OPINI
15
SELASA 4 JUNI 2013 NO.0131 | TAHUN II
Mengenang Arach. Djamali
salam songkem Kepribadian Luhur
K
epribadian yang luhur harapan bersama. Akan tetapi tidak semua orang-orang memiliki kepribadian terpuji tersebut. Bila seseorang telah gagal mengawal dirinya menjadi manusia yang baik, maka ketika itu kepribadian luhur itu telah punah dari dalam dirinya. Kejadian malang seperti itu bisa menimpa siapa saja. Sebagai contoh seorang oknum guru di daerah Sampang Madura telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap muridnya sendiri sehingga diadukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Madura Development What (MDW) ke Dinas Pendidikan setempat. Tidah seharusnya seorang pendidik melakukan suatu perbuatan pelecehan apalagi terhadap muridnya sendiri. Guru sebagai seorang pendidik telah dijunjung tinggi dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007. Dalam Permendiknas itu dinyatakan guru merupakan profesi yang harus selalu menjaga profesionalitas, sosial, kepribadian, dan pedagogik. Mengenai kompetensi kepribadian dalam Permendiknas tersebut adalah bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasiona. Maka karena itulah, oknum pendidik yang melakukan suatu tindakan tak terpuji apalagi perbuatan pelecehan seksualitas terhadap muridnya sendiri hakikatnya merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap Permendiknas. Realitanya, setiap ada pengaduan adanya perbuatan tak sopan yang dilakukan oleh oknum tenaga pendidik, selalu ditanggapi secara pasif oleh instansi terkait. Sikap pasif yang ditampakkan oleh intansi terkait tersebut mengindikasikan suatu upaya pemerintah untuk melindungi oknum guru yang telah melakukan suatu tindak kejahatan fatal. Seharusnya, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 setiap perbuatan asusila diganjar ancaman hukuman 15 tahun penjara. Hukuman tersebut semestinya ditegakkan apalagi terhadap oknum guru. Bahkan bila perlu UU tersebut direvisi dengan pemberian sanksi yang lebih berat, misalnya oknum guru yang terbukti melakukan perbuatan tidak sopan kepada muridnya harus dicopot predikat keguruannya. Pemberian sanksi yang berat terhadap oknum guru cabul itu menjadi suatu keharusan agar menimbulkan efek jera dan tak menolar kepada guru lain. Kekerasan seksualitas terhadap perempuan di negara ini tumbuh subur akibat longgarnya penegakan hukum. Dalam catatan Komnas Perempuan dan Lembaga Pengada Layanan terungkap antara waktu November-Desember 2012 terdapat 4.377 kasus kekerasan seksualitas dari total 119.107 kasus kekerasan yang dilaporkan, setiap hari tak kurang ada 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di negeri ini. Tentu saja kekerasan seksualitas yang dimaksud mulai perkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, dan kontrol seksual yang terjadi di berbagai daerah di negara ini, termasuk didalamnya dilakukan oleh oknum guru terhadap anak didiknya sendiri. Penegakan sanksi seharusnya diberlakukan kepada semua pelaku kejahatan seksualitas. Dengan penegakan sanksi tersebut diharapkan para pegawai negeri termotivasi untuk lebih menghargai profesinya yang terhormat. Sehingga dalam diri mereka kembali tertanam kepribadian yang baik. (*)
Lukman Hakim AG
Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jatim
D
