Bagaimana Cara Mengentaskan Korupsi di Indonesia?

Page 1


EXECUTIVE SUMMARY Sudah dua dekade lamanya, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia membuahkan hasil yang baik. Dimulai dari tumbangnya rezim orde baru dan lahirnya KPK lembaga anti rasuah melalui UU KPK pada tahun 2002. Selama progres pemberantasan korupsi tersebut, sektor ekonomi dan sosial juga mengalami kemajuan yang signifikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat indikasi terjadinya titik balik menuju kemunduran pemberantasan korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari menurunnya indeks persepsi korupsi (IPK) tahun 2020 dan indikator pengendalian korupsi dalam worldwide governance indicator (WGI) tahun 2019. Padahal, perjalanan Indonesia untuk memberantas korupsi masih jauh. Kedua indeks tersebut masih menunjukan angka di kisaran 40 dari skala 0-100. Dengan demikian, diketahui bahwa dibutuhkan upaya lebih dalam menuntaskan masalah korupsi di Indonesia. Studi ini dilakukan untuk menelaah masalah korupsi secara komprehensif menggunakan perspektif sistem. Studi ini menggunakan beberapa metode analisis, diantaranya: Analisis deskriptif (Bab 1), causal loop diagram (Bab 2), dan analisis komparatif (Bab 3, 4, dan 5). Beberapa temuan yang dihasilkan dari studi ini adalah sebagai berikut: ● Tingkat korupsi semakin parah dalam beberapa tahun terakhir yang dapat dilihat dari penurunan IPK dan indikator pengendalian korupsi WGI serta peningkatan nilai kerugian negara akibat korupsi. ● Upaya pelemahan pemberantasan korupsi telah menyasar aspek hukum dan kelembagaan, sebagai contoh adalah seleksi pimpinan KPK tahun 2019, revisi UU KPK, dan pencabutan PP 99/2012. Dengan demikian, dampaknya lebih berbahaya dibandingkan upaya pelemahan terdahulu yang umumnya berupa kriminalisasi. ● Berdasarkan tinjauan sistem, fenomena korupsi didominasi proses timbal balik positif, sehingga peningkatan/penurunan korupsi akan menciptakan kondisi yang memperkuat tren tersebut. Dengan demikian, tren pemberantasan korupsi yang belakangan menurun dapat sangat membahayakan. Jika dibiarkan, maka korupsi akan terus meningkat seiring timbal balik dari variabel-variabel lainnya.


● Indonesia belum mengatur ketentuan anti korupsi dalam konstitusi. Padahal, berdasarkan studi komparasi dengan negara-negara lain, terjadi kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) setelah adanya pengaturan ketentuan anti korupsi dalam konstitusi negara. Contoh ketentuan yang dimaksud adalah pengaturan nilai-nilai integritas, konflik kepentingan, ketidakberpihakan, transparansi, dan akuntabilitas bagi seluruh pegawai publik. Diatur juga sanksi bagi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah pencopotan dari jabatan. Selain itu, ketentuan lainnya adalah terkait keberadaan komisi anti korupsi – berbeda dengan KPK Indonesia yang hanya berlandaskan pada Undang-Undang. ● Sebagai sumber penerimaan utama negara, penerimaan pajak masih jauh dari optimal. Rasio pajak Indonesia tergolong rendah, bahkan terus mengalami penurunan. Salah satu sebabnya adalah praktik korupsi yang melancarkan tindakan penghindaran pajak, seperti understatement of income, overstatement of the deductions, dan non-reporting of income. Berdasarkan analisis komparasi dengan Jepang, Indonesia perlu segera membuat database perpajakan yang terintegrasi dan komprehensif. Dengan adanya sistem seperti KSK yang dimiliki Jepang, potensi tindakan korupsi oleh pegawai pajak dapat dikurangi sekaligus dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. ● Pendekatan lain untuk memperkuat pencegahan dan penindakan korupsi adalah dengan keterbukaan informasi tentang pemilik manfaat dan politically exposed person. Keterbukaan informasi yang disertai dengan pengetatan pengawasan terhadap BO dan PEP akan mempersempit ruang gerak pelaku korupsi. Dari hasil komparasi dengan negara lain, seperti Kanada, Swiss dan Singapura, diketahui bahwa masih terdapat kelemahan dari aturan BO dan PEP di Indonesia. Dari segi substansi, aturan terkait dengan BO perlu diperbaiki agar dapat secara tegas dan jelas mengatur kepemilikan secara tidak langsung atau de facto. Selain itu, informasi terkait BO juga sebaiknya secara langsung dibuka ke publik dan selalu diperbaharui. Dari segi bentuk hukum, peraturan BO dan PEP perlu ditingkatkan menjadi Undang-Undang agar dapat lebih komprehensif dan kuat penegakan hukumnya.


BAB 1 KILAS BALIK UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI Apa itu korupsi? - Pemberantasan korupsi di Indonesia - Titik balik kemunduran pemberantasan korupsi Korupsi bisa didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, pada hakikatnya, korupsi mengandung dua unsur penting didalamnya, dimana pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh pejabat atau aparatur negara; kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. Di era sekarang ini, kita sesungguhnya dipaksa untuk memahami korupsi sebagai suatu persoalan dinamis yang erat korelasinya dengan pola relasi antara masyarakat sipil dan kekuasaan itu sendiri. Artinya, fenomena korupsi dapat dipahami secara utuh apabila dilihat dari konteks struktural kejadiannya.

Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Komitmen dalam pemberantasan kasus korupsi menjadi tonggak penting dalam keberlangsungan sebuah negara. Hampir di setiap masa kampanye pemilihan presiden, pasti tak luput upaya pemberantasan korupsi menjadi janji para calon kepala negara. Janji tersebut ada karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Dengan adanya komitmen pemberantasan korupsi oleh para calon kepala negara menjadi daya tarik pemilih untuk memilih dirinya. Upaya pemberantasan korupsi sudah banyak dilakukan semenjak zaman orde lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara yuridis, tindak pidana korupsi sudah dimulai semenjak tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi. Peraturan ini ditujukan untuk mengatasi tindak pidana korupsi yang saat itu sedang merajalela. Dengan adanya peraturan ini, istilah korupsi pertama kalinya secara yuridis dikenal dalam peraturan hukum negara Indonesia,


karena KUHP pada saat itu tidak mampu menanggulangi meluasnya tindak pidana korupsi.1 Wakil Presiden pertama RI, Bung Hatta, berkata bahwa praktik korupsi di Indonesia telah membudaya dan ia merasa cita-cita pendiri bangsa telah dikhianati dalam oleh rezim orde lama walaupun usianya masih muda.2 Masa Orde Baru bisa dibilang masa yang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa kepemimpinannya cukup panjang. Namun sayangnya, walaupun banyak peraturan yang telah dibuat, hal tersebut tidak berlaku secara efektif dan tidak membuat korupsi

berkurang di

Indonesia. Lembaga negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah, lembaga yudikatif dilemahkan oleh rezim orde baru, Kekuatan masyarakat sipil juga ikut dilemahkan dengan secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan mengintervensi demi mempertahankan kekuasaannya.3 Setelah jatuhnya rezim orde baru, lahir pemerintahan baru dari gerakan reformasi 1998. Dengan lahirnya masa reformasi, harapan rakyat Indonesia dalam pemberantasan korupsi pun ikut tumbuh. Terlebih lagi pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi bagian dari tuntutan reformasi yang diperjuangkan saat itu. Di masa reformasi, MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN sebagai upaya pemenuhan tuntutan reformasi. Terdapat lembaga-lembaga yang dibentuk untuk mendukung upaya tersebut, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, dan beberapa lainnya. Sayangnya, setelah masa kepemimpinan tersebut, tepatnya di masa kepemimpinan Megawati, berbagai kasus korupsi terjadi. Contohnya adalah kasus korupsi bulog dan maraknya korupsi dalam BUMN. Hal tersebut membuat masyarakat meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintah saat itu. Dalam menanggapi hal tersebut, pemerintahan Megawati membentuk 1

Elda, E. (2019). Arah Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Kajian Pasca Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lex LATA, 1(2). 2 Anti-Corruption Clearing House. Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Diakses pada 20 Oktober 2021 ACCH (kpk.go.id) 3 idem


Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang kemudian menjadi lembaga yang lebih dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri sebagai lembaga independen dalam pemberantasan korupsi dengan mandat dari UU KPK untuk melaksanakan tugas seperti melakukan koordinasi dengan instansi terkait, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memonitor penyelenggaraan pemerintah. Prestasi gemilang pun sudah banyak ditorehkan oleh lembaga antirasuah ini. Akibatnya, para koruptor pun geram dengan keberadaan KPK sehingga menimbulkan agenda corruptor fight back.4

Pelemahan Upaya Pemberantasan Korupsi Tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya dalam penindakan, tetapi juga dalam mempertahankan diri dari upaya pelemahan. Upaya pelemahan terhadap KPK sudah terjadi sejak lama dan merupakan bentuk serangan balik koruptor (corruptor fight back). Pada tahun 2009, terjadi kasus “Cicak vs Buaya” Jilid I. Kemudian, pada tahun 2012 dan 2015 terjadi “Cicak vs Buaya” Jilid II dan III. Pola dari ketiga kasus tersebut sama: KPK menangani kasus yang

melibatkan

petinggi

Polri,

kemudian

terjadi

kriminalisasi yang menghambat

penanganannya. Selain dari upaya kriminalisasi, upaya pelemahan KPK juga terjadi melalui regulasi (revisi UU KPK) dan proses pemilihan Ketua KPK yang penuh kejanggalan. Wacana revisi UU KPK yang telah bergulir sejak tahun 2011, akhirnya berhasil terwujud pada tahun 2019 melalui UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi UU KPK berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi, sebab UU tersebut mengancam independensi KPK, memangkas penyelidikan dan penyidikan KPK, dan memangkas wewenang KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan. Sementara itu, pada proses pemilihan Ketua KPK, terdapat berbagai kejanggalan, seperti calon yang bermasalah, proses pemilihan yang tidak transparan dan partisipatif, dan voting oleh DPR yang diduga sudah direkayasa.

4

Kabinet KM ITB. (2021). 23 Tahun Reformasi, Rekam Jejak Pelemahan Amanah Pemberantasan Korupsi.


