhatian dalam masalah perempuan. ”un tuk kota Yogyakarta saja, kasus yang secara resmi dicatat oleh Rifka annisa sejumlah, lebih kurang 200 kasus,” ujar Humas Rifka annisa ini.

Dari 200 kasus yang tercatat ini, hanya beberapa puluh kasus saja yang bisa di selesaikan, di bawah 50 persen dari total kasus, serta dapat memuaskan kedua pihak, yaitu pihak pelaku dan korban. tapi masih banyak kasus lainnya yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas.

Penyebabnya bisa bermacam-macam,

LSM menjadi tempat mengadu buat perempuan korban tindak kekerasan. LSM pun berusaha menerobos ke-engganan perempuan. Tapi ternyata, perempuan yang hendak menjadi klien, masih sulit mengaksesnya. Konsultasi di PKBI. Perlu kesadaran bersama antara laki-laki dan perempuan Ujang
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . . .
Priatna / HIMMAH

mulai dari sikap tertutup dan keengganan korban untuk mengungkapkan kasus yang sebenarnya, dan adanya kesungkanan untuk menuntut karena pelakunya adalah anggota keluarga sendiri, semisal suaminya. ”Juga karena jumlah ahli hukum yang ada di Rif ka annisa, masih kurang,” lanjut Syarifah yang lahir di Malang, 25 tahun lalu itu.

Dari penelusuran HIMMAH, lembaga perempuan yang belum memiliki ahli hu kum sebagai pembela, masih sangat ban yak. Bahkan, dari keseluruhan jumlah LSM perempuan yang berada di Yogyakarta saja, hampir 90 persennya, belum memiliki pembela dalam hukum. Masih terhitung lumayan, jika Rifka annisa hanya merasa kekurangan. Itulah sebabnya, seperti yang di sampaikan oleh Zainuddin dari tjoet n jak Dien, Rifka a nnisa masih sering dijadikan sebagai lembaga yang mereka mintai bantuan. ”Karena merekalah (Rifka annisa- red.) yang memiliki pembela hu kum,” ungkapnya.

Dari sekian banyak kasus yang tercatat itu, jumlah kasus yang banyak terjadi adalah kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah berkeluarga. Dan hal ini, tentu saja se makin mempersulit gerak untuk melakukan advokasi dan menyada r kan pere m puan bahwa mereka juga memiliki hak untuk menuntut keadilan di muka hukum. ”tapi, dari sekian kasus itu, walau segala upaya telah dilakukan, namun masih juga sulit untuk menembusnya,” ungkap Syarifah.

Perempuan pun semakin banyak yang tercatat sebagai pihak yang mengalami kekerasan. Bahkan, selain di ruang pribadi semisal dalam keluarga, kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di ruang publik. Hal ini bisa saja terjadi karena bentuk gangguan atau ledekan terhadap perempuan yang membuat sang perempuan merasa tidak nyaman (unwanted attention from men), ini juga merupakan bentuk kekerasan.

Mengenai hal ini, Husein (58), salah seorang penduduk umbul Martani, Yogya karta, yang mengaku toleran terhadap perempuan mengatakan bahwa, hal itu biasanya timbul karena perempuan sering kali menggunakan pakaian yang dapat membuat laki-laki menggoda. ”Lagi pula, berpakaian seperti itu dilarang oleh agama,” ungkapnya.

Husein mengakui bahwa kekerasan dalam keluarga itu memang ada. ”tapi lihat dulu, apa latar belakangnya,” ungkapnya. tapi, tambahnya, di dalam keluarganya sendiri, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan relatif tidak ada. Buktinya? ”Istri saya tetap bekerja di sektor publik dan sangat aktif,” akunya. tapi ia me nambahi catatan bahwa perempuan boleh

aktif di mana saja asalkan fungsi utamanya sebagai istri, yaitu membantu suami di ru mah tangga seperti memberikan perhatian yang lebih di bandingkan perhatian suami kepada anak. Karena suami lebih sibuk di luar rumah untuk mencari nafkah.

Hal ini diamini oleh salah seorang ibu rumah tangga yang juga berasal dari umbul Martani, sebut saja namanya Yanti (40). Ia mengatakan bahwa fungsi perempuan di rumah adalah mengurusi anak. ”Dan hal itu memang telah menjadi tanggung jawab dan juga kewajiban istri,” jelas Yanti, yang mengaku tidak sekolah dan tidak pernah merasakan atau menganggap bahwa pernah mengalami kekerasan dari suaminya.

tapi menurut Wakhid, salah seorang ak tivis Rifka annisa mengatakan bahwa sebe narnya tak hanya laki-laki yang memiliki hak untuk menentukan pembagian tugas tersebut. ”Yang terjadi malah penumpukan beban di perempuan,” ungkapnya. Ia mem berikan contoh, suami istri yang memiliki

puan PRt ini bukan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, namun ibu rumah tangga juga tidak jarang melaku kan kek e rasan. a kibatnya, pere m puan ditindas oleh perempuan.

Dari beberapa catatan yang di sam paikan oleh tjoet njak Dien yang berkon sentrasi melakukan advokasi terhadap para pembantu rumah tangga ini, menunjukkan bahwa, penindasan semacam itu relatif ban yak. ”Inilah yang melatarbelakangi lahirnya t joet nyak Dhien,” ungkap Za inu d din, yang menjadi koordinator Divisi Pengor ganisasian tjoet njak Dien ini.

tapi, telah berhasilkah usaha LSMLSM ini dalam membantu kaum perem puan dalam menyelesaikan permasalahan mereka?

Dari pengakuan aktivis feminis yang sempat di temui oleh HIMMAH, gerakan ini belumlah berhasil. Walaupun saat ini, jumlah klien semakin bertambah, yang menunjukkan bahwa gerakannya semakin

pekerjaan sendiri-sendiri di sektor-sektor publik, ketika pulang ke rumah ternyata hanya sang istri yang mengurusi anak. Sementara, tambahnya, sang suami ber istirahat. ”Pembagian tugasnya dimana?” tanyanya.

Selain kekerasan di ruang privasi dan di ruang publik, kekerasan terhadap perem puan juga dapat terjadi di rumah yang memiliki pembantu rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan, yang tidak ada hubungan kekeluargaan sedikit pun dengan pemilik rumah.

uniknya, kekerasan terhadap perem

meluas dan terasa bermanfaat, tapi secara kualitatif dan kuantitatif belum berdampak luas.

Hal ini, disebabkan oleh lemahnya jaringan LSM perempuan ini di kawasan lain. Seharusnya, LSM ini memperluas jaringa n nya sampai ke pelosok negeri. Dengan begitu, maka akan semakin banyak klien yang bisa ditemui.

Dan hendaknya, gerakan perempuan yang sekarang ini berkembang, tidak melulu terkonsentrasi pada penyelesaian kasus yang telah terjadi. Bukannya tidak menganggap penting, tapi perempuan lebih

Perempuan Mencari Nafkah. Beban kerja sebagai ibu rumah tangga semakin berat Surya Adi Lesmana HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. .

Satu Arus Berbeda Aliran

Gerakan perempuan memiliki ideologi. Sebagai sebuah ideologi, tentu saja mempengaruhi pola pergerakannya. Tak jarang, ikut juga mempengaruhi pribadi-pribadi aktivisnya. Tapi, sejauh mana kah implikasi ideologi pergerakan ini?

IBaRat arus sungai yang bisa terbagi menjadi beberapa aliran air, demikian pula dengan gerakan perempuan. Pilihan strategi gerakan serta prinsip-prinsip ide ologis yang mendasari gerakannya pun beragam, walau memang muaranya sama, menuju keadilan dan kesetaraan jender.

Dalam dunia wacana feminisme, dike nal empat macam teori feminisme atau dapat dikatakan sebagai ideologi femi nisme. ada feminisme radikal, feminisme liberal, feminisme marxist, sampai femi nisme sosialis. Meskipun empat ideologi ini berfungsi sebagai teropong utama bagi studi jender yang sangat populer di negaranegara dunia pertama, namun kemudian berkembang beberapa teori-teori lain yang

sebagian merupakan pengembangan dari keempat akar ideologi tadi atau teori yang murni lain.

Budi Wahyuni, Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) misalnya, ia termasuk seorang yang tidak memposisikan diri sebagai salah satu pen ganut ideologi tadi. ”Saya sendiri tidak pernah menentukan apakah saya radikal, apakah saya sosial atau liberal karena pada prinsipnya keadilan jender yang benar-be nar memposisikan perempuan.”

ternyata hal ini juga dikatakan oleh beberapa aktivis seperti Wahid Hasyim dari Rifka annisa, yang lebih mementingkan esensi dibandingkan dengan perdebatan ideologi.

namun tak jarang beberapa organisasi langsung menyebut secara jelas mindset dari organisasi mereka. Salah satu gerakan perempuan yang sudah terorganisir sejak lama adalah gerakan perempuan dengan basis agama. Ketika budaya pop globalisasi merambah kehidupan perempuan, dan im age diskriminasi jender sangat lekat dengan agama seperti Islam dan Kristen, organ isasi-organisasi ini memberikan tawaran yang mencoba mengintrodusir itu.

Dra. ema Marhumah M.Pd, Sekretaris e ksekutif PSW I a I n Sunan Kalijaga, Yogyakarta mengatakan bahwa ideologi organisasinya ini bisa dikatakan feminis teologis. namun tidak kaku. ”Kadang kita juga marxist cara pandangnya, kadang

Surya
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
Adi Lesmana / HIMMAH
. . . . . . . .

liberal,” tambahnya.

”Apakah Yayasan Kesejahteraan Fata yat (YKF) dapat dikatakan menggunakan pendekatan teologis?” tanya HIMMAH. Masrucha, Humas YKF menjawab secara tegas iya. Ia kemudian menambahkan YKF dekatdengan persoalan penyelusuran teks budaya-budaya, inilah diskriminasi. ”Pada hal Islam kan adil jender,” tambahnya sam bil mengatakan bahwa interpretasi teks-teks agama itu tergantung konteks sosial saat itu. ”teks agama itu hadir, agama itu kan diam, yang menjalankan itu kan umatnya,” paparnya.

Sementara itu, hal yang selalu mendam pingi terminologi feminisme adalah kekha watiran akan terjadinya pemutarbalikan posisi perempuan terhadap laki-laki. Gadis arivia, Pemimpin Redaksi Jurnal Pere m puan mengidentifikasi sebuah fenomena feminisme yang menggejala di negara-negara barat, yaitu radikalisme. Dikatakannya karakteristik yang melekat adalah seorang wanita pakai rok mini, tidak menikah, merokok, dan bahkan realitas lesbianisme. Ia mengakui gerakan femi nisme yang ekstrim ini. namun ia menolak adanya organisasi atau komunitas yang punya ideologi radikal. ”Jadi saya nggak melihat bahwa perempuan itu menuntut yang nggak-nggak, suatu saat dia pakai rok mini, merokok, dan tidak mau kawin karena gara-gara kita mengajarkan tentang feminisme. Saya nggak melihat itu,” tegas Gadis kepada HIMMAH.

Jika dilacak ke belakang, teori-teori atau ideologi-ideologi besar feminisme tersebut dilahirkan di negara-negara dunia pertama (negara maju). Yang tentu saja membawa embrio kapitalisme dan modernisme. Melihat konteks yang demikian, relevansi teori-teori itu mampu berfungsi sebagai kacamata dalam melihat studi hubungan relasi perempuan dan laki-laki pada negara dunia ketiga ikut dipertanyakan. tentu saja, tidak setiap negara-negara pada dunia ketiga siap dan sesuai hidup dalam alam kapitali sme dan modernisme. Dan latar belakang timbulnya teori-teori feminisme tersebut juga merupakan pengaruh dari sistem politik dan ekonomi serta budaya yang terakumulasi pada saat itu, dari negara dunia pertama yang bersangkutan.

namun kondisi sistem perpolitikan ne gara dan perekonomian Indonesia tidaklah sama dengan mereka. Ditambah lagi den gan budaya yang beragam, yang berlainan dengan budaya pada negara-negara dunia pertama. Di samping itu, Indonesia baru saja memasuki alam demokrasi dan men gendus isu kesetaraan jender ini. Sehingga perjuangan feminisme ini lebih menitik

beratkan pada kesetaraan jender, dan isu-isu tentang kekerasan terhadap perempuan.

Begitu pula jika berbicara mengenai ranah teritorial negara Indonesia khususnya Yogyakarta. Beberapa ornop-ornop per empuan di Yogyakarta seperti Pusat Studi Wanita (PSW) uII, PSW IaIn Sunan Ka lijaga, Rifka anissa Women’s Crisis Centre, Tjoet Njak Dien, PKBI, YKF dan NA ber dasarkan penelusuran HIMMAH, secara formal belum ada dalam aD/aRt ataupun secara informal dalam praktek kebiasaan pelaksanaan program mereka memasukkan

. . . .

produksi, kemudian YKF menerjemahkan ke dalam konteks kader-kader agama, sedang Yasanti memusatkan pembelaannya di dunia perburuhan.

PSW uII seperti dikatakan trias Setia wati, lebih sebagai wadah untuk meng hasilkan kebijakan yang membantu. ”Penelitian, kajian, dan pemberdayaan,” kata Ketua PSW ini. Ia menambahkan PSW itu beda dengan ormas, beda juga dengan LSM. Fungsi PSW sendiri adalah meneliti perempuan dan laki-laki di masyarakat agar menjadi SDM yang efektif dalam

atau me n dasarkan pada ideologi yang berupa empat macam ideologi populer feminisme tersebut. Meskipun begitu, ada juga benang merah yang dapat ditarik dari apa yang menjadi latar belakang dan corak dari arah kebijakan umum mereka atau konkritnya latar belakang dan corak dari apa yang menjadi program kerja beberapa ornop-ornop perempuan di Yogyakarta itu dengan ideologi-ideologi feminisme yang sudah lebih dulu populer.

Implementasi Kebijakan

”Setiap LSM punya cara-cara me nerjemahkan bagaimana kesetaraan jender dan keadilan jender sesuai dengan bi dang-bidangnya masing-masing,” ungkap Ma s rucha, Direktur e ksekutif Yayasan K e sejahteraan Fatayat, meng u tarakan mainstreams dari beberapa gerakan per empuan di Yogyakarta. Rifka a nnisa misalnya cenderung ke litigasi, PKBI men erjemahkan ke dalam konteks kesehatan re

.

pembangunan. nantinya penelitian ini kan ditindaklanjuti dengan adanya rekomendasi untuk kebijakan. ”Jadi hanya sebatas keil muan,” tegas trias.

Seperti halnya dengan PSW uII, PSW IaIn Sunan Kalijaga yang bergelut lebih pada tataran wacana. Berdasarkan booklet profilnya program organisasi ini terdiri atas penelitian, pengembangan, serta pub likasi. Kedua-duanya sama-sama mempu nyai sasaran spesialisasi pada lingkungan akademik.

