Buletin KOBARKobari Edisi 188/XX/Maret 2018 - Kilas Balik Produk Cetak Muhibbah-Himmah

KOBAR K

O

B

A

R

I

M. Nadhif F. | KOBARkobari

Kilas Balik Produk Cetak Muhibbah-Himmah

2

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

SIARAN PERS! Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) HIM­­ MAH Universitas Islam Indonesia (UII) mengutuk keras penangkapan aktivis lingkungan penolak pabrik tekstil PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di Sukoharjo, Jawa Tengah. Aktivis tersebut adalah Muhammad Hisbun Payu atau akrab disapa Is. Is yang berencana melaporkan tindakan semena aparat ke Komnas HAM ditangkap pada tanggal 4 Maret 2018 lalu di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Selain Is, ditangkap juga dua orang warga Sukoharjo yang menjadi korban PT. RUM, yaitu Sutarno Ari Suwarno dan Kelvin Ferdiansyah Subekti. Sampai siaran pers ini diterbitkan, lima orang aktivis menyusul ditangkap. Penangkapan ini kemungkinan akan bertambah karena menurut Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR), polisi sudah mengantongi 28 nama.

Penangkapan aktivis dari mahasiswa dan warga ini jelas menjadi catatan hitam dari rezim ini.

Is, Sutarno, Kelvin, dan aktivis lainnya yang ditangkap diduga melakukan perusakan aset milik PT. RUM saat terjadi demo dan blokade yang dilakukan oleh warga Sukoharjo pada 23 Februari 2018. Aksi tersebut dilakukan lantaran warga kecewa karena Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya yang belum mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang dijanjikan terkait penghentian aktivitas PT. RUM. Namun ia telah berangkat menghadiri Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan di Bali dan mengeluarkan SK baru yang berbeda dari kesepakatan dengan warga..

Kekesalan warga terhadap PT. RUM disebabkan karena limbah cair dan gas buang pabrik tersebut langsung dibuang ke lingkungan warga sehingga menimbulkan pencemaran. Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) dan SAMAR karenanya memberikan rilis pernyataan sikap bahwa selama kurang lebih empat bulan, masyarakat Sukoharjo diresahkan oleh bau busuk limbah yang bersumber dari PT RUM. Selain menghasilkan bau busuk, lim-

bah-limbah tadi juga menyebabkan terjadinya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Hal tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan oleh PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, ditemukan 32 warga dengan ISPA berat dan 152 warga di Kadongwinong mengalami pusing dan mual. Hasil temuan tersebut telah dilaporkan oleh tim independen Muhammadiyah kepada Dewan Permusyawaratan Rakyat Dae­­ rah­(DPRD) Sukoharjo pada 19 Februrari lalu. Namun setelah itu, hampir tidak ada tindakan konkret dari Pemerintah Kabupaten Sukoharjo untuk menghentikan ope­rasional tersebut.

Pencemaran lingkungan dan upaya kriminalisasi yang dialami Is Kelvin, Sutarno, dan aktivis lingkungan lainnya kembali menambah panjang catatan hitam dalam konteks pelanggaran Hak Atas Tanah di Indonesia. Kriminalisasi yang dilakukan tersebut jelas-jelas merugikan secara tidak sah dan tidak patut bahkan terkesan seperti­dipaksakan. Apa yang terjadi selama ini terhadap para pejuang lingkungan­ seperti­warga Sukoharjo, Kendeng­ dan Tumpang Pitu menunjukkan jika kriminalisasi­juga ditujukan untuk menghalang-halangi aktivitas korban, teror­ , hingga motif ekonomi politik kepentingan korporasi dan pemerintah.

Oleh sebab itu itu, LPM HIMMAH UII menyatakan mengecam segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan upaya pelanggaran Hak Atas Tanah dan menuntut agar Muhammad Hisbun Payu, Sutarno Ari Suwarno, Kelvin Ferdiansyah­Subekti, dan lima aktivis lainnya DIBEBASKAN dari segala tuntutan hukum. LPM HIMMAH UII juga mengajak teman-teman mahasiswa dan seluruh elemen­masyarakat, untuk mengawal serta menolak upaya kriminalisasi yang terjadi dalam proses untuk mempertahankan ruang hidup rakyat.

Medium berubah, jurnalisme abadi.

Begitu kata Wisnu Prasetya. Hal tersebut dirasa juga menggambarkan kondisi berjayanya media daring di penghujung senjakala media cetak saat ini. Kami rasa tidak ada lagi alasan bagi kami untuk tetap mempertahankan produk cetak seperti majalah dan buletin.

Hasil Rapat Kerja LPM HIMMAH UII pada Januari 2017, semua pengurus sepakat bahwa tidak ada lagi produk cetak. Kami berpindah medium namun dengan tetap mengusung kualitas jurnalisme kritis.

Satu periode ke depan semua produk jurnalistik akan difokuskan ke medium digital himmahonline.id. Lewat produk digital ini kami akan mencoba hadir dengan konten-konten lebih ­segar dan variatif. Mulai dari gaya penulisan jurnalisme sastrawi, model liputan mendalam dan penggunaan data dalam setiap konten yang akan kami terbitkan.

Kami yakin bermigrasi ke media daring adalah jawaban untuk mengatasi stagnanisasi yang dialami oleh lembaga ini beberapa tahun ke belakang. Kami berharap dengan keputusan kami untuk bermigrasi, produk yang kami hasilkan dapat lebih diterima di semua kalangan.

KOBARKobari ini merupakan edisi terakhir sekaligus sebagai informasi bahwa kami migrasi ke medium digital.

Kami ucapakan terima kasih kepada para pembaca setia produk kami atas antusiasnya menunggu setiap kali terbitnya produk cetak kami, khususnya pembaca buletin KOBARKobari dan majalah Himmah.

Salam Pers Mahasiswa.

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

3

Kilas Balik Produk Cetak Muhibbah-Himmah Setelah 51 tahun menerbitkan produk jurnalistik cetak, Himmah mencoba beralih ke medium daring.

Oleh: Azhar M Hasan, Z. W. Nazir dan Nurcholis Ma’arif Kampus Terpadu, KOBARkobari Setelah 51 tahun menerbitkan produk jurnalistik dalam bentuk cetak, satu periode ke depan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah Universitas Islam Indonesia (UII) mencoba bermigrasi total ke medium daring. Berdasarkan pertimbangan Musyawarah Anggota (Musang) dan diputuskan pada rapat kerja bulan Januari kemarin LPM Himmah UII hanya akan menerbitkan satu produk dalam portal himmahonline.id.

KOBARKobari edisi terakhir ini mengangkat kilas balik perjalanan produk jurnalistik cetak LPM Himmah UII. Selain buletin KOBARKobari dan majalah Himmah, LPM Himmah UII atau sebelumnya disebut LPM UII saja pernah menerbitkan Koran Himmah dan buletin Pekik.

Umur majalah Himmah hanya 36 tahun karena sebelumnya nama majalah LPM UII ialah Muhibbah. Majalah Muhibbah dibredel pada tahun 1982 lalu berubah menjadi Himmah sampai sekarang.

Awalnya adalah Muhibbah Majalah Muhibbah terbit pertama kali pada 3 April 1967. Kurang dari sebulan sejak didirikan pada 11 Maret 1967 dengan pemrakarsa Siswo Wiratmo, Dahlan Mandai, dan kawan-kawannya. Saat itu lembaga yang mengelola masih bernama Badan Penerbit Majalah. Majalah Muhibbah di awal penerbitan berukuran setengah folio dengan oplah 1000 eksemplar.

