lpmhimmah@gmail.com, sites
http://lpmhimmahuii.org
Penantian mereka selama renovasi pun sia-sia.
menjajakan makanan di kantin tersebut. Sulistyoningsih misalnya, bersama suaminya, Agus, telah berjualan di kantin UII sejak 1987. Sedangkan Nur yang sekarang berusia 44 tahun telah berjualan di kantin Psikologi sejak 2004. Kehadiran Nur di sini mengikuti jejak kakak iparnya, yaitu Nyoman yang telah terlebih dahulu berjualan di tahun 1998. Nur pun menambahkan, “Kantin ini seperti keluarga bagi saya” imbuhnya.
Terkatung-katungnya Penjual Kantin
Oleh Maya I. Cashindayo Aldino Friga P.S.|KOBARkobari
Pengendara motor sedang mengamati bekas bangunan kantin kedokteran, Kamis (27/10). Kantin yang diklaim milik psikologi ini, nanti nya akan di renovasi setelah di tender oleh pihak universitas.
Semata karena Sulistyoningsih dan Nur memaklumi keadaan mahasiswa yang terkadang terlambat mendapat kiriman uang ataupun menipis keuangannya di akhirSulistyoningsihbulan. dan Nur bercerita pada KOBARkobari mengenai ditutupnya kantin tersebut. Menurut mereka, seminggu sebelum bulan puasa ada undangan rapat dari pihak FK. Rapat pun berjalan dengan dihadiri lima orang. Kelima orang tersebut adalah Nur, Sulistyoningsih, Nyoman, Titik Kuntari selaku Wakil Dekan FK, dan Riana selaku pengelola keuangan FK. Sebelumnya ketiga penjaja makanan ini tidak mengetahui agenda rapat waktu itu. Mereka pun terkejut ketika pengelola tiba-tiba memerintahkan untuk melakukan pengosongan kios. Alasannya, pengelola saat itu (FK) akan merenovasi kantin tersebut. Nur
Edisi 154 | Tahun Ke-14| Desember 2011 : : 1
Alasan kebersihan dan kenyamanan membuat Kantin Psikologi direnovasi. Namun perenovasian ini menjadikan beban bagi pen jaja makanan di kantin tersebut. Pasalnya mereka tidak memiliki jaminan untuk dapat berjualan kembali di sana usai renovasi.
Psikologi
Kampus Terpadu, Kobar Kantin Psikologi yang terletak di barat kantor Resimen Mahasiswa (Menwa) nampak sepi. Tak ada penjual. Tak ada pula mahasiswa yang dudukduduk sembari makan dan minum. Yang tersisa di pelatarannya hanya spanduk bertuliskan “Kembalikan kantin kami !! #saveKANTINpsi”.Banyakpihak mengenalnya sebagai kantin Psikologi. Namun sebenarnya kantin tersebut dikelola oleh Fakultas Kedokteran (FK), lalu berpindah ke pihak Rektorat November silam. Kantin sendiri memiliki empat buah kios, namun setahun terakhir hanya tiga yang diisi oleh penjual. Ketiga penjual tersebut adalah Nur Hariyani, Nyoman Puspitasari, dan Sulistyoningsih Rahayu atau yang lebih akrab dipanggil Bu Agus. Ketiganya telah bertahun-tahun
Perkataan Nur tersebut dilatarbelakangi perasaan kekeluargaan yang terjalin baik sesama penjual, mahasiswa, maupun karyawan UII. Nur dan Sulistyoningsih sendiri telah menganggap para mahasiswa yang sering membeli di kiosnya sebagai anaknya sendiri. Mereka tidak mempermasalahkan apabila ada mahasiswa tidak membayar makanan ataupun minuman yang dipesannya.