hara Campor Mardha adalah puisi berbahasa Madura yang tak asing dalam setiap perlombaan baca puisi di kabupaten Sumenep. Karya milik Arach. Djamali itu mendapat sambutan yang sangat baik di hati para penikmat sastra, khususnya yang berbahasa Madura. Namun, di balik itu tidak banyak generasi muda Madura yang mengetahui siapakah sosok pengarang puisi Madura yang sangat menggetarkan semangat nasionalisme itu. Tidak banyak orang (baca: sastrawan) Madura yang menekuni untuk bergelut dengan bahasa –tulis- Madura dengan berbagai alasan. Problematika ejaan yang hingga kini masih menjadi tarik ulur menjadi pemicu utama “sepinya” generasi Madura untuk menyatu dengan bahasa ibunya sendiri. Itu terjadi karena sampai sekarang ejaan masih menjadi gonjang-ganjing pemerhati dan praktisi bahasa Madura, meskipun Balai Bahasa Surabaya (BBS) berupaya untuk menfasilitasi penetapan ejaaan itu. Namun, sampai saat ini Tim Nabara Sumenep menolak hasil keputusan beberapa pertemuan yang dilakukan oleh beberapa pemerhati bahasa Madura dan tetap bersikukuh pada ejaan hasil sarasehan 1973. Pembahasan ejaan bahasa Madura seringkali diwarnai dengan persoalan politik kebahasaan dan ego kedaerahan sehingga dapat membelokkan niat lurus “demi bahasa Madura”. Akhir tahun 2008 yang lalu dilaksanakan Kongres I Bahasa Madura di Pamekasan. Tak pelak, kegiatan itu pun menuai protes dan ada kelompok yang berniat untuk
Kepadatan Penduduk
A
cukup signifikan. Meskipun media itu diterbitkan oleh lembaga pembinaan bahasa Madura yang berada di Sumenep, namun dapat menjangkau dan menghimpun karya dari luar kabupaten seperti Bangkalan, Sampang dan Pamekasan. Namun, media ini pun hidup tersengal-sengal dan membawa kematian karena ketidakberdayaan perdanaan. Arach. Djamali itu... Berbicara buletin Konkonan terbitan Tim NABARA tidak lengkap jika tidak menyebut nama Arach. Djamali. Lelaki kelahiran Sumenep, 15 Februari 1939 ini sangat menentukan dalam perjalanan buletin yang terbit di tahun 90-an itu. Saat itu, lelaki dengan nama asli Abd. Rahem ini menjadi penjaga gawang rubrik Apresiasi Sastra yang di dalamnya mengulas tentang tembang, jung-kejungan, saloka dan berbagai karya sastra berbahasa Madura lainnya. Selama itu pula Arach. Djamali banyak menorehkan karya sastra berbahasa Madura. Dari sekian karya yang dihasilkan cukup memberikan warna dalam kesusastraan Madura dengan penuh semangat perjuangan terhadap negaranya, cinta, religiusitas dan penderitaan hidup pada jaman penjajahan. Maka, dalam setiap karyanya bagai bara yang setiap saat akan memercikkan kobaran api seperti yang terdapat dalam satu puisinya yang berjudul Dhara Campor Mardha berikut ini: //Kacong cebbing padha asabung, aorak, arakrak / Ta’ marduli dhara se nyapcap / Ta’ marduli mardha se nyapsap //. Puisi yang ditulis pada tahun 1988 itu dipersembahkan khusus kepada Jeng Ebu Pertiwi. Selain menjadi redaktur dan pengasuh rubrik Apresiasi Sastra buletin Konkonan Arach. Djamali juga mengisi siaran acara Pembinaan Bahasa Madura di RRI Pro 1 Sumenep setiap malam Sabtu. Tak hanya itu, mantan kepada Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kandepdikbud) kecamatan Kota Sumenep ini juga menjadi dosen bahasa dan sastra Madura STKIP PGRI Sumenep. Sehingga banyak mahasiswanya dan para pemerhati sastra merasa kehilangan katika –meminjam bahasa Amin Bashiri dalam sebuah tulisannya di Radar Madura- sang maestro sastra Madura itu berpulang ke haribaan Yang Maha Kuasa pada tanggal 5 Juni 2006. Sebagai bentuk apresiasi