Dalam beberapa tahun terakhir, kebebasan lembaga pengawasan dan masyarakat sipil dilemahkan secara sistematis. Independensi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengalami kemunduran yang signifikan, salah satunya dengan disahkannya perubahan undang-undang pada akhir tahun 2019. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK telah kehilangan taring untuk memberantas kasus korupsi. Jika ditafsirkan secara linear, mulai dari calon Pimpinan KPK yang bermasalah, menurunnya Indeks Persepsi Korupsi dari tahun ke tahun, adanya kooptasi kepemimpinan, menurunnya kinerja dan kualitas KPK dari tahun ke tahun, serta berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi, dapat dikatakan bahwa KPK berada di ujung tanduk. Selain itu, hadir sebuah proses di mana pegawai KPK harus beralih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan mengadakan sebuah asesmen berupa Tes Wawasan Kebangsaan guna memenuhi peralihan menjadi ASN yang semakin melumpuhkan bahkan membunuh KPK secara sistematis. Baru-baru ini pada 13 September 2021 Ketua KPK, Firli Bahuri, mengesahkan SK Nomor 1354 Tahun 2021 yang akan menonaktifkan pegawai KPK yang tidak lolos TWK, berlaku per 30 September 2021.5 Sebanyak 58 pegawai KPK diberhentikan dengan 51 pegawai yang mendapat rapor merah dalam TWK dan 6 lainnya karena tidak bersedia untuk mengikuti pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan. Pada 29 Oktober 2021, Mahkamah Agung (MA) mencabut PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi warga binaan khususnya pidana korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan transnasional lainnya. Padahal, keberadaan PP yang mengatur remisi hadir karena urgensi dari lemahnya sistem hukum Indonesia yang belum mengatur perampasan aset hasil korupsi. Pembatalan PP pengetatan remisi telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Korupsi seakan

5

Aji, M Rosseno. (2021) Ombudsman RI Nilai SK Pemecatan Pegawai KPK Salah Prosedur. Diakses pada 29 September 2021 Ombudsman RI Nilai SK Pemecatan Pegawai KPK Salah Prosedur - Nasional Tempo.co


tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan pengajuan remisinya tidak lagi wajib menjadi justice collaborator maupun membayar uang pengganti korupsi6. Bukti nyata dari kemunduran upaya pemberantasan korupsi salah satunya adalah mandeknya kasus besar seperti kasus Harun Masiku dan kemunculan korupsi skala besar di era pandemi dan tumpulnya penindakan terhadap pelaku korupsi tersebut. Perburuan terhadap Harun Masiku bermula ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020, tetapi semenjak OTT itu berlangsung Harun Masiku telah menghilang. Terakhir kali tim penyidik KPK mendeteksi keberadaan Harun di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Akan tetapi, Tim gagal menangkap karena diduga ditahan oleh sejumlah anggota kepolisian karena adanya kebocoran informasi tentang upaya OTT7. Selain kasus Harun Masiku, di masa pandemi ini terdapat kasus yang juga sama buruknya. Pertama ada kasus Juliari batubara yang menerima suap dari bansos Covid-19 dan hanya divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Padahal, berdasarkan UU Kebencanaan memberikan ancaman pidana seumur hidup bagi mereka yang menyalahgunakan bantuan bencana. Tak berbeda jauh dengan Juliari, mantan Jaksa Pinangki yang tersangkut kasus suap dan pencucian uang senilai Rp 5,2 miliar, juga mendapat potongan hukuman hukuman menjadi 4 tahun penjara dari semula 10 tahun penjara di tingkat banding, Jika ditelaah dari kasus-kasus tindak pidana korupsi yang telah terjadi, dapat dilihat bahwa putusan pengadilan masih jauh berada di bawah batas maksimum dari pidana yang ditetapkan dalam undang-undang. Tidak bisa dipungkiri bahwa privilege berperan penting dalam disparitas dan diskriminasi dalam proses hukum yang terjadi saat ini. Perbedaan mendasar dari upaya pelemahan pemberantasan korupsi dahulu dan saat ini adalah jenis upayanya. Pada era Presiden SBY dan periode pertama Presiden Jokowi, bentuk pelemahan umumnya berupa kriminalisasi terhadap pimpinan maupun pegawai KPK. Selain itu, terdapat 6

Indonesia Corruption Watch. 2021. Pembatalan PP Pengetatan Remisi:Berkah bagi Koruptor. Diakses pada 06 Desember 2021 Pembatalan PP Pengetatan Remisi: Berkah bagi Koruptor | ICW (antikorupsi.org) 7 Rahma, Andita. 2021. Jadi Buron International, Ini Perjalanan Kasus Harun Masiku. Diakses pada 07 Desember 2021 Jadi Buron Internasional, Ini Perjalanan Kasus Harun Masiku - Nasional Tempo.co


juga pemberian sanksi yang tidak setimpal kepada terpidana koruptor. Namun, belakangan ini, bentuk pelemahan dilakukan melalui hukum sebagaimana konsep autocratic legalism8. Konsep ini menggunakan serangan yang terencana dan berkesinambungan pada institusi yang bertugas untuk mengawasi tindakannya dalam kerangka mandat demokratisnya. Konsep ini juga dianggap lebih berbahaya daripada otoritarianisme pada masa orde baru karena yang terjadi saat ini dianggap baik-baik saja. Tujuan akhir dari otokratik legalisme adalah untuk memperbesar kekuasaan modal dan politik bagi kelompok tertentu sehingga berbagai peraturan dan kebijakan yang diterbitkan akan cenderung merugikan masyarakat dan menciptakan kondisi politik yang tidak stabil dikalangan masyarakat9.

Titik Balik Menuju Kemunduran Pemberantasan Korupsi Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia pada tahun 2020 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang mengikuti survei. Padahal, pada tahun 2019, IPK Indonesia berada pada angka 40/100 yang mana skor tersebut adalah pencapaian tertinggi sepanjang 25 tahun terakhir10. Namun, membaca IPK perlu berhati-hati. Sebab, data yang digunakan untuk menghasil IPK belum tentu berasal dari tahun yang sama. IPK dihitung dengan menggunakan sumber data yang berbeda dari lembaga independen yang menangkap persepsi korupsi dalam dua tahun terakhir11.

8

Suatu konsep di mana melonggarnya ikatan-ikatan dan batasan konstitusional pada eksekutif melalui reformasi hukum – seolah sedang berjalan sesuai hukum padahal telah melanggar hukum itu sendiri. 9

Hukumonline.com. 2021. 3 Indikator ‘Autocratic Legalisme’ dalam Kebijakan Negara. Diakses pada 07 Desember 2021 3 Indikator ‘Autocratic Legalism’ dalam Kebijakan Negara (hukumonline.com) 10 Transparency International. (2020). KORUPSI DAN COVID-19: MEMPERBURUK KEMUNDURAN DEMOKRASI. Diakses pada 27 Oktober 2021 CPI2020INDOTIIWS 11

https://www.transparency.org/files/content/pressrelease/2012_CPIShortMethodologyNote_EMBARGO_EN.pdf


Gambar 1. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dan peringkatnya di dunia Sumber: Transparency International Indonesia

Secara metodologi, IPK adalah komposit atas sejumlah indeks dari sekian lembaga survei bergengsi di tingkat global. IPK akan mengumpulkan data dari sejumlah sumber berbeda yang memberikan persepsi di kalangan pelaku bisnis dan para pakar terkait dengan tingkat korupsi di sektor publik. Dimana skor 0 dipersepsikan sebagai keadaan suatu negara yang korupsi, sedangkan skor 100 dipersepsikan bersih dari korupsi.


Tabel 1. Indikator penyusun IPK/CPI 2020 dan 2019

Berdasarkan tabel indikator tersebut, dapat dilihat bahwa sebagian besar indikator IPK mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dari sejumlah indikator penyusun IPK 2020 terdapat lima sumber data yang menurun dibanding temuan tahun 2019 lalu. Kelima data tersebut, yaitu Global Insight yang merosot hingga 12 poin; PRS yang merosot 8 poin; IMD World Competitiveness Yearbook yang turun 5 poin, PERC Asia turun sebesar 3 poin dan Varieties of Democracy yang juga turun 2 poin dari tahun lalu. Sementara itu, tiga dari sembilan indeks mengalami stagnasi, yaitu World Economic Forum EOS; Bertelsmann Transformation Index dan Economist Intelligence Unit. Sedangkan satu indikator mengalami kenaikan sebanyak dua poin yakni World Justice Project – Rule of Law Index. Meski indikator ini mengalami kenaikan, tetapi secara agregat tidak mampu mempengaruhi kontribusi penurunan IPK 2020 ini. Sebab dalam lima tahun terakhir WJP-ROL Index selalu di bawah rerata skor IPK tahunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi angka skor IPK sebuah negara, maka persepsi korupsinya semakin bersih. Sebaliknya semakin rendah angka skor IPK suatu negara, maka persepsi negaranya akan semakin korup. Penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi


di Indonesia sebesar 3 poin dari 40 pada tahun 2019 ke 37 pada tahun 2020 merupakan penurunan paling signifikan sepanjang delapan tahun terakhir.

Gambar 2. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari Tahun 2002-2020 Sumber: TII dan World Bank

Selain penilaian dari Transparency International yang menunjukan menurunnya IPK, ICW juga mengeluarkan penilaiannya terhadap kondisi pemberantasan korupsi berdasarkan lembaga. Dari penilaian ICW, secara umum kinerja penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan KPK) pada tahun 2020 hanya mencapai 20%, sehingga diberikan nilai E12. Indikator perhitungan yang digunakan oleh ICW adalah berapa persen kasus yang ditangani dengan menghitung jumlah penindakan kasus yang terpantau dibagi dengan target penindakan kasus lalu dikali 100%. ICW juga menilai bahwa pengawasan oleh pemerintah terhadap pengelolaan anggaran negara semakin lemah. Hal tersebut dapat dilihat dari penurunan jumlah penindakan kasus yang diiringi oleh peningkatan nilai kerugian negara (lihat Gambar 3).

12

Indonesia Corruption Watch. (2021). Kinerja Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2020. Diakses pada 27 Oktober 2021 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (antikorupsi.org)


Gambar 3. Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2015-2020 Sumber: ICW

Kesimpulan dan Refleksi Paradigma kejahatan luar biasa ini telah menjadi penyakit yang menjangkiti negeri ini secara sistematis dan tidak dapat dilihat tanda-tanda kejahatan ini akan berakhir.

Di saat publik

berharap penuh pada lembaga peradilan dan independensi dari KPK untuk mengobati penyakit tersebut, integritas dan objektivitas para penegak hukum justru dipertanyakan. Hukuman yang diberikan kepada pelaku pun sangat ringan dibandingkan dengan kejahatan keji yang dilakukan. Pada akhirnya, lambat laun korupsi akan menjadi suatu hal yang dinormalisasi oleh publik. Korupsi telah menjelma menjadi representasi kinerja pemerintah yang ditambah dengan adanya problematika sosial, ekonomi, dan politik yang semakin parah. Kondisi buruk tersebut dibersamai saat seluruh sektor tengah terimbas pandemi, vonis pidana justru dipolitisasi. Hal ini membuktikan bahwa korupsi adalah musuh nyata yang menghambat Indonesia untuk bangkit dari wabah ini. Jika putusan pengadilan masih terus menjatuhkan hukuman ringan bagi para koruptor, maka sudah tentu pemberian efek jera tidak pernah akan


terealisasi. Tak menutup kemungkinan, akan ada Juliari, Edhy, dan Pinangki lainnya kelak jika tak segera ada upaya memperbaiki sistem ini. Rasanya sekian banyak usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini bukanlah solusi jangka panjang yang dapat memangkas masalah struktural ini dari akarnya. Lembaga pencegahan dan penanganan korupsi harus bersinergi, kompak, dan tidak sektoral karena korupsi adalah permasalahan sistemik yang sangat kompleks. Perlu adanya sinkronisasi dan kerjasama antar seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kontrol publik terhadap akuntabilitas penyelenggaraan negara. Utas di atas seharusnya benar-benar menjadi refleksi.


