Majalah HIMMAH No. 02/Thn. XLVI/2013 - Mega Proyek Terlantar

Page 1

Belum

juga lama seorang ibu baru melahirkan anak pertama, ada saja pertanyaan iseng dari tetangga, “Ka pan nih si jabang bayi punya adik?” Tak berbeda jauh dengan si ibu baru, HIMMAH menghadapi pertanyaan yang sama, “Kapan nih terbit majalah baru?” Setelah terbitnya ma jalah “Kala Otonomi [Belum] Berhasil”, HIMMAH berbenah. Kami segera menggelar rapat redaksi, menentukan isu, mem bagi pekerjaan, dan tanggung jawab.

Proses terus berjalan. Tema “Menggugat Megaproyek Terlantar” menjadi pilihan. Kali ini kami mengulik kebijakan pemerintah daerah di sektor pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Setidaknya ada sembilan proyek pariwisata senilai milyaran rupiah yang mangkrak. Mangkrak di sini bukan berarti pembangunannya terhenti. Namun, buruknya pengelolaan menjadi tolak ukur kami mengatakan: megaproyek pariwisata terlantar!

Laporan Khusus akan membawa perhatian Anda pada objek wisata Gunung Kemukus. Ini adalah objek wisata ziarah yang terkenal dengan ritual perselingkuhannya. Di balik wi sata ziarah ini, terdapat bisnis prostitusi besar-besaran. Wisata religi yang seharusnya sakral malah terkesan ingar-bingar. Gunung Kemukus lebih mirip tempat hiburan malam.

Tak hanya itu. Dalam rubrik Lacak, kami menyuguhkan

a s s a l a m u a l a i k u m w a s s a l a m u a l a i k u m

polemik terkait penambangan batu kapur di kawasan Gunung Kidul. Rubrik-rubrik kecil seperti Sosok, Riwayat, Pendidikan, Insania, dan Budaya, akan turut memperluas wawasan pem baca.

Tak ada perbedaan mendasar pada majalah HIMMAH kali ini, kecuali pada rubrik Lensa. Bila di majalah sebelumnya Lensa menampilkan foto esai, kali ini kami menyuguhkan kumpulan foto tunggal di rubrik ini. Tentu foto-foto tunggal ini mempunyai tema yang sama. Hanya saja tak ada korelasi antara satu foto dengan foto yang lain. Namun, setiap foto mempunyai pesan tersendiri yang cukup berenergi.

Sidang pembaca,

Sekali lagi kami menyarankan untuk menyiapkan kopi. Bila perokok, silakan hisap rokok Anda sembari menikmati suguhan kami. Kami sadar, bahwa dengan terbitnya majalah ini, kami belum bisa mengubah keadaan secara fundamental. Kami hanya berharap, suguhan ini bisa menjadi penggugah kepedulian pada bangsa dan negara. Kami pun ingin majalah ini menjadi referensi lahirnya pergerakan massa. Tentunya atas dasar kebenaran dan keinginan masyarakat seutuhnya. Bukan gerakan yang ditunggangi kepentingan-kepentingan suatu golongan. Majalah ini untuk kesejahteraan masyarakat! Selamat membaca.

SUSUNAN PENGURUS PERIODE 2011-2013

IZIN TERBIT SK Menpen RI 1094/SK/Ditjen PPG/SSIT/1987 ISSN 0216-4272

PELINDUNG Rektor Universitas Islam Indonesia PEMIMPIN UMUM Taufan Ichtiar Khudi Akbar SEKRETARIS UMUM Muhammad Robby Sanjaya BENDAHARA UMUM Ahmad Ikhwan Fauzi PEMIMPIN REDAKSI Bethriq Kindy Arrazy SEKRETARIS REDAKSI Alissa Nur Fathia

REDAKTUR PELAKSANA Ahmad Satria Budiman, Moch. Ari Nasichuddin, Zaitunah Dian Sari

STAF REDAKSI Irwan A. Syambudi, Dyah Ayu Ariesta S., Hasinadara Pramadhanti, Fajar Noverdian, Raras Indah F., Khoirul Anwar (Non Aktif)

RANCANG GRAFIS Bayu Putra Pamungkas, Muhammad Hanif Alwasi, Metri Niken L., Rahmat Wahana

FOTOGRAFI Robithu Hukama, Hasta Mufti S. (Non Aktif), Aldino Friga Putra S., Revangga Twin T.

PENELITIAN DAN PUSTAKA Wening Fikriyati, Nuraini Ayu Lestari, Fitria Nur Jannah (Non Aktif), Aghreini Analisa, Yuyun Septika L. (Non Aktif) PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA Lufthy Zakaria, Bastian Galih, Khoirul Fahmi, Rahmi Utami Handayani, Ricky R. Iskandar, Rama Pratyaksa JARINGAN KERJA Wahyu Septianti, M. Jepry Adisaputro, M. Alfan Pratama, Budi Armawan, Agam Erabhakti W., PERUSAHAAN HIMMAH (PH 24,1) Maya Indah C. Putri, Nur Karuniati (Non Aktif), Herlina (Non Aktif), Erlita Fauziyah, Anisa Kusuma W. ALAMAT REDAKSI Jalan Cik di Tiro Nomor 1 Yogyakarta 55223 TELEPON 0274-3055069

EMAIL lpmhimmah@gmail.com, lpmhimmah@uii.ac.id

WEBSITE www.lpmhimmahuii.org TWITTER @lpmhimmah FACEBOOK LPM HIMMAH UII

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | IFTIT A H REDAKSI | 1

E D I S I K E D U A M E I 2 0 1 3

Hampir sebagian besar, megaproyek yang tersebar di kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam keadaan terlantar. Tujuan utama pem bangunan adalah untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat di bidangnya masing-masing. Tujuan tak sejalan dengan realita yang ada. Beda megaproyek, beda konteks permasalahan. Ada kesamaan kondisi yang perlu dicermati, yaitu masyarakat sudah lelah dengan kondisi yang menimpanya. Wajar bila mereka bertanya, “Diperuntukkan kepada siapa megaproyek ini dibangun?”

Aduan

Salah satu yang menjadi daya tarik di Kabupaten Gunung Kidul, Yogya karta, adalah kawasan karst. Karst adalah kawasan pebukitan kapur dengan sungai bawah tanah. Banyak yang tertarik untuk menambang batu kapur tersebut, baik penambang dari perusahaan maupun penambang lo kal. Akibatnya, karst yang dulu berbukit-bukit kini tak lagi sama. Bukit itu tampak mengelupas di sana-sini, berlubang. Di lain sisi, peraturan demi peraturan terus dikeluarkan oleh pemerintah guna menertibkan aktivitas penambangan. Namun, tambang terlanjur melekat sebagai keseharian, bahkan sumber penghasilan. Peraturan yang ada seharusnya bukan seba tas dibuat dan diperbarui, melainkan juga diterapkan sepenuh hati untuk menyelamatkan karst!

74

LAPSUS Gunung Kemukus: Bukan Tempat Berbuat yang Lain

Tradisi ngalap berkah muncul sebagai daya tarik lebih di wisata ziarah Gunung Kemukus. Ngalap berkah adalah ritual permohonan berkah pada Pange ran Samudro disertai perselingkuhan. Objek wisata ziarah seakan hanya sebagai tameng untuk melegal kan perselingkuhan. Dampaknya, banyak pendatang membangun usaha di kawasan ini. Karaoke, bilik-bilik penginapan, juga warung, banyak sekali didapati. Bahkan, pekerja seks komersial tak sulit dicari. Kon disi ini membuat masyarakat asli Gunung Kemukus resah. Namun, pemerintah daerah seakan menutup mata terhadap permasalahan ini.

M. ROBBY SANJAYA | HIMMAH M. ROBBY SANJAYA | HIMMAH TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH Redaksi menerima tulisan dari luar berupa artikel atau opini, diketik dua spasi, maksimal empat halaman kwarto. Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah esensi tulisan. Naskah yang dimuat akan diberikan imbalan sepantasnya. Redaksi juga menerima keluhan, hak jawab, saran dan kritik.
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | D A FTAR ISI | 2
10LAPORAN UTAMA Menggugat Megaproyek Terlantar KULIT MUKA : DEPAN [IDE & ILUSTRASI: M. ROBBY SANJAYA | PEWARNAAN: TAUFAN ICHTIAR K. ] BELAKANG [M. ROBBY SANJAYA] TATA LETAK DAN INFOGRAFIS : TIM RANCANG GRAFIS HIMMAH [BAYU PUTRA PAMUNGKAS , M. HANIF ALWASI, METRI NIKEN L., RAHMAT W. ], M. ROBBY SANJAYA ILUSTRASI : M. ROBBY SANJAYA | MR. X: METRI NIKEN L. | TEMPLATE LAYOUT : M. JEPRY ADISAPUTRO 55LACAK Dari Edaran Sampai
IFTITAH REDAKSI DAFTAR ISI ASSALAMUALAIKUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SOSOK MR. X LAPORAN UTAMA RIWAYAT LENSA PENDIDIKAN LACAK INSANIA BUDAYA LAPSUS ABU NAWAS 1 2 3 4 6 9 10 34 37 49 55 66 70 74 84

Kita Telah Dikelabui

Pada 23 Maret 2013, Yogyakarta gempar oleh tragedi penembakan brutal di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman. Terkait kasus ini, sebenarnya ada kejadian lain yang menjadi latar belakang. Berawal dari perseteruan antara Serka Santosa yang merupakan Anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup II Kandang Menjangan Sukoharjo dan Decky yang berprofesi sebagai petugas keamanan Hugo’s Café. Perseteruan ini mengundang perhatian Juan (polisi), Dedy (mahasiswa), dan Adi (mahasiswa), ketiganya adalah teman-teman Decky. Pengeroyokan terhadap Serka Santosa pun tak terelakkan, mengakibatkan korban meninggal dunia. Keempat pelaku kemudian menjadi tersangka. Mereka dibawa ke Polres Sleman, lalu ke Polda DIY. Terakhir, mereka dipindahkan sebagai tahanan titipan ke Lapas Cebongan. Ter dapat keganjilan dalam rangkaian proses itu, antara lain tidak adanya penyelidikan secara komprehensif tentang modus perseteruan di Hugo’s Café. Padahal apabila diselidiki, akan terlihat jelas letak premanisme yang sering disebut sebagai ke bencian masyarakat. Selain itu, pemindahan tahanan ke lapas juga kurang tepat karena belum memasuki masa hukuman. Kapolda selaku atasan Juan dan Pangdam selaku atasan Serka Santoso, seharusnya melakukan koordinasi guna mengantisi pasi reaksi balasan. Hal yang cukup disayangkan, kedua belah pihak tidak dapat dihubungi saat keempat tersangka dipin dahkan ke Lapas Cebongan.

Pascapenembakan, beberapa hal yang perlu jadi perhatian di antaranya adalah lalainya pihak kepolisian dalam mem berikan rasa aman bagi para tahanan. Kemudian, muncul pernyataan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY, bahwa keberadaan asrama mahasiswa diang gap sebagai salah satu penyebab tindakan anarkis dan tempat konsolidasi preman. Hal ini mempertegas pendapat masyara kat yang masih rasis. Kasus pun seolah digeneralisasi dari per orangan menjadi suku bangsa tertentu. Belum lagi, muncul pula spanduk-spanduk yang mengatasnamakan rakyat Yogya karta, menolak secara rasis suku bangsa tertentu. Hal yang tak kalah penting adalah kejadian-kejadian tersebut dapat memu puk konflik SARA karena terbangunnya paradigma miring masyarakat umum terhadap suku bangsa tertentu.

Pada 4 April 2013, Tim Investigasi Tentara Nasional In donesia Angkatan Darat (TNI AD) mengumumkan bahwa pelaku penyerangan ke Lapas Cebongan adalah Anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan. Mereka melakukan aksi tersebut sebagai pembelaan terhadap korps. Hal ini seharusnya mendorong penyelidikan ke arah doktrin dan pemahaman anggota Kopassus sebab pembelaan tersebut telah mengesampingkan hak hidup masyarakat sipil. Dalam perjalanan kasus ini, berkembang isu-isu untuk membela Kopassus karena telah berhasil mengusir preman. Sayangnya, tidak ada penjabaran secara jelas mengenai definisi preman dan klasifikasinya di sini. Sebab, siapa pun yang melakukan pembelaan terhadap diri sendiri jika kepentingannya anti rakyat, ia juga dapat dinyatakan sebagai preman. Sebagai contoh, kasus sengketa lahan yang melibatkan rakyat, pemerintah, dan investor (pengusaha). Banyak yang menganggap rakyat sebagai preman, padahal investor dan pemerintah yang sudah menekan rakyat tak berbeda jauh dengan preman ke banyakan.

Dalam kasus penyerangan Lapas Cebongan, jika harus menggunakan istilah premanisme, apakah para pelaku yang jelas bertindak di luar jalur hukum bukan termasuk tindakan premanisme? Simpati boleh berdatangan kepada para anggota kopassus yang terlibat, namun perlu diingat, rakyat (masyara kat sipil) merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari negara.

Rancangan UU Kamnas

Kasus penyerangan Lapas Cebongan tergolong ekstrem. Masyarakat didorong mengikuti kasus ini demi terangkainya paradigma yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Se jumlah konflik kemudian bermunculan dan menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat. Rasa takut ini melegiti masi perlunya keamanan dari pihak aparat sehingga turut melegitimasi Undang-undang Keamanan Nasional (UU Kam nas). Inilah bentuk intimidasi secara mental terhadap rakyat, sama seperti yang dilakukan oleh para pemimpin Israel dalam menciptakan ketakutan rakyat untuk melegitimasi penyeran gan terhadap Palestina.

Jika dicermati lebih lanjut, konflik-konflik yang ada me nyiratkan ketidakmampuan Polri dalam mengemban tugas keamanan nasional sehingga perlu dibantu oleh TNI. Konflik, tidak lain adalah untuk melibatkan fungsi militer dalam menertibkan masyarakat. Selain itu, konflik juga digunakan untuk melibatkan cara-cara militer dalam meredam gejolak sosial, baik gejolak murni antar masyarakat maupun gejolak yang disebabkan kebijakan-kebijakan tak memihak rakyat, seperti kenaikan BBM, upah buruh, dan lain-lain. Jika dicer mati secara mendalam, sangat jelas konspirasi untuk mema nipulasi paradigma dan pendapat publik tentang premanisme, keamanan, dan meloloskan Rancangan Undang-undang Ke amanan Nasional (RUU Kamnas).q

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | ASSAL A MUALAIKUM | 3

Phobia

Oleh: Bethriq Kindy Arrazy

KATAdemokrasi berasal dari terminologi Yu nani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Demokrasi identik dengan pemerintahan oleh rakyat untuk mencegah tirani pemerintahan suatu negara. John Locke (1632-1704), filsuf asal Inggris membaginya menjadi tiga poros kekuasaan atas nega ra dalam Trias Politika, seperti legislatif, eksekutif, dan federa tif. Pertama, legislatif memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Kala itu, raja memiliki klaim hak milik atas apa yang dimiliki oleh para bangsawan. Undang-undang yang dimaksud kemudian hanya mengakomodasi para bangsawan semata. Kedua, eksekutif yang berperan menjalankan mandat

yang tertera dalam undang-undang. Ketiga, federatif yang berperan untuk menjalin hubungan antarbangsa.

Selanjutnya, mazhab Trias Politika dipopulerkan kembali oleh seorang filsuf Perancis bernama Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu (1689-1755). Bedanya, Montes quieu mengubah federatif dengan yudikatif. Bukan sekedar berubah nama. Yudikatif mempunyai kuasa atas penegakan hukum yang melibatkan sipil, hingga memantau kinerja legislatif dan eksekutif.

Dalam konteks Indonesia sekarang ini, cabang kekuasaan legislatif tercerminkan dalam Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR). Eksekutif diperankan oleh pemerintahan kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden. Sedangkan yudikatif, ditempati oleh lembaga-lembaga peradilan.

Pemilihan umum (pemilu) masih menjadi sebuah agenda demokrasi prosedural yang lebih menguntungkan kaum borjuasi. Dilakukan seraya sekadar ajang formalitas, memuas kan hasrat elite politik yang ingin berkuasa. Namun, proses demokratisasi di luar hiruk pikuk lembaga negara masih mengalami “mati suri”. Belum berjalan secara akomodatif.

Pemisahan kekuasaan di Indonesia tidak serta-merta menegaskan kinerja yang diamanatkan oleh konstitusi. Poli tik transaksional menjadi suatu aktivitas yang marak dan dianggap wajar di tengah partai politik, yang secara langsung menular di birokrasi. Ada relasi kuasa bagi partai politik pemenang pemilu kepada partai-partai koalisi yang dipaksa “tunduk”. Kontrak politik semacam ini mengakibatkan bi rokrasi yang tidak sehat. Birokrasi yang menyalahi etika karena tersandera oleh partai politik.

Menilai kinerja elite politik yang berperan sebagai pejabat publik masih sulit dibedakan secara kasat mata. Apakah yang dikerjakan benar-benar mengatasnamakan rakyat dan negara, atau hanya memuluskan tendensi ekonomi-politik partai?

Ruhut Sitompul, sebagai Anggota Dewan Permusyawaratan Rakyat, merupakan satu dari sekian banyak birokrat yang secara terang-terangan melakukan pengultusan secara berlebihan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga sekaligus orang paling berpengaruh di Partai Demokrat. Ruhut masih belum bisa membedakan posisinya sebagai personal kader partai dengan pejabat publik, sebagai ang gota dewan yang seharusnya mengawasi kinerja eksekutif. Walaupun disadari, sikap seperti ini tidak pantas untuk ditiru sebagai seorang pejabat publik yang seharusnya menguta

MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 34

makan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Jelas, ini menyalahi konsep Trias Politika dalam pembagian kekuasaan. Menerobos etika saling kontrol di antara lembaga-lembaga penyelenggara negara.

Tidak hanya sampai di situ, fenomena kongkalikong proses legislasi antara ekskutif dan legislatif masih sering terjadi. Konspirasi ini ditindaklanjuti dengan maraknya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan eksekutif. Terlebih, cita-cita supremasi hukum masih menjadi hal yang retoris. Kasus suap di lembaga yudikatif sering mewarnai peradilan (yang melibatkan) elite-elite tertentu.

Rupanya, independensi dalam pembagian kekuasaan tak berjalan sebagaimana mestinya. Hingga kini, pejabat publik yang menjalankan mesin birokrasi masih belum berani ber sikap netral dan imparsial kepada kebutuhan publik. Kepentingan partai politik menjadi satu kebutuhan khusus yang perlu diutamakan, meskipun konsekuensinya “membunuh” hak-hak sipil yang terabaikan secara struktural.

Misalnya, kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama hingga suku memiliki kecenderungan yang sama, yaitu bersi fat komunalistik. Nyawa menjadi barang yang murah di mata hukum. Ini yang menimbulkan kekacauan sosial, terlebih mengancam aspek persatuan bangsa. Anehnya, kasus-kasus semacam ini terjadi di negara hukum. Ini adalah salah satu contoh, proses demokratisasi di kalangan akar rumput masih belum berjalan. Negara absen dalam hal ini.

Dalam buku Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia, Usman Hamid dan A.E. Priyono menilai bahwa praktik poli tik kelas tengah, yang menguasai sektor negara di tingkat lo kal, memiliki tiga ciri penting, yaitu represif, klientelistik, dan korup. Klientelisme memang merupakan watak abadi dari semua jenis politik, tetapi khususnya dalam politik provinsial Indonesia. Kelas tengah yang menguasai instrumen-instru men negara di tingkat lokal juga menjalankan patronase, khu susnya menyangkut proyek-proyek pemerintah.

Tidak hanya dalam lingkup pemerintah pusat, otonomi daerah yang sudah berjalan selama 12 tahun lebih masih saja menyisahkan problematika dalam menjalankan proses demokratisasi di wilayahnya. Hingga kini, otonomi daerah hanyalah sekedar menghasilkan sirkulasi elite yang rakus atas kekuasaan-kekuasaan “kecil”.

Bila ini terus terjadi, jangan menyalahkan rakyat bila partisipasi politik semakin berkurang. Ini ditandai dengan

jumlah partisipan pemilu semakin menurun. Di sisi lain, degradasi kepercayaan terhadap partai politik semakin meningkat. Wajar bila rakyat merasakan sebuah perasaan phobia atau sebuah ketakutan dengan alasan yang mendasar. Misi mencerdaskan rakyat melalui pendidikan politik akan menjadi sebuah kemustahilan. Keberlanjutan ini yang akan menimbulkan pembusukan demokrasi secara masal. Dampak serius yang ditimbulkan adalah apatisme publik. Padahal, prinsip utama merawat demokrasi adalah dengan meningkat kan partisipasi rakyat atas keberlangsungan negara.

“Kiamat Politik,” begitulah J. Kristiadi, seorang peneliti senior di CSIS (Center for Strategic and International Studies) menilai tentang sebuah keputusasaan atas semakin buruknya kultur politik di Indonesia. Tragis!q

MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 5

Wakaf Politik untuk Yogyakarta

Partai politik memberinya kepercayaan untuk maju dalam Pemilihan Walikota Yogyakarta. Setelah terpilih, dirinya justru keluar dari partai politik.

PERAWAKANNYA

kecil kurus, tidak terlalu tinggi. Warna kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang jawa. Gerak langkahnya santai dan ramah kepada siapa saja. Tutur katanya menyimpan keyakinan dan ketegasan. Kemeja kuningnya berpadu senada dengan warna dinding ruang-an. Hal itu tergambar ketika beliau menyambut kedatangan saya di kantor pribadinya siang itu, Jalan Taman Siswa Nomor 149, Yogyakarta. Sesekali, ia sibuk membalas pesan yang masuk ke smartphone. Dialah Herry Zudianto, Walikota Yogyakarta yang menjabat selama dua periode berturutturut, sejak tahun 2001 hingga 2011. Tidak pernah terbersit niat sedikit pun di benak Herry untuk terjun ke dunia politik, apalagi menjadi orang nomor satu di Kota Yogyakarta. Herry lahir 58 tahun silam di tengah keluarga perajin batik dari Kotagede. Nenek Herry adalah pemilik toko batik Terang Bulan di kawasan Malioboro. Ketika orang tuanya bercerai, Herry tinggal bersama neneknya. Inilah masa pende wasaan diri Herry, baik dalam bersi kap, berpikir, dan berkemauan. Hidup bersama sang nenek membuat Herry banyak bergaul dengan para pedagang yang berbeda etnis dan agama, seperti pedagang Cina dan pedagang Nasrani.

Herry sempat kuliah di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), atas kehendak orangtuanya. Satu tahun berlalu, nuraninya berontak karena keinginannya bukan menjadi seorang insinyur. Tanpa sepengetahuan orangtuanya, Herry mendaftarkan diri di Fakultas Ekonomi UGM dan diteri ma. Tahun 1981, ia berhasil mendapat kan gelar sarjana ekonomi. “Saya bilang pada orangtua akan bertanggung jawab atas pilihan saya. Intinya, kalau saya tidak suka kenapa harus saya lakukan,” tegas Herry.

Garis hidup Herry perlahan ber-

ubah di tahun 1998, dari dunia bisnis ke dunia politik. Di usia 43 tahun, ia memutuskan terjun ke dunia politik dengan aktif di kegiatan Partai Amanat Nasional (PAN). Herry mengaku sangat mengidolakan Amien Rais, yang meru pakan sosok penting di tubuh PAN. Kecerdasan serta sikap dan gaya kepe mimpinannya begitu memikat Herry. Inilah awal kariernya di dunia politik. Pada pemilihan walikota tahun 2001 silam, PAN mengamanahinya untuk menjadi wakil partai dengan masuk ke bursa pemilihan Walikota Yogyakarta.

Gagasan Membangun Kota

LANGIT sore menjelang malam. Terang lampu jalanan kota mulai me nyala, memperindah kawasan Malioboro dan Nol Kilometer. Biasanya, kedua tempat ini menjadi tempat favorit para wisatawan dalam dan luar negeri saat berkunjung ke Yogyakarta di malam hari. Jika Malioboro lebih dikenal sebagai tempat belanja, Nol Kilometer difungsikan sebagai tempat bersantai. Bagi masyarakat Yogyakarta sendiri, kawasan Nol Kilometer juga sering digunakan sebagai tempat ber kumpul sejumlah komunitas.

Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas sepeda fixie bernama Fixjo yang diikuti oleh Rio Nugraha. Bagi Rio, bersepeda bukan hanya seka dar hobi atau olahraga. Bersepeda juga bagian dari hidupnya. Rio lebih sering menggunakan sepeda sebagai alat trans portasi jarak dekat, dengan begitu ia bisa menikmati indahnya suasana kota. Hingga saat ini, di Kota Yogyakarta banyak komunitas sepeda yang diben tuk para penggunanya. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah kota dalam menggagas program Sego Segawe.

Sego Segawe atau sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe, artinya sepeda untuk sekolah dan berangkat kerja adalah salah satu program Herry

Zudianto ketika menjabat walikota bersama wakilnya, Haryadi Suyuti. Program tersebut digagas sejak Okto ber 2008. Tujuannya antara lain untuk menumbuhkan kembali nilai masyara kat Kota Yogyakarta yang sederhana dan dinamis. Sederhana dalam artian sepeda lebih menyatu dengan kehidupan masyarakat dan dinamis dalam ar tian masyarakat lebih mudah menyapa satu sama lain dengan bersepeda dari pada berkendaraan motor.

Menurut Herry, akan menjadi salah kaprah jika sepeda diidentikkan dengan masyarakat miskin dan kuno. Justru mereka yang bersepada adalah masyarakat modern yang efektif dan efisien. Untuk mendukung kelancaran program, pemerintah kota membuat jalur-jalur alternatif pengguna sepeda, ruang tunggu sepeda di persimpangan lalu lintas, dan fasilitas tempat parkir sepeda. “Coba kita mau bersepeda di jarak dekat saja, pasti akan mengurangi polusi, kemacetan, dan waktu juga,” timpal Herry.

Hingga kini, seruan mengenai program ini masih sering terdengar. Wa likota Yogyakarta setelah Herry, yaitu Haryadi Suyuti, tetap menjaga gerakan positif ini. Lewat seni lukis dinding dan papan-papan reklame, seruan Sego Segawe bisa dijumpai di kawasan strategis, seperti di persimpangan Jalan AM Sangaji dan di dekat kawasan Taman Pintar. Marak pula event bersepeda san tai yang diadakan oleh pemerintah kota maupun instansi nonpemerintah. Herry menolak jika selalu dikait-kaitkan dengan Sego Segawe hingga saat ini kare na baginya itu sudah menjadi bagian dari masyarakat Kota Yogyakarta.

Ketika masih memimpin, Herry juga dikenal sebagai Walikota Gila Ta man atau Wagiman. Sebagai putra asli Yogyakarta, Herry tahu betul selukbeluk kota. Sedari kecil, Herry sudah memiliki banyak impian untuk kota

6 | SOSOK | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3

kelahirannya. Salah satunya adalah membuat lingkungan kota yang hijau dengan taman. Maka, ketika memimpin itulah, ia berkesempatan membuat aturan bagi masyarakat supaya wajib membangun ruang terbuka hijau (RTH) sebagai persyaratan guna mengurus izin gangguan (hinder ordonantie/HO) atau izin membangun bangunan (IMB).

Herry pun dikenal sebagai sosok pe mimpin yang dekat dengan masyarakat. Ia berusaha membuka komunikasi seluas-luasnya dengan masyarakat. Maka, dibentuklah layanan Unit Pelayanan Informasi Keluhan (UPIK). Melalui layanan ini, masyarakat Yogyakarta dapat menyampaikan aspirasi dan keluhan dengan telepon, pesan singkat berupa short message service (SMS), ataupun surat elektronik (e-mail). Selain itu, ada pula program layanan Walikota Me nyapa di sejumlah radio di Yogyakarta. Di sini, masyarakat bebas berinteraksi dengan dirinya.

Herry menganggap tugas yang diamanahkan kepadanya adalah sebuah pengabdian. Ia menyerahkan seluruh waktu, tenaga, dan pikirannya untuk Kota Yogyakarta. “Bahkan mau tidur sampai bangun lagi, saya bekerja. Bah kan jalan-jalan pun, saya bekerja karena harus mengamati segala hal,” kenang Herry tentang masa kepemimpinannya yang telah berlalu.

Cerita tentang Herry Zudianto datang pula dari istrinya, Dyah Sumi nar. Dyah dan Herry adalah teman satu kampus semasa kuliah. Pembawaan Herry yang santai namun cerdas, perlahan mencuri hati Dyah. Pernikahan mereka sudah berlangsung selama 33 tahun. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua putri, dan seorang putra. Bagi Dyah, Herry adalah tipe suami demokratis yang selalu memberikan pilihan kepada Dyah dan juga ketiga anaknya, selama pilihan itu bertang gung jawab. Herry bukan tipe suami yang selalu memaksakan kehendak.

Dyah yang cermat dan cekatan mampu mengimbangi pribadi suaminya yang cenderung santai. Meski keduanya sama-sama memiliki kesibukan, mereka saling memahami posisi masing-masing. Menurut Dyah, Herry bukan saja menjadi suami, melainkan juga sebagai mitra bisnis. “Bapak sangat mendukung karier saya sehingga bisa berkembang menjadi seperti ini,” tutur Diah.

Selain menjadi ibu rumah tangga, Dyah aktif di beberapa organisasi, seperti sebagai direktur utama di Mar garia Group, bisnis yang digelutinya bersama sang suami. Dyah juga aktif di Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Yogyakarta dan Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Majelis Ekonomi.

Ketika Herry terpilih menjadi wa likota, beban Dyah dirasanya semakin berat. Herry menyerahkan kendali penuh bisnis di tangan Dyah. Herry ingin sepenuhnya mengabdi untuk ma syarakat Yogyakarta. Istilah yang diam bil Dyah, “Herry tidak ingin selingkuh ketika menjadi pemimpin Yogyakarta.” Herry berprinsip, sebagai pelayan ma syarakat, dirinya harus menyerahkan sepenuh dirinya untuk kepentingan masyarakat. “Bapak lepas..., pas seratus persen, bahkan dua ratus persen,” cerita Dyah ekspresif, sembari merentangkan kedua tangannya.

Prinsip sebagai Walikota

ISMAWATI Retno adalah Staf Perpustakaan Kota Yogyakarta yang beralamat di Jalan Suroto Nomor 9, Kotabaru, Yogyakarta. Sebelumnya, Isma bekerja sebagai Staf Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Kota Yogyakarta ketika Herry Zudianto men jabat walikota. “Bagi saya, beliau adalah pemimpin yang ideal dan guru kehi-

dupan saya,” ungkap Isma tentang sosok Herry di matanya.

Pengalaman selama menjadi rekan kerja Herry dituangkan Isma ke dalam bukunya, Herry Zudianto, Pak Walikota yang Besar Kepala. Judul tersebut di ambil dari salah satu pengalamannya saat menemani perjalanan dinas Herry ke Jakarta. Saat itu, mereka menghadiri Festival Anak Saleh (FAS) pada tahun 2008. Herry lupa membawa kopiah se hingga Isma harus mencarikannya. Dari beberapa kopiah yang dipinjam Isma, barulah kopiah ketiga yang paling besar ukurannya cocok dengan kepala Herry.

Banyak penghargaan yang diraih Herry ketika menjabat sebagai walikota. Dari buku yang ditulis Isma, kira-kira ada 87 penghargaan yang diraih Herry, baik di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, pariwisata, sarana dan prasarana perkotaan, pemerintahan, hingga bidang pelayanan publik. Dalam bidang pemerintahan dan pelayanan publik, penghargaan yang didapatkan adalah Bung Hatta Anti Corruption Award tahun 2010. Penghargaan terse but diberikan kepada mereka yang dinilai bersih dari praktik korupsi dan berperan aktif dalam menginspirasi ma syarakat guna memberantas korupsi.

Sebagai sumbangsih untuk Yogya karta, di akhir kepemimpinannya, Her ry menulis buku yang berjudul Kekua

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH Herry Zudianto, Walikota Yogyakarta yang menjabat selama dua periode berturut-turut, sejak tahun 2001 hingga 2011.
7 | SOSOK | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3

saan sebagai Wakaf Politik. Buku ini berisikan pemikiran-pemikiran Herry dan cara pandangnya semasa menjabat walikota. Herry menyebutkan, ada tiga prinsip yang dipegangnya selama men jadi walikota.

Pertama, masalah definisi dan hakikat kekuasaan. Baginya pribadi, kekuasaan yang diemban kala itu bukan semata-mata soal politik, melainkan soal amanah. Ketika menjadi walikota, Herry merasa bahwa dirinya adalah milik publik, milik semua orang. Ber latar belakang idealisme itulah, Herry memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan PAN sebagai wujud bahwa Herry adalah sepenuhnya milik masyarakat Yogyakarta. Ia tidak ingin terikat dengan golongan apa pun yang dapat memengaruhi kebijakan yang di ambilnya. Idealisme ini lalu menimbul kan pro dan kontra, bahkan ada yang menganggap tindakan Herry sebagai tindakan aneh dan bodoh. “Kalau saya

masih menjadi pengurus partai (PANred), saya tidak mungkin mengklaim diri sebagai milik semua orang,” tandas Herry.

Prinsip kedua, etika komunikasi politik. Sebagai pemimpin, Herry beru saha untuk tidak sombong. “Kemam puan mendengar saya harus maksimal,” lanjut Herry. Dengan lebih banyak mendengar, Herry bisa melihat lebih jernih persoalan dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Prinsip yang ketiga menyangkut di mensi keadilan. Herry menyadari bah wa tidak ada satu pun keputusan yang sempurna. Herry selalu berusaha untuk tidak takut dalam mengambil keputusan. “Jangan menjadi penakut setiap kali mengambil keputusan, pasti segala hal itu ada pro-kontra,” imbuh Herry.

Yogyakarta. Rumahnya nyaman, tum buhan hijau mendominasi halaman rumah. Istrinya gemar mengoleksi dan merawat tanaman hias. Ada pula ikan koi di kolam halaman rumah yang turut menambah asri pelataran. Setiap pagi, Herry menyempatkan diri memberi makan ikan koi tersebut sebelum ber aktivitas.

Dua tahun sudah tugas Herry sebagai walikota usai. Kini, ia dipercaya sebagai Ketua RW 2 di lingkungan tempat tinggalnya. Salah seorang tetangga Herry yang tinggal di sebelah rumahnya, Wariso, mengatakan meski pun sibuk, Herry selalu berusaha me nyempatkan diri untuk menyapa para warga. Salah satunya, dengan mengikuti arisan yang dilaksanakan sebulan sekali. “Meskipun sering telat, Pak Herry tetap datang, Mbak,” kata Wariso.

Herry juga menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dengan kedudukan sebagai Ketua Umum PMI Yogyakarta. Warjiyani selaku Staf Sum ber Daya Manusia dan Komunikasi Informasi (SDM dan Kominfo) mengungkapkan kebanggaannya terhadap sosok Herry Zudianto. “PMI berun tung memiliki Pak Herry,” ujar Yani. Menurutnya, Herry tak segan menegur stafnya yang melakukan kesalahan tanpa menghakimi bahwa dia bersalah. Herry juga siap memberikan solusi dan bantuan pada stafnya yang menghadapi kendala. “Beliau itu kerjanya cepat, tapi perhatian,” lanjut Yani.

Jika berada dalam satu kesempatan untuk berbicara di depan orang banyak, menurut Yani, sering kali Herry menyisipkan pesan di tengah pidatonya akan pentingnya donor darah. “Sampai mobil Bapak pun penuh stiker donor darah,” seloroh Yani sambil tertawa.

Kesibukan Herry lainnya adalah mengurusi bisnis. Herry dipercaya menjadi komisaris utama di Jogja International Hospital (JIH), anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gad jah Mada (MWA UGM), bendahara di Badan Pelaksanaan Harian Universitas Ahmad Dahlan (BPH UAD), bendahara di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), serta Ketua Federasi Olah raga Rekreasi Masyarakat Yogyakarta (FORMI).

Reportase bersama: Revangga Twin Theodora

Setelah Tak Menjabat KEDIAMAN Herry beralamat di Jalan Golo Nomor 10, Umbulharjo,
Lampu hias ber tema Sego Segawe terpampang di Jalan Gondomanan, Yogyakarta. Sego Segawe adalah program yang digagas oleh Herry Zudianto pada Oktober 2008. REVANGGA TWIN T. | HIMMAH
8 | SOSOK | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3
q
HIMMAH Edisi 01 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | M R . X | 9

Menggugat Megaproyek Terlantar!

Oleh: Bethriq Kindy Arrazy

TIM LAPORAN UTAMA

Reporter: Bethriq Kindy Arrazy (Koordinator), Ahmad Ikhwan Fauzi, Alissa Nur Fathia, Bastian Galih Istyanto, Moch. Ari Nasichuddin

Fotografer:

Ahmad Ikhwan Fauzi, Aldino Friga P.S., Revangga Twin T.

Infografis dan Tata Letak: M. Hanif Alwasi

SETIDAKNYA

di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terdapat sekitar sem bilan megaproyek pariwisata yang terbilang terlantar secara sistemik. Proyek-proyek tersebar merata di kabupaten dan kota. Biaya pembangunannya pun terbilang tidak sedikit. Jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Meski demikian, proyek-proyek terse but tidak luput dari permasalahan. Pola permasalahannya cenderung memiliki kesamaan, yaitu penanganan yang tidak serius dan pemborosan anggaran. Besar pasak daripada tiang. Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD)

yang diterima pemerintah dari mega proyek tak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Akibatnya, dalam per tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi beban yang terus ditanggung. Berkaca pada temuan empiris, semua mega proyek tidak meng-alami kondisi yang optimal.

Pasar Seni Gabusan merupakan salah satu megaproyek yang terdapat di Kabupaten Bantul. Sejak berdiri pada tahun 2004, Pasar Seni Gabusan diperuntukkan bagi para perajin di Bantul yang jumlahnya sebanyak 18 persen dari total penduduk Bantul.