Selama ini Sulistyoningsih hanya mengandalkan tabungan dan kiriman uang dari anak-anaknya yang telah menikah. Sedangkan Nur hanya mengandalkan tabungannya sejak Juli lalu. Ia sudah merencanakan usaha kecil-kecilan di depan rumah. “Mungkin jualan pulsa atau laundry mbak,” ungkapnya. Penghasilan Nur dengan berjualan di kantin cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain bagi dirinya, keuntungan yang ia dapatkan dibagi dengan kedua karyawannya yang masing-masing sudah berkeluarga pula. Nur merasa kasihan bila perempuanperempuan yang membantu ia di kios tersebut menanyakan kapan bisa bekerja kembali. Begitu pula yang dirasakan Sulistyoningsih. Ia pun merasa iba melihat tiga orang karyawan yang ikut membantunya di kios terpaksa menganggur. Aksi Solidaritas Mahasiswa Kabar mengenai kantin tersebar hingga mahasiswa. Tak sedikit dari mereka bersimpati pada nasib pedagang kantin. Salah satunya #saveKANTINpsi. #saveKANTINpsi merupakan komunitas mahasiswa yang terbentuk akibat penovasian kantin psikologi. Kegiatan mereka semata sebagai aksi solidaritas terhadap nasib ibu-ibu penjual makanan di kantin Psikologi. Komunitas ini menganggap kebijakan pengelola terkait sistem tender memberatkan ibuibu tersebut. Apalagi menurut mereka Sulistyoningsih, Nur, dan Nyoman berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah. Salah seorang anggota #saveKANTINpsi, Muhammad Zuriad Fadil bahkan mengatakan, “Mereka seperti
Penggusuran dengan cara halus ini, secara tidak langsung sangat berlawanan dengan paham rahmatan lin ‘alamin yang digembar gemborkan UII. Dan patut dipertanyakan, apakah UII sudah pantas dikategorikan sebagai kampus rahmatan lil ‘alamin. menyesalkan pemberitahuan FK yang terkesan mendadak. Di sisi lain ia juga senang apabila kantin direnovasi. Ia membayangkan nantinya dapat berjualan dengan kondisi lebih nyaman dari sebelumnya. Juga harapan akan keuntungan yang lebih baik bila renovasi usai.Tetapi Nur harus menyimpan anganangannya. Hingga sekarang renovasi yang dijanjikan selesai pada September masih belum terwujud. Nur sempat ke FK untuk meminta kejelasan. Sekali lagi ia dikejutkan oleh informasi yang ia dapat. Sistem tender akan berlaku untuk menentukan penyewa kios Psikologi. Sulistyoningsih dan Nur kecewa akan kebijakan ini. Bahkan Sulistyoningsih merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak pengelola. “Saya kira ya gak akan ada tender mbak, saya kira setelah renovasi masih bisa tetap jualan,” keluhnya. Nur mengeluhkan sikap pengelola yang selama ini terkesan menggantungkan nasibnya dan teman-temannya. Padahal Nur sendiri sempat beberapa kali ke kampus. “Saya sudah dua kali ke kampus menemui Bu Riana, tapi cuma suruh tunggu-tunggu,“ keluhnya. Kenyataan yang didapatnya mengenai sistem tender pun menyia-nyiakan penantiannya selama ini. Sambil tersenyum ia menambahkan, “Yah, kita cuma bisa pasrah mbak.” Tender oleh Sulistyoningsih dan Nur hanya dianggap sebagai beban baru. Mereka merasa pesimis bisa lolos dalam tender, “Pasti tetap kalah lah mbak, uang banyak kan berkuasa,” ungkap Sulistyoningsih. Apabila memiliki kesempatan untuk memilih, Sulistyoningsih dan Nur rela apabila harga sewa dinaikkan. Tetapi masih dalam batas harga yang Sebelumnyawajar.biaya penyewaan satu kios senilai 3 Juta per tahun. Tiap penyewa mengangsur selama dua kali dalam setahun, Pada Januari dan Juli. Meski masa sewa satu tahun, penyewa hanya aktif berjualan selama delapan bulan karena terpotong hari libur. Selama ini Sulistyoningsih dan Nur telah mengupayakan untuk menjaga kebersihan kantin. Setiap hari mereka tak lupa untuk menyapu lantai ataupun membuang sampah yang menumpuk. Sulisyoningsih juga mengatakan mendiang suaminya dahulu sering memperbaiki bangku-bangku yang telah rusak serta membersihkan dinding-dinding yang mulai berdebu. Namun ketika suaminya meninggal akhir tahun lalu, pekerjaan tersebut tidak sering lagi dilakukan. Mereka sebaliknya mempertanyakan sikap pengelola yang tidak pernah mengurusi fisik kantin. Sempat mereka mengadu mengenai masalah fisik di sana, tetapi tidak ada tanggapan. Akhirnya mereka mengatasi sendiri masalahmasalah tersebut. Misalnya melakukan peninggian dapur yang sering tergenang air ketika hujan deras turun serta memperbaiki kursi-kursi yang rusak. Sulistyoningsih dan Nur adalah orangtua tunggal. Mereka harus berjuang sendiri untuk menafkahi anak-anaknya. Semenjak kematian Agus, Sulistyoningsih bekerja sendiri untuk menyekolahkan si bungsu yang masih duduk di Kelas dua SMA. Nur pun memiliki masalah yang sama. Ia mempunyai satu putri berumur 11 tahun. Sekarang mereka harus memikirkan pekerjaan lain untuk dapat menafkahi putri sematawayangnya tersebut.
