Paper Show 1 2017

Page 1

Arti Penting Sagu dan Lahan Gambut Sebagai Instrumen Vital Pembentuk Stabilitas Struktur Kemasyarakatan: Studi di Desa Sungaitohor, Tebingtinggi Timur, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau

Kecamatan Kepulauan

Supriadi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Indonesia

Dian Rahmawati Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia

Rosdiana Lukitasari Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

Mela Milani Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia

ABSTRAK. Berdasarkan rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Indonesia merupakan negara dengan luas lahan gambut terbesar keempat (20 juta Ha), dengan luas lahan gambut di Pulau Sumatera diperkirakan mencapai 35% dari keseluruhan area lahan gambut di Indonesia atau sekitar 7,2 Ha. Isu lingkungan yang terancam oleh pemanfaatan lahan gambut yang tidak dikelola dengan baik adalah penimbunan emisi karbondioksida dalam jumlah yang sangat besar dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan gambut yang ramah terhadap lingkungan harus diutamakan. Upaya pengembalian fungsi lahan gambut dikenal dengan Program Restorasi Lahan Gambut. Restorasi lahan gambut dapat berdampak positif pada tanaman sagu yang cocok ditanami di atas lahan gambut. Salah satu penghasil pati sagu terbesar di Indonesia adalah Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Selain sebagai penghasil pati sagu terbesar, sagu di wilayah ini juga termasuk dalam varietas terbaik di dunia. Sehingga, pembudidayaan sagu penting untuk dilakukan. Hal tersebut mampu mendorong tidak hanya aspek perekonomian, melainkan juga pada aspek daya dukung lingkungan di kawasan lahan gambut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana arti penting sagu dan lahan gambut sebagai instrumen vital pembentuk stabilitas struktur kemasyarakatan di Desa Sungaitohor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara semi terstruktur. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani sagu, pemilik kilang sagu, pedagang produk olahan sagu, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi aktual posisi sagu dan lahan gambut dalam KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

1


kehidupan masyarakat tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi pemerintah dalam hal membentuk kebijakan terkait optimalisasi produktivitas sagu dan lahan gambut dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. KATA KUNCI: Desa Sungaitohor, Lahan Gambut, Restorasi Lahan Gambut, Sagu Meranti.

A. PENDAHULUAN Lahan gambut menjadi bagian tidak terpisahkan dari daratan Indonesia. Menurut rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia bertajuk “Kelembagaan Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia�, Indonesia merupakan negara dengan luas lahan gambut terbesar keempat (20 juta hektar) setelah Kanada (170 juta hektar), Uni Soviet (150 juta hektar) dan Amerika (40 juta hektar). Penyebaran lahan gambut di Indonesia umumnya berada di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas lahan gambut, khususnya, di pulau Sumatera diperkirakan mencapai 35% dari keseluruhan area lahan gambut Indonesia atau sekitar 7,2 hektar. Keberadaan lahan gambut diketahui dapat dimanfaatkan di berbagai bidang, salah satunya pertanian. Potensi tersebut dapat terlihat dari sebuah wilayah kepulauan yang berada dekat dengan Pulau Sumatera, yaitu Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Desa Sungaitohor diketahui sebagai ibu kota Kecamatan Tebingtinggi Timur dengan luas sebesar 9.500 Hektar. Lokasinya berada di bibir pantai dan dikelilingi oleh lahan gambut. Sumber ekonomi utama yang menghidupi masyarakat Desa Sungaitohor didominasi oleh komoditas rumbia atau sagu. Petani sagu, pemilik kilang maupun buruh kilang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat (Pemerintah Kecamatan Tebingtinggi Timur, n.d). Potensi yang ada nyatanya tidak mampu ditawar dengan komoditas lainnya. Hal ini 2

terbukti dengan dilakukannya pencabutan izin PT. Lestari Unggul Makmur (PT. LUM) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir 2015 lalu (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Riau, 2015) karena diduga telah berkontribusi terhadap kebakaran lahan serta tidak mendukung optimalisasi produksi sagu di Desa Sungaitohor. Kondisi di atas menunjukkan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian seringkali bersinggungan dengan isu lingkungan. Upaya deforestasi, pengeringan hingga pembakaran lahan gambut guna alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit maupun aktivitas penebangan kayu justru menimbulkan banyak dampak negatif terhadap menurunnya kualitas dan produktivitas lahan gambut. Dalam rangka mengatasi tantangan tersebut, dibentuknya Badan Restorasi Lahan Gambut —selanjutnya disebut BRG— diharapkan mampu membantu wilayah prioritas untuk segera melaksanakan restorasi sehingga produktivitas lahan kembali meningkat dan pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan menjadi prioritas utama pembangunan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi salah satu yang ditetapkan sebagai wilayah prioritas perencanaan dan pelaksanaan restorasi lahan gambut. Berkaitan dengan hal tersebut, pembentukan BRG dan program restorasi lahan gambut di Desa Sungaitohor sendiri diharapkan dapat menjadi awalan yang baik dalam menjaga kestabilan sistem yang sudah terbangun antara masyarakat dan SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI


lingkungan. Sistem yang dimaksud menyangkut relasi yang harmonis antara masyarakat dengan lingkungan—dalam hal ini meliputi lahan gambut dan sagu—dalam hal pemanfaataanya. Masyarakat dapat bertahan dan mampu membangun struktur sosialnya yang mapan, tidak terlepas dari pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada di lingkungan sekitarnya. Hubungan yang telah terjalin lama antara masyarakat Desa Sungaitohor dengan potensi alam yang ada di lingkungannya dapat menjadi keunikan tersendiri. Hal tersebut terutama ditengarai oleh karakteristik lahan gambut serta komoditas dan varietas pati sagu terbaik di dunia yang tumbuh di Desa Sungaitohor. Realitas yang menarik tumbuh di tengahtengah masyarakat dan tercermin dalam segisegi kehidupan ekonomi dan sosiokultural mereka. Kondisi perekonomian masyarakat Desa Sungaitohor sangat bergantung kepada lahan gambut dan sagu. Selain itu, kondisi sosiokultural masyarakat di sana juga terbentuk karena adanya pola pemanfaatan potensi alam yang telah berlangsung selama puluhan tahun silam hingga sekarang. Berdasarkan pemaparan tersebut maka permasalahan utama yang akan ditelisik dalam penelitian ini adalah bagaimana arti penting sagu dan lahan gambut sebagai instrumen vital pembentuk stabilitas struktur kemasyarakatan di Desa Sungaitohor. Penelitian ini menjadi penting untuk dilaksanakan karena peranan sagu dan lahan gambut di mata masyarakat Desa Sungaitohor dapat menjadi stimulus bagi pemerintah maupun pihak terkait dalam mengembangkan program optimalisasi potensi alam yang ada di Desa Sungaitohor tersebut tanpa mengabaikan nilai dan kepentingan masyarakatnya.

B. EKSISTENSI LAHAN GAMBUT DAN KARAKTERISTIK TANAMAN SAGU

1. Lahan Gambut Luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%- nya terdapat di Pulau Sumatera. Lahan rawa gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan/ keanekaragaman hayati, pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon) dan sebagainya (Ritung, S. & Subagjo, H, 2003). a. Definisi dan Karakteristik Lahan Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, F. dan I.G. M. Subiksa, 2008). Sifat fisik lahan gambut merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat produktivitas tanaman yang diusahakan pada lahan gambut, karena menentukan kondisi aerasi, drainase, daya menahan beban, serta tingkat atau potensi degradasi lahan gambut. Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, karakteristik atau sifat fisik lahan gambut yang penting untuk diperhatikan adalah kematangan gambut, kadar air, berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan tanah (subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

3


Kandungan karbon yang relatif tinggi berarti lahan gambut dapat berperan sebagai penyimpan karbon. Namun demikian, cadangan karbon dalam tanah gambut bersifat labil, jika kondisi alami lahan gambut mengalami perubahan atau terusik maka gambut sangat mudah rusak. Oleh karena itu, diperlukan penanganan atau tindakan yang bersifat spesifik dalam memanfaatkan lahan gambut untuk kegiatan usaha tani. Karakteristik lahan gambut sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum (lapisan tanah mineral di bawah gambut), kematangan, da n tingkat pengayaan, baik dari luapan sungai di sekitarnya maupun pengaruh dari laut khususnya untuk gambut pantai (keberadaan endapan marin). Lahan gambut tropika umumnya tergolong sesuai marginal untuk pengembangan pertanian, dengan faktor pembatas utama kondisi media tanam yang tidak kondusif untuk perkembangan akar, terutama kondisi lahan yang jenuh air, bereaksi masam, dan mengandung asam-asam organik pada level yang bisa meracuni tanaman, sehingga diperlukan beberapa tindakan reklamasi agar kondisi lahan gambut menjadi lebih sesuai untuk perkembangan tanaman. b. Kematangan dan Kadar Air dalam Lahan Gambut Kematangan lahan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan organik yang menjadi komponen utama dari tanah atau lahan gambut. Kematangan gambut sangat menentukan tingkat produktivitas lahan gambut, karena sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah gambut, dan ketersediaan hara. Ketersediaan hara pada lahan gambut yang lebih matang relatif lebih tinggi dibandingkan lahan gambut mentah. Tingkat kematangan 4

gambut merupakan karakteristik fisik tanah gambut yang menjadi faktor penentu kesesuaian gambut untuk pengembangan pertanian. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang), hemik (setengah matang), dan fibrik (mentah). Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa dilakukan secara langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan menggunakan tangan.