YKF yang menurut Masrucha menga ra h kan programnya pada kader-kader agama, kyai dan nyai dengan menyeleng garakan semacam workshop. ”Bagaimana harapannya kyai-nyai tidak hanya men sosialisasikan keadilan jender di masya rakat, tapi juga ikut menyelesaikan masalah mereka.Yang namanya kyai itu tidak harus perannya di dalam pesantren, banyak ber buat pula di luar pesantren.” Jadi sasaran spesialisasinya mengarah pada lingkungan

Iwan Nugroho / HIMMAH Wanita Karir. Wanita Karir. Punya kesempatan yang sama dengan laki-laki
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.
. . .

pesantren terutama yang berada dalam naungan ormas yang bersangkutan. Begitu pula nasyiatul aisyiah yang mempunyai sasaran spesi a lisasi pada lingkungan masyarakat yang menjadi anggotanya.

Jika dilihat dari struktur organisasi, per bedaan ranah-ranah yang menjadi garapan tiap organisasi sangat terlihat. Rifka anissa misalnya, mempunyai dua pelayanan yaitu pelayanan hukum dan konseling. na punya empat divisi; pendampingan, litbang, dik lat, dan humas. tjoet njak Dien yang kon sen membawa program perlindungan dan pemberdayaan terhadap pembantu rumah tangga membagi organ isasinya menjadi tiga divisi; pengorgan isasian, kebijakan dan pendidikan pabrik; kesekretariatan

advokasi diatas. Hanya saja yang men jadi faktor pembeda dari pola pergerakan perempuan tersebut adalah pengarahan advokasi-advokasi tersebut pada litigasi (proses peradilan) dan non litigasi (tidak melalui proses peradilan) .

advokasi yuridis dapat berupa upaya dari ornop perempuan membantu peme rintah dalam mengeluarkan produk un dang-undang (uu) atau mengkritisi produk uu yang ada agar tidak bias jender, atau dapat pula upaya berupa penyediaan pelay anan hukum, penasehat hukum, pengacara, dan persiapan menuju proses litigasi. Kemudian advokasi psikologis yang dapat berupa layanan konsultasi (konseling). advokasi sosiologis dapat diartikan berupa permainan atau pembentukan wacana .

PSW uII, PSW IaIn Sunan Kalijaga, YKF, dan Nasyiatul Aisyiah tidak meng khususkan advokasinya sampai pada proses litigasi. Walau mereka bergerak tidak sam

Perpecahan atau harmonisasi?

Walau jalinan kerja sama telah dilaku kan oleh ornop-ornop perempuan tersebut, tapi dalam perjalanan pergerakan perem puan di Yogyakarta konflik sewaktu-waktu dapat saja timbul. Perbedaan-perbedaan yang mungkin dianggap mendasar dikha watirkan menjadi penyebabnya. apakah harmonisasi di antara gerakan-gerakan perempuan di Yogyakarta bisa tercapai?

Persoalan mungkin akan sering muncul. Misalkan terjadi ketimpangan pekerjaan karena bukankah di dalam jaringan terse but bisa saja sudah ada lembaga-lembaga (ornop). Jaringan yang tidak terlembaga lebih lentur ketika persoalan selesai jar ingan tersebut dapat dengan mudah bubar begitu pula apabila ada persoalan baru logikanya ditanggapi dengan jaringan yang baru lagi.

”Kita kerja sama dalam hal tertentu selalu lakukan,” ujar Masrucha menanggapi kekhawatiran ini. Ia menambahkan bahwa LSM-LSM lain sekitar Yogyakarta atau di luar Yogyakarta bekerjasama secara intensif untuk meng-counter isu-isu tertentu kemu dian melambangkan jaringan itu. ”tapi kalau jaringan itu menjadi lambang ada problem lagi,” ia mengingatkan.

”adanya sinergisitas satu, kemudian secara kultur saya juga melihat orang-orang aktivis sekarang yang masih tidak (belum) melepaskan aktivitas dia ketika masih mahasiswa,” kata ema. Yang ia maksud kan adalah aktivis-aktivis kemahasiswaan harus sensitif terhadap isu kesetaraan gender ini dan bergairah untuk melakukan kegiatan-kegiatan itu harus ada ketika ha rus merespon persoalan-persoalan dalam masyarakat. Hal ini menjadi indikator untuk melihat kemasifan pergerakan perempuan di Yogyakarta.

dan pelayanan umum serta pengembangan sumber daya aktivis. Kemudian PKBI, yang menjalankan program kerjanya melalui tiga proyek sebagai berikut; Lentera Sahaja, Griya Lentera, Lentera Sahaja Training Service and Media Development (tSMD) yang sasaran spesi a lisasinya terhadap remaja dan kelo m pok marjinal seperti pekerja seks.

Pada prinsipnya pola pergerakan or nop-ornop perempuan di Yogyakarta menggunakan metode advokasi yang dapat dibedakan menjadi advokasi yuridis dan advokasi psikologis serta advokasi sosio logis. Realitasnya setiap ornop perempuan tersebut mengupayakan ketiga macam

pai proses litigasi, masih ada jalan keluar bagi mereka untuk dapat menyelesaikan suatu perkara yang sedang ditangani den gan meminta bantuan organisasi perempuan lainnya yang mengarah pada proses litigasi atau instansi yang menyediakan pelayanan hukum, seperti LBH aPIK, LKBH, LBH, PBHI, dan lainnya. Lain halnya dengan Rifka anissa, tjoet njak Dien, serta PKBI yang memang mengkhususkan advokasi nya sampai pada proses litigasi baik atas daya sendiri maupun dengan pertolongan teman-teman ornop perempuan lainnya.

Michael Foucault, seorang filosof post modernis dari Prancis menganggap eman sipasi, kesederajatan, kebebasan, keadilan, dan lainnya yang serupa itu merupakan alat-alat bagi permainan relasi kekuasaan termasuk dalam konteks antara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya ia juga mena nyakan apa salahnya, apa ruginya, apa jeleknya, juga apa kotornya keadilan dan kesetaraan tersebut?

Tidak saja Foucault, tapi juga perem puan, ingin berlaku dalam permainan relasi kekuasaan tersebut, dengan aturan permainan di mana perempuan dan lakilaki saling menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagai subyek, bukan obyek , tidak saling menghegemoni, saling menghormati dan menghargai dalam perjalanannya di muka bumi.

Ibu dan Anak. Punya beban berat Iwan Nugroho HIMMAH Perempuan. Sebagai subyek
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
Iwan Nugroho / HIMMAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pembunuhan

Sri Sumiyati (25), ibu rumah tangga, ditemukan tewas terbunuh dengan dua lubang bekas tusukan senjata tajam. Jenazah ditemukan di lorong antara Kantor Desa Sangi Kecamatan Dukun, Magelang dan rumah kosong. Di duga pembunuhan terjadi akibat cekcok dengan pelaku.

Suparti (27) ibu rumah tangga yang baru saja melahirkan, ditemukan tewas bunuh diri di pematang sawah dengan meminum racun tikus. Di duga, si korban bunuh diri karena permasalahan keluarga.

Ngapiyah (23) hampir tewas ditusuk oleh suaminya, Muhlis (30) di sebuah tempat hiburan di Jakarta. Hal ini terjadi karena Ngapiyah diduga oleh suaminya, kembali menjadi wanita penghibur.

Pemerkosaan

Melati (8), bukan nama sebenarnya, seorang siswi Madrasah Iftida’iyah (MI) Desa Grobog Wetan Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, diperkosa. Korban ditemukan oleh teman sepermainannya di sebuah semak dekat pesawahan.

Mawar (16), bukan nama sebenarnya, hamil akibat dicabuli oleh ayahnya. Ini terjadi di Serengan, Solo. Pelaku akhirnya babak belur di keroyok oleh warga desa setempat, akibat kelakuannya yang terkenal sering meresahkan warga.

Nyonya S. (75) diperkosa oleh se orang kakek dengan inisial S. (85). Hal ini terjadi di Klaten.

Seorang remaja dengan inisial TP (13) dikibuli dan dicabuli oleh seorang pria dengan inisial Bud (51). Sebelum nya korban dijanjikan akan dibiayai se kolahnya hingga ke perguruan tinggi. Karena itulah, TP mau dicabuli.

Data diolah oleh Redaksi HIMMAH dari berbagai media massa selama Juni 2002.

CoNtoH KEKErAsAN tErHADAP PErEMPuAN
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]

Kedudukan seorang pembantu rumah tangga di dalam sebuah ke luarga sangat penting. Tanpanya, beban kerja rumah tangga yang dikerjakan oleh ibu rumah tangga, akan semakin berat. Apalagi jika selain sebagai ibu dan istri, ia juga sebagai wanita karier. Sudah pasti, ia akan sangat memerlukan pembantu rumah tangga. Tapi, apa yang di dapat oleh sang pembantu? Yani, seorang pembantu yang merasa dikecewakan, mengungkapkannya kepada Astutik dan Ambar Indah Sari Dewi dari HIMMAH

Sejak kapan Anda bekerja disini? Sejak Mbak Shanty (majikan-red.) tinggal disini. Bagi saya, dia seperti teman saya sendiri.

Sebelumnya kerja dimana? Dulu pernah kerja di Jakarta, tapi karena ada penganiayaan awal tahun 1997, pas krismon, saya pindah.

Bagaimana wujud penganiayaan PRT di Jakarta? Itu lho, kekerasan ekonomi. Kerja nggak dibayar. Dulu saya masih PRt ana (pemula-red.), belum tahu apa-apa. Sudah diusahakan sama keluarga, tapi nggak bisa. Katanya, belum punya uang. Sudah dibantu sama tjoet njak Dien juga, tapi nggak ada hasilnya. Ya sudah, akhirnya kasusnya didiamkan.

Kerja sebagai PRT di gaji berapa? Gajinya 125 ribu per bulan. Selain itu, saya bisa nyambi di rumah Bu Dhe (saudara majikan-red.).

Kerjanya apa saja? Kerja, ya nyuci, nyapu, ngepel, masak kalau mau. Soalnya, majikan nya enak, nggak maksa. Kalau capek, ya disuruh istirahat.

Kenapa milih pekerjaan ini? Wah, dulu kepepet Mbak. nggak sengaja. Pokoknya kerja ya kerja, yang penting halal.

Sekolahnya sampai mana? SD nggak lulus, cuma sampai kelas empat. Karena masalah ke luarga, bukan karena masalah ekonomi, membuat saya kabur dari rumah. Saya nggak tahu, saya ke Jakarta sama tetangga saya, tapi setelah di sana, saya diserahkan begitu saja pada satu keluarga yang kemudian menjadi majikan saya. Setelah itu saya ditinggal sendiri. Mau pergi, tapi saya kan nggak tahu Jakarta. Akhirnya saya tetap disitu. Saya nangis, saya menyesal lari dari rumah.

Sekarang orangtua tahu nggak? tahu, wong rumahnya dekat dan sering pulang, kami melupakan masalah itu karena kejadiannya sudah lama.

Anda sudah berapa tahun di OPRATA?

Ya sejak OPRata ini berdiri. Waktu itu, ada lima orang yang belajar jahit, diskusi dan memasak. Selain itu juga, diberi materi tentang kesehatan reproduksi.

Wanita itu Tergantung Wanitanya Sendiri”

”Dia butuh, saya juga butuh,” ungkap Dewi, seorang ibu rumah tangga kepada HIMMAH, menanggapi hubungan antar majikan dan pembantu rumah tangga. Klaim yang ada di masyarakat bahwa pelecehan terhadap perempuan terjadi karena perempuan itu sendiri yang memberikan peluang terjadinya hal tersebut, ia dukung. Ia juga mengakui bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan itu penting. Namun kadang tidak proporsional. Berikut penjelasannya.

Apa kegiatan Anda selain sebagai ibu rumah tangga? Selain sebagai ibu rumah tangga, saya juga bekerja di kantor. Di pemda, bagian Dinas Kependudukan.

Apakah ada organisasi wanitanya? ada, Dharma Wanita. tapi nggak aktif lagi.

Kalau kegiatan Anda di RT/RW, apa saja? Kegiatan di Rt, Dasa Wisma, dan arisan Rt

Sejak kapan Anda punya pembantu rumah tangga (PRT)? Sejak anak saya lahir. Kalau nggak ada pembantu, kerepotan saya. terutama ngasuh anak. nggak ada yang nunggu.

Apa arti PRT bagi Anda? Membantu keluarga. Dan saya anggap dia sebagai keluarga. Dia butuh, saya juga butuh.

Menurut Anda, apakah arti perempuan sesungguhnya? Perempuan itu, walau kodratnya memang perempuan, tapi ya perempuan itu bisa berkarya seperti laki-laki. tapi memang ada batas-batas pekerjaan yang hanya dikerjakan laki-laki, ya lakilaki saja. Memang kita itu kadang minta sejajar dengan laki-laki. tapi kemampuan keduanya berbeda. Seperti karyawan dengan karyawati. Yang karyawan disuruh jaga malam (istilahnya piket), tapi yang karyawati, padahal sama-sama digaji, kok nggak disuruh piket juga.

Apakah PRT termasuk penindasan terhadap perempuan? Saya kira tidak. Saya kira saya juga ya kerja, saya punya PRt, tapi saya masak sendiri. Dia itu cuma menjaga anak saya. Dia nggak bisa masak, saya suruh nyapu atau bersih-bersih. Jadi, dia hanya bantu dan saya tetap kerja. Saya pulang dari kantor, kalau nggak ada kerja, baru saya ngaso

Pernahkah mengalami pelanggaran HAM sebagai wanita? Begini, pelecehan terhadap wanita itu sebenarnya tergantung wanitanya sendiri. Kalau nggak mau dilecehkan, ya jangan memakai baju yang seronok, yang terbuka dadanya. Coba kalau memakai baju yang tertutup, nggak mungkin tho laki-laki mengganggu. Saya kira tergantung wanitanya. Kayak artis-artis itu, sering istilahnya, memakai baju yang terbuka dadanya. Sekarang kan gitu. Katanya nggak mau dilecehkan, tapi dia sendiri yang

Yani: “Kekerasan Perempuan adalah Kekerasan Ekonomi”
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [LAPORAN KHUSUS]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . Dewi: “Pelecehan

Dra. Budi Wahyuni, MM, MA: ”Ada Laki-laki yang Tidak Hanya Memiliki, Tapi Menguasai”

Pada dasarnya, kaum perempuan sudah sejak zaman orde baru terkoordinasi. Dan koordinasi semacam ini selalu ada dalam setiap pergantian kekuasaan. Tapi, walaupun telah ada perkem bangan, perempuan tetap saja menjadi orang nomor dua atau tetap menjadi subordinasi laki-laki. Direktur Perkumpulan Kelu arga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Dra. Budi Wahyuni, MM. MA. menjelaskannya kepada Mulianne dari HIMMAH. Berikut petikannya.

Bagaimana Anda melihat peta gerakan perempuan di Indonesia? Kalau melihat petanya sih dari beberapa organisasi perempuan yang ada di Jogja ini, sebelum reformasi ada yang terkoordinasi dalam Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW). Yaitu organisasi perempuan non LSM seperti Dharma Pertiwi, Dharma Wanita, PKK, serta organisasi perempuan lainnya. Setelah Soeharto jatuh, di era Gus Dur itu mereka sudah mencoba berbenah diri. Berpen garuh juga, khususnya dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan. Dharma Wanita juga sudah lebih terbuka, misalnya waktu kita melempar suatu isu tentang poligami. Itu sudah kelihatan warnanya bahwa mereka itu bagian yang memang perlu diperjuangkan dan bagian dari kekerasan terhadap perempuan dalam isu-isu yang lain. Gerakan ini lumayan positif karena cukup solid. Sekarang yang terpecah-pecah itu justru teman-teman mahasiswa, khususnya untuk mahasiswi putri, sebetulnya mereka masih mencari bentuk kemana arah yang paling tepat.