Badan Penerbit Majalah dialihkan ke Departemen Humas Dewan Mahasiswa (Dema) UII pada tahun keempat. Saat itu Muhibbah dipimpin oleh Pemimpin Umum (PU) Darwin Harsono, mahasiswa Fakultas Syariah.

4

Pengelolaan majalah Muhibbah menjadi lembaga otonom pada tahun 1973 era PU Amir Effendi Siregar, Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) dan juga tokoh pers nasional yang tutup usia pada 25 Januari 2018 kemarin.

Sejak saat itu berdiri lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas bernama Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LPM UII).

Ukuran majalah Muhibbah yang awalnya berukuran setengah folio berubah menjadi satu folio pada tahun 1977 dengan oplah sebanyak 5000 eksemplar. Sayangnya menjelang Sidang Umum MPR 1978 konstelasi politik di kota-kota besar terasa naik suhunya. Banyak mahasiswa turun ke jalan. Sehingga Muhibbah dan beberapa media lainnya dilarang terbit.Tidak ada data spesifik tekait penyebab dibredel selain dari majalah Himmah edisi Suplemen 20 tahun.

Di saat itu juga, pengurus Muhibbah menerbitkan koran tabloid Détente. Kata Détente berasal dari bahasa Prancis yang artinya relaksasi. Hadirnya tabloid ini memang bertujuan untuk merelaksasi ketegangan situasi politik negara saat itu sekaligus menyuplai informasi kepada pembaca majalah Muhibbah yang dilarang terbit.

Majalah Muhibbah yang terarsip oleh divisi Penelitan dan Pustaka (Pelita) LPM Himmah UII hingga sekarang ada sebanyak 29 edisi. Majalah Muhibbah yang masih berukuran setengah folio pada rentang 1971 sampai 1975 sebanyak 22 edisi dan majalah berukuran folio tahun 1982 sebanyak tujuh edisi.

Adapun jumlah edisi total dan rentang

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

tahun yang lainnya masih belum ditemukan. Baik itu berupa majalah Muhibbah, tabloid Détente, maupun Laporan Pertanggungjawaban periode 1967 sampai 1980.

Majalah Muhibbah benar-benar berhenti terbit pada akhir tahun 1982. LPM UII mendapat Surat Keputusan (SK) pem-

bredelan dari Menteri Penerangan yang disampaikan melalui Rektorat UII. Dalam SK tersebut menjelaskan bahwa Muhibbah dilarang untuk menerbitkan, mencetak, dan mengedarkan majalah.

Dilihat dari laporan utama beberapa majalah Muhibbah yang terbit pada tahun 1982 selalu mengangkat tema politik.

Saat itu, pemerintah sedang gencarnya melakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau dikenal NKK/BKK. Inilah yang menyebabkan majalah terhenti.

Berubah menjadi Himmah Majalah Himmah diterbitkan oleh LPM UII dalam kepengurusan yang sama dengan majalah Muhibbah. Penerbitan majalah Himmah melalui perdebatan antar pengurus sebagaimana tertulis dalam laporan majalah Himmah edisi Mei 2017 “Dari Muhibbah Sampai Himmah” dan buku Api Putih di Kampus Hijau, Gerakan Mahasiswa UII Dekade 1980an bagian “Kilas Balik Pers Mahasiswa.”

Mahfud MD, PU saat itu bercerita

M. Nadhif Fuadi| KOBARkobari

bahwa awalnya nama yang dipilih untuk produk terbaru LPM UII tersebut adalah Hikmah. Namun, akhirnya disepakatilah bahwa nama yang digunakan adalah Himmah, yang bisa ditafsirkan sebagai tekad atau cita-cita.

Ada beberapa perbedaan antara Muhibbah dan Himmah. Majalah Himmah menggunakan penanggalan hijriah sedangkan Muhibbah menggunakan penanggalan masehi. Oplah majalah pun diturunkan.

Jika di Muhibbah ikut menyertakan kontributor luar negeri untuk memberikan tulisan, Himmah justru sebaliknya.

Perbedaan yang paling mencolok ialah konten keislaman yang ditampilkan majalah Himmah. Hal tersebut dapat dilihat dari laporan utama lima edisi yang diterbitkan Himmah. Dari “Membumikan AlQuran” sampai “Menuju Kampus Islami.”

Tidak lagi membicarakan hal-hal berbau politik sebagaimana Muhibbah.

Namun mulai dekade 1993 laporan utama majalah Himmah kembali mengangkat tema politik kekuasaan negara dan aktivis mahasiswa. Himmah juga kembali menggunakan penanggalan masehi. Tak sampai di situ, penggunaan jurnalisme sastrawi mulai digunakan dalam Himmah pada tahun 2000-an. Pengurus saat itu mengikuti gaya kepenulisan majalah Pantau.

Menurut arsip yang ada, pada rentang 1983 sampai 2017 Himmah telah menerbitkan 50 edisi. Jika majalah Muhibbah dan Himmah sebelum tahun 2000-an bisa menerbitkan empat sampai 12 edisi dalam satu kepengurusan, maka setelah tahun 2000an Himmah hanya menerbitkan satu sampai dua majalah setiap satu periode.

Selain menerbitkan majalah, LPM Himmah UII di akhir tahun 2000-an juga mulai menerbitkan produk jurnalistik dalam bentuk buletin maupun Koran Himmah dan Pekik yang selanjutnya menjadi KOBARKobari.

Koran Himmah, Pekik, dan Buletin KOBARKobari Menurut arsip yang ada, Koran Himmah terbit hanya satu edisi pada periode 1990-1992. Koran tersebut berisi 12 halaman dengan headline yang mengangkat penyimpangan dana di lembaga kemahasiswaan UII. Pada tahun 1995 LPM UII menerbitkan buletin Pekik. Penggarapan Pekik dimaksudkan sebagai pembelajaran kader

yang masuk sebelum menggarap majalah.

Pekik edisi pertama berisi 22 halaman dengan laporan utama “Pendidikan Kita Mahal Pangkal Pandai.” Pekik hanya terbit tiga edisi.

Selanjutnya pada tahun 1997/1998 Pekik berubah menjadi KOBARKobari yang artinya koran selembar-selembar koran disebari. Awalnya terbit berbentuk fotokopian setiap dua kali seminggu, yakni hari Selasa dan Kamis. Kemudian berubah menjadi sebulan sekali. Pembaharuan jumlah halaman juga ditambah. Sejak 2014 KOBARKobari mulai menggunakan sampul muka yang berwarna.

Penerbitan KOBARKobari dimaksudkan sebagai wadah informasi dan komunikasi bagi seluruh civitas akademika UII. Beritanya meliputi permasalahan yang terjadi di UII baik yang terjadi di tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Selain itu juga sebagai media pembelajaran para pewarta Himmah di tingkat junior. Menurut arsip yang ada, pada rentang 1998 sampai 2017 Himmah telah menerbitkan 124 edisi KOBARKobari.

Cikal bakal media daring Awalnya LPM Himmah UII membuat portal khusus untuk pusat informasi bencana merapi Yogyakarta pada tahun 2010.

Selanjutnya Moch Ari Naschihudin, mahasiswa Teknik Informatikan (TI) yang saat itu magang diangkat oleh PU saat itu menjadi koordinator portal dalam mengelola konten.

Barulah pada periode selanjutnya pengurus mengubah domain menjadi lpmhimmahuii.org. Koordinator portal pun masuk dalam struktur kepengurusan. Kemudian pada tahun 2017 domain berubah kembali menjadi himmahonline.id yang dipakai sampai sekarang. Portal dan domain ini pula yang akan menampung produk jurnalistik LPM Himmah ke depannya. q

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

5

Potret Kesehatan Mental Mahasiswa UII Berdasarkan data dari PIK-M Aushaf, 52,9% permasalahan diri pada mahasiswa UII disebabkan kesadaran dan kesehatan mental.