2 KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011 “Kami menerima hak jawab jika ada pihak - pihak tertentu yang keberatan dengan pemberitaan Kobarkobari.” Dewan Redaksi: T. Ichtiar Khudi A., B. Kindy Arrazy. Pemimpin Redaksi: Moch. Ari Nasichuddin. Sekretaris Redaksi: Ahmad Ikhwan Fauzi. Redaktur Foto: M Naufal F. Redaktur Artistik: Yusuf W. Redaktur Pelaksana: Zaitunah Dian S. Staf Redaksi: Ahmad Satria Budiman, Alissa Nur Fathia, Dyah Ayu Ariestya, Herlina, Aulia Choiril F. Fotografi: Robithu Hukama, Aldino Friga P.S., Hasta Mufti S. Penelitian dan Pustaka: Wening Fikriyati, Nuraini A. L., Fitria Nur Jannah. Rancang Grafis: Bayu Putra P., M. Hanif Alwasi, A. Zendhy N. Perusahaan: Perdana K. W. J. P., Fitri A., Mellysa Virgin N.R., Fauziyah Dani F., Nur Karuniati. PSDM: Lufthy Z., Rama Pratyaksa, Khairul Fahmi, Ricky Riadi Iskandar, Rahmi Utami Handayani, Bastian Galih I. Jaringan Kerja: Wahyu Septianti, M. Jepry Adisaputro, M. Alfan Pratama, Maya Indah C. Putri. Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia. Alamat Redaksi: Jln. Cik di Tiro No.1 Jogjakarta. Telp (0274) 3055069, 083869969733 (Fauziyah Dani F., Iklan/ Perusahaan). Saran dan kritik melalui email: lpmhimmah@gmail.com, http://lpmhimmahuii.org.
Penindasan terhadap rakyat kecil tidak hanya ada di dunia luar sana. Tapi kini juga hadir di kampus kita. Kantin FPSB yang notabene diisi oleh penjual kantin yang berpendapatan menengah kebawah. Dengan secara halus pihak kampus menyingkirkan mereka. Semula pihak kampus mengatakan akan merenovasi gedung kantin tempat berjualan mereka. Akan tetapi para penjaga kantin tersebut dipersulit berjualan lagi. Hal itu dengan keluarnya kebijakan tender, bagi mereka yang ingin berjualan di kantin FPSB. Ini tentu sangat tidak adil, mengingat ekonomi mereka yang menengah kebawah. Yang pastinya akan kesulitan dalam memenangkan tender tersebut. Hingga saat ini, nasib penjual kantin itu untuk berjualan kembali ditempat yang sama, masih belum jelas.



Komunitas yang menjadikan Hall FPSB untuk tempat mereka berkumpul ini, telah melakukan berbagai upaya agar tuntutan mereka didengar oleh Rektorat dan FK. Tak hanya didengar tentunya, namun dikabulkan. Disamping itu, aksi juga ditujukan kepada mahasiswa lain agar sadar akan masalah yang terjadi di sekitar kampus. Aksi #saveKANTINpsi dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya berkampanye melalui spanduk, stiker, maupun buletin. Terkecuali stiker mereka jual ke mahasiswa. Harganya 10 ribu per tiga buah. Keuntungannnya digunakan untuk ongkos produksi buletin. Dikabulkannya tuntunan pertama agar tidak direlokasinya kantin dianggap #saveKANTINpsi sebagai capaian pertama mereka. Tidak puas sampai di situ, komunitas tersebut masih memiliki beberapa tuntutan bagi pihak pengelola. Bersama DPM FPSB dan FK, LEM FPSB dan FK, Mahasiswa FPSB dan FK, dalam secarik kertas tertanggal 1 november 2011 mereka tuliskan tuntunan-tuntutannya. Ada tiga poin tuntutan di situ. Pertama, melakukan penyegeraan renovasi kantin. Kedua, penjaminan pedagang lama untuk dapat berjualan kembali setelah renovasi. Dan yang ketiga, ke kedua belah pihak baik mahsiswa FK dan FPSB dapat mengontrol jalannya renovasi kantin. Sebagai penutup obrolan kami di sore itu Mirza Rusyda, salah seorang dari komunitas #saveKANTINpsi mengatakan, “Kami akan terus berupaya sampai keinginan kami dikabulkan,” semangatnya. Bagaimana Nasib Mereka? Asal mula FK sendiri, sebagai pengelola lama, melakukan renovasi karena menganggap kebersihan kantin kurang terjamin. Oleh sebab itulah FK ingin menciptakan kantin yang lebih higienis dan dibuatlah keputusan akan perenovasian. Rencananya kantin yang baru memiliki lima kios. Untuk menentukan penyewa di tiap kios inilah dilakukan sistem tender. Namun Titik Kuntari, Wakil Dekan FK menimpali, “Tender nanti, kita akan tetap mengundang ibu kantin lama kok,” ujarnya.Beberapa kendala membuat FK memundurkan waktu perenovasian. Titik menjelaskan keharusan rapat dengan rektorat membuat pihaknya butuh waktu lama untuk memutuskan hal ini. Disamping itu FK sempat menunda perenovasian karena menganggap kondisi masih belum kondusif, hal tersebut terkait reaksi kontra dari komunitas #saveSekarangKANTINpsi.permasalahan kantin psikologi memasuki babak baru. Pasalnya pihak FK tak lagi mengelola kantin yang berada di gedung unit 12 tersebut. Ketika dimintai konfirmasi terkait kabar ini, Titik Kuntari yang menjabat sebagai Wakil Dekan FK menolak untuk memberikan penjelasan. Ia mengatakan hal ini bukan wewenang FK lagi dan menyarankan untuk menghubungi Bachnas selaku Wakil RektorBachasIII. yang ditemui bersama Wakil Rektor II, Neni Meidawati, membenarkan bahwa pengelolaan kantin telah beralih ke pihak rektorat seratus persen. “Mereka (FK,red) sudah membiayai tapi masih dihujat terus,” ungkap Bachnas. Bachnas dan Neni menganggap tuntunan #saveKANTINpsi untuk tidak melakukan tender dan membebaskan penyewa kios lama untuk tetap berjualan tanpa melalui tender dirasa berlebihan. Menurut Bachnas, FK dan rektorat selama ini sudah mengabulkan keinginan #saveKANTINpsi untuk tidak melakukan pemindahan lokasi kantin. Mereka berdalih bahwa kebijakan tender ini untuk kebaikan mahasiswa karena rektorat menginginkan kantin yang lebih bersih dan nyaman. Nantinya setelah pelaksanaan tender akan dibuat kontrak yang jelas antara rektorat dengan penyewa kios. Diantaranya adalah tentang apa saja yang menjadi dagangan penyewa kios dan penekanan kebersihan kantin.Bachas sempat mengatakan penyewa lama boleh berharap untuk membuka usaha di sana kembali tetapi harus memenuhi kriteria yang ada. Kriteria tersebut seperti harga panganan yang dapat dijangkau mahasiswa maupun kebersihan yang harus dijaga. Seperti kontrak lainnya, kontrak di sinipun memiliki masa berlaku. Apabila ketika dievaluasi masih memenuhi kriteria, penyewa masih dapat berjualan. “Itulah orang kampus itu rasionalnya harus jalan. Cinta sih cinta tapi mikir dong” ujarDitanyaBachnas. kapan selesainya perenovasian kantin Psikologis, Bachnas mengatakan pihak rektorat tidak bisa serta merta langsung melaksanakan perenovaisan. Rektorat membutuhkan rancangan anggaran dari Badan Pengelola Aset (BPA) serta biaya yang tidak sedikit. Diperkirakan dana yang terpakai sebanyak 60 juta. Alasan itulah yang menjadikan perenovasian terkesan lambat. Bachnas memperkirakan bulan desember renovasi akanBerbagaiselesai. tanggapan pun datang dari mahasiswa. Salah satunya Tri Handayani, mahasiswi FPSB 2006. Secara pribadi ia tidak setuju apabila dilakukan sistem tender bagi penyewa lama. Ia memberikan alasan apabila sistem tender diberlakukan seharusnya universitas memberikan alternatif lain untuk penjual lama seperti diberikannya lapangan pekerjaan baru. Senada dengan Tri, Mira eka setyowati, mahasiswi FPSB 2008 mengungkapkan ia juga tak menyetujui apabila dilakukan sistem tender. Ketika ditanya mengenai kebersihan kantin psikologi itu ia mengangagap tak ada masalah yang berarti. “Aku emang sering ke kantin, tapi menurutku kebersihannya gak ada masalah sih” ujarnya. Tetapi mahasiswi FK 2008, Ninda Devita berpendapat bahwa kantin FK memang dinilai kurang dalam kebersihannya. Namun masih dalam taraf wajar baginya. “Memang kurang bersih, tapi wajar-wajar aja menurutku,” ungkap ninda. Eti marlina salah satu penjual di kantin pusat UII turut mengungkapkan pendapatnya. Eti tak setuju apabila sistem tender di berlakukan untuk kantin unit 12. Ia berpendapat lebih baik harga sewa yang dinaikkan daripada diberlakukannya sistem tender. Cara itu dianggap lebih manusiawi oleh Eli tanpa harus merugikan kedua belah pihak. “Kasian lah mbak, saya juga sama dengan mereka. Pasti berat” ungkapnya.q Reportase bersama Zaitunah Dian Sari Kami menerima partisipasi anda dalam kolom “Suara Pembaca”. Silahkan kirimkan email ke lpmhimmah@gmail.com
diusir secara Komunitashalus.”#saveKANTINpsi memiliki ikatan yang cukup dekat dengan ibu-ibu kantin FK. Mereka yang tergabung dalam komunitas #saveKANTINpsi menganggap kantin psikologi adalah tempat kedua mereka setelah kampus. Tak heran jika mereka memiliki kedekatan emosional dengan ibu-ibu kantin.
KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011

4 KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011 Narasi dan Foto oleh Robithu Hukama Berteman Buku hingga Usia Senja Senyum mbah zul Negosiasi Seharga sepuluh ribu




5KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011
Jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Laki–laki berusia 82 tahun yang bernama Zulkifli itu mulai beranjak dari tempat duduknya yang berada di depan toko. Mbah Zul, begitulah ia kerap disapa, mulai menurunkan kardus yang berisi buku-buku dari atas tumpukan satu per satu. Sesekali, ia mengambil nafas panjang. Dibantu anak bungsunya, Haslin, ia mulai menata buku-buku itu di depanSeorangtokonya.loper koran kemudian datang menyodorkan koran hari itu. Mbah Zul memang berlangganan koran setiap hari. Berbekal kacamata baca yang dibawanya dari rumah, Mbah Zul mulai membaca koran yang dibelinya tadi. Tidak hanya koran, terkadang ia juga membaca bukubuku yang ada di tokonya. Sejak usia muda, memanfaatkan waktu senggang untuk membaca sudah menjadi kebiasaan Mbah Zul. “Dari dulu, saya memang suka baca buku buat memanfaatkan waktu senggang,” ujarnya.Ditemani suara bising dari kendaraan yang melintas, Mbah Zul menunggu para pelanggan datang. Sekali waktu, ia tertidur karena lelah menjaga toko bukunya. Bahkan terkadang, ia malah dibangunkan oleh para pelanggannya. Tidak semua orang yang datang ke toko bukunya berkepentingan untuk membeli buku. Ada beberapa orang yang datang untuk menjual beberapa buah buku bekas.Siang beranjak malam, namun Mbah Zul belum juga menutup tokonya. Usia senja sama sekali tidak menghambatnya untuk bekerja hampir 13 jam sehari. Haslin hanya menemaninya hingga pukul empat sore. “Saya kerja itu pokoknya dibawa senang saja,” katanya lagi. Memasuki jam sembilan malam, Mbah Zul mulai merapikan buku-bukunya. Sudah waktunya toko tutup. Ia merapikan buku-buku tersebut seorang diri. Sesekali ia kembali berhenti untuk mengambil nafas, lalu meneguk air dan beristirahat. Soal pendapatan, Mbah Zul mengaku jumlahnya tidak tetap setiap hari. Dibantu dengan uang pensiunan almarhumah istrinya, uang yang diperolehnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Dari toko itu, ketujuh orang anaknya dapat mengenyam bangku pendidikan. Bahkan empat orang dari mereka kini sudah menyandang gelar sarjana. Bagi Mbah Zul, buku-buku yang dimilikinya adalah warisan untuk anakcucunya. Di usia senjanya kini, hanya satu alasan yang membuatnya tetap bertahan. “Saya nggak mau jauh dari buku,” tutur Mbah Zul menutup ceritanya. Membaca sambil menjaga Toko buku kumala




KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011 Dilema PesantrenisasiPelaksanaanIP
Pesantrenisasi International Program (IP) sudah berjalan dua tahun silam. Namun dalam perjalanannya, beberapa pihak menuai pro dan kontra. Oleh Fitria Nur Jannah Sejatinya, kegiatan pesantrenisasi diatur oleh Direktorat Pembinaan Pengembangan Agama Islam (DPPAI). Ada yang baru pada pelaksanaan pesantrenisasi tersebut. Kegiatan yang biasanya diadakan serentak se-UII ini mengalami pemisahan. Pemisahan yang dimaksud adalah antara program reguler dan program internasional (IP). Dalam pelaksanaannya, pesantrenisasi terdiri dari dua tahap. Tahap pertama diperuntukkan bagi mahasiswa baru untuk mendapatkan pendidikan dasar yaitu Baca Tulis Al-Qur’an (BTAQ). Sementara tahap kedua merupakan pendidikan lanjut yang lebih menekankan pemahaman dakwah sebagai persyaratan bagi mahasiswa yang ingin melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan ujian pendadaran.Ditemuidi kantornya yang terletak di Gedung Prof. Dr. M. Sardjito, MD, MPH lantai tiga, Asmai Ishak, selaku Dekan Fakultas Program Internasional, mengutarakan bahwa pemisahan pesantrenisasi ini dimulai sejak tahun 2009. Saat itu, belum ada penyatuan International Program (IP). “Kita menyadari mahasiswa IP kan bayarnya beda dan kita menonjolkan dalam kegiatan character building,” ujar Asmai.Asmai menjelaskan, pihaknya saat itu masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi (FE). Ketika itu, ia sudah melakukan koordinasi dengan jajaran dekan yang memiliki IP, seperti Dekan Fakultas Teknologi Industri (FTI) yang saat itu masih dipimpin Fathul Wahid dan Dekan Fakultas Hukum (FH) yang diwakili