Dalam mengkaji jender itu sendiri ada berbagai pendekatan dan corak, sehubungan dengan itu bagaimana pengklas ifikasian ideologinya?

Saya sebagai seorang feminis untuk PKBI sendiri, tidak pernah menentukan apakah saya radikal, apakah saya sosial atau liberal. Karena pada prinsipnya keadilan jender adalah yang benar-benar memposisikan perempuan. Kalau kita mau lihat keadilan jender yang diperjuangkan oleh PKBI yaitu sebagai organisasi di bidang kesehatan reproduksi. Ya bagaimana agar perempuan itu mampu melindungi diri dalam konteks kesehatan reproduksi. Semuanya akan terkait seumpamanya kapan menikah, sampai kapan saya melakukan hubungan seks, sampai menggunakan metode kon trasepsi apa, kepada siapa saya boleh meminta bantuan sampai saya benar-benar terbebas dari penyakit seksual itu. Jadi sebagai aktivis PKBI, saya sendiri tidak pernah memberi warna.

Bagaimana menurut Anda solusi kedepan dalam pemberdayaan perempuan?

Kalau saya ngomong memperjuangkan keadilan jender, kesetaraan jender itu adalah sharing power. Yang perlu diingat, ketidakadilan jender itu hadir karena budaya patriarki. Budaya patriarki itu apa? Karena ada laki-laki yang masih menguasai perempuan, tidak hanya memiliki. tapi betul-betul memiliki itu implikasinya ke menguasai. namanya sudah berkuasa jadi tentu tidak akan pernah equal (setarared.), tidak ada yang egaliter. nah, dengan adanya yang menguasai ini maka keadilan jender yang harus ditegakkan adalah kesiapan

bagaimana kita sharing power kepada siapa pun orang itu, apakah perempuan itu anak, remaja, ibu rumah tangga, karyawan, nenek tua renta. Sehingga saya akan memposisikan sebagai subyek di dalam aktivitasnya. Jadi keadilan itu ada dalam perspektif dia, jadi jender yang setara, jender yang equal itu adalah dalam konteks dia juga menggantikan subyek. Saya juga dapat menjadi subyek sebagai contoh saya memandang itu tidak adil terhadap status saya atau perempuan, sedangkan menurut cara pandang laki-laki jadi adil. Menurut saya itu tidak bisa. Seperti konteksnya poligami, nggak bisa. adil dari konteksnya suami, apakah para istri itu sudah ditan yai adil menurut konteks dia. Ini yang selalu kita perjuangkan. Ini bisa tercapai, jika kita saling mengingatkan dalam setiap saat bahwa hal-hal yang mereka perbuatan sebetulnya cenderung untuk tidak memposisikan perempuan secara adil. Itu sudah kuncinya.

Dra. Budi Wahyuni, MM. MA. Jender itu adalah sharing power
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002]
. . . . . . . . . . . . . . . ISTIMEWA
[LAPORAN KHUSUS]

Manusiawi dalam Keterbatasan Hidup

Hidup memang susah bagi Dukuh. Di samping cacat, juga karena dunia di luar dirinya seolah hanya diperuntukkan bagi orang-orang berfisik lengkap. Banyak ham batan ketika ia harus bergerak di luar tempat rehabilitasinya di Yakkum. ”Orang-orang cacat kan membutuhkan aksesibilitas, misalnya tempat seperti pasar swalayan atau rumah sakit itu kan ada anak tangga,” kata Dukuh bercerita tentang hambatannya bergaul dengan dunia luar. ”Kemudian jalan-jalan yang tidak bisa dijangkau oleh anak-anak cacat,” lanjutnya.

Dukuh hanyalah satu dari sekian ban yak penyandang cacat yang ada di dalam masyarakat kita. Para penyandang cacat ini sering juga disebut dengan istilah dif fable people. Istilah difabel berasal dari istilah people with different abilities. Kata ”cacat” ataupun manula (manusia lanjut usia) sebenarnya cenderung berkonotasi negatif sebagai kaum yang lemah, tidak mandiri dan patut dikasihani. Padahal cara perlakuan, rasa malu, dan mental budaya ki talah yang sebenarnya menjadikan mereka seperti itu.

GeRaKan dua roda itu sesekali menim bulkan bunyi berisik. Putarannya digerakkan dua tangan yang masih kuat, walaupun kedua kakinya tak berdaya karena cacat. Seperti lazimnya orang pada umum nya yang ingin terus beraktifitas, Dukuh pun demikian. Laki-laki asal Boyolali yang sudah setahun tinggal di Yakkum, sebuah yayasan penyandang cacat di Jl. Kaliurang Km. 13,5 Yogyakarta, tetap tak bosan untuk bergerak, melalui hari-harinya bersama sesama penyandang cacat.

tentu saja jumlah mereka tak seberapa, jika dibandingkan dengan jumlah orangorang berfisik normal. Justru dengan men jadi minoritas itulah yang membuatnya semakin terpinggirkan. Banyak fasilitas umum yang ”tak ramah” buat mereka. Karena memang sebenarnya, fasilitas umum kebanyakan di disain untuk ”orang normal”. a palagi jika mereka sedang berada di perkotaan. Hiruk-pikuk manu sia dengan segala aktifitasnya membuat penyandang cacat sering tersingkir tanpa sengaja. Sebagai warga negara, sebenarnya mereka punya hak yang sama untuk men gakses ruang publik.

Indra Yudhitya HIMMAH
Jumlahnya tak seberapa banyak. Menemui beragam hambatan untuk hidup di tengah masyarakat. Butuh kesadaran kemanusiaan untuk menempatkan penyandang cacat dalam posisi yang pantas.
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [NASIONAL]
. . . . . . . . . .

Melihat usaha dari pemerintah sendiri, dalam upaya pengadaan fasilitas umum bagi para diffable people baru sebatas pada pembuatan peraturan. Jika ditilik dari peraturan yang ada sebenarnya keberadaan para penyandang cacat ikut diperhitungkan. Peraturan pemerintah RI no. 468 tahun 1998, misalnya telah mengatur persyaratan teknis fasilitas umum. ”Peraturan itu sudah disosialisasikan ke semua pihak Pemerintah Daerah, artinya sekarang tinggal diwujud kan dalam bentuk Peraturan Daerah. Belum maju ke dewan,” tutur Ir. Harundono, Kepala Dinas tata Kota DI. Yogyakarta kepada HIMMAH.

Peraturan itu mengatur seberapa besar porsi dari bangunan yang akan dibangun harus disisihkan untuk mempermudah akses buat orang cacat. ternyata sampai dua tahun ini, peraturan pemerintah itu belum ditindaklanjuti oleh DPRD untuk mem bahas rancangan Perda. Fasilitas umum bagi para diffable ini seakan tidak penting, padahal peraturan itu merupakan salah satu upaya yang bisa membantu Pemda sendiri dalam upaya menyediakan fasilitas umum bagi orang cacat.

Menyempitnya jalur trotoar merupakan salah satu kendala, disamping dana dari Pemda tingkat I masih sangat kecil sekali. Seperti dikatakan oleh Mundono, kepala Seksi Pelengkap Jalan Dinas Prasarana Kota DIY. Di Yogyakarta sendiri pengadaan trotoar yang bisa diakses bagi penyan dang cacat baru sebatas trotoar di Jalan Malioboro. Itupun ternyata lebih banyak digunakan para Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk menjajakan dagangannya. akhirnya fasilitas umum menjadi tidak maksimal. Dinas tata Kota DIY sendiri sampai saat ini baru sebatas menghimbau pada para pembuat bangunan, khususnya bangunan umum komersial dan bangunan instansi pemerintah agar responsif terhadap kepent ingan orang cacat. Salah satu contoh unit Pelayanan terpadu Satu aatap (uPtSa) yang berada dalam kompleks kantor wa likota DIY. Bangunan ini menyediakan ram (jalan khusus buat kursi roda) yang bisa diakses orang cacat untuk masuk dalam gedung. Ini diharapkan bisa diikuti oleh gedung instansi pemerintah lain. Contoh lain, gedung yang ”simpatik” bagi penyan dang cacat adalah Jogja Expo Center (JEC) yang menyediakan ram dalam gedung itu sehingga orang cacat pun bisa naik ke lantai atas dengan aman tanpa harus merepotkan ”orang normal”.

Itu baru sedikit contoh, namun masih belum banyak pihak yang menerapkan nya. Ini ada kaitan dengan orientasi dan paradigma yang berkembang. Fenomena

di atas juga merupakan dampak dari sistem kota yang disebut Wayne attoe sebagai ”sistemik fungsionalis”. Kota seperti itu biasanya sangat terdominasi oleh hegemoni fungsi infrastruktur atau fungsi ekonomi semata. Kehadiran dan wujud fisik kotanya cenderung jauh dari rasa berkeadilan dan nilai-nilai humanis.

akibatnya, hal-hal kecil namun prin sipil dan manusiawi, seperti penyediaan sarana bermain anak-anak atau keberadaan kaum cacat, seringkali terlupakan. Beragam gedung dan sarana publik ber i kut jalur aksesibilitasnya pun kebanyakan hanya dirancang dengan skala antrop o metris untuk manusia normal saja.

Padahal para penyandang cacat pun punya hak universal dan memiliki kerin duan besar untuk bisa ikut beraktivitas dan menikmati indahnya kota. Lebih jauh,

sosiolog Rob Imrie dalam Disability and The City mengungkapkan bahwa mereka ini juga ingin bersosialisasi dan menikmati urbanitas kota secara multi-indera.

”Bagaimana agar kita berani terjun ke masyarakat, biar nggak minder, berani untuk membawa diri sendiri tanpa dibantu orang lain,” harap Dukuh. Kata-kata yang diucapkan Dukuh inipun mungkin mewak ili suara hati orang cacat lainnya. Harapan akan tumbuhnya kesadaran kemanusiaan yang membuat mereka mempunyai tempat dalam hidup ini.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [NASIONAL]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Pak Tani Tumbuh, Nasib Tak Berganti

SeGaLanYa seperti mudah dengan adanya mesin. tapi kadang alat bantu itu bisa menyusa h kan si empu- nya, itu terjadi jika mesinnya mogok kerja. Contoh nya yang dialami Parman, petani yang memiliki lahan di pinggir Jalan Parangtri tis, Yogyakarta ini belakangan sering disi bukkan dengan ngadatnya mesin traktor kesayangannya. ”traktor ini saya dapat dari bantuan kredit pemerin tah dengan mencicil selama satu tahun,” tutur Parman kepada HIMMAH di sawahnya. terlihat ia dibantu seorang petani lain sibuk meng otak-atik traktor di pinggir sawah.

tidak semua petani bisa membeli traktor seperti Parman. Hal ini disebabkan karena harganya yang terlalu mahal dan tidak terjangkau bagi sebagian besar petani di tanah air. Ilustrasi di atas adalah nukilan kecil dari sekian masalah dan derita yang biasa mewarnai kehidupan petani.

Petani hingga kini jumlahnya lebih dari 60 persen dari total penduduk Indonesia. Sektor ini sebenarnya paling menjanjikan karena didukung oleh sumberdaya alam yang melimpah. Wajar kiranya jika Be

landa sampai rela mati-matian menjajah Indonesia selama 350 tahun. namun sampai saat ini petani selalu saja dilupakan. Petani seperti anak tiri pembang u nan. Hanya mampu memeras keringat tanpa pernah merasa ikut nikmat.

Dari tahun ke tahun kehidupan petani hampir selalu dalam kesusahan. apalagi di musim kemarau seperti ini. nasib buruk senantiasa membuntutinya, bukan karena mereka malas mengelola sawah, tapi lebih dari itu pemerintah yang mestinya bisa men jadi fasilitator pendukung perkembangan nya hanya mampu beretorika mengumbar janji. ”Banyak kebijakan pemerintah yang nihil misalnya petani disarankan menggu nakan pupuk organik tapi sudah setahun ini tidak ada kabar apa-apa,” ungkap Parman. Hal ini menunjukkan pemerintah terkesan setengah hati dalam menangani masalah petani.

Pemerintah terlalu asyik mengadopsi konsep industrialisasi yang diterapkan negara maju. ”Coba kita lihat negara maju itu kan hanya 30 persen saja yang bergerak disektor pertanian, sedang lainnya indus

tri,” ujar nanang, Kepala Sub Di nas Pertanian DI. Yogyakarta. ”Kalau ingin maju kita harus bisa meniru mereka dengan meningkatkan daya saing pertanian kita,” tuturnya lagi ketika ditemui HIMMAH di kantornya.

Seolah mengiyakan tindakan pemerin tah itu. Sektor industri harus tetap mendapat proporsi yang besar, kalau bisa konsep industrialisasi pertanian harus digalakkan. Pernyataan ini diwujudkan dalam pro gram pemerintah yang paling anyar yaitu program revolusi hijau tahap dua dengan konsep corporate farming.

Revolusi Hijau Sebuah Tragedi

Revolusi hijau ( green revolution ) adalah sebuah program intensifikasi pertani an yang digalakkan oleh pemerintah Orde Baru sejak 1965. Revolusi ini bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian agar tercapai swasembada pangan, yaitu dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri atau tingkat impornya nol. Revolusi ini berjalan melalui program pemberian kredit, pupuk, bibit unggul, dan pestisida. Berbagai upaya

Petani selalu didikte oleh kebijakan pemerintah yang sering tak sesuai dengan kemauannya. Revolusi hijau tahap satu selesai, muncul yang kedua. Terjepit dalam hegemoni di luar dirinya?
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [EKONOMI]
. . . . . . . . . . . . . . W Dani K / HIMMAH

pendukung disediakan pemerintah untuk mensukseskan program ini. Sebut saja ada: KuD, BuuD, BIMaS, InMaS, InSuS, dan SuPRa InSuS yang berfungsi sebagai lembaga administrasi.

Sungguh sayang cita-cita yang cerdas ini harus menuai kegagalan karena tak diimbangi dengan SDM yang handal. Seperti diungkapkan Parwoto, Ketua Seri kat tani Merdeka (Setam), sebuah LSM berkantor di Yogyakarta yang memusatkan kegiatannya pada persoalan pertanian dan advokasi buat petani. ”Revolusi hijau itu hanya kongkalikong antara elite politik dengan perusahaan trans national melalui intrumennya PPL,” tegas Parwoto. ”Kita ingat tutut (putri sulung mantan Presiden Soeharto-red.) buat pupuk area tablet tapi di lapangan petani bingung menggunakan. Ini ada indikasi revolusi hijau hanya dijadikan permainan bisnis, tanpa memikirkan kesia pan petani,” ujarnya memaparkan bukti. Ia menunjukkan kasus di Karawang dimana pemerintah tidak serius menangani corpo rate farming yang menjadi konsep revolusi hijau II. ”Hanya Kut saja yang jalan dan itupun yang penting dana habis. PPL tak ubahnya seperti sales yang memperda gangkan produk perusahaan pertanian,” imbuh Parwoto.

