Pedoman PPKS Lembaga KM ITB

Page 1

Pedoman PPKS di Lembaga: Apa yang Dapat Dilakukan Lembaga?


`

Bab I: Paradigma Kekerasan Seksual Kekerasan Seksual 101 Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal. Hal yang harus ditekankan adalah kekerasan seksual terjadi dalam berbagai bentuk, dan stigma bahwa kekerasan seksual hanya berupa bentuk-bentuk fisik saja harus dihilangkan. Untuk membantu mengetahui apakah suatu tindakan merupakan kekerasan seksual atau bukan, diperlukan pemahaman akan beberapa hal berikut: 1. Consent (persetujuan) secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan. Ada tiga cara utama untuk menganalisis konteks persetujuan dalam tindakan seksual: a. Persetujuan afirmatif: Apakah orang tersebut mengekspresikan tindakan/ kata-kata terbuka yang menunjukkan kesepakatan untuk tindakan seksual? b. Persetujuan yang diberikan secara bebas: Apakah persetujuan yang ditawarkan atas kehendak bebas orang tersebut sendiri, tanpa disebabkan oleh penipuan, paksaan, kekerasan, atau ancaman? c. Kapasitas untuk menyetujui: Apakah individu memiliki kapasitas, atau kemampuan hukum, untuk menyetujui? Kapasitas untuk menyetujui ini juga telah didefinisikan di Permendikbud PPKS pada pasal 5 ayat (2) Lebih lanjut lagi, terdapat konsep FRIES yang dapat diterapkan dalam menentukan ada atau tidaknya persetujuan dalam suatu tindakan/ aktivitas: a. Freely given: Diberikan dalam keadaan bebas, sadar, tanpa tekanan ataupun iming-iming b. Reversible: Dapat diubah/ dibatalkan c. Informed: Seseorang tahu secara jelas mengenai kegiatan, dampak, konsekuensi, risiko yang akan dilakukan d. Enthusiastic: Diberikan secara antusias; diberikan karena ingin, bukan karena terpaksa e. Specific: Spesifik dan terbatas pada kegiatan/ hal yang dimaksud (tidak berlaku satu untuk semua ataupun satu untuk selamanya) 2. Relasi kuasa adalah relasi tidak seimbang yang menimbulkan kekuasaan pada salah satu pihak sehingga merugikan pihak yang posisinya lebih rendah. Contohnya, kakak tingkat-adik


` tingkat, ketua-anggota, dosen-mahasiswa. Hal ini dapat memengaruhi consent, contohnya mahasiswa yang merasa tidak enak untuk menolak dosen karena posisi dosen lebih “kuat”, seperti dapat memengaruhi kehidupan akademik mahasiswa tersebut. 3. Rape culture adalah budaya melanggengkan kekerasan seksual dalam masyarakat dengan menyepelekan tindakan kekerasan seksual, contohnya adalah norma-norma budaya dan lembaga-lembaga yang melindungi pemerkosa, mempromosikan impunitas, mempermalukan korban, dan menuntut agar korban terhindar dari kekerasan seksual. Rape culture dimulai dari menormalisasi hal-hal yang tampak kecil (candaan, menyalahkan korban, stigmatisasi, dll), yang kemudian dapat bereskalasi menjadi tindakan-tindakan yang lebih parah (catcalling, stalking, pelecehan seksual, pemerkosaan, dll) dan/atau menciptakan ruang/lingkungan yang tidak aman. Rape culture sendiri belum tentu merupakan kekerasan seksual, tetapi keberadaan rape culture membuat kekerasan seksual lebih berpotensi terjadi dan penyelesaiannya berpotensi lebih sulit. 4. Relasi gender Relasi gender merupakan konsep hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan kualitas, skill, peran dan fungsi dalam konvensi sosial yang bersifat dinamis mengikuti kondisi sosial yang selalu berkembang. Gender sendiri merupakan pelabelan terhadap individu berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Seringkali, individu berjenis kelamin laki-laki dilabeli sebagai individu yang kuat dan rasional sedangkan perempuan dilabeli sebagai individu yang lemah lembut dan emosional. Dalam istilah kekerasan seksual, relasi gender diartikan sebagai relasi tidak seimbang akibat adanya konstruksi gender yang tidak setara. Ketidaksetaraan ini akan menimbulkan dominasi gender, yaitu hubungan berbasis gender (individu/kolektif) yang dominan berhasil membuat pihak lain (individu/kolektif) yang disubordinasikan sebagai alat pemenuh keinginannya dan menolak kebebasan subjektivitas dari pihak yang disubordinasikan. Laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk menjadi pihak yang dominan maupun pihak yang disubordinasikan. Misalnya, dengan anggapan (secara sadar maupun tidak) bahwa perempuan lebih lemah lembut dan harus menjadi penurut, perempuan menjadi lebih rentan untuk mengalami kekerasan seksual. Salah satu hal yang ditekankan pada Permendikbud PPKS adalah kekerasan seksual didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan korban sebagaimana pada pasal 5 ayat (2), termasuk dalam keadaan dipaksa, tidak sadar atau tertidur, memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan keadaan lainnya di mana persetujuan korban dianggap tidak sah yang dijelaskan pada pasal 5 ayat (3).


` Kekerasan seksual dapat melibatkan perilaku oleh, atau terhadap, seseorang dengan jenis kelamin, usia, dan seksualitas apa pun. Hal ini dapat terjadi antara orang asing atau antara orang-orang yang saling mengenal dengan baik, termasuk orang-orang yang terlibat dalam hubungan pacaran. Kekerasan seksual bisa berupa insiden tunggal atau pola perilaku yang tidak diinginkan yang terus-menerus. Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja. Kekerasan seksual tidak pernah menjadi kesalahan orang yang tidak menyetujui perilaku seksual tersebut. Berdasarkan buku pedoman penerapan Permendikbud PPKS, guna menciptakan ruang aman dan nyaman selama pelaksanaan program yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, penting bagi seluruh pihak terkait untuk menghindari percakapan yang: 1) menyangkut identitas dan/atau kehidupan pribadi; 2) mengomentari tampilan busana dan/atau kondisi tubuh; dan 3) menimbulkan ketidaknyamanan yang disampaikan lawan bicara secara lisan, tulisan, dan/atau gestur tubuh. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual Dalam pedoman ini, bentuk-bentuk kekerasan seksual mengacu pada Permendikbud PPKS pasal 5 ayat 2. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kabinet KM ITB, jenis-jenis kekerasan seksual yang sering terjadi adalah sebagai berikut.


`

Contoh praktis praktik kekerasan seksual yang sering ditemui di ITB:

a. Membuat lelucon, panggilan atau komentar bernuansa seksual/vulgar yang membuat seseorang merasa tidak nyaman b. Mengambil gambar/merekam video seseorang secara diam-diam dan menyebarkannya di sosial media (baik kepada teman sendiri atau menggunakan akun publik) dengan komentar bernuansa seksual c. Catcalling d. Mewajarkan tindakan-tindakan pada poin a, b, dan c Seringkali, kekerasan seksual berkaitan erat dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dalam panduan ini, istilah “kekerasan berbasis gender” merujuk pada definisi kekerasan berbasis gender oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), yang mendefinisikan KBG sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Hal ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan. Kekerasan berbasis gender online (KBGO) adalah suatu bentuk kekerasan yang terjadi atas dasar relasi gender yang difasilitasi oleh teknologi. KBGO dapat dialami oleh laki-laki ataupun perempuan. Namun, kekerasan atau pelecehan ini lebih banyak dialami oleh perempuan. Sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Jika tidak, maka kekerasan tersebut masuk dalam kategori kekerasan umum di ranah online.


` Beberapa contoh tindakan yang termasuk KBGO yang termasuk kekerasan seksual adalah sebagai berikut: ● Online harassment, pelecehan berulang-ulang melalui pesan, perhatian, dan/atau kontak yang tidak diinginkan ● Ancaman langsung kekerasan seksual atau fisik ● Komentar kasar, ujaran kebencian, dan postingan di media sosial dengan target pada gender atau seksualitas tertentu dengan nuansa seksual ● Konten online yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual ● Penggunaan gambar tidak senonoh untuk merendahkan wanita Lebih lanjut mengenai KBGO dapat diakses melalui tautan berikut. Prinsip dalam penanganan Dalam Permendikbud PPKS, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang disebutkan berikut. Definisi dan penjelasan mengenai masing-masing poin prinsip diambil dan diadaptasi berdasarkan buku pedoman penerapan Permendikbud PPKS yang diterbitkan Kemendikbud Ristekdikti. a. Kepentingan terbaik bagi Korban; Penanganan Kekerasan Seksual yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi korban adalah langkah yang berorientasi pada pemulihan Korban, melibatkan persetujuan Korban dalam setiap tahapnya, melindungi dan memberdayakan, serta menjaga kerahasiaan identitas dan keselamatan Korban. Dengan kata lain, Korban yang menentukan tahap yang ingin dijalankan olehnya setelah ia mengetahui tahapan penanganan yang tersedia beserta risiko tiap tahapannya. Contoh praktisnya adalah ketika melakukan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, pencarian solusi hendaknya tidak hanya bertujuan untuk mengembalikan harmoni dalam masyarakat, tetapi harus lebih menitikberatkan pada pemulihan korban. Contoh dari kasus ini adalah dengan tidak menikahkan korban kekerasan seksual (dalam hal ini korban perkosaan) dengan pemerkosanya. Cara ini dianggap sebagai solusi untuk mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat dan memulihkan nama baik korban (serta keluarga). Namun, pada kenyataannya praktik ini bisa saja menjadi jembatan untuk melanggengkan kekerasan pada perempuan. b. Keadilan dan kesetaraan gender; Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi menerapkan nilai keadilan dan kesetaraan gender dengan menggunakan perspektif kesetaraan gender dan inklusi sosial melalui:

program pengenalan lingkungan kampus;


` penanganan yang empatis dan sensitif terhadap kemungkinan adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender dalam laporan Kekerasan Seksual; ● akses dan mekanisme layanan pemulihan untuk korban kekerasan seksual ● pengenaan sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual secara adil dan proporsional, yang dihitung bukan berdasarkan peluang pelaku memperbaiki diri, melainkan berdasarkan penderitaan atau kerugian yang dialami Korban dan lingkungan kampus akibat perbuatan pelaku. c. Kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; Melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang berprinsip pada kesetaraan gender dan inklusi sosial bagi semuanya – memasukkan perspektif disabilitas dalam setiap pencegahan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. d. Akuntabilitas; Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dengan akuntabilitas melalui: ● penyediaan sumber daya yang memadai untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus; ● mengomunikasikan langkah-langkah atau proses Penanganan yang akan diambil kepada Korban; ● mempublikasikan laporan tentang kegiatan-kegiatan Pencegahan dan rekam jejak proses Penanganan yang sudah dijalankan dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas Korban dan saksi; dan ● menyampaikan laporan hasil pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Prinsip akuntabilitas dalam penanganan laporan tetap berpegang pada prinsip kerahasiaan identitas pelapor (Korban/saksi Korban). e. Independen; Pelaksana upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual bertanggungjawab melaksanakan upaya-upaya tersebut secara independen, bebas dari pengaruh maupun tekanan dari pihak manapun, dengan: ● Membangun sistem penanganan yang bebas dari pengaruh atau tekanan apa pun; ● Bertindak profesional atau tidak terpengaruh oleh konflik kepentingan, penilaian subjektif, perilaku favoritisme dan gratifikasi dalam Penanganan setiap laporan Kekerasan Seksual; ● Mendorong terwujudnya sistem layanan terpadu yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi Korban; ●


` Memberi perlindungan bagi Korban, Saksi, dan pendamping Korban dari berbagai bentuk intimidasi seperti ancaman fisik dan/ atau psikologis, pengurangan nilai akademik atau penurunan jabatan, pemberhentian status sebagai Mahasiswa, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan, kriminalisasi, dan sebagainya. Dalam mewujudkan sistem layanan terpadu yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi Korban, lembaga yang memiliki keterbatasan sumber daya dapat bekerjasama dengan pihak eksternal kampus yang berpengalaman dalam penanganan Kekerasan Seksual termasuk pendampingan Korban dengan prinsip kesetaraan gender dan inklusi sosial. f. Kehati-hatian; Pada aspek Pencegahan, diperlukan kehati-hatian dalam menyusun isi dari kegiatan-kegiatan kampanye dan sosialisasi. Tujuannya supaya narasi yang terbangun bukanlah pada pembatasan ruang gerak dan ekspresi Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus, melainkan pada peningkatan kolaborasi di kampus. Dengan demikian, suasana pelaksanaan Tridharma yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan dapat berkembang. Prinsip kehati-hatian diterapkan melalui: ● penerimaan laporan Kekerasan Seksual dengan menjaga kerahasiaan identitas pihak-pihak yang terkait langsung dengan laporan, kecuali Terlapor yang sudah terbukti melakukan Kekerasan Seksual; ● penerapan prioritas keamanan data dan keselamatan Korban, saksi, dan/atau pelapor dalam Penanganan kasus; dan ● pemberian informasi kepada Korban dan saksi mengenai hak-haknya, mekanisme penanganan laporannya dan pemulihannya, dan kemungkinan risiko yang akan dihadapi serta rencana mitigasi atas risiko tersebut. g. Konsisten; Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang konsisten berarti secara sistematis dan rutin dilakukan: ● sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual di kampus sejak masa penerimaan mahasiswa baru; ● menjalankan kolaborasi dengan komunitas/kelompok/ organisasi yang sudah berpengalaman memberikan edukasi tentang Kekerasan Seksual dan/ atau layanan pendampingan bagi Korban di kampus, untuk meningkatkan kualitas kegiatan-kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus; ● mendorong sebanyak mungkin mahasiswa untuk ikut aktif mengampanyekan kegiatan-kegiatan anti Kekerasan Seksual di kampus atau mendaftarkan diri saat seleksi anggota Satuan Tugas; ● membuat perencanaan pengembangan kegiatan-kegiatan Pencegahan yang dijalankan; ●


` memastikan penyintas Kekerasan Seksual di kampus dapat kembali memaksimalkan potensi dirinya dalam menempuh pendidikan tinggi dengan aman. ● Jaminan ketidakberulangan. Setiap peristiwa Kekerasan Seksual, baik ringan maupun berat, dapat berakibat pada hilangnya kesempatan Korban dan lingkungan sekitarnya untuk memperoleh pendidikan dengan aman dan optimal. Oleh karena itu, dalam Penanganan setiap laporan Kekerasan Seksual, harus dilakukan: pemberian sanksi yang adil dan proporsional kepada setiap pelaku kekerasan seksual ● dengan tegas tanpa memandang status dan kedudukan pelaku; melakukan langkah-langkah peningkatan keamanan kampus dari Kekerasan Seksual ● untuk mencegah keberulangan, mulai dari penguatan pembelajaran dan tata kelola, hingga budaya komunitas di kampus. ●

Yang Harus Diingat

Adanya kasus kekerasan seksual bukanlah aib bagi lembaga. Lembaga harus mengedepankan kepentingan korban dan mencegah keberulangan peristiwa. Penanganan kasus kekerasan seksual dengan tepat dan berdasarkan prinsip-prinsip penanganan adalah tindakan terbaik yang dapat dilakukan lembaga.


`

BAB II: Seputar Permendikbud PPKS dan Kondisi di ITB Masih belum ada payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual berupa Undang-Undang di Indonesia. Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih belum kunjung disahkan sejak naskah akademik dan pembahasan pertama dimulai pada 2016. RUU TPKS sebelumnya disebut dengan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tetapi akhirnya, pada 18 Januari 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR.

Banyak pihak yang menyayangkan lamanya pengesahan RUU TPKS karena korban masih belum memiliki payung hukum atas kekerasan seksual yang dialaminya. Padahal, kasus kekerasan seksual semakin menjamur dan semakin banyak yang terungkap. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi dari Januari sampai November 2021, dan Komnas Perempuan mencatat ada 4.500 aduan terkait kekerasan seksual yang masuk pada periode Januari hingga Oktober 2021. Kasus-kasus itu terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Korbannya pun beragam, mulai dari santri, ibu rumah tangga, pegawai di lembaga negara, hingga mahasiswa. Kampus dan ruang instansi pendidikan lainnya yang seharusnya menjadi lingkungan yang aman untuk menuntut ilmu justru menjadi tempat yang berbahaya. Di tengah kekosongan payung hukum ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (selanjutnya disebut Permendikbud PPKS). Nadiem Makarim, selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan ada 4 tujuan dibuatnya Permendikbud PPKS: 1. Upaya memenuhi hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan tinggi yang aman. 2. Memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk bisa mengambil langkah tegas atas kasus kekerasan seksual. 3. Sarana edukasi bagi masyarakat, khususnya terkait definisi kekerasan seksual, korban, hingga apa itu victim blaming. 4. Kementerian dan kampus bisa berkolaborasi guna menciptakan budaya akademis yang sehat sesuai dengan akhlak mulia.


` Permendikbud PPKS bertujuan sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dalam tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang menyasar mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi. Aturan ini berlaku apabila dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi korban dan/atau pelaku merupakan mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan ataupun warga kampus (masyarakat yang beraktivitas dan/atau bekerja di kampus). Poin-poin penting yang dibahas pada Permendikbud PPKS antara lain definisi kekerasan seksual, pencegahan kekerasan seksual, penanganan kekerasan seksual, satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, mekanisme penanganan oleh satuan tugas, hak korban dan saksi, serta pemantauan dan evaluasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada perguruan tinggi. Definisi kekerasan seksual pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan lebih lanjut pada pasal 5 ayat (1) dan (2), yang mencakup kekerasan seksual yang dilakukan secara verbal, non fisik, dan kekerasan seksual yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi. Jenis-jenis kekerasan seksual yang dimaksud dikategorikan menjadi 21 jenis, antara lain perkataan yang melecehkan, mengirimkan pesan bernuansa seksual, merekam dan mengedarkan foto yang bernuansa seksual, memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual, dan lainnya. Pencegahan dilakukan melalui 3 sarana yaitu pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Pencegahan melalui pembelajaran yaitu pemberian pelajaran dalam bentuk modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh pihak Kementerian, sementara penguatan tata kelola yang dimaksud antara lain merumuskan kebijakan untuk mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual beserta satuan tugas dan pedoman dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Selain pencegahan oleh perguruan tinggi, juga terdapat porsi pencegahan oleh tenaga kependidikan dan pencegahan oleh mahasiswa.

Dalam Permendikbud PPKS Bab III, penanganan kekerasan seksual meliputi pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif terhadap perilaku, serta pemulihan korban.


` Penanganan kekerasan seksual dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (PPKS) yang terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Selanjutnya, panduan mengenai tata cara pembentukan Satuan Tugas hingga mekanisme penanganan kekerasan seksual oleh satuan tugas dibahas lebih lanjut pada Bab IV dan V Permendikbud PPKS. Aturan di ITB dan upaya PPKS kini - Pencegahan Edukasi: Pihak kampus telah melakukan bentuk Studium Generale tentang topik “Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Berbasis Gender”. Sedangkan, mahasiswa telah mengadakan edukasi berupa publikasi di media sosial, survei, dan diskusi publik. Tata kelola: Berdasarkan bentuk-bentuk tata kelola dalam Permendikbud PPKS, berikut adalah uraian mengenai kondisi eksisting di ITB. No

Bentuk tata kelola berdasarkan Permendikbud PPKS

Dilakukan pihak kampus

Dilakukan mahasiswa

1

Merumuskan kebijakan yang Belum dilakukan mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Belum dilakukan

2

Membentuk Satuan Tugas

Tidak perlu

3

Menyusun pedoman Belum dilakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Belum dilakukan

Belum dilakukan


` 4

Membatasi pertemuan antara Belum dilakukan Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus

Tidak perlu

5

Menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual

Belum dilakukan

Sudah dilakukan HopeHelps ITB

6

Melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;

Sudah diadakan Studium Generale seperti yang disebutkan pada sub bab sebelumnya, namun belum dilakukan secara formal dan menyeluruh

Sudah dilakukan oleh HopeHelps ITB namun terbatas pada anggota HopeHelps ITB

7

Melakukan sosialisasi secara Belum dilakukan berkala terkait pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus;

Tidak perlu

oleh


` 8

Memasang tanda informasi Belum dilakukan yang berisi: 1. pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual; dan 2. peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak menoleransi Kekerasan Seksual.

Poin 1: ada beberapa lembaga yang sudah mencantumkan layanan aduan kekerasan seksual dalam beberapa publikasi di sosial media

9

Menyediakan akomodasi yang Belum dilakukan layak bagi penyandang disabilitas untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Disediakan HopeHelps

10

Melakukan kerja sama dengan Belum dilakukan instansi terkait untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

HopeHelps bekerjasama dengan lembaga psikologi dan hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Poin 2: tidak perlu

oleh

Tabel I.1 Kondisi aktual penerapan bentuk pencegahan berupa tata kelola di ITB (Sumber: Dokumen Lengkap Kajian) Budaya Komunitas: Berdasarkan Permendikbud PPKS, pencegahan melalui budaya komunitas dilakukan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling sedikit pada kegiatan a. Pengenalan kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan; b. Organisasi kemahasiswaan; dan/atau c. Jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Belum ada hal yang dilakukan baik oleh rektorat berkaitan dengan ketiga poin tersebut. Dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, organisasi yang memberikan edukasi mengenai


` Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual diantaranya adalah lembaga-lembaga yang disebutkan dalam poin sebelumnya. Di sisi lain, berdasarkan observasi yang dilakukan dan berdasarkan survei mengenai persepsi mahasiswa terhadap kekerasan seksual yang diadakan oleh Kabinet KM ITB, didapatkan masih ada budaya-budaya kekerasan seksual yang dilakukan oleh massa kampus, misalnya membagikan foto-foto bernuansa seksual tanpa consent, karya-karya bernuansa seksual yang menyinggung/menyakiti sebagian orang, candaan perkosaan (rape jokes) atau candaan tak senonoh lainnya, pandangan-pandangan dan suara-suara bernuansa seksual, dan lain-lain. - Penanganan Saat ini, ITB belum memiliki pelayanan khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswanya, baik dari segi advokasi maupun penanganan psikis korban. Satu-satunya lembaga mahasiswa yang menyediakan layanan hotline aduan kekerasan seksual dan akses bantuan untuk korban adalah HopeHelps ITB. Pelayanan yang diberikan oleh ITB saat ini masih sebatas menyediakan layanan Bimbingan Konseling (BK) ITB yang dapat diakses di laman kemahasiswaan.itb.ac.id. Dari segi peraturan, kondisi Kampus ITB sama seperti kampus lain yang masih belum memiliki Peraturan Rektor dan/atau SOP PPKS. Aturan terkait kekerasan seksual masih sangat umum–diatur pada Peraturan Akademik dan Kemahasiswaan atau Kode Etik Mahasiswa. - Tindak Lanjut PPKS di ITB Kampus ITB membentuk “Satgas Transisi” yang bertugas untuk menyiapkan Satgas dan membantu menyelenggarakan (serta mengikuti) Pelatihan PPKS yang diadakan ITB bekerja sama dengan Samahita Bandung. Nantinya, anggota Satgas Transisi diproyeksikan untuk menjadi Panitia Seleksi, yang bertugas untuk menyeleksi Satuan Tugas resmi, sebagaimana diamanahkan oleh Permendikbud PPKS. Namun, hingga tulisan ini dibuat, belum keluar dari surat keputusan (SK) dari rektorat untuk mengesahkan satgas transisi. Satgas (resmi) akan membuat peraturan dan/atau mekanisme mengenai PPKS.


`

BAB III: Peran Lembaga dalam KS Kabinet KM ITB 1. Memberikan wadah saran dan diskusi bagi lembaga yang ingin membuat mekanisme PPKS internal lembaga. 2. Memuat aturan mengenai kekerasan seksual dalam Rancangan Umum Kaderisasi (dilakukan untuk menanggapi amanah Permendikbud PPKS yang menyatakan bahwa salah satu bentuk pencegahan yang dapat dilakukan adalah melalui pengenalan kehidupan kampus). 3. Kementerian Kesejahteraan Mahasiswa dapat menjadi koordinator bagi departemen-departemen Kesejahteraan Mahasiswa (atau yang sejenis) dalam lembaga-lembaga yang ada di ITB dalam menangani kasus kekerasan seksual. Peran HMJ dan UKM Pembuatan Peraturan PPKS 1. Lembaga dapat memperbarui AD-ART lembaga dan mencantumkan peraturan mengenai PPKS. Peraturan ini memuat mekanisme penanganan berdasarkan prinsip-prinsip penanganan kekerasan seksual yang ada di Permendikbud PPKS (lihat Bab II), hukuman bagi pelaku, dan bantuan pemulihan bagi korban. a. Mengacu pada buku panduan penerapan Permendikbud PPKS, mekanisme umum yang dapat digunakan adalah:

Setiap tahapan dalam mekanisme harus dijelaskan secara jelas pihak-pihak yang terlibat serta peran setiap pihak; hal-hal yang dilakukan; mekanisme pendampingan; hak dan kewajiban korban/pelapor, saksi, dan terlapor. b. Acuan yang dapat digunakan adalah Permendikbud PPKS, buku panduan penerapan Permendikbud PPKS, dan hasil kajian PPKS KM ITB. c. Pemulihan terhadap korban sebaiknya tidak dilakukan oleh lembaga dan dilakukan oleh pihak profesional. Jika sudah dibentuk Satgas, lembaga dapat menyerahkan mekanisme pemulihan kepada Satgas. Jika belum ada Satgas, dapat diserahkan kepada HopeHelps ITB. d. Setelah Satgas resmi dibentuk, proses penanganan ditangani oleh Satgas, sehingga peran besar lembaga adalah mewadahi laporan yang masuk (kemudian dapat langsung disalurkan kepada Satgas, atau lembaga dapat mendampingi korban/saksi melapor, baik secara langsung maupun via form/surat elektronik/telepon pelaporan);


`

2.

3.

4.

5.

6.

7.

keanggotaan pelaku; dan pemberian edukasi pada anggota lembaga untuk menciptakan lingkungan yang bebas KS. e. Diatur mengenai pendampingan untuk setiap tahapan. Jika lembaga tidak memiliki AD ART atau ada mekanisme perubahan AD ART yang terlalu sulit ditempuh (misal: membutuhkan persyaratan yang dirasa memberatkan dalam pembuatan peraturan PPKS), maka lembaga dapat membuat peraturan khusus terkait PPKS. Lembaga dapat berkonsultasi dengan lembaga-lembaga intrakampus maupun ekstrakampus yang dirasa dapat memberikan saran yang konstruktif terkait pembuatan peraturan PPKS dan paradigma dasar kekerasan seksual, misalnya Kabinet KM ITB, HopeHelps ITB, Samahita Bandung, dan lain-lain. Pembuat peraturan PPKS diserahkan kepada mekanisme yang dipilih oleh lembaga. Contohnya, apabila dilakukan perubahan AD-ART, maka pembuat adalah badan perwakilan anggota (BPA) atau sejenis. Dapat juga dibuat tim khusus tersendiri untuk mengaji dan merumuskan peraturan PPKS. Komposisi gender anggota tim dapat mengacu pada Permendikbud PPKS (2/3 anggota Satgas harus perempuan). Pembuat peraturan PPKS harus memiliki pengetahuan dasar mengenai kekerasan seksual dan pola pikir keberpihakan pada korban, serta memahami prinsip-prinsip PPKS yang disebutkan dalam Permendikbud PPKS. Pembuat peraturan PPKS harus bebas kekerasan seksual – tidak pernah terlibat dan/atau menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal ini dapat dipastikan dengan menelusuri track record pihak yang bersangkutan. Tim pembuat peraturan PPKS dapat membuat surat pernyataan yang bermeterei yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah terlibat dan/atau menjadi pelaku kekerasan seksual (contoh format surat pernyataan dapat dilihat di tautan ini). Ketika sudah ada Satgas dan dilakukan penyelidikan oleh Satgas, lembaga wajib untuk memberikan keterangan jika diperlukan, namun kuasa dan kewajiban penyelidikan ada di tangan Satgas (lembaga tidak perlu melakukan penyelidikan, apalagi jika menghambat penyelidikan Satgas). Mekanisme pemberian hukuman pada pelaku dapat diberikan berdasarkan keputusan yang ditetapkan Satgas. Apabila korban adalah bagian dari lembaga, lembaga harus berupaya menciptakan lingkungan yang aman dan bebas stigma negatif bagi korban.

Instrumen Lembaga 1. Badan perwakilan anggota dapat mengoordinir dan bertanggungjawab terhadap pengubahan AD ART. 2. Departemen Kesejahteraan Mahasiswa dapat menyediakan kanal pelaporan. Penerima laporan haruslah orang yang tidak terlibat dan/atau pelaku kekerasan seksual, dan memiliki pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip pelaporan seperti perlindungan korban dan lain-lain.


` Edukasi dan lainnya 1. Lembaga dapat memberikan edukasi terkait KS secara sinkron ketika dilakukan proses penerimaan anggota baru dan/atau di tengah-tengah kepengurusan. Edukasi KS juga dapat dilakukan melalui kanal-kanal media lembaga. 2. Lembaga mensosialiasikan peraturan dan mekanisme PPKS yang berlaku di lembaga tersebut dan di ITB, serta menyediakan kanal untuk bertanya. 3. Selain pengetahuan dasar mengenai KS, perlu ditekankan mengenai kultur pemerkosaan (rape culture) yang bukan merupakan kekerasan seksual secara eksplisit, namun merupakan budaya-budaya yang melanggengkan kekerasan seksual. 4. Untuk mengetahui kondisi kekerasan seksual di lembaga (yang dapat digunakan sebagai inputan bagi pembuatan peraturan KS), dapat dilakukan survei, wawancara, dan observasi langsung. Namun, pelaksanaan survei dan wawancara harus memerhatikan prinsip perlindungan korban dan prinsip-prinsip penanganan kekerasan seksual lainnya. Sebaiknya, lembaga melakukan dilakukan diskusi dan meminta advokasi kepada lembaga lain yang memiliki pengetahuan mengenai hal ini. Peran HopeHelps 1. Menyediakan hotline pelaporan kekerasan seksual melalui sms, wa, email, dan line 2. Melakukan mekanisme jemput bola dalam layanan pendampingan kekerasan seksual 3. Melakukan pendampingan bagi korban/saksi kekerasan seksual dalam bentuk peer counseling, mediasi, konsultasi, penjemputan, pendampingan administrasi kampus, dan lainnya. Juga melalui mekanisme referal terhadap kasus yang membutuhkan penanganan medis, psikis, dan hukum. 4. Menjalin hubungan dengan lembaga strategis dalam maupun luar kampus yang dapat membantu proses pendampingan maupun concern terhadap isu kekerasan seksual 5. Melakukan kajian terkait isu kekerasan seksual 6. Membuka kerjasama langsung dengan lembaga dalam KM ITB seperti HMJ untuk pendampingan maupun edukasi 7. Memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual kepada masyarakat kampus maupun masyarakat 8. Melakukan fungsi advokasi untuk memastikan adanya aturan dalam kampus yang menjamin terwujudnya kampus aman 9. Di masa depan, HopeHelps bersama Kementerian Kesma Kabinet KM ITB dapat menjadi koordinator pusat Kesma yang memberikan pelatihan bagi departemen kesma/sejenis lembaga-lembaga dalam menangani kasus kekerasan seksual. 10. HopeHelps dapat menjadi tempat berdiskusi dan meminta saran dalam pembuatan peraturan PPKS di lembaga dan/atau eksekusi penanganan kasus KS di lembaga, karena anggota


` HopeHelps telah mengikuti pelatihan kekerasan seksual sehingga memiliki pengetahuan dasar mengenai kekerasan seksual.


` Peran Satgas 1. Membantu Pemimpin Perguruan Tinggi menyusun pedoman PPKS di Perguruan Tinggi 2. Melakukan survei Kekerasan Seksual paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan di Perguruan Tinggi dan menyampaikan hasilnya di awal bulan ketujuh setelah Satgas terbentuk (misalnya Satgas terbentuk pada bulan Maret, waktu untuk mengadakan survei adalah sampai bulan Agustus, dan waktu penyampaiannya pada bulan September)

3. Menyosialisasikan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual bagi Warga Kampus

4. Menindaklanjuti Kekerasan Seksual berdasarkan laporan 5. Melakukan koordinasi dengan unit yang menangani layanan disabilitas, apabila laporan menyangkut Korban, saksi, pelapor, dan/atau Terlapor dengan disabilitas

6. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam pemberian perlindungan kepada Korban dan saksi

7. Memantau pelaksanaan rekomendasi dari Satuan Tugas oleh Pemimpin Perguruan Tinggi 8. Menyampaikan laporan kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Pemimpin Perguruan Tinggi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Penjabaran Gameplay Peran Lembaga dan Satgas Untuk lebih jelasnya, hubungan dari kelima lembaga yang telah dijelaskan pada Bab ini dapat dilihat dalam gameplay di bawah ini:


` Mekanisme dari tiap elemen yang ada di gameplay di atas telah dijelaskan pada pembahasan peran tiap lembaga sebelumnya. Penjabaran alur gameplay adalah sebagai berikut: 1. Garis putus-putus yang menghubungkan kabinet dengan HMJ, Hope Helps, dan Unit menggambarkan koordinasi pelaporan kekerasan seksual, yang kemudian akan dikoordinasikan dengan satuan tugas (satgas). 2. Garis putus-putus satgas dengan mahasiswa berguna untuk menggambarkan jalur sosialisasi satgas dengan mahasiswa akan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual bagi Warga Kampus. 3. Walaupun tidak tertera dalam gambar gameplay di atas, Kongres KM ITB bertugas sebagai pengawas dari keberlangsungan gameplay untuk setiap elemen yang masuk di dalam KM ITB. SUMBER - Buku Pedoman Pelaksanaan Permendikbud PPKS. - Kajian PPKS “Angan Kampus Aman…”


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.