BAB 2 MEMBEDAH SEBAB DAN AKIBAT KORUPSI Diagram sebab akibat korupsi - Pentingnya menjaga penurunan tingkat korupsi Meski tren indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia membaik sejak dua dekade silam, praktik korupsi masih banyak terjadi di berbagai tingkatan dan sektor. Selama tahun 2021 saja, telah terjadi tujuh OTT terhadap kepala daerah – meningkat dari tiga OTT pada tahun 2020. Hal tersebut menandakan korupsi masih terus beregenerasi seiring siklus pemerintahan daerah. Di tingkat pusat, praktik korupsi menyangkut perumusan kebijakan dan regulasi skala nasional. Sebagai contoh, penyusunan UU Cipta Kerja yang disinyalir sarat konflik kepentingan dan cenderung menguntungkan segelintir pihak13. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU tersebut cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Kasus lainnya adalah bagaimana penetapan harga tes Covid-19 yang selama ini terlampau tinggi dan dikaitkan dengan konflik kepentingan sejumlah pejabat yang juga menjadi pebisnis di bidang tersebut. Di luar sektor pemerintah, yakni swasta, sistem pemberantasan korupsi Indonesia masih memiliki banyak celah. Padahal, potensi nilai korupsi di sektor swasta sangat tinggi dan berpengaruh besar pada perekonomian nasional. Permasalahan korupsi yang berkepanjangan menjadi isyarat bahwa penyelesaian masalah ini membutuhkan penelaahan lebih dalam dan inovasi sebagai solusinya. Komponen masyarakat sipil sebagai pengawas pengelolaan negara oleh pemerintah tidak bisa lagi bersifat spontan terhadap masalah korupsi. Respon spontan terhadap kasus per kasus, seperti upaya pelemahan KPK misalnya, tidak cukup untuk memberantas akar masalah dari korupsi di Indonesia. Maka dari itu, studi tentang masalah korupsi secara menyeluruh dan merambah aspek-aspek non populer menjadi penting untuk dilakukan.

13

https://www.mongabay.co.id/2020/10/11/peneliti-lipi-beberkan-konflik-kepentingan-koalisi-soroti-aktor-di-balik-om nibus-law/


Korupsi merupakan masalah kompleks, sehingga dibutuhkan cara berpikir sistem untuk menelaahnya. Dalam studi ini digunakan Causal-Loop Diagram (CLD) sebagai alat untuk pembuatan model. CLD menggambarkan hubungan sebab akibat antara komponen sistem, dan menggambarkan bagaimana perubahan setiap komponen akan mengakibatkan perubahan komponen. lainnya dan akhirnya akan kembali mempengaruhi dirinya sendiri melalui mekanisme umpan balik (feedback loop). Hasil pemodelan masalah korupsi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Causal loop diagram korupsi

Gambar 4 menunjukan keseluruhan CLD dari masalah korupsi di Indonesia. Namun, pemodelan tersebut terbatas pada aspek hukum, ekonomi, dan sosial. Sementara aspek politik dan budaya tidak diwakili model tersebut karena fokus pada output studi ini adalah pembahasan solusi dari segi sistem teknologi informasi dan regulasi (akan dibahas lebih lanjut pada Bab 3, 4, dan 5).


Model ini didominasi oleh reinforcing loop atau loop penguat yang ditandai dengan nama “R” pada gambar. Sementara, loop penyeimbang atau balancing loop hanya terdapat dua buah saja. Loop penyeimbang ditandai dengan nama “B”. Secara individu, reinforcing loop akan menghasilkan pertumbuhan eksponensial, sedangkan balancing loop akan menghambat pertumbuhan kondisi sistem yang diciptakan reinforcing loop.

Gambar 5. Tren PDB dan belanja negara Sumber: World Bank dan Kementerian Keuangan

Dalam Gambar 4, sistem dimulai dari loop R1 yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi dan efeknya terhadap penerimaan sekaligus belanja negara. Berdasarkan loop tersebut, belanja negara akan kembali meningkatkan PDB. Hal ini dapat dijelaskan dari belanja negara yang akan menciptakan infrastruktur fisik dan non fisik pada bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan, sosial, industri, fasilitas umum, dan lain-lain. Penyediaan infrastruktur tersebut akan mendorong produktivitas yang kemudian menciptakan produk ekonomi. Tentunya, belanja pemerintah hanya salah satu sebab dari pertumbuhan ekonomi, maka dari itu terdapat variabel eksogen “sistem ekonomi” demi mengakomodir variabel-variabel lain yang menciptakan pertumbuhan ekonomi tetapi tidak dibahas dalam model ini demi penyederhanaan.


Gambar 6. Pertumbuhan gaji PNS Sumber: BPS

Loop R1 akan mempengaruhi loop-loop lainnya, salah satunya adalah loop R2 yang menekankan pada pengaruh belanja negara pada pertumbuhan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan tingkat korupsi. Belanja negara meningkat hampir setiap tahunnya (lihat Gambar 5) -- sejalan dengan peningkatan gaji PNS pada Gambar 6 yang menunjukan baik gaji pokok terendah dan tertinggi PNS meningkat dari tahun ke tahun. Semakin besar belanja negara yang tercipta atas penerimaan yang juga meningkat, maka kemampuan untuk menggaji PNS menjadi semakin besar juga. Peningkatan gaji PNS dapat berakibat pada penurunan tingkat korupsi. Kemudian, penurunan tingkat korupsi berakibat pada peningkatan penerimaan negara yang kembali akan meningkatkan kapasitas belanja negara. Namun, peningkatan belanja negara tidak selalu diiringi oleh peningkatan penerimaan. Sebab, pemerintah dapat menutup defisit dengan utang. Terdapat beberapa studi yang menjelaskan hubungan kausalitas antara kenaikan gaji PNS dengan tingkat korupsi. Terdapat studi yang menyatakan bahwa gaji pemerintah yang lebih tinggi akan mengurangi korupsi

14 15

. Gaji pemerintah yang lebih tinggi akan membuat pegawai pemerintah

merasa diperlakukan lebih adil, sehingga mengurangi dorongan untuk melakukan korupsi. Selain 14

Van Rijckeghem, C, Weder, B (2001), “Bureaucratic corruption and the rate of temptation: Do wages in the civil service affect corruption, and by how much?”, Journal of Development Economics 65, 307-331. 15 Ulhaque, N, Sahay, R (1996), “Do government wage cuts close budget deficits? Costs of corruption”, IMF Staff Papers 43, 754-778.


itu, upah pemerintah yang lebih tinggi juga dapat menarik calon pekerja dengan kualitas lebih baik, sehingga akan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Studi lain menyatakan bahwa peningkatan gaji pemerintah setara dengan rata-rata gaji pada sektor manufaktur akan mengurangi korupsi sebesar 0,35 dari skala 0 sampai 616. Dengan demikian, kenaikan gaji pemerintah memang dapat mengurangi korupsi, tetapi dalam skala yang kecil dan biaya yang besar -- terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Penurunan korupsi yang dihasilkan kenaikan gaji akan berakibat pada peningkatan penerimaan negara. Namun, penurunan korupsi bukan penyebab tunggal dari peningkatan penerimaan negara. Dorongan terbesar dari penerimaan negara adalah pertumbuhan ekonomi yang akan mendorong penerimaan negara, terutama pajak, meningkat. Korupsi berperan dalam menentukan seberapa banyak penerimaan negara yang dapat dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi. Tingkat korupsi yang tinggi mengakibatkan penerimaan negara tidak optimal, meski ekonomi bertumbuh. Sebaliknya, korupsi yang menurun berakibat pada semakin optimalnya penyerapan pajak dan sumber penerimaan negara lainnya. Menurut literatur, korupsi tidak hanya menurunkan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio), tetapi juga meningkatkan pasar gelap dan merusak moralitas pembayar pajak, sehingga menyebabkan kerusakan jangka panjang pada ekonomi17 18. Pada loop R3, peningkatan belanja negara akan meningkatkan kualitas sistem teknologi informasi yang berguna untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penindakan korupsi oleh pemerintah. Sistem teknologi informasi menyangkut digitalisasi kerja pemerintah sehingga menjadi lebih transparan dan akuntabel. Banyak produk teknologi informasi yang telah dibuat dan digunakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebagai contoh adalah one stop service pelayanan publik yang mencegah tindak korupsi di lapangan dan e-procurement yang memungkinkan masyarakat mengakses daftar belanja pemerintah. Selain itu, sistem pengaduan atau whistleblower juga sudah tersedia secara digital. Masih banyak lagi produk teknologi 16

Le, V H, de Haan, J, Dietzenbacher, E (2013), “Do higher government wages reduce corruption? Evidence from a novel dataset”, CESifo Working Paper No. 4254 17 https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-00556668/document 18

https://www.transparency.org/files/content/corruptionqas/228_Exlporing_the_relationships_between_corruption_and _tax_revenue.pdf


informasi yang mempermudah pencegahan dan penindakan korupsi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, biaya pembuatan sistem teknologi informasi tersebut cukup mahal, sehingga besaran budget pemerintah mempengaruhi perkembangannya. Dengan meningkatkan upaya pencegahan dan penindakan korupsi, maka korupsi akan berkurang dan penerimaan negara dapat lebih optimal lagi. Jika korupsi meningkat, maka terjadi penurunan kompetisi pasar -- begitupun sebaliknya. Sebab, tingkat korupsi yang parah pada suatu negara akan menciptakan adverse selection, yaitu munculnya pelaku usaha yang tidak berkualitas dan mengganggu pasar. Pelaku usaha tersebut bukan mengandalkan kualitas output dalam kompetisi pasar, melainkan tindakan korupsi demi melancarkan usahanya. Korupsi tersebut tentunya melibatkan pegawai publik. Sebagai contoh adalah penyuapan demi mendapat tender proyek, izin usaha, pengurangan pajak, dan lain-lain. Akibat dari proses bisnis yang kotor tersebut adalah eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat. Eksternalitas tersebut dapat berupa kerusakan lingkungan, kerugian material, harga barang yang mahal, kualitas barang yang buruk, dan tidak maksimalnya pembangunan infrastruktur. Masyarakat yang paling rentan terhadap eksternalitas negatif ini adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Akibatnya, fenomena ini akan memperparah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Kemudian, peningkatan ketimpangan ekonomi dapat memperparah korupsi melalui terciptanya ketimpangan kuasa antar kelas masyarakat yang menghasilkan praktik regulatory capture19. Kondisi yang dihasilkan loop R1, R2, dan R3 adalah menurunnya tingkat korupsi dan peningkatan PDB. Hal tersebut mempengaruhi variabel kompetisi pasar dan kemiskinan pada loop R4. Penurunan tingkat korupsi mengakibatkan kualitas kompetisi pasar atau persaingan usaha yang semakin baik. Hal tersebut dibuktikan oleh indeks persaingan usaha (IPU) sektor industri manufaktur dan perbankan yang mengalami peningkatan selama rentang tahun 2005-2013. Namun, besar peningkatannya tidak signifikan: Dalam skala 0-1, sektor manufaktur hanya meningkat dari 0,357 ke 0,457 dan sektor perbankan dari 0,32 ke 0,43. Hingga tahun 19

Praktik pembuatan kebijakan atau regulasi oleh pemerintah yang melayani kepentingan politik, ekonomi, atau ideologi segelintir pihak.


2006, nilai IPU Indonesia masih di bawah 0,5 yang mana tergolong relatif rendah atau kurang sehat dibanding negara-negara tetangga20. Seiring dengan kualitas kompetisi pasar yang membaik, eksternalitas negatif juga menurun. Sebab, pasar yang lebih kompetitif akan mendorong transparansi dan efisiensi. Terlebih, belakangan ini, tren menginternalisasi eksternalitas (misal kerusakan lingkungan) meningkat, sebagai contohnya adalah penerapan pajak karbon dalam UU HPP.

Gambar 7. Tingkat kemiskinan dan ketimpangan Indonesia 2000-2019 Sumber: World Bank

Berkurangnya eksternalitas negatif membuat hambatan untuk memberantas kemiskinan menjadi berkurang, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat lebih efektif menurunkan tingkat kemiskinan. Namun, sebagaimana yang ditunjukan Gambar 7, ketimpangan cenderung meningkat sejak tahun 2000-2019. Pada Gambar 8 juga ditunjukan bahwa penguasaan aset oleh kalangan 1% dan 10% terkaya di Indonesia mengalami peningkatan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Hal ini juga diperkuat publikasi World Economic Forum (WEF) tentang indeks mobilitas sosial 20

https://www.kppu.go.id/id/blog/2016/10/tingkatkan-daya-saing-melalui-peningkatan-indeks-kompetisi-di-indonesia/ ?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter


(SMI) pada tahun 2020. WEF memberi Indonesia nilai 49,3 dari skala 0-100, sehingga Indonesia menempati peringkat 67 dari 82 negara yang disurvey21. Buruknya nilai SMI Indonesia menandakan adanya ketimpangan peluang yang besar di antara masyarakat. Dengan kata lain, latar belakang sosial ekonomi sangat menentukan dan membatasi keberhasilan individu. Maka dari itu, terdapat faktor lain yang mendorong peningkatan ketimpangan ekonomi di tengah pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.