Dampak buruk revolusi hijau tidak memandang petani kecil atau besar. Semua program hanya menguntungkan para elite dan perusahaan trans national. Petani besar lebih bisa mengikuti karena memiliki mo dal, sedang petani kecil terpaksa ikut karena dihegemoni oleh PPL. ”Bapak saya pernah

dipanggil karena dianggap menentang ke bijakan pemerintah ketika tidak menanam padi sesuai ketentuan,” kenang Parwoto.

Pernyataan ini pun jelas tertulis dalam pasal 2 ayat (3) PP no. 25 tahun 2000 yang mengatur tentang kewenangan pemerin tah di bidang pertanian yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai otoritas untuk mengatur pemasukan dan penge luaran benih dan bibit unggul. Begitu juga dengan penetapan pedoman untuk penen tuan standar pembibitan atau pembenihan pertanian dan pengaturan serta pengawasan produksi. Sebuah pasal yang mengundang pertanyaan dan perlu dikritisi tidak hanya mereka yang merasa petani tapi juga pem buat pasal itu sendiri.

Proses hegemoni yang diterapkan Orde Baru ini jelas merampas hak-hak petani atas produksi, terutama yang berkaitan tentang hak menanam yang akhirnya membutakan inisiatif petani untuk mengaktualisasikan dirinya secara wajar. Proses hegemoni pemerintah ini agaknya diilhami oleh aliran Hobbessian yang memiliki pandangan negara memiliki kedaulatan penuh atas rakyat.

tapi untuk Revolusi Hijau II ini nan ang mengatakan bahwa pemerintah akan memberi kebebasan dalam bercocok tanam. ”apa yang mereka senangi dan sesuai se lera pasar, pemerintah hanya mengarahkan mengenai aturan main, jadi pemerintah tak boleh macam-macam,” ungkapnya.

Mekanisasi yang diadopsi pemerintah dari barat banyak yang kurang tepat sasaran karena traktornya terlalu besar sedangkan lahan petani sebagian besar sangat sempit. Hingga susah memakainya. Sebagai contoh di Yogyakarta kebanyakan petani berlahan sempit, paling banter 2000 meter persegi, banyak yang hanya punya 200 sampai 300 meter persegi. Padahal syarat mekanisasi butuh hamparan yang luas. nanang ber pendapat bahwa hal itu tidak menjadi soal. ”Kita sarankan petani bergabung dalam kelompok tani. agar petani berlahan sem pit bisa bergabung. Mereka bisa menyewa traktor. Dan ini ditangani oleh UPJA (Unit Pelayanan Jasa Asing),” kata Nanang. ”Dengan model ini petani yang berlahan sempit bisa investasi tanah sedang penge lolaannya diserahkan pada kelompok tani. Mereka dapat imbalan minimal sama atau bahkan bisa lebih,” jelas nanang optimis.

n amun lain halnya dengan Parman, baginya kelompok tani yang berfungsi sebagai advisor ini bisa membantu tetapi pendapatan mereka tetap minim karena lahannya sangat sempit. ”Bahkan tanah kami ini akan segera dipindah ke pinggiran karena ada proyek pembangunan,” tambah

Parman seolah memendam kesedihan.

Selain itu biaya sewa sangat mahal, untuk 1000 meter persegi saja ia harus merogoh kantong sebesar Rp 40 ribu, be lum lagi biaya pupuk yang mahal. Hal ini dibenarkan oleh Parwoto. ”Petani itu nggak untung apalagi yang nyewa traktor, nggak dapat sisa (laba-red.). tapi ironisnya petani nggak ngitung,” katanya. Hampir seluruh faktor produksi pertanian harus dibayar petani, hanya tenaganya sendiri yang dida pat cuma-cuma. Ditambah lagi petanipun didera pengeluaran-pengeluaran lain seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan keluarganya yang kadang sulit diprediksi. Pengeluaran yang tak sedikit ini seolah ikut melengkapi penderitaannya.

namun nanang membantah pendapat ini. ”Saya kira anggapan seperti itu tidak benar, karena petani kita sekarang pintar gimana cara menanam komoditas yang menguntungkan,” jelasnya. ” tapi yang menjadi masalah adalah harga. Dan hal ini berhubungan dengan masalah suplai barang. Hal ini di luar jangkauan petani, pemerintah bisa menggunakan perannya tapi kita harus ingat kita masih terikat kontrak dengan WtO, kita tidak bisa men erapkan tarif masuk mahal,” tukasnya.

Kegilaan pemerintah dimulai dengan impor yang terus meningkat sejak 1991 tanpa mempedulikan beras dalam negeri. Hingga 2002 ini Indonesia harus menang gung malu karena dinobatkan sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Sebuah ironi untuk negara agraris yang terk enal akan kesuburannya di masa lalu. Jahat nya lagi urusan impor-mengimpor mulai dari pembelian, pengapalan, pergudangan, serta transportasi sengaja diserahkan pada ”kroni” yang hanya mementingkan perut nya sendiri. alasannya harga pasar beras luar negeri sangat murah. Menurut analisis Francis Wahono pengamat ekonomi yang konsen pada masalah pertanian, melihat di satu sisi pemerintah mengurangi subsidi dalam negeri tapi di sisi lain memberi sub sidi pada petani luar negeri.

Selain itu penggunaan insektisida dan pestisida yang berlebihan telah menurunkan kualitas tanah. ”Pada revolusi tahap satu banyak muncul penyakit tumro, pohon padi menguning karena banyak zat kimia dalam tanah, tanah tak bisa lagi menerima urea,” tutur Parwoto. untuk itu pemerintah menganjurkan para petani untuk ramah terhadap lingkungan. Penggunaan pupuk kimia dikurangi dan sedang digalakkan di Sleman dan Bantul. ”Bahan organik tak sehebat kimia sehingga harus dilakukan penyeimbangan dalam penggunaannya yaitu antara kimia dan organik, soalnya

Iwan Nugroho HIMMAH traktor. Tak selamanya menguntungkan
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [EKONOMI]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
/

belum ada data yang menunjukkan kalau pakai organik saja, bisa bagus nggak,” kata nanang. Kemudian nanang menjelaskan penggunaan pupuk organik juga akan men galami kesulitan pada penyediaan dalam volume besar. Hal itulah yang membuat kenapa sampai saat ini pemerintah belum merespon pupuk organik seperti yang dika takan Parman.

Alternatif bagi petani Sudah siapkah Indonesia terutama petani menghadapi revolusi hijau tahap dua? Revolusi hijau apakah bisa berjalan dengan baik atau tidak, masih banyak yang perlu diperbaiki. Mustajab, Dosen Pasca Sarjana universitas Pembangunan nasional (uPn) Yogyakarta, ketika ditemui HIMMAH memberi gambaran revolusi hijau tahap satu be rjalan lebih dari 30 tahun penerapannya telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut data di atas kertas perbandingan antara peningkatan produktivitas dan kerusakan lingkungan tidak imbang. Revolusi hijau yang semula ingin membebaskan petani dari problem pertanian hanya mengantarkannya pada pembantaian untuk masuk keperangkap globalisasi ekonomi. Meminjam istilah Francis petani telah mengalami ”keter

paksaan ekonomi”, yaitu yang terjadi bukan perubahan paradigma petani untuk berubah dari subsisten ke komersial tetapi m e masukkan ke pergulatan yang lebih dahsyat dalam ideologi pasar bebas yang semakin mendera.

untuk teknologi pemerintah bisa men ciptakan traktor yang berkapasitas kecil sehingga cocok dan sesuai dengan kondisi tanah Indonesia hingga lebih efisien. Mengenai lahan yang terus menyempit, bisa menggunakan teknik hidroponik. Seperti Israel dengan luas lahan pertanian tomat satu hektar bisa menghasilkan 300 ton tomat. Jumlah yang sangat mustahil dicapai dengan teknik tanam konvensional. Kemudian pemerintah bisa membuat lahan pertanian abadi sehingga penyediaan lahan tidak tergusur oleh pembangunan.

Mengenai permasalahan harga jual produk pertanian kita bisa mencontoh konsep yang diterapkan Jepang, yakni dengan menetapkan harga jual bagi petani lebih tinggi, sedang untuk konsumsinya di turunkan. Dengan ini petani sebagai produsen bisa diuntungkan.

Langkah selanjutnya petani harus melakukan reformasi pemikiran untuk lebih berorientasi bisnis, maksudnya petani harus melihat pekerjaannya secara profesional

. . . . . . .

.

bukan hanya sebagai suatu pekerjaan yang turun temurun. ”Dengan berorientasi pasar maka petani tidak menanam satu jenis tana man saja, hal ini bisa mengatasi kelangkaan persediaan di pasar,” jelas Mustajab.

Menurut Mustajab, reformasi tidak han ya ditujukan untuk petani saja, pemerintah pun perlu ”didandani”. Struktur pemerintah sendiri kurang efisien karena terlalu banyak departemen sehingga proses pengendalian tidak maksimal. Pemerintah lebih meng utamakan pengembangan pr o yek yang bermodal besar, ini harus diubah menjadi berorientasi kecil mengingat jumlahnya begitu banyak. ”Demikian pula dengan penerapan kurikulum pendidikan pertanian jangan terlalu banyak teori, tapi harus lebih banyak ke praktik sehingga mahasiswa lebih tanggap dengan persoalan pertanian,” usul Mustajab.

u ntuk lebih memantapkan bargain ing position petani, Parwoto menawarkan solusi petani hendaknya bersatu dalam ger akan yang kongkret dan tidak lagi berada di awang-awang. Gerakan untuk membangun kelembagaan politik, sosial, dan ekonomi yang lebih menjamin keadilan dan kesejah teraan semua.

Astutik, Iwan Nugroho

[EKONOMI]
. . . . . . . . . .
.
.

Haji Merah yang Radikal

aKHIR Desember 1918 sampai pe r tengahan 1919, Surakarta dilanda gelombang pemogokan oleh petani yang bangkit dari penindasan penguasa setempat dan Hindia Belanda yang semakin keras. Penguasa pun resah dan mencari kambing hitam dari gerakan ini. Ditangkaplah se orang bernama Haji Misbach pada tanggal 7 Mei 1919.

awalnya pada 20 april 1918, masyar akat gempar oleh adanya gambar kartun yang dimuat dalam Islam Bergerak, dimana Misbach menjadi redaktur surat kabar itu. Gambar kartun tersebut bisa menjadi titik awal untuk memahami gagasan Misbach tentang situasi petani yang terjepit. Dalam gambar itu, penghisap dan penindas yang paling kelihatan adalah kapitalis Belanda. Penghisap dan penindas yang setengah kelihatan adalah pemerintah yang dikoman doi oleh residen Surakarta.

n ama Misbach tak banyak disebut dalam literatur sejarah pergerakan nasional. Padahal radikalisme gerakannya tak kalah dengan tan Malaka sekalipun. Mungkin karena kontroversialnya, buku-buku sejarah tidak sering menulis namanya. Salah satu buku yang banyak menjelaskan mengenai sepak terjang Haji Misbach adalah Zaman Bergerak karya takashi Siraishi.

Misbach adalah putra seorang peda gang batik yang cukup kaya di daerah Kauman, Surakarta. terlahir dengan nama achmad pada tahun 1876. Lalu pada saat menikah ia mengubah namanya menjadi Darmodiprono dan setelah naik haji, kem bali ia merubah namanya menjadi Haji

Mohammad Misbach. ayahnya bukan seorang pejabat. na mun ia lahir di kalangan yang religius, sehingga tidak heran jika ia lebih banyak menghabiskan waktu pendidikannya di pesantren daripada di sekolah bumiputera. Setelah dewasa ia berkecimpung dalam perdagangan batik seperti kebanyakan orang di daerah Kauman.

Kondisi masyarakat sekelilingnya yang mengenaskan, membuat Misbach terpang gil untuk memasuki ”jalur pergerakan” untuk membebaskan rakyat dari ketertin dasan. Ia sadar dengan berbagai konse kuensi yang harus dihadapi jika mengambil jalur hidup itu.

Awal Bergeraknya Sang Mubalig Saat itu tahun 1912 mulai timbul kesa daran masyarakat pribumi untuk bersaing dengan pedagang-pedagang Cina yang sudah maju. Oleh karena itulah Sarekat Da gang Islam berubah menjadi Sarekat Islam (SI) untuk memperluas keanggotaannya. ”Jadi tidak hanya pedagang saja yang men jadi anggota SI tapi petani, buruh, tukang kebun bersatu bersama-sama dalam SI,” kata Prof. Dr. Joko Suryo, salah seorang Guru Besar universitas Gajah Mada yang HIMMAH temui di rumahnya. Berbeda dengan Insulinde yang mengkritik pemer intah Belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia, SI bertujuan untuk memperbaiki ekonomi kaum pribumi berdasarkan Islam dengan mendirikan koperasi-koperasi.

Misbach sendiri baru aktif di Sarekat Islam (SI) tahun 1914, ketika SI memben

tuk IJB (Indlandsche Journalisten Bond). Setahun kemudian ia menerbitkan Medan Moeslimin, surat kabar bulanan. terakhir ia menerbitkan Islam Bergerak. tampaknya aktivitas Haji Misbach yang dikenal juga sebagai mubalig tidak bisa dilepaskan dari aktivitas jurnalistiknya. Melalui media massa, ia rajin memaparkan gagasannya.

Bagi Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan. Malah dengan menyerap ajaran komunismelah, menurut Misbach, Islam menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Julukan Haji Merah disandangnya karena ia punya konsep yang kontroversial yaitu ”agama Islam dan komunisme itu sama. Sama-sama membela rakyat miskin dan memerangi penghisapan ekonomi dan sosial.” namun, suara Misbach mulai berdengung di kancah perpolitikan pada saat ia menentang keras tindakan gubernemen yang semaunya dalam memberantas wabah penyakit pes pada 1915.

Masuknya Perserikatan Buruh (ISDV) dari Barat pada 1915 mengajarkan sosial isme kepada kaum buruh dalam negeri. ”ISDV ini melakukan kritik-kritik kepada pemerintah Belanda karena rendahnya upah buruh pada saat itu, diskriminasi dan pem erasan yang tujuannya untuk membangun kehidupan ekonomi yang sosial demokra tis,” ujar Joko Suryo.

Bagi Misbach manusia itu sama, baik pencuri atau orang yang berpangkat, re bana atau klenengan, wanita berjilbab atau kupu-kupu malam. Dalam salah satu tulisan

Surakarta yang terkenal kelembutan adatnya, pernah melahirkan seorang tokoh kontroversial. Adalah Haji Misbach, seorang mubalig saleh yang oleh karena radikalnya terkenal dengan sebutan Haji Merah.
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [RIWAYAT]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

menyebutkan di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang Misbach lebih dihormati daripada direk turnya. Bahkan Harloff menulis bahwa sifat yang bersemangat dari Misbach dengan pandangannya yang lancang dan gesit, sikap dan langkahnya yang angkuh dan khususnya bakatnya sebagai orator menandainya sebagai seorang penghasut yang menjadi semakin berbahaya karena kini ia dikenakan jubah seorang martir. Oleh karena itulah, bukan hal aneh jika sosok Misbach mudah mendapatkan massa pendukung bagi gerakan-gerakannya. Misbach tak perlu nyogok orang agar mau jadi pengikutnya.