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 310 | L A p ORA n U TAMA |

Gempa bumi tahun 2006 yang ter jadi di DIY, termasuk di Kabupaten Bantul, menjadi awal kemunduran Pasar Seni Gabusan. Sejak saat itu, jumlah perajin dan statistik kunjungan tergambar dalam grafik yang semakin menurun. Pemerintah Daerah (Pemda) Bantul terus menggelontorkan anggaran yang diambil dari APBD. Setengah miliar rupiah lebih akhirnya digunakan untuk biaya operasional Pasar Seni Ga busan.

Dukungan pemda rupanya tidak memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan perajin. Kucuran dana APBD juga tidak mampu mendatang kan pengunjung dalam jumlah yang banyak. Stigma negatif kemudian ber munculan atas kondisi yang menimpa Pasar Seni Gabusan tersebut.

Sejumlah perajin di Bantul memiliki paradigma bahwa Pasar Seni Gabusan masih belum memberikan jaminan atas tingginya penjualan barang-barang kerajinan. Minat perajin di Bantul yang rendah turut menjadikan Pasar Seni Gabusan terlihat tidak menarik lagi, ditambah pula dengan peran beberapa perajin yang terlihat pasif dan apatis terhadap kemajuan Pasar Seni Gabusan. Permasalahan yang ada semakin kom pleks.

Menurut situs berita Antaranews yang mengambil data dari Pusat In formasi Pasar Modal (PIPM) DIY, pemerintah menargetkan sekitar 5.000 investor akan meramaikan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 5,53 persen dari tahun 2012 yang menam pung sebanyak 4.738 investor lokal.

Situasi tersebut semakin memulus kan langkah investor yang tergabung dalam Jogja Investment Forum (JIF) untuk menanamkan modal di Pasar Seni Gabusan. Secara spesifik, langkah ini didukung Pemda Bantul yang me miliki target pertumbuhan ekonomi di wilayahnya sebesar 6,5 persen untuk tahun 2013. Untuk menjalankan target itu, langkah utama yang diambil pemda adalah mempermudah akses investasi

bagi pemilik modal.

Rencana besar perlu persiapan besar pula, termasuk dana yang besar. Pada tahun 2013, akan terjadi perubahan yang signifikan di Pasar Seni Gabusan. Rencananya, akan ada penambahan infrastruktur dan perubahan konsep. Dalam eksekusinya, perajin Pasar Seni Gabusan merespons positif rencana tersebut, meskipun nasib perajin masih terkatung-katung tidak jelas. Sebuah ke cemasan dialamatkan kepada Pasar Seni Gabusan untuk meninggalkan pasar secara beramai-ramai bila rencana itu hanya menguntungkan beberapa pihak. Kalau pun terjadi, lantas untuk apa sebuah bangunan yang bernama Pasar Seni Gabusan?

Cerita lain datang dari Pasar Seni Sentolo yang terletak di Kabupaten Kulon Progo. Nasibnya hampir sama, bahkan terbilang lebih parah dari Pasar Seni Gabusan. Situasi yang terlihat seperti keadaan mati suri. Sepintas secara visual, tak tampak ciri khusus bahwa Pasar Seni Sentolo adalah sebuah pasar seni pada umumnya.

Terletak di lokasi yang strategis, tak memberikan jaminan atas keberlang sungan Pasar Seni Sentolo. Para perajin nya tidak tinggal diam. Untuk mencip takan suasana pasar seni, perajin yang sudah menempati terpaksa melakukan pembangunan dengan biaya pribadi.

Upaya tersebut ditindaklanjuti dengan rencana pembongkaran bangunan yang terletak di depan pasar. Gagasan ini timbul atas keresahan perajin yang menilai bahwa bangunan yang dimak sud merupakan faktor utama dari seki an permasalahan di Pasar Seni Sentolo.

Hingga saat ini, masih terjadi tarikulur keputusan rencana pembongkaran. Idealisme antara perajin dan Pemda Kulon Progo masih belum memberi kan titik temu. Di sisi lain, rencana ini masih sebatas wacana yang tidak tahu kapan eksekusi akan dilakukan. Perajin menuntut ketegasan atas kondisi kebo sanan yang mencapai titik klimaks. Tidak ketinggalan di tempat lain, Taman Kuliner di Kabupaten Sleman

juga mengalami nasib serupa dengan dua megaproyek sebelumnya. Taman Kuliner didirikan atas dasar relokasi pedagang kaki lima di sepanjang Selokan Mataram. Tidak tanggung-tanggung, studi banding di Singapura juga di lakukan untuk menyadarkan pedagang tentang pentingnya ketertiban dalam usaha kuliner.

Pada tahun 2010, Taman Kuliner mengalami penyusutan jumlah pengun jung dan pedagang secara signifikan. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya, mulai dari peringatan tertulis kepada pedagang sampai ke promosi di berbagai media, Taman Kuliner tetap tidak terlihat seperti pusat aneka jajanan yang representatif.

Sebagian pedagang mengatakan, Taman Kuliner belum dapat menjawab peningkatan penjualan makanan. Tidak mengherankan bila lebih dari setengah pedagang yang direlokasi dari Selokan Mataram memilih angkat kaki dari Taman Kuliner. Sebagian mengalami kondisi bangkrut, sebagian kembali meneruskan usaha di tempat lain yang dinilai lebih menjanjikan.

Setidaknya, inilah tiga contoh megaproyek pariwisata di DIY beserta polemiknya. Mubazir, bisa dikatakan demikian. Konsep perancangannya tidak sesuai dengan implementasi atau bentuk jadinya di lapangan. Alih-alih memberdayakan rakyat dengan kegiatan ekonomi pariwisata, anggaran daerah yang dibebankan justru tidak sedikit. Upaya sebagai katalisator ke sejahteraan rakyat pun berhenti tidak pada tempatnya. Kalau hal ini terus terjadi, lantas untuk apa megaproyek didirikan di masing-masing daerah?

Pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota dimana megaproyek berada, perlu berbenah dan merespons kondisi permasalahan seperti ini. Meredefinisikan tujuan uta ma megaproyek wajib dilakukan!q

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 11

Pasar Seni Gabusan dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan perajin di kawasan Bantul. Pengelolaan yang masih setengah hati menjadi latar belakang sepinya Pasar Seni Gabusan.

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 312 | L A p ORA n U TAMA |

Investor Merapat di Tengah

Keterpurukan

Setiap tahun mendapatkan tunjangan APBD setengah miliar lebih. Di sisi lain, jumlah perajin dan pengunjung kian merosot tajam.

PASAR

Seni Gabusan diresmi kan pada 18 November 2004 si lam. Berdiri di atas lahan seluas 4,5 hektar. Berada pada tanah kas Desa Timbulharjo. Untuk sampai di sini, diperlukan jarak tempuh sepuluh kilometer ke arah selatan, terhitung dari pusat kota Yogyakarta.

Tercatat hingga tahun 2012, Kabupaten Bantul memiliki 73 sentra in dustri kecil dan menengah. Sebanyak 18 persen total masyarakat Bantul ber profesi sebagai perajin. Dengan jumlah tersebut, industri kerajinan mampu me nyerap tenaga kerja hingga sebanyak 93 ribu orang. Lebih rinci, untuk sebuah industri besar mampu menyerap tenaga kerja sampai dengan 100 orang.

Dengan jumlah sebanyak itu, pem bangunan Pasar Seni Gabusan diarah kan untuk mengakomodasi kebutuhan perajin di Bantul. Untuk menempatinya, perajin tidak dikenakan biaya sewa atau retribusi lainnya. Sentralisasi ini dilakukan guna memberikan wadah bagi perajin dalam memamerkan ba rang kerajinan, sekaligus sebagai media promosi. Selanjutnya, sentralisasi mem pertemukan perajin dengan konsumen,

hingga terjadi proses transaksi jual beli di sentra masing-masing.

Di Pasar Seni Gabusan, terdapat 16 los berbagai macam kerajinan. Masingmasing los terdiri dari spesifikasi kerajinan yang ada di Bantul. Satu los terdiri dari 16 kaveling, bahkan ada satu los yang terdiri hanya satu kaveling. Con tohnya, los yang memuat produk kera jinan gerabah dan furnitur. Barangnya yang berukuran besar menyebabkan banyak ruang yang termakan. Dari total los yang ada, Pasar Seni Gabusan mam pu menampung 444 orang perajin.

Pada tataran pelaksanaan, Pasar Seni Gabusan dijalankan oleh manaje men yang dipimpin langsung oleh manajer umum. Secara struktural, posisi manajemen berada di bawah langsung Bidang Perdagangan, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Bantul. Untuk menjalankan kegiatan operasional, pihak manajemen mendapatkan du kungan anggaran sebesar Rp 50 juta per tahun. Karena status pegawai manaje men adalah tenaga honorer, sebesar Rp 496 juta dianggarkan untuk gaji pega wai manajemen. Alokasi ini diambil

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 13
ALDINO FRIGA P.S. | HIMMAH

U TAMA

SIANG itu, Pasar Seni Gabusan tampak terlihat sepi dari pengunjung. Beberapa perajin yang menjaga kavel ingnya lebih memilih tidur dan sesekali bercengkerama dengan perajin lain un tuk mengusir rasa bosan.

Seorang perajin setengah berlari menghampiri saya yang sedari awal sudah berdiri di depan kavelingnya. Dibyo Suwarno Nursiswanto adalah nama perajin batik sekaligus pemilik kaveling tersebut. Ciri khas batik buatannya adalah batik cap dengan motif khusus dari daerah Irian Jaya yang kini bernama Papua. Lebih dari tujuh tahun sudah, ia menempati Pasar Seni Gabusan sejak diresmikan pada 2004 silam.

Pria yang akrab dipanggil Dibyo ini mengetahui informasi dibukanya Pasar

Seni Gabusan dari temannya sesama perajin. Ia sudah 15 tahun menjadi perajin. Di rumahnya, Dibyo tidak me miliki ruang pameran untuk memajang produk batik miliknya. Tanpa pikir pan jang, faktor ini membuatnya mengambil keputusan untuk menempati kaveling di Pasar Seni Gabusan.

Selama menjadi perajin, Dibyo kerap kali malang melintang ke beberapa kota, terutama di Indonesia bagian timur, tepatnya di Sulawesi hingga ke Papua. Hal ini karena istrinya sering di minta untuk menjadi pengajar keterampilan batik di wilayah-wilayah tersebut. Ia lalu lebih memilih menemani istrinya keluar kota. Tidak jarang pelanggan di luar Pulau Jawa pernah mendatangi kios miliknya.

Menjelang Natal dan tahun ajaran baru, ia dibanjiri pesanan batik. Hampir sebagian besar batik miliknya dipesan oleh pelanggannya dari Papua. Tidak

ketinggalan sekolah-sekolah yang siswa dan siswinya berseragam batik juga memesan darinya.

Dalam mengerjakan pesanan, Dibyo dibantu oleh mahasiswa Akademi Teknologi Kulit (ATK), tempat istrinya bekerja sebagai dosen. Dalam sebulan, ia mampu meraup omzet hingga Rp 30 juta yang didominasi pemesanan dari luar Pasar Seni Gabusan.

Ketika mengenang masa-masa awal, menurut Dibyo, pascaperesmian Pasar Seni Gabusan dinilainya sangat berarti. Saat itu, banyak pengunjung yang sering datang. “Sebelum gempa, tamu-tamu lumayan banyak yang berkunjung. Sekarang kayak gini, sepi. Tapi tidak menentu ya, Mas, kadang ada bus datang ke sini,” ungkapnya dengan suara parau.

Dibyo adalah ketua los batik sejak pertama kali menempati kaveling. Se belumnya, ia menempati los 16 yang

langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bantul. Dibyo, perajin sekaligus pedagang di Pasar Seni Gabusan. Omzet dalam penjualan batiknya mencapai Rp 30 juta per bulan, namun angka tersebut didominasi oleh transaksi di luar Pasar Seni Gabusan. REVANGGA TWIN T. | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 314 | L A p ORA n
|

sekarang ditempati kerajinan khusus logam. Sekarang, ia menempati los 5 yang didominasi oleh kerajinan batik. Waktu itu, ada penarikan yang ditu jukan kepada para perajin. Penarikan ini berupa sepuluh persen penarikan dari setiap transaksi untuk disetorkan ke pemerintah daerah (pemda). Untuk menyukseskan ini, di setiap los dise diakan kasir yang diisi oleh perwakilan instansi Pemda Bantul. Namun, sejak gempa tahun 2006 menimpa Kabupaten Bantul, penarikan semacam ini dihen tikan mengingat kondisi perekonomian perajin belum stabil.

Pascatahun 2006, perajin hanya di minta biaya sewa listrik. Dalam sebulan, setiap perajin dikenakan biaya sebesar Rp 13.000, tergantung jumlah kaveling yang dipakai perajin. Jumlah tersebut adalah patokan setiap kaveling. Tiga ribu rupiah dari jumlah uang listrik disisihkan untuk keperluan uang kas los.

Selama mengemban amanah men jadi ketua los 5, Dibyo kerap menemui perajin yang tidak disiplin. Misalnya, jarang masuk untuk menempati kaveling masing-masing. “Karena saya tidak mempunyai wewenang memecat dalam arti mengeluarkan perajin, jadi hanya mengingatkan saja. Mengeluarkan perajin yang ada di sini, itu wewenang manajemen,” ujarnya.

DESA Tembi termasuk salah salah satu kawasan desa wisata yang ada di Kabupaten Bantul. Desa tersebut dike nal dengan keberadaan rumah budayanya. Kesan tradisional masih terlihat kental dengan rerimbunan pohon ke lapa dan arsitektur rumah yang mayori tas berbentuk joglo. Di sisi lain, terlihat perajin yang sibuk menganyam barang kerajinan dari bahan daun pandan dan kulit vinil. Dari yang berusia muda hingga senja, mereka terlihat terampil mengerjakan. Di sebelah tempat mereka bekerja, terdapat sebuah pendapa dengan luas sekitar 15 meter persegi. Dua pilar utama yang terbuat dari bambu terletak tepat di tengahnya. Di situlah, saya bertemu dengan Daud Subroto. Ia mengenakan kaus berwarna abu-abu yang dipadu dengan celana pendek se lutut.

Daud, begitu biasa ia dipanggil, merupakan salah satu perajin di Pasar Seni Gabusan. Ia menempati los 3.

Daud termasuk perajin lama yang ber tahan hingga sekarang. Sejak awal 2011, ia dipercaya sebagai Ketua Paguyuban Perajin Pasar Seni Gabusan. Maka tidak heran, bila Daud mengerti banyak ten tang kondisi pasar dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ini.

“Dulu pernah mendapatkan pele setan ‘Pasar Sepi Gabusan’ ,” ujar Daud membuka obrolan. Terkait kondisi tersebut, paguyuban perajin melaku kan usaha kolektif. Dua tahun silam, paguyuban mendirikan Art Shop. Le taknya di depan pasar. Agar tidak ter jadi kecemburuan sosial, di dalam Art Shop terdapat perwakilan semua kera jinan unggulan yang ada di Pasar Seni Gabusan (PSG). Daud menyebutnya dengan istilah “PSG Kecil”.

Demi mempermudah kelancaran penjualan kerajinan di Art Shop, pa guyuban perajin melakukan kerja sama dengan jasa tour leader dan sopir bus untuk meningkatkan kunjungan. Kon sekuensinya, harga kerajinan dinaikkan dari harga normal. Sebanyak 20 persen digunakan sebagai fee (biaya tambahanred) untuk tour leader dan sopir bus. Aktivitas demikian memiliki kesamaan dengan Pasar Seni Sukawati di Kabu paten Gianyar, Bali.

Selain Art Shop, paguyuban perajin mendirikan kios oleh-oleh makanan yang berlokasi di los 13. Akhir Novem ber 2012, M. Abu Arifiani selaku Ketua Koperasi Pasar Seni Gabusan yang juga Sekretaris Paguyuban Perajin Pasar Seni Gabusan, memberikan surat edaran bernomor 03/S/Kop/XI/2012 yang di tujukan kepada perajin, sales promotion girl (SPG), dan karyawan pasar. Dalam surat tersebut, koperasi menjual tiga ribu lembar saham. Nilai per saham adalah Rp 20.000. Awal Desember, kios oleh-oleh tersebut terbentuk. Saat itu, dana yang terkumpul sebesar Rp 18 juta.

Usaha paguyuban perajin tak semu lus yang dibayangkan. Tepat di depan pasar, terdapat Toko Lutfi yang menjual oleh-oleh makanan khas Yogyakarta. Daud dan perajin sempat menyayang kan adanya pembongkaran pagar seng yang membujur dari barat hingga ke timur. Ini mempermudah akses pengunjung untuk berkunjung ke Toko Lutfi. Hal tersebut berakibat menurun nya kunjungan ke Pasar Seni Gabusan

dan penjualan usaha paguyuban di bawah koperasi seperti Art Shop dan kios oleh-oleh. Pengunjung lebih me milih parkir di luar daripada parkir di dalam area pasar.

Daud sudah melakukan pembi caraan dengan bupati dan manajemen pasar terkait masalah ini. Hingga seka rang, belum ada hasil yang memuaskan terkait solusi masalah. Di sisi lain, Daud tidak mempermasalahkan keberadaan Toko Lutfi. Ia mempunyai syarat, yaitu parkir pengunjung ditempatkan di dalam pasar. “Monggo kalau parkir di situ (luar-red) diizinkan. Tapi kita (perajin-red) tidak patah semangat, ya kita tetap jalan terus. Tidak mungkin kita melawan ‘tembok besar’ ,” kata Daud dengan nada memotivasi.

Pada Mei 2006, Kabupaten Bantul terkena gempa bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter. Pasar Seni Gabusan pun tidak luput dari imbas kerusakan yang ditimbulkan dari bencana ini. Selama enam bulan, seketika perekonomian di wilayah pasar lumpuh. Hampir sebagian besar perajin lebih memilih kembali membawa barang kerajinan ke rumahnya dan tidak meneruskan usahanya.

Saat itu, Exxon Mobil turut mem bantu pemberdayaan perajin, yaitu pembangunan pasar sementara berupa gubuk dari gedek bambu untuk me nampung produk kerajinan. Gubuk tersebut berlokasikan tepat di depan pasar. Namun, kegiatan ini hanya ber langsung selama enam bulan.

Saat itu, Daud pun tak luput terkena imbas gempa. Banyak barang kerajinan nya yang rusak. Total kerugian yang ditanggung mencapai Rp 142 juta. Jum lah ini termasuk kerajinan yang akan diekspor. Karena sudah mendapatkan uang deposito, dalam kurun waktu tiga bulan, ia bersama perajin di rumahnya kembali meneruskan aktivitasnya. Meskipun Pemda Bantul sudah mem berikan bantuan sebesar Rp 15 juta per orang perajin, bantuan tersebut belum berdampak signifikan atas kerugian yang diderita Daud. Ia lalu terpaksa pinjam uang ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai modal menerus kan usaha kerajinannya.

Tahun 2007, Pemda Bantul selesai merenovasi bangunan Pasar Seni Ga busan yang sempat rusak. “Terus pada

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 15

saat kembali, ada yang kembali dan ada yang tidak kembali. Karena banyak yang tidak punya modal dan barangbarang sudah pada hancur, mau bikin lagi tidak mampu,” cerita Daud.

Daud mengantongi data perajin. Dari 414 perajin sebelum gempa 2006, kini hanya tersisa 160 perajin. Dari jumlah tersebut, Daud mengklasifika sikan ada dua golongan, yaitu perajin aktif dan perajin pasif. Menurutnya, perajin aktif adalah perajin yang ru tin membayar listrik per bulan, selalu memperbarui kerajinan, dan membayar gaji SPG. Perajin pasif adalah perajin yang tidak pernah membayar uang listrik dan tidak ada yang menunggu kaveling. Namun, barang kerajinan perajin pasif masih ada di kavelingnya sehingga kondisinya tampak kotor dan tidak terawat.

“Ngopo nang kono suwe-suwe, nek ora payu, malah ngentek-ngenteke (buat apa di sana lama-lama, kalau tidak laku, malah habis-habisin-red) biaya. Bayar listrik, bayar SPG,” ujar Daud meniru kan salah seorang perajin pasif. Sebagai ketua paguyuban perajin, Daud tidak mempunyai wewenang untuk menindaklanjuti perajin pasif. Selama ini, perannya hanya memberikan saran ke pada manajemen untuk bersikap tegas. Apabila sudah masuk ke ranah tindakan, itu adalah wewenang penuh pihak manajemen. “Misalkan los keramik tidak ada yang menunggu, kayak gitu saja, tidak ada yang bersihkan. Itu kan menjadi pekerjaan manajemen, manaje men kan digaji oleh APBD,” Daud me nambahkan.

KANTOR Manajemen Pasar Seni Gabusan terletak di ujung timur laut, menempati los 9. Karena ukurannya besar, kantor manajemen tersekat pa pan tipis berwarna krem setinggi 3-4 meter. Bingkai dasar negara, Pancasila, terlihat gagah di tembok pembatas yang berdekatan dengan pintu. Kerajinan furnitur yang menyerupai manusia primitif berdiri di beberapa sudut ru angan. Kipas baling-baling yang tergelantung di atap turut mendinginkan ruangan.

Ariyanik Soekamtono adalah manajer umum dari manajemen Pasar Seni Gabusan. Sudah tiga tahun ini, ia menempati posisi tersebut. Ia

membawahi empat divisi, yaitu Divisi Operasional, Divisi Produksi, Divisi Marketing and Sales, dan Divisi Human Resource Development (HRD) and Ac counting. Secara keseluruhan, total per sonel manajemen berjumlah 48 orang. Jumlah ini termasuk petugas keamanan, petugas parkir, dan petugas kebersihan.

Menurut data dari manajemen, perajin saat ini berjumlah 139 orang. Ariyanik mengklaim bahwa Pasar Seni Gabusan sudah merepresentasi kan kerajinan yang ada di Kabupaten Bantul. Ini bukan dari jumlah kuanti tas perajin, melainkan menurut jenis kerajinan (spesifikasi-red) yang ada di masing-masing los. “Semua sentra yang ada di sini sudah terwakili, termasuk ada penambahan los furnitur yang dulu tidak ada,” jelasnya.

Terkait jumlah perajin yang dari tahun ke tahun berkurang, Ariya nik menambahkan ada faktor utama yang melanggengkan itu semua, yaitu perajin yang keluar adalah perajin yang sudah mandiri dan merasa mampu berjalan sendiri di luar pasar. Dalam rangka peningkatan kualitas perajin dan produk kerajinan, selama ini pihaknya sudah mengupayakan untuk melaku kan kegiatan pembinaan. Di antaranya, pelatihan produk kerajinan, tutorial informasi dan teknologi (IT), penataan ruang pameran, promosi, dan pemasaran. Kegiatan demikian sudah menjadi program kerja reguler yang didukung oleh APBD dengan nilai Rp 50 juta per tahun.

“Kita tidak ada keuntungan karena memang di sini lebih ke pelayanan masyarakat. Jadi targetnya bukan profit, namun lebih kepada pelayanan dan pembinaan. Bukan berorientasi profit, memang belum bisa memberi kan pemasukan kepada pemda. Jadi, memang tujuannya pemerintah untuk memberikan fasilitas kepada perajin,” tegas Ariyanik. Tidak hanya manaje men, pemerintah pusat hingga pemda juga kerap membantu, seperti menga dakan pelatihan administrasi, ekspor, penghitungan ongkos produksi, hingga profit. Hampir dua bulan sekali, kegiatan pembinaan semacam ini dilaku kan dengan jadwal yang sudah diatur oleh manajemen.

“Padahal program pelatihannya kan sebenarnya untuk meningkatkan kuali

tas mereka (perajin-red). Kalau diajak, ada juga yang mudah, tapi ada juga yang susah,” jelas Ariyanik.

Pada implementasinya, tidak jarang ada kendala. Hampir sebagian besar perajin berasal dari kalangan menengah ke bawah. Faktor ini yang melatarbe lakangi sulitnya mengumpulkan perajin dalam satu waktu. Di sisi lain, perajin baru yang berasal dari lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta lebih antusias menyambut pelatihan yang dilakukan manajemen.

Wanita yang ahli di bidang perda gangan ini memberikan pernyataan bahwa kunjungan wisatawan di Pasar Seni Gabusan tergolong bagus, meski pun pada hari biasa terkadang jumlah pengunjung tidak sebanyak pada hari libur nasional. Ariyanik menambah kan, kondisi pasar yang sepi tidak lain karena pasar tersebut merupakan pasar seni. Tak setiap saat konsumen membu tuhkan barang kerajinan yang sifatnya fungsional, seperti furnitur maupun kerajinan dekoratif. Lain halnya dengan pasar yang menjual kebutuhan primer.

Lebih dari sepuluh kali, saya mengunjungi Pasar Seni Gabusan. Tak jarang, saya mendapati kondisi sepi dan lengang. Pernah suatu ketika saya menyadari, bahwa saat itu pengunjung yang mendatangi pasar hanya saya dan salah seorang rekan yang terlibat dalam penulisan laporan ini.

Ariyanik lalu menampik, kondisi pasar yang sepi bukan berarti transaksi kerajinan juga sepi. Contohnya, transaksi kerajinan batik meningkat hingga menghasilkan omzet mencapai Rp 3040 juta per bulan. Meningkatnya omzet kerajinan yang bersifat sandang juga berdampak pada kegiatan operasional yang tinggi. Secara otomatis, perajin lebih disibukkan memenuhi target pemesanan di rumah masing-masing. Hal seperti ini membuat mereka menyerahkan kaveling yang mereka tempati kepada SPG yang ditugaskan menjaga.

“Itu juga menjadi kelemahan kami di sini. Jadi, kadang perajin kalau sudah fokus operasional, tidak fokus dengan barang yang ada di sini (pasar-red), mereka hanya fokus produksi,” ungkap nya. Mengakui sebagai kekurangan, pi hak manajemen melalui Divisi Produksi tidak memberikan sanksi, tetapi sema

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 316 | L A p ORA n U TAMA |

kin menggencarkan pembinaan yang dianggapnya menjadi tugas manajemen untuk memperbaiki kekurangan terse but.

***

GAPURA berwarna oranye berdiri kokoh di ujung jalan. Di atas gapura, terdapat besi yang menjulang setengah lingkaran. Di sana tertulis, “Sentra Kerajinan Kipas Bambu, Pedukuhan Ji pangan”. Ini merupakan salah satu sen tra kerajinan kipas yang ada di Bantul. Jipangan merupakan salah satu dusun kecil dari sembilan belas dusun yang ada di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.

Untuk menuju Jipangan, diperlukan waktu setengah jam dari pusat kota Bantul. Sepanjang jalan, tak jarang saya temui warga yang sedang menjemur irisan bambu untuk bahan gagang kipas. Tidak jauh dari situ, kain batik berukuran tak terlalu besar tertata rapi di atas jemuran berbahan bambu. Aktivitas demikian bukanlah pemandangan yang langka di Dusun Jipangan, mengingat hampir sebagian besar warganya ber profesi sebagai perajin kipas.

Sebuah bangunan kecil berukuran 3 × 3 meter berdiri kokoh di antara rumah-rumah warga. Bentuknya semi permanen. Kombinasi material dengan bambu yang disusun berderet hingga membentuk dinding tampak mendomi nasi infrastruktur bangunan tersebut. Hampir sebagian besar kerajinan kipas tertata rapi di tembok. Sebagian sisanya berjejer rapi di sebuah tempat pajangan berbahan kaca yang ditopang kayu. Bangunan sederhana ini adalah ruang pameran yang bernama Banyu Biru Craff. Pemiliknya, Darmawan, salah seorang perajin kipas di Jipangan.

Sebelumnya, bangunan tadi adalah sebuah gubuk bambu. Berdiri pada 2006, bertepatan ketika Darmawan mulai merintis usahanya. Ia mengambil langkah ini atas kegelisahannya melihat sentra kerajinan kipas di Jipangan yang sama sekali tidak memiliki ruang pameran.

Enam tahun kemudian, gubuk mu lai rapuh termakan waktu. Pertengahan 2012, Darmawan merenovasi gubuk tersebut. Biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 7 juta. Tujuan membangun ruang

pameran semata untuk menaikkan ke percayaan pelanggan dengan memajang kerajinan kipas di sana. “Mengingat sepanjang jalan sini, katanya sentra kipas, tapi tidak ada showroom. Sangat lucu sekali itu kan. Makanya di setiap waktu, setiap kesempatan pasti tak (saya-red) buat showroom atau ruang display. Tidak usah bagus-bagus, yang penting bisa buat menampilkan barang,” kata Darmawan.

Beberapa bulan kemudian, ia dan perajin lainnya sempat mengajukan proposal pendirian ruang pameran ke Disperindagkop Bantul. Ruangan terse but akan diperuntukkan bagi perajin yang belum memiliki ruang pameran. Namun sampai saat ini, proposal terse but belum mendapatkan respons yang positif.

Dengan modal sebesar Rp 700.000, Darmawan mulai merintis usaha se bagai perajin kipas. Saat itu, ia juga bekerja sebagai karyawan di Bank Per kreditan Rakyat (BPR). Karena peker jaannya, Darmawan tidak terlalu inten sif menjalankan usaha. Sebagian besar usahanya kemudian dikelola oleh sang istri. Peran Darmawan hanya memban tu dalam hal pemasaran dan promosi.

Awal 2009, Darmawan memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan nya. Faktor utama di balik hal terse but karena ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga. Setelah itu, ia berinisiatif mengajak warga sekitar untuk mengembangkan usaha kerajinan kipas miliknya. Perubahan ini yang membuatnya lebih memilih berkonsentrasi pada usaha kerajinan kipas yang ia rintis empat tahun lalu. Meskipun ia mengakui bahwa dalam enam bulan pertama, ia mengalami kendala dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya.

Hingga kini, Darmawan memiliki tujuh orang karyawan yang membantu seluruh operasional usahanya. Dari ketujuh orang tersebut, lima orang bekerja di rumah masing-masing. Mereka bertugas mengerjakan dari produk mentah hingga produk jadi. Dua orang lainnya bekerja di rumah Darmawan. Pekerjaan mereka adalah dari mulai pe nyeleksian kelayakan kipas, perbaikan bila ada kerusakan, hingga pengemasan sebelum dikirimkan ke para pemesan. Usaha kipas Darmawan pun mem

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 17
M. HANIF ALWASI | HIMMAH

buahkan hasil. Pada 2011, Darmawan menjadi finalis wirausaha muda terbaik tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olah raga (Kemenpora).

Bahan dasar utama kipas Jipangan terdiri dari irisan bambu wulung (hitam-red) berukuran 19-21 sentimeter yang digunakan sebagai kerangka. Kain veles, sifol, hingga batik, digunakan sebagai pelapis kerangka. Darmawan menjelaskan, kipas khas Jipangan me miliki dua fungsi sekaligus. Pertama, berfungsi mengusir panas. Kedua, untuk penyampaian informasi yang terdapat pesan teks dan gambar pada kipas yang disesuaikan dengan minat pemesan.

Harga yang dipatok Darmawan bervariasi, mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 5.500 per kipas. Ini tergantung pada ukuran dan jenis bahan yang dipakai. Dalam sehari, Darmawan mampu memproduksi 400-500 buah kipas, se lanjutnya dalam sebulan bisa mencapai 15 ribu kipas.

Dalam pemasaran, Darmawan me miliki strategi yang berbeda dibanding kan teman-temannya sesama perajin, yaitu dengan memanfaatkan dunia maya yang menurutnya memiliki pangsa pasar luas. Sebanyak 60 persen pemesanan didapat melalui website, sisanya berasal dari kerja sama dengan percetakan dan toko suvenir.

Di luar Pulau Jawa, Darmawan percaya diri bahwa prospek usahanya cerah. Menurutnya, masyarakat di luar Pulau Jawa begitu mengapresiasi kerajinan kipas Jipangan dalam bentuk kualitas, diimbangi kesepakatan harga yang tepat. Maksudnya, penawaran tidak terlalu murah dan sesuai dengan ongkos produksi. Pernah suatu ketika, ia mendapatkan pesanan kipas Jipangan dari luar negeri, seperti Singapura dan Jerman. “Kalau di Indonesia banyak sih, Mas, sudah hampir merata di jad wal ada. Kalau mau lihat jadwal, ada, monggo,” ajaknya di ruangan kerjanya.

Tidak heran, bila omzet yang di dapat per bulan mencapai Rp 35 juta. Sebanyak Rp 28 juta adalah ongkos produksi sehingga laba bersih yang diterima antara 6-7 juta rupiah.

Darmawan pernah menemui pen jualan kipas berharga murah di Pasar Beringharjo. Kondisi demikian akibat ulah pengepul nakal yang sering mem permainkan perajin dengan mengambil keuntungan lebih. Satu buah kipas di hargai Rp 2.300, ini adalah harga yang diturunkan Darmawan ke konsumen. “Jadi kita punya kerajinan dan karya dan paling tidak kita mbok dihargain lah. Kalau tidak seperti itu, ya ting gal menunggu ajal saja, itu pasti, Mas,” ujarnya dengan nada kesal.

Tidak tinggal diam, Darmawan dan para perajin melakukan pertemuan yang membahas standardisasi harga jual kipas meskipun hasilnya belum juga menemukan kesepakatan karena per bedaan prinsip masing-masing perajin. “Harga yang berbeda itu, bisa menjadi bumerang juga buat kita lho, Mas. Misalkan ada tamu yang datang ke sini dan survei di beberapa tempat, ‘kok harganya berbeda-beda’?” jelasnya.

Hampir sebanyak 60 persen dari total warga Dusun Jipangan berprofesi sebagai perajin kipas. Dalam hal ini, tidak hanya bagi pemilik usaha kerajinan kipas, namun masyarakat lain yang membantu proses produksi juga terlibat dalam menggerakkan perekonomian.

Di lingkungan Jipangan, Darmawan aktif di sebuah organisasi perajin ki pas. “Mas Panji” adalah akronim dari Masyarakat Perajin Jipangan. Nama tersebut merupakan usulannya. Berdiri pada 2007, saat itu ia menjabat sebagai sekretaris umum.

Sebelum Mas Panji berdiri, perajin Jipangan dalam menjalankan usahanya masih bergerak sendiri-sendiri. Namun semenjak didirikan, Mas Panji memiliki peran yang besar sebagai forum sila turahmi untuk merekatkan dan meringankan beban antar perajin, sekaligus

menjadi media dalam berbagi informasi dan pengalaman masing-masing pera jin.

Sampai saat ini, Mas Panji menga komodasi sebanyak 23 orang perajin. Lima sampai enam perajin dinyatakan tidak aktif dalam pertemuan dan acara yang diselenggarakan Mas Panji. Meski pun demikian, perajin yang tidak aktif beberapa di antaranya masih melanjut kan aktivitas operasional kipas. “Karena dia sudah bisa merasa sendiri, tanpa paguyuban dan komunitas, bisa berdiri. Ya, itulah namanya orang juga macammacam,” ungkap Darmawan dengan nada yang berat.

Hampir sebagian besar, perajin Jipangan saat ini mengalami kendala yang sama dalam hal peralatan produk si yang belum memadai. Rata-rata perajin masih memakai peralatan yang masih manual dan memakan waktu banyak dalam proses pengerjaannya.

Perajin Jipangan sempat beberapa kali memasukkan proposal pengadaan peralatan ke Disperindagkop Bantul yang direspons dengan memberikan alat pengering bambu berukuran besar. Dalam satu waktu, pemakaiannya bisa menghasilkan 20 ribu gagang kipas. Namun, alat ini memerlukan bahan bakar yang banyak. Alat ini diberikan pada saat Disperindagkop mengada kan pelatihan desain dan manajemen pada 2010 silam. “Gimana ya, mungkin kalau pemerintah kan sifatnya kayak yang penting itu buat proyek gitu lho, Mas, seakan-akan seperti itu. Jadi, yang penting ada anggaran ditujukan dalam bentuk barang, dikasihkan ke perajin, sudah, tanpa ada pertimbangan barang itu berfungsi benar apa tidak sih, cocok tidak sih fungsionalnya,” keluh Dar mawan.

Bila hal ini terus berlanjut, Dar mawan dan para perajin Jipangan merasa cemas dengan kondisi pasar. Persaingan tinggi tidak hanya terjadi di dalam negeri saja, tetapi juga ekspansi kerajinan kipas dari mancanegara ke

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 318 | L A p ORA n U TAMA |

Sulistiyanto, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Bantul. Beliau memaparkan biaya operasional Pasar Seni Gabusan sebanyak Rp 496 juta per tahun.

Indonesia. Contohnya, Cina, dalam proses produksi sudah memakai pera latan yang canggih. Ketakutan ini wajar, mengingat penggunaan teknologi tepat guna diperlukan bagi perajin Jipangan dalam meningkatkan aspek kualitas dan kuantitas.

Pria yang juga aktif di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kabupaten Bantul ini mengaku, sebe lumnya ia mempunyai rencana untuk menempati kaveling di Pasar Seni Ga busan. Selain itu, ia juga mendapatkan tawaran dari salah seorang pengelola, ”Nanti mbok kamu display di sana (Pasar Seni Gabusan-red),” ujarnya me nirukan ajakan.

Untuk memuluskan hal itu, harus ada perizinan manajer. Namun, dirinya mengurungkan diri. Ia melihat kondisi pasar yang sekarang lebih memprihatinkan daripada sejak diresmikan pada 2004.

Ada tiga alasan mengapa ia mengu rungkan niatnya. Pertama, dari aspek konsep. Darmawan menilai pada saat awal pendirian, pemda tidak melihat potensi lokasi yang kurang strategis. Dari Pantai Parangtritis, banyak kendaraan-kendaraan yang lebih memilih melanjutkan perjalanan daripada ber henti sejenak.

Kedua, aspek arsitektur bangunan. Menurutnya, ukuran Pasar Seni Ga busan terkesan luas meskipun barang yang dipamerkan banyak dari masingmasing los. Pengunjung bisa lelah saat menyusuri pasar sehingga mereka malas berkunjung. Pengunjung akan cenderung memilih langsung menuju sentra kerajinan untuk melihat proses pembuatan dan pemesanan dalam jum lah yang banyak.