terhadap karya Arach. Djamali dibacakan beberapa puisi Arach. Djamali melalui corong radio oleh beberapa sastrawan di Sumenep. Selain menulis dalam bahasa Madura ia juga menulis dalam bahasa Indonesia. Dalam kesusastraan Madura ia dikenal sebagai sosok yang kreatifproduktif. Meskipun tidak ada antologi tunggal yang diterbitkannya dan hanya termuat dalam beberapa antologi bersama serta tersebar dalam beberapa majalah, namun karya yang telah ia hasilkan cukup memberikan corak dan warna dalam perkembangan sastra Madura. Diantara antologi yang memuat karyanya adalah antologi bersama puisi Indonesia Mardika (Forum Bias–RRI Sumenep, 1995), kumpulan puisi Indonesia Cermin-Cermin (Sanggar Tirta, 1995), antologi bersama puisi Madura Nyelbi’ e Nemor Kara (GHOT, 1997), cerpennya yang berjudul Kajal diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia dan diterbilan dalam bentuk buku bersama karya sastra daerah lainnya. Selain itu, beberapa puisi Madura karyanya, oleh Syaf Anton Wr dipublikasikan di www.lontarmadura. blogspot.com dan www.okaramadura. blogspot.com. Sementara itu, cerpencerpennya yang pernah dimuat di Buletin Konkonan difotokopy dan ia jilit sendiri menjadi buku, kemudian kumpulan cerpen tersebut diberi judul Bato Ko’ong. Kumpulan puisi Madura hasil torehan tintanya terkumpul dalam antologi Rarengganna Tana Kerreng. Dan roman sejarah dua bahasa Adipati Arya Wiraraja berjudul Lalampannepon Dhari Singosari ka Songennep. Namun, hingga akhir hayatnya, ketiga karya besar ini belum sempat diterbitkan. “Kami harap ada pihak yang membantu menerbitkannya”, ujarnya waktu masih hidup. Ya, tujuh tahun sudah Arach. Djamali telah meninggalkan kita, namun warisan karya yang telah ia hasilkan tidak boleh kita sia-siakan. Semangat kreatif untuk selalu menghasilkan karya sastra patut dijadikan tauladan bagi kita. Karena, seperti yang pernah ia katakan dalam sebuah puisinya, hanya untuk nebbusa kadinggalan (menebus ketertinggalan) di tengah sepinya bahasa dan sastra Madura yang semakin memprihatinkan. Salam Madura! =
Oposisi dalam Demokrasi
K
epadatan penduduk tidak hanya menimbulkan masalah di ibu kota Indoensia, Jakarta. Di kota terbesar kedua, Surabaya juga setiap tahun mulai direpotkan oleh masalah peningkatan kependudukan, yang setiap tahun terus mengalami penambahan drastis. Berdasarkan data Dispendukcapil setempat, pada tahun 2011, Surabaya menerima penduduk baru sebanyak 24.207 orang dan tahun 2012 sebanyak 28.198 orang. Kepadatan penduduk akibat urbanisasi, rata-rata tiap tahunnya mencapai lebih dari 20 ribu jiwa. Ketua Komisi D PRD Surabaya, Baktiono meminta pemerintahan Kota Surabaya memerhatikan kepadatan jumlah penduduk di Surabaya. Saat ini, jumlah penduduk Surabaya sudah mencapai menembus angka 3 juta jiwa dengan luas kota sekitar 29.000 hektar. Jumlah penduduk sebanyak itu sudah melebihi batas ideal, karena idealnya dalam setiap satu hektar tanah dihuni oleh 75 orang, sedangkan yang terjadi justeru terdat 87 orang perhektar. Kini kota pahlawan tersebut sudah mengalami obesitas (kelebihan penduduk) mencapai 800 ribu jiwa dari standar idealnya. Membengkaknya jumlah penduduk di Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya faktor urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota). Juga merupakan dampak dari faktor fertilisasi (kelahiran), dan mortalitas (kematian). Fertilisasi di Surabaya yang semakin meningkat dan mortalitas yang cenderung menurun juga menjadi penyebab cepatnya penambahan jumlah penduduk di Surabaya. Dari ketiga penyebab penambahan penduduk tersebut didominasi oleh faktor perpindahan penduduk dari berbagai daerah ke Surabaya dengan beragam tujuan masingmasing, baik untuk belajar atau karena motif ingin mencari pekerjaan. Adanya perpindahan penduduk dari desa ke Surabaya karena kota pahlawan merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta yang sangat potensial dijadikan pusat kegiatan pendidikan, perdagangan, jasa, perkantoran, perindustrian, dan semacamnya yang menopang mata pencaharian warganya. Melambungnya jumlah penduduk Surabaya terus menjadi masalah baru di Surabaya, karena luas lahan yang terus terdesak oleh pendatang penduduk baru menyebabkan suasana tidak kondusif lagi. Masalah yang muncul kemudian diantaranya maraknya aksi kejahatan, perampokan, pencopetan, dan kriminal lainnya. Tindakan kurang menguntungkan itu kiranya disebabkan oleh karakter para pendatang yang mencoba mengaduh nasib di kota ganas Surabaya. Tak ada jalan lain, kepadatan jumlah penduduk ini perlu mendapat penanganan agar tak menimbulkan masalah baru yang berkelanjutan.(*)
membuat kongres tandingan. Meskipun sampai sekarang kongres tandingan itu tidak pernah terwujud, namun cukup mendapat perhatian bahwa ada saja yang tidak puas terhadap pelaksanaan kongres. Ketidakpuasan beberapa pihak diduga karena pelaksanaan kongres tidak menghimpun dan tidak melibatkan semua elemen pemilik bahasa Madura. Sehingga, kongres kali pertama itu dianggap hanya mengakomodir kelompok yang pro dengan panitia, sementara pihak yang berlawanan arus tidak dilibatkan dan harus gigit jari atau hanya sekadar menjadi peserta. Sampai disinilah kecemburuan antar pemerhati bahasa Madura mulai tumbuh. Padahal, bahasa Madura bukan hanya milik kabupaten penyelenggaran, melainkan semua orang Madura baik yang berada di Madura maupun yang tersebar di luar Pulau Garam termasuk daerah Tapal Kuda, dan manca negara. Problematika ejaan bahasa Madura sampai saat ini menjadi dua kutub yang berbeda. Pertama adalah pihak yang tetap berpegang teguh pada hasil Sarasehan tahun 1973 di Pamekasan dan pihak yang kedua adalah pihak yang sudah melakukan pembaruan ejaaan sejak tahun 2004 hingga disempurnakan pada atahun 2011. Pihak yang tetap berpegang pada ejaan 1973 adalah Tim NABARA (Pembina Bahasa Madura) Sumenep dan pihak yang kedua adalah Yayasan Pakem Maddhu (PM) Pamekasan yang sering bergandengan dengan BBS. Walhasil, majalah Jokotole (majalah khusus bahasa Madura) terbitan Balai Bahasa Surabaya menggunakan ejaan versi BBS-PM. Selain problematika ejaan yang menjadi penyebab sepinya bahasa dan sastra Madura adalah tersedianya ruang publikasi (baca: media) yang nyaris minim. Sebanyak apapun karya sastra Madura yang dihasilkan oleh sastrawan Madura namun jika tidak ada tempat untuk publikasi maka karya tersebut hanya menjadi koleksi pribadi sang pengarang atau hanya menjadi penunggu laci. Di tahun 90-an orang Madura boleh bangga dengan kehadiran Buletin Konkonan, sebuah media yang diterbitkan oleh Tim Nabara. Pada saat itu banyak bermunculan para penulis berbahasa Madura. Dan pada saat itu pula perkembangan sastra tulis Madura mengalami perkembangan yang
Nunung Fitriana
Ibu Rumah Tangga tinggal di Tulungagung “Power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely” (Lord Acton)
B
angsawan yang lahir di Naples, Italia Lord Acton telah membunyikan lonceng, sebuah peringatan keras betapa bahayanya jika sebuah kekuasaan menjadi absolute. Dia menyampaikan pada dasarnya kekuasaan sangat rentan dengan korupsi, dan kekuasaan yang absolute dipastikan akan melakukan korupsi. Hal inilah yang membuat demokrasi menasbihkan prinsip “check and balances” dalam pembagian kekuasaan sebagai salah satu prinsipnya, dan kemudian diejawantahkan dalam wujud wacan oposisi. Oleh karena itulah di dalam Negara-negara yang system demokrasinya terbilang mapan, selalu ada scenario oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan partai penguasa. Di AS, ketika kaum Republican berkuasa dipastikan partai Demokrat menjadi oposanya.
