Elegi Energi : Kedaulatan Harga Mati

Page 1



Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 2002 Tentang Hak Cipta

1.

Barang

siapa

dengan

sengaja

dan

tanpa

hak

melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan /atau denda paling banyak Rp5.000.000,00

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait yang dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Elegi Energi Kedaulatan Harga Mati! Copyleft Š Kementrian Koordinator Sosial Politik KM ITB 2016/ 2017

Desain Sampul

: Audhina Nur Afifah

Penyunting

: Ahmad Wali Radhi

Tata letak

: Ardhi Rasy Wardhana

Cetakan pertama, September 2016

Diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Sosial Politik KM ITB Jalan Ganesa No. 10, Kota Bandung, Jawa Barat 40132 Email : sospol@km.itb.ac.id


SAMBUTAN PRESIDEN KM ITB

Salam Ganesha! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! “Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang� amanat dari presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan pentingnya peran energi dalam memenangkan kedaulatan bangsa. Kita lihat bangsa kita pada hari ini belum bisa menegaskan semangatnya untuk mengoptimalkan pengelolaan sektor energi lewat hilirisasi pertambangan dan menjamin kehadiran negara dalam mengelola migas. Oleh karena itu, Mahasiswa sebagai penyambung lidah masyarakat dan kaum yang mempunyai

idealisme

perlu

andil

pendapat

dan

ikut

memperjuangkan agar negara kita dapat lebih serius dalam usaha menuju kedaulatan energi. Aliansi Energi BEM SI yang dikoordinatori oleh Kabinet KM ITB bergerak dengan semangat pemuda meraih kedaulatan energi

Indonesia.

Dengan

semangat

itu,

kami

akan

mengangkat permasalahan MIGAS dan MINERBA yang ada di Indonesia. Seorang bijak berkata bahwa perjuangan itu punya dua warna, merah dan hitam. Merah adalah warna perjuangan di dunia nyata, Keluarga Mahasiswa ITB bersama BEM Seluruh


Indonesia memperjuangkan cita-cita kemandirian bangsa di jalanan, ataupun di gedung-gedung pemerintahan. Hitam adalah warna perjuangan dengan tinta, dengannya kami berharap bisa membuat manifesto yang menjadi pemantik nyala dari masyarakat ataupun birokrat. Buku elegi energi ini adalah bentuk konkret dari perjuangan warna hitam kami yang tentunya selalu kami hiasi dengan merahnya perjuangan kami. Besar harapan kami, sumbangsih dari keluarga mahasiswa ITB untuk berkontribusi dalam melakukan pembenahan tata kelola di bidang migas ataupun

minerba

dapat

berguna

seluas-luasnya

bagi

kedaulatan energi ataupun diskursus dikalangan mahasiswa. Hidup Mahasiswa ! Hidup Rakyat Indonesia !

Selamat Hari Jadi Pertambangan dan Energi Nasional! Merdeka! Merdeka! Merdeka! 28 September 2016 Muhammad Mahardhika Zein Presiden KM ITB 2016 Koordinator Isu Energi BEM SI


KATA PENGANTAR

Salam Ganesha! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Sejak zaman dahulu kala ketika manusia mulai menjejakkan kejayaannya di bumi ada dua buah hal yang menopang peradabannya. Hal yang pertama adalah agrikultur karena sejarah mengenai manusia selalu saja dipenuhi dengan cerita zaman nomaden, berburu, dan meramu sampai zaman menetap, beternak, dan bertani. Muatan sejarah ini menandakan betapa agrikultur menjadi salah satu parameter majunya sebuah peradaban. Hal yang kedua adalah pertambangan karena dari sana lah bahkan suatu zaman dinamakan. Bermula dari zaman batu sampai zaman logam (dan nuklir) pun semua adalah barang tambang yang keberadaannya diambil dari dalam bumi dan digunakan sebagai tonggak peradaban. Perbedaan antara keduanya yang paling kentara adalah perihal barang yang terbarukan dan tidak. Hasil Agrikultur merupakan barang yang terbarukan sedangkan bahan galian tambang dan minyak-gas bumi (migas) adalah barang yang tidak terbarukan. Sehingga sumber daya alam terutama tambang sangat penting untuk dikelola secara bijak karena sifatnya yang tidak kembali lagi dan dari sana lah bermula penghidupan manusia. Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan sumber daya alam tambangnya. Migas pernah menjadi tulang punggung utama pemasukan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN). Bahan galian mineral dan batubara pun masih menjadi primadona hingga saat ini karena jumlahnya yang relatif berlimpah dan beragam. Atas karunia ini, pemerintah Indonesia sudah sewajarnya menjalankan amanat konstitusi yang terkandung dalam pasal 33 ayat 2 UUD ‘45 untuk menggunakan seluruh kekayaan bumi yang ada semata-mata demi kemakmuran rakyat. Untuk itu, segala usaha pemerintah dari mulai regulasi sampai tahapan eksekusi harus lah merujuk pada amanat ini. Apabila ia menyimpang dari jalan cita-cita bangsa, sudah


sewajarnya rakyat mengingatkan mengambil keputusan.

para

wakil-wakilnya

yang

Sebagai entitas yang bersatu dengan rakyat, mahasiswa harus lah peka terhadap isu yang ada agar mimpi luhur bangsa merdeka, berdaulat, adil, dan makmur tetap menjadi destinasi yang harus dituju. Buku Elegi Energi ini disusun semata-mata untuk tetap memperjuangkan hal-hal tersebut terutama dalam sektor migas dan minerba. Semoga buku ini tidak menjadi buku terakhir yang menyuarakan pemikiran, tetapi malah menjadi pemantik kajian yang lebih mendalam oleh mahasiswa seluruh Indonesia. Dalam proses penyusunannya, banyak yang terjadi dan dialami oleh massa Keluarga Mahasiswa ITB. Sehingga kami dedikasikan buku ini pertama-tama untuk Rumpun Energi dan Minerba KM ITB yang telah mencurahkan pemikiran demi kebaikan bangsa di masa depan. Selain itu, ucapan terima kasih diberikan kepada seluruh pihak yang ikut berkontribusi dalam proses tersusunnya buku kajian ini. Semoga pemikiran buku ini tidak pernah berhenti karena terpatri di dalam diri-diri kita.

Selamat Hari Jadi Pertambangan dan Energi Nasional!

28 September 2016 Luthfi Muhamad Iqbal Menteri Koordinator Sosial Politik KM ITB 2016


PRAKATA

Assalamualaykum Wr. Wb. Pertama-tama penyusun ucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya buku ini dapat terselesaikan demi menyambut Hari Jadi Pertambangan dan Energi. Hari ini dirayakan bukan tanpa maksud. Tanggal 28 September dieluelukan agar semangat pemuda di tahun 1945 yang berhasil merebut Chisitsu Chosasho milik Jepang secara paksa dan mengubahnya menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi dapat kembali bergelora. Salah satu tokoh yang memotori pergerakan ini dan menjadi kepala kantor tersebut , A.F. Lasut, pada 7 Mei 1949 diculik oleh pasukan kerajaan Belanda dan dibinasakan karena idealismenya yang menolak kooperasi terhadap kompeni. Sehingga pemerintah mendeklarasikan hari perjuangannya di Bulan September karena nilai sejarah yang mendalam. Sampai hari ini perjuangan masih berlangsung karena belum tercapainya cita-cita luhur pendiri bangsa. Mahasiswa yang merupakan perwujudan dari pemuda sudah sewajarnya ikut menyalakan kembali semangat kemandirian pengelolaan energi dan sumber daya mineral pada momen Hari Jadi Pertambangan dan Energi. Buku Elegi Energi ini hadir untuk mengkristalisasi kembali semangat perjuangan dan membuka mata mahasiswa serta pejabat negara agar dapat menggunakan karunia di dalam bumi nusantara sebesarbesarnya demi kemakmuran rakyat. Akhir kata, penyusun ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu selama proses penyusunan dan diskusi terutama teman-teman Rumpun Energi dan Mineral KM


ITB. Penyusun juga mengucap maaf atas kesalahan penulisan kepada pembaca.

“Perjuangan hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang mencari ubkan kepada mereka yang berdiam diri�

Selamat Hari Jadi Pertambangan dan Energi!

28 September 2016

Ardhi Rasy Wardhana Deputi Koordinasi Isu Energi dan Sumber Daya Mineral KM ITB 2016


DAFTAR ISI

SAMBUTAN PRESIDEN KM ITB ................................................ 5 KATA PENGANTAR................................................................... 7 PRAKATA ................................................................................. 9 DAFTAR ISI............................................................................. 11 DAFTAR GAMBAR.................................................................. 14 DAFTAR TABEL ...................................................................... 16 BAGIAN I MENEGUHKAN JALAN KEDAULATAN MIGAS ....... 17 BAB I Pendahuluan ............................................................ 17 Kondisi Industri Migas Global ....................................... 17 Potret Migas Nasional ................................................... 20 BAB II Kaleidoskop Pengelolaan Migas Nasional .............. 25 Aspek Historis dan Yuridis ............................................. 25 Babak Baru Penyelenggaraan Industri Migas: Lahirnya UU Migas yang Neoliberal............................................. 29 Kontroversi Pelaksanaan UU Migas 2001 ..................... 32 Pertamina: Berebut Kamar dengan “Anak Tetangga” di Rumah Sendiri ............................................................... 35 Menyoal Keberpihakan UU Migas terhadap Kemakmuran Rakyat ..................................................... 37 BAB III Mau dibawa Kemana Migas Kita? ......................... 40 Sistem Kontrak Migas: Antara Teori dan Realita .......... 40


Sistem Tata Kelola Migas Indonesia: Antara Teori dan Realita ........................................................................... 44 Peran National Oil Company ......................................... 48 Kembalikan Kedaulatan Badan Usaha Kita ................... 49 BAB V Solusi dan Rekomendasi......................................... 53 BAGIAN II MENCEGAH LANGKAH MUNDUR HILIRISASI MINERBA ............................................................................... 55 BAB I: Latar Belakang ........................................................ 56 Dasar Pikir Menghadapi Kutukan Pertambangan ......... 56 Landasan Konstitusional ............................................... 60 Lompatan Besar Hilirisasi .............................................. 62 BAB II: Tinjauan Teoritis .................................................... 64 Cadangan dan sumber daya mineral: Sebuah teori praktis ........................................................................... 64 Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan Mineral ...................................................................................... 67 Memahami Kembali Pengolahan dan Pemurnian ........ 68 BAB III: Semangat Hilirisasi yang Tak Boleh Mati.............. 70 Semangat Hilirisasi dalam Aturan Turunan UU Minerba ...................................................................................... 70 Pelanggaran Aturan Turunan, Langkah Mundur Hilirisasi ...................................................................................... 70 Rasionalisasi Kebutuhan Minerba Indonesia ................ 73 Kebutuhan Tembaga Dalam Negeri .............................. 74 Kebutuhan Nikel Dalam Negeri ..................................... 76


Kebutuhan Aluminium Dalam Negeri ........................... 76 Kebutuhan Besi dan Turunannya Dalam Negeri ........... 77 BAB IV: Gambaran Cadangan dan Sumber Daya Mineral serta Produksi di Indonesia ............................................... 79 Gambaran Umum Minerba Indonesia dalam Angka .... 79 Sumber Daya dan Cadangan Logam Indonesia ............. 81 Sumber Daya dan Cadangan Mineral Indonesia ........... 88 BAB V Solusi dan Rekomendasi......................................... 90 Daftar Pustaka....................................................................... 93


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Distribusi Sebaran Cadangan Terbukti 1995, 2005, 2015.................................... 17 Gambar 2 Produksi dan Konsumsi menurut Wilayah (Juta Barrel per Hari) .............................. 18 Gambar 3 Produsen Minyak Indonesia per Januari 2016 ...................................................... 22 Gambar 4 Indikasi LoI IMF sebagai Pangkal Kebijakan Regulasi Migas Pasca-Reformasi 32 Gambar 5 Ragam Rezim Fiskal Migas..................... 40 Gambar 6 Model Ministry Dominated Model............ 44 Gambar 7 Model NOC Dominated (kiri), Model Separation of Power (kanan).................... 45 Gambar 8 Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan............................................... 65 Gambar 9 Hubungan antara Eksplorasi, Sumber Daya Mineral dan Cadangan Mineral ................. 67 Gambar 10 Peta Persebaran Mineral-mineral Logam di Indonesia (Sumber: Pusat Sumber Daya Geologi Kementerian ESDM) .................... 79 Gambar 11 Grafik Sumber Daya Cadangan Logam Emas Indonesia 2011-2015...................... 81 Gambar 12 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Pasir Besi Indonesia 2011-2015........................ 82 Gambar 13 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Logam Emas Indonesia 2011-2015...................... 83 Gambar 14 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Bijih Nikel Indonesia 2011-2015 ...................... 84 Gambar 15 Sumber Daya dan Cadangan Bijih Tembaga Indonesia 2011-2015 ................ 85


