16
SASTRA
MINGGU
26 maret 2017
Ketika Lelaki Lebih Lama di Dapur Cerpen Adi Zamzam
D
ALAM sebuah lintasan pikiran, Darmuji pernah memiliki sebuah angan yang sungguh gila; mencuri matahari dan rembulan. Sebab, ia tahu kedua benda itu adalah pusat waktu, saksi dari semua lelaku fisik. *** PAGI, adalah waktu ketika Darmuji merasa enek dengan suara istrinya. “Bangun, Kang! Ayam saja sudah bangun, ekereker makanan. Kamunya yang punya kewajiban kok masih mlungker di atas pembaringan.” Yang lalu disambung dengan teriakan-teriakan lainnya. Suara-suara perabot dapur yang beradu kasar, bahkan juga umpatan-umpatan berbau kotoran dan penghuni kebun binatang. Dengan mata berat dan langkah lambat, bangunlah Darmuji melayani kecerewetan itu. Dimulai dari cuci muka, dilanjutkan cuci piring, cuci baju, menyapu lantai, dan berakhir di pekarangan rumah. Sementara istri tercintanya hanya kebagian me nyiapkan lauk (memasak sudah tertangani rice cooker), mandi, lalu mempercantik diri di depan cermin, sebelum kemudian menyetorkan diri ke pabrik sepatu milik orang Korea yang bercokol di pinggir desa. Semua kesibukan itu belum ditambah ketika si kecil Nunik bangun dan menjerit-jerit minta susu. “Mbok ya cepat dibuatkan susu kenapa sih, Kang?! Memangnya kau mau pertemuan ke mana?” ‘Kau’, kata perempuan iu dengan lantang, sambil mematut diri di depan cermin. Dengan intonasi yang Darmuji tahu itu pertanda apa. Itulah mengapa Darmuji senang mendesiskan nama ‘istri tercinta’ di sesela gerutu kekesalannya. Di satu sisi, tanpa keberadaan perempuan itu, rumah ini pasti sudah ambruk lantaran ketimpangan ekonomi. Namun di sisi lain, lantaran keberadaan perempuan itulah kekacauan dalam rumah justru makin menjadi. “Minta ke bapakmu juga sana! Beraninya jangan cuma ke simbokmu saja!” sebuah kalimat yang tak pernah absen ketika dua anaknya minta uang saku. Darmuji mengerti bahwa istrinya berusaha menunjukkan sebuah ironi kepada anak-anak itu, bahwa bapaknya begini dan ibunya begitu. Tapi memang dasar anak-anak—yang seolah memiliki radar penunjuk, larinya tak pernah ingkar ke arah di mana duit bersemayam. Keriuhan kecil itu pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pagi. *** Siang, adalah ketika Darmuji disibukkan dengan aneka rencana yang memenuhi kepalanya setelah disibukkan dengan kegiatan masak-memasak di dapur. Ya, ia memang telah menjadi seorang lelaki yang sehari-hari memasak. Setelah memasak menjadi salah satu hal yang membuatnya tak lagi canggung berada di dapur, ia mulai sering kebingungan memilih rencana yang mana. Dari Supar, ia mendapatkan rencana untuk berjualan satai ojek. Konon untungnya lumayan dengan tanggungan pekerjaan yang ringan. Hanya dengan menunggui dagangan di halaman sekolah, kau bisa leluasa merokok dan jagongan. Toh barang daga ngannya bisa ambil dari istri Supar. Dari Mudi, ia mendapatkan rencana untuk berjualan kepiting dan belut. Konon hasilnya juga lumayan dengan tanggungan pekerjaan yang menyenangkan. Mudi hobi memancing. Hobi yang menghasilkan sungguh menyenangkan, katanya. Sayangnya Darmuji tak hobi memancing. Dari Daim, ia pun mendapatkan rencana untuk berjualan kroto dan ulat pisang. Konon hasilnya juga lumayan dengan tanggungan pekerjaan yang tidak buruk-buruk amat. Sayangnya dari semua rencana itu, tak satu pun jalan yang menawari Darmuji bisa memakai baju seragam necis dan dandanan klimis yang meyakinkan bahwa ia lelaki berpenghasilan. Belum lagi jika berhadapan dengan kalimat sinis istrinya,
“Memangnya bisa menghasilkan berapa? Bisa untuk mencukupi semua?” Jadilah rencana-rencana itu hanya memenuhi dan kadangkala memberatkan kepala Darmuji. Padahal di desa itu, kebanyakan lelaki memang profesinya tak jauh-jauh dari pekerjaan di atas. *** Di kala sorelah Darmuji lebih bisa banyak berpikir. Berpikir tentang pernikahannya yang sepertinya sudah salah sejak dari awal. Bukannya menjadi pemimpin, tapi ia justru merasa menjadi yang tertindas. Beberapa teman yang mengetahui kondisinya itu, sering mengejeknya dengan sebutan ‘Ibu Darmuji’, sang bapak rumah tangga. Sering Darmuji b e r pikir, p e -