Gambar 1. Metode penentuan tingkat kematangan gambut di lapangan Sumber: Agus, F. dan Subiksa, I.

Jika setelah diremas kurang dari sepertiga gambut yang tertinggal pada telapak tangan, maka gambut digolongkan sebagai gambut saprik, sebaliknya jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka gambut tergolong sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut hemik, jika yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50%. Pada gambut saprik, bagian gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif lebih halus, sebaliknya gambut mentah masih didominasi oleh serat kasar. Gambut yang terdapat di permukaan (lapisan atas) umumnya relatif lebih matang, akibat laju dekomposisi yang lebih cepat. Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air jauh lebih tinggi dibanding tanah mineral. Komposisi bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi. Elon SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI


et al. (2011) menyatakan air yang terkandung dalam tanah gambut bisa mencapai 300-3.000% bobot keringnya, jauh lebih tinggi dibanding dengan tanah mineral yang kemampuan menyerap airnya hanya berkisar 20-35% bobot keringnya. Mutalib et al. (1991) melaporkan kadar air gambut pada kisaran yang lebih rendah yaitu 100-1.300%, yang artinya gambut mampu menyerap air 1 sampai 13 kali bobotnya. Kemampuan gambut yang tinggi dalam menyimpan air antara lain ditentukan oleh porositas gambut yang bisa mencapai 95% (Widjaja-Adhi, 1988). Tingkat kematangan gambut menentukan rata-rata kadar air gambut jika berada dalam kondisi alaminya (tergenang). c. Restorasi Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut secara optimal dapat tercapai melalui upaya rehabilitasi lahan gambut yang mengalami kerusakan. Strategi yang telah dihasilkan dan dipersiapkan para pengambil kebijakan di Indonesia dalam pemanfaatan gambut secara bijaksana (wise use) diformulasikan dalam restorasi dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi sebagai akibat adanya drainase yang kurang diperhatikan secara ekologis, pembalakan liar dan kebakaran gambut. Restorasi didefinisikan sebagai proses membantu pemulihan lahan gambut yang telah rusak untuk sedekat mungkin dengan kondisi alam aslinya (Setiadi, 2015). Berkaitan dengan proses restorasi dan rehabilitasi lahan gambut, selanjutnya dibahas mengenai enam target strategi rehabilitasi lahan gambut (Setiadi, 2015), yaitu: (1) rehabilitasi lahan gambut sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan meningkatkan kehidupan masyarakat lokal; (2) fokus rehabilitasi gambut adalah mempertahankan air, mencegah kebakaran

hutan dan lahan gambut dengan tujuan mengurangi emisi gas karbon dan penyusutan keanekaragaman hayati; (3) emisi karbon rendah dan pemanfaatan lahan gambut terdegradasi harus menjadi pilihan utama sasaran pemanfaatan apabila untuk kepentingan ekonomi yang sangat mendesak; (4) rencana strategis harus disampaikan pada setiap pendekatan ekonomi baru pemanfaatan gambut. Rencana itu harus jelas mencakup pelestarian hutan rawa gambut, mencegah pembalakan liar dan kegiatan tidak sah lainnya, mrehabilitasi lahan gambut yang rusak dan mempromosikan pemanfaatan secara bijaksana. Rencana harus didasarkan pada saran-saran informasi ilmiah, pemahaman teknis dan sosioekonomi terbaik; (5) rencana strategis terutama rehabilitasi harus fokus pada pemulihan areal bekas kebakaran dan terdegradasi dengan menggabungkan tiga elemen kunci untuk memastikan keberhasilan rehabilitasi, yaitu: a). Pencegahan kebakaran, b). Pengelolaan air dan c). Memanfaatkan lahan secara bijaksana, bukan hanya menguntungkan; dan (6) Badan Otorita harus dibentuk dalam persiapan dan pelaksanaan Rencana Strategis, Badan Otorita tersebut didukung oleh komisi khusus yang terdiri dari para ahli baik tingkat nasional maupun internasional. 2. Karakteristik Tanaman Sagu Sagu dapat menyerap CO2 dalam jumlah besar sehingga dapat membantu mengatasi ancaman pemanasan global. Selain itu lingkungan yang ditumbuhi sagu akan terjaga dari kerusakan lingkungan karena sagu mempunyai anakan yang banyak dan tidak perlu diremajakan sehingga dapat mencegah penurunan permukaan tanah gambut (subsiden).