Gambar 8. Penguasaan aset oleh 1% dan 10% orang terkaya di Indonesia Sumber: Credit Suisse

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa korupsi dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi 22 23

24

25

. Korupsi dapat meningkatkan ketimpangan dalam aspek-aspek berikut: distribusi

pendapatan, penggunaan dana bantuan, dan pengambilan keputusan mengenai belanja negara. Selain itu, korupsi juga dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi melalui pengurangan tingkat 21

https://reports.weforum.org/social-mobility-report-2020/social-mobility-rankings/?doing_wp_cron=1638697186.019 4449424743652343750 22

https://www.researchgate.net/publication/268688486_Curbing_Corruption_Financial_Development_and_Income_In equality 23 http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/wp9876.pdf 24 https://link.springer.com/article/10.1007/s101010200045 25 http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/37848/2/54-08.pdf


mobilitas sosial. Sedikit berbeda dengan proses yang terjadi pada loop lain, variabel korupsi pada loop R8 (lihat Gambar 4) secara khusus didefinisikan sebagai korupsi yang dilakukan aktor besar (elite capture), sehingga tidak terpengaruh oleh kenaikan gaji PNS maupun keberadaan sistem teknologi informasi saat ini. Korupsi akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan/regulasi demi melanggengkan akumulasi kapital. Praktik tersebut meminimalisir risiko bisnis yang seharusnya dimiliki oleh kalangan atas, sehingga mengurangi peluang mereka terlempar dari kelasnya. Seiring penurunan mobilitas sosial, ketimpangan ekonomi semakin besar. Ketika ketimpangan ekonomi semakin besar, muncul kecenderungan bagi pihak yang memiliki privilese untuk mempertahankannya26 dan di sisi lain peran check and balance masyarakat semakin pudar. Bahayanya, dampak ketimpangan terhadap korupsi lebih besar di negara demokrasi dibandingkan negara rezim otoriter. Sebab, dalam rezim otoriter, kalangan atas dapat melakukan tindakan represi demi kepentingan mereka, sedangkan dalam sistem demokrasi pihak tersebut harus melakukan korupsi demi memperkuat pengaruhnya terhadap masyarakat luas27.

Gambar 9. Realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) atau FDI 2006-2020 Sumber: BPS

26 27

https://www.u4.no/publications/correlation-between-corruption-and-inequality.pdf https://www.researchgate.net/publication/241644122_A_Comparative_Study_of_Inequality_and_Corruption


Loop R5 dan R6 menjelaskan hubungan kausalitas negatif antara korupsi dengan pertumbuhan ekonomi. Pada loop R5, penurunan korupsi yang ditandai dengan peningkatan IPK (lihat Gambar 5) akan berakibat pada peningkatan foreign direct investment (FDI). Di ASEAN, pembenahan korupsi oleh pemerintah dapat menjadi usaha menarik FDI28. Sebab, investor FDI akan mempelajari risiko yang akan dihadapinya kelak, salah satunya terkait korupsi yang dapat mengganggu kinerja mereka. Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat: Perusahaan investor cenderung tidak berinvestasi di negara-negara dengan banyak penyuapan -- terukur dari IPK-nya29. Nilai investasi dan PDB tentunya akan berbanding lurus. Seiring peningkatan PDB, belanja negara meningkat sehingga akan menurunkan tingkat korupsi. Namun, di sisi lain, peningkatan PDB yang mengurangi kemiskinan belum tentu dapat mengurangi korupsi karena adanya pengaruh dari masalah ketimpangan (loop R8). Pada loop 6, mekanisme yang terjadi sama dengan loop 5. Hanya saja, penurunan korupsi akan meningkatkan PDB melalui peningkatan efektivitas belanja negara. Jika anggaran belanja negara sebagai input dapat digunakan secara optimal, sehingga seluruhnya terpakai untuk pembangunan, maka output (PDB) yang dihasilkan akan semakin besar meski jumlah inputnya sama. Gambar 10 menunjukan bahwa kebanyakan tindak korupsi melibatkan penggunaan anggaran, mulai dari pengadaan proyek fiktif, penggelapan, penyalahgunaan anggara, mark up, laporan fiktif hingga pemotongan anggaran.

28 29

https://jurnal.ugm.ac.id/jieb/article/download/6484/21432 https://econpapers.repec.org/article/idsgbusec/v_3a10_3ay_3a2008_3ai_3a1_3ap_3a123-140.htm


Gambar 10. Jumlah kasus korupsi berdasarkan bentuknya pada semester 1 tahun 2021 Sumber: ICW

Seluruh reinforcing loop yang dijelaskan sebelumnya menghasilkan tingkat korupsi yang semakin baik (ditandai dengan IPK). Hal tersebut seharusnya juga berdampak pada peningkatan regulasi anti korupsi (loop R9). Regulasi anti korupsi akan mendukung pencegahan dan penindakan korupsi, sehingga akan mengurangi tingkat korupsi. Pada tahun 2018, presiden mengeluarkan PP 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Sayangnya, pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, IPK menurun dan nilai kerugian negara akibat korupsi meningkat (lihat Gambar 11). Pada tahun 2019, revisi UU KPK yang kontroversial disahkan. Gelombang penolakan dari elemen masyarakat sangat besar, tetapi presiden Jokowi pada saat itu bungkam. Hal tersebut membuktikan kurangnya komitmen anti korupsi kepala negara. Akibatnya, upaya pencegahan dan penindakan kembali menurun karena KPK sebagai institusi utama dalam pemberantasan korupsi mengalami pelemahan.


Gambar 11. Jumlah kasus dan kerugian negara Sumber: ICW

Belakangan, insiden pelemahan upaya pemberantasan korupsi kembali terjadi, diantaranya pemecatan 58 pegawai KPK, pencabutan PP 99/2012, mandeknya penanganan kasus korupsi besar, hingga pemberian hukuman yang tidak setimpal pada koruptor (misal kasus Juliari Batubara). Jika dibiarkan, tren tingkat korupsi yang sudah membaik selama hampir dua dekade akan terancam berbalik arah. Dari CLD korupsi pada Gambar 4, telah diketahui bahwa fenomena korupsi didominasi oleh interaksi antar variabel yang berupa reinforcing loop. Dengan begitu, apabila korupsi mengalami peningkatan, maka hampir seluruh variabel lainnya akan bertindak memperkuat peningkatan tersebut secara terus menerus. Hanya variabel dalam balancing loop B1 dan B2 yang akan meredam laju eksponensial peningkatan korupsi. Jadi, bagaimanapun, kita tidak bisa membiarkan tren korupsi yang sejak dua tahun lalu meningkat.


BAB 3 PENGATURAN PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KONSTITUSI Kosongnya ketentuan antikorupsi dalam konstitusi indonesia - Bagaimana negara lain mengatur ketentuan antikorupsi di dalam konstitusinya? - Dampak dari ketentuan antikorupsi dalam konstitusi Upaya dalam pemberantasan Korupsi di Indonesia secara konstitusi masih terbilang lemah. Dapat kita lihat dari mudahnya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi belakangan ini. Hal tersebut terjadi karena ketentuan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi tidak tertulis dalam konstitusi dasar negara Indonesia–hanya berlandaskan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta pembentukan KPK sendiri hanya diatur dalam undang-undang. Padahal, bila upaya pemberantasan korupsi diatur secara implisit maupun eksplisit dalam konstitusi negara Indonesia, hal tersebut dapat memberi keuntungan dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara yang mengamandemen konstitusinya dan memasukan aturan korupsi ke dalamnya. Hal tersebut menunjukan meningkatnya urgensi dari upaya anti-korupsi di kancah internasional. Salah satu negara yang menerapkan anti-korupsi dalam konstitusinya adalah Hong Kong. Adanya anti-korupsi dalam konstitusi Hong Kong menjadi faktor penting dalam suksesnya pemberantasan korupsi di sana, terutama dalam mengenalkan supremasi hukum dan kebebasan sipil. Transparency International mencatat ada 74 negara yang secara eksplisit mengatur aturan anti korupsi dalam konstitusinya30. (Transparency International. 2021. Anti-corruption Clauses in Constitution).

30

Transparency International. 2013. Anti-Corruption Clauses In Constitutions. Morocco: Transparency Morocco


Bagaimana dengan Negara Lain? Terdapat dua pendekatan untuk mengatur ketentuan antikorupsi dalam konstitusi. Pertama adalah secara implisit. Pendekatan secara implisit adalah pendekatan di mana ketentuan yang dibuat tidak secara langsung menyatakan tujuannya. Ketentuan antikorupsi dalam konstitusi dengan pendekatan implisit contohnya adalah: -

Supremasi Hukum

-

Pemisahan kekuasaan yang efektif;

-

Peradilan yang Independen;

-

Akuntabilitas dan Transparansi dari Negara;

-

Mekanisme kontrol dari lembaga negara;

-

Kebebasan hak politik dan sipil

Contoh ketentuan penanganan korupsi negara lain secara implisit: Tabel 1. Best practice pengaturan anti korupsi dalam konstitusi secara implisit

No 1

Negara Algeria

31

Ketentuan dalam konstitusi

Dampak ketentuan

Konstitusi Algeria memandatkan institusi pemerintahan untuk menjaga ekonomi nasional dari segala bentuk penyalahgunaan, monopoli, dan perampasan. Selain itu, juga mengatur pelarangan penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, atau menggunakan lembaga publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi sebagai bentuk sumber kekayaan.

Berdasarkan indeks persepsi korupsi Algeria, semenjak perubahan konstitusi terakhir pada tahun 2008 telah meningkat sebesar +2 dengan nilai sebesar 36 pada tahun 202031. Semenjak direvisi pada tahun 2008, nilai Worldwide Governance Index (WGI) variabel pengendalian korupsi (control of corruption) Algeria telah mengalami peningkatan dari 33 poin menjadi 39 poin hingga pada tahun 2013 menurun cukup besar sampai ke 2832.

Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Algeria. Diakses pada 02 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 32 World Bank. 2020.World Governance Index: Algeria. Diakses pada 02 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir


2

Indonesia

Dalam upaya pemberantasan secara implisit, Indonesia dalam dasar negaranya telah menyatakan bahwa kedaulatan rakyat menjadi yang tertinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa kepentingan rakyat berada diatas kepentingan pribadi pejabatnya.

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsinya, Indonesia semenjak dikeluarkan ketetapan MPR dan dibentuknya institusi pemberantasan korupsi mengalami peningkatan tiap tahunnya. Semenjak amandemen terakhir pada tahun 2002, IPK Indonesia telah meningkat sebesar +21 dari yang sebelumnya 19 menjadi 40. Akan tetapi menurun sebesar -3 semenjak adanya revisi undang-undang yang mengatur institusi pemberantasan korupsi33. Berdasarkan World Governance Index, Indonesia mengalami fluktuasi dan pada tahun 2019-2020 meningkat34.

3

Argentina

Dalam konstitusi dasar Argentina, mereka menggunakan pendekatan implisit dengan pemisahan kekuasaan yang efektif dan mengatur segala kewenangan dari masing-masing sektor (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif), menjamin hak warga negaranya, dan mengatur integritas.