Mustakiem. Asmai menambahkan, selanjutnya hasil putusan bersama tersebut mendapatkan izin resmi dari pimpinan universitas saat itu. Pondok pesantren UII diajukan sebagai lokasi pesantrenisasi IP. Dihubungi via Short Message Service (SMS), Fathul Wahid, mantan Dekan FTI sebelum Gumbolo Hadi Susanto (Dekan FTI sekarang), memberikan pernyataannya. “Kalau urusan itu memang benar, tapi kalau lebih lengkap soal tema pesantrenisasi IP, Pak Asmai yang lebih tahu,” ujar Fathul. Di lain pihak, Wakil Rektor III, Bachnas, mengutarakan bahwa pada tahun 2009 dirinya belum mendapatkan amanah sebagai Wakil Rektor III dan belum mengetahui betul tentang seluk beluk pesantrenisasi IP. “Semenjak menerima amanah, kemudian saya pelajari dan saya lihat. Menurut pengamatan saya, ada sesuatu yang tidak pas,” kata Bachnas. Cithra Orisinalandari, Ketua Program Karakter Building IP, menerangkan bahwa perbedaan pesantrenisasi IP dengan pesantrenisasi reguler sangatlah tipis. Perbedaannya adalah pada hari pertama dan hari kedua diadakan acara yang bernama Achievement Motivation Training (AMT) dan Life Management Training (LMT). Selanjutnya, disusul pesantrenisasi untuk mahasiswa IP di pondok pesantren UII selama 12 hari. “Jadi kita mempunyai target lulusan mahasiswa IP itu dia harus menjadi leader yang memiliki nilai-nilai islam. Tapi nilai islam bukan hanya sekedar hanya knowledge, tapi dia juga melakukannya,” tuturCithraCithra.berkomentar, pesantrenisasi IP merupakan pesantrenisasi dasar, karena menurutnya secara konsep pesantrenisasi IP mempunyai target yang sama dengan pesantrensasi dasar, yaitu diharapkan mahasiswa IP bisa baca tulis Al-quran dan mampu hafalan doa sehari-hari dan surat-surat dalam Al-quran. Tidak jauh berbeda dengan dengan yang diungkapkan Cithra. Menurut Asmai, pesantrenisasi IP juga merupakan pesantrenisasi dasar. Ini dilandasi dengan melakukan koordinasi kepada pihak
DPPAI, melalui SK Rektor nomor 430/ SK-Rek/20/PPAI/VIII/2008/2009, yang berisi tentang penetapan penguji untuk baca tulis Al-quran dan praktik ibadah. Selain pemateri, nilai-nilai mahasiswa IP yang mengikuti pesantrenisasi IP akan dimasukan ke DPPAI. “Kita tidak pernah mandiri, lantas mengembangkan sendiri. Daripada kita bikin forum yang lain dan tambah biaya,” ungkapnya. Agus Taufiqurrahman selaku Direktur DPPAI, mengamini apa yang dikatakan Asmai. Menurut Agus, sebelum IP menjadi fakultas, pemateri dan penguji diambil melalui rekomendasi oleh pihak fakultas yang mayoritas berasal dari kalangan dosen. Untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pelatihan, guna persiapan menjadi pemateri sekaligus penguji. Bachnas kembali berkomentar, bahwa ia mencurigai adanya kekurangan dalam pesantrenisasi yang diselenggarakan IP. Kemudian, oleh Bachnas ditindaklanjuti dengan memberikan surat edaran bernomor 552/WR.III/90/DOSDM/III/ 2011 ke seluruh dekan se-UII. Surat edaran ini, mengacu pada SK Rektor bernomor 146/B.6/Rek/VIII/1999 tentang Pola Pengembangan Mahasiswa (Polbangmawa). Bachnas berkomentar pada ketentuan pertama dan kedua, Bersambung ke halaman 8... Bayu Putra P. | KOBARkobari


Oleh M. Naufal Fakhri
Tak hanya itu, seorang filsuf juga harus melatih emosinya. Kita perlu melihat manusia sebagai produk keadaan. Misalnya, seseorang dengan perilaku buruk. Banyak faktor penyebab ia melakukannya, seperti salah didik, salah makan, atau mungkin karena masalah ekonomi. Di sini, kita belajar berpikir dan merasakan. Terlepas dari subjektivitas apapun, apakah benar atau salah, kita melihatnya sebagai manusia. Dalam bukunya, Russell membantu kita untuk berpikir kritis. Russell menunjukkan kebenaran rasional yang tadinya bersifat irasional. Dengan mencari dasar pemikirannya, lalu diperkuat oleh fakta-fakta yang ada, dan juga menggunakan metode ilmiah, ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan (sains) mampu membuktikan fenomena yang terjadi di alam semestaRussellini.berasumsi bahwa jenis-jenis pengetahuan yang paling pasti adalah pengetahuan yang jarang diperdebatkan. Contoh adalah matematika. Bagi orang-orang yang mampu mengapresiasikannya, matematika menawarkan berbagai kesenangan dalam berlogika. Russell percaya orang yang kemampuan matematikanya memadai akan lebih berhasil mengembangkan kemampuannya untuk berpikir rasional.