Gambar 16 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Bauksit Indonesia 2011-2015 ................... 86 Gambar 17 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Bijih Seng Indonesia 2010-2014 ...................... 87 Gambar 18 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Timah Indonesia 2011-2015 .............................. 88


DAFTAR TABEL

Tabel 1 Total Cadangan Terbukti ............................ 21 Tabel 2 Perbandingan dasar ketiga UU sebagai landasan yuridis industri migas ..................... 30 Tabel 3 Perbandingan Undang-Undang Pasca Putusan MK .............................................................. 39 Tabel 4 Model Alternatif Tata Kelola Migas ............... 47 Tabel 5 30 Proyek Infrastruktur Prioritas yang Diawasi KPPIP .......................................................... 73 Tabel 6 Konsumsi Tembaga dalam Negeri (Kajian Supply Demand Mineral, Kementerian ESDM, 2012) .......................................................... 75 Tabel 7 Konsumsi Nikel dalam Negeri (Kajian Supply Demand Mineral, Kementerian ESDM, 2012) ... 76 Tabel 8 Konsumsi Alumunium Dalam Negeri (Kajian Supply Demand Mineral, Kementerian ESDM, 2012) .......................................................... 77 Tabel 9 Sumber Daya Mineral dan Cadangan Mineral Indonesia (Sumber: Pusat Sumber Daya Geologi Kementerian ESDM, November 2015) ............ 80


BAGIAN I MENEGUHKAN JALAN KEDAULATAN MIGAS BAB I Pendahuluan Kondisi Industri Migas Global Industri perminyakan komersil pertama di dunia telah dimulai sejak 154 tahun yang lalu, tepatnya pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Hingga kini, industri strategis penggerak perekonomian dunia ini terus mengalami perkembangan yang pesat dan tak terduga. Hal ini menyebabkan industri minyak bumi semakin menarik untuk diperbincangkan, terutama

Gambar 1 Distribusi Sebaran Cadangan Terbukti 1995, 2005, 2015

mengenai kondisi kekinian yang menyertai, baik dalam skala global maupun nasional sehingga cadangan yang dimiliki suatu negara menjadi suatu bahan pertimbangan dalam menentukan arah gerak suatu bangsa.


Negara-negara di Timur Tengah dan Amerika Selatan & Tengah memiliki cadangan terbesar didunia (Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2016). Perkembangan yang tak diduga muncul ketika beberapa pihak meramalkan bahwa setelah sumber daya minyak bumi dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu yang lama, akan membuat industri ini segera usai. Ramalan ini sudah pernah diungkapkan jauh sebelum hari ini. Namun hingga detik ini, industri yang masih menjadi tulang punggung energi dunia ini masih ada, masih menyala dengan terangnya. Bahkan konsumsi migas internasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Gambar 2 Produksi dan Konsumsi menurut Wilayah (Juta Barrel per Hari)

Negara-negara di Asia, Eropa dan Eurasia merupakan Negaranegara dengan konsumsi terbesar di dunia (Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2016)


Industri perminyakan global telah berkembang dengan pesat. Eksploitasi telah dilakukan secara besar-besaran dan menyebabkan ketersediaan sumber daya minyak bumi dunia kini semakin menipis, sementara permintaan masih akan terus meningkat. Industri yang sarat akan teknologi tinggi ( high tech.), biaya yang besar (high cost), dan risiko yang tinggi (high risk) ini, mau tidak mau harus melakukan terobosan untuk bisa terus bertahan. Agar terus mampu mematahkan prediksi “kematian� yang sudah banyak digaungkan. Dalam rangka untuk menghindar atau setidaknya menunda dari “kematian� dan memenuhi kebutuhan minyak bumi dunia yang begitu tinggi. Perusahaan-perusahaan minyak nasional (National Oil Company/ NOCs) dari berbagai negara di seluruh belahan dunia, maupun perusahaan minyak internasional (International Oil Company / IOCs) mulai mengubah orientasi pergerakan eksplorasinya. Orientasi eksplorasi perminyakan kini telah mulai bergeser ke laut dalam, yang diperkirakan menyimpan potensi lebih banyak, menyimpan hasil yang lebih menggiurkan. Dalam praktiknya, perubahan orientasi eksplorasi ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tidak hanya masalah memindahkan bor dari darat ke laut, tidak hanya masalah mendirikan bangunan lepas pantai, tapi juga masalah biaya yang lebih tinggi dan risiko yang tentu lebih besar. Salah satu hal yang dilakukan negara-negara di dunia untuk menunda keharusan melakukan eksplorasi di laut dalam yang more high tech., more high cost, dan more high risk, adalah dengan bergerak cepat mengamankan dan memaksimalkan sumur minyak dalam negeri yang sudah produksi. Mereka melakukan penguasaan cadangan-cadangan


minyak dalam negeri melalui perusahaan minyak nasionalnya (nasionalisasi). Tidak cukup sampai di situ, bahkan kini bangsa-bangsa di dunia juga semakin ketat bersaing, melakukan ekspansi demi mengusai lebih banyak lagi cadangan minyak dunia. Perilaku ini didasari atas kekhawatiran akan terjadinya kekurangan energi minyak bumi di masa depan. Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai resource nationalization. Akibat dari resource nationalization, negara melalui perusahaan minyak nasionalnya kini menguasai sekitar 94 persen cadangan minyak dunia. Perusahaan minyak internasional semakin turun tahta akibat penguasaan cadangan minyak yang semakin sedikit. Cadangan mereka kini hanya sekitar 6 persen. Situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan tersebut membuat lOCs semakin hati-hati dalam berinvestasi dalam industri minyak bumi, khususnya dalam upaya penemuan cadangan minyak baru. Kini, IOCs semakin terbatas pada kegiatan eksplorasi, mereka lebih fokus pada kegiatan eksploitasi pada sumur-sumur yang masih mereka kuasai. Potret Migas Nasional Tren bangsa-bangsa dunia yang melakukan resource nationalization dan ekspansi sebagai langkah persiapan menghadapi krisis energi, dalam hal ini minyak bumi, ternyata tidak terjadi di Indonesia. Di negara yang hanya memiliki cadangan minyak sekitar 0,2% total cadangan dunia1 ini justru terjadi hal yang sebaliknya. Data perbandingan cadangan

1

BP Statistical Review 2016


minyak mentah di Indonesia dengan negara produsen lainnya (BP Statistical Review, 2016) sebagai berikut: Tabel 1 Total Cadangan Terbukti

Sudah menjadi rahasia umum apabila Indonesia masih menjadi surga bagi perusahaan minyak asing. Dari total lapangan produksi minyak bumi tahun 2016. Pertamina, dalam


Gambar 3 Produsen Minyak Indonesia per Januari 2016

hal ini sebagai NOC, hanya menguasai 15% persen dari seluruh produksi minyak nasional. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: Apakah Indonesia telah siap menghadapi krisis minyak bumi yang diramalkan (lagi) akan terjadi? Ataukah justru menimbulkan keraguan: Bagaimana Indonesia bisa menghadapi krisis minyak bumi, jika sebagian besar cadangan minyaknya dikuasai pihak asing? Sementara kebutuhan akan energi minyak bumi masih tinggi dan pengembangan energi alternatif yang masih tersendat dan tak berdaya. Apakah kita telah siap biaya jika nanti harus impor seluruh kebutuhan minyak bumi nasional secara besar-besaran? Selain tidak melakukan resource nationalization dan ekspansi sebagai langkah persiapan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya krisis minyak bumi, dunia perminyakan Indonesia juga tengah dalam kondisi under


investment. Kondisi ini secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kondisi di mana biaya yang harus dikeluarkan untuk investasi lebih rendah dari yang seharusnya. Under livestment tentu berdampak tidak sehat bagi industri perminyakan nasional pada khususnya dan global pada umumnya. Kondisi ini terjadi karena kemampuan investasi negara yang terbatas. Keterbatasan ini akibat persaingan alokasi anggaran untuk sektor yang dianggap lebih penting dan menguntungkan secara politik. Ditambah lagi kewajiban perusahaan minyak nasional yang harus menyetor dividen (bagi hasil) kepada negara dalam rangka mengisi APBN. Akibat ketiadaan biaya yang cukup dalam eksplorasi, tentu akan menurunkan Reserve Replacement Ratio (RRR) cadangan minyak bumi menjadi kurang dari 100 persen (di Indonesia sekitar 52 persen). Hal ini berarti hanya sekitar 52 persen temuan baru yang didapat untuk menggantikan sumur yang telah dieksploitasi. Padahal idealnya, angka RRR tersebut harus di atas 100 persen, agar setiap barel minyak yang diproduksi dapat digantikan dengan penemuan cadangan baru yang hasilnya bisa melebihi satu barel minyak tersebut. Kondisi kekinian yang menyertai, seperti Resource Nationalization, Under Investment, dan rendahnya Reserve Replacement Ratio tentu berpengaruh terhadap upaya industri minyak bumi untuk terus berkelit dari prediksi “kematian�. Memang tidak ada barang ciptaan di dunia ini yang abadi, suatu saat industri ini pun juga akan beristirahat dan tergantikan dengan yang lain. Entah itu ketika sudah datang krisis minyak bumi, ataupun sebelum badai krisis itu datang. Namun yang jelas, kondisi tidak sehat industri perminyakan


Indonesia yang tidak tepat tentu menimbulkan kekhawatiran dan seharusnya patut menjadi perhatian lebih bagi semua pihak. Dengan kekhawatiran tersebut harapannya semua harus kembali berpikir mengenai nilai-nilai dasar dalam mengelola migas domestik yang dikristalisasi dalam bentuk regulasi.


BAB II Kaleidoskop Pengelolaan Migas Nasional Aspek Historis dan Yuridis Sejak abad pertengahan minyak bumi telah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia. Saat itu, tentu fungsi utamanya bukan untuk transportasi dan industri seperti sekarang ini. Minyak bumi pada zaman itu digunakan untuk keperluan rumah tangga, bahkan digunakan pula untuk kepentingan perang yang memperebutkan kekuasaan. Hingga pada abad ke-19, minyak bumi mulai dimanfaatkan secara besar-besaran untuk kepentingan industri dan komersial. Di Indonesia, sumur minyak bumi ditemukan pertama kali pada tahun 1883 oleh seorang Belanda bernama A. G. Zeijlker, tepatnya di lapangan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan. Sumur minyak pertama itu bernama sumur Telaga Tunggal. Menjelang akhir abad ke-19, akibat penemuan minyak bumi di Indonesia tersebut. Negeri yang pada masa penjajahannya juga disebut sebagai Hindia ini tidak hanya menarik karena sumber rempah-rempahnya yang tak terbatas, namun juga karena potensi minyak buminya yang besar. Hingga mengakibatkan beberapa perusahaan asing datang dan beroperasi di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah N.N.G.P.M (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) yang merupakan perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang dibentuk untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Masa setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1945-1950 Pemerintah Republik Indonesia mulai giat melakukan


pengambilalihan lapangan minyak bumi untuk dikelola bangsa sendiri. Upaya ini dikuatkan dengan didirikannya PT Minyak Nasional Rakyat pada tahun 1945 yang kemudian pada tahun 1954 berubah menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Setelahnya, pada tahun 1957 didirikan PT Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian berubah nama menjadi PN Permina pada tahun 1960. Setahun setelahnya, industri migas nasional memasuki lembaran sejarah baru yang ditandai dengan ditetapkannya UU No.44 Tahun 1961 yang salah satu isinya mengenai penghapusan sistem konsesi dan diganti dengan sistem kontrak karya. Hingga pada tahun 1965, bersamaan dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. - Shell Indonesia oleh PN Permina, mulai diterapkan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract) dan seluruh wilayah Indonesia adalah daerah konsesi PN Permina dan PN Pertamin. Posisi perusahaan asing hanyalah sebagai kontraktor, dengan sistem imbalan berupa bagi hasil produksi bukan lagi membayar royalti seperti sebelumnya. Tahun 1968 PN Pertamin dan PN Permina digabung menjadi PN Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak nasional. Kemudian, industri migas nasional memasuki lembaran sejarah baru lagi bersamaan dengan ditetapkannya UU Nomor 8 Tahun 1971 oleh Presiden Soeharto, tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara atau yang juga disebut dengan UU Pertamina. Di bawah naungan hukum UU No.8 tahun 1971 (UU Pertamina), Pertamina merupakan Integrated State Oil Company. Ia diberi wewenang memonopoli dari sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) serta sektor hilir (pengolahan,