Oleh: Galih Refa S dan Fitri Asih H Kampus Terpadu, KOBARkobari Masih teringat dalam memori kita tentang mahasiswa yang bunuh diri akibat depresi. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI),Vinsensius Billy yang berusia 21 tahun kedapatan tewas (31/5/2016) di kamar kosnya dengan alasan depresi dan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM), Birahmatika Tsalasa Alail yang berusia 21 tahun juga tewas gantung diri (4/10/2017) di kamar kosnya secara misterius.

Kesehatan jiwa menjadi masalah yang serius di Indonesia dan belahan dunia.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2016 menunjukkan terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.

Menurut WHO, depresi adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kesedihan yang berlangsung secara terus-menerus, kehilangan minat pada suatu kegiatan tertentu, dan disertai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas yang setidaknya sudah berlangsung selama dua minggu.

Selama tahun 2017 di UII, sebanyak 63 mahasiswa telah melakukan konseling ke Pusat Informasi Konseling Mahasiswa (PIK-M) Aushaf. PIK-M Aushaf merupakan Lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan layanan konseling sebaya dimana relatif banyak mahasiswa yang lebih senang untuk berkosultasi kepada konselor sebaya (peer counselor).

Di antara kasus tersebut, permasalahan akademik menjadi keluhan terbanyak sebesar 41%. Kemudian, keluhan kedua terbanyak adalah permasalahan pertemanan sebesar 39,3%. Permasalahan ter-

6

besar ketiga adalah soal hubungan atau romansa sebesar 27,9%. Diikuti oleh permasalahan keluarga sebesar 14,8% dan 1% permasalahan lainnya seperti kepribadian, kurang motivasi, dan masa depan.

Responden yang konsultasi di PIK-M Aushaf dijaga kerahasiaaanya sehingga tim KOBARKobari tidak mendapatkan data lengkap responden. Tin KOBARKobari hanya diberikan data tentang permasalahan kasus kesehatan mental yang ada di UII. Jurusan yang mendominasi berkonsultasi ke PIK-M Aushaf berasal dari Fakultas Teknik Sipil Pembangunan (FTSP), Fakultas Teknologi Industri (FTI), serta Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB).

“Lebih banyak yang datang itu adalah

jurusan dari teknik, mungkin karena jurusannya yang sudah mendapatkan akreditasi internasional sehingga beban kuliah yang mereka terima berbeda dengan fakultas lain,“ ucap Hazhira Qudsy selaku pembina PIK-M Aushaf.

Hazhira mengatakan bahwa belum ada data tentang permasalahan depresi yang diolah dalam beberapa tahun terakhir.

Apalagi data tentang depresi akibat masalah akademik. Data yang ada yaitu berupa data mahasiswa mengadukan keluhan di lembaga konselor tersebut.

Mengacu pada salah satu Key Performance Indicators (KPI) Direktorat Pengembangan Bakat/Minat Kesejahteraan Mahasiswa (DPBMKM) UII, target minimal 60% kasus mahasiswa tersele-

Dhia Ananta | KOBARkobari

Muhammad Novvaliant Filsuf Tasaufi, dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Jumat (23/2).

Ia menjelaskan tentang kejadian dan kondisi depresi dikalangan mahasiswa serta hubungan antara masalah akademik dan pribadi sebagai penyebab depresi.

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

saikan melalui konseling. Hazhira yang juga salah satu pemimpin DPBMKM menjelaskan bahwa pihak universitas memiliki dua bentuk layanan konseling untuk mengatasi permasalahan-permasalahan psikologis pada mahasiswa.

Layanan konseling profesional yang diselenggarakan oleh kemahasiswaan UII bernama Unit Konseling. Unit Konseling tediri dari konselor-konselor profesional dari bidang psikologi. Di bawah Unit Konseling, terdapat PIK-M Aushaf.

Upaya preventif dari kemahasiswaan terwujud melalui adanya Psycho Education yang diselenggarakan oleh PIK-M Aushaf.

Hazhira mengatakan bahwa salah satu wacana pada tahun 2018 ini adalah akan diadakan Psycho Education yang mengangkat tema tentang stres dan depresi karena mengingat pentingnya tema tersebut.

Upaya lain yang sedang dilakukan pihak universitas agar tercapai target tersebut adalah kasus yang masuk ke PIK-M Aushaf terselesaikan atau case closed.

Suatu kasus dapat ditutup tergantung pada tingkatan kasus tersebut. Ada yang selesai dalam satu kali sesi konsultasi, ada juga yang sampai sepuluh kali. Setiap sesi konsultasi biasanya berdurasi satu setengah sampai dua jam.

Survei yang dilakukan oleh PIK-M Aushaf pada akhir tahun 2017 lalu berjudul “Mengenal Diriku” menggambarkan bagaimana permasalahan mahasiswa UII. Survei tersebut berupa kuisioner dengan jumlah responden sebanyak 787 mahasiswa yang berasal dari berbagai macam program studi.

Dalam kuisioner tersebut, terdapat beberapa aspek permasalahan yang ditanyakan yaitu akademik, asmara, pertemanan, diri sendiri, dan kesadaran kesehatan mental.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari survei tersebut, tim KOBARKobari mengolahnya menjadi lima kategori. Aspek tersebut dibagi menjadi Sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.

Rata-rata persentase terbesar kelima permasalahan tersebut berada pada kategori sedang.

Permasalahan kesadaran dan kesehatan mental menempati urutan pertama kategori sedang dengan persentase 52,9%. Berbeda dengan persentase kasus akademik yang masuk ke PIK-M Aushaf selama tahun 2017, di sini ia menempati posisi keempat kategori sedang sebanyak 41,7%.

Sebelum itu, Permasalahan diri sendiri sebesar 47,3% dan permasalahan perte-

manan sebesar 46,3%. Permasalahan asmara menempati posisi pertama kategori tinggi sebanyak 23,8% dan kategori rendah sebanyak 34,4%. Permasalahan pertemanan berada pada posisi dua teratas untuk kategori tinggi.

Hazhira juga mengatakan bahwa depresi berbeda dengan stres. Depresi itu lebih ke arah gangguan mood yang berakibat pada penurunan mood. Sedangkan stres merupakan keadaan normal yang terjadi pada keadaan psikologis manusia.

Stres timbul karena adanya stressor (sumber stress).

Mohammad Novalliant Filsut Tasufi, salah satu dosen klinis UII, juga mengatakan bahwa ia belum pernah menemui dan menangani masalah depresi yang

dan mudah lelah walaupun hanya beraktivitas ringan.

Gejala lainnya diindikasikan dengan konsep diri yang buruk, menarik diri dari lingkungan sosial, pandangan masa depan yang suram, gangguan makan, gangguan tidur, dan ada perasaan untuk menyakiti diri.

Secara umum, kasus pada mahasiswa UII yang mengalami stres yang berakibat depresi belum begitu banyak. Hanya saja dalam hal ini Ali pernah menangani mahasiswa UII yang mengalami depresi berat hingga sudah merencanakan untuk bunuh diri.

Ia menceritakan kronologisnya bahwa mahasiswa tersebut depresi berat karena menolak untuk dijodohkan oleh orang tu-

Yuniar Nurfitriya| KOBARkobari berkutat pada bidang akademik. Dosen UII telah diberi aturan dalam pemberian tugas kepada mahasiswa dan jam kuliah mahasiswa tidak melebihi jam kantor.