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

5


Dalam perspektif iklim, tanaman sagu memerlukan ketersediaan air yang cukup semasa pertumbuhannya. Suplai air melalui hujan antara 2.000–4.000 mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun. Menurut penggolongan Schmidt dan Ferguson, kawasan yang cocok untuk pengembangan sagu sebaiknya mempunyai tipe A dan B dengan jumlah curah hujan 2.500–3.500 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 142–209 hari hujan per tahun. Suhu optimum 24.5–29°C dengan kelembaban 40-60% serta tertinggi 90%. Tanaman sagu sebagaimana tanaman palma umumnya memerlukan intensitas dan lama penyinaran yang cukup tinggi. Sebaran atau agihan populasi sagu tertinggi terdapat di koordinat antara 10°LS–15°LU dan 150°BT. Sedangkan berdasarkan perspektif lahan, topografi umum dari kawasan penanaman sagu yaitu lahan datar, landai hingga bergelombang. Tanaman sagu dapat tumbuh dan berkembang hingga ketinggian 700 mdpl, tapi ketinggian optimal yaitu <400 mdpl. Jenis tanah yang dibutuhkan sagu spektrumnya luas mulai dari tanah dengan komposisi liat >70%, dengan bahan organik 30% dan pH tanah 5.5-6.5, tetapi sagu masih bisa beradaptasi dengan kemasaman lebih tinggi. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berpikir secara induktif, yaitu berasal dari fakta dan data di lapangan yang dikaji dengan pendekatan dan pemikiran teoretis maupun digunakan dalam pembentukan konsep baru (Neuman, 2006). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yang mana tujuannya untuk memberikan gambaran terperinci serta menjelaskan rangkaian tahapan atau langkah (Neuman, 2013). Teknik pengumpulan data mencakup metode perolehan data yaitu peneliti membagi data yang didapat ke dalam dua 6

bagian yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data melalui data primer dapat dilakukan melalui wawancara semi terstruktur yang memungkinkan perolehan data secara mendalam, observasi dan dokumentasi berupa gambar atau foto tempat, lingkungan, dan objek penelitian sebagai pelengkap. Sedangkan data sekunder penelitian ini bersumber dari kajian literatur terkait topik penelitian. Lokasi penelitian merupakan wilayah dengan potensi lahan gambut dan sagu terbaik di Indonesia dan dunia yaitu di Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan selama 10 hari yaitu dari tanggal 16-25 Agustus 2016. Ada beberapa karakteristik informan yang diwawancarai dalam penelitian ini, yaitu: (1) masyarakat Desa Sungaitohor yang telah menetap minimal 5 tahun lamanya, (2) mengenal kondisi wilayah desanya dengan baik, (3) sudah mendalami pekerjaan yang digelutinya minimal 1 tahun lamanya dan (4) dapat menjawab pertanyaan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Jumlah informan yang berhasil diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 14 orang. Informan-informan tersebut merupakan masyarakat dengan keberagaman latar belakang profesi, diantaranya: petani sagu, pemilik kilang sagu, pedagang produk olahan sagu, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Alasan dipilihnya informan tersebut yaitu untuk memeroleh data temuan penelitian yang dapat merepresentasikan pentingnya sagu dan lahan gambut menurut kelas sosial ekonomi dan jenis pekerjaan masyarakat. Aspek yang digunakan oleh peneliti guna mendapatkan data yang relevan dengan tujuan penelitian yaitu pertanyaan-pertanyaan mengenai makna sagu dan lahan gambut di mata masyarakat serta bagaimana pola pemanfaatan sagu yang dilakukan oleh SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI


masyarakat Desa Sungaitohor dalam kehidupan mereka sehari-hari. Aspek-aspek yang melandasi pembentukan pedoman penelitian tersebut pada akhirnya ditujukan untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai posisi strategis sagu dan lahan gambut serta kontribusinya dalam membangun stabilitas struktur kemasyarakatan di Desa Sungaitohor. Model analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah reduksi data (dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan tujuan penelitian), display data (mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada setiap subpokok permasalahan) dan penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Batasan penelitian ini selain adanya keterbatasan waktu dalam pengumpulan data, hal lainnya yang cukup menghambat penelitian kami adalah kesibukan informan. Informaninforman yang kami wawancarai memiliki pekerjaan serta kesibukan yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga kami tidak bisa mewawancarai mereka bersamaan dalam hari yang sama. Selain itu keterbatasan penelitian juga muncul karena jarak informan satu ke informan lainnya yang saling berjauhan serta minimya sarana transportasi sehingga memakan waktu dan tenaga dalam pengambilan data.

D. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN LOKASI PENELITIAN 1. Kondisi Geografis Wilayah Sungaitohor adalah nama sebuah desa kecil dengan luas wilayah 68 kilometer persegi yang dikategorikan sebagai desa dataran rendah dan desa pesisir pantai. Desa Sungaitohor merupakan Ibu Kota Kecamatan Tebingtinggi Timur dengan luas wilayah 9500

Ha. Desa ini merupakan desa yang terletak di pinggiran pantai dan merupakan daerah gambut. Berdasarkan letak astronomisnya, desa ini berada pada 00º.52’382” LU 102º56’911”BT. Batas wilayah Desa Sungaitohor antara lain: (a) Sebelah barat berbatasan dengan Sungaitohor Barat dan Lukun, (b) Sebelah timur berbatasan dengan daerah bernama Nipahsendanu, (c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kepaubaru dan (d) Sebelah utara berbatasan dengan Selat Air Hitam. Berdasarkan data monografi di Kantor Kepala Desa Sungaitohor, diketahui bahwa orbitrasi Sungaitohor ke lokasi-lokasi berikut ini berjarak sebagai berikut: (a) Jarak ke ibu kota kecamatan sejauh 1,8 kilometer, (b) Jarak ke ibu kota kabupaten sejauh 27 kilometer dan (c) Jarak ke ibu kota provinsi sejauh 166 kilometer. Pemanfaatan lahan di Desa Sungaitohor sebagian besar digunakan untuk perkebunan sagu seluas 2.650 Ha, perkebunan karet seluas 1.120 Ha, untuk perkampungan seluas 1.500 Ha dan sisanya digunakan untuk keperluan lainnya.

Gambar 2. Lokasi Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur Sumber: Walhi Riau

Desa Sungaitohor terdiri atas 3 dusun, 3 RW dan 10 RT. Pada tingkat desa, Sungaitohor dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh aparatur desa seperti Sekretaris Desa, Kaur

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

7


Pemerintahan, Pembangunan.

Kaur

Umum

dan

Kaur

2. Kondisi Sosial-ekonomi Masyarakat Berdasarkan data pemerintahan desa pula, pada tahun 2015 terdapat 1.273 jiwa penduduk dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 337 kepala keluarga dan 30 kepala keluarga berada dalam status ekonomi tidak mampu. Mayoritas masyarakat Sungaitohor berasal dari Suku Melayu dan seluruh masyarakatnya beragama Islam. Latar belakang pendidikan masyarakat Sungaitohor yaitu paling banyak hanya tamatan sekolah dasar (490 orang), tamatan sekolah menengah atas atau sederajat (206 orang), tamatan sekolah menengah pertama (181 orang) dan sisanya dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Sedangkan apabila ditinjau dari aspek perekonomiannya, mata pencaharian masyarakat Sungaitohor paling banyak bekerja sebagai petani. Selain itu mata pencaharian penduduk lainnya adalah buruh atau karyawan, pegawai negeri sipil, honorer, nelayan, peternak, pengrajin dan pedagang. Produksi sagu merupakan kegiatan perekonomian utama masyarakat di Desa Sungaitohor, hal tersebut terbukti dari adanya 12 buah kilang sagu sebagai tempat memproduksi sagu basah. Dari sektor pertambangan atau produksi lainnya, terdapat juga pertambangan batu bata serta pelabuhan untuk keperluan aktifitas sehari-hari masyarakat.

E. ARTI PENTING SAGU DAN LAHAN GAMBUT BAGI PEMBENTUKAN STABILITAS STRUKTUR KEMASYARAKATAN Berdasarkan informasi yang telah didapatkan dari para informan, dapat diketahui bahwa umumnya sagu dan lahan gambut membawa dampak yang sangat besar dalam 8

segi-segi kehidupan bermasyarakat di Desa Sungaitohor. Sagu dan lahan gambut memiliki relasi yang erat terhadap seluruh aktifitas masyarakat di Desa Sungaitohor. Pemanfaatan kekayaan alam oleh masyarakat desa tersebut terhadap yang ada di sekitarnya, telah terjalin sejak lama dan terus bertahan hingga sekarang. Pola pemanfaatan potensi alam yang melimpah di Desa Sungaitohor secara tidak langsung telah membentuk struktur kemasyarakatan yang mapan dan berkesinambungan. Struktur masyarakat yang dimaksud tersebut mencakup nilai dan dimensi yang penting dalam menunjang kehidupannya sehari-hari. Sagu dan lahan gambut sebagai sumber daya yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk terus bertahan dan mengaktualisasikan dirinya. Guna mencapai utilitas yang positif, maka diperlukan upaya dari pihak-pihak tertentu dalam hal menajaga produktivitas tanaman sagu yang ditanam di atas lahan gambut tersebut. 1. Sagu dan Lahan Gambut sebagai Media Utama Terbentuknya Aktifitas Perekonomian Berbasis Agrikultur Lahan gambut yang berkualitas akan menunjang tumbuhnya tanaman sagu yang ada di atasnya dengan baik. Tanaman sagu yang berkulitas dapat menjadi pemasok utama bagi aktifitas perekonomian masyarakat di Desa Sungaitohor. Masyarakat desa tersebut yang mayoritas berprofesi sebagai petani sagu tentunya sangat berperan penting dalam merawat tanaman sagu hingga menghasilkan sagu siap olah dengan kualitas tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan yang menjadikan sagu sebagai modal utaman aktifitas mereka, dapat diketahui bahwa pola pemanfaatan sagu berbeda-beda tergentung kreatifitas setiap orang. Hal tersebut sesuai dengan temuan wawancara sebagai berikut:

SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI


“...sagu hanya untuk buat sempolet, bakso atau kue kering (kembang goyang), rempeyek tetapi masih ada campuran tepung lainnya, seperti tepung tapioka.” (MT, Penjual Produk Olahan Sagu, 22 Agustus 2016) Sagu dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan yang sehat dan lezat. Seperti yang dilakukan oleh MT, beliau telah beberapa tahun belakangan ini menjual produk pangan berbahan dasar sagu, terutama keripik sagu. Sagu yang didapatnya dari anggota keluarganya yang bekerja di kilang sagu kemudian beliau olah untuk dijadikan keripik sagu. Keripik sagu olahannya biasanya dibuat apabila ada yang memesan saja, diproduksi dengan bergantung pada kondisi cuaca dan dipasarkan sendiri di rumahnya (tidak membuka warung untuk menjajakan dagangannya tersebut). Perkembangan usaha MT ini cukup pesat, hal ini didukung oleh nilai dan persepsi masyarakat Desa Sungaitohor apabila ingin mendirikan usaha, jangan sampai mengganggu rezeki orang lain yang telah lebih dulu berusaha di bidang tertentu. Hal ini tergambar dalam kutipan wawancara dengan narasumber, yaitu: “...kalau masyarakat di sini, usaha tidak pernah sama dengan usaha orang lain, soalnya kita takut malah timbul persaingan dan menutup jalan rezeki orang lain.” (MT, Penjual Produk Olahan Sagu, 22 Agustus 2016) Selain itu, ada pula IH, masyarakat yang membuka warung grosir khusus untuk menjual produk olahan sagu. Beliau membeli sagu sebagai bahan dasar produk olahannya di Selat Panjang karena sagu di daerah tersebut sudah diolah menjadi tepung dan siap dibuat menjadi produk olahan sagu. Perkembangan lahan gambut dan sagu di Desa Sungaitohor ternyata

menjadi daya tarik bagi datangnya orang-orang baru ke wilayah tersebut, hal tersebutlah yang memotivasi IH untuk membuka warung grosir. “...karena melihat ada peluang Sungaitohor makin ramai, terus usaha ini juga meningkatkan pendapatan walaupun baru 2 bulan berdiri dan ingin membantu usaha sagu.” (IH, Pemilik Warung Grosir Olahan Sagu, 23 Agustus 2016) Aktifitas perekonomian berbasis sagu dan pemanfaatan lahan gambut juga bertalian erat dengan aktiftas kilang sagu yang berada di Desa Sungaitohor. Setelah melakukan wawancara, pemilik kilang berpendapat bahwa mereka mendapatkan manfaat secara ekonomis dari produksi komoditas sagu yang mereka lakukan. “Pemanfaatan sagu sebagai konsumsi, juga ekonomi karena sagu dari kilang dibeli orang Cina ketika masih berbentuk sagu kotor (Sagu basah) yang nantinya akan mereka olah menjadi sagu kering.” (MH, Pemilik Kilang, 19 Agustus 2016). Aktifitas perekonomian masyarakat Sungaitohor tidak hanya menjadikan sagu sebagai komoditas dalam negeri, tapi juga menjalin relasi dengan negara asing dalam aktifitas perekonomian mereka. Hal tersebut menunjukan bahwa kualitas sari pati sagu Sungaitohor memang sudah dikenal luas dan aktfitas ekonomi—baik dalam level individu maupun makro—dapat menyumbang kontribusi bagi kestabilan pendapatan bagi keluarga maupun Desa Sungaitohor. 2. Pemanfaatan Sagu dan Lahan Gambut Menciptakan Struktur Sosiokultur yang Mapan di Masyarakat Sistem sosiokultur ini merujuk kepada kepercayaan, nilai, tradisi dan relasi sosial yang terjalin antara elemen-elemen di dalam

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

9


masyarakat. Pemanfaatan sagu telah mendorong munculnya kepercayaan dalam diri masyarakat bahwa sagu sangat berkhasiat dan berdampak positif bagi kesehatan, misalnya anggapan bahwa sagu dapat menyembuhkan penyakit diabetes dan menjadi cerminan pola hidup sehat, seperti yang dikemukakan oleh informan berikut: “Sagu digunakan sebagai bahan makanan. Orang diabetes pun makan sagu bisa hilang (penyakit diabetesnya). Kemarin ada amanlah, makan sagu selama 3 bulan sudah tak ada. Jadi penderita diabetes memakan sagu sebagai bahan makanan pokok... Kenapa banyak orang dulu umurnya sampai 70 tahun karena makannya tidak ada bahan kimia seperti sagu.” (PHR, Pemilik Kilang, 19 Agustus 2016) Sistem sosiokultur juga mencakup tradisi atau perayaan tertentu sebagai bentuk perayaan atas melimpahnya sagu serta lahan gambut yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, maka Festival Sagu sering dilaksanakan di Sungaitohor. Menurut WN, Festival Sagu ini merupakan kegiatan tahunan yang sangat istimewa bagi masyarakat Sungaitohor. “Ada upacara atau acara khusus setiap tahun, namanya Festival Sagu. Sudah diselenggarakan 3 kali, mengundang tokoh masyarakat dan dilaksanakan di Kantor Camat. Biasanya ada makanan dan kerajinan tangan dari sagu yang ditampilkan. Juga olahraga.” (WN, Tokoh Masyarakat, 22 Agustus 2016) Selanjutnya, sistem sosiokultur ini juga ditandai dengan terjalinnya relasi yang baik antara unsur-unsur di dalam masyarakat seperti keteraturan hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat Sungaitohor. Sikap saling percaya dalam masyarakat melandasi 10

harmonisasi hubungan ini, misalnya dalam mendukung Program Restorasi Lahan Gambut yang dilaksanakan oleh pemerintah guna kepentingan bersama. “Setuju dengan Program Restorasi Lahan Gambut, intinya menjaga lahan gambut tetap basah dan menjaga kearifan lokal, memulihkan yang sudah rusak. Restorasi lahan gambut sejauh ini berdampak positif dan merakyat. Jika terlaksana dengan baik, kemiskinan teratasi dan tidak ada pengangguran lagi, khususnya di Sungaitohor.” (MN, Tokoh Masyarakat, 24 Agustus 2016) “Tahu tentang Program Restorasi Lahan Gambut dan saya selalu mendukung dan melaksanakan perintah dari pemerintah desa dalam rangka mendorong peningkatan produksi sagu.” (MT, Penjual Produk Olahan Sagu, 22 Agustus 2016) Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, pada hakikatnya masyarakat akan selalu mendukung setiap program atau kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah selama membawa dampak positif bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah juga harus mampu memastikan kepentingan masyarakat terwakili dalam setiap upaya yang pemerintah terapkan guna menjamin keberlanjutan harmonisasi struktur sosiokultural dalam masyarakat. 3. Sagu dan Lahan Gambut sebagai Aspek Historis yang Menciptakan Kesamaan Identitas di dalam Masyarakat Sagu dan lahan gambut sebagai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Sungaitohor ternyata menyimpan sisi historis tersendiri. Aspek historis tersebut bertalian erat dengan asal usul Sungaitohor dan pola pemanfaatan sagu dan lahan gambut dari SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI


masa ke masa. Aspek historis sagu dan lahan gambut dipaparkan oleh informan, yaitu: “Tahun 1900-an ada 7 orang bersaudara menemukan suatu daerah dekat sungai yang bernama Sungaitohor sekarang. Mereka membuka pemukiman di sini beserta pertanian dan perkebunan. Lalu sagu mulai dibudidaya tahun 1970-an hingga sekarang.� (ZN, Aparatur Pemerintahan Desa, 22 Agustus 2016) Aspek historis tersebut seringkali menjadi refleksi diri mengenai asal-usul dari mana kita berasal. Ikatan yang terjalin antara masyarakat Sungaitohor tertambat pada sagu dan lahan gambut yang dulu masih belum dimanfaatkan seperti saat ini. Lahan gambut sebagai karakter lahan yang khusus dan mendukung tumbuhnya sagu, telah menorehkan sejarah mengenai Sungaitohor dan sagunya. Sagu pada masa penjajahan di Indonesia dijadikan sebagai makanan sehari-hari di samping nasi. Sagu pada awalnya belum dibudidadaya karena hingga tahun 1970-an. Perkembangan sagu dan eksistensi lahan gambut di Sungaitohor akan selalu menjadi pengingat bahwa masyarakat Desa Sungaitohor merupakan suatu keluarga besar yang terikat secara historis. Melalui sagu dan lahan gambut, mereka pula mengembangkan sistem nilai dan struktur kemasyarakatan yang lebih stabil di tengah kehidupannya.

F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Masyarakat Desa Sungaitohor merupakan masyarakat yang sangat bergantung terhadap sagu sebagai komoditas unggulan di level global serta lahan gambut yang menjadi modal besar bagi pengembangan pertanian/ perkebunan sagu di Sungaitohor. Mayoritas masyarakat Sungaitohor memang berprofesi sebagai petani, mereka memanfaatakan

kekayaan alam yang ada di lingkungannya dengan bijak dan selalu mengoptimalkan penggunaan sagu dalam kehidupan sehariharinya. Namun, permasalahan mengenai deforestasi dan kerusakan lahan gambut dapat mengancam keberlangsungan stabilitas struktur sosial masyarakat yang telah terbentuk sejak dahulu. Sedangkan lahan gambut serta sagu memiliki arti tersendiri dalam kehidupan masyarakat Desa Sungaitohor. Sagu memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Desa Sungaitohor. Melalui sagu dan lahan gambut, maka terbentuklah aktifitas perekonomian masyarakat berbasis agrikultur, sistem sosiokultural yang mapan serta aspek historis sagu dan lahan gambut itu sendiri yang menjadi simpul konsensus mengenai kesatuan identitas. Keseimbangan yang terjalin antara alam dan manusia tersebut harus terus dijaga guna menciptakan keselarasan hubungan yang membawa dampak positif bagi kedua belah pihak. Nilai, kepercayaan dan tradisi menjadi aspek alamiah yang muncul karena respon positif antara alam dan manusia—termasuk masyarakat Desa Sungaitohor. Penelitian mengenai Arti Penting Sagu dan Lahan Gambut sebagai Intrumen Vital dalam Pembentuk Stabilitas Struktur Kemasyarakatan Desa Sungaitohor ini memberikan gambaran mengenai kondisi aktual posisi sagu dan lahan gambut dalam kehidupan masyarakat tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lainnya yang sejenis. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam membentuk kebijakan terkait optimalisasi lahan gambut dan sagu yang tetap memerhatikan kepentingan masyarakat dengan beragam latar belakang profesi. Diterapkannya rekomendasi ini dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Desa Sungaitohor yang menggantungkan penghasilannya sehari-hari

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

11


pada sagu dan lahan gambut. Selain itu, kerusakan stabilitas struktur kemasyarakatan yang telah terjalin sebelumnya juga dapat dihindari.

REFERENSI Agus, F, dan I G.M. Subiksa. 2008. Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Agus, F. dan Subiksa, I. (2008). Lahan Gambut: Potensiuntuk Pertaniandan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Elon, S.V., D.H. Boelter, J. Palvanen, D.S. Nichols, T. Malterer, and A. Gafni. 2011. Physical Properties of Organic Soils. Taylor and Francis Group, LLC. Fahmudin Agus et.al. (n.d). Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. [Online]. Available: http://pertanian.go.id/ Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Hal.73-88. Dalam Nurida et al. (Eds.). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, BBSDP, Badan Litbang Pertanian. Hooijer, A., M. Silvius, H. Woosten, and S. Page. 2006. Peat CO2, assessment of CO2 emission from drained peatlands in SE Asia. Delf Hydraulics report Q3943. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/do kumentasi/juknis/panduan%20gambut%2 0terdegradasi/03ai_karakteristik.pdf Kementerian Lingkungan Hidup. (n.d). Koordinasi Kelembagaan 12

Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. [online] Available at: http://www.menlh.go.id/koordinasikelembagaan-pengelolaan-lahan-gambutdi-indonesia/ [Accessed 14 Oct. 2016]. Maswar and F. Agus. 2014. Cadangan karbon dan laju subsiden pada beberapa kondisi dan lokasi gambut tropika Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi Untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi. Jakarta, 18-19 Agustus 2014 Noor, M. (2014). Sagu Cocok di Lahan Gambut. [online] Balittra.litbang.pertanian.go.id. Available at: http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index .php?option=com_content&view=article& id=1331&Itemid=5 [Accessed 14 Oct. 2016]. Pemerintah Kecamatan Tebingtinggi Timur. (n.d). Gambaran khusus Desa Sungaitohor. Riau: KecamatanTebingtinggi Timur Pemerintah Provinsi Riau. (2015). Ekspor Industri Sagu Kepulauan Meranti Tembus Pasar Asia. [online] Available at: https://www.riau.go.id/home/content/2015 /05/25/3590-ekspor-industri-sagukepulauan-meranti-tembus-pasar [Accessed 14 Oct. 2016]. Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 134/Permentan/OT.140/12/2013 Tentang Pedoman Budidaya Sagu (Mertoxylon spp)yang Baik. [Online]. Available: http://kemenkumham.go.id/ Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut Setiadi B. 2015. Prinsip-prinsip Rehabilitasi Lahan Gambut. [Online]. Available: http://cifor.org/ipn-toolbox/ Tie, Y.L. and J.S. Lim. 1991. Characteristics and clasification of organic soils in SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI


Malaysia. Pp. 107-113. In Proceeding of International Symposium of Tropical Peatland. Kuching, Sarawak, Malaysia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - Riau. (2015). Pencabutanizin PT. Lestari Unggul Makmur (LUM/ mitra APRIL) | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau. [online] Available at: http://www.walhi-riau.or.id/pengakuandan-perlindungan-wilayah-kelola-rakyatbukti-komitmen-penurunan-emisiindonesia/ [Accessed 14 Oct. 2016]. Wahyunto, S. Ritungdan H. Subagjo. 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera / Maps of Area of Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatera, 1990 – 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Subiksa, I G.M, W.

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

13


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.