Ketaatannya terhadap waktu mengalahkan rasa hormatnya kepada Darmuji. Jika jam segini sudah harus melakukan ini, jika sudah jam segitu sudah harus menyelesaikan pekerjaan itu. Waktu seolah sudah menjadi bos besar yang semua tanda perintahnya harus dikerjakan sesegera mungkin. Sering Darmuji berpikir, andai saja bagian-bagian waktu yang memuakkan bisa dilipat atau disingkirkan, dan pada bagian-bagian tertentu bisa panjangkan atau dipendekkan. Entah bagaimana caranya. Darmuji belum ingin berpisah dari istri tercintanya. Ia tak mau anak-anaknya kehilangan sosok ibu atau ayah kandung. Darmuji lantas punya pe-
n Sugeng Riyadi
nyebab semua itu adalah istri tercintanya sendiri. “Kalau bukan dirimu, lantas siapa lagi? Jangan cuma mau enaknya doang! Dipanggil bapak, tapi enggak becus apa-apa. Lelaki macam apa itu?!” dengan nada sinis yang menusuk sekali. Perempuan itu lalu menyandera Darmuji dengan pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya. Sebuah pekerjaan yang sepertinya paling lama jam kerjanya. Dulu sebenarnya tak begitu. Sebelum pabrik sepatu milik orang Korea bercokol di perbatasan desa, Darmujilah yang bekerja. Meski penghasilannya selalu pas-pasan, apa pun pekerjaan pernah ia lakoni. Dan ketika pabrik itu datang menancapkan kaki, orang-orang desa pun bersorak. Apalagi ketika mereka menyatakan ijazah bukanlah syarat utama, asal ia asli orang desa tersebut, dan berjenis kelamin perempuan muda. Seperti air kali yang bedah bendungannya, para perempuan desa pun berbondong-bondong me nyerbu pabrik. Salah satunya adalah istri Darmuji. Banyak yang kemudian menjadi bapak rumah tangga, atau rumahnya menjadi kosong lantaran ditinggal pergi para penghuninya. Dan dua tahun setelah fenomena itu, beginilah keadaannya; istri Darmuji berubah cerewet, suka uring-uringan, suka main perintah, sinis, jauh dari anak-anak, dan tak peduli dengan pekerjaan rumah.
mikiran lain terkait ketimpangan ini. Apakah mungkin semua ini hanya soal balas dendam, lantaran dulu ia juga pernah berperilaku sama? *** “Malam ini kau ingin apa?” Darmuji mendekati istrinya setenang mungkin. “Ingin apa, bagaimana maksudmu?” tanya sang istri tak mengerti, lantaran memang tak biasanya lelakinya bertingkah seperti itu. Darmuji pun menyuguhkan wajahnya seenak mungkin, “Katakan saja, apa yang sangat kau inginkan malam ini. Misalnya, apa kau tak ingin bersenang-senang sebelum apa yang kau sukai hilang?” Kening perempuan itu langsung berkerut, “Memangnya apa yang hendak kau lakukan? Kau mau mencuri apa dariku? Tega sekali kau, lelaki macam apa kau ini?” Darmuji menarik napas panjang. Ia menatap kubah malam dengan khidmat sekali. Dengan tersenyum, ia kemudian berujar, “Bagaimana seandainya bintang-bintang itu besok sudah tak ada lagi?” Sang istri pun langsung mengarahkan tatapannya ke arah taburan gemintang. “Bagaimana seandainya rembulan itu besok sudah tak ada?” sambung Darmuji lagi dengan nada tenang. Sang istri langsung mengalihkan pandangan-
nya ke arah rembulan. Namun hanya selang beberapa menit, dia langsung menoleh ke arah suaminya. “Heh, memangnya apa yang hendak kau lakukan?” Darmuji hanya tersenyum. Tapi istrinya telanjur teracuni pikiran-pikiran buruk. Semalaman itu, perempuan itu pun kesulitan memejamkan mata. Diamatinya segala tingkah suaminya, dari sejak makan malam sampai kemudian bersanding di pembaringan. Pikirannya terus melayang ke pisau dan spiritus di rak dapur, gas, korek api, sampai racun tikus yang sepekan lalu memang sengaja ia beli untuk mengurangi populasi tikus dalam rumahnya. “Tidurlah…” “Aku tidak bisa tidur. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan…” “Apa yang aku pikirkan?” “Mengapa kau berujar seperti tadi?” “Aku hanya ingin kau memikirkan jawabannya, bagaimana seandainya semua itu kemudian memang benar-benar terjadi. Bahkan bagaimana seandainya matahari tak terbit besok pagi,” dengan mata terpejam. “Lalu?” menatap penuh curiga. “Bagaimana seandainya besok aku juga tak ada? Apakah kelakuanmu masih akan sama?” “Kelakuanku yang mana?” “Semua ucapanmu, kelakuanmu sedari pagi hingga malam begini.” “Oo…jadi kamu tak rela aku perintah begini begitu? Kamu tak rela jika aku marah dan mengomelimu lantaran kamu yang tak mengerti segala pekerjaan rumah?” Tapi Darmuji sudah tak memedulikan ocehan istrinya. Kedua matanya perlahan menutup rapat dari cahaya, kedua teli nganya perlahan menutup rapat dari segala bunyi, dan mulutnya perlahan terkunci rapat dari desis suara. Hanya dalam mimpi ia bisa mengajak istrinya tercinta bercinta sepuasnya. Sebuah keinginan yang tak sempat terucap lantaran terempas kesinisan istrinya. *** Darmuji sempat tersenyum ketika istrinya terbangun tiba-tiba dengan raut kebingungan. Tak ada kokok jago, tak ada azan Subuh, tak ada tanda-tanda kedatangan pagi. Mereka sama-sama terbangun lantaran sebuah kebiasaan. Darmuji pun bangkit dengan kelegaan yang meruah. Kedua matanya berkaca-kaca. Doanya semalam terkabul. Apa yang akan dilakukan perempuan itu jika tak ada pagi? Sebuah kebebasan yang sangat ia idam-idamkan. “Aku kesiangan! Ayo cepat bangun! Pekerjaanmu menumpuk!” teriak perempuan itu tiba-tiba, sekembalinya dari luar kamar. Ketika ia membuka pintu dan kelambu jendela, sinar matahari langsung masuk tanpa permisi. Suara ribut anak-anak menyeruak lewat pintu kamar. “Bisa digampar mandor aku nanti! Ayo bangun, pemalas!” Kaca-kaca di kedua pelupuk mata Darmuji makin meruah. Tapi ia tahan agar tak meleleh. Ia masih berpikir, bagaimana caranya menghilangkan matahari dan rembulan, agar drama memuakkan ini turut berakhir. Ia sama sekali tak ingin anak-anaknya kehilangan sosok ayah, baik karena alih fungsi pekerjaan apalagi perceraian. Meskipun sebenarnya ia bisa menghidupi dirinya sendiri. n Kalinyamatan, Jepara, 2016
sajak
Sajak-Sajak Anang Kurniawan Kotamu
:Catatan kecil dari Tanjungkarang kotamu adalah jalan panjang dalam mimpiku mencarimu di sudut-sudut waktu, di antara lampulampu buram yang membisu di kotamu telah tertanam rinduku dari hujan masa lalu jalan-jalan basah membawa resah kotamu adalah engkau kucari dalam mimpi di kotamu malam-malam begitu panjang menyaksikan sisa-sisa hujan di antara lampu-lampu buram adalah kebisuan aku mencarimu rindu di antara puing-puing waktu yang tersisa di kotamu. kucumbu dalam sendu. 2017
Kereta Pagi Menju Kotabumi, 2
Hujan dalam Diam
lima menit sebelum kereta berangkat aku sempat mencatat puisi di antara wajah-wajah asing di antara langkah-langkah yang lelah kotamu yang penuh harum rindu seperti mengutuk rinduku
Betapa sepinya ketika hujan datang di waktu-waktu rindu hanya terdiam suara hujan begitu tajam mengusiknya.
menerka matahari pagi, engkau adalah bayangbayang dalam cahaya itu kereta ini seperti akan mengantarku ke negeri asing bukan dari pengembaraan, waktu memang sangat lugu kupertaruhkan rinduku sebab engkau tak lagi kujumpa di antara wajah-wajah, langkah-langkah itu kesepian ini adalah milikmu. dari stasiun ke stasiun ada yang terbuang dari senyummu, gerai rambutmu juga detak jantung yang tak kuketahui merangkai mimpi-mimpi dalam kereta pagi mendustakan sepi agar semuanya berlalu tanpa ada luka. 2017
Seperti ada yang terulang aku hanya ingin terdiam di kamar ini menulis puisi sepi. Di luar ada ketukan pintu mungkin engkau ketakutan. 2017
Perahu Subuh, 2 perahu subuhku karam menabrak matahari pagi sebab aku masih bermimpi tentang camar-camar terdampar di pulau-pulau kecil menemani pelaut tua menulis sajak doa mercusuar pelayaranku sudah redup di ombang-ambing oleh cahaya pagi
yang menusuk kibar layarku aku merayu: Mu dalam diam perahu. 2017
Kisah :Selvia
di ruang ini engkau masih menunggu jarum jam memutar segala gerak rindu, waktu, dari kisah lalu kusebut cinta dalam jeda aku ingin mengenalmu lewat sajak lama dari lagu-lagu asmara senantiasa kusapa lewat bait-baitnya dengan nada-nada nyawa mengoda kelopak-kelopak bunga yang senja 2017 Anang Kurniawan, lahir di Kemaloabung, Lampung Utara, 25 Oktober 1992. Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Kotabumi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.