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Argentina, semenjak tahun 2012 telah meningkat +10 pada tahun 2019. Akan tetapi mengalami penurunan pada tahun 2020 sebesar -335. Berdasarkan WGI, kontrol korupsi Argentina mengalami fluktuasi dan pada tahun 2015-2020 mengalami peningkatan cukup besar dan penurunan kecil dari 2018-202036.

4

Kolombia

Kolombia dalam konstitusinya menyatakan bahwa negaranya mengutamakan supremasi hukum, desentralisasi dan otonomi masing-masing daerahnya, dan

IPK Kolombia sejak 2012 telah meningkat sebesar +3 hingga pada tahun 202037. Berdasarkan WGI, kontrol korupsi negara Kolombia cenderung stabil semenjak tahun 201238.

33

Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Indonesia. Diakses pada 02 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 34 World Bank. 2020.World Governance Index: Indonesia. Diakses pada 02 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 35 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Indonesia. Diakses pada 02 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 36 World Bank. 2020.World Governance Index: Argentina. Diakses pada 02 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 37 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Colombia. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 38 World Bank. 2020.World Governance Index: Colombia. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir


menjamin rakyatnya.

hak

sipil

dan

politik

Pendekatan kedua adalah secara eksplisit. Ketentuan dengan pendekatan secara eksplisit adalah pendekatan dimana ketentuan yang dibuat dinyatakan secara langsung dalam konstitusinya. Ketentuan dalam konstitusi dengan pendekatan secara eksplisit contohnya adalah dengan membahas integritas dan mengutamakan kepentingan publik sebagai prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan, secara jelas menyatakan pelarangan tindakan korupsi dan mengamanatkan negara untuk memberantasnya dan/atau mencakup masalah yang berkaitan dengan integritas dan pertanggungjawaban pejabat publik.

Tabel 2. Best practice pengaturan anti korupsi dalam konstitusi secara eksplisit

No

Negara

Ketentuan dalam konstitusi

Dampak ketentuan

1

Singapura

Dalam konstitusi Singapura, salah satu ketentuannya tertulis bahwa presiden dapat diturunkan bila dinyatakan tidak berkapabilitas dalam memimpin, menyalahgunakan kekuasaan, dan melanggengkan praktik korupsi.

Semenjak terakhir kali konstitusi Singapura direvisi pada tahun 2015, nilai IPK singapura masih stabil pada nilai 8539. Berdasarkan WGI, kontrol korupsi dari Singapura sangat stabil dengan nilai 40 mendekati 100 .

2

Pantai Konstitusi Pantai Gading memandatkan Gading (Côte lembaga pemerintah untuk mendorong, d’Ivoire) menghormati, dan menjamin good governance dalam mengelola urusan publik dan pemberantasan korupsi dan hanya

Indeks Persepsi Korupsi Pantai Gading semenjak perubahan konstitusi pada 2016 telah naik +2 dari nilai 34 pada tahun 202041. Berdasarkan WGI, kontrol korupsi di Pantai Gading semenjak 2016

39

Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Singapore. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 40 World Bank. 2020.World Governance Index: Singapore. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 41 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Cote d’Ivoire. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org


sedikit intervensi eksekutif lembaga anti-korupsi.

terhadap sampai 2020 cenderung stabil di antara 32 dan 3342.

3

Ekuador

Dalam konstitusinya yang direvisi pada tahun 2015, Ekuador menyatakan bahwa negara menjamin hak untuk hidup damai, aman, dan bebas dari korupsi. Penduduk punya kewajiban untuk melaporkan dan memerangi tindak pidana korupsi. Selain itu, lembaga anti-korupsi dimandatkan untuk: - Mengawasi lembaga pemerintah maupun privat yang bergerak dalam bidang kesejahteraan sosial untuk memastikan transparansi, tanggung jawab, dan keadilan. - Mencegah dan melawan korupsi - Membuat kebijakan publik untuk mendorong pemberantasan korupsi - Membuat draft rencana nasional dalam memberantas korupsi

Indeks Persepsi Korupsi dari ekuador semenjak revisi konstitusinya pada tahun 2015 telah meningkat +7 poin dari 32 menjadi 39 poin pada tahun 202043. Berdasarkan WGI, indeks kontrol korupsi Ekuador cenderung fluktuatif antara 28 hingga 3544.

4

Nepal

Konstitusinya memandatkan untuk mengadopsi “metode efektif dalam mengontrol korupsi dan penyimpangan dalam seluruh sektor, termasuk politik, sektor yudisial, administrasi, dan sektor sosial.”

Indeks Persepsi Korupsi Nepal semenjak revisinya pada tahun 2016 telah meningkat sebesar +4 dari 29 menjadi 33 pada tahun 2020. Hal tersebut merupakan kenaikan yang cukup signifikan45. Berdasarkan WGI, nilai kontrol korupsi Nepal cenderung 46 fluktuatif .

Ada juga beberapa negara yang mengubah konstitusinya tidak hanya dengan salah satu pendekatan, melainkan kedua pendekatan, diantaranya: 42

World Bank. 2020.World Governance Index: Cote d’Ivoire. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 43 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Ecuador. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 44 World Bank. 2020.World Governance Index: Ecuador. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 45 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Nepal. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 46 World Bank. 2020.World Governance Index: Nepal. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir


Tabel 3. Best practice pengaturan anti korupsi dalam konstitusi secara implisit dan eksplisit

No Negara

Ketentuan implisit

Ketentuan eksplisit

Dampak

1

Kenya

Dalam aspek pemisahan kekuasaan, Kenya membuat ketentuan desentralisasi dan memperkuat check and balance. Contohnya dengan pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif dengan membuat parlemen lebih akuntabel, meningkatkan pengawasan atas keuangan negara, melarang anggota parlemen untuk merangkap jabatan, dan memberi kewenangan anggota parlemen untuk melakukan pengawasan pada pemerintah eksekutif

Terdapat ketentuan tentang prinsip, kode etik, dan standar akuntabilitas untuk seluruh pejabat publik yang mengatur tentang objektivitas dan ketidakberpihakan, menjadikan kepentingan publik sebagai dasar pelayanan, deklarasi konflik kepentingan, dan memperbolehkan pemecatan bagi pelanggar aturan ini. Selain itu, diatur juga tentang adanya komisi etik dan anti korupsi.

Nilai IPK Kenya semenjak mengubah konstitusinya pada tahun 2010 telah mengalami kenaikan +10 poin. Pada tahun 2010 Kenya memiliki nilai 21 dan pada tahun 2020 memiliki nilai 31 dengan peningkatan signifikan pada tahun 2012 sebesar 7 IPK47. Berdasarkan WGI, nilai kontrol korupsi Kenya cenderung meningkat dari 19 pada tahun 2010 ke 21 pada tahun 202048.

2

Thailand Pada tahun 2007 setelah merubah junta militer, konstitusi Thailand diubah. Dalam konstitusi ini menetapkan dasar dari HAM dan mendorong partisipasi public dalam menentukan kebijakan public serta akses informasi.

Dalam konstitusi 2007, dibentuk sebuah lembaga untuk mengontrol pemerintahan. Seperti lembaga pemilu yang independen, komisi audit negara, ombudsman, Komisi Nasional HAM, dan Komisi Nasional Pemberantasan Korupsi (NCCC). Selain itu, NCCC memiliki kewenangan untuk menginvestigasi kemungkinan tindakan korupsi

Semenjak konstitusi baru disahkan pada 2007, Thailand yang sebelumnya hanya memiliki indeks persepsi korupsi 33 mengalami kenaikan sebesar +4 dalam rentang 5 tahun dan bertahan hingga 2017. Pada tahun 2018 mengalami penurunan -1 dan stagnan hingga 202049. Berdasarkan WGI, nilai

47

Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Kenya. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 48 World Bank. 2020.World Governance Index: Kenya. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 49 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Thailand. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org


dari pejabat. Pejabat publik juga harus melaporkan kekayaan keluarganya pada NCCC. Konstitusi 2007 juga mengatur tentang konflik kepentingan antara pejabat pemerintah dan juga mengizinkan pemecatan pejabat pemerintah bila terindikasi korupsi

kontrol korupsi di Thailand semenjak 2007 cenderung fluktuatif dengan nilai pada tahun 2020 sebesar 3850.

3

Maroko

Konstitusi Maroko pada tahun 2011 mengatur tentang penerapan good governance secara khusus pada satu bab penuh. Dalam bab tersebut ditetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membimbing pejabat publik, termasuk akuntabilitas dan independensi lembaga pemerintahan yang baik. Pejabat publik diwajibkan untuk melaporkan asetnya.

Mengamanatkan negara untuk mencegah dan memberikan sanksi konflik kepentingan dan pelanggaran terkait keuangan dengan menyebutkan secara eksplisit pada ranah penggunaan sumber daya publik, pengadaan publik, dan pengelolaan lembaga publik dan membentuk lembaga anti-korupsi yang bertanggung jawab terhadap koordinasi, pengawasan, dan implementasi kebijakan anti-korupsi.

Semenjak perubahan konstitusi pada tahun 2011, indek persepsi korupsi Maroko naik sebesar +6 dan bertahan hingga 2020 dengan skor 4051. Berdasarkan WGI, nilai kontrol korupsi maroko semenjak 2011 meningkat, walaupun pada tahun 2017 mengalami penurunan 52 hingga 2020 .

4

Mesir

Menyatakan dalam konstitusi negaranya pada tahun 2012, memandatkan negara untuk menjaga etika, moralitas, dan ketertiban umum diatas kepentingan lain. Selain itu, juga dibentuk badan

Mesir juga membentuk komisi nasional anti-korupsi yang dimandatkan untuk melawan korupsi, konflik kepentingan, mendorong standar integritas dan transparansi, dan mengembangkan serta

Semenjak perubahan konstitusinya pada tahun 2012 dengan nilai 32, IPK Mesir telah meningkat setiap tahunnya dengan puncaknya adalah 37 pada tahun 2015. Lalu berkurang -2 pada tahun

50

World Bank. 2020.World Governance Index: Thailand. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir 51 Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Morocco. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 52 World Bank. 2020.World Governance Index: Morocco. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir


pemerintahan yang independen dengan ketentuan umum seperti kebebasan, pelaporan, penunjukan kepala lembaga, dan pemecatan anggota.

mengimplementasikan strategi 2020 dengan nilai 3353 dari sebelumnya. anti-korupsi dengan yang berkoordinasi dengan lembaga Berdasarkan WGI, nilai kontrol korupsi Mesir independen lain yang cenderung stabil di antara berhubungan. 31-33 hingga pada tahun 2017 sampai 2020 mengalami penurunan sampai ke 2254.

Bila kita lihat dari tabel bagaimana suatu negara mengubah konstitusinya dengan pendekatan implisit, eksplisit, maupun implisit-eksplisit, kita dapat menganalisis dari data-data tersebut. Secara implisit, dengan menjadikan kepentingan publik sebagai dasar dari keberlangsungan pemerintahan negara, adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara efektif dan jelas, adanya mekanisme check and balance yang baik, dan mengedepankan supremasi hukum dapat membantu menutup celah adanya penyalahgunaan kekuasaan, monopoli, nepotisme, dan segala bentuk korupsi. Secara eksplisit, bila suatu negara secara tegas menyatakan bahwa kepentingan umum menjadi dasar dari negara, secara tegas menyatakan bahwa integritas merupakan hal penting dan diatur dalam dasar negara, mengikutsertakan masyarakat dalam mengambil kebijakan, dan menganggap korupsi merupakan tindakan kejahatan dengan memiliki hukum yang tegas juga dapat menutup celah upaya tindakan korupsi.

53

Transparency International. 2020. Corruption Perception Index: Egypt. Diakses pada 04 Desember 2021 2020 - CPI Transparency.org 54 World Bank. 2020.World Governance Index: Egypt. Diakses pada 04 Desember 2021 WGI 2021 Interactive > Interactive Data Access (worldbank.org) gambar grafik akan terlampir


Kesimpulan dan Rekomendasi

Gambar 12. IPK negara-negara dengan ketentuan eksplisit saja (kiri) dan implisit-eksplisit (kanan) (bulat menandakan tahun ketika ketentuan anti korupsi dimasukkan ke konstitusi) Sumber: Transparency International

Dari studi komparasi ini dapat disimpulkan bahwa pengaturan ketentuan anti korupsi secara eksplisit berpengaruh pada peningkatan IPK suatu negara (Gambar 12). Negara yang mengalami peningkatan IPK tertinggi sejak pengaturan anti korupsi dalam konstitusinya adalah Kenya. Dalam konstitusinya, Kenya mengatur secara eksplisit mengatur pemecatan bagi pegawai publik yang melanggar integritas, konflik kepentingan, dan standar lainnya. Keberadaan komisi anti korupsi pun diatur dalam konstitusinya. Begitupun dengan Maroko yang mengatur pemberian sanksi kepada pelanggaran keuangan dan konflik kepentingan oleh pegawai publik serta pembentukan komisi anti korupsi. Hasilnya, Maroko mengalami peningkatan IPK 6 poin sejak perubahan konstitusi tersebut. Indonesia sendiri tidak mengatur ketentuan anti korupsi secara eksplisit dalam konstitusinya, hanya ada ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terbukti korupsi. Namun, berbagai peraturan telah diterbitkan sejak tahun 1998, diantaranya: (1) TAP MPR XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); (2) TAP MPR VIII/2001 tentang Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan


Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); (3) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (4) PP No. 19 Tahun 2000 yang membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan (5) UU No 30 Tahun 2002 atau UU KPK. Hasilnya, IPK Indonesia meningkat dari tahun 1999 sampai 2019. Namun, kondisi pemberantasan korupsi sedang menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pengaturan ketentuan anti korupsi dalam konstitusi, seperti pengaturan nilai-nilai integritas, konflik kepentingan, ketidakberpihakan, transparansi, hingga keberadaan komisi anti korupsi, dapat dilakukan sebagai upaya mencegah adanya upaya pelemahan pemberantasan korupsi.


BAB 4 PEMBERANTASAN KORUPSI PERPAJAKAN MELALUI TEKNOLOGI INFORMASI Rendahnya rasio pajak Indonesia - Penggelapan pajak - Self assessment system - Kunci keberhasilan Jepang Penerimaan pajak Indonesia didominasi oleh pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) dan penjualan atas barang mewah (PPnBM). Namun, sistem pemungutan pajak-pajak tersebut adalah self assessment yang mana mengandalkan kemampuan dan kejujuran wajib pajak dalam melaporkan besaran pajaknya. Untuk itu, penerapan teknologi informasi menjadi sangat penting demi meminimalisir pemalsuan maupun ketidaktahuan atas pajak. Hanya dengan begitu, penerimaan pajak dapat dioptimalkan agar dapat mendongkrak tax ratio Indonesia yang masih sangat rendah. Terlebih, dalam fase pembangunan yang sangat pesat, Indonesia membutuhkan anggaran yang besar. Rendahnya penerimaan negara justru akan mendorong akumulasi utang yang di masa depan akan membebani belanja negara. Tabel 4. Jenis dan kontribusi pajak di Indonesia

No.

Jenis pajak

Sistem pemungutan

1

Pajak penghasilan

Self assessment

2

Pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah

Self assessment

3

Pajak bumi dan bangunan

4 5

Nilai penerimaan Nilai penerimaan tahun 2020 (% total (Triliun Rupiah) penerimaan) 670.38

39.46

507.52

29.88

Official assessment

134.42

7.91

Cukai

Self assessment

172.2

10.14

Pajak lainnya

-

7.49

0.44


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada causal loop diagram (CLD) korupsi, salah satu dampak korupsi adalah penurunan penerimaan negara. Salah satu upaya untuk memberantas korupsi yang mengurangi penerimaan negara adalah dengan penerapan sistem teknologi informasi, terutama pada sektor pajak. Sebab, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Pada APBN 2020, penerimaan dari pajak menyumbang 83,5% penerimaan negara. Sayangnya, jumlah tersebut belum optimal karena tax ratio Indonesia hanya sebesar 8,33%. Angka tersebut tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. Dengan PDB yang besar, peningkatan tax ratio akan berdampak besar pada penerimaan dan tentunya pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di antara tiga jenis sistem pemungutan pajak di Indonesia (satu lagi adalah withholding system), self assessment system merupakan sistem pajak yang rentan terhadap penggelapan. Cara kerja dari self assessment system sendiri merupakan penyetoran pajak secara mandiri oleh pelaku pajak. Pemerintah tidak mengeluarkan surat ketetapan pajak dan penentuan pajak yang bersangkutan dilakukan oleh yang bersangkutan. Di sinilah potensi penggelapan pajak terjadi. Ketidaktahuan lembaga pemerintah akan detil komponen finansial perusahaan membuat penggelapan dapat terjadi. Lebih lanjut, cara-cara yang dilakukan suatu perusahaan untuk penggelapan dana pajak bisa dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang lebih rendah (understatement of income), memberikan data biaya yang lebih besar dari seharusnya (overstatement of the deductions). Bahkan, wajib pajak yang bersangkutan bisa tidak melaporkan sama sekali laporan penghasilan (non-reporting of income)55. Sebagaimana dengan yang telah ditulis sebelumnya, hal ini dikombinasikan dengan persekongkolan petugas pajak dan praktik monopoli yang dapat terjadi. Salah satu kasus penggelapan pajak adalah yang terjadi pada salah satu perusahaan di Cianjur. Pelaku dengan inisial HS menggelapkan pajak perusahaan sebesar Rp 2,7 miliar. Kasus tersebut terungkap ketika perusahaan melakukan audit dan menemukan selisih dana pajak yang dikeluarkan dengan yang disetorkan. Penggelapan tersebut terjadi dalam waktu yang cukup Nur Izza, Ika Alfi dan Ardi Hamzah. 2008 “Etika Penggelapan Pajak Perspektif Agama: Sebuah Studi Interpretatif” Simposium Nasional Akuntansi XII. IAI 55


lama, yakni dari tahun 2016 sampai 201856. Lebih jauh lagi, World Bank Report pada tahun 2019 memberikan klaim luar biasa bahwa “Most of the rich Indonesian are corrupt…”57. Hal ini memicu berbagai respon, salah satunya dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), lembaga tersebut memberikan ajuan bahwa kasus monopoli bisnis dan persekongkolan dengan pihak berwenang merupakan masalah terbesar dalam korupsi. Selain dari MAKI, para peneliti dari Perkumpulan Prakarsa Victoria Fanggidae, pengawasan pajak di Indonesia masih kurang baik, banyak sekali penggelapan pajak yang terjadi. Naasnya, masih sering terjadi kasus pengampunan pajak.

Komparasi Sistem Pajak dengan Negara Lain

Gambar 12. Realisasi penerimaan pajak dan rasio pajak dalam arti sempit tahun 1995-2020 Sumber: Kementerian Keuangan

Laju penerimaan pajak Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonominya, sehingga rasio pajaknya rendah dan semakin rendah. Padahal, kelompok lower middle income country memiliki

rata-rata rasio pajak

berkisar 19-26%.

Rendahnya rasio pajak Indonesia

mengindikasikan lemahnya sistem perpajakan, sehingga dibutuhkan berbagai upaya perbaikan. 56

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5491027/gelapkan-duit-pajak-rp-27-m-pria-cianjur-ini-berdali h-biayai-3-istri/1 57 http://theprakarsa.org/en/world-bank-report-most-of-the-rich-indonesians-are-corrupt/


Padahal, Indonesia telah mengadopsi self assessment system (SAS) untuk PPh dan PPn pada tahun 1984 dan 1985 pasca diberlakukannya reformasi pajak. Di negara-negara lain, SAS yang pada awalnya diberlakukan untuk value added tax (VAT) atau PPn, mulai digunakan untuk pajak lainnya seperti pajak penghasilan individu maupun badan usaha. Namun, tidak seluruh negara menggunakan SAS untuk pemungutan PPn-nya. Menurut salah satu studi, 16 dari 120 negara yang disurvey tidak menggunakan SAS, sehingga wajib pajak perlu melalui serangkaian prosedur yang rumit. Jika tidak menggunakan SAS, administrasi perpajakan menjadi tidak efisien, wajib pajak terbebani ongkos yang besar, dan korupsi dapat meningkat58. Dengan begitu, Indonesia sudah tepat memilih SAS -- tinggal bagaimana memperbaiki sistemnya. Dalam studi ini, negara yang menjadi acuan komparasi dipilih berdasarkan besarnya rasio pajak. Di Asia, Jepang merupakan negara dengan rasio pajak tertinggi, yakni mencapai 30%. Padahal, sebagaimana Indonesia, Jepang juga menerapkan SAS pada sebagian besar pajaknya. Jepang menerapkan SAS pada pajak penghasilan individu, pajak perusahaan, pajak konsumsi (PPn), dan pajak warisan. Maka dari itu, dalam studi ini akan digunakan beberapa kriteria komparasi untuk menjabarkan perbedaan-perbedaan antara SAS di Indonesia dan Jepang. Beberapa kriteria yang menentukan efektivitas implementasi SAS adalah sebagai berikut: ● Cakupan dan kemampuan audit pajak, aspek ini mencakup bagaimana mekanisme pemerintah menentukan wajib pajak yang diaudit dan bagaimana pemerintah melakukan audit tersebut. Jika cakupan audit pemerintah kecil, jarang melakukan audit, atau auditnya tidak tepat sasaran, maka peluang wajib pajak melakukan kecurangan semakin besar. Begitupun dengan kemampuan audit pajak, Apabila pemerintah tidak memiliki data dan teknologi untuk mendeteksi pemalsuan atau ketidakpatuhan pajak, maka kecurangan akan semakin besar. ● Respon terhadap pelanggaran, aspek ini mencakup bagaimana respon pemerintah terhadap pihak yang melakukan pemalsuan atau tidak patuh terhadap pajak. Pelanggar perlu tahu bahwa jika mereka terdeteksi, hukuman akan diterapkan secara ketat. Selain itu, penggelapan pajak harus diadili melalui sistem peradilan pidana. 58

https://www.elibrary.imf.org/view/books/071/07173-9781589060265-en/ch13.xml


● Pengetahuan dan kemampuan wajib pajak, aspek ini mencakup bagaimana pemerintah memberi edukasi dan kemudahan atas layanan pajak. Berikut adalah perbandingan SAS di Indonesia dan Jepang berdasarkan tiga kriteria tersebut: Tabel 5. Komparasi implementasi SAS di Indonesia dan Jepang

Kriteria

Indonesia

Jepang

Jenis sistem pajak dan SAS untuk PPh dimulai pada SAS mulai berlaku pada tahun tahun berlakunya 1984 dan untuk PPn dimulai 1947 pada 1985 Lembaga pajak

Direktorat Jenderal Pajak

National (NTA)

Tax

Administration

Jenis audit pajak

Terkait dengan pemeriksaan kepatuhan, terdapat dua jenis audit, yaitu Pemeriksaan Khusus dan Pemeriksaan Rutin. Pemeriksaan Khusus dilakukan karena adanya indikasi ketidakpatuhan. Pemeriksaan Rutin dilakukan atas pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak.