Ia mengatakan bahwa permasalahan yang sering dialami oleh mahasiswa yaitu berupa masalah cinta, keluarga, dan teman.

“Kalau dilihat sebenarnya permasalahan depresi mahasiswa tidak hanya pada akademik karena apabila diteliti lebih jauh permasalahan mahasiswa UII lebih muncul dari luar atau lingkungan,” Ujar dosen yang biasa disapa dengan Ali. Ali secara spesifik mengatakan bahwa depresi dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu deperi ringan, sedang, dan berat.

Depresi ditandai dengan gejala utama dan gejala lainnya. Gejala utama diindikasikan dengan adanya afek depresif, menurunnya minat melakukan apapun secara tajam,

anya. Mahasiswa itu merencanakan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari hotel.

Namun apabila usahanya gagal, dia akan bunuh diri di perlintasan kereta api. Hingga pada akhirnya proses bunuh diri itu dapat digagalkan oleh orang tuanya yang berhasil membujuk melalui perantara Ali untuk mengundurkan tanggal pernikahan. q Reportase bersama: Dhia Ananta & Ika Indah P

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

7

Kreatif, Kreatif, dan Kreatif !

Oleh: Fitriana Ramadhany

8

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Tebal Buku

: Sila Ke-6: Kreatif Sampai Mati : Wahyu Aditya : Bentang Pustaka : 2014 : 297 halaman, i-xvii

Indonesia membutuhkan orang-orang kreatif bahkan untuk pertahanan negara. Di zaman yang sangat kompetitif ini menjadi kreatif bisa menjadi kunci menuju kesuksesan. Apabila saat kecil suatu hal dapat terealisasikan dengan imajinasi, maka saat beranjak dewasa kreativitas lah yang mampu merealisasikan sebuah keinginan. Kreatif Sampai Mati! Tiga kata sakti yang menjadi kalimat sambutan pertama Wahyu Aditya dalam bukunya. Wahyu Aditya atau lebih sering disapa Wadit adalah seorang pendiri HelloMotion Academy, HelloFest, dan Distro KDRI. Wadit juga seorang aktivis animasi dan desain serta seorang pemerhati dan pembicara industri kreatif.

Dalam buku Sila Ke-6, Wadit mengajak pembaca untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif dan merealisasikannya dengan tindakan nyata. Ia ingin menyadarkan rakyat Indonesia bahwa kreatif adalah solusi dalam berbagai hal. Dalam pelajaran kesenian misalnya. Bagi Wadit pendidikan kesenian memiliki banyak manfaat, antara lain memberikan ruang untuk mengemukakan pendapat, berani mengekspresikan imajinasi, melatih berpikir kreatif, dan sebagainya.

Ia amat menyayangkan bahwa pendidikan di Indonesia belum menyadari bahwa pelajaran kesenian bukan sekedar mempelajari cara menggambar, melainkan juga belajar ‘memanusiakan’ manusia. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu harus bermanfaat untuk membina fungsi jiwa seperti cipta, rasa, dan karsa.

Disinilah sebenarnya kesenian berperan penting.

Wadit mengajarkan dalam buku ini bagaimana untuk berpikir dari berbagai arah. Dengan mengubah pola berpikir konvensional dalam sebuah masalah dan situasi. Tidak mungkin novel Twilight akan terkenal apabila Stephenie Meyer, sang penulis tidak merubah sosok vampir yang terkenal seram menjadi tokoh Edward si vampir tampan. Wadit juga membuat pembaca belajar dari kisah Elang Gumilang, yang mencoba berpikir berlawanan arah bahwa bisnis perumahan bukan hanya untuk orang kaya.

Elang yang tergerak untuk menyediakan rumah bagi rakyat kecil dengan biaya cicilan per bulan Rp 90.000 selama 15 tahun. Kisah Bob Merdeka dengan brand Maicih yang mengubah persepsi masyarakat bahwa keripik singkong hanyalah makanan tradisional.

Belajar pula dari Osamu Tezuka dengan film animasinya Astro Boy. Bagaimana hasil daya rekam dan remix seorang Osamu Tezuka yang terinspirasi dari film industri Disney menjadi tokoh terkenal Astro Boy. Disinilah Wadit mulai memandu pembaca bahwa tahap awal dalam berkarya adalah meniru terlebih dahulu.

Meniru berbeda dengan plagiat, meniru adalah cara berlatih dengan teknik yang terbalik. Seperti ahli mekanik yang membongkar mobil untuk mengetahui bagaimana cara kerjanya. Selain dengan rekam dan remix, melakukan hal spontan juga dapat mengasah kreativitas. Salah satu hal spontan yang Wadit lakukan adalah membuat desain logo untuk koin Prita, yang berangkat dari kasus Prita Mulyasari. Tanpa disangka desain logonya diminati dan dipakai banyak orang.

Proses pencarian ide kreatif kadang tidak bisa diharapkan hanya dengan menunggu. Wadit mengajak pembaca untuk menantang dan menstimulasi diri sendiri agar ide itu muncul dengan kalimat “Bagaimana kalau…” Seperti halnya Wadit yang terinspirasi dari tokoh pewayangan gatot kaca dan memutuskan menciptakan desain Gatot Kaca versi keren hingga diminati kalangan muda. Kesuksesannya membuat klip animasi untuk band Padi yang bermula dari membayangkan dan kalimat “Bagaimana kalau….?”

Pembaca dapat belajar berbagai hal dari buku ini. Bagaimana mengubah keterbatasan menjadi peluang yang menguntungkan, juga belajar mengubah hal-hal yang berbau formal dan membosankan menjadi lebih menyenangkan. Pembaca kembali diajak belajar bagaimana Jepang memiliki banyak maskot unik. Mulai dari logo bus Minkuru hingga logo nyeleneh berbentuk tinja manusia.

Wadit mengajak dan memprovokasi pembaca bahwa Indonesia pun bisa memiliki maskot yang unik asal memiliki kemauan dan tentunya mau berpikir kreatif.

Dengan bahasa yang kembali menggelitik pembaca, Wadit menuliskan kisahnya tentang bagaimana gelisahnya dia melihat logo HUT RI yang tidak pernah berubah. Dari logo ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-60 hingga ulang tahun yang ke66. Yang berubah dari logo tersebut hanyalah jumlah bendera yang berkibar di ujung angka. Dari sinilah ia memutuskan mendesain logo untuk melepaskan kesan Indonesia yang monoton.

Terciptalah logo baru yang tidak monoton dan memiliki makna yang tak bertele-tele. Buku Sila Ke-6 tidak hanya bertujuan untuk memberi petunjuk menjadi kreatif, namun juga untuk membentuk Indonesia yang lebih kreatif.

Dengan bahasa yang ringan dan disertai bumbu humor, membuat buku ini sangat nyaman untuk dibaca berbagai kalangan.

Buku Sila Ke-6 sengaja didesain full color dan dapat dibaca secara random dari bab ke bab. Tiap bab nya berdiri sendiri sehingga pembaca dapat menikmati tanpa perlu membaca secara berurutan. Desain cover-nya pun dibuat sedemikian rupa dan dapat disesuaikan dengan mood pembaca. Wadit menyediakan ruang kosong di bagian cover agar pembaca dapat mengkreasikan covernya sendiri. Ia selalu menyajikan berbagai kisah inspirasi di setiap babnya, disesuaikan dengan bagaimana bagian bab itu berbicara.

Tak hanya memberikan kisahnya sendiri namun juga kisah orangorang di sekitarnya.