Ketiga, prospek pemasaran yang tidak berkembang dengan baik. Inilah alasan yang menjadi bahan pertimbangan utama Darmawan. “Mendingan jualan di rumah, misalkan kayak saya membuka website itu masih tetap bisa promosi, tanpa kita harus setiap hari

menunggu di sana, itu malah jauh efek tif,” jelasnya.

Selain itu, pria yang masih aktif di Mas Panji ini juga menilai bahwa produk kerajinan kipas Jipangan tidak terdapat pada Pasar Seni Gabusan. Hasil tersebut didapatkannya setelah melaku kan pengamatan dan melakukan per temuan dengan para perajin Jipangan. Kalaupun ada, itu bukan asli perajin Jipangan yang menempati, melainkan pedagang yang menjual kembali kipas Jipangan.

Sebuah solusi meluncur deras dari bibirnya. Pemda yang berkompeten pada pengelolahan Pasar Seni Gabusan harus lebih tanggap dengan kembali mengumpulkan perajin yang sudah keluar, sekaligus mengajak peran serta perajin se-Bantul untuk membentuk forum yang secara khusus membahas tentang rencana strategis ke depan. “Jadi, semua perajin itu dikumpulkan semuanya, terutama yang dulunya me mang pernah mengisi di situ, untuk di motivasi lagi dan brainstorming mencari solusi bagaimana Pasar Seni Gabusan ke depannya,” papar Darmawan.

KANTOR Disperindagkop Bantul terdiri atas dua lantai. Di luar kantor, berdiri Koperasi Bina Sejahtera. Kenda raan beroda dua dan empat terparkir di sekitarnya. Memasuki pintu utama, mata saya langsung disuguhi struktur organisasi Disperindagkop Bantul yang tertempel di tembok. Masih di tempat yang sama, produk kerajinan tertata rapi di sudut ruangan.

Sore itu, Sulistiyanto tengah menekuni berkas-berkas di kantornya. Kedatangan kami mendapatkan sambu tan baik darinya. Sembari menyiapkan dokumen, ia mempersilakan kami un tuk menunggu di ruang tamu yang ma sih satu ruangan dengan kantornya. Ia adalah Kepala Disperindagkop Bantul.

“Jipangan belum. Kalau di Kalangan baru ditangani,” ujarnya menanggapi permintaan kebutuhan ruang pameran

di Jipangan. Sulistyanto mempunyai alasan tersendiri. Menurutnya, ruang pameran yang dibangun atas dasar inisiatif masyarakat sendiri, cenderung mampu bertahan lebih lama. Ia mem beri contoh ruang pameran di Krebet, Kasongan, dan Manding. Pembangunan yang berasal dari upaya masyarakat dapat menjadi faktor yang menjadikan sentra tersebut dapat berkembang se cara mandiri.

Sejauh ini, pihaknya tengah melaku kan pengamatan di salah satu sentra di Kecamatan Sedayu. Permintaannya sama, yaitu pengadaan ruang pameran. Pengajuan ini sampai ke Bupati Bantul. Namun menurut temuan yang didapat Sulistyanto, perajin yang ditanya merasa kebingungan siapa yang menjaga dan merawat ruang pameran. “Beberapa mereka (perajin sentra-red) yang minta kita bangun, malah tidak jalan, Mas,” kata Sulistyanto sembari menunjukkan dokumen yang dipegangnya.

Melihat kondisi Pasar Seni Gabusan saat ini, Sulistiyanto merespons positif

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 19
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 320
HIMMAH Edisi M. HANIF ALWASI I HIMMAH
02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3
21

untuk melakukan perubahan. Awal 2012, pihaknya melakukan pembahasan kerja sama dengan Jogja Investment Forum (JIF). Keterlibatan ini guna melakukan investasi, sekaligus upaya pengembangan Pasar Seni Gabusan.

Sejak awal 2012, kerja sama antara Pemda Bantul dan JIF sudah terjalin kesepakatan. Hingga akhir 2012, saat saya mewawancari Sulistiyanto, kerja sama ini dalam tahap pembahasan kon sep rancangan bangunan yang masih 80 persen. Ia tidak merinci estimasi Ren cana Anggaran Biaya (RAB) yang diper lukan guna pengembangan Pasar Seni Gabusan karena konsep yang dibicara kan masih belum final. Secara umum, tidak ada perombakan total. Namun, akan ada penambahan bangunan baru yang disesuaikan dengan arsitektur yang sudah ada.

Pembahasan tentang aset pemerintah dengan cikal bakal penambahan aset JIF juga masih pada tahap pemba hasan. “Misal, biasanya saya menanam modal minimal berapa tahun. Misalkan 20 tahun, setelah 20 tahun, barang swasta ini diserahkan pemerintah kadang-kadang kan bisa seperti itu,” ungkapnya

Sulistiyanto optimis, awal tahun depan (2013-red), desain rancangan bangunan sudah bisa diterapkan, kemu dian dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur. Secara umum ke depan, fungsi Pasar Seni Gabusan bukan saja sebagai pasar seni yang mempertemu kan perajin dengan konsumen kerajinan seni, melainkan juga sebagai pusat kegiatan masyarakat, baik yang bersifat formal maupun informal.

SEORANG pria bertubuh tegap dan besar. Kumis tebal tertata rapi di antara hidung dan bibirnya. Badannya berkulit cokelat kehitaman. Ia sedang berdiri di dekat meja dan kursi yang sepintas persis seperti tempat pos satpam. Pria tersebut bernama Sumardiyono. Di manajemen Pasar Seni Gabusan, ia menjabat sebagai manajer operasional.

Sumardiyono membenarkan adanya wacana kerja sama dengan JIF. Na mun, ia tidak terlibat secara langsung negosiasi kerja samanya karena secara struktural, manajemen pasar berada di bawah pembinaan Disperindagkop

Bantul. Namun, ia sudah mengetahui dan menerima secara terbuka rencana JIF yang akan berinvestasi, sekaligus mengembangkan Pasar Seni Gabusan.

Sudah tiga kali ini, ia turut mengan tar Dedy Kuswantoro berkeliling Pasar Seni Gabusan. Dedy merupakan arsitek yang dipercaya JIF untuk membuat konsep rancangan bangunan. Terakhir, keduanya sempat bertemu di rumah makan Parangtritis. Selain itu, Dedy juga terlihat aktif dalam pertemuan yang diadakan oleh Pemda Bantul.

Pasar Seni Gabusan akan mendapat kan tambahan infrastruktur. Di sebelah timur, akan dibangun ruang pertemuan. Di sebelah utara, membujur dari barat ke arah selatan, akan dibangun tem pat penginapan. Selain itu, tembok pembatas pemakaman yang terletak di sebelah kiri jalan masuk pasar akan dibongkar. Untuk mempermudah jalan nya proyek ini, disediakan pintu buka guna keluar dan masuk kendaraan berat. “Karena di belakang sini (sebelah utara-red) sampai sana yang bentuknya ‘H’ itu wujudnya cottage ataupun home stay atau hotel-hotel kecil,” ungkap Sumardiyono.

Sumardiyono masih merasa sangsi dengan keberadaan miniatur pesawat di depan Pasar Seni Gabusan. Menu rutnya, miniatur tersebut secara fi losofis tidak ada hubungannya dengan kerajinan. Gong yang berdiameter lima meter sudah mewakili lambang Pasar Seni Gabusan sebagai pasar seni. Ada rencana, pesawat yang berasal dari sum bangan Angkatan Udara (AU) tersebut akan dipindahkan.

Mengenai rencana pengembangan, manajemen Pasar Seni Gabusan berinisiatif akan mempertemukan JIF dengan paguyuban perajin. Hal ini dilakukan untuk menyosialisasikan rencana pengembangan Pasar Seni Ga busan. Para perajin menanggapi positif rencana ini karena menurut mereka, pengembangan dilakukan semata untuk mendongkrak penjualan kerajinan mi lik mereka.

Sumardiyono menjelaskan, ada pokok pembahasan kerja sama yang masih belum menemukan kesepakatan, yaitu tentang status tanah di Pasar Seni Gabusan yang akan ditempati oleh JIF untuk investasi. Pasar Seni

Gabusan berdiri di atas tanah kas Desa Timbulharjo. Untuk menempati tanah dengan status tanah kas desa, diper lukan perizinan langsung dari Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubenur DIY. Selain itu, Pemda Bantul diharus kan membayar biaya sewa kepada Desa Timbulharjo sesuai kesepakatan sewa tanah kas Desa Timbulharjo.

Pasar Seni Gabusan menempati tanah dengan kontrak selama 20 tahun. Terhitung sejak peresmiannya pada 2004, kini sudah berjalan sembilan ta hun. Masa sewa yang tersisa masih 11 tahun ke depan.

Orientasi profit adalah pertimbangan yang membuat JIF ingin menetralkan status tanah kembali ke awal. Maksudnya, tidak meneruskan sewa tanah yang sudah berjalan sembilan tahun ini. Kesepakatan yang belum menemui titik terang membuat JIF masih terus melakukan pembicaraan dengan pihak pemerintah provinsi.

Bila pembangunan yang ditarget kan sudah selesai, Sumardiyono ber harap, akan ada pengurus harian yang merawat aset JIF agar pengelolaan bisa lebih fokus. Pemisahan ini menunggu instruksi langsung dari Disperindagkop Bantul, sekaligus kesepakatan selan jutnya antara Pemda Bantul dan JIF.

“Sudahlah, yang namanya pasar seni juga nomor satu yang diprioritaskan ini adalah pasar. Ya kalau kita sih, harapan nya JIF itu segera action saja,” tutupnya.

KERATON Kesultanan Yogyakarta terletak di selatan alun-alun utara. Di

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 322 | L A p ORA n U TAMA |

sebelah kanan keraton, terdapat Tepas Keprajuritan. Tepat di belakangnya, terdapat KHP Wahana Sarta Kriya. Di situlah, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto bekerja. Ia meru pakan adik tertua Sultan Hamengkubu wono X. Sehari-hari, ia bertugas mem bawahi urusan rumah tangga keraton. Selain itu, Hadiwinoto adalah Ketua Jogja Investment Forum (JIF).

Minggu pertama Desember 2012 merupakan langkah awal kami menemui Hadiwinoto di kantornya. Na mun, ia belum bisa ditemui. Ia menjadi pembicara pada sebuah acara bedah buku.

Minggu kedua, kami mencoba menemuinya kembali. Seperti usaha yang pertama, kami gagal. Sempat kami meminta nomor telepon kepada karyawati di kantor Hadiwinoto, tetapi tidak diperbolehkan karena alasan tertentu. Kami meminta alamat e-mail Hadiwinoto pun, nihil. Alasannya, Hadiwinoto tidak mempunyai e-mail.

Adalah sebuah hal ganjil, seorang Hadiwinoto yang merupakan petinggi keraton yang juga Ketua JIF tidak memiliki e-mail resmi. Maka sebagai alternatif terakhir, saat itu juga kami memasukan daftar pertanyaan kepada Hadiwinoto melalui karyawati yang ti dak kami ketahui namanya tersebut.

Sesuai dengan janji, pada akhir De sember, kami kembali ke KHP Wahana Sarta Kriya untuk mengambil surat balasan dari Hadiwinoto. Namun, kami tidak juga mendapatkan argumentasi Hadiwinoto secara tertulis. Karyawatinya mengatakan, alasan tidak adanya surat balasan karena adik Gubernur DIY ini belum berani memberikan keterangan. Belum ada kesepakatan resmi dengan Pemda Bantul berkaitan rencana investasi JIF ke Pasar Seni Gabusan sehingga Hadiwinoto belum bisa memberikan argumentasi secara tertulis.

Sekilas, terlintas nama Dedy Kus wantoro dari hasil wawancara dengan Sumardiyono. Dihubungi melalui pesan singkat, Dedy mengaku sering mengi kuti pertemuan yang diadakan Pemda Bantul. Namun kapasitasnya hanya sebagai arsitek, ia hanya berkompeten penuh menjelaskan rancangan bangunan yang dibuatnya. Selain itu, Dedy

menerangkan bahwa dirinya bukan anggota JIF yang tahu banyak tentang konsep secara keseluruhan.

Dedy memberikan rujukan nama yang perlu kami temui, yaitu Mahendra. Menurutnya, Mahendra merupakan Bendahara JIF. Setelah dikonfirmasi, Mahendra mengakui bahwa ia menja bat sebagai Ketua Divisi Keuangan JIF. Ia menyarankan saya untuk langsung bertemu dengan Soekeno, Sekretaris Jenderal JIF.

GRUP Muncul beralamat di Jalan Soragan Nomor 45, Yogyakarta. Grup ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang mesin fotokopi terbesar se-DIY. Anak perusahaannya antara lain CV. Buana, PT. Usaha Digdaya Muncul, PT. Muncul Sukses Abadi, PT. Buana Citra Abadi, PT. Digiton, PT. Kipindo, PT. Muncul Digdaya Express, dan CV. Mitra Mandiri. Inilah usaha bisnis Soekeno sebagai pengusaha seka ligus Sekretaris Jenderal JIF.

Sejak Januari 2013, sudah ham pir tiga kali kami mencoba menemui Soekeno di kantornya. Pertemuan yang pertama belum berhasil karena Soekeno adalah pribadi yang sibuk. Made Utari Prabesty adalah sekretaris pribadi Soekeno. Tidak heran bila ia menge tahui banyak jadwal Soekeno selama ini. Menurutnya, Soekeno jarang sekali ke kantor. Dalam sebulan, frekuensi ia datang ke kantor dapat dihitung jari.

Kali kedua, kami ke sana. Soekeno masih belum bisa ditemui. Risti Ayu Dwi Pratiwi, sekretaris pribadi Soekeno yang lain mengutarakan bahwa perihal pertemuan untuk bertemu Soekeno su dah disampaikannya. Namun, rutinitas kesibukan agaknya menghambat Soekeno untuk bertemu.

Kami lalu dipersilakan membuat daftar pertanyaan yang ditunjukan kepada Soekeno. Tak berselang lama, kami membuatnya dan lekas diberikan kepada Risti. Kami berpesan, surat balasan bisa dikirimkan ke e-mail resmi HIMMAH. Hingga laporan ini ditu runkan, surat balasan tersebut belum juga dikirimkan. Tidak ada konfirmasi dari Soekeno, Utari, maupun Risti. Sumber yang dilansir dari Seputar Indonesia menyatakan bahwa JIF mengajak investor nasional untuk menjajaki

investasi di DIY. Di antaranya adalah PT. Danamulia, perusahaan yang me miliki cabang di Malaysia dan Eropa. Danamulia berencana melakukan in vestasi secara besar-besaran hingga 21 miliar euro. Investasi akan dilakukan dalam bentuk perhotelan, resor, conven tion center, serta padang golf. Yogyakar ta menjadi pilihan kedua setelah Bali. Budaya dan pariwisata di Yogyakarta membuat Danamulia tertarik. “Proyek investasi di DIY ini cukup banyak. JIF juga turut menggarap proyek Bantul Town Square di kawasan wisata Pasar Seni Gabusan di Kabupaten Bantul,” pa par Hadiwinoto kepada media tersebut.

DAUD Subroto membenarkan adanya pertemuan dengan JIF. Namun, pertemuan itu akhirnya kandas. Terlak sana dengan tidak sempurna karena pi hak JIF tidak hadir. Meskipun rencana ini sudah dijelaskan secara langsung oleh manajamen, Daud menjelaskan bahwa paparan tersebut tidak sepenuh nya dikuasai oleh manajemen, sekaligus memahamkan semua perajin di Pasar Seni Gabusan.

Daud menyambut positif adanya rencana pengembangan yang akan di lakukan oleh JIF. Di samping itu, perajin dinilainya mempunyai hak untuk tahu. Pasar Seni Gabusan diperuntukkan bagi kesejahteraan perajin di Bantul. Melalui pihak manajemen, Daud terus mengupayakan adanya pertemuan tentang sosialisasi rencana investasi yang akan dilakukan oleh JIF.

Selain itu, Daud pun mempunyai kecemasan tentang masa depan Pasar Seni Gabusan yang dinilainya masih tidak jelas. “Nanti teman-teman tak ajak metu wae (keluar saja-red), daripada kita jadi penonton, bukan jadi subjek, ya kita keluar saja. Malah menguntung kan ‘dia’ ,” kecamnya.q

Reportase bersama:

Ahmad Ikhwan Fauzi, Alissa Nur Fathia, Moch. Ari Nasichuddin.

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 23
***

Konsep Awal

Akhirnya Berubah

SIANG

itu mendung. Seperti hari kemarin, Taman Kuliner tetap sepi pengunjung. Kami duduk sejenak di pendopo. Tidak jauh dari kami, seorang ibu keluar dari kedainya. Ia mengena kan jilbab serta baju dan celana pan jang. Celemek masak menutupi seba gian badannya. Ia duduk di kursi-kursi yang tertata di depan kedainya.

“Mau pesan apa, Mas?” tanyanya ketika kami memutuskan untuk meng hampirinya.

Segelas jus sirsak dan segelas jus jambu biji kemudian menemani obro lan kami dengan Sri Hartati, pemilik kedai Istana Kebuli di Taman Kuliner. Mengawali kisahnya, Hartati menutur kan bahwa awal mula Taman Kuliner Suasananya tenang, rindang dan asri. Tempat itu awalnya merupakan relokasi, baik pedagang maupun pengunjung kini sama-sama sepi. Taman Kuliner terletak di kawasan Condongcatur, Sleman. Masalah pengelolaan menjadikan objek wisata kuliner ini sepi pengunjung. REVANGGA TWIN T. | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 324 | L A p ORA n U TAMA |

sebenarnya adalah relokasi pedagang kaki lima (PKL) dari Selokan Mataram. Tetapi, tidak semua pedagang di Taman Kuliner adalah pindahan dari Selokan Mataram. Sebagian kecil merupakan pedagang yang masuk dengan cara mendaftar, termasuk Hartati. Meski masuk dengan cara yang berbeda, setiap pedagang dikenakan wajib biaya masuk sebesar Rp 2 juta per kedai.

Adapun pedagang yang masuk dengan cara mendaftar harus memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Sle man. Hartati yang bertempat tinggal di Perumahan Candi Gebang Permai, Sleman, memutuskan untuk mendaftar pada tahun 2007. Setelah lima belas tahun bekerja di perusahaan asuransi, Hartati mengikuti suaminya untuk pensiun dan membuka usaha di Taman Kuliner.

Peresmian Taman Kuliner sendiri dilakukan pada Juni 2007. Awal mula diresmikan, Taman Kuliner sempat ramai pengunjung. “Cuma sekarang itu suasananya ya kayak gini,” cerita Hartati. Sepengetahuan dirinya, kedai makanan yang kini masih buka sekitar 12-13 kedai saja setiap harinya. Pada hal, kedai yang ada di Taman Kuliner berjumlah 122 kedai. Di bagian depan, malah sudah bukan lagi untuk kedai makanan, melainkan menjadi perkan toran. “Dulu ada di situ gudeg ceker, nasi merah, penyetan, tapi pada tutup. Terus di sini sekarang yang kosong-ko song itu malah dipakai untuk kantoran, seperti EO, terus biro jasa apa. Yang pedagang itu ya cuma beberapa orang.”

Uang sewa kedai di Taman Kuliner saat ini adalah Rp 100.000 per bulan, sudah termasuk biaya listrik dan air. Kelebihan dari berjualan di Taman Ku liner, menurut wanita berusia 52 tahun ini adalah kondisi tempat yang bersih, terutama dalam hal cuci peralatan, seperti piring, sendok, dan gelas. “Maaf, kalau di pinggir jalan itu kan, kurang bersih to, Mas, airnya paling seember untuk beberapa piring. Kalau di sini airnya kan full dari kran,” lanjut Hartati.

Maka dari itu, ia pun heran mengapa masyarakat lebih memilih lapak yang seadanya daripada datang ke kedai di Taman Kuliner. Padahal, parkir di Ta man Kuliner pun gratis.

Ibu dari enam orang anak ini sem pat berhenti jualan selama dua tahun. Ia mengaku ikut-ikutan pedagang lain yang pada berhenti. Hal tersebut seingatnya terjadi sekitar tahun 2010-an, ketika Taman Kuliner benar-benar sepi pengunjung. Mengenai sebab menurun nya jumlah pengunjung, Hartati tidak tahu pasti.

Waktu berhenti itu digunakan Hartati untuk berbisnis yang lain. Istri pensiunan Karyawan Bagian Pengajaran Fakultas Ekonomi Universitas Islam In donesia (FE UII) ini memilih berdagang Batik Solo dan mukena. Perputaran uang yang tidak terlalu cepat akhirnya membuat Hartati memutuskan untuk kembali berjualan di Taman Kuliner. Terlebih, ia dan pedagang-pedagang lain juga disurati oleh pihak pengelola Taman Kuliner untuk segera membuka kedainya lagi.

Hartati membuka kedainya dari jam sembilan pagi hingga jam sembilan malam. Tak jarang, selepas isya, ia su dah merasa lelah dan kemudian pulang ke rumah usai menutup kedai. Tidak harus menunggu jam sembilan malam, ketika dirasa sudah cukup, Hartati pun pulang. “Nggak terlalu dipaksa, saya kan kadang-kadang ada pesanan katering, nasi, ayam goreng, sayur lodeh,” imbuh Hartati. Untuk dapat terus bertahan, Hartati turut menawarkan dagangan kulinernya sampai ke luar melalui jasa katering.

TAMAN Kuliner Condongcatur ter letak di Jalan Anggajaya III, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Ka bupaten Sleman, DIY. Lokasinya dapat dicapai dari perempatan ring road Jalan Gejayan. Sebelum sampai di Terminal Condongcatur, akan terlihat papan penunjuk letak Taman Kuliner di sebe lah kanan jalan, di dekat pohon besar.

Berbelok ke kiri, beberapa ratus meter kemudian, Taman Kuliner tampak di sisi kanan jalan.

Di sekitar Terminal Condongcatur sendiri, pedagang makanan menjamur begitu saja. Ada penjual lotek, bakso, nasi goreng, aneka penyetan, sampai rumah makan padang. Baik pedagang kaki lima maupun pedagang yang memiliki warung sendiri, mereka tak pernah sepi pembeli. Seakan sudah ada yang mengatur rezeki para peda gang tersebut sedari pagi, siang, hingga malam hari.

Sementara itu, suasana di Taman Kuliner lengang. Banyak kedai makanan yang tutup, tak sedikit pedagang yang memilih pergi. Sebagian kedai lalu ber pindah tangan, antara lain menjadi toko pakaian, toko kelontong, toko kom puter, toko suvenir, dan toko plastik. Ada pula yang menjadi biro jasa, seperti wedding organizer, tour and travel, hyp nosis training center, studio printing, dan sekolah akting.

Kondisi yang demikian tentu kon tras dengan kesuksesan pedagang makanan yang membuka lapak di sekitar Terminal Condongcatur. Pada hal dari segi tata lingkungan, Taman Kuliner berhasil menawarkan suasana asri dan bersih. Taman Kuliner dapat menjadi alternatif bersantai atau tempat mengadakan pertemuan. Hanya saja, sepinya pengunjung yang datang mem buat Taman Kuliner ibarat hidup segan mati tak mau.

Kondisi di Taman Kuliner kini ter bantu dengan adanya acara rutin yang diselenggarakan oleh Yayasan Burung. Salah satu kedai di Taman Kuliner merupakan kantor yayasan ini. Acara yang dimaksud berupa lomba kicau burung setiap Rabu dan Sabtu sore. Bu rung-burung itu ditempatkan di dalam sangkar oleh para pemiliknya. Sangkar burung lalu digantung di tempat yang telah disediakan. Kicauan burung-bu rung tersebut selanjutnya dinilai.

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 25
***

HARI berikutnya, siang cukup cerah. Tidak terlalu terik, tidak pula terlalu mendung. Sesekali matahari menyibakkan diri dari balik kumpulan awan. Kami berjalan menuju sebuah kedai mi ayam. Pemiliknya tak lain seorang pedagang yang dulu mengalami relokasi dari Selokan Mataram ke Ta man Kuliner. “Sebentar ya, Mbak, ibu lagi di sebelah,” jawab seorang pegawai perempuan sewaktu kami menanyakan pemilik kedai.

Kusmiyati datang setelah dipang gil oleh pegawai satu-satunya tadi. Ia lalu mengajak kami duduk di depan kedainya, di meja batu persegi dengan kursi batu bulat, yang dipayungi tenda. Setelah saling memperkenalkan diri, Kusmiyati mulai berbagi cerita. Ia me nuturkan, relokasi terjadi tahun 2004 dan aktivitas di Taman Kuliner sendiri baru dimulai tahun 2007, atau tiga ta hun setelah relokasi. “Soalnya, kita itu dikasih uang ganti nggak mau, maunya tempat. Nah, terus prosesnya sampai demo-demo itu to,” kata Kusmiyati.

Ibu satu anak ini berkisah, dulu gabungan mahasiswa se-DIY ikut mem bantu perjuangan para pedagang yang direlokasi. “Ada yang sampai tidur-tidur di jalan, terus ada yang sampai, apa itu, dibawa polisi.” Dan mengingat itu semua, Kusmiyati menyayangkan kon disi sepi saat ini yang terjadi di Taman Kuliner.

Wanita paruh baya ini juga mem bayar biaya masuk sebesar Rp 2 juta. “Dulu, temen-temen pada nggak bisa bayar, saya aja nggak bisa bayar. Tapi masih ada keringanan, tapi kadang ada yang jadi beban, jadi utang, dica tet di kantor gitu,” tambah Kusmiyati lagi. Sistem pelunasan biaya masuk kemudian dibayar dengan cara dicicil. Selain itu, masih ada uang sewa yang harus dibayar, sekarang ini besarnya Rp100.000 per bulan.

Mengenai kawanan pedagang yang asli dari Selokan Mataram, Kusmiyati menjelaskan bahwa kini jumlahnya ti dak sampai sepuluh orang. Banyak yang beranggapan bahwa penghasilan menu run setelah berjualan di Taman Kuliner sehingga mereka tidak kuat dan lebih

memilih keluar. Disinggung soal dirinya yang tidak ikut pindah, Kusmiyati mengaku sayang dengan perjuangan dulu. Ia yang sudah lama di Taman Kuliner mengaku sayang jika harus meninggal kan kedai dan pergi begitu saja.

Rata-rata pedagang kini didominasi oleh orang-orang baru, termasuk kedaikedai yang telah berubah menjadi per kantoran. Orang-orang di perkantoran itulah yang kini turut meramaikan jualan dengan menjadi langganan para pedagang kuliner. “Coba kalau kantorkantor nggak buka, kayak apa gitu,” im buh Kusmiyati.

Para pedagang pernah meminta pengelola untuk meminta tambahan fasilitas supaya lebih membuat nya man pengunjung, salah satunya dengan melengkapi tenda agar ketika hujan, pengunjung tidak kehujanan. “Gimana caranya sini tuh biar ramailah, minta pengelola bergerak terus gitu lho, biar nasib kita itu berubah,” saran Kusmiya ti. Ketika dipindah dulu, para pedagang sempat mensyaratkan tempat yang ra mai. Kala itu, pihak pengelola pun ber janji untuk berusaha keras meramaikan Taman Kuliner. “Tapi ya, cuma gini-gini saja terus,” kilah Kusmiyati.

Status negeri Taman Kuliner, bukan swasta, menurut Kusmiyati mungkin ikut jadi kendala. Kendala yang dimak sud adalah sulitnya mengadakan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Apabila berstatus swasta, mungkin banyak kerja sama yang dapat diciptakan. “Kalau orang kecil ini nggak tahu apa-apa. Misalnya kita punya suara, ya cuma suara teriak-teriak nggak didengerin,” seloroh Kusmiyati.

“Selain ibu, siapa lagi dari rombongan Selokan Mataram yang masih ber tahan di sini?” tanya kami kemudian.

Dan menutup perbincangan sore itu, Kusmiyati menjawab, “Belakang saya satu, yang lotek, tengah.”

DI sebuah rak kaca, terlihat aneka sayuran. Ada mentimun, tomat, ke cambah, kubis, dan kacang panjang. Di sebelah rak kaca, terdapat sebuah meja yang terhidang aneka gorengan. Pemilik kedai sedang merebus bayam ketika kami datang. Ia bersedia menjawab

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 326 | L A p ORA n U TAMA |

pertanyaan kami sambil tangannya sibuk bekerja. “Maaf ya, ini tak sambi (mengerjakan yang lain-red),” ujar pe milik kedai Warung Lotek di Taman Kuliner itu.

Hartini merupakan salah seorang pedagang yang juga direlokasi dari Selo kan Mataram. Pada tahun 2004, salah seorang temannya sesama pedagang memberitahu bahwa izin berdagang di Selokan Mataram akan segera habis. “Awalnya memang ada gosip, tapi nggak seratus persen to, ternyata iya,” kisah Hartini.

Kala itu, Hartini baru setahun ditinggal wafat suaminya. Malam hari baru saja diadakan acara yasinan mendiang suami. Pagi harinya, Har tini mendapat kabar mengejutkan itu. Kabar itu sontak membuatnya bingung. Teman-teman mahasiswa mendampinginya untuk berdemo saja ke pemerintah minta ganti rugi tempat. Acara demo pun berlangsung di kawasan Malioboro.

Ketika tahu dirinya dan pedagang lainnya akan dipindahkan ke Taman Kuliner, awalnya ibu satu anak ini tidak mau mengambil. “Lha, kios dua juta rupiah, ibu nggak punya uang,” terang Hartini. Kemudian, ia dibantu oleh para mahasiswa.

Disinggung soal pendapatan se belum dan setelah di Taman Kuliner, Hartini mengaku sama-sama memiliki untung masing-masing dan sama-sama menutupi modal yang dikeluarkan. Untung yang paling banyak didapatkan jika ada event-event yang berlangsung di Taman Kuliner, seperti latihan tari, kumpul-kumpul anak kuliahan, atau lomba-lomba anak sekolahan. Jika tak ada event, pengunjung Taman Kuliner sepi, begitu pula pendapatan Hartini yang ikut sepi.

Hingga hari ini, biar bagaimanapun kondisi Taman Kuliner, Hartini tetap konsisten menekuni dagangan lotek miliknya. Sebab kini, ia hanya hidup berdua saja dengan anak remajanya. “Jualan di sini, yang penting aku jualan jalan,” tutup Hartini.

WARUNG SGPC Bulaksumur ter letak di depan Fakultas Peternakan,

Universitas Gadjah Mada (UGM). Pe miliknya, Anik, baru saja datang pagi itu ketika kami mengutarakan maksud hendak berbincang sejenak seputar Taman Kuliner. “Duduk sini, Mas,” ujarnya mempersilakan kami. Anik merupakan salah seorang pedagang re lokasi dari Selokan Mataram ke Taman Kuliner, namun kini tak lagi berdagang di Taman Kuliner.

“Sepi,” jawab Anik ketika ditanya alasannya pindah dari Taman Kuliner. Daripada menggaji orang duduk, ia memilih pindah saja. Sejak tahun 2010, Anik meninggalkan kedainya tanpa sepengetahuan pengelola, “Saya kan datang pergi-datang pergi, kadang ada event saya buka, tapi tau-tau kemarin saya mau buka lagi, gemboknya itu udah diganti.”

Anik mengaku, pendapatannya sebelum dan setelah di Taman Kuliner berbeda jauh. Dengan alasan privasi, wanita berusia 40 tahun ini enggan me nyebutkan besaran angka, “Yang jelas, jauh banget.” Andai gembok kedainya tidak diganti, Anik berencana untuk membuka kembali setelah hari raya (Idul Fitri 2012) dengan menawarkan menu baru. Namun, gembok yang mengunci pintu kedainya sudah diganti sehingga ia tidak dapat masuk. Padahal, sebagian barangnya masih tertinggal di dalam kedai.

Ketika direlokasi dulu, mau tidak mau, Anik ikut pindah ke Taman Kuliner. Waktu itu, pengunjung di kedainya masih ramai dan sampai meminta duduk lesehan. Anik lalu menyediakan tikar. Ia tidak tahu mengapa kondisi yang semula ramai pengunjung itu tibatiba menjadi sepi. “Padahal dari tempat udah macem-macem event, dulu tiap malam Minggu ada band indie,” kata Anik. Ibu dari empat orang anak ini sempat meminjamkan kedainya kepada seorang teman, tetapi temannya itu pun akhirnya mundur karena dagangannya sepi pembeli.

Warung yang dikelola Anik dan sua minya ini membuka cabang di beberapa tempat. Selain di kampus-kampus, Anik juga membuka tempat di pinggiran Selokan Mataram yang direlokasi dulu, bersama PKL lainnya. Karena kedai di

Taman Kuliner sepi, ia pun memutus kan untuk pindah. “Padahal tempatnya lumayan, untuk jalan pagi atau apa pa gi-pagi itu. Makanya maunya kemarin saya ganti menu, kita mau maksimalkan yang pagi sampe siang aja, tapi kenyata annya udah ganti gembok,” tutur Anik.

Apabila Taman Kuliner memiliki potensi jual yang bagus, menurut Anik, tentu orang akan berlomba-lomba un tuk berdagang di sana. Anik mengaku bahwa Taman Kuliner memiliki tempat yang bagus dan nyaman. Hanya ia kem bali tak habis pikir, “Saya juga heran, kok gitu-gitu wae.”

KANTOR pengelola Taman Kuliner terdapat di pojok utara. Letaknya di sudut, dikelilingi oleh rerumputan yang agak tinggi kira-kira satu meter dari bangunan kedai. Adalah Rahmat Suryo no yang menjadi Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Taman Kuliner Condong catur sejak tahun 2010. Terlebih dulu, ia menyampaikan maksud dan tujuan berdirinya Taman Kuliner.

Hartini, salah seorang pedagang yang direlokasi dari Selokan Mataram ke Taman Kuliner. Hingga saat ini, ia masih berjualan meski pendapatannya tidak pasti. TWIN
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 27
REVANGGA
T. | HIMMAH

“Pertama, untuk peningkatan per ekonomian masyarakat atau daerah, itu pasti. Yang kedua, mencegah degradasi kualitas lingkungan kota,” kata Rah mat. Artinya, dengan adanya sarana dan prasarana seperti Taman Kuliner, masyarakat akan memanfaatkannya. Lalu ketiga, optimalisasi dan efisiensi penggunaan dan penataan lahan. Dan keempat, menyediakan fasilitas bagi PKL.

Secara konsep, Rahmat menerang kan bahwa dalam perkembangannya, terjadi perubahan. Sejak dibangun tahun 2005, dibuka tahun 2007, hingga hari ini, kondisi Taman Kuliner sema kin menurun. “Titik nadir yang paling parah di tahun 2010, bisa dikatakan mangkrak,” terang Rahmat. Salah satu langkah yang diambil tegas oleh penge lola adalah dengan berat hati meminta pedagang yang sudah tidak layak secara administratif untuk meninggalkan ke dai.

Aturan bagi pedagang di Taman Kuliner adalah tidak boleh tutup selama 30 hari berturut-turut dan atau selama 29 hari kumulatif dalam waktu satu

tahun. Jika dilanggar, itu menjadi pintu masuk bagi pengelola untuk melakukan eksekusi atau meminta secara baik-baik kepada pedagang untuk pergi. “Sudah kita berikan informasi-informasi berisi teguran sesuai yang kami miliki, tidak ada respons positif sehingga akhir 2010 atau awal 2011 sudah kita mulai ekseku si,” lanjut Rahmat.

Akhirnya, dibukalah kesempatan bagi para pedagang nonkuliner, seperti barang dan jasa. Inilah yang menurut Rahmat sebagai perubahan konsep dari Taman Kuliner. “Meskipun pada akhirnya tidak sesuai antara yang direncanakan dan kenyataan. Saya kira namanya konsep harus fleksibel juga,” kilah Rahmat.

Rahmat menambahkan, promosi Taman Kuliner sudah dilakukan baik melalui media elektronik maupun media cetak. Untuk televisi, promosi telah dilakukan melalui TVRI Jogja dan Jogja TV. Terkait sepinya jumlah pengunjung, Rahmat beranggapan bahwa pedagang kuliner termasuk ke dalam golongan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pada umumnya, UMKM mengalami modal yang terba tas. Artinya, penjualan yang sepi akan memakan modal. Rahmat mengimbau pedagang agar sensitif terhadap pengunjung, antara lain dengan senantiasa membuka rutin kedainya serta menjaga kebersihan dan kualitas makanan.

Jumlah penyewa kedai sekarang ini, Rahmat menilai telah ada peningkatan sejak tahun 2011. Jika di tahun 2010, hanya ada 18 penyewa, maka di tahun 2011 ada 84 penyewa. Tercatat hingga September 2012, ada 112 penyewa.

Taman Kuliner ikut menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Kabupaten Sleman ini dimulai sejak ta hun 2007 dan belum memenuhi target sebesar Rp 35 juta hingga tahun 2010. Barulah mulai tahun 2011 hingga 2012, PAD dari Taman Kuliner mulai tercu kupi dengan besaran yang diperoleh menembus angka Rp 35 juta ke atas. “Signifikan apa yang kita lakukan dari sisi PAD, meskipun dari sisi operasionalnya kita belum profit,” kata Rahmat.

Ke depan, Rahmat akan menekankan untuk lebih pada mengubah mind

set pedagang dan membaca peluang. Peluang tersebut salah satu di antaranya adalah berkoordinasi dengan Dinas Pariwisata.

PADA suatu sore, kami diterima sebagai tamu di rumah Rubiyati. Ber blus merah jambu dan mengenakan rok motif batik, ia sore itu. Bertempat di daerah Samirono, dekat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kepala Di nas Pasar Kabupaten Sleman 2010-2012 itu berkenan menerima kami. Kami pun berbincang di kursi teras yang mengeliling sebuah meja kayu jati. Terhidang kue brownies coklat dan minuman Sari Apel di atas meja, menemani kami ber bincang.

