Edisi 163 | Tahun Ke-15 | Maret 2013 e-mail : lpmhimmah@uii.ac.id, sites : http://lpmhimmahuii.org 1 A. Taufik Batu Bara | KOBARkobari


2 KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013
Di Manakah Efektivitas Sistem Pesantrenisasi?
Oleh: Laras Haqkohati Meski sudah dirancang sebaik mungkin, sistem pesantrenisasi tetap ‘menghasilkan’ mahasiswa yang tidak lulus tes Baca Tulis Al-Qur’an (BTAQ). Mengapa?
Bagi mahasiswa UII, lulus pesantrenisasi adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi, karena itu merupakan salah satu syarat wajib untuk memperoleh gelar sarjana. Dengan system pengelompokan yang disesuaikan dengan kemampuan kedalam tingkatan dasar, menengah, dan lanjut. Diharapkan mahasiswa dapat mengikuti rangkaian kegiatan dan mampu lulus dari serangkain tes yang diberikan. Namun banyaknya jumlah peserta pesantrenisasi yang tidak lulus pada tahun lalu meyisakan pertanyaan. Apakah kualitas mahasiswa menurun ataukan ada sistem yang salah didalamnya. Misi dari kegiatan pesantrenisasi adalah mengantarkan santri untuk menjadi sarjana muslim yang handal. Santri dituntut mempunyai kualitas aqidah, akhlak, intelektual, spiritual dan profesionalitas yang mumpuni dan terdepan dalam pembinaan umat. Seperti yang dikemukakan Kepala Divisi Pendidikan dan Pembinaan Dakwah (Kadiv.PPD) Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Supriyanto Pasir, misi tersebut saat ini belum dapat terpenuhi disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adanya human error. “Sistem pesantrenisasi sudah dirancang sebaik mungkin, apabila terdapat kesalahan-kesalahan kecil itu di karenakan adanya human eror, dan inilah yang harus diperbaiki”tutur Supriyanto Pasir. Human error biasanya disebabkan oleh pihak dosen penguji. Terkadang dosen penguji tidak mengikuti briefing singkat yang menjelaskan tentang standar penilaian, sehingga terjadi ketidaksesuaian dalam melakukan penilaian. Imbasnya banyak mahasiswa yang tidak lulus dalam mengikuti kegiatanFaktorpesantrenisasi.berikutnya, menurut Pasir adalah kelalaian dari mahasiswa itu sendiri. Mereka tidak mengikuti salah satu sesi kegiatan pesantrenisasi padahal semua kegiatan hukumnya wajib diikuti oleh semua peserta. Faktor yang terakhir adalah karena mahasiswa tersebut memang tidak layak untuk lulus. Misalnya mahasiswa tersebut tidak bisa membaca atau menulis Al-Qur’an. Berdasarkan pengakuan salah satu dosen penguji BTAQ, Moh. Roy. standar penilaian sudah ditentukan tetapi bagaimanapun juga subjektivitas turut mempengaruhi. Yang dimaksud subjektivitas adalah antara pendapat dosen penguji yang satu dengan yang lainnya bisa jadi berbeda, ada yang menilai mahasiswa bagus dalam membaca Al-Qur’an dan layak lulus BTAQ tetapi bisa jadi menurut dosen lain mahasiswa tersebut masih belum benar dalam membaca Al-Qur’an. Mengenai masalah human error, menurut Roy mungkin saja terjadi. Biasanya dosen penguji yang sudah pengalaman menguji selama bertahun-tahun tanpa mengikuti briefing pun sudah mengetahui sistem penilaiannya. Berdeda dengan dosen penguji yang baru masih harus mengikuti briefing tersebut.Menurut salah satu dosen penguji bernama Irawan Jati, standar penilaian sudah ditentukan oleh pihak DPPAI. Dosen penguji hanya boleh menguji dan memberi penilaian sesuai dengan standar tersebut. Menurut pengakuannya, selama ini ia selalu