“Kami menerima hak jawab jika ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan pemberitan KOBARKobari.“

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

9

Generasi ke-17 Empu Majapahit Pria berusia 63 tahun ini merupakan generasi ke-17 dari Empu Supadriyo, pengrajin keris dari kerajaan majapahit pada abad ke-14. Ia dikenal dengan nama Empu Sungkowo Harumbrodjo, putra dari Djeno Harumbrodjo yang telah dikenal sebagai salah satu pengrajin keris ternama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu keris karya Djeno Harumbrodjo dimiliki oleh Sultan Hemengkubuwono IX. Empu Sungkowo Harumbrodjo mulai menekuni keris sejak tahun 1995. Saat itu, ia meneruskan ayahnya yang sudah berusia lanjut. “Awalnya saya bantu orang tua mas, sekitar tahun 1995 karena orang tua sudah tidak kuat dan berusia lanjut akhirnya saya yang meneruskan,“ ucap Empu Sungkowo saat diwawancarai.

Proses pembuatan keris sendiri melalui beberapa tahapan. Pertama, ritual berpuasa selama 3 hari. Puasa tersebut dilaksanakan pada waktu tertentu dimana hitunganya akan mewakili 40 hari sesuai penanggalan Jawa. Keris akan disesuaikan dengan hitungan hari lahir dan profesi pemesan.

Kedua, uborampe atau pada jaman dahulu disebut dengan sajen. Uborampe dilakukan untuk meminta restu tetangga kanan kiri agar pembuatan keris dapat selamat dan sesuai dengan yang diinginkan.

Setelah proses ritual dan uborampe maka selanjutnya ialah penempahan keris di baselan. Proses penempahan sendiri tidak boleh dilakukan sembarangan. Penempahan keris harus dengan penuh kedamaian hati dan ketenangan. Biasanya penempah keris tidak melakukan penempahan bila sedang ada hambatan dan suasana hati yang emosional. Pembuatan keris tidak boleh dipaksakan karena akan mempengaruhi hasil dari keris itu sendiri. Waktu proses pembuatan keris keseluruhan biasanya memakan waktu 30 sampai 40 hari.

Narasi oleh: Anggah

Proses Penempahan

10

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

Hilmi Fahrul | KOBARkobari

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

11

Dhian Ananta | KOBARkobari

Tahapan Pembuatan

Anggah | KOBARkobari

Penghalusan

Anggah | KOBARkobari

Anggah | KOBARkobari

Merapikan Bara Api

Anggah | KOBARkobari

12

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

Dhian Ananta | KOBARkobari

Panas dan Lelah

Seni Tempa Pamor

Anggah | KOBARkobari

Baselan

Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo

Anggah | KOBARkobari

Deder Berukiran Putri Kinurung KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

13

Alief Fac

hturrohm

14

an| KOB

ARkobar

i

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

Mengapa Himmah Migrasi ke Media Daring?

Oleh: Nurcholis Ma’arif Seorang kawan, sesama pegiat pers mahasiswa (persma) menanyakan kepada saya tentang keputusan Himmah yang menghentikan penerbitan buletin dan majalah untuk satu periode ke depan. “Kok Himmah berani banget ngilangin produk cetaknya sekarang?” Begitu kira-kira ia bertanya.

Pertanyaan yang sebenarnya dapat ditimpali pertanyaan kembali “Kok kamu masih berani mempertahankan produk cetakmu?” Sayangnya, jawaban berupa pertanyaan kembali itu terlintas di pikiran saya saat sudah di kos.

Namun, pertanyaan kawan saya ini mungkin akan terus terulang untuk saya dan beberapa pengurus Himmah ke depan. Hal tersebut yang melatarbelakangi saya menulis alasan mengapa Himmah hanya akan menerbitkan karya jurnalistiknya dalam media dalam jaringan (daring). Sebelumnya Himmah memiliki tiga produk: buletin KOBARKobari, majalah, dan media daring himmahonline.id.

Dari pengurangan, konvergensi sampai migrasi total Wacana penghentian penerbitan produk cetak Himmah sebenarnya sudah terjadi sejak Musyawarah Anggota (Musang) tahun 2014. Saat itu, Moch Ari Nasichuddin, Pemimpin Umum Demisioner mengusulkan KOBARKobari dihentikan penerbitannya. Ari menganggap bahwa media daring akan lebih efektif dibanding KOBARKobari bagi gerakan Himmah ke depannya1.

Perdebatan alot terjadi. Sebagian besar peserta Musang kontra dengan usulan Ari. Beberapa alasan yang di kemudian hari saya dapat sebagai berikut: KOBARKobari masih memiliki pembaca tetap, penggarapan buletin merupakan kaderisasi awal anggota Himmah sebelum menggarap majalah, pemberitaan media daring masih dangkal, butuh cepat, dan lain sebagainya.

Hasil musyawarah memutuskan Himmah pada periode selanjutnya tetap menerbitkan KOBARKobari namun dikurangi edisi dan jumlah oplahnya. Himmah juga tetap melanjutkan penerbitan media daring dan majalah. Meskipun majalah periode saat itu gagal terbit.

Perdebatan penghapusan KOBARKobari itu terjadi lagi di Musang selanjutnya pada tahun 2016. Saat itu, Nurcholis Ainul RT yang kemudian terpilih sebagai Pemimpin Umum terpilih seperti tak yakin untuk menghentikan penerbitan KOBARKobari.

Nurcholis berdalih akan ada momenmomen tertentu di tahun 2017 seperti pemilihan rektor dan Badan Wakaf-momen tersebut terlambat dan baru terjadi di tahun 2018. KOBARKobari dirasa masih lebih dikenal dan masif penyebarannya di kalangan mahasiswa UII, begitu asumsi Nurcholis.

Hasil rapat kerja juga mengusulkan realisasi konvergensi produk Himmah.

Pengurus tetap menggarap KOBARKobari dan majalah yang kemudian akan diunggah dalam format pdf pada media daring Himmah.

Barulah setelah launching majalah halhal yang mengganjal itu sangat terasa.

Salah satunya diungkapkan Sirajul Khafid dalam opininya Menyesal Jadi Anak Persma2. Penerbitan majalah hanya sebatas eksistensi persma semata dan egosektoral para pengurus yang sudah lama di persma.

Sehingga pada Musang di akhir tahun 2017 kemarin, alasan-alasan untuk mempertahankan eksistensi produk cetak Himmah terbantahkan semua. Jumlah pembaca sebuah konten akan dapat terlihat lebih mudah dalam media daring dibanding cetak. Penggunaan media sosial dan kolom komentar juga memudahkan interaksi dan evaluasi pada konten yang

telah terpublikasi.

Tulisan dengan analisis mendalam juga dapat diterapkan dalam media daring. Pengurus persma tidak perlu saling menunggu rubrik yang lain selesai untuk publikasi yang sekaligus distribusi konten ke pembaca. Berbeda dengan konsep konvergensi yang justru membuat pengurus kerja dua kali: membuat produk cetak dan mengunggahnya ke portal.

Perbedaan medium jurnalistik tidak berpengaruh secara signifikan dalam proses penguatan keterampilan kader.

Malahan pengurus persma punya waktu lebih banyak yang dapat digunakan untuk kerja-kerja intelektual sekaligus ikut turun ke lapangan menghadapi isu yang akan diangkat.

Jika dulu ada upaya penghapusan buletin, sebagian besar pengurus justru mengupayakan penghentian penerbitan majalah. Jika dulu kita punya alasan untuk menerbitkan majalah karena gagal terbit di tahun sebelumnya, sekarang kita tak punya cukup alasan untuk mempertahankan penerbitan majalah. Begitupula dengan buletin.

Tantangan Media Daring Pers Mahasiswa Kita tidak perlu berdebat lebih panjang tentang gugurnya satu per satu koran dan majalah media arus utama yang telah berhenti cetak. Sudah banyak penelitian dan berita yang membahas tema ini.

Faktor terbesarnya adalah menurunnya jumlah iklan masuk yang tidak mampu memenuhi ongkos percetakan dan keuntungan pemilik modal.

Pada saat yang sama, semakin banyak bermunculan media daring baru arus utama maupun media alternatif lainnya.

Konglomerasi media di Indonesia3 dan menjamurnya media penebar hoax semakin memuakkan jagad maya.

Lalu, di mana potensi media daring

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

15

persma? Wacana migrasi ke media maya menjadi sub bab tersendiri dalam buku Wisnu Prasetya Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidian yang terbit di tahun 20134. Migrasi ke dunia maya adalah sebuah keniscayaan sejarah. Melalui dunia maya persma memiliki keunggulan untuk menguatkan civil society. Dengan kebebaan yang melekat, persma bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi sosiologis maupun ideologisnya.

Melalui diskusi dengan beberapa kawan dan membaca referensi yang ada, setidaknya ada dua tantangan terbesar media daring persma.Tantangan yang selalu sama sejak persma zaman kolonial. Namun, perlu diulang dan selalu ditekankan kepada aktivis persma.

Pertama, perebutan wacana pembaca.

Tak perlu dulu kita bersaing dengan media arus utama jika kita belum mampu bersaing dengan media-media yang semakin hari semakin menjamur di dalam kampus.

Media sosial membuat setiap lembaga memiliki medianya sendiri ditambah banyaknya news aggregator seperti Line Today dan Kurio di Indonesia. Kemudian media sosial Official Account seperti Line Mahasiswa UII, UII Hari Ini, dan lain-lain yang menjadi sumber informasi mahasiswa.

Perebutan pembaca dapat dilakukan dengan pengemasan konten yang baik.

Penggunaan visual lebih masif dalam mentransmisikan konten ideologis yang disajikan persma. Wajar jika Andreas Harsono dalam tulisan di blog pribadinya mengusulkan “pers mahasiswa” berubah men-

jadi “multimedia mahasiswa.”5 Kolaborasi antar persma maupun dengan organisasi gerakan kemahasiswaan juga menjadi alternatif dalam merebut pasar mahasiswa dan pembaca tetap.

Kedua, semangat idealisme persma.

Hal ini berhubungan dengan tantangan pertama. Persma bukanlah media arus utama kampus. Ada label pers dan mahasiswa di sana. Istilah jurnalisme oposan, jurnalisme menantang, jurnalisme advokasi, jurnalisme transformasi melekat dalam sejarah persma.

Terkait idealisme persma saya mengutip opini Taufik Hidayat, Sekjend PPMI DK Yogyakarta 2014: Ajaran yang menempatkan idealisme sebagai citra identitas hanya akan membikin anggota persma sibuk mengejar penghargaan semu. Pada akhirnya, akan sangat sulit menemukan banyak anggota persma dengan keilmuan mendalam dan peka nuraninya terhadap situasi sekitar. Jika persmapersma semakin menghayati kebutuhannya, mereka akan menghindari ajaran idealisme yang cenderung menggairahkan anggotanya pada pencitraan semu.

Sejatinya, persma selalu membutuhkan apresiasi atas kerja keras berkarya medianya. Apresiasi itu tidak datang dengan sendirinya. Kinerja jurnalistik persma yang dianggap bagus berasal dari proses keilmuan dan laku perjuangan yang militan. Kalau mereka membutuhkan apresiasi bagus, maka pakem berilmu dan berjuang harus sungguh-sungguh dilaksanakan. Dan sesungguhnya, pakem tersebut benar-benar sederhana, asalkan

mau konsisten dan tidak terlalu tergiur oleh urusan citra6.

Mari kita hilangkan mistifikasi narsisme sejarah dan label yang menempel pada persma. Semangatnya lah yang kita ambil. Dengan begitu, apapun medium jurnalistiknya, cetak maupun daring, semangat persma tetap sama.

Penggunaan media daring hanyalah perubahan medium sekaligus tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh persma. Medium Berubah, Jurnalisme Abadi begitu kata Wisnu Prasetya dalam Berbagi 2015 EA Media Syndicate7.

Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? Kata Nurfitriani dalam opini Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya8.

Media daring bagi Himmah hanya sebuah instrumen dalam mengembangkan wacana dan kemampuan kejurnalistikan anggotanya. Setelah 51 tahun menerbitkan produk cetak, pada periode ke depan kami mencoba fokus ke media daring.

Amatirisme dan profesionalitas akan selalu membayang-bayangi aktivis persma, begitu kata Amir Effendi Siregar.4 Tetapi, kita tak akan pernah tahu sejauh mana kita gagal ataupun berhasil selagi kita belum mencobanya sama sekali. Salam persma!

*Mahasiswa Ilmu Kimia UII 2014/Pemimpin Redaksi himmahonline.id

Referensi: [1] Nurcholis Ainul RT. LPM Meraba Zaman. Himmahonline.id [2] Sirojul Khafid. Menyesal Jadi Anak Persma. Himmahonline.id [3] Aulia Adam & Damianus Andreas. 8 Konglomerat Media di Indonesia via Jalur Media TV dan Cetak. Tirto.id [4] Prasetya, Wisnu. 2013. Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan.Yogyakarta: Indie Book Corner.

[5] Andreas Harsono. Seharusnya Pers Mahasiswa Menjadi Media Mahasiswa. Andreasharsono.net [6] Nurfitriani. Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya. persma.org [7] Materi Berbagi 2015 (EA Media Syndicate) [8] Taufik Nurhidayat. Idealisme Persma Atas Nama Kebutuhan. persma.org

16

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

Menciptakan Arus Balik, Membangkitkan Jurnalisme Online Persma Semua ini berawal dari sebuah keprihatinan....

Oleh: K.A. Sulkhan*

Satu tahun yang lalu, tepatnya ketika awal mula saya dipercaya memimpin media online Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kognisia Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), ada beberapa tantangan yang mesti saya hadapi. Pertama, merevitalisasi konsep berpikir anggota redaksi Kognisia tentang jurnalisme online. Kedua, membentuk budaya redaksi online yang konkret dan transformatif. Ketiga, memperkuat manajemen redaksi online Kognisia dengan menekankan “praktik jurnalistik langsung” untuk meningkatkan kemampuan mengelola berbagai macam isu menjadi berita.

Itu semua merupakan agenda yang betul-betul akan menguji sejauh mana saya dan rekan-rekan divisi redaksi online Kognisia dapat berkembang. Mengingat LPM Kognisia sempat mengalami stagnanisasi, baik dari segi wacana maupun praktik jurnalistik, selama bertahuntahun lamanya. Saya katakan demikian, sebab sebelum saya magang tahun 2014 sampai dua periode setelah saya jadi anggota, berita-berita yang diangkat Kognisia hanya berkutat seputar renovasi toilet, pembangunan kamar mandi atau kantin, sepinya apresiasi ulang tahun fakultas, dan komputer-komputer bekas yang tak jelas nasibnya.

Jarang sekali Kognisia mengangkat isu-isu penting yang berkaitan langsung dengan dinamika mahasiswa, baik di ranah akademik ataupun lembaga. Kalaupun mengangkat isu tentang lembaga mahasiswa atau kebijakan dekanat misalnya, beritanya akan basi sebelum sampai ke tangan pembaca. Hal tersebut terjadi

karena berita diproduksi dalam wujud buletin “satu bulan sekali” dengan catatan “kalau tidak molor.” Apalagi gaya penulisan kami masih sebatas hardnews, tanpa ada narasi kuat atau kedalaman di dalam beritanya.

Situasi manajemen redaksi yang demikian mengakibatkan banyak mahasiswa FPSB UII yang tak tahu ada organisasi kejurnalistikan bernama Kognisia.

Betul-betul memprihatinkan.

Menyadari kondisi tersebut, para pengurus inti Kognisia kemudian mencoba untuk mengembangkan media online pada periode 2014/2015. Namun, minimnya pemahaman mengenai manajemen redaksi online, sekali lagi membuat Kognisia tidak berkembang secara maksimal sampai periode 2016/2017. Kurangnya perhatian terhadap jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di media online juga menjadi faktor penyebabnya. Karena sebagian besar tenaga SDM dialokasikan untuk produksi buletin dan majalah dengan intensitas kemoloran yang tinggi itu.

Maka, memasuki periode 2017/2018, saya dan empat rekan redaksi online lainnya: Merlina, Dinda, Karel, dan Zahro, melakukan pemetaan ulang. Langkah awal kami adalah memisahkan ruang redaksi antara anggota divisi online dengan buletin. Karena budaya media online belum terbangun dengan kuat. Saya khawatir jikalau dicampur, teman-teman divisi online Kognisia malah terbawa ritme buletin kembali.

Berangkat dari hal ini, saya dan rekanrekan redaksi kemudian menyusun sistem mulai dari waktu rapat redaksi, konten apa saja yang akan diproduksi, media-

media sosial yang digunakan, sampai jumlah target konten per bulannya. Tentu saja kami juga membahas soal deadline, editing, dan strategi publikasi.

Sebelumnya, kami telah berdiskusi dengan rekan dari Himmah dan beberapa LPM lain di UII yang sudah lebih dulu mengembangkan media online. Hasilnya: saya dan rekan-rekan sepakat membangun sistem yang lebih menekankan pada praktik jurnalistik!

Beberapa teman dari lingkar gerakan kemudian menanggapi, “mengapa mesti menekankan hal yang sifatnya teknis?

Bukankah membangun budaya intelektual (membaca, diskusi, menulis) lebih penting agar iklim keilmuan di Kognisia menjadi makin kuat?”

Tentu saya tegaskan bahwa saya tidak serta merta mengesampingkan budaya membaca dan diskusi, karena itu penting juga untuk mengasah pola pikir.

Tetapi, bagi saya praktik mesti “lebih” ditekankan. Andreas Harsono, wartawan cum aktivis HAM, pernah menulis bahwa persma lebih sering menghabiskan tenaganya untuk berdiskusi ketimbang praktik jurnalistik. Itu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebagai wartawan, semestinya kita lebih banyak menulis daripada beretorika.

Toh, diskusi dan membaca pun sebetulnya sudah sepaket dengan praktik jurnalistik itu sendiri.

Setelah manajemen redaksi tersusun dengan cukup sistematik, maka hal yang selanjutnya kami lakukan adalah konsisten menerbitkan berita sesuai target per bulannya. Sejauh ini, prioritas praktik, harus diakui, telah membuat Kognisia mendominasi pemberitaan di ranah kampus.

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

17

Kami mengawal berbagai macam polemik menyangkut lembaga mahasiswa serta kebijakan rektorat. Diantaranya, mulai dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) yang tak kunjung dilantik, isu bahwa lembaga di FPSB akan dibekukan, wacana pembangunan gedung FPSB, keputusan rektorat mengenai makrab, sampai minimnya fasilitas untuk difabel di UII. Tidak hanya isu-isu dalam kampus, isu di luar pun kami masih tergolong persma yang di depan dalam pemberitaan. Misalnya, pemberitaan seputar aksi-aksi mahasiswa yang menyerukan pembebasan lingkungan, Save KPK, atau konflik penggusuran lahan di kawasan Kulonprogo.

Barangkali kami tidak akan bisa bergerak semasif itu kalau kelamaan berdiskusi. Pokoknya praktik, praktik, dan praktik! Diskusinya di ruang redaksi untuk menentukan perspektif, selebihnya action!

Setelah dirasa kuat dari segi manajemen dan praktik redaksi, kami akhirnya berani membuka ruang bagi siapapun yang ingin menyampaikan opini dan aspirasinya. Sebagai lembaga yang hidup dari uang mahasiswa, saya sadar bahwa kita tidak boleh egois dengan mendominasi wacana. Bagaimanapun publik dominan dalam konteks kita adalah mahasiswa. Maka, membangun ruang agar mereka bisa bebas menyampaikan gagasan merupakan keharusan.

“Bagaimana kalau wacana mereka tidak memiliki keberpihakan yang jelas?

Bagaimana kalau opini mereka memunculkan sensasionalisme, SARA, menjatuhkan kelompok-kelompok tertentu?”

Tanya Pimpinan Redaksi saya dengan nada khawatir.

Selama opini yang dikirim kontributor itu argumentatif, bisa dipertanggungjawabkan, dan tak melakukan plagiat, menurut saya tidak masalah. Soal setuju atau tidaknya kita sebagai anggota internal media jangan sampai mengaburkan pandangan redaksi. Karena sekali lagi, media kita milik mahasiswa, publiknya ya mahasiswa. Maka, kemajemukan melalui ruang-ruang kontributor itu mesti dipelihara. Begitu prinsip yang saya tekankan di Kognisia.

Adapun kalau memang kontributor itu mengkritik suatu kelompok, lembaga, atau bahkan rektorat ya sah-sah saja.

Sekali lagi, poinnya adalah argumentatif, bisa dipertanggungjawabkan, dan tidak plagiat. Tapi saya pribadi punya catatan khusus. Saya tidak akan menerbitkan opini yang cenderung ingin menjatuhkan suatu kelompok tertentu dengan nada18

nada kebencian tanpa argumen kuat. Kalau ada mahasiswa yang mengirim opini semacam itu, hal yang akan saya lakukan adalah mengajaknya berdiskusi dulu.

Program ruang kontributor berjalan cukup baik. Setiap bulan sekitar lima sampai sepuluh mahasiswa (terutama dari FPSB) mengirim tulisan berupa esai, cerpen, maupun puisi. Namun, karena kami belum bisa menampung semua, maka dalam sebulan hanya dua sampai empat tulisan saja yang kami publikasikan. Hal ini dikarenakan masih adanya keterbatasan tenaga editor.

Sejak LPM Kognisia gencar mengaktifkan media online, ada banyak keuntungan yang di dapat. Pengaruh paling signifikan adalah, kami lebih dikenal luas dibandingkan sebelum aktif di media online. Tidak hanya di kalangan mahasiswa FPSB saja, tetapi juga mahasiswa UII secara umum.

Walaupun mungkin masih banyak juga yang belum tahu, tetapi paling tidak ada kemajuan yang bisa dirasakan. Mulai dari naiknya traffic visitor, review dari sejumlah mahasiswa terkait pemberitaan kami, sampai kritik dosen terhadap beberapa artikel di laman resmi media sosial Line Kognisia.

Jumlah visitor yang dapat diketahui lewat google analytics juga menjadi modal kami untuk menggaet pengiklan. Sehingga kami mendapat pemasukan yang lebih banyak.

Tapi ada beberapa hal yang rupanya melebihi harapan saya. Misalnya ketika media online Kognisia.co dilirik oleh portal berita Kurio dan Kumparan untuk diajak bekerjasama. Tak berhenti sampai disitu saja, sebuah event di Makassar yang bernama Indonesian Future Leader Conference, menggaet kami sebagai media partner. Itu belum beberapa pengiklan yang menawarkan kerjasama publikasi produk.