Kala awal Taman Kuliner berdiri dan mulai diisi pedagang, Rubiyati menjabat sebagai Kepala Bagian Per ekonomian Kabupaten Sleman, mulai pertengahan tahun 2003 sampai dengan 2009. Perencanaan Taman Kuliner sendiri dilakukan sejak awal tahun 2003. Perencanaan tersebut secara garis besar meliputi perizinan gubernur, pematangan lahan, pembangunan, dan sosialisasi. “Waktu perencanaan per tama kali, sebenarnya saya di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Di Bappeda, sudah ada perencanaan berkenaan dengan penataan PKL. Ada beberapa titik, di antaranya Taman Kuliner,” terang Rubiyati.

Kala itu, di kiri-kanan Selokan Mataram penuh dengan PKL. Semen tara di bagian utara ringroad adalah perumahan, sedang di bagian selatan nya adalah kawasan pendidikan. Untuk menghubungkan utara dan selatan, ja lan di sekitar Selokan Mataram menjadi salah satu jalan alternatif. Supaya akses jalan tersebut tidak macet, diputuskan lah untuk merelokasi PKL.

Sejak pertengahan 2003, Rubiyati dipindah ke Bagian Perekonomian, tidak lagi di Bappeda. Namun, dirinya tetap menangani perencanaan Taman Kuliner. Prosesnya sendiri dimulai dengan perencanaan gambar yang lalu dikoordinasikan dengan gubernur, baik dalam pendanaan maupun pembebasan tanah. Tanah yang akan digunakan se bagai lahan bangunan dikoordinasikan

Rubiyati, Kepala Dinas Pasar Sleman 2010 - 2012. Menurutnya, pembangunan Taman Kuliner ditujukan untuk mengondisikan Selokan Mataram agar lebih rapi dan tertib.
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 328 | L A p ORA n U TAMA |
REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

dengan perangkat pedukuhan setempat.

Urusan gambar dan tanah selesai dengan ditandai penetapan desain. Setelah itu, koordinasi selanjutnya adalah dengan bupati. Lantas, dilaku kanlah pendataan PKL di sepanjang Selokan Mataram. Data-data tersebut digunakan untuk melakukan sosialisasi kepada PKL.

Pembicaraan dengan PKL, yang pertama, PKL harus memiliki KTP Sle man. Bagi yang tidak memiliki, dapat menggunakan Kartu Identitas Pen duduk Musiman (KIPEM). Lalu, diberi tahukan bahwa kedai di Taman Kuliner tidak ditawarkan secara gratis, tetapi ada biaya masuknya, yaitu sebesar Rp 2 juta. “Itu hanya saat pendaftarannya saja dua juta karena makanan itu menggu nakan fasilitas lebih, kan ada kitchen set, kemudian segala macam, wajarlah kalau biayanya lebih tinggi,” jelas Rubiyati.

Pada masa awal Taman Kuliner buka, wanita yang juga punya usaha kos-kosan di Samirono ini mengakui pengunjungnya ramai. Rubiyati ti dak tahu, apa yang membuat jumlah pengunjung semakin lama semakin menurun, hingga jadi sepi seperti seka rang. Ia mengamati, pedagang yang akhirnya mampu bertahan adalah peda gang kecil yang memiliki jualan khas. “Yang namanya Bu Tini (Hartini-red) yang jualan lotek itu kan malah justru bisa hidup karena yang lain jualannya sama semua,” sela Rubiyati mengambil contoh.

Pada 1 Januari 2010, Rubiyati dipindah lagi. Sejak saat itu, ia menjadi Kepala Dinas Pasar Kabupaten Sleman yang akhirnya benar-benar menjadi penanggung jawab penuh dari Taman Kuliner.

Rubiyati lalu memberanikan diri mengajukan cara memajukan Taman Kuliner, yaitu dengan fokus pada fasili tas terlebih dulu. “Kalau fasilitas yang kita jual, otomatis akan mendatangkan orang. Kalau mendatangkan orang, pas ti mereka butuh minum, butuh makan,” saran Rubiyati.

Pejabat yang pensiun pada tanggal 31 Juli 2012 ini juga menambahkan usul untuk membuka kawasan perkantoran bagi sebagian kedai. Hingga akhirnya,

ia mencoba dengan acara perkumpulan burung, yang sekarang ini rutin diadakan setiap hari Rabu dan Sabtu pada sore hari. Promosi lebih jauh juga dilakukan Rubiyati dengan sekolahsekolah TK dan SD. “Di sana kan nya man, silakan kalau mau ada lomba, kan ada pendoponya.”

Di antara kendala yang dihadapi Rubiyati adalah sumber daya manusia (SDM) pengelola dan PKL. Menurut nya, SDM yang ada sudah hampir me masuki masa pensiun sehingga kurang bersemangat. Sementara dari PKL, lebih pada kurang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi Taman Kuliner. Sempat pula dilakukan penilaian kebersihan lingkungan terkait aspek kesehatan an tarkedai yang dilakukan dengan kerja sama antara pengelola Taman Kuliner dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sle man. Ada sertifikat dengan nilai A, B, dan C. “Tetapi saya juga nggak tahu kenapa waktu itu akhirnya ada gejolak antara pengelola dan PKL,” kenang Ru biyati.

RUANG kantor itu terletak di lantai satu Kantor Dinas Pasar Kabupaten Sleman. Ukurannya sekitar 5 × 4 me ter. Di balik sebuah meja, seseorang berseragam pegawai negeri sipil tam pak membolak-balikkan lembar demi lembar dokumen di dalam map. Ketika kami datang, ia melepaskan kacamatanya dan berdiri mempersilakan kami masuk. “Silakan, Mas. Silakan, Mbak,” ucapnya mengajak kami duduk di sofa yang terletak di sebelah meja kerjanya.

Haris Martapa adalah pengganti Ru biyati selaku penanggung jawab Taman Kuliner dari pihak pemerintah daerah (pemda), setelah Rubiyati memasuki masa pensiun. Kedudukannya adalah sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Dinas Pasar Kabupaten Sleman.

Salah satu upaya menangani per masalahan yang ada di Taman Kuliner adalah melakukan zonasi. “Zonasi itu misalnya deretan ini untuk apa, deretan sana untuk apa,” terang Haris. Zonasi yang dimaksud tidak semuanya un tuk pedagang kuliner. “Kalau kuliner semua, itu kan asumsinya bahwa itu

harus buka semua,” lanjut Haris.

Dinas Pasar bersama dengan UPT Taman Kuliner tengah berusaha men ciptakan apa yang disebut “kor” atau daya ingat pengunjung ketika datang ke Taman Kuliner. Kegiatan bagi pecinta burung setiap Rabu dan Sabtu meru pakan bagian dari kor itu. Orang-orang yang berkunjung akan teringat dengan kicauan burung sebagai hal yang diingat dari kunjungannya ke Taman Kuliner. “Nah, kita sedang menciptakan banyak kor-kor itu,” kata Haris.

Zonasi yang dibentuk pun meru pakan bagian dari kor. Zonasi akan membantu penataan kawasan Taman Kuliner yang diperuntukkan bagi ma syarakat dalam mengadakan kegiatan ataupun aktivitas wisata. Pada akhirnya, Taman Kuliner memiliki konsep wisata dan edukasi. “Karena harapannya nanti, dari mahasiswa, pelajar, dan sebagainya itu, di situ menjadi arena basecamp, silakan untuk mengembangkan diri di situ,” tutur Haris.

***

TAMAN Kuliner merupakan proyek yang dibangun pemerintah dengan dana tidak sedikit, sekitar lima miliar rupiah. Para pedagang yang semula ber jualan di sepanjang Selokan Mataram kemudian direlokasi ke sana. Setelah dibuka untuk umum, Taman Kuliner ramai pengunjung dan mendatangkan keuntungan bagi pedagang. Hal itu ternyata tidak berlangsung lama. Taman Kuliner kini sepi pengunjung, banyak pedagang memilih pindah. Dengan se gala upaya yang ada, kita tentu menanti kelanjutan Taman Kuliner ke depan.q

Reportase bersama:

Alissa Nur Fathia, Ahmad Ikhwan Fauzi, Bastian Galih Istyanto, Moch. Ari Nasichuddin

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 29

Kemelut Tak Kunjung Usai

Polemik semakin memuncak kala idealisme belum memberikan solusi nyata.

Oleh: Bethriq Kindy Arrazy

JALAN Wates Kilometer 17 terlihat ramai akan lalu-lalang kendaraan bermotor. Hal ini tampak kontras dengan bangunan besar bercat putih di kiri jalan jika mengarah ke barat. Di sebelah kanan bangunan tersebut, berderet bangunan kios kera jinan. Beberapa kios bentuknya sudah tidak layak, ditambah lagi dengan kon disi lingkungan yang kotor. Di antara kedua bangunan itu, berdiri sebuah gapura dengan besi yang sudah berkarat sebagai penghubung. Di situ tertulis, “Pasar Seni dan Kerajinan Kulon Progo”. Proyek Pemerintah Daerah (Pemda) Kulon Progo ini menghabiskan dana senilai Rp 655 juta.

Karena lahan yang digunakan me makai lahan tanah kas Desa Sentolo, Pasar Seni dan Kerajinan Kulon Progo lebih akrab disebut Pasar Seni Sentolo. Menempati lahan seluas 2.500 meter persegi, fasilitas yang sudah tersedia berupa enam kios, satu mushala, dan dua kamar mandi. Pasar seni sendiri berdiri pada 2009 silam, namun belum juga diresmikan hingga hari ini. Setiap tahun, Pemda Kulon Progo mengucur kan dana sebesar Rp 2,5 juta. Melalui Pasar Seni Sentolo, dalam setahun Pemda Kulon Progo mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 7 juta.

Dalam segi pengelolaan, Pasar Seni Sentolo berada di bawah tang gung jawab Koperasi Tugu Binangun. Koperasi ini berdiri setelah rencana pembangunan Pasar Seni Sentolo tere alisasi. Dalam operasionalnya, koperasi dikelola oleh perwakilan perajin.

DESA Sentolo dikenal dengan kera jinan tas yang terbuat dari serat alam, yaitu dari bahan serat agel, eceng gon dok, pandan, dan akar wangi. Seorang perajin tengah sibuk menyemprot pewarna pada tas yang sedang dijemur. Beberapa di antaranya asyik menata tas di dalam kios. Aktivitas ini dapat dite mui di sekitar Pasar Seni Sentolo.

Martini adalah pemilik kios Knit Craft yang juga menjual tas kerajinan. Kiosnya terletak paling kiri dari deretan kios di depan Pasar Seni Sentolo. Ia menempati kios tersebut sejak 1999, saat itu masih bernama Pasar Tugu. Dinamakan Pasar Tugu karena pasar yang juga menjual produk kerajinan tersebut hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu. “Yang daftar banyak, wak tu itu ada sekitar lima belas orang juga ada. Alhamdulillah, saya dapat pinggir,” kenang Martini.

Selama menjalankan usahanya, Martini dibantu oleh sepuluh perajin di kiosnya. Untuk mempermudah proses produksi, ia memberikan kebebasan kepada perajin untuk menganyam kerajinan di rumahnya masing-masing. Hal ini agar ketika sampai di kios, para perajin hanya mengerjakan proses akhir, seperti pewarnaan dan penam bahan pernak-pernik untuk memper cantik produk. Aktivitas-aktivitas di kiosnya ini membuat Martini memiliki omzet sekitar Rp 160 juta per bulan.

Martini adalah salah satu perajin yang membangun kios secara semiper manen. Letaknya tepat di depan mushala. Ia masih belum beranjak untuk pindah meskipun beberapa bangunan

di belakang kiosnya sedang dibangun. “Kalau memang ada perintah dari pemerintah, saya akan pindah. Kalau dari teman-teman perajin belum. Kalau dari pemerintah kan yang lebih saya utamakan,” ujarnya.

BERBEDA dengan Martini, Dwiyani Sulistyo tergolong perajin yang masih baru. Sudah setahun ini, ia menempati kios yang dibangun oleh Pemda Kulon Progo. Dari depan, kiosnya menghadap ke belakang. Selama ini, kios miliknya dijaga oleh adiknya sendiri. Hal ini ia lakukan mengingat kondisi Pasar Seni Sentolo sepi dari pengunjung.

Selama di Pasar Seni Sentolo, Dwi yani tidak mempunyai pemasukan sama sekali. Alasan itu yang membuatnya tidak menggunakan jasa pegawai untuk menjaga kios. Ia sedikit tertolong dengan penjualan kerajinan di rumahnya sendiri. Dalam sebulan, ia mampu meraup untung sebesar Rp 30 juta dari penjualan di rumah.

Dwiyani mengakui jika dirinya adalah seorang anggota koperasi yang pasif. Meskipun begitu, ia menilai kepengurusan koperasi mengalami per masalahan internal dan masih terlihat pasif dengan kondisi di Pasar Seni Sen

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 330 | L A p ORA n U TAMA |

tolo. Selain itu, pemerintah selama ini dinilainya masih setengah hati melaku kan upaya promosi.

Wanita berambut pendek ini ber harap, semua kendala yang ada di Pasar Seni Sentolo dapat diselesaikan secara kekeluargaan, yaitu mengutamakan musyawarah bersama untuk mendapat kan solusi yang ideal bagi semua pihak. Dalam hal ini, Pemda Kulon Progo harus berperan memfasilitasi. Selain itu, ia meminta Koperasi Tugu Binangun bersikap transparan kepada perajin di Pasar Seni Sentolo. “Yang berlalu biar lah berlalu. Semoga pengurus sekarang berusaha untuk lebih baik. Suatu saat, saya yakin pasti ramai,” harapnya.

***

KURUN waktu 2007 hingga 2008, G.S. Suryadi bersama dengan sebelas orang perajin melakukan aksi damai di Dewan Perwakilan Rakyat Dae rah (DPRD) Kulon Progo. Kala itu, ia menuntut para wakil rakyat untuk memberikan wadah khusus bagi perajin se-Kulon Progo dalam bentuk pasar seni. Sebagai syarat penerimaan ban tuan dana pembangunan Pasar Seni Sentolo, diperlukan sebuah badan

hukum. Suryadi dan beberapa perajin yang mengikuti aksi damai tersebut lalu mendirikan koperasi. Inilah cikal bakal Koperasi Tugu Binangun. Di kepengu rusan koperasi itulah, Suryadi diangkat sebagai Bendahara 2, meskipun pada akhirnya pria berambut panjang ini mengakui jika dirinya tidak memiliki dasar kemampuan dalam dunia perkoperasian. Terbentuknya Koperasi Tugu Binangun hanya bersifat formalitas semata.

“Aku sampai sekarang ini adalah orang yang paling santai ya. Sebetulnya di sini (Pasar Seni Sentolo-red) yang paling bertanggung jawab adalah saya, bukan yang lainnya. Tanya dengan sekitar lainnya, saya yang bertanggung jawab,” tegasnya dengan suara meledakledak. Dengan kondisi Pasar Seni Sentolo yang tak kunjung membaik, Suryadi masih bertahan untuk tetap membuka kiosnya yang bernama Para Dewa. Suryadi tetap bertahan, meski ia sadar penghasilannya tak seberapa un tuk menggaji beberapa karyawatinya.

Dengan sisa lahan seluas 1.800 me ter persegi, Suryadi tidak tinggal diam. Ia mengajukan permohonan kepada Pemda Kulon Progo untuk menambah infrastruktur bangunan. Hasilnya dika

Pasar Seni Sentolo terletak di Dusun Dlaban, Desa Sentolo, Kecamatan. Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasar ini sepi pengunjung karena belum adanya sosialisasi kepada masyarakat.

bulkan, yaitu pemda mempersilakan perajin untul membangun kios di be lakang Pasar Seni Sentolo dengan cara swadaya. Namun, syarat yang harus di penuhi adalah membangun kios dengan sifat semipermanen.

Hingga kini, sudah berdiri 13 kios semipermanen. Hal yang membedakan dengan bangunan dari pemerintah adalah kios semipermanen memiliki ciri khusus. Hampir sebagian besar temboknya masih berbata merah dan konstruksi atapnya memakai bahan dari bambu. Rata-rata biaya pembangunan yang ditanggung perajin mencapai kisaran Rp 35 juta sampai Rp 40 juta. “Semua sudah ditempati, cuma kadang bukanya tidak mesti,” ungkap Suryadi. Suryadi tidak berani menjanjikan kapan kios semipermanen tersebut ditepati perajin secara serentak. “Bukan berarti saya tidak mau berargumentasi, tapi saya tidak bisa janji karena masih ada dua kios yang masih proses pem bangunan,” tambahnya.

JALAN Perwakilan Nomor 1, Wates, Kabupaten Kulon Progo. Di situlah, lokasi kantor Badan Pengembangan dan Perencanaan Daerah (Bapedda) Kulon Progo. Posisinya diapit oleh Kantor Bupati dan Kantor Badan Kepegawaian Daerah. Agus Langgeng Basuki, Kepala Bapedda Kulon Progo, mempersilakan kami masuk ke ruangannya.

Langgeng, begitu panggilan akrab nya, memaparkan bahwa pembahasan Pasar Seni Sentolo sudah melalui mekanisme yang diatur. Kajian yang dilakukan Pemda Kulon Progo sudah

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 31

dibahas secara detail oleh Tim Ang garan Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai langsung oleh sekretaris dae rah. Selanjutnya, kajian dipresentasikan ke bupati. Bila kajian diterima, kemu dian dilanjutkan dengan pembahasan anggaran ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kulon Progo.

Menurut pria berkacamata ini, Pasar Seni Sentolo berlokasi di Desa Sentolo supaya lebih dekat dengan Kota Yogya karta sebagai pusat wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, lokasinya juga tidak terlalu jauh dengan Kabupaten Bantul yang terdapat banyak sentra industri kerajinan. Ditempatkan di tepi Jalan Wates karena secara lokasi lebih strategis, banyak pengguna jalan yang melewati Jalan Wates. Langgeng menyebutnya dengan “jalan negara”.

“Dengan perencanaan yang sedemikian, lantas bagaimana dengan kondisi Pasar Seni Sentolo saat ini?” tanya saya.

“Ini yang saya kira masih belum berjalan sesuai dengan harapan kita. Pesan bupati, karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan awal pendirian itu harus dilakukan pembenahan,” ujar pria yang pernah aktif di Dinas Pertanian Kulon Progo ini.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat Pasar Seni Sentolo tidak sesuai dengan awal mula berdirinya.

Pertama, promosi yang dilakukan ma sih kurang. Kedua, produk kerajinan yang ditampilkan oleh perajin kurang menarik. Ketiga, karena pengelolaannya tidak langsung dari Dinas Perindus trian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM), Langgeng menilai pengelolaan yang dilakukan oleh pengurus Koperasi Tugu Binangun belum berjalan maksimal. Pengelolaan masih belum dilakukan secara profesional. “Mestinya dari Dis perindag ESDM mencari permasalahan kenapa tidak berjalan,” ungkapnya.

MOBIL Toyota Avanza putih ke luaran terbaru melintas. Seorang pria berperawakan besar keluar dari balik pintu mobil. Puryanto, salah seorang perajin batik di Kulon Progo menyapa kami yang sudah menunggu di teras rumahnya.

Sebelum menjadi perajin batik, pada tahun 2000, ia adalah seorang perajin lilin. Namun semenjak tahun 2008, Puryanto mulai merintis usaha sebagai perajin batik. Hal ini karena pada ta hun 2007 terjadi krisis global di Eropa, yang membuat produk kerajinan lilin miliknya tidak berkembang. Penurunan order sebesar 90 persen pun dialami pada masa-masa tersebut.

Sebanyak 70 persen pusat industri kerajinan batik di Kulon Progo berpu

sat di Kecamatan Lendah, khususnya di Desa Ngentakrejo dan Gulurejo. Ini yang membuat Puryanto didaulat men jadi Ketua Koperasi Sinar Abadi Batik di lingkungannya. Koperasi tersebut mewadahi perajin batik di Kabupaten Kulon Progo.

Tahun 2011, terjadi kesepakatan. Pemda Kulon Progo menyerahkan pengelolaan Pasar Seni Sentolo sepenuh nya kepada Koperasi Tugu Binangun. Saat itulah, Puryanto mulai membuka usaha di salah satu kios yang ada di Pasar Seni Sentolo. Terhitung enam bulan setelah membuka kios, Puryanto memilih meninggalkan kios miliknya. Alasan utamanya adalah kondisi pasar yang tidak bagus.

Puryanto tidak memiliki omzet dari penjualan batik di kiosnya. Dalam sebu lan, ia terus mengeluarkan biaya sebesar Rp 1 juta untuk keperluan operasional di Pasar Seni Sentolo. Ia juga membayar uang iuran yang dialamatkan ke perajin. Biaya sewa kios per bulan sebesar Rp 125.000 ia bayarkan ke Disperindag ESDM. Kini, kios yang ditinggalkannya ditempati oleh Dwiyani Sulistyo.

Menurut pria yang baru menjabat sebagai Ketua 2 Koperasi Tugu Bi nangun, sejak awal Pasar Seni Sentolo berdiri, konsep yang ditawarkan tidak jelas. Upaya yang dilakukan masih setengah hati. Ini terlihat dari bangu nan yang terfasilitasi hanya sebagian. “Karena kita niatnya membangun ingin membuat pasar seni, harus jelas bahwa ini pasar seni. Ternyata bangunannya seperti itu, siapa yang mengatakan itu adalah pasar seni,” sesalnya.

Faktor utama yang dinilainya meng hambat kemajuan Pasar Seni Sentolo adalah terdapat bangunan kios yang terletak di depan pasar. Karena lingkungannya yang kotor, beberapa kios juga tidak terawat. Maka, ia mengaju kan untuk segera membongkar bangunan tersebut.

Di sisi lain, Puryanto juga mengapresiasi perajin yang turut membangun kios di belakang Pasar Seni Sen tolo. Ini yang membuatnya bersikukuh untuk segera mengajukan pembong karan bangunan yang di depan sehing ga tercipta sebuah lingkungan pasar seni. Rencana ini sudah mendapatkan persetujuan para perajin di Pasar Seni Sentolo. Namun, solusi ini masih menemui jalan buntu di hadapan Pemda

Djunianto Marsudi Utomo, Kepala Disperindag ESDM Kulon Progo. Ia memaparkan, pihak pemerintah belum melakukan upaya promosi Pasar Seni Sentolo.
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 332 | L A p ORA n U TAMA |
AHMAD IKHWAN FAUZI | HIMMAH

Kulon Progo. “Harusnya, instansi ter kait dan pemerintah tegas dari awal dan tahu dengan keluhan calon pengguna (perajin-red),” ungkapnya.

Bila solusi yang ditawarkan perajin ke Pemda Kulon Progo dikabulkan, Puryanto bersama jajaran pengu rus baru Koperasi Tugu Binangun berkomitmen penuh untuk menjalankan roda perekonomian di Pasar Seni Sentolo. Langkah konkret yang akan diupayakan berupa promosi ke biro perjalanan, mengadakan event secara berkala, dan memasang spanduk di ber bagai tempat strategis.

“Kalau nanti itu tidak berhasil, jadinya itu hanya mimpi. Saya yakin betul dengan hal-hal semacam itu. Karena kita tahu, kita orang pasar. Ka lau tidak dengan cara seperti itu, tidak mungkin pembeli akan datang,” ujar Puryanto mengakhiri pembicaraan.

TEPAT di atas pintu tertera tulisan “Kepala Dinas”, kami memasuki sebuah ruangan berukuran kira-kira 5 × 5 me ter. Di balik pintu, berdiri lemari kayu yang berisikan dokumen dan hiasan. Meja dan kursi sofa dengan kombinasi warna krem dan hitam turut memenuhi isi ruangan. Di situlah, Djunianto Mar sudi Utomo menunggu kedatangan kami. Ia adalah Kepala Disperindag ESDM Kabupaten Kulon Progo.

Djunianto mengakui bahwa pi haknya sejauh ini masih belum melaku kan upaya promosi Pasar Seni Sentolo. Promosi yang dilakukan masih sebatas promosi produk kerajinan hingga ke Jakarta dan Bali. Selain itu, usaha yang dilakukan berupa memberikan pelatihan desain dan strategi mendatangkan pembeli.

“Ya, betul. Karena keterbatasan ang garan, kita mengajak siapa pun untuk beraktivitas di sana,” kata Djunianto. Kabupaten Kulon Progo, dinilainya minim anggaran. Terobosan besar yang dilakukan Djunianto dan para jajaran nya adalah mengajak investor untuk turut berperan dalam mengembangkan Pasar Seni Sentolo. Terkait ketidakopti malan di Pasar Seni Sentolo, ia menilai bahwa kinerja pengurus Koperasi Tugu Binangun menjadi salah satu faktornya. “Iya, jadi kita akan menyambut. Bila memang tidak sanggup, apa bisa orang lain akan mengelola Pasar Seni Sentolo? Kalau memang ada orang lain yang

bisa mengelola lebih baik, ya silakan,” ajaknya.

Djunianto sudah mendengar keinginan tentang pembongkaran bangunan di depan Pasar Seni Sentolo. Ia meni lai, wacana seperti itu adalah hasil dari pemikiran yang tidak utuh. “Apakah dengan dibongkar depan, bisa mening katkan kunjungan?” tanya Djunianto.

Pria yang pernah menjadi Kepala Kantor Lingkungan Hidup ini menjelas kan, pihaknya sudah mengimbau ke pada perajin untuk segera menempati terlebih dahulu kios yang sudah terbangun. Hal ini dinilainya perlu sebelum dilakukan pembongkaran. Setelah langkah ini dilakukan oleh perajin, Djunianto menjamin akan melakukan penataan letak, penataan kebersihan, hingga promosi Pasar Seni Sentolo.

SUDAH delapan tahun ini, Yusron Martopa aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kulon Progo. Sejak tahun 2009 ia diper caya sebagai Ketua Komisi II DPRD Ku lon Progo. Di komisinya, ia lebih sering membahas tentang perekonomian dan keuangan.

Terkait penyampaian Djunaidi, ia menolak bila mengatakan tidak ada anggaran untuk keperluan Pasar Seni Sentolo. Selama urusan itu untuk ke pentingan publik, pasti ada alokasi anggaran. Tahun 2011 misalnya, APBD mencapai Rp 791 miliar. Sebanyak Rp 486 miliar digunakan untuk belanja pegawai negeri sipil (PNS). Sisanya di anggarkan untuk kepentingan publik.

Menurut pengalaman Yusron se lama aktif di legislatif, program kegiatan yang dikerjakan oleh eksekutif bersi fat fluktuatif dan disesuaikan dengan kebutuhan. Bila mendesak, harus disegerakan untuk disahkan. “Proyek kar bitan,” begitu Yusron menyebut sebuah program kegiatan dari eksekutif yang dikonsep secara tidak serius. Untuk mengantisipasi itu, di DPRD sekiranya ada empat tingkat pembahasan yang harus dilalui secara selektif.

Pertama, eksekutif melalui dinasdinas yang berkepentingan memberi kan draf Kebijakan Umum Anggaran (KUA). Kedua, lebih detail dipaparkan kembali di Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Ketiga, dalam ben tuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang

dipresentasikan oleh bupati selaku representatif eksekutif terkait dengan program kegiatan yang diagendakan. Terakhir, dengan segala pertimbangan yang matang, pembahasan disahkan oleh legislatif melalui Badan Anggaran. “Kalau kaitannya dengan program ke giatan yang diajukan eksekutif, dalam hal ini melalui satu mekanisme, harus secara berjenjang ketika penganggaran itu dilakukan oleh eksekutif kepada legislatif,” ujar Yusron.

Terkait kondisi Pasar Seni Sentolo, Yusron menilai tidak ada kesesuaian dengan tujuan awal berdiri serta ma sih minimnya koordinasi dinas-dinas terkait yang berhubungan dengan pengembangan Pasar Seni Sentolo. Pihaknya meminta kepada Pemda Ku lon Progo untuk mendorong aspirasi perajin.

Tidak sampai di situ, politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini men janjikan, awal bulan April 2013 akan melakukan peninjauan langsung di Pasar Seni Sentolo bersama jajarannya di Komisi II DPRD Kulon Progo.

***

“KALAU itu namanya sudah memvonis kita (koperasi-red) salah. Gampangnya, ‘orang besar’ itu mudah menyalahkan. Mereka itu bukan orang lapangan,” sergah Suryadi. Perajin berambut panjang ini menolak bila disalahkan. Di sisi lain, ia juga tidak menyalahkan pemerintah. Perdebatan antara perajin dan Pemda Kulon Progo perlu disikapi secara adil dengan menawarkan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. “Kadang-kadang saya bertanya, saya harus bagaimana? Semua sudah saya perjuangkan,” keluh nya.

Hingga kini, perajin seperti Mar tini, Dwiyani, Puryanto, dan Suryadi masih optimis di tengah pesimis yang sedang melanda. Keputusan Pemda Kulon Progo ke depan kelak jadi penegas nasib perajin Pasar Seni Sentolo selanjutnya.q

Reportase bersama:

Ahmad Ikhwan Fauzi, Moch. Ari Nasichuddin

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n U TAMA | 33

Hikayat Sang Pejuang Kemanusiaan

Banyak profesi yang melekat pada dirinya: rohaniwan, dosen, arsitek, sastrawan, dan pegiat sosial. Dan yang paling dikenang, ia dikenal dekat dengan wong cilik.

YAYASAN

Dinamika Edu-kasi Dasar (Yayasan DED) berlo kasi di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Kota Yogyakarta. Bangunannya didominasi kayu, baik dinding maupun lantainya, sehingga terkesan artistik dan menyatu dengan alam. Banyak ruang terbuka membuat angin semilir yang masuk semakin menguatkan kesan tersebut. Di sanalah, Romo Mangun pernah meng habiskan sebagian hidupnya.

Alfonsus Mardani selaku Koordi nator Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Yayasan DED berkenan untuk berbagi wawasan seputar hubungan yayasan dan Romo Mangun. Yayasan DED dibentuk dan dibangun oleh Romo pada tahun 1987. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan dasar, yaitu TK dan SD Mangunan, yang berlokasi di Cupuwatu, Kalasan, Yogyakarta. “Kebetulan nama daerahnya Mangunan, jadi bukan karena nama Romo Mangun,” kata Dani.

Romo berkeyakinan bahwa ma syarakat miskin atau orang-orang kecil (wong cilik) menderita bukan karena nasib, melainkan sistem yang ada saat itu kurang dapat mengakomodasi me reka. Orang yang bodoh bukan karena tidak memiliki kemampuan, melain kan karena kemampuannya terhalangi oleh keadaan. Pada dasarnya, tidak ada

Oleh: Ahmad Satria Budiman MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH
| RIWAYAT | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 334

seorang anak pun yang bodoh. Semua anak adalah cerdas jika lingkungannya mampu memberikan perhatian. Maka dari itu, Romo Mangun mengembang kan pemikirannya dengan menekankan pentingnya pendidikan dasar melalui Yayasan DED.

Kurikulum yang digunakan yayasan dalam mendesain model pembelajaran mengadopsi pemikiran Romo Mangun, yaitu humanisme. Aspek tersebut antara lain tampak dari anak-anak Mangunan yang belajar di ruang kelas bambu. Mereka tidak sebatas belajar di ruang kelas, tetapi juga di alam terbuka. Anak-anak diajarkan untuk mengeksplorasi diri dengan kreativitas dan membangun kepedulian dengan sesama.

“Romo masuk dulu lewat anakanak, lalu ke orang tua, dari pengalaman informal ke formal,” cerita Dani tentang bagaimana usaha Romo Mangun dalam menciptakan perubahan positif kepada warga. Langkah tersebut juga dilakukan Romo saat terjadi peng gusuran pemukiman di Kali Code. Se lain membantu mendesain pemukiman layak huni di Code, Romo juga memahamkan warga tentang pentingnya pendidikan dasar. Romo masuk melalui anak-anak, yaitu dengan membangun perpustakaan.

Sempat Jadi Tentara

ROMO Mangun adalah sapaan akrab Yusuf Bilyarta (Y.B.) Mangunwi jaya. Ia lahir pada tanggal 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah. Romo Mangun merupakan sulung dengan se belas orang adik, anak pasangan suamiistri Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdaniyah. Salah seorang adiknya bernama Cecilia Sri Mahyarati, yang lebih dikenal dengan Ibu Hendro Warsito. Ia adalah adik kandung perem puan pertama yang kini menetap di dekat Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta.

Berbusana jaket cokelat dan rok se lutut, Ibu Hendro Warsito atau Cecilia menerima kedatangan kami pagi itu. Dengan suara pelan, wanita berusia 83 tahun tersebut berbagi cerita tentang kakaknya. “Romo itu dekat dengan Gus Dur, pernah di satu seminar duduk di kursi panjang, Romo itu lendetan (bersandar-red) di bahu Gus Dur, dia ngomong ‘iki kyaiku’ ke orang-orang,” kenang Cecilia. Sewaktu Romo tahu

bahwa dirinya memiliki penyakit jan tung, wanita lima anak ini berkisah bahwa kakaknya itu tidak pernah mengeluh. Romo menganggap bahwa sakitnya adalah hal biasa bagi orang yang sudah lanjut usia.

Mengenai pendidikan yang didiri kan Romo di Mangunan, Cecilia bercerita, Romo memiliki pemikiran bahwa anak-anak jangan dibebani hal-hal yang tidak perlu seperti hafalan yang terlalu banyak. Romo mendidirikan Sekolah Mangunan dengan harapan agar manu sia tidak hanya pintar saja, tetapi juga mampu bersikap manusiawi.

Pada tahun 1936, Romo Mangun memulai pendidikannya di HollandschInlandsche-School (HIS) Fransiscus Xaverius, Magelang. Setelah lulus pada tahun 1943, ia melanjutkan ke Seko lah Teknik Menengah (STM) Jetis, Yogyakarta. Pada saat selesai dari kelas dua atau tahun 1945, Romo bergabung menjadi prajurit di Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon X Divisi III, Kompi Zeni, yang bertugas di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. “Di Magelang itu dulu banyak tentara,” kata Cecilia mengenai alasan ketertarikan Romo bergabung dengan tentara.

Setahun setelah menjadi tentara, Romo kembali ke STM untuk menerus kan kelas tiga. Selepas lulus STM pada tahun 1947, ia kembali bergabung di Tentara Pelajar Brigade XVII, Kompi Kedu, bersamaan dengan Agresi Mili ter I Belanda. Selama menjadi prajurit tersebut, Romo banyak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang kelaparan dan mati di tangan bangsa kolonial dalam peperangan. Romo belajar mengenal humanisme.

Humanisme adalah aliran (pahamred) yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan. Humanisme membuat seseorang lebih peka terhadap realita sosial karena humanisme menganggap manusia sebagai objek studinya. Humanisme telah memengaruhi pe mikiran Romo Mangun untuk men jadi manusia seutuhnya, yaitu dengan berusaha meleburkan diri ke kehidupan wong cilik, tanpa memedulikan sekatsekat agama.

Pada tahun 1948, Romo Mangun masuk ke SMU-B Santo Albertus, Malang. Tiga tahun selanjutnya, ia melanjutkan ke Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta. Setahun kemu

dian, ia ke Seminari Menengah Mer toyudan, Magelang. Pada tahun 1953 hingga 1959, Romo masuk ke Seminari Tinggi Santo Paulus, Yogyakarta. Di sana, ia belajar di Institut Filsafat dan Teologi. “Pendidikannya itu pingin jadi rohaniwan,” lanjut Cecilia.

Salah seorang guru Romo Mangun adalah Uskup Mgr. Albertus Soegija pranata yang merupakan uskup agung pribumi pertama di Indonesia. Uskup Soegijapranata menahbiskan Romo Mangun sebagai imam pada tanggal 8 September 1959. Dalam buku Menuju Kampung Pemerdekaan karya Darwis Khudori, diketahui bahwa dari banyak karya biografis Romo Mangun, kepu tusan Romo untuk menjadi rohaniwan adalah sebagai bentuk pengabdian diri kepada rakyat yang menderita. Untuk mengubah kondisi itu, Romo berpendapat bahwa kaum berada harus berpihak kepada kaum tertindas.

“Dia itu juga suka gambar, wong jaman dia perang-perang itu dia gam bar, saya pikir dia suka gambar itu dari kecil,” tutur Cecilia. Maka pada tahun 1959, Romo Mangun berkuliah di Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung (ITB). Tahun 1960, Romo melanjutkan pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman. “Dia itu temannya Habibie waktu sekolah di Jerman, jadi kita memang gampang bergaul dengan siapa saja,” imbuh Cecilia.

Romo kembali ke Indonesia pada tahun 1966. Selain mengabdikan diri sebagai pastor, Romo juga menjadi dosen luar biasa di Jurusan Arsi tektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) selama kurun waktu 1967-1980. Romo memiliki tekad menghasilkan karya yang memberikan nuansa baru bagi dunia arsitektur tanah air. Salah satu karyanya yang cukup dikenal adalah pemukiman di sepan jang bantaran Kali Code, Yogyakarta.

Merancang Pemukiman Kali Code

DI seberang jalan McDonald Kota Yogyakarta, berjejer kios-kios ban mobil. Di kios paling kanan, tepat di samping pagar Jembatan Gondolayu, ada jalan masuk yang menurun. Sebuah gapura cokelat berdiri menyambut dengan tulisan, “Selamat Datang di Kam poeng Code”.

| RIWAYAT | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 35

Di bagian kiri, tampak bersusun anak tangga. Sementara di bagian kanan, terlihat jalan semen yang lan dai. Jalan itu berhenti sampai di bawah jembatan saja sebagai tempat parkir sepeda motor. Sedangkan anak tangga, terus masuk ke perkampungan. Kami pun masuk ke perkampungan dengan berjalan kaki.

Beberapa langkah ke dalam, sam pailah di sebuah balai berlantai bambu. Balai itu adalah balai warga, tak berdinding, tak pula berpintu. Beberapa tiang kayu menopang atapnya. Warga Kampung Code biasa menggunakan balai tersebut untuk acara bersama, seperti pertemuan warga, menyemayamkan orang yang meninggal dunia, kebaktian, posyandu, dan lain-lain. “Jadi tidak pernah sepi,” terang Mu hammad Darsam, Ketua RT 1 Kampung Code.

Meskipun Darsam baru mendiami Kampung Code sejak tahun 2006, ia mengetahui sejarah Kampung Code. “Awal mulanya, kampung tidak layak huni. Ada yang (dindingnya-red) ter buat dari baliho dan kardus bekas,” kata Darsam. Aliran kali dipenuhi sampah rumah tangga yang dibuang dengan sembarangan. Kondisi tersebut diang gap mengganggu pemandangan sehing ga pada tahun 1983, pemerintah kota berencana menata tepian kali dengan melakukan penggusuran.

Bersamaan dengan rencana peng gusuran itu, Romo Mangun datang dan mulai tinggal bersama warga. Romo menentang rencana tersebut. Romo menulis saran dan imbauan kepada para wakil rakyat untuk mencegah peng gusuran pemukiman di sepanjang Kali Code berupa surat terbuka. Surat ter tanggal 25 Maret 1985 tersebut dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat. “Kita sudah cukup malu, Yogyakarta sekarang terkenal di seluruh nusantara sebagai kota Kumpul Kebo. Apakah kita akan mendapat predikat baru: Kota Jalur Pelacur, Kota Bajir Gusur?” demikian petikan isi surat tersebut.

Tidak berhenti di surat, Romo memberikan pernyataan untuk mogok makan pada 8 April 1986. Konflik so sial di Kali Code terus menjadi bahan pemberitaan hangat surat kabar selama kurun waktu 1985-1986, antara lain di Kompas, Wawasan, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Pos Kota, Berita Nasi

onal, Minggu Pagi, Tempo, Eksponen, hingga The Jakarta Post.

Sebagai solusi dari rencana peng gusuran, Romo membuatkan rancangan bangunan layak huni kepada warga. Pemukiman warga yang semula ku muh tak tertata, oleh Romo dirancang sedemikian rupa agar lebih bersih dan indah dipandang. Romo menawarkan konsep bangunan yang sederhana dan merakyat. Konstruksi rumah dibuat serupa huruf “A” dengan material kerangka dari bambu, dinding anyaman bambu, dan atap dari seng. Selain war ga, proyek penataan tepian Kali Code dibantu pula oleh para mahasiswa dan sejumlah sukarelawan.

Dua tahun berikutnya, pada 1 Januari 1985, proyek seluas 3.600 me ter persegi itu selesai. Kampung Code masuk ke dalam daftar dunia sebagai salah satu kampung indah di pinggir sungai. Sementara sang arsitek yang tak lain Romo Mangun sendiri, mendapat Penghargaan Aga Khan Award for Ar chitecture pada tahun 1992 atas jasanya merancang tepian Kali Code menjadi pemukiman layak huni. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan ter tinggi untuk karya arsitektural dunia se tiap tiga tahun sekali guna menghargai konsep arsitektur yang berhasil mewa dahi keperluan dan aspirasi masyarakat. Romo Mangun juga masuk ke dalam daftar arsitek terbaik di Indonesia.

Tidak hanya menata tepian kali, Romo ikut menyadarkan warga untuk tidak lagi membuang sampah semba rangan. Romo mengajarkan warga un tuk menjaga lingkungan agar senantiasa bersih dan sehat. Romo juga mengajar kan pentingnya pendidikan dasar bagi anak-anak, yaitu dengan mendirikan perpustakaan dengan harapan anakanak Kampung Code mendapatkan bahan bacaan yang bermanfaat.

Meninggalkan Banyak Karya

ROMO Mangun dikenal pula sebagai kolumnis, novelis, sastrawan, dan istilah keprofesian lain terkait dunia kepenulisan. Romo menulis sekitar 26 buku nonfiksi dimana salah satu judul yang terkenal adalah Wastucitra: Pengantar Estetika Arsitektural (1988). Romo juga tercatat menulis 10 buku fiksi, antara lain novel Burung-burung Manyar (1981) yang memenangkan penghargaan dari Ratu Sirkit Thailand

pada tahun 1983. Sementara tulisan artikel Romo tersebar di beberapa buku dan majalah.

Romo Mangun meninggal dunia akibat serangan jantung, beberapa saat setelah menjadi pembicara dalam se buah simposium pada 10 Februari 1999, pukul 13.55 WIB. Simposium bertema “Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indone sia Baru” tersebut berlangsung di Hotel Le Meridien, Jakarta. Romo Mangun membawakan makalahnya yang ber judul Peranan Buku dalam Penguasaan Iptek

Cecilia menuturkan firasatnya saat kepergian Romo. Sebelum berangkat ke Jakarta, Romo sempat berpesan kepada adiknya itu untuk mencarikan salah satu buku puisi di rumah. Tiba-tiba saja, jam 12 malam, Cecilia teringat pesan kakaknya tersebut. Ia segera men cari buku yang dimaksud. Keesokan harinya, kabar duka itu pun datang.

Jenazah Romo disemayamkan di Gereja Kidul Loji, Yogyakarta. Dalam buku Kotak Hitam Sang Burung Manyar karya Romo Suyatno Hadiatmojo, ter dapat cuplikan kisah pelayat yang hadir. Salah seorang pelayat berucap, “Mo, kok sampeyan keburu mati, to? Nanti kalau kami digusur dan di-oyak-oyak (dike jar-kejar-red) aparat, sing menolong kami siapa?”

Di antara pelayat yang hadir, ter dapat pula anak-anak terlantar binaan Romo. Ada yang bertanya, mengapa Romo tidur tidak bangun-bangun. Ada yang melapor jika ia sudah selesai mengerjakan tugas prakarya yang tem po hari diminta Romo. Kalimat-kalimat polos yang terlontar dari mereka mem buktikan bahwa Romo Mangun, meski tidak menikah dan memiliki anak, adalah figur bapak yang baik.

Jenazah Romo dimakamkan di Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta. Untuk mengenang jasajasa Romo, masyarakat di Kampung Code membangun Museum Romo Mangun.q

Reportase bersama: Bethriq Kindy Arrazy

| RIWAYAT | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 336

| L E N S A |

Karya mural seniman Yogyakarta bertuliskan “hentikan kekerasan terhadap anak-anak” terpampang di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta. Komisi Perlindungan Anak Indone sia (KPAI) mencatat sejak Januari hingga Maret 2013, terdapat 919 kasus kekerasaan terhadap anakanak. ROBITHU HUKAMA | HIMMAH
| LE n SA | 38
Seorang anak mandi sembari bermain air di aliran Sungai Opak di kawasan Bokoharjo, Sleman, Yogyakarta. Semakin menipisnya air bersih membuat masyarakat Bokoharjo memilih mandi di aliran sungai ini. REVANGGA TWIN T | HIMMAH ALDINO FRIGA P.S. | HIMMAH Seorang anak sedang bermain di sebuah selokan di Desa Sanggrahan, Kelurahan Wedomartani, Sleman, DIY. Selokan yang kotor tidak menjadi halangan bagi anak Desa Sanggrahan untuk bermain. Anna, anak perempuan berusia sembilan tahun, membantu ayahnya, Wiyono, membersihkan wortel hasil panen mereka di Desa Jrakah, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah. ALDINO FRIGA P.S. | HIMMAH ALDINO FRIGA HIMMAH
P.S. |
Beberapa anak sedang bermain di hilir laut yang berada di Kute, Lombok Tengah, NTB. Walaupun telah menjadi kawasan wisata, kondisi alam Kute masih terjaga kelestariannya. ROBITHU HUKAMA | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | LE n SA | 48

Menuntut Ilmu di Tengah Mayoritas

Perbedaan agama tak menjadi halangan bagi mahasiswa minoritas untuk melanjutkan studi di lingkungan mayoritas. Bagaimana kisahnya?

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

GEDUNG

Unit IV Univer

sitas Islam Indonesia (UII) pagi itu ramai. Mahasiswa terlihat lalu-lalang hendak memasuki ruang kuliah. Seorang maha siswi berjilbab cokelat duduk di pinggir lorong. Di sampingnya, ada beberapa mahasiswa yang sedang duduk sambil berbincang-bincang. Raut muka gadis ini begitu ceria. Namanya Lena. Meski mengenakan jilbab, siapa sangka Lena bukanlah seorang muslim.

Lena berasal dari Lampung. Ia mahasiswi jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII angkatan 2007. Ia telah lulus Juni 2011 lalu. Setelah lulus dari program S-1, Lena melanjutkan studi Profesi Apoteker di fakultas yang sama. Setahun kemudian, Lena me

nyelesaikan studi profesinya dengan ditandai Sumpah Apoteker pada 27 September 2012.

Enam tahun yang lalu, Lena men coba mendaftar di berbagai universitas untuk melanjutkan studinya. Karena bi aya kuliah di UII lebih murah, akhirnya Lena pun memilih UII. Menjadi kaum minoritas di kampus Islam memberikan Lena beberapa pengalaman kurang me nyenangkan. Pernah Lena merasa ragu karena tidak bisa mengikuti kegiatan keagamaan di UII.

Kakaknya Lena sendiri pernah ku liah di UII. Sang kakak bercerita bahwa pelajaran di UII masih bisa diikuti oleh mereka yang memiliki latar belakang keyakinan berbeda. “Lagian untuk non muslim masih bisa ditoleransi, nggak terlalu di-pressure atau gimana-gimana,”

tutur Lena menirukan ucapan ka kaknya. Setelah mendengar pengalaman kakaknya, Lena semakin merasa optimis.

Masa perkuliahan pun dimulai. Di semester pertama, Lena merasa cang gung. Pihak kampus dinilai Lena sudah memberlakukan mahasiswa nonmuslim seperti dirinya dengan baik. Di UII, mahasiswa wajib mengikuti Orientasi Nilai Dasar Islam (ONDI). Kegiatan ini berkaitan dengan salah satu pedoman pendidikan UII, yakni risalah Islamiyah Tak ada pengecualian, semua maha siswa termasuk Lena wajib mengikuti.

Beberapa masalah menimpa Lena ketika mengikuti ONDI. Saat itu, salah seorang pembicara membahas materi kekristenan. Dengan ekstrem, pembi cara tersebut menuding bahwa orang Kristen adalah seorang penyembah ber hala. Awalnya, Lena masih sabar ketika mendengarnya, namun lama-kelamaan, pembahasan pembicara itu semakin menyinggungnya.

“Saya baru masuk, masih labil, saya masih kaku dengan konsep saya. Emosi terpancing, gebrak-gebrak meja, tunjuk-tunjuk, maki-makian dengan pematerinya. Terus sampai gegerlah, sampai pendampingnya narik saya keluar. Orangnya cuma cengar-cengir saja,” cerita Lena dengan sedikit emosi. Sampai sesi malam hari, rasa dendam dan tidak terima masih menyelimuti dirinya. Ia heran, mengapa pembicara membandingkannya seperti itu.

Menurut Lena, pembicara tersebut sebelumnya sudah tahu jika di kelasnya ada mahasiswa nonmuslim. Mulanya, Lena masih nyaman, tetapi lama-lama pembicara tersebut semakin menjadijadi. Ia sempat ditenangkan oleh temannya, “Nggak. Islam nggak kayak gitu, itu tadi pasti salah ngomong.” Malamnya, pembicara tersebut mene mui Lena. Ia meminta maaf, tetapi Lena masih belum bisa melupakan rasa sakit

| p E n DIDIKA n | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 49

hatinya. “Saya diam saja. Saya nangis. Abis itu pergi. Merasa terjajah banget waktu itu,” kenang Lena.

Resah dengan yang dialaminya, Lena mengadu pada seorang pendeta saat kebaktian Minggu. “Katanya (pendeta-red), harusnya kamu jangan begitu, udah diamkan. ‘Kamu salah, harusnya diam saja’ ,” kata Lena me nirukan nasihat sang pendeta.

Masa-masa kuliah Lena pun terus berlanjut sampai Lena masuk ke masa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kala itu, dosen pembimbing Lena sempat menanyakan kenapa Lena memilih ku liah di UII. Dosen ini merangkap sebagai karyawan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DP PAI) UII. Pembicaraan ini memancing Lena untuk mulai bercerita mengenai pengalaman pahitnya dengan pemateri ONDI. Dosen ini pun bertanya, “Kamu inget nggak nama pembicaranya?”

“Waduh, Mas, saya nggak inget,” jawab Lena.

“Kalau dari kami tidak pernah ada seperti itu, terlalu memojokkan seperti itu. Itu tidak boleh,” ucap dosen itu.

Kejadian saat ONDI sempat mem buat Lena merasa tidak nyaman men dengar kata yang berhubungan dengan DPPAI. Namun setelah dijelaskan oleh sang dosen KKN, ia merasa lega. Dirinya berharap, tidak ada lagi mahasiswa

nonmuslim mengalami nasib yang sama. “Kalau nggak inget, nggak apaapa. Kita tidak akan pakai orang yang seperti itu karena itu konsepnya salah,” lanjut dosen tersebut.

Kehidupan Lena semenjak kuliah di UII membuat mahasiswi ini bela jar banyak mengenai Islam. Statusnya sebagai mahasiswa nonmuslim tak membuatnya malas untuk belajar. Sebe lum ujian, Lena selalu mempersiapkan materi ujian dengan teman-temannya, seperti doa sehari-hari hingga cara menulis huruf Hijaiyah yang baik dan benar. “Yang namanya kuliah di sini, saya mesti ikut aturan,” sahutnya.

Meski telah mempelajari Islam dengan giat, Lena masih menyimpan rasa pesimis. Setelah melihat temantemannya yang muslim banyak tak lulus ujian baca tulis Al-Qur’an (BTAQ), ia menjadi kurang percaya diri. Apa yang dikhawatirkan Lena terjadi. Ujian BTAQ-nya tidak lulus. Kegagalan ini membuat Lena tidak dapat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Lena pun menghadap ke DPPAI.

Sebagai pengganti, Lena diberi tugas membaca buku tentang humanisme dalam Islam dan meringkasnya. Lena juga tak sendiri mempelajari Islam, ia turut dibina oleh dosen dari DPPAI. Akhirnya, perjuangan Lena terbayar. Ia lulus ujian BTAQ. “Menurut saya, itu

sebagai bentuk toleransi, sih. Karena ka lau saya dipaksakan tetap nggak lulus,” ujar Lena.

Lena merasakan toleransi yang lebih banyak saat ia studi Profesi Apoteker UII. “Kan ada pesantrenisasi, kek testes BTAQ, saya tidak diwajibkan untuk mengikuti,” terang Lena. Di Profesi Apoteker, mahasiswi tidak wajib mengenakan jilbab, namun karena Lena telah kenal para dosen di fakultasnya, ia tetap memakainya.

Saat mengambil profesi, Lena masih harus mengikuti kuliah keagamaan. Berkat kegigihannya, Lena dapat lulus dalam mata kuliah tersebut. “Karena kan mungkin saya menjawabnya tidak terlalu teoritis juga, nggak dalam. Jadi, hanya sebatas tahu gambaran-gambaran umum,” tukasnya. Terkadang, Lena masih mengalami konflik batin ketika mengikuti mata kuliah tersebut. Tetapi menurutnya, perasaan itu tergantung bagaimana dia menyikapi. Lena beru jar bahwa pengampu mata kuliah ke agamaan tidak mengajar terlalu ekstrem seperti saat ONDI.

Meski Islam bukan keyakinan yang Lena anut, ia tetap serius dalam mengikuti. Nilai A pada mata kuliah keagamaan adalah buktinya. Tidak mudah bagi Lena untuk mempelajari Islam. Ia harus belajar ekstra dibanding kan teman-temannya. Ia belajar secara tekstual sehingga tidak mengerti secara mendalam. Lena menganggap, beberapa mata kuliah bagus untuk dipelajari, seperti mata kuliah kepemimpinan. Ia merasa mendapatkan nilai-nilai yang bagus pada mata kuliah tersebut.

Profesi Apoteker juga memiliki pesantrenisasi yang sebenarnya tidak mewajibkan mahasiswa nonmuslim seperti Lena untuk ikut. Lena mengikuti pesantrenisasi murni atas inisiatifnya. Ketika ditanya mengapa, Lena pun menjawabnya dengan bijak, “Karena tidak ada agama yang ngajarin jelek.”

Perlakuan yang tidak mengenakkan justru datang dari teman-teman Lena sesama mahasiswa, contohnya saat ia akan mengikuti kegiatan mentoring mengaji untuk persiapan ujian BTAQ. Saat itu, kegiatan mentoring rutin dise lenggarakan Sabtu sore, tetapi Sabtu sore merupakan jadwal Lena beribadah ke gereja. Ia lantas membicarakan hal itu ke pembimbing mentoring-nya, dan sang mentor menjawab, “Itu urusan

BTAQ menjadi syarat mutlak kelulusan mahasiswa Universitas Islam Indonesia. Syarat ini mengikat seluruh mahasiswa, termasuk mereka yang nonmuslim. REVANGGA TWIN T | HIMMAH
| p E n DIDIKA n | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 350

kamu.” Lena pun merasa heran mengapa diperlakukan demikian.

Sempat jadwal mentoring dipindah agar Lena bisa mengikuti, namun jad wal tersebut bertabrakan dengan kelas bahasa Inggris. Akhirnya, selama studi Profesi Apoteker di UII, Lena tidak per nah mengikuti kegiatan mentoring

Dari pelajaran ini, Lena menyadari bahwa perlakuan diskriminatif bukan datang dari UII semata, namun dari teman sesama mahasiswa. Lena sempat merasa diremehkan, dipandang sebelah mata, serta diperlakukan tidak enak dan tidak adil. Meski demikian, Lena tetap mempunyai kesan baik terhadap temantemannya.

Teman-teman yang menurutnya taat dalam beragama dan berjilbab besar memiliki sikap yang hangat. Semula, Lena mengira mereka akan tidak nya man dengan keberadaannya. Ternyata, apa yang ia pikir tidak sesuai kenyataan.

“Mereka malah welcome sama saya. Ya mungkin, di konsep setiap agama ada pelajaran tentang menghargai sesama.

Mereka yang jilbabnya gede-gede itu malah bisa mengaplikasikannya daripada teman-teman lain yang saya ke nal,” ujarnya.

Teman Lena tidak banyak di UII. Lena belum mau membuka diri karena ia sendiri merasa belum begitu nyaman dengan teman-temannya yang lain. Ke banyakan teman Lena adalah laki-laki. Ia beranggapan, laki-laki lebih fleksibel. “Beda dengan cewek, gerombol-gerom bol jadi agak gimana. Jadi yang cewek dikit, dan teman yang cewek malah yang jilbabnya gede-gede karena mereka lebih bisa menghargai saya,” tuturnya.

Keluarga Lena menyikapi keputusan anaknya masuk UII dengan bijak. Mereka mempercayakan semua kepadanya. “Kamu yang bisa menilai, mana yang baik, dan mana yang nggak. Ikutlah yang baik, yang kira-kira tidak baik jangan dipermasalahkan,” kata Lena menirukan nasihat dari keluarganya.

Kehidupan Lena di UII tidak selalu berjalan mulus. Terkadang saat menuai masalah, ia sempat menyesal kuliah di UII. Namun, lama kelamaan hal terse but bisa diatasi. Ia kemudian menjadi kan masalah tersebut sebagai pengalaman hidup.

Lena memiliki ide mengenai sistem pendidikan di UII. Menurutnya, akan lebih baik apabila UII memberikan

kelas pendidikan keagamaan tersendiri bagi mahasiswa nonmuslim. Menu rutnya lagi, harus ada rasa saling pengertian. “Dari namanya saja sudah universitas Islam, kalau kita masuk ke sini, harusnya kita sadar diri. Apapun peraturannya ya kita ikuti, jadi penger tian saja. Kalau dari pihak UII-nya memberi, mungkin akan lebih baik, tapi kalau pun tidak, mahasiswanya harus siap. Karena dia sendiri dong yang me milih, aturannya mesti diikuti. Udah konsekuensi,” ucapnya.

Banyak hikmah yang Lena dapat selama mengenyam pendidikan di UII. Ia merasa lebih sabar, lebih bisa meng hargai, dan bertambahnya pengetahuan serta toleransi. “Kalau dulu cuek, kalau di sini mau nggak mau saya harus ikut dong. Kalau di luar bebas mau ngapain saja. Kadang-kadang kalau lagi kumpul itu, ‘hey ninja-ninja’ waktu itu. Mung kin setelah saya masuk di sini, ‘eh, itu Kristen-kristen’. Jadi tahu perasaannya gimana,” tuturnya diikuti dengan gelak tawa.

HARI menginjak siang. Ketika itu, Feliyana pergi ke Jalan Kaliurang Kilo meter 14,5, Ngemplak, Sleman. Ia hen dak mendaftar sebagai mahasiswa baru di UII. Ia memilih Ilmu Hukum sebagai jurusan yang diminati. Sebelumnya, ia sempat mendaftar di UGM, hanya saja ia tidak diterima. Lantas, ia memilih UII. Feliyana mengaku, semenjak SMA memang berminat kuliah di UII. Infor masi tentang UII didapatkannya saat magang di salah satu instansi di dae rahnya, yaitu Provinsi Kepulauan Riau. “Katanya FH UII bagus,” tukas Feliyana.

Seperti Lena, Feliyana adalah salah satu mahasiswi nonmuslim di UII. Ia beragama Katolik. Ketika mendaftar sebagai mahasiswi baru, ia tidak tahu jika pendaftar tes harus mengenakan jilbab. Ia langsung saja pergi ke UII. Sesampainya di sana, Feliyana mencari informasi mengenai statusnya sebagai nonmuslim di bagian penerimaan ma hasiswa baru.

“Pak, kalau yang nonmuslim itu gi mana?” tanya Feliyana.

Sontak bapak tersebut menjawab, “Kamu ikut tes dulu, tapi belum tentu diterima.”

“Terus nggak papa, ya, Pak?” tanya Feliyana lagi.

“Tidak apa-apa. Mbak, nanti kalau

ikut tes pake jilbab, ya,” jawab bagian penerimaan mahasiswa baru saat itu.

Hasil tes menunjukkan Feliyana diterima sebagai mahasiswi Ilmu Hu kum UII. Setelah mengetahui hasil tes, ia bertanya kembali ke bagian pe nerimaan mahasiswa baru. “Jadi, saya kuliah harus pake jilbab, ya? Tapi yang nonmuslim nggak apa-apa, ya?”

Nggak apa-apa,” ucap bapak yang bertugas waktu itu.

Feliyana mengikuti perkataan bapak di bagian penerimaan mahasiswa baru. Tetapi saat masa kuliah dimulai, ia melihat teman-temannya mengenakan jilbab. Keadaan itu membuat Feliyana lalu ikut mengenakan jilbab.

Banyak pengalaman menarik yang didapatkan Feliyana semenjak kuliah di UII, salah satunya saat mengikuti kegiatan Rusunawa, ONDI, dan BTAQ. Dengan tekun, lulusan SMAN 1 Tan jung Pinang ini mengikuti semua kegiatan tersebut. Saat ONDI, ia ber kata kepada pembimbingnya bahwa ia seorang nonmuslim. “Oh, ya udah,” ucapnya menirukan pembimbing ONDI. Ia tetap diperbolehkan mengi kuti ONDI, bahkan diwajibkan mengi kuti setiap kegiatan di dalamnya.

Begitu juga dengan kegiatan Rusu nawa, ia tetap mengikuti semua keg iatan seperti mahasiswa lain lakukan. Awalnya, ia tidak terbiasa dengan ke giatan Rusunawa, seperti shalat subuh berjamaah. Ketika pintu kamarnya digedor dan ditanya, “Udah pada ban gun? Nggak shalat?”, Feliyana pun men jawab, “Nggak.” Namun lama-kelamaan, ia menikmati semua rutinitas ini.

Feliyana mempunyai kisah menarik saat Rusunawa. Ketika itu, ia ditun juk mempraktikkan shalat gerhana. “Mampuslah kalau aku disuruh maju ke depan. Eh, nggak tahunya bener aku yang ditunjuk. Terus temenku ngo mong, ‘Maaf, Pak, yang ini nonmuslim’.” Semenjak itu, semua mahasiswa di Rusunawa tahu kalau ia nonmuslim. Ia sempat ditanya oleh penguji di sana. “Nggak papa ya pake jilbab?” Lantas sembari tersenyum ia menjawab, “Ng gak papa, Pak.”

Di akhir kegiatan rusunawa, setiap mahasiswa diwajibkan mengikuti ujian BTAQ, tak terkecuali Feliyana. Uniknya, ia tetap bisa melakukan apa yang disu ruh penguji saat itu. “Lha, Mbak kok ini bisa?” tanya penguji BTAQ ketika itu.

| p E n DIDIKA n | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 51

Ternyata, ia sewaktu SMA sudah sering mempelajari penulisan Arab Melayu. Saat tes membaca Al-Qur’an, ia diberi keistimewaan dengan hanya membaca Iqra’.

Meski Feliyana merasa mampu mengikuti tes BTAQ, ia harus meneri ma bahwa ia tidak lulus ujian. Ketika akan menempuh KKN, baru ia mengu rus nilai BTAQ-nya ke DPPAI. Waktu itu, ia bertemu dengan Supriyanto Pasir, pegawai DPPAI. Pasir memintanya untuk membuat makalah sebagai peng ganti nilai BTAQ.

Supriyanto Pasir sempat menanyakan alasan Feliyana kuliah di UII. “Saya mau kuliah, Pak, kan mau ambil ilmu nya,” jawab Feliyana.

Supriyanto Pasir pun menanyainya lagi, “Kamu nggak apa-apa pake jilbab?” “Nggak apa-apa,” tutur Feliyana.

Sewaktu kuliah, Feliyana merasa biasa saja dalam menghadapi mata ku liah keagamaan. Ia malah menjadi lebih tahu mengenai Islam. “Kalau kita seneng pasti jalannya asyik,” ujar Feliyana. Feli yana tergolong mampu bersaing dengan mahasiswa lain. Nilai A pada mata ku liah keagamaan dapat Feliyana raih, na mun nilai mata kuliah Ibadah Akhlaqnya kurang bagus. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh dosen pengampu yang pelit dalam memberikan nilai. Kala itu, dosen mata kuliah tersebut tidak tahu kalau ia mahasiswi nonmuslim.

Orangtua Feliyana menyerahkan semua keputusan kuliah kepadanya. Ia menjelaskan kepada orangtuanya bahwa kuliah di kampus Islam ini bertujuan untuk mencari ilmu. Selama di UII, ti dak ada pengekangan dari orangtuanya kepada Feliyana. “Terserah kamu, kamu yang ngejalanin,” ucap Feliyana meniru kan perkataan orangtuanya.

Feliyana mengaku mendapatkan manfaat selama kuliah di UII, semisal jilbab yang ia kenakan semasa kuliah. Bagi Feliyana, mengenakan jilbab adalah pengalaman berharga. Banyak pelajaran baru yang ia dapat. “Kadang pengen ngerasain gimana rasanya ku liah tidak pake jilbab,” ucapnya. Teman kuliah Feliyana tahu jika ia mahasiswa nonmuslim, tetapi reaksi mereka biasa saja.

UII sendiri dinilainya belum ber sikap toleransi secara penuh terhadap mahasiswa nonmuslim. Ketika UII mau menerima mahasiswa nonmuslim,

artinya UII harus siap memberikan toleransi, misalnya pendidikan agama disesuaikan dengan agama yang ber sangkutan. “Kan waktu pendaftaran ada ditulis agama apa gitu, kan harusnya tahu nggak semuanya yang agamanya muslim, berarti kan harus diberi toleransi. Tapi kan rusunawa harus wajib. Seharusnya ada kebijakan lain, maunya UII kayak kasih kelas sendiri gitu,” ko mentar Feliyana.

Ia berharap, mahasiswa nonmuslim tidak diwajibkan ikut kegiatan seperti Rusunawa, ONDI, dan BTAQ. Menu rutnya, mahasiswa nonmuslim terkesan terpaksa mengikuti kegiatan semacam itu. “Kalau nggak ikut nggak dapat nilai.

Ada rasa nyesel, tapi jalani aja,” tandas Feliyana. Bagi Feliyana, semua agama pasti mengajarkan kebaikan sehingga dirinya tidak keberatan mengikuti rang kaian kegiatan agama di UII.

***

RUANG rektor dan wakil rektor berada di Lantai III Gedung GBPH Prabuningrat. Pintu bertuliskan Ruang Wakil Rektor I dan III di sebelah timur, sedangkan Ruang Wakil Rektor II di sebelah barat. Kami hendak bertemu dengan Bachnas, Wakil Rektor III. Ukuran ruang kerjanya cukup luas. Ketika masuk, kami langsung berada di

RAHMAT
| p E n DIDIKA n | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 352
WAHANA | HIMMAH

ruang tamu kecilnya. Lebih masuk ke dalam, ada meja kerja yang dihiasi oleh plakat.

Bachnas menerima kami di ruang kerjanya. Perawakannya tinggi besar. Dengan jenggot putihnya, orang dapat mudah menghafal ciri-ciri Bachnas yang juga dosen Jurusan Teknik Sipil UII ini.

Bachnas memiliki opini akan ke beradaan mahasiswa nonmuslim di UII. Ia berkata, agama itu bisa dilihat dari beberapa sisi. Bagi umat muslim, bila mempelajari sesuatu yang berkaitan dengan agama, ia akan mendapatkan amal ibadah dan pengetahuan. Pengetahuan itu sebagai amal ibadah juga mempunyai nilai sejarah, ada nilai tauhid dan akidah sehingga membuat percaya dan yakin. Selain itu, yang bisa didapatkan yaitu nilai-nilai keilmuan yang terkandung di dalamnya. “Nah, knowledge dan historis. Kan isi AlQur’an begitu,” tutur Bachnas.

Sedangkan, nonmuslim apa bila mempelajari Islam, mereka akan mendapatkan keilmuannya saja. Mempelajari Islam tidak sama dengan bertauhid terhadap Islam. “Jadi, non muslim kita wajibkan mengikuti sebagai pengetahuan, bukan kita paksa untuk bertauhid kepada ajaran kita ini,” tan das Bachnas. Bachnas menginginkan mahasiswa UII berpendidikan dengan bernuansa Islam. Pengenaan jilbab pada mahasiswa nonmuslim hanya sebagai seragam agar semua mahasiswa UII terlihat sama.

Senada dengan apa yang diutara kan Bachnas, Nandang Sutrisno selaku Wakil Rektor I mengatakan, mahasiswa nonmuslim yang mengikuti kegiatan dan mata kuliah keagamaan hanya sebagai pengetahuan, bukannya untuk diamalkan. Siapa pun yang masuk UII harus melalui proses-proses yang ber laku seperti mahasiswa lain. “Sampai belajar shalat pun bagi orang nonmus lim sebagai pengetahuan, yang salah itu kalau kita memaksakan untuk shalat,” tukas Nandang.

Sementara ini, UII belum mempu nyai sikap tersendiri untuk menangani mahasiswa nonmuslim. “Dulu, kita juga banyak mahasiswa-mahasiswa nonmus lim. Mata kuliah agama tetap mereka dapatkan sebagai ilmu,” tutur Nandang. Saat ini, UII menyamaratakan antara mahasiswa muslim dan nonmuslim.

Nandang berpikir, UII belum memerlu kan peraturan khusus akan hal itu kare na selama ini belum terdapat masalah. Nandang menganalogikan bahwa mahasiswa nonmuslim yang mengikuti ujian BTAQ sama seperti orang yang belajar bahasa Inggris. Posisinya sama dari nol. “BTAQ kedudukannya sama dengan bahasa Inggris dan bahasa asing yang lain. Harus dipandang oleh non muslim sebagai ilmu. Tapi ada hal-hal yang kita tidak paksakan, seperti shalat karena itu sudah masuk ibadah. Bahkan dosen di luar itu tidak hanya bisa baca Qur’an tapi hafal. Karena dianggap, ba hasa Arab itu ilmu pengetahuan,” jelas Nandang. Namun, apabila mahasiswa nonmuslim mencapai jumlah yang signifikan akan diberi kelas tersendiri. Jika demikian, pengajaran juga bisa disesuaikan.

Bila berbicara tentang ilmu, maha siswa muslim ataupun nonmuslim tetap harus lulus karena hal itu merupakan bagian dari kredit. “Kan ini agama sebagai pengetahuan. Seperti ketika masuk restoran Padang, ketika dia tidak mau mematuhi, ya jangan masuk,” tandas Nandang.

Bagaimana Sistem Pendidikan Keagamaan di Universitas Lain? HAMPIR setengah jam, kami di ruang tunggu rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Selepas shalat Jum’at, kami memiliki janji berte mu dengan Sekar Ayu Ayani, Pembantu Rektor Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Setelah sekian lama, kami akhirnya bisa menemui Sekar di ruangannya. Udara dingin dari saluran air condition er (AC) mengenai kulit. Buku berjejer dengan rapi dalam lemari buku. Siang itu, Sekar mengenakan baju berwarna oranye dan jilbab putih. Dengan ramah, ia menjawab pertanyaan HIMMAH.

Sekar berkisah, dulu ketika masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, mereka masih belum menerima mahasiswa nonmus lim. Setelah berubah nama menjadi UIN Sunan Kalijaga, tepatnya pada tahun 2004, baru pihak kampus mulai membuka pintu bagi mahasiswa non muslim.

Saat masih berstatus IAIN, UIN mempunyai visi menciptakan sarjana muslim. Saat ini, visi UIN adalah me

ningkatkan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan untuk peradaban. Karena peradaban itu sifatnya umum, ada batasan antara muslim dan nonmuslim. UIN berpandangan bahwa sangat bagus jika ada mahasiswa non muslim yang mau belajar di universitas Islam. “Kalau belajarnya dari sumber yang asli akan lebih bagus ketimbang belajar dari yang bukan muslim. Maka, sejak itulah kita membuka mahasiswa nonmuslim untuk belajar di sini,” tukas Sekar.

Hingga sekarang, hanya program S-2 dan S-3 saja yang mempunyai ma hasiswa nonmuslim, sedangkan program S-1 belum ada. “Saya tidak tahu apakah mereka yang daftar S-1 belum ada, tapi yang jelas sudah ada maha siswa nonmuslim di S-2 dan S-3,” jelas Sekar.

Di UIN, mata kuliah pendidikan keagamaan untuk jenjang S-1 berjum lah sebelas, di antaranya wawasan Islam klasik seperti tafsir, hadis, fikih, dan seterusnya. “Tapi sekali lagi, untuk S-1 belum ada (mahasiswa nonmuslim-red) harus ikut seperti itu, hanya mungkin ke yang nonmuslim ya sebagai pengeta huan saja. Yang jelas, untuk S-1 belum ada,” ungkap Sekar.

UIN tidak memiliki kegiatan ke agamaan semacam pesantrenisasi, kecuali di fakultas-fakultas yang si fatnya umum, seperti Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum). Apabila di UII dikenal dengan istilah pesantrenisasi, UIN lebih mengenal dengan istilah bimbingan keagamaan atau ekstrakurikuler. Di universitas ini, pembelajaran agama masuk ke dalam kurikulum yang wajib diikuti, sedang kan ekstrakurikuler tidak. Mahasiswa UIN yang biasanya mengambil ekstrakurikuler adalah mahasiswa yang tidak lulus pretest baca tulis Al-Qur’an dan yang belum bisa shalat.

Apabila telah lulus bimbingan ke agamaan, mahasiswa akan diberikan sertifikat. Sertifikat ini nantinya men jadi syarat mahasiswa untuk sidang skripsi. Menurut Sekar, peraturan ini membuat mahasiswa mau tidak mau mengikuti bimbingan keagamaan.

Lantas, bagaimana jika ada ma hasiswa nonmuslim? Apakah mereka diwajibkan mengikuti bimbingan ke agamaan?

| p E n DIDIKA n | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 53

“Ya nggak. Karena mereka tidak akan mempraktikkannya juga. Tapi kalau yang mata kuliah inti, mereka harus ikut karena itu masuk di transkrip nilai,” ujarnya.

BERANJAK dari UIN, kami pergi ke Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Kami menemui Endah Setyowati, Koordinator Mata Kuliah Humaniora UKDW. Menurut Endah, penilaian pendidikan pertama dilaku kan oleh pemerintah. Sebagai institusi, UKDW hanya membantu negara dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Pen didikan keagamaan sudah diwajibkan sejak Orde Baru sehingga sekarang kita bisa melihat adanya sekolah Kristen, Islam, dan lainnya.

Sebelum masuk zaman Orde Baru, di Indonesia hanya ada pendidikan karakter. Pendidikan keagamaan tidak diwajibkan karena adanya kekhawatiran dari Ki Hadjar Dewantara akan masuknya unsur politis dalam dunia pendidikan. Alasan kedua adalah untuk menghindari pemahaman siswa yang hanya sebatas kognitif.

UKDW adalah universitas yang menjunjung nilai-nilai Kristen sehingga pendidikannya pun berlandaskan agama Kristen. UKDW bersifat dina mis karena tidak semua mahasiswanya beragama Kristen. Maka, kurikulum hanya mensyaratkan bahwa setidaknya ada pendidikan agama di semester pertama. “Dalam beberapa tahun ini, meskipun labelnya pendidikan agama Kristen, tapi di dalamnya tidak seperti itu,” terang Endah.

Endah mencontohkan, pada Semes ter Ganjil 2012/2013 kemarin, UKDW menyelenggarakan kuliah umum yang dihadiri oleh enam agama atas kerja sama dengan Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei). Institut DIAN/Interfidei adalah institut yang mengkhususkan pada dialog an tarpemeluk agama. Saat acara tersebut terlaksana, tidak hanya pemeluk agama yang sama saja yang menghadiri, tetapi juga lintas iman. “Karena yang disebut agama tidak hanya agama resmi to, tetapi juga penghayat-penghayat ini,” ucap Endah. Atas alasan tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, nilai-nilai

UKDW tidak diajarkan secara Kristen saja.

Endah mengatakan, setiap agama samawi pasti mempunyai misi yang sama, yaitu menyebarkan ajaran mereka sampai ke mana pun. Namun sekarang, tiap pemeluk agama harus lebih melihat bagaimana agama itu mempunyai nilainilai universal. UKDW turut bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga dan UGM dalam menyelenggarakan pen didikan keagamaan. Endah mengung kapkan bahwa mahasiswa UKDW yang beragama Kristen sekitar 70 hingga 80 persen.

Pratomo Nugroho Soetrana selaku Dosen Pendidikan Agama Kristen UKDW angkat bicara. Menurutnya, pendidikan keagamaan pada pergu ruan tinggi harus mempertimbangkan konteks melalui etika akademik agar mendapatkan kebenaran objektif. Masyarakat Indonesia ataupun dunia adalah plural. Ia mengatakan, bila Allah menginginkan atas kuasa-Nya, semua orang di dunia ini bisa beragama Kris ten. Kondisi ini membuat kita harus memikirkan pluralitas supaya kasih sayang yang Allah miliki dapat dicer minkan.

Selama Pratomo mengajar pendi dikan keagamaan di UKDW, tidak ada penolakan dari mahasiswa non-Kristen dalam mengikuti mata kuliahnya. Ke adaan seperti itu tercipta karena konsep mengajar yang diterapkan Pratomo adalah dengan metode pendekatan keilmuan yang mendukung. Perbedaan tidak terlalu terasa dengan menggu nakan pendekatan ini karena mereka melihat bukan dari agama Kristen saja. “Saya berharap, mahasiswa merasakan fairness (kesamaan-red), tidak merasa eksklusif karena kita bicara pada tataran akademik ilmiah,” tuturnya. Setelah melakukan pendekatan tersebut, ia berupaya agar pendidikan agama men jadi salah satu pendidikan kedamaian. Patut dipertanyakan jika pendidikan agama tidak mempunyai sifat atau di mensi yang menyelami kepribadian diri (self education).

Setiap mengajar mata kuliah, di awal kelas Pratomo selalu mengatakan, “Jika di sini ada yang berbeda keyakinan, ya pertama kami (UKDW-red) tidak ada

maksud untuk mengkristenkan Anda atau memurtadkan Anda karena ini kebetulan mata kuliah yang ada diberi kan oleh universitas. Saya bahkan wel come karena Anda menjadi pengayaan iman bagi mayoritas di sini, dan Anda menjadi salah satu narasumber. Maaf kalau namanya pendidikan agama Kris ten,” ucapnya tersenyum. Menurut Pra tomo, lulus tidaknya mahasiswa dalam mata kuliah yang ia ampu tergantung dengan keseriusan mahasiswa tersebut dalam belajar.

UKDW tidak memiliki tes ke agamaan yang menentukan kelulusan seorang mahasiswa. Di universitas ini, pendidikan agama Kristen layaknya kuliah umum dan tidak masuk ke dalam kurikulum. UKDW lebih me mentingkan perkembangan spiritualitas mahasiswa.

BERTOLAK dari UKDW, kami menuju salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Yogyakarta, yaitu Uni versitas Gadjah Mada (UGM). Iwan Dwiprahasto, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, menjelaskan bahwa pendidikan ke agamaan di UGM lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Apabila ter dapat suatu kasus, mahasiswa diminta untuk mencari ayat yang berkaitan di agama masing-masing.

Cara pendekatan pendidikan ke agamaan di UGM berbeda-beda karena pertimbangan adanya 18 fakultas dan sekolah vokasi. Menurut Iwan, keil muan profesional harus dipelajari ter lebih dulu sebelum mempelajari agama sebagai kebutuhan profesional. Agar keilmuan profesional itu bisa diaplika sikan mahasiswa dengan benar, maha siswa harus dibantu dengan pertimbangan agama.

Tidak ada kriteria tertentu un tuk UGM menyediakan pendidikan keagamaan. Universitas akan menye diakan dosen dari tiap-tiap agama yang dianut mahasiswanya, berapa pun jum lah mereka. “Negara kita saja membe baskan orang beragama, maka universi tas menyediakan,” tutur Iwan.q

Reportase bersama: Herlina, Revangga Twin Theodora

| p E n DIDIKA n | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 354

Dari Edaran Sampai Aduan

Izin penambangan karst sudah tidak dikeluarkan lagi sejak tahun 2011. Pada kenyataannya di lapangan, aktivitas penambangan karst masih dijumpai.

Oleh: Ahmad Satria Budiman Reporter: Muhammad Robby Sanjaya (Koordinator), Robithu Hukama, Ahmad Satria Budiman

TIM LACAK

Fotografer: Robitu Hukama Infografis dan Tata Letak: Bayu Putra P., Muhammad Robby Sanjaya

MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 LACAK 55
LACAK

Dari Edaran Sampai Aduan

HARI

sudah beranjak petang ketika kami tiba di kediaman Sukamto. Ia adalah Kepala Desa Kenteng, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kami disambut oleh Sukamto dan istrinya. Teh manis hangat dan cemilan kacang kemudian dihidangkan. Setelah mempersilakan kami minum dan makan, Sukamto pun mulai berkisah.

Pada 24 Mei 2011, Sukamto membenarkan bahwa dirinya telah mengirim sepucuk surat pemberitahuan kepada Bupati Gunung Kidul. Isinya menerangkan bahwa saat itu, ada kegiatan penambangan karst secara ilegal dengan menggunakan alat berat (bego-red) di wilayah Desa Kenteng. Melalui surat tersebut, Sukamto meminta penjelasan kepada pihak pemerintah mengenai perizinan kegiatan penambangan. Apabila belum mendapatkan izin, Sukamto memohon tindakan dari pemerintah kabupaten (pemkab) untuk menghentikan kegiatan penambangan tersebut.

“Dari surat edaran bupati, di daerah Gunung Kidul tidak ada surat izin yang disetujui lagi. Minta izin penggu naan bego tidak bisa,” kata Sukamto. Surat edaran bupati yang dimaksud adalah surat bernomor 540/0196, tertang gal 7 Februari 2011, mengenai kebijakan pertambangan di Kabupaten Gunung Kidul. Surat yang ditujukan kepada aparat pemerintah sekabupaten tersebut menerangkan bahwa setiap kegiatan penambangan di kawasan karst ti dak diperbolehkan dan tidak akan dikeluarkan surat izin nya. Penambangan hanya boleh dilakukan di lokasi yang memang telah diperuntukkan sesuai dengan tata ruang.

Setelah surat edaran bupati keluar, Sukamto segera membuat surat pemberitahuan tertanggal 18 Februari 2011. Surat ditujukan kepada semua pemilik dan pe kerja penambangan yang ada di wilayah Desa Kenteng. Surat berisikan imbauan agar para pelaku penambangan mengindahkan surat edaran bupati, antara lain dengan tidak lagi melakukan kegiatan penambangan, terutama dengan menggunakan bego. Maka ketika masih mendapati aktivitas penambangan di wilayahnya, Sukamto pun bertindak dengan mengirim surat pemberitahuan kepada bupati.

Sebagai kepala desa yang bertanggung jawab atas wilayahnya, Sukamto bersikeras tidak membolehkan penambangan menggunakan alat berat. “Kalau ada apa-apa jangan menyangkut desa. Kalau ingin menam bang, karena sudah ada surat edaran bupati, risiko ada di penambang sendiri,” terang Sukamto.

Banyak pohon yang hancur karena banyak karst ditambang. Akibatnya, sungai bawah tanah tidak bisa mengalir karena resapannya tidak ada lagi lantaran batang pohon yang tumbang. Belum lagi limbah penambangan yang mengenai tanaman sehingga tanaman tidak dapat tumbuh subur. Inilah alasan lain Sukamto menidakboleh kan penambangan.

Untuk aturan tentang tata ruang sendiri, sampai saat

ini masih belum keluar. Banyak penambang yang lalu mengambil jalan pintas dengan melakukan penambangan menggunakan cara manual atau dengan peralatan seadanya. Meski demikian, Sukamto mengingatkan bahwa risiko tetap ada pada diri penambang, “Kalau ada bahaya, sudah tidak ditanggapi Dinas Sosial.”

Pemerintah kabupaten berkesimpulan bahwa penam bangan yang dilakukan secara manual masih diperboleh kan. “Tapi kalau pakai bego tidak,” imbuh Sukamto.

RUANG Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Gunung Kidul terletak di lantai 2 Gedung Pemkab Gunung Kidul. Di ruangan tersebut, ter dapat puluhan meja dengan banyak buku dan map yang tertata rapi di atasnya. Pagi itu, jarum jam menunjukkan angka setengah sembilan, namun ruangan masih cukup sepi dan lengang. Beberapa pegawai sudah terlihat, salah satunya adalah Antonius Hary Sukmono, Kepala Sub Bagian Sumber Daya Alam.

Terkait surat pemberitahuan dari Kepala Desa Kenteng tentang adanya penambangan karst dengan alat berat, Hary juga membenarkan. Ia lalu menyampaikan bahwa ada zonasi terkait penambangan karst.

“Kita lihat dari perspektif hukum dulu, dalam artian perspektif aturan main,” kata Hary. Dari segi peraturan, karst muncul di tahun 2000, lalu muncul kembali di tahun 2004. Keduanya melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM). “Berkenaan dengan itu, sudah jelas, mana yang karst, mana yang bukan,” lanjut Hary.

Berkenaan dengan penambangan, Hary menjelaskan bahwa kegiatan eksploitasi tidak boleh dilakukan di kawasan lindung, tetapi di kawasan budidaya. Maraknya izin penambangan membuat pemerintah kabupaten akhirnya mengeluarkan surat edaran bupati. “Pada dasarnya, tambangnya adalah batu gamping. Karena itu, kita pisah kan kawasan batu gamping yang bisa ditambang dan batu gamping karst,” imbuh Hary.

Menurut Hary, dengan dinamika peraturan yang ada, pemkab akhirnya mengeluarkan surat edaran bupati tahun 2011. Sejak saat itu, izin penambangan karst tidak dapat lagi dikeluarkan pemkab. Surat edaran bupati semakin diperkuat payung hukumnya melalui Kepmen ESDM Nomor 17 Tahun 2012. “Kalaupun menggunakan alat tradisional, kita masih memberikan toleransi, tapi untuk penggunaan alat berat akan ditindak,” tegas Hary.

Peraturan karst terbaru adalah tahun 2012 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Per men ESDM). Peraturan tersebut, menurut Hary, mengamanatkan daerah dalam artian gubernur atau bupati untuk menetapkan sendiri bentang alam kawasan karst. “Sekarang kita lagi menyusun itu, target kami itu tahun 2013,” sambung Hary. Zonasi terbaru diusulkan daerah, kemudian diusulkan kepada Menteri ESDM untuk selan jutnya ditetapkan.

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 356

DESA Bedoyo berada dalam satu kecamatan yang sama dengan Desa Kenteng. Di desa tersebut, berdiri PT. Sugih Alam Anugraha, salah satu perusahaan yang dikenal dengan aktivitas mandirinya dalam menambang karst menggunakan peralatan bego. Perusahaan ini terle tak di samping jalan utama Ponjong-Bedoyo. Truk-truk tampak lalu lalang mengangkut karst dan hasil olahan nya. Deru suara mesin pengolah karst berdesing cukup keras diselingi suara mesin bego yang mengeruk beberapa tebing bukit batuan.

Kedatangan kami ke sana disambut oleh Moch. Hasan Dulahim yang bertindak sebagai Kepala Teknis Pertambangan PT. Sugih Alam Anugraha. Ahim, demikian ia disapa, menjelaskan perihal masih berlangsungnya aktivitas penambangan yang dilakukan oleh perusahaan hingga hari ini. PT. Sugih Alam Nugraha memegang surat izin yang dikeluarkan tahun 1991. Surat izin ini diperba rui setiap lima tahun sekali. Surat tersebut lalu dijadikan landasan penambangan oleh perusahaan.

Dengan keluarnya surat edaran bupati tahun 2011, berakhir pula izin tambang yang dimiliki oleh PT. Sugih Alam Anugraha. “Kita sendiri kalau berbicara status hu kum, kita berkonsultasi dengan pakar hukum kami. Kalau kita disuruh berhenti total, semua ini akan kita tinggalkan.

Tapi apakah kita sebagai profesional tambang akan me ninggalkan bekas tambang yang buruk?” komentar Ahim. Ahim tidak terlalu banyak menjelaskan izin tambang yang tidak lagi dimiliki perusahaan. Ahim lebih banyak menjelaskan peran perusahaan dalam Forum Diskusi Gunung Kidul pada 7 Desember 2012. Forum tersebut merupakan pertemuan orang-orang dari berbagai aspek keilmuan untuk membahas pola rancangan tata ruang yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan. PT. Sugih Alam Anugraha telah memberikan masukan berupa mapping atau pemetaan lahan demi tercapainya solusi yang baik bagi banyak pihak.

Menurut Ahim, perusahaan tidak mau terlalu ikut dalam sengketa penetapan kawasan karst. Perusahaan lebih memilih pola reklamasi lahan melalui pendekatan kepada masyarakat. Baginya, peraturan pemerintah terbaru yang terbit tahun 2012 telah mencabut peraturan yang terbit di tahun sebelumnya. “Ketika saya dihentikan, sama seperti orang mengendarai motor, dihentikan tibatiba, ya sama, kita akan jatuh, banyak korban,” ujar Ahim. mencoba menganalogikan kondisi perusahaan saat ini.q

Reportase bersama:

Muhammad Robby Sanjaya, Robithu Hukama

Penambang mencongkel batu kapur yang berada di atas bukit di kawasan Ponjong, Gunung Kidul. Mereka sering kali melupakan faktor keselamatan dalam kegiatan penambangan. ROBITHU HUKAMA | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 LACAK 57

Sunarto, koordinator penambang rakyat yang menjadi penghubung antara pihak perusahaan dengan para penambang rakyat.

Sebatas Hitam di Atas Putih

Regulasi penambangan karst sudah lama bergulir dan terus diperbarui, namun bagaimana pelaksanaan dan penegakannya?

Oleh: Muhammad Robby Sanjaya

JALANAN desa tersusun dari tanah, di bagian tengahnya diberi lempeng-lempeng cor beton. Truk-truk pengangkut terlihat lalu-lalang di jalan ini. Kendaraan besar tersebut hendak menuju perusahaan besar dan kecil yang membutuhkan batu kapur dari area penambangan di Desa Kenteng, Gunung Kidul. Lanskap area tersebut berupa bukit yang menjulang setinggi 20-30 meter. Beberapa bagian bukit

tampak terbelah, menyisakan daerah yang labil dan rawan longsor.

Siang itu, aktivitas penambangan masih berlangsung. Ada sekitar 30 penambang yang sedang mengeruk tebingtebing bukit kapur. Beberapa penambang bergelantungan di ceruk yang mereka buat, tanpa pengaman. Sebagian lagi mengeruk lapisan di lahan datar, menggali lebih dalam lagi.

ROBITHU HUKAMA | HIMMAH Hitam di Atas Putih
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 358
Sebatas

Desa Kenteng adalah satu dari beberapa desa di Keca matan Ponjong yang dikelilingi oleh banyak bukit kapur. Tak salah jika daerah tersebut masuk ke dalam bentang alam Pegunungan Sewu, yaitu jajaran pegunungan yang tersebar di sebagian kecil Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri, hingga Kabupaten Pacitan di Jawa Timur.

Di bawah bukit-bukit cuil dan kaki para lelaki penam bang, para ahli hidrologi meyakini adanya aliran sungai bawah tanah (SBT). SBT ini mengalir dari wilayah Sum bergiri, Ponjong, hingga pantai selatan Gunung Kidul. Perbukitan kapur yang mempunyai keunikan sistem hidrologi ini disebut kawasan karst. Fungsinya sebagai penampung dan penunjang ketersediaan air bawah tanah.

Kini, aktivitas penambangan di pebukitan karst yang kian merebak mulai dianggap berbahaya bagi keutuhan ekosistem karst. Tindakan pencegahan dan pengenda lian mulai diberlakukan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) lalu mengeluarkan Kepu tusan Menteri (Kepmen) Tahun 2000. Di dalam Kepmen Nomor 1456 K/20/MEM/2000 tersebut, diatur pengelolaan kawasan karst.

Kawasan karst selanjutnya dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Kawasan Karst Kelas I, Kawasan Karst Kelas II, dan Kawasan Karst Kelas III. Karst Kelas I adalah kawasan yang tidak dibolehkan untuk kegiatan penambangan. Luasnya mencapai 80 persen dari total kawasan karst di Kabupaten Gunung Kidul. Zona ini diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan penyerapan air secara berkelanjutan. Karst Kelas II adalah kawasan yang boleh ditambang, namun tetap dengan syarat dan kelengkapan dokumen studi lingkungan. Barulah pada Karst Kelas III, boleh dilakukan aktivitas penambangan.

Empat tahun kemudian, Kementerian ESDM menerbit kan kepmen baru. Menindaklanjuti kepmen sebelumnya, terbitlah Kepmen ESDM Nomor 1659 K/40/MEM 2004. Kepmen tersebut menetapkan kawasan karst Gunung Sewu dan Pacitan Timur. Luasnya mencapai 1.468,102 km2 dimana wilayah terbesar berada di Kabupaten Gunung Kidul, yaitu mencapai 807,040 km2. Penetapan kawasan tersebut didasarkan pada tatanan geologi, bentang alam karst luar (eksokarst), bentang alam karst dalam (endo karst), dan tatanan hidrogeologi.

Kepmen inilah yang lalu menjadi awal sengketa an tara penambang lokal cum perusahaan tambang dengan pemerintah daerah (pemda). Sebagian masyarakat yang tinggal di kawasan perbukitan Gunung Sewu sudah me nyatu dengan aktivitas penambangan dan menggantung kan penghidupan dari kegiatan menambang.

Data yang dihimpun Harian Kompas tahun 2004 menunjukkan ada 62 penambang rakyat yang mengan tongi izin dan 31 lainnya tidak memiliki izin. Penambangan dilakukan secara berkelompok atau perseorangan (individu-red). Sebagian besar aktivitas penambangan su dah dimulai sejak tahun 1990. Parahnya, di tengah-tengah

masyarakat muncul anggapan bahwa kawasan tambang adalah lahan milik pribadi.

MENCARI akar sengkarut dari aktivitas penambangan, Antonius Hary Sukmono dari Sub Bagian Sumber Daya Alam (SDA), Bagian Energi dan Sumber Daya Min eral (ESDM) Kabupaten Gunung Kidul memiliki penjelasannya. “Semenjak keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Tahun 2008, kita sudah mempersulit pembe rian izin tambang yang sebelumnya cukup longgar,” ujar Hary.

Hary juga menjelaskan runutan terbit undang-undang serta peraturan yang mengatur tentang penambangan batu gamping di kawasan karst. Di dalam RTRWN, ada struktur ruang dan pola ruang. Di dalam pola ruang, dibagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Di dalam salah satu pasal PP, disebutkan tentang ka wasan lindung. Salah satunya adalah cagar alam geologi. Pada pasal lainnya di dalam PP, Hary menerangkan bah wa cagar alam geologi adalah kawasan lindung dengan ciri-cirinya adalah karst, “Di situ sudah jelas sekali bahwa karst adalah kawasan lindung. Maka dengan demikian, kegiatan eksploitasi yang ada di dalam karst adalah tidak boleh.” Hary melogikakan, semua aktivitas eksploitasi di dalam kawasan karst yang sekarang masih berlangsung adalah aktivitas ilegal.

Sikap pemda atas PP tersebut adalah dengan menge luarkan surat edaran bupati pada Februari 2011 kepada Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan kepala desa bahwa Pemkab Gunung Kidul belum dapat mengeluarkan surat izin pertambangan. Lebih jauh, Harry menjelaskan tentang produk hukum yang dikeluarkan Pemda Gunung Kidul berupa RTRW Daerah tahun 2010-2030. Pada Pasal 39, disebutkan tentang Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP) seluas 2.180 hektar dalam 9 KPP. Namun dengan keluarnya KPP, tidak serta merta izin tambang bisa keluar dengan mudah. Hal ini dikarenakan ada tindak lanjut berupa Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP).

“WPR ini nantinya suatu produk peraturan dari bupati, sedangkan WUP adalah produk yang dikeluar kan oleh Menteri ESDM. Sampai sekarang, kita belum menyusun WPR-nya. Produknya belum selesai. Baru kita siap-siapkan itu tentang WPR, WUP, dan sebagainya, tapi kemudian kemarin tiba-tiba keluar lagi Peraturan Menteri ESDM tentang bentang alam kawasan karst tahun 2012,” imbuh Harry.

Peraturan yang dimaksud, menurut Hary, mengamanatkan kepada daerah untuk menetapkan sendiri kawasan karstnya. Dengan demikian, kawasan karst yang nantinya ditetapkan oleh pemkab atau pemda adalah kawasan lindung, sementara yang tidak masuk ke dalam zonasi karst adalah kawasan budidaya.

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 LACAK 59

Sebatas Hitam di Atas Putih

BELUM mendapat jawaban terang atas aktivitas penambangan yang masih terjadi di kawasan karst, Pramuji Ruswandono, Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Gunung Kidul, men gatakan bahwa telah terbit Peraturan Menteri (Permen) ESDM terbaru, yaitu Permen Nomor 17 Tahun 2012. Permen tersebut membuat kawasan karst di Kabupaten Gunung Kidul akan dipetakan ulang.

“Permen-permen yang sebelumnya, termasuk Nomor 1456 (Tahun 2000) dan Nomor 1659 (Tahun 2004) tentang penetapan kawasan karst Gunung Sewu dicabut,” tutur Pramuji. Permen inilah yang terbit setelah muncul gejolak dan aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan penambang rakyat kepada Bupati Gunung Kidul pada tahun 20102011. Puncaknya pada Juli 2011, ribuan penambang meng geruduk Kantor Bupati dengan 75 truk pengangkat batu gamping. Dengan demikian, aturan atau undang-undang yang mengatur kebijakan penambangan di kawasan karst dilimpahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Terbitnya Permen ESDM Tahun 2012 mengkaji ulang istilah karst dan pemetaan persebaran kawasan karst. “Pokoknya yang terkait dengan penetapan bentang alam karst yang dulu pernah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM itu dicabut. Di sini, dalam jangka waktu paling lambat satu tahun sejak berlakunya Permen ESDM 2012, gubernur atau bupati wajib mengusulkan penetapan kawasan bentang alam kepada menteri,” lanjut Pramuji. Ia menjelaskan, pemda sedang mempercepat pengkajian ulang bentang alam karst.

Pramuji menyatakan telah melayangkan Surat Penyi dikan Khusus ke Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (Dinas PUP ESDM) Provinsi DIY. Penyidikan diadakan melalui anggaran perubahan APBD tahun 2012. Penyidikan khusus ini berdasar pada faktor lapangan mengingat kawasan karst di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terdapat di dua kabupaten, yaitu Gunung Kidul dan Bantul. Maka, penanganannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY.

Rapat koordinasi dilakukan intensif sejak bulan Sep tember sampai November 2012 antara Dinas PUP ESDM, SKPD terkait (Gunung Kidul dan Bantul), pemerhati lingkungan, dan akademisi. Berkas usulan-usulan nanti nya bakal dilayangkan ke Pemerintah Pusat, yaitu Badan Geologi Kementerian ESDM.

Sembari membuka berkas-berkas dan laporan hasil rapat koordinasi, Pramuji berusaha meyakinkan bahwa pemda sedang mempercepat usulan-usulan yang nantinya dilimpahkan ke provinsi, sebelum menuju ke pusat.

“Kita sudah maraton, sudah berupaya untuk men coba memetakan kembali. Kita kan tahu hamparan batu gamping itu dari Bantul sampai Pacitan sana,” tukas Pramuji. Kebijakan Permen Nomor 17 Tahun 2012 itu nanti arahnya mencoba memetakan pola sebaran batu

gamping di Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul. “Nanti akademisi yang lebih tahu nilai ilmiahnya karena di sini yang ditegaskan adalah nilai ilmiah. Kalau nilai ilmiah itu kan untuk kepentingan ekonomi dan lingkungan, itu bisa diselaraskan dengan deskripsi eksokarst dan endokarst,” lanjut Pramuji.

Terkait dengan eksokarst dan endokarst, Pramuji mendeskripsikan ciri bentang alam kedua tipe karst tersebut. Eksokarst adalah ekosistem yang berada di luar dengan kenampakan alam berupa hamparan bukit dan batuan gamping. Sedangkan endokarst merupakan ekosistem bawah tanah yang terbentuk dari aktivitas air, lalu membentuk suatu sistem hidrologi. Hasilnya berupa goa dan jaringan sungai bawah tanah. Nantinya, deskripsi bentang alam kawasan karst yang tidak diatur dalam permen akan diisi dengan disiplin ilmu lain, seperti nilai cagar budaya atau bekas hunian manusia purba.

“Di DIY itu ada Forum Karst yang anggotanya banyak, ada yang pecinta alam, ada yang dari fakultas arkeologi. Itu berkumpul di Forum Karst, memberikan informasi terkait karst, kemudian deskripsi keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya, saling memberikan data,” tutur Pramuji. Data-data yang terkumpul kemudian dipadukan sesuai dengan kebijakan Permen ESDM Tahun 2012.

Upaya pemda dalam mengakomodir semua elemen masyarakat ke dalam rancangan bentang alam yang baru acapkali terhambat karena di lapangan seringkali terjadi benturan kepentingan. Ada sektor pariwisata, sektor pertambangan, lokasi pengolahan, hingga sektor industri. Rancangan terbaru diharapkan mampu meminimalisir kebijakan Permen ESDM Nomor 1659 tentang Kawasan Karst Gunung Sewu dan Pacitan Timur yang sifatnya ma sih terlalu global dalam mendefinisikan spesifikasi karst. Secara garis besar, hasil data yang sudah dihimpun selama ini akan membentuk overlay data dan peta polygon yang berisikan berbagai unsur. “Jadi, ini jangka panjang kita memikirkannya,” sela Pramuji. Mata air menjadi as pek yang penting dan akan dilindungi sampai kapanpun sehingga nilai ilmiah tadi nantinya menyesuaikan dengan sektor ekonomi.

“Sekarang kita mulai lagi di mana semua itu (batuan karst-red) dianggap batu gamping biasa semua karena masih dalam proses penyusunan. Kita sudah punya draft karena kita sudah mendapat masukan dari SKPD maupun Forum Karst, tapi saya belum berani untuk mengutara kan itu,” ujar Pramuji. Mengenai kegiatan penambangan, Pramuji turut menegaskan bahwa tidak ada izin, baik tambang rakyat maupun perusahaan. Permohonan yang sudah diajukan oleh perusahaan atau rakyat belum dapat diproses.

Hal yang paling penting saat ini adalah menetapkan lokasi-lokasi yang berada di titik penambangan itu masuk di wilayah karst atau wilayah nonkarst. Wilayah nonkarst berarti berada di perbukitan batu kapur biasa dan disebut wilayah budidaya. “Semua kegiatan penambangan yang

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 360

saat ini (masih berlangsung-red) memang ngambang,” sahut Pramuji.

Curi-curi di Kala Transisi

KELUARNYA Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2012 seolah menjadi jalan bagi para penambang rakyat dan perusaha-an tambang yang memegang surat izin namun telah habis masa berlakunya untuk tetap melakukan akti vitas penambangan.

Perkembangan data perizinan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2011 menunjukkan, semua pemegang izin IPR sudah habis masa berlaku. Pemprov sudah semestinya berkoordi nasi dengan Polda DIY dan Polres Gunung Kidul untuk menertibkan dan menindak tegas kegiatan pertambangan yang semakin tidak terkendali di Kabupaten Gunung Kidul.

Hal tersebut sudah jelas tertuang pada kesimpulan hasil rapat yang diadakan pada 1 Maret 2012, bertempat di Dinas PUP ESDM Provinsi DIY. Rapat tersebut dihadiri oleh berbagai Dinas Kabupaten dan Provinsi, serta dari pemerhati lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi DIY.

Selain mendorong upaya penegakan hukum bagi para penambang ilegal di wilayah karst, hasil rapat tersebut berupaya mempercepat keluarnya rekomendasi untuk

Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY Nomor 540/3612 perihal Rekomendasi Pemanfaatan Kawasan KPP di Gu nung Kidul mengingat kondisi di lapangan semakin tidak terkendali.

DATA yang dihimpun dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menjelaskan bahwa pendapatan daerah dari kegiatan penambangan karst hanya sekitar Rp 350 juta per tahun. Sektor ekonomi terbesar di Kabupaten Gunung Kidul masih di sektor pertanian.

Selain permasalahan daerah (kawasan karst-red), ben turan dengan masyarakat yang sudah lama menambang juga menjadi kendala penegakan regulasi yang sudah ada. Masih ada upaya lain untuk mengangkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat yang hidup di wilayah karst, seperti menghidupkan sektor pariwisata yang masih minim perhatian.

Rakyat kerap dijadikan penambang di garis depan, sementara investor berleha-leha di belakang. Ketika sudah tidak ada lagi mineral yang bisa ditambang dan investor kabur, hal yang tersisa adalah lahan kritis dan kondisi rakyat semakin merana. Pemerintah harus tegas dalam bersikap agar rakyat tidak lagi yang harus membayar mahal.q

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 LACAK 61

Antara Bertani dan Menambang

“Kalau nambang saja nggak cukup, ditambah tani cukup. Tapi kalau cuma tani juga nggak cukup, jadi saling menunjang.”

JAM baru menunjukkan angka setengah tujuh. Dinginnya udara pagi masih terasa meski sudah mulai hilang perlahan oleh sinar matahari. Marsiyo sudah mengayunkan palu dan linggis berkali-kali ke salah satu sudut dinding bukit batuan. Selu ruh wajahnya ditutupi kain dari kaus yang sudah usang, sampai hanya matanya saja yang terlihat. Ia juga memakai celana panjang yang sedikit sobek di daerah lutut dan sepasang sepatu bot.

Marsiyo adalah salah satu penambang karst di Desa Kenteng. Lelaki berusia 35 tahun ini baru satu setengah tahun menjadi penambang karst. Sebelumnya, ia bekerja sebagai petani, sama seperti kebanyakan penduduk desa. Tanaman yang ditanam adalah jagung, kacang kedelai, kacang tanah, dan padi. “Kalau saya mending di sini (menambang-red) daripada di pertanian,” tutur Marsiyo.

Kerja menambang biasanya dilakukan sejak pukul tujuh pagi hingga empat sore. Jam kerja tersebut diselingi waktu istirahat sekitar jam sebelas sampai jam dua siang. “Karena kalau tengah hari batunya panas. Kalau musim kemarau, kalau nggak pakai kacamata hitam nggak kuat,” ujar Marsiyo. Waktu istirahat digunakan untuk makan siang di rumah masing-masing. Sesekali, makan siang dilakukan di pondok bambu yang terletak tidak jauh dari bukit batuan. Bekal dibawa dari rumah lalu disantap sam bil mengopi bersama.

Kerja menambang sendiri dibagi ke dalam beberapa kelompok. Satu kelompoknya terdiri dari beberapa orang. “Di sini, ada lima belas orang yang terbagi dalam kelom

pok-kelompok, sekitar lima orang jadinya per kelompok,” lanjut Marsiyo.

Jika tiba musim panen, kegiatan menambang menjadi sepi. Hanya satu-dua orang saja yang ada di lokasi, seperti hari itu. Tiga bulan sekali, penambang akan membagi waktunya antara menambang karst dan memanen hasil sawah. “Panen sekalian menanam lagi,” cerita Marsiyo. Tanaman yang dipanen kebanyakan jagung dan kacang. Untuk panen padi, dilakukan satu kali setahun karena padi membutuhkan banyak air yang didapat dari musim hujan. Namun masa panen tidak berlangsung lama, kirakira dua minggu. Selesai panen, aktivitas penambangan akan kembali seperti biasa.

Sebelum menambang di Kenteng, selain bertani, Marsiyo pernah pula menambang di Gua Lowo, masih di Gunung Kidul. Waktu itu, barang yang ditambang adalah batu fosfor. Penambangan fosfor dilakukan di dalam gua yang cukup gelap. Satu ton batu fosfor dihargai Rp 80.000. Meski demikian, penambangan fosfor tidak dilakukan setiap saat. Marsiyo berpikir, lebih baik di penambangan karst saja sekalipun tenaga yang diperlukan lebih berat di penambangan karst daripada batu fosfor.

“Walaupun penghasilannya nggak seberapa, tiap hari kan ada,” kata lelaki dua anak ini. Anak pertama Marsiyo duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan anak keduanya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Hari itu, Marsiyo tidak sendiri. Ia ditemani Sunarto, penambang lainnya yang sudah lebih lama menambang di sana daripada Marsiyo, yaitu selama 20 tahun. Mbah

Antara Bertani dan Menambang
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 362
Keadaan bukit kapur di Desa Kenteng, Ponjong, Gunung Kidul. Lebih dari 20 tahun, bukit ini menjadi kawasan penambangan rakyat. ROBITHU HUKAMA | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 LACAK 63

Antara

dan Menambang

Sunar, begitu lelaki berusia 65 tahun ini disapa, bercerita bahwa dirinya sudah menambang sejak bukit batuan karst masih utuh. Sementara kini, kondisi bukit tampak tinggal setengahnya karena sudah lama ditambang.

“Kalau nambang saja nggak cukup, ditambah tani cukup. Tapi kalau cuma tani juga nggak cukup, jadi saling menunjang,” kata lelaki tiga anak ini soal penghasilan yang didapat untuk memenuhi biaya kebutuhan seharihari. Berbeda dengan Marsiyo, anak-anak Sunarto sudah pada bekerja. Sulungnya berjualan kayu, sementara yang tengah dan bungsu bertani.

Terkait adanya kecelakaan kerja, Mbah Sunar mengi yakan pernah terjadi. Seorang penambang, dulu, pernah kejatuhan batu dan mengakibatkan ia kehilangan kaki nya. Waktu itu, ada bagian bukit yang dindingnya terlihat retak sehingga saat dipukul seharusnya tidak terlalu keras. “Sudah diingatkan tapi nggak mau, padahal batu sudah retak-retak. Ditinggal dua menit nambang, dia ketubrukan batu, putus ini,” kenang Mbah Sunar sambil menunjuk kakinya.

Batu-batu yang ditambang, sepengetahuan Marsiyo dan Mbah Sunar, dikirimkan ke dua tempat. “Batu besar dikirim ke Supersonik, batu kecil dikirim ke Klaten,” ujar Marsiyo. Untuk batu ke Supersonik, per harinya bisa sam pai 12 truk. Satu truknya bermuatan 5-6 ton batu dengan tenaga manual. Jika menggunakan bego, satu truknya bisa mencapai 8-9 ton batu. Sementara itu, untuk batu yang dikirim ke Klaten hanya sebanyak 3 truk. Hal ini karena batu kecil hasil tambang disebut juga limbah yang tidak terlalu diperlukan perusahaan besar sekelas Supersonik sehingga dikirim ke perusahaan kecil.

Baik Marsiyo maupun Mbah Sunar sama-sama tidak tahu soal aturan penambangan di kawasan karst. Bagi mereka, selama aktivitas tersebut masih diperbolehkan oleh koordinatornya, mereka akan tetap menambang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.

DITEMUI di kediamannya yang terletak di depan bukit batuan karst tempat masyarakat biasa menam bang, Sunarto (yang kebetulan bernama sama dengan Mbah Sunar) membenarkan dirinya adalah Koordinator Penambang Rakyat di Desa Kenteng. Ia mengkoordinir para penambang yang berjumlah sekitar 50-60 orang, yang tersebar di 8-10 titik area penambangan. Salah satu area adalah bukit batuan yang berdiri di belakang rumahnya, tempat dimana Marsiyo dan Mbah Sunar menambang.

Terlebih dulu, Sunarto menegaskan bahwa kegiatan penambangan di areanya menggunakan tenaga manual, tidak menggunakan alat berat (bego-red). Alat-alat yang digunakan, seperti linggis, palu, cangkul, dan lain sebagainya. Sistemnya adalah memasok batu hasil tambang ke daerah perusahaan yang membutuhkan, antara lain

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 364
Bertani
BAYU PUTRA P. | HIMMAH

PT. Supersonik, sebuah industri pengolahan bahan kimia di daerah Wonosari, dan PT. Sinar Utama di Klaten yang mengolah batu-batu berukuran kecil.

Untuk harga, 1 kilogram batu dihargai Rp 55. “Jadi, per tonnya lima puluh lima ribu rupiah,” terang Sunar-to. Mengenai izin pertambangan, sudah sekitar 3-4 tahun lalu tidak dikeluarkan lagi. “Sementara dilarang untuk tam bang, itu sebenarnya ndak boleh, tapi aturannya sendiri belum jelas. Selagi tenaga manual, itu sudah jadi kegiatan rutin sehari-hari. Biasanya, yang ditindak tegas itu yang pakai alat berat, kelihatannya…,” lanjut Sunarto. Menurut Sunarto, selama alat yang digunakan menambang bukan alat berat, hal tersebut masih diperbolehkan.

Untuk zonasi karst, Sunarto mengakui hal tersebut sudah ada sosialisasinya dari pihak pemerintah. “Kelihat annya di sini, ndak masuk zona dilarang,” kata Sunarto. Wilayah yang masuk zona dilarang, sepengetahuan Sunarto, adalah wilayah dekat pantai, seperti di daerah

Bedoyo. Andaikan wilayahnya dilarang pun, Sunarto tidak mempermasalahkan.

Sampai dengan hari ini, Sunarto masih memperbolehkan dilakukan penambangan karena untuk membantu masyarakat mencari penghasilan. Soal mata pencaharian masyarakat yang selain bertani juga menambang, Sunarto ikut membenarkannya, “Mengandalkan panen itu kurang menghasilkan, sudah cukup tapi kurang-kurang. Apalagi yang tidak punya pekerjaan tetap, mau nggak mau larinya ke pertambangan.”q

Reportase bersama:

Muhammad Robby Sanjaya, Robithu Hukama

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 LACAK 65
BAYU PUTRA P. | HIMMAH

Meniti Hidup Sepanjang Marga

Usia senja tak membuatnya berhenti mencari nafkah demi melanjutkan hidup. Oleh: Hasinadara Pramadhanti

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | I n SA n IA | 66

SENIN

pagi yang cerah membawa langkah kaki ini ke sebuah rumah joglo sederhana. Rumah itu terletak di sebelah barat makam Dusun Semoyo, Kelurahan Tegaltirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Rumah tersebut bercat hijau yang sudah memudar dan terkelupas di sana sini. Suasana tampak lengang, sesekali terdengar kokok dan kotek ayam. Dari halaman rumah, terlihat Amat Dinomo sedang duduk di sofa cokelat sembari mengisap sebatang rokok dan menyeruput segelas teh hangat.

Beberapa kali, Amat sempat mengusir ayam-ayam yang datang mendekat. Ditemani istrinya, Sutinah, mereka berdua sedang membungkus tape ketan dengan daun pisang.

Amat adalah seorang penjual tape. Ia pergi berjualan dengan mengendarai sepeda onthel yang ditumpangi kronjot, yaitu dua buah keranjang hijau besar berbentuk kotak yang terbuat dari anyaman bambu. Lelaki berusia 74 tahun ini berkeliling di beberapa daerah di Yogyakarta. “Ideran (daerah jualanred) saya tuh di utara JEC, di depan

soto Pak Marto. Kalau nggak, ya di Perhutani, utara Stasiun Lempuyangan. Ideran saya tuh banyak,” tutur Amat. Terkadang, jika tape yang dibawanya belum habis terjual, ia berkeliling hingga Kelurahan Muja Muju yang terletak di sebelah utara Kebun Binatang Gembira Loka.

Sebagai lulusan Sekolah Rakyat (SR), Amat telah menjalani hidup dengan beragam profesi, seperti tukang bangunan, tukang becak, buruh penggilingan tahu, hingga penjual kerupuk. Karena juragan

Amat Dinomo menjual tape dengan bersepeda berkeliling kota. Dengan keranjang di sepedanya, Amat dapat membawa 240 bungkus tape. AHMAD IKHWAN FAUZI | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | I n SA n IA | 67

kerupuk tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan, setelah menikah dengan Sutinah tahun 1965, Amat memutuskan untuk berjualan tape. Awalnya, ia menjual tape ketela pohon. Berbekal keterampilan membuat tape dari orang tuanya, lelaki beranak tujuh ini membangun usahanya dari nol.

Setiap pagi, Amat dan istrinya pergi ke pasar di daerah Berbah untuk membeli ketela pohon sebanyak 30 kilogram dan seikat kayu bakar. “Kalau nggak punya uang untuk beli kayu, ya cari daun bambu, terus nanti dijemur,” sambung Sutinah. Jika barang yang dicari tidak ada di Pasar Berbah, mereka pergi ke Pasar Piyungan. Untuk membuat tape, Amat menggunakan tungku yang dibuat sendiri dengan menyusun dua baris batu bata secara memanjang.

Setidaknya, butuh waktu tiga hari untuk mendapatkan tape yang

sempurna. Sejak pukul tujuh pagi, Amat dan istrinya sudah berkutat dengan ketela pohon. Mereka mulai dengan mengupas ketela dan membersihkannya. Setelah itu, ketela direbus setengah matang dan direndam dalam air selama satu malam. Esoknya, mereka kembali merebus ketela tersebut hingga mekar. Ketela lalu ditunggu sampai dingin, barulah ditaburi ragi secara merata dan diperam hingga masak.

Selain mampu membuat tape dari ketela, Amat juga bisa membuat tape peyeum Bandung. Ia belajar dari juragan kerupuk tempatnya dulu bekerja. Ia pun masih hafal cara membuat tape peyeum, “Ketela dikupas, lalu dikerok menggunakan pisau, kemudian dicuci. Lantas dikukus sampai masak. Jika sudah dingin, diragi dan diperam sampai lunak.” Namun begitu, tape peyeum Bandung

tidak menjadi jualannya setiap hari. Andaikan ada yang memesan, Amat siap untuk membuatnya.

Penghasilan dari menjual tape tidaklah seberapa, namun cukup untuk kehidupan sehari-hari dan membayar biaya sekolah anak-anak, “Nggih dilumpukake mboko sitik (ya dikumpulkan sedikit demi sedikit-red),” imbuh Sutinah.

Selama berjualan tape, Amat telah melewati berbagai ruas jalan, mulai dari sekitar daerah rumahnya di Berbah hingga ke arah Gembira Loka. Tidak sampai di situ, Amat juga ke bagian barat Yogyakarta hingga Karangwaru dan menuju bagian selatan Yogyakarta hingga Alun-alun Selatan. Ia akan terus mengayuh sepedanya bila tapetape yang dibawa belum habis terjual, bahkan hingga tengah malam demi menafkahi keluarganya. Halangannya hanya satu, bila musim hujan tiba, tak

Amat Dinomo tengah beristirahat di depan rumah pembeli tape dagangannya. Amat sudah 47 tahun berjualan tape dengan berkeliling kota. AHMAD IKHWAN FAUZI | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | I n SA n IA | 68

banyak yang membeli tapenya.

Sejak tahun 1998, Amat tak lagi berjualan tape ketela, tetapi berganti tape ketan. Selain usia yang tak lagi muda dan tak lagi kuat membawa beban berat, banyak pembeli yang lebih menyukai tape ketan. Amat juga tak lagi sesering dulu dalam berjualan. “Ya kirakira, kalau sudah empat atau lima hari saya berjualan, satu hari saya berhenti jualan, istirahat,” kata Amat. Ia juga tidak lagi berjualan hingga malam hari. Sekitar jam lima sore, ia harus bergegas pulang karena pandangan yang mulai mengabur saat petang tiba.

MENJELANG jam sepuluh pagi, Sutinah selesai mengemas tape untuk dagangan esok hari dengan dibantu Amat. Sementara tape yang hendak dijual hari itu diambil dari tape yang telah dikemas pada hari kemarin. Tape dagangan yang siap dijual ditempatkan di sebuah tenggok, yaitu keranjang besar berbentuk tabung dari anyaman bambu. Sebagian lagi ditaruh di dalam tas plastik putih. Satu bungkus tape dijual seharga Rp 500. Dalam sehari, Amat bisa membawa sekitar 220-240 bungkus tape.

Setelah dagangan siap untuk dijajakan, Amat segera ke luar rumah untuk mengambil sepeda dan kronjotnya. Tenggok dan tas plastik ikut pula dimasukkan ke dalam kronjot. Tak lupa ia cek dulu udara ban sepeda. Jika dirasanya perlu angin, Amat kemudian memompanya sehingga siap dibawa berkeliling seharian.

Setelah dagangan dan sepeda siap, Amat segera mandi pagi lalu berganti pakaian. Hari itu, ia mengenakan kemeja panjang putih yang warnanya sudah mulai menguning, celana kain hitam, sandal jepit hijau, dan sebuah peci. Kira-kira jam setengah sebelas, Amat siap mengayuh sepeda onthel hijaunya menyusuri jalanan Kota Yogyakarta.

Terik sinar matahari yang kian menyengat tidak membuat Amat patah semangat untuk mengayuh sepeda di jalanan beraspal. Sesekali, jalan yang menanjak membuatnya harus turun untuk menuntun sepeda. Setelah setengah jam perjalanan, ia memutuskan untuk berteduh sejenak di depan sebuah rumah penjahit baju.

Di sebuah bangku panjang, ia duduk beristirahat sambil menghabiskan sebatang rokok. Lima belas menit kemudian, Amat kembali mengayuh sepedanya.

Perhentian pertama Amat adalah di seberang Jogja Expo Center (JEC), tepatnya di depan Warung Soto Pak Marto. Saat itu sudah mendekati jam makan siang, itulah waktu yang ditunggu Amat. Pengunjung yang makan di warung tersebut nantinya akan ditawari tape ketan. Sambil menunggu pembeli, ia mengobrol santai dengan penjaga parkir warung itu. Karena sudah akrab, ia pun mendapatkan segelas teh untuk sekadar melepas haus setelah lima kilometer mengayuh sepeda. Sayang, hari itu tak satu pengunjung warung soto yang membeli tape ketannya.

Amat kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat. Sesampainya di depan Restoran Bu Citro, ia berhenti sejenak mengamati. Ada beberapa bus pariwisata yang berhenti. Setelah menyandarkan sepedanya di depan restoran, tak lupa Amat menyapa satpam penjaga restoran, lalu menunggu para wistawan selesai makan siang. “Nek enten bis niki akeh payune (kalau ada bus begini, banyak yang laku-red),” kata Amat dengan raut muka sumringah. Benar saja, beberapa wisatawan yang telah selesai makan dan akan menuju bus mampir untuk membeli tape ketannya.

Siang yang semula terik perlahan ditutupi mendung, hujan mulai turun rintik-rintik. Amat segera mempersiapkan plastik untuk melindungi bungkusan tape. Ia juga mengambil jas hujan untuk melindungi diri dari tempias air hujan. “Setelah ini, saya mau mengantar tape ke beberapa pelanggan,” ujar Amat di sela hujan yang kian bertambah deras. Amat pun bergegas kembali mengayuh sepedanya, pelan-pelan menerobos hujan.

Menapaki Usia Senja

SETELAH kurang lebih 47 tahun berjualan tape keliling, Amat memiliki beberapa pelanggan tetap. Selain berjualan tape keliling, ia juga mendapat pesanan untuk berbagai acara, seperti resepsi pernikahan, pengajian, dan lain-lain.

Pahit manis ketika bekerja sebagai penjual tape telah ia rasakan. Amat pun pernah diusir oleh pemilik sebuah toko ketika ingin berteduh sewaktu hujan. Selain itu, tapenya pernah pula dibeli tanpa dibayar. “Ada seorang pelajar laki-laki yang membeli tape saya, dia beli lima ribu rupiah dan saya berikan tapenya. Karena uangnya besar dan saya tidak ada kembalian, pelajar itu berkata bahwa dia akan menukarkan uang. Lantas saya tunggu, lama tidak dikasihkasih malah bablas,” cerita Amat. Terkadang, ada juga yang memberinya sekadar makanan ringan atau nasi bungkus untuk bekal perjalanan.

Berkat kerja keras dan bantuan doa dari istri dan anak-anaknya, penghasilan dari menjual tape dapat digunakan Amat untuk menyekolahkan ketujuh anaknya hingga bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Anak-anak Amat dan Sutinah kini telah mampu membiayai hidup mereka sendiri dan dapat membantu keduanya bila diminta. “Anak-anak sekarang sudah berkeluarga dan bekerja, tidak ada anak yang mengganti ya tidak apa-apa. Ya sudah jangan dipaksa, sukanya sendiri-sendiri,” sahut Amat membebaskan anak-anaknya untuk tidak ikut jualan tape seperti dirinya.

Umur Amat memang tak lagi muda, tetapi ia tetap bersemangat untuk terus berjualan tape. Terkadang, anak-anaknya sudah melarang untuk berhenti bekerja, namun ia bersikeras menolaknya. “Mumpung saya masih sehat, saya kepinginnya kerja. Kalau sudah sakit dan tidak bisa bekerja, baru ikut anak,” tutur Amat lugas.q

Reportase bersama: Ahmad Ikhwan Fauzi

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | I n SA n IA | 69

Pertandingan Para Kesatria Panah

Panahan adalah salah satu sarana untuk berolahraga. Di sini, para pemanah menggunakan pakaian tradisional, seperti apa filosofinya?

HUJAN

baru saja berhenti. Tanah lapang di kawasan Babarsari telah ramai oleh orang-orang berpakaian tradisional. Para lelaki memakai sur jan, sedangkan perempuan memakai kebaya. Mereka duduk bersila. Tangan kiri memegang busur dan tangan kanan memegang anak panah. Tatapan mereka fokus pada sasaran yang berada 32 me ter di depan. Sesekali mereka bercanda meskipun tidak melihat wajah lawan bi cara. Tak berapa lama, mereka serentak melepaskan genggamannya atas anak panah. Anak panah itu terlontar dengan

cepat menuju sasaran. Beberapa menge nai sasaran, beberapa lagi meleset.

Ini adalah jemparingan, semacam olahraga panahan tradisional. Di Yogyakarta, jemparingan juga dikenal dengan Panahan Mataraman. Tradisi memanah tradisional gaya Matara man sudah muncul sejak tahun 1934. Saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi perintah kepada kerabat keraton beserta abdi dalem untuk me nyelenggarakan perlombaan memanah tradisional gaya Mataraman. Juara per tama akan mendapatkan medali Ekala ya dari Keraton Kesultanan Yogyakarta.

Jemparingan memiliki aturan main. Tiap anak panah harus mengenai bandulan. Bandulan merupakan sasa ran yang biasa dipakai pada panahan tradisional. Bentuknya bukan bundar seperti pada panahan yang biasa kita lihat. Bandulan berbentuk memanjang kurang lebih 40 sentimeter. Kepala bandulan yang ditandai warna merah bernilai tiga poin, sedangkan badan bandulan yang berwarna putih bernilai satu poin. Pertandingan berlangsung hingga 20 kali putaran. Setiap putaran, pemanah diberi kesempatan untuk me lesatkan empat anak panah.

Peserta lomba jemparingan membidik sasaran. Lomba ini diadakan sebagai usaha pelestarian budaya jemparingan. ROBITHU HUKAMA | HIMMAH
70 | b UDAYA | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3

Di Yogyakarta, ada beberapa paguyuban jemparingan. Di antaranya adalah Paguyuban Mardisoro dan Paseduluran Jemparingan Langenastro. Kantor Mardisoro berada di Komplek Puro Pakualaman. Sedangkan Lange nastro di Jalan Langenastran, sebelah timur Alun-Alun Kidul Keraton Kesul tanan Yogyakarta. Jemparingan sendiri sempat “mati suri”.

Paguyuban Mardisoro sempat ditu tup setelah Sri Paduka Pakualam VIII meninggal dunia pada tahun 1988. Pada tahun 2012, beberapa pelopor bekerja sama untuk menghidupkan kembali paguyuban ini, salah seorang di anta ranya adalah Sukro Kusmanto. Sukro telah menggeluti dunia panahan sejak 31 tahun silam. Lelaki kelahiran 1946 ini diberi tanggung jawab sebagai Ketua Paguyuban Mardisoro.

Sukro memperkirakan, panahan ada sejak zaman dahulu sebelum Nabi Muhammad SAW hidup. Selain untuk berburu, alat ini biasa digunakan untuk pertahanan diri. Di Indonesia, panahan berasal dari adanya peperangan. Ke mudian, panahan dikembangkan oleh Keraton. “Kita tidak bisa memonopoli itu asalnya dari mana, tapi kalau yang asalnya dari Yogya itu Bandulan Mata raman,“ ujar Sukro.

Menurut Sukro, Sri Paduka Pakualam VIII terkenal akan keahlian me manahnya. Bagi raja, panahan hanya sebatas olahraga. Panahan begitu ber jaya saat beliau hidup. Selain raja, hanya penghuni kerajaan yang dapat meng gunakannya. Namun, panah bukan sen jata perang bagi Keraton Pakualaman. Peralatan perang Keraton Pakualaman sudah modern di zamannya. Mereka sudah memakai senapan dan pistol. Bagi kerajaan ini, panah hanya sebagai kebudayaan.

Fungsi panah berbeda bagi tiap kerajaan. Jika di Keraton Pakualaman pa nahan hanya sebagai olahraga, Keraton Kesultanan Yogyakarta mengandalkan panah untuk alat berperang. Ketika saya berkunjung ke Paseduluran Langenas tro, orang-orang di sekretariat menganjurkan saya untuk bertemu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Maryoso Wasito. Ia adalah orang yang dituakan karena sudah menggeluti dunia panahan sejak puluhan tahun yang lalu.

Sore hari adalah waktu yang tepat menemui Maryoso. Saat bertandang ke

rumahnya, saya melihat seorang bapak sedang menulis di teras. Teras rumah bernuansa hijau di sana-sini. Ada banyak tumbuhan anggrek yang terawat. Dinding-dinding rumah dicat hijau.

“Iya, mencari siapa?” tanya bapak itu.

“Bapak Maryoso.”

“Ada keperluan apa?”

“Mau ngobrol tentang jemparingan.”

“Oh boleh, silakan masuk.”

Saya pun menunggu Maryoso di ruang tamu, sementara bapak tadi ma suk ke dalam rumah. Rumah ini banyak memajang peralatan memanah. Beberapa panah dipajang di dinding. Tidak jauh dari situ, anak panah sengaja dije jer di meja. Beberapa medali ditempel rapi di dinding. Tidak lama kemudian, bapak tadi keluar dengan pakaian yang berbeda. Dialah KRT Maryoso Wasito.

Menurut Maryoso, nama Panahan Mataraman diambil dari nama kerajaan yang pernah berkuasa di Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Mataram. Panahan memang telah ada saat kerajaan terse but berdiri. Jika dirunut dari sejarah, Keraton Kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan yang terbentuk atas pemisahan Kerajaan Mataram. Tahun 1755, melalui Perjanjian Giyanti, Belanda memecah Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Panahan masih terus bertahan meski terjadi perpecahan, malahan panahan semakin berjaya dan namanya dikenal.

Sembilan tahun lamanya, Sri Sul tan Hamengkubuwono I berperang melawan Belanda. Dalam peperangan, pihak ke-raton ditunjang oleh beberapa jenis senjata, di antaranya panah, tom bak, serta keris. Panah berperan untuk menghalau penjaga. Panah merupakan senjata yang dapat diandalkan karena sangat efektif untuk menembak dari jarak jauh. Jarak tempuh berkisar antara 50 sampai 70 meter. Jika sang pemanah menembak sasarannya sambil duduk bersila, anak panah dapat mencapai 100 meter.

Tiap prajurit keraton dibekali oleh senjata menurut keahlian mereka masing-masing. Senjata-senjata mereka cukup mematikan, biasanya mata anak panah ditambahi racun. Keahlian ber perang para prajurit keraton membuat Belanda takut. Ini merupakan keun tungan bagi Yogyakarta, karena mereka

semakin mudah untuk membentuk negara sendiri.

Panahan terus berkembang. Di tahun 1934, muncul tradisi memanah dengan nama panahan tradisional gaya Mataraman. Awal mulanya, ada perin tah Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada kerabat keraton beserta abdi dalem untuk menyelenggarakan kegiatan memanah tradisional gaya Mataraman. Keraton Kesultanan Yogyakarta akan menghadiahi medali Ekalaya bagi mereka yang memenangkan pertandingan.

Hingga hari ini, prajurit-prajurit keraton masih berperan aktif dalam melestarikan tradisi panahan. Mereka rajin untuk melatih kemampuan. Ma syarakat bisa melihat prajurit-prajurit ini di acara-acara yang digelar oleh keraton, misalnya acara grebegan yang merupakan acara peringatan hari-hari besar Islam.

DARI segi peralatan, panah yang dipakai di zaman dahulu dan sekarang berbeda. Perbedaannya terletak di pan jang busur. Pada zaman dahulu, panjang busur seperti busur dari Irian, tetapi kelemahannya terletak pada jangkauan tembakan yang hanya mencapai jarak dekat. Busur yang lebih modern hanya bisa ditemui di keraton.

Meskipun dahulu panah terbuat dari bahan yang cukup sederhana, alat itu bisa diandalkan untuk berperang mela wan penjajah. Dahulu, busur panah terbuat dari kayu luyung dan talinya dari rotan. Sekarang, busur berasal dari kayu dan bambu petung. Bahan petung digunakan karena memiliki ruas yang panjang sehingga bisa mencapai tinggi badan manusia. Busur dalam olahraga panahan tradisional harus sesuai dengan tinggi badan masing-masing pemanah. Sedangkan bahan pembuat tali telah diganti dengan sutra dan benang nilon. Dalam bahasa Jawa, tali biasa disebut dengan sendeng. Sedangkan bu sur disebut gendewo

Ada yang unik apabila kita melihat lebih detil anak panah masing-masing pemain. Biasanya, mereka mewarnai bulu-bulu di bagian ujung anak panah dengan warna sesuai selera. Beberapa pemain juga menamai anak panahnya. Pemberian nama tersebut semata demi kesenangan pribadi serta mencegah agar anak panah tidak saling tertukar.

71 | b UDAYA | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3

Perbedaan yang cukup mencolok adalah bandulan sekarang tidak dileng kapi dengan bola di bagian bawahnya. Bola tersebut berukuran lebih besar dibandingkan badan bandulan. Bila anak panah menancap ke bola, maka nilai akan berkurang satu. “Lha itu malah ada orang panahan nggak dapat nilai, malah min semua,” ujar Sukro. Jika ingin melihat bagaimana bentuk bandulan yang persis seperti zaman da hulu, kita bisa melihatnya di Surabaya dan Solo. Dua kota tersebut masih me makai bandulan seperti bentuk aslinya.

Orang-orang yang menggeluti pa nahan tahu benar akan perbedaan pa nahan dulu dan sekarang. Dahulu, para pemanah selalu membawa cucuk di se tiap pertandingan. Cucuk adalah orang yang memberi tahu pemanah ke mana seharusnya ia mengarahkan sasarannya. Cucuk juga membantu mengambil anak panah yang telah ditembak. Sekarang, keberadaan cucuk jarang ditemui.

Dari segi pakaian, pemanah sudah diwajibkan mengenakan pakaian tra disional. Apabila ada peserta yang tidak menggunakan pakaian tradisional, ia akan didiskualifikasi. Pemanah asal Yogyakarta mengenakan pakaian sur jan yang dilengkapi blangkon dan jarit. Untuk wanita, sekarang mereka jarang memakai sanggul, padahal dulu harus dipakai saat pertandingan.

Aksesori yang dipakai pemanah tidak melulu berkurang, pemanah sekarang ada yang berinisiatif untuk menambah aksesori mereka. Beberapa di antara pemanah ada yang membawa keris dan menyelipkannya di pinggang. Padahal dulu, pemanah tidak membawa keris. Hanya prajurit bertombak yang membawa keris.

Jemparingan mengharuskan peserta untuk duduk bersila selama pertandingan. Posisi ini memiliki falsafah yang tinggi. Duduk bersila dimaksudkan untuk menenangkan pikiran. Di saat pemanah duduk, mereka akan menembakkan anak panah dengan tenang sehingga mampu mengenai sasaran. Selain bersila, pemanah juga diperbo lehkan untuk bersimpuh. Posisi duduk mereka layaknya orang yang sedang melakukan meditasi, namun dengan sarana anak panah dan busur.

Pemanah bebas melesatkan sasaran

dengan gaya mereka sendiri, dulu. Itu semua tergantung kenyamanan. Tetapi sekarang, peraturan diperketat. Aturan nasional menyebutkan bahwa ketika menembakkan anak panah, tinggi ayunan harus sepanjang lengan pema nah.

Di seluruh Indonesia, panahan tradisional masih menunjukkan eksis tensinya. Bahkan di kota-kota seperti Lampung, Kalimantan, dan Papua, masih tetap mempertahankan panahan tradisional. Meskipun beda daerah, pada dasarnya mereka memakai gaya yang sama yakni duduk bersila dan menggunakan pakaian tradisional. Sukro beserta kawan-kawan panah lainnya pernah latihan sampai ke la pangan Jatinom, Klaten, dan Solo. Jika di Yogyakarta disebut dengan panahan gaya Mataraman, di dua daerah tersebut dinamakan panahan Bandolan. Namun, cara mereka berlatih tidak berbeda.

TAHUN ini Sukro berumur 67 ta hun. Di usia sekarang, ia masih rajin berlatih memanah. Matanya masih jelas untuk melihat bandulan. Menu rutnya, apabila seorang atlet berhenti mendadak maka dapat merusak badan nya sendiri. Kondisi demikian terjadi karena badan akan merespons perubahan kondisi tubuh yang telah terbiasa bekerja keras. Inilah alasan mengapa ada olahragawan yang terserang stroke mendadak.

Ketika saya melihat latihan dan per lombaan jemparingan, ternyata masih banyak anak muda yang mau mengge luti olahraga tradisional ini. Pernyataan Sukro memperkuat observasi saya. Ketika saya menanyakan apakah cukup banyak anak muda yang bergabung di Paguyuban Mardisoro, Sukro menjawab dengan semangat, “Banyak, bahkan orang Jepang juga ada yang jadi anggota di sini.”

“Persentasenya lebih banyak mana yang ikut, antara yang muda dibanding yang tua?”

“Ya kalau yang tradisi banyak orang tuanya, kalau yang muda memang kita salurkan ke yang tingkat nasional.”

Paguyuban Mardisoro menyarankan anak muda untuk mengikuti tingkat nasional dengan pertimbangan karier mereka bisa lebih tinggi bahkan

mencapai laga internasional. Mereka sa dar bahwa panahan tradisional sifatnya terbatas, hanya berlaga di dalam negeri.

“Ada pesan ndak buat masyarakat atau generasi muda kita?”

“Ya, pesan kami, lestarikan budaya terutama budaya Mataram. Tidak hanya panahannya, tapi memakai pakaian adat. Berbusana adat itu kan jarang sekali dipakai kalau ndak ada perhe latan ataupun pernikahan. Di samping itu, jangan sampai kebudayaan daerah kita itu diambil oleh daerah lain atau pun negara lain. Makanya itu, ada yang direbut oleh Malaysia.”

Perkataan Sukro tersebut sekaligus peringatan bagi masayarakat Indone sia bahwa jangan sampai kebudayaan kita diakui oleh negara lain. Ketakutan ini yang membuat Sukro berhati-hati dalam mengambil keputusan. Per nah suatu hari, ada seorang Malaysia menawarkan Sukro untuk mengajar panahan di negara mereka. Sukro merasa khawatir Malaysia akan mengakui kepemilikan panahan tradisional jika ia mengajar di sana. Ahirnya, Sukro memutuskan untuk menolak tawaran negara tetangga itu.

Malaysia bukanlah negara pertama yang tertarik dengan panahan tradisional yang Indonesia miliki. Di Paguyu ban Mardisoro, banyak warga negara asing seperti dari Belanda, Selandia Baru, Jepang, serta Italia, yang datang berlatih. Sukro tidak mempermasalah kan mereka untuk belajar jika niat mereka hanya untuk melatih bakat.

Sukro juga cukup berhati-hati untuk menerima anggota baru paguyuban karena panahan merupakan olahraga yang berbahaya. Ujung anak panah terbuat dari besi yang runcing. Meski ditembak dari jarak 10 meter, helm tentara bisa tembus, apalagi mengenai badan manusia. Oleh karena itu, apa bila ada masyarakat yang berniat untuk menjadi anggota paguyuban, mereka akan menanyakan terlebih dahulu tu juan mengikuti olahraga ini. “Ini alat untuk olahraga, nggak bisa untuk sem barang orang memiliki, ini kena orang bisa mati lho,” ujar Sukro dengan mimik serius.

Tidak perlu terkena anak panah un tuk terluka, bahkan ketika latihan pun, lengan dan jari-jari tangan bisa lecet.

72 | b UDAYA | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3

Luka itu bisa disebabkan oleh gesekan benang nilon pada busur. Biasanya, pemanah melengkapi aksesoris mereka dengan pelindung lengan atau yang bi asa disebut dengan dekker. Dekker digu nakan di lengan sebelah kiri. Pelindung lainnya bernama finger step yang digu nakan untuk melindungi jari.

Sukro dan Maryoso saling kenal satu sama lain. Mereka merupakan orangorang yang dipanggil Pakualam VIII untuk belajar memanah. Pakualam VIII adalah orang yang lihai dalam olahraga ini dan ia pernah mengikuti kejuaraan Pekan Olahraga Nasional (PON). Tak tanggung-tanggung, raja ini pun turun tangan sendiri, ia melatih langsung bagaimana cara memanah.

Maryoso telah menggeluti dunia panahan sejak tahun ‘70-an. Sebe lum menggeluti panahan tradisional, Maryoso mengaku bisa berbagai olah raga. Bidang olahraga yang ia kuasai adalah basket, tenis, voli, sepak bola, dan bulu tangkis. Ia berhenti olahraga tersebut karena pengalamannya dalam suatu pertandingan bulu tangkis. Saat itu, Maryoso terlalu keras memukul kok sehingga melukai mata lawan. Kejadian ini membuat Maryoso berheti bermain bulu tangkis. Di tahun itu juga, ia me mutuskan untuk menjadi pemanah. Rasa senang saat memanah membuat Maryoso menggemari olahraga ini.

Meski tergolong baru dalam dunia panahan, debut Maryoso di bidang ini menunjukkan hasil yang baik. Ia pun maju menjadi kontingen PON IX. Maryoso mulai mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Ia berlatih me manah setiap hari, melakukan senam, dan menjaga pola makan. Usahanya berbuah manis, berbagai medali berha sil diraih. Untuk PON IX, ia mendapat kan medali perunggu. Setelah pandai memanah, Maryoso diangkat menjadi Ketua Paguyuban Mardisoro.

Sekarang, panahan tradisional tidak dilombakan lagi di PON. Maryoso hanya sempat mengikuti kejuaraan hingga PON XI. Sampai sekarang peralatan pa nahan Maryoso masih disimpan dengan baik. Berbagai macam panah ia miliki, misalnya panah untuk kejuaraan vita, perpani, ataupun panah untuk sekedar berburu. “Mahal lho itu, yang vita itu sekarang 28 juta rupiah,” ujar Maryoso.

Sambil meilhat-lihat anak panah yang dimiliki Maryoso, saya pun menanyakan apa nama dari anak pa nahnya. Ternyata, ia tidak memberikan nama pada anak-anak panahnya.

“Kenapa, Pak?” tanya saya.

“Ndak papa, sama saja soalnya”

Sekarang, Maryoso telah berumur 77 tahun. Fisiknya sudah tidak me mungkinkan lagi untuk berlatih seperti dulu. Keseharian Maryoso sekarang adalah menjadi panitia perlombaan jemparingan serta abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta. Dalam peng golongan abdi dalem, Maryoso terma suk ke dalam bupati kliwon

***

MESKI jemparingan ini berjenis tradisional dan banyak digeluti oleh kaum tua, banyak pula anak muda yang berprestasi dalam bidang ini. Salah satunya adalah Enrico Aditya Arta, seorang mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII). Saya bertemu Rico, begitu ia biasa disapa, saat pertandingan jemparingan yang diselenggarakan oleh Universitas At majaya Yogyakarta (UAJY). Saat itu, Rico memakai baju surjan warna biru. Tingkah laku Rico khas anak muda lainnya. Di saat pertandingan, ia tidak mengenakan bajunya dengan benar. Hanya badan bagian kanan yang me makai surjan dan yang kiri tidak. Tetapi ketika melesatkan anak panahnya, Rico selalu serius dan fokus pada bandulan. Busurnya yang berwarna biru dengan erat ia pegang. Dengan perlahan, anak panah miliknya diselipkan ke busur. Anak panah Rico diberi nama Cokro. Nama Cokro berasal dari salah satu senjata yang dipakai oleh tokoh peway angan.

Pada putaran ke-15, hujan kembali turun. Orang-orang meninggalkan lapangan untuk berteduh. Keadaan ini membuat panitia memutuskan untuk mengakhiri pertandingan meskipun masih kurang lima putaran lagi. Panitia mengumumkan bahwa Rico mengan tongi 11 poin. Poin Rico adalah yang tertinggi. Sambil tersenyum, ia pun menghampiri panitia dan menjabat tangan mereka. Hari itu Rico dihadiahi uang sebesar Rp 125.000 beserta bebe-

rapa kotak teh dan kopi dari panitia.

Rico telah sembilan bulan berlatih panahan tradisional. Awal mulanya, ia diajak oleh teman-temannya untuk berlatih jemparingan di lapangan dekat rumah. Saat itu, Rico hanya iseng. Karena nilainya selalu bagus, Rico pun semakin terpacu untuk bermain. Dalam agama Rico, panahan merupakan kegiatan yang sifatnya sunah. Karena alasan itu, Rico masih menekuni jemparingan. Selain itu, olahraga ini menarik bagi Rico dan ia mendapat banyak kenalan dari sini. Rico tergabung dalam Pasedu luran Jemparingan Langenastro. Setiap sore, ia giat berlatih, terkecuali ketika hari hujan.

Sore itu, bukan kali pertama Rico memenangkan pertandingan jemparingan. Ia pernah menang di urutan ke tiga pada pertandingan KONI Cup Kota Yogyakarta yang digelar baru-baru ini di lapangan Minggiran. Menurut Rico, juara panahan tidak selalu stabil di se tiap pertandingan.

Rico pernah mengajak teman kam pusnya untuk bermain. Usaha Rico tidak sia-sia, teman-temannya ikut tertarik dengan jemparingan. Tindakan ini merupakan bentuk perhatian Rico untuk melestarikan budaya. Banyak orang-orang di sekitar Rico yang tidak mengetahui adanya panahan tradisional. Rico ingin menunjukkan kepada mereka akan eksistensi panahan tra dional yang memiliki aturan berbeda dibanding panahan modern.

“Pernah merasa malu nggak ikut jemparingan?”

Dengan cepat ia menjawab, “Sama sekali nggak pernah.”q

Reportase bersama: Ahmad Ikhwan Fauzi, Robithu Hukama

73 | b UDAYA | HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3
Beberapa orang terlihat duduk di depan sebuah tempat karaoke. Sekarang ini, banyak tempat karaoke, penginapan, dan warung yang berdiri di kawasan Gunung Kemukus. TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH
| L A p ORA n KHUSUS |

Gunung Kemukus: Bukan

Tempat Berbuat yang Lain

“Sing sapa duwe panjongko marang samubarang kang dikarepake, bisane kelakon iku kudu sarono pawitan temen, mantep ati kang suci, ojo slewang-sleweng. Kudu mindang-marang kang katuju cedhakno dhemene kaya dene yen arep nekani marang panggonane dhemenane.” Oleh: Taufan Ichtiar Khudi Akbar

PERTENGAHAN

2007, Sasa lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jepara. Dara kelahiran 16 Juni 1991 ini tak melanjutkan sekolah. Orangtuanya yang melarang. Ini karena ia suka membolos bersama temantemannya. Tak mau menganggur, Sasa memilih bekerja. Ia menjadi pengasuh anak di lingkungan tempat tinggalnya. Sebulan saja. Ia tak tahan karena anak asuhnya nakal.

Tak mampu melihat Sasa mengang gur, bapaknya mengambil sikap.

“Sana, kerja aja di Arab.”

“Nggak mau, Pak. Sasa takut.”

Penolakan Sasa ini berdasar. Ia sering melihat bagaimana Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) disiksa di negeri orang. Sasa tak mau kejadian yang ia lihat di televisi itu menimpa dirinya.

“Bapak sudah menyiapkan semuanya. Duit juga ada. Tinggal berangkat.”

“Nggak mau, Pak. Takut. Jangan paksa Sasa!” Sasa bersikukuh menolak.

Tak mampu melanjutkan perde batan, Sasa pergi meninggalkan bapak nya. Ia kabur dari rumah. Pilihan ini tak mudah bagi Sasa. Namun, bagaimana lagi? Tetap di rumah, ia dipaksa bekerja di Arab. Walaupun sebenarnya, Sasa tak tahu mau kabur ke mana. Di tengah dilema, Sasa memilih pergi ke Purwo dadi. Ia menaiki angkutan antarkota Jepara-Purwodadi. Jarak dua kota ini hanya ditempuh dalam satu jam per Peziarah beristirahat di teras makam Pangeran Samudro. Para peziarah ini datang dari berbagai daerah.

TIM TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 76
LAPORAN KHUSUS Reporter: TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. (Koordinator), LUFTHY ZAKARIA, BAYU PUTRA PAMUNGKAS Fotografer: TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. Tata Letak: BAYU PUTRA PAMUNGKAS

jalanan. Sampai di Purwodadi, kembali Sasa gundah. Ia tak tahu mau ke mana. Tak ada sanak saudara, bekal pun tak banyak. Di sakunya, Sasa hanya mem punyai Rp 10.000. Sasa menangis di bahu jalan.

Sasa sebatang kara. Saat Sekolah Dasar (SD), ia tahu bahwa keluarganya itu bukan keluarga kandungnya. Ia anak angkat. Begitu juga kakaknya yang bu kan anak kandung bapak dan ibu. Sasa mengetahui hal ini malah dari tetangga. Sejak itu, Sasa sering menerima olokolok dari teman dan tetangga. “Anak haram,” begitu mereka memanggil Sasa. Sampai kini, Sasa tak tahu siapa orang tua kandungnya.

Sasa masih menangis di tepi jalan. Tiba-tiba, ada angkutan antarkota berhenti tak jauh dari Sasa. Tampak seorang wanita turun dari angkutan itu. Melihat Sasa yang menangis, wanita itu menghampirinya. Wanita itu adalah Ratmi.

“Kenapa menangis?” tanya Ratmi halus.

“Bingung, Mbak. Aku kabur dari rumah. Nggak tahu mau ke mana. Uang juga nggak ada,” jawab Sasa.

“Mau kerja sama aku?”

Sasa merasa Ratmi memberinya jalan keluar. Tanpa pikir panjang, ia me nerima tawaran itu. “Mau, Mbak.”

Ratmi mengajak Sasa ke suatu tem pat yang jauh dari pusat kota Purwo dadi. Walau terselubung, di sana ingarbingar. Banyak tempat karaoke. Sasa belum pernah melihat tempat macam itu sebelumnya.

“Kamu bisa karaoke?” tanya Ratmi.

“Karaoke itu apa, Mbak?” Sasa balik bertanya.

“Ya sudah, ikut saja dulu,” kata Ratmi.

Di kawasan ini, karier Sasa sebagai penyanyi karaoke berawal. Ia belajar ke pada Ratmi. Semula, Sasa mengira akan dipekerjakan di toko. Namun, tebakan nya salah. Ia harus berkecimpung di dunia hiburan malam. Ia harus mene mani para lelaki menyanyi. Kadang Sasa harus menari untuk menghibur priapria hidung belang itu. Ia pun mesti ikut minum minuman beralkohol, yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.

Suatu hari, sekumpulan pria men datangi karaoke tempat Sasa bekerja. Mereka meminta Sasa menemaninya. Pria-pria itu juga memesan minuman

keras. Seperti pada tamu-tamu biasa, Sasa melayani mereka. Ia bernyanyi dan menari. Sesekali pria-pria itu menyen tuh mesra tubuhnya. Sasa tak berontak. Ini sudah risiko pekerjaannya. Lelah bernyanyi, Sasa duduk di tengah kum pulan pria itu. Sasa dahaga. Ia meneng gak segelas bir. Malang bagi Sasa, ia menenggak bir oplosan. Sasa mabuk. Tak berapa lama, ia tak sadarkan diri, pria-pria itu kemudian menyetubuhinya. Saat terbangun, Sasa mendapati dirinya tak lagi perawan.

Sasa tak tahu kata apa yang meng gambarkan suasana hatinya. Kecewa, marah, putus asa bercampur jadi satu. Namun, perasaan itu reda setelah se kumpulan pria itu memberinya uang sebesar Rp 200.000. Seratus lima puluh untuk Sasa, sisanya ia berikan kepada Ibu, begitu Sasa memanggil si pemilik karaoke. Perasaannya perlahan kembali tenang. “Ternyata kalau karaoke sama ‘plus-plus’ bisa dapet duit lebih banyak,” pikir Sasa.

Sejak peristiwa itu, Sasa tak hanya menemani pengunjung berkaraoke. Siapa pria mau tidur bersamanya, Sasa bersedia. Asal bayaran cocok dan bukan lelaki paruh baya. Untuk melakukan hubungan seksual dengannya, Sasa me matok harga Rp 70.000. Sedangkan bila meminta menemani karaoke, pengun jung cukup membayar Rp 25.000. Setiap hari, Sasa tak pernah sepi dari pelang gan yang ingin ia “temani”.

Beberapa bulan berjalan. Sasa ingat keluarga di Jepara. Walau mereka bukan keluarga kandung, ikatan Sasa dengan mereka sangat erat. Rindu Sasa meluapluap. Ia memutuskan untuk pulang ke Jepara. Bus antarkota Purwodadi-Jepara mengantar Sasa kembali ke rumahnya.

Ketika sampai di rumah, sang bapak menyambut dan memeluknya hangat. Begitu pula kakak dan ibunya. Mereka merasakan rindu seperti apa yang Sasa rasa. Setelah berbulan-bulan, akhirnya mereka bertemu.

“Dari mana saja kamu, Sa?”

“Purwodadi, Pak. Kerja.”

“Kerja apa?”

“Karaoke, Pak.”

Sasa bercerita pada keluarganya tentang pekerjaannya. Sasa membera nikan diri untuk berterus terang. Tak terkecuali keadaan dirinya yang sudah tak perawan. Pun pekerjaannya menye diakan jasa pelampiasan nafsu berahi

bagi pria hidung belang. Keluarganya kaget setengah mati. Mereka sangat ke cewa. Namun apa mau dikata, itu sudah terjadi.

Tak lama kemudian, Sasa pamit untuk pulang ke Purwodadi. Sebelum berpamitan, Sasa memberi uang kepada orangtuanya. Sasa kembali ke Purwo dadi, kembali pada keseharian yang dipandang hina bagi sebagian orang.

Empat tahun berlalu. Sasa sudah terbiasa dengan aktivitasnya. Ia tak lagi memilih melayani pria-pria muda. Kini siapa pun mereka yang mampu mem bayar, akan Sasa layani, baik karaoke maupun bergumul di peraduan. Sasa sudah mendapatkan apa yang ia mau. Telepon genggam, pakaian, bahkan sepeda motor. Sasa mempunyai empat buah sepeda motor. Sasa memakai satu untuk kegiatan sehari-hari, tiga lainnya ia taruh di rumahnya di Jepara. Sasa juga selalu memberi uang pada orang tuanya.

Suatu hari, Sasa berbincang dengan kawannya. Mereka ngobrol tentang Gunung Kemukus, salah satu kawasan wisata di Kabupaten Sragen.

“Katanya kalo Jum’at Pon, di sana sehari bisa dapet dua juta,” kata kawan Sasa tersebut.

Sasa tertarik dengan cerita kawan nya itu. Ia kemudian bergegas pergi menuju ke Gunung Kemukus.

***

HIRUK pikuk mewarnai kawasan wisata Gunung Kemukus. Dari ger bang masuk, terlihat banyak orang berdatangan. Lagu-lagu dangdut beri rama koplo terdengar dari berbagai arah. Saya melambatkan laju sepeda motor. Di depan, tampak rombongan pejalan kaki berjalan menuju arah yang sama. Jalan penuh sesak, baik oleh ma nusia dan kendaraan. Saya pun terpaksa parkir. Padahal, tempat yang dituju, yaitu makam Pangeran Samudro, masih jauh. Ongkos parkir untuk kendaraan roda dua sebesar Rp 5.000. Sementara bagi kendaraan roda empat dikenakan ongkos Rp 20.000.

Perjalanan terpaksa dilanjutkan dengan berjalan kaki. Irama lagu dangdut koplo terdengar semakin nyaring dari setiap tempat karaoke yang dilin tasi. Di kiri-kanan jalan, tampak be berapa wanita duduk di depan warung

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 77

makan sambil merokok.

Salah seorang dari mereka yang ber pakaian tanpa lengan menyapa, “Kok, sendirian aja, sih? Sini, Mas….”

Saya hanya membalas dengan terse nyum.

Gunung Kemukus terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ada dua dukuh di sana, Kedung Uter dan Gunung Sari. Sebelah timur Gunung Kemukus terdapat aliran air dari Waduk Kedung Ombo. Ini membuat pengun jung dari arah Jalan Solo-Purwodadi harus melintasi jembatan.

“Gunung Kemukus sering menjadi bahan pembicaraan yang menarik di berbagai kalangan, terutama bila di kaitkan dengan adanya kegiatan seksual bebas yang dilakukan para pengunjung

di sekitar makam Pangeran Samudro,” kata M.G. Endang Sumiarni dalam bukunya, Seks dan Ritual di Gunung Kemukus. Penuturan ini terkait dengan ritual ngalap berkah di Gunung Kemu kus. Daya tarik ritual ini adalah ketika nyekar (ziarah makam-red) dipadu dengan perselingkuhan untuk mengharap berkah atau keselamatan.

Ngalap berkah dilakukan di setiap malam Jum’at Pon. Tak heran, setiap malam Jum’at Pon seperti malam ini, Gunung Kemukus dibanjiri lautan manusia. Mereka adalah peziarah dari berbagai daerah. Hal ini diketahui dari pelat nomor polisi setiap kendaraan yang saya jumpai.

Ritual ini pun sudah berlangsung sejak lama. Siapa yang memulai per tama kali, tidak ada yang tahu. Setidak-

nya, Harian Kompas memuat berita tentang ritual ini pada 1975. “Ritual ini berasal dari dongeng masyarakat setem pat menyebutnya sebagai sejarah bahwa di pesareyan (kawasan makam-red) itu, Pangeran Samudro dikuburkan bersa ma Ibu Kintir (Kilir-red),” tulis Kompas pada September 1975.

Konon, Pangeran Samudro adalah putra mahkota Kerajaan Majapahit. Ia diusir oleh ayahnya, Raja Kadilangu, karena menjalin cinta dengan ibu tirinya, Ibu Kintir. Pangeran Samudro me mutuskan untuk pergi dari kerajaan ke Desa Pendem.

Dalam pelariannya, Pangeran Samu dro menderita sakit dan akhirnya me ninggal. Mendengar hal ini, Ibu Kintir pergi menengok jenazah anak tirinya itu. Sebelumnya, ia mandi di sebuah

Hiruk pikuk pengunjung memadati Objek Wisata Gunung Kemukus pada malam Jum’at Pon. TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 78

sendang. Ibu Kintir lalu membuka penutup jenazah Pangeran Samudro. Seketika itu, ibu tiri ini meninggal du nia, menyusul anaknya.

Jarak Desa Pendem dan Kerajaan Majapahit terlalu jauh. Hal ini membuat masyarakat pada waktu itu memakam kan keduanya di Desa Pendem. Karena waktu sudah menjelang malam, ma syarakat menguburkan mereka dalam satu liang. Hari pemakaman itu jatuh pada Jum’at Pon. Inilah mengapa Jum’at Pon menjadi ‘hari besar’ (hari memperingati pemakaman Pangeran Samudrored) bagi pelaku ritual ngalap berkah di Gunung Kemukus.

Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Sragen mener bitkan buku Objek Wisata Ziarah Pan geran Samudro di Gunung Kemukus: Antara Keyakinan dan Mitos. Dalam buku ini, pemerintah juga mencerita kan mitos Pangeran Samudro. Namun, tidak ditemukan nama Ibu Kintir sebagai ibu Pangeran Samudro, tetapi Nyai Ontrowulan. Nama Nyai Ontrowulan sekarang menjadi nama sendang di komplek wisata Gunung Kemukus. Ja lan cerita sejarahnya sendiri, menurut pemerintah sama dengan apa yang di beritakan Kompas

Ini malam Jum’at Pon di penghujung November 2012. Jam dua belas malam, pekarangan makam Pangeran Samudro penuh oleh manusia. Dari tiket masuk yang terjual, tercatat sekitar empat ribu pengunjung. Sedangkan menurut pengamatan Mulyono, petugas lapangan Gunung Kemukus, jumlah pengun jung sekitar tujuh ribu kepala. Mereka datang dari bermacam penjuru, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan dari Bengkulu.

Tak hanya pengunjung, pedagang juga ikut menambah ramai lahan yang ditumbuhi pohon nogosari itu. Berbagai lapak digelar. Ada warung makan, pakaian, obat-obatan, bunga setaman, sampai barang-barang klenik. Di be berapa sudut, terlihat wanita-wanita berpakaian tak senonoh. Ketat, lekuk badannya tampak jelas. Bahkan, ada yang memperlihatkan belahan dada nya. Suasana di sini semarak bak pasar malam.

Makam Pangeran Samudro berada di sebuah bangunan tepat di puncak bukit. Setidaknya, saya harus menaiki

anak tangga selama sepuluh menit un tuk menuju ke sana. Bangunan itu pu nya tiga ruangan. Pertama adalah teras, tempat juru kunci makam menyambut para peziarah. Tempat ini juga digunakan peziarah untuk selametan (upacara ritual-red) dan istirahat. Kedua, bangsal peristirahatan. Ruangan ini memang di persiapkan Dinas Pariwisata Kabupaten Sragen sebagai tempat peziarah beristi rahat. Di dalamnya, terdapat sebelas makam tak dikenal. Satu bernisan, yang lain tidak. Ruangan utama dari bangunan ini adalah Bangsal Sonyosuri. Di sini, Pangeran Samudro bersemayam. Makamnya bernisan, tepat di tengah bangsal. Saya melihat belasan peziarah sedang nyekar di makam ini. Beberapa dari mereka berlinang air mata.

SUTEJO sudah sampai di Gu nung Kemukus jam enam sore. Ia lalu melakukan nyekar. Selepas itu, ia duduk di tepi tangga. Kira-kira sudah lima jam, pria asal Kediri ini duduk di sana saat saya menemuinya. Raut mukanya tampak lelah. Kedatangan nya ke Gunung Kemukus kali ini hanya untuk hiburan. Sutejo mengaku pernah melakukan ngalap berkah khas Gunung Kemukus, berziarah lalu melakukan hubungan seks. Itu waktu muda dulu. “Sekarang enggak, udah tua. Gigi aja udah nggak punya mau macem-ma cem.”

Sutejo tak ingat kapan pertama kali ia ke Gunung Kemukus. “Ndak tahu, lupa saya. Di sini masih gedhek, gedhek bambu tu lho,” kenang Sutejo sambil tertawa. Ingatan pria kelahiran 78 tahun lalu ini melayang pada Pak Temo. Pak Temo adalah kawan Sutejo yang usianya lebih tua. Pak Temo seorang pedagang tebu. Usahanya sukses. Sutejo lalu ber tanya pada Pak Temo, “Kok bisa (usah anya-red) lancar? Tebunya banyak.”

“Ayo ikut aku,” ujar Sutejo meniru kan Pak Temo.

“Ke mana, Pak?”

“Wis melu (sudah, ikut saja-red), mandi suci.”

Pak Temo mengajak Sutejo ke Gu nung Kemukus. Sutejo hanya berbekal lontong. Saat itu, Gunung Kemukus masih merupakan hutan, penuh tanaman ilalang, belum ingar-bingar seperti sekarang. Dari Pak Temo, Sutejo tahu cara nyekar di Gunung Kemukus.

Saat pertama berkunjung, suasana belum ramai. “Dulu itu belum dibangun ini,” kata Sutejo sambil menunjuk tangga paving tempat kami duduk. “Di sini masih tanah jalan setapak.” Sutejo juga menceritakan, waktu itu belum ada warung-warung dan tempat karaoke. Orang-orang melakukan hubungan seks di sembarang tempat. Biasanya di se mak-semak, bahkan ada yang melaku kannya di selokan.

Di kampung, Sutejo punya kebun tebu. Luasnya 850 meter persegi. Tak hanya itu, lelaki yang mengaku veteran perang ini juga memiliki kebun sawit di Pulau Sumatera. Dari kebun-kebun itu, Sutejo bisa menghidupi diri dan keluar ganya hingga kini. Sutejo percaya bah wa kesuksesannya itu buah dari ziarah ke makam Pangeran Samudro. Pernah beberapa tahun lalu, Sutejo menggelar syukuran atas kesuksesannya.

Kini, Sutejo tak lagi memohon kesuksesan saat berdoa di makam Pangeran Samudro. “Supaya panjang umur,” pungkas Tejo.

PRIA itu duduk di teras makam Pangeran Samudro. Ia berpakaian batik lengan panjang, celananya kain. Ia me nyambut saya dengan ramah. Namanya Hasto, seorang juru kunci makam. Kami lalu duduk di pusat ruangan itu yang beralaskan karpet warna hijau. Bunga kantil bertebaran di sekitar kami. Ini adalah bangsal peristirahatan.

Hasto mempersilakan saya masuk ke satu ruangan. Luasnya sekitar 100 meter persegi, cukup untuk menampung lima puluh pengunjung. Di dalamnya, ada sepuluh makam tak dikenal, hanya satu yang bernisan. Peziarah biasa beristira hat di sini.

Hasto lelaki asli Desa Pendem. Usianya kini 59 tahun. Ia adalah satu dari tujuh orang juru kunci makam Pangeran Samudro. Enam kuncen lain masih sanak saudara Hasto. Ini karena juru kunci dipilih berdasarkan garis keturunan.

Hasto menjelaskan, syarat utama berziarah di makam Pangeran Samu dro adalah membawa bunga setaman. Peziarah bisa membelinya di penjual yang tersebar di seantero Gunung Ke mukus. Bunga itu lalu diserahkan ke pada juru kunci. Setelah itu, juru kunci akan mempersilakan peziarah masuk

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 79

ke makam. Sampai di makam Pangeran Samudro, peziarah berdoa menurut ke percayaan masing-masing.

Berdasarkan pengamatan kami se lama tinggal di Gunung Kemukus, yang pertama, peziarah harus membawa bunga setaman untuk nyekar. Kedua, mereka harus menyucikan diri di Sendang Ontrowulan terlebih dulu sebelum ke makam. Di sini, mereka harus mengambil air dari sendang itu. Ketiga, mereka pergi ke makam dan menemui juru kunci. Peziarah menye-rahkan bunga dan air dari Sendang Ontrowulan kepa da juru kunci. Peziarah menyampaikan maksud dan tujuannya nyekar kepada juru kunci. Juru kunci lalu memberkati bunga dan air itu. Keempat, peziarah masuk ruangan dimana makam Pangeran Samudro berada. Bunga dan air berkat itu ditabur di permukaan makam. Lalu, peziarah berdoa sesuai maksud dan tujuannya. “Kalo peziarah yang agamanya Islam, akan dipandu kuncen,” tutur Hasto.

M.G. Endang Sumiarni, seorang peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menerangkan, setelah nyekar makam, peziarah harus mencari pasangan yang punya maksud sama. Lalu, mereka melakukan hubungan seks setelah berziarah di makam Pangeran Samudro. Peziarah percaya bahwa ini merupakan suatu keharusan jika keinginan mereka ingin cepat terkabul.

“Itu tidak benar,” sangkal Hasto, su aranya bertenaga. “Itu nggak ada. Hanya direkayasa orang tertentu. Aslinya nggak ada. Juru kunci tidak menganjurkan seperti itu, nggak ada itu. Ritual itu cu kup dengan berdoa saja.”

“Bukannya peziarah harus melaku kan perselingkuhan sebanyak tujuh kali dengan pasangan yang sama, Pak?” tanya saya.

“Buat selingkuh tujuh kali itu nggak ada. Pokoknya perselingkuhan itu di luar sini (makam Pangeran Samudrored). Untuk perselingkuhan itu ngawur Nggak ada sebenarnya. Dari mbahmbah saya dulu itu juga nggak ada (tun tunan dari juru kunci-red),” jawab Has to. “Kalo masalah tujuh kali itu memang kita sebagai juru kunci menganjurkan. Namanya kita ziarah ya nggak cukup sekali. Kan kalo misalnya satu kali be lum terkabul, mungkin yang kedua kali atau yang ketiga kali atau yang keempat

kali. Maksimal tujuh kali.”

Bagi Hasto, cerita ritual perseling kuhan di Gunung Kemukus hanya karangan belaka. “Ya, pendatang karena dia mencari untung. Warungnya laku, apa-apanya laku. Tapi dia cuma mencari keuntungan.”

Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Sragen lewat buku Objek Wisata Ziarah Pangeran Samudro di Gunung Kemukus: Antara Keyakinan dan Mitos, mengatakan hal yang sama. Paradigma yang berkembang di ma syarakat tentang Gunung Kemukus ini tidak benar.

Hawa malam semakin dingin. Hasto mengenakan jaket hitamnya. Ia masih bersemangat melanjutkan cerita. Konon, sebelum Pangeran Samudro meninggal dunia, ia berpesan: “Sing sapa duwe pan jongko marang samubarang kang di karepake, bisane kelakon iku kudu saro no pawitan temen, mantep ati kang suci, ojo slewang-sleweng. Kudu mindangmarang kang katuju cedhakno dhemene kaya dene yen arep nekani marang pang gonane dhemenane.” Pesan ini berarti, siapa yang keinginannya ingin tercapai, ia harus berusaha sekuat tenaga dengan tulus hati. Ia harus memantapkan diri pada apa yang dituju, seperti ia akan mendatangi kekasihnya.

“Nah! Itu juga salah kaprah dengan penjelasan mbah-mbah saya dulu yang memberi penjelasan kepada pengun jung,” Hasto seraya mengenang.

“Le, anak-anakku kabeh wae, yen kowe arep ziarah menyang Pangeran Samudro kuwi, koyoto kuwi kowe me nyang nang dhemenanmu, mboh arepo udan angin arepo banjir ora cegah, mer go menyang nang dhemenane,” demikian pesan Mbah Harto. Lalu diartikan oleh pengunjung, kalau mau ziarah ke sini harus bawa dhemenan. “Lha itu salah kaprahnya di situ,” kata bapak lima anak ini. Kata dhemenan dalam bahasa Jawa berarti wanita idaman lain. Ini yang menurut Hasto, salah dimengerti maksudnya oleh para pengunjung.

Salah kaprah ini sudah berlangsung sejak lama dan dibiarkan berlarut-larut. Bila salah, kenapa diam? Hasto meng hela napas, “Itu urusan pemerintah daerah!”

TERLEPAS dari paradigma negatif, Gunung Kemukus ternyata menjadi titik

tumpu kehidupan banyak orang. Tak kurang dari lima ratus orang mencari nafkah di sana. Ada yang membuka warung makan, penginapan, hingga karaoke. Ada pula yang mengelola lahan parkir. Sebagian besar adalah pendatang, sedangkan masyarakat asli sekitar hanya sepuluh persen.

Fitri misalnya. Sekitar awal bulan November 2012, ia membuka warung di Gunung Kemukus. Warung itu sederha na. Dindingnya kayu, lantainya semen. Ia menyewa warung itu pada seorang kenalan di Pati. Warung ini punya lima bilik. Satu untuk Fitri dan suaminya, Narno. Empat bilik ia sewakan. Masingmasing Rp 50.000 semalam. “Short-time juga bisa. Dua puluh ribu aja,” tutur ibu dua anak ini.

Warung Fitri tak hanya menyewakan bilik. Pemasukan lebih banyak justru dari jualan air mineral kemasan, kopi, teh, soft drink, dan bir. “Kalo hari biasa, ya kira-kira untung dua ratus sampai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Kalo semalem (malam satu Muharram-red), ya kurang lebihnya lima ratus ribu ru piah,” ujar Fitri sambil tersenyum.

Fitri tidak menyewakan pekerja seks komersial (PSK). Menurutnya, ini tidak terlalu penting. Niat awal Fitri dan suami hanya jualan minuman. “Kalo ada tamu yang minta ya aku panggilin,” kata wanita tamatan SD ini. Setiap Fitri membawakan PSK permintaan tamu, Ia mendapatkan komisi. “Dua puluh ribu, Mas,” akunya.

Sebelum membuka warung di Gu nung Kemukus, Fitri sempat menjadi buruh batik di Hasta Indah. Gaji yang tak seberapa membuat Fitri memu tuskan berhenti. “Wong anak aku juga butuh biaya yang banyak, masa aku mengumpulkan uang yang …,” Fitri ber henti sejenak, lalu melanjutkan, “…dikit banget, Mas.”

Di sudut lain kompleks wisata Gunung Kemukus, terdapat Karaoke Ranggalawe. Tempat ini tidak jauh dari Sendang Ontrowulan, dimana peziarah biasa menyucikan diri sebelum ke makam Pangeran Samudro. Karaoke ini tidak punya papan nama. Saya tahu nama karaoke ini dari pemiliknya, Wi yono.

Sebelum mengelola Ranggalawe, Wiyono sudah merantau ke manamana, bahkan sampai Pulau Kaliman

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 80

tan. “Sudah hampir sembilan tahun. Kerjanya ya kerja beratlah, nggak ada hasilnya. Cuma capek,” tutur pria empat puluh tahun ini. “Akhirnya ya aku ke sini (Gunung Kemukus-red), mengubah nasiblah. Ya, coba-coba saya membuka tempat karaoke.”

Wiyono memulai usaha ini tiga tahun lalu. Ia menyewa bangunan ini senilai Rp 12 juta per tahun. Untuk ka raoke, ia punya satu ruangan tersendiri. Luasnya lima kali tiga meter. Ada dua pasang speaker aktif, satu buah dvd player plus perangkat karaoke, dan satu buah televisi. Untuk satu jam karaoke, Wiyono mematok harga Rp 30.000. Bila tamu meminta, Wiyono juga sanggup menyediakan viar. Viar adalah wanita yang menyediakan jasa menyanyi dan

menemani pelanggan selama karaoke. Untuk jasa seorang viar, Wiyono me minta Rp 35.000 setiap jamnya. Wiyono juga meminta pelanggannya untuk menyediakan rokok sebungkus untuk si viar.

Selain karaoke, Wiyono menye diakan penginapan. Ada dua belas kamar. Satu kamar ia gunakan untuk menetap bersama istrinya. Sebelas ka mar ia sewakan. Lain dengan milik Fitri yang dindingnya dari papan tripleks, penginapan ini berupa bangunan per manen. Lantainya keramik. Wiyono menyewakan kamar-kamarnya seharga Rp 60.000 per malam. Tapi, Wiyono juga menyediakan “paket” bulanan. “Sebulannya dua ratus lima puluh ribu,” kata pria berkumis tebal ini.

Demi menambah pemasukan, Wi yono menjual bir. Bir merek Anker, di jualnya seharga Rp 25.000. “Bir Bintang harganya tiga puluh ribu, Mas,” tutur Wiyono. “Pernah waktu yang karaoke itu orangnya banyak, bir dua krat mereka borong.” Satu krat bir berisi enam belas botol. Bila satu botol dihargai Rp 25.000, waktu itu Wiyono mendapatkan Rp 800.000.

Hidup Wiyono berubah sejak bergelut dalam usaha karaoke dan penginapan. Penghasilan bersih setahun mencapai Rp 10 juta. “Dulu, saya di Kalimantan sembilan tahun nggak ada hasilnya. Hidup di sini tiga tahun, saya satu minggu sekali ya dua minggu sekali bisa ngasih orangtua. Ya nggak banyak, seratus sampai dua ratus ribu,” kata

Peziarah melakukan nyekar di makam Pangeran Samudro.
HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 81
TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH

Wiyono sambil tersenyum. “Lebih enak usaha kita mendirikan tempat karaoke.”

“Aku sering dibilangin sama warga (kampung halaman Pak Wiyono-red), ‘Masa kamu hidupnya di situ (Gunung Kemukus-red) terus? Apa nggak malu sama keluarga?’ Saya menjawab, ‘Saya kalo sudah punya asil, sudah punya modal, saya mau cabut dari Gunung Ke mukus. Mau usaha lain, buka toko. Kalo sekarang saya cabut, modalnya belum cukup,” kisah Wiyono.

Gunung Kemukus menjadi tempat peruntungan bagi Fitri dan Wiyono. Di balik itu, ada risiko yang mereka tang gung. Fitri dan Wiyono harus rela ber jauhan dari anak-anak mereka. “Ndak dibawa ke sini, Mas. Diasuh mbahnya di Klaten,” tutur Fitri. “Kita pulang ya paling sebulan sekali. Jangan sampe anak itu dibawa ke sini. Karena ya tempatnya seperti ini. Takutnya tu ntar dengan per gaulan di sini, malah anak saya kasian.”

Lain dengan Fitri yang mening galkan anaknya di kampung halaman, Wiyono memilih menyekolahkan anak lelaki semata wayangnya di satu pon dok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Karena jarak Gunung Kemukus dan Jombang jauh, Wiyono tidak sering mengunjungi anaknya. “Kadang dua bulan, kadang ya tiga bulan sekali,” tutur pria asal Sumberlawang, Sragen, ini. Wiyono memilih menitipkan anaknya di pondok pesantren. Wiyono takut bila anaknya ikut menetap di Gunung Ke mukus. “Kalo anak nggak saya bawa ke sini. Masalahnya, tempatnya kayak gini Ntar kalo ada pengaruh apa-apa, kan saya sebagai orangtua kan nggak enak. Biar anak nggak tahu orangtuanya kerja kayak gini.”

ENAM bulan berlalu sejak Sasa menginjakkan kakinya di Gunung Ke mukus. Dalam rentang waktu itu, Sasa sudah berpindah tempat bernaung sebanyak tiga kali. Pertama, Sasa ikut pada seorang “mami” Di tempat kedua, Sasa tidak kerasan. Ini karena si pemilik kontrakan jatuh cinta pada Sasa. Pemilik

kontrakan yang masih muda ini cem buru pada pelanggan-pelanggan Sasa. Karaoke Ranggalawe menjadi tempat singgah Sasa kini. Ia mengontrak se buah kamar di karaoke dan penginapan milik Wiyono ini. Dalam sebulan ia membayar sewa sebesar Rp 250.000.

Penghasilan Sasa tak bisa dibilang sedikit. “Per harinya nggak mesti. Kadang enam ratus sampai tujuh ratus ribu rupiah, nggak mesti,” kata Sasa. Bila Sasa kerja selama dua hari saja, pendapatannya sudah berada di atas Upah Minimum Kabupaten (UMK)

Sragen sebesar Rp 864.000. Untuk satu jam karaoke, Sasa dibayar tiga puluh lima ribu. Selama berkaraoke, Sasa mendapatkan saweran minimal Rp 100.000. Selain dari karaoke, Sasa mendapatkan uang dari bercinta dengan pelanggan. Untuk “bermain” di kamar penginapannnya, Sasa mema sang tarif Rp 100.000. Sedangkan bila tamu menghendaki bercinta di luar penginap-an Sasa, mereka harus mem bayar Rp 500.000. Itu pendapatan Sasa di hari-hari biasa. Bila hari besar? “Tadi malam (malam Jumat Pon-red) itu dua juta rupiah.”

Dari jerih payahnya selama enam bulan di Gunung Kemukus, Sasa mampu membeli satu sepeda motor baru lagi. Kini Sasa mengendarai Suzuki Satria FU keluaran terbaru. Ini digu nakannya untuk keperluan sehari-hari, baik bekerja atau hanya jalan-jalan. Ia juga masih terus memberi uang kepada orangtuanya di Jepara.

“Pernah ditawari kerja lain?” tanya saya pada Sasa.

“Pernah, sama orangtua. Tapi aku nggak mau, suruh berhenti kerja kayak gini aku nggak mau,” jawab Sasa dengan logat Jawa yang kental.

“Orangtua sudah nggak marah, kan?”

“Ya, kan aku sering ngirim uang.”

TRADISI ngalap berkah di Gunung Kemukus sangat lekat dengan stigma negatif. Ini yang membuat kebanyakan

pengunjung datang hanya sekadar ‘cuci mata’. Bagaimana tidak? Di setiap sudut, dijumpai pekerja seks komersial.

Alunan lagu dangdut koplo ikut meme kakkan telinga, dari pagi hingga pagi berikutnya. Sepertinya, kesan religius hanya bisa dirasakan di makam Pangeran Samudro. Selain itu, objek wisata ini lebih mirip tempat hiburan malam yang buka 24 jam.

Wahyono, Ketua RT 2 Desa Pendem mengaku resah atas ingar-bingar ini. “Pintu (karaoke-red) ditutup, tapi nyetel sound system-nya yang keras-keras. Pa dahal deket dengan masjid. Waktu habis magrib anak-anak kan pada TPA, jadi sering dengar,” tutur pria 43 tahun ini. Apalagi pengunjung sering mengubah penggalan lirik menjadi kata-kata kotor. Anak-anak mendengar, lalu mereka me nirukan. Ini meningkatkan keresahan Wahyono.

Masih tentang keresahan pada ingarbingar Gunung Kemukus. Syaidi Rosyid, pria asli Desa Pendem yang lain berujar, “Yo kalo saya selaku orang beragama Islam, ya bagi saya nggak sah.”

Setali tiga uang dengan Syaidi Rosyid, Hasto si juru kunci makam Pangeran Samudro menilai realitas ma syarakat di Gunung Kemukus sudah ti dak benar. Namun, tak ada usaha nyata untuk menghapus stigma negatif ini.

“Yang penting mereka melakukan (perselingkuhan-red) di luar makam, itu terserah mereka,” tutur Hasto. “Karena saya nggak tahu langsung, Mas Ya, me mang seperti itu. Lha itu ya karena siapa yang ziarah dengan lambang katresnan (kesetiaan-red), maka disalahartikan, orang Jawa sok (sering-red) gitu. Tapi kenyataannya ya do mbeleh sapi do mbeleh wedhus, do sugih (menyembelih sapi atau kambing, orang-orang jadi kaya-red),” kata Syaidi Rosyid, Kepala Desa Pendem sejak 2007 hingga kini.

“Bapak kan punya wewenang untuk mengambil sikap?” tanya saya pada Syaidi.

“Ya, nggak bisa dong, Mas. Saya kepala desa cuma melaporkan. Nggak

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 82

punya wewenang. Polisi aja nggak be rani nangkep apalagi saya,” jawab Syaidi dengan nada tinggi.

Harjuno, Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, dan Pemuda Olahraga (Disparbudpor) Kabupaten Sragen angkat bicara. “Itu hanya kepercayaan yang menyesatkan masyarakat. Kalau dari kami sendiri (pemda-red) sudah melakukan larangan-larangan melaku kan hal (asusila-red) seperti itu,” tutur bapak tiga anak ini. Larangan itu diso sialisasikan melalui papan-papan per ingatan bertulis, “TEMPAT ZIARAH DAN REKREASI - BUKAN BERBUAT YANG LAIN (JUDI, MIRAS, ASUSI LA)”. Papan ini dapat dibaca di tangga utama menuju makam Pangeran Samu dro.

Dari pengamatan saya, papan itu tak lebih dari papan bisu tanpa pesan. Hampir setiap warung menjual minuman keras, pekerja seks bebas berkeli aran, dan tak sedikit para pengunjung yang mabuk-mabukan dan melakukan perselingkuhan. “Karena sudah berpu luh-puluh tahun. Sudah menjadi seperti tradisi atau budayanya masyarakat yang memanfaatkan itu, ya jadinya seperti itu,” tukas Harjuno.

Gunung Kemukus tak hanya men jadi pundi-pundi uang bagi masyara katnya. Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sragen juga mendapat imbas dari ramainya pengunjung wisata ziarah ini. Paling tidak Rp 200 juta disumbangkan Gunung Kemukus untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahunnya. Menurut Harjuno, pada tahun 2012, Wisata Gunung Kemukus menyumbang sekitar Rp 169.250.000 untuk PAD Kabupaten Sragen. Jumlah tersebut didapat dari total pendapatan retribusi, parkir, dan fasilitas kamar mandi umum selama periode 2012. “Sebagian besar dari karcis masuk,” jelas pria berkumis tebal ini.

Harjuno menjelaskan, ada sepuluh persen PAD yang dikembalikan ke desa. Hal ini dibenarkan oleh Syaidi Rosyid. “Ya. PAD masuk ke desa itu sepuluh

persen. Desa setiap tahun dapet sepuluh persen dari hasil Gunung Kemukus. Setiap tahun itu dua ratus juta, jadi ya dua puluh juta masuk ke desa.”

Sebagai Ketua RT 2 Desa Pendem, Wahyono tak tahu-menahu tentang uang pengembalian ke desa itu. Ia mengaku belum pernah diajak ber bincang tentang uang itu. “Akses jalan saja kurang baik. Pengunjung ada yang bilang ke mana-mana bayar, tapi jalan nggak diperbaiki. Kan malu itu. Kan pengunjung tambah banyak, PAD juga tambah banyak. Sayangnya ya dicuekin. Udah dikeruk hasilnya, tapi kayak be gitu nggak diperhatikan.”

Di mata Wahyono, Pemerintah Dae rah Kabupaten Sragen kurang perhatian pada realitas yang terjadi di Gunung Kemukus. “Kesannya itu cuma mau hasilnya aja,” tutur Wahyono.

Wahyono mempunyai angan-angan. Ia ingin Gunung Kemukus menjadi seperti seharusnya. Wisata ziarah yang tenteram dan nyaman. Bukan prostitusi yang berkedok wisata ziarah makam Pangeran Samudro. “Ya itu, tolong diperhatikan Gunung Kemukus itu. Jangan menutup sebelah mata,” tutur Wahyono.

Mengetahui penuturan Wahyono, Harjuno pun membela diri, “Kami tidak menutup mata.” Pihaknya mengaku telah melakukan sejumlah usaha guna “meluruskan” stigma masyarakat terhadap Gunung Kemukus. Usaha itu antara lain dengan memasang papan peringatan dan mengadakan acara keagamaan sebulan sekali. “Untuk menghilangkan itu kan membutuhkan waktu berlama-lama. Tidak seketika. Kalau seketika, mungkin akan menim bulkan keresahan masyarakat, karena di situ juga akan terkait penghasilan dari masyarakat yang mempunyai usaha di situ,” kata kepala dinas yang dilantik pada 1 Februari 2013 lalu. “Harapan kami akan mengubah perilaku mereka. Agar tidak lagi percaya terhadap hal-hal yang takhayul yang justru menjerumus kan mereka.”

Harjuno punya rencana pembangunan untuk objek wisata Gunung Ke mukus. Rencana ini akan direalisasikan pada 2014. “Nanti akan dibangun pagar pemisah. Makam itu akan kami pagari. Jadi, yang ada di luar pagar nantinya sudah urusannya pihak keamanan, mau dibubarkan atau diapakan. Supaya jelas peruntukannya antara orang yang ber ziarah dengan orang yang sekadar mau ‘main-main’ ke sana,” kata Harjuno.

***

Keadaan sosial di Gunung Kemukus menjadi sangat kompleks dan ironis. Di satu sisi, bila Gunung Kemukus dibiar kan seperti ini, betapa banyak generasi muda yang mengalami degradasi moral. Paling tidak, Gunung Kemukus sema kin terkenal dengan prostitusinya. Stig ma Gunung Kemukus sebagai wisata perselingkuhan akan semakin merebak. Bukan sebagai wisata ziarah.

Di sisi lain, bagaimana nasib Sasa, Fitri, Wiyono, dan pedagang lain bila Gunung Kemukus “dibersihkan”? Stig ma negatif yang dibiarkan berpuluh ta hun membuat Gunung Kemukus men jadi satu ladang penghasilan bagi para pendatang. Sudah terlalu banyak orang yang menggantungkan hidup pada ingar-bingar makam Pangeran Samudro ini. Pemerintah tentunya wajib mem beri jalan keluar bagi permasalahan ini. Apakah Harjuno beserta jajarannya mampu memecahkan masalah ini? q

Reportase bersama: Lufthy Zakaria, Rama Pratyaksa, Muhammad Alfan Pratama, Bayu Putra Pamungkas, Ahmad Ikhwan Fauzi, dan Mahesa Ahening Raras Khaesti (kontibutor)

HIMMAH Edisi 02 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 3 | L A p ORA n KHUSUS | 83

Mahasiswa UII nonmuslim tetap wajib ikut pesantrenisasi sepuluh hari di rusunawa sebagai syarat kelulusan. Tetap wajib ikut BTAQ, LKID, shalat malam, kajian fikih, baca dan hafalan Qur’an juga?

UII bangun Laboratorium Kedokteran baru. Kapan ya mau menata parkiran yang makin sesak?

Gubernur Sumsel Alex Noerdin sindir Gubernur DKI Joko Widodo terkait pembangunan monorel di Kota Palembang. Bukan karena kecewa tidak jadi Jakarta-1 kan?

Efek global warming membuat permukaan air laut naik secara signifikan. Kalo gitu Indonesia bakal jadi Atlantis.

RSBI dibubarkan Mahkamah Konstitusi. Baguslah, tidak ada sekolah orang kaya dan sekolah orang miskin.

Menjelang tahun 2014, tahun 2013 menjadi tahun politik menuju RI-1. Tapi juga sebagai ajang elite politik terlibat kasus korupsi.

Presiden SBY terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dalam KLB 2013 di Bali. Berarti para menteri juga boleh sibuk mengurusi partai.

UII raih nilai akreditasi “A” dari BAN-PT. Kinerja dosen dan fasilitas kampus “sangat baik”.

| A b U n AWAS | HIMMAH Edisi 01 / T h n . X L V I / M E I 2 0 1 384

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.