Misbach menganalisis situasi Islam di Hindia dalam kerangka sosiologis. Pemerin tah netral dalam agama, tetapi melindungi kapitalis Belanda, kapitalis Belanda mem bantu misionaris Kristen, dan misionaris Kristen berlaku curang pada kaum mus lim dan merusak Islam, sehingga kaum muslim tetap lemah. Melalui organisasi Sidik, amanah, tableg, Vatonah (SatV), Misbach bersama kawan-kawannya pun terus berg erak. Mereka ingin membuk tikan bahwa ke-Islaman mereka melalui perbuatan, karena bila orang banyak cakap tapi miskin aplikasi sama saja Islam ga dungan.

Dasar keyakinan SatV adalah mem b u at agama Islam ”bergerak”. Misbach tampil sebagai mubalig pentolan SatV yang terkemuka yang menggerakkan Islam, mengadakan tabligh, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang tinda kan melawan semua bentuk penindasan dan penghisapan.

Bangkitnya Radikalisme e ksploitasi habis-habisan terhadap petani membuat Misbach sangat geram maka ia pun membuat rencana besar. Misbach melakukan seruan untuk kebe basan kita, kebebasan negeri, sama seperti melakukan propaganda untuk Islam. Mis bach berdiri di garis depan dalam mem erangi sistem pemerintahan, khususnya di daerah Surakarta. Ia berjuang membela hak para rakyat kecil khususnya kaum petani, karena upah petani sangat kecil dan sangat minim padahal hasil yang diberikan petani adalah ribuan gulden.

Tak mengherankan jika pada 23 Febru ari 1919 para kuli aktif mogok. Perkebunan tidak beroperasi, tapi pemerintah tidak segera menanggapinya. 10 april terjadi pemogokan kembali, lalu tanggal 16 april, dan 20 april, tapi tetap tak digubris. Pada akhirnya tanggal 27 april terjadi peny

erangan terhadap pemerintah melalui orasi kritis Misbach sebagai pemimpin Personeel Fabrieks Bond ( PFB) yang didirikan pada 1915 di Yogyakarta.

Mula-mula PFB ini merupakan koperasi buruh yang mendirikan sekolah untuk anakanak kaum buruh dan berusaha memajukan kepentingan buruh perkebunan. namun, pada 1917 serikat ini menjadi organisasi yang lebih bergaya Barat. Misbach melaku kan kampanye-kampanye agar perusahaan perkebunan memperhatikan nasib buruh. Dan kampanye terpenting yang melibatkan National Indische Partij, Sarekat Islam, Personeel Fabrieks Bond pada tanggal 29 Februari 1920 di ibukota distrik Delanggu. Waktu itu ia berbicara, ”tanah bukan milik Susuhunan atau Gubernemen tetapi berasal dari nenek moyang kita dan kita harus mencari jalan untuk memperolehnya kem bali.” Ajakan untuk membebaskan Jawa dari ”dominasi” kepemilikan tanah itulah yang menyebabkan Misbach ditahan dan dibawa ke pengadilan karena ucapannya yang pedas tersebut. akhirnya ia pun di jatuhi hukuman sekitar dua tahun penjara pada awal Oktober 1920.

Bersentuhan dengan Komunisme

Pemikiran Misbach diwarnai oleh berbagai corak yang buat orang keban yakan saling bertolak-belakang. Yaitu Muhammad, Marx, dan wawasan abangan tradisional. Ia berpendapat bahwa semua penyakit sosial dan spiritual yang diderita oleh masyarakat disebabkan oleh sistem kapitalis di seluruh dunia yang secara tidak manusiawi memeras dan menindas rakyat jelata. Gubernemen, para kapitalis, raja bu miputra, aristokrasi bahkan orang muslim yang kaya raya semuanya merupakan bagi an dari sistim penindasan dan ketidakadilan yang berlaku di mana-mana. namun, di sisi lain ia tetap melarang memakan riba dan menyerang berkali-kali mereka yang rakus dan meng himpun harta. Misbach pun menga n ju r kan agar ada keadilan, perlakuan yang wajar dan bantuan kepada yang tertindas.

takashi Shiraishi menilai corak pemikiran sinkretisme demikian khas Jawa. ”Namun demikian, ajaran Islam nampaknya lebih kuat melandasi pola berpikirnya daripada ajaran komunisme Marx,” tulis Shiraishi. Ini dapat dilihat dari tulisan-tulisannya yang kental dengan ajaran Islam. Seruan agar ”rakyat harus bergerak” misalnya, dikaitkan dengan ka pitalis yang menindas buruh harus dilawan, karena Islam melarang penindasan.

Menurut Haji Misbach, inti dari pen yakit kapitalis itu adalah ketamakan.

”Maka kita mengatahoei bahoewa kaoem modal itoe jang mendjadi tjita-tjitanja hanja menambahkan keoentoengannja dengan tidak mengingat beriboe-riboe orang lain mendjadi sengsara, dari itoe segenap wak toe, seg e nap tenaganja kaoem boeroeh terpaksa dihabiskan oentoek mentjahari kan kaoentoengannja kaoem modal sebab soedah terikat olih peratoerannja doem modal,” tulis Misbach dalam Islamisme dan Komunisme, di Medan Moeslimin.

Dan ketika ia dibebaskan, a gustus 1922, ia mulai mengendalikan Islam Bergerak dan Medan Moeslimin dan menambah penekanannya mengenai ide ologi Marxis. Di SI ia mencoba membawa cabang SI ke arah komunis. namun sayang, keutuhan SI ini tidak bertahan lama. Joko bercerita, ”Pada tahun 1918-1920-an terjadi perpecahan di kalangan SI sendiri sehingga SI terpecah menjadi dua yaitu SI Putih yang memegang teguh syariat Islam dan SI Merah yang berhaluan komunis.”

Misbach konsisten dengan pemikiran bahwa komunisme bisa sejalan dengan Is lam. Dalam perpecahan itu, Misbach lebih memilih SI Merah dengan segala konse kuensinya. ”Dengan adanya perpecahan di tubuh SI, maka SI Putih membersihkan diri dengan mengeluarkan anggota-anggotanya yang komunis sosialis sehingga SI Putih menjadi Partai Serikat Islam pada 1921 dan SI Merah menjadi Partai Komunis Indone sia,” ujar Joko menerangkan konsekuesi masuknya Misbach dalam PKI.

Pada tanggal 28 September 1923 Mis bach bersama rekan-rekannya mendirikan Sarekat Rakyat (SR). nama ini merupakan pemberian PKI kepada bekas SI Merah yang bertujuan membina pengikut massa lewat himbauan keras dalam rangka Islam. Ia mengubah surat kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak untuk memperlan car usahanya tersebut.

Misbach dan sejumlah pemimpin komu nis lainnya menggerakkan masyarakat dengan membuat tindakan teroris di berba gai tempat dengan menamakan tindakan tersebut ”Sabotage”. akibat tindakannya tersebut ia dibuang ke Manokwari, Irian Utara pada bulan Juni 1924 dan meninggal di sana pada bulan Mei 1926.

tindakan yang dilakukan Haji Misbach memberi warna tersendiri bagi kehidupan politik Indonesia. Haji yang peka terhadap kehidupan masyarakat kecil dan berani membelanya, haji yang mampu mengge rakkan massa untuk bangkit dari ketidak berdayaan. Misbach pernah menuturkan kepada Marco Kartodikromo dari balik jeruji penjara, ”Kawan kita banyak yang melarikan diri sebab takut, tetapi saya mesti

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [RIWAYAT]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Sepenggal Kehidupan di Kawah Ijen

JaRuM jam menunjukkan pukul 02.30

WIB di kaki langit rembulan,gugusan bintang masih terlelap didekap mendung tebal. Dalam gelap, hawa dingin sangat te rasa, suara jangkrik bersahutan meramaikan suasana. tampak dari kejauhan kerlapkerlip nyala api lima obor memendarkan suasana malam yang hampir usai. Kelima manusia pembawa obor itu adalah penam bang belerang yang bergerak menuju pun cak Ijen. tepatnya di kawah yang menjadi sumber unsur mineral yang satu ini. Orang biasa menyebutnya kawah Ijen, sebuah kawah yang terletak di antara Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur.

Mereka terus bergerak sabar menyu suri jalan berpasir dan berkerikil. Jalan setapak pegunungan Ijen yang berliku dan melingkar-lingkar tak membuat mereka gontai untuk terus melangkah. Berbekal sandal jepit, pikulan bambu, dua keranjang bambu, selembar kain sarung yang terlilit di leher, dan sebotol air putih mereka be rangkat kerja.

tak lebih dari satu setengah jam kemu dian mereka telah sampai di dasar kawah Ijen. Pagi masih sangat dini namun suasana telah ramai, puluhan laki-laki dengan obor dan perlengkapannya masing masing. Pe mandangan yang sungguh menakjubkan, di tengah kepungan asap belerang dengan ”wangi khasnya” seperti bau telur busuk. Puluhan nyala obor masih tampak di selasela asap tebal itu.

Langit perlahan semakin terang. Para pegawai sibuk sendiri-sendiri mengambil belerang, memecahkannya jika terlampau besar, memilah-milah, dan membersih kannya dari pasir. Lalu menyusunnya dalam keranjang dan karungnya masing-masing. ”Saya kerja di sini baru lima tahun yang lalu, biasanya saya berangkat kerja ten gah malam. Diterangi cahaya obor,” tutur Hartono (30), salah seorang yang ditemui HIMMAH di lokasi penambangan.

tak lama sesudah itu belerang-belerang itupun berpindah tempat ke dalam keran jang bambu. untuk kemudian diangkat oleh para pekerja menjauhi area penambangan menyusuri pekatnya tirai malam. Berjalan beriringan menaiki anak tangga batu. ”Saya

kuatnya mengangkat sebanyak dua kali, tapi kalau kondisinya memungkinkan bisa sampai tiga kali,” kata Hartono. ”Sekali angkatan 80 atau 90 kilo, bahkan diantara rekan-rekan ada yang kuat sampai 125 kilo,” lanjut pemuda lajang ini.

Lempengan belerang yang mereka bawa itu awalnya adalah cairan bercampur gas yang kemudian membeku. Belerang itu disalurkan keluar lewat pipa. ada sekitar dua ratus pipa-pipa yang siap menyalurkan belerang cair keluar dari perut bumi. ada sekitar tiga ratus pegawai bawa (PB) yang bertugas naik-turun pegunungan untuk mengangkut belerang. termasuk dalam kategori ini adalah Hartono dan kawankawannya. Status mereka karyawan tidak tetap perusahaan pertambangan. Sedangkan yang menjadi karyawan tetap adalah pega wai sulfutara (PS), mereka hanya berjumlah 12 orang, bertugas menjaga dapur belerang. Para pekerja ini umumnya berasal dari ber bagai wilayah seantero Banyuwangi.

Para pegawai bawa mendapatkan upah berdasarkan jumlah bawaan belerang yang mereka angkut serta kualitasnya. ”Belerang yang kami bawa itu harus bersih tidak boleh ada abu, pasir, atau kotoran

lain,” kata Misnadi (55). ”Jika kotor maka sewaktu penimbangan akan dipotong berat timbangannya sepuluh sampai 20 persen,” lanjut pekerja yang biasa mengangkut ber sama Hartono ini.

Semua pekerja terlihat sigap, cekatan dan tangkas. Di tengah kesibukan mereka terdengar suara batuk-batuk diikuti ludahan dari mulut para PB dan PS saling bersa hutan sambung-menyambung tanpa henti. ”Dalam keadaan penuh asap seperti ini bekal air minum tidak boleh lupa,” ujar Muji, seorang pegawai dapur belerang.

”Di samping untuk minum, juga untuk membasahi kerah baju, kami bernafas melalui mulut dengan men g gigit kerah baju basah ini. Bernafas melalui hidung itu berbahaya,” jelasnya sambil menunjukkan kerah bajunya yang basah.

Jalur yang Berbahaya Jarum jam menunjukkan pukul 05.00 WIB. Kicau burung punglor, murai, dan kacer mulai terdengar, menambah semarak pagi hari. Wajah para pekerja tak seriang nyany i an burung-burung itu. e kspresi kepenatan tampak pada para pegawai bawa, hingga untuk tersenyum pun seperti dipak

Pegunungan Ijen menyimpan banyak panorama keindahan. Tapi di balik itu, ada nuansa getir sekelompok anak bangsa yang mengais rezeki demi kelangsungan hidupnya di sana. tepi Jurang Kawang Ijen. Jalur berbahaya mengancam nyawa Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [INSANIA]
/
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

sakan saat berpapasan dengan HIMMAH Beban berat yang menggelayuti pundak rupanya semakin berat saat mereka me napaki jalan setapak yang terjal berbatu, berkelok-kelok. Sisi kiri dan kanan jalan setapak sejauh 400 meter itu penuh batubatu sebesar kambing dan kerbau.

Kawah yang curam dan dalam mem bayangi perjalanan mereka. Salah meng injakkan kaki bisa berakibat fatal. ”Jalan di sini mesti pelan-pelan Den, mesti hatihati kalau tidak ingin terperosok ke dalam kawah. tahun kemarin saja ada beberapa kawan saya yang mati terjatuh,” cerita Mi snadi. ”Bahkan baru beberapa bulan yang lalu seorang fotografer Perancis meninggal terjatuh, karena terlena saat mengambil foto,” lanjut ayah beranak empat ini. Jalur berat itu mesti mereka tempuh sebab itulah satu-satunya jalan untuk keluar dari kawah Ijen. tiga kilometer selanjutnya adalah jalan berkerikil dan berpasir. tapi bukan berarti jalur ini tidak kurang berbahayanya. ”Jalan berliku dan menurun tajam butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk melaluinya,” kata Wawan (35), seorang pegawai bawa. ”Kalau tidak biasa kaki bisa

tentu yang membahayakan makhluk hidup di sekitarnya. ”Gas beracun itu warnanya hitam pekat, menyembur dengan cepat ke atas, cemlorot dan menyebar cepat mencari korbannya,” papar tikno (56). Banyak orang yang tidak tahu kemun culannya. tiba-tiba saja ada yang mati. ”Kita tidak tahu kapan kepastian gas beracun itu keluar. tapi ada tanda-tanda yang kita kenali, walau kadangkala meleset juga,” tukas tikno lagi. Menurut para pekerja, jika bagian atas kawah diguyur hujan se lama berhari-hari, biasanya dalam keadaan seperti itu gas beracun akan keluar. ”Dalam kondisi seperti itu yang bisa kita kerjakan hanya pasrah menunggu sampai situas inya aman, berhenti kerja satu sampai dua minggu menanti pemberitahuan dari petu gas pemantau keadaan dari Badan Geologi setempat,” tambah bapak dari empat orang anak ini.