Terdapat dua jenis audit pajak, yaitu audit reguler/sukarela dan audit wajib. Audit reguler dijadwalkan dan dilakukan dengan persetujuan wajib pajak. Audit wajib dilakukan jika seorang wajib pajak dicurigai melakukan penghindaran atau penggelapan pajak besar-besaran. Ada sekitar 200 kasus per tahun.

Cakupan dan Indonesia belum memiliki kemampuan audit pajak database perpajakan yang terintegrasi sebagaimana sistem KSK milik NTA Jepang. Database perpajakan tersebut pernah dicanangkan pada tahun 2014, tetapi belum

NTA membuat formulir pajak (tax returns) yang dapat didigitalisasi serta mengandung komponen informasi yang dapat digunakan untuk memverifikasi penghasilan wajib pajak. NTA memiliki sistem bernama Kokuzei Sogou Kanri (KSK) yang dapat memproses


diimplementasikan saat ini.

hingga seluruh data perpajak secara terintegrasi. KSK menghimpun berbagai jenis data dari seluruh Selain itu, tingkat kepatuhan wilayah, sehingga sistem ini penyampaian formulir pajak mampu mendeteksi formulir pajak (SPT atau tax returns) masih yang bermasalah (deficient di angka 63% pada tahun returns, menentukan formulir 2020 yang mana jauh dari mana saja yang harus diaudit, serta target 80%. Dengan demikian, memudahkan proses audit60. DJP masih berfokus untuk melakukan pemeriksaan/audit Selanjutnya, Jepang memiliki tim kepada wajib pajak yang tidak audit yang kuat yang akan menyampaikan SPT-nya (SE mengaudit kasus-kasus terpilih 15/PJ/2018). Cakupan berdasarkan analisis dari sistem pemeriksaan pajak di KSK. Kasus yang diprioritaskan Indonesia pun masih buruk, untuk diaudit adalah kasus bernilai hanya 1,36% di tahun 2017. besar. Saat ini NTA sedang mulai Angka tersebut jauh dari bekerja sama dengan lembaga rekomendasi IMF sebesar finansial untuk mengintegrasikan 3-5%59. DJP sebenarnya secara digital informasi tentang sudah mengeluarkan surat rekening tabungan dan deposito edaran (SE) yang mengatur wajib pajak yang diaudit61. Selain pedoman e-Audit dan teknik itu, NTA juga sedang audit berbantuan komputer mengembangkan audit pajak (TABK), tetapi hal tersebut secara daring. lebih berupa prosedur -bukan sebuah sistem yang Pada tahun 2012, NTA mampu terotomasi. memeriksa 50% dari formulir pajak konsumsi (PPn).

59

https://jurnal.bppk.kemenkeu.go.id/snkn/article/download/576/307/ https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.581.8719&rep=rep1&type=pdf 61 https://shiodome.or.jp/looking-at-the-future-of-tax-audits/ 60


Respon pelanggaran

terhadap Hukum telah mengatur adanya sanksi administrasi dan sanksi pidana bagi pelanggar pajak. Namun, dengan cakupan dan kemampuan audit yang rendah, potensi pelanggar pajak terdeteksi pun rendah. Akibatnya, banyak yang tidak terkena sanksi.

Dengan sistem yang secara efektif dapat mendeteksi kecurangan atau ketidakpatuhan pajak, masyarakat menjadi terdorong untuk patuh. Selain itu, NTA juga secara aktif memanfaatkan ketentuan penalti bagi pelanggar pajak, sehingga masyarakat mengetahui adanya sanksi yang tegas.

Pengetahuan dan Edukasi pajak sudah kemampuan wajib pajak digalakkan, termasuk dengan cara-cara yang kreatif. Penyederhanaan administrasi pajak juga dilakukan dengan pemanfaatan media digital, perbaikan proses bisnis, dan perbaikan pembayaran. Pemerintah, melalui DJP, juga sudah meminta dukungan konsultan pajak untuk meningkatkan kesadaran WP.

Disediakan berbagai layanan panduan, edukasi, dan konsultasi. Data-data wajib pajak sudah dituliskan pada formulir pajak demi memudahkan proses. Edukasi dilakukan lewat media massa, bahkan kepada anak sekolah. Konsultasi dapat dilakukan via telepon. Pemberian panduan sangat diupayakan kepada perusahaan-perusahaan dengan melibatkan organisasi swasta yang berhubungan lebih dekat kepada wajib pajak. Hasilnya, tingkat kepatuhan pajak perusahaan di Jepang mencapai lebih dari 90%.


Kesimpulan dan Rekomendasi Salah satu upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi adalah dengan belanja negara. Namun, belanja negara sangat ditentukan oleh penerimaan negara yang didominasi oleh pajak. Sayangnya, penerimaan pajak Indonesia masih sangat rendah karena tingkat ketidakpatuhan yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemungutan pajak Indonesia yang menganut metode self assessment. Gagasan dari metode ini sebetulnya baik, untuk mendorong kesadaran masyarakat sekaligus efisiensi administrasi pajak. Namun, tanpa sistem yang kuat, sistem self assessment justru menjadi ladang korupsi. Praktik korupsi tersebut terkait dengan tiga bentuk pelanggaran pajak, seperti understatement of income, overstatement of the deductions, non-reporting of income. Di sisi lain, Jepang menjadi contoh sukses penerapan SAS. Rasio pajak Jepang mencapai 30%, dengan tingkat kepatuhan pajak perusahaan mencapai lebih dari 90%. Dari studi komparasi ini diketahui bahwa aspek yang sangat mempengaruhi hal tersebut adalah adanya database perpajakan yang terintegrasi dan komprehensif bernama Kokuzei Sogou Kanri (KSK). Sistem tersebut menyediakan basis data dan analisis untuk pemilihan wajib pajak yang akan diaudit sekaligus mendukung proses audit menjadi lebih efektif dan efisien. Pada tahun 2012, Jepang berhasil memeriksa 50% dari formulir pajak konsumsinya.

Indonesia sebetulnya telah

mencanangkan adanya database perpajakan, tetapi hingga kini belum ada kejelasan soal implementasinya. Dengan demikian, pemerintah perlu segera menuntaskan database dan sistem pajak yang terintegrasi demi meningkatkan tax compliance di Indonesia.


Gambar 13. Skema sistem pajak Kokuzei Sogo Kanri (KSK) milik Jepang Sumber: NTA


BAB 5 PENTINGNYA KETERBUKAAN INFORMASI PENERIMA MANFAAT DAN POLITICALLY EXPOSED PERSON Mendeteksi korupsi - Pentingnya membuka informasi pemilik manfaat - Memperketat pengawasan terhadap PEP

Gambar 14. Tahap mendeteksi tindakan korupsi

Setiap tindakan selalu mempunyai ciri khas yang bisa diamati atau diidentifikasi. Begitu juga dengan korupsi. Indikasi-indikasi untuk mendeteksi adanya korupsi bisa dilihat dari beberapa hal. Dalam prosesnya, tentu setiap tindakan seperti bisnis, dll selalu dibatasi dan didasari oleh regulasi yang ada. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa regulasi yang berlaku memiliki celah yang seringkali dimanfaatkan untuk melakukan tindak korupsi. Sebagai contoh adalah kasus penggelapan pajak yang terus terjadi hingga saat ini. Perusahaan-perusahaan mampu menghindari pajak secara “Legal” karena kurangnya sistem pengawasan maupun hukum yang ada. Buku berjudul “Loophole Games: a Treatise on Tax Avoidance” yang ditulis Smarak Swain mengungkapkan berbagai ‘celah’ yang terdapat dalam lingkup hukum, terutama dalam konteks hukum perpajakan. Proses tax avoidance mulai dari minimalisasi keuntungan perusahaan dan manipulasi laporan keuangan, hingga penggunaan jaringan intragroup (base erosion and profit shifting) mengakibatkan uang untuk perpajakan yang “disembunyikan” ini menjadi tempat bernaungnya kegiatan korupsi. Uang yang seharusnya dibayarkan ke pemerintah dan menjadi pemasukan negara justru dikorupsi. Setelah mengidentifikasi loopholes atau celah pada regulasi dan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk tindakan korupsi, tahap selanjutnya adalah menentukan key person. Key


person adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam proses bisnis yang terdeteksi memiliki celah korupsi tersebut. Selanjutnya, profiling dilakukan terhadap key person dengan membandingkan potensi pendapatan seseorang dengan harta yang dimilikinya. Profiling menjadi salah satu alat deteksi korupsi yang paling akurat karena yang berbicara adalah data. Dalam profiling, seseorang terindikasi korupsi jika harta yang dikeluarkan atau dikonsumsi ternyata lebih besar dari potensi harta yang dimilikinya. Seperti contoh kasus simulator SIM yang menjebloskan Djoko Susilo ke dalam tahanan. Djoko Susilo yang ditaksir memiliki potensi pendapatan hingga Rp 1,2 miliar (dari gaji, tunjangan, dll) sedangkan Djoko Susilo mampu membeli tanah, SPBU, kendaraan, dll, hinggal RP 63,7 miliar. Djoko Susilo tidak mampu membuktikan bahwa harta yang digunakan itu berasal dari harta kekayaan secara sah sehingga konsumsi itu tidak sesuai dengan profil Djoko Susilo. Untuk mendukung implementasi tiga tahap identifikasi tersebut, diperlukan keterbukaan identitas pihak-pihak yang terlibat dalam suatu bisnis, terutama bagi pegawai publik demi menghindari penyalahgunaan wewenang. Salah satu kebijakan yang dapat mendorong keterbukaan tersebut adalah penerapan beneficial ownership (BO). Beneficial owner (pemilik manfaat) adalah setiap pihak yang berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan rekening Nasabah, merupakan pemilik sebenarnya dari dana dan/atau efek yang ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (ultimately own account), mengendalikan transaksi nasabah, memberikan kuasa untuk melakukan transaksi, mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement), dan/atau merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian. Dalam common law, terminologi kepemilikan terbagi menjadi dua, yaitu kepemilikan secara hukum (legal ownership) dan kepemilikan secara faktual (beneficial ownership), Seseorang yang secara hukum sebagai pemilik harta (legal owner) tetapi secara substansi pemilik harta tersebut adalah orang lain karena orang lain yang menggunakan dan menikmati harta tersebut beserta hasil-hasilnya. Dengan demikian orang yang memiliki harta secara hukum belum tentu sebagai pemilik harta yang sebenarnya (the real owner of asset) dan penerima penghasilan yang sebenarnya dari harta tersebut (the beneficial owner of income). Ketidakterbukaan akan siapa


pemilik manfaat secara faktual bisa menjadi celah untuk tindak pidana pencucian uang dan korupsi. Menanggapi hal itu, Indonesia saat ini mulai mengembangkan sistemnya. Pada Maret 2018 Indonesia mengadopsi regulasi baru yang mewajibkan perusahaan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi tentang beneficial ownership kepada pihak berwenang, Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/2018. Perusahaan yang telah terdaftar memiliki kesempatan untuk mengumpulkan dan melaporkan beneficial ownership paling lambat satu tahun. Perpres juga mengatur tentang know your beneficial owner, yang meminta perusahaan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi kepada pihak berwenang dan memverifikasi identitas beneficial owner. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah mengeluarkan Peraturan Menkumham No. 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dan Permenkumham No. 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi. Dua peraturan ini merupakan turunan dari Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme. Menjadi satu kesatuan dengan Beneficial Ownership, hal yang perlu diperhatikan juga adalah Politically Exposed Person (PEP). Seseorang yang mempunyai jabatan dalam penyelenggaraan negara harus diekspos kepada pihak industri, sehingga pihak industri dapat meningkatkan kewaspadaan karena PEP merupakan komponen yang berisiko tinggi untuk melakukan tindakan korupsi seperti penyuapan, pencucian uang, dan sebagainya.

Kebijakan BO dan PEP di Negara Lain Tabel 6. Komparasi kebijakan keterbukaan informasi beneficial ownership di Indonesia, Kanada, dan Swiss

Kriteria Definisi BO

Indonesia

Negara Lain

Pemilik Manfaat dari perseroan Kanada: terbatas merupakan orang perseorangan yang memenuhi 1. Perseorangan yang memiliki, baik kriteria: langsung maupun tidak langsung,


a. memiliki saham lebih dari 25% pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; b. memiliki hak suara lebih dari 25% pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; c. menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun; d. memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris; e. memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun; f. menerima manfaat dari perseroan terbatas; dan/atau g. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas. Diatur juga mengenai BO dari yayasan, orang perseorangan, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya. Keseluruhannya memiliki kesamaan kriteria seperti yang telah disebutkan di atas. Diatur dalam Peraturan Presiden

Penyampaian informasi

lebih dari 25% saham dalam perusahaan. Batas 25% dihitung dengan mengacu pada nilai nominal saham dalam hal perusahaan dengan modal saham. Jika perusahaan tidak memiliki modal saham, kondisi dipenuhi oleh individu yang memiliki hak untuk berbagi lebih dari 25% dari modal atau laba entitas. 2. Individu tersebut memiliki, secara langsung atau tidak langsung, lebih dari 25% hak suara di perusahaan. Hak suara yang dimiliki oleh perusahaan itu sendiri diabaikan untuk tujuan ini. 3. Orang tersebut memiliki hak, secara langsung atau tidak langsung, untuk mengangkat atau memberhentikan sebagian besar dewan direksi perusahaan. 4. Individu memiliki hak untuk menjalankan, atau benar-benar menjalankan, pengaruh signifikan atau kendali atas perusahaan. Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri telah mengeluarkan pedoman tentang arti 'pengaruh atau kendali yang signifikan' dan pedoman itu harus diperhatikan dalam menafsirkan kondisi ini. 5. Individu memiliki hak untuk menjalankan, atau benar-benar menjalankan, pengaruh signifikan atau kontrol atas kegiatan perwalian atau firma, yang pada gilirannya memenuhi salah satu dari empat kondisi pertama

Korporasi wajib menyampaikan Swiss: informasi yang benar mengenai Perusahaan dan perseroan terbatas Pemilik Manfaat kepada Instansi harus menyimpan daftar pemilik


Berwenang, serta Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat secara berkala setiap 1 (satu) tahun. Instansi Berwenang adalah instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang memiliki kewenangan pendaftaran, pengesahan, persetujuan, pemberitahuan, perizinan usaha, atau pembubaran Korporasi, atau lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang usaha Korporasi. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme oleh Korporasi, Instansi Berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi Pemilik Manfaat dengan instansi peminta, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Instansi peminta yang dimaksud adalah: a. instansi penegak hukum; b. instansi pemerintah; dan c. otoritas berwenang negara atau yurisdiksi lain. Diatur dalam Peraturan Presiden

manfaat mereka, yang harus dapat diakses setiap saat di Swiss. Untuk perusahaan publik, informasi tentang kepemilikan saham harus tersedia untuk publik setiap saat. Informasi kepemilikan yang menguntungkan yang diperoleh oleh perantara keuangan sebagai bagian dari kewajiban uji tuntas pelanggan mereka juga dapat digunakan. Ketika informasi pemilik manfaat dipegang oleh perusahaan, informasi tersebut harus selalu up to date. Semua pemegang saham yang kepemilikannya mencapai atau melebihi ambang 25% dari modal atau suara harus memberi tahu perusahaan, dalam waktu satu bulan setelah perolehan saham, tentang nama orang yang merupakan pemilik manfaat saham, dan harus memberitahu perusahaan tentang perubahan apapun pada pemilik manfaat. Selain itu, perusahaan harus diberitahu jika ada perubahan pada informasi yang mengidentifikasi pemilik manfaat (nama depan, nama keluarga, alamat). Perusahaan diharuskan untuk selalu memperbarui informasi yang dilaporkan ke Office Fédéral du Registre du Commerce. Jika suatu pencatatan dalam daftar niaga tidak atau tidak lagi mencerminkan kenyataan, maka penguasa mempunyai kekuasaan untuk mengambil tindakan yang dapat mengakibatkan likuidasi badan hukum. Daftar komersial juga memiliki kekuatan untuk mengenakan denda administratif


ketika badan hukum atau perorangan gagal memenuhi kewajiban pemberitahuan dan pendaftaran. Diatur dalam Undang-Undang Pengawasan

Pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dilakukan oleh Instansi Berwenang. Diatur dalam Peraturan Presiden

Swiss Kepatuhan terhadap kewajiban untuk mendaftar Pemilik Manfaat dipantau oleh Cantonal62 Registries. Secara khusus, mereka menerima informasi dari pihak ketiga atau administrasi lain (termasuk otoritas pajak) mengenai perusahaan yang tidak terdaftar atau perubahan status. Otoritas publik memberitahu mereka jika perusahaan atau statusnya dapat dikenakan pendaftaran, modifikasi, atau pemogokan. Terakhir, Cantonal Registries mengambil tindakan tindak lanjut ketika mereka mengidentifikasi kegagalan untuk mendaftarkan informasi yang diperlukan. Misalnya, Registry of Geneva telah memulai 2.890 proses selama periode peninjauan (6,4% dari perusahaan yang terdaftar), yang dapat menyebabkan likuidasi perusahaan. Diatur dalam Undang-Undang

Publikasi

62

Setiap orang dapat meminta Swiss: informasi Pemilik Manfaat kepada Untuk perusahaan publik, informasi Instansi Berwenang. tentang Pemilik Manfaat bersifat publik dan tersedia setiap saat. Diatur dalam Peraturan Presiden Diatur dalam Undang-Undang

Canton adalah sebutan untuk negara bagian dari konfederasi Swiss.


Tabel 7. Komparasi kebijakan keterbukaan informasi politically exposed person di Indonesia, Singapura, dan Swiss

Kriteria

Indonesia

Negara Lain

Listing PEP

Penyedia Jasa Keuangan (PJK, yaitu PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank) wajib melakukan penilaian untuk menentukan Nasabah, Pemilik Manfaat, atau WIC adalah PEP.

Singapura: mengharuskan praktisi hukum (advokat & advokat asing) untuk menentukan PEP apabila terdapat gangguan pada operasi bisnis dan terdapat risiko pencucian uang/terorisme Diatur dalam Undang-Undang 63

Diatur dalam Peraturan OJK Implementasi manajemen risiko

PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP.

Singapura: mengharuskan praktisi hukum untuk melakukan tindak implementasi manajemen risiko apabila klien adalah orang yang memenuhi kriteria PEP (asing, domestik, dan kerabat)

Diatur dalam Peraturan OJK Diatur dalam Undang-Undang Pemeriksaan

Apabila Pemilik Manfaat yang tergolong sebagai PEP, maka PJK wajib melaksanakan prosedur Enhanced Due Diligence (EDD) adalah tindakan Customer Due Diligence (CDD) lebih mendalam yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah, yang berisiko tinggi termasuk PEP dan/atau dalam area berisiko tinggi.

Singapura: Melakukan Customer Due Diligence (CDD) measures. CDD adalah proses yang digunakan oleh lembaga keuangan untuk mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang relevan tentang pelanggan atau calon pelanggan. Diatur dalam Peraturan Lembaga Pengawas Keuangan

Diatur dalam Peraturan OJK PEP asing

63

Terhadap PEP Asing, selain menerapkan proses CDD, PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk

Singapura: Melakukan EDD terhadap PEP asing, yaitu mendapatkan persetujuan dari praktisi hukum

https://sso.agc.gov.sg/SL/LPA1966-S307-2015?DocDate=20201207&ProvIds=P12-#pr4-


menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat memenuhi kriteria PEP, menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Nasabah, Pemilik Manfaat, atau WIC tersebut; melakukan EDD secara berkala; dan melakukan pemantauan yang lebih ketat atas hubungan usaha.

atau manajemen senior praktik hukum sebelumnya; mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menetapkan sumber kekayaan, dan sumber dana, klien dan, jika klien adalah suatu entitas atau pengaturan hukum, dari pemilik manfaat klien; dan melakukan pemantauan berkelanjutan yang ditingkatkan dari hubungan bisnis dengan klien.

Diatur dalam Peraturan OJK Diatur dalam Undang-Undang Swiss: Pemerintah berhak melakukan pembekuan, penyitaan, dan pengembalian aset yang dimiliki oleh PEP atau rekan dekatnya apabila ada alasan untuk mengasumsikan bahwa aset tersebut diperoleh melalui tindakan korupsi, salah urus pidana atau kejahatan lainnya. Diatur dalam Peraturan Menteri64

Kesimpulan dan Rekomendasi Keterbukaan informasi tentang BO dan PEP tentunya akan sangat mendukung pendeteksian praktik korupsi, terutama yang dilakukan oleh pegawai publik. Terkait aturan BO, Indonesia memiliki Perpres 13/2018. Namun, berdasarkan hasil komparasi dengan negara lain, seperti Swiss dan Kanada, didapatkan beberapa kelemahan, diantaranya:

64

https://www.unodc.org/documents/treaties/UNCAC/WorkingGroups/workinggroup2/2016-August-25-26/V1605154 e.pdf


● Dari segi substansi, Perpres 13/2018 belum secara tegas dan jelas mengatur pemilik manfaat secara de facto atau pemilik manfaat secara tidak langsung. Padahal, banyak modus korupsi dan pencucian melalui hubungan tidak langsung, misalnya pelibatan kerabat atau keluarga dari pelaku utamanya. Hal ini berbeda dengan Kanada, misalnya, yang mengatur kriteria BO mencakup kepemilikan aset dan hak secara tidak langsung. Selain itu, keterbukaan informasi BO juga masih belum optimal karena publik harus mengajukan permintaan terlebih dahulu kepada instansi berwenang. Hal ini berbeda dengan Swiss yang menyediakan informasi up to date dan dapat diakses setiap saat oleh publik. ● Dari segi bentuk hukumnya, aturan BO hanya berupa Perpres, Peraturan OJK, dan Surat Edaran DJP. Akibatnya, aturan menjadi kurang komprehensif dan lemah penegakan hukumnya. Hingga saat ini belum jelas sanksi yang akan diterima korporasi jika tidak menyampaikan BO-nya atau menyampaikan BO secara tidak valid65. Dengan demikian, Indonesia perlu membuat Undang-Undang terkait BO sebagaimana yang telah dilakukan negara lain. Terkait dengan PEP, peraturan yang dimiliki Indonesia juga masih sebatas Peraturan OJK, berbeda dengan Singapura yang telah menerapkan Undang-Undang. Namun, di sisi lain, PPATK Indonesia sudah membuat aplikasi PEPS yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penerapan identifikasi, verifikasi, dan pemantauan transaksi oleh Politically Exposed Person, pengembangan dan penerapan aplikasi ini tentu dapat menjadi salah satu kunci pencegahan dan penanganan kasus korupsi di Indonesia.

65

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eda8930661b7/tak-cukup-perpres--i-beneficial-ownership-i-perlu-diat ur-undang-undang/


Kajian ini ditulis oleh: ● Muhammad Reza Rahmaditio ● Revanka Mulya ● Dimas Rio Pratama ● Reno Suwono ● Humaira Fathiyannisa ● Dwika Alam Indrajati


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.