Dewan Redaksi: T. Ichtiar Khudi A., B. Kindy Arrazy. Pemimpin Redaksi: Irwan A. Syambudi. Sekretaris Redaksi: Alissa Nur Fathia Redaktur Pelaksana: Moch. Ari Nasichuddin, Ahmad Satria Budiman. Staf Redaksi: Dyah Ayu Ariestya S., Hasinadara P., Fajar Noverdian, Raras Indah F., Khairul Anwar. Fotografi: Robithu Hukama, Aldino Friga P.S., Revangga Twin T. Penelitian dan Pustaka: Fitria Nur Jannah, Aghreini Analisa, Yuyun Septika L. Rancang Grafis: Bayu Putra P., M. Hanif Alwasi. Metri Niken L., Rahmat Wahana. Perusahaan: Maya Indah C. Putri, Erlita Fauziah, Herlina, Nur Karuniati, M. Muhasin Riha, Anisa Kusuma W. PSDM: Lufthy Z., Rama Pratyaksa, Rahmi Utami Handayani, Bastian Galih I. Jaringan Kerja: Wahyu Septianti, M. Jepry Adisaputro, M. Alfan Pratama, Budi Armawan, Agam Erabhakti W. Magang: M. Faiqurrohman, Siti Mahdaria, Laras Haqkohati, M. Khoirul Anam, Alan Dwi P., Kholid Anwar, Khalid Mufid, Ruhul Auliya, Ristina Zahra L. Nur Jamilah, Dara Asri W., Dimas Ricky R., M. Rahmat Akbar, Ayoni Sulthon, M. Ilham Ilyas, Hernita Bacing, Emma Wachida S., Alfa Nur S., Miranti Cahya N., M. Rifaldi Rahman, Yuan Palupi, Arga Ramadhana, M. Nashihun Ulwan, M. Syamsul Falah M., Saga Kusuma W. Nafiul Mualimin, Ahmad Taupik B. Windy Sugiarty, Indah Gamatia R., Galuh Ayu P., Ayunda Firdaus A., Transvivi A., Sjahril, Novian Aldy P., Zahrina Andini, Yuliza Fahmi, Riesky Diyanti P., Fikri Rais T., Yuyun Noviasari, Tri Pujiati, Aprilia Alifah P., Atry Kyka A., Fatimah Rizky R., Deby Hermawan, Okti Novita S., Atya Arma N., Sri Siska W., Marta Dwi K., M. Sahindrawan, Diah Handayani, Anne Mudya Y., Farah Ayuning T., Iqbal Galuh H., Fikrinisa’a Fakhrun H. Himawan G. Pangestu, Desi Rahmawaty, Desy Duwy S., Nadira A. Nariswari Y., Wangga Angriandi P., Dian Hidayat, Wulan Oktantiya, Ikha Silviani, Alvina Anggarkasih, M. Noor Fadlany, Asharudin Wahyu, Ahmad Hanafi. Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia. Alamat Redaksi: Jln. Cik di Tiro No.1 Jogjakarta. Telp (0274) 3055069, 085647760101 (Maya Indah C. Putri, Iklan/Perusahaan). Saran dan kritik melalui email: lpmhimmah@gmail.com, http://lpmhimmahuii.org.



Jumlah peserta pesantrenisasi yang tidak lulus selama 5 tahun terakhir
3KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013
M. Khoirul Anam | KOBARkobari menilai sesuai dengan standar penilaian yang diberikan pihak DPPAI. Dirinya tidak tahu-menahu tentang sistem penilaian dosenPernyataanlain. Irawan Jati diamini oleh salah satu pemandu saat pesantrenisasi, Faridah Hanum, mahasiswi jurusan Ekonomi angkatan 2009. Menurutnya memang standar penilaian sudah ditentukan oleh pihak DPPAI. Dosen hanya menjalankan tugasnya sebagai penguji. Tetapi kembali pada sifat masing-masing dosen, ada dosen yang terkesan pelit nilai dan ada juga yang mudah dalam memberi nilai. Faridah berujar faktor lain yang mempengaruhi ketidaklulusan mahasiswa ialah kesalahan dari mahasiswa itu sendiri. Terkadang ada mahasiswa yang gugup ketika menghadapi