Di Inggris, ketika hari ini partai Buruh berkuasa, partai Konservativ dan Demokrat Liberal pun membangun koalisi dan mengambil jalur di sebarang jalan. Dengan scenario ini, masyarakat akan mudah membaca ideology, keberpihalan dan langkah partai politik. Hal ini pula secara langsung melatih mereka menjadi lebih cerdas dalam memilih dan akhirnya benar-benar mampu menjadi subyek dari sebuah hajatan politik. Ketika kita menyadari betul karakter kekuasaan sebagaimana yang disampaikan Lord Acton, maka hadirnya pihak oposisi harusnya dianggap sebagai sesuatu hal yang memang harus ada. Bukankah Tuhan juga telah menciptakan “setan” sebagai oposan kita?. Oposisi adalah “advocatuc diaboli” / iblis penyelamat, kehadirannya memang begitu menyebalkan, tapi ketika kita pandai menghayati, kehadirannya akan senantiasa membuat kita waspada dan hati-hati pada langkah kita sendiri. Keengganan atas wacana oposisi sebenarnya merupakan bentuk penolakan kita atas takdir manusia yang memang diciptakan tidak sempurna. Namun sayangnya, sebagai bangsa yang sebenarnya telah lama belajar berdemokrasi, kita masih enggan menerima “oposisi” di tengah-tengah kehidupan kita, terlebih dalam pergumulan politik bernegara kita.. Kita memang punya sejarah yang cukup kelam dalam berdemokrasi, selama 32 tahun orde baru menjalankan sebuah praktek demokrasi semu. Demokrasi hanya menjadi formalitas dengan adanya pembagian kekuasaan Legislative, Eksekutif dan Yudikatif tanpa dibarengi dengan adanya check and balances antar kekuasaan. Kekuasaan eksekutif dipegang satu tokoh sentral, Suharto berjalan begitu absolute dengan dukungan militer yang
“mendisiplinkan” rakyat agar selalu sejalan dengan kekuasaan. Jangankan partai oposisi, seniman yang karyakaryanya berbau “oposisi” pun harus tinggal dalam terali besi. Pasca reformasi, lilitan rantai yang membelenggu rakyat terbuka dan kebebasan begitu menyegarkan rasa. Namun sayangnya wacana oposisi tetap saja bukan menjadi hal yang dianggap biasa. Oposisi kerap dipandang sebagai lawan daripada dianggap sebagai kawan. Dalm kehidupan politik pasca reformasi, partai-partai baru begitu menjamur ikut berebut kekuasaan. Golkar tidak selalu menjadi jawara lagi, dan kekuasaan berpindah tangan silih berganti. Dan sayangnya tidak banyak partai yang memilih zona oposisi sebagai langkah strategis, mereka umumnya berduyun-duyun mendekati pemenang dan membentuk koaliasi. Kontes politik nasional tahun 2009 telah menentukan SBY dan partai Demokrat sebagai juara bertahan. Kemenangan ini menarik lima partai politik masuk menjadi koalisi pendukung. Saat itu ada wacana PDIP juga akan bergabung dalam koalisi, dan masuknya PDIP ini akan menjadi “the End of the History” (mengutip buku Francis Fukuyama) perjalanan politik di Indonesia. Gambar politik kita akan kembali kelabu dan menjadi sangat membosankan. Meski banyak analisa yang menyatakan betapa beratnya menjadi oposisi, secara pribadi saat itu saya bersyukur PDIP kembali memilih jalur oposisi bersama Hanura dan Gerindra. Pertama karena dengan adanya oposisi, pembelajaran demokrasi akan berjalan selangkah lebih maju, artinya masyarakat yang mulai terbuka ini akan selalu dihadapkan pada analisaanalisa yang beragam dan dinamis.