pengangkutan, pemasaran). Sistem bagi hasil (PSC) kemudian banyak diadopsi oleh banyak negara, termasuk diantaranya Malaysia dengan Petronasnya. Petronas juga mengadopsi tata lembaga Pertamina sebagai Integrated State Oil Company. Bisa dikatakan dulu Petronas adalah murid Pertamina. Miris, kini “si murid� maju melesat jauh melampaui gurunya. Di awal kepemimpinan Ibnu Soetowo, Pertamina membentuk anak-anak perusahaan, bekerja sama dengan pihak swasta, dan mengembangkan berbagai usaha. Sayangnya, alih-alih berekspansi dan memberikan keuntungan bagi negara, Pertamina justru lebih berperan sebagai mesin uang untuk angkatan bersenjata. Banyak korupsi menggerogoti tubuh Pertamina. Media yang mengungkap kasus korupsi yang ada di tubuh Pertamina pun, seperti Harian Indonesia Raya dibredel oleh rezim Orde Baru. Banyak pihak di sekeliling Soeharto menilai Pertamina tidak akuntabel, tidak transparan, tidak efisien, dan sarat akan KKN. Atas desakan berbagai pihak, terutama teknokrat , Soeharto menyetujui adanya perubahan di Pertamina. Pertama, manajemen Pertamina diawasi ketat oleh Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) yang terdiri dari lima orang menteri negara. Kedua, Pertamina tidak dapat mengelola keuangannya sendiri. Semua uang hasil usaha diserahkan kepada pemerintah dan dimasukan ke kas negara. Sebagai gantinya, Pertamina mendapat fee dari Pemerintah yang sering dibayarkan terlambat. Dua kebijakan ini diterapkan terutama untuk mengontrol Pertamina agar tak sarat KKN. Namun, dalam praktiknya KKN masih tetap ada. Kegiatan bisnis Pertamina sarat kolusi dengan perusahaan- perusahaan kerabat Soeharto. Pasca lengsernya Soeharto, tercatat 159 perusahaan kerabat Soeharto dalam jaringan bisnis Pertamina.


Dua kebijakan ini justru membawa implikasi yang buruk. Pertama, birokrasi menjadi rumit karena kegiatan bisnisnya harus menunggu persetujuan menteri-menteri. Berbeda dengan Petronas yang kedudukannya langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia dan diawasi oleh dewan audit sehingga kegiatan bisnis dan investasinya lebih leluasa. Kedua, fee yang dibayarkan terlambat dan terbatas menyulitkan Pertamina untuk mengembangkan kegiatan usahanya dan akibatnya Pertamina sulit untuk maju. Pada akhirnya Pertamina lebih fokus untuk menandatangani kerja sama dengan KKS asing ketimbang mengelola lapangan minyak sendiri. Tidak efisiennya pengelolaan migas dan KKN yang terjadi di tubuh Pertamina sering dijadikan alasan oleh para teknokrat liberal pro-Barat untuk mengebiri hak monopoli Pertamina.


Babak Baru Penyelenggaraan Industri Migas: Lahirnya UU Migas yang Neoliberal Sebelum tahun 2001, UU No. 44 Tahun 1961 - UU No. 8 Tahun 1971 tetap digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan tata kelola migas nasional. Kekuasaan yang dimiliki Pertamina, yaitu sebagai operator bisnis dan regulator migas nasional menimbulkan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah disebutkan di bagian sebelumnya. Hal ini diperparah oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 sehingga menyebabkan reformasi hampir di seluruh sektor tak terkecuali migas. Pada tahun 2001, industri migas nasional memasuki lembaran sejarah baru bersamaan dengan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk menggantikan UU Nomor 44 Tahun 1961 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Ketiga landasan yuridis industri migas nasional yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia memiliki beberapa perbedaan, yang bisa dilihat pada tabel 1. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 memaksa Soeharto meminta bantuan hutang kepada IMF. IMF menyetujui memberikan pinjaman 45 miyar dollar AS dengan sejumlah persyaratan yakni reformasi ekonomi, termasuk sektor migas di dalamnya. IMF mendesak agar segera dibentuk RUU Migas yang gagasan pokoknya yakni mereduksi monopoli Pertamina dengan memecahkan industri pertamina yang semula terintegrasi dari hulu ke hilir dan meliberalisasi sektor migas dengan membuka selebar-lebarnya ladang investasi bagi perusahaan swasta.


Tabel 2 Perbandingan dasar ketiga UU sebagai landasan yuridis industri migas

Aspek

UU No.22/2001

Usaha Hulu dan Hilir

Unbundling

UU No.44/1961 Terintegrasi

Kuasa penambangan

Pemerintah

Badan Usaha

Dasar Usaha Sektor Hulu

Kontrak Kerjasama

Kontrak Karya

Kontrak

Wakil Pemerintah

BPMIGAS

Pertamina

Kontraktor

BU dan BUT

BUMN di bidang migas Badan Usaha

Pajak

Mengikuti Pajak Sebagai

Kedudukan Pertamina Regulator Kegiatan Hilir Pelaku Kegiatan Hilir Dasar Usaha Sektor Hilir

UU

Kontraktor,akta notaries Badan Pengatur Hilir Badan Usaha Ijin Usaha

Lex specialite

Badan Usaha -

UU No.8/1971 Terintegrasi oleh Pertamina Pertamina

production sharing. Badan Usaha

Lex specialite Mewakili Pemerintah, berdiri atas Pertamina UU Pertamina Wewenang Pertamina

Hal ini tertuang dalam Letter of Intent (LoI):

“In the oil and gas sector, the goverment is firmly committed to the following actions : replacing existing laws with a modern legal framework; restructuring and reforming Pertamina; ensuring that fiscal terms and reulations for exploration and production remain internationally competitive; allowing domestic product prices to reflect international market levels; and establishing a coherent and soun policy frame work for promoting efficient and enviromentally sustainable patterns of domestic energy use.� (Memorandum of Economic and Financial Policies)


USAID (United States Agency for Internasional) sebagai lembaga yang turut menjadi donor pun memberikan pengakuan :

“USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.� Selain itu, ditemukan pula bahwa pola-pola kebijakan yang diambil pascareformasi oleh pemerintah benar-benar mirip dengan letter of intent yang dikeluarkan oleh IMF sebagi berikut:


Gambar 4 Indikasi LoI IMF sebagai Pangkal Kebijakan Regulasi Migas Pasca-Reformasi

Dari gambar di atas dapat terlihat bahwa kebijakan yang diambil pascareformasi “tidak sengaja� sama dengan keinginan IMF ketika menyuntikkan dananya di Indonesia. Kontroversi Pelaksanaan UU Migas 2001 Dengan adanya UU Migas, Pertamina yang di UU sebelumnya diberi kuasa sebagai pemegang monopoli kini hanya bertindak sebagai pemain biasa. Sebagai regulator, pada mulanya, dibentuklah BP (Badan Pelaksana) Migas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara. Yang paling banyak dipertanyakan adalah keberadaan BP migas yang justru membuat industri migas tidak efisien. Terdapat beberapa keganjilan sebagai implikasi dari tata lembaga dalam UU migas ini.


Pertama, negara telah menurunkan kedaulatannya dengan menyejajarkan diri dengan kontraktor asing. UU Migas mengubah skema bisnis migas dari yang semula Business to Business ( Perusahaan negara dengan Kontraktor) menjadi Goverment to Business (Pemerintah yang diwakili BP Migas sebagai BHMN dengan Kontraktor). Dalam mekanisme Goverment to Business, jika terjadi perselisihan dan pemerintah mendapat tuntutan hukum, persoalan mesti diselesaikan di arbitrase internasional. Akibatnya, negara bisa diseret ke pengadilan dan jika dinyatakan bersalah, aset-aset negara dapat langsung disita. Kedua, BP migas sebagai pengelola sektor hulu migas, tak dapat langsung menjual produksi migas bagian negara. Hal ini disebabkan oleh statusnya sebagai badan hukum. BP migas harus menunjuk pihak ketiga untuk menjual migas bagian negara (tak selalu menunjuk Pertamina). Ini menimbulkan biaya baru, yakni biaya pihak ketiga. Prosedur ini membuat harga produksi minyak lebih mahal sehingga makin memberatkan masyarakat. Sebelum ada UU Migas, migas bagian negara bisa langsung dikirim ke kilang Pertamina untuk kemudian diolah dan didistribusikan. Sistem yang vertically integrated seperti ini lebih efisien sehingga biaya produksi bisa ditekan.

Ketiga, UU Migas dinilai tidak bersahabat bagi para investor. Sebagaimana kita ketahui bahwa industri migas adalah industri yang padat modal. Pemerintah perlu membuka kran untuk mengalirnya investasi asing, terutama pada tahap eksplorasi migas agar ditemukan sumur-sumur baru. Keberadaan UU migas tidak memberikan dampak signifikan terhadap produksi migas kita. Kondisi investasi migas Indonesia saat ini amat lah buruk menduduki peringkat 113


dari 126 negara2. UU migas menjadikan investasi di Indonesia begitu birokratis. Berdasarkan data Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tercatat ada 69 jenis izin di sektor hulu migas yang meliputi 284 proses dan melibatkan 17 instansi pemerintah. Para investor harus bolak-balik berurusan dengan instansi seperti ESDM, SKK Migas, Pertamina, Pemda, Dewan Energi Nasional yang masing-masing memiliki kewenangan tersendiri dan sering kali overlapping. Sebelum UU ini berlaku, investor hanya perlu berurusan dengan Pertamina. Prosedur yang kini berlaku amat menyulitkan investor karena terlalu birokratis. Hal ini juga memperbesar celah terjadinya korupsi karena makin banyak lembaga negara yang dilibatkan secara langsung. Selain karena persoalan birokrasi, kurang menariknya UU migas bagi para investor juga disebabkan oleh adanya berbagai pungutan ,seperti bea masuk pada tahap eksplorasi (pasal 31 UU Migas). Padahal tahap eksplorasi merupakan tahap yang menguras biaya besar dengan risiko yang juga tidak kecil. Artinya, pada tahap eksplorasi, belum tentu ditemukan lapangan minyak baru yang siap produksi. Pada UU Pertamina, berbagai pajak dan bea masuk baru diterapkan setelah ditemukannya cadangan minyak baru, pada tahap eksplorasi investor masih dibebaskan dari berbagai pungutan. Buruknya kondisi investasi membuat kegiatan eksplorasi minim sehingga tak ditemukan cadangan minyak terbukti baru. Ini yang menyebabkan produksi minyak Indonesia cenderung terus menurun, tidak ada penemuan lapangan minyak baru. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang seakan memaksa peningkatan konsumsi minyak, turunnya produksi minyak

2

Fraser Institute. 2015.Global Petroleum Survey.


menyebabkan impor minyak mentah ataupun BBM meningkat dari tahun ke tahun.

Keempat, sebagai badan hukum, neraca keuangan BP migas independen, terpisah dari kekayaan negara dan tidak diambil dari APBN. Biaya operasional BP Migas diambil dari fee pemerintah. Ironisnya, dengan neraca keuangannya yang independen, BP migas tidak memiliki komisaris ataupun majelis wali amanat (MWA) sehingga rawan terjadi “penggelapan�. Pada pasal 45 ayat 2 UU migas disebutkan bahwa unsur-unsur BP migas terdiri dari pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif. Rekam jejak BP migas pun tak begitu menggembirakan, BPK berulang kali memberi opini adverse (penilaian terburuk dalam audit karena tidak sesuai standar) terhadap laporan keuangan BP Migas. Kendati pun dari tahun 2009-2012 terakhir status keuangan BP migas sudah membaik menjadi wajar tanpa pengecualian (WTP), potensi penggelapan bukan berarti tertutup. Sekali lagi karena statusnya sebagai regulator berupa badan hukum, bukan pemain atau operator, BP migas tak terlibat secara langsung ke lapangan secara intens. BP migas biasanya hanya menerima laporan bersih lifting minyak dari kontraktor. Pertamina: Berebut Kamar dengan “Anak Tetangga� di Rumah Sendiri UU Migas tak memberikan kepastian bahwa pihak nasional diprioritaskan untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah migas. Setelah UU ini berlaku, Pertamina yang dalam hal ini perusahaan negara (National Oil Company, disingkat NOC) kedudukannya setara dengan perusahaan-perusahaan migas lain. NOC kemudian hanya berperan sebagai peserta tender bersama perusahaan migas lain, sedangkan negara yang diwakili BP Migas hanya berperan sebagai regulator, atau


lebih sederhananya, sebagai juri yang netral. Hak monopoli Pertamina (sebagaimana ada saat UU Pertamina berlaku) sebagai NOC dicabut. Di satu sisi Pertamina berkembang karena bersaing dengan banyak kontraktor, di sisi lain Pertamina harus bersaing dengan perusahaan -perusahaan minyak dengan kelas yang lebih tinggi. Ini logika sistem ekonomi kapitalis-liberal yang seakan adil memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta. Setiap peserta dikondisikan untuk bersaing sehingga pada akhirnya pihak yang paling berkualitas dan paling efisien yang keluar sebagai pemenang. Padahal kenyataannya, setiap peserta berangkat dari titik yang berbeda. Bagai mengadukan petinju kelas bulu dengan petinju kelas berat, tentu hampir bisa dipastikan petinju kelas beratlah yang keluar sebagai pemenang. Persaingan dalam dunia migas yang melibatkan berbagai perusahaan dari berbagai level tentu hanya akan menghasilkan monopoli atau oligopoli baru, ketika satu atau beberapa perusahaan migas dengan kapital terbesar dan sudah mapan terlebih dahulu yang akan menguasai pasar. Justru seharusnya pemerintah membenahi dan memberdayakan Pertamina hingga cukup setara dengan perusahaan- perusahaan asing sebelum memasuki area pasar bebas. Tidak ada yang salah dengan monopoli negara di bidang migas terutama dengan landasan konstitusional bahwa kekayaan alam dikuasai negara. Kita dapat melihat Petronas yang dahulu banyak belajar dari Pertamina pada tahun 1970an. Namun, kini Petronas telah jauh melesat mendahului Pertamina. Dalam Petroleum Intelligence View 2009 tercatat Petronas berada di peringkat 9, sedangkan Pertamina berada di peringkat 30. Padahal pada awal tahun 1970an Petronas


mengadaptasi langsung UU no.8 Tahun 1971 ( UU Pertamina) sebagai regulasi pengelolaan migas dan diberi nama Petroleum Development Act 1975 (PAD 1975). Sampai sekarang Petronas masih menggunakan payung hukum yang sama. Sebagaimana UU Pertamina, PAD 1975 memberikan kuasa penuh terhadap sumber daya migas negara. Di sektor hulu, semua investasi asing langsung di bawah pengawasan Pertamina. Petronas pun, sebagai Integrated State Oil Company, diberi wewenang untuk menjadi pemain sekaligus regulator dalam industri migas Malaysia. Petronas langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia, sehingga ia dapat berekspansi bisnis secara leluasa. Dengan menggunakan PAD 1975, yang merupakan adaptasi dari UU Pertamina, Petronas mampu menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Ini menunjukkan bahwa tak selamanya monopoli perusahaan negara atas sektor migas bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Konstitusi kita pun menegaskan bahwa minyak sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Menyoal Keberpihakan UU Migas terhadap Kemakmuran Rakyat Sudah disebutkan di atas rasionalisasi mengapa UU No. 22 tahun 2001 harus diubah. Terang saja, dengan menggunakan alasan yang sama sejak tahun 2004 beberapa pasal dari UU No. 22 Tahun 2001 sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Isu ini semakin hangat ketika pada tahun 2012. Tepatnya pada tanggal 13 November 2012 Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian gugatan pembatalan pasal-pasal dalam UU Migas. Seperti diketahui secara bersama bahwa sejak lama UU Migas telah ramai-ramai digugat oleh berbagai pihak, baik organisasi masyarakat maupun perorangan. UU ini dianggap merugikan


negara dan sangat liberal. MK membatalkan pasal 1 angka 23 dan pasal 4 ayat 3, pasal 41 ayat 2, pasal 44, pasal 45, pasal 48, pasal 59 huruf a dan pasal 61 dan pasal 63 UU Migas yang menjadi payung hukum keberadaan BP Migas. Keberadaan BP migas dinilai inkonstitusional. BP Migas dibubarkan dan untuk sementara wewenangnya diserahkan kepada kementerian ESDM. Secara umum, terdapat dua poin besar yang di anulir oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu: 1. Pasal – pasal yang mengatur Kehadiran BP Migas yang dirasa melanggar frasa dikuasai oleh Negara pada pasal 33 UUD 1945 dan industri ini seharusnya dilakukan oleh perusahaan Negara, yaitu BUMN. 2. Pasal 28 ayat 2 dan 3 yang menyatakan bahwa penentuan harga BBM dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Mekanisme pasar ini menyebabkan di daerahdaerah terpencil di Intonesia (terutama bagian timur) akan jauh lebih mahal dari pada bagian barat padahal pendapatan perkapitanya jauh lebih rendah. Walaupun pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.


Secara terperinci berikut daftar perbedaan keempat regulasi pra dan pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal-pasal yang dianggap inkonstitusional: Tabel 3 Perbandingan Undang-Undang Pasca Putusan MK


BAB III Mau dibawa Kemana Migas Kita? Sistem Kontrak Migas: Antara Teori dan Realita

Gambar 5 Ragam Rezim Fiskal Migas

Terdapat tiga sistem kontrak migas yang dikenal saat ini, yaitu konsesi, Production Sharing Contract (PSC), dan Service Contract. Berikut penjelasan mengenai ketiga sistem kontrak migas tersebut: a. Konsesi Sistem konsesi merupakan sistem tertua dibandingkan kedua sistem yang lain. Pada sistem konsesi, perusahaan migas diberikan hak eksklusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi selama periode tertentu. Karakteristik dari sistem konsesi adalah semua hasil produksi dalam wilayah konsesi tersebut dimiliki oleh perusahaan migas, sementara Negara menerima pembayaran royalti yang


besarnya secara umum berupa persentase dari pendapatan bruto. b. Production Sharing Contract (PSC) Sistem PSC muncul karena adanya tuntutan agar pemerintah tidak bersifat pasif, namun memiliki peran yang lebih besar terhadap pengawasan kegiatan operasional. Karakteristik PSC adalah perusahaan migas ditunjuk oleh pemerintah sebagai kontraktor pada suatu wilayah kerja tertentu, kontraktor menanggung seluruh risiko dan biaya eksplorasi, pengembangan, dan produksi. Apabila eksplorasi berhasil (penemuan migas yang komersial), kontraktor diberi kesempatan memperoleh cost recovery dan hasil produksi. Kontraktor juga memperoleh bagian dari produksi setelah dikurangi cost recovery yang disebut profit share atau dikenal juga dengan istilah profit split atau profit oil. Kontraktor selanjutnya diwajibkan membayar pajak penghasilan dan pajak lainnya. Semua peralatan dan instalasi menjadi milik Negara

c. Service Contract Pada sistem ini, pengembalian dilakukan dalam bentuk kas atau tunai, tidak dalam bentuk natura. Namun, demikian, di dalam beberapa sistem kontrak jasa, bisa saja dibuat aturan dimana kontraktor dimungkinkan membeli kembali sejumlah minyak mentah hasil produksi. Sistem ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu: i. Pure Service Contract Jenis perjanjian antara pemerintah dan kontraktor berupa jasa bantuan teknis yang dilaksanakan dalam suatu periode tertentu. Pemerintah membayar fee kepada kontraktor


ii. Risk Service Contract Sepintas sistem ini mirip dengan PSC, namun berbeda dalam hal pembayaran kepada kontraktor. Pada sistem PSC, setelah cost recovery, kontraktor memperoleh profit share. Sementara, pada sistem ini kontraktor akan mendapatkan service fee yang umumnya berbentuk kas bukan natura. Terlepas dari semua teori kontrak tersebut, industri migas tetap menjai industri yang berperan sangat vital bukan hanya terhadap perkembangan suatu negara, melainkan juga terhadap perkembangan global. Namun, tidak dipungkiri industri migas sendiri merupakan industri yang sangat kompleks dalam pelaksanaannya sehingga dibutuhkan kolaborasi dari beberapa bidang keilmuan yang komprehensif. Maka tidak aneh jika dalam suatu pengelolaan bisnis hulu migas terjadi kontrak atau kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk mengeksploitasi “emas hitam� sebesar-besarnya dan tentunya dengan memperhitungkan keekonomisan juga demi mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya bagi seluruh pihak yang berperan. Terlebih lagi jika pihaknya tersebut merupakan negara yang menjunjung tinggi kerakyatan seperti Indonesia ini, sudah sepantasnya jika kontrak migas yang berlaku menjunjung tinggi nilai kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi kita yang tertera dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dasar pemikiran pengelolaan migas di Indonesia sendiri sudah dirancang dengan ide bagi hasil atau yang lebih populer dikenal production sharing contract. Sistem kontrak migas ini sudah diterapkan dan diprakarsai oleh Indonesia dari


sekitar tahun 1960-an. Bung Karno dan Ibnu Sutowo yang memprakarsai ide ini mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktik pengolahan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani di Jawa bukan pemilik sawah yang bertani karena si pemilik sawah tidak mampu mengelola sawahnya sendiri, sehingga nanti hasil pertaniannya akan dibagi antara pemilik sawah dengan petani. Sekarang PSC ini menjadi sistem kontrak migas yang banyak ditiru dan dipakai oleh banyak negara termasuk Malaysia dengan Petronasnya yang sekarang sudah sukses menjadi salah satu major oil company di dunia. Suatu sistem kontrak migas termasuk PSC (Production Sharing Contract) merupakan sebuah sistem yang cukup rumit yang melibatkan beberapa pihak. Namun konsep utama dari PSC bisa dirangkum ke dalam poin-poin sebagai berikut: 1. Penguasaan dan manajemen berada di tangan pemerintah 2. Kontrak didasarkan pada pembagian hasil produksi 3. Semua risiko ditanggung oleh kontraktor. 4. Aset atau peralatan yang dibeli oleh kontraktor dimiliki oleh Negara. Tujuan jangka panjang production sharing contract yaitu mengusahakan agar migas yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia dikelola oleh tangan kita sendiri. Dengan adanya sistem PSC ini diharapkan Bangsa Indonesia tidak hanya menjadi tuan tanah terus menerus. Tetapi juga adanya transfer ilmu dan teknologi dari investor asing agar Bangsa Indonesia ini memahami dan mampu mengelola kekayaan alamnya sendiri dalam hal ini migas. Sudah menjadi cita-cita Ibnu Sutowo sedari dulu sehingga beliau mengatakan “Tapi telah menjadi tugas kita dan telah kita sanggupi untuk


mengusahakan minyak kita oleh kita sendiri. Dan ini telah memikulkan suatu kewajiban atas pundak kita semua, supaya setiap detik dan setiap ada kesempatan, kita berusaha mengejar know, how, dan skill tersebut dalam tempo yang sesingkat mungkin.� Sistem Tata Kelola Migas Indonesia: Antara Teori dan Realita Terdapat tiga elemen di dalam industri hulu migas yaitu pembuatan kebijakan, badan regulator, dan bisnis (operator). Saat ini terdapat pula tiga model sistem kelembagaan dalam industri hulu migas yang bergantung dari subjek yang memegang ketiga elemen tersebut, yaitu: a. Ministry Dominated Model

Gambar 6 Model Ministry Dominated Model


Model ini berlaku ketika pemerintah memegang fungsi pembuat kebijakan dan regulator. b. NOC Dominated Model

Gambar 7 Model NOC Dominated (kiri), Model Separation of Power (kanan)

Model ini berlaku ketika NOC memegang fungsi regulator dan bisnis. c.

Separation of Power Model

Skema ini berlaku ketika pembuat kebijakan, pelaksana fungsi regulator dan pelaksana fungsi bisnis (operator) dijalankan oleh ketiga lembaga yang berbeda. Beberapa negara yang memisahkan ketiga fungsi tata kelola seperti di Indonesia diantaranya adalah: Norwegia, Brazil, Aljazair, dan Meksiko. Lalu Arab Saudi, Malaysia, Angola, Rusia, dan Venezuela adalah negara-negara yang tidak secara tegas memisahkan fungsi tersebut. Norwegia dan Brazil merupakan contoh negara yang sukses dengan memisahkan ketiga fungsi tersebut, tetapi kalau dilihat-lihat, Arab Saudi, Malaysia, dan Venezuela juga merupakan negara besar penghasil minyak sehingga bisa menjadi contoh sukses untuk sistem yang secara tidak tegas memisahkan ketiga fungsi tersebut. Dari perbandingan di atas dapat


disimpulkan bahwa sistem apapun yang dijadikan acuan tidak memiliki korelasi dengan kesuksesan dan kinerja sektor hulu migas yang baik. Senada dengan di atas, sudah dari lama juga terdapat pro dan kontra mengenai sistem kontrak kita yang berbasiskan Business to Government (B2G), yang artinya kontrak dilakukan antara badan usaha dengan badan pemerintahan. Beberapa menilai dengan berbasiskan B2G, maka posisi negara kita dalam bahaya, karena jika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan kontrak, maka negara kita bisa dituntut oleh badan arbitrase internasional. Padahal jika kita ingat kembali pernah terjadi sengketa antara ExxonMobil dengan Venezuela melalui PDVSA-nya, dimana kontraknya berbasiskan B2B, tetapi pemerintah Venezuela pun ikut terseret ke arbitrase internasonal. Hal tersebut menunjukkan bahwa posisi Negara pun masih tidak aman walaupun kontrak berbasiskan B2B. Dengan segala penanggalan pasal yang ada dalam UU Migas, sudah banyak lembaga yang mendesak adanya perubahan UU tersebut sehingga terbentuk tata kelola migas yang settle dalam menghadapi tantangan nasional dan dunia. Salah satu agenda perubahan yang sedang diperbincangkan adalah model-model tata kelola migas. Pendekatan yang digunakan untuk memberikan gambaran sebagai pertimbangan dalam pemilihan model yang paling mudah adalah potensi manfaat (positif) dan risiko (negatif) seperti di bawah ini:


Tabel 4 Model Alternatif Tata Kelola Migas


Peran National Oil Company Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada sistem kontrak dan sistem bisnis hulu migas yang paling bagus. Lalu apa faktor paling krusial yang menyebabkan apakah suatu negara bisa dengan sukses mengolah bisnis migasnya? Apa kesamaan diantara negara- negara seperi Arab Saudi, Venezuela, Iran, Malaysia dan negara- negara minyak lainnya? Jawabannya yaitu peran National Oil Company (NOC). Jika dilihat, peran NOC di Indonesia, dalam hal ini Pertamina, masih jauh lebih kecil. Menurut data dari seluruh produksi nasional, hanya sekitar 25% yang berasal dari Pertamina. Jika


dibandingkan dengan NOC negara negara anggota OPEC, seperti: Aramco (Arab Saudi), PDVSA (Venezuela), dan NIOC (Iran), mereka memproduksi sekitar 90% produksi minyak nasional. Jika kita teliti lebih lanjut, memang keberpihakan negara terhadap Pertamina masih dapat dikatakan minimal. PSC secara konsep adalah ide yang brilian karena mengatur bagaimana negara dan investor berbagi hasil yang proporsional dimana risiko ditanggung sepenuhnya oleh investor. Tetapi, dari sisi peningkatan peran NOC, kelihatannya sejauh ini masih belum dioptimalkan. Kecilnya bagian produksi Pertamina kemudian memberikan kesan NOC kita bahkan inferior di negeri sendiri. Yang menjadi kekhawatiran utama adalah rasa nyaman yang sudah dirasakan pemerintah yang sudah merasa puas “hanya� menjadi tuan tanah dari tahun ke tahun tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar-besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina). Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara penghasil minyak terbesar di dunia sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Kembalikan Kedaulatan Badan Usaha Kita Dalam beberapa tahun ke depan, akan terdapat sejumlah blok migas yang akan habis kontraknya. Terdapat sekitar 20 lebih kontrak migas yang akan habis sampai tahun 2020. Tentunya jumlah ini bukanlah jumlah yang kecil, apabila seluruh blok tersebut dikelola sepenuhnya oleh Pertamina tentunya akan memberikan pendapatan yang signifikan baik bagi negara maupun kemajuan Pertamina itu sendiri. Akan


tetapi, sebuah pertanyaan besar Pertamina mengelola seluruhnya?

muncul,

sanggupkah

Tentunya dalam pengambilalihan hak pengelolaan blok tersebut tidak dapat dilaksanakan secara langsung seluruhnya. Diperlukan tahapan-tahapan secara perlahan dari masingmasing blok seiring dengan melakukan pengembangan kemampuan SDM, teknologi, dan modal. Jika kita bercermin kepada sejarah, Pertamina telah berhasil mengakuisisi blok ONWJ dan WMO. Sampai sekarang Pertamina telah berhasil mengembangkan kedua lapangan itu jauh melebihi operator terdahulu. Hasil track record yang baik tersebut merupakan salah satu bukti bahwa Pertamina memiliki kredibilitas yang cukup baik, minimal untuk lapangan di negeri sendiri. Dari beberapa blok yang akan habis masa kontraknya. Selain itu, Pertamina sejak UU Migas diundangkan tidak lagi memegang kendali regulator. Padahal kendali tersebut merupakan konsekuensi logis dari frasa konstitusi “dikuasai negara�. Setelah BP Migas diubah menjadi SKK Migas, berubah pula bentuk usaha B to B menjadi G to B seperti dijelaskan di bab sebelumnya. Pertamina sebagai perusahaan yang pada mulanya diberikan kuasa lebih oleh pemerintah sebelum UU Migas berjalan menjadi satu-satunya perusahaan yang menerapkan langsung arti frasa tersebut secara utuh. Model yang diajukan pemerintah untuk menjawab hal tersebut


adalah dengan membentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN-K) denga pola kerja sebagai berikut

TATA KELOLA KEGIATAN USAHA HULU MIGAS Mineral Right

NEGARA

Mining Right

PEMERINTAH (c.q. KESDM) Pembinaan, Pengawasan, Kebijakan dan Pengaturan Kegiatan Usaha Hulu Migas)

SK Penetapan WK (T&C, Koordinat WK, Bentuk Kerja Sama)

Izin Usaha Hulu “Own Operation”

Izin Usaha Hulu “Kerja Sama”

PERTAMINA Diusahakan Sendiri *) Oleh Anak Perusahaan (AP)

Business Right

Fiscal Term: Royalty & Taxes

BUMN-K “Manajemen Pengendali KKS” Mempunyai PI setelah POD I, Namun Tidak Mayoritas

KKS

BU/BUT

Fiscal Term: Bagi Hasil (PSC), Cost & Fee (SC), etc. WK A AP WK X

AP WK Y

AP WK …

WK B

WK …

“Porto Folio”

BUMN-K & Pertamina melalui anak perusahaan memiliki PI pada WK yang diusahakan secara bekerjasama (Misalkan, 20%, 30% dsb) ( * ) Diusahakan sendiri dengan kemungkinan pengikutsertaan pihak lain secara minoritas PI; Participating Interest

Gambar 8 Model Tata Kelola Hulu Migas Usulan Pemerintah

Permasalahan yang mungkin timbul pertama adalah pendefinisian barang dan jasa apa yang diberikan oleh BUMN baru. Sebagai badan regulator tentunya tidak menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Apabila pendefinisian ini gagal, maka akan terjadi gugatan-gugatan selanjutnya yang tetap saja membuat industri ini tidak kondusif. Kedua, percobaan konfigurasi garis koordinasi terhadap pemerintah dan Pertamina akan memakan waktu lama sehingga dibutuhkan trial and error yang lagi-lagi menyebabkan gonjang-ganjing di dalam industri ini.


Perubahan UU Pertamina menjadi UU Migas salah satunya diakibatkan oleh KKN yang timbul ditubuh BUMN ini. Salah satu solusi model manajemen untuk meminimalisasi hal tersebut adalah unlisted public company. Perusahaan jenis ini memberikan sahamnya di bursa saham, namun ditentukan oleh pemerintah untuk tidak menjual saham tersebut 3. Hal ini menyebabkan perusahaan memiliki kewajiban untuk melaporkan keuangannya kepada publik, namun tidak harus menjualkan sahamnya. Ini menjadi salah satu alternatif solusi dalam menangani potensi KKN yang ditimbulkan. Berdasarkan kondisi yang ada, sudah saatnya Pertamina diberikan amanah yang lebih besar dengan menangani blok-blok migas yang akan habis masa kontraknya dan kembali memegan fungsi regulator. Meskipun mungkin dari sisi SDM, teknologi, dan modal masih kalah dibanding para pemain besar lainnya, namun Pertamina sudah bisa membuktikan kemampuannya melalui blok ONWJ dan WMO. Sudah saatnya Pertamina sebagai NOC diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk berkembang yang dampaknya tentu saja baik terhadap negara yang tidak sekedar menjadi tuan tanah saja, tetapi menjadi pemain di negeri sendiri, selain itu cara nasionalisasi juga merupakan kesempatan yang paling baik bagi Pertamina untuk bisa melebarkan sayapnya menjadi salah satu major oil company ke depannya.

3

Financial reporting by unlisted public company, 2007. Australia: The treasury


BAB V Solusi dan Rekomendasi 1. Kelembagaan Konstitusional Solusi yang lebih tepat untuk membenahi kelembagaan konstitusional industri hulu migas saat ini adalah mengembalikan fungsi regulator kepada Pertamina dalam bentuk anak perusahaan agar proses perizinan menjadi satu pintu dan mengedepankan usaha milik negara. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum mengambil kebijakan ini antara lain sebagai berikut: a. Menyatukan pendapat mengenai tafsiran dari pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang sering ditafsirkan berbeda-beda khususnya dalam frasa “dikuasai oleh negara.� b. Membentuk sistem pengawasan yang memungkinkan meminimalisasi praktik KKN seperti unlisted public

company. c.

Benchmark dengan brazil tentang kelembagaan konstitusional khususnya badan regulator yang kini dipegang lembaga ANP. Pembentukan lembaga tersebut sama dengan pembentukan BP Migas di Indonesia tahun 2001 dan berjalan dengan sukses.

Pengambilan keputusan mengenai RUU mana yang nantinya akan dipilih harus dilakukan secara cepat. Hal tersebut akan meningkatkan kepastian hukum industri migas Indonesia yang menjadi lebih menarik bagi investor dan mampu membantu tujuan memakmurkan rakyat.

2. Sistem Kontrak Migas Sistem PSC masih menjadi pilihan yang tepat bagi Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat


Indonesia masih sangat membutuhkan investasi yang sangat besar dalam industri ini, sehingga sistem service contract cenderung tidak menjadi pilihan yang tepat. Sedangkan sistem konsesi akan mengurangi keterlibatan pemerintah yang akan membuat negeri ini mundur beberapa langkah dan menimbulkan gugatan-gugatan dari berbagai pihak yang akan membuat industri ini tidak kondusif dan menyebabkan investor menjadi enggan menanamkan investasinya. Berdasarkan Government Take (GT) yang diterima sistem kontrak PSC sudah memberikan keuntungan yang cukup menguntungkan. Sumber komponen pemasukan Negara dari sistem PSC pun lebih banyak yang berpotensi meningkatkan keuntungan Negara, yaitu royalty, government share, dan income tax dengan tetap menarik bagi investor. Yang sering menjadi permasalahan dari sistem PSC adalah cost recovery yang diduga dapat di mark-up dan merugikan Negara. Maka itu kami merekomendasikan untuk: a. Memberikan minimal Patcipating Interest setiap lapangan untuk dikelola BUMN Migas kita, yaitu Pertamina. Hal ini dapat mengurangi k\etimpangan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah dan KKKS. Sehingga cost recovery dapat dikontrol dengan baik b. Memberikan reward berupa persentase pendapatan hasil penghematan kepada KKKS yang dapat melakukan penghematan biaya. Hal tersebut menjadi win-win solution dimana KKKS akan semangat untuk berhemat dan Pemerintah mendapatkan tambahan keuntungan dari hasil penghematan yang dilakukan. Sistem ini sudah diterapkan dalam sistem PSC yang digunakan Malaysia.



BAGIAN II MENCEGAH LANGKAH MUNDUR HILIRISASI MINERBA BAB I: Latar Belakang Dasar Pikir Menghadapi Kutukan Pertambangan

Dalam esainya yang berjudul Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities, Roderick G. Eggert, seorang praktisi ekonomi mineral dari Colorado School of Mines, mempertanyakan “Is Mining a Curse?” Apakah Industri Tambang adalah kutukan? Secara logika sederhana, industri tambang seharusnya adalah sebuah berkah bagi negara yang memilikinya, karena pada faktanya tidak semua negara dikaruniakan kekayaan sumber daya mineral yang melimpah. Salah satu negara yang mendapatkan limpahan kekayaan sumber daya mineral yaitu Indonesia. Tetapi, pada kenyataannya kondisi aktual hari ini justru berkata lain. Banyak negara yang memiliki kekayaan sumber daya mineral justru masuk dalam kategori negara ‘miskin’.

Negara-negara

tersebut

belum

dapat

mengkapitalisasikan kekayaan sumber daya mineral untuk kesejahteraan rakyatnya, contohnya adalah Indonesia, Afrika Selatan, Timor Leste dll. Dalam

esainya,

Eggert

memaparkan

setidaknya

terdapat tiga hal yang menjadi penyebab mengapa kekayaan


sumber daya mineral belum bisa menjadi komoditas besar bagi negara-negara di atas bahkan di beberapa negara, kekayaan sumber daya mineral justru menjadi masalah bagi negara tersebut. Yang pertama adalah pengaruh pasar eksternal. Hal ini berhubungan dengan harga komoditas mineral di pasaran global. Fluktuasi harga menjadi tantangan bagi pemerintah dalam mengelola sumber daya mineral negerinya. Misalnya, fluktuasi pada harga batubara dunia hari ini adalah gambaran jelas bagaimana faktor harga di pasaran global sangat berdampak dalam keekonomian mineral. Anjloknya harga batubara hingga 50$/ton mengakibatkan lesuhnya industri batubara

dunia,

khususnya

Indonesia

yang

notabene

merupakan eksportir batubara. Dalam industri tambang dikenal istilah linkage effect, yaitu industri yang mensupport dan secara tidak langsung terkena efek keberjalanan industri tambang, seperti industri makanan, industri bahan bakar, dan industri manufaktur. Lesuhnya industri tambang karena faktor eksternal tersebut akhirnya berdampak pula terhadap industri

linkage

effect

yang

secara

tidak

langsung

juga

mempengaruhi perekonomian Indonesia. Hal ini karena memang skala industrinya yang begitu besar. Faktor kedua adalah apa yang disebut Eggert sebagai

Dutch Disease. Dutch Disease diartikan sebagai penyakit


ketergantungan yang terlalu berlebihan terhadap sumber daya mineral. Seluruh kegiatan ekonominya berpusat pada industri mineral, sehingga ekonomi negara/daerah tersebut sangat bergantung pada industri tersebut. Tentu ini sangat beresiko, karena harga komoditas barang tambang di pasaran global sangat fluktuatif. Sekali harga komoditas tambang lesuh, maka bisa dipastikan hancurlah perekonomian negara tersebut. Belum lagi faktor resiko dari bidang teknologi, ekonomi, dan politik yang senantiasa dapat mengancam keberjalanan industri ini. Contoh nyata dari peristiwa ini adalah peristiwa yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Mimika,

Indonesia.

Keberadaan

tambang

raksasa

PT

Newmount dan PT Freeport yang masing-masing menyumbang 90-95% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 1 dan 95% PDRB4 terhadap perekonomian kedua daerah tersebut yang menyebabkan ketergantungan dari kedua daerah tersebut. Kebijakan hilirisasi tambang yang ditekankan dengan terbitnya PP dan Permen Nomor 1 Tahun 2014 menyebabkan kedua perusahaan ini akhirnya menjadikan alasan kontribusi ketergantungan ekonomi daerah itu menjadi ‘tameng’ untuk mengancam pemerintah menunda pelaksanaan program hilirisasi tambang.

4

http://wartaekonomi.co.id/ diunduh dari 17 Desember 2013


Faktor ketiga adalah faktor kebijakan untuk sumber daya mineral di banyak negara yang menjadi tulang punggung penggerak ekonomi negara, baik karena linkage effect atau maupun dari segi penyumbang pendapatan negara. Maka, peran pemerintah dalam mengatur kebijakan dalam bidang sumber daya mineral akan sangat menentukan dampaknya bagi industri mineral ini. Salah satunya yaitu kebijakan industri tambang yang selama 42 tahun di bawah naungan UU No.11 Tahun 1967 tentang pokok - pokok pertambangan jelas sangat merugikan negara Indonesia, yaitu berupa: sistem bisnis yang B to G, sistem kontrak dengan royalti (bagi hasil) sangat rendah, hingga belum adanya regulasi serta pengaturan tentang lingkungan. Sampai pada akhirnya, diawal tahun 2009, pemerintah mengorbitkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara atau yang sering disebut UU Minerba. Dengan beragam revolusi dari undang-undang sebelumnya, jelas UU ini membawa angin segar perubahan terhadap industri tertua di dunia ini. Inilah mengapa faktor kebijakan sangat penting. Salah membuat kebijakan tentunya sama saja merugikan negara, bukan saja satu atau dua tahun, namun bisa mencapai puluhan tahun. Melihat ketiga faktor tersebut dan merefleksikannya terhadap kondisi riil Indonesia saat ini, fakta ini tidak dapat kita hindari. Ketiga faktor menjadi faktor penyebab utama belum


maksimalnya potensi sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia. Industri tambang hari-hari ini justru lebih identik dengan kerusakan lingkungan, konflik horizontal, hingga permasalahan korupsi yang menggerogoti internal industri ini. Landasan Konstitusional Semangat Hilirisasi Pertambangan sebenarnya didasari oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.�. Dalam merealisasikan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, manifesto politik RI 17 Agustus 1959, dan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 dibentuklah UU No 37 Prp Tahun 1960. Dalam keberjalanannya, kebijakan ini memang sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin yang dibawa saat itu namun, justru mempersulit kesempatan modal swasta dan tidak memungkinkan penanaman modal asing dan ditambah lagi saat itu Indonesia masih belum bisa mengusahakan potensi pertambangan yang ada secara pribadi. Akhirnya UU No 37 Prp Tahun 1960 dihapuskan. Berdasarkan pergolakan politik 1965/1966 dihasilkan TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1966. Hal inilah yang mendorong terbentuknya UU No 11 Tahun 1967. Berdasarkan Pembukaan UU No 11 Tahun 1967 ini, tertulis bahwa

“Menimbang : bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang


adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensi dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil. bahwa berhubung dengan itu, dengan tetap berpegang pada Undang-undang Dasar 1945, dipandang perlu untuk mencabut Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan (Lembaran Negara tahun 1960 No. 119) serta menggantinya dengan Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru yang lebih sesuai dengan kenyataan yang ada dalam rangka memperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia dimasa sekarang dan dikemudian hari; Mengingat :      

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 ; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966 ; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966 ; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXIII/MPRS/1967 ; Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 163 tahun 1966 ; Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 171 tahun 1967; “

Hal ini terlihat bahwa semangat hilirisasi guna kesejahteraan rakyat Indonesia sudah dimulai. Bahkan pada bagian menimbang ayat a tertulis bahwa diperlukannya pengerahan semua sumber dana dan daya yang ada untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensi di


bidang pertambangan, menunjukkan niatan optimalisasi dari sumber daya yang ada yang dimiliki oleh Indonesia demi mengusahakan potensi di sektor pertambangan. Namun, dalam penerapannya Peraturan perundang-undangan bidang pertambangan umum maupun bidang geologi dan sumberdaya mineral, masalah konservasi bahan galian belum diatur dengan rinci sehingga dapat dikatakan bahwa masalah konservasi bahan galian belum tertangani. Dalam UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan PP No. 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UU No. 11 tahun 1967 yang telah mengalami dua kali perubahan (PP No. 75 Tahun 2001), hanya mengatur kewajiban dari pemegang kuasa pertambangan untuk menyampaikan laporan berkala yang materinya sesuai dengan tahap kuasa pertambangan. Sebagai misal bahwa pemegang kuasa pertambangan eksploitasi wajib menyampaikan laporan berkala tentang kegiatan eksploitasi. Dalam perkembangannya, peraturan perundangundangan yang ada tersebut ternyata belum memadai sehingga secara umum prinsip/kaidah konservasi bahan galian subsektor petambangan umum tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Hingga akhirnya UU no 11 tahun 1967 ini dicabut pada tahun 2000 dan menunggu penetapan selanjutnya dari pemerintah terkait UU yang mengatur tentang semangat hilirisasi pertambangan. Pemerintah berupaya mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang pertambangan guna kepentingaan rakyat yang sebesarbesarnya secara berkelanjutan. Lompatan Besar Hilirisasi Pada akhirnya, 12 Januari 2009 dikeluarkan Undangundang pertambangan yang baru, yaitu Undang-undang No.4


Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Adapun tujuan dari diberlakukannya UU Minerba tersebut adalah untuk menjadikan negara sebagai penguasa dalam pengelolaan mineral dan batubara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Lalu tujuan yang lain dari diberlakukannya UU Minerba tersebut yaitu untuk mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Dalam UU Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 Pasal 102 disebutkan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib

meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.”. Kemudian dalam UU Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 Pasal 103 ayat 1 disebutkan bahwa “kewajiban untuk

melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.”. Lalu dalam UU Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 Pasal 120 disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan

peningkatan adalah peningkatan dari tahap eksplorasi ke tahap operasi produksi.”. Selain itu dalam UU Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 Pasal 170 disebutkan bahwa “pemegang kontrak karya


sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat 1 selambat-lambatnya 5 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.�. Menurut Ir. Susilo Siswuotomo selaku Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), salah satu dasar diberlakukannya aturan tersebut adalah kondisi ekspor bijih mineral yang terus menerus meningkat selama 4 tahun (tahun 2008-2011). Sebagai contoh ekspor bijih nikel meningkat 8 kali lipat, ekspor bijih tembaga 11 kali lipat dan ekspor bijih bauksit meningkat sebesar 5 kali lipat. Kondisi ini dinilai tidak memicu perkembangan sector hilir pertambangan, padahal apabila peningkatan nilai tambah dilaksanakan maka beberapa komoditas akan lebih mendapatkan keuntungan yang berlipat. Bijih nikel ketika dilakukan proses nilai tambah menjadi Ferronikel akan meningkat nilainya sebesar 437 kali, kemudian bijih besi meningkat 6 kali. Hal-hal spesifik itulah yang menjadi latar belakang mengapa pemerintah mewajibkan para pengusaha untuk melaksanakan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. BAB II: Tinjauan Teoritis Cadangan dan sumber daya mineral: Sebuah teori praktis Sumber Daya Mineral (Mineral Resources) adalah endapan mineral yang diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Sumber daya mineral dengan keyakinan geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan setelah dilakukan pengkajian kelayakan tambang dan memenuhi kriteria layak tambang Cadangan (Reserve) adalah endapan mineral yang telah diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan


kualitasnya dan yang secara ekonomis, teknis, hukum, lingkungan dan sosial dapat ditambang pada saat perhitungan dilakukan. Klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan Merupakan suatu proses pengumpulan, penyaringan serta pengolahan data dan informasi dari suatu endapan mineral untuk memperoleh gambaran yang ringkas mengenai endapan tersebut. Klasifikasi sumber daya dan cadangan didapat berdasarkan dua kriteria, yaitu tingkat keyakinan geologi dan pengkajian layak tambang

Gambar 9 Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan

Pengkajian Kelayakan Tambang (Mine Feasibility Assessment) adalah Dokumentasi mutakhir mengenai pengembangan dan penambangan suatu endapan mineral termasuk rencana-rencana penambangan mutakhir. Dalam laporan telah diperhitungkan kuantitas dan kualitas mineral yang diekstrasi, adanya perubahan harga dan biaya, perkembangan teknologi terkait, peraturan untuk masalah lingkungan dan peraturan lainnya serta data ekplorasi yang dilaksanakan bersamaan dengan penambangan Laporan


tersebut memberikan status mutakhir mengenai sumber daya mineral dan cadangan secara rincian dan tepat. Pengkajian layak tambang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : Pengkajian layak tambang berdasarkan faktor pengubah yang meliputi faktor-faktor penambangan, pengolahan/pemurnian, ekonomi, pemasaran, lingkungan sosial dan peraturan perundangan yang yang berlaku. Pengkajian layak tambang akan menentukan apakah sumber daya mineral akan berubah menjadi cadangan atau tidak. Berdasarkan pengkajian ini, bagian sumber daya mineral yang layak tambang berubah statusnya menjadi cadangan, sedangkan yang belum layak tambang tetap menjadi sumber daya mineral. Cadangan mineral dapat berubah statusnya menjadi sumber daya mineral jika terjadi perubahan harga dan perubahan aturan-aturan yang menyebabkan cadangan tersebut tidak ekonomis lagi untuk ditambang, sehingga statusnya menjadi sumber daya.


Gambar 10 Hubungan antara Eksplorasi, Sumber Daya Mineral dan Cadangan Mineral

Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan Mineral Klasifikasi sumber daya mineral berdasarkan tingkat penyelidikannya, terbagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu hipotetik, tereka, tertunjuk dan terukur. Sedangkan klasifikasi cadangan mineral terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu terkira dan terbukti (SNI 130-50141998). Sumber daya mineral hipotetik (Hypothetical Mineral Resource) adalah sumber daya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan perkiraan pada tahap Survai Tinjau.


Sumber daya mineral tereka (Inferred Mineral Resource) adalah sumber daya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil tahap Prospeksi. Sumber daya mineral tertunjuk (Indicated Mineral Resource) adalah sumber daya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil tahap Eksplorasi Umum. Sumber daya mineral terukur (Measured Mineral Resources) adalah sumber daya mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil tahap Eksplorasi Rinci. Cadangan mineral terkira (Probable Reserve) adalah sumber daya mineral terunjuk dan sebagian sumber daya mineral terukur yang tingkat keyakinan geologinya masih lebih rendah, yang berdasarkan studi kelayakan tambang semua faktor yang terkait telah terpenuhi, sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomi. Cadangan mineral terbukti (Proved Reserve) Adalah sumber daya mineral terukur yang berdasarkan studi kelayakan tambang semua faktor yang terkait telah terpenuhi, sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomik. Memahami Kembali Pengolahan dan Pemurnian Di Indonesia telah memiliki beberapa teknologi untuk mengolah dan memurnikan beberapa komoditas mineral logam. Adapun untuk mineral logam emas, Indonesia dapat mengolah dan memurnikannya dari bijih emas menjadi produk dore bullion dengan kadar emas mencapai 99,95% dengan sedikit mengandung perak menggunakan proses pelindian. Untuk mendapat emas murni, dapat dilakukan dengan proses electrorefining, sehingga kadar emas akhir mencapai 99,99%.


Untuk mengolah dan memurnikan mineral logam seng, dapat menggunakan proses pirometalurgi dan hidrometalurgi dari bijih seng sulfida menjadi produk seng katoda dengan kandungan seng mencapai 99,99%. Kemudian untuk mengolah logam timbal dari konsentrat timbal menjadi produk logam timbal dapat dilakukan dengan proses pelindian. Untuk mengolah dan memurnikan mineral logam tembaga, dapat dilakukan dengan proses pelindian dan electrorefining untuk mendapatkan produk tembaga katoda dengan kandungan tembaga mencapai 99,99%. Kemudian untuk mengolah dan memurnikan bijih bauksit menjadi alumina, dapat dilakukan dengan proses bayer. Sedangan untuk memproses alumina menjadi logam alumunium dengan kadar alumunium 99,99%, dapat dilakukan dengan proses elektrolisis. Untuk mengolah bijih nikel, misalnya dari bijih nikel laterit menjadi produk nickel matte dengan kandungan nikel mencapai 75% dapat dilakukan dengan proses pirometalurgi. Sedangkan untuk memproses dari nickel matte menjadi produk nikel dengan kandungan nikel mencapai 96% dapat dilakukan dengan proses pelindian. kemudian untuk mengolah dan memurnikan timah dapat dilakukan dengan proses peleburan hingga menghasilkan produk logam timah dengan kadar timah mencapai 99,9%. Untuk mengolah dan memurnikan bijih besi dan pasir besi dapat untuk menghasilkan produk baja atau stainless steel dapat menggunakan teknologi blast furnace.


BAB III: Semangat Hilirisasi yang Tak Boleh Mati Semangat Hilirisasi dalam Aturan Turunan UU Minerba Dari beberapa pasal yang terdapat dalam UU Minerba, terlihat jelas bahwa tujuan dari UU Minerba adalah untuk hilirasasi usaha pertambangan. Dimana hal ini bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan hal itu, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010, dimana pada salah satu babnya membahas tentang pengaturan peningkatan nilai tambah, pengolahan, dan pemurnian mineral dan batubara. Dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Pasal 93 ayat 1 disebutkan bahwa “pemegang IUP Operasi Produksi

dan IUPK Operasi Produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya.�. Adapun dalam penjelasan di Peraturan Pemerintah tersebut dimaksudkan adalah peningkatan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara di dalam negeri. Lalu dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Pasal 112 ayat 4.c disebutkan bahwa “melakukan pengolahan

dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. �. Pelanggaran Aturan Turunan, Langkah Mundur Hilirisasi Dari UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan dari PP No. 23 Tahun 2010 terlihat jelas semangat hilirisasi perusahaan pertambangan dari pemerintah guna kemakmuran dan


kesejahteraan rakyat. Namun terdapat Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 yang membuat semangat hilirisasi perusahaan pertambangan melemah. Terlihat dari isi PP No. 1 Tahun 2014 yaitu dihapuskannya PP No.23 Tahun 2010 Pasal 112 ayat 4.c, dimana tidak terdapat lagi peraturan yang mengharuskan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun. Terjadinya hal tersebut menjadikan terdapatnya perusahaan tambang yang melakukan perjanjian izin ekspor konsentrat dengan durasi waktu yang telah ditentukan dalam kontrak karya. Dimana perjanjian izin ekspor tersebut jelas melanggar maksud dan tujuan dari diberlakukannya UU Minerba No. 4 Tahun 2009. Tentu hal tersebut menjadi angin segar bagi pengusaha tambang dan menjadi momen kekecewaan bagi rakyat Indonesia yang menginginkan hilirisasi bahan tambang dapat terwujud secara nyata, serta tujuan dari hilirisasi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Semangat hilirisasi dari UU Minerba No. 4 Tahun 2009 semakin redup ketika diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014. Dimana pada Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa pelarangan penjualan hasil pengolahan (tidak termasuk pemurnian) mineral logam ke luar negeri hanya berlaku bagi komoditas mineral logam nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium. Hal tersebut terdapat pada pasal 12 ayat 4. Dimana pelarangan tersebut tidak berlaku bagi komoditas mineral logam lain, seperti tembaga, bijih besi, pasir besi, mangan, timbal, dan seng. Kemudian PP No.1 Tahun 2014 direvisi menjadi PP No. 8 Tahun 2015, namun tidak mengubah peraturan perihal pelarangan izin ekspor tersebut.


Jika dilihat dari tujuan diberlakukannya UU Minerba No. 4 Tahun 2009, maka sangat diperlukan diberlakukannya peraturan peningkatan nilai tambah mineral. Hal tersebut dilakukan dengan cara merevisi peraturan menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 terkait pelarangan penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri, yaitu memasukkan komoditas mineral logam tembaga, bijih besi, pasir besi, mangan, timbal, dan seng ke dalam pelarangan penjualan ke luar negeri sebelum dilakukan pemurnian di dalam negeri. Namun apabila di Indonesia belum terdapat teknologi yang dapat memurnikan beberapa komoditas mineral logam, maka komoditas mineral logam yang tidak dapat dimurnikan tersebut diizinkan untuk dilakukan penjualan ke luar negeri hingga terdapat teknologi yang dapat mengolahnya di dalam negeri, dengan catatan bahwa Indonesia melakukan studi untuk memiliki teknologi tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan. Jadi sangatlah jelas bahwa sebenarnya UU Minerba no 4 tahun 2009 adalah UU yang mengutamakan hilirisasi dan jikalau perlu mengalami perubahan mungkin hanyalah terkait masalah pemberian izin IUP yang tidak boleh lagi melalui daerah tingkat II dan peraturan tambahan yang bertolak belakang dengan semangat hilirisasi. Masalahnya sekarang, dapatkah pemerintah mempertahankan semangat hilirisasi yang dibawa UU Minerba No 4 Tahun 2009?


Rasionalisasi Kebutuhan Minerba Indonesia Indonesia memilik 30 proyek infrastruktur prioritas yang harus diawasi oleh KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas), dan sekitar 225 proyek infrastruktur yang dicanangkan Presiden Jokowi. Karena kondisi tersebut, kebutuhan logam strategis dan vital seperti besi dan baja, tembaga, dan aluminium di Indonesia saat ini sangatlah besar. Kebutuhan akan logam-logam tersebut tentunya akan lebih baik jika dipenuhi dari dalam negeri sendiri selama sumber dayanya ada. Tabel 5 30 Proyek Infrastruktur Prioritas yang Diawasi KPPIP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Proyek Jalan tol BalikpapanSamarinda Jalan tol ManadoBitung Jalan tol Panimbang, Serang 8 Ruas Jalan tol Trans Sumatera Kereta Api Express Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) MRT Jakarta Jalur Selatan-Utara Kereta Api Makassar-Pare Pare Pelabuhan Hub International Kuala Tanjung Pelabuhan Hub International Bitung NCICD PLTA Karangkates IV (2x50 MW)

No 16 17

Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) Fase A Sistem pengolahan limbah Jakarta

18

SPAM Semarang Barat

19

High Voltage (HVDC)

20

Transmisi Sumatera 500 KV

21 22

Direct

Current

Central- West Java Transmission Line 500 KV Central Java Power Plant /PLTU Batang

23

PLTU Indramayu

24

PLTU Mulut Tambang Sumatera Selatan

25

Kilang Minyak Bontang


11 12 13 14 15

PLTA Kesamben (37MW) PLTA Lodoyo ( 10 MW) Inland Waterway/Cikarang -Bekasi-Laut (CBL) Light Rail Transit di Sumatera Selatan LRT terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi

26 27

RDMP/Revitalisasi Kilang Existing (Balikpapan,Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju) Pelabuhan di Jawa Barat bagian utara

28

Kilang Minyak Tuban

29

Palapa Ring Broadband, dan

30

Kereta Api Kalimantan Timur

Proyek-proyek ini pasti akan terus bertambah seiring kebutuhan Indonesia di bidang infrastruktur di kemudian hari. Namun pemenuhan kebutuhan dalam negeri terhadap logamlogam strategis seperti tembaga, nikel, timah, besi, dan aluminium masih sangat kecil jika melihat dari besarnya negara Indonesia yang membutuhkan infrastruktur yang besar dan banyak juga. Kebutuhan dalam negeri akan logam-logam strategis inipun masih belum dapat dipenuhi oleh industri pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Jika kebutuhan dalam negeri saat ini saja masih belum dapat dipenuhi, maka pengembangan industri-industri lain terutama manufaktur, otomotif, kimia, dan lain-lain akan terhambat. Berikut adalah kebutuhan-kebutuhan material logam di Indonesia dan pemenuhannya di dalam negeri pada tahun 2012: Kebutuhan Tembaga Dalam Negeri Berdasarkan data kajian ESDM, kebutuhan tembaga di dalam negeri Indonesia hanya sekitar 600.000 ton (sekitar


Âą30% produksi tembaga Indonesia) dengan rincian pada Tabel 1. Tabel 6 Konsumsi Tembaga dalam Negeri (Kajian Supply Demand Mineral, Kementerian ESDM, 2012) Barang

Konsumsi dalam negeri (ton)

Barang

Konsumsi dalam negeri (ton)

Tembaga dasar

227.811

Bar tembaga lainnya (pipe, tube)

17.458

217.615

Tembaga plate/sheet

31.84

6.306

Tembaga foil

8.742

56.506

Skrap tembaga

17.075

14.416

Produk tembaga lainnya

50.258

Tembaga katoda (ingot) Tembaga kasar lainnya Bar tembaga murni Kawat tembaga Total

603.077

Padahal jika meninjau proyek-proyek yang sedang digarap oleh pemerintah saat ini (terutama proyek 35.000 MW), kebutuhan akan tembaga pastinya meningkat, salah satunya untuk transmisi listrik. Rasio elektrifikasi Indonesia yang masih 80,4%5 juga masih bisa ditingkatkan lagi dengan transmisi dan distribusi listrik yang memadai. Belum lagi jika kita membicarakan sektor industri elektronik, industri peralatan, dan lain-lain.

5

Outlook Energi Indonesia, BPPT, 2015


Kebutuhan Nikel Dalam Negeri Kebutuhan produk nikel dalam negeri sebesar 2.749 ton, dengan rincian pada Tabel 2. Hal ini mengindikasikan belum berkembangnya industri hilir pemanfaatan nikel seperti industri baja, otomotif, dan peralatan industri. Padahal dari daftar 30 proyek infrastruktur prioritas Indonesia saat ini, sebagian besar membutuhkan nikel sebagai konstruksi maupun peralatan industri. Tabel 7 Konsumsi Nikel dalam Negeri (Kajian Supply Demand Mineral, Kementerian ESDM, 2012) Barang

Konsumsi dalam negeri (ton)

Nickel matte

0

Fe-Ni

47

Nikel, unwrought Serbuk nikel

Barang Nikel batangan Nikel lembaran

Konsumsi dalam negeri (ton) 499 438

613

Nikel silinder

1063

29

Produk nikel lainnya

788

Total

2.749

Namun Indonesia hanya dapat memproduksi feronikel dan nikel kasar masing-masing 18 ribu ton dan 63 ribu ton (2009). Kebutuhan Aluminium Dalam Negeri Produk hilir aluminium di Indonesia mengalami defisit. Kebutuhan total aluminium dalam negeri adalah sebesar sekitar 889 ribu ton akan tetap produsi hilir aluminium dalam negeri hanya 375 ribu. Kekurangan ini ditutupi dengan mengimpor aluminium dari luar negeri.


Yang cukup memprihatinkan lagi adalah, optimalisasi industri hilir aluminium saat ini terbatas pada aluminium alloy ingot yang digunakan untuk bahan baku komponen otomotif dan ekstrusi yang sebagian besar digunakan untuk menopang industri hasil investasi Jepang di Indonesia. Tabel 8 Konsumsi Alumunium Dalam Negeri (Kajian Supply Demand Mineral, Kementerian ESDM, 2012) Barang

Konsumsi dalam negeri (ton)

Aluminium ingot, slab, billet

621,242

Aluminium batangan

73.595

Aluminium lembaran

149.384

Aluminium lainnya

45.042

Total

889.263

Kebutuhan Besi dan Turunannya Dalam Negeri Sebagai logam yang paling banyak dipakai di dunia, termasuk Indonesia, kebutuhan akan logam besi dan turunannya di dalam negeri sangatlah tinggi. Kementrian Perindustrian menyatakan bahwa suplai besi baja produksi dalam negeri belum memenuhi semua kebutuhan pasar domestik sehingga masih harus diimpor4. Kebutuhan besi dan turunannya di dalam negeri mencapai 13 juta ton pada tahun 20155. Kebutuhan besi dan baja sangat luas, diantaranya untuk jalur kereta api, transportasi migas, bangunan, otomotif, dan lain-lain sehingga pemenuhan kebutuhan besi dan baja sebagai bahan baku industri-industri tersebut mutlak diperlukan Indonesia.


Ditinjau dari kontribusi sektor pertambangan terhadap APBN, PNBP sektor pertambangan pada 2 tahun terakhir tidak memenuhi target yang telah ditentukan. PNBP sektor pertambangan tahun 2012 yang ditargetkan sebesar 28,9 triliun hanya terealisasi sebesar 25 triliun dan pada tahun 2013 yang ditargetkan sebesar 33,1 triliun hanya terealisasi sebesar 26,4 triliun (1,76% dari APBN Indonesia 2013). Salah satu penyebabnya adalah kurang akuratnya perhitungan volume dan kualitas mineral dan batubara yang akan dijual oleh pelaku usaha, sebagai dasar untuk perhitungan kewajiban royalti6. Maka lebih baik jika kontribusi sektor pertambangan yang selama ini fokus pada ekspor komoditi mentah dapat dialihkan ke sektor industri dengan pemanfaatan komoditi tambang sebagai bahan baku industri-industri hilir sehingga peningkatan nilai tambahnya semakin besar.


BAB IV: Gambaran Cadangan dan Sumber Daya Mineral serta Produksi di Indonesia Gambaran Umum Minerba Indonesia dalam Angka Indonesia merupakan negara yang terletak di ring of fire (cincin api pasifik), sehingga indonesia memilki potensi yang besar untuk terjadinya bencana gunung api. Tetapi dibalik potensi bencana yang besar itu, indonesia juga mendapatkan manfaat besar dari kondisi ini. Gunung api yang meletus, dapat mengangkat mineral-mineral dari perut bumi ke permukaan bumisehingga indonesia kaya akan berbagai jenis mineral.

Gambar 11 Peta Persebaran Mineral-mineral Logam di Indonesia (Sumber: Pusat Sumber Daya Geologi Kementerian ESDM)


Tabel 9 Sumber Daya Mineral dan Cadangan Mineral Indonesia (Sumber: Pusat Sumber Daya Geologi Kementerian ESDM, November 2015)

Dari tabel di atas kita dapat melihat komoditas emas, tembaga, perak, nikel, timah, bauksit dan pasir besi memiliki sumber daya ore (bijih) yang jumlahnya cukup banyak dibandingkan mineral-mineral lain, sementara cadangan bijih emas primer, bauksit, nikel, tembaga, timah dan perak indonesia cukup signifikan, dan sebaiknya lebih dikembangkan untuk peningkat perekonomian indonesia.


Sumber Daya dan Cadangan Logam Indonesia

Gambar 12 Grafik Sumber Daya Cadangan Logam Emas Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2014 sumber daya logam emas di indonesia cenderung naik, dan turun pada tahun 2015. Sementara cadangan logam emas indonesia 2011-2013 mengalami kenaikan dan turun dari 2013-2015.


Gambar 13 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Pasir Besi Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2015 sumber daya dan cadangan pasir besi terus mengalami peningkatan. Pada tahun 20142015 terjadi peningkatan cadangan yang sangat signifikan lebih dari 400% dari cadangan 2014


Gambar 14 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Logam Emas Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2015 sumber daya dan cadangan mangan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2014-2015 terjadi peningkatan sumber daya dan cadangan yang sangat signifikan.


Gambar 15 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Bijih Nikel Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2015 sumber daya dan cadangan pasir besi terus mengalami peningkatan. Pada tahun 20142015 terjadi peningkatan cadangan dan sumber daya yang sangat signifikan hampir 2 kali lipat dari cadangan 2014


Gambar 16 Sumber Daya dan Cadangan Bijih Tembaga Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2015 terjadi peningkatan sumber daya bijih temabaga, sementara tahun jumlah cadangan naik pada 2011-2013, dan turun pada 2013-2015.


Gambar 17 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Bauksit Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2015 sumber daya dan cadangan pasir besi terus mengalami peningkatan. Pada tahun 20142015 terjadi peningkatan sumber daya yang sangat signifikan hampir 3 kali lipat dari cadangan 2014.


Gambar 18 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Bijih Seng Indonesia 2010-2014

Pada tahun 2010-2014, secara umum jumlah cadangan mengalami peningkatan, sementara cadangan bijih seng naik pada 2010-2012, dan turun pada 2012-2014.


Gambar 19 Grafik Sumber Daya dan Cadangan Timah Indonesia 2011-2015

Dari tahun 2011-2015 sumber daya dan cadangan timah terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013-2015 terjadi peningkatan cadangan dan sumber daya yang sangat signifikan.

Sumber Daya dan Cadangan Mineral Indonesia Sedangkan data produksi mineral di Indonesia sebagai berikut:



Dapat terlihat bahwa data besar cadangan dengan besar produksi barang tambang mineral tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Dari perhitungan dasar, didapatkan bahwa cadangan mineral yang berada di Indonesia masih memiliki waktu yang sangat lama (puluhan hingga ratusan tahun) untuk di-eksploitasi. Selain itu, perusahaan tambang memiliki waktu untuk membangun fasilitas pemurnian mineral logam dan meraih keuntungan dari kegiatan tersebut. Sangat disayangkan ketika cadangan mineral yang sangat besar tersebut secara terus menerus dikeruk dan diekspor ke luar negeri, lalu diimpor kembali ke dalam negeri ketika telah menjadi produk. Hal tersebut membuat kita seakan-akan membeli tanah kita sendiri kepada pihak negara lain. Maka dari itu, sangat disarankan untuk melakukan peningkatan nilai tambah bagi mineral logam sebelum dilakukan penjualan ke luar negeri. Dengan dilakukannya hal tersebut, maka akan terdapat keuntungan besar bagi rakyat dan negara, seperti peningkatan pendapatan rakyat melalui lapangan pekerjaan yang bertambah dan meningkatnya penghasilan negara melalui operasi produksi tersebut.

BAB V Solusi dan Rekomendasi 1. Memasukkan komoditas mineral logam tembaga, bijih besi, pasir besi, mangan, timbal, dan seng ke dalam pelarangan penjualan ke luar negeri sebelum dilakukan proses pemurnian di dalam negeri, yaitu pada Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri ESDM No.8 Tahun 2015.


2. Untuk komoditas mineral logam nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium, tetap menjadi komoditas mineral logam yang dilarang untuk dilakukan penjualan ke luar negeri sebelum dilakukan proses pemurnian, yakni pada Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri ESDM No.8 Tahun 2015. 3. Pemerintah memberikan suatu insentif kepada para pelaku usaha pertambangan untuk mendirikan fasilitas pemurnian mineral logam agar mempercepat proses pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam di Indonesia. 4. Pemerintah melakukan pengawasan yang tegas terhadap pelaku usaha pertambangan agar membangun fasilitas pemurniannya agar memiliki progress yang baik dan berkelanjutan. 5. Komoditas emas, tembaga, perak, nikel, timah, bauksit dan pasir besi memiliki sumber daya ore (bijih) yang jumlahnya cukup banyak dibandingkan mineralmineral lain, sementara cadangan bijih emas primer, tembaga, perak,nikel, timah, dan bauksit indonesia cukup signifikan, dan sebaiknya fasilitas hilir untuk komoditas mineral logam tersebut lebih dikembangkan untuk peningkatan perekonomian indonesia 6. Diperlukan adanya upaya peningkatan cadangan dan sumber daya mineral di Indonesia baik itu melalui inventarisasi data cadangan dan sumber daya dari perusahaan pertambangan atau instansi terkait, maupun melalui eksplorasi 7. Pembuatan industri hilir yang memanfaatkan logam strategis perlu dikembangkan di Indonesia agar


penyerapan logam olahan dari mineral yang ditambang di dalam negeri dapat maksimal. Industri-industri tersebut antara lain industri elektronik, otomotif, kimia, dan lain-lain. 8. UU minerba No.4 Tahun 2009 merupakan UU yang sangat baik dalam menjunjung semangat hilirisasi di Indonesia, jika membutuhkan revisi sebaiknya hanya terkait pemberian izin IUP dari daerah tingkat II dan peraturan tambahan yang lebih mengedepankan semangat hilirisasi pertambangan. 9. Perlu dikembangkannya sinergisasi antara semangat hilirisasi dan pembangunan industry di Indonesia. Karena akan percuma jika semangat hilirisasi tidak didukung oleh industry hilir dari masing masing komoditas itu sendiri.


Daftar Pustaka 1. R. Hutamadi. 2003. Ulasan Kebijakan Konservasi Bahan Galian. Jakarta: Kementerian ESDM 2. Laporan Pemutakhiran Data dan Neracara Sumber Daya Mineral tahun 2015 kementerian ESDM 3. Partowidagdo, Widjajono. 2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung : Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB 4. Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia: Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta: Pertamina 5. Syeirazi, Khalid. 2009. Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta : LP3ES 6. Kurtubi. 2012. Slide Presentasi : Kembalikan Blok Migas Selesai Kontrak. Disampaikan pada Seminar Migas di Ruang GBHN Nusantara MPR, 17 Juli 2012 7. UU no 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan 8. PP No. 1 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Mineral 9. UU no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 10. -. 2015. Draft Kajian Rekomendasi RUU Migas. ITB: HMTM “Patra� ITB 11. -. 2016. Draft Kajian Rekomendasi RUU Minerba. ITB: Rumpun Mineral KM ITB 12. -. 2015. Buku Kajian Energi: Sebuah Solusi Kecil Karya Mahasiswa ITB dalam Bidang Energi Negeri Indonesia. ITB: Kementrian ESDM KM ITB 2014-2015.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.