KORAN PROBOLINGGO
MADURA
ilpres mendatang tampaknya akan berlangsung seru. Diperkirakan akan hanya berlangsung satu putaran. Indikasinya terlihat dari koalisi partai. PDIP berkoalisi dengan PKB, Nasdem, dan Hanura untuk mengusung pancapresan Jokowi-Jusuf Kalla (JK4PJK4WP). Sedangkan Gerindra membangun kerja sama dengan PPP, PKS, PAN, PBB, dan juga mendapat dukungan dari Golkar untuk memberangkatkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) menuju istana Negara, setelah partai berlambang beringin itu gagal mencari dukungan untuk mencapreskan ketua umumnya, Aburizal Bakrie. Dengan demikian, dapat dipastikan pada pilpres 9 Juli nanti akan diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres tersebut. Baik pasangan JK4P-JK4WP dan Prabowo-Hatta sama-sama menunjukkan kejutan pada publik, kejutan yang diberikan Jokowi adalah memunculkan pendampingnya yang namanya memiliki kemiripan, sehingga keduanya sama-sama disingkat JK. Sedangkan Prabowo-Hatta juga menampakkan kejutan memperoleh dukungan dari sejumlah parpol, bahkan dari Golkar, yang sebelumnya sempat dikabarkan lebih merapat ke Jokowi. JK4P-JK4WP juga Prabowo-Hatta sama-sama memiliki kesempatan untuk memenangkan pilpres satu putaran. Dipastikan persaingan kedua pasangan capres-cawapres itu sangat ketat. Kekuatan parpol pengusung masing-masing bisa dijadikan ukuran. PDIP 32,05%, PKB 12,91%, Nasdem 3,45%, dan Hanura 3,00%, sehingga mencapai 51,41%, sedangkan Gerindra 8,87%, PAN 8,32%, PPP 5,7%, PKS 6,53%, PBB 0,40%, dan Golkar 12,99%, bila dijumlahkan mencapai 42,81% untuk Prabowo-Hatta, dan sisanya suara Demokrat 5,87% dan PKPI 0,55% akan diperebutkan oleh JK4PJK4WP dan Prabowo-Hatta. Berdasarkan data koalisi tersebut, sepintas Prabowo-Hatta diprediksi ada di atas angin karena mendapat dukungan koalisi parpol lebih banyak secara kwantitas, namun bila dihitung secara kwalitas pasangan JK4P-JK4WP masih lebih unggul. Sekalipun suara pemilih partai oposisi mengalir utuh ke Prabowo-Hatta. Namun semua prediksi itu masih perlu dibuktikan dan rakyat akan menentukan pada tanggal 9 Juli mendatang. Apalagi selama ini figur pimpinan lebih memikat rakyat daripada parpol, jadi semua kemungkinan masih bisa terjadi.(*)
Opini
SELASA 20 MEI 2014 | No. 0364 | TAHUN III
77
BI vs OJK
Salam Songkem
Berebut RI
KORAN MADURA
SELASA 20 MEI 2014 No. 0364 | TAHUN III
Seperti mengenakan baju yang modenya sudah ditinggalkan, itulah yang terjadi dengan perpindahan pengawasan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada saat Inggris yang menerapkan pengawasan bank oleh otoritas jasa keuangan mengembalikan pengawasan bank ke Bank of England (Bank Central Inggris) pada April 2013, Indonesia malah berbuat sebaliknya.
M
eskipun pengawasan bank oleh Financial Service Authority (FSA) sudah ditinggalkan Inggris karena dinilai tidak mampu mundur dari komitmen pembentukan OJK. Semua itu berawal sejak IMF menilai BI gagal mencegah gelombang kejatuhan perbankan yang menyeret Indonesia masuk kedalam krisis keuangan pada 1997 – 1998. Untuk mencegah krisis keuangan berikutnya, IMF meresepkan Indonesia untuk membentuk lembaga superbody seperti OJK yang dapat mengawasi kegiatan lembaga keuangan mulai dari perbankan sampai pasar modal. Pemerintah Indonesia benar-benar melaksanakan komitmen ini seperti terlihat pada UU No. 23 tahun 1999 tentang BI yang menyatakan bahwa pengawasan bank akan dilakukan oleh otoritas jasa keuangan yang sudah harus terbentuk pada akhir 2002. Banyak pihak yang keberatan dengan resep IMF itu, sehingga pembentukan OJK pun tertunda seperti terlihat pada revisi UU BI (UU No. 3 th 2004)
yang memberikan kelonggaran pembentukan OJK sampai akhir 2010. Batas waktu itupun terlewati karena UU OJK baru disahkan pada 2011 dan OJK baru benar-benar mulai mengawasi bank terhitung mulai 1 Januari 2014. Penundaan pembentukan OJK dari 2002 memberikan kesan bahwa sebenarnya pemerintah sendiri ragu-ragu dalam menerapkan model pengawasan perbankan yang dianut Inggris dan sebagian negara-negara persemakmurannya ini. Hal ini tidak terlepas dari adanya beberapa kelemahan dalam sistem ini. Pertama, karena harus mengawasi begitu banyak lembaga keuangan yang tersebar dalam berbagai industri mulai dari bank, asuransi, dana pensiun, pembiayaan hingga pasar modal, otoritas jasa keuangan mungkin akan sulit memfokuskan diri karena jumlah perusahaan yang harus diawasi sangat banyak dan berada dalam industri yang beragam. Kedua, kejadian gagalnya Bank Nothern Rock Plc di Inggris pada 2008 memperkuat kehawatiran banyak pihak bahwa sistem otoritas jasa keuangan juga menyulitkan bank sentral dalam menjalankan tugasnya. Selain kelemahan dalam sistem otoritas jasa keuangan, penerapan yang semakin ketat dalam risk managemen, corporate governance, persyaratan kepemilikan bank dan persyaratan permodalan bank telah membuat pengawasan perbankan oleh BI jauh lebih baik dibandingkan dengan masa prakrisis 1997 - 1998. Kegagalan bank jauh berkurang dalam 15 tahun terahir dan kredit bermasalahpun jauh menurun. Fakta ini menimbulkan pertanyaan apakah kita masih perlu merombak pengawasan perbankan yang telah dilakukan dengan baik oleh BI selama OJK belum terbentuk. Jawabannya adalah OJK tetap harus dibentuk karena telah menjadi komitmen pemerintah dan telah dimandatkan UU, meskipun
manfaatnya terasa kurang relavan lagi dengan dibubarkannya FSA di Inggris. Baik pengawasan perbankan oleh bank sentral maupun oleh otoritas jasa keuangan tidak dapat menjamin bahwa tidak akan ada bank yang gagal atau bangkrut. AS yang pengawasan perbankan dilakukan oleh bank central – the Fed juga sering mengalami kegagalan bank, seperti bangkrutnya Lehman Brothers yang turut memicu krisis keuangan AS. Sama halnya di Inggris yang pengawasan perbankannya dilakukan oleh otoritas jasa keuangan juga memiliki kasus kegagalan bank. Karena Indonesia telah memilih untuk berpindah ke model pengawasan perbankan oleh ortoritas jasa keungan, maka perlu diatur dari awal kebijakan, prosedur, hingga service level agreement. Selain itu juga pengaturan kejelasan tanggung jawab dan transparansi hubungan kerja BI dan OJK untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam pengawasan bank oleh OJK. Belajar dari kasus kegagalan Northern Rock Plc yang dialami Inggris, terdapat beberapa hal yang dapat diawaspadai OJK dan BI dari awal. Pertama, OJK harus segera menguasai seluk beluk pengawasan perbankan. Dalam kasus di Inggris FSA terkesan kurang memahami bisnis perbankan sehingga telat menyadari risiko bisnis agresif yang ditempuh oleh Northrrn Rock Plc. Sepertinya OJK memahami hal ini sehingga untuk pengawasan perbankan OJK praktis menggunakan personal berpengalaman yang diambil oleh BI. Hanya saja perlu dipastikan bahwa jangan sampai birokrasi baru OJK mengambil kerja tim yang telah berpengalaman ini. Kedua, perlu ditetapkan dari
sejak awal kebijakan, prosedur dan service level agreement antara BI dan OJK untuk memberikan kejelasan dan batasbatas tanggung jawab dan kewajiban masing-masing institusi dalam pengawasan bank. Hal ini diperlukan agar aliran informasi berjalan lancar dari OJK yang bertanggung jawab untuk mengawasi bank (mikroprudential) ke BI yang mempunyai kewajiban menjaga stabilitas sistem keuangan (makroprudential). Hal ini penting mengingat dalam kasus di Inggris, Bank of England sebagai bank sentral mengaku tidak mengetahui posisi keuangan Northern Rock Plc sebelum bangkrut. Tampaknya, FSA tidak atau telat memberikan informasi ke Bank of England. Ketiga, jangan sampai pada tahap implementasi, perbankan pada akhirnya diawasi oleh dua institusi, BI dan OJK. Hal ini tentu akan sangat membingungkan dan merepotkan kalangan perbankan. Karena hawatir tidak memiliki informasi lengkap terkini tentang kondisi suatu bank seperti terjadi pada kasus Northern Bank Plc di Inggris, BI dapat saja memaksakan diri untuk meminta laporan langsung dari perbankan seperti yang telah dilakukannya selama ini. BI dan OJK sebaiknya bertemu untuk memutuskan koordinasi pelaporan antara perbankan dan OJK serta antara OJK dan BI, sehingga perbankan hanya melapor ke satu institusi pengawas yaitu OJK. Meskipun pengawasan bank oleh otoritas jasa keuangan telah ditinggalkan di Inggris, Indonesia tetap dapat menerapkannya dengan berhasil asal saja pengaturan kerjasama antara BI dan OJK disiapkan secara matang dari awal, sehingga pengawasan dapat berjalan efektif dan tidak membingungkan dan merepotkan industri perbankan.=
KORAN MADURA
PEMIMPIN REDAKSI: Abrari Alzael WAKIL PEMIMPIN REDAKSI: Zeinul Ubbadi REDAKTUR AHLI: M. Husein, G. Mujtaba REDAKTUR PELAKSANA: Abdur Rahem, M. Kamil Akhyari SEKRETARIS REDAKSI: Benazir Nafilah ADMIN: Indriani Y Mariska PENATA LETAK/DESAIN GRAFIS: Ach. Sunandar, Didik Fatlurrahman, Novemri Habib Hamisi, Khoiril Anwar, FOTOGRAFER: Mahardika Surya Abriyanto (Non Aktif) WEBSITE: Hairil Anwar BIRO SUMENEP: M. Hayat (Kepala), Syamsuni, Junaidi, Ali Ridha BIRO PAMEKASAN: A. Fauzi M (Plt. Kepala), Ali Syahroni, Sukma Firdaus BIRO SAMPANG: Miftahul Ulum (Kepala), Ryan H, Mohammad Muhlis BIRO BANGKALAN: Moh. Ridwan (Kepala), Doni Heriyanto BIRO SURABAYA: Hana Diman, Ari Armadianto, Joeli Hidayati BIRO PROBOLINGGO: M. Hisbullah H (Kepala), Sugianto, Mahfud Hidayatullah BIRO JAKARTA: Gatti (Kepala), Satya, Cahyono, Willy KONTRIBUTOR: FL. Wati (Bali) Anwar Anggasoeta (Yogyakarta) Ahmad Sahidah (Malaysia) PENERBIT: PT. Koran Madura KOMISARIS: Rasul Djunaidi DIREKTUR UTAMA: Abrari DIREKTUR KEUANGAN: Fety Fathiyah MANAJER PEMASARAN: Moh. Rasul ACCOUNTING EKSEKUTIF: Husnan (Sumenep), Mohammad Muslim (Pamekasan), G. A. Semeru (Surabaya) ALAMAT REDAKSI: Jl. Adirasa 07 Kolor Sumenep, e-mail: koranmadura@ymail.com, koranmadura@gmail.com, opini.koranmadura@gmail. com, http://www.koranmadura.com/ REKENING: BRI 009501000029560, NPWP: 316503077608000 CALL CENTER: Telepon/Fax (0328) 6770024, HARGA ECERAN RP 3.500, LANGGANAN RP 70.000.
WARTAWAN KORAN MADURA DIBEKALI ID CARD (KARTU PENGENAL) DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA IMBALAN BERUPA APAPUN DARI NARASUMBER