Kognisia yang sebelumnya tidak dikenal oleh mahasiswa fakultas sendiri, perlahan mulai menjadi refrensi informasi mahasiswa, khususnya terkait kebijakankebijakan yang belum diekspos pihak kampus. Kognisia juga tadinya memiliki intensitas produk yang minim bila dibanding LPM-LPM di UII yang lain. Namun, sejak online aktif, kami memimpin sebagian besar pemberitaan terkait dinamika yang ada di UII. Media online telah menjadi arus balik bagi eksistensi Kognisia. Memang perjalanannya penuh liku dan tantangan.

Tetapi banyak hal baru yang saya dan terutama rekan-rekan divisi online dapatkan.

Sebelum saya menyentuh bagian akhir tulisan ini, ada satu hal lagi yang ingin

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

saya tegaskan. Bahwa dalam tulisan ini saya tidak sedang menyebarkan wacana popularisasi kepada teman-teman persma sekalian. Sebab persma bukan hanya soal traffic, bukan juga soal banyaknya review berita dari pembaca, atau kerjasama-kerjasama dari berbagai pengusaha. Bukan.

Bagi saya, persma adalah sebuah tempat untuk belajar merawat nalar kritis kita sebagai mahluk yang memiliki idealisme dan keberpihakan terhadap kepentingan publik sekaligus laboratorium bagi teman-teman yang ingin mengembangkan pola pikirnya dengan melakukan kegiatan-kegiatan jurnalisitik.

Namun, persma juga mesti berkembang. Ia tidak bisa hidup dengan caracara konvensional saat teknologi komunikasi makin canggih. Sirojul Khafid, anggota LPM Himmah UII, pernah menulis sebuah esai berjudul Menyesal Jadi anak Persma. Dalam tulisannya itu, Siro menekankan bahwa pengemasan produk persma perlu disesuaikan dengan keadaan saat ini. Terlepas dari apapun ideologi serta gerakan yang diusung. Sebab Siro menyadari, pola-pola konvensional yang dilakukan persma untuk memberi informasi atau memantik gairah intelektual di kalangan mahasiswa menemui kegamangan.

Jauh-jauh hari sebelum Siro, Abdus Somad yang dulu menjabat Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Yogyakarta juga pernah menulis hal senada. Menurut Somad yang terpenting adalah persma mesti tetap membudayakan gaya jurnalisme advokasi. Jadi pemberitaannya tidak hanya berhenti pada analisis, kedalaman, serta akurasi. Tetapi, persma juga mesti mempertahankan kontrol sosial dan ruang alternatif. Bila mengikuti media arus utama yang mengandalkan kecepatan, lanjut Somad, maka persma suatu saat akan lelah dengan dirinya sendiri.

Saya yakin gagasan dari Somad dan Siro ini jika diterapkan betul-betul akan menjadi titik balik bagi persma untuk kembali melawan hegemoni ruang-ruang demokrasi yang dikuasai oleh mediamedia arus utama dengan wacana dominannya yang acap kali mengaburkan pandangan di ranah akar rumput. Semangat jurnalisme advokasi menjadi karakternya dan kemasan yang lebih hits-meminjam istilah yang dipakai Siro-menjadi wajahnya.

Andaikata semua persma di UII serempak memperkuat gagasan dan teknis redaksi dalam mengembangkan media online-nya. Menurut saya, momentum bagi kebangkitan persma UII itu akan bisa diraih.

Memang praktiknya tidak semudah membalik telapak tangan. Saya sadar betul bahwa setiap persma memiliki masalahnya sendiri-sendiri, terutama dalam hal kaderisasi. Tetapi, beranjak ke media online merupakan pilihan yang tidak bisa lagi ditawar. Mengingat konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi yang berdampak besar terhadap struktur sosial di mana pun.

Namun, harapan itu saya yakin akan menjadi kenyataan, kelak. Soalnya beberapa waktu terakhir ini, saya melihat sebagian besar LPM di UII, selain Kognisia, sudah mulai memasifkan media online-nya juga.

LPM Himmah bahkan hijrah sepenuhnya

t

ke online. Mereka berniat tak menerbitkan buletin atau majalah lagi. Saya berharap sepak terjang Himmah setelah hijrah ini akan menginspirasi LPM-LPM UII yang lain untuk meninggalkan cetak atau paling tidak mengurangi jumlah produksinya.

Di era tsunami informasi ini, berita, opini, dan kritik, tentang suatu lembaga atau bahkan negara, berserakan di beranda-beranda media sosial nyaris tanpa penyaring. Setiap orang bisa menjadi pewarta untuk khalayak hanya dengan berbekal smartphone yang memiliki sambungan “internet”. Bahkan lebih cepat dan efisien, karena pembacanya bisa mengakses sekaligus menanggapi informasi yang ingin di-

baca di mana pun dan kapan pun.

Bisa dibilang, mengembangkan media online merupakan suatu keniscayaan bagi persma. Menurut saya bila kondisi persma untuk mengembangkan online saja masih tersendat oleh pandangan-pandangan konvensional, maka lebih baik mengucapkan selamat tinggal pada wacana-wacana perubahan dan pembebasan yang kerap didiskusikan. *Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2014/Redaktur Online kognisia.co dan Pimpinan Redaksi kepalan.com

Pemimpin Umum : Didik Firmansyah, Sekretaris Umum: Dinda Tri Lestari Bendahara Umum: Fatimah Intan K. Pemimpin Redaksi: Nurcholis Ma’arif Sekretaris Redaksi: Hana Maulina S. Redaktur Pelaksana: Z. W. Nazir Redaktur Foto: M. Billy Hanggara Redaktur Artistik: M. Nadhif Fuadi Redaktur Penelitian dan Pustaka: T. Irfan Megat W. Redaktur Naskah: Regita Amalia, Dian M. Gibran , Niken Caesanda R. Staf Redaksi: Fitriana Ramadhany , Audy M. Lanta Fotografi: Sonny Saputra, Afandi, Thesa Putri W. Penelitian dan Pustaka:Ardi Prayudha. A. Rancang Grafis: Yuniar Nurfitriya Perusahaan: Muhammad Farid H., Dyan Agung M., K. Aji Surya H. PSDM: Nalendra Ezra A., Ridwan Fariz M. Jaringan Kerja: A. Muhammad Hasan, Ika Pratiwi Indah Y. Magang: Sri Astuti, M. Rizqy Rosi M., Alief Fatturohman, Reynaldha A., Galih Refa S. Fida, Abu Zar, Alfreda Amelia, Liu Nashrul F., Annisa Putri, Annisa Putri, Multazam, Fitri Asih H., Apip, Amanda, Salma Dyah P, Sheila Manora R.,Dhia Ananta, Wika, Armarizki K.,Tengku Fazlan,Zidta Okta R.,Vivi Septianisa, Anggah, Hilmi Fahrul,Farhan, Devi Aristya P. Amara, Riefath, Ahmad Sarjun, Prata Adiathama, Anindha Pratiwi, Sabil, Faridatul Ariani, Birru Rakaitadewa, Reza, Indira.S, Ariska Nur R. Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia.

Alamat Redaksi: Jln. Cik di Tiro No.1 Yogyakarta.

Telp (0274) 3055069, 087809716650 (Muhammad Farid H., Iklan/Perusahaan).

Saran dan kritik melalui email: lpmhimmah@gmail.com, http://himmahonline.id.

Selamat!

Majalah Himmah mendapat penghargaan Gold Winner kategori The Best of Java Magazine pada the 7th Indonesia Student Print Media Awards (ISPRIMA) 2018

KOBARKOBARI EDISI 186 // XX // Maret 2018

19