Kondisi dunia kerja di daerah penam bangan yang keras masih juga di tambah dengan minimnya fasilitas penu n jang. Dimulai dari peralatan kerja yang sead

Departemen tenaga Kerja tentang kes ejahteraan pekerja sungguh jauh dari ideal. ”Kalau orang sini sakit, perusahaaan mem bantu pengobatannya, tapi paling banter ke Puskesmas. Kalau sakitnya di rumah, ya berobat sendiri, perusahaan tidak mau nanggung,” keluh Misnadi yang sudah 35 tahun bekerja di kawah Ijen. ”Kerja di sini berat, asap tebal belerang adalah makanan sehari-hari pe r nafasan kita sering ter ganggu, belum lagi mata sembab dan kulit yang mengering, rematik serta sakit perut,” papar Misnadi menyebut penderitaan yang dialaminya, sambil menunjukkan kedua telapak tangannya yang menghitam. untuk menjaga kesehatan, para pekerja minum jamu-jamuan. Jamu akar daun, kunir, temu lawak, telur bebek dicampur sprite untuk menjaga ketahanan fisik.

”Perusahaan tidak banyak berbuat, kontrol kesehatan sangat jarang, helm pengaman dan masker pelindung tidak ada, sepatu juga tidak ada,” tambah Misnadi. ”Jaminan hari tua tidak ada, Tunjangan Hari Raya (tHR) baru tahun kemarin itu pun cuma kain baju dan celana senilai Rp 30 ribu.” Sebagian besar para pekerja juga

terkilir, belum lagi kerikil pasir membuat kaki gampang terpeleset.”

Gas Beracun Mengancam Nyawa

Setiap pekerjaan selalu membawa re siko, demikian juga dengan pekerjaan di sini. Daerah kawah belerang di samping aktif memproduksi asap ternyata menyim pan bahaya tersembunyi. akibat intensitas produksi asap yang tinggi, mengakibatkan tiadanya tumbuhan yang mampu hidup pada area seluas 125 km persegi itu. Ler eng-lereng dekat kawah Ijen sepi tanpa ada tetumbuhan satupun yang mampu ber tahan.

Belerang yang tersusun atas beberapa unsur, adakalanya membuang gas-gas ter

anya: alas kaki berupa sandal jepit, tanpa masker pelindung pernafasan, tempat peris tirahatan yang buruk, persediaan air yang tak memadai.Perusahaan menyediakan air hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja, untuk minum, masak, cuci muka, dan cebok. Jumlah air sangat terbatas, sehingga para pekerja menjadi biasa tidak mandi sampai 10 hari. ”Kita baru bisa mandi sepuasnya jika pulang ke rumah. Mandi di sini harus membayar seribu rupiah sekali mandi. Sepuluh kali mandi berarti 10 ribu rupiah,” ujar Kasiman.

Belum lagi jaminan kesehatan yang tidak ada. Bisa dilihat dari MCK tidak memadai, tHR tidak layak, tanpa jaminan hari tua, sampai kontrol kesehatan juga menyedi h kan. Merujuk pada peraturan

mengeluhkan keadaan tempat peristirahatan yang mereka tempati. Beberapa rumah ber dinding bambu yang terdiri dari tumpukan kotak berukuran panjang 165 cm, lebar 120 cm, dan tingi 90 cm. ”Beginilah Mas, tempat tidur kami seperti bekupon doro (kandang merpati-red),” kata mereka.

Ikhwal minimnya fasilitas penunjang buat para pekerja, Hasan anwar satu-sa tunya wakil pegawai bawa yang duduk di SBSI menuturkan kepada HIMMAH bahwa mereka menginginkan hubungan yang lebih adil dan saling menguntungkan antara perusahaan dengan para pekerjanya. ”Perusahaan butuh tenaga kita dan kita bu

Pegawai Bawa di tambang Belerang. Kerasnya hidup nasib tak berubah Indra Yudhitya HIMMAH Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [INSANIA]
/
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

tuh imbalan yang selayaknya. Kita tak ingin perusahaan macet usahanya karena tuntutan kita, dan kita rugi karena kurang pedulinya perusahaan,” kata Hasan. Satu tuntutan yang saat ini gencar diperjuangkan oleh SBSI adalah tunjangan Hari tua (tHt). Banyak dari para penambang sudah bekerja sangat lama, mengabdikan hidupnya buat perusahaan sampai kehabisan tenaga karena umur yang semakin tua, bahkan hingga meninggal dunia. ”Ibarat barang selagi ada manfaatnya dipakai kalau sudah tidak berguna dibuang. Jika ada THT kan enak, jadi tenang kerjanya karena ada pegangan,” harap Hasan.

Persoalannya menurut Hasan men gapa SBSI seperti kurang tanggap pada permasalahan pekerja karena yang duduk di sana orang perusahaan, bukan dari pekerja. ”Idealnya yang ada di SBSI itu orang pegawai bawa yang lebih berkepentingan akan kesejahteraannya sendiri,” kata Hasan bijak. namun hambatan datang dari per usahaan yang terkesan mempersulit wakil pekerja untuk duduk di SBSI.

Berkenaan dengan mandeg-nya SBSI dalam menyuarakan kesejahteraan PB, Saidi Wakil Ketua SBSI dari unsur perusa haan memberikan jawabannya, ”Kita ini orang dalam (orang perusahaan-red) sulit mengambil posisi mesti bagaimana. Yang bisa kita lakukan adalah membentuk kelom pok kerja per daerah kemudian melakukan brifing agar mereka sadar akan hak-hak kerjanya.” Saidi juga menambahkan,”Saya sendiri lebih suka tidak usah repot men gurusi mereka, biar mereka mengurusi dirinya sendiri. Saya sebagai pegawai tetap perusahaan sudah repot mengurusi perma salahan kami.”

Harga yang Tak Layak

Kerja di manapun, imbalan finansial sebagai bentuk kompensasi tenaga, waktu, keringat yang di berikan adalah sebentuk kewajaran yang seharusnya. u pah satu komponen penting yang membuat sese orang akan bertahan dengan pekerjaannya. Para pekerja PB pernah mengadakan unjuk rasa menuntut kenaikan harga belerang di kantor PT Candi Ngrimbi. Wawan, anggota PB yang sudah sepuluh tahun bekerja di tengah kesibukannya menyusun belerang mengatakan, ”Harga 300 rupiah per kilo adalah hasil unjuk rasa teman-teman dua bulan yang lalu di kantor PT Candi Ngrimbi di taman Sari,” tuturnya. ”Kita tidak puas dengan harga segitu, mintanya teman-te man 500 rupiah, alasannya barang-barang sudah pada mahal.”

Suwitno pria berkulit legam yang mengaku sudah 30 tahun bekerja di penam

bangan ikut menimpali uraian Wawan. ”Saya kerja di sini mulai harganya masih empat rupiah, 15 rupiah, sampai dengan 300 rupiah. Kalau dibandingkan antara dulu dengan sekarang, dengan situasi ekonomi seperti ini, lebih enakan dulu,” papar Suwitno. Pendapat itu diamini oleh Kario. ”Satu kali angkatan kita dapat 15 ribu rupiah, buat makan tiga ribu rupiah, rokok tiga ribu, belum lagi jajannya, tinggal tujuh ribu rupiah tidak sebanding dengan jerih payah dan resiko yang kita hadapi,” sambung Kario.

Menanggapi banyaknya keluhan dari pekeja, Muhammad pimpinan perusahaan PT Candi Ngrimbi mengatakan bahwa ma salah harga dan kesejahteraan pekerja itu adalah tanggung jawab pusat. ”Perusahaan ini hanya sebagai penyetor belerang mentah ke perusahaan pusatnya yang berada di Surabaya, kebijakannya selalu diputuskan dari sana kita hanya pelaksana,” ujar Mu hammad. ”tapi kita akan usahakan sekuat tenaga untuk membantu mereka.” Kiranya tak terlalu penting janji seperti itu karena sepertinya para pekerja pasrah dengan

jurus kemudian mereka telah sampai di tempat yang mereka tuju. Sebuah rumah bambu dengan dua nyala api unggun be sar dan 30 laki-laki yang sedang duduk melingkar. Sampai larut malam mereka berbincang ditemani secangkir kopi tubruk, ketela bakar, dikelilingi wangi tanah dan te tumbuhan. Obrolan pun lepas penuh gelak tawa. Kesederhanaan dan keramahan yang tumbuh dari persahabatan tulus sesama pekerja bak oase di padang pasir yang menuntaskan kepenatan. Dalam kenesta paan hidup yang mereka rasakan, hal-hal demikianlah mungkin yang membuat para buruh kuat untuk bertahan.

Kasiman (67), bapak empat anak yang telah bekerja sejak 1950-an sore itu bercerita pada HIMMAH. ”teman- teman seangka tan saya sudah habis, ada yang meninggal, ketuaan, atau dilarang anak cucunya untuk kerja lagi,” kenangnya dengan sorot mata menerawang jauh. ”Kerja di sini 50-tahun hampir tidak terasa, tahu-tahu kulit sudah keriput, rambut sudah beruban, badan sakit-sakitan, tapi hidup tetap saja seperti ini,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

kondisinya. ”Cari duit ternyata susah, tapi tidak apa-apa, toh buat kebaikan keluarga, biar saya saja yang susah,” kata Kaman, pegawai bawa yang sudah 15 tahun bekerja di penambangan. ”Saya tidak ingin anak saya nanti kerjanya seperti ini.”

Senja mulai merangkak, jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dalam malam ternyata masih ada ”kloter” terakhir pembawa belerang yang berjalan. Kelima sosok tubuh pembawa belerang dengan obor di tangan itu berkelebat cepat. Se

Kasiman tetap tegar menghadapinya. esok akan bersinar lagi, berarti perjuangan hidup mengucurkan keringat kembali dimulai. Buat Kasiman, Hartono, Suwitno, dan bu ruh lainnya di lereng Pegunungan Ijen, tak ada waktu untuk duduk termenung menanti nasib berubah. Buat mereka hidup memang sungguh perjuangan tanpa henti.

Solikhan, Indra Yudhitya

Belerang siap Kirim. Harga dari perusahaan kurang layak untuk pekerja Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [INSANIA]
Mochammad
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Makin Kenal, Makin Tak Sayang

anD a tentu masih ingat kewajiban mengikuti pelaksanaan upacara ben dera setiap Senin, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). ”untuk menanamkan rasa cinta tanah air,” demikian kata bapak dan ibu guru. Sampai sekarang pendidikan diyakini sebagai salah satu jalur utama dalam penanaman rasa cinta tanah air. Mua tan nasionalisme itu dimasukkan dalam pelaj a ran-pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Panca sila dan Kewarganegaraan (PPKn), sampai Kewiraan di bangku kuliah.

Berbarengan dengan angin perubahan yang bertiup dengan cepat di negeri ini, ditambah dengan persoalan bangsa yang semakin kompleks. Banyak orang yang mulai pesimis dengan pendidikan pen anaman cinta tanah air di bangku sekolah maupun kuliah. Sebenarnya jauh hari sebe lum pesimisme itu muncul, adam Malik, mantan Wakil Presiden Indonesia pernah

m e ngutarakan kecemasan yang senada. ”Secara ideologis Pancasila telah kita mi liki, akan tetapi kita juga menyadari bahwa pela k sanaan serta perincian Pancasila dalam kehidupan nyata belum terlihat,” ujar adam Malik dalam buku Dialog Indonesia Kini dan Esok.

”Bila pelaksanaan Pancasila hanya sam pai demikian, bisa saja generasi sesudah kita meragukan keampuhan Panc asila,” lanjut a dam Malik. Kekhawatirannya terhadap generasi penerus bangsa kiranya cukup beralasan. Dalam hal pendidikan formal, dari awal sudah ada pen a t a ran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) mulai dari tingkat SD sampai jenjang universitas. ”namun yang terpenting bukan pada lulusan penataran nya, tapi mampukah para peserta penataran melaksanakan apa yang diberikan dalam P4 dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap adam Malik.

Pada kenyataannya peserta didik moral kini justru menjadi pelaku-pelaku kejahatan dekadensi moral. Banyak pemimpin negara yang seharusnya sebagai pendidik sekaligus pemberi teladan, malah memulai tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai moral. Sep ertinya Pancasila sebagai ide ologi, azas tunggal, sumber dari segala sumber hukum, dan istilah-istilah luhur lain yang melekat padanya, terhenti sebagai kajian manis di ruang-ruang belajar sekolah, serta jawaban ujian. Justru yang paling penting namun tak mampu dilakukannya yaitu membuat barikade pertahanan moral terhadap anca man ”keringnya” integritas mental bangsa. Manfaat dari berderet pelajaran dan mata kuliah yang mengajarkan kebenaran nor matif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misal Pancasila, dan Kewiraan, tak ayal dipertanyakan. ”Siswa mau bela jar hanya sebagai formalitas saja, untuk persiapan ujian,” kata Susil a wati, guru pelajaran tata negara dan PPKn SMun 3

Pendidikan kewarganegaraan semakin kurang diminati. Perlu metode baru dalam penanaman rasa cinta tanah air dan pendidikan moral bangsa. Tantangan buat para pendidik atau ancaman terhadap nasionalisme? Ujang Priatna / HIMMAH upacara Bendera. Penanaman rasa cinta tanah air lewat pendidikan menjadi persoalan
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [PENDIDIKAN]
. . . . . . . .

Yogyakarta. ”Dengan begitu mereka tidak bisa menanamkan rasa cinta terhadap nega ra dan nasionalisme,” lanjutnya. tudingan pun mengarah kepada materi pelajaran dan metode yang digunakan oleh para pendidik. Di sisi lain ternyata ada indikasi bahwa pendidikan semacam Pancasila dianggap membosankan. ”Wah ya bosan, dari dulu pelajara n nya itu-itu terus, kalau bukan buat ujian, ya malas, Mbak,” ungkap triy ana siswa SMPn 8 Yogyakarta. Meskipun demikian, triyana merasa senang dengan metode diskusi kasus yang disajikan oleh guru di kelasnya.

Peran Pendidik dan Metode

Pendidik ternyata mengambil peran yang signifikan dalam menciptakan gen erasi penerus yang sensitif terhadap cinta dan bela negara. Pendidikan moral yang telah banyak menyita perhatian anak didik sejak SD hingga perguruan tinggi ternyata mulai membosankan.

”Mungkin ada kecenderungan para mu rid merasa ada indoktrinasi dari gurunya,” papar Susilawati. Indoktrinasi berkaitan dengan metode pengajaran yang diberikan, karena terpaku pada kurikulum pendidikan yang diberikan, guru menjadi tidak kreatif dalam menyampaikan materi. untuk an tisipasi, pendidik seharusnya menggunakan inovasi pembelajaran bagi peserta didiknya. ”Seharusnya guru tidak hanya mendoktrin siswa. Hendaknya siswa juga diberi kes empatan berargumentasi di dalam kelas,” kata Susilawati.

Hal senada juga diungkapkan oleh Dra. L. a ndriani Purwa s tuti, M.Hum. ”Saya sering memberikan evaluasi setiap akhir pelajaran kepada mahasiswa, dengan memberikan lontaran-lontaran pertanyaan terhadap materi yang baru saja diajarkan,” tutur koo r dinator Pendidikan Panc a sila u niversitas n egeri Yogyakarta ( un Y) ini. ”Sehingga diharapkan hal ini mampu meran g sang minat mahasiswa terhadap materi pendidikan Pancasila,” lanjutnya.

namun persolan tidak selesai begitu saja, mengingat sulitnya memun culkan minat cinta negara dan bermoral Pancasila kepada peserta didik. Menurut Dr. Damar djati Supadjar hal yang tidak kalah penting adalah memunculkan teladan dari pem impin bangsa kepada rakyatnya. ”Bukan pada Pancasila saja, melainkan seluruh pen didikan moral dan pendidikan keagamaan itu memerlukan contoh,” tutur Kepala Pusat Studi Pancasila uGM ini.

Mengenai metode Damardjati juga sedikit berbeda. ”Buat apa Pancasila dibic arakan? Saya mau mencari model komu nitas bertingkat seperti struktur Pancasila.

Sudah 12 tahun Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan kepada generasi muda, dari SD sampai perguruan tinggi. Di bangku kuliah ada pelajaran Pancasila dan Kewiraan. Pemerintah melalui Dirjen Dikti mengharuskan mahasiswa untuk mempelajarinya lagi. Bahkan dijadikan mata kuliah wajib dalam kurikulum perguruan tinggi negeri maupun swasta. Kewiraan sendiri di UII pada kurikulum baru 2002 berganti nama menjadi Kewarganegaraan. Mengapa butuh waktu lama untuk mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan? Padahal materi yang diajarkan banyak yang merupakan pengulangan pelajaran sejenis di SD, SMP, dan SMU. Bisa jadi asumsi seperti itu pula yang mendasari jawaban responden dalam jajak pendapat HIMMAH. Sebagian besar (48,89 persen) dari 93 responden menyatakan perlunya perbaikan pada mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Bahkan 42,22 persen berpendapat bahwa dua mata kuliah itu dihapuskan saja, artinya pendidikan sejenis yang telah ada sebelumnya, dianggap sudah cukup. Hanya 8,89 persen yang menginginkan tetap tanpa perubahan.

Metodologi Jajak Pendapat: Jajak pendapat ini dilakukan oleh Litbang HIMMAH. Data 93 responden diambil dari setiap fakultas di UII pada tanggal 28 Mei 4 Juni 2002. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak proporsional (proporsional random sampling). Sampling error diperkirakan 5%, dimungkinkan adanya non sampling error

Dari bathin ke lahir, dari hulu ke hilirnya cocok dan pasti relijius. Menurut hipotesis saya yaitu melalui pesantren kerja,” gagas Damardjati yang juga dosen Fakultas Fil safat uGM.

Di luar pendidikan yang dilakukan di bangku sekolah dan ruang kuliah, pen didikan dalam keluarga sejak dini juga tak kalah penting. ”Sebelum anak dididik di sekolah, ibu bapak di rumah menyiapkan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan agama,” kata Damardjati lagi.

Peran orang tua sangat penting bagi si anak, di samping itu faktor-faktor pen dukung lain seperti layanan informasi yang dekat dengan dunia anak pun harus selaras dengan tujuan semula. ”Sebelum

anak-anak diberi pandangan hidup berBhinneka tunggal Ika, seluruh tayangan televisi, koran, dan informasi polanya harus jelas,” kata Damardjati. ”Masak di televisi diajari bunuh-membunuh, sinetron bertema per selingkuhan yang rendah mutunya,” kritiknya lagi. Jika dipikir, memang ada benarnya, pendidikan formal dalam ruan gan kelas tidak bisa dijadikan satu-satunya tumpuan harapan untuk menanamkan kesa daran cinta tanah air dan moralitas bangsa. Jika sudah bosan dan terus diberikan, mungkin bisa saja terjadi plesetan pepatah: makin kenal makin tak sayang.

Rengga Damayanti, Diyan Melasari

Pancasila dan Kewiraan di Mata Mahasiswa
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [PENDIDIKAN]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Padang Pasir Tanpa Damai

sebagai polisi dunia. Layaknya koboi amerika ingin menumpas habis musuhnya dan menjaga keamanan kepentingannya.

aksi sang koboi ini dapat dilihat dari sejarah Amerika sejak merdeka 4 Juli 1776 sampai era globalisasi sekarang ini. Berkali-kali amerika menunjukkan dominasi dan hegemoninya kepada negara lain, melalui kekuatan ekonomi, politik dan militer a merika menebar ancaman bagi para ”pengacau”. Perang teluk yang terjadi pada 1990 di kawasan timur tengah antara amerika vis a vis Irak, membuktikan egosentrisme a merika sebagai negara adikuasa.

tiap kekuasaan akan melahirkan anti kekuasaan. Tesis dari Michael Foucault filosof asal Perancis menemukan relevan sinya. Serangan 11 September 2001

menu n jukkan bahwa ada pihak-pihak yang tidak puas atas hegemoni amerika dan menentang kekuasaan amerika dalam segala bentuknya. Yang paling menonjol melak u kan pe r lawanan secara frontal adalah negara-negara serta gerakan Islam di timur tengah. ”amerika memberikan stigma kepada dunia internasional bahwa Islam itu kejam,” tutur Dra. Siti Muti’ah Setiawati Hakim, Ma, Dosen Hubungan Internasional FISIP UGM. ”Hal itu karena kelompok Islam merasa diganggu,” ungkap nya lebih lanjut. ”Ideologi Islamlah yang membuat kapitalisme amerika tidak jalan, jadi amerika seolah-olah menyerang umat Islam, padahal yang diserang adalah ide ologinya,” tutur Siti kepada HIMMAH ketika di temui di kantornya.

Kepentingan di Timur Tengah

SeORanG pria duduk di atas pelana kuda dengan gagah, mengenakan celana kulit, sepatu boot, lengkap dengan gesper yang berkilat ditempa matahari. Menyan dang pistol di pinggangnya, lantas dengan gayanya yang khas berkata, ”Hey man, I’m a cowboy .” Demikian iklan yang sering muncul di berbagai bentuk media yang

memperkenalkan sebuah produk rokok ter nama dan sering diidentikkan dengan icon (simbol-red.) keperkasaan amerika. tak salah jika amerika bangga dengan icon-nya itu. Pada kenyataannya amerika merupakan negara multi ras terbesar di dun ia. negara super power sekaligus ”induk” kapitalisme ini bahkan sudah lama dikenal

Menurut Siti Muti’ah kepentingan amerika di timur tengah ada tiga hal. Per tama amerika ingin mencegah munculnya pemimpin-pemimpin yang radikal dan ”fundamentalis Islam” menurut definisi amerika. Kedua amerika ingin menjaga eksistensi Israel dan yang ketiga adalah ke lancaran eksplorasi minyak bumi. ”Jadi inti hegemoni amerika ini adalah kepentingan ekonomi,” tutur Siti Muti’ah.

” a merika berusaha untuk menjaga eksplorasi minyak dan menjadi pemimpin dalam penguasaan minyak di kawasan timur tengah, lantas uang hasil dari eksplorasi minyak itu diarahkan untuk

Timur Tengah merupakan salah satu bagian dunia yang selalu panas. Baik oleh perang, konflik antar negara, maupun kepentingan di luar kawasan kaya minyak ini. Termasuk di antaranya kepentingan Amerika. Indra Yudhitya HIMMAH
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [INTERNASIONAL]
/
. . . . . . . . . . . . . . . . . .

dibelanjakan dan disimpan di bank-bank amerika,” papar Siti.

Sedangkan menurut Drs. Sidik Jat mika, M.Si, Dosen Hubungan Internasional universitas Muhammadiyah Yogyakarta (uMY), kepentingan amerika di timur tengah yang utama bukanlah kepentin gan ekonomi, namun kepentingan negara Israel. ”Kepentingan Israel di tanah Zion (Palestina) yang diutamakan,” ujarnya ke pada HIMMAH. Kepentingan Israel yang diutamakan amerika adalah penguasaan atas tanah Zion (Palestina) karena tanah itu adalah tanah kejayaan bangsa Israel se masa Daud dan Sulaiman berkuasa. Karena setelah masa kejayaan Islam bangsa Yahudi terusir dari tanah kelahiran mereka.

akan tetapi dengan banyaknya kon flik-konflik bersenjata di kawasan Timur tengah, maka amerika juga ada kepen tingan lain yaitu menjual senjata yang di amerika disebut sebagai Military Indus trial Compleks (MIC). Ada indikasi bahwa pertikaian yang berkobar di timur tengah sengaja diciptakan oleh amerika, dengan asumsi bahwa kelompok yang bertikai akan membeli senjata dari amerika.

amerika tidak ingin melepas begitu saja kepentingannya di kawasan timur tengah. Karena kawasan kaya minyak yang terletak di antara tiga benua yaitu benua asia, af rika dan eropa merupakan kawasan yang paling strategis di dunia. Sehingga dengan segala daya dan upaya amerika tidak gentar meskipun ada negara di kawasan timur tengah yang membangkang terhadap ke mauan amerika.

Irak ditaklukkan dengan senjata embar go ekonomi, meskipun embargo ini tidak secara signifikan melemahkan kedudukan Saddam Hussein bahkan membuat rakyat Irak sengsara khususnya anak-anak. Bun tutnya amerika pun menuai kecaman dari dunia internasional. akan tetapi amerika seolah bertelinga tanduk dan tidak peduli terhadap kecaman itu. Bahkan pada semes ter pertama tahun 2002 amerika berusaha untuk menggulingkan Saddam melalui kelompok militer yang membelot.

Pengaruh Lobi Yahudi

Lobi Yahudi di Capitoll Hill gedung kongres a merika cukup kuat dengan adanya American Israel Public Affairs Committe (AIPAC). Organisasi ini mem pengaruhi politisi dengan pendekatan wine, dine, dan entertaint artinya politisi yang kurang bersahabat terhadap Israel, akan ditawari anggur, makan dan hiburan. Jika pendekatan ini tidak mempan maka bisa politisi itu bisa ”dibunuh”, baik karakternya atau dihilangkan nyawanya.

Organisasi Yahudi yang ada di amerika sangat kuat karena didukung finansial yang lebih dari cukup. ”Yahudi punya pengaruh di media massa yang bisa membangun opini publik untuk kepentingan mereka,” kata Sidik. Opini publik diperlukan untuk membangun pola pikir masyarakat atas kebijakan pemerintahan amerika.

Ditilik dari latar belakang historis pada masa pemerintahan Henry S. truman, amerika memberikan dukungan mutlak untuk pembentukan satu negara Yahudi yang kemudian dikukuhkan pada Sidang umum PBB tanggal 12 Mei 1948.

Munculnya aliran Israel First yang dipelopori oleh Henry Kissinger me mandang bahwa kepentingan amerika di

jumlahnya. Sejarah mencatat bagaimana Iran yang semasa Shah Reza Pahlevi men jalin hubungan erat dengan amerika, na mun setelah ditumbangkan oleh ayatullah Khomaeni, Iran seakan menjadi duri bagi amerika. Permusuhan itu kian meruncing apalagi setelah perusahaan amerika yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dengan nama Anglo Iranian Oil Company dinasionalisasi oleh Iran menjadi Iranian Oil Company.

Irak di bawah pimpinan Saddam Hus sein dan Libia di bawah Muammar Qaddafi, juga ikut membuat pusing White House untuk ”menjinakkannya”.

Menurut Sidik, tidak peduli negara itu memakai simbol komunisme, sosial

timur tengah akan menjamin dukungan nya terhadap posisi dominan Israel di ka wasan itu. Meskipun ada aliran evenhanded yang tidak sependapat dengan kebijakan itu, akan tetapi aliran Israel First lebih dominan pengaruhnya di dalam pemerin tahan amerika.

Golden Boy dan Bad Boy Amerika a nak emas a merika adalah siapa saja yang tunduk kepada a merika dan tidak mengganggu kepentingan amerika di timur tengah, demikian menurut Sidik. ”tapi yang utama tetap Israel,” katanya. arab Saudi merupakan anak emas kedua setelah Israel, karena secara ekonomi kepentingan amerika terletak di sana.

Deretan negara-negara yang menjadi bad boy bagi amerika pun tak kalah banyak

.

isme, bahkan liberalisme sekalipun jika menghalangi kepentingan amerika dalam skala makro maka akan ditekan sekuat mungkin.

Bentuk kontra hegemoni tampaknya muncul di kalangan kelompok-kelompok Islam di kawasan timur tengah, terbukti dengan adanya kelompok militan Hammas, Intifada, Jihad Islam dan Partai Republik turki. Siti menyebutnya sebagai Islamic Political Movement.

Kapitalisme global merupakan salah satu bentuk hegemoni bangsa barat khusus nya a merika dalam menguasai seluruh sumber daya yang ada di suatu negara. Dan kita tidak perlu takjub dengan segala infrastruktur dan suprastruktur yang dimi liki bangsa amerika.

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [INTERNASIONAL] . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . HENDRA WIRAWAN
Doni
. . .

Negara dan Hegemoni

Negara dan hegemoni selalu menarik diperbincangkan. Apalagi den gan konteks negara dalam fase transisi demokrasi seperti Indonesia. Bagaimana isi pemikiran yang diperkenalkan pertama kali oleh Antonio Gramsci ini?

Januari 1891 di sebuah kota kecil Ales, di Sardinia, tepatnya di Benua eropa. Kese hatan Gramsci semasa kecil menambah permasalahan. Menderita kelainan internal dan cacat tulang belakang, yang terpaksa berada di tempat tidur dalam jangka waktu sangat lama bahkan hampir merenggut nya wanya. Hingga dewasapun penyakitnya tak kunjung sembuh. tubuhnya bungkuk dan sulit berjalan tegak dan disertai komplikasi syaraf, yang akhirnya membawa pada ke matian di usianya yang ke 46 tahun.

Malang bagi Gramsci, ayahnya dis kors dari pekerjaan tanpa uang pesangon sepeser pun, sebab dianggap bersikap sangat berbeda dari yang lain, dipenjara selama 6 tahun karena didakwa bersalah atas korupsi. Padahal motivasi sebenarnya adalah oposisinya terhadap partai politik yang berkuasa di daerahnya, sebab korupsi sudah menjadi epidemi dan merupakan tipe umum masyarakat saat itu. Gramsci dibe sarkan harus menghadapi kenyataan pahit dan hidup dalam kemiskinan. Ibunya bisa mencukupi kebutuhan hidup hanya dengan menjadi tukang jahit.

Didukung oleh situasi politik yang me manas pada saat itu, Cagliari adalah tempat awal Gramsci menapaki kehidupannya di usia 18 tahun untuk mengenal bacaan dan dunia politik. Justru setelah itu, kepindahan Gramsci ke turin di tahun 1911 adalah tonggak awal aktivitas politik dan bergulat dengan ide-ide intelektual. Selain itu, aktiv itasnyapun tak luput di partai sosialis Italia dan sekaligus menjadi editor mingguan Il Grido del Popolo (Jerit Tangis Rakyat). Hal ini tampak dari beberapa tulisan Gramsci yang menganalisa setiap aspek masyarakat, serta berbagai peristiwa politik di Italia atau internasional. Salah satu media yang diluncurkan Gramsci bersama beberapa pemuda sosialis yaitu Ordine Nuovo. Se buah koran mingguan yang kerap disebut organ ‘kebudayaan proletar’.