“Satu jam bersama Galileo dan Newton akan lebih berharga dibandingkan setahun bersama Plato dan Aristoteles,” kata Rusell. Itu karena Aristoteles dan Plato tidak memiliki kemampuan berlogika yang ditopang oleh fakta yang ada. Alhasil, hanya akan menunjukkan kesalahan penalaran. Zaman menyeret kita untuk lebih menggunakan logika. Dalam hal ini, ilmu pengetahuanlah yang paling berguna dimana ilmu pengetahuan menghapuskan keyakinan irasional manusia. Dengan metode–metodenya, ilmu pengetahuan menggantikan kebenaran semu dengan kebenaran yang pasti. Untuk itu, kita perlu melatih intelektualitas. Dalam melatih intelektualitas, kita perlu belajar apa yang harus diyakini dan apa yang tidak. Salah satunya adalah dengan melakukan penalaran secara tepat dengan kemungkinan kesalahan yang kecil serta mengambil kesimpulan dengan tingkat validitas tinggi.
Terakhir, dengan membaca buku ini bukan berarti kita harus menjadi seorang filsuf. Namun, lebih bagaimana cara kita mengimplementasikannya yakni dimulai dengan mengubah pola pikir kita. Berpikir rasional, mengambil kesimpulan dengan dasar yang tepat dan melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Biar bagaimanapun, intelektualitas dan emosi adalah dua faktor yang paling berpengaruh pada kehidupan kita.
Itulah sedikit uraian buku karya Bertrand Russell ini. Buku yang berjudul “Berpikir ala Filsuf” ditulis Russell saat terjadi Perang Dunia II. Buku tersebut terdiri dari tiga tulisan esai, seni perkiraan rasional, seni menarik kesimpulan, dan seni berhitung. Kekurangan buku ini adalah bahasanya yang agak sulit dipahami. Logika bahasanya yang rumit membuat saya harus bolak-balik membaca kalimat yang sama. Sekilas tentang Bertrand Russell, ia adalah seorang filsuf dan ahli matematika ternama di Britania Raya. Ia pernah dianugerahi Order of Merit pada tahun 1949 oleh Ratu Elizabeth II dan meraih nobel di bidang sastra pada tahun 1950. Sumbangan terbesarnya di bidang ilmiah adalah di bidang logika matematika.
KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011 Judul Buku : Berpikir ala Filsuf Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Basuki Heri Winarno Penerbit : Ikon Teralitera, Yogyakarta Cetakan : I, Agustus 2002 Tebal Halaman : ix + 117 Halaman
Kritis ala Filsuf




....sambungan dari halaman 6 membahas tentang Polbangmawa yang dibawah koordinasi Wakil Rektor III, yang untuk teknis pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Bakat/ Minat dan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI). “Jadi dek, yang namanya pembinaan dasar itu semua sama. Tetapi saya memberikan suatu kesempatan kepada masing-masing fakultas. Kalau ingin menambahkan pembinaan diluar pembinaan pokok (dasar-red) silahkan!” ungkapnya dengan nadaBachnastegas. menambahkan bahwa dalam pesantrenisasi IP, ada yang keliru yang tidak sesuai dengan SK yang pernah diedarkanya. Bachnas sendiri menakutkan, apabila di UII sendiri ada acara separatis serupa yang menyusul di fakultas-fakultas lainnya, yang tidak sesuai dengan aturan universitas yang menyeluruh. “Kadang ada orang yang memaksakan keinginan. Ini yang menurut saya, yang harus dibenahi di UII ini, jadi kita harus mematuhi aturan-aturan main yang ada,” ungkap Bachnas. Supriyanto Pasir selaku Kepala Divisi Pengembangan dan Pendidikan Agama, turut berkomentar soal pesantrenisasi IP. Menurut Pasir secara pribadi, pemisahan itu atas dasar keinginan IP. Pasir punya anggapan bahwa aturan universitas, untuk seluruh mahasiswa pesantrenisasi tahap satu berada di rusunawa. “Dulu itu IP tidak kita akui, dulu kan awalnya kita (DPPAI-red) ada. Jadi pemahaman kami harus saklek apa adanya hukumnya itu ya itu, karena melakukan sesuatu harus ada payung hukumnya. Kalau tidak ada gimana keabsahannya,” ujar Pasir. Agus juga menambahkan apa yang disampaikan Pasir, menurutnya semenjak pemisahan pesantrenisasi IP pihaknya masih belum menjabat sebagai Direktur DPPAI. “Dulu kita pinginnya mbok digabung saja dan teman-teman DPPAI lainnya juga mengusulkan hal yang sama,” kenang Agus.Nanda Khairisma, mahasiswi IP Fakultas Hukum angkatan 2011. Berkomentar, bahwa ia merasakan kegelisahan karena adanya kecemburuan sosial. “Saya pernah merasakan saat SMA, karena saat itu saya siswa ICT (International Communication Technical),” kenangnya. Nanda menambahkan, menurutnya ketika mahasiswa IP melintas didepan mahasiswa reguler, mahasiswa IP terlihat eksklusif dan mendapatkan cemooh dari mahasiswa reguler. Ia menyarankan, sebaiknya ditetapkan menjadi satu, agar adanya tukar pikiran. “Contohnya dalam hukum internasional tidak lepas juga dengan hukum nasional,” imbuhnya. Senada dengan yang diungkapkan Nanda. Siwi Sulistyaningtyas, mahasiswa IP FH ini mengutarakan, pesantrenisasi IP terkesan ribet dan membingungkan.
Rapat ini turut mengundang jajaran rektorat, dekan fakultas se-UII, Direktur Kemahasiswaan, Direktur DPPAI dan Pengelola Masjid Ulil Albab dan Auditorium KaharAdaMudzakir.yang mengejutkan dalam hasil rapat koordinasi ini. Hasil yang diperoleh adalah kembali disatukannya pesantrenisasi program regular dan program internasional. Saat ditemui untuk ketiga kalinya, Bachnas yang saat itu selaku pemimpin sidang rapat koordinasi mengutarakan bahwa pengembangan mahasiswa beragam jenisnya, salah satunya adalah dalam hal keagamaan yang dibuat oleh universitas. Dalam pengelolahannya, Bachnas turut mengundang jajaran dekan fakultas seUII, untuk menyampaikan poin penting, tentang Polbangmawa yang pendidikan dasarnya dilakukan oleh universitas. Bachnas menambahkan, dalam rapat koordinasi tersebut tidak hanya jajaran dekan saja yang menyetujuinya, Direktur Kemahasiswaan dan Direktur DPPAI yang menghadiri rapat pun turut menyetujuinya. Meskipun dalam forum tersebut, ada beberapa pihak yang menilai pesantrenisasi IP itu adalah program yang khusus dan berbeda dengan yang lain. “Harusnya semua mengikuti peraturan universitas kecuali mau bikin universitas sendiri,”Ditemuitegasnya.dikantor Asmai, salah seorang tim KOBARkobari menanyakan tentang pertimbangan penyatuan pesantrenisasi IP dan pesantrenisasi reguler. Asmai lebih memilih bungkam dan tidak memberikan alasan hasil rapat koordinasi tersebut, “itu kan keputusan bersama, prosesnya seperti apa yang saya pikir, saya tidak perlu ngomong ke anda,” ujar Asmai. Dihubungi via telfon, Agus mengungkapkan bahwa sebelumnya Wakil Rektor III yang dipimpin Bachnas, menilai ada sedikit keganjalan. Terutama dalam pelaksanaan pesantrenisasi IP, yang selanjutnya diadakannya rapat koordinasi. “Itu kan hasil forum dek, jadi hasilnya menjadi kesepakatan bersama,” ujarnya secara singkat.q
Reportase Bersama Bethriq Kindy Arrazy, Nur Karuniati, dan M. Alfan Pratama
KOBARKOBARI EDISI 154 // XIV // DESEMBER 2011
“Sepertinya soal itu memang kurang adanya koordinasi yang jelas dari pihak IP dengan DPPAI,” keluh Siwi. Mahasiswi angkatan 2009 ini juga menambahkan, untuk urusan sosial sekarang kondisinya sudah terpisah, jadi pada saat berpapasan dengan mahasiswa IP pun baik-baik saja. “Saya merasakan biasa-biasa saja dan tak masalah,” ujar Siwi. Berbeda dengan Nanda dan Siwi, Fajar Dwi Apriyanto, mahasiswa IP Teknik Industri. Fajar sendiri mengakui bahwa kecemburuan sosial itu memang ada, tetapi Fajar menilai kalau mahasiswa IP tidak terkesan eksklusif. Ini diungkapkan Fajar, dikarenakan sikap seperti itu, hanya pandangan dari teman-teman (mahasiswa-red) reguler. “Kayaknya hanya orang-orang tertentu saja yang kenal dengan saya, karena saya selama ini kebanyakan teman main anak-anak reguler,” tutur mahasiswa angkatan 2009 ini. Dengan bijak, fajar memberikan saran buat sistem IP untuk selanjutnya. Fajar mengharapkan adanya manajemen yang lebih bagus. “Menurutku bagusan digabung karena untuk tingkat kedisiplinan rusunawa reguler itu lebih disiplin daripada IP, yang banyak kelonggaran dan bisa mengurangi kecemburuan sosial. Selain itu, bisa membentuk mental yang bagus yaitu dengan mempererat silaturahmi,” tambahnya. Kembalinya Pemusatan Pesantrenisasi Polemik ini tidak diam di tempat saja. Pada tanggal 15 November 2011, ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi pembahasan pesantrenisasi kemahasiswaan dan ESQ mahasiswa.