test sehingga dia tidak mampu menjawab pertanyaan dari dosen.Pesantrenisasi sendiri dimulai sejak tahun 2008 hingga sekarang. Pada tahun 2008 sampai 2011 pesantrenisasi dilaksanakan selama 10 malam sedangkan mulai tahun 2012 pesantrenisasi dilaksanakan selama 4 hari. Menurut Mizan Aji Prabowo, mahasiswa jurusan Psikologi angkatan 2010, pesantrenisasi selama 10 hari dinilai kurang efektif karena untuk belajar agama waktu 10 hari sangatlah singkat. Mizan juga mengatakan ada satu kasus dimana dia dan teman sekamarnya tidak ada yang lulus dan mereka diuji oleh dosen yang sama. Hal itu membuat mereka berasumsi ada yang tidak beres dengan penilaian dosen. Tetapi ketika ia mengkonfirmasi kepada pihak DPPAI, mengatakan bahwa dia tidak lulus karena kurang dalam menulis Al-Quran.”Saya tidak tahu apakah dosen mempengaruhi ketidaklulusan dalam pesantrenisasi, yang jelas saya tidak lulus pesantrenisasi karena kurang dalam menulis Al-Qur’an,” tukas Mizan.Berbeda dengan Mizan, kasus berbeda dialami Irmi Rizqia, mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2012. Ia berkisah saat akan mengikuti pesantrenisasi namanya tidak terdaftar sebagai peserta. Ketika dikonfirmasi kepada pihak DPPAI, mereka mengatakan akan memberi kabar melalui pesan singkat. Pada kenyataannya pihak DPPAI memang menepati janji. Namun konfirmasi tersebut justru datang jauh hari setelah pesantrenisasi selesai. “Saya merasa sedikit kecewa kepada pihak DPPAI karena mereka tidak cepat menanggapi masalah ini,” keluh Irmi.q



4 KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013


Tiga belas tahun lebih otonomi daerah berjalan, tak membuat sekolah di salah satu sudut Yogyakarta bebas dari kekurangan guru.
KE HALAMAN 8
Sisi Kelam Distribusi Guru
Ia menambahkan, di Kabupaten Bantul sudah terdapat Guru Tidak Tetap (GTT) sebanyak delapan ratus orang guru yang statusnya belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah GTT yang belum diangkat menjadi PNS hampir mencapai seribu orang. Penyebabnya, pemerintah daerah hanya boleh menganggarkan maksimal 50 persen untuk gaji PNS. Sedangkan di Bantul sudah mencapai 70 persen. Selain itu, mayoritas GTT masa kerjanya sudah tujuh sampai delapan tahun, bahkan ada yang sampai puluhan tahun. Hingga kini, di sekolah tempat Panut mengabdi, guru tak mencapai jumlah ideal. SDN Klangon hanya memiliki empat orang guru berlabel PNS. Jumlah ini tidak sesuai dengan standardisasi jumlah pengajar, di mana masing-masing sekolah dasar idealnya memiliki guru tetap berlabel PNS sebanyak enam orang. Standar ini juga disesuaikan dengan jumlah kelas di sekolah dasar. Panut menilai hampir semua sekolah dasar di Kecamatan Sedayu mengalami kekurangan guru. Jumlahnya sekira 22 sekolah. Masing-masing sekolah mengalami kekurangan sekira satu sampai dua orang guru. Salah satu penyebab adalah banyaknya guru yang pensiun. Namun Panut tak kekurangan inisiatif. Demi mengatasi kekurangan guru, Ia mengangkat tujuh orang Guru Tidak Tetap (GTT) sesuai kebutuhan sekolahnya. Dua orang menjadi guru kelas, dua orang guru pramuka, satu orang guru komputer, satu orang guru bahasa inggris, dan satu orang menjadi guru seni tari.
Oleh: Bethriq Kindy Arrazy Siang itu Jalan Wates tampak ramai lalu lalang kendaraan. Saat itu cuaca begitu terik, angin bertiup kencang, debudebu jalanan beterbangan. Sepanjang Jalan Wates kilometer 14, saya dapati sebilah papan besi berukuran sekitar satu kali setengah meter. Di papan besi berwarna putih itu tertulis “SDN Klangon 200 meter lagi”. Di sampingnya terdapat gangSayakecil.ingin tahu kondisi sekolah tersebut. Tanpa pikir panjang segera saya telusuri gang kecil itu. Di ujung gang, terhampar hijaunya pematang sawah. Di sampingnya juga terdapat tanah lapang, bekas sawah yang sudah tidak terpakai. Di sana beberapa anak kecil asyik bermain sepak bola. Tak jauh dari situlah SDN Klangon berada. Secara geografis SDN Klangon berada di Desa Agrosari, Kecamatan Sedayu, salah satu kecamatan di ujung barat laut Kabupaten Bantul. Beberapa kilometer ke arah barat sudah memasuki perbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo. Melalui papan kayu warna putih yang berada di dekat pintu masuk sekolah, saya tahu sekolah dasar ini berdiri pada 2010 dengan anggaran pembangunan dari PemdaSaatBantul.itusekolah tampak sepi karena bertepatan dengan masa libur. Jumlah ruang kelas yang ada di sekolah hanya mencapai selusin. Namun di sudut ruangan sekolah masih ada tujuh orang guru yang sibuk menekuni berkas-berkas administrasi sekolah. Kedatangan saya disambut baik oleh seorang guru yang tidak saya ketahui namanya, “Kedatangan saya ingin bertemu bapak Kepala Sekolah, untuk wawancara soal distribusi guru,” kata saya Denganmenjelaskan.sigapgurutersebut menunjuk dengan sopan.Tepat di sebelah kanan saya adalah Kepala Sekolah SDN Klangon yang saya cari. Tak berselang lama, saya dipersilahkan menunggu di ruang Kepala Sekolah.Ruangan Kepala Sekolah tidak terlalu luas. Temboknya berwarna hijau muda. Di dalamnya ada satu meja kayu beralaskan taplak meja bermotif batik. Meja itu dikelilingi tiga kursi sofa panjang yang membentuk huruf “U”. Di samping kursi, berdiri lemari kaca dengan piala yang yang tersusun rapi di dalamnya. Vas putih dengan bunga plastik berwarna merah di atasnya turut menambah kesan indah ruangan.Sepuluh menit kemudian, saya mendengar derap langkah kaki menghampiri. Seorang pria berbaju batik dengan celana kain berwarna hitam menyapa, “Silakan dek, ada yang bisa saya bantu?” Dialah Panut, Kepala Sekolah SDN Klangon. Ia menjabat kepala sekolah selama dua tahun. Maka tak heran bila ia fasih menjawab pertanyaan saya tentang sekolahnya. Kualitas Pendidikan: Antara Guru dan Upah Panut mengatakan, otonomi daerah belum bisa menjawab kebutuhan jumlah guru di Indonesia. Ini termasuk kuantitas guru sekolah dasar (SD) di kabupatennya. Panut mengklaim Kabupaten Bantul mengalami kekurangan guru SD sebanyak empat ratus orang guru. Akibatnya sampai saat ini mutasi guru antar kabupaten di Provinsi DIY tertunda, “Sebab disini (Bantul-red) saja masih kekurangan, apalagi di provinsi,” jelasnya.
“Sebenarnya kasihan juga dengan GTT saya. Jumlah pesangonnya tidak BERSAMBUNG
“Sebenarnya GTT sudah tidak boleh diangkat di SD, tapi karena kekurangan guru, terpaksa saya mencari tambahan GTT,” ungkap Panut. Langkah ini ia lakukan demi membantu kelancaran belajar mengajar. Konsekuensinya, honor GTT harus ia ambil maksimal 20 persen dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).Menurut pria berkulit sawo matang ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Bantul sudah melakukan upaya yang progresif. Juli lalu, Dikbud menanggapi masalah kekurangan guru SD dengan merotasi dan mutasi guru sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) ke SD yang membutuhkan guru. Namun ia kecewa karena SDN Klangon tidak kebagian jatah guru.Panut sempat mengalami dilema memberikan rekomendasi pengangkatan GTT menjadi PNS di sekolahnya. Menurutnya, bila kepala sekolah berani membuat Surat Keputusan (SK), maka sekolah berarti sanggup membayar gaji gurunya. khawatir tak mampu bayar gaji, Panut akhirnya hanya memberikan surat keterangan mengajar bagi GTT.
5KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013


Beberapa orang terlihat duduk bersila, mereka duduk sejajar. Dengan seksama, mereka mengambil busur yang ada di depan mereka. Dengan konsentrasi penuh, mereka mulai menarik busur. Untuk menarik busur, dibutuhkan tenaga yang sangat kuat. Posisi tangan harus sejajar dengan mulut. Dengan konsentrasi penuh, satu per satu dari mereka melepas anak panahnya. Itulah jemparingan, sebuah olahraga tradisonal memanah yang mengharuskan si pemanah duduk bersila untuk memanah sasaran yang ada di depannya. Tak hanya itu, dalam jemparingan pun si pemanah harus mengenakan pakaian tradisional jawa. Walaupun olahraga ini tergolong tradisional, olahraga yang mengandung nilai budaya ini masih terus hidup di antara masyarakat khususnya di Jogja. Paseduluran Langenastro, begitulah mereka menamakan diri. Paseduluran ini merupakan perkumpulan orangorang yang menekuni jemparingan, tak kenal tua atapun muda. Begitulah nama paseduluran mereka rasa sebagai istilah yang cocok untuk nama perkumpulan. Mereka merasa nama paseduluran lebih erat maknanya daripada paguyuban atau yang lainnya. Paseduluran Langenastro selalu mengadakan latihan setiap sore. Beberapa dari mereka berkata bahwa
Sugesti jemparingan adalah hiburan. Jadi, jemparingan bukan hanya melestarikan budaya, melainkan juga dijadikan sebagai hiburan. Beberapa orang tua di sana menyebut hal ini dengan peribahasa “rabuk ing nusuwo” yang artinya adalah jemparingan merupakan pupuk bagi mereka di masa tuanya. Tak hanya itu, beberapa dari mereka juga memberikan nama pada busur dan anak panah mereka. Hal tersebut bukan sebagai syarat dalam jemparingan, namun lebih sebagai sugesti bagi mereka untuk lebih menyukai jemparingan itu sendiri. Tak terlindas waktu, begitulah jemparingan dewasa ini. Walaupun tergolong tradisional, jemparingan telah menjadi bagian dari masyarakat Jogja. Bukan hanya sebagai budaya ataupun olahraga, jemparingan sudah menjadi hiburan bagi mereka yang menekuninya. Bahkan saat inipun sudah banyak diadakan lomba jemparingan. Begitulah, jemparingan bertahan sebagai budaya ataupun sebagai olaharaga. Narasi dan Foto oleh Robithu Hukama
6 KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013
BagianBudaya,BertahanOlahraga,dari
Bersaing




PerangkatMengambilJemparinganAnakPanahJemparingan
BertahanOlahraga,sebagaidanMasyarakat
7KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013






Kala Kedudukan Presensi
Pertimbangannya, satu orang calon murid tambahan adalah warga sekitar sekolah. Kebijakan ini membuatnya harus mengklarifikasi penambahan kuota jumlah siswa baru ke Dikbud. Meski jaraknya tak dekat dari sekolahnya, ia tak mengeluh, “Walaupun jauh dari kabupaten dan guru yang serba pas-pasan, ternyata bisa memenuhi sesuai dengan permintaan pemerintah,” paparnya. Dengan jumlah guru yang serba terbatas, tidak membuat SDN Klangon pasif. Meski kualitas terbatas, usaha yang maksimal tentu bisa berbuah prestasi yang membanggakan. Pada 2011, SDN Klangon menempati peringkat 13 Sekolah Dasar se-DIY. Tidak sampai disitu, tahun 2012 SDN Klangon meraih prestasi lagi. SDN Klangon meraih peringkat delapan Sekolah Dasar se-DIY dan peringkat pertama se-Kabupaten Bantul dari 370 sekolah dasar, jumlah ini menurut surat edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantul per-15 Maret 2011. Meski sekolahnya sudah dapat beberapa prestasi, tak membuat Panut cepat puas, “Saya dan temanteman akan berusaha di tahun depan ada peningkatan lagi,” tutupnya.q
Telah Mengalahkan Ilmu...