Kecewa dengan Utopisme Marx Sebagai sosialis muda, Gramsci ter masuk aktivis militan. Karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan fasis, Gram sci ditahan. 8 november 1926, Gramsci resmi meringkuk di penjara yang meng isolasinya dari dunia luar. toh demikian,

. . . . . . . . . . . . . . . . .

pemikirannya tidak pernah bisa dipenjara. Gramsci berpikir, mengapa sosialisme gagal memenuhi janjinya. Bagaimana mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme? Gelisah dengan pertanyaan itu, masa-masa tahanan ia lalui dengan berpikir dan menulis.

Dalam catatan-catatan selama di penjara (Prison Notebooks), Gramsci kecewa ter hadap marxisme ortodoks. Pertama, Gram sci kecewa mengapa Marx dan pengikutnya begitu yakin bahwa terdapat kontradiksi inheren dalam mode produksi kapitalisme: over produksi, peningkatan penumpukan modal, dan proletarisasi. Inilah yang dis ebut scientisisme kasar. Kedua, keyakinan marxis pada keunggulan kekuatan ekonomi dan teknologi selaku determinan perubahan sejarah. Inilah yang disebut ekonomisme primitif.

Kritiknya terhadap kekecewaan per tama berangkat dari realitas ternyata kaum borjuasi (kapitalisme) tidak kunjung hancur dengan sendirinya karena adanya kontra diksi tersebut. Dengan demikian, impian negara sosialis yang dijanjikan marxis kepada kaum proletariat tidak terwujud. Yang terjadi justru malah sebaliknya, mengendornya semangat kaum proletariat untuk melakukan gerakan revolusioner. Gramsci menganggap penjelasan marx isme ortodoks sangat absurd, karena tidak mempertimbangkan sifat manusia sebagai agen ’aktif dan sadar’. Sebaliknya, Gramsci menitikberatkan sentralitas kehendak indi vidu dalam proses perubahan historis dan sosial, bukan kepasifan menunggu kiamat kapitalisme dan janji keniscayaan historis revolusi proletariat.

namun demikian kegagalan sosialisme justru mengilhami Gramsci untuk mengem bangkan dan menyempurnakan gagasan hegemoni. Yakni sebuah gagasan mengapa suatu kelompok secara sukarela mau men undukkan diri pada kelompok lain. Definisi itu jelas membedakan antara hegemoni dan dominasi. Dalam terminologi politik, dominasi dimaknai sebagai sebuah tang gung jawab berlebih yang diberikan pada rakyat. Dalam sejarah Indonesia, rezim Orde Baru melanggengkan kekuasaannya dengan strategi dominasi ini. Lewat instru men militer, pemerintah membungkam semua intelek yang kritis.

”adapun hegemoni sebaliknya, penak lukan atau ekspansi kultural tanpa keke rasan. Hegemoni lahir bukan tanpa paksaan namun karena merasa butuh, dan tanpa

aDaLaH antonio Gramsci. Ia lahir 22
[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [PUSTAKA]
ISTIMEWA . . . . . . .

sadar rakyat dirugikan tanpa tahu bahwa dirinya sedang ditindas,” papar ari Sudjito, Dosen Sosiologi Fisipol UGM. Hegemoni harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural, dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. untuk mencapai tahapan itu, peran para intelek (intelektual organik) untuk men g ka m panyekan kepentingan penguasa seb a gai kepentingan bersama sangat vital.

ari Sudjito dalam diskusi HIMMAH juga membedakan apa itu hegemoni dan apa itu dominasi. ”Dominasi itu penaklukan yang disertai dengan kekerasan (militer). Sementara hegemoni, penaklukan tanpa kekerasan,” ungkap ari, yang berasal dari Madiun. tapi menurut nezar Patria dan andi arif dalam bukunya Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni , dominasi dalam prespektif Gramscian yakni menegaskan kembali hakikat negara sebagai alat kekua saan, dengan maksud menjaga kekuasaan klas dominan. Ini sama halnya mengundang terciptanya rezim kekuasaan yang otoriter. Yang secara perlahan menghempaskan nilai-nilai demokrasi, lantas terciptanya tirani.

Masa pemerintahan Orde Baru, domi nasi nampak sekali dalam struktur politik Indonesia. ”Bahkan tentara dijadikan alat untuk menaklukkan aspirasi rakyat, yang melawan terhadap kekuasaan ditangkap dan berurusan dengan militer. Keadaan ini kemudian berubah, karena masyarakat tunduk atau patuh untuk mendapatkan suatu jaminan hidup,” tutur ari. Sebagai contoh, untuk menyelenggarakan tabligh akbar saja, panitia harus melewati perizinan dari Koramil, Kodim, bahkan Korem. Birokrasi yang panjang plus persyaratan ketat nan berbelit ini diciptakan dengan alasan men jaga stabilitas nasional. Dalam perspektif Gramscian, alasan itulah yang disebut pan dangan bersama untuk dimasyarakatkan. Seperti kita lihat, dominasi Orde Baru ber hasil meredam oposan pemerintah. Bahkan menjelang akhir pemerintahan, alasan demi stabilitas nasional telah memasyarakat. ”Kekuasaan dengan trik dominasi ini akan terus mengalami kelanggengan atau estab lish yang selanjutnya menjadi hegemoni, begitu evolusi hegemoni,” ungkap ari. nezar dan andi dalam bukunya menun jukkan rezim Orde Baru yang lebih mengedepankan dominasi dapat terbaca melalui pola tindakan yang diambil terha dap masyarakat apabila mereka melakukan oposisi politik secara terbuka. Kaum bu ruh, mahasiswa dan intelektual seringkali harus berhadapan secara frontal dengan tindakan militeristik aparat ”stabilitas” ne

gara. AM. Fatwa, Sri Bintang Pamungkas, Hariman Siregar adalah para intelek yang mendapat tuduhan subversif dan diganjar penjara karena menyuarakan aspirasi oposan rakyat.

Jalan Menuju Sosialisme

Kekecewaan Gramsci pada marxisme ortodoks menghasilkan teori hegemoni. atas landasan teori inilah jalan menuju sosialisme dirumuskan. Muhadi Sugiono

menjelaskan. Strategi perang ini biasanya terjadi di negara-negara terbelakang.

Sementara di negara-negara maju, strategi perang gerakan dianggap tidak relevan lagi. Menurut Gramsci, yang tepat untuk kasus di negara dimana terdapat civil society, adalah strategi kedua: perang posisi. Yaitu merebut kekuasaan dengan upaya mengenyahkan ideologi, norma, mitos, politik, dan kebudayaan kelompok

dalam buku Kritik Antonio Gramsci terha dap Pembangunan Dunia Ketiga menulis dua strategi pencapaian negara sosialis. Strategi pertama, perang gerakan atau perang manuver. Strategi revolusioner Marxis Leninis dalam memperjuangkan sosialisme, kebangkitan proletariat menuju kekuasaan, kekejaman Gerakan 30 Septem ber oleh PKI dapat dijadikan contoh buat

berkuasa daripada menyerang kelompok itu secara fisik. Disinilah pentingnya peran intelektual organik dalam mendemon strasikan pandangan dunia yang berkuasa itu sama dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. ”nampaknya Gram sci memang memimpikan sebuah proses demokratik dalam perjuangan meraih kekuasaan dimana pertarungan ide-ide

[HIMMAH Edisi 02/Thn.XXXIV/Juli 2002] [PUSTAKA]
HENDRA WIRAWAN
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

memainkan peranan penting,” demikian tulis Sugiono.

Di Indonesia, konsepsi hegemoni yang menjadi tulang punggung pemikiran Gram sci dapat dilihat, terutama di tingkatan lokal. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya. Di kota berhati nyaman itu, terdapat dua kera jaan: Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja menjabat gubernur dan adipati Pakualaman VIII menjabat wakil gubernur. Warga Yogyakarta tunduk kepada kedua elit politik tersebut bukan karena represifitas militer, melainkan karena adanya semacam konsensus bahwa penguasa Jogja itu mutlak bagi sultan dan adipati. Jadi, gubernur dan wakil gubernur harus dijabat oleh sultan dan pakualaman, tidak boleh tidak. Ini diperkuat dengan falsafah Kejawen yang sering dikumandangkan para intelektual organik Yogyakarta bahwa tidak ada dua matahari (penguasa) di bumi DIY.

Pola pemerintahan hegemonik Keraton ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di DIY ini diungkapkan oleh banyak aktivis LSM. ”Saya merasakan sistem pemerintahan Jogja ini merupakan praktek sistem pemerintahan hegemonik. Semuanya tunduk pada sultan. Bukan masyarakat desa saja tapi juga para pejabat, akademisi,” ungkap a bdi, aktivis P u SHaM uII. Penguasaan tanah yang begitu luas, ritualitas budaya Yogyakarta, dalam perspektif Gramscian, dilihat sebagai intru men melanggengkan kekuasaan.

n amun demikian, Gramsci yakin bahwa kekuasaan hegemonik sebagaimana keku a s a an dominasi pasti menyisakan perlawanan. Saat ini di DIY masyarakat ramai membicarakan arti keistimewaan pro pinsinya. Setidaknya, ini dapat dilihat dari perdebatan dan ulasan panjang koran-koran lokal terhadap keistimewaan DIY. Perang

ide ini juga marak pada berbagai diskusi, seminar, dan talkshow. ”namun karena watak hubungan antara kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai dicirikan dengan ketimpangan kekuasaan, maka bisa dikatakan bahwa persaingan ’demokratis’ berbagai ide cenderung menghadirkan ling kungan yang menguntungkan kelompok penguasa,” tulis Sugiono mewanti-wanti.

Dari Italia ke Indonesia

Buku-buku Gramsci telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Sambutan pasar terhadap buku-buku ”kiri” termasuk buku Gramsci luar biasa. Menurut Bagus, maraknya buku-buku kiri tersebut seakan menjawab kesesuaian perkembangan di Indonesia yang masyar akatnya pluralis. Lebih lanjut Bagus men yatakan, ”Barangkali pemikiran marx yang direvisi oleh Gramsci bisa merangsang kita untuk membongkar berbagai permasalahan bangsa kita.”

Negara dan Hegemoni misalnya, ber usaha meneropong bangunan pemikiran Gramsci secara lebih integratif, sehingga dengan menelisik lebih jauh latar belakang pemikiran filsafat dan penafsirannya atas marxisme, mampu memperjelas konsep he gemoni dan pandangannya terhadap negara. Begitu pula unsur-unsur yang dimasukkan oleh Gramsci terhadap kekuasaan tidak terlepas dari kajian historis, antropologi, ekonomi, kesadaran rakyat serta struktur kekuasaan secara komprehensif.

tampaknya, apa yang diuraikan nezar dan a ndi lebih memberikan eksposisi terhadap negara dan hegemoni sebagai konsep dominan dalam pemikiran Gramsci. Konsep marxian tentang masyarakat sipil sebagai ”moment” struktur dapat dipandang sebagai titik keberangkatan analisis Gram

sci. tapi, teori Gramsci memperkenalkan sebuah penemuan yang cukup mendasar dalam tradisi marxis, bahwa masyarakat sipil dalam konsep Gramsci tidak berada pada ”moment” struktur, melainkan pada suprastruktur. Sumbangan Gramsci tentang hegemoni terhadap politik ini bersumber pada revisinya terhadap marxisme klasik.

Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sejarah dan Budaya . Buku ini banyak menggambarkan masalah kepemimpinan politik yang terjadi di Italia, termasuk kampanye-kampanye yang dilakukan oleh tokoh terkemuka guna melindungi kepen tingannya. Berbeda dengan Mao di Cina dan Lenin di Rusia, Gramsci belum pernah menuangkan ide sekaligus teori pemiki rannya melalui praktek dalam konteks pejuangan revolusioner di Italia. Karena ajal terlebih dahulu menjemputnya di penjara. Namun demikian, refleksi teoritis yang dilakukannya dapat menambah serta me m beri inpirasi baru dalam khazanah marxisme.

Dari tulisan Gramsci, banyak pengamat yang menilai pemikirannya sulit untuk dicerna. a palagi terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang boleh dikatakan tidak memenuhi standar. Selain karena tulisan-tulisan Gramsci yang tidak secara langsung kepada inti permasalahan, juga banyak mengandung kiasan. ini pun tak luput dari apa yang dilakukan supaya beberapa tulisannya bebas dari sensor pen jara. termasuk istilah ”The Prince”, yang menurutnya sebagai aktor politik sebuah pemerintahan di masa depan yang berdasar kan atas kehendak atau kesadaran kolektif massa rakyat. Indonesia baru menunggu kehadiran the prince. Bagaimana dengan anda?

[PUSTAKA]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Elza Syarief, pengacara Tommy Soeharto sempat ditahan dengan tuduhan menyuap saksi Maju tak gentar membela yang bayar

Pansus Buloggate II gagal terbentuk karena politik dagang sapi antar elite politik Bukan sapi, lebih tepatnya banteng...he...he...he

Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2006, ramal Amien Rais Ngimpi Pak, ... sebagai komentatornya mungkin iya?

Selama lari Tommy katanya berkoordinasi dengan aparat Aparat kan bisa seperti hansip, tramtib, keamanan hutan, dan satpam. So, jangan curiga sama polisi ya!

Tommy Soeharto, akhirnya dihukum 15 tahun Ah..nggak lama itu. Apalagi bisa nambah fasilitas penjara sesuai keinginan.

Demo mahasiswa Jakarta ketika ST MPR, ada yang menebar kotoran sapi di depan hotel anggota MPR menginap Sebenarnya proses di sana lebih busuk dari kotoran sapi. Tahun depan, cari yang lebih bau ya.

Angka pengangguran mencapai 40 juta orang Tetaplah gembira, resepnya mudah: Nonton terus sinetron.

Kalimantan banjir asap

Jakarta banjir air, Maluku banjir air mata, Aceh banjir darah. Kapan sih banjir uang?

Meski banyak ditentang, Sutiyoso terus melaju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta Kalau pensiun nanti jadi bintang sinetron ”Cowok Komersil” mau ya Pak?

Ratusan ribu TKI ilegal pulang ke tanah air, takut terkena hukuman cambuk karena tidak punya surat ijin kerja Hujan batu di negeri orang, hujan peluru di negeri sendiri. Kemana daku harus mengadu? Kasihan deh elo...

Partai partai baru bermunculan menjelang Pemilu 2004 Bikin Partai Pengangguran Perjuangan, pasti banyak yang nyoblos!

Nilai tukar rupiah sampai sekarang belum stabil, mengakibatkan pelaku usaha deg deg an Tenang aja, itu cuma ulah kru Spontan kok...Uhuuuy

Kurikulum baru diberlakukan di beberapa fakultas di UII, katanya untuk mengikuti perkembangan zaman. Sekaligus menaikkan Indeks Prestasi

[ABU NAWAS]
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.