Dan yang kedua hadirnya oposisi sekaligus mengembalikan Jagat politik kita pada situasi yang semestinya sesuai dengan hukum alam semesta. Menjadi oposisi tidaklah selalu dekat dengan penderitaan, pada sisi kaderisasi partai. Memutuskan menjadi oposisi sebenarnya partai telah mengeluarkan kader-kadernya dari “comfort zone”, yang pasti memaksa mereka untuk berfikir lebih kreatif, dinamis, dan kritis. Ketika hal ini di manage dengan baik, ditunjang dengan kecerdikan membaca momentum dan peluang serta mampu memanfaatkan peran media secara maksimal bukan mustahil progress yang ditunjukkan PDIP akhir-akhir ini juga mampu dicapai partai lain di jalur oposisi. Dari konsistensinya berada di jalur oposisi, PDIP sukses mempresentasikan banyak nama kadernya menjadi tokoh di media, sebut saja Gayus Lumbun, Eva K Sundari, Ganjar Pranowo, dan ada juga Rieke, Maruarar Sirait, Budiman Sudjatmiko di jalur muda. Tidak hanya berhenti disitu, berbekal kemengan monumental Jokowi di Jakarta, PDIP berupaya menjadikan kader-kadernya “tokoh” sebenarnya di beberapa daerah dengan minim membangun koalisi. Citra positif dan rasa PD inilah yang mungkin menjadi beberapa berkah oposisi. Sujiwo Tedjo menjelaskan bahwa dalam falsafah “segitiga” ada dua sudut yang saling berhadapan, dan dua sudut itu merupakan pijakan dua rusuk yang akhirnya membentuk satu sudut baru di puncak. Sudut-sudut yang saling berhadapan sejatinya memiliki kebenaran dan keberkahanya sendiri karena dua sudut ini sebenarnya sedang memainkan hukum keseimbangan alam semesta. Maka dalam demokrasi tidak perlu ada emosi karena kekuasaan akan berpindah silih berganti. =
Pemimpin Redaksi Abrari, Wakil Pemimpin Redaksi Zeinul Ubbadi, Redaktur Ahli M. Husein, Redaktur Pelaksana Abdur Rahem, M. Kamil Akhyari, Sekretaris Redaksi Benazir Nafilah, Tata Letak Didik Fatlurrahman, Novemri Habib Hamisi, Desain Grafis Ach. Sunandar, M. Farizal Amir, Fotografer Mahardika Surya Abriyanto, Website Hairil Anwar, Biro Sumenep Hayat (Kepala) Syah A. Latief, Syamsuni, Junaidi, Biro Pamekasan G. Mujtaba (Kepala), Muhammad Fauzi, Biro Sampang Miftahul Ulum (Kepala), Ryan H, Junaidi, Holis, Biro Bangkalan Moh. Ridwan (Plt. Kepala), Doni Harianto, Biro Surabaya Hana Diman (Kepala), Ari Armadianto, I Komang Aries Dharmawan, Viane Cara Rima Pamela, Joeli Hidayati, Agus Setyawan, I Made Ardhiangga Probolinggo Pujianto, M. Hisbullah Huda, Biro Jakarta Gatti (Kepala), Satya, Cahyono, Willy Kontributor Sugianto (Bondowoso) FL. Wati (Bali) Anwar Anggasoeta (Yogyakarta) Ahmad Sahidah (Malaysia), Manajer Pemasaran Moh. Rasul Accounting Ekskutif Deddy Prihantono, Husnan (Sumenep), Mohammad Muslim, (Pamekasan) Siti Farida, (Sampang), Taufiq (Bangkalan) G. A. Semeru (Surabaya) Penerbit PT. Koran Madura, Komisaris Rasul Djunaidi, Direktur Utama Abrari, Direktur Keuangan Fety Fathiyah, Alamat Redaksi Jl. Adirasa 07 Kolor Sumenep, email koranmadura@ymail.com, opini.koranmadura@gmail.com, Telepon/Fax (0328) 6770024, No. Rekening BRI 009501000029560, NPWP 316503077608000 http://www.koranmadura.com/ | Wartawan Koran Madura dibekali ID Card (kartu pengenal) dan tidak diperkenankan menerima imbalan berupa apapun dari narasumber