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 5
Ilmu adalah sebuah kunci kehidupan. Kita bisa melakukan suatu hal karena mempunyai ilmu. Contohnya, dengan mempunyai ilmu seseorang bisa merancang komputer dan kemudian menunjukkannya ke seluruh penjuru dunia. Tanpa sebuah ilmu, pastinya ia tidak bisa merancang sebuah komputer. Bisa dikatakan, kedudukan ilmu di sini sangat tinggi. Tidak hanya dalam contoh tersebut, dalam setiap perjalanan hidup kita, ilmu mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting.Adapepatah yang berbunyi, “Tiada batasan umur untuk menuntut ilmu”. Pepatah itu mempunyai arti tidak ada batasan umur dalam menuntut ilmu. Setiap orang mempunyai cara masing-masing untuk mencari ilmu. Tak terkecuali kita, sebagai seorang mahasiswa yang mencari ilmu dengan cara mendaftar kuliah di sebuah perguruan tinggi. Dengan mengikuti atau berangkat kuliah, pastinya dapat menambah ilmu kita walaupun sedikit. Dari yang awalnya tidak tahu, dengan ilmu yang kita dapat kita menjadi tahu. Akan tetapi, kedudukan ilmu di kalangan mahasiswa sekarang ini sudah dikalahkan oleh kedudukan presensi. Presensi dan ilmu. Tidak sedikit mahasiswa yang lebih mementingkan terpenuhinya presensi mereka daripada terpenuhinya kebutuhan akan ilmu mereka. Banyak mahasiswa yang meninggalkan kuliah hanya karena masalah kecil seperti tidak menyukai dosen, bangun terlambat, bosan atau memang karena tidak begitu suka dengan mata kuliahnya. Di universitas tertentu, pastinya ketidakhadiran seorang mahasiswa mempunyai dampak. Misalnya di UII, mahasiswa harus hadir 75% agar bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Untuk mengatasi hal tersebut, seorang mahasiswa yang suka meninggalkan kuliah biasanya menitipkan presensi kepada temannya agar jatah presensinya terpenuhi dan bisa mengikuti UAS. Dari sini, terbukti bahwa mahasiswa lebih mementingkan presensi daripada berangkat kuliah untuk menambah ilmu. Jika banyak mahasiswa yang menitip presensi, apa guna kita mendaftar kuliah jika ujung-ujungnya suka melakukan hal tersebut? Apakah kita tidak menyayangkan ilmu yang telah kita tinggalkan? Memang, mereka yang meninggalkan kuliah bisa memenuhi persyaratan untuk mengikuti UAS dengan menitip presensi kepada temannya. Akan tetapi, meskipun mereka bisa menitip presensi, apakah mereka juga bisa menitip ilmu kepada temannya jika mereka meninggalkan kuliah? Lalu, bagaimana mereka mengerjakan UAS kelak jika ilmu mereka kurang karena kuliah saja sering mereka tinggalkan? Apakah presensi yang sering mereka titipkan tadi bisa membantu mereka dalam mengerjakan ujian? Tentu jawabnya tidak! Kekurangan ilmu adalah salah satu dampak negatif bila seorang mahasiswa lebih suka meninggalkan kuliah hanya karena hal kecil, yaitu menitip presensi kepada temannya. Bagaimanapun, mahasiswa sendirilah yang akan rugi jika mengikuti kebudayaan ini.
8 KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013
Seorang mahasiswa yang baik hendaknya mengikuti kuliah dengan baik pula. Memenuhi daftar presensi karena memang benar-benar berangkat kuliah, bukan karena menitip kepada teman. Seorang mahasiswa harus dapat bertanggung jawab atas kewajibannya sendiri. Janganlah lupa tujuan utama kita adalah untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu, bukan hanya memenuhi persyaratan akan presensi. Memang, terkadang kita akan merasa bosan untuk berangkat kuliah. Namun, bila kita mau bersungguhsungguh mencari ilmu, salah satu caranya dengan berangkat kuliah. Sebuah hasil yang baik pasti menanti kita. Seperti kata Aristoteles, “The roots of education are bitter, but the fruit is sweet.” Artinya, akar pendidikan itu rasanya pahit, tetapi buahnya manis.q
seberapa. Namun karena mereka mantap ingin berjuang mengajar, akhirnya saya terima,” katanya. Meski begitu, ia menilai peran GTT tidak hanya membantu dan menutupi kekurangan, tetapi kerja dan dedikasi GTT hampir sama dengan PNS.
Prestasi di Tengah Keterbatasan Pernah suatu ketika dalam penerimaan siswa tahun 2012/2013 ia memasang target penerimaan siswa baru sebanyak 32 orang. Kuota tersebut ia setorkan kepada Dikbud Kabupaten Bantul. Saat itu, justru jumlah pendaftar di SDN Klangon mencapai 33 siswa.
Oleh: Galuh A. P.


9KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013
Akan terbit majalah HIMMAH No. 01/ Thn. XLVI / 2013. Redaksi menerima tulisan artikel dan opini, diketik dua spasi, maksimal 4 halaman kuarto. Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah esensi tulisan. Naskah maksimal diterima pada 31 Maret 2013. Dapat dikirim di alamat email lpmhimmah@gmail.com



10 KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013 Indah Kisahnya, Tak Seindah Filmnya Judul Film : Habibie & Ainun Sutradara : Faozan Rizal Pemeran : Reza TioRatnaBungaRahardianCitraLestariRiantiarnoPakusadewo Produksi : MD Pictures Tanggal Rilis : 20 Desember 2012 Durasi : 118 menit Oleh: Marta Dwi K. Bacharuddin Jusuf Habibie atau biasa dipanggil B. J. Habibie mulai dikenal publik atas keberhasilannya menggarap proyek pesawat dirgantara satu dekade silam. Presiden ketiga Indonesia ini juga dikenal sebagai seseorang yang sangat cerdas. Tak hanya itu, sosok Habibie ternyata juga mempunyai kisah cinta yang inspriratif bagi kita. Untuk mengenang kisah tersebut, Habibie menulisnya dalam buku yang berjudul “Habibie & Ainun”. Tak berhenti di situ, buku tersebut akhirnya hadir dalam bentuk film yang disutradarai oleh Faozan Rizal. Dalam film yang berjudul sama seperti bukunya ini, sosok Habibie diperankan oleh Reza Rahardian. Ia adalah aktor yang secara fisik jelas berbeda dari tokoh aslinya. Tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi aktor yang telah memenangkan dua kali penghargaan Festival Film Indonesia (FFI). Ia tetap berhasil memerankan seorang Habibie. Seperti saat ia meniru gaya bicara dan gestur tubuh Habibie, kelihatan sangat mirip sekali dengan aslinya. Dalam film ini, karier Habibie di jajaran pemerintahan mengalami kemajuan pesat. Ia pernah menjabat berbagai posisi penting, dari menjadi menteri, wakil presiden, hingga puncaknya menduduki kursi RI 1 menggantikan Soeharto. Film “Habibie & Ainun” mendapatkan banyak pujian, salah satunya dikarenakan cerita yang membuat banyak penonton terharu. Namun bukan berarti film tersebut tidak mempunyai celah. Sosok istri Habibie bernama Hasri Ainun Besari, yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari, tidak bisa diperankan dengan maksimal. Padahal di bukunya, sosok Ainun digambarkan sebagai wanita yang cerdas dan mempunyai pribadi yang kuat. Tetapi faktanya, Ainun di film hanya digambarkan sebagai seorang istri yang bersembunyi di balik suaminya. Tidak ada sosok Ainun sebagai dokter cerdas yang menguatkan Habibie. Tidak itu saja, tokoh Sumohadi yang dikenal sebagai seorang pengusaha yang berusaha menyuap Habibie, yang dalam film ini diperankan oleh Hanung Bramantyo, terlihat tidak maksimal dan hanya seperti angin lalu bagi penonton. Film ini terkesan tidak mau mengambil risiko untuk mengulas kehidupan politik Habibie. Padahal kehidupan politik seorang Habibie tidak kalah menarik dengan kisah asmaranya bersama Ainun. Seperti masalah pelik Timor-Timur dan kala dirinya dituduh korupsi. Ketika membahas saat Habibie menjabat sebagai presiden pun hanya ditampilkan secara sekilas, tidak mendetail. Pada bagian tersebut, terlihat jelas alur yang digambarkan sangat berhati-hati. Film yang sebagian mengambil setting di Jerman, yaitu tempat dimana sang profesor dulu menimba ilmu, diakhiri dengan meninggalnya Ainun setelah melewati beberapa kali operasi kanker ovarium. Terlepas dari segala kekurangannya, bagian inilah yang mampu menjadi klimaks cerita. Dada penonton akan dibuat sesak lantaran haru biru tangis menonton kepergian Ainun dari sisi Habibie untuk selamanya.q




11KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013


Kang Pepih mengemas semua pengetahuannya tentang jurnalisme warga secara personal dengan gaya tulisan seperti sedang bercerita kepada teman. Tidak berat. Mudah dimengerti, namun sarat pengetahuan. Meskipun sebenarnya ada beberapa kesalahan pengetikan dan sejumlah paragraf panjang yang harusnya dapat dipecah menjadi beberapa bagian agar lebih nyaman dibaca, secara keseluruhan apa yang disampaikannya sangatlah bermanfaat, terutama bagi para jurnalis maupun orang-orang baru yang tertarik mempelajarinya. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman hidup penulis yang memaparkan contoh nyata beserta penjelasannya secara rinci. Kang Pepih adalah sosok jurnalis yang mampu mendengar dan menyampaikan suara rakyat secara akurat. Dari tulisannya, orang yang membaca dapat ikut merasakan kondisi yang sedang diceritakan. Tidak hanya mengupas soal teknik menjadi pewarta warga saja, Kang Pepih juga menjabarkan tentang pentingnya peran pewarta warga dalam beberapa peristiwa di dunia. muaSe Kompasianers dan para pewarta warga yang senang menuliskan berita di blog sosial disarankan untuk membaca buku ini. Sebab menjadi jurnalis adalah hal yang sangat rentan dan berhubungan dengan orang Jurnalismelain.merupakan media yang dapat mengontrol pola pikir masyarakat secara tidak langsung. Untuk itu, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam mengenai jurnalistik itu sendiri. Kita tidak bisa sembarangan menulis berita tanpa mengetahui apakah berita itu benar atau salah.q
Oleh: Fikrinisa’a Fakhrun H. “Kami menerima hak jawab jika ada pihak - pihak tertentu yang keberatan dengan pemberitaan KOBARkobari.”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dalam buku karya Kang Pepih ini. Buku bersampul cerah berwarna kuning oranye ini merupakan buku yang ringan dengan 192 halaman, itu pun sudah termasuk halaman indeks dan biografi singkat penulis. Isinya secara mendalam menekankan keharusan setiap warga untuk menempatkan rumus 5W+1H dalam suatu tulisan, meskipun bagi seorang pewarta warga atau kalangan blogger penempatan rumus tersebut dianggapNamun,sepele.justru itu menjadi bagian penting karena pembaca yang awam dapat dengan mudah memahaminya. Seperti terdapat pada halaman 96 dari buku ini, “Menjadi seorang pewarta warga di tempat kejadian peristiwa, Anda tetaplah warga biasa yang tidak berpretensi menjadi jurnalis profesional, bukan? Namun, Anda tidak lepas dari unsur-unsur ‘5W+1H’ (who, what, where, when, why, who).”
Penulis : Pepih Nugraha Penerbit : Penerbit Buku Kompas Tahun Terbit : Oktober 2012 Tebal Buku : xvi + 192 halaman Genre : Jurnalistik ISBN : 978-979-709-669-4
Harga : Rp 38.000,00 Sudah beberapa tahun ini, semakin banyak warga yang tertarik melakukan hal yang dikenal dengan istilah “Citizen Journalism”. Citizen Journalism, atau dalam disebut jurnalisme warga, merupakan sebuah aliran baru di bidang jurnalisme. Maksudnya adalah kegiatan warga biasa yang bukan wartawan profesional dalam mengumpulkan fakta di lapangan atas sebuah peristiwa. Kemudian, fakta tersebut disusun, ditulis, dan dilaporkan hasilnya ke media sosial. Contohnya seperti salah satu blog sosial bernama “Kompasiana”, blog yang dibentuk oleh Kang Pepih, begitu penulis buku ini disapa. Kompasiana kini menjadi blog sosial paling terkemuka di Indonesia.Kompasiana merupakan salah satu dari banyak wadah yang menjadi media bagi Kompasianers (sebutan bagi para pengguna Kompasiana untuk menuangkan pemikiran, opini, maupun melaporkan berita atas peristiwa yang terjadi di sekitarnya). Bagi banyak orang, kegiatan tersebut dikategorikan sebagai praktik jurnalismeNamun,warga.apakah sebatas itu saja makna citizen journalism? Sudah tepatkah gelar “jurnalis” diberikan pada warga yang melakukan reportase yang ditulis dalam blog mereka? Apa bedanya laporan warga dengan wartawan? Adakah kode etik dan aturan yang mengikat warga dalam melaporkan suatu peristiwa?
12 KOBARKOBARI EDISI 163 // XV // Maret 2013
Jurnalisme Warga, Tidak Sembarangan
Judul : Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman


