PEKA XVI

Page 22

Pena Kampus

L

a p o r a n

K

h u s u s

Format KBK Ideal Belum Jelas Reporter: Sri Haryati dan M. Ulin Nuha

E

ra globalisasi seperti sekarang ini, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) semakin pesat. Mahasiswa sebagai lulusan perguruan tinggi (PT) dituntut tidak hanya menguasai materi, tetapi praktek dilapangan. Mereka harus dapat mengembangkan materi yang diperoleh dari PT ke dalam penerapan Iptek bahkan menciptakan sesuatu yang baru. Melalui Menteri Pendidikan Nasional, Pemerintah mengharuskan Pendidikan Tinggi melakukan proses penjaminan mutu secara konsisten agar dapat menghasilkan lulusan yang baik. Lulusan baik tidak hanya dilihat dari nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), lama studi dan predikat kelulusan yang nantinya akan disandang. Namun, perlu adanya jaminan agar lulusan dapat diserap oleh pasar kerja. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Budaya (SK Mendikbud) No. 56/U/1994, yang isinya tujuan pembelajaran adalah untuk menguasai isi ilmu pengetahuan dan penerapannya (content based). Alhasil lulusan sulit beradaptasi terhadap perubahan dalam masyarakat global. Banyak lulusan tidak terserap oleh perusahaan karena lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan pasar. Sehingga muncul SK Mendiknas No. 232/U/2000 dan 045/U/2002 yang berupaya untuk mengubah tujuan pembelajaran ke dalam kompetensi. Berdasarkan hal tersebut, menurut Endang Dewi Murrinie, Kepala Lembaga Pendidikan (Ka. Lemdik) Universitas Muria Kudus (UMK), UMK telah mengubah kurikulum lama (Kurikulum Nasional 1994) dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mulai tahun 2006. Terdapat perbedaan antara Kurikulum lama dengan KBK. Lanjutnya, KBK yang ideal mahasiswa diposisikan sebagai pusat pembelajaran. “Mahasiswa dituntut untuk dapat mencari, menyusun, membuat dan mengembangkan IPTEK baru. Dosen hanya sebagai fasilitator dengan menggunakan potensi yang ada dan memotivasi mahasiswa untuk mencapai kompetensinya sendiri,” ungkapnya. Dia menambahkan, KBK menggunakan sistem belajar tuntas satu semester. Misalnya Program Studi (Progdi) Bahasa Inggris, lulusannya diharapkan paling tidak memiliki satu dari beberapa kompetensi, antara lain kompetensi menjadi guru, peneliti, atau penerjemah. “Mata kuliah penunjang untuk jadi seorang peneliti hanya ditempuh dalam satu semester, begitu juga dengan kompetensi lain,” tuturnya.

22

[ Edisi XVI Maret 2011 ]

Selain itu, Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS) bukan lagi menjadi faktor dominant dalam evaluasi belajar, sehingga prosentasi dalam penilaian menjadi lebih rendah. Hal ini, mengingat KBK lebih memprioritaskan proses dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga diharapkan dihasilkan lulusan yang berkompeten. “Namun, terkadang bagi beberapa dosen masih mendapatkan prosentase yang tinggi,” ungkapnya. Dia menambahkan, perubahan kurikulum membutuhkan proses panjang. Masih banyak kendala yang harus dihadapi seperti kesiapan sumber daya manusia (SDM) dosen, kesiapan mahasiswa, dan fasilitas. “Sampai sekarang (Desember 2010), progdi yang telah menerapkan KBK adalah Agroteknologi, Tehnik, Psikologi, Hukum dan Bahasa Inggris,” imbuhnya. Sedangkan menurut Masluri, Pembantu Rektor I (bidang kurikulum) mengatakan, semua progdi sudah melakukan KBK. Namun, porsi antar progdi berbeda, tergantung kesiapannya. Disinggung mengenai target pelaksanakan KBK secara penuh, pria yang juga dosen di Progdi Manajemen Fakultas Ekonomi ini menerangkan, belum berani menargetkan kapan karena KBK mengikuti perubahan lingkungan sekitar yang terjadi terus-menerus. Namun, minimal tahun ini telah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai faktor pendukung terciptanya KBK. SNP memiliki 8 standar meliputi isi, proses, kompetensi lulusan dan evaluasi pendidik dan tenaga pendidik, saranaprasarana (sarpras), serta pembiayaan dan pengelolaan. Menurutnya, proses menuju KBK tidak mudah. “Penyesuaian dosen terhadap metode pembelajaran baru, masih menjadi kendala,” tegasnya. Untuk itu, keterlibatkan semua civitas akademika mutlak dibutuhkan, Lemdik misalnya, mempersiapkan dosen dalam menghadapi perubahan kurikulum. Selain itu, mahasiswa yang masih terbawa dalam suasana belajar mengajar di SLTA menjadi kendala tersendiri. “Kami terus melakukan perbaikan, baik dari susunan kurikulum, pemahaman dosen dan perangkat yang mendukung proses menuju KBK,” ungkapnya. Rencananya, suasana kelas agar lebih hidup kursi ukuran besar akan diganti yang mudah untuk digeser ke segala arah. Hal ini untuk memungkinkan apabila dibuat kelompok diskusi. Selain itu, guna mempermudah akses referensi setiap kelas diberikan fasilitas internet disamping itu, fasiltas LCD dan


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.