18 minute read

Menulis Dapat Mengurangi

Kecemasan?

Dewasa ini seringkali kita menjumpai anak muda yang mengalami kecemasan sosial selama studi mereka. Efek kecemasan berdampak besar pada kehidupan siswa.

Advertisement

Kesehatan mental adalah keadaan di mana seseorang terlihat nyaman, mampu memenuhi potensinya sendiri, menahan tekanan hidup normal dalam situasi kehidupan yang berbeda, mampu bekerja dan menghasilkan secara produktif, dan mengetahui cara berpartisipasi kepada komunitas mereka.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek kecemasan pada siswa termasuk gangguan dalam ingatan, penyesuaian belajar yang buruk, prestasi akademik yang buruk, dan bahkan putus sekolah. Selain itu, juga mempengaruhi hubungan sosial, keberhasilan dalam pekerjaan, pendidikan dan aktivitas lainnya.

Kami menyadari bahwa saat ini, ketika semua anak muda menderita hal-hal seperti perubahan iklim dan kekacauan sosial, mereka menderita. Realita ini merupakan pembalikan dari pendapat lama yang ketinggalan zaman bahwa anak-anak dan remaja pada umumnya acuh tak acuh atau cuek terhadap realitas politik.

Ekspektasi keberhasilan akademik dan tuntutan lulus tes kecakapan dapat menimbulkan stres, kecemasan, dan depresi pada siswa. Metode expressive writing dapat menurunkan tingkat depresi, kecemasan dan stress pada mahasiswa sehingga pembelajaran selama kuliah menjadi efektif dan menyenangkan.

Pada dasarnya semua gangguan kesehatan mental diawali oleh perasaan cemas (anxiety). Pada tingkat tertentu, rasa kecemasan dapat membuat seseorang lebih waspada terhadap ancaman tersebut karena jika ancaman tersebut dianggap tidak berbahaya, maka orang tersebut tidak akan melawan. Media sosial, yang bisa menjadi sumber dukungan yang besar, tetapi terkadang juga memengaruhi harga diri dan kesejahteraan mental anak perempuan. Reaksi kecemasan berbeda untuk setiap orang. Pada beberapa orang, respon rasa takut tidak selalu ada disertai dengan reaksi fisiologis. Namun pada manusia terutama kompleksitas respons rasa takut termasuk respon fisiologis sesaat. Kecemasan biasanya berasal dari persepsi terhadap peristiwa yang tidak terkendali (uncontroled) sehingga individu akan berfokus pada tindakan yang terkendali.

Rasa cemas adalah pengalaman alami bagi setiap orang. Kecemasan dipandang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari seseorang. Tidak selalu ada alasan khusus untuk ketakutan, karena ketakutan muncul atau diperburuk oleh faktor lingkungan dan situasional tertentu. Seiring bertambahnya usia, kita menghadapi tantangan dan tekanan yang belum pernah kita hadapi sebelumnya, yang memicu kecemasan. Kondisi fisik dan fungsi tubuh lansia semakin memburuk. Berbagai perubahan struktural dan fungsional terjadi pada sistem kardiovaskular. Pembuluh darah kehilangan elastisitasnya, yang menyebabkan pengapuran dan penyempitan pembuluh darah. Namun berkurangnya kapasitas aorta dan arteri, aliran darah ke seluruh tubuh menjadi terbatas. Akibatnya, jantung memompa darah lebih keras dan tekanan resistensi perifer meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat, yang disebut hipertensi.

Skala kecemasan menilai efek dari gairah otonom, otot rangka, kecemasan situasional dan pengalaman subyektifnya ketakutan yang dirasakan. Skala stres menilai kesulitan merelaksasi, kegugupan, dan lekas marah atau lekas cemas, mudah tersinggung atau terlalu aktif.

Hubungan emosional yang baik dapat mengurangi kemungkinan remaja mengalami masalah kesehatan mental, beberapa cara untuk mengurangi rasa cemas dan kekhawatiran yaitu dengan mendorong untuk berbicara tentang perasaannya, pentingnya yaitu merasa bahwa mereka tidak harus melalui segala sesuatunya sendiri dan bahwa kita dapat bekerja sama untuk menemukan solusi untuk masalah, dan mengajari mereka untuk mengenali perasaan mereka.

Bagi banyak orang, belajar mengenali dan melabeli emosi bukanlah tugas yang mendesak. Kabar baiknya adalah anak-anak dapat belajar menolong diri mereka sendiri ketika mereka menderita kecemasan atau depresi. Anak-anak dapat belajar menghargai bagaimana menghina anjing, bermain permainan papan, atau berbicara dengan orang tua mereka dapat membantu mengurangi kecemasan ketika mereka memahami perasaan mereka.

Menulis ekspresif dapat menjadi kegiatan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi yang efektif. Tulisan ekspresif juga bisa menjadi pilihan penyembuhan untuk menyelesaikan pengalaman psikologis lainnya. Menulis ekspresif melepaskan ekspresi emosional. Menulis dapat sarana katarsis atau pelepasan emosional, tapi untuk menggunakan teknik perawatan komplementer

Ghiovita Fatika Putri.

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas A Angkatan 2022.

Semburat rona jingga mulai menampakkan cahaya kemerahannya, tepat di pesisir pulau kecil sana, rona senja nampak cantik terlihat dari pantulan air laut, menandakan matahari akan berganti dengan bulan, dan siang akan berubah menjadi malam. Di balik indahnya ciptaan Tuhan itu, terdapat beberapa orang merasa lega karena berhasil melewati maut. Tuhan, seakan-akan memberi mereka kesempatan kedua untuk melanjutkan kehidupan di dunia yang fana ini. Pulau kecil itu, menjadi saksi bagaimana pertarungan alot para tentara dalam melumpuhkan para teroris.

“Misi telah selesai, para sandera telah aman diselamatkan!” Seorang lelaki berbaju loreng yang melekat di tubuh tegap dan bahu lebarnya, rahang kokoh, serta kulit sawo matang menatap garang orang-orang di hadapannya.

“Siap, Komandan!”

Beberapa orang dengan baju loreng berwarna hijau yang sama secara serentak memanggilnya komandan, penanda bahwa lelaki yang nampak berdiri gagah itu adalah seorang pemimpin dalam tugas penyelamatan ini. Lelaki itu adalah Sigit Sagam Hartono atau kerap biasa disapa Kapten Sagam. Waktu menegangkan telah berhasil mereka lewati, sekelompok kawanan teroris telah berhasil mereka lumpuhkan. Kapten Sagam sebagai komandan dari ketujuh anak buahnya merasa bangga, mereka kembali berhasil menyelamatkan nyawa banyak orang. Para sandera berjumlah 9 orang yang terdiri dari 5 perempuan dan sisanya adalah anak kecil serta lelaki paruh baya. Para sandera tak henti-hentinya mengucap syukur dan banyak berterima kasih.

“Apel sore ini dibubarkan, untuk selanjutnya adalah perjalanan pulang menuju ke kota. Tim Alpha akan dibagi menjadi dua tim, secara bergantian mengawasi para pelaku dan sisanya menjaga para korban.” Kapten Sagam mulai menjelaskan pembagian tim sebelum melanjutkan kepulangan mereka ke kota malam ini.

“Apa kalian mengerti?”

“Siap, mengerti Komandan!”

Beberapa anak buahnya mulai mengarahkan para korban sandera menuju ke kapal, sebagian lagi, bertugas mengikat para pelaku teroris di bagian tangan dan kaki menggunakan tali tambang sebelum dimasukkan ke dalam kapal, mengantisipasi mereka berbuat ulah saat di perjalanan nanti.

“Lapor, Kapten!” ujar anak buahnya sembari memberi hormat kepada Kapten Sagam.

“Ada Apa Letda Komang?”

“Ada pesan dari atasan melalui VHF radio Kapten.”

“Berikan kepadaku,” ujar Kapten Sagam sembari menerima sebuah Handheld VHF Radio, memutar antena radio ke angka 13 untuk menghubungkan.

Srek…srek….

“Halo.”

“Bagaimana dengan keadaan putriku?”

“Lapor, para sandera telah aman diselamatkan.”

“Aku tidak peduli dengan mereka semua yang terpenting kamu harus membawa putriku malam ini dengan selamat!”

Sagam menghembuskan nafasnya, mengembalikan handheld VHF radio itu kepada Letda Komang setelah atasannya memutuskan sambungannya. Pikirannya kembali penuh mencoba mengatur strategi dan ancaman yang mungkin saja akan terjadi saat di perjalanan nanti.

“Berapa lama perjalanan dari sini menuju ke kota Kapten?” tanya anak buahnya Letda Komang.

“Jika tidak ada kendala, kemungkinan kita akan sampai ke Kota besok pagi,” jawab Kapten Sagam sembari melirik arloji yang berada di pergelangan tangannya. Jarak pulau tak penghuni ini sangat jauh dari pemukiman warga, akses transportasi satu-satunya hanyalah kapal dan membutuhkan waktu perjalanan 16 jam untuk sampai ke kota.

“Apakah perjalanan ini tidak bisa ditunda sampai besok pagi? Saya rasa malam ini akan turun hujan.”

“Perintah langsung dari atasan!”

Letda Komang membulatkan mulutnya mendengar jawaban dari Kapten Sagam, “Jadi benar rumor tentang putri Kolonel diculik kawanan teroris itu?”

Kapten Sagam hanya mengangkat kedua bahunya sembari berjalan ke arah Kapal.

“Yang mana Kapten?” Letda Komang membuntuti Kapten Sagam dari belakang, dirinya dibuat penasaran dengan sosok putri atasnya.

“Perempuan yang memakai tudung putih itu.”

“Oh, jadi itu mantan pacar Kapten dulu,” seru Letda Komang dengan keras sembari menatap perempuan cantik bertudung putih itu.

“Shut, diamlah Komang!” Kapten Sagam mendelik tajam kearah Letda Komang, para perempuan yang tak sengaja mendengar hanya tersenyum dan sesekali menggoda perempuan yang tengah dibicarakan itu.

“Sedikit komedi setelah bencana itu harus ada kapten, untuk mencairkan ketegangan!” gurau Letda Komang mencoba berbaur dengan para korban sandera sembari mencairkan suasana.

“Hallo, Dokter Gimna. Perkenalkan nama awak, Komang. Dokter pasti tidak asing bukan dengan Kapten saya yang berbakat ini?” Letda Komang menyapa sosok perempuan cantik yang memakai tudung putih sembari menampilkan gaya sok kerennya.

“Saya tidak mungkin melupakan Kapten Sagam.” Perempuan itu menatap Kapten Sagam dengan penuh kerinduan. Tutur katanya yang lembut, caranya memandangan membuat siapa pun langsung jatuh hati.

“Terima kasih sudah menolong kami.”

“Ucapan terima kasih ini lebih pantas kamu berikan kepada anak buah saya.”

Selembut apapun tutur kata atau secantik apapun perempuan itu, Kapten Sagam tak akan pernah kembali kepada Dokter Gimna, sebab dunianya saat ini hanya terisi oleh satu nama, Annalise. ***

Dalam kegelapan malam ini, tak ada cahaya dari bulan dan bintang dilangit sana, seakan-akan mereka enggan untuk menampakkan keindahannya. Kapten Sagam yang tengah mengawasi keadaan luar menghela nafas, tebakan Letda Komang benar adanya malam ini akan segera turun hujan. Sore yang cerah tak ada jaminan bahwa malam tak akan turun hujan.

Kapten Sagam terus memandangi wajah cantik dalam foto yang berada di genggaman tanganyan Annalise tinggal sebentar lagi rindu ini akan terobati. Misi penyelamatan telah berhasil ia selesaikan.

“Cantik sekali.” Kapten Sagam hanya tersenyum melihat kedatangan Letda Komang, sembari memasukkan foto ke dalam saku celananya.

“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Sagam mengalihkan topik, sosok ‘mereka’ yang ditanyakan Kapten Sagam adalah para korban sandera yang telah aman diselamatkan.

“Mereka aman Kapten, beberapa dari mereka sudah tertidur.”

Lama keduanya terdiam, menikmati dinginnya malam yang semakin menusuk raga. Air laut yang asin itu kini secara perlahan menggoyangkan perahu yang mereka tumpangi, melaju secara normal ditemani gelapnya malam tanpa bulan dan bintang.

“Saya iri dengan Kapten, pangkat di militer cemerlang ditambah lagi setiap misi yang ditugaskan selalu berhasil. Hidup Kapten yang selalu berjalan mulus ya.” Letda Komang kembali memulai topik pembicaraan. Dirinya jelas menampakkan rasa iri di wajahnya. Siapa yang tidak iri dengan sosok yang berada di sampingnya itu yang selalu mendapat keberuntungan dalam hidup.

Sagam terkekeh mendengar ucapan Letda Komang, lucu baginya apabila ada seseorang yang iri dengan hidupnya. Apa yang begitu spesial dalam dirinya? Kisah cinta? Ia rasa tak begitu mulus dalam hal ini. Pangkat? Ayolah, semua orang bisa mencapai itu. Dari keluarga berada? Ia rasa semua itu hanyalah bagian kecil.

“Hidup saya tak semulus jalan tol, Komang. Orang lain mungkin hanya melihat sisi baiknya saja. Tapi saya, yang menjalani semua itu dan saya yang tahu betul apa yang saya rasakan. Ada kalanya saya terjatuh dan ada kalanya saya bangkit. Hidup itu bukan soal beruntung atau tidaknya, hidup itu bagaimana kita memperjuangkan sesuatu yang ingin kita capai.”

Letda Komang terpana mendengar kalimat itu dari Kaptennya, memberi tepuk tangan tanda kagum. “Bagian ini yang saya iri dari Kapten.”

“Setiap orang memiliki kisah yang berbeda, Komang. Aku yakin kisah hidupmu menarik.”

“Yah, sangat menarik, Kapten. Sampai-sampai hidupku digerakkan oleh orang lain,” keluh Letda Komang, membuat Kapten Sagam mengerutkan dahinya, mencoba mencerna setiap kata yang terlontar di mulut anak buahnya itu.

“Awak rindu dengan masakan amak,” ucap Letda Komang mengubah topik dengan aksen bahasa Minangnya yang khas. Aku rindu dengan masakan ibu.

Sagam ikut tersenyum melihat Komang yang berada di sampingnya itu menatap gelapnya malam dengan penuh harap, pikirannya menerawang mengingat masakan lezat yang dibuat oleh ibunya.

“Sebentar lagi rindumu akan terobati, tunggulah sebentar, kawan!”

“Saya takut menunggu ketidakpastian ini, Kapten.”

“Kenapa takut?” tanya Kapten Sagam sembari terkekeh tetapi penuh kebingungan, tatapan penuh rindu yang diperlihatkan Komang beberapa menit yang lalu ia tampakkan kini mulai meredup, raut wajahnya menampakkan kesedihan yang entah ditimbulkan oleh apa.

“Saya takut tidak bisa bertemu dengan amak, beberapa hari yang lalu saat berada di pulau saya mendapati sebuah mimpi yang mengerikan sepanjang hidup saya. Dalam mimpi itu saya melihat, amak menangis meraung-raung memeluk tubuh saya yang terbalut dengan kain putih. Walaupun begitu, saya ikhlas apabila mati dalam menjalankan tugas. Hanya saja, saya tidak tega melihat amak yang menanti kepulangan saya mendapati tubuh anaknya yang sudah tidak bernyawa. Sejak saat itu saya menjadi sangat takut menunggu ketidakpastian waktu, Kapten.”

Kapten Sagam terdiam beberapa saat, kembali mencerna perkataan Komang barusan. Dirinya seperti dihantam batu yang sangat besar sehingga membuat hatinya ikut merasakan sakit. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika lelaki yang berada di sampingnya memiliki ketakutan besar dihatinya. Senyum yang selalu ia tampilkan hanyalah kedok. Kini, dirinya dilanda ketakutan yang sama di tengah laut dan dinginnya malam tak memberikan kepastian bahwa mereka akan kembali dengan selamat.

“Percayalah padaku, kita akan selamat sampai tujuan.” Kapten Sagam mencoba menenangkan hatinya sendiri.

Letda Komang terkekeh ucapan Kapten Sagam mungkin sedikit menghiburnya. “Apa Kapten percaya kepada saya?”

“Saya selalu menaruh kepercayaan kepada anak buah saya, termasuk kepada kamu.”

“Bagaimana jika saya membuat sebuah kesalahan yang dapat mematahkan kepercayaan Kapten?”

“Lapor, Kapten. Beberapa dari anak-anak mengalami keracunan makanan!”

Percakapan mereka terhenti, salah satu anak buahnya yang lain menghampiri. Dengan sigap Kapten Sagam langsung berlari menuju ke dalam kapal. Suara tangis mulai menggema menyesakkan batin di ruangan itu. Langkahnya sempat terhenti karena batinnya ikut sakit melihat beberapa orang meraung seperti kehilangan sesuatu. Dalam benaknya mulai bertanya-tanya, kenapa hal ini bisa terjadi?

“Wa..waktu kematian pukul 01.40 waktu Indonesia bagian barat.” Dengan suara terbata-bata, Dokter Gimna menahan sesak di dadanya. Dengan tangan bergetar Dokter Gimna menutupkan mata pasiennya itu untuk beristirahat dengan tenang. Tatapan matanya kembali kosong melihat pasiennya tidak terselamatkan. Beberapa di antara anak-anak yang keracunan, salah satunya gadis perempuan itu tidak tertolong karena alat yang tidak memadai. Kapten Sagam dengan sigap menahan tubuh Dokter Gimna agar tidak ambruk, wanita itu tengah syok berat melihat beberapa orang tak bisa ia selamatkan.

“Sagam, aku gagal menjadi seorang Dokter.”

“Sadarlah Gimna, masih banyak orang yang membutuhkan pertolonganmu!” Kapten Sagam mencoba menenangkan Dokter Gimna, menyadarkan wanita tersebut bahwa perempuan itu masih bisa menolong orang lain dengan kedua tanganya.

Saat Kapten Sagam berada di dalam tak hanya anak-anak mengalami yang mengalami mual dan muntah, beberapa dari orang dewasa juga ikut merasakan gejalanya. Dirinya dengan sigap ikut membantu Dokter Gimna dan beberapa anak buahnya untuk mengecek kondisi tersebut

“Apa yang terjadi?” tanya Kapten Sagam yang juga ikut mengecek keadaan korban.

“Kami masih menyelidiki penyebab keracunan ini, Kapten. Namun ada kemungkinan penyebabnya adalah makanan atau minuman yang mereka konsumsi sudah terkontaminasi dengan zat yang berbahaya.”

“Latda Dirga, selidiki makanan atau minuman yang mungkin menjadi penyebab keracunan ini.”

“Siap, Kapten!” Letda Dirga yang terpanggil namanya pun langsung sigap menjalankan tugas yang diperintahkan.

“Apa kita akan mati disini?”

“Percayalah padaku, apapun yang terjadi hari ini. Kalian semua akan selamat!” ***

Malam bertambah malam. Hawa dingin di tengah lautan ini mulai menusuk tubuh Kapten Sagam yang hanya berbalut pakaian lorengnya. Rintik hujan mulai berjatuhan membasahi bumi di tengah laut yang gelap gulita. Kapten Sagam terus memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu, dirinya sedikit lengah sehingga membuat nyawa beberapa orang dalam bahaya. Setelah diselidiki penyebab keracunan itu berasal dari air yang tercampur dengan zat berbahaya.

“Sagam!”

Kapten Sagam langsung menoleh kebelakang begitu namanya dipanggil. Ternyata Dokter Gimna yang memanggil dari kejauhan berjalan menghampirinya. Wajah sembab nampak menghiasi wajah cantik perempuan itu.

“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Kapten Sagam tanpa peduli menyapa Dokter Gimna kembali.

“Ihh! Nggak disapa balik aku?” goda Dokter Gimna sambil terkekeh ikut duduk di samping Kapten Sagam. “Keadaan mereka sudah membaik. tinggal istirahat, besok pagi langsung sehat. Maaf, aku tidak bisa menyelamatkan gadis itu.”

Kapten Sagam tak menanggapi penjelasan dari Dokter Gimna, mendengarnya saja sudah membuatnya sedikit lega.

“Ihh! Dari dulu sikap kamu nggak berubah ya, masih kaku!” goda Dokter Gimna mencoba membangun topik pembicaraan.

“Harga dari sebuah rasa percaya itu mahal, Gimna.”

Dokter Gimna terdiam mendengar kalimat yang dikatakan Kapten Sagam barusan. Perempuan itu tersenyum getir menatap sendu ke arahnya. “Kamu masih belum melupakan kejadian tujuh tahun yang lalu? Ayolah Sagam, aku nggak sengaja selingkuh.”

“Saya nggak lagi membahas kejadian itu. Bagi saya masa lalu hanyalah kenangan, hari ini adalah kenyataan dan hari esok adalah harapan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa harga dari rasa percaya itu mahal”. ucap Kapten Sagam sebelum mengakhiri pembicaraan.

“Hujan semakin deras. Sebaiknya kamu masuk. Dokter Gimna.”

Tanpa menjawab Dokter Gimna langsung tahu bahwa itu jenis pengusiran halus dari Kapten Sagam yang tidak ingin didekati, beranjak dari duduk dan pergi menjauh sembari tersenyum ke arahnya. Kepergian Dokter Gimna bukan bermaksud untuk mengusir hanya saja memang benar hujan yang semula rintik-rintik bertambah menjadi semakin deras.

Kapten Sagam beranjak dari duduknya setelah kepergian Dokter Gimna, berjalan menuju ruang bawah tanah tempat para pelaku teroris diamankan.

“Cih, dunia ini hanya berisi orang-orang munafik!” ucap lelaki penuh tato di tangannya yang diyakini sebagai ketua kelompok itu sembari berdecih, menatap penuh benci Kapten Sagam yang berjalan ke arahnya.

“Siapa yang munafik, kau atau aku? Kamu hanya sedang mencari alasan untuk membenarkan perbuatanmu Marco!” kekeh Kapten Sagam berjalan santai menyeret kursi mendekat. Tubuh Marco memang terikat, akan tetapi tidak dengan mulutnya. Dalam keadaan seperti ini dirinya masih saja menunjukkan permusuhan yang sengit.

“Orang-orang seperti kamu dan mereka yang pantas untuk mati!”

Plakkk!

“Dirimu bukan Tuhan yang memutuskan hidup dan mati kami! Sekalipun aku harus mati hari ini aku tidak sudi mati ditangan orang sepertimu!” murka Kapten Sagam menatap tajam kearah Marco. Kapten Sagam bisa menjadi kejam bila berhubungan dengan nyawa seseorang.

“Sebegitu percaya diri sekali kamu, Sagam!”

Kapten Sagam terkekeh. “Tentu, menghadapi orang seperti dirimu harus memiliki kepercayaan yang penuh, ditambah lagi aku percaya kepada orang-orangku.”

“Jangan mudah percaya kepada orang lain, Sagam. Bisa jadi orang itu akan menusukmu dari belakang!” ejek Marco sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi yang terbebas dari jeratan tali, seakan-akan ingin memamerkan kepada Kapten Sagam.

“Contohnya seperti ini.” Kapten Sagam terkejut melihat tangan Marco dan beberapa kelompoknya terbebas dari jeratan tali.

Dor!

Belum sempat melangkah, terdengar bunyi desingan peluru dari atas yang membuat semua orang panik. Di tengah hujan deras dan sedikit angin membuat semua orang menjadi takut. Belum sempat Kapten Sagam mengatur keterkejutannya. Ia dibuat terkejut kembali dengan kehadiran Letda Komang yang berjalan ke arahnya sambil menodongkan pistol.

“Surprise!” tawa Marco pecah melihat ekspresi terkejut Kapten Sagam.

“Penghianat!´ batinya menjerit. Tetapi akalnya mencoba untuk tetap waras, tanda tanya besar berada di otaknya. Mencari alasan-alasan yang masuk di akal.

“Tidak mungkin, ku percaya kepada anak buahku. Komang tidak mungkin berkhianat!”

Dor!

Akh!

Kapten Sagam meringis menahan luka tembakan yang berada di area perut bagian kanan bawahnya, darah segar mulai mengucur. Dirinya mendesis menatap tajam kearah Letda Komang.

“Turunkan senjata kalian. Atau orang ini akan mati ditanganku!” teriak Letda Komang, menodongkan pistol ke arah kepala Kapten Sagam, saat beberapa anak buahnya mulai mengepung ruangan itu.

“Dasar Penghianat!” ujar Lettu Dirga menatap marah ke arahnya, dirinya tak menghiraukan gertakan untuk menurunkan senjata yang berada di tangannya. “Setega itukah kau dengan Kapten Sagam!”

“Satu langkah lagi kau mendekat akan kupastikan Sagam sudah tak bernyawa!”

Dor!

“Turunkan senjata kalian!” teriak Komang.

Tembakan itu berhasil membuat Lettu Dirga beserta 2 anak buah yang lain menurunkan senjata. Sagam meringis kesakitan, lagi-lagi peluru itu bersarang di tubuhnya tepat di area betis kanan yang seakan-akan melumpuhkan untuk menompang tubuhnya. Marco yang melihat wajah kesakitan Sagam terbahak-bahak, seakan dirinya menjadi orang paling bahagia melihat penderitaannya.

“Sagam oh Sagam, malang sekali nasibmu ini selalu dihianati oleh orang terdekatmu!” ledek Marco duduk di kursi yang dipakai Sagam tadi. “Kini posisi kita berbalik kau yang menjadi tawananku.”

“Kenapa kamu menghianati kepercayaanku?” tanya Kapten Sagam mencoba mencari akar dari masalah yang membuat Komang menghianati dirinya.

“Sudah aku bilang aku iri dengan hidupmu, Sagam. Setiap misi yang kau lakukan selalu mendapat pujian dari atasan, lalu diriku? Selalu dibandingkan dengan dirimu dianggap sebagai orang yang tak berguna dalam setiap misi!”

Sagam tertawa merasa jawaban dari Komang adalah sebuah lontaran yang sangat menggelitik, “karena kamu bodoh, Komang!” ***

Kapten Sagam mulai merasa kebas di area luka yang berada di perutnya. Sekujur tubuhnya kini mulai tak bisa digerakkan, tenggelam menuju dasarnya laut biru ini. Lama kelamaan pandangannya mulai memudar. Namun, sekuat tenaga dirinya berusaha menyadarkan diri.

“Aku ingin pulang!” Batinnya menjerit. Dalam benaknya, yang ia pikirkan kini hanya satu, sosok Analise yang menampilkan wajah cantik tersenyum manis ke arahnya. Pesan yang ingin ia tuliskan kini, tak akan pernah tersampaikan kepada penerimanya.

Annalise, tumbuhlah menjadi gadis cantik

Jangan menunggu diriku pulang

Berlayarlah mengelilingi lautan manusia

Dengan karakter yang berbeda-beda

Pesanku hanya satu, jangan pernah percaya pada siapapun

Percayalah pada dirimu sendiri

Kelak kau akan mengerti, aku pergi bukan meninggalkanmu

Aku pergi untuk menjalankan kewajiban tugasku

Dalam kenangan, laut 1987

Papa pergi

Birunya laut yang terbentang luas itu menyimpan berbagai perasaan di dalamnya. Tentang rindu yang tak tersampaikan, luka yang tak berkesudahan dan secercah harapan bagi mereka yang ingin pulang.

•Niken Yuni Astuti. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A angkatan 2022

Selepas butiran hujan turun, aku mulai menengadah dan kembali menatap lekat langit sore itu. Jejak langkahku terhanyut dalam gerimis yang menari dan bercampur dengan tetesan air di dedaunan. Kenangan yang sekejap hilang, tetapi terus menerus lekat memenuhi relung hati. Dari aku, sesosok jiwa yang setia terdampar dan bertahan pada cerita hidup 6 tahun lalu.

Suara langkah kakiku semakin lama semakin pelan. Seakan tubuhku ingin mundur, tetapi atas dasar apa aku harus patuh dan berjalan mundur?

Apa yang sebenarnya begitu indah dari kehidupan yang fana ini? Apa tentang matahari terbenam dan terbit, seperti senja? Yang hadirnya selalu diburu dan diabadikan. Apa seperti bintang-bintang yang berkilauan di langit malam? Sebagai jiwa yang telah tengah bersama-sama memantau orang terkasihnya dari atas sana. Apa seperti angin musim yang selalu mampir dengan membawa kesejukkan? Ataukah aroma petrikor yang menenangkan selepas hujan pertama?

Laki-laki dengan pahatan wajah yang sempurna, sebagai bukti keramahan Yang Maha Esa. Manusia unik dengan segala humor tidak berkelasnya, mencoba mencari perhatian dari target yang dipatenkan. Bukan tidak suka, tapi rasa-rasanya kelasmu terlalu tinggi untuk kugapai. Namun ia tenang, ada saja jalannya yang tanpa sengaja sanggup mencuri atensi perempuan biasa ini. Hanya dengan mendengar tutur katamu yang lembut pada seorang Ibu. Ya “HANYA”. Bahkan ledekan keras “Wong lanang kok ingah-ingih, koyo anak mami”, sekian kalipun tidak pernah membuatmu terusik. Karena katamu, surgamu ada di telapak kakinya, lalu untuk apa malu?

Kita pernah bersusah payah memperbaiki segala kesalahpahaman dan ego yang menyelimuti hubungan. Namun, takdir tetap terus memainkan perannya, menyapu bersih problematika dan mengeratkan jejak cinta seperti bayangan. Kini, di masa modern ini, aku sendiri malah terjebak dalam labirin aneh. Segala sesuatu terasa berjarak, yang tidak pasti dan tidak nyata menjadi bumbu pikiran. Seperti kamu yang bercengkrama dan tertawa dengan seorang gadis di serambi masjid, benar-benar membuatku emosi. Ya begitulah aku... nyatanya itu Si sulung di keluargamu yang nyarisnya sangat mirip denganmu. Apakah cinta masih memiliki makna sejati? Apakah ada yang namanya kepercayaan dalam persahabatan, cinta dalam keluarga, cinta anak kepada orang tuanya, atau cinta sepasang orang tua? Apakah itu nyata akan sampai akhir bahagia? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui dan mirisnya tingkah konyol yang negatif itu semakin bermunculan di publik ini. Hanya takut saja, tidak lebih.

Aku yang sedari tadi duduk sendiri di taman yang sunyi, membiarkan angin mengelus rambutku. Di hadapanku, sepasang kekasih muda sedang bermain-main. Tatapan mereka penuh kasih sayang dan kehangatan yang tak bisa kuungkapkan. Namun di dalam hati ini, ada keguncangan yang tak terdefinisikan. Apakah cinta mereka benar-benar setulus itu, atau hanya ilusi yang cepat terlupakan seperti mimpi buruk.

Malam semakin larut, aku berjalan pulang ditemani riuhnya suara motor di jalanan, dan dengan masih terhanyut dalam pertanyaan. Di sudut jalan itu, sebuah kalimat menghampiriku. “Jodoh dan Cinta sejati adalah cinta di usia 16 tahun,” bisik suara hati yang tak terduga. “Kamu percaya tidak, kalau sesekali hidup itu harus kamu tertawakan?” Kata-kata lain menyadarkanku,

Saat kembali ke rumah, aku melihat kedua orang tuaku saling berbagi senyuman dan mencintai satu sama lain dengan tulus. Mereka adalah contoh hidup yang seharusnya kuikuti kan? Di mana cinta tak mengenal batas dan Cinta sejati adalah cinta di usia 16 tahun” tak terlalu menjadi jawaban terang di hadapanku. Nyatanya, bukan usia yang membatasi, melainkan keikhlasan dan komitmen yang tak tergoyahkan.

Esok hari, aku menyadari bahwa cinta tak hanya hadir sekali dalam hidup kita. Seorang hanya akan cinta satu kali dalam hidup, dan sisanya hanya melanjutkan cerita yang lain. Maksudnya bukanlah bahwa kita harus melupakan cinta masa lalu, tetapi melanjutkan perjalanan cinta dengan hati yang terbuka dan siap menerima keajaiban yang baru. Aku telah menemukan jawaban dari diriku sendiri. Tak lagi khawatir. Hati yang semula telah dipadamkan oleh dengan semangat yang baru tanpa keraguan. yang tersirat terbentang di hadapanku, menunggu untuk memikirkan hari itu, seharusnya aku tidak perlu merasa menahanmu untuk tidak pulang dulu, dan ya hari itu yang selalu berkutat di dalam pikiran. Hanya menunggu waktunya tiba untuk berani mengambil risiko dan melepaskan diri dari setiap hubungan yang dibangun dengan ketulusan. Kini, dalam sinar senja ini, aku lepas dan menghela napas lega. Dua jiwa pernah bersatu dalam alunan asmara. Sekarang masih tetap sama, bersatu dan saling menggenggam. Tangan gagahnya di bawah sana dan kuulurkan tanganku di atasnya. Saling sapa dan berbagi cerita hari ini, meski harus terhalang gundukan tanah setinggi 10 cm pun nyatanya tidak menjadi masalah. Langkahku tak lagi terbelenggu. Bersama kebahagiaan dan kesedihan yang datang, tetaplah menjalani hidup dengan tulus dan sepenuh hati. Karena cerita lain yang tak terbatas masih menanti untuk terus ditulis.

Lathifa Alfannasheera. Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas C angkatan 2022.

Asalamualaikum wr.wb

Terima kasih kepada pengurus HIMA PBSI yang telah memberi ruang untuk menyapa mahasiswa baru 2023. Ungkapan yang tepat untuk mengespresikan kebahagian untuk Anda semua semua mahasiswa baru adalah Selamat Datang kepada mahasiswa baru PBSI tahun 2023 Selamat bergabung dalam program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI).

Anda sebagai mahasiswa baru tentunya sangat bahagia dapat meneruskan pendidikan di perguruan tinggi negeri, apalagi di UNY dengan program studi PBSI. Sebagai mahasiswa baru tentu Anda semua akan memasuki lingkungan baru budaya baru, yang sangat mungkin berbeda dengan keadaan saat Anda masik duduk di SLTA. Hari ini, Anda memiliki kebebasan dalam menentukan arah studi Anda, termasuk kecepatan dalam menyelesaikan studi. Dulu, Ketika di SMA, Anda bisa naik kelas dan lulus bersama, tetapi di perguruan tinggi belum tentu teman-teman yang satu kelas dapat lulus bersama.

Ketika Anda diterima di Prodi PBSI mungkin masih muncul pertanyaan apakah pilihan Anda sudah tepat di PBSI. Jawabannya jelas dan akurat, TIDAK SALAH PILIH. Anda tidak salah telah memilih PBSI karena PBSI merupakan program studi yang sangat tua tidak hanya di FBSB tetapi juga di UNY dengan akreditasi UNGGUL. Akreditasi Unggul merupakan tingkat tertinggi predikat akreditasi program studi. Oleh karena itu sangat wajar jika PBSI memiliki banyak prestasi, baik prestasi dosen maupun prestasi mahasiswa. Dari sisi dosen, Anda akan berkuliah dengan dosen yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam bidang ilmu, tidak hanya bergelar doktor, tetapi juga bergelar professor.

Kami yakin Anda sekalian merupakan mahasiswa pilihan karena Anda telah terpilih dalam seleksi yang sangat ketat. Hal itu tampak dari tingkat keketatan calon mahasiswa yang akan masuk ke PBSI. Satu kursi diperebutkan oleh 9 calon. Oleh karena itu, kami berharap Anda memilih Prodi PBSI tidak hanya sekadar memilih, tetapi telah didasari oleh niatan yang kuat untuk belajar di PBSI UNY. Banyak orang yang ada di luar sana yang ingin masuk ke PBSI, tetapi belum beruntung. Oleh karena itu, mulailah sekarang kuatkan niat untuk belajar dengan baik di Prodi kita. Anda akan dibimbing oleh para dosen yang tidak hanya sangat ahli, tetapi juga berpengalaman di bidangnya.

Sudah bayak alumni dari Prodi kita yang tersebar di penjuru negeri ini. Oleh karena itu, tidak mengerankan jika prodi kita selalu terdepan di bidangnya dan menjadi rujukan bagi prodi universitas lain yang sebidang. Banyak mahasiswa dan dosen yang melakukan studi banding ke prodi kita. Hal itu membuktikan bahwa keberadaan prodi kita diperhitungkan oleh berbagai universitas. Program studi PBSI juga tidak hanya menyelenggarakan Pendidikan jenjang S-1, tetapi juga S-2 dan S-3. Bagi Anda yang sudah lulus S-1 dapat melanjutkan ke jenjang S-2 di prodi kita.

Di kampus ini Anda juga akan mendapat pengalaman berorganisai dalam wadah HIMA sebagai jalur untuk mengasah kepemimpinan dan keorganisasian. Manfaatkan semua fasilitas dan kesempatan yang ada UNY, khususnya di PBSI untuk meraih asa. Akhir kata kami pengurus Departemen dan Program Studi mengucapkan SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERGABUNG DI PROGRAM STUDI